II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Klasifikasi, Karakteristik, dan Persoalan Pengelolaan Sumberdaya Alam Sumberdaya alam (SDA) adalah segala sesuatu yang diperoleh dari
lingkungan fisik untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan umat manusia. Dengan kata lain, SDA adalah sumbangan bumi berupa benda hidup maupun benda mati (living and non-living endowments) yang bisa dieksploitasi oleh manusia sebagai sumber makanan, bahan mentah, dan energi. SDA berada di lingkungan atau bumi berfungsi sebagai stok darimana kegiatan ekonomi memperoleh input. Berdasarkan pemanfaatannya, sumberdaya dibedakan dalam dua kategori utama. Pertama, sumberdaya yang bisa dimanfaatkan secara langsung seperti udara yang segar, air yang segar dari sungai dan danau, dan bahan makanan dari tanaman.
Kedua,
sumberdaya yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung atau perlu diolah lebih lanjut seperti minyak, besi, air tanah, dan lain-lain. Diperlukan ilmu pengetahuan dan teknologi proses produksi, untuk mengekstrak, memproses dan merubah sumberdaya jenis kedua ini untuk bisa digunakan oleh umat manusia (Yakin, 1997). Secara umum sumberdaya alam dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok (Fauzi, 2006). Pertama, kelompok yang kita sebut sebagai kelompok stok. Sumberdaya ini dianggap memiliki cadangan yang terbatas sehingga eksploitasi terhadap sumberdaya tersebut akan menghabiskan cadangan sumberdaya. Apa yang kita manfaatkan sekarang mungkin tidak lagi tersedia di masa mendatang. Dengan demikian, sumberdaya stok dikatakan tidak dapat diperbaharui (non renewable) atau
terhabiskan (exhaustible). Termasuk ke dalam kelompok ini antara lain sumberdaya mineral, logam, minyak, dan gas bumi. Kelompok kedua adalah sumberdaya alam yang kita sebut ‘flows’ (alur). Pada jenis sumberdaya ini jumlah kuantitas fisik dari sumberdaya berubah sepanjang waktu. Berapa jumlah yang kita manfaatkan sekarang, bisa mempengaruhi atau bisa juga tidak mempengaruhi ketersediaan sumberdaya di masa mendatang. Dengan kata lain, sumberdaya jenis ini dikatakan dapat diperbaharui (renewable). Dalam kelompok sumberdaya ini, untuk regenerasinya ada yang tergantung pada proses biologi dan ada yang tidak. Misalnya, ikan dan hutan termasuk ke dalam kelompok sumberdaya yang tergantung pada proses biologi (reproduksi). Sementara energi surya, gelombang pasang surut, angin, udara, dan sebagainya termasuk ke dalam kelompok sumberdaya yang tidak bergantung pada proses biologi. Namun, perlu dicatat bahwa meskipun ada sumberdaya yang bisa melakukan proses regenerasi, jika titik kritis kapasitas maksimum regenerasinya sudah dilewati, sumberdaya ini akan berubah menjadi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Meskipun jenis sumberdaya tersebut berbeda, akan tetapi pertanyaan ekonomi mendasar antara kedua sumberdaya tersebut pada prinsipnya sama, yakni menyangkut seberapa ekstraksi harus diambil saat ini dan berapa tersedia untuk masa mendatang. Pertanyaan lain terkait kedua sumberdaya tersebut adalah bagaimana ekstraksi yang efisien dan optimal yang menghabiskan nilai ekonomi yang tinggi (Fauzi, 2006). Selain itu, sumberdaya alam diklasifikasikan menurut subtractability dan excludabilitynya. Berdasarkan kedua sifat ini, maka sumberdaya alam dapat dibagi seperti terlihat pada Tabel 1. 12
Tabel 1. Kategori Barang Sumberdaya Alam Exclusion/ Excludability Easy Difficult
Subtractibility High Private Goods Common- pool Resources
Low Toll Goods Public Goods
