Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
TEKNOLOGI PENGELOLAAN LAHAN KERING DJOKO SANTOSO Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat
Jln. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 ABSTRAK DJOKO SANTOSO. 2003. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Lahan yang masih tersedia luas untuk pembangunan pertanian di Indonesia adalah lahan kering beriklim basah yang tanahnya didominasi oleh Ultisols, Oxisols dan Inceptisols. Akibat pelapukan yang lanjut, tanah-tanah mineral ini bersifat masam dan miskin unsur-unsur hara. Selain defisiensi nitrogen (N), defisiensi fosfor (P) merupakan pembatas utama bagi pertumbuhan tanaman pada lahan ini. Peningkatan produktivitas lahan ini memerlukan pemberian pupuk P anorganik dengan dosis yang cukup dan bukan hanya mengandalkan pada P dari pendauran-ulang sisa-sisa bahan organik. Peningkatan kandungan P dalam tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk P yang larut air seperti SP-36 atau dengan pupuk fosfat alam yang reaktif. Peningkatan kandungan P dalam tanah dapat dilakukan secara cepat melalui sekali pemberian pupuk P anorganik dengan dosis tinggi atau secara bertahap dengan pemberian setiap musim pupuk P dosis sedang yang cukup untuk meningkatkan ketersediaan P. Pemberian pupuk P yang mampu untuk mengatasi kemampuan tanah untuk mengerap P dan dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah sehingga mempunyai pengaruh residu jangka panjang misalnya dalam 4-6 musim tanam dinamakan sebagai tindakan rekapitalisasi P. Peningkatan kandungan P tanah dengan rekapitalisasi P pada tahap awal pembangunan yang kemudian diikuti dengan pemberian pupuk P dosis rendah, untuk mempertahankan status P tanah, dapat dijadikan sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam. Untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi dan berkelanjutan, rekapitalisasi P tersebut harus diikuti dengan pengelolaan tanah dan tanaman secara terpadu untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan, dan mengatasi defisiensi unsur hara atau faktor-faktor lain yang mungkin menghambat pertumbuhan tanaman. Kata kunci: Lahan kering, tanah masam, rekapitalisasi P ABSTRACT DJOKO SANTOSO. 2003. Management Technologies of Upland Soils. The lands that are still available for agriculture development in Indonesia are uplands with wet climate and dominated by Ultisols, Oxisols and Inceptisols. Due to intensive weathering, these mineral soils are acid and having low nutrients content. Beside nitrogen (N) deficiency, phosphorus (P) deficiency is often become the most limiting factor for crops’ growth on these soils. Productivity enhancement of these soils requires application of adequate amount of inorganic P fertilizer and not merely depending on P recycled from organic residues. Increase P content in the soils can be done by applying soluble P fertilizers such as SP-36 or reactive rock phosphate. Building up soil P content can be achieved quickly by one-time application of a high rate inorganic P fertilizer or gradually by seasonal application of a medium rate of P fertilizer that is sufficient to increase P availability. The application of P fertilizers which is able to overcome P sorption capacity of the soils and can increase P availability in the soils and have long residual effects for 4-6 seasons is called as P recapitalization. Building up of P content in the soils with P recapitalization method during the early stage of development and then followed by maintenance application of a low rate of P fertilization, can be used as a strategy to increase the productivity of acid upland soils. To achieve high and sustainable yields, this P recapitalization method has to be complemented by integrated soil and crop management practices to control erosion and run-off, and to overcome deficiencies of other nutrients or factors that might hinder crops’ growth. Key words: Upland, acid soils, P recapitalization
187
