72
TINJAUAN PUSTAKA
Valuasi Ekonomi Penggunaan Sumberdaya Alam Terpulihkan Salah satu tema sentral dalam ekonomi lingkungan adalah valuasi sumberdaya hutan. Sumberdaya tersebut diantaranya adalah udara, air permukaan dan air tanah, lahan, pemandangan yang alami dan lain sebagainya. Sumberdaya tersebut menghasilkan tiga fungsi : 1) menghasilkan pendukung sistem ekologi (ecological system support), 2) menghasilkan input negatif dalam proses produksi (misalnya air tanah terkontaminasi oleh limbah industi), 3) kenyamanan yang di konsumsi secara langsung dalam bentuk udara bersih, air untuk keperluan rumah tangga serta jasa rekreasi pada kawasan alamiah (Folmer & Gabel 2001). Menurut Vercueil (2000) beberapa alasan mengapa valuasi nilai ekonomi penting bagi pemegang kebijakan adalah : 1) Untuk menjastifikasi dan memutuskan bagaimana mengalokasikan belanja publik dalam kaitannya dengan pembangunan infrastruktur dan pelayanan sosial, konservasi serta restorasi yang berkaitan dengan kenyamanan publik 2) Mempertimbangkan nilai lingkungan milik publik dan mendorong partisipasi dan dukungan publik terhadap inisiatif perbaikan lingkungan 3) Untuk membandingkan manfaat dari beberapa proyek atau program yang berbeda 4) Untuk memprioritaskan program restorasi dan konservasi dan 5) Untuk memaksimalkan maanfaat ekonomi dari per unit uang yang dibayarkan. Dalam membuat keputusan, pemegang kebijakan akan mempertimbangkan banyak hal, termasuk kualitas lingkungan dan pengaruhnya terhadap kualitas hidup manusia. Untuk membandingkan biaya dan manfaat ekonomi dari keputusan tersebut mereka akan membutuhkan perhitungan manfaat ekonomi dari investasi yang telah dilakukan dalam bentuk terminologi moneter. Untuk beberapa keputusan seperti untuk menjaga kenyamanan alam pedesaan atau kesehatan dan keamanan publik, pertimbangan ekonomi tidak akan diutamakan. Oleh karena itu, dalam situasi tersebut, pemegang kebijakan akan membutuhkan analisis ekonomi sebagai landasan untuk membuat kebijakan tersebut. Menurut Laarman dan Sedjo (1992), jasa yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya hutan diantaranya adalah :
73
Jasa Perlindungan 1.
Pengaturan Iklim
2.
Pengaturan komposisi atmosfir
3.
Stabilisasi lereng, streambanks, tangkapan air, dan sebagainya
4.
Shelterbelts, penahan kelembaban tanah
5.
Pengaturan aliran air, dan reduksi banjir
6.
Reklamasi lahan
7.
Penyangga terhadap penyebaran hama dan penyakit
8.
Simpanan, distribusi, dan siklus hara
9.
Habitat hidupan liar
10. Konservasi keanekaragaman hayati Jasa Pendidikan dan Kegiatan Ilmiah 1.
Penelitian ekosistem dan organisme
2.
Zona untuk memonitor perubahan ekologis
3.
Spesimen untuk museum, kebun binatang, dan kebun raya
4.
Stok untuk makanan, bahan kimia, dan agen pengendali biologis
5.
Pendidikan Lingkungan
Pengaruh Psikofisiologis 1.
Rekreasi, wisata, dan olahraga
2.
Menumbuhkan perasaaan kedamaian, harmonis dengan alam
3.
Inspirasi untuk seni, sastra, musik, myth, agama, dan filsafat
4.
Situs dan nilai sejarah
Konsumsi Tumbuhan, Hewan, dan Turunannya 1.
Kayu : kayu log, bahan pulp dan tiang
2.
Kayu bakar
3.
Makanan : ikan, buah, jamur, madu, sayuran, dan sebagainya
4.
Herba, bunga, tumbuhan obat dan bahan farmasi
5.
Getah, resin, laks, minyak, tannin dan waxes
6.
Pakan ternak (rumput, daun)
7.
Ulat sutera
8.
Bahan stuktural non-kayu : bambu, rotan
74
9.
Kulit, bulu, gigi, dan bagian fauna lainnya
10. Habitat flora dan fauna berpotensi ekonomi Sumber lahan dan ruang kehidupan 1.
Cadangan lahan untuk kegiatan pertanian dan pembangunan lainnya
2.
Tempat hidup bagi indegenous people Menurut Hufschmidt et al (1992) diacu dalam Djijono (2002), secara garis
besar metode penilaian manfaat ekonomi (biaya lingkungan) suatu sumberdaya alam dan lingkungan pada dasarnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu berdasarkan pendekatan yang berorientasi pasar dan pendekatan yang berorientasi survei atau penilaian hipotesis yang disajikan berikut ini : 1.
