II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Sumberdaya Alam Soemarno MS (1991), mendefinisikan sumberdaya sebagai segala sumber persediaan yang secara potensial dapat didayagunakan. Dari sudut pandang ekonomi, sumberdaya mengandung arti masukan (input) dalam suatu proses produksi yang dapat menghasilkan produk yang bermanfaat, berupa barang dan jasa. Randall A (1989) mengatakan bahwa sumberdaya adalah segala sesuatu yang berguna dan bermanfaat. Sumberdaya alam dapat juga diartikan sebagai segala sumber hayati dan non hayati yang dimanfaatkan manusia sebagai sumber pangan, bahan baku dan energi. Dengan kata lain, sumberdaya alam adalah faktor produksi dari alam yang digunakan untuk menyediakan barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi (Fauzi A 2004). Lebih jauh Fauzi A (2004) menjelaskan bahwa, secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok stok dan kelompok flows (alur). Kelompok sumberdaya stok merupakan jenis sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (non renewable) atau terhabiskan (exhaustible). Sumberdaya ini dianggap memiliki sumberdaya terbatas, sehingga eksploitasi terhadap jenis sumberdaya ini akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Termasuk dalam jenis sumberdaya ini antara lain sumber daya mineral, logam, minyak, dan gas bumi. Kelompok kedua adalah flows (alur). Sumberdaya flows merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable). Kuantitas fisik sumberdaya ini berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang dapat dimanfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya dimasa mendatang. Regenerasi dari sumberdaya ini ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak. Ikan misalnya, regenerasi dari sumberdaya ini sangat tergantung dari proses biologi (reproduksi). Sementara energi surya, pasang surut, angin dan sebagainya tidak tergantung pada proses biologi, akan tetapi meski pun ada sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimum regenerasinya sudah terlewati, sumberdaya ini akan menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbarui (Fauzi A 2004).
6
2.2 Sumberdaya Ikan Dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 4 , ikan didefinisikan sebagai segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari
siklus
hidupnya
berada
di
dalam
lingkungan
perairan.
Dalam
pengelompokkan sumberdaya alam, ikan termasuk sebagai sumberdaya flows atau sumberdaya yang bersifat dapat diperbaharui atau memperbaharui diri (renewable). Nikijuluw VPH (2001) menyatakan bahwa sumberdaya ikan pada umumnya bersifat open acces (akses terbuka) dimana siapa saja bisa berpartispasi memanfatkan sumberdaya tersebut tanpa harus memilikinya. Lebih lanjut Nikijuluw VPH (2001) mengemukakan 3 (tiga) sifat khusus yang dimilki oleh sumberdaya ikan, yaitu: 1) Ekskludabitas Sifat phisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan bagi stakeholder tertentu menjadi sulit. 2) Subtraktabilitas Suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam pemanfatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama 3) Indivisibilitas Sifat ini pada hekekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdya milik bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walau pun secara administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen. 2.2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis Ikan pelagis merupakan ikan yang hidup pada lapisan permukaan perairan sampai tengah (mid layer). Ikan pelagis umumnya hidup secara bergerombol baik dengan kelompoknya mau pun jenis ikan lain. Ikan pelagis bersifat fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Bentuk tubuh ikan menyerutu (stream line) dan merupakan perenang cepat (Mukhsin I 2002).
7
Berdasarkan ukurannya Direktorat Jenderal Perikanan (1998) diacu dalam Bakosurtanal (1998) mengelompokkan ikan pelagis menjadi 2 (dua) kelompok yaitu : 1) Pelagis Besar Mempunyai ukuran 100-250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari kelompok ini antara lain ikan tuna (Thunnus spp), cakalang (Katsuwonus pelamis), tenggiri (Scomberomorus spp), dan tongkol (Euthynnus spp). 2) Pelagis Kecil Mempunyai ukuran 5-50 cm (ukuran dewasa), didominasi oleh 6 kelompok besar, yaitu kembung (Rastrelliger sp), layang (Decapterus sp), jenis selar (Selaroides sp dan Atale sp), lemuru (Sardinella sp) dan teri (Stolephorus sp) Ikan pelagis kecil adalah ikan yang hidup dilapisan permukaan, sampai kedalaman 30-60 m, tergantung pada kedalaman laut. Bila hidup di perairan yang secara berkala/musiman mengalami up welling (pengadukan) ikan pelagis kecil dapat membentuk biomassa yang besar (Mukhsin I 2002).
