perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI
Oleh Yuliningsih H0808162
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh derajat gelar sarjana pertanian Pada Fakultas Pertanian Uiversitas Sebelas Maret Program Studi Agribisnis
Oleh Yuliningsih H0808162
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
STRATEGI PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI PENGOLAHAN METE DI KECAMATAN JATISRONO KABUPATEN WONOGIRI
Yang diajukan dan disusun oleh : Yuliningsih H0808162
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : 06 Maret 2013 Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua
Anggota I
Anggota II
Dr. Ir. Eny Lestari, M.Si NIP. 1960122619862001
Emi Widiyanti, SP, M.Si NIP. 197803252001122001
Ir. Agustono, M.Si NIP. 196408011990031004
Surakarta,
Maret 2013
Mengetahui, Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian Dekan
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S. commit to user 1 001 NIP. 19560225 198601
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya sehingga
penulis
dapat
menyelesaikan
skripsi
Strategi
Pengembangan
Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang maupun instansi yang telah membantu pembuatan skripsi ini. Penulis berterima kasih kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Dr. Ir. Mohd. Harissudin, M.Si selaku Ketua Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Ibu Nuning Setyowati, SP, M.Sc selaku Ketua Komisi Sarjana Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 4. Ibu Dr. Ir. Eny Lestari, MSi selaku pembimbing utama yang telah memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi. 5. Ibu Emi Widiyanti, SP., M.Si selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing pendamping yang telah memberikan pengarahan dan masukan dalam penyusunan skripsi. 6. Bapak Ir. Agustono, M.Si selaku dosen penguji, terima kasih atas saran dan masukannya. 7. Keluarga tercinta, Alm. Bapak, semoga beliau mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya, Ibu, Mbak Ati’, Siti, Zeefha, Bapak, Mas Darto yang senantiasa memberi cinta dan kasih sayang kepada Penulis, arahan, masukan, motivasi, waktu serta doanya, terima kasih untuk semuanya. Senyum kalian adalah semangat buatku, I love you all. 8. Sahabat-sahabat “45”, Tyas, Bundo, Sanah, Rina, Enril, Bayu, Aziz, Sigit, terima kasih atas segala persahabatan, kebersamaan, dan pengalaman berharga selama kita bersama. Semoga kita dipertemukan lagi dalam kebersamaan pada waktu yang yang lebih indah. commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9. Bapak dan Ibu Dosen beserta staf Program Studi Agribisnis dan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas ilmu dan pelayanan yang telah diberikan dan bantuannya selama masa perkuliahan Penulis. 10. Kepala Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat; Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal; Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri; Pimpinan dan staf Kecamatan Jatisrono serta semua responden di Kecamatan Jatisrono yang telah memberikan ijin dan data-data penelitian. 11. Teman-teman Wisma Almamater Ceria: Rizki, Widya, Dian, Mb Linda, Mb Tira, Mb Lia, Dek Septi, Dek Ayu, Dek Sri, Ratna, Dek Martha, Mimi, Putri, atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan kepada Penulis. 12. Keluarga Besar GEMMA dan Arisan 2008 FP UNS atas segala persaudaraan dan pelajaran indah. Semoga Allah senantiasa meridhoi langkah kita. Semoga kesuksesan selalu bersama kita. Amin ya Rabb. 13. Keluarga besar dan teman-teman FUSI FP UNS, BIRO AAI FP terima kasih bersedia berbagi ilmu dan pengalaman yang dahsyat. 14. Teman-teman Co-Ass. Sistem Pertanian Terpadu, Studi Kelayakan Investasi Agribisnis, Sistem Informasi Manajemen, dan Perencanaan Pembangunan Wilayah terima kasih atas pengalamannya. 15. Keluarga besar Agribisnis angkatan 2008, yang telah berjuang bersama, yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terima kasih atas kebersamaannya selama kuliah ini. Semoga kesuksesan selalu bersama kita. Amin ya Rabb. 16. Semua pihak yang telah membantu kelancaran proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya selama ini. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu Penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan keterbatasan Penulis serta mengharap kritik dan saran yang membangun. Sebagai penutup semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. commit to user
v
Surakarta,
Maret 2013
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xii
ABSTRAK ..................................................................................................... xiii ABSTRACT ..................................................................................................... xiv I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ................................................................................... B. Perumusan Masalah ........................................................................... C. Tujuan Penelitian ............................................................................... D. Kegunaan Penelitian ..........................................................................
1 4 5 6
II. LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka................................................................................ 1. Agroindustri................................................................................. 2. Mete ............................................................................................. 3. Pengolahan Mete ......................................................................... 4. Analisis Usaha ............................................................................. 5. Arti Penting Strategi .................................................................... 6. Proses Perumusan Strategi .......................................................... 7. Penelitian Terdahulu.................................................................... B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ................................................ C. Pembatasan Masalah .......................................................................... D. Definisi Operasional ..........................................................................
7 7 13 13 16 16 17 23 24 28 28
III. METODE PENELITIAN A. Metode Dasar Penelitian .................................................................... B. Lokasi Penelitian ............................................................................... C. Tahapan Penelitian ............................................................................ D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ....................................... E. Metode Penentuan Sampel Responden.............................................. F. Meode Analisis Data ........................................................................
31 31 32 34 35 38
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN A. Keadaan Alam ................................................................................. B. Keadaan Penduduk.......................................................................... C. Keadaan Sarana Perekonomian....................................................... to user D. Keadaan Sektor Pertaniancommit ...............................................................
45 46 49 50
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
E. Keadaan Industri ............................................................................. V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ................................................................. B. Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ....................................................................... C. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .................................... D. Kondisi Faktor Eksternal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .................................... E. Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ................................ F. Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ................................
52 57 56 74 82 90 92
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ..................................................................................... B. Saran ...............................................................................................
100 102
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
103
LAMPIRAN ...................................................................................................
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Nomor
Judul
Halaman
Tabel 1. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 .................................................. 2 Tabel 2. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Meurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 ................................................... 2 Tabel 2. Jumlah Usaha Agrindustri Pengolahan Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007 ............................................... 3 Tabel 4. Realisasi Impor dan Ekspor Mete Indonesia.................................... 15 Tabel 5. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2010 .................................................. 31 Tabel 6. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2010 .................................................... 32 Tabel 7. Responden dalam Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 38 Tabel 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) ..................................... 40 Tabel 9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) ....................................... 40 Tabel 10. Matriks SWOT ................................................................................ 42 Tabel 11. Matriks QSP .................................................................................... 43 Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ............... 45 Tabel 13. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010 dan 2011 ...................................................................... 46 Tabel 14. Penduduk Kecamatan Jatisrono Menurut Golongan Umur Tahun 2011 (orang) .................................................................................... 48 Tabel 15. Jumlah Penduduk di Kecamatan Jatisrono Menurut Mata Pencaharian Tahun 2011 (orang) ..................................................... 49 Tabel 16. Sarana Perekonomian di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ........... 49 Tabel 17. Jumlah Sarana Angkutan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 ...... 50 Tabel 18. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (kw) ............................................................................. 51 Tabel 19. Komoditi Perkebunan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010 (Batang) ........................................................................................... 50 Tabel 20. Populasi Ternak di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010 (Ekor) ......... 52 commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 21. Jumlah Industri Kecil Potensial di Kecamatan Jatisrono Tahun 2007 ................................................................................................. 53 Tabel 22. Identitas Responden Pelaku Usaha Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ..................................... 54 Tabel 23. Karakteristik Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ........................................................ 55 Tabel 24. Identitas Responden Pemerintah dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 56 Tabel 25. Identitas Responden Pedagang Pengepul dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 56 Tabel 26. Identitas Responden Konsumen Akhir dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 57 Tabel 27. Ketenagakerjaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 59 Tabel 28. Rata-Rata Total Biaya Produksi pada Agroindustri Pengolahan Mete Selama 1 Bulan ....................................................................... 60 Tabel 29. Rata-Rata Penerimaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete Selama 1 Bulan ................................................... 62 Tabel 30. Rata-Rata Keuntungan Usaha pada Agroindustri Pengolahan Mete Selama 1 Bulan ....................................................................... 62 Tabel 31. Rata-Rata Biaya, Penerimaan, dan Keuntungan per kg Produk Pada Agroindustri Pengolahan Mete ............................................... 63 Tabel 32. Ciri-ciri Kelas Kacang Mete ............................................................ 69 Tabel 33. Sumber Modal Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 72 Tabel 34. Identifikasi Faktor-Faktor Internal pada Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 75 Tabel 35. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 81 Tabel 36. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal pada Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 83 Tabel 37. Matriks External Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .... 89 commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 38. Alternatif Strategi Matriks SWOT dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri .......................................................................................... 91 Tabel 39. Matriks QSP dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ........................ 93
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul
Halaman
Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah ............................................. 27 Gambar 2. Tahapan Penelitian ......................................................................... 33 Gambar 3. Rantai Pemasaran Kacang Mete di Kecamatan Jatisrono .............. 71
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Lampiran 1. Data Responden .......................................................................... Lampiran 2. Kuesioner Penelitian ................................................................... Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian .................................................................... Lampiran 4. Peta Kecamatan Jatisrono ........................................................... Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian ..............................................................
commit to user
xii
1 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mempunyai banyak sekali potensi alam, salah satunya di bidang pertanian. Sebagai negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia menjadikan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan. Akan tetapi, pembangunan pertanian kurang menjadi perhatian. Salah satu solusi pengembangan sektor pertanian yaitu dengan adanya
agroindustri.
Agroindustri
merupakan
suatu
industri
yang
menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya atau suatu industri yang menghasilkan suatu produk yang digunakan sebagai sarana atau input dalam usaha pertanian (Putra, 2008). Menurut Austin (1992), agroindustri hasil pertanian mampu memberikan sumbangan yang sangat nyata bagi pembangunan di kebanyakan negara berkembang karena empat alasan, yaitu: Pertama, agroindustri hasil pertanian adalah pintu untuk sektor pertanian. Kedua, agroindustri hasil pertanian sebagai dasar sektor manufaktur. Ketiga, agroindustri pengolahan hasil
pertanian
menghasilkan
komoditas
ekspor
penting.
Keempat,
agroindustri pangan merupakan sumber penting nutrisi. Salah satu subsektor pertanian yang dapat dikembangkan sebagai agroindustri adalah subsektor perkebunan. Selama tahun 2004 - 2009 sub sektor perkebunan menyumbang sekitar 12,7% dari perolehan devisa yang dihasilkan dari sektor non-migas (Kementan, 2010). Salah satu komoditas perkebunan yang cukup penting dalam menyumbang perolehan devisa negara adalah biji jambu mete (cashew nut). Luas areal tanaman jambu mete di Indonesia sekitar 499.279 ha dengan produksi 76.656 ton pertahun (Deptan, 2000). Pengembangan jambu mete dicanangkan pertama kali oleh Pemerintah pada pertengahan tahun 1972, yang diawali dengan program penghijauan pada lahan kritis oleh Sub Sektor Kehutanan (Karmawati, 2008). Jawa Tengah merupakan salah satu penghasil jambu mete di commithampir to user di seluruh wilayah Jawa Tengah. Indonesia. Jambu mete ini tersebar 1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Data luas areal dan produksi jambu mete di wilayah Jawa Tengah yang menunjukkan peringkat satu sampai lima disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kabupaten/Kota Kabupaten Wonogiri Kabupaten Sragen Kabupaten Blora Kabupaten Jepara Kabupaten Rembang
Luas (ha) 20.505,00 1.088,50 1.023,07 740,57 522,00
Produksi (ton) 7.145,00 297,40 290,28 233,85 116,96
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012 Berdasarkan data luas areal dan produksi pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa Kabupaten Wonogiri merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal dan produksi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang ada di provinsi Jawa Tengah. Oleh karena itu, Kabupaten Wonogiri berkembang menjadi salah satu sentra pengolahan mete karena didukung oleh kondisi geografis yang sesuai untuk perkebunan jambu mete dan Wonogiri dapat mendominasi pasar dengan berhasil memasok mete hingga 70% lebih dan menembus pasar ekspor ke beberapa negara tetangga (BI, 2000). Tanaman jambu mete merupakan tanaman yang menjadi ciri khas di Kabupaten Wonogiri. Tingginya produksi jambu mete di Kabupaten Wonogiri tentunya disumbang dari produksi tingkat kecamatan. Data luas areal dan produksi jambu mete pada tingkat kecamatan yang menunjukkan peringkat satu sampai lima disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Kecamatan Ngadirojo Kecamatan Sidoarjo Kecamatan Jatiroto Kecamatan Jatisrono Kecamatan Girimarto
Luas (ha) 3. 296,00 3.069,00 2.306,00 1.967,00 818,00
Produksi (ton) 1.712,00 975,00 818.00 782,00 345,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012 Tabel 2 menunjukkan kecamatan-kecamatan yang menempati lima user mete di Kabupaten Wonogiri. besar dalam luas areal dan commit produksito jambu
3 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Salah satu usaha yang kemudian berkembang di Kabupaten Wonogiri karena jumlah produksi mete yang tinggi adalah agroindustri pengolahan mete. Usaha ini tumbuh dan berkembang di beberapa kecamatan. Berdasarkan data Disperindag, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri (2007), jumlah usaha agroindustri pengolahan mete paling banyak terdapat di Kecamatan Jatisrono, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono dan mampu menyerap 2.258 tenaga kerja. Jumlah usaha agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 3. Jumlah Usaha Agroindustri Pengolahan Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2007 No. Kecamatan 1. Kecamatan Jatisrono 2. Kecamatan Slogohimo 3. Kecamatan Purwantoro
Jumlah Usaha (Unit) 583 71 131
Tenaga Kerja (jiwa) 2.258 236 493
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007 Tabel 3 menunjukkan bahwa usaha agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri terdapat di tiga Kecamatan, yaiu Kecamatan Jatisrono, Kecamatan Slogohimo, dan Kecamatan Purwantoro. Jumlah usaha yang paling banyak yaitu di Kecamatan Jatisrono sejumlah 583 unit usaha. Karena jumlah industri yang banyak ini kemudian didirikan sentra industri kecil pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Pengolahan mete adalah proses pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete. Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono ini sebagian besar berupa industri yang berskala rumah tangga yang masih menggunakan peralatan yang sederhana. Bahan baku tidak selalu tersedia sepanjang waktu, tergantung pasokan, sehingga seringkali tidak mampu memenuhi permintaan dari konsumen. Iklim yang tidak menentu juga mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan, karena berkaitan dengan proses penjemuran gelondong dan to juga commit userkacang mete (BI, 2000). Karena
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbagai kendala yang dihadapi, diperlukan suatu upaya untuk merumuskan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete. Hal inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai “Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri”. B. Perumusan Masalah Pengolahan mete merupakan suatu usaha yang termasuk di dalam agroindustri karena merupakan kegiatan pengolahan hasil pertanian. Yang dimaksud pengolahan mete di sini adalah usaha pengolahan mete sejak masih bersatu dengan buah semunya sampai dengan pengemasannya. Di Kecamatan Jatisrono, usaha pengolahan mete sudah berkembang lama, di mana usaha ini umumnya merupakan usaha skala kecil dan menengah yang menggunakan teknologi sederhana. Usaha ini dirasakan cukup mampu membangkitkan kondisi ekonomi warga Kecamatan Jatisrono apalagi setelah adanya krisis ekonomi serta mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar, yang secara otomatis akan mampu meningkatkan pendapatan dari penduduk setempat. Berdasarkan keadaan tersebut, dapat disimpulkan bahwa usaha agroindustri pengolahan mete ini cukup memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Selain itu, usaha ini tidak menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan suatu upaya perumusan strategi pengembangan pada agroindustri pengolahan mete ini agar dapat terjadi peningkatan kualitas dan kuantitas produksi, sehingga usaha ini bisa terus memberikan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Berkaitan dengan uraian di atas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah keragaan agroindustri pengolahan mete (skala usaha, bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan sarana prasarana) di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
2.
Bagaimanakah kondisi faktor internal (keuangan, pemasaran, produksi, manajemen,
dan
sumber daya manusia) commit to user
dalam
pengembangan
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri? 3.
Bagaimanakah kondisi faktor eksternal (perekonomian, sosial budaya, pemerintah,
teknologi,
persaingan,
dan
keadaan
alam)
dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri? 4.
Bagaimana alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan pada industri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
5.
Bagaimana prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam pengembangan industri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete (skala usaha, bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan sarana prasarana) di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
2.
Mengidentifikasi kondisi faktor internal (keuangan, pemasaran, produksi, manajemen,
dan
sumber
daya
manusia)
dalam
pengembangan
agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. 3.
Mengidentifikasi kondisi faktor eksternal (perekonomian, sosial budaya, pemerintah,
teknologi,
persaingan,
dan
keadaan
alam)
dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. 4.
Merumuskan alternatif strategi pengembangan yang dapat diterapkan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri.
5.
Menentukan prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. commit to user
6 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini diantaranya adalah: 1.
Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman serta merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2.
Bagi pemerintah daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan yang lebih baik di masa mendatang, terutama dalam usaha kecil menengah, khususnya dalam pengolahan mete.
3.
Bagi pelaku usaha, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan dalam menyususn suatu kebijakan menyangkut pengembangan usaha pengolahan mete.
4.
Bagi pembaca, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis.
commit to user
7 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka 1. Agroindustri a.
Pengertian Agroindustri Agroindustri berasal dari dua kata agricultural dan industry yang berarti suatu industri yang menggunakan hasil pertanian sebagai bahan baku utamanya. Definisi agroindustri dapat dijabarkan sebagai kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang, dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian agroindustri meliputi industri pengolahan hasil pertanian, industri yang memproduksi peralatan dan mesin pertanian, industri input pertanian (pupuk, pestisida, herbisida dan lain-lain) dan industri jasa sektor pertanian. Agroindustri pengolahan hasil pertanian merupakan bagian dari agroindustri, yang mengolah bahan baku yang bersumber dari tanaman, binatang dan ikan (Kusnandar dkk, 2010). Kusnandar dkk (2010) menyebutkan bahwa agroindustri pengolahan hasil pertanian, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Dapat meningkatkan nilai tambah 2) Menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan 3) Meningkatkan daya saing 4) Menambah pendapatan dan keuntungan produsen. Menurut UU No. 20 Tahun 2008, UMKM adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian, baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar. Berdasarkan pengertian tersebut, agroindustri commit to user termasuk dalam kategori UMKM ini (Anonim, 2009).
7
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penggolongan UMKM berdasarkan UU. Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah sebagai berikut: 1) Usaha Mikro
adalah unit usaha yang memiliki nilai asset paling
banyak Rp 50 juta atau dengan hasil penjualan paling besar Rp 300 juta. 2) Usaha Kecil dengan nilai asset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak 500 juta atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta, hingga maksimum 2,5 milyar. 3) Usaha Menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih lebih dari 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki hasil penjualan tahunan di atas Rp 2,5 milyar sampai paling tinggi Rp 50 milyar. (Anonim, 2009).
b.
Lingkup Kegiatan Agroindustri Konsep agroindustri memerlukan kejelasan sampai dimana batas keterkaitannya dengan sektor produksi primer. Kaitan dengan sektor pertanian umumnya dibatasi pada kaitan yang langsung. Berdasarkan pengertian ini maka dalam konsep agroindustri hulu tidak termasuk industri mobil yang digunakan untuk mengangkut sarana produksi ke pusat-pusat produksi pertanian. Demikian pula pada konsep agroindustri hilir, pengolahan teh jadi (teh hitam) menjadi teh botol dan pengolahan sheet menjadi barang-barang dari karet tidak termasuk di dalamnya (Soekartawi, 2001). Tentang hal ini, Kusnandar dkk (2010) secara garis besar agroindustri dapat digolongkan menjadi empat yang meliputi: 1) Agroindustri yang memproduksi input pertanian (pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain) 2) Agroindustri yang memproduksi peralatan dan mesin yang diperlukan untuk budidaya pertanian 3) Agroindustri pengolahan hasil pertanian 4) Agroindustri jasa sektor pertanian commit to user (supporting service).
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c.
Sistem Agroindustri Sistem menurut Jarmie (1994) berasal dari kata Yunani systema, secara konseptual sebagai “suatu kesatuan” dari bagian-bagian atau komponen-komponen yang berhubungan secara teratur. Dari arti kata tersebut, sistem memiliki empat indikator, yaitu, kesatuan, bagian, berhubungan dan teratur. Agribisnis merupakan suatu sistem yang
mengandung
pengertian sebagai rangkaian kegiatan beberapa subsistem yang saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem agribisnis saat ini terdiri dari lima bentuk kegiatan, yaitu: (1) kegiatan pertanian (budidaya) sebagai kegiatan utama didukung oleh, (2) pengadaan sarana produksi pertanian, termasuk di dalamnya agroindustri penyedia sarana produksi (pupuk, pestisida, alat-alat pertanian), (3) agroindustri pengolahan, (4) pemasaran, dan (5) jasa-jasa penunjang. Jika dilakukan pengelompokan, kegiatan pertanian (budidaya) akan dimasukkan
sebagai
kegiatan
usahatani
(on-farm
activities).
