MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN
Oleh: AGUS MAULANA 975092/TIP
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANI-PENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN
Formatted: Swedish (Sweden)
Oleh: AGUS MAULANA 975092/TIP
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Formatted: Swedish (Sweden)
Judul disertasi
: Model Pengembangan Agroindustri Nenas Di Kabupaten Subang Dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan
Nama
: Agus Maulana
NRP
:
Program Studi
: Teknologi Industri Pertanian
975092
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Irawadi Jamaran Ketua
Prof. Dr. Ir. E. Gumbira Said, MA Dev. Anggota
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA Anggota
Prof. Dr. Ir. M. Syamsul Maarif, M Eng. Anggota
Prof. Dr. Martani Huseini, MBA Anggota
Mengetahui, 2. Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Irawadi Jamaran
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, MSc.
Tanggal ujian: 27 Juni 2005
Tanggal lulus:
Formatted: Swedish (Sweden)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1952 sebagai putra dari pasangan H. Mohamad Noerdin (alm.) dan Hj. Nyi Ayu Djuariah. Penulis memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung dan Master of Science in Management (MSM) dari Arthur D’Little Management Education Institute, Cambridge, Massachussets, Amerika Serikat. Pada tahun 1997 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke pogram doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada saat ini penulis menjadi pengajar tidak tetap di berbagai perguruan tinggi di Indonesia pada jenjang S1 dan S2. Penulis juga telah menerjemahkan sekitar 100 buku teks manajemen yang digunakan sebagai buku pegangan di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Penulis menikah dengan Irawati Dewi Diah Puspitawati Suprabasari Sri Hasta Palupi, SS dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Yudhistira Adiwijaya, SE, Raditya Wisnuwardhana, S. Sos, dan Chairunisa Diah Kemala Puspitasari.
A Model for Developing Pineapple Agroindustry at Kabupaten Subang based on Equal Partnership Farmer- Processing Industry1) Agus Maulana 2) , Irawadi Jamaran, E. Gumbira Sa ’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani, and Martani Huseini 3)
ABSTRACT . In order to empower and to increase the welfare of small farmers, the equal partnership between farmers and processing industry in pineapple agroindustry needs to be developed. This kind of partnership should be well managed through integrated system. The Decision Support System (DSS) model named AINI-MS (Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) Model was designed to support the effective planning and implementation of this equal partnership. The AINI-MS Model was developed by using system techniques including Exponential Comparative Method (ECM) and Interpretative Structural Modeling (ISM) and also a technique for analyzing financial feasibility . This model includes submodel for selecting processed pineapple products suitable to be developed, submodel for selecting the best location of pineapple agroindustry, submodel for analyzing the feasibility of pineapple plantation and pineapple processing industry , submodel for identifying aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and submodel for determining selling price s of fresh pineapple that equalize Benefit/Cost Ratio for pineapple plantation and pineapple processing industry. Verification of the AINI-MS Model was conducted through a case study at Kecamatan Jalancagak, Subang, West Java. Kecamatan Jalancagak was selected as research location because it has been a production center of pineapple in Jawa Barat, and in 1990’s there was pineapple agroindustry at Subang that did not live long. It was found that AINI-MS DSS Model could be used to select kinds of pineapple products that suitable to be developed, to select best location of pineapple agroindustry, and to analyze the feasibility of pineapple agroindustry. The AINI-MS Model was also useful to identify aspects that must be considered in planning and implementing equal partnership program in pineapple agroindustry, and to determine selling price of fresh pineapple that equalize s the value of Benefit-Cost Ratio (BCR) for pineapple plantation and pineapple processing industry. The result of the study also proposed institutional form and three-phase implementation plan that would be effective in implementing equal partnership program. The equal partnership program that was resulted from this study is expected to give benefits for small farmers, pineapple processing industry, and county government. Key words: equal partnership, pineapple farmers, pineapple canned industry businessmen, benefit-cost ratio.
1) Disertasi Program Doktor, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 2) Mahasiswa Program Doktor, Program Studi Teknologi Industri Pertanian. 3) Masing-masing sebagai Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing.
AGUS MAULANA. Model Strategi Pengembangan Agroindustri Nenas di Kabupaten Subang dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani-Pengusaha Industri Pengolahan. Di bawah bimbingan Irawadi Jamaran sebagai ketua, E. Gumbira Sa’id, Syamsul Maarif, Ani Suryani, dan Martani Huseini sebagai anggota.
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Spanish (Venezuela)
ABSTRAK Dalam rangka memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan petani nenas, perlu dikembangkan kemitraan yang melibatkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam usaha agroindustri nenas. Kemitraan tersebut perlu dikelola dengan baik melalui suatu sistem pengelolaan yang terpadu yang menyetarakan kedudukan petani dan industri pengolahan nenas. Model kemitraan yang diusulkan dinamakan model kemitraan setara. Model Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang diberi nama Model AINI-MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara) dirancang untuk mendukung perencanaan dan implementasi yang efektif dari usaha kemitraan setara tersebut. Model AINI-MS dikembangkan dengan menggunakan teknik-teknik sistem yang meliputi Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) dan Permodelan Struktural Interpretatif (Interpretative Structural Modeling, ISM), serta teknik analisis kelayakan usaha. Model ini meliputi (1) submodel pemilihan produk nenas olahan yang dapat membantu pemilihan produk-produk nenas olahan yang layak dikembangkan, (2) submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang dapat membantu pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas yang sesuai , (3) submodel analisis kelayakan usaha perkebunan dan pengolahan nenas untuk mengetahui kelayakan usaha kebun dan usaha pengolahan nenas, (4) submodel untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta (5) submodel untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan rasio biaya-manfaat (benefit/cost ratio) usaha perkebunan nenas dan usaha pengolahan nenas. Verifikasi Model AINI-MS dilakukan melalui studi kasus di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Kecamatan Jalancagak dipilih sebagai lokasi penelitian karena kecamatan tersebut merupakan pusat penghasil nenas di Jawa Barat, khususnya Kabupaten Subang, dan Kabupaten Subang pernah menjadi lokasi agroindustri nenas dengan pola kemitraan di tahun 1990-an tetapi mengalami kegagalan. Dihasilkan kesimpulan bahwa Model SPK AINI-MS dapat digunakan untuk memilih jenis produk nenas olahan yang tepat untuk dikembangkan, untuk memilih lokasi usaha agroindustri nenas, dan untuk menganalisis kelayakan usaha agroindustri nenas. Model AINI-MS juga bermanfaat untuk mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan dan implementasi program kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas, serta untuk menentukan harga jual nenas segar dari kebun ke industri pengolahan nenas yang menyamakan nilai rasio BCR kebun dan industri. Penelitian juga menghasilkan usulan bentuk kelembagaan dan rencana implementasi tiga tahap yang diyakini efektif dalam mengimplementasikan program kemitraan setara. Program kemitraan setara yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, dan pemerintah daerah tempat usaha agroindustri nenas berada. Kata-kata kunci: kemitraan setara, petani nenas, pengusaha industri pengolahan nenas, rasio biaya-manfaat.
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Swedish (Sweden)
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul: MODEL PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DENGAN PENDEKATAN KEMITRAAN SETARA PETANIPENGUSAHA INDUSTRI PENGOLAHAN Merupakan gagasan atau hasil disertasi saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Juni 2005
AGUS MAULANA 975092
Formatted: Swedish (Sweden)
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................. i DAFTAR ISI ................................................................................................................ ii DAFTAR TABEL ....................................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. vi DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................. viii I.
PENDAHULUAN............................................................................................... 1. Latar Belakang ............................................................................................... 2. Tujuan Penelitian ...........................................................................................
1 1 5
II.
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 1. Nenas dan Agroindustri Nenas di In donesia.................................................. a. Tanaman Nenas........................................................................................ b. Agroindustri Nenas di Indonesia.............................................................. 2. Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan Industri.................................................................................. 3. Kemitraan Strategik ....................................................................................... 4. Pendekatan Sistem ......................................................................................... 5. Penelitian Terdahulu ......................................................................................
7 7 7 11
LANDASAN TEORETIS.................................................................................. 1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling)....................................................................................................... a. Penyusunan hirarki................................................................................... b. Klasifikasi subelemen .............................................................................. 2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) .................................................. 3. Analisis Kelayakan Usaha ............................................................................. 4. Analisis Harga Kesetaraan .............................................................................
44
IV.
METODE PENELITIAN .................................................................................. 1. Kerangka Pemikiran ....................................................................................... 2. Tahap-tahap Penelitian ................................................................................... 3. Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... a. Waktu dan Tempat ................................................................................... b. Teknik Pengumpulan Data....................................................................... c. Analisis Data............................................................................................
58 58 60 62 62 63 64
V.
ANALISIS SISTEM AGROINDUSTRI NENAS ........................................... 1. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ...................... 2. Perumusan Masalah dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas ..................... 3. Identifikasi Sistem Usaha Agroindustri Nenas ..............................................
66 67 68 70
VI.
PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS .................................... 1. Konfigurasi Model Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas................. 2. Sistem Manajemen Basis Data dalam Model AINI-MS ................................ a. Basis Data Pemilihan Lokasi Usaha AI-Nenas........................................
72 74 74 75
III.
14 27 39 42
44 45 47 49 50 56
b. Basis Data Pemilihan Produk Nenas Olahan ........................................... c. Basis Data Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas .................................... d. Basis Data Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas .................................... e. Basis Data Kelembagaan Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas . 3. Sistem Manajemen Basis Model dalam Model AINI-MS ............................. a. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ......................... b. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan ............................................ c. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ..................................... d. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas...................................... e. Submodel Kelembagaan Kemitraan Setara.............................................. 4. Sistem Manajemen Dialog.............................................................................
76 76 77 77 78 78 80 81 82 83 84
VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG............................ 1. Lokasi Penelitian Lapang............................................................................... 2. Perkebunan dan Agroindustri Nenas di Subang dan Karawang .................... a. Perkebunan Nenas Rakyat di Kecamatan Jalancagak .............................. b. Industri Pengalengan Nenas di Karawang ............................................... c. Industri Dodol Nenas di Subang ..............................................................
86 86 88 89 92 92
VIII. VERIFIKASI MODEL AINI-MS..................................................................... 1. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas ............................... 2. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan .................................................. 3. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas ........................................... 4. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas............................................ 5. Submodel Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Nenas ................... Elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ............. Elemen Kendala Utama Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ..... Elemen Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ................... Elemen Indikator Pencap aian Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ........................................................................................ Elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas................ Elemen Pelaku Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas ................... 6. Submodel Harga Kesetaraan ..........................................................................
95 95 98 100 102 105 106 109 112 115 118 121 124
IX.
MODEL KEMITRAAN SETARA AINI-MS.................................................. 1. Konsep Dasar Kemitraan Usaha AINI-MS.................................................... 2. Manajemen Usaha Kebun Nenas ................................................................... a. Manajer Umum ........................................................................................ b. Manajer Administrasi dan Keuangan. ...................................................... c. Manajer Pemasaran .................................................................................. d. Manajer Operasional. ............................................................................... 3. Lembaga Pengembangan Usaha .................................................................... 4. Layanan Teknis .............................................................................................. 5. Rancangan Implementasi Kemitraan Setara dalam Agroindustri Nenas ....... 6. Hak dan Kewajiban Pihak-pihak dalam Kemitraan Setara............................
126 127 131 133 133 134 134 134 135 135 139
X.
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 145 A. Kesimpulan .................................................................................................... 145 B. Saran .............................................................................................................. 149 iii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 151 LAMPIRAN.................................................................................................................. 155
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 3.1. Tabel 3.2. Tabel 5.1. Tabel 8.1. Tabel 8.2. Tabel 8.3. Tabel 8.4. Tabel 8.5. Tabel 8.6. Tabel 8.7. Tabel 8.8. Tabel 8.9. Tabel 8.10. Tabel 8.11. Tabel 8.12.
Halaman Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan ............................ 10 Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)............................... 10 Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC, 2000) .......................................................................................................... 11 Ekspor nenas olahan dari Indonesia, 2000 -2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)............................................................................................ 13 Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis)....................................................................................................... 13 Keterkaitan antar-subelemen dalam teknik ISM (Marimin, 2004) ............ 46 Matriks keputusan dengan teknik MPE (Eriyatno, 1999).......................... 50 Kebutuhan pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha agroindustri nenas .......................................................................................................... 68 Matriks keputusan pemilihan lokasi usaha agroindustri n enas di Kabupaten Subang ..................................................................................... 98 Matriks pemilihan produk nenas olahan di Kabupaten Subang................. 100 Hasil analisis kelayakan usaha kebun nenas dengan luas 1.500 hektar untuk kurun waktu 20 tahun....................................................................... 101 Hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas dengan kapasitas 40.000 ton nenas kaleng/tahun untuk kurun waktu 20 tahun..................... 103 Hasil analisis kelayakan usaha dodol nenas untuk kurun waktu 20 tahun . 104 Matriks reachability untuk elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara.......................................................................................................... 107 Matriks reachibility untuk elemen Kendala Program Kemitraan Setara ... 110 Matriks reachibility untuk elemen Tujuan Program Kemitraan Setara ..... 113 Matriks reachibility untuk elemen Indikator Pencapaian Tuju an Program Kemitraan Setara........................................................................................ 116 Matriks reachability untuk elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara . 119 Matriks reachability untuk elemen Pelaku Program Kemitraan Setara ..... 122 Hasil Perhitungan Harga Kesetaraan ......................................................... 124
v
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25. Lampiran 26. Lampiran 27. Lampiran 28. Lampiran 29. Lampiran 30.
Halaman Model Identifikasi Faktor (Jumlah, Skala, Pakar, dan Objek)............... 156 Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Skala Penilaian)........................ 156 Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Pakar)........................................ 157 Model Identifikasi Faktor (Inis ialisasi Item yang Dinilai)..................... 157 Model Identifikasi Faktor (Matriks Pendapat Pakar)............................. 158 Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat) ........................... 158 Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat yang Sudah Difilter) .................................................................................................. 159 Model Pemilihan Produk (Registrasi Objek)......................................... 159 Model Pemilihan Produk (Registrasi Faktor/Kriteria)........................... 160 Model Pemilihan Produk (Registrasi Pakar/Pengambil Keputusan) ..... 160 Model Pemilihan Produk (Matriks Pendapat dan Resume Agregat) ..... 161 Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Objek).......................................... 161 Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Faktor/Kriteria) ........................... 162 Model Pemilihan Lokasi (R egistrasi Pakar/Pengambil Keputusan)...... 162 Model Pemilihan Lokasi (Matriks Pendapat dan Resume Agregat)...... 163 Model Kelayakan Finansial Integrasi .................................................... 163 Hasil Analisis Break Even ..................................................................... 164 Model Kelembagaan (Halaman Utama) ................................................ 165 Model Kelembagaan (Detail Sub Elemen) ............................................ 165 Model Kelembagaan (Detail Pakar/Pengambil Keputusan) .................. 166 Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Individu)................................ 166 Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Agregat)................................. 167 Model Kelembagaan (Matriks Reachibility Pendapat Agregat) ............ 167 Model Kelembagaan (Matriks Revisi Pendapat Agregat) ..................... 168 Model Kelembagaan (Elemen Kunci Pendapat Agregat) ...................... 168 Model Kelembagaan (Grafik Driver Power – Dependency Pendapat Agregat) ................................................................................................. 169 Model Kelembagaan (Struktur Sub Elemen Pendapat Agregat) ........... 169 Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Kebun Nenas ................................ 170 Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Pabrik Pengalengan Nenas ........... 172 Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Industri Dodol Nenas.................... 174
viii
I. PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Sebagai negara tropis Indonesia seharusnya memiliki keunggulan komparatif untuk produk-produk berbasis pertanian. Dalam kenyataan, pengembangan agroindustri Indonesia saat ini sudah tertinggal dari negara-negara tetangga sesama negara tropis, misalnya Thailand dan Malaysia. Belum lagi negara-negara lain, terutama negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan Selandia Baru yang tidak pernah meninggalkan pengembangan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian di Indonesia selama kurun waktu 1993-2003 ternyata mengalami sedikit penurunan.
Pada tahun 1993 sektor pertanian
menyumbang 17,6 persen dari PDB (Tampubolon, 1996), sementara pada tahun 2003 angka tersebut adalah sebesar 15,83 persen (BPS, 2004). Padahal 51,2 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidup pada bidang pertanian (BPS, 2004). Di pihak lain, industri-industri manufaktur di Indonesia pada umumnya menggunakan bahan baku impor, sehingga ketika nilai rupiah anjlok terhadap dolar, sektor tersebut mengalami kesulitan. Berdasarkan hal ini, maka Indonesia perlu kembali menggalakkan sektor pertanian sebagai sumber devisa yang penting. Salah satu sektor yang diharapkan dapat menjadi andalan bagi Indonesia adalah agroindustri berbasis buah-buahan. Potensi sektor ini di Indonesia sangat besar. Produk dari sektor ini dapat berupa buah segar atau olahan, baik sebagai bahan makanan maupun sebagai bahan baku industri hilir seperti farmasi, kosmetika, dan kimia. Di antara tumbuh-tumbuhan tropis yang tumbuh dengan baik di Indonesia, nenas merupakan salah satu komoditas unggulan. Pada tahun 2003, produksi nenas
segar Indonesia adalah 677.089 ton (BPS, 2004). Selain dipasarkan dalam bentuk buah segar, nenas juga berpotensi dipasarkan dalam bentuk produk olahan, seperti nenas kalengan dan jus nenas. Kapasitas produksi terpasang perusahaan -perusahaan nenas olahan di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048 ton untuk jus nenas (CIC, 2000). Pada tahun 2002, ekspor nenas olahan Indonesia mencapai 181.095 ton dengan nilai (FOB) US$ 101.569.186. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2004 menjadi sebesar 144.350 ton dengan nilai (FOB) US$ 73.203.000. Usaha agroindustri nenas terbesar di Indonesia pada saat ini adalah sebuah perusahaan pengolahan nenas di Lampung. Perusahaan tersebut memiliki kapasitas produksi terpasang sebesar 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas (CIC, 2000).
Untuk mendukung industrinya, perusahaan tersebut memiliki
perkebunan nenas sendiri seluas 32.300 hektar. Perusahaan ini menerapkan sistem terintegrasi dalam menjalankan kegiatan agroindustri nenas, artinya, perusahaan ini memiliki sendiri perkebunan nenas sebagai sumber bahan baku bagi industri nenas olahannya. Sistem ini diterapkan oleh perusahaan karena kekhawatiran akan tidak menentunya pasok nenas segar dari kebun petani. Seperti diketahui, pasok nenas segar merupakan faktor sangat penting bagi kelangsungan hidup usaha agroindustri nenas. Dua perusahaan nenas kalengan di Indonesia – sebuah di Sumatera Utara, tepatnya di Pematang Siantar dan satu lagi di Kabupaten Subang, Jawa Barat – terpaksa menghentikan operasi akibat tidak menentunya pasok bahan baku nenas segar dari petani setempat (CIC, 2000). Pengintegrasian perkebunan nenas ke dalam usaha agroin dustri nenas, di satu pihak, memang mengurangi risiko ketidak -pastian bahan baku, tetapi, di pihak lain, kurang menguntungkan bagi upaya mengembangkan keterlibatan petani dalam 2
agroindustri nenas. Oleh karena itu, perlu dipikirkan pengembangan usaha agroindustri nenas yang melibatkan petani nenas sebagai pemasok nenas segar yang dapat memberikan kepastian akan kesinambungan dan kualitas pasok nenas segar bagi industri pengolahan nenas.
Dengan dicanangkannya program revitalisasi
pertanian oleh pemerintah yang salah satu tujuannya adalah meningkatkan taraf hidup petani, pengembangan agroindustri nenas yang melibatkan petani sebagai salah satu pelaku utamanya menjadi hal yang sangat penting. Berbagai bentuk kemitraan di antara petani dan industri telah diterapkan di berbagai sektor industri, di antaranya adalah bentuk kemitraan inti-plasma. Dalam agroindustri kelapa sawit, misalnya, bentuk kemitraan inti-plasma yang diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan petani ternyata lebih menempatkan petani sebagai price taker, yaitu pihak yang harus menerima saja tingkat harga jual yang ditentukan berdasarkan perhitungan pihak Direkorat Jenderal Perkebunan yang mendasarkan perhitungan harga jual tandan buah segar dari petani pada harga FOB minyak kelapa sawit (harga jual CPO oleh pabrik pengolahan kelapa sawit). Akibatnya
ada
kemungkinan
petani
menerima
harga
yang
tidak
terlalu
menguntungkan atau menjual tandan buah segar (TBS) kelapa sawit ke pihak lain yang menawarkan harga lebih baik. Kemitraan dalam usaha agroindustri nenas pernah dilakukan di Kabupaten Subang pada tahun 1990-an. Usaha yang dirintis oleh PT Morelli itu melibatkan petani sebagai pemasok nenas segar untuk industri pengalengan nenas yang didirikan perusahaan tersebut. Kemitraan yang dilakukan menggunakan model inti-plasma seperti yang diterapkan pada agroindustri kelapa sawit. Kegiatan usaha ini akhirnya ditutup karena tidak sinambungnya pasok nenas segar dari petani mitra yang lebih suka menjual nenas ke pihak luar apabila harga di luar lebih menguntungkan petani. 3
Kegagalan usaha ini tentu saja memprihatinkan mengingat potensi Kabupaten Subang sebagai daerah penghasil nenas segar yang cukup besar (pada tahun 2003 produksi nenas segar dari Kabupaten Subang mencapai 135.296 ton, BPS, 2004). Berdasarkan kenyataan di atas, dirasakan perlu untuk merancang model yang dapat digunakan untuk menata kemitraan antara petani dan pengusaha industri pengolahan dalam usaha agroindustri nenas yang memberikan kesempatan kepada petani untuk ikut menentukan harg a jual nenas segar kepada pengusaha industri pengolahan nenas. Model ini dinamakan Model Pengembangan Agroindustri Nenas dengan Pendekatan Kemitraan Setara Petani dan Pengusaha Industri Pengolahan, atau Model AINI MS (singkatan dari Agroindustri Nenas Indonesia Mitra Setara). Kemitraan Setara dalam penelitian ini didefinisikan sebagai bentuk kerjasama antara petani, sebagai pemilik lahan dan penyedia bahan baku nenas, dan pengusaha industri pengolahan nenas, sebagai produsen produk-produk nenas olahan, yang menempatkan kedua pihak dalam posisi tawar yang setara. Pengertian posisi tawar setara adalah posisi di mana petani dapat, bersama pengusaha industri pengolahan, menentukan harga jual nenas segar ke industri pengolahan dengan memperhatikan tingkat keuntungan yang wajar bagi usaha perkebunan nenas dan industri pengolahan nenas yang menjual produk nenas olahannya kepada pasar, baik domestik maupun luar negeri. Dengan demikian model kemitraan setara ini merupakan penyempurnaan dari model kemitraan inti-plasma yang diharapkan dapat mendorong petani untuk menjual nenas segar kepada industri pengolahan, dan sebaliknya industri pengolahan bersedia membeli nenas segar dari petani, karena harga yang diperoleh dirasakan menguntungkan kedua pihak. Untuk membuat model ini terlebih dulu ditetapkan kriteria kesetaraan yang berpedoman pada kesesuaian tingkat usaha yang dilakukan dan tingkat hasil yang diperoleh. Model yang dikembangkan didasarkan pada model 4
rantai nilai (value chain) dari Porter (Porter, 1992) yang menggambarkan hubungan antara usaha hulu (dalam hal ini usaha perkebunan nenas) dan usaha hilir (dalam hal ini usaha pengolahan nenas). 2.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menghasilkan model pengembangan agroindustri nenas yang menyetarakan posisi petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. Model tersebut diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani nenas, usaha agroindustri nenas, dan pendapatan asli daerah (PAD). Sesuai tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian mencakup perencanaan pengembangan agroindustri nenas yang mendudukkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam posisi tawar yang setara. Ini meliputi perencanaan kelembagaan, keterkaitan di antara para pelaku yang terlibat dalam agroindustri nenas serta pola manajemen agroindustri nenas yang mengutamakan peningkatan keterlibatan dan pendapatan petani nenas . Kemitraan
setara
dalam
agroindustri
nenas
dirancang
dengan
mempertimbangkan kelayakan usaha agroindustri nenas, analisis manajemen operasional, dan analisis risikonya. Analisis sistem kemitraan dalam agroindustri nenas dilakukan dengan menggunakan teknik ISM berdasarkan elemen -elemen kebutuhan program, kendala-kendala utama program, tujuan program, ukuran pencapaian tujuan, aktivitas -aktivitas yang dibutuhkan dalam progra m, dan pelaku/lembaga yang terlibat dalam usaha agroindustri nenas. Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa (1)
sumbangan
pengetahuan dalam mengkaji sistem pengembangan agroindustri nenas dengan pendekatan
kemitraan
setara,
dan
(2)
alternatif
model kemitraan
untuk
pengembangan agroindustri nenas yang dapat meningkatkan pendapatan petani, 5
usaha agroindustri nenas, dan pendapatan asli daerah. Model yang dihasilkan diharapkan dapat digunakan oleh investor yang berminat menerjuni usaha agroindustri nenas untuk mengembangkan usaha ini dengan membentuk kemitraan bersama petani (pemilik lahan) yang saling menguntungkan dan saling memperkuat. Pemerintah juga dapat memanfaatkan model ini untuk membantu meningkatkan kesejahteraan petani.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Nenas dan Agroindustri Nenas di Indonesia a. Tanaman Nenas Nenas atau nanas (Ananas comosus (L.) Merr.) bukan merupakan tan aman asli Indonesia. Tanaman tersebut diyakini berasal dari Brazilia dan Paraguay dan disebarkan oleh orang-orang Indian ke bagian -bagian lain dari Amerika Selatan dan Tengah (Economic Research Service, USDA, 2003). Tanaman nenas diduga masuk wilayah Indonesia pada abad 15, mula-mula hanya sebagai tanaman pekarangan, tetapi berangsur-angsur meluas dan dikebunkan di lahan-lahan kering di seluruh Indonesia. Menurut taksonomi tumbuhan, nenas diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1996): Kingdom
: Plantae (tumbuh-tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Kelas
: Angiospermae (berbiji tertutup)
Ordo
: Farionsae (Bromeliales)
Famili
: Bromeliaceae
Genus
: Ananas
Spesies
: Ananas comosus (L.) Merr.
Kerabat dekat spesies nenas cukup banyak, terutama nenas liar yang biasanya dijadikan tanaman hias, seperti A. bracteatus (Lindl.) Schultes, dan A. ananassoides (Bak.) L. B. L. B. Smith. Tanaman nenas berbentuk semak dan hidupnya bersifat tahunan (perennial). Tubuh tanaman nenas terdiri atas akar, batang, daun, bunga, buah, dan tunas. Perakaran nenas sebagian berada di dalam tanah dan sebagian lagi menyebar di permukaan tanah. Akar nenas melekat pada pangkal batang dan tanaman ini termasuk berakar serabut (monocotyledonae). Biji nenas berkeping tunggal.
Batang tanaman nenas berbentuk gada dengan panjang antara 20 dan 25 cm atau lebih, berdiameter 2,0 – 3,5 cm, dan beruas pendek. Batang nenas berfungsi sebagai tempat melekat akar, daun, bunga, tunas, dan buah. Secara visual batang nenas tidak terlihat karena tertutup daun. Tangkai bunga atau buah merupakan perpanjangan dari batang. Bunga atau buah nenas muncul pada ujung tanaman. Tiap tangkai bunga terdiri atas 100 – 200 kuntum bunga yang melekat saling berhimpitan. Sifat pembungaan nenas termasuk penyerbukan silang. Tanpa melalui penyerbukan silang, buah nenas tidak menghasilkan biji (partenocarpi). Kumpulan kuntum bunga yang mengalami proses penyerbukan akan menghasilkan kumpulan buah kecil berjumlah 100 – 200 buah. Buah -buah kecil tersebut bergabung menjadi satu dan dihubungkan oleh batang tengah yang disebut hati, sehingga secara visual terlihat hanya sebagai satu buah berbentuk bulat dengan bagian ujung seperti kerucut. Tiap buah yang sebelumnya mengalami penyerbukan buatan berpotensi menghasilkan 6.000 – 9.000 biji. Meskipun demikian, buah nenas umumnya tidak berbiji karena bakal biji pada waktu bunga mulai membuka akan gugur dan hanya sedikit yang menjadi biji dalam buah nenas. Berdasarkan bentuk daun dan buah, nenas dapat dibagi ke dalam empat golongan, yaitu: Cayenne, Queen, Spanish, dan Abacaxi. Nenas Simadu dari Kabupaten Subang termasuk golongan Cayenne, sedangkan nenas Bogor dan nenas Palembang termasuk golongan Queen (Rukmana, 1996). Bagian utama yang bernilai ekonomi penting dari nenas adalah buahnya. Selain dikonsumsi segar, buah nenas juga dapat diolah menjadi berbagai produk olahan, di antaranya nenas kalengan (canned pineapple), jus nenas, dan selai. Buah nenas mengandung enzim bromelain, yaitu suatu enzim protease yang dapat menghidrolisis protein, proteose atau peptida, 8
sehingga dapat digunakan untuk melunakkan daging. Limbah nenas berupa kulit buah dan batang nenas juga dapat dimanfaatkan. Kulit buah dapat diolah menjadi sirup atau diekstraksi cairannya untuk pakan ternak. Batang nenas dapat diambil tepungnya. Serat daun nenas dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kertas dan tekstil. Pohon industri nenas dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Formatted: Swedish (Sweden)
Gambar 2.1 . Pohon industri nenas (Ditjen IKAH – Deperindag R.I., 2004)
Field Code Changed Deleted: 1
Dari pohon industri nenas di atas dapat dilihat bahwa usaha agroindustri nenas mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat banyaknya produk olahan yang dapat dihasilkan. Selain itu, buah nenas mengandung gizi yang cukup lengkap, seperti dapat dilihat pada Tabel 2.1. Dari Tabel 2.1 tampak bahwa baik buah, bonggol, maupun kulit buah nenas dapat diolah menjadi berbagai produk olahan yang bernilai tinggi.
