6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konservasi Sumberdaya Alam Menurut UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, konservasi sumberdaya alam hayati adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Menurut UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam tak terbaharui untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumberdaya alam yang terbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya. Definisi konservasi alam di kedua peraturan perundang-undangan tersebut mirip, meski berbeda penekanannya. Di UU No. 5/1990 lebih ditekankan di sumberdaya alam hayati; sedangkan di UU No. 23/1997 penekanannya pada sumberdaya yang terbaharui atau tak terbaharui. Istilah hayati menunjukkan makhluk hidup, dan lawan katanya adalah non hayati atau benda mati (tak hidup). Istilah terbaharui dan tidak terbaharui menyangkut sifat sumberdaya yang dapat atau tidak dapat diperbaharui atau dipulihkan lagi, tidak menyangkut hayati atau non hayatinya. Kegiatan-kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sebagaimana dicantumkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 adalah melalui: 1. perlindungan sistem penyangga kehidupan (seperti hutan lindung, hutan mangrove, sempadan sungai; sempadan pantai); 2. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 3. pemanfaatan secara lestari sumberdaya alami hayati dan ekosistemnya.
7
Kegiatan-kegiatan tersebut dijabarkan dari Strategi Konservasi Dunia (World Conservation Strategy), untuk menunjukkan pentingnya pelestarian sumberdaya alam yang terpulihkan bagi pembangunan berkelanjutan yang dapat dicapai melalui cara (MacKinnon et al. 1993): 1. Menjaga proses penting serta sistem penopang kehidupan yang penting bagi kelangsungan hidup manusia dan pembangunan; 2. Melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang penting bagi program budidaya, agar dapat melindungi dan memperbaiki sifat-sifat tanaman dan hewan budidaya. Selain itu hal ini penting bagi pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi teknologi dan terjaminnya sejumlah besar industri yang menggunakan sumberdaya alam. 3. Menjamin kesinambungan pendayagunaan spesies dan ekosistem oleh manusia, yang mendukung kehidupan jutaan penduduk pedesaan serta dapat menopang sejumlah besar industri. Menurut Suporahardjo (2005) bahwa prinsip pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada co-ownership, co-operation, coresponsibility: 1. Prinsip Co-ownership Kawasan yang akan dikembangkan untuk Kawasan Konservasi adalah milik bersama, pemanfaatan dan perlindungan dilaksanakan bersama berdasarkan pada nilai kearifan teknologi dan budaya lokal. 2. Prinsip Co-operation Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, dilakukan dengan prinsip mengatur peranan masing-masing yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan seluruh para pihak. 3. Prinsip Co-responsibility Dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, kegiatan perlindungan dan pembinaan kawasan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat dan para pihak. Definisi, prinsip, dan kategorisasi pengelolaan kawasan konservasi yang telah ditentukan oleh IUCN sebenarnya merupakan hal yang bersifat “netral” yang berarti bahwa bentuk dan kategorisasi pengelolaan tersebut tergantung pada pemilik kawasan atau badan otoritas pengelola kawasan konservasi. Dengan kata
8
lain, sumberdaya alam yang termasuk ke dalam enam kategori pengelolaan kawasan dilindungi dapat dimiliki dan/atau secara langsung dapat dikelola oleh Negara, lembaga swadaya, kepemilikan bersama, baik dalam bentuk pengelolaan sendiri ataupun kombinasi. Di dalam pengelolaan kawasan konservasi, Grazia Borrini-Feyerabend (2007), menyatakan suatu konsep yang relatif baru dalam ranah konservasi yaitu konsep “kepengurusan kawasan dilindungi (Governance Protected Areas). Istilah “kepengurusan” mencakup kekuatan, hubungan, hak, responsibilitas, dan akuntabilitas. Beberapa mendefinisikan itu sebagai “interaksi antar struktur, proses, dan tradisi yang mempengaruhi bagaimana kekuasaan diuji,bagaimana keputusan diambil dalam menangani isu utama, dan bagaimana masyarakat serta para pihak berperan di dalam pengelolaan”. Di dalam konteks kawasan konservasi, bentuk kepengurusan sumberdaya mencakup tataran topic yang luas, mulai dari kebijakan sampai dengan praktek; dari perilaku sampai dengan pengertian; dan dari investasi sampai dengan dampak. Hal ini berpengaruh pada keberhasilan dan efektifitas pengelolaan kawasan serta keadilan pengelolaan dalam hal pembagian biaya dan distribusi manfaat sumberdaya kawasan. Hal tersebut merupakan kunci didalam mencegah dan menyelesaikan konflik sosial yang sering muncul di dalam pengelolaan kawasan konservasi. Perbedaan mendasar dari bentuk-bentuk kepengurusan dalan pengelolaan kawasan konservasi terbentuk dari “ siapa yang memegang secara de facto otoritas pengelolaan berdasarkan peraturan perundangan, hukum adat, ataupun hak kelola yang dilegitimasi oleh aturan lainnya. Merujuk hal diatas, maka terdapat empat tipe/bentuk dasar di dalam kepengurusan kawasan konservasi (Grazia BorriniFeyerabend, 2007) yaitu: 1. Government Managed Protected Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan konservasi dimana otoritas pengelolaannya dipegang oleh pemerintah (misalnya melalui Kementrian/Direktorat PHKA/Balai Taman Nasional). 2. Co-Managed Protected Areas, yaitu pengelolaan kawasan dengan melibatkan para pihak baik organisasi formal ataupun non formal, baik pemerintah
ataupun
lembaga
swadaya
(NGO)
dimana
bentuk
pengelolaannya dikenal dengan istilah “kolaborasi manajemen”. Dalam
9
pelaksanaan pengelolaan, para pihak bersama-sama membentuk badan pengelola untuk memutuskan strategi/kebijakan pengelolaan kawasan. Comanajemen merupakan bentuk penguasaan kawasan yang mengedepankan demokrasi dan terjadi karena situasi yang kompleks. Kekuatan dari bentuk ini bergantung pada komitmen bersama para pihak dalam menjalankan kesepakatan/konsensus 3. Private Protected Areas, yaitu bentuk atau tipe penguasaan kawasan, dimana pengelolaannya dilakukan oleh individu, koperasi, lembaga swadaya atau badan usaha bersama. Tipe penguasaan kawasan seperti ini pengelolaannya dapat ditujukan untuk kepentingan konservasi (non-profit) atau untuk memperoleh keuntungan (profit) melalui kegiatan ekowisata, perburuan, dan lain-lain, bergantung pada kebijakan pemilik hak kelola. 4. Community Conserved Areas, yaitu bentuk pengelolaan kawasan konservasi oleh masyarakat lokal dengan berdasarkan kearifan tradisional dan hak ulayat/hukum adat. Dengan demikian, maka pengelolaannya berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan adat dan kesepakatan tradisional dari masyarakat lokal yang bersangkutan.
2.2. Pengelolaan Kawasan Konservasi Sampai saat ini, konservasi alam di Indonesia masih menghadap berbagai masalah mendasar. Pada aras paradigma, masih relevan untuk dipertanyakan kembali benarkah berbagai kebijakan konservasi yang ada sekarang merupakan hasil dari refleksi yang berangkat dari kesadaran akan kenyataan kritis sumberdaya alam atau hanya sekedar reaksi mengikuti kecenderungan konservasi yang menggejala secara global. Pada tataran konsepsi berbagai kebijakan konservasi masih berlandaskan pada pandangan yang bersifat preservatif, yang secara kaku memandang sumberdaya alam sebagai sesuatu yang statis dan bersifat arcadian sehingga perlu diawetkan dalam sebuah museum alam yang seolah-olah terlarang untuk disentuh. Kesalahan paradigma ini pada akhirnya menyebabkan pendekatan pengelolaan kawasan konservasi pada umumnya selalu menempatkan masyarakat sebagai kelompok yang dipaksa untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan negara.