Pendekatan Orientasi Pasar a. Penilaian manfaat menggunakan harga pasar aktual barang dan jasa (actual based market methods) : i.
Perubahan dalam nilai hasil produksi (change in productivity)
ii.
Metode kehilangan penghasilan (loss of earning methods)
b. Penilaian biaya dengan menggunakan harga pasar aktual terhadap masukan berupa perlindungan lingkungan : i.
Pengeluaran pencegahan (averted defensif expenditure methods)
ii.
Biaya penggantian (replacement cost methods)
iii.
Proyek bayangan (shadow project methods)
iv.
Analisis keefektifan biaya
c. Penggunaan metode pasar pengganti (surrogate market based methods)
2.
i.
Barang yang dapat dipasarkan sebagai pengganti lingkungan
ii.
Pendekatan nilai kepemilikan
iii.
Pendekatan lain terhadap nilai tanah
iv.
Biaya perjalanan (travel cost)
v.
Pendekatan perbedaan upah (wage differential methods)
vi.
Penerimaan kompensasi/pampasan
Pendekatan Orientasi Survei a. Pertanyaan langsung terhadap kemauan membayar (willingness to pay) b. Pertanyaan langsung terhadap kemauan dibayar (willingness to accept)
75
Willingness To Pay Untuk menilai manfaat intangible secara kuantitatif, para ahli ekonomi telah berusaha mengembangkan suatu pendekatan yakni pendekatan kemauan membayar (willingness to pay) dari para konsumen yang bersangkutan. Menurut Hutchinson dan Chilton (1999) diacu dalam Syakya (2005), willingness to pay (WTP) adalah keinginan individu membayar sejumlah uang untuk peningkatan kualitas lingkungan atau terhindar dari penurunan kualitas lingkungan. Pada prinsipnya WTP sama dengan pendugaan kurva permintaan yang merupakan tempat kedudukan besarnya kemauan membayar dari sekelompok konsumen pada berbagai tingkat konsumsinya (Darusman 2002). Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kemauan konsumen membayar perbaikan atau kemauan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar (Hufschmidt et al 1987 diacu dalam Fauzi 2004). Kemauan membayar atau kemauan menerima merefleksikan preferensi individu, yang merupakan ‘bahan mentah’ dalam penilaian ekonomi. Pearce dan Moran (1994) diacu dalam Djiono (2002) menyatakan kemauan membayar dari rumah tangga ke - i untuk perubahan dari kondisi lingkungan awal (Q0) menjadi kondisi lingkungan yang lebih baik (Q1) dapat disajikan dalam bentuk fungsi, yaitu : WTPi = f(Q1 – Qo, Powni, Psubi, Si Keterangan : WTPi : Kesediaan membayar dari rumah tangga ke i Powni : Harga dari penggunaan sumberdaya lingkungan Psubi : Harga subtitusi untuk penggunan sumberdaya lingkungan. Si
: Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga ke i Kemauan membayar berada di area di bawah kurva permintaan. Kurva
permintaan mengukur jumlah yang akan dibayar oleh konsumen untuk tiap unit yang dikonsumsi. Kurva permintaan merupakan jadwal kemauan konsumen untuk membayar jumlah sumberdaya yang dikonsumsi. Untuk lebih jelasnya, akan disajikan pada Gambar 3 di bawah ini.