9
Formatted: Swedish (Sweden)
Tabel 2.1. Kandungan gizi buah nenas segar tiap 100 gram bahan
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 1
(Direktorat Gizi Depkes R.I., 1981 dalam Rukmana, 1996) Kandungan Gizi Kalori Protein Lemak Karbohidrat Fosfor Zat Besi Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Bagian dapat dimakan (BDD)
Satuan kal g g g g mg S.I mg mg g %
Formatted: Swedish (Sweden)
Jumlah 52.00 0.40 0.20 16.00 11.00 0.30 130.00 0.08 24.00 85.30 53.00
Field Code Changed
Di Indonesia nenas dihasilkan oleh hampir semua wilayah, dengan Jawa Timur sebagai penghasil terbesar (275.373 ton pada tahun 2003), diikuti oleh Jawa Barat (161.497 ton) , Sumatera Selatan (69.701 ton), dan Lampung (44.267 ton). Kebanyakan nenas di Indonesia dihasilkan oleh perkebunan -perkebunan kecil yang standar kualitasnya belum ada dan dikonsumsi sebagai buah segar (CIC, 2000). Pada Tabel 2.2. disajikan data produksi nenas di Indonesia tahun 2003. Formatted: Swedish (Sweden)
Tabel 2.2. Produksi nenas di Indonesia tahun 2003 (BPS, 2004)
Field Code Changed Deleted: 2
No. Propinsi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah D.I. Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali NTB NTT Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Maluku Maluku Utara Papua Total Indonesia
Produksi (Ton) 4,146 31,032 849,000 17,750 3,809 69,701 175,000 44,267 726,000 161,497 21,992 690,000 275,373 970,000 2,252 1,083 3,719 5,886 10,003 1,300 4,159 3,369 421,000 6,881 677,000 175,000 561,000 3,016 610,000 677,089
Formatted: Swedish (Sweden)
10
b. Agroindustri Nenas di Indonesia Agroindustri nenas merupakan rangkaian kegiatan yang mengolah nenas menjadi
berbagai produk olahan nenas sampai ke pendistribusiannya. Di Indonesia,
produk agroindustri nenas yang utama adalah nenas kalengan (canned pineapple) dan jus nenas (pineapple juice). Kapasitas terpasang pabrik-pabrik pengolahan nenas di Indonesia mencapai 259.989 ton untuk nenas kalengan dan 109.048 ton untuk jus nenas (CIC, 2000). Pada Tabel 2.3 disajikan data pabrik pengolahan nenas di Indonesia. Tabel 2.3. Produsen nenas olahan di Indonesia dan kapasitas terpasangnya (CIC, 2000) No. Nama Perusahaan
Lokasi
Kapasitas Produksi/Tahun
Produk Lampung Tengah Nenas Kalengan Jus Nenas 2 PT Tris Delta Agrindo Lampung Nenas Kalengan Jus Nenas 3 PT Pulau Sambu Riau Nenas Kalengan Jus Nenas 4 PT Para Sawita Sumatera Utara Jus Nenas 5 PT Kencana Acid Indo Perkasa Lampung Utara Nenas Kalengan Jus Nenas 6 PT Sari Segar Alami Riau Jus Nenas Kapasitas Total Terpasang Nenas Kalengan Jus Nenas 1 PT Great Giant Pineapple
Ton 187,000 100,000 32,659 4,032 24,000 3,000 2,000 16,330 2,016 2,000 259,989 109,048
Selain perusahaan-perusahaan yang tercantum dalam tabel, ada dua perusahaan nenas kalengan lain yang sekarang telah berhenti beroperasi, yaitu PT Pineapple Cannery of Sumatera (PT PCS) di Pematang Siantar dan PT Morelli di Subang. Kedua perusahaan di atas terpaksa berhenti beroperasi akibat tidak menentunya pasok bahan baku dari petani kecil se tempat (CIC, 2000). Selain itu, Taifung Group dari Taiwan juga pernah mengembangkan usaha agroindustri nenas di Lampung. Kelompok usaha dari Taiwan tersebut menyewa lahan perkebunan nenas dari petani transmigran. Ketika masa sewa berakhir, petani transmigran mengambil kembali
11
lahan yang disewakan tersebut dan sebagai akibatnya Taifung Group kehilangan lahan perkebunan nenas dan terpaksa menghentikan operasi pengalengan nenasnya pada tahun 2000 (Asopa, 2003). Bahan baku untuk agroindustri nenas dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu bahan baku utama (buah nenas yang dihasilkan oleh perkebunan nenas) dan bahan penolong yang diperlukan untuk proses produksi dan pengalengan berupa asam sitrat, gula, alkohol, dan sebagainya. Di Indonesia pasokan buah nenas merupakan faktor sangat penting bagi agroindustri nenas, dan seperti telah disebutkan di atas, kegagalan industri pengalengan nenas di Kabupaten Subang disebabkan oleh tidak menentunya pasok nenas dari pekebun. Berdasarkan pengalaman tersebut, beberapa perusahaan produsen nenas kalengan membangun perkebunan nenas sendiri untuk menjamin pasok nenasnya, di antaranya adalah usaha agroindustri nenas yang dapat dikatakan sukses di Indonesia, yaitu sebuah perusahaan swasta di Lampung. Kapasitas terpasang perusahaan tersebut masih yang terbesar di Indonesia, yaitu 187.000 ton nenas kalengan dan 100.000 ton jus nenas yang berasal dari 23 lini produksi. Sampai tahun 2005 perusahaan berencana menambah lini produksinya menjadi 36 lini. Perusahaan ini memiliki 32.300 ha kebun nenas untuk mendukung industrinya. Produksi buah nenas perusahaan mencap ai 69 ton per hektar, atau sekitar 450.000 ton/tahun. Hampir semua produk agroindustri nenas di Indonesia, termasuk produk perusahaan yang disebutkan di atas , dijual ke pasar ekspor. Pasar domestik untuk nenas kalengan relatif kecil (Hadi, 2001). Permintaan akan nenas kalengan di luar negeri sangat tinggi sehingga produsen Indonesia mengalami kesulitan dalam memenuhinya. Ekspor nenas olahan Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2004 dapat dilihat pada Tabel 2.4. Dari Tabel 2.4 tersebut tampak bahwa secara rata-rata antara 12
tahun 2000 dan 2004 volume ekspor nenas olahan Indonesia menunjukan sedikit penurunan 0,95% per tahun. Harga rata-rata nenas olahan ekspor selama kurun waktu lima tahun terakhir ini adalah sebesar US$ 520/ton. Sebagai komoditas ekspor, nenas olahan Indonesia telah diekspor ke negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika Serikat. (BPS, 2005), dengan pasar utama adalah Amerika Serikat, Singapura, Jerman, Belanda, dan Jepang (Asopa, 2003). Tabel 2.4. Ekspor nenas olahan dari Indonesia, diolah penulis) Volume Pertumbuhan Tahun (Ton) (%) 154.758 2000 2,59 158.762 2001 14,07 181.095 2002 - 19,50 145.768 2003 - 0,97 144.350 2004
2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005,
Field Code Changed
Nilai FOB (000US$) 72.599 76.728 101.569 84.971 73.203
Pertumbuhan (%) 5,68 32,37 -16,34 -13,85
Deleted: 4
Formatted: Swedish (Sweden)
Meskipun merupakan negara pengekspor, Indonesia juga mengimpor nenas olahan dari beberapa negara dalam jumlah yang berfluktuasi. Pada tahun 2004 Indonesia mengimpor nenas olahan sebanyak sekitar 216 ton dengan nilai sekitar US$ 149.659.
Impor nenas olah an Indonesia berasal dari Amerika Serikat,
Singapura, dan Australia. Dilihat dari nilai dolar, nenas olahan impor memperoleh harga di atas harga ekspor, sebagai contoh, harga rata-rata per ton nenas olahan impor pada tahun 2004 adalah US$ 694/ton, sementara harga rata-rata nenas olahan impor selama kurun waktu 2000 – 2004 adalah sebesar US$ 703/ton. Tabel 2.5 menyajikan data impor nenas olahan Indonesia 2000-2004. Tabel 2.5. Impor nenas olahan Indonesia, 2000-2004 (BPS, 2003 dan 2005, diolah penulis) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004
Volume (Ton) 158,21 587,88 98,47 239,50 215,68
Pertumbuhan (%) 271,58 - 83,25 143,22 - 9,96
Formatted: Swedish (Sweden)
Nilai CIF (US$) 123.465 194.680 81.833 210.130 149.659
Pertumbuhan (%) 57,68 -57,94 156,78 - 28,78 13
Dalam mengekspor nenas olahan, produsen biasanya berhubungan langsung dengan pembeli (trading company). Sistem distribusi nenas mulai dari petani sampai ke pasar ekspor disajikan pada Gambar 2.2. Dari Gambar 2.2 dapat dilihat bahwa nenas segar dari petani tidak ada yang dibeli oleh industri pengolahan atau eksportir besar. Industri pengolahan dan eksportir besar mendapatkan nenas segar dari kebun sendiri, sementara petani hanya dapat menjual nenas segar ke pedagang perantara (pengumpul) dan ke industri pengolahan atau eksportir kecil.
Gambar 2.2. Sistem distribusi nenas dari petani sampai ke pasar ekspor ( Hadi, 2001).
Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed
2.
Model Berbasis Pasar dan Model Berbasis Sumber Daya dalam Pengembangan Industri Terdapat dua model utama menyangkut faktor penentu daya saing global. Model pertama adalah model organisasi industrial (industrial organization model) atau model I/O yang dikenal juga sebagai model berbasis pasar (market-based model). Model ini berpendapat bahwa kondisi dan karakteristik lingkungan eksternal
14
Deleted: 2
Formatted: Swedish (Sweden)
organisasi merupakan faktor penentu utama dalam perumusan strategi yang akan menghasilkan keuntungan di atas rata-rata. Model I/O didasarkan pada tiga asumsi penting (Hitt, et al., 2001). Asumsi pertama adalah bahwa lingkungan eksternal organisasi memunculkan tekanan dan kendala yang akan me mpengaruhi strategi yang dapat diterapkan organisasi. Asumsi kedua, sebagian besar organisasi/perusahaan yang bersaing dalam suatu industri memiliki sumber daya strategik yang sama dan mendasarkan strategi pada sumber daya
tersebut.
Asumsi
ketiga,
sumber
daya
yang
digunakan
untuk
mengimplementasikan strategi memiliki mobilitas tinggi. Karena mobilitas sumber daya yang tinggi ini, perbedaan kepemilikan sumber daya di antara berbagai organisasi tidak akan bertahan lama. Kunci keberhasilan menurut model I/O adalah kejelian organisasi dalam memilih industri tempat organisasi bersaing (Hitt, et al., 2001). Salah satu model yang didasarkan pada model I/O adalah model lima kekuatan persaingan dalam industri (five forces model of competition) dari Porter (1996) yan g berlanjut ke konsep strategi generik. Model lima kekuatan persaingan dalam industri Porter di atas berpendapat bahwa intensitas persaingan dalam suatu industri, yang merupakan penentu tingkat laba dalam industri yang bersangkutan, dipengaruhi oleh lima kekuatan, yaitu: (1) posisi tawar (bargaining position) pembeli industri, (2) posisi tawar pemasok industri, (3) ancaman pendatang baru, (4) ancaman produk substitusi, dan (5) persaingan di antara para anggota industri itu sendiri. Interaksi di antara kekuatankekuatan ini akan mendorong organisasi/perusahaan untuk memilih satu di antara tiga strategi generik yang tersedia, yaitu (1) strategi keunggulan biaya menyeluruh, (2) strategi diferensiasi, dan (3) strategi fokus. Gambar 2.3 menyajikan model lima kekuatan persaingan dalam industri. 15
ANCAMAN PENDATANG BARU
PERSAINGAN SESAMA ANGGOTA INDUSTRI
POSISI TAWAR PEMASOK
POSISI TAWAR PEMBELI
ANCAMAN PRODUK SUBSTITUSI
Gambar 2.3. Model lima kekuatan persaingan dalam industri (Porter, 1996).
Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed
Model kedua adalah model berbasis sumber daya (resource-based model).
Deleted: 3
Formatted: Swedish (Sweden)
Model ini mengasumsikan bahwa organisasi merupakan kumpulan sumber daya dan kapabilitas yang unik (khas) yang menjadi sumber kompetensi khas (Distinctive competencies) serta landasan bagi strategi organisasi dan merupakan sumber utama profitabilitas (Andersen dan Kheam, 1998). Dalam perjalanan waktu, organisasi akan memperoleh berbagai sumber daya yang berbeda-beda dan mengembangkan kapabilitas yang bersifat unik. Model berbasis sumber daya mengasumsikan bahwa sumber daya tidak sepenuhnya bersifat mobil. Perbedaan kepemilikan sumber daya, menurut model di atas, merupakan landasan keunggulan bersaing. Pendekatan berbasis sumber daya ini kemudian berkembang menjadi pendekatan berbasis pengetahuan (knowledge-based approach), yang diperkenalkan antara lain oleh von Krogh, Ichijo, dan Nonaka (2000), dan Tuomi (1999). Pendekatan berbasis sumber daya sesungguhnya sudah diperkenalkan oleh Adam Smith melalui teori keunggulan absolut, yang selanjutnya dikembangkan oleh David
Ricardo
(teori
keunggulan
komparatif)
dan
Hecksher-Ohlin
(teori
keberlimpahan faktor). (Daniels dan Radebaugh, 1996). Ketiga teori di atas lebih menekankan pada keunggulan sumber daya alam (fisik). Selanjutnya beberapa pakar 16
mengembangkan teori berbasis keunggulan sumber daya alam ini menjadi teori-teori yang tidak hanya didasarkan pada keunggulan sumber daya alam. Hunt (1999)
memperkenalkan konsep keunggulan bersaing berkelanjutan
(sustainable competitive advantage, SCA). Collis dan Montgomery (1997) mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori, yaitu, aset berwujud (tangible assets), aset tidak berwujud (intangible assets), dan kapabilitas organisasi (organizational capabilities). Aset berwujud menurut Collis dan Montgomery (1997) merupakan aset yang paling mudah dihitung nilainya dan seringkali merupakan sat usatunya kelompok sumber daya yang muncul dalam neraca organisasi/perusahaan. Beberapa contoh aset berwujud adalah fasilitas produksi, bahan baku, dan lahan. Collis dan Montgomery (1997) berpendapat bahwa meskipun sumber daya berwujud mungkin berperan pe nting bagi strategi organisasi, sumber daya ini jarang sekali menjadi sumber keunggulan bersaing. Walaupun demikian ada beberapa pengecualian. Sumber daya berwujud berupa lokasi perumahan yang berdekatan dengan lokasi pariwisata, misalnya, dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Aset tidak berwujud meliputi reputasi organisasi, merek, kultur, penguasaan teknologi, hak paten dan merek dagang, serta pengalaman dan hasil pembelajaran terakumulasi. Aset tidak berwujud sering berperan penting dalam keunggulan bersaing organisasi dan aset tersebut memiliki karakteristik yang penting, yaitu tidak habis dikonsumsi. Bahkan, jika dimanfaatkan secara bijaksana, aset tidak berwujud akan terus berkembang ketika digunakan. Kapabilitas organisasi menurut Collis dan Montgomery (1997) bukanlah faktor input seperti aset berwujud dan tidak berwujud. Kapabilitas organisasi merupakan kombinasi yang kompleks dari aset, sumber daya manusia, dan proses yang digunakan organisasi untuk mengubah input menjadi
17
output. Kapabilitas organisasi yang terus menerus diasah dapat menjadi sumber keunggulan bersaing. Chaterjee dan Wernerfelt (1991) dalam Huseini (2000) mengembangkan konsep sumber daya dengan mengklasifikasikan sumber daya ke dalam tiga kategori, yaitu sumber daya fisik (tangible), sumber daya tidak berwujud (intangible ), dan sumber daya keuangan. Selanjutnya Grant (1995) mengolompokkan sumber daya tidak berwujud ke dalam empat kategori, yaitu: sumber daya manusia, sumber daya teknologi, reputasi, dan aset organisasi. Sumber daya manusia dikelompokkan ke dalam sumber daya tidak berwujud karena penekanannya adalah pada aspek kompetensi, yang oleh Grant (1995) dikelompokkan menjadi empat kategori kompetensi SDM, yaitu: (1) kompetensi pencapaian tujuan, (2) kompetensi pemecahan masalah, (3) kompetensi interaksi sesama, dan (4) kompetensi kerjasama. Hamel dan Prahalad (1995) menegaskan bahwa pendekatan berbasis pasar belum cukup, pendekatan ini harus dilengkapi dengan pengasahan kompetensi inti (pendekatan berbasis sumber daya). Hamel dan Prahalad menegaskan bahwa untuk menciptakan daya saing yang tinggi di tingkat global organisasi harus mampu mengidentifikasi kompetensi inti yang dibutuhkan, mengembangkan kompetensi tersebut, memanfaatkannya untuk menghasilkan produk-produk yang inovatif, dan mendidik pasar untuk menerima produk tersebut melalui penciptaan jalur migrasi (migration path ). Kompetensi inti sendiri didefinisikan sebagai kumpulan pengetahuan dan keterampilan yang terintegrasi dalam struktur organisasi (Tuomi, 1999). Tuomi selanjutnya menyatakan bahwa kumpulan pengetahuan dan keterampilan tersebut akan menghasilkan keunggulan bersaing yang khas organisasi sehingga tidak mudah untuk ditiru organisasi lain. Sveiby (1997) dan Stewart (1997) dalam Tuomi (1999) berpendapat bahwa pengetahuan merupakan kunci bagi daya 18
saing perseorangan, perusahaan, dan negara. Pengetahuan juga dipandang sebagai faktor penting yang menggerakkan perubahan ekonomi dan sosial, teknologi, serta kehidupan sehari-hari (Tuomi, 1999). Tuomi lebih lanjut berpendapat bahwa sumber nilai (value) organisasi ada dua, yaitu modal keuangan (financial capital) dan modal sumber daya manusia (human capital). Modal sumber daya manusia sendiri dapat dirinci ke dalam tiga aspek, yaitu, kompetensi (competence), sikap (attitude), dan keuletan intelektual (intelectual agility). Menurut Tuomi (1999), pengembangan kompetensi inti haruslah melibatkan bukan hanya organisasi, melainkan juga komunitas di lingkungan organisasi tersebut berada. Dengan demikian, pengembangan kompetensi inti dapat berlangsung melalui pengembangan komunitas. Ini sesungguhnya merupakan hal yang wajar karena kumpulan pengetahuan tersimpan dalam komunitas. Oleh sebab itu Tuomi menegaskan bahwa kompetensi inti harus dikembangkan melalui fasilitasi pembelajaran sosial dalam komunitas (masyarakat), fasilitasi pembelajaran dan komunikasi di antara komponen-komponen yang ada dalam masyarakat, dan dengan melibatkan komponen-komponen masyarakat yang penting. Pendapat ini sejalan dengan konsep Pembangunan Berbasis Komunitas (Community-Based Development, CBD) yang sudah diimplementasikan di negaranegara maju sejak awal 1970-an (Hidayat dan Syamsulbahri, 2001). Konsep CBD menempatkan masyarakat tidak hanya sebagai obyek, melainkan juga sebagai subyek pembangunan. Pada dasarnya konsep CBD selalu melibatkan masyarakat baik dalam tahap perencanaan maupun pelaksanaan program yang dilakukan (Rubin, dalam Hidayat dan Syamsulbahri, 2001). Grant (1995) menggambarkan proses pencapaian keunggulan bersaing melalui strategi yang didasarkan pada sumber daya dan kapabilitas seperti tampak pada 19
Gambar 2.4. Pada gambar ini dapat dilihat bahwa titik tolak analisis keunggulan bersaing adalah identifikasi sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki oleh organisasi. Kapabilitas didefinisikan sebagai kemampuan (kapasitas) sekumpulan sumber daya untuk secara terintegrasi melaksanakan suatu tugas atau aktivitas (Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2001). Grant (1995) menegaskan bahwa meskipun berbagai sumber daya yang dimiliki organisasi harus dianalisis secara terpisah, kapabilitas hanya dapat diciptakan dengan memadukan sumber daya tersebut secara tepat.
Gambar 2.4. Meraih keunggulan bersaing berdasarkan sumber daya dan kapabilitas (Grant, 1995). Porter
(1993)
memperke nalkan
model
Diamond
untuk
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
menjelaskan
Field Code Changed Deleted: 4
keberhasilan atau kegagalan suatu negara dalam persaingan internasional. Menurut model ini, ada enam atribut yang mempengaruhi lingkungan bersaing suatu industri di tingkat global. Keenam atribut ini akan mendorong atau menghambat terciptanya keunggulan bersaing. Atribut-atribut tersebut adalah sebagai berikut: Formatted: Swedish (Sweden)
a. Ketersediaan faktor produksi dan infrastruktur ( factors condition) b. Keadaan permintaan domestik (demand condition) 20
c. Adanya industri terkait dan industri penunjang (related and supporting industries) d. Struktur, strategi, dan lingkungan bersaing perusahaan (firm structure, strategy, and rivalry) e. Pengaruh lingkungan jauh (the role of chance) f. Peran pemerintah (the role of government) Formatted: Swedish (Sweden)
Saling keterkaitan di antara atribut-atribut tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.5 .
Gambar 2.5. Model Diamond untuk Keunggulan Bersaing Negara (Porter, 1993)
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 5
Formatted: Swedish (Sweden)
Kondisi faktor
Field Code Changed
Kondisi faktor adalah ketersediaan faktor-faktor sumber daya di suatu negara untuk menunjang produksi. Faktor-faktor ini adalah, antara lain, sumber daya manusia, sumber daya fisik atau alam termasuk lahan untuk kegiatan produksi, sumber daya pengetahuan dan teknologi, sumber daya keuangan, serta infrastruktur seperti jalan raya, sarana komunikasi, listrik, dan air. Kondisi permintaan Formatted: Swedish (Sweden)
Kondisi permintaan yang dimaksud di sini adalah situasi permintaan domestik akan produk dan/atau jasa yang dihasilkan oleh industri-industri di negara yang bersangkutan. Kondisi permintaan domestik
tergambar antara lain dalam pola 21
pertumbuhan kebutuhan domestik, komposisi permintaan domestik, pertumbuhan pasar domestik, dan tuntutan konsumen domestik akan kualitas produk/jasa. Industri yang sudah terbiasa melayani permintaan domestik yang menuntut persyaratan ketat akan lebih mampu memenuhi permintaan dari pasar dunia yang biasanya lebih ketat lagi. Industri penunjang dan terkait Formatted: Swedish (Sweden)
Suatu industri akan berkembang lebih pesat apabila di sekeliling industri tersebut terdapat industri-industri terkait dan penunjang yang bekerja secara bersama-sama melayani pasar. Industri perbankan yang kokoh, misalnya, akan mendukung operasi industri manufaktur melalui dukungan penyaluran dana dan penyediaan fasilitasfasilitas perbankan lainnya. Demikian juga, sektor agroindustri baru dapat berkembang dan memiliki daya saing yang tinggi apabila didukung oleh ketersediaan bahan baku yang berkualitas dan kontinu serta aktivitas perdagangan yang intensif. Selain itu, keberadaan lembaga riset berperan penting dalam pengembangan sektor agroindustri. Strategi, struktur, dan lingkungan bersaing perusahaan Perusahaan yang sudah terbiasa bersaing di dalam negeri dan yang struktur dan strateginya memang sudah dirancang untuk mengantisipasi persaingan domestik dianggap akan lebih siap menghadapi persaingan global yang biasanya lebih ketat. Kondisi persaingan domestik berkaitan erat dengan sifat permintaan domestik dan dengan jumlah serta tingkat persaingan domestik. Kondisi lingkungan jauh Lingkungan jauh, yaitu kondisi ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan lingkungan hidup di suatu negara merupakan sumber peluang (chance) sekaligus ancaman (threat) yang dapat mempengaruhi daya saing industri negara tersebut di pasar 22
global. Lingkungan jauh dianggap merupakan faktor yang berada di luar jangkauan industri untuk mengendalikannya. Pemerintah Pemerintah di suatu negara berperan besar, baik positif maupun negatif, atas kelima variabel di atas. Pemerintah dapat mengeluarkan peraturan dan kebijakan yang berkaitan dengan penyaluran kredit perbankan, as uransi usaha, kegiatan eksporimpor, investasi asing, tenaga kerja, lingkungan hidup, dan sebagainya. Pemerintah juga dapat memutuskan untuk mendukung industri tertentu dan mengabaikan atau mengesampingkan industri yang lain sesuai dengan strategi pembangunan yang dipilih. Keenam variabel dalam Model Diamond Porter di atas merupakan variabelvariabel yang menentukan tingkat daya saing produk suatu negara di pasar global. Strategi pembangunan negara seyogyanya mempertimbangkan variabel-variabel tersebut dalam menentukan komoditas unggulan yang akan dipasarkan oleh suatu negara di pasar global. Model Diamond Porter kemudian dikembangkan oleh Cho dan Moon (2003) menjadi Model Sembilan Faktor yang oleh Cho dan Moon dinyatakan sebagai model yang lebih mampu menjelaskan keberhasilan negara Korea Selatan dalam arena persaingan global. Cho dan Moon (2003) berpendapat bahwa Model Sembilan Faktor lebih cocok untuk kondisi negara berkembang ketimbang Model Diamond. Model Sembilan Faktor menyatakan bahwa daya saing global suatu industri di suatu negara dipengaruhi oleh sembilan faktor berikut: Formatted: Swedish (Sweden)
1. Faktor politisi dan birokrasi (pemerintah) 2. Faktor pekerja 3. Faktor teknisi dan manajer profesional 23
4. Faktor kewirausahaan 5. Faktor lingkungan bisnis 6. Faktor sumber daya alam 7. Faktor permintaan domestik 8. Faktor industri terkait dan industri penunjang 9. Faktor akses dan kesempatan. Formatted: Swedish (Sweden)
Model Sembilan Faktor Choo disajikan dalam Gambar 2.6.
Gambar 2.6. Model sembilan faktor untuk keunggulan bersaing suatu negara (Cho dan Moon, 2003)
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 6
Formatted: Swedish (Sweden)
Perbedaan pokok antara Model Diamond Porter dan Model Sembilan Faktor
Field Code Changed Formatted: Swedish (Sweden)
Choo terletak pada faktor manusia, yang pada Model Diamond hanya dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam faktor produksi, sementara pada Model Choo faktor manusia mendapatkan perhatian yang jauh lebih besar dengan merincinya ke dalam tiga kelompok (faktor pekerja, faktor teknisi dan manajer profesional, dan faktor kewirausahaan). Dalam hal ini tampaknya pandangan Choo bersesuaian
24
dengan pandangan Grant (1995) yang merinci aspek sumber daya manusia ke dalam tiga kelompok, yaitu pengetahuan dan keterampilan, kemampuan komunikasi dan interaksi, dan motivasi. Model Diamond Porter (1993) kemudian dipadukan dengan teori klaster industri untuk mendapatkan keunggulan bersaing berbasis lokasi (Porter, 1996). Porter menyatakan bahwa input faktor (factor inputs) haruslah mencakup faktorfaktor selain aset berwujud (tangible assets, seperti infrastruktur fisik), misalnya, informasi, sistem hukum, serta institusi riset perguruan tinggi. Faktor yang terakhir (institusi riset) sangat berperan dalam menghasilkan inovasi yang selanjutnya sangat penting untuk pengembangan produk yang dapat diterima pasar. Lingkungan persaingan dan strategi perusahaan menurut model ini berbeda antara ekonomi yang tingkat produktivitasnya lebih rendah dan ekonomi yang tingkat produktivitasnya tinggi. Pergeseran dari ekonomi produktivitas rendah ke ekonomi produktivitas tinggi akan mengubah sifat persaingan dari persaingan upah ke persaingan biaya total. Ini akan mengurangi peran komponen upah dalam menentukan daya saing dan menuntut ditingkatkannya efisiensi produksi dan pelayanan. Selanjutnya persaingan biaya akan bergeser ke persaingan diferensiasi dan ini mengakibatkan peralihan dari strategi imitasi ke st rategi inovasi. Persaingan juga bergeser dari investasi rendah ke investasi tinggi, tidak hanya pada aset fisik melainkan juga pada aset tidak berwujud seperti kompetensi dan teknologi. Konsep klaster industri akan berperan sangat penting dalam perubahan ini. Paduan Model Diamond dan konsep klaster industri akan menghasilkan sumber daya saing berbasis lokasi (Porter, 1996). Gambar 2.7 menyajikan pemikiran Porter (1996) mengenai daya saing berbasis lokasi.
25
LINGKUNGAN PERSAINGAN DAN STRATEGI PERUSAHAAN
KONDISI FAKTOR (INPUT)
Kuantitas dan biaya Sumber daya alam Sumber daya manusia Infrastruktur fisik Infrastruktur administratif Infrastruktur informasi Infrastruktur iptek Kualitas faktor Spesialisasi faktor
• Lingkungan setempat yang merangsang investasi dan perbaikan berkelanjutan • Persaingan ketat di antara pesaing-pesaing lokal
KONDISI PERMINTAAN
INDUSTRI TERKAIT DAN PENDUKUNG
• Adanya pemasok lokal yang kapabel • Adanya industri terkait yang kompetitif
* Pelanggan domestik yang kritis * Kebutuhan pelanggan yang berkembang * Permintaan lokal yang bersifat khusus dan dapat dilayani secara global
Formatted: Swedish (Sweden)
Gambar 2.7. Sumber daya saing berbasis lokasi (Porter, 1996).
Field Code Changed
Huseini (2000) memperkenalkan model Saka-Sakti (Satu Kabupaten-Satu Kompetensi Inti) sebagai model alternatif untuk memberdayakan ekonomi daerah. Meskipun menggunakan unit analisis kabupaten sebagai basis modelnya, Huseini menyatakan bahwa unit analisis ini dapat saja diperluas menjadi provinsi atau negara ataupun dipersempit menjadi kecamatan atau kota. Pengambilan unit kabupaten dalam Model Saka-Sakti lebih dipengaruhi oleh gagasan oto nomi daerah yang menempatkan kabupaten sebagai fokus pembangunan daerah di Indonesia. Model Saka-Sakti didasarkan pada konsep daya saing berkelanjutan (sustainable competitive advantage, SCA) yang dikemukakan Hunt (Hunt, 1999, dalam Huseini, 2000). Huseini berpendapat bahwa daya saing suatu daerah harus dicapai melalui pendekatan kompetensi inti (core competence) dan bukan melalui pendekatan komoditas unggulan. Model Saka-Sakti menganjurkan penggalian potensi dasar sumber daya saing yang menurut Huseini ada tiga, yaitu yang bersifat tangibles, 26
Deleted: 7
Formatted: Swedish (Sweden)
intangibles, dan sumber daya manusia. Model Saka-Sakti pada dasarnya merupakan model berbasis sumber daya dan sejalan dengan teori klaster industri Porter (1996) yang tampaknya memadukan pendekatan berbasis pasar dan pendekatan berbasis sumber daya dan menganjurkan pengelompokan regional berdasarkan perusahaan, industri, ataupun sektor guna membangun suatu sentra industri yang homogen. Baik model klaster industri maupun model Saka-Sakti menitik-beratkan perlunya integrasi penuh seluruh kegiatan di sepanjang rantai nilai (value chain ) industri. Tetapi model klaster industri, meskipun sudah mulai mengadopsi asumsi dari model berbasis sumber daya, tampaknya belum secara spesifik menegaskan pentingnya identifikasi sumber daya sebagai sumber kompetensi inti. Di pihak lain, model Saka-Sakti menyatakan bahwa sumber keunggulan bersaing terletak pada kemampuan organisasi dalam mengidentifikasi sumber daya fisik, sumber daya tidak berwujud, dan sumber daya manusia. Secara implisit model Saka-Sakti tampaknya sejalan dengan pendapat Tuomi (1999) dan Rubin (1993) dalam Hidayat dan Syamsulbahri (2001) yang menyatakan pentingnya pengembangan keunggulan bersaing berbasis komunitas. Sasaran utama model Saka-Sakti adalah penciptaan daya saing yang berkelanjutan (Sustainable Competitive Advantages, atau SCA) melalui identifikasi kompetensi inti dalam berbagai proses yang ada dalam rantai nilai industri. Hitt, Ireland, dan Hoskisson (2001) mengajukan empat kriteria untuk SCA, yaitu, (1) penting bagi organisasi untuk memanfaatkan peluang dan meredam ancaman, (2) bersifat langka, (3) sulit ditiru pihak lain, dan (4) tidak tergantikan (nonsubstitable). 3.
