Seminar Nasional PENINGKATAN DAYA SAING AGRIBISNIS BERORIENTASI KESEJAHTERAAN PETANI Bogor, 14 Oktober 2009
Pensejahteraan Petani dan Pengembangan Agribisnis melalui Pengembangan Kelembagaan Kemitraan dalam Pemasaran Cabai Merah oleh
Supriyati dan Roosganda E.
PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2009
PENSEJAHTERAAN PETANI DAN PENGEMBANGAN AGRIBISNIS MELALUI PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN KEMITRAAN DALAM PEMASARAN CABE MERAH Kasus: Kemitraan PT. Heinz ABC Indonesia di Jawa Tengah Supriyati dan Roosganda Elizabeth Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A.Yani 70. Bor.16161
ABSTRAK PT Heinz ABC Indonesia sebagai salah satu industri pengolah hasil pertanian, dalam pengadaan bahan baku sebagian besar masih berasal dari pedagang/supplier. Kemitraan dengan petani/kelompok tani ada yang langsung maupun tidak langsung, dah dirintis sejak tahun 2005. Khusus di Provinsi Jawa Tengah baru dimulai pada tahun 2006, dan cakupannya masih kecil. Dalam kemitraan, baik langsung maupun tidak langsung, kelompok tani/gabungan kelompok tani lebih banyak dibebani kewajiban sementara itu hak-hak nya masih terbatas. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji dan mengemukakan kondisi kelembagaan kemitraan pada umumnya, mengkaji kinerja kelembagaan kemitraan PT Heinz ABC Indonesia dalam pemasaran cabe merah, mengkaji manfaat kelembagaan pemasaran kemitraan cabe dan perspektif pengembangannya terkait upaya akselerasi pengembangan agribisnis untuk peningkatan kesejahteraan petani cabe merah. Manfaat kemitraan bagi kelompok tani adalah adanya kepastian pasar, dan keuntungan yang relatif stabil. Manfaat bagi pihak mitra adalah kepastian memperoleh bahan baku sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan. Pihak mitra tetap memberi kesempatan menjual ke pasar bebas apabila harga lebih baik. Perspektif pengembangan kemitraan masih sangat terbuka, antara lain disebabkan: (a) kedua belah pihak memperoleh manfaat yang saling menguntungkan; (b) permintaan produk olahan semakin meningkat seiring dengan pertambahan penduduk. Kata kunci: pensejahteraan, pengembangan, agribisnis, kelembagaan kemitraan, pemasaran, cabe merah
PENDAHULUAN Produk pertanian umumnya memiliki sifat meruah (voluminous), mudah rusak (perishable), dan musiman (seasonal). Ketergantungan terhadap iklim membuat sebagian besar hasil pertanian tidak bisa ditanam dan dipanen sepanjang tahun. Sifat musiman menyebabkan produk pertanian berlimpah pada suatu musim sehingga harga jualnya merosot, sedang di musim lainnya sangat langka sehingga harganya sangat mahal. Disamping itu, hasil pertanian (terutama sayuran) harus dipasarkan segera sesudah dipanen agar kualitasnya tidak mengalami penurunan karena rusak atau membusuk. Apabila petani tidak bisa menjual komoditas sayuran dengan segera, maka harus dilakukan pengawetan agar bisa disimpan, dan tentunya memerlukan biaya tambahan. 1
Pemasaran produk pertanian bagi petani skala kecil pada umumnya merupakan titik kritis dalam rantai agribisnis (Saptana, dkk. 2005, 2006). Pemerintah hanya dapat sedikit memfasilitasi yaitu dalam hal pemasaran, salah satunya dengan menyediakan sarana transaksi berupa sentral terminal agribisnis (STA). Namun, karena fungsinya belum seefektif dan seefisien yang diharapkan, mengakibatkan harga yang diterima petani masih rendah. Salah satu alternatif pemecahan masalah pemasaran sayuran adalah dikembangkannya kelembagaan kemitraan antara petani dengan industri pengolahan. Secara umum, kemitraan mempunyai beberapa pengertian, antara lain: (a) Kemitraan adalah jalinan kerjasama antar berbagai pelaku agribisnis, mulai dari tingkat produksi sampai ketingkat pemasaran. Terdapat sedikitnya 5 komponen bidang usaha yang tercakup dalam agribisnis, yaitu bidang usaha: 1)yang menyediakan dan menyalurkan sarana produksi, alsintan; 2)produksi komoditas pertanian (komoditas pro\imer yang belum mengalami proses pengolahan); 3)industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri); 4)pemasaran berbagai hasil pertanian; 5)pelayanan publik (perbankan, angkutan, asuransi, storage. (Elizabeth, R. 2008); (b) Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995, kemitraan adalah kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling membutuhkan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan; (c) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, secara prinsip kemitraan usaha tetap diarahkan dapat berlangsung atas dasar norma-norma ekonomi. Pengaturan tersebut ditindaklanjuti melalui SK Mentan No. 940/Kpts/OT. 210/10/1997 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang mengemukakan tentang pola-pola kemitraan usaha yang dapat dilaksanakan, antara lain pola : inti-plasma, sub-kontrak, dagang umum, keagenan, atau bentuk-bentuk lain, misalnya Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Dari beberapa pengertian di atas, mengindikasikan bahwa dalam