Mengangkat Ekonomi Petani Melalui Pengembangan Sistem Agribisnis Prof. Jen Tatuh Potret Sektor Pertanian Indonesia mengalami transformasi ekonomi yang unusual. Pertama, pergeseran PDB dan tenaga kerja relatif berlangsung timpang. Laju penurunan PDB relatif di sektor pertanian sangat cepat sedangkan penurunan tenaga kerja di sektor ini sangat lambat. Dalam kurun waktu 1979-1994, kontribusi PDB relatif sektor pertanian turun dari 60 menjadi 17,4 persen, sedangkan sektor industri naik dari 8 menjadi 23,8 persen. Sektor jasa naik dari 40,4 (1971) persen menjadi 58,7 persen. Boleh dibilang fantastic! Akan tetapi, sementara PDB relatif sektor
pertanian menurun sangat drastis (dari 60 menjadi 17,4 persen), angkatan kerja di sektor ini turun dari 60 hanya sampai 43 persen, dan populasi rumah tangga yang menggantungkan hidupnya di sektor ini masih 53 persen (SUPAS 1995). Kedua, antara tahun 1971-1994, pertumbuhan serapan tenaga kerja di sektor primer, sekunder, dan jasa berturut-turut –10,2, 8,6, dan 14,1 persen. Ada yang menarik dalam kenyataan ini, yaitu daya serap tenaga kerja oleh sektor jasa lebih laju dibanding sektor sekunder. Mungkin saja, lonjakan tenaga kerja di sektor jasa ini sebagiannya merupakan dampak dari perpindahan kemiskinan dari desa ke kota. Dalam kurun waktu 2004-08, angka rata-rata angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian masih sama dengan periode 1979-1994 (42,8 persen), di sektor non-pertanian 57,24 persen. Akan tetapi, PDB relatif di sektor pertanian signifikan dari 17,4 persen (1979-1994) menjadi 14,5 persen, sementara PDB relatif di sektor-sektor lain seluruhnya 85,5 persen. PDB per tenaga kerja di sektor pertanian adalah yang terendah (11,5 juta rupiah), sedangkan pada sektor-sektor non-pertanian rata-rata 122,1 juta rupiah per tenaga kerja, dengan kisaran 26,4 hingga 379,0 juta rupiah. Potret sektor pertanian dalam kurun waktu sekitar 30 tahun tersebut belum banyak berubah dan masih meninggalkan pekerjaan rumah yang menantang. Gagasan revitalisasi pertanian yang sudah digelar sejak 5 tahun
R1_Refleksi AGB.indd 129
07/04/2010 19:04:09
130
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
lalu patut didukung, namun masih diperlukan penajaman dalam konsepnya agar dapat memberikan hasil yang lebih menggembirakan. Gambar (grafik) berikut ini menunjukkan potret tentang “nilai ekonomi” sektor pertanian nasional dalam perbandingannya dengan sektor manufaktur dan jasa. Rasio PDB relatif Sektor Manufaktur, Jasa, dan Sektor Pertanian (1960-2007)1 4.00
Jasa/Pertanian
3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00
Manufaktur/Pertanian
0.50 0.00 1960
1970
1980
1990
2000
Ada dua alternatif pendekatan yang perlu dikaji kemungkinannya untuk mengangkat kinerja sektor pertanian, dan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antarsektor. Pertama, pendekatan teknologis, yakni upaya untuk menaikkan produktivitas tenaga kerja di sektor pertanian. Pendekatan ini menyaratkan keharusan dukungan teknologis yang bersifat terobosan2.
Kedua, pendekatan institusional, yaitu upaya “menarik keluar” tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor sekunder dan tersier melalui peningkatan kesempatan petani dalam perekonomian nasional. Tulisan ini mendiskusikan alternatif pendekatan kedua, dan dalam konteks ini perspektif agribisnis sebagai sistem akan digunakan sebagai referensi utamanya.
Beberapa Masalah Mendasar di Sektor Pertanian Satu masalah di sektor pertanian, yang dapat digolongkan sebagai masalah kronik, adalah keberadaan petani-petani di dalam pasar yang monopolistik, baik pasar input maupun pasar output. Dalam hal memasarkan produk, petani seakan tidak mempunyai pilihan dan berada dalam sistem hubungan yang mirip dengan sistem patron-client.
