Pengembangan Komoditas Bernilai Tinggi (High Value Commodity) untuk Meningkatkan Pendapatan Petani1
Dr. Ir. Ronnie S. Natawidjaja, M.Sc. (
[email protected]) Puslit Kebijakan Pertanian dan Agribisnis Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
Pendahuluan Satu-satunya Kebijakan Pertanian yang paling berhasil setelah Indonesia merdeka adalah Kebijakan Swasembada Pangan dengan dukungan program kolosal Bimas/Inmas yang tercapai dengan gemilang pada tahun 1984 setelah pada tahun 1967 kita menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Salah satu faktor penting yang mendukung tercapainya kebijakan tersebut adalah ditemukannya varietas padi baru oleh IRRI yang mampu melipat gandakan produktivitas padi dilahan petani dari sekitar 2-2,5 ton per ha, menjadi 4-4,5 ton ha. Temuan yang kemudian sangat populer dinamakan “Revolusi Hijau” (Green Revolution). Faktor lainnya yang secara kebetulan juga mendukung pada saat itu adalah adanya wind fall profit dari hasil penjualan minyak bumi yang harganya melonjak pada tahun 70an, sehingga memungkinkan Indonesia membeli dan menerapkan teknologi baru tersebut secara besarbesaran. Dampak dari hasil penerapan teknologi baru tersebut adalah teramat besar, dari luasan lahan yang sama (yang umumnya juga kecil) petani bisa memperoleh hasil penjualan kotor yang hampir dua kali lipat. Kesejahteraan petani pada saat itu betul-betul terangkat dengan drastis. Apalagi pemerintah kemudian memberikan berbagai fasilitas istimewa kepada petani seperti: subsidi pupuk, subsidi petisida, pembangunan irigasi, dukungan kredit, sampai akhirnya gabah hasil panennya pun dibeli lagi oleh BULOG dengan harga yang dijamin oleh pemerintah. Pokoknya secara politik ekonomi, pada periode 1980-1990 adalah masa kejayaan petani padi khususnya dan pertanian secara umum. Dampak kebijakan tersebut terhadap peningkatan kesejahteraan petani secara khusus, dan pengurangan kemiskinan (pro-poor growth) secara umum telah diakui berbagai lembaga dunia, seperti FAO, World Bank, dan telah dibukukan menjadi beberapa buku teks akademik (Timmer, 1986; Pearson et al, 1990). Namun pada periode 1990-2004, masa kejayaan petani tersebut semakin pudar. Instrumen kebijakan pertanian seperti subsidi input pertanian, kredit pertanian, pembangunan infrastruktur pertanian dan penyuluhan semakin tidak terpelihara dan alokasi dananya semakin kecil. Disisi lain, dari aspek teknologi budi daya pun tidak ada lagi inovasi teknologi yang secara dramatis bisa melipat gandakan produksi. Pengembangan padi hybrida yang telah dilakukan selama 15 tahun lebih oleh para peneliti di China (peneliti IRRI pun belajar dari sana) sampai saat ini belum menunjukan hasil yang stabil untuk bisa dilakukan pada tingkat petani dilapangan. Beberapa inovasi lain, baik berupa inovasi komponen maupun inovasi
1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat” IPB ICC Bogor, 4 Desember 2007. Diselenggarakan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian RI.
1
model pada pengusahaan padi seperti SRI, IPAT, CF, KEP, dll. belum ada yang menunjukan keberhasilan yang meyakinkan pada tingkat aplikasi lapangan secara luas. Disisi lain kontribusi pendapatan petani dari usaha tani padi semakin merosot, temuan berbagai penelitian menunjukan hanya sekitar 30% saja. Artinya, petani hanya mendapatkan 30% pendapatan nya dari hasil bertani padi, 70% lainnya diperoleh dari pendapatan lain, termasuk berburuh tani. Apakah ini pertanda bahwa sektor pertanian, khususnya pangan, tidak bisa lagi diandalkan sebagai sumber penghidupan karena kontribusinya pada pendapatan nasional sudah semakin turun? Angka statistik BPS menunjukan bahwa pada tahun 2006 sektor pertanian hanya memiliki kontribusi 12,9% pada pendapatan nasional Padahal kenyataannya, masih sekitar 46% masyarakat tergantung pada kesempatan kerja sektor primer pertanian. Secara lebih luas, bila juga dilihat dari kacamata agribisnis secara keseluruhan jumlah tenaga kerja yang masih terkait dengan sektor agribisnis (primer dan agro-industri) adalah sebesar 54,2%. Gambaran secara makro diatas tidak perlu menjadikan kita pesimistis, karena perubahan yang sangat cepat dipasar komoditas pangan dan hortikultura saat ini sedang terjadi. Ada kesempatan baru yang kalau dimanfaatkan dengan baik akan bisa meningkatkan kesejahteraan petani dengan ”dampak yang hampir sama dengan revolusi