ESTETIKA DESAIN VERNAKULAR RUMAH TINGGAL PENDUDUK BALI AGA DI DESA TENGANAN PEGERINGSINGAN, KARANGASEM 1)
July Hidayat1), dan I Made Bambang Oka Sudira2), Universitas Pelita Harapan
[email protected]; 2) Universitas Negeri Jakarta,
[email protected]
ABSTRACT The indigenous culture of Bali that is already existed before Bali became colony of Majapahit can be found in Bali Aga people of Tenganan. The term vernacular is used as we deal with common design of villagerhouses, designednot by an architect that is built with local techniques, local materials and local environment in mind: its climate, its traditions, its economy(Jackson 1984, Rapoport 1980). The research objective is to understand the aesthetics of vernacular design of Bali Aga, dealing withspace concept based on value system and communal culture. This research uses interpretativism that stress on understanding design as an expression of holistic culture system. It uses the combination of aesthetic and culture approach as we have to understand belief and world-view, geographic condition, means of livelihoodand social system which influence the design. As a result, Bali Aga residential design is based on macro and micro concepts. The macro concept deals withrelation between nature as macro-cosmos and human as micro-cosmos. The micro ones are Rwa-Bhineda, Tri Hita Karana, Tri Angga and Catuspatha, but unlike Bali Arya, Bali Aga space concept isn’t based onSangamandala zoning. It only appliesKaja-Kelod cosmological orientation. Bali Aga also doesn’t recognize caste hierarchical system. We didn’t find any symbolic ornamentation forsocial status. Besides religious-mystic character,Bali Agastrongly strings with their customary and communal social system. Their communalceremonial space has a more sophisticated design than individual house which is kept simple and functional. The existence of ornament is to fulfil symbolic function more than evocative one. Keywords: aesthetic, vernacular, communal, interpretativism
PENDAHULUAN Kajian tentang desain tradisional sangat diperlukan dalam era global, sebagai referensi untuk melakukan konstruksi budaya nasional yang memiliki identitas lokal. Budaya nasional Indonesia yang modern hendaknya bersumber dari rekonstruksi budaya lokal secara terus-menerus, sehingga walaupun mengadeptasi (to adept) elemen lokal, tetap sesuai dengan zeitgeist dan memenuhi kebutuhan manusia modern. Hal ini dilakukan agar budaya nasional Indonesia yang modern tidak bersumber semata-mata atau berada di bawah hegemoni budaya modern Barat. Selama ini, tulisan ilmiah tentang estetika yang bersumber dari budaya tradisional Indonesia belum memadai, sehingga orang Indonesia sendiri masih banyak yang belum mengetahui dan menghargai konsep-konsep pemikiran tradisi yang sebenarnya memiliki nilai tinggi. Estetika tradisional yang bersifat simbolik-filosofis perlu mendapat penghargaan yang sama dengan estetika modern –estetika formal, sebagai salah satu pendekatan untuk mengapresiasi karya seni dan desain sesuai dengan konteksnya masing-masing; agar desain tradisional tidak dinilai dari kaca mata estetika modern. Penelitian tentang Bali Aga merupakan penelitian awal tentang desain vernakular Bali. Desain vernakular adalah desain yang diterapkan oleh mayoritas penduduk (penduduk kebanyakan) dalam kelompok atau suku tertentu dan merepresentasikan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat pada umumnya. Dalam budaya masyarakat homogen seperti Bali Aga, desain individual dapat dijadikan studi kasus untuk meneliti pola atau konsep desain komunal, karena struktur sistem nilai individu mengacu pada sistem nilai sosial. Di luar penelitian ini, sudah banyak terdapat kajian tentang Arsitektur tradisional Bali. Selama ini, apa yang dikenal sebagai arsitektur tradisional Bali sesungguhnya adalah arsitektur Bali setelah masa kerajaan Bali Kuno atau Bali Aga berakhir dan diambil alih oleh Bali Arya (Majapahit), yang didominasi atau bahkan berada di bawah 161
hegemoni budaya Jawa Majapahit. Bali Aga sebelum mendapat pengaruh Hindu-Jawa Majapahit tersebut, di mana sistem kasta misalnya, belum dikenal, sehingga desain rumah tinggal pun belum terklasifikasikan sesuai kasta. Studi kasus dalam penelitian ini meliputi bangunan rumah tinggal dan balai pertemuan yang berfungsi sebagai komponen privasi, fungsional, komunitas dan seremonial dalam lingkup desain interior rumah tinggal penduduk Bali Aga.1Penelitian ini mempergunakan pendekatan estetika sebagai upaya untuk memperdalam analisis desain vernakular, agar tidak hanya sebatas kajian bentuk, tapi juga makna yang ada di balik bentuk dan filosofi atau ideologi yang mendasari makna tersebut. Pernyataan masalah pertama dalam kajian ini adalah belum didapatinya kajian yang komprehensif tentang estetika desain vernakular Bali, yang bersumber tidak hanya dari estetika desain tradisional Bali yang umum dikenal saat ini (Bali Arya), tapi juga mencakup estetika desain Bali sebelum mendapat pengaruh Hindu-Jawa Majapahit (Bali Aga). Masalah kedua adalah belum didapatinya kajian yang mendetil tentang analisis morfologis dan sintaks elemen-elemen desain Bali Aga, mempergunakan pendekatan estetika formal (kajian sintaktik). Masalah ketiga adalah belum didapatinya kajian yang mendetil tentang konsep ruang dalam desain rumah tinggal Bali Aga, mempergunakan pendekatan estetika simbolik dalam konteks budaya mitis (kajian semantik).