kemitraan terdapat unsur pelaku (petani vs industri), bentuk, dan tujuan. Lahirnya konsep kerjasama atau kemitraan antara perusahaan pertanian dengan pertanian rakyat didasarkan atas dua argumen (Sinaga, 1987), yaitu : (1) adanya perbedaan dalam penguasaan sumberdaya (lahan dan kapital) antara masyarakat industrial di perkotaan (pengusaha) dengan masyarakat pertanian di pedesaan (petani), pengusaha mempunyai modal dan pengetahuan, sedangkan petani di sisi lain orang desa dikategorikan mempunyai lahan dan tenaga kerja, namun kurang modal dan kemampuan teknologi (keterampilan); dan (2) adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing subsistem dari sistem agribisnis, di mana dalam subsistem usahatani, skala kecil lebih efisien atau sama efisiennya dengan skala usaha besar, karena sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat tetap (constant cost to scale), sementara itu dalam subsistem pemasaran, pengolahan dan pengadaan saprodi, skala usaha besar lebih efisien dari pada skala kecil, karena sifat
2
hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha bersifat menurun (decreasing cost to scale). Pentingnya aspek kemitraan usaha ini sudah sejak lama disadari oleh pemerintah, yaitu dengan program kemitraan sejak pertengahan 1970-an hingga awal 1980-an yang berupa Perusahaan Inti Rakyat (PIR) pada beberapa subsector/komoditas (PIRPerkebunan, PIR-Perunggasan, Tambak Inti Rakyat, Tebu Inti Rakyat), dan kemitraan usaha di bidang hortikultura. Menurut Suwandi (1995), berdasarkan tata hubungan antara pengusaha (inti) dan plasma (kelompok tani) terdapat tiga pola kemitraan, yaitu: (1) Perusahaan Inti Rakyat (PIR), di mana perusahaan sebagai inti melakukan fungsi perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit, pengolahan hasil dan pemasaran hasil bagi usahatani yang dibimbingnya, sambil menjalankan usahatani yang dimilikinya sendiri; (2) Perusahaan Pengelola, yaitu perusahaan yang melakukan fungsi perencanaan, bimbingan dan pelayanan sarana produksi, kredit, pengolahan dan pemasaran hasil bagi usahatani yang dibimbingnya, tetapi tidak menyelenggarakan usahatani sendiri; dan (3) Perusahaan Penghela, yaitu perusahaan yang melakukan fungsi perencanaan, bimbingan dan pemasaran hasil tanpa melayani kredit, sarana produksi dan juga tidak mengusahakan usahataninya sendiri. Sementara itu, di sektor pertanian dijumpai sedikitnya tiga pola kemitraan usaha, yaitu : (1) kemitraan yang berkembang mengikuti jalur evolusi sosio budaya atau ekonomi tradisi; (2) kemitraan program pemerintah yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian; dan (3) kemitraan yang tumbuh akibat perkembangan ekonomi pasar (Kasryno, et.al., 1994). Meskipun berbagai program kemitraan telah dikembangkan pada berbagai komoditas pertanian, akan tetapi sebagian besar kemitraan yang diprogramkan pemerintah tidak menunjukkan kinerja yang baik kecuali pada sebagian komoditas perkebunan, seperti pada PIR kelapa sawit (Erwidodo, et al., 1996). Keberhasilan pada PIR kelapa sawit tersebut pada dasarnya didorong oleh tiga faktor utama yaitu: (1) Usaha komoditas perkebunan memiliki economic of scale sehingga pengembangannya mencakup areal luas mampu menekan ongkos produksi; (2) Pelaksanaan PIR perkebunan pada umumnya dilakukan pada lahan transmigrasi yang baru dibangun, sehingga dapat dirancang lebih mudah ukuran usaha yang menguntungkan perusahaan inti yang menjadi mitra petani; (3) Perusahaan inti tertarik untuk melakukan kemitraan dengan petani karena pasar bahan baku bagi industri pengolahan yang dibangunnya dapat dikuasai; dan (4) Sedang bagi petani, kemitraan tersebut menguntungkan karena komoditas perkebunan yang dikembangkan menjadi memiliki jangkauan pasar lebih luas akibat dikembangkannya pabrik pengolahan dan pasar produk yang dihasilkan petani lebih terjamin (Irawan et. al. 2001). Berdasarkan latar belakang tulisan ini bertujuan: mengkaji kinerja kelembagaan kemitraan PT Heinz ABC Indonesia dalam pemasaran cabe merah, dan mengkaji manfaat kelembagaan pemasaran kemitraan cabe dan perspektif pengembangannya terkait upaya 3
akselerasi pengembangan agribisnis untuk peningkatan kesejahteraan petani cabe merah. Kemitraan PT Heinz ABC Indonesia di Jawa Tengah dimulai tahun 2006, yang meliputi wilayah Kabupaten Brebes, Purbalingga, Semarang dan pada tahun 2007 dikembangkan lagi ke Kabupaten Boyolali. Lokasi penelitian secara purposive dilakukan di Kabupaten Boyolali, Semarang dan Purbalingga. Dalam rangka mengkaji kemitraan ini, maka dilakukan wawancara semi terstruktur pada pelaku yang terkait dengan kemitraan. Analisis dilakukan secara deskriptif. KINERJA KELEMBAGAAN KEMITRAAN PT HEINZ ABC INDONESIA DALAM PEMASARAN CABE MERAH Sekilas Profil Lokasi Pada tahun 2006 luas areal panen di Provinsi Jawa Tengah mencapai sekitar 20.415 hektar dengan tingkat produksi 1.248.392 kwintal dan produktivitasnya sebesar 61,15 persen per tahun. Dalam periode tahun 2003 – 2006, luas areal panen cabe merah di Provinsi Jawa Tengah terlihat mengalami kecenderungan penurunan sebesar 6,10 persen per tahun (Tabel 1). Namun penurunnan areal panen tersebut tidak diikuti dengan penurunan tingkat produksi, (dimana produksi meningkat sebesar 6,48 persen per tahun). Hal ini disebabkan terjadi peningkatan produktivitas sebesar 10,81 persen per tahun. Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Cabe Merah di Jawa Tengah, 2003-2006. Tahun