10
Akibatnya, pengelolaan berjalan tanpa arbitrase, tanpa komunikasi, dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan selalu harus mengalah atau bahkan dikalahkan. Di dalam pengelolaan taman nasional hal tersebut pun tidak dapat diindahkan. Menurut Adiwibowo et al.,(2008) disebutkan bahwa rentang kekuasaan Balai Taman Nasional diperoleh atau bersumber dari i) kebijakan dan peraturan perundangan negara tentang kawasan konservasi (juridical power), dan ii) ilmu pengetahuan dan diskursus tentang konservasi keanekaragaman hayati (knowledge/discourse power). Juridical power mengatur tindakan apa saja yang dilarang dan yang dibolehkan oleh negara (forbidden vs allow). Sementara knowledge/discourse power memberi penilaian tindakan apa saja yang tergolong salah atau benar (right vs wrong) menurut ilmu pengetahuan atau diskursus konservasi. Untuk selanjutnya akan dipaparkan kebijakan dan peraturan perundangan yang menjadi landasan Balai Taman Nasional dalam mengelola kawasan taman nasional. Atas dasar ini masyarakat yang membuka atau berada di dalam kawasan konservasi baik berupa kegiatan pertanian dan permukiman dipandang sebagai perbuatan yang salah dan dilarang. 2.3. Peraturan Perundang-undangan Konservasi Istilah konservasi yang sekarang dikenal pada dasarnya merupakan hasil diskursus ilmu yang telah mengalami perubahan dan pembaharuan dalam jangka waktu yang panjang sampai dengan sekarang. Istilah ini berawal muncul sebagai aktualisasi pertumbuhan romantisme Eropa pada awal abad ke 18 yang dipengaruhi oleh perkembangan perilaku baru yang berasal dari interpretasi religius ilmu pengetahuan. Kemudian pada akhir abad 19 muncul perkembangan yang bersifat progresif aksi-aksi pengawetan alam (nature preservation). Dalam perkembangan selanjutnya, logika preservasi sering terjebak pada pandangan arkeologis yang cenderung melihat sumberdaya sebagai sesuatu yang statis dan harus diawetkan. Koreksi terhadap kekeliruan dasar logika preservasi ini kemudian memunculkan istilah baru yang diangap lebih relevan yaitu konservasi alam (nature conservation) yang diartikan sebagai perlindungan dengan nuansa yang lebih dinamis. dikatakan lebih dinamis karena di dalamnya tidak hanya
11
terkandung
makna pengawetan (preservation), tetapi juga perlindungan
(protection) dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable use). Menjelang akhir 1990an narasi konservasi alam meredup dan diganti dengan konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity conservation). Menurut Adiwibowo et al. (2008), sebagai produk ilmu pengetahuan modern ada tiga hal yang melekat dalam istilah konservasi. Pertama, dalam konservasi senantiasa terkandung makna, ideologi, pengetahuan, dan simbolsimbol yang merefleksikan kepentingan dan kebutuhan manusia, akumulasi ilmu pengetahuan, dan kondisi alam itu sendiri. Kedua, dalam pengetahuan senantiasa melekat kekuasaan (power), terlepas apakah pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge, local knowledge), atau merupakan ilmu pengetahuan modern (scientific knowledge).
Ketiga, istilah konservasi
keanekaragaman hayati dalam waktu singkat menjadi perhatian semua pihak sebagai akibat kampanye dan lobby yang intensif dari kalangan LSM internasional dan akademisi. Dari yang semula hanya merupakan ajang kepedulian peneliti dan akademisi (diskursus pengawetan alam), kini menjadi ajang kepedulian pemerintah, LSM, pengusaha, dan bahkan lembaga-lembaga internasional. Konservasi keanekaragaman hayati kini telah menjadi diskursus global terutama semenjak dideklarasikannya Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity). Dalam tesis ini, istilah konservasi dipandang sebagai produk ilmu pengetahuan yang didalamnya melekat kekuasaan (power) setelah istilah konservasi diwujudkan dalam bentuk konvensi dan peraturan perundanganundangan yang bersifat mengikat, membatasi, dan mengatur akses terhadap sumberdaya alam yang berada di areal yang ditunjuk sebagai suatu kawasan konservasi. Salah satu bentuk kawasan konservasi yang bersifat membatasi dan mengatur akses para pihak atas sumberdaya yang ada di dalamnya adalah kawasan taman nasional, dimana kerangka pokok dari taman nasional berdasarkan kongres IUCN di New Delhi 1969 secara eksplisit menyatakan bahwa taman nasional merupakan ekosistem yang secara fisik belum berubah oleh kegiatan dan okupasi manusia serta pihak pengelola memiliki power untuk mengambil langkah-langkah proaktif dalam mengeliminasi eksploitasi atau okupasi diseluruh kawasan dan
12
menerapkan perlindungan efektif (effective protection), serta bentuk pemanfaatan kawasan taman nasional hanya ditujukan pada kondisi yang spesial untuk tujuan inspirasi, pendidikan, budaya, dan rekreasi. Meski disadari bahwa kerangka pokok taman nasional di atas belum tentu dapat diterapkan di semua negara namun secara prinsip batasan tersebut dapat diterima oleh sebagian besar anggota IUCN. Di Indonesia sendiri, penetapan dan pengukuhan taman nasional sendiri diatur oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dan UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan serta peraturan lainnya baik berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, ataupun Keputusan Menteri. Kriteria
penetapan
taman
nasional
diatur
berdasarkan
Peraturan
Pemerintah Nomor 68 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dimana disebutkan bahwa kawasan taman nasional harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami 2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami 3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh 4. Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam 5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kemudian di bawah ini akan dipaparkan beberapa pasal Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 yang berkaitan langsung dengan pengelolaan taman nasional. Pasal 30 : Taman nasional sebagai salah satu dari kawasan pelestarian
13
alam mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayai tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari. Pasal 31 : Di taman nasional dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian,
ilmu
pengetahuan,
pendidikan,
menunjang
budidaya, budaya dan wisata alam. Pasal 32 : Taman nasional dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, dan zona lain yang sesuai dengan keperluan. Pasal 33 : Taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya Konsekuensi dari arahan pengelolaan ini adalah : Pertama, taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti untuk keperluan perlindungan dan pelestarian, zona pemanfaatan untuk kegiatan penelitian, wisata alam, dan pendidikan, serta zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Kedua, pengelolaan taman nasional menggunakan pendekatan konservasi ekosistem, yaitu pengelolaan ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh, dan tidak hanya terbatas hanya pada konservasi spesies. Hal ini secara nyata disebutkan dalam pasal 33, UU No. 5 Tahun 1990, bahwa taman nasional tidak boleh berubah luasnya dan terganggu fungsinya. Hal inilah yang kemudian membangun paradigma pengelolaan kawasan taman nasional. Paradigma yang memandang kawasan taman nasional sebagai suatu yang arcadian , yang memandang bahwa alam yang unik, khas, dan utuh harus diawetkan dan dilindungi serta terbebas dari sentuhan manusia. Cara pandang tersebut membawa konsekuensi bahwa akses yang bersifat memotong, merusak, mengambil, menebang dan memusnahkan tumbuhan dan satwa, serta mengubah bentang alam untuk berbagai keperluan (termasuk pertanian dan permukiman) harus dilarang. Dalam konstruksi arcadian ini perbuatan atau akses
14
yang diperbolehkan adalah pengawetan dan perlindungan keanekaragaman hayati, penelitian, pendidikan, pembinaan habitat dan populasi satwa, pariwisata alam dan wisata alam terbatas. Pada Tabel 1 dipaparkan kriteria penetapan kawasan dan zonasi taman nasional yang berlaku di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 2.4. Undang-Undang Pokok Agraria Keberadaan pemukiman dan areal lahan pertanian di dalam kawasan yang menjadi sumber utama penghidupan masyarakat secara tidak langsung menciptakan konflik akses terhadap kawasan taman nasional. Pada dasarnya, konflik akses atas ruang di dalam kawasan tersebut merupakan bentuk konflik agrarian antara masyarakat dengan pemerintah, dalam hal ini Balai Taman Nasional selaku pengelola kawasan. Dengan demikian, maka salah satu peraturan perundangan yang penting untuk diulas dalam konteks akses dan kontrol terhadap sumber-sumber agraria di kawasan konservasi adalah Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (atau yang selanjutnya disebut sebagai UUPA). Dalam Pasal 16 ayat 1 disebutkan bahwa hak yang melekat pada sebidang tanah meliputi : hak milik, hak guna-usaha, hak gunabangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan, hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak hak yang sifatnya sementara. Apabila akses ke taman nasional sebagaimana dimaksud dikaitkan dengan hak atas sumberdaya tanah sebagaimana dimaksud diatas, maka hanya Hak Pakai dan Hak Memungut Hasil Hutan yang diakomodir di dalam kawasan taman nasional (Tabel 2). Namun kedua hak dimaksud terbatas lingkup dan lokasinya. Hak Memungut Hasil Hutan hanya dapat berlaku untuk pemanfaatan tumbuhan liar dan satwa liar sebagaimana dimaksud dalam PP No 8 Tahun 1999. Sementara Hak Pakai hanya berlaku untuk kegiatan pengusahaan pariwisata alam sebagaimana dimaksud dalam PP No 18 Tahun 1994. Kedua Hak dimaksud hanya dapat dilakukan di zona pemanfaatan. Tampak bahwa Hak Memungut Hasil Hutan dan Hak Pakai yang diberlakukan untuk kawasan konservasi sangat