METODE Penelitian ini merupakan kajian budaya dan estetik dengan mempergunakan metode interdisipliner (interdisciplinary methodology atau multi-methods). Metode-metode penelitian yang dipergunakan dijabarkan dari tingkat epistimologi, metodologi, kajian dan faktor. Sebagai penelitian kualitatif, epistimologi yang dipergunakan adalah interpretivisme. Metodologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus, dengan bidang kajian estetik dan budaya, serta faktor yang diteliti adalah masalah sintaks dan makna semantik desain Bali Aga.
Pendekatan Penelitian Kualitatif: Interpretivisme Paradigma interpretivisme menekankan pada pemahaman. 2 Sebagai penelitian kualitatif, fokus penelitian adalah pada makna sosial-budaya. Dalam penelitian ini, desain ditinjau sebagai ekspresi budaya Bali, yaitu ekspresi dari nilai kepercayaan, agama, adat-istiadat, lingkungan alam dan sosial masyarakat Bali. Asumsiasumsi kualitatif yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah: pertama, asumsi ontologis, bahwa ada relatifitas dalam menilai objek yang diteliti. Realitas dipahami sebagai fenomena estetik dan budaya, yaitu desain yang lahir sebagai hasil sistem kebudayaan masyarakat yang memiliki nilai-nilai estetik tersendiri. Kedua, asumsi epistemologis dalam penelitian kualitatif menuntut peneliti untuk berinteraksi dengan objek yang diteliti. Untuk itu, metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi kasus, di mana peneliti secara aktif melakukan observasi, wawancara, dan tinggal di lokasi penelitian atau mengalami langsung berada dalam lingkungan budaya masyarakat Bali selama dua minggu. Ketiga, asumsi aksiologis mengenai peran dari nilai
1
James W. Wentling membagi desain interior rumah tinggal dalam lima komponen, yaitu komponen komunitas (community component), komponen privasi (privacy component), komponen seremonial (ceremonial component), komponen fungsional/servis (fuctional component) dan komponen eksterior (exterior component) – (Wentling 1995:11-15). 2 Teori tentang penelitian kualitatif mempergunakan tulisan Prof. Dr. Tjetjep Rohendi Rohidi tentang Ruang Lingkup Paradigma Kualitatif dan Kuantitatif (Rohidi, 2011). 162
adalah terikat dan bias. Artinya, nilai-nilai estetika yang dipergunakan untuk mengukur desain vernakular Bali Aga bersifat kontekstual. Keempat, asumsi retorikal mengenai bahasa penelitian bersifat informal dan kualitatif. Kelima, untuk asumsi metodologis, berlaku proses induktif: dari kajian tentang desain Bali Aga di desa Tenganan, ingin diperoleh pengetahuan tentang estetika Bali yang kemudian dibandingkan dengan estetika Timur pada umumnya.
Metode Pengumpulan Data: Studi Kasus Kondisi umum penerapan strategi penelitian studi kasus adalah (1) pada waktu pertanyaan penelitian didominasi oleh jenis pertanyaan „bagaimana‟ dan „mengapa‟, (2) peneliti memiliki kontrol yang minimal terhadap objek penelitian, (3) fokus penelitian pada fenomena masa kini di dalam konteks kehidupan nyata. Penelitian ini memenuhi tiga persyaratan kondisi di atas, yaitu (1) penelitian didasari oleh pertanyaanpertanyaan tentang bagaimana sintaks dan atau konsep ruang desain Bali Aga, mengapa timbul corak desain yang demikian dalam arti bagaimana konsep yang ada di balik bentuk-bentuk desainnya, (2) peneliti tidak memiliki kontrol terhadap objek yang diteliti karena manusia dan lingkungan rumah tinggal berbeda dengan objek laboratorium, (3) objek yang diteliti adalah rumah tinggal yang ada sampai saat ini dan masih dihuni, jadi merupakan konteks kehidupan nyata. Keunggulan strategi studi kasus adalah kemampuan untuk mendapatkan berbagai macam data (bukti), yaitu dokumen tertulis, dokumen gambar, artefak, interview dan observasi langsung. Walaupun pendekatan yang dipergunakan adalah kualitatif, dengan strategi studi kasus tidak selalu harus dilakukan observasi langsung secara detil dan juga tidak harus menghindari komitmen terhadap sebuah model teoritis seperti pendekatan etnografi. Studi kasus membutuhkan pengembangan teori yang akan dipergunakan untuk memandu pengumpulan dan analisis data. Maka dalam hal ini, diperlukan pembahasan teori estetika filsafati, khususnya estetika tradisional Bali, baru masuk ke dalam studi kasus.