Luas Panen (Ha)
2003 23.796 2004 18.385 2005 16.461 2006 20.415 Pertumbuhan (%/Tahun) -6,10 Sumber: Dinas Pertanian Propinsi Jawa Tengah
972.426 1.116.229 989.3 1.248.392
Produktivitas (Kw/Ha) 40,87 60,71 60,10 61,15
6,48
10,81
Produksi (Kw)
Luas areal panen cabe merah di Kabupaten Boyolali pada tahun 2006 mencapai 92 hektar dengan tingkat produksi 5.870 kwintal dan produktivitasnya 63,8 kwintal per hektar. Di Kabupaten Purbalingga, luas areal mencapai 254 ha, dengan tingkat produksi 156.90 kwintal dan produktivitas 61.77 kwintal per hektar. Sementara itu, di Kabupaten Semarang pada tahun yang sama luas areal panen mencapai 363 hektar dengan tingkat produksi 21.308 kwintal dan produktivitasnya mencapai 58,7 kwintal per hektar. Produkitivtas komoditas cabe merah di Kabupaten Boyolali dan Purbalingga pada tahun 2006 lebih tinggi dari rata-rata produktivitas komoditas cabe merah di Propinsi Jawa
4
Tengah, sementara di Kabupaten Semarang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena adanya serangan hama penyakit di Kabupaten Semarang. Pada periode tahun 2003-2006, di Kabupaten Boyolali dan Semarang terjadi peningkatan luas areal panen dan produksi sementara di Kabupaten Purbalingga terjadi penurunan luas areal dan produksi. Peningkatan produksi di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Semarang juga disebabkan adanya peningkatan produktivitas, antara 5,8713,28 persen per tahun (Sayaka, B., dkk, 2008). Secara umum, pola pemasaran cabe di Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu pemasaran dengan pola pemasaran umum dan pola kemitraan. Kemitraan pemasaran cabe merah dengan PT Heinz ABC Indonesia di Jawa Tengah pada tahun 2006 dilakukan di tiga kabupaten (Kabupaten Brebes, Purbalingga, dan Semarang) yang mencapai areal seluas 99 ha. Sementara pada tahun 2007, ada penambahan satu kabupaten, seluas 6 ha (Tabel 2) Luasan kemitraan tersebut masih kecil dibandingkan dengan luas areal cabe merah di wilayah ini, yaitu hanya sekitar 0.5 persen. Sementara itu, kemitraan dengan PT Heinz ABC Indonesia di 3 kabupaten, berkisar antara 5,2 -15, 7 persen, terrendah di Kabupaten Semarang dan tertinggi di Kabupaten Purbalingga. Tabel 2. Kemitraan Cabe Merah dengan PT Heinz ABC Indonesia di Jawa Tengah, 20062007 Tahun Kontrak 2006
Kelompok Tani
Sejati Maju Makmur Lestari Makmur Ngudi Rizqi 2007 Sejati Maju Makmur Lestari Makmur Ngudi Rizqi Setyo Tunggal Sumber: Ditjen Hortikultura
Lokasi Bumi Jawa, Brebes Kuta Bawa, Purbalingga Tajuk, Getasan, Semarang Batur, Getasan, Semarang Bumi Jawa, Brebes Kuta Bawa, Purbalingga Tajuk, Getasan, Semarang Batur, Getasan, Semarang Tarubatang, Selo, Boyolali
Luas (ha) 40 40 10 9 40 40 10 9 6
PT Heinz ABC Indonesia memiliki usaha divisi agro processing dengan produk seperti sambal, saos, dan kecap. Untuk memenuhi bahan produksi ditangani oleh bagian procurement (pengadaan), bukan purchasing (pembelian). Dalam pemenuhan bahan baku dilakukan kemitraan dengan para petani maupun suplier. Komoditas pertanian (hortikultura) yang selama ini sudah dipasok dari kegiatan kemitraan masih sebatas cabe merah. Pengadaan barang PT ABC Indonesia dilakukan dengan 4 cara, yaitu: (1) Impor, (2) Kontrak dengan suplier, (3) Kontrak dengan grower, dan (4) Kontrak dengan prtani/kelompok tani/koperasi. Komposisi pengadaan pada saat ini masih didominasi oleh suplier (70%), farmer/grower (20%) dan impor (10%). Di masa mendatang PT ABC 5
memiliki target pengadaan dari grower/farmer bisa mencapai 40 persen. Dengan demikian kemungkinan dilakukan kontrak/kemitraan dengan petani masih sangat terbuka. Pola kemitraan yang dijalankan PT Heinz ABC Indonesia bermacam-macam bentuknya,diantaranya: (1) Kontrak langsung dengan kelompok tani, (2) Kontrak dengan grower, selanjutnya grower bermitra dengan petani; (3) Kontrak dengan investor, selanjutnya investor yang kontrak dengan kelompok tani. Kemitraan PT Heinz ABC Indonesia di Jawa Tengah mengikuti pola 2 dan 3. Kemitraan PT Heinz ABC hanya pada aspek pemasaran berupa jaminan harga. Selama ini belum pernah memberikan bantuan modal kepada petani, kecuali dalam jumlah terbatas sekali seperti bibit yang dibayar setelah panen (yarnen). Walaupun demikian dengan adanya kemitraan akhirnya mengundang investor untuk masuk dalam pembiayaan sarana produksi. Total kebutuhan cabe merah besar PT ABC (aktual) adalah sebesar 60 ton/hari. Pada saat ini baru terpenuhi sekitar 40-45 ton/hari. Sementara untuk kapasitas terpasang pabrik masih