hijau”. Hanya bedanya, kalau dulu yang berlipat ganda adalah ”kuantitas produksi”, kesempatan yang baru justru malah berlipat ganda dari sisi ”nilai tambah” komoditas yang diusahakan. Tapi kalau kesempatan kali ini tidak dapat dimanfaatkan dan diantisipasi dengan baik oleh para pelaku disektor agribisnis dan juga kebijakan pemerintah, sekali ini malah dampaknya bisa jadi malapetaka bagi petani kita. Karena pasar sekarang telah terbuka lebar, pemenuhan untuk merespon permintaan oleh para pelaku pasar bisa dilakukan dari sumber produksi lokal ataupun impor dari luar negri, tergantung tingkat harga yang ditawarkan. Hanya sedikit sekali kemampuan pemerintah untuk membendung kecenderungan ini, dan walaupun bisa sifatnya hanya temporer karena adanya keterbatasan dana dan perangkat kebijakan yang bisa digunakan. Kenaikan Pesat Konsumsi Sayuran dan Buah Segar Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan naiknya rata-rata pendapatan per kapita, berdasarkan hasil Susenas BPS, pengeluaran konsumsi masyarakat untuk makanan telah turun 10% pada periode 1999 sampai 2004, dari 65% menjadi 55%. Malahan menurut Clement dan Chen (1994) pola konsumsi di Indonesia ini sangat sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa setiap kenaikan 10% pada pendapatan akan diikuti oleh penurunan pengeluaran untuk konsumsi sebesar 1%. Secara lebih spesifik, Hukum Bennet, menyatakan bahwa bagian yang paling cepat turunnya dari pengeluaran konsumsi tersebut adalah pengeluaran untuk pangan sereal utama, yaitu beras. Pada periode yang sama, pengeluaran konsumsi untuk sumber sereal utama turun dari 17% menjadi 9% saja dari total pengeluaran (Natawidjaja et al, 2006). Yang paling menarik dari gambaran komposisi pengeluaran konsumsi masyarakat tersebut adalah sangat cepatnya peningkatan pengeluaran konsumsi untuk sayuran dan buah-buahan. Hasil Susenas BPS menunjukan bahwa perbandingan antara pengeluaran masyarakat untuk beras dengan sayuran dan buah-buahan dalam periode 1999 sampai 2004 tersebut meningkat dengan tajam, dari ratio 0,49 menjadi 0,75, naik hampir dua kali lipat. Artinya, untuk setiap pengularan Rp 10.000 bagi pembelian beras pada tahun 1999, masyarakat hanya mengeluarkan lagi Rp 4.900 untuk membeli sayuran segar dan buah-buahan. Pada tahun 2004
2
pengeluaran untuk sayuran dan buah-buahan tersebut (dalam nilai riil) meningkat menjadi Rp 7.500 (naiknya 60%). Bila dibedakan antara pengeluaran masyarakat kota dan desa, maka terlihat lebih jelas bahwa pada tahun 2004 masyarakat kota, dengan kesadarannya yang lebih tinggi untuk masalah kesehatan (gizi seimbang), membelanjakan Rp. 9.500 untuk sayuran dan buahan dibandingkan dengan masyarakat pedesaan yang hanya mengeluarkan Rp 5.900 untuk setiap pengeluaran Rp 10.000 bagi kebutuhan pangan pokok beras (Tabel 1). Dampak dari kenaikan pengeluaran konsumsi masyarakat untuk sayuran dan buah-buahan tersebut akan menjadi lebih dramatis lagi kalau kemudian dikalikan dengan data kenaikan penduduk, khususnya masyarakat perkotaan. Menurut BPS, penduduk Indonesia naik 8% pada periode 2000-2005, tingkat pertumbuhan tertinggi di dunia pada periode tersebut. Pertumbuhan penduduk terjadi disemua daerah, tapi bila diperhatikan lebih dekat ada kenaikan jumlah penduduk kota (urbanisasi) yang sangat cepat, yaitu menjadi hampir 3 kali lipat dalam 25 tahun. Pada tahun 1980 jumlah penduduk perkotaan adalah 33 juta orang (22,3%), pada tahun 1999 menjadi 88 juta (39%), dan sekarang sudah menjadi sebanyak 94 juta orang (44%). Jumlah ini kelihatannya akan semakin cepat meningkat sejalan dengan berjalannya sistem otonomi daerah. .Jadi secara kasar, kenaikan permintaan menjadi dua kali lipat pada tingkat konsumsi per kapita untuk sayuran dan buah-buahan selama 10 tahun terakhir, khususnya pada masyarakat perkotaan, digandakan lagi oleh kenaikan jumlah masyarakat perkotaan yang juga menjadi hampir dua kali lipat maka pada tahun 2006 kita akan merasakan adanya permintaan yang naik menjadi kurang lebih 3-4 kali besarnya permintaan akan sayuran dan buah-buahan pada tahun 1996. Apakah kenaikan pesat permintaan ini telah dirasakan para pelaku pasar dan direspon petani? Para pelaku pasar, seperti peritel modern dan industri sudah sangat menyadari adanya kenaikan permintaan ini, namun baru sebagian kecil petani yang mengetahui dan berhasil merespon dan mengambil keuntungan dengan adanya