PEDOMAN PENYUSUNAN NERACA DAN VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT PENYUSUN Drs. Turmudi, M.Si Buyung Airlangga M. Bus Dr. Deddy Setiapermana Dr. Hari Nur Cahya Murni Ir. Eko Rudianto M.Bus Ir. Adi Triswanto Ir. Samekto Dr. Indra Darmawan M.Sc Ir Aristin Tri Apriani Ir. M. Khifni Soleman Ir. Irmadi Nahib Ratna Sari Dewi, S.Pi Taufik Hidayatullah, S.Si
PENYUNTING Drs. Suwahyuono M.Sc
NARASUMBER Dr. Aris Poniman Ir. Agus H. Atmadilaga, M.Sc Dr. Suharsono Drs. Hardjono M.Sc Dr. Ir. Irwandi Idris, M.Si Prof Dr. Ir. Tjahja Supriatna Dr. Hari Santoso Supriyanto, MA DR. Agus Prabowo Ir. Laksmi Dewanti Dr. Suparmoko, MA Dr. Akhmad Fauzi
PUSAT SURVEI SUMBERDAYA ALAM LAUT BAKOSURTANAL 2005
KATA PENGANTAR
Buku pedoman ini menyajikan materi mengenai pengertian, konsep, serta prosedur penyusunan Neraca dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Laut. Jenis sumberdaya yang dimaksud antara lain sumberdaya Lahan Pesisir, Terumbu Karang dan Hutan Mangrove. Sesuai dengan tugas dan fungsi Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut BAKOSURTANAL yang dalam hal ini dilakukan pada unit Bidang Neraca Sumberdaya Alam Laut, antara lain berupa : a). Penyiapan perumusan rencana dan program di bidang inventarisasi, neraca, dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; b). Perumusan norma, pedoman, prosedur, standar dan spesifikasi di bidang inventarisasi, neraca, dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; c). Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis dibidang inventarisasi, neraca, dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut. Dengan tugas dan fungsi yang diemban tersebut, maka dalam penyusunan buku pedoman ini BAKOSURTANAL melibatkan berbagai institusi yang terkait dengan neraca dan valuasi sumberdaya alam laut. Instansi-instansi tersebut adalah: Departemen Kehutanan, Departemen Dalam Negri (cq. Ditjen Bangda), Departemen Kelautan dan Perikanan (cq. Direktorat Bina Pesisir DKP), Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pusat Penelitian Oseanologi (P2O-LIPI), Badan
Perencanaan
dan
Pengembangan
Nasional
(BAPPENAS),
Kementrian Lingkungan Hidup (KLH), dan Perguruan Tinggi (IPB dan Unsoed). Dengan keterlibatan berbagai institusi (stakeholders) ini diupayakan agar pedoman yang disusun lebih mudah digunakan oleh para pengguna.
Atas terselesaikannya penyusunan buku ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Deputi Bidang Survei Dasar dan Sumberdaya Alam selaku pengarah dan instansi-instansi sektoral terkait yang telah banyak memberikan bantuannya untuk kegiatan ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada semua pihak yang telah memungkinkan terselesaikannya kegiatan ini. Harapan kami semoga buku Pedoman Penyusunan Neraca dan Valuasi Ekonomi Sumberdaya Alam Laut ini dapat menjadi sarana bagi pengguna dalam pengelolaan sumberdaya alam laut di Indonesia. Akhir kalam kritik dan saran kami terima sebagai penyempurnaan laporan di kemudian hari.
Cibinong, Desember 2005 Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut Kepala
Drs. Suwahyuono M.Sc NIP.370 000 135
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................... DAFTAR ISI............................................................................... DAFTAR TABEL.......................................................................... DAFTAR GAMBAR..................................................................... DAFTAR LAMPIRAN.................................................................
ii iv v vi vii
PENDAHULUAN................................................................ 1 1.1 Latar belakang.................................................................................... 1 1.2 Maksud dan Tujuan ........................................................................... 5 1.3 Target Pengguna................................................................................ 5 NERACA SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT 6 2.1 Konsep Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut...................... 6 2.2 Metodologi........................................................................................... 6 2.3 Analisis Neraca Sumberdaya Alam .................................................. 9 2.4 Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir .................................................. 9 2.5 Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove .......................................... 13 2.6 Neraca Sumberdaya Terumbu Karang.......................................... 18 VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT 21 3.1 Konsep Valuasi Ekonomi (VE) ........................................................ 21 3.2 Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut 27 3.3 Teknik Valuasi Ekonomi ................................................................. 30 3.4 Langkah-Langkah Penilaian Valuasi ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut................................................................................ 41 DAFTAR PUSTAKA
53
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 2. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat nasional ............... 10 Tabel 2.3. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat provinsi................ 10 Tabel 2.4. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat kabupaten ............ 11 Tabel 2.5. Neraca sumberdaya lahan pesisir daerah khusus ................. 12 Tabel 2. 6. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat provinsi......... 13 Tabel 2. 7. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat kabupaten .... 14 Tabel 2. 8. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat kabupaten .... 16 Tabel 2. 9. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat nasional ............... 18 Tabel 2. 10. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat provinsi.............. 19 Tabel 2. 11. Neraca sumberdaya Terumbu Karang tingkat kabupaten/ kota ........................................................................................... 19 Tabel 3. 1. Manfaat dan Fungsi Ekosistem Mangrove .............................. 41 Tabel 3. 2 Nilai Ekonomi Hutan Mangrove............................................... 43 Tabel 3. 3. Manfaat dan Fungsi Ekosistem Coral Reef ............................. 44 Tabel 3. 4 Matriks Metode Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu ...... 46 Tabel 3. 5 Biaya Langsung Penangkapan Ikan Karang per Rumah Tangga...................................................................................... 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2. 1 Diagram alir Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut ... 7 Gambar 2. 2 Proses operasi overlay antara peta aktiva dan peta pasiva ................................................................................................... 8 Gambar 2.3 Diagram alir Analisis Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut ........................................................................................... 9 Gambar 3. 1 Taksonomi ekonomi untuk valuasi sumberdaya lingkungan ................................................................................................. 26 Gambar 3. 2 Bagan Alir Pemiliahan Metode Penilaian Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) SDAL .................................... 40 Gambar 3. 3 Bagan Alir Pemilihan Metode Penelitian Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value), nilai pilihan (Option Value) dan nilai keberadaan (Existence Value) Hutan Mangrove................................................................................ 41
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove ................................................................................. 55 Lampiran 2. Contoh Perhitungan Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang ................................................................................. 59
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM
Nas) 2004-2009, pemerintah memberikan perhatian yang besar dalam pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini terlihat pada Program ke delapan Bab 32, yang menyatakan bahwa salah satu program pembangunan adalah pengembangan dan peningkatan kualitas dan akses informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dalam program tersebut disebutkan pokok
kegiatan
antara lain:
a.
penyusunan neraca
sumberdaya alam nasional dan lingkungan hidup, b. pengembangan valuasi sumberdaya alam meliputi, hutan air, pesisir, dan cadangan mineral. Sejalan dengan RPJM Nasional tersebut penyusunan Neraca Sumber Daya Alam Laut adalah suatu kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dengan cara menyediakan informasi yang menggambarkan potensi dan pemanfaatan sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan yang diaplikasikan dalam bentuk neraca
sumberdaya
alam
spasial
(NSDAS).
NSDAS
menyajikan
gambaran secara menyeluruh mengenai kualitas dan potensi kekayaan sumberdaya alam secara lokal, regional dan nasional sesuai dengan skala informasi SDA yang disusun. Metode neraca sumberdaya alam ini merupakan salah satu hasil kegiatan pemacuan teknologi inventarisasi sumberdaya alam, dimana penyajian kondisi sumberdaya alam disajikan minimal pada 2 (dua) periode waktu (time series analysis). Dari hasil analisis dapat diketahui perubahan kondisi sumberdaya alam, sehingga kita dapat memprediksi kecenderungannya. Dalam perkembangan lebih lanjut kebutuhan informasi
terhadap
nilai
suatu
sumberdaya
alam,
mendorong
berkembangnya suatu pedoman untuk melakukan valuasi sumberdaya
alam. Dalam kaitan dengan program neraca sumberdaya alam, maka kajian sumberdaya alam termasuk penghitungan nilai ekonomi terhadap sumberdaya alam. Menurut Keputusan Presiden Nomor 3 tahun 2002 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga
Pemerintah
Non
Departemen,
BAKOSURTANAL
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintah di bidang survei dan pemetaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dengan
tugas
tersebut,
maka
fungsinya
adalah
melakukan : a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang survei dan pemetaan, b. Pembinaan infrastruktur data spasial nasional, c.
Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan tugas Bakosurtanal,
d. Pemantauan, pemberian bimbingan, dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang survei dan pemetaan, e. Penyelenggaraan
pelaksanaan
pembinaan
dan
pelayanan
administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketata-usahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumah tangga. Adapun
kewenangan
BAKOSURTANAL
berdasarkan
Keppres
tersebut di atas adalah : a. Menyusun rencana nasional secara makro di bidang survei dan pemetaan. b. Merumuskan kebijakan di bidang survei dan pemetaan untuk mendukung pembangunan nasional secara makro. c.
Menetapkan sistem informasi di bidang survei dan pemetaan.
d. Kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. 2
e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang survei dan pemetaan; f.
Penetapan pedoman dan pemetaan dasar nasional. Berdasarkan
Keputusan
Kepala
BAKOSURTANAL
Nomor
:
OT.01.01.03-KA/I/2002, Pusat Survei Sumberdaya Alam Laut yang terkait langsung dengan penyusunan neraca dan valuasi sumberdaya alam adalah dalam hal: a. penyiapan perumusan kebijakan teknis di bidang inventarisasi, neraca, dan basis data sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; b. penyiapan perumusan rencana dan program di bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; c.
perumusan norma, pedoman, prosedur, standar dan spesifikasi di bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut;
d. pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis di bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; e. pelaksanaan pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan kegiatan di bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut oleh instansi pemerintah lain; f.
koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan
kebijakan teknis di
bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut; g. evaluasi dan penyusunan laporan di bidang inventarisasi, neraca dan basisdata sumberdaya alam dan lingkungan hidup matra laut;
3
Dari sekian banyak tugas dan fungsi serta kewenangan dalam penyusunan neraca, dalam fakta di lapangan masih dijumpai problem yang dihadapai yang meliputi: a. Data dan informasi mengenai sumberdaya alam dan kependudukan secara
spasial
belum
cukup
tersedia
sebagai
acuan
bagi
perencanaan pembangunan daerah. b. Masih dijumpai data sumberdaya alam dan kependudukan yang dimiliki oleh instansi yang menunjukkan besaran nilai yang tidak sama pada obyek yang sama. c.
Belum ada instansi yang berfungsi sebagai ‘bank data’ untuk mengelola data sumberdaya alam dan kependudukan yang dimiliki oleh berbagai instansi di daerah.
d. Belum semua daerah memiliki peta rupabumi/topografi sebagai peta dalam penyusunan Neraca Sumberdaya Alam Spasial Daerah (NSASD). e. Kemampuan sumberdaya manusia masih terbatas baik dari segi kualitas maupun kuantitas. f.