Sedangkan pengadaan sarana produksi, agroindustri pengolahan, pemasaran, dan jasa-jasa penunjang dikelompokkan ke dalam kegiatan luar usahatani (off-farm activities) (Soekartawi, 2001). Kusnandar dkk (2010) menyebutkan agroindustri sebagai subsistem dari sistem agribisnis, juga dapat dilihat sebagai sistem tersendiri, yang paling tidak terdiri atas empat subsistem yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu: 1) Subsistem lantai produksi, merupakan unit kegiatan utama yang didalamnya meliputi kegiatan-kegiatan: pengadaan bahan baku, pemilihan
dan
penyeragaman
bahan
baku,
pembersihan,
pemotongan dan pengolahan, pemilihan dan penyeragaman produk olahan, dan pembungkusan dan pengepakan (termasuk pemberian label dan merk dagang) 2) Subsistem kebijakan, mencakup kebijakan mikro (yang dilakukan commit tosendiri), user oleh pelaku agroindustri dan kebijakan makro yang
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menyangkut peraturan dan perundangan yang menjadi tugas dan kewenangan pemerintah nasional dan atau pemerintah daerah yang berupa: perijinan, hak dan kewajiban perusahaan (agroindustri), pajak dan retribusi, mapun tanggungan sosial perusahaan (agroindustri) (corporate social responbility). 3) Kelembagaan, yang menyangkut permodalan, pemasaran (promosi, pengangkutan,
pergudangan,
penjualan,
dll),
riset
dan
pengembangan, serta pendidikan dan pelataihan. 4) Interdependensi yang menyangkut hubungan kerjasama antar daerah atau antar negara, maupun hubungan kerja sama antar lembaga pemasaran dalam negeri dan luar negeri. Berdasarkan teori-teori yang disampaikan oleh Soekartawi (2001) dan Kusnandar dkk (2010) di atas, dapat disimpulkan bahwa keragaan sebuah agroindustri dapat diketahui melalui pengkajian terhadap bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan sarana prasarana. d.
Faktor-faktor
Internal
dan
Eksternal
yang
Mempengaruhi
Pengembangan Agroindustri Semua organisasi mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam berbagai bidang fungsional bisnis. Kekuatan dan kelemahan internal bersama peluang/ancaman eksternal merupakan landasan untuk menetapkan sasaran dan strategi. Strategi sebagian didesain untuk memperbaiki kelemahan perusahaan, mengubahnya menjadi kekuatan, dan mungkin bahkan menjadikannya kompetensi pembeda. Menurut David (2009), faktor internal yang mempengaruhi pengembangan perusahaan adalah sebagai berikut: 1) Kondisi keuangan Kondisi keuangan sering dianggap satu-satunya barometer terbaik dalam melihat posisi bersaing dan daya tarik keseluruhan perusahaan. Menentukan kekuatan dan kelemahan keuangan commit to user organisasi sangat penting agar dapat merumuskan strategi secara
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
efektif. Faktor-faktor keuangan sering mengubah strategi yang ada dan mengubah rencana implementasi. 2) Pemasaran Pemasaran dapat digambarkan sebagai proses menetapkan, mengantisipasi, menciptakan serta memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan akan produk atau jasa. Terdapat tujuh dasar fungsi pemasaran: analisis pelanggan, menjual produksi atau jasa, merencanakan produk dan jasa, menetapkan harga, distribusi, riset pemasaran dan analisis peluang. Memahami fungsi-fungsi ini membantu perencana strategi mengidentifikasi dan mengevalusi kekuatan dan kelemahan pemasaran. 3) Produksi/Operasi Fungsi produksi/operasi dari suatu usaha terdiri dari semua aktivitas yang mengubah masukan menjadi barang dan jasa. Manajemen produksi/operasi berkaitan dengan input, transformasi, dan output yang berbeda antar industri dan pasar. Operasi manufaktur mentransformasi atau mengubah masukan seperti bahan baku, tenaga kerja, modal, mesin, dan fasilitas menjadi barang dan jasa. 4) Manajemen Fungsi manajemen terdiri dari lima aktivitas dasar: perencanaan, pengorganisasian, memotivasi, penyusunan staf, dan pengawasan. 5) Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan istilah yang identik dengan istilah personalia, di dalamnya meliputi tenaga kerja atau buruh. Buruh yang dimaksud adalah mereka yang bekerja pada usaha perorangan dan diberikan imbalan kerja secara harian maupun borongan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, biasanya imbalan kerja tersebut diberikan secara harian. Selain itu juga, commit to userBPS adalah salah satu moda bagi pengertian tenaga kerja menurut
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
geraknya roda pembangunan. Jumlah dan komposisi tenaga kerja selalu mengalami perubahan seiring dengan berlangsungnya dinamika penduduk. Ketidakseimbangan antara jumlah angkatan dan lowongan kerja yang tersedia menyebabkan timbulnya masalah-masalah sosial. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pengembangan perusahaan menurut David (2009) adalah sebagai berikut: 1) Kondisi Perekonomian Faktor-faktor
ekonomi
mempunyai
dampak
langsung
terhadap potensi daya tarik berbagai strategi. Misalnya, jika suku bunga naik, dana yang dibutuhkan untuk penambahan modal menjadi sangat mahal atau tidak tersedia. Ketika harga-harga saham meningkat, keinginan untuk membeli saham sebagai sumber modal untuk pengembangan pasar naik. Juga, ketika pasar meningkat, kekayaan konsumen dan bisnis meningkat. 2) Sosial dan Budaya Perubahan sosial dan budaya berdampak besar terhadap hampir semua produk, jasa, pasar dan pelanggan. Tren ekonomi, sosial, dan budaya membentuk cara hidup, bekerja, berproduksi, dan pola konsumsi masyarakat. 3) Pemerintah Bagi industri atau perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada kontrak atau subsidi pemerintah, ramalan politik merupakan bagian terpenting dari audit eksternal. 4) Teknologi Kemajuan teknologi dapat secara drastis mempengaruhi produk dan posisi bersaing. Kemajuan teknologi dapat menciptakan pasar baru, menghasilakn perkembangan produk baru yang lebih baik, mengubah posisi biaya bersaing relatif dalam suatu industri, serta membuat produk dan jasa yang sudah ada menjadi ketinggalan zaman.commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5) Persaingan Mengumpulkan dan mengevaluasi informasi mengenai pesaing sangat penting untuk perumusan strategi. Mengidentifikasi pesaing utama tidak selalu mudah karena banyak perusahaan mempunyai berbagai divisi yang bersaing di industri yang berbeda. Berdasarkan teori David (2009) di atas maka faktor internal yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi keuangan, pemasaran, produksi/operasi dan manajemen. Sedangkan faktor eksternal yang dikaji adalah kondisi perekonomian, sosial dan budaya, pemerintah, teknologi, dan persaingan. 2. Mete Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale Linn) berasal dari Brazil dan termasuk dalam familia Anacardiaceae yang meliputi 60 genus dan 400 spesies baik dalam bentuk pohon maupun perdu. Tanaman jambu mete disebut juga acajou atau anacardier (Perancis), cashew (Inggris), kajus atau jambo nirung (Malaysia), kasoy atau kachui (Filiphina), caju atau mudiri (India) dan ya-koi atau ya-ruang (Thailand). Di Indonesia jambu mete memiliki nama yang berbeda di banyak daerah, yaitu jambu mete (Jawa), jambu mede (sunda), jambu monyet (Jawa dan Sumatera), jambu jipang atau jambu dwipa (Bali), jambu siki, jambu erang atau gaju (Sumatera) dan boa frangsi (Maluku) (Liptan, 1990). Tanaman jambu mete dapat tumbuh di dataran rendah dan di dataran tinggi, yaitu pada ketinggian 1-1.200 m dpl. Hal ini mengisyaratkan bahwa jambu mete dapat beradaptasi pada kondisi tanah dan iklim yang beragam sifatnya. Tanaman ini akan tumbuh kerdil dan merana jika ditanam ditanah lempung yang lengket dan dangkal. Ditempat tumbuh yang demikian jambu mete dan gulma akan berebut unsur hara dan air pada musim kemarau (Liptan, 1990). 3. Pengolahan Mete Hasil utama tanaman mete adalah bijinya yang lazim disebut buah commitgelondong to user mete terdiri dari kacang mete sejati. Biji mete disebut sebagai
perpustakaan.uns.ac.id
14 digilib.uns.ac.id
berbelah dua yang dibalut oleh kulit ari dan dilindungi oleh kulit keras berwarna keabu-abuan dan kusam. Dalam proses pengolahannya gelondong mete akan diolah menjadi produk berupa kacang mete (Saragih dan Haryadi, 2000). Cara pengolahan gelondong mete menjadi kacang mete meliputi pengeringan pendahulan, penyimpanan mete gelondong, melembabkan, sortasi, pengupasan kulit mete gelondong, pengeringan biji mete, pengupasan kulit ari, pelembaban, sortasi biji mete, pengepakan dan penyimpanan (Muljohardjo, 1990). Pengolahan adalah kegiatan mengolah bahan baku menjadi produk setengah jadi atau produk jadi. Pengolahan mete terdiri dari dua tahapan, yaitu pengolahan gelondong mete dan pengolahan mete menjadi kacang mete yang siap dikonsumsi. a. Pengolahan Gelondong Mete Pengolahan gelondong mete dapat dilakukan melalui tahapan berikut ini: 1) Pemisahan gelondong dengan buah semu 2) Pencucian 3) Sortasi dan pengelasan mutu 4)
Pengeringan
5) Penyimpanan b. Pengolahan Kacang Mete Urutan pengolahan kacang mete adalah: 1) Pelembaban gelondong mete 2) Penyangraian gelondong mete 3) Pengupasan kulit gelondong mete 4) Pelepasan kulit ari 5) Sortasi dan pengelasan mutu 6)
Pengemasan
(Deputi Menegristek, 2000). commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kacang mete termasuk salah satu produk kacang-kacangan (nuts) yang paling banyak diperdagangkan dan dikelompokkan sebagai komoditi "mewah" dibandingkan dengan kacang tanah atau almond. Pasar utama kacang mete adalah benua Amerika dan Eropa. Tabel 4 menunjukkan perkembangan ekspor mete Indonesia antara tahun 1990-1998. Dari Tabel tersebut terlihat bahwa ekspor mete Indonesia tertinggi selama periode 1990-1998 terjadi pada tahun 1994 dengan volume dan nilai ekspor mencapai 38.620 ton atau US$ 43,4 juta. Setelah tahun 1994, ekspor mete cenderung menurun meskipun kembali meningkat pada tahun 1998. Tabel 4. Realisasi Impor dan Ekspor Mete Indonesia Tahun Volume/Nilai 1990 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998
Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume(ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $) Volume (ton) Nilai (000 US $)
Ekspor Gelondong Kacang 3.278 8.243 19.278 24.854 18.155 23.144 38.620 43.401 28.105 21.308 27.206 680 20.800 2.951 15.359 14.307 15.386 3.766 28.603 28.706 6.291
Impor 1 2 75 147 424 293 203 157 162 414 197 168 5 13 1.684 -
Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia 1997-1999, Dan Statistik Perdagangan Luar Negeri, BPS. Berdasarkan Tabel 4 , mulai tahun 1996, ekspor mete sudah tidak dalam bentuk gelondong lagi, tetapi sudah dalam bentuk kacang mete. Perbandingan antara total ekspor Indonesia dan total impor beberapa negara utama menunjukkan luasnya peluang pasar. Oleh karena itu, peluang usaha di bidang pengolahan mete masih luas. Apalagi nilai tambah yang didapat dari ekspor mete olahan besar signifikan commit to user dibandingkan bila hanya mengekspor mete dalam bentuk gelondong.
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Untuk itu hal ini perlu terus digalakkan dengan semboyan petik-olah-jual karena akan menambah pendapatan yang diterima. 4. Analisis Usaha Penerimaan merupakan perkalian antara produk yang diperoleh dengan harga jual dan biasanya produksi berhubungan negatif dengan harga. Artinya harga akan menjadi turun saat produksinya berlebih (Soekartawi, 2001). Biaya usaha biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Biaya tetap ini umumnya didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap ini tidak tergantung pada besar-kecilnya produksi yang diperoleh, contohnya pajak. Di sisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel didefinisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Contohnya biaya untuk sarana produksi (Soekartawi, 2001). Menurut
Djuwari
(1994),
analisis
dalam
produksi
untuk
menghitung pendapatan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: a. Pendekatan pendapatan, digunakan jika produksi yang dikelola bersifat subsisten atau tidak berorientasi keuntungan. Pendapatan merupakan pengurangan penerimaan dengan total biaya luar yang secara nyata dibayarkan untuk masukan dari luar. b. Pendekatan keuntungan, digunakan jika produksi yang dikelola bersifat komersial
atau
bertujuan
untuk
memaksimalkan
keuntungan.
Keuntungan merupakan hasil dari penerimaan dikurangi dengan total biaya yang dikeluarkan untuk masukan dari luar dan masukan sendiri, yaitu sewa tanah milik petani, upah tenaga kerja keluarga dan bunga modal milik sendiri 5. Arti Penting Strategi Strategi adalah bakal tindakan yang menuntut keputusan manajemen user puncak dan sumber commit daya toperusahaan yang banyak untuk
perpustakaan.uns.ac.id
17 digilib.uns.ac.id
merealisasikannya. Di samping itu, strategi juga mempengaruhi kehidupan organisasi dalam jangka panjang, paling tidak selama lima tahun. Oleh karena itu, sifat strategi adalah berorientasi ke masa depan. Strategi mempunyai fungsi multifungsional dan multidivisional serta dalam perumusannya perlu mempertimbangkan faktor-faktor internal maupun eksternal yang dihadapi perusahaan (David, 2009). Strategi adalah rencana berskala besar dengan orientasi ke masa depan untuk berinteraksi dengan kondisi persaingan demi mencapai tujuan perusahaan. Strategi mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan dan dimana perusahaan akan bersaing, dengan siapa sebaiknya bersaing dan untuk tujuan apa perusahaan harus bersaing (Pearce dan Robinson, 2008). Strategi adalah rencana yang mengintegrasikan tujuan utama organisasi, kebijakan, keputusan dan urutan tindakan menjadi suatu kesatuan yang kohesif. Hal ini dapat diterapkan pada semua tingkatan dalam organisasi dan berkaitan dengan salah satu bidang fungsional manajemen. Jadi mungkin ada produksi, keuangan, pemasaran, personalia dan strategi perusahaan. Jika kita melihat secara khusus pada pemasaran maka mungkin ada harga, produk, promosi, distribusi, riset pemasaran, penjualan, periklanan, merchandising, dan lain-lain. Strategi lebih berkaitan dengan efektivitas daripada efisiensi dan merupakan proses menganalisis lingkungan dan merancang kesesuaian antara organisasi, sumber daya, tujuan, dan lingkungan (Hussey, 1998). 6. Proses Perumusan Strategi Perumusan strategi didasarkan pada analisis yang menyeluruh terhadap pengaruh faktor lingkungan eksternal dan internal perusahaan. Lingkungan eksternal perusahaan setiap saat berubah dengan cepat sehingga melahirkan berbagai peluang dan ancaman baik yang datang dari pesaing utama maupun dari iklim bisnis yang senantiasa berubah. Konsekuensi dari lingkungan internal perusahaan seperti perubahan to userperusahaan (Rangkuti, 2006). kekuatatan dan kelemahancommit yang dimiliki
perpustakaan.uns.ac.id
18 digilib.uns.ac.id
Menurut Hill dan Gareth (2009), proses perumusan strategi memiliki tahapan yaitu: a) Menentukan visi dan misi perusahaan b) Menganalisis lingkungan eksternal organisasi untuk mengidentifikasi peluang dan ancaman c) Menganalisis lingkungan internal organisasi untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan d) Menentukan strategi yang memanfaatkan kekuatan untuk mengurangi ancaman dan memanfaatkan peluang untuk menetralkan ancaman eksternal. Strategi tersebut harus konsisten dengan visi dan misi perusahaan e) Mengimplementasikan strategi Perumusan strategi mencakup kegiatan membuat dan mengevaluasi berbagai strategi alternatif sekaligus memilih strategi yang hendak dijalankan. Analisis strategi bertujuan untuk menentukan arah tindakan alternatif terbaik dalam rangka mencapai misi dan tujuannya. Strategi, tujuan dan misi ditambah dengan informasi audit eksternal dan internal untuk memuncukan dan mengevaluasi berbagai strategi alternatif (David, 2009). Proses strategis mengacu pada cara di mana strategi dirumuskan. Ada beberapa pendekatan. Pertama, pendekatan rasional, memanfaatkan alat seperti analisis SWOT dan model portofolio. Kedua,
pendekatan
kreatif, yaitu pendekatan yang menggunakan perencanaan beberapa skenario. Pendekatan kreatif mencerminkan penggunaan imajinasi dalam perencanaan. Pendekatan perilaku mencerminkan pengaruh kekuasaan, politik dan kepribadian. Pendekatan ini didasarkan pada penyesuaian kecil atau perubahan yang sebelumnya sukses/berhasil (Shojaei et all, 2010). a) Analisis Situasi Eksternal dan Internal Peluang dan ancaman eksternal merujuk pada peristiwa dan tren ekonomi, sosial, budaya, demografi, lingkungan, politik, hukum commit user pemerintahan, teknologi, dan to persaingan yang dapat menguntungkan
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan merugikan suatu organisasi secara berarti di masa depan. Peluang dan ancaman sebagian besar ada di luar kendali organisasi. Perusahaan harus merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang-peluang eksternal dan untuk menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal (David, 2009). Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (peluang dan ancaman) yang berada di luar organisasi dan tidak secara khusus ada dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabelvariabel tersebut membentuk keadaan luar organisasi dimana organisasi ini hidup (Hunger dan Wheelen, 2003). Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan kelemahan) yang ada di dalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel tersebut merupakan bentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan. Variabel-variabel itu meliputi struktur budaya, dan sumber daya organisasi (Hunger dan Wheelen, 2003). Kekuatan dan kelemahan internal adalah semua hal dalam kendali organisasi yang bisa dilakukan dengan sangat baik atau buruk. Kekuatan dan kelemahan tersebut ada dalam kegiatan manajemen, pemasaran, keuangan atau akutansi, produksi atau operasi, penelitian dan pengembangan serta sistem informasi manajemen di setiap perusahaan. Setiap organisasi berusaha menerapkan strategi yang menonjolkan kekuatan internal dan berusaha menghapus kelemahan internal (David, 2009). b) Analisis Strategi Teknik-teknik
perumusan
strategi
yang
penting
dapat
diintegrasikan ke dalam kerangka pembuatan keputusan tiga tahap. Tahap I dari kerangka perumusan terdiri dari Matriks EFE, Matriks EFI, dan Matriks Pofil Kompetitif (Competitive Profile Matrix-CPM) disebut Tahap Masukan (Input Stage). commit to user
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1.
Tahap I meringkas informasi masukan dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi.
2.
Tahap II disebut Tahap Pencocokan (Matching Stage), fokus pada upaya menghasilkan strategi alternatif yang dapat dijalankan (feasible) dengan memadukan faktor-faktor internal dan eksternal. Teknik-teknik tahap II terdiri dari Matriks Sthrengts, Weakness, Opportunities, Threats (SWOT) atau Kekuatan, Kelemahan, Peluang Ancaman, Matiks BCG (Boston Consulting Group), Matriks Internal Eksternal, Matriks Grand Strategy (Strategi Induk)
3.
Tahap
III
disebut
Tahap
Keputusan
(Decision
Stage),
menggunakan satu macam teknik, yaitu Quantitative Strategic Planning Matriks (QSPM). QSPM menggunakan informasi masukan dari tahap I untuk secara objektif mengevaluasi strategi alternatif dapat dijalankan yang diidentifikasikan dalam tahap II. QSPM mengungkap daya tarik relatif dari alternatif strategi dan karena itu menjadi dasar objektif untuk memilih strategi spesifik (David, 2009). 1) Matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Tujuan dari audit eksternal adalah membuat daftar terbatas mengenai
berbagai
peluang
yang
dapat
menguntungkan
perusahaan yang dapat menguntungkan perusahaaan dan berbagai ancaman yang harus dihindari. Perusahaan harus mampu merespon secara ofensif maupun defensif faktor-faktor tersebut dengan merumuskan strategi yang dapat memanfaatkan peluang atau untuk meminimalkan dampak dari potensi ancaman. Matriks External Factor Evaluation (EFE) membuat perencana strategi dapat meringkas dan mengevaluasi faktor-faktor eksternal yang bisa merupakan informasi ekonomi, sosial, budaya, demografi, commit to userhukum, teknologi dan persaingan. lingkungan, politik, pemerintah,
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Mengidentifikasi dan mengevaluasi peluang dan ancaman memungkinkan organisasi membuat misi yang jelas, merancang strategi untuk mencapai tujuan-tujuan jangka panjang, dan membuat kebijakan untuk mencapai sasaran tahunan (David, 2009). Semua organisasi mempunyai kekuatan dan kelemahan dalam berbagai
bidang fungsional
bisnis.
Kekuatan dan
kelemahan internal bersama peluang/ancaman eksternal dan pernyataan misi yang jelas merupakan landasan untuk menetapkan sasaran dan strategi. Sasaran dan strategi ditetapkan dengan maksud
memanfaatkan
kekuatan
internal
dan
mengatasi
kelemahannya (David, 2009). Strategi sebagian didesain untuk memperbaiki kelemahan perusahaan, mengubahnya menjadi kekuatan, dan mungkin bahkan menjadikannya kompetensi pembeda. Langkah ringkas dalam melaksanakan audit manajemen strategis adalah membuat matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Alat perumusan strategi ini meringkas dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan utama dalam berbagai bidang fungsional dalam suatu usaha. Matriks ini juga menjadi landasan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi hubungan diantara bidang-bidang ini (David, 2009). 2) Matriks Strength, Weakness, Opportunity, Treath (SWOT) Analisis SWOT bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi serta peluang dan ancaman dalam lingkungan eksternal. Faktor-faktor strategis tersebutdiidentifikasi dan dikembangkan sehingga dapat membangun kekuatan, menghilangkan kelemahan, memanfaatkan peluang dan atau menutup ancaman. Kekuatan dan kelemahan diidentifikasi oleh penilaian internal organisasi sedangkan peluang dan merupakan penilaian eksternal. Penilaian internal memeriksa semua aspek commit to userpersonel, fasilitas, lokasi, produk meliputi organisasi, misalnya,
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan jasa, untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi. Penilaian eksternal meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, teknologi dan lingkungan yang kompetitif dengan melihat peluang dan ancaman. Dalam matriks SWOT berbagai faktor diidentifikasi dan kemudian dipasangkan misalnya sebuah peluang dengan kekuatan, dengan maksud merangsang alternatif strategi baru (Robert, 2002). Matriks SWOT adalah alat yang dipakai untuk faktor-faktor strategis perusahaan. Matriks ini menggambarkan bagaimana pelung dan ancaman eksternal yang dihadapi diselesaikan dengan kekuatan dan kelemahan. Matrik SWOT ini dapat menghasilkan empat sel kemungkinan alternatif strategi. Strategi S-O menuntut perusahaan mampu memanfaatkan peluang melalui kekuatan internalnya. Strategi W-O menuntutkan perusahaan untuk meminimalkan kelemahan dalam memanfaatkan peluang. Strategi S-T
merupakan pengoptimalan kekuatan dalam menghindari
ancaman dan strategi W-T merupakan meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman (Rangkuti, 2006). Strategi SO atau strategi kekuatan-peluang menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk memanfaatkan peluang eksternal. Strategi WO atau strategi kelemahan-peluang bertujuan memperbaiki kelemahan dengan memanfaatkan peluang eksternal. Strategi ST atau strategi kekuatan-ancaman menggunakan kekuatan perusahaan untu menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal. Strategi WT atau strategi kelemahan-ancaman merupakan taktik defensif yang diarahkan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman eksternal (David, 2009).
