2 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan Konservasi adalah upaya manusia untuk melindungi dan melestarikan
sumberdaya alam. Definisi lain dari konservasi adalah suatu upaya atau tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dalam UU No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya menyatakan undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi baik ruang maupun sumberdaya alamnya sebagaimana ditegaskan dalam tujuan undang-undang yaitu (1) untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) sebagai pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, (3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistem untuk menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dalam peningkatan mutu kehidupan manusia. Inti dari pengertian konservasi menurut UU No.5 tahun 1990 adalah pengelolaan sumberdaya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatakan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi sumberdaya pesisir merupakan implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya pesisir terhadap kerusakan akibat aktivitas manusia. Pemanfaatan sumberdaya alam pada lingkungan pesisir diatur melalui zona-zona yang ditetapkan untuk mengakomodir aktivitas yang bersifat konservatif maupun destruktif untuk menjamin pelestarian sumberdaya pesisir (Supriharyono 2009). Konservasi sumberdaya pesisir dan laut merupakan metode dalam melindungi sumberdaya
baik
ekosistem
maupun
spesies.
Perlindungan
ekosistem
dititikberatkan pada tiga ekosistem utama pesisir seperti ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Selain ekosistem, konservasi diarahkan untuk melindungi biota dengan nilai khusus dan berperan dalam sistem ekologis seperti rantai makanan dan jaring makanan, memiliki jumlah populasi yang terbatas dan terancam punah seperti kelompok mamalia laut yaitu paus, lumba-lumba, dugong, kelompok reptil yaitu penyu, kelompok aves seperti burung laut dan hewan lainnya. 2.2
Konservasi Populasi
Upaya konservasi bertujuan melindungi spesies dengan jumlah individu sedikit dan beresiko terancam punah. Upaya konservasi tersebut diarahkan pada peningkatan individu baru dalam memberi kontribusi populasi spesies di alam. Populasi baru dari spesies langka dan terancam punah dapat dibentuk di alam dengan menggunakan individu hasil penangkaran maupun yang berasal dari alam. Untuk mengetahui status populasi konservasi suatu spesies langka perlu dilakukan upaya sensus lapangan dan secara kontinue memantau peningkatan ataupun penurunan dari spesies tersebut. Untuk memperkirakan ukuran populasi, diterapkan metode sensus dengan mendata semua individu yang ada. 2.3
Pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Lautan Sembilan implementasi program pengelolaan konservasi keanekaragaman
hayati pesisir dan laut adalah pengelolaan kawasan konservasi. Tujuan utama pengelolaan kawasan pesisir dan laut adalah melindungi ekosistem, populasi dan beragam spesies yang mengalami ancaman dan rentan terhadap kepunahan serta menjaga agar sumberdaya tersebut memberikan manfaat bagi kebutuhan manusia dan biosfer. Bentuk implementasi dalam perlindungan terhadap keanekaragaman hayati di Indonesia adalah terdapat 76 kawasan konservasi dengan total luasan 13.5 mil yang terdiri dari kawasan konservasi laut daerah, suaka laut, taman laut dan taman nasional. Sebagian besar kawasan konservasi laut di Indonesia adalah ekosistem terumbu karang yang berasosiasi dengan ekosistem lamun dan ekosistem mangrove. Sejak 1985 pemerintah Indonesia berupaya membangun kawasan konservasi laut yang dikembangkan dengan ektensif namun kualitas dan integritas masih jauh dari status kelayak dan mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Masalah mendasar dalam penurunan pengelolaan kawasan konservasi laut adalah (1) batas hukum kawasan konservasi (2) perusakan habitat (30 penangkapan berlebih terhadap sumberdaya hayati (4) polusi dan sedimentasi (5) kurangnya fasilitas dan infrastruktur (6) lemahnya keikutsertaan dan kesadaran masyarakat lokal, (7) rendahnya kemampuan sumberdaya manusia lokal dan kesadaran masyarakat lokal dan (8) lemahnya komitmen politik. Menyikapi permasalahan tersebut, Dahuri (2000) menyarankan enam program strategis yaitu :
1.
Keaktifan dan peran masyarakat lokal di kawasan konservasi,
2.
Perlindungan dan kontrol di daerah zona inti dengan pembangunan lampu suar, pemasangan pelampung serta peningkatan pengawasan dan penegakan hukum,
3.
Pengelolaan yang berpusat pada satu instansi dimana pemberian wewenang kepada satu pengelola dengan mengakomodir semua kepentingan,
4.
Peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya kawasan konservasi,
5.
Pengembangan mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir,
6.
Pengembangan program penelitian dan monitoring serta sistem informasi bagi pengelolaan kawasan konservasi. Mengacu pada enam program strategis tersebut dalam rangka pengelolaan
kawasan konservasi, re-evaluasi atau kondisi kawasan konservasi harus dilakukan dengan pertimbangkan (1) tujuan, alasan pengelolaan dan arah pengembangan kawasan konservasi dimasa mendatang; (2) identifikasi sistem penunjang dan kelengkapannya; (3) prosedur berdasarkan identifikasi kemungkinan penambahan kawasan untuk memenuhi tujuan nasional; (4) rencana aksi untuk mencapai tujuan pengelolaan keanekaragaman hayati laut. Pengembangan program konservasi membutuhkan pola inovatif, dimana pola tersebut merupakan cara pemanfaatan yang mempertimbangkan aspek keberlanjutan untuk kemanjuan pengembangan jangka pendek maupun jangka panjang. Mengubah kawasan konservasi
dengan alasan desakan kebutuhan
ekonomi harus dicegah karena kawasan konservasi menjamin kelestarian plasma nutfa bagi kepentingan generasi kedepan (Dahuri 2000). 2.4
Deskripsi Penyu Belimbing
2.4.1 Klasifikasi Penyu belimbing adalah satu dari tujuh spesies penyu laut yang masih hidup di dunia seperti pada Gambar 3. Penyu ini merupakan mono spesies yang disebut leatherback turtle atau dengan nama lokal penyu raksasa, penyu kantong, penyu kantong gelising, tabob dan mabo. Penyu belimbing bersifat karnivora dengan makanan utama adalah ubur ubur atau invertebrata berbadan lunak. Penyu belimbing terdistribusi hampir diseluruh perairan dunia seperti yang ditunjukkan
Gambar 3, memiliki laju migrasi yang luas, areal makan dan kawin yang jauh dan berbeda dari areal peneluran. Secara biologi penyu belimbing termasuk dalam famili dermochelidae dan hanya terdapat satu jenis spesies dari famili ini. Berikut ini sistimatika penamaan dari penyu belimbing menurut Pritchart (1761) : Filum
: Vertebrata
Kelas
: Reptilia
Sub Kelas
: Anapsida
Ordo
: Testudinata
Sub Ordo
: Thecophoriidae
Famili
: Dermochelidae
Genus
: Dermochelys
Spesies
: Dermocheys coriacea
Gambar 3. Jenis penyu belimbing dan distribusi genetiknya di perairan tropis dan sub tropis (Dutton et al. 2006) 2.4.2 Karakteristik Morfologi penyu belimbing dijelaskan oleh Pritchart (1761) yaitu bentuk kepala besar, bulat, tanpa adanya sisik seperti halnya penyu yang lain. Karapas penyu belimbing adalah sisik yang ditutup oleh lapisan kulit yang kasar dan berkaret serta tidak menjadi satu dengan tulang belakang atau tulang rusuk. Pada bagian karapas juga ditemukan sejumlah kepingan-kepingan kecil berbentuk segi banyak dan bentuk deretan iga atau alur memanjang (longitudinal ridge) sebanyak 7 buah sedangkan pada karapas (plastron) sebanyak 5 buah alur (Pritchard 1971). Warna karapas penyu belimbing dewasa kehitam hitaman atau coklat tua. Pada bagian atas karapas terdapat bercak putih dan bercak hitam pada bagian
bawah. Bentuk morfologi penyu jantan dan betina hampir sama, kecuali bentuk ekor pada penyu jantan lebih besar dan lebih panjang, serta pada plastron terdapat sedikit cekungan kedalam. Berat tubuh mencapai 1.0 ton dengan panjang tubuh 215 cm (Pritchard 1971). 2.4.3 Siklus Hidup Sejak ditetaskan tukik penyu (juvenile) mulai melakukan perjalanan di laut hingga sepanjang umurnya ± 50 tahun. Setelah dewasa, penyu selalu berada di perairan laut (benthic feeding zone) hingga bertemu pasangannya dan kawin. Setelah tiba saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang dan bertelur. Dalam interval waktu ± 6 bulan, penyu betina akan bertelur kembali di pantai yang sama dengan frekuensi peneluran 4 - 5 kali per musim. Selanjutnya penyu akan kembali ke laut hingga musim kawin tiba. Periode ini diketahui periode pertumbuhan penyu hingga dewasa pada masa pengembaraan ini sebagai „waktu yang hilang‟ (Carr 1980 in Ackerman 1997). Siklus hidup penyu ini divisualisasilan seperti pada Gambar 4. Pertumbuhan anak penyu atau tukik menuju usia dewasa memiliki survival rate yang rendah. Menurut Ehrenfeld (1974) in Ackerman (1997) hanya 1 dari 99% tukik penyu yang mampu bertahan hidup hingga usia dewasa. Selama siklus hidup penyu memerlukan ketahanan hidup yang tinggi terhadap pemangsaan predator, keterbatasan makanan, serangan hama penyakit serta polusi air laut, perubahan lingkungan serta dieksploitasi manusia. Siklus hidup penyu belimbing memiliki kesamaan dengan jenis penyu laut lainnya, yakni: pertumbuhan yang lambat untuk sampai usia kedewasaan dan mampu mencapai umur yang panjang. Waktu yang diperlukan untuk satu generasi dapat diukur dari usia kedewasaan ditambah setengah kali umur produktif (Pianka 1974 in Ackerman 1997).