Sarana pendukung dan peralatan dan kelengkapannya untuk menyusun informasi NSDAD juga masih terbatas.
g. Nilai ekonomi lingkungan termasuk sumberdaya yang terkandung di dalamnya umumnya belum dapat diperhitungkan, sehingga belum dapat dimanfaatkan sebagai sumber informasi penanaman modal di daerah. Dengan masih ditemuinya banyak kendala di daerah, maka penyusunan NSASD belum bisa diselenggarakan sebagaimana mestinya. Selain itu pemahaman pemerintahan daerah baik eksekutif maupun legislatif belum dapat melihat pentingnya NSASD dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di daerah, masih belum terpadu. Salah satu solusi untuk memecahkan masalah-masalah yang ada, maka disusunlah pedoman baru yang sesuai dengan kondisi sekarang, 4
yang secara tegas memberikan rambu-rambu upaya sadar untuk menyusun pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam format
Neraca Sumberdaya Alam Spasial dan penghitungan valuasi
terhadap sumberdaya alam. Kiranya dapat memberikan nilai yang optimal bagi kemakmuran rakyat tanpa mengabaikan pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Penyusunan neraca ini nampak dari arahan RPJM 2004-2009, sebagaimana terdapat pada Lampiran no. 7 tahun 2005 tentang RPJM, terutama pada Bagian IV yaitu Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat, Bab 32 Perbaikan pengelolaan SDA dan pengelolaan LH. Program peningkatan Kualitas informasi SDA dan LH antara lain Neraca SDA Nasional dan Neraca LH.
1.2
Maksud dan Tujuan Maksud dari penyusunan pedoman penyusunan neraca dan
valuasi sumberdaya alam pesisir dan laut ini adalah untuk memberikan pedoman dalam menyusun neraca dan valuasi sumberdaya alam laut spasial. Tujuannya adalah memberikan kesamaan pemahaman/persepsi dalam menyusun neraca dan valuasi sumberdaya alam pesisir dan laut spasial menuju suatu sistem informasi spasial nasional yang andal untuk menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan.
1.3
Target Pengguna Pedoman penyusunan neraca dan valuasi sumberdaya alam
pesisir dan laut ini disusun dengan target pengguna sebagai berikut. a. Para perencana pembangunan daerah maupun nasional. b. Pihak konsultan pemerintah maupun swasta. c.
Instansi pemerintah maupun swasta. 5
NERACA SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
2.1
Konsep Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Penyusunan neraca sumberdaya alam pesisir dan laut spasial
dilakukan dengan menggunakan hasil kegiatan inventarisasi, minimal pada dua waktu yang berbeda. Pada masing-masing kegiatan inventarisasi,
klasifikasi peta yang digunakan harus sama.
inventarisasi disajikan dalam bentuk peta cetak atau digital.
Hasil Dalam
bentuk cetak, peta harus dilengkapi dengan simbol dan legenda yang jelas. Dalam bentuk digital, atribut peta disimpan dalam tabel. Data hasil inventarisasi yang dilakukan pada waktu yang lebih lama
disebut
aktiva
yang
menggambarkan
kondisi
awal
dari
perhitungan. Sedangkan data hasil inventarisasi yang dilakukan pada waktu yang lebih baru disebut pasiva yang menggambarkan kondisi akhir dari perhitungan. Neraca adalah hasil analisis seri waktu dari aktiva hingga pasiva. Skala
peta
neraca
yang
dihasilkan
sesuai
dengan
peta
inventarisasi (lihat Spesifikasi teknis Inventarisasi SDAL, Bab III, Sub bab 3.2). Untuk kepentingan penyusunan neraca sumberdaya alam maka kelas-kelas yang ada tersebut lebih disederhanakan, sesuai dengan kepentingan.
2.2
Metodologi Studi tentang neraca sumberdaya alam secara umum digunakan
untuk: melakukan monitoring dan evaluasi dari suatu sumberdaya alam. Oleh karena itu, pendekatan studi yang dilakukan adalah integrasi (integrated study) yang dimulai dari penyiapan data (inventarisasi data), penyusunan neraca untuk mengetahui perimbangannya, serta dilengkapi dengan kebutuhan informasi mengenai basisdata. Selain itu
untuk keperluan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan penajaman (kajian yang lebih mendalam) yaitu menyangkut analisis degradasi dan perhitungan nilai ekonomi (economic valuation/economic accounting) dari kondisi terakhir sumberdaya alam tersebut. Pada akhirnya hasil analisis tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusinya dalam mewujudkan green Gross Domestic Bruto (green GNB). Secara garis besar, pembuatan peta neraca disajikan pada Gambar 2.1.
Sumberdata
Proses
Hasil
Inventarisasi
Aktiva
Pasiva
Neraca
Gambar 2. 1 Diagram alir Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Data yang diperlukan untuk menyusun neraca terdiri dari data statistik (data angka) dan data spasial (data peta). Data statistik merupakan data kondisi (tingkat kerusakan) dari berbagai waktu (minimal dua periode waktu), sedangkan data spasial merupakan peta dalam kondisi yang dianggap terkini. Untuk keperluan ini kedua jenis data tersebut diperoleh berdasarkan kompilasi dari berbagai sumber, terutama dari instansi sektoral terkait yang berwenang dengan masalah data tersebut. Kajian lapangan dilakukan pada lokasi-lokasi yang diperlukan untuk mewakili klasifikasi masing-masing sumberdaya. Untuk 7
mendapatkan peta neraca dilakukan dengan cara overlay antara peta aktiva dan peta pasiva. Proses operasi overlay ini disajikan pada Gambar 2.2.
Neraca spasial
Aktiva
Pasiva Klas A1 B1 C1
1 2 3
U
1 2 3
Klas A2 B2 C2
Aktiva
Pasiva
Neraca
Aa Aa Ba Ba
Ap Bp Ap Bp
Aa Ap Aa Bp Ba Ap Ba Bp
A2 A1 B1 C1
Peta neraca A B C D
B2
C2 Data atribut
Area Na Nb Nc Nd
Gambar 2. 2 Proses operasi overlay antara peta aktiva dan peta pasiva Penyajian neraca sumberdaya alam pesisir dan laut menggunakan metode sebagai berikut: 1. Penyajian neraca secara spasial (peta) menggunakan peta sesuai skala yang diinginkan. 2. Penyajian neraca secara numerik (angka) menggunakan tabel discontro, sehingga akan mencerminkan kolom-kolom sebagai kondisi awal (aktiva), kondisi akhir (pasiva), dan perubahannya. Neraca numerik diperoleh dari data atribut dari peta spasial. Contoh penyajian neraca numerik (angka) disajikan pada Tabel 2.1. 8
2.3
Analisis Neraca Sumberdaya Alam Secara garis besar, analisis neraca disajikan pada Gambar 2.3.
Sumberdata
Proses
Hasil
Inventarisasi
Neraca
Tata Ruang
Kesesuaian Peruntukan pada Trend Perubahan
Gambar 2.3 Diagram alir Analisis Neraca Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut 2.4
Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir
2.4.1. Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir Tingkat Nasional Neraca sumberdaya lahan Tingkat Nasional secara spasial ditampilkan pada peta skala 1 : 1.000.000, kelas disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Nasional. Sumber data berasal dari peta hasil inventarisasi pada skala nasional dan peta tata ruang wilayah nasional. Neraca sumberdaya lahan pesisir yang ditampilkan merupakan perubahan peruntukan lahan pada dua periode waktu sesuai dengan klasifikasi Tingkat Nasional dan perubahan penutupan lahan. Secara numerik neraca peruntukan lahan pesisir Tingkat Nasional ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.1.).
9
Tabel 2. 1. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat nasional AKTIVA KLASIFIKASI
HA
%
PASIVA KLASIFIKASI
HA
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
Hutan Non Mangrove Non Hutan
Hutan Non Mangrove Non Hutan
Padang Lamun
Padang Lamun
Terumbu Karang
Terumbu Karang
JUMLAH
%
100
PERUBAHAN HA %
100
2.4.2. Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir Tingkat Provinsi Neraca sumberdaya lahan pesisir Tingkat Provinsi secara spasial ditampilkan pada peta skala 1 : 250.000, yaitu disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Provinsi. Sumber data berasal dari peta hasil inventarisasi pada skala provinsi. Neraca sumberdaya lahan yang ditampilkan merupakan perubahan peruntukan lahan pada dua periode waktu sesuai dengan klasifikasi Tingkat Provinsi. Secara numerik neraca peruntukan lahan pesisir Tingkat Provinsi ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.2.).
Tabel 2.2. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat provinsi. AKTIVA KLASIFIKASI
HA
%
Hutan Mangrove
PASIVA KLASIFIKASI
%
Hutan Mangrove
Hutan Rawa
Hutan Rawa
Hutan Pantai
Hutan Pantai
Lahan Pertanian
Lahan Pertanian
Perkebunan
Perkebunan
Permukiman
Permukiman
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Tambak
Tambak
Budidaya laut
Budidaya laut
Padang Lamun
Padang Lamun
Terumbu Karang JUMLAH
HA
PERUBAHAN HA %
Terumbu Karang 100
100
10
2.4.3. Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir Tingkat Kabupaten/ Kota Neraca sumberdaya lahan pesisir Tingkat Kabupaten/Kota secara spasial untuk Wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara ditampilkan pada peta skala 1 : 25.000, sedangkan untuk wilayah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada peta skala 1 : 50.000, serta untuk wilayah Maluku dan Irian Jaya pada peta skala 1 : 100.000, yaitu disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Provinsi. Sumber data berasal dari photo udara, survei lapang dan data pendukung lainnya. Secara numerik neraca peruntukan lahan pesisir Tingkat Kabupaten/Kota ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.3.).
Tabel 2.3. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat kabupaten KABUPATEN/KOTA : PROPINSI : AKTIVA KLASIFIKASI HA %
PASIVA KLASIFIKASI
Hutan Mangrove
Hutan Mangrove
Hutan Rawa
Hutan Rawa
Hutan Pantai
Hutan Pantai
Rawa Pantai (swale)
Rawa Pantai (swale)
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Perkebunan (Kelapa,dll) Permukiman
Pertanian Lahan Kering Pertanian Lahan Basah Perkebunan (Kelapa,dll) Permukiman
Industri
Industri
Lahan Terbuka
Lahan Terbuka
Tambak Garam
Tambak Garam
Tambak Ikan/Udang
Tambak Ikan/Udang
Budidaya laut
Budidaya laut
Padang Lamun
Padang Lamun
Terumbu Karang JUMLAH
HA
%
PERUBAHAN HA %
Terumbu Karang 100
100
11
2.4.4. Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir Daerah Khusus Neraca sumberdaya lahan Daerah Khusus spasial secara umum ditampilkan pada peta skala 1:25.000 atau lebih besar, atau disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Daerah Khusus Provinsi. Sumber data berasal dari photo udara, Ikonos, dan ground truth. Secara numerik, neraca peruntukan lahan pesisir Daerah Khusus ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.4.).
