II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Menurut Kusumastanto (2000), ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari prilaku manusia, mengalokasikan sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tak terbatas dalam jangka waktu tertentu. Dalam ekonomi, lingkungan dipandang sebagai aset gabungan yang menyediakan berbagai jasa atau fungsi, yakni mendukung kehidupan manusia dan memenuhi kebutuhan
manusia.
Lingkungan
menyediakan
bahan
baku
yang
ditransformasikan ke dalam bentuk barang dan jasa melalui proses produksi dan energi, selanjutnya menghasilkan residual yang kembali ke lingkungan. Negara-negara berkembang pada umumnya memiliki kesamaan yang khas, diantaranya adalah rendahnya tingkat produktivitas, kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi dan ketergantungan terhadap negara lain. Pembangunan dalam negara-negara berkembang tersebut ditekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Sumberdaya alam dan lingkungan memegang peranan penting bagi pembangunan ekonomi, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Sumberdaya alam, selain menyediakan barang dan jasa, juga menjadi tulang punggung (backbone) dari pertumbuhan ekonomi dan sumber penghasilan masyarakat serta sebagai aset bangsa yang penting. Oleh karena itu, ketersediaan dan kesinambungan (sustainability) dari sumberdaya alam ini menjadi sangat crucial bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan akan sangat tergantung dari pengelolaan yang baik oleh setiap stakeholder yakni masyarakat dan pemerintah (Fauzi 2004). Kerusakan lingkungan dan menurunnya kemampuan sumberdaya alam baik secara kuantitas maupun kualitas telah dialami oleh Indonesia (Fauzi 2005). Illegal logging, illegal fishing dan eksploitasi sumberdaya alam yang tidak berkelanjutan, bukan saja telah merugikan negara trilyunan rupiah, tetapi juga menyebabkan rusaknya kemampuan sumberdaya alam untuk memberikan jasajasa lingkungan. Akibatnya bukan saja erosi dan hilangnya keanekaragaman
hayati, namun juga biaya sosial dan ekonomi yang ditanggung oleh masyarakat sangat mahal. Secara garis besar, kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan dipicu oleh dua faktor. Pertama pola konsumsi (comsumption pattern) dan kedua sering disebut sebagai policy failure (kegagalan kebijakan). Pola konsumsi yang tinggi akan memicu permintaan yang tinggi terhadap sumberdaya alam, yang pada gilirannya akan menyebabkan environmental stress. Sisi lain, sebagian besar penduduk berkembang seperti Indonesia, khususnya masyarakat yang berada dekat dengan sumberdaya alam seperti di wilayah pesisir merupakan penduduk yang sering dikategorikan miskin. Kemiskinan dan ketidak pastian hidup menyebabkan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali, bahkan destruktif. Hampir 80% kondisi trumbu karang Indonesia, yang sangat bernilai tinggi, dalam kondisi mengenaskan akibat pemanfaatan yang destrukstif, sementara hampir 50% hutan mangrove juga musnah akibat konversi dan pemanfaatan yang tidak bertanggung jawab (Fauzi 2005). Menurut Barbier dan Dixon (1996), menyebutkan bahwa di beberapa negara berkembang, deplesi dan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan menjadi faktor pemicu terjadi de-stabilisasi institusi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Kelangkaan sumberdaya di negara berkembang seperti Indonesia, merupakan salah satu faktor pemicu konflik dan friksi sosial yang akan menganggu keseimbangan institusi dan kebijakan ekonomi yang dibutuhkan untuk proses pembangunan itu sendiri. 2.2. Eksternalitas Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi mikro yang membahas tentang eksternalitas, putusan optimal dapat diperoleh tanpa melibatkan pengaruh pengelolaan sumberdaya yang ada terhadap lingkungan. Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak positif terhadap lingkungan, pengelolaan sumberdaya juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai konsekuensinya, masyarakat menyadari bahwa lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang maupun dimasa yang akan datang menjadi terjamin baik. (Sudjana dan Riyanto 1999).
Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung (Fauzi 2004). Menurut Daraba (2001), dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar atau melalui suatu sistem, maka keterkaitan antar berbagai aktivitas tersebut tidak menimbulkan masalah, tetapi banyak pula keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut dengan eksternalitas. Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah ini mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh seseorang akan menimbulkan manfaat atau menghasilkan produk yang bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya juga dapat terjadi, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan. Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu proses yang menimbulkan manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut eksternalitas positif dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak memasukkan biaya eksternalitas kedalam biaya produksi (WWF 2004). Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu menganggu fungsi utilitas (kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan
terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau perusahaan lain (Mueller 1989 diacu Fauzi 2004). 2.2.1. Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas Eksternalitas timbul pada dasarnya karena aktivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsip ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidakefisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidaksempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Adapun penjelasan mengenai faktor–faktor penyebab terjadinya eksternalitas adalah sebagai berikut (Ginting 2002) : 1). Keberadaan Barang Publik Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut. Selanjutnya, barang publik sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak ekslusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai moneter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu
sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan dimanfaatkan
sehingga berlebihan
tidak dan
memiliki tidak
harga,
barang
publik
mempunyai
insentif
untuk
melestarikannya. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau rangsangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai penyediaan barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai yang lebih rendah dari yang seharusnya (undervalued). 2). Sumberdaya Bersama Keberadaan sumberdaya bersama–SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumberdaya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas. Sumber-sumberdaya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak ekskludabel. Sumber-sumberdaya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti barang publik,
sumberdaya
milik
bersama
memiliki
sifat
bersaingan.
Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumberdaya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya
yang
efisien.
Contoh
klasik
tentang
bagaimana
eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal dengan istilah Tragedi Barang Umum (the Tragedy of the Commons). 3). Ketidaksempurnaan Pasar Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar manukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempuna (Inperfect Market) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).
4). Kegagalan Pemerintah Sumber ketidakefisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerintah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melalui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya. 2.2.2. Nilai Ekonomi Eksternalitas Secara tradisional nilai terjadi didasarkan pada interaksi antara manusia sebagai subjek (penilai) dan objek (sesuatu yang dinilai) (Pearce dan Moran 1994; Turner dan Pearce 1990 diacu Jakaria 2000). Setiap individu memiliki sejumlah nilai yang dikatakan sebagai nilai penguasaan (head value) yang merupakan basis preferensi individu. Pada akhirnya nilai obyek ditentukan oleh bermacam-macam nilai yang dinyatakan oleh individu. Menurut Dixon dan Hodgson (1998), tipologi metode penilaian ini dapat di golongkan dalam tiga bagian besar, tergantung pada derajat atau kemudahan aplikasinya yaitu (1) umum diaplikasikan, (2) potensial untuk diaplikasikan, dan (3) didasarkan atas survei. Secara garis besar metode ini dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu pendekatan manfaat (benefit approach) dan pendekatan biaya (cost approach). Metode penilaian ekonomi secara umum terdiri atas 2 pendekatan, yaitu pertama pendekatan manfaat (benefit) menyangkut langsung dengan nilai pasar (market value), nilai pasar pengganti (subtitute atau surrogate) atau barang-barang komplementer (complementary goods). Contoh dari nilai pasar adalah effect on production (EOP) untuk melihat bagaimana pengaruh terhadap produksi dari sumberdaya, human capital approach (HCA) atau loss of earning approach (LEA) dengan melihat pengaruh kerusakan lingkungan terhadap nilai tenaga kerja (upah) dan opportunity cost approach (OC). Sedangkan contoh dari nilai pengganti adalah travel cost method (CVM) untuk melihat biaya yang dikeluarkan untuk mendatangi tempat rekreasi, wage differential (WD) yang menggunakan
tingkat upah sebagai tolak ukur untuk mengukur kualitas lingkungan dan property value (PV) nilai aset pribadi digunakan memperkirakan nilai lingkungan. Kedua pendekatan biaya (cost) contohnya replacement cost, shadow project, preventive expenditure dan relocation cost. Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) dengan mengeksplore preferensi dan konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (Gunawan 2004). Menurut Barton (1994) diacu Adrianto (2004), mengatakan bahwa Contingen valuation (CV) dapat digunakan untuk menghitung nilai ameniti atau estetika lingkungan dari suatu barang publik (public good). Barang publik dalam hal ini dapat didefenisikan sebagai suatu barang yang dapat dinikmati oleh satu individu tanpa mengurangi proporsi individu lain untuk menikmati barang tersebut. Oleh karena itu, keinginan untuk membayar satu individu seperti yang diperoleh dalam kuesioner survei dapat diagregasi menjadi nilai keseluruhan populasi. 2.3. Karakterisitik Ekosistem Mangrove Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. Menurut Nybakken (1982), ekosistem mangrove merupakan sebutan umum yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Berdasarkan kondisi genangan air laut, Departemen Kehutanan (1994) mendefenisikan ekosistem mangrove sabagi kawasan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim.