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PENDAHULUAN Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Berdasarkan letaknya di atas permukaan laut (dpl), lahan kering di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok: (1) lahan kering dataran rendah, yaitu lahan kering yang letaknya <700 m dpl, dan (2) lahan kering dataran tinggi, yang terletak antara 700 dan 2500 m dpl. Lahan kering dataran rendah di Indonesia sangat luas yaitu sekitar 87,4 juta ha dimana sebagian besar (78,1 juta ha atau 89%) mempunyai iklim basah, yaitu mempunyai curah hujan tinggi tanpa musim kemarau yang jelas. Sedangkan lahan kering yang beriklim kering luasnya 9,3 juta ha (11%), tersebar di sebagian NA Darussalam, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Tenggara, sekitar lembah Palu, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku Tenggara dan sebagaian wilayah Merauke. Lahan kering dataran tinggi luasnya 29,5 juta ha tetapi yang masih tersedia untuk pengembangan pertanian tinggal 0,7 juta ha. Lahan ini sesuai untuk pengembangan tanaman hortikultura semusim seperti sayuran dan bunga-bungaan, tanaman buah-buahan seperti jeruk, apel, dan tanaman perkebunan seperti teh dan kopi (HIDAYAT et al., 2000; KURNIA et al., 2000). Lahan kering dataran rendah beriklim basah dan iklim kering merupakan lahan yang masih tersedia luas untuk pengembangan pertanian, yaitu sekitar 35,5 juta ha. Lahan kering dataran rendah yang beriklim basah terutama terdapat di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Papua. Tetapi sebagian besar lahan ini tanahnya didominasi oleh tanah mineral masam Ultisols, Oxisols dan Inceptisols (Tabel 1). Meskipun Indonesia mempunyai lahan kering yang sangat luas, tetapi produktivitas lahan kering masih rendah. Usaha pertanian pada lahan kering masam menghadapi kesukaran untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan yang seringkali menurun setelah beberapa tahun. Hal ini terjadi akibat dari banyak faktor. Disamping secara alami tanahnya miskin unsurunsur hara, penggunaan pupuk pada lahan kering umumnya lebih rendah dari penggunaan pupuk untuk lahan sawah. Produktivitas lahan kering juga menurun karena proses-proses degradasi lahan akibat pembakaran, pelapukan bahan organik tanah yang berlangsung cepat, erosi dan pencucian unsur-unsur hara. Akibatnya banyak lahan pertanian yang ditinggalkan dan kesuburan tanah kering masam umumnya rendah karena salah satu atau kombinasi dari faktor-faktor berikut: (a) tanahnya berasal dari bahan induk yang miskin unsur-unsur hara, (b) unsur-unsur hara dalam tanah tererosi atau tercuci oleh pelapukan yang lanjut di bawah pengaruh curah hujan dan suhu tinggi, sehingga terbentuk tanah yang bereaksi masam (pH <5,0) dan miskin unsur-unsur hara, dan (c) kandungan unsur-unsur hara tanah terkuras akibat sistem pertanian yang eksploitatif (sistem perladangan berpindah, pergiliran tanaman terus menerus dengan pemberian pupuk yang tidak cukup dan tidak seimbang, dan pembuangan atau pembakaran sisa panen). Makalah ini membahas teknologi pengelolaan lahan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan kering masam. PENINGKATAN KESUBURAN TANAH Rekapitalisasi P Selain defisiensi nitrogen (N), defisiensi fosfor (P) seringkali merupakan pembatas utama pada lahan-lahan kering masam tersebut. Dengan pemberian pupuk dan pengelolaan tanah dan tanaman yang baik, produktivitas lahan ini dapat ditingkatkan >5 kali lipat, dari sekitar 0,5-1,0 menjadi 2,53,5 t ha-1 padi gogo atau jagung per musim (SANTOSO, 1997; VON UEXKULL, 1997; SRI ADININGSIH et al., 2001). 188
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 1. Penyebaran lahan kering dengan luas total dan yang tersedia untuk pengembangan, peluang pemanfaatan, tanah yang dominan serta kendala sifatsifat tanah dan iklim Lahan
Iklim
Penyebaran terluas
Luas total (ha)
Lahan kering dataran rendah (<700 m dpl)
Basah
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Maluku dan Papua
78,1 juta
Tersedia untuk pengembangan (ha)
Peluang pemanfaatan
Tanah yang dominan
Kendala sifat-sifat tanah & iklim
Tanaman pangan semusim, tanaman tahunan
Ultisols, Oxisols, Inceptisols
Tanah masam, miskin unsur hara, erosi
Vertisols, Mollisols, Alfisols, Entisols
Curah hujan rendah, musim kemarau panjang, alkalinitas, salinitas
Andisols, Inceptisols, Entisols
Erosi, longsor
Pakan ternak, pastura Kering
Lahan kering dataran tinggi (700–2500 m dpl)
Sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sulawesi Utara dan Tenggara, lembah Palu, Bali, Nusa Tenggara, Merauke
9,2 juta
Papua, Kalimantan, Sulawesi, Sumatera
29,5 juta
35,5 juta
Tanaman pangan semusim, tanaman tahunan, Pakan ternak, pastura
0,7 juta
