PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
NANDANG MULYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis yang berjudul : PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
Adalah benar merupakan karya sendiri dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Februari 2009 Yang menyatakan,
Nandang Mulyana NRP. A155050151
ii
ABSTRACT
NANDANG MULYANA, Community Development as Rural Development Approach, case study at Geothermal Industry Kabandungan district region of Sukabumi Province of West Java, under supervision of ARYA HADI DHARMAWAN and SLAMET SOEDARSONO. The existence of Gunung Salak geothermal industry at Kabandungan district, Sukabumi region which established by CHV is expected to give significant contribution especially for the local community welfare and Sukabumi societies in general. As a realization of the corporate social responsibility (CSR) to the local community development welfare, CHV has implemented the community development. In implementing the community development, CHV has limited effect with regard to economic contribution. The objectives of this research is to analyze the implementation of community development program to the local community in project areas, and find out the real contribution of community development program to the local community. The qualitative data method is used in this research. The qualitative data obtained by interviewing the concern parties whose involve in CHV community development program to obtain the factual information and respondent experience based on the information which linked to the research objective. Data analysis was conducted descriptively. Results of the research show that CHV runs the community development program by their own. The company determines community/group which received the assistance, based on community/group requirement. This is one way method, where the company has the authority to run the program and the community is the receiver. The research found the low program coordination and integration, the cooperation between CHV and local government is not running smoothly.. This condition cause the relation between community development and and regional development are relatively in minimum level. The program tends to strengthen the degree of community depedency without a proper management, CSR is also potential to creat horizontal or vertical conflict. Keywords: Community Development, local community, Rural development and CHV
iii
RINGKASAN
NANDANG MULYANA, Pengembangan Masyarakat sebagai pendekatan pengembangan kawasan perdesaan, (Studi kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua dan SLAMET SOEDARSONO sebagai anggota komisi pembimbing. Diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan serta mengoptimalkan semua potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dengan tingkat kemandirian yang tinggi. Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar semata (persepektif materialistik), telah bergeser ke arah pemikiran pembangunan yang menekankan pada kemampuan masyarakat untuk mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada proses-proses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi ataupun wilayah-wilayah yang terbelakang yang diakibatkan oleh ketimpangan distribusi pembangunan. Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi tersebut. Keberadaan industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah Desa Kabandungan Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi yang dikelola oleh CHV, diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility) terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan perusahaan maka perusahaan melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development). Tujuan kajian ini adalah untuk menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi CHV Gunung Salak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan,
iv
serta menganalisis apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah. Dalam penyusunan kajian digunakan metode kualitatif, pemilihan metode kualitatif dalam studi ini dikarenakan temuan-temuan pada studi kualitatif lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada sekadar angka-angka. Dalam studi ilmu sosial, terlihat bahwa angka-angka yang diperoleh dalam studi belum cukup menjawab persoalan yang sebenarnya, sangat sulit melihat keadaan yang sebenarnya jika hanya menggunakan kecenderungan angka saja. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang tidak bisa dinilai melalui angka-angka, seperti faktor budaya dan faktor sosiologis. Metode dan pendekatan studi yang digunakan untuk pengumpulan data primer adalah wawancara mendalam (indepth interview), terhadap informan kunci (key informan), serta diskusi kelompok bersama parapihak (stakeholders) yang terkait dengan program pengembangan masyarakat CHV serta telaah pustaka. Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dari berbagai buku, makalah dan laporan terkait. Hasil kajian pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV menunjukkan bahwa pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pihak oleh CHV antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat Masyarakat /kelompok penerima program ditentukan sepihak oleh perusahaan berdasarkan pengajuan proposal yang dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat CHV lebih banyak berupa pemberian bantuan-bantuan kepada masyarakat dan belum mampu memberdayakan ekonomi. Pola kerjasama bersifat searah dimana perusahaan sebagai pemilik program dan masyarakat sebagai sasaran program. Kajian ini juga menemukan bahwa pengoordinasian dan pengintegrasian program masih rendah, kerjasama antara CHV dengan Pemerintah daerah (kecamatan Kabandungan) belum berjalan dengan baik, belum ada kelembagaan yang menjembatani hubungan keduanya. Sehingga keterkaitan program pengembangan masyarakat CHV dengan program pembangunan daerah relatif kecil. Disamping itu program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan juga menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta berpotensi menimbulkan konflik vertikal maupun horizontal. Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah, tetapi kontribusi tersebut masih sangat rendah dan belum sesuai dengan harapan, komitmen perusahaan terhadap pengembangan masyarakat masih rendah serta program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV secara umum masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif). Kata kunci: Masyarakat lokal , Pengembangan Masyarakat , pengembangan wilayah perdesaan dan CHV.
v
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
vi
PENGEMBANGAN MASYARAKAT SEBAGAI PENDEKATAN PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN (Studi Kasus Pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
NANDANG MULYANA
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departermen Ekonomi dan Manajemen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
vii
Judul tesis
: Pengembangan Masyarakat Sebagai Pendekatan Pengembangan Wilayah Perdesaan. (Studi Kasus pada Industri Geothermal di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat)
nama
: Nandang Mulyana
Nomor Pokok
: A155050151
Program Studi : Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc. Agr
Ir. Slamet Soedarsono,M.PP
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 4 Pebruari 2009
Tanggal lulus: …………………….2009
viii
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-NYA penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini, dengan judul : “Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi (geothermal) (Studi kasus di kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat)”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sain pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang telah diberikan selama penyusunan tugtesis ini, penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr. dan Bapak Ir. Slamet Soedarsono,M.PP. selaku Ketua Dan Anggota Komisi Pembimbing yang dengan tulus dan ikhlas telah meluangkan waktu dan kesempatan untuk memberikan memberikan bimbingan dan arahan serta motivasi kepada penulis sehingga tesis ini dapat diselesaikan. 2. Bapak Dr.Ir.H. Bambang Juanda. selaku ketua Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas segala bantuan dan kesempatan yang diberikan selama mengikuti pendidikan . 3. Prof. Dr.Ir.Khairil A. Notodiputro,MS. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas kesediaannya menerima penulis untuk mengikuti pendidikan magister di IPB. 4. Para Dosen Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor atas bekal ilmu yang diberikan serta pandangan dan kekeluargaan yang terjalin selama ini. 5. Bapak Ir. Daden Gunawan,M.Si selaku Camat Kabandungan, Bapak Iwan S. Azof,Msc,MM. selaku manager PGPA Chevron geothermal salak,Ltd,Bapak Drs. Willy Ekariono,MS.
Selaku manager Salak community affair Serta
Bapak Ir. Asrul Maulana selaku community affair officer atas data-data dan kesempatan untuk berdiskusi yang telah diberikan.
ix
6. Orangtua tercinta, Ayahanda J.Junaedi dan Ibunda Icoh Holisoh serta Mertua tercinta ayahanda Abdul Munir dan Ibunda Nurahmi atas do’a yang tak pernah henti serta dukungan baik moril mapun materil, selama penulis menjalankan studi. 7. Istriku Lili Suciati,SE atas do’a, kesabaran dan dukungannya serta anakku tercinta Papang dan Zona yang selalu memberikan semangat setiap saat dimana do’a dan airmatanya menjadi darah juangku. 8. Keluarga besar Nunung Aswari (Alm.) yang telah memberikan motivasi dan inspirasi kepada penulis. 9. Rekan-rekan mahasiswa program studi PWD, atas “social capital”, kebersamaan yang terbina selama ini dalam menuntut ilmu di kampus tercinta khususnya angkatan 2005 : Teh Rosda Malia (komti ‘05), Mbak Sherly Gladys Jocom, Albertus Girik Allo, Erenda, Rosa Delima, A. Syiaruddin Hasby, Laurentius Wisnu Whardana dan M’bak Elfa. 10. Para responden dan narasumber, yang telah meluangkan waktu yang telah menerima penulis dan memberikan informasi kepada penulis selama penelitian berlangsung. 11. Berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang selama ini telah banyak memberikan
bantuan kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan studi ini. Akhirnya disadari penulisan tesis ini masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan penulis. Oleh karena itu, untuk kesempurnaan kritik dan saran diharapkan dari berbagai pihak. Semoga tesis ini dapat memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan, serta bermanfaat untuk. semua pihak . Amin.
Bogor, Februari 2009
Nandang Mulyana
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Nandang Mulyana, dilahirkan di Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal 2 September 1973 dari ayah Jujun Junaedi dan ibu Icoh Holisoh. Penulis merupakan putra ke-tiga dari delapan bersaudara. Pendidikan sekolah dasar ditempuh di SDN Jayanegara Sukabumi dan tamat pada tahun 1987, pendidikan sekolah menengah pertama ditempuh pada SMPN Kalapanunggal Sukabumi dan tamat pada tahun 1990 selanjutnya pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas ditempuh pada Sekolah Menengah Ekonomi Atas Jakarta I di Jakarta Barat dan tamat pada tahun 1993. Pendidikan sarjana pada Jurusan Akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)
dan tamat pada tahun 1999 dan pada tahun 2005 penulis
mengikuti pendidikan Magister Sains pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Sekolah pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahun 2000, penulis menikah dengan Lili Suciati, SE dan telah dikaruniai dua orang putera, yaitu: Muhammad Pandu Aria Pratama (Papang) serta Muhammad Giri Aria Dwinugraha (Zona).
xi
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ...............................................................................................
i
DAFTAR TABEL ........................................................................................
v
DAFTAR MATRIKS ...................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
ix
I.
PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang ....................................................................
1
1.2
Perumusan Masalah............................................................
5
1.3
Tujuan Penelitian ...............................................................
9
1.4
Kegunaan Penelitian............................................................
10
TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
11
2.1
Pengembangan Masyarakat...............................................
11
2.2
Pengembangan Wilayah......................................................
24
2.3
Konsep Wilayah dan Pembangunan ..................................
31
2.4
Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam .......
35
2.5
Industri Panas Bumi (geothermal) ......................................
40
2.6
Dampak Industri Pertambangan ........................................
43
2.7
Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat...........
45
2.8
Karakteristik Lokal................................................................
48
2.9
Partisipasi Masyarakat.........................................................
50
2.10
Kelembagaan Lokal.............................................................
55
2.11
Teori Konflik.........................................................................
56
METODOLOGI PENELITIAN .........................................................
59
3.1
Kerangka Pemikiran............................................................
59
3.2
Hipotesis. ............................................................................
64
3.3
Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................
65
3.4
Pengumpulan Data..............................................................
65
3.5
Penetapan informan Kunci..................................................
66
II.
III.
3.6
Metode Analisis Data...........................................................
3.7
Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak.....................................
3.8
67
67
Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah.................................................
IV.
V.
67
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ...............................
69
4.1
Geografi dan Administrasi Pemerintahan............................
69
4.2
Kependudukan.. .................................................................
72
4.3
Infrastruktur Dasar...............................................................
73
4.4
Sistem Transportasi.............................................................
75
4.5
Sistem Ekonomi. .................................................................
75
4.6
Sumberdaya Lokal...............................................................
78
4.7
Struktur Komunitas... ..........................................................
79
4.8
Masalah Sosial....................................................................
79
4.8.1. Kemiskinan..............................................................
81
4.8.2. Pendidikan..............................................................
82
4.8.3. Kesehatan...............................................................
82
4.8.4. MasalahLingkungan................................................
83
a. Krisis Air.............................................................
83
b. Bencana Longsor. ..............................................
83
4.9
CHV ...................................................................................
84
4.10
Ikhtisar.................................................................................
85
EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT PADA INDUSTRI GEOTHERMAL GUNUNG SALAK............................................................................................. 5.1
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Pendidikan...........................................................................
5.2
96
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Kesehatan............................................................................
5.3
87
101
Program pengembangan masyarakat dalam bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal............................................
ii
103
5.4
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Lingkungan..........................................................................
5.5
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Infrastruktur..........................................................................
5.6
5.8 VI.
109
Program Pengembangan Masyarakat Dalam Bidang Komunikasi & Hubungan Sosial Masyarakat.......................
5.7
108
112
Pelaksanaan Terbaik (Best Practice) Program Pengembangan Masyarakat………………………………….
114
Ikhtisar ................................................................................
118
KONTRIBUSI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG SALAK TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH...................................
132
6.1
134
Kontribusi Masyarakat Terhadap
Pelaksanaan Industri Pertumbuhan
Program
Pengembangan
Panas Bumi Gunung Salak Perekonomian
Daerah
dan
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat……………………. 6.2
Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan...........
6.3
Pengorganisasian dan pengoordinasian program
138
pengembangan masyarakat dengan program lain...............
140
6.4
Jaringan Kelembagaan Lokal...............................................
142
6.5
Konflik Yang muncul dalam Masyarakat..............................
144
6.5.1. CHV dengan masyarakat.........................................
146
6.5.2. CHV dengan Pemerintah Daerah............................
148
6.5.3. CHVdengan LSM lokal.............................................
149
6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat..............................
150
6.5.5. Masyarakat dengan LSM.........................................
151
6.5.6. LSM dengan LSM.....................................................
151
6.5.7. Pemerintah daerah dengan LSM.............................
153
6.6
Hubungan Program pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah lokal...............................................
6.7
6.8
153
Analisis badan swasta (profit-maximizing body) dalam pembangunan wilayah.........................................................
155
Ikhtisar .................................................................................
156
iii
VII.
KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................
161
7.1
Kesimpulan..........................................................................
161
7.2
Saran....................................................................................
162
7.2.1. Ilmu perencanaan pembangunan wilayah dan perdesaan………………………………………………
162
7.2.2. Pihak Perusahaan....................................................
163
7.2.3. Pihak Pemerintah Daerah Sukabumi......................
164
7.2.4. Pihak Desa dan kecamatan Kabandungan..............
164
7.2.5. Pihak Masyarakat.....................................................
164
DAFTAR PUSTAKA ....... ...........................................................................
165
LAMPIRAN .................................................................................................
169
iv
DAFTAR TABEL Halaman Tabel
4.1
Nama-nama Desa Kecamatan Kabandungan....................
69
Tabel
4.2.
Pemerintahan Desa Se-Kecamatan Kabandungan………
70
Tabel
4.3.
Luas Wilayah Menurut Ketinggian Tanah kecamatan Kabandunga tahun 2005………………………………………
71
Tabel
4.4.
Kondisi Tanah di Kecamatan Kabandungan………………..
71
Tabel
4.5.
Jenis Tanah di Kecamatan kecamatan Kabandungan…….
72
Tabel
4.6
Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kabandungan…..
72
Tabel
4.7.
Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan Kabandungan…………………………………………………
73
Tabel
4.8.
Kondisi Jalan di Kecamtan Kabandungan (dalam Km)…….
73
Tabel
4.9.
Jumlah Jembatan di Kecamatan Kabandungan……………
74
Tabel
4.10
Jumlah Sekolah di Kecamtan Kabandungan………………
74
Tabel
4.11. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kabandungan...
Tabel
4.12. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Kabandungan…………………………………………………
Tabel
75
4.13. Luas Tanah Menurut Jenis Penggunaannya di kecamatan Kabandungan (dlm Ha)......................................................
Tabel
74
76
4.14. Produksi Daging Menurut Jenis Ternak Dan Telur Unggas di kecamatan Kabandungan (Kg).........................................
77
Tabel
4.15. Jumlah Pemeluk Agama di kecamatan Kabandungan……
79
Tabel
4.16. Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006…………………………….
Tabel
4.17. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
80 80
(PMKS) Menurut Jenisnya di kecamatan Kabandungan… Tabel
4.18. Jumlah Murid Drop Out (DO) Menurut Umur Sekolah……..
Tabel
4.19. Keadaan Tenaga Kependidikan Sekolah Dasar di kecamatan Kabandungan……………………………………
Tabel
4.20. Jumlah SDM Bidang Kesehatan di kecamatan
v
81
82 82
Kabandungan……………………………………………….…..
Tabel
4.21. Jumlah Kejadian Bencana Alam Menurut Jenisnya………
Tabel
4.22. Jumlah Kerugian Akibat Kejadian Bencana Alam Dan
83
taksiran Nilai Kerugian.........................................................
83
Tabel
4.23. Luas Lahan Kritis di kecamatan Kabandungan (Ha)………
84
Tabel
6.1.
PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi Menurut sektor usaha tahun 2000-2005 (dalam miliar rupiah)…………………………………………………………...
Tabel
Tabel
6.2.
6.3.
135
Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006…………………………….
136
Jumlah kelompok Tani menurut kelas kelompok.................
143
vi
DAFTAR MATRIKS Halaman Matriks
2.1
Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer……………………………………………………
19 33
Matriks
2.2
Definisi Nomenklatur Kewilayahan…………………………
Matriks
5.1
Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi………………
Matriks
5.2
Motif Perusahaan dalam Manjalankan Program Pengembangan Masyarakat………………………………...
Matriks
5.3
Time
line
Pelaksanaan
Program
5.4
6.1
Kabandungan…………………………………………………..
143 145
6.2
Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan.
Matriks
6.3
Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan Kabandungan......................................................................
6.4
123
LSM yang melakukan kegiatan di Kecamatan
Matriks
Matriks
121
Ikhtisar Analisis Pelaksanaan Program Pegembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak….
Matriks
90
Pegembangan
Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak…. Matriks
88
152
Ikhtisar Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah…………………………
vii
158
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1. Hubungan Antara Pengembangan Wilayah, Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia Dan Teknologi………………
29
Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas
Gambar 3.1
Bumi……………………………………………………………
42
Background…………………………………………………….
64
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Peta Wilayah Penelitian …………………………………….………
2
Panduan Wawancara ……………………………………….………
3
Program Tahunan Community Engagement CHV……….………
4
Struktur Organisasi Community Afairs CHV………………………
5
Struktur Organisasi Community Afairs Antam……………………
6
Kronologis Pelaksanaan Program Community DevelopmentCHV Di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi...............
7
Glossary………………………………………………………………….
ix
I. P E N D A H U L U A N
1.1. Latar Belakang Paradigma baru pembangunan wilayah dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, diyakini dapat membawa angin baru untuk kemajuan pembangunan wilayah. Daerah diberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perudang-undangan. Daerah juga dituntut untuk mengembangkan
serta mengoptimalkan semua
potensi wilayah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakatnya dengan
tingkat kemandirian yang tinggi. Otonomi daerah sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi daerah otonom (Kabupaten/Kota) untuk memperbaiki fungsi pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan daerah. Sebab otonomi yang mentransfer berbagai kewenangan akan melahirkan diskresi di tingkat lokal dalam membuat kebijakan pembangunan daerah yang sesuai aspirasi dan kebutuhan masyarakat di daerah. Namun peluang tersebut tidak serta merta dapat merubah pola pembangunan daerah menjadi semakin baik untuk masyarakat daerah. Komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kesiapan masyarakat adalah faktor operasional yang cukup signifikan membuat peluang tersebut terealisasi secara empirik. Jika komitmen dan konsistensi pemerintah daerah dan kapasitas masyarakat lokal lemah maka berbagai peluang tersebut cenderung hanya bersifat retoris yang indah dalam kata-kata dan tidak pernah terwujud dalam kehdupan nyata. Sebaliknya apabila komitmen dan konsistensi pemerintah daerah kuat yang terlihat dari adanya keinginan untuk mensejahterakan masyarakat melalui pembaharuan, baik secara struktural dan kultural serta internal dan eksternal institusi pemerintah daerah dan kehendak masyarakat cukup antusias membangun daerahnya maka peluang itu akan menjadi “pintu masuk” bagi kesejahteraan masyarakat lokal. Dalam tiga dekade terakhir telah terjadi proses pergeseran paradigma pembangunan, cara pandang pembangunan yang berorientsi pada laju pertumbuhan ekonomi dengan basis peningkatan investasi dan teknologi luar
semata
(persepektif
pembangunan
yang
materialistik), menekankan
telah pada
bergeser
ke
kemampuan
arah
pemikiran
masyarakat
untuk
mengontrol keadaan dan lingkungannya. Paradigma baru yang berkembang lebih menekankan kepada prosesproses partisipatif dan kolaboratif (participatory and collaborative) yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteran sosial dan material, termasuk meningkatkan keadilan dalam distribusi pemilikan, pengelolaan dan manfaat pembangunan serta kebebasan dan kemandirian. Kini telah banyak disadari bahwa pengalaman membangun selama ini telah banyak menimbulkan dampak masalah pembangunan yang semakin besar dan kompleks.
Semakin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi, degradasi
dan tingkat kerusakan lingkungan
yang semakin parah, beban dan
ketergantungan pada utang luar negeri yang semakin berat adalah bukti-bukti nyata atas kegagalan praksis pembangunan.
Realitas-realitas tersebut telah
mendorong perubahan pemikiran dan konsepsi
pembangunan wilayah yang
lebih mendorong keterlibatan masyarakat. Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas
tersebut,
secara
substansial
di
arahkan
untuk
menciptakan
kemandirian dan meningkatkan kemampuan masyarakat, yaitu diharapkan akan mengurangi tingkat ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Di sisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya
self-sustaining
capacity
masyarakat
menuju
sustainable
development. Salah satu tantangan pembangunan wilayah yang strategis dalam rangka mengatasi ketidakberdayaan yang selama ini terjadi adalah melalui upaya pemberdayaan masyarakat. Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Disaat yang bersamaan,
pendekatan
pembangunan
lebih
bersifat
sentralistik
yang
mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan kemandirian masyarakat.
2
Hadirnya konsep pemberdayaan masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah
konsep,
pemberdayaan
masyarakat
sebenarnya
berakar
pada
paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development). Pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa ketidakberdayaan masyarakat selama ini terjadi hampir di semua sektor kehidupan, di antaranya masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumberdaya ekonomi dan sumberdaya alam. Dalam kasus ini misalnya terbatasnya akses bagi para petani kecil untuk mendapatkan kredit dan ketiadaan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam disekitarnya karena telah dikuasai oleh negara atau oleh perusahaan swasta.
Ketidakberdayaan secara politik juga
terjadi, banyak produk kebijakan yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga politik tidak pro-poor, karena masyarakat tidak sanggup untuk mempengaruhi keputusan tersebut. Juga terjadi ketidakberdayaan berprakasrsa, hal ini terjadi karena tidak dilakukannya pengambilan keputusan secara partisipatif yaitu prosese-proses yang melibatkan pihak-pihak yang terkena pengaruh/dampak dari keputusan yang bersangkutan, sehingga masyarakat akhirnya menjadi tidak mau bepartisipasi karena tidak dilibatkan dalam setiap tahapan prosesnya. Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan tersebut diatas dan memberdayakan masyarakat
dengan membuka peluang
yang sebesar-besarnya dalam proses perencanaan pembangunan wilayah, begitu juga dalam pelaksanaannya dan untuk menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai subyek pembangunan yang potensial sehingga membentuk motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Kehadiran industri pertambangan disuatu wilayah dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk melakukan percepatan (akselerasi) pembangunan wilayah
dimana
terbelakang
perusahaan
yang diakibatkan
beroperasi
ataupun
wilayah-wilayah
yang
oleh ketimpangan distribusi pembangunan.
Keberadaan tambang disuatu wilayah juga secara langsung maupun tidak langsung
memberikan kontribusi bagi pengembangan wilayah pada lokasi
3
tersebut. Di beberapa wilayah, sumbangan sektor pertambangan dan migas terhadap PDRB menempati urutan teratas dan jumlah penyerapan tenaga kerja sangat besar. Hubungan pengembangan masyarakat dengan industri juga memberikan arti
penting
bagi
pemerintah
daerah
mengingat
adanya
kecendrungan
peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi bagi peningkatan PAD serta peluang untuk melakukan pembangunan wilayah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat. Menurut Saleng (2004) dalam Hamzah (2005), dampak positif secara langsung kehadiran perusahaan pertambangan didaerah adalah adanya kesempatan kerja dan kesempatan usaha baru
bagi masyarakat sekitar
sehingga mengurangi pengangguran dan dapat memberikan kontribusi kepada pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas masyarakat disekitarnya.
hidup para pekerja maupun
Sehingga dengan meningkatnya pertumbuhan
ekonomi hal ini juga berarti meningkatnya pendapatan masyarakat. Dampak positif tidak langsung adalah meningkatnya kualitas sumberdaya manusia karena terbukanya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sebagai dampak dari meningkatnya pendapatan, meningkatnya arus informasi yang dapat diterima oleh masyarakat karena adanya interaksi dengan para pendatang. Dampak negatif secara langsung adalah berupa menurunnya tingkat kualitas lingkungan hidup karena adanya eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Dampak negatif secara tidak langsung adalah dampak sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap hal-hal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas. Kehadiran CHV1 diharapkan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang
1
Studi ini dlakukan di wilayah kerja perusahaan CHV, perusahaan yang bergerak dalam bidang industri geothermal di Gunung Salak kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
4
aksesibilitas
masyarakatnya
rendah
karena
berada
jauh
dari
pusat
Pemerintahan. Letak
yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi
pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang sudah maju. Oleh karena itu, suatu rancangan strategi pengembangan masyarakat yang dilakukan selayaknya adaptif terhadap pembangunan wilayah, sehingga perlu dibangun secara partisipatif dan berdasarkan inisiataif lokal. Diabaikannya partisipasi warga dalam mekanisme perencanaan pembangunan, membuat sebagian besar anggaran digunakan untuk kepentingan pemerintah,
sampai
saat ini, alokasi dana yang dikucurkan ke desa masih sangat kecil.
Ini
menyebabkan desa-desa sarat dengan berbagai persoalan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang lamban. Program
pengembangan
masyarakat
harus
disesuaikan
dengan
perkembangan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Tahapan perkembangan masyarakat yang berbeda menuntut adanya upaya pendekatan pengembangan yang
berbeda
pula.
Berkaitan
dengan
hal
tersebut,
maka
kegiatan
pengembangan masyarakat yang adaptif terhadap pembangunan wilayah dan mendorong percepatan pembangunan wilayah menjadi penting.