15
Tabel 1. Kriteria Penetapan Kawasan dan Zonasi Taman Nasional Berdasarkan PP Nomor 68 Tahun 1998 dan Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006 (Adiwibowo, et al., 2008) Kriteria Penetapan Taman Nasional (PP No 68 Tahun 1998) • Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses secara alami • Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami • Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh • Memiliki keadaan alam yang asli & alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam • Merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
Zona Inti
• Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistem • Mewakili formasi biota tertentu & atau unit-unit penyusunnya • Mempunyai kondisi alam yg masih asli & tidak atau belum diganggu manusia • Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yg menunjang pengelolaan yg efektif & menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami
√
• Mempunyai ciri khas potensinya & dapat menjadi contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi
√
√ Kriteria penetapan zona bersangkutan
√ √ √
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
Zona Tradisional
Zona Lain Zona Zona Religi, Rehabilitasi Bud.&Sejarah
Zona Khusus
16
Lanjutan Tabel 1 Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
Zona Inti
• Mempunyai komunitas tumbuhan & atau satwa serta ekosistemnya yg langka atau keberadaannya terancam punah keberadaannya terancam punah • Merupakan habitat satwa dan/atau tumbuhan tertentu yg prioritas & khas/endemik tertentu yg prioritas & khas/endemik • Merupakan tempat aktivitas & kehidupan satwa migran • Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi & mendukung upaya perkembangbiakan jenis satwa • Memiliki ekosistem dan/atau keanekaragaman jenis yg mampu menyangga pelestarian zona inti & zona pemanfaatan • Mempunyai daya tarik alam / formasi eksositem tertentu / geologi yg indah & unik • Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi & daya tarik untuk pariwisata & rekreasi alam
√
• Kondisi lingkungan di sekitarnya yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan pengembangan pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan • Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangun sarana prasarana bagi kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam, rekreasi, penelitian & pendidikan • Tidak berbatasan langsung dengan zona inti
√ Kriteria penetapan zona bersangkutan
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
√ √
√ √ √
√ √ √ √
√
√
Zona Tradisional
Zona Lain Zona Zona Religi, Rehabilitasi Bud.&Sejarah
Zona Khusus
17
Lanjutan Tabel 1 Zona Taman Nasional Kriteria Penetapan Zona Taman Nasional (Permenhut Nomor 56 P.56/Menhut-II/2006)
• Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat • Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam tertentu yg telah dimanfaatkan melalui kegiatan perkembangbiakan, perbanyakan & pembesaran oleh masyarakat setempat • Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya memerlukan campur tangan manusia • Adanya invasi species yang mengganggu jenis dan spesies asli dalam kawasan • Pemulihan kawasan dimaksud sekurang- kurangnya memerlukan waktu 5 tahun • Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan oleh masyarakat • Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-undang maupun tidak
• Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupan sebelum wilayah tsb ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional • Telah terdapat sarana prasarana al telkom, fasilitas transportasi & listrik sebelum wilayah tsb ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
√ Kriteria penetapan zona bersangkutan
Zona Inti
Zona
Zona
Rimba
Pemanfaatan
Zona Lain Zona
Zona
Zona Religi,
Zona
Tradisional
Rehabilitasi
Bud.&Sejarah
Khusus
√ √
√ √ √ √ √ √ √
18
Tabel 2. Hak Agraria dalam Konteks Akses, Pemanfaatan dan Kontrol atas Taman Nasional Hak Agraria Berdasarkan UUPA 1960 Jenis akses/kontrol di dalam taman nasional menurut UU No 5/1990, UU No 41/1999 & peraturan pelaksanaanya Mengunjungi taman nasional (berkunjung, berkemah, mendaki, hiking) Pengkajian, penelitian, dan pengembangan Mengelola usaha pariwisata alam di zona pemanfaatan & zona lain Memungut hasil hutan (tumbuhan liar & penangkapan satwa liar) utk kegiatan penangkaran Perburuan satwa liar untuk keperluan olah raga buru atau perburuan tradisional Memungut tumbuhan & satwa liar yang tidak dilindungi untuk perdagangan
Dasar Hukum
Hak Milik
Hak Guna Usaha & Hak Guna Bangunan
Hak Sewa Tanah
Hak Membuka Tanah
Hak Memungut Hasil Hutan
Hak Pakai
Hak Pengusahaan Pariwisata Alam
Dasar Hukum
-
-
-
-
√
√
√
E
-
-
-
-
√
√
√
D
-
√
√
C
√
√
-
D
-
-
-
-
√
√
-
D
-
-
-
-
√
-
-
D
A
A,B
A
A
A
A,B
C
Sumber : Adiwibowo, et al, (2008) dengan beberapa modifikasi
Keterangan : A. UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria B. PP No 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah C. PP No 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam D. PP No 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan Liar dan Satwa Liar E. PP No 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
19
terbatas sifatnya dan dikonstruksikan dengan maksud untuk melindungi integritas ekosistem kawasan konservasi. Namun pembatasan akses ini berikut larangan perbuatan telah merubah struktur dan relasi agrarian masyarakat sekitar hutan yang telah lama berinteraksi dengan hutan secara turun-temurun dari generasi ke generasi dan telah menggantungkan kehidupannya kepada sumberdaya hutan terutama sumberdaya lahan. Padahal jika kita melihat ke belakang, keberadaan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan yang memanfaatkan sumberdaya lahan di kawasan taman nasional sebagai sumber penghidupan tidaklah serta merta muncul begitu saja. Mereka sudah di sana dalam waktu yang lama. Interaksinya dengan hutan telah membentuk identitas, budaya, kebiasaan, dan tata nilai yang dipegang teguh dan dihormati masyarakatnya dalam kurun waktu yang amat panjang. Pada dasarnya UUPA berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat, namun sebagai konsekuensi dari pandangan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia tidak semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja tetapi juga menjadi hak bangsa Indonesia. Maka sebagai implikasinya pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi (Pasal 3 UUPA). Dalam perjalanannya, konstruksi hukum Pasal 3 UUPA plus Hak Menguasai dari Negara ini (Pasal 2 UUPA) justru menjadi “kendaraan” yang efektif bagi para penyelenggara negara untuk mengubah, menggunakan atau memanfaatkan secara sepihak tanah-tanah ulayat atau hutan ulayat atas nama program pembangunan. Sehingga ketika tanah ulayat tersebut akan digunakan untuk kepentingan nasional, negara atau bahkan global, warga masyarakat yang mempunyai Hak Pakai atas sebagian tanah ulayat tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan negara. Hal ini tampil kuat dalam UU No 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (kini telah diganti dengan UU No 41 Tahun 1999). Melalui UU No 5 Tahun 1967, Departemen Kehutanan secara sepihak dapat menetapkan 61 persen wilayah daratan Indonesia (sekitar 120 juta hektar) sebagai kawasan hutan
20
negara dengan alokasi untuk hutan produksi, lindung dan konservasi (Adiwibowo et al., 2008). 2.5. Tantangan Pengelolaan Taman Nasional ke Depan Perubahan sistem penguasaan sumberdaya hutan sebagai dampak dari berubahnya institusi pengelola menyebabkan berubahnya pola penguasaan dan kepemilikan lahan hutan. Sebelum kawasan hutan ditetapkan sebagai taman nasional, masyarakat secara “bebas” dapat mengakses sumberdaya hutan dan lahan, namun hal tersebut berubah ketika kawasan tersebut menjadi taman nasional. Perubahan dari de-facto customary property regime ke de-jure state common property regime ini membawa pengaruh besar pada tatanan kehidupan masyarakat sekitar hutan. Akses, pemanfaatan dan kontrol atas sumber-sumber agraria di kawasan hutan yang semula merupakan hubungan hak ulayat yang bersifat tradisional digantikan dengan hubungan hak yang mempunyai relasi dengan konservasi modern, yakni: kunjungan ke taman nasional; pengkajian, penelitian dan pengembangan; memungut hasil hutan (tumbuhan liar dan penangkapan satwa liar) untuk keperluan penangkaran, olah raga buru atau perburuan tradisional, memungut tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi untuk perdagangan, dan mengelola usaha pariwisata alam di zona pemanfaatan. Perubahan rejim penguasaan kawasan hutan ini membawa konsekuensi putusnya hubungan hak ulayat antara masyarakat dengan hutan yang telah terjalin sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan penetapan zonasi-zonasi pengelolaan yang masih bias dan lebih banyak dilakukan secara sepihak serta kurang dikonsultasikan dengan masyarakat, padahal hal ini memiliki implikasi yang sangat besar. Akibatnya, seperti yang selama ini terjadi, muncul konflik yang berkepanjangan antara masyarakat setempat dengan pengelola taman nasional. Disinilah dituntut peran strategis pengelola taman nasional dan pemerintah dalam menyeimbangkan trade off antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan global. Sehingga menjadi tantangan kita bersama bagaimana mewujudkan taman nasional yang dapat menjalankan fungsinya dalam melindungi keanekaragaman hayati sekaligus memiliki kemanfaatan yang lebih luas bagi segenap lapisan dan golongan masyarakat dengan memperhatikan