Tabel 2.4. Neraca sumberdaya lahan pesisir daerah khusus DAERAH KHUSUS KABUPATEN PROPINSI AKTIVA KLASIFIKASI Hutan Mangrove Hutan Rawa Tergenang Permanen Hutan Rawa Tergenang Temporer Hutan Pantai Rawa Pantai Ladang Kebun Campuran Sawah irigasi Sawah Non Irigasi Perkebunan Kelapa Perkebunan Sawit Perkebunan Karet Permukiman Kota (Bangunan > 80 %) Permukiman Kota Desa (Bangunan 50 – 80 %) Permukiman Desa (Bangunan < 50 %) Industri perikanan (TPI, Pembibitan dll) Komplek Daerah Bisnis Komplek Daerah Industri Lahan Terbuka Semak Belukar Rumput Tambak Garam
: : : HA
%
PASIVA KLASIFIKASI
HA
%
PERUBAHAN HA %
Hutan Mangrove Hutan Rawa Tergenang Permanen Hutan Rawa Tergenang Temporer Hutan Pantai Rawa Pantai Ladang Kebun Campuran Sawah irigasi Sawah Non Irigasi Perkebunan Kelapa Perkebunan Sawit Perkebunan Karet Permukiman Kota (Bangunan > 80 %) Permukiman Kota Desa (Bangunan 50 – 80 %) Permukiman Desa (Bangunan < 50 %) Industri perikanan (TPI, Pembibitan dll) Komplek Daerah Bisnis Komplek Daerah Industri Lahan Terbuka Semak Belukar Rumput Tambak Garam
12
Tambak ikan / udang Budidaya Mutiara Budiadaya Rumput Laut Keramba Padang Lamun
Tambak ikan / udang Budidaya Mutiara Budiadaya Rumput Laut Keramba Padang Lamun
Terumbu Karang
Terumbu Karang
JUMLAH
2.5
100
100
Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove
2.5.1. Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Tingkat Nasional Neraca sumberdaya hutan mangrove Tingkat Nasional tidak diklasifikasikan karena tingkat kedetilan datanya merupakan bagian dari Neraca Sumberdaya Lahan Pesisir Tingkat Nasional.
2.5.2. Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Tingkat Provinsi Neraca sumberdaya hutan mangrove Tingkat Provinsi secara spasial ditampilkan pada peta skala 1 : 250.000, yaitu disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Provinsi. Sumber data berasal dari peta hasil inventarisasi pada skala provinsi. Neraca sumberdaya hutan mangrove yang ditampilkan merupakan perubahan peruntukan hutan mangrove pada dua periode waktu sesuai dengan klasifikasi Tingkat Provinsi. Secara numerik neraca peruntukan hutan mangrove Tingkat Provinsi ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.5).
Tabel 2. 5. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat provinsi AKTIVA KLASIFIKASI Hutan mangrove ¾ Delta ¾ Dataran lumpur ¾ Dataran pulau ¾ Dataran
HA
%
PASIVA KLASIFIKASI
HA
%
PERUBAHAN HA %
Hutan mangrove ¾ Delta ¾ Dataran lumpur ¾ Dataran pulau ¾ Dataran
13
pantai Hutan non mangrove Non hutan JUMLAH
pantai Hutan non mangrove Non hutan 100
100
2.5.3. Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Tingkat Kabupaten/Kota Neraca sumberdaya hutan mangrove Tingkat Kabupaten/Kota secara spasial untuk Wilayah
Jawa, Bali
ditampilkan pada peta skala 1 : 25.000,
dan Nusa Tenggara
sedangkan untuk
wilayah
Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi pada peta skala 1 : 50.000, serta untuk wilayah Maluku dan Irian Jaya pada peta skala 1 : 100.000, yaitu disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang kabupaten/kota. Sumber data berasal peta hasil inventarisasi dari dua kurun waktu dengan skala yang sama. Secara numerik neraca peruntukan hutan mangrove Tingkat Kabupaten/Kota ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.6).
Tabel 2. 6. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat kabupaten KABUPATEN/KOTA PROPINSI AKTIVA KLASIFIKASI Hutan mangrove ¾ Delta Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi
: : HA
%
PASIVA KLASIFIKASI Hutan mangrove ¾ Delta Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi
HA
%
PERUBAHAN HA %
14
Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran lumpur Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran pulau Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran pantai Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Hutan non mangrove
Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran lumpur Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran pulau Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah ¾ Dataran pantai Rendah Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Sedang Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Tinggi Avicenniaceae Sonneratiaceae Rhizoporaceae Meliaceae Nipah Hutan non mangrove
15
Non hutan JUMLAH
Non hutan 100
100
2.5.4. Neraca Sumberdaya Hutan Mangrove Daerah Khusus Neraca sumberdaya hutan mangrove Daerah Khusus spasial secara umum ditampilkan pada peta skala 1:25.000 atau lebih besar, atau disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Daerah Khusus Provinsi. Sumber data berasal dari photo udara, citra Ikonos, atau citra lainnya yang memilki resolusi spasial tinggi dan disertai dengan ground truth. Secara numerik neraca peruntukan hutan mangrove Daerah Khusus ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.7).
Tabel 2. 7. Neraca sumberdaya hutan mangrove tingkat kabupaten DAERAH KHUSUS KABUPATEN PROPINSI AKTIVA KLASIFIKASI Hutan mangrove ¾ Delta Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah ¾ Dataran lumpur Rendah Avicennia Sonneratia
: : : HA
%
PASIVA KLASIFIKASI Hutan mangrove ¾ Delta Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah ¾ Dataran lumpur Rendah Avicennia Sonneratia
HA
%
HA
PERUBAHAN %
16
¾
¾
Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Dataran pulau Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Dataran pantai Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah
¾
¾
Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Dataran pulau Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Dataran pantai Rendah Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Sedang Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah Tinggi Avicennia Sonneratia Rhizopora Bruguiera Ceriops Xylocarpus Nipah
17
Hutan non mangrove
Hutan non mangrove
Non hutan JUMLAH
2.6
Non hutan 100
100
Neraca Sumberdaya Terumbu Karang
2.6.1 Neraca Sumberdaya Terumbu Karang Tingkat Nasional Neraca sumberdaya terumbu karang tingkat provinsi secara spasial ditampilkan pada peta skala 1 : 1.000.000., kelas disesuaikan dengan tingkat kedetilan Peta Tata Ruang Nasional. Sumber data berasal dari peta hasil inventarisasi pada skala nasional, peta tata ruang wilayah nasional. Secara numerik neraca peruntukan lahan pesisir Tingkat Nasional ini disajikan dalam bentuk tabel scontro (Tabel 2.9.).
Tabel 2. 8. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat nasional AKTIVA KLASIFIKASI Karang Hidup Karang Mati JUMLAH
PASIVA HA
%
100
KLASIFIKASI Karang Hidup Karang Mati
PERUBAHAN HA
%
100
(+)
(-)
HA
HA
%
100
Keterangan: ( + ) Penambahan ( - ) Pengurangan
18
2.6.2 Neraca Sumberdaya Terumbu Karang Tingkat Provinsi Tabel 2. 9. Neraca sumberdaya lahan pesisir tingkat provinsi Provinsi Periode Waktu
: :
AKTIVA KLASIFIKASI Fringing Karang Lamun Pasir Non Karang Barrier Karang Lamun Pasir Non Karang Atol Karang Lamun Pasir Non Karang Patch reef Karang Lamun Pasir Non Karang JUMLAH
PASIVA HA
%
KLASIFIKASI Fringing Karang Lamun Pasir Non Karang Barrier Karang Lamun Pasir Non Karang Atol Karang Lamun Pasir Non Karang Patch reef Karang Lamun Pasir Non Karang
HA
%
100
(+) HA
PERUBAHAN (-) HA
%
100
2.6.3 Neraca Sumberdaya Terumbu Karang Tingkat Kabupaten/ Kota
Tabel 2. 10. Neraca sumberdaya Terumbu Karang tingkat kabupaten/ kota DAERAH KHUSUS : KABUPATEN : PROPINSI : AKTIVA KLASIFIKASI Fringing Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar
HA
%
PASIVA KLASIFIKASI
HA
%
(+) HA
PERUBAHAN (-) % HA
Fringing Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar
19
Pasir halus Lamun/seagrass Barrier Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass Atol Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass Patch reef Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass JUMLAH
Pasir halus Lamun/seagrass Barrier Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass Atol Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass Patch reef Karang hidup Sangat baik Baik Sedang Buruk Karang mati Pasir kasar Pasir halus Lamun/seagrass 100
100
2.6.4. Neraca Sumberdaya Terumbu Karang Daerah Khusus Klasifikasi sumberdaya terumbu karang untuk daerah khusus sama dengan klasifikasi tingkat kabupaten.
20
VALUASI EKONOMI SUMBERDAYA ALAM PESISIR DAN LAUT
3.1
Konsep Valuasi Ekonomi (VE) Menurut Barbier et. al. (1997), ada 3 jenis pendekatan penilaian
sebuah ekosistem alam yaitu (1) impact analysis, (2) partial analysis dan (3) total valuation. Pendekatan impact analysis dilakukan apabila nilai ekonomi ekosistem dilihat dari dampak yang mungkin timbul sebagai akibat dari aktivitas tertentu, misalnya akibat reklamasi pantai terhadap ekosistem pesisir. Sedangkan partial analysis dilakukan dengan menetapkan dua atau lebih alternatif pilihan pemanfaatan ekosistem.
Sementara itu, total valuation dilakukan untuk menduga
total kontribusi ekonomi dari sebuah ekosistem tertentu kepada masyarakat. Dalam buku ini, jenis pendekatan yang digunakan adalah metode total valuation, karena tujuan utama dari studi ini adalah mengestimasi nilai ekonomi total dari ekosistem terumbu karang , mangrove dan padang lamun, yang diharapkan dapat dianalisis dari sudut pandang publik sebagai salah satu parameter penting dalam sebuah analisis ekonomi. Nilai ekonomi (economic value) dari suatu barang atau jasa diukur dengan menjumlahkan kehendak untuk membayar (KUM, willingness to
pay, WTP) dari banyak individu terhadap barang atau jasa yang dimaksud. Pada gilirannya, KUM merefleksikan preferensi individu untuk suatu barang yang dipertanyakan. Jadi dengan demikian, VE dalam konteks lingkungan hidup adalah tentang pengukuran preferensi dari masyarakat (people) untuk lingkungan hidup yang baik dibandingkan terhadap lingkungan hidup yang jelek. Valuasi merupakan fundamental untuk pemikiran pembangunan berkelanjutan (sustainable develop-
ment). Hal yang sangat penting untuk dimengerti adalah, apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan VE. Hasil dari valuasi dinyatakan dalam nilai uang (money terms) sebagai cara dalam mencari preference revelation, misalnya dengan menanyakan "apakah masyarakat berkehendak untuk membayar?". Lebih lanjut dinyatakan bahwa penggunaan nilai uang memungkinkan membandingkan antara "nilai lingkungan hidup (environmental values)" dan "nilai pembangunan (development values)" (SCERGE, 1994). Pada prinsipnya VE bertujuan untuk memberikan nilai ekonomi kepada sumberdaya yang digunakan sesuai dengan nilai riil dari sudut pandang masyarakat. Dengan demikian dalam melakukan VE perlu diketahui sejauh mana adanya bias antara harga yang terjadi dengan nilai riil yang seharusnya ditetapkan dari sumberdaya yang digunakan tersebut. Selanjutnya adalah apa penyebab terjadinya bias harga tersebut. Ilmu ekonomi sebagai perangkat melakukan VE adalah ilmu tentang
pembuatan
pilihan-pilihan
(making
choices). Pembuatan
pilihan-pilihan dari alternatif yang dihadapkan kepada kita tentang lingkungan
hidup
adalah
lebih
kompleks,
dibandingkan
dengan
pembuatan pilihan dalam konteks; barang-barang privat murni (purely
private goods). Dalam konteks lingkungan hidup, apa yang harus dibandingkan adalah satu barang dengan harga (priced good, private good), dan satu barang tanpa harga (unpricedgood, public good), misalnya ketika menentukan untuk investasi dalam pengendalian polusi, ketimbang kapasitas
output
ekonomi
baru.