bisa mengolah hingga 90 ton/hari. Untuk kebutuhan cabe keriting hanya berjumlah 5 persen dari total, sementara bawang merah masih sangat kecil. Dalam upaya mencari partner kemitraan pihak PT Heinz ABC Indonesia menawarkan/bidding melalui sejumlah media, diantaranya dengan Trubus dan Agrina. Media ini dipilih karena merupakan majalah yang banyak memuat tentang informasi pertanian sehingga diharapkan dapat lebih tepat sasaran, khsususnya bagi pelaku usaha terkait dengan komoditas yang dibutuhkan oleh PT Heinz ABC Indonesia. Kegiatan kemitraan cabe merah sudah berjalan efektif selama 3 tahun. Pada awal mulai kemitraan dilakukan uji terhadap 54 varietas yang cocok untuk industri. Varietas yang diuji terdiri atas varietas pabrikan, 27 varietas dari IPB (CH1 – CH27) dan varietas lokal. Dari hasil seleksi tersebut diperoleh 5 varietas yang sesuai untuk industri yaitu: Biola, Gada, Hot beauty, Adipati dan Imperial. Ke-5 varietas yang terpilih merupakan cabe besar. Untuk cabe keriting belum dapat dipakai secara tunggal tetapi hanya sebagai campuran saja dengan komposisi maksimum 10 persen. Hal ini didasarkan pada survey kepada konsumen secara langsung tentang persepsi dan tanggapan konsumen terhadap beberapa sampel produk saos ABC. Dari pola kemitraan yang ada, dapat dikemukakan bahwa: (1) Kontrak dengan grower (petani besar dengan usaha lain) dilakukan karena kelompok tani yang ada belum memiliki modal yang cukup untuk menanggung biaya pemetikan (panen), keranjang dan transportasi. Walaupun demikian pihak grower ini akan bekerjasama kelompok tan dan petani/ kelompok tani lain; (2) Kontrak dengan investor dilakukan karena kelompok tani terbatas modalnya. Jika dikaitkan dengan pengadaan bahan baku, PT Heinz ABC Indonesia lebih memilih kelompok tani atau suplier, sebenarnya jika suplier konsisten dalam mutu lebih suka suplier. Tetapi jika kontinyuitas bahan baku lebih suka dengan kelompok tani.
6
Dalam kemitraan, diberlakukan harga kontrak yang didasarkan pada biaya pokok ditambah keuntungan. Harga kontrak cabe (franko pabrik) dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan sebagai berikut: tahun 2005 (Rp 5200/kg); 2006 (Rp Rp 5500/kg); 2007 (Rp 5750/kg) dan tahun 2008 (Rp 6500). Sebetulnya dengan kenaikan harga yang terus menerus setiap tahun menjadikan cabe merah kurang kompetitif dan bisa lebih mahal dari harga impor pasta yang sekarang mencapai Rp 8000/kg. Pasta diimpor terutama dari negara China dan India. Harga yang ditetapkan pabrik diharapkan sudah memberikan keuntungan kepada petani karena biaya produksi cabe pada saat ini adalah sekitar Rp 3100 per pohon. Dalam kemitraan cabe merah pihak PT Heinz ABC Indonesia tidak menjadikan besaran volume definitif sebagai patokan yang harus dikirim ke pabrik. Biasanya hanya proporsi dari hasil panen yang jumlahnya bervariasi. Misalnya ada yang 75 persen hasil panen untuk PT Heinz ABC Indonesia dan sisanya bisa dijual ke pasar bebas, atau ada juga yang proporsinya hingga 50%:50%. Umumnya sebagai patokan adalah hasil panen per pohon, berkisar antara 6- 8 ons (dari sekitar 16 ons) per pohon disetor ke PT Heinz ABC Indonesia sisanya bisa dijual bebas. Hal ini untuk mengantisipasi apabila harga di pasaran lebih tinggi, sehingga petani dapat memperoleh keuntungan yang memadai Dalam kemitraan dengan petani cabe, PT Heinz ABC Indonesia tidak terlalu memberlakukan persyaratan yang ketat. Memang dalam kontrak kerja ditetapkan beberapa persyaratan yang cukup ketat agar petani/suplier lebih bersungguh-sungguh untuk menghasilkan produk yang berkwalitas sekaligus sebagai pendidikan agar petani lebih profesional. Bagi PT Heinz ABC Indonesia kriteria cabe yang bisa diterima yang utama adalah warna merah marun dan kepedasan (diencerkan hingga 400 kali masih tersa pedas). Cabe merah yang ditolak umumnya warnanya agak orange/coklat sehingga ketika dibuat saos warnanya menjadi kurang menarik. Kebanyakan cabe yang ditolak berasal dari suplier, sementara dari petani sudah banyak yang memenuhi syarat. Suplier membeli cabe dari petani yang menggunakan bibit turunan (bukan bibit asli). Peran Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas terkait dalam kemitraan masih relatif kecil. Dalam menjalin kemitraan PT Heinz ABC Indonesia berhubungan dengan petani, kelompok tani, koperasi dan LSM. Menjalin kerjasama dengan dinas untuk transaksi kesulitan karena instansi pemerintah bukan lembaga usaha. Dari sisi perusahaan jika melibatkan Dinas untuk proses transaksi meningkatkan biaya, antara lain untuk pembinaan dan sebagainya. Padahal dari perusahaan tidak ada alokasi untuk pembiayaan tersebut. Selain itu, keterlibatan pihak lain mungkin juga akan menambah panjang rantai pemasaran. Pengalaman selama ini, jika melalui Dinas terlebih dulu kurang bisa berjalan dengan mulus dan banyak kelemahan. Sebagai contoh di Banten pernah ada tersedia dana 20 juta per hektar untuk menanam cabe dengan luasan bisa 6 hektar dan rencana akan dilakukan kemitraan. Tetapi petani masih kurang tertarik untuk mengambil dana program tersebut dan ingin menjual bebas hasil panennya karena dipandang lebih tinggi. 7