2.2.2 Sumberdaya Ikan Demersal Widodo J (1980) mengungkapkan perubahan ikan demersal berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan oleh : (1) Habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil, sehingga mengakibatkan daur hidup ikan demersal juga stabil. (2) Daerah ruayanya yang sempit dan ikan demersal cenderung menempati suatu daerah dengan tidak membentuk kelompok besar, oleh karena itu
besar
sediaannya sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang ditempatinya. Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan pelagis masih mampu beruaya ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya, sedangkan jenis ikan demersal tidak mampu untuk menghindar, sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan demersal. Ikan demersal pada umumnya dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubtrat lumpur, lumpur berpasir, karang dan karang berpasir (Fischer W dan PJP Whiteahead 1974)
8
2.2.3 Sumberdaya Ikan Teri Menurut Hutomo, Burhanuddin, A Djamali dan S Martosewojo (1987) ikan teri adalah semua jenis dari marga Stolephorus dari anak suku Engraulinae, anggota suku Engraulidae. Pada umumnya berukuran kecil sekitar 6-9 cm, yang berukuran relatif besar bisa mencapai 17, cm Ikan teri, Stelophorus, bersifat pelagik, menghuni perairan pesisir dan estuaria, tetapi beberapa jenis dapat hidup pada salinitas rendah antara 10-15 %. Umumnya hidup dalam gerombolan, terutam jenis-jenis yang berukuran kecil, yang terdiri atas ratusan sampai ribuan ekor. Jenis-jenis yang besar seperti Stolephorus indicus dan Stolephorus commersoni lebih bersifat soleter, sehingga tertangkap hanya dalam jumlah kecil (Hardenberg 1934 diacu dalam Hutomo et al. 1987). Laevastu T dan MI Hayes (1981) mengatakan bahwa ikan-ikan teri selama siang hari membentuk gerombolan di dasar perairan dan bermigrasi menuju permukaan pada malam hari, dimana ketebalan gerombolan ini mencapai 6-15 m. Kedalaman renang dari gerombolan teri bervariasi selama siang haridan bermigrasi kedaerah yang dangkal (permukaan) pada pagi dan sore hari.
2.3 Estimasi Stok Ikan Menurut Aziz KA (1989), suatu unit stok adalah sebuah kelompok yang berdiri sendiri, tanpa campur dari luar dan mempunyai karakteristik biologi dan dampak penangkapan seragam. Stok juga bisa didefenisikan sebagai masalah operasional, yaitu suatu sub kelompok dalam suatu spesies dapat diperlakukan sebagai
stok
jika
perbedaan-perbedaan
dalam
kelompok
tersebut
dan
pencampuran dengan kelompok lain dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang tidak absah (Gulland JA 1983 diacu dalam Sparre P and SC Venema 1999). Menurut Endroyono (2002), untuk menduga stok ikan di daerah tropis diperlukan pengetahuan tentang karakteristik dari ikan tersebut. Karekteristik tersebut meliputi keragaman spesies yang relatif banyak, sedangkan gerombolan dari tiap spesies tersebut relatif kecil dibandingkan dengan daerah tropis. Selain itu ikan tropis biasanya memijah dua kali dalam setahun.
9
Stok ikan pada suatu perairan dapat juga diduga dengan menggunakan dua metode, yaitu metode analitik dan metode holistic. Metode analitik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya , dengan melihat frekuensi panjang atau umur ikan. Metode holistik digunakan untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data hasil tangkapan dan upaya tanpa ada data komposisi ukuran ( Sparre P dan SC Venema 1998). Sparre P dan SC Venema (1998), menyatakan bahwa model yang sering digunakan untuk mengkaji stok ikan adalah model produksi surplus/surplus produksi, yaitu suatu model untuk mengkaji stok ikan berdasarkan data produksi dan upaya. Dengan metode akan diketahui tingkat upaya optimal, suatu upaya yang dapat menghasilkan produksi (hasil tangkapan) yang lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stok ikan dalam jangka panjang, atau yang dikenal dengan hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY).