Kemitraan Strategik Hill (2001) mendefinisikan kemitraan strategik (strategic alliance) sebagai kesepakatan kooperatif di antara pesaing-pesaing aktual ataupun potensial. Daniel 27
dan Radebaugh (1996) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kesepakatan di antara perusahaan -perusahaan yang secara strategik penting bagi kemampuan bersaing
perusahaan-perusahaan
tersebut.
Sementara
itu
Hafsah
(1999)
mendefinisikan kemitraan sebagai strategi usaha yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Hitt (1995) mendefinisikan kemitraan strategik sebagai kemitraan di antara beberapa perusahaan di mana sumber daya, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan -perusahaan tersebut dipadukan untuk mencapai kepentingan bersama. Hitt (1995) menyatakan bahwa kemitraan strategik dapat menghindari persaingan yang tidak perlu di suatu pasar. Selain itu, kemitraan strategik memberikan kesempatan kepada suatu perusahaan untuk mendapatkan akses ke sumber daya yang bersifat komplementer dengan sumber daya yang telah dimiliki dan meminimalkan risiko. Kemitraan strategik dapat membantu perusahaan mempertahankan atau mengembangkan SCA (Sustainable Competitive Advantages). Hafsah (1999) menambahkan bahwa kemitraan usaha harus memberikan manfaat pemerataan kesejahteraan. Gumbira-Sa’id (2000) membahas konsep estate farming dan collective farming yang menyangkut pola sistem kemitraan terpadu yang juga bermuara pada peningkatan produktivitas. Gumbira-Sa’id (2000) menegaskan bahwa pemberdayaan sektor agribisnis/agroindustri untuk peningkatan ekonomi Indonesia harus diarahkan pada pencapaian tujuh sasaran di bawah ini: 1. Peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemberdayaan kekuatan ekonomi rakyat dan peningkatan produktivitas tanaman pangan.
28
2. Peningkatan penerimaan devisa melalui pe ningkatan ekspor nonmigas dan peningkatan nilai tambah produk, di antaranya produk hortikultura yang pasar ekspornya sangat besar. 3. Struktur agroindustri yang kuat yang dilandaskan pada usaha kecil dan menengah yang kuat, yang mampu memanfaatkan keunggulan komparatif guna mencapai keunggulan kompetitif dalam menghadapi persaingan global. 4. Sektor agribsnis/agroindustri yang tangguh khususnya pada kinerja tanaman pangan dan hortikultura sebagai landasan pembangunan ekonomi Indonesia menuju era industrialisasi. 5. Daya saing produk domestik yang tinggi melalui peningkatan produktivitas dengan mempercepat inovasi dan diseminasi teknologi tepat-terap dan tepatsasaran. 6. Standar mutu yang dapat diterima oleh pasar global. 7. Pembangunan ekonomi rakyat yang berkelanjutan yang mampu mendorong pembangunan wilayah yang seimbang. Gumbira-Sa’id (2000) menyatakan bahwa sasaran-sasaran di atas dapat dicapai melalui pola sistem kemitraan terpadu, yaitu sistem kemitraan untuk memperkuat eksistensi integrasi vertikal suatu atau sekelompok komoditas. Konsep di atas dikenal sebagai konsep estate farming dan collective farming. Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa terdapat dua tipe kemitraan yang berkembang di Indonesia, yaitu tipe dispersal dan tipe sinergis. Tipe kemitraan dispersal dicirikan oleh tidak adanya ikatan formal yang kuat di antara pihak-pihak yang bermitra. Jaringan dalam kemitraan ini hanya terikat pada mekanisme pasar dan hubungan di antara pihak-pihak yang bermitra bersifat tidak langsung dan hanya mengutamakan kepentingan diri sendiri (Sumardjo et al., 2004). Pada kemitraan tipe 29
dispersal, pihak pengusaha lebih kuat dibandingkan produsen (dalam hal ini petani). Kondisi seperti ini menimbulkan kesenjangan dalam sistem bisnis hulu dan hilir. Kesenjangan yang terjadi berupa asimetri informasi tentang harga, mutu, teknologi, dan akses permodalan. Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa kesenjangankesenjangan seperti itu dapat diatasi dengan menggunakan kemitraan tipe sinergis. Dalam
kemitraan
tipe
sinergis
kesenjangan
tersebut
dihilangkan
dengan
menjembatani subsistem bisnis hulu-hilir (produsen-industri pengolahan-pemasaran) dan hulu-hulu (sesama produsen). Hubungan hulu-hilir di atas sejalan dengan model rantai nilai Porter (1993). Porter (1993) mendefinisikan rantai nilai sebagai rangkaian kegiatan mulai dari pemerolehan bahan baku dan bahan penolong sampai ke produk akhir yang dinikmati konsumen. Kegiatan -kegiatan ini dapat berupa proses pembelian, proses desain, proses produksi, proses pemasaran, dan sebagainya yang secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 . Rantai nilai generik (Porter, 1993).
Formatted: Swedish (Sweden)
Model rantai nilai Porter mengelompokkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan organisasi ke dalam dua golongan, yaitu: (1) kegiatan primer yang langsung terlibat dalam proses produksi, pemasaran, dan penyerahan produk akhir kepada konsumen dan (2) kegiatan pendukung. Selanjutnya Porter (1993) menyatakan ada lima kegiatan utama, yaitu: 30
Field Code Changed Deleted: 8
Formatted: Swedish (Sweden)
1. Logistik ke dalam, meliputi penerimaan, penyimpanan, dan penyampaian bahan baku dan sebagainya untuk diolah, seperti penanganan bahan, pergudangan, pengendalian sediaan, penjadwalan kendaraan pengangkut, dan pengembalian bahan yang rusak atau tidak memenuhi standar kepada pemasok. Formatted: Swedish (Sweden)
2. Operasi, yaitu kegiatan yang berkaitan dengan perubahan (konversi) masukan menjadi produk akhir, seperti masinasi, pengemasan, perakitan, pemeliharaan peralatan, pengujian, dan pengoperasian fasilitas. 3. Logistik ke luar, meliputi pengumpulan, penyimpanan, dan distribusi fisik produk kepada pembeli, seperti penyimpanan barang jadi, penanganan barang jadi, operasi kendaraan pengirim, dan pemrosesan pesanan. 4. Pemasaran dan penjualan, meliputi penyediaan sarana yang memungkinkan pembeli membeli produk dan mempengaruhi pembeli untuk melakukan pembelian, seperti periklanan, promosi penjualan, tenaga penjual, pemilihan saluran distribusi, hubungan dengan penyalur, dan penetapan harga. 5. Layanan, meliputi layanan untuk meningkatkan dan mempertahankan nilai produk, seperti pemasangan, perbaikan, penyediaan suku cadang, dan penyesuaian produk. Sementara itu, kegiatan pendukung dikelompokkan ke dalam empat kategori sebagai berikut (Porter, 1993): 1. Kegiatan pembelian, meliputi fungsi pembelian input yang digunakan dalam rantai nilai perusahaan. 2. Pengembangan teknologi, menyangkut semua teknologi yang digunakan dalam setiap titik dalam rantai nilai. 3. Manajemen sumber daya manusia, berkaitan dengan kegiatan seleksi, penerimaan, pelatihan dan pengembangan, promosi, dan kompensasi karyawan. 31
4. Infrastruktur perusahaan, mencakup manajemen umum, perencanaan, keuangan, hukum, hubungan dengan pemerintah, manajemen mutu, dan sebagainya. Menurut Porter (1993), organisasi harus mengidentifikasi rantai nilainya, dan kemudian mengidentifikasi perubahan (pertambahan) nilai yang dihasilkan pada setiap titik proses (mata rantai). Organisasi kemudian dapat memusatkan perhatian pada proses yang dapat dikerjakannya secara efisien dan dengan demikian memberikan nilai tambah tinggi bagi organisasi dan selanjutnya meningkatkan kompe tensinya dalam proses (proses-proses) tersebut. Organisasi seringkali dapat menyerahkan saja proses-proses lain yang tidak dapat dilakukannya secara efisien kepada pihak lain yang dapat melakukannya secara lebih efisien dan dengan demikian melibatkan pihak -pihak lain dalam pembuatan suatu produk (outsourcing). Kerjasama di antara beberapa organisasi di sepanjang rantai nilai ini dikenal sebagai aliansi (kemitraan) strategik. Mutis dalam Hafsah (1999) berpendapat bahwa dalam suatu kemitraan strategik harus ada kodeterminasi yang mengakui bahwa semua pihak yang terlibat dalam aliansi mempunyai peran yang penting. Kemitraan harus dilakukan secara partisipatif dan tidak boleh ada pihak yang mengalami marginalisasi dalam prosesnya. Mutis mengaitkan konsep kemitraan dengan paradigma strategic intent dari Hamel dan Prahalad (1995), dan menegaskan bahwa kemitraan strategik harus memadukan strategic intent dari pihak-pihak yang bermitra, sehingga kemitraan tersebut dapat menghasilkan nilai baru. Strategic intent didefinisikan sebagai pemanfaatan sumber daya internal, kapabilitas, dan kompetensi inti perusahaan untuk mencapai tujuan-tujuan yang sebelumnya dianggap tidak akan tercapai dengan mengingat lingkungan persaingan yang dihadapi perusahaan (Hitt, Ireland, dan Hoskisson, 2001). 32
Hafsah (1999) berpendapat bahwa kemitraan usaha di antara usaha besar dan menengah dengan usaha kecil/koperasi akan mewujudkan demokrasi ekonomi dan efisiensi nasional yang berdaya saing tinggi. Karena usaha kecil dan koperasi merupakan bag ian terbesar dari pelaku ekonomi nasional, Hafsah menegaskan perlunya usaha kecil dan koperasi diberi peluang dan peran yang lebih besar untuk menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Ini sesuai dengan pendapat GumbiraSa’id (2000) yang menyatakan perlunya pemberdayaan sektor usaha kecil/menengah dan koperasi. Selanjutnya Hafsaah (1999) mengemukakan bahwa tujuan kemitraan adalah sebagai berikut: 1. Memacu peningkatan pendapatan usaha kecil dan masyarakat pada umumnya. 2. Memberikan nilai tambah yang besar bagi pelaku kemitraan. 3. Memacu tingkat pertumbuhan ekonomi desa, wilayah, dan nasional. 4. Menciptakan kesempatan kerja yang lebih besar. 5. Memeratakan dan memberdayakan masyarakat dan usaha kecil. Sanim (2000) menambahkan bahwa tujuan suatu kemitraan usaha juga mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. Upaya untuk mengurangi kesenjangan dan kecemburuan sosial dalam rangka memelihara stabilitas nasional dan mengembangkan wawasan kebangsaan. 2. Memperluas kesempatan kerja dan usaha bagi usaha kecil, menengah dan koperasi sekaligus juga meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. 3. Meningkatkan nilai tambah sumber daya sebagai aset nasional, agar dinikmati rakyat banyak. Usaha kecil dan menengah (UKM) melalui kemitraan dapat memperoleh manfaat berupa akses pasar, modal, transfer ekonomi dan manajemen yang dimiliki 33
perusahaan besar sementara perusahaan besar memperoleh manfaat berupa kontinuitas bahan baku, fleksibilitas, dan skala ekonomis. Di samping itu, kemitraan juga dapat mengurangi bentuk monopoli atau terkonsentrasinya usaha pada sebagian kecil kelompok masyarakat. Menurut Hafsah (1999) ada lima pola kemitraan yang banyak dilaksanakan di Indonesia saat ini, seperti dijelaskan di bawah ini: 1. Pola Inti-Plasma, yaitu hubungan kemitraan antara kelompok usaha yang berperan sebag ai inti dan kelompok usaha yang berperan sebagai plasma. Salah satu contoh pola kemitraan ini adalah PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Dalam kemitraan PIR, perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan teknis dan manajemen, menampung hasil produksi, serta memasarkan hasil produksi dari perusahaan plasma. Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa kemitraan intiplasma dapat menciptakan saling ketergantungan di antara pihak -pihak yang bermitra
dan
dapat
menciptakan
peningkatan
usaha
serta
mendorong
perkembangan ekonomi melalui penumbuhan pusat-pusat ekonomi baru. Namun demikian, Sumardjo et al. (2004) menemukan beberapa masalah yang berkembang dalam kemitraan ini-plasma, yaitu a) pihak plasma kurang memahami hak dan kewajibannya sehingga kesepakatan yang telah ditetapkan tidak berjalan dengan lancar, b) perusahaan inti kurang berkomitmen dalam memenuhi perannya sesuai kesepakatan, c) kontrak kemitraan yang ada kurang menjamin hak dan kewajiban pihak plasma sehingga terkadang pengusaha ini dapat mempermainkan harga komoditas yang dihasilkan pihak plasma. Selain itu, Sumardjo et al.(2004) menegaskan belum adanya pihak ketiga yang dapat berfungsi secara efektif sebagai arbitrator dalam penyimpangan kesepakatan yang terjadi.
34
2. Pola Subkontrak, yaitu hubungan
kemitraan di mana suatu perusahaan
menyerahkan sebagian kegiatan produksinya kepada perusahaan lain. Pola subkontrak ditandai dengan adanya kesepakatan bersama yang mencakup volume, harga, mutu, dan waktu penyerahan (Sumardjo et al., 2004). Perusahaan Toyota di Jepang telah berhasil mengembangkan pola subkontrak dengan menyerahkan produksi berbagai komponen otomotifnya kepada perusahaan menengah dan kecil di Jepang (Hafsah, 1999). Sumardjo et al. (2004) menegaskan bahwa dalam banyak kasus pola subkontrak memungkinkan terciptanya alih-teknologi dan terjaminnya pemasaran produk kelompok mitra. Namun demikian pola ini cenderung mengisolasi produsen kecil dan dapat mengarah ke situasi monopoli atau monopsoni, terutama dalam penyediaan bahan baku dan pemasaran. 3. Pola Dagang Umum, yaitu hubungan kemitraan antara mitra usaha yang memasarkan hasil produksi dengan mitra usaha yang melakukan kegiatan produksinya. Beberapa usaha agribisnis di kawasan Puncak, Jawa Barat, menerapkan pola ini, di mana kelompok usaha tani yang melakukan kegiatan produksi bermitra dengan toko swalayan yang memasarkan hasil produksi. Pada dasarnya pola ini didasarkan pada hubungan jual-beli biasa sehingga diperlukan struktur pendanaan yang kuat dari pihak-pihak yang bermitra (Sumardjo et al, 2004). Pola kemitraan ini memungkinkan terciptanya kesepakatan harga yang saling menguntungkan dan terjaminnya kualitas produk yang diperjual -belikan. Sumardjo et al.(2004) menemukan dua masalah dalam pola kemitraan dagang umum, yaitu a) dalam praktik, harga dan volume produk sering ditentukan secara sepihak oleh pengusaha mitra pembeli sehingga merugikan pengusaha mitra penjual, dan b) sistem perdagangan seringkali berbentuk konsinyasi yang
35
membuat pembayaran bagi pengusaha mitra penjual tertunda, dan ini membuat beban modal ditanggung oleh pengusaha mitra penjual. 4. Pola Keagenan, yaitu hubungan kemitraan di mana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang/jasa hasil produksi usaha menengah atau besar. Pola ini menguntungkan pengusaha kecil mitra yang modalnya kurang kuat karena biasanya produk yang dipasok oleh produsen besar diberikan atas dasar konsinyasi. Namun demikian, usaha kecil mitra seringkali menetapkan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan konsumen (Sumardjo et al, 2004). 5. Pola Waralaba, yaitu hubungan kemitraan di mana salah satu pihak bertindak sebagai pemilik merek dan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut dan memasarkan produk yang menggunakan merek tersebut dengan membayarkan sejumlah royalti kepada pihak pemilik merek. Contoh usaha yang menggunakan pola ini adalah McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan Es Teler 77. Badan Agribisnis Deparemen Pertanian (1998) menambahkan bahwa dalam usaha pertanian ada pola kemitraan lain yang dapat dikembangkan yaitu Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Dalam kemitraan ini kelompok petani sebagai mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja, sementara perusahaan besar sebagai mitra menyediakan modal dan sarana untuk membudi-dayakan atau mengusahakan suatu komoditas pertanian. Sementara itu, Suhardi (1992) mengemukakan salah satu pola hubungan kemitraan, yaitu pola pembinaan. Dalam pola pembinaan ini industri kecil yang memiliki kemampuan produksi tetapi lemah dalam akses pasar bermitra dengan perusahaan besar, yang berperan sebagai bapak angkat. Perusahaan besar sebagai bapak angkat harus memiliki akses pasar, relasi, kepercayaan dari masyarakat, sarana komunikasi, dan kredibilitas yang tinggi yang dapat dimanfaatkan 36
untuk mengembangkan usaha mitranya (industri kecil). Pada pola kemitraan ini usaha yang dilakukan tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha perusahaan bapak angkat. Dalam kaitan hubungan kemitraan antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, Hafsah (1999) mengusulkan pendekatan tiga tahap sebagai berikut: 1. Kemitraan Sederhana. Pada tahap ini hubungan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan kemitran yang memberikan tanggung jawab kepada masing-masing mitra yang terlibat. Secara garis besar usaha besar bertanggung jawab untuk memberikan bantuan modal atau kemudahan memperoleh modal kepada usaha kecil mitranya guna mengembangkan usaha dan menyediakan sarana produksi yang dibutuhkan. Usaha kecil bertanggung jawab untuk memasok hasil produksinya kepada usaha besar dalam jumlah dan kualitas yang sesuai dengan standar yang telah disepakati bersama. Dalam kemitraan ini usaha besar juga bertanggung jawab memberikan pembinaan untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusia usaha kecil/menengah. 2. Kemitraan Tahap Madya. Pada tahap ini peran usaha besar dalam membina usaha kecil mulai dikurangi. Usaha besar tidak lagi memberikan bantuan modal dan manajemen usaha. Peran usaha besar lebih dipusatkan pada bantuan teknologi, peralatan untuk meningkatkan produksi dan kualitas produk, industri pengolahan, serta jaminan pemasaran. 3. Kemitraan Tahap Utama. Hafsah (1999) berpendapat bahwa tahap ini merupakan tahap yang paling ideal untuk dikembangkan. Pada tahap ini usaha kecil mulai ikut menanamkan modal usaha pada usaha besar mitranya dalam bentuk saham. Adanya ke pemilikan saham akan menimbulkan rasa ikut memiliki terhadap perkembangan usaha dari usaha besar mitranya. Beban risiko bersama yang timbul 37
akibat kepemilikan saham diharapkan dapat menghasilkan sinergi. Meskipun ideal, kemitraan tahap utama menuntut persyaratan yang berat khususnya bagi usaha kecil karena tahap ini menuntut usaha kecil untuk memiliki kemampuan manajerial yang memadai serta pengetahuan bisnis yang luas. Hafsah (1999) menegaskan bahwa pada tahap manapun, pemerintah seyogyanya berperan sebagai fasilitator. Sebagai fasilitator, pemerintah diharapkan menciptakan iklim usaha yang kondusif, misalnya dalam bentuk penyediaan fasilitas dan kemudahan dalam berinvestasi, penyediaan/pembangunan sarana tansportasi, telekomunikasi dan listrik, serta perangkat perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha. Gumbira-Sa’id (2001) mengidentifikasi tujuh penyebab kegagalan sistem kemitraan yang selama ini telah dilakukan di Indonesia, seperti yang didaftarkan di bawah ini: 1. Kemitraan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil tidak didasarkan pada prinsip saling membutuhkan. 2. Kemitraan tidak disertai prinsip keadilan distribusi nilai tambah dalam suatu sistem nilai komoditas. 3. Kemitraan tidak disertai prinsip transfer pengetahuan dan pengalaman, sehingga pihak pengusaha (petani) tidak mendapatkan peningkatan profesionalisme. 4. Kemitraan tidak didasarkan pada prinsip bisnis, melainkan hanya keterpaksaan untuk memenuhi kewajiban yang ditetapkan pemerintah. 5. Kemitraan
seringkali
hanya
sebatas
rencana
dan
MoU,
sementar a
implementasinya tidak terealisasi sesuai harapan. 6. Kemitraan hanya sekadar jargon politik, atau untuk kepentingan publisitas pengusaha besar. 38
7. Kemitraan hanya didasarkan pada pola pikir yang sempit, yaitu sekadar menyalurkan
bantuan
dana
kepada
pengusaha
kecil
tanpa
ada
pertanggungjawaban penggunaannya. Ini tidak mendidik masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan dan memperbaiki masa depannya. Di masa mendatang, kemitraan yang dibentuk hendaknya mampu menghindari hal-hal tersebut di atas, dan oleh karenanya, kemitraan harus dibangun berdasarkan prinsip bisnis yang saling menguntungkan. Kemitraan harus dilandaskan pada kesadaran bahwa pihak -pihak yang bermitra mempunyai keinginan untuk tumbuh dan berkembang bersama, serta harus ada keadilan dalam distribusi nilai tambah yang dihasilkan. Brinkerhoff et al. (1990) dalam Sumardjo et al. (2004) menyatakan bahwa kemitraan sebagai suatu sistem harus memiliki delapan unsur yang harus terjamin keberlanjutannya melalui stabilisasi norma jangka panjang. Kedelapan unsur tersebut adalah: 1) input atau sumber daya berupa material, uang, manusia, informasi, dan pengetahuan yang memiliki kontribusi bagi output. 2) Output, yaitu produk yang dihasilkan oleh sistem, 3) Teknologi, yaitu metode dan proses yang digunakan untuk mengubah input menjadi output, 4) Lingkungan, yaitu keadaan di sekitar kelompok yang bermitra yang dapat mempengaruhi jalannya kemitraan, 5) Keinginan, yaitu strategi, tujuan, dan rencana dari pihak-pihak yang bermitra, 6) Perilaku, yaitu pola perilaku, serta hubungan antar-kelompok dalam kemitraan, 7) Budaya, yaitu norma, kepercayaan, dan nilai dalam kelompok-kelompok yang bermitra, dan 8) Struktur, yaitu hubungan antar -individu, antar-kelompok, dan antar -unit yang lebih besar.
39
4.
Pendekatan Sistem Sistem didefinisikan sebagai kumpulan komponen yang saling berinteraksi untuk menjalankan fungsinya sebagai satu kesatuan yang lengkap (Maani dan Cavana, 2000). Muhammadi, Aminullah, dan Soesilo (2001) menambahkan bahwa sistem harus mempunyai tujuan. Haines (1998) menekankan prinsip saling terkait dan saling bergantung yang ada pada sebarang sistem. Haines selanjutnya menegaskan bahwa ada dua macam sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup bersifat terisolasi, artinya, sistem tertutup memiliki batas yang kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem ini hanya ada dalam anggapan saja untuk kepentingan analisis (Muhammadi, et al., 2001). Haines memberikan contoh dari sistem tertutup ini yaitu eksperimen di laboratorium yang memang dibuat steril. Semua sistem hidup bersifat terbuka. Kesadaran bahwa sistem bersifat terbuka mengharuskan pengambil keputusan, ketika melakukan perubahan, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah, untuk mempertimbangkan aspek lingkungan selain juga komponen-komponen dalam sistem itu sendiri (Haines, 1998). Tujuan sistem didefinisikan sebagai kinerja sistem yang teramati dan yang diinginkan. Kinerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi unsur-unsur dalam batas lingkungan tertentu. Kinerja yang diinginkan adalah hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar-unsur dalam batas lingkungan tertentu. Perumusan tujuan dari sistem akan membantu memudahkan penarikan garis batas dari sistem yang menjadi perhatian. Artinya, setiap benda, baik yang kongkrit maupun yang abstrak, yang jelas menyebabkan dan/atau berkontribusi langsung bagi pencapaian tujuan sistem dikategorikan sebagai unsur (komponen) sistem tersebut. Sebaliknya, benda
40
yang mempengaruhi dan/atau berkontribusi secara tidak langsung dikategorikan sebagai lingkungan sistem (Muhammadi, Aminullah, dan Soesilo, 2001). Formatted: Swedish (Sweden)
Boulding (1964) dalam Haines (1998) menyatakan terdapat tujuh tingkat sistem terbuka sebagai berikut: 1. Sel – unit kehidupan yang paling dasar Formatted: Swedish (Sweden)
2. Organ – sistem organik dalam tubuh benda hidup 3. Organisme – organisme tunggal seperti manusia dan hewan 4. Kelompok (grup) – tim, departemen, keluarga, dan badan-badan serupa yang memiliki anggota 5. Organisasi – perusahaan, rukun tetangga, rukun warga, kota, organisasi nirlaba 6. Masyarakat – Negara, provinsi, kabupaten, kawasan 7. Sistem supranasional – sistem global, benua, bumi Pendekatan sistem sendiri merupakan suatu metode pemecahan masalah yang dimulai dengan dilakukan nya identifikasi kebutuhan yang selanjutnya akan Formatted: Swedish (Sweden)
menghasilkan sistem operasi yang efektif (Eriyatno, 1999). Untuk dapat bekerja secara sempurna pendekatan sistem harus memiliki delapan faktor, yaitu (1) metode untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) tim multidispliner, (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang non-kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimisasi, dan (8) aplikasi komputer. (Eriyatno, 1999). Selanjutnya Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa pendekatan sistem perlu memperhatikan tahap-tahap kerja yang sistematis yang secara diagramatis diperlihat kan pada Gambar 2.9 .
41
Gambar 2.9. Tahap-tahap dalam analisis sistem (Eriyatno, 1999).
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
5.
Field Code Changed
Penelitian Terdahulu
Deleted: 9
Hasbi (2001) melakukan penelitian mengenai kemitraan pola MAKS (Mini Agroindustri Kelapa Sawit) untuk usaha agroindustri kelapa sawit yang berlokasi di PTP Minanga Ogan, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan. Hasbi (2001) menemukan bahwa pola MAKS yang menghasilkan alih-kelola dari investor kepada petani pada suatu kurun waktu tertentu mampu meningkatkan kesejahteraan petani peserta program kemitraan pola MAKS tersebut. Hasbi (2001) menganalisis struktur kelembagaan kemitraan dengan menggunakan teknik ISM dan mengambl empat elemen program yang diperkenalkan Saxena, yaitu 1) elemen kebutuhan program, 2) elemen kendala utama program, 3) elemen tujuan program, dan 4) elemen lembaga yang terlibat dalam program.
42
Formatted: Swedish (Sweden)
Formatted: Spanish (Venezuela)
Sitorus et al. (2001) mengusulkan konsep agribisnis berbasis komunitas yang menyinergikan modal ekonomi dan sosial berdasarkan pengalaman PT Sang Hyang Seri di Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Sitorus et al. (2001) mengusulkan pola kerjasama produksi dalam agribisnis perbenihan padi, yaitu pola kerjasama pertanaman padi calon benih yang memungkinkan petani meningkatkan statusnya dari buruh tani menjadi petani peserta kerjasama dengan PT Sang Hyang Seri. Subagyo (2000) melakukan penelitian terhadap kelayakan agribisnis nenas di daerah transmigrasi dengan mengambil lokasi penelitian Desa Tangkit Baru, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Batang Hari, Propinsi Jambi. Subagyo (2000) menyimpulkan bahwa produk nenas olahan berupa dodol nenas merupakan produk yang layak dikembangkan oleh pengusaha kecil di bidang agroindustri nenas. Hasboellah (2003) meneliti strategi kemitraan yang diterapkan untuk Formatted: Swedish (Sweden)
mendukung usaha kecil nelayan tangkap pada PT. XX.
Hasboellah (2003)
menggunakan teknik analisis BCG untuk menganalisis posisi PT. XX dalam industri hasil laut. Hasboellah (2003) menemukan bahwa pendapatan nelayan mitra ternyata lebih besar dari pada nelayan yang tidak menjadi mitra. Pendapatan nelayan mitra mencapai dua-setengah kali lebih besar daripada nelayan yang tidak menjadi anggota kemitraan. Mulyadi (2001) meneliti pengembangan agroindustri rotan dengan pendekatan kompetensi inti dan menggunakan teknik ISM sebagai alat analisisnya. Mulyadi (2001) menggunakan 6 (enam) elemen program dari Saxena, yaitu 1) Kebutuhan program, 2) Kendala program, 3) Perubahan yang dimungkinkan dari adanya program, 4) Tujuan program, 5) Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, dan 6) Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program.