Pendekatan Kajian: Estetika dan Budaya Penelitian ini menitik-beratkan pembahasan pada kajian estetika, walaupun dengan dipergunakannya pendekatan kebudayaan, dibahas pula mengenai elemen-elemen budaya seperti kepercayaan/agama, adatistiadat, lingkungan fisik/kondisi geografis dan lingkungan sosial. Akan tetapi, pembahasan elemen-elemen tersebut difokuskan pada unsur yang mempengaruhi desain. Kajian estetika adalah bagian dari pendekatan filsafat. Hal yang ingin dicari adalah nilai-nilai keindahan yang ada di balik bentuk-bentuk desain vernakular Bali, berkaitan dengan konsep citra, bentuk dan warna dalam ruang. Sementara kajian antropologi budaya adalah bagian dari pendekatan sosio-budaya. Berarti desain dipandang sebagai hasil dari sistem kebudayaan. Maka untuk dapat mengerti sebuah desain, elemen-elemen budaya yang mempengaruhi pembentukannya harus dijabarkan terlebih dahulu. Faktor yang dikaji adalah masalah nilai bentuk atau estetika formal yang merupakan kajian sintaktik dan nilai kehidupan (filosofi kehidupan) atau estetika simbolik yang merupakan kajian semantik. Melalui kajian sintaktik dan semantik ideologis, diharapkan kajian estetika menjadi lebih komprehensif. Dalam hal ini, studi tentang estetika tradisional yang bersifat filsafati tentang makna simbolik (kontekstual) diperkuat oleh analisis sintaktik yang bersifat obyektif karena bersumber dari produk desain itu sendiri (nilai intrinsik karya desain).
163
HASIL DAN PEMBAHASAN Latar Belakang Sejarah Dari sistem kepercayaan animisme dan dinamisme yang masih dianut oleh Bali Aga sebagai bagian dari tradisi nenek moyang yang terus dipelihara sampai saat ini, tampak bahwa Bali Aga berasal dari masa yang dekat dengan pra-sejarah/pra-klasik, yaitu Bali Kuno. Penelitian terhadap masa hidup yang tertua, yaitu masa hidup berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana hanya berhasil menemukan kembali alat-alat untuk keperluan hidup sehari-hari di desa Sembiran (Bali Utara) dan di tepi Danau Batur di sekitar desa Trunyan (Bangli). Tetapi studi perbandingan dengan kehidupan pada masa yang sama di Indonesia, di mana alat-alat dari desa Sembiran memiliki persamaan dengan alat-alat dari Pacitan (Jawa Timur). Menurut sarjana prasejarah, alat-alat dari Pacitan berasal dari tingkat akhir Plestosin Tengah 3 atau permulaan Plestosin Akhir, dan mungkin sekali diciptakan oleh Pithecantrhopus Erectus dan keturunannya. Silogisma dari dua premis tersebut menyatakan bahwa penghuni pertama di pulau Bali adalah Pithecantrhopus Erectus, atau setidaknya, keturunannya yang berasal dari Jawa Timur (Depdikbud 1978:6-7, Kempers 1991).Analisis lebih jauh tentang asal-usul bangsa Indonesia menyatakan bahwa nenek moyang kita merupakan kelompok imigran asal Cina Selatan dari ras Melayu-Polinesia (Austronesian atau Melayu-Polynesian), karena pada jaman es, sebelum es mencair, daratan Asia Tenggara dan Cina Selatan menjadi satu. 4 Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat R. Heine-Geldern (1932), seorang sejarahwan terkenal, bahwa nenek-moyang bangsa Indonesia berasal dari Yunan, daerah Selatan-Barat Cina (2500-1500SM). Dengan demikian, “akulturasi” kelompok imigran dari Yunan dan keturunan-keturunan Pithecanthropus erectus Pacitan yang menjadi nenek-moyang bangsa Indonesia, termasuk di Bali. Penduduk Bali Aga memiliki versi tersendiri5 yang lebih bersifat mitis, tentang asal-usul nenek moyang mereka. Bali Aga berasal dari Bedaulu, Gianyar, yaitu Samuan Tiga. Konon dahulu kala ada seorang raja yang sombong, sehingga tidak memperbolehkan rakyatnya menyembah Tuhan. Ia mengharapkan dirinya yang disembah. Kondisi tersebut menggugah dewa Indra untuk turun dari kahyangan, memberi pelajaran atau menumpas raja yang sombong tersebut. Terjadilah perang dan raja tersebut kalah. Untuk merayakan kemenangan dewa Indra tersebut diadakanlah sebuah upacara yang disebut Aswa Wedha Yadnya. Di dalam upacara tersebut dipakai seekor kuda putih. Tetapi ketika acara sedang berlangsung, kuda putih itu hilang, sehingga diperintahkanlah sekelompok orang, yang disebut wong penegas untuk mencari kuda tersebut. Setengah anggota kelompok kemudian menemukan kuda tersebut di daerah Candi Dasa, Karangasem, tepatnya di Batu Madeg, tetapi dalam keadaan mati. Karena merasa sangat sayang dengan kuda tersebut, walau sudah menjadi mayat, mereka tidak mau kembali ke Gianyar, tetap mau bersama jasad kuda atau menunggui area tempat matinya. Untuk itu dewa Indra, atas dasar jasa menemukan kuda tersebut, menghadiahi mereka suatu areal pemukiman. Adapun ketentuan untuk luas areal pemukiman mereka adalah sejauh bau bangkai kuda putih tersebut dapat dicium. Kemudian bangkai kuda tersebut dibagi-bagi menjadi beberapa bagian dan disebar ke berbagai arah, semua tersebar di areal desa Tenganan Pegeringsingan.
