Strategi pengembangan agribisnis lada ... Pengembangan Inovasi sistem Pertanian 4(2), 2011: 137-155
137
STRATEGI PENGEMBANGAN SISTEM AGRIBISNIS LADA UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI1) Syafril Kemala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111 Telp. (0251) 8321879, Faks. (0251) 8327010 e-mail:
[email protected] Diajukan: 18 Maret 2011; Disetujui: 5 Mei 2011
ABSTRAK Lada merupakan produk rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan dunia. Produk rempah ini memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia sebagai sumber devisa, penyediaan lapangan kerja, bahan baku industri, dan sumber pendapatan petani. Agribisnis lada menghadapi berbagai permasalahan. Pada subsistem hulu, permasalahan yang dihadapi adalah belum adanya industri pembibitan yang menjamin pasokan bibit bermutu dengan harga terjangkau, serta belum diterapkannya teknologi yang dihasilkan lembaga penelitian. Budi daya lada memerlukan modal yang mencukupi untuk mencapai produktivitas optimum, namun belum ada lembaga keuangan yang menyediakan modal. Petani umumnya menghasilkan lada hitam dan lada putih serta produk samping dengan pengolahan secara tradisional. Sekitar 85% produksi lada Indonesia diekspor sehingga standar mutu produk perlu mendapat perhatian. Rantai pemasaran lada cukup beragam, dengan margin yang diterima petani di Bangka sebesar 79,10% dan di Lampung 83,20%. Umumnya petani menjual lada ke pedagang pengumpul. Berdasarkan permasalahan tersebut, strategi pengembangan lada yang diusulkan adalah: (1) membangun kebun bibit dan penangkarannya dengan sistem distribusi yang efisien; (2) mengembangkan industri mesin dan logam; (3) mengembangkan pusat pertumbuhan lada berdasarkan keunggulan komparatif; (4) meningkatkan mutu lada melalui perbaikan budi daya, panen, dan pengolahan secara terintegrasi; (5) memperbaiki tata niaga; (6) memberdayakan petani melalui kelembagaan; dan (7) mempercepat alih teknologi. Kata kunci: Piper nigrum, lada, agribisnis, usaha tani, pendapatan
ABSTRACT Developing Pepper Agribusiness to Increase Farmers’ Income Pepper is the old and important spice in the world trade. This spice has important role in Indonesia economy as foreign exchange earner, job opportunities, industrial raw material, and source of farmers’ income. Pepper agribusiness faces many problems. In upstream subsystem, the problems are the
1)
Naskah disarikan dari bahan Orasi Profesor Riset yang disampaikan pada tanggal 31 Juli 2007 di Bogor.
138
Syafril Kemala
absence of seed industry which ensures the supply of quality seed at affordable price and unpracticed technologies resulted from research. Pepper cultivation needs large amount of capital to reach an optimum productivity. However, there is no financial institution serving capital for farmers. Farmers commonly produce black and white pepper and its by-products by using traditional methods. About 85% of Indonesia pepper is exported so it needs to pay attention on quality standard of pepper. Marketing chains of pepper varied with margin received by farmers in Bangka was 79.10% and in Lampung 83.20%. Farmers commonly sell pepper to village collectors. Based on these conditions, the proposed development strategies for pepper include: (1) developing seed garden and its efficient distribution; (2) building metal and machine industries; (3) developing new growing areas of pepper based on comparative advantage; (4) increasing pepper quality through improving cultivation, harvest, and postharvest; (5) improving marketing chains; (6) empowering farmers through strengthening their institutions; and (7) accelerating technology transfer. Keywords: Piper nigrum, pepper, agribusiness, farming system, farmers’ income
PENDAHULUAN Lada adalah “King of Spice”, rajanya rempah-rempah dan komoditas perdagangan dunia (Spices Board India 1992). Tanaman lada mempunyai sejarah yang panjang dan terkait erat dengan perjalanan bangsa Indonesia. Lada merupakan produk rempah tertua dan terpenting dalam perdagangan dunia. Purseglove (1968) menyatakan lada merupakan produk pertama yang diperdagangkan antara Barat dan Timur. Pada tahun 1100-1500, perdagangan lada memiliki kedudukan yang sangat penting. Pada waktu itu, lada bukan hanya digunakan untuk rempah-rempah, tetapi juga sebagai alat tukar dan mas kawin. Lada berperan penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri, dan untuk konsumsi langsung. Devisa dari lada menempati urutan keempat setelah minyak sawit (CPO), karet, dan kopi. Di Indonesia, lada digunakan sebagai bahan baku industri makanan siap saji, obat-obatan, dan kosmetik. Di beberapa negara, khususnya Perancis, industri par-
fum memiliki ketergantungan yang besar pada lada. Makanan tradisional maupun masakan Eropa yang berkembang di Indonesia juga menggunakan lada sebagai penyedap. Konsumsi lada di Indonesia mencapai 60 g/kapita/tahun (Ditjenbun 2003a). Dengan jumlah penduduk 220 juta orang, diperlukan 13.200 t lada/tahun atau 19,6% dari produksi lada nasional. Lada berperan sebagai penggerak ekonomi rakyat di sentra-sentra produksi, seperti di Kecamatan Bukit Kemuning, Lampung Utara. Demikian pula di sentrasentra produksi lain, lada menyumbang 33% terhadap pendapatan sektor pertanian (Mahmud et al. 2003). Peran lada sebagai penggerak ekonomi rakyat untuk meningkatkan pendapatan petani akan lebih nyata bila dikelola melalui pendekatan agribisnis yang terintegrasi, mulai dari hulu sampai hilir. Landasan dalam pendekatan agribisnis adalah: (1) pembangunan pertanian ditingkatkan dari pendekatan produksi ke pendekatan bisnis, yang berarti aspek usaha dan pendapatan menjadi pertimbangan utama; (2) pembangunan pertanian sangat terkait dengan industri hilir, industri hulu, dan
139
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
lembaga jasa penunjang; dan (3) pembangunan pertanian bukan sebagai pengembangan komoditas secara parsial, melainkan sangat terkait dengan pembangunan wilayah, khususnya perdesaan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat pertanian (Menteri Pertanian 2005). Saat ini, usaha tani lada kurang terkait dengan industri pengolahan, industri hilir (industri sarana produksi), serta industri jasa, keuangan, dan pemasaran. Akibatnya, agribisnis lada kurang dapat mendistribusikan nilai tambah sehingga belum mampu meningkatkan pendapatan petani. Usaha tani lada bersifat intensif modal, namun upaya untuk menekan biaya produksi belum banyak berubah. Di Indonesia, lada diusahakan di 30 provinsi, kecuali DKI Jakarta, Gorontalo, dan Maluku. Luas areal pertanaman lada meliputi 204.107 ha dengan sentra produksi Bangka Belitung 63.060 ha (30,91%), Lampung 63.812 ha (31,26%), Sulawesi Selatan 19.150 ha (9,38%), Kalimantan Timur 13.825 ha (6,77%), dan Kalimantan Barat 8.162 ha (3,99%), dengan luas total 168.009 ha atau 82,31% dari luas lada di Indonesia, dan produksi 72,70 ton atau 80,16% dari produksi Indonesia. Pertanaman terdiri atas tanaman belum menghasilkan (TBM) seluas 71.477 ha, tanaman menghasilkan (TM) 109.754 ha, dan tanaman rusak atau mati (TTR) 22.876 ha, dengan produksi 90.413 ton dan produktivitas rata-rata 824,53 kg/ha/tahun (Ditjenbun 2004). Makalah ini mengulas kinerja dan perspektif pengembangan agribisnis lada di Indonesia. Formulasi kebijakan dan strategi pengembangan juga diulas dalam upaya pengembangan agribisnis dan meningkatkan pendapatan petani.