Buck, 1998 Sumberdaya ikan termasuk dalam kelompok sumberdaya yang commons pool resources. Ada beberapa permasalahan yang terkait dengan common pool resources antara lain dapat berupa: a) permasalahan pemanfaatan/pemisahan; b) permasalahan penyediaan; c) kompetisi dan konflik dalam pemanfaatan CPRs; d) pemanfaatan lebih (over used) yang menyebabkan deplesi, kelangkaan bahkan kepunahan; e) degradasi kualitas lingkungan tanah, air, dan udara (polusi); f) Property right, access, ketidakadilan, dan kesejahteraan; g) tragedi kebersamaan (tragedy of the common); h) pengelolaan CPRs lintas batas dan lingkungan global; i) distribusi antar pengguna, wilayah, dan generasi; j) keseimbangan supply-demand; k) Property right; dan l) efisiensi. Perilaku dan tindakan manusia dalam pengelolaan sumberdaya tidak terlepas dari persepsi hak kepemilikan suatu sumberdaya yang dimiliki oleh masing-masing pelaku usaha. Bromley (1991) mengatakan bahwa property rights seharusnya dimaknai lebih dari hanya sekedar hubungan antara pemilik dengan sumberdaya, tetapi juga antara pemilik dengan orang lain yang memiliki kepentingan atas sumberdaya yang sama. Hardin (1968) dalam Priyanta dan Koeshendrajana (2007) menyebutkan terjadinya kondisi ‘tragedy of the common’ didorong oleh kondisi sumberdaya perikanan yang bersifat milik bersama (common property). Status ‘milik bersama’ tersebut memiliki konsekuensi terhadap akses bagi pengelolaannya yang 13
dapat bersifat eksklusif bagi kelompok tertentu atau seringkali bersifat open access. Permasalahan yang kemudian muncul akibat pengelolaan yang bersifat open access adalah tidak adanya pihak yang bertanggungjawab dalam pemeliharaan kelestarian sumberdaya. Open access terjadi ketika hak kepemilikan tidak terdefenisi dan diatur dengan jelas sehingga akses pemanfaatan sumberdayanya bebas dan terbuka bagi semua pihak. Dikarenakan sifat sumberdaya perikanan yang open access, secara alami demand pasti bertambah, maka diperlukan regulasi untuk membatasi akses/demand. Di lain sisi, sumberdaya dapat berkurang sehingga diperlukan regulasi untuk mengatur pemanfaatan dengan cara memilih teknologi atau metoda pemanfaatan yang tepat dan tidak merusak, regulasi untuk membatasi demand, dan regulasi pengelolaan SDA/resource system untuk menjaga supply/provision agar resources system dapat terus menyediakan resources unit. Akan tetapi, supply tidak mampu merespon perkembangan demand karena tidak adanya pembatasan demand dengan tujuan perbaikan supply sehingga terjadi kegagalan mekanisme pasar. Gagalnya mekanisme pasar mengakibatkan terjadinya ekternalitas dan over fishing. Eksternalitas adalah dampak yang ditimbulkan terhadap satu pihak oleh tindakan atau keputusan pihak lain tanpa mempertimbangkan pihak yang terkena dampak (biaya sosial) dalam pengambilan suatu keputusan. Eksternalitas terdiri dari eksternalitas positif dan ekternalitas negatif. Terkait dengan sumberdaya perikanan yang bersifat commons pool resources, terdapat berbagai permasalahan baik dalam hal pemanfaatan/pemisahan maupun dalam hal penyediaan (Hidayat A, 2010).
14
Permasalahan commons pool resources (CPRs) dalam hal pemanfaatan/pemisahan (appropriation problems) antara lain (Hidayat A, 2010): 1. Eksternalitas pemisahan (appropriation externalitie), yaitu kegiatan pemanfaatan oleh seseorang dapat mengurangi manfaat yang bisa diambil orang lain. 2. Assignment problems, yaitu ketidakmerataan alokasi manfaat CPRs yang dapat memicu konflik. 3. Technological externalities, yaitu penggunaan suatu teknologi oleh seorang pengguna CPRs akan meningkatkan biaya penggunaan teknologi lain yang dipakai pengguna lain. Ketiga hal tersebut perlu dikontrol untuk mengatur para pengguna CPRs agar resource unit yang subtractable dapat dialokasikan secara adil. Permasalahan lain terkait dengan CPRs adalah permasalahan dalam penyediaan (provision problems), antara lain: 1. Sisi permintaan (demand side), yaitu permasalahan terkait dengan permintaan resource unit yang melebihi kemampuan resource system dalam menyediakan resource unit. Perlu pembatasan demand agar laju pemanfaatan tidak melebihi daya kemampuan regenerasinya. 2. Supply side, yaitu permasalahan berkaitan dengan keterbatasan kemampuan resource system memproduksi resource unit. Perlu rekontruksi dan maintenance CPRs agar dapat menghasilkan resource unit/jasa yang berkelanjutan.