Tetapi
mungkin
pula
kita
membandingkan dengan lebih dari dua barang tanpa harga (misalnya kualitas udara v.s. kualitas air). Dalam konteks pilihan ini diperlukan untuk memperhitungkan suatu nilai (impute to a value) untuk barang atau jasa lingkungan (environmental good or service). Dalam
pasar,
individual
mempraktekkan
pilihan
dengan
membandingkan KUM mereka dengan harga produk. Mereka akan 22
membeli barang apabila KUM-nya melebihi harga, dan tidak berlaku sebaliknya. Perhitungan nilai (imputing values) melibatkan ternuan beberapa ukuran dari KUM untuk kualitas lingkungan. Inilah secara esensial sebagai proses dari VE : melibatkan temuan suatu ukuran KUM dalam menghadapi hambatan di mana kegagalan pasar tidak dapat memberikan harga secara langsung. Salah satu tantangan yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan adalah
bagaimana
menilai
suatu
sumberdaya
alam
secara
komprehensif. Dalam hal ini tidak saja market value dari barang yang dihasilkan dari suatu sumberdaya melainkan juga dari jasa yang ditimbulkan oleh sumberdaya tersebut. Pertanyaan yang sering timbul misalnya bagaimana mengukur, atau menilai jasa tersebut padahal konsumen tidak mengkonsumsinya secara langsung, bahkan mungkin tidak pernah mengunjungi tempat dimana sumberdaya alam tersebut berada.
Salah satu cara untuk melakukan valuasi ekonomi adalah
dengan menghitung Nilai Ekonomi Total (TEV). Nilai Ekonomi Total (NET) adalah nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran. Nilai Ekonomi Total ini dapat dipecah-pecah ke dalam suatu set bagian komponen. Sebagai ilustrasi misalnya dalam kontek penentuan alternatif penggunaan lahan dari ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hukum biaya dan manfaat (a benefit - cost rule), keputusan untuk mengembangkan suatu ekosistem terumbu karang dapat dibenarkan (justified) apabila manfaat bersih dari pengembangan ekosistem tersebut lebilh besar dari manfaat bersih konservasi. Jadi dalam hal ini manfaat konservasi diukur dengan NET dari ekosistem terumbu karang tersebut. NET ini juga dapat diinterpretasikan sebagai NET dari perubahan kualitas lingkungan hidup. 23
NET atau total economic value (TEV) dapat ditulis dalam persamaan matematis sebagai berikut (CSERGE, 1994): TEV = UV + NUV = (DUV + IUV + OV) + (XV + BV) Dimana: TEV = Total econornic value Dimana nilai ekonomi diukur dalam terminologi sebagai kesediaan membayar (willingness to pay) untuk mendapatkan komoditi tersebut. UV
= Use values (Nilai Manfaat) Yaitu suatu cara penilaian atau upaya kuantifikasi barang dan jasa sumberdaya alam dan lingkungan ke nilai uang (monetize), terlepas ada ada atau tidaknya nilai pasar terhadap barang dan jasa tersebut.
NUV
= Non-use value (Nilai Bukan Manfaat)
DUV
= Direct use value (Nilai Langsung) Yaitu output (barang dan jasa) yang terkandung dalam suatu sumberdaya yang secara langsung dapat dimanfaatkan.
IUV
= Indirect use value (Nilai Tidak Langsung) Yaitu barang dan jasa yang ada karena keberadaan suatu sumberdaya yang tidak secara langsung dapat diambil dari sumberdaya alam tersebut.
0V
= Option value (Nilai Pilihan) Yaitu potensi manfaat langsung atau tidak langsung dari suatu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan diwaktu mendatang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen. Nilai ini merupakan kesanggupan individu untuk membayar atau mengeluarkan sejurnlah uang agar dapat memanfaatkan potensi SDA di waktu mendatang.
XV
= Eqsistence value (Nilai Keberadaan) Yaitu nilai keberadaan suatu sumberdaya alam yang terlepas dari manfaat yang dapat diambil daripadanya. Nilai ini lebih berkaitan dengan nilai relijius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam. 24
= Bequest value (Nilai Warisan) nilai yang berkaitan dengan perlindungan atau pengawetan (preservation) suatu sumberdaya agar dapat diwariskan kepada generasi mendatang sehingga mereka dapat mengambil manfaat daripadanya sebagai manfaat yang telah diambil oleh generasi sebelumnya.
BV
Untuk memberikan pengertian yang lebih jelas mengenai taksonomi ekonomi untuk valuasi sumberdaya lingkungan, dapat dikaji melalui Gambar 3.1. Dari gambar 3.1 dapat dianalisis lebih lanjut hal-hal berikut: a. TEV dari sumberdaya dapat disagregasi ke dalam dua bagian yang terdiri dari Use Value (UV) dan Non-Use Value (NUV). b. Use Value dapat menjadi :
Direct Use Value (DUV) misalnya seseorang membuat penggunaan aktual dari fasilitas; mengurangi daerah rekreasi untuk memancing dan mempunyai KUM dari penggunaan ini;
Indirect Use Value (IUV), misalnya manfaat-manfaat yang diperoleh dari fungsi ekosistem. Option Value (OV), yang KUM-nya untuk pilihan (option) untuk penggunaan fasilitas seperti daerah rekreasi untuk penggunaan di masa yang akan datang. Kegunaan dari penggunaan Use Value adalah:
Sebagai alat bantu untuk dapat memanfaatkan barang dan jasa SDA dan lingkungan secara bijaksana dan proporsional (wise and proportional).
Sebagai pintu gerbang proses internalisasi biaya lingkungan dan sosial ke dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan sebagai upaya nyata implementasi konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
25
Nilai Ekonomi Total
Use Value
Non-Use Value
EV, BV DUV
IU
OV Metode CVM
Metode : 1. Market Value 2. CVM 3. ISA 4. HP 5. TCM
Metode : 1. Biaya Pencegahan 2. Productivity approach 3. Replacement Cost 4. Relocation Cost 5. SMP
Keterangan : HP = Hedonic Pricing, TCM = Travel Cost Method, CVM = Contingent Valuation Method, ISA = Indirect Subtitution Approach SMP = Surrogate Market Price
Gambar 3. 1 Taksonomi ekonomi untuk valuasi sumberdaya lingkungan c.
Non-Use Value (NUV) di pihak lain dapat dibagi atas: Existence Value (XV) yang mengukur KUM untuk suatu sumberdaya untuk moral, altruistik atau dasar lain yang tidak ada hubungannya dengan penggunaan atau nilai option;
Bequest Value (BV) yang mengukur suatu KUM untuk menjamin bahwa turunan mereka akan mampu menggunakan sumberdaya di masa yang akan datang 26
3.2
Metode Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Berbagai metode penilaian terhadap dampak lingkungan telah
dipraktekkan dalam banyak proyek di berbagai negara. Metode-metode tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam metode:
1
metode yang secara langsung didasarkan pada nilai pasar atau produktivitas
metode yang menggunakan nilai pasar barang pengganti atau barang pelengkap
metode yang didasarkan pada hasil survei.
3.2.1 Pendekatan harga pasar Pendekatan dengan harga pasar dapat dibedakan lagi menjadi pendekatan harga pasar dan pendekatan nilai barang pengganti.
Pendekatan harga pasar yang sebenarnya atau pendekatan produktivitas
telah banyak digunakan dalam menganalisis biaya
dan manfaat suatu proyek. Namun dengan dipertimbangkannya dimensi lingkungan, akan sulit untuk menentukan harga pasar yang tepat.
Pendekatan modal manusia (human capital) atau pendekatan pendapatan yang hilang (foregone earnings) menggunakan harga pasar dan tingkat upah untuk menilai sumbangan kegiatan terhadap penghasilan masyarakat. Pendekatan ini diterapkan untuk menilai sumberdaya manusia bila terjadi kematian, cacat tubuh yang permanen dan sebagainya sebagai akibat adanya suatu proyek.
1
Maynard M. Huftschmidt, David James, Anton D. Meister, Blair T. Bower, John Dixon, Environment, Natural Systems, and Development: An Economic Valuation Guide, The John Hopkins University Press, Baltimore, 1983, hal. 170-261. Lihat juga M. Suparmoko dan marea R. Suparmoko, Ekonomika Lingkungan, BPFE Yogyakarta, 2000, halaman 101-132.
27
Apabila data mengenai harga atau upah tidak cukup tersedia, biaya kesempatan atau pendapatan yang hilang dapat digunakan sebagai
pendekatan.
Akan
menjadi
sulit
bila
kita
harus
mempertimbangkan bahwa nilai barang dan jasa lingkungan seperti pada pertamanan nasional, hutan wisata dan sebagainya nilainya meningkat lebih cepat daripada nilai barang modal yang ada. Memang
tidak mudah untuk mendapatkan harga pasar bagi
produk atau jasa yang timbul karena adanya suatu proyek. Untuk itu sedapat
mungkin
digunakan
nilai
harga
alternatif
atau
biaya
kesempatan “opportunity cost”. Cara ini dapat dipakai untuk mengukur berapa
pendapatan
yang
hilang
karena
adanya
suatu
proyek.
Pendapatan yang hilang itu dapat diartikan sebagai biaya tidak langsung dari adanya pembangunan proyek tersebut. Untuk sumberdaya alam dan lingkungan seperti itu akan dinilai dengan pendekatan kesediaan membayar (willingnes to pay) dari para pemakai sumberdaya alam dan lingkungan tersebut.
3.2.2 Pendekatan dengan nilai barang pengganti (surrogate
market price)
Pendekatan nilai kekayaan Pendekatan
ini
merupakan
pendekatan
kedua
setelah
pendekatan dengan harga pasar untuk menilai perubahan lingkungan. Seringkali kita temui keadaan di mana sangat sulit mendapatkan harga pasar ataupun harga alternatif. Namun dengan pendekatan nilai barang pengganti (substitusi) maupun nilai
barang
menemukan
pelengkap harga
pasar
(komplementer), bagi
barang
kita dan
berusaha jasa
yang
terpengaruh lingkungan. Pendekatan nilai kekayaan (hedonic property prices) didasarkan atas pemikiran bahwa kualitas 28
lingkungan mempengaruhi harga rumah yang dipengaruhi oleh jasa atau guna yang diberikan oleh kualitas lingkungan.
Pendekatan tingkat upah Pendekatan atas dasar tingkat upah sebenarnya mirip dengan pendekatan
atas
dasar
nilai
kekayaan.
Pendekatan
ini
menggunakan tingkat upah pada jenis pekerjaan yang sama tetapi pada lokasi yang berbeda untuk menilai kualitas lingkungan
kerja
pada
masing-masing
lokasi
tersebut.
Pendekatan yang dipakai adalah bahwa upah dibayarkan lebih tinggi pada lokasi yang lebih tercemar
Pendekatan biaya perjalanan Pendekatan ini menggunakan biaya transportasi atau biaya perjalanan terutama untuk menilai lingkungan pada obyekobyek wisata. Pendekatan ini menganggap bahwa biaya perjalanan serta waktu yang dikorbankan para wisatawan untuk menuju obyek wisata dianggap sebagai nilai lingkungan yang wisatawan bersedia untuk membayar. Ingat bahwa dalam suatu perjalanan (travel) orang harus membayar “biaya finansial” (financial costs) dan “biaya waktu”. Biaya waktu tergantung pada biaya kesempatan (opportunity costs) masing-masing.