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun 1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi ekosistem mangrove yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun. Hal tersebut disebabkan oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dahuri 2002). Ekosistem mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun ekosistem mangrove, yaitu jenis Rhizophora spp. Ekosistem mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, ekosistem mangrove pertumbuhannya tidak optimal. Mangrove sulit tumbuh di daerah terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat, karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, subtrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Ini terbukti di daerah penyebaran mangrove di Indonesia, yang umumnya terdapat di Pantai Timur Sumatera, Kalimantan, Pantai Utara Jawa dan Irian Jaya. Penyebaran mangrove juga dibatasi oleh letak lintang, karena mangrove sangat sensitif terhadap suhu dingin (Bengen 2004). Ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis terdiri dari 35 jenis berupa pohon, dan selebihnya berupa tema (lima jenis), perdu (sembilan jenis), epifit (29 jenis) dan parasit (dua jenis) (Nontji 1987). Beberapa jenis pohon mangrove yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah bakau
(Rhizophora spp.), api-api (Avicena spp.), Pedada (Sonneratia spp.), tanjang (Bruguiera spp.), nyirih (Xylocarpus spp.), tengar (Cenops spp.) dan buta-buta (Exoecana Spp.). Selanjutnya, pada ekosistem mangrove yang berbeda di seluruh dunia tercatat sekitar 60 spesies pohon, beberapa spesies pohon berasosiasi dengan ribuan spesies mamalia, burung, ikan dan invertebrata (IUCN 1993 diacu Azis 2005). Menurut Nybakken (1988), tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup di perairan laut dangkal. Daya adaptasi tersebut meliputi: (1)
Perakaran yang pendek dan melebar luas, dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjamin kokohnya batang.
(2)
Berdaun kuat dan mengandung banyak air.
(3)
Mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa tumbuhan mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong menjaga keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam.
2.3.1. Manfaat Ekosistem Mangrove Mangrove merupakan sumberdaya alam yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flow resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Manfaat ekonomis diantaranya terdiri atas hasil berupa kayu (kayu bakar, arang, kayu konstruksi, dll.) dan hasil bukan kayu (hasil hutan ikutan dan pariwisata). Manfaat ekologis, yang terdiri atas berbagai fungsi lindungan baik bagi lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun habitat berbagai jenis fauna, diantaranya (Kusmana 2002) : 1). Sebagai proteksi dari abrasi/erosi, gelombang atau angin kencang 2). Pengendali intrusi air laut 3). Habitat berbagai jenis fauna 4). Sebagai tempat mencari makan, memijah dan berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang 5). Pembangun lahan melalui proses sedimentasi 6). Memelihara kualitas air (meredukasi polutan, pencemar air)
7). Penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi disbanding tipe hutan lain. Mangrove mempunyai nilai produksi bersih (PPB) yang cukup tinggi, yaitu: biomassa (62,9 – 398,8 ton per ha), guguran serasah (5,8 – 25,8 ton per ha per th). Besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002). 2.3.2. Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove Nilai ekonomi (economic value) merefleksikan kesediaannya untuk membayar (willingness to pay/WTP) untuk manfaat atau kesediaan untuk membayar terhadap perbaikan kualitas lingkungan. Nilai sumberdaya sering dihitung tanpa memperhitungkan keinginan dari generasi yang akan datang. Oleh karena itu dalam melakukan perhitungan nilai ekonomi, manfaat dan biaya di masa yang akan datang harus dimasukkan dalam pembuatan keputusan dengan melakukan teknik discounting. Nilai ekonomi diukur dengan melakukan penjumlahan dari beberapa individu-individu WTP terhadap sumberdaya dan lingkungan. Mengingat WTP menggambarkan preferensi individu terhadap sumberdaya dan