Permasalahan juga muncul karena tidak sinkronnya harga di tingkat pabrik dan di petani. Di Sragen pernah juga dilakukan kemitraan (via dinas) pada tahun 2005 dengan harga franko pabrik Rp 5200/kg. Pada saat itu petani hanya menerima Rp 3900. Mungkin petani melihatnya senjangnya terlalu tinggi, padahal belum tentu benar karena petani tidak mengeluarkan biaya petik, kemas maupun transport serta uang pembinaan. Selisih harga ini memang jadi masalah, karena petani menginginkan harga sesuai dengan harga pabrik. Pembayaran kemitraan paling cepat dilakukan 2 minggu dan paling lama 3 minggu. Saran untuk mendapat prioritas utama untuk meningkatkan kwalitas produk petani adalah perlu adanya perbaikan mutu benih dan teknologi. Selain itu pendanaan juga menjadi faktor kunci. Modal ini masih jadi kendala, terutama bagi petani kecil. Berbeda dengan di negara China, pemerintah (bupati/walikota) menjadi avalis untuk pinjam ke perbankan. Bahkan untuk wilayah pedesaan, avalis-nya adalah kepala desa. Khusus untuk pemerintah hendaknya memperhatikan masalah pendanaan, pengawalan teknologi dan riset. Aspek riset yang utama adalah dalam perbaikan mutu benih sehingga memenuhi syarat untuk memasok kebutuhan industri. Hak dan Kewajiban dalam Kemitraan Pemasaran Cabe di Jawa Tengah Di Kabupaten Boyolali, kemitraan dengan PT Heinz ABC Indonesia, dilakukan secara berjenjang, yaitu antara PT Heinz ABC Indonesia dengan grower, grower dengan Gabungan Kelompok Tani (yaitu Paguyuban Kelompok Tani/PKT Setyo Tunggal) dan PKT dengan Kelompok Tani. Masing-masing jenjang melakukan perjanian secara tertulis. Kemitraan yang dilakukan oleh PKT Setyo Tunggal dengan grower dilakukan melalui surat perjanjian kerja No 3/02/07, bahwasanya kedua belah sepakat untuk pengikatan pengadaan jual beli cabe merah besar (Casium annum var. grossum kultivar Biola, di Desa Tarubatang, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali dengan luas 6 hektar. Kewajiban PKT adalah memenuhi persyaratan teknis maupun spesifikasi dan jumlah cabe,yang ditetapkan oleh PT Heinz ABC Indonesia (sama seperti kesepakatan yang dilakukan oleh Paguyuban ke kelompok tani yang dikemukakan pada bahasan berikutnya). Jumlah cabe yang dikirim ke pabrik adalah 0,7-0,9 kg per tanaman pada masa panen. Jadwal dan jumlah pengiriman selama 4 bulan ditampilkan pada Tabel 3. Jumlah cabe yang dikirim masih lebih rendah dari kapasitas produktivitas per tanaman, hal ini untuk memberi kesempatan menjual ke pasar apabila harga lebih baik. Sementara itu, kewajiban grower adalah membeli cabe dengan harga Rp 4000 per kilogram. Pembayaran oleh grower kepada PKT Setyo Tunggal dilakukan setiap minggu setelah barang diterima denga sistem cek mundur atau transfer. Aturan main antara PKT Setyo Tunggal yang bertindak atas nama supplier cabe merah dengan kelompok tani dituangkan dalam surat perjanjian No: PPST/12/15-04/2007. Adapun isi dari surat perjanjian tersebut adalah bahwa kedua belah pihak sepakat untuk pengikatan pengadaan jual beli cabe merah varietas biola di desa Tarubatang, Kecamatan 8
Selo, Kabupaten Boyolali. Dalam perjanjian tersebut beberapa hak dan kewajiban Paguyuban Petani sebagai Supplier Cabe Merah, yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: (a) Memberi pinjaman modal sebesar Rp 42.238.000 kepada kelompok tani, untuk penanaman cabe merah besar varietas Biola; dan (b) Melakukan pembelian cabe besar , dan secara bersama-sama mengirim ke pabrik yang telah ditunjuk. Tabel 3. Jadwal dan Jumlah Pengiriman Cabe PKT Setyo Tunggal, Selo, Kabupaten Boyolali Bulan ke 4 5 6
Jumlah (ton) 9,7-11,7 26,5-31,5 37,6-42,6
Kumulatif (ton) 9,7-11,7 35,2-43,2 72,8-85,8
Sementara itu, kewajiban kelompok tani sebagai adalah: (a) Menanam cabe merah besar sesuai spesifikasi dalam jangka waktu perjanjian selama satu musim tanam (April s/d September); (b) Tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli cabe merah besar dengan pihak lain tanpa persetujuan secara tertulis sebelum memenuhi kewajiban yang telah ditentukan; (c) Cabe yang dapat dibeli oleh Paguyuban adalah yang sesuai dengan spesifikasi sebagai berikut: (1) Warna: merah mulus; (2) Panjang: 9,5-14,5 mm; (3) Tingkat kebusukan/ bercak maksimal 1,5%; (3) color defek: max 1,5% (kelopak, bening, Petek); (4) Hotnes level: Detectable on 400 x dilution (diatas 400 kali pengenceran); (5) Tampilan: segar, tanpa tangkai dan batang; (6) Rasa: pedas tidak pahit; (7) Kemasan plastik container kapasitas 25 kg; (d) Jumlah cabe yang dikirim adalah 0,7 kg per tanaman pada masa panen. Sedang kelebihannya dapat dijual ke paguyuban dengan harga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam melakukan kemitraan, harga jual cabe yang telah ditetapkan yaitu Rp 3.750 dengan sistem bagi hasil keuntungan. Keuntungan