12
TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Lahan Berkelanjutan Pengelolaan lahan berkelanjutan pada dasarnya adalah upaya untuk mengelola sumberdaya lahan
untuk menghasilkan produk dalam rangka
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat dalam jangka panjang dengan tanpa merusak
dan
mempertahankan
fungsi
lingkungan.
Pengelolaan
lahan
berkelanjutan mengharmonisasikan antara tujuan ekonomi dan social dengan tujuan perlindungan lingkungan, yang terkadang kedua tujuan tersebut berbeda. Untuk itu pengelolaan lahan berkelanjutan memfokuskan pada pemanfaatan fungsi lingkungan secara optimal untuk kepentingan masyarakat (World Bank 2006). Pengelolaan berkelanjutan merupakan dasar bagi pertanian berkelanjutan. Sumarno dan Suyamto (1998) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan merupakan suatu sistem produksi yang memungkinkan kita untuk memperoleh keuntungan secara terus menerus dari penggunaan sumberdaya (lahan, air, sumbedaya genetik) alam untuk memenuhi kebutuhan tanpa merusak sumberdaya alam tersebut bagi generasi mendatang. Pertanian berkelanjutan memadukan 3 (tiga) tujuan utama, yaitu kesehatan lingkungan, keuntungan ekonomi dan keseimbangan sosial dan ekonomi (Feenstra 1997). Pengelolaan lahan berkelanjutan mencakup upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas produksi lahan-lahan yang dibudidayakan, dan upaya untuk mencegah dan mengatasi degradasi lahan, khususnya di daerah dataran tinggi dan daerah aliran sungai. Degradasi lahan merupakan fenomena umum yang dapat mengancam dan membahayakan kehidupan masyarakat di perdesaan akibat hilangnya produktivitas lahan melalui satu atau lebih proses, seperti penurunan aktivitas biologi tanah, kehilangan struktur tanah, pemindahan tanah karena air, atau erosi air, pengasaman (acidification), salinisasi, penggenangan (water logging) dan pencemaran (World Bank 2006). Untuk pengelolaan lahan kering berkelanjutan diperlukan langkah-langkah sebagai berikut (Sumarno dan Suyamto 1998): (1) Pengadaan dan pemanfaatan bahan organik, pupuk hijau dan kompos
13
(2) Peningkatan daur ulang hara (3) Penggunaan pupuk anorganik seminimal mungkin (4) Pemanfaatan pupuk hayati, pestisida hayati dan mikroba hayati (5) Penerapan konservasi tanah untuk lahan kering berlereng (6) Peningkatan kemampuan tanah dalam menyerap dan menyimpan air melalui pembuatan teras, galengan sabuk lereng, rorak sabuk lereng dan jalur hijau sabuk lereng.
Usahatani terpadu tersebut perlu didukung oleh berbagai komponen teknologi berwawasan lingkungan, seperti (1) penggunaan bahan organik dan pupuk hayati, (2) rotasi tanaman untuk mengurangi kerusakan tanaman akibat serangan hama, mengendalikan gulma dan meningkatkan ketersediaan N, (3) pengelolaan tanah minimum atau tanpa olah tanah (TOT), dan (4) pengendalian hama terpadu (PHT), khususnya untuk tanaman sayuran dan pangan. Sitorus (1991) menyatakan bahwa pengelolaan lahan diartikan sebagai segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga atau mempertinggi produktivitas lahan tersebut (Sitorus, 1991). Sistem pengelolaan lahan mencakup lima unsur, yaitu : (1) Perencanaan penggunaan lahan yang sesuai dengan kemampuannya, (2) tindakan-tindakan khusus konservasi tanah dan air, (3) menyiapkan tanah dalam keadaan olah yang baik, (4) mempergunakan sistem pergiliran tanaman yang tersusun baik, (5) menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang bagi tumbuhan. Ke lima unsur tersebut harus dilihat sebagai suatu rangkaian yang satu sama lain saling mengisi. Pada prinsipnya pengelolaan lahan mempunyai 2 (dua) tujuan, yaitu tujuan fisik dan tujuan ekonomi. Tujuan fisik adalah tujuan yang dapat dinyatakan atau diukur dalam satuan-satuan fisik seperti produksi per hektar dan lain-lain, atau dapat dinyatakan dalam satuan-satuan volume dan jumlah per berat hasil yang diperoleh. Tujuan ekonomi dinyatakan atau diukur dalam terminologi ekonomi seperti pendapatan bersih maksimum dan lain-lain. Pengelolaan lahan berkelanjutan akan berhasil diterapkan dalam suatu wilayah apabila pertanian di wilayah tersebut memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat, lahan pertanian sangat terbatas, dan mampu meningkatkan
14