KINERJA DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGAN AGRIBISNIS LADA Keragaan sistem agribisnis lada Indonesia secara eksplisit menunjukkan sinyal-sinyal perubahan yang merupakan fenomena dari produksi, konsumsi, perdagangan, teknologi, dan kelembagaan. Fenomena tersebut adalah: (1) turunnya pangsa ekspor lada Indonesia di pasar dunia; (2) permintaan lada hitam yang makin bertambah; (3) meningkatnya konsumsi lada domestik; (4) perubahan teknologi input luar tinggi ke input luar rendah; (5) penurunan areal dan produksi di beberapa daerah tradisional lada; dan (6) pergeseran daerah lada dari daerah tradisional ke daerah pengembangan. Fenomena tersebut merupakan resultan dari keunggulan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada simpul-simpul sistem agribisnis lada.
Subsistem Hulu Varietas unggul lada rakitan Balittro, seperti Petaling-1, Petaling-2, Natar-1, dan Natar-2, merupakan keunggulan untuk pengembangan industri bibit lada di Indonesia. Namun, hingga kini industri bibit lada belum ada, kecuali penangkar dan sumber bibit dari petani/instansi pemerintah. Tidak adanya industri bibit lada merupakan kelemahan dalam subsistem hulu. Kelemahan ini menyebabkan petani menggunakan varietas lokal yang produktivitasnya rendah. Di Bangka Belitung dan Lampung, 52,2% petani menggunakan bibit dari kebun sendiri dan sisanya (47,8%) dari petani lain atau kelompok tani. Di Bangka Belitung, varietas lokal yang
140
banyak ditanam petani adalah Merapin dan Lampung Daun Lebar (LDL), serta di Jambi dan Lampung adalah varietas Belantung. Menyadari pentingnya bibit berpotensi hasil tinggi (4 t/ha/tahun) serta relatif tahan terhadap hama dan penyakit, Dinas Perkebunan, Balai Pengkajian, dan instansi terkait terus melakukan penyuluhan dan pembinaan kelembagaan petani. Di samping itu, terdapat pengembangan areal baru yang cukup signifikan, seperti di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara , Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Dampak penyuluhan dan penambahan areal baru membuka peluang bagi industri bibit ke depan. Sedikitnya petani yang menggunakan bibit berproduktivitas tinggi akan menjadi ancaman berupa rendahnya produktivitas dan selanjutnya menurunkan pendapatan petani. Tersedianya rekomendasi pemupukan dan paket penggunaan pupuk buatan merupakan keunggulan di bidang industri agrokimia. Kemajuan industri agrokimia di Indonesia, seperti industri pupuk tunggal (urea, SP36, KCl) dan pupuk majemuk (NPK) serta distribusinya yang menjangkau daerah-daerah produksi merupakan peluang industri agrokimia dalam agribisnis lada. Belum adanya industri blending pupuk yang menyediakan pupuk dengan komposisi sesuai yang dibutuhkan petani dengan harga terjangkau merupakan kelemahan. Namun, harga pupuk yang terus naik serta tidak bersubsidi menjadikan petani tidak dapat menggunakan pupuk sesuai dengan rekomendasi. Hal ini akan berdampak terhadap rendahnya produktivitas dan tingginya biaya usaha tani, serta menjadi ancaman agribisnis lada. Rancang bangun alat dan mesin pada subsistem hulu serta percontohan mesin
Syafril Kemala
pengolahan, pengeringan, dan pengupasan lada menjadi keunggulan dalam pengembangan industri hulu agribisnis lada. Pabrik/industri alat dan mesin ini belum ada yang khusus, tetapi terintegrasi dengan pabrik/industri lain karena skala ekonomi pabrik belum tercapai, khususnya untuk lada. Faktor ini menjadi kelemahan dalam industri alat dan mesin lada di Indonesia. Pengolahan dan permintaan pasar akan produk yang berkualitas baik serta diversifikasi produk menjadi peluang bagi pembangunan pabrik/industri alat dan mesin lada. Terlambatnya pengembangan industri alat dan mesin lada akan menurunkan daya saing lada Indonesia, selain berdampak terhadap efisiensi dan menjadi ancaman lada Indonesia.
Subsistem Produksi Potensi lahan dan iklim yang sesuai dengan persyaratan tumbuh tanaman lada yang cukup besar, serta ketersediaan tenaga kerja dan teknologi menjadi faktor keunggulan subsistem produksi lada. Menurut Rosman et al. (1996), tersedia 367.880 ha lahan untuk pengembangan lada dengan status amat sangat sesuai, yang tersebar di Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Tenaga kerja yang berpengalaman dalam budi daya lada juga cukup tersedia, apalagi dengan tingginya tingkat pengangguran di semua daerah. Penguasaan teknologi budi daya, pascapanen, dan pengolahan hasil di Indonesia sejajar dengan di negara penghasil lada lainnya. Bahkan di Indonesia terjadi pergeseran teknologi budi daya dari input luar tinggi ke input luar rendah.
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
Serangan penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada daerah penghasil lada merupakan kelemahan dalam subsistem produksi. Kelemahan lain adalah penurunan areal dan produksi di beberapa daerah tradisional lada, seperti Bangka Belitung, Lampung, dan Kalimantan Barat akibat persaingan lada dengan komoditas lain, seperti dengan kelapa sawit di Bangka Belitung dan dengan kopi, ubi kayu, pisang, kakao, dan vanili di Lampung, sementara areal untuk perluasan terbatas. Di Kalimantan Barat, terbukanya kesempatan ekonomi (perdagangan) di perkotaan menyebabkan pengusaha dan petani lada beralih usaha ke kota-kota besar di Jawa dan luar Jawa. Indonesia sebagai penghasil utama lada hitam dunia berpeluang meningkatkan produksi seiring meningkatnya konsumsi lada hitam dunia. Konsumen lada hitam Indonesia adalah Amerika Serikat, Jepang, Eropa, negara-negara Timur Tengah, dan Asia Selatan. Hanya negara-negara Eropa dan sebagian kecil Jepang yang mengonsumsi lada putih. Lada hitam merupakan bahan baku industri parfum, obat-obatan, dan oleoresin. Peluang lain dalam meningkatkan produksi lada adalah meningkatnya penggunaan lada di dalam negeri untuk konsumsi maupun bahan baku industri. Berkembangnya industri makanan siap saji dan hotel meningkatkan konsumsi lada di Indonesia dari 60 g menjadi 70 g/kapita/ tahun. Pangsa pasar lada Indonesia menurun pada periode 1993-2003 dengan pertumbuhan -0,20%. Dalam periode yang sama, Vietnam, Sri Lanka, dan Meksiko mempunyai angka pertumbuhan positif (Vietnam 4,94%). Naiknya pangsa ekspor lada negara lain, terutama Vietnam, menjadi ancaman bagi Indonesia, karena Vietnam adalah negara berkembang sehingga pe-
141
luang meningkatkan produksi dan ekpor lebih besar, serta penduduk Vietnam mempunyai etos kerja tinggi.
