STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI Yuliningsih, Eny Lestari, Emi Widiyanti
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami No.36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp./Fax (0271) 637457 E-mail:
[email protected], Telp. 085642754082 Abstract :. The objectives of this study were to identify variety in cashew nut processing agroindustry; to identify the internal and external factors; to formulate the alternative development strategies; and to determine the priority of development strategy.The research method is used analytical descriptive with a survey research techniques. Methods of data analysis were analysis of costs, revenues, and profits; IFE and EFE matrix; SWOT matrix; and QSP matrix.The results of this study were the average of profit per month about Rp 1.348.229,20 for micro respondent and small scale enterprises about Rp 4,571,577.73; the main strength in this industry was a good relationship with distributors and customer and its main weakness was the untidy financial records; the main opportunity product was cuisine food, and the main threats were conventional technologies; there were 8 alternative strategies produced, two S-O strategies, two W-O strategies, two S-T strategies, two W-T strategies; the priority of strategy is resulted to improve the quality of the resulted product. Keywords: development strategy, cashew nut processing agroindustry, alternative strategies, priority of strategy
Abstrak :Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri; mengidentifikasi faktor internal dan eksternal; merumuskan alternatif strategi pengembangan; dan menentukan prioritas strategi pengembangan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dengan teknik survei. Metode analisis data : analisis biaya, penerimaan, dan keuntungan; matriks IFE dan EFE; matriks SWOT; dan matriks QSP. Hasil penelitian rata-rata keuntungan setiap bulan untuk adalah Rp 1.348.229,20 untuk usaha skala mikro dan usaha skala kecil Rp 4.571.577,73; kekuatan utama dalam usaha ini adalah hubungan baik dengan distributor dan pelanggan dan kelemahan utamanya adalah pencatatan keuangan belum rapi; peluang utama ialah produk merupakan oleh-oleh khas dan ancaman utamanya berupa teknologi konvensional; ada 8 alternatif strategi yang dihasilkan, dua strategi S-O,dua strategi W-O, dua strategi S-T, dan dua strategi W-O; prioritas strategi yang dihasilkan adalah meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Kata kunci: strategi pengembangan, agroindustri pengolahan mete, alternatif strategi, prioritas strategi
1
2
PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya menjadikan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan. Akan tetapi, pembangunan pertanian kurang menjadi perhatian. Salah satu solusi pengembangan sektor pertanian yaitu dengan agroindustri. Agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang, dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut (Kusnandar dkk, 2010). Salah satu subsektor pertanian yang dapat dikembangkan sebagai agroindustri adalah subsektor perkebunan. Salah satu komoditas perkebunan yang cukup penting dalam perolehan devisa negara adalah biji jambu mete (cashew nut). Pengembangan jambu mete dicanangkan pertama kali oleh Pemerintah pada pertengahan tahun 1972, yang diawali dengan program penghijauan pada lahan kritis oleh Sub Sektor Kehutanan (Karmawati, 2008). Jawa Tengah merupakan salah satu penghasil jambu mete di Indonesia. Kabupaten Wonogiri
merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal dan produksi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang ada di provinsi Jawa Tengah (Tabel 1). Oleh karena itu, Kabupaten Wonogiri berkembang menjadi salah satu sentra pengolahan mete karena didukung oleh kondisi geografis yang sesuai untuk perkebunan jambu mete (BI, 2000). Tanaman jambu mete merupakan tanaman yang menjadi ciri khas di Kabupaten Wonogiri. Tanaman jambu mete dapat tumbuh di dataran rendah dan di dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1-1.200 m dpl. Hal ini mengisyaratkan bahwa jambu mete dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan iklim yang beragam sifatnya. Tanaman ini akan tumbuh kerdil dan merana jika ditanam ditanah lempung. Di tempat tumbuh yang demikian jambu mete dan gulma akan berebut unsur hara dan air pada musim kemarau (Liptan, 1990). Data luas areal dan produksi jambu mete pada tingkat kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang menunjukkan peringkat satu sampai lima disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011
No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kabupaten/Kota Kabupaten Wonogiri Kabupaten Sragen Kabupaten Blora Kabupaten Jepara Kabupaten Rembang
Luas (ha) 20.505,00 1.088,50 1.023,07 740,57 522,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012