lingkungan, maka valuasi ekonomi dalam konteks lingkungan adalah menyangkut pengukuran preferensi masyarakat untuk barang-barang lingkungan. Valuasi ekonomi pada dasarnya merupakan upaya menemukan kurva permintaan (demand curve) untuk barang-barang sumberdaya lingkungan wilayah pesisir (CSERGE 1994 diacu Gunawan 2002). Metode valuasi berdasarkan survei yang mengukur keinginan untuk membayar (willingness to pay) dan keinginan untuk menerima (willingness to accept) mengeksplore preferensi dari konsumen melalui pendekatan contingen valuation method (CVM). Dalam paradigma neoklasik, nilai ekonomi (economic values) dapat dilihat dari sisi kepuasan konsumen (preferences of consumers) dan keuntungan perusahaan (profit of firms). Dalam hal ini konsep dasar yang digunakan adalah
surplus ekonomi (economic surplus) yang diperoleh dari penjumlahan surplus oleh konsumen (consumers surplus; CS) dan surplus oleh produsen (producers surplus; PS) (Grigalunas and Conger 1995; Freeman III 2003 diacu Adrianto 2004). Menurut Adrianto (2004), surplus konsumen terjadi apabila jumlah maksimum yang mampu konsumen bayar lebih besar dari jumlah yang secara aktual harus dibayar untuk mendapatkan barang atau jasa. Selisih jumlah tersebut disebut consumers surplus (CS) dan tidak dibayarkan dalam konteks memperoleh barang yang diinginkan. Sementara itu, surplus produser (PS) terjadi ketika jumlah yang diterima oleh produsen lebih besar dari jumlah yang harus dikeluarkan untuk memproduksi sebuah barang atau jasa. Samuelson dan Nordhaus (1990) menyatakan bahwa surplus konsumen mencerminkan manfaat yang diperoleh karena dapat membeli semua unit barang pada tingkat harga rendah yang sama. Secara sederhana, surplus konsumen dapat diukur sebagai bidang yang terletak antara kurva permintaan dan garis harga. P
A = Jumlah yang dibayar oleh konsumen B = Surplus Konsumen B E
P*
Kurva Permintaan
A
0
Q*
Q
Gambar 1. Kurva Permintaan Konsumen (Fauzi 2004) Gambar 1, menggambarkan tentang kurva permintaan slope (kemiringan) yang negatif atau disebut juga dengan kurva permintaan marshall. Digunakannya kurva permintaan marshall, karena dapat diestimasi secara langsung (Johansson 1987) dan mengukur kesejahteraan melalui surplus konsumen, sedangkan kurva permintaan Hicks mengukur kesejahteraan melalui kompensasi pendapatan (Turner, Pearce dan Bateman 1994). Gambar ini memperlihatkan bahwa seluruh daerah di bawah slope kurva permintaan menunjukkan keinginan membayar
(WTP) oleh konsumen pada barang Q. Keseimbangan harga di pasar ditunjukkan oleh P*, maka konsumen akan mengkonsumsi sebesar Q*. Apabila konsumen ingin membayar lebih dari P*, namun sebenarnya harga yang dibayar hanya pada P*, maka kelebihan keinginan membayar konsumen berada pada posisi P*EP. Kelebihan ini merupakan surplus bagi konsumen atau menjadi ukuran untuk menilai tingkat kesejahteraan konsumen. Menurut Dixon (1998), nilai ekonomi total (total economic value) adalah sebuah konsep yang sederhana yang ditetapkan untuk nilai total dan beberapa sumberdaya alam, yang tersusun dari komponen-komponen yang berbeda. Beberapa dari komponen tersebut mudah untuk diidentifikasi dan dinilai, dan yang lainnya ada yang tidak diketahui atau tidak bisa diraba. Identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya alam adalah upaya penemuan nilai ekonomi total dari suatu SDA. Mengklasifikasikan fungsi dan manfaat ekosistem mangrove dalam 2 kelompok penggunaan ekosistem, yaitu use value dan non use value. Tabel 1. Manfaat dan Fungsi Ekosistem Mangrove
Sumber Bakosurtanal (2003) Menurut Barton (1994) diacu Adrianto (2005), nilai ekonomi total (total valuation value/TEV) dari suatu ekosistem/lingkungan terdiri atas nilai pakai (use value/UV) dan nilai bukan nilai pakai (non-use value/NUV). Nilai pakai adalah suatu nilai yang timbul dari pemanfaatan yang sebenarnya terhadap suatu fungsi atau sumberdaya yang terdapat dalam suatu ekosistem. Nilai pakai ini selanjutnya dibagi menjadi nilai pemanfaatan secara langsung (direct use value/DUV), nilai pemanfaatan secara tidak langsung (indirect use value/IUV), dan nilai pilihan (option value/OV).