kenaikan tersebut (Natawidjaja et al., 2007). Booming Hortikultura Menuju Transformasi Pertanian Melihat begitu pesatnya (booming) permintaan sayuran dan buah-buahan, bila direspon oleh petani akan bisa memberikan dampak yang hampir sama dengan berlipat gandanya pendapatan petani pada saat revolusi hijau. Hanya bila pada saat revolusi hijau yang meningkat adalah kuantitas produksi nya, pergeseran dari tanaman subsisten dan bernilai rendah (padi, ubi, ketela pohon, dll) ke tanaman yang bernilai tinggi seperti sayuran dan buah-buahan, yang meningkat berlipat ganda adalah nilai ekonominya. Peralihan dari komoditas subsisten ke komoditas komersil dalam literatur dinamakan transformasi pertanian (Timmer, 1994). Proses transformasi ini diawali dengan berkembangnya diversifikasi pangan pada tingkat konsumsi sejalan dengan meningkatnya pendapatan masyarakat yang kemudian direspon dengan terjadinya diversivikasi jenis tanaman dan terbentuknya petani-petani spesialis kelompok tanaman tertentu (Gambar 1). Secara alami, proses transformasi dalam sektor pertanian harus terjadi sebelum terjadinya transformasi antar sektor, yaitu dari bergantung pada sektor sumberdaya alam (termasuk pertanian) ke sektor industri dan jasa. Indonesia pada periode 1990-1997 telah mencoba melompat (gaya katak) dari pertanian subsisten (pangan) ke industri canggih syarat kapital (industri mobil, pesawat terbang, dll) ternyata kandas dan porak poranda. Harusnya dari swasembada pangan, beralih dulu pada pertanian komersil bernilai ekonomi tinggi dan untuk bahan baku industri, baru beralih pada tumpuan sektor industri dan jasa. Akibat dari langkah
3
kebijakan yang kurang tepat tersebut, maka Indonesia tidak pernah mengalami transformasi pertanian yang menyebabnya mandegnya pembangunan pertanian (Saparita, 2004). Sekarang kesempatan yang terbaik untuk menghantarkan petani Indonesia menuju transformasi pertanian telah terbuka peluangnya. Kekayaan sumberdaya alam Indonesia sebenarnya telah memberikan kesempatan pada petani untuk mengusahakan tanaman pangan dan hortikultura dalam spektrum yang luas. Artinya, tanaman pangan dan sayuran seringkali ditemui diberbagai daerah bisa diusahakan bergantian dan sekaligus secara multiple cropping. Tanaman pangan dan sayuran kalau dibandingkan nilai ekonomisnya akan membentuk sebuah tingkatan nilai tambah yang berbeda seperti terlihat pada Gambar 2, secara detil biaya dan penerimaan usatani tanaman pangan dan sayuran tersebut bisa dilihat pada Lampiran 1. Dari hasil 1 ha bertani padi, petani hanya mendapat hasil bersih kurang lebih Rp. 6,6 juta untuk padi sawah, untuk padi ladang Rp. 2 juta per musim. Sedangkan dari hasil menanam sayuran dengan luasan 1 ha, petani bisa mendapatkan Rp. 26 juta per musim bila tanam tomat, dan Rp. 34,7 juta per musim bila tanam kentang. Untuk tanaman sayuran niche market misalnya paprika hasilnya bisa sampai sekitar Rp 73 juta per ha per musim. Malahan untuk tanaman buah-buahan hasil kotornya bisa lebih dari Rp. 100.000.000 per ha satu kali panen. Jadi beralih dari bertani padi ke sayuran dan buah-buahan sama dengan kenaikan pendapatan dua kali lipat atau lebih, kurang lebih sama dengan pada masa revolusi hijau. Apakah para pembuat kebijakan di Departemen Pertanian RI tidak tahu itu? Tentu saja sudah sangat tahu. Sudah banyak program kecil-kecilan untuk mendorong diversifikasi tanaman sejak akhir tahun 1990an sampai sekarang. Namun sampai saat ini masih itu-itu saja, skalanya kecil alokasinya pun kecil. Sebagian besar dana Departemen Pertanian (60% lebih) dicurahkan untuk mengurus padi, karena muatan politisnya yang sangat tinggi. Semua program Departemen Pertanian masih berputar-putar disekitar mengamankan swasembada pangan. Program unggulan Departemen Pertanian tahun 2007 tentang pengembangan Gapoktan, P2BN dan Prima Tani, juga urusannya masih sekitar pengamanan swasembada pangan karena dasar keputusannya politis, bukan agribisnis dan juga bukan akademis (karena mentri pertanian adalah jabatan politis). Sementara itu, petani-petani yang berpikiran maju di daerah sayuran dan hortikultura, sudah menangkap gejala booming hortikultura ini. Pergeseran komoditas dari yang nilainya rendah ke yang bernilai lebih tingi telah terjadi dan berlangsung sangat cepat di sentra-sentra produksi sayuran dan buah-buahan. Mereka melakukannya tanpa bantuan teknis penyuluh pertanian (karena tidak mampu berbuat banyak untuk komoditas selain padi), tanpa bantuan modal dari perbankan, dan tanpa bantuan infrastruktur dari dinas inpraswil (World Bank, 2007). Pada sisi yang kontras, dinas-dinas di propinsi dan kabupaten masih disibukan dengan masalah kekeringan sawah, gagal panen, harga dasar gabah, subsidi pupuk dan ancaman impor karena kebijakan pertanian kita masih sangat padi sentris. Karena dukungan teknis yang sangat minim dari pemerintah dan sama sekali tidak ada dukungan permodalan dari sistim perbankan, maka sekala perubahannya pun masih sangat kecil. Dari sample yang diambil sebanyak 600 orang petani, hanya 10-15% saja yang mampu melakukan trnsformasi secara mikro tersebut dalam waktu 5 tahun terakhir. Karakteristik petani yang berhasil melakukan transformasi ini adalah petani kecil lapisan atas, dengan ratarata lahan 0,6-1,0 Ha. Rata-rata mengandalkan modal sendiri atau keluarga dan pinjaman dari bandar setra pinjaman input dari kios-kios pertanian (Natawidjaja et. al, 2006). Gejala pergeseran komoditas ini dalam literatur dinamakan ”value ladder” atau struktur peningkatan nilai tambah komoditas pertanian . Secara kasat mata, gejala pergeseran
4
komoditas ini sudah bisa dilihat dan terjadi disentra utama sayuran seperti Lembang, Cipanas Puncak, Pangalengan, Ciwidey dan Garut, juga sudah merembet ke Dieng, Malang, dan Malino di Sulawesi. Daerah Lembang dan daerah Cipanas- Cianjur, bisa dibilang sentra tertua untuk sayuran. Daerah ini sekarang sudah bergeser dari komoditas umum, seperti kubis, sawi, tomat, kentang ke komoditas niche seperti brocoli, paprika, sayuran jepang, sayuran korea, dan malah sudah banyak greenhouse yang mengusahakan tanaman organik dan bunga-bungaan. Sementara daerah yang lebih baru seperti Ciwidey dan Garut baru mulai beralih dari padi dan palawija ke sayuran umum dengan kecepatan penyebaran lebih tinggi. Didaerah yang terakhir ini penulis banyak menemui penyewaan lahan dari petani-petani kecil dan pemilik guntai oleh petani-petani sayuran yang sudah sangat berorientasi pasar. Untuk pergeseran ke kebun tanaman buah-buahan yang luas (tidak hanya 1-2 pohon di halaman) bisa dilihat di daerah Purwakarta, Sukabumi, dan Tasikmalaya untuk manggis; Tasikmalaya dan Ciamis untuk salak; Majalengka, Kuningan, Pemalang untuk manggah; Subang untuk nanas, dan banyak lagi daerah lainnya. Respon Kenaikan Produksi Lokal Lambat, Produk Impor Naik Kehawatiran yang ada saat ini, tercetus dari pertemuan dengan berbagai stakehoder pada lokakarya yang diadakan pertengahan tahun 2006, adalah apabila petani Indonesia tidak mampu berubah dengan cepat (pada orientasi berusaha maupun kemampuan teknologinya) untuk memenuhi ledakan permintaan dari konsumen akan sayuran dan buah seperti digambarkan diatas, kondisinya akan memaksa para peritel modern untuk mengisinya dengan produk impor (Natawidjaja, 2006). Saat ini, di pasar ritel modern 80% dari buah-buahan yang dijual adalah produk buah impor, sedangkan untuk sayuran komponen impor nya hanya 20%. Maka secara rata-rata untuk sayuran dan buah-buahan impor adalah 60%. Tingkatan impor tersebut sangat tinggi (hampir 2 kali lipat) dibandingkan dengan negara dengan kelas pendapatan yang sama, seperti Filipina, serta gejalanya tingkat impor ini naik terus. Selain itu, kenaikan produk impor ini tidak hanya terjadi melalui pasar modern, untuk dikota-kota besar sudah juga masuk ke pasarpasar induk dan eceran tradisional. Ada yang dengan skeptis berfikir bahwa jaringan ritel modern yang besar akan lebih banyak menjual produk impornya karena merupakan bagian dari perdagangan globalnya di manca negara. Kajian yang melibatkan 6 peritel besar dan kecil, lokal maupun multinasional justru menunjukan sebaliknya. Semakin kecil jaringan ritel, semakin tinggi komponen buah dan sayuran produk impor yang dijualnya. Penjelasannya, semakin kecil jaringan ritel, semakin tidak mampu dia mengatasi permasalah logistik buah-buahan dan sayuran lokal, sehingga kemudian menyerahkan pengadaannya pada pedagang grosir impor. Perdagangan buah lokal ditangani oleh pedagang grosir di pasar tradisonal, yang kurang bisa diandalkan dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Hanya peritel modern besar yang mampu membangun jaringan rantai pasok sampai ke sentra produksi, sehingga ketersediaan buah-buahan dan sayuran lokal nya selalu ketersediannya lebih baik (Natawidjaja et al., 2007). Dari gambaran ini sebetulnya terlihat bahwa buah-buahan dan sayuran lokal apabila tersedia memiliki kesempatan yang lebih tingi untuk menjadi pemain di rumah sendiri. Kasus lain yang menghawatirkan dan menggambarkan ketidak mampuan produksi lokal dalam merespon permintaan terjadi pada pasar komoditas kentang. Awalnya kentang hanya diimpor dalam bentuk benih, tidak dalam bentuk untuk konsumsi maupun untuk industri. Pada tahun 1994, impor kentang adalah sebanyak 8,2 ribu ton, 11% berupa benih, 4% untuk dikonsumsi, dan 85% sebagai bahan yang sudah diolah (Tabel 2). Dalam 5 tahun, pada tahun