Produksi (ton) 7.145,00 297,40 290,28 233,85 116,96
3
Tabel 2. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 No. Kecamatan Luas (ha) Produksi (ton) 1. Kecamatan Ngadirojo 3. 296,00 1.712,00 2. Kecamatan Sidoarjo 3.069,00 975,00 3. Kecamatan Jatiroto 2.306,00 818.00 4. Kecamatan Jatisrono 1.967,00 782,00 5. Kecamatan Girimarto 818,00 345,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012
Kecamatan Jatisrono memiliki luas areal dan produksi jambu mete yang cukup tinggi di Kabupaten Wonogiri (Tabel 2). Berdasarkan data Disperindag Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri (2007), jumlah usaha agroindustri pengolahan mete paling banyak terdapat di Kecamatan Jatisrono, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono dan mampu menyerap 2.258 tenaga kerja. Karena jumlah industri yang banyak ini kemudian didirikan sentra industri kecil pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Pengolahan mete adalah proses pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete. Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono ini sebagian besar berupa industri yang berskala rumah tangga yang masih menggunakan peralatan yang sederhana. Iklim yang tidak menentu juga mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, karena berkaitan dengan proses penjemuran gelondong kacang mete. Karena berbagai kendala yang dihadapi, diperlukan suatu upaya untuk merumuskan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai
“Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri; mengidentifikasi faktor internal dan eksternal; merumuskan alternatif strategi pengembangan; dan menentukan prioritas strategi pengembangan. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis (Surakhmad,1994). Teknik penelitian dilaksanakan dengan teknik survei (Singarimbun dan Effendi, 1995). Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri dengan pertimbangan Kecamatan Jatisrono merupakan kecamatan yang memiliki jumlah industri pengolahan mete paling tinggi di Kabupaten Wonogiri, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono (Disperindagkop dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007).
4
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden dan data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait. Sedangkan metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, content analysis (mencatat data), dan observasi. Metode Penentuan Sampel Responden Metode pengampilan sampel identifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete adalah metode sensus sejumlah 15 orang yang mengusahakan pengolahan mete, mulai dari gelondong sampai dengan menjadi kacang mete. Sedangkan untuk keperluan identifikasi faktor internal dan eksternal serta penentuan nilai bobot, rating, dan nilai daya tarik, digunakan informan kunci yang ditentukan secara purpossive dengan pertimbangan orang tersebut dianggap paling tahu tentang informasi yang diharapkan. Informan kunci tersebut meliputi: pelaku usaha pengolahan mete, Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, Pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Metode Analisis Data dan Perumusan Strategi Untuk mengidentifikasi keragaan dapat dihitung dengan analisis biaya, penerimaan, dan keuntungan. Secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: π = TR – TC ............................. (1) = (Y.Py) – (TFC+TVC) ......... (2) Dimana, π: Keuntungan (Rp), TR: Total penerimaan (Rp), TC: Total
biaya (Rp), Y: Jumlah produksi kacang mete (kg), Py: Harga jual kacang mete (Rp), TFC: Total biaya tetap (Rp), dan TVC: Total biaya variabel (Rp). Identifikasi faktor internal dan eksternal menggunakan matriks IFE dan EFE. Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri digunakan matriks SWOT, sedangkan prioritas strategi pengembangan ditentukan melalui matriks QSP (David, 2009). HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang penggolongan UMKM, ditemukan ada dua skala usaha dari responden pelaku usaha pengolahan mete. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi keragaan usaha pengolahan mete, dilakukan dua penggolongan sebagai berikut (1) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Mikro, yaitu responden dengan omset maksimal 300 juta pertahun, atau dengan kata lain omset maksimal 25 juta per bulan, sebanyak 12 responden; (2) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Kecil, yaitu responden dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar pertahun sebanyak 3 responden. Penggolongan responden dilakukan untuk lebih menggambarkan atau merepresentasikan skala usaha dari masing-masing responden yang diambil. Skala usaha dalam penelitian ini dilihat melalui rata-rata total biaya, penerimaan (omset), dan keuntungan setiap bulan dari pelaku usaha.
