STUDI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG ADAT PERKAWINAN KEJAWEN DI DESA PANDEYAN KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI
Oleh :
TINGGENG RUSYANTI K6403058
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
1
STUDI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG ADAT PERKAWINAN KEJAWEN DI DESA PANDEYAN KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
Oleh :
TINGGENG RUSYANTI K6403058
SKRIPSI
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
(Drs. E.S Ardinarto, M.Pd)
(Drs. Suyatno, M.Pd)
NIP. 19460727 198003 1 001
NIP. 19470312 198003 1 001
3
PENGESAHAN
Skripsi ini telah disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari : Kamis Tanggal
: 11 Pebruari 2010
Tim Penguji Nama Terang:
Tanda Tangan:
Ketua
: Drs. Machmud, AlRasyid. Msi
Sekretaris
: Drs. H. Utomo. M.Pd
Anggota I
: Drs. ES Ardinarto, M.Pd
Anggota II
: Drs. Suyatno, M.Pd
……………... ..……………... ……………... ..……………...
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof.Dr.Furqon Hidayatullah, M.Pd NIP. 19600727 198702 1 001
4
ABSTRAK Tinggeng Rusyanti. STUDI PERSEPSI MASYARAKAT TENTANG ADAT PERKAWINAN KEJAWEN DI DESA PANDEYAN KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI. Skripsi. Surakarta ; Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Bagaimana sikap masyarakat terhadap adat perkawinan yang telah dilanggar oleh warga desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, (2) Bagaimana persepsi masyarakat tentang adat perkawinan kejawen di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, (3) Bagaimana tanggapan dari masyarakat terhadap pelaksanaan perkawinan di Desa Pandeyan apabila di pandang dari segi Hukum Adat yaitu adat Kejawen yang berlaku di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan strategi studi kasus tunggal terpancang dalam arti lokasi yang diteliti hanya di wilayah Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Sumber data yang digunakan berupa informan, tempat dan peristiwa serta arsip dan dokumen. Teknik sampling yang digunakan adalah purpose sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh dan menyusun data penelitian adalah dengan teknik wawancara, dan analisis dokumen. Untuk memperoleh validitas data dalam penelitian ini digunakan trianggulasi data. Teknik analisis yang digunakan adalah dengan analisis data model analisis interaktif. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa: 1) Sikap masyarakat terhadap adat perkawinan kejawen di Desa Pandeyan adalah sebagian besar menerima adat perkawinan kejawen yaitu yang terdiri dari 34 warga desa sebagai responden yang keseluruhannya masih dalam bimbingan orang tua yang masih menganut kepercayaan tersebut. Serta ada 18 responden yang menlak dan tidak setuju diantaranya para tokoh agama yang beranggapan bahwa kepercayaan pada sesuatu hal selain Tuhan termasuk syirik dan ditentang oleh agama. Selain itu dari pemerintah desaada yang masih mengikuti adat dan ada juga sebagian yang tida. 2) Persepsi masyarakat di desa pandeyan mengenai akibat dari pelanggaran adat kejawen adalah untuk menghindari dampak perkawinan tersebut adalah warga desa Pandeyan tetap melaksanakan adat perkawinan kejawen seperti yang telah dilaksanakan oleh warga lainnya pada waktu dahulu agar tidak terjadi sesuatu halyang tidak diharapkan bagi pelaku perkawinan maupun keluarga kedua belah pihak. 3)Tanggapan warga desa Pandeyan terdapat 26 respondren yang percaya yaitu yang terdiri dari 2 responden dari pemerintah desa, 2 narasumber yaitu tokoh masyarakat, dan 22 warga desa Pandeyan dengan tanggapan bahwa adat perkawinan kejawen tetap dilaksanakan dan digunakan sebagai aturan dalam melaksanakan perkawinan. Dari yang tidak percaya terhadap adat perkawinan kejawen terdapat 19 responden yang terdiri dari 2 responden dari pemerintah desa, 5 tokoh agama, dan 12 warga desa yang menganggap adat perkawinan yang
5
terlalu di percayai untuk perlahan dihapus karena sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu terdapa 7 responden yang ragu-ragu dalam melaksanakan adat perkawinan ataukah melaksanakan adat perkawinan kejawen apabila akan melaksanakan perkawinan yaitu yang terdiri dari warga desa terutama warga desa yang belum menikah.
6
MOTTO
“ Kekuatan tradisi tidak dapat dikesampingkan, karena melaksanakan modernisasi sambil meremehkan tradisi, sesungguhnya merupakan anasir sikap keterbelakangan pula"
(Dr. S. De Jong & Van Magnis )
7
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk : 1. Ayah dan Ibu tercinta atas do’a dan kasih sayangnya 2. Suami tersayang atas do’a dan dukungannya 3. Putra tercinta ( Vebbryananda Susilo) 4. Adik tersayang ( Cahyo dan Oen) 5. Teman-teman PPKn angkatan 2003 6. Almamater UNS
8
KATA PENGANTAR
Puji syukurpenulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi dengan judul Studi Persepsi Masyarakat Tentang Adat Perkawinan Kejawen Di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono kabupaten Wonogiri dapat dilaksanakan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dan menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat teratasi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada Yang Terhormat: 1. Bapak Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS atas pemberian ijin penelitian. 2. Bapak Ketua Jurusan P.IPS atas pemberian ijin penelitian 3. Ketua Prodi PPKn atas pemberian ijin penelitian 4. Drs. E.S Ardinarto, M.Pd, Pembimbing I atas saran dan bimbingannya 5. Drs. Suyatno, M.Pd, Pembimbing II atas saran dan bimbingannya 6. Kepala Desa Pandeyan atas bantuan yang di berikan pada saat penelitian 7. Sesepuh Desa Pandeyan atas bantuan pada saat penelitian 8. Masyarakat desa Pandeyan atas partisipasinya pada saat penelitian Semoga amal kebaikan semua pihak tersebut mendapat imbalan dari tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan namun diharapkan skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dunia pragmatika.
Surakarta,
Penulis
9
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL--------------------------------------------------------------
i
HALAMAN PENGAJUAN -----------------------------------------------------
ii
HALAMAN PERSETUJUAN --------------------------------------------------
iii
HALAMAN PENGESAHAN --------------------------------------------------
iv
ABSTRAK
v
------------------------------------------------------------------
HALAMAN MOTTO ------------------------------------------------------------
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN-------------------------------------------------
viii
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------
ix
DAFTAR ISI
x
------------------------------------------------------------------
DAFTAR TABEL-----------------------------------------------------------------
xii
DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------
xiii
DAFTAR LAMPIRAN-----------------------------------------------------------
xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah -------------------------------------------
1
B. Rumusan Masalah---------------------------------------------------
4
C. Tujuan Penelitian----------------------------------------------------
5
D. Manfaat Penelitian --------------------------------------------------
5
BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kajian Teori----------------------------------------------------------
7
1.
Tinjauan Tentang Persepsi Masyarakat-------------------
7
2.
Tinjauan Tentang Perkawinan Adat Kejawen -----------
11
B. Kerangka Berpikir --------------------------------------------------
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian ------------------------------------
31
B. Bentuk Dan Strategi Penelitian -----------------------------------
31
C. Sumber Data ---------------------------------------------------------
33
D. Teknik Sampling (Cuplikan) ----------------------------------------
34
10
E. Teknik Pengumpulan Data--------------------------------------------
35
F. Validitas Data-----------------------------------------------------------
37
G. Analisis Data------------------------------------------------------------
38
H. Prosedur Penelitian ----------------------------------------------------
40
BAB IV. LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian-------------------------------------------
41
B. Deskripsi Permasalahan -----------------------------------------------
48
C. Temuan Studi -----------------------------------------------------------
70
BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------
72
B. Implikasi-----------------------------------------------------------------
73
C. Saran ---------------------------------------------------------------------
74
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL Halaman
Tabel 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian -----------------------------------------
31
Tabel 2 : Luas daerah Desa Pandeyan dan Penggunaannya ---------------
41
Tabel 3 : Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamain-----
42
Tabel 4 : Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian---------------
43
Tabel 5 : Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan-------------
44
Tabel 6 : Komposisi Penduduk Menurut Agama----------------------------
44
Tabel 7 : Sarana Jalan -----------------------------------------------------------
45
Tabel 8 : Jenis Sarana Trasportasi dan komunikasi Desa Pandeyan -----
45
Tabel 9 : Sarana/ Prasarana Pendidikan di Desa Pandeyan ----------------
46
Tabel 10 : Sarana Tempat Ibadah -----------------------------------------------
47
Tabel 11 : Kepercayaan Terhadap Adat Perkawinan Kejawen -------------
55
Tabel 13 : Dampak Pelanggaran Adat Perkawinan Kejawen ---------------
59
Tabel 14 : Tanggapan Terhadap Pelaksanaan Adat Perkawinan Kejawen
67
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Skema Terjadinya Persepsi ---------------------------------------
9
Gambar 2 : Skema Kerangka Berpikir-----------------------------------------
30
Gambar 3 : Metode Analisis Interaktif ---------------------------------------
39
13
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
Lampiran 1. Daftar Pertanyaan Untuk Tokoh Pemerintah Desa-----------
77
Lampiran 2. Daftar Pertanyaan Untuk Tokoh Agama-----------------------
78
Lampiran 3. Daftar Pertanyaan Untuk Para Sesepuh Desa -----------------
79
Lampiran 4. Daftar Pertanyaan Untuk Para Pelaku Pelanggaran Perkawinan Adat Kejawen ------------------------------------------------------
80
Lampiran 5. Daftar Pertanyaan Untuk Warga Desa -------------------------
81
Lampiran 6. Hasil Wawancara Pemerintah Desa ----------------------------
82
Lampiran 7. Hasil Wawancara Tokoh Agama -------------------------------
87
Lampiran 8. Hasil Wawancara Para Sesepuh Desa--------------------------
94
Lampiran 9. Hasil Wawancara Para Pelaku Pelanggaran-------------------
100
Lampiran 10. Hasil Wawancara Dengan Warga Desa -----------------------
121
Lampiran 11. Trianggulasi Data ------------------------------------------------
147
Lampiran 12. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Pandeyan ----------
149
Lampiran 13. Peta Desa Pandeyan----------------------------------------------
150
Lampiran 14. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan FKIP UNS ----------------------------------------------------------
151
Lampiran 15. Surat Keputusan Ijin Penulisan Skripsi Dekan FKIP UNS
152
Lampiran 16. Surat Permohonan Ijin Reseach Kepada Rektor UNS ------
153
Lampiran 17. Surat Permohonan Ijin Reseach Kepada Bupati Wonogiri-
154
Lampiran 18. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari Kepala Desa Pandeyan ----------------------------------------------------
155
Lampiran 19. Surat Rekomendasi Dari Badan Kesbangpol dan Linmas Kabupaten Wonogiri----------------------------------------------
14
156
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang memiliki dasar Negara Pancasila walau ada banyak perbedaan tetapi memiliki satu kesatuan yang terikat oleh hak dan kewajiban warga sebagai wujud dari kecintaan terhadap tahan air yang berdasar ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Keberagaman tersebut yang sangat mencolok pada adat istiadat. Setiap daerah memiliki adapt istiadat sendiri-sendiri dan mereka sebagai kelompok adapt selalu menjaga kelestarian adapt yang ada didaerah mereka. Dalam menjaga kesatuan bangsa sangat perlu adanya moral yang baik yang dimiliki kelompok adat di setiap daerah. Walaupun setiap adat istiadat di setiap daerah di Indonesia itu sendiri berbeda-beda namun dasar kesifatannya adalah satu, yaitu ke- Indonesiaan. Semua adat kebudayaan yang ada di Indonesia adalah cermin suatu peradaban yang bersifat religius. Adat istiadat bangsa Indonesia yang Ber-Bhinneka Tunggal Ika tidaklah statis, melainkan selalu berkembang mengikuti kemajuan jaman. Adat istiadat yang hidup serta yang berhubungan dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan sumber bagi hukum adat kita. Adat istiadat dengan hukum adat adalah berbeda, tidak semua adat menjadi hukum adat, tetapi hanya adat istiadat yang bersanksi saja mempunyai sifat hukum. Adanya sanksi inilah yang menguatkan kedudukan hukum adat untuk dilaksanakan. Lain halnya dengan adat istiadat biasa yang tidak mempunyai sanksi, kemungkinan untuk ditinggalkan bisa saja terjadi. Adat istiadat seperti ini apabila dilaksanakan didasarkan pada suatu kepercayaan saja atau keyakinan. Berbeda dengan hukum pidana maupun hukum perdata yang memiliki sanksi lebih tegas dari hukum adat. Hal ini untuk menjadi warga negara sadar hukum sehingga negara aman dari tindak kejahatan yang merugikan negara, seperti perampokan, pembunuhan, korupsi dan sebagainya. Oleh karena itu agar menjadi warga negara yang baik dan sadar akan hukum.
15
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan setiap warga Negara Indonesia diharapkan mampu memahami, menganalisis, dan menjawab masalahmasalah yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa dan negaranyasecara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita dan tujuan nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945. (Tim : 2002 : 7) Kepercayaan merupakan suatu kajian dari kebudayaan serta bagian dari suatu agama yang dipercayai atau diyakini oleh warga. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang dipergunakan untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi terwujudnya suatu tindakan. Dalam kehidupan masyarakat Jawa sistem kepercayaan yang ada bukanlah suatu agama. Yang di maksud dengan sistem kepercayaan manusia Jawa adalah agama jawa , agama asli atau agama pribumi yang tidak termasuk salah satu dari agama yang diakui pemerintah. Adapun isi dari sistem kepercayaan Jawa menurut Lucas Sasongko Triyoga (1990:6) adalah : Pada hakikatnya sistem kepercayaan Jawa sama dengan kebudayaan Jawa, maka ia adalah serangkaian pengetahuan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, dan strategi-strategi, untuk menyesuaikan diri dan membudidayakan lingkungan hidup yang bersumber pada sistem etika dan pandangan hidup manusia Jawa. Sistem etika adalah berupa keseluruhan norma dan penilaian yang di pergunakan oleh masyarakat untuk mengetahui bagaimana seharusnya menjalani hidup. Sistem dan pandangan hidup Jawa memberikan pedoman bagi manusia jawa bagaimana ia harus membawa diri, sikap dan tindakan mana yang harus diambil dan dikembangkan terhadap hidup yang lebih baik dan selaras. Seperti yang dikatakan Lucas Sasongko Triyoga yang juga mengatakan bahwa orang jawa pada umumnya masih percaya pada suatu adat istiadat dengan melaksanakan adat tersebut yang bertujuan untuk mewujudkan harapan-harapan dan maksud-maksud tertentu. Dalam masyarakat jawa kepercayaan terhadap sesuatu adalah terjadi secara turun temurun. Kondisi inilah yang membawa suatu adat tradisi dapat hidup terus menerus dalam masyarakat. Salah satu tradisi yang masih sakral atau diyakini kemistikannya adalah adat perkawinan. Menurut pamikiran orang-orang kejawen adat ini tidak dapat dilaksanakan secara
16
sembarangan, karena adat perkawinan juga dapat menjadi suatu adat yang menjadi pantangan untuk dilanjutkan suatu perkawinan tersebut. Terutama yang masih sangat tampak akibat dari pantangan melaksanakan adat perkawinan kejawen menurut narasumber selaku sesepuh Desa Pandeyan adalah perkawinan Bali Winih, Adu Cocor, Ngalor Ngulon. Adat kejawen merupakan suatu kepercayaan yang masih sangat kental dan selalu diyakini secara turun temurun bagi orang- orang jawa asli yang di yakini memiliki pengaruh bagi masa mendatang terutama bila adat istiadat tersebut dilanggar atau diabaikan, padahal kepercayaan dan keyakinan terhadap akibat yang akan ditimbulkan. Namun di jaman sekarang ini terutama di masa modern perkawinan secara logika atau menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga perkawinan tersebut tergabung dalam tata aturan Hukum Perdata. Dapat kita ketahui bahwa menurut hukum adat, perkawinan merupakan suatu perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang baik. Aturan tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata tertib tersebut berkembang secara maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka yang telah dibukukan dalam aturan hukum perkawinan. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan. Seperti halnya pada adat perkawinan bangsa Indonesia yang masih dipengaruhi adat budaya masyarakat setempat. Dan juga masih dipengaruhi ajaran agama maupun adat perkawinan
17
barat yang mengakibatkan lain padang lain belalang lain lubuk lain pula ikannya, jadi lain masyarakat lain juga aturannya. Bila di sesuaikan dengan Undang-Undang Perkawinan yaitu UndangUndang No. 1 Tahun 1974 semua dasar dan syarat-syarat baik hak dan kewajiban sama dengan adat perkawinan Jawa hanya saja terdapat perbedaan yang mendasar pada pelaksanaan ritualnya. Terutama dalam adat kejawen terlalu ditekankan pada hal-hal yang memiliki akibat buruk pada masa depan baik bagi para kedua mempelai maupun kedua belah pihak keluarga. Sehingga di masyarakat kejawen perkawinan dianggap sangat sakral yang dapat menimbulkan akibat psikologis (kejiwaan) yang akan berpengaruh dalam kehidupan orang yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis merasa terdorong untuk mengadakan penelitian dengan mengambil judul “Studi Persepsi Masyarakat Tentang Adat Perkawinan Kejawen Di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri”.