76
R P = Price Q = Quantity E
N
O
M
Q
Gambar 3. Surplus Konsumen
Total bidang di bawah kurva permintaan (OREM) menunjukan total utilitas yang diperoleh atas konsumsi suatu barang atau merupakan ukuran kemauan membayar total, karena jumlah tersebut adalah hasil penjumlahan nilai-nilai marginal Q dari O sampai M. Dengan mengurangkan biaya suatu barang bagi konsumen (ONEM), nilai surplus konsumen ditunjukan sebagai bidang segitiga NRE dan merupakan ukuran kemauan membayar di atas pengeluaran kas untuk konsumsi. Surplus konsumen merupakan perbedaan antara jumlah yang dibayarkan oleh pembeli untuk suatu produk dan kemauan untuk membayar. Surplus konsumen timbul karena konsumen menerima lebih dari yang dibayarkan dan bonus ini berakar pada hukum utilitas marginal yang semakin menurun. Sebab timbulnya surplus konsumen adalah karena konsumen membayar untuk tiap unit berdasarkan nilai unit terakhir (Sukirno 2002). Teknik Penilaian Non-Pasar Sumberdaya Alam dan Lingkungan Menurut Fauzi (2004), secara umum teknik valuasi ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah teknik valuasi yang mengandalkan harga implisit dimana willingness to pay (WTP) terungkap melalui model yang dikembangkan. Teknik ini sering disebut teknik yang mengandalkan revealed WTP (kemauan membayar yang terungkap). Beberapa teknik yang termasuk ke
77
dalam kelompok pertama ini diantaranya adalah : travel cost, hedonic pricing, dan teknik baru yang disebut random utility model. Kelompok kedua adalah teknik valuasi yang didasarkan pada survei dimana kemauan membayar atau WTP diperoleh langsung dari responden, yang langsung diungkapkan secara lisan maupun tertulis. Salah satu teknik yang popular dalam kelompok ini adalah yang disebut Contingent Valuation Method (CVM), dan Discrete Choice Method. Secara skematis, teknik valuasi non-market tersebut dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini. Valuasi Non Market
Tidak Langsung (Revealed WTP) • • •
Hedonic Pricing Travel Cost Random Utility Model
Langsung (Survei) (Expressed WTP) • Contingent Valuation • Discrete Choice
Gambar 4. Klasifikasi Valuasi Non-market Teknik Pengukuran Tidak Langsung Travel Cost Method Menurut Fauzi (2004), Travel Cost Method (TCM) dapat dikatakan sebagai metode yang tertua untuk pengukuran nilai ekonomi tidak langsung. Metode ini diturunkan dari pemikiran yang dikembangkan oleh Hotelling pada tahun 1931, yang kemudian secara formal diperkenalkan oleh Wood dan Trice (1985) serta Clawson dan Knetsch (1966). Metode ini kebanyakan digunakan untuk menganalisa permintaan terhadap rekreasi alam terbuka (outdoor recreation), seperti memancing, berburu, hiking, dan sebagainya. Metode travel cost ini dapat digunakan untuk mengukur manfaat dan biaya akibat: 1.
Perubahan biaya akses (tiket masuk) bagi suatu tempat rekreasi
2.
Penambahan tempat rekreasi baru
3.
Perubahan kualitas lingkungan tempat rekreasi
78
4.
Penutupan tempat rekreasi yang ada Secara umum ada dua teknik sederhana yang digunakan untuk menentukan
nilai ekonomi berdasarkan TCM ini. Teknik tersebut adalah : 1.
Pendekatan sederhana menurut zonasi
2.
Pendekatan individual TCM dengan menggunakan data sebagian besar dari survei Pendekatan TCM melalui zonasi adalah pendekatan yang relatif sederhana
dan murah karena data yang diperlukan relatif banyak mengandalkan data sekunder dan beberapa data sederhana dari responden pada saat survei. Dalam teknik ini, tempat rekreasi dibagi ke dalam beberapa zona kunjungan dan diperlukan data jumlah pengunjung per tahun. Dari sini kemudian diperoleh data jumlah kunjungan per 1.000 penduduk. Dengan memperoleh data ini dan data jarak, waktu perjalanan, serta biaya setiap perjalanan per satuan jarak (per km), akan diperoleh biaya perjalanan secara keseluruhan (travel cost) dan kurva permintaan untuk kunjungan ke tempat wisata. Metodologi pendekatan individual TCM secara prinsip sama dengan sistem zonasi, namun pada pendekatan ini analisis lebih didasarkan pada data primer yang diperoleh melalui survei dan teknik statistika yang relatif lebih kompleks. Kelebihan dari metode kedua ini adalah hasil yang relatif akurat daripada metode zonasi. Karena metode TCM tidak digunakan dalam penelitian ini, karena lokasi yang akan diukur nilai ekonominya bukan merupakan tempat wisata Hedonic Pricing (HP) Menurut Fauzi (2004), teknik Hedonic Pricing dikembangkan dari teori atribut (atau karakteristrik) yang dikemukakan oleh Lancaster (1966). Teknik ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Griliches (1971) dan Rosen (1974). Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implisit karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Misalnya, permintaan rumah yang dibangun di tepi danau akan banyak ditentukan oleh karakteristik yang dihasilkan dari danau itu (keindahan, kebersihan dan sebagainya). Di sisi lain, nilai properti (perumahan) juga banyak ditentukan oleh
79
kualitas lingkungan dan diasumsikan bahwa semakin buruk kualitas lingkungan,
Nilai Properti
semakin menurun nilai properti tersebut (Gambar 5).