Kopi, teh, kina, kayu manis, makadamia Jeruk manis, jeruk keprok, apel, sayursayuran, bungabungaan Pakan ternak
Sumber: HIDAYAT et al. (2000) dan KURNIA et al. (2000)
189
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Peningkatan kandungan P tanah hanya dapat dicapai dengan menambahkan pupuk P. Pada tanah mineral masam, ion fosfat dari pupuk P diambil dari larutan tanah dan dierap oleh oksida besi dan aluminum pada permukaan liat. Dahulu erapan P yang tinggi pada tanah mineral masam dinilai merugikan, karena mengakibatkan efisiensi pemupukan P menjadi rendah (SANCHEZ dan UEHARA, 1980). Tetapi saat ini pandangan tersebut berubah dan muncul konsep baru bahwa kemampuan tanah untuk mengerap P merupakan keuntungan karena tanah dapat menyimpan pupuk P yang ditambahkan dan secara perlahan-lahan P yang dierap tersebut dilepaskan kembali sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Dengan demikian pemupukan P mempunyai pengaruh residu untuk jangka panjang (SANCHEZ et al., 1997). Peningkatan kandungan P tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk P larut air seperti TSP atau SP-36, atau pupuk fosfat alam reaktif. Pemberian pupuk P yang mampu mengatasi kapasitas tanah untuk mengerap P dan dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah sehingga mempunyai pengaruh residu jangka panjang sekitar 3-5 tahun dinamakan sebagai tindakan rekapitalisasi P. Rekapitalisasi P dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pemberian sekaligus pupuk P dosis tinggi dan pemberian secara bertahap pupuk P dosis sedang (BURESH et al., 1997; SANCHEZ et al., 1997). Pemberian pupuk P sekaligus dosis tinggi Penelitian mengenai pemberian pupuk P dosis tinggi secara sekaligus telah dilakukan sejak akhir tahun 1980-an. Untuk menekan pertumbuhan alang-alang dan meningkatkan produktivitas lahan kering masam di Propinsi Lampung, pupuk fosfat alam reaktif (FAR) sebanyak 1 t ha-1 diberikan secara sekaligus dikombinasikan dengan penanaman Mucuna cochichinensis, tanaman legum penutup tanah yang tumbuh cepat dan menghasilkan banyak biomas. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian sekaligus FAR dosis tinggi dikombinasikan dengan pengelolaan bahan organik secara tepat berhasil mengubah lahan alang-alang menjadi lahan yang produktif dan pengaruh residunya sampai beberapa musim (Tabel 2). Berdasarkan pada keberhasilannya untuk mengatasi masalah alang-alang, keunggulan teknologi ini dipelajari lebih lanjut pada lokasi yang tersebar di lima propinsi, yaitu di Jambi, Sumatera Barat, Lampung, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan dalam kegiatan penelitian yang dinamakan proyek SebarFos. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara Puslitbangtanak dengan PPI, Christmas Island Phosphate, KUF dan ProRLK. Teknologi yang dianjurkan adalah satu paket dari tiga tindakan pengelolaan tanah dan tanaman, yaitu: pemberian pupuk fosfat dosis tinggi hanya pada lahan yang konservasi tanahnya telah dilakukan dengan baik dan dengan menanam varietas modern agar dapat memanfaatkan kesuburan tanah yang telah ditingkatkan. Hasil percobaan lapang menunjukkan bahwa rekapitalisasi P dapat meningkatkan produktivitas lahan kering masam dan dampaknya berlangsung cukup lama (Tabel 3). Untuk melakukan verifikasi teknologi rekapitalisasi P ini pada lahan pertanian yang lebih luas dan sekaligus mempelajari adopsinya oleh petani, saat ini sedang dilakukan penelitian dan pengembangan teknologi ini secara partisipatif di Propinsi Kalimantan Selatan dalam kerjasama antara Puslitbangtanak dengan the World Phosphate Institute (IMPHOS).
190
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
Tabel 2. Pengaruh pemberian fosfat alam reaktif dosis tinggi terhadap hasil biomas Mucuna cochichinensis dan hasil tanaman tumpangsari padi-jagung pada musim tanam ke 1 dan ke 10 di Lampung Lokasi
Perlakuan
Terbanggi Lampung
Tanpa P TSP + Kapur FA-North Carolina FA Maroko Tanpa P TSP + Kapur FA-North Carolina FA Maroko
Gunung Madu Lampung
Biomas mucuna 6,8 14,9 12,4 13,6 2,1 5,7 7,2 4,7
Hasil (t ha-1) Tanaman musim ke 1 Tanaman musim ke 10 Padi Jagung Padi Jagung 2,3 0,4 1,2 0,5 3,6 2,3 3,2 1,8 3,4 2,4 3,2 1,9 3,4 2,5 2,8 1,8 1,1 0,3 1,4 0.7 4,1 3.4 3,0 1,2 3,3 3,8 3,8 1,4 3,5 3,2 3,3 1,0
Sumber: MUTERT and SRI ADININGSIH (1997) Tabel 3. Pengaruh rekapitalisasi P terhadap produksi tanaman di lima propinsi dengan kegiatan proyek SebarFos Propinsi