hasil komoditas yang benilai ekonomi tinggi. Keberhasilan dalam pelaksanaan pengelolaan lahan berkelanjutan tidak semata-mata hanya mengendalikan lahan terdegradasi tapi lebih kepada manfaat yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat seperti peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan (World Bank 2006). Terdapat 4 (empat) prinsip pengelolaan lahan berkelanjutan, yaitu Namun demikian istilah pengelolaan berkelanjutan sering kurang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang dapat berubah sesuai dengan permintaan pasar. Di samping itu belum ada kriteria yang jelas untuk keberhasilan suatu usaha konservasi lingkungan, serta kurang diperhatikannya aspek kepadatan jumlah penduduk, kebutuhan hidup dan harapan masyarakat yang terkait dengan penutupan lahan. Untuk itu diperlukan kriteria dan indikator yang mencerminkan fungsi hidrologis DAS yang dapat dipakai untuk mengevaluasi dampak berbagai teknik pengelolaan DAS yang berkelanjutan (Noordwijk et al. 2004). Van Noordwijk et al (2004) telah menyusun kriteria dan indikator dari keberhasilan pengelolaan DAS yang berkelanjutan secara kuantitatif, yaitu (1) transmisi air, (2) penyangga pada puncak kejadian hujan, (3) pelepasan air secara bertahap, (4) mempertahankan kualitas air, serta (5) mengurangi longsor. Lahan & Penggunaan Lahan Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi dan bahkan vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan (FAO 1976). Penggunaan lahan merupakan bentuk intervensi manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi hidupnya. Penggunaan lahan dibedakan ke dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu penggunaan lahan pertanian, seperti pemukiman, industri, rekreasi dan sebagainya; dan penggunaan lahan bukan pertanian, misalnya tegalan, sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya (Arsyad 1989). Apabila aspek-aspek lain penggunaan lahan yang lebih rinci dimasukkan, seperti skala usaha, intensitas penggunaan input, penggunaan tenaga kerja , orientasi pasar dan sebagainya maka dinamakan tipe penggunaan lahan. FAO (1983) membedakan penggunaan lahan atas 2 (dua) kelompok, yaitu
15
penggunaan lahan umum (major kinds of land use), seperti pertanian tadah hujan, pertanian irigasi hutan, padang rumput dan lain sebagainya; dan penggunaan lahan yang lebih rinci, yaitu tipe penggunaan lahan (land utilization types) atau LUT, yang mengandung aspek fisik, ekonomi dan sosial. Menurut FAO (1983), LUT dapat dibedakan dalam 2 (dua) kelompok, yaitu : (1) LUT ganda atau multiple, dan (2) LUT majemuk atau compound. LUT ganda terdiri atas lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada area yang sama dari sebidang lahan, dimana masing-masing jenis memerlukan input, persyaratan dan produksi yang berbeda. LUT majemuk merupakan penggunaan lahan dengan lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas). Pola tanam dalam LUT dapat berupa sistem tanaman tunggal, sistem tanaman ganda atau sistem tanaman campuran. Sistem tanaman ganda dapat berupa tumpang sari dua atau lebih komoditas, tumpang gilir atau rotasi tanaman, atau campuran keduanya. Setiap jenis penggunaan lahan mempunyai nilai teknis yang mencerminkan fungsi lingkungan dan fungsi ekonomi, umumnya tujuan ekonomi lebih diutamakan daripada tujuan ekologi. Tujuan ekologi yang akan dicapai adalah komposisi penggunaan lahan (LUT) yang mampu menekan erosi permukaan tanah agar lebih kecil atau sama dengan laju erosi yang ditoleransikan (TSL) serta mampu menekan resiko lingkungan lainnya pada tingkat yang aman (FAO 1983). Untuk perencanaan penggunaan lahan skala regional dengan cakupan biofisik DAS, maka unit perencanaan adalah zona agroekologis sehingga basis data dan analisis utama mencakup pendekatan aspek pertanian dan ekologi sumberdaya
lahan.
Agroekologi
adalah
pengelompokan
suatu
wilayah
berdasarkan fisik lingkungan yang hampir sama, yang mana keragaman tanaman dan hewan dapat diharapkan tidak akan berbeda dengan nyata. Komponen utama agroekologi adalah iklim, fisiografi atau bentuk wilayah dan tanah (Amien 2003). Penggunaan zonasi agroekologis (Agroecological Zoning/AEZ) yang berintikan penyederhanaan representasi lahan untuk memudahkan pemahaman tentang potensi dan kendala serta informasi yang lengkap tentang lahan. Pada dasarnya zonasi agroekologis merupakan penzonasian spasial sumberdaya lahan, sehingga dapat dijadikan dasar penilaian, pengelolaan dan perencanaan penggunaan lahan.