Kualitas lingkungan Pencemaran
Kualitas lingkungan membaik
Gambar 5. Hubungan antara nilai properti dan kualitas lingkungan Analisa HP terdiri dari dua tahap. Pertama adalah penentuan variabel kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan pengkajiannya memerlukan ketersediaan data spasial dan data harga suatu objek yang akan dinilai. Metode HP kurang relevan digunakan dalam penelitian ini, karena jasa lingkungan yang akan diukur tidak berhubungan secara langsung dengan harga suatu objek, misalnya harga rumah, harga tiket masuk, atau harga sewa hotel. Teknik Pengukuran Langsung Berbeda dengan pendekatan tidak langsung, pada pendekatan pengukuran secara langsung, nilai ekonomi sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai kesediaan mereka membayar (willingness to pay) barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Contingent Valuation Method (CVM)
80
Menurut Fauzi (2004), pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis (1963) dalam penelitian mengenai perilaku perburuan (hunter) di Miami. Pendekatan ini baru populer sekitar pertengahan 1970-an ketika pemerintah Amerika Serikat mengadopsi pendekatan ini untuk studi-studi sumberdaya alam. Pendekatan ini disebut contingent (tergantung) karena pada praktiknya informasi yang diperoleh sangat tergantung pada hipotesis yang dibangun. Misalnya berapa biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dan sebagainya. Metode ini digunakan dalam penelitian ini, karena dalam prakteknya, penelitian ini akan mengukur nilai ekonomi jasa lingkungan dengan cara mengukur kesediaan membayar masyarakat terhadap perbaikan lingkungan yang akan dilaksanakan. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan teknik eksperimental melalui simulasi dan permainan. Kedua, dengan teknik survei. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan melalui simulasi komputer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai nonmanfaat) sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan. CVM pada hakikatnya bertujuan untuk mengetahui : pertama, kemauan membayar (willingness to pay atau WTP) dari masyarakat, misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan (air dan udara) dan kedua, kemauan menerima (willingness to accept atau WTA) dari masyarakat atas kerusakan suatu lingkungan. Karena teknik CVM didasarkan pada asumsi berdasarkan kepemilikan (Garrod & Willis 1999, diacu dalam Fauzi 2004), jika individu yang ditanya tidak
81
memiliki hak atas barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam, pengukuran yang relevan adalah kemauan membayar yang maksimum (maximum willingness to pay) untuk memperoleh barang dan jasa tersebut. Sebaliknya, jika individu yang ditanya memiliki hak atas sumberdaya, pengukuran yang relevan adalah kemauan untuk menerima (willingness to accept) kompensasi yang paling minimum atas hilangnya atau rusaknya sumberdaya alam yang dimilikinya. Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM terdapat lima tahap kegiatan atau proses. Tahapan tersebut dapat dikatagorikan sebagai berikut : Tahap Satu : Membuat Hipotesis Pasar Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti harus terlebih dahulu membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi. Misalnya, pemerintah ingin memperbaiki lingkungan pantai yang sudah tercemar. Dalam hal ini kita dapat membuat kuisoner yang berisi informasi lengkap mengenai bagaimana kondisi lingkungan pantai yang bagus (misalnya dengan menunjukkan gambar pantai yang tercemar dan tidak tercemar), bagaimana pemerintah akan memperoleh dana (apakah dengan pajak, pembayaran langsung, dan sebagainya). Kuisioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi atas proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan. Tahap Kedua : Mendapatkan Nilai Lelang (Bids) Tahap berikutnya dalam melakukan CVM adalah memperoleh nilai lelang. Hal ini dilakukan dengan melakukan survei, baik melalui survei langsung dengan kuisioner, wawancara melalui telepon, maupun lewat surat. Dari ketiga cara
82
tersebut survei langsung akan memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari survei ini adalah untuk memperoleh nilai maksimum kemauan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik : 1.
Permainan lelang (bidding game). Responden diberi pertanyaan secara berulang-ulang tentang apakah mereka bersedia membayar sejumlah tertentu. Nilai ini kemudian bisa dinaikkan atau diturunkan tergantung respon atas pertanyaan sebelumnya. Pertanyaan dihentikan sampai nilai yang tetap diperoleh
2.
Pertanyaan terbuka. Responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang bersedia dibayarkan) untuk suatu proyek perbaikan lingkungan
3.
Payment Card. Nilai lelang dengan teknik ini diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya. Nilai ini ditunjukan kepada responden melalui kartu
4.