dibagi dua 50 persen untuk pihak Paguyuban dan 50 persen lagi untuk kelompok tani, setelah dikurangi modal. Jika volume cabe yang dikirim kelompok tani tidak sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati, maka pihak Paguyuban berhak melakukan investigasi dan pihak Kelompok Tani berkewajiban memberikan informasi sebagaimana mestinya dan bersedia menanggung kerugian dari ketidak sesuaian kecuali force marjure. Di Kabupaten Semarang, pada tahun 2007 dilakukan kemitraan langsung antara PT Heinz ABC Indonesia dengan Kelompok Tani Lestari Makmur. Berikut disampaikan kewajiban dan hak yang patut dikelola petani. Kewajiban KT dalam kemitraan adalah sebagai berikut : (a) KT berkewajiban menyediakan lahan minimal 5 hektar untuk budidaya cabe, dalam pelaksanaannya KT dapat menyediakan 10 hektar lahan; (b) Menanam varietas cabe yang telah ditentukan mitra, yaitu Biola atau Hot Beauty. KT memilih varietas Biola, karena lebih unggul dibandingkan Hot Beauty. Namun demikian, 9
Var Biola memerlukan perawatan yang lebih intensif, dan memiliki beberapa kelemahan, antara lain apabila kena hujan, tanaman akan kena kembung dan bunga gugur, apabila kena panas rentan terhadap Trips dan pathek; (c) Dalam pemasaran, KT tidak diperkenankan menjual produk di luar PT Heinz ABC, sebelum memenuhi kewajiban ke pihak mitra; (d) Jumlah cabe yang dikirim, dengan produksi 0.7-0.9 kg/tanaman. Jadwal pengiriman berlaku selama musim tanam (empat bulan masa tunggu panen dan tiga bulan masa panen), dengan waktu pengirman 3 hari sekali. Persyaratan teknis sama dengan yang di atas. Kewajiban PT Heinz ABC sebagai mitra, antara lain adalah: (a) PT Heinz ABC akan melakukan pembelian cabe merah besar dengan harga Rp 4000/kg (cabe dengan gagang) dan Rp 4150/kg (cabe tanpa gagang); (b) PT Heinz ABC berkewajiban membeli semua produksi yang dihasilkan KT dengan harga yang sudah ditetapkan dan pembayaran dilakukan paling lama tiga minggu setelah barang diterima. Di Kabupaten Purbalingga, kemitraan yang dilakukan oleh kelompok tani cabe dengan PT Heinz ABC Indonesia tidak jauh berbeda dengan di lokasi lain seperti di kabupaten Semarang maupun kabupaten Boyolali. Namun demikian, dalam kerjasama ini juga melibatkan Investor pemasok saprodi, sehingga sarana input disediakan oleh investor, yang meliputi bibit, pupuk kimia, pupuk kandang maupun obat-obatan, pestisida, bahkan biaya garap pengolahan lahan hingga biaya tanam. Sistem pembayarannya dilakukan pada saat produksi hasil panen dipasarkan, sehingga biaya-biaya input diperhitungkan terlebih dahulu oleh penyedia input dengan mitra PT ABC. Jangka waktu pembayaran dari pihak industri PT ABC dilakukan dengan sistem nota dalam jangka waktu selama 21 hari. Meski demikian tidak semua anggota kelompok tani menggantungkan seluruh pembiayaan usahatani dari penyedia saprodi, tetapi ada yang hanya sebagian menggunakannnya, terutama untuk obat-obatan maupun pestisida yang merupakan biaya input terbesar dibandingkan dengan jumlah penggunaan biaya input lainnya, dimana harga setiap jenis obat dan pestisida terus mengalami kenaikan setiap saat dan secara umum sangat memberatkan para petani yang mengusahakan komoditas cabe merah, mengingat frekwensi penggunaan pestisida dan obat-obatan cukup tinggi. Pengaturan areal tanam yang diusahakan pada lahan-lahan yang diusahakan dalam kegiatan kerjasama tersebut minimal mencapai 10 hektar, dengan perhitungan dapat dilakukan oleh 10 orang petani. Dengan demikian maka luas areal pertanaman petani sebagai anggota kelompok rata-rata mencapai luasan 1 hektar. Saat ini, luas areal Kelompok tani “Berkah Cabe” telah mencapai 25 hektar, yang dimiliki oleh 18 orang petani anggota kelompok. Sehingga luas pengusahaan berkisar antara 1-3 hektar, dimana 15 orang rata-rata memiliki luasan lahan usaha 1 hektar serta 10 hektar yang diusahakan oleh 3 orang.
10
Dalam melakukan kerjasama dengan PT ABC, varietas yang diminta adalah varietas Biola dan Hot Beauty. Benih disediakan oleh pihak PT ABC, demikian juga dengan modal awal untuk pengolahan lahan. Pada umumnya dalam satu pohon dipetik 17 kali dengan frekwensi pemetikan 7 hari. Berdasarkan hasil pencatatan kelompok menunjukkan bahwa jumlah produksi cabe merah rata-rata mencapai 160 ton per 10 hektar atau rata-rata 16 ton per hektar. Bila dirinci berdasarkan jumlah produksi per pohon, maka jumlah produksi mencapai antara 0,6-1,2 kg per pohon atau rata-rata 0,8 kg per pohon dengan jumlah petikan rata-rata mencapai 18-20 kali per musim hingga selesai. Sementara jumlah kebutuhan produksi yang diberikan pihak PT Heinz ABC Indonesia pada kelompok tani sebagai batas penerimaan pabrik mencapai 160 ton. Namun demikian pada pelaksanaannya, batas kuota penerimaan yang dapat dilakukan hingga mencapai 200 ton. Hal ini karena kualitas produksi yang dihasilkan oleh anggota kelompok secara keseluruhan cukup baik dan dapat dipercaya oleh pabrik sebagai bahan baku yang berkwalitas.