B. Rumusan Masalah Untuk memberikan kejelasan arah dalam penelitian maka, dibuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana sikap masyarakat terhadap pelaksanaan perkawinan adat kejawen di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ? 2. Bagaimanakah persepsi masyarakat tentang akibat dari pelanggaran perkawinan adat kejawen di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ? 3. Bagaimana tanggapan dari masyarakat terhadap pelaksanaan perkawinan di Desa Pandeyan apabila di pandang dari segi Hukum Adat yaitu adat Kejawen yang berlaku di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mencari jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu :
18
1. Untuk mengetahui bagaimana sikap dari masyarakat kejawen terhadap adat perkawinan yang dilanggar oleh sebagian warga agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak di inginkan oleh keluarga yang menjalani maupun masyarakat sekitar. 2. Untuk mengetahui persepsi masyarakat kejawen di Desa Pandeyan tentang akibat dari adat perkawinan yang dilanggar oleh sebagian warga. 3. Untuk mengetahui bagaimana tanggapan dari masyarakat terhadap pelaksanaan perkawinan di Desa Pandeyan apabila di pandang dari segi Hukum Adat yaitu adat Kejawen yang berlaku di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kegunaan dalam pengembangan Ilmu pengetahuan khususnya materi Ilmu Kewarganegaraan tentang hak dan kewajiban warga negara dalam melaksanakan agama dan kepercayaan yang di percayai warga sesuai dengan yang mereka yakini sejak dahulu untukmenjaga moral warga sebagai wagra yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa.. 2. Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat memberi masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya kepada masyarakat di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri mengenai keyakinan warga sebagai warga negara Indonesia yang memiliki rasa patriotisme terhadap bangasa dengan cara menghindari akibat atau dampak dari pelanggaran perkawinan adat kejawen yang mamiliki sanksi alam bagi kehidupan warga setelah menikah yang tidak dapat dihindari oleh setiap kodrat manusia sebagai makhluk yang berkeyakinan terhadap Tuhan melalui alam dan segala pengaruhnya bagi hukum adat di Desa Pandeyan yang telah dipercayai secara turun temurun sebagai warga Indonesia dengan keberagaman adat.
19
BAB II KAJIAN TEORITIK
A. Kajian Teori 1. Tinjauan Tentang Persepsi Masyarakat a. Pengertian Persepsi Berkaitan
dengan
persepsi
menurut
Jalaludin
Rahmat
(1992:51)
mengemukakan bahwa : “Persepsi adalah pengamatan tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan”. Dalam menghadapi suatu obyek, akan terjadi kesan penerimaan yang diperoleh dari indra yang di peroleh dari alat indra. Lebih lanjut Kartini Kartono dan Dali Gulo (1987:143) menyatakan bahwa : “Persepsi adalah proses dimana seseorang menjadi sadar akan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indra-indra yang dimiliki”. Sedangkan menurut Dimyati Mahmud (1976:268) yang menyatakan bahwa : “Persepsi disebut juga menafsirkan stimullus yang telah ada di dalam otak dengan satu atau lebih mekanisme”. Dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah proses memberikan arti terhadap obyek dari luar yang menjadi rangsangan, kemudian diterima oleh alat indra yang disampaikan ke otak, lalu terjadilah proses kejiwaan yang akhirnya terbentuklah tanggapan terhadap stimullus tersebut. 1) Faktor yang mempengaruhi persepsi Menurut Jalaludin Rahmat (1992:52) menyatakan bahwa : “Faktor yang mempengaruhi persepsi meliputi ; faktor perhatian, faktor fungsional, dan faktor struktural”. Mengenai penjelasan faktor-faktor tersebut sebagai berikut : a) Faktor Perhatian Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli menjadi perhatian menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lainnya melemah. Perhatian terjadi bila mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indra yang lain. Faktor perhatian masih terdapat dua factor lainnya yakni :
20
(1) Faktor Eksternal Penarik Perhatian Bahwa apa yang diperhatikan seseorang ditentukan oleh faktor- faktor situasional dan personal. Stimuli diperhatikan karena mempunyai sifatsifat yang menonjol, antara lain gerakan intensitas stimuli, kebaruan dan perulangan. (2) Faktor Internal Penarik Perhatian Alat indra manusia pada umumnya lemah tetapi, menunjukan perhatian yang selektif. Apa yang menjadi perhatian seseorang belum tentu menyamai perhatian dari orang lain, atau sebaliknya. Ada kecenderungan seseorang melihat apa yang ingin dilihat, mendengar apa yang ingin di dengar. Perbedaan perhatian ini timbul dari faktor-faktor internal dalam diri seseorang, yaitu faktor biologis dan faktor sosio psikologis. b) Faktor Fungsional Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan hal-hal lain yang temasuk faktor personal. Yang menentukan persepsi bukan jenis atau stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan respon pada stimuli itu. c) Faktor Struktural Faktor ini berasal dari semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-efek syaraf individu. Selain dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut diatas, persepsi juga dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pemahaman yang tinggi, cara mempersepsikan sesuatu hal juga akan berbeda dengan orang yang mempunyai pengetahuan dan pemahaman rendah. 2) Proses Terjadinya Persepsi Persepsi sebagai suatu proses mempunyai tahapan-tahapan
yang
berkelanjutan antara satu tahap ke tahap yang berikutnya. Proses persepsi adalah sebagai berikut : Obyek menimbulkan stimuli dan stimullus mengenai alat indra atau reseptor. Proses ini dinamakan proses kealaman (fisik). Stimullus yang diterima oleh indra fisiologis, kemudian terjadilah suatu proses di otak, sehingga individu dapat menyadari apa yang ia terima dengan reseptor itu, sehingga akibat suatu akibat dari stimullus yang diterimanya. Proses yang terjadi dalam otak atau pusat kesadaran itulah yang dinamakan dengan
21
proses psikologis. Dengan demikian taraf terakhir dari proses persepsi adalah individu menyadari tentang apa yang diterima melalui alat indra atau reseptor. (Bimo Walgito, 2003 : 90). Skema terjadinya persepsi adalah sebagai berikut : L
S
O
R
Gambar 1. Skema terjadinya persepsi Keterangan : L = Lingkungan S = Stimullus O = Organisme R = Respon atau reaksi Dari pendapat tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya persepsi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : a) Tahap physis (saat dimana alat indra menerima stimullus). b) Tahap physiologis (tahap stimullus yang diterima alat indra diteruskan ke otak). c) Tahap Physykis (tahap stimullus yang diterima sampai otak dan timbulnya kesadaran). d) Tahap tanggapan itu sendiri, tahap sudah terbentuk tingkah laku. b. Pengertian Masyarakat Sejak individu dilahirkan, sejak itu pula individu secara langsung berhubungan dengan dunia luarnya. Mulai saat itu individu secara langsung menerima stimullus atau rangsangan dari luar disamping
dari dalam dirinya
sendiri. Individu mengenali dunia luarnya dengan menggunakan alat indranya. Persepsi merupakan suatu proses yang di dahului oleh pengindraan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimullus oleh individu melalui alat reseptornya. Stimullus yang di indra itu oleh individu diorganisasikan, kemudian diinterprestasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindra itu. (Bimo Walgito, 2003 : 88).
22
Persepsi sering dimaknakan dengan pendapat, sikap dan penilaian. Persepsi selalu melibatkan aktivitas manusia terhadap obyek tertentu, sehingga persepsi selalu menggambarkan pengalaman manusia tentang obyek dan peristiwa yang diperoleh dengan cara menyimpulkan informasi dan menafsirkan tenang pesan tersebut. Persepsi itu tidak akan lepas dari peristiwa, obyek, dan dilingkungan disekitarnya, sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan lingkungannya. Persepsi merupakan proses internal yang dilakukan untuk memilih, mengevaluasi, dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Dengan kata lain persepsi adalah cara seseorang untuk mengubah energi-energi fisik lingkungan menjadi pengalaman yang beermakna. (Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, 2002:25-26). Setiap
individu
mempunyai
persepsi
yang
berbeda-beda
dalam
menanggapi suatu obyek. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan pengalaman atau lingkungan, maka persepsi dapat berubah-ubah sesuai dengan suasana hati, cara belajar, dan keadaan jiwa (Jalaludin Rahmat, 1992:56). Jadi persepsi itu tergantung pada proses berpikir atau kognitif seseorang, sehingga persepsi dapat berubah setiap saat. Perubahan itu tergantung pada kemampuan selektivitas informasi yang diterima setelah diolah ternyata bermakna positif maka seseorang mendukung informasi yang diterima, tetapi bila negative maka yang terjadi sebaliknya. Masyarakat tidak saja dipandang sebagai
kumpulan individu atau
penjumlahan dari individu-individu akan tetapi masyarakat merupakan suatu pergaulan hidup karena manusia itu hidup secara bersama. Setiap manusia tersebut dalam masyarakat masing-masing mempunyai persepsi yang berbedabeda dalam menanggapi suatu obyek. Namun tidak menutup kemungkinan ada sejumlah individu yang mempunyai persepsi yang sama terhadap suatu obyek, keseluruhan persepsi tersebut termasuk ke dalam persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat adalah keseluruhan atau rata-rata persepsi individu terhadap suatu obyek yang kurang lebih mempunyai persepsi yang sama. Kesamaan-kesamaan tersebut biasanya diwujudkan pengakuan bersama terhadap
23
suatu obyek, misalnya memakai symbol, tanda-tanda dan bahasa-bahasa verbal dan non-verbal yang sama. (Alo Liliweri, 2001:113). Persepsi masyarakat terhadap suatu obyek merupakan landasan pokok bagi timbulnya perilaku dari masing-masing individu dalam setiap kegiatan. Makna positif dan negatif sebagai hasil persepsi masyarakat terhadap suatu obyek sangat tergantung dari bentuk dan proses interaksinya. Masing-masing individu mempunyai persepsi yang berbeda dalam menanggapi suatu obyek. Kemudian masing-masing individu akan melakukan proses pertukaran persepsi diantara masing-masing individu. Proses pertukaran persepsi tersebut dapat berlangsung dalam proses individu yang tergabung dalam komunitas tertentu. Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa persepsi masyarakat timbul karena adanya persepsi dari masing-masing individu dimana masing-masing individu tersebut terhadap suatu obyek dikumpulkan menjadi satu sehingga timbullah suatu persepsi masyarakat. Persepsi masyarakat merupakan proses mengamati obyek melalui indra kemudian diorganisasikan dan diinterprestasikan melalui bentuk-bentuk rangsangan suatu obyek atau peristiwa berdasarkan latar belakang masing-masing individu sehingga tercapai komunikasi antara manusia dengan obyek.
2. Tinjauan Tentang Perkawinan Adat Kejawen a. Perkawinan Adat Kejawen 1) Pengertian Perkawinan Menurut Purwadarminta (1976) yang dikutip oleh Bimo Walgito (2002:11) dikatakan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan, nikah adalah : “Perjodohan laki-laki dan perempuan menjadi suami istri”. Sedangkan Hornby (1957) yang dikutip pula oleh Bimo Walgito (2002:11) menyebut perkawinan sebagai “marriage the union of two persons as husben and wife”. Ini berarti perkawinan adalah bersatunya dua orang sebagai suami istri. Dan secara lebih jelas lagi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 1, dikatakan bahwa perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
24
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari beberapa pengertian di atas maka dapatlah diketahui bahwa sebuah perkawinan memiliki unsur-unsur sebagai berikut : a) Ikatan lahir batin b) Antara seorang pria dan seorang wanita c) Sebagai suami istri d) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa Sementara itu Hilman Hadikusumo (1990:70) memberikan definisi perkawinan menurut hukum adat, sebagai berikut : Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan maksud mendapatkan keturunan dan membangun atau membina kahidupan keluarga (rumah tangga), tetapi juga berarti hubungan yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Dari uraian tersebut, maka dapat diketahui pula bahwa di dalam suatu perkawinan tidak hanya terjadi ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, namun berarti berlakunya pula ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Sedangkan dalam hukum Islam Ny. Soemiyati (1986:8) memberikan definisi perkawinan sebagai berikut : Perkawinan yang menurut agama Islam adalah nikah yaitu melakukan aqad atau perjanjian untuk mengikat diantara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara dua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. Dari beberapa pendapat diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan sebagai suami istri dan
25
untuk mendapatkan keturunan serta membangun atau membina kehidupan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2) Pengertian Adat Adat sama halnya dengan tradisi atau kebiasaan, menurut Abu Ahmadi (1980:282) mengatakan bahwa : “Adat atau tradisi adalah kebiasaan dalam adat istiadat yang di pelihara secara turun-temurun mengenai kepercayaan”. Sedangkan menurut E.S Ardinarto (1996 : 1) : ”Adat istiadat adalah suatu tingkah laku seseorang atau suatu bangsa yang terjelma dalam kehidupan sehari-hariyang dapat mencerminkan jiwa atau kepribadiannya”. Hukum menurut Soerjono Sukanto yang mengutip pendapat dari Djojodigoeno dalam Hukum Adat Indonesia (1983:148) berpendapat bahwa : Hukum adat merupakan suatu aturan yang mengtur pola perilaku masyarakat dalam suatu paguyuban, dimana manusia memandang sesamanya sebagai tujuan, dimana perhubungan-perhubungan manusia menghadapi sesamanya manusia dengan segala perasaannya sebagai cinta, benci, sympatie, antipatie, dan sebagainya dari yang baik dan kurang baik. Selaras dengan pandangannya atas masyarakat maka dihadapilah oleh hukum adat manusia itu dengan suatu kepercayaan. Yang artinya sebagai manusia yang menghargai benar perhubungan damai dengan sesame manusia dan oleh sebab itu untuk menyelesaikan segala perselisihan dengan perukunan dan perdamaian, serta kompromi. Di dalam buku Hukum Adat Indonesia tersebut Soerjono Soekanto yang juga mengutip suatu hasil penelitian yang diadakan di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 1977-1978 mengatakan bahwa : Pada umumnya adat itu terbagi atas 4 (empat) bagian, yaitu : 1) Adat yang sebenar adat. Ini adalah merupakan undang-undang alam. Dimana dan kapanpun dia akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar dan sebagainya. 2) Adat istiadat. Ini adalah pedoman peraturan hidup di seluruh daerah ini yang diperturun naikkan selama ini, waris yang dijawek, pusako nan di tolong, artinya diterima oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh berdirinya. 3) Adat nan teradat. Ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah maupun dikurangi menurut tempat dan waktu. 4) Adat yang diadatkan. Ini adalah adat yang dapat dipakai setempat, seperti dalam suatu daerah adat menyebut dalam perkawinan mempelai harus memakai pakaian kebesaran, jikalau tidak maka helat tidak akan
26
menjadi; tetapi pada waktu sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran itu maka pakaian biasa saja dapat dipakai oleh mempelai tadi. Selain pendapat tersebut Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia yang di kutip oleh Bushar Muhammad dalam buku Asas-asas Hukum Adat (suatu pengantar) (1988:19) mengemukakan “ Hukum adat itu merupakan keseluruhan adat (tidak tertulis) tetapi mempunyai sanksi yang bersifat paksaan dan aturan itu hidup dalam masyarakat yang berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum”. Menurut Adat Van Dijk dalam bukunya Pengantar Hukum Indonesia yang juga di kutip oleh Bushar Muhammad dalam buku Asas-asas Hukum Adat (suatu pengantar) (1988:21): Van Dijk menyimpulkan 4 (empat) hal penting tentang adat : 1. Segala bentuk kesusilaan dan kebiasaan orang Indonesia yang menjadi tingkah laku sehari-hari, antara satu sama lain, di sebut adat. 2. Adat itu terdiri dari dua bagian, yaitu yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum, dan di sebut sebagai hukum adat. 3. Antara kedua bagian tersebut tidak ada pemisah hukum yang tegas. 4. Bagian yang menjadi “hukum adat” itu mengandung pengertian yang lebih luas daripada pengertian “hukum” dari pengertian Eropa. Dari pendapat tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan, yang dimaksud dengan adat atau tradisi adalah suatu kebiasaan yang merupakan warisan keyakinan sosial dan kepatuhan terhadap dengan apa yang dianggap selalu ada yang dipelihara secara turun-temurun dimana keberadaannya dilembagakan. Orang Jawa memandang dan mengalami kehidupan mereka sebagai keseluruhan yang bersifat sosial dan simbolik, kehidupan Jawa bersifat seremonial, orang selalu meresmikan keadaan dengan upacara-upacara, harus diulangi baik yang sudah ada maupun yang timbul harus diupacarakan. Menurut Budiono Harusatoto (2000:92) menyatakan bahwa : “Adat dapat dibagi dalam empat tingkatan, yaitu tingkatan nilai budaya, nilai norma-norma, tingkatan hukum, tingkatan aturan khusus”.
