PELAKSANAAN PERKAWINAN ENDOGAMI PADA MASYARAKAT BALI AGA DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN KECAMATAN MANGGIS KABUPATEN KARANGASEM
ARTIKEL OLEH NI PUTU YULI WARDANI 0914041051
JURUSAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA 2013
PELAKSANAAN PERKAWINAN ENDOGAMI PADA MASYARAKAT BALI AGA DI DESA ADAT TENGANAN PEGRINGSINGAN KECAMATAN MANGGIS KABUPATEN KARANGASEM Oleh: Ni Putu Yuli Wardani Drs. I Nyoman Pursika, M.Hum Ni Ketut Sari Adnyani, S.Pd.,M.Hum Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan e-mail:
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sistem dan pelaksanaan perkawinan Endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ditentukan melalui porposive sampling meliputi: (1) Orang yang melaksanakan perkawinan endogami, (2) tokoh-tokoh masyarakat yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan perkawinan endogami. Data dalam penelitian ini dikumpulkan melalui: (1) Observasi, (2) wawancara, (3) pencatatan dokumen. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) Sistem perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan prosedurnya meliputi: (a) melakukan meteruna nyoman/gantih . Meteruna nyoman ini merupakan tahapan upacara untuk seorang laki-laki memasuki usia teruna/dewasa sedangkan gantih ini merupakan tahapan seorang perempuan memasuki usia deha/dewasa, (b) meajakajakan artinya seorang teruna mendaftarkan diri untuk melakukan perkawinan, (c) diperbolehkan melakukan perkawinan, bagi yang laki-laki sudah menjadi sekeha teruna dan yang perempuan sudah menjadi sekeha deha. (2) Pelaksanaan perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan melalui proses “masenin” yaitu dengan membawa base suhunan (sirih, pinang selengkapnya, buah-buahan, gula Bali, tebu) ke rumah deha (gadis), mempelai memasuki rumah melalui jelanan diwang (pintu masuk), mengadakan pejati/nyalanang pejati (pemberitahuan) ke rumah si wanita, melakukan upacara mesumbahin ini dilaksanakan pada malam hari, selanjutnya upacara mebea gede merupakan tahap akhir upacara. Pada saat inilah yaitu saat dibawanya si gadis ke rumah si laki menurut istilah setempat disebut merangkat atau nganten. Tetapi dalam pelaksanaan kawin lari ada perbedaan didalam upacara mesumbahin, dimana orang tua mempelai wanita tidak mau datang. Kata Kunci: Endogami, Teruna, Deha, Gumi Pulangan
ABSTRACT This study aims to determine the mating system and the implementation of endogamy in the traditional village of Tenganan Pegringsingan District Manggis Karangasem regency. This research uses descriptive qualitative research methods. Porposive research subjects is determined through sampling includes: (1) The person conducting the marriage endogamy, (2) public figures are involved directly or indirectly in the implementation of endogamy marriage. The data in this study were collected through: (1) Observation, (2) the interview, (3) recording the document. The data collected were analyzed with descriptive qualitative. The results showed that (1) the procedures of marital system endogamy in the traditional village of Tenganan Pegringsingan include: (a) do meteruna nyoman/gantih. This is a stage nyoman Meteruna ceremony for a man entered the age of youth/adul, while gantih is a stage of a woman entering the age deha/adult, (b) meajak-ajakan means a teruna to register to marriage, (c) is allowed to get marriage, for which men have become sekeha teruna and the women have become sekeha deha. (2) Implementation of marital endogamy in the traditional village of Tenganan Pegringsingan through the process of "masenin" is to bring the base suhunan (betel, areca, fruits, Balines sugar, cane) to the deha’s house (the girl), than the bride enters the house through jelanan Diwang (entrance), and held pejati/nyalanang pejati (notices) to the woman's house, and do mesumbahin ceremony which was held at night, the next mebea gede ceremony is the final step. At this stage when the girl is brought to the house of the man referred to in local terms merangkat or nganten. But the implementation of runaway marriage there is a different thing in the mesumbahin ceremony where the parents of the bride do not want to come. Keywords: Endogamy, Teruna , Deha, Gumi Pulangan