Subsistem Pengolahan Hasil Standar lada Indonesia untuk lada putih (Muntok White Pepper) dan lada hitam (Lampong Black Pepper) menjadi acuan standar mutu lada internasional. Kuatnya posisi dan pangsa pasar dua jenis lada tersebut menjadikan Indonesia memperoleh harga tertinggi (US$2,99/kg) untuk periode 1990-2000, sedangkan Meksiko yang terendah (US$1,77/kg). Standar Muntok White Pepper dan Lampong Black Pepper menjadi keunggulan bagi subsistem pengolahan hasil. Proses pengolahan untuk menghasilkan Muntok White Pepper dan Lampong Black Pepper mulai dari budi daya, pemetikan, perendaman, pengupasan, penjemuran, sortasi, dan pengepakan harus terus bertambah maju dan menjadi perhatian dalam agribisnis lada Indonesia. Kadar air, kebersihan, keutuhan, dan kemurnian memengaruhi mutu lada dan hal itu sangat berkaitan dengan sumber daya manusia, peralatan, dan sarana. Faktorfaktor tersebut menjadi kelemahan dalam subsistem pengolahan hasil lada. Untuk mencapai kadar air optimal (5%) diperlukan lantai jemur dan gudang yang memadai. Air bersih yang cukup untuk perendaman akan menentukan tingkat kebersihan. Pada lada putih, alat pengupas yang baik dan cocok akan memengaruhi kualitas. Umur panen, cara panen, dan sortasi akan menentukan keutuhan dan kemurnian lada hitam dan lada putih. Ukuran kemasan dan perlakuan pengepakan juga memengaruhi mutu lada. Faktor lain yang sangat penting dalam pengolahan lada adalah serangan
142
Syafril Kemala
bakteri, seperti Salmonella. Indonesia menghadapi klaim ekspor akibat serangan bakteri tersebut pada produk lada. Permintaan lada dan produknya terus meningkat, seperti lada hijau, lada jingga, minyak lada, oleoresin, dan bubuk lada. Di Malaysia dan Serawak tersedia bahan makanan dari lada, seperti acar, manisan, saus, dan sambal. Perancis, negara penghasil kosmetik terkenal, memanfaatkan lada sebagai bahan baku. Yang tidak kalah pentingnya adalah lada sebagai bahan baku obat-obatan untuk kesehatan dan pestisida. Terdapat 21 klaim penggunaan lada sebagai pestisida. Piperin merupakan antibakteri dan antijamur yang dapat menggantikan formalin sebagai pengawet makanan. Kesemuanya ini merupakan peluang dalam pengembangan industri pengolahan hasil lada. Keterlibatan petani dalam pengolahan hasil (pascapanen) masih kecil, yang menandakan belum terintegrasinya sistem agribisnis pengolahan hasil, terutama grading karena masih banyak dilakukan oleh pedagang. Ancaman berupa manipulasi kualitas sangat sering terjadi sehingga Indonesia sering mendapat klaim ekspor. Di lain pihak, alat dan mesin pengolah lada cukup mahal, seperti untuk pengolahan lada asalan menjadi lada ASTA (America Spice Trade Association) dan FAQ (Fair Average Quality) yang mempunyai nilai tambah tinggi, sehingga hanya dapat dimanfaatkan oleh pemilik modal besar.
Subsistem Pemasaran Hasil Sentra pasar lada yang mengikuti sentra produksi menandakan lada sebagai komoditas pasar terbuka. Di sentra produksi, petani tidak pernah mengalami kesulitan menjual lada. Di samping itu, lada sebagai
rempah dan penyedap sudah dikenal masyarakat. Pasar lokal (warung) dapat membeli lada yang kemudian menjualnya ke konsumen langsung. Lada sebagai komoditas pasar terbuka merupakan keunggulan dalam subsistem pemasaran hasil. Keunggulan lain adalah lada termasuk komoditas dengan tingkat efisiensi tata niaga paling tinggi. Demikian pula untuk pasar internasional, pangsa pasar lada Indonesia terbesar di dunia dan terdapat jaringan pasar pada semua negara pengimpor lada. Faktor tersebut menjadi keunggulan untuk subsistem pemasaran lada Indonesia. Kelemahan subsistem pemasaran lada yaitu struktur pasar oligopoli, lemahnya informasi pasar dan transparansi pembentukan harga, dan kurangnya promosi. Struktur pasar oligopoli di Bangka terjadi pada pedagang pengumpul, sedangkan pada lada hitam di Lampung terdapat pada pedagang desa. Kelemahan informasi pasar tercermin dari integrasi pasar yang lemah antara harga di tingkat petani dan harga eksportir (Djulin dan Malian 2005). Kelemahan informasi pasar akan memperburuk posisi tawar petani. Hal ini selalu terjadi dalam pasar produk pertanian selama petani tetap sebagai penerima harga (price taker). Promosi pasar yang kurang menjadi salah satu kelemahan subsistem pemasaran lada. Sampai saat ini, ekspor lada Indonesia hanya terpusat di Amerika dan Eropa, sedangkan potensi pasar lainnya seperti Jepang, China, Asia Tengah, Timur Tengah, Rusia, Australia, Kanada, dan lainnya belum tergarap. Untuk membuka pasar baru perlu dirancang promosinya. International Pepper Community (IPC) masih bias pada negara-negara tertentu sehingga Indonesia harus memiliki kebijakan tersendiri seperti promosi melalui
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
kedutaan besar. Kebijakan nilai tukar dan pajak ekspor juga merupakan kelemahan perdagangan internasional lada. Permintaan lada akan meningkat 1,52,5%/tahun sesuai dengan pertumbuhan penduduk. Diversifikasi produk lada sesuai dengan selera konsumen, seperti lada hijau, lada jingga, lada asalan, dan acar merupakan peluang dalam subsistem pemasaran lada. Globalisasi dan pasar bebas serta kebijakan devisa merupakan peluang bagi pasar lada. Globalisasi dan pasar bebas telah dimanfaatkan Singapura dengan melakukan reekspor lada, yang menjadi ancaman subsistem pemasaran hasil karena lemahnya kontrol kualitas. Banyak lada yang lolos dari sertifikat ekspor dan kemudian diklaim oleh negara pengeskpor. Pada tahun 2002, telah terjadi klaim 16,5 ton. Ancaman yang cukup serius adalah munculnya negara pendatang baru seperti Vietnam, Meksiko, dan Sri Lanka, yang volume ekspornya meningkat tajam pada dua dekade terakhir.
143
Menyadari pentingnya kelembagaan dalam mewujudkan kesejahteraan petani, pemerintah tetap konsisten untuk mencari temuan baru dalam kelembagaan serta memperbaiki kekurangan yang terjadi. Diperkenalkannya kelembagaan kelompok usaha agribisnis terpadu (KUAT), asosiasi petani lada, serta sistem agribinis korporasi terpadu merupakan peluang dalam subsistem kelembagaan agribisnis lada. Namun, globalisasi dan konglomerasi yang tidak terkendali dalam perdagangan dan moneter menjadi ancaman kelembagaan agribisnis lada nasional.
FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN AGRIBISNIS LADA Strategi pengembangan agribisnis lada harus dilakukan melalui formulasi efisiensi dan integrasi simpul pada setiap subsistem agribisnis, mencakup subsistem hulu, produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan kelembagaan.
Subsistem Kelembagaan Upaya memperkuat posisi tawar petani dapat dilakukan melalui organisasi yang dibentuk pemerintah, seperti KUD dan Kimbun, maupun melalui swadaya petani, seperti kelompok tani dan asosiasi petani. Pengenalan dan pembelajaran yang dialami petani dalam kelembagaan tersebut merupakan keunggulan dalam kelembagaan agribisnis ke depan. Kegagalan KUD sebagai organisasi ekonomi petani, kegagalan kelembagaan plasma dan inti (PIR), serta kegagalan kelompok tani lada dalam menciptakan keadilan dan memperjuangkan hak-hak petani merupakan kelemahan dalam subsistem kelembagaan agribisnis lada.