Tanaman
Jambi Sumatera Barat Lampung Kalimanatan Barat Kalimantan Selatan
Kacang tanah Kacang tanah Jagung Kacang tanah Jagung
Hasil musim ke 1 (t ha-1) Praktek SebarFos petani 1,50 0,95 1,77 0,89 6,01 5,42 1,52 1,39 4,46 2,46
Hasil musim ke 4 (t ha-1) SebarFos SebarFos plus 0,70 0,55 0,81 0,97 6,80 6,40 1,12 0,83 4,09
Praktek petani 3,00 0,81 6,10 0,54 2,85
Sumber: ANONYMOUS (2001)
Peningkatan P tanah secara bertahap Penelitian peningkatan kandungan P tanah secara bertahap dilakukan di Desa Pauh Menang, Kabupaten Merangin, Propinsi Jambi, yaitu dalam penelitian kerjasama antara Puslitbangtanak dengan ACIAR-IWMI (SANTOSO et al., 2000 dan 2001). Pemberian bertahap pupuk P dosis sedang setiap musim terbukti dapat meningkatkan kandungan P tanah tersedia dan mempunyai pengaruh residu yang penting bagi tanaman berikutnya. Pemberian pupuk P yang berulang-ulang atau secara bertahap menghasilkan akumulasi residu pupuk P. Pemberian SP-36 dengan dosis 57 kg P ha-1 sampai tanaman ke empat telah cukup meningkatkan kandungan P dalam tanah dan memberikan hasil jagung yang tinggi yaitu sekitar 3,5 t ha-1. Pemberian pupuk SP-36 selanjutnya dengan dosis 19 kg P ha-1 dalam musim tanam ke 5, 6 dan 7 sudah cukup sebagai dosis untuk mempertahankan (maintenance rate) kandungan P tanah. Perlu ditekankan bahwa pemupukan P ini dilakukan dengan penempatan secara lokal yaitu dalam alur sepanjang barisan tanaman jagung. Penempatan pupuk SP-36 ke seluruh lahan untuk memperoleh peningkatan kandungan P yang merata di seluruh lahan akan memerlukan dosis pemberian pupuk P yang lebih tinggi (SANTOSO et al., 2001) 191
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PENGAPURAN Pengapuran penting untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah kering masam yang mengandung unsur beracun Al dan Fe. Kapur yang diberikan ke tanah akan mengikat unsurunsur racun tersebut, sehingga pH tanah meningkat dan unsur-unsur hara seperti P dan K menjadi bebas dan tersedia bagi tanaman. Namun demikian, pengapuran yang dilakukan seyogyanya didasarkan kepada batas kritis toleransi tanaman terhadap unsur racun tersebut, khususnya untuk Al. Hasil penelitian pengapuran menunjukkan bahwa pemberian 2,0 ton CaCO3/ha, 5,0 ton bahan organik/ha dan 40 kg P-alam/ha dapat meningkatkan hasil tanaman kedelai di Kubang Ujo, Jambi (Tabel 4). Penelitian di Sitiung Propinsi Sumatera Barat juga menunjukkan bahwa pengapuran meningkatkan produksi kedelai secara nyata pada tanah mineral masam Oxisol dan Inceptisol yang telah dibuka lebih dari 5 tahun dan sangat berkorelasi dengan kejenuhan kemasaman [(Al + H/KTKE) x 100]. Tetapi pada tanah Ultisols yang baru saja dibuka pengaruh pengapuran terhadap produksi kedelai tidak konsisten. Pada tanah yang baru dibuka kandungan bahan organik segar dalam tanah dapat mengurangi kemasaman dapat ditukar. Untuk tanah-tanah tersebut diusulkan agar rekomendasi pengapuran ditentukan dengan menggunakan persamaan sebagai berikut (WADE et al., 1986): Takaran kapur (ton/ha) = 1.5 [(Al + H) – (RAS X KTKE)] dimana: RAS adalah kejenuhan kemasaman yang diinginkan KTKE adalah AL + H + Ca + Mg + K
Batas kritis toleransi tanaman terhadap aluminium, yang dinyatakan dalam % kejenuhan aluminium, berbeda-beda, yaitu untuk padi gogo 70%, kacang tunggak 55%, jagung 30%, kacang tanah 30%, kedelai 15%, dan kacang hijau 5% (Sri Adiningsih et al., 2001). Tabel 4. Peningkatan hasil kedelai di Kubang Ujo (Jambi) akibat pengapuran, pupuk P dan bahan organik Hasil kedelai (ton/ha) Pupuk
Tanpa kapur
Dengan kapur
- BO Tanpa P P-alam
0,8 5,4
+ BO 3,4 7,2
- BO 4,3 11,5
+ BO 5,8 15,7
Sumber: SRI ADININGSIH et al. (2001)
PENGELOLAAN BAHAN ORGANIK Bahan organik berupa serasah, bahan hijau daun, kompos dan pupuk kandang berperan sangat penting dalam meningkatkan dan mempertahankan produktivitas lahan. Bahan organik merupakan bahan pembaik tanah (soil amendment) untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Namun terdapat kendala yang harus dihadapi dalam penggunaan bahan organik, yaitu bahan organik harus diberikan dalam jumlah besar (takaran tinggi) agar pengaruhnya terhadap tanah nyata. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa bahan organik berpengaruh: 192
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
a.