1. PENDAHULUAN Perkawinan tidak saja semata-mata dimaksudkan sebagai suatu ikatan antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri maupun pihak suami. Terjadinya suatu perkawinan, berarti berlakunya kekerabatan untuk saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai. Di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa syarat terjadinya perkawinan merupakan suatu aturan atau hukum positif yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia yang mengatur mengenai perkawinan, dimana perkawinan itu harus didasarkan atas perjajian dari kedua calon mempelai. Perkawinan diizinkan dan dapat dilaksanakan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun dan mendapat persetujuan dari kedua orang tua atau walinya. Bali merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia, sangat kental dengan hukum adat dan kebiasan-kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat adat yang ditunjukkan untuk mengatur kebutuhan masyarakatnya. Walau secara nasional bangsa kita telah memiliki ketentuan - ketentuan (aturan-aturan) yang tegas mengenai perkawinan dan juga pelaksanaanya, karena disebabkan oleh majemuknya latar budaya daerah masing-masing maka pelaksanaan perkawinan lebih tertumpu pada adat dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Desa Adat Tenganan Pegringsingan sebuah desa dari masa Bali Kuno atau Bali Aga yang merupakan sebagai salah satu desa tertua di Bali, yaitu sistem sosial budaya dari masa sebelum masa Majapahit yang dikenal dengan Bali Arya adalah sebuah desa yang berlokasi di suatu lembah yang memanjang dari Selatan sampai Utara di antara Bukit Kangin dan Bukit Kauh di Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem. Pola permukiman Desa Tenganan Pegeringsingan, Karangsasem, dengan awangan, rumah tinggal warga Desa tersusun linier dari Utara-Selatan dengan pintu pekarangan/jelananawangan menghadap Barat atau Timur.
Adat perkawinan di Desa Tenganan Pegringsingan berbeda dimana terdapat kekhususan dalam hal perkawinan adanya adat
perkawinan yang Endogami
(endogami desa), dimana perkawinan ini harus di lakukan atau di laksanakan antara seorang teruna (laki-laki) dan seorang deha (perempuan) Tenganan. Perkawinan dianggap sah apabila sudah di laksanakan upacara perkawinan yaitu Mebea, Seorang suami hanya boleh mempunyai seorang istri (menganut asas monogami). Sebagai akibat dari perkawinan si istri tidak dilepaskan dari keluarganya, istri termasuk keluarga suami, suami termasuk keluaraga istri dan kedudukan suami istri dalam perkawinan adalah sama. Apabila seorang laki-laki Tenganan mengambil seorang istri dari luar desa Tenganan kecuali warga pasek, maka orang yang demikian ini tidak diakui lagi sebagai warga Desa Tenganan Pegringsingan atau tidak diperkenakan sebagai krama desa dan di buang ke Banjar Pande di sebelah Timur Desa Tenganan Pegringsingan. Berdasarkan latar belakang seperti yang diuraikan diatas, maka terdapat beberapa permasalahan yang layak dikedepankan, yaitu: (1) Bagaimana sistem perkawinan Endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem? (2) Bagaimana pelaksanaan perkawinan Endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem?
2. METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus etnografi. Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai kegiatan sosial yang berkaitan dengan itu dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat yang berlandaskan bahan-bahan keterangan tersebut dibuat deskripsi mengenai kebudayaan masyarakat (Riyanto, 2001: 63). Pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui kehidupan sehari-hari. Metode penentuan subyek penelitan adalah Porposive sampling yang menjadi anggota sampel dalam penelitian ini adalah sejumlah orang yang melaksanakan perkawinan endogami, tokoh-tokoh agama, serta tokoh-tokoh masyarakat yang
terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam prosesi perkawinan endogami tersebut khusunya yang ada di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Sesuai dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu metode wawancara, metode observasi, dan metode pencatatan dokumen. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data kualitatif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis dan lisan dari orang-orang dan perilaku yang teramati. Data yang dikumpulkan baik melalui wawancara, observasi dan pencatatan dokumen yang disusun dan dikelompokkan ke dalam kategori-kategori tertentu dengan mengacu pada permasalahan yang akan diteliti atau dikaji. Menurut Miles dan Huberman menyebutkan bahwa secara keseluruhan proses analisis data dalam penelitian akan dilakukan dengan langkah-langkah secara siklus yaitu : (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) penyajian data, (4) pengambilan keputusan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHSAN a. Bagaimana sistem perkawinan Endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem.
