4
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani (2006) lahan kering dikelompokan menjadi dua yaitu lahan kering tidak masam dan lahan kering masam. Lahan kering di Indonesia umumnya bereaksi masam. Lahan masam memiliki ciri sifat pH rendah (asam), kapasitas tukar kation, kejenuhan basa (KB), dan C-organik rendah, kandungan alumunium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan besi dan mangan mendekati batas meracuni tanaman, peka erosi, dan unsur biotik rendah (Suprapto, 2001). Alumunium merupakan mineral yang banyak dikandung oleh tanah pada saat kondisi kekeringan. Alumunium berinteraksi dengan komponen organik dan anorganik tanah, pada umumnya terjadi pada pH kurang dari 5.5 (Soemartono, 1995). Kelarutan Al meningkat pada tanah bereaksi masam. Kelarutan Al yang tinggi dapat meracuni tanaman kedelai. Tanaman kedelai memerlukan P lebih besar dibandingkan dengan komoditas lainnya seperti gandum dan jagung. Cekaman kahat P biasanya terjadi pada fase awal pertumbuhan tanaman yaitu akar-akar tanaman kurang berkembang sehingga tidak mampu menyediakan seluruh kebutuhan P. Fosfor dapat diikat kuat oleh Al dan Fe pada tanah masam sehingga menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Daun-daun tua pada kedelai yang kahat P sering menampakkan warna ungu karena terjadinya akumulasi antosianin (pigmen ungu). Masalah lain yang sering muncul di lapangan adalah toksisitas mangan (Mn) serta kahat Ca. Tokisistas pada tanaman kedelai ditandai dengan rusaknya (terganggunya) sistem perakaran. Berbeda dengan Al, toksisitas Mn terjadi pada bagian atas tanaman. Pengecilan, pengeringan, dan karat daun merupakan gejala toksisitas Mn pada kedelai (Atman, 2006).
5 Pengaruh Kekeringan terhadap Morfologi dan Hasil Kedelai Keragaman toleransi tanaman kacang-kacangan terhadap cekaman kemasaman lahan ditunjukkan oleh tinggi tanaman, panjang dan bobot kering akar, ukuran biji, dan hasil biji atau polong. Tanaman kacang-kacangan yang tercekam kemasaman lahan tumbuh lebih pendek, ramping dengan perakaran pendek dan tidak lebat, biji berukuran lebih kecil dan hasil lebih sedikit dari tanaman normal (Trustinah et al., 2008). Adaptasi tanaman pada cekaman kekeringan yaitu dengan mengurangi luas permukaan daun untuk mengurangi transpirasi yang ditunjukkan dengan penurunan bobot kering (BK) tajuk serta menyerap air lebih tinggi (sistem perakaran air panjang) (Hamim et al., 1996; Hapsoh et al., 2004). Sumarno (2005) menambahkan, gejala yang muncul saat tanaman dalam kondisi kekeringan yaitu daun berwarna kuning kecoklatan, bunga yang terbentuk minimal dan jumlah polong juga minimal. Tanaman kedelai yang mengalami cekaman kekeringan pada stadia vegetatif menunjukkan pertumbuhan lambat dan daun sempit serta buku batang yang pendek sehingga penampilan tanaman akan kerdil, cepat berbunga, defisiensi unsur hara baik makro maupun mikro dan potensi hasil hasil yang rendah. Cekaman kekeringan pada waktu pembungaan menyebabkan kerontokan bunga, cekaman pada stadia pembentukan polong akan menyebabkan jumlah polong yang terbentuk turun jumlahnya dan terjadi kerontokan, serta cekaman kekeringan pada stadia pengisian polong menyebabkan penurunan jumlah polong isi dan jumlah biji per tanaman (Hapsoh et al., 2004). Cekaman kekeringan pada stadia pengisian polong juga menyebabkan penurunan ukuran biji (Borges, 2005). Selain itu, cekaman kekeringan dilaporkan mempercepat pembungaan dan umur panen (Jusuf et al., 1993). Tanaman kedelai yang toleran di tanah masam akan memberikan hasil yang tinggi dengan pertumbuhan akar lebat dan dalam sehingga tanaman lebih tinggi. Sebaliknya, tanaman kedelai yang peka di tanah masam pertumbuhan akar lebih pendek, ringan, tanaman pendek, hasil biji lebih sedikir dan ukuran biji lebih kecil (Trustinan et al., 2008).