meningkatkan daya menahan air, memperbaiki sifat-sifat fisik tanah (terutama aerasi/drainase tanah) dan mengurangi erosi (sebagai mulsa).
b.
meningkatkan kapasitas tukar kation tanah
c.
mensuplai hara dan meningkatkan efisiensi pupuk
d.
mengurangi pengaruh racun aluminium
e.
meningkatkan aktivitas biologi tanah
Hasil penelitian pengelolaan bahan organik pada lahan kering masam terutama pada Podsolik Merah Kuning (Ultisols, Oxisols) telah terbukti dapat memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah. Penggunaan tanaman Flemingia congesta dalam sistem budidaya lorong (alley cropping) yang digunakan sebagai sumber bahan organik dan penggunaan sisa-sisa tanaman yang dikembalikan ke dalam lahan pertanian mampu memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah (Tabel 5 dan 6). Tabel 5. Pengaruh biomas Flemingia congesta dari sistem alley cropping terhadap sifat-sifat fisik dan kimia tanah Podsolik Merah Kuning di Pekalongan, Lampung. Bahan organik Sifat-sifat tanah Sifat fisik Berat isi (g/cc) Pori aerasi (% vol) Permeabilitas (cm/jam) Sifat kimia C-organik (%) N-total (%) P-total (mg/100 g) K-total (mg/100 g)
Tanpa
Flemingia congesta dalam sistem budidaya lorong
1,36 18,27 3,62
1,30 20,25 4,04
0,97 0,09 14 6
1,23 0,12 39 8
Sumber: IRIANTO et al. (1993) Tabel 6. Pengaruh penggunaan mulsa sisa-sisa tanaman dan pupuk organik lain terhadap sifat-sifat fisik dan kimia tanah Podsolik Merah Kuning Sifat fisika Bahan organik Tanpa Mulsa jerami padi + sisa tanaman Mulsa Mucuna sp Pupuk kandang
Berat isi (g/cc) 1,26 1,19 -
Pori aerasi (% vol) 13,2 15,2 -
Sifat kimiab C-organik (%) 2,17 2,55 2,40 2,50
N (%) 0,25 0,28 0,27 0,28
P mg/100 g 30 44 36 43
Sumber: aSUWARDJO et al. (1989); bUNDANG KURNIA (1996)
193
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
KONSERVASI TANAH Tindakan penting yang perlu dilakukan sebelum melakukan rekapitalisasi P adalah mengendalikan erosi dan aliran air permukaan, agar modal berupa pupuk P yang ditanamkan dapat tetap berada di tempatnya dan pencemaran sungai atau badan air lainnya dapat dicegah. Konservasi tanah ini terutama sangat diperlukan pada lahan yang berlereng, karena erosi yang menghanyutkan tanah lapisan atas dapat mengurangi atau bahkan menghabiskan pupuk P yang ada di tanah lapisan atas tersebut. Dengan demikian rekapitalisasi P tidak akan menguntungkan, bahkan dapat lebih merugikan petani. Pada lahan kering masam dengan lereng 15% di Kuamang Kuning XIX, Propinsi Jambi, pada musim hujan 1991 kehilangan P dalam tanah yang tererosi mencapai 50 mg P kg-1 dan dalam air aliran permukaan 1,5 mg P kg-1. Sistem budidaya lorong pada penelitian ini terbukti efektif untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan dan dapat mengurangi erosi dari 150 menjadi 1 t ha-1 dan aliran permukaan berkurang dari 6700 menjadi 900 m3 ha-1 dalam setahun (IBSRAM, 1993). Pada sistem budidaya lorong sebagai teknik konservasi tanah secara vegetatif dapat digunakan tanaman legum atau rumput sebagai tanaman pagar. Dengan demikian sistem ini dapat memberikan keuntungan tambahan berupa pangkasan tanaman pagar yang dapat dipakai untuk pakan ternak, sehingga memberikan peluang yang lebih besar bagi sistem ini untuk diadopsi oleh petani. Sistem ini juga dapat memberikan tambahan hasil berupa kayu bakar, buah, dan biomas bahan hijauan untuk dikembalikan ke lahan sebagai mulsa (MAGLINAO et al., 1995; SANCHEZ et al., 1997). KONDISI DAN PERSYARATAN LAIN YANG DIPERLUKAN Kegiatan rekapitalisasi P terutama harus diarahkan pada daerah yang sangat defisien P dan tanahnya mempunyai kapasitas yang besar untuk mengerap P. Lamanya pengaruh residu pemupukan P tergantung pada jumlah P yang diberikan, kapasitas erapan P tanah, dan intensitas pertanaman. Makin tinggi dosis pemupukan P makin lama pengaruh residunya. Makin rendah kapasitas tanah mengerap P makin pendek pengaruh residunya. Makin tinggi intensitas tanaman per tahun makin pendek pengaruh residunya. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, serta ketersediaan sarana logistik, infrastruktur, dan modal finansiil, maka pilihan sumber dan dosis pupuk P merupakan hal yang spesifik lokasi dan situasi (SANCHEZ et al., 1997). Peningkatan kandungan P lahan kering masam sangat penting, tetapi tindakan ini saja tidak cukup untuk meningkatkan produksi. Apapun cara peningkatan kandungan P tanah yang digunakan, rekapitalisasi P harus didukung dengan tindakan untuk mengatasi faktor pembatas pertumbuhan tanaman dan defisiensi unsur hara yang lain. Tindakan tersebut termasuk konservasi tanah, pengelolaan hara terpadu, pengelolaan air, penggunaan varietas unggul, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman untuk memastikan tercapainya peningkatan dan mempertahankan keberlanjutan produksi tanpa merusak lingkungan. Dukungan pemerintah diperlukan agar usaha untuk meningkatkan dan mempertahankan produksi pangan dapat terwujud (SANCHEZS et al., 1997). Setelah kandungan P tanah ditingkatkan, produktivitas lahan yang tinggi dan berkelanjutan hanya dapat direalisasikan jika diikuti dengan teknik-teknik pengelolaan tanah dan tanaman yang tepat. Rekapitalisasi P harus disertai dengan rekapitalisasi N tanah dan menghilangkan defisiensi hara yang lain (BURESH et al., 1997; SANCHEZ et al., 1997). Misalnya, pemupukan N dan P saja secara terus-menerus selama lima tahun telah menguras kandungan kalium, kalsium dan magnesium 194
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
dalam tanah mineral masam di Jambi (SANTOSO et al., 1995). Pemanfaatan bahan organik dari pangkasan tanaman pagar dalam sistem budidaya lorong tidak dapat menggantikan rekapitalisasi P tetapi dapat membantu ketersediaan P dalam tanah (PALM et al., 1997; SANTOSO et al., 1995). Rekapitalisasi P juga memberikan kesempatan bagi petani untuk mengintesifkan dan menganekaragamkan produksi pertaniannya. Mereka mungkin beralih dari menanam tanaman yang bernilai ekonomi rendah ke tanaman sayuran atau buah-buahan yang bernilai ekonomi tinggi, yang dapat menambah manfaat ekonomi melalui diversifikasi produk dan pendapatan (SANCHEZ et al., 1997). Meskipun rekapitalisasi P secara teknis memenuhi persyaratan dan menguntungkan petani, penerapan teknologi ini oleh petani secara perorangan tidak akan besar artinya. Pendekatan seperti ini akan sukar untuk diadopsi oleh banyak petani sehingga tidak akan dapat mencakup areal yang luas atau mempunyai dampak nyata bagi perekonomian nasional. Mengingat bahwa umumnya petani lahan kering kekurangan modal, maka suatu bentuk bantuan bagi petani untuk mengikuti program rekapitalisasi P dapat diangkat menjadi program nasional untuk meningkatkan produksi pangan. Bantuan tersebut dapat berupa kredit atau biaya bersama (cost sharing) (SANCHEZ et al., 1997). Adopsi teknologi pengelolaan lahan pada umumnya lambat, khususnya teknologi konservasi dimana dampaknya di lapang lambat dan sukar untuk dilihat secara langsung oleh petani. Disamping itu, pembangunan pertanian pada lahan kering belum mencapai banyak kemajuan karena lahannya banyak yang terpencar dan kondisi infrastrukturnya belum baik. Kondisi sosial-ekonomi petani lahan kering umumnya juga lebih lemah dibandingkan dengan petani lahan sawah, dan kelangkaan sarana dan prasarana pertanian lahan kering sering menjadi pembatas. Akhirnya perlu ditekankan bahwa pembangunan pertanian lahan kering hingga saat ini masih terhambat karena belum memadainya dukungan agroindustri. Misalnya, lahan kering di daerah hujan tropis yang dengan mudah dapat menghasilkan ubi jalar dengna produksi 20-25 t/ha tidak dapat berkembang karena tidak ada industri skala pedesaan untuk membuat tepung ubi jalar yang selanjutnya dapat dibuat menjadi supermi. Dengan dukungan mesin penepung, lahan kering masam dapat diwujudkan menjadi penghasil sumber karbohidrat yang sangat potensial, sebagai substitusi sebagian dari beras. Sudah tentu pengembangan agribisnis ini memerlukan sistem pemasaran yang baik. Teknologi konservasi dan peningkatan kesuburan tanah kering masam perlu disebarluaskan dan dipahami oleh semua pihak yang terkait dengan pembangunan pertanian, termasuk petani, penyuluh, dan pengambil kebijakan. Pembangunan pertanian berwawasan agribisnis perlu dukungan agroindustri di tingkat pedesaan yang mampu mengolah hasil-hasil pertanian lahan kering agar dapat disimpan lebih lama