21
riwayat sosio-agraria yang telah terjalin jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. 2.6. Teori Akses Peluso (2003) mengartikan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benefits from things). Definisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai – hak untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (“the right to benefit from things”). Akses dalam definisi Peluso mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (“a bundle of powers”) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai“sekumpulan hak” (“a bundle of rights”). Kekuasaan, menurut Peluso, terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang berhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaring kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. Implikasi dari definisi Peluso ini adalah bahwa kekuasaan yang inheren terkandung di dalam dan dipertukarkan melalui berbagai mekanisme, proses dan relasi sosial akan mempengaruhi kemampuan seseorang atau institusi untuk memperoleh manfaat dari sumber daya. Mengingat elemen-elemen material, budaya, ekonomi dan politik tidak statis, maka kekuasaan dan akses yang terbentuk ke sumberdaya juga berubah-ubah menurut ruang dan waktu. Dengan kata lain individu dan institusi mempunyai posisi yang berbeda-beda dalam relasinya dengan sumberdaya pada ruang dan waktu yang berbeda. Individu dan institusi yang menguasai akses terhadap sumberdaya, berusaha untuk selalu memelihara posisi dan keberadaannya agar tetap memiliki kontrol dalam mengakses sumberdaya tersebut. Analisis akses akan membantu kita untuk memahami mengapa beberapa individu atau institusi mengambil manfaat dari sumberdaya, baik memiliki hak atau pun tidak memiliki hak dalam mengakses sumberdaya tersebut. Hal ini merupakan perbedaan yang mendasar antara analisis akses dan properti. Jika dalam studi properti ditelaah relasi properti utamanya yang berkenaan dengan klaim atas hak, maka dalam studi tentang akses ditelaah relasi kekuasaan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya, namun tidak terbatas pada relasi properti.
22
2.6.1. Teori Akses: Meletakkan Hak Milik pada Tempatnya Salah satu penulis memberikan pandangan bahwa hak milik merupakan hak yang berdasarkan atas wewenang dan sanksi hukum; pandangan lain menyatakan bahwa hak merupakan sesuatu yang muncul secara alamiah (hak alamiah). Meskipun kedua pandangan tersebut sepintas tampak bertentangan namun pada dasarnya keduanya saling mendukung dan berkorelasi membentuk suatu doktrin yang disebut dengan hak milik Apa itu hak milik (property right)? 1849 (Proudhon 1993:13) Lebih dari 150 tahun setelah istilah ini dikemukakan, Proudhon mulai untuk mempertanyakan bagaimana melakukan analisa terhadap hak milik. Di dalam teori akses, terdapat perbedaan batasan dari property itu sendiri., dimana terdapat beberapa perbedaan kunci antara kedua terminology tersebut.. Kita menggambarkan akses sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu. Macpherson (1978) dalam Peluso (2003) mengidentifikasi bahwa hak milik merupakan "... suatu hak dimana seseorang dapat mempergunakan sumberdaya atau mengambil manfaat dari sumberdaya tersebut…”. Suatu hak dapat dilaksanakan jika diakui dan didukung oleh masyarakat, hukum, dan adat kebiasaan. Istilah "manfaat" secara umum memiliki makna yang sama baik pada definisi hak milik dan akses. Teori hak milik dan akses sama-sama membahas bagaimana hubungan para aktor/individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya serta posisi/kedudukan mereka terhadap sumberdaya tersebut. Manfaat dari sumberdaya sangatlah penting bagi individu, institusi, dan masyarakat dalam mempertahankan hidup dan untuk itu mereka saling berinteraksi satu sama lain membentuk kerjasama atau bahkan kompetisi di dalam upaya mendapatkan sumberdaya yang bersangkutan. Perbedaan mendasar antara akses dan hak milik adalah pada istilah "kemampuan (ability)" dan "hak (right)". Kemampuan menggambarkan suatu kekuasaan, yang bermakna: 1) kapasitas para aktor dalam menguasai dan mempengaruhi orang lain, dan 2) kekuasaan tidak hanya dipandang sebagai kemampuan dalam memberikan pengaruh terhadap orang lain. Kekuasaan pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dan selalu muncul sebagai konsekuensi dari proses interaksi sosial, dimana satu sama lain berusaha untuk saling
23
mempengaruhi. Peraturan yang terbentuk dari kekuasaan dapat meyakinkan orang untuk bertindak sesuai dengan aturan tanpa adanya paksaan (Foucault 1978a, 1979 dalam Peluso 2003). Akses adalah segala sesuatu yang mungkin digunakan oleh individu dalam memperoleh manfaat dari sumbedaya. Hak milik secara umum didapat dari pengakuan social ataupun diperoleh dari pengakuan yang bersumber peraturan dan kesepakatan yang telah diketahui besama baik dalam bentuk hokum,
perjanjian,
ataupun
adat
kebiasaan.
Pemilik
hak
menikmati
keberadaannya dalam tingkatan sosial yang memilki kemampuan untuk mengakses sumberdaya. Hak biasanya selalu berasosiasi dengan hukum, kebiasaan, dan konvensi tetapi tidaklah selalu sepadan keberadaannya. Akses secara tidak langsung dapat merupakan aktivitas yang dilakukan oleh individu walaupun tidak sesuai dengan hak miliknya dan atau norma sosial serta kesepakatan yang ada. Hampir sebagian besar literatur yang berkembang dalam lingkup hak milik bersama dan penguasaan sumberdaya menunjukkan bahwa hukum (baik lisan atau tulisan, resmi atau tidak resmi) tidak sepenuhnya menggambarkan secara jelas semua bentuk dan jalan yang digunakan individu, institusi, atau organisasi dalam mengakses sumberdaya dalam kondisi yang kompleks dan jaring kekuasaan yang tumpang tindih diantara para aktor tersebut. Dalam beberapa dimensi akses, akan dibahas secara mendalam atau melihat secara lebih luas studi mengenai hak kepemilikan (property). Hak milik dalam
sebagian
besar
literatur
cenderung
dihubungkan
pada
istilah
“kepemilikan”, tetapi hal tersebut telah berubah secara drastis dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan istilah “relasi hak milik” dan “penguasaan” hanya mengkaji hubungan sumberdaya kepemilikan dan kendali hukum yang dijalankan oleh institusi sosial terkadang memiliki posisi lebih besar peranannya dibandingkan hak kepemilikan yang diatur oleh hukum negara. Membahas konsep hak milik dan penguasaan untuk menempatkan hak milik dalam akses merupakan satu set dari gabungan faktor dalam aras yang luas didalam institusi, hubungan sosial politik dan ekonomi, dan membentuk jaring yang kompleks dan tak beraturan dalam membentuk aliran manfaat sumberdaya. Beberapa kegiatan
24
dalam mengakses sumberdaya terkadang tidak sah atau tidak terlegitimasi hukum yang berlaku (ilegal). Karenanya, analisis akses harus memperhatikan hak milik secara holistik, termasuk tindakan ilegal, hubungan hasil, hubungan kepentingan, dan sejarah terjadinya akses itu sendiri (Peluso, 2003). Berdasarkan uraian di atas maka teori akses dapat digunakan untuk: 1) mengidentifikasi dan memetakan aliran manfaat dari sumberdaya; 2) mengidentifikasi mekanisme para aktor berbeda dalam mengendalikan dan memelihara aliran manfaat beserta distribusi dari sumberdaya yang diakses; dan 3) menganalisis hubungan kekuasaan yang mendasari mekanisme akses yang melibatkan para aktor dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya. Analisa akses terhadap sumberdaya pada awalnya membutuhkan identifikasi manfaat yang diperoleh dari sumberdaya yang diakses (Peluso, 2003). 2.6.2. Mekanisme Akses Di dalam mekanisme akses, terdapat dua kategori dasar perilaku dan tindakan individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya, yaitu 1) mekanisme akses secara legal berdasarkan hak kepemilikannya (berkesesuaian dengan hokum, kesepakatan, ataupun norma socsal), dan 2) mekanisme akses secara ilegal atau tidak sah. a. Akses yang Berdasar Atas Hak Milik (Legal Access) Legal akses terbentuk ketika kemampuan para aktor dalam mengakses manfaat atas sumberdaya berkesesuaian dengan peraturan, kesepakatan, dan adat kebiasaan yang pada saat ini disebut sebagai milik (property) (MacPherson, 1978 dalam Peluso, 2003). Hak tersebut dimiliki oleh para pemegang hak yang dilegitimasi oleh komunitas sosial, pemerintah dan bentuk konvensi lainnya yang muncul dalam kerangka pengakuan hak/klaim. Hukum dasar dari hak milik ini memberikan akses kepada individu untuk melakukan apapun dalam memanfaatkan sumberdaya, sampai memindahtangankan sumberdaya tersebut kepada orang lain. Hanya saja, bentuk legal akses yang berdasarkan pada aturan sosial atau kesepakatan biasanya tidak secara kuat mengikat dan memaksa para aktor untuk mengikuti mekanisme yang legal dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya.
