PENDEKATAN PENGEMBANGAN WILAYAH PENDAHULUAN Mekanisme perencanaan pembangunan nasional berjalan melalui dua pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan tersebut diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan masyarakat adil makmur berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan keselarasan dan keserasian dua strategi tersebut merupakan hal pelik, bahkan terkadang cenderung kontradiktif dan dikotomis. Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih menonjol dan semakin menguat dibanding pendekatan kedua (regional), hal ini dapat dilihat dari orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan ekonomi
(economic
growth)
sektoral
sebagai
cara
untuk
mencapai
tujuan
pembangunan. Disamping telah memberikan hasil yang memuaskan (dilihat dari indikator ekonomi) seperti pertumbuhan ekonomi tinggi, pendapatan perkapita naik, namun orientasi tersebut ternyata telah menimbulkan beberapa masalah, salah satu diantaranya adalah tidak meratanya distribusi kegiatan dan hasil pembangunan, sehingga beberapa agenda permasalahan pembangunan, seperti kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antar wilayah (kota-desa, pusat-daerah, sering digunakan sebagai contoh produk model pembangunan (sektoral) yang lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dapat dimengerti karena untuk mengejar pertumbuhan yang tinggi serta efisiensi, pembangunan diutamakan pada kegiatan-kegiatan yang paling produktif, terutama kegiatan ekspor produksi primer seperti pertambangan, kehutanan, dan perkebunan. Sementara itu untuk mengadakan barang-barang konsumsi dan mengurangi ketergantungan impor, dikembangkan industri susbtitusi impor, yang dikembangkan di kota-kota besar. Akibatnya tingkat pembangunan ekonomi yang tinggi hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki kekayaan sumber alam serta kota-kota besar. Dari sinilah persoalan ketimpangan wilayah sebagai agenda utama pembangunan regional berawal dan terus berkembang. Gunawan
Sumodininrat
(1995)
mencatat
tiga
bentuk
ketimpangan
pembangunan, yaitu ketidakmerataan antar golongan penduduk, ketidakmerataan antar sektor dan ketidakmerataan antar wilayah. Ketidakmerataan antar golongan penduduk terlihat dari masih banyaknya penduduk miskin, baik diperkotaan maupun
Universitas Gadjah Mada
perdesaan, meskipun relatif menurun namun penurunan tersebut tidak sebanding dengan peningkatan hasil pembangunan yang dapat dinikmati oleh golongan masyarakat yang tidak miskin. Spektrum ketimpangan antar golongan penduduk juga meluas pada dimensi pribumi dan non pribumi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tampaknya hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil lapisan masyarakat Indonesia, sedangkan sebagain besar masyarakat masih hidup dalam suasana ‘kemiskinan’. Ketidakmerataan pembangunan antar sektor dan antar wilayah muncul secara nyata dalam beberapa bentuk dualisme, yaitu antara sektor pertanian yang semakin menurun peran dan produkfivitasnya, namun menampung tenaga kerja yang cukup banyak dan sektor industri yang cenderung capital intensive dengan daya serap tenaga kerja rendah namun kontribusinya semakin meningkat. Demikian pula halnya dengan sektor jasa dan perdagangan yang semakin jauh meninggalkan sektor pertanian. Lebih lanjut ketidakmerataan aspek demografis dan sumberdaya alam serta kebijakan pemerintah telah memberikan andil yang cukup besar dalam ketimpangan wilayah. Dikotomi Jawa (pusat) dan luar Jawa (pinggiran), Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan Kawasan Barat Indonesia, antara perdesaan dan perkotaan adalah kasus nyata pembangunan wilayah di Indonesia. Fakta-fakta tersebut merupakan suatu contoh adanya masalah pembangunan dilihat dalam dimensi ruang (wilayah). Strategi pembangunan yang hanya mendasarkan pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan
aspek
distribusi
(pemerataan),
perluasan
kesempatan
kerja,
pengapusan kemiskinan serta aspek wilayah, walaupun pada tahap awalnya berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun akhirnya akan mengalami berbagai masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan kebijaksanaan yang menangani masalah ruang, dalam hal ini adalah kebijaksanaan pengembangan wilayah. Kebijaksanaan ini berkenaan dengan lokasi di mana pembangunan ekonomi dilakukan. Wilayah nasional tidak homogen, dan kegiatan pembangunan tidak terjadi pada tiap bagian wilayah dengan merata. Peranan perencanaan wilayah adalah untuk menghubungkan kegiatan yang terpisah-pisah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional (Friedmann, 1966:5). PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PERANANNYA Pengembangan wilayah berkenaan dengan dimensi spasial (ruang) dan kegiatan pembangunan. Didasari pemikiran bahwa kegiatan ekonomi terdistribusi dalam ruang yang tidak homogen, oleh karena lokasi mempunyai potensi dan nilai
Universitas Gadjah Mada
relative terhadap lokasi Iainnya, maka kegiatan yang bertujuan ekonomi maupun sosial akan tersebar sesuai dengan potensi dan nilai relatif lokasi yang mendukungnya (Luthfi, 1994). Begitu pula kesejahteraan penduduk akan tergantung kepada sumberdaya dan aksesibilitasnya terhadap suatu lokasi, dimaka kegiatan ekonomi terikat (Richardson, 1981 :270). Usaha-usaha untuk mengkaitkan kegiatan ekonomi sektor industri dengan sektor pertanian, atau pengkaitan beberapa jenis industri akan sulit tercapai tanpa memperhatikan aspek ruang, karena masing-masing terpisah oleh jarak geografis. Oleh karena itu arti pembangunan juga perlu diberi perspektif baru sebagai upaya pengorganisasian ruang (Luthfi, 1994). Untuk tujuan ini maka pendekatan pengembangan wilayah yang menyangkut aspek tata ruang mendapatkan peranannya. Pendekatan
melalui
pengembangan
wilayah
ini
mempunyai
beberapa
keuntungan, Pertama, akan didasari pengenalan yang Iebih baik atas penduduk dan budaya pada berbagai wilayah, serta pengenalan atas potensi unik daerah. sehingga memudahkan untuk melaksanakan pembangunan daerah yang sesuai dengan potensi, kapasitas serta problem khusus daerah tersebut. Dengan pengembangan wilayah ini dapat diharapkan kemungkinan Iebih baik untuk memperbaiki keseimbangan sosial ekonomi antar wilayah (Friedmann, 1979:38). Alasan politis diterapkannya perencanaan pengembangan wilayah antara lain adalah bahwa pembangunan nasional yang terlalu bersifat sektoral dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor lokasi, atau bagaimana penjalaran pertumbuhan tersebut dalam ruang ekonomi. Tindakan mengabaikan dimensi tata ruang, ditambah dengan hanya menekankan pemikiran jangka pendek, akan memberikan kontribusi terhadap semakin tajamnya kesenjangan antar wilayah (Miller, 1989 :8). Pengembangan wilayah merupakan perangkat yang melengkapi atau bagian integral dari pembangunan nasional. Pembangunan wilayah diarahkan untuk mengembangkan daerah dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar desa dan kota, antar sektor serta pembukaan dan percepatan pembangunan Kawasan Timur Indonesia, daerah terpencil, daerah minus, daerah kritis, daerah perbatasan, dan daerah terbelakang lainnya, yang disesuaikan dengan prioritas dan potensi daerah bersangkutan sehingga terwujud pola pembangunan yang merupakan perwujudan Wawasan Nusantara (GBHN, 1993). Selanjutnya tujuan dan prinsip pendekatan dalam pengembangan wilayah juga tidak terlepas dari tujuan dan prinsip pembangunan nasional.