3
Masa Pleistosen Tengah (Middle Pleistocene) adalah 400.000-120.000SM, sementara Pleistosen Akhir (Late Pleistocene) adalah 120.000-20.000SM (Ramseyer 2002:23). 4 Lihat Ramseyer, Urs. (2002) The Art and Culture of Bali. Basel: Museum der Kulturen, hal.23 5 Berdasarkan wawancara dengan Kepala Desa Tenganan Pegeringsingan 164
Sistem Kepercayaan, Sosial, Adat-istiadat, Lingkungan Alam, Mata Pencaharian Kepercayaan pada masa Bali Kuno adalah agama Hindu dan Buddha, yang hidup berdampingan sejak abad 8M. Dengan ditemukannya relief Buddha, diketahui bahwa agama Buddha yang berkembang pada saat itu ialah Buddha Mahayana. Pendeta-pendeta agama Hindu dan Buddha juga duduk di lembaga pemerintahan sebagai tim penasehat raja. Pada masa Bali Kuno juga didapati gambaran bahwa dewa Wisnu memiliki kedudukan yang penting sebagai simbol diri raja. Sementara kepercayaan penduduk Bali Aga sendiri, masih dipengaruhi atau mengikutsertakan animisme, yaitu kepercayaan kepada roh nenek moyang dan menyembahnya. Bahkan kadangkadang masih terjadi praktek dinamisme, yaitu percaya bahwa benda memiliki kekuatan gaib yang mempengaruhi atau mengontrol hidup manusia. Dalam lingkungan desa Tenganan masih terdapat kepercayaanbahwa batu yang dianggap sebagai fosil alat kelamin jantan kuda putih dalam mitos asal usul mereka, untuk memperoleh keturunan. Kepercayaan animisme ini dalam kehidupan mereka sehari-hari diwujudkan dengan membuat sanggah kemulan sebagai tempat suci, untuk pemujaan roh nenek moyang. Bali Aga tergolong masyarakat egalitarian, yaitu susunan masyarakat sederhana yang biasanya disebut dengan istilah “bands” atau “tribes”. Unit-unit yang menyatukan mereka adalah keluarga atau kelompok keluarga yang berasal dari keturunan yang sama. Mereka juga disatukan oleh tempat tinggal yang sama (Rahardjo 1998:19-20). Kehidupan masyarakat di desa diatur oleh aturan adat yang sampai sekarang masih mereka pegang teguh. Untuk itu kepemimpinan di desa dibedakan menjadi 2: (1) kepemimpinan yang bersifat de jure, untuk mengkoordinir penerapan peraturan atau pelaksanaan program pemerintah, dipegang oleh seorang kepala desa yang merupakan anggota pegawai negeri, (2) kepemimpinan
yang bersifat de facto, untuk
mengkoordinir pelaksanaan peraturan tradisi atau adat-istiadat dan upacara adat. Dewan desa adat melakukan musyawarah setiap hari untuk memecahkan masalah sehari-hari yang terjadi desa. Tanah desa Tenganan Pegeringsingan sendiri, termasuk lahan-lahan perladangan dan pertaniannya diakui sebagai milik desa adat. Untuk anggota masyarakat desa adat yang akan menikah, disediakan tanah untuk membangun rumah bagi bakal keluarganya sendiri. Setiap anggota keluarga yang sudah menikah harus hidup terpisah dengan ayah dan ibunya. Orang yang menikah dengan suku di luar Tenganan, “dibuang” dari lingkungan desa adat dan tidak diperbolehkan tinggal di dalam area desa Tenganan Pegeringsingan. Larangan untuk menikah dengan orang di luar suku Tenganan, kecuali dengan membayar denda dan menerima resiko “dibuang” adalah dalam rangka menjaga keutuhan pemilikan lahan desa, agar jangan berkurang dalam arti jatuh ke tangan orang di luar suku Tenganan dan mempertahankan eksistensi atau “konservasi” tradisi, karena dengan perkawinan dalam 1 suku, kemungkinan masuknya budaya asing dalam ruang budaya Tenganan diminimalkan. Pengutamaan asas egaliter menyebabkan desa ini tidak mengenal sistem kasta dan sangat mengutamakan kepentingan komunal. Menyangkut karakter komunalistis, diterapkan asas kerja gotong-royong, misalnya dalam hal pembuatan, pemeliharaan dan perbaikan
kahyangan (tempat suci), panti (tempat pertemuan) dan aungan (dam) dan
pelaksanaan upacara desa (Depdikbud 1978:42). Suku Bali Aga di desa Tenganan juga tidak mengenal pembakaran mayat, melainkan penguburan, karena dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan Hindu sekte Indra menganggap orang yang meninggal harus kembali kepada bumi atau ibu pertiwi. Untuk itu, setiap orang yang meninggal dikubur dalam keadaan telanjang bulat, posisi kepala di Selatan dan menghadap ke bawah, dalam posisi telungkup. 6 Kenyataannya, area 6
Dalam pandangan hidup suku Bali Aga di desa Tenganan Pegeringsingan, arah Kaja yang menghadap barisan pegunungan adalah arah asal kehidupan, sementara arah Kelod yang menghadap laut adalah arah kematian 165