1.2. Perumusan Masalah Keberadaan industri panas bumi Gunung Salak yang dikelola oleh CHV akan menimbulkan dampak baik bersifat positif maupun negatif, secara langsung maupun tidak langsung. Dampak ini dapat terjadi pada aspek lingkungan, tata ruang, lahan dan tanah, aspek fisik-kimia-biologi maupun aspek sosial-ekonomi dan budaya. Pengusahaan pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah yang baru dibuka, seringkali masyarakat
pendatang jauh lebih maju dan
sejahtera serta memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat
5
bersaing
ini pada akhirnya akan menjadi penyebab konflik sosial antara
masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Ketidakadilan akses dan ketidakmerataan pembagian keuntungan ekonomi wilayah yang diterima oleh lokalitas berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. (Saleng 2004 dalam Hamzah 2005 ). Keberadaan perusahaan pengelolaan sumberdaya alam di suatu wilayah sering tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap pengembangan masyarakat dan pengembangan wilayah. Padahal dalam Undang-undang nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi pasal 29 huruf f diamanatkan bahwa Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Panas Bumi wajib melaksanakan program
pengembangan
dan
pemberdayaan
masyarakat
setempat.
Permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam program pengembangan masyarakat
menggambarkan
semakin
menurunnya
tingkat
keberdayaan
masyarakat, hal tersebut diakibatkan oleh: (1) semua pihak (stake holders) yang melakukan program ini lebih memandang masyarakat sebagai obyek. Hal ini diperlihatkan dengan banyaknya program yang dibuat tidak sesuai kebutuhan (needs) masyarakat tetapi lebih disesuaikan dengan keinginan (wants) pihak pembuat program (dalam hal ini perusahaan atau Pemda). (2) Para stakeholders dalam melaksanakan program-programnya seringkali tidak saling berkoordinasi sehingga bisa terjadi di satu wilayah banyak dilakukan program pemberdayaan masyarakat, di wilayah lainnya tidak ada satu program pun yang dilakukan, sehingga
terjadi
ketimpangan
wilayah,
juga
sering
terjadi
program
pengembangan masyarakat yang dijalankan tidak saling mengisi dan saling menguatkan akibatnya sering terjadi tumpang tindih program baik tempat pelaksanaan maupun persoalan yang digarapnya, (3) program-program yang dilakukan lebih bersifat sentralistik, tidak memperhatikan karakteristik wilayah, akibatnya tidak semua program dapat mencapai tujuannya karena tidak sesuai dengan
kebutuhan
masyarakat,
(4)
banyaknya
program
pemberdayaan
masyarakat yang dilaksanakan tidak berkesinambungan. Hal tersebut diatas menjadi masalah, karena persoalan-persoalan pemberdayaan masyarakat seringkali membutuhkan waktu yang lama dan tidak selalu bisa terlihat hasilnya secara fisik, sementara disisi lain perusahaan berkeinginan hasil dari pemberdayaan masyarakat yang mereka jalankan dapat segera dilihat/dirasakan dalam waktu yang singkat, (5) berbagai kajian atau penelitian telah dilakukan,
6
namun pada kenyataannya tidak selalu menjadi acuan dalam membuat berbagai kebijakan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat. Eksistensi keberadaan industri dan interaksinya ditengah masyarakat membawa perubahan-perubahan, industri mempengaruhi polapikir dan pola kehidupan masyarakat dan sebaliknya masyarakat sekitar juga mempengaruhi pola-pola
kebijakan
manajemen
sebuah
perusahaan
industri.
Dalam
perjalanannya, pola hidup bersama yang saling mempengaruhi tersebut juga menyimpan potensi konflik mengingat masing-masing pihak berangkat dari sisi kepentingan dan persepsi yang berbeda. Oleh karena itu pola hubungan yang dibangun oleh industri dengan masyarakat
sekitar harus dapat menciptakan
sinergitas, tidak hanya sebagai upaya meredam konflik tetapi yang terpenting adalah dalam spirit untuk mengembangkan masyarakat dan wilayah. Dilihat dari perspektif positive social forces, kehadiran CHV dapat memberikan manfaat tidak hanya terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan tetapi juga terhadap pembangunan wilayah.
Namun
sumberdaya alam yang melimpah tidaklah dengan sendirinya memberikan kemakmuran bagi warga masyarakat, jika sumberdaya manusia yang ada tidak mampu memanfaatkan dan mengembangkan teknologi
guna memanfaatkan
sumberdaya alam tersebut. Sektor pertambangan memang memberikan kontribusi
yang
besar
terhadap
penerimaan
negara,
namun
kegiatan
pertambangan tersebut belum berpihak pada masyarkat. Hal ini ditandai dengan besarnya penerimaan yang diterima oleh negara (pusat) melalui royalti dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan pertambangan, tetapi hanya sedikit sekali dari jumlah dana yang diterima tersebut dikembalikan lagi
kepada daerah
penghasilnya. Hubungan
pengembangan
masyarakat
dengan
memberikan arti penting bagi pemerintah daerah
insdustri
juga
mengingat adanya
kecendrungan peningkatan perkembangan sektor industri merupakan potensi peningkatan PAD serta peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan wilayah. Dalam konteks tersebut, pemerintah daerah tidak hanya dituntut untuk dapat menciptakan iklim bagi kelangsungan dunia usaha, tetapi juga menciptakan ketentuan hukum yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat sehingga dampak positif dari keberadaan perusahaan dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar,
7
diantaranya melalui pesatnya pembangunan wilayah dimana perusahaan beroperasi. Jika dilihat dari sisi negative social forces maka keberadaan CHV juga dapat memberikan dampak yang besar terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan yang terjadi, juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Dampak negatif secara sosial yaitu adanya pergeseran nilai sosial dalam masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi dengan masyarakat luar yang lebih modern seperti misalnya masyarakat menjadi lebih permisif terhadap halhal negatif yang dulu sangat dilarang seperti perjudian, alkoholisme dan pergaulan bebas. Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus informasi
sehingga
menyebebkan
masyarakat
disekitar
perusahaan
pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial. Akumulasi
dari
persoalan-persoalan
diatas
pada
akhirnya
akan
menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan (beserta pendatang) yang akan berujung pada resistensi dan penolakan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah mereka.
Untuk
menciptakan perubahan yang konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi masyarakat, diperlukan
partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan
kesesuaian dengan karakteristik lokal . Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak
8
mereka.
Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari
manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh piha lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan. Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan). Salah satu upaya
mengatasi dampak negatif tersebut serta untuk
menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, maka CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development). Program ini dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk meningkatkan
pendapatan
dan
keterampilan
melalui
bantuan
teknis,
pendampingan usaha atau bantuan modal dari industri yang bersangkutan. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka didalam penelitian ini penulis merumuskan dan mengkaji: 1. Bagaimana
pelaksanaan
program
pengembangan
masyarakat
yang
dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak? 2. Apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah?.
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan pernyataan diatas, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap masyarakat yang berada di sekitar lokasi perusahaan. 2. Menganalisis apakah terdapat
kontribusi dari pelaksanaan program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah.
9
1.4. Kegunaan Penelitian Laporan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak
yang terkait dalam program pengembangan masyarakat, menjadikan masukan referensi dalam semua kegiatan-kegiatannya dan sebagai bahan/dasar bagi kajian lebih lanjut tentang masalah ini.
10
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengembangan masyarakat Munculnya konsep pengembangan masyarakat (community development) sebagai paradigma baru dalam proses pembangunan di Indonesia memang cukup beralasan. Ketika realitas pembangunan terfokus pada pertumbuhan ekonomi yang besumber pada modal dan berpusat pada nilai industri, ternyata nilai-nilai yang sebenarnya hakiki dalam pembangunan seperti kemanusiaan, kemandirian dan prakarsa dalam masyarakat menjadi terabaikan. Di saat yang bersamaan,
pendekatan
pembangunan
lebih
bersifat
sentralistik
yang
mengedepankan perencanaan top down serta keseragaman telah berhasil melemahkan
kemandirian
masyarakat.
Hadirnya
konsep
pemberdayaan
masyarakat merupakan respon kritis terhadap pola pembangunan yang sentralistik dan seragam tersebut. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat
sebenarnya
berakar
pada
paradigma
pembangunan
yang
berorientasi pada manusi (people centered development). Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan
masyarakat,
yaitu
diharapkan
akan
mengurangi
tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development. Menurut TR. Batten dalam Surjadi (1979), seperti dikutip oleh Hamzah (2005) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses dimana anggotaanggota masyarakat desa pertama-tama mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka. Sedangkan pengembangan masyarakat menurut Dunham dalam Rukminto (2001) adalah berbagai upaya yang terorganisir yang dilakukan guna meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, terutama melalui usaha yang kooperatif dan mengembangkan kemandirian dari masyarakat perdesaan, tetapi hal tersebut dilakukan dengan bantuan teknis dari pemerintah ataupun lembaga-lembaga sukarela.
12
Definisi pengembangan masyarakat yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1956, yaitu : Community development is the processes by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrate these communities into the life of the nation and to enable them to contribute fully to national progress. This complex of processes is thus made up of two essential elements: the participation of the people themselves in efforts to improve their level of living with as much reliance as possible on their own initiative, and the provisions of technical and other service in ways which encourage initative, self-helf and mutual help and make these more effective, it is expressed in programmes designed a wide variety of specific improvements. These programmes are usually concerned with local communities because of the fact that the people living together in a locality have many and varied interests in common. Some of their interests are expressed in functional groups organized to further a more limited range of interests not primarily determined by lokality. (20th Repport to ECOSOC of the UN Administrative Communittee on Coordination, E/ 2931, annex III, New York, October 18th 1956, seperti dikutip oleh J. Bhattacharyya, 1972:4 dalam Taliziduhu Ndraha, 1987 : 72-73). Berdasarkan definisi tersebut, pengembangan masyarakat merupakan: (1) suatu proses baik upaya masyarakat yang bersangkutan berdasarkan prakarsa sendiri maupun kegiatan pemerintah, jadi lebih ditekankan sebagai suatu proses, metode dan gerakan daripada sebagai program, (2) meliputi dua komponen utama yaitu : pertama. Partisipasi masyarakat lokal, Kedua, bantuan dan pelayanan teknis dari pemerintah untuk mengembangkan partisipasi dan inisiatif tersebut serta (3) bekerja pada tingkat komunitas yang diikat dengan kepentingan yang sama sedangkan urusan yang bersifat khusus atau kepentingan kelompok ditangani oleh kelompok fungsional karena bukan merupakan kepentingan umum komunitas. Menurut Budimanta (2005) secara umum pengembangan masyarakat dapat didefinisikan
sebagai kegiatan mengembangkan masyarakat yang
diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosialekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya, sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik.
13
Sedangkan Marzali (2003) mendefinisikan pengembangan masyarakat sebagai sebuah proses tindakan sosial dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam perencanaan dan tindakan, menentukan kebutuhan dan masalah individu/bersama, membuat rencana individu/kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan persoalan, melaksanakan rencana dengan menyesuaikan diri secara maksimal dengan sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan jika diperlukan menambah sumberdaya ini dengan jasa dan materi dari badan-badan pemerintah dan non-pemerintah yang berasal dari luar komunitas. Lebih
lanjut
Marzali
(2003)
mengemukakan
bahwa
program
pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya “felt needs” dari komunitas tersebut. Ini bukanlah hal yang sederhana karena “felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan “felt needs” dari anggota-anggota
komunitas
secara
individu,
apalagi
dengan
pimpinan
komunitas. Selanjutnya “felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Gagal dalam menentukan “felt needs” dari komunitas bisa berakibat kegagalan dari program pengembangan masyarakat. Terminologi pemberdayaan dipahami oleh sebagian para ahli sebagai proses stimulus pemberian daya (power atau kekuatan) kepada masyarakat untuk mampu berbuat lebih dengan mengandalkan potensi dan kekuatannya sendiri. Menurut Rees dalam Trijono (2001), esensi pemberdayaan adalah proses perolehan kekuasaan (achieving power) dan segala perubahan sikap, perilaku dan tindakan politik untuk memperoleh kekuasaan tersebut. Mengacu pendapat seperti ini maka kita tidak bisa memahami proses pemberdayaan secara
sempurna
kalau
kita
tidak
memahami
dua
elemen
penting
pemberdayaan, yaitu kekuasaan (power) dan politik (politics). Kekuasaan disini adalah kekuasaan dalam arti luas yaitu kapasitas untuk bertindak, untuk mampu melakukan atau menghasilkan sesuatu. Sedangkan politik merupakan turunan dari eleman kekuasaan karena dalam setiap upaya memperoleh kekuasaan akan selalu membutuhkan adanya tindakan politik tertentu. Esensi politik yaitu aktivitas yang selalu diwarnai kerjasama, konflik, keputusan diantara orang, kelompok atau organisasi dalam alokasi dan penggunaan sumberdaya ekonomi, nilai dan ide. Dalam konteks pemberdayaan, politik mendorong masyarakat untuk terlibat dalam alokasi sumberdaya yang ada baik melalui kerjasama, konflik dan memutuskannya. Dengan dua elemen ini secara operasional, pemberdayaan
14
mampu menciptakan kesadaran masyarakat akan masalah yang dihadapi, tahu modal untuk menyelesaikan masalah, mampu menyusun alternatif pemecahan masalah serta akurat memilih alternatif terbaik penyelesaian masalah. Mengacu pada pemikiran tersebut, upaya pemberdayaan menurut (Sumodiningrat 1996 dalam Hamzah 2005), harus dilakukan melalui 3 (tiga) pandangan mendasar, yaitu Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi
masyarakat
berkembang.
Titik
tolaknya
adalah
pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan meningkatkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi yang dimiliki masyarakat. Dalam kerangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya memanfaatkan peluang. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Artinya proses pemberdayaan harus mencegah yang lemah menjadi bertambah lemah. Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya. Sebagai sebuah konsep, pemberdayaan masyarakat sebenarnya berakar pada paradigma pembangunan yang berorientasi pada manusia (people centered development) seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Berbagai ciri dari pendekatan pembangunan yang bertumpu pada komunitas tersebut, secara substansial diarahkan untuk menciptakan kemandirian dan meningkatkan kemampuan
masyarakat,
yaitu
diharapkan
akan
mengurangi
tingkat
ketergantungan masyarakat pada pemerintah sehingga kemandirian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan dapat tercipta secara kokoh. Disisi lain pula, melalui pendekatan pembangunan ini akan menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development.
15
Pengembangan masyarakat harus didasarkan atas kekuatan-kekuatan lokal yang bersumber dari masyarakat sebagai pilar utama dalam upaya peningkatan taraf hidup masyarakat, sebagaimana dikemukakan oleh (Hellen Miller dalam Wiryosoemarto 1977 seperti dikutip oleh Khairuddin 2006) bahwa: “communitiy development is the term used to describe the approach wich many government have employed to reach their village people and to make more effective use lokal initiative and energy for increased production and better living standards”. Menurut UNDP dalam Rustiadi et al. (2005) pembangunan dan khususnya pembangunan manusia didefinisikan sebagai suatu proses untuk memperluas pilihan-pilihan bagi penduduk (a process of enlarging people’s choices). Dalam konsep tersebut penduduk ditempatkan sebagai tujuan akhir (the ultimate end), bukan alat, cara atau instrumen pembangunan sebagimana yang dilihat oleh model formasi modal manusia (human capital formation) sedangkan upaya pembangunan dipandang sebagai sarana untuk mencapai tujuan itu. Dalam kaitan dengan karakteristik pengembangan masyarakat, (Glen dalam Rukminto, 2001) menggambarkan bahwa ada tiga unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan pengembangan masyarakat, yaitu : 1. Tujuan dari pendekatan ini adalah memampukan masyarakat untuk mendefinisikan dan memenuhi kebutuhan mereka, menetapkan rasa kebersamaan
sebagai
suatu
komunitas
berdasarkan
ketetanggaan
(neighbourhood) dimana basis ketetanggaan merupakan salah satu bentuk lokalitas kegiatan. 2. Proses pelaksanaannya melibatkan kreatifitas dan kerjasama masyarakat ataupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Komunitas dilihat sebagai kelompok masyarakat yang secara potensial kereatif dan kooperatif merefleksikan idealisme sosial yang positif terhadap upaya-upaya kolaboratif dan pembentukan identitas komunitas. 3. Praktisi
yang
menggunakan
menggunakan pendekatan
model
intervensi
pengembangan
ini
pada
masyarakat
umumnya
yang
bersifat
nondirektif, artinya lebih banyak difokuskan pada peran sebagai “pemercepat perubahan” (enabler), ”pembangkit semangat” (encourager) dan “Pendidik” (educator). Masyarakat lebih cenderung untuk bertindak sesuai dengan apa yang mereka pilih, daripada apa yang telah diyakinkan oleh community worker untuk yang seharusnya mereka lakukan. Tetapi dalam kondisi tertentu
16
dapat memainkaan peran proaktif, terutama ketika individu ataupun kelompok tidak memiliki kepercayaan diri untuk mengorganisir suatu kegiatan di masyarakat. Dalam pengembangan masyarakat pertisipatif, masyarakat ditempatkan sebagai
subjek
pembangunan
yang
potensial
sehingga
mendorong
pembentukan motivasi dan perubahan partisipasi aktif masyarakat. Dengan pengembangan masyarakat partisipatif yang mengutamakan inner construction masyarakat, diharapkan masyarakat selanjutnya dapat membentuk dirinya sendiri dan bersikap mandiri dalam menghadapi setiap persoalan yang muncul. Menurut Rustiadi et al., (2005), Pengembangan lebih menekankan proses
meningkatkan
pengembangan adalah
dan
memperluas.
Dalam
pengertian
bahwa
melakukan sesuatu bukan dari “nol”, atau membuat
sesuatu yang sebelumnya tidak ada, melainkan melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada di masyarakat tetapi kualitas dan kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Jadi dalam hal pengembangan masyarakat tersirat pengertian bahwa masyarakat yang dikembangkan sebenarnya sudah memiliki kapasitas (bukannya tidak memiliki kapasitas sama sekali) namun perlu ditingkatkan kapasitasnya (capacity building). Sorotan pemberdayaan juga tidak terlepas dari peran pelaku-pelaku (aktor) yang terlibat didalamnya. Keberhasilan upaya pemberdayaan sangat ditentukan oleh peran pelaku-pelaku (aktor) untuk secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi yang dimiliki dengan dilandasi prinsip kolaboratif. Pelakupelaku
dimaksud
meliputi
dua
kelompok
yaitu
kelompok
yang
harus
diberdayakan, dalam hal ini adalah masyarakat dan kelompok yang menaruh kepedulian seperti pemerintah, organisasi sosial masyarakat (LSM), tokoh agama/ masyarakat serta pers. Menurut mazhab komunitarianisme pengembangan masyarakat harus dilaksanakan dengan pendekatan komunitas serta serba kolektivitas dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi kemasyarakatan. Mazhab ini memandang pengembangan masyarakat sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui partisipasi aktif penuh dan berdasarkan inisiatif lokal.
Menurut
mazhab ini juga, keterlibatan komunitas
sangat penting dalam menangani masalah-masalah sosial-ekonomi masyarakat, sehingga keterlibatan masyarakat lokal menjadi suatu keharusan. Peningkatan partisipasi aktif dan inisiatif lokal diperlukan dalam rangka mendekatkan
17
masyarakat dengan sumberdaya sosial ekonomi yang menjadi hak mereka. Masyarakat selayaknya mendapat bagian yang proporsional dari manfaat yang diperoleh dalam pengelolaan sumberdaya alam mereka oleh pihak lain diluar komunitas, memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi tersebut untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan. Sedangkan
mazhab
institusionalisme
memandang
pendekatan
pengembangan masyarakat harus dilaksanakan melalui pengaturan oleh kelembagaan dan atau organisasi sosial dalam menangani masalah sosialkemasyarakatan. Menurut mazhab ini, pengembangan masyarakat didekati melalui
perubahan
kelembagaan
kelembagaan
sebagai
(institutional
infrastruktur
change)
pengembangan
dan
wilayah.
penataan Menurut
pendekatan ini kelembagaan menjadi kata kunci penting suatu perubahan sosioekonomi regional.
Model pendekatan ini melibatkan aktor pembangun (swasta,
masyarakat, dan pemerintah daerah sebagai mediator). Di tingkat masyarakat, keberhasilan pendekatan ini akan dirasakan oleh masyarakat dalam upaya mengorganisir diri, meningkatkan proses demokratisasi, meningkatkan peran serta
(partisipatif),
pembangunan.
serta
mendudukkan
Keberhasilan
model
masyarakat
pendekatan
ini
sebagai akan
subyek mampu
"memberdayakan" aset potensi daerah guna mempercepat kemampuan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berkaitan dengan pelaksanaan Otonomi Daerah. Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat khususnya dalam rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi. Menurut Ife (2002) terdapat enam dimensi penting dari pengembangan masyarakat, yaitu: 1. Pengembangan Sosial, berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompokkelompok
swadaya
masyarakat,
masyarakat
adat,
komunitas
lokal,
organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based), serta aspek sosial
18
yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar 2. Pengembangan Ekonomi, mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah.
Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah,
memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat 3. Pengembangan Politik, memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat.
pengembangan
masyarakat sebagai upaya merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi di masyarakat (grassroot democracy). 4. Pengembangan Budaya, perhatiana yang lebih besar kepada nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, secara keseluruhan akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu maupun suatu bangsa. 5. Pengembangan Lingkungan,
kelestarian lingkungan yang menekankan
bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama. 6. Pengembangan
Pribadi/Keagamaan, peningkatan kualitas sumberdaya
manusia masyarakat lokal yang sarat dengan keterbatasan sehingga perlu diberdayakan dan disiapkan untuk menghadapi masa-masa setelah operasi perusahaan
berakhir,
juga
pengembangan
dari
segi
spiritualisme
masyarakat. Lebih lanjut, menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih.
19
Secara historis pengembangan masyarakat dapat dilihat dari periode pengembangan
masyarakat
Klasik
masyarakat kontemporen (1990-2000),
(1950-1980)
serta
pengembangan
terdapat perbedaan dari kedua periode
ini, diantaranya terletak pada prinsipnya, pendekatan utama, proses, peran aktor dan basis sosial untuk aktivitasnya. (Matriks.2.1)
Matriks 2.1 Perbedaan Pengembangan Masyarakat Klasik Dan Kontemporer. Pengembangan Faktor Pembeda
Masyarakat Klasik
Pengembangan Masyarakat Kontemporer
(1950-1980an)
(>1990)
Prinsip-prinsip Utama
Philantropis/charitatif
Pendekatan Utama
Assistancy approach
Self-help approach
Proses
Top-down
Bottom-up
Area Activities
Populisme/Popularisme
(derma)
of
Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan)
• Pembangunan infrastruktur fisik, pemberian bantuan alat, dan pemberian bantuan keuangan (Pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana airbersih, olahraga, peningkatan pendapatan, dan tempat peribadatan) • Pendampingan dan training (pertanian dan industri rumah tangga) • Lingkungan hidup
Peran aktor
aktor-
Peran aktor dari luar komunitas sangat dominan
Peran masyarakat lokal lebih dominan
Basis Sosial untuk setiap Aktivitas
Masyarakat yang mempunyai resiko terbesar terhadap dampak yang ditimbulkan
Masyarakat lingkar Perusahaan
(Disarikan dari berbagai sumber: ife,2002; Rustiadi et al ,2002 ;Christenson, James.A dan Robinson,JR, Jerry W. 1989)
20
Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan masyarakat di latar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa di identifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal. Sebagian besar perusahaan ektraksi berada di daerah pedalaman. Sementara fasilitas produksinya terbentang dalam area yang sangat luas. Secara fisikal, kontrol terhadap infrastruktur tersebut tidak mudah. Perusahaan minyak atau gas terletak di daerah terpencil dengan jaringan pipa yang panjang dan kompleks misalnya, sangat rentan dengan kemungkinankemungkinan dirusak atau disabotase oleh pihak yang merasa dirugikan oleh keberadaan perusahaan tersebut. Sementara itu banyak kasus menunjukkan bahwa keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut sarat konflik dengan masyarakat lokal. Baik konflik fisik maupun konflik laten merupakan faktor potensial untuk terjadinya kerusakan-kerusakan fasilitas produksi. Tujuan pengembangan masyarakat pada industri pertambangan dan migas menurut Budimanta (2005) adalah sebagai berikut: 1. Mendukung upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah (Pemda) terutama pada tingkat desa dan masyarakat untuk meningkatkan kondisi sosial-ekonomi-budaya
yang
lebih
baik
disekitar
wilayah
kegiatan
perusahaan. 2. Memberikan kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat. 3. Membantu
pemerintah
daerah
(Pemda)
dalam
rangka
pengentasan
kemiskinan dan pengembangan ekonomi wilayah. 4. Sebagai salah satu strategi untuk mempersiapkan kehidupan komunitas di sekitar lingkar tambang manakala industri telah berakhir beroperasi (life after mining). Di samping itu tujuan pengembangan masyarakat juga untuk meredusir dan meresolusi konflik yang terjadi antara peusahaan dengan masyarakat. Konflik tersebut tidak hanya terjadi karena masalah lingkungan hidup saja namun juga karena masalah kepemilikan tanah. Konflik mengenai masalah ini merupakan masalah umum yang terjadi pada perusahaan-perusahaan ektaktif. Sejak tahun 1980an sudah terjadi pertikaian secara sporadis yang disebabkan oleh masalah tanah misalnya adalah persengketaan yang terjadi antara masyarakat adat suku Dayak Benuaq dan Tonyoi yang tinggal di daerah
21
Kalimantan Timur dengan PT. Kelian Equatorial Mining (KEM); suku Dayak Siang, Murung, dan Bekumpai di propinsi Kalimantan Tengah dengan PT. Indomuro Kencana (Aurora Gold); masyarakat tradisional Amungme di Papua Barat dengan PT. Freeport Indonesia dan masyarakat adat di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur dengan PT. Kideco (Aman 2002). Pada titik tertentu, kondisi seperti ini menimbulkan penolakan-penolakan baik yangterjadi pada masyarakat maupun pemerintah daerah terhadap keberadaan
perusahaandan
terhadap
masyarakat.