Model referendum atau discrete choice (dichotomous choice). Responden diberi suatu nilai rupiah, kemudian diberi pertanyaan setuju atau tidak
Tahap Ketiga : Menghitung Rataan WTP dan WTA Setelah survei dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan WTP setiap individu. Nilai ini dihitung berdasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap kedua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai mean (rataan) dan nilai median (tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan timbulnya outliner (nilai yang sangat jauh menyimpang dari ratarata). Tahap Keempat : Memperkirakan Kurva Lelang (Bid Kurve)
83
Kurva lelang atau bid curve diperoleh misalnya dengan cara meregresikan WTP/WTA sebagai variabel tidak bebas (dependent variabel) dengan beberapa variabel bebas. Tahap Kelima : Mengagregatkan Data Tahap terakhir dari CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ketiga. Proses ini melibatkan konversi data rataan sampel ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (N). Model Parametrik CVM Salah satu model CVM yang paling umum digunakan adalah model Dikotomous. Garod dan Willis (1999) diacu dalam Fauzi (2004) menyatakan bahwa pendekatan ini merupakan alternatif terbaik untuk menjawab defisiensi pendekatan Contingent Valuation yang didasarkan pada pertanyaan terbuka maupun bidding games. Pendekatan ini dianggap lebih mendekati teori dibandingkan model-model lain seperti open ended CVM atau bidding game CVM. Pada tahun 1980-an mulai disadari adanya kelemahan pada model open ended CVM atau bidding game CVM ini dalam hal memperkirakan nilai WTP yang tepat karena metode tersebut mengharuskan responden untuk mengkontruksi nilai maksimum WTP mereka yang sering pada akhirnya menimbulkan bias. Untuk mengembangkan model parametrik dikotomus CVM, digunakan model dasar yang disebut Random Utility Model (RUM) yang telah dikembangkan oleh McFadden (1974).
84
Model RUM dimulai dengan membangun hipotesis bahwa ada dua kondisi alternatif sumberdaya alam, yaitu kondisi i=0 yang menggambarkan kondisi status quo dan i=1, yang menggambarkan kondisi perubahan sumberdaya seperti yang ditawarkan dalam survei CVM. Misalnya Mj menggambarkan pendapatan responden j pada kondisi i, kemudian zj menggambarkan karakteristik sosial responden ke j, termasuk variasi yang terjadi pada kuisioner, dan menggambarkan preferensi yang bersifat random yang hanya diketahui oleh responden, tetapi tidak oleh peneliti. Dengan demikian fungsi-fungsi utilitas responden terhadap kondisi sumberdaya alam ditulis sebagai berikut : uij = u (Mj,zj, εij) Jika responden kemudian diminta untuk membayar sebesar p, utilitas yang diperoleh pada kondisi lingkungan yang baik setelah adanya kemauan membayar dari responden dibandingkan status quo dapat digambarkan pada persamaan berikut : u1(Mj-pj,zj, ε1j) > u0(Mj,zj, ε0j)
Namun demikian, karena peneliti tidak mengetahui preferensi responden yang bersifat acak, peneliti hanya mengetahui kemungkinan (probabilitas) menjawab “ya” atau “tidak”. Jadi jika u1>u0, kemungkinan responden menjawab adalah “ya” adalah : Pr (“ya”) = Pr {u1(Mj-pj,zj,ε1j)>u0(Mj,zj, ε0j)
85
Tahap berikutnya dalam pemodelan RUM ini adalah membuat spesifikasi fungsi utilitas yang biasanya dibuat dalam bentuk linear dan aditif berikut ini : ui(Mj-pj,zj,εij) = vi (Mj,zj)+ εij
dimana ui adalah fungsi utilitas yang tidak teramati (unobservable), sementara vi adalah fungsi utilitas yang teramati, atau sering dikenal dengan inderect utility function. Salah satu bentuk fungsi ini dapat ditulis dalam bentuk : vi = α0 +α1Zi1+α2Zi2+αmZim
dimana Zi adalah variabel sosial ekonomi. Penduga willingness to pay dalam persamaan di atas dapat ditulis dalam persamaan berikut ini : α1zj + β(Mj-WTPj)+ εij = α0zj+ βMj+ εoj
dimana α dan β adalah koefisien atau parameter yang diperoleh melalui pendugaan dengan teknik regresi atau ekonometrik. Untuk memperoleh nilai WTP yang diinginkan, persamaan di atas bisa dipecahkan menjadi persamaan di bawah ini :
WTPj =
αz j + ∈ j β
Model di atas dibangun dengan asumsi bahwa utilitas bersifat linear terhadap pendapatan. Variasi lain dari model ini adalah dengan menggunakan model ulititas yang bersifat logaritmik terhadap pendapatan. Asumsi logaritmik ini lebih realistis karena adanya sifat diminishing return pendapatan. Fungsi
86
utilitas yang menggambarkan fungsi non-linear tersebut dapat ditulis dengan persamaan berikut : vi (Mj,zj)+ εij = β ln (Mj)+ αizj+ εij Jadi apabila variabel acak (ε) diasumsikan terdistribusi secara logaritmik, peluang bagi responden untuk menjawab “ya” dapat ditulis melalui persamaan berikut :
Pr(" ya j " ) =
1 1+ e
−x jβ
Model di atas merupakan model logit dimana parameter β dapat diduga melalui regresi model logit dengan Xj = sebagai variabel independen. Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias. Bias ini terjadi jika timbul nilai yang overstate secara sistematis dari nilai sebenarnya. Sumbersumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal yang utama : 1.