2.4 Pengelolan Sumberdaya Ikan Pengelolaan sumberdaya perikanan merupakan suatu upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh penerapan kebijakan open access terhadap permasalahan ekologi dan sosial ekonomi di wilayah pesisir dan laut. Upaya ini muncul sebagai respon terhadap masalahmasalah yang terjadi dari praktek open access, berupa kerusakan sumberdaya hayati laut maupun konflik antar nelayan di wilayah perairan (Satria A 2001). Berdasarkan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 7, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, implementasi, serta penegakkan hukum dari peraturan perundangan di bidang perikanan yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktifitas sumberdaya ikan dan tujuan yang telah disepakati. Selanjutnya pada pasal 2 Undang-Undang No.31 tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
10
FAO (1995) mengemukakan bahwa berdasarkan status pemanfaatan, sumberdaya perikanan dibagi menjadi 6 (enam) kelompok yaitu : 1) Unexploited Stok sumberdaya ikan belum tereksploitasi (belum terjamah), sehingga aktifitas penangkapan ikan sangat dianjurkan guna memperoleh manfaat dari produksi. 2) Lightly exploited Sumberdaya ikan baru tereksploitasi dalam jumlah sedikit (< 25% dari MSY). Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat dianjurkan karena tidak mengganggu kelestarian sumberdaya, dan hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) masih bisa meningkat. 3) Moderately exploited Stok sumberdaya sudah tereksploitasi setengah dari MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan masih dianjurkan tanpa mengganggu kelestarian sumberdaya. CPUE mungkin mulai menurun. 4) Fully exploited Stok sumberdaya sudah tereksploitasi mendekati nilai MSY. Peningkatan jumlah upaya penangkapan sangat tidak dianjurkan walaupin jumlah tangkapan masih bisa meningkat karena akan mengganggu kelestarian sumberdaya ikan. CPUE pasti menurun. 5) Over exploited Stok sumberdaya sudah menurun karena tereksploitasi melebihi MSY. Upaya penangkapan harus diturunkan karena kelestarian sumberdaya ikan sudah terganggu. 6) Depleted Stok sumberdaya ikan dari tahun ke tahun mengalami penurunan secara drastis. Upaya penangkapan sangat dianjurkan untuk dihentikan karena kelestarian sumberdaya sudah sangat terancam.
2.5 Pengelolaan Perikanan yang Berkelanjutan Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 6 menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan
11
Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan. Menurut Simanjuntak S (2000) konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Untuk itu diperlukan pengetahuan mengenai batas kekuatan sumberdaya alam tersebut sampai seberapa jauh bisa digunakan tanpa terkuras atau rusak secara permanen Menurut World Commission on Environment and Development (WCED) (1987) diacu dalam Dahuri R (2003), pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Menurut Charles AT (2001), keberlanjutan pembangunan perikanan mengandung 4 (empat) komponen dasar yang harus terpenuhi. Komponen dasar tersebut adalah sebagai berikut : 1) Keberlanjutan ekologi (ecological sustainability). Berhubungan dengan stok dari sumberdaya ikan, daya dukung lingkungan dan keseimbangan dari ekosistem. 2) Keberlanjutan sosial-ekonomi (socioeconomic sustainability). Berhubungan dengan pemerataan kesejahteraan yang akan dan bisa diperoleh oleh generasi berikutnya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan. 3) Keberlanjutan masyarakat (community sustainability). Berhubungan
dengan
peningkatan
kualitas
kesejahteraan
masyarakat
khususnya masyarakat nelayan, sehingga dengan ini di diharapkan pengelolaan ikan secara berkelanjutan akan terus berlangsung secara turun temurun dari satu generasi kapada generasi berikutnya. 4) Keberlanjutan kelembagaan (institutional sustainability) Berhubungan dengan dukungan dari lembaga (pemerintah maupun swasta), administrasi yang baik dan keuangan sebagai prasyarat tercapainya 3 (tiga) komponen dasar sebelumnya. Dengan pendekatan ini, tampak bahwa pembangunan perikanan yang berkelanjutan bukan semata-mata ditujukan untuk kelestarian sumberdaya ikan itu
12
sendiri atau keuntungan ekonomi saja, melainkan juga keberlanjutan masyarakat dan lembaga perikanan.