Penolakan-penolakan
kegiatan-kegiatan
tersebut
terepresentasi
pengembangan dari
sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau memprotesnya. Sikap menolak seperti itu merupakan faktor penghambat terciptanya program yang keberlanjutan. Perusahaan dan masyarakat memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain. Secara
philantropis
perusahaan
seharusnya
meredistribusi
keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi mereka dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Menurut Suparlan (2003) model pengembangan masyarakat sebetulnya adalah bottom up yang dalam pelaksanaan bisa dibantu oleh pemerintah atau badan-badan non pemerintah, yang dalam hal ini adalah perusahaan tambang. Dalam perspektif ini pengembangan masyarakat adalah sebuah proses yang mana anggota-anggota sebuah komunitas mengorganisasikan diri mereka dalam kelompok atau kumpulan individu yang secara bersama merasakan kebutuhankebutuhan yang harus mereka penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi. Kelompok ini membuat rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang mereka harus penuhi dan masalah-masalah yang harus mereka atasi, dan berdasarkan atas itu mereka mengorganisasikan diri dalam bentuk kelompokkelompok atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya. Dalam pelaksanaannya mereka itu tergantung pada sumberdaya yang ada dalam komunitas, dan bila merasa kurang maka mereka akan meminta bantuan dari pemerintah atau badan-badan pemerintah. Lebih lanjut Suparlan (2003) mengatakan bahwa perbedaan antara model bottom up dan top down adalah, dalam model bottom up, ide perencanaan, dan
22
pelaksanaan kegiatan berasal dari anggota komunitas itu sendiri dan untuk kepentingan serta keuntungan mereka bersama. Sedangkan dalam model top down
ide
dan
perencanaan
berasal
dari
pembuat
kebijakan
(pemerintah/perusahaan), keuntungan hanya dapat diraup dan dinikmati oleh sejumlah orang dan sejumlah orang tersebut biasanya adalah yang tergolong sebagai tokoh atau yang berkuasa dan yang sudah kaya. Model top-down approach, menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus memalalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor- sektor lainnya dan perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan kedepan (foreward Sedangkan
linkages) konsep
dan
keterkaitan
bottom-up
kebelakang
approach,
yang
(backwared
linkages).
beranggapan,
bahwa
pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam “wilayah” itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut. Model top down dapat dikatakan sebagai model chariti atau pemberian hadiah atau sedekah dari yang kaya kepada yang lebih miskin. Perbedaan yang mendasar
dari
perencanaan dan
kedua pendekatan ini adalah terletak pada asal dari ide, pelaksanaan kegiatan. Permasalahan
dalam paradigma
pembangunan yang menerapkan sistem top-down approach
yang telah
berlangsung lama adalah tibulnya sindroma ketergantungan, dampak ini terlihat antara lain dari ciri-ciri masyarakat lebih senang diberi ‘ikannya’ dibandingkan dengan ‘kailnya’. Masyarakat lebih senang kalau yang datang ke daerahnya adalah investor bukan pendamping/fasilitator yang dianggap tidak memiliki uang untuk mereka. Dalam konteks mentalitas seperti ini masyarakat
cenderung
enggan berpartisipasi meski untuk kepentingan sendiri. Mereka kebanyakan memiliki anggapan bahwa dana-dana yang datang kepada mereka bersifat hibah sehingga tidak perlu di kembalikan dan dikembangkan. Permasalahanpermasalahan ini sedikit banyak menggambarkan semakin menurunnya tingkat keberdayaan masyarakat Budimanta (2003) mengatakan bahwa untuk komunitas yang berada dalam lingkar tambang, program pengembangan masyarakat dapat ditekankan pada tiga aspek dengan perhitungan yang sesuai dengan konteks tertentu
23
terhadap komunitas asli dan komunitas pendatang. Hal ini sangat menentukan keberhasilan program pengembangan masyarakat, ketiga aspek tersebut adalah : 1. Community services, merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan masyarakat, seperti : pembangunan fasilitas umum antara lain pembangunan atau peningkatan sarana trasportasi/jalan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, sarana peribadatan, peningkatan/perbaikan sanitasi lingkungan, pengembangan kualitas pendidikan (penyediaan bantuan guru, operasional sekolah), kesehatan (bantuan tenaga para medis, obat-obatan dan penyuluhan peningkatan kualitas sanitasi lingkungan pemukiman), keagamaan (penyediaan kiai, pendeta maupun penceramah-penceramah agama) dan lain sebagainya. 2.
Community empowering, adalah program-program yang berkaitan dengan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk menunjang kemandiriannya. Yang berkaitan dengan program ini adalah seperti pengembangan dan penguatan kelompok-kelompok swadaya masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based).
3.
Community
relation,
yaitu
kegiatan-kegiatan
yang
menyangkut
pengembangan komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait seperti konsultasi publik, penyuluhan dan sebagainya. Pandangan
lain
melihat
pengembangan
masyarakat
dari
sifat
operasionalisasinya di lapangan, yaitu: 1. Advokasi
(pendampingan), advokasi merupakan salah satu praktek
operasional pengembangan masyarakat yang bersentuhan dengan kegiatan politik. Melaului advokasi ini, masyarakat di bantu dan didampingi dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Advokasi
dapat dibagi dua: advokasi
kasus (case advocacy) dan advokasi kelas (class advocacy). Apabila advokasi dilakukan atas nama seorang klien secara individual, maka itu adalah advokasi kasus.
Advokasi kelas terjadi manakala klien yang
diadvokasi bukanlah individu melainkan sekelompok anggota masyarakat. 2. Technical Assistance (bantuan teknis/penyuluhan), dimana terbentuk pola kolaborasi antara aktor luar dan masyarakat setempat sehingga keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama dan sumberdaya yang dipakai
24
berasal dari kedua belah pihak, bantuan teknis dapat membantu masyarakat dalam menggambarkan masalah, kebutuhan dan solusi potensial. Bantuan teknis dimaksudkan untuk memperkuat kapasitas dari para penerima untuk meningkatkan kapasitas mereka. 3. Education (pendidikan dan penyadaran), kegiatan yang bersifat pendidikan dan pelatihan teknis bagi masyarakat dengan maksud agar masyarakat lebih memiliki kemampuan secara teknis dalam meningkatkan kesejahteraannya. 4. Coercion (pemaksaan), yaitu suatu partisipasi untuk ikut serta dalam suatu kegiatan yang dianggap dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat secara tidak sukarela tetapi melalui suatu paksaan (mobilisasi). 5. Supervision (pengawasan),
pengawasan terhadap terhadap kegiatan
masyarakat dengan maksud untuk untuk
memberikan supervisi yang
dibutuhkan oleh masyarakat. 2.2. Pengembangan Wilayah Salah satu prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam pengembangan wilayah adalah bahwa setiap wilayah (region) memiliki karakteristik wilayah yang berbeda-beda, sehingga pendekatan yang dilakukan dalam pengembangan wilayah harus didasarkan pada karakteristik wilayah masing-masing. Pengembangan suatu wilayah harus disesuaikan dengan potensi yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Untuk itu perlu diketahui penggerak utama (prime mover) yang ada di wilayah tersebut. Prime mover adalah suatu potensi yang dapat dikembangkan menjadi pusat industri besar yang membutukan front-end invesment yang besar, dan dapat bertahan untuk waktu puluhan tahun. Prime mover dapat berupa (1) tambang mineral; (2) tambang minyak; (3) tambang gas; (4) hutan industri; (5) industri perikanan dengan segala penunjangnya; (6) industri pertanian; (7) pusat industri jasa; (8) pusat pendidikan; dan (9) pusat penelitian dan pengembangan. Bila suatu wilayah telah memiliki prime mover, maka pengembangan wilayah dikaitkan dengan aktivitas yang berputar disekitar prime mover tersebut (Zen 2001 dalam Hamzah 2005). Paradigma pembangunan yang dianut selama ini berdasarkan keyakinan atas teori Simon Kusnetz, yang terkenal dengan temuan kurva-U terbalik, bahwa untuk negara-negara yang berpendapatan rendah, pertumbuhan ekonomi harus mengorbankan pemerataan atau dengan kata lain harus ada trade-off antara pertumbuhan dengan pemerataan. Kenyataannya kita memilih industrialisasi
25
sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi (agregat) yang tinggi dengan harapan terjadi penetesan ke bawah (trickle down effect), tetapi jika strategi investasi besar (industrilaisasi) dilakukan secara berlebihan, sedangkan proses penetesan ke bawah (penyebaran pembangunan) ternyata tidak terlaksana maka terjadi ketidak seimbangan dan ketimpangan. Dikombinasikan dengan pemikiran
para ekonom Keynesian yang
melegitimasi perlunya peran (campur tangan) pemerintah dalam mengatur perekonomian nasional, maka dalam pelaksanaannya pembangunan banyak mengalami kegagalan (menyimpang dari tujuan semula) karena terjadi “misleading policy” yang menyesatkan. Kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang terlalu mengutamakan pertumbuhan, membawa implikasi yang cukup mendasar, antara lain terjadinya polarisasi pusat-pusat pertumbuhan (growth pole strategy) baik secara spasial maupun sektoral, pada lokasi atau sektor yang dianggap mempunyai keunggulan komparatif, bahkan juga terjadi polarisasi penguasaan aset ekonomi, aset ekonomi hanya dikuasai dan dinikmati oleh segolongan kecil penduduk yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dan sumberdaya. Kebijakan pembangunan demikian pada ahirnya diikuti dengan sejumlah eksternalitas (terutama negatif) yang menimbulkan biaya sosial yang tinggi bahkan tuntutan disintegrasi bangsa, karena terjadi berbagai ketimpangan (Anwar dan Rustiadi 2000). Teori pertumbuhan wilayah tidak seimbang (Imbalanced growth) yang dikemukakn oleh Myrdal, beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam
pengembangan wilayah. Yakni backward effect (proses
pengurasan sumberdaya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect yaitu gaya yang ditimbulkan oleh wilayah maju akan mendorong pengembangan wilayah belakang (hinterland). Pada wilayah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan wilayah. Alasan yang
mendasari pembangunan tidak seimbang adalah:1). secara historis
pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang, 2). untuk mempertnggi efisiensi penggunan sumberdaya yang tersedia, 3). pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottle necks) atau gangguan-
26
gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya. Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu teertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan secara tidak seimbang.
Perkembangan leading
sector akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga
dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan dinegara atau
wilayah berkembang karena wilayah-daera tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumberdaya. Pembangunan wilayah diarahkan utuk mencapai tujuan petumbuhan ekonomi (growth), pemertaan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) ekosistem. Anwar (1999), mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi ditentukan sejauh mana sumber-sumber yang langka
yang terdiri dari
sumberdaya manusia (human capital), peralatan (manmade capital) dapat dialokasikan untuk hasil yang maksimum, sehingga dimanfaatkan untuk kebutuhan manusia dalam meningkatkan kegiatan produktifnya. Semakin tinggi tingkat sumberdaya manusia yang digambarkan oleh tingkat kemampuan untuk penguasaan teknologi, maka semakin besar kemampuan untuk memanfaaatkan sumberdaya alam yang tersedia untuk mencapai pertumbuhan wilayah yang tinggi. Penggalian
potensi
sumberdaya
merupakan
prioritas
utama
meningkatkan pendapatan wilayah sehingga akan meningkatkan kemampuan wilayah dalam
dalam pelaksanaan pembangunan. Adanya peningkatan
pembangunan dapat mempercepat
perkembangan suatu wilayah.
Menurut
Susanto dan Ismail (2001) dalam Hamzah (2005) dalam era otonomi daerah sumberdaya
alam
merupakan
modal
utama dalam
pembangunan dan
peningkatan kesejahteraan masyarakat wilayah disamping modal-modal yang lain. Selanjutnya pemberian otonomi yang cukup juga perlu dilakukan karena seringkali masyarakat yang sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk
meyelesaikn suatu masalah di tingkat lokal tetapi tidak diberikan kewenangan. Dalam kondisi ini lebih efisien apabila otonomi yang cukup diberikan kepada masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan mereka.
yang terjadi di komunitas
Namun pemberian otonomi ini harus dilandaskan
pada capacity
27
building masyarakat yang cukup kuat agar pelaksanaannya bisa menjadi lebih efektif dan efisien. Karena itu investasi terhadap peningkatan human capital dan social capital menjadi prasyarat agar pembangunan di tingkat lokal bisa berhasil. Secara etimologis social capital mempunyai pengertian modal yang dimiliki oleh masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat. Modal ini merupakan perpaduan antara sesuatu yang bersifat material dan non material. Material mempunyai makna tentang kepemilikan berkaitan dengan aset-aset finansial yang dimiliki, sedangkan nonmaterial, modal berwujud adanya mutual trust (kepercayaan) dan gathering system (sistem kebersamaan) dalam suatu masyarakat. Di dalam masyarakat berkembang, modal sosial ini menjadi suatu alternatif
pembangunan
masyarakat.
Mengingat
sebenarnya
masyarakat
sangatlah komunal dan mempunyai banyak nilai-nilai yang sebenarnya sangat mendukung pengembangan dan penguatan modal sosial itu sendiri. Modal sosial memberikan pencerahan tentang makna kepercayaan, kebersamaan, toleransi dan partisipasi sebagai pilar penting masyarakat sekaligus pilar bagi demokrasi dan good governance. Modal sosial hanya dapat dibangun ketika tiap individu belajar dan mau mempercayai individu lain, sehingga mereka mau membuat komitmen yang dapat dipertanggung jawabkan untuk mengembangkan bentukbentuk hubungan yang saling menguntungkan (Putnam,1995). Pendekatan dalam mengembangkan modal sosial perlu menerapkan sosialisasi untuk membangun jaringan sosial dan memperkuat kohesi sosial. Kohesi sosial akan terbangun manakala ada trust, dan trust merupakan bentuk modal sosial yang paling penting yang perlu dibangun sebagai landasan dalam membina kemitraan antara pemerintah dan masyarakat.
Namun, trust pun tidak akan memadai
tanpa diimbangi dengan akuntabilitas dan transparansi, yang memberikan peluang bagi stakeholders untuk mengawasi atau memverifikasi tindakan atau keputusan yang dibuat pemerintah. Trust bersifat dinamis karena ia dapat tumbuh dan sebaliknya dapat hilang manakala mereka yang mendapat mandat kepercayaan ternyata tidak dapat bertanggung jawab (tidak akuntabel) terhadap mandat yang telah diberikan. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan
kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena
kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk
28
menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangan wilayah. Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan.
Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata
menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang dimaksud
adalah
sikap
mendukung
dari
warga
masyarakat
terhadap
penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukan dengan partisipasi aktif warga masyarakatnya (Nasdian 2002 dalam Supardian 2005). Dalam pelaksanaannya dilapangan, terdapat masalah-masalah pokok yang paling mendesak untuk segera ditangani berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan melalui pendekatan pengembangan masyarakat, diantaranya supremasi hukum yang masih lemah, sistem pemerintahan yang belum efektif, kualitas sumberdaya manusia yang rendah, potensi sosial ekonomi yang belum diberdayakan, kapasitas daerah dan pemberdayaan masyarakat yang belum optimal serta masih terbatasnya akses masyarakat terhadap berbagai sumber ekonomi. Dengan demikian, perencanaan pengembangan wilayah perlu didukung melalui program-program pengembangan yang relevan wilayah.
dengan karakteristik
Hal ini berarti bahwa program-program pengambangan wilayah
(Regional development programming) harus dilaksanakan dengan berorientasi pada kepentingan wilayah dan berdasarkan pada kebutuhan dan aspirasi yang berkembang dalam rangka pemerataan serta percepatan pembangunan wilayah. Pengembangan wilayah (regional development), menurut mazhab ecosustainability orientasinya harus lebih bersifat jangka panjang (long term) sehingga
kelestarian
sumberdaya
alam
akan
lebih
terjaga.
Konsep
pengembangan wilayah tidak hanya berbicara mengenai perhitungan teknis ekonomis, tetapi juga menyangkut pengelolaan sumberdaya alam. Riyadi (2002) menyatakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Sedangakan menurut Zen (2001) dalam Hamzah (2005), pengembangan wilayah merupakan upaya memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu
29
wilayah untuk memanfaatakn sumberdaya alam yang terdapat disekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan. Jadi pengembangan wilayah tidak lain dari usaha memadukan secara harmonis sumberdaya
alam,
sumberdaya
Manusia
dan
teknologi
dengan
memperhitungkan daya tampung (carrying capacity) dan daya dukung lingkungan. Kesemuanya itu disebut memberdayakan masyarakat (gambar 2.1).
Sumberdaya Manusia
Lingkungan hidup
Lingkungan hidup
Pengembangan wilayah
Teknologi
Sumberdaya Alam
Lingkungan hidup
Gambar 2.1. Hubungan antara Pengembangan wilayah, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi (Zen 2001 dalam Hamzah 2005).
Hal ini sejalan dengan apa yang di sampaiakan oleh Suhandoyo (2002) dalam Hamzah (2005), bahwa dalam pembangunan suatu wilayah, minimal ada tiga pilar yang perlu diperhatikan yaitu: Sumberdaya alam,sumberdaya manusia dan teknologi. Pilar sumberdaya manusia memegang peranan sentral karena mempunyai peran ganda dalam sebuah proses pembangunan. Pertama, sebagai obyek pembangunan sumberdaya manusia merupakan sasaran pembangunan untuk disejahterakan. Kedua, seumberdaya manusia berperan sebagai subyek (pelaku) pembangunan.
Dengan demikian, pembangunan suatu wilayah
30
sesungguhnya merupakan pembangunan yang berorientasi kepada manusia (people centre development), dimana sumberdaya manusia dipandang sebagai sasaran sekaligus pelaku pembangunan. Adapun tujuan utama pengembangan wilayah menurut Riyadi (2002) adalah menyerasikan berbagai kepentingan pembangunan sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam yang berada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran pembangunan wilayah yang diharapkan. Optimal berarti dapat dicapai tingkat kemakmuran yang sesuai dan selaras dengan aspek sosialbudaya dan dalam lingkungan alam yang berkelanjutan. Dengan demikian arah dan kebijaksanaan pengembangan wilayah pada prinsipnya mendukung dan memperkuat pembangunan wilayah yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional (Ary 2001 dalam Wahyudin 2005). Sedangakan sasaran utama yang banyak dicanangkan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat dalam pengembangan wilayahnya adalah meningkatkan pertumbuhan produktivitas (productivity growth), memeratakan distribusi pendapatan (income distribution), memperluas kesempatan berusaha atau menekan tingkat pengangguran (unemployment rate), serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara berkesinambungan (sustainable development) (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002 dalam Wahyudin 2005). Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pengembangan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan pokok) wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu tanpa terlalu memperhatikan
kaitannya dengan sektor-sektor lain.
Namun dalam orientasinya kedua konsep tersebut salng melengkapi, dimana pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pengembangan sektoral. Sebaliknya, pengembangan tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya sektor itu sendiri. Bahkan dalam hal ini dapat menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontra produktif dalam pengembangan wilayah (Riyadi, 2002). Suatu aspek yang tidak boleh dilupakan dalam usaha pengembangan wilayah ialah aspek lingkungan hidup. Masalah-masalah lingkungan hidup sudah pada tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan terus ketingkat perkotaan, dalam kegiatannya pengembangan wilayah (regional development) harus disertai oleh
31
pengembangan masyarakat. Selain memanfaatkan sumberdaya alam melalui teknologi, manusianya juga harus dikembangkan. 2.3.
Konsep Wilayah dan Pembangunan Menurut Rustiadi et al.(2005), di Indonesia berbagai konsep nomenklatur
kewilayahan seperti Wilayah, kawasan, wilayah, regional, area, ruang dan istilahistilah
sejenis,
banyak
dipergunakan
dan
saling
dapat
dipertukarkan
pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda. Ketidak konsistenan istilah tersebut kadang menyebabkan kerancuan pemahaman dan sering membingungkan. Lebih jauh Rustiadi et al.(2005) menjelaskan, secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur antara istilah wilayah, kawasan. Kawasan dan wilayah. Semuanya
secara
umum
dapat
diistilahkan
dengan
wilayah
(region).
Penggunaan istilah kawasan di Indonesia digunakan karena adanya penekanan fungsional suatu unit wilayah. Karena itu definisi konsep kawasan adalah adanya
karakteristik
hubungan dari fungsi-fungsi dan komoponen-komponen dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional.
Dengan semikian, setiap kawasan atau sub
kawasan memiliki
fungsi-fungsi khusus yang tentunya memerlukan pendekatan program tertentu sesuai dengan fungsi yang dikembangkan tersebut. Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batasbatas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah didalamnya. (Isard 1975 dalam Rustiadi et al. 2005). Menurut (Glasson 1990 dalam Rustiadi et al. 2005), wilayah sebagai
kesatuan area
geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut. Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. Sedangkan pengertian kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.
Sementara itu pengertian wilayah walaupun tidak disebutkan
32
secara eksplisit namun umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif. Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Selanjutnya dijelaskan bahwa wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu: (1) wilayah homogen (uniform/homogeneous region), adalah wilayah yang dipandang dari satu aspek/kriteria mempunyai sifat/ciri-ciri yang relatif sama misal dari aspek ekonomi struktur produksi dan konsumsi homogen. (2) wilayah nodal (nodal region), adalah wilayah yang secara
fungsional mempunyai
ketergantungan antara pusat (inti) dan wilayah belakangnya (hinterland), (3) wilayah perencanaan (planning region / programming region), adalah wilayah yang memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan ekonomi dan; (4) wilayah administratif (administrative region), adalah wilayah yang batasbatasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik, seperti: provinsi, kabupaten, kecamatan, desa/kelurahan dan RT/RW. Terdapat beberapa perspektif dalam memandang wilayah, pertama, perspektif spatial-fungsionalisme yang memandang wilayah secara fungsional berdasarkan fungsi tertentu dari suatu unit wilayah. Dalam hal ini, fungsi bisa terkait dengan fungsi sosial, ekonomi, budaya maupun politik. Berbeda dengan wilayah homogen, konsep wilayah fungsional justru menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. perspektif Kulturalisme
Kedua,
melihat wilayah sebagai teritori yang diatasnya
terbangun komunitas yang membangun konfigurasi budaya. Dalam konteks perspektif ini tumbuhnya aktivits sosio-ekonomi atau kehidupan secara umum disebabkan oleh adanya interaksi antara manusia dan sumberdaya alam lokal sepanjang waktu. Ketiga, Perspektif Pengaturan-Institutionalisme memandang wilayah sebagai kesatuan kelembagaan pengaturan, legislasi, eksekusi, atau manajemen pembangunan wilayah. Berbagai konsep nomenklatur kewilayahan banyak dipergunakan dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Matriks 2.2).
33
Matriks 2.2. Definisi Nomenklatur Kewilayahan KONSEP
DEFINISI
WILAYAH
• Menurut Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif atau aspek fungsional. • Menurut Budiharsono (2001), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. • Menurut Isard (1975) dalam Rustiadi et al (2005), Pengertian wilayah pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batasbatas tertentu, namun suatu areal yang memiliki arti (meaningfull) karena adanya masalah-masalah didalamnya. • Menurut Glasson (1990) dalam Rustiadi et al (2005),, wilayah sebagai kesatuan area geografis yang menggambarkan hubungan ekonomi, administrasi, formulasi dan implementasi dari pembuatan perencanaan dan kebijakan masyarakat dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut
KAWASAN
Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya (Undang-undang Nomor 26 tahun 2007)
TERITORIAL
Tempat yang dapat berwujud sebagai suatu Negara, Negara bagian , provinsi atau distrik dan perdesaan (Murty, 2000 dalam Rustiadi , et al. 2005)
REGIONAL/DAERAH
Umumnya dipahami sebagai unit wilayah berdasarkan aspek administratif.
Secara geofisik: Sebagai tempat kehidupan (Biosphere): Tempat Kehidupan Alamiah geosphere (permukaan kulit bumi hingga kedalaman ± 3 m dalam tanah dan ± 200 m dpl) atmosphere (hingga kira-kira 30 m diatas permukaan tanah). Tempat kehidupan yang dibatasi teknologi manusia batas ruang dimana teknologi manusia mampu menjangkau / mengakses / mengeksplorasi batas terbawah geosphere dan batas atmosphere / luar angkasa (Rustiadi, et al, 2005) sumber: Rustiadi, et al,( 2005), Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 RUANG/SPASIAL
Pembangunan adalah suatu proses kegiatan yang dilakukan dalam rangka mengembangkan atau mengadakan perubahan-perubahan kearah keadaan yang lebih baik. Selanjutnya di jelaskan bahwa teori pembangunan pada awalnya adalah teori pembangunan ekonomi yang merupakan suatu
34
rangkaian usaha dan kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu bangsa. Sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi dunia, teori pembangunan ekonomi tersebut berkembang kearah pendekatan politik, sosial budaya dan pendekatan menyeluruh pada setiap aspek kehidupan (holistik). Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multi dimensional yang mencakup berbagai
macam
perubahan
mendasar
atas
struktur
sosial,sikap-sikap
masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan
ekonomi,
pengentasan kemiskinan.
penanganan
ketimpangan
pendapatan
serta
Jadi pada hakekatnya pembangunan ini harus
mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material dan spiritual (Todaro, 2000).
Selanjutnya dijelaskannya pula bahwa
pembangunan wilayah bertujuan untuk mencapai pertumbuhan perdapatan perkapita yang cepat, penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, memperkecil disparitas kemakmuran antar wilayah/regional serta mendorong transformasi perekonomian yang seimbang antara sektor pertanaian dan industri melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia dengan tetap memperhatikan aspek kelestarianya (sustainable). Pemerataan pembangunan dalam suatau wilayah menjadi sangat penting untuk
menghindari
hal-hal
yang
dapat
menghambat
pembangunan.
Pemerataaan pembangunan (equity) bukan berarti identik dengan persamaan pembangunan (equality), tetapi lebih kearah adanya keseimbangan yang proporsional antara kemajuan suatu wilayah dengan wilayah lainnya, sesuai dengan potensi dan kondisi wilayah masing-masing. dalam konteks regional
menyangkut tingkat
Potensi suatu wilayah
kandungan sumberdaya alam,
kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia sampai kepada letak geografis suatu wilayah. Sedang kondisi suatu wilayah menyangkut keadaan infrastuktur sampai kepada jumlah penduduk yang merupakan asset sekaligus tujuan pembangunan agar tercapai kehidupan yang sejahtera (Hadi,2001). Penerapan otonomi daerah sudah saatnya untuk mengembangkan konsep pembangunan yang mampu mengurangi disparitas antara wilayah secara lebih menyeluruh melalui pembangunan inter-regional yang berimbang hal ini diperlukan karena perkembangan suatu wilayah sangat terkait dengan wilayah
35
lainnya.