Bias yang ditimbulkan dari strategi yang keliru. Ini terjadi misalnya jika dalam melakukan wawancara atau kuisioner dinyatakan bahwa responden akan dipungut fee untuk perbaikan lingkungan sehingga akan timbul kecenderungan pada responden untuk memberi nilai understate dari nilai fee tersebut. Sebaliknya, jika dalam wawancara semata-mata hanya dinyatakan hipotesis saja, maka akan timbul kecenderungan responden untuk memberikan nilai overstate dari nilai yang sebenarnya. Penjelasan untuk perbedaan nilai antara WTP dan WTA pada suatu objek yang sama adalah :1) sangat tergantung pada elastisitas objek yang ditawarkan untuk mengganti komoditas/sumberdaya yang akan dinilai (barang pubik) dan (barang pribadi)
87
(Hanemann, 1991). Penjelasan lain untuk hal di atas berdasarkan pada teori prospek yang menyatakan bahwa
nilai kehilangan individu lebih berat
dibandingkan dengan nilai mendapatkan. Hal tersebut juga dimungkinkan individu akan terpengaruh oleh siapa yang memiliki objek yang ditanyakan (Carson, 1991) 2.
Bias yang ditimbulkan oleh rancangan penelitian (design bias). Bias ini bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya, responden ditawari bahwa untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, tarif karcis harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah dari pada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain, misalnya (melalui yayasan, trust fund, atau pemerintah) Selain beberapa kelemahan di atas, Carson et al (2001) diacu dalam Fauzi
(2004) menyatakan bahwa realibilitas pengukuran CVM sampai saat ini masih menjadi perdebatan, sehingga memerlukan desain yang sangat cermat. Salah satu masalah yang timbul adalah terjadinya fenomena warm glow (Becker, 1974 diacu dalam Fauzi 2004), yang sebetulnya terkait dengan altruisme. Dalam kontek CVM, warm glow bisa terjadi karena responden berusaha menyenangkan pewawancara dengan cara memberikan jawaban setuju untuk pembayaran sesuatu, meskipun pada dasarnya dia tidak setuju. Meskipun dampak ini bisa dihindarkan dengan menyediakan pewawancara yang terlatih, namun kecenderungan terjadi warm glow untuk responden di daerah pedesaan sangat mungkin terjadi. Secara sosiologis mereka ini sering menimbulkan centering bias untuk menyetujui apa yang ditanyakan pewawancara. Meskipun demikian, menurut Richard et al (2001), walaupun metode CVM memiliki beberapa kelemahan, hal tersebut bisa diatasi dengan desain dan implementasi studi yang hati-hati. Klaim bahwa CVM secara teori tidak konsisten
88
tidak sepenuhnya benar. Beberapa literatur menunjukan bahwa CVM bisa dijadikan pedoman bagi praktisi yang menggunakan pengukuran dengan CVM untuk mengukur nilai ekonomi non pasar serta user yang menggunakan hasil pengukuran tersebut. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Alam Milik Bersama Sumberdaya alam milik bersama (common pools resources) sering diartikan secara beragam. Arnold (1998) mendefinisikan common
pools
resources (CPR) “...used to refer both to land or resources available to all and consequently not owned or managed by anyone, and also to situations where access is limited to a specific groups that holds rights in common”. Dalam penerapannya, istilah CPR sering digunakan secara bergantian untuk menjelaskan sifat sumberdaya alamnya, dan terkadang pula digunakan untuk menjelaskan sistem kolektif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan. McKean et al (1995) mendefinisikan common property resources lebih kepada situasi dimana sumberdaya alam tersebut dikelola sebagai sumberdaya milik bersama. Terdapat dua wacana penting yang saling bertentangan terkait pengelolaan common property resources. Wacana pertama berpendapat bahwa pemanfaatan sumberdaya alam secara kolektif tidak akan mampu memberikan insentif terhadap pengelolaan sumberdaya yang lestari. Pandangan yang mendasari wacana tersebut adalah munculnya anggapan bahwa peluang akses dan penguasaan sumberdaya alam secara kolektif, dengan pola pengelolaan yang terbuka, menyebabkan minimnya insentif masyarakat terhadap kelestarian lingkungan (Nemarundwe 2001). Pandangan ini mendukung teori Hardin (1968) tentang “Tragedy of the Commons”. Teori ini menegaskan bahwa jika banyak individu memanfaatkan sumberdaya terbatas secara bersama-sama, maka dapat dipastikan akan berakhir dengan kerusakan lingkungan. Dalam kondisi ini tidak ada satupun yang bertanggungjawab
atas
pengelolaan
sumberdaya
alam,
sehingga
laju
kerusakannya berlangsung cepat (Rasmussen 1995). Wacana kedua didasari oleh pandangan bahwa kegagalan untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan tidak disebabkan oleh sifat sumberdaya alamnya, namun lebih pada fokus pengelolaan yang bersifat neglectif
89
terhadap kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan. Hal ini lebih disebabkan oleh tidak jelasnya property right, sehingga penggunaan sumberdaya menjadi bersifat open access (Bromley 1992, diacu dalam Golar 2007). Sejalan dengan wacana pertama, kajian yang dilakukan Sitorus (2002) memberikan gambaran tentang perubahan cepat yang mendasar pada ekologi pedesaan.