Strategi pada Subsistem Hulu Rendahnya produktivitas lada merupakan salah satu penyebab rendahnya pendapatan petani. Produktivitas lada di tingkat petani di Bangka Belitung hanya 1.085 kg/ ha/tahun dan di Lampung 663 kg/ha/ tahun. Produktivitas yang rendah terutama disebabkan oleh penggunaan bibit yang bermutu rendah. Petani umumnya menggunakan bibit lokal, seperti jenis Belantung di Lampung serta jenis Merapin dan LDL di Jambi dan Bangka Belitung, dengan potensi hasil 1,5 t/ha/tahun. Potensi hasil lada lokal tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietas unggul Natar-1,
144
Natar-2, Petaling-1, dan Petaling-2 (4,0 t/ ha/tahun) rakitan Balittro. Penyebab tidak digunakannya varietas unggul oleh petani adalah tidak dipenuhinya syarat 4-T (tepat waktu, tepat tempat, tepat harga, dan tepat jenis). Agar terpenuhinya 4-T diperlukan industri bibit lada. Secara konseptual, industri bibit lada layak secara teknis maupun ekonomis. Dengan stock seed dari Balittro serta tenaga ahli dan teknis yang tersedia, industri bibit yang layak secara teknis dapat dibangun. Tiap tahun dibutuhkan 40 juta bibit dengan volume usaha Rp80 miliar. Penyebab lain rendahnya produktivitas adalah ketergantungan pada agroinput, seperti pupuk, pestisida, dan zat pengatur tumbuh. Dicabutnya subsidi pupuk untuk perkebunan menyebabkan harga pupuk melambung dan penggunaan pupuk tunggal berbentuk prill kurang efisien. Kondisi industri agroinput yang demikian menyebabkan biaya produksi lada meningkat. Suatu pemecahan untuk keluar dari kondisi tersebut adalah melalui industri bleeding pupuk, subsitusi pupuk buatan dengan pupuk organik/kandang, dan subsitusi pestisida kimia dengan pestisida nabati (biopesticide). Konsep ini sangat strategis dalam industri agroinput. Pendapatan petani yang rendah, di samping karena rendahnya produktivitas, juga disebabkan kecilnya bagian nilai tambah yang mereka terima. Pembentukan nilai tambah berkaitan dengan industri alat dan mesin dalam proses produksi dan pengolahan. Alat mesin pengupas, perontok, pengering, dan penyuling lada sebagian besar belum digunakan di tingkat petani karena faktor 4-T. Pemecahannya adalah membangun industri alat dan mesin
Syafril Kemala
pertanian dilengkapi dengan jaringan distribusinya. Langkah awalnya adalah penajaman industri mesin dan logam yang ada ke industri mesin dan alat lada di sentra produksi.
Strategi pada Subsistem Produksi Pusat Pertumbuhan Agribisnis Lada Efisiensi teknis dan ekonomis sebagai keharusan untuk mendapat keuntungan yang optimal dalam sistem dan usaha agribisnis adalah mengembangkan usaha tersebut pada daerah yang sesuai dan sangat sesuai. Secara ekonomis, lahan dan iklim yang sesuai merupakan unsur utama dari keunggulan komparatif. Produktivitas yang tinggi serta ketahanan terhadap hama dan penyakit sebagai pengaruh dari kesesuaian lahan dan iklim akan menekan biaya produksi sehingga harga pokok lada menjadi rendah. Untuk mendukung wilayah pengembangan lada di Indonesia, Wahid dan Soetopo (1990) telah membuat peta kesesuaian lahan dan iklim untuk Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Lahan yang sangat berpotensi untuk pengembangan lada seluas 367.880 ha. Pengembangan lada pada daerah baru diarahkan pada daerah yang mempunyai keunggulan komparatif, dengan ketinggian tempat 50500 m dpl, curah hujan 3.000-4.000 mm/ tahun, suhu 21-30°C, dan tanahnya subur. Dengan terintegrasinya subsistem lain dengan subsistem produksi, daerah ini akan menjadi pusat pertumbuhan agribisnis lada.
145
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
Perubahan Teknologi Input Luar Tinggi ke Input Luar Rendah Teknologi budi daya lada dapat digolongkan menjadi teknologi input luar tinggi dan teknologi input luar rendah (Coen et al. 1999). Teknologi input luar tinggi meliputi tiang panjat mati, pupuk anorganik, dan pestisida, sedangkan teknologi input luar rendah mencakup penggunaan tiang panjat hidup dan pupuk organik sebagai pupuk utama. Budi daya lada dengan tiang panjat mati menggunakan penegak dari kayu atau bahan lain seperti beton atau plastik, sehingga harganya mahal. Teknik budi daya ini banyak diterapkan petani Bangka Belitung dan menghasilkan lada putih (Wahid dan Yufdi 1989). Komponen biaya produksi untuk tiang panjat mati di mencapai 60% dari total biaya produksi. Budi daya dengan tiang panjat mati diikuti dengan pemberian pupuk dan pestisida takaran tinggi, yaitu urea 1.000 kg, SP36 1.000 kg, dan KCl 310 kg/ha/tahun serta pestisida 4 l/ha dan curahan tenaga kerja 824 HOK/ha. Dengan teknologi ini, biaya produksi lada mencapai Rp49.795.500/ha dan harga pokok lada Rp14.027/kg. Budi daya dengan tiang panjat hidup menggunakan pohon penegak hidup, seperti dadap dan gamal, dan tanaman penutup tanah Arachis pintoii. Teknologi ini menggunakan pupuk kandang (kompos) di samping pupuk buatan. Umur produktif tanaman lada berkisar antara 8-10 tahun, dengan biaya produksi Rp28.023.500/ha dan harga pokok Rp8.164/kg. Lada yang dihasilkan biasanya adalah lada hitam. Budi daya lada dengan tiang panjat mati menghadapi beberapa kendala, antara lain: (1) sulitnya mendapat kayu ulin dan mendaru dan harganya mahal; (2) kompe-
titifnya usaha tani lada sehingga harga lada cukup bersaing; dan (3) meningkatnya harga pupuk dan pestisida. Masyarakat juga makin mengenal pupuk kandang (kompos) serta meningkat kesadarannya akan kelestarian lingkungan. Mendorong petani beralih dari teknologi input luar tinggi ke input luar rendah dan berwawasan lingkungan memerlukan dukungan pemerintah dalam bentuk kemudahan dan insentif. Di Bangka Belitung, petani sulit memperoleh pupuk kandang dan kompos.
Pemakaian Bibit Unggul dan Tahan Penyakit Produktivitas rata-rata lada cenderung menurun karena beberapa faktor, seperti ketidaksesuaian lahan, tanpa pemupukan, serta penggunaan varietas bukan unggul dan bahan tanaman dari sulur gantung. Saat ini tersedia sekitar 40 kultivar lada, dan yang banyak dibudidayakan petani adalah varietas Cunuk, Jambi, LDL, Bangka, Kucing, dan Lampung Daun Kecil (LDK). Varietas yang paling banyak ditanam petani adalah LDL karena produksi buahnya lebih banyak dibandingkan dengan varietas lainnya. Varietas unggul lada yang tersedia adalah Natar-1, Natar-2, Petaling-l, dan Petaling-2. Dalam upaya meningkatkan produktivitas lada, pemerintah perlu memfasilitasi penyediaan bibit serta percontohan (demplot) di daerah pertanaman lada.