25
Namun terkadang kebijakan atau peraturan yang ada tidak secara jelas menggambarkan batasan kekuaaan para aktor dalam mengakses sumberdaya, sehingga pada akhirnya akan bermuara pada konflik. Sebagai contoh,hal ini dapat ditemukan dalam bentuk pengelolaan sumberdaya secara bersama dimana batasan hak dan akses tidak jelas. Atas nama desentralisasi atau partisipasi, pendekatan manajemenen kolaborasi yang didasarkan pada pelibatan masyarakat di dalam pengelolaan sumberdaya ternyata tidak berhasil mengakomodir hak penduduk local di sekitar hutan dalam mengakses sumberdaya hutan (Sundar dan Baviskar 2001 dalam Peluso, 2003). Sehingga peraturan yang legal yang mengatur akses pada akhirnya tidak memberikan hak masyarakat lokal dan menjadikan sumberdaya negara dalam hal ini hutan menjadi close access bagi masyarakat atau masyarakat dipaksa untuk tunduk pada aturan yang telah ditetapkan. b. Akses Ilegal (Illegal Access) Ilegal akses merupakan suatu bentuk tindakan yang dilakukan oleh individu dalam memperoleh manfaat dari sumberdaya yang bertentangan dengan peraruran ataupun kesepakatan yang telah ditentukan. Illegal akses biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak sesuai dengan kaidah atau dilakukan secara terpaksa karena terbatasnya ruang dalam mengakses sumberdaya. Tujuannya adalah untuk mengendalikan, memelihara dan mengontrol akses terhadap sumberdaya. Ilegal akses terbentuk dari berbagai macam sumber misalnya karena adanya paksaan terhadap suatu kelompok masyarakat dan membatasi mereka dalam mengakses sumberdaya, biasanya bila tidak dikendalikan akan menimbulkan konflik dan berujung pada kekerasan, karena masing-masing pihak berusaha untuk mempertahankan keberadaannya dalam mengakses sumberdaya (Peluso, 2003). 2.7. Hak Milik (Property rights) Hak milik atau property rights merupakan hak yang dimiliki oleh individu, masyarakat, negara atas sumberdaya (asset/endowment) untuk mengelola,
memperoleh
manfaat,
memindahtangankan,
bahkan
untuk
merusaknya. Property right merupakan institusi, karena di dalamnya
26
mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatannya dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu (North, 1990).
Konsep hak kepemilikan
memiliki implikasi terhadap konsep hak (right) dan kewajiban (obligation) yang diatur oleh hukum, adat dan tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Hak tersebut dapat diperoleh melalui pembelian, pemberian dan hadiah atau melalui pengaturan administrasi pemerintah. Dalam banyak hal hak kepemilikan (property right) merupakan produk dari tradisi atau adat kebiasaan dalam masyarakat, sehingga tidak seorangpun dapat menyatakan hak milik tanpa pengakuan dari masyarakat (dan negara). Implikasinya: 1) Hak seseorang adalah kewajiban orang lain, 2) Sumber kekuatan untuk akses dan control terhadap sumberdaya (Hanna, 1996). Bentuk “property regime”dapat bermacam-macam: 1. Private property (milik pribadi) 2. State property (milik negara) 3. Communal (common) property (milik komunal– adat, ulayat, dan lainnya) 4. Public property (milik umum) 5. Open access property (akses terbuka) Turner (1994) mengatakan bahwa struktur hak kepemilikian yang dapat menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien mempunyai empat karakteristik sebagai berikut: 1. Universality ; seluruh sumberdaya dimiliki secara individu dan seluruh hak-hak atas penggunaan sumberdaya tersebut didefinisikan dengan jelas 2. Exclusivity ; seluruh biaya yang dibelanjakan dan manfaat yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya tersebut harus ditanggung atau dinikmati oleh pemiliknya. 3. Transferability ; hak kepemilikan harus dapat dipindah tangankan secara sukarela dari satu pemilik ke pemilik yang lain 4. Enforceability ; hak kepemilikan harus aman dari kemungkinan adanya gangguan dari pihak lain. Secara umum karakteristik dan bentuk property regime beserta implikasinya dapat dilihat pada Tabel 3.
27
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan property rights (Eggertsson, 1990) : a. Penerima hak dapat menginternalisasikan biaya dan manfaat dari kegiatannya. b. Hak terdefinisi dengan jelas, pasti dan segala persengkataan dapat diselesaikan dengan biaya yang murah. Kepastian hak mendorong seseorang untuk meningkatkan sediaan (stock) barang modalnya. c. Struktur hak dapat menekan biaya pengukuran manfaat dan biaya transaksi. d. Negara dapat menjamin kepemilikan hak. 2.8. Konflik Menurut Fisher et al. (2000) konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antara hubunganhubungan itu seperti kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah diskriminasi. Fisher et al. (2000) mengemukakan teori-teori utama mengenai sebabsebab konflik adalah: 1. Teori hubungan masyarakat, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. 2. Teori negosiasi prinsip, menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik.