kuburan di desa Tenganan sama luasnya dengan area pemukiman. Di pekuburan berlaku hierarki zoning sebagai berikut: posisi paling Utara adalah kuburan anak kecil, selanjutnya ke arah Selatan berturut-turut adalah kuburan orang yang belum menikah (remaja dan pemuda), kuburan anak cacat, orang desa Tenganan Pegeringsingan, yang paling Selatan disebut area banjar pande, yaitu kuburan orang-orang “buangan” - orang-orang yang melanggar hukum adat desa. Desa Tenganan Pegeringsingan terletak di daerah Candi Dasa, Kabupaten Karangasem, Bali Selatan, merupakan daerah iklim tropis dengan temperatur rata-rata 24-25C. Suku Bali Aga menempati daerah pegunungan. Kondisi tersebut menciptakan situasi yang kondusif untuk suku ini mengisolir diri dari (meminimalkan) pengaruh budaya asing dan memang desa Bali Aga Tenganan tertutup untuk ditinggali oleh orang di luar sukunya. Desa dikelilingi oleh hutan lebat. Kawasan hutan lindung tropis ini merupakan bagian wilayah desa Tenganan. Pelestarian lingkungan merupakan hal yang sangat diperhatikan, di mana pemanfaatan hasil hutan seperti penebangan kayu memiliki perangkat aturan tersendiri dan menjadi bagian dari sistem aturan adat. Di desa Tenganan tidak boleh menebang hutan sembarangan untuk keperluan pembangunan rumah, balai desa, membuat furnitur, dan lain-lain. Kayu yang boleh dipergunakan hanyalah jenis kayu nangka dan cempaka dalam kondisi tertentu: apabila 3/2 bagian masih hidup maka tidak boleh ditebang, sebaliknya, hanya boleh ditebang apabila 3/2 bagian sudah mati. Aturan ini juga berlaku untuk pohon yang tumbuh dalam pekarangan pribadi. Karena menerapkan seleksi yang sangat ketat dalam penebangan hutan untuk menjaga kelestarian lingkungan di sekitarnya, pada 1989, suku Bali Aga di desa Tenganan menerima hadiah kalpataru dari pemerintah RI dan pada 1999 menerima piagam internasional dalam hal pelestarian lingkungan hidup. Pelestarian lingkungan merupakan wujud penerapan konsep Tri Hita Karana dalam hal menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam. Pola desa yang umum, zone kaja-kangin dialokasikan sebagai area suci, sehingga merupakan lokasi pura desa, zone kaja-kauh untuk balai banjar atau wantilan desa, zone kelod-kangin untuk lapangan desa, dan yang paling rendah hierarkinya, yaitu kelod-kauh, diposisikan sebagai area pasar desa (Gelebet 1985:13). Tetapi di desa Tenganan, fasilitas pertemuan seperti Bale Agung, Petemu Kaja, Tengah dan Petemu Kelod, terletak di jalur tengah desa, di apit oleh deretan rumah tinggal di bagian kiri dan kanan. Antara balai pertemuan dan deretan rumah tinggal penduduk terdapat jalan-jalan utama desa. Apabila dicermati, dalam sintaks rumah tinggal Bali Aga tidak didapati area khusus yang berfungsi sebagai ruang keluarga, tempat berkumpulnya sanak-saudara dan berlangsungnya acara-acara sosial. Hal ini kiranya dipengaruhi oleh gaya hidup komunalistis yang dianutnya, di mana seakan-akan ruang keluarga mereka semua adalah ruang pertemuan besar dengan para warga desa lainnya, yaitu Bale Agung, Petemu Kaja, Tengah dan Kelod. Hampir tidak ada acara pertemuan yang sifatnya individual. Sebaliknya setiap upacara adat merupakan acara komunal yang diselenggarakan secara gotong-royong. Di jalur tengah desa tersebut, setelah berturut-turut dari arah Utara terdapat Bale Agung, Petemu Kaja, Tengah dan Kelod sebagai fasilitas pertemuan acara adat, di ujung Selatan Bale Petemu Kelod terdapat balai desa (wantilan) yang berfungsi sebagai fasilitas pertemuan acara-acara formal yang diadakan oleh institusi pemerintah. Deretan rumah-rumah tinggal membentuk zone privat (private component), sementara deretan balai pertemuan membentuk zone komunitas (community component).
(sumber: wawancara dengan Kepala Desa Tenganan Pegeringsingan). Orientasi kosmologis Kaja-kelod merupakan orientasi utama. Hal ini tampak dari barisan rumah tinggal dan area kuburan yang membujur dari Utara ke Selatan, sesuai dengan orientasi kosmologis Kaja-Kelod. 166
Estetika Desain Vernakular Bali Aga Konsep Bentuk, Relasi antar Bentuk, Material, Warna dan Ornamen Karena keterbatasan ruang pembahasan, bentuk rumah tinggal, pembahasan massa bangunan, ruang, furnitur, material dan warna tidak dikemukakan di sini. Pembahasan langsung mengarah pada makna yang ada di balik bentuk. Data desain diambil dari 3 kasus rumah tinggal, pertama adalah rumah yang mewakili gaya bangunan yang masih asli dan paling sederhana, kedua adalah rumah yang mewakili bentuk yang lebih kompleks dan lebih modern dalam hal pemakaian material, ketiga mewakili bangunan rumah tinggal penduduk Tenganan yang bentuknya makin kompleks karena mengadopsi gaya Bali Arya atau tradisional Bali yang dikenal saat ini, sehingga sudah tidak murni lagi merepresentasikan bentuk desain vernakular Bali Aga. Deskripsi tiga buah desain rumah tinggal ini ingin menggambarkan pergeseran bentuk dan material dalam desain rumah tinggal vernakular Bali Aga di desa Tenganan, dipengaruhi oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi, yaitu mata pencaharian, pendidikan dan migrasi anggota keluarga keluar dari desa Tenganan atau lingkungan desa adat melalui pernikahan di luar suku. Mengikuti konsep Tri Angga, bentuk bangunan selalu terbagi tiga secara vertikal, yaitu bagian kaki berupa lantai panggung, bagian tengah berupa ruang tempat manusia hidup dan bagian atas berupa atap bangunan. Ruang tempat tinggal selalu berada di atas lantai panggung untuk memposisikannya di bagian tengah, sebagai tanda bahwa manusia hidup di antara alam bawah (bhur loka) yang dinilai nista dan alam atas (swah loka) yang dinilai utama. Manusia sebagai mikrokosmos ada di bawah naungan atap bangunan sebagai