serta mempunyai nilai tambah yang lebih tinggi bagi petani. Pengembangan pertanian lahan kering harus dilakukan secara utuh dan terintegrasi, termasuk teknik konservasi dan pemupukannya. Pengembangan kawasan sentra produksi (KSP) komoditas andalan sesuai dengan kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi petani hendaknya tidak diarahkan hanya untuk mengembangkan satu komoditas saja, tetapi lebih baik merupakan KSP terpadu, misalnya kawasan pengembangan jagung sekaligus merupakan kawasan produksi ternak unggas (ayam) dan atau ruminasia (sapi). KESIMPULAN Kebijakan pembangunan pertanian pada lahan kering dengan teknologi tepat guna harus secara efektif mengatasi masalah utama yang dihadapi. Lahan kering yang masih tersedia luas untuk 195
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
pembangunan pertanian adalah lahan kering masam yang tanahnya didominasi oleh Ultisols, Oxisols dan Inceptisols. Peningkatan produktivitas lahan kering masam memerlukan pemberian pupuk P dengan dosis yang cukup dan bukan hanya mengandalkan pada P dari pendauran-ulang bahan organik atau sisa tanaman. Peningkatan kandungan P dalam tanah dengan teknologi rekapitalisasi P dapat dilakukan dengan pemberian sekaligus pupuk P dosis tinggi atau dengan pemberian bertahap pupuk P dosis sedang yang dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah. Rekapitalisasi P dapat dilakukan dengan pemberian pupuk P larut air seperti SP-36 atau dengan pupuk fosfat alam reaktif. Satu kali pemberian pupuk P dosis tinggi pada tahap awal dan kemudian diikuti dengan pemberian pupuk P dosis rendah untuk mempertahankan status P tanah dapat dijadikan sebagai strategi untuk meningkatkan produktivitas lahan kering masam. Untuk mencapai tingkat produksi yang tinggi dan berkelanjutan, rekapitalisasi P tersebut harus diikuti dengan pengelolaan tanah dan tanaman yang tepat untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan, dan mengatasi defisiensi unsur hara atau faktor-faktor lain yang menghambat pertumbuhan tanaman. DAFTAR PUSTAKA ANONYMOUS. 2001. Draft Report of SebarFos Project. Collaborative Research among CSAR-PPI-CIRP-KUF and ProRLK. Center for Soil and Agroclimate Research, Bogor, Indonesia (unpublished). BURESH, R.J., P.C. SMITHSON and D.T. HELLUMS. 1997. Building soil phosphorus capital in Africa. p. 111-149. In: Replenishing Soil Fertility in Africa. BURESH, R. J., P. A. SANCHEZ, and F. CALHOUN (eds.). SSSA Special Publication Number 51. SSSA, ASA. Madison, Wisconsin, USA. HIDAYAT, A., HIKMATULLAH dan DJOKO SANTOSO. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran rendah. Dalam: Buku Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 197-215. IBSRAM (INTERNATIONAL BOARD FOR SOIL RESEARCH AND MANAGEMENT). 1993. Management of Sloping Lands for Sustainable Agriculture in Asia Network (ASIALAND). 1992 Annual Technical Report. Network Document No. 4. Bangkok Thailand. IRIANTO, G., A. ABDURACHMAN dan I. JUARSAH. 1993. Rehabilitasi tanah Tropudults tererosi dengan system pertanaman lorong menggunakan tanaman pagar Flemingia congesta. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk II: 13-18. KURNIA, U. 1996. Kajian Metode Rehabilitasi Lahan untuk Meningkatkan dan Melestarikan Produktivitas Tanah. Desertasi Doktor, Program Pasca Sarjana IPB. Bogor (tidak dipublikasikan). KURNIA, U., Y. SULAEMAN dan A. MUKTI K. 2000. Potensi dan pengelolaan lahan kering dataran tinggi. Hal. 227-245 dalam Buku Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. MAGLINAO, A.R., THAI PHIEN, S. BOONCHEE and NGUYEN TU SIEM. 1995. The ASIALAND Management of Sloping lands network: contour-hegerow farming systems on sloping uplands. In: International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia. MAGLINAO, A. and A. SAJJAPONGSE (Eds). Challenges Opportunities, and Prospects. IBSRAM Proceeding no. 14: 277-290. MUTERT, E. and J. SRI ADININGSIH. 1997. Tropical upland improvement: Comparative performance of different phosphorus sources. In: Nutrient Management for Sustainable Food Production in Asia. Proc. of the IMPHOS-AARD/CSAR International Conference in Asia. Bali, Indonesia, December 9-12, 1996. p. 97108.