3.2.3 Teknik survei Beberapa teknik survei seperti lelang, survei langsung
dan
metode Delphi dapat digunakan untuk menentukan nilai lingkungan.
Lelang Pendekatan ini banyak dipakai dalam hal kita harus mencari kesediaan membayar untuk dilaksanakannya suatu proyek atau kesediaan untuk menerima pembayaran demi tidak dilakukannya suatu proyek yang berkaitan dengan lingkungan. Dengan kata 29
lain pendekatan idengan cara lelang ini digunakan untuk mengetahui preferensi masyarakat sehingga nilai barang dan jasa lingkungan dapat ditentukan.
Survei langsung Mewawancarai responden secara langsung mengenai kesediaan mereka untuk membayar (willingnes to pay)
atau kesediaan
menerima pembayaran (willingnes to accept) karena perubahan lingkungan dapat dipakai untuk menentukan nilai lingkungan.
Pendekatan Delphi Pendekatan ini mendasarkan diri pada pendapat para ahli tentang nilai lingkungan tertentu, dan telah banyak dipraktekkan dalam pengambilan keputusan. Dalam hal penentuan nilai lingkungan, pendekatan ini ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan serta latar belakang kehidupan para ahli.
3.3
Teknik Valuasi Ekonomi
3.3.1 Pengukuran Nilai Ekonomi Barang dan Jasa yang Diperdagangkan (Traded Value) Komponen barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam terdiri dari 2 yaitu : barang dan jasa yang diperdagangkan (traded
goods) dan tidak diperdagangkan (non-traded). Untuk barang dan jasa yang diperdagangkan, teknik pengukuran nilai ekonominya dapat dilakukan dengan lebih terukur karena bentuk fisiknya jelas dan memiliki nilai pasar (market value). Beberapa cara pengukuran yang dapat dilakukan menyangkut surplus konsumen dan surplus produsen.
Surplus Konsumen Surplus konsumen adalah pengukuran kesejahteraan di tingkat konsumen yang diukur berdasarkan selisih keinginan membayar dari seseorang dengan apa yang sebenarnya dia bayar. Di dalam 30
valuasi ekonomi sumberdaya, surplus konsumen ini dapat digunakan untuk mengukur besarnya kehilangan (loss) akibat kerusakan ekosistem dengan mengukur perubahan konsumer surplus.
Surplus Produsen Surplus produsen diukur dari sisi manfaat dan kehilangan dari sisi produsen atau pelaku ekonomi. Dalam bentuk yang sederhana, nilai ini dapat diukur tanpa harus mengetahui kurva penawaran dari barang yang diperdagangkan.
3.3.2 Pengukuran Nilai Ekonomi Barang dan Jasa yang Tidak Diperdagangkan (Non-Traded Value) Beberapa barang dan jasa yang dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan seperti nilai rekreasi, nilai keindahan dan sebagainya yang tidak diperdagangkan dan sulit mendapatkan data mengenai harga dan kuantitas dari barang dan jasa tersebut. Untuk itu, para ahli ekonomi sumberdaya melakukan beberapa pendekatan untuk mengukur barang dan jasa yang termasuk dalam kategori tersebut. Diantaranya : a. Teknik Pengukuran Tidak Langsung (Indirect) Penilaian terhadap barang dan jasa yang tidak diperdagangkan dapat
dilakukan
menggunakan
teknik
tidak
langsung
yang
didasarkan pada deduksi atas perilaku seseorang atau masyarakat secara keseluruhan terhadap penilaian sumberdaya alam, sehingga teknik ini juga sering disebut teknik revealed willingness to pay. Dengan teknik ini diharapkan akan diperoleh nilai yang secara konseptual identik dengan nilai pasar (market value). Termasuk di dalam teknik-teknik ini antara lain; Hedonic Price and Wage Techniques, the Travel Cost Methods, Averrive Behavior and 31
Conventional Market Approaches. Semua itu adalah tidak langsung sebab mereka tidak tergantung pada jawaban langsung masyarakat terhadap pertanyaan tentang, "berapa banyak mereka KUM/WTP atau KUA/WTA untuk perubahan kualitas lingkungan hidup" (CSERGE, 1994). 1. Travel Cost Method (TCM) •
Dapat digunakan untuk menilai daerah tujuan wisata alam.
•
Dilakukan dengan cara survei biaya perjalanan dan atribut lainnya terhadap respon pengunjung suatu obyek wisata.
•
Biaya perjalanan total merupakan biaya perjalanan PP, makan dan penginapan.
•
Surplus konsumen merupakan nilai ekonomi lingkungan obyek wisata tersebut.
2. Hedonic Pricing Method (HP) Teknik ini pada prinsipnya adalah mengestimasi nilai implicit dari karakteristik atau atribut yang melekat pada suatu produk dan mengkaji hubungan antara karakteristik yang dihasilkan tersebut dengan permintaan barang dan jasa. Analisa HP biasanya melibatkan dua tahapan. Pertama adalah menentukan variable kualitas lingkungan yang akan dijadikan studi (fungsi HP) dan mengkajinya ketersediaan data spasial dan juga data dari harga dari suatu obyek yang akan dinilai. Kedua adalah menentukan fungsi permintaan. Teori dasarnya adalah ada keterkaitan antara permintaan atau produksi
komoditi
commodity)
dengan
yang yang
dapat tidak
dipasarkan dapat
(marketable
dipasarkan
(non
marketable commodity). 32
Contoh (1) hasil tangkapan ikan dalam suatu area tertentu merupakan fungsi dari kualitas perairan (PI = B1PL + B20T + B3SA + B4NI), (2) nilai keindahan alam dan udara bersih suatu pantai dapat dinilai melalui harga rumah tinggal yang berlokasi sesuai dengan kriteria yang dimaksud. Dengan kata lain, harga rumah di suatu lokasi merupakan fungsi dari kualitas udara dan keindahan alam (Pembiayaan = a + b1S + b2N + b3E). Langkah pelaksanaannya: 1. Identifikasi kualitas lingkungan, isu penting, ketersediaan data sekunder. 2. Temukan cara pengukuran kualitas lingkungan (bising dengan db, udara dengan kandungan partikulat, S02, air dengan BOD, COD dll). 3. Spesifikasi fungsi persamaan hedonic. 4. Pengumpulan data 5. Pengolahan data 6. Intepretasi 7. Pembuatan laporan Secara rinci tahapan tersebut diuraikan sebagai berikut: 1. Menentukan fungsi HP. Pada tahap ini melibatkan pemodelan beberapa variable karakteristik yang diduga mempengaruhi permintaan suatu barang dan jasa.
Permintaan (P) akan dipengaruhi oleh
beberapa variable karakteristik, seperti kualitas lingkungan (Q), tingkat kebisingan (N), dan asesibility (A). Jika variabel-variabel ini sudah teridentifikasi, teknik regresi sederhana seperti dalam CVM bisa dilakukan untuk mengestimasi fungsi tersebut melalui persamaan: Ph = f (Qj, Nk, At) 33
Dari persamaan di atas akan diperoleh fungsi permintaan implisist terhadap kualitas lingkungan. Dengan menurunkan fungsi di atas terhadap variable Q akan diperoleh: dPh ----- = f (Qj, Nk, At) dQj Fungsi ini juga disebut sebagai fungsi permintaan terbalik (inverse demand curve) bagi kualitas lingkungan. 2. Menentukan fungsi permintaan dari variable lingkungan yang ingin diketahui. Tahap ini adalah menentukan fungsi permintaan dari kualitas lingkungan berdasarkan informasi yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Penentuan fungsi permintaan ini akan dipengaruhi oleh informasi mengenai sisi penawaran (supply) pasar. b. Teknik Pengukuran Langsung (Direct) Pada pendekatan pengukuran secara langsung,
nilai ekonomi
sumberdaya dan lingkungan dapat diperoleh langsung dengan menanyakan kepada individu atau masyarakat mengenai keinginan membayar mereka (willingness to pay) terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Pendekatan langsung menurunkan preferensi secara langsung dengan cara survey dan teknik-teknik percobaan (experimental
tecniques) misalnya “contingent valuation" dan “contingent ranking methods”.
34
o
Contingent Valuation Method (CVM) Pendekatan ini disebut contingent (tergantung kondisi) karena pada prakteknya informasi yang diperoleh sangat tergantung dari hipotesis pasar yang dibangun, misalnya: seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana pembayarannya, dsb. Pendekatan CVM ini secara teknis dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
teknis
eksperimental
melalui
simulasi
dan
permainan dan melalui teknik survey. Pendekatan pertama lebih banyak dilakukan dengan melalui simulasi computer sehingga penggunaannya di lapangan sangat sedikit. Pendekatan CVM pada hakekatnya bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (willingness to pay atau WTP) dari sekelompok masyarakat misalnya terhadap perbaikan kualitas lingkungan dan keinginan menerima (willingness to accept atau WTA) dari kerusakan suatu lingkungan perairan. Metode CVM merpakan metode valuasi melalui survei langsung mengenai penilaian respon secara individual dengan cara menanyakan kesediaan untuk membayar (willingness to pay) terhadap suatu komoditi lingkungan atau terhadap suatu sumberdaya yang non marketable. Dikatakan contingent, karena pada kondisi tersebut respon seolah-olah clihadapkan pada
pasar
yang
sesungguhnya
dimana
sedang
terjadi
transaksi. Metoda ini selain dapat digunakan untuk mengkuantifikasi nilai pilihan,
nilai eksistensi dan
nilai
pewarisan juga
dapat
digunakan untuk menilai penurunan kualitas. 35
Ada 4 macam tipe pertanyaan, yaitu (1) Direct Question Method disebut juga pertanyaan terbuka, (2) Bidding Game, (3) Payment Card, (4) Take it or leave it. Ada lima macam (sumber) bias yang perlu diwaspadai, yaitu (1) strategic bias, (2) starting point bias, (3) hyphotetical bias, (4) sampling bias dan (5) commodity spesificafion bias. Tahap prosedur Pelaksanaan Survei CVM : 1. Identifikasi issu atau dampak lingkungan yang akan dinilai. 2. Identifikasi
populasi
yang
terkena
dampak
atau
yang
memanfaatkan sumberdaya tersebut atau yang mengerti betul. 3. Tetapkan prosedur survei, kapan dan dimana. 4. Tentukan cara sampling dan pemilihan sampel. 5. Desain kuisioner meliputi jenis dan isi pertanyaan. 6. Melakukan pelatihan terhadap surveyor mengenai tata cara survei. 7. Lakukan uji pendahuluan kuisioner (pretest) untuk meminimalkan bias yang mungkin terjadi. 8. Pelaksanaan survei dan ekstraksi data. 9. Pengolahan data. 10. Penulisan laporan. Analisis valuasi ekonomi sumberdaya alam secara umum dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu cara langsung (direct method) dan cara tidak langsung (indirect method). Teknik penilaian secara langsung sering menggunakan contingent valuation method (CVM), sedangkan untuk teknik tidak langsung pendekatan yang biasa digunakan adalah
hedonic
pricing
(HP).
Dalam
operasionalnya
untuk
melakukan
pendekatan CVM dilakukan lima tahapan kegiatan atau proses, yaitu: 1. Membuat hipotesis pasar.