Universitas Gadjah Mada
Hal
ini
berarti
setiap
kegiatan
pembangunan
di
daerah
harus
mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) di samping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral. Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Tojiman S, 1981) yaitu: 1) Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya. 2) Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan pertumbuhan antar wilayah. 3) Meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan. 4) Meningkatkan
keserasian
hubungan
antara
pusat-pusat
wilayah
dengan
hinterlandnya dan antara kota dan desa. Pada dua dasawarsa terakhir, perencanaan regional di Indonesia semakin menunjukkan aura respectability (pancaran kehormatan), seiring semakin kompleksnya tantangan dan masalah pembangunan dan adanya keyakinan bahwa pendekatan kewilayahan merupakan jawaban yang paling tepat untuk mengatasi ketimpangan hasil-hasil pelaksanaan pembangunan, khususnya ketimpangan antar wilayah. Dengan demikian pembangunan regional diharapkan dapat muncul sebagai salah satu altematif paradigma pembangunan yang berfungsi sebagai balance terhadap penerapan pola kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh para pemegang kebijakan ekonomi orde baru. Pada dasawarsa ini pula kebijakan regional menunjukkan perannya, hal ini didukung oleh semakin maraknya kebijakan yang berorientasi pada wilayah semacam otonomi wilayah, desentralisasi, regionalisasi, penyusunan tata ruang wilayah, pembangunan kawasan terpadu dan lain-lain. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL Pada hakekatnya daerah merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional, oleh karena itu dalam rangka menjamin agar pelaksanaan pembangunan nasional dapat berjalan serasi dan seimbang, maka perlu diusahakan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Hal ini berarti setiap kegiatan pembangunan di daerah harus mempertimbangkan kondisi dan situasi regional (aspek kewilayahan) di samping pertimbangan-pertimbangan yang bersifat sektoral.
Universitas Gadjah Mada
Kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia paling tidak mempunyai empat tujuan utama (Bappenas, 1993) yaitu: 1) Meningkatkan keseimbangan dan keserasian antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional, dengan meletakkan berbagai pembangunan sektoral pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan potensi dan prioritasnya. 2) Meningkatkan keseimbangan dan keharmonisan serta pemerataan pertumbuhan antar wilayah. 3) Meningkatkan partisipasi masyarakkat lokal dalam pembangunan. 4) Meningkatkan
keserasian
hubungan
antara
pusat-pusat
wilayah
dengan
hinterlandnya dan antara kota dan desa. Pertanyaan yang tentunya menarik untuk dikedepankan adalah bagaimana problematika pembangunan dipahami dalam kontek atau pendekatan pembangunan wilayah (regional development) dan sejauh mana model pembangunan wilayah di Indonesia mampu mengatasinya. Selanjutnya analisis teoritis dan fakta digunakan untuk menjelaskannya. Untuk memahami pelaksanaan pembangunan regional di Indonesia maka perlu dipahami dasar pemikiran dan konsep yang digunakan, khususnya konsep pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) serta bagaimana wujud pelaksanaannya. Dalam konsep pembangunan wilayah (regional develoment) yang selama ini kita terapkan, tampak jelas bahwa strategi pembangunan nasional lebih menganut model Growth Centers yang lebih cenderung berorientasi ada pertumbuhan ekonomi. Asumsi dasar adalah terjadinya mekanisme trickle down effect, yaitu adanya proses difusi atau proses penebaran hasil dan proses pembangunan ke pusat-pusat pertumbuhan yang lebih rendah dan wilayah hinterlandnya. Dalam model growth centers, pembangunan berlangsung dalam suatu ekwilibrum matrix lokasi yang terdiri dari beberapa pusat-pusat pertumbuhan (growth centers) dan daerah penyangga-pinggiran (hinterland). Langkah awal dimulai dengan membangun pusat atau kutub pertumbuhan terlebih dahulu (dengan industrialisasi). Pertumbuhan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat. Apabila langkah ini berhasil, maka tindakan kedua adalah proses penjalaran atau penetesan keberhasilan itu ke wilayah-wilayah hinterland di sekitarnya. Mekanisme efek-tebar berjalan melalui proses membangun keterkaitan (linkages development) leading industries pada pusat-pusat pertumbuhan, baik keterkaitan kedepan (forward linkages) dan kebelakang (backward linkages).