27
3) Pengertian Kejawen Kejawen merupakan suatu adat istiadat yang terdapat di wilayah Jawa yang di anggap masih sangat sakral pelaksanaannya. Menurut Paku Buwono XII dalam bukunya Kraton Surakarta ( 2001 : 11-12): Kejawen juga merupakan suatu pemikiran yang berkembang dari tradisi dan identitas masyarakat Jawa yang di kenal dengan kejawen. Kejawen dapat diartikan dengan suatu kesatuan harmoni antara apa yang dilihat dan dengan apa yang tidak dilihat, dan lebih khususnya antara Hyang Sukma, sumber kehidupan dengan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang telah di berikan kehidupan kepadanya kehidupan yang pinesti. Pinesti adalah kepercayaan bahwa manusia yang pada akhirnya akan kembali pada yang memberikan eksistensi kejadian nyata melalui pemikiran yang dipercayai, menurut orang jawa hal ini di sebut dengan Sangkon Paraning Pumadi yang telah menjadi salah satu prinsip hidup orang-orang Jawa. Selain itu K.R.M.H Yosodipura juga menjelaskan mengenai makna dari Kejawen, beliau mengatakan bahwa: “Kejawen merupakan suatu budaya jawa yang bersumber dari Keraton Surakarata yang kemudian mengartikan kembali bahwa kejawen adalah suatu pandangan hidup orang jawa dengan pengertian serta tindakakntindakannya dibidang kehidupan dan penghidupan lahir maupun batin kemudian menerapkannya dalam masyarakat dengan gaya serta iramanya yang khas”. Sedangkan menurut Niels Mulder mendefinisikan sebagai suatu tradisi yang khas. Unsur-unsur ini biasanya diperkirakan sebagai berasal dari masa Hindhu Budha dalam sejarah jawa dan bergabung dalam suatu filsafat, yaitu system khusus dari dasar-dasar perilaku kehidupan. Tradisi kejawen adalah sangat kaya dan mencakup suatu kepustakaan luas yang meliputi paling kurang seribu tahun, dari yang paling kuno berupa sumber-sumber yang sangat berbau Sansakerta lewat laporan-laporan sejarah dan setengah sejarah, seperti misalnya Pararaton dan Nagarakartagama dan Babad Tanah Jawi, lewat risalah mistik dan keagamaan yang tak terhitung banyaknya dimana pengaruh Islam secara bertahap semakin nyata. Dengan kata lain, tradisi kejawen merupakan suatu tradisi yang berkesinambungan yang sepenuhnya hidup. (Niels Mulder, 1985 : 16) Kejawen bukanlah suatu kategori keagamaan, tetapi menunjuk pada suatu etika dan gaya hidup yang diilhami oleh cara pemikiran Javanisme. Penafsiran
28
kehidupan sosial Jawa selalu dihantui oleh tiga pembagian tipe ideal, yaitu : Santri, Abangan, Priyayi. Yang telah diberi ciri-ciri tersendiri oleh suatu konsep dan kepercayaan yang menjadikan kemungkinan kepada mereka untuk pada saat yang bersamaan menjadi orang Jawa yang sungguh-sungguh. Sekalipun tidak bisa dibantah bahwa ada berbagai kategori dalam kebudayaan Jawa dan orang merasakannya dengan segera setelah ia memasuki suatu lingkungan santri, abangan, priyayi yang “khas”. Menurut Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Etika Jawa (2001:15) mengatakan bahwa “Orang Jawa Kejawen adalah orang yang lebih percaya kepada adanya berbagai macam bentuk roh yang tidak kelihatan, yang dapat menimbulkan kecelakaan, kesengsaraan dan penyakit apabila mereka di buat marah atau kita kurang hati-hati, maka apabila kita ingin terhindar dari berbagai macam bentuk musibah maka sesekali kita membuat sesajen terutama yang menggunakan daun-daun, bunga dan kemenyan”. Menurutnya Ritus religius Jawa kejawen adalah dengan mengadakan selametan, yaitu suatu perjamuan sederhana yang dilakukan dengan mengundang tetangga dengan tujuan agar alam raya atau keadan alam dapat pulih kembali. Menurut pendapat diatas secara jelasnya menyatakan bahwa adat kejawen tersebut berasal dari masyarakat Jawa langsung yang meyakini akan adanya kesatuan pemikiran yang dapat mengakibatkan suatu kepastian kehidupan dari Tuhan Yang Maha Esa kepada msyarakat Jawa yang meyakininya. Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa perkawinan adat kejawen adalah peristiwa perkawinan antara seorang pria dengan wanita yang bertujuan untukmenjamin ketenangan, kebahagiaan dan kesuburan serta menimbulkan hak dan kewajiban sebagai suami istri yang dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan adat kejawen yang telah ada dan dilaksanakan sejak zaman dahulu dan sampai sekarang masih dipercaya dan dilaksanakan. b. Tujuan Perkawinan 1) Tujuan perkawinan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan
pengertian umum
29
Berbicara mengenai tujuan memang merupakan hal yang tidak mudah, karena masing-masing individu akan mempunyai susunan yang mungkin berbeda antara yang satu dengan yang lain. Demikian pula halnya dalam perkawinan. Dalam pasal 1 Undang-Undang No1 Tahun 1974 tentang perkawinan sudah jelas bahwa tujuan perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Adapun unsur- unsur agar tujuan perkawinan dapat tercapai antara lain: a) Adanya persetujuan yang bebasantara calon suami dengan calon istri. b) Para pihak harus sudah mencapai umur yang sudah di tentukan (minimal 16 tahun untuk calon istri dan minimal 19 tahun untuk calon suami). c) Mereka menikah bukan karena semata-mata dorongan nafsu biologis atau dorongan-dorongan lain yang tidak baik. Dari unsur diatas dapat digunakan untuk mencegah terjadinya poligami, terkecuali sangat diperlukan. Sebab dengan adanya poligami keadaan rumah tanggaakan tidak damai dan tentram terlebih apabila suami tidak adil dan bijaksana. Dan penjelasan tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa dalam sebuah perkawinan perlu diniati sekali kawin untuk seterusnya, berlangsung untuk seumur hidup, untuk selama-lamanya. Pasangan suami istri akan berpisah jika salah satu pasangan tersebut meningal dunia. Karena itu diharapkan agar pemutusan hubungan suami istri itu tidak terjadi kecuali kematian. Sedangkan mengenai masalah kebahagiaan merupakan persoalan yang tidak mudah. Hal itu disebabkan karena kebahagiaan seseorang belum tentu berlaku bagi orang lain walaupun kebahagiaan itu bersifat subjektif dan relative, tetapi adanya ukuran atau patokan umum yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa keluarga itu merupakan keluarga yang seperti dikemukakan oleh Bimo Walgito (2002:14), yaitu : “Keluarga merupakan keluarga yang bahagia bila dalam keluarga itu tidak terjadi kegoncangan-kegoncangan atau pertengkaran-pertengkaran sehingga keluarga itu berjalan dengan smooth tanpa kegoncangan-kegoncangan yang berarti (free from quarilling)”.
30
Sedangkan tujuan perkawinan menurut hukum adat yang ditulis oleh Hilman Hadikusuma (1990:23) yaitu yang bersifat kekerabatan, adalah “Untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakkan atau keibuan atau keibu-kebapakan, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, untuk mempertahankan kewarisan”. Pada bagian lain disebutkan pula bahwa tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah “ Untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga / rumah tangga yang damai dan teratur”. Dari beberapa penjelasan mengenai tujuan perkawinan di atas maka dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang kekal, damai, dan bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, untuk mempertahankan
dan
meneruskan
keturunan
dan
kewarisan,
sehingga
memperoleh nilai-nilai adat budaya serta untuk mencegah terjadinya perbuatanperbuatan maksiat. 2) Tujuan perkawinan menurut adat Menurut adat perkawinan memiliki tujuan untuk membentuk unit keluarga secara syah, yang anggota-anggotanya saling bekerja sama untuk menyusun suatu rumah tangga yang otonom dan yang mempunyai hak untuk melakukan hubungan seksual dengan syah dan berusaha untuk mempunyai keturunan yang syah pula. c. Asas-asas dan Prinsip Perkawinan Dalam
Undang-Undang
No.1
Tahun
1974
tentang
perkawinan
menjelaskan juga mengenai ap asas dan prinsip dari perkawinan. Penjelasan umum mengenai asas dan prinsip perkawinan menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tersebut adalah : Asas dan prinsip yang ada dalam penjelasan penjelasan umum UndangUndang No.1 Tahun 1974: 1) Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapi kesejahteraan spiritual dan material.
31
2) Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut agamanya dan kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pencatatan tiap peristiwa adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan suatu akta resmi yang juga dalam daftar pencatatan. 3) Undang-undang ini menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan mengizinkan seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. 4) Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami harus masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. 5) Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia dan kekal serta sejahtera maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar perceraian, untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan didepan sidang pengadilan. 6) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri. Sedangkan menurut Hilman Hadikusuma (1990:71) asas-asas hukum perkawinan menurut hukum adat dapat di jelaskan dalam beberapa hal diantaranya adalah sebagai berikut : Asas perkawinan menurut hukum adat : a) Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga, rumah tangga dalam hubungan kekerabatan yang rukun dan damai bahagia dan kekal. b) Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan tetapi harus mendapat pengakuan dari anggota kerabat. c) Perkawinan dapat dilakukan seorang pria dengan seorang wanita sebagai istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat. d) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan kerabat masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui masyarakat adat. e) Perkawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua keluarga atau kerabat. f) Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara kedua belah pihak.
32
g) Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada istri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada istri yang bukan ibu rumah tangga. Sementara itu menurut Ny. Soemiyati (1986:5) beliau juga menerangkan asas-asas perkawinan dan prinsip-prinsip perkawinan melalui teorinya yang menjelaskan perkawinan menurut hukum Islam yaitu : 1. Harus ada persetujuan secara sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan perkawinan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahhulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak. 2. Tidak semua wanita dapat dikawini oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan perkawinan antara pria dan wanita yang harus diindahkan. 3. Perkawinan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan ia sendiri. 4. Perkawinan pada dasarnya adalah untuk membentuk suatu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai dan kekal selama-lamanya. 5. Hak dan kewajiban suami istri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami. d. Sahnya Perkawinan 1)
Sahnya Perkawinan Menurut Perundangan Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. 2) Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Sahnya perkawinan menurut hukum adat menurut Hilman Hadikusuma (1990:27) yaitu : “Pada umumnya bagi penganut agama tergantung pada agama yang dianut masyarakat adat bersangkutan”. Maksudnya jika telah dilaksanakan menurut tata tertib hukum agamanya maka perkawinana itu sudah sah menurut hukum adat. 3) Sahnya Perkawinan Menurut Agama Sejak berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 sahnya perkawinan menurut hukum agama di Indonesia bersifat menentukan. Apabila suatu perkawinana tidak dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing
33
berarti perkawinan itu tidak sah. Perkawinan yang dilakukan di pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh hukum adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama Islam, Kristen/Katolik, Hindu, dan Budha Indonesia. Menurut hukum Islam yang pada umumnya berlaku di Indonesia adalah perkawinan yang dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, di Masjid ataupun di Kantor Agama dengan ijab dan qobul dalam bentuk akad nikah. Menurut hukum agama Kristen/Katolik perkawinan itu sah apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di hadapan Pastur atau Pendeta yang dihadiri dua orang saksi. Menurut hukum agama Hindu perkawinan itu sah apabila dilakukan didepan Brahmana atau Pendeta atau Pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu. Menurut hukum agama Budha Indonesi perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan agama Budha Indonesia. (Hilman Hadikusuma , 1990:28-32). Dari beberapa penjelasan mengenai sahnya perkawinan diatas maka dapat disimpulkan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. e. Latar Belakang Perkawinan Menurut Bimo Walgito dalam bukunya yang berjudul Bimbingan dan Konseling
perkawinan
(2002:19-22)
yang
melatar
belakangi
terjadinya
perkawinan adalah : 1. Kebutuhan Fisiologis dan Perkawinan. (…) manusia mempunyai kebutuhan yang bersifat fisiologis. Salah satu kebutuhan ini adalah kebutuhan seksual. 2. Kebutuhan Psikologis dan Perkawinan Psikologis. Dalam memadu kasih antara remaja pria dan wanita, maka satu dengan yang lain membutuhkan teman hidup yang saling mengisi akan kebutuhan-kebutuhan psikologisnya. Misalnya ingin mendapatkan perlindungan, ingin mendapatkan kasih sayang, ingin merasa aman, ingin melindungi, ingin dihargai. 3. Kebutuhan Sosial dalam Perkawinan.
34
Setelah telah diketahui pula bahwa dalam suatu masyarakat tertentu adanya pandangan bahwa seseorang tidak kawin akan memperoleh sorotan tersendiri dari anggota masyarakat. Keadaan sosial budaya suatu masyarakat akan ikut mengambil bagian dari perkawinan. Misalnya lebih baik kawin muda, kemudian jadi janda daripada terlambat kawin. 4. Kebutuhan Religi dalam Perkawinan. Dengan melaksanakan perkawinan maka salah satu segi yang digariskan dalam agama dapat dipenuhi sebagai makhluk yang dititahkan di dunia kecuali berpasang-pasangan, maka atas dasar kenyataan tersebut, sudah dikodratkan bahwa antara pria dan wanita itu perlu melakukan perkawinan. Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mendorong atau yang melatarbelakangi perkawinan : 1) Faktor fisiologis dan psikologis. 2) Faktor sosial terutama sosial budaya dan sosial ekonomi. 3) Faktor keagamaan termasuk faktor krisis akhlak dan faktor kemaslahatan. 4) Faktor kurangnya pendidikan. 5) Faktornya pemahaman tehadap Undang-Undang perkawinan. f. Proses Upacara Perkawinan Adat Kejawen 1) Proses sebelum upacara perkawinan Dalam melaksanakan perkawinan, terlebih dahulu diselenggarakan serangkaian upacara-upacara sesuai adat kejawen. Upacara yang berupa kebiasaan-kebiasaan orang jawa tersebut antara lain : (a) Nglamar Nlamar/melamar merupakan suatu proses setalah adanya perkenalan antara pria dan wanita dan telah memiliki kesepakatan untuk hidup bersama maka diadakan acara nglamar atau meminang. Peminangan dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita melalui wakil pria ke keluarga pihak wanita. Nglamar disini artinya orang tua atau wakil pihak calon pengantin laki-laki mengajukan permintaan agar diperbolehkan anak laki-lakinya diperbolehkan mengasuh anak gadis orang lain. Sebelum pihak keluarga pengantin laki-laki datang untuk melamar beberapa hari sebelum pihak calon pengantin laki-laki datang ke rumah calon pengantin perempuan mereka memberitahukan bahwa pada hari dan jam yang telah ditentukan mereka akan datang untuk nglamar.
35
Jawaban dari lamaran pihak pria tidak langsung di jawab oleh pihak wanita, bila ternyata lamaran diterima beberapa hari kemudian pihak calon pengantin wanita mengirim utusan kepada pihak laki-laki untuk menyampaikan jawaban lamaran bahwa lamaran diterima. (b) Peningset Peningset merupakan suatu proses setelah lamaran diterima berupa pembicaraan. Artinya dengan diserahkannya peningset tersebut masingmasing telah terikat untuk melaksanakan pembicaraan yang telah mereka setujui bersama, yaitu perkawinan. Peningset ditandai dengan penyerahan makanan berupa makanan (jadah, jenang, pisang dan makanan tambahan berupa kue-kue) dan cincin serta sebagai barang bawaan wajib adalah beberapa lembar kain, beberapa potong kain baju, prhiasan dan lain-lain. Makan yang berupa kue-kue di bagikan kepada tetangga, hal ini dimaksudkan sebagai pengumuman kepada para tetangga bahwa wanita yang bersangkutan telah diikat oleh seorang laki-laki yang baru saja memberi peningset untuk dijadikan istri. Pada waktu upacara pemberian peningset dilakukan pula ancerancer hari pelaksanaan perkawinan (gerthak dina). Untuk menentukan hari perkawinan biasanya dihitung berdasarkan weton kedua calon pengantin. (c) Srasrahan Sebelum acara perkawinan dilaksanakan, maka sebagai awal acara adalah Srasrahan. Yang maksudnya adalah pihak pengantin laki-laki menyerahkan barang-barang dan uang sekedar membantu materi untuk penyelenggaraan pesta perkawinan di rumah pengantin perempuan. Denagan tujuan pada saat upacara perkawinan berlangsung, pihak laki-laki akan datang membawa beberapa orang pengantar bahkan terkadang lebih dari 50 orang tidak terlalu merepotkan pihak pengantin perempuan. (d) Tarub Tarub adalah pemasangan tratag atau balai yang terbuat dari bambu di depan rumah yang dihiasi daun-daunan. Pemasangan tarub biasanya dilakukan 7 hari sebelum
acara
atau
pesta
dilaksanakan.