Hal ini mengindikasikan telah terjadi perubahan radikal bentukan
sosial setempat, yang telah memudahkan peralihan sistem kepemilikan tanah dari jenis kolektif (common resources) menjadi jenis kepemilikan pribadi, dimana distribusi lahan tunduk pada kekuatan pasar (pasaran tanah). Situasi ini memungkinkan penduduk asli secara khusus memperoleh sumberdaya tanah dan menjualnya pada pendatang, sehingga menyebabkan perubahan mendasar pada struktur agraria lokal, dimana penduduk asli telah diturunkan tingkatannya dari “bertanah” menjadi “tak bertanah”, sementara pendatang diangkat tingkatnya dari “tak bertanah” menjadi “bertanah”. Perubahan dalam struktur agraria tersebut menandakan penurunan keterjaminan sosial ekonomi penduduk asli dan sebaliknya peningkatan keterjaminan bagi pendatang. Kondisi ini menyebabkan penduduk asli mencoba memecahkan masalah ketidakterjaminan sosial ekonomi dengan cara merambah kawasan hutan. Sementara itu, pendapat lain yang mendukung wacana kedua dikemukakan oleh Ostrom (1990); Parlee et al (2006); Murray et al (2006), menyatakan bahwa keberhasilan pengelolaan sumberdaya alam milik bersama sangat ditentukan oleh keeratan hubungan antara masyarakat dan sumberdaya alamnya. Hal ini dapat terwujud bilamana kelembagaan lokal berjalan dengan baik, sehingga mampu membentuk perilaku arif manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Aturan main dan peraturan yang digunakan oleh masyarakat dapat menentukan siapa yang memiliki akses pada sumberdaya bersama, berapa ukuran penggunaan yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat yang berhak, kapan dan siapa yang akan memonitor dan menegakkan aturan ini. Dengan demikian, tindakan-tindakan oportunistik dapat diredam melalui penataan kelembagaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Berfungsinya kelembagaan lokal diharapkan mampu meredam tekanan faktor internal maupun eksternal seperti: pertambahan jumlah penduduk (Wade
90
1988), heterogenitas sosial dan ekonomi (Baland & Platteu 1996), struktur penguasaan lahan (Hanna et al 1995; Ostrom 1999; Smith et al 2000), dan faktor eksternal seperti: interpensi kebijakan nasional (Wade 1988; Ostrom 1999), dan tekanan pasar dan teknologi (Wade 1988). Teori Adaptasi Bennett (1976) memandang adaptasi sebagai perilaku adaptif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungannya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku adaptif dapat dilihat sebagai inovatif, mencari perubahan, atau sebaliknya konservatif. Secara operasional, Turnbull (1992) menjelaskan bahwa faktor-faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan antara lain: intervensi ekonomi pasar, tekanan penduduk, dan politik. Perubahan-perubahan tersebut direspon dalam bentuk yang beragam. Lebih jauh dijelaskan bahwa di dalam peradaban tradisional, pemenuhan kebutuhan merupakan urusan unit-unit kekerabatan (production is located in kindship units), dimana peradaban-peradaban tersebut pada umumnya tidak memerlukan sistem pasar dan penggunaan uang dalam mendorong produksi barang dan jasa. Menjaga suplai makanan, melestarikan keturunan, menyebarkan ilmu, hiburan dan sebagainya, merupakan bagian kegiatan kekerabatan tradisional. Namun demikian, pengaruh faktor eksternal seperti “intervensi pasar”, menyebabkan terjadinya perubahan sosial. Perubahan tersebut mendorong respon masyarakat untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian (adaptasi) terhadap polapola interaksi dalam sistem sosial. Perilaku tersebut menurut Bennett terkait erat dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melalui keadaan-keadaan tertentu, dan kemudian membangun suatu strategi untuk menghadapi keadaan-keadaan yang akan datang. Konsep adaptasi Bennett memiliki tiga tataran: fisik/biologis; kultural; dan pola hubungan/perilaku (behavior). Perilaku adaptif merupakan bentuk perilaku yang menyesuaikan cara-cara pada tujuan, mencapai kepuasan, melakukan pilihan-pilihan secara aktif maupun pasif. Tindakan strategis lebih khusus menunjuk pada perilaku aktif tindakan-tindakan spesifik yang dirancang untuk
91