makrokosmos. Konsep bentuk ruang yang dipergunakan adalah kotak (persegi empat), baik bujur sangkar, persegi panjang, kubus ataupun balok. Bentuk yang lebih organik ditemui pada ornamen. Desain bidang-bidang permukaan pada umumnya serhana dalam pengertian “bersih”, bebas ornamen, kecuali pada dinding dan pintu bangunan bale meten, serta tiang bangunan upacara. Hal ini memiliki makna bahwa segala sesuatu, dalam hal ini wadah aktivitas, yang berkaitan dengan perwujudan relasi manusia dengan Tuhan (beribadah) dinilai utama dan didesain lebih khusus. Dengan kata lain, tujuan pembuatan karya desain menjadi bagian dari tujuan agama, yaitu untuk menyembah Tuhan, sehingga selalu diusahakan untuk dibuat sebaik mungkin, lebih baik dari bangunan tempat tinggal. Perkecualian pada bale meten timbul karena selain merupakan tempat tinggal orang tua yang dihormati sesuai dengan posisi ayah sebagai kepala rumah tangga, juga karena bangunan ini ada kalanya dimanfaatkan untuk meminggit pengantin. Dalam desain interior ruang Bali Aga, tidak dikenal adanya furnitur lepas (loose furnitur). Satu-satunya furnitur asli yang ditemukan adalah tempat tidur yang terpasang built-in pada tiang bangunan, atau pada tiang tersendiri yang “ditanam” ke dalam tanah (lantai). Hal ini menandakan desain Bali Aga tidak memiliki karakter dekoratif. Pengadaan furnitur bersifat minimalis dan fungsional. Ketiadaan fasilitas duduk merupakan penjabaran ideologi komunal yang tidak membatasi teritorial pribadi (imajiner) antar anggota keluarga pada waktu bercakap-cakap, ataupun antara anggota keluarga dengan tamu; tidak ada batas zone pribadi (imajiner). Bercakap-cakap dapat dilakukan dalam posisi berdekatan, baik berhadapan maupun berjajar. Dengan tidak adanya kursi, percakapan dapat dilakukan lebih dekat, informal dan akrab. Sintaks desain Bali Aga memiliki bentuk khas, pada prinsipnya menempatkan massa-massa bangunan tempat tinggal mengelilingi dan memiliki orientasi ke arah lapangan atau halaman tengah (inner court). Bentuk seperti ini juga dijumpai pada sintaks desain tradisional Bali pada umumnya. Tetapi dalam desain Bali Aga, 167
klasifikasi jenis bangunan lebih sederhana, hanya terdiri dari empat jenis, yaitu: bangunan upacara (balebuge), bangunan tempat melahirkan dan meninggal (bale tengah), bangunan tempat tinggal orang tua dan meminggit pengantin (bale meten), bangunan servis yang terdiri dari kamar mandi dan dapur. Pada prinsipnya, area rumah tinggal dapat dibagi dalam 3 zone, yaitu zone utama, madya dan nista. Berada dalam zone utama atau di area depan rumah adalah bangunan upacara yang dianggap suci, yaitu buge, sanggah pesimpangan di arah Kaja dan sanggah kemulan di arah Kelod. Zone utama adalah perwujudan relasi manusia dengan Tuhan. Zone madya, sebagai perwujudan relasi manusia dengan manusia, berisi bangunan tempat tinggal atau aktivitas sosial, seperti bale tengah dan meten. Zone nista merupakan area servis yang dianggap kotor, terdiri dari dapur, kamar mandi dan kandang hewan. Perwujudan relasi manusia dengan alam ada di halaman tengah yang disebut natah. Terdapat dua prinsip penting dalam sintaks desain Bali Aga. Pertama, area pusat, di bagian tengah dalam kondisi ideal atau asli merupakan area yang dibiarkan kosong. Hal ini merupakan penerapan konsep keseimbangan yang sepadan dengan Tri Hita Karana, yaitu menciptakan keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan dan lingkungan alam tempat tinggalnya. Dengan adanya area taman dalam, terjadi perimbangan antara lahan yang diisi bangunan dengan yang dijadikan taman hijau. Kedua, bangunan-bangunan yang mengelilingi halaman tengah memiliki pintu masuk yang menghadap ke arah taman dalam. Hal ini berkaitan dengan konsep atau pandangan bahwa titik tengah area rumah tinggal merupakan pusat sumber kekuatan. Dalam sintaks desain rumah tinggal Bali Aga, juga berlaku konsep orientasi kosmologis Kaja dan Kelod, tetapi memiliki konsep yang sedikit berbeda dengan orang Bali pada umumnya (Bali Arya). Dalam konteks Bali Aga, orientasi Kaja-Kelod lebih penting (bermakna) daripada orientasi tata nilai religi Kangin-Kauh. Maka di Tenganan Pegeringsingan tidak ditemukan adanya konsep sangamandala (9 zone ruang) yang lahir dari kombinasi orientasi kosmologis dan tata nilai religi. Seperti halnya di wilayah Bali Selatan, orang Bali Aga di desa Tenganan juga memposisikan deretan gunung di tengah pulau Bali sebagai arah Utara (Kaja), dan laut di Selatan sebagai arah Selatan (Kelod), tetapi makna orientasi Kaja-Kelod sedikit berbeda dengan orang Bali pada umumnya. Pandangan umum memposisikan arah Kaja ke gunung sebagai arah atau posisi utama karena gunung merupakan tempat tinggal para dewa, sementara orang Bali Aga lebih memandang arah Kaja ke gunung sebagai asal hidup dan arah Kelod ke laut sebagai arah mati. Tiga implikasi konsep orientasi kosmologis ini adalah: (1) Karena Kaja-Kelod merupakan orientasi yang paling penting, maka bangunan suci sanggah yang ada di kompleks rumah tinggal orang