Nilai pemanfaatan secara langsung adalah nilai dari pemanfaatan yang sebenarnya, baik itu berupa benda maupun jasa dari ekosistem mangrove. Nilai pemanfaatan secara tidak langsung adalah keuntungan-keuntungan yang berasal dari fungsi-fungsi ekosistem seperti pelindung pantai dari erosi dan ombak dan dalam menyediakan hara-hara bagi perikanan lepas pantai. Nilai pilihan dapat diinterprestasikan sebagai manfaat ekosistem mangrove dimasa datang. Nilai ini muncul karena inidividu memiliki pilihan pemanfaatan ekosistem mangrove pada suatu saat di masa depan. Nilai ini semakin penting ketika individu merasa tidak pasti tentang nilai masa depan ekosistem mangrove, tetapi diyakini sebagai sebuah nilai yang tinggi. Dalam konteks praktis, ekosistem mangrove mungkin mengalami under utilized pada saat sekarang, tetapi kemungkinan memiliki nilai tinggi untuk ilmu pengetahuan, pendidikan, komersial dan pemanfaatan ekonomi lainnya. Nilai-nilai yang bukan pakai (NUV) terdiri atas quasi option value (QOV), bequest values (BV), dan nilai keberadaan (existence value/EV). Quasi option value adalah nilai pilihan untuk menghindari kerusakan ekosistem yang tidak dapat dipulihkan kembali, bequest value yaitu nilai yang muncul dari individu tentang pentingnya konservasi mangrove bagi generasi mendatang dan nilai keberadaan (existence value) adalah nilai yang mengacu pada kesediaan masyarakat untuk membayar biaya pelestarian ekosistem mangrove bagi kepentingan masyarakat itu sendiri tanpa memperhatikan nilai pakainya (Barton 1994 diacu Adrianto 2005). 2.4. Dampak Pengembangan Tambak Terhadap Lingkungan MenurutFauzi (2004), salah satu hal penting dari aspek ekonomi sumberdaya alam adalah bagaimana ekstraksi sumberdaya alam tersebut dapat memberikan manfaat atau kesejahteraan kepada masyarakat secara keseluruhan. Bagi masyarakat, ekosistem mangrove mempunyai kedudukan yang sangat penting. apabila dikaitkan dengan hakekat dari pembangunan merupakan sumberdaya alam yang dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat pesisir. Penanggulangan kemiskinan serta ketimpangan pendapatan adalah masalah pokok dalam pembangunan.
Menurut Jakaria (2000), konversi dan pemanfaatan ekosistem mangrove dengan cara menebang hutan tersebut dan mengalihkan fungsinya ke penggunaan lain akan membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi ekologi dan lingkungan. Pengambilan hasil hutan dan konversi hutan mangrove dapat memberikan hasil terhadap pendapatan masyarakat dan kesempatan meningkatkan kerja, tetapi di pihak lain terjadi degradasi ekosistem mangrove. Ekosistem yang semula mejadi tempat pemijahan dan berkembang biaknya ikan, udang dan biota laut lainnya telah berubah fungsinya menjadi peruntukkan lain, terutama untuk kegiatan ekonomi. Konversi ekosistem mangrove menjadi lahan tambak juga berimplikasi terhadap penurunan produksi sumberdaya mangrove, abrasi dan intruisi air laut, dimana pada gilirannya dapat mengganggu ekosistem perairan kawasan sekitarnya yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat sekitarnya. Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak berkelanjutan serta pengalihan peruntukan. Hal ini juga terjadi di Indonesia. Dari perhitungan diketahui luas mangrove yang tersisa dari 5 – 9 tahun yang lalu hanya sekitar 4,49 juta ha (60%) (Kusmana 1995). Pengendalian pengaruh kegiatan tambak terhadap lingkungan perlu dilaksanakan melalui pengelolaan tambak yang tepat dan baik. Kegiatan tambak seperti aplikasi pupuk dan obat pembrantasan hama dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan perairan pesisir sekitarnya. Aplikasi bahan tersebut yang tidak tepat baik dosis maupun sifat persistensinya serta rembesan-rembesan (leaching) dapat mencemari lingkungan perairan sekitarnya. Hal tersebut senada dengan Bann (2000) bahwa dampak budidaya tambak terhadap ekologi adalah sebagai berikut : 1). Kerusakan ekosistem mangrove yang makin luas untuk dikonversi menjadi tambak, berakibat pada hilangnya biodiversity dan sumberdaya-sumberdaya lainnya serta fungsi ekologi dari ekosistem. 2). Penipisan air tanah akibat pemompaan air tanah yang berlebihan. Kekosongan ini menyebabkan intruisi air laut.