5
Total Biaya Tabel 3. Rata-Rata Total Biaya Produksi Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan No. Jenis Biaya Rata-Rata (Rp) Skala Mikro
1. 2.
Biaya Tetap - Biaya Overhead Tetap Biaya Variabel a. Bahan Baku Utama b. Bahan Penolong c. Tenaga Kerja d. Pasca Produksi Jumlah
Skala Kecil
362.659,72
762.955,56
5.837.500,00 41.708,33 2.979.812,50 88.466,67 9.310.147,22
18.800.000,00 126.663,33 9.026.500,00 470.666,67 29.186.755,60
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Total biaya produksi pada agroindustri pengolahan mete terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya overhead tetap, sedangkan biaya variabel disusun oleh biaya bahan baku utama; biaya bahan penolong; biaya tenaga kerja; dan biaya pasca produksi. Besar biaya overhead tetap adalah Rp 370.333,35 untuk usaha skala mikro dan Rp 762.955,56 untuk usaha kecil. Biaya overheaad adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara langsung oleh para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete. Bahan baku utama yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete berupa gelondong mete yang ratarata pelaku usaha setiap bulannya membutuhkan gelondong mete dengan biaya sebesar Rp. 5.837.500,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil sebesar Rp 18.800.000,00. Ada tiga bahan baku penolong yang digunakan yaitu arang, tepung terigu, dan kapur dengan biaya yang dibutuhkan sebesar Rp 41.708,33 untuk responden usaha skala mikro dan Rp 126.663,33 untuk responden skala
kecil. Rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan responden usaha skala mikro adalah Rp 2.979.812,50 dan Rp 9.026.500,00 untuk responden skala kecil. Biaya pasca produksi terdiri dari biaya pengiriman dan biaya pengemasan yang besarnya adalah Rp 88.466,67 untuk responden skala mikro dan Rp 470.666,67 untuk responden skala kecil. Rata-rata total biaya produksi selama satu bulan pada agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah sebesar Rp 9.317.820,80 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 29.186.755,60. Penerimaan dan Keuntungan Usaha Produk utama yang dihasilkan oleh agroindustri ini adalah biji kacang mete yang terdiri atas tiga kualitas, yaitu mete super; mete biasa; dan mete campur. Sedangkan produk sampingan yang dihasilkan adalah kulit mete, yang sebenarnya adalah limbah produksi, tetapi tidak bisa diolah sendiri oleh para pelaku usaha dan kemudian dijual kepada pengepul. Rata-rata penerimaan usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono setiap
6
Tabel 4. Rata-rata Penerimaan dan Keuntungan Usaha Agroindustri Pengolahan Mete Selama 1 Bulan
No. Jenis Produk
Rata-Rata (Rp) Skala Mikro
Penerimaan Mete Super Mete Biasa Mete Campur Kulit Mete Total Penerimaan 2. Total Biaya Keuntungan Usaha
Skala Kecil
1.
7.546.875,00 1.868.750,00 790.625,00 460.000,00 10.666.250,00 9.310.147,22 1.356.102,78
23.887.500,00 5.915.000,00 2.502.500,00 1.453.333,33 33.758.333,33 29.186.755,60 4.571.577,73
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
bulannya adalah Rp 10.666.250,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil sebesar Rp 33.758.333,33 (Tabel 4). Keuntungan usaha merupakan selisih antara total penerimaan dan total biaya. Besarnya keuntungan usaha adalah Rp 1.348.229,20 untuk usaha mikro dan Rp 4.571.577,73 untuk responden usaha skala mikro. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete
Nilai kumulatif/total matriks IFE pada pengembangan agroindustri Tabel 6.
pengolahan mete adalah 2,6125. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi internal yang kuat (lebih dari 2,5), sehingga dapat dikatakan pelaku usaha sudah mampu memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi kelemahan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri (Tabel 6).
Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Faktor Strategis Internal Kekuatan 1. Ketersediaan modal 2. Adanya variasi produk dan harga 3. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan 4. Ketersediaan bahan baku 5. Produk lebih unggul dari wilayah lain 6. Produk tahan lama 7. Pengalaman usaha Subtotal Kelemahan 1. Pencatatan keuangan belum rapi 2. Kemasan masih sederhana 3. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar 4. Belum ada pengelolaan limbah 5. Manajemen masih kurang/lemah 6. Tenaga kerja musiman Total Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Bobot
Rating
Skor
0,1000 0,1000 0,1250 0,0625 0,0625 0,0500 0,0750 0,5750
4 4 4 3 3 3 3
0,4000 0,4000 0,5000
0,0750 0,0875 0,0500 0,0625 0,0875 0,0625 1,0000
2 1 1 2 1 1
0,1500 0,0875 0,0500 0,1250 0,0875 0,0625 2,6125
0,1875 0,1875 0,1500 0,2250
7
Kondisi
Faktor
Eksternal
Agroindustri
Pengolahan
Mete
Tabel 7. Matriks External Factor Evaluation (EFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Strategis Eksternal Peluang 1. Kondisi sosial mendukung karena merupakan sentra usaha 2. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus 3. Poduk merupakan oleh-oleh khas 4. Bantuan peralatan dari pemerintah 5. Kelemahan dari produk pesaing Subtotal Ancaman 1. Permintaan produk fluktuatif 2. Program pemerintah belum kontinu 3. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan 4. Teknologi konvensional 5. Proses produksi tergantung cuaca Total
Bobot
Rating
Skor
0,0875 0,1375 0,1750 0,0625 0,0625 0,5125
4 3 4 3 3
0,3500 0,4125 0,7000 0,1875 0,1875
0,1375 0,0625 0,1000
1 2 2
0,1375 0,1250 0,2000
0,0625 0,1125 1,00
2 1
0,1250 0,1125 2,5375
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Nilai kumulatif/total matriks EFE pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah 2,5375. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi eksternal yang cukup kuat (lebih dari 2,5), hal tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha pengolahan mete dapat merespon secara baik peluang dan ancaman yang ada. Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete Melalui matriks SWOT akan diperoleh beberapa alternatif strategi, antara lain sebagai berikut: (1) Strategi S-O yaitu memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan, mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal; (2) Strategi W-O yaitu memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja, meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan yang lebih marketable; (3) Strategi S-T yaitu menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah
kabupaten, dan pemerintah kecamatan, meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan; dan (4) Strategi W-T yaitu mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah, meningkatkan jaringan pemasaran Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete Strategi-strategi yang dapat diterapkan pada agroindustri pengolahan mete adalah sebagai berikut: (1) Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar (5,075). Hubungan yang sudah terjalin antara pelaku usaha, distributor dan pelanggan harus diperkuat lagi misalnya dengan memberikan bonus ataupun potongan harga, dan yang paling utama adalah menjaga kualitas agar distributor dan pelanggan tidak berpindah ke tempat lain. (2) Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan
8
Tabel 8. Alternatif Strategi Matriks SWOT dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Peluang-O 1. Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha 2. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus 3. Produk merupakan oleh-oleh khas 4. Bantuan peralatan dari pemerintah 5. Kualitas produk pesaing lebih rendah Ancaman-T 1. Permintaan produk fluktuatif 2. Program pemerintah belum kontinu 3. Teknologi konvensional 4. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan 5. Proses produksidipengaruhicuaca