2.5
Perilaku Penyu
2.5.1 Perilaku Peneluran Gambar 4. Siklus hidup penyu laut (sumber : Seaworld/ busch gardens animals)
Perilaku penyu pada tiap tahapan berbeda seperti perilaku bertelur dan perilaku kawin. Perilaku bertelur penyu terdiri dari dua tipe yaitu; tipe gaya alternating (pergerakan langkah penyu secara bergantian) dijumpai pada famili chelonidae, sedangkan tipe gaya simultenous (pergerakan langkah penyu secara bersamaan atau serentak) dijumpai pada spesies penyu pada famili dermochelidae seperti pada Gambar 5. Penyu sering meninggalkan jejak asimetris (berlawanan) dan sejajar pasir pantai. Ketika penyu dari laut akan berhenti sejenak ditepi air dan dibasahi dengan ombak sebelum mulai naik ke pantai. Penyu bergerak secara perlahan mencapai beberapa meter, kemudian berhenti sejenak untuk beristirahat, bernafas dan mendeteksi dengan cermat kondisi disekitarnya (Gambar 5). Selama proses ini penyu sangat rentan akan aktivitas di pantai seperti penerangan, pergerakan bayangan dan berbagai gangguan yang dapat menyebabkan perubahan arah atau mengakibatkan penyu meninggalkan aktivitas proses bertelur (Pritchard 1971).
Gambar 5. Perilaku peneluran penyu belimbing sampai kembali ke laut Penyu memilih lokasi bersarang sebelum melakukan pengalian lubang sarang dengan cara membersihkan permukaan pasir dengan gaya alternating dan simultenous. Setelah itu penyu bergerak menuju daerah yang sudah dibersihkan. Lapisan kering dibawah dan dibagian belakang secara langsung dibersihkan dengan flipper. Aksi pembuatan lubang sarang menyebabkan pergerakan tubuh
penyu maju kedepan, hal ini dilakukan untuk pembuatan lubang badan (body pit) yang belum diketahui posisinya secara pasti. Dalam kondisi yang sangat kering penyu betina membuat lubang badan yang lebih dalam. Hal ini bertujuan untuk menempatkan tubuh penyu pada posisi yang lebih kuat yang akan membantu proses pembuatan lubang sarang. 2.5.2 Perilaku Migrasi Penyu belimbing memiliki laju migrasi paling tinggi dan unik karena perbedaan daerah makan dan memijah dari daerah peneluran. Pengetahuan dan informasi mengenai migrasi diperoleh dari individu betina yang telah dipasangkan alat pendeteksi (transmiter) ketika bertelur di pantai. Tujuan dari pemansangan alat tersebut adalah untuk mengetahui pergerakan penyu belimbing pada periode bertelur sampai migrasi ke daerah makan dan daerah kawin (Chan 1989 in Benson et al 2007). Penyu belimbing diketahui setelah bertelur akan bermigrasi sejauh 30 sampai 40 km lepas pantai, berhenti sejenak menyelam secara teratur ke laut dalam kemudian beberapa hari lagi kembali lagi ke pantai untuk bertelur. Selama periode ini jarak yang ditempuh sekitar 140 km tergantung pada kondisi oseanografi (Chan and Liew 1996). Penyu belimbing diketahui memiliki pergerakan relatif luas dibandingkan dengan reptil lainnya, ini dibuktikan dengan luas jelajah melintasi Samudera Pasifik maupun Atlantik (Benson et al. 2007). Studi telemetri yang dilakukan terhadap 9 ekor penyu belimbing setelah bertelur di Jamursba Medi menunjukkan pergerakan menuju perairan tropis seperti perairan Philipina, Malaysia, perairan Jepang, hingga menyeberangi equatorial Pasifik ke perairan hangat di Amerika Utara (Benson et al. 2007). Penyu belimbing yang bertelur di Amerika Tengah dan Meksiko diketahui bermigrasi kearah selatan menuju perairan hangat atau tropis Pasifik Selatan (Eckert and Sarti 1997 in Benson et al 2007). Penyu Belimbing akan bermigrasi melewati samudera Pasifik tiba di perairan dekat Oregon Amerika pada bulan Agustus, saat tingginya agregasi ubur ubur di lokasi tersebut (Shenker 1984 in Benson et al 2007). Berdasarkan fakta ini bisa disimpulkan bahwa jalur dan pola migrasi penyu belimbing sangat bervariasi dengan memanfaatkan daerah beriklim tropis sebagai tempat tujuan mencari makanan dan daerah sub tropis untuk tujuan perkawinan seperti terlihat pada
Gambar 6 dan 7. Ini menunjukkan bahwa tujuan migrasi berhubungan dengan ketersediaan sumber pakan dan proses perkawinan (Benson et al. 2007).
