TINJAUAN PUSTAKA Konservasi Lahan Kering Pertanian lahan kering adalah sebidang tanah yang dipergunakan untuk usahatani dengan menggunakan air secara terbatas dan biasanya kebutuhan air hanya mengharapkan dari curah hujan Suwardjo (1981)
(Hanjaya 1995). Sedang menurut
sistem pertanian lahan kering adalah pertanian yang
dilaksanakan diatas tanah tanpa irigasi dalam bentuk tegalan atau ladang. Kondisi permukaan tanah yang relatif terbuka sepanjang tahun dan curah hujan yang tinggi, merupakan penyebab kerusakan lahan, oleh karena itu penerapan teknik konservasi pada pertanian lahan kering merupakan suatu persyaratan mutlak untuk menjaga kelangsungan penggunaan lahan. Prinsip-prinsip dalam konservasi lahan kering tidak terlepas dari pengertian konservasi mengenai tanah dan air. Kondisi tanah yang marginal pada lahan kering dengan ciri solum tanah dangkal, kandungan bahan organic rendah, kesuburan tanah rendah dan tingkat kemasaman tinggi atau pH rendah, merupakan kendala dalam penggunaan lahan untuk pengembangan usahatani. Konservasi tanah diartikan sebagai penempatan setiap bidang tanah pada penggunaan
yang
sesuai
dengan
kemampuan
tanah
tersebut
dan
memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Sedang konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, melalui pengaturan waktu aliran sehingga tidak terjadi banjir yang merusak dan cukup air pada musim kemarau (Arsyad l989). Pertanian lahan kering umumnya berada pada daerah hulu (up land) hingga daerah-daerah pertengahan dengan keadaan lahan yang berlereng (Harijaya 1995). Keadaan lahan seperti ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya erosi dan aliran permukaan yang berlebihan Disamping faktor lereng, sifat tanah, curah hujan, vegetasi penutup dan aktivitas manusia juga mempengaruhi terjadinya erosi. Hayward dalam Klootwijk (1975) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah; (1) tanaman penutup, (2) cara bercocok tanam, (3) panjang dan kemiringan lereng, (4) faktor curah hujan, (5) tindakan konservasi
12
tanah, dan (6) faktor tanah. Pertanian lahan kering tanpa konservasi di daerah hulu juga berperanan
sangat besar pada berbagai fenomena alam seperti banjir,
kekeringan dan sedimentasi di daerah hilir. Arsyad (1989)
mengemukakan bahwa pada dasarnya faktor-faktor
penyebab erosi dibedakan atas; (l) faktor-faktor yang dapat dirobah oleh manusia seperti tumbuhan yang tumbuh diatas tanah, sebagai sifat-sifat tanah seperti kesuburan, ketahanan agregat, kapasitas infiltrasi dan panjang lereng, serta (2) faktor-faktor yang tidak dapat dirobah yaitu seperti iklim, tipe tanah dan kecuraman lereng. Penerapan teknik konservasi pada prinsipnya cenderung kepada intervensi terhadap faktor-faktor yang dapat dipengaruhi oleh manusia. Secara garis besar metoda konservasi dapat dibedakan atas tiga metoda yaitu metoda vegetatif, mekanik dan kimia. Yang sering digunakan adalah metoda vegetatif dan metoda mekanik, sedang metoda kimia jarang digunakan karena memerlukan biaya mahal. Termasuk metoda vegetatif adalah; (l) penanaman tumbuhan atau tanaman yang menutup tanah secara terus-menerus sepanjang tahun, (2) penanaman dalam strip, (3) pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah, (4) sistem pertanian hutan, (5) Pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan sebagai mulsa, dan (6) penanaman saluransaluran air dengan rumput. Sedang yang tergolong dalam metoda mekanik adalah; (1) pengolahan tanah, (2) pengolahan tanah menurut kontur, (3) guludan dan guludan bersaluran menurut kontur, (4) terras, (5) penghambat, waduk, rorak, tanggul dan (6) perbaikan drainase dan irigasi (Arsyad 1989). Suwardjo (1993) mengemukakan karena adanya berbagai kendala fisik dan sosial ekonomi, maka metoda yang mudah dan murah serta sangat efektif untuk konservasi di lahan kering adalah metoda vegetatif. Penggunaan tanaman legum seperti Flamengia congesta, Mucuna sp., dan Komak, dapat meningkatkan produktivitas lahan pada beberapa lokasi pengujian baik di Pulau Jawa maupun di beberapa tempat seperti di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Selain itu diperlukan masukan pupuk yang tinggi, agar produktivitas pertanian lahan kering dapat dipertahankan. Hasil pengujian metoda konservasi vegetatif melalui pertanaman lorong di Kendari Sulawesi Tenggara, menujukan bahwa terjadi perbaikan sifat fisik dan
13
