PROSPEK PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PASCAPANEN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI LAHAN KERING Wisnu Broto, R. Thahir dan Yulianingsih Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian PENDAHULUAN Meningkatnya kebutuhan pangan dan bahan baku industri berbasis pertanian memberi konsekuensi perlunya upaya peningkatan produksi pertanian secara terus menerus. Pemerintah meresponnya dengan meluncurkan berbagai ikon program, antara lain Gema Palagung, Supra Insus, Proksi Mantap dan sebagainya yang pada intinya mendorong pertumbuhan produksi pertanian dengan menggerakkan masyarakat. Produksi hasil pertanian dapat ditingkatkan, walaupun belum sepenuhnya memenuhi permintaan kebutuhan dalam negeri, masih terjadi impor beberapa komoditas pertanian. Namun demikian, dibalik keberhasilan peningkatan produksi, disadari pula bahwa peningkatan kesejahteraan petani sebagai produsen bahan baku belum tercapai sepenuhnya. Salah satu faktor penyebabnya adalah hasil yang telah tinggi tersebut tidak diringi dengan peningkatan nilai tambahnya, adanya kerusakan serta kehilangan hasil akibat kurangnya penguasaan terhadap penanganan pascapanen serta tidak berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang memberi peran bagi petani produsen. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang diluncurkan Menko Perekonomian pada tahun 2005 merupakan kebijakan yang diambil untuk mengatasi stagnasi peningkatan produksi dan kesejahteraan petani/nelayan (Anonymous, 2005). Lahan kering sebenarnya mempunyai potensi yang cukup besar bagi pengembangan usaha pertanian. BPS menyebutkan sebesar 16,4 juta hektar lahan kering telah digunakan untuk tanaman perkebunan (www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/wr282069.pdf) dan sebesar 12,9 juta hektar sebagai tegal/kebun (Hidayat dan Mulyani, 2001). Namun demikian, sebagian lahan kering bermasalah karena tingkat kesuburannya rendah serta terbatasnya sumber air. Pada kondisi yang demikian sistem usahatani yang berkembang lebih banyak bersifat subsisten, ladang berpindah dan mempunyai tingkat kesukaran tinggi dalam mengakses teknologi, baik untuk budidayanya maupun pascapanen. Kesukaran mengakses teknologi dan tujuan usahatani hanya untuk kebutuhan sendiri, mengakibatkan pula produk pertanian dari usahatani subsisten kalah bersaing, baik terhadap produk pertanian dalam negeri lainnya maupun impor. Usahatani subsisten ini bersaing dengan memanfaatkan keunggulan komparatif melimpahnya sumberdaya alam di lokasi dan tenaga kerja tidak terdidik, sehingga produk pertanian didominasi oleh produk primer, mutu tidak konsisten dan cemarannya tinggi (Thahir, 2005). Kondisi ini menjadikan petani lahan kering, khususnya tanaman pangan, pada lahan yang marjinal mempunyai tingkat kesejahteraan yang rendah. Menurut Partohardjono et al., 1993, di Indonesia penanganan dan pemanfaatan lahan kering yang umumnya relatif kurang subur akan semakin meningkat, karena (1). Meningkatnya kebutuhan terhadap perluasan lahan untuk pertanian akibat peningkatan jumlah penduduk dan penciutan lahan sawah/subur, (2). Tertinggalnya pembangunan pertanian pada lahan kering dibandingkan dengan lahan sawah, dan (3). Masih banyak penduduk/petani miskin di wilayah pertanian lahan kering, baik di Jawa maupun luar jawa. SISTEM USAHATANI LAHAN KERING Karakteristik Umum Sistem Usahatani Lahan Kering Teknologi pascapanen merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengembangan agroindustri pedesaan. Sistem industri pertanian atau lebih dikenal dengan agroindustri pada dasarnya adalah perwujudan dari usaha pokok diversifikasi secara vertikal dan horizontal (Damardjati, et al., 1993). Karakteristik ini memberi gambaran kelayakan pengembangan teknologi pascapanen ditentukan juga oleh kegiatan usahatani yang ada di wilayah pengembangan termasuk lahan kering. Kegiatan usahatani yang dimaksud terkait