2.6 Pemanfaatan Optimal Sumberdaya Ikan 2.6.1 Model Surplus Produksi Pengelolaan sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari (Maximum Sustainable Yield) atau disingkat MSY. Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi (surplus), sehingga apabila surplus ini dipanen (tidak lebih dan tidak kurang), maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Dengan kata lain konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biologi ikan semata (Fauzi A 2004). Menurut Aziz KA (1989) model surplus produksi adalah salah satu model yang digunakan dalam pengkajian stok ikan, yaitu dengan dengan menggunakan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan adalah suatu parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi ini diharapkan dapat mengganti bioamassa yang hilang akibat kematian, penangkapan mau pun faktor alami. Produksi yang berlebih dari kebutuhan penggantian dianggap sebagai surplus yang dapat dipanen. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan surplus yang diproduksi maka perikanan tersebut berada dalam kondisi equilibrium atau seimbang. Fauzi A (2004) mengatakan bahwa fungsi pertambahan atau pertumbuhan atau perubahan stok biomass ikan yang pada periode waktu tertentu ditentukan oleh populasi awal periode (terjadi secara alami), disebut sebagai density dependent growth. Hubungan ini secara matematik dinotasikan sebagai : xt +1 − x = F ( x)
.....................................................(2.1)
dalam bentuk fungsi yang kontinyu menjadi :
∂x = F (x) ∂t
.....................................................(2.2)
Fungsi density dependent growth yang umum digunakan dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan adalah model pertumbuhan logistik (logistic growth model).
13
model pertumbuhan logistik secara matematis dapat ditulis sebagai berikut : ∂x x⎞ ⎛ = F ( x) = rx⎜1 − ⎟ ∂t ⎝ K⎠ dimana :
...……..…………..……..(2.3)
∂x = F (x) = perubahan stok ikan atau fungsi pertumbuhan stok ikan, ∂t x = stok ikan r = laju pertumbuhan intrinsik ikan K = adalah kapasitas daya dukung lingkungan.
F(x)
0
1 K 2
K
x
Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Logistik (Fauzi A 2004)
Dari persamaan matemetis dan Gambar 1 tersebut di atas terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan yang terjadi secara alami , dimana laju pertumbuhan sama dengan nol ( ∂x / ∂t = 0 ), tingkat populasi akan sama dengan K (carrying
capacity). Carrying capacity sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), dimana semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying
capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY.
14
Untuk menangkap (memperoleh manfaat) sumberdaya ikan dibutuhkan berbagai sarana. Sarana merupakan faktor input yang biasa disebut upaya atau
effort. Aktifitas penangkapan atau produksi dinyatakan dengan fungsi sebagai berikut :
h = qxE
……………………………..…...(2.4)
dimana :
h q x E
= produksi = koefisien daya tangkap = stok ikan = Upaya (effort)
dengan adanya aktivitas penangkapan atau produksi, maka fungsi perubahan stok ikan menjadi : x⎞ ∂x ⎛ = F ( x) = rx⎜1 − ⎟ − h ∂t ⎝ K⎠ x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ − qxE ⎝ K⎠
dalam kondisi keseimbangan dimana
..……………………………(2.5)
∂x = 0 , maka persamaan (2.5) berubah ∂t
menjadi persamaan sebagai berikut : x⎞ ⎛ qxE = rx⎜1 − ⎟ ⎝ K⎠
…………………………...…......(2.6)
dari persamaan (2.6) diperoleh nilai stok ikan (x) sebagai berikut : ⎛ qE ⎞ x = K ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
……………………...………......(2.7)
dengan mensubtitusikan persamaan (2.7) ke dalam persamaan (2.4) diperoleh persamaan berbentuk kuadratik terhadap input yang disebut sebagai fungsi produksi lestari atau yang dikenal dengan yield effort curve sebagai berikut : ⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝
......……..……………………...(2.8)
15
Yield MSY
Produksi Lestari
hMSY
0
E MSY
E Max
Effort
Gambar 2. Model Pertumbuhan Schaefer (kurva produksi lestari) ( Fauzi A 2004; Lawson RM 1984)
Persamaan (2.8) dan Gambar 2 di atas menunjukkan hubungan kuadratik antara produksi (yield) dengan upaya (effort) yang kurvanya berbentuk simetris, yang merupakan penerapan dari konsep produksi kuadartik Verhulst pada tahun 1883 yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer pada tahun 1957 untuk diterapkan pada perikanan. Hubungan ini kemudian dikenal dengan model pertumbuhan Schaefer (Lawson RM 1984) atau disebut juga dengan kurva produksi lestari (Fauzi A 2004). Dari Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi tidak ada aktivitas penangkapan ikan, maka produksi ikan sama dengan nol. Apabila upaya penangkapan ditingkatkan sampai mencapai titik E MSY , maka akan diperoleh produksi yang maksimum atau dikenal dengan MSY, tetapi karena sifat dari kurva produksi lestari berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang dilakukan secara terus menerus sampai melewati titik MSY, akan mengakibatkan turunnya produksi sampai mencapai titik nol pada titik upaya maksimum ( E Max ). Dengan membagi kedua sisi dari persamaan (2.8) dengan variabel input (E), maka akan diperoleh persamaan linear berikut ini :
16
⎛ qE ⎞ h = qKE ⎜1 − ⎟ r ⎠ ⎝ = qKE −
q 2 KE 2 r
.…………………………(2.9)
⎞ h qKE ⎛ q 2 KE 2 = − ⎜⎜ / E ⎟⎟ E E ⎝ r ⎠ h q2K = qK − E E r
…….......…………….(2.10)
U = α − βE
……………………....(2.11)
dimana : U = produksi per unit input (CPUE) α = qK , dan β = q 2 K / r .