Pembangunan inter-regoional yang berimbang adalah suatu bentuk
sinergi pembangunan antar wilayah dimana interaksi antara wilayah tersebut adalah dalam hubungan saling memperkuat dan nilai tambah yang terbentuk dapat terbagi secara adil (Rustiadi et al., 2005) Menurut
Ditjen
pembangunan desa
Bangdes
(1999
dalam
Supardian
2005),
tujuan
pada umumnnya adalah: (1) meningkatkan taraf hidup
masyarakat dengan segala aspek, baik bersifat fisik maupun mental spiritual, (2) meningkatkan kemampuan masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya yang tersedia, (3) menumbuhkan swadaya gotong royong, kemandirian dan keswasembadaan masyarakat dalam proses pembangunan di desa sehingga tidak terlalu tergantung kepada pemerintah. Pembangunan ekonomi perdesaan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi wilayah, tidak dapat dipungkiri telah menghasilkan sesuatu, dalam bentuk peningkatan taraf hidup sebahagian masyarakat desa, terealisasinya berbagai prasarana dan sarana yang memperluas pelayanan dasar kepada masyarakat desa.
Meningkatnya taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
ditandai
meningkatnya
dengan
konsumsi
sebagai
akibat
peningkatan
pendapatan dan meningkatnya pendapatan ini sebagi akibat dari meningkatnya produksi. Proses kesejahteraan tersebut hanya dapat terwujud apabila memenuhi asumsi-asumsi pembangunan yaitu kesempatan kerja sudah dimanfaatkan secara penuh (full employment), semua orang mempunyai kemampuan yang sama (equal productivity) dan setiap pelaku ekonomi bertindak rasional (rational-efficient) 2.4.
Pengembangan Wilayah Berbasis Sumberdaya Alam Selama lebih dari 30 tahun, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dilakukan dengan pola yang sentralistik dan cenderung eksploitatif sehingga menimbulkan berbagai ketidak adilan ditengah masyarakat. Semangat otonomii daerah membawa visi baru untuk mengubah pola-pola tersebut dan berusaha menata pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam, mengingat semakin menipisnya sumberdaya alam di Indonesia. Sumberdaya alam merupakan modal penting dalam menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, baik dalam konteks negara, provinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya aspek pemanfaatan sumberdaya alam merupakan
36
suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat kontribusi dalam pembentukan modal pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan melalui pembangunan mempunyai andil yang cuku besar dalam menggerakan roda perekonomian. dalam menjamin kelangsungan pembangunan, maka pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan cermat dengan mempertimbangkan fakor ekologis dalam rangka mengurangi akibat yang akan merugikan.
Pengelolaan
sumberdaya alam dilakukan untuk mencapai derajat keadilan dan kesejahteraan sosial-ekonomi yang lebih baik (better and sustainable socio-economic standard of living), serta kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable natural resources and environmental). Jumlah sumberdaya alam yang semakin menyusut menjadikannya sebagai barang langka dan menjadi sumber pendapatan daerah yang penting, oleh karena itu harus dikelola oleh pihak yang berkompeten. Penduduk lokal dianggap tidak akan berkompeten dalam mengelola sumberdaya alam yang ada di wilayahnya.
Apalagi sumberdaya alam tersebut dianggap sangat penting
sehingga perlu pengaturan dari tingkat pusat, maka wilayah tempat dimana sumberdaya alam itu berada seringkali terpinggirkan dan tidak mendapat manfaat dari sumberdaya alam yang melimpah diwilayahnya, hal ini akan mengakibatkan
terjadinya
konflik
antara
masyarakat
dengan
pengelola
sumberdaya alam tersebut. Untuk mengurangi tingkat konflik yang terjadi maka pengelolaan sumberdaya alam dalam pelaksanaannya harus bermitra dengan masyarakat lokal. Kemitaraan merupakan upaya bersama untuk memperkuat kamampuan membangun kemandirian. Pola kemitraan ini muncul sebagai sebuah respon atas tuntutan kenutuhan atas manajemen pengelolaan sumberdaya alam yang menuntut lebih demokratis dan lebih mengakui perluasan akses bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. pengelolaan bersama sumberdaya alam merupakan suatu pendekatan yang menyatukan sistem-sistem pengelolaan pada tingkat lokal dan negara. Sundawati dan Trison (2006) menyatakan, berbagai bentuk pengelolaan bersama dapat merupakan representasi dari berbagai tingkat partisipasi, masingmasing menyiratkan tingkatan kekuatan yang dimiliki pemerintah, masyarakat, perusahaan atau pihak terkait lainnya.
Dalam merumuskan sebuah konsep
pengelolaan bersama, ada banyak alasan yang dapat diberikan mengapa harus
37
menyertakan masyarakat karena memungkinkan: 1) merumuskan persolan bersama lebih efektif, 2) mendapatkan informasi dan pemahaman diluar faktor ilmiah, 3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang dapat diterima dan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, 4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan
penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan, 5)
merumuskan persoalan dengan lebih efektif. Dalam pengelolaan sumberdaya alam maka kebijakan yang harus dibangun untuk mengolah dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya dengan memperhatikan hak dan kewajiban pada tingkatan individual, komuniti dan negara atas dasar prinsip keberlanjutan (sustainability). Mengingat keragaman yang besar dalam hal strategi pengelolaan sumberdaya alam serta kondisi sosial-budaya komunitas-komunitas penggunanya, maka penetapan batas-batas wilayah pengelolaan seyogianya memperhatikan kondisi
ekologi
setempat dengan melibatkan partisiapasi komuniti pengguna. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar perlu memperhatikan kelangsungan
hidup
masyarakat
dan
kebudayaan
penduduk
setempat,
pembagian hasil dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup yang layak bagi kemanusiaan serta dapat meningkatkan pembangunan dan pengembangan wilayah dimana sumberdaya alam itu berada. Walaupun
Sumberdaya
alam
merupakan
modal
penting
dalam
menggerakan roda pembangunan disuatu daerah, tetapi dalam pelaksanaannya dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu kebijakan, ketersediaan informasi
sumberdaya alam yang akurat, tenaga kerja yang berkualitas serta modal dan manajemen. (Susanto dan Ismail 2001 dalam Hamzah 2005). Industri pertambangan merupakan industri yang bersifat ekstraktif, padat modal dan padat teknologi yang didominasi oleh penanaman modal asing (PMA) dan tergolong kedalam perusahaan-perusahaan Trans National Corporations (TNCs). Sebagian besar investasi industri pertambangan di Indonesia adalah penanaman modal asing (PMA). Pembangunan ekonomi dengan berbasis industri yang bersifat ekstraktif dan didominasi oleh investasi asing pada dasarnya dicerminkan oleh terjadinya perubahan aliran baru yang menyangkut arus pendapatan dan manfaat (benefit) kepada mayarakat lokal, regional dan bahkan sampai kepada tingkat nasional. Namun kebanyakan proyek industri ekstraktif belum memberikan manfaat yang
38
sangat besar kepada masyarakat lokal terutama kepada mereka yang tinggal disekitar proyek tersebut. Sebagai akibat dari dominannya investasi asing dan kecilnya nilai royalti yang diterima oleh negara pada sektor ini, menyebabkan keuntungan secara ekonomi akan terangkat ke negara-negara pemilik saham. dalam hal ini berarti telah terjadi
leakages syndrome, yaitu kebocoran ekonomi lokal berupa
penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar wilayah.
Berdasarkan
hasil penelitian Price waterhouse Coopers (PwC) tentang pembelanjaan yang dilakukan ole 12 perusahaan pertambangan besar di Indonesia sejak 1994-1998, ternyata hampir 95,3 persen digunakan untuk pembelian lewat impor dan hanya sekitar 4,7 persen saja yang tinggal di dalam negeri (Jatam 2004 dalam Hamzah 2005). Berdasarkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari sumberdaya alam pada tahun 2003 diperkirakan mencapai Rp. 49,5 Triliun atau sekitar 73,9 persen dari total PNBP.
Sumbangan tersebut berasal dari
pendapatan sektor-sektor seperti minyak dan gas bumi (94,1%), pertambangan umum (2,8%), kehutanan (2,4%) dan lain-lain (0,6%). Berdasarkan angka-angka tersebut sebenarnya kontribusi sektor pertambangan lebih rendah dari sektor kehutanan karena kontribusi sektor kehutanan tersebut hanyalah dari nilai guna langsung yang hanya 5-7% dari seluruh nilai hutan (Kartodihardjo,2004). Sebagai akibat dari dominannya investasi asing juga dapat menyebabkan terjadinya dependency syndrome yaitu berupa ketergantungan ekonomi lokal pada investasi asing yang menyebabkan kemiskinan makin parah akibat industrialisme. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Todaro (1999) bahwa perusahaanperusahaan
TNCs
senantiasa
mencari
peluang
ekonomi
yang
paling
menguntungkan, dan mereka tidak bisa diharapkan untuk memberikan perhatian kepada
masalah
kemiskinan,
ketimpangan
pendapatan
dan
lonjakan
pengangguran. Pengelolaan sumberdaya alam oleh pihak luar diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan masyarakat sekitar. Hal ini diperlukan mengingat area pengelolaan sumberdaya panas bumi berada pada wilayah perdesaan yang aksesibilitas masyarakatnya rendah karena berada jauh
dari pusat Pemerintahan.
Letak yang jauh ini sering menjadi
penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga
39
tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang. Teori yang dikemukakan oleh Christaller (1930) dalam Rustiadi et.al (2005) merupakan landasan teori yang dapat menjelaskan pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan
lokasi industri dan
pertumbuhan
perkotaan yang berkaitan dengan pelayanan perkotaan (Urban Services). Menurut
teori
christaller,
spesialisasinya permintaan
pertumbuhan
dari
kota
bergantung
pada
dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangakan tingkat
akan
pelayanan
perkotaan
oleh
wilayah
sekitarnya
akan
mementukan kecepatan pertumbuhan kota atau tempat pemusatan tersebut. Dengan kata lain dikemukakan bahwa pertumbuhan suatu wilayah perkotaan adalah
fungsi
dari
jumlah
penduduk
dan
tingkat
pendapatan
wilayah
belakangnya (hinterland), dan laju atau tingkat pertumbuhannya tergantung pada laju dari peningkatan permintaan wilayah belakang atas barang dan pelayanan perkotaaan. Von Thunen (1826) dalam Rustiadi et al. (2005) telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut Von Thunen, jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pada aksesibilitas relatif. Weber (1929) dalam Rustiadi et.al (2005), yang pertama kali mengembangkan teori lokasi, berpendapat bahwa lokasi dari satu perusahaan tergantung pada rendahnya biaya transportasi dan upah buruh. Tempat dengan biaya transportasi dan upah buruh yang minimum adalah identik dengan tempat atau lokasi dengan keuntungan maksimum. Akibatnya, sejak perusahaan diasumsikan
memakasimumkan
keuntungan,
kriteria
pemilihan
lokasi
didasarkan pada meminimumkan biaya transportasi dan upah. Tetapi teori lokasi Weber hanya dapat diterapkan untuk perusahaan yang tidak berbasis sumberdaya alam. Perusahaan pertambangan atau perusahaan berbasis sumberdaya alam tidak dapat menerapkan teori weber tersebut, hal ini dikarenakan sifat dari sumberdaya alam yang diekploitasi tidak dapat dipindahkan ketempat lain dan hanya dapat di ekstrak di tempat dimana sumberdaya
itu
berada.
Hal
ini
menyebabkan
perusahaan-perusahaan
pertambangan harus melakukan prosese produksinya di wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan yang dianggap sebagai pusat pertumbuhan, sehingga wilayah tersebut relatif lebih tertinggal dalam hal kualitas sumberdaya
40
manusia, tingkat kesejahteraan serta dalam ketersediaan infra struktur. Akibatnya harapan masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadi lebih besar kepada perusahaan pertambangan untuk mengatasi keterbelakangan dalam pembangunan. 2.5.
Industri Panas Bumi (geothermal) Menurut Undang-Undang nomor 27 tahun 2003 tentang Panas bumi,
panas bumi adalah sumber energi panas yang terkandung di dalam air panas,uap air dan batuan bersama mineral ikutan dan gas lainnya yang secara genetik semuanya tidak dapat dipisahkan dalam suatu sistem panas bumi dan untuk pemanfaatannya diperlukan proses penambangan. Industri panas bumi adalah industri yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi melalui pengeboran sumur-sumur penghasil uap panas yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan energi listrik dan berbagai keperluan lainnya. Panas bumi berasal dari magma dalam perut bumi yang memanasi batuan yang menyelimutinya. Ketika resapan air dari permukaan bumi bertemu dengan batuan ini akan mengalami pemanasan membentuk air panas yang mengalir kembali ke permukaan melalui bidang retakan dan patahan di lapisan batuan kulit bumi.
Apabila air panas dapat
muncul kepermukaan bumi dan bebas dari tekanan hidrostatis maka akan berubah menjadi uap panas dan muncul sebagai geyser, kubangan lumpur panas atau mata air panas. Air panas yang tidak dapat mengalir ke permukaan bumi karena terperangkap di dalam cap rock di atas batuan panas membentuk reservoir yang mengurung air panas dengan temperatur dan tekanan yang sangat tinggi, maka untuk memperoleh uap panas tersebut dilakukan pengeboran (drilling). Potensi energi panas bumi di Indonesia yang mencapai 27 GWe sangat erat kaitannya dengan posisi Indonesia dalam kerangka tektonik dunia. Ditinjau dari munculnya panas bumi di permukaan per satuan luas, Indonesia menempati urutan keempat dunia, bahkan dari segi temperatur yang tinggi, merupakan kedua terbesar. Sebagian besar energi panas bumi yang telah dimanfaatkan di seluruh dunia merupakan energi yang diekstrak dari sitem hidrothermal, karena pemanfaatan dari hot-igneous system dan conduction-dominated system memerlukan teknologi ekstraksi yang tinggi. Sistem hidrothermal erat kaitannya dengan sistem vulkanisme dan pembentukan gunung api pada zona batas
41
lempeng yang aktif di mana terdapat aliran panas (heat flow) yang tinggi. Indonesia terletak di pertemuan tiga lempeng aktif yang memungkinkan panas bumi dari kedalaman ditransfer ke permukaan melalui sistem rekahan. Posisi strategis ini menempatkan Indonesia sebagai negara paling kaya dengan energi panas bumi sistem hidrothermal yang tersebar di sepanjang busur vulkanik. Sehingga sebagian besar sumber panas bumi di Indonesia tergolong mempunyai entalpi tinggi. Panas bumi merupakan sumber daya energi baru terbarukan yang ramah lingkungan (clean energy) dibandingkan dengan sumber energi fosil. Dalam proses eksplorasi dan eksploitasinya tidak membutuhkan lahan permukaan yang terlalu besar. Energi panas bumi bersifat tidak dapat diekspor, maka sangat cocok untuk untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri. Sampai tahun 2004, sebanyak 252 area panas bumi telah di identifikasi melalui inventarisasi dan eksplorasi. Sebagian besar dari jumlah area tersebut terletak di lingkungan vulkanik, sisanya berada di lingkungan batuan sedimen dan metamorf. Dari jumlah lokasi tersebut mempunyai total potensi sumber daya dan cadangan panas bumi sebesar sekitar 27.357 MWe. Dari total potensi tersebut hanya 3% (807 MWe) yang telah dimanfaatkan sebagai energi listrik dan menyumbangkan sekitar 2% dalam pemakaian energi listrik nasional. (Wahyuningsih 2005).
Gambar 2.2. Peta Distribusi Lokasi dan Wilayah Pertambangan Panas Bumi (Wahyuningsih,2005).
Sebanyak 252 lokasi panas bumi di Indonesia tersebar mengikuti jalur pembentukan gunung api yang membentang dari Sumatra, Jawa, Nusa
42
Tenggara, Sulawesi sampai Maluku (gambar 2.2). Dengan total potensi sekitar 27 GWe, Indonesia merupakan negara dengan potensi energi panas bumi terbesar di dunia. Sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan, potensi energi panas bumi yang besar ini perlu ditingkatkan kontribusinya untuk mencukupi
kebutuhan
energi
domestik
yang
akan
dapat
mengurangi
ketergantungan Indonesia terhadap sumber energi fosil yang semakin menipis. Potensi sebesar ini diharapkan dapat memenuhi target pengembangan panas bumi untuk membangkitkan energi listrik sebesar 6000 MW di tahun 2020. Energi panas bumi merupakan sumber energi alternatif yang dapat diandalkan ditengah kelangkaan energi yang bersumber dari minyak bumi dan gas alam karena Energi panas bumi memiliki karakteristik antara lain : 1. Dapat terbarukan, artinya energi panas bumi akan tetap ada selama bumi ada sehingga jumlahnya hampir tak terbatas; 2. Energi yang bersih dan ramah lingkungan karena dengan teknik reinjeksi air limbah ke dalam perut bumi akan membawa manfaat ganda yaitu selain untuk menghindari adanya pencemaran air, juga diperlukan untuk mengisi kembali reservoir air dalam perut bumi. 3. Pada umumnya ladang-ladang panas bumi memunculkan fenomena alam yang sangat unik dan indah sehingga potensial untuk dikembangakan sebagai wilayah tujuan wisata. Terbatasnya jumlah pasokan energi yang tersedia, mengakibatkan gencarnya kegiatan eksplorasi sumber-sumber energi baru untuk memenuhi kebutuhan terhadap energi tersebut, yang dalam prosesnya sering menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Hasil penelitian terhadap penggunaan energi listrtik menunjukan bahwa penggunaan energi mengalami perubahan sebesar 7,3 persen pertahun. Penggunaan energi fosil masih mendominasi yaitu sebesar 95 persen. Sedangkan energi terbarukan (renewable) yaitu panas bumi masih berkisar 5 persen. Pengelolaan energi selama 25 tahun terakhir menunjukan tidak adanya peningkatan yang besar pada pangsa energi terbarukan, ini berarti eksplorasi dan eksploitasi energi terbarukan di Indonesia masih berpotensi besar untuk dikembangkan dimasa yang akan datang. Industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah desa Kabandungan kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi dikelola oleh CHV , CHV merupakan pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak. Kontrak ini ditandatangani pada tahun 1982 antara Pertamina, PLN dan Unocal Geothermal Indonesia,Ltd. (UGI). Dari tahun 1983 –1986 dilakukan proses studi
43
rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina. Tahun 1989 penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina. Pada tahun 1994, UGI memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW, kemudian pada tahun yang sama diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW, sehingga pada tahun 1997 UGI melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW. Pada tahun 1998–2002 dilakukanlah renegosiasi kontrak dan akhirnya pada bulan Juli 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak. Kemudian pada tahun 2002 UGI diakuisisi oleh CHV (Azof.,2002 ). 2.6.
Dampak Industri Pertambangan Setiap kegiatan pembangunan yang dilakukan akan selalu membawa
dampak terhadap masyarakat baik dampak positif maupun negatif. Begitu pula di bidang pertambangan, dampak-dampak timbul akibat industrialisasi tersebut berupa dampak sosial,ekonomi maupun lingkungan. Pengusahaan pertambangan memiliki peran yang strategis dan kontribusi yang besar terhadap pembangunan di daerah. Sebab dengan pengusahaan pertambangan didaerah, otomatis akan membentuk komunitas baru dan pengembangan wilayah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah kegiatan pengusahaan pertambangan. Pengembangan wilayah yang demikian akan membawa pengaruh terhadap perekonomian daerah. Kontribusi perusahaan pertambangan nasional
melalui
penerimaan
negara
terhadap pembangunan secara
sangat
besar,
namun
terhadap
pengembangan masyarakat sekitar dan pembangunan wilayah belum maksimal, program pengembangan masyarakat dan program pembangunan lainnya belum merupakan jaminan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat sekitar, terutama pasca pertambangan, tetapi masi sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan usaha pertambangan. Menurut Muhammad (2000) dampak positif dari kegiatan pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) 3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat sekitar 4. Meningkatkan usaha mikro masyarakat sekitar
44
5. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat sekitar 6. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekitar, Sedangka dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan pertambangan adalah: 1. Terjadinya penurunan kualitas lingkungan hidup 2. Penurunan Kualitas hidup masyarakat lokal 3. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan 4. Terjadinya pelanggaran HAM Saleng (2004) dalam Hamzah (2005) menyatakan bahwa pengusahaan pertambangan di wilayah yang relatif terpencil atau wilayah yang baru dibuka, seringkali masyarakat pendatang jauh lebih maju dan sejahtera serta memiliki semangat bersaing (competition spirit) yang tinggi ketimbang masyarakat asli setempat. Perbedaan kesejahteraan dan semangat bersaing ini pada akhirnya akan menjadi penyebab konflik sosial antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang. Ketidakadilan akses dan ketidakmerataan pembagian keuntungan ekonomi wilayah yang diterima oleh lokalitas berpotensi memicu terjadinya konflik sosial. Keberadaan industri pertambangan disamping memberikan dampak terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan teknologi dan arus informasi
sehingga
menyebebkan
masyarakat
disekitar
perusahaan
pertambangan kurang mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk menjembatani ketimpangan-ketimpangan tersebut maka program pengembangan masyarakat menjadi suatu pilihan untuk meminimalisir dampak negatif dari kegiatan pertambangan dengan strategi pengembangan masyarakat yang berorientasikan pada upaya reduksi intensitas dampak, strategi netralisasi dampak negatif, strategi remediasi atau kuratif (pengobatan).
45
2.7.
Hubungan Industri dan Pengembangan Masyarakat Menurut Parker (1992) dalam Supardian (2005) dalam arti luas industri
yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat didalamnya sangat mempengaruhi masyarakat dimana industri itu berada. Pengaruh tersebut dapat berupa nilai-nilai, pengaruh fisik dan usaha industrial interest group untuk mempengaruhi masyarakat. Begitu juga dengan industri panas bumi, kehadiran industri panas bumi dapat menimbulkan perubahan dalam masyarakat, seperti terjadinya diversifikasi nafkah, perubahan lingkungan dan peningkatan kualitas sumberdaya masyarakat sekitar. Sebagai nilai baru, perubahan yang muncul akan beradaptasi dengan karakteristik lokal yang sejak lama mendasari pola interaksi kehidupan masyarakat perdesaan yang masih kental.
Agar tercipta perubahan yang
konstruktif dan tidak menimbulkan resistensi
masyarakat,
maka diperlukan
partisipasi dan inisiatif lokal untuk menciptakan kesesuaian dengan karakteristik lokal hal ini dapat dilakukan melalui progrsm pengembangan masyarakat. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan haknya terhadap sumberdaya alam di era otonomi daerah yang selama ini dikelola oleh perusahaan, membuat masyarakat menjadi sangat kritis dan reaktif ada hal-hal kecil pasti dapat menjadi pemicu kereaktifan mereka, karena mereka mengharapkan sesuatu dari Perusahaan. Sehingga dalam rangka mengamankan operasi perusahaan dan membina hubungan dengan masyarakat lokal maka perusahaan mulai menyadari betapa pentingnya memberdayakan masyarakat sekitar.
Banyak perusahaan yang sudah mulai menyadari bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR)
merupakan
insentif bukan beban. Dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) panas bumi
memiliki kewajiban
melaksanakan
program
pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat setempat. UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU yang mengatur lebih rinci tentang pelaksanaan CSR yang kemudian dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 tentang petunjuk pelaksanaan program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL), yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR.
46
Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) Dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1). sebagai implementasi dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas, maka industri pertambangan harus melaksanakan program pengembangan masyarakat. Selama ini CSR mendapatkan tiga pemaknaan atau labelling yang berbeda-beda: (1) sebagai corporate image building, yaitu sekedar memperbaiki citra perusahaan agar seolah-oleh pro-rakyat miskin (pro-poor), (2) sebagai aksesories perusahaan agar mendapatkan legitimasi sosial lebih kuat di mata masyarakat luas, (3) benar-benar ingin mewujudkan komitmen sosial dan pemberdayaan masyarakat lokal, menempatkan CSR sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan bahkan kebutuhan dan menjadikannnya sebagai modal sosial. Diperlukan
perubahan
pendekatan
pengelolaan
pengembangan
masyarakat yang lebih tanggap terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan pendekatan tersebut didasari oleh tuntutan internal perusahaan (internally driven) yang pada akhirnya menyadari bahwa tanpa perubahan/inovasi sistem, maka perusahaan akan terjebak dalam jejaring tuntutan jangka pendek yang sangat tidak strategis. Perusahaan memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan sosial sekitar yang dalam pelaksanaannya tidak hanya dimaksudkan untuk membangun Image positif (image building) perusahaan tetapi juga untuk memberikan manfaat terbesar baik bagi pengembangan masyarakat lokal maupun peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya. Mantan Perdana Mentri Thailand, Anand Panyarachun dalam Asian Forum on Corporate Sosial Responsibility
tanggal 18 September 2003 di
Bangkok, mengemukakan bahwa CSR dipandang sebagai suatu keharusan untuk
membangun
citra
yang
baik
dan
terpercaya
bagi
perusahaan.
Melaksanakan praktik-praktik yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial akan meningkatkan nilai pemegang saham dan berdampak pada peningkatan prestasi keuangan serta menjamin sukses berkelanjutan bagi perusahaan.
47
Dalam pelaksanaannya CSR menekankan pada tiga aspek utama, yaitu: pertama, aspek sosial yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar, kedua, aspek ekonomi yang menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat; ketiga, aspek kelestarian lingkungan yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama. CSR seharusnya dijadikan nilai inti (core value) dalam menjalankan usaha sebagai bentuk investasi jangka panjang, tidak hanya semata-mata diartikan sebagai beban biaya perusahaan serta merupakan modal sosial yang diperlukan oleh perusahaan untuk memperoleh citra positif dan kepercayaan masyarakat sehingga perusahaan secara politis acceptable karena memperoleh legitimasi dan izin operasional dari masyarakat. Kelancaran usaha tersebut akan berimplikasi kepada peningkatan prestasi usaha dari perusahaan yang bersangkutan. Kehadiran industri pada suatu wilayah memberikan pengaruh terhadap masyarakat sekitarnya. Dalam arti luas, industri yang berkaitan dengan teknologi, ekonomi, perusahaan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya telah sangat mempengaruhi masyarakat. Pegaruh tersebut bisa berupa nilai-nilai, pengaruh fisik
terhadap
masyarakat
atau
usaha
industrial
interest
group
untuk
mempengaruhi masyarakat. Pengaruh industri terhadap masyarakat sekitar menurut Smelser dalam Schneider (1984), seperti yang dikutip oleh Wahyudin (2005) terdapat dalam empat proses yang berbeda tapi saling berhubungan, yaitu: 1. Dalam bidang teknologi, masyarakat mengalami perubahan dari penggunaan teknik-teknik yang sederhana dan tradisional kearah penggunaan teknologi dan pengetahuan ilmiah; 2. Dalam bidang pertanian, masyarakat sedang beralih dari pertanian untuk penggunaan (subsisten) kearah produksi hasil pertanian untuk pasaran; 3. Dalam bidang industri, masyarakat sedang mengalami suatu peralihan dari penggunaan
tenaga
manusia
dan
binatang
ke
industrialisasi
yang
sebenarnya. Orang-orang bekerja untuk upah pada mesin-mesin yang yang
48
menghasilkan
barang
dagangan
yang
dijual
di
kalangan
yang
menghasilkannya; 4. Dalam
susunan
ekologi
perkembangan
masyarakat
bergerak
dari
sawah/ladang dan desa ke pemusatan-pemusatan di kota (terjadi urbanisasi).