Bali Aga ada di posisi Utara untuk sanggah pesimpangan dan Selatan untuk sanggah kemulan, (2) Kaja sebagai orientasi yang lebih utama dipandang sebagai asal hidup, sementara Kelod sebagai arah mati. Karena itu di Tenganan Pegeringsingan, kepala orang mati berada di Selatan, (3) Karena Kaja-Kelod merupakan orientasi yang paling penting, maka dalam lingkup ruang yang lebih besar seperti kompleks desa, semua rumah tinggal penduduk, balai pertemuan dan kuburan dibuat membujur dari Utara ke Selatan, di mana bangunan atau unit massa yang memiliki hierarki lebih tinggi berada di sisi yang lebih ke Utara. Contohnya adalah dalam deretan balai pertemuan, Bale Agung terletak di sisi paling Utara, kemudian baru Bale Petemu Kaja, Tengah, Kelod dan Wantilan desa di sisi paling Selatan. Spesifikasi material dalam arti pemilihan jenis material, tidak memiliki makna tertentu. Hal ini tampak dari adanya pergeseran gaya desain dari segi material dengan tetap mempertahankan bentuk vernakular. Konsistensi bentuk vernakular pun sulit untuk dijaga, terbukti dengan adanya beberapa rumah tinggal yang justru memakai gaya desain Bali Arya. Pergeseran material tampak dari mulai dipergunakannya keramik, bata, semen dan kaca untuk bahan bangunan serta plastik untuk furnitur. Pemilihan dan pemakaian bahan bangunan hasil teknologi
168
modern memang tidak dapat dihindari demi memenuhi kebutuhan akan durabilitas, kekuatan konstruksi dan kemudahan perawatan.Walaupun demikian, pemilihan spesifikasi material memiliki konsep tertentu yang mewujudkan usaha untuk menjaga keseimbangan dengan alam. Hal ini tercermin dari adanya peraturan adat yang mengatur penggunaan material kayu untuk bahan bangunan atau furnitur, di mana kayu yang boleh ditebang hanya dari jenis kayu nangka dan cempaka dalam kondisi 2/3 bagian sudah mati. Dampak usaha ini adalah kelestarian lingkungan hutan lindung di sekeliling desa Tenganan Pegeringsingan. Pada akhirnya, keseimbangan ekosistim di tempat ini menjaga keamanan dan kesehatan lingkungan tempat tinggal penduduk Bali Aga. Apabila ditelusuri sampai pada tataran ideologis, maka cara menentukan spesifikasi material kayu tersebut merupakan wujud penerapan ideologi naturalisme yang memang banyak dianut oleh masyarakat vernakular, di mana mereka memandang dirinya sebagai bagian dari alam, bukan tuan atas alam, sehingga untuk menjaga kesinambungan hidupnya, manusia harus menciptakan harmoni dengan alam. Sementara dalam hal penggunaan warna, dalam desain Bali Aga terdapat tiga buah warna utama yang memiliki makna simbolik, yaitu hitam, putih dan merah. Warna-warna tersebut memiliki merepresentasikan unsur penunjang kehidupan yang penting, yaitu hitam sebagai simbol tanah atau bumi, putih sebagai simbol air dan merah sebagai simbol api. Selain itu, dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu, warna-warna merepresentasikan dewa-dewa utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti, yaitu hitam untuk simbol dewa Wisnu yang berkedudukan di arah Kaja, merah untuk simbol dewa Brahma yang berkedudukan di arah Kelod (sekali lagi hal ini membuktikan bahwa Kaja-Kelod merupakan orientasi yang penting), dan putih sebagai refleksi berbagai warna (polikromatik) untuk simbol dewa Siwa yang berkedudukan di tengah atau pusat. Desain vernakular rumah tinggal Bali Aga tidak banyak mempergunakan ornamen. Hal ini tampak dari empat buah massa bangunan rumah tinggal, hanya bale meten yang mempergunakan ornamen dalam skala minimal, yaitu hanya di bagian pintu masuk, yaitu daun pintu dan architrave, serta lubang ventilasi. Penggunaan ornamen lebih ditujukan untuk bangunan suci tempat sembahyang, seperti sanggah ataupun bale buge (pada rumah tinggal kalangan tertentu yang lebih mampu) dan tempat berlangsungnya upacara adat desa seperti Bale Agung. Hal demikian menunjukkan bahwa dalam konteks hidup masyarakat tradisional yang komunalitis, eksistensi pribadi atau individu lebih tidak penting dibandingkan dengan kelompok masyarakat, dan karena menganut budaya religius-mitis, semua elemen seni atau desain diaplikasikan terutama pada bangunan upacara komunal. Dalam hal ini, desain berperan sebagai media transendental, yaitu media untuk mengalami karakter yang mengarah pada pengakuan akan eksistensi Tuhan dalam kehidupan manusia; semua karya seni dan desain dalam budaya religius-mitis masyarakat tradisional terutama dibuat untuk memuliakan Tuhan (menunjang kegiatan upacara atau sembahyang). Ornamen dibuat dengan memperhatikan orientasi kosmologis Kaja-Kelod. Hal ini tampak pada pembuatan ornamen yang berperan sebagai simbol dewa. Tanda ornamen lebih berperan sebagai simbol daripada ikon estetik, sehingga penggunaannya tampak lebih terbatas (minimal) dibandingkan dengan desain Bali Arya yang jauh lebih ornamental dan dekoratif. Walaupun demikian, karena tidak ada perbedaan kasta dalam sistem sosial masyarakat Bali Aga, tidak ditemui adanya ornamen yang berfungsi sebagai simbol status sosial seperti dalam Bali Arya (Gambar 1).