Gambar 6. Lintasan jalur migrasi dari 6 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi, Indonesia. Pola migrasi menunjukkan pergerakan setelah bertelur menuju Utara atau Timur Laut dari Jamursba Medi. Pada waktu tertentu melakukan transit kemudian bergerak menuju posisi terakhir (Benson et al. 2007). Gambar ini menjelaskan bahwa pola dan jalur migrasi penyu belimbing dari
Hubungan lain yang tergambar dari pola migrasi penyu belimbing adalah Gambar 7. Lintasan jalur migrasi dari 3 penyu belimbing dari populasi Jamursba Medi dengan polaPopulasi migrasipenyu menuju kearah Barat Indonesia. keterkaitan stok genetik populasi. belimbing di Pasifik Barat Beberapa akan kali melakukan transit di perairan NTB, Kalimantan hingga Sumatra melakukan migrasi untuk proses makan menuju Timur Laut Pasifik. Kondisi ini lalu melakukan migrasi menuju tempat terakhir ( Benson et al. 2007).
menegaskan adanya konklusif mengenai struktur stok genetik ditiap populasi baik Pasifik Barat maupun Pasifik Timur (Dutton et al. 2000). Populasi penyu belimbing Indonesia dan PNG merupakan satu populasi yang dibentuk berdasarkan populasi penyu belimbing Pasifik Barat. Populasi Indonesia akan bermigrasi ke laut Cina Selatan dan selanjutnya ke Teluk Monterabay California untuk melakukan makan dan kawin (Benson et al. 2007). Kedua sub stok ini memiliki persamaan genetik sehingga membentuk metapopulasi, tetapi memiliki areal makan yang berbeda. Populasi penyu belimbing PNG dan penyu belimbing Atlantik memiliki kesamaan daerah makan yaitu perairan Atlantik (Ferraroli et al. 2004; Hays et al. 2004; Eckert 2006 in Benson et al 2007). Sementara populasi Kepulauan Salomon memiliki areal makan di Selatan Australia. 2.5.3 Habitat Penyu belimbing dapat ditemukan dari perairan tropis hingga ke lautan sub tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan dan hanya muncul ke daratan pada saat bertelur. Di Indonesia distribusi penyu belimbing cukup luas dan ditemukan di perairan Bengkulu, perairan Kepulauan Natuna, perairan Sukamadu, dan Kepala Burung Papua. 2.6
Populasi di Indonesia Penyu secara taksonomi, dikenal tujuh jenis penyu didunia, enam
diantaranya hidup di perairan Indonesia, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu pipih (Natator depressus), penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya empat jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia sehingga termasuk dalam spesies Indonesia (Limpus et al. 1992; Charuchinda et al. 2002 in Benson et al 2007). Penelitian yang dilakukan NOAA (2007) in Benson et al. 2007 menunjukkan bahwa populasi penyu belimbing yang bertelur di pantai Jamursba Medi sejenis dengan penyu belimbing yang bertelur di Papua New Guinea dan Kepulauan Solomon. Populasi penyu ini kemudian disebut sebagai kelompok Pasifik Barat yang memiliki keragaman genetik
berbeda dengan kelompok Pasifik Timur serta kelompok Peninsula Malaysia yang kini dinyatakan telah punah. Data genetik yang dikombinasikan dengan temuan penanda metal (metal tag) maupun penelusuran telemetri mengindikasikan bahwa penyu belimbing yang berkembangbiak (kawin dan bertelur) di Pasifik Barat (termasuk populasi Papua Indonesia) memiliki ruaya pakan dan berkembang di Pasifik Utara. Sementara itu, stok populasi di Pasifik Timur diketahui beruaya di belahan selatan (southern hemisphere) yang meliputi perairan dekat Peru dan Chile. 2.6.1 Kecenderungan Populasi Populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik diketahui mengalami penurunan signifikan yang terindikasi dibeberapa pantai peneluran di Pasifik. Berdasarkan skala spasial pembagian populasi penyu belimbing di Pasifik terbagi berdasarkan beberapa daerah peneluran diantaranya Pasifik Barat, Pasifik Timur, Pasifik Tenggara, Pasifik Utara dan Pasifik Selatan yang terdiri dari wilayah berikut :
Daerah Pasifik Barat meliputi Papua Barat Indonesia, PNG, Kepulauan Salomon, Malaysia, China selatan, dan Australia
Daerah Pasifik Timur meliputi Mexico, Costarica, Caribean, Oregon dan Washington Amerika Serikat. Trend populasi secara global mengalami penurunan signifikan di kawasan
Pasifik Barat. Hitipeuw et al (2007) menyatakan bahwa penurunan populasi di Pasifik Barat terindikasi berdasarkan penurunan jumlah induk betina dan rendahnya sukses penetasan pada sarang alami di pantai peneluran Jamusrba Medi dan Wermon yang merupakan pantai terbesar di Pasifik Barat. Penurunan drastis juga terlihat pada lokasi berbeda yaitu pantai Terengganu Malaysia dalam kondisi temporal yang berbeda. Terengganu Malaysia mengalami penurunan populasi sekitar 80% dari tahun 1965 sampai 1995 (Chan and Liew 1996) dan saat ini stok populasi di Malaysia dinyatakan habis sebagai akibat tingginya eksploitasi telur dan perburuan induk penyu secara intensif (Chan 2006 in Hitipeuw et al. 2007). Penurunan jumlah populasi penyu juga terjadi di Wider Caribean dan Mexico yang ditunjukkan berdasarkan jumlah sarang yaitu 40.950 antara tahun 1987 dan
1993 mengalami penurunan sampai 50%, yang disebabkan aktivitas perikanan akibat penggunaan jaring lingkar (drifnet) dan jaring gillnet (Eckert 2001).
Gambar 8. Kecenderungan penurunan populasi peneluran penyu belimbing di Terengganu Malaysia (Chan 2006), Mexico (Sarti et al. 1996) dan Jamursba Medi Indonesia (Hitipeuw et al. 2007). 2.6.2 Penilaian Non Detrimental Finding (NDF) Non
detrimental
finding
adalah
metode
atau
pendekatan
yang
dikembangkan oleh IUCN atau CITES untuk menganalisis dan menilai resiko suatu populasi spesies di alam dengan jumlah populasi terbatas dan diperdagangkan secara bebas. Penilaian non detrimental finding disusun dari unsur ekologi, sosial kelembagaan dan ekonomi. Gambaran lain dari metode ini adalah apakah ada kerugian yang ditimbulkan ketika populasi penyu belimbing ini punah atau hilang dari alam. Kewenangan untuk menganalisis kondisi ini adalah otoritas ilmiah seperti LIPI, IUCN dan CITES. Pendekatan NDF berbasis spesies terdiri dari enam komponen penyusun utama yaitu Status populasi Distribusi populasi Kecendurungan populasi
Aktivitas perdagangan spesies Pengaruh faktor ekologi dan biologi Informasi pengelolaan yang mempengaruhi populasi spesies Metode NDF berbasis analisis resiko yang memiliki beberapa tahapan penting yaitu
Menganalisa resiko yang terjadi pada populasi penyu belimbing,
Menganalisa dampak terhadap populasi penyu belimbing,
Adanya probabilitas resiko dari dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas pemanfaatan,
Melakukan pengelolaan terhadap resiko yang terjadi dengan pendekatan mitigasi,
Menentukan keterbukaan dengan menjumlahkan resiko dan dampak,
Melakukan pemantauan dan pengambilan keputusan dalam rangka pengelolaan terhadap resiko dan dampak terhadap populasi penyu belimbing.