Dalam
pemasangan
tarub
dilaksanakan selamatan yang terdiri dari nasi asahan, nasi golong, dan jajan
36
pasar. Pada saat pemasangan tarub ini disertai dengan pemasangan sajen biasanya sajen diletakan di sentong tengah (kamar tengah), sajen tersebut berupa tumpeng robyong (nasi tumpeng yang dihiasi sayur-sayuran ; kacang panjang, kangkung dan daun kacang panjang yang diurap). Tarub berasal dari kata tata dan sumurup. Maksudnya rumah yang akan digunakan ditata dan dihias dengan maksud agar tetangga sumurup atau tahu bahwa dirumah itu akan dilaksanakan pesta perkawinan. (e) Siraman Sehari sebelum perkawinan dilangsungkan dilakukan upacara siraman, yaitu calon pengantin wanitanya dimandikan dengan tujuan agar calon pengantin wanitanya cantik seperti bidadari. Perlengkapan untuk melaksanakan upacara siraman diantaranya : (1) Banyu Setaman (air yang dicampur dengan bunga setaman), tujuh macam tepung beras yang dicampur dengan mangir, pandan wangi serata kemuning sebagai alat penggosok. (2) Dingklik (kursi) yang beralaskant ikar pandan baru, daun kara, daun kluwih, daun dadap serep, rumput alang-alang dan berbagaimacam kain (kain letrek, bangun tulak, jingga, sindur, dan mori putih) (3) Sesaji yang diletakkan di dekat tempat untuk memandikan, isi sesaji tersebut antara lain ; jenang merah putih, jajan pasar, kembang boreh, clupak (lampu minyak tanah dengan ukuran kecil), kendi dan ayam hidup. (4) Klenthing atau jun berisi air untuk wudhu calon pengantin setelah dimandikan. Adapun jalannya upacara siraman adalah sebagai berikut : sembilan orang (orang tua, saudara-saudara tua, pinisepuh yang lain) bergantian menyiram dengan menggunakan siwur yang terbuat dari tempurung kelapa bertangkai kuningan dan sembari membacakan do’a untuk calon pengantin wanita. Setelah bersih calon pengantin disuruh untuk wudhu dengan air dari klenthing, kemudian klenthing tersebut dipecahkan sambil berkata wis pecah pamore. Sebagai penutup upacara siraman dilakukan jual dawet yang penjualnya adalah kedua orang tua calon pengantin wanita dan yang membeli adalah para tamu yang hadir.
37
f) Membuat kembar mayang Kembar mayang digunakan untuk menebus calon pengantin di malam midodareni. Kembar mayang mempunyai bentuk tertentu, dan dibuat oleh orang yang cukup ahli. Maksud dibuatnya kembar mayang adalah untuk menggambarkan alam kehidupan di dunia yang akan ditempuh oleh pengantin berdua. g) Midodareni Midodareni adalah malam sebelum berlangsungnya perkawinan dimana di rumah pengantin wanita diadakan tirakatan, yang bertujuan mengharap atangnya bidadari sekanthi kurang siji (seribu kurang satu) kurang satu dari seribu bidadari ini yang melengkapi adalah si pengantin wanita. Pada malam midodareni ini pula rombongan pengantin pria datang yang terdiri dari saudara dan handai taulan. Rombongan pengantin laki-laki diterima dan ditempatkan pada tempat tertentu yang disebut nyantri. 2) Pelaksanaan perkawinan Setelah upacara sebelum perkawinan terlaksana barulah keesokan harinya dilaksanakan perkawinan antara calon pengantin pria dan calon pengantin wanita. Dalam upacara perkawinan juga terdapat tata cara dan urutannya. a) Ijab (nikah) Setelah semua siap upacara ijab dimulai dengan wali pengantin wanita meminta kepada penghulu agar mau menikahkan anaknya. Kemudian penghulu menerima dan menikahkan kedua calon pengantin yang di saksikan oleh sanak keluarga kedua belah pihak. b) Paes penganten Paes adalah merias pengantin yang dilakukan sebelum panggih. Paes yang dilakukan yaitu pada tubuh pengantin baik wajah maupun badan. Setelah selesai didandani kedua pengantin mengenakan pakaian pengantin. Menurut adat jawa pakaian pengantin pria ada 3 jenis : basahan, kuncara, dan lengenkusuman atau lengen harjan. Untuk menyesuaikan pakaian pria pakaian yang di gunakan wanitanya adalah ; jika prianya mengenakan basahan maka wanitanya mengenakan kampuh seperti putri keraton, jika prianya mengenakan kuncaran
38
atau lengenkusuman maka wanitanya mengenakan baju lengan panjang dan berkain seperti pria. c) Panggih Dalam panggih yang perlu dipersiapkan adalah : pengaron (jambangan yang berisi air setaman, telur ayam mentah yang diletakkan dalm cobek), pasangan kerbau, sindur dan sadak atau gulungan daun sirih. Jalannya upacara panggih : (1) Dimulai dengan pengantin wanita yang telah di rias didudukan diatas pelaminan untuk menunggu pengantin pria, dengan ditemani dua orang patah. Pengantin pria yang telak diberi sadak keluar dari tempat peristirahatan dengan diiringi sanak keluarga dan handai taulan serta dua orang pembawa kembar mayang dan dua orang putri membawa cangkir berjalan didepannya. Kedua pengantin di pertemukan di depan pendapa dan pada saat bersamaan keduanya saling melempar sadak. (2) Kemudian pengantin pria mengijak telur sedangkan pengantin wanitanya jongkok untuk mencuci kaki pengantin pria dengan air setaman yang terletak dalam pengaron. (3) Setelah mencuci kaki pengantin laki-laki, pengantin wanita berdiri dengan dibantu oleh pengantin pria, lalu pebdiri bergandengan berkaitan jari kelingking naik keatas pasangan kerbau. (4) Dari atas pasangan kerbau yang telah dido’akan oleh pujangga kedua pengantin turun dari pasangan berjalan pelan-pelan bergandengan berkaitan kelingking menuju pelaminan, dengan dikalungi sindur oleh ibu pengantin wanita. (5) Kemudian kedua pengantin duduk di pelaminan dengan wanita disebelah kiri dan pria disebelah kanan. d) Makan nasi walimahan (nasi dengan lauk pauk pindang antep), yang dilakukan dalam prosesi ini adalah kedua pengantin saling menyuapi nasi pindang dengan sendok sebanyak tiga kali. Prosesi ini dilakukan setelah acara panggih berlangsung dan kedua pengantin duduk dipelaminan.
39
e) Kacar kucur yang maksudnya pengantin pria berdiri didepan pengantin wanita, membawa klasa bangka yang berisi uang logam beberapa keping, biji kacang hijau, kedelai, jagung, kacang panjang dan lain-lain yang di tuangkan diatas pangkuan pengantin wanita yang sudah dialasi sindur. Setelah selesai isi dari sindur tersebut diserahkan kepada ibu pengantin wanita dan disimpan pada klemuk yang sudah berisi beras kuning dan lainnya yang dipergunakan untuk spasaran. f) Pengantin wainta ngabekti kepada pengantin pria, yang maksudnya pengantin wanita sujud/sungkem kepada pengantin pria. g) Panimbang yaitu kedua pengantin duduk diatas paha ayah pengantin wanita dengan posisi pengantin pria duduk pada paha kanan dan pengantin wanita duduk pada paha kiri. Dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keserasian antara kedua pengantin tersebut agar kedua pengantin tersebut sama diperlakukan dan tidak dibeda-bedakan. h) Kedua pengantin ngabekti kepada orang tua pengantin baik orang tua pengantin pria maupun orang tua pengantin pria. i) Setelah ngabekti selesai kedua pengantin dikirabkan untuk berganti pakaian, yaitu pengantin pria mengenakan pakaian kepangeranan dan pengantin wanitanya menyesuaikan sesuai dengan pasangan pakaian pria dengan warna yang sama. j) Dan acara terakhir setelah kedua pengantin dikirabkan, kedua pengantin kembali kepelaminan denga diapit oleh kedua orang tua baik dari pihak pengantin pria maupun dari pihak pengantin wanita yang berarti tratak (berdiri didepan pendapa untuk menerima ucapan selamat dari para tamu yang hadir). 3) Upacara setelah perkawinan Ada dua acara setelah perkawinan dilaksanakan diantaranya : (a) Sungsuman. Yaitu keluarga pengantin wanita mengundang semua orang yang membantu terselenggaranya pesta perkawinan baik dari segi peralatan maupun tenaga atau jasa, untuk makakn jenang sunsum (jenang yang terbuat dari tepung beras dengan dituangi air gula/juruh). Maksud dari sunsuman ini agar kelelahan
40
yang mereka derita masing-masing karena adanya peralatan ini dapat pulih kembali seperti semula (pulih balung sunsum). (b) Boyongan. Yatu mengajak pengantin wanita kerumah pengantin pria yang ditemani keluarga dari pengantin wanita dengan berpakaian seperti saat panggih. Boyongan dilakukan pada saat sepasaran (lima hari setelah pesta perkawianan).
B. Kerangka berpikir Adat atau tradisi adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat adat yang meyakini, kepercayaan tersebut memiliki kekuatan yang tidak dapat untuk diingkari kenyataan dan kejadiannya. Kepercayaan ini merupakan suatu keyakinan terhadap suatu putusan yang ditujukan kepada manusia oleh Tuhan Yang Maha Esa. Di daerah Jawa manusia / masyarakatnya meyakini kepercayaan tersebut sebagai suatu kepercayaan kejawen yang di akui dan di yakini memiliki dampak buruk bila adat tersebut dilalaikan dan dilanggar oleh masyarakat yang percaya terhadap kepercayaan yang sakral tersebut. Di masyarakat Jawa terutama yang terletak di Desa Pandeyan, mereka meyakini di daerah mereka juga memiliki aturan adat yang dianggap sebagai kepercayaan yang tidak dapat dilalaikan bagi masyarakat Pandeyan terutama dalam hal meneruskan keturunan dengan mengikatkan hubungan perkawinan terhadap seorang laki-laki dan perempuan. Tidak setiap perkawinan dapat dilaksanakan sekehendak hati atau tanpa adanya batasan-batasan pemilihan pasangan. Di Desa Pandeyan masih terdapat aturan yang merupakan adat setempat yang tidak dapat dilanggar apalagi aturan tersebut masih merupakan adat Jawa kuno yang dampaknya masih sangat jelas tampak dan apabila dilanggar atau dilalaikan oleh masyarakat setempat, maka perkawinan yang masih menganut adat Jawa kuno tersebut dapat menimbulkan akibat atau dampak yang buruk bagi salah satu keluarga mempelai. Secara adat hal-hal seperti itu oleh masyarakat dianggap menentang adat tetapi secara hukum hal tersebut sah apabila telah sesuai atau memenuhi persyaratan untuk menikah. Persyaratan tersebut terutama mengenai hak dan kewajiban mereka dalam melangsungkan kehidupan yaitu dalam rangka meneruskan garis keturunan melalui perkawinan di suatu daerah dalam aturan
41
Negara. Aturan tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang didalamnya terdiri atas hak-hak dan kewajiban dari warga terutama warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan suatu perkawinan. Dengan adanya kepercayaan yang meyakini adat kejawen yaitu dalam hal perkawinan, masyarakat Pandeyan sangat menghormati keyakinan kejawen tersebut dengan tidak melaksanakan atau melalaikan adat kejawen tersebut. Seandainya pun terdapat warga yang tetap melalaikan adat kejawen tersebut dan yang beranggapan hal tersebut merupakan suatu kepercayaan yang sia-sia yang tidak terdapat dalam aturan modern. Namun, dalam kenyataannya masih banyak para warga yang menganut adat kejawen yakno adat jawa kuno yang tetap terbukti juga memiliki akibat sanksi adat yang telah dianggap sebagai sesuatu yang paten oleh warga Desa Pandeyan. Masyarakat adat yang yakin terhadap adanya pantangan untuk tidak melaksanakan atau melanggar adat kepercayaan tersebut maka setiap warga yang akan melaksanakan suatu ikatan perkawinan, jika ingin terhindar dari dampak buruk dari adat yang ternyata memiliki kekuatan sakral dan tidak dapat dilanggar oleh siapapun, para warga mempercayakan perhitungan perkawinan kepada para sesepuh desa yang mengetahui lebih jauh adat tersebut sehingga apabila tetap ada yang akan melaksanakan perkawinan yang melanggar adat kejawen mereka wajib mendengarkan nasehat-nasehat dari para sesepuh agar terhindar dari mara bahaya dalam keluarga baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
42
Perkawinan
Adat Kejawen
UU No.1 tahun 1974
Sesepuh desa
Pemerintah
Sikap dan PersepsiMasyarakat Gambar 2 : Skema kerangka berpikir
43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu penelitian 1. Tempat Penelitian Suatu penelitian memerlukan lokasi penelitian yang akan dijadikan obyek untuk memperoleh data, informasi dan hal-hal lain yang diperlukan sehubungan kepentingan penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengambil tempat penelitian di Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri propinsi Jawa Tengah. Penulis memilih lokasi tersebut karena lokasi merupakan tempat tinggal penulis, sehingga dari segi efisiensi biaya dan efektifitas waktu dalam penelitian dapat tercapai. 2. Waktu Penelitian Waktu yang direncanakan mulai dari pengajuan judul yang dilaksanakan pada bulan Maret hingga pada tahap Penyusunan Laporan Penelitian yaitu pada bulan September. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat dilihat dan dirinci lagi pada tabel berikut : Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian No Kegiatan Mar
1
Pengajuan Judul
2
Penyusunan Proposal
3
Ijin Penelitian
4
Pengumpulan Data
5
Analisis Data
6
Penyusunan Laporan
2007 Apr
Mei
Jun
Jul
Ags
Sep
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1. Bentuk Penelitian Berdasarkan dari tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang di perlukan dalam penelitian yang akan dilaksanakan, maka bentuk penelitian yang
44
digunakan adalah penelitian kualitatif. Data-data yang terungkap memiliki nuansa yang luas dan dalam yang tidak bisa diolah dengan proses statistik. Dalam penelitian ini bersifat deskriptif dan dikemukakan secara faktual. Panelitian deskriptif merupakan bentuk penelitian yang digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang terjadi pada masa sekarang sebagaimana adanya pada saat penelitian dilakukan, mengenai gambaran secara tepat mengenai sifat-sifat individu, keadaan atau kelompok tertentu antara suatu gejala lain di masyarakat. Sedangkan data yang digunakan bersifat kualitatif karena data yang digunakan berupa kata-kata, kalimat, atau gambar yang memiliki arti lebih dari sekedar angka. Seperti yang dijelaskan oleh H.B. Sutopo (2002 : 35) bahwa : Berdasarkan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yang menekan pada masalah proses dan makna (persepektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada sekedar pertanyaan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. Hal tersebut juga di ungkapkan oleh Lexy J. Moleong (1995:137) yang mengutip pendapat Bogdan dan Tylor, penelitian kualitatif adalah sebagai berikut “Metodologi kualitatif adalah prosedur yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dan orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”. Dari penjelasan tersebut di atas maka dalam penelitian ini memusatkan perhatian pada masalah Persepsi Masyarakat Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Pelaksanaan dari penelitian deskriptif dalam penyusunan skripsi tidak terbatas hanya pada pengumpulan data tetapi juga dilakukan proses penganalisaan data dan diakhiri dengan penarikan kesimpulan. 2. Strategi Penelitian Agar data yang diperoleh lengkap, relevan, akurat, dan reliable diperlukan strategi penelitian tertentu yang dapat diandalkan. Dalam penelitian ini strategi yang dipergunakan adalah model tunggal terpancang H.B. Sutopo (2002 : 112) menjelaskan bahwa : “Di dalam studi kasus dikenal bentuk studi tunggal terpancang (embaded case study), yang artinya studi ini tidak bersifat holistik penuh, tetapi sudah memusatkan (terpancang) pada variable yang telah ditentukan sebelum penelitian terjun ke lapangan studi”.