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM) QSPM adalah alat yang direkomendasikan bagi para ahli strategi untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif secara objektif, berdasarkan key success factors internal-eksternal yang telah diidentifikasikan sebelumnya. Jadi secara konseptual, tujuan QSPM adalah untuk menetapkan ketertarikan relatif (relative atractiveness) dri strategi-strategi bervariasi yang telah dipilih, untuk memilih strategi mana yang dianggap paling baik untuk dimplementasikan (Umar, 2003). QSPM menentukan daya tarik relatif dari berbagi strategi yang didasarkan sampai berapa jauh faktor-faktor keberhasilan internal dan eksternal kunci dimanfaatkan atau ditingkatkan. Daya tarik relatif dari masing-masing strategi dihitung dengan menentukan dampak kumulatif dari masing-masing faktor keberhasilan kritis internal dan eksternal (David, 2009). 7. Penelitian Terdahulu Meysiana (2010) dengan judul Strategi Pengembangan Industri Kecil Tahu di Kabupaten Sragen menggunakan metode dasar penelitian metode deskriptif analitis dan menggunakan teknik survey. Data yang dianalisis adalah data tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuatan utama dalam mengembangkan industri kecil tahu yaitu bantuan permodalan dan penyuluhan tentang limbah tahu. Sedangkan kelemahan utamanya
yaaitu
kurangnya
subsidi
kedelai
dan
belum
adanya
standardisasi produk tahu. Peluang dalam mengembangkan industri kecil tahu yaitu kualitas bahan baku dan kepercayaan konsumen. Ancamannya yaitu kenaikan harga sembako dan kurangnya pasokan sekam sebagai bahan
dasar.
Alternatif
strategi
yang
dapat
diterapkan
dalam
mengembangkan industri kecil tahu di Kabupaten Sragen yaitu memanfaatkan bantuan modal, peralatan, pengawasan kualitas kedelai untuk menambah kepercayaan konsumen melalui teknologi yang ada, commit to user perbaikan kebijakan dan penyuluhan sesuai kebutuhan pengusaha tahu dan
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia melalui kegiatan pembinaan untuk memaksimalkan potensi industri kecil tahu. Prioritas strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan industri kecil tahu di Kabupaten Sragen adalah memanfaatkan bantuan modal, peralatan, pengawasan kualitas kedelai untuk menambah kepercayaan konsumen melalui teknologi yang ada. Suraningsih (2008) dengan judul Analisis Pengaruh Faktor-Faktor Sosial
Ekonomi
Terhadap
Pendapatan
Pengusaha
Industri
Kecil
Pengolahan Mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan metode dasar deskriptif analitik dan pelaksanaannya menggunakan teknik survey. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji F faktor modal usaha, volume penjualan, jangkauan pembelian bahan baku, pendidikan pengusaha, lama usaha dan jangkauan pemasaran secara bersama-sama berpengaruh terhadap pendapatan pengusaha. Berdasarkan uji t dapat diketahui bahwa faktor modal usaha, volume penjualan, jangkauan pembelian bahan baku, lama usaha dan jangkauan pemasaran secara individu berpengaruh nyata terhadap pendapatan pengusaha, sedangkan faktor
pendidikan
pengusaha
tidak
berpengaruh
nyata
terhadap
pendapatan. Faktor sosial ekonomi yang memberikan pengaruh terpenting terhadap pendapatan pengusaha adalah faktor modal. B. Kerangka Teori Pendekatan Masalah Sektor industri kecil mempunyai peran penting dalam perekonomian baik daerah maupun nasional. Salah satu industri kecil yang masih terus berkembang adalah industri pengolahan pangan.
Dan adapun salah satu
industri pengolahan pangan yang masih berkembang adalah pengolahan mete. Mete merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan di Kabupaten Wonogiri. Industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak, sehingga industri ini harus lebih dikembangkan oleh pemerintah. Melihat peranan industri kecil terhadap penyediaan kesempatan kerja commit to user kepada masyarakat yang cukup besar, telah membuktikan bahwa industri
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
kecil merupakan salah satu sektor yang harus terus dikembangkan pemerintah. Pengembangan agroindustri pengolahan mete diawali dengan mengidentifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Kondisi keragaan yang diidentifikasi disini meliputi beberapa keadaan yakni bahan baku termasuk jumlah pelaku usaha, pengelolaan produksi, pengemasan, pemasaran, dan saran prasarana. Tahap pertama dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah identifikasi faktor internal dan eksternal. Tujuan dari analisis faktor internal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal kunci yang menjadi kekuatan dan kelemahan di dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete. Analisis faktor eksternal adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor eksternal kunci yang menjadi peluang dan ancaman di dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete. Hasil dari identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal kemudian diringkas dan dievaluasi dalam matriks IFE dan matriks EFE. Matriks IFE digunakan untuk meringkas dan mengevaluasi faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan utama yang dianggap penting. Data dan informasi aspek internal perusahaan dapat digali dari beberapa fungsional perusahaan. Matriks EFE digunakan untuk mengevaluasi faktor eksternal perusahaan. Data eksternal dikumpulkan untuk menganalisa hal-hal yang menyangkut persoalan ekonomi, sosial, politik, teknologi, dan persaingan dipasar industri dimana perusahaan berada, serta data eksternal yang relevan lainnya. Hal ini penting karena faktor eksternal berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perusahaan. Untuk merumuskan alternatif strategi yang dapat diterapkan dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri digunakan Matriks SWOT. Matriks SWOT adalah alat yang digunakan untuk menyusun faktor-faktor strategis industri. Matriks SWOT menggambarkan bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal dapat dipadukan dengan kekuatan dan kelemahan dari faktor commit to user pengembangan industri. internal sehingga dihasilkan rumusan strategi
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Hasil dari matriks SWOT tersebut kemudian akan dipilih strategi yang terbaik yang dapat diterpakan dalam pengembangan industri dengan analisis yang lebih objektif dan intuisi yang baik dalam matriks QSP. Hasil matriks QSP akan memperlihatkan skor. Skor yang tertinggi menunjukkan bahwa alternatif strategi tersebut penting sebagai prioritas utama untuk diterapkan sehingga menghasilkan umpan balik (feedback) yang akan dipertimbangkan dalam keberlanjutan industri tersebut. Dari uraian tersebut di atas di dapatkan kerangka teori pendekatan masalah sebagai berikut :
commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
Skala Usaha
Bahan Baku
Pengelolaaan
Pengemasan
Pemasaran
Produksi
Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal
-
Faktor Internal: Kondisi Keuangan Pemasaran Produksi/Operasi Manajemen Sumber Daya Manusia
-
Faktor Eksternal: Kondisi Perekonomian Sosial dan Budaya Pemerintah Teknologi Persaingan Keadaan alam
External Factor Evaluation (EFE Matrix) dan Internal Factor Evaluation (IFE Matriks) Alternatif Strategi Matriks SWOT Prioritas Strategi Qualitative Strategic Planning Matriks (QSPM)
Gambar 1. Kerangka Teori Pendekatan Masalah
commit to user
Sarana Prasarana
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Pembatasan Masalah 1. Penelitian dilakukan pada stakeholder usaha agroindustri pengolahan mete yaitu pelaku usaha, pengepul, konsumen, dan pengambil kebijakan/pemerintah. 2. Harga faktor produksi dan hasil diperhitungkan sesuai dengan harga setempat yang berlaku di saat penelitian. 3. Faktor internal yang dianalisis meliputi kondisi keuangan, pemasaran, produksi/operasional, manajemen, dan sumber daya manusia. 4. Faktor eksternal yang dianalisis meliputi kondisi perekonomian, sosial dan budaya, pemerintah, teknologi, persaingan, dan keadaan alam. 5. Penelitian dilaksanakan bulan Oktober-November 2012 D. Definisi Operasional 1.
Strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah respon secara terus menerus maupun adaptif terhadap peluang dan ancaman dari faktor eksternal serta kekuatan dan kelemahan dari faktor internal yang dapat mempengaruhi pengembangan usaha pengolahan mete di masa yang akan datang. a. Skala usaha adalah analisis terhadap besarnya usaha pengolahan mete yang diwakili dengan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan usaha pengolahan mete. b. Bahan baku adalah bahan utama yang diperlukan dalam proses pengolahan mete dalam hal ini adalah gelondong mete. c. Pengelolaan produksi adalah pengelolaan proses produksi dalam pengolahan mete yang dilakukan oleh setiap pelaku usaha, yang terdiri atas
penjemuran
gelondong,
sortasi
gelondong,
pengacipan,
pengupasan kulit ari, penjemuran, serta pengemasan kacang mete. d. Pengemasan adalah proses pengemasan produk pengolahan mete untuk kemudian siap disalurkan kepada pengepul atau pelanggan e. Pemasaran adalah proses penyaluran produk pengolahan mete yang commit to user berupa kacang mete kepada pelanggan ataupun pengepul.
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Sarana prasarana adalah segala peralatan yang diperlukan dalam agroindustri pengolahan mete dari awal proses produksi sampai pemasaran. 2.
Industri pengolahan mete adalah proses produksi pengolahan mete dari bentuk bahan baku berupa gelondong mete sampai siap dipasarkan.
3.
Pengembangan industri pengolahan mete adalah proses perubahan secara positif dari segi kualitas dan kuantitas produksi pengolahan mete yang terjadi pada industri pengolahan mete.
4.
Faktor internal adalah adalah faktor-faktor yang berada di dalam lingkungan perusahaan
yang mempengaruhi kinerja agroindustri
pengolahan mete secara keseluruhan. a. Kondisi keuangan adalah meliputi pengkajian terhadap asal modal, besar modal, manajemen keuangan, dan sistem pengendalian keuangan dalam agroindustri pengolahan mete b. Pemasaran adalah analisis produk olahan mete yang meliputi kualitas, kontinuitas produk, dan evaluasi produk, analisis harga produk yang meliputi kesesuaian harga di pasaran, dan perbandingan dengan harga subtitusi c. Produksi/operasi meliputi pengkajian terhadap proses produksi, peralatan yang digunakan, kondisi tempat produksi, dan pengelolaan limbah produksi dalam agroindustri pengolahan mete d. Manajemen
meliputi
pengkajian
terhadap
perencanaan,
pengorganisasian, pengawasan, dan evaluasi. e. Sumber daya manusia meliputi pengkajian terhadap jumlah tenaga kerja, pendidikan tenaga kerja, dan keterampilan tenaga kerja dalam agroindustri pengolahan mete 5.
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada di luar lingkungan perusahaan yang mempengaruhi kinerja agroindustri pengolahan mete secara keseluruhan. a. Kondisi perekonomian meliputi pengkajian terhadap pengaruh commit to user kenaikan biaya produksi dan permintaan pasar
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sosial dan budaya meliputi pengkajian terhadap permintaan produk, gaya hidup konsumen dan kondisi lingkungan yang aman. c. Pemerintah meliputi pengkajian terhadap program pelatihan dan penyuluhan, rencana pemerintah dalam pengembangan agroindustri dan bantuan fasilitas d. Pemasok meliputi pengkajian terhadap
kontinuitas dan kualitas
pasokan bahan baku e. Teknologi meliputi pengkajian terhadap perkembangan teknologi pengolahan mete dan akses terhadap teknologi informatika f. Persaingan meliputi pengkajian terhadap posisi, kekuatan, dan strategi pesaing agroindustri. g. Keadaan alam meliputi pengkajian terhadap pengaruh keadaan alam terhadap agroindustri dan pengaruh perubahan keadaan alam terhadap agroindustri. 6.
Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) adalah matriks yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal perusahaan berkaitan dengan kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting.
7.
Matriks Eksternal Factor Evaluation (EFE) adalah matriks yang digunakan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
eksternal
perusahaan
berkaitan dengan peluang dan ancaman yang dianggap penting. 8.
Matriks SWOT adalah matriks yang akan digunakan untuk menyusun berbagai alternatif pengembangan usaha melalui strategi SO, WO, ST, dan WT.
9.
Qualitative Strategic Planning Matrix (QSPM) adalah alat yang digunakan untuk melakukan evaluasi pilihan strategi alternatif untuk menentukan
prioritas
strategi
yang
pengembangan industri pengolahan mete.
commit to user
dapat
diterapkan
dalam
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
III.
METODE PENELITIAN
A. Metode Dasar Penelitian Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis yaitu metode yang memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang dan pada masalah-masalah yang aktual. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan, kemudian dianalisis (Surakhmad,1994). Teknik penelitian dilaksanakan dengan teknik survei yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi, 1995). B. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam pemilihan lokasi penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kabupaten Wonogiri merupakan Kabupaten yang memiliki luas areal dan produksi jambu mete tertinggi dibandingkan dengan kabupaten dan kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah Tabel 5. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kabupaten/Kota Kabupaten Wonogiri Kabupaten Sragen Kabupaten Blora Kabupaten Jepara Kabupaten Rembang
Luas (ha) 20.505,00 1.088,50 1.023,07 740,57 522,00
Produksi (ton) 7.145,00 297,40 290,28 233,85 116,96
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, 2012 b. Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Wonogiri yang memiliki luas areal dan produksi jambu mete yang tinggi
commit to user 31
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 6. Luas Areal (ha) dan Produksi Jambu Mete Menurut Kecamatan di Kabupaten Wonogiri Tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Kecamatan Kecamatan Ngadirojo Kecamatan Sidoarjo Kecamatan Jatiroto Kecamatan Jatisrono Kecamatan Girimarto
Luas (ha) 3. 296,00 3.069,00 2.306,00 1.967,00 818,00
Produksi (ton) 1.712,00 975,00 818.00 782,00 345,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, 2012 c. Kecamatan Jatisrono merupakan kecamatan yang memiliki jumlah industri pengolahan mete paling tinggi di Kabupaten Wonogiri, dari 785 industri kecil dan menengah pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri, 583 diantaranya ada di Kecamatan Jatisrono (Disperindagkop dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007). C. Tahapan Penelitian Tindakan-tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini dibagi tiga tahapan yaitu tahap input yaitu mengidentifikasi faktor strategis baik internal dan eksternal dari agroindustri pengolahan mete dilanjutkan dengan merumuskan strategi alternatif dan menentukan prioritas strategi yang sesuai agroindustri pengolahan mete. Dari uraian di atas dapat disusun dalam bagan tahapan penelitian dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : Langkah pertama “tahap input” (matriks IFE dan EFE) yaitu : 1. Melakukan identifikasi lingkungan Internal dan Eksternal agroindustri pengolahan mete. 2. Melakukan penilaian bobot dan rating faktor strategis pengembangan agroindustri pengolahan mete. 3. Membuat matriks IFE dan EFE dari hasil penilaian. Langkah kedua “tahap pencocokan” (matriks SWOT) : 1. Melakukan analisis SWOT dari pengklasifikasian faktor internal dan eksternal
yaitu membandingkan antara faktor eksternal’ peluang
(Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal organisasi kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness). commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Menginterpretasikan dan mengembangkan menjadi keputusan pemilihan strategi yang memungkinkan untuk dilaksanakan. Langkah ketiga “tahap keputusan” (matriks QSPM) yaitu : 1. Membuat daftar peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan di kolom sebelah kiri QSPM dan beri penilaian (informasi diambil dari matriks IFE dan EFE pada tahap pertama) 2. Melakukan identifikasi strategi alternatif 3. Menetapkan AS (Attractive Score) yaitu nilai yang menunjukkan kemenarikan relatif untuk masing-masing strategi 4. Menentukan peran tiap faktor dalam proses pemilihan strategi 5. Menjumlahkan total nillai AS (Attractive Score) 6. Menentukan prioritas strategi dari total TAS yang tertinggi Pengumpulan Data
Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete
Identifikasi Internal (Kekuatan dan Kelemahan)
Identifikasi Eksternal (Peluang dan Ancaman)
Nilai Bobot dan Rating Kekuatan dan Kelemahan
Nilai Bobot dan Rating Peluang dan Ancaman
Matriks IFE
Analisis Internal dan Eksternal
Matriks EFE
Perumusan Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete (Matriks SWOT)
Alternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
Perumusan Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete (Matriks QSP)
Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete
commit to user Gambar 2. Tahapan Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
D. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data (data primer maupun sekunder) dalam penelitian ini adalah wawancara, content analysis (mencatat dokumen dan arsip), kuisioner, dan observasi. Menurut Bungin (2003), dalam kegiatan pengumpulan data selain memanfaatkan dokumen juga dapat menggunakan rekaman. Hal ini dilakukan agar data yang diperoleh dari hasil wawancara lebih akurat dan dapat disimpan untuk mencegah kehilangan. 1. Wawancara Teknik wawancara digunakan untuk mengumpulkan data yang berasal dari informan yang khususnya dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam (indepth interview). Tujuan utama melakukan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai para pribadi, peristiwa, aktivitas, motivasi, perasaan, tingkat atau bentuk keterlibatan, dan sebagainya, untuk merekonstruksi beragam hal itu sebagai bagian dari masa lampau, dan memproyeksikan hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan datang (Sutopo, 2002). Data primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari responden maupun pihak-pihak yang terkait dalam penelitian ini melalui wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuisioner digunakan untuk memperoleh informasi mengenai keragaan agroindustri, identifikasi lingkungan internal dan eksternal, penilaian bobot dan rating faktor strategis, analisis SWOT, perumusan strategi pengembangan, serta perumusan prioritas strategi. Sumber data primer adalah pengusaha pengolahan mete, pembeli/pelanggan/pengepul hasil produksi pengolahan mete dan instansi pemerintah yaitu Dinas Perindustrian, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten . 2. Content Analysis atau Mencatat Data Menurut Yin dalam Sutopo (2002) mencatat dokumen disebut commit to user sebagai content analysis yang dimaksudkan bahwa peneliti bukan sekedar
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip, tetapi juga tentang maknanya yang tersirat. Oleh karena itu dalam menghadapi beragam arsip dan dokumen tertulis sebagai sumber data peneliti harus bersikap kritis dan teliti. Dalam penelitian ini data dicatat secara sistematis dan dikutip secara langsung dari instansi pemerintah atau lembagalembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM, Kantor Kecamatan dan Desa serta lembaga-lembaga lain yang terkait di dalamnya. Pencatatan dilakukan dengan cara mencatat data-data yang diperoleh dari sumber yang bersangkutan, dan sumber-sumber lain yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian ini. 3. Observasi Observasi dilakukan dengan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti sehingga didapatkan gambaran yang jelas mengenai objek yang diteliti. Teknik ini digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, benda serta rekaman gambar (Sutopo, 2002). Pengamatan langsung ini dilakukan untuk mengetahui kondisi di lapang pada usaha agroindustri pengolahan mete, kemudian mencatat informasi yang diperoleh dari pengamatan yang dilakukan. E. Metode Penentuan Sampel Responden a. Penentuan Sampel /Responden Untuk Perumusan Strategi 1) Identifikasi keragaan Penentuan sampel untuk identifikasi keragaan agroindustri pengolahan mete yang meliputi identifikasi analisis usaha, bahan baku, pengelolaan produksi, pengemasan dan sarana prasarana, dipilih secara
purpossive.