kimia tanah setelah perlakuan selama tiga musim tanam (Sudharto 1993). Ketahanan penetrasi tanah menujukan penurunan dari rata-rata 15 kgF/cm2 menjadi rata-rata 10,5 kgF/cm2. Kondisi penetrasi ketahanan tanah seperti ini merupakan suatu kondisi yang baik bagi perakaran tanaman. Perkembangan perakaran sebagian besar tanaman akan terganggu pada ketanahan penetrasi 13 kgF/cm2. Penurunan ketahanan penetrasi merupakan salah satu indikator semakin baiknya sifat-sifat fisik tanah. Suwardjo (1981) mengemukakan bahwa penggunaan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dapat menekan laju erosi hingga dibawah tingkat erosi yang dapat dibiarkan, menekan laju aliran permukaan, memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah serta aktivitas biologi dan meningkatkan pertumbuhan dan produksi. Metoda mekanik seperti pembuatan terras juga efektif untuk konservasi tanah dan air. Tetapi dalam pembuatan terras harus memperhatikan beberapa persyaratan seperti solum tanah harus cukup dalam, tanah tidak peka terhadap erosi dan tidak terdapat bidang luncur untuk lahan-lahan dengan kemiringan yang cukup terjal (Harijaya, 1995). Menurut Suwardjo dan Dariah (1994) penggunaan terras gulud cukup baik dan murah serta dapat dibuat pada hampir semua jenis tanah dan lereng yang bervariasi dari 3-50 persen. Sebagai perbandingan pembuatan terras bangku memerlukan tenaga kerja 500-1.000 HOK /hektar, sedang untuk pembuatan terras gulud hanya memerlukan 50-100 HOK/hektar. Penerapan metoda konservasi mekanik yang dilakukan di DAS Brantas menunjukan bahwa pembuatan terras bangku sangat efektif untuk menekan erosi, dan dapat meningkatkan produksi jagung dan ubikayu, tetapi sejalan dengan itu memerlukan korbanan tenaga kerja yang cukup besar (Sembiring 1990 dalam Harijaya 1995). Sebagai perbandingan dikemukakan beberapa data penerapan teknik konservasi, data erosi yang terjadi, data produksi dan data tenaga kerja pada Tabel 1 sebagai berikut berikut:
14
Tabel 1
Data penerapan teknik konservasi, produksi dan tenaga kerja yang dipergunakan dalam penerapan konservasi di DAS Brantas.
Teknik Konservasi Mekanik Tanpa Terras
Produksi (Ton/Ha)
Erosi (Ton/Ha/9 bln)
Jagung
Ubi Kayu
9,9
1,84
42,13
Tenaga Kerja (HOK/Ha) 0
Terras Gulud
3,6
2,70
55,56
227
Terras Bangku
2,8
3,04
44,00
662
Sumber: Sembiring (1990) dalam Harijaya (1995).
Sebagai perbandingan data penggunaan tenaga kerja untuk penerapan metoda konservasi vegetatif dengan teknik pertanaman lorong adalah 116 HOK/hektar. Nissen-Petersen, E. 2000. melaporkan tentang metoda konservasi yang dilakukan oleh masyarakat di dataran tinggi Ekuador yang disebut Sulaman Metoda ini dilaksanakan pada areal dengan ketinggian 7.500 feet dan kecuraman lereng 50-70 persen, berada pada iklim tropika dingin (cool tropical) atau mesothermal. Metoda ini merupakan gabungan antara metoda mekanik dengan vegetatif, yaitu dengan menerapkan pengolahan tanah menurut garis kontur dan penanaman strip tanaman. Dengan menggunakan biaya yang rendah, metoda ini mampu mempertahankan produksi pangan dan buah-buahan, dimana keberhasilan metoda ini oleh Bank Dunia disamakan dengan fungsi pelayanan penyuluhan yang dilakukan oleh Soil Conservation Service di Amerika Serikat. Beberapa metoda konservasi yang bersifat tradisional yang telah berhasil dinegara-negara Afrika seperti dilaporkan oleh Journal Of Soil and Water Conservation, adalah Zays system, dikembangkan di Mali, yang menggunakan strip tanaman dari jenis rumput vertiver, Milpa system di kembangkan di Meksiko Tengah, dilaporkan oleh Bacco (1991), Sistem Hunano'o dikembangkan di Philipina, dilaporkan oleh Conklin (1997), dan Sistem Produksi Modular, dikembangkan di Tabasco, Meksiko, dilaporkan oleh Gliessman (1981) Suatu studi kasus yang dilaporkan oleh Pagiola (2006) di Kenya menunjukan bahwa pengelolaan pertanian lahan kering pada lahan dengan kemiringan 15 persen tanpa diikuti dengan tindakan konservasi yang intensip, mengakibatkan penurunan produksi jagung secara cepat, sejalan dengan kehilangan tanah akibat erosi.
15
Dalam sepuluh tahun pertama terjadi penurunan produksi sebesar 20 persen, sedang pada 20 tahun berikutnya terjadi penurunan produksi sebesar 40 persen. Suatu kondisi dimana secara ekonomi sudah tidak menguntungkan lagi. Model estimasi dalam studi kasus tersebut disajikan pada gambar 3.
With Conservation-Both Model
3,5 3
With Conservation Fixed Yield Decline Model
2,5 Year (t/ha)
2 1,5 1 0,5 0
Gambar 3
0
10
20
30
40
50 60 Year
70
80
90
100
Grafik estimasi kehilangan produksi jagung pada studi kasus di Kenya.