Universitas Gadjah Mada
Model seperti inilah yang oleh Dean K. Forbes (1986) disebut sebagai model pembangunan non-marxis. Pada model seperti ini pada kenyataannya tidak jelas mekanisme industrialisasi
penetesannya dan
bahkan
urbanisasi
serta
cenderung telah
mengakselerasikan
menimbulkan
proses
terkonsentrasinya
pembangunan di pusat-pusat pertumbuhan (dalam kasus Indonesia: Jawa, Sumatera, Bali = Kawasan Barat Indonesia). Dengan demikian bukan trickle down effect yang terjadi, melainkan keadaan sebaliknya yaitu backwash and polarization effect, dimana terjadi penyedotan (aliran) potensi sumberdaya wilayah hinterland oleh pusat-pusat pertumbuhan; sehingga pada akhirnya akan semakin memperluas kesenjangan dengan wilayah-wilayah pinggiran. Studi yang dilakukan M.J. Titus tentang arus migrasi (1978) dan Mubyarto (1989) tentang pengaliran modal menyebutkan bahwa ciri model pembangunan tersebut didunia ketiga adalah terciptanya mekanisme penyedotan sumberdaya (kapital dan tanaga kerja) dari wilayah pinggiran menuju wilayah pusat. Selanjutnya dengan jelas disebutkan bahwa ketimpangan pembangunan antar wilayah di Indonesia terjadi bukan hanya karena faktor kemiskinan sumber daya wilayah, tetapi juga akibat pola hubungan yang tidak seimbang antara pusat dan daerah. Kegagalan untuk mewujudkan efek tetesan, oleh Friedman (1975) disinyalir akibat tidak bekerjanya mekanisme pasar secara proporsional, oleh karena itu timbullah upaya untuk merencanakan pusat-pusat pertumbuhan di dalam kerangka pengembangan wilayah yang terkendali. Meskipun terlalu dini untuk mengatakan kebijaksanaan pembangunan regional di Indonesia ‘gagal’, namun analisis fakta menunjukkan bahwa pendekatan seperti ini kurang berhasil diterapkan di Indonesia. Kesenjangan antar wilayah nyatanya tetap menyolok, meski intervensi pemerintah sudah banyak dilakukan. Ini terutama terjadi akibat modal (kapital) - yang diharapkan bisa mengalir ke pinggiran lebih banyak tertahan di pusat atau wilayah lain yang secara ekonomi lebih menguntungkan, bahkan seringkali mengalir ke pusat. Beberapa hasil studi berikut menggambarkan belum berhasilnya kebijakan pembangunan regional yang diterapkan di Indonesia, diantaranya ditandai dengan semakin exist-nya problem ketimpangan wilayah (regional ineequity) dalam tingkat pertumbuhan dan perkembangan antar daerah dan dalam tingkat pendapatan dan kemakmuran, terjadi pula sistem keruangan yang benar-benar terkutub dengan pusat kota mendominasi suatu jaringan perkotaan yang terbelakang.
Universitas Gadjah Mada
Hendra Asmara (1975) menggarisbawahi bahwa ada periode 1988-1971 terdapat ketimpangan antar wilayah di Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan sumberdaya alam, tingkat produktivitas perkapita, kualitas tenaga kerja dan efisiensi penggunaan sumberdaya dan organisasi. Pratilla (1981) menunjukkan adanya konsentrasi aset-aset pembangunan pada WPU-B, baik dalam aspek sumberdaya manusia, Produk Domestik Regional Bruto (PDBR) maupun PDRB per kapita, dimana wilayah ini memberikan sumbangan lebih dari 40% dari pendapatan nasional. Moeljarto Tjokrowinoto (1995) mengungkapkan bahwa hal ini merupakan konsekwensi logis orientasi pertumbuhan yang cenderung mengarahkan alokasi sumberdaya pada wilayah-wilayah pusat pertumbuhan maka disamping keberhasilan pembangunan maka tampak adanya regional inequity atau ketimpangan regional yang cukup memprihatinkan. Selanjutnya hal ini tercermin dari timpangnya pembeayaan pembangunan (dana INPRES, DAU dan DAK), produk domestik regional bruto (PRDB), pendapatan perkapita, proporsi penduduk miskin, indeks mutu hidup (IMH) atau physical quality of life index (PQLI) antar propinsi (Biro Pusat Statistik) dan Budhy Tjahjati Soegijoko, (1992). Selain itu juga terjadi kesenjangan sektoral (dicerminkan oleh tidak seimbangnya indek nilai tukar) antara sektor pertanian dan non pertanian dan antara daerah pedesaan dan perkotaan. Dengan demikian secara tidak sadar telah terjadi proses pengkutupan hasil-hasil pembangunan (polarized development process) pada wilayah tertentu dan marginalisasi di wilayah lain. Dengan