Informasi
mengenai
keragaan
agroindustri
pengolahan mete diperoleh melalui wawancara dan pengamatan. Jumlah responden yang digunakan adalah 15 pelaku usaha pengolahan mete dengan kriteria sebagai berikut: commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) 12 orang pelaku usaha dengan omset maksimal 300 juta per tahun atau omset maksimal 25 juta setiap bulan, selanjutnya disebut responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro b) 3 orang pelaku usaha dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar pertahun, selanjutnya disebut responden pelaku usaha pengolahan mete skala kecil. Sampel responden pelaku usaha pengolahan mete diambil secara purpossive dari salah satu desa di Kecamatan Jatisrono, yaitu Desa Tanjungsari, yang merupakan sentra agroindustri pengolahan mete. Di desa ini terdapat 48 usaha mete (Disperindag, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007). Akan tetapi, setelah dilaksanakan survei lebih lanjut, ada 15 usaha yang melakukan pengolahan mete dari awal sampai akhir sedangkan yang lain hanya melaksanakan beberapa tahapan dari proses pengolahan mete. 2) Identifikasi faktor internal-eksternal Penentuan sampel pada tahap identifikasi internal dan eksternal responden dipilih dengan prosedur purposive yaitu dipilih dengan sengaja. Tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh seperti faktor internal dan faktor eksternal dalam perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Informasi tersebut diperoleh dengan wawancara maupun pengamatan. Responden yang digunakan dalam identifikasi faktor internal dan faktor eksternal berjumlah 16 responden. Responden yang digunakan adalah : a)
Pelaku usaha pengolahan mete berjumlah 7 orang dengan kriteria memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam usaha pengolahan mete selama kurang lebih 5 tahun serta pengusaha yang jangkauan pemasaran produknya adalah dalam dan luar Kabupaten Wonogiri. Pelaku usaha tersebut dipilih karena commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memiliki pandangan dan perhatian khusus terhadap agroindustri pengolahan mete b) Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal berjumlah 3
orang
dengan
mendampingi
kriteria
pengusaha
memiliki
pengolahan
pengalaman mete
dalam
dalam bentuk
program-program pelaksanaan maupun secara teknis. c)
Pengepul/pedagang berjumlah 3 orang dengan kriteria memiliki pengalaman sebagai pengepul hasil produksi pengolahan mete baik disalurkan di lokal Kabupaten Wonogiri maupun di luar Kabupaten Wonogiri.
d) Konsumen berjumlah
3 orang dengan kriteria memiliki
pengalaman sebagai konsumen terakhir hasil produksi pengolahan mete. 3) Penentuan Bobot Dan Rating Faktor Strategis Dari hasil pengamatan berupa faktor-faktor internal kemudian dianalisis dengan matriks IFE dan eksternal dengan matrik EFE yang dapat diidentifikasikan menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete. Responden ahli dipilih secara sengaja (purpossive) yaitu 1 orang pelaku usaha pengolahan mete, 1 orang Dinas Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal, 1 orang pengepul, dan 1 orang konsumen. 4) Penentuan Bobot dan Nilai Daya Tarik dalam Matriks QSP Penentuan bobot dan AS (Attractive Score) dilakukan dengan terlebih dahulu menyusun kuisioner yang berisi faktor-faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan ekternal (peluang dan ancaman) serta alternatif strategi yang akan dipertimbangkan untuk menjadi prioritas strategi dalam mengembangkan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Pengambilan responden dilakukan secara purposive sampling (sengaja) yaitu orang-orang yang telah cukup lama dan masih terlibat secara penuh/aktif pada kegiatan commit to user yang menjadi perhatian peneliti. Responden tersebut dapat membantu
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti dalam penelitian yang sedang dilakukan. Responden yang digunakan dalam penentuan bobot dan AS menggunakan responden yang sama saat mengidentifikasi adalah 1 orang pelaku usaha pengolahan mete, 1 orang Dinas Perindustrian, Koperasi, dan UKM, 1 orang pengepul, dan 1 orang konsumen. Berdasarkan uraian di atas, responden untuk masing-masing tahapan penelitian dapat diringkas sebagai berikut: Tabel
7.
Responden dalam Perumusan Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri
Tahapan Penelitian Identifikasi Keragaan
Unsur Pelaku Usaha Skala Mikro Pelaku Usaha Skala Kecil Identifikasi Faktor Internal- Pelaku Usaha Eksternal Disperindagkop dan Penanaman Modal Pengepul Konsumen Akhir Penentuan Bobot dan Rating Pelaku Usaha Faktor Strategis Disperindagkop dan Penanaman Modal Pengepul Konsumen Akhir Penentuan Bobot dan Nilai Pelaku Usaha Daya Tarik Disperindagkop dan Penanaman Modal Pengepul Konsumen Akhir
Jumlah 12 orang 3 orang 7 orang 3 orang 3 orang 3 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang 1 orang
F. Metode Analisis Data/Perumusan Strategi Perumusan strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap masukan (input stage), tahap pencocokan (matching stage) dan tahap pengambilan
keputusan
(decision
stage).
Tahap
masukan
adalah
menyimpulkan informasi dasar yang diperlukan untuk merumuskan strategi commit to user dengan menggunakan matriks IFE (Internal Faktor Evaluation) dan EFE
39 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(External Faktor Evaluation). Informasi dasar ini diperoleh dari data primer dan data sekunder. Tahap pencocokan merupakan tahapan yang merumuskan strategi, tahap kedua ini menggunakan matriks SWOT. Dilanjutkan tahap ketiga yaitu tahap pengambilan keputusan yang menggunakan matriks QSP. 1. Analisis Usaha a. Biaya Produksi Biaya yang diperhitungkan dalam penelitian ini adalah semua biaya yang dikeluarkan dalam industri pengolahan mete. Nilai total biaya pada industri pengolahan mete adalah penjumlahan dari nilai total biaya tetap (TFC) dan nilai biaya variabel yang digunakan dalam kegiatan pengolahan mete. TC = TFC + TVC Dimana, TC
: biaya total industri pengolahan mete (Rupiah)
TFC
: total biaya tetap industri pengolahan mete (Rupiah)
TVC
: total biaya variabel industri pengolahan mete (Rupiah)
b. Penerimaan Usaha Hasil produksi berupa mete yang keseluruhannya dijual. Penerimaan usaha pengolahan mete (TR) merupakan hasil kali antara produksi yang diperoleh (Y) dengan harga jual (Py). TR = Y . Py c. Keuntungan Usaha Keuntungan usaha pengolahan mete (π) adalah selisih antara penerimaan yang diperoleh dari usaha pengolahan mete dengan semua biaya yang dikeluarkan dalam usaha pengolahan mete. π = TR – TC 2. Identifikasi Faktor Internal dan Eksternal a. Matriks External Factor Evaluation (EFE) dan Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Matriks EFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor commit tomenjadi user peluang dan ancaman bagi eksternal, mengklasifikannya
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perusahaan, kemudian dilakukan pembobotan. Begitu pula dengan matriks IFE digunakan untuk menganalisis faktor-faktor internal dan mengklasifikannya menjadi kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan. Tabel 8. Matriks External Factor Evaluation (EFE) Faktor Strategis Eksternal Peluang 1. s/d 10. Ancaman 1. s/d 10. total
Bobot Rating Skala bobot adalah antara 0-1
Skor =Bobot x Rating
Sumber : Umar, 2001 Tabel 9. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) Faktor Strategis Internal Kekuatan 1. s/d 10. Kelemahan 1. s/d 10. total
Bobot Rating Skala bobot adalah antara 0-1
Skor =Bobot x Rating
Sumber : Umar, 2001 Langkah-langkah pengembangan matriks EFE dan IFE adalah sebagai berikut: 1) Pada kolom 1, menentukan faktor-faktor strategis eksternal yang menjadi peluang dan ancaman serta faktor-faktor strategis internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan. 2) Pada kolom 2, masing-masing faktor tersebut diberi bobot dengan skala mulai dari 1 (paling penting) sampai 0 (tidak penting). Bobot yang diberikan pada suatu faktor menunjukkan seberapa penting faktor itu menunjang keberhasilan perusahaan dalam industri yang digelutinya. Jumlahcommit semuatobobot user harus sama dengan 1, bobot
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ditentukan sebagai berikut : (a) 0,20= sangat penting (b) 0,15 = di atas rata-rata. (c) 0,10 = rata-rata. (d) 0,05 = di bawah rata-rata. 3) Pada kolom 3, diberi rating dengan tujuan untuk mengidentifikasikan seberapa efektif strategi yang telah dimiliki perusahaan dalam memberikan respon terhadap faktor-faktor strategis, dimana : (a) nilai 1 = respon kurang, (b) nilai 2 = respon rata-rata, (c) nilai 3 = respon di atas rata-rata, dan (d) nilai 4 = respon luar biasa. 4) Pada kolom 4, bobot pada kolom 2 dikalikan dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh bobot skors masing-masing. 5) Menjumlahkan skor pada kolom 4 untuk memperoleh total skor pembobotan bagi perusahaan yang bersangkutan. Nilai total ini menunjukkan bagaimana organisasi bereaksi terhadap faktor-faktor strategis eksternal dan internalnya. mengklasifikasikannnya menjadi kelemahan dan kekuatan bagi perusahaan. Total Skor pembobotan berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2,5. Jika total skor pembobotan di bawah 2,5 maka kondisi internal atau eksternal organisasi lemah. Sedangkan jika total skor pembobotan di atas 2,5 menunjukkan posisi internal atau eksternal organisasi yang kuat 3. Alternatif Strategi Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks SWOT. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis SWOT digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahan-peluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut : commit to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 10. Matriks SWOT Strenght (S) Menentukan 5-10 faktor-faktor kekuatan internal Opportunities (O) Menentukan 510 faktor-faktor peluang eksternal Threats (T) Menentukan 510 faktor-faktor ancaman eksternal
Weakness (W) Menentukan 5-10 faktor-faktor kelemahan internal Strategi S-O Strategi W-O Menciptakan strategi Menciptakan strategi yang menggunakan yang meminimalkan kekuatan kelemahan untuk untuk memanfaatkan memanfaatkan peluang peluang Strategi S-T Strategi W-T Menciptakan strategi Menciptakan strategi yang menggunakan yang meminimalkan kekuatan kelemahan dan untuk mengatasi menghindari ancaman ancaman
Sumber : Rangkuti, 2001 Delapan tahapan penentuan alternatif strategi yang dibangun melalui matriks SWOT adalah sebagai berikut : a. Menuliskan peluang faktor eksternal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete b. Menuliskan ancaman faktor eksternal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete c. Menuliskan kekuatan faktor internal kunci dalam pengembangan industri pengolahan mete d. Menuliskan kelemahan faktor internal kunci dalam industri pengolahan mete e. Mencocokkan kekuataan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi S-O dalam sel yang sudah ditentukan. f. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan peluang faktor eksternal dan mencatat Strategi W-O dalam sel yang sudah ditentukan. commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
g. Mencocokkan kekuatan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi S-T dalam sel yang sudah ditentukan. h. Mencocokkan kelemahan faktor internal dengan ancaman faktor eksternal dan mencatat Strategi W-T dalam sel yang sudah ditentukan. 4. Prioritas Strategi Menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai total daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik. Tabel 11. Matriks QSP Faktor-faktor kunci
Bobot
Alternatif Strategi Strategi 1 Strategi 2 Strategi 3 AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor-Faktor Kunci Internal Total Bobot Faktor-Faktor Kunci Eksternal Total Bobot Jumlah Total Daya Tarik Sumber : David, 2004 Tahapan-tahapan dalam pembuatan matriks QSP yang harus dilakukan adalah sebagai berikut : a. Membuat daftar peluang/ancaman dari faktor eksternal dan kekuatan/ kelemahan faktor internal. b. Memberi bobot pada setiap faktor dari 0,0 (tidak penting) sampai 1,0 (amat penting). Bobot menunjukkan kepentingan relatif dari faktor tersebut. Jumlah seluruh bobottoyang commit userdiberikan harus sama dengan 1,0.
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Memeriksa matriks SWOT dan mengenali strategi-strategi alternatif yang harus dipertimbangkan untuk diterapkan. d. Menentukan Nilai Daya Tarik (AS) yang didefinisikan sebagai angka yang menunjukkan daya tarik relatif masing-masing strategi pada suatu rangkaian alternatif tertentu. Nilai Daya Tarik ditentukan dengan memeriksa masing-masing faktor eksternal atau faktor internal, satu per satu, sambil mengajukan pertanyaan, “Apakah faktor ini mempengaruhi pilihan strategi yang dibuat?” Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah ya, maka strategi tersebut harus dibandingkan secara relatif dengan faktor kunci. Khususnya, Nilai Daya Tarik harus diberikan pada masing-masing strategi untuk menunjukkan daya tarik relatif suatu strategi terhadap yang lain, dengan mempertimbangkan faktor tertentu. Cakupan Nilai Daya Tarik adalah : 1 = tidak menarik, 2 = agak menarik, 3 = wajar menarik; dan 4 = sangat menarik. Jika jawaban atas pertanyaan tersebut adalah tidak, hal tersebut menunjukkan bahwa masing-masing faktor kunci tidak mempunyai pengaruh atas pilihan khusus yang dibuat. e. Menghitung TAS (Total Nilai Daya Tarik). Total Nilai Daya Tarik didefinisikan sebagai hasil mengalikan bobot (langkah b) dengan Nilai Daya Tarik di masing-masing baris (langkah d). Total Nilai Daya Tarik menunjukkan daya tarik relatif dari masing-masing strategi alternatif, dengan hanya mempertimbangkan dampak dari faktor keberhasilan krisis eksternal atau internal yang berdekatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Keadaan Alam 1. Letak Geografis Kecamatan Jatisrono merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Wonogiri yang mempunyai luas wilayah 5002,7360 ha. Kecamatan Jatisrono mempunyai 17 Desa/Kelurahan. Kecamatan Jatisrono merupakan wilayah kecamatan yang terletak antara kaki Gunung Lawu dan Pegunungan Sewu. Kecamatan Jatisrono yang terletak di bagian timur Kabupaten Wonogiri mempunyai batas wilayah sebagai berikut: Sebelah Utara
: Kecamatan Jatipurno
Sebelah Selatan
: Kecamatan Jatiroto
Sebelah Timur
: Kecamatan Slogohimo
Sebelah Barat
: Kecamatan Sidoarjo
2. Pemanfaatan Wilayah Pemanfaatan wilayah di suatu daerah bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan dan kesesuaian dari kemampuan wilayah tersebut. Pemanfaatan wilayah Kecamatan Jatisrono dibagi menjadi lima, yaitu tanah tanah sawah, bangunan/pekarangan, tegal, perkebunan negara dan lain-lain. Pemanfaatan wilayah di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Penggunaan Lahan Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 No 1. 2. 3. 4.
Penggunaan Lahan Tanah Sawah Bangunan/Pekarangan Tegal Lain-lain Jumlah
Luas (ha) 1.424,8283 628,0249 2.628,8539 321,0289 5.002,736
(%) 28,48 12,55 52,55 6,42 100,00
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Tabel 12 menunjukkan bahwa
52,55 %
wilayah Jatisrono
merupakan tanah tegal, 28,48 % berikutnya berupa lahan sawah, yang to user aliran sungai Mider di Desa sebagian besar berada commit di sepanjang 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
Sambirejo. Sebanyak 12,55 % dimanfaatkan untuk bangunan/pekarangan dan sisanya
adalah untuk lain-lain seluas 6,42 %. Dengan demikian
wilayah di Kecamatan Jatisrono sebagian besar dimanfaatkan untuk tegal yang biasanya digunakan untuk tanaman palawija atau menanam tanaman keras. B. Keadaan Penduduk 1. Keadaan Penduduk menurut Jenis Kelamin Pembangunan kependudukan merupakan langkah penting dalam mencapai keberhasilan pembangunan di suatu wilayah. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin dapat mempengaruhi besarnya tenaga yang dibutuhkan dalam pembangunan. Hal ini karena besarnya tenaga yang dihasilkan antara laki-laki dan perempuan berbeda. Keadaan penduduk menurut jenis kelamin di Kecamatan Jatisrono disajikan pada Tabel 13. Tabel 13. Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin di Kecamatan Jatisrono Tahun 2010 dan 2011 No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Sex Ratio
2010 % 34.836 50,28 34.445 49,72 69.281 100,00 1,01
2011 34.912 34.387 69.299
% 50,38 49,62 100,00
1,02
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Jatisrono mengalami peningkatan. Penduduk di Kecamatan Jatisrono tahun 2011 berjumlah 69.299 jiwa, lebih banyak jumlahnya dari pada tahun 2010 yaitu 69.281 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun di Kecamatan Jatisrono salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk secara alami, dimana jumlah penduduk yang lahir lebih besar dari penduduk yang mati. Bertambahnya jumlah penduduk juga menyebabkan bertambahnya kepadatan penduduk di Kecamatan Jatisrono. Hal ini akan menambah beban pembangunan di wilayah tersebut. Jumlah penduduk yang semakincommit bertambah to user akan berdampak negatif pada
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
ketersediaan lahan pertanian. Jumlah penduduk yang semakin banyak menyebabkan adanya konversi lahan pertanian ke non pertanian, salah satunya untuk pemukiman. Di sisi lain, semakin berkurangnya lahan pertanian produktif akan berdampak pada penyediaan pangan bagi masyarakat. Oleh karena itu, upaya penggalian potensi berbasis pertanian sangat dibutuhkan untuk meningkatkan ketersediaan pangan. Penduduk di Kecamatan Jatisrono lebih banyak laki-lakinya daripada perempuannya penduduk laki-lakinya. Meskipun demikian perbedaan jumlah keduanya tidak terpaut terlalu besar. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat digunakan untuk mengukur besarnya sex ratio yaitu perbandingan antara jumlah penduduk laki-laki dan perempuan.Untuk mengetahui besarnya sex ratio, digunakan rumus sebagai berikut:
Sex Ratio
Jumlah Penduduk laki laki x 100 Jumlah Penduduk Perempuan
Sex Ratio Kecamatan Jatisrono pada tahun 2010 sebesar 1,01 berarti pada setiap 100 perempuan terdapat 101 laki-laki. Sedangkan pada tahun 2011 yaitu 1,02 berarti setiap 100 perempuan terdapat 102 laki-laki. Hal ini menunjukkan jumlah laki-laki dan perempuan di Kecamatan Jatisrono hampir seimbang. 2. Keadaan Penduduk menurut Kelompok Umur Keadaan penduduk menurut umur merupakan penggolongan penduduk berdasarkan umur sehingga dapat diketahui jumlah penduduk yang produktif dan tidak produktif yang terdapat pada suatu wilayah tertentu. Menurut Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonogiri, golongan umur produktif adalah golongan umur antara 15-64 tahun, sedangkan golongan umur 0-14 tahun dan golongan umur sama dengan atau lebih dari 65 tahun merupakan golongan umur non produktif. Keadaan penduduk di Kecamatan Jatisrono berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 14. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
Tabel 14. Penduduk Kecamatan Jatisrono Menurut Golongan Umur Tahun 2011 (orang) Golongan Umur 0-14 15-64 65+ Jumlah ABT
Laki-laki
Perempuan
Total
%
9.798 21.133 3.097 34.838
9.539 20.956 3.783 34.461
19.337 42.089 7.690 69.299 64,21
27,90 60,73 11,37 100,00
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Keadaan penduduk berdasarkan umur dapat digunakan untuk mengetahui angka beban tanggungan (ABT). Angka beban tanggungan (ABT) yaitu penduduk usia non produktif yang ditanggung penduduk usia produktif. ABT dihitung dengan rumus:
Angka Beban Tanggungan
Jumlah Penduduk Usia Non Pr oduktif x 100 Jumlah Penduduk Usia Pr oduktif =64,21
ABT di Kecamatan Jatisrono sebesar 64,21
artinya setiap 100
penduduk usia produktif menanggung 64 orang penduduk yang tidak produktif. Hal ini berarti jumlah penduduk usia non produktif lebih kecil daripada penduduk usia produktif sehingga satu penduduk usia produktif menanggung kurang dari satu penduduk non produktif. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan agroindustri pengolahan mete cukup berperan terhadap penduduk Kecamatan Jatisrono dalam memberikan mata pencaharian, sehingga dapat mengurangi Angka Beban Tanggungan. 3. Keadaaan Penduduk menurut Mata Pencaharian Keberhasilan pembangunan suatu wilayah dapat dilihat dari tingkat penyerapan tenaga kerja bagi penduduknya. Besarnya penyerapan tenaga kerja akan dapat meningkatkan pendapatan perkapita penduduk, yang akhirnya akan berimbas bagi kesejahteraan penduduk suatu wilayah. Keadaan penduduk menurut mata pencaharian di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 15. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
Tabel 15. Jumlah Penduduk di Kecamatan Jatisrono Menurut Mata Pencaharian Tahun 2011 (orang) Mata Pencaharian Petani Buruh Tani Pengusaha Kecil Buruh Industri Buruh Bangunan Pedagang Angkutan Lain-lain Jumlah
Jumlah 10.167 6.416 2.028 4.219 8.056 3.060 657 6.082 36.681
% 27,72 17,49 5,53 11,50 21,96 8,34 1,79 16,58 100,00
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Sebagian besar penduduk Kecamatan Jatisrono pada tahun 2011 bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 10.167 jiwa atau 27,72% dari penduduk yang bekerja di Kecamatan Jatisrono dan 21,96% bekerja sebagai buruh bangunan. Selanjutnya, sebesar 17,49% penduduk yang bekerja bekerja sebagai buruh tani, 11,50% sebagai buruh tani. Sebesar 8,34% dari penduduk yang bekerja sebagai pedagang, 16,58% lain-lain. Sedangkan yang bekerja sebagai pengusaha kecil yang termasuk didalamnya sebesar 5,53% C. Keadaan Sarana Perekonomian Keadaan sarana perekonomian menentukan lancar atau tidaknya pelaksanaan kegiatan perekonomian. Adanya sarana perekonomian diharapkan roda perekonomian di Kecamatan Jatisrono berjalan dengan lancar. Sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 Sarana Perekonomian Pasar Umum Pasar Hewan Pasar Desa Toko/Kios Jumlah
Jumlah 2 1 2 1.417 1.422
Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 16 diketahui bahwa sarana perekonomian terbanyak commit to user di Kecamatan Jatisrono adalah toko/kios yang berjumlah 1.417. Masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
memilih usaha toko/kios dikarenakan tidak membutuhkan modal yang terlalu besar. Selain itu, tata usahanya dapat dikelola sendiri. Kelancaran sarana perekonomian di Kecamatan Jatisrono juga harus didukung dengan infrastruktur penunjang seperti sarana angkutan. Sarana angkutan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena sebagai sarana penghubung. Jumlah sarana angkutan di Kecamatan Jatisrono dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah Sarana Angkutan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 Sarana Angkutan Bus/Mini Bus Sedan/Station Truk Pick-Up
Jumlah 58 430 50 61
Sepeda Motor Sepeda
5.475 2.578
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 17 diketahui bahwa sarana angkutan paling banyak adalah sepeda motor sebanyak 5.475 unit. Sepeda motor merupakan sarana transportasi yang paling umum digunakan, karena akan lebih mudah dan fleksibel untuk menjangkau semua daerah. Sarana angkutan terbanyak kedua adalah sepeda sebanyak 2.578 unit. Selanjutnya adalah sedan/station yang merupakan sarana angkutan yang umumnya digunakan di Kecamatan Jatisrono sebanyak 430 unit, bus/mini bus yang digunakan untuk menghubungkan antar kecamatan sebanyak 58 unit dan pick-up yang biasanya dimanfaatkan untuk mengangkut hasil pertanian sebanyak 61 unit. D. Keadaan Sektor Pertanian Sektor pertanian memberikan sumbangan cukup besar terhadap pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Sektor pertanian yang paling besar pengaruhnya terhadap pemenuhan kebutuhan pangan adalah subsektor tanaman bahan makanan. Subsektor tanaman bahan makanan didukung oleh produksi beberapa komoditas, antara lain: tanaman padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Tanaman padi dan palawija di Kecamatan Jatisrono antara lain: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
Padi, Jagung, Ubi Kayu, Kedelai, dan Kacang Tanah. Produksi dari masingmasing jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Produksi Tanaman Padi dan Palawija di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (kw) No. 1. 2. 3. 4. 5.