45
Jadi maksud dari tunggal terpancang dalam penelitian ini mengandung arti sebagai berikut, tunggal dalam arti hanya ada satu lokasi yaitu di Kabupaten Wonogiri, sedang terpancang pada tujuan penelitian. . C. Sumber Data Untuk memperkuat kajian dalam penelitian ini, penulis menggunakan berbagai sumber data. Menurut H.B. Sutopo (1996:54) menyatakan bahwa : “Sumber data penelitian dalam penelitian kualitatif bisa berupa orang, peristiwa dan lokasi, benda, dokumen atau arsip”. Sedangkan menurut Lexy J. Moleong (2000:112) mengemukakan bahwa: “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain”. Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah : 1.Informan (Responden) Menurut Lexy J. Moleong (2000:90) mengemukakan bahwa : “Informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian”. Jadi informan adalah orang yang dapat memberikan informasi dalam penelitian yang digunakan sebagai sumber data. Dengan sumber data informan ini maka akan diperoleh informasi, pertanyaan maupun kata-kata yang diperoleh dari sumber data primer yaitu orang yang tahu dan dapat dipercaya serta mengetahui secara mendalam mengenai data-data yang di perlukan. Informan selaku narasumber dalam penelitian ini adalah : a) Tokoh pemerintahan desa Pandeyan (1) Bapak Samsul selaku Kepala Desa Pandeyan (2) Bapak Harsi Waluyo selaku BPD (3) Bapak Larno selaku Sekertaris Desa (4) Bapak Semo selaku Kaur Kesra b) Tokoh Agama (1) Bapak Gino (2) Bapak Samino
46
(3) Bapak Asmuni (4) Bapak Nurshaleh (5) Bapak Sakimo c) Sesepuh Desa Pandeyan/tokoh masyarakat (1) Darso Kasino (2) Marto Mariman d) Para Pelaku pelanggaran Adat perkawinan Kejawen yang mennerima akibat dari pelanggaran yang terdiri dari 16 responden sebagai informan. e)
Warga desa Pandeyan yang terdiri dari 24 warga desa Pandeyan sebagai informan. Melalui informan ini diharapkan memperoleh data tentang masalah yang
diteliti. Dalam hal ini informan yang menjadi narasumber adalah sesepuh / para pujangga desa dan anggota masyarakat setempat. 2. Dokumen Sumber data yang kedua adalah data sekunder, dalam penelitian ini adalah dokumen. Data dokumen tersebut berupa : a) Kepustakaan yaitu penelitian memanfaatkan buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. b) Dokumen yang berkaitan dengan narasumber yaitu data monografi dan demografi Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri periode Juni 2007 yang meliputi data social ekonomi, dan data fisik secara terprinci yaitu luas wilayah dan penggunaannya serta jumlah penduduk. 3. Tempat dan Peristiwa Tempat dan peristiwa menjadi sumber informasi karena dalam pengamatan harus sesuai dengan konteksnya, dan setiap situasi melibatkan tempat dan pelaku. Penulis dalam hal ini mengambil tempat penelitian di Desa Pandeyan Kecamata Jatisrono Kabupaten Wonogiri Propinsi Jawa Tengah. Peristiwa yang dimaksudkan adalah tentang pelanggaran adat perkawinan kejawen yang ada di masyarakat Desa Pandeyan Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
47
D. Teknik Sampling (Cuplikan) Dalam penelitian kualitatif sampel ditujukan oleh peneliti sendiri dengan mempertimbangkan bahwa sampel itu mengenai masalah yang diteliti, jujur, dapat dipercaya, dan datanya bersifat obyektif. Oleh karena itu penelitian yang akan dilakukan ini termasuk penelitian kualitatif, maka teknik pengambilan sampel yang paling tepat dalam penelitian ini menggunakan sampel bertujuan (purpose sampling). Sampel adalah kelompok kecil yag kita amati, menurut Consuelo G. Sevilla (1993:161) menyatakan bahwa : “Proses yang meliputi pengambilan sebagian populasi, melakukan pengamatan pada populasi secara keseluruhan disebut sampling atau pengambilan sampel”. Sedangkan istilah sampling berkenaan dengan strategi-strategi yang memungkinkan untuk mengambil satu sub bab kelompok dari kelompok yang lebih besar, lalu kelompok kecil ini digunakan sebagai dasar untuk membuat keputusan tentang kelompok besar tersebut. Untuk memperoleh data yang lengkap dalam penelitian kualitatif perlu dilakukan teknik sampling, sehingga dalam penelitian kualitatif sampel yang ditunjukan oleh peneliti sendiri dengan pertimbangan bahwa sampel tersebut tahu betul terhadap masalah yang diteliti dapat dipercaya dan datanya obyektif. Menurut H.B. Sutopo (1996:53) menyatakan bahwa : “Sumber data digunakan disini tidak sebagai yang mewakili informasinya, karena pengembalian cuplikan didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu, maka pengertiannya sejajar dengan jenis teknik cuplikan yang dikenal sebagai purposive sampling” Sedangkan menurut Lexy J. Moleong (2000:165) menyatakan bahwa : “Sampel mempunyai maksud ; (1) Untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber data dan bangunannya (construction). (2) Menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul”. Dalam teknik purposive sampling ini dipilih informan yang dianggap mengerti dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap dan mengetahui masalahnya secara mendalam. Namun demikian informan yang dipilih dapat menunjukan informasi yang lebih dimengerti, sehingga pemilihan
48
informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan dalam memperoleh data. Berdasarkan pendapat tersebut di atas, maka peneliti cenderung memilih informasi dari orang-orang yang benar-benar mengetahui pokok permasalahan secara mendalam, sehingga dapat di jadikan informan kunci yang dapat di percaya.
E. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif ini maka pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik sebagai berikut : 1.Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan jalan Tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis berlandaskan pada tujuan penelitian. Moleong (2001 : 35) mendefinisikan wawancara adalah “Percakapan dengan maksud percakapan itu dilakukan dengan dua pihak yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu”. Dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing), karena dengan wawancara mendalam peneliti akan memperoleh data dari informan kunci (key informan) sehinga akan terungkap permasalahan yang akan diteliti melalui pertanyaan atau sikap, baik itu melalui nada bicara, mimik atau sorot mata informan. Wawancara dalam penelitian ini menggunakan cara antara lain: a. Menggunakan metode diskusi yaitu antara informan dengan peneliti, b. Peneliti memberikan pertanyaan kepada informan mengenai pokok permasalahan, c. Informan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti, d. Peneliti memberikan feedback atas jawaban dari informan mengenai permasalahan yang belum jelas, e. Informan kembali menjelaskan feedback dari peneliti,
49
f. Sebelum mengakhiri wawancara peneliti kembali menegaskanjawaban yang telah diberikan kepada informanserta peneliti menanyakan kembalijawaban yang peneliti belum pahami, g. Wawancara diakhiri setelah peneliti benar-benar mendapatkan data yang dianggap peneliti dapat mendukung penelitiannya. Sehingga dalam penelitian ini yang diwawancarai yaitu informan selaku narasumber antara lain : a) Tokoh pemerintahan desa Pandeyan (1) Bapak Samsul selaku Kepala Desa Pandeyan (2) Bapak Harsi Waluyo selaku BPD (3) Bapak Larno selaku Sekertaris Desa (4) Bapak Semo selaku Kaur Kesra b) Tokoh Agama (1) Bapak Gino (2) Bapak Samino (3) Bapak Asmuni (4) Bapak Nurshaleh (5) Bapak Sakimo c) Sesepuh Desa Pandeyan/tokoh masyarakat (1) Darso Kasino (2) Marto Mariman d) Para Pelaku pelanggaran Adat perkawinan Kejawen yang mennerima akibat dari pelanggaran yang terdiri dari 16 responden sebagai informan. e)
Warga desa Pandeyan yang terdiri dari 24 warga desa Pandeyan sebagai informan.
2. Analisis Dokumen Analisis dokumen yaitu teknik pengumpulan data dengan mempelajari dokumen. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai sumber data yang dapat dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk meramalkan kejadianatau peristiwa yang akan dating. Teknik dokumenter ini
50
dapat berupa arsip-arsip yang relevan serta benda-benda fisik lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat H.B. Sutopo (2002:54) yang berpendapat bahwa “Dokumen dan arsip merupakan bahan tertulis yang berpautan dengan suatu peristiwa atau aktifitas tertentu”.
F. Validitas Data Validitas data adalah keabsahan data yang diperoleh dalam penelitian atas suatu data yang diakui kebenarannya. Jadi dalam penelitian ini untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh, maka validitas datanya dapat dilakukan berbagai cara, yaitu : Trianggulasi, informan review, dan member chek. 1.Trianggulasi Pengertian trianggulasi data menurut Lexy J. Moleong (1995:178) berpendapat bahwa “Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan datanya memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk mengecek atau sebagai bahan pembanding terhadap data itu”. Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif, H.B. Sutopo (2002 : 78-82) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) macam trianggulasi yaitu : a. Trianggulasi data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. b.Trianggulasi metode, jenis trianggulasi ini biar dilakukan oleh seorang peneliti dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode pengumpulan data yang berbeda. c. Trianggulasi peneliti, adalah penelitian yang baik data atau simpula mengenai bagian tertentu atau keseluruhan bisa di uji validitasnya dari beberapa penaliti. d.Trianggulasi teori, trianggulasi ini dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang di kaji. (Hasil Trianggulasi data dapat dilihat pada lampiran halaman 2. Informan Review Informan review yaitu laporan penelitian direview oleh infoman khususnya kegiatan informan untuk mengetahui apakah yang telah diteliti merupakan sesuatu yang dapat disetujui mereka atau tidak.
51
3. Member Chek Dalam penelitian kualitatif, disamping sudah menggunakan trianggulasi data, review informan belum dirasakan cukup untuk membuktikan bahwa data yang diperoleh dalam penelitian tersebut benar-benar valid. Untuk itu masih menggunakan member chek, sehinggaa laporan hasil penelitian diperiksa oleh kelompok atau peneliti lain untuk mendapatkan penelitian yang tepat atau mencantumkan kekurangan untuk lebih dimantapkan.
G. Analisis Data Untuk mendapatkan data yang obyektif dalam pengumpulan data, maka seorang peneliti harus melakukan teknik analisis data. Menurut Lexy J. Moleong (1995:130) “Analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat di temukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. H.B. Sutopo (2002:91) berpendapat bahwa : “Dalam proses analisis data terdapat komponen utama yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama tersebut adalah : (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data, (4) penarikan kesimpulan atau verifikasi”. 1. Penumpulan Data Merupakan kegiatan memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur. 2. Reduksi Data Menurut H.B. Sutopo (2002:92) berpendapat bahwa : “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”. 3. Sajian Data Merupakan rakitan organisasi informasi yang memungkinkan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambaran atau skema, jaringan kerja
52
kegiatan, dan table. Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. 1. Penarikan Kesimpulan atau Verivikasi Kesimpulan akhir diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan yang diambil lebih kuat dan bias dipertanggungjawabkan. Berdasarkan model analisa tersebut, apabila digambarkan adalah
1 Pengumpulan Data 3 Sajian Data
2 Reduksi Data 4 Penganbilan Kesimpulan/ Verifikasi
Gambar 3. Metode Analisis Interaktif (H.B. Sutopo, 2002:96) Keterangan : Reduksi dan sajian ini harus disusun pada waktu peneliti sudah mendapatkan unit data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam penelitian. Pada pengumpulan data sudah berakhir, peneliti mulai melakukan usaha untuk menarik kesimpulan atau verifikasinya berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi maupun sajian datanya. Bila kesimpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan dalam reduksi maupun sajian datanya, maka peneliti wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung kesimpulan yang ada dan juga bagi pendalaman.
H. Prosedur Penelitian Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah penelitian dari awal hingga akhir sebagai berikut :
53
a. Tahap Pra Lapangan Tahap ini terbagi dalam enam kegiatan yang dilakukan meliputi : a. Menyusun Rencana Penelitian b. Memilih Lapangan Penelitian c. Mengurus Perijinan d. Menjajaki dan Menilai Keadaan Lapangan e. Menyiapkan Perlengkapan Penelitian f. Memilih dan Memanfaatkan informan b. Tahap Penelitian Lapangan a. Memahami Latar Belakang Penelitian dan Persiapan b. Memasuki Lapangan c. Berperan Serta dalam Mengumpulkan Data Dari Informan d. Mencari Informasi Melalui Pengamatan Praktek di Lapangan c. Tahap Analisis Data Tahap ini penulis melakukan beberapa kegiatan yang berupa mengatur, mengurutkan, memberi kode, dan mengorganisasikan data. Kemudian setelah itudata yang sudah terkumpul, maka da tersebut akan dianalisis untuk mengetahui permasalahan yangakan diteliti sehingga dapat di temukan tema dan dirumuskan dugaan sementara ataupun adanya temuan studi. d. Tahap Penulisan Laporan Tahap Setelah tahap penganalisaan data, maka langkah yang akan dilakukan selanjutnya yaitu menarik kesimpulan dari permasalahan yang diteliti kemudian hasil dari penelitian tersebut nantinya akan ditulis dalam bentik laporan.
54
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1. Keadaan Umum Desa Pandeyan a. Letak dan Kondisi Geografis Desa Pandeyan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri yang mempunyai luas 567.8202 Ha. Yang terbagi dalam 8 dusun, yaitu Dusun Sugihan, Dusun Malang Sari, Dusun Sempon, Dusun Pandeyan, Dusun Cuwo, Dusun Panderejo, Dusun Kwangsan, dan Dusun Manggis yang terbagi dalam 25 RT. Mengenai luas wilayah Desa Pandeyan beserta perincian penggunaannya dapat dilihat pada table dibawah ini : Tabel 2 : Luas Daerah Desa Pandeyan dan Penggunaannya No Penggunaan 1
Luas (Ha)
Tanah Sawah Tadah Hujan / Rendengan
90.6314
2
Tanah Kering
313.1293
3
Tanah Pekarangan
137.1274
4
Tanah Lain-lain
26.9321
Jumlah
567.8202
Sumber : Monografi Desa Pandeyan Tahun 2007 Adapun batas wilayah dari Desa Pandeyan adalah sebagai berikut: a)
Sebelah Utara
: Desa Giriyoso, Kecamatan Jatipurno
b) Sebelah Selatan : Desa Tasik Hargo c)
Sebelah Barat
d) Sebelah Timur
: Desa Jatinom, Kecamatan Sidoharjo : Desa Watangsono
b. Orbitase dan jarak Tempuh Desa Pandeyan merupakan desa yang mempunyai letak strategis karena mudah untuk dijangkau oleh angkutan umum dan Desa Pandeyan dilewati jalan besar yang merupakan jalan utama antar provinsi sehingga memudahkan
55
transportasimenuju pusat pemerintahan. Keadaan orbitrasi dan jarak tempuhdari pusat pemerintahan sebagai berikut: a) Jarak ke Ibukota kecamatan :