R1_Refleksi AGB.indd 130
07/04/2010 19:04:09
Prof. Jen Tatuh
131
Hasil studi mengenai pemasaran beberapa komoditas hortikultura menunjukkan bahwa rata-rata pangsa petani (farmer’s share) berkisar hanya antara 11,4 hingga 19,0 persen. Ada kecenderungan bahwa komoditas dengan laju penyusutan hasil yang tinggi, pangsa petaninya makin rendah3 (Tatuh
dkk 2006). Menyangkut komoditas perkebunan, kualitas produk yang dihasilkan dari pengolahan pasca panen tidak lagi menjadi perhatian petani, karena harga yang diterima tidak berbeda antarkualitas. Hal ini telah berlangsung puluhan tahun. Kalaupun ada perbedaan harga menurut kualitas produk, penentuan kualitas didominasi oleh pembeli.
Di beberapa lokasi persawahan yang prasarana komunikasinya masih sangat minim, masih dijumpai mekanisme distribusi harga asymetric yang rada ekstrim. Di masa panen, produk petani dibayar dengan harga rendah, sebaliknya di masa paceklik, petani membeli beras dengan kualitas lebih rendah tetapi dengan harga yang lebih tinggi. Ada masalah sosial-ekonomi dalam contoh-contoh kasus di atas ini, yang memerlukan tanggapan moral secara arif; yakni bahwa distribusi harga yang asimetrik dipilih hanya karena perbedaan posisi tawar yang terbentuk oleh struktur pasar yang monopolistik. Perbedaan peran tentu saja eksis di antara pihak-pihak yang berada dalam pasar, sehingga perbedaan kontribusi ekonomik juga eksis. Tetapi unsur ini diperkirakan tidak berarti lagi, setelah proses keputusan bisnis yang berulang-ulang dan berlangsung puluhan tahun telah dapat mencapai kondisi yang disebut steady state. Maka patut dicurigai bahwa pangsa petani yang rendah dalam kondisi steady state itu cenderung diakibatkan oleh kesenjangan struktur kekuatan bargaining. Di dalam teori ekonomi dikenal doktrin bahwa tindakan untuk tidak meraih benefit lebih besar sementara kesempatan untuk itu ada, adalah irasional. Masalah tentang bagaimana kesempatan itu tercipta, nyaris lepas dari perhatian moral. Masalah kedua yang juga sejak lama eksis di sektor pertanian adalah konversi lahan-lahan pertanian ke non-pertanian yang berlangsung secara tetap. Dalam kurun waktu 20 tahun (1983-2003), jumlah lahan pertanian yang terkonversi mencapai 2,5 juta hektar, atau rata-rata 125 ribu hektar setiap tahunnya. Lahan pertanian yang terkonversi ini biasanya adalah lahan-lahan dengan taraf produktivitas tinggi. Akibatnya, pemilikan lahan oleh petani
R1_Refleksi AGB.indd 131
07/04/2010 19:04:09
132
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
semakin berkurang dan produktivitas tenaga kerja pun makin menurun4. Kecenderungan seperti ini dan ditambah pula dengan lambatnya tenaga kerja di sektor pertanian terserap keluar akan membuat “nilai ekonomi” sektor pertanian relatif semakin menurun. Hasil Sensus Pertanian 1993 dan 2003 memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun, jumlah rumah tangga tani gurem meningkat dengan laju pertambahan 20,8 persen setiap tahunnya. Diduga bahwa peningkatan populasi petani gurem juga dipicu oleh konversi lahan-lahan pertanian. Gejala-gejala yang digambarkan ini memperlihatkan kecenderungan terbentuknya veciuos cycle masalah sosial-ekonomi di sektor pertanian.