2.8.
Karakteristik Lokal Karakteristik lokal adalah karakteristik suatu masyarakat desa berupa
nilai-nilai
budaya
dan
norma
yang
terbentuk
sejalan
dengan
sejarah
perkembangan desa itu sendiri dalam kurun waktu yang cukup panjang. Pembentukan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh prinsip-prinsip yang mendasari terbentuknya suatu persekutuan masyarakat sehingga membentuk suatu desa karena hubungan antar manusia dalam persekutuan memerlukan tatanan nilai dan norma untuk menjaga kelestarian dan kepentingan hidup bersama mereka. Dalam perkembangannya, nilai-nilai dan norma yang paling dihargai dalam persekutuan karena dibutuhkan dan mampu menjadi pengikat dalam masyarakat (As’ari 1993) Lingkungan alami sebagai lingkungan hidup manusia yang sangat bervariasi kondisi dan letak geografisnya juga memberi warna kepada watak penghuninya sehingga memberikan suatu ciri khas yang lain. Mengingat karakteristik lokal dipengaruhi oleh kondisi ekologi desa, maka karakteristik lokal suatu desa berbeda dengan desa lainnya, karakteristik masyarakat desa pegunungan akan berbeda dengan masyarakat desa pantai atau masyarakat perkotaan. Dalam lingkungan masyarakat Sunda, sejak lama dikenal nilai-nilai budaya yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakatnya yang antara lain diwujudkan dalam falsafah silih asah, silih asih dan silih asuh. Secara harfiah falsafah tersebut memiliki arti saling berbagi pengetahuan saling mengasihi, saling menjaga
diantara warga masyarakat. Nilai-nilai budaya masyarakat
Sunda yang melekat juga dapat terlihat dalam berbagai ungkapan peribahasa atau babasan seperti sabilulungan dasar gotong royong (kerjasama yang harmonis dalam mengerjakan berbagai kegiatan pembangunan/kemasyarakatan secara bergotong royong), sareundek saigel sabobot sapihanean (musyawarah dalam memecahkan berbagai masalah kemasyarakatan) dan nulung kanu butuh nalang kanu susah (membantu yang memerlukan menolong yang kesusahan).
49
Potensi-potensi lokal yang terdapat dalam karakteristik lokal masyarakat, apabila dilakukan upaya untuk menggali, membangkitkan dan mengaktualisasikan potensi tersebut dapat menjadi gagasan-gagasan strategis yang diperlukan dalam pengembangan masyarakat. Karakteristik lokal merupakan aspek penting dalam pengembangan masyarakat, karena dengan mengakomodasi karakteristik
lokal sebagai
komponen dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat akan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan. Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan
masalah mau atau tidaknya masyarakat
berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Banyak program pemberdayaan yang berhasil dengan mengakomodasi karakteristik lokal ini, misalnya program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK).
Program PPK
menerapkan pola-pola gotong royong dan swadaya masyarakat pada tingkat pelaksaan serta melibatkan partisipasi masyarakat secara penuh pada tahap perencanaannya. PPK bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat melalui
bebagai
tahapan
kegiatan.
Menurut
data
dari
MIS-Konsultan
Management Nasional PPK (2006), PPK hingga saat ini telah berhasil meningkatkan akses ke pasar, fasilitas pendidikan dan kesehatan, dan sumber air bersih di lebih dari 34.100 desa termiskin (lebih dari separuh jumlah desa) di Indonesia. Prasarana desa yang di bangun melalui metode PPK terbukti sangat hemat dalam pembiayaan, rata-rata 56% lebih murah dari pekerjaan sejenis yang dibangun oleh pemerintah maupun kontraktor.
hal ini terjadi karena adanya
partisipasi masyarakat yang besar karena mereka merasa karakterisitik lokal yang mereka miliki sudah diakomodir oleh program ini. 2.9.
Partisipasi Masyarakat Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang
sangat penting.
Keberhasilan
pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi
50
masyarakat, pembangunan
maka
semakin
yang
tinggi
berorientasi
keberhasilan produksi
program.
menuju
Pergeseran
pembangunan
yang
berorientasi publik, memerlukan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaannya. Jnanaorta Bhattacharyya (1972) mendefinisikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama. Partisipasi tersebut terdiri atas dua macam, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu masyarakat perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau antara masyarakat dengan pemerintah dinamakan partisipasi vertikal (seperti dikutip oleh Taliziduhu Ndaraha, 1987) Menurut derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, maka partisipasi dapat ditemukan dalam banyak bentuk. Menurut Bass et al.,1995 dalam Hobley, 1996 seperti yang dikutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat . Lebih lanjut Tadjudin(2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat 1. Partisipasi
Manipulatif,
partisipasi
masyarakat
ditunjukan
dengan
penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas. 2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah pendapat para Profesional. 3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.
Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat. 4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan
51
lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan. 5. Partisipasi Fungsional,
partisipasi masyarakat dipandang oleh ihak luar
sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal. 6. Partisipasi Interaktif, pengembangan
masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis,
rencana
kegiatan,
dan
dalam
pembentukan
dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek. 7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem.
Mereka membangun hubungan konsultatif
dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang
kendali menyangkut
pendayagunaan sumberdaya. Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi
di
daerah
pedalamam
yang
kondisi
sumberdaya
manusia
masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologo-tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal. Definisi partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (1995), adalah : Kerjasama antar rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan. Karena partisipasi merupakan suatu kerjasama maka dalam asumsi ini tidak diasumsikan bahwa sub sistem disubrordinasikan oleh supra sistem, dan sub sistem adalah sesuatu yang pasif dari pembangunan. Sub sistem diasumsikan mempunyai aspirasi, nilai budaya yang perlu diakomodasikan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan suatu program pembangunan.
52
Dalam proses pembangunan, partisipasi berfungsi sebagai masukan dan keluaran. Sebagai masukan, partisipasi masyarakat dapat berfungsi dalam enam fase proses pembangunan, yaitu fase penerimaan informasi, fase pemberian tanggapan
terhadap
informasi,
fase
perencanaan
pembangunan,
fase
pelaksanaan pembangunan, fase penerimaan kembali hasil pembangunan dan fase
penilaian
pembangunan.
Partisipasi
sebagai
masukan
berfungsi
menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri. Sedangkan sebagai keluaran, partisipasi dapat digerakkan atau dibangun serta berfungsi sebagai keluaran proses stimulasi atau motivasi melalui berbagai upaya atau program pemerintah. Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. informasi,
Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan dan
melakukan
analisis.(2)
derajat
menengah
yaitu
dimana
masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikutmenentukan
arah
serta
mengelola
sendiri
pengembangan,
masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi), partisipasi seperti ini akan berkembang pesat jika pemerintah dan LSM menyediakan
kerangka
kerja
pendukungnya.
Untuk
menerapkan
Self-
management dalam suatu program dibutuhkan proses-proses yang melibatkan metodologi yang multidisiplin yang membutuhkan proses pembelajaran
yang
sistematik dan terstruktur. sebagai kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya
atas
keputusan-keputusan
lokal
dan
kebijakan
tentang
pendayagunaan sumberdaya yang tersedia. Tetapi jika prasyarat yang diperlukan untuk menerapkan self-management belum tersedia di masyarakat
53
lokal, maka dapat dipraktekkan konsultatif action, dimana melibatkan pihak luar dalam merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi dan melakukan analisis. Pada dasarnya perbaikan kondisi masyarakat dan upaya menemukan kebutuhan masyarakat dapat menggerakan partisipasi. Oleh karena itu dalam perbaikan kondisi dan peningkatan taraf hidup masyarakat agar dapat menggerakan partisipasi, maka upaya yang dilakukan harus : 1) disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat yang nyata (felt needs); 2) dijadikan stimulasi terhahap masyarakat yang berfungsi mendorong timbulnya jawaban (response) yang dikehendaki;
3) dijadikan motivasi terhadap masyarakat yang berfungsi
membangkitkan tingkahlaku (behavior) yang dikehendaki secara berkelanjutan. Menurut Marzali (2003) bahwa program pengembangan masyarakat tergantung kepada ditemukannya ”felt needs” dari komunitas tersebut.
Ini
bukanlah hal yang sederhana karena ”felt needs” dari komunitas secara keseluruhan, belum tentu sama dengan ”felt needs” dari anggota-anggota komunitas secara individu, apalagi dengan pimpinan komunitas. Selanjutnya ”felt needs” dari komunitas belum tentu sama dengan kepentingan utama komunitas. Kegagalan dalam menentukan ”felt needs” dari komunitas akan berakibat terhadap kegagalan program pengembangan masyarakat.
Oleh karenanya
penentuan felt needs dalam program pengembangan masyarakt menjadi sangat penting, karena menentukan keberhasilan dari program. Dalam upaya menentukan felt needs tersebut , lebih lanjut Marzali (2003) menjelaskan, terdapat empat perspektif dalam melihat ”felt needs”: (1) Penilaian agen pembangunan tentang Community needs dari sudut pandang tujuan sang pengembang itu sendiri, (2) Penilaian agen pembangunan tentang community needs yang diperoleh dari pemahaman tentang tujuan komunitas itu, (3) Penilaian komunitas yang diperoleh dari pengertian mereka tentang tujuan agen pembangunan, (4) Konsepsi komunitas tentang needs. Dengan dapat di identifikasikannya kebutuhan yang dirasakan oleh masyarakat melalui program pengembangan masyarakat, akan membuat masyarakat tergerak untuk ikut berpartisipasi secara sukarela dalam suatu kegiatan karena dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri.
Terdapat
beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
masyarakat tergerak untuk berpartisipasi dalam program pengembangan
54
masyarakat seperti dikemukakan oleh Goldsmith dan Blustain (dalam Taliziduhu Ndaraha, 1987), adalah : 1. Partisipasi dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada ditengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4. Dalam proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Sumardjo (2001) dalam Hamzah (2005), kata kunci yang akan mempengaruhi seseorang untuk berpartisipasi dalam suatu program pembangunan adalah: pertama, adanya kesadaran akan manfaat program bagi kehidupannya.
Manfaat dapat diartikan
terpenuhinya kebutuhan ataupun
terbebasnya dari ancaman tertentu; kedua, komunikasi yang efektif
diantara
para pelaku yang diharapkan berperan serta dalam program; dan ketiga, adanya kesukarelaan antara para pelaku dalam berperan serta, semakin besar objek partisipasi menimbulkan motivasi intrinsik, maka semakin besar derajat keikutsertaan seseorang dalam program. Terdapat kaitan yang erat antara partisipasi dan insentif (Soetrisno,1995). Tanpa suatu insentif maka partisipasi berubah maknanya dari suatu keinginan manusia untuk ikut secara sukarela dalam suatu kegiatan yang dianggapnya dapat memperbaiki harkat hidup masyarakat dan dirinya sendiri, menjadi suatu tindakan paksaan (mobilisasi). Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. diatas, dapat
Dari uraian
terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip
pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut.
2.10.
Kelembagaan Lokal Karsyono (2000) mendefinisikan kelembagaan sebagai “suatu perangkat
aturan yang mengatur atau mengikat dan dipatuhi oleh masyarakat”. Sedangkan Menurut Rustiadi et al. (2005) Kelembagaan (institution), merupakan kumpulan aturan main (rules of game) dan organisasi yang berperan penting dalam
55
mengatur
penggunaan/alokasi
sumberdaya
secara
efisien,
merata
dan
berkelanjutan (sustainable). Lebih lanjut Rustiadi et al menjelaskan Kelembagaan berbeda dengan sekedar organisasi. Selama ini sering terjadi kesalahpahaman bahwa kelembagaan diartikan identik atau dicampur-adukkan dengan sistem organisasi. Dalam konsep ekonomi kelembagaan (institutional economic), maka organisasi merupakan suatu bagian (unit) pengambil keputusan yang didalamnya diatur oleh sistem kelembagaan atau aturan main (behavior rule). Nataatmadja (1993) dalam Hamzah (2005) mejelaskan kelembagaan dan organisasi tidak bisa dipisahkan, karena organisasi merupakan “perangkat keras” dan kelembagaan merupakan “perangkat lunaknya”. Demikian pula dengan pendapat
Uphoff
(1974),
Ia
menyatakan
bahwa
memang
antara
kelembagaan/institusi dan organisasi sering membingungkan dan bersifat interchangeably. Karena ada institusi yang bukan organisasi, organisasi yang dapat sekaligus dipandang sebagai institusi, dan organisasi yang bukan isntitusi. Definisi yang dikemukakannya adalah: a). An organization is a structure of roles formal or informal that are recognized and accepted. b). An institution is a complex of norms and behaviours that persist over time by serving some socially valued purposes. Faktor kelembagaan memegang peranan yang menentukan tingkat keberhasilan pengembangan masyarakat. Banyak terjadi kasus program pengembangan masyarakat kurang berhasil karena tidak adanya lembaga pengelola yang baik. Pembentukan kelembagaan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan memanfaatkan lembaga yang sudah ada atau membentuk lembaga yang baru. Hal ini sangat ditentukan oleh dinamika masyarakat itu sendiri. Pembentukan kelembagaan dilakukan dengan cara memanfaatkan lembaga yang sudah ada, namun apabila lembaga yang sudah ada tidak dapat melakukan fungsinya, maka perlu pembentukan lembaga yang baru. Jaringan
kelembagaan
lokal
perlu
dibangun
untuk
melancarkan
mekanisme kerja dan memfasilitasi munculnya kemitraan dan arus informasi dinatara
lembaga-lembaga
yang
terkait.
Dengan
demikian,
upaya
pengembangan masyarakat dapat tumbuh denga berbasis pada kapasitas lokal dan dengan mengaitkannya pada peluang pasar, baik pada tingkat lokal itu sendiri, regional, nasional maupun ekspor (Sutrisno, Fauzi dan Hariyadi, 2001). Pengembangan jaringan kelembagaan ini juga akan berkontribusi positif pada peningkatan kapasitas lokal dalam rangka sinkronisasi pengelolaan
56
program dan investasi yang ada (baik berupa pogram pemerintah,bantuanbantuan
LSM,
program
pengembangan
masyarakat
perusahaan,
dan
sebagainya). 2.11.
Teori Konflik Fisher (2001) mendefinisikan konflik sebagai hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang satu sama lain tidak sejalan. Definisi yang sama juga dikemukakan oleh Fraser and Hipel (1984) dalam Tadjudin (2005) yang mendefinisikan konflik sebagai situasi dimana dua atau lebih kelompok berselisih atas isu-isu atau sumberdaya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa konflik adalah
pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karena itu konflik adalah sesuatu yang tidak terelakan yang dapat bersifat positif maupun negatif. Konflik timbul karena ketidakseimbangan antar hubungan-hubungan antar pribadi hingga tingkat kelompok, organisasi, masyarakat, negara dan semua bentuk
hubungan
manusia-sosial,
ekonomi
dan
kekuasaan.
Misalnya
kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadap sumberdaya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, kejahatan (Fisher 2001). Jika dilihat dari perspektif ekonomi politik maka penyebab utama konflik dapat ditelusuri dari akar ekonomi dan politik sehingga upaya penyelesaian konflik harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomi politik, sedangkan jika dilihat dari pendekatan institusi (Roy 1992), bahwa konflik berkembang antara institusi birokrasi dan institusi sosial berakar dari kurangnya komunikasi diantara mereka. Penyebab utama terjadinya konflik adalah: 1) data, 2) kepentingan, 3) nilai, 4) hubungan, dan 5) struktur.
Konflik akibat data disebabkan
oleh
keterbatasan informasi, informasi yang keliru, interpretasi yang berbeda serta perbedaan pandangan terhadap data. Konflik kepentingan terjadi karena adanya kepentingan atau kebutuhan yang saling bertentangan atau tidak cocok diantara pihak-pihak yang bertikai. Konflik nilai terjadi karena adanya penggunaan kriteria yang berbeda untuk hasil (outcome) dari suatu konflik yang disebabkan oleh perbedaan ideologi, kepercayaan agama, pandangan hidup dan gaya hidup.
57
Disamping itu konflik dapat juga terjadi karena adanya hubunganhubungan yang tidak harmonis. Konflik ini sebenarnya di anggap tidak perlu karena biasanya hanya menyangkut emosi yang kuat, komunikasi yang mandeg, stereotype dan perilaku negatif yang terus berulang. Konflik struktural berkatian dengan bagaimana sesuatu yang di set-up, batasan peran, kendala waktu dan ruang serta ketimpangan dalam kekuatan/kekuasaan atau kontrol terhadap sumberdaya. Dilihat dari wujudnya, konflik dapat di bedakan kedalam tiga wujud konflik, yaitu konflik yang bersifat tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest). Konflik laten dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak tampak, tidak sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak-puncak kutub konflik. Seringkali para pihak yang terlibat tidak menyadari adanya konflik. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihak-pihak yang berselisih telah teridentifikasi, diakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tetapi proses penyelesaian masalahnya sendiri belum berkembang. terbuka
Konflik
merupakan konflik dimana pihak-pihak terlibat secara aktif dalam
perselisihan yang terjadi, mungkin sudah memulai untuk bernegosiasi, mungkin pula telah mencapai jalan buntu. Menurut Johson dan Duinker (1993) dalam Wahyudin (225) konflik adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan yang dapat bersifat positif maupun negatif. Namun demikian konflik tersebut dapat juga ditangani secara arif dan bijaksana denga berbagai strategi tertentu yang saling memuaskan semua pihak sehingga dapat meningkatkan kinerja kelompok atau pihak yag berkonflik. Fenomena penyelesaian konflik seperti ini lazim diistilahkan dengan manajemen konflik. Manajemen konflik adalah sautu penanganan proses pembentukan (kemunculan konflik yang diarahkan untuk meningkatkan kinerja suatu kelompok masayarakat atau organisasi. Dalam prakteknya sering terjadi distorsi terminilogi, misalnya seorang pemimpin
sengaja menimbulkan
situasi konflik,
dimana
sikap anggota
masyarakat terbagi dua, yaitu yang sejalan dengan pemimpin dan yang oposisi. Yang sejalan diberi insentif dan yang oposisi disingkirkan. Tindakan pemimpin seperti itu tidak dapat dikatakan sedang menjalankan manajemen konflik, melainkan hanya sedang menjalakan manajemen kroni. Situasi konflik dapat saja diciptakan, namun konflik tersebut harus ditangi secara bijaksana agar dapat
58
meningaktkan kinerja kelompok, dan fenomena ini yang dikategorikan sebagai manajemen konflik (Anwar, 1999). Konflik yang terkelola dengan baik dapat mengarahkan keputusan yang lebih baik, meningkatkan kohesi sosial, merangsang inovasi dan meningkatkan moral. Selanjutnya Mitchell et al (2000) mengungkapkan bahwa aspek positif konflik muncul ketika konflik membantu mengindentifikasi
sebuah proses
pengelolaan lingkungan dan sumberdaya yang tidak berjalan dengan efektif, mempertajam gagasan autu informasi yang tidak jelas dan menjelaskan kesalah pahaman.
Tetapi konflik yang tidak terselesaikan juga akan menyebabkan
kesalah pahaman, ketidakpercayaan, serta bias.
Konflik akan menjadi buruk
apabila menyebabkan semakin besarnya hambatan-hambatan untuk saling bekerjasama antar berbagai piahak. Menurut Fisher (2001) ada lima pendekatan dalam menangani konflik, masing-masing tahap akan melibatkan tahap selanjutnya. Kelima tahap tersebut adalah: 1) pencegahan konflik, yakni upaya yang bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang lebih keras, 2) penyelesaian konflik, yaitu upaya yang mengakhiri perilaku kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian, 3) pengelolaan konflik, yaitu upaya membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang
positif bagi pihak-pihak yang terlibat
konflik, 4) resolusi konflik, yaitu upaya menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompokkelompok yang bermusuhan, 5) transformasi konflik, yaitu upaya mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari konflik menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
59
III.
3.1.
METODOLOGI PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah
menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban wilayah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangangan. Menurut Rustiadi et al (2004), diberlakukannya otonomi daerah berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di wilayah-wilayah yang
mengisyaratkan
pentingnya
pendekatan
pembangunan
berbasis
pengembangan wilayah dibanding pendekatan sektoral. Sehingga dalam rangka pembangunan wilayah maka daaerah harus lebih kreatif
menggali dan
mengelola potensi sumberdaya yang dimiliki. Sumberdaya alam telah berperan
dalam pembangunan daerah.