Tiap-tiap desa di Bali mempunyai aturan tertentu yang disebut dengan awigawig yaitu merupakan perwujudan formal dari hukum adat yang eksistensinya tetap diakui dan menjadi tali kendali dari segala Aktivitas krama desa adat Bali. Jadi awig-awig merupakan suatu peraturan yang berlaku dalam suatu desa adat baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tata kehidupan desa adat. Sistem perkawinan endogami yang berlaku di desa adat Tenganan Pegringsingan adalah sebagai berikut: 1. Melakukan meteruna nyoman/ gantih
didalam meteruna nyoman ini
kegiatanya selama satu tahun, dimana semua teruna yang akan melaklukan meteruna nyoman tinggal didalam satu asrama pada malam hari ada pembinaan dari keliang desa adat, dan tokoh masyarakat sedangkan dalam upacara gantih
didalam upacara gantih ini kegiatanya selama setahun, dimana seorang deha tinggal dalam satu asrama diberikan pembinaan membuat sarana upakara. 2. Meajak-ajakan maksudnya adalah seorang teruna mendaftarakan diri untuk melaksankan perkawinan biasanya dilakukan pada bulan juni. 3. Mereka yang diperbolehkan melakukan perkawinan adalah mereka yang bagi laki-laki harus sudah menjadi sekeha teruna dan bagi perempuan harus sudah menjadi sekeha deha. Apabila salah seorang belum menjadi sekeha teruna/deha maka mereka itu tidak boleh menjadi krama desa dan diasingkan. 4. Perkawinan haruslah dilakukan antara seorang teruna (laki) dan seorang deha (perempuan) Tenganan. Apabila seorang laki Tenganan mengambil seorang istri dari luar desa Tenganan kecuali warga Pasek, maka orang yang demikian ini tidak diakui lagi sebagai warga desa Tenganan Pegringsingan atau tidak diperkenankan sebagai krama desa dan dibuang ke Banjar Pande di sebelah Timur desa Tenganan Pegringsingan. 5. Begitu pula apabila seorang perempuan Tenganan menikah dengan laki dari luar desa Tenganan, maka juga tidak dianggap sebagai warga desa Tenganan lagi dalam arti dibuang. 6. Seorang laki haruslah mempunyai seorang istri. Apabila laki mempunyai istri lebih dari seorang, maka dalam hal ini tidak menjadi krama desa, tetapi krama gumi pulangan. (Karnitawati,1996:12-14). Jadi untuk melaksanakan perkawinan, bagi masyarakat adat Tenganan Pegringsingan haruslah memenuhi sistem yang sudah ditentukan. Yang harus dipenuhi adalah perkawinan harus dilaksanakan antara seorang teruna dan seorang deha yang berasal dari desa adat Tenganan Pegringsingan, sehingga setelah memasuki bahtera perkawinan akan bisa menjadi anggota krama desa. Dan apabila dilanggar maka akan dikenakan sangsi yaitu diasingkan dari desa tersebut.
b. Bagaimana pelaksanaan perkawinan Endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem?
Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, istilah yang dipakai dalam hal menyebut perbuatan kawin/perkawinan adalah istilah merangkat dan istilah nganten. Mengenai pelaksanaan perkwainan endogami pada dasarnya perkawinan ini antara laki-laki dan perempuan sudah ada hubungan cinta sama cinta. Suatu saat orang tua si pemuda pergi ke rumah si gadis melakukan peminangan. Pelaksanaan peminangan ini dilakukan melalui proses “masenin” yaitu dengan membawa base suhunan (sirih, pinang selengkapnya, buah-buahan, gula Bali, tebu) ke rumah deha (gadis), upacara ini disebut “Ngaba Base” (membawa sirih pinangan). Base suhunan itu harus dijunjung oleh seorang gadis yang masih ada hubungan keluarga dengan mempelai laki-laki. Di rumah deha utusan itu diterima oleh keluarganya yaitu wakil-wakil keluarga dari Ayah dan Ibu si deha. Pada saat inilah disampaikan oleh pihak laki-laki akan maksud kedatangannya. Setelah melalui pembicaraan-pembicaraan diterimalah base suhunan itu oleh pihak deha dan selanjutnya dijadikan porosan (daun sirih yang dipijit), porosan ini kemudian diberikan kepada pihak teruna sebagai tanda bahwa lamarannya diterima. Demikian juga kepada anggota keluarga lainnya dibagi-bagikan pula porosan sebagai pemberitahuan bahwa deha tersebut sudah ada yang mesenin/nyangkring (meminang). Sejak ini si deha sudah dianggap sah sebagai gelan (tunangan) dari si teruna dan sejak itu pula antara deha dan teruna terikat dalam pertunangan, istilah setempat disebut dengan mesawen dengan akibat pihak yang satu tidak boleh meninggalkan pihak lainnya. Dengan demikian si gadis mendapat perlindungan dari desanya. Apabila si gadis ini dicintai pemuda lain dan akhirnya kawin, pemuda ini dikenakan denda oleh masyarakat desa tersebut. Sebaliknya apabila si laki yang telah mengadakan ikatan pertunangan itu mencintai gadis lain dan akhirnya kawin dengan gadis tersebut, maka si gadis bekas pacarnya itu diharuskan mengembalikan
benda
ikatan
pertunangan
disebut
“nguliang
base”
(mengembalikan sirih pinangan) dan selanjutnya si gadis yang ditinggal kawin oleh kekasihnya dengan gadis lain berhak untuk memilih pasangan kembali. Dan
si laki yang meninggalkan pacarnya kawin ini, wajib ngayah (bekerja) di rumah si gadis dan mekemit di malam hari. Apabila tidak mengerjakan, akan “kajongkokan” (diturunkan dari anggota teruna) serta dikenai denda oleh desa. Setelah pertunangan ini untuk melangsungkan perkawinan diperlukan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak orang tuanya dan kemudian ditentukan hari dan sasih/bulan yang baik. Jadi jarak antara masenin dengan dilangsungkannya perkawinan tidak tentu tergantung dari kehendak dari kedua belah pihak. Apabila jaraknya lebih dari satu bulan, maka tiap-tiap bulan ada kewajiban dari pihak teruna untuk membawa base suluhan ke rumah deha setiap menjelang bulan purnama. Demikianlah pertunangan itu berlangsung sampai saat akan dilaksanakannya perkawinan. Setelah tiba saat yang sudah ditentukan untuk melangsungkan perkawinan, teruna (calon mempelai laki-laki) dengan pihak keluarganya dari pihak ayah dan ibu ke rumah deha (calon mempelai perempuan) untuk melakukan penjemputan terhadap si deha. Setelah segala sesuatu yang siap, pada saat kedua mempelai akan meninggalkan rumah yang perempuan, keduanya terlebih dahulu mohon pamit dan menyembah orang tua mempelai permpuan dan selanjutnya barulah menuju ke rumah mempelai laki dengan diiringi oleh keluarga mempelai perempuan. Mempelai memasuki rumah melalui jelanan diwang (pintu masuk), melewati jalan sebelah utara Bale Tengah, menuju kandang babi dan palungan babi (tempat makan babi) yang diisi banyu (makanan babi) dan yang menuangkan makanan babi itu haruslah orang yang bertangan dingin memelihara babi dan yang punya anak. Dari sini, mempelai menuju rumah meten (kamar tidur) dan di rumah meten ini menikmati nasi nganten. Semalaman itu tidak boleh keluar kamar sedangkan keluarga mempelai laki-laki lainnya yang biasanya terdiri dari dua orang selanjutnya mengadakan pejati/nyalanang pejati (pemberitahuan) ke rumah si wanita, ke Balai Agung,kelian pauman, kelian dinas, dan kepada kepala desa (perbekel).
