Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi)
(sumber : SINAR TANI Edisi 24-30 Mei 2006) Bukti keberhasilannya lahan kering masam dapat dimanfaatkan untuk tanaman jagung di Kecamatan Sanggoledo, Kabupaten Bengkayang, Provinsi Kalimantan Barat. Dari luasan lahan sekitar 7.000 ha yang ditanami jagung secara bergantian, dapat memasok jagung pipilan kering sekitar 70 ton/hari ke beberapa perusahaan pakan ternak di Singkawang, dengan harga minimal Rp 900,-/kg. Adanya beberapa pabrik pakan ternak dan peternakan ayam, sangat mendukung berlangsungnya sistem agribisnis jagung berkelanjutan. Kebiasaan petani memanfaatkan kotoran ayam dalam usahatani berbagai komoditas pertanian (tidak hanya jagung) merupakan hal yang baik untuk mempertahankan tingkat kesuburan tanah.
Keberhasilan usahatani tanaman pangan di beberapa lahan kering masam, disebabkan komponen penting yang satu sama lain sling terkait dan tidak dapat dipisahkan, di antaranya adalah (1) kondisi lahan dan iklim, (2) teknologi budidaya, (3) tersedianya
saprotan, (4) pengelolaan pasca panen, (5) jaminan pasar, (6) modal, (7) kebiasaan petani, (8) kelembagaan (kelompok tani dan penyuluh), dan (9) jenis komoditas yang diusahakan. Contoh lain adalah sawit dan karet di Sumatera dan Kalimantan, lada di Bangka-BelitungLampung-Kalbar, kopi di Aceh, Medan, Lampung, dan lain sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa masih besar peluang pengembangan pertanian tanaman pangan dan tanaman tahunan/perkebunan di masa yang akan datang (di luar perkebunan besar/swasta), dengan tujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan produksi pertanian, dan meningkatkan pendapatan masyarakat petani di pedesaan. Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan), maupun tanaman tahunan/perkebunan. Oleh karena itu, pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering perlu didorong dan ditingkatkan, karena merupakan salah satu pilihan strategis dalam menghadapi tantangan terutama untuk peningkatan produksi pertanian dan mendukung program ketahanan pangan nasional. Lahan kering didefinisikan sebagai suatu hamparan lahan yang tidak pemah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Luas total daratan Indonesia sekitar 188,2 juta ha, dan sekitar148 juta ha di antaranya merupakan lahan kering. Secara umum, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam dan non masam. Lahan kering masam mendominasi tanah di Indonesia, terutama pada wilayah yang beriklim basah seperti di 3 pulau besar Sumatera, Kalimantan, dan Papua (gambar) yaitu seluas 102. 817.113 ha (69,4%) dan tanah tidak masam seluas 45.256.511 ha (30,6%). Potensi Pengembangan Luas total lahan kering Indonesia sekitar 148 juta ha, ternyata 102,8 juta ha di antaranya termasuk lahan kering masam, dan yang sesuai untuk usaha pertanian baik tanaman pangan, perkebunan/tahunan sekitar 55,8 juta ha (tabel). Sedangkan sisanya (47 juta ha) termasuk lahan yang tidak sesuai secara kimia-fisik, dengan faktor utama berupa kesuburan tanah rendah, lereng curam (>40%), solum tanah dangkal, banyaknya batuan di permukaan tanah. Lahan-lahan tersebut diarahkan untuk kawasan hutan baik itu sebagai hutan lindung, hutan sempadan sungai atau hutan konservasi.
Namun, kenyataan di lapangan bahwa banyak lahan-lahan yang bergunung dan berlereng curam tetap diusahakan untuk pertanian (termasuk usahatani tanaman pangan), yang umumnya tanpa menerapkan teknologi konservasi tanah, sehingga lahan tersebut rawan terhadap erosi/longsor, lahan terdegradasi dan akhirnya menjadi lahan kritis. Sebagai ilustrasi, dan 102,8 juta ha lahan kering masam ternyata sekitar 49,2 juta ha berupa lahan datar sampai bergelombang, dan 53,6 juta ha terdapat pada wilayah berbukit sampai bergunung. Dalam arahan tata ruang pertanian nasional telah dikelompokkan bahwa lahan berlereng <15% diarahkan untuk pengembangan tanaman pangan (19,5 juta ha) dan lahan berlereng 15-30% untuk tanaman tahunan/perkebunan (36,3 juta ha). Namun kenyataannya, banyak lahan-lahan datar-bergelombang (lereng <15%) digunakan untuk pengembangan tanaman perkebunan, sebaliknya lahan-lahan berbukit/bergunung diusahakan untuk tanaman pangan/hortikultura semusim. Kendala Pengembangan Indonesia dapat dibedakan menjadi 2 wilayah yaitu wilayah beriklim basah dan beriklim kering. Sebagian besar wilayah Indonesia, khususnya tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Papua) merupakan wilayah beriklim basah. Dari aspek proses pembentukan tanah, hal ini lebih banyak merugikan, karena proses