Sumberdaya alam tidak saja dapat meningkatkan PDRB, menyerap
tenaga
kerja, melainkan juga telah memberikan jasa lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Namun dibalik peran besar tersebut, karena faktor alam
maupun
kelembagaan,
ulah
manusia
pengelolaan
baik
dan
secara
pemanfatan
individu,
kelompok
sumberdaya
alam
maupun untuk
pembangunan telah menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi maupun lingkungan. Disisi lain Sumberdaya alam yang terkandung merupakan kekayaan alam yang harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Menurut Saleng,
perolehan nasional dari sektor pertambangan dapat dikatakan multidimensional, antara lain mampu menopang program industrialisasi melalului penyediaan bahan baku industri dalam negeri, menyediakan sumber energi seperti minyak bumi, gas, batu bara, geothermal, dan meningkatkan penerimaan negara serta cadangan devisa, membantu peningkatan dan pemerataan pembangunan ke berbagai
wilayah,
membuka
kesempatan
kerja,
serta
meningkatkan
kesejahteraan dan pendapatan penduduk sekitar lokasi pertambangan. Pengelolaan sumberdaya alam, disamping menghasilkan Positive Social Forces seperti yang telah dijelaskan diatas, juga mengahasilkan Negative Social Forces seperti Penguasaan akses sumberdaya alam yang timpang, konflik sosial, kebocoran ekonomi sumberdaya alam ke luar lokalitas (Regional
60
leakages), jurang pendapatan meningkat, kecemburuan sosial meningkat dan sensitivitas sosial meningkat. Keberadaan Industri panas bumi (geothermal) yang dikelola oleh CHV di Gunung Salak Desa Kabandungan kecamatan Kabandungan kabupaten Sukabumi,
harus
pengembangan
dapat
wilayah
memberikan dan
kontribusi
pengembangan
yang
masyarakat
signifikan
bagi
sekitar,
tetapi
sebagaimana dikemukakan diatas keberadaan industri panas bumi (geothermal) ini pasti membawa dampak negatif terhadap masyarakat sekitar. Kehadiran industri dapat memberi peluang kerja bagi masyarakat sekitar meskipun disadari tidak tidak seluruhnya ditampung dalam sektor tersebut. Seiring dengan perkembangannya, industri juga dapat menciptakan peluang usaha baru. Berbagai jenis usaha seperti sewa rumah, berdagang barang kelontong atau mendirikan rumah makan muncul untuk melayani kebutuhan para pekerja industri. Dengan demikian, kehadiran industri panas bumi berpotensi menimbulkan terjadinya peningkatan
kualitas
diversifikasi sumberdaya
nafkah,
perubahan
manusia
masyarakat
lingkungan
dan
sekitar
serta
mempercepat pembangunan dan pengembangan wilayah, dengan adanya diverifikasi nafkah sebagai dampak dari kehadiran industri, terlihat adanya gejala semakin berkurangnya ketergantungan masyarakat terhadap sektor pertanian dan beralih ke sektor jasa dan perdagangan. Sebagai konsekuensi perubahan aktivitas produksi dalam proses industri dari yang bersifat padat karya dan berteknologi canggih (advance technology), membutuhkan kualifikasi pendidikan dan keterampilan teknik yang tinggi pula. Dengan demikian, berkaitan dengan keunggulan komparatif industri tidak hanya menyebabkan peningkatan dalam sektor ekonomi dengan lebih terbukanya kesempatan lapangan kerja, tetapi juga dapat memacu peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Jika dilihat dari sisi Negative Social Forces maka keberadaan industri pertambangan memberikan dampak yang besar terhadap degradasi dan kerusakan lingkungan yang terjadi juga berpotensi untuk tumbuh dan berkembangnya permasalahan-permasalahan sosial serta degradasi nilai-nilai budaya lokal masyarakat sekitar lokasi perusahaan. Pada umumnya lokasi industri pertambangan terletak di daerah-daerah terpencil dengan tingkat pendidikan masyarakat yang sangat rendah dan tidak memiliki keahlian (skill) tentang industri pertambangan serta jauh dari sentuhan
61
teknologi dan arus informasi sehingga menyebabkan masyarakat disekitar perusahaan
pertambangan
kurang
mendapatkan
kesempatan
untuk
berpartisipasi dalam kegiatan tersebut karena tidak mampu bersaing dengan pekerja-pekerja yang berasal dari luar daerah yang lebih memiliki kemampuan (skill) dan pengalaman dalam bidang industri pertambangan. Ketidakmampuan masyarakat lokal untuk bersaing dengan para pekerja yang berasal dari luar daerah akan menimbulkan kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial masyarakat sekitar lokasi pertambangan karena kurang
mendapatkan
kesempatan
untuk
berpartisipasi
dalam
kegiatan
pertambangan dan dipicu lagi dengan manajemen perusahaan yang lebih memilih vendor dari pengusaha luar daerah sehingga keberadaan perusahaan tidak memberikan multiplier effect bagi pengembangan usaha lokal. Alasan klasik yang selalu mendasari hal tersebut yaitu masyarakat lokal belum mampu memenuhi standar kualitas maupun kuantitas yang yang telah ditentukan oleh perusahaan sehingga usaha masyarakat sekitar menjadi tidak berkembang dan pada akhirnya perekonomian masyarakat semakin terpuruk. Akumulasi
dari
persoalan-persoalan
diatas
pada
akhirnya
akan
menyebabkan terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan (beserta pendatang) yang akan berujung pada resistensi dan penolakan masyarakat terhadap keberadaan perusahaan pertambangan di wilayah mereka. menjembatani ketimpangan-ketimpangan yang terjadi
Untuk
dan dalam upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar maka perusahaan pertambangan melakukan program pengembangan masyarakat (community development). Keberadaan tambang disuatu wilayah, secara langsung maupun tidak langsung memberikan kontribusi bagi pendapatan wilayah. Disamping itu, kehadiran suatu pertambangan diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang berada disekitar lokasi pertambangan tersebut. Kesejahteraan di sini tidak hanya di lihat dari kebutuhan hidup secara ekonomi, tapi juga pengakuan atas hak-hak, perlindungan dan keamanan, serta keikutsertaan dalam setiap pembicaraan yang menyangkut kepentingan masyarakat lokal dengan prinsip perspektif kesetaraan dan kolektivitas, dimana perusahaan dan masyarakat lokal seharusnya “duduk sama rendah, berdiri samatinggi” karena bagaimanapun masyarakat lokal adalah “pemilik sumberdaya alam menurut hak asal-usul adat”, dan perusahaan asing/besar mendapatkan hak karena adanya transaksi dengan pemda atau Pemerintah pusat yang
62
sebenarnya tidak memiliki hak asal-usul atas sumberdaya alam di tingkat lokal. Maka missi dari pengembangan masyarakat adalah memberikan jalan agar kesempatan untuk menikmati hak atas “kue” sumberdaya alam menjadi lebih adil dan setara. Oleh karena itu, maka program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan harus merupakan solusi atas ketimpangan, konflik sosial, ketidakadilan, dan ketidak-berdayaan masyarakat lokal yang timbul sebagai akibat beroperasinya perusahaan di wilayah itu. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibutuhkan peran serta (partisipasi) dan inisiatif dari masyarakat dalam merancang dan melaksanakan sendiri program pengembanga masyarakat yang sesuai dengan karakteristik lokal dan rencana pengembangan wilayah. Partisipasi dan inisiatif lokal ini juga berperan penting dalam merespon upaya penguatan program melalui dukungan teknologi, manajemen, permodalan, informasi dan penciptaan jejaring (network) yang efektif. Dengan demikian, strategi pengembangan masyarakat dalam industri panas bumi dilakukan dengan mengisi dan memperkuat partisipasi dan inisiatif lokal secara sistematis serta mengurangi ketimpangan yang terjadi. Penguatan partisipasi dan inisiatif lokal berimplikasi terhadap dua hal: pertama, masyarakat mau dan mampu merancang dan melaksanakan sendiri program pengembangan masyarakat yang sesuai dengan kerakteristik lokal sebagai respon atas program pengembangan masyarkat yang ditawarkan oleh pihak luar komunitas; kedua, dapat memberikan kontrol atas arah perubahan yang terjadi sebagai dampak dari operasional
industri
sehingga terjadinya
diversifikasi
nafkah,
perubahan
lingkungan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dalam kenyataannya memberikan manfaat bagi peningkatan taraf hidup masyarakat, tetap sejalan dengan karakteristik lokal. Salah satu pendekatan dalam pengembangan masyarakat adalah pendekatan menolong diri sendiri (self help) dimana masyarakat menjadi partisipan aktif dalam proses pembangunan dan agen-agen pembangunan menjadi fasilitator. Komunitas memegang tanggung jawab dalam hal: 1) memutuskan apa yang menjadi kebutuhan komunitas, 2) bagaimana memenuhi kebutuhan itu, dan 3) bagaimana mengerjakannya. Tujuan agen pembangunan adalah
melembagakan
pola
pengambilan
keputusan
horizontal
dan
implementasinya sedangkan tugas-tugas khusus ditentukan oleh komunitas. Hal
63
terpenting dari pendekatan ini adalah proses mengantar komunitas pada kebersamaan. Melalui pendekatan tersebut, masyarakat difasilitasi untuk merumuskan dan melaksanakan sendiri program pengembangan masyarakat yang sesuai sedangkan pihak luar komunitas khususnya dalam analisis ini perusahaan pengelola industri panas bumi berperan dalam memberikan penguatan terhadap partisipasi dan inisiatif lokal dalam pelaksanakaan program oleh masyarakat melalui transformasi teknologi dan informasi, dukungan manajemen, permodalan dan penciptaan jejaring (network) yang efektif. Mengingat upaya pengembangan masyarakat perlu dilakukan secara komprehensif dan dalam perspektif yang holistic, maka kehadiran industri panas bumi sebagai salah satu potensi penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perlu terus dioptimalkan pemanfaatannya, sehingga dapat sinergis dengan potensi dan peranan berbagai stakeholder terkait lainnya. Berdasarkan uraian di atas, backgrond kerangka kajian digambarakan pada Gambar 3.1. berikut:
seperti
64
Kehadiran Industri Geothermal di lokalitas
Menghasilkan Positive Social Forces Pertumbuhan Ekonomi dan Perluasan lapangan kerja
Menghasilkan Negative Social Forces Penguasaan akses SDA yg timpang, konflik sosial, kebocoran ekonomi SDA ke luar lokalitas, jurang pendapatan meningkat, kecemburuan sosial dan sensitivitas sosial meningkat,
Community Development Sebagai Solusi Ketimpangan, Konflik sosial, ketidakadilan, dan ketidakberdayaan masyarakat lokal
Pertanyaannya: 1. Bagaimanakah program Community Development yang telah di laksanaan ? 2. Apakah terdapat kontribusi dari pelaksanaan program Community Development terhadap pengembangan wilayah?.
Gambar 3.1. Background
3.2. Hipotesis Untuk mengarahkan jalannya penelitian ini, maka diajukan hipotesis sebagai berikut : “Pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan CHV, belum memberikan kontribusi yang besar terhadap pengembangan wilayah di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi”.
65
3.3. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah Desa Kabandungan Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi provinsi Jawa Barat. Waktu pelaksanaan kajian berlangsung pada bulan Oktober 2007 sampai bulan Maret 2008, dimana objek yang diteliti adalah penduduk yang berada disekitar kawasan proyek panas bumi Gungung Salak (yang terkena dampak langsung dari kegiatan perusahaan), yang umumnya masyarakat
yang bermukim di
Kecamatan Kabandungan
Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat. 3.4.
Pengumpulan Data Metode dan pendekatan studi yang digunakan adalah metode kualitatif.
Penelitian kualitatif (naturalistic inquiry) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
dari orang-
orang dan perilaku yang dapat diamati, dimana data/informasi yang di peroleh mengandalkan pandangan subyektif para informan kunci. Pemilihan metode kualitatif dalam studi ini karena temuan-temuan pada studi kualitatif lebih menjawab persoalan sebenarnya daripada sekadar angkaangka. Dalam studi ilmu sosial, terlihat bahwa angka-angka yang diperoleh dalam studi belum cukup menjawab persoalan yang sebenarnya, sangat sulit melihat keadaan yang sebenarnya jika hanya menggunakan kecenderungan angka saja. Hal tersebut dikarenakan adanya faktor-faktor lain yang tidak bisa dinilai melalui angka-angka, seperti faktor budaya dan faktor sosiologis. Selanjutnya, dipilihnya penelitian kualitatif karena metode kualitatif dapat memberikan rincian yang lebih kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh metode kuantitatif. penelitian kualitatif dimaksud sebagai jenis penelitian yang temuan-temuannya tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Proses dan makna (perspektif subyek) lebih ditonjolkan dalam penelitian ini. Metode dan pendekatan studi yang digunakan
adalah wawancara
mendalam (indepth interview), diskusi kelompok dan telaah pustaka. Telaah pustaka dilakukan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan penelitian.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dari
berbagai buku, makalah dan laporan terkait. Sedangkan data primer diperoleh dengan metode sebagai berikut :
66
1. Wawancara mendalam (in depth interview), wawancara dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami informan yang berkaitan dengan topik yang diteliti . wawancara dilakukan secara mendalam dengan menggunakan daftar pertanyaan yang fleksibel tergantng dari jawaban informan yang di wawancarai. Pilihan jawaban tertent tudak disediakan, tetapi Informan diberikan kebebasan untuk mejawab sesuai dengan hati, sikap dan pandangan atau pikirannya. Wawancara mendalam dilakukan untuk memperoleh informasi dengan menggali fakta dan pengalaman informan kunci (data yang berkaitan dengan tujuan penelitian). 2. Diskusi kelompok, dilakukan untuk menghimpun data yang berkaitan dengan tujuan penelitian. 3. Pengamatan (observasi) secara langsung di lokasi penelitian terhadap gerak masyarakat/aktivitas
yang
dilakukan
dalam
pelaksanaan
Program
pengembangan masyarakat. 4. Studi Dokumentasi dengan mempelajari berbagai dokumen tertulis seperti profil desa/Kecamatan, data statistik wilayah, laporan kegiatan program pengembangan masyarakat (dokumen perusahaan). Data sekunder diperoleh dari studi pustaka maupun data-data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait antara lain Pemda kabupaten Sukabumi, Kecamatan Kabandungan, Desa Kabandungan serta perusahaan. 3.5. Penetapan Informan Kunci Informan sebagai sumber data primer adalah informan kunci (key informan). Jumlah informan kunci (key informan yang diwawancarai sebanyak 26 Orang, dalam penelitian kualitatif subjek penelitian tidak harus representatif terhadap populasi (penelitian kuantitatif), melainkan representatif terhadap informasi holistik. Rincian informan kunci yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1. Ketua Kelompok masyarakat penerima bantuan program pengembangan masyarakat di Kecamatan Kabandungan 6 Orang 2. Tokoh formal (Camat, Kepala Desa, Ketua BPD) 3 Orang 3. Tokoh Informal (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda) 6 Orang 4. LSM 5 Orang 5. Pihak Perusahaan 3 Orang 6. Pihak Pemerintah Daerah (Pemda) 2 Orang
67
3.6. Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, berupa analisis persepsi key informan mengenai pelaksanaan program pengembangan masyarakat pada industri panas bumi gunung salak serta kontribusi pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi gunung salak terhadap pengembangan wilayah. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis melalui: 1. Reduksi
Data,
yaitu
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dan catatan-catatan tertulis dilapangan.
Reduksi data merupakan bentuk
analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil. 2. Penyajian Data, yaitu menyusun sekumpulan informasi yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan, dapat dibentuk matriks, grafik, jaringan maupun bagan. 3. Penarikan kesimpulan dengan menganalisis data sesuai tujuan penelitian. 3.7. Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat pada Industri Panas Bumi Gunung Salak Untuk mengetahui pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh industri panas di bumi Gunung Salak dilakukan melalui penelusuran
data
community
development
yang
telah
dilakukan
oleh
perusahaan. Berdasarkan informasi kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan, kemudian dilakukan pengecekan kepada masyarakat sekitar lokasi perusahaan melalui wawancara ,diskusi dan pengamatan. 3.8. Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Yang Dilakukan Oleh Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah Untuk mengetahui kontribusi kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah dilihat melalui kontribusi kegiatan pertambangan terhadap PDRB kabupaten Sukabumi.
68
Disamping itu, aspek yang dilihat pada responden adalah peningkatan tarap hidup masyarakat, kesempatan kerja serta infrastruktur sebagai sarana aktivitas masyarakat, juga ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta konflik yang muncul sebagai dampak kehadiran perusahaan.
69
IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. 1.
Geografi dan Administrasi Pemerintahan Wilayah Kecamatan Kabandungan
merupakan kecamatan di wilayah
utara kabupaten Sukabumi dan merupakan wilayah paling utara dari pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi Palabuhan Ratu dengan jarak tempuh dari Ibu kota Kabupaten ( Palabuhan Ratu ) 74 Km, kondisi alamnya berbukit-bukit dikelilingi oleh
pegunungan diataranya gunung Salak dan gunung Halimun.
Kecamatan Kabandungan mempunyai luas wilayah 13.992,30 ha. Kecamatan Kabandungan yang semula terdiri dari 5 (lima) desa, seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah serta dengan adanya perkembangan dan kemajuan daerah dan juga adanya tuntutan aspirasi masyarakat serta dalam rangka memperpendek rentang kendali (span of control), maka di bentuk desa baru
yaitu desa Cianaga sebagai hasil pemekaran dari desa Mekarjaya.
Disamping itu juga sedang dilakukan proses pembentukan desa Jayanegara sebagai pemekaran dari Desa Kabandungan tetapi pada saat penelitian ini dilakukan desa tersebut belum definitif, sehingga sampai saat ini Kecamatan Kabandungan terdiri dari 6 (enam) desa yaitu: Desa Kabandungan, Desa Tugubandung, Desa Mekarjaya, Desa Cipeuteuy, Desa Cihamerang dan Desa Cianaga. Matriks 4.1. Nama-nama Desa Kecamatan Kabandungan No.
1 2 3 4 5 6
Nama Desa Kabandungan Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Mekarjaya Cianaga
Sumber: Kabupaten Sukabumi dalam angka 2005/2006 (diolah)
Secara geografis batas-batas kecamatan Kabandungan adalah sebagai berikut: •
Sebelah utara dibatasi oleh gunung Kabel dan sungai Cikuluwung (gunung Salak) dan berbatasan dengan kecamatan Cibungbulang, kecamatan Pamijahan dan kecamatan Nanggung kabupaten Bogor.
•
Sebelah selatan dibatasi oleh gunung Paok dan gunung Halimun serta berbatasan dengan kecamatan Cikidang dan kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi..
70
•
Sebelah barat dibatasi oleh sungai Cikaniki dan berbatasan dengan kecamatan Cisolok kabupaten Sukabumi, kecamatan Malingping kabupaten Lebak provinsi Banten.
•
Sebelah timur dibatasi oleh sungai Cibeureum dan berbatasan dengan kecamatan Kalapanunggal kabupaten Sukabumi. Jarak antara antara pemerintahan kecamatan Kabandungan ke pusat
pemerintahan lainnya adalah sebagai berikut: 1. ke pusat pemerintahan kabupaten Sukabumi
: 74 KM
2. ke pusat pemerintahan Provinsi Jawa Barat (Bandung)
: 145 KM
3. ke pusat pemerintahan pusat (Jakarta)
: 125 KM
Berdasarkan data Pemerintahan desa se-kecamatan Kabandungan, di kecamatan Kabandungan terdapat 30 kedusunan, 30 RW, 174 RT serta 10.574 KK, seperti terlihat dalam Tabel 4.2 berikut: Tabel 4.2. Pemerintahan Desa Se-Kecamatan Kabandungan No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa Kabandungan Mekarjaya Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Cianaga Jumlah
Jumlah RW RT 6 37 4 18 8 35 4 31 4 26 4 27 30 174
Kadus 6 4 8 4 4 4 30
KK 2376 842 2478 2654 2205 1019 10574
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan Oktober 2007
Secara
tofografi
wilayah
kecamatan
Kabandungan terletak 0
pada
0
ketinggian 600-900 Dpl dan suhu berkisar antara 18 C – 25 C serta kelembaban sekitar 80%, dengan keaadaan seperti ini wilayah Kabandungan termasuk bersuhu dingin. Pembagian wilayah kecamatan Kabandungan berdasarkan tofografi cukup bervariasi, namun dapt diklasifikasikan menjadi
tiga
kategori yaitu
kategori ketinggian 100-500 meter dpl dimana dari kategori ini seluas 205,68 Ha, kategori ketinggian 500-1000 meter dpl dimana dari kategori ini seluas 9.915,70 Ha dan kategori ketinggian <1000 meter dpl dimana dari kategori ini seluas 4.453,95 Ha.
71
Tabel 4.3. Luas wilayah (ha) 14.675,33
Luas Wilayah Menurut Ketinggian Tanah kecamatan Kabandunga tahun 2005 Ketinggian ( meter dpl) 0-25
25-100
-
-
100-500
500-1000
>1000
205,68
9.915,70
4.453,95
Sumber: Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Sukabumi 2005/2006
Jika dilihat dari kondisi tanahnya kecamatan Kabandungan dapat dikategorikan menjadi lima kategori, yaitu kategori datar (0-8%) dimana luas kategori ini seluas 1.399,3 Ha atau sekitar 10% dari luas wilayah, kategori landai (8-15%) dimana luas kategori ini seluas 2.798 Ha atau sekitar 20% dari luas wilayah,kategori agak curam (15-25%) dimana luas kategori ini seluas 5.597 Ha atau sekitar 40% dari luas wilayah, kategori curam (25-45%) dimana luas kategori ini seluas 3.918 Ha atau sekitar 28% dari luas wilayah dan kategori sangat curam (>45%) dimana luas kategori ini seluas 280 Ha atau sekitar 2% dari luas wilayah.
Tabel 4.4. No 1 2 3 4 5
Kondisi Tanah di Kecamatan Kabandungan
Kategori Datar (0-8%) Landai (8-15%) Agak Curam (15-25%) Curam (25-45%) Sangat Curam (>45%)
Luas (ha) 1.399,3 2.798 5.597 3.918 280
Keterangan 10 % 20 % 40 % 28 % 2%
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007.
Wilayah Kabandungan memiliki jenis tanah latosol dengan tingkat kesuburan yang baik sehingga sangat cocok untuk lahan pertanian dan perkebunan.
Matriks 4.2. No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa Kabandungan Mekarjaya Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Cianaga
Jenis Tanah di Kecamatan kecamatan Kabandungan Jenis Tanah Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol Latosol
Tigkat Kesuburan Cukup Baik Cukup Baik Cukup Baik Cukup Baik Cukup Baik Cukup Baik
Keterangan Pertanian/Perkebunan PertaniaPerkebunan Pertanian/Perkebunan Pertanian/Perkebunan Pertanian/Perkebunan Pertanian/Perkebunan
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
72
Dominasi pengunaan lahan di kecamatan Kabandungan adalah hutan yang mencapai 54,94 % dari luas kecamatan Kabandungan.
sementara
penggunaan lahan untuk pemukiman hanya mencapai 4,79 % dari luas kecamatan Kabandungan, seperti terlihat dalam Tabel 4.6 berikut ini:
Tabel 4.6.
Jenis Penggunaan Lahan Di Kecamatan Kabandungan (Ha)
Desa
Hutan
Kabandungan Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Mekarjaya Cianaga Jumlah
1.612,14 2.493,34 1.796,06 1.777,39 9,15 7.687,98
Penggunaan Lahan (Ha) Semak PeSawah Kebun Belukar mukiman 38,90 1.256,42 177,55 146,37 310,69 540,71 445,44 164,94 206,46 443,02 523,40 80,37 670,36 82,82 419,82 185,23 0,13 137,32 3,45 114,52 184,71 81,39 90,27 1.340,94 2.507,31 1.784,92 670,63
Luas 3.473,66 1.097,74 3.746,60 3.179,90 1.918,20 576,20 13.992,30
Sumber: RDTR kecamatan Kabandungan 2008
4.2.
Kependudukan Penduduk kecamatan Kabandungan berdasarkan data Laporan Bulanan
Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2008 berjumlah 37.824 jiwa, terdiri atas 18.969 orang laki-laki atau sekitar 50,15% dari jumlah penduduk dan 18.855 orang Perempuan atau sekitar 49,85% dari jumlah penduduk. Desa dengan penduduk terbanyak adalah desa Kabandungan dengan jumlah penduduk 8.487 orang dan desa dengan jumlah penduduk terkecil adalah desa Mekarjaya yaitu 3.180 Orang. Laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,05% pertahun dan diproyeksikan jumlah penduduk tahun 2029 berjumlah 61.262 jiwa atau naik sebesar 62 %, rata-rata kepadatan penduduk adalah 3 jiwa/ha.
Denagan
kepadatan terbesar terdapat di Desa Cianaga dan Tugubandung yaitu 8 Jiwa/ha dan kepadatan penduduk terkecil terdapat di desa Cipeuteuy dan Cihamerang yaitu 2 jiwa/ha. Rasio jenis kelamin penduduk kecamatan Kabandungan adalah 1,006. hal ini memberikan gambaran bahwa jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan, tetapi dengan perbedaan yang tipis bahkan nyaris seimbang seperti terlihat dalam Tabel 4.7.
73
Tabel 4.7.
No 1 2 3 4 5 6
Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Di Kecamatan Kabandungan
Nama Desa Kabandungan Mekarjaya Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Cianaga Jumlah
Laki-laki 4.278 1.524 4.065 3.425 3.184 2.493 18.969
Jumlah Penduduk Perempuan Jumlah jiwa 4.209 8.487 1.656 3.180 4.061 8.126 3.351 6.776 3.273 6.457 2.305 4.798 18.855 37.824
Jumlah KK 2.376 842 2.478 1.654 2.205 1.019 10.574
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2007
4.3
Infrastruktur Dasar Sebagian besar jalan yang terdapat di kecamatan Kabandungan
merupakan jalan desa (213 Km) dengan kondisi diaspal 30%, rusak ringan 35.5% serta dalam kondisi rusak berat 34.3% sedangakan jumlah ruas jalan kabupaten sepanjang 48 Km ,seperti terlihat dalam Tabel 4.8 berikut ini : Tabel 4.8.
Kondisi Jalan di Kecamtan Kabandungan (dalam Km) Kondisi
No 1 2
Jenis Jalan Jalan Kabupaten Jalan Desa
Panjang 48 213
Diaspal RusakRingan 17 56
21 75
Rusak Berat 10 71
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Bulan Oktober 2007 (diolah)
Karena wilayah kecamatan Kabandungan terletak di kawasan pegunungan yang berbukit-bukit, menyebabkan banyaknya aliran sungai yang memotong ruas jalan, sehingga jumlah jembatan relatif banyak, seperti terlihat dalam Tabel 4.9. Tabel 4.9. Jumlah Jembatan di Kecamatan Kabandungan No Nama Desa Jumlah 1 Kabandungan 6 2 Mekarjaya 6 3 Tugubandung 1 4 Cipeuteuy 9 5 Cihamerang 10 6 Cianaga 5 Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan Oktober 2007
Sarana pendidikan di kecamatan Kabandungan cukup memadai mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK/RA), pendidikan tingkat dasar sampai pendidikan
74
tingkat menengah, SMA negeri baru berdiri tahun 2005 dengan nama SMA negeri Kabandungan 1. Jumlah sarana pendidikan di kecamatan Kabandungan seperti terlihat dalam Tabel 4.10 berikut : Tabel 4.10. Jumlah Sekolah di Kecamatan Kabandungan Tingkat Sekolah No 1 2 3 4 5 6
Nama Desa TK/RA
SD
MD
SMP
MTs
SMA
1
6 1 4 4 4 3 22
7 4 10 6 7 4 38
1
2 1
1
1
3
1
Kabandungan Mekarjaya Tugubandung Cipeuteuy Cihamerang Cianaga Jumlah
1 2
MA
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
Sarana
kesehatan
di
kecamatan
Kabandungan
Puskesmas,puskesmas pembantu (Pustu) serta pos yandu .
terdiri
atas
Jumlah dan
penyebaran fasilitas kesehatan dikecamatan Kabandungan disajikan dalam Tabel 4.11. Tabel 4.11. Jumlah Fasilitas Kesehatan di Kecamatan Kabandungan Fasilitas Kesehatan No. Nama Desa Puskesmas Puskesmas Pos Yandu Pembantu 1 Kabandungan 1 7 2 Mekarjaya 4 3 Tugubandung 1 8 4 Cipeuteuy 6 5 Cihamerang 1 6 6 Cianaga 5 Jumlah 1 2 36 Sumber: Laporan Bulanan (diolah)
Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
Rumah sakit belum tersedia di kecamatan Kabandungan, sehingga jika ada warga masyarakat yang menderita penyakit yang serius harus dirujuk kerumah sakit, rumah rasikt terdekat adalah rumah sakit umum daerah (RSUD) Sekarwangi yang berjarak 37 Km.Sedangkan fasilitas tempat ibadah tersedia dalam jumlah yang memadai dengan jumlah mesjid
54 buah dan
Mushola 54 buah ( Kandepag Kabupaten Sukabumi 2005/2006) 4.4.
Sistem Transportasi Hampir seluruh kawasan telah terhubungkan
oleh jaringan jalan
walaupun dengan tingkat kualitas jalan yang bervariasi (seperti terlihat dalam
75
Tabel 10 diatas). Di kecamatan Kabandungan juga terdapat beberapa trayek angkutan yang melintas kecamatan Kabandungan, dimana pada umumnya merupakan trayek lokal yaitu Parungkuda-Cipeuteuy, Parungkuda-Kaladi, Parungkuda-Nirmala, Parungkuda-Cihamerang.Juga terdapat 2(dua) subterminal yaitu terminal Kaladi dan Terminal Cipeuteuy. Dominasi pergerakan masyarakat yang ada di kecamatan Kabandungan pada umumnya adalah pergerakan internal, kondisi eksisting dilapangan juga menunjukan telah adanya pembangunan jalan yang menghubungkan BogorPalabuhan Ratu melalui Desa cipeuteuy dan Cianten (kabupaten Bogor) yang melintasi wilayah Taman nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS). 4.5.
Sistem Ekonomi Kecamatan Kabandungan merupakan Kecamatan pertanian dimana
kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani dan Petani. sebagimana terlihat dalam Tabel 4.12 berikut: Tabel 4.12. Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Kecamatan Kabandungan No
Mata Pencaharian
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Petani Peternak Nelayan Buruh Tani Buruh/Swasta PNS Pedagang Pengrajin Jasa
Kabandungan 1.236 43 855 629 51 167 10 41
Tugubandung 2.418 9 3.225 25 125 20 -
Desa CipeuCihateuy merang 1.877 1.450 14 3.656 810 230 517 23 13 135 194 17 117 179 37
Mekarjaya 484 788 176 21 48 85 -
Cianaga 2680 3122 6 35 10 20
Jumlah 10.145 86 -12.446 1.552 139 704 259 277
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007
Berdasar
Tabel 4.12
terlihat bahwa mata pencaharian dibidang
pertanian mempunyai jumlah terbanyak.