menggunakan
indikator
kesenjangan
pendapatan
per
kapita,
penyebaran dan konsentrasi industri, investasi, kemiskinan dan pendidikan, Cornelis Lay (1993) dengan jelas mengemukanan bahwa keterbelakangan dan ketimpangan antar wilayah exist di Indonesia. Bahkan beberapa indikator mengkonfirmasikan adanya kecenderungan untuk terus memburuk. Lebih lanjut, perbandingan antar wilayah menunjukkan bahwa secara umum daerah-daerah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) memiliki penampilan yang lebih meyakinkan dalam hal tingkat kemajuannya, sementara wilayah-wilayah di Kawasan Timur Indonesia (KTI) Iebih mewakili performance keterbelakangan. Perbandingan antara kedua wilayah tersebut mengindikasikan terjadinya kesenjangan yang cukup tajam. Bahkan, ketimpangan yang sama juga terjadi dalam satu wilayah yang sama. Menguatnya
terminologi
pembangunan
KBI
(sebagai
wilayah
yang
diuntungkan) dan KTI (wilayah yang kurang beruntung) akhir-akhir ini menjadi indikator penjelas adanya ketimpangan antar wilayah. Apabila tidak segera diantisipasi dengan
Universitas Gadjah Mada
cepat maka tidak hanya akan menimbulkan kerawanan sosial dan ekonomi tetapi juga politik, terutama pada aspek integrasi nasional dan hamkamnas. Dalam konteks situasi seperti ini beberapa program pembangunan yang berdimensi pemerataan akan sulit diharapkan keberhasilannya selama orientasi (model) pembangunan dan faktor serta mekanisme ketimpangan itu tidak diubah. Artinya harus ada perubahan atau penyesuaian pembangunan pada tingkat makro. Jika selama ini pengembangan wilayah-wilayah pusat terus dilaksanakan, sudah saatnya pengembangan wilayah pinggiran dilakukan dengan lebih serius. Adanya kenyataan di atas mendorong uaya-upaya untuk mencari paradigma pengembangan kawasan alternatif yang Iebih fungsional dan mampu merespon pertumbuhan ekonomi dan mewujudkan pemerataan. Ditetapkannya Undang-Undang no. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) yang menjadi dasar bagi perumusan Strategi Nasional Pembangunan Tata Ruang Nasional (SNPPTR) dan Perencanaan Tata Ruang Wilayah pada tingkat yang Iebih rendah belum memberikan hasil yang optimal, hal ini nampak dari banyaknya konflik kepentingan terhadap ruang yang terjadi. Meskipun demikian dukungan aspek kelembagaan atau perundang-undangan dan beberapa kebijakan lain yang bernuansa regional
semacam
Program
Pengembangan Wilayah
(PPW)
atau
Provincial
Development Programme (PDP), Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), diharapkan akan semakin mampu menyentuh akar permasalahan. RESTRUKTURISASI STRATEGI PEMBANGUNAN Masa depan pembangunan nasional maupun regional dalam pembangunan Indonesia dalam konteks otonomi daerah tergantung tidak saja pada tekad politik dan keberanian pemerintah tapi juga pemahaman yang tepat terhadap pembangunan regional. Pelaksanaan pembangunan regional akan tersendat tanpa restrukturisasi kebijakan dan strategi pembangunan. Hal ini dilaksanakan untuk menangkal berbagai macam kesenjangan dan ketidakmerataan yang muncul sebagai akibat pelaksanaan pembangunan, langkah-Iangkah restrukturisasi penting antara lain (Muta’ali, 1997): 1. Restrukturisasi Alokasi Dana Pembangunan Baik dana APBN maupun APBD ataupun dana swasta lainnya secara proporsional. Anggaran DAU dan DAK yang sering memunculkan kontroversi dan ketidakpuasan bagi daerah terus diperbaiki dan harus tetap ditingkatkan sebagai