196
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
PALM, C.A., R.J.K. MUERS and S.M. NANDWA. 1997. Combined use of organic and inorganic nutrient sources for soil fertility maintenance and replenishment. In: Replenishing Soil Fertility in Africa. BURESH, R.J., P.A. SAMCHEZ and F. CALHOUN (Eds). SSSA Special Publication Number 51. SSSA, ASA. Madison, Wiscon, USA. p. 193-217. SANCHEZ, P.A. and G. UEHARA. 1980. Management consideration for acid soils with high phosphorus fixation capacity. p.471-514. In: The Role of Phosphorus in Agriculture. KHASAWNEH, F. E., E. C. SAMPLE and E. J. KAMPRATH (Eds). ASA, CSSA, and SSSA, Madison, Wisc., USA. SANCHEZ, P.A., K.D. SHEPHERD, M.J. SOULE, F.M. PLACE, R.L. BURESH, A.N. IZAC, A.U. MOKWUNYE, F.R. KWESIGA, C.G. NDIRITU and P.L. WOOMER. 1997. Soil fertility replenishment in Africa: An investment in natural resource capital. In: Replenishing Soil Fertility in Africa. BURESH, R.J., P.A. SANCHEZ and F. CALHOUN (Eds). SSSA Special Publication Number 51. SSSA, ASA. Madison, Wisconsin, USA. p. 1-46. SANTOSO, D. 1997. Development of phosphorus fertilizer use on acid soils in Indonesia. In: Nutrient Management for Sustainable Food Production in Asia. Proc. of the IMPHOS-AARD/CSAR International Conference in Asia. Bali, Indonesia, December 9-12, 1996. p. 76-87. SANTOSO, D., I G.P. WIGENA, J. PURNOMO and R.D.B. LEFREOY. 2001. Responses to P sources in an acid upland soil in Sumatera. Indonesian Soil and Climate Journal. 19: 33-34. SANTOSO, D., I. PUTU WIGENA, ZAINOL EUSOF and CHEN XUHUI. 1995. The ASIALAND Management of Sloping Lands Network: Nutrient balance study on sloping lands. In: International Workshop on Conservation Farming for Sloping Uplands in Southeast Asia. MAGLINAO, A. and A. SAJJAPONGSE (Eds). Challenges, Opportunities, and Prospects. IBSRAM Proceeding no. 14. p. 93-108. SANTOSO, D., J. PURNOMO, I G.P. WIGENA, SUKRITIYONUBOWO and R.D.B. LEFROY. 2000. Management of phosphorus and organic matter on an acid soil in Jambi, Indonesia. Indonesian Soil and Climate Journal. 18: 64-72. SRI ADININGSIH, J., D. NURSYAMSI and S. PARTOHARDJONO. 2001. Direct application of phosphate rock: Indoneisa’s experience and constraints of adoption at farmer level. Paper presented at the International Meeting on the Use of Phosphate Rock for Direct Application and Related Technology. Kuala Lumpur, Malaysia. July 16-20, 2001. 23 p. SUWARDJO, H., A. ABDURACHMAN and S. ABUJAMIN. 1989. The use of crop residue mulch to minimize tillage frequency. Pemberitaan Tanah dan Pupuk. No. 8: 31-37. VON UEXKULL, H.R. 1997. Constraints to agricultural production and food security in Asia: Challenges and opportunities. In: Nutrient Management for Sustainable Food Production in Asia. Proc. of the IMPHOSAARD/CSAR International Conference in Asia. Bali, Indonesia, December 9-12, 1996. p. 1-28. WADE, M.K, M. AL-DJABRI and M. SUDJADI. 1986. The effect of liming on soybean yield and soil acidity parameters of three Red-Yellow Podzolic soils of West Sumatra. Pemb. Penelitian Tanah dan Pupuk. 6:1-8.
DISKUSI Pertanyaan: 1. Pemberian pupuk P dosis tinggi sekaligus, dianjurkan pada lahan yang konservasi tanahnya telah dilakukan dengan baik. Mengingat sebagian besar lahan berlereng belum dikonservasi, dapatkah dijelaskan lebih lanjut mana yang lebih baik. Pemberian P dosis tinggi sekaligus atau secara bertahap? 2. Contoh yang diberikan dalam hal pengapuran adalah data dari Kubang Ujo untuk tanaman kedele. Mengingat pemberian kapur sangat tergantung pada kondisi lahan dan jenis tanaman, 197
Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi
dapatkah diberikan beberapa contoh lain untuk melengkapi Tabel 4, agar memberikan gambaran yang lebih menyeluruh? Jawaban: 1.
198
Peningkatan kandungan P tanah dapat dilakukan baik dengan cara pemberian P dosis tinggi sekaligus maupun secara bertahap. Jika lahannya berlereng, cara manapun yang dipakai perlu disertai dengan tindakan konservasi tanah. Jika konservasi tanahnya tidak baik, pupuk P yang diberikan akan berkurang atau hilang terbawa bersama tanah yang tererosi.