dengan jenis tanaman yang diusahakan, skala usaha, produktivitas, permintaan pasar serta tingkat keterampilan masyarakat tani yang ada. Lahan kering didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian waktu dalam setahun atau sepanjang tahun. Lahan kering untuk pertanian dapat dikelompokkan atas lahan untuk pekarangan, tegalan, kebun, ladang, padang rumput, lahan tidak diusahakan, tanaman kayu-kayuan dan perkebunan. Menurut Hidayat dan Mulyani, 2003, penyebaran lahan kering dapat dibedakan berdasarkan: (1) Penggunaan untuk pertanian. Berdasarkan penggunaan untuk lahan pertanian, maka yang terluas digunakan untuk tanaman perkebunan (karet, kelapa sawit, kelapa, kopi. Terluas selanjutnya dimanfaatkan untuk tegalan, ladang, kebun (12,9 juta ha), sementara yang lainnya berupa padang alang-alang seluas 9,7 juta ha (2) Elevasi. Berdasarkan ketinggian, lahan kering dibedakan menjadi dataran rendah (<700m dpl) dan dataran tinggi (>700m dpl). (3) Topografi. Lahan kering dibedakan atas empat kelompok, yaitu lahan datar berombak dengan lereng 3-8%, berombak bergelombang dengan lereng 8-15%, berbukit dengan lereng 15-30%, dan bergunung dengan lereng >30%. Lahan kering datar-berombak banyak dimanfaatkan untuk karet, kelapa sawit dan kelapa sedangkan tanaman kopi pada dataran tinggi berbukit dan bergunung. (4) Iklim. Secara umum dibedakan atas iklim basah dan kering. Lahan kering dataran rendah berada pada iklim basah dan kering pada ketinggian < 700m dpl. (5) Kemasaman tanah. Kemasaman tanah dibedakan atas lahan kering masam dan tidak masam. Lahan kering masam dicirikan atas pH<5,0 dan kejenuhan basa <50%, sedangkan lahan kering tidak masam adalah lahan dengan pH>5,0 dan kejenuhan basa >50%. Penentuan pola tanam tanaman semusim, khususnya tanaman pangan dalam sistem usahatani lahan kering perlu mengacu pada kondisi hujan di wilayah setempat. Mengintroduksikan ternak (2 ekor sapi + 3 ekor kambing + 11 ayam buras) selain karet (2 ha) dalam sistem usahatani lahan kering di Batumarta nyata meningkatkan pendapatan petani dibandingkan pola tani rakyat yang ada yang semula tidak mengusahakan ternak. Di samping berfungsi sebagai tabungan hidup petani, ternak juga berfungsi sebagai sumber protein (daging dan telur), tenaga kerja dan penghasil pupuk kandang yang sangat bermanfaat dalam peningkatan status bahan organik tanah (Partohardjono et al, 1993) Potensi Produksi Pertanian Lahan Kering di NTT Nusa Tenggara Timur memiliki luas areal lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pertanian seluas 2,4 juta ha, namun baru dimanfaatkan untuk pertanian tanaman pangan. Produksi hasil pertanian tanaman pangan tahun 2003 untuk tanaman padi, jagung, kedelai, ubi kayu secara keseluruhan mengalami peningkatan dibandingkan hasil produksi 2001 (Tabel 1). Demikian pula untuk sektor perkebunan, seperti kelapa, kopi dan cengkeh terjadi peningkatan produksi juga. Selain itu, sub sektor peternakan, khususnya sapi mempunyai potensi yang cukup besar juga untuk mendukung pembangunan di NTT (Tabel 2). Tabel 1. Produksi hasil pertanian tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura di NTT dari 2001-2003 (ton) Komoditas 2001 2002 2003 Padi Jagung Kedelai Kacang Tanah Ubi Kayu Kelapa Kopi
448.001 553.298 1.648 11.304 778.423 58.931 14.477
468.012 580.900 2.994 13.615 873.157 55.307 15.382
509.419 583.355 4.032 13.637 861.620 54.075 16.867
Cengkeh Jambu Mete Mangga Jeruk Pisang
973 15.858 -
1.474 17.187 -
1.483 33.249 23.235 33.992
Sumber : BPS Nusa Tenggara Timur, 2005
Tabel 2. Populasi ternak di NTT pada tahun 2003. Jenis Ternak
Populasi (ekor)
Sapi
512.999
Kerbau
134.900
Kambing/Domba
491.554
Babi
1.225.040
Ayam Kampung
9.926.035
Ayam Petelur
535.953
Bebek
221.508
Sumber : BPS Nusa Tenggara Timur, 2005
Ciri lahan pertanian di NTT adalah: 1). Usahatani dikelola oleh petani dengan keterbatasan sumber daya manusia, seperti tingkat pendidikan yang rendah, akses terhadap informasi teknologi dan pasar yang rendah, keluarga dengan beban tanggungan yang cukup tinggi (5-7 orang/ keluarga) serta menguasai dan mengolah lahan pertanian yang sempit, terfragmentasi dan memiliki modal usaha yang sangat terbatas disamping beban sosial kemasyarakatan yang masih tinggi, 2). Dari segi fisik wilayah yang bergelombang, sifat tanah yang marjinal dengan kondisi iklim yang kering, curah hujan rendah dan eratik, 3). Atas kedua alasan dasar ini maka produktivitas pertanian dan tingkat kesejahteraan masyarakat petani di NTT berada pada kategori rendah (de Rosari, 2002). INOVASI TEKNOLOGI PASCAPANEN PERTANIAN Ruang Lingkup dan Peran Teknologi Pascapanen Teknologi pascapanen merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengembangan agroindustri di pedesaan. Sistem industri pertanian atau lebih dikenal dengan agroindustri pada dasarnya adalah perwujudan dari usaha pokok diversifikasi secara vertikal dan horizontal. Dalam sistem ini dimana proses penanganan komoditas dilakukan secara tuntas sejak proses penyediaan masukan faktor produksi ke dalam usaha pertanian, prapanen, pascapanen, pemasaran dan distribusi hingga ke konsumen akhir (Damardjati et al., 1993). Kegiatan industri pengolahan hasil pertanian dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan utama, yakni pascapanen