16
Untuk itu diperlukan informasi sumberdaya lahan selengkap mungkin dan kemudian mengelompokkan ulang (regrouping) ke dalam unit-unit lahan berdasarkan karakteristik biofisik dan sosial ekonomi penggunaan lahan tergantung tujuan dan kebutuhan. Dalam zonasi agroekologis, iklim merupakan peubah yang dominan, yang dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor iklim utama yang berhubungan erat dengan keragaan tanaman yaitu suhu dan kelengasan. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, suhu dibagi menjadi (i) panas, yang biasanya diperoleh pada ketinggian di bawah 700 m, dan (ii) sejuk untuk wilayah dengan ketinggian yang lebih tinggi sampai sekitar 2.000 m dpl. Di samping itu, usaha pertanian ditentukan oleh bentuk wilayah dan jenis tanah. lereng,
yang
dapat
Bentuk wilayah dinyatakan dengan besaran
dikelompokkan
menjadi
wilayah
datar,
berombak,
bergelombang, berbukit atau bergunung dengan lereng yang semakin meningkat. Untuk sifat-sifat tanah, faktor yang menentukan adalah selang kemasaman, selang tekstur dan drainase. Selain sifat-sifat tanah, bentuk wilayah atau fisiografi (terrain) juga merupakan faktor utama dalam penentuan sistem produksi. Dengan membandingkan pola penggunaan lahan sekarang dengan pola penggunaan lahan menurut anjuran dengan pendekatan agroekologi dapat disusun dan dirancang bentuk-bentuk intervensi macam-macam penelitian serta pengujian untuk mendukung pertanian maju, tangguh dan berkelanjutan. Dalam perencanaan pertanian yang maju dan tangguh perlu dibuat beberapa skenario pasar tujuan dari hasil pertanian yang akan diproduksi. Dengan berbagai skenario akan dapat diperhitungkan tingkat produksi yang paling menguntungkan untuk diusahakan pada suatu saat. Peningkatan produksi dapat ditempuh melalui intensifikasi dan ekstensifikasi sedangkan penurunan melalui diversifikasi dengan pilihan-pilihan komoditas lain yang lebih menguntungkan (Amien 1999). Menurut Wiradisastra (1989) dan
Mahmudi (2002) pendekatan baru
dalam inventarisasi sumberdaya alam pada saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu seperti foto udara dan peta tematik. Berbagai parameter lahan dapat ditumpangtindihkan dan dideliniasi secara jelas dalam bentuk satuan unit lahan (land unit). Dengan menggunakan peta-peta yang tersedia, konsep satuan unit lahan dengan berbagai parameter fisik lahan (tanah, lereng, penutup
17
lahan, tingkat erosi) dapat didefinisikan secara jelas, dipisah-pisahkan dan kemudian ditarik batas-batasnya dan dianggap sebagai satuan lahan homogen (SLH). Suatu SLH yang dideliniasi di lapangan merupakan hamparan yang diperkirakan ”untuk keperluan praktis” akan memperoleh respon yang sama bila dikelola dengan cara yang sama. SLH selanjutnya dapat dianggap sebagai satuan analisis terkecil untuk luasan wilayah yang dianggap homogen. Setiap karakteristik atau kualitas lahan yang berada pada tiap SLH diidentifikasikan secara langsung di lapang, sehingga setiap SLH mempunyai karakteristik tertentu. Dalam proses evaluasi lahan, SLH dianggap sebagai satuan peta (mapping unit) dengan ciri karakteristik atau kualitas lahan yang akan dipadankan (matching) dengan persyaratan tumbuh setiap tanaman (land use requirement) sebagai salah satu komponen utama penyusun LUT aktual maupun LUT konseptual. Sifat-sifat dan Kualitas Lahan Penggunaan lahan secara lestari dan berkesinambungan terkait dengan karakteristik dan kualitas lahannya, karena lahan mempunyai keterbatasan dalam memenuhi persyaratan tumbuh optimal dari tanaman. Persyaratan tersebut terutama terdiri atas energi radiasi, suhu, kelembaban, oksigen dan hara. Persyaratan suhu dan kelembaban umumnya digabungkan dan selanjutnya disebut sebagai periode pertumbuhan (FAO, 1983). Persyaratan lain berupa media perakaran ditentukan oleh drainase, tekstur, struktur dan konsistensi tanah, serta kedalaman efektif (tempat perakaran berkembang). Persyaratan tumbuh atau persyaratan penggunaan lahan yang diperlukan oleh masing-masing komoditas mempunyai batas kisaran minimum, optimum dan maksimum untuk masingmasing karakteristik lahan. Sifat-sifat lahan (land characteristics) adalah atribut dari lahan yang dapat diukur atau diestimasi atau diduga secara langsung yang berhubungan dengan penggunaan lahan, misalnya : kemiringan lereng, tekstur tanah, struktur tanah, kedalaman tanah, curah hujan, biomas dari vegetasi dan sebagainya (FAO 1976). Sifat-sifat lahan pada umumnya tidak dapat berperan secara sendiri-sendiri, tetapi lebih sering merupakan gabungan antar karakteristik lahan yang saling berkaitan.
18
Kombinasi
beberapa
sifat-sifat
lahan
akan
sangat
menentukan
atau
mempengaruhi perilaku lahan, seperti ketersediaan air, perkembangan akar, peredaran udara, kepekaan terhadap erosi, ketersediaan hara dan sebagainya. Perilaku lahan yang menentukan pertumbuhan tumbuhan disebut kualitas lahan (Arsyad, 1989). Kualitas lahan adalah sifat-sifat pengenal (attribute) lahan yang bersifat kompleks dari sebidang lahan. Setiap kualitas lahan mempunyai keragaan (performance) yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu dan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan. Kualitas lahan ada yang bisa diestimasi atau diukur secara langsung di lapangan, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan (FAO, 1976). Kualitas lahan dapat berperan positif atau negatif terhadap penggunaan lahan tergantung dari sifat-sifatnya. Kualitas lahan yang berperan positif sifatnya menguntungkan bagi suatu penggunaan, sebaliknya kualitas lahan yang bersifat negatif akan merugikan (merupakan kendala) terhadap penggunaan tertentu, sehingga merupakan faktor penghambat/pembatas. Setiap kualitas lahan dapat berpengaruh terhadap satu atau lebih jenis penggunaannya, demikian pula satu jenis penggunaan lahan tertentu akan dipengaruhi oleh berbagai kualitas lahan.