36
Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti terlebih dahulu harus membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan divaluasi. Dalam hal ini kita bisa membuat suatu kuesioner yang berisi informasi lengkap mengenai kegiatan atau proyek yang akan dilaksanakan. Kuesioner ini bisa terlebih dahulu diuji pada kelompok kecil untuk mengetahui reaksi dari proyek yang akan dilakukan sebelum proyek tersebut betul-betul dilaksanakan. 2. Mendapatkan nilai lelang (bids). Untuk memperoleh nilai lelang dilakukan dengan melakukan survei baik melalui survei langsung dengan kuesioner, interview via telpon maupun lewat surat. Tujuan dari survei ini untuk memperoleh nilai maksimum keinginan membayar (WTP) dari responden terhadap suatu proyek misalnya perbaikan lingkungan. Nilai lelang ini bisa dilakukan dengan teknik: pertanyaan berstruktur dengan membuat kuesioner yang berstruktur sehingga akan diperoleh nilai WTP yang maksimum,
pertanyaan
terbuka
yaitu
responden
diberikan
kebebasan untuk menyatakan nilai moneter (rupiah yang ingin dibayar)
untuk
suatu
proyek
perbaikan
lingkungan,
model
referendum yaitu responden diberikan suatu nilai rupiah, kemudian kepada mereka diberikan pertanyaan setuju atau tidak. 3. Menghitung rataan WTP dan WTA. Setelah survey dilaksanakan, tahap berikutnya adalah menghitung nilai rataan dari WTP dan WTA dari setiap individu. Nilai ini didasarkan nilai lelang (bid) yang diperoleh pada tahap dua. Perhitungan ini biasanya didasarkan pada nilai “mean” (rataan) dan nilai “median” (nilai tengah). Pada tahap ini harus diperhatikan kemungkinan
timbulnya
“outlier”
(nilai
yang
sangat
jauh
menyimpang dari nilai rata-rata). Perhitungan nilai rataan WTP dan 37
WTA lebih mudah dilakukan untuk survey yang menggunakan pertanyaan berstruktur daripada pertanyaan referendum. 4. Memperkirakan kurva lelang (bid curve). Kurva lelang (bid curve) diperoleh misalnya dengan me-regresikan WTP/WTA sebagai variable tidak bebas (dependent variable) dengan
beberapa
memformulasikan
variable bahwa
bebas. WTP
dari
Misalnya seorang
saja
kita
ingin
individu
akan
dipengaruhi oleh pendapatan (I), pendidikan (E), umur (A) dan kualitas lingkungan (Q), maka secara matematis bisa dituliskan sebagai berikut: Wi = f (I,E,A,Q) Persamaan di atas secara lebih eksplisit bisa dituliskan dalam fungsi logarithmic sehingga bisa diestimasi dengan metode regresi biasa, misalnya: LnWi = a0 + a1 LnI1 + a2 LnE2 + a3LnAi + a4LnQi + e Dimana i menunjukkan indeks responden, W adalah variable WTP, sedangkan variable lainnya sama dengan definisi di atas. 5. Meng-agregat-kan data. Tahap terakhir dalam teknik CVM adalah mengagregatkan rataan lelang yang diperoleh pada tahap ke-tiga. Proses ini melibatkan konversi dari data rataan sample ke rataan populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sample dengan jumlah rumah tangga didalam populasi. 38
Secara skematis pemilahan metode yang digunakan untuk penilaian ekonomi sumberdaya alam laut dan pesisir disajikan pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3.
Data demand dan supply, sdal tersedia lengkap
Y a
Metode manfaat sosial bersih (Net Social Beneft Methods)
Ti dak
Ada pasar hasil sdal (Hasil sdal dijual di pasar)
Y a
Ti dak
Hasil sdal merupakan barang siap pakai (Final Product)
Y a
Ti dak
Hasil sdal merupakan produk antara (Intermedite Product)
Y a
Metode Harga Pasar (Market Price Methods)
Harga penggantian (Surrogate Prices): 1 Harga substitusi 2 Harga Substitusi tak langsung 3 Biaya oportunitas tidak langsung 4 Nilai tukar 5 Biaya relokasi 6 Biaya perjalanan / pengadaan (Travel Cost)
Nilai Produksi : 1 Pendekatan fungsi produksi 2 Faktor pendapatan bersih
39
Gambar 3. 2 Bagan Alir Pemiliahan Metode Penilaian Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) SDAL
1. SDAL mempunyai fungsi perlindungan terhadap aset
Y a
2. 3. 4. 5.
Metode perlindungan asset (Protection of Assets) Biaya pemulihan Biaya rehabilitasi Nilai kehilangan produksi Biaya pembangunan
Ti dak
Nilai fungsi SDAL/Atribut SDAL dapat direfleksikan dalam nilai lahan atau harga lainnya
Y a
Hedonic Pricing
Ti dak
SDAL (Ekosistemnya) berfungsi mendukung produksi (Pertanian)
Y a
1. Nilai Produksi : 2. Pendekatan fungsi produksi 3. Faktor pendapatan bersih
Ti dak
Ada daftar pasar untuk barang yang mempunyai fungsi sama dengan fungsi hutan
Y a
Harga pengganti (Surrogate Prices) 1. Harga subtitusi 2. Harga subtitusi tak langsung
Ti dak
Fungsi/Atribut hutan tidak dapat didekati baik dengan transaksi komersial maupun penggantian dan dekat
Y
Penilaian Kontingensi (Contingent Valution)
40
Gambar 3. 3 Bagan Alir Pemilihan Metode Penelitian Nilai Guna Tidak Langsung (Indirect Use Value), nilai pilihan (Option Value) dan nilai keberadaan (Existence Value) Hutan Mangrove 3.4 Langkah-Langkah Penilaian Valuasi ekonomi Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Beberapa langkah yang harus ditempuh dalam melakukan penilaian sumberdaya alam (mineral lepas pantai) dan lingkungan yaitu:
Mengidentifikasi dampak penting dari suatu kegiatan atau kejadian.
Menguantifikasi besarnya dampak.
Dampak kuantitatif dinyatakan dalam nilai uang (rupiah/dollar).
Analisis ekonomi, misalnya dengan menggunakan analisis biaya dan manfaat yang diperluas, dengan memasukkan dimensi lingkungan dalam standar analisis biaya dan manfaat.
3.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove ( SDA Lahan Pesisir dan hutan Mangrove) a) Identifikasi Manfaat dan Fungsi Identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya alam adalah upaya penemuan nilai ekonomi total dari suatu SDA. Mengklasifikasikan fungsi dan manfaat ekosistem hutan mangrove dalam 2 kelompok penggunaan ekosistem, yaitu use value dan non use value.
Tabel 3. 1. Manfaat dan Fungsi Ekosistem Mangrove DUV
Use Value IUV
OUV
Non-Use Value EV
BV
41
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Kayu log Kayu Bakar Ikan Udang Burung Rekreasi Air tawar
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Spesies, habitat dan biodiversity
Fungsi ekologis Pengendali Banjir Pelindung abrasi Pelindung badai Penyerap karbon Wisata alam Dll
Pelindung habitat terancam punah, Keanekaraga man hayati spesies langka dan estetika
Spesies, habitat dan tradisi
b) Indentifikasi informasi / data Indentifikasi informasi / data yang diperlukan dan metode pengumpulannya, lalu tentukan metode penilaian yang sesuai dengan data tersedia. c) Kuantifikasi nilai ekonomi hutan mangrove. Untuk mengetahui harga setiap manfaat di atas dilakukan kuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut: (1) Nilai Pasar, (2) Harga Tidak Langsung dan (3) Metode nilai kontingensi . Nilai ekonomi hutan mangrove dimasukan dalam Tabel 3.1. d) Merupiahkan besarnya dampak Untuk mengetahui harga setiap manfaat dari ekosistem hutan mangrove yang paling tepat digunakan harga pasar. e) Analisis Ekonomi Suatu kegiatan atau proyek harus dipandang dari berbagai kelayakan
(feasibility),
diantaranya
adalah
kelayakan
teknis,
kelayakan finansial, kelayakan ekonomi, kelayakan sosial budaya, dan kelayakan lingkungan. (1) Net Present Value (NPV) NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih.
Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV 42
yang positif dan alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama.
Secara matematis, Net Present Value dapat
disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979) : n NPV = ∑ i =1
Bi - Ci (1+r)
i
Dimana : B C r i
= = = =
manfaat per tahun biaya discount rate per tahun jangka waktu perhitungan proyek
(2) Benefit Cost Ratio (BCR) Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan kita meletakkan alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematis, BCR dapat disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979): n ∑ i=1 Net BCR =
Dimana : B = C = R = i =
n ∑ i=1
B–C (1 + r)
0
<
0
i
C–B (1 + r)
>
i
manfaat per tahun biaya discount rate per tahun jangka waktu perhitungan proyek
Tabel 3. 2 Nilai Ekonomi Hutan Mangrove NO. (1)
JENIS MANFAAT (2)
Rp/ha/thn (3)
43
1
a.
Nilai Guna (Use Value)
Nilai Guna Langsung (Direct Use Value) 1) Kayu sebagai Bahan Baku a) Industri oleh HPH (mangrove) b) Kayu Bangunan oleh Masyarakat (kayu mangrove) 2) Nir-Kayu Sebagai Bahan Baku Industri (Jenis dominan : rotan) 3) Kayu sebagi Sumber Energi/ Kayu Bakar 4) Ikan 5) Udang 6) Burung 7) Air tawar 8) dll. Jumlah Nilai Guna Langsung
b.
Nilai Guna Tidak Langsung (In-Direct Use Value) 1) Fungsi Elologis 2) Pengendali Banjir 3) Pelindung Abrasi 4) Pelindung Badai 5) Penyerapan Karbon 6) Wisata Alam 7) Dll. Jumlah Nilai Guna Tidak Langsung
2.
Nilai Pilihan (Option Value) Flora dan Fauna
3.
Nilai Keberadaan (Existence Value) :
a b
Keanekaragam Hayati Perlindungan Habitat Jumlah Nilai Keberadaan : TOTAL NILAI HUTAN MANGROVE
1. Identifikasi Manfaat dan Fungsi Identifikasi manfaat dan fungsi sumberdaya alam adalah upaya penemuan nilai ekonomi total dari suatu SDA.
Tabel 3. 3. Manfaat dan Fungsi Ekosistem Coral Reef DUV
Use Value IUV
Non-Use Value OUV
EV
BV
44
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Ikan tangkap Marikultur Perdagangan Akuarium Udang Kerang Kepiting Wideng Ular Burung Sayuran Bahan obat Bahan bangunan
1. Penyedia pakan untuk kura-kura, ikan dan burung laut 2. Physical Protection 3. untuk : 4. Garis pantai, 5. Navigasi, 6. Ekosistem dan lainnya 7. Cadangan karbon global 8. Pariwisata 9. Keilmuan/penelitian
Spesies, habitat dan biodiversi ty
Habitat terancam punah, spesies langka dan estetika
Spesies, habitat dan tradisi
2.Indentifikasi informasi / data Indentifikasi informasi / data yang diperlukan dan metode pengumpulannya, lalu tentukan metode penilaian yang sesuai dengan data tersedia. Data-data yang dibutuhkan untuk keperluan valuasi ekonomi terumbu karang : a. Data persen penutupan karang hidup beserta kondisinya dan kelimpahan ikan karang. b. Data panjang garis pantai (km) dan luas terumbu karang (ha) Æ dapat mengacu dari data COREMAP. c.