43
III. LANDASAN TEORETIS
1. Pemodelan Deskriptif dengan Metode ISM (Interpretative Structural Modeling ) Eriyatno (1999) mengemukakan bahwa dalam proses perencanaan strategik seringkali para penyusunnya terjebak dalam sudut pandang yang terlalu sektoral bergantung pada siapa yang memiliki pengaruh kuat dalam proses perencanaan tersebut. Padahal, perencanaan strategik seharusnya bersifat heuristik (menyeluruh) dengan mempertimbangkan berbagai komponen sistemnya. Pada saat ini terdapat berbagai teknik yang dikembangkan untuk perencanaan strategik yang bersifat heuristik. Salah satu teknik tersebut adalah teknik pemodelan ISM. Teknik ISM merupakan proses pengkajian kelompok (group learning process) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yan g kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan gambar dan kalimat. Teknik ISM, utamanya digunakan untuk pengkajian oleh suatu tim, tetapi dapat juga digunakan oleh seorang peneliti. (Eriyatno, 1999). Marimin (2004) menyatakan bahwa teknik ISM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk mengatasi kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan/atau aplikasi statistik deskriptif. Dalam teknik ISM model mental yang tidak jelas ditransformasikan menjadi model sistem yang tampak (visible) dan didefinisikan secara jelas (Saxena, 1994 dalam Eriyatno, 1999). Teknik pemodelan ISM diterapkan dalam dua bagian, yaitu Penyusunan Hirarki dan Klasifikasi Subelemen. Prinsip dasarnya adalah identifikasi struktur dalam suatu sistem yang memberikan nilai manfaat tinggi guna meramu sistem secara efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik.
a. Penyusunan hirarki Jenjang (hirarki) diartikan sebagai derajat dari tingkatan (ranking of levels) dari beberapa sub -ordinat terhadap lainnya; dengan anggapan jenjang-jenjang tersebut berada pada suatu bentuk struktur yang teratur (Rosser, 1994 dalam Eriyatno, 1999). Penentuan tingkat jenjang (hirarki) menggunakan lima kriteria, yaitu (1) kekuatan ikatan (bond strength) dalam dan antar-kelompok atau tingkat, (2) frekuensi relatif guncangan (oskilasi), dalam hal ini tingkat (jenjang) yang lebih rendah lebih cepat terguncang daripada jenjang di atasnya, (3) konteks (context), di mana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka waktu yang lebih lambat dan pada ruang yang lebih luas dibandingkan jenjang di bawahnya, (4) cakupan (containment), dalam hal ini jenjang yang lebih tinggi mencakup jenjang yang lebih rendah, dan (5) hubungan fungsional, dalam hal ini jenjang yang lebih tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat di jenjang bawahnya. Program yang sedang ditelaah penjenjangan strukturnya dibagi menjadi elemenelemen dan selanjutnya setiap elemen diuraikan lagi menjadi sejumlah sub-elemen. Langkah ini diulang-ulang sampai tingkat penguraian dirasakan memadai. Saxena (1992) dalam Eriyatno (1999) menyatakan bahwa program dapat dibagi menjadi sembilan elemen, yaitu (1) sektor masyarakat yang terpengaruhi, (2) kebutuhan dari program, (3) kendala utama, (4) perubahan yang dimungkinkan, (5) tujuan program, (6) tolok ukur untuk menilai setiap tujuan, (7) aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakan, (8) ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai oleh setiap aktivitas, dan (9) lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan program. Selanjutnya setiap elemen dari program yang dikaji diuraikan menjadi sejumlah sub -elemen dan di antara sub-elemen yang dihasilkan ditetapkan hubungan kontekstual. Dalam hubungan kontekstual terdapat adanya suatu arah (direction) 45
tertentu, misalnya: “apakah tujuan A lebih penting daripada tujuan B?”, atau “apakah lembaga A lebih berperan daripada lembaga B?” Hubungan kontekstual dalam teknik ISM selalu dinyatakan dalam terminologi sub -ordinat yang menuju pada pembandingan berpasangan (pairwise comparison) antar-subelemen yang mengandung arah hubungan tersebut. Hubungan ini dapat bersifat kualitatif ataupun kuantitatif. Dalam teknik ISM data yang diolah adalah kumpulan pendapat pakar (experts) yang ditanyai tentang keterkaitan antarsubelemen. Contoh keterkaitan antar-subelemen ini dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1. Keterkaitan antar-subelemen dalam teknik ISM (Marimin, 2004) Jenis Pembandingan (comparative) Pernyataan (definitive) Pengaruh (influence)
Keruangan (spatial)
Kewaktuan Scale)
(Temporal/Time
• • • • • • • • • • • • • •
Interpretasi A lebih penting/besar/indah, daripada B A termasuk didalam B A mengartikan B A menyebabkan B A adalah sebagian penyebab B A mengembangkan B A menggerakkan B A meningkatkan B A adalah selatan/utara B A diatas B A sebelah kiri B A mendahului B A mengikuti B A mempunyai prioritas lebih dari B
Berdasarkan pertimbangan hubungan kontekstual dapat disusun Matriks SwaInteraksi Struktural (Structural Self-Interaction Matrix, atau SSIM). Penyusunan SSIM ini menggunakan simbol-simbol V, A, X, dan O, dengan penjelasan sebagai berikut: (Eriyatno, 1999) V adalah eij = 1 dan eji = 0
X adalah eij = 1 dan eji = 1
A adalah eij = 0 dan eji = 1
O adalah eij = 0 dan eji = 0
Simbol 1 menunjukkan adanya hubungan kontekstual, dan simbol 0 menunjukkan tidak adanya hubungan kontekstual, di antara elemen I dan J dan sebaliknya. 46
Setelah SSIM terbentuk, dapat dibuat Matriks Keterjangkauan (Reachibility Matrix, atau RM) dengan mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Selanjutnya dilakukan perhitungan menurut Aturan Transitivitas untuk melakukan koreksi terhadap SSIM sampai terjadi matriks yang tertutup. Modifikasi SSIM in i membutuhkan masukan dari panel pakar. Hasil revisi SSIM dan matriks yang memenuhi syarat Aturan Transitivitas diproses lebih lanjut. Pengolahan lebih lanjut dari RM yang telah memenuhi Aturan Transitivitas adalah penetapan pilihan jenjang. Pengolahan tersebut bersifat tabulatif dengan pengisian format, dan dapat dibantu dengan komputer. b. Klasifikasi subelemen Untuk berbagai subelemen dalam suatu elemen berdasarkan RM dapat disusun matriks Driver-Power-Dependence atau matriks daya-gerak - ketergantungan (matriks D-P-D). Klasifikasi subelemen diuraikan dalam empat sektor sebagai berikut: Sektor 1:
Weak driver-weak dependent variables (autonomous), atau variabel
penggerak lemah-ketergantungan rendah. Peubah di sektor ini umumnya tidak berkaitan dengan sistem dan mempunyai hubungan yang sedikit, meskipun hubungan tersebut mungkin saja kuat. Sektor 2: Weak driver-strongly dependent variables (dependent), atau variabel penggerak lemah-ketergantungan tinggi. Umumnya peubah di sektor ini merupakan peubah tak-bebas. Sektor 3: Strong driver-strongly dependent variables (linkage) atau variabel penggerak kuat-ketergantungan tinggi. Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hatihati karena hubungan antarvariabel bersifat tidak stabil. Setiap tindakan atas variabel ini akan memberikan dampak terhadap yang lain dan umpan balik pengaruhnya dapat memperbesar dampak. 47
Sektor 4: Strong driver-weak dependent variables (independent) atau variabel penggerak kuat-ketergantungan rendah. Peubah pada sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan dinamakan peubah bebas. Keseluruhan urutan kerja dalam teknik ISM mulai dari tahap penyusunan hirarki sampai hasil analisis dapat dilihat pada Gambar 3.1. Program
Uraikan program menjadi perencanaan program
Uraikan setiap elemen menjadi Sub-elemen
Tentukan hubungan kontekstual antara Sub-elemen pada setiap elemen
Susunlah SSIM untuk setiap elemen
Bentuk Reachability Matrik setiap elemen
Uji matriks dengan Aturan Transivity
Tidak
OK?
Modifikas i SSIM
ya
Tentukan Level Melalui pemilahan
Ubah RM menjadi Format lower trianguler RM
Tetapkan Driver dan Driver Power setiap Sub-elemen
Tentukan Rank dan Hirarki dari Sub elemen Susun Diagraph dari Lower Tringular RM
Tetapkan Driver Dependence Matriks setiap elemen
Plot Sub-elemen pada empat sektor
Susunlah ISM dari setiap elemen
Klasifikasi sub-elemen pada empat peubah kategori
Gambar 3.1. Diagram teknik ISM (Saxena, 1992 dalam Marimin, 2004). 48
2. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) Metode perbandingan eksponensial (MPE) adalah metode yang dapat digunakan untuk memilih berbagai alternatif keputusan yang ada berdasarkan kriteria tertentu. Marimin (2004) menyatakan bahwa MPE, karena menggunakan fungsi eksponensial akan memberikan nilai skor urutan prioritas yang perbedaannya besar di antara urutan prioritas pertama dan urutan berikutnya, dengan demikian urutan prioritas alternatif menjadi lebih nyata. Maarif dan Tanjung (2003) menguraikan bahwa tahap–tahap dalam pelaksanaan MPE adalah sebagai berikut: 1.
Mendaftarkan semua alternatif keputusan yang tersedia,
2.
Menentukan kriteria dalam pengambilan keputusan,
3.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap kriteria keputusan dengan menggunakan skala konversi tertentu sesuai dengan keinginan pengambil keputusan,
4.
Menentukan derajat kepentingan relatif setiap alternatif keputusan berdasarkan kriteria keputusan,
5.
Menghitung nilai dari setiap alternatif keputusan, dan
6.
Memberikan urutan prioritas pada setiap alternatif berdasarkan nilai masingmasing. Menurut Eriyatno (1999), perhitungan nilai untuk masing -masing alternatif
adalah sebagai berikut: Nilai alternatif (m) =
(nilai kriteria 1)** (tingkat kepentingan ) + (nilai kriteria 2)** (tingkat kepentingan) + ……. + (nilai kriteria n)** (tingkat kepentingan)
49
Pemberian jenjang pada tahap akhir adalah berbdasarkan urutan nilai alternatif mulai dari yang terbesar sampai yang terkecil. Teknik MPE dapat dilihat pada Tabel 3.2. sebagai berikut: Tabel 3.2. Matriks keputusan dengan teknik MPE (Eriyatno, 1999) Nilai Keputusan Alternatif
Kriteria 1 Alternatif
2
3
…
Urutan Prioritas
m
1 2 3 … N
Tingkat Kepentingan Kriteria
3. Analisis Kelayakan Usaha Brown (1994) menyatakan metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan suatu usaha agroindustri sama dengan metode yang digunakan untuk menganalisis kelayakan usaha sektor yang lain. Hermawan (1996) menyatakan bahwa faktor-faktor yang penting untuk dikaji dalam suatu analisis kelayakan usaha adalah sebagai berikut: a) kebutuhan dana, b) sumber dan biaya modal, c) arus kas, d) kriteria penilaian investasi, dan e) analisis sensitivitas. Brown (1994) lebih lanjut mengemukakan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menganalisis kelayakan usaha agroindustri adalah sebagai berikut: 1. Menentukan pola pemasukan yang mungkin, 2. Memperkirakan volume dan harga untuk seetiap produk dan pasar, 3. Menyiapkan perkiraan awal dana investasi dan biaya operasi, 4. Menentukan sumber pasok dan harga bahan baku, 5. Melakukan penilaian awal kelayakan keuangan, 50
6. Melakukan analisis keuangan yang lengkap dari berbagai alternatif yang ada, 7. Melakukan analisis sensitivitas, 8. Membandingkan hasil analisis dengan kriteria investasi, 9. Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang akan membuat perusahaan yang dianalisis berada di bawah kriteria investasi yang dapat diterima. Dalam menilai kelayakan suatu investasi umumnya digunakan beberapa kriteria, di antaranya adalah sebagai berikut: (1) PBP (Payback Period) Metode ini digunakan untuk mengukur seberapa lama waktu yang diperlukan sampai suatu investasi dapat kembali. Menurut Hermawan (1996) cara termudah untuk menghitungnya adalah dengan mengakumulasikan arus kas (cash flow) hingga mencapai nilai positif. Akumulasi arus kas yang positif menunjukkan bahwa pengeluaran proyek telah tertutup. Langkah-langkah dalam metode ini adalah sebagai berikut: 1) menghitung arus kas kumulatif 2) melihat arus kas kumulatif yang bertanda negatif terakhir dan mencatat pada periode keberapa itu terjadi (misalnya, t) 3) PBP dapat dihitung dengan rumus berikut: PBP = t + CCF t /CF t-1 Keterangan: PBP = payback period t
= periode terjadinya arus kas kumulatif negatif terakhir
CCFt
= arus kas kumulatif pada saat t
CFt-1
= arus kas pada saat t
51
(2) NPV (Net Present Value) Metode ini mendiskontokan sseluruh arus kas yang masuk dan keluar, dengan basis waktu sekarang. Untuk melakukan perhitungan ini diperlukan faktor pendiskonto, yaitu, biaya modal. NPV adalah jumlah dari seluruh arus kas yang telah didiskontokan, dan dapat dihitung dengan rumus berikut: n
NPV =
Σ (1 + I)
(Bt – Ct) t
Co
t=1
Keterangan: t
= periode, t = 0, 1, 2, 3, …., n
n
= umur ekonomis proyek
i
= tingkat bunga yang digunakan
Bt
= manfaat (benefit) proyek pada tahun ke-t
Ct
=
biaya bruto proyek pada tahun ke-t
Co
=
investasi awal
Suatu proyek dinyatakan layak untuk dilaksanakan apabila nilai NPV lebih besar dari nol (positif). Sebaliknya apabila NPV lebih kecil dari nol (negatif) proyek harus ditolak karena akan merugikan. (3) IRR (Internal Rate of Return) Metode ini menghitung pada tingkat bunga berapa NPV akan sama dengan nol yang berarti seluruh pengeluaran proyek akan sama dengan seluruh penerimaan sepanjang usia proyek. Jika tingkat bunga ini lebih besar daripada biaya modal rata-rata maka proyek dianggap lebih menguntungkan. Rumus IRR adalah sebagai berikut:
IRR = D f P +
(PVP) (PVP) – (PNP)
x (Df N – Df P)
52
Keterangan: Df P
= faktor diskon yang menghasilkan presen value positif
Df N
= faktor diskon yang menghasilkan present value negatif
PVP
= present value posotif
PNP
= present value negatif
(4) Rasio Manafaat-Biaya (Benefit-Cost Ratio = BCR) Metode BCR membandingkan penerimaan proyek yang telah didiskontokan ke nilai sekarang dengan pengeluaran proyek yang juga telah didiskontokan ke nilai sekarang. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: n
Σ (1 + I) (Bt)
t
t=1 B/C =
n
Σ (1 + I) ( Ct)
t
+ Co
t=1
Jika BCR lebih besar dari 1, berarti penerimaan proyek lebih besar daripada pengeluarannya dan proyek ini menguntungkan atau layak. Sebaliknya, jika nilai BCR kurang dari 1, berarti proyek merug i atau tidak layak. (5) Titik Impas (Break Even Point = BEP) Titik impas (BEP) adalah tingkat unit penjualan ketika keuntungan persis sama dengan nol. Analisis BEP digunakan untuk perencanaan laba. Rumus umum volume penjualan pada BEP adalah sebagai berikut: FC Q* = P – v Keterangan: Q*
= kuantitas penjualan pulang pokok
FC
= biaya tetap total 53
P
= harga produk per unit produk
v
= biaya variabel per unit produk
Analisis BEP juga dapat digunakan untuk menentukan harga jual produk minimum untuk mencapai titik impas. Rumusnya adalah sebagai berikut: P* =
FC + vQ Q
Keterangan: P* = harga jual titik impas Q = jumlah produk yang terjual Analisis Sensitivitas. Analisis sensitivitas merupakan teknik untuk menunjukkan bagaimana perubahan kriteria investasi sebagai akibat terjadinya perubahan masukan (input) tertentu dengan asumsi hal-hal lain tidak berubah (Sutoyo, 1993). Analisis sensitivitas biasanya dimulai dengan situasi dasar, yaitu setiap input sesuai dengan nilai yang diharapkan (expected value). Selan jutnya nilai salah satu input (variabel) diubah-ubah, naik atau turun, dan kemudian dilakukan perhitungan seberapa besar hasil investasi berubah dengan perubahan variabel tersebut. Analisis skenario juga dapat dilakukan untuk memeriksa sensitivitas proyek terhadap perubahan variabel kunci yang mungkin. Skenario umumnya dibagi menjadi skenario normal, skenario terbaik, dan skenario terburuk. (6) Analisis Risiko dan Keuntungan Pengusaha perlu mengetahui sejauh mana modal yang diinvestasikan akan memberikan keuntungan dan seberapa besar risiko yang akan ditanggung. Dalam situasi dunia usaha yang penuh ketidak-pastian, pengusaha perlu memperkirakan tingkat risiko dan tingkat keuntungan yang akan diterima. Makin tinggi risiko yang dihadapi, makin tinggi pula tingkat keuntungan yang diharapkan. 54
a) Hasil yang diharapkan (E) Untuk mengukur hasil yang diharapkan digunakan keuntungan rata-rata (mean) dari setiap periode produksi. Rumusnya adalah sebagai berikut: n
Σ Ei t=1
E=
n
Keterangan: E = keuntungan rata-rata Ei = keuntungan pada periode I n = jumlah periode pengamatan b) Risiko Untuk mengukur risiko secara statistik, digunakan ukuran ragam atau simpangan baku. Rumus ragam adalah: n
Σ (Ei – E)2 V2 =
t=1
(n – 1)
Simpangan baku merupakan akar dari ragam, yaitu: V=
V2
c) Hubungan antara risiko dan keuntungan Dalam setiap proses produksi, produsen perlu selalu memperhitungkan tingkat risiko yang dihadapi dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Hubungan antara risiko dan keuntungan diukur dengan koefisien variasi (CV) dan batas bawah keuntungan (L).
55
Koefisien variasi adalah perbadingan antara risiko yang harus ditanggung pengusaha dan jumlah keuntungan yang akan diperoleh dari modal yang ditanamkan dalam proyek. Makin besar nilai koefisien variasi, makin besar pula risiko yang harus ditanggung dibandingkan dengan tingkat keuntungan yang akan diperoleh. Rumus koefisien variasi adalah sebagai berikut: CV = V/E Batas bawah keuntungan (L) menunjukkan nilai nominal keuntungan terendah yang mungkin diterima pengusaha. Jika nilai L ini sama dengan atau lebih besar dari nol, pengusaha tidak akan pernah mengalami kerugian. Jika nilai L kurang dari nol (negatif) berarti dalam setiap proses ada peluang kerugian. Rumus batas bawah keuntungan adalah: L = E – 2V
4. Analisis Harga Kesetaraan Untuk mengukur kesetaraan dalam kemitraan digunakan parameter rasio manfaat / biaya (BCR). Kesetaraan tercapai bila BCR pihak-pihak yang bermitra adalah sama. Karena BCR pada dasarnya merupakan perbandingan antara perolehan (pendapatan) dan biaya, maka BCR merupakan fungsi dari harga. Untuk mendapatkan angka BCR digunakan rumus optimasi sebagai berikut :
Min Z = BCk − BC p =
Pk × Vnk Pp × Vnp − Ck Cp
dengan kendala : NPVk, NPVp IRRk, IRRp BCk, BCp P
≥ ≥ ≥ >
0 DF 1 0
56
Keterangan : Z BCk, BC p NPVk, NPVp IRRk, IRRp Pk Pp Ck Cp Vnk Vnp
: : : : : : : : : :
Fungsi tujuan Nilai net B/C kebun dan pabrik Nilai NPV kebun dan pabrik Nilai IRR kebun dan pabrik Harga jual nenas segar ke pabrik Harga jual nenas olahan Biaya kebun Biaya pabrik Volume nenas segar terjual Volume nenas kaleng terjual
57
IV. METODE PENELITIAN
1. Kerangka Pemikiran Konseptual Untuk mengembangkan agroindustri nenas perlu dibuat sistem pengembangan agroindustri nenas yang memberikan hasil optimal bagi para pelaku yang terlibat di Formatted: Swedish (Sweden)
dalamnya, khususnya petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. Pendekatan kemitraan setara yang menempatkan petani dan pengusaha industri pengolahan nenas dalam posisi setara merupakan salah satu pendekatan yang dapat digunakan karena pendekatan ini didasarkan pada gagasan pemerolehan sinergi di an tara kegiatan kegiatan dalam agroindustri nenas yang lokasinya saling berdekatan dan saling berkaitan untuk saling memperkuat dan menguntungkan. Pendekatan kemitraan setara didasarkan pada asumsi bahwa apabila posisi petani nenas sebagai mata rantai hulu dalam agroindustri nenas dan posisi pengusaha industri pengolahan nenas sebagai mata rantai hilirnya dapat direkayasa sedemikian rupa hingga kedudukan keduanya setara, rantai nilai dalam usaha agroindusri nenas dapat dibuat menjadi lebih produktif dan efektif biayanya. Pendekatan
kemitraan
setara
menekankan
pentingnya
kerjasama
untuk
meningkatkan produktivitas usaha. Melalui kerjasama akan terjadi pertukaran berbagai jenis sumber daya, meliputi sumber daya berwujud (fisik dan dana), sumber daya tidak berwujud (reputasi, teknologi, dan budaya), dan sumber daya manusia (keahlian, keterampilan komunikasi dan interaksi, dan motivasi). Kerjasama antara petani dan pengusaha industri pengolahan nenas hanya akan terjalin apabila kedua pihak merasa saling bergantung dan dengan kemitraan tersebut kedua pihak mendapatkan hasil usaha yang menguntungkan. Untuk itu, model kemitraan setara yang dikembangkan adalah model yang dapat menghasilkan kesetaraan dalam empat
aspek, yaitu (1) kesetaraan kapasitas, (2) kesetaraan hasil usaha, (3) kesetaraan kualitas, dan (4) kesetaraan informasi. Model konseptual pengembangan agroindustri nenas dengan pendekatan kemitraan setara disajikan pada Gambar 4.1.
Gambar 4.1. Model konseptual kemitraan setara petani – pengusaha industri pengolahan nenas .
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Field Code Changed Deleted: 1
Seperti tampak pada Gambar 4.1 sistem kemitraan yang direkayasa melibatkan banyak pihak yang satu sama lain saling berkaitan. Dalam situasi seperti ini tidak terhindarkan akan terjadi konflik kepentingan di antara pelaku-pelaku yang terlibat. Saling keterkaitan ini bersifat kompleks, dinamis, dan mengandung ketidak-pastian sehingga untuk mengatasinya diperlukan pendekatan sistem. Pendekatan sistem merupakan metode yang komprehensif dan lintas -disiplin yang diawali dengan identifikasi kebutuhan dan menghasilkan rangkaian operasi yang efektif. Pendekatan sistem ditandai oleh adanya perencanaan dan manajemen yang bersifat holistik (menyeluruh), multidisiplin, terorganisasi, serta ditunjang dengan aplikasi program komputer. 59
Formatted: Swedish (Sweden)
Untuk mendapatkan model kemitraan setara yang terbaik maka dirancang langkah-langkah penelitian yang diawali dengan identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh/berperan penting dalam usaha agroindustri nenas. Selanjutnya faktorfaktor tersebut
diseleksi
untuk menghasilkan faktor-faktor utama yang perlu
direkayasa untuk menghasilkan kemitraan usaha yang setara antara petani dan industri. 2. Tahap-tahap Penelitian Penelitian yang dilakukan dibagi dalam lima tahap, yaitu 1) mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan produk nenas olahan, 2) mengidentifikasi faktor-faktor
yang
berpengaruh
terhadap
pemilihan
lokasi
agroindustri nenas, 3) menganalisis kelayakan usaha agroindustri nenas, 4) menganalisis kelembagaan kemitraan setara dengan menggunakan metode ISM (Interpretative Structural Modeling), dan 5) merekayasa model kemitraan setara untuk usaha agroindustri nenas. Dari penelitian ini dihasilkan model pengembangan usaha agroindustri nenas dengan pendekatan kemitraan setara yang terdiri atas lima submodel yaitu submodel pemilihan produk nenas olahan, submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas, submodel analisis kelayakan usaha agroindustri nenas, submodel kelembagaan kemitraan setara agroindustri nenas, dan submodel harga Formatted: Swedish (Sweden)
kesetaraan. Berdasarkan model tersebut dibuat formulasi kebijakan kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas. Alur penelitian untuk menghasilkan model kemitraan setara agroindustri nenas disajikan pada Gambar 4.2.
60
A
Mulai
• • • •
Alternatif produk nenas Kriteria pemilihan Bobot kriteria Skor alternatif
Submodel kelayakan kebun nenas •
Sub model pemilihan produk nenas
Produk terpilih
B
Kriteria kelayakan (B/C, IRR, PBP, BEP, NPV)
Submodel kelayakan usaha pengolahan nenas • •
A
Kriteria kelayakan (B/C, IRR, PBP, BEP, NPV) Risiko usaha
Submodel kelayakan usaha integrasi kebun pabrik
Mulai • •
• • • •
Kriteria kelayakan (B/C, IRR, PBP, BEP, NPV) Risiko usaha
Alternatif Lokasi AIN Kriteria pemilihan Bobot kriteria Skor alternatif
Analisis Sensitivitas
OK
Sub model pemilihan lokasi AIN
SPK Kelayakan usaha AIN
Lokasi usaha AIN terpilih
B
Elemen-elemen • Kebutuhan Program • Kendala Program • Tujuan Program • Indikator tujuan • Aktivitas Program • Pelaku yang terlibat
Submodel kelembagaan kemitraan setara SPK AINI - MS
Formulasi kebijakan kemitraan setara AINI - MS
Formatted: Swedish (Sweden)
Selesai
Field Code Changed Deleted: 2
Gambar 4.2. Tahap Penyusunan Model AINI-MS
Formatted: Swedish (Sweden)
61
Untuk menghasilkan kesetaraan kapasitas maka terlebih dahulu ditetapkan tingkat kapasitas industri pengolahan nenas (dalam hal ini produk industri adalah nenas kaleng). Tingkat kapasitas industri nenas kaleng akan menentukan tingkat produksi nenas segar dari kebun. Kesetaraan kualitas dicapai dengan mengidentifikasi persyaratan kualitas nenas segar yang dapat digunakan sebagai bahan baku bagi industri nenas kaleng. Selanjutnya petani diarahkan untuk menghasilkan nenas segar yang sesuai dengan persyaratan tersebut. Kesetaraan hasil yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio manfaat / biaya (BCR). Kemitraan petani – industri dinyatakan setara apabila kedua pihak yang bermitra ini mendapatkan nilai BCR yang sama. Rasio manfaat/biaya dipilih sebagai ukuran kesetaraan karena rasio ini mencerminkan perbandingan antara tingkat manfaat yang diperoleh dan tingkat usaha yang dilakukan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Tingkat manfaat dan biaya tersebut dinyatakan dalam satuan nilai rupiah sehingga dapat dibandingkan dengan mudah. Penghitungan nilai BCR yang akurat dan dapat diandalkan dapat dilakukan apabila terdapat simetri informasi menyangkut struktur biaya dari kedua pihak yang terlibat dalam kemitraan, yaitu petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. 3. Pelaksanaan Penelitian a. Waktu dan Tempat Formatted: Swedish (Sweden)
Penelitian lapang dilakukan selama Maret – Oktober 2003 dengan mengambil tempat di Kabupaten Subang, Jawa Barat (sentra produksi nenas Jawa Barat). Penelitian pustaka untuk mendapatkan gambaran tentang model-model kemitraan yang ada juga telah dilakukan dengan meneliti berbagai sumber, di antaranya model kemitraan yang dilakukan di Saung Mirwan, desa Seuseupan, Bogor, dan PT Sang Hyang Seri, desa Sukamandi, Subang. Kedua perusahaan ini 62
menerapkan pola kemitraan subkontrak dengan petani di sekitar lokasi usaha perusahaan. b. Teknik Pengumpulan Data Formatted: Swedish (Sweden)
Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan wawancara terhadap sumber-sumber informasi dan pakar di Departemen Pertanian, Dinas Koperasi dan PKM Subang, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, dan Pusat Studi Pembangunan IPB, Bogor, dan Balai Teknologi Tepat Guna LIPI, Subang. Wawancara juga dilakukan terhadap petani dan pengusaha nenas di Subang. Narasumber dipilih secara purposif dengan pertimbangan para narasumber ini memiliki pengetahuan dan pengalaman yang relevan dengan penelitian yang dilakukan. Nama-nama narasumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, Fakultas Ekonomi Manajemen IPB. 2. Dr. Ir. Bayu Krishnamurti, Pusat Studi Pembangunan IPB. 3. Ir. Yoyoh Indaryanti, Pusat Studi Pembangunan IPB. 4. Endang Siswandar, MSi, Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Subang dan mantan Ketua Masyarakat Pernenasan Subang. Formatted: Swedish (Sweden)
5. Drs. Ugit Sugiarto, Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Subang 6. Dr. Dedi Mulyadi, MSi, Departemen Perindustrian. Formatted: Swedish (Sweden)
7. Asmawaty Hasboellah, MM., Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. 8. Rita Tania Lubis, MM., Departemen Pertanian. Formatted: Swedish (Sweden)
9. Ir. Agus Triyono , M.Sc.,Balai Teknologi Tepat Guna LIPI, Subang.
63
10. Ir. Dadang D. Hidayat, M.Eng.Sc.,Balai Teknologi Tepat Guna LIPI, Subang. 11. Ir. Dicky, M.Sc.,Balai Teknologi Tepat Guna LIPI, Subang 12. Dr. Triyono, Departemen Koperasi dan PKM. 13. Popon Rosmayati, MSi., Departemen Koperasi dan PKM. 14. Wu Tien Shih, PT INNI, Karawang. 15. Sudarsono, PT INNI, Karawang. 16. Yanto S. ST., PT INNI, Karawang. 17. W. Irianto, Petani Nenas dan Pengusaha Dodol Nenas Subang Formatted: Swedish (Sweden)
18. Cucu, anggota kelompok tani Mekar Sari, Subang. Data sekunder juga diperoleh dari sumber-sumber di atas serta Badan Pusat Statistik. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan landasan dan kerangka teoretis dalam menganalisis data dan mengajukan alternatif saran strategi pengembangan agroindustri nenas dengan pendekatan kemitraan setara. Studi pustaka juga dilakukan untuk mendapatkan informasi awal tentang perkembangan agroindustri nenas di Indonesia. c. Analisis Data Data primer dan sekunder yang telah terkumpul dio lah dengan berbagai metode pengolahan data sebagai berikut: 1. Pengolahan data pada submodel pemilihan lokasi agroindustri nenas dilakukan dengan menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) (Eriyatno, 1999, Maarif dan Tanjung, 2003, dan Marimin, 2004) untuk menentukan urutan peringkat lokasi usaha agroindustri nenas di Subang.
64
2. Pengolahan data pada submodel pemilihan produk nenas olahan dilakukan dengan menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial) (Eriyatno, 1999,
Maarif dan Tanjung, 2003, dan Marimin, 2004) untuk
menentukan urutan prioritas produk nenas olahan yang disarankan untuk dihasilkan oleh usaha agroindsutri nenas di Subang. 3. Pengolahan data pada submodel kelayakan usaha dilakukan dengan menggunakan metode analisis finansial (Austin, 1992, Sutoyo, 1993, Brown, 1994, dan Hermawan, 1996 ) dengan tolok ukur kelayakan net B/C ratio,Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period (PBP), dan Break Even Point (BEP, atau titik impas). 4. Pengolahan data pada submodel analisis kelembagaan kemitraan setara dilakukan dengan menggunakan teknik ISM (Interpretative Structural Modeling) (Eriyatno, 1999, dan Marimin, 2004). Hasil dari submodel tersebut dapat membantu pengambil keputusan dalam membuat formulasi kebijakan kemitraan setara usaha agroindustri nenas. 5. Pengukuran kesetaraan dalam kemitraan dilakukan dengan menggunakan kriteria nilai BCR (Benefit-Cost Ratio) yang diperoleh dari analisis kelayakan usaha kebun nenas dan usaha pengalengan nenas. Dengan memasukkan data berbagai tingkat harga FOB (Freight on Board) nenas kaleng ekspor, diperoleh tingkat harga jual nenas segar ke pabrik yang menghasilkan angka BCR yang sama untuk usaha kebun nenas dan usaha industri pengalengan nenas .