Pengertian Pendekatan Sistem Agribisnis Dalam sesi ini, pertama-tama akan dikemukakan tentang konsep agribisnis sebagai sistem5, sebagai referensi dalam pembahasan, kemudian
mengenai yang dimaksudkan dengan pendekatan sistem agribisnis. Pemahaman mengenai sistem agribisnis dipandang relevan bagi analis (peneliti) dan bagi pengelola pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan sektor agribisnis. Sub-sistem (sub-komponen) agroindustri hilir dan agriservis dikategorikan sebagai input karena fungsinya memasok input untuk subsistem lainnya di dalam komponen proses. Sub-sistem agriproduksi yang identik dengan usahatani adalah unit-unit agribisnis penghasil produk primer. Peran subsistem agriindustri hilir adalah sebagai pengolah produk primer menjadi barang jadi atau barang antara, sementara peran agriniaga adalah dalam menjalankan fungsi distribusi barang dan jasa agribisnis. Unit usaha agribisnis di Indonesia sangat banyak jumlahnya dengan jenis usaha yang beraneka ragam, termasuk di dalam 99,9 persen populasi unit usaha kecil-menengah (UKM). Bahkan, diperkirakan bahwa populasi unit usaha agribisnis adalah yang terbesar dibandingkan dengan UKM non-agribisnis. Lihat saja besarnya industri kuliner. Di mana-mana ada restoran, warteg, usaha jualan mie bakso (agriindustri hilir), produsen sayuran dan perikanan tangkap (agriproduksi), sebagai segelintir contoh jenis usaha agribisnis.
R1_Refleksi AGB.indd 132
07/04/2010 19:04:09
Prof. Jen Tatuh
133
DIAGRAM AGRIBISNIS SEBAGAI SISTEM (Tatuh 2004)
Agriproduksi
Agriindustri Hulu
Agriservis (Jasa)
Produksi produk primer: pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan
Agriindustri Hilir
Produk: pangan, serat, papan, farmasi, energi, kosmetik Dll.
Agriniaga
Jasa distribusi marketing
INPUT
PROSES
OUTPUT
Sebagai sistem, agribisnis mewakili tiga sektor ekonomi yaitu sektor primer (komponen agriproduksi), sektor sekunder (agriindustri), dan sektor tersier (agriservis dan agriniaga). Karenanya, pengembangan agribisnis dapat mendorong terwujudnya transformasi struktural. Salah satu ciri penting sistem agribisnis adalah adanya kaitan fungsional (backward- and forward-linkages) antarsubsistem, yang berarti pula kaitan fungsional antar “sektor ekonomi”. Sebagai ilustrasi, kualitas mie bakso yang dijajakan ditentukan tidak hanya oleh perlakuan penjual itu sendiri melainkan juga oleh produsen bahan-bahan yang digunakan dalam menu mie bakso (backward-linkage). Demikian pula halnya dengan persoalan rendahnya produktivitas tenaga kerja dialami di subsistem agriproduksi (usahatani), tetapi solusinya ada pada penyuluhan, riset dan pengembangan (R&D), dll di subsistem agriservis. Dengan pendekatan sistem agribisnis dimaksudkan sebagai sebuah siasat untuk sedapat mungkinkan membuka akses bagi petani untuk masuk ke dalam kegiatan agribisnis. Paling tidak, petani dimungkinkan masuk ke dalam subsistem agriindustri hilir dan agriniaga, dengan tetap mendapat dukungan optimal dari subsistem agriindustri hulu dan agriservis. Dengan jalan demikian, nilai tambah yang dihasilkan sistem dapat pula jatuh ke tangan petani.
R1_Refleksi AGB.indd 133
07/04/2010 19:04:10
134
Refleksi Agribisnis: 65 Tahun Profesor Bungaran Saragih
Sistem Primatani adalah sebuah siasat untuk secara efisien menghubungkan petani dengan sumber-sumber teknologi dan pendampingan teknis yang efektif (menekan kesenjangan teknologis). Hasil studi menunjukkan bahwa kontribusi teknologi terhadap peningkatan produksi dalam sistem Primatani jauh tinggi dibandingkan dengan yang ditemukan dalam pola non-Primatani6.
Primatani berhasil mengefisienkan hubungan antara subsistem produksi primer dengan sumber teknologi dan jasa penyuluhan, tetapi membiarkan subsistem pemasaran hasil (agriniaga) tidak tersentuk oleh sistem ini.