Komoditas Padi Jagung Ubi Kayu Kedelai Kacang Tanah
Sumber
Jumlah 17.462,59 2.029,00 1.806,00 185,00 644,00
: Jatisrono dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 18 produksi tanaman padi adalah yang jumlahnya terbesar. Hal ini dikarenakan kondisi alam yang sesuai untuk tanaman padi khususnya untuk daerah di sepanjang aliran sungai dan sebagian besar petani memang memilih untuk menanam tanaman padi. Adanya sungai menyebabkan kebutuhan air untuk tanaman padi dapat terpenuhi. Tanaman palawija biasa ditanam oleh petani hanya pada musim tertentu saja. Subsektor pertanian yang terdapat di Kecamatan Jatisrono yang lain adalah
subsektor
perkebunan
dan
peternakan.
Komoditas
subsektor
perkebunan yang dibudidayakan di Kecamatan Jatisrono antara lain: jati, mahoni, sengon, malaba, mete, jarak, coklat, akasia, dan petai. Tanaman perkebunan di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 19. Tabel 19. Komoditi Perkebunan di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Batang) No. Jenis Tanaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jati Mahoni Sengon Malaba Mete Jarak Coklat Akasia Petai
Sumber : Jatisrono dalam Angka, 2012 commit to user
Jumlah Tanaman (batang) 580.144 289.267 139.807 1.000 31.550 6.000 1.125 600 17.100
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
Berdasarkan Tabel 19 tanaman perkebunan yang paling banyak jumlahnya di kecamatan Jatisrono adalah tanaman jati sebanyak 580.144 batang. Selanjutnya adalah tanaman mahoni sebanyak 289.267 batang, sengon sebnayak 139.807 batang, tanaman mete sebanyak 31.550 batang, tanaman petai 17.100 batang, tanaman jarak 6.000 batang, coklat sebanyak 1.125 batang, malaba 1.000 batang dan tanaman akasia 600 batang. Sedangkan komoditas subsektor peternakan di Kecamatan Jatisrono antara lain: sapi, kerbau, babi, kambing/domba, ayam ras, ayam buras, puyuh, dan entog. Populasi ternak di Kecamatan Jatisrono tersaji pada Tabel 20. Tabel 20. Populasi Ternak di Kecamatan Jatisrono Tahun 2011 (Ekor) No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Komoditas Sapi Kerbau Kambing/Domba Ayam Ras Ayam Buras Puyuh
8.
Entog
Jumlah Ternak 3.727 26 7.842 18.400 101.350 1.065 66
Sumber: Jatisrono dalam Angka, 2012 Berdasarkan Tabel 20 populasi terbesar adalah ayam buras yang jumlahnya pada tahun 2011 adalah 101.350 ekor. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduk wilayah Kecamatan Jatisrono memelihara ayam buras sebagai ternak pelihaaraan, baik untuk dimanfaatkan daging ataupun telurnya. Populasi ternak terendah yaitu kerbau, yakni sebanyak 26 ekor. Hal ini dikarenakan penduduk di Kecamatan Jatisrono mayoritas lebih memilih memelihara sapi dikarenakan bisa memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan jenis ternak yang lain. E. Keadaan Industri Menurut data terakhir dari Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kabupaten Wonogiri (2007), kelompok industri kecil potensial yang ada di Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut tersaji pada Tabel 21. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
Tabel 21. Jumlah Industri Kecil Potensial di Kecamatan Jatisrono Tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Jenis Industri Konveksi Anyaman Bambu Tape Ubi Bengkel Mebel Emping Mlinjo Makanan Olahan Tempe Jamu Tradisional Cendol Dawet Kacang Mete Kerupuk Tahu Ice Cream Criping Singkong Jamu Gendong Kasur Kapuk Keripik Singkong
Jumlah Unit Usaha 17 138 7 9 115 115 52 209 25 6 583 19 28 9 8 18 7 9
Jumlah Tenaga Kerja 34 276 14 18 244 326 153 497 46 12 2.258 76 84 18 16 36 14 18
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri, 2007 Berdasarkan Tabel 21 jumlah industri kecil yang paling banyak di Kecamatan Jatisrono adalah kacang mete yaitu sebanyak 583 unit dan menyerap sebanyak 2.258 tenaga kerja. Hal ini dikarenakan Kecamatan Jatisrono merupakan sentra pengolahan kacang mete di Kabupaten Wonogiri. Sedangkan jumlah industri kecil yang paling rendah adalah usaha cendol dawet sebanyak 6 unit usaha.
commit to user
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
V.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Responden 1. Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete a. Identitas Responden Identitas responden yang dibahas dalam penelitian ini meliputi usia, pendidikan, jumlah anggota keluarga, jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha, dan lama mengusahakan; yang disajikan pada Tabel di bawah ini. Tabel 22. Identitas Responden Pelaku Usaha Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No. 1. 2. 3. 4. 5.
Uraian Usia Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Jumlah Anggota Keluarga yang Aktif dalam Usaha Lama Mengusahakan
Rata-rata 51 tahun 7 tahun 3 orang 1 orang 13 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 22 menunjukkan identitas pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Rata-rata usia dari pelaku usaha adalah 51 tahun, dimana pada usia ini kekuatan fisik seseorang sudah berkurang sehingga pelaku usaha lebih memilih pekerjaan dalam agroindustri pengolahan mete dibandingkan pekerjaan lain yang membutuhkan kekuatan fisik. Rata-rata pendidikan dari pelaku usaha adalah 7 tahun atau setingkat tidak tamat SMP. Pada agroindustri pengolahan mete, tingkat pendidikan tidak mempengaruhi keterampilan dalam melakukan pekerjaan, yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah ketelitian dan kehati-hatian yang dapat diperoleh melalui pengalaman usaha. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang aktif dalam usaha ini adalah 1 orang, yang biasanya adalah anggota keluarga yang menjadi pengelola agroindustri dan mengerjakan pekerjaan sortir. Rata-rata lama mengusahakan agroindustri mete ini adalah selama 13 commitpengolahan to user 54
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tahun. Dari lama usaha ini dapat disimpulkan bahwa pelaku usaha sudah berpengalaman dalam menjalankan usaha pengolahan mete. b. Karakteristik Usaha Karakteristik usaha berkaitan dengan bagaimana posisi pekerjaan sebagai pelaku usaha pengolahan mete, apakah sebagai pekerjaan utama ataukah pekerjaan sampingan, yang dapat dilihat pada Tabel 23 di bawah ini. Tabel 23. Karakteristik Usaha Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No. Uraian 1. Pekerjaan Utama 2. Pekerjaan Sampingan Total
Jumlah (orang) 12 3 15
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 23 dapat dilihat bahwa karakteristik usaha responden pelaku usaha pengolahan mete adalah sebanyak 12 orang dari responden menjadikan agroindustri pengolahan mete sebagai pekerjaan utama, artinya usaha ini dijadikan prioritas dalam curahan waktu dan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. dan 3 orang sisanya sebagai pekerjaan sampingan, bukan merupakan pekerjaan proritas, pekerjaan utama mereka adalah PNS dan pengepul kacang mete. 2. Pemerintah Responden pemeritah dalam penelitian ini diwakili oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri. Responden diambil dengan perimbangan mengetahui dan terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan program-program lain dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Identitas responden pemerintah disajikan pada Tabel di bawah ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
56 digilib.uns.ac.id
Tabel 24. Identitas Responden Pemerintah dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No. 1. 2. 3. 4.
Uraian Usia Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Pengalaman
Rata-rata 48 tahun 16 tahun 3 orang 4 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 24, rata-rata usia dari responden pemerintah adalah 48 tahun, dimana usia ini masih merupakan usia produktif sehingga dapat memberikan sumbangan dan peran dalam usaha pengembangan agroindustri pengolahan mete. Rata-rata pendidikan responden adalah 16 tahun atau setingkat Diploma. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pola pikir dan wawasan dalam menjalankan fungsi masig-masing. Pengalaman mendampingi agroindustri pengolahan mete baik dalam bentuk kebijakan maupun secara teknis adalah selama 4 tahun. 3. Pedagang Pengepul Pedagang pengepul/distribuor merupakan pedagang yang membeli produk kacang mete dalam jumlah besar, kemudian dijual kembali kepada konsumen akhir. Dalam penelitian ini, pedagang pengepul yang menjadi responden yang diwawancarai adalah yang bertempat tinggal di Kecamatan Jatisrono. Identitas responden pedagang pengepul disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Identitas Responden Pedagang Pengepul dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No. 1. 2. 3. 4.
Uraian Usia Pendidikan Jumlah Anggota Keluarga Pengalaman
Rata-rata 42 tahun 10 tahun 3 orang 7 tahun
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Rata-rata usia pedagang pengepul produk kacang mete adalah 42 tahun, dengan rata-rata pendidikan tahun (tidak tamat SMA). Usia dan commit to10 user
57 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tingkat pendidikan ini akan berpengaruh pada pola pikir dan pengambilan keputusan untuk membeli produk kacang mete, dan kemudian menjualnya kembali. Pengalaman usaha yang sudah cukup lama, yakni 7 tahun, tentunya memberikan banyak pelajaran dalam perannya sebagai pedagang pengepul produk kacang mete, baik mengenai produk, harga, maupun kualitas kacang mete. Responden membeli produk biji kacang mete dalam kemasan besar 25 kg, dan untuk dijual kemudian dikemas lagi dengan ukuran 1 kg. 4. Konsumen Akhir Konsumen akhir adalah konsumen yang membeli produk biji kacang mete kepada pelaku usaha maupun pedagang pengepul untuk konsumsi, bukan untuk dijual kembali. Identitas responden konsumen akhir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 26. Identitas Responden Konsumen Akhir dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No. Uraian 1. Usia 2. Pendidikan 3. Jumlah Anggota Keluarga
Rata-rata 44 tahun 7 tahun 4 orang
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Rata-rata usia responden konsumen akhir adalah 44 tahun dengan rata-rata pendidikan 7 tahun. Hal ini akan mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pembelian kacang mete untuk konsumsi dalam hal harga, kualitas, jumlah pembelian, dan tempat pembelian. Responden membeli biji kacang mte untuk keperluan hajatan, arisan, serta acara keluarga lainnya. B. Keragaan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri 1. Skala Usaha Anonim
(2009)
menyatakan
bahwa
penggolongan
UMKM
berdasarkan UU. Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah sebagai commit to user berikut:
58 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Usaha Mikro adalah unit usaha yang memiliki nilai asset paling banyak Rp 50 juta atau dengan hasil penjualan paling besar Rp 300 juta. b) Usaha Kecil dengan nilai asset lebih dari Rp 50 juta sampai dengan paling banyak 500 juta atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari 300 juta hingga maksimum 2,5 milyar. c) Usaha Menengah adalah perusahaan dengan nilai kekayaan bersih lebih dari 500 juta hingga paling banyak Rp 10 miliar atau memiliki hasil penjualan tahunan di atas Rp 2,5 milyar.
Pelaku usaha pengolahan mete yang menjadi responden dalam penelitian ini berjumlah 15 orang untuk analisis usaha. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang penggolongan UMKM tersebut, ditemukan ada dua skala usaha dari responden pelaku usaha pengolahan mete. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi keragaan usaha pengolahan mete, dilakukan dua penggolongan sebagai berikut (1) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Mikro, yaitu responden dengan omset maksimal 300 juta pertahun, atau dengan kata lain omset maksimal 25 juta per bulan, sebanyak 12 responden; (2) Responden Usaha Pengolahan Mete Skala Kecil, yaitu responden dengan omset antara 300 juta sampai dengan 2,5 milyar pertahun sebanyak 3 responden. Penggolongan responden dilakukan untuk lebih menggambarkan atau merepresentasikan skala usaha dari masing-masing responden yang diambil. Skala usaha dalam penelitian ini dilihat melalui rata-rata jumlah tenaga kerja, biaya, penerimaan (omset), dan keuntungan setiap bulan dari pelaku usaha agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Data yang ditampilkan merupakan data rata-rata dari 15 pelaku usaha yang diwawancarai oleh peneliti. a. Tenaga Kerja Tenaga kerja memiliki peranan yang penting dalam agroindustri pengolahan mete. Keterampilan tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh lama bekerja, karena yang dibutuhkan dalam usaha ini adalah ketelitian commit to user
59 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan kehati-hatian. Jenis pekerjaan dan rata-rata jumlah tenaga kerja pada agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Ketenagakerjaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No.
Jenis Pekerjaan
Rata-rata Skala Mikro
Skala Kecil
4 orang 2 orang 1 orang
11 orang 5 orang 1 orang
1. Ceklok dan Cukil 2. Klethek 3. Sortir Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Menurut Tabel 27, ada tiga pekerjaan dalam agroindustri pengolahan mete. Pertama adalah ceklok dan cukil dengan rata-rata jumlah tenaga kerja untuk responden usaha mikro 4 orang dan usaha kecil 11 orang. Ceklok dan cukil adalah kegiatan memisahkan biji mete dengan gelondong mete dengan peralatan yang dibutuhkan adalah kacip dan pisau kecil. Kacip digunakan untuk membelah gelondong mete menjadi dua, dengan biji mete masih melekat pada salah satu bagian gelondong, kegiatan ini juga sering dinamakan dengan ceklok, karena alat yang digunakan bernama kacip ceklok. Sedangkan pisau kecil digunakan untuk mencukil biji mete yang masih melekat pada gelondong mete. Jumlah tenaga kerja pada agroindustri pengolahan mete ini juga menunjukkan skala usaha. Semakin besar skala usaha, maka tenaga kerja yang dibutuhkan juga semakin besar, karena bahan baku yang diolah jumlahnya juga semakin besar. Kegiatan yang kedua adalah klethek, yaitu proses pengupasan kulit ari yang masih menyelimuti biji mete. Alat dan bahan yang diperlukan selama kegiatan ini adalah tungku, seng dan arang. Kegiatan inilah
yang
memerlukan
ketelitian
dan
kehati-hatian
ekstra
dibandingkan dau kegiatan yang lain karena akan sangat mempengaruhi produk yang dihasilkan. Kegiatan yang terakhir adalah sortir/sortasi biji kacang mete yang dihasilkan menjadi mete kualitas super, biasa, atau commit user dilakukan oleh tenaga kerja campur. Kegiatan sortir ini to biasanya
60 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keluarga. Upah diberikan berdasarkan banyaknya hasil yang diperoleh setiap hari oleh para tenaga kerja pada setiap jenis pekerjaan masingmasing, dan besarnya upah untuk setiap jenis pekerjaan tidaklah sama tergantung tingkat kesulitan dari pekerjaan tersebut. b. Total Biaya Produksi Total biaya produksi adalah jumlah biaya produksi yang dikeluarkan oleh pelaku usaha agroindustri pengolahan mete selama proses produksi. Komponen dari biaya produksi total ini adalah biaya tetap dan biaya variabel yang besarnya dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini. Tabel 28. Rata-Rata Total Biaya Produksi Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan No. Jenis Biaya
Rata-Rata (Rp) Skala Mikro
1. 2.
Biaya Tetap - Biaya Overhead Tetap Biaya Variabel a. Bahan Baku Utama b. Bahan Penolong c. Tenaga Kerja d. Pasca Produksi
Jumlah
Skala Kecil
370.333,35
762.955,56
5.837.500,00
18.800.000,00
41.708,33 2.979.812,50 88.466,67 9.317.820,80
126.663,33 9.026.500,00 470.666,67 29.186.755,60
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 28 menunjukkan besarnya rata-rata dan jenis total biaya produksi pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Total biaya produksi terdiri atas biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya overhead tetap, sedangkan biaya variabel disusun oleh biaya bahan baku utama yang merupakan biaya tertinggi; biaya bahan penolong; biaya tenaga kerja; dan yang terakhir adalah biaya pasca produksi. Besar biaya overhead tetap adalah Rp 370.333,35 untuk usaha skala mikro dan Rp 762.955,56 untuk usaha kecil. Biaya overheaad adalah biaya yang tidak dikeluarkan secara langsung oleh commit topengolahan user para pelaku usaha agroindustri mete. Biaya overhead ini
61 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terdiri dari biaya untuk sewa tanah dan bangunaan; pajak listrik; telepon dan ponsel; PBB; pajak kendaraan; angsuran dan atau bunga; dan biaya penyusutan. Bahan baku utama yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete berupa gelondong mete yang rata-rata pelaku usaha setiap bulannya membutuhkan gelondong mete dengan biaya sebesar Rp. 5.837.500,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil dengan biaya sebesar Rp 18.800.000,00. Ada tiga bahan baku penolong yang digunakan yaitu arang, tepung terigu, dan kapur dengan biaya yang dibutuhkan sebesar Rp
41.708,33 untuk
responden usaha skala mikro dan Rp 126.663,33 untuk responden skala kecil. Rata-rata biaya tenaga kerja yang dikeluarkan responden usaha skala mikro adalah Rp 2.979.812,50
dan Rp 9.026.500,00 untuk
responden skala kecil. Biaya pasca produksi terdiri dari biaya pengiriman dan biaya pengemasan yang besarnya adalah Rp 88.466,67 untuk responden skala mikro dan Rp 470.666,67 untuk skala kecil. Rata-rata total biaya produksi selama satu bulan pada agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah sebesar Rp 9.317.820,80 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 29.186.755,60. c. Penerimaan Usaha Penerimaan merupakan hasil perkalian antara kuantitas atau jumlah produksi suatu produk dengan harga masing-masing produk. Rata-rata penerimaan usaha pada agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono selama satu bulan dapat dilihat pada Tabel 28 di bawah ini.
commit to user
62 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 29. Rata-Rata Penerimaan Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Produk
Rata-Rata (Rp)
Mete Super Mete Biasa Mete Campur Kulit Mete Jumlah
Skala Mikro
Skala Kecil
7.546.875,00 1.868.750,00 790.625,00 460.000,00 10.666.250,00
23.887.500,00 5.915.000,00 2.502.500,00 1.453.333,33 33.758.333,33
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel 29, dapat dilihat ada beberapa produk yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono yang masing-masing memberikan penerimaan kepada pelaku usaha. Produk utama yang dihasilkan oleh agroindustri ini adalah biji kacang mete yang terdiri atas tiga kualitas, yaitu mete super; mete biasa; dan mete campur. Sedangkan produk sampingan yang dihasilkan adalah kulit mete, yang sebenarnya adalah limbah produksi, tetapi tidak bisa diolah sendiri oleh para pelaku usaha dan kemudian dijual kepada pengepul. Rata-rata penerimaan usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono setiap bulannya adalah Rp 10.666.250,00 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 33.758.333,33. d. Keuntungan Usaha Keuntungan usaha diperoleh dari hasil pengurangan antara total penerimaan dan total biaya. Besarnya rata-rata keuntungan usaha pada agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. Rata-Rata Keuntungan Usaha pada Agroindustri Pengolahan Mete selama 1 Bulan No. Uraian
Rata-Rata (Rp) Skala Mikro
1. 2.
Total Penerimaan Total Biaya Keuntungan
10.666.250,00 9.317.820,80 1.348.229,20
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 commit to user
Skala Kecil
33.758.333,33 29.186.755,60 4.571.577,73
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 30 menunjukkan besarnya rata-rata keuntungan usaha dari para pelaku usaha agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri setiap bulan yang besarnya adalah adalah Rp 1.348.229,20 untuk responden usaha skala mikro dan responden usaha skala kecil Rp 4.571.577,73. Berdasarkan Tabel di atas, besarnya skala usaha akan menentukan besarnya keuntungan yang diperoleh. Semakin besar skala usaha, keuntungan yang diperoleh juga semakin besar. Untuk memperoleh gambaran mengenai analisis usaha ini, diperlukan analisis terhadap biaya, penerimaan, dan keuntungan per kilogram dari produk yang dihasilkan. Rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan per kilogram kacang mete dapat dilihat pada Tabel di bawah ini Tabel 31. Rata-Rata Total Biaya, Penerimaan, dan Keuntung per kg produk pada Agroindustri Pengolahan Mete No. Uraian 1. Biaya Bahan Baku Bahan Penolong Penyusutan Tenaga Kerja Pasca Produksi Total Biaya 2. Total Penerimaan Keuntungan
Rata-Rata (Rp) 40.992,33 284,92 269,01 12.500,00 808,37 54.854,63 73.000,00 18.145,37
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 31 menunjukkan rata-rata biaya, penerimaan, dan keuntungan per kilogram produk kacang mete yang dihasilkan pelaku usaha agroindustri pengolahan mete. Perbandingan antara gelondong dan biji kacang mete adalah 4:1, artinya empat kilogram gelondong mete menghasilkan satu kilogram kacang mete. Rata-rata biaya untuk menghasilkan 1 kilogram kacang mete adalah Rp 54.854,63 dan penerimaan untuk per kilogram produk sebesar Rp 73.000,00. Keuntungan commit to user
64 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang diterima pelaku usaha untuk 1 kilogram kacang mete yang dihasilkan adalah Rp 18.145,37 Berdasarkan uraian mengenai skala usaha, agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono ini dapat memenuhi ciri-ciri agroindustri pengolahan hasil pertanian yang dikemukan Kusnandar dkk (2010) sebagai berikut: a. Dapat meningkatkan nilai tambah Agroindustri pengolahan mete, yang memproses gelondong mete menjadi kacang mete, sudah barang tentu meningkatkan nilai tambah produk yang semula berupa gelondong mete menjadi biji kacang mete yang mempunyai harga jual yang lebih tinggi. Apabila dibandingkan saat masih berbentuk gelondong mete, biji kacang mete memiliki nilai yang lebih besar. b. Menghasilkan produk yang dapat dipasarkan atau digunakan atau dimakan Salah satu ciri dari sebuah agroindustri adalah menghasilkan produk
yang
dimanfaatkan.