65
V. ANALISIS SISTEM AGROINDUSTRI NENAS
Usaha agroindustri nenas dengan pola kemitraan setara di Kabupaten Subang meliputi kegiatan perkebunan nenas yang menghasilkan buah nenas segar sebagai bahan baku untuk industri pengolahan nenas, dan industri pengolahan nenas yang mengolah nenas segar menjadi berbagai produk nenas olahan. Produk yang dihasilkan dari usaha agroindustri nenas antara lain adalah buah nenas segar, dodol nenas, selai nenas, nenas kaleng, jus nenas dan konsentrat nenas. Tidak tertutup kemungkinan untuk mengembangkan produk-produk lain seperti serat kain dari daun nenas. Pola kemitraan setara dalam agroindustri nenas melibatkan banyak pihak seperti petani nenas yang tergabung dalam gapoktan (gabungan kelompok tani), yang selanjutnya membentuk koperasi petani, investor/pengusaha industri pengolahan nenas, lembaga keuangan (pembiayaan usaha), lembaga pemerintah, dan masyarakat di sekitar lokasi agroindustri. Saling keterkaitan di antara berbagai pihak yang terlibat ini dapat dianalisis sebagai suatu sistem. Sistem kemitraan setara utamanya bertujuan meningkatkan pendapatan petani nenas, masyarakat sekitar lokasi, perekonomian daerah, dan sekaligus pendapatan asli daerah (PAD). Banyaknya pihak yang terlibat dan adanya perbedaan kepentingan dari setiap pihak menyebabkan sistem kemitraan setara agroindustri nenas menjadi kompleks. Bagi pemerintah daerah, usaha agroindustri nenas merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah dalam bentuk pajak usaha dan juga penyedia lapangan kerja bagi masyarakat. Bagi petani, usaha ini merupakan sumber pendapatan utama. Bagi pengusaha industri pengolahan usaha agroindustri nenas merupakan usaha yang dapat menghasilkan keuntungan. Bagi masyarakat sekitar lokasi merupakan salah satu lapangan kerja, penyedia sarana dan prasarana lingkungan. Bagi lembaga pembiayaan usaha, agroindustri nenas merupakan usaha yang layak dan aman. Bagi lembaga penelitian dan
pengembangan usaha agroindustri nenas memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian dan pengembangan produk-produk nenas. Kompleksitas sistem seperti ini menuntut pengkajian yang bersifat holistik agar dihasilkan sistem kemitraan setara yang mampu mengakomodasi semua kepentingan tersebut. Seperti telah dikemukakan dalam Bab 2, prosedur pendekatan sistem meliputi tahap -tahap: analisis kebutuhan, formulasi masalah, identifikasi sistem, permodelan sistem, verifikasi model, dan implementasi model (Eriyatno, 1999). Dalam bab ini dibahas analisis kebutuhan, formulasi masalah, dan identifikasi sistem agroindustri nenas.
1. Analisis Kebutuhan dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas Model kemitraan setara yang dikembangkan untuk agroindustri nenas harus mampu memenuhi kebutuhan setiap pihak atau lembaga yang terlibat. Untuk itu dilakukan identifikasi pelaku-pelaku yang terlibat serta kebutuhan masing -masing pihak. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan teridentifikasi beberapa pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam usaha agroindustri nenas. Pelaku atau lembaga yang terlibat dalam usaha agroindustri nenas serta kebutuhan masing-masing pelaku disajikan di bawah ini.
67
Tabel 5.1. Kebutuhan pelaku yang terlibat dalam kemitraan usaha agroindustri nenas PELAKU Petani nenas
Pengusaha pengolah nenas
Lembaga keuangan Masyarakat sekitar
Pemerintah daerah
KEBUTUHAN • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Peningkatan pendapatan Terjaminnya pemasaran produk yang dihasilkan Terjaminnya harga jual yang layak dan stabil Dukungan modal, teknologi, informasi, sarana produksi, prasarana, dan manajemen. Keterjaminan bahan baku (kuantitas dan kualitas) Produktivitas operasi Kualitas produk Ketersediaan modal usaha Kelayakan usaha Ketersediaan tenaga kerja yang produktif dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan Kepastian dan keamanan berusaha Keberhasilan usaha debitur Pengembalian kredit yang lancar Suku bunga yang layak Kesempatan kerja Kelestarian lingkungan Peningkatan kesejahteraan Pembangunan prasarana wilayah Trickle-down effect Meningkatnya jumlah agroindustri nenas Bertambahnya lapangan kerja dan usaha Meningkatnya kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi agroindustri Meningkatnya pendapatan asli daerah Keserasian hubungan masyarakat, pengusaha, dan petani Kelestarian lingkungan
2. Perumusan Masalah dalam Sistem Usaha Agroindustri Nenas Dalam rangka mengembangkan model kemitraan setara usaha agroindustri nenas di Subang, dijumpai beberapa masalah yang dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Ketidak -sinambungan pasokan bahan baku nenas segar dari petani. Para petani nenas berkecenderungan menjual hasil panen nenas segar kepada pihak yang bersedia membayar dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, pasok nenas segar ke pabrik pengolahan nenas menjadi tidak menentu. 68
2. Ketidak -konsistenan mutu, ukuran, dan tingkat kematangan nenas segar dari petani. 3. Ketidak -sesuaian kapasitas ekonomis pabrik pengolahan dengan kuantitas nenas segar yang dihasilkan petani. 4. Belum berkembangnya teknologi pascapanen. 5. Keterbatasan modal untuk mengembangkan usaha agroindustri nenas. Sistem kemitraan usaha yang dikembangkan bertujuan membantu terwujudnya suatu kemitraan yang menyetarakan posisi petani dengan posisi pengusaha industri pengolahan nenas. Kemitraan setara yang terbentuk diharapkan dapat menyinergikan kebutuhan semua pihak yang terlibat dalam sistem, khususnya petani, pengusaha industri pengolahan, dan m asyarakat sekitar, menyelaraskan konflik kepentingan yang ada, dan mengoordinasikan semua pihak yang terlibat. Sistem kemitraan setara yang dikembangkan diharapkan dapat berfungsi sebagai berikut: 1. Menjamin kesinambungan pasok bahan baku nenas segar dari petani untuk pabrik pengolahan nenas. Untuk itu diharapkan dapat diperoleh tingkat harga nenas segar yang disepakati bersama antara petani dan pabrik. 2. Menetapkan tingkat mutu, rentang ukuran, dan tingkat kematangan nenas segar yang konsisten dan sesuai dengan kebutuhan pabrik pengolahan nenas. Selanjutnya sistem ini juga diharapkan dapat menciptakan pasar untuk nenas segar yang tidak memenuhi standar pabrik. 3. Menetapkan tingkat kapasitas ekonomis pabrik yang sesuai dengan tingkat kuantitas pasokan nenas segar dari petani. Untuk ini dilakukan telaah kelayakan pabrik dan kebun secara terintegrasi sehingga diperoleh ukuran pabrik dan luasan kebun yang seimbang.
69
4. Mengidentifikasi sumber dana yang dapat digunakan untuk mendukung usaha agroindustri nenas. 3. Identifikasi Sistem Usaha Agroindustri Nenas Identifikasi sistem bertujuan memberikan gambaran tentang sistem yang dikaji. Sistem ini digambarkan dalam bentuk diagram input-output. Diagram input-output menggambarkan input yang memasuki sistem agroindustri nenas dan arus output yang keluar dari sistem. Input yang memasuki sistem agroindustri nenas dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu input lingkungan, input terkendali, dan input tidak terkendali. Output yang keluar dari sistem dikelompokkan menjadi dua, yaitu output yang dikehendaki, dan output yang tidak dikehendaki. Output yang dikehendaki merupakan hasil dari sistem yang memenuhi kebutuhan -kebutuhan yang teridentifikasi pada saat analisis kebutuhan, sedangkan output tidak dikehendaki merupakan hasil atau dampak sampingan yang sifatnya tidak menguntungkan. Output yang tidak dikehendaki dapat dikendalikan melalui pengendalian terhadap input terkendali. Diagram input-output sistem kemitraan setara usaha agroindustri nenas dapat dilihat pada Gambar 5.1.
70
Input lingkungan *Iklim dan karakteristik lahan *Kondisi Sosial Ekonomi *Kondisi Keamanan *Peraturan Pemerintah
Input Terkendali * Komposisi Modal * Teknologi Pengolahan * Penjadwalan Produksi * Penjadwalan Tanaman * Lokasi Pengolahan
Output yang Dikehendaki * Pendapatan Daerah Meningkat * Pendapatan Petani Meningkat * Usaha AI Nenas Berkembang * Produktivitas Usaha Meningkat * Pengembalian Kredit Lancar
SISTEM AGROINDUSTRI NENAS
Input Tak Terkendali * Permintaan Pasar * Perkembangan Teknologi * Nilai Tukar dan Suku Bunga * Fluktuasi Harga
Output Tak Dikehendaki * Distribusi Pendapatan Tidak Merata * Pasokan Produk Tidak Sesuai * Pencemaran Lingkungan Meningkat
PENGENDALIAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS
Gambar 5.1. Diagram Input-Output Sistem Agroindustri Nenas.
71
Formatted: Swedish (Sweden)
VI. PEMODELAN SISTEM AGROINDUSTRI NENAS
Analisis sistem kemitraan agroindustri nenas yang disajikan dalam Bab 5 menunjukkan bahwa sistem kemitraan setara usaha agroindustri nenas bersifat kompleks, dinamis, dan probabilistik. Sifat-sifat ini tampak misalnya, pada adanya kebutuhan pelaku-pelaku yang dapat saling bertentangan dan saling berkaitan. Ini memerlukan perekayasaan sistem. Hasil dari perekayasaan sistem ini adalah suatu model yang bersifat kuantitatif guna menghasilkan keputusan yang bersifat rasional, terukur, dan transparan. Seperti tampak pada diagram input-output
sistem usaha agroindustri nenas
(Gambar 5.1), model kemitraan setara usaha agrondustri nenas yang dikembangkan akan selalu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, input terkendali, dan input tidak terkendali. Ketiga faktor ini bersifat dinamis, artinya, ketiga faktor tersebut selalu berubah seiring dengan perjalanan waktu. Sebagai contoh, biaya produksi, harga jual produk, harga bahan baku, dan sebagainya dapat berubah, oleh karena itu dibutuhkan model yang dapat mengakomodasi hal-hal tersebut. Model ini harus dapat diaplikasikan ke dalam suatu sistem berbasis komputer yang disebut sebagai model Sistem Penunjang Keputusan (SPK). Untuk sistem kemitraan setara usaha agroindustri nenas, model berbasis komputer yang dikembangkan dinamai Model AINI-MS. Nama ini diambil dari singkatan Agroindustri Nenas Indonesia Kemitraan Setara. Model AINI-MS terdiri atas tiga komponen utama, yaitu Sistem Manajemen Basis Data, Sistem Manajemen Basis Model, dan Sistem Manajemen Dialog. Model AINI-MS
dapat membantu semua pihak yang berkepentingan dengan
usaha agroindustri nenas, khususnya pengusaha/investor, petani dan koperasi petani, lembaga pembiayaan usaha, dan pemerintah daerah dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan menyangkut usaha agroindustri nenas. Dengan adanya model AINI-MS,
diharapkan dapat tercipta kedudukan yang setara di antara petani nenas dan pengusaha industri pengolahan nenas.
DATA
MODEL
SISTEM MANAJEMEN BASIS MODEL Submodel Pemilihan Lokasi Usaha AI Nenas
SISTEM MANAJEMEN BASIS DATA Data Pemilihan Lokasi Usaha AI Nenas
Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan
Data Pemilihan Produk Nenas Olahan
Submodel Kelayakan usaha Pabrik Pengolahan Nenas
Data Struktur Biaya Pabrik Pengolahan Nenas
Submodel Kelayakan Kebun Nenas
Data Struktur Biaya Kebun Nenas
Submodel Kelayakan Integrasi Kebun Pabrik
Data Elemen Kelembagaan
Kemitraan Setara
Submodel Analisis Kelembagaan Kemitraan Usaha
SISTEM PENGOLAHAN TERPUSAT
SISTEM MANAJEMEN DIALOG
PENGGUNA
Gambar 6. 1. Konfigurasi Model Sistem Penunjang Keputusan AINI-MS (diadaptasi dari Eriyatno, 1999).
73
1. Konfigurasi Model Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas Rekayasa model kemitraan setara usaha agroindustri ne nas diwujudkan dalam bentuk paket program perangkat lunak komputer sistem penunjang keputusan yang dinamakan Model AINI-MS. Model ini bertujuan membantu pengguna dalam proses pengambilan keputusan untuk pengembangan usaha agroindustri nenas dengan sistem kemitraan setara. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah Microsoft Visual Basic Versi 6.0 Komponen-komponen utama yang ada dalam model AINI-MS adalah Sistem Manajemen Basis Data, Sistem Manajemen Basis Model, dan Sistem Manajemen Dialog. Konfigurasi model AINI-MS disajikan pada Gambar 6.1. 2. Sistem Manajemen Basis Data dalam Model AINI-MS Sistem Manajemen Basis Data pada Model AINI-MS berisi berbagai data dan berfungsi untuk mengelola data yang dibutuhkan oleh Sistem Manajemen Basis Model. Pengendalian basis data melalui Sistem Manajemen Basis Data dilakukan dengan memilih menu seperti, input data, tampilan data, menghapus data, dan menyimpan data. Hal ini dimaksudkan agar model AINI-MS dapat bersifat aktual, sesuai dengan kondisi pada saat digunakan. Basis data dalam Model AINI-MS terdiri atas enam kelompok, yaitu: 1) basis data pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas, 2) basis data pemilihan produk nenas olahan, 3) basis data kelayakan usaha perkebunan nenas, 4) basis data kelayakan usaha pabrik pengolahan nenas, 5) basis data kelayakan usaha integrasi kebunpengolahan, dan 6) basis data analisis kelembagaan kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas. Keenam kelompok basis data tersebut dijelaskan secara lebih rinci berikut ini:
74
a. Basis Data Pemilihan Lokasi Usaha AI-Nenas Basis data pemilihan lokasi usaha AI-Nenas berisi data hasil penilaian pakar tentang kriteria pemilihan lokasi AI-Nenas. Kriteria yang digunakan ada enam , yaitu: (1) Ketersediaan bahan baku, (2) Ketersediaan lahan, (3) Ketersediaan tenaga kerja, (4) Keamanan, (5) Fasilitas transportasi, dan (6) Ketersediaan infrastruktur. Alternatif lokasi yang tersedia di Kabupaten Subang ada lima kecamatan, yaitu: Kecamatan Tanjungsiang, Kecamatan Cijambe, Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Sagal aherang, dan Kecamatan Cisalak. Penentuan kriteria dan alternatif lokasi dilakukan melalui diskusi dengan tiga orang pakar, yaitu Bunasor Sanim dari Fakultas Ekonomi Manajemen IPB, Endang Siwandar dari Kantor Dinas Koperasi dan PKM Kabupaten Subang, dan Bayu Krishnamurti dari Pusat Studi Pembangunan IPB. .
Keenam kriteria
pemilihan di atas kemudian disusun peringkat kepentingannya dengan memberikan
bobot
kepada
masing-masing
kriteria
berdasarkan
formula
Eckenrode. Total bobot keenam kriteria adalah 1,0. Setiap alternatif lokasi kemudian ditentukan kemampuannya dalam memenuhi masing-masing kriteria dengan memberikan nilai kepada setiap alternatif. Nilai 1 menunjukkan bahwa suatu alternatif sangat tidak mampu memenuhi suatu kriteria. Nilai 2 diberikan jika suatu alte rnatif dianggap tidak mampu memenuhi suatu kriteria. Nilai 3 diberikan jika suatu alterantif dianggap cukup mampu memenuhi suatu kriteria. Nilai 4 diberikan jika suatu alternatif dianggap mampu memenuhi suatu kriteria, dan nilai 5 diberikan jika suatu alternatif dianggap sangat mampu memenuhi suatu kriteria. Bobot dan nilai ini ditentukan dengan menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Jumlah kriteria, alternatif lokasi, dan pakar yang
75
dilibatkan dalam diskusi pada basis data ini dapat diedit, ditambah, dikurangi, dan dihapus. b. Basis Data Pemilihan Produk Nenas Olahan Basis data pemilihan produk olahan nenas berisi hasil penilaian pakar tentang
produk nenas olahan yang selayaknya dikembangkan di Kabupaten
Subang. Proses pemilihan produk nenas olahan ini dilakukan dengan menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Seperti halnya pada Basis Data Pemilihan Lokasi Usaha AI Nenas, pada Basis Data Pemilihan Produk Nenas ini ditentukan sembilan kriteria keputusan, yang dalam hal ini terdiri atas: kemudahan pasar (K1), ketersediaan bahan baku (K2), nilai tambah produk (K3), daya serap tenaga kerja (K4), peningkatan pendapatan petani (K5), potensi pasar (K6), ketersediaan modal (K7), teknologi yang digunakan (K8), dan dampak terhadap lingkungan (K9). Alternatif produk yang dipertimbangkan adalah dodol nenas (P1), selai nenas (P2), nenas kaleng (P3), dan konsentrat nenas (P4). Jumlah kriteria, alternatif, dan pakar yang dilibatkan dalam diskusi pada basis data ini dapat diedit, ditambah, dikurangi, atau dihapus sesuai kebutuhan pengguna. c. Basis Data Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas Basis data kelayakan usaha perkebunan nenas terdiri atas berbagai data yang akan digunakan untuk menghitung kelayakan finansial kebun nenas. Data yang terse dia adalah data jumlah investasi pembangunan kebun nenas, pemeliharaan tanaman selama belum menghasilkan, dan biaya pemeliharaan tanaman menghasilkan untuk luasan areal per satu hektar. Data biaya tersebut didasarkan pada pengamatan lapangan di Kabupaten Subang dan dilengkapi dengan data sekunder dari Kabupaten Belitung (Pemda Kabupaten Belitung, 2003). 76
Data proyeksi produksi kebun (ton/ha) selama umur ekonomis tanaman akan tergantung pada usia tanaman. Basis data kelayakan usaha kebun ini dapat diedit, ditambah, dikurangi, atau dihapus. d. Basis Data Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas Dalam basis data ini ada dua usaha pengolahan nenas yang tercakup, yaitu, (1) usaha pengolahan nenas yang produk utamanya adalah nenas kalengan. Usaha ini termasuk industri yang berskala besar dan menjadi bagian dari pengusaha besar, dan (2) usaha pengolahan nenas yang produk utamanya adalah dodol nenas. Usaha ini berskala kecil dan menjadi bagian dari pengusaha kecil/menengah. Basis data ini berisi data jumlah investasi pabrik yang meliputi biaya pengadaan lahan, biaya bangunan, biaya peralatan kantor, kendaraan, dan biaya pra-operasi. Data biaya produksi terdiri atas biaya bahan baku, bahan pendukung, tenaga kerja langsung, peralatan produksi, dan biaya angkutan. Data biaya operasi meliputi biaya administrasi umum, manajemen, dan biaya pemasaran. Data biaya penyusutan dan amortisasi terdiri atas biaya penyusutan bangunan, peralatan mesin pabrik, peralatan laboratorium, peralatan kantor dan kendaraan. Biaya bunga terdiri atas bunga investasi dan biaya bunga modal kerja. Data harga jual produk, harga beli bahakn baku dan bahan penolong, dan tingkat suku bunga pinjaman dapat diubah-ubah sesuai dengan masukan dari pihak pengguna model. e. Basis Data Kelembagaan Kemitraan Setara Usaha Agroindustri Nenas Basis data kelembagaan kemitraan setara diolah dengan teknik ISM (Interpretative Structural Modeling). Sesuai dengan sasaran penelitian ini, ditetapkan enam elemen yang dibahas, yaitu, kebutuhan program, kendala utama, tujuan program pengembangan, ukuran pencapaian tujuan, aktivitas yang dibutuhkan, dan pelaku yang terlibat dalam kemitraan setara. Sub-elemen dari 77
masing-masing elemen tersebut telah diuraikan di Bab V. Jumlah elemen dan subelemen dapat diaudit, ditambah, atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan pengguna model. 3. Sistem Manajemen Basis Model dalam Model AINI-MS Sistem manajemen basis model terdiri dari model untuk mengolah data sehingga menghasilkan informasi dan alternatif-alternatif keputusan. Model AINI-MS direkayasa untuk dapat membantu dalam pengambilan keputusan menyangkut usaha agroindustri nenas. Data atau skenario yang diinputkan ke salah satu basis model akan diolah sehingga menghasilkan output yang dikehendaki guna mendukung suatu keputusan. Sesuai dengan tujuan penelitian, keberhasilan model kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas sebagai tujuan utama dari model AINI-MS adalah peningkatan pendapatan petani dan kesetaraan posisi petani-industri yang ditandai oleh keseimbangan nilai BCR (benefit-cost ratio). Sistem manajemen basis model AINI-MS terdiri atas enam submodel, yaitu: 1) Submodel pemilihan lokasi agroindustri nenas, 2) Submodel pemilihan produk nenas olahan, 3) Submodel kelayakan usaha perkebunan nenas, 4) Submodel kelayakan usaha pengolahan nenas, 5) Submodel kelayakan usaha integrasi kebun dan pabrik pengolahan nenas dan 6) Submodel kelembagaan kemitraan setara. Secara lebih rinci masing-masing submodel dijelaskan di bawah ini. a. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas Rekayasa submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas bertujuan membantu pengguna memilih lokasi usaha agroindustri nenas yang paling sesuai. Output dari submodel ini adalah urutan prioritas lokasi usaha sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
78
Urutan prioritas lokasi usaha agroindustri nenas ditetapkan berdasarkan sejumlah kriteria oleh sejumlah pakar. Sejumlah alternatif lokasi kemudian akan diperbandingkan menurut kriteria yang telah ditetapkan. Proses perhitungan untuk memilih lokasi usaha dilakukan dengan menggunakan teknik MPE (Metode Perbandingan Eksponensial). Teknik ini pada dasarnya membandingkan berbagai alternatif keputusan yang tersedia berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Langkah-langkah dalam teknik MPE adalah sebagai berikut: 1) Sejumlah pakar (responden) memberikan penilaian (bobot tingkat kepentingan) terhadap setiap kriteria, 2) para pakar melakukan penilaian terhadap semua alternatif yang ada berdasarkan setiap kriteria, 3) hasil dari para pakar kemudian dihitung , dan 4) urutan prioritas alternatif lokasi dapat ditetapkan. Secara skematik alur proses untuk menentukan urutan prioritas lokasi usaha agroindustri nenas disajikan dalam Gambar 6.2.
Mulai
Input analisis prioritas lokasi usaha AI nenas: - Alternatif lokasi usaha - Kriteria pemilihan lokasi - Bobot untuk masing-masing kriteria - Skor relatif untuk masing-masing alternatif lokasi usaha
Penentuan urutan prioritas lokasi usaha AI nenas dengan menggunakan Teknik MPE
Output: Urutan prioritas lokasi usaha AI nenas
Selesai Gambar 6. 2. Diagram alir deskriptif submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas 79
b. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan Rekayasa submodel pemilihan produk nenas olahan bertujuan membantu pengguna model memilih produk nenas olahan yang layak dikembangkan. Output dari submodel ini adalah urutan prioritas alternatif produk nenas olahan yang layak dikembangkan sesuai kriteria yang telah ditetapkan. Seperti halnya proses pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas, proses pemilihan produk nenas olahan dilakukan dengan menggunakan teknik MPE. Diagram alir deskriptif submodel pemilihan produk nenas olahan diperlihatkan pada Gambar 6.3. Mulai
Input analisis pemilihan prioritas produk nenas olahan: - Alternatif produk nenas olahan - Kriteria pemilihan - Bobot untuk masing-masing kriteria - Skor relatif untuk masing-masing alternatif produk nenas olahan
Penentuan urutan prioritas produk nenas olahan dengan menggunakan Teknik MPE
Output: Urutan prioritas produk nenas olahan
Selesai
Gambar 6. 3. Diagram alir deskriptif submodel pemilihan produk nenas olahan.
80
c. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas bertujuan menganalisis kelayakan dan risiko usaha perkebunan nenas dengan luas 1500 hektar. Data yang digunakan berasal dari penelitian yang dilakukan di perkebunan nenas rakyat di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Submodel yang dihasilkan berguna bagi: 1) investor/calon investor yang berminat menanamkan modal dalam usaha perkebunan nenas, 2) lembaga pembiayaan usaha yang berencana melibatkan diri dalam
usaha
agribisnis/agroindustri,
dan
3)
pemerintah
daerah
yang
berkepentingan mengembangkan usaha perkebunan nenas sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah dan membantu petani nenas meningkatkan pendapatan. Masukan data untuk submodel ini ada dua macam, yaitu data yang disimpan dalam file data struktur usaha perkebunan dan data yang berasal dari pengguna. Formulasi untuk menghitung kriteria penilaian investasi dan risiko usaha adalah seperti yang telah diuraikan dalam Bab 2. Skenario masukan yang dilakukan untuk submodel ini adalah berbagai tingkat suku bunga yang mungkin
dan DER (debt-to-equity ratio, atau
perbandingan utang dengan dana sendiri). Analisis sensitivitas dilakukan terhadap suku bunga dan harga jual nenas segar. Keluaran dari submodel ini adalah kriteria kelayakan usaha (NPV, IRR, Net B/C, PBP, dan BEP). Tingkat risiko usaha dihitung dengan menggunakan kriteria risiko CV < 0,5 untuk usaha berisiko rendah, CV > 0,5 dan CV < 0,8 untuk usaha berisiko sedang, dan CV > 0,8 untuk usaha berisiko tinggi. Diagram alir deskriptif submodel kelayakan usaha perkebunan nenas disajikan pada Gambar 6.4. 81
Mulai
Input data finansial: - Biaya investasi kebun 1500 ha - Biaya tetap dan biaya variabel - Biaya produksi tanaman
Input skenario usaha: - DER - Lama waktu pinjaman - Suku bunga - Harga jual nenas
-
Analisis Rugi-Laba Analisis Arus Kas Kriteria kelayakan usaha (IRR, B/C, BEP, PBP) Risiko investasi
Tidak
Kriteria terpenuhi? ya Cetak: - Kriteria kelayakan usaha - Risiko investasi - -Analisis R/L dan A/K
Selesai
Gambar 6. 4. Diagram alir deskriptif submodel kelayakan usaha kebun nenas. d. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas Submodel
Kelayakan
Usaha
Pengolahan
Nenas
dirancang
untuk
menganalisis kelayakan dan risiko usaha pengolahan nenas. Usaha pengolahan 82
nenas yang dipilih adalah usaha pengalengan nenas dan usaha dodol nenas, sesuai dengan prioritas produk yang terpilih melalui teknik MPE. Submodel ini berguna bagi 1) kalangan investor/calon investor yang berminat menanamkan dana dalam usaha pengolahan nenas, termasuk petani dan koperasi petani yang berminat memasuki industri hilir pengolahan nenas, 2) lembaga pembiayaan usaha yang berencana mengembangkan usaha ke sektor agroindustri nenas, dan 3) pemerintah daerah yang berkepentingan dalam pembinaan petani dan peningkatan pendapatan asli daerah. Langkah -langkah pengoperasian submodel kelayakan usaha pengolahan nenas ini sama dengan langkah-langkah pengoperasian submodel usaha kebun nenas. e. Submodel Kelembagaan Kemitraan Setara Submodel Kelembagaan Kemitraan Setara merupakan bagian terpenting dalam Model AINI-MS yang dapat digunakan oleh pengguna untuk membantu pengambilan keputusan dalam menganalisis program rekayas a kemitraan usaha agorindustri nenas. Pengguna yang diharapkan akan mendapat manfaat dari submodel ini adalah: 1) investor, 2) petani dan koperasi atau gabungan kelompok tani, 3) lembaga pembiayaan usaha, dan 4) pemerintah daerah. Submodel tersebut menggunakan Metode ISM yang memandang pola kemitraan sebagai suatu sistem yang terdiri elemen-elemen. Elemen-elemen yang dipilih merupakan elemenelemen yang dipandang berperan penting dalam menentukan keberhasilan rekayasa kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas. Ada enam elemen yang dipertimbangkan, yaitu: 1) kebutuhan program, 2) kendala program, 3) tujuan program, 4) indikator pencapaian tujuan, 5) pelaku yang terlibat, dan 6) aktivitas yang diperlukan. Pengguna model diberi keleluasaan untuk menentukan jumlah dan nama subelemen untuk setiap elemen yang dikaji. Pada dasarnya, cara 83
kerja submodel ini adalah menyusun hirarki dan interaksi di antara setiap subelemen dari elemen-elemen yang dikaji dan mengelompokkannya ke dalam empat sektor. Langkah-langkah dalam rekayasa submodel kemitraan ini secara skematik dapat dilihat pada Gambar 6.5. 4. Sistem Manajemen Dialog Sistem manajemen dialog adalah komponen model yang dirancang untuk mengatur komunikasi antara pengguna model dan model itu sendiri agar interaksi antara pengguna dan model dapat dilakukan dengan mudah. Dialog dengan pengguna dimudahkan dengan adanya menu pilihan atau pertanyaan-pertanyaan yang hanya memerlukan jawaban yang singkat. Masukan dari pengguna berupa data, variabel, pilihan skenario dan pe rnyataan singkat. Keluaran yang diberikan model dapat berupa tabel, grafik, keterangan atau pernyataan singkat yang mudah dipahami.
84
Mulai
Input data analisis program kelembagaan kemitraan setara AI Nenas yang meliputi: - Kebutuhan program - Kendala utama program - Tujuan program - Indikator pencapaian tujuan - Aktivitas yang diperlukan - Pelaku/lembaga yang terlibat
Penentuan strategi kelembagaan kemitraan setara AI Nenas dengan menggunakan Metode ISM
Tidak OK?
ya Cetak: - Hirarki setiap subelemen dari setiap elemen yang dikaji - Klasifikasi subelemen untuk setiap elemen dalam empat sektor
-
Subelemen kunci untuk setiap elemen yang dikaji
Selesai
Gambar 6. 5. Submodel analisis kelembagaan kemitraan setara usaha AI Nenas.
85
VII. ANALISIS SITUASI USAHA PERKEBUNAN DAN AGROINDUSTRI NENAS DI KABUPATEN SUBANG DAN KARAWANG
1. Lokasi Penelitian Lapang Penelitian lapang dilakukan di Kabupaten Subang, Jawa Barat, khususnya usaha perkebunan nenas rakyat dan usaha agroindustri kecil dodol nenas di Kecamatan Jalancagak, serta pabrik pengalengan nenas di Karawang, Jawa Barat. Perkebunan nenas rakyat di Jalancagak merupakan sebagian dari kegiatan perkebunan nenas di Subang yang tersebar di 5 (lima) kecamatan d i wilayah Kabupaten tersebut. Sebagian lahan perkebunan nenas di Jalancagak merupakan tanah garapan yang sebelumnya dikuasai oleh PTP dan sebagian lagi tanah rakyat.
Pabrik pengalengan nenas di
Karawang, yaitu PT INNI sepenuhnya dimiliki swasta dan pabrik tersebut tidak memiliki kebun nenas sendiri.