primer (penanganan) dan sekunder (pengolahan). Penanganan pascapanen primer adalah penanganan pascapanen produksi pertanian dalam bentuk segar (fresh handling) yang meliputi: cara dan waktu panen yang tepat, sortasi, grading, pemeraman, pencucian, pengeringan, pemipilan, penggilingan, pengepakan, pengangkutan dan penyimpanan. Penanganan pascapanen primer ditujukan untuk (1). Menekan susut hasil panen atau kehilangan kuantitas, (2). Mempertahankan perbaikan mutu hasil panen atau menekan kehilangan kualitas (Damardjati et al, 1993; Thahir, 1990). Penanganan pascapanen sekunder sering dianalogikan dengan teknologi industri, yaitu pengolahan lanjutan setelah pascapanen primer dengan tujuan utama meningkatkan nilai tambah hasil olahan. Pengolahan mencakup mengubah wujud asli suatu produk menjadi produk lain. Sebagai contoh adalah pengolahan pati menjadi gula, gula menjadi alkohol, kedelai menjadi
kecap, pengemasan, bahan makanan campuran, pengolahan fermentasi, ekstrusi dan sebagainya. Zadocks, 1990, menggolongkan kegiatan bidang pascapanen dengan memperhatikan produk akhirnya sebagai berikut: (1) Penanganan pascapanen primer yaitu penanganan langsung terhadap hasil panen tanpa merubah bentuk maupun struktur aslinya dan penanganan yang harus segera dilakukan setelah panen, antara lain pemanenan, perontokan, pengeringan, penggilingan, penyimpanan, pengemasan, penyimpanan, pengawasan mutu, transportasi (2) Pengolahan produk setengah jadi, yaitu pengubahan bentuk dan sifat asal produk, sebagai bahan baku pengolahan lanjut industri pertanian, antara lain penepungan, pembuatan gaplek, chip, ekstraksi minyak, isolasi protein dan sebagainya. (3) Pengolahan pascapanen sekunder, yaitu pengolahan lebih lanjut produk untuk mendapatkan nilai tambah, mengubah sifat asal atau kimia, antara lain pati menjadi gula, alkohol, kecap, pengalengan, dedak awet, fermentasi, ekstrusi, sterilisasi dsb Dalam usaha meningkatkan pendapatan petani lahan kering khususnya, peran teknologi pascapanen pertanian menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu subsistem agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai tambah produk. Sebagai gambaran nasional, nilai PDB yang dihasilkan industri pengolahan berbahan baku komoditas primer perkebunan adalah sebesar Rp. 1.666,6 triliun atau lebih dari empat kali nilai PDB komoditas primer perkebunan yang besarnya Rp. 37,6 triliun (Saragih dalam Renstra BBPascapanen 2005-2009). Hal ini juga bermakna bahwa petani yang memperdagangkan komoditas pertaniannya dalam bentuk mentah, secara tidak langsung mengalami kehilangan peluang mendapatkan nilai tambah produknya. Secara lebih khusus, pada Tabel 3 dapat dilihat hasil pertanian yang telah mendapatkan sentuhan teknologi penanganan dan pengolahan pascapanen, harga jualnya dapat meningkat 4 – 6 kali dari bahan mentahnya (Anonymous, 2003). Tabel 3. Nilai tambah beberapa komoditas pertanian melalui penerapan teknologi pascapanen. Produk mentah
Produk olahan
Kenaikan nilai jual (%)
Beras
Beras kristal
295
Jagung
Penganan ekstrusi
200
Jeruk
Sari jeruk
150
Mangga
Mangga kering
160
Minyak nilam kasar
Minyak nilam murni
175
Daun cengkeh
Vanillin
145
Daging
Sosis, nugget, abon
50-150
Kulit sapi dan kerbau
Jaket, jok, sepatu
40-140
Kulit dari domba dan kambing
Kulit, kulit bulu olahan dari kelinci, domba dan kambing
190-450
Sumber : Anonymous. 2003
Teknologi Pascapanen Pertanian Prospektif Pengolahan Padi Terpadu Model agroindustri padi terpadu berbasis inovasi teknologi ditunjukkan untuk memaksimumkan nilai tambah pada produk utama (beras) dan produk sampingnya. Inovasi teknologi pada model agroindustri padi terpadu adalah dihasilkannya teknologi pengolahan beras (tepung beras dari beras pecah dan menir, briket arang sekam dan dedak awet). Produk yang dihasilkan adalah beras super (44-48%) , beras kristal (11-12%), tepung beras (8-10%) dan briket
arang sekam 8%. Konsep dari agroindustri padi terpadu, nilai jual dari produk samping tersebut dapat menutup biaya produksi, sedangkan nilai jual dari produk utama merupakan keuntungan, sehingga model agroindustri ini dapat meningkatkan pendapatan usaha penggilingan. Peningkatan mutu beras dilakukan dengan cara : 1) memilih beras kepala dari beras pecah (menir), sesuai dengan standar mutu, 2) Penampakan visual beras ditingkatkan dengan cara refining dengan refiner untuk menghasilkan beras kristal, sehingga didapat hasil beras yang mempunyai kenampakan lebih bersih dan cemerlang. Penggunaan beras berkadar amilosa tinggi dan alat penepung disk mill menghasilkan tepung yang halus dan lebih putih.
