BAB
PENDEKATAN PENGEMBANGAN
VI
DAN KEMITRAAN
6.1. Pendekatan utama perencanaan pengembangan Dalam wacana perencanaan pengembangan dikenal dua konsep utama pendekatan
pembangunan
yang
mengandung
perbedaan
namun
juga
mempunyai kesamaan dalam penekanan-penekanan prioritas pengembangan. Pendekatan tersebut adalah : a. Pendekatan teritorial atau agropolitan sering juga disebut dengan pendekatan perencanaan yang bersifat 'bottom-up' dengan ciri utama adalah ; •
Pengembangan didasarkan atas mobib'sasi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia daerah yang diorientasikan untuk mencukupi kebutuhan dasar (basic needs) penduduk,
•
Penggunaan faktor-faktor produksi lokal dan regional terutama dilakukan dengan teknik padat karya skala kecil. Orientasi strategi produksi adalah untuk
memperkuat
otonomi
lokal/
regional
dan
meminimkan
ketergantungan ekstemal. b. Pendekatan fungsional atau pendekatan transformasi atau sering juga disebut dengan pendekatan perencanaan pembangunan yang bersifat top-down dengan ciri utama adalah ; •
Pengembangan regional didasarkan atas integrasi fungsional unit-unit produksi dan konsumsi,
•
Lokasi investasi produktif, pelayanan perorangan, dan pelayanan umum didasarkan prinsip kepusatan (sentralitas). Kedua pendekatan berawal dari filosofi dasar yang berbeda, meski dalam
perencanaan praktis dan pelaksanaan sangat mungkin sama. Perbedaan pandangan kedua pendekatan tersebut adalah tentang perlunya ind kecil dan perdesaan, dan pendekatan pengembangannya. Sedangkan kesamaan yang kesepakatan luas tentang : •
Perlunya peningkatan produksi dan produktivitas pertanian
•
Penciptaan kesempatan kerja non-pertanian
•
Menguatkan kaitan sektoral dan spasial daerah, termasuk kaitan
perdesaan dan pusat pasaraya.
6.2. Pendekatan Pengembangan Industri Perdesaan Dalam pengembangan industri perdesaan, industri bisa merupakan target yang secara langsung ditangani atau industri merapakan bagian dari suatu aspek yang lebih luas sehingga penanganan indsutri dilakukan sebagai bagian dan untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Pendekatan pengembangan perdesaan terpadu (Integrated Rural Development Approach, = IRDA)
Pendekatan pembangunan perdesaan yang meliputi baik pengembangan sektor ekonomi produksi, sosial kesejahteraan masyarakat desa, maupun pelayanan dan infrastruktur pendukung pembangunan. Meskipun filosofinya adalah keterpaduan yang berarti mengandung keberimbangan peran secara proporsional, dalam pelaksanaannya cenderung terfokus dan menekankan pembangunan pertanian (agro-based development). Sebagai sektor ekonomi, industri perdesaan hanya merupakan bagian dari keseluruhan tindakan sosial ekonomi. Oleh karena itu industri jarang merupakan tujuan itu sendiri. Cakupan pendekatan yang luas sambil menjaga keterpaduan telah menjadikan pendekatan ini cenderung mahal, kompleks, dan sulit. Selain itu sifat multi sektoral memungkinkan munculnya kompetisi untuk memperoleh dana dan kecenderungan mengutamakan sektor yang menjadi wewenang tipa pihak (vested interest).
Pendekatan pengembangan industri perdesaan terpadu (Integrated Rural Industrial Approach = IRIA)
Menempatkan
industri
secara
keseluruhan
dalam
perencanaan
pengembangan yang terfokus dan bertujuan pada industri. Pada esensinya ini merupakan pengembangan yang berbasis pendekatan sektoral (sectoral approach). Jadi orientasi pengembangan adalah secara keseluruhan, tidak pada masalah tertentu. Sasaran adalah penguatan dan transformasi struktur usaha industri kearah yang lebih progresif, kompetitif, dan komersial, bersamaan
dengan peningkatan kualitas dan pemberdayaan pengusaha, diiringi pendirian kelembagaan dan pengadaan infrastruktur pendukung.