15
Kedua hal tersebut untuk mengarahkan pengguna CPRs agar ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan atau penjagaan CPRs. Konsep overfishing sering menjadi acuan akan perlunya berbagai tindakan pengelolaan melalui pengaturan perikanan. Widodo dan Suadi (2008) mengatakan bahwa ciri-ciri yang menjadi patokan suatu perikanan sedang menuju kondisi overfishing diantaranya adalah waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya, lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya, ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya, yang kemudian diikuti dengan produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya/trip, CPUE) yang menurun, ukuran ikan sasaran yang semakin kecil, dan biaya penangkapan (operasional) yang semakin meningkat. Lebih lanjut Widodo dan Suadi (2008) mengatakan bahwa overfishing sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebihan terhadap suatu stok ikan. Dalam Fauzi (2010) dikatakan bahwa tangkap lebih secara ekonomi atau economic overfishing pada hakikatnya adalah situasi dimana perikanan yang semestinya mampu menghasilkan rente ekonomi yang positif, namun ternyata menghasilkan rente ekonomi yang nihil karena pemanfaatan input (effort) yang berlebihan. Dalam jargon ekonomi perikanan, economic overfishing sering disebut dengan jargon ‘too many boats chasing too few fish’ (terlalu banyak kapal mengejar ikan yang sedikit). Dalam situasi ini baik nelayan maupun masyarakat secara umum tidak memperoleh manfaat dari sumberdaya yang semestinya mereka nikmati jika sumberdaya dikelola secara baik.
16
Tabel 2. Alokasi Optimal Sumberdaya Perikanan di Perairan Pelabuhanratu Alokasi Optimal Yield Effort Tangkapan Rente total Alat tangkap Nelayan Rente nelayan Pendapatan
Satuan Ton per tahun Trip per tahun Kg per trip Rp per tahun (dalam juta) Unit Orang Rp per orang per trip Rp per orang per bulan
Pelagis Aktual 432 31,018
Optimal 1.448,05
Demersal Aktual 380
Optimal 2.758,30
12.777
47.451
11.250
13,93 -311.17
113,33 1.053,97
8,02 -131,95
245,18 1.264,05
92 184 -2.507,97
43 85 20.622,41
187 561 -695,16
38 113 28.090,00
-62.699,34
515.560,19
17.379,08
702.250,00
Sumber: Wahyudin, 2005 Tabel 2 menunjukkan bahwa overfishing juga telah terjadi di perairan Pelabuhanratu. Besarnya jumlah rata-rata input produksi (effort) aktual tersebut di atas untuk masing-masing sumberdaya jauh lebih banyak dibandingkan effort optimal yang diperkenankan. Hal ini berarti bahwa tingkat upaya pemanfaatan ikan pelagis kecil dan demersal di sekitar perairan Pelabuhanratu sangat tidak optimal karena jauh melebihi batas optimal upaya yang diperkenankan. Rata-rata produksi aktual ikan pelagis sebesar 432 ton per tahun dengan tingkat effort sebesar 31, 018 trip per tahun menghasilkan rente total dan rente nelayan bernilai negatif yang diikuti dengan tingkat pendapatan yang negatif. Hal yang sama juga terjadi pada kondisi aktual ikan demersal. Hal ini memberi bukti bahwa di perairan Pelabuhanratu telah mengalami overfishing.