4 Km
b) Jarak ke Ibukota kabupaten : 28 Km c) Jarak ke Ibukota provinsi
: 159 Km
2. Tinjauan Demografis 1.
Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk di Desa Pandeyan tahun 2007 sebanyak 4.927 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 2.479 jiwa dan perempuan 2.448 jiwa, yang terdapat dalam 1.430 KK yang terbagi dalam 25 Rt dari 8 dusun. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai keadaan penduduk Desa Pandeyan dalam kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut: Tabel 3 : Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan 1 0-4 tahun 365 261
Jumlah 626
2
5-9 tahun
170
171
341
3
10-14 tahun
141
149
290
4
15-19 tahun
236
233
469
5
20-24 tahun
230
241
471
6
25-29 tahun
227
231
458
7
30-39 tahun
218
224
442
8
40-49 tahun
230
235
465
9
50-59 tahun
192
213
405
10
>60 tahun
470
490
960
2.448
4.927
Jumlah 2.479 Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk terbesar adalah penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun yaitu berjumlah 960 jiwa, sedangkan jumlah terndah adlah penduduk yang berusia 10-14 tahun. 2. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
56
Dari data kependudukan di Desa pandeyan dapat diperoleh keterangan bahwa penduduk yang termasuk usia produktif atau yang terhitung kelompok usia kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun keatas. Gambaran lengkap mengenai jumlah penduduk menurut mata pencaharian dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel 4 : Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian No Mata Pencaharian 1
Jumlah
Petani a. Petani Pemilik Tanah
821
b. Petani Penggarap Sawah
--
c. Buruh Tani
607
2
Pengusaha Sedang / Besar
--
3
Pengrajin / Industri Kecil
87
4
Buruh Industri
106
5
Buruh Bangunan
742
6
Pedagang
147
7
Pengangkutan
41
8
Pegawai Negeri Sipil
42
9
ABRI / TNI
17
10
Pensiunan (PNS/ABRI/TNI)
12
11
Lain-lain
1.107
Jumlah
3.729
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 3. Komposisi Penduduk Menurut Tingklat Pendidikan Ditinjau dari latar belakang tinkat pendidikan penduduk Desa Pandeyan dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 5 : Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan No Pendidikan
Jumlah
1
Tidak Sekolah
778
2
Belum Tamat SD
1.035
3
Tidak Tamat SD
448
4
Tamat Sd / Sederajat
1.182
57
5
Tamat SLTP / Sederajat
689
6
Tamat SLTA / Sederajat
694
7
Tamat Akademi / Tamat Perguruan Tinggi
101
Jumlah
4.927
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 4. Komposisi Penduduk Menurut Agama Ditinjau dari segi agama, penduduk di Desa Pandeyan terdiri dari penganut ajaran agama yang berbeda-beda yang hidup berdampingan. Hal ini dapat dilihat dari tabel berikut: Tabel 6 : Komposisi Penduduk Menurut Agama No Agama
Jumlah
1
Islam
4.861 orang
2
Katolik
16 orang
3
Protestan
50 orang
4
Hindu
-- orang
5
Budha
-- orang
Jumlah
4.927 orang
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 3. Tinjauan Ekonomi, Sosial, dan Budaya a. Sarana Jalan Jalan merupakan sarana penghubung yang memegang peranan yang penting dalam berbagai aktivitas penduduk. Adapun sarana jalan Desa Pandeyan adalah sebagai berikut : Tabel 7 : Sarana Jalan No
Kondisi Jalan
Panjang (Km)
1
Jalan Aspal
6,5
2
Jalan Batu
30
3
Jalan Tanah
5
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 b.Sarana Transportasi, Komunikasi, dan Informasi
58
Beberapa jenis sarana komunikasi, transportasi dan informasi yang dimiliki oleh masyarakat desa Pandeyan yang biasanya juga dipergunakan dalam aktivitas sehari-hari dalam memenuhi kebutuhannya. Adapun jenis sarana komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat Desa Pandeyan antara lain : HT, Telepon Umum, Kentongan, dan Pertemuan secara langsung antar warga. Dari bidang transportasi dan komunikasi dapat dilihat dalam tabel dibawah ini : Tabel 8 : Jenis Sarana Transportasi dan Komunikasi Desa Pandeyan No Jenis Sarana Jumlah 1
Pengangkutan
2
a. Sepeda
19
b. Sepeda Motor
184
c. Mobil Pribadi
6
d. Truk
19
e. Colt / angkutan
34
Informasi a. Radio
112
b. Televisi
762
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 c. Sarana Sosial Budaya 1). Sarana Pendidikan Di Desa Pandeyan terdapat beberapa sarana pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai SLTP. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat data sebagai berikut : Tabel 9 : Sarana / Prasarana Pendidikan di Desa Pandeyan No Sarana Pendidikan Jumlah Bangunan
Jumlah Guru
1
Taman Kanak-Kanak
4
5 orang
2
Sekolah Dasar
3
24 orang
3
SLTP
1
32 orang
Jumlah
7
61 orang
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007
59
2). Sarana Tempat Ibadah Di Desa Pandeyan agama yang dianut tidak hanya satu ama melainkan ada agama lain yang dianut warga desa sehingga untuk tempat ibadahnya juga terdiri atas agama yang ada di desa tersebut. Sarana tempat ibadah tersebut antara lain :
Tabel 10 : sarana Tempat Ibadah No Tempat Ibadah
Jumlah
1
Masjid
13
2
Surau
1
3
Gereja
2
4
Kuil / Pura
--
Jumlah
16
Sumber : Monografi Desa Pandeyan tahun 2007 4. Bentuk-bentuk Kelembagaan Istilah lembaga kemasyarakatan menunjukan adanya unsur-unsur yang mengatur perilaku para anggota masyarakatnya. Adapun beberapa jenis kelembagaan yang ada di Desa Pandeyan adalah sebagai berikut : a. Lembaga Pemerintahan Lembaga pemerintahan adalah lembaga yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan melaksanakan pembangunan desa, yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh warga masyarakat yang telah dipilih oleh aparat RT dan RW.untuk melancarkan tugas-tugas mereka setiap bulannya diadakan pertemuan rutin pada awal bulan oleh aparat desa beserta RT dan RW . b. Organisasi PKK Organisasi PKK merupakan organisasi yang beranggotakan ibu-ibu rumah tangga di Desa Pandeyan. Adapun macam kegiatan yang dilaksanakan adalah :
60
a) Arisan : Biasanya diselenggarakan setiap satu bulan sekali dan dilaksanakan di setiap dusun. b) Posyandu : dilaksanakan di tiap-tiap lingkungan dusun. Jenis kegiatannya antara lain: penimbangan ibu dan balita, serta penyuluhantentang peningkatan kesehatan dan gizi, pemberian gizi dan vitamin kepada balita. c. Organisasi Kepemudaan (Karang Taruna) Organisasi Karang Taruna merupakan suatu wadah yang menghimpun para generasi muda yang terdapat di Desa Pandeyan, karena letak yang berjauhan antar dusun maka organisasi karang taruna ini terkelompok menurut dusun yang ada di Desa Pandeyan. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah: olah raga, arisan sinoman, dan kerja bakti remaja.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian 1. Sikap Masyarakat Terhadap Perkawinan Adat Kejawen a) Latar Belakang Terjadinya Pelanggaran Adat Perkawinan Kejawen Perkawinan adat kejawen adalah suatu perkawinan yang dilaksanakan di suatu daerah yang masih menganut adat perkawinan Jawa kuno yang didasarkan pada kepercayaan warga terhadap adat tersebut. Suatu adat yang memang sudah menyatu dengan kehidupan sehari-hari sehingga warga sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan tersebut walaupun ada juga yang meninggalkan adat kejawen biasanya akan terjadi suatu kejadian yang tidak diinginkan oleh warga yag melanggar atau meninggalkan adat kejawen tersebut. Di Desa Pandeyan memiliki adat atau tata cara perkawinan yang juga masih menganut adat Jawa kuno yaitu adat Kejawen. Yang masih di yakini di Desa Pandeyan adalah 1) Perkawinan Bali Winih yaitu suatu perkawinan dimana seorang pria yang menikahi seorang gadis yang berasal dari desa atau tanah kelahiran dari ayah pengantin pria atau suatu perkawinan yang dilaksanakan oleh sebuah keluarga dimana calon pengantin pria menikahi seorang calon pengantin wanita yang berasal dari desa atau tanah kelahiran ayah dari pengantin pria.
61
2) Perkawinan Adu Cocor adalah perkawinan yang dilakukan antara seorang laki-laki dan perempuan yang memiliki tempat tinggal tidak berbatasan rumah lain atau berbatasan satu rumah antara rumah keluarga pengantin laki-laki dan perempuan. 3) Perkawinan Ngalor -Ngulon adalah perkawinan berdasarkan arah tempat tinggal dimana keluarga pengantin perempuan akan menikah dengan pengantin laki-laki yang arah perjalanan dari rumah keluarga perempuan dari arah utara kearah barat ketempat keluarga pengantin laki-laki. Walaupun adat perkawinan tersebut diatas masih diakui memiliki kekuatan alam yang dianggap memiliki kekuatan sakral tetapi juga masih terdapat beberapa warga yang tetap menerjang atau melanggar adat kejawen tersebut. Masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah masyarakat modern yang lebih memilih aturan-aturan perkawinan yang menggunakan aturan modern yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan perkawinan dan lebih sering mengabaikan perkataan atau nasehat dari orang tua yang masih mengaitkan segala sesuatu dengan adat kejawen termasuk mengingatkan warga apabila akan melangsungkan perkawian harus mengikuti adapt yang berlaku di Desa Pandeyan. Masyarakat merupakan suatu paguyupan atau kelompok yang terdiri atas suatu kesatuan terutama dari segi adat istiadat dan hukum adatnya. Kepercayaan terhadap suatu adat
tidak
dapat
dilaksanakan
secara
setengah-setengah,
apabila
telah
dilaksanakan dan dipercayai sejak orang-orang terdahulu maka generasi sekarang juga wajib melaksanakan apa yang telah menjadi ketentuan dimasa lalu dan harus di laksanakan pada generasi sekarang juga. Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan merupakan suatu sutu aturan yang mengikat secara fisik yaitu dengan hukum dan sanksi yang di tentukan dan di sahkan oleh Negara dan aturang tersebut dalam bentuk tertulis jadi yang harus ditaati adalah apa yang tertulis dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana maupun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sedangkan peraturan adat merupakan aturan yang telah ada dalam masyarakat yang mengikat secara batiniah maupun lahuriyah yang peraturannya tidak hanya
62
mengikuti peraturan yang telah tertulis tetapi juga dalam peraturan kepercayaan yang diyakini memiliki dampak bagi kehidupan warga dan peraturan tersebut hanya di ketahui oleh warga yang berada di dalam kelompok desa tertentu baik dalam hukum maupun sanksi hukumnya. Peraturan adat perkawinan yang tidak tertulis yang dipercayai oleh masyarakat dikuatkan dengan aturan-aturan tertulis yaitu aturan perundang-undangan yang telah dijelaskan apa dan bagaimana hak dan kewajiban seseorang dalam perkawinan. Hak dan kewajiban tersebut oleh Negara diatur dengan kekuatan hukum yaitu dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tetapi tidak berarti hukum adat dan hukum agama dikesampingkan dan dianggap tidak memiliki kekuatan hukum walau tidak disahkan oleh pemerintah atau Negara hukum adat juga memiliki sanksi yang tidak dapat di tolak oleh warga yang melanggar adat perkawinan kejawen, karena adat juga memiliki sanksi yang lebih mengikat jiwa dari manusia yang berada dalam kelompok masyarakat dalam suatu desa sehingga apabila terdapat yang melanggar maka keberlakuan sanksi adat tidak dapat ditawar-tawar
berbeda
dengan aturan atau sanksi dalam peraturan perUndang-Undang yang masih bisa dilakukan secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi dengan kata lain asal tidak ada yang mengetahui maka mereka dianggap tidak melanggar hukum ayau aturan. Secara umum aturan adat masih dianggap mengikat pada individu dalam lingkup masyarakat apabila keyakinan tersebut masih melekat pada sanak keluarga yang masih hidup. Sehingga apabila tidak menjalankan adat yang berlaku maka sudah tidak dapat di pungkiri bahwa kita juga akan menerima sanksi dari alam yaitu sanksi adat yang dapat memberikan musibah atau hal-hal buruk akan terjadi pada kita. Di Desa Pandeyan merupakan suatu desa yang keseluruhan wargannya masih memiliki ikatan darah maka tidak dapat dihindari keberlakuan hukum adat kejawen di desa tersebut. Orang yang dianggap dituakan atau sebagai sesepuh desa merupakan
orang
yang
dipercayai sebagai Jawa Kuno yang
menganut adat kejawen, sebagian besar mereka adalah orang yang memegang aturan adat perkawinan di Desa Pandeyan. Banyaknya
masyarakat
yang
berpindah-pindah
sehingga
banyak
mendatangkan banyak warga baru dengan pengetahuan yang berbeda-beda juga
63
menyebabkan dilupakannya peraturan perkawinan adat kejawen yang berlaku di Desa Pandeyan, sulitnya memahami keadaan alam yang baru membuat warga acuh terhadap peraturan yang berlaku hal tersebut dikarenakan aturan yang di percayaai warga bukan merupakan aturan yang tercantum dalam aturan tertulis yang di sahkan Negara, walaupn mereka menerima sanksi dari alam tetapi bagi mereka itu hanya suatu kebetulan yang sama. Selain dari pendatang baru ada juga warga desa yang telah merantau atau telah lama mengadu nasip di luar daerah yang mulai melupakan adat tradisi di desa asal mereka apalagi jika mereka memiliki pasangan hidup di daerah yang berbeda. Hal seperti itulah yang membuat mulai punahnya hukum adat yang telah berlaku lama di desa dan menggantikan aturan-aturan adat dengan hal-hal yang bersifat modern. Dari aturan perkawinan adat kejawen yang selain dilengkapi oleh aturan perundang-undangan juga di tambah dengan hokum secara agama yang juga tertulis dan sanksinya ganda baik secara fisik maupun secara batiniah yang berhubungan langsung dengan Yang Maha Pencipta. Aturan dalam UndangUndang perkawinan yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan aturan dalam hukum adat serta aturan agama sama-sama mengatur tentang tata cara pelaksanaan perkawinan dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengikat antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk kemudian dapat meneruskan garis keturunan yang berikutnya dengan sah. b) Faktor yang Menyebabkan Dilanggarnya Suatu Perkawinan Adat Kejawen Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan aturan adat kejawen dilupakan atau tidak dipercayai oleh sebagian dari masyarakat desa Pandeyan. Saudara Parmin mengungkapkan sebagian dari faktor pelanggaran adat yang dia lakukan adalah kurangnya pemahaman terhadap adat perkawinan yang berlaku di desa Pandeyan sehingga adat perkawinan tersebut dilanggarnya dan Saudara Parimin menerima dampak terhadap keluarganya karena melanggar adat perkawinan Ngalor Ngulon. Selain Parimin sendiri Waliman yang melanggar adat perkawinan Bali winih juga menambahkan apa yang menjadi factor dilanggarnya adat perkawinan di Desa Pandeyan “ Saya di Pandeyan ini adalah pendatang dari Semarang, yang menikah dengan istri saya dari Wonogiri khususnya dari Dusun
64
Kwangsan Desa Pandeyan yang daerah tersebut merupakan daerah tanah kelahiran ayah saya” menurut pendapat tersebut saudara Waliman dianggap tidak paham dan tidak ada penjelasan dari pihak orang tua bahwa perkawinannya itu adalah suatu kesalahan. Tetapi lain halnya yang dikatakan oleh saudara Kardo yang menganggap bahwa suatu adat istiadat merupakan aturan yang hanya diperuntukan bagi orang-orang pada jaman dahlu dan tidak berlaku untuk anak jaman sekarang, sehingga pada saat di peringati oleh orangtuanya Kardo membantah dan tetap melaksanakan perkawinan yang dia inginkan tersebut. Selain itu saudara Karimin juga menambahkan lagi bahwa dirinya merupakan warga yang lebih percaya dengan aturan hukum pemerintahan dan tidak meyakini adanya peraturan adat istiadat, walau banyak warga yang menegur Karimin pada saat akan melaksanakan perkawinan bahwa dia melanggar adat Bali Winih, dia tetap tidak mempedulikan warga desa dan tetap melaksanakan perkawinannya. Sering saya di dekati warga desa dan diperingati bahwa saya tidak diperkenankan untuk meneruskan perkawinan saya, sampai kedua orang tua saya mendatangkan sesepuh desa untuk menasehati saya, tetapi bagi saya apabila sudah sesuai dengan persyaratan yang ditentukan undang-undang kenapa tidak boleh toh saya anak yang berpendidikan dan mampu menghidupi keluarga saya. Dari beberapa pendapat yang diungkapkan warga desa tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan dilanggarnya adat perkawinan kejawen adalah 1) Kurangnya pemahaman warga terhadap adat atau kebiasaan yang berlaku di desa pandeyan. 2) Tidak adanya rembukan atau pembicaraan dari kedua orang tua calon pengantin sehingga apa yang seharusnya tidak dilakukan menjadi dilakukan dan menimbulkan dampak pelanggaran adat perkawinan kejawen. 3) Sikap tidak peduli dengan keadaan lingkungan yang mengikat perilaku warga denagn kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku sejak dahulu.