Pendekatan berorientasi pada pemecahan permasalahan (problem oriented approacn = POA)
Pendekatan ini bersifat spesifik yaitu hanya pada permasalahan nyata yang dihadapi pengusaha industri perdesaan. Dalam operaionalisasi diperlukan pengamatan dan analisis yang cermat untuk mendapatkan permasalahan nyata. Setelah diperoleh hasil analis lalu dilakukan eliminasi kemacetan atau maslah dengan cara memberikan suplai satu atau lebih untur yang diperlukan untuk mengeliminasi kemacetan. Pendekatan relatif lebih praktis namun kurang terjamin keberhasilannya karena dalam prakteknya sering tidak ada masalah yang terkait dengan satu faktor saja tetapi berkaitan dengan faktor-faktor lain.
6.3. Kemitraan (partnership): Pola dan Masalah Kemitraan dipandang penting dan semakin memperoleh tempat dalam pengembangan industri perdesaan. Didalamnya terkandung potensi hubungan yang saling menguntungkan (mutualistis). Dari hubungan kemitraan diharapkan industri perdesaan dapat lebih terdorong perkembangannya sehingga memiliki kekuatan
yang dinamis dengan
terciptanya penyebaran teknologi, dan
ketrampilan, peningkatan akses pemasaran dan sumber bahan baku, serta penguatan modal. Pada umumnya kemitraan bisa pula berlangsung antar skala usaha (horizontal linkage) atau inter skala usaha (vertical linkage). Namun dalam praktek pengembangan, kemitraan sering dibatasi dalam pola kemitraan yang vertikal antara industri perdesaan yang skalanya kecil dengan industri besar modern sehingga disebut pola kemitraan anak-bapak angkat (foster parent). Kemitraan bisa mempunyai ciri sosial atau kemitraan keterkaitan bisnis. Keterkaitan sosial dalam kemitraan terjadi karena adanya kesadaran dan kesediaan pengusaha formal membina industri perdesaan ataupun dukungan lainnya hingga mempunyai kemampuan untuk bersaing dalam dunia usaha. Kemitraan bisnis sering terjadi sejak dini, pembinaan berlangsung secara reguler dan saling menguntungkan.
Landasan legal kemitraan adalah ; 1. Keputusan Presiden KepPres No.14 dan 14.A tahun 1980 tentang Sistem Bapak Angkat Disebutkan bahwa pengembangan sub-kontrakting usaha besar-kecil khususnya untuk menstimulir pembelian masukan dari usaha kecil lokal sehingga mendorong produksi, pengembangan teknologi, dan mutu produksi. 2. Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/KMK.013/XI/1986 tentang Penyaluran Dana BUMN Disebutkan bahwa 1-5% keuntungan bersih BUMN adalah untuk membantu usaha kecil, contoh bantuan meliputi manajemen, bantuan teknis, bantuan modal kerja, pemberian garansi pinjaman bank. SK ini kemudian diperluas dengan SK MenKeu No.316/KMK.016/1994 : Tidak hanya BUMN, tetapi juga mencakup selurah usaha formal untuk menyisihkan 2% keutungan untuk membantu usaha kecil.