5
1999, karena meningkatnya permintaan akan kentang untuk konsumsi, total impor kentang meningkat 2 kali lipat, impor benih naik 7 kali lebih besar, dan kentang segar impor naik 10 kali lipat. Kontrasnya, pada saat itu impor kentang untuk bahan baku industri tetap kurang lebih sama seperti sebelumnya. Pada tahun 2005 (lima tahun kemudian), total impor kentang naik lagi bahkan lebih tinggi 3 kali lipat jumlah pada tahun 1999. Gejala terakhir menunjukan adanya pegeseran pada permintaan dari impor untuk bahan baku industri. Gambaran ini kemungkinan menunjukan adanya keterbatasan dari produk lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, karena dengan mengimpor harga kentang dipasar dunia lebih tinggi. Salah satu pemabatas produksi kentang adalah sulitnya benih yang berkualitas. Benih impor sejak tahun 2004 telah dilarang karena ditemukannya kontaminasi nematoda merah dari benih kentang impor dai Australia, Belanda, dan USA. Benih lokal menurut petani kurang meyakinkan dan kualitas tidak terjamin walau dinyatakan bersertifikat, sehingga produksi kurang bagus dan merugikan. Akibatnya minat petani untuk menanam kentang menjadi sangat menurun. Diperlukan Kebijakan yang Mendukung Terjadinya Transformasi Pertanian Menuju Pengembangan Komoditas Bernilai Tinggi Orientasi peranan pemerintah yang selama lebih dari 30 tahun mendominasi dan menentukan arah pembangunan pertanian, harus berubah menjadi fasilitator dan pemberi layanan (service) untuk menunjang kebutuhan sektor swasta. Kebijakan pertanian pada masa Revolusi Hijau ditentukan oleh pemerintah, mulai dari tujuannya (untuk mencapai swasembada pangan), sampai pilihan teknologi, pengadaan kebutuhan inputnya sampai dengan harganya juga semua ditentukan oleh pemerintah. Kebijakan swasembada pangan adalah supply driven. Para petugas penyuluh adalah pelaksana yang menyampaikan paket kebijakan yang sudah dikemas oleh pemerintah. Demikian pula petani, segalanya telah ditentukan, kebutuhannya disediakan (paket BIMAS, KUT), kelembagaannya dibentuk (Kelompok tani, KUD, BULOG), petani hanya tinggal mengerjakan saja. Perkembangan pesat permintaan hortikultur tidak dibuat atau ditentukan oleh pemerintah. Boom hortikultur ini adalah phenomena demand driven. Sehingga dalam hal ini, peranan pemerintah, khususnya Departemen Pertanian dan dinas-dinas pertanian di tingkat propinsi dan kabupaten, adalah memberikan dukungan (support) dan fasilitasi kepada para pelaku, khususnya pertani, agar mampu merespon dengan baik lonjakan permintaan tersebut. Pasar yang menentukan komoditas apa yang dibutuhkan dan dinilai tinggi harganya. Sinyal tersebut ditangkap oleh para peritel, modern maupun tradisional, diminta ke petani. Kemudian petani mencari tahu dari mana benihnya, bagaimana membudidayakannya, teknologi apa yang dibutuhkan, dan bagaimana mengemasnya (post harvest handling). Peran lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara teknis menangani sektor pertanian adalah membantu petani mengatasi permasalahannya dalam merespon kebutuhan pasar tersebut. Orientasi penelitian di Litbang Pertanian dan BPTP adalah membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh petani melalui penelitian karena petani tidak mampu melakukan penelitian. Pilihan teknologi maupun sentuhan manajemen agribisnis, baik dari hasil penelitian maupun dari pengalaman di tempat lain dan literatur, dikemas dalam bentuk sederhana untuk disebarkan oleh penyuluh pada petani. Sehingga kapasitas penyuluh pun harus tinggi karena bukan hanya mengahapal satu jenis paket teknologi, tapi bisa berpuluhpuluh pilihan teknologi dan komoditas. Berbeda dengan pada saat revolusi hijau, hanya satu komoditas (padi) dan teknologinya sudah dipaket (komposisi benih, pupuk, dll).