Moderate risk
High risk
Low risk
Moderate risk
Volume in trade
Vurnerability of the spesies
Gambar 9. NDF berbasis analisis resiko penyu belimbing (CITES 2008) Analisis metode NDF dilakukan dengan menggunakan ranking yang telah ditetapkan secara internasional oleh IUCN dan CITES. Setiap komponen yang akan diranking disebut dengan komponen ceklis. Sistem perankingan dilakukan berdasarkan kepakaran dalam menilai objek yang diteliti. Sistem ranking yang diterapkan memiliki kisaran 1 sampai 5 dimana semakin kecil nilai ranking maka menunjukkan rendahnya kerusakan terhadap populasi tersebut, selanjutnya
apabila semakin tinggi nilai ranking menunjukkan adanya indikasi kerusakan pada populasi di alam. 2.7
Kerentanan Populasi
2.7.1 Konsep Kerentanan Kerentanan memiliki banyak pengertian, jika ditinjau dari aspek maupun dari cakupannya. Ford (2002) pengertian kerentanan mengandung dua aspek, berdasarkan sifat atau fungsi dan berdasarkan cakupan atau skala. Kaitannya dengan sifat maka definisi kerentanan adalah suatu objek dari sistem yang mendeskripisikan kondisi yang ditunjukan. Berdasarkan skala kerentanan digunakan untuk berbagai skala berbeda seperti rumah tangga, komunitas ataupun negara. Kerentanan ini memiliki banyak pengertian tergantung dari tujuan yang disajikan pada Tabel 1. Pengertian kerentanan merujuk pada kemudahan suatu objek mengalami dampak dari faktor eksternal. Sopac (2005) mendefinisikan kerentanan adalah kecenderungan suatu objek mengalami kerusakan. Objek atau entitas dapat berupa fisik (manusia, ekosistem, garis pantai) atau konsep yang abstrak (seperti komunitas, ekonomi, negara dan sebagainya) yang bisa mengalami kerusakan. Kerentanan bersifat tunggal tetapi komplek dikenal dengan overall vulnerability, yaitu suatu hasil dari banyak kerentanan yang bekerja bersama-sama. Bahaya atau resiko (hazard) adalah sesuatu atau proses yang dapat menyebabkan kerusakan, tetapi hanya dapat didefinisikan dalam istilah dari suatu objek yang dirusak, seperti perubahan iklim adalah suatu bahaya terhadap kawasan lingkungan pesisir dan biota yang hidup di dalam kawasan tersebut. Kerentanan merupakan fungsi dari karakter, magnitude, laju dari variasi iklim karena berada pada kondisi keterpaparan, kepekaan dan memiliki kapasitas adaptasi (Tahir 2010). Turner et al. (2003) dan Tahir (2010) menyebutkan kerentanan adalah tingkat dimana manusia dan sistem alam akan mengalami kerugian karena gangguan atau tekanan dari luar (eksternal). Sebagai contoh, kerentanan wilayah pesisir terhadap perubahan iklim dan kenaikan muka laut adalah tingkat ketidakmampuan wilayah pesisir untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim dan kenaikan muka laut. Tabel 1. Pengertian kerentanan
Nama Timmerman
Tahun 1981
Susman et al.
1983
Kates et al.
1985
UN Department of Humanitarian Affairs
1992
Cutter
1993
Watts dan Bohle
1993
Blaikie et al.
1994
Bohle et al.
1994
Dow dan Downing
1995
Smith
1996
Vogel
1998
Karsperson et al.
2001
Luky Adrianto
2004
Pengertian Derajat atau tingkatan pada suatu sistem bertindak terhadap suatu kejadian yang tidak baik. Derajat atau tingkat pada suatu kelas sosial yang berbeda dalam hal resiko baik suatu kejadian fisik maupun efek dari sistem sosial Kapasitas yang dapat diadaptasi dari suatu gangguan atau reaksi terhadap kondisi yang kurang baik. Tingkat kehilangan (0-100%) yang dihasilkan dari suatu potensi dampak fenomena alam Kecenderungan yang dialami oleh individu atau kelompok yang akan terekspose terhadap suatu bahaya Kerentanan didefinisikan sebagai fungsi dari keterbukaan, kapasitas dan potensial, dimana respon terhadap kerentanan untuk mereduksi keterbukaan dan meningkatkan kemampuan mengatasi, dan atau menguatkan potensi pemulihan Karakteristik seseorang atau sekumpulan orang terkait dengan kemampuannya untuk mengantisipasi mengatasi, resisten dan memulihkan diri dari dampak bencana alam Suatu ukuran secara agregate kesejahteraan manusia yang terintegrasi antara lingkungan, sosial, ekonomi dan politik dalam mengatasi gangguan Perbedaan kepekaan dari keadaan yang berpengaruh terhadap kondisi rentan, seperti faktor biofisik, demografi, ekonomi, sosial, dan teknologi . Konsep kerentanan diisyaratkan ukuran resiko kombinasi dari kemampuan ekonomi dan sosial untuk mengatasi dampak kejadian Karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang terkait dengan kapasitasnya dalam mengantisipasi, mengatasi, bertahan, dan memulihkan diri dari dampak perubahan iklim Tingkatan pada suatu sistem yang dipengaruhi oleh keterbukaan atau gangguan/tekanan dan kemampuan untuk mengatasi atau memulihkan diri terhadap gangguan Kerangka kerentanan terdiri dari tiga unsur penting yaitu pemaparan, kepekaaan dan ketahanan.
Sumber : dikutip dari Ford (2002) Dolan dan Walker (2003) menjelaskan terdapat tiga karakteristik dari kerentanan. Pertama; kerentanan dicirikan oleh ketersingkapan atau keterpaparan suatu sistem terhadap bencana alam (misalnya banjir pasang di wilayah pesisir) dan bagaimana bencana tersebut mempengaruhi kehidupan manusia dan infrastruktur yang ada di wilayah tersebut. Kedua; dari sudut pandang hubungannya terhadap manusia, kerentanan bukan hanya dilihat sebagai hubungan fisik semata. Ketiga; dari perspektif keterpaduan antara kejadian atau peristiwa secara fisik dan fenomena sosial menyebabkan keterpaparan terhadap resiko dan keterbatasan kapasitas masyarakat dalam merespon bencana alam yang muncul.
Konsep kerentanan yaitu kemampuan sistem untuk mengatasi dengan konsekuensi melalui strategi strategi dan mekanisme merupakan penentu kunci dari respon sistem. Dalam kaitan tersebut, sebuah kerangka kerentanan telah diberikan oleh Tuner et al. (2002) in Adrianto (2004) menyatakan kerangka kerentanan terdiri dari tiga unsur penting yaitu keterpaparan, kepekaan dan ketahanan. Sistem keterpaparan berasal dari variabilitas dan perubahan pada kondisi manusia serta lingkungan dan alam. Perubahan ini mengakibatkan gangguan dan tegangan sebagai variabel kunci pantai atau pulau yang terbuka. Pada akhirnya sistem ketahanan berkaitan dengan tangapan sistem yang bergantung pada kemampuan sistem untuk mengadopsi dampak dalam waktu yang sama untuk mengelola resiko yang dihasilkan. Resiko terkait dengan kerentanan. Resiko akan menjadi perhatian yang serius apabila terlihat signifikan. Tompkins et al. (2005), menyatakan apabila resiko berasosiasi dengan sejumlah biaya. Sebagai contoh jika terjadi kerusakan disuatu kawasan yang tidak berpenduduk, maka dianggap bukan merupakan bencana, namun apabila hal yang sama terjadi di kawasan yang berpenghuni maka kejadian tersebut berpengaruh signifikan karena memiliki berbagai konsekuensi terkait dengan penduduk di kawasan tersebut. 2.7.2 Kerentanan Populasi Perubahan lingkungan berdampak langsung dan tidak langsung terhadap spesies dan ekosistem (Tahir 2010). Kerentanan populasi penyu belimbing meliputi faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik yang dikelompokkan berdasarkan fungsi kerentanan yaitu keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif. Kerentanan lingkungan memiliki sisi yang berbeda dengan kerentanan sosial antropogenik dan sosial karena (1) lingkungan merupakan suatu sistem yang kompleks yang berbeda pada level spesies maupun habitat atau ekosistem, (2) lingkungan sangat dibatasi oleh ruang dan letak geografi jika dibandingkan dengan kerentanan antropogenik dimana indikator utamanya adalah manusia dengan asumsi bahwa kebutuhan dan ambang batas untuk resiko pada dasarnya adalah sama, (3) kerentanan sosial antropogenik adalah gambaran suatu unit ruang yang semuanya dilakukan oleh manusia yang berperan sebagai pelaku utama (Sopac 2005).