Menurut Schaefer yang diacu dalam Fauzi (2004), dengan meregresikan variabel U dan E dari data time series produksi dan upaya (effort) akan diperoleh nilai koefisien α dan β , sehingga akan diketahui tingkat input (E) dan tingkat produksi (h) optimal dalam kondisi MSY. Dari uraian di atas tampak bahwa pemanfaatan sumberdaya ikan dengan pendekatan MSY oleh Schaefer hanya dilihat dari aspek biologi saja. Pengelolaan perikanan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan, apalagi berorientsi pada manusia. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan dengan konsep ini belakangan banyak dikritik oleh berbagai pihak terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan. Kritik yang paling mendasar adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam (Fauzi A 2004).
2.6.2 Model Optimasi Statik
Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yang terdapat pada pendekatan MSY, maka mulailah dikembangkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan. Konsep ini mulai diperkenalkan pada tahun 1957
17
oleh seorang ahli ekonomi Kanada yang bernama HS Gordon yang memanfaatkan kurva produksi lestari yang dikembangkan oleh Schaefer, sehingga dalam perkembangannya pendekatan ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer yang banyak dipergunakan oleh ahli perikanan dalam melakukan analisis pengelolaan sumberdaya ikan. Menurut Gordon, pengelolaan sumberdaya perikanan haruslah memberikan manfaat ekonomi (dalam bentuk rente ekonomi). Rente tersebut merupakan selisih dari penerimaan yang diperoleh dari ekstraksi sumberdaya ikan (TR = ph) dengan biaya yang dikeluarkan (TC = cE) (Fauzi A 2004). Manfaat ekonomi tersebut dinotasikan dalam bentuk :
π = ph − cE
……...…………………………………(2.10)
dimana p adalah harga output dan c adalah biaya input
Dengan mensubtitusikan persamaan (2.2) ke dalam persamaan (2.7) akan diperoleh penerimaan dari sisi input, secara matematis dapat ditulus sebagai :
π = p(αE − βE 2 ) − cE
………………………………...(2.11)
Pemikiran dengan memasukkan unsur ekonomi dalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau disingkat menjadi MEY. Pendekatan ini menggunakan beberapa asumsi (Lawson RM 1984; Fauzi A 2004), yaitu : (1) Harga per satuan output adalah konstan. (2) Biaya per satuan upaya dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal. (4) Strukutur pasar bersifat kompetitif. (5) Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak memasukkan faktor pascapanen dan lain sebagainya).
18
Rp
MSY MEY
TC
π =0 OA
π max Biaya, Penerimaan
TR
0
E3 E1
E2
Effort
Gambar 3. Model Gordon Schaefer ( Fauzi A 2004) Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa kurva penerimaan total (Total Revenue/TR) adalah sama dengan kurva produksi lestari, karena harga ikan diasumsikan konstan dan penerimaan total akan ditentukan langsung oleh hasil tangkapan ikan. Kurva biaya total (Total Cost/TC) berbentuk garis lurus, yang mengindikasikan bahwa besarnya biaya meningkat secara proporsional dengan meningkatnya effort (Lawson RM 1984). Pada setiap tingkat upaya yang lebih tinggi dari E 2 , maka biaya total (TC) akan melebihi penerimaan total (TR), sehingga banyak pelaku perikanan yang keluar dari perikanan. Sebaliknya pada tingkat upaya yang lebih rendah dari E 2 , maka penerimaan total (TR) melebihi biaya total (TC), sehingga dalam kondisi akses terbuka, hal ini akan menyebabkan bertambahnya pelaku yang masuk dalam industri perikanan. Kondisi ini akan terus terjadi hingga manfaat ekonomi terkuras sampai titik nol, atau dengan kata lain tidak ada lagi manfaat ekonomi yang bisa diperoleh. Gordon menyebut hal ini sebagai bioeconomic equilibrium of open access fishery atau keseimbangan bioekonomi dalam kondisi akses terbuka (Fauzi A 2005).