Jumlah
penduduk yang bekerja di
bidang ini sebanyak 22.691 orang, terdiri dari buruh tani sebanyak 12.446 orang dan Petani 10.145 orang, kemudian swasta,
disusul dengan buruh swasta/pegawai
serta sebagian kecil bermata pencaharaian sebagai peternak,
PNS,Pedagang, Pengrajin dan bidang jasa. Penduduk yang bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam padi,
sayur
dan
palawija,
kegiatan
beternak
pada
umumnya
adalah
pengembangbiakan domba., ayam dan ikan. Sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh/swasta sebagai mata pencaharian pada umumnya bekerja di
76
perusahaan/pabrik yang berada disekitar kecamatan Kabandungan atau di luar daerah dan sebagian kecil bekerja pada perkebunan dan CHV. Tingginya jumlah penduduk dengan mata pencaharian sebagai buruh tani disebabkan adanya kepemilkan lahan yang tidak merata di kecamatan Kabandungan, hal ini terjadi karena sebagian besar wilayah kecamatan Kabandungan dikuasai oleh Perhutani (tanah kehutanan), tanah negara / PTP VIII serta tanah perkebunan swasta (PT.Jayanegara dan PT. Intan Hepta), seperti terlihat dalam Tabel 4.13 berikut:
Tabel 4.13.
Tanah darat 3.441
Luas Tanah Menurut Jenis Penggunaannya di kecamatan Kabandungan (dlm Ha) Tanah pesawahan 1.025,3
Tanah Kehutanan
7.918
Tanah perkebunan Swasta Negara /PTP 400 1.208
Jumlah 13.992,3
Sumber: Laporan Bulanan Pada Kantor Kecamatan Kabandungan. Oktober 2007 (diolah)
Berdasar Tabel 4.13 , maka kepemilikan lahan oleh masyarakat hanya seluas 4.466,3 Ha atau 32% dari luas wilayah kecamatan Kabandungan sedangkan selebihnya yaitu sebesar 9.526 Ha atau 68% dikuasai oleh negara dan perkebunan swasta. Ketimpangan kepemilikan lahan juga terjadidi tingkat masyarakat, dimana ada masyarakat yang menguasai tanah pertanian
yang luas dan ada juga
masyarakat yang tidak punya lahan pertanian samasekali, sehingga masyarakat yang tidak punya lahan biasanya menjadi buruh tani pada masyarakat yang lahannya luas, atau menggarap lahan masyarakat yang lahannya luas dengan sistem bagi hasil tertentu. Penduduk yang bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam padi, sayur mayur, pisang, pepaya dan komoditas lainnya. Kegiatan beternak umumnya
adalah pengembang biakan domba, kelinci, ayam dan perikanan
darat, sedangkan penduduk yang bekerja sebagai buruh pada umumnya bekerja di perusahaan-perusahaan lokal kecil, perkebunan teh Jayanegara dan PTP VIII serta sebagian kecil pada Proyek CHV.
Mata pencaharian lainnya adalah
berdagang dan sebagian kecil PNS serta sisanya adalah sektor-sektor informal lainnya.
77
Dalam sistem tata niaga input dan output hasil produksi pertanian, hasil produksi pertanian biasanya dipasarkan dalam jumlah cukup besar ke pasar induk Keramat jati di Jakarta atau pasar induk Bogor. Hasil produksi pertanian pisang kabandungan sudah mempunyai pasar yang baik di Jakarta dan Bogor, sekitar15 ton setiap hari komoditas ini diangkut ke berbagai pasar di Jakarta dan Bogor. Tetapi komoditas tersebut di jual sebagai bahan mentah tanpa proses produksi lebih lanjut, sehingga nilai tambah yang diperoleh sangat kecil sekali. Hal ini terjadi karena masih rendahnya keterampilan yang dimiliki oleh Masyarakat untuk mengolah lebih lanjut, serta kurangnya modal baik untuk pengadaan alat-alat produksi maupun untuk pengadaan bahan baku lainnya. Dengan kata lain kendala utama dalam pengembangan usaha rakyat di Kabandungan adalah terbatasnya keterampilan, modal kerja dan operasional serta Pemasaran hasil produksi. Kabandungan juga merupakan daerah tujuan investasi untuk peternakan terutama jenis ayam Broiler, dengan populasi peternakan terbesar adalah Ayam Pedaging, sebagaimana dalam Tabel 4.14 berikut:
Tabel 4.14.
Produksi Daging Menurut Jenis Ternak Dan Telur Unggas di kecamatan Kabandungan (Kg)
Kerbau 306
Kambing/Domba 68.378
Daging Ayam 340.517
Telur Ayam 21.036
Sumber: Dinas Peternakan Kabupaten Sukabumi (Diolah)
sebagian besar peternakan ayam dimiliki oleh pengusaha dari luar kecamatan Kabandungan yang menyewa lahan atau kandang di kecamatan Kabandungan, sedangkan penduduk hanya bekerja sebagai buruh atau sering disebut sebagai “anak kandang” pada peternakan tersebut. 4.6
Sumberdaya Lokal Seperti terlihat pada Tabel 4.13, kepemilikan lahan oleh masyarakat
hanya seluas 4.466,3 Ha atau 32% dari luas wilayah kecamatan Kabandungan sedangkan selebihnya yaitu sebesar 9.526 Ha atau 68% dikuasai oleh negara dan perkebunan swasta. Kawasan
kehutanan
merupakan
bagian
terbesar
dari
komposisi
penggunaan lahan (56.6%) akan tetapi akses masyarakat terhadap pengelolaan
78
hutan relatif
kecil bahkan tidak dimungkinkan pada kawasan hutan lindung
,hutan konservasi dan taman nasional gunung Halimun-Salak. Mata pencaharian masyarakat di sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian terbesar menunjukan masih kuatnya hubungan masyarakat dengan sumberdaya lokal berupa lahan pertanian.
Sedangkan dalam dalam sistem
penguasaan sumberdaya agrarian, lahan pertanian yang telah dikuasai secara turun temurun biasanya diberikan kepada keturunannya melalui proses bagi waris, sehingga penguasaan lahan oleh orang luar relatif kecil jumlahnya. Tekanan penduduk terhadap sumberdaya untuk pemukiman relatif kecil mengingat tingkat kepadatan agraris masih kecil, tetapi untuk pengelolaan sumberdaya sebagai sumber mata pencaharian karena komposisi lahan terbesar berupa kawasan hutan dan terdapat sebagian lahan pertanian yang kurang produktif,
untuk
mengatasi
tekanan
penduduk
terhadap
pengelolaan
sumberdaya, masyarakat berusaha mengurangi ketergantungan terhadap sumberdaya dengan beralih kepada sektor industri dan jasa dengan bekerja pada perusahaan yang terdapat di wilayah kecamatan Kabandungan. Cadangan sumberdaya alam meskipun cukup berlimpah, namun dengan terdesaknya lahan mereka karena di konversi menjadi lahan pemukiman dan keperluan lain, menyebabkan terjadinya pergeseran dalam pola lapangan kerja. Banyak penduduk yang akhirnya menjadi buruh perkebunan, galian batu (galian C) dan CHV bahkan pergi ke kota untuk menjadi buruh pabrik atau mencari mata pencaharian lainnya. 4.7.
Struktur Komunitas Pelapisan sosial yang
terdapat dalam masyarakat Kabandungan
didasarkan faktor ketokohan kharismatik seseorang, posisi yang sedang dijabat baik formal maupun informal, tingkat pendidikan dan kekayaan. Penghargaan yang tinggi terhadp faktor-faktor tersebut, menempatkan orang yang memilikinya berada pada status sosial yang tinggi dimata masyarakat. Kultur masyarakat Sunda sangat terlihat dalam komunitas.
Hal ini
menjadikan masyarakat di desa-desa kecamatan Kabandungan memilki ciri etnis yang spesifik.
Proses sosialisasi
dalam komunitas cenderung tidak ada
hambatan dan dapat berlangsung dengan lancar mengingat sebagian besar warga komunitas adalah penduduk asli suku Sunda yang masih memiliki garis
79
kekerabatan, memiliki kesamaan budaya dan telah lama bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain. Belum terdapat jejaring sosial komunitas yang telah melembaga dan berjalan efektif.
Organisasi-organisasi yang terbentuk cenderung organisasi
yang bersifat spontanitas dan kebutuhan sesaat.
Komunikasi antar warga
biasanya dibangun dalam forum-forum terbatas yang diadakan di kantor desa atau acara-acara keagamaan di Masjid. Pola-pola hubungan antar warga ini berkembang secara alamiah. Kehidupan beragama cukup baik, meskipun tidak mencerminkan komunitas pesantren yang kental. Sebagian besar penduduk beragama Islam dengan ciri muslim abangan. Jumlah Pemeluk agama Islam merupakan pemeluk agama terbesar
di Kecamatan Kabandungan dengan prosentase 99,96 %.
Sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.15 berikut: Tabel 4.15.
Jumlah Pemeluk Agama di kecamatan Kabandungan
Islam 36.527
Kristen 16
Hindu -
Budha 8
Lainnya -
Sumber : Kandepag Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah)
4.8.
Masalah Sosial Masalah sosial yang terdapat di kecamatan Kabandungan adalah: 4.8.1.
Kemiskinan
Penduduk miskin di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170
keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di
Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 %, dan merupakan jumlah prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi, seperti tecantum dalam Tabel 4.16 berikut: Tabel 4.16.
Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006
Rumah Tangga 8.467
Rumah Tangga Miskin 5.170
Persentase Rumah Tangga Miskin ( %) 61.06 %
Sumber Data: BPS Kab. Sukabumi 2006 (Diolah)
Jumlah Rumah Tangga miskin penerima BLT (Bantuan Tunai Langsung Kompensasi BBM) di Kabupaten Sukabumi tercatat sejumlah 228.370 atau
80
38.70% dari jumlah total rumah tangga di kabupaten Sukabumi. Persentase
rumah
tangga
miskin
terbesar
berada
di
Kecamatan
Kabandungan yaitu sebesar 61.06% dari jumlah rumah tangga yang ada di Kecamatan tersebut. Beberapa masalah sosial yang
terdapat di kecamatan Kabandungan
sebagiamana terlihat dari Tabel 4.17 berikut:
Tabel 4.17. Jumlah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Menurut Jenisnya di kecamatan Kabandungan A1 A2 A3 A4 A5 A6 A7 A8 A9 A10 A11 A12 A13 A14 32 150 2 4 37 325 - 262 68 29 Lanjutan Tabel 14 A15 A16 A17 A18 A19 A20 A21 A22 A23 A24 A25 A26 5 7 1.646 239 3 2 39 2 1 Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi (Diolah) Keterangan Tabel : A1 : anak balita terlantar A2 : Anak terlantar A3 : Anak yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah A4 : Anak Nakal A5 : Anak Jalanan A6 : Anak Cacat A7 : Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) A8 : Wanita yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah A9 : Lanjut Usia terlantar A10 : Lanjut Usia yang menjadi korban tindak kekerasan atau diperlakukan salah A11 : Penyandang Cacat A12 : Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis A13 : Tuna Susila A14 : Pengemis A15 : Gelandangan A16 : Eks Narapidana A17 : Korban Penyalahgunaan NAPZA A18 : Keluarga Fakir Miskin A19 : Keluarga Berumah tidak layak huni A20 : Keluarga bermasalah Sosial psikologis A21 : Komunitas adat terpencil A22 : Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana A23 : Korban bencana Alam A24 : Korban bencana sosial A25 : Pekerja Migran A26 : HIV/AIDS
Dari tabel diatas terlihat bahwa penyandang masalah kesejahteraan sosial yang terbanyak adalah keuarga fakir miskin diikuti oleh wanita rawan sosial ekonomi.
81
4.8.2. Pendidikan Dominasi tingkat pendidikan masyarakat kecamatan Kabandungan adalah SD/Sederajat. Dalam rangka menuntaskan wajib belajar 9 tahun, beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dengan menekan angka siswa putus sekolah (drop out/DO). Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out umur 7 -12 tahun di kecamatan Kabandungan adalah 86 Orang dan umur 13-15 tahun 0 orang. Tabel 4.18. KECAMATAN Kabandungan
Jumlah Murid Drop Out (DO) Menurut Umur Sekolah Jumlah Mudir Drop Out (DO) Umur 7 - 12 86
Umur 13 - 15 0
Sumber: Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah)
Tingginya angka putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan lemahnya kondisi ekonomi keluarga serta masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakan tentang pentingnya pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh LSM KPP (komunitas Peduli Pendidikan) tahun 2004 rata-rata tingkat melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan Kabandungan adalah 36.91% suatu jumlah yang relatif kecil.hal ini berarti hanya 36,91 % atau kurang dari setengah siswa lulusan SD yang melanjutkan ke tingkat SLTP. Siswa lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah biasanya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan informal atau tetap tinggal untuk membantu keluarga. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh KPP tahun 2004 juga ditemukan bahwa jumlah tenaga kependidikan sekolah
dasar di kecamatan
Kabandungan sangat kurang dimana jumlah yang di butuhkan adalah sebanyak 220 orang tetapi yang tersedia hanya 89 orang, seperti terlihat dalam Tabel 4.19. Tabel 4.19.
Keadaan Tenaga Kependidikan Sekolah Dasar di kecamatan Kabandungan
Jabatan Kepala Sekolah Guru Umum Guru Agama Guru Olahraga Penjaga Sekolah Jumlah
Jumlah diperlukan
Jumlah yang ada
22 132 22 22 22 220
22 46 7 4 10 89
Sumber:Profil Pendidikan kecamatan Kabandungan – KPP 2004
82
4.8.3. Kesehatan Terbatasnya Jumlah fasilitas dan tenaga bidang kesehatan di kecamatan Kabandungan, mengakibatkan pelayanan bidang kesehatan menjadi kurang maksimal. Jumlah fasilitass kesehatan dikecamatan kabandungan terdiri atas 1 puskesmas, 2 puskesmas pembantu (pustu) dan 38 pos yandu sebagaimana terlihat dalam Tabel 4.11 . Jumlah fasilitas kesehatan tersebut di layani oleh SDM bidang kesehatan yang terbatas pula seperti terdapat dalam Tabel 4.20 berikut:
Tabel 4.20. Jumlah SDM Bidang Kesehatan di kecamatan Kabandungan Jenis Tanaga Medis Dokter Ahli Dokter Umum Dokter Gigi Akademi Kesehatan Bidan Perawat Perawat Gigi SPPH SPAG Jumlah
Jumlah 1 2 3 2 1 9
Sumber Data: Dinas Kesehata Kabupaten Sukabumi 2005/2006 (Diolah)
4.8.4. Masalah Lingkungan a. Krisis Air Mengingat topografi wilayah Kecamatan Kabandungan yang terdiri dari perbukitan/dataran tinggi
sehingga kemungkinkan menggunakan air
tanah dalam menjadi sangat mahal, maka penyediaan air bersih selama ini sangat bergantung kepada pada mata air dan aliran air dari gunung/hutan. Pada musim kemarau debit air relatif kecil sehingga tidak seimbang dengan tuntutan kebutuhan air masyarakat, sedangakan ketika musim hujan air menjadi banjir, hal ini terjadi karena adanya illegal logging dan penambangan galian C di beberapa sungai.(sungai Ciawitali, Cibeureum, Cipanas, Ciherang, Citarik). b. Bencana Longsor Pada musim hujan wilayah Kecamatan Kabandungan merupakan daerah rawan longsor, karena tingkat kemiringan lahan yang relatif tinggi. Bencana longsor hampir terjadi setiap tahun walaupun tidak selalu
83
menimbulkan korban jiwa, tetapi kerugian materil dengan rusaknya rumah penduduk
dan
prasarana
jalan
atau
kebun
cukup
meresahkan
Masyarakat. Berikut ini adalah (Tabel 4.21) bencana yang terjadi selama tahun 2005
Tabel 4.21 Jumlah Kejadian Bencana Alam Menurut Jenisnya Kecamatan Kabandungan
Kebakaran 3
Angin Topan 1
Longsor 24
Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi tahun 2005 (Diolah)
Tingginya tingkat bencana longsor ini menyebabkan kerugian bagi warga masyarakat baik kerugian jiwa maupun kerugian materi, seperti terlihat dalam Tabel 4.22 berikut:
Tabel 4.22.
Jumlah Kerugian Akibat Kejadian Bencana Alam Dan taksiran Nilai Kerugan Kerugian Jiwa Kerugian Material Meninggal Menderita Sawah/ Taksiran Rumah Darat (ha) Kerugian (000) KK Jiwa 3 11 24 7 15.000
Sumber: Kantor Penanggulangan Masalah Sosial Kabupaten Sukabumi tahun 2005 (Diolah)
Tingginya angka bencana longsor dipicu juga oleh pemanfaatan lahanlahan kritis oleh masyarakat tanpa melakukan konservasi terhadap lahan tersebut, luas lahan kritis di Kecamatan kabandungan seluas 97,38 Ha.
Tabel 4.23. Luas Lahan Kritis di kecamatan Kabandungan (Ha) Luas lahan kritis Awal 2005 97,38
Luas total Penghijauan -
Luas lahan kritis Akhir 2005 97,38
Sumber: Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi tahun 2005 (Diolah).
4.9. CHV. Keberadaan CHV, Diawali dengan diketemukannya cadangan panas bumi di daerah Awi bengkok Gunung Salak oleh perusahaan Amerika Union,kemudian berubah menjadi Unocal kemudian perusahaan ini diakuisisi oleh CHV dan berganti nama menjadi CHV geothermal Salak,Ltd (CHV) pada tahun 2006.
84
CHV mulai beroperasi sejak tahun 1982, bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di daerah Awi Bengkok yang merupakan wilayah vulkanis dalam gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumursumur produksi penghasil uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di kecamatan pamijahan dan 30 di kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman 1.250 meter sampai dengan 3.211 meter. CHV, merupakan pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak ,Kontrak ini ditandatangani pada tahun 1982 antara Pertamina, PLN dan CHV Dari tahun 1983 – 1986 dilakukan proses studi rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina. Tahun 1989 penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina. Pada tahun 1994, CHV memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW, kemudian pada tahun yang sama diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar
220 MW, sehingga pada tahun 1997 CHV melakukan
operasi secara komersial sebesar 330 MW.
Pada tahun 1998 – 2002
dilakukanlah renegosiasi kontrak dan akhirnya pada bulan Juli 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak.( Azof;Iwan. S.,2002 ). CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development) untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi gunung Salak antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat. 4.10.
Ikhtisar Wilayah kecamatan Kabandungan merupakan kecamatan yang secara
lokasi berada di wilayah perbatasan antara Kabupaten Sukabumi dengan Kabupaten Bogor, secara keruangan potensi yang dimiliki oleh kecamatan Kabandungan terdiri dari kawasan hutan lindung, perkebunan, pertanian dan parawisata. kecamatan Kabandungan juga berfungsi sebagai buffer zone (penyangga) untuk ketersediaan dan resapan air daerah bawahnya. Kecamatan Kabandungan mempunyai luas wilayah 13.992,30 ha. Dominasi
pengunaan
lahan di kecamatan Kabandungan adalah hutan yang mencapai 54,94 % dari luas kecamatan Kabandungan. sementara penggunaan lahan untuk pemukiman hanya mencapai 4,79 % dari luas kecamatan Kabandungan.
85
Penduduk kecamatan Kabandungan 37.824 jiwa, terdiri
atas 18.969
orang laki-laki atau sekitar 50,15% dari jumlah penduduk dan 18.855 orang Perempuan atau sekitar 49,85%
dari jumlah penduduk. Laju pertumbuhan
penduduk rata-rata sebesar 0,05% pertahun dan diproyeksikan jumlah penduduk tahun 2029 berjumlah 61.262 jiwa atau naik sebesar 62 %, rata-rata kepadatan penduduk adalah 3 jiwa/ha. Kecamatan Kabandungan merupakan Kecamatan pertanian dimana kebanyakan masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani dan petani. Jumlah penduduk yang bekerja di bidang ini sebanyak 22.691 orang, terdiri dari buruh tani sebanyak 12.446 orang dan Petani 10.145 orang, kemudian disusul dengan buruh swasta/pegawai swasta, serta sebagian kecil bermata pencaharaian sebagai peternak, PNS,Pedagang, Pengrajin dan bidang jasa. Penduduk yang bekerja sebagai petani pada umumnya bercocok tanam padi, sayur mayur, pisang, pepaya dan komoditas lainnya. Kegiatan beternak umumnya
adalah
pengembang biakan domba, kelinci, ayam dan perikanan darat. Penduduk miskin di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170 keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 %. Dominasi tingkat pendidikan masyarakat kecamatan Kabandungan adalah SD/Sederajat. Pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out umur 7 -12 tahun di kecamatan Kabandungan adalah 86 Orang Tingginya angka putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan lemahnya kondisi ekonomi keluarga, rata-rata tingkat melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan Kabandungan adalah 36.91%. CHV merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi
(geothermal) yang beroperasi di wilayah kecamatan
Kabandungan tepatnya di daerah Awi Bengkok yang merupakan wilayah vulkanis dalam gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumur-sumur produksi penghasil uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di kecamatan pamijahan dan 30 di kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman 1.250 meter sampai dengan 3.211 meter. CHV melaksanakan program pengembangan masyarakat (community development) untuk masyarakat di sekitar wilayah operasi gunung Salak baik dalam bentuk fisik maupun nonfisik.
86
V.
EVALUASI
PELAKSANAAN
PROGRAM
MASYARAKAT PADA INDUSTRI
PEGEMBANGAN
PANAS BUMI GUNUNG
SALAK
Industri panas bumi (geothermal) Gunung Salak di wilayah kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat yang dikelola oleh CHV telah beroperasi sejak tahun 1982, bergerak dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di daerah Awi Bengkok yang merupakan wilayah vulkanis dalam gugusan Gunung Salak melalui pengeboran sumur-sumur produksi penghasil uap panas bumi, terdapat 65 sumur bor (35 di kecamatan pamijahan dan 30 di kecamatan Kabandungan) dengan kedalaman 1.250 meter sampai dengan 3.211 meter. Disamping melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, CHV telah melaksanakan program pengembangan masyarakat. Program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh CHV dapat diartikan sebagai wujud dari
internalisasi dari biaya eksternal yang timbul sebagai akibat dari pemanfaatan sumberdaya. Dalam Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang panas bumi, pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) panas bumi memiliki kewajiban melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Sejalan dengan Undang-undang tersebut dan semangat otonomi daerah, maka operasionalisasi perusahaan tidak lagi bisa dipisahkan dari lingkungan dan
masyarakat
sekitar
lokasi
perusahaan.
Kegiatan
pengembangan
masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dimaksudkan agar masyarakat setempat atau sekitarnya merasakan memperoleh manfaat dari adanya suatu kegiatan perusahaan. Hubungan antara CHV sebagai pemegang kontrak proyek panas bumi di Gunung Salak dengan Masyarakat sekitar mengalami pasang surut, sehingga model pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pun di pengaruhi hubungan-hubungan tersebut. Pelaksanaan
program
pengembangan
masyarakat
berdasarkan
hubungan antara CHV dengan Masyarakat dapat dibagi ke dalam dua periode, dimana masing-masing periode memiliki karakteristik yang berbeda,
periode
tersebut yaitu sebelum tahun 2000 dan periode setelah tahun 2000.
87
Pelaksanaan program pengembangan masyarakat di antara kedua periode tersebut seperti terlihat dalam Matriks 5.1.
Matriks 5.1.
Pelaksanaan Pengembangan Masyarakat Yang Dilakukan Oleh Industri Panas Bumi Di Gunung Salak
Aspek Keterlibatan Masyarakat
Sebelum Tahun 2000
Setelah Tahun 2000
Latar Belakang Program
Perusahaan tidak melakukan kegiatan Pengembangan masyarakat secara khusus,program bantuan yang ada disalurkan melalui Kecamatan atau Desa, itupun setelah diminta oleh pemimpin formal (Kepala Desa dan Camat)
Masyarakat menuntut Perusahaan melalui demonstrasi untuk segera melakukan program pengembangan masyarakat secara sungguh-sungguh.
Proses Perencanaan Program
Masyarakat tidak dilibatkan, keikut sertaan masyarakat diwakili oleh pemimpin formal ( Camat, kepala desa, pejabatpejabat pemerintah).
Masyarakat mulai dilibatkan walapun dominasi pemimpin formal masih sangat kuat Mulai muncul kelompokkelompok pemberdayaan.
Proses Pelaksanaan Program
Dilaksanakan sendiri oleh perusahaan (kalaupun bekerjasama dengan pihak lain, pihak tersebut bukan dari masyarakat lokal). Bentuk pelaksanaan program masih bersifat charitatif.
Dilaksanakan oleh CHV bekerjasama dengan Pemerintah,organisasi dan LSM lokal. Partisipasi masyarakat lokal sudah terlihat walaupun belum maksimal.
Proses Pengawasan Program
Tidak ada pengawasan dan evaluasi oleh masyarakat terhadap program yang telah dilaksanakan
Masyarakat ikut mengawasi dan mengevaluasi program yang telah dilaksanakan.
Kepedulian Masyarakat
Masyarkat tidak peduli dengan kegiatan yang dilakukan oleh CHV, selama tidak menyangkut kehidupan mereka. Komunikasi antara perusahaan dengan masyarakat sangat terbatas.
Masyarkat mulai peduli ,mulai muncul LSM, organisaiorganisai kepemudaan sehingga muncul pula tokohtokoh Pemuda. Mulai timbul pula tuntutan-tuntutan kepada fihak CHV, baik mengenai tenaga kerja, lingkungan maupun program pengembangan masyarakat
Sumber: hasil wawancara
Dalam
pelaksanaannya program pengembangan masyarakat yang
dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah
88
berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru diwakili oleh orang – orang tertentu saja, namun secara umum realisasii program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Pada konteks ini, sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pendirian dan perbaikan fasilitas transportasi berupa jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya proses produksi mereka. Dengan demikian kalaupun fasilitas tersebut juga
bermanfaat bagi masyarakat lokal,
maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal. Penduduk miskin di Kecamatan Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170 keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 persen dari rumah tangga yang ada di kecamatan Kabandungan.
Jumlah tersebut
merupakan jumlah prensentase
keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi (Data BPS Kabupaten Sukabumi). Rumah tangga miskin tersebut menyebar di desa-desa yang ada di kecamatan Kabandungan serta sebagian tinggal di sekitar daerah operasi CHV. Mereka
adalah masyarakat miskin yang masih memerlukan pelayanan-
pelayanan penguatan kapasitas untuk meningkatkan pendapatan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan. Mereka merasa berhak mendapatkan pelayanan-pelayanan itu karena perusahaan sudah mandapatkan banyak keuntungan secara ekonomis sehingga sudah sewajarnya kalau perusahaan meredistribusikan sebagaian kepada mereka. Selain itu, masyarakat merupakan bagian yang rentan terhadap akibat-akibat pencemaran yang mungkin muncul sehingga wajar kalau mereka mendapatkan kompensasi tersebut. Realisasi program yang tidak didasarkan pada semangat untuk melayani masyarakat lokal mengakibatkan perusahaan tidak melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan didesain oleh perusahaan atau aktor dari luar. Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan program bisa diintegralisasi dengan program-programnya dalam kerangka pembangunan regional. Di pihak lain masyarakat juga mengharapkan bahwa program tersebut mampu memberdayakan mereka.