Pengendalian Hama dan Penyakit Kerugian usaha tani lada akibat serangan hama dan penyakit mencapai Rp5,8 miliar setiap tahun dan cenderung meningkat
146
(Direktorat Proteksi Perkebunan 1999). Hama yang perlu diwaspadai adalah penggerek batang (Lophobaris piperis), pengisap buah (Dasynus piperis), dan pengisap bunga (Diconocoris hewetti). Hama yang paling merugikan adalah penggerek batang karena larvanya menyerang batang dan cabang, sementara serangga dewasa menyerang bagian pucuk, bunga, dan buah sehingga menurunkan kuantitas dan kualitas produksi. Penyakit penting lada adalah BPB yang disebabkan jamur Phytophthora capsici, penyakit kuning yang penyebabnya sangat kompleks, antara lain Radopholus similis, Meloidogyne incognita, Fusarium spp., dan penyakit kerdil (keriting) yang disebabkan oleh virus. Penyakit BPB menjadi kendala produksi yang paling penting karena dapat menyebabkan kematian tanaman dalam waktu singkat. Phytophthora merupakan jamur yang hidup di dalam tanah dan sulit diberantas. Hingga saat ini belum ada obat yang dapat mengendalikan jamur tersebut dan belum ada varietas lada yang betul-betul tahan. Penyakit ini dapat dihambat perkembangannya melalui pendekatan terpadu. Balittro (2003) telah menyusun paket pengelolaan tanaman lada terpadu, meliputi : (1) varietas lada toleran hama penyakit; (2) pemanfaatan musuh alami seperti jamur antagonis, pestisida nabati, pengelolaan bahan organik dan pemanfaatan leguminosa; (3) tindakan agronomis berupa pemupukan, perbaikan drainase, pemangkasan, dan pengendalian gulma; dan (4) penggunaan pestisida kimia secara selektif. Penerapan teknologi ini dapat meningkatkan hasil lada 70-80% dibanding cara petani sehingga produktivitas lada rakyat dapat meningkat menjadi 1.500-2.000 kg/ha/ tahun, atau meningkatkan pendapatan 2,5-3,5 kali. Paket teknologi ini dikenal
Syafril Kemala
dengan Sistem Usaha Agribisnis Lada (SUALA).
Strategi pada Subsistem Pengolahan Hasil Perbaikan Mutu dan Kualitas Lada putih, lada hitam, lada hijau, bubuk lada, minyak lada, dan oleoresin adalah produk-produk lada. Lada putih dan lada hitam merupakan produk utama lada Indonesia dan menjadi acuan internasional dalam kualitas karena sudah memenuhi standar mutu internasional. Dengan munculnya negara pesaing seperti Vietnam, Meksiko, India, Malaysia, dan Brasil, upaya mempertahankan mutu dan kualitas perlu dilakukan. Pasar menuntut kualitas hasil olahan yang selalu meningkat mutunya. Petani umumnya mengolah buah lada menjadi lada hitam dan lada putih. Hasil sampingan berupa lada enteng, menir, dan debu belum dimanfaatkan padahal hasil samping ini mempunyai nilai tambah yang tinggi. Lada enteng, menir, dan debu dapat diolah menjadi minyak lada, dan oleoresin. Dengan peralatan modern, lada asalan dapat diolah menjadi lada ASTA dan FAQ. Harga lada ASTA dan FAQ jauh lebih mahal, yaitu setengah kali harga lada asalan. Pengolahan lada ASTA dan FAQ dilakukan oleh pedagang provinsi atau eksportir. Sebetulnya, melalui koperasi petani dapat mengolah lada ASTA dan FAQ.
Diversifikasi Produk Untuk memperluas pangsa pasar lada dan memajukan industri dalam negeri, pemerintah perlu terus mengembangkan diver-
147
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
sifikasi produk lada. Di Serawak, banyak bahan makanan yang dibuat dari lada seperti acar, manisan, saus, dan sambal, serta parfum (Amin Det dan Wong Ting Hung 2001). Di Indonesia, produk lada sebagai bahan baku obat sudah lama dikembangkan. Wijayakusumah (1999) menyatakan terdapat 18 klaim manfaat lada bagi kesehatan, antara lain untuk reumatik, asma, influensa, dan osteoporosis. Industri kosmetik dan parfum di Indonesia sebagian besar menggunakan piperin dan oleoresin impor. Pengembangan produk lada memungkinkan industri kosmetik dalam negeri menggunakan bahan baku lokal. Minyak lada terutama digunakan sebagai pemberi aroma dan rasa pada berbagai makanan dan juga dipakai dalam industri kosmetik dan farmasi. Penghasil minyak lada terbesar adalah India. Indonesia baru berkontribusi 10% terhadap produksi minyak lada dunia saat ini, yaitu 10 t/tahun. Penggunaan lada untuk pestisida nabati menjadi salah satu prioritas pengembangan produk. Penggunaan pestisida nabati lada untuk hama dan penyakit tanaman mempunyai ± 21 klaim. Sejalan dengan itu, piperin digunakan sebagai pengawet makanan. Upaya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong dan memfasilitasi pembangunan industri pengolahan tersebut.
Strategi pada Subsistem Pemasaran Masih banyak kekurangan dan distorsi sebagai hambatan dalam pemasaran lada. Di daerah produsen utama lada (BangkaBelitung dan Lampung) terindentifikasi beberapa fungsi yang agak lemah, yaitu
efisiensi tata niaga, informasi pasar, transparasi pembentukan harga, dan promosi.
Efisiensi Tata Niaga Hasil kajian tentang tata niaga lada menunjukkan, efisiensi tata niaga lada hitam lebih tinggi (85%) dibanding lada putih. Struktur pasar oligopolistik terjadi pada pedagang pengumpul lada putih (Bangka), sedangkan pada lada hitam terjadi pada pedagang desa. Hal ini mencerminkan koordinasi vertikal simpul-simpul agribisnis lada hitam lebih baik dibandingkan dengan lada putih. Investasi (modal) dalam usaha lada putih cukup besar sehingga petani sangat bergantung pada pedagang pengumpul yang juga sebagai pemberi modal. Hal ini berdampak pada pembentukan harga karena telah terjadi contract farming secara tersembunyi. Strateginya adalah memperbaiki simpul-simpul agribisnis, terutama pada lada putih.
Informasi Pasar dan Transparansi Pembentukan Harga Integrasi pasar yang lemah antara harga di tingkat petani dan harga eksportir (dunia) menunjukkan kurangnya informasi pasar yang sampai ke petani. Hal ini berdampak terhadap transparansi pembentukan harga serta memperburuk posisi tawar petani dan memperlemah kelembagaan petani. Media seperti radio dan surat kabar lokal serta Kadin dan Dinas Perdagangan dapat menyediakan informasi pasar yang maksimal. Di pusat produsen lada (Bangka Belitung dan Lampung) perlu dirancang Pepper Commodity Fair secara berkala.
148
Syafril Kemala
Promosi Produksi dan Peluang Pasar Baru Konsumsi lada di dalam negeri cenderung meningkat dari 60 g menjadi 70 g/kapita/ tahun. Peningkatan tersebut terdorong antara lain oleh masuknya selera “barat” dalam masakan Indonesia. Bila hal ini ditunjang oleh pengembangan berbagai produk lada yang mudah tersedia tentunya konsumsi akan lebih tinggi. Di pasar internasional, konsumsi lada juga berpeluang ditingkatkan. Hampir semua bangsa, etnis, dan suku mengonsumsi lada. Sampai saat ini, ekspor lada hanya terpusat ke Amerika dan Eropa sehingga perlu dipertimbangkan membuka pasar ekspor ke negara lain. Promosi di pasar dunia dapat melalui kedutaan Indonesia. Cara ini dapat mengurangi ketergantungan pada IPC yang masih bias pada negara tertentu.