28
Tabel 3. Karakteristik Property Righst dan Implikasinya Jenis Hak Kepemilikan
Pemenuhan Syarat/Karakteristik 1 2 3
4
+
+
+
+
-
+
+
+
-
-
-
-
State property (Milik Hutan,tambang, Negara) laut,dll
-
-
+/-
+/-
Open access property Semua B/J yang (Akses terbuka) tidak terawasi dengan baik
-
-
-
-
Private property (Milik Pribadi) Communal (common) property Public property (Milik umum)
Contoh
Tanah, mobil, rumah,SHM Hak adat/ulayat, tanah desa Taman,jalan, sungai,udara
: Sumber : Turner, Pearce and Bateman (1994) dengan beberapa modifikasi Keterangan :
1. Universality 2. Exclusivity 3. Transferability 4. Enforceability
Kelemahan yang perlu diperhatikan - Eksternalitas - Kualitas SDM - Kesepakatan Internal - Optimum group size - Sulitnya aksi bersama - Free riders - Enforcement cost - Dana terbatas - Sentralistik - over demande, lack supplied - milik Negara rentan menjadi open access
Implikasi
- pengaturan pemanfaatan - penguatan SDM - pembangunan dan penguatan institusi local (community) - pembangunan dan penguatan institusi local (community) - Eksternal-coercion - Good governance - Law structures, makin process, interval of acceptances - Law enforcement - Mereduksi-mengeliminasi kehadiran sumberdaya open access
29
3. Teori kebutuhan manusia, berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia-fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi. 4. Teori identitas, berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak terselesaikan. 5. Teori kesepahaman antar budaya, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi di antara berbagai budaya yang berbeda. 6. Teori transformasi konflik, berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya, dan ekonomi. Menurut Tadjudin (2000) sumber konflik adalah perbedaan. Perbedaan tersebut bisa bersifat mutlak artinya secara objektif memang berbeda, namun bisa juga perbedaan tersebut hanya ada di tingkat persepsi. Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda atau pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara objektif sama sekali tidak ada perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada berbagai tataran, misalnya: 1. Perbedaan persepsi 2. Perbedaan pengetahuan 3. Perbedaan tata nilai 4. Perbedaan kepentingan 5. Perbedaaan akuan hak “kepemilikan” Perbedaan akuan untuk akses dan kontrol sumberdaya alam dan perbedaan kepentingan mewarnai banyak konflik yang terjadi dalam pengelolaan kawasan taman nasional di Indonesia. Menurut Fuad dan Maskanah (2000) konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Ciri-ciri konflik tersebut adalah: 1. Konflik tertutup (latent) dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang, dan belum terangkat ke puncak
30
kutub konflik seringkali salah satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan paling potensial sekalipun. 2. Konflik mencuat (emerging) adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya belum berkembang. 3. konflik terbuka (manifest) merupakan konflik dimana pihak-pihak yang berselisih terlibat secara aktif dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai untuk bernegosiasi mungkin pula telah mencapai tujuan buntu. Sedangkan menurut level permasalahannya, terdapat 2 jenis konflik yaitu konflik vertikal dan konflik horisontal. Konflik vertikal terjadi apabila pihak yang dilawan oleh pihak lainnya berada pada level yang berbeda, sehingga kaitan makro-mikronya lebih cepat dapat diketahui. Sedangkan konflik horisontal terjadi antara masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Dalam hal ini, kaitan makro agak sulit digambarkan dengan jelas, bahkan seringkali sulit untuk menentukan siapa lawan sebenarnya (Fuad dan Maskanah, 2000). Menurut Fisher (2000) konflik berubah setiap saat, melalui hubungan berbagai tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting sekali diketahui dan digunakan bersama alat bantu lain untuk menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik, yaitu: 1. Prakonflik, ini merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. 2. Konfrontasi, pada tahap ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 3. Krisis, ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. 4. Pasca konflik, akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke lebih normal di antara kedua pihak.
31
2.9. Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang secara turun temurun memanfaatkan lingkungan hutan sebagai mata pencaharian, baik berasal dari kayu maupun non kayu (Mubyarto, 1994). Menurut Muharam (2002) bahwa masyarakat setempat adalah pihak yang harus diayomi oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Sehingga agar menjadi lebih luas (mengatur penyelenggaraannya), yaitu meliputi : a). Memberi peran yang lebih aktif kepada masyarakat setempat dengan menempatkan mereka sebagai pelaku utama pengelolaan hutan. b). Mendorong terwujudnya peran aktif pemerintah Kabupaten/Kota Masyarakat di dalam dan sekitar hutan berhak memperoleh hidup yang dihasilkan hutan, selain hak tersebut masyarakat juga dapat memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku seperti, mengetahui rencana peruntukan hutan, informasi kehutanan, memberi informasi, saran, pertimbangan dalam pembangunan kehutanan, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik secara langsung maupun tidak langsung (Departemen Kehutanan, 2004). Menyadari bahwa hubungan timbal balik antara masyarakat dan sumberdaya hutan merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, maka perlu diupayakan suatu model pembangunan kehutanan yang dipadukan dengan upaya pemenuhan kebutuhan, peningkatan pendapatan dari masyarakat di sekitar hutan dalam waktu relatif singkat khususnya masyarakat lokal atau elemen tak terpisahkan dari ekositem hutan. Pembangunan masyarakat pedesaan di dalam dan atau di sekitar hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan kehutanan, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh tingkat dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Pendekatan dalam pembangunan kehutanan mulai mempertimbangkan sepenuhnya kepentingan masnyarakat di areal hutan dan memperhatikan aspek sumberdaya manusia agar dapat berpartisipasi aktif. Peningkatan partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya termasuk dalam memberdayakan dan mengembangkan kekuatan lokal. Partisipasi masyarakat dapat dipandang pula sebagai salah satu kekuatan penting
32
yang menentukan keberhasilan proses pembangunan. Hal penting lainya adalah pemberdayaan ataupun partisipasi masyarakat hendaknya berjalan dengan sukarela tanpa paksaan (Mubyarto, 1994). 2.10. Perambahan Hutan 2.10.1 Definisi Perambahan Kegiatan perambahan hutan untuk kegiatan budidaya pertanian merupakan salah satu bentuk dari kegiatan penyerobotan lahan hutan di samping pemukiman liar. Penyerobotan lahan hutan seperti dikemukakan Sastrosemito (1984) merupakan salah satu jenis gangguan hutan yang disebabkan manusia yang sasaran pokoknya adalah lahan hutan. Menurut Fakultas Kehutanan IPB (1977) penggunaan lahan hutan untuk keperluan selain hutan, dalam hal ini terutama untuk pemukiman dan perladangan, tanpa izin dari yang berwenang disebut penyerobotan lahan hutan. Sunito mendefinisikan
(1989:21) perambah
dalam hutan
Sunderlin adalah
dan
Resosudarmo
orang-orang
yang
(1997) mungkin
menggunakan sistem tebas bakar (Slash and Burn System) vegetasi yang ada, tetapi dengan niatan utama untuk mendirikan usaha pertanian yang permanen atau semi permanen. Meskipun mungkin ditanam beberapa jenis tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, penanaman tanaman komersial (seringkali tanaman tahunan) merupakan fokus budidayanya. Biasanya lahannya tidak diberakan, tetapi digunakan terus menerus dan hanya ditinggalkan setelah kesuburannya hampir atau telah hilang sama sekali, karena tidak ada rencana jangka panjang untuk kembali ke lokasi yang sama. Perambahan juga dapat diartikan sebagai penggunaan lahan hutan untuk keperluan selain hutan, dalam hal ini terutama untuk pemukiman dan perladangan tanpa izin dari pihak yang berwenang (Wahidiat, 2002). Selanjutnya berdasarkan Hasil Lokakarya Pengendalian Perladangan Berpindah dan Perambahan Hutan (1993) dalam Yani (1995) disebutkan bahwa perambahan hutan adalah setiap kegiatan usaha tani dalam kawasan hutan secara tidak sah yang mengakibatkan kerusakan hutan dengan atau tanpa tempat tinggal yang menetap.
33
2.10.2. Dampak Kegiatan Perambahan Hutan Penyerobotan lahan hutan pada daerah yang dicagarkan seperti taman nasional atau kawasan konservasi lainnya, disamping akan menimbulkan kerusakan pada vegetasi hutan dan tanah hutan, juga akan berakibat buruk terhadap kehidupan satwaliar yang dilindungi (Fakultas Kehutanan IPB, 1986). Menurut Soerianegara dan Indrawan (1988) pembukaan lahan hutan baik untuk perladangan maupun untuk pemukiman akan menganggu ekosistem hutan dan mengubah keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi. Di samping itu, Alikodra (1986) menyatakan bahwa pembukaan lahan hutan dapat mengganggu satwa liar; baik berupa pemotongan jalur pergerakan satwaliar maupun merubah potenis makanan serta dapat pula mendorong kepunahan satwa langka. Selain berdampak negatif terhadap keberadaan vegetasi dan satwa liar, perambahan hutan juga memiliki dampak negatif terhadap nilai ekonomis hutan yang dihasilkannya. Sudohadi dan Darusman (2000) menyatakan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kehutanan IPB, menunjukkan bahwa total nilai manfaat yang diberikan hutan kepada manusia adalah sebesar 2,7 milyar rupiah per hektar untuk setiap tahunnya. Sehingga dapat diartikan bahwa untuk setiap hektar perambahan hutan yang terjadi, secara tidak langsung kita kehilangan sebanyak 2,7 milyar rupiah. Lebih lanjut Wiriadinata (1988) menyatakan bahwa penyerobotan lahan hutan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap hutan dan hasil hutan, tanah hutan, iklim mikro dan masyarakat. Secara rinci dampak negatif tersebut adalah sebagai berikut: 1. Terhadap hutan dan hasil hutan: a. Mengganggu keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi hutan serta ekosistemnya. b. Mengganggu habitat satwaliar. c. Mendorong punahnya flora dan fauna langka. d. Penurunan fungsi hidrologis hutan. e. Mengganggu dan menurunkan kualitas dan kuantitas hasil hutan. 2. Terhadap tanah hutan: a. Menurunkan kondisi fisik dan kimia tanah.