Pasok bahan baku nenas segar diperoleh dari
perkebunan nenas rakyat di Subang. Pabrik pengalengan nenas ini sesungguhnya mampu mengolah sampai 80 ton nenas segar per hari, tetapi
seringkali hanya
mengolah 10 ton nenas segar karena kurang lancarnya pasok bahan baku dari Subang. Kabupaten Subang berada di dalam wilayah Propinsi Jawa Barat, yang di sisi utaranya berbatasan langsung dengan Laut Jawa. Di sebelah selatan, Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Bandung, sementara di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta, dan di sisi Timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang. Luas wilayah Kabupaten Subang adalah 2.051,76 km persegi dengan jumlah penduduk sebesar 1.329.838 jiwa. Kabupaten Subang memiliki kepadatan penduduk rata-rata 648 jiwa/km persegi, dengan tingkat kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Subang sebesar 2.309 jiwa/km persegi dan tingkat kepadatan terendah di Kecamatan Cijambe sebesar 336 jiwa/km persegi. Pada tahun 2001 PDRB Kabupaten Subang mencapai 4,5 trilyun rupiah. (BPS, 2003)
Memasuki era otonomi daerah, Kabupaten Subang telah memilih agribisnis sebagai aktivitas untuk mendorong peningkatan pendapatan masyarakat. Pemilihan ini terkait dengan potensi sumber daya alam yang dimiliki. Sebagai daerah yang diapit oleh pegunungan dan laut, Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona, yaitu, laut, dataran rendah, dan pegunungan. Zona laut di sebelah utara merupakan sumber kehidupan utama bagi warga Kecamatan Balanakan dan Legonkulon. Hasil ikan laut dari kedua Kecamatan ini mencapai 14.070 ton atau setara dengan 46 persen produksi perikanan Subang yang sebesar 30.151 ton dengan nilai Rp 334,9 milyar (BPS, 2003). Zona dataran rendah di Subang dimanfaatkan untuk sawah. Kabupaten Subang memiliki areal persawahan terluas ketiga di Jawa Barat, yaitu seluas 84.701 hektar atau 41,28 persen dari luas total wilayah Subang. Kabupaten di Jawa Barat yang memliki lahan sawah terluas pertama dan kedua adalah Kabupaten Indramayu (118.513 hektar) dan Karawang (93.590 hektar). Zona pegunungan di wilayah Subang merupakan areal komoditas perkebunan seperti kopi, cengkeh, dan teh. Pada tahun 2001 dari areal perkebunan kopi rakyat seluas 446,5 hektar dihasilkan 5.282 ton kopi. Sementara dari perkebunan cengkeh seluas 670 hektar dihasilkan 1.995 ton cengkeh. Perkebunan teh seluas 296 hektar menghasilkan teh sejumlah 1.895 ton (BPS, 2003). Selain ketiga komoditas perkebunan di atas, Subang juga memiliki kelompok buah-buahan andalan, di antaranya nenas. Pada tahun 2003 Kabupaten Subang menghasilkan 135.296 ton nenas segar dari luas kebun sekitar 3.500 ha yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Jalancagak. Namun demikian, perkebunan nenas rakyat juga terdapat di empat kecamatan lain, yaitu Kecamatan Sagalaherang, Cisalak, Tanjungsiang, dan Cijambe.
87
2. Perkebunan dan Agroindustri Nenas di Subang dan Karawang Kebun nenas yang ada di Kabupaten Subang
dapat dikatakan seluruhnya
diusahakan oleh rakyat secara terpisah -p isah. Di lima kecamatan di Kabupaten Subang yang menjadi lokasi perkebunan nenas belum terlihat usaha yang terkoordinasi untuk mengusahakan perkebunan nenas. Dalam penelitian yang dilakukan di Kecamatan Jalancagak diperoleh informasi bahwa hasil perkebunan nenas di wilayah ini dijual sebagai bahan baku untuk pabrik pengolahan nenas di Karawang, di samping ada pula yang dijual dalam bentuk nenas segar dan sebagian lainnya diolah secara tradisional oleh pekebun sendiri untuk dijadikan dodol nenas. Pada tahun 1990-an di Kabupaten Subang pernah didirikan industri pengolahan nenas, yaitu PT Morelli yang produk utamanya adalah nenas kalengan dan PT Agrindo, yang produk utamanya adalah jus nenas. Bahan baku berupa nenas segar diperoleh dari kebun-kebun petani. Usaha tersebut mengalami kegagalan dan kedua pabrik tersebut akhirnya harus ditutup. Pada saat ini, di kalangan petani nenas Subang sendiri sudah timbul kesadaran untuk meningkatkan usaha perkebunan nenas menjadi suatu usaha agroindustri nenas yang lebih besar, yang sedapat mungkin melibatkan petani bukan sekadar sebagai pemasok bahan baku melainkan juga sebagai pelaku aktif dalam usaha agroindustri nenas. Produk agroindustri nenas yang dihasilkan oleh petani nenas Subang pada saat ini masih terbatas pada beberapa produk olahan sederhana seperti dodol nenas dan keripik nenas. Pemasaran produk-produk olahan tersebut masih terbatas di Kabupaten Subang sendiri dan beberapa wilayah tetangga, khususnya wilayah Jabotabek. Beberapa petani nenas saat ini sudah mulai mengusahakan perkebunan nenas organik yang menurut keter angan mampu menghasilkan buah nenas yang berukuran besar dengan rasa yang enak. Kelebihan dari nenas organik ini, selain buahnya 88
berukuran besar, adalah tidak mudah busuk. Namun demikian, menurut bandar (pedagang pengumpul) prospek nenas organik masih belum begitu baik karena panen tidak dapat dilakukan serentak. Di samping itu, beberapa petani sudah mulai menerjuni usaha pembuatan serat kain dari limbah nenas. Produk serat kain dari nenas ini diperkirakan memiliki prospek pasar ekspor yang baik. a. Perkebunan Nenas Rakyat di Kecamatan Jalancagak Kecamatan Jalancagak merupakan salah satu dari lima kecamatan penghasil nenas di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Lahan yang digunakan untuk kebun nenas pada umumnya adalah tanah pekarangan dan lahan “tidur” milik PTP. Nenas yang diusahakan oleh petani di Subang adalah dari jenis Smooth cayenne yang menurut pengalaman petani merupakan jenis nenas yang paling sesuai dengan kondisi lahan dan iklim setempat. Nenas jenis Smooth cayenne juga dikenal sebagai jenis yang tahan terhadap hama penyakit dan rasanya manis serta mengandung kadar air yang tinggi. Gambar 7.1 memperlihatkan salah satu kebun nenas rakyat di Kecamatan Jalancagak.
Gambar 7.1. Kebun nenas rakyat di Kecamatan Jalancagak, Subang (Hasil penelitian, 2003) Pada umumnya petani nenas Subang masih menggunakan cara-cara sederhana dalam mengusahakan perkebunan nenas. Petani nenas di Subang tidak 89
secara khusu pengamatan
dilakukan peta
1. Pengolaha
Peng
tanah seda
dibersihka
3. Pemeliharaan Pada umumnya petani hanya melakukan pemeilharaan minimal saja terhadap tanaman nenas. Pemeliharaan yang dilakukan hanyalah berupa penyiangan untuk menghilangkan gulma dan sedikit penjarangan tanaman berupa pemindahan anak -anak nenas agar jarak antar-tanaman tidak terlalu rapat. Kegiatan pemupukan dan penghilangan hama hanya dilakukan sekadarnya karena harga pupuk dan obat-obatan relatif mahal di samping juga harga hasil panen yang sangat berfluktuasi sehingga petani tidak berani mengeluarkan biaya terlalu besar untuk pemeliharaan kebun. Akibat pemeliharaan yang minimal ini, buah yang dihasilkan relatif kecil-kecil, hanya sekitar 25 persen yang mampu mencapai berat di atas satu kilogram. Petani setempat merasa bahwa penyuluh pertanian setempat belum berperan besar dalam membantu petani, sehingga petani benar-benar menggantungkan diri pada pengalaman sendiri. Pembersihan gulma dilakukan dengan menyemprotkan Parasol sekitar 2 liter per hektar kebun dan setelah gulma mati dibersihkan dan ditimbun dengan tanah. Selain itu, gulma yang berada di antara tanaman disiangi secara manual. Penyemprotan dengan Parasol ini dilakukan sekitar enam bulan sekali. Penyiraman tanaman biasanya hanya mengandalkan curah hujan, meskipun adakalanya, di musim kemarau, petani melakukan penyiraman sendiri tergantung kebutuhan. Pemupukan juga tidak terlalu banyak dilakukan. Beberapa petani yang mampu menggunakan pupuk Urea, KCl, dan TSP untuk memupuk kebun. Pemupukan dilakukan dua kali setahun dengan setiap hektar menghabiskan sekitar 100 kg pupuk. 91
b. Industri Peng Industri
pabrik yang h
juga menghas
kaleng dan pro
produk-produ
Subang. Sebe
Karawang, tetapi pada saat ini pasok nenas ke pabrik di Karawang tersebut masih tidak berkesinambungan. Beberapa
kelompok
tani
di
Kecamatan
Jalancagak
sudah
mulai
mengusahakan pengolahan nenas menjadi dodol nenas untuk mendapatkan nilai tambah dan mengurangi ketergantungan pada pabrik serta mengurangi risiko kerusakan buah. Dodol nenas dinilai petani merupakan produk olahan yang paling baik peluangnya untuk dikembangkan karena pemasarannya relatif mudah dan modal yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar. Selain itu, semua bahan kebutuhan produksi dapat dengan mudah diperoleh di Subang dan sekitarnya. Wilayah pemasaran dodol nenas Subang adalah di sekitar Subang dan Jabotabek. Gambar 7.4 memperlihatkan sebuah warung di tepi jalan raya Subang-Bandung yang menjual hasil industri kecil nenas olahan.
Gambar 7.4. Warung penjual nenas olahan di tepi jalan raya Subang-Bandung (Hasil penelitian, 2003) Salah satu kelompok tani yang sudah mengusahakan produksi dodol nenas secara baik adalah kelompok tani Mekar Sari. Kelompok yang beranggotakan 20 orang ini mampu menghasilkan sekitar 500 kg dodol nenas setiap bulannya dengan penjualan senilai sekitar Rp 5 juta. Kelompok Mekar Sari merupakan 93
VIII. VERIFIKASI MODEL AINI-MS
Model AINI-MS untuk pengembangan agroindustri nenas yang dirancang dalam sistem penunjang keputusan ini dimaksudkan untuk membantu pengguna yang berkepentingan dalam proses pengambilan keputusan perencanaan pengembangan agroindustri nenas dengan pendekatan kemitraan setara. Setidaknya terdapat empat pengguna yang mempunyai kepentingan dengan model ini, yaitu: 1) Investor yang akan menanamkan dana dalam usaha agroindustri nenas, 2) Petani dan kelompok tani nenas yang memasok nenas untuk industri pengolahan nenas dan juga menangani industri kecil pengolahan nenas berupa, misalnya, dodol nenas, 3) Lembaga pembiayaan usaha yang menyediakan dana untuk pengembangan usaha agroindustri nenas, dan 4) Pemerintah daerah sebagai regulator dan pembina usaha agroindustri. Gambar 8.1 memperlihatkan tampilan halaman utama dari Model AINI-MS, sedangkan Lampiran
1 sampai
27
menyajikan contoh-contoh tampilan dalam Model AINI-MS. 1. Submodel Pemilihan Lokasi Usaha Agroindustri Nenas Kabupaten Subang telah lama dikenal sebagai sentra produksi nenas Jawa Barat. Perkebunan nenas rakyat tersebar di lima Kecamatan di wilayah Kabupaten Subang, yaitu Kecamatan Jalancagak, Kecamatan Cijambe, Kecamatan Cisalak, Kecamatan Sagalaherang, dan Kecamatan Tanjungsiang. Porter (2000) menyatakan bahwa lokasi merupakan salah satu faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan suatu usaha. Grant (1995) juga menyatakan bahwa lokasi yang strategis merupakan salah satu sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan. Submodel pemilihan lokasi dalam Model AINI-MS dirancang untuk membantu pengambil keputusan menentukan lokasi usaha agroindustri nenas yang
tepat. Gambar 8.2 menyajikan halaman utama submodel pemilihan lokasi agroindustri nenas.
Gambar 8.1. Tampilan halaman utama Model AINI-MS. Dalam model ini, pengguna hanya perlu memasukkan alternatif-alternatif lokasi dan kriteria yang digunakan untuk menentukan pilihan terhadap alternatif tersebut. Jumlah alternatif lokasi dan kriteria pemilihan lokasi merupakan variabel input dari pengguna, bukan merupakan nilai yang tetap. Dengan demikian, model ini bersifat fleksibel, sesuai kebutuhan pengguna. Dalam Model AINI-MS, submodel pemilihan lokasi dirancang dengan menggunakan teknik MPE. Alternatif lokasi yang diseleksi adalah lima Kecamatan di Kabupaten Subang, yaitu Kecamatan (L2),
Sagalaherang (L1), Kecamatan Jalancagak
Kecamatan Cisalak (L3), Kecamatan Tanjungsiang (L4), dan Kecamatan
Cijambe (L5). Faktor yang dijadikan kriteria pemilihan ada enam, yaitu ketersediaan bahan baku nenas segar (K1), ketersediaan lahan (K2), ketersediaan tenaga kerja (K3), keamanan (K4), fasilitas transportasi (K5), dan ketersediaan infrastruktur (K6). 96
Gambar 8.2. Tampilan halaman utama submodel pemilihan lokasi agroindustri nenas. Untuk menentukan urutan prioritas lokasi terlebih dulu ditentukan bobot masing-masing kriteria pemilihan. Bobot kriteria ditentukan dengan menggunakan teknik Eckenrode (Maarif dan Tanjung, 2003). Selanjutny a kemampuan setiap lokasi dalam memenuhi masing-masing kriteria ditentukan dengan menggunakan skala 1 sampai 5. Penentuan bobot setiap kriteria dan nilai setiap alternatif lokasi untuk masing-masing kriteria dilakukan oleh tiga orang pakar (responden). Seperti halnya jumlah kriteria dan jumlah alternatif, jumlah pakar yang digunakan juga dapat diubahubah sesuai kebutuhan pengguna. Dari pengolahan data yang ada, diperoleh hasil urutan prioritas lokasi seperti yang tampak pada Tabel 8.1. Seperti tampak pada Tabel tersebut, Kecamatan Jalancagak (L2) merupakan prioritas lokasi yang pertama, disusul oleh Kecamatan Cijambe (L5) sebagai prioritas kedua. Lampiran 12 sampai 15 menyajikan tampilan-tampilan proses pemilihan lokasi agorindustri nenas di Subang dalam submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas. 97
Tabel 8.1. Matriks keputusan pemilihan lokasi agroindustri nenas di Kabupaten Subang
L1 L2 L3 L4 L5
K1
K2
K3
K4
K5
K6
3,667 4,667 2,667 3,333 3,333
4 4,333 3 3,333 4,333
4 4,667 3,667 3 4
3,333 4,667 3,667 2,667 4
3,667 4,667 3 4 4,333
3,667 4,667 3,333 3,667 4
Nilai Eigen 7,471 7,741 7,292 7,321 7,560
Prioritas 3 1 5 4 2
2. Submodel Pemilihan Produk Nenas Olahan Seperti halnya submodel pemilihan lokasi, submodel pemilihan produk nenas olahan juga didasarkan pada teknik MPE. Submodel pemilihan produk nenas olahan bertujuan membantu pengambil keputusan untuk menetapkan produk olahan yang paling sesuai untuk dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada. Seperti dapat dilihat pada Gambar 2.1. Pohon Industri Nenas, ada banyak produk olahan yang dapat dihasilkan dari nenas. Dalam submodel pemilihan produk nenas ini, ragam produk yang dipilih, kriteria pemilihan yang digunakan serta bobot kriterianya, dan pakar yang dijadikan narasumber dapat ditentukan sendiri oleh pengguna model. Gambar 8.3 menyajikan tampilan halaman utama dari submodel pemilihan produk nenas olahan. Dalam verifikasi yang dilakukan, dipilih empat jenis produk nenas olahan, yaitu dodol nenas (P1), nenas kaleng (P2), selai nenas (P3), dan konsentrat (P4). Dodol nenas dan selai nenas dipilih karena kedua produk ini merupakan produk olahan yang hanya memerlukan proses dan peralatan sederhana sehingga cocok untuk dilakukan oleh usaha kecil. Produk nenas kaleng dan konsentrat nenas dipilih karena produkproduk ini merupakan dua produk yang lazim dihasilkan oleh perusahaan besar dan dalam skala yang besar pula.
98
Gambar 8.3. Tampilan halaman utama submodel pemilihan produk nenas olahan. Dalam verifikasi digunakan sembilan kriteria keputusan, yaitu: kemudahan pasar (K1), ketersediaan bahan baku (K2), nilai tambah produk (K3), daya serap tenaga kerja (K4), peningkatan pendapat petani (K5), potensi pasar (K6), ketersediaan modal (K7), teknologi yang digunakan (K8), dan dampak terhadap lingkungan (K9). Bobot dari masing-masing kriteria ditentukan melalui diskusi dengan pakar, demikian pula nilai setiap alternatif dilihat dari masing -masing kriteria yang digunakan. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa dodol nenas (P1) menempati urutan prioritas pertama sebagai produk yang paling baik dalam memenuhi kesembilan kriteria yang digunakan. Nenas kaleng (P3) menduduki urutan kedua. Tersusunnya prioritas produk seperti yang dihasilkan tampaknya dipengaruhi oleh pemilihan responden yang digunakan. Sebagian besar responden adalah pihak-pihak memiliki kedekatan dengan usaha kecil/petani sehingga pendapat responden memang lebih banyak mendukung
99
usaha yang sesuai untuk usaha kecil. dan nenas kaleng
Dalam analisis kelayakan usaha dodol nenas
digunakan sebagai produk-produk untuk dianalisis. Analisis
kelayakan usaha dodol nenas dilakukan karena produk ini merupakan produk prioritas pertama yang perlu dikembangkan di Kabupaten Subang, apalagi industri dodol nenas merupakan industri yang sesuai untuk industri kecil yang dapat dikelola oleh petani nenas. Nenas kaleng sebagai produk prioritas kedua juga dianalisis kelayakan usahanya karena industri nenas kaleng yang merupakan industri skala besar diharapkan dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berarti bagi Kabupaten Subang di samping juga merupakan industri yang diharapkan dapat memberikan lapangan kerja bagi masyarakat Subang. Tabel 8.2 menyajikan matriks pemilihan produk nenas olahan. Lampiran 8 sampai
11 menyajikan tampilan-
tampilan proses pemilihan produk nenas olahan dalam submodel pemilihan produk nenas olahan.
Tabel 8.2. Matriks pemilihan produk nenas olahan di Kabupaten Subang
P1 P2 P3 P4
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
K9
5 4.333 3.333 2.667
5 4.333 3 4.333
3 4 5 4
3 3.333 4.667 4.667
4.667 3.667 2.667 2.667
3.667 3.667 5 4
4.667 4 3.333 3.333
5 4 3 3
3.667 3 2.333 2.333
Nilai Eigen 10.564 10.496 10.414 10.393
Prioritas 1 2 3 4
3. Submodel Kelayakan Usaha Perkebunan Nenas Verifikasi submodel kelayakan usaha kebun
nenas dilakukan dengan
menggunakan sumber data dari Provinsi Bangka-Belitung yang disesuaikan dengan kondisi tempat penelitian dilakukan, yaitu di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis kelayakan usaha kebun nenas di Subang adalah sebagai berikut: 100
1. Sumber dana sebesar 75 persen dari bank umum konvensional dengan suku bunga sebesar 16% per tahun selama masa pembangun an dan 16% per tahun selama mas a produksi, dan 25% sisanya berasal dari modal sendiri. 2. Jangka waktu pengembalian kredit adalah selama 10 tahun, dengan waktu tenggang pengembalian tiga tahun. 3. Pajak Pertambahan Nilai 10 persen. 4. Produktivitas kebun 50 ton/ha dengan luas kebun 1.500 ha. 5. Harga jual nenas segar ke industri pengalengan nenas Rp 825/kg. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas dan masukan data yang ada, diperoleh hasil analisis kelayakan usaha kebun nenas berupa proyeksi rugi-laba dan proyeksi arus kas untuk kurun waktu 20 tahun. Secara rinci proyeksi rugi-laba dan arus kas untuk kebun nenas ini dapat dilihat pada Lampiran 28. Hasil analisis kelayakan untuk kebun nenas dengan luas 1.500 hektar dan produktiv itas 50 ton/ha disajikan pada Tabel 8.3. Dari Tabel 8.3. tampak bahwa usaha kebun nenas adalah layak dengan resiko sedang. Tingkat resiko di atas muncul sebagai akibat berfluktuasinya angka arus kas karena adanya biaya peremajaan tanaman setiap 5 (lima) tahun sekali yang jumlahnya cukup besar. Tabel 8. 3. Hasil analisis kelayakan usaha kebun nenas dengan luas 1.500 hektar untuk kurun waktu 20 tahun. Kriteria Finansial
Nilai
NPV (Rp) IRR (%) PBP (tahun) B/C (Benefit/cost Ratio) CV(Coefficient of Variance)
9,660,138,485.53 20.07 10.66 1.14 1.12
Untuk membangun kebun nenas seluas 1.500 hektar tersebut dibutuhkan investasi sebesar Rp. 22.345.000.000 yang rincian perhitungannya dapat dilihat pada
101
Lampiran 28. Gambar 8.4 memperlihatkan tampilan model kelayakan finansial kebun nenas dalam Model AINI-MS.
Gambar 8.4. Tampilan model kelayakan finansial kebun nenas pada Model AINI-MS. 4. Submodel Kelayakan Usaha Pengolahan Nenas Verifikasi submodel kelayakan usaha pengolahan nenas dilakukan untuk mengkaji kelayakan usaha dodol nen as dan kelayakan usaha pengalengan nenas. Untuk usaha dodol nenas digunakan basis perhitungan kapasitas olah yang menghasilkan 11.880 kg dodol nenas per tahun, sedangkan untuk usaha pengalengan nenas digunakan basis perhitungan kapasitas pabrik 40.000 ton per tahun. Untuk pabrik pengalengan nenas digunakan beberapa asumsi sebagai berikut : 1. Tingkat rendemen 53,6 persen (Bappeda Kabupaten Belitung, 2001). 2. Sumber dana terdiri atas 60 persen modal sendiri dan 40 persen dari kredit bank konvensional dengan tingkat bunga 16 persen setahun. 102
3. Jangka waktu pengembalian kredit 10 tahun, dan PPn sebesar 10 persen. 4. Harga beli nenas segar dari kebun petani Rp. 825,00/kg. 5. Harga jual nenas kaleng US$734/ton atau Rp. 6.973.000/ton (dengan asumsi kurs rupiah terhadap dolar sebesar Rp. 9.500/US$) Berdasarkan asumsi-asumsi di atas dan masukan data yang ada, diperoleh hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas berupa proyeksi rugi-laba dan proyeksi arus kas untuk kurun waktu 20 tahun yang secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 29. Hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas dengan kapasitas 40.000 ton nenas kaleng/tahun menunjukkan bahwa usaha tersebut layak dengan resiko rendah. Hasil perhitungan berbagai parameter finansial untuk usaha pengalengan nenas dapat dilihat pada Tabel 8.4. di bawah ini.
Tabel 8.4. Hasil analisis kelayakan usaha pengalengan nenas dengan kapasitas 40.000 ton nenas kaleng/tahun untuk kurun waktu 20 tahun. Kriteria Finansial
Nilai
NPV (Rp) IRR (%) PBP (tahun) B/C CV
56,800,071,254 22.97 8.28 1.21 0.37
Usaha
pengalengan
nenas
ini
membutuhkan
investasi
sebesar
Rp.
149.419.375.000 yang rincian perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 29. Gambar 8.5 menyajikan tampilan model kelayakan finansial industri pengolahan nenas kaleng dalam Model AINI-MS.
103
Gambar 8.5.
Tampilan model kelayakan finansial industri pengolahan nenas dalam Model AINI-MS.
Untuk usaha dodol nenas diperoleh hasil analisis kelayakan berupa proyeksi rugi-laba dan proyeksi arus kas untuk kurun waktu 20 tahun yang secara rinci disajikan pada Lampiran 30. Ringkasan hasil analisis finansial untuk usaha dodol nenas disajikan pada Tabel 8.5. Dari Tabel 8.5. dapat dilihat bahwa usaha dodol nenas merupakan usaha yang layak dan beresiko rendah. Tabel 8.5. Hasil analisis kelayakan usaha dodol nenas untuk kurun waktu 20 tahun. Kriteria Finansial NPV (Rp) IRR (%) PBP (tahun) B/C CV
Nilai 29,036,459.17 32.69 4.44 1.1 0.10
Usaha dodol nenas merupakan usaha yang layak dilakukan oleh pengusaha kecil karena investasi yang dibutuhkan relatif tidak besar, yaitu Rp. 36.197.000 yang 104
rincian perhitungannya dapat dilihat pada Lampiran 30. Gambar 8.6 menyajikan tampilan model kelayakan finansial industri dodol nenas.
Gambar 8.6. Tampilan model kelayakan finansial industri dodol nenas dala m Model AINI-MS.
5. Submodel Kelembagaan Kemitraan Usaha Agroindustri Nenas Dalam submodel ini digunakan metode ISM guna menganalisis keterkaitan kelembagaan yang terlibat dalam rekayasa kemitraan usaha agroindustri nenas dengan pendekatan kemitraan setara. Elemen yang dipilih untuk dikaji, seperti telah dikemukakan dalam Bab 6 adalah kebutuhan program, kendala program, tujuan program, indikator pencapaian tujuan, pelaku-pelaku yang terlibat, dan aktivitas program. Hasil analisis untuk masing-masing elemen tersebut diuraikan secara rinci berikut ini:
105
Elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Berdasarkan diskusi dengan tiga orang narasumber diperoleh bahwa elemen kebutuhan program kemitraan setara agroindustri nenas dapat diuraikan menjadi 16 subelemen di bawah ini: 1. Terjaminnya harga jual nenas yang layak dan stabil 2. Tersedianya lahan yang sesuai dengan luas yang memadai 3. Keamanan lingkungan 4. Adanya kerjasama usaha yang saling menguntungkan 5. Meningkatnya produktivitas usaha 6. Tersedianya informasi pasar 7. Tersedianya tenaga kerja terampil 8. Meningkatnya posisi tawar petani 9. Terjaminnya pemasaran produk yang dih asilkan 10. Dukungan pemerintah daerah 11. Meningkatnya nilai tambah produk 12. Meningkatnya jaringan pemasaran 13. Pembinaan terhadap petani 14. Iklim usaha yang kondusif 15. Meningkatnya kesempatan kerja 16. Terjaganya kelestarian lingkungan Dari an alisis dengan menggunakan metode ISM, keenambelas subelemen ini dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan terkelompok ke dalam empat sektor yang masing-masing disajikan dalam Gambar 8.7 dan 8.8. Hasil reachibility matrix dan interpretasinya ditampilkan pada Tabel 8.6.
106
Tabel 8.6. Matriks reachability untuk elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara K1 K2 K3 K4 K5 K6 K7 K8 K9 K10 K11 K12 K13 K14 K15 K16 D R
K1
K2
K3
K4
K5
K6
K7
K8
K9
K10
K11
K12
K13
K14
K15
K16
DP
R
1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 13 1
0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 5 4
0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 5
0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 3 5
0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 1 1 0 0 11 3
0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 6
0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 2 6
0 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 12 3
0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 12 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 7
0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 11 3
0 0 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 0 0 11 3
0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 5 4
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 7
0 0 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 13 1
0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 7
1 8 11 11 7 8 8 1 3 12 7 7 8 12 1 1
6 3 2 2 4 3 3 6 5 1* 4 4 3 1* 6 6
*) Elemen Kunci : K10 dan K14 Tab el 8.6 menunjukkan bahwa subelemen kunci dari elemen kebutuhan program kemitraan setara adalah subelemen dukungan Pemerintah Daerah (K10) dan iklim usaha yang kondusif (K14). Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menjamin terjalinnya kemitraan setara antara petani-industri dibutuhkan adanya dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Subang serta kebijakan-kebijakan yang dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Gambar 8.7. Matriks DP -D untuk elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara.
107
Gambar 8.7
(Driver-power-dependence
matrix) menunjukkan
bahwa
subelemen dukungan pemerintah daerah (K10), iklim usaha yang kondusif (K14), adanya kerjasama yang saling menguntungkan (K4), tersedianya informasi pasar (K6), tersedianya tenaga kerja terampil (K7), tersedianya lahan yang sesuai dengan luas yang memadai (K2), dan pembinaan terhadap petani (K13) merupakan variabelvariabel yang termasuk dalam sektor IV yang merupakan sektor independen, yaitu berarti bahwa variabel-variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program kemitraan setara, tetapi kurang bergantung pada program itu sendiri. Subelemen peningkatan produktivitas usaha (K5), peningkatan nilai tambah produk (K11), dan pengembangan jaringan pemasaran (K12) termasuk dalam sektor III (Linkage) yang berarti bahwa variabel-variabel tersebut harus dikaji secara cermat dan hati-hati karena hubungan di antara subelemen tersebut tidak stabil. Setiap tindakan pada subelemen tersebut dapat berdampak besar terhadap keberhasilan/kegagalan program dan umpan balik pengaruh subelemen tersebut dapat memperbesar peluang keberhasilan program kemitraan setara petani-industri. Sementara itu, subelemen terjaminnya pemasaran produk yang dihasilkan (K9), meningkatnya posisi tawar petani (K8), terjaganya kelestarian lingkungan (K16), dan terjaminnya harga jual yang layak dan stabil (K1) termasuk ke dalam sektor dependen (sektor I) yang artinya variabel-variabel tersebut akan terpengaruh oleh adanya program kemitraan setara sebagai akibat dilakukannya tindakan-tindakan pada subelemen-subelemen lain di sektor independen dan linkage. Berdasarkan temuan pada elemen kebutuhan di atas, untuk memastikan berhasilnya program kemitraan setara maka subelemen kebutuhan program yang termasuk dalam sektor independen dan sektor linkage perlu diperhatikan secara
108
menyeluruh, khususnya oleh pelaku kunci. Kelalaian dalam menangani subelemensubelemen tersebut dapat berakibat fatal terhadap keberhasilan program.
K1
K8
K15
K16
K9
K5
K2
K11
K12
K6
K7
K3
K4
K14
K10
K13
Gambar 8.8. Struktur hirarki dari elemen Kebutuhan Program Kemitraan Setara. Elemen Kendala Utama Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Elemen kendala utama program kemitraan setara terdiri dari 15 subelemen sebagai berikut: 1. Terbatasnya teknologi dan manajemen 2. Tidak menentunya ukuran bahan baku nenas segar 3. Rendahnya produktivitas usaha 4. Kurangnya kerjasama yang saling memperkuat 5. Kurangnya kerjasama yang saling menguntungkan 6. Kurangnya kesinambungan pasok bahan baku 7. Terbatasnya modal usaha 8. Rendahnya kualitas bahan baku 9. Lemahnya posisi tawar petani 10. Kurangnya jaringan pemasaran 11. Rendahnya keterkaitan produksi petani dan industri 12. Kecilnya skala usaha 109
13. Rendahnya pemanfaatan kapasitas produksi 14. Kurang seimbangnya pembagian keuntungan dan risiko 15. Kurangnya pembinaan dalam mengembangkan usaha agroindustri nenas Setelah dianalisis dengan metode ISM, maka elemen kendala yang terdiri atas 15 subelemen tersebut dapat digambarkan dalam bentuk hirarki dan terkelompok ke dalam empat sektor yang dapat dilihat pada Gambar 8.9 dan 8.10. Hasil reachibility matrix dan interpretasinya disajikan dalam Tabel 8.7. Tabel 8.7. Matriks reachibility untuk elemen Kendala Program Kemitraan Setara D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9 D10 D11 D12 D13 D14 D15 D R
D1 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 3 7
D2 1 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 5 5
D3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 15 1
D4 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D5 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D6 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D7 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 3 7
D8 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D9 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D10 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 13 3
D11 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2 8
D12 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0 1 4 6
D13 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 14 2
D14 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 1 1 12 4
D15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 9
DP 13 10 1 9 9 9 13 9 9 3 11 10 2 9 15
Dari Tabel 8.7 tampak bahwa subelemen kunci untuk elemen kendala adalah kurangnya pembinaan dalam mengembangkan agroindustri nenas (D15). Artinya, jika diinginkan program kemitraan setara mencapai hasil yang baik maka perhatian utama perlu ditujukan pada pembinaan dalam mengembangkan usaha agroindustri nenas.