65
4) Warga pendatang yang belum lama tinggal di desa Pandeyan dan sama sekali tidak mengetahui adat yang berlaku di Desa Pandeyan. Menurut para sesepuh memang seharusnya ada rerembug terlebih dahulu dengan warga atau orang lain yang dianggap tahu walau mereka pendatang tidak berarti dapat melanggar ketentuan adat tradisi di desa yang mereka tempati. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden mengenai kepercayaan terhadap hukum adat perkawinan kejawen adalah sebagai berikut: Berdasarkan penuturan Bapak Samsul yang juga mempercayai berlakunya hokum adat di Desa pandeyan ini mengatakan bahwa peraturan mengenai perkawinan sebaiknya disesuaikan dengan telah dipercayai warga, hal tersebut disebabkan adat merupakan suatu kebiasaan yang telah dilaksanakan sejak dahulu jadi tidak ada salahnya jika tetap dilaksanakan. Bapak Harsi Waluyo juga menambahkan bahwa adat kejawen sudah merupakan tradisi turun temurun dari orang-orang terdahulu di desa Pandeyan jadi adt kejawen tetap dilaksanakan sampai sekarang. Selainitu dari pihak pemerintahan ada juga yang sudah tidak percaya dengan adat kejawen yang berlaku di desa Pandeyan. Bapak semo dan bapak Larno yang sudah tidak percaya dan mulai meninggalkan adat kejawen. Dari tokoh agama di desa Pandeyan hampir semua menentang berlakunya hokum adat. Hokum adat merupakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang mistik bukan percaya pada Tuhan pencipta alam dan bagi mereka hal tersebut adalah termasuk dalam syirik yaiyu menduakan Tuhan. Hal tersebut dikatakan juga oleh bapak Samono yang mengatak bahwa “percaya pada adat merupakan sesuatu yang syirik yaitu percaya pada hal-hal mistik dan tidak peercaya pada Tuhan”. Perdapat tersebut di tambahkan lagi oleh bapak Gino yang mengatakan”jika manusia mulai percaya pada hal-hal gaib selain pada Allah berarti mereka mulai meninggalkan agama dan sama halnya menduakan Allah SWT”. Sedangkan dari pihak masyarakat sendiri juga terdapat berbagai macam pendapat mengenai adat pekawinan kejawen di desa Pandeyan. Seperti yang dikatakan oleh bapak Darmanto yang masih percaya dengan adanya aturan adat yang mengatur mengenai pekawinan di desa Pandeyan, kemudian bapak Sularmin
66
juga masih percaya pada keberlakuan hukum adat yang mengatakan bahwa hukum adat di desa Pandeyan masih perlu di leksanakan sebab hukum adat yang berlaku merupakan sutu peraturan yang sudah ada sejak dahulu yang telah di jalani warga desa terdahulu sebab setiap peraturannya telah menjiwa walalu tidak ada yang tertulis tetapi semua warga dengan sepontan mentaatinya. Menurut bapak Warsito yang tidak atau kurang setuju dengan aturan-aturan adat, ”walau banyak yang mengatakan kalau saya melanggar adat tetapi bagi saya yang terjadi pada keluarga saya bukan pelanggaran adat tetapi sudah takdir dan tidak ada hubungannya dengan kesalahan saya untuk menikahi istri saya”. Menurut Dedy Ariyanto yangjuga melangggar adat yang awalnya tidak mengerti dan tidak percaya dengan adat kejawen tetapi setelah mengalami dampak perkawinan kejawen baru ia mempercayai dengan adanya hukum adat yang berlaku didesa Pandeyan tempat saudara Dedy tinggal bersama keluarganya. Menurut saudara Kardo yang mengatakan ” saya masih belum percaya dengan perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa saya melanggar adat dan terkena dampak dari pelanggaran adat tetapi apakah benar jika yang saya lakukan itu suatu pelanggaran bukankah yang namanya pelanggaran itu diatur dalam undangundang bukan pada keputusan warga.” Menurut bapak Darminto yang juga merupakan warga desa yang melenggar adat kejawen yang juga percaya setelah mengalami dampak dari adat perkawinan kejawen. Menurut saudara Adi Laksono sebagai salah satu warga desa yang tidak melenggar dan taat pada adat jawa mengatakan ”walaupun saya termasuk generasi muda tetapi saya pribadi masih percaya denagan adat yang berlaku sebab adat merupakan kebudayaan yang merupakan suatu ciri dari bangsa Indonesia yang harus dilestarikan selain itu seluruh keluarga saya masih percaya pada adat sehingga saya juga harus masih percaya pada adat”. Menurut bapak Sutarto ” aturan adat kejawen itu bagaimana juga harus tetap dijalankan baik bagi warga yang sudah asli Pandeyan maupun pendatang dan generasi mudanya sebab itu sudah merupakan kebiasaan yang sudah menjadi aturan dilingkungan masyrakat dan sebaiknya diindahkan dengan cara mentaati
67
semua yang sudah diatur oleh adat disamping peraturan yang diatur oleh negara”. Untuk dapat jelasnya dapat kita lihat pada tabel dibawah ini: Tabel 11. Kepercayaan terhadap Adat Perkawinan Kejawen Yang Berlaku di Desa Pandeyan. No
Responden
Kepercayaan Terhadap Adat Perkawinan Kejawen Percaya
Tidak Percaya
Pem. Desa 1
Samsul
2
Harsi Waluyo
3
Larno
4
Semo
ü ü ü ü
Tokoh Agama 1
Gino
ü
2
Samino
ü
3
Asmuni
ü
4
Sakimo
ü
5
Nurshaleh
ü
Tokoh Masyarakat 1
Darso Kasino
ü
2
Marto Mariman
ü
Warga Desa 1
Saryoko
ü
2
Parmin
ü
3
Karno
4
Tarno Kasmin
5
Wahyu. P
6
Hardi Kustiyo
7
Waliman
8
Karjo
ü ü ü ü ü ü
68
9
Sularmin
ü
10
Warsito
ü
11
Dedy Ariyanto
12
Kardo
13
Darminto
ü
14
Yatno
ü .
15
Karimin
16
Haryono
17
Tarmin
ü
18
Katiyo
ü
19
Kurniawati
ü
20
Sukar Bejo
21
Suparto Rejono
ü
22
Wiwik Lestari
ü
23
Adi Laksono
ü
24
Sutarto
ü
25
Hermawan
26
Eko Setiyo
ü
27
Darmaji
ü
28
Untung Mulyadi
ü
29
Sakinem
ü
30
Sono Sukir
ü
31
Cahyo Nursiat
ü
32
Larsi
ü
33
Giyarmi
ü
34
Warni
ü
35
Sukaten
ü
36
Samijem
ü
37
Tumiyem
ü
38
Larno (mantan lurah)
ü
39
Sunar
ü
ü ü
ü ü
ü
ü
69
40
ü
Subroto
Jumlah
34
18
Sebagian besar warga desa Pandeyan masih menggunakan adat kejawen dalam melaksanakan perkawinan terutama sebelum adanya kesepakatan sebagai syarat di setujuinya perkawinan antara kedua belah pihak. Hal tersebut dapat ditunjukkan seperti table diatas yang menunjukan ada 34 responden yang masih percaya dan tetap menggunakan adat kejawen sebagai dasar terlaksananya perkawinan dan prosesi perkawinan. Dan yang tidak setuju terdapat 17 responden dan lebih memilih perkawinan dengan cara modern yang lebih praktis tanpa memperdulikan resikonya. 2.Persepsi Masyarakat Tentang Akibat dari Pelanggaran Perkawinan Adat Kejawen Perkawian merupakan suatu hal yang dianggap sebagai kejadian penting yang dapat mempengaruhi kehidupan si pelaku perkawinan di kemudian hari. Sehingga dalam melaksanakan perkawian perlu diperhatikan apa saja yang akan terjadi jika melanggar pantangan-pantangan dalam perkawinan. Menurut bapak Darso Kasino selaku orang yang memiliki peranan penting terhadap perkawinan di Desa Pandeyan beliau mengungkapkan bahwa “adat perkawinan kejawen yang dilanggar tersebut memiliki dampak negatif bagi warga yang melanggar adat tersebut”. Kemudian ditambahkan lagi oleh mbah Marto Mariman “bagi warga Desa pandeyan yang melanggar adat di sini baik yang di semgaja maupun tidak disengaja tetap akan menerima dampak yang tidak baik bagi kehidupan mereka yang melakukan pelanggaran adat perkawinan kejawen dan keluarga mereka yang lain”. Sedangkan menurut para pelaku pelanggaran dari adat perkawinan kejawen sendiri juga memberikan penjelasan yang berbeda-beda. Menurut bapak Saryoko yang melanggar adat perkawinan Bali Winih mengatakan bahwa dampak yang dia terima akibat pelanggarannya itu adalah ayahnya yang sebagai lurah di dusun Panderejo meninggal akibat sakit yang dari pihak medis tidak dapat menyembuhkan. “ ayah saya meninggal setelah saya menikah dengan sakit yang
70
belum diketahui medis, beliau sebelum meninggal tidak tampak sakit tetapi setiap makanan yang belisu makan tidak dapt di cerna usus dan langsung keluar lewat pembuangan sementara di perut, dan belum lama sakit beliau meninggal” Selain itu bapak Parimin yang tidak percaya pada adat perkawinan juga mengalami dampak adat perkawinan kejawen.” Kata warga desa yang lain saya itu menentang adat Ngalor Ngulon dan orang tua saya meninggal dunnia pada saat resepsi perkawinan sayaberlangsung. Tetapi menurut saya meninggalnya disebabkan karena terlalu kelelahan akibat menerima tamu yang terlalu banyak”. Sedangkan menurut bapak Karno perekonomiannya yang tidak baik bukan karena disebabkan pernikahannya dengan istrinya yang merupakan tetangga dekatnya tetapi karena merupakan cobaan dari tuhan. Bapak Waliman yang juga menambahkan “ saya percaya dengan adat kejawen dan saya sadar jika saya melanggar adat kejawen setelah berlangsung 1 bulan perkawinan saya, keluarga saya baru mengatakan bahwa tanah kelahiran ayah saya satu desa dengan tanah kelahiran istri saya. Jadi saya mengetahui bahwa saya melanggar setelah 7 hari kematian ayah saya”. Tetapi dari dampak yang diterima warga desa akibat melanggar adat perkawinan kejawen tersebut ditentang oleh para tokoh agama yang menyatakan kepercayaan
warga
desa
pendeyan
terlalu
berlebihan
sehingga
mengenyampingkan kepercayaan mereka kepada pencipta alam yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mengetahui bagaimana dampak yang dialami dari adat perkawinan kejawen dapat dilihat pada table dibawah ini : Tabel 12. Akibat dari Pelanggaran Adat Perkawinan Kejawen Adat Perkawinan yang Dipakai N
Nama
o
Responden
1
Saryoko
Bali
Adu
Ngalor
Akibat Pelanggaran Adat
Winih
Cocor
Ngulon
Perkawinan
ü
Orang tua laki-laki meninggal dunia setelah pelaksanaan perkawinan dalam jangka waktu beberapa hari.
71
2
Parmin
3
Karno
ü
ü
Terjadi musibah yang menimpa salah satu keluarga pengantin baik dari pihak lakilaki maupun perempuan yaitu akan ada yang meninggal dunia tanpa ada sebab yang pasti. Perekonomian
yang
selalu
tidak
dan
selalu
stabil
kekurangan serta ada musibah yang
menimpa
pengantin
keluarga
baik
laki-laki
maupun perempuan. 4
ü
Tarno Kasmin
Musibah terhadap keluarga yang tidak dapat disembuhkan dengan
cara
medis
dan
semakin bertambah parah. 5
ü
Wahyu. P
Orang
tua
salah
satu
pengantin meninggal dunia pada saat kedua pengantin ditemukan dan dido’akan oleh pujangga desa. 6
Hardi Kustiyo
ü
Ayah dari pengantin laki-laki yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam waktu dekat
setelah
acara
perkawinan dilaksanakan. 7
Waliman
ü
Setelah sepasar perkawinan dilaksanakan ayah pengantin laki-laki
meninggal
yang
disebabkan sakit yang tibatiba diderita dan tidak dapat
72
disembuhkan
dengan
cara
medis. 8
ü
Karjo
Pada saat kedua pengantin didudukan dipelaminan ibu dari saudara Katiyo jatuh pingsan Padahal
dan
meninggal.
sebelumnya
tidak
penyakit
yang
mengidap berbahaya. 9
ü
Sularmin
Terjadi
musibah
yang
menimpa salah satu keluarga pengantin baik dari pihak lakilaki maupun perempuan yaitu akan ada yang meninggal dunia tanpa ada sebab yang pasti. 10 Warsito
ü
Ayah dari pengantin laki-laki yang jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia dalam waktu dekat
setelah
acara
perkawinan dilaksanakan ü
11 Dedy Ariyanto
Orang
tua
salah
satu
pengantin meninggal dunia pada saat kedua pengantin ditemukan dan dido’akan oleh pujangga desa. 12 Kardo
ü
Kehidupan
yang
sulit
terutama dalam pemenuhan keuangan,
terbelit
dimana-mana
73
serta
hutang selalu
gagal bila akan memperoleh pekerjaan. ü
13 Darminto
Anak sakit-sakitan, orang tua tidak mampu untuk terusterusan
memeriksakan
anaknya karena penyakit yang diderita tidak kunjng sembuh. 14 Yatno
ü
Ayah
dari
meninggal delapan
pihak
laki-laki
dunia
setelah
hari
pelaksanaan
perkawinann tanpa sebab dan pada saat bekerja. 15 Karimin
ü
Setelah enam hari pelaksanaan perkawinan ayah dari karimin terpeleset dikamar mandi dan dua
hari
setelah
itu
meninggal. ü
16 Haryono
Musibah
yang
menimpa
keluarga khususnya pada istri yang
sakit-sakitan,
apabila
penyakitnya mulai meringan satu hari setelah salah satu anak
sakit
bergantian
dan
selalu
dalam
satu
keluarga. Jumlah
6
5
5
Berdasrkan tabel diatas dapat diketahui bahwa dari 16 responden yang melanggar adat perkawinan kejawen terdapat 6 responden yang melanggar adat perkawinan kejawen Bali Winih yang memiliki akibat terhadap kehidupan keluarga nya yaitu orang tua laki-laki dari pengantin laki-laki meninggal dunia
74
dalam jangka waktu dekat setelah pernikahan berlangsung. Terdapat 5 responden yang melanggar adat perkawinan kejawen Adu Cocor yang memiliki akibat terhadap
kehidupan
pengantin
yang
mengalami
kemunduran
terhadap
perekonomian rumah tangga yang disebabkan sering tertimpa musibah. Dan yang melanggar adat perkawinan kejawen Ngalor Ngulon terdapat 5 responden yang mendapatkan dampak meninggalnya salah satu orang tua pengantin baik laki-laki maupun perempuan pada saat prosesi perkawinan berlangsung. Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa persepsi masyarakat di desa pandeyan mengenai akibat dari pelanggaran adat kejawen adalah untuk menghindari dampak perkawinan tersebut adalah warga desa Pandeyan tetap melaksanakan adat perkawinan kejawen seperti yang telah dilaksanakan oleh warga lainnya pada waktu dahulu agar tidak terjadi sesuatu halyang tidak diharapkan bagi pelaku perkawinan maupun keluarga kedua belah pihak.