Gambar 1.
a
b
d
c
Pengolahan padi terpadu dan produknya (a). beras kristal, (b). tepung beras, (c). dedak awet dan (d). briket arang sekam.
Teknologi Pengolahan Beras Beriodium Penggunaan beras beriodium diharapkan dapat menjadi alternatif untuk mengatasi kekurangan iodium, karena merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari 90% penduduk Indonesia. Kebutuhan iodium sehari-hari untuk dapat mencegah penyakit gondok adalah sebanyak 0,05-0,08 mikrogram atau 0,001 mikrogram per kg berat badan. Implementasi teknologi pengolahan beras beriodium dilakukan bersama BPTP Nusa Tenggara Barat dengan penggilingan Sumber Karya di kabupaten Lombok Timur. Pemberian iodium ke dalam beras dilakukan dengan metode pengkabutan di dalam ruang penyosohan selama proses penggilingan gabah berlangsung. Kandungan iodium dalam beras hasil proses mencapai 7,47 ppm. Setelah dimasak, kandungan iodium dalam nasi sebesar 4,6 ppm (beras tanpa dicuci) dan sebesar 2,65 ppm (beras dicuci). Uji coba produksi beras beriodium telah dilakukan sebanyak 2.5 ton. Perkiraan tambahan biaya untuk produksi beras iodum Rp 5 – Rp 10. Hasil uji preferensi konsumen menyatakan bahwa 90% responden dapat menerima baik produk beras beriodium. Dinas Kesehatan Lombok Timur berharap adanya kerjasama dalam mensosialisasikan produk beras beriodium ini.
Gambar 2. Penerapan produksi beras beriodum di penggilingan padi Sumber Karya, Sambelia – Lombok Timur. Teknologi penepungan jagung instan Tepung jagung instan dikembangkan melalui dua cara, yaitu penepungan jagung brondong dan secara sangrai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan teknologi brondong (popcorn technology) pada tekanan 10,5 kg/cm2 dengan waktu 4,5 menit didapatkan rendemen tertinggi tepung sebesar 97,18%. Karakteristik tepung brondong tersebut meliputi : densitas kamba (0,0506 kg/liter), derajat putih (45,20%), kadar pati (73,40%), serat makanan (12,90%), kadar abu (1,14%), kadar protein (14,63%), kadar lemak (5,39%), kadar karbohidrat (74,97%), absorbsi air (2,5 g/g bahan), absorbsi minyak (1,1g/g bahan). Sifat amilografi viskositas balik tepung brondong 50-100 BU. Teknologi penepungan melalui proses penyangraian (instan) yang terbaik diperoleh pada suhu 75oC selama 10 menit, dengan rendemen tepungnya 96,24%. Karakteristik tepung tersebut
sebagai berikut : kadar air (3,68%), derajat putih (35,97%), kadar protein (14,27%), kadar lemak (4,38%), kadar karbohidrat (77,14%), kadar pati (13,09%), absorbsi air dan minyak masingmasing (3,7 dan 1,9 g/g bahan). Sifat amilografi suhu gelatinisasi 85,5oC ; viskositas puncak 30-50 BU dan viskositas balik 170-180 BU. Teknologi Ekstrusi Jagung Teknologi ekstrusi yang efisien dan efektif serta mudah dilaksanakan adalah proses ekstrusi dengan penambahan air 5% pada varietas jagung Bima. Karakteristik hasil yang diperoleh sebagai berikut : sifat fisik biji jagung panjang 0,87 cm; lebar 0,76 cm; tebal 0,33 cm; berat 30,95 g (100 butir/g), derajat putih 39,8%, dan derajat pengembangan untuk menjadi ekstrudat adalah 4,44. Warna produk ekstrudat cerah : (L) 61,70 dan warna (a) -8,68 dan warna (b) adalah 49,93. Karakteristik kimiawinya yaitu : kadar air (9,23%), kadar abu (1,03%), protein (9,08%), lemak (3,88%) dan karbohidrat (76,80%). Sifat amilografinya yaitu: waktu awal gelatinisasi 18 menit; suhu gelatinisasi 57oC, waktu viskositas (95oC) 21,5 menit; dan viskositas puncak tidak terdeteksi.