Berdasarkan uraian tentang konservasi lahan kering diatas, maka pada prinsipnya penerapan teknik-teknik konservasi menunjukkan mampu menekan laju erosi dan meningkatkan serta mempertahankan produksi pada pertanian lahan kering, tetapi sampai sejauh mana usaha-usaha itu telah memberikan dampak kepada peningkatan pendapatan keluarga petani dan mengoptimalkan faktorfaktor biofisik dan sosial ekonomi belumlah dianalisis.
Prediksi Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh media alami (Arsyad 1989). Media alami yang dimaksud disini adalah air dan angin. Di Indonesia dan di daerah tropis umumnya yang paling berperan adalah air.
16
Berdasarkan kejadiannya erosi dapat dibedakan atas; (1) erosi normal atau erosi geologi atau erosi alami yaitu proses pengangkutan tanah yang terjadi dibawah keadaan vegetasi alami, dan (2) erosi dipercepat yaitu pengangkutan tanah yang menimbulkan kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia, yang menggangu keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Erosi dipercepati inilah yang menjadi perhatian konservasi tanah. Masalah erosi menjadi begitu penting karena akibat yang ditimbulkan tidak saja merugikan tempat dimana erosi itu terjadi, tetapi juga memberi dampak negatif terhadap tempat-tempat diluar lokasi dimana erosi itu terjadi. Kerusakan yang terjadi pada tempat erosi adalah kemunduran sifat fisik dan kimia tanah. Kemunduran yang terjadi pada sifat fisik tanah antara lain menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah serta berkurangnya kemantapan struktur tanah. Sedang kemunduran sifat kimia tanah dapat terjadi karena terangkutnya unsur hara bersama tanah yang tererosi. Suwardjo (1981) mengemukakan bahwa suatu tanah Latosol Merah di Citayam yang mengandung 0,074% nitrogen, 3,450 bahan organik, 0,042% P 2 O 5 , 0,008% K 2 O dan 0,074% Ca dengan erosi sebesar 121,1 ton/ha, dalam satu musim tanam jagung, mengalami kehilangan unsur hara sebanyak 206 kg nitrogen, 4.190 kg bahan organik, 52 kg P 2 O 5 , 10 kg K 2 O dan 90 kg CaO per hektar. Jumlah unsur hara yang hilang tersebut setara dengan 4,3 kuintal urea, 1,15 kuintal TSP, 0,20 kuintal KCl dan 2,0 kuintal kapur. Dampak erosi terhadap tempat di luar kejadian erosi adalah pelumpuran dan pendangkalan waduk, sungai, saluran dan badan air lainnya. Dampak lainnya adalah tertimbunnya lahan pertanian di daerah bawah, kerusakan kualitas air dan menghilangnya mata air serta berkurangnya umur guna waduk dan berbagai kerugian material lainnya, Arsyad (1989). Dampak erosi terhadap tempat diluar kejadian digambarkan sebagai suatu usaha yang bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga merugikan orang lain. Akibat erosi yang terjadi secara terus-menerus mengakibatkan tanah akan menjadi rusak atau yang diistilahkan dengan lahan kritis. Menurut Sadikin (1997) yang dimaksud dengan tanah kritis adalah tanah yang karena tidak sesuainya
17
penggunaan dengan kemampuannya, telah mengalami atau dalam kerusakan fisik, kimia dan biologi, yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologi, orologi dan produksi pertanian, pemukiman serta kehidupan sosial. Hal ini mengakibatkan perkembangan lahan kritis dengan cepat dari tahun ke tahun. Erosi di daerah tropika disebabkan oleh tingginya curah hujan. Oleh karena itu daerah-daerah di kawasan tropika merupakan daerah-daerah dengan tingkat erosi tertinggi di dunia. El-Swaify (Arsyad dan Krisnarajah 1983). Secara keseluruhan Asia merupakan benua dengan tingkat erosi tertinggi yaitu rata-rata 166 ton/km2/tahun dan Australia merupakan benua dengan tingkat erosi terendah yaitu 32 ton/km2/tahun. Besarnya erosi yang terjadi di benua Asia tidak terlepas dari sumbangan yang diberikan oleh sektor pertanian lahan kering dan perambahan hutan. Erosi pada dasarnya tidak dapat ditekan hingga nol, oleh karena itu maka ditetapkan suatu batas erosi yang diperbolehkan, yang disebut sebagai nilai T, (Arsyad 1989) atau oleh Sinukaban (1994) disebut Etol. Ada dua cara penetapan nilai T yaitu; pertama dengan menggunakan kedalam tanah, permeabilitas lapisan bawah dan kondisi stratum. Untuk itu ditetapkan enam sifat tanah dan stratum Kedua Hammer (1981) menggunakan konsep kedalaman ekivalen (equivalent depth) dan umur guna (resource life). Kedalaman eqivalen adalah kedalaman tanah yang setelah mengalami erosi produktivitasnya berkurang dengan 60% dari produktivitas tanah yang tidak tererosi. Produktivitas tanah berdasarkan konsep Hammer (1981) adalah sebagai akibat menurunnya kandungan unsur hara tanah dan/atau merosotnya sifat-sifat fisik tanah. Untuk itu dilakukan pengelompokkan kedalam kategori rendah (R), sedang (S) dan tinggi (T). Kombinasi penurunan faktor fisik dan kimia tanah dengan tiga kategori tersebut diperoleh sembilan stratifikasi
nilai faktor
kedalaman tanah. Nilai faktor kedalaman tanah dikalikan dengan kedalaman efektif tanah (effective soil depth) diperoleh kedalaman eqivalen. Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah sampai suatu lapisan yang bisa ditembus akar. Nilai faktor kedalaman tanah untuk 30 sub-order tanah telah disusun oleh Hammer (1981). Deskripsi ini adalah untuk tanah-tanah di Indonesia (Arsyad 1989). Nilai faktor kedalaman 30 sub-order tanah terlampir.