MANFAAT KELEMBAGAAN KEMITRAAN PEMASARAN CABE DAN PERSPEKTIF PENGEMBANGANNYA
Dalam kelembagaan kemitraan antara KT (kelompok tani) dengan PT Heinz ABC Indonesia, kedua belah pihak saling diuntungkan. Keuntungan bagi KT/petani adalah: (a) Adanya kepastian pemasaran hasil dan keuntungan relatif stabil; (b) Memperoleh kemudahan akses permodalan; (c) Memperoleh benih berkualitas serta bimbingan teknik budidaya dan penanganan pasca panen; (d) Resiko kerugian lebih rendah. Sementara itu, keuntungan bagi PT Heinz ABC Indonesia antara lain adalah dapat memperoleh bahan baku sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan oleh pabrik. Dengan bimbingan teknik budidaya, penanganan pasca panen dan kemudahan akses modal, petani dapat memproduksi cabe yang berkualitas. Dalam hal ini beberapa hal yang masih perlu diperbaiki, antara lain: (a) Selama kemitraan, kesepakatan yang sudah tertulis dalam MoU tidak dapat diubah, namun untuk kemitraan berikutnya ada peluang perubahan kesepatakatan. Dari sisi KT pada kemitraan berikutnya menginginkan perubahan harga dan pilihan varietas yang lebih banyak; (b) Harga beli PT Heinz ABC Indonesia disesuaikan dengan perkembangan biaya produksi usahatani cabe. Harga yang disepakati pada tahun 2007 adalah Rp 4000/kg (cabe dengan gagang) dan Rp 4150/kg (cabe tanpa gagang). Pada tahun 2008/2009, KT minta harga cabe tanpa gagang sebesar Rp 5500/kg. Susut gagang sebesar 6 persen dan ada penambahan tenaga kerja petik gagang; (c) Menurut KT Lestari Makmur, meski ada keuntungan dalam bermitra namun apabila tidak mengalami keterbatasan modal untuk budidaya cabe, petani lebih suka tidak menjalin kemitraan. Kasus menunjukkan bahwa, 11
modal usaha tani diberikan dalam bentuk natura, yang kualitas dan kuantitas tidak sesuai dengan keinginan petani. Perspektif pengembangan kemitraan pemasaran cabe masih terbuka, hal ini antara lain disebabkan: (a) PT Heinz ABC Indonesia berkeinginan meningkatkan pengadaan dalam negeri dengan cara kontrak langsung dengan petani/kelompok tani sebesar 40 persen dari kebutuhan bahan baku; (b) Permintaan pangan, terutama produk olahan semakin meningkat, akibat dari pertabahan penduduk dan peningkatan pendapatan masyarakat; (c) Adanya kepastian pasar, mengundang investor/Bank untuk mempermudah aksesibibiltas modal usahatani; (d) Pemerintah melakukan pemberdayaan Kelompok Tani, agar menjadi lebih professional, sehingga terbuka peluang untuk kemitraan. Beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam pengembangan kemitraan, antara lain: (a) Hak dan kewajiban antara mitra dan KT sebaiknya setara, jangan sampai KT hanya dibebani dengan kewajiban yang memberatkan; (b) Terkait dengan harga yang fluktuatif (koefisien variasi harga cabe relatif tinggi, di atas 50 persen), sebaiknya ada klausul bahwa kalau harga di pasar 50 persen lebih tinggi dari harga kontrak, maka harga kontrak perlu dievaluasi kembali; (c) Peran pemerintah perlu ditingkatkan, untuk mendorong pemberdayaan KT dalam rangka profesionalitas KT. Menghilangkan anggapan bahwa campur tangan pemerintah dalam kemitraan merupakan biaya bagi pihak mitra; (d) Selama ini, bimbingan teknik budidaya dan penanganan pasca panen masih dilakukan oleh petugas dari grower/ PT Heinz ABC Indonesia, belum melibatkan penyuluh secara aktif. Ke depan, dalam pemberdayaan penyuluh maka perlu dilibatkan penyuluh untuk pembimbingan dari budibaya sampai pasca panen, serta pengaturan jadwal tanam. Hal ini, sudah ditempuh oleh pedagang padi organik di Kabupaten Sragen, di mana penyuluh diberi tanggung jawab pendampingan untuk menghasilkan produk berkualitas sesuai yang diinginkan pedagang. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN Dari kasus kemitraan PT Heinz ABC Indonesia dengan KT di Jawa Tengah, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: (a) Cakupan kemitraan masih kecil, sehingga belum berperan dalam perekonomian Jawa Tengah; (b) Kemitraan yang ada langsung, maupun tidak langsung. Kemitraan tidak langsung menyebabkan KT tidak memperoleh keuntungan yang optimal dari kemitraan tersebut; (c) Kemitraan dengan harga kontrak yang sudah ditetapkan, apabila terjadi kenaikan harga, maka petani peserta kemitraan akan memperoleh keuntungan usaha tani yang lebih kecil dibandingkan dengan petani non mitra. Namun, apabila petani peserta mitra adalah petani luas, maka hal tersebut tidak terjadi; (d) Adanya kepastian pasar mendorong investor untuk memberikan pinjaman modal usaha tani, yang selama ini menjadi kendala bagi petani.