Strategi pada Subsistem Kelembagaan Petani Pemberdayaan petani untuk kepentingan petani individu maupun kelompok harus ditumbuhkan agar petani menyadari perannya dalam membina usahanya maupun memperjuangkan hak-haknya. Kelompok tani maupun koperasi sangat berperan dalam meningkatan pendapatan petani melalui kegiatan pengadaan input, pemasaran hasil, pengolahan hasil, adopsi teknologi, dan penguatan perjuangan hak-hak petani. Kelembagaan KUAT secepatnya perlu didirikan dan dikembangkan. Kelembagaan yang sudah ada seperti Asosiasi Petani Lada dan Kimbun bersama pemerintah daerah dapat mendorong upaya dimaksud. Di samping itu, IPC dengan Indonesia sebagai salah satu
anggotanya dan mempunyai kantor di Indonesia, seyogianya ikut berperan dalam membina petani lada. Melalui berbagai upaya tersebut, pasokan, permintaan, dan harga lada dunia dapat ditangkap secepatnya oleh kelompok tani lada di daerah. Salah satu kendala dalam meningkatkan produksi dan pendapatan petani lada adalah modal petani yang terbatas. Hampir seluruh petani lada menggunakan modal sendiri (98,4%). Modal terutama digunakan untuk membeli pupuk dan pestisida. Besarnya modal serta strukturnya menyebabkan ketersediannya sangat terkait dengan harga lada. Penurunan harga jual akan menurunkan kinerja usaha tani berikutnya karena petani mengurangi takaran pupuk dan obat-obatan sehingga hasil lada menurun. Sebagian petani lada meminjam modal ke pedagang. Petani lada di Bangka 64,40% membeli input secara hutang ke kios (pedagang) dan akan dibayar dengan hasil panen. Oleh karena itu, pemerintah maupun masyarakat perladaan perlu mempermudah akses petani ke lembaga keuangan. Keberadaan koperasi sangat strategis, baik sebagai lembaga pemasaran maupun pembiayaan. Kegagalan KUD bukan suatu alasan untuk tidak memberikan peran kepada koperasi, tetapi memfungsikan koperasi sesuai dengan asasnya.
KEBIJAKAN PENDUKUNG OPERASIONAL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS LADA Kebijakan pada Subsistem Hulu Tidak tersedianya bibit dengan paket 4-T menyebabkan kurangnya pengetahuan petani akan bibit unggul. Untuk menjamin ketersediaan bibit di tingkat petani, kebi-
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
jakan operasionalnya adalah mendirikan industri pembibitan lada di sentra produksi. Dalam hal ini, pemerintah perlu memberi fasilitasi berupa: (1) menyiapkan perangkat lunak seperti pelaksanaan Undang-undang No.12 tentang Budidaya Tanaman, Undang-undang No. 18 tentang Perkebunan, dan peraturan daerah tentang perizinan; (2) menyiapkan perangkat keras berupa akses ke stock seed, sumber daya manusia, permodalan, keamanan, dan lainnya. Pemerintah telah memfungsikan Balai Penelitian, Dinas Perkebunan, dan kelompok tani penangkar benih sebagai komponen pendukung industri bibit. Bibit (stock seed) dari Balai Penelitian dapat diperbanyak oleh penangkar dan kelompok tani. Dalam kaitan ini, Badan Litbang Pertanian telah membentuk Unit Pengelolaan Benih Sumber (UPBS) dan Unit Komersialisasi Teknologi (UKT). Peningkatan pengetahuan petani lada dapat dilakukan melalui penyuluhan dengan menggunakan berbagai media. Namun, intensitas penyuluhan masih rendah karena keterbatasan tenaga penyuluh, biaya, dan organisasi penyuluh. Pengembangan industri agro-otomotif dapat dilakukan dengan penajaman (focusing) industri mesin dan logam yang ada. Alat dan mesin rancangan Balittro dan BB Pascapanen belum banyak digunakan petani karena kurangnya sosialisasi ke petani serta belum tersedia di tingkat petani. Seyogianya kebijakan penajaman industri alat dan mesin di daerah produsen lada adalah ke industri alat dan mesin untuk sistem agribisnis lada. Kebijakan operasionalnya adalah memberi rangsangan dan fasilitas dengan peraturan yang kondusif. Ketersediaan pupuk buatan dan pestisida dengan dukungan industri pupuk dan jaringan distribusinya telah memadai. Na-
149
mun, pencabutan subsidi pupuk menyebabkan harga pupuk melambung. Pendekatannya adalah melalui efisiensi penggunaan pupuk dan tidak memberlakukan ketentuan pupuk nonsubsidi pada lada karena lada merupakan penghasil devisa. Pupuk buatan dalam bentuk tunggal dan prill tidak efisien sehingga pemerintah perlu mendorong industri blending pupuk melalui kelompok tani/swasta serta mengembangkan pupuk tablet dan pupuk organik. Di Bangka Belitung, ketersediaan pupuk kandang sangat terbatas sehingga perlu diatasi dengan membangun industri kompos.
Kebijakan Operasional pada Subsistem Produksi Inovasi teknologi dan kelembagaan hasil penelitian perlu disosialisasikan melalui pendidikan dan pelatihan pada unit-unit pelaksana teknis sebagai pelaksana operasional. Beberapa inovasi teknologi tersebut diuraikan berikut ini.
Sistem Integrasi Usaha Tani LadaTernak Sahara et al. (2004) telah meneliti tiga pola usaha tani, yaitu integrasi ternak lada, teknologi petani, dan usaha tani gabungan. Dilaporkan bahwa pada usaha tani integrasi lada-ternak, luas lahan dan tenaga kerja berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Bila anggapan peningkatan produksi proksi dari peningkatan pendapatan, penambahan luas lahan untuk menambah populasi ternak berpengaruh nyata terhadap pendapatan. Subsitusi pupuk buatan dengan pupuk kandang berdampak teknis dan ekonomis.
150
Dari total biaya produksi lada, 20% lebih digunakan untuk pupuk buatan. Dengan demikian, penggunaan pupuk kandang dapat menekan 10% biaya produksi. Percobaan Balittro menunjukkan bahwa kombinasi pupuk kandang dan buatan memberikan hasil sama dengan pemakaian pupuk NPK optimal (3.000 kg/ha/tahun). Tanamanan penutup tanah A. pintoii dapat digunakan untuk menekan gulma. Hasil percobaan di Bangka menunjukkan, penggunaan penutup tanah A. pintoii dapat menekan biaya pemeliharaan 3040%. Hijauan pakan ternak dan A. pintoii adalah nutrisi yang baik bagi ternak. Sistem intregrasi lada-ternak meningkatkan pendapatan petani Rp3-4 juta/ha/tahun (Balittro 2004). Oleh karena itu, teknologi ini perlu dipercepat penyampaiannya ke petani melalui sosialisasi dan penyuluhan terpadu.
Teknologi Tiang Panjat Mati Kayu Campuran dan Penegak Hidup Nuryani dan Zaubin (2004) menyatakan, komponen biaya produksi lada dengan tiang panjat mati kayu mendaru (ulin) mencapai 40,16%. Bila harga kayu mendaru Rp12.000/batang berarti tiap hektar membutuhkan biaya Rp24 juta. Umur ekonomis lada tiang panjat mati relatif pendek (5 tahun) sehingga penggunaan kayu mendaru tidak ekonomis. Alternatifnya adalah mengganti tiang panjat mati mendaru dengan kayu campuran. Kayu campuran perlu diganti tiap 1-2 tahun sehingga dalam satu periode produksi lada perlu dilakukan dua kali penggantian tiang panjat. Harga tiang panjat kayu campuran Rp3.500/batang, setara dengan Rp7 juta/ha, atau menghemat biaya produksi lada Rp17 juta (70,80%).