18
Pendekatan yang dilakukan oleh Hammer (1981) sebagaimana diuraikan di atas, tidak memperhitungkan faktor pembentukan tanah. Bila diperhitungkan faktor pembentukan
tanah maka rumus dengan
menggunakan kedalaman
eqivalen sebagai berikut:
Etol =
Dimana:
De − Dmin + PT (mm / tahun) MPT
(Sinukaban 1995)
De
= kedalaman tanah efektif x faktor kedalaman
D min
= kedalaman tanah minimum
MPT = masa pakai tanah PT
= laju pembentukan tanah.
Tingkat pengelolaan tanaman dan tanah yang baik adalah apabila besarnya erosi yang terjadi (erosi aktual), lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan (Etol). Untuk itu maka perlu dilakukan prediksi erosi aktual. Prediksi erosi dilakukan dengan menggunakan persamaan USLE (Universal Soil Loss Equation) yaitu: A = RKLSCP A
= besarnya erosi yang terjadi (ton hektar-1tahun-1)
R
= erosivitas hujan tahunan yaitu satuan indeks erosi hujan yang menyatakan hubungan antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (EI 30 ). Nilai R adalah penjumlahan dari EI 30 selama satu tahun. R =
EI 30
Nilai R juga dapat diperoleh dengan menggunakan peta isoeroden K
= erodibilitas tanah yaitu laju erosi per indeks erosi hujan untuk suatu tanah yang didapat dari petak percobaan standar dengan panjang 22,1 meter, terletak pada lereng sembilan persen tanpa tanaman. Bila diketahui kandungan bahan organik tanah, tekstur, struktur dan permiabilitas, maka nilai K dapat dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Wischmeier (1978). 100K
= 1,292{ 2,1M1,14,(10-4)(12- a) + 3,25 (b - 2) + 2,5( c - 3)}
19
M
= (% pasir halus + debu)(100 - %liat)
a
= % bahan organic
b
= Kode struktur tanah
c
= Kelas permiabilitas profil tanah.
Penetapan nilai erodibilitas (K) dapat juga ditentukan dengan menggunakan nomograf erodibilitas tanah. L
= panjang lereng yang diukur mulai dari tempat terjadinya aliran air diatas permukaan tanah sampai ke tempat mulai terjadinya pengendapan, yang disebabkan karena berkurangnya kecuraman lereng. Faktor panjang lereng merupakan nisbah antara erosi dari tanah dengan suatu panjang lereng tertentu terhadap erosi dari tanah dengan paryang 22,1 meter di bawah keadaan identik. Faktor panjang lereng ditentukan dengan rumus : L = (X 22-1)m Dimana:
X
= panjang lereng sebenarnya
m
= konstanta, 0,3 untuk kecuraman lereng < 5% 0,5 untuk kecuraman lereng > 5%
S
= kecuraman lereng, yaitu nisbah antara besarnya erosi pada suatu tanah dengan kecuraman lereng tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah dengan lereng sembilan persen dibawah keadaan identik. Nilai faktor S dihitung dengan rumus : S = dimana:
C
S
0,43 + 0,3s + 0,043s 2 6,613
= kecuraman lereng (%)
= faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari suatu areal dengan vegetasi penutup dan pengelolaan tanaman tertentu terhadap besarnya erosi dari tanah yang identik tanpa tanaman.
P
= faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah, yaitu nisbah antara besarnya erosi dari tanah yang diberikan perlakuan tindakan konservasi khusus seperti pengelolaan menurut kontur, penanaman
20
dalam strip atau terras, terhadap besarnya erosi dari tanah yang diolah searah lereng dalam keadaan identik. Skema persamaan erosi berdasarkan pendekatan Universal Soil Loss Equation (USLE) pada Gambar 4. Besarnya Erosi yang akan terjadi adalah Fungsi Kemungkinan Erosi Tanah
Hujan
Energi
Sifat t h
Pengelolaa
Kekuatan Perusak Hujan Pengelolaan Lahan Pengelolaan Tanaman
A
=
R
K
LS
P
Gambar 4 Skema persamaan USLE (Arsyad 1989)
C
21
Sebagaimana
dikemukakan
terdahulu
bahwa
faktor-faktor
yang
mempengaruhi erosi dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu faktor-faktor yang dapat dimanipulasi oleh manusia dan yang tidak dapat dimanipulasi. Bila dikaitkan dengan persamaan USLE, maka faktor C dan P merupakan faktor yang dapat dimanipulasi, tetapi bersifat spesifik lokasi. Oleh karena itu nilai yang diberikan dari kombinasi tanaman dan tanah juga bersifat spesifik lokasi. Artinya nilai-nilai tersebut hanya dapat dipergunakan secara akurat untuk suatu kondisi dengan keadaan biofisik (tanah dan iklim) yang identik. Beberapa nilai C dan P di Indonesia dan Afrika disajikan pada lampiran. Perbandingan nilai erosi aktual dari petak standar tanpa perlakuan (C dan P = 1), dengan nilai erosi petak standar dengan perlakuan kombinasi tanaman, akan diperoleh nilai faktor pengelolaan tanaman dan tanah. Semakin kecil faktor C dan P, memberikan gambaran semakin baiknya pengelolaan. Kondisi seperti itu digambarkan oleh Sinukaban (1994)
sebagai upaya pengembangan sistem
pertanian konservasi (SPK), dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1.