169
Gambar 1. Site-plan Area Pemukiman Bali Aga di Desa Tenganan
Gambar 2. Contoh Denah Rumah Tinggal
Gambar 3. Tampak Depan Salah 1 Rumah
KESIMPULAN Desain vernakular rumah tinggal Bali Aga merupakan ekspresi budaya religius-mitis. Sebagai manifestasi budaya, desain menjadi bagian dari sistem kebudayaan yang bersifat holistik, di mana elemen-elemen desain dipengaruhi oleh sistem kepercayaan, pandangan hidup, adat-istiadat, kondisi lingkungan alam geografis dan kondisi sosial. Ditemukan bahwa landasan desain rumah tinggal Bali Aga adalah konsep makro tentang relasi antara alam semesta sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos. Konsep makro tersebut “menurunkan” konsep-konsep mikro mulai dari Rwa Bhineda, konsep keseimbangan (sepadan dengan konsep Tri Hita Karana dalam budaya Bali Arya), Tri Angga dan Catuspatha. Perbedaan dengan budaya Bali Arya terletak dari tidak ditemuinya penerapan konsep Sangamandala dan tidak dominannya acuan orientasi tata nilai religi Kangin-Kauh dalam sintaks desain rumah tinggal. Dengan demikian, konsep Tri Angga walaupun tampak pada fisik bangunan, tidak dijabarkan secara lengkap pada pembagian zone ruang, sehingga zoning dalam area rumah tinggal menjadi lebih sederhana, walaupun keberadaan ruang kosong di bagian tengah tetap dipertahankan untuk menciptakan keseimbangan. Pada perkembangannya, ruang kosong di bagian tengah yang disebut natahkerap dipersempit oleh perluasan teras massa-massa bangunan yang mengelilinginya untuk efisiensi lahan dan mendekatkan interaksi antar anggota keluarga (komunalitis), sehingga keberadaan halaman tengah ini tidak nyata (visible). Memahami desain dari sudut pandang estetika adalah mengedepankan persoalan nilai keindahan atau hakekat keindahan. Estetika yang ditunjukkan oleh desain vernakular Bali Aga jauh dari karakter kompleks atau dekoratif. Keindahan identik dengan sesuatu yang kecil, sederhana dan original (alamiah). Mengejutkan bahwa karakter yang ditampilkan memiliki kelebihan dibandingkan dengan desain modern dalam hal mengedepankan fungsi. Desain modern kerap terjebak pada kondisi sekadar memenuhi fungsi guna (function of use), tetapi desain yang ditunjukkan oleh Bali Aga memenuhi fungsi guna, rasa dan simbol budaya. Dalam konteks rumah tinggal yang lebih original dan bale adat, ornamen dan warna tidak pernah hadir hanya sekadar hiasan tetapi mewujudkan fungsi simbolik (function of symbol).Mereka hanya memakai sedikit ornamen dan tiga warna; merah, putih dan hitam – tetapi seluruhnya sarat dengan makna.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih dihaturkan kepada nara sumber dan responden, yaitu Kepala Desa Tenganan pada 2003, I. Putu Suarjana, S.Sn., I Wayan Muliasih dan Wayan Candri, I Wayan Muditadhana dan I Nengah Kedep. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada UPH selaku penyandang dana kegiatan survei penelitian.
170
DAFTAR PUSTAKA Artadi, I Made Pande (2003). Pengaruh Arsitektur Kolonial Belanda terhadap Arsitektur Tradisional Bali Utara (Tesis). Bandung: ITB. Gelebet, I Nyoman. (1985). Arsitektur Tradisional Bali. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah 1981/1982. Denpasar: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jackson, John Brinckerhoff. (1984). Discovering the Vernacular Landscape. New Haven: Yale University Press. Kempers, A.J. Bernet. (1991). Monumental Bali. Introduction to Balinese Archaeology & Guide to the Monuments. Singapore: Periplus. Rahardjo, Supratikno., Munandar, Agus Aris., Zuhdi, Susanto. (1998). Sejarah Kebudayaan Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ramseyer, Urs. (2002). The Art and Culture of Bali. Basel: Museum der Kulturen. Rapoport, Amos. (1980). Vernacular Architecture and The Cultural Determinants of Form (Building & Society). London: Routledge. Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2011). Metodologi Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima Nusantara. Tim Depdikbud. (1978). Sejarah Daerah Bali. Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wentling, James W. (1995). Housing by Lifestyle. The Component Method of Residential Design (2nd Sub Edition, 1st Edition 1990). New York: Mc-Graw Hill.
171