3. Tanggapan warga terhadap pelaksanaan perkawinan di Desa Pandeyan di pandang dari segi hukum adat kejawen. Terdapat beberapa tanggapan dari warga desa mengenai perkawinan adat kejawen di desa Pandeyan terhadap pelaksanaannya. Tanggapan tanggapan tersebut diantaranya: a) Dari tokoh Pemerintah Desa Pandeyan Dari Pemerintah Desa Pandeyan bapak Samsul selaku Kepala Desa Pandeyan beranggapan bahwa “perkawinan dilaksanakan sebaiknya sesuai dengan kebiasaan yang di lakukan warga lainnya sebab bagaimanapun kita akan menghindar dari kebiasaan yang berlaku tentunya akan ada akibat yang dirasakan baik disadari maupun tidak disadari warga dan akan dirasakan secara nyata”. Kemudian dari bapak Harsi Waluyo juga menambahkan “aturan yang sudah berlaku dan dijalankan di suatu daerah apabila ditinggalkan tetap aka nada juga akibatnya apalagi aturan itu sudah menjadi kebiasaan warga desa kalau dilanggar
75
pasti akan mendapat akibat paling kecil ya adanya pengucilan dari warga lain, rasa bersalah dan mungkn penyesalan yang terus-terusan”. Sedangkan bapak Larno menganggap bahwa kebiasaan-kebiasaan itu hanya merupakan suatu aturan yang tidak masuk akal, karena dalam suatu Negara yang merdeka dan didukung oleh teknologi adat istiadat dikalahkan dan lebih diutamakan dengan hal-hal yang masuk akal dan dapat ditemukan jalan keluarnya melalui permusyawarahan bersama bukan melalui praduga. Hal tersebut juga sama dengan yang diucapkan dengan pihak kaur kesra yaitu bapak Semo yang mengatakan “perkawinan itu dilaksanakan oleh masyarakat yang juga merupakan warga Negara Indonesia yang percaya terhadap Pancasila dan teknologi masa kini, jadi segala sesuatu lebih baik di putuskan dengan akal sehat, dalam perkawinan seharusnya sesuai dengan sahnya hukum Negara dan agama yang menjadi pegangan bangsa indonesia bukan kepercayaan sepihak” b) Dari tokoh Agama Dari segi agama jelas menentang adanya hukum atau peraturan seperti yang dibuat-buat oleh manusia dan menganggap kebiasaan tersebut merupakan suatu aturan yang mutlak padahal kemutlakan itu ada di tangan Tuhan Yang Maha Esa segala sesuatu itu terjadi sesuai dengan kehendak-Nya. Hal tersebut diungkapkan oleh bapak Nurshaleh yang dikuatkan oleh bapak Sakimo serta tokoh agama lainnya bahwa takdir itu berada di tangan tuhan kita sebagai manusia hanya menjalani dan tidak dapat melebihi kekuasaan tuhan karena tuhanlah yang disembah dan memiliki kuasa bukan zat atau kekuatan lain bilapun ada mereka tergolong dalam orang-orang yang menyekutukan Allah. c) Dari tokoh masyarakat Tokoh masyarakat yang merupakan narasumber dari permasalahan ini menganggap bahwa peraturan adat merupakan suatu peraturan yang sudah dijalankan oleh warga Pandeyan dan selalu memilki sebab dan akibat yang sama antara masa lalu dan sekarang. Seperti yang dikatakan mbah Darso Kasino yang mengatakan mengenai adat perkawinan “Perkawinan dengan adat kejawen yaitu suatu perkawinan yang masih mengikuti kaidah-kaidah hokum adat yang merupakan hokum alam yang ada di Desa disini khususnya di Desa Pandeyan dan
76
setiap aturannya tidak bisa diremehkan oleh warga yang ada di lingkungan desa tersebut”. Sama halnya dengan Mbah Marto Mariman yang menjelaskan juga mengenai adat perkawinan jawa ” Adat kejawen yaitu adat yang berasal dari masa lalu para orang jawa kuno atau adat yang di bawa oleh para orang tua sejak mereka lahir bahkan sebelum mereka lahir yang tentunya memberikan aturan tertentu pada warga di suatu desa tertentu”. Yang kedua narasumber tersebbut memberikan akibat dari pelanggaran adat perkawinan jika dilanggar akan mendapatkan dampak yang buruk bagi warga desa Pandeyan.
d) Dari warga desa Menurut warga desa sendiri baik yang melanggar adat maupun yang tidak, baik yang percaya maupun yang tidak terdapat 40 responden masing-masing menjelaskan bagaimana pemahaman mereka terhadap adat yang berlaku terutama yang menyangkut perkawinan. Saudara Saryoko mengatakan bahwa sebelum menikah kurang mengetahui adat yang berlaku di desa Pandeyan, sebenarnya sudah ada yang menegur tindakannya saat akan menikah tetapi karena berpegang pada keputusan sendiri akhirnya saudara saryoko baru menyadari bahwa dia melanggar adat perkawinan kejawan. Selain itu ada juga warga yang melanggar tetapi tetap tidak percaya dengan hokum adat yang berlaku di desa Pandeyan. Saudara Karnno yang melanggar adat Adu Cocor bersitegguh pada pendiriannya bahwa yang terjadi pada keluarganya bukan karena dampak dari pelanggaran adat kejawen melainkan itu semua sudah takdir dari Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu dari arga desa lain yang tidak melakukan pelangaran memilikin pendapat yang berbeda-beda ada yang tetap percaya dan menjalankan adat kejawen yang berlaku ada juga yang tidak percaya dan tidak mengikuti adat tersebut. Seperti halnya pada bapak Sutarto yang percaya pada adat perkawinan kejawen “ sebagai orang jawa asli saya masih mengikuti jejak orang tua saya untuk tetap menjalankan adat yang telah berlaku di desa ini”. Seangkan menurut Tarno Kasmin yang juga mengatakan bahwa ia juga percaya pada adat kejawen “
77
apapun yang terjadi saya tetap percaya karena itu sudah menjadi tradisi di keluarga kami untuk tetap menjalankan adat kejawen sampai keturunan-keturunan kami”. Tetapi ada juga yang ragu terhadap adat keawen yang berlaku, seperti saudara Parmin yang sebenarnya melanggar adat tetapi ia masih ragu apakah tragedi di keluarganya termasuk dampak dari pelanggaran adat ataukah hanya suatu kebetulan. Selain bapak Parimin ibu Wiwik juga masih ragu dengan peraturan adat yang berlaku “ saya masih tidak yakin terhadap peraturan adat yang berlaku di desa ini apakah mungkin hanya karena suatu ikatan dapat memutuskan kehidupan seseorang padahal acara perkawinan baru dilaksanakan”. Selain itu ada juga warga desa yang sudah tidak percaya dan mulai meninggalkan adat perkawinan kejawen sebagai aturan di masyarakat desa Pandeyan. Bapak Sukar Bejo tidak percaya pada adat perkawinan kejawen: Keluarga saya ada yang mengalami sakit yang aneh semua badannya bengkak tetapi masih dapat melakukan aktivitas seperti biasa, kata keluarga saya dia sakit akkibat dari perkawinan yang melanggar adat tetapi bagi saya itu disebabkan karena kecerobohannya pada saat belum menikah bukan karena kesalahan menikahi wanita yang tempat tinggalnya dekat dengan rumahnya”. Sama halnya dengan bapak Kardo yang mengungkapkan bahwa selama ini yang dikatakan warga tentang dampak pelanggaran adat itu hanya sebuah pendapat warga terhadap suatu perkawinan yang dikaitkan dengan yang pernah terjadi dahulu. Menurut saya orang dahulu dikatakan melanggar adat disebabkan yang dinikahi itu memiliki ikatan darah sehingga sekarang ada yang melakukan perkawinan yang sama walau tidak ada ikatan sedarah dikait-kaitkan dan apabila ada yang sakit dan meninggal dianggap itu akibat dari pelanggaran adat padahal itu hanya suatu kebetulan saja. Untuk mengetahui seberapa banyak responden yang percaya dan tidak dapat dilihat pada table dibawah ini: Tabel 13. Tanggapan Warga Desa Terhadap Pelaksanaan Hukum Adat kejawen No
Responden
Percaya
Pem. Desa 1
Samsul
ü
78
Tidak Percaya
Ragu-ragu
ü
2
Harsi Waluyo
3
Larno
ü
4
Semo
ü
Tokoh Agama 5
Gino
ü
6
Samino
ü
7
Asmuni
ü
8
Sakimo
ü
9
Nurshaleh
ü
Tokoh Masyarakat 10
Darso Kasino
ü
11
Marto Mariman
ü
Warga Desa ü
12
Saryoko
13
Parmin
14
Karno
15
Tarno Kasmin
ü
16
Wahyu. P
ü
17
Hardi Kustiyo
ü
18
Waliman
19
Karjo
20
Sularmin
ü
21
Warsito
ü
22
Dedy Ariyanto
23
Kardo
24
Darminto
ü
25
Yatno
ü
26
Karimin
27
Haryono
ü
28
Tarmin
ü
29
Katiyo
ü
ü ü
ü ü
ü ü
ü
79
ü
30
Kurniawati
31
Sukar Bejo
32
Suparto Rejono
33
Wiwik Lestari
34
Adi Laksono
ü
35
Sutarto
ü
36
Hermawan
37
Eko Setiyo
38
Darmaji
ü
39
Untung Mulyadi
ü
40
Sakinem
ü
41
Sono Sukir
ü
42
Cahyo Nursiat
43
Larsi
44
Giyarmi
ü
45
Warni
ü
46
Sukaten
ü
47
Samijem
ü
48
Tumiyem
ü
49
Larno (mantan lurah)
ü
50
Sunar
ü
51
Subroto
ü ü ü
ü ü
ü
ü
ü Jumlah
26
18
7
Dari table diatas dapat diambil kesimpulan bahwa tanggapan warga desa Pandeyan
terdapat
26 respondren
yang
percaya yaitu yang terdiri dari 2
responden dari pemerintah desa, 2 narasumber yaitu tokoh masyarakat, dan 22 warga desa Pandeyan dengan tanggapan bahwa adat perkawinan kejawen tetap dilaksanakan dan digunakan sebagai aturan dalam melaksanakan perkawinan. Dari yang tidak
percaya terhadap adat perkawinan
80
kejawen
terdapat 18
responden yang terdiri dari 2 responden dari pemerintah desa, 5 tokoh agama, dan 11 warga desa yang menganggap adat perkawinan yang terlalu di percayai untuk perlahan dihapus karena sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu terdapa 7 responden
yang ragu-ragu dalam
melaksanakan adat
perkawinan ataukah melaksanakan adat perkawinan kejawen apabila akan melaksanakan perkawinan yaitu yang terdiri dari warga desa terutama warga desa yang belum menikah.
4. Temuan Studi Penelitian ini menemukan beberapa hal penting sesuai dengan penelitian yang telah peneliti lakukan adalah sebagai : 1. Sikap masyarakat terhadap adat perkawinan kejawen di desa Pandeyan adalah sebagian besar warga masih menganut adat kebiasaan yang telah berlaku sejak dahulu adat tersebut merupakan adat kejawen. Terdapat 34 responden dari 51 responden yang masih setuju dan percaya terhadap adat perkawinan kejawen, dan 18 yang merupakan sisanya tidak setuju dan mulai meninggalkan adat kejawen dengan cara-cara modern yang dianggap lebih praktis. 2. Persepsi masyarakat di desa pandeyan mengenai akibat dari pelanggaran adat kejawen adalah untuk menghindari dampak perkawinan tersebut adalah warga desa Pandeyan baik yang terlah mengalami dampak maupun yang tidak sebagian besar masih mentaati adat perkawinan sesuai dengan aturan kejawen agar tidak terjadi sesuatu dampak buruk bagi kehidupan rumah tanga pengantin maupun keluarga kedua belah pihak. 3. Tanggapan warga mengenai pelaksanaan adat perkawinan kejawen di desa Pandeyan adalah ada 26 warga desa yang tetap percaya dan melaksanakan adat dalam melaksanakan perkawinan karena adat dalam perkawinan merupakan suatu adat atau tradisi yang tidak boleh ditinggalkan, selain itu terdapat 18 warga yang tidak percaya terutama para tokoh agamanya yang menganggap adat itu kepercayaan yang bukan tertuju pada Tuhan, dan ada 7 responden yang masih ragu apakah mereka tetap mengikuti peraturan adat ataukah harus mulai
81
menghilangkan padahal adat menrupakan kebudayaan yang khas yang harus dijaga sebagai ciri bangsa Indonesia.
BAB V PENUTUP KESIMPULAN, IMLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dan telah dipaparkan diatas maka dapat simpulkan sebagai berikut :
1. Sikap masyarakat terhadap adat perkawinan kejawen di Desa Pandeyan adalah sebagian besar menerima adat perkawinan kejawen yaitu yang terdiri dari 34 warga desa sebagai responden yang masih
menganut kepercayaan adat
kejawen. Serta ada 18 responden yang menolak dan tidak setuju terhadap pelaksanaan adat perkawinan kejawen diantaranya para tokoh agama yang
82
beranggapan bahwa kepercayaan pada sesuatu hal selain Tuhan termasuk syirik dan ditentang oleh agama. Selain itu dari pemerintah desa ada yang masih mengikuti adat dan ada juga sebagian yang tidak. 2. Persepsi masyarakat di desa pandeyan mengenai akibat dari pelanggaran adat kejawen adalah untuk menghindari dampak perkawinan tersebut adalah warga desa Pandeyan tetap melaksanakan adat perkawinan kejawen seperti yang telah dilaksanakan oleh warga lainnya pada waktu dahulu agar tidak terjadi sesuatu halyang tidak diharapkan bagi pelaku perkawinan maupun keluarga kedua belah pihak. 3. Tanggapan warga desa Pandeyan
terhadap pelaksanaan adat perkawinan
kejawen adalah terdapat 26 respondren yang percaya yaitu yang terdiri dari 2 responden dari pemerintah desa, 2 narasumber yaitu tokoh masyarakat, dan 22 warga desa Pandeyan dengan tanggapan bahwa adat perkawinan kejawen tetap dilaksanakan dan digunakan sebagai aturan dalam melaksanakan perkawinan sebab adat kejwen merupakan suatu tradisi yang harus di jaga dan di lestarikan. Dari yang tidak percaya terhadap adat perkawinan kejawen terdapat 18 responden yang terdiri dari 2 responden dari pemerintah desa, 5 tokoh agama, dan 12 warga desa yang menganggap adat perkawinan yang terlalu di percayai untuk perlahan dihapus karena sudah dianggap sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. Selain itu terdapa 7 responden
yang ragu-ragu dalam
melaksanakan adat perkawinan ataukah melaksanakan adat perkawinan kejawen apabila akan melaksanakan perkawinan yaitu yang terdiri dari warga desa terutama warga desa yang belum menikah.
B. Implikasi Berdasrkan kesimpulan hasil penelitian yang telah dikemukakan diatas, maka implikasi yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Karena yang mempercayai adat ada 34 responden dan yang tidak percaya ada 18 responden maka perkawinan di Desa Pandeyan tetap digunakan sebagai dasar dalam melaksanakan perkawinan, tetapi terdapat 4 tokoh agama yang
83
juga menentang
kepercayaan adat sebagai dasar dalam
melaksanakan
perkawinan. 2. Karena persepsi masyarakat terhadap dampak adat perkawinan kejawen adalah tetap menjalankan adat yang berlaku agar dapat terhindar dari dampak buruk maka sebagian besar warga desa Pandeyan tetap menjalankan adat kejawen demi keamanan dan ketentraman warga desa. 3. Karena tanggapan warga desa tentang pelaksanaan adat perkawinan kejawen adalah hamper semua warga masih meyakini adat perkawinan kejawen maka dapat di ketahui terdapat 26 warga yang percaya, 18 yang tiadak percaya dan ada 7 warga yang ragu antara tetap melaksanakan atau meninggalkan sebab apabila meninggalkan adat tersebut merupakan kebudayaan bangsa tetapi jika masih taat aturan tersebut sulit dapat di terima dengan akal sehat dampak dan sebab-sebabnya. C. Saran 1. Bagi Pemerintah Desa Adanya penyeimbangan antara hukum atau aturan adat dengan aturanaturan lainnya agar tidak terjadi kesalahan pemikiran atau penafsiran terhadap peraturan mengenai pelaksanaan perkawinan di desa Pandeyan. 2. Bagi Warga Desa Adanya pemahaman mengenai kebiasaan dan pelaksanaan aturan-aturan yang berlaku di desa agar dalam pelaksanaan aturan yang mengatur perkawinan dapat sesuai dengan tujuan dari seluruh warga desa Pandeyan. 3. Bagi Tokoh Masyarakat Adanya bimbingan kepada warga desa agar dalam melestarikan kebudayaan yang berupa adat tidak harus terlalu menganggap bahwa adat merupakan suatu tuntunan hidup melalui pengajian dan musyawarah desa. Dengan tujuan menjauhkan warga dari sifat-sifat yang tidak di sukai Allah SWT.
84
DAFTAR PUSTAKA Abu Ahmadi. 1980. Kamus Lengkap Sosiologi. Surakarta : CV Aneka. Alo Liliweri. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Anonim, 1974. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jakarta : Sekertariat Negara RI. ______. 1974. Penjelasan Tentang Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jakarta : Sekertariat Negara RI. ______. 1978. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah. Jawa Tengah : DepDikbud ______. 2000. TAP MPR NO. IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Jakarta : Sinar Grafika. Bimo Walgito.1999. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Yogyakarta : Andi Offset. ___________. 2002. Bimbingan Dan Konseling Perkawinan. Yogyakarta : Andi Offset. ___________. 2003. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta : Andi Offset. Budiono Harusatoto. 2000. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT Hanindita. Bushar Muhammad. 1988. Asas-asas Hukum Adat (Suatu Pengantar). Jakarta : PT Pradnya Paramita. Dimyati Mahmud. 1976. Pengantar Ilmu Psikologi. Jakarta : Gramedia. E.S Ardinarto. 1996. Hukum Adat. Surakarta : Press UNS Franz Magnis-Suseno. 2001. Etika Jawa. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : Cipta Aditya Bakti. ________________. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung : Maudar Maju. Jalaludin Rahmat. 2002. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya. Kartini Kartono. 1983. Pengantar Metodologi Research Sosial. Alumni. Bandung. Kartini Kartono, Dali Gulo. 1987. Kamus Ilmu Psikologi. Jakarta : Rajawali. Koentjaraningrat. 1991. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : Gramedia. K.R.M.H Yosodipura. 1994. Kraton Surakarta Hadiningrat Kabangun Budaya Jawi Sebagai Tuntunan Hidup/Pembangunan Budi Pekerti Kejawen. Surakarta : Kraton Surakarta Moleong, L.J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mulder, Niels. 1985. Pribadi Dan Masyarakat Di Jawa. Yogyakarta. Sinar Harapan. Paku Buwono XII. 1988. Kraton Surakarta. Surakarta : Kraton Surakarta.
85
Sevilla, Consuelo G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Soerjono Soekanto. 1983. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada. Soemiyati, Ny. 1986. Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Yogyakarta : Liberty. Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : Sebelas Maret University Press. Tim. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
86