6
Forum komunikasi antara petani, suplayer supermarket, vendor industri makanan, dan lembaga penelitian harus dibuat agar para pelaku bisa dengan cepat merespon perubahan permintaan pasar. Petani harus ditumbuhkan kesadarannya untuk berusaha secara berkelompok, bukan diwajibkan berkelompok untuk menerima bantuan. Sebaiknya para pelaku tersebut didorong dan difalsilitasi untuk membuat aturan main (private code) yang disepakati bersama menyangkut: pemenuhan komitmen kontrak/perjanjian, adanya kesempatan yang adil bagi semua, pembayaran segera, dan kerjasama dalam logistik dan transpotasi, termasuk fasilitas pendinginan dan pengemasan. Departemen Perdagangan, dan dinas-dinas perdagangan propinsi maupun kabupaten bagian perdagangan dalam negeri harus mampu membangun infrastruktur perdagangan sistem pasar tradisional, yang terdiri dari pasar induk dan pasar ritel yang mampu mengirim komoditas hasil pertanian dari sentra produksi ke pusat-pusat konsumsi dengan cepat dan efisien, sehingga tidak terjadi lagi penumpukan hasil panen di sentra produksi yang akhirnya membuat harganya jatuh. Fasilitas yang harus ditingkatkan adalah kapasitas daya tampung, dukungan tempat bongkar dan muat serta keluar masuk kendaraan pengangkut, fasilitas kios, penanganan, dan penggudangan, syarat kebersihan dan kesehatan, manajemen yang transparan dan bersih dari pungutan liar. Ditunjang oleh sistem keterkaitan pasar induk antar daerah dan pasar eceran yang menggunakan acuan sistem logistik yang efisien, serta sarana transpotasi dan keamanan yang baik, Sekali ini, kalau kita lengah saja melewatkan beberapa tahun kedepan tanpa perubahan mendasar pada peningkatan kapasitas produksi sayuran dan buah-buahan nasional dan infrastruktur perdagangan yang menunjang, maka tidak dapat dihindarkan lagi nanti kedepan yang diramaikan bukan hanya beras impor, tapi juga sayuran dan buah-buahan impor yang jumlahnya semakin membanjir. Kalau sudah terjadi, maka orientasi kebijakannya menjadi sangat jangka pendek dan bersifat pemadam kebarakan, seperti kejadian flu burung dan beras impor. Kalau hal itu terjadi, maka kita menjadi bangsa yang sangat bodoh karena tidak pernah belajar dari kesalahan, malahan cenderung membiarkannya terjadi berulang-ulang; dan kalau sudah berulang-ulang akhirnya menjadi terbiasa, dan tidak ada masalah lagi karena menjadi urusan dinas biasa.
7
Tabel 1. Persentase pengeluaran rata-rata perkapita per bulan menurut kelompok barang Kelompok Pengeluaran Pangan Padi-padian Umbi-umbian Ikan Daging Telur dan Susu Sayuran Kacang-kacangan Buah-buahan Minyak dan Lemak Bahan Minuman Bumbu-bumbuan Konsumsi lainnya Makanan dan minuman jadi Minuman yang mengandung alkohol Tembakau dan sirih Porsi Pengeluaran untuk Pangan Porsi Pengeluaran Lainnya Total Pengeluaran
Daerah Perkotaan 1994 1999 2004 9 11,83 6,47 0,47 0,53 0,41 4,41 4,82 4,27 3,54 2,71 2,95 3,42 3,31 3,27 4,05 5,28 3,53 2,04 2,16 1,52 2,76 2,05 2,59 1,95 2,39 1,83 2,52 2,48 1,92 1,47 1,36 1,17 0,98 1,43 1,2 9,06 11,37 11,61 0,08 0,03 0,05 4,08 4,44 5,82 49,83 56,19 48,61 50,17 43,81 51,39 100 100 100
Daerah Pedesaan 1994 1999 2004 18,41 22,08 13,65 1,2 1,05 1,26 5,96 6,4 6,23 2,43 1,83 2,71 2,41 2,49 2,74 5,84 7,26 5,47 2,42 2,52 2,07 2,71 2,09 5,64 3,1 3,74 3 3,82 3,8 3,26 2,25 1,95 1,8 0,75 1,15 1,28 6,37 7,47 8,41 0,13 0,07 0,13 5,78 6,28 8,41 63,58 70,18 66,06 36,42 29,82 33,94 100 100 100
Sumber: BPS, 2000, 2006 Gambar 1. Hubungan antara diversifikasi konsumsi dan diversivikasi jenis tanaman pangan pada saat terjadi transformasi pertanian
Sumber: Timmer, 2004
8
Gambar 2. Tingkatan Nilai (Value Ladder) Keuntungan Pengusahaan Tan. Pangan dan Hortikultura R/C=1
80,00 Paprika
70,00
Cost (Juta Rupiah)
60,00 50,00 Kentang
40,00 Tomat Cabe merah
30,00
Sedap malam
Bw merah
Bw daun
Krisan Kubis
20,00 Mawar
10,00 Jagung Kc tanah Kc hijau Padi gogo Kedelai
Buncis Wortel
Ubi jalar Padi sawah Ubi kayu
-
-
Kc Panjang
30,00
60,00
90,00
120,00
150,00
Revenue (Juta Rupiah)
Table 2. Import Volume of Potatoes 1994-2005 No. 1 2 3
Imported Potatoes Potatoes Seed Fresh Potatoses Industrial Potatoes (a). Frozen Potatoes (%) (b). Starch Potatoes (%) (c). Other kind of Processed or Preserved Potatoes (%) Sub-total of Industrial potatoes Total Impor
1994 Tons % 866 (11) 332 (4)
1999 Tons % 6,117 (36) 3,176 (19)
2005 Tons % 2,808 (4) 12,450 (18)
4,639 (56)
3,615 (22)
6,246 (9) 20,466 (30)