Produksi pertanian cukup tinggi sehingga petani tetapi tetap bergairah melanjutkan usahanya.
2.
Pendapatan petani cukup tinggi, sehingga petani dapat mendesain masa depan keluarganya dari pendapatan usahataninya.
3.
Teknologi yang diterapkan baik teknologi produksi maupun teknologi konservasi adalah teknologi yang dapat diterapkan sesuai dengan kemampuan petani dan diterima oleh petani dengan senang hati sehingga sistem pertanian tersebut dapat dan akan diteruskan oleh petani dengan kemampuannya secara terus menerus tanpa bantuan dari luar.
4.
Laju erosi kecil (minimal), lebih kecil dari erosi yang ditoleransikan, sehingga
produktivitas
yang
cukup
tinggi
tetap
dapat
dipertahankan/ditingkatkan secara lestari dan fungsi hidrologis daerah terpelihara dengan baik sehingga tidak terjadi banjir dimusim hujan dan kekeringan dimusim kemarau, dan 5.
Sistem penguasaan/pemilikan lahan dapat menjamin keamanan investasi jangka panjang (longterm investment security) dan menggairahkan petani untuk terus berusahatani.
22
Penilaian Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Suatu kekeliruan yang menganggap bahwa tanah merupakan suatu faktor produksi yang sifatnya tetap, karena tanah secara kualitas (tingkat kesuburan) maupun kuantitas (kedalaman lapisan olah bahkan luasnya) selalu mengalami degradasi. Kondisi seperti ini perlu dicermati, karena berpengaruh terhadap upaya pengelolaan lahan untuk menjaga kesinambungan produksi atau menjaga produktivitas lahan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan lahan, degradasi lahan yang umumnya disebabkan oleh erosi memberikan dampak negatif yang nyata baik pada lahan yang diolah (on site impact) maupun diluar lahan yang diolah (off site impact). Dampak yang terjadi baik yang bersifat in site maupun off site, memiliki konsekuensi biaya pengelolaan langsung maupun tidak langsung. Biaya-biaya seperti ini biasanya tidak diperhitungkan, karena untuk menghitungnya memerlukan pengetahuan teknis yang baik, terutama cara pengukurannya. Munasinghe (1993) mengemukakan konsep dasar untuk penilaian ekonomi lingkungan tentang nilai ekonomi total (total economic value). Konsep ini membagi nilai ekonomi total atas; (l) nilai guna (use value), dan (2) nilai bukan guna (non use value), nilai guna dibedakan lagi atas nilai guna langsung (direct use value), nilai guna tak langsung (indirect use value) dan nilai pilihan (option value). Penilaian ini dilakukan atas dasar keterukuran atau sesuatu yang nyata (tangible) secara individu. Hubungan tangibility serta nilai ekonomi dan turunannya secara skematis ditunjukkan pada Gambar 5.
23
Nilai Ekonomi Total
Nilai Guna
Nilai Guna Langsung
Output yang dapat dikonsumsi langsung
Makanan Biomas Rekreasi Kesehatan
Nilai Bukan Guna
Nilai Guna Tidak Langsung
Manfaatmanfaat fungsional
Fungsi Ekologi Pengendali Banjir
Nilai Pilihan
Nilai Nilai Bukan Keberadaan Guna Lainnya
Nilai guna langsung dan tidak langsung masa datang
Biodiversity Konservasi habitat
Nilai dari pengetahuan terhadap keberadaan
Habitat Spesies Langka
Menurut Keterukuran (tangible) Penilaian Individu
Gambar 5 Pengelompokan atribut nilai ekonomi untuk penilaian lingkungan (Diadopsi dari Pearce 1992 dalam Munasinghe 1993)
24
Secara matematik persamaan nilai ekonomi total (NET) adalah NET = NG + NBG NET = (NGL + NGTL + NP) + NBG Dimana: NET
= Nilai Ekonomi Total
NG
= Nilai Guna
NBG
= Nilai Bukan Guna
NGL
= Nilai Guna Langsung
NGTL = Nilai Guna Tidak Langsung NP
= Nilai Pilihan
Teknik penilaian ekonomi lingkungan walaupun baru, tetapi cukup berkembang. Prinsip yang perlu dipahami adalah kesediaan membayar (willingnessto pay) dari individu dalam memberikan penilaian. Hufschmidt (1987), mengelompokkan dalam tiga kategori yaitu (1) teknik yang langsung didasarkan pada nilai pasar atau produktivitas, (2) teknik yang menggunakan nilai pasar atau barang subtitusi, dan (3) pendekatan yang menggunakan teknik survey. Dalam memberikan penilaian maka dianjurkan untuk pertama-tama harus menggunaka nilai pasar. Bila tidak tersedian nilai pasar baru digunakan nilai pasar barang subtitusi dan selanjutnya bila tidak nilai barang subtitusi baru menggunakan nilai berdasarkan teknik survey. Dalam memberikan penilaian nilai ekonomi, Munasinghe (1993) membuat taksonomi seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Taksonomi teknik penilaian yang relevan Keterangan
Pasar
Berdasarkan perilaku aktual
Efek produksi Efek kesehatan Biaya devensif Biaya preventif
Berdasarkan perilaku potensial
Biaya pengganti Proyek bayangan
Sumber: Munasinghe (1993).