17
2.2. Pengertian Kelembagaan Kelembagaan adalah sekumpulan jaringan dari relasi sosial yang melibatkan orang-orang tertentu, memiliki tujuan tertentu, memiliki aturan dan norma, serta memiliki struktur. Kelembagaan dapat berbentuk sebuah relasi sosial yang melembaga (non formal institution), atau dapat berupa lembaga dengan struktur dan badan hukum (formal institution). Suatu relasi sosial dapat disebut sebagai sebuah kelembagaan apabila memiliki empat komponen, yaitu adanya: (1) Komponen aturan/kebijakan.
Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan
yang dipegang secara bersama, sehingga peran masing-masing yang terlibat dalam lembaga tersebut dapat kelihatan; (2) Komponen person (SDM). Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas; (3) Komponen kepentingan (koordinasi). Orang-orang tersebut pasti sedang diikat oleh satu kepentingan atau tujuan, sehingga di antara mereka harus saling berinteraksi; dan, (4) Komponen struktur/institusi dan tata laksana. Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa merubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri (Hidayat A, 2010). Kelembagaan merupakan regulasi atas tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan penata interaksi dalam situasi tertentu yang berulang (Schotter, 1981). Menurut Schmid (1972), kelembagaan adalah sejumlah peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab baik secara individu maupun
sebagai
kelompok.
Sedangkan
North
(1990)
berpendapat
bahwa
18
kelembagaan merupakan batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial, dan ekonomi. Pengertian lain dari Jack Knight (1992) mengartikannya sebagai serangkaian peraturan yang membangun struktur interaksi dalam sebuah komunitas. Sedangkan menurut Elinor Ostorm (1990) mengatakan bahwa kelembagaan merupakan aturan yang berlaku dalam masyarakat
(arena) yang menentukan siapa yang berhak
membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang mesti dan tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya. Menurut beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kelembagaan adalah aturan main (rule of the game) yang berlaku dalam sebuah masyarakat/komunitas/organisasi yang disepakati oleh anggota masyarakat/komunitas/organisasi tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan tercapainya keteraturan dan kepastian interaksi di antara sesama anggota masyarakat/komunitas/organisasi; terkait dengan kegiatan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan lain-lain. Beberapa ciri umum kelembagaan menurut Bogason (2000) dalam Suhana (2008), antara lain adanya sebuah struktur yang didasarkan pada interaksi di antara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai, dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati/ditetapkan. Kelembagaan dilihat sebagai aturan main yang memberi naungan dan sanksi terhadap individu-individu dan kelompok-kelompok dalam menentukan pilihannya. Pemaknaan seperti ini sesuai 19
dengan pendapat Commons (1934) dalam Suhana (2008) yang mendefinisikan kelambagaan sebagai: “collective action in restraint liberation and of individual action”. Lebih lanjut Bogason (2000), menyatakan bahwa ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata dan biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, aturan didefinisikan untuk aksi pada masa-masa yang akan datang atau penetapan aturan ini sering disebut sebagai kebijakan. Sedangkan pada level konstitusi kita mendiskusikan prinsip-prinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi. Kelembagaan ada dua, yaitu kelembagaan sebagai organisasi dan kelembagaan sebagai aturan main. Penelitian ini akan membahas tentang kelembagaan sebagai aturan main. 2.3. Fungsi dan Urgensi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Eksistensi suatu lembaga ditentukan oleh kemampuannya dalam melayani tuntutan sosial masyarakat setempat dalam kurun waktu yang sangat beragam. Tidak jarang terjadi keberadaan suatu lembaga tiba-tiba hilang, atau digantikan oleh lembaga baru yang lebih mampu melayani kebutuhan stakeholder setempat. Suatu lembaga atau organisasi mampu bertahan dalam dinamika masyarakat bila tetap memiliki fungsi yang dibutuhkan.
20
Menurut Soekanto (2001) dalam Silalahi (2006), pada dasarnya lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok manusia mempunyai beberapa fungsi, yaitu: 1.
Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.
2.
Menjaga keutuhan masyarakat.
3.
Memberikan
pegangan
kepada
masyarakat
untuk
mengadakan
sistem
pengendalian sosial (social control). Artinya, sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Adapun tujuan sebuah kelembagaan yang
berlaku dalam sebuah
masyarakat/komunitas/organisasi antara lain: 1.