Analisis Kesesuaian Lahan Dalam merancang pola penggunaan lahan dapat digunakan analisis kesesuaian lahan, yang merupakan penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Penilaian kesesuaian lahan pada dasarnya dapat berupa pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman tertentu, dimana tahapan yang tersulit adalah menetukan persyaratan-persyaratan yang diperlukan tanaman dalam hubungannya dengan sifat-sifat tanah (Sitorus 1985). Untuk memudahkan dalam pelaksanaan analisis, persyaratan penggunaan lahan dikaitkan dengan kualitas lahan untuk masing-masing komoditas pertanian umumnya berbeda, tetapi sebagian ada yang sama sesuai dengan persyaratan tumbuh komoditas pertanian tersebut. Analisis kesesuaian (evaluasi) lahan merupakan proses penilaian lahan untuk tujuan penggunaan tertentu, meliputi pelaksanaan survai, interpretasi hasil survai bentuk lahan, vegetasi, iklim dan
19
aspek lainnya agar dapat mengidentifikasi dan membuat perbandingan dengan berbagai lahan yang mungkin dikembangkan (FAO 1976). Evaluasi lahan memerlukan sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities). Setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan dan /atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan. Evaluasi lahan tingkat rinci ditujukan untuk menilai tipe penggunaan lahan (land utilization type/LUT). LUT didefinisikan sebagai penggunaan lahan yang lebih spesifik dan mengandung komponen fisik, ekonomi dan sosial budaya. Aspek fisik meliputi tanaman dan pengelolaan lahan, seperti masukan (input), konservasi dan manajemen yang diterapkan. Evaluasi lahan untuk penggunaan lahan umum dilakukan secara kualitatif , sedangkan evaluasi untuk LUT dilakukan secara kuantitatif melalui pertimbangan ekonomi (FAO, 1976 dan FAO, 1983). Tahapan dalam pemilihan lahan yang sesuai untuk tanaman terdiri atas 2 (dua), yaitu (a) penilaian persyaratan tumbuh tanaman atau mengetahui sifat-sifat tanah dan lokasi yang berdampak negatif terhadap tanaman; (b) identifikasi dan pembatasan lahan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan tanpa sifat-sifat lain yang tidak diinginkan. Kriteria kesesuaian lahan untuk berbagai jenis tanaman di Indonesia telah disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan akan air, tekstur berliat, struktur, kalsium dan kemasaman tanah; serta toleransi terhadap penggenangan, kekeringan, tekstur berliat, kemasaman dan salinitas (Sitorus 1985). Ciri proses evaluasi lahan adalah tahapan dimana persyaratan yang dibutuhkan suatu penggunaan lahan (landuse requirement) dipadankan dengan kualitas lahan atau karakteristik lahan (land qualities atau land characteristics) dari tiap land unit atau satuan lahan homogen. Kerangka kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri atas 4 (empat) katagori, yaitu tingkat ordo, kelas, subkelas dan unit. Klasifikasi tingkat ordo terdiri atas sesuai (S) dan tidak sesuai (N), sedangkan untuk tingkat kelas terdiri atas sangat sesuai (S1) cukup sesuai
20
(S2), dan sesuai marginal (S3); serta tidak sesuai pada saat ini (N1) dan tidak sesuai permanen (N2). Kesesuaian lahan pada tingkat subkelas mencerminkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam suatu kelas, seperti kedalaman efektif (s), lereng (t). Kelas lahan S1 menunjukkan bahwa lahan tidak memiliki faktor pembatas yang berat atau memiliki faktor pembatas ringan dan tidak berpengaruh nyata terhadap produksi, serta tidak akan menaikkan masukan (input) dari apa yang telah biasa diberikan. Kelas lahan S2 memunjukkan bahwa lahan memiliki faktor pembatas yang agak berat (sedang). Pembatas akan mengurangi produktivitas dan keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan. Kelas lahan S3 memunjukkan lahan memiliki faktor pembatas yang sangat berat untuk penggunaan lahan yang lestari Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu menaikkan masukan yang diperlukan. Kelas lahan N1 menunjukkan bahwa lahan memiliki faktor pembatas yang sangat berat, tetapi masih memungkinkan untuk diperbaiki, naumun memerlukan input teknologi dan biaya yang mahal. Kelas lahan N2 menunjukkan bahwa lahan mempunyai faktor pembatas yang sangat berat sehingga tidak mungkin untuk digunakan bagi suatu penggunaan yang lestari. Secara umum pedoman kelas kesesuaian lahan kering untuk tanaman pangan dan tanaman keras telah dikembangkan oleh Pusat penelitian Tanah (1983) dalam Sitorus (1985) dengan mengacu pada 13 (tiga belas) faktor pada tanah mineral dan 2 (dua) faktor untuk tanah gambut. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain adalah kedalaman efektif, kelas besar butir, pori air tersedia, batuan di permukaan tanah, kesuburan tanah, reaksi tanah (pH), keracunan, lereng, erodibilitas tanah, zone agroklimat, kelas drainase, banjir dan salinitas. Untuk tanah gambut faktor ditambah dengan tingkat dekomposisi gambut dan ketebalan gambut. Untuk komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman perkebunan,tanaman rempah dan obat, tanaman hijauan dan ternak telah disusun oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, yang mencakup tanaman hortikultura tahunan, yaitu buah-buahan dan sayuran tahunan (Djaenudin et al. 2003).