6 Perakitan Varietas Kedelai Toleran Tanah Masam Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan budidaya kedelai di lahan kering masam adalah relatif rendahnya tingkat kesuburan tanah (pH rendah, kandungan hara makro, dan bahan organik rendah), cekaman kekeringan (akhir musim hujan (MH-II), gangguan hama, gulma dan penyakit tanaman (Arsyad et al., 2007). Kondisi seperti ini akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Salah satu cara untuk mengatasi masalah cekaman kekeringan adalah dengan memperbaiki genotipe tanaman agar toleran terhadap cekaman (Soemartono, 1995). Arsyad et al. (2007) menyatakan bahwa program perakitan varietas kedelai adaptif lahan masam diarahkan untuk mendapatkan varietas yang berdaya hasil tinggi dan memiliki sifat agronomis yang diinginkan seperti umur lebih pendek (80 – 82 hari) dan berukuran biji besar (13 – 14 g/100 biji). Upaya perbaikan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dan adaptif pun saat ini sudah banyak dilakukan. Untuk mendapatkan varietas unggul baru dapat ditempuh melalui program pemuliaan tanaman. Salah satu teknik yang digunakan adalah induksi mutasi dengan perlakuan fisik iradiasi sinar Gamma. Teknik ini cukup efesien dalam menciptakan keragaman populasi (Husnil et al., 2006). Mutasi merupakan perubahan yang terjadi pada materi genetik sehingga menyebabkan perubahan ekspresi. Mutasi dapat terjadi baik pada tingkat pasangan basa, tingkat satuan DNA atau bahkan terjadi pada tingkat kromosom (Jusuf, 2001). Tujuan pemuliaan mutasi adalah 1) untuk memperbaiki satu atau beberapa karakter khusus dari suatu kultivar/galur, 2) untuk membentuk penanda morfologi (warna, rambut, braktea, dan lain-lain), 3) untuk membentuk galur mandul jantan yang berguna bagi pembentukkan kultivar hibrida, 4) untuk mendapatkan karakter khusus dalam genotipe yang telah beradaptasi (Herawati dan Setiamihardja, 2000). Bahan fisik yang dikenal sebagai penginduksi mutasi antara lain sinar ultraviolet, sinar X, dan sinar Gamma. Radiasi sinar Gamma merupakan radiasi ionisasi yang dapat menembus sel-sel dan jaringan dengan mudah (Pai, 1999).
7 Sinar Gamma mempunyai kemampuan penetrasi yang cukup kuat ke dalam jaringan tanaman. Penggunaan radiasi sinar Gamma dalam perakitan kultivar kedelai merupakan salah satu cara guna mendapatkan varietas unggul dan berdaya hasil tinggi (Herawati dan Setiamihardja, 2000). Pengembangan kedelai toleran tanah masam yang berdaya hasil tinggi diawali dengan melakukan seleksi terhadap galur-galur hasil mutasi yang telah dilakukan oleh para pemulia IPB pada tahun 2009. Tetua galur yang digunakan adalah varietas Argomulyo. Keragaman genetik dari galur tersebut diperoleh dari induksi mutasi dengan meradiasi benih kedelai menggunakan sinar Gamma yang bersumber dari Cobalt-60. Dosis yang digunakan adalah 50, 100, 150, dan 200 Gy. Perlakuan induksi mutasi tersebut menghasilkan generasi M1 (Diana, 2012). Generasi M1 adalah generasi yang berasal dari biji yang mendapatkan perlakuan mutagen baik mutagen fisik maupun kimia (Idris, 2009). Diperoleh 4 populasi hasil iradiasi yang dikembangkan sampai M4 dengan seleksi pedigree untuk karakter agronomi. Pada generasi M5 dilakukan seleksi untuk toleransi terhadap kekeringan di rumah plastik dan terpilih 50 galur putatif mutan. Hasil seleksi pada M5 kemudian dilakukan penanaman dilahan optimum sehingga didapat benih M6. Kelima puluh benih M6 kemudian ditanam di lahan kering bertanah masam di Kecamatan Natar, Lampung Selatan dan diseleksi 25 galur paling toleran (Diana, 2012). Galur-galur tersebut untuk selanjutnya perlu dilakukan pengujian daya hasil untuk mendapatkan galur-galur yang berdaya hasil tinggi dan adaptif di tanah masam. Pembentukan genotipe kedelai toleran tanah masam ini bertujuan untuk memperbaiki karakter agronomi dan kualitas hasil kedelai sehingga sesuai dengan kondisi agroekologi yang diinginkan (Arsyad et al., 2007).