Unsur pelaksana kegiatan penelitian yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan penelitian, mengusahakan dan mengendalikan sumber daya penelitian.
2.
Unsur pelaksana kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang bertugas mengkoordinasi, memantau, dan menilai serta mendokumentasikan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, dan ikut mengusahakan sumber daya yang diperlukan.
3.
Unsur pelaksana kegiatan kerjasama yang bertugas mengkoordinasikan, memantau dan menilai serta mendokumentasikan kegiatan kerjasama, serta ikut mengusahakan sumber daya yang diperlukan.
21
Perwujudan institusi masyarakat dapat diidentifikasi melalui sifat-sifat kepemilikan (property rights) terhadap sumberdaya, batas-batas kewenangan (jurisdiction boundary) masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya, dan aturanaturan perwakilan (rules of representation) dalam pemanfaatan sumberdaya, apakah ditetapkan secara individu atau kelompok. Instansi pemerintah merupakan intitusi formal yang menjadi agen pembangunan dan berperan sentral dalam menentukan perubahan-perubahan yang diinginkan. Kinerja institusi sagat tergantung dari kapasitas dan kapabilitas yang dimilikinya (Sinukaban, 2007). Menurut Pakpahan (1989) dalam Games H (2010), pada umumnya kelembagaan dicirikan oleh tiga hal, yaitu batas yurisdiksi, hak kepemilikan (property rights), dan aturan representatif. Batas yudisriksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam suatu kelembagaan di masyarakat. Konsep batas yudisriksi dapat mencakup wilayah kekuasaan atau batas otorita yang dimiliki oleh suatu institusi, atau mengandung makna kedua-duanya. Batas yudisriksi menjelaskan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing unsur hirarki sosial yang ada dalam struktur kelembagaan. Hak kepemilikan (property rights) mengandung makna sosial, muncul dari konsep hak (rights) dan kewajiban (obligation) yang didefenisikan dan diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya.
Sedangkan aturan
representatif merupakan perangkat aturan yang menentukan mekanisme pengambilan keputusan organisasi. Aturan representatif mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa yang ada dalam proses pengambilan keputusan.
22
2.4. Hak Kepemilikan dalam Sumberdaya Perikanan sebagai Kelembagaan Hak kepemilikan (property rights) atas sesuatu mengandung pengertian hak untuk mengakses, memanfaatkan (utilize), mengelola atas sesuatu, mengubah atau mentransfer sebagian atau seluruh hak atas sesuatu tersebut pada pihak lain. Sesuatu yang disebut bisa berupa barang (fisik), jasa atau pengetahuan/informasi yang bersifat intangible. Masalah hak kepemilikan (property rights) menjadi hal pokok dalm keberhasilan efisiensi alokasi sumberdaya dan bekerjanya pasar. Kegagalan dalam menentukan dengan jelas hak kepemilikan juga akan menimbulkan eksternalitas, khususnya dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam. Jika hak kepemilikan atas sumberdaya tidak dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang, tidak ada hak yang sah yang memungkinkan mereka melarang pihak lain untuk mengkonsumsi sumberdaya (Fauzi, 2006). Fauzi (2006), mendefenisikan hak kepemilikan sebagai klaim yang sah (secure claim) terhadap sumberdaya ataupun jasa yang dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari (Gibb dan Bromley, 1999 dalam Fauzi, 2006): 1.
State property, dimana klaim kepemilikan berada di tangan pemerintah
2.
Private property, dimana klaim kepemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (korporasi).
3.
Common property atau Communal property, dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama.