hancuran iklim (pelapukan) kimia berjalan sangat intensif, akibatnya tanah menjadi masam dengan kejenuhan basa rendah, kejenuhan aluminium yang tinggi yang dapat meracuni tanaman, dan secara keseluruhan tingkat kesubutan tanah menjadi rendah. Hal ini dapat menjadi kendala teknis dalam pemanfaatan lahan kering masam, karena dapat membatasi dan menghambat tumbuh kembangnya berbagai tanaman. Lahan kering masam umumnya dicirikan oleh sifat reaksi tanah masam (pH rendah < 5,5) yang berkaitan dengan kadarAluminium tinggi, fiksasi P tinggi, kandungan bass-bass dapat tukar dan KTK rendah, kandungan besi dan mangan yang mendekati batas meracuni, peka erosi, miskin elemen biotik. Namun demikian, kendala teknis tersebut relatif lebih mudah diatasi yaitu dengan teknologi pemupukan, pengapuran, serta pengelolaan bahan organik yang telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Kendala teknis lainnya adalah ketersediaan air terutama di musim kemarau, sehingga indeks pertanaman di lahan kering relatif masih rendah dibandingkan di lahan sawah yang
tersedia fasilitas air irigasinya. Saat ini memang belum banyak yang dapat dilakukan petani, bahkan peran pemerintah untuk penyediaan irigasi di lahan kering masih belum terlihat. Pada umumnya petani lebih sering memberakan lahannya pada musim kemarau, kecuali pada beberapa wilayah sentra produksi yang telah lebih maju pertaniannya, dengan menggunakan air permukaan ataupun airtanah dengan pompanisasi. Masalah klasik yang sejak dulu sudah diketahui bersama, bahwa kemampuan petani untuk menerapkan teknologi budidaya (pemupukan, konservasi tanah dan air, serta penyediaan pengairan), umumnya terbentur pada modal khususnya untuk usaha tani tanaman pangan (palawija, sayuran dan buah-buahan semusim). Selain itu, di beberapa wilayah sering terdapat hambatan dalam penyediaan saprotan pada waktu dan jumlah yang tepat, sesuai dengan yang diperlukan. Saran dan Arah Pengembangan Bila kita perhatikan perluasan beberapa komoditas perkebunan seperti kelapa sawit dan karet yang cukup pesat perkembangannya, terutama di Sumatera dan Kalimantan, sebagian besar telah menempati wilayah datar sampai bergelombang (< 15%). Total lahan yang telah digunakan untuk tanaman perkebunan seluas 16,4 juta ha (BPS, 2003), belum lagi untuk pekarangan/pemukiman dan tegalan. Dapat dibayangkan, dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, kemungkinan tanah-tanah masam yang berada pada lahan datar ini telah habis dimanfaatkan. Apabila konsep arahan tata ruang petanian ini tidak dapat diimplementasikan, maka persaingan pemanfaatan lahan datar-bergelombang akan semakin besar di masa yang akan datang. Persaingan tidak hanya akan terjadi antar sub sektor tetapi juga persaingan antar sektor lain non pertanian (seperti pemukiman, perindustrian, pertambangan, dan infrastruktur). Kondisi ini dapat mendesak usahatani tanaman pangan (palawija) yang saat ini umumnya tidak dapat bersaing dengan komoditas perkebunan, sehingga akan mendesak petani tanaman pangan ke lahan berbukit yang umumnya lebih marginal dan memerlukan input yang lebih tinggi. Dengan cukup luasnya lahan kering masam yaitu sekitar 102 juta ha, penyebaran terluas terdapat di Sumatera, Kalimantan dan Papua, dapat menjadi tumpuan harapan di masa datang. Meskipun dijumpai beberapa kendala biofisik lahan, namun peluang pengembangan pertanian di lahan kering masam IN masih besar. Kendala teknis ini dapat
dipecahkan dengan penerapan teknologi pemupukan, pengapuran, pengelolaan bahan organik, dilanjutkan dengan perawatan, dan pemilihan jenis komoditas yang sesuai pada kondisi tersebut. Teknologi tersebut memang akan mudah diimplementasikan oleh petani yang mempunyai kemampuan teknis maupun non teknis (modal cukup) serta pengetahuan yang sudah maju. Permasalahannya, petani umumnya berada pada kondisi yang kurang mampu dan tidak cukup modal untuk menerapkan teknologi tersebut, sehingga tanah akan tetap masam dan produktivitas tanah rendah dan sulit ditingkatkan. Kondisi ini berlaku untuk wilayah yang dominan usahataninya adalah berbasis tanaman pangan. Untuk meningkatkan indeks pertanaman di lahan kering masam khususnya pada sentra produksi tanaman pangan, perlu adanya pemanfaatan sumberdaya air permukaan (kolam, embung, dam parit, sungai, air irigasi) ataupun air tanah dalam, seoptimal mungkin (irigasi suplemen atau pompanisani). Peran pemerintah dalam pembuatan saluran irigasi seperti halnya di lahan sawah merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas lahan di lahan kering..