21
Kondisi iklim, tanah dan terrain termasuk hidrologi akan menentukan persyaratan penggunaan lahan untuk suatu tipe penggunaan lahan. Lahan yang tergolong marjinal untuk suatu jenis tanaman belum tentu sama untuk tanaman yang lain karena kemungkinan persyaratan tumbuh yang berbeda dan atau sistem produksi yang diinginkan berbeda (Hendrisman et al. 2000). Sejalan dengan kemajuan teknologi, evaluasi lahan dapat dilakukan dengan penggunaan komputer. Pusat penelitian Tanah dan Agroklimat telah mengembangkan land evaluation computer system (LECS)
dalam bentuk ALES (automated land
evaluation system), yang merupakan perangkat evaluasi lahan secara fisik dan juga dapat digunakan untuk menganalisis faktor ekonomi seperti IRR (internal rate of return), NPV (net present value), dan BCR (benefit cost ratio). Dengan demikian perangkat tersebut dapat digunakan untuk menunjang kegiatan perencanaan pembangunan pertanian. Kesesuaian lahan kualitatif yang dihitung berdasarkan parameter fisik lahan yang dilengkapi dengan parameter ekonomi (input dan output) untuk model tipe penggunaan lahan dapat digunakan sebagai dasar pemilihan komoditas unggulan (Hendrisman et al. 2000). Evaluasi lahan dibedakan dalam 3 (tiga) intensitas keterperincian, tergantung dari skala perencanaan yang akan dilakukan (FAO 1990) : (1) Tingkat reconnaissance untuk perencanaan skala nasional atau provinsi, dimana evaluasi dilakukan secara kualitatif dan analisis ekonomi dilakukan secara umum. (2) Tingkat semi detail untuk perencanaan yang lebih khusus, untuk kepentingan pengambilan keputusan dan atau penelitian proyek. Evaluasi lahan dilakukan secara kuantitatif dengan penekanan pada survei pertanian dan analisis sosial ekonomi. (3) Tingkat detail untuk perencanaan yang telah pasti atau setelah ada keputusan tentang pelaksanaan proyek tersebut. Pada saat ini analisis kesesuaian lahan tidak hanya sebagai alat bagi perencana dalam melihat hubungan antara faktor spasial dengan lingkungan dan konsekuensinya, tapi lebih menyeluruh dengan melihat interaksi dari ke 3 (tiga) faktor tersebut, yaitu lokasi, aktivitas pembangunan dan proses-proses biofisik/lingkungan. Melalui sudut pandang ini memungkinkan perencana dan
22
pengambil keputusan untuk menganalisis interaksi yang terjadi dan analisis tersebut dapat membantu dalam mengambil keputusan dan membuat kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan (Miller et al. 1998). Fungsi dari evaluasi lahan memberikan pengertian tentang hubungan antara kondisi lahan dan penggunaannya serta memberikan kepada perencana sebagai perbandingan dan alternatif pilihan penggunaan lahan (FAO 1976, Wiradisastra 1989). Penilaian kesesuaian lahan sebelum mempertimbangkan analisis ekonomi atau analisis ekonomi yang terbatas disebut kesesuaian lahan fisik atau kualitatif, sedangkan kesesuaian lahan yang diikuti dengan analisis ekonomi secara rinci disebut kesesuaian lahan kuantitatif (Rossiter 1994). Untuk evaluasi lahan secara kuantitatif (ekonomik) perlu dipertimbangkan matriks ekonomi, antara lain (Rossiter et al, 1994): (1) Pendugaan gross margin berdasarkan biaya dan pendapatan dalam satuan luas tertentu (hektar/tahun) (2) Nilai bersih sekarang atau Net Present Value (NPV) dari suatu tipe penggunaan lahan tanaman tahunan yang diusahakan per hektar di atas waktu berlakunya proyek, yang disebut planning horizon; (3) Nisbah antara pendapatan dengan biaya atau Benefit Cost Ratio, berdasarkan nilai sekarang dari biaya yang diperoleh (cash in) dan biaya yang dikeluarkan (cash out); (4) Tingkat atau kisarajn pengembalian internal atau Internal Rate of Return (IRR), khusus diberlakukan untuk tanaman tahunan diperhitungkan berdasarkan akhir biaya yang diperlukan untuk mengembangkansuatu TPL dalam suatu luas tertentu (per hektar) pada saat itu Kelas kesesuaian yang menilai lahan pada kondisi aktualnya disebut kesesuaian lahan aktual, sedangkan kesesuaian lahan setelah mempertimbangkan input yang diberikan disebut kesesuaian lahan potensial. Kesesuaian lahan secara produksi merupakan tingkat produksi sebagai penjumlahan dari berbagai produksi tanaman komponen penyusun LUT bila dibandingkan potensi produksi untuk LUT yang bersangkutan (FAO 1983). Nilai produksi LUT dapat dikonversikan atau disetarakan dengan komoditas yang sama, sehingga memudahkan untuk melihat kemampuan produksi suatu LUT yang beragam hasilnya. Untuk
23
kesesuaian lahan S1 tingkat produksi >80% (tanpa input), S2 tingkat produksi 6080% (input paktis dan ekonomis), S3 tingkat produksi 40-60% (input praktis dan harus ekonomis), N tingkat produksi <40% (input tidak menambah produksi). Djaenuddin et al. (1998) telah mengklasifikasikan kesesuaian lahan secara ekonomi melalui analisis kelayakan ekonomi melalui analisis finansial seperti NPV (net present value), GM (gross margin), IRR (internal rate of return) dan B/C (benefit/cost) ratio, yaitu S1 (penggunaan sangat menguntungkan), S2 (penggunaan agak menguntungkan), S3 (penggunaan menguntungkan marjinal), N1 (penggunaan mungkin tapi tidak menguntungkan) dan N2 (penggunaan tidak mungkin).