6.3.1. Pola Kemitraan Setidaknya terdapat empat macam pola kemitraan. Dari ke-empat macam pola ini terdapat perbedaan dalam hubungannya dengan rangkaian proses produksi (line of production) yang ditangani dalam kemitraan 1. Pola Sub-kontrak adalah kemitraan yang didalamnya pengusaha besar (parent firm, atauprincipaf) menyerahkan pembuatan sebagian komponen produknya kepada industri kecil yang pekerjaannya didasarkan pada pesanan.Dalam pola ini seluruh aspek produksi dari input, pengolahan, dan output terstimulasi oleh kemitraan. 2. Pola Mitra-Dagang mempunyai ciri kemitraan yang menempatkan perusahaan besar bertindak sebagai pemasar produk industri kecil dan kerajinan. Ini berarti kemitraan terbatas pada aspek pemasaran, sedangkan aspek produksi harus diupayakan oleh pengusaha kecil sendiri. 3. Pola Vendor : merupakan pola pengadaan kebutuhan operasional. Dalam pola ini produk industri kecil digunakan sebagai pelengkap operasional perusahaan besar, tetapi bukan merupakan bagian dari produk yang dihasilkan.Pola vendor mempunyai kesamaan dengan pola mitra dagang
dalam hal aspek pemasaran yang ditangani. Perbedaannya adalah dalam pola
vendor
produk
usaha
kecil
digunakan
atau
dikonsumsi
perusahaan besar. 4. Pola Pembinaan Umum :merupakan pola khusus yang berintikan hubungan pembinaan intensif oleh parent tanpa ada kaitan produksi (line of production) atau secara langsung bersentuhan dengan produksi. Aspek-aspek yang ditangani bisa cukup luas; seperti manajemen usaha, peningkatan morivasi dan kewirausahaan,mutu produksi dan strategi pemasaran, dan lain-lain.
6.3.2. Lingkup Bantuan Kemitraan 1. Bantuan pemantapan (establishment) untuk memulai produksi komponen yang diperlukan dengan pertimbangan memperoleh masukan lebih murah dan bermutu baik. 2. Bantuan untuk membangun lokasi yang berdekatan agar diperoleh masukan komponen yang lebih murah dan bermutu lebih baik. 3. Bantuan informasi dalam bentuk pesanan konkret dan detail kepada pemasok untuk mempermudah perencanaan produksi dan investasi. 4. Bantuan teknik atau pertukaran informasi teknis imtuk menjami ciri dan mutu komponen yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan. 5. Bantuan keuangan berapa hibah keuangan atau pinjaman lunak atau pembayaran lebih dini. 6. Bantuan pembelian atau pengadaan bahan baku yang diperlukan dalam proses produksi. 7. Bantuan manajerial dalam bentuk latihan manajemen usaha dan organisasi dalam rangka memperbaiki kinerja operasinya. 8. Bantuan penetapan harga melalui penciptaan suatu prosedur organisasi untuk menetapkan harga komoditi atau komponen yang diperjualbelikan secara wajar. 9. Bantuan dalam penentuan biaya inventaris dan biaya pengembangan atau diversifikasi barang yang dihasilkan. 10. Bantuan distribusi untuk mencari pembeli-pembeli lain sebagai usaha untuk memperkuat stabilitas keuangan.
6.3.3. Masalah Dalam Kemitraan: •
Unequal partnership. Ketidaksejajaran hubungan, sebagai akibat tidak ada daya tawar pengusaha kecil (lack of bargaining power) yang ditunjukkan oleh dominannya peran pengusaha besar yang sering membatasi
ruang
gerak
dan
kreativitas
pengusaha
kecil,
serta
kecenderung mendiktekan keinginannya yang menempatkan pengusaha kecil sebagai tukang •
Intolerance Kurangnya toleransi terhadap kemampuan teknis dan manajerial lokal sebagai identitas 'indegeneouis knowledge1 pengusaha kecil dan perdesaan.
•
Dependency.Kemitraan
yang tidak diiringi penguatan
kemampuan
pengusaha tersebut menciptakan ketergantungan yang kuat terhadap pengusaha besar. •
Repressive. Kecenderungan untuk bersikap sewenang-wenang dalam hal-hal seperti penekanan terhadap harga produk dan maksimisasi keuntungan pengusaha besar, kontrol kualitas yang terlalu ketat, serta sistem
pembayaran
yang
sering
merugikan
pengusaha
kecil
(keterlambatan pembayaran, membayar dengan mencicil)
6.4. Sub-Kontrak Hubungan keterkaitan industri skala besar-kecil dalam bentuk subkontrak, semakin disadari berperan penting dalam menciptakan struktur industri yang kuat seperti yang terjadi di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Subkontrak merupakan pola produksi yang umum ditemukan dalam perkembangan industri kecil di Indonesia, sejak dua dasa warsa terakhir. Kebanyakan industri kecil di Indonesia terutama yang mengandalkan teknologi manual, terlibat dalam pola produksi sub-kontrak. Pola produksi sub-kontrak juga ditemukan dalam pola poduksi skala besar-kecil. Secara umum hubungan sub-kontrak dapat didefinisikan sebagai: suatu bentuk hubimgan kerja antara pengusaha pemesan (prinsipal) yang memberi pesanan kepada pengusaha pelaksana yang mandiri (sub-kontraktor) untuk menghasilkan suatu produk yang dapat berupa barang jadi, barang setengah jadi atau sebagian komponen produk untuk pengolahan lebih lanjut dan dijual oleh pengusaha prinsipal.