12
Pengembangan kelembagaan kemitraan dalam pemasaran diperlukan demi mendukung pengembangan agribisnis cabe merah Indonesia. Hal ini terkait dengan masalah pemasaran hasil pertanian dan tidak seimbangnya antara penerimaan dan pengeluaran biaya usahatani menyebabkan petani sulit beranjak ke sistem usahatani yang lebih baik dan modern seperti halnya agribisnis. Selain itu, juga sebagai upaya perlindungan terhadap bargaining position petani dalam pembentukan harga, saluran dan marjin pemasaran, dalam rangka mencapai pensejahteraan petani cabe merah. Semuanya sebagai insentif dan keberpihakan terhadap petani cabe merah dalam upaya mendukung pengembangan agribisnis cabe merah di masa depan yang berkesinambungan dan berkelanjutan Kesimpulan (a) Insiatif partnership atau kemitraan pemasaran produk pertanian umumnya berasal dari pihak prosesor atau pedagang besar/eksportir, dikarenakan. keinginan memperoleh bahan baku atau produk dalam jumlah yang sesuai, kontiniu serta memenuhi kualitas yang diinginkan. (b) Keuntungan kemitraan pemasaran cabe merah adalah mengurangi risiko fluktuasi harga selama musim panen (harvest season) maupun setelah panen (off-season), bantuan kredit saprodi (yang bagi sebagian besar petani relatif mahal dan harus kontan). (c) Kemitraan pemasaran cabe merah hanya mencakup relatif kecil dibanding areal panen yang ada di tiap daerah. Hal ini berarti dampak kemitraan terhadap harga pasar komoditas tersebut bisa disebut sangat kecil. Lebih jauh lagi, prosesor biasanya menentukan harga beli dari kelompok tani mitra dengan sedikit marjin diatas biaya produksi. Sehingga hanya menguntungkan bagi kelompok tani mitra pada saat panen raya. (d) Pemerintah, terutama pemerintah daerah, mempunyai peranan sangat besar sebagai fasilitator dalam kemitraan pemasaran produk pertanian, namun perlu dicari solusi agar prosesor tidak langsung bekerjasama dengan supplier atau kelompok tani tanpa memberitahu ke Dinas pertanian setempat karena alasan kepraktisan atau ingin menghindari birokrasi yang kurang fleksibel. Saran Kebijakan (a) Selain inisiatif dari pihak prosesor atau eksportir, kelompok tani atau gabungan kelompok tani bisa didorong untuk mengambil inisiatif dalam kemitraan pemasaran produk pertanian. Peranan pemerintah daerah, pedagang lokal maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) bisa membantu petani dalam menjalian kemitraan dengan prosesor atau eksportir.
13
(b) Pemerintah daerah harus secara proaktif melatih petani melalui kelompok tani atau gabungan kelompok tani tentang cara melakukan budidaya secara baik (good agricultural practices). Disamping itu petani perlu dilatih atau diberi penyuluhan tentang sikap mental dalam melakukan kemitraan terutama dalam hal mentaati kesepakatan yang telah disetujui bersama dengan prosesor/eksportir/super market. (c) Walaupun budidaya komoditas pertanian, misalnya cabe merah di Purbalingga, relatif menguntungkan petani, tetapi pemerintah daerah harus tegas dalam membatasi areal yang bisa ditanami tanaman pangan atau hortikultura. Perambahan bukit untuk menanam jagung dan cabe merah bisa mengakibatkan longsor dan erosi yang sangat intensif. (d) Pemerintah daerah hendaknya proaktif mencarikan peluang pasar bagi komoditas yang diproduksi petani di daerahnya. Sukses dalam meningkatkan produksi pertanian merupakan prestasi bagi tiap pemerintah daerah, tetapi mencarikan peluang pasar yang menguntungkan petani juga sangat diperlukan. Untuk itu target yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sebaiknya bukan hanya sekedar volume produksi tetapi juga tingkat keuntungan yang diraih petani. (e) Kemitraan pemasaran, khususnya dengan PT Heinz ABC Indonesia masih dapat ditingkatkan dengan berbagai saran kebijakan, antara lain: (a) Kesetaraan hak dan kewajiban antara pelaku lebih ditingkatkan; (b) Peran pemerintah perlu ditingkatkan, tetapi fungsinya jangan merupakan biaya bagi pelaku kemitraan; DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth, R. 2008. Restrukturisasi Sistem Pemasaran dan Kelembagaan Pendukung Pengembangan Agribisnis Lada. Prosiding Lokakarya Nasional: ”Mengembalikan Kejayaan Rempah Indonesia mendukung Revitalisasi Pertanian”. Ternate, MalukuUtara. 13-14 November 2007. BPTP Maluku Utara. Ternate. Balitbang. Deptan. 2008. Global Humanitarian Platform, 12 July 2007. Principles of Partnership A Statement of Commitment. www.globalhumanitarianplatform.org INA (Indonesian Netherlands Association). 2007. Program Dukungan Partnership Usaha Hortikultura antara Petani Produsen Kecil Dengan Perusahaan. Jakarta. www.ina.or.id/inaweb/hpsp.php Rivani, A. dan D. Hidayat 2007. Keterkaitan Petani dengan Pemasaran: Kesejahteraan Petani dan Pengentasan Kemiskinan. CAPSA Monograph No.49, UNCAPSACAPSA , Bogor. Saptana, A. Agustian, H. Mayrowani, dan Sunarsih. 2006. Analisis Kelembagaan Partnership Rantai Pasok Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Laporan Teknis.
14
Saptana, E.L. Hastuti, Ashari, K.S. Indraningsih, S. Friyatno, Sunarsih, dan V. Darwis. 2005. Analisis Kelembagaan Partnership pada Komoditas Hortikultura. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Sayaka, B. Dkk. 2008. Pengembangan Kelembagaan Partnership Dalam Pemasaran Komoditas Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Syahyuti. 2006. 30 konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT Bina Rena Pariwara. Jakarta.
15