2,390 (29) 7,029
(85)
3,857 (23) 7,472
(45)
26,863 (39) 53,574
(78)
8,227
(100)
16,765
(100)
68,832
(100)
Increase/Decrease (%) 1994-1999 1999-2005
104% 311%
Source: Ministry of Agriculture, various years
9
Daftar Pustaka ACNielsen Indonesia, 2004. Annual Supermarket Training 2004 – Semarang. ACNielsen Retailer Services. Graha Santika Hotel, October 13th, 2004. Adiyoga, W., R. Suherman, A. Asgar, Irfansyah. 1999. “The Potato System in Weat Java, Indonesia: Production, Marketing, Processing, and Consumer Preferences for Potato Products”. Research Institute for Vegetables Indonesia. Biro Pusat Statistik, 1994a. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Ekspor, Volume 1 (Indonesian Foreign Trade Statistic: Export). BPS Jakarta. Biro Pusat Statistik, 1994b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Impor, Volume 2 (Indonesian Foreign Trade Statistic: Import). BPS Jakarta. Biro Pusat Statistik, 1999b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Impor, Volume 2 (Indonesian Foreign Trade Statistic: Import). BPS Jakarta. Biro Pusat Statistik, 2004a. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Ekspor, Volume 1 (Indonesian Foreign Trade Statistic: Export). BPS Jakarta. Biro Pusat Statistik, 2004b. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia, Impor, Volume 2 (Indonesian Foreign Trade Statistic: Import). BPS Jakarta. Cabochan, C.V. 2005. “Philippines: Modern Retail Trade and Policy Implications”. Paper presented at the Pacific Economic Cooperation Council’s (PECC) Pacific food System Outlook Annual Meeting, held 11-13 May 2005 in Kunming, China. Chowdhury, S., A. Gulati, and E. Gumbira-Said. 2005. High-Value Products, Supermarkets, and Vertical Arrangements in Indonesia. MTID Discussion Paper no 83. Washington: IFPRI. Clements K W, and Chen D, 1994. Fundamental Similarities in Consumer Behaviour. Discussion Paper 94.03, Economic Research Centre, Department of Economics, The University of Western Australia. Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006a. Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan Agribisnis Hortikultura (General Guide for Development Implementation of Horticulture Agribusiness). Departemen Pertanian RI, Jakarta. Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006b. Statistik Hortikultura Tahun 2005 (Horticulture Statistic 2005). Departemen Pertanian RI, Jakarta. Natawidjaja, et al. 2007. “The Impact of the Rise of Supermarket on Hortikulture Market and Farmers in Indonesia”. Draft Final Report re-submitted to The World Bank, January 31, 2007 Natawidjaja, R.S., B. Bayu Krisnamurthi, T. Perdana, L. Fauzia, T. I. Noor, T. Reardon, C.P. Timmer, J. Gingerich. 2004. Supermarkets and Agricultural Development in Indonesia: Edited Compilation of Reports in 2004 for USAID Project RAISE/FPSA. UNPAD, IBP, DAI, and MSU. Natawidjaja, Ronnie S. 2004. Inducing Investment and Enhancing Agricultural Technology in Agricultural Sector. Paper presented at Agricultural Conference “Agriculture Policy for the Future” sponsored by BAPPENAS, FAO, UNDP organized by UNSFIR. February 12-13, 2004. Jakarta, Indonesia. Natawidjaja, Ronnie S. 2005. Modern Market Growth and the Changing Map of the Retail Food Sector in Indonesia. Paper presented at PECC Pacific food System Outlook Annual Meeting, Kunming, China, 11-13 May. Natawidjaja, Ronnie S. 2005. National Agricultural Policy Development and Recommendation for Agricultural Revitalization Program Implementation at 10
Regional Level. Paper presented at Padjadjaran University 48th Dies Natalis Symposium “Implementation Model for National Agricultural Revitalization Program”. Bandung, 1 September. Natawidjaja, Ronnie S. 2006. Policy and Institutional Mapping For Small-Scale Producer’s Participation in Dynamic Market in Indonesia. Regoverning Market Midterm Review Meeting, Windsor, UK, Sept. 26-29. Natawidjaja, Ronnie S. dan Achmad Firman, 2007. Appraisal of Enabling Environments for Agribusiness and Agroindustry Development in Indonesia. Paper presented at regional workshop on “Comparative Appraisal of Enabling Environment for Agribusiness and Agro-Industry Development” in Bangkok, Thailand, 17-19 September 2007, organized by The Food and Agriculture Organization (FAO). Pearson et al, 1990. Indonesian Rice Policy. Ithaca: Cornell University Press. Pingali, P.L. and M.W. Rosegrant, 1995. “Agricultural Commercialization and Diversification: Processes and Policies”. Food Policy 20 (June 1995): 171-85.. Rangkuti, F.Y. 2004. Indonesia Retail Food Sector Report 2004. GAIN Report No: ID4032. USDA Foreign Agricultural Service. Jakarta. Reardon, T. and C.P. Timmer. 