Tanaman Hortikultura Tahunan Hortikultura adalah berasal dari kata latin ”hortus”, yang berarti kebun atau pekarangan dan ”colere” yang berarti membudidayakan, sehingga arti hortikultura dalam arti yang lebih luas adalah adalah membudidayakan tanaman kebun (annon 1960 dalam Notohadiprawiro 2006) yang mencakup tanaman sayuran sayuran, buah, rempah-rempah, obat, bunga, semak dan tanaman hias (Janick 1972). Tanaman dalam bentuk pohon dalam kelompok tanaman hortikultura dikelompokkan ke dalam tanaman buah dan tanaman sayuran tahunan (DJH 2007). Tanaman sayuran tahunan, dalam hal ini seperti melinjo, pete, dan jengkol. Dengan mengacu pada kondisi agroklimat yang ditujukan untuk tanaman buah-buahan, penyebaran tanaman buah-buahan berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson dikelompokkan kedalam 4 (empat) kelompok dengan batas ketinggian 700 m dpl (Direktorat Tanaman Buah
2000; Sunaryono 2000,
Departemen Pertanian 2006), yaitu : (1) Tinggi Basah (700-3.000 m dpl, suhu 12-21oC) terdiri atas tanaman markisa, kesemek, lengkeng, arben, cantaloupe, papaya, pisang ambon lumut, jeruk keprok, jeruk manis, jeruk siem, alpokat, pisang tanduk, nangka, sukun, sawo, nenas, jambu air, kedondong, kesemek dan jambu biji (2) Rendah Basah (0-700 m dpl, suhu 25-35oC) terdiri atas tanaman rambutan, durian, duku, manggis, salak, nenas, belimbing, papaya, pisang ambon,
24
pisang raja, pisang tanduk, pisang keprok, jeruk siem, jeruk keprok, jeruk manis, alpokat, sirsak, jambu biji, nangka, kesemek dan sawo. (3) Tinggi Kering (700-3000 m dpl, suhu 12-21oC) terdiri atas tanaman apel, lengkeng, pisang cavendish, nenas cayenne, papaya, strawberry, cantaloupe, jambu biji, jeruk manis, jeruk siem, alpokat, sirsak, jambu biji, nangka, kedondong, sukun dan sawo. (4) Rendah Kering (0-700 m dpl, suhu 25-35oC) terdiri atas tanaman mangga, anggur, langsat, manggis, belimbing manis, salak, papaya, pisang ambon, pisang kepok, nenas, jeruk besar, jeruk siem, jeruk keprok, jeruk keprok, alpokat, jambu biji, sirsak, nangka dan sawo. Tanaman hortikultura tahunan yang berupa tanaman pohon melalui penutupan tajuknya (tutupan pohon) mempunyai peran dan pengaruh terhadap air hujan (aliran air) yang jatuh dalam hal (Noordwijk et al. 2004) : (1) Intersepsi. Tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan pada permukaan daun dan batang yang sebagian dievaporasikan dan sebagian lagi terus menuju tanah. (2) Perlindungan agregat tanah. Vegetasi dan serasah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah. (3) Infiltrasi. Infiltrasi tergantung dari struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung pada bahan organic (serasah, eksudasi organic oleh akar dan akar-akar yang mati) (4) Serapan air. Tanaman meyerap air sepanjang tahun untuk mendukung proses transpirasi. Jumlah serapan air sangat dipengaruhi oleh fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air yang tersedia. (5) Drainase lansekap. Besarnya drainase lansekap dipengaruhi oleh antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah, tipe saluran akibat aliran permukaan Keberadaan tanaman pohon, khususnya yang bernilai ekonomi tinggi dapat menggantikan fungsi tutupan vegetasi hutan sebagai fungsi lindung, selama
25
tanaman tersebut mampu mempertahankan serasah di permukaan tanah, mencegah terjadinya alur dan parit akibat erosi dan meyerap air untuk evapotranspirasi. Keberadaan tanaman pohon, khususnya buah-buahan tidak selalu efektif dalam menekan erosi, terutama untuk yang permukaan tanahnya bersih dari sisa tanaman (litters) dan tanaman sela (intercrop). Untuk itu dalam pelaksanaan tanaman pohon, khususnya buah-buahan di daerah hulu yang berlereng diperlukan kombinasi dengan teknik pengendalian erosi dalam bentuk penggunaan mulsa, strip rumput, rorak, teras individu dan atau teras kebun (Abdurachman dan Agus 2000). Untuk tanaman buah-buahan, teras kebun dibuat dengan interval bervariasi sesuai dengan jarak tanam (BBP2SLP 2006). Secara umum tanaman hortikultura sesuai dikembangkan pada lahan yang datar atau landai, jika miring maka diperlukan upaya penterasan. Lahan yang terlalu miring biasanya tidak cocok karena umumnya mempunyai lapisan tanah yang tipis