Agroindustri
pengolahan
mete
menghasilkan biji kacang mete yang dapat dipasarkan dan dikonsumsi oleh konsumen. Setelah melalui proses produksi, gelondong mete yang awalnya diolah menjadi biji kacang mete yang bisa dikonsumsi. c. Meningkatkan daya saing Melalui proses pengolahan kacang mete, pengemasan dalam berbagai variasi ukuran dan pemasaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha, agroindustri ini bisa meningkatkan daya saing dari produk gelondong mete, bahkan ada yang bisa menembus pasar ekspor. d. Menambah keuntungan dan pendapatan produsen Berdasarkan hasil penghitungan terhadap biaya, penerimaan dan keuntungan usaha, ternyata agroindustri pengolahan mete ini dapat memberikan sejumlah pendapatan dan keuntungan bagi para pelaku usaha jika dibandingkan dengan hanya menjual gelondong mete saja. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
2. Bahan Baku Bahan baku utama dari agroindustri pengolahan mete adalah gelondong atau biji mete. Gelondong mete ini merupakan buah sejati dari jambu mete. Pelaku usaha biasanya memperoleh bahan baku dari pedagang pengepul gelondong mete di pasar tradisional Kecamatan Jatisrono. Untuk pelaku usaha yang berskala lebih besar, terkadang bahan baku diperoleh dari pengepul gelondong mete yang mengantar langsung ke lokasi usaha. Gelondong mete tersedia dalam jumlah besar pada saat masa panen. Musim panen jambu mete adalah sekali setiap tahun, antara bulan JuliSeptember. Untuk menjaga ketersedian bahan baku sepanjang tahun, pelaku usaha pengolahan mete biasanya melakukan pembelian gelondong mete dalam jumlah besar setiap masa panen kemudian disimpan untuk persediaan saat bukan masa panen. Kulitas gelondong mete ini akan tetap baik selama masa penyimpanan asalkan dijemur sampai kadar airnya serendah mungkin. Gelondong mete yang sudah dijemur dengan kadar air yang tepat bisa disimpan sampai dengan tiga tahun. Selain dari produksi jambu mete Kecamatan Jatisrono dan Kabupaten Wonogiri sendiri, gelondong mete juga diperoleh dari Makasar, Sumbawa, Surabaya, dan Nusa Tenggara. Oleh karena itu, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono bisa tetap terjaga sepanjang tahun, sehingga produksi kacang mete juga tetap bisa dilaksanakan saat bukan masa panen jambu mete. Yang membedakan adalah harga kacang mete saat masa panen jambu mete lebih rendah daripada saat bukan musim panen. Selain gelondong mete, usaha pengolahan mete juga menggunakan beberapa bahan baku penolong yaitu arang, tepung terigu, dan kapur. Arang digunakan sebagai bahan bakar tungku yang membantu proses pengelupasan kulit ari biji kacang mete. Bahan baku penolong kedua yang digunakan adalah tepung terigu yang berfungsi sebagai lem alami untuk user proses pengelupasan kulit ari. biji mete yang patah ataucommit terbelahto selama
perpustakaan.uns.ac.id
66 digilib.uns.ac.id
Kapur digunakan sebagai bahan mengurangi resiko getah dari gelondong mete selama proses ceklok, yaitu proses pemisahan gelondong mete dan biji mete, jika tidak menggunakan kapur ini maka kulit yang terkena getah akan melepuh. Jumlah penggunaan bahan baku penolong dipengaruhi oleh jumlah bahan baku utama yang digunakan. Semakin besar jumlah bahan baku utama, bahan baku penolong yang dibutuhkan juga semakin besar. 3. Pengelolaan Produksi Pengolahan kacang mete adalah kegiatan mengolah bahan baku yang berupa gelondong mete menjadi produk kacang mete yang siap dipasarkan. Dalam proses pengolahan mete ini sangat memerlukan sinar matahari. Proses produksi dari pengolahan mete yang dilakukan oleh pelaku usaha di Kecamatan Jatisrono adalah sebagai berikut: a. Penjemuran Gelondong Mete Pelaku usaha biasanya membeli gelondong mete yang sudah dalam keadaan kering. Pengeringan dilakukan oleh para pelaku usaha hanya jika dirasa gelondong mete yang mereka dapatkan belum cukup kering. Pengeringan mete gelondongan dapat dilakukan dengan cara dijemur di bawah panas matahari. Mete gelondongan dihamparkan di lantai jemur. Jika tidak tersedia lantai jemur, pengeringan biji mete dapat menggunakan anyaman bambu, tikar, atau tampah. Pengeringan mete gelondongan dilakukan hingga kadar airnya mencapai 3%. Pengeringan mete gelondongan selain bertujuan mempertahankan kualitas, juga bertujuan untuk memudahkan pengupasan. b. Pengupasaan Kulit Gelondong dan Pemisahan Kacang dari Gelondong Pengupasan kulit gelondong mete dapat dilakukan secara manual ataupun secara mekanis. Di Kecamatan Jatisrono pengupasan kulit gelondong mete dilakukan secara manual. Pengupasan kulit gelondong dilakukan dengan cara membelah gelondong menggunakan kacip. Kacip berfungsi untuk membelah gelondong menjadi dua, kemudian kacang mete yang masih menempel pada gelondong dipisahkan atau commit to user dikeluarkan dengan menggunakan pisau kecil. biasanya para pelaku
67 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
usaha
pengolahan
mete
menggunakan
kapur
gamping
untuk
menghindari getah yang ada pada kulit gelondong mete. c. Pengeringan Kacang Mete Kacang mete yang telah dipisahkan dari kulitnya dikeringkan lagi hingga kadar air mencapai sekitar 3% dari sebelumnya 5%. Pengeringan
kacang
mete
ini
bertujuan
untuk
memudahkan
pengelupasan kulit ari kacang mete. Di samping itu, pengeringan kacang mete bertujuan untuk mencegah serangan hama dan jamur serta meningkatkan daya simpan. Pengeringan tidak boleh terlalu berlebihan karena dapat menyebabkan kacang mete rapuh sehingga dapat meningkatkan
persentase
pecah
pada
penanganan
selanjutnya.
Pengeringan kacang mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari yang dipadukan dengan pengeringan menggunakan tungku dan arang. Pengeringan kacang mete di bawah sinar matahari dilakukan sebagai berikut: Kacang mete dihamparkan pada rigen-rigen pengering yang terbuat dari bambu maupun tampah dari aluminium atau seng. Untuk mencapai kadar air sekitar 3%, penjemuran kacang mete dapat dilakukan selama 7-8 jam/hari pada cuaca cerah. Keuntungan pengeringan kacang mete dengan sinar matahari adalah kacang mete tidak gosong sehingga menghasilkan mete berkualitas baik. Pengeringan dengan
tungku
dilakukan untuk melengkapi
pengeringan dengan sinar matahari dan mempermudah pengupasan kulit ari. Pengeringan ini dilakukan dengan mengisi tungku yang terbuat dari tanah dengan arang, kemudian tungku ditutup dengan seng, selanjutnya dibagian atasnya ditambah lagi seng yang lebih lebar. Kacang mete dihamparkan pada seng yang paling atas, setelah kacang mete panas, akan lebih mudah dikupas kulit arinya. d. Pengupasan Kulit Ari Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan commit to user Jatisrono melakukan pengupasan kulit ari dengan terlebih dahulu
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipanaskan di atas tungku. Pengupasan kulit ari kacang mete dapat dilakukan dengan menggunakan pisau. Pengupasan kulit ari dengan pisau dilakukan dengan hati-hati agar tidak melukai kacang mete yang dapat menurunkan mutu. Pada tahap ini, sebagian pelaku usaha melakukan pengeleman kacang mete yang terbelah dengan diolesi tepung terigu kemudian bagian yang terbelah ditempelkan. Kacang mete yang telah dikupas kulit arinya terkadang masih dijemur lagi jika diperlukan. Penjemuran ini juga bertujuan untuk meningkatkan daya simpan. e. Sortasi Kacang Mete Kacang mete yang sudah bersih selanjutnya disortasi dan digrading terlebih dahulu sebelum dijual ke konsumen/pasar. Sortasi dan grading bertujuan untuk menyeragamkan kacang mete menurut kualitasnya sehingga memudahkan dalam penentuan harga dan penjualan di pasar. Sortasi merupakan kegiatan memisahkan kacang mete yang baik (utuh putih, utuh agak putih) dengan kacang mete yang kurang baik (remuk, utuh agak gosong, utuh gosong). Grading adalah kegiatan mengelompokkan kacang mete yang telah disortasi ke dalam kelompok-kelompok kelas mutu. Kelas mete yang ada di Kecamatan Jatisrono adalah kelas super, kelas biasa, dan campur. Kelas super terdiri dari kacang mete yang utuh putih berukuran besar, kelas biasa terdiri dari kacang mete yang utuh tetapi tidak terlalu besar, atau utuh tetapi karena dilem dengan tepung terigu. Sedangkan kelas campur terdiri dari kacang mete lem dengan kacang mete yang belah. Ciri-ciri dari masing-masing kelas/grade biji kacang mete di Kecamatan Jatisrono disajikan pada Tabel di bawah ini.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Tabel 32. Ciri-ciri Kelas Kacang Mete No. Jenis Produk Ciri-Ciri 1. Mete Super Utuh seluruhnya, tanpa cacat, tanpa bintik hitam atau (Grade I) coklat, tua dan kering, warna putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran. 2. Mete Biasa Utuh dan utuh karena dilem (hanya sebagian kecil), (Grade II) ukuran lebih kecil dari grade I, tanpa bintik hitam atau coklat, tua dan kering, warna putih atau pucat putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran. 3. Mete Campur Belah memanjang menjadi dua dan ada yg dilem, tanpa (Grade III) bintik hitam atau coklat, tua dan kering, warna pucat atau agak putih, tidak tercampur biji busuk atau kotoran.
Harga/kg Rp 75.000,00
Rp 65.000,00
Rp 55.000,00
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 4. Pengemasan Kacang mete cepat mengalami kerusakan karena proses enzimatis atau serangan cendawan dan serangga. Untuk mencegah kerusakan yang disebabkan oleh faktor di atas, kacang mete perlu dikemas dengan baik. Tujuan pengemasan selain melindungi kacang mete dari kerusakan serangan cendawan atau serangga juga bertujuan melindungi kacang mete dari kerusakan mekanis sewaktu proses pengangkutan atau kerusakan fisiologis karena pengaruh lingkungan, misalnya suhu dan kelembaban. Pengemasan sebaiknya rapat dan tidak tembus udara karena dapat menghambat proses respirasi, proses pembusukan dan gangguan serangga fisiologis lainnya pada kacang mete. Dengan pengemasan yang baik dan benar maka kualitas mete dapat dipertahankan dalam waktu lama. Selain dapat mencegah kerusakan kualitas kacang mete, pengemasan memudahkan pengangkutan, pemasaran dan meningkatkan daya tarik. Pelaku
usaha
pengolahan mete melakukan pengemasan dengan commit to user menggunakan plastik ukuran isi 25 kg untuk produk kacang mete yang
perpustakaan.uns.ac.id
70 digilib.uns.ac.id
nantinya akan dipasarkan lagi. Juga terdapat kacang mete kemasan 1 kg untuk konsumen yang mengecer atau membeli dalam jumlah sedikit. Plastik yang digunakan adalah plastik dengan ketebalan 0,3-0,4 mm untuk menjaga kualitas produk. Tidak ada teknologi khusus dalam pengemasan kacang mete, plastik kemasan besar cukup ditali dengan rafia dan kemasan kecil dengan stapler. Jangka waktu antara proses pengemasan dengan pendistribusian ke pasar berkisar antara 1-2 hari sehingga kerusakan atau penurunan mutu bisa diminimalisir sekecil mungkin karena tidak terlalu lama disimpan di gudang penyimpanan. 5. Pemasaran Di Kecamatan Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif sederhana karena produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki distributor tetap di beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Untuk pengusaha dengan skala mikro, produk kacang mete disetorkan ke pengusaha yang berskala lebih besar atau langsung ke pedagang pengepul yang biasa disebut ke pabrik. Pelaku usaha yang disebut berskala pabrik pelaku usaha yang mempunyai tenaga kerja dalam jumlah besar, kurang lebih 40 orang, dengan produksi kacang mete yang juga besar, dan mayoritas pelaku usaha mikro menyetorkan kacang mete yang dihasilkan ke pabrik ini. Selain itu, pengusaha pengolah kacang mete juga memasarkan kacang mete secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan toko atau swalayan ke beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten, Sukoharjo dan lain sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan beberapa pihak terkait, antara lain adalah petani, pedagang pengumpul, pengusaha atau pengolah kacang mete, pedagang besar, industri makanan, eksportir, pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam rangka pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang mete di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena commit to atau user tahan lama dibandingkan dengan kacang mete mentah ini lebih awet
71 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kacang mete siap konsumsi. Umumnya para pelaku usaha hanya menjual kacang mete yang siap konsumsi sesuai pesanan untuk mengurangi resiko kerusakan. Di bawah ini adalah gambar rantai pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono. Petani Pedagang Pengumpul Pengolah Kacang Mete
Pedagang Besar (Grosir)
Industri Makanan
Eksportir
Pedagang Pengecer (Pasar dan Toko)
Konsumen
Gambar 3. Rantai Pemasaran Kacang Mete di Kecamatan Jatisrono 6. Sarana Prasarana Sarana prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a. Rumah Produksi Suatu usaha tidak akan berjalan tanpa adanya tempat produksi. Pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri rumah produksi ada yang terpisah dari rumah utama (responden usaha pengolahan mete skala kecil) dan ada pula yang masih
menjadi
satu
dengan
rumah
utama.
Rumah
produksi
dimanfaatkan sebagai tempat melaksanakan proses produksi dan menyimpan persediaan bahan baku. commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Sarana Transportasi Sarana transportasi digunakan untuk mendistribusikan produk kacang mete yang dihasilkan para pelaku usaha pengolahan mete. Sarana transportasi yang dimiliki berupa mobil untuk responden usaha pengolahan mete skala kecil karena digunakan untuk mengirim barang sampai ke luar kota, sisanya sarana transportsi yang digunakan adalah sepeda motor. c. Lembaga Keuangan Modal merupakan faktor produksi yang cukup penting bagi keberjalanan suatu usaha. Sumber modal, baik itu berasal dari pinjaman maupun dari modal sendiri menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena untuk mengetahui akses pelaku usaha terhadap lembaga keuangan. Sumber modal usaha agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Sumber Modal Responden Pelaku Usaha Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri No.
Uraian
Jumlah (orang) Skala Mikro
Skala Kecil
2 5 5 12
2 1 3
1. Sendiri 2. Pinjaman 3. Sendiri dan Pinjaman Total Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel
33
menunjukkan
sumber
modal
pada
agroindustri
pengolahan mete. Sumber modal pada responden pelaku usaha agroindustri pengolahan mete skala kecil adalah modal sendiri sebanyak 2 orang, pinjaman 5 orang, serta modal sendiri dan pinjaman sebanyak 5 orang. Sedangkan sumber modal pada responden pelaku usaha skala kecil adalah sebayak 2 orang dari modal pinjaman serta 1 orang berasal dari modal sendiri dan pinjaman. Berdasarkan Tabel dapat
disimpulkan
memanfaatkan
bahwa
sebagian
besar
adanya lembaga commit to user keuangan
responden untuk
sudah
menunjang
perpustakaan.uns.ac.id
73 digilib.uns.ac.id
keberjalanan usaha mereka. Keberadaan agroindustri pengolahan mete yang mempunyai potensi dan prospek yang cukup bagus membuat lembaga keuangan dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari beberapa bank dan bahkan pemerintah melalui PNPM memberikan kemudahan akses pinjaman modal bagi para pelaku usaha. Pelaku usaha pun mampu memanfaatkan akses ini untuk menambah permodalan. d. Kacip Ceklok Kacip adalah alat yang digunakan untuk mengupas dan memisahkan gelondong mete dengan biji kacang mete. Alat ini terdiri dari alat pembelah yang terbuat dari semacam sabit dengan ukuran besar dan tebal serta landasannya yang terbuat dari kayu. Cara menggunakan alat ini adalah dengan meletakkan gelondong mete antara sabit dan landasan, kemudian gelondong dibelah menggunakan sabitnya. Alat ini memang masih manual, untuk pengupasan gelondong harus satu persatu. e. Pisau Kecil Pisau digunakan untuk memisahkan biji kacang mete yang masih melekat pada gelondong mete setelah dikupas dengan cara dicukilkan. Pisau kecil juga digunakan untuk mengupas kulit ari biji mete. Kulit ari biasanya dikupas dengan dipanaskan terlebih dahulu diatas tungku yang telah diisi dengan arang panas dan seng yang diletakkan diatas tungku dan biji mete dihamparkan di atas seng. Biji mete yang telah panas kemudian dikupas pelan-pelan dengan pisau agar tidak merusak kualitas kacang mete f. Timbangan Timbangan digunakan untuk mengukur berat, baik itu gelondong mete maupun biji kacang mete yang sudah siap dikemas. Timbangan yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono adalah timbangan besar yang bisa untuk menimbang dalam jumlah besar serta ada pula yang menggunakan timbangan kecil untuk commit to user
74 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pelaku usaha daalam skala kecil, atau untuk menimbang biji mete untuk pembelian eceran. g. Alat Penjemur Alat ini digunakan untuk menjemur mete, baik yang masih gelondongan ataupun yang sudah dalam bentuk biji mete. Penjemuran bertujuan untuk meningkatkan daya simpan, aagar tidak terserang jamur selama penyimpanan. Alat penjemur ini ada yang terbuat dari anyaman bambu dan ada pula yang terbuat dari seng. h. Tungku Tungku digunakan untuk membantu proses pengupasaan kulit ari. Tungku yang digunakan biasanya adalah yang terbuat dari tanah. i. Seng Seng juga digunakan untuk membantu proses pengupasan kulit ari. Seng digunakan karena lebih bisa mempertahankan panas dari arang. C. Kondisi Faktor Internal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor internal merupakan lingkungan dalam agroindustri yang mampu dikendalikan oleh pelaku usaha yang mencakup kekuatan dan kelemahan yang ada di agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten
Wonogiri
dalam
melakukan
pengembangan
usahanya.