mencapai tujuan. Sedangkan strategi adaptif menunjuk pada tindakan spesifik yang dipilih dalam proses pengambilan keputusan dengan suatu derajat keberhasilan yang dapat diperkirakan (Bennett 1976: 271-272). Analisis SWOT Analisis SWOT merupakan salah satu alat formulasi strategi dengan cara mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi suatu tujuan. Hasil analisis SWOT biasanya digunakan dalam pengambilan keputusan, dan selama ini banyak digunakan oleh perusahaan. SWOT adalah singkatan dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan), Opportunity (peluang) dan Threat (ancaman). Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang. Namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman. Menurut Pearce II dan Robinson (1991) yang diacu dalam Wijayanto (2001), kekuatan adalah sumberdaya, keterampilan atau keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan pasar suatu perusahaan. Kelemahan merupakan keterbatasan dalam sumberdaya, keterampilan dan kemampuan yang secara serius menghalangi kinerja suatu perusahaan. Peluang merupakan situasi yang menguntungkan, misalnya perubahan teknologi yang memberikan kemudahan. Sedangkan ancaman adalah situasi yang tidak menguntungkan, rintangan perusahaan seperti masuknya pesaing baru, perubahan teknologi dan peraturan baru atau perubahan yang direvisi. Analisis SWOT menurut Rangkuti (2005) adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematik untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika
yang
dapat
memaksimalkan
kekuatan
(Strengths)
dan
peluang
(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weakneses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan. Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi dimana model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT. Proses
92
pengambilan keputusan strategis pada analisis SWOT dapat dilihat pada Gambar 5.
1(a)
EVALUASI KINERJA PERUBAHAN SAAT INI EVALUASI : MISI TUJUAN KEBIJAKAN 1(b)
3
ANALISIS LINGKUNGAN EKSTERNAL
2 ANALISIS BUDAYA MANAJEMEN Pimpinan Manajemen
4
ANALISIS LINGKUNGAN INTERNAL
5(a) ANALISIS FAKTOR STRATEGIS S.W.O.T. PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS Peluang Ancaman
EVALUASI DAN REVIEW - MISI - TUJUAN 5(b) - STRATEGI
PEMILIHAN FAKTOR STRATEGIS Kekuatan Kelemahan
FORMULASI STRATEGI (TAHAP 1-6)
6
PILIH ALTERNATIF TERBAIK
7
IMPLEMENTASI STRATEGI
IMPLEMENTASI (TAHAP 7)
8
EVALUASI DAN PENGENDALIAN
EVALUASI DAN PENGENDALIAN (TAHAP 8)
(Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 6. Proses Pengambilan Keputusan Strategis Selanjutnya dijelaskan bahwa kinerja suatu institusi dapat ditentukan oleh kombinasi faktor internal dan eksternal. Untuk dapat membandingkan antara perbandingan kekuatan dan kelemahan (diwakili garis horizontal) dengan perbandingan peluang dan ancaman (diwakili garis vertikal). Pada diagram tersebut kekuatan dan peluang diberi tanda positif, sedangkan kelemahan dan
93
ancaman diberi tanda negatif. Dengan menempatkan selisih nilai S (kekuatan) – W (kelemahan) pada sumbu (x), dan menempatkan selisih nilai antara O (peluang) – T (ancaman) pada (y), maka ordinat (x,y) akan menempati salah satu sel dari diagram SWOT. Letak nilai S – W dan O – T dalam diagram SWOT akan menemukan arah strategi yang akan ditempuh oleh suatu bentuk usaha seperti hutan rakyat. Diagram tersebut disajikan pada Gambar 7. BERBAGAI PELUANG 1. Mendukung strategi turnarround
3. Mendukung strategi agresif
KELEMAHAN INTERNAL
KEKUATAN INTERNAL 2. Mendukung strategi defensif
4. Mendukung strategi diversifikasi
BERBAGAI ANCAMAN (Sumber : Rangkuti 2005)
Gambar 7. Diagram SWOT Posisi di kuadran 1 (support on agresive strategy) adalah situasi yang paling menguntungkan, dimana sistem pengelolaan mempunyai peluang dan kekuatan. Jika sistem berada pada kuadran 2 (support diversification strategy), berarti sistem menghadapi ancaman akan tetapi masih memiliki kekuatan dari segi internal, jika sistem berada pada kuadran 3 (support a turnarround oriented strategy), berarti sistem tersebut mempunyai peluang yang besar tetapi di lain pihak menghadapi beberapa kendala/kelemahan, dan apabila sistem berada pada kuadran 4 berarti sistem menghadapi situasi yang paling tidak menguntungkan karena mempunyai ancaman dan kelemahan internal. Setiap kuadran pada diagram SWOT memperlihatkan ciri yang berbeda dari suatu unit usaha, sehingga diperlukan strategi yang berbeda pula dalam penanganannya.