serta miskin unsur hara kecuali tanah yang terbentuk berasal dari endapan abu vulkan (Notohadiprawiro 2006). Pekarangan dan Kebun Campuran Sebagai Agroforestri Sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat para ahli tentang definisi agroforestri, karena setiap ahli mempunyai pendapatnya sendiri yang berbedabeda. Secara umum agroforestri adalah sistem usaha tani yang berada di tengahtengah antara sistem pertanian dan hutan, yaitu merupakan pengusahaan pepohonan berumur panjang (termasuk semak, palem, bambu, kayu dan lain-lain) dan tanaman pangan dan atau pakan ternak berumur pendek pada sebidang lahan dalam suatu pengaturan ruang atau waktu. Dengan demikian terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (Foresta et al. 2000). Pada dasarnya agroforestri merupakan istilah baru dari pemanfaatan lahan tradisional, yang di dalamnya mengandung unsur-unsur sebagai berikut (Hairiah et al. 2003, Lundgren dan Raintree 1982) : (a) penggunaan lahan oleh dua jenis tanaman atau lebih, (b) siklus agroforestri selalu lebih dari satu tahun, (c) penerapan teknologi dengan masukan rendah dengan mengoptimalkan biomasa, (d) Komponen tanaman semusim, tanaman tahunan dan atau ternak atau hewan, (e) bersamaan atau bergiliran dalam periode waktu tertentu); (f) terjadi interaksi ekologi, sosial
26
dan ekonomi, (f) secara biologis maupun ekonomis jauh lebih kompleks dibandingkan ssstem budidaya monokultur, (g) mempunyai fungsi pelayanan jasa, dan (h) mempunyai dua macam produk atau lebih. Ditinjau dari masa perkembangannya, agroforestri dibedakan atas dua kelompok besar, yaitu agroforestri tradisional/klasik dan agroforestri modern. Agroforestri tradisional dicirikan oleh budidaya banyak jenis tanaman dan semuanya dianggap penting, yang terdiri dari jenis-jenis lokal, dengan struktur tegakan yang kompleks karena pola tanam yang tidak teratur, berorientasi subsisten hingga semi komersial, serta memiliki keterkaitan sangat erat dengan sosial budaya lokal/telah dipraktekan secara turun temurun. Sedangkan agroforestri modern biasanya hanya terdiri dari kombinasi 2-3 jenis tanaman dengan salah satu di antaranya diunggulkan; struktur tegakan lebih sederhana dengan pola lajur/baris yang berselang-seling dan jarak tanam yang jelas, berorientasi komersial, dan secara umum tidak memiliki keterkaitan dengan sosial budaya setempat (Sarjono et al. 2003). Berdasarkan komponen penyusunnya, agroforestri dapat dikelompokkan menjadi agrisilvikultur (agrisilvicultural system),
silvopastura
(silvopastural
system)
dan
agrosivopastura
(agrosilvopastural system). Agrisilvilkultur merupakan sistem agroforestri yang mengkombinasikan komponen kehutanan (tanamanberkayu)/tanaman tahunan (tree crops) dengan tanam pertanian (non kayu)/tanaman semusim (annual crops). Sivopastura merupakan kombinasi anatar komponen kehutanan (tanaman berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture). Sedangkan agrosivopastura adalah kombinasi antara komponen kehutanan (tanaman kayu), komponen pertanian (tanaman semusim) dan komponen petenakan (Sarjono et al. 2003). Agroforestri yang berkembang di Indonesia antara lain adalah agrisilvikultur, yang merupakan subsistem kebun pekarangan (home garden) dalam bentuk kebun pekarangan dan kombinasi tanaman keras (mixtures of plantation crops) dalam bentuk kebun campuran, perladangan berpindah (shifting cultivation), kebun hutan (forest garden), seperti repong damar, parak, munaaant, simpukung; dan tajar hidup (life poles).
27
Agroforestri dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) sistem, yaitu agroforestri sederhana dan agroforestri kompleks (Michon dan de Foresta 1997). Agroforestri sederhana dimana tanaman pohon ditanam secara tumpangsari dengan satu atau lebih tanaman semusim. Termasuk dalam kelompok ini adalah penanaman pohon pada sekeliling petak lahan, atau penanaman tanaman pohon dalam bentuk baris sehingga membentuk lorong. Tanaman pohon yang ditanam sangat beragam, umumnya yang bernilai ekonomi tinggi, seperti kopi, coklat, nangka, petai, jati, mahoni dan lain-lain. Untuk tanaman semusim umumnya adalah tanaman padi, jagung, kedelai, kacang-kacangan, ubi kayu, sayur-mayur dan
lain-lain.
Dalam
perkembangannya
sistem
agroforestri
sederhana
berkembang, dimana jenis tanaman pohon tidak disertai lagi oleh tanaman semusim
(Hairiah et al. 2003). Agroforestri kompleks merupakan sistem
pertanian menetap yang melibatkan banyak jenis tanaman pohon (berbasis tanaman pohon), baik yang ditanam ataupun yang tumbuh secara alami pada sebidang lahan yang dikelola petani dengan pola tanam dan ekosistem yang menyerupai hutan. Berdasar jaraknya dari tempat tinggal, sistem agroforestri kompleks dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu kebun atau pekarangan berbasis pohon (home garden) yang terletak di sekitar tempat tinggal; dan hutan yang letaknya jauh dari tempat tinggal (de Foresta 2000). Terdapat keterkaitan antara pekarangan, kebun campuran dan talun (de Foresta et al. 2000). Pekarangan merupakan fase pertama (kebun) yang umumnya diawali dengan penebangan hutan/semak belukar yang ditanami oleh tanaman semusim. Fase ke dua adalah penanaman dengan tanaman buah-buahan secara tumpang sari dengan tanaman semusim (fase kebun campuran). Pada akhirnya, pada fase berikutnya (fase talun) beberapa tanaman hutan yang bermanfaat dibiarkan tumbuh sehingga terjadi pola kombinasi antara tanaman asli setempat, pepohonan penghasil kayu lainnya dengan pohon buah-buahan. Kebun pekarangan (home garden) adalah sistem bercocok tanam berbasis pohon yang paling terkenal di Indonesia yang telah diusahakan selama berabadabad. Pekarangan dikatagorikan dalam sistem agroforestri kompleks, karena struktur tanaman di kebun-kebun pekarangan merupakan struktur hutan yang kaya dengan berbagai jenis tumbuhan dan arsitektur vegetasi yang bertingkat. Sistem
28
kebun pekarangan di Jawa merupakan sistem yang khas karena merupakan sistem produksi skala kecil yang mampu memadukan berbagai fungsi sosial, ekonomi dan ekologi (Mihon and Mary 1994, Foresta 2000). Kebun pekarangan dapat berperan dalam perbaikan gizi keluarga, peningkatan pendapatan, cadangan sumberdaya pada saat kesulitan ekonomi, perlindungan tanah (konservasi), pelestarian kultivar dan lain sebagainya. Hal ini menunujukkan bahwa kebun pekarangan mampu menyesuaikan diri dengan modernisasi yang terjadi di pedesaan. Daerah Aliran Sungai Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu
wilayah daratan yang
dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima dan menyimpan air hujan, dan kemudian mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada satu titik (outlet) melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (catchment area), yang merupakan suatu ekosistem yang unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam. DAS sebagai sebuah ekosistem umumnya dibagi ke dalam 3 (tiga) daerah, yaitu daerah hulu, daerah tengah dan daerah hilir. Ekosistem DAS bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan fungsi tata air terhadap seluruh bagian DAS. Karena adanya keterkaitan yang erat antara DAS Hulu sebagai daerah tangkapan air dan DAS hilir sebagai penerima dampak kegiatan pengelolaan di hulu, maka pengelolaan DAS perlu dilakukan secara terpadu (Asdak 2002). Sebagai suatu ekosistem, DAS dapat dilihat sebagai pemroses, dengan hujan sebagai input dan air sebagai output. Hujan dianggap sebagai faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, sedangkan DAS sebagai pemroses merupakan unsur yang dapat diubah atau diperlakukan untuk dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya dan dapat menekan kerusakan yang terjadi (Nugroho et al. 2000). Untuk itu setiap masukan (input) yang terjadi pada DAS, proses yang terjadi didalamnya dapat dievaluasi melalui keluaran (output) yang dihasilkan, yang dalam ini berupa debit air. Komponen yang berperan dalam
29
memproses masukan tersebut adalah vegetasi, tanah dan saluran / sungai (Suripin 2002). Fungsi suatu DAS merupakan fungsi gabungan yang dilakukan oleh seluruh faktor yang ada pada DAS tersebut, yaitu vegetasi, bentuk wilayah (topografi), tanah dan manusia. Suatu aktifitas dalam DAS yang menyebabkan terjadinya perubahan terhadap ekosistem, seperti perubahan tataguna lahan, akan berdampak pada perubahan fluktuasi debit air di daerah hilir, kandungan sedimen serta material terlarut lainnya. Dari sisi hidrologi, tujuan utama pengelolaan DAS adalah meresapkan air hujan sebanyak-banyaknya, memperkecil aliran permukaan dan mengendalikan erosi tanah sehingga tercapai suatu kondisi biofisik DAS yang memungkinkan diperolehnya keseimbangan dan tata air yang baik, dalam hal ini hasil air yang optimum dipandang dari aspek kuantitas, kualitas dan regimen. Pada tingkat hujan tertentu, fungsi hidrologi DAS berhubungan dengan kemampuan DAS dalam hal transmisi air, penyangga pada puncak kejadian hujan, pelepasan air secara perlahan, memelihara kualitas air dan mengurangi perpindahan massa tanah, misalnya melalui longsor (Noordwijk et al. 2004). Untuk itu pengelolaan DAS pada dasarnya merupakan pengelolaan lahan untuk menghasilkan air dengan kualitas yang baik disertai dengan pengaturan (pengelolaan) yang maksimum sehingga mampu memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi manusia dalam memenuhi
kebutuhan
hidupnya.
Pengelolaan
DAS
yang
baik
perlu
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan konservasi air. Konservasi tanah menekankan pada pemanfaatan tanah yang disesuaikan dengan kemampuan tanah dan memberikan perlakuan sesuai dengan dengan persyaratan yang diperlukan agar media tanah dapat berfungsi sebagai media tumbuh tanaman dan pengatur tata air, sedangkan konservasi air lebih menekankan pada penggunaan seefisien mungkin air hujan yang jatuh da pengaturan waktu aliran agar tidak terjadi banjir pada saat musim hujan dan tersedia cukup air pada saat musim kemarau (Arsyad 1989). Kegiatan pembangunan di dalam DAS akan berdampak pada komponen hidrologi, seperti koefisien aliran permukaan, koefisien regim sungai, nisbah debit maksimum – minimum, kadar lumpur, laju, frekuensi dan periode banjir, serta keadaan air tanah. Sinukaban (1999) mengemukakan ciri-ciri DAS yang
30
baik, antara lain mencerminkan : (1) produktivitas yang tinggi secara lestari, sehingga pengelolaan sumberdaya yang ada dapat menjamin kehidupan yang layak, (2) hasil air yang baik, yang mencakup kuantitas, kualitas dan distribusinya; (3) pendapatan masyarakat yang merata (equity); dan (4) kelenturan (resilience), yaitu apabila satu titik dalam DAS terjadi guncangan maka dapat ditopang di tempat lain