34
b. Mempercepat proses mineralisasi dan pencucian unsur-unsur hara. c. Mempercepat proses erosi. 3. Terhadap iklim mikro: a. Meningkatkan jumlah Karbondioksida (CO2) dan mengurangi Oksigen (O2) di udara. b. Meningkatkan suhu adara. 4. Terhadap masyarakat: a.Menghasilkan sumber penghasilkan masyarakat. b.Kekurangan air pada tanaman pangan yang diusahakan. c.Menurunkan pendapatan masyarakat, karena potensi sumberdaya hutan yang dimanfaatkan berkurang. d.Menimbulkan banjir dan tanah longsor yang dapat mengakibatkan kerugian harta maupun jiwa penduduk. 2.10.3. Kondisi Sosial Ekonomi Perambah Masyarakat di sekitar kawasan konservasi mempunyai sistem sosial ekonomi dan budaya tersendiri dengan ekosistem dalam kawasan konservasi. Menurut kaidah ekologi, bila suatu sistem berdekatan umumnya akan terjadi eksploitasi dari ekosistem yang kuat terhadap yang lemah. Fenomena yang umum adalah eksploitasi terhadap kawasan konservasi oleh sistem sosial sekitarnya. Untuk mengetahui perkembangan perambah hutan terlebih dahulu kita perlu mendalami sosial ekonomi dan budaya dari suku/etnis, teknologi usaha tani yang dimiliki, pengaruh vegetasi dan pengaruh tanah (Dove, 1988). Masyarakat sekitar kawasan konservasi pada umumnya bekerja sebagai petani. Untuk dapat hidup layak, diperlukan luas lahan minimal 1-2 ha dan biasanya mereka menanami lahan tersebut dengan tanaman pangan maupun tanaman perkebunan (kopi, cengkeh, lada). Saat ini pertambahan penduduk cenderung meningkat sehingga jumlah petani dengan sendirinya juga akan bertambah. Ini berarti kebutuhan lahan bagi penduduk di sekitar kawasan konservasi menjadi semakin tinggi (Pusat Studi Lingkungan Unila, 1984). Soemarwoto (1978) menyatakan karena pertumbuhan jumlah penduduk petani,
35
maka luas lahan menunjukkan kecenderungan yang semakin kecil. Sehingga kebutuhan terhadap lahan garapan oleh masyarakat akan selalu bertambah. Dengan meningkatnya jumlah petani tersebut akan menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung lingkungan, dalam hal ini lahan pertanian (Soemarwoto, 1978). Hal ini dapat mendorong para petani terutama yang berada di sekitar kawasan konservasi, untuk merambah kawasan hutan guna memenuhi kebutuhan mereka akan lahan garapan. Semakin besar kebutuhan lahan untuk pertanian maka semakin besar pula tingkat gangguan keamanan terhadap kawasan hutan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1983). Contoh kasus, salah satu penyebab terjadinya peningkatan jumlah penduduk di kecamatan Sumberjaya kabupaten Lampung Barat adalah akibat adanya program transmigrasi dari Pulau Jawa. Para transmigran ini merehabilitasi kebun-kebun kopi tua (kosong) atau membuka kawasan hutan untuk bercocok tanam kopi (Budidarsono, et al, 2002;35). Banyak orang Jawa yang pada awalnya hanya datang sebagai buruh musiman untuk memanen kopi, mulai membudidayakan kopi sendiri dengan membangun kebun dan secara aktif membuka areal hutan yang luas Selain pengaruh faktor kepadatan penduduk, jumlah anggota keluarga perambah juga dianggap berpengaruh terhadap luas lahan yang digarap (Fakultas Kehutanan IPB, 1986). Tingkat pendidikan yang rendah dan adanya persepsi masyarakat yang menganggap hutan sebagai sumber daya alam yang bebas untuk dibudidayakan semakin mendorong masyarakat sekitar hutan untuk menyerobot/merambah lahan hutan (Wirdinata, 1988). Tingkat kesadaran masyarakat diasumsikan berbanding lurus dengan tingkat pendidikan atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat maka tingkat kesadaran tentang pentingnya pemeliharaan kawasan hutan konservasi semakin tinggi pula (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1983). Disamping itu faktor pendorong lainnya adalah ketidaktahuan masyarakat akan arti dan fungsi kawasan konservasi (hutan), sehingga banyak tindakan masyarakat yang tidak mendukung kelestarian kawasan tersebut (Fakultas Kehutanan IPB, 1986). Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan terhadap kawasan hutan oleh masyarakat sekitar hutan seperti perambahan hutan adalah pengetahuan masyarakat itu sendiri tentang kawasan hutan (Fakultas Kehutanan IPB, 1977).
36
Pengetahuan dan pemahaman masyarakat mengenai kawasan hutan dan fungsi hutan akan mempengaruhi sikap mereka terhadap hutan yang kemudian akan tercermin pada interaksinya pada hutan, terutama kaitannya dengan aktivitas perambahan lahan hutan yang mereka lakukan (Fakultas Kehutanan IPB, 1977). Menurut Ginting (1972) dalam Yani (1995) perladangan merupakan salah satu pilihan masyarakat yang disebabkan oleh beberapa alasan utama yaitu teknologi yang sederhana dan sudah dikuasai masyarakat setempat serta intensitas penggunaan tenaga kerja rendah yang sangat cocok untuk daerah yang kurang penduduknya. Ada 2 (dua) tipe sistem perladangan di Indonesia saat ini, yaitu tipe perladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal menetap di dalam kawasan hutan dan tipe peladang berpindah dengan cara merambah hutan dan tinggal menetap di luar kawasan hutan (Suwardjo, 1993). Mirip dengan tipe perladangan yang dikemukakan oleh Suwardjo, Greenland (1974) dalam Srivasta (1986) dalam Yani (1995) juga membedakan peladang berupa perpindahan peladang yang diikuti dengan perpindahan tempat tinggal. dan perpindahan peladang yang tidak selalu diikuti dengan perpindahan tempat tinggal. 2.11. Partisipasi dan Kolaborasi Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan akan membuka peluang bagi masyarakat untuk mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber mata pencaharian, dengan demikian pengelolaan hutan akan mengangkat status kesejahteraan masyarakat sekitar hutan (Rahadjo, 2003). Pendekatan partisipaif merupakan proses pembelajaran dialogik (mutual learning dan societal guidance). Yang sebenarnya sudah diterapkan sejak dahulu. Para pihak termasuk masyarakat lokal dilibatkan perannya mulai proses perencanaan sampai
pelaksanaan kegiatan dan evaluasi secara aktif serta
diberikan keleluasaan untuk menambil keputusan yang terbaik menurut harapan dan kepentingan sesuai dengan koridor yang disepakati bersama (Setiamihardja, 2003).
37
Partisipasi
adalah
keterlibatan
masyarakat
secara
sadar
untuk
menggabungkan diri mendukung dan menyukseskan kegiatan konservasi, pelestarian hutan dan lingkungan hidup (Zain,1997). Menurut Rahardjo (2003) partisipasi masyarakat dalam pembangunan berarti ikut sertanya masyarakat dalam pembangunan, ikut dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, dan ikut serta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Tanpa partisipasi masyarakat dalam memanfaatkan (hasil) pembangunan berarti masyarakat tidak naik tingkat hidup atau tingkat kesejahteraannya. Partisipasi dalam pembangunan dibagi menjadi lima jenis yaitu: 1. Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan ikut menikmati hasilnya, 2. Ikut memberi input dan menikmati hasilnya, 3. Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan secara langsung, 4. Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input, 5. Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menikmati hasilnya. Menurut MacKinnon et al. (1993), pengelola kawasan konservasi dapat melindungi kawasannya sendiri dari ancaman dan kerusakan yang tak alami, tetapi kebijakan ini tidak mungkin berjalan dan terjamin untuk jangka panjang tanpa dukungan masyarakat. Pengelolaan sumberdaya alam adalah untuk rakyat dan harus dilakukan dalam suatu kerangka sosial. Keberhasilan pengelolaan banyak bergantung pada kadar dukungan dan penghargaan yang diberikan kepada kawasan yang dilindungi oleh masyarakat di sekitarnya. Bila masyarakat setempat memandang negatif terhadap kawasan konservasi, masyarakat dapat menggagalkan pelestarian. Sebaliknya, bila pelestarian dianggap sebagai sesuatu yang positif manfaatnya, masyarakat setempat akan bekerjasama dengan pengelola dalam melindungi kawasan dari perkembangan yang membahayakan. Hal yang penting dalam menumbuhkan kerjasama dan peran serta masyarakat ini melalui kepercayaan sosial (social trust). Antara komunitas
38
setempat dan pengelola harus ada kepercayaan tentang manfaat yang mereka peroleh dari interaksi di antara mereka. Gray dalam Suporahardjo (2005) mengingatkan bahwa para aktor yang mengusahakan suatu kolaborasi agar mengantisipasi dan membuat evaluasi atas kemampuannya mengatasi kenyataan dan potensi kendala-kendala yang mungkin
dihadapinya.