Pasar Implisit Biaya perjalanan Perbedaan upah Nilai kepemilikan Barang pasar Pengganti
Pasar yang dibangun Pasar artifisial
Penilaian kontingensi lain-lain
25
Penggunaan teknik penilaian seperti dikemukakan dalam Tabel 2 disesuaikan dengan kebutuhan penilaian terhadap jasa lingkungan dan sumberdaya alam yang ada. Penilaian ekonomi terhadap pengelolaan lahan yang rusak akibat erosi dilakukan dengan menggunakan teknik penilaian biaya pengganti (Dixon dkk. 1993). Teknik ini digunakan bila manfaat sosial bersih pemanfaatan tertentu tidak dapat diperkirakan secara langsung. Berdasarkan penilaian teknik ini nilai barang atauj asa lingkungan adalah sebesar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengganti atau membuat barang atau jasa lingkungan yang dapat memberikan manfaat setara dengan sebelumnya.
Analisis Pendapatan Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa walaupun penerapan konservasi dapat dikatakan syarat mutlak dalam pelaksanaan pertanian berkelanjutan tetapi oleh petani hal itu dilihat sebagai suatu tambahan kerja yang tidak memberikan tambahan pendapatan. Kondisi seperti ini dapat dipahami karena selama ini petani selalu berada pada kondisi kesejahteraan yang kurang menguntungkan. Pendapatan yang diperoleh dari usahatani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, bahkan pada waktu-waktu tertentu mereka masih dihadang oleh masa paceklik. Kadariah dan Clive (1978) menyatakan bahwa analisis finansial penting dalam memperhitungkan insentif, karena tidak ada gunanya melaksanakan suatu kegiatan bila keuntungan hanya dilihat dari sudut perekonomian secara keseluruhan tetapi petani yang menjalankan aktivitas produksi tidak bertambah baik keadaannya. Kondisi marginalitas dan subsisten minded, merupakan suatu kenyataan bahwa tingkat kesejahteraan petani masih memprihatinkan karena aktivitasnya pada usahatani belum dapat memberikan kehidupan yang layak. Sajogyo dalam Singarimbun (1978) membedakan tingkat pengeluaran penduduk atas miskin sekali dan miskin. Kategori miskin sekali bila pengeluaran setara 180 kg/kapita bagi penduduk pedesaaan dan 270 kg/kapita bagi penduduk perkotaan. Sedang yang tergolong miskin adalah bila tingkat pengeluaran rata-rata 320 kg/kapita bagi penduduk pedesaaan dan 480 kg/kapita bagi penduduk perkotaan. Sedang Biro Pusat Statistik (1985) menetapkan garis kemiskinan
26
berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori/kapita. Suatu keluarga dianggap sangat miskin bila pendapatannya hanya mampu memenuhi kebutuhan minimum kalori yang ditetapkan. Sedang bila pendapatan keluarga selain bisa mencukupi kebutuhan minimum kalori dapat juga memenuhi kebutuhan pokok seperti perumahan, air bersih, sandang dan pendidikan dikategorikan sebagai keluarga miskin. Dewasa ini Pemerintah menetapkan sistim upah minimum yang didefinisikan sebagai upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap. Pasal 6 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 01/MEN/1999 menyebutkan bahwa penetapan upah minimum dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup minimum, indeks harga konsumen, perkembangan dan kelangsungan perusahaan, kondisi pasar dan tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita. Sedang secara teknis penetapan masing-masing daerah ditetapkan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, maka melalui Keputusan Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor: 512 Tahun 2000, ditetapkan Upah Minimum Propinsi sebesar Rp. 275.000,-/bulan atau Rp 3.300.000,-/tahun. Jumlah pendapatan berdasarkan ukuran upah minimum ini nampak lebih menjanjikan kesejahteraan yang lebih baik disbanding dengan ukuran-ukuran lainnya seperti disebutkan terdahulu. Dengan demikian bila kesejahteraan petani akan ditingkatkan maka ukuran upah minimum sebaiknya yang dipergunakan sebagai patokan dalam mendorong produksinya dalam konteks pertanian berkelanjutan. Analisis Investasi
Dalam pengelolaan lingkungan pertanian lahan kering, kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pola tanam, penerapan teknik konservasi dan penggunaan tenaga kerja perlu direncanakan secara matang untuk mendapatkan pola penggunaan lahan dan produksi yang optimum. Ruslan, dkk (2002) mengemukakan bahwa penggunaan lahan optimal baik secara fisik rnaupun sosial ekonomi pada suatu wilayah seyogyanya diwujudkan secara dini, sebelum wilayah tersebut mengalami pencemaran, ditinjau dari penggunaan lahan.