Syafril Kemala
Menurut Nuryani dan Zaubin (2004), penggunaan penegak hidup dadap cangkring sebagai pengganti tiang panjat mati berpeluang dikembangkan. Dadap cangkring memiliki akar yang disukai bakteri rhizobium sehingga dapat mengikat N dari udara, serta jamur Mychorriza sp. yang dapat membantu tanaman menyerap unsur P. Dadap mudah diperbanyak dengan setek. Penggunaan tiang panjat hidup dadap cangkring hanya membutuhkan biaya Rp1.000/setek atau setara Rp2 juta/ ha. Saat ini, petani lada di Bangka mulai tertarik untuk menggunakan dadap sebagai tegakan lada. Tercatat petani di 16 desa dan 9 kecamatan mengambil setek dadap yang dari kegiatan ini. Penggunaan Bibit Unggul dan Tahan Penyakit Petani umumnya menggunakan varietas lada bukan unggul, padahal telah tersedia varietas lada unggul seperti Natar-1, Natar2, Petaling-1, Petaling-2, dan Bengkayang. Produktivitas varietas Bengkayang dan Petaling-1 paling tinggi dibandingkan varietas lainnya, tetapi keduanya rentan terhadap BPB. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas lada, penggunaan varietas unggul perlu ditunjang dengan penyediaan bibit dalam jumlah cukup serta percontohan (demplot) di daerah pertanaman lada.
Kebijakan Operasional pada Subsistem Pengolahan Hasil Perbaikan Mutu dan Kualitas Lada Agar lada Indonesia mampu bersaing di pasar internasional, perlu diterapkan standar mutu hasil ISO 9000, ISO 14000,
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
151
HACCP, dan SPS sejak penyediaan bahan baku sampai pengepakan serta mengoptimalkan kadar air, kebersihan, keutuhan, dan kemurnian. Dengan demikian, produsen/petani dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan eksportir dan memasarkan lada secara perorangan maupun melalui kelompok (kemitraan). Untuk mencapai standar mutu hasil yang baik harus didukung dengan pembinaan petani dan kelompok tani mengenai penanganan pascapanen, pengolahan, sortasi, pengepakan, dan pemasaran hasil. Berdasarkan hal itu, dapat dihasilkan standar mutu lada, yaitu standar mutu lada pabrik (SNI 01-0004-1995) dan standar mutu lada hitam (SNI 01-0005-1995).
mosi produk adalah kebijakan operasional pada subsistem pemasaran. Efisiensi pemasaran lada hitam lebih tinggi dibandingkan dengan lada putih karena struktur pasar oligopoli pada lada hitam terjadi pada pedagang desa, sedangkan untuk lada putih pada pedagang pengumpul. Kebijakan operasionalnya adalah memberi akses modal kepada petani melalui penyediaan kredit mikro perdesaan, membentuk KUAT melalui kredit usaha mandiri (KUM), dan membuka akses petani ke kredit komersial. Efisiensi pemasaran dapat pula dilakukan dengan menekan biaya tata niaga, seperti menghilangkan pungutan tidak resmi dan mencabut beberapa perda yang kurang mendukung ekspor lada.
Diversifikasi Produk
Kebijakan operasional untuk memperkuat posisi tawar petani antara lain: (1) meningkatan informasi pasar melalui media yang dekat dengan petani (radio, surat kabar lokal, televisi, Kadin, dinas perdagangan dan lainnya); dan (2) merancang Pepper Commudity Fair secara berkala pada pusat-pusat produsen lada.
Produk lada Indonesia, selain lada hitam dan lada putih adalah lada hijau, bubuk lada, minyak lada, dan oleoresin. Pangsa pasar lada hijau Indonesia masih kecil (2%), padahal kebutuhan dunia mencapai 1.500 ton sehingga Indonesia berpeluang untuk meningkatkan produksi. Produk lada digunakan sebagai bahan baku obat, industri kosmetik, parfum, pemberi aroma dan rasa pada makanan, serta sebagai pengawet. Penggunaan lada untuk pestisida nabati menjadi salah satu prioritas pengembangan produk. Upaya yang perlu dilakukan pemerintah adalah mendorong dan memfasilitasi pendirian industri pengolahan dan sosialisasinya. Kebijakan Operasional pada Subsistem Pemasaran Peningkatan efisiensi pemasaran, informasi pasar, transparansi harga, dan pro-
Promosi produk dapat dilakukan untuk meningkatkan konsumsi domestik dan ekspor. Kebijakan operasional untuk promosi produk dalam negeri meliputi pengenalan produk lada melalui sarana yang mudah dijangkau masyarakat (toko, pasar swalayan, warung) serta pengenalan lada perdu sebagai tanaman hias. Untuk promosi pasar ekspor, kebijakan operasionalnya adalah mendorong usaha IPC pada negara pengimpor utama lada Indonesia serta promosi melalui Badan Pengembangan Ekspor dan kedutaan besar.
152
Syafril Kemala
Kebijakan Operasional pada Subsistem Kelembagaan
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kelembagaan petani seperti kelompok tani dan koperasi berperan penting dalam meningkatkan pendapatan petani. Selain itu, KUAT secepatnya didirikan dan dikembangkan. Kelembagaan lain seperti Asosiasi Petani Lada dan Kimbun dapat mendorong upaya dimaksud. Salah satu kendala peningkatan produksi dan pendapatan petani lada adalah modal petani yang terbatas. Berkaitan dengan itu, pemerintah maupun masyarakat perladaan perlu memberi akses sebesar-besarnya kepada petani pada lembaga keuangan. Koperasi dapat berperan sebagai organisasi pemasaran maupun pembiayaan. Kebijakan operasional seperti yang diusulkan Adnyana (2005) pada padi dapat pula diterapkan pada lada, yaitu Sistem Agribisnis Korporasi Terpadu (Integrated Corporate Agribusiness System, ICAS). Pada kelembagaan ini (1) petani melakukan konsolidasi manajemen usaha pada komponen lahan yang memenuhi skala usaha; untuk lada adalah skala Kimbun; (2) konsolidasi manajemen dalam bentuk kelembagaan agribisnis seperti KUAT; (3) kelompok usaha tersebut sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi, atau koperasi berbadan hukum; (4) diterapkannya manajemen korporasi dalam menjalankan sistem usaha agribisnis; dan (5) pengembangan kemitraan terpadu secara tidak langsung dengan mitra. Kemitraan terpadu dapat dilakukan melalui: (a) petani sebagai plasma bermitra dengan inti (swasta, eksportir, prosesor) melalui korporasi yang mereka bentuk (koreksi terhadap PIR); (b) korporasi berdiri sendiri tanpa perlu bermitra dengan perusahaan inti dan pemerintah menjadi avalis (penjamin).