Pada saat inilah yaitu saat dibawanya si gadis ke rumah si laki
menurut istilah setempat disebut merangkat atau nganten. Menurut adat di sana pada malam itu pengantin tidak boleh keluar dari rumah meten, dan baru bisa keluar pada hari esoknya, namun tidak boleh keluar dari pekarangan rumah. Didalam pekarangan rumah mempelai tidak diperkenankan ke Balai Buga (balai
suci). Selanjutnya, apabila ada hari baik atau dewasa untuk mengadakan upacara perkawinan, diselenggarakanlah upacara tersebut yang disebut dengan “mebea”.
3.3. PEMBAHASAN Ditinjau dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan meliputi berbagai syarat. Mengenai syarat perkawinan dalam UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tercantum dari pasal 6 sampai pasal 12. Sedangkan ditinjau dari pelaksanaan perkawinan endogami yang dilaksanakan di Desa Adat Tenganan Pegringsingan, memiliki kesamaan syarat mendasar yang dipakai sebagai pedoman dalam pengikatan diri antara seorang pria dan wanita dalam suatu perkawinan, akan tetapi pada pelaksanaan atau prosesi perkawinan Endogami tata cara atau mekanisme pelaksanaannya dilakukan dengan simbol melakukan upacara mebea gede merupakan puncak upacara yang dilakukan di rumah mempelai laki-laki. Sehingga berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut dapat dikatakan sah mengingat adanya sanksi adat yang dikenakan kepada mereka sebagai akibat dari pelanggaran dan kedudukan hukum adat dalam hal ini lebih dominan dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Perkawinan Endogami yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang menyangkut mengenai kegiatan adat dan upacara keagamaan, desa yang berupa awig-awig. Awig-awig desa ini bertujuan untuk mengatur
segala
tindakan
masyarakatnya
agar
terjadi
keselarasan
dan
memudahkan dalam pelaksanaan segala kegiatan yang menyangkut adat dan upacara keagamaannya hilang begitu saja dengan semakin banyaknya pengaruhpengaruh dari luar yang lebih modern seiring dengan perkembangan jaman. Awigawig Desa Adat
Tenganan Pegringsingan pada khusunya yang menyangkut
mengenai Perkawinan Endogami merupakan tradisi turun temurun yang sudah ada sejak dahulu. Dalam bentuk-bentuk perkawinan yang ada di Desa Adat Tenganan Pegringsingan anatara lain: perkawinan ngidih, dan perkawinan lari bersama. Dari kedua
bentuk perkawinan yang paling sering dilakukan adalah perkawinan
ngidih. Dan pada pembuatan awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan khususnya menyangkut mengenai perkawinan didasarkan atas UUD 1945 dan
Undang-Undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) serta ketentuan-ketentuan dilaksanakan secara turun temurun di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Hal ini dilakukan agar nantinya awig-awig yang dibuat itu tidak menyimpang dan bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku di Indonesia.