Gambar 3. Produk ekstrudat jagung varietas Bima, dengan derajat penelitian BB-Pascapanen
pengembangan 4,4, hasil
Agroindustri Pengolahan Tepung Kasava Kasava merupakan sumber karbohidrat yang potensial untuk dikembangkan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Namun demikian penolakan terhadap mutu produk dan harga jual yang rendah menjadi kendala dalam usaha peningkatan produksi kasava. Pengembangan model agroindustri pengolahan kasava dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam peningkatan nilai jual kasava dan peningkatan pendapatan petani kasava. Dengan adanya perbaikan budidaya (GAP), proses (GMP) serta adanya jaminan mutu produk, model agroindustri pengolahan kasava diharapkan dapat menanggulangi kendala dalam usaha peningkatan produksi kasava. Pada tahun 2004 BB-Pascapanen telah mengembangakan model agroindustri kasava di Lampung. Kasava yang diolah menjadi tepung kasava dapat memberikan nilai tambah sebesar 3,7 trilyun bila seluruh produksi ubi kayu (16 juta ton) diolah menjadi tepung kasava dan dapat menggantikan 20-80% terigu pada beragam produk. Model agroindustri pengolahan kasava seperti pada Gambar 4.
Unit Produksi Bahan Baku/Plasma
Unit Pengolahan
Mitra Usaha
Jaminan Kesinambungan Produk dan Mutu
Tepung Kasava
P1
P2
P3
Pn 25-50 Ha Teknologi bidudaya dan pola tanam (GAP) Binaan harian Permodalan
Eksportir
Pabrikan
INTI Pati Kasava
Model Pengolahan Kasava
Perajin Pangan
Produk Turunan Kasava Teknologi dan efisiensi proses serta pengemasan Penerapan GMP Binaan harian Permodalan
Pasar Bebas
Ikatan pasokan produk dengan jaminan mutu Promosi
Gambar 4. Model Agroindustri Pengolahan Kasava Teknologi Penanganan dan Pengolahan Jeruk Dalam upaya mengantisipasi kelebihan produksi jeruk siam Pontianak, BB-Pascapanen telah menghasilkan inovasi teknologi pengolahan sari buah (jus) jeruk yang diimplementasikan di Citrus Center di kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, bekerjasama dengan BPTP dan Pemda. Rasa jeruk siam sangat mudah berubah menjadi pahit karena pengaruh oksidasi dan panas, sangat berbeda dibandingkan jeruk lainnya, sehingga diperlukan teknologi yang dapat meminimalisir rasa pahit tersebut. Produk utama sari buah jeruk yang dikembangkan adalah jus jeruk sari murni, jus jeruk siap saji dan konsentrat sari buah jeruk. Teknologi pembuatan konsentrat yang terbaik dilakukan dengan metode kombinasi penggunaan evaporator dan membran ultrafiltrasi (UF). Saat ini produk jus jeruk sari murni sudah memasuki uji coba produksi dan pemasarn. Selama tahun 2007 (sampai bulan Juni) telah diproduksi sebanyak 8.000 cup (@ 110 cc) jus sari murni dan direncanakan lagi akan di produksi sebanyak 10.000 cup. Unit pengolahan tersebut akan dikelola oleh Citrus Center dengan melibatkan kelompok tani.
Gambar 5.
Unit pengolahan sari buah jeruk BB-Pascapanen yang di Kabupaten Sambas
kembangkan di
Teknologi Pengolahan Minyak Kelapa Murni (VCO) dan Produk Turunannya Teknologi pengolahan VCO yang dikembangkan merupakan teknologi proses mekanis, dengan penggunaan panas minimal. Keunggulan teknologi tersebut adalah waktu proses lebih cepat ±3 jam (tradisional 24-26 jam), hemat energi (pemanasan minimal) dan tanpa penggunaan bahan kimia. Inovasi teknologi pengolahan VCO telah diimplementasikan di Cianjur Selatan, bekerjasama dengan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Cianjur dan Koperasi Mutiara Baru. Unit pengolahan minyak kelapa murni yang dibangun memiliki kapasitas produksi 250 kg/jam kelapa parut. Produk minyak kelapa murni tersebut telah diluncurkan oleh Menteri Pertanian pada pembukaan Agro & Food Expo, pada tanggal 19 Mei 2005 di Jakarta. Limbah air kelapa sebagai produk samping dari pengolahan minyak kelapa murni, telah dimanfaatkan sebagai minuman isotonik. Dampak dari kerjasama tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani sebagai akibat terjadinya peningkatan harga buah kelapa di petani dari Rp 350,-/butir menjadi Rp 500,-/butir. Dinas Perkebunan Sumatera Barat dan Maluku Utara serta Perusahaan Swasta di Sumatera Utara sudah mengadakan unit pengolahan minyak kelapa murni dari BBPascapanen. Dalam rangka menghadapi pasar VCO yang mulai jenuh, BB-Pascapanen sedang melakukan diversifikasi produk minyak kelapa dengan memproduksi minyak goreng disamping VCO, dengan memanfaat unit pengolahan yang ada. Penyempurnaan teknologi isotonic drink masih terus dilakukan untuk mendapatkan masa simpan yang lebih lama.