23
Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak kepemilikan, yang disebut dengan open acces. Dengan pemahaman di atas, perbedaan antara hak kepemilikan dan akses terhadap sumberdaya semakin jelas. Adapun unsur-unsur property rights antara lain: pengakuan, penghormatan, penegakan dan perlindungan, sanksi, dan biaya transaksi. Selain itu Tietenberg (1992) mengidentifikasi karakteristik property rights, yaitu: eklusivitas, transferability, dan enforceability. Tabel 3. Tipe Hak Kepemilikan Beserta Hak-Hak dan Kewajibannya Tipe Rezim Kepemilikan
Pemilik
Kepemilikan pribadi
Individu
Kepemilikan bersama
Kolektif
Kepemilikan negara
Negara/warga negara
Akses terbuka (tanpa kepemilikan)
Tidak ada
Pemilik/Pemegang Akses Hak Kewajiban Akses, pemanfaatan, Mencegah control pemanfaatan yang merugikan sosial Akses, pemanfaatan, Merawat, mengatur tingkat pemanfaatan kontrol (pengecualian kepada non pemilik Akses, pemanfaatan, Menjaga kontrol (menentukan tujuan/manfaat sosial aturan) Pemanfaatan Tidak ada
Sumber: Hanna, 1995 2.5.
Konflik Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan dan Peran Kelembagaan Terkait Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa konflik
merupakan suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan tanpa kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau seluruh pihak yang terlibat.
24
Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) lebih lanjut menyatakan bahwa setidaknya ada lima teori dalam mengidentifikasi sebab-sebab konflik, yaitu: 1)
Teori hubungan masyarakat, yaitu konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dala suatu kelompok masyarakat.
2)
Teori negosiasi prinsip, yaitu konflik yang disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
3)
Teori kebutuhan manusia, bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia: fisik, mental, sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi.
4)
Teori indentitas, yaitu asumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan.
5)
Teori kesalahpahaman antar budaya, yaitu konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara komunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. Lebih lanjut Fisher et al (2000) dalam Suhana (2008) mengidentifikasi
sembilan alat bantu untuk menganalisis konflik, yaitu:
25
1. Penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan, dan kekerasan yang berbeda. Tahapan penahapan konflik ini terdiri dari; a.
Pra konflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran di antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik;
b.
Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka;
c.
Krisis, ini merupakan puncak konflik ketika ketegangan dan kekerasan terjasi paling hebat;
d.
Akibat, suatu krisis pasti akan menimbulkan suatu akibat. Satu pihak mungkin menaklukkan pihak lain, atau mungkin melakukan genjatan senjata;
e.
Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke kondisi lebih normal di antara kedua pihak.
2.
Urutan kejadian. Urutan kejadian merupakan daftar waktu dan menggambarkan kejadian-kejadian secara kronologis. Tujuan penggunaan urutan kejadian bukan untuk mendapatkan sejarah yang benar dan objektif, tetapi untuk memahami pandangan-pandangan orang-orang yang terlibat.
3.
Pemetaan konflik. Pemetaan merupakan suatu teknik yang digunakan untuk menggambarkan konflik secara grafis, menghubungkan pihak-pihak dengan masalah dan dengan pihak lainnya.
4.
Segitiga Sikap-Perilaku-Konteks (SPK), merupakan suatu analisis berbagai faktor yang berkaitan dengan sikap, perilaku, dan konteks bagi masing-masing 26
pihak utama. Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengidentifikasi ketiga faktor tersebut di setiap pihak utama, menganalisis bagaimana faktor-faktor tersebut saling mempengaruhi, menghubungkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak, dan mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi. 5.
Analogi bawang Bombay (atau Donat), merupakan suatu cara untuk menganalisis perbedaan pandangan tentang konflik dari pihak-pihak yang berkonflik.
6.
Pohon konflik, merupakan suatu alat bantu, menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok konflik.
7.
Analisis kekuatan konflik, merupakan cara untuk mengidentifikasi kekuatankekuatan yang mempengaruhi konflik.
8.
Analogi pilar, merupakan alat bantu yang didasarkan pada keyakinan bahwa situasi tertentu tidak benar-benar stabil, tetapi ditahan oleh berbagai faktor atau kekuatan, yaitu pilar-pilar. Alat bantu ini menggunakan ilustrasi berupa grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang menahan situasi yang tidak stabil.
9.
Piramida, merupakan alat bantu grafik yang menunjukkan tingkat-tingkat stakeholders dalam suatu konflik.