Kerentanan populasi penyu belimbing sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang terjadi secara global, regional dan proses yang terjadi dalam skala lokal. Proses global adalah perubahan iklim yang berimplikasi terhadap perubahan suhu global dan mengancam keberadaan populasi reproduksi dari penyu, kenaikan muka air laut yang berimplikasi pada frekuensi erosi dan akresi pantai sehingga terjadi degradasi habitat. Proses regional adalah pengaruh pencemaran,
aktivitas
perikanan
dan
pertumbuhan
pembangunan
yang
memberikan tekanan terhadap habitat peneluran dan ruang hidup dari penyu belimbing. Proses lokal adalah laju konsumsi masyarakat terhadap telur dan daging sebagai akibat peningkatan kebutuhan pangan. Kerentanan lingkungan dan sosial antropogenik akan mempengaruhi keberadaan populasi penyu belimbing sehingga perlu adanya konsep pengelolaan yang mengarah pada proteksi dan perlindungan spesies, habitat, serta pembatasan aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya penyu belimbing. 2.7.3
Dinamika Kerentanan Populasi Kerentanan bersifat dinamis artinya dapat berubah seiring dengan perubahan
faktor yang mempengaruhinya (Tahir 2010). Dinamika kerentanan terjadi akibat adanya perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan suatu populasi dialam seperti faktor lingkungan dan faktor sosial antropogenik. 2.7.4 Kuantifikasi Kerentanan Turner et al. (2003) menggambarkan kerentanan sebagai sebuah fungsi overlay dari ketepaparan (exposure), kepekaan (sensitivity), dan kapasitas atau kemampuan adaptif (adaptive capacity). Selanjutnya Metzger et al. (2006) in mengformulasikan konsep tersebut dalam bentuk matematika sebagai fungsi dari keterbukaan, sensitivitas dan kapasitas adaptif sebagai berikut: V = f (K, S, KA) atau dapat juga dituliskan sebagai fungsi dari potensi dampak ( potensial impact =PI) dan kapasitas adaptif yang dituliskan menjadi V = f (PI, AC)
Keterpaparan Keterkaitan antara kerentanan dengan keterpaparan dikemukakan Adger (2006) dan Kasperson et al. (2005) , menyatakan keterpaparan merupakan salah satu konsep dari kerentanan, yang memiliki pengertian umum dalam hal tingkatan dan jangka waktu dari suatu sistem berinteraksi dengan gangguan. Keterpaparan terdiri
dari
formula
yang
merupakan
elemen
pembangun
kerentanan.
Keterpaparan merupakan sebuah atribut dari hubungan antara sistem dan gangguan (system and perturbation). Keterpaparan berhubungan dengan pengaruh atau stimulus dampak suatu sistem. Hubungannya dengan perubahan iklim (perubahan suhu global, kenaikan muka laut), tidak hanya menyangkut masalah kejadian dan pola iklim terhadap sistem, tetapi juga dalam skala luas seperti perubahan yang terjadi dalam sistem secara lokal sebagai akibat efek perubahan iklim. Keterpaparan digambarkan kondisi iklim yang berlawanan dengan operasional dari sistem dan perubahan dari kondisi tersebut (Allen 2005). Kepekaan Kepekaan adalah tingkatan dari suatu sistem yang berhubungan dengan stimulus karena perubahan iklim (Olmas 2001). Allen (2005) mengemukakan bahwa kepekaan merefleksikan respon dari suatu sistem terhadap pengaruh iklim (perubahan suhu global, kenaikan muka laut) dan tingkat perubahan yang diakibatkan oleh perubahan tersebut. Sistem dikatakan peka apabila respon dari suatu sistem terhadap perubahan iklim tinggi, dan terjadi signifikan akibat perubahan iklim pada skala kecil. Pemahaman kepekaan dari suatu sistem juga terhadap ambang batas dimana adanya perubahan sebagai akibat merespon pengaruh iklim dan lingkungan seperti perubahan suhu global dan kenaikan muka laut. Hal ini menjelaskan bahwa dalam mendefisikan sistem kerentanan, hal pertama yang diperlukan adalah pemahaman terhadap kepekaan dari sistem terhadap tekanan yang berbeda dan mengidentifikasi ambang batas dari sistem manusia ataupun populasi yang akan terkena dampak (Luers et al. 2003). Adger (2006) mendefinisikan kepekaan sebagai suatu tingkatan atau level dari sebuah sistem alam dalam mengabsorbsi atau menerima dampak tanpa mengalami gangguan dalam periode panjang atau mengalami perubahan signifikan dari kondisi lainya. Smit and Wandel (2006) mengatakan bahwa
kepekaan
tidak
dapat
dipisahkan
dari
keterpaparan.
Luers
(2005)
mengkombinasikan pengertian kepekaan dan keterpaparan,dimana mendefinisikan kepekaan sebagai level dari sistem dalam merespon gangguan eksternal terhadap sistem. Lebih lanjut Luers (2005) mengatakan bahwa termasuk dalam konsep ini adalah kemampuan dari sistem untuk tahan terhadap perubahan dan kemampuan untuk pulih kembali kekondisi semula setelah gangguan yang mengenai sistem berlalu. Kapasitas Adaptif Adaptasi adalah penyesuaian sistem alam atau manusia dalam merespon kondisi aktual dari lingkungan atau dampak dari perubahan iklim. Adaptasi merujuk kepada aksi manusia dalam merespon atau mengantisipasi proyeksi atau perubahan nyata dari lingkungan, sedangkan mitigasi merujuk kepada aksi untuk mencegah, mereduksi memperlambat perubahan iklim dan lingkungan. Kapasitas adaptif adalah kemampuan dari sistem untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim (termasuk iklim yang berubah ubah dan ekstrim) dan membuat potensi dampak lebih moderat, mengambil manfaat atau mengatasi konsekuensi dari perubahan tersebut (Fussel and Klien 2006). Luers (2005) menyatakan kapasitas adaptif merujuk pada potensi untuk beradaptasi dan mengurangi kerentanan suatu sistem. Kapasitas adaptif menggambarkan kemampuan dari suatu sistem terhadap perubahan sebagai cara untuk membuat sistem tersebut lebih baik dalam beradaptasi terhadap pengaruh eksternal. Perencanaan adaptasi adalah suatu perubahan dalam mengantisipasi suatu variasi dari perubahan iklim. Perencanaan adaptasi ini sudah merupakan suatu ciri dari suatu upaya untuk meningkatkan kapasitas suatu sistem untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim. Kapasitas adaptif merupakan sifat yang sudah melekat dari suatu sistem yang didefinisikan sebagai kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap keterpaparan (Smit and Pilifosova 2000). Dalam hal ini, kapasitas adaptif direfleksikan dari resiliensi, misalnya sebuah sistem yang resilien dan memiliki kapasitas untuk mempersiapkan, menghindari, mentolerir dan memulihkan diri dari resiko atau dampak. Resiliensi adalah kemampuan dari suatu entitas untuk resisten atau pulih dari suatu kerusakan (Sopac 2005). Resiliensi alami (intrinsic resilience) adalah kemampuan alami suatu entitas untuk
tahan terhadap kerusakan. Sebagai contoh, seseorang memiliki sistem kekebalan yang kuat secara alami akan lebih tahan terhadap kondisi dingin dibandingkan dengan seseorang yang lemah. Resiliensi adalah kemampuan suatu sistem, komunitas atau sosial, beradaptasi terhadap bahaya dengan cara meningkatkan resistensinya atau melakukan perubahan untuk mencapai atau memelihara suatu batas yang dapat diterima atau ditolerir dari suatu fungsi atau struktur. Misalnya sistem sosial, hal ini ditentukan oleh tingkat kapasitas suatu organisasi meningkatkan kemampuannya untuk belajar dari gangguan alam masa lalu untuk membuat proteksi yang lebih baik pada masa yang akan datang. Brooks (2003) mengklasifikasi faktor yang menentukan kapasitas adaptif menjadi faktor spesifik dan faktor umum dan juga berdasarkan faktor dari dalam (endogenous) dan dari luar (exogenous). Faktor dari dalam berhubungan dengan faktor lingkungan. Faktor endogenous merujuk pada karakteristik dari perilaku penduduk atau masyarakat. Faktor penentu yang bersifat umum dalam sistem sosial adalah sumberdaya ekonomi, teknologi, informasi dan keahlian serta infrastruktur. Downing et al. (2001) untuk menjelaskan bahwa kuantifikasi kerentanan akan sangat sulit dilakukan apabila tidak mengidentifikasi sistem yang paling rentan. Dalam kasus tertentu, sangat tergantung pada jenis tekanan dan keluaran variabel yang menjadi perhatian dan berpengaruh signifikan. Dampak tekanan relatif pada suatu wilayah dapat digunakan sebagai objek untuk mengukur kerentanan (Luers et al. 2003). Pengukuran kerentanan hanya dapat dilakukan secara akurat jika berhubungan dengan spesifik variabel dibandingkan dengan menganalisis suatu tempat atau lokasi.