Uji Daya Hasil Daya hasil adalah karakter kuantitatif yang menjadi target pemuliaan tanaman (Roy, 2000). Pengujian daya hasil dilakukan terhadap galur-galur terbaik hasil seleksi pada generasi tertentu. Galur-galur harapan yang telah melalui tahap pengujian daya hasil (pendahuluan, lanjutan dan multilokasi) dan menunjukkan
8 keragaan yang lebih unggul dibandingkan dengan varietas pembanding serta stabil dapat diusulkan untuk dilepas sebagai varietas baru (Arsyad et al., 2007). Pengujian daya hasil pada umumnya dibagi menjadi tiga tahap, yaitu a) uji daya hasil pendahuluan (UDHP), b) uji daya hasil lanjutan (UDHL), dan uji multilokasi (UML). Pada tahap pengujian daya hasil pendahuluan ini diperlukan galur sebanyak mungkin agar peluang untuk mendapatkan galur yang hasilnya tinggi cukup besar (Sumarno, 1982). Uji daya hasil pendahuluan dimaksudkan untuk mengevaluasi untuk yang pertama kali beberapa galur atau varietas yang akan diujikan di suatu daerah baru (Tulus, 2011). Pengujian daya hasil pendahuluan ini dilakukan pada 2 – 3 lokasi dengan 2 ulangan per lokasi, selama 1 – 2 musim. Dalam pengujian daya hasil varietas unggul yang ada perlu diikutkan sebagai pembanding. Galur yang rata-rata hasilnya lebih tinggi daripada varietas pembanding dapat dilanjutkan pengujiannya ke pengujian daya hasil lanjutan (Sumarno, 1982). Pada tahap pengujian daya hasil lanjutan galur yang diuji antara 15 – 30 galur termasuk varietas unggul pembanding. Jumlah lokasi sekurang-kurangnya 4 lokasi, dalam waktu 2 – 4 musim tanam. Tahap uji multilokasi ini hanya 5 – 10 galur harapan saja yang perlu diuji. Tujuan pengujian pada uji multilokasi ini adalah untuk mengetahui daya adaptasi dari galur-galur harapan yang akan dilepas sebagai varietas unggul baru (Sumarno, 1982). Ukuran petak percobaan pada pengujian daya hasil pendahuluan lebih kecil ( 6 – 8 m²) dari pada pengujian daya hasil lanjutan,sementara ukuran petak percobaan pada uji multilokasi berkisar antara 10 – 15 m² (Arsyad et al., 2007).
Pendugaan Parameter Genetik Ragam genetik suatu populasi sangat penting dalam program pemuliaan tanaman, oleh karena itu pendugaan besarannya perlu dilakukan. Ragam yang diukur dari suatu populasi untuk karakter tertentu merupakan ragam fenotipe. Ragam fenotipe sebenarnya terdiri dari ragam genetik, ragam lingkungan serta interaksi antara ragam genetik dan ragam lingkungan (Syukur, 2005). Keragaman
9 fenotipe adalah keragaman yang dapat diukur langsung dari karakter yang dapat diamati. Keragaman genotipe adalah keragaman yang tidak dapat diukur langsung pengukurannya, pengukurannya dapat diduga melalui analisis ragam (Roy, 2000). Keragaman genetik disebabkan oleh perbedaan nilai genotipe suatu populasi dinyatakan dengan koefisien keragaman genetik (KKG). Nilai koefisien keragaman genetik membantu pengukuran diversitas genetik pada suatu sifat dan melengkapi cara dalam membandingkan keragaman genetik di dalam sifat-sifat kuantitatif (Kasno et al., 1983). Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dibagi menjadi tiga kategori yaitu sempit ( 0 – 10%), sedang (10 – 20%), dan luas (> 20%) (Alnopri, 2004). Seleksi dilakukan atas fenotipe tanaman, oleh karenanya perlu ada alat pengukur untuk mengetahui apakah penampilan fenotipe tersebut lebih dipengaruhi oleh peranan faktor lingkungan atau oleh faktor genetik. Alat pengukur tersebut adalah nilai duga heritabilitas yaitu nilai perbandingan antara ragam genotipik dengan ragam keseluruhan (ragam total), dimana ragam total adalah ragam genotipik ditambah dengan ragam lingkungan (Miller, 1989). Heritabilitas merupakan suatu tolak ukur yang bersifat kuantitatif menentukan perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan sehingga akan diketahui sejauh mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya (Bari et al., 1982). Heritabilitas terbagi menjadi dua yaitu heritabilitas arti luas (h² bs ) dan heritabilitas arti sempit (h² ns ). Heritabilitas arti luas adalah proporsi relatif ragam genetik terhadap ragam total (ragam genetik ditambah ragam lingkungan). Heritabilitas arti sempit adalah proporsi relatif ragam aditif terhadap ragam total (Roy, 2000). Heritabilitas arti luas yaitu untuk menduga seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap ekspresi gen pada suatu karakter sedangkan heritabilitas arti sempit ialah untuk menduga seberapa besar sifat aditif diturunkan pada generasi selanjutnya (Falconer dan Mackay, 1996). Nilai heritabilitas secara teoritis berkisar dari 0 sampai 1. Nilai 0 ialah apabila seluruh variasi yang terjadi disebabkan oleh faktor lingkungan sedangkan nilai 1 apabila seluruh variasi disebabkan oleh faktor genetik. Dengan demikian
10 nilai heritabilitas akan terletak antara kedua nilai ekstrim tersebut (Welsh, 1991). Stansfield (1983) membagi nilai heritabilitas menjadi tiga kategori yaitu nilai heritabilitas tinggi (h² > 50%), heritabilitas sedang (20% < h² <50%), dan nilai heritabilitas rendah (h² < 20%). Uji korelasi merupakan pengujian untuk mengetahui hubungan keeratan antara dua peubah. Koefisien korelasi adalah koefisien yang menggambarkan keeratan hubungan linier antara dua peubah. Nilai r yang mendekati 1 atau -1 menunjukkan bahwa semakin erat hubungan linier antara kedua peubah tersebut. Nilai korelasi positif maupun negatif berada pada taraf sangat nyata (P < 0.01), taraf nyata (0.01 < P < 0.05), dan taraf tidak nyata (P > 0.05) (Gomez dan Gomez, 1995).