19
Dari Gambar 3 di atas juga dapat dijelaskan bahwa keuntungan lestari yang maksimum akan diperoleh pada tingkat upaya E3 , tingkat upaya ini disebut dsebagai Maximum Economic Yield (MEY) atau produksi yang maksimum secara ekonomi karena lebih efisien dalam penggunaan faktor produksi (tenaga kerja, modal) dan merupakan tingkat upaya yang optimal secara sosial karena tingkat upaya yang lebih sedikit, sehingga lebih bersahabat dengan lingkungan. Kondisi ini secara matematik dapat dinotasikan sebagai (Fauzi A 2004) : max π = pαE − pβE 2 − cE ∂π = pα − 2 β pE − c = 0 ∂E
………………………...(2.12)
sehingga diperoleh tingkat input yang optimal sebesar :
E• =
αp − c 2 pβ
………………………...(2.13)
Dalam model bioekonomi Gordon-Schaefer di atas, tampak bahwa beberapa parameter biologi penting seperti r, q, dan K tergantikan oleh koefisien
α dan β . Hal ini menyebabkan informasi mengenai perubahan biologi yang terjadi tidak akan pernah terakomodasi dalam model. Oleh karena itu diperlukan cara untuk memodifikasi model Gordon-Schaefer. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi kendala tersebut adalah melalui pendugaan koefisien yang dikembangkan oleh Clark, Yoshimoto, dan Pooley, atau yang biasa dikenal dengan model CYP. Persamaan CYP secara matematis ditulis sebagai berikut :
ln(U t +1 ) =
q 2r (2 − r ) ln(qK ) + ln(U t ) − ( Et + Et +1 ) (2 + r ) (2 + r ) (2 + r )
……………(2.14)
dengan meregresikan tangkap per unit upaya pada periode t+1 (Ut+1), U pada periode t, dan penjumlahn input pada periode t dan t+1, akan diperoleh nilai koefisien r,q, dan K.
20
2.6.3 Model Optimasi Dinamik
Clark CW (1985) diacu dalam Fauzi A (2004) menyatakan bahwa, pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan statik yang telah banyak digunakan untuk memahami sumberdaya ikan dalam kurun waktu yang cukup lama memiliki beberapa kelemahan mendasar yang dapat menyebabkan kesalahan dalam pemahaman realitas sumberdaya ikan yang dinamis. Faktor mendasar dari kelemahan pendekatan statik adalah karena sifat statik itu sendiri yang tidak memasukkan faktor waktu di dalamnya. Hal ini lebih disebabkan karena sumberdaya ikan memerlukan waktu untuk memulihkan diri dan tumbuh dalam kondisi perairan tertentu maupun terhadap kondisi eksternal yang terjadi di sekitarnya (Cunningham 1981 diacu dalam Fauzi A 2004). Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang mampu secara tepat menangkap perubahan-perubahan eksogenous yang terjadi pada parameter-parameter biologi dan ekonomi dari sumberdaya ikan. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan dengan menggunakan model dinamis. Pengelolaan sumberdaya perikanan dengan menggunakan pendekatan dinamis sudah dimulai sejak tahun 1970, namun pendekatan ini berkembang sepenuhnya dan banyak digunakan sebagai analisis setelah publikasi artikel Clark CW dan Munro (1975). Dalam artikel tersebut terungkap bahwa Clark CW dan Munro (1975) menggunakan pendekatan kapital untuk memahami aspek
intertemporal dari pengelolaan sumberdaya ikan (Fauzi A 2004). Aspek pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan
discount rate, sehingga dalam konteks dinamik, pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal merupakan perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal yang menghasilkan discounted present value (DPV) surplus sosial yang paling maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya
(resource rent) (Fauzi A 2004). Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan menggunakan formula model dinamik dalam bentuk fungsi yang kontinyu ditulis sebagai berikut : ∞
max π (t ) = ∫ π ( x(t ), h(t ))e −δt dt ……………….…………...(2.15) t =0
21
dengan kendala : ∂x . = x = F ( x(t )) − h(t ) ∂t 0 ≤ h ≤ hmax dengan menggunakan teknik Hamiltonian, maka model kontinyu di atas menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang secara matematis ditulis sebagai berikut (Fauzi A 2004) : ∂F ∂π / ∂x + =δ ∂x ∂π / ∂h