Suatu sistem dapat menurunkan atau
mengurangi kerentanan dengan memodifikasi hal-hal berikut (1) bergerak kepada fungsi yang lebih baik yang dapat mengurangi sensitivitasnya terhadap tekanan yang kritis, (2) merubah posisi relatif terhadap ambang batas dari suatu dampak, dan (3) memodifikasi keterbukaan sistem terhadap tekanan. 2.7.5
Indeks Kerentanan Populasi Indeks adalah tanda (signal) yang mengukur, menyederhanakan, dan
mengkomunikasikan realita yang kompleks dari suatu kondisi (Farell and Hart 1998 in Tahir 2010). Indeks ini sangat berguna karena dapat membantu dalam
menentukan target dan standar untuk memantau perubahan dan membandingkan entitas yang berbeda dalam hal tempat dan waktu (Easter 1999). Indeks ini juga dapat digunakan sebagai basis modal alokasi sumberdaya. GEF juga mengembangkan indeks kerentanan untuk menentukan alokasi pembiayaan di beberapa negara berkembang. Indeks dapat digunakan sebagai alat „adaptive management‟ menilai
keberhasilan pemantauan dalam mencapai
tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sopac 2005). Indeks umumnya melibatkan sejumlah indikator untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal. Untuk menghasilkan sebuah indeks tunggal, keragaan data dan indikator perlu distandarisasi dalam suatu unit yang sama. Hal ini banyak dilakukan dengan mereduksi seluruh komponen ke suatu nilai skoring pada beberapa skala. Kemampuan sebuah kerangka teori menghasilkan indikator kerentanan secara umum mencakup dua komponen. Pertama model kerentanan, yaitu mengidentifikasi komponen model yang keterkaitannya dengan komponen lainnya atau yang berasosiasi dengan komponen kerentanan. Kedua, model sistem yaitu menentukan cara untuk mendekomposisi target sistem yang membuatnya lebih praktis sehingga kerentanan dapat diinterpretasi dengan model yang dapat dibandingkan. Fuentes et al. (2010) memiliki 7 tahapan dalam menganalisis kajian kerentanan populasi penyu belimbing yaitu a.
Merumuskan issue dan masalah lingkungan terhadap populasi penyu belimbing di kawasan Pasifik dan khususnya di wilayah studi.
b.
Mengidentifikasi penyebab kerentanan populasi penyu belimbing dengan berbagai variabel kerentanan yang berasal dari faktor lingkungan dan sosial antropogenik,
c.
Mengembangkan atribut kerentanan dengan menentukan variabel untuk kategori dari kerentanan populasi penyu belimbing yaitu kategori keterpaparan, kategori kepekaan, kategori kapasitas adaptif,
d.
Analisa indeks kerentanan dengan menetapkan nilai bobot dan ranking dari masing-masing kategori atau variabel kerentanan yang relatif penting,
e.
Menentukan nilai standarisasi berdasarkan fungsi keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif untuk populasi penyu belimbing,
f.
Menetapkan nilai skoring kerentanan populasi penyu belimbing,
g.
Menilai kondisi dan status Kawasan Konservasi Laut Daerah Abun berdasarkan nilai kerentanan populasi penyu belimbing.
2.8
Faktor dalam Kerentanan Populasi Penyu Belimbing Populasi penyu belimbing sangat tergantung pada faktor ekologi, fisik dan
biologi. Selain ketiga faktor diatas faktor sosial antropogenik juga mempengaruhi keberadaan populasi akibat pemanfaatan manusia. 2.8.1 Sistem Lingkungan 2.8.1.1 Kenaikan Muka Air Laut Kenaikan muka air laut merupakan salah satu dampak yang ditimbulkan dari perubahan iklim. Dua proses utama penyebab kenaikan muka laut secara global menyebabkan peningkatan massa air sehingga terjadi peningkatan volume air dan pencairan es di daerah kutub yang juga menyebabkan peningkatan massa air. Pada beberapa lokasi karena adanya proses subsiden menyebabkan penambahan kerentanan pesisir terhadap kenaikan muka laut (USCCSP 2009 in Tahir 2010). Kajian kenaikan muka air laut dan dampaknya terhadap pesisir menjadi perhatian banyak kalangan peneliti. Secara global kenaikan muka air laut sekitar 2.5 mm per tahun sedangkan dalam skala lokal pada beberapa lokasi tertentu mencapai maksimum 30 mm per tahun. Dampak dari kenakan muka air laut terhadap pantai peneluran tergantung pada dua hal yaitu (1) laju kenaikan muka air laut per tahun (2) karakteristik daratan pantai peneluran seperti topografi, bentuk lahan pantai, penghalang pantai (Nallathiga 2006). Wilayah dengan potensi dampak kenaikan muka air laut biasanya pada wilayah pesisir dengan elevasi yang relatif rendah (Yamamo et al. 2007). Potensi perendaman pada pantai peneluran berdampak pada keberhasilan penetasan sarang di daerah batas pasang terendah. Fish et al. (2005, 2008) in Fuentes et al. (2010) menyatakan bahwa dampak kenaikan muka laut pada pantai timur Amerika Serikat menyebabkan kegagalan sukses penetasan yang berimbas pada penurunan jumlah tukik. Kondisi ini memaksa induk penyu untuk beradaptasi dengan melakukan perubahan bahkan pergeseran tempat bersarang karena habitat pantai tidak lagi tersedia (Hamman et al. 2007). Selain pergeseran lokasi untuk bersarang, kenaikan muka air laut menyebabkan tingginya potensial air laut yang terserap oleh pasir didalam sarang yang mempengaruhi kelembaban
dan suhu pasir dalam sarang telur penyu tersebut. Dari kondisi ini maka dua kemungkinan yang bisa diprediksi yaitu kegagalan penetasan dan keberhasilan penetasan akibat perubahan suhu dan kelembaban pasir dalam sarang selama masa inkubasi (Hamman et al. 2007). 2.8.1.2 Suhu Pasir Suhu menjadi parameter penting dalam keberhasilan penetasan telur penyu belimbing. Selama masa inkubasi kisaran suhu yang mendukung keberhasilan penetasan adalah 28 - 29 ºC. Ketika suhu sarang di bawah 28 ºC menghasilkan tukik jantan sementara suhu sarang yang terbuka diatas 29 ºC menghasilkan tukik betina (Fuentes et al. 2010, Ackerman 1997). Pada kondisi lain ketika sarang terpapar dengan suhu sampai 33 0C menyebabkan kegagalan penetasan bahkan kematian tukik dalam sarang (Devenport 1997 in Hamman et al. 2007). Kisaran suhu transisi (TRT) adalah rentang suhu dimana produksi ratio jantan bergeser ke jenis betina karena adanya peningkatan suhu, sementara proporsi ratio jantan hanya terjadi pada kecuraman kurva TRT (Mrosovsky & Pieau 1991 in Fuentes et al. 2010). Resiko lain dari perubahan suhu pasir adalah (1) ratio seks betina dari tukik penyu lebih dominan dibandingkan ratio seks jantan karena adanya peningkatan suhu (2) adanya peningkatan skala insiden dan kelainan morfologi pada tukik yang dihasilkan (3) tingkat kematian tukik yang tinggi. Mengacu pada ancaman tersebut maka pengaruh suhu terhadap populasi penyu harus dengan meminimalkan dampak dengan upaya relokasi sarang yang diatur sedemikian rupa sehingga sukses penetasan berhasil dan ratio seks jantan dan betina yang dihasilkan seimbang (Fuentes et al. 2010). 2.8.1.3 Kemiringan Pantai Pantai menjadi kawasan terpenting bagi penyu untuk melakukan peneluran sampai pada proses penetasan telur penyu menjadi anakan tukik. Ketika terjadi perubahan pantai maka akan mempengaruhi pola peneluran penyu misalnya pantai berbentuk bukit-bukit maka akan menyulitkan induk penyu untuk melakukan peneluran. Berbeda ketika pantai tersebut relatif curam maka sarang-sarang yang berada dalam pasir berpeluang terabrasi oleh gelombang besar. Kaitannya dengan kenaikan muka laut adalah semakin landai sudut suatu pantai maka potensi