27
Perencanaan lebih awal untuk penggunaan lahan atau sumberdaya lain, berarti menyangkut penentuan alternatif dan keputusan-keputusan untuk mendapatkan hasil yang terbaik dikemudian hari. Secara ekonomi keputusan untuk melaksanakan suatu kegiatan atau suatu proyek ditentukan melalui suatu kriteria investasi. Ada lima ukuran yang dapat dipergunakan untuk pengambilan keputusan dalam melakukan suatu investasi untuk menentukan apakah investasi itu layak atau tidak. Kelima kriteria investasi tersebut adalah (l) Net Present Value (NPV), (2) Internal Rate of Return (IRR) Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), (4) Gross Benefit-Cost Ratio (Gross B/C) dan (5) Profitabilitas Ratio (PV’/K) (Kadariah dkk 1978; Gittinger 1986; Dixon dan Hufschmidt 1993). Randal (1991) melihat pemanfaatan sumberdaya secara lestari dengan memberikan keuntungan secara ekonomi dan sosial sebagai upaya pengalokasian pemanfaatan sumberdaya secara optimal. Pengalokasian sumberdaya secara optimal adalah pengalokasian intertemporal, dimana faktor waktu menentukan dalam melihat manfaat-manfaat yang diberikan oleh suatu kegiatan. Pendapat ini sangat berkaitan erat dengan analisis investasi, dimana faktor waktu merupakan suatu time preference, bagi investor. Disamping faktor waktu, faktor diskonto juga sangat penting dalam analisis investasi. Faktor waktu berkaitan erat dengan umur guna kegiatan untuk suatu jangka waktu analisis, sedang pemilihan tingkat diskonto adalah sebagai perekat analisis proyek. Hubungan antara faktor waktu dan diskonto dalam analisis proyek terletak pada manfaat yang akan diberikan proyek tersebut. Bila hasil proyek yang bermanfaat menjadi kecil atau hilang sama sekali, maka umur proyek efektif dapat dikatakan habis. Sedang untuk faktor diskonto makin tinggi tingkatannya, makin pendek cakrawala waktu ekonomi, hal ini karena tingkat bunga yang progresif mengurangi nilai sekarang hasil dan manfaat yang diperoleh dimasa yang akan datang. Dalam melakukan analisis investasi untuk proyek-proyek pertanian, terutama yang berkaitan dengan usaha-usaha perlindungan terhadap lingkungan, factor penting yang harus diperhatikan adalah menentukan pendekatan terhadap penilaian kualitas lingkungan. Pada prinsipnya ada dua pendekatan yang
28
dipergunakan yaitu; (l) pendekatan dari sisi manfaat atau pendekatan produktivitas,dan (2) pendekatan dari sisi biaya (Hufschmidt 1987). Dalam kajian mengenai analisis investasi yang dilakukan oleh Gittinger (1982); Hufschmidt dkk. (1987); Dixon (1993) telah memasukan faktor-faktor lingkungan berupa biaya dan manfaat lingkungan, tetapi tidak memperhitungkan tingkat optimasi biofisik. Sedang beberapa penelitian mengenai tingkat optimasi biofisik seperti dikemukakan terdahulu, tidak diikuti dengan analisis optimasi penggunaan lahan dan analisis investasi. Demikian juga penelitian lahan kering yang dilakukan oleh Nasendi dan Anwar (1985)
yang melihat optimasi
penggunaan lahan, tidak didahului dengan analisis biofisik dan memperhitungkan biaya-biaya lingkungan. Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji suatu sistem pengelolaan lahan kering yang optimal dengan pendekatan biofisik dan sosial ekonomi secara terpadu, menuju sistem pertanian yang berkelanjutan.
Analisis Agrosistem Rumah Tangga Petani
Petani lahan kering atau peladang diidentifikasikan sebagai petani subsistem, yang produksinya sulit dimasukan dalam sistem perekonomian secara luas, karena hanya cukup dipakai untuk memenuhi kebutuhan sendiri (non-market oriented). Kondisi seperti ini lebih banyak disebabkan oleh kehidupan sosial masyarakat yang cenderung dibatasi oleh kendala infrastruktur dan terbatasnya informasi. Kopndisi ini menyebabkan terbatasnya orientasi mereka terhadap peran dan kebutuhan pasar akan produk yang seharusnya dapat mereka pasok. Sebagai contoh produksi beras padi ladang dengan aroma yang khas memiliki nilai jual yang tinggi dipasar. Peluang seperti ini tidak dimanfaatkan oleh peladang, tetapi sebaliknya oleh para pedagang yang mengetahui permintaan pasar. Dalam memenuhi kebutuhannya
peladang tidak hanya tergantung pada
produksi ladangnya tetapi juga memanfaatkan sumberdaya alam yang ada disekitarnya seperti hutan, sagu yang tumbuh disekitar pemukiman, rawa, sungai dan lahan pekarangannya. Pengambilan hasil hutan seperti madu, binatang buruan, sagu, ikan di rawa atau disungai umumnya dilakukan setelah musim
29
tanam. Hal ini karena ladan tidak dapat memberikan produksi yang layak untuk mendukung kehidupan mereka sepanjang tahun. Hubungan antara rumah tangga petani lahan kering atau peladang dengan sumber-sumber energi disekitar mereka telah diteliti oleh Deshmukh (1998) di daerah Tsembaga Papua New Guinea dan Ladamay (1993) di Sulawesi Tenggara. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa subsidi energi dalam sistem perladangan menunjukkan tingkat efisiensi pemanfaatan energi dan nisbah input output yang tinggi yaitu 15:1. Hal ini disebabkan karena disamping energi yang dihasilkan dari produksi pertanian tanaman pangan, para peladang juga memanfaatkan sumbersumber energi dari lingkungan sekitar. Diagram hubungan input-output energi rumah tangga peladang di Sulawesi Tenggara dikemukakan pada Gambar 8. Madu, Rotan, Daging
Padi, Jagung, Ubi
Tenaga Kerja
Tenaga Kerja
Hutan
Ladang
Tepung
Tenaga Kerja
Tenaga Kerja
Ternak Penjualan (uang)
Kebutuhan Rumah Tangga
Tenaga Kerja
Uang / Barter
Sagu
Ubi
Rumah
Rawa
Tenaga Kerja
Bunggu Hortikulturan
Pasar Gambar 6 Diagram input-output sistem perladangan di Sulawesi Utara.