4. SIMPULAN Sesuai dengan pembahasan pokok permasalahan tersebut diatas, maka dapat ditarik simpulan bahwa Sistem perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan dipergunakan didalam perkawinan endogami yaitu: Melakukan meteruna nyoman didalam meteruna nyoman ini kegiatanya selama satu tahun, dimana semua teruna yang akan melakukan meteruna nyoman tinggal didalam satu asrama pada malam hari ada pembinaan dari keliang desa adat, dan tokoh masyarakat. Meajak-ajakan maksudnya adalah seorang teruna mendaftarakan diri untuk melaksankan perkawinan biasanya dilakukan pada bulan juni. Mereka yang diperbolehkan melakukan perkawinan adalah mereka yang bagi laki-laki harus sudah menjadi sekeha teruna dan bagi perempuan harus sudah menjadi sekeha deha. Apabila salah seorang belum menjadi sekeha teruna/deha maka mereka itu tidak boleh menjadi krama desa dan diasingkan. Perkawinan haruslah dilakukan antara seorang teruna (laki) dan seorang deha (perempuan) Tenganan. Apabila seorang laki Tenganan mengambil seorang istri dari luar desa Tenganan kecuali warga Pasek, maka orang yang demikian ini tidak diakui lagi sebagai warga desa Tenganan Pegringsingan atau tidak diperkenankan sebagai krama desa dan dibuang ke Banjar Pande di sebelah Timur desa Tenganan Pegringsingan. Pelaksanaan perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Pelaksanaan peminangan ini dilakukan melalui proses “masenin” yaitu dengan membawa base suhunan (sirih, pinang selengkapnya, buah-buahan, gula Bali, tebu) ke rumah deha (gadis), upacara ini disebut “Ngaba Base” (membawa sirih pinangan). Base suhunan itu harus dijunjung oleh seorang gadis yang masih ada hubungankeluarga dengan mempelai laki-laki. Porosan ini kemudian diberikan kepada pihak teruna sebagai tanda bahwa lamarannya diterima. Demikian juga
kepada anggota keluarga lainnya dibagi-bagikan pula porosan sebagai pemberitahuan bahwa deha tersebut sudah ada yang mesenin/nyangkring (meminang). Sejak ini si deha sudah dianggap sah sebagai gelan (tunangan) dari si teruna dan sejak itu pula antara deha dan teruna terikat dalam pertunangan, istilah setempat disebut dengan mesawen dengan akibat pihak yang satu tidak boleh meninggalkan pihak lainnya. Setelah tiba saat yang sudah ditentukan untuk melangsungkan perkawinan, teruna (calon mempelai laki-laki) dengan pihak keluarganya dari pihak Ayah dan Ibu ke rumah deha (calon mempelai perempuan) untuk melakukan penjemputan terhadap si deha. Mempelai memasuki rumah melalui jelanan diwang (pintu masuk), melewati jalan sebelah utara Bale Tengah, menuju kandang babi dan palungan babi (tempat makan babi) yang diisi banyu (makanan babi) dan yang menuangkan makanan babi itu haruslah orang yang bertangan dingin memelihara babi dan yang punya anak. Dari sini, mempelai menuju rumah meten (kamar tidur) dan di rumah meten ini menikmati nasi nganten. Dengan selesainya upacara mebea gede, mempelai perempuan sudah diperkenankan memasuki tempat-tempat suci dan keluarga baru tersebut wajib menjadi krama desa secara aktif. Berdasarkan
temuan-temuan
dalam
penelitian
ini,
peneliti
dapat
menyampaikan beberapa saran, yaitu (1) Kepada Desa Adat Tenganan Pegringsingan pelaksanaan perkawinan endogami dapat dipertahankan dengan memperhatikan perkembangan jaman serta kemampuan untuk menjaga solidaritas sosial, memperkental keyakinan kepada Tuhan, dan ada baiknya pelaksanaan perkawinan endogami dibuat lebih sederhana sehingga bisa mengurangi beban ekonomi masyarakat. (2) Kepada Pemerintah, Instansi Agama, Parisadha Hindu Dharma
Indonesia,
hendaknya
memberikan
pemahaman
kepada
warga
masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, agar tetap menjaga tradisi pelaksanaan perkawinan endogami di Desa Adat Tenganan Pegringsingan. (3) Dalam menerima pengaruh budaya asing sebagai akibat Desa Adat Tenganan Pegringsingan menjadi obyek pariwisata diharapakan cukup selektif, sehingga perkembangan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahtraan masyarakat dengan baik.
DAFTAR RUJUKAN Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan Tahun 2009. Karnitawati, Made. 1996. Sistim Perkawinan Di Desa Adat Tenganan Pegringsingan Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Tugas Akhir (tidak diterbitkan): STKIP Singaraja. Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan. Cetakan Ke 2. Surabaya. SIC. Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974.