Sub-kontrak dicirikan oleh adanya penyerahan atau pengalihan sebagian atau seluruh proses produksi dari pemesan (prinsipal) kepada pelaksana pekerjaan (sub-kontraktor) melalui perjanjian dan transaksi yang telah disepakati dengan tetap mempertanggungjawabkan pekerjaan tersebut kepada konsumen. Pekerjaan
sub-kontrak
tidak
terbatas
pada
proses
pengolahan
utama
(processing) tetapi juga berupa perlakuan tahap tertentu atau proses penyelesaian (finishing) sesuai dengan keinginan pemberi order. Pada umumnya, sub-kontrak merupakan salah satu bentuk pola kemitraan antara perusahaan / industri besar dan industri kecil atau hubungan yang bersifat vertikal antar skala usaha (vertical linkage). Tetapi dalam beberapa kasus dimungkinkan sub-kontraktor akan meminta pengusaha lain untuk mengambil sebagian order tersebut dengan tetap mempertanggungjawabkan pekerjaan terhadap pemesan prinsipal. Ini berarti terjadi pula kemitraan sesama skala usaha (horizontal linkage).
6.4.1. Motivasi Hubungan Sub-Kontrak Terdapat empat alasan utama untuk terjadinya sub-kontrak yaitu 1. pihak prinsipal memiliki pesanan yang melebihi kapasitas produksinya (over capacity sub-contracting) 2. pihak prinsipal memandang bahwa barang atau produk yang dipesan konsumen terlalu sedikit dibandingkan kapasitas produksinya (under capacity sub-contracting) atau pemesanannya jarang berlangsung secara reguler (irregular sub-contracting) 3. pihak prinsipal mengerti kemampuan khusus yang dimiliki sejumlah subkontraktor baik karena pemilikan teknologi atau alat / mesin tertentu, maupun keahlian khusus untuk membuat suatu komponen atau produk tertentu (specialized sub-contracting) 4. pihak prinsipal menilai bahwa biaya produksi jika dikerjakan pihak subkontraktor lebih rendah jika dibandingkan dilakukan sendiri (cost saving sub-contracting) Sistem sub-kontrak sering ditawarkan sebagai terobosan (break-through) solusi dari dikotomi dan kontroversi antara industri besar dan industri kecil yang sering menjadi masalah dilematis bagi negara berkembang. Namun ada juga pandangan pesimis tentang manfaat hubungan sub-kontrak. Bagi kalangan
pesimis, hubungan sub-kontrak dipersepsikan sebagai lahan subur bagi terjadinya eksploitasi. Eksploitasi ini dimungkinkan terjadi karena sejak awal, kerja sama ini sudah niengandung ketidaksetaraan dalam penguasaan faktor produksi dan akses, sebagai bibit timbulnya eksploitasi. Usaha-usaha meredusir potensi masalah perlu dilakukan agar dapat menempatkan sub-kontrak berdasarkan prinsip yang adil dan setara (fairness and
equality)
dalam
tujuan-tujuan
yang
bersifat
ekonomis
dalam
hal
meningkatkan efisiensi dan aktivitas proses produksi. Sub-kontrak berpotensi. Mengatasi kendala pengembangan industri kecil seperti keterbatasan finansial, ketersediaan bahan baku, kapasitas produksi, pemasaran serta akses kepada pelayanan khususnya permodalan dan kredit, serta peningkatan dan alih teknologi.