Hubungan antara kondisi iklim dan aktivitas peladang ini cukup signifikan, mengingat
keterbatasan
mereka
terhadap
penguasaan
teknologi
dan
pengetahuannya untuk mengembangkan sumberdaya yang dimiliki. Dilain pihak kondisi ini dapat terjadi karena daya dukung lingkungan masih mampu menyediakan energy bagi kehidupan peladang dengan cara meramu. Pemanfaatan sumberdaya alam secara langsung seperti ini tidak dapat terus bertahan karena pertambahan penduduk menyebabkan makin besarnya tekanan terhadap dan
30
sumberdaya yang tersedia secara alami. Selain itu berbagai kebijakan pemerintah membatasi aktivitas peladang dalam mengelola lahan pada areal yang luas. Pemberlakuan berbagai peraturan pemerintah telah membatasi ruang gerak para peladang dan menuntut adanya perubahan atau pergeseran dalam sistem bercocok tanam serta mendapatkan sumber-sumber energi pengganti. Cara bercocok tanam dengan menggunakan sistem berpindah harus berubah menjadi sistem yang menetap dan sumber-sumber energi yang selama ini diperoleh dari hutan, rawa dan lingkungan sekitar harus diperoleh dengan upaya-upaya yang lebih intensif. Pembatasan yang terjadi melalui penetapan peraturan juga diikuti dengan kampanye tentang pelestarian lingkungan, telah memaksa para peladang untuk meninggalkan kebiasaan mereka bercocok tanam dengan cara bertani berpindah dan tebas bakar. Hal ini sebenarnya memberikan dampak positif dalam pelestarian dan perlindungan lingkungan. Perubahan dalam bercocok tanam yang terjadi akibat berbagai peraturan pemerintah dan kampanye pelestarian lingkungan di kalangan peladang ini, perlu diikuti dengan pembinaan terhadap cara bercocok tanam dengan secara menetap dan intensip. Penggantian terhadap energi yang selama ini diperoleh dari alam harus diperhitungkan, sehingga tidak berpengaruh terhadap kemudahankemudahan dan kesejahteraan yang selama ini mereka rasakan dalam mendapatkan energi bagi kebutuhan rumah tangganya dari alam sekitar. Dukungan analisis terhadap pola pertanian pada lahan kering untuk mendorong perubahan sistem pertanian agar sesuai dengan kondisi lingkungan dan kondisi sosial budaya masyarakat merupakan bagian penting dalam pembinaan para peladang. Karena perladangan
bagi kaum peladang bukan
sekedar untuk mendapatkan sumber energi dalam memenuhi rumahtangganya, tetapi juga terkait dengan sistem sosial dan kebudayaanya. Tradisi sesajen dalam memulai membuka lahan, pemilihan lokasi yang dianggap sesuai, bercocok tanam tanpa menggunakan pupuk kimia dan melaksanakan perayaan pada panen raya, merupakan bagian dari kehidupan pertanian mereka yang perlu dihormati. Kalaupun ada perubahan dari sistem berpindah menjadi menetap, maka mungkin saja ada pergeseran dalam sistem sosial budayanya, tetapi diharapkan sistem pertanian yang baru itu tidak sampai mengurangi tingkat kesejahteraannya.
31
Dengan demikian maka usaha menerapkan sistem pertanian secara berkelanjutan untuk menjawab permasalahan yang dihadapi oleh petani lahan kering (peladang) merupakan kebutuhan yang mendesak. Bagi mereka perlu ada upaya mengembangkan teknologi pertanian pada lahan kering yang dapat mendukung kehidupan mereka, minimal untuk mengganti sumber-sumber energi yang selama ini dimanfaatkannya dari lingkungan sekitar. Perlu ada suatu sistem pertanian dengan ukuran lahan tertentu, yang mampu dikelola dengan baik sehingga dapat memberikan tingkat kesejahteraan yang memadai. Tentu saja sistem pertanian berkelanjutan yang dimaksud akan lebih baik bila bersesuaian dengan tradisi mereka.