Sebaliknya, dalam pola GAPOKTAN, petani diberdayakan untuk masuk ke dalam subsistem agriniaga, selain subsistem produksi primer yang merupakan basis usahanya, tetapi tanpa keterkaitan pada dukungan teknologi maju (seperti pada Primatani) dan pada usaha agribisnis pengolahan hasil. Sekiranya unsur-unsur di dalam kedua pola digabungkan, sinerginya akan memberikan kinerja yang jauh lebih besar. Di Sulut ada beberapa contoh lulusan perguruan tinggi (S1 dan S2) yang bertindak sebagai manajer yang mengelola unit agribisnis yang dibentuk oleh sekelompok petani ke dalam usaha bersama. Salah satu di antaranya adalah usaha agribisnis beras organik yang mengelola sampai empat subsistem agribisnis, yakni memproduksi sendiri pupuk dan obat-obatan organik (subsistem agriindustri hulu), melaksanakan produksi padi (subsistem agriproduksi), melaksanakan pengolahan padi menjadi beras (subsubsistem agriindustri hilir), dan pengepakan serta penjualan hasil (subsistem agriniaga). Hasil evaluasi memperlihatkan bahwa pola usaha agribisnis ini menampilkan kinerja usaha lebih tinggi daripada pola-pola biasa7. Salah satu keterbatasan pola tersebut adalah bahwa petani-petani yang tergabung di dalamnya berperan sebagai pekerja dalam proses produksi pupuk dan obat-obatan organik, di dalam produksi padi, dan sebagai pemilik lahan. Namun demikian, pendapatan yang diterimanya lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterima pemilik lahan pada pola biasa (perorangan), karena usaha agribisnis bersama ini didukung pula oleh sistem nilai dalam distribusi pendapatan yang condong pada pemberian insentif lebih kepada petani.
R1_Refleksi AGB.indd 134
07/04/2010 19:04:10
Prof. Jen Tatuh
135
Catatan Penutup Pertama, berbagai upaya memajukan ekonomi petani, atau secara umum ekonomi UKM, telah dilakukan dan telah memberikan hasilnya, namun belum menggembirakan. Pendekatan sistem agribisnis memiliki dukungan empiris untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif pemecahan masalah pertanian di Indonesia, dalam perspektif transformasi ekonomi, ekonomi kerakyatan, ketahanan pangan, dan keadilan sosial. Kedua, bentuk usaha kooperatif8 sangat dianjurkan dalam penerapan pendekatan sistem agribisnis. Teori ini pun memiliki dukungan empiris, yaitu bahwa kinerja dari bentuk-bentuk usaha agribisnis bersama lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk-bentuk usaha perorangan9. Ketiga, peningkatan perekonomian petani dengan pendekatan sistem agribisnis memerlukan dukungan tenaga-tenaga manajer yang berkemampuan mengelola usaha-usaha bisnis yang terintegrasi dalam satu unit pengelolaan bisnis berskala lebih besar daripada unit bisnis perorangan. Selain kemampuan manajerial, diperlukan pula kearifan moral sosial-ekonomi manajer agribisnis untuk mampu menerapkan institusi distribusi pendapatan atau distribusi harga, yang secara agregat berdampak sinergis besar dengan kesenjangan yang lebih sempit. Demand potensial atas tenaga manajer agribisnis dengan kualifikasi tersebut akan menjadi deman aktual apabila pendekatan sistem agribisnis yang ditawarkan di sini mendapat dukungan pemerintah dalam bentuk promosi program-program pembangunan agribisnis. Dalam hal ini, tidak harus semuanya berupa program “baru”, ada pula yang cukup hanya dengan penyesuaian dan peningkatan yang sudah ada, seperti Primatani, GAPOKTAN, PNPM Mandiri, dan lain-lain. Potensi pasar kerja ini hendaknya ditangkap oleh penyelenggara pendidikan tinggi (S1 dan S2) bidang studi agribisnis dan bidang-bidang studi terkait lainnya, dengan kurikulum yang lebih dinamis. Keempat, perlu kiranya kajian-kajian lebih jauh dan mendalam mengenai rekonstruksi doktrin rasionalisme dalam teori ekonomi, dari rasionalisme individual ke rasionalisme kolektif atau rasionalisme sosial.
R1_Refleksi AGB.indd 135
07/04/2010 19:04:10
R1_Refleksi AGB.indd 136
07/04/2010 19:04:11