89
Bertemunya kepentingan-kepentingan itu menimbulkan masalah yang cukup serius. Motif perusahaan merealisasi program turut menentukan model realisasi program.
Keterlibatan perusahaan dalam program pengembangan
masyarakat dilatar belakangi dengan beberapa kepentingan. Setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan yaitu motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal (Mulyadi.2003). Jika diklasifikasikan
dengan menggunakan motif
perusahaan dalam
menjalankan program pengembangan masyarakat, maka program yang pengembangan masyarakat yang telah dilakukan oleh CHV di kecamatan Kabandungan masih bermotif
keamanan dan motif memenuhi kewajiban
kontrak. Hal ini bisa dilihat dari baru adanya
program pengembangan
masyarakat pada tahun 2000, padahal perusahaan sudah beroperasi dari tahun 1978, itupun setelah masyarakat menuntut melalui demonstrasi. Matriks 5.2 di bawah ini menggambarakan peta motif tersebut
Matriks 5.2. Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program Pengembangan Masyarakat Motif Keamanan • Program dilakukan setelah ada tuntutan masyarakat yang diwujudkan melalui demonstrasi (tahun 2000)
Motif Memenuhi Kewajiban Kontrak • Pertanggung jawaban program bukan pada pemerintah daerah dan masyarakat lokal tetapi pada pemerintah pusat.
Komitmen Moral Perusahaan meredistribusi keuntungannya setelah mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada
• Program tidak dilakukan setelah kontrak • Kegiatan yang ditandatangani.Kecenderunga dilaksanakan tidak nnya program dilakukan ketika berkelanjutan tetapi lebih bersifat “Project”, dan di kebebasan masyaraat blow-up di media masa sipil semakin setelah otonomi daerah. Sumber:diolah dari hasil wawancara, tabel diadapatasi dari Mulyadi. 2003
Semenjak tahun 2000 CHV telah menyisihkan
anggaran dari
pendapatannya untuk memberi manfaat bagi masyarakat setempat melalui Program pengembangan masyarakat. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat ini dilaksanakan di kecamatan Kabandungan, Kalapanunggal dan kecamatan Pamijahan. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat tersebut CHV melakukannya melalui pola kemitraan dan langsung ke masyarakat setempat. Secara philantropis perusahaan meredistribusi keuntungannya setelah
90
mereka memanfaatkan resources di lokasi di mana masyarakat berada. Apalagi masyarakat sekitar dalam keadaan miskin. Ini adalah kewajiban moral. Namun motif yang didasarkan pada komitmen moral tersebut masih sebatas wacana dan belum terlihat nyata. Keberadaan program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan belum efektif mengurangi kemiskinan masyarakat lokal. Hal ini terjadi karena program yang dilaksanakan direncanakan dengan tidak melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Jika dilihat dari sisi proses penyerapan asiprasi masyarakatnya, nampak belum tercipta suatu mekanisme yang bersifat terbuka bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya. Dari beberapa kasus yang ditemukan, sebagian besar menunjukkan bahwa penyerapan aspirasi itu masih terpusat dan bertumpu pada usulan elit-elit tertentu masyarakat, seperti aparat Pemerintah dan jajarannya, sebagian tokoh masyarakat serta LSM dan belum menyerap pada usulan seluruh lapisan masyarakat, Sehingga hasil-hasil keputusan pembangunan itu sendiri seringkali tidak merepresentasikan aspirasi masyarakat. Pendekatan seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima program pasif. Mereka tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolanya. Mereka belum ditempatkan pada posisi sentral realisasi program. Hal tersebut menunjukkan bahwa program pengembangan masyarakat
yang
dijalankan
oleh
perusahaan/swasta
belum
mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Agar
program
pengembangan
masyarakat
yang
dijalankan
oleh
perusahaan dapat berdampak terhadap masyarakat serta efektif menyelesaikan persoalan masyarakat lokal termasuk menurunkan kemiskinan, maka program yang dijalankan harus dirancang dengan memaksimalkan media atau ruang bagi publik/masyarakat untuk terlibat secara aktif dan terus menerus (partisipasi masyarakat) dalam proses perumusan kebijakan/program serta harus dirancang secara sistematis dalam jangka waktu yang panjang dengan kejelasan raihan yang jelas. Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan
91
menjadi (1) derajat paling rendah yaitu dimana masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. informasi,
Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan dan
melakukan
analisis.(2)
derajat
menengah
yaitu
dimana
masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, (3) derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikutmenentukan
arah
serta
mengelola
sendiri
pengembangan,
masyarakat
mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kedalaman
derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV di kecamatan Kabandungan adalah derajat ke-1 (paling rendah), dimana Pihak luar (baik perguruan tinggi maupun LSM) yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Pendekatan Program dan motif perusahaan merealisasi program pengembangan masyarakat tidak terlepas dari substansi program serta pendekatan yang diadopsi perusahaan dalam merealisasi program. Beberapa program berusaha meningkatkan kapasitas masyarakat lokal namun secara umum realisasi program lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Dalam hal ini, kadang yang sulit dibedakan adalah bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pembangunan fasilitas transportasi berupa jalan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk mempercepat jalannya proses produksi. Dengan demikian kalaupun bermanfaat bagi masyarakat
lokal,hal
tersebut
menguntungkan masyarakat lokal.
merupakan
ekternalitas
positif
yang
92
CHV mulai merealisasi kegiatan pengembangan masyarakat pada tahun 2000an fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah dilakukannya otonomi daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar. Kebebasan masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat serta ruang untuk menyuarakan tuntutan masyarakat pada masalah pencemaran, masalah tenaga kerja, dan masalah lainnya terhadap perusahaan pun menjadi lebih luas. Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang sangat penting.
Keberhasilan
pengembangan masyarakat akan sangat di
pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, menurut Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa (Bass et al.,1995 dalam Hobley, 1996) atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat (Arnstein, 1969 dalam Fisher, 1995). Lebih lanjut Tadjudin (2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995)
dalam
Hobley,
(1996)
,terdapat
beberapa
tipologi
partisipasi
masyarakat: 8. Partisipasi
Manipulatif,
partisipasi
masyarakat
ditunjukan
dengan
penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas. 9. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari administrator ata manager proyek tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh administrator atau manajer proyek adalah pendapat para Profesional. 10. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis.
Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan. Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat. 11. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga
93
kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan. 12.
Partisipasi Fungsional, partisipasi masyarakat dipandang oleh pihak luar
sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal. 13.
Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis,
pengembangan
rencana
kegiatan,
dan
dalam
pembentukan
dan
pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek. 14.
Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri
untuk melakukan perubahan sistem.
Mereka membangun hubungan
konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang
kendali
menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut diatas, maka bentuk partispasi yang
sesuai
untuk
pengembangan
masyarakat
di
kawasan
industri
pertambangan adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondisi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat
masyarakat
untuk
menjadi
agent
of
change-nya.
Sementara
kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia masyarakatnya masih rendah. Sehingga tipologitipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, tipologi partisipasi yang ada dalam program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah tipologi partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif, sehingga keterlibatan masyarakat dalam program pengembangan masyarakat masih kurang.
Secara keseluruhan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh CHV belum mendorong berkembangnya inisiatif-inisiatif
94
lokal untuk pengembangan wilayah perdesaan, hal ini terjadi karena masih terbatasnya partisipasi masyarakat, program didesain oleh perusahaan dan kurang melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah. Pada tahap realisasinya, program melibatkan kedua entitas tersebut dengan intensitas yang berbeda. Sedangkan pada tahapan evaluasi dan pelaporan terlihat bahwa tahapan itu tidak melibatkan mereka. Akibat yang terjadi adalah bahwa koordinasi dalam merealisasi program antara perusahaan dan pemerintah daerah (Desa /Kecamatan) berjalan tidak baik. Idealnya program pengembangan masyarakat dipraktekan secara integral dengan program pembangunan regional yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Namun kenyataan yang terjadi adalah program pengembangan masyarakat overlap dengan program pembangunan regional atau berjalan secara terpisah tanpa ada kerangka kerja yang jelas. Secara ekonomis ini menimbulkan inefisiensi. Pada sisi yang lain, secara sosialpolitis hal ini akan menimbulkan kebingungan-kebingungan dalam masyarakat dan mengakibatkan hubungan pemerintah daerah (desa/kecamatan)
dengan
perusahaan menjadi kurang baik. Hal yang sama juga terjadi pada tingkatan masyarakat. Posisi tawar masyarakat relatif rendah. Sebagian besar program direalisasi tanpa dilakukan need assessment yang melibatkan masyarakat. Selain mengakibatkan ketidaksesuaian antara program dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga menimbulkan partisipasi masyarakat pada program CSR rendah. Padahal, partisipasi merupakan esensi mendasar dalam realisasi programprogram community development (Ife,1996). Oleh karena itu diperlukan perubahan kerangka berpikir baik oleh perusahaan, elit lokal, LSM, dan Pemerintah daerah (desa/kecamatan) untuk meletakkan kepentingan masyarakat pada posisi sentral realisasi program. Keputusankeputusan strategis baik pada aspek substansi maupun pilihan pendekatan harus didasarkan pada masalah yang dihadapi masyarakat. Pada tingkatan yang lebih operasional perusahaan,
birokrat,
LSM,
dan Pemerintah daerah (desa
/kecamatan) perlu melibatkan masyarakat dalam setiap aspek dan tahapan realisasi program. Selain pendekatan seperti ini akan membantu mengarahkan substansi program sesuai dengan kebutuhan masyarakat, hal ini juga akan memotifasi partisipasi masyarakat. Kondisi seperti ini dipercaya memberi peluang yang
besar
untuk
terciptanya
pengembangan kawasan perdesaan.
pemberdayaan
masyarakat
lokal
serta
95
Berdasarkan data pada laporan pelaksanaan program pengembangan masyarakat (Salak community engagement report) yang dikeluarkan oleh CHV, Program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan untuk masyarakat sekitar wilayah operasi gunung Salak antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat. Secara rinci pelaksanaan program pengembangan masyarakat
dalam berbagai bidang
bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat adalah sebagai berikut:
5.1.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Pendidikan Sebagai
wujud
nyata
komitmen
tehadap
peningkatan
sumberdaya manusia, program community develoment CHV
kualitas
dalam bidang
pendidikan antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa kepada mahasiswa di tingkat perguruan tinggi (S-1 dan D-3), beasiswa tersebut disalurkan ke perguruan tinggi negeri diantaranya Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sukabumi. Karena rendahnya tingkat melanjutkan sekolah SD di kecamatan Kabandungan, upaya pemberian beasiswa juga telah dilakukan oleh CHV pada tingkat sekolah dasar,menengah dan tingkat atas, dengan tujuan membantu menekan angka siswa putus sekolah (drop out) di kecamatan Kabandungan yang pada tahun ajaran 2005/2006 jumlah siswa drop out umur 7 -12 tahun sebanyak 86 Orang, jumlah yang cukup signifikan untuk ukuran Sekolah Dasar. (data Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Sukabumi 2005/2006). Tingginya angka putus sekolah untuk usia 7-12 tahun ini disebabkan lemahnya kondisi ekonomi keluarga serta masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakan tentang pentingnya pendidikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
LSM KPP (komunitas Peduli Pendidikan) tahun 2004, rata-rata tingkat
melanjutkan murid SD ke SLTP di kecamatan Kabandungan adalah 36.91persen jumlah yang relatif kecil, hal ini berarti hanya 36,91 persen atau kurang dari setengah siswa lulusan SD yang melanjutkan ke tingkat SLTP. Siswa lulusan SD yang tidak melanjutkan sekolah biasanya pergi ke kota untuk mencari pekerjaan informal atau tetap tinggal untuk membantu keluarga, bekerja di sektor
96
informal atau bahkan menganggur.
Untuk membantu mengatasi masalah-
masalah tersebut diatas serta dalam rangka mendukung program dalam menuntaskan propgram wajib belajar 9 tahun, maka CHV memberikan beasiswa melalui program pengembangan masyarakat dalam bidang pendidikan.
“Dalam melaksanakan program bidang pendidikan, yang kami lakukan diantaranya; Beasiswa, merupakan bentuk bantuan kepada pelajar atau generasi muda untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, program ini adalah guna mendukung program pemerintah. Dengan program beasiswa ini diharapkan dapat mengurangi murid-murid yang drop-out di tingkat sekolah dasar, menengah dan atas, dan juga membantu calon sarjana untuk menyelesaikan kuliahnya. Program ini diutamakan untuk masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi kerja CHV.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
Program beasiswa ini di berikan kepada siswa-siswi yang berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu dan diutamakan bagi masyarakat yang berada di disekitar lokasi kerja CHV mulai dari jenjang sekolah dasar,menengah pertama, menengah atas sampai perguruan tinggi.
Tetapi
sayangnya kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan serta hanya ditujukan untuk keluarga karyawan CHV atau orang –orang dan kelompok tertentu saja. Disamping itu rekrutmen terhadap calon penerima beasiswa serta nama-nama penerima beasiswa juga tidak pernah di umumkan oleh CHV, sehingga timbul kecurigaan masyarakat terhadap hal tersebut.
“Program CHV dalam bidang pendidikan hanya ditujukan kepada sekolah atau tokoh tertentu saja, belum menjangkau seluruh masyarakat, kesempatan sangat terbatas kepada orang-orang yang dekat dengan CHV saja. Seperti dulu pernah ada program beasiswa, tetapi jatuhnya kepada orang-orang yang tidak layak dan juga tidak ada kriteria penerima beasiswa yang jelas. Dana beasiswa disimpan direkening kepala dinas pendidikan, sehingga pemberiannya tidak bisa di kontrol oleh masyarakat.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
Program beasiswa yang dijalankan selama ini cenderung dianggap tidak transparan karena belum adanya prosedur pemberian beasiswa yang jelas yang dimiliki oleh CHV. CHV sendiri menyadari bahwa program beasiswa yang di berikan selama ini belum dapat memuaskan semua pihak karena perusahaan belum memiliki prosedur yang baku dalam pemberian bantuan beasiswa ini, dan CHV sedang mempersiapkan prosedur tersebut dimana nantinya program ini
97
akan diumumkan secara terbuka dan dalam perekrutannya akan bekerjasama dengan LSM dan dinas terkait.
“ Memang kami selama ini belum mempunyai standar dan prosedur yang baku dalam pemberian beasiswa, itu masih melanjutkan prosedur perusahaan sebelum CHV, tetapi sekarang kami sedang berusaha menyusun sebuah prosedur yang baku dalam pemberian beasiswa, untuk itu kami meminta masukan dari masyarakat dan pemerhati pendidikan.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
Dalam rangka pengembangan SDM warga setempat, CHV juga telah memberikan kesempatan kepada siswa-siswi SLTA/STM/SMK untuk dapat magang dan sekaligus praktek di lokasi kerja CHV, Siwa-siswi tersebut diberikan pelatihan di tempat kerja maupun di luar tempat kerja pada bidang-bidang yang berhubungan dengan operasi panasbumi, seperti pengelasan, pengoperasian peralatan,pekerjaan listrik administrasi. tersebut,
dan instrumentasi serta pekerjaan clerk dan
Diharapkan dengan pengenalan lebih awal kepada siswa-siswi
dapat
memacu
mereka
untuk
belajar
lebih
jauh
mengenai
pengoperasian panas bumi, sehingga nantinya dapat turut berpartisipasi di industri panas bumi.
“CHV membantu kegiatan-kegiatan,memberi kesempatan untuk berkunjung dan magang kepada sekolah-sekolah yang jauh dari lokasi perusahaan seperti dari kota sukabumi dan jakarta. Sementara kalau sekolah-sekolah lokal sangat sulit memperoleh kesempatan itu.” (YDY, guru swasta, 35 tahun)
Dalam laporan pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dieluarkan oleh perusahaan disebutkan, bahwa dalam rangka Meningkatkan ketersediaan SDM pada masyarakat di sekitar wilayah kerja perusahaan, dilakukan CHV melalui cara-cara yang saling menguntungkan yaitu melalui program-program pelatihan. Dalam rangka mendukung tercapainya tujuan perusahaan bagi pembangunan berkelanjutan. Program pelatihan tersebut tidak saja menyiapkan orang-orang untuk bekerja di CHV, tetapi juga membekali mereka dengan sejumlah keahlian dan pengalaman yang mampu meningkatkan nilai jual mereka selaku tenaga kerja di tingkat lokal, regional maupun dunia. Tetapi Program tersebut
dinilai masih kurang cukup oleh masyarakat
sekitar, karena program tersebut masih bersifat project tidak terprogram dengan baik dan tidak berkesinambungan, sehingga belum berdampak maksimal
98
terhadap peningkatan dan penciptaan Sumberdaya Manusia lokal.
Pelatihan
yang dilakukan selama ini hanya pelatihan-pelatihan yang ditujukan untuk mendukung program pengembangan masyarakat CHV saja dan dilaksanakan bersama LSM-LSM dari luar, bukannya pelatihan-pelatihan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat.
“Kehadiran program Comdev tidak nampak nyata dalam bidang pendidikan dan tidak banyak menciptakan SDM yang handal, program yang ada hanya bersifat kagetan dan tidak terencana dengan baik. Hanya bersifat seperti pemadam kebakaran saja” (FF, Pengusaha lokal, 40 tahun.)
Masyarakat lokal berharap CHV dapat membangun BLK di Kabandungan, yang dapat dipergunakan sebagai pusat pelatihan secara rutin oleh masyarkat dalam bidang-bidang yang sangat di butuhkan untuk dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilam agar dapat bersaing dengan pendatang.
“Keinginan masyarakat, chevron itu membangun BLK untuk memberi pelatihan kepada warga sekitar, sehingga bisa meningkatkan keterampilan warga, tetapi keinginan itu tidak pernah di realisasikan dengan berbagai alasan.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
Sementara menurut CHV, bahwa tidak dibangunnya BLK karena pembangunan BLK hanya akan menghabiskan budget program pengembangan masyarakat untuk kecamatan Kabandungan saja, perusahaan menganggap tidak perlu membangun BLK untuk pelatihan, karena untuk tempat pelatihan dapat bekerja sama dengan BLK milik pemerintah daerah (dalam hal ini badan diklat Kabupaten Sukabumi) dan ini akan menghemat biaya, sehingga dana yang di pergunakan untuk membangun gedung BLK dapat di pakai untuk membiayai lebih banyak orang yang terlibat dalam pelatihan. Disamping itu, dengan bekerjasama dengan BLK milik pemerintah daerah, kurikulum yang akan dilaksanakanpun dapat disesuaikan dengan kualitas sumberdaya manusia lokal sehingga akan mampu memenuhi kebutuhan pasr kerja. Sebagai bagian dari upaya
meningkatkan kecerdasan kehidupan
bangsa, bidang pendidikan menjadi fokus program pemberdayaan masyarakat CHV tahun 2007. Program ini mencakup empat program utama, yaitu pemberian
99
beasiswa bagi siswa, program
pembinaan guru-guru, program perbaikan
infrastruktur sarana pendidikan, seperti gedung sekolah, perpustakaan, buku bacaan, peralatan sekolah, bantuan komputer dan sarana pendidikan lainnya.
“Dalam melaksanakan program bidang pendidikan, kami juga melaksanakan berbagi kegiatan seperti: • Renovasi sekolah dan bantuan peralatan sekolah CHV juga membantu dalam merenovasi bangunan sekolah dan juga membantu peralatan penunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah (seperti furniture, buku, perpustakaan). • Pemberantasan Buta huruf, membantu masyarakat dalam program membaca dan menulis. • Program pendidikan lingkungan ke sekolah-sekolah. • Program pengenalan geothermal kepada masyarakat pelajar dan mahasiswa, program ini disebut “Geothermal Goes to School” • Bekerjasama dengan perguruan tinggi untuk program-program edukasi. (seperti kontes bahasa Inggris). Dalam melaksanakan program ini diperlukan kerjasama atar berbagai pihak yang terkait dan konsep partisipasi aktif harus bisa dipahami oleh seluruh elemen, sehingga peran serta masing-masing pihak terukur.” (WE, Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
“Di lingkungan kami yang berdekatan dengan CHV, yang kami tau tentang bantuan CHV di bidang pendidikan hanyalah rombak sekolah dasar, itu saja.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
Dalam upaya meningkatkan sarana fisik pendidikan CHV melakukan pembangunan ruang kelas baru di SMK Nurul Bayan di Kecamatan Kalapanunggal, membangun 2 ruang kelas di SMP PGRI di Desa Cingenca Kecamatan Kalapanunggal, membangun 2 ruang kelas di MTS Muhammadiyah di desa Ciasmara, membangun 1 ruang kelas di SD Jayanegara di desa Kabandungan kecamatan Kabandungan.
Selain itu bantuan material untuk
merenovasi sekolah SDN Cingenca kecamatan Kalapanunggal, TK Mandiri Cikidang.
Memberikan bantuan
meubelair (meja dan kursi)
kepada SMA
Kabandungan dan SDN Cipeuteuy di kecamatan Kabandungan. Guna membantu meningkatkan mutu pendidikan, CHV bekerjasama dengan pemerintah daerah sukabumi dan dinas pendidikan kabupaten Sukabumi serta LSM, memfasilitasi pelaksanaan lokakarya serta workshop
mengenai
kurikulum pendidikan yang diikuti oleh guru-guru se-kabupaten Sukabumi.
100
Program Comdev di Kabandungan terlalu menitik beratkan pada bidang infrastruktur tetapi tidak semua sarana pendidikan di Kabandungan tersentuh oleh program ini, sementara pelaksanaannya dilapangan tidak transparan dengan masyarakat mengenai anggarannya, sepertinya ada kongkalingkong dari pemberi bantuan dan pelaksana, seharusnya CHV menitikberatkan bantuan kepada murid-murid yang kurang mampu.” (HND Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
“Dalam bidang pendidikan CHV telah memberikan beberapa bantuan kepada sekolah, kedepan bantuan tidak hanya berupa fisik bangunan saja, tetapi bantuan lain yang juga dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya bantuan transportasi untuk anak-anak SMP/SMA karena jarak sekolah yang jauh. Kebanyakan orang tua tidak mampu menyekolahkan kerena masalah ongkos.” (AC, anggota BPD, 33 tahun)
Program pengembangan masyarakat ini ditujukan untuk mengembangkan masyarakat sekitar lokasi operasi perusahaan, Program ini dilaksanakan secara bersama-sama dengan Pemerintah, Masyarakat, LSM serta Perguruan tinggi, sehingga program ini diharapkan dapat berjalan secara optimal serta memberikan kontribusi peningkatan kualitas hidup Masyarakat disekitar lokasi operasi Perusahaan, baik kesejahteraan maupun sumberdaya manusia.
“Dilapangan tidak seperti apa yang seperti yang disebutkan, kenyataannya di lapangan program-program tersebut seperti dirahasiakan. Mohon di perhatikan lembaga pendidikan swasta terutama di kecamatan Kabandungan” (ARDY /YNT Tokoh Pemuda,29 tahun )
Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa perusahaan telah bereran serta dalam meningkatkan pendidikan dan keterampilan masyarakat, meskipun di nilai masih belum maksimal oleh masyarakat serta masih membutuhkan waktu yang panjang untuk memperoleh hasil, tetapi sebagai sebuah proses upaya-upaya yang telah dilakukan sudah mengarah pada perbaikan tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat
yang dapat berimplikasi pada peningkatan kualitas
sumberdya manusia di masa yang akan datang.
5.2.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Kesehatan Dalam bidang kesehatan
CHV melakukan penyuluhan kesehatan,
penyuluhan gizi dan peningkatan jangkauan sarana kesehatan serta bekerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten Sukabumi menggelar Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN), disamping itu yang telah dilakukan oleh CHV adalah
101
pengobatan massal, sunatan massal serta bantuan obat-obatan, ribuan warga dari beberapa daerah terpencil memperoleh bantuan pengobatan ini. Di samping itu dilakukan juga menyebarkan informasi untuk mencegah HIV/AIDS kepada generasi muda, bekerja sama dengan Yapeka serta kantor kementrian negara lingkungan hidup.
“Program yang kami lakukan dalam bidang kesehatan diantaranya adalah Pelayanan Kesehatan Terpadu (Posyandu), CHV juga membantu dalam meningkatakan serta membangun puskesmas dan posyandu guna mendukung program pemerintah dalam menciptakan upaya meningkatkan tingkat kesehatan ibu dan anak, terutama di daerah sekitar operasi perusahaan. Disamping itu kami juga melakukan bakti sosial, kegiatan ini juga dilakukan untuk masyarakat di sekitar lokasi kerja CHV, seperti sunatan massal, vaksinasi/immunisasi “ (WE Manager Salak Community Affairs CHV, 45 tahun)
“Program kesehatan yang dilakukan oleh CHV berjalan dengan baik dan sudah meyentuh kepentingan masyarakat, diantaranya pembangunan pos yandu, makanan tambahan untuk balita serta program pengobatan masal”. (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
Program dalam bidang kesehatan yang selama ini dilakukan oleh CHV dianggap masyarakat masih belum memadai, karena masih bersifat insidentil dan dilakukan secara seremonial saja. Terbatasnya Jumlah fasilitas dan tenaga bidang kesehatan di kecamatan Kabandungan, mengakibatkan pelayanan bidang kesehatan menjadi kurang maksimal. Jumlah fasilitas kesehatan dikecamatan kabandungan terdiri atas 1 puskesmas, 2 puskesmas pembantu (pustu) dan 38 pos yandu. sehingga dalam melakukan program pengembangan masyarakat dalam idang kesehatan ini, masyarakat mengharapkan CHV dapat membangun sebuah rumah sakit
dengan fasilitas lengkap yang dapat
dipergunakan oleh masyarakat, rumah sakit sangat diperlukan oleh masyarakat Kabandungan, karena rumah sakit yang terdekat jaraknya adalah sekitar 34 KM (yaitu RSUD Sekarwangi), sehingