9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berkelanjutan Sumberdaya alam merupakan aset ekonomi ya ng digolongkan dalam dua jenis yaitu; (1) sumberdaya alam berupa bentang alam (stock) atau modal alam (natual capital) seperti daerah aliran sungai, kawasan lindung, pesisir dan lainlain yang keberadaannya tidak dibatasi oleh wilayah administratif. (2). SDA berupa barang/ komoditi berupa kayu rotan, air, mineral, ikan, bahan tambang dan lain- lain yang diproduksi oleh berbagai sektor sebagai sumber ekonomi. Aset ekonomi dan daya dukung kehidupan tersebut berada dalam berbagai bentuk ekosistem. Sumberdaya alam sebagai bentang alam menghasilkan fungsi- fungsi yang dapat dirasa dan dilihat seperti; menyimpan air dan mencegah banjir di musim hujan, mengendalikan kekeringan di musim kemarau, mempertahankan kesuburan tanah, menyerap CO2 di udara, sumber pengetahuan dan hubungan sosial masyarakat, dan lain sebagainya. Melestarikan sumberdaya alam sebagai stock merupakan upaya menjaga kelestarian fungsi untuk menghasilkan barang/ komoditi dan fungsi publik sehingga kedua jenis sumberdaya alam menjadi aset ekonomi yang mendukung kehidupan secara berkelanjutan. Pengelolaan sumberdaya alam secara lestari merupakan langkah penting yang harus dilakukan oleh setiap pihak yang berkompeten dalam pema nfaatan sumberdaya alam tersebut. Pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan akan menjamin keberlanjutan fungsi sumberdaya alam dalam menyediakan aset-aset ekonomi untuk kebutuhan hidup masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara terus menerus dari generasi ke generasi. Hal ini sesuai dengan batasan mengenai pembangunan berkelanjutan dalam The Bruntland Commision Report tahun 1987 yang berjudul “Our Common Future” : “Sustainable Development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Meskipun tidak tertuang dalam pernyataan, pembangunan berkelanjutan mempunyai 2 konsep kunci yang harus diperhatikan yaitu; 1.kebutuhan (khususnya fakir miskin) dan 2. keterbatasan dari tehnologi dan organisasi sosial
10
yang berkaitan dengan kapasitas lingkungan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang dan masa depan (Michell. et al, 2007 ). Gagasan yang tertuang dalam komisi Bruntland memberikan inspirasi pada setiap wilayah atau negara untuk mengembangkan strategi konservasi dan pembangunan berkelanjutan. Seperti Propinsi Manitoba di Kanada yang mendasari strategi pembangunannya dengan keyakinan bahwa; pembangunan ekonomi tidak akan berjalan jika lingkungan tidak dilindungi, pembangunan ekonomi yang terus- menerus mensyaratkan adanya biaya insentif lingkungan, pemenuhan kebutuhan saat ini tidak harus mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya dan perhatian yang besar terhadap konsekwensi jangka panjang dari keput usan ekonomi dan lingkungan (Mitchell. et al, 2007) Berdasarkan batasan dan prinsip keberlanjutan dalam pembangunan, maka pengelolaan sumberdaya alam secara lestari dengan sistem konservasi dan rehabilitasi merupakan langkah nyata dalam realisasi strategi pembangunan berkelanjutan. Daerah yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan seyogyanya dilakukan perencanaan dini terhadap pengelolaan lingkungan. Daerah tersebut antara lain ialah, disekitar kota, sepanjang jalan raya, daerah yang mengandung bahan tambang dan daerah yang berpotensi untuk transmigrasi dan pariwisata. Daerah-daerah itu dapat diidentifikasi antara lain dari peta jebakan mineral, dan non mineral, peta tanah, citra satelit dan dan potret udara serta peraturan pemerintah (Soemarwoto, 1989). Wilayah penambangan merupakan salah satu daerah yang berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan sehingga perlu strategi, dan perencanan dalam pengelolaannya mulai dari tahap awal, operasional, dan sesudah kegiatan operasional sehingga potensi sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan di wilayah tersebut masih memiliki manfaat baik bagi keberlangsungan ekosis tem maupun
masyarakat
sekitar yang terkena dampak langsung aktivitas
penambagan. 2.2 Pengelolaan Sumberdaya Lahan Sumberdaya lahan adalah lingkungan fisik yang termasuk didalamnya iklim, relief, tanah air, vegetasi dan benda diatasnya yang memiliki pengaruh terhadap penggunaan tanah (Sitorus, 2003). Tanah, masih menurut Sitorus (2003)
11
adalah benda alami sebagai bagian permukaan bumi yang ditumbuhi tumbuhtumbuhan dan merupakan hasil kerja faktor iklim, dan jasad hidup terhadap bahan induk dan dipengaruhi keadaan topografi dalam jangka waktu tertentu. Kerusakan terhadap kondisi fisik kimia dan biologi tanah sangat mempengaruhi kualitas sumberdaya
lahan
sehingga
diperlukan
pengelolaan
yang
tepat
guna
meminimalkan kerusakan sebagai akibat dari pemanfaatan atau penggunaan lahan. Penggunaan lahan (land use) merupakan campur tangan manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik materiel maupun spiritual (Sitorus, 2003). Penggunaan lahan ini dapat merupakan penggunaan utama, atau penggunaan pertama dan kedua jika merupakan penggunaan ganda dari sebidang tanah seperti tanah pertanian, hutan, perkebunan dan sebagainya. Mengingat proses pembentukan tanah yang merupakan unsur penting dari sumberdaya lahan, memerlukan waktu yang tidak sebentar, paling cepat 50 tahun dan diperkirakan hanya terjadi di daerah tropis, yang mempunyai curah hujan besar, suhu yang tinggi dan vegetasi lebat namun pada kondisi iklim dingin dan basah di wilayah yang dipengaruhi vegetasi hutan memerlukan waktu hingga 200 tahun (Sitorus, 2003), maka perlindungan terhadap ancaman kehilangan tanah merupakan aspek penting yang harus diperhatihan sebagai upaya preventif dalam pengelolaan sumberdaya lahan. Pengelolaan sumberdaya lahan adalah segala tindakan atau perlakuan yang diberikan pada sebidang lahan untuk menjaga dan mempertinggi produktifitas lahan (Sitorus, 2004) Di sektor pertanian pengelolaan lahan yang berkesinambungan sangat diperlukan guna menjamin kelangsungan hasil- hasil pertanian baik secara kuantitas maupun kualitas. Dalam rangka menjaga kelestarian sumberdaya lahan dari berbagai aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat terutama di di lokasi yang memerlukan pengelolaan terpadu ada beberapa hal yang perlu dilakukan diantaranya dengan cara 1. Mobilisasi sumberdaya lahan (Anwar, 2005) , kegiatan ini mencakup : a. Identifikasi
asset-asset.
Pengidentifikasian
ini
diperlukan
untuk
mengetahui kuantitas asset berdasarkan kepemilikan, pemanfaatannya dan kondisinya. b. Negosiasi transfer lahan. Sistem redistribusi lahan ini harus diatur sedemikian rupa melalui negosiasi- negosiasi antara pemilik lahan degan
12
masyarakat petani penggarap yang membutuhkan lahan yang difasilitasi oleh pemerintah c. Registrasi lahan. Dalam tahap ini diharapkan telah terjadi kesepakatan antara pihak-pihak yang berkepentingan sehingga registrasi lahan dapat dilakukan. Penegasan property right dalam spektrum land tenure yang kontinum misalnya hak penyewaan, hak guna, hak pakai, atau hak lainnya disesuaikan dengan hasil negosiasi. d. Redistribusi lahan akan mengukuhkan hak-hak milik lahan para petani, sehingga para petani dengan lahan yang dikukuhkan
dapat dijadikan
sebagai agunan, dimana petani akan memperoleh
akses kepada
sumberdaya
finansial dan modal lainnya. Meskipun pengukuhan hak
tenurial ini juga dapat menimbulkan dampak negative yaitu mudahnya hak kepemilikan berpindah tangan dari petani kepada pihak-pihak yang memiliki uang banyak. 2. Dalam pengelolaan lahan juga harus diperhatikan enam bidang besar yang perlu mendapatkan prioritas perhatian ialah: a. Menghilangkan kendala kelembagaan dalam konservasi sumberdaya. b. Memajukan proses hayati tanah, c. Mengelola sifat-sifat tanah, d. Memperbaiki pengelolaan sumberdaya air, e. Menyelaraskan pertanaman pada lingkungan, dan f. Memasukkan secara efektif unsur sosial dan budaya dalam penelitian dengan menggunakan secara lebih baik pengetahuan tradisional dan membangun komunikasi yang diperbaiki dapat memajukan implementasi hasil penelitian 3. Pemberian hak atas lahan sebagai imbalan terhadap nilai jasa lingkungan, untuk memperkuat posisi tawar petani penggarap maka dibutuhkan pemberian hak atas lahan seperti yang dilakukan pada Izin Hutan Kemasyarakatan yaitu izin mengelola di kawasan hutan lindung di Tanggamus Lampung. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh anggota kelompok tani yang mendapatkan hak izin hutan kemasyarakatan antara lain : a. Harus menjaga dan melindungi hutan yang masih ada, tidak boleh memperluas kebun, b. Berkebun sistim multistrata,
13
c. Melakukan tehnik konservasi d. Membayar iuran, dan e. Lahan tidak boleh diperjualbelikan. Penelitian Suyanto pada tahun 2002 di Lampung Barat menunjukan bahwa< pemberian imbalan jasa lingkungan melalui pemberian hak atas lahan di tanah negara dengan persyaratan tertentu seperti menanam pohon, melakukan tehnik konservasi, menjaga hutan, mencegah kebakaran hutan merupakan alternatif kebijakan dalam melakukan konservasi fungsi jasa lingkungan sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan petani (Suyanto, 2006). Pemanfaatan lahan kawasan tambang untuk kegiatan di sektor pertanian oleh masyarakat sekitar merupakan salah satu bentuk usaha pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya lahan. Lahan kawasan tambang yang masih memiliki potensi untuk pemanfaatan lain sebelum dan sesudah opersionslisasi tambang selesai hendaknya dikelola dengan baik agar sumberdaya alam ini dapat diperbaiki dan bermanfaat bagi kelangsungan ekosistem serta bagi kehidupan masyarakat lokal di sekitar kawasan tambang. Lahan yang tidak ditambang, lahan pra dan pasca tambang merupakan sumberdaya lahan kawasan tambang. Lahan tidak ditambang merupakan lahan yang masuk dalam kawasan hak kuasa tambang namun tidak dilakukan penambangan di lokasi tersebut. Lahan tersebut berfungsi sebagai zona-zona aman (buffer zone), dan lahan yang memiliki kandungan deposit tambang sangat minimal sehingga tidak efektif dan efisien jika ditambang. Lahan pra tambang merupakan lahan yang belum dibuka untuk kegiataan tambang sehingga dapat dimanfaatkan untuk sementara waktu. Lahan
bekas
tambang
dapat
dikelola
dan
dimanfaatkan
untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat melalui perbaikan, pengelolaan dan pemanfaatan yang benar. Perbaikan lahan bekas tambang merupakan keharusan bagi pelaku penambangan sehingga dapat meminimalkan kerusakan lingkungan berdasarkan
KEPMEN
1211K
Tahun
1995
tentang
Pencegahan
dan
Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Usaha Penambangan Umum dan PERMEN ESDM No 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Dengan disahkannya UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara diharapkan
14
pengelolaan lahan kawasan tambang semakin optimal namun tidak meninggalkan kerusakan yang menyebabkan hilangnya daya dukung sumberdaya alam bagi kehidupan di bumi.
2.3 Kegiatan Penambangan Penambangan ialah kegiatan untuk menghasilkan bahan galian yang dilakukan baik secara manual maupun mekanis yang meliputi pemberaian, pemuatan, pengangk utan dan pemimbunan. (Latifah, 2003). Terdapat 2 jenis penambangan (Sitorus 2000) yaitu: 1. Penambang permukaan (surface/ shallow mining) antara lain penambangan terbuka, penambangan dalam jalur, dan hidrolik. 2. Penambangan dalam ( subsurface deep mining) Penambangan terbuka (open mining) berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan
seperti timbulnya lubang besar, terbentuk cekungan, berpotensi
mencemari lingkungan pada penambangan terutama yang mengandung senyawa kimia, dan mengganggu proses revegetasi. Tahap penambangan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu 1) Tahap pra penambangan; 2) Tahap penambangan; dan 3) Tahap pasca penambangan. Pada tahap pra penambangan, kegiatan utama adalah a) perintisan (pioneering) adalah kegiatan mobilisasi alat, mobilisasi tenaga kerja, pembuatan jalan angkut, pembuatan sarana drainase, b) pembersihan lahan (land clearing) adalah pembersihan semak-semak, pohon, dan benda lain yang mengganggu kegiatan penambangan, c) pengupasan lapisan tanah (stripping) yaitu pengupasan lapisan tanah atas dan overborden; d) pembuatan jenjang (bench,). Pada tahap penambangan kegiatannya meliputi), penggalian (digging), pemuatan (loading) dan pengangkutan (transporting); Dan pada tahap pasca penambangan kegiatan utama meliputi penataan lahan dan reklamasi.
2.4 Pengelolaan Lahan Bekas Tambang Penataan lahan setelah kegiatan penambangan akan berdampak positif terhadap komponen lingkungan geofisik yaitu tertatanya kembali morfologi lahan, sedangkan reklamasi merupakan salah satu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam penambangan dan sangat penting setelah penambangan selesai.
Kegiatan
reklamasi diharapkan akan berdampak positif terhadap komponen lingkungan geofisik dengan terjadinya perubahan iklim mikro yang lebih baik, peningkatan
15
kestabilan lereng dan penurunan erosi tanah. Reklamasi lahan bekas tambang terdiri dari dua kegiatan yaitu; pemulihan lahan bekas tambang untuk memperbaiki lahan yang terganggu ekologinya dan mempersiapkan lahan bekas tambang yang sudah diperbaiki ekologinya untuk pemanfaatan selanjutnya (Latifah, 2003) Untuk melakukan reklamasi lahan bekas tambang diperlukan perencanaan agar dalam pelaksanaannya dapat tercapai sasaran sesuai yang dikehendaki. Halhal yang harus diperhatikan dalam perencanaan reklamasi adalah : 1. Mempersiapkan rencana reklamasi sebelum pelaksanaan penambangan 2. Luas areal yang direklamasikan sama dengan luas areal penambangan. 3. Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi. 4. Mengembalikan/memperbaiki pola drainase alam yang rusak 5. Menghilangkan/memperkecil kand ungan (kadar) bahan beracun sampai tingkat yang aman sebelum dapat dibuang ke suatu tempat pembuangan. 6. Mengembalikan lahan seperti keadaan semula dan/ atau sesuai dengan tujuan penggunaannya. 7. Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi. 8. Memindahkan peralatan yang tidak digunakan lagi dalam penambangan. 9. Permukaan yang padat harus digemburkan namun bila tidak memungkinkan agar ditanami dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras. 10. Setelah penambangan maka pada lahan bekas tambang yang diperuntukkan bagi revegetasi, segera dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman yang sesuai dengan rencana rehabilitasi dari Departemen Kehutanan dan RKL 11. Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya. 12.Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Pelaksanaan reklamasi meliputi kegiatan sebagai berikut : 1) Persiapan lahan berupa pengamanan lahan bekas tambang, 2) pengaturan bentuk lahan (“landscaping”), 3) pengaturan/ penempatan bahan tambang kadar rendah (“lowgrade”) yang belum dimanfaatkan. 4) Pengendalian erosi dan sidementasi 5) Pengelolaan tanah pucuk (top soil). 6) Revegetasi (penanaman kembali) dan/ atau pemanfaatan lahan bekas tambang untuk tuj uan lainnya ( Latifah, 2003).
16
Bila pengelolaannya tepat, memungkinkan sebagian besar lahan di lokasi penambangan masih potensial untuk usaha bercocok tanam dan masih ada kesempatan untuk usahatani produktif asal diikuti dengan penerapan teknik konservasi tanah secara efektif sehingga keberlanjutan sistem produksi pertanian dapat dipertahankan. Pengelolaan konservasi lahan di lokasi penambangan merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam penyelenggaraan penataan lahan dan reklamasi dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut dipandang sesuai untuk diterapkan dalam menangani pemulihan & peningkatan kesuburan lahan serta peningkatan kesejahteraan petani yang berdomisili di sekitar lokasi penambangan yang memiliki karakter lingkungan alam umumnya berbukit-bergunung, areal pertanian berupa lahan kering tadah hujan, dan tingkat aksesibilitas masih rendah.
Pengelolaan konservasi lahan merupakan langkah
strategis dalam mempertahankan dan meningkatkan fungsi sumberdaya lahan, baik dalam skala makro maupun skala mikro pada suatu daerah tangkapan air (catchment area) tertentu melalui pendekatan partisipatif melibatkan masyarakat itu sendiri Pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan lokasi penambangan batu kapur di Indonesia umumnya mempunyai masyarakat yang langsung memanfaatkan area pra tambang termasuk area yang tidak ditambang karena merupakan buffer zone dan pasca tambang. Petani penggarap lahan
ini
menanami dengan macam - macam komoditas baik perkebunan atau tanaman pangan dan palawija. Desa-desa tersebut layak diusahakan
pembangunan
pertanian yang berkelanjutan dengan memenuhi beberapa persyaratan yaitu ; 1) Keberlangsungan usaha yang disesuaikan dengan laju penambangan, 2) Kelayakan usaha tani dengan memenuhi kriteria indikator analisa keuangan yang layak, 3) Memenuhi rona lingkungan yang lestari. Oleh karena itu upaya peningkatan kapasitas sosial ekonomi desa perlu dilakukan melalui beberapa kemungkinan yaitu : peningkatan ketersediaaan sarana dan prasarana perekonomian pedesaan, pengembangan kawasan agrobisnis dan agrowisata berbasis kawasan pedesaan., penyertaan investasi masyarakat desa dalam kegiatan usaha agrobisnis dan pariwisata, pengembangan usaha ekonomi lokal pedesaan berdasarkan keunggulan produk lokal dan wilayah (one villageone product ) (Wasistiono, 2006 ):
17
Untuk menjamin keberlangsungan ekonomi masyarakat desa maka daya dukung lingkungan merupakan agenda penting yang harus diperhatikan oleh masyarakat
melalui peningkatan kapasitas daya dukung lingkungan
dengan
program ; 1. Reboisasi dan penghijauan. 2. Peningkatan peran serta masyarakat dalam gerakan penghijauan lahan 3. Pemanfaatan lahan kering untuk komoditas ekonomi. Pemanfaatan lahan yang belum ditambang dan lahan zona aman juga dilakukan oleh masyarakat desa sekitar wilayah penambangan PT Indocement Tunggal Perkasa Unit Citeureup untuk pertanian pangan dan tanaman perkebunan
2.5 Kebijakan Pengelolaan Lahan Bekas Tambang di Indonesia Sektor pertambangan di Indonesia merupakan sektor yang cukup besar kontribusinya terhadap perekonomian negara kita, namun demikian dampak negatif pengelolaan sumberdaya tambang
tidak dapat diabaikan begitu saja.
Dampak negatif aktifitas penambangan sangat besar pengaruhnya bagi kelestarian lingkungan yang pada akhirnya mengancam kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan penambangan menjadi kewajiban pemerintah apalagi kegiatan penambangan ini
lebih banyak
melibatkan investor swasta baik dalam dan luar negeri yang tentunya lebih mengedepankan faktor profit daripada kesejahteraan masyarakat. UU No. 11 Tahun 1967 atau UU Pokok Pertambangan/ 1967 merupakan salah satu kebijakan pemerintah sebagai pengganti UU No. 37 Prp/ Tahun 1960 untuk mengatur pelaksanaan operasio nal tambang serta pengelolaan lahan bekas tambang. Munculnya UU ini justru menyebabkan orientasi industri pertambangan pada skala modal dan investasi besar yang berdampak pada timbulnya masalahmasalah lingkungan hidup dan sosial. Pasal 30 UU Pokok Pertambangan Tahun 1967 hanya memuat aturan yang sangat minimal dalam pengelolaan pasca tambang, yaitu bahwa, pemegang kuasa tambang diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan penyakit atau bahaya bagi masyarakat sekitar. Tidak tercantum sanksi bagi pelanggar dalam UU ini. Hal ini memungkinkan para pemegang kuasa
18
tambang
nakal,
yang
hanya
mengambil
keuntungan
saja,
lepas
dari
tanggungjawab terhadap lingkungan. UU ini seakan tidak relevan dengan kebijakan UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No 4 Tahun 1982) yang mengatur sanksi secara tegas bagi para pelaku perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup. Pasal 20 dan 22 yang menyatakan bahwa pelaku perusakan dan atau pencemaran lingkungan dapat dikenai sanksi pidana selain diharuskan membayar ganti rugi kepada rakyat yang terugikan dan kepada negara untuk pemulihan kembali lingkungan yang rusak dan atau tercemar. Peraturan ini diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran, namun sejumlah pelanggaran. Kesadaran bahwa setiap orang memiliki hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak berimplikasi positif terhadap kesadaran akan tanggungjawab setiap individu untuk memelihara, mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. KEPMEN No. 1211.K/1995, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Pertambangan Umum merupakan upaya tehnis yang lebih
kongkrit
dalam menanggulangi dampak
negatif dari aktifitas penambangan. Para pelaku penambangan berkewajiban menyusun rencana pengelolaan lingkungan secara berkala (setiap tahun) sebagai bahan evaluasi kegiatan oleh lembaga yang berwenang. Keputusan Menteri ini menjadi pedoman bagi setiap pemegang kuasa penambangan (KP) untuk mereklamasi lahan bekas penambangan secara benar dan dilaksanakan sesegera mungkin sejalan dengan laju penambangan sehingga meminimalkan kerusakan lingkungan dan mempercepat pemulihan fungsi lahan. Dengan demikian sumberdaya lahan dapat segera dimanfaatkan untuk berbagai usaha seperti perkebunan, pertanian, perikanan, dan lain sebagainya bergantung pada kondisi yang sesuai secara ekologis, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Disahkannya UU No 4
Tahun 2009 diharapkan semakin memperkuat
komitmen pemerintah dala m upaya pengelolaan sumberdaya alam untuk kemakmuran bangsa Indonesia dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam terutama lahan. Ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai pengelolaan kawasan tambang yang juga memuat peraturan pengelolaan tambang rakyat diharapkan dapat meminimalkan kerusakan dan menjamin usaha perbaikan sumberdaya alam.
19
2.6
Perencanaan Pengelolaan SDA
di Wilayah Penambangan dan Desa
Sekitar Penambangan Sumberdaya alam terutama lahan di wilayah penambangan masih potensial untuk usaha pertanian, untuk itu perlu melakukan perencanaan menyeluruh mencakup
jenis komoditas pertanian yang berpotensi dapat
diusahakan sesuai dengan daya dukung ekologisnya.
Oleh karena itu dalam
proses perencanaan pengembangan desa, pendekatan yang cukup relevan adalah melalui Perencanaan Transaktif. Dalam perencanaan transaktif diyakini bahwa sangat penting untuk memempertimbangkan pengalaman masyarakat yang akan terkena atau terlibat dalam perencanaan atau pengambalian keputusan. Dengan demikian perencanan bukanlah merupakan kegiatan tehnokratik yang hanya dapat dilakukan oleh ahli, tetapi harus menyertakan interaksi aktif atau tatap muka antara perencana dan mereka yang akan terkait dengan kegiatan perencanaan. Dalam perencanaan transaktif, kuncinya adalah dialog antar individu dan belajar bersama. Perencanaan transaktif memberikan prioritas tinggi terhadap proses pengembangan individu dan institusi dibanding realisasi tujuantujuan yang khusus. Pendekatan perencanaan ini merupakan satu pendekatan yang meletakan nilai tinggi terhadap kerjasama dan menyertakan sistem pengetahuan lokal dalam perencanaan (Hudson dalam Suharto, 1997). Perencanaan tersebut perlu pula melibatkan unsur analisis agro ekosistem mengingat basis pertanian yang menguat pada desa sekitar tambang. Agro ekosistem merupakan sistem ekologi yang telah dimodifikasi oleh manusia untuk menghasilkan bahan makanan dan produksi pertanian lain, (Conway dalam Suharto, 1997 ) Sebagaimana sistem-sistem ekologi, agro ekosistem merupakan system yang terstruktur secara dinamis dan komplek. Empat elemen agro ekosistem dalam pengelolaan sumberdaya alam meliputi : 1. Produk tifitas; merupakan hasil akhir panen, atau pendapatan bersih, nilai produksi dibanding masukan sumber. 2. Stabilitas; Adalah produktifitas menerus yang tidak terganggu oleh perubahan kecil dari lingkungan sekitarnya. 3. Keberlanjutan; kapasitas agroekosistem
untuk memelihara produktivitas
ketika ada gangguan besar. 4. Pemerataan; pemerataan diukur melalui distribusi keuntungan dan kerugian yang terkait dengan produksi barang dan jasa dari agro ekosistem
20
Untuk mengembangkan usaha berkelanjutan maka perlu disertakan pula pewilayahan komoditas pertanian yang dipilih. Pewilayahan komoditas pertanian merupakan salah satu usaha untuk mengelompokkan wilayah-wilayah yang mempunyai karakteristik lahan yang serupa untuk pengembangan suatu produk pertanian. Tiap wilayah mempunyai potensi produksi komoditas pertanian yang berbeda tergantung pada keadaan sumberdaya lahannya, keterampilan SDM, modal, dan kebiasaan usaha tani (Soekardi dalam Mulyani, 2006). Perwilayahan komoditas diharapkan dapat terbentuk usaha tani yang membuat wilayah-wilayah atau zona-zona dari suatu kelompok komoditas dengan produksi yang optimal. Pewilayahan komoditas pertanian pendekatannya mengacu pada konsep AEZ (Agro Ecological Zone) yang telah banyak dilaksanakan oleh FAO (1996). Zonasi agro-ekologi (ZAE) merupakan sistem utama untuk menilai sumberdaya lahan, yang dapat digunakan pada tingkat global, regional, nasional atau sub-nasional. Beberapa pengertian atau definisi yang berkaitan dengan ZAE adalah: (1) Pembagian suatu wilayah ke dalam unit lebih kecil yang mempunyai kesamaan karakteristik terhadap kesesuaian lahan, produksi potensial, dan pengaruh lingkungannya. FAO menetapkan zona berdasarkan kombinasi tanah, landform, dan karakteristik iklim; (2) Satu satuan peta sumberdaya lahan, ditentukan berdasarkan iklim, landform, tanah, dan penutupan tanah, yang mempunyai kisaran spesifik potensi dan penghambat untuk penggunaan lahan tertentu. Pilihan komoditas apa yang akan dipilih untuk dikembangkan di kawasan tersebut, apakah tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan atau perikanan. Untuk itu, diperlukan pertimbangan lain yaitu (1) penggunaan lahan saat ini (present land use), (2) kelayakan usaha tani komoditas-komoditas tersebut, dan (3) daftar prioritas tanaman masing- masing daerah (Mulyani, 2006). Untuk mencapai tujuan pengembangan wilayah pedesaan diperlukan peran dari berbagai pemangku kepentingan yaitu masyarakat, pemerintah, organisasi non-pemerintah seperti lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta dan lembaga pendidikan, yang masing- masing memiliki peran dan fungsi penting bagi tercapainya tujuan pembangunan.
2.7 Peran da n Fungsi Pemangku Kepentingan Pembangunan nasional menurut Penjelasan UU No 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025
21
adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan
nasional
membutuhkan
komponen
penting
untuk
mendukungnya, diantaranya pembangunan pertanian. Ini disebabkan
peran
startegisnya sebagai ciri khas negara agraris. Kegiatan pembangunan pertanian perlu di selaraskan antar komponen pemangku kepentingan. Beberapa komponen pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam analisis peran pemangku kepentingan dalam implementasi program/kegiatan pembangunan pertanian adalah pemerintah, organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan petani (masyarakat). Pertama, peran pemerintah sangat berpengaruh, yakni sebagai perencana dan pelaksana. Kedua, peran organisasi non-pemerintah (LSM) tidak kalah pentingnya dalam konteks mikro spesifik lokasi. Ketiga, peran swasta sangat strategis terutama dalam hal penyediaan barang dan jasa, penyediaan modal, dan pemasaran. Keempat, peran petani sebagai pelaku utama dan sekaligus sebagai penerima manfaat. Dari keempat komponen pokok di atas, petani memegang peran sentral dalam implementasi program pembangunan pertanian. Petani peserta program/kegiatan pembangunan pertanian lazimnya dihimpun dalam organisasi kelompok tani yang memiliki fungsi sebagai media musyawarah petani dan sekaligus berperan dalam akselerasi kegiatan. Namun, beberapa kasus ditemui bahwa kelompok tani dibentuk dalam kaitannya dengan implementasi program/kegiatan. Akibatnya, eksistensi kelompok tani seperti itu berakhir seiring selesainya kegiatan. Ak ibat lebih luas, manfaat program/ kegiatan hanya dirasakan pada saat implementasi tanpa keberlanjutan. Pemangku kepentingan seyogianya diorganisasi dalam suatu wadah (forum) komunikasi untuk mempermudah proses integrasi dan interaksi serta sekaligus menerapkan analisis pemangku kepentingan guna memperlancar pelaksanaan program/ kegiatan pembangunan pertanian. Pemangku kepentingan
22
mencakup empat pilar eksistensi sosial kemasyarakatan, yaitu pemerintah dengan jajaran instansinya, masyarakat dengan lapisan sosialnya, sektor swasta dengan korporasi usahanya, dan LSM dengan kelompok institusinya. Keempat pilar tersebut harus memiliki unsur kesamaan persepsi, jalinan komitmen, keputusan kolektif, dan sinergi aktivitas dalam menunjang pelaksanaan program/kegiatan pembangunan pertanian. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, peran pemerintah daerah sangat strategis dalam menjembatani para pemangku kepentingan guna memperlancar pembangunan pertanian. Dalam hal ini, fungsi peran pemerintah pusat (Departemen Pertanian) seyogianya lebih bersifat sebagai koordinator dan fasilitator, sehingga implementasi program pembangunan pertanian berjalan efisien dan efektif ( Iqbal, 2007).
2.7.1 Peran Pemerintah Pusat dan Daerah Peran pemerintah dalam pembangunan adalah suatu keniscayaan. Tanpa campur tangan pemerintah (terutama pemerintah pusat), akan terjadi persaingan bebas yang merugikan kelompok ekonomi lemah, akibatnya, yang terjadi bukan kebebasan pasar tetapi restriksi pasar dalam bentuk monopoli yang dikuasai golongan ekonomi kuat. J. M. Keynes yang dipandang sebagai salah seorang tokoh terkemuka ekonomi pada bagian awal abad ke 20 justru menganggap kebebasan pasar, tanpa ada campur tangan pemerintah, tidak akan mampu melakukan alokasi sumberdaya dan outputs secara optimal (full employment of outputs). Karena itu Keynes memandang perlu adanya peran pemerintah, antara lain dalam bentuk kebijakan anggaran untuk mengatasi pengangguran yang sekaligus juga meningkatkan daya beli dan mendorong adanya kegiatan bisnis. Berkaitan dengan peran maka pemerintah pusat memiliki peran dalam pembangunan berupa : 1. Pengadaan dan pengaturan pemanfaatan barang publik dan proyek pionir, 2. Penjamin terselenggarakannya pembangunan sesuai dengan visi dan misi 3. Menghindarkan terjadinya persaingan yang tidak sehat antara perusahaan yang besar dengan perusahaan kecil dan menengah (Abidin, 2006 ) Sedangkan peranan pemerintah daerah merupakan turunan dari peran pemerintah pusat yang dapat di implementasikan dalam bentuk :
23
1. Fasilitator : menciptakan kondisi yang kondusif pembangunan
(menjembatani
kepentingan
bagi pelaksanaan
berbagai
fihak
dalam
mengopimalkan pembangunan daerah) 2. Regulator : menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan (menerbitkan peraturan-peraturan dalam rangka efektifitas dan tertib administrasi pembangunan) 3. Dinamisator : menggerakkan partisipasi multi fihak tatkala stagnasi terjadi (mendorog dan memelihara dinamika pembangunan daerah) 4. Koordinator : mengintregasikan program-program berbasis penanggulangan kemiskinan
yang
dapat
dilakukan
melalui
perencanaan
partisipatif
(Departemen Pekerjaan Umum, 2007)
2.7.2 Peran Sektor Swasta Pihak swasta sebagai salah satu komponen ekonomi bangsa mempunyai peran yang strategis dalam pembangunan diantaranya : 1. Penyediaan modal kerja/usaha melalui kerjasama yang saling menguntungkan dan dituangkan dalam kesepakatan dan komitmen bersama antara pemerintah, masyarakat dan swasta. 2. Peningkatan kapasitas pelaksana/pemanfaat program melalui pelatihan dan magang (Departemen Pekerjaan Umum, 2007)
2.7.3 Peran Masyarakat Peran serta
masyarakat dalam pembangunan sudah muncul sejak
diberlakukannya UU 1945 dan secara konstitusional telah memiliki acuan yang jelas dan merupakan kewajiban bagi siapapun yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia. Namun peran serta masyarakat dalam pembangunan di era reformasi ini masih memperlihatkan kecenderungan belum berjalan dengan sempurna. Beberapa hal
yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan antara lain: 1. Memperhatikan hak masyarakat terhadap sumberdaya alam, 2. Peningkatan ekonomi masyarakat agar lebih mandiri dan tidak bergantung pada pihak-pihak lain 3. Pengembangan peluang untuk mengambil keputusan yang partisipatif dengan ikut menentukan arah pembangunan.di daerahnya;
24
4. Menghilangkan ego sektoral 5. Perlu komitmen yang tinggi dari pengambil keputusan formal di daerah karena tanpa dukungan, mustahil kebijakan bisa diterapkan; 6. Memperkuat aspek “Public relation” stakeholder, khususnya masyarakat melalui LSM, sehingga semua informasi mengenai kebutuhan pengelolaan lingkungan hidup bisa tersampaikan kepada pihak lain dengan baik, 7. Otonomi daerah harus bisa dilaksanakan secara penuh, sehingga pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah mempunyai kewenangan untuk bisa memutuskan, 8. Revitalisasi ketentuan Pasal 10 ayat c UUPLH No. 23 Tahun 1997 yang menyatakan,
”Pemerintah
berkewajiban
mewujudkan,
menumbuhkan,
mengembangkan dan meningkatkan kemitraan antara masyarakat, dunia usaha dan pemerintah dalam upaya pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup” (Ardhana, 2005) Selanjutnya, pembangunan tidak terlepas dari
peranan lahan bagi
masyarakat. pasal 6 UU 5/1961, yaitu bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", hal ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata- mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali ole h kepentingan umum (masyarakat) karena Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan kepentingan-kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2 ayat 3). Berkaitan dengan fungsi sosialnya, maka suatu hal yang wajar bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan- hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum
25
dengan tanah itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan fihak ekonomi lemah.
2.7.4 Peran Lembaga Pendidikan / Perguruan Tinggi Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang juga memiliki kontribusi terhadap upaya pencapaian tujuan pembangunan. Pengembangan wilayah pedesaan berkaitan erat dengan pembangunan pertanian secara khusus dan pembangunan nasional secara umum, perguruan tinggi mempunyai fungsi penting bagi pembangunan tersebut. Sumbangan Pemikiran Peran Perguruan Tinggi dalam Pembangunan Pertanian disampaikan dalam diskusi antara Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dengan Forum Dekan Fakultas Pertanian SeIndonesia pada saat Seminar dan Lokakarya Nasional tanggal 12 Maret 2005 di Malang Jawa Timur menyebutkan peran-peran perguruan tinggi yaitu : 1. Memberikan masukan kepada pemerintah tentang perumusan kebijakan pertanian yang mampu memberdayakan petani sekaligus sebagai mitra institusi pertanian dengan ; •
Memberikan masukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk perumusan kebijakan pertanian
•
Melakukan pendidikan dengan kurikulum sesuai dengan tuntutan pembangunan pertanian ke depan
•
Menyelanggarakan pendidikan program diploma I di lapang berbasiskan kepentingan daerah
•
Pelatihan dan pembinaan terhadap instansi pemerintah di daerah yang berkaitan dengan pembangunan pertanian
2. Melakukan riset untuk menghasilkan rekayasa teknik maupun kelembagaan yang dapat mendukung pembangunan agribisnis yang memberdayakan petani dengan kegiatan sebagai berikut a. Rekayasa tekhnologi antara lain : rekayasa benih/bibit unggul spesifik lokasi, teknologi pupuk, teknologi pengendalian hama dan penyakit, alat dan mesin, teknologi penanganan pasca panen dan pengolahan b. Rekayasa Kelembagaan yaitu ; rekayasa dalam pengorganisasian produksi, pengorganisasian pemasaran, kelembagaan supporting system untuk memudahkan akses petani ke teknologi, kredit, pemasaran, dll.
26
3. Melakukan pembinaan dan advokasi kepada petani secara langsung maupun secara tidak langsung dengan kegiatan sebagai berikut ; a. Tranfer teknologi baru langsung kepada petani, b. Pembinaan kepada petani melalui kelembagaan mahasiswa, c. Pembinaan kepada petani secara rutin melalui desa binaan, d. Pembinaan kepada petani melalui kuliah kerja nyata dan praktek lapang mahasiswa, dan e. Advokasi kepentingan petani.
2.7.5 Peran Lembaga Swadaya masyarakat (LSM) Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai lembaga yang lahir dari masyarakat mempunyai peran sosial sebagai peran utama dalam pembangunan. Untuk melihat peran sosial LSM, kiranya dapat dibedakan atas peran makro dan peran mikro. Dalam rangka aktualisasi peran sosial LSM maka peranan makro yang
dapat
dimainkan
adalah
berusaha
menjaga
independensi
dan
menge mbangkan kemandirian organisasi dengan cara antara lain adalah ; Pertama, mencoba menghidupkan atau mendirikan kembali lembagalembaga independen diberbagai level daerah untuk mengimbangi inkorporasi negara yang selama ini masuk kedalam hampir semua sektor kehidupan masyarakat, baik di pusat maupun daerah. Institusi independen yang dimaksudkan disini adalah mempersatukan kembali berbagai ide dari masyarakat yang pluralis kedalam suatu wadah yang relatif terlepas dari kekuatan dan campur tangan pemerintah. Kedua, melalui wadah independen yang sudah dibentuk, dikembangkan mekanisme kerja yang mengarah pada fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah, seperti yang berkaitan dengan proses penganggaran (budgeting process). Anggaran negara yang dikelola oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, pada hakekatnya adalah milik masyarakat yang seharusnya dilakukan secara transparan dan accountable. Ketiga, menyebarluaskan (dissemination) berbagai informasi yang masih menjadi masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui berbagai cara (public education) agar masyarakat menjadi tahu dan secara suka rela mau terlibat atau berpartisipasi di dalam pembangunan. Dalam rangka aktualisasi peran sosial LSM, peranan mikro yang dapat dilakukan antara lain memfasilitasi kelompok-kelompok masyarakat miskin dan
27
lemah dalam mengembangkan kemampuan, memecahkan masalah dan mengelola sumberdaya disekitarnya menuju kemandirian ekonomi. Cara-cara tersebut dapat dilakukan melalui kelompok ekonomi lemah terutama usaha rakyat, buruh dan sektor informal dalam kaitannya dengan globalisasi ekonomi yang dikhawatirkan tidak siap menghadapi hal ini. Mereka secara klasik memiliki persoalan yang terkait dengan soal keuangan, manajemen, teknologi dan kelemahan pasar. Untuk itu kelompok ini harus menjadi perhatian khusus LSM. Yang sering muncul bagi usaha kecil/pelaku ekonomi lemah adalah ungkapan bahwa menghadapi persaingan antar pengusaha/pelaku ekonomi dalam negeri saja sudah mengalami kesulitan, lebih- lebih bersaing dengan pengusaha/pelaku ekonomi luar negeri yang lebih besar. Beberapa hal yang bisa diusahakan LSM, antara lain : 1. Mengembangkan daya saing. Para pelaku ekonomi rakyat dibantu agar mampu menghasilkan produk dan jasa dengan daya saing yang tinggi, sehingga harus berkualitas. 2. Membantu pelaku ekonomi rakyat melepaskan diri dari isolasi. Mereka harus masuk dalam jaringan pasar yang lebih luas dan untuk ini diperlukan kesiapan sumberdaya manusia yang mempunyai keberanian dan percaya diri. Agar terwujud dua hal diatas, maka LSM perlu ikut mengupayakan adanya sumberdaya manusia, serta perbaikan iklim usaha dan bekerja yang mampu menunjang kegiatan profesionalitas pelaku ekonomi rakyat tersebut (Iqbal, 2007).
Metode Partisipatory Rural Appraisal Pemahaman pedesaan secara Partisipatory Rural Appraisal merupakan suatu cara untuk memahami partisipasi dari seluruh komponen masyarakat desa mengenai masalah pembangunan di pedesaan dan upaya antisipasi yang dibutuhkan dengan memperhitungkan kendala dan seluruh potensi yang tersedia. Melalui partisipasi dalam proses penelitian dan perencanaan maka dapat dipahami masalah sebenarnya yang dihadapi masyarakat menurut versi atau pendapat masyarakat yang seringkali berbeda dengan pendapat peneliti sebagai pihak luar. Begitu pula dengan upaya antisipasi atau inovasi yang dibutuhkan mungkin bisa berbeda antara masyarakat dengan peneliti. Peneliti meiliki kelebihan dalam hal informasi pengetahuan dan tehnologi yang dibutuhkan tetapi kurang luas memahami secara mendalam masalah yang dihadapi masyarakat. Sebaliknya masyarakat memahami masalah dan kebutuhan mereka tetapi kurang memiliki
28
stok pengetahuan dan tehnologi untuk mengatasi masalah mereka. Dengan demikian memadukan kemampuan kedua pihak antara masyarakat dengan peneliti merupakan langkah tepat guna mencapai solusi yang tepat. Partisipatory Rural Appraisal
merupakan tehnik atau cara untuk
menyusun perencanaan dan mengembangkan program yang bersifat operasional dalam pembangunan di tingkat desa. Metode ini ditempuh dengan memobilisasi sumberdaya manusia, sumber alam setempat, lembaga lokal guna mempercepat peningkatan
produktivitas,
menstabilkan
dan
meningkatkan
pendapatan
masyarakat serta mampu pula melestarikan sumberdaya setempat (Daniel, dalam Daniel, 2006). Tujuan metode penelitian ini adalah untuk menjaring rencana program pembangunan pedesaan yang memenuhi persyaratan; sesuai dengan kondisi desa dan lingkungan, berdampak positif bagi lingkungan, menguntungkan secara ekonomi dan diterima oleh masyarakat. Metode PRA dapat membantu dalam menggerakkan sumberdaya alam dan manusia untuk memahami masalah, mempertimbangkan
program
yang
telah
sukses,
menganalisis
kapasitas
kelembagaan lokal, menilai kelembagaan moderen yang telah diintroduksi dan membua t rencana program spesifik operasional secara sistematis. Prinsip dasar metode penelitian ini adalah; 1. Melibatkan seluruh kelompok masyarakat yang merupakan representasi masyarakat desa secara umum dalam pengenalan potensi sumber daya setempat. 2. Masyarakat setempat merupakan pelaku utama dalam pengenalan situasi, memilih jenis inovasi yang dikembangkan, dan merumuskan pentahapan kegiatan inovasi, sedangkan pihak luar hanya sebagai fasilitator. 3. Menerapkan prinsip triangulasi yang merupakan bentuk cross check dan recheck informasi untuk mendapatkan informasi yang akurat. 4. Berorientasi praktis diarahkan untuk (a) menggali potensi yang tersedia dan masalah yang dihadapi masyarakat setempat; (b) mempelajari alternatif pemecahan masalah; (c) merancang model yang akan dikembangkan secara bersama-sama, dengan memperhatikan rambu-rambu pelaksanaan program yang berlaku. 5. Mengoptimalkan hasil dalam pengertian (a) jenis informasi yang dikumpulkan disesuaikan dengan kebutuhan pelaksanaan program; (b) kedalaman informasi
29
dirumuskan secara jelas; dan (c) penggalian informasi dimulai dari yang telah diketahui, misalnya dari data sekunder, hingga informasi yang tidak diketahui. 6. Santai dan informal dalam pengertian (a) diselenggarakan dalam suasana yang luwes, terbuka dan tidak formal; (b) memperhatikan jadwal kegiatan masyarakat setempat; dan (c) pihak luar atau peneliti PRA harus mampu berinteraksi secara akrab 7. Prinsip demokratis dalam pengertian (a) setiap anggota masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menyampaikan pendapat dan (b) memberikan kesempatan yang sama pada setiap individu dalam berpendapat. Proses kegiatan penelitian PRA diawali dengan melakukan desk study yaitu mengumpulkan data sekunder mengenai desa yang dimaksud dan dapat pula dengan menghimpun keterangan dari para pengambil kebijakan. Data ini berguna untuk bahan acuan, pertimbangan dan cross check dalam pelaksanaan data di lapangan. Data yang dihasilkan adalah sebaran penduduk, sumber mata pencaharian penduduk, keterlibatan penduduk, tingkat pendidikan, gambaran umum wilayah yang diteliti. Kegiatan selanjutnya adalah pengumpulan data di lapangan. Kegiatan ini dilakukan dengan memasukkan kelompok masyarakat sebagai anggota dalam pengambilan data lapang karena mereka lebih memahami kondisi desa. Informasi data yang dikumpulkan
adalah yang dibutuhkan dan tujuan pemanfaatannya
dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Poteni ekonomi di pedesaan meliputi; jenis usaha pertanian, dan ternak yang diusahakan beserta peranannya terhadap pendapatan rumah tangga, potensi pasar, pemanfaatan limbah yang dihasilkan, dan kesesuaian agroklimat 2. Potensi sumber daya alam, sumberdaya manusia, dan infrastruktur menurut blok hamparan lahan. 3
Kinerja teknologi dan kinerja hasil kegiatan ekonomi baik agribisinis di bidang usaha tani/produksi, input usaha tani, pasca panen, pengolahan dan pemasaran hasil, serta usaha perekonomian nonpertanian.
4. Kinerja kelembagaan yang berperan dalam mendukung perekonomian masyarakat dalam rangka mengkaji peluang inovasi kelembagaan Data yang telah terkumpul menjadi bahan acuan untuk perencanaan program yang dilaksanakan bersama masyarakat. Kegiatan perencanaan ini dilakukan secara musyawarah berdasarkan data yang ada serta analisis data yang
30
diperlukan untuk dasar perencanaan seperti analisis ekonomi dan ekologi yang telah dikaji oleh peneliti atau ahli yang berkompeten.
Perencanaan diawali
dengan mendiaknosa masalah melalui penyusunan prioritas masalah dan kebutuhan, potensi SDA, SDM, dan kelembagaan yang menunjang sebagai dasar penyusunan rencana berupa Road Map/ Bu ssines Plan sesuai dengan pendapat masyarakat dan didukung oleh peneliti sesuai dengan diaknosa masalah.
2.9 Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) Analytical Hierarchy Process (AHP) dikenal dengan istilah proses hirarki analitik (PHA) atau analisis jenjang keputusan (AJK), pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty pada Tahun 1990-an. Untuk mendapatkan skenario optimal dalam pemanfaatan dan pengelolaan lahan pra, pasca tambang dan lahan yang tidak ditambang di wilayah penambangan bahan baku semen PT ITP Tbk, maka digunakan pendekatan AHP dengan metode comparative jugment . Proses Herarki Analisis
merupakan metode yang memodelkan permasalahan yang tidak
terstruktur seperti dalam bidang ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Pada dasarnya, AHP ini dirancang untuk menganalisis secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu melaui suatu prosedur yang didesain dengan
skala preferensi diantara berbagai alternatif.
Proses Hirarki Analisis adalah model luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan
atau
kelompok
untuk
membangun
gagasan- gagasan
dan
mendefenisikan persoalan dengan cara membuat asumsi dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. (Saaty, 1993), Metode AHP mema sukkan faktor kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia. Aspek kualitatif mendefinisikan persoalan dan hirarkinya dan aspek kuantitatif mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat. Proses ini dengan jelas menunjukkan bahwa demi penga mbilan keputusan yang sehat dalam situasi yang komplek diperlukan penetapan prioritas dan melakukan perimbangan. AHP adalah proses mengidentifikasi, memahami dan menilai interaksi- interaksi suatu sistem sebagai suatu keseluruhan. Data yang dianalisis meliputi data struktur hierarki keputusan berdasarkan hasil wawancara dan kuisioner dengan pendekatan AHP yang menggunakan analisis komparasi berpasangan. Untuk menggambarkan perbandingan berpasangan berpengaruh relatif atau berpengaruh pada setiap elemen terhadap masing- masing tujuan yang
31
setingkat di atasnya dilakukan perbandingan berdasarkan judgement dari para pengambil keputusan dengan melakukan penilaian terhadap tingkat kepentingan antara satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya, maka digunakan pembobotan berdasarkan skala prioritas AHP. Dalam penyelesaian permasalahan dengan AHP, beberapa prinsip dasar yang harus dipahami, antara lain : 1. Decomposisi, setelah didefinisikan maka dilakukan dekompsisi yaitu memecahkan persoalan yang utuh menjadi unsur- unsurnya. 2. Comparative Judgment, prinsip ini berarti membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitanya dengan tingkat di atasnya. Hasil dari penilaian disajikan dalam bentuk perbandingan berpasangan (pairwise comparation) 3. Synthis of Priority, dari setiap matriks pairwise comparation kemudian dicari eigen vektornya untuk mendapatkan prioritas lokal. Karena matriks pairwise comparation terdapat suatu tingkat maka untuk mendapatkan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal. 4. Logical Consistency, konsistensi memiliki dua makna, makna pertama bahwa obyek-obyek yang serupa dikelompokkan sesuai dengan keragaan dan relevasinya. Kedua, adalah tingkat hubungan antara objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. 5. Pendekatan AHP menggunakan skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai dengan 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting, ini berarti atribut yang sama skalanya, nilai bobotnya 1, sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibandingkan dengan yang lainnya. Jika hasil perhitungan menunjukkan nilai Consisten Ratio (CR) < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Untuk menganalisis data ini digunakan computer dengan bantuan program expert choice 2000. Prinsip kerja AHP adalah menyederhanakan suatu persoalan kompleks dan tidak terstruktur serta bersifat strategi, melalui upaya penataan rangkaian variabelnya dalam suatu hierarki. Keunggulan lain dari AHP adalah dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam proses bersangkutan.
32
Dengan pendekatan AHP, proses keputusan yang bersifat kompleks dapat diuraikan menjadi sejumlah keputusan yang lebih kecil (terbatas), sehingga dapat ditangani dengan lebih mudah. Selain itu dalam aplikasinya, metode ini juga menguji konsistensi berbagai penilaian, khususnya apabila terjadi penyimpangan penilaian terlalu jauh dari penilaian konsistensi yang sempurna. Tabel 1 menunjukkan skala prioritas alternatif pilihan dengan nilai skala prioritas mulai dari 1 sampai 9 dari skala sama penting hingga skala paling penting.
Tabel 1. Skala prioritas anlytical hierarchy process Skala 1 3
5
Definisi skala Sama Penting (Equally Importance Lebih Penting (Moderately Importance) Sangat Lebih Penting (Strongly Importance)
Sangat Penting sekali (Very Strongly Importance) Paling Penting 9 (Extremely Importance) Nilai Antara 2,4,6,8 (Intermediate Value ) 7
Penjelasan Dua elemen dan mempunyai pengaruh sama penting Pengalaman dan penilaian sedikit mendukung pada satu elemen dibandingkan elemen lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat mendukungsatu elemen dibandingkan elemen lainnya. Pengalaman dan penilaian sangat kuat sekali mendukung satu elemen dibandingkan elemen lainnya. Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek Nilai ini digunakan untuk menggambarkan kompromi antar skala yang dijabarkan diatas
Pendekatan AHP merupakan metode analisis dengan merumuskan suatu keputusan yang komplek sebagaimana masalah pemanfaatan dan pengelolaan lahan kawasan tambang berkelanjutan. Pendekatan ini dapat membantu menyusun suatu strategi dalam pengelolaan lahan kawasan tambang terutama pada kawasan tambang yang sangat berdekatan dengan penduduk. Desa-desa dimana lokasi tambang berada merupakan wilayah pedesaan yang perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya
alam
yang terkena
dampak
penggunaan lahan untuk penambangan. Seperti pada kawasan tambang untuk bahan baku industri semen di Indonesia yaitu tambang batu kapur. Penelitian pengelolan lahan kawasan penambangan kapur sebagai bahan baku utama semen belum banyak ditemukan, padahal dampak penambangan kapur juga sangat besar terhadap bentang lahan dan kualitas sumberdaya
33
lahannya, meskipun tidak menghasilkan limbah kimia berbahaya. Lahan tandus dengan dominasi batuan bekas tambang merupakan dampak perubahan biofisik lahan kawasan penambangan kapur yang sangat besar pengaruhnya bagi ekosistem setempat. Di satu sisi kawasan tambang juga masih memiliki potensi sumberdaya lahan yang sangat besar karena laju penambangan lebih mengarah ke perut bumi, maka pembukaan lahan tidak terlalu cepat sehingga terdapat lahanlahan yang masih belum ditambang untuk dimanfaatkan sebagai sumberdaya ekonomi lain. Selain itu terdapat lahan tidak ditambang yang perlu dikelola dengan tepat agar bermanfaat dan terus mampu mendukung keberlangsungan hidup masyarakat di sekitarnya. Keberadaan masyarakat di sekitar kawasan tambang yang sudah lama bahkan sebelum operasionalisasi tambang berada memungkinkan adanya kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya lahan termasuk kawasan tambang sebagai sumberdaya ekonomi.
Oleh karena itu pengelolaan lahan
kawasan tambang kapur sangat penting mengingat dampak yang ditimbulkan dari aktivitas tambang dan potensi-potensi yang masih dapat dioptimalkan. Diperlukan penelitian yang mendalam untuk menyusun arahan strategi pengelolaan lahan kawasan tambang secara berkelanjutan. Penelitian ini sangat penting dilakukan mengingat belum banyak atau bahkan belum ada penelitian yang bertujuan untuk mengelola potensi sumberdaya lokal dengan latar belakang pada pengelolaan lahan kawasan tambang kapur yang banyak terdapat di Indonesia. Hal lain yang mendasari pentingnya penelitian ini adalah bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan lahan kawasan tambang lebih banyak berkaitan dengan lahan pasca tambang dan pada dampak aktivitas penambangan selain kapur yang lebih berpotensi menimbulkan kerusakan tidak hanya fisik tetapi berpontensi menimbulkan dampak pencemaran oleh limbah kimia yang dihasilkan. Seperti halnya hasil penelitian Soelarso dalam desertasinya yang berjudul ”Perencanaan Pembangunan Pasca Tambang untuk Menunjang Pembangunan Berkelanjutan”, yang
hanya memfokuskan pada pengelolaan lahan bekas tambang. Tujuh
skenario disusun yaitu: 1) Tidak dilakukan reinvestasi, 2) Melakukan pengembangan tanaman karet 100%, 3) Melakukan pengembangan sawit 100%, 4) Pengembangan hutan 100% dengan memperhitungkan kompensasi CDM (Clean Development Mechanism, 5) Pengembangan hutan 100% dengan memperhitungkan kompensasi CDM dan jasa lingkungan, 6) Melakukan
34
pengembangan bersama antara kelapa sawit, karet, dan hutan, 7) Memodifikasi dari pengembangan karet, sawit, dan hutan, dengan berbagai persentase dana investasi pembangunan berkelanjutan (DIPB).
Rekomendasi yang dihasilkan
adalah agar pemerintah daerah melakukan reinvestasi dari tambang pada usaha perkebunan dan perhutanan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Dibutuhkan luas lahan 160.550 hektar untuk rekomendasinya tersebut dengan model reinvestasi memanfaatkan 40% dana pendapatan daerah dari tambang sebagai DIPB. Persentase untuk menjamin pembangunan berkelanjutan adalah 40% dan sisanya, 60%, untuk biaya operasi perkebunan dan perhutanan. Kombinasi investasi yang dilakukan adalah dengan membagi model investasi yaitu penanaman karet sebesar 40%, kelapa sawit 40%, dan tanaman hutan 20% (Soelarso, 2007). Penelitian ini hanya ditujukan untuk pengelolaan lahan pasca tambang. Penelitian Nurtjahya ditujukan untuk lahan pasca tambang dan berlatar belakang pada perbaikan biofisik tanah melalui pilihan vegetasi. Dampak penambangan terhadap kondisi ekologis sumberdaya lahan sangat besar, sehingga perlu upaya perbaikan sesegera mungkin agar lahan bekas tambang dapat dimanfaatkan untuk menunjang keberlanjutan pembangunan di Indonesia. Revegetasi lahan merupakan cara perbaikan lahan yang sangat besar pengaruhnya. Memilih jenis vegetasi yang sesuai dan mudah hidup di lahan bekas tambang merupakan upaya yang harus dilakukan. Revegetasi lahan dengan empat jenis tanaman lokal sangat cepat menutup lahan bekas tambang timah. Keempat jenis pohon lokal itu adalah syzygium grande (ubak), calophyllum inophyllum (penaga atau nyamplung), ficus superba (ara atau rengkat), dan hibiscus tiliaceus (waru laut atau baru). Penelitian dilakukan dengan jarak tanam rapat 2m x 2m atau 1m x 1m, pada ukuran pot 30cm x 30cm x 30cm di media tanam tanah mineral bercampur kompos kotoran sapi serta model tanam permata atau zig- zag (Nurtjahya, 2008). Revegetasi lahan merupakan bentuk pengelolaan lahan bekas tambang yang mengutamakan aspek ekologis. Dengan perbaikan ekologi diharapkan lahan dapat segera dimanfaatkan untuk pemanfaatan lain. Demikian halnya penelitian Yusuf pada konsesi penambangan PT Aneka Tambang Tbk di Tanjung Buli yang menyusun alternatif kebijakan dalam upaya perbaikan sumberdaya lahan pasca tambang. Aktivitas penambangan berdampak langsung pada kerusakan sumberdaya alam baik bersifat sementara maupun
35
jangka panjang. Kerusakan lahan akibat penambangan adalah dampak jangka panjang yang perlu diantisipasi dengan suatu arahan bagaimana mengelola lahan kawasan tambang agar dapat meminimalisasi kerusakan dan dapat segera memulihkan kerusakan yang terjadi, sehingga sumberdaya lahan masih memiliki potensi sebagai sumberdaya ekonomi bagi keberlangsungan hidup masyarakat terutama masyarakat sekitar yang terkena dampak. Strategi kebijakan untuk memperbaiki sumberdaya lahan yang dirumuskan menghasilkan skenario kebijakan pengelolaan lahan pasca penambangan berbasis lingkungan dan berkelanjutan
dengan
aspek
ekologis
menjadi
dasar
tujuan
utama.
Mempertimbangkan potensi pertanian, perkebunan dan perikanan serta sosial masyarakat maka alternatif pengembangan yang menggabungkan aspek ekologi dan ekonomi di lokasi lahan pasca penambangan di Halmahera Timur adalah : menanam komoditas perkebunan berbasis sumberdaya lokal dan pengembangan perikanan tangkap. Untuk menunjang alternatif pengembangan tersebut, maka langkah kongkrit arahan strategi kebijakan pengelolaan reklamasi lahan pasca penambangan dalam aspek ekologi diarahkan untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam dan langkah konkrit arahan strategi kebijakan dari aspek ekonomi diarahkan untuk meningkatkan keterampilan, pengembangan usaha, dan penguatan pemberdayaan masyarakat (Yusuf, 2008).