………………….………………...(2.16)
F ( x) = h
……………………………………(2.17)
dan
dimana, ∂π / ∂x adalah rente marjinal akibat perubahan biomass, ∂π / ∂h adalah rente marjinal akibat perubahan tangkap (panen), ∂F / ∂x produktifitas dari biomass. Dalam kondisi
∂π / ∂x = 0 , maka persamaan (36) menjadi ∂F / ∂x = δ ∂π / ∂h
yang merupakan golden rule dari teori kapital, dimana kapital harus dimanfaatkan sampai manfaat marjinalnya sama dengan biaya oportunitas (interest rate). Dalam konteks ini, ketika ( ∂π / ∂x ) = 0 yang identik dengan kondisi MEY, kondisi pengelolaan mengikuti kaidah teori kapital, dimana stok akan dipelihara pada tingkat laju pertumbuhannya sama dengan manfaat yang diperoleh dari investasi (dalam hal ini interest rate). Kondisi ini dapat juga dijelaskan sebagaimana Gambar 4. Dari Gambar 4 terlihat bahwa jika discount rate meningkat yang ditunjukkan oleh pergeseran slope ke arah yang berlawanan dengan arah jarum jam, maka stok akan mengalami penurunan (Fauzi A 2004).
22
F(x)
Slope = δ
Slope =
∂F ∂x F(x)
0
x•
x
Gambar 4 Hubungan Discount Rate dengan Keseimbangan Stok dalam Kondisi Dinamik (Fauzi A 2004)
2.7 Kebijakan Perikanan dan Kelautan Menurut Parson W (2001), kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik, dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Menurut Simatupang P (2001), kebijakan pada dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik. Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, menghambat, melarang atau mengatur tindakan privat (individu mau pun lembaga swasta). Hogwood dan Gunn (1986) diacu dalam Suyasa IN (2007) menambahkan bahwa, ciri-ciri kebijakan publik yaitu : 1) Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintah atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2) Bersifat memaksa, berpengaruh terhadap tindakan privat (masyarakat luas atau publik)
23
Dari uraian di atas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan ke dalam kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur pembangunan perikanan, guna mewujudkan pembangunan nasional. Perumusan kebijakan perikanan dan kelautan menurut Kusumastanto T (2002) meliputi tiga tingkatan, yaitu tingkatan politis (kebijakan) yang terdiri atas lembaga eksekutif dan lembaga legislatif; tingkatan organisasi (institusi, aturan main) yang terdiri atas lembaga departemen dan non departemen yang memiliki tugas dan fungsi yang memiliki keterkaitan koordinatif dan saling mendukung; dan tingkatan implementasi (evaluasi, umpan balik) yang terdiri atas unsur nelayan, petani, pengusaha dan sebagainya yang berperan dalam implementasi kebijakan pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan Pada sidang negara-negara FAO di Roma, Italia tahun 1995, telah ditetapkan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sebagai petunjuk umum dalam melaksanakan perikanan yang bertanggung jawab. FAO (1995) menyatakan beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab tersebut, yaitu : 1) Negara dan pengguna sumberdaya perikanan harus menjaga ekosistem perairan, dan hak menangkap ikan harus disertai dengan kewajiban menangkap ikan dengan cara yang bertanggung jawab. 2) Negara harus mencegah terjadinya tangkap lebih (overfishing) dan menjaga agar penangkapan sesuai dengan daya lingkungan (carrying capacity). 3) Pengelolaan perikanan harus menjamin tersedianya perikanan untuk generasi sekarang dan yang akan datang. 4) Pelaksanaan pengelolaan perikanan harus dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian. 5) Kebijakan pengelolaan perikanan harus didasarkan pada adanya bukti ilmiah terbaik yang tersedia. 6) Perlunya dilakukan perlindungan dan upaya rehabilitasi terhadap habitat perikanan yang kritis. 7) Negara harus menjamin pengelolaan perikanan yang transparan, mendorong adanya konsultasi dan partisipasi dari para pengguna sumberdaya ikan. 8) Negara harus menjamin terlaksananya pengawasan dan kepatuhan dalam pelaksanaan pengelolaan.