Kekuatan-S Kelemahan-W 1. Ketersediaan modal 1. Pencatatan keuangan belum 2. Adanya variasi harga dan rapi produk 2. Kemasan masih sederhana 3. Hubungan baik dengan 3. Pembelian bahan baku distributor dan pelanggan memerlukan biaya besar 4. Ketersediaan bahan baku 4. Belum ada pengelolaan 5. Produk lebih unggul dari limbah wilayah lain 5. Manajemen masih 6. Produk tahan lama lemah/kurang 7. Pengalaman usaha 6. Tenaga kerja musiman Strategi S-O Strategi W-O 1. Memperkuat hubungan 1. Memperkuat hubungan dengan distributor dan dengan pemasok bahan baku pelanggan untuk dan tenaga kerja untuk meningkatkan pasar menjaga keberjalanan proses (S2,S3,S5,O1,O2,O3,O5) produksi (W3,W5,W6, 2. Mengoptimalkan penggunaan O1,O2,O3) fasilitas dan bantuan pinjaman 2. Meningkatkan kemampuan modal untuk meningkatkan manajemen dan kuantitas dan kualitas produk mengupayakan yang lebih (S1,S4,S5,S6,S7,O1,O4,O5) marketable (W1,W2,W5, O1,O2,O3) Strategi S-T Strategi W-T 1. Menciptakan kesinergisan 1. Mengadakan upaya antara pelaku pengelolaan limbah sendiri usaha,pemerintah kabupaten, dan pengenalan teknologi dan pemerintah kecamatan baru dengan bantuan (S1, S7, T2, T4) penyuluhan dari pemerintah 2. Meningkatkan kualitas (W4, T2, T3, T4) produk yang dihasilkan 2. Meningkatkan jaringan (S2,S3,S4,S5,S6, T1,T3,T5) pemasaran (W2,W3, T1, T5)
Sumber: Analisis Data Primer, 2012
kuantitas dan kualitas produk (5,975).Bantuan fasilitas dari pemerintah, yang berupa kacip ceklok dan kemudahan bantuan pinjaman modal merupakan suatu kekuatan yang penting bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses produksi. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu mengoptimalkan kesempatan ini sebaik-baiknya, mengingat prospek usaha ini cukup bagus dalam memberikan nilai tambah dan sumber penghasilan. (3) Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga
kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi (4,475). Kuatnya hubungan antara pelaku usaha dan pemasok dapat memastikan pemasok akan terus memasok bahan baku pada masa panen selanjutnya. Begitu pula dengan tenaga kerja, mengingat pada agroindustri pengolahan mete ini tenaga kerja bersifat musiman, tidak tersedia sepanjang waktu dan ada kemungkinan tenaga kerja akan berpindah ke tempat lain. (4) Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan
9
kemasan yang lebih marketable dan pelabelan produk (5,125). Dengan kemampuan manajemen yang baik, pelaku usaha dapat mengelola usahanya secara rapi, baik secara administrasi maupun secara teknis. Salah satu cara peningkatan kemampuan manajemen adalah dengan mengupayakan kemasan yang lebih marketable. Kemasan dan pelabelan yang baik akan lebih memperkuat keyakinan konsumen terhadap produk yang akan dibeli, apalagi kalau dilengkapi dengan surat ijin usaha ataupun sertifikasi. (5) Meningkatkan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan (4,3375). Sinergisitas antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan tidak dipungkiri merupakan faktor yang cukup penting dalam pengembangan suatu usaha, karena program-program yang akan dijalankan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan hubungan yang baik, juga akan mempermudah akses fasilitas dan permodalan. (6) Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan (6,1625). Kualitas produk merupakan salah satu pertimbangan yang dipakai oleh konsumen dalam mengkonsumsi atau membeli suaatu produk. Oleh karena itu untuk menjaga loyalitas konsumen maupun distributor terhadap produk, kualitas menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. (7) Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru melalui bantuan penyuluhan dari pemerintah (5,9375). Salah satu tujuan dari upaya pengelolaan limbah sendiri adalah untuk meningkatkan penerimaan yang diterima oleh