Gambar 6. Unit pengolahan minyak kelapa murni yang dikembangkan BB-Pascapanen di Cianjur Selatan Teknologi Pengolahan Mete Terpadu Peningkatan daya saing dan nilai tambah usaha agroindustri jambu mete dapat dilakukan dengan memaksimalkan pemanfaatan peluang industri yang dimilikinya. Dalam hal ini perbaikan dan inovasi teknologi dapat diaplikasikan, baik pada proses pengolahan produk utama (kacang mete) maupun produk sampingnya (kulit mete dan buah semu).
Pengolahan kacang mete di tingkat petani selama ini menghasilkan rendemen kacang sebesar 25% dengan persentase kacang belah relatif tinggi (25 - 40%), sementara persentase kacang utuhnya relatif rendah (60 - 75%). Pengembangan teknologi pengolahan mete melalui proses pengukusan dan introduksi alat pengupas (kacip) gelondong tipe MM-99 mampu meningkatkan kadar kacang utuh hingga 90%. Kacang mete yang dihasilkan juga lebih unggul dari sisi mutu fisik (tampilan) dibandingkan produk petani lokal yang dijual di pasar setempat. Dengan teknologi di atas, produk yang dihasilkan memiliki warna yang lebih cerah dan lebih bersih, dengan tingkat keutuhan dan keseragaman yang lebih baik (Gambar 7). Keunggulan tersebut disertai pula jaminan kadar air yang relatif rendah (4,86 ± 0,06%). Dengan mengacu pada SNI 01-2906-1992, kacang mete ose yang dihasilkan dapat dikelompokkan ke dalam kelas mutu I. Model teknologi pengolahan kacang mete tersebut telah diterapkan di lapangan (Kab. Sampang) bekerjasama dengan Dinas Perkebunan Tk. I Jawa Timur. Kapasitas produksi 200 kg gelondong/hari dengan 8 jam kerja/hari, dapat dicapai apabila tenaga operator yang digunakan berjumlah 20 orang dengan perincian 8 orang pengupas gelondong, 3 orang pemisah kacang mete bertesta, 8 orang pengupas kulit ari sekaligus grading kacang mete yang dihasilkan, dan 1 orang bertugas dalam hal pengemasan.
A
B
Gambar 7. Tampilan kacang mete yang dihasilkan petani lokal (A) dan yang menggunakan teknologi pengolahan mete dari BB-Pascapanen (B). Teknologi penanganan susu di tingkat peternak, pengumpul dan koperasi susu Faktor utama yang menyebabkan rendahnya mutu susu sapi adalah rendahnya tingkat kebersihan pada saat pemerahan (mencakup : pemerah, peralatan dan kandang) yang berakibat pada tingginya nilai Total Plate Count (TPC). Jika nilai TPC pada susu sapi tinggi, maka harga jual susu tersebut akan rendah, bahkan bila nilai TPC tersebut melebihi ambang batas (10 6 CFU/ ml), susu tersebut ditolak oleh industri pengolahan susu. Proses pemerahan susu merupakan salah satu titik kritis yang sangat besar kontribusinya terhadap tingginya nilai TPC pada susu, karena tidak terjaminnya kebersihan tangan pemerah dan ruang kandang. Untuk mengatasi hal tersebut, peneliti BB-Pascapanen mengembangkan sistem pemerahan susu dengan menggunakan alat pemerahan susu. Pemakaian alat pemerahan susu tersebut dapat mengatasi pengaruh rendahnya tingkat kebersihan tenaga pemerah dan kandang, karena selama proses pemerahan tidak terjadi kontak antara tangan pemerah dan udara di lingkungan kandang dengan susu. Alat pemerahan susu yang dikembangkan oleh BB-Pascapanen terdiri dari tabung penyedot, pompa vakum ¼ hp, kontainer susu dan selang untuk mengalirkan susu dari ambing sapi ke kontainer susu (Gambar 8). Konstruksi alat pemerahan susu tersebut cukup sederhana dan bersifat mobile sehingga mudah dibawa ke ruang kandang sapi.
Gambar 8. Alat perah sederhana (1 buah carrier, 1 unit pompa vacuum ¼ hp, 1 unit wadah penampung susu kapasitas 20 liter, 1 set selang susu, 4 buah tabung penyedot susu, alat perah sederhana terpasang dalam carrier) Dalam rangka mempercepat adopsi teknologi pemerahan susu tersebut di tingkat peternak, telah dilakukan kerjasama dengan KUD Sarwamukti Lembang untuk pemanfaatan alat pemerah tersebut. Perbandingan hasil uji perah susu secara manual dengan yang menggunakan alat perah susu dapat dilihat yang dilakukan oleh anggota KUD Sarwamukti seperti disajikan pada Tabel 4. Tabel 4.