Kesimpulan Strategi pengembangan agribisnis lada mencakup berbagai hal dari hulu hingga hilir sebagai berikut: 1. Pada industri hulu, strateginya adalah mengembangkan industri perbenihan dengan membangun kebun bibit dan penangkarnya yang ditunjang sistem distribusi yang efektif dan efisien. Untuk industri mesin dan alat, strateginya adalah penajaman (focusing) industri mesin dan logam yang ada untuk memenuhi keperluan alat dan mesin pengolah lada. Demikian pula pada industri kimia, penajaman dilakukan dengan mengembangkan industri pupuk organik dan pestisida hayati. 2. Pada subsistem produksi, strateginya adalah mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan lada berdasarkan keunggulan komparatif, integrasi lada-ternak, penggunaan tiang panjat campuran/ hidup, pupuk kandang (kompos), bibit unggul, Arachis pintoii sebagai penutup tanah, dan pemberantasan hama dan penyakit terpadu. 3. Pada subsistem pengolahan hasil, strateginya adalah memperbaiki mutu lada melalui budi daya, panen, perendaman, penjemuran, dan pengepakan secara terintregrasi. Pengolahan lada asalan menjadi ASTA dan FAQ serta pemanfaatan lada enteng, menir, dan debu perlu dikembangkan ke tingkat petani. Diversifikasi produk seperti pembuatan lada menjadi barang setengah jadi dan jadi perlu dikembangkan. 4. Untuk bidang pemasaran, strateginya adalah memperbaiki tata niaga. Tata
153
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
niaga lada cukup efisien dengan bagian harga yang diterima petani > 80%. Namun, dalam pembentukan harga, integrasi harga petani dan harga eksportir (dunia) sangat lemah dan integrasi antara pedagang desa dan pedagang pengumpul cukup kuat. Kenaikan harga eksportir belum tentu berpengaruh terhadap harga di tingkat petani. Petani di Lampung menerima bagian harga 85% dari harga f.o.b, sedangkan petani lada putih di Bangka Belitung menerima 80% dari harga f.o.b. Koordinasi vertikal antarsubsistem agribisnis pada lada hitam lebih baik dibandingkan dengan lada putih. 5. Pada bidang kelembagaan dan jasa penunjang, strateginya adalah memberdayakan petani melalui kelembagaan. Globalisasi merupakan ancaman bagi petani. Kelembagaan pasar dan permodalan merupakan instrumen penting dalam meningkatkan pendapatan petani sehingga pelibatan lembaga permodalan dalam agribisnis lada perlu diupayakan. Penyuluhan dan penelitian sangat diperlukan untuk menunjang agribisnis lada. Transfer teknologi melalui penyuluhan baru 18% yang diadopsi petani. Riset pada lada perlu ditingkatkan sehingga pasar lada yang jenuh dapat diterobos melalui teknologi dan kebijakan yang tepat.
2.
3.
4.
5.
Implikasi Kebijakan 1. Sinergisme simpul-simpul agribisnis lada perlu diperbaiki untuk mempertahankan peran Indonesia sebagai eksportir lada terbesar dunia. Perbaikan yang perlu dilakukan adalah: (a) menurunkan biaya jangka pendek seperti pupuk, obat-obatan, dan tiang
6.
7.
penegak; (b) menurunkan biaya jangka panjang melalui penggunaan teknologi baru, pengembangan riset, pengembangan sumber daya, pembinaan kelembagaan, investasi peralatan; dan (c) mengurangi biaya transaksi. Upaya meningkatkan pendapatan petani lada, selain melalui efisiensi produksi, juga dapat dilakukan dengan melibatkan petani dalam simpul-simpul agribinis yang menghasilkan nilai tambah, seperti pembuatan produk lada, integrasi lada dan ternak, dan pola tanam. Peningkatan produksi melalui perluasan areal diarahkan pada daerah yang mempunyai keuntungan komparatif yang tinggi, yaitu daerah yang secara ekologis tergolong sangatsangat sesuai, sangat sesuai, dan sesuai. Perluasan ke daerah baru dilakukan melalui perwilayahan komoditas yang terintegrasi secara nasional. Simpul terlemah dalam peningkatan produktivitas lada adalah penggunaan bibit unggul, hanya 10% petani yang menggunakan varietas unggul. Kebijakan membangun industri dan penangkar bibit lada pada sentra-sentra produksi perlu dilakukan. Perubahan teknologi budi daya lada dari input luar tinggi ke input luar rendah perlu didukung dengan kebijakan penyediaan input. Sosialisasi dan peningkatan pengetahuan petani tentang input alternatif perlu dilakukan secara terus-menerus. Keunggulan mutu lada Indonesia yang menjadi acuan internasional perlu dipertahankan dan ditingkatkan melalui perbaikan budi daya, pengolahan hasil, dan standardisasi. Kelembagaan penyedia input, jasa penunjang maupun pemasaran hasil
154
Syafril Kemala
perlu mendapat dukungan pemerintah. Koperasi dan asosiasi petani lada perlu diberdayakan sesuai dengan asasnya yang mandiri. Perlu pula mencari bentuk kelembagaan yang cocok bagi petani dengan metode learning by doing seperti sistem agribisnis korporasi terpadu. 8. Ketersediaan teknologi yang adaptif dan transfernya ke petani menjadi perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Kebijakan memberi peluang dan peran yang lebih besar kepada lembaga riset dan penyuluhan perlu dilakukan. Sistem dan cara penyuluhan yang ada perlu dievaluasi untuk mencari sistem yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. 2005. Lintasan dan Marka Jalan Menuju Ketahanan Pangan Terlanjutkan dalam Rangka Perdagangan Bebas. Naskah Orasi Profesor Riset. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. hlm. 35. Amin Det and Wong Ting Hung. 2001. Development of pepper industri in Serawak, Malay. Int. Pepper News Bull. October 2000 - March 2001. Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat). 2003. Program peningkatan produktivitas dan mutu lada di Provinsi Lampung. Balittro, Bogor. hlm. 2-9. Balittro (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat). 2004. Percepatan adoptasi teknologi dan integrasi ternak dengan penutup tanah Arachis pintoii untuk peningkatan pendapatan petani lada. Balittro, Bogor. hlm. 5 -10. Coen, R., B. Haverkort, dan A. WatersBayer. 1999. Pertanian Masa Depan: Pengantar untuk pertanian berke-
lanjutan dengan input luar rendah. (Terjemahan Y. Sukoco). Kanisius, Yogyakarta. hlm. 7-9. Direktorat Proteksi Perkebunan. 1999. Perkembangan Hama dan Penyakit Lada. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. hlm. 9. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan). 2003a. Makalah lada. Ditjenbun, Jakarta. hlm. 8-9. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan). 2004. Statistik Perkebunan Indonesia, Lada. Ditjenbun, Jakarta. hlm. 13-17. Djulin, A. dan A.H. Malian. 2005. Struktur dan integrasi pasar ekspor lada hitam dan lada putih di daerah produksi utama. SOCA 5(1): 20. Mahmud, Z., S. Kemala, S., Damanik, dan Y. Ferry. 2003. Profil komoditas lada. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Bogor. hlm. 32-42. Menteri Pertanian. 2005. Keynote Speech Menteri Pertanian pada Diskusi Nasional Efektivitas Strategi dan Kebijakan Pertanian Nasional. Institut Pertanian Bogor, Bogor, 5 Februari 2005. Nuryani, Y. dan R. Zaubin. 2004. Adaptabilitas tujuh varietas lada di Bangka. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 7. Purseglove, J.W. 1968. Tropical Crops. Decotylidon 2. Piperaceae. Longmans, London. p. 436-450. Rosman, R., P. Wahid, dan R. Zaubin. 1996. Pewilayahan pengembangan tanaman lada di Indonesia. Monograf Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor. hlm. 67-76. Sahara, D., Yusuf, dan Sahardi. 2004. Pengaruh faktor produksi pada usaha tani lada di Sulawesi Tenggara. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 7(2): 139-145.
Strategi pengembangan sistem agribisnis lada ...
Spices Board India. 1992. Indian Spices, A Catalogue. Spices Board India, Conchin. Wahid, P. dan P. Yufdi. 1989. Masalah tiang panjat dan pembudidayaan tanaman lada. hlm. 553-557. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian Tanaman Industri, Bogor.
155
Wahid, P. dan D. Soetopo. 1990. Hasil penelitian dan pengembangan tanaman lada. hlm. 517-521. Prosiding Simposium Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri. Pusat Penelitian Tanaman Industri, Bogor. Wijayakusumah, H.M.H. 1999. Good health with pepper (Piper ningrum L). Pepper News Bull. 23(2): 16-18.