perendaman pantai akan semakin besar atau area daratan yang ditutupi oleh air laut semakin besar. 2.8.1.4 Monsun Monsun adalah fenomena angin yang dipicu oleh kondisi dinamik atmosfer yang dikendalikan oleh matahari, komposisi darat laut, topografi, resolusi bumi dan matahari sebagai benda langit. Indikasi monsun dapat dikenali dengan pola OLR (ongoing longwafe radiation) atau presispitasi dan penentuan indeks monsun dapat dihitung dengan laju angin zonal di wilayah masing masing. Kondisi musim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomen iklim global seperti Elnino, Lanina, fenomena iklim regional seperti sirkulasi monsun Asia dan Australia. Monsun dapat dianggap sebagai angin laut berskala besar dengan periode musiman. Sirkulasi musiman monsun relatif berbeda yaitu aliran masuk siklonal kontinental dalam musim panas dan aliran keluar antisiklonal kontinental dalam musim dingin. Ini menunjukkan adanya arahan gaya gradien tekanan permukaan dari samudra dalam musim panas atau dari kontinen ke samudra dalam musim dingin. Perubahan nyata dari sirkulasi musiman monsun adalah perubahan arah arus permukaan dan frekuensi curah hujan. Pola arus sangat erat kaitannya dengan pergerakan penyu belimbing untuk melakukan aktivitas migrasi, aktivitas mencari makan dan aktivitas peneluran. Pola arus juga memberikan pengaruh terhadap daya renang penyu untuk mencapai daerah tujuan peneluran sehingga mempengaruhi pola dan musim peneluran. Sebagai contoh perbedaan musim peneluran antara pantai Jamursba Medi dan Warmon meskipun memiliki jarak yang berdekatan (30 km). Musim peneluran di Jamursba Medi biasanya ditandai dengan musim monsun timur dimana arus permukaan dari arah timur mengarah kearah barat sehingga menyebabkan penyu belimbing akan bermigrasi dan bertelur di pantai Warmamedi yang terletak di sebelah barat pantai Jamursba Medi. Adanya perubahan pola angin selama musim peneluran menyebabkan perubahan puncak peneluran setiap adanya perubahan musim angin. Musim peneluran di Warmon ditandai dengan musim monsun barat (Asia) atau musim ombak yang terjadi pada bulan November sampai bulan Februari. Kondisi ini menyebabkan penyu belimbing akan memilih bertelur disebelah barat
pantai Wermon bahkan beberapa penyu yang melakukan peneluran di pantai Jamursba Medi meskipun bukan musim peneluran di pantai ini. Hal ini membuktikan bahwa musim angin dan arus mempengaruhi pergerakan penyu belimbing selama musim peneluran. 2.8.1.5 Tekstur Pasir Ekosistem pantai berpasir adalah habitat pesisir daratan dipengaruhi aktivitas daratan dan laut. Ekosistem pantai berpasir dipengaruhi proses biotik dan abiotik yang ditandai dengan adanya pertukaran energi dan bahan materi seperti pasir dan tanah tetapi juga pertukaran dalam bentuk aktivitas organisme termasuk penyu yang memanfaatkan ekosistem ini untuk melakukan proses peneluran dan penetasan (Karavas et al. 2005). Penyu memiliki insting yang peka dalam memilih daerah peneluran salah satunya adalah karakteristik pasir pantai. Karakteristik pasir yang disukai oleh penyu adalah pasir dengan tekstur dari sedang sampai halus, berwarna abu abu kehitaman. Montimer (1982) in Karavas et al. (2004) menyatakan bahwa substrat pasir berperan penting selama masa inkubasi untuk kesuksesan penetasan dimana substrat pasir harus menfasilitasi difusi gas dan memiliki kelembaban yang relatif baik sehingga tidak menyebabkan kerusakan konstruksi ruang sarang. Ditegaskan Montimer (1990) in Karavas et al. (2004) ketika melakukan studi di pantai Ascesion Selatan Atlantik menyatakan bahwa keberhasilan penetasan relatif rendah karena pasir relatif berbutir kasar. Oleh sebab itu karakteristik pasir menjadi indikator penting dalam kesuksesan suatu proses baik peneluran maupun penetasan. 2.8.1.6 Laju Predasi Periode inkubasi telur penyu dalam sarang dipengaruhi predator dari hewan invertebrata dan vertebrata (Dodd 1988). Ancaman terbesar terhadap populasi penyu belimbing adalah predasi telur dibarengi dengan perusakan sarang penyu. Predasi terhadap telur dan rusaknya sarang penyu biasanya dilakukan oleh beberapa hewan seperti kepiting, babi hutan, biawak, anjing dan elang yang memangsa tukik penyu. Evaluasi tahun 2001 terhadap sarang penyu di Bill Baggs Cape Florida State Park (CFSP) di Selatan Biscayne, Florida menunjukkan terjadi kegagalan
penetasan akibat predasi oleh colepteran yang teridikasi dengan lubang-lubang kecil pada kulit telur penyu. Dodd (1988) in Ellen et al. 2004 menyatakan bahwa predator utama yang bersifat destruktif di pantai Biscayne Florida adalah racoon, kepiting hantu, armandillo (Dasypus novemcinctus), rubah (Vulpes), anjing domestik (Canis familiaris), babi liar (Suscrofa), sigung (Spilagale putorius) dan beberapa larva serangga yang juga memangsa telur. Penelitian tahun 2003-2004 menunjukkan sarang yang dirusak oleh babi hutan dan anjing mencapai 4.9% dan 3.9% (Hitipeuw et al. 2002). Starbird and Suarez (1994) menduga bahwa sekitar 40% sarang di Warmon dirusak oleh babi hutan. Sedangkan Jamursba Medi pada bulan Juni sampai Juli 2005 sekitar 29 sarang di pantai Warmamedi dirusak oleh predator babi sebesar 29.3% dan Wembrak hanya satu sarang yang dirusak (Tapilatu et al. 2007). Berdasarkan penjelasan ini maka dipastikan laju predasi terhadap telur penyu menjadi salah satu indikator yang perlu diperhatikan karena mempengaruhi populasi tukik penyu yang dihasilkan. 