Universitas Gadjah Mada
keputusan politik dalam alokasi anggaran dan pemerataan pembangunan, khususnya lebih diutamakan untuk mengatasi daerah-daerah hinterland yang miskin dan sulit berkembang serta mengeliminir kesenjangan wilayah. Hal ini juga harus diimbangi pola perimbangan keuangan pusat dan daerah yang lebih baik. 2. Restrukturisasi Spasial Kebijaksanaan penting yang harus dilakukan guna meningkatkan efektifitas pembangunan
regional
dan
mengurangi
kesenjangan
antar
wilayah
adalah
diberikannya penekanan pada mekanisme penyebaran modal atau aset pembangunan secara geografis dan proporsional. Selain itu fokus kebijaksanaan diarahkan pada upaya-upaya mengkoordinasikan berbagai kegiatan perencanaan pembangunan yang ada di daerah dan menerapkan proyek perencanaan pembangunan lokal pada sejumlah daerah terpilih sesuai dengan potensi dan permasalahan. Dalam konteks pembangunan regional Indonesia, perlu diciptakan pola hubungan antar wilayah yang seimbang dan menekankan aspek pemerataan dan keseimbangan terutama pada KTI dan KBI, antara Jawa dan Luar Jawa, Perkotaan dan Pedesaan, Pusat dan Pinggiran dan seterusnya, serta berpihak kepada daerahdaerah
miskin.
Beberapa
policy
tentang
pengembangan
kawasan
andalan,
pengembangan segitiga pertumbuhan, pengembangan prasarana dan kebijakan insentif di beberapa daerah terbelakang perlu direalisasikan lebih nyata. Selain itu juga perlu membangun jalinan keterkaitan antar wilayah (Rondinelli, 1983). 3. Restrukturisasi Sektoral. Dilakukan terutama untuk mengatasi berbagai kemungkinan berkembangnya kesenjangan sektoral, terutama antara industri dan pertanian, antara sektor formalmodern dan sektor informal-tradisional, dan seterusnya sehingga benar-benar mampu diciptakan keserasian dan keseimbangan antar sektor. Kebijakan dapat ditempuh baik dalam aspek perimbangan keuangan, investasi, program dan proyek pembangunan, kelembagaan, maupun aspek politis yang lain. 4. Restrukturisasi Kelembagaan Perlunya aspek perundang-undangan yang mengatur tentang pola hubungan dan tata kerja serta perimbangan pembangunan antar wilayah, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan. Selain itu perlu ditunjang adanya institusi perencanaan wilayah yang memadai baik secara kuantitas maupun kualitas.
Universitas Gadjah Mada
Perencanaan yang bersifat keruangan dan pembangunan wilayah perlu dilakukan karena kedua hal tersebut merupakan suatu cara untuk memecahkan permasalahan pembangunan yang mendasar. Permasalahan ini adalah bagaimana mengembangkan pertumbuhan ekonomi secara luas yang mengijinkan sebagian besar penduduk pedesaan dan wilayah-wilayah tertinggal untuk berpartisipasi lebih efektif dalam kegiatan produktif dan untuk mencapai keuntungan yang Iebih besar dari proses pembangunan (Rondinelli, 1985). Namun Iangkah-Iangkah ini tidak akan sepenuhnya bermanfaat apabila tidak didukung oleh political will yang sungguh-sungguh dari semua pihak yang terkait untuk mengatasi kesenjangan wilayah. PENUTUP -------------------------------------------------------------------------------------------------Menguatnya otonomi daerah dan pendekatan wilayah dalam pembangunan merupakan tantangan yang menarik bagi geograf, untuk mengerahkan seluruh kemampuannya bagi pengkajian yang lebih mendalam dan bermanfaat bagi ilmu dan masyarakat. Menurut Fawcett, penerapan ilmu geografik secara sitemik kepada kondisi-kondisi yang ada, memungkinkan kajian wilayah dapat dilakukan secara komprehensif dan memuaskan. Dengan kata lain kajian geografis akan turut menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menjalankan pembangunan (otonomi) daerah dan masyarakatnya.
Universitas Gadjah Mada