No 1.
2. a.
b.
Perbandingan hasil uji perah susu secara manual dan menggunakan alat perah susu tahun 2007. Cara Pemerahan Manual Menggunakan Alat Perah Uraian Kecepatan Produksi per Kecepatan Produksi per produksi pemerahan produksi pemerahan
Mei 2007 Kecepatan pemerahan pada 2 ekor sapi (sore) Juni 2007 Kecepatan pemerahan pada 3 ekor sapi (pagi dan sore) Nilai TPC
1,1 liter/menit
4 liter
0,53 liter/menit
8 liter
1,1 liter/menit
6 liter
0,72 liter/menit
9,3 liter
9,5 x 106 CFU/ml
1,6 x 105 CFU/ml
STRATEGI PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PASCAPANEN Seleksi Teknologi Seperti yang telah diuraikan diatas teknologi Pascapanen merupakan bagian yang tidak bisa dilepaskan dari pengembangan agro industri di pedesaan. Oleh karena itu pemilihan teknologi haruslah berdasarkan kemampuan menumbuhkan usaha pertanian yang berkesinambungan. Secara umum pemilihan teknologi pascapanen harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan : 1. Teknis. Teknologi pascapanen tersebut mudah dioperasikan, menghasilkan produk akhir yang sesuai permintaan 2. Ekonomis yaitu dapat diterapkan dengan biaya yang layak. Biaya yang layak bersifat relatif. Teknologi pascapanen yang membutuhkan biaya relatif tinggi namun juga menghasilkan margin yang tinggi dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan. Dalam hal ini kebutuhan biaya awal dapat dilakukan melalui pemanfaatan koperasi skim kredit yang ada atau swadaya.
3.
Sosial dan budaya, yaitu memperhatikan penerimaan masyarakat dan lingkungan terhadap teknologi tersebut. Pemilihan teknologi pascapanen yang menghasilkan produk yang bermutu tinggi, seperti beras kristal, namun tidak menjadi preferensi masyarakat setempat, tidak layak dikembangkan. Demikian pula dengan penggunaan teknologi pengolahan hasil yang menimbulkan aroma tidak enak kurang layak untuk dikembangkan
Faktor-faktor lain yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan pengembangan di lahan kering adalah komoditas dan sistem usahataninya, skala usaha tani, sifat usaha tani subsisten atau komersial. Untuk usaha tani tanaman pangan lahan kering pada umumnya bersifat subsisten untuk keperluan sendiri, sehingga teknologi pascapanen dianggap sesuai adalah teknologi yang sederhana. Model Penerapan Teknologi Pascapanen Model Plasma Inti Model plasma inti dapat diterapkan pada sistem usahatani lahan kering yang bersifat subsisten dalam skala kecil atau rumah tangga. Penerapan teknologi pascapanen ini harus dilakukan bersamaan penumbuhan kelembagaannya. Sebagai contoh, bila akan dikembangkan agoindustri tepung kasava maka teknologi pengolahan sawut kering atau setengah kering dilakukan pada kelompok plasma (petani individu), sedangkan penepungan, pengemasan dan pemasaran dilakukan oleh kelompok inti, seperti terlihat pada Gambar 8. Contoh lain adalah penerapan teknologi pelayanan jasa pengeringan (padi). Kelompok plasma (2-3 petani) dapat menerapkan model pengeringan skala kecil kapasitas 2-5 ton/batch ataupun melalui penjemuran dan pengeringannya cukup dilakukan sampai batas aman simpan sementara. Selanjutnya dikirim ke unit inti jasa pengeringan yang memiliki teknologi pengeringan secara mekanis dengan kapasitas lebih besar (>10 ton/batch) dan melanjutkan pengeringan sampai kadar air 14% (Gambar 9).
Usahatani Tanaman Usahatani Tanaman Hasil panen
Usahatani Tanaman Pekarangan
Usahatani Tanaman
Usahatani Tanaman
Lembaga pemasaran / penampungan hasil
Pasa
Usahatani Tanaman
Gambar 8. Model plasma-inti yang dapat digunakan untuk penerapan teknologi pascapanen pada sistem usahatani skala kecil atau subsisten dilahan kering.