2007. “Transformation of Markets for Agricultural Output in Developing Countries Since 1950: How Has Thinking Changed?”, chapter 13 in R.E. Evenson, P. Pingali, and T.P. Schultz (editors). 2006. Volume 3 Handbook of Agricultural Economics: Agricultural Development: Farmers, Farm Production and Farm Markets. Amsterdam: Elsevier Press. Reardon, T. and C.P. Timmer. 2007. “Transformation of Markets for Agricultural Output in Developing Countries Since 1950: How Has Thinking Changed?”, chapter 13 in R.E. Evenson, P. Pingali, and T.P. Schultz (editors). 2006. Volume 3 Handbook of Agricultural Economics: Agricultural Development: Farmers, Farm Production and Farm Markets. Amsterdam: Elsevier Press. Rittgers, C. 2004. Indonesia Product Brief Snack Foods 2004. GAIN Report No: ID4015. USDA Foreign Agricultural Service. Jakarta. Saparita, R., B. Arief, M. Karmana, R. Natawidjaja. 2004. “The Role of Investment in Agricultural Development (Peran Investasi Dalam Pembangunan Pertanian)”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol XII (2). Saparita, Rachmini., 2004. Model Transformasi Pertanian di Indonesia Menggunakan Pendekatan System Dinamics. Disertasi dalam Bidang Ilmu Pertanian pada Universitas Padjadjaran. Bandung. Siregar, H., J.W. Bottema, S.M. Pasaribu, G. Gijsber, R.S. Basuki. 1989. “Potato in Indonesia: Prospect for Medium Altitude Production”. CGPRT No.21. CGPRT Centre. Spillman, W.J. 1919. “The Agricultural Ladder,” American Economic Review, Supplement. 9, March: 170-179. Timmer, C. Peter, 1986. Getting Prices Right: The Scope and Limits of Agricultural Price Policy. Ithaca: Cornell University Press Timmer, C.P., 1997. “Farmers and Markets: The Political Economy of New Paradigms” American Journal of Agricultural Economics 79 (1997): 621-27. World Bank. 2007. “Survey of Consumer’s Shopping Behaviour and Perceptions toward Modern and Traditional trade Channels’. World Bank, Jakarta, Indonesia.
11
World Bank 2007. “Horticultural Producer and Supermarket Development in Indonesia”. World Bank, Jakarta, Indonesia. World Bank. 2008. World Development Report 2008. “Agriculture for Development”. World Bank, Washington, DC www.PlanetRetail.net. 2006. Indonesia section, Accessed November 2006.
12
Lampiran 1. Biaya dan Penerimaan Usaha Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2006 No.
Komoditas
I
Padi / Palawija Padi Sawah Padi Gogo Jagung Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Ubi Kayu Ubi Jalar Sayuran Kacang Panjang Bawang Merah Bawang Daun Kentang Cabe Merah Tomat Wortel Kubis Petsai Paprika Buncis Tanaman Hias Bunga Mawar Bunga Krisan Sedap Malam
1 2 3 4 5 6 7 8 II 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 III 1 2 3
Hasil
Harga
( Kg )
(Rp/Kg)
Nilai Hasil/Prod ( Rp )
Total Biaya Prod ( Rp )
Biaya Pokok (Rp/Kg)
Pend Usaha Tani ( Rp )
R/C
5.600 3.000 5.600 1.400 800 1.050 11.600 9.000
2.000 2.000 1.600 4.500 8.100 7.500 1.000 1.600
11.200.000 6.000.000 8.960.000 6.300.000 6.480.000 7.875.000 11.600.000 14.400.000
4.600.500 4.000.000 4.410.000 2.500.000 5.360.000 2.332.900 4.135.000 5.874.000
822 1.333 788 1.786 6.700 2.222 356 653
6.599.500 2.000.000 4.550.000 3.800.000 1.120.000 5.542.100 7.465.000 8.526.000
2,43 1,50 2,03 2,52 1,21 3,38 2,81 2,45
16.000 10.000 29.000 22.000 16.000 30.000 18.000 26.500 14.500 12.000 11.000
2.450 6.700 2.400 3.500 7.000 2.000 2.500 1.500 1.500 12.000 2.700
39.200.000 67.000.000 69.600.000 77.000.000 112.000.000 60.000.000 45.000.000 39.750.000 21.750.000 144.000.000 29.700.000
7.932.900 26.958.000 27.280.000 42.295.000 30.450.000 33.770.000 8.203.125 21.337.500 7.875.000 70.709.000 12.075.000
496 2.696 941 1.923 1.903 1.126 456 805 543 5.892 1.098
31.267.100 40.042.000 42.320.000 34.705.000 81.550.000 26.230.000 36.796.875 18.412.500 13.875.000 73.291.000 17.625.000
4,94 2,49 2,55 1,82 3,68 1,78 5,49 1,86 2,76 2,04 2,46
110.000 8.000 84.000
200 4.500 500
22.000.000 36.000.000 42.000.000
12.165.300 23.609.250 26.527.800
111 2.951 316
9.834.700 12.390.750 15.472.200
1,81 1,52 1,58
Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, 2006
13