Gambar 8.9. Matriks DP-D untuk elemen Kendala Program Kemitraan Setara. 110
R 2 4 8 5 5 5 2 5 5 6 3 4 7 5 1*
Gambar 8.9 (Matriks Driver-Power-Dependence untuk kendala) menunjukkan bahwa subelemen kurangnya pembinaan dalam mengembangkan agroindustri nenas (D15), terbatasnya modal usaha (D7), rendahnya keterkaitan produksi petani-industri (D11), dan kecilnya skala usaha (D12) merupakan variabel yang termasuk dalam sektor independent, yaitu variabel-variabel yang mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program kemitraan setara, tetapi tidak terlalu bergantung pada program itu sendiri. Penanganan yang efektif terhadap variabelvariabel tersebut akan sangat membantu terwujudnya program kemitraan setara. Subelemen terbatasnya teknologi dan manajemen (D1), tidak menentunya ukuran bahan baku nenas segar (D2), rendahny a produktivitas usaha (D3), kurangnya kerjasama yang saling menguntungkan (D5), kurangnya kesinambungan pasok bahan baku (D6), rendahnya kualitas bahan baku (D8), lemahnya posisi tawar petani (D9), kurangnya jaringan pemasaran (D10), rendahnya pemanfaatan kapasitas produksi (D113), dan kurang seimbangnya pembagian keuntungan dan risiko (D14) terkelompok ke dalam sektor III (linkage). Ini berarti bahwa subelemen-subelemen tersebut perlu dikaji secara hati-hati karena hubungan di antara subelemen-subelemen itu tidak stabil. Setiap tindakan terhadap salah satu variabel di sektor ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan program kemitraan setara. Demikian juga, apabila subelemen-subelemen tersebut tidak diperhatikan,
program kemitraan setara dapat
mengalami kegagalan.
111
D3
D13
D10
D4
D5
D6
D8
D2
D12
D9
D14
D11
D1
D7
D15
Gambar 8.10. Struktur hirarki dari elemen Kendala Program Kemitraan Setara. Elemen Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Elemen tujuan program kemitraan setara terbagi menjadi 17 subelemen sebagai berikut: 1. Meningkatkan pemerataan pendapatan usaha 2. Meningkatkan nilai tambah produk nenas 3. Meningkatkan pemasaran produk nenas 4. Meningkatkan kualitas produk nenas 5. Meningkatkan posisi tawar petani 6. Meningkatkan efisiensi produksi 7. Meningkatkan kemudahaan akses informasi 8. Meningkatkan keterkaitan usaha 9. Meningkatkan pendapatan petani 10. Meningkatkan diversifikasi produk nenas 11. Meningkatkan kemudahan memperoleh bantuan teknologi dan manajemen 12. Meningkatkan kemudahan memperoleh bantuan modal 112
13. Memelihara kelestarian lingkungan 14. Meningkatkan kesempatan kerja 15. Mengembangkan kebijakan yang mendukung iklim usaha 16. Mewujudkan kesetaraan hubungan petani-industri 17. Meningkatkan pendapatan daerah Dari analisis dengan menggunakan metode ISM diperoleh temuan bahwa 17 subelemen dari elemen tujuan program dapat dikelompokkan ke dalam empat sektor seperti yang disajikan pada Gambar 8.11 dan dapat disusun secara hirarkis seperti tampak pada Gambar 8.12. Matriks reachibility dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 8.8. Tabel 8. 8. Matriks reachibility untuk elemen Tujuan Program Kemitraan Setara T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9 T10 T11 T12 T13 T14 T15 T16 T17 D R
T1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 15 2
T2 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T3 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T4 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T5 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T6 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T7 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T8 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 12 4
T9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 12 2
T10 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T11 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T12 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 1 1 0 12 3
T13 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 16 1
T14 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 15 2
T15 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 6
T16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 2 5
T17 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 16 1
DP 5 14 14 14 14 14 14 15 5 14 14 14 1 5 17 16 1
*) Elemen Kunci : T15 Tampak bahwa subelemen kunci dari elemen tujuan program adalah mengembangkan kebijakan yang mendukung iklim usaha (T15). Ini berarti perhatian utama harus ditujukan pada pengembangan kebijakan yang mendukung iklim usaha agroindustri nenas agar program kemitraan setara dapat berhasil.
113
R 5 4 4 4 4 4 4 3 5 4 4 4 6 5 1* 2 6
Gambar 8. 11. Matriks DP-D untuk elemen Tujuan Program Kemitraan Setara. Gambar 8.11 (matriks Driver-Power-Dependence untuk tujuan program) menunjukkan bahwa subelemen mengembangkan kebijakan yang mendukung iklim usaha (T15), mewujudkan kesetaraan hubungan petani-industri (T16), dan meningkatkan keterkaitan usaha (T8) merupakan variabel-variabel yang termasuk dalam sektor IV (independent) yang berarti bahwa variabel-variabel ini mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keb erhasilan program kemitraan setara, tetapi kurang bergantung pada program itu sendiri. Subelemen meningkatkan nilai tambah produk nenas (T2), meningkatkan pemasaran produk nenas (T3), meningkatkan pemasaran produk nenas (T4), meningkatkan posisi tawar petani (T5), meningkatkan efisiensi produksi (T6), meningkatkan kemudahan akses informasi (T7), meningkatkan diversifikasi produk nenas (T10), meningkatkan kemudahaan memperoleh bantuan teknologi (T11), dan meningkatkan kemudahan memperoleh bantuan modal (T12) termasuk dalm sektor III (linkage). Ini berarti variabel-variabel tersebut perlu dikaji secara hati-hati karena hubungan di antara variabel-variabel tersebut tidak stabil. Setiap tindakan terhadap subelemen-subelemen tersebut ssangat berpengaruh terhadap keberhasilan program dan umpan balik pengaruhnya dapat meningkatkan keberhasilan program kemitraan setara. Subelemen meningkatkan pemerataan pendapatan usaha (T1), meningkatkan pendapatan petani (T9), 114
meningkatkan kesempatan kerja (T14), memelihara kelestarian lingkungan (T13), dan meningkatkan pendapatan daerah (T17) termasuk dalam sektor II (dependent), yang berarti bahwa subelemen-subelemen tujuan tersebut akan tercapai dalam program kemitraan setara AINI-MS sebagai akibat dari tindakan-tindakan yang dilakukan untuk mencapai subelemen -subelemen independen dan linkage.
T13
T1
T2
T3
T4
T5
T17
T9
T6
T14
T7
T10
T11
T12
T8
T16
T15
Gambar 8. 12. Struktur hirarki dari elemen Tujuan Program Kemitraan Setara. Elemen Indikator Pencapaian Tujuan Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Elemen indikator pencapaian tujuan program terdiri atas delapan subelemen sebagai berikut: 1. Meningkatnya keuntungan usaha tani nenas 2. Meningkatnya harga jual produk nenas olahan 3. Meningkatnya keuntungan usaha agroindustri nenas 4. Meningkatnya kemudahan memperoleh modal 5. Meningkatnya penyerapan tenaga kerja 6. Meningkatnya jumlah produk nenas olahan yang terserap oleh pasar 7. Meningkatnya pendapatan daerah 8. Meningkatnya harga jual nenas dari petani 115
Dari hasil analisis dengan menggunakan metode ISM diperoleh
bahwa
kedelap an subelemen dari elemen indikator pencapaian tujuan program terkelompok dalam empat sektor dan tersusun dalam bentuk hirarki yang masing-masing dapat dilihat pada Gambar 8.13 dan 8.14. Hasil reachibility matrix dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 8.9. Tabel 8.9. Matriks reachibility untuk elemen Indikator Pencapaian Tujuan Program Kemitraan Setara I1 I2 I3 I4 I5 I6 I7 I8 D R
I1
I2
I3
I4
I5
I6
I7
I8
DP
R
1 1 1 0 0 1 0 1 5 2
0 1 0 0 0 0 0 0 1 5
0 1 1 0 0 1 0 0 3 4
1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
0 0 0 0 0 1 0 0 1 5
1 1 1 1 1 1 1 1 8 1
0 1 1 0 0 1 0 1 4 3
4 7 6 3 3 7 3 5
4 1* 2 5 5 1* 5 3
* Elemen kunci: I2 dan I6. Tabel 8.9 menunjukkan bahwa subelemen kunci dari elemen indikator pencapaian tujuan program ada dua yaitu meningkatnya harga jual produk nenas olahan (I2), dan meningkatnya jumlah produk nenas olahan yang terserap pasar (I6). Hasil tersebut menunjukkan bahwa program kemitraan setara harus memusatkan perhatian pada upaya peningkatan harga jual produk nenas olahan dan peningkatan produk nenas olahan yang terserap pasar.
Gambar 8.13. Matriks DP-D untuk elemen Indikator Pencapaian Tujuan Program Kemitraan Setara 116
Dari Gambar 8.13 (matriks DP-D untuk elemen indikator pencapaian tujuan program) tampak bahwa selain kedua subelemen tersebut, subelemen meningkatnya keuntungan usaha agroindustri nenas juga termasuk dalam sektor independent yang berarti bahwa subelemen tersebut juga perlu diperhatikan karena mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan program kemitraan setara. Sementara itu, subelemen meningkatnya harga jual nenas dari petani (I8) dan meningkatnya keuntungan usaha tani nenas terkelompok dalam sektor III (linkage) yang berarti bahwa kedua subelemen tersebut harus dikaji secara cermat dan hati-hati karena hubungan di antara keduanya tidak stabil. Penanganan yang keliru terhadap kedua subelemen ini dapat mengakibatkan gagalnya program kemitraan setara. Subelemen meningkatnya kemudahan memperoleh modal (I4), meningkatnya penyerapan tenaga kerja (I5), dan meningkatnya pendapatan daerah (I7) merupakan subelemen dependent (sektor II) yang berarti kedua subelemen tersebut akan terwujud dengan sendirinya sebagai akibat tindakan yang dilakukan untuk mencapai subelemensubelemen indikator yang lain.
I4
I5
I7
I1
I8
I3
I2
I6
Gambar 8.14. Struktur hirarki dari elemen indikator pencapaian tujuan program kemitraan setara.
117
Elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Elemen aktivitas program kemitraan setara terdiri atas 15 subelemen sebagai berikut: 1. Mengembangkan kerjasama dengan lembaga keuangan 2. Mengembangkan kelembagaan usaha agroindustri nenas 3. Mengimplementasikan rencana pengembangan agroindustri nenas 4. Mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling memperkuat 5. Mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling melengkapi 6. Mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling menguntungkan 7. Mengembangkan keterampilan usaha dalam agroindustri nenas 8. Mengembangkan keterkaitan antara petani-industri 9. Mengembangkan kerjasama dengan lembaga penelitian dan pengembangan 10. Mengembangkan jaringan pemasaran 11. Mengembangkan iklim usaha yang kondusif 12. Mengembangkan persaingan usaha yang sehat 13. Mengembangkan sistem informasi 14. Mengembangkan infrastruktur untuk usaha agroindustri nenas 15. Mengembangkan spesialisasi usaha Setelah dianalisis dengan metode ISM didapatkan bahwa kelimabelas subelemen dari elemen aktivitas program terkelompok ke dalam empat sektor pada matriks DP-D dan dapat disusun ke dalam ben tuk hirarki. Matriks DP-D untuk elemen aktivitas program dapat dilihat pada Gambar 8.15, sedangkan hirarki subelemen untuk elemen ini dapat dilihat pada Gambar 8.16. Hasil reachibility matrix dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 8.10.
118
Tabel 8. 10. Matriks reachability untuk elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 A15 D R
A1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 10 4
A2 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 8
A3 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 9 5
A4 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7
A5 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 7
A6 00 1 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 6
A7 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 9 5
A8 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 9 5
A9 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 9 5
A10 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 11 3
A11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0 9 5
A12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 12 2
A13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 0 10 4
A14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 10 4
A15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 13 1
DP 1 15 11 12 13 12 11 11 11 4 11 2 5 1 1
R 8 1* 4 3 2 3 4 4 4 6 4 7 5 8 8
*) Elemen Kunci :A2 Tabel 8.10 menunjukkan bahwa subelemen kunci dari elemen aktivitas program kemitraan setara adalah mengembangkan kelembagaan usaha agroindustri nenas (A2). Ini berarti bahwa pengembangan kelembagaan usaha agroindustri nenas merupakan tindakan yang besar pengaruhnya terhadap keberhasilan program kemitraan setara.
Gambar 8.15. Matriks DP-D untuk elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara. Gambar 8.15 (matriks DP-D untuk aktivitas program) menunjukkan bahwa subelemen mengembangkan kelembagaan usaha agroindustri nenas (A2), dan mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling menguntungkan (A6), yang merupakan penggabungan dari tiga subelemen, yaitu subelemen A4 (mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling memperkuat), A5 119
(mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling melengkapi), dan A6 (mengembangkan model kerjasama petani-industri yang saling menguntungkan), termasuk dalam sektor IV (independent) yang berarti bahwa kedua subelemen tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan program kemitraan setara, tetapi kebergantungan subelemen tersebut terhadap program tidaklah besar. Pelaksanaan kedua subelemen aktivitas tersebut akan sangat mempengaruhi keberhasilan program kemitraan setara agroindustri nenas. Selanjutnya, subelemen A3 (implementasi rencana pengembangan agroindustri nenas), A7 (mengembangkan keterampilan usaha agroindustri nenas), A8 (mengembangkan keterkaitan antara petani dan industri), A9 (mengembangkan kerjasama dengan lembaga penelitian dan pengembangan), dan A11 (mengembangkan iklim usaha yang kondusif) termasuk dalam sektor III (linkage), yang berarti subelemen-subelemen tersebut harus dikaji secara cermat dan hati-hati karena hubungan di antara subelemen-subelemen tersebut tidak stabil. Tindakan pada salah satu subelemen dapat berdampak besar terhadap subelemen yang lain dan umpan balik pengaruhnya dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan program kemitraan setara agroindustri nenas. Subelemen-subelemen lain dari elemen aktivitas program kemitraan , yaitu A1 (mengembangkan kerjasama dengan lembaga keuangan), A14 (mengembangkan infrastruktur untuk usaha agroindustri nenas), A15 (mengembangkan spesialisasi usaha), A12 (mengembangkan persaingan usaha yang sehat), A10 (mengembangkan jaringan pemasaran), dan A13 (mengembangkan sistem informasi) merupakan aktivitas-aktivitas yang termasuk dalam sektor II (dependent) yang berarti bahwa aktivitas-aktivitas tersebut akan dengan sendirinya perlu dilakukan jika aktivitasaktivitas lain di sektor IV dan III dilaksanakan.
120
A1
A14
A15
A12
A10
A13
A3
A7
A8
A4
A9
A11
A6
A5
A2
Gambar 8. 16. Struktur hirarki untuk elemen Aktivitas Program Kemitraan Setara. Elemen Pelaku Program Kemitraan Setara Agroindustri Nenas Elemen pelaku program kemitraan setara terdiri atas 12 subelemen. Pelaku program adalah lembaga-lembaga yang dipandang mempunyai keterlibatan langsung ataupun tak langsung dengan program kemitraan setara agroindustri nenas. Keduab elas subelemen yang ditemukan adalah sebagai berikut: 1. Dinas Pertanian dan Perkebunan 2. Pedagang perantara (bandar) 3. Pemerintah daerah Kabupaten Subang 4. Pengusaha industri 5. Lembaga keuangan 6. Dinas Koperasi dan PKM 7. Petani nenas 8. Koperasi 9. Masyarakat sekitar lokasi agroindustri 10. Bappeda 11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan 12. Badan POM 121
Hasil analisis dengan menggunakan metode ISM menunjukkan bahwa keduabelas subelemen pelaku program kemitraan setara tersebut dapat dipetakan dalam matriks DP-D seperti tampak pada Gambar 8.17. Selanjutnya, subelemensubelemen tersebut disusun hirarkiny a seperti tampak pada Gambar 8.18. Hasil reach ability matrix dan interpretasinya dapat dilihat pada Tabel 8.11. Tabel 8.11. Matriks reachability untuk elemen Pelaku Program Kemitraan Setara P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 D R
P1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P3 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 5
P4 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P5 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P6 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 4 3
P7 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P8 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 11 2
P9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 12 1
P10 0 0 1 0 0 0 0 0 0 1 0 0 2 4
P11 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2 4
P12 0 0 1 0 0 1 0 0 0 1 0 1 4 3
DP 7 7 12 7 7 9 7 7 1 10 8 9
R 5 5 1* 5 5 3 5 5 6 2 4 3
*) Elemen Kunci :P3 Tabel 8.11 menunjukkan bahwa subelemen kunci dari elemen pelaku program adalah Pemerintah Daerah (P3). Hasil tersebut mengisyaratkan bahwa pemerintah daerah perlu berperan aktif dalam program kemitraan setara karena keberhasilan program kemitraan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan pemerintah daerah. Hasil ini juga sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengelola daerahnya.
Gambar 8.17. Matriks DP-D untuk elemen Pelaku Program Kemitraan Setara. 122
Matriks DP-D untuk Pelaku Program (Gambar 8.17) menunjukkan bahwa subelemen P3 (Pemerintah Daerah), P10 (Bappeda), P11 (Dinas Perindustrian dan Perdagangan), P6 (Dinas Koperasi dan PKM), dan P12 (Badan POM) merupakan variabel yang termasuk dalam sektor IV (independent). Ini berarti bahwa kelima variabel tersebut mempunyai kekuatan penggerak yang besar terhadap keberhasilan program, tetapi tidak terlalu bergantung pada progra m itu sendiri. Dari Gambar 8.17 juga tampak bahwa subelemen P1 (Dinas Pertanian dan Perkebunan), P2 (Pedagang perantara), P4 (Pengusaha industri), P5 (Lembaga keuangan), P7 (Petani nenas), dan P8 (Koperasi petani) terkelompok dalam sektor III (linkage). Subelemen-subelemen tersebut harus dikaji secara cermat dan hati-hati karena hubungan di antara variabel-variabel tersebut tidak stabil. Tindakan pada salah satu variabel di sektor ini akan mempengaruhi variabel yang lain dan umpan balik pengaruhnya dapat berdampak besar terhadap keberhasilan program. Subelemen P9 (masyarakat sekitar lokasi agroindustri) masuk ke sektor II (dependent). Ini berarti bahwa
tindakan-tindakan yang dilakukan pada variabel-variabel
lain
akan
mempengaruhi variabel ini. Mengingat masyarakat sekitar lokasi merupakan pihak yang sangat bergantung pada pelaku -pelaku yang lain dan mengingat pula tanggungjawab pemerintah daerah untuk menyejahterakan masyarakat, maka program pengembangan agroindustri nenas di Subang perlu dilaksanakan secara cermat agar masyarakat sekitar lokasi mendapatkan manfaat yang besar dari kehadiran usaha agroindustri nenas di daerah tersebut.
123
P9
P1
P2
P4
P5
P7
P8
P11
P6
P12
P10
P3
Gambar 8. 18. Struktur hirarki untuk elemen Pelaku Program Kemitraan Setara. 6. Submodel Harga Kesetaraan Kesetaraan dalam kemitraan usaha agroindustri nenas tercapai apabila rasio manfaat/biaya (BCR) yang diperoleh usaha perkebunan (petani) nenas sama dengan BCR yang diperoleh usaha pengolahan nenas (industri).
Dalam sub model ini
digunakan rumus optimasi :
Min Z = BCk − BC p yang secara lengkap dapat dilihat pada Bab III. Hasil perhitungan harga kesetaraan dalam bentuk tabel dapat dilihat pada Tabel 8.12. Tabel 8.12. Hasil Perhitungan Harga Kesetaraan No
Harga Nenas kaleng (Rp./ton)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
5,000,000.00 5,250,000.00 5,500,000.00 5,750,000.00 6,000,000.00 6,250,000.00 6,500,000.00 6,750,000.00 7,000,000.00 7,250,000.00 7,500,000.00 7,750,000.00 8,000,000.00 8,250,000.00 8,500,000.00 8,750,000.00 9,000,000.00 9,250,000.00 9,500,000.00 9,750,000.00 10,000,000.00 10,250,000.00 10,500,000.00 10,750,000.00 11,000,000.00
NPV Kebun (Rp.) 11,201,286,423 19,317,000,602 27,344,688,884 35,286,260,344 43,141,683,250 50,915,684,476 58,611,208,605 66,230,595,690 73,776,291,927 81,229,491,323 88,594,169,691 95,890,748,157 103,121,103,306 110,286,972,137 117,390,115,651 124,432,093,065 131,414,470,963 138,338,749,991 145,206,323,576 152,018,510,243 158,776,918,550 165,482,322,837 172,136,533,244 178,740,227,358 185,294,673,593
IRR Kebun (%) 20.71 24.05 27.31 30.47 33.54 36.54 39.46 42.30 45.08 47.80 50.46 53.07 55.62 58.14 60.61 63.04 65.43 67.78 70.10 72.39 74.65 76.88 79.08 81.26 83.41
PBP Kebun (Tahun)
B/C R Kebun
12.02 6.49 5.64 5.00 4.53 4.13 2.77 2.64 2.53 2.43 2.33 2.24 2.16 2.09 2.02 1.95 1.89 1.83 1.78 1.73 1.68 1.63 1.59 1.55 1.51
1.17 1.29 1.40 1.52 1.64 1.75 1.87 1.98 2.09 2.20 2.31 2.42 2.52 2.63 2.73 2.84 2.94 3.04 3.15 3.25 3.35 3.44 3.54 3.64 3.74
NPV Pabrik (Rp.) 45,534,664,822 79,110,443,964 112,793,459,303 146,581,385,137 180,460,631,642 214,435,568,565 248,506,281,917 282,669,915,810 316,923,484,812 351,192,952,925 385,484,570,028 419,860,989,833 454,319,875,485 488,859,063,955 523,476,362,321 558,169,828,941 592,937,512,995 627,777,545,773 662,688,192,086 697,667,810,016 732,714,396,474 767,826,987,198 803,003,328,077 838,242,575,334 873,543,149,451
IRR Pabrik (%)
PBP Pabrik (Tahun)
B/C R Pabrik
21.60 25.64 29.62 33.57 37.46 41.32 45.15 48.95 52.72 56.45 60.16 63.86 67.53 71.20 74.85 78.49 82.12 85.75 89.37 92.99 96.60 100.21 103.81 107.42 111.02
9.60 6.61 5.13 4.24 3.64 3.20 2.90 2.72 2.56 2.42 2.29 2.18 2.07 1.98 1.88 1.78 1.70 1.62 1.55 1.49 1.43 1.38 1.33 1.28 1.23
1.17 1.29 1.40 1.52 1.64 1.75 1.87 1.98 2.09 2.20 2.31 2.42 2.52 2.63 2.73 2.84 2.94 3.04 3.15 3.25 3.35 3.44 3.54 3.64 3.74
Harga Kesetaraan (Rp./kg) 579.65 604.13 628.34 652.29 676.02 699.51 722.76 745.79 768.59 791.35 814.05 836.55 858.84 880.93 902.83 924.55 946.07 967.42 988.59 1,009.60 1,030.43 1,051.11 1,071.62 1,091.98 1,112.19
124
Grafik harga kesetaraan dapat dilihat pada Gambar 8.19. Perhitungan ini dilakukan dengan mengubah -ubah harga nenas kaleng sebagai peubah bebas dan hasil perhitungan adalah harga jual nenas segar ke pabrik yang memberikan nilai BCR sama bagi kebun dan pabrik.
1200
4
3.5 1000
800
600
2
BCR
2.5
Harga Nenas Segar (Rp./kg) BCR
1.5 400 1 200 0.5
11,000,000
10,750,000
10,500,000
10,250,000
9,750,000
10,000,000
9,500,000
9,250,000
9,000,000
8,750,000
8,500,000
8,250,000
8,000,000
7,750,000
7,500,000
7,250,000
7,000,000
6,750,000
6,500,000
6,250,000
6,000,000
5,750,000
5,500,000
0 5,250,000
0 5,000,000
Harga Nenas Segar (Rp./kg)
3
Harga Nenas Kaleng (Rp./Ton)
Gambar 8.19. Grafik Hasil Perhitungan Harga Kesetaraan
125
X. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Model Pengembangan Usaha Agroindustri Nenas AINI-MS yang dihasilkan adalah model yang menggunakan bahasa pemrograman Visual Basic versi 6.0. Model AINI-MS merupakan model yang dapat membantu para pelaku agroindustri nenas mengambil keputusan-keputusan menyangkut kemitraan usaha dalam agroindustri nenas. Model AINI-MS membantu para pelaku industri nenas dalam memilih lokasi dan produk yang sesuai untuk usaha agroindustri nenas, menentukan kelayakan usaha perkebunan nenas dan pengolahan nenas berupa dodol nenas dan nenas kaleng, serta mengembangkan kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas yang didasarkan pada kriteria Benefit/Cost Ratio (BCR). Model tersebut terdiri atas enam submodel sebagai berikut: a. Submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas. Submodel ini menggunakan teknik metode perbandingan eksponensial (MPE) untuk memilih lokasi usaha agroindustri nenas dengan menggunakan kriteria pengambilan keputusan tertentu. Submodel yang dihasilkan telah digunakan untuk menentukan lokasi usaha agroindustri yang paling sesuai untuk Kabupaten Subang. Dari lima kecamatan penghasil nenas di Kabupaten Subang didapatkan bahwa Kecamatan Jalancagak merupakan kecamatan yang paling sesuai untuk menjadi lokasi usaha agroind ustri nenas Subang. b. Submodel pemilihan produk-produk nenas olahan yang layak dikembangkan. Seperti halnya submodel pemilihan lokasi usaha agroindustri nenas, submodel ini juga menggunakan teknik MPE untuk memilih produk nenas olahan yang layak dikembangkan. Submodel yang dihasilkan telah digunakan untuk
menentukan produk nenas olahan yang paling layak dikembangkan di Kabupaten Subang. Dari empat macam produk olahan yang dimasukkan ke dalam submodel, didapatkan bahwa produk dodol nenas dan nenas kaleng merupakan produk nenas olahan yang paling sesuai untuk dikembangkan di Kabupaten Subang. c. Submodel analisis kelayakan usaha perkebunan nenas dengan dasar perhitungan luas kebun 1.500 hektar, dan hasil nenas segar sebesar 75.000 ton per tahun. d. Submodel analisis kelayakan usaha pengolahan nenas yang terdiri atas analisis kelayakan usaha peng alengan nenas dengan dasar perhitungan kapasitas terpasang 40.000 ton nenas kaleng/tahun, dan analisis kelayakan usaha dodol nenas dengan dasar perhitungan kapasitas 11.800 kg dodol nenas per tahun. Submodel analisis kelayakan menggunakan teknik-teknik perhitungan analisis finansial kelayakan usaha. Penggunaan submodel kelayakan usaha tersebut dengan menggunakan data dari Kabupaten Subang dan Belitung menunjukkan bahwa baik usaha kebun nenas, industri nenas kaleng, maupun industri kecil dodol nenas merupakan usaha-usaha yang layak dikembangkan. e. Submodel analisis kelembagaan kemitraan setara dengan menggunakan teknik interpretative structural modeling (ISM). Dalam submodel ini digunakan enam elemen program untuk melihat keterkaitan di antara elemen -elemen tersebut dan pengaruh elemen -elemen itu terhadap keberhasilan program kemitraan setara dalam agroindustri nenas. Elemen -elemen yang dianalisis adalah: elemen kebutuhan program, elemen kendala utama program, elemen tujuan program, elemen indikator pencapaian tujuan program, elemen aktivitas program, dan elemen pelaku program. Dengan menggunakan submodel 146
tersebut untuk Kabupaten Subang diperoleh temuan bahwa elemen yang paling dibutuhkan untuk memastikan keberhasilan program kemitraan setara adalah dukungan pemerintah daerah Subang serta iklim usaha yang kondusif. Ditemukan pula bahwa kendala utama terhadap pelaksanaan program kemitraan setara agroindustri nenas di Subang adalah kurangnya pembinaan dalam mengembangkan usaha agroindustri nenas. Selanjutnya ditemukan pula bahwa elemen kunci tujuan program adalah mengembangkan kebijakan yang mendukung iklim usaha dengan elemen kunci indikator pencapaian tujuan program adalah meningkatnya harga jual produk nenas olahan dan jumlah produk nenas olahan yang terserap pasar. Terakhir, elemen kunci pelaku program adalah pemerintah daerah Kabupaten Subang. Ini berarti bahwa pemerintah daerah Kabupaten Subang berperan penting dalam menentukan keberhasilan program kemitraan setara. f. Submodel pengukuran
kesetaraan
dalam
usaha
agroindustri,
dengan
menggunakan kriteria BCR (Benefit/Cost Ratio) untuk usaha kebun nenas dan industri pengalengan nenas. Angka BCR yang sama untuk perkebunan nenas dan industri pengalengan nenas diharapkan dapat meyakinkan petani untuk menjual nenas segar ke industri dengan harga yang menghasilkan nilai BCR tersebut sehingga kontinuitas pasokan nenas segar sebagai bahan baku untuk industri pengalengan nenas terjamin . Sebaliknya, industri pengalengan nenas juga diharapkan bersedia membeli nenas segar dari petani pada tingkat harga tersebut karena pada harga itu industri pengalengan nenas
mendapatkan
keuntungan yang wajar, dan setiap perubahan harga nenas kaleng di pasar akan memungkinkan industri pengalengan meminta perubahan harga bahan baku nenas segar dari petani. 147
2. Implementasi
model
kemitraan
setara
dalam
usaha
agroindustri
nenas
mengasumsikan adanya dukungan pengembangan struktur kelembagaan yang melibatkan pemerintah daerah, dinas pertanian, dinas koperasi dan pengusaha kecil dan menengah, dinas perindustrian, lembaga keuangan, koperasi, dan investor. Berdasarkan hasil analisis kelembagaan dengan menggunakan teknik ISM diketahui bahwa pemerintah daerah mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan keberhasilan program kemitraan setara pada usaha agroindustri nenas. 3. Model kemitraan setara dalam usaha agroindustri nenas diwujudkan melalui tiga tahap kemitraan, sebagai berikut: (a) tahap kemitraan awal, yaitu tahap ketika pihak-pihak yang bermitra (petani dan pengusaha industri pengolahan nenas) saling melakukan penyesuaian diri. Pada tahap ini hampir semua sarana produksi disediakan oleh pengusaha industri pengolahan nenas. Petani hanya menyediakan tenaga kerja dan lahan. Pengusaha industri membina petani agar memiliki kemampuan untuk menghasilkan nenas segar dalam jumlah yang sesuai kebutuhan industri pengolahan nenas. Tahap ini dinyatakan berhasil dengan baik apabila telah terwujud kesetaraan kuantitas, artinya, hasil nenas segar dari kebun petani telah mampu mencukupi kebutuhan industri pengolahan nenas, (b) tahap kemitraan madya, yaitu tahap ketika petani mulai menguasai teknologi budidaya dan manajemen perkebunan nenas. Tahap madya dinyatakan berhasil dengan baik apabila telah terwujud kesetaraan kualitas, artinya, kualitas nenas segar yang dihasilkan kebun petani telah mampu memenuhi tuntutan kualitas dari industri pengolahan nenas, dan (c) tahap kemitraan lanjut, yaitu ketika kemitraan setara mulai benar-benar d iwujudkan. Pada tahap ini kriteria BCR yang sama antara
148
usaha kebun nenas dan usaha pengalengan nenas sebagai tolok ukur kesetaraan telah diterapkan sepenuhnya. B. Saran 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Subang disarankan untuk mengembangkan kebijakan yang
menyangkut kemudahan investasi untuk agroindustri nenas.