2.6. Penelitian Terdahulu Silalahi (2006) melakukan penelitian mengenai Efektifitas Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan sebagai Kelembagaan Ekonomi Masyarakat Nelayan (Kasus Kelembagaan Tempat Pelelangan Ikan, Kelurahan Pelabuhanratu, Kecamatan
27
Pelabuhan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji kelembagaan ekonomi dalam masyarakat nelayan dan meneliti efektifitas kelembagaan TPI sebagai kelembagaan perekonomian. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat kelembagaan yang dibentuk oleh pemerintah yaitu Koperasi Mina Sirna Laut. Salah satu unit kerja kelembagaan ini adalah pelelangan ikan. Akan tetapi pada kenyataannya pelelangan ikan tidak terlaksana. Hal ini disebabkan tidak berfungsinya koperasi yang diakibatkan oleh sedikitnya jumlah anggota yang aktif di KUD. Berdasarkan hasil penelitian ini juga diperoleh hasil bahwa TPI Pelabuhanratu ini dikatakan belum efektif. Hal ini ditinjau dari pencapaian tujuan dan pengaruh internal maupun eksternal TPI. Hal ini dilihat melalui tidak adanya proses pelelangan yang dilakukan di TPI Kelurahan Pelabuhanratu dan tidak melembaganya TPI pada masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan dan pengembangan sistem kelembagaan TPI. Wahyudi (2005) melakukan penelitian terkait dengan Konflik Agraria dalam Pemanfaatan Wilayah Penangkapan Ikan (Fishing Ground) (kasus perebutan wilayah penangkapan ikan antara nelayan kecil dan nelayan besar di Perairan Teluk Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi). Penelitian ini mempelajari proses terjadinya konflik agraria dan struktur konflik agrarian yang terjadi dalam pemanfaatan wilayah penangkapan ikan. Penelitian ini menyatakan bahwa benturan kepentingan dan klaim terhadap penguasaan fishing ground menyebabkan hubungan antar berbagai pihak (subjek agraria) dalam pemanfaatan wilayah tangkap ikan mewujud pada suatu hubungan 28
sosial dissosiatif berupa konflik agrarian. Konflik agraria, yakni pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok nelayan besar (arad dan purse seine) terhadap wilayah tangkap nelayan kecil tradisional. Selain benturan kepentingan dan pertentangan klaim, ketimpangan teknologi antar kelompok nelayan kecil sehingga tidak dapat memberikan kecukupan penghasilan yang memadai untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Ketimpangan tersebut memicu terjadinya konflik. Hasil penelitian ini mengatakan bahwa kasus-kasus tersebut mencerminkan penetrasi kepentingan ekonomi para pemilik modal (pemilik arad dan purse seine), pertentangan klaim terhadap penguasaan fishing ground, toleransi aparat terhadap pelanggaran hukum oleh pemilik arad dan purse seine. Kasus lainnya adalah adanya persaingan yang tidak seimbang antar nelayan dalam memperebutkan sumberdaya perikanan karena perbedaan tingkat teknologi penangkapan dengan kecenderungan bahwa nelayan kecil kalah dalam persaingan tersebut. Suhana (2008) melakukan penelitian tentang Analisis Ekonomi Kelembagaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis peran lembaga yang ada di Teluk Pelabuhanratu dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, menganalisis tatanan kelembagaan tersebut dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan, menganalisis secara ekonomi sistem kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya ikan Teluk Pelabuhanratu, dan mendesain kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu. Hasil penelitian menunjukkan: 1) Aktor-aktor yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan terdiri dari unsur 29
pemerintah, masyarakat, akademisi, dan aparat kemanan. 2) Total biaya transaksi yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 184.615.000,00. 3) Total biaya transaksi yang dikeluarkan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya ikan setiap tahunnya mencapai sekitar Rp 9.962.500. 4) Berdasarkan tingkat diskonto 12% terlihat bahwa dalam jangka waktu lima tahun nilai cost effectiveness analysis (CEA) pemerintah jauh lebih tinggi dibangdingkan dengan CEA kelompok nelayan. Nilai CEA pemerintah mencapai sekitar Rp 783.140.270,15 dan nilai CEA kelompok nelayan sebesar Rp 25.521.874,33. 5) Format kelembagaan yang direkomendasikan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Teluk Pelabuhanratu harus melibatkan masyarakat (formal dan informal), pemerintah, pihak swasta/usaha, dan perguruan tinggi.
30