pelaku usaha. Tentu saja hal ini memerlukan sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Untuk mewujudkan hal ini, sangat diperlukan bantuan dari dinas terkait sebagai penggerak dan penentu kebijakan. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui penyuluhanpenyuluhan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. (8) Meningkatkan jaringan pemasaran (5,8875). Jaringan pemasaran dapat diperkuat dengan menjaga hubungan dan loyalitas dari pengepul dan pelanggan serta meningkatkan kualitas produk, sehingga diharapkan pengepul dan pelanggan dapat membawa jaringan pemasaran baru bagi pelaku usaha. Prioritas strategi ditentukan berdasarkan jumlah nilai daya tarik yang tertinggi. Dari hasil perhitungan matriks QSP dengan mengalikan bobot masing-masing faktor dengan nilai daya tarik dihasilkan total nilai daya tarik yang terpilih adalah strategi ke 6 yaitu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri karena memiliki jumlah total nilai daya tarik yang tertinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa rata-rata keuntungan responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro setiap bulannya adalah Rp 1.348.229,20. Sedangkan rata-rata keuntungan responden usaha pengolahan mete skala kecil adalah Rp 4.571.577,73. Berdasarkan matriks IFE, kekuatan utama pada agroindustri pengolahan
10
mete di Kecamatan Jatisrono adalah hubungan baik dengan disributor dan pelanggan; sedangkan kelemahan utamanya adalah pencatatan keuangan belum rapi. Berdasarkan matriks EFE, peluang utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono adalah produk merupakan oleh-oleh khas dan kelemahan utamanya adalah teknologi konvensional. Alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut:(1) Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar; (2) Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk; (3) Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi; (4) Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan yang lebih marketable; (5) Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan; (6) Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan; (7) Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah, dan (8) Meningkatkan jaringan pemasaran. Prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan
Saran Untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas mutu produk yang dihasilkan, maka pengusaha perlu lebih memperdalam pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai pengolahan kacang mete dan secara bersamaan upaya ini juga perlu didukung oleh instansi pemerintahan terkait seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Dinas Pertanian. Untuk meningkatkan produksi yang ada diharapkan adanya transfer teknologi melalui penyuluhan-penyuluhan secara berkala dan pengenalan teknologi tepat guna sehingga proses produksi lebih efisien. Untuk memperbaiki dan mendapat harga yang baik di tingkat pengolah, pelaku usaha perlu mencari informasi harga secara reguler baik dari dinas terkait, pelaku usaha lainnya maupun pedagang atau pengepul di kota besar yang menjadi tujuan pemasarannya selama ini. Juga diperlukan usaha mengupayakan kemasan yang lebih marketable agar lebih menarik minat konsumen. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2012. Jawa Tengah dalam Angka 2012. BPS. Jawa Tengah Badan
Pusat Statistik. 2012. Wonogiri dalam Angka 2012. BPS. Wonogiri.
Bank
Indonesia. 2000. Pola Pembiayaan Usaha Kecil : Industri Pengolahan Mete (Pola Pembiayaan Syariah). Jakarta.
11
David,
F.R. 2009. Manajemen Strategis Konsep-Konsep. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta.
Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007. Rekapitulasi Data Kelompok Industri Kecil Potensial di Kabupaten Wonogiri. Disperindagkop dan Penanaman Modal. Wonogiri. Karmawati, Elna. 2008. Perkembangan Jambu Mete dan Strategi Pengendalian Hama Utamanya. Perspektif Vol. 7 No. 2 / Desember 2008. Hlm 102 – 111. Kusnandar, dkk. 2010. Manajemen Agroindustri: Kajian Teori dan Model Kelembagaan Agroindustri Skala Kecil Pedesaan. UNS Press. Surakarta. Singarimbun, M dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitian Survai. LP3ES. Jakarta Surakhmad, Winarno. 1994. Penelitian Ilmiah : Dasar, Metode, dan Teknik. Tarsito. Bandung. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2008. UMKM. Kementerian Koperasi dan UKM.