3). Perubahan komposisi tanah pada tambak dan daerah sekitarnya yang tidak dapat kembali seperti keadaan semula. 4). Eutrofikasi akibat penggunaan zat kimia. 5). Polusi pada perairan pesisir dan komunitas sekitarnya akibat zat berbahaya dari tambak seperti pestisida, sisa bahan organik, zat-zat kimia dan mikroorganisme penyakit. Konversi
ekosistem
mangrove
untuk
berbagai
pemanfaatan
perlu
memperhitungkan manfaat dan kerugiannya dalam jangka panjang. Konversi ekosistem mangrove yang terus menerus secara besar-besaran untuk peruntukan lain akan menyebabkan resiko ekonomi lingkungan yang boleh jadi akan menihilkan atau menurunkan nilai pertumbuhan yang telah dicapai. 2.5. Analisis Manfaat Biaya Analisis biaya-manfaat (CBA) adalah metode yang paling umum digunakan untuk membantu dalam mengevaluasi sebuah proyek atau kegiatan dan membantu dalam pengambilan keputusan dalam perencanan dan pengelolaan ekosistem mangrove. CBA digunakan untuk mengukur semua keuntungan atau dampak positif (benefit) dan biaya (cost) sebuah pengelolaan dari awal sampai akhir dalam bentuk nilai uang dan memberikan ukuran efesiensi ekonomi (Kusumastanto 2000). Menurut Adrianto (2004), dalam analisis ini proses pengambilan keputusan didasarkan pada analisis terhadap besaran (magnitude) dari ”kerugian” proyek yang ditransfer kedalam komponen biaya
(costs) dan ”keuntungan”
proyek yang direpresentasikan ke dalam komponen manfaat (net benefit) adalah positif atau dengan kata lain : Ba – Ca > 0 Dimana : Ba = manfaat dari proyek (termasuk manfaat lingkungan) Ca = biaya proyek (termasuk biaya lingkungan) Secara teoritis, sumberdaya yang akan menjadi input bgi sebuah proyek bukanlah sumberdaya bebas (free resource), artinya ada kemungkinan pemanfaatan lain dari sumberdaya tersebut selain digunakan untuk kepentingan proyek yang akan dinilai. Konsep ini dikenal dengan istilah forgone benefits atau
dalam terninologi standart economics disebut sebagai opportunity costs (Abelso 1979 diacu Adrianto 2004). Dalam konteks ini, pengembilan keputusan dapat dilakukan dengan membandingkan net benefits dari proyek A (NBa) dengan net benefits dari alternatif proyek yang menggunakan sumberdaya yang sama (NBb). Apabila pengambilan keputusan cenderung untuk memiliki alternatif A, maka NBa harus lebih besar dari NBb. Sebuah proyek alternatif pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan dalam waktu tertentu. Dalam analisis CBA, unsur waktu menjadi penting karena arus manfaat dan biaya dipengaruhi oleh unsur waktu. Arus manfaat dan biaya harus didiskon agar manfaat dan biaya dapat dibandingkan dalam satu dasar waktu yang disebut dengan nilai sekarang (present value). Penilaian ekonomi terhadap alternatif pengelolaan ekosistem mangrove secara komprehensif akan memberikan informasi yang penting bagi proses pengambilan keputusan (Adrianto 2004). Menurut Sanim (1997), nilai ekonomi dari aset lingkungan hidup dapat dipecah-pecah kedalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi dalam konteks penentuan alternatif penggunaan lahan mengrove. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat (benefit-cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem mangrove dapat dibenarkan apabila manfaat bersih dari pengembangan hutan tersebut lebih besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan nilai ekonomi total dari ekosistem mangrove tersebut yang juga dapat diinterpretasikan sebagai perubahan kualitas lingkungan.