Pengumpulan data kekuatan dan kelemahan pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Hasil wawancara terhadap responden kemudian digunakan sebagai dasar mengidentifikasi dan menentukan kekuatan dan kelemahan yang ada pada agroindustri pengolahan mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor internal, didapatkan kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 34. commit to user
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 34. Identifikasi Faktor-Faktor Internal pada Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Internal Kondisi Keuangan Pemasaran
Produksi/Operasi
Kekuatan (Strength) - Ketersediaan modal - Adanya variasi produk dan harga - Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan - Ketersediaan bahan baku - Produk lebih unggul daripada wilayah lain - Produk tahan lama
Manajemen SDM
- Pengalaman usaha
Kelemahan (Weakness) - Pencatatan keuangan belum rapi - Kemasan produk masih sederhana
- Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar - Belum ada pengelolaan limbah - Manajemen masih lemah/kurang - Tenaga kerja musiman
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 34 merupakan hasil identifikasi terhadap faktor-faktor internal yang menghasilkan kekuatan dan kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri. Penjabaran dari masingmasing kekuatan dan kelemahan adalah sebagai berikut: 1. Kekuatan Agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri memiliki beberapa kekuatan yang bisa menjadi keunggulan bagi perkembangan usahanya mencakup: a. Ketersediaan modal Modal merupakan input yang sangat krusial bagi perjalanan suatu usaha. Oleh karena itu, ketersedian modal menjadi faktor yang perlu mendapat perhatian. Sebagian besar pelaku usaha pengolahan mete mendapatkan kemudahan pinjaman modal setiap tahunnya, baik dari pemerintah maupun dari lembaga keuangan lainnya. Untuk pelaku usaha berskala mikro, dengan jumlah tenaga kerja 1-3 orang, mayoritas mendapat bantuan pinjaman modal dari PNPM. Untuk pelaku usaha commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
76 digilib.uns.ac.id
berskala kecil, memperoleh bantuan pinjaman modal dari KUR (Kredit Usaha Rakyat) bank pemerintah. b. Adanya variasi produk dan harga Variasi produk dan harga yang dimaksud disini berkaitan dengan produk yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete. Ada tiga jenis kualitas produk yang dihasilkan yaitu kualitas super, biasa, dan campur, dengan harga di masing-masing kualitas yang juga berbedabeda. Hal ini akan memberikan pilihan bagi konsumen untuk membeli produk kacang mete sesuai kebutuhannya, mengingat harga produk ini cukup tinggi. c. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan Proses pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono bisa dikatakan mudah dan sederhana karena mayoritas pelaku usaha memiliki distributor ataupun pelanggan yang tetap. Setiap pelaku usaha, memiliki distributor sendiri untuk memasarkan produk kacang mete yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro, produk mereka disetorkan kepada pengusaha yang lebih besar, pabrik, atau terkadang ada konsumen akhir yang datang langsung ke lokasi usaha untuk membeli produk kacang mete. Distributor berasal dari beberapa kota di Indonesia yakni Surakarta, Semarang, Jakarta, dan Surabaya. Pemasaran produk kacang mete yang dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri meliputi dalam maupun luar wilayah Kabupaten Wonogiri. Di Kecamatan Jatisrono, pemasaran produk kacang mete relatif sederhana karena produsen kacang mete di wilayah ini sudah memiliki distributor tetap di beberapa kota seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya. Selain itu, pelaku usaha pengolahan kacang mete juga memasarkan kacang mete secara eceran ke pasar-pasar tradisional dan toko atau swalayan ke beberapa kota seperti di Yogya, Solo, Klaten, Sukoharjo dan lain sebagainya. Proses pemasaran kacang mete melibatkan beberapa pihak commit to pedagang user terkait, antara lain adalah petani, pengumpul, pengusaha atau
perpustakaan.uns.ac.id
77 digilib.uns.ac.id
pengolah kacang mete, pedagang besar, industri makanan, eksportir, pedagang pengecer (pasar dan toko) dan konsumen. Dalam rangka pemasaran tersebut, pengusaha pada industri pengolahan kacang mete di Kecamatan Jatisrono telah menjalin kerjasama dengan beberapa pedagang besar dan industri makanan. Dalam pemasaran mete, produk yang dipasarkan sebagian besar dalam bentuk kacang mete mentah karena kacang mete mentah ini lebih awet atau tahan lama dibandingkan dengan kacang mete siap konsumsi. Umumnya para pelaku usaha hanya menjual kacang mete yang siap konsumsi sesuai pesanan untuk mengurangi resiko kerusakan d. Ketersediaan bahan baku Ketersediaan bahan baku utama yaitu gelondong mete juga menjadi salah satu kekuatan dalam agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono. Pada saat musim panen, gelondong mete tersedia dalam jumlah yang besar. Para pelaku usaha memperoleh gelondong mete ini dari pedagang pengepul atau langsung dari petani. Akan tetapi, sedikit sekali dari pelaku usaha yang memperoleh gelondong mete langsung dari petani, kebanyakan dari mereka memperoleh gelondong mete dari pedagang pengepul. Selain dari dalam wilayah Kabupaten Wonogiri, bahan baku berasal dari Sumbawa, Makasar, dan Sulawesi, karena daerah-daerah tersebut juga merupakan daerah penghasil jambu mete di Indonesia. e. Produk lebih unggul dari wilayah lain Kabupaten Wonogiri merupakan wilayah yang terkenal akan produk kacang metenya, terlebih lagi Kecamatan Jatisrono yng merupakan sentra usaha agroindustri pengolahan mete. Oleh karena itu, produk kacang mete dari Kecamatan Jatisrono mendapat kesan lebih baik dalam hal kualitas oleh para konsumen. Salah satu hal yang menyebabkan keunggulan kualitas ini berasal dari faktor bahan baku. Gelondong mete yang berasal asli dari petani lokal umumnya berukuran commitdengan to usergelondong mete yang berasal dari lebih besar jika dibandingkan
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
luar wilayah seperti Makasar dan Sumbawa. Kualitas yang dimaksud disini lebih mengarah pada ukuran biji mete, karena kualitas biji kacang mete ditentukan berdasarkan ukurannya. f. Produk tahan lama Biji kacang mete bisa bertahan sampai 6 bulan asalkan dengan penanganan yang tepat. Kunci keberhasilan dalam menjaga kualitas kacang mete agar memiliki umur simpan yang lama adalah pada proses pengeringan, baik pada saat masih dalam bentuk gelondong maupun saat sudah dalam bentuk kacang mete. Proses pengeringan yang baik dan benar akan mengurangi resiko biji mete terserang jamur. g. Pengalaman usaha Pengalaman usaha berhubungan dengan lamanya pelaku usaha pengolahan mete menjalankan usahanya. Mayoritas pelaku usaha sudah menjalankan usaha pengolahan metenya lebih dari 10 tahun, bahkan sudah turun temurun sejak orang tua mereka. Pelaku usaha juga mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal untuk meningkatkan kemampuan dalam usaha pengolahan mete. Pengalaman usaha tentu saja menjadi kekuatan tersendiri, karena akan membuat produk yang dihasilkan tidak diragukan lagi kualitasnya. 2. Kelemahan Lingkungan internal yang menjadi kelemahan bagi agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a. Pencatatan keuangan belum rapi Pencatan keuangan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap kemajuan suatu
usaha. Pencatatan keuangan berhubungan
dengan kerapian pembukuan keuangan. Jika tidak ada pencatatan keuangan, pelaku usaha tidak dapat mendokumentasikan arus keuangan di dalam usaha mereka. commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Kemasan masih sederhana Kemasan dan pelabelan akan berhubungan dengan ketertarikan konsumen dengan produk. Kemasan akan mempengaruhi minat konsumen untuk membeli produk. Kemasan yang menarik akan mempengaruhi pilihan konsumen untuk membeli suatu produk. Pelabelan mempengaruhi keyakinan konsumen akan produk yang akan dibeli. Sementara itu, produk kacang mete di Kecamatan Jatisrono belum memiliki kemasan dan pelabelan yang bagus. Selama ini pelabelan untuk merek biasanya dicetak dengan sablon, menggunakan nama masing-masing nama pemiliki dari agroindustri pengolahan mete. Yang paling ditekankan adalah “mete asli Jatisrono” atau terkadang “mete asli Wonogiri” c. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar Tanaman jambu mete merupakan tanaman tahunan yang tidak bisa dipanen sepanjang tahun. Masa panen dari tanaman jambu mete adalah bulan Juli-September. Oleh karena selain pada bulan itu, pelaku usaha
akan
kesulitan
untuk
mendapatkan
gelondong
mete.
Ketidaktersediaan bahan baku ini bisa mengganggu proses produksi. Untuk mengatasi kesulitan bahan baku ini, pelaku usaha membeli gelondong mete dalam jumlah besar saat masa panen, dan kemudian disimpan sendiri, sebagai persediaan saat tidak ada bahan baku sehingga proses produksi dapat terus berjalan. Dengan kata lain, untukmenjaga kontinuitas produksi pelaku usaha perlu menyiapkan biaya atau modal dalam jumlah besar untuk pembelian bahan baku di masa panen. d. Belum ada pengelolaan limbah Limbah utama dari proses pengolahan mete adalah kulit gelondong mete. Selama ini tidak ada pengelolaan limbah yang dilakukan oleh pelaku usaha pengolahan mete. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya sumberdaya yang mampu melakukan pengolahan limbah user bermanfaat. Padahal, limbah ini kulit gelondong mete commit menjaditolebih
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bisa diolah menjadi minyak CNSL. Limbah yang dihasilkan dijual kepada pengepul kulit gelondong mete, sehingga bisa menjadi tambahan penerimaan bagi pelaku usaha pengolahan mete. e. Manajemen masih lemah/kurang Manajemen
merupakan
proses
pengaturan
perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan (POAC) suatu usaha, termasuk agroindustri pengolahan mete. Kegiatan manajemen di agroindustri pengolahan mete dapat dikatakan masih lemah karena belum ada penjadwalan yang pasti untuk setiap kegiatan pada pengolahan mete. Banyak kegiatan masih dilaksanakan sesuai kelonggaran waktu tenaga kerja. Misalnya, jika tenaga kerja yang berasal dari luar lokasi, harus membantu tetangga yang punya hajatan, maka produksi dihentikan sementara waktu sampai tenaga kerja bisa bekerja kembali, demikian pula jika mendatangi undangan hajatan dan sebagainya. Hal ini tentu saja sedikit banyak dapat mempengaruhi proses produksi. f. Tenaga kerja musiman Tenaga kerja merupakan hal penting dalam suatu usaha, karena tanpa adanya tenaga kerja produksi tidak akan berjalan. Pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, tenaga kerja diupah dengan sistem borongan, yaitu seberapa banyak pekerjaan yang dapat ia selesaikan untuk jenis pekerjaan tertentu, sehingga setiap tenaga kerja sangat mungkin menerima upah yang berbeda-beda sesuai ketrampilan yang ia miliki. Ketrampilan ini berkaitan dengan lamanya seorang tenaga bergelut dengan usaha pengolahan mete. Tenaga kerja pada agroindustri pengolahan mete seringkali tidak tersedia sepanjang waktu. Kebanyakan tenaga kerja biasanya berasal dari luar desa (bukan merupakan
sentra
pengolahan
mete),
yang
mayoritas
bermatapencaharian utama sebagai petani atau buruh tani di daerah masing-masing, yang mengisi waktu luang antara penanaman-panen commit pengolahan to user untuk bekerja di agroindustri mete. Sehingga, jika masuk
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pada masa panen dan penanaman tenaga kerja tersedia dalam jumlah sangat sedikit. Mengatasi hal ini, untuk jenis pekerjaan kletek biasanya tidak dikerjakan di lokasi usaha, tetapi dirumah para tenaga kerja, yang apabila sudah selesai bisa diserahkan kembali. Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor internal pada agroindustri pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk masing-masing kekuatan dan kelemahan pada agroindustri melalui Matriks Internal Factor Evaluation (IFE). Penentuan nilai bobot dan rating dilakukan oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang diberikan oleh masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti. Total skor dari matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 35 di bawah ini. Tabel 35. Matriks Internal Factor Evaluation (IFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Strategis Internal Kekuatan 1. Ketersediaan modal 2. Adanya variasi produk dan harga 3. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan 4. Ketersediaan bahan baku 5. Produk lebih unggul dari wilayah lain 6. Produk tahan lama 7. Pengalaman usaha Subtotal Kelemahan 1. Pencatatan keuangan belum rapi 2. Kemasan masih sederhana 3. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar 4. Belum ada pengelolaan limbah 5. Manajemen masih kurang/lemah 6. Tenaga kerja musiman Total commit to user Sumber: Analisis Data Primer, 2012
Bobot
Rating
Skor
0,1000 0,1000 0,1250
4 4 4
0,4000 0,4000 0,5000
0,0625 0,0625 0,0500 0,0750 0,5750
3 3 3 3
0,1875 0,1875 0,1500 0,2250
0,0750 0,0875 0,0500
2 1 1
0,1500 0,0875 0,0500
0,0625 0,0875 0,0625 1,0000
2 1 1
0,1250 0,0875 0,0625 2,6125
perpustakaan.uns.ac.id
82 digilib.uns.ac.id
Tabel 35 merupakan hasil pemberian bobot dan rating pada matriks IFE berdasarkan faktor-faktor internal yang ada pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor merupakan perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks IFE di atas diketahui bahwa kekuatan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah memiliki distributor/pelanggan tetap, yang ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula dengan kelemahan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu pencatatan keuangan yang belum rapi. Nilai kumulatif/total matriks IFE pada pengembangan agroindustri pengolahan mete menurut Tabel 35 adalah 2,6125. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi internal yang kuat (lebih dari 2,5), sehingga dapat dikatakan pelaku usaha sudah mampu memanfaatkan kekuatan untuk mengatasi kelemahan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. D. Kondisi Faktor Eksternal Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Lingkungan eksternal merupakan lingkungan luar yang tidak mampu dikendalikan sendiri yang mencakup peluang dan ancaman yang ada di agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dalam melakukan pengembangan usahanya. Pengumpulan data peluang dan ancaman pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono dilakukan dengan melakukan wawancara kepada responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Hasil wawancara terhadap responden kemudian digunakan sebagai dasar mengidentifikasi dan menentukan peluang dan ancaman yang ada pada agroindustri pengolahan mete ini. Berdasarkan hasil identifikasi terhadap faktor eksternal, didapatkan peluang dan ancaman bagi agroindustri pengolahan mete sebagai berikut yang ditampilkan pada Tabel 36. commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 36. Identifikasi Faktor-Faktor Eksternal pada Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Eksternal
Peluang (Opportunity)
Kondisi Perekonomian Sosial dan Budaya
Pemerintah
- Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha - Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus - Produk oleh-oleh khas - Bantuan peralatan dari pemerintah
Teknologi Persaingan
Ancaman (Threats) - Permintaan produk fluktuatif
- Program pemerintah belum kontinu - Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan - Teknologi konvensional
- Kualitas produk pesaing lebih rendah
Keadaan Alam
- Produksi tergantung kondisi cuaca
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 1. Peluang Peluang yang dimiliki agroindustri pengolahan mete Kecamatan Jatisrono dalam mengembangkan usahanya adalah sebagai berikut: a. Kondisi sosial budaya mendukung karena merupakan sentra usaha Jatisrono adalah kecamatan yang terkenal akan metenya. Kecamatan Jatisrono merupakan wilayah sentra pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri sejak ditetapkan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri pada tahun 2006. Kecamatan Jatisrono bisa dikatakan demikian karena, dari total jumlah pelaku usaha pengolahan mete yang ada di Kabupaten Wonogiri sebagian besar, kurang lebih tigaperempatnya, adalah di Kecamatan Jatisrono. Hal ini juga peneliti jumpai, di desa tertentu yang hampir setiap rumah commit tangga tobermatapencaharian sebagai pengolah user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
mete, baik itu skala mikro ataupun kecil. Lingkungan yang merupakan sentra usaha ini merupakan peluang tersendiri bagi pengembangan agroindustri pengolahan mete, karena akan menumbuhkan suasana persaingan usaha yang sehat bagi para pelaku usaha untuk menghasilkan produk biji kacang mete dengan kualitas terbaik agar bisa menjadi pilihan konsumen. b. Produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus Produk kacang mete merupakan sajian atau snack khas yang hampir selalu ada untuk acara-acara khusus di Kecamatan Jatisrono dan Kabupaten Wonogiri, misalnya hajatan ataupun arisan ataupun acara keluarga lainnya. Penggunaan kacang mete juga dianggap bisa menunjukkan prestige bagi keluarga yang mengadakan acara, karena harga kacang mete ini jauh di atas kacang-kacang yang lain (kacang bawang, kacang telur) dan belum ada produk makanan ringan sejenis yang bisa mensubstitusi kacang ini. Oleh karena itu, pada bulan-bulan tertentu, terutama pada musim hajatan dan lebaran, permintaan kacang mete meningkat. Hal ini tentu saja menjadi peluang tersendiri bagi para pelaku usaha pengolahan mete, agar juga meningkatkan penawaran pada bulan-bulan tersebut. c. Produk merupakan oleh-oleh khas Ciri lain dari produk kacang mete adalah produk ini merupakan oleh-oleh khas Kabupaten Wonogiri, terutama produk kacang mete yang berasal dari Kecamatan Jatisrono. Hal ini tentu akan sangat mempengaruhi permintaan dan pemasaran dari produk kacang mete. Banyak dari penduduk Kabupaten Wonogiri merupakan perantau, yang biasanya akan membawa oleh-oleh jika kembali ke perantauan, dan diantaranya memilih untuk membawa kacang mete sebagai oleh-oleh. Kacang mete juga sering dibeli oleh konsumen dari dalam wilayah, yang kemudian ditujukan untuk oleh-oleh sanak famili yang berkunjung ke Kabupaten Wonogiri atau ketika berkunjung ke sanak famili dan commit to user kerabat di luar Kabupaten Wonogiri.
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Bantuan peralatan dan fasilitas dari pemerintah Pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan Penanaman Modal Kabupaten Wonogiri juga memberikan perhatian terhadap pengembangan agroindustri pengolahan mete. Pemerintah melihat bahwa agroindustri pengolahan mete di Kecamatan memiliki peluang untuk terus dikembangkan dan menjadi ciri khas bagi Kabupaten Wonogiri. Oleh karena itu pemerintah menetapkan Kecamatan Jatisrono sebagai sentra usaha pengolahan mete dan memberikan bantuan peralatan berupa satu unit kacip ceklok untuk setiap pelaku usaha pengolahan mete secara bergilir dan
mengadakan
pelatihan
mengenai
pengolahan
mete
dan
tekonologinya. Pemberian bantuan peralatan ini diberikan secara bergilir bertujuan agar bantuan bisa diberikaan secara merata kepada seluruh pelaku usaha, mengingat banyaknya jumlah pelaku usaha pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, yaitu berjumlah sekitar 580 usaha. Ada pula bentuk perhatian lain yang diberikan oleh pemerintah yang juga berperan dalam kesinambungan agroindustri pengolahan mete terutama yang termasuk dalam usaha berskala mikro dalam bentuk pinjaman modal dengan bunga ringan yang berasal dari dana PNPM. Pinjaman modal ini sangat membantu operasional pelaku usaha dalam menjalankan usahanya, terutama untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar sebagai persediaan menghadapi kekurangan bahan baku saat bukan masa panen jambu mete. e. Kualitas produk pesaing lebih rendah Posisi pesaing, selain bisa menjadi ancaman bagi suatu usaha di lain pihak juga bisa menjadi peluang jika pengusaha mampu menganalisis keberadaan dan posisi pesaing dengan baik. Pesaing menjadi ancaman jika posisi tawarnya lebih kuat dari usaha yang kita miliki, demikian pula sebaliknya menjadi peluang jika posisi tawarnya commitdibandingkan to user lebih rendah/lemah apabila dengan usaha yang kita
perpustakaan.uns.ac.id
86 digilib.uns.ac.id
miliki. Begitu pula pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, hampir setiap responden selalu memperhatikan kondisi usaha pesaing baik itu mengenai kualitas produk yang dihasilkan maupun pemasarannya, bukan untuk menjatuhkan pihak pesaing, tetapi untuk senantiasa memperbaiki usaha yang dijalankannya. Mereka tidak menganggap pesaing sebagai “musuh” tetapi lebih pada saudara, dan ada diantaranya benar-benar saudara mereka sendiri. Produk kacang mete yang dihasilkan oleh pesaing umumnya memiliki kualitas yang lebih rendah dibandingkan pelaku usaha di wilayah Kecamatan Jatisrono. Perbedaan kualitas produk ini lebih berkaitan dengan pengalaman usaha dalam menggeluti usaha pengolahan mete. 2. Ancaman a. Permintaan produk fluktuatif Kacang mete bukan merupakan produk yang dikonsumsi seharihari, tetapi hanya pada hari-hari tertentu saja. Karena hal inilah, permintaan poduk kacang mete ini sangat fluktuatif. Permintaan biasanya akan tinggi pada waktu lebaran dan atau musim hajatan. Permintaan yang fluktuatif ini tentunya juga akan berpengaruh pada harga produk. Harga biasanya akan naik/tinggi pada saat musim hajatan dan lebaran mencapai Rp. 90.000,00 untuk mete super, dimana saat itu permintaan juga meningkat. Di luar itu harga kacang mete relaif normal berkisar antara Rp. 60.000,00 sampai Rp. 70.000,00 per kilogram untuk mete kualitas super. b. Program pemerintah belum kontinu Program yang dilaksanakan pemerintah dalam rangka usaha mengembangkan agroindustri pengolahan mete berupa pemberian bantuan kacip ceklok dan pengadaan pelatihan. Pelatihan terakhir dilakukan antara 3-4 tahun yang lalu dengan tidak semua pelaku usaha mengikuti program ini. Akan tetapi, program ini dinilai belum efektif oleh para pelaku usaha karena tidak ada follow up dan pendampingan commit to user lebih lanjut dalam menjalankan usaha ini. Pun tentang menjadikan
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kecamatan Jatisrono sebagai sentra usaha, terkesan hanya formalitas saja karena peneliti menjumpai tidak adanya up date data mengenai usaha pengolahan mete ini. Data jumlah pelaku usaha yang tersedia sampai saat peneliti melakukan penelitian adalah tahun 2007. Padahal tentunya seharusnya ada pendataan lagi untuk mengetahui perubahan jumlah pelaku usaha. c. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan Perkembangan
suatu
usaha
tentu
saja
dipengaruhi
oleh
pemerintah setempat, baik dinas terkait, dalam hal ini adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan UKM Kabupaten Wonogiri maupun pemerintah wilayah setempat, yakni pemerintah Kecamatan Jatisrono. Berdasarkan hasil pengamatan, kedua belah pihak terkesan berjalan sendiri-sendiri dalam pengelolaan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono, bahkan dari pemerintah Kecamatan Jatisrono terkesan kurang peduli terhadap usaha ini. Padahal, agroindustri ini merupakan salah satu lapangan pekerjaan yang menopang kehidupan masyarakat Kecamatan Jatisrono. d. Teknologi konvensional Proses produksi pengolahan mete sampai saat ini masih tergantung pada tenaga manusia, karena belum ada mesin yang tersedia untuk menggantikan tenaga manusia. Selama ini, memang sudah ada wacana dan penelitian yang dilakukan oleh beberapa universitas untuk menciptakan mesin yang membantu proses produksi pengolahan mete, tetapi belum ada realisasinya untuk para pelaku usaha di Kecamatan Jatisrono, dan kalaupun ada, peneliti menilai harganya akan sangat mahal dan belum tentu bisa terjangkau. Di samping itu, para pelaku usaha menilai, dengan teknologi konvensional ini, akan lebih menjaga kualitas dari produk yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari setiap tahap dari proses produksi yang membutuhkan kehati-hatian dan ketelitiaan dari masing-masing agar tidak menurunkan kualitas produk. to userteknologi baru akan diperlukan, Akan tetapi, tetap sajacommit keberadaan
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
untuk mempermudah dan mengurangi waktu proses produksi sertaa mengurangi biaya produksi, terutama untuk tenaga kerja. e. Proses produksi tergantung cuaca Proses produksi dalam agroindustri pengolahan mete sangat dipengaruhi oleh cuaca, terutama untuk proses penjemuran. Penjemuran sangat diperlukan untuk menjaga kualitas, baik itu gelondong mete yang disimpan untuk persediaan selama tidak ada bahan baku, maupun untuk produk kacang mete yang siap dipasarkan. Penjemuran di sini berkaitan dengan daya simpan. Penjemuran yang mencapai kadar air yang tepat akan membuat gelondong mete masih dalam kondisi bagus sampai dengan tiga tahun, dan kacang mete sampai 6 bulan, karena kadar air yang tepat akan mengurangi resiko mete terserang jamur. Berdasarkan uraian tentang keadaan faktor eksternal pada agroindustri pengolahan mete di atas, maka akan diperoleh pembobotan dan skor untuk masing-masing peluang dan ancaman pada agroindustri melalui Matriks External Factor Evaluation (EFE). Penentuan nilai bobot dan rating dilakukan oleh responden yang terdiri dari pelaku usaha, dinas pemerintahan, pedagang pengepul, dan konsumen akhir. Nilai bobot dan rating yang diberikan oleh masing-masing responden kemudian dirata-rata oleh peneliti. Total skor dari matriks ini digunakan untuk mengetahui respon pelaku usaha terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki usahanya. Matriks External Factor Evaluation (EFE) untuk agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri disajikan pada Tabel 37 di bawah ini
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 37. Matriks External Factor Evaluation (EFE) pada Agroindustri Pengolahan Mete Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Faktor Strategis Eksternal Peluang 1. Kondisi sosial mendukung karena merupakan sentra usaha 2. Produk banyak dikonsumsi untuk acaraacara khusus 3. Poduk merupakan oleh-oleh khas 4. Bantuan peralatan dari pemerintah 5. Kelemahan dari produk pesaing Subtotal Ancaman 1. Permintaan produk fluktuatif 2. Program pemerintah belum kontinu 3. Belum adanya sinergi antara pemerintah kabupaten dan kecamatan 4. Teknologi konvensional 5. Proses produksi tergantung cuaca Total
Bobot
Rating
Skor
0,0875
4
0,3500
0,1375
3
0,4125
0,1750 0,0625 0,0625 0,5125
4 3 3
0,7000 0,1875 0,1875
0,1375 0,0625 0,1000
1 2 2
0,1375 0,1250 0,2000
0,0625 0,1125 1,00
2 1
0,1250 0,1125 2,5375
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Tabel 37 di atas merupakan hasil pemberian bobot dan rating pada matriks EFE berdasarkan faktor-faktor eksternal yang ada pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri. Skor merupakan perkalian antara bobot dan rating. Berdasarkan matriks EFE di atas diketahui bahwa peluang utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah produk merupakan oleholeh khas, yang ditetapkan berdasarkan nilai skor tertinggi. Begitu pula dengan kelemahan utama pada agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, yaitu teknologi konvensional. Nilai kumulatif/total matriks EFE pada pengembangan agroindustri pengolahan mete menurut Tabel 37 adalah 2,5375. Menurut David (2009) nilai tersebut mengidentifikasikan bahwa agroindustri pengolahan mete memiliki posisi eksternal yang cukup kuat (lebih dari 2,5), hal tersebut menunjukkan bahwa pelaku usaha pengolahan mete dapat merespon secara baik peluang dan ancaman yang ada. commit to user
90 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
E. Aternatif Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Untuk merumuskan alternatif strategi pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri digunakan analisis matriks SWOT. Matriks SWOT dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman dari faktor eksternal yang dihadapi oleh suatu usaha dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Analisis SWOT digambarkan ke dalam matriks SWOT dengan 4 kemungkinan alternatif strategi, yaitu stategi kekuatan-peluang (S-O strategies), strategi kelemahanpeluang (W-O strategies), strategi kekuatan-ancaman (S-T strategies), dan strategi kelemahan-ancaman (W-T strategies). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 38 berikut :
commit to user
91 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tabel 38. Alternatif Strategi Matriks SWOT dalam Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Strengths (S) 1. Ketersediaan modal 2. Adanya variasi produk dan harga 3. Hubungan baik dengan distributor dan pelanggan 4. Ketersediaan bahan baku 5. Produk lebih unggul dari wilayah lain 6. Produk tahan lama 7. Pengalaman usaha Opportunities (O) Strategi S-O 1. Kondisi sosial budaya 1. Memperkuat hubungan mendukung karena dengan distributor dan merupakan sentra pelanggan untuk usaha meningkatkan pasar 2. Produk banyak (S2,S3,S5,O1,O2,O3,O5) dikonsumsi untuk 2. Mengoptimalkan acara-acara khusus penggunaan fasilitas dan 3. Produk merupakan bantuan pinjaman modal oleh-oleh khas untuk meningkatkan 4. Bantuan peralatan dari kuantitas dan kualitas pemerintah produk 5. Kualitas produk (S1,S4,S5,S6,S7,O1,O4,O pesaing lebih rendah 5) Threats (T) Strategi S-T 1. Permintaan produk 1. Menciptakan kesinergisan fluktuatif antara pelaku usaha, 2. Program pemerintah pemerintah kabupaten, dan belum kontinu pemerintah kecamatan (S1, 3. Belum adanya sinergi S7, T2, T4) antara pemerintah 2. Meningkatkan kualitas kabupaten dan produk yang dihasilkan kecamatan (S2,S3,S4,S5,S6, 4. Teknologi T1,T3,T5) konvensional 5. Produksi tergantung kondisi cuaca
Weakness (W) 1. Pencatatan keuangan belum rapi 2. Kemasan masih sederhana 3. Pembelian bahan baku memerlukan biaya besar 4. Belum ada pengelolaan limbah 5. Manajemen masih lemah/kurang 6. Tenaga kerja musiman Strategi W-O 1. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi (W3,W5,W6, O1,O2,O3) 2. Meningkatkan kemampuan manajemen; mengupayakan kemasan yang lebih marketable (W1,W2,W5, O1,O2,O3) Strategi W-T 1. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah (W4, T2, T3, T4) 2. Meningkatkan jaringan pemasaran (W2,W3, T1, T5)
Sumber: Analisis Data Primer, 2012 Berdasarkan Tabel matriks SWOT, alternatif strategi yang diperoleh dan dapat diterapkan pada agroindustri pengolahan mete adalah sebagai berikut: 1. Strategi S-O, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang a. Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar.