Beberapa
kondisi
yang
menyebabkan
tingkat
keberhasilannya rendah, yaitu ketika: 1. Konflik berakar dari perbedaan ideologi, 2. Suatu stakeholder mempunyai power untuk melakukan aksi sepihak , 3. Legitimasi pelaksana pertemuan tidak ditemukan, 4. Isu-isu terlalu mengancam karena adanya pertentangan sejarah, 5. Intervensi yang dilakukan sewcara berulang namun tidak efektif, 6. Pemeliharaan hubungan antar organisasi disamakan dengan biaya yang besar bagi mitra. Langkah-langka yang dapat dilakukan dalam membangun strategi pencapaian manajemen kolaborasi yang efektif, dapat di uraikan sebagai berikut: 1. Kolaborasi dapat berjalan dengan sukses bila
berhasil membangun
”common ground” (pandangan yang sama); kemitraan akan sukses jika memberikan penekanan pada kepentingan bersama atau menemukan cara menjembatani kecocokan kepentingan yang masih berbeda, 2. Pentingnya menciptakan kesempatan baru untuk berinteraksi, 3. Pentingnya melibatkan stakeholder kedalam proses interaksi yang intensif, bukan hanya pada tataran produk akhir. Agar keputusan yang dibuat dapat menjadi efektif dan mewakili seluruh kepentingan stakeholder, 4. Pentingnya mengatasi permasalahan dengan menggunakan cara-cara baru
dan
kreatif
yang
didasarkan
pada
positifisme
dalam
mempertimbangkan jalan keluar dari suatu problem, 5. Pentingnya meningkatkan kepekaan terhadap tanggung jawab dan komitmen dari para stakeholders.
39
Menurut Birner dan Mappatoba (2002), ada tiga orientasi nilai dan ideologi yang mendasari keterlibatan para pihak dalam proses pembentukan kesepakatan konservasi, yaitu: (1) orientasi “konservasionis”; (2) orientasi “developmentalism”; dan (3) orientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat”. Berdasarkan
perbedaan
orientasi
tersebut,
maka
pihak
yang
bersifat
“konservasionis” pasti menekankan konservasi alam sebagai prioritas tujuan. Namun berdasarkan pengalamannya, para organisasi konservasi ini semakin melibatkan aktivitas-aktivitas pembangunan pedesaan ke dalam agenda mereka karena menyadari bahwa aktivitas semacam itu di zona penyangga dapat mendukung mencapai tujuan-tujuan konservasi secara lebih baik. Sedangkan pihak yang berorientasi pada wacana ”developmentalism” menempatkan kemiskinan, peningkatan populasi, dan kurangnya teknologi tepat guna sebagai penyebab utama atas perusakan sumber daya alam. Organisasi dengan orientasi ini
memfokuskan pada penyuluhan pertanian,
transfer teknologi dan
pembangunan infrastruktur. Teknik-teknik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan secara ekologis dan isu-isu seputar konservasi alam kian menjadi bagian dari program-program organisasi developmentalis, baik karena kebutuhan untuk melindungi basis produksi dalam jangka panjang maupun sebagai indikasi perluasan orientasi nilai dari organisasi ini. Akhirnya dalam wacana “eko-populis”, isu-isu ekologi ditempatkan dalam konteks advokasi atas hak-hak komunitas lokal dan komunitas adat. Pihak-pihak dengan orientasi ini menganggap komunitas lokal sebagai penjaga alam yang sebenarnya dan lebih memberi kepercayaan kepada institusi-instusi tradisional pengelolaan sumber daya alam. Sejalan dengan perbedaan orientasi nilai dan ideologi di atas, maka pihak-pihak yang berorientasi “eko-populis” atau “advokasi hak adat” akan memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang bercorak pengakuan akses masyarakat kepada Taman Nasional. Sebaliknya, pihak-pihak dari dua orientasi nilai dan ideologi yang berbeda cenderung untuk memperjuangkan model kesepakatan konservasi yang bercorak pengendalian akses kepada Taman Nasional, dengan memberi aneka insentif pembangunan dan aktivitas ekonomi di luar kawasan Taman Nasional.
40
Implikasi adanya perbedaan mendasar tersebut, memunculkan dua macam kesepakatan konservasi yang sangat berlainan satu sama lain, baik dalam hal pihak yang menjadi sasaran, proses pembentukan, cakupan kesepakatan (hak dan tanggung jawab), maupun program-program pembangunan yang menyertai. Penjelasan mengenai perbedaan dua model kesepakatan konservasi ini dapat dilihat pada Tabel 4.
41
Tabel 4. Karakteristik Model Kesepakatan Konservasi dengan Masyarakat (Adiwibowo, et al., dengan beberapa modifikasi) Atribut Instansi/Lembaga yang menjadi Fasilitator “Logika” di balik upaya membangun Kesepakatan Konservasi
Lingkup wilayah yang dipetakan
Institusi yang mewakili masyarakat dalam kesepakatan konservasi
Kesepakatan Konservasi yang Bersifat Mengakui Akses Masyarakat ke TN (Model 1)
Kesepakatan Konservasi yang Bersifat Mengendalikan Akses Masyarakat ke TN (Model 2)
Instansi/lembaga yang berorientasi “eko-populis” dan “advokasi” Komitmen konservasi yang ditegakkan dan dilaksanakan oleh lembaga adat menurut aturan dan kearifan adat, sebagai bagian dari strategi untuk memperoleh kembali hak akses terhadap sumber daya alam di dalam taman nasional • Yang dipetakan adalah wilayah kelola masyarakat adat (permukiman, hutan, ladang, sawah) yang terletak baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional • Peta mendeskripsikan tata ruang wilayah kelola adat dan pengaturan akses ke sumber daya alam di dalam kawasan TN • Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS. Institusi-institusi tradisional, dalam hal ini lembaga adat
Instansi/lembaga yang berorientasi konservasionis atau developmentalis. Komitmen untuk menyepakati dan melaksanakan aturanaturan konservasi yang dirumuskan secara detail dan jelas (dalam bentuk pasal-pasal hukum), dan sebagai imbalannya disalurkan program-program pembangunan ekonomi dan infrastruktur • Yang dipetakan adalah batas administratif desa yang terletak di dalam TN, diluar TN dan batas kawasan TN. • Peta mendeskripsikan pola penggunaan lahan desa (permukiman, ladang, sawah), baik yang berada di dalam maupun diluar kawasan TN • Pemetaan dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat dan memakai sarana GPS.
Aturan konservasi yang digunakan
Aturan adat yang bersifat “nalar lisan”, tidak dirinci secara tertulis dalam bentuk aturan-aturan yang terinci.
Pengesahan kesepakatan
• Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah adat, aturan dan kelembagaan adat terkait konservasi yang telah direvitalisasi. • Ditanda-tangani oleh Kepala Balai Taman Nasional dan Lembaga Adat , tanpa pengesahan Camat.
Lembaga formal baru yang khusus dibentuk berkaitan dengan pelaksanaan KKM, yaitu Lembaga Konservasi Pekon (LKP) Aturan baru yang dirumuskan kembali dari aturan adat maupun aturan konservasi dan dituangkan secara tertulis dalam bentuk pasal-pasal yang rinci mengenai hak, kewajiban dan larangan. • Dokumen berisi sejarah desa, peta wilayah kesepakatan, dan pasal-pasal kesepakatan konservasi. • Ditanda-tangani oleh Lembaga Adat, Kepala Desa dan Ketua BPD, diketahui oleh Camat dan Kepala Seksi Konservasi, dan kemudian disahkan oleh Kepala Balai Taman Nasional