Alat tangkap yang digunakan nelayan di sekitar terumbu karang (bagan/kelong, bubu, gill net, pancing, trammel net).
d. Jumlah armada kapal (kapal motor, perahu tanpa motor dan motor tempel) dan produksinya (ton). e. Daerah operasi penangkapan ikan dan waktu operasi. f.
Data jenis-jenis ikan karang tangkap yang dominan. Data hasil tangkapan (total produksi) ikan di sekitar terumbu karang (termasuk didalamnya udang dan moluska) Æ produksi (ton/th) dan nilai jualnya (US$).
g. Jumlah RTP (Rumah Tangga Perikanan). Adapun metode penilai ekosisitem terumbu karang seperti pada Tabel 3.4. 45
Tabel 3. 4 Matriks Metode Penilaian Ekonomi Ekosistem Terumbu No. 1. 2.
3.
Klasifikasi Nilai Pakai Langsung (Direct Use Values) Nilai Pakai Tidak Langsung (Indirect Use Values) I Option Values Nilai
Metode Penilaian
Effect on Production dan Replacement Cost-Benefit Effect on Production atau Replacement Cost-Benefit
Nilai Non-Pakai (Non-use Values) III Existence Values
II Transfer CostBenefit
IV Transfer CostBenefit
Sumber : Dimodifikasi dari Barton (1994)
1. Kuantifikasi nilai ekonomi hutan mangrove Untuk mengetahui harga setiap manfaat di atas dilakukan kuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut
:
(1) Nilai
Pasar, (2) Harga Tidak Langsung dan (3) Metode nilai kontingensi. 2. Identifikasi Biaya Komponen biaya terdiri atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.
Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan agar dapat
mengambil manfaat dari ekosistem tersebut.
Sedangkan biaya tidak
langsung adalah biaya yang dikeluarkan untuk memelihara ekosistem tersebut agar tetap memberikan manfaat secara lestari
(biaya
rehabilitasi dan proteksi). Selain investasi, diperlukan juga biaya operasional, biaya tahunan dan pajak yang secara lengkap disajikan pada Tabel 3.5. Tabel 3. 5 Biaya Langsung Penangkapan Ikan Karang per Rumah Tangga No. 1.
Investasi
Jenis Biaya
Komponen Kapal Mesin (11 PK) Jaring Kompas Tali slambar
Sub total (1)
46
2.
Operasi
Solar Oli Es
3.
Biaya Tetap Tahunan a. Depresiasi
Sub total (2)
b. Biaya Pemeliharaan
4.
Kapal Mesin (11 PK) Jaring Kompas Tali slambar Kapal Mesin (11 PK) Jaring
Sub total (3)
Pajak
Sub total (4)
Total
Sumber : Saragih (1993)
3. Analisis Biaya Manfaat Kriteria (NPV dan BCR) Dalam langkah yang terakhir ini, nilai-nilai yang diperoleh berasal dari langkah sebelumnya dan menunjukkan bagaimana manfaat dan biaya menyebar. Hal ini ditujukan untuk membentuk aliran tunai (cash
flow).
Untuk tujuan ini kita harus mengetahui tingkat diskon
masyarakat.
Tingkat diskon menunjukkan angka dimana kita akan
mengorbankan konsumsi masa datang untuk masa sekarang.
Angka
diskon positif yang tinggi menyatakan secara tidak langsung bahwa kita menilai konsumsi saat sekarang lebih tinggi dari konsumsi masa yang akan datang.
Nilai diskon nol persen menyatakan bahwa kita tidak
membedakan antara nilai konsumsi sekarang dan mendatang. Sedangkan kriteria-kriteria yang paling umum digunakan dalam analisis manfaat biaya ini adalah sebagai berikut : (1) Net Present Value (NPV) NPV atau nilai sekarang bersih adalah jumlah nilai sekarang dari manfaat bersih.
Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV 47
yang positif dan alternatif yang mempunyai NPV tertinggi pada peringkat pertama.
Secara matematis, Net Present Value dapat
disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979) : n NPV = ∑ i =1
Dimana : B = C = r = i =
Bi - Ci (1+r)
i
manfaat per tahun biaya discount rate per tahun jangka waktu perhitungan proyek
(2) Benefit Cost Ratio (BCR) Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria alternatif yang layak adalah BCR > 1 dan kita meletakkan alternatif yang mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Secara matematis, BCR dapat disajikan sebagai berikut (Abelson, 1979):
n ∑ i=1 Net BCR =
Dimana : B = C = R = i =
n ∑ i=1
B–C (1 + r)
0
<
0
i
C–B (1 + r)
>
i
manfaat per tahun biaya discount rate per tahun jangka waktu perhitungan proyek 48
3.4.3 Valuasi Ekonomi Sumbedaya Mineral Lepas Pantai 1. Identifikasi dampak penting Suatu dampak kegiatan terhadap lingkungan hidup dikatakan sebagai dampak penting apabila mempunyai kriteria sebagai berikut: •
Jumlah manusia yang terkena dampak cukup banyak,
•
Wilayah persebaran dampak cukup luas,
•
Intensitas dampak cukup tinggi dan berlangsung lama,
•
Banyak komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak,
•
Dampak yang bersangkutan bersifat kumulatif,
•
Dampak lingkungan itu bersifat tidak terbalik (irreversible).
2. Mengkuantifikasi besarnya dampak Untuk mengetahui harga setiap manfaat di atas dilakukan kuantifikasi segenap manfaat dan fungsi ke dalam nilai uang. Teknik kuantifikasi yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) Nilai Pasar, (2) Harga Tidak Langsung dan (3) Metode nilai kontingensi 3. Merupiahkan besarnya dampak Untuk mengetahui harga setiap manfaat dari sumberdaya mineral lepas pantai yang paling tepat digunakan harga pasar. Sumberdaya mineral sebagai bahan bangunan, yaitu seluruh sumberdaya mineral tersebut digunakan sebagai campuran dengan semen. Sumberdaya mineral lepas pantai biasanya didominasi oleh mineral-mineral kuarsa yang bagus untuk bahan bangunan. Sebelum digunakan mineral-mineral tersebut dicuci terlebih dahulu untuk menghilangkan kadar garam yang tinggi. Harga setiap meter kubik
49
mineral tergantung pasar, dan biasanya dijual tidak jauh dari lokasi penambangan. Sumberdaya mineral lepas pantai sebagai material urugan, yaitu seluruh bahan galian yang digali dari dasar laut digunakan sebagai bahan urugan, walaupun didalam bahan galian tersebut kemungkinan terkandung berbagai jenis mineral berharga. Contoh untuk jenis ini adalah pasir laut dari perairan Propinsi Riau yang marak dijual ke Singapura. Nilai dari mineral tersebut biasanya pada harga pasar lokal. Sebagai contoh adalah pasir laut dari perairan Riau yang dijual hanya ke Singapura, meskipun sudah lintas Negara tetapi dilihat dari jaraknya masih dianggap pasar lokal. Sumberdaya mineral lepas pantai sebagai bahan baku industri, yaitu bahan galian yang diambil dari dasar laut kemudian diekstrak dan didapatkan mineral-mineral berharga seperti: magnetit, zircon, illmenit, monzonit, rutil, casiterit, emas dan platina. Nilai dari masing-masing mineral dapat dilihat pada harga pasar, baik pasar lokal, regional, maupun internasional. Harga lokal dapat diketahui secara langsung di daerah survey, sedangkan harga regional dan internasional dapat dilihat pada internet. 4. Analisis Ekonomi Suatu kegiatan atau proyek harus dipandang dari berbagai kelayakan (feasibility), diantaranya adalah kelayakan teknis, kelayakan finansial, kelayakan ekonomi, kelayakan sosial budaya, dan kelayakan lingkungan. Net Present Value (NPV) Setelah perkiraan nilai biaya dan manfaat suatu proyek atau kegiatan diperoleh, maka analisis mengenai layak atau tidaknya suatu kegiatan atau proyek harus dibuat. Salah satu cara yang umum dipakai adalah menghitung nilai sekarang bersih (net present value = NPV), 50
yaitu dengan cara mengurangkan semua nilai manfaat dengan semua nilai biaya yang seluruhnya dinyatakan dalam nilai sekarang. Apabila positip (NPV > 0), maka proyek atau kegiatan dinyatakan layak. Dalam rangka penentuan besarnya pungutan lingkungan, maka yang digunakan sebagai alat analisis adalah analisis biaya dan manfaat yang telah dikembangkan (extended net present value). Untuk jenis sumberdaya mineral digunakan rumus (Abelson, P., 1979) sebagai berikut: n (PQ – SC + Eb – Ec)i NPV = ∑ -----------------------------i=1 (1+r)i dimana: NPV P Q SC Eb
= = = = =
Ec
=
r i n
= = =
Net Present Value Price of Mineral Quantity sold Social Cost of resources used in production External Benefits (include social assets created by the mineral companies, such as roads and ports) External Cost (water pollution and distruction of fauna and flora) The discount rate year in the life of the project number of years in the life of the project
Benefit Cost Ratio (BCR) Selain analisis NPV, dalam analisis kelayakan proyek dikenal analisis perbandingan antara manfaat dan biaya proyek atau kegiatan yang umum disebut sebagai benefit – cost ratio analysis (BCR). Cara ini dilakukan dengan cara membandingkan antara total manfaat proyek terhadap total biaya proyek, yang semuanya
dinyatakan dalam nilai
sekarang. Nilai biaya dan manfaat juga harus dihitung dengan memasukkan unsur biaya dan manfaat eksternal (unsur lingkungan). Kriteria kelayakan suatu proyek atau kegiatan adalah sebagai berikut: •
Apabila nilai B/C > 1, maka proyek atau kegiatan dinyatakan layak. 51
•
Apabila nilai B/C <= 1, maka proyek atau kegiatan dinyatakan tidak layak.
52
DAFTAR PUSTAKA
Cesar, H., 1996. "Economic Analysis of Indonesian Coral Reefs." World Bank Environment Department Department Paper, Environmentally Sustainable Development Vice Presidency. December 1996. The World Bank. Davis, R., 1963. Recreation Planning as an Economic Problem. Natural Resource Journal 3, 239-249. Djajadiningrat, S.T. 2001. Untuk Generasi Masa Depan: Tantangan dan Permasalahan Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung
Teknik Valuasi Sumberdaya Alam dan Fauzi, Akhmad., 1999. Lingkungan. Bahan pelatihan “Manajemen Lingkungan Segara Anakan”. Bogor, Agustus 1999. Fauzi, Akhmad., 2002. Teknik Valuasi Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bahan pelatihan “Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan, Universitas Diponegoro”. Semarang, Maret 2002. Field, B.C. 1994. Environmental Economics: An introduction McGrawHill Book Co. Hutomo, M. (1987), "Coral Fish Resources and Their Relation to Reef Condition: Some Case Studies in Indonesian Waters", Coral Reef Management in Southeast Asia. Vol. 29, pp. 67-8 1. Krutila, J. (1967). Conservation Reconsidered. American Economic Review, 57, 787-796 Kusumastanto, T. 2000. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kusumastanto, T Dan Purwanto, A.B. 2001. Metode Penghitungan Nilai Ekonomi Sumberdaya Alam. Prosiding Rapat Koordinasi Teknis Neraca Sumberdaya Alam Spasial. Bakosurtanal Nugroho, B, 2001. Paparan Teoritis : Menghitung Nilai Ekonomi Sumberdaya Hutan. Najalah Surili Edisi 21/2001(hal 17 21).
Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis (Terjemahan Muhammad Eidman, Koesoebiono, Dietriech G. B., Malikusworo Hutomo Dan Sukristijono. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Pearce, D.W. 1986. The Economics of Natural Resource Management. Projects Policy Department. The World Bank. Washington. Repetto, R. et. Al. 1992. Green Fees : How a tax shift can work for the environment and the economy. Suparmoko, M. 1998. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. BPFE, Yogyakarta. Suparmoko, M. 2002. Penilaian Ekonomi : Sumberdaya Alam dan Lingkungan (konsep dan Metode Penghitungan). LPPEM Wacana Mulia, Jakarta. Tietenberg, T. 1995. Environmental and Natural Resources Economics. HarperCollins Publishers, Inc., New York.
54
Lampiran 1. Contoh Perhitungan Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove 1. Nilai Guna Langsung a). Nilai Kayu log Nilai manfaat kayu log dihitung berdasarkan data, tegakan, kerapatan dan diameter kayu tersebut. Nilai kayu mangrove per ha dapat dihitung dengan menggunakan rumus Nilai kayu mangrove = Vha x H= 1/2πD2TK x H – B (Rp.m3/ha/th) Dimana : Vha H T K D B
= = = = = =
Volume kayu mangrove per hektar per tahun Harga kayu mangrove Tinggi rata-rata Kerapatan rata-rata Diameter rata-rata Biaya operasional
b). Nilai lkan Nilai ikan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Nilai ikan = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= = =
Tangkapan ikan (kg/ha/th) Harga jual (Rp/kg) Biaya operasional (Rp)
c). Nilai Udang Nilai udang dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Nilai udang = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= = =
Tangkapan udang (kg/ha/th) Harga jual (Rp/kg) Biaya operasional (Rp)
d). Nilai Kepiting Nilai kepiting dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Nilai kepiting = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= = =
Tangkapan kepiting (ekor/ha/th) Harga jual (Rp/ekor) Biaya operasional (Rp)
e). Nilai Burung Nilai burung dihitung berdasarkan jumlah hasil bul tan pertahun dikalikan dengan harga jual. Nilai burung = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= = =
Tangkapan burung (ekor/ha/th) Harga jual (Rp/ekor) Biaya operasional (Rp)
f). Nilai Kerang Nilai kerang dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Nilai kerang = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= Tangkapan kerang (kg/ha/th) = Harga jual (Rp/kg) = Biaya operasional (Rp)
2. Manfaat tidak Langsung a). Fungsi biologis Manfaat tidak langsung ekosistem hutan mangrove di antaranya adalah sebagai tempat penyediaan pakan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning 56
ground) ikan. Manfaat ini dapat didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan di perairan sekitar hutan mangrove tersebut dikurangi biaya investasi dan operasional (asumsi fungsi ini tersebar secara merata). Nilai yang diperhitungkan ini tidak meliputi ikan hasil
tangkapan
laut
lepas
pantai
yang
dianggap
tidak
memanfaatkan fungsi hutan tersebut. Nilai fungsi biologis = (T x H) – B (Rp/ha/th) Dimana : T H B
= Tangkapan ikan (kg/ha/th) = Harga jual (Rp/kg) = Biaya operasional (Rp)
b). Fungsi Fisik Selain itu, ekosistem hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang laut. Nilai ini dihitung melalui pendekatan biaya pembuatan beton yang setara dengan fungsi hutan mangrove sebagai penahan abrasi. Nilai fungsi fisik = (P L D) x Dt x Pgp x B (Rp/ha/th) Dimana : PLD
=
Dt Pgp B
= = =
Pemecah gelombang berukuran Panjang x Lebar x Dalam (m3) Daya tahan (th) Panjang garis pantai (m) Biaya standar beton (Rp)
3. Nilai Pilihan Nilai plihan dapat diketahui dengan menggunakan Contingent Valuation Method. Nilai pilihan hasil penelitian Ruintenbeek, 1991 sebesar US$ 1.500/km2/th dapat pula
dijadikan sebagai acuan
dengan asumsi hutan mangrove tersebut berfungsi penting secara ekologis dan tetap terpelihara.
57
4. Nilai Eksistensi Nilai ini juga dapat diketahui melalui pendekatan Ccntingent Valuation.
Nilai
Rupiah (rata-rata)/m2/th
yang diperoleh
dari
sejumlah responden merupakan nilai eksistensi hutan mangrove tersebut. Fakhrudin, 1996 mendapatkan nilai eksistensi hutan mangrove sebesar Rp 33,5 milyar/th untuk kawasan butan mangrove di Kab. Subang. 5. Nilai Ekonomi Total Hutan Mangrove Nilai ekonomi total hutan mangrove merupakan perjumlahan nilai manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat eksistensi.
58
Lampiran 2. Contoh Perhitungan Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang
1. Manfaat Langsung a). Nilai Ikan Nilai ikan dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan ikan 3.000 kg/th dengan harga jual Rp 2.000/kg dikurangi biaya operasional Rp 100.000/th maka diperoleh nilai ikan = (3.000 kg/th x Rp 2.000/kg) – Rp 100.000 = Rp 5.900.000/th. b). Nilai Marikultur Nilai marikultur dihitung berdasarkan biaya pembuatan sebuah marikultur. c). Nilai Perdagangan Akuarium Nilai perdagangan akuarium dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun ikan hias untuk keperluan akuarium dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan ikan hias 2.000 ekor/th dengan harga jual Rp 5.000/ekor dikurangi biaya operasional Rp 100.000/th (pancing, umpan, wadah dsb) maka diperoleh nilai = (2.000 ekor/th x Rp 5.000/ekor) - Rp 100. 000 = Rp 9.900. 000/th. d). Nilai Udang Nilai udang dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan udang 10.000 kg/th dengan harga jual Rp 10.000/kg dikurangi biaya operasional Rp 1.000.000/th (jaring udang) maka diperoleh nilai = (10.000 kg/th x Rp 10.000/kg) - Rp 1.000.000 = Rp 90.000.000/th. 59
e). Nilai Kerang Nilai kerang dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil kerang 1.000 kg/th dengan harga jual Rp 1.500/kg dikurangi biaya operasional Rp 30.000/th maka diperoleh nilai = (1.000 kg/th x Rp 1.500/kg) - Rp 30.000 = Rp 1.470.000/th. f). Nilai Kepiting Nilai kepiting dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan kepiting 2.000 ekor/th dengan harga jual Rp 500/ekor dikurangi biaya operasional Rp 100.000/th (pancing, umpan, wadah dsb) maka diperoleh nilai = (2.000 ekor/th x Rp 500/ekor) - Rp 100. 000 = Rp 1. 900. 000/th. g). Nilai Wideng Nilai belut dihitung berdasarkan jumlah hasil tangkapan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan wideng 5.000 kg/th dengan harga jual Rp 500/kg dikurangi biaya operasional Rp 100.000/th maka diperoleh nilai = (5.000 kg/th x Rp 500/kg) - Rp 100.000 = Rp 2.400.000/th. h). Nilai Ular Nilai ular yang diperoleh dari ekosistem hutan mangrove dihitung berdasarkan
hasil
tangkapan
pembiayaan
pertahun
dengan
menggunakan jaring. Misalkan, dari 100 ha hutan mangrove dihasilkan ular 1.000 kg/th dengan harga jual Rp 1.000/kg maka dalam satu tahun diperoleh nilai ular = (1.000 x Rp 1.000/kg) = Rp 1.000.000. Bila modal jaring Rp 50.000 maka nilai bersihnya = Rp 950. 000. 60
i). Nilai Burung Nilai burung dihitung berdasarkan jumlah hasil buruan pertahun dikalikan dengan harga jual. Bila dari luas lahan 100 ha didapatkan hasil tangkapan burung 2.000 ekor/th dengan harga jual Rp 1.000/ekor dikurangi biaya operasional Rp 250.000/th (senapan angin dan mimisnya) maka diperoleh nilai= (2.000 kg/th x Rp 1.000/kg) - Rp 250.000 = Rp 1.750.000/th. Catatan: Nilai manfaat diatas harus dikurangi Unit rent untuk mendapatkan nilai valuasi. 2. Manfaat Tidak Langsung a). Fungsi Biologis Manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang diantaranya adalah sebagai tempat penyediaan pakan (feeding ground), tempat pembesaran (nursery ground) dan tempat pemijahan (spawning
ground) ikan, kura-kura dan burung laut. Manfaat ini dapat didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan, kura-kura dan burung laut di perairan sekitar terumbu karang tersebut dikurangi biaya investasi dan operasional (asumsi fungsi ini tersebar secara merata). Nilai yang diperhitungkan ini tidak meliputi ikan hasil tangkapan laut lepas pantai yang dianggap tidak memanfaatkan fungsi terumbu karang tersebut. b). Fungsi Fisik Selain itu, ekosistem terumbu karang juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari gelombang laut. Nilai ini dihitung melalui pendekatan biaya pernbuatan beton yang setara dengan fungsi terumbu karang sebagai penahan abrasi. Hasil perhitungan (Dahuri, 1995) biaya standar beton pemecah gelombang berukuran 1 m x 5 m x 6 m (panjang x lebar x dalam) dengan daya tahan 10 th adalah 61
Rp 3.000.000 diketahui dengan cara mengalikan nilai standar tersebut dengan panjang garis pantainya. Seandainya panjang garis tersebut adalah 30.000 m maka diperoleh nilai fungsi sebesar Rp 90 milyar/ 10 th atau Rp 9 milyar/th. Nilai kerusakan suatu ekosistem terumbu karang ekuivalen dengan biaya pembuatan terumbu karang buatan. c). Fungsi Estetik Ekosistem terumbu karang yang kaya akan keanekaragaman bentuk karang dan ikan-ikan karang menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan dan ilmuwan.
Oleh karena itu nilai fungsi estetik
terumbu karang dapat dihitung dengan biaya yang dikeluarkan untuk menikmati keindahan terumbu karang yang dapat dihitung dengan
Travel
Cost
Method.
Didalamnya
mencakup
biaya
perjalanan untuk mencapai daerah terumbu karang tersebut (biaya bahan bakar, sewa perahu), biaya peminjaman alat selam (masker, snorkel, SCUBA), biaya penginapan dan lain-lain. Indeks mortalitas
Hard Coral dapat digunakan sebagai proxy untuk menggambarkan kondisi terumbu karang yang ada. 3. Nilai Pilihan Nilai
pilihan
dapat
diketahui
dengan
menggunakan
metode
Contingent Valuation. Nilai pilihan hasil penelitian Ruintenbeek, 1991 sebesar US$ 1.500/km2/th dapat pula dijadikan sebagai acuan dengan asumsi terumbu karang tersebut berfungsi penting secara ekologis dan tetap terpelihara. 4. Nilai Eksistensi Nilai ini juga dapat diketahui melalui Pendekatan Contingent Valuation.
Nilai
Rupiah (rata-rata)/m2/th
yang diperoleh
dari 62
sejumlah responden merupakan nilai eksistensi terumbu karang tersebut. 5. Nilai Ekonomi Total Terumbu Karang Nilai ekonomi total terumbu karang merupakan penjumlahan nilai manfaat langsung, manfaat tidak langsung, manfaat pilihan dan manfaat eksistensi.
63