commit to user
92 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan kuantitas dan kalitas produk. 2. Strategi W-O, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang a. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi b. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable. 3. Strategi S-T, yaitu strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman a. Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan. b. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan 4. Strategi W-T, yaitu strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman a. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah b. Meningkatkan jaringan pemasaran. F. Prioritas Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri Untuk menentukan prioritas strategi dalam industri pengolahan mete di Kabupaten Wonogiri menggunakan analisis Matriks QSP. Matriks QSP digunakan untuk memilih strategi terbaik yang paling cocok dengan lingkungan eksternal dan internal. Alternatif strategi yang memiliki nilai total daya tarik terbesar merupakan strategi yang paling baik. Pemberian bobot dan nilai dalam agroindustri pengolahan mete dapat dilihat pada Tabel 39 di bawah ini.
commit to user
93 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
94 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
95 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan Tabel 39 dapat dilihat total nilai daya tarik dari masingmasing strategi yang dihasilkan sebagai berikut 1. Memperkuat
hubungan
dengan
distributor
dan
pelanggan
untuk
meningkatkan pasar (5,075) Distributor dan pelanggan merupakan mitra yang sangat penting bagi pemasaran produk kacang mete. Oleh karena itu hubungan yang sudah terjalin antara pelaku usaha, distributor dan pelanggan harus tetap dijaga dan diperkuat lagi misalnya dengan memberikan bonus ataupun potongan harga, dan yang paling utama adalah menjaga kualitas agar distributor dan pelanggan tidak berpindah ke tempat lain. 2. Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk (5,975) Bantuan fasilitas dari pemerintah, yang berupa kacip ceklok dan terutama kemudahan bantuan pinjaman modal merupakan suatu kekuatan yang penting bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses produksi. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu mengoptimalkan kesempatan ini sebaik-baiknya, mengingat prospek usaha ini cukup bagus dalam memberikan nilai tambah dan sumber penghasilan (berdasarkan hasil analisis usaha) kepada para pelaku usaha, sehingga pelaku usaha tidak perlu khawatir jika tidak bisa membayar cicilan. 3. Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi (4,475) Bahan baku merupakan hal yang paling penting dalam suatu agroindustri, sehingga demi kelancaran kegiatan produksi dapat terus berlangsung maka agroindustri pengolahan mete harus memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku. Hal ini bisa dilakukan dengan memastikan pembayaran yang tepat waktu. Kuatnya hubungan antara pelaku usaha dan pemasok dapat memastikan pemasok akan terus memasok bahan baku pada masa panen selanjutnya. Begitu pula dengan tenaga kerja, mengingat pada agroindustri pengolahan mete ini tenaga user kerja bersifat musiman,commit tidak totersedia sepanjang waktu dan ada
perpustakaan.uns.ac.id
96 digilib.uns.ac.id
kemungkinan tenaga kerja akan berpindah ke tempat lain. Hubungan denga tenaga kerja dapat diperkuat dengan memberikan bonus atau tunjangan hari raya. 4. Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable dan pelabelan produk (5,125) Kemampuan manajemen merupakan salah satu keahlian yang harus dimiliki oleh para pelaku usaha, walaupun bukan faktor utama dalam pengembangan agroindustri. Dengan kemampuan manajemen yang baik, pelaku usaha dapat mengelola usahanya secara rapi, baik secara administrasi maupun secara teknis. Salah satu cara peningkatan kemampuan manajemen adalah dengan mengupayakan kemasan yang lebih marketable dan pelabelan produk. Kemasan dan pelabelan yang baik akan lebih memperkuat keyakinan konsumen terhadap produk yang akan dibeli, apalagi kalau dilengkapi dengan surat ijin usaha ataupun sertifikasi. Dalam usaha ini, juga diperlukan perbaikan dalam hal perencanaan produksi, sehingga tidak ada kejadian kehabisan bahan baku saat musim panen masih lama atau sebaliknya, bahan baku masih sangat melimpah padahal musim panen sudah dekat. 5. Meningkatkan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan (4,3375) Sinergisitas antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan tidak dipungkiri merupakan faktor yang cukup penting dalam pengembangan suatu usaha, karena program-program yang akan dijalankan menjadi lebih tepat sasaran. Dengan hubungan yang baik, juga akan mempermudah akses fasilitas dan permodalan. Begitu pula antara pemerintah kabupaten dan kecamatan, perlu ada komunikasi yang lebih efektif dalam rangka pengelolaan dan pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri ini. 6. Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan (6,1625) Kualitas produk merupakan salah satu pertimbangan yang dipakai commit to user oleh konsumen dalam mengkonsumsi atau membeli suaatu produk. Oleh
perpustakaan.uns.ac.id
97 digilib.uns.ac.id
karena itu untuk menjaga loyalitas konsumen maupun distributor terhadap produk, kualitas menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Upaya peningkatan kualitas produk dapat dilakukan dengan menyeleksi bahan baku yang digunakan serta menetapkan standard dalam proses produksi. 7. Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru melalui bantuan penyuluhan dari pemerintah (5,9375) Salah satu tujuan dari upaya pengelolaan limbah sendiri adalah untuk meningkatkan penerimaan yang diterima oleh pelaku usaha. Tentu saja hal ini memerlukan sumber daya manusia dan teknologi yang memadai. Begitu juga dengan pengenalan teknologi baru dalam pengolahan mete, diharapkan dapat menarik minat pelaku usaha dan dapat mengurangi biaya produksi. Untuk mewujudkan hal ini, sangat diperlukan bantuan dari dinas terkait sebagai penggerak dan penentu kebijakan. Kedua hal tersebut dapat diwujudkan melalui penyuluhan-penyuluhan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. 8. Meningkatkan jaringan pemasaran (5,8875) Jaringan pemasaran dapat diperkuat dengan menjaga hubungan dan loyalitas dari pengepul dan pelanggan serta meningkatkan kualitas produk, sehingga diharapkan pengepul dan pelanggan dapat membawa jaringan pemasaran baru bagi pelaku usaha. Loyalitas dan kepuasan pedagang pengepul pelanggan akan membawa manfaat tersendiri bagi pelaku usaha. Biasanya, jika seseorang puas akan pelayanan ataupun kualitas produk yang dibelinya, dia akan menceritakannya kepada orang-orang di sekitarnya. Hal ini juga akan berlaku dalam usaha pengolahan mete ini, jika kualitas produk terus dijaga, diharapkan akan menimbulkan kepuasan bagi yang membelinya, dan selanjutnya akan membawa jaringan pemasaran baru bagi usaha. Prioritas strategi ditentukan berdasarkan jumlah nilai daya tarik yang tertinggi. Dari hasil perhitungan matriks QSP dengan mengalikan bobot masing-masing faktor dengan nilai daya tarik dihasilkan total nilai daya tarik commit to user yang terpilih adalah strategi ke 6 yaitu meningkatkan kualitas produk yang
perpustakaan.uns.ac.id
98 digilib.uns.ac.id
dihasilkan oleh agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri karena memiliki jumlah total nilai daya tarik yang tertinggi. Secara umum, berdasarkan hasil observasi dan pembahasan mengenai agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, peneliti mendapatkan gambaran umum agroindustri ini. Usaha ini merupakan usaha yang sebagian besar berskala mikro dengan keterbatasan akses terhadap berbagai hal. Kelemahan dalam hal manajemen, baik dalam hal perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan produksi, serta evaluasi terhadap yang dihasilkan dan pasca produksi, menyebabkan pelaku usaha sulit mendapatkan akses kepada lembaga keuangan sehingga modal yang dimiliki untuk usaha ini menjadi terbatas. Selama ini pinjaman modal berasal dari PNPM yang jumlahnya tidak besar, berkisar antara Rp 2.000.000,00-Rp 3.000.000,00 per tahunnya, yang tidak bisa untuk membeli bahan baku dalam jumlah besar saat masa panen jambu mete. Keadaan modal pelaku usaha berskala mikro ini akan sangat jauh berbeda apabila dibandingkan dengan usaha berskala kecil yang dapat mengakses modal ke bank hingga puluhan juta per tahunnya, sehingga bisa menampung bahan baku dalam jumlah besar, produk yang dihasilkan akhirnya juga lebih banyak. Keterbatasan modal juga akan berpengaruh terhadap teknologi yang digunakan pelaku usaha dalam proses produksi pengolahan mete. Teknologi yang digunakan akan berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan. Mayoritas pelaku usaha berskala mikro, tidak memiliki rumah produksi tersendiri untuk pengolahan mete sehingga tidak memiliki lokasi khusus untuk penjemuran kacang mete. Berbeda dengan pelaku usaha berskala kecil dan pabrik yang sudah memiliki lokasi khusus untuk pengolahan mete, bahkan pengeringannnya pun sudah menggunakan oven. Hal ini sedikit banyak akan memberi jarak terhadap kualitas produk pelaku usaha berskala mikro yang tidak dapat mencapai standar kualitas kacang mete seperti yang bisa dicapai pelaku usaha skala kecil dan pabrik. Pelaku usaha pengolahan mete skala kecil biasanya menyetorkan produk kepada pabrik karena kuantitas yang dihasilkan tidak besar sehingga akan sulit commit to user untuk memasarkan sendiri. Sementara itu, standar kualitas antara keduanya
99 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berbeda, pelaku usaha berskala mikro memiliki standar yang lebih rendah. Oleh karena itu, usaha mikro pun memiliki posisi tawar yang rendah terhadap produk yang mereka hasilkan. Harga produk ditentukan oleh pabrik yang jauh di bawah harga pasaran dan mau tidak mau mereka harus menerima itu. Prioritas strategi yang dihasilkan dalam penelitian ini yaitu meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, akan sangat sesuai untuk pelaku usaha berskala mikro. Untuk meningkatkan kualitas, pelaku usaha dapat mencari informasi mengenai pengolahan mete dan teknologinya, serta mengenai standar kualitas produk yag diinginkan konsumen, karena konsumen biasanya lebih memilih produk dari pabrik. Setelah mendapatkan informasi, pelaku usaha bisa berupaya untuk memperbaiki proses produksi kacang mete yang dilaksanakan dengan mengoptimalkan fasilitas dan teknologi yang dimiliki sehingga memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan, dan meningkatkan posisi tawarnya terhadap pabrik. Untuk pelaku usaha skala kecil yang sudah memiliki jaringan pemasaran tersendiri, strategi yang dapat diterapkan memperkuat hubungan yang telah dijalin dengan beberapa stakeholder, yakni distributor, pelanggan, pemasok bahan baku, dan tenaga kerja.
commit to user
100 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai Strategi Pengembangan Agroindustri Pengolahan Mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Keragaan
agroindustri
pengolahan mete di
Kecamatan Jatisrono
Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a. Rata-rata keuntungan responden pelaku usaha pengolahan mete skala mikro setiap bulannya adalah Rp 1.348.229,20. Sedangkan rata-rata keuntungan responden usaha pengolahan mete skala kecil adalah Rp 4.571.577,73. Dan rata-rata keuntungan yang diterima responden untuk per kilogram kacang mete yang dihasilkan adalah Rp 18.145,37. b. Bahan baku utama dalam agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah gelondong mete yang diperoleh dari pedagang pengepul. c. Proses produksi dari agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah penejemuran gelondong; pengupasan kulit gelondong dan pemisahan kacang dari gelondong; penjemuran kacang mete; pengupasan kulit ari; sortasi kacang mete. d. Pengemasan kacang mete bertujuan untuk menghindari kerusakan dan mempermudah pemasaran. Pengemasan menggunakan plastik kemasan 25 kg dan 1 kg. e. Pemasaran kacang mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri dapat dikatakan cukup mudah, karena masing-masing pelaku usaha memiliki distributor. f. Sarana-prasarana yang digunakan dalam agroindustri pengolahan mete diantaranya adalah rumah produksi, sarana transportasi, lembaga keuangan, kacip, timbangan, tungku, seng, dan pisau. commit to user 100
101 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Kondisi faktor internal yang terdiri dari kekuatan dan kelemahan dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a.
Kekuatan yang ada di agroindustri pengolahan mete adalah kemudahan pinjaman modal dari lembaga keuangan, pemasaran produk mudah, memiliki distributor/pelanggan tetap, bahan baku mudah didapat, produk lebih unggul dari wilayah lain, produk tahan lama, dan pengalaman usaha.
b.
Kelemahan yang ada agroindustri pengolahan mete adalah pencatatan keuangan belum rapi, kemasan dan pelabelan masih sederhana, bahan baku hanya tersedia saat musim panen, belum ada pengelolaan limbah, manajemen masih kurang/lemah, tenaga kerja musiman.
3. Kondisi faktor eksternal yang terdiri dari peluang dan aancaman dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a.
Peluang pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah kondisi lingkungan mendukung karena merupakan sentra usaha, produk banyak dikonsumsi untuk acara-acara khusus, produk merupakan oleh-oleh khas, bantuan peralatan dari pemerintah, dan kelemahan dari produk pesaing.
b.
Ancaman pada pengembangan agroindustri pengolahan mete adalah harga produk fluktuatif, program pemerintah tidak kontinu, teknologi konvensional, tidak ada kerjasama dalam pemerintahan, dan produksi tergantung cuaca.
4. Alternatif
strategi
pengembangan
yang
dapat
diterapkan
dalam
pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah sebagai berikut: a.
Memperkuat hubungan dengan distributor dan pelanggan untuk meningkatkan pasar
b.
Mengoptimalkan penggunaan fasilitas dan bantuan pinjaman modal commit todan user untuk meningkatkan kuantitas kualitas produk
perpustakaan.uns.ac.id
c.
102 digilib.uns.ac.id
Memperkuat hubungan dengan pemasok bahan baku dan tenaga kerja untuk menjaga keberjalanan proses produksi
d.
Meningkatkan kemampuan manajemen dan mengupayakan kemasan yang lebih marketable
e.
Menciptakan kesinergisan antara pelaku usaha, pemerintah kabupaten, dan pemerintah kecamatan.
f.
Meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan
g.
Mengadakan upaya pengelolaan limbah sendiri dan pengenalan teknologi baru dengan bantuan penyuluhan dari pemerintah
h.
Meningkatkan jaringan pemasaran
5. Prioritas strategi dalam pengembangan agroindustri pengolahan mete di Kecamatan Jatisrono Kabupaten Wonogiri adalah meningkatkan kualitas produk yang dihasilkan. Untuk pelaku usaha skala mikro dapat ditempuh dengan memperdalam pengetahuan tentang pengolahan mete, teknologi, dan standar kualitas, dan memperkuat hubungan dengan stakeholder terkait untuk pelaku usaha skala kecil. B. SARAN Saran yang dapat peneliti berikan berdasarkan hasil penelitian adalah sebagai berikut 1. Untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas mutu produk yang dihasilkan, maka pengusaha perlu lebih memperdalam pengetahuan, teknologi dan informasi mengenai pengolahan kacang mete dan secara bersamaan upaya ini juga perlu didukung oleh instansi pemerintahan terkait seperti Dinas Perdagangan dan Perindustrian dan Dinas Pertanian. 2. Untuk meningkatkan produksi yang ada diharapkan adanya transfer teknologi melalui penyuluhan-penyuluhan secara berkala dan pengenalan teknologi tepat guna sehingga proses produksi lebih efisien. 3. Untuk memperbaiki dan mendapat harga yang baik di tingkat pengolah, pelaku usaha perlu mencari informasi harga secara reguler baik dari dinas terkait, pelaku usaha lainnya maupun pedagang atau pengepul di kota commit to user besar yang menjadi tujuan pemasarannya selama ini.
103 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
4. Mengupayakan kemasan yang lebih marketable. Kemasan yang menarik diharapkan akan lebih menarik minat konsumen untuk membeli produk kacang mete yang dihasilkan oleh para pelaku usaha. Di samping itu, dengan adanya pelabelan menunjukkan produk sudah mendapat ijin dan sertifikasi sehingga konsumen akan lebih yakin untuk membeli produk.
commit to user