Pemerintah daerah juga disarankan untuk mengupayakan skema kredit usaha yang memberikan kesempatan kepada petani (melalui koperasi petani) memperoleh modal usaha dari lembaga keuangan. Ini dilakukan dengan mengembangkan kerjasama dengan bank syariah dalam bentuk permodalan ventura. Selanjutnya pemerintah daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Dua disarankan membuat peraturan daerah mengenai prioritas peruntukan lahan bagi perkebunan dan industri pengolahan nenas, khususnya di Kecamatan Jalancagak. Pemerintah daerah juga disarankan untuk bersama manajemen usaha perkebunan nenas dan pengusaha industri pengolahan nenas menjabarkan lebih lanjut rancangan implementasi kelembagaan kemitraan setara yang telah disusun ke dalam program-program pelaksanaan agar kemitraan setara dalam agroindustri nenas dapat terwujud. Secara khusus, pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembuatan sistem informasi yang akan membuat akses petani ke berbagai informasi menyangkut teknologi dan pasar hasil-hasil agroindustri nenas lebih mudah. Akses ke berbagai sumber informasi ini sangat penting untuk memungkinkan tercapainya kesetaraan antara petani dan pengusaha industri pengolahan nenas. 2. Dinas pertanian dan Dinas Koperasi dan PKM disarankan membantu penyediaan dana serta fasilitas pelatihan bagi petani. Untuk merancang program-program pelatihan bagi petani tersebut dinas -dinas di atas disarankan untuk melibatkan 149
perguruan tinggi yang diharapkan dapat memberikan pembinaan kepada petani dalam hal metode budi-daya nenas yang memungkinkan usaha kebun nenas petani memasok nenas segar dalam kuantitas dan kualitas yang sesuai kebutuhan industri pengalengan nenas. 3. Karena dari penelitian didapatkan bahwa angka BCR dapat digunakan seb agai ukuran kesetaraan yang mencerminkan tingkat pendapatan petani yang wajar sesuai dengan tingkat harga nenas olahan di pasar, maka pemerintah daerah bekerjasama dengan perguruan tinggi disarankan dapat menyebar-luaskan cara perhitungan BCR yang sederhana dan mudah dilakukan oleh petani sehingga petani dapat setiap saat melakukan perhitungan BCR untuk memperkirakan harga jual nenas segar yang layak. 4. Apabila kemitraan antara petani dan pengusaha industri pengolahan nenas telah terbentuk, manajemen usaha perkebunan nenas yang merupakan kelompok profesional pengelola kebun nenas milik petani dan unit layanan teknis yang membantu pengelola industri pengolahan nenas disarankan untuk melakukan pertemuan rutin membahas situasi pasar nenas kaleng dan struktur biaya perkebunan nenas dan industri pengolahan nenas agar perhitungan rasio BCR dapat dilakukan secara akurat dan terbuka di antara kedua pihak. Pertemuan seperti ini juga dapat dimanfaatkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan mengenai teknik perhitungan BCR kepada petani.
150
DAFTAR PUSTAKA
Andersen, O, dan Kheam, L. S. Resource-based Theory and International Growth Strategies: An Exploratory Study, International Business Review 7 (1998) 163184. Asopa, V. N. Competitiveness in Pineapple Canning Industry, Hawaii International Conference on Business, 2003, Honolulu, Hawaii, USA. Austin, J.E. 1992. Agroindustrial Project Analysis: Critical Design Factors. The John Hopkins University Press, Baltimore, Maryland, USA. Badan Agribisnis Departemen Pertanian, 1998. Kebijakan dan Penjelasan Pola Kemitraan Usaha Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta, Indonesia. Badan Pusat Statistik, 2003. Kabupaten Subang dalam Angka. Jakarta, Indonesia. _________________, 2004. Survai Pertanian Produksi Tanaman Sayuran dan Buahbuahan 2003, Jak arta, Indonesia. _________________, 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Jakarta, Indonesia. Bappeda Kabupaten Belitung. 2001. Studi Profil Investasi Pulau Belitung, Pemerintah Daerah Kabupaten Belitung, Indonesia. Brown, J. G. 1994. Agroindustrial Investment and Operations, The World Bank, Washington, D. C. , USA. Cho, D. S., dan Hwy C. M. 2003. From Adam Smith to Michael Porter: Evolusi Teori Daya Saing (Terjemahan Early Suandy), Penerbit Salemba Empat, Jakarta, Indonesia. CIC, 2000. Prospects of Canned Pineapple Industry and Marketing In Indonesia, PT. Carpricorn Indonesia Consult Inc., Indonesia. Daniels, J. D., dan L. H. Radebaugh. 1996. International Business: Environments and Operations, 7th Ed., Addison-Wesley Publishing Company, Reading, Mass., USA. Economic Research Service, USDA. Commodity Highlight. Fruit and Tree Nuts Outlook/FTS – 307/Nov., 21, 2003. Eriyatno, 1999. Ilmu Sistem: Peningkatan Mutu dan Efektivitas Manajemen , IPB Press, Bogor, Indonesia. Grant, R. M. 1995. Contemporary Strategy Analysis: Concepts, Techniques, Applications, 2nd Ed., Blackwell Business, Oxford, UK.
Gumbira-Said, E. 1996. Penerapan Manajemen Teknologi untuk Agribisnis, Majalah Usahawan No. 10 Th XXV Oktober 1996, Jakarta. ________ 2000. Masalah dan Rekomendasi Kebijakan Agribisnis/Agroindustri dan Perdagangan dalam Pembangunan Tanaman Pangan dan Holtikultura. Makalah tentang diskusi pakar tentang arah pembangunan pangan dan ho rtikultura, Bogor, Indonesia. ________ 2001. Penerapan Manajemen Teknologi dalam Meningkatkan Daya Saing Global Produk Agribisnis/Agroindustri Berorentasi Produk Berkelanjutan. Orasi Guru Besar Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian, Bogor, Indonesia. Hadi, P. U. The Case Study of Canned Pineapple In Indonesia. Makalah disampaikan pada “UNCTAD Workshop on Commodity Export Diversification and Poverty Reduction in South and South -East Asia”, 3 – 5 April 2001, Bangkok, Thailand. Hafsah, M. J. 1999. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi Penerbit Pustaka Sinar, Harapan, Jakarta, Indonesia. Haines, S. G. 2000. The System Thinking Approach to Strategic Planning and Management, St. Lucie Press, New York, USA. Hamel, G., and C. K. Prahalad. 1995. Competing for the Future (terjemahan Agus Maulana), Binarupa Aksara, Jakarta, Indonesia. Hasbi. 2001. Rekayasa Sistem Kemitraan Usaha Pola Mini Agroindustri Kelapa Sawit (disertasi), Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Hasboellah, A. 2003. Strategi Kemitraan dalam Mendukung Usaha Kecil Nelayan Tangkap pada PT ”XX” (Studi Kasus) (tesis), Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Hermawan, A. 1996. Kelayakan Finasial. Makalah pada Pelatihan Analisa Kelayakan Usaha. Institut Pertanian Bogor berkerjasama dengan Dit. Jen. Bina Masyarakat Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. Bogor, 1-7 Oktober 1996. Hidayat, S. dan D. Syamsulbahri. 2001. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat: Sebuah Rekonstruksi Konsep Community Based Development (CBD). PT Pustaka Quantum, Jakarta, Indonesia. Hitt, M. A.; D. R. Ireland, and R. E. Hoskisson. 2001. Strategic Management: Competitiveness and Globalization, West Publishing Company, ST. Paul, MN., USA. Hunt, S. D. 1999. The Strategic Imperative and Sustainable Competitive Advantage; Public Policy Implications of Resource-Advantage Theory. Journal of the Academy of Marketing Science, Volume 27, No. 2, 144-159, 1999.
152
Huseini, M. 2000. Otonomi Daerah, Integrasi Bangsa, dan Daya Saing Nasional: SakaSakti suatu Model Alternatif Pemberd ayaan Ekonomi Daerah, Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, No. 1/Vol. I/Juli/2000. ISSN No: 0854-3844. Jakarta, Indonesia. Maarif, M. S. dan Hendri T. 2003. Teknik -tenik Kuantitatif untuk Manajemen, PT Grasindo, Jakarta, Indonesia. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk, PT Grasindo, Jakarta, Indonesia. Muhammadi; Aminullah, E.; dan Soesilo, B. 2001. Analisa Sistem Dinamis: Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen. UMJ Press, Jakarta, Indonesia. Mulyadi, D. (2001). Pengembangan Agroindustri Rotan dengan Pendekatan Kompetensi Inti (disertasi), Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Porter, M. E. 1992. Competitive Strategy (terjemahan Agus Maulana), Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia. _______ 1998. On Competition, Harvard Business Review Book, Boston, Mass., USA. Rukmana, R., dan Y. Y. Oesman. 1996. Nenas: Budidaya dan Pascapanen, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Indonesia. Sanim, B. 2000. Jaringan Kemitraan sebagai Wujud Pemberdayaan UKM&K dalam Mengatasi Krisis di Indonesia. Makalah disampaikan pada Workshop dan Pengenalan dan Pemanfaatan Internet (E-Commerce) bagi Koperasi dan Usaha Menengah dalam Era Perdagangan Bebas. 21 November 2000. Jakarta, Indonesia. Saragih, B. 2000. Membangun Kemitraan Ekonomi dalam Sistem Agribisnis untuk Mempercepat Pembangunan Ekonomi Daerah. Makalah pada Lokakarya Peningkatan Kapasitas Jaringan Kerja Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal, Jakarta, Indonesia. Selamat, M. M. 1996 (Penyunting). Penanaman Nenas: Nenas Makan Segar dan Nenas Kaleng, Institut Penyelidikan dan Kemajuan Pertanian Malaysia (MARDI), Malaysia. Sitorus, M.T. F., Endriatmo S., Djuara P. L., Ivanovich A., dan Rahmat P. 2001. Agribisnis Berbasis Komunitas. Pustaka Wirausaha Muda, Bogor, Indonesia. Subagyo, H. 2000. Analisis Kelayakan Agribisnis Nenas di Daerah Transmigrasi (tesis), Program Pascasarjana, Institut Pertanian, Bogor, Indonesia. Suhardi, T. 1992. Kemitraan dan Keterikatan antara Usaha Kecil dalam Industri Pengolahan. (Thee Kian Wie, editor). Dialog Kemitraan dan Keterkaitan Usaha 153
Besar dan Kecil dalam Sektor Industri Pengolahan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia. Sumardjo, J. Sulaksana, dan W. A. Darmono, 2004. Teori dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya, Bogor, Indonesia. Sutoyo, S. 1993. Studi Kelayakan Proyek: Teori dan Praktek. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, Indonesia. Tampubolon, S. M. H. 1996. Indonesia Agribusiness System in the Global Market. Makalah pada Seminar “Tropical Agriculture in the Global Market”, Bogor, Indonesia. Tuomi, I. 1999. Corporate Knowledge: Theory and Practice of Intelligent Organizations, Mitaxis, Helsinki, Finland. Von Krogh, G.; Kazuo I.; and Ikujiro N. Enabling Knowledge Creation: How to Unlock the Mystery of Tacit Knowledge and Release the Power of Innovation. Oxford University Press, New York, USA.
154
LAMPIRAN
Lampiran 1. Model Identifikasi Faktor (Jumlah, Skala, Pakar, dan Objek)
Lampiran 2. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Skala Penilaian)
156
Lampiran 3. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Pakar)
Lampiran 4. Model Identifikasi Faktor (Inisialisasi Item yang Dinilai)
157
Lampiran 5. Model Identifikasi Faktor (Matriks Pendapat Pakar)
Lampiran 6. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat)
158
Lampiran 7. Model Identifikasi Faktor (Hasil Agregasi Pendapat yang Sudah Difilter)
Lampiran 8. Model Pemilihan Produk (Registrasi Objek)
159
Lampiran 9. Model Pemilihan Produk (Registrasi Faktor/Kriteria)
Lampiran 10. Model Pemilihan Produk (Registrasi Pakar/Pengambil Keputusan)
160
Lampiran 11. Model Pemilihan Produk (Matriks Pendapat dan Resume Agregat)
Lampiran 12. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Objek)
161
Lampiran 13. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Faktor/Kriteria)
Lampiran 14. Model Pemilihan Lokasi (Registrasi Pakar/Pengambil Keputusan)
162
Lampiran 15. Model Pemilihan Lokasi (Matriks Pendapat dan Resume Agregat)
Lampiran 16. Model Kelayakan Finansial Integrasi
163
Lampiran 17. Hasil Analisis Break Even 1. Usaha Perkebunan Nenas BEP Harga Nenas Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
BEP Produksi Nenas Satuan
ton/tahun Rp./kg Rp. % Tahun
Nilai
74,626.87 545.86 313.43 16.00 20.00 1.00 1.35 -17,079,514,539.97 Layak Resiko Tinggi
2. Industri Nenas Kaleng BEP Harga Nenas Kaleng Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
ton/tahun Rp./ton Rp. % Tahun
Nilai
40,000.00 4,793,995.26 11,598,119,023.42 17.44 16.08 1.04 0.47 2,146,347,549.77 Layak Resiko Rendah
Satuan
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
Satuan
ton/tahun Rp./kg Rp. % Tahun
Nilai
74,626.87 545.86 313.43 16.00 20.00 1.00 1.35 -17,079,514,539.97 Layak Resiko Tinggi
ton/tahun Rp./ton Rp. % Tahun
Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
Satuan
ton/tahun Rp./ton Rp. % Tahun
Nilai
40,000.00 4,793,995.26 11,598,119,023.42 17.44 16.08 1.04 0.47 2,146,347,549.77 Layak Resiko Rendah
BEP Produksi Nenas Kaleng Nilai
40,000.00 4,386,967.20 67,216,807.48 16.01 19.97 1.00 0.63 -9,293,442,654.86 Layak Resiko Sedang
4. Industri Dodol BEP Harga Dodol Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
BEP Produksi Nenas Kaleng Satuan
3. Agroindustri Nenas Kaleng BEP Harga Nenas Kaleng Uraian
Uraian
Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
Satuan
ton/tahun Rp./ton Rp. % Tahun
Nilai
40,000.00 4,386,967.20 67,216,807.48 16.01 19.97 1.00 0.63 -9,293,442,654.86 Layak Resiko Sedang
BEP Produksi Dodol Satuan
kg/tahun Rp./kg Rp. % Tahun
Nilai
11,880.00 9,529.23 3,310,088.98 18.00 12.90 1.01 0.18 4,282,301.56 Layak Resiko rendah
Uraian
Tingkat Produksi Harga BEP NPV IRR PBP B/C R CV Keuntungan Minimum Keputusan
Satuan
kg/tahun Rp./kg Rp. % Tahun
Nilai
11,880.00 9,529.23 3,310,088.98 18.00 12.90 1.01 0.18 4,282,301.56 Layak Resiko rendah
164
Lampiran 18. Model Kelembagaan (Halaman Utama)
Lampiran 19. Model Kelembagaan (Detail Sub Elemen)
165
Lampiran 20. Model Kelembagaan (Detail Pakar/Pengambil Keputusan)
Lampiran 21. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Individu)
166
Lampiran 22. Model Kelembagaan (Matriks Pendapat Agregat)
Lampiran 23. Model Kelembagaan (Matriks Reachibility Pendapat Agregat)
167
Lampiran 24. Model Kelembagaan (Matriks Revisi Pendapat Agregat)
Lampiran 25. Model Kelembagaan (Elemen Kunci Pendapat Agregat)
168
Lampiran 26. Model Kelembagaan (Grafik Driver Power – Dependency Pendapat Agregat)
Lampiran 27. Model Kelembagaan (Struktur Sub Elemen Pendapat Agregat)
169
Lampiran 28. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Kebun Nenas a. Perkiraan Rugi / Laba Kebun Nenas No. Keterangan 1 Penjualan Nenas Produksi Nenas Harga Jual Nenas 2 Pembiayaan Operasional Biaya Penanaman Biaya Pemeliharaan dan Pemanenan Biaya Tenaga Kerja Kantor Biaya Tenaga Kerja Kebun Penyusutan dan Amortisasi 3 Laba Kotor 4 Angsuran Tahunan 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Akumulasi Laba Bersih
1 32,182,835,821 55,970,149 575 17,551,106,250
2 36,473,880,597 63,432,836 575 17,551,106,250
3 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 14,631,729,571 0 14,631,729,571 1,463,172,957 13,168,556,614 13,168,556,614
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 18,922,774,347 0 18,922,774,347 1,892,277,435 17,030,496,912 30,199,053,526
11 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
12 42,910,447,761 74,626,866 575 49,054,481,250 31,503,375,000 8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 -6,144,033,489 9,102,614,443 -15,246,647,931 0 -15,246,647,931 95,068,843,262
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 110,315,491,193
5 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
6 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
7 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 53,022,460,886
4 42,910,447,761 74,626,866 575 49,054,481,250 31,503,375,000 8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 -6,144,033,489 9,102,614,443 -15,246,647,931 0 -15,246,647,931 37,775,812,955
9 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
10 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 81,668,976,040
8 42,910,447,761 74,626,866 575 49,054,481,250 31,503,375,000 8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 -6,144,033,489 9,102,614,443 -15,246,647,931 0 -15,246,647,931 66,422,328,108
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 52,406,867,316
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 67,037,921,678
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 81,053,382,470
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 95,684,436,832
13 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
14 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
15 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 8,790,000,000 922,500,000 922,500,000 5,200,000,000 5,200,000,000 2,638,606,250 2,638,606,250 25,359,341,511 25,359,341,511 9,102,614,443 0 16,256,727,069 25,359,341,511 1,625,672,707 2,535,934,151 14,631,054,362 22,823,407,360 109,699,897,624 132,523,304,984
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 155,346,712,344
16 42,910,447,761 74,626,866 575 49,054,481,250 31,503,375,000 8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 -6,144,033,489 0 -6,144,033,489 0 -6,144,033,489 149,202,678,855
17 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
18 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
19 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
20 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 172,026,086,215
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 194,849,493,575
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 217,672,900,935
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 0 25,359,341,511 2,535,934,151 22,823,407,360 240,496,308,295
170
Lampiran 28. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Kebun Nenas (Lanjutan) b. Perkiraan Arus Kas Kebun Nenas No. Keterangan 1 Penjualan Nenas Produksi Nenas Harga Jual Nenas 2 Pembiayaan Operasional Investasi Pembangunan Kebun Biaya Penanaman Biaya Pemeliharaan dan Pemanenan Biaya Tenaga Kerja Kantor Biaya Tenaga Kerja Kebun Penyusutan dan Amortisasi 3 Laba Kotor 4 Angsuran Tahunan 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Akumulasi Laba Bersih
0
52,772,125,000 21,268,750,000 31,503,375,000
-52,772,125,000 -52,772,125,000 -52,772,125,000 -52,772,125,000
1 2 3 4 32,182,835,821 36,473,880,597 42,910,447,761 42,910,447,761 55,970,149 63,432,836 74,626,866 74,626,866 575 575 575 575 17,551,106,250 17,551,106,250 17,551,106,250 49,054,481,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 14,631,729,571 0 14,631,729,571 1,463,172,957 13,168,556,614 -39,603,568,386
31,503,375,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 18,922,774,347 25,359,341,511 -6,144,033,489 0 0 9,102,614,443 18,922,774,347 25,359,341,511 -15,246,647,931 1,892,277,435 2,535,934,151 0 17,030,496,912 22,823,407,360 -15,246,647,931 -22,573,071,474 250,335,886 -14,996,312,045
11 12 13 14 42,910,447,761 42,910,447,761 42,910,447,761 42,910,447,761 74,626,866 74,626,866 74,626,866 74,626,866 575 575 575 575 17,551,106,250 49,054,481,250 17,551,106,250 17,551,106,250
5 6 42,910,447,761 42,910,447,761 74,626,866 74,626,866 575 575 17,551,106,250 17,551,106,250
7 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8 42,910,447,761 74,626,866 575 49,054,481,250
9 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
10 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 -365,257,684
31,503,375,000 8,790,000,000 8,790,000,000 922,500,000 922,500,000 5,200,000,000 5,200,000,000 2,638,606,250 2,638,606,250 25,359,341,511 -6,144,033,489 9,102,614,443 9,102,614,443 16,256,727,069 -15,246,647,931 1,625,672,707 0 14,631,054,362 -15,246,647,931 28,896,851,040 13,650,203,108
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 28,281,257,470
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 42,912,311,832
17 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
19 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
20 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
8,790,000,000 922,500,000 5,200,000,000 2,638,606,250 25,359,341,511 9,102,614,443 16,256,727,069 1,625,672,707 14,631,054,362 14,265,796,678
15 16 42,910,447,761 42,910,447,761 74,626,866 74,626,866 575 575 17,551,106,250 49,054,481,250
31,503,375,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 25,359,341,511 -6,144,033,489 25,359,341,511 25,359,341,511 25,359,341,511 9,102,614,443 9,102,614,443 9,102,614,443 0 0 16,256,727,069 -15,246,647,931 16,256,727,069 25,359,341,511 25,359,341,511 1,625,672,707 0 1,625,672,707 2,535,934,151 2,535,934,151 14,631,054,362 -15,246,647,931 14,631,054,362 22,823,407,360 22,823,407,360 57,543,366,193 42,296,718,262 56,927,772,624 79,751,179,984 102,574,587,344
18 42,910,447,761 74,626,866 575 17,551,106,250
31,503,375,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 8,790,000,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 922,500,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 5,200,000,000 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 2,638,606,250 -6,144,033,489 25,359,341,511 25,359,341,511 25,359,341,511 25,359,341,511 0 0 0 0 0 -6,144,033,489 25,359,341,511 25,359,341,511 25,359,341,511 25,359,341,511 0 2,535,934,151 2,535,934,151 2,535,934,151 2,535,934,151 -6,144,033,489 22,823,407,360 22,823,407,360 22,823,407,360 22,823,407,360 96,430,553,855 119,253,961,215 142,077,368,575 164,900,775,935 187,724,183,295
171
Lampiran 29. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Pabrik Pengalengan Nenas a. Perkiraan Rugi / Laba Pabrik Pengalengan Nenas No.
Keterangan 1 Penjualan Produk Produksi Nenas Kaleng Harga Jual Nenas Kaleng 2 Pembiayaan Operasional Biaya Personalia Biaya Pengolahan Penyusutan dan Amortisasi 3 Laba Kotor 4 Angsuran Tahunan 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Akumulasi Laba Bersih
1 151,620,000,000 30,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 18,776,051,996 0 18,776,051,996 1,877,605,200 16,898,446,797 16,898,446,797
2 171,836,000,000 34,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 38,992,051,996 0 38,992,051,996 3,899,205,200 35,092,846,797 51,991,293,593
3 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 114,375,740,390
4 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 146,058,575,901
5 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 177,741,411,413
6 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 209,424,246,924
7 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 241,107,082,435
8 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 272,789,917,947
9 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 304,472,753,458
10 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 336,155,588,969
11 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 367,838,424,481
12 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 399,521,259,992
13 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 34,112,901,428 35,203,150,568 3,520,315,057 31,682,835,511 431,204,095,503
14 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 493,588,542,300
15 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 555,972,989,097
16 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 618,357,435,893
17 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 680,741,882,690
18 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 743,126,329,487
19 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 805,510,776,283
20 202,160,000,000 40,000 5,054,000 132,843,948,004 351,000,000 125,021,979,254 7,470,968,750 69,316,051,996 0 69,316,051,996 6,931,605,200 62,384,446,797 867,895,223,080
172
Lampiran 29. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Pabrik Pengalengan Nenas (Lanjutan) b. Perkiraan Arus Kas Pabrik Pengalengan Nenas No.
Keterangan 1 Penjualan Produk Produksi Nenas Kaleng Harga Jual Nenas Kaleng 2 Pembiayaan Operasional Investasi Pembangunan Pabrik Biaya Personalia Biaya Pengolahan Penyusutan dan Amortisasi 3 Laba Kotor 4 Angsuran Tahunan 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Akumulasi Laba Bersih
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 151,620,000,000 171,836,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 30,000 34,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 149,419,375,000 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 149,419,375,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 -149,419,375,000 18,776,051,996 38,992,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 0 0 0 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 -149,419,375,000 18,776,051,996 38,992,051,996 69,316,051,996 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 1,877,605,200 3,899,205,200 6,931,605,200 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 -149,419,375,000 16,898,446,797 35,092,846,797 62,384,446,797 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 -149,419,375,000 -132,520,928,203 -97,428,081,407 -35,043,634,610 -3,360,799,099 28,322,036,413 60,004,871,924 91,687,707,435 123,370,542,947 155,053,378,458 186,736,213,969 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 202,160,000,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 40,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 5,054,000 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 132,843,948,004 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 351,000,000 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 125,021,979,254 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 7,470,968,750 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 34,112,901,428 34,112,901,428 34,112,901,428 0 0 0 0 0 0 0 35,203,150,568 35,203,150,568 35,203,150,568 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 69,316,051,996 3,520,315,057 3,520,315,057 3,520,315,057 6,931,605,200 6,931,605,200 6,931,605,200 6,931,605,200 6,931,605,200 6,931,605,200 6,931,605,200 31,682,835,511 31,682,835,511 31,682,835,511 62,384,446,797 62,384,446,797 62,384,446,797 62,384,446,797 62,384,446,797 62,384,446,797 62,384,446,797 218,419,049,481 250,101,884,992 281,784,720,503 344,169,167,300 406,553,614,097 468,938,060,893 531,322,507,690 593,706,954,487 656,091,401,283 718,475,848,080
173
Lampiran 30. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Industri Dodol Nenas a. Perkiraan Rugi / Laba Industri Dodol Nenas No
Uraian 1 Nilai Penjualan Produksi Dodol (kg) Harga Dodol (Rp./kg) 2 Pengeluaran a. Reinvestasi b. Biaya Bahan Baku c. Biaya Kemasan d. Biaya Overhead e. Biaya Tetap f. Biaya Pemasaran 3 Laba Kotor 4 Pengembalian Pinjaman 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak Penghasilan 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Nilai Sisa Modal 11 Total
1 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 197,600 13,566,600 1,356,660 12,209,940
2 118,800,000 11,880 10,000 90,822,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,977,700 197,600 27,780,100 1,319,410 26,460,690
3 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 197,600 28,152,600 1,356,660 26,795,940
4 118,800,000 11,880 10,000 91,047,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,752,700 197,600 27,555,100 1,296,910 26,258,190
5 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 197,600 28,152,600 1,356,660 26,795,940
6 118,800,000 11,880 10,000 90,822,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,977,700 0 27,977,700 1,339,170 26,638,530
7 118,800,000 11,880 10,000 94,824,800 4,375,000 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 23,975,200 0 23,975,200 938,920 23,036,280
8 118,800,000 11,880 10,000 91,047,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,752,700 0 27,752,700 1,316,670 26,436,030
9 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
10 118,800,000 11,880 10,000 90,822,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,977,700 0 27,977,700 1,339,170 26,638,530
12,209,940
26,460,690
26,795,940
26,258,190
26,795,940
26,638,530
23,036,280
26,436,030
26,973,780
26,638,530
11 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
12 118,800,000 11,880 10,000 91,047,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,752,700 0 27,752,700 1,316,670 26,436,030
13 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
14 118,800,000 11,880 10,000 95,197,300 4,747,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 23,602,700 0 23,602,700 901,670 22,701,030
15 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
16 118,800,000 11,880 10,000 91,047,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,752,700 0 27,752,700 1,316,670 26,436,030
17 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
18 118,800,000 11,880 10,000 90,822,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 27,977,700 0 27,977,700 1,339,170 26,638,530
19 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780
26,973,780
26,436,030
26,973,780
22,701,030
26,973,780
26,436,030
26,973,780
26,638,530
26,973,780
20 118,800,000 11,880 10,000 90,449,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 28,350,200 0 28,350,200 1,376,420 26,973,780 625,000 27,598,780
174
Lampiran 30. Proyeksi Rugi / Laba dan Arus Kas Industri Dodol Nenas (Lanjutan) b. Perkiraan Arus Kas Industri Dodol Nenas No
Uraian 1 Nilai Penjualan Produksi Dodol (kg) Harga Dodol (Rp./kg) 2 Pengeluaran a. Investasi b. Biaya Bahan Baku c. Biaya Kemasan d. Biaya Overhead e. Biaya Tetap f. Biaya Pemasaran 3 Laba Kotor 4 Pengembalian Pinjaman 5 Laba Bersih Sebelum Pajak 6 Pajak Penghasilan 7 Laba Bersih Setelah Pajak 8 Nilai Sisa Modal 11 Total
0
-36,197,000
1 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 197,600 13,566,600 1,356,660 12,209,940
2 118,800,000 11,880 10,000 105,408,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,391,700 197,600 13,194,100 1,319,410 11,874,690
3 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 197,600 13,566,600 1,356,660 12,209,940
4 118,800,000 11,880 10,000 105,633,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,166,700 197,600 12,969,100 1,296,910 11,672,190
5 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 197,600 13,566,600 1,356,660 12,209,940
6 118,800,000 11,880 10,000 105,408,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,391,700 0 13,391,700 1,339,170 12,052,530
7 118,800,000 11,880 10,000 109,410,800 4,375,000 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 9,389,200 0 9,389,200 938,920 8,450,280
8 118,800,000 11,880 10,000 105,633,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,166,700 0 13,166,700 1,316,670 11,850,030
9 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
10 118,800,000 11,880 10,000 105,408,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,391,700 0 13,391,700 1,339,170 12,052,530
-36,197,000
12,209,940
11,874,690
12,209,940
11,672,190
12,209,940
12,052,530
8,450,280
11,850,030
12,387,780
12,052,530
11 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
12 118,800,000 11,880 10,000 105,633,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,166,700 0 13,166,700 1,316,670 11,850,030
13 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
14 118,800,000 11,880 10,000 109,783,300 4,747,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 9,016,700 0 9,016,700 901,670 8,115,030
15 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
16 118,800,000 11,880 10,000 105,633,300 597,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,166,700 0 13,166,700 1,316,670 11,850,030
17 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
18 118,800,000 11,880 10,000 105,408,300 372,500 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,391,700 0 13,391,700 1,339,170 12,052,530
19 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780
12,387,780
11,850,030
12,387,780
8,115,030
12,387,780
11,850,030
12,387,780
12,052,530
12,387,780
20 118,800,000 11,880 10,000 105,035,800 0 72,586,800 21,970,000 5,024,000 3,417,500 2,037,500 13,764,200 0 13,764,200 1,376,420 12,387,780 625,000 13,012,780
36,197,000 36,197,000
-36,197,000 -36,197,000
175