Teknologi pengeringan tingkat Gabah basah petani
Teknologi pengeringan tingkat petani
Teknologi pengeringan tingkat
Teknologi pengeringan tingkat
Gabah kadar air 18%
Pengeringan tingkat inti/ penggilingan padi
Pas ar
Teknologi pengeringan tingkat petani
Gambar 9. Penerapan usaha jasa pengeringan dalam model kelembagaan plasma inti Model Agroindustri Terpadu Model Agroindustri terpadu dapat diterapkan pada skala kecil menengah bersifat komersial dan memerlukan modal investasi. Salah satu kelemahan dalam pengembangan agroindustri pedesaan adalah kepemilikan modal awal untuk memiliki aset – aset teknologi. Dalam hal ini perlu dibangun kemitraan antara petani produsen kemudian lembaga pemasok bahan baku, lembaga pengolah (pengguna teknologi pascapanen), kemudian pemerintah daerah sebagai pembina dan lembaga pemasaran. Salah satu contoh yang telah berhasil dikembangkan BB-Pascapanen adalah model agroindustri puree mangga terpadu di Cirebon yang melibatkan a. Petani dan kelompok tani sebagai pemasok bahan baku yang diikat dalam satu kelembagaan yang mengatur harga jual. b. Mitra usaha yang menerima dan mengoperasikan teknologi pengolahan puree mangga dari BB-Pascapanen dan mendapat bantuan permodalan dari Dinas Pertanian Cirebon, Kementerian Riset dan Teknologi.
c.
Semua pihak yang terlibat di atas diikat dalam satu perjanjian bersama yang menyangkut masalah harga jual/beli pembagian keuntungan serta HKI teknologi yang digunakan.
Bagan model agroindustri terpadu ini dapat dilihat pada Gambar 10. Model agroindustri yang sama telah pula dikembangkan untuk pengolahan jeruk di Kabupaten Sambas Kalimantan Barat, Pengolahan Kelapa Murni di Cianjur Selatan, Pengolahan Mete di Kabupaten Sampang Madura.
saham Pembinaan
Bahan Baku PETANI
income
- Manajemen usaha
PEMDA
- Teknologi proses
-
Pengalihan saham Pemerintah Kelembagaan Dana
MODEL AGROINDUSTRI PUREE MANGGA TERPADU
BB-PASCAPANEN
KEMENTRIAN RISTEK
Start up capital
income
MITRA USAHA CV. Promindo Utama
saham PASAR - Sarana - Pengelola
Gambar 10. Model agroindustri terpadu pengolahan Puree Mangga di Cirebon, Jawa barat
PENUTUP 1. Teknologi pascapanen yang dapat dikembangkan pada lahan kering telah cukup tersedia, namun dalam penerapannya harus memperhatikan kesesuaian dengan sistem usahatani yang ada, kondisi sosial/ekonomi, preferensi knosumen dan permintaan pasar. 2. Penerapan teknologi pascapanen pada sistem usahatani yang subsisten atau skala usaha kecil-menengah dapat dikembangkan melalui pola agroindustri terpadu yang melibatkan unsur petani, lembaga penelitian, mitra usaha dan pemerintah daerah, dalam bentuk plasma-inti 3. Penerapan tenologi pascapanen yang tepat dapat meningkatkan nilai tambah produk yang lebih lanjut lagi akan meningkatkan pendapatan petani.
DAFTAR PUSTAKA Anonymous. 2003. Pengembangan Technopreuneurship dengan Aspek Efisiensi Pasar, Kompetensi dan Keterampilan, Akses dan Layanan Iptek, Skema Permodalan dan Kewirausahaan di Bidang Pascapanen. Balai Penelitian Pascapanen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2003. Kantor Mentri Negara Riset dan Teknologi. ____________. 2004. Laporan Tahunan 2004. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor. 72 hal ____________. 2004. Rencana Strategis Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian 2005-2009. BB-Pascapanen, Bogor. 65 hal. ____________. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Menko Bidang Perekonomian. 56hal. ____________. 2005. Laporan Tahunan 2005. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 74 hal ____________. 2006. Laporan Tahunan 2006. Balai Besar dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. 67hal. Damardjati, D.S., S. Widowati, A. Setyono, B.A.S Santosa, dan R. Mudjisihono. 1993. Pengembangan Teknologi Pascapanen dan Pengolahan Hasil dalam Agroindustri. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Buku I, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. Hal 212-228. Hidayat, A. Dan A. Mulyani. 2002. Lahan Kering Untuk Pertanian. Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. Hal 1-35. Partohardjono, S., I.G. Ismail, Subandi, M. Oka Adnyana dan D.A. Darmawan. 1993. Peranan Sistem Usahatani Terpadu dalam Upaya Mengentaskan Kemiskinan di Berbagai Agroekosistem. PROSIDING Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor 23-25 Agustus 1993. hal 143-182. Thahir, R. 1990. Aspek Penanganan Basah Gabah pada Musim Hujan. Prosiding Hasil Penelitian Pascapanen, Karawang 10 Februari 1990, Balittan Sukamandi. Hal 1-20.. _________. 2005. Implementasi Teknologi Pascapanen untuk Industri Berbasis Pertanian. Prosiding Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian, BB-Pascapanen, Bogor, 7-8 September 2005. Hal 7-19. Zadocks, J.C. 1987. Crop loss assesment: A historical perspective and rationale. crop loss assesment in rice, IRRI Los Banos. 1-10pp.