2.8.2 Sistem Sosial Antropogenik Manusia merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup penyu, baik di wilayah pesisir maupun di perairan laut lepas. ProFauna (2005) in Wibowo 2007 melaporkan bahwa eksploitasi penyu di Indonesia masih berlangsung hingga kini. Laporan ProFauna menyatakan bahwa perdagangan penyu dan bagian-bagian tubuhnya dijumpai di Jawa. Selama bulan Januari sampai April 2005, ProFauna mencatat tentang jenis, jumlah, harga dan asal penyu yang diperdagangkan pada enam lokasi pantai Selatan P. Jawa, antara lain: pantai Teluk Penyu Cilacap (Jawa Tengah), pantai Puger Banyuwangi (Jawa Timur), pantai Pangandaran (Jawa Barat), pantai Pelabuhan Ratu (Jawa Barat), pantai Pangumbahan Sukabumi (Jawa Barat) dan pantai Samas (Yogyakarta). Pemanenan telur penyu dengan tujuan bisnis terjadi di kecamatan Tambelan Propinsi Riau, kecamatan Paloh Kalimantan Barat, Kepulauan Derawan Kalimantan Timur dan Pangumbahan Jawa Barat. Sebagai ilustrasi di Propinsi Kalimantan Timur, pengusaha telur penyu memberikan masukan pendapatan asli daerah (PAD) PEMDA Kabupaten Berau seperti pada Gambar 10. Perolehan
PAD selama tahun 1999 hingga 2000 mencapai hampir Rp 1 milyar atau sekitar 38% dari PAD yang besarnya Rp 2,8 milyar (Hamdan 2001 in Wibowo 2007). Lima dekade terakhir menunjukkan penurunan hebat populasi penyu di Kepulauan Derawan, diperkirakan mencapai 90% dari jumlah yang bisa ditemukan 50 tahun lalu. Penyebab yang paling dominan adalah pengambilan telur penyu secara intensif (WWF-Wallacea 2000 in Wibowo 2007). Perburuan terhadap telur dan induk penyu menjadi salah satu aktivitas yang sulit dihentikan dan ditanggulangi. Kondisi ini mengarah pada suatu kondisi yaitu ancaman kepunahan dari penyu. Wilson (1999) in Wibowo (2007) menyatakan bahwa peningkatan kepunahan spesies pada abad ini telah didokumentasikan dan menyatakan bahwa penyebab utama karena aktivitas manusia dan kerusakan
Pendapatan asli daerah
habitat.
Tahun Gambar 10. PAD Kab. Berau dari pengusahaan telur penyu (Sumber : Data Kabupaten Berau 2002 in Wibowo 2007) Ancaman kepunahan penyu belimbing sama seperti yang dialami spesies penyu laut lainnya. Populasi penyu belimbing mengalami penurunan akibat eksploitasi manusia (Wibowo 2007). Ancaman manusia memberi tekanan pada sepanjang hidup penyu baik ketika masih berwujud telur hingga penyu dewasa. Ackerman (1997) menyatakan ancaman manusia adalah pemanen telur penyu dan penangkapan induk penyu secara sengaja di daerah peneluran. Ancaman lain yang bersifat insidentil adalah dampak dari perubahan lingkungan di daratan maupun laut, tangkapan sampingan, kerusakan habitat, serangan penyakit dan predator, kematian penyu karena teknik penangkapan ikan dengan menggunakan drift netting, shrimp trawling, dynamite fishing, dan longline, pembangunan gedung daerah pantai, penambangan pasir dan abrasi pantai. Adanya cahaya lampu di
daerah peneluran mempengaruhi perilaku bertelur induk penyu dan perjalanan anakan penyu (Witherington 1992 in Wibowo 2007). Pencemaran air laut dan pengaruh eksplorasi minyak gas perairan lepas pantai telah menyebabkan ancaman serius terhadap populasi penyu (George 1997 in Wibowo 2007). Berikut ini adalah sistem sosial antropogenik dari penyu belimbing yang divisualisasikan secara sederhana pada Gambar 11. Perubahan iklim
Penurunan habitat peneluran
Konsumsi telur Upacara keagamaan Telur Penyu
Faktor lingkungan
Predator
-
Pencemaran
Populasi -
-
Konsumsi + Konsumsi daging
Tukik Penyu -
Manusia Diperjual belikan
+ Penyu Dewasa
-
+ Tangkapan sampingan
Faktor sosial antropogenik
Gambar 11. Sistem sosial antropogenik terhadap penyu belimbing 2.9
Analisis Trade-off (TOA) Trade-Off
Analysis
(TOA)
merupakan
proses
merancang
untuk
mengintegrasikan pembuat keputusan kebijakan publik dan stakeholders lain dengan sekelompok pakar untuk menyediakan informasi yang bersifat kuantitatif dalam mendukung pengambilan keputusan. Beberapa peneliti menggunakan trade-off analisis sebagai alat untuk pengambilan keputusan yang melibatkan banyak ragam stakeholders dengan banyak kepentingan dan kegunanaan (multy use). Analisis trade-off sebagai alat bantu pengambilan keputusan sangat dirasakan manfaatnya dalam memahami konflik penggunaan sumberdaya dan keinginan stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Stakeholders akan dilibatkan untuk mempertimbangkan strategi pengelolaan dan menentukan
prioritas dalam pengelolaan. Penerapan trade-off dapat dilakukan pada berbagai bidang kajian, baik dalam bidang pertanian, perikanan dan kelautan, farmasi kedokteran, telekomunikasi, transportasi, pertambangan dan energi, kehutanan, pariwisata dan lain-lain. Sehingga ketika analis kebijakan publik diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan yang menyangkut banyak stakeholders maka penggunaan trade-off akan mampu membantu dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan analisis trade-off akan diawali dengan analisis stakeholders. Analisis stakeholders yang diusulkan oleh Brown et al. (2001) adalah sistem pengumpulan informasi dari individu atau sekelompok orang yang berpengaruh didalam memutuskan, mengelompokkan informasi dan menilai kemungkinan konflik yan terjadi antara kelompok yang berkepentingan pada lokasi dimana akan dilakukan trade-off. Sedangkan metode pemilihan alternatif digunakan metode multikriteria, yakni: suatu pendekatan alternatif pilihan yang didasarkan pada suatu kriteria penilaian. Selanjutnya adalah penentuan skenario dan potensi dampak. Sebelum penentuan skala (scalling), terlebih dahulu memilah kriteria yang merupakan suatu pengambangan yang bermanfaat atau suatu kehilangan (cost). Setiap kriteria (lingkungan dan sosial antropogenik) memiliki nilai skor terendah 0 sampai 100. Tahapan berikutnya adalah sistem pembobotan dan peringkat untuk skenario yaitu: pembobotan kriteria dan pembobotan sub kriteria. Bobot dari kriteria menunjukkan prioritas pengelolaan, sedangkan bobot dari sub kriteria menunjukkan tingkat kepentingan dari sub kriteria dalam kelompok kriteria. Dengan mengalikan ranking management priority dengan skor yang ada pada
masing
masing
kriteria,
yang
selanjutnya
dijumlahkan
sehingga
menghasilkan bobot dari skenario. Hasil dari evaluasi kebijakan dengan metode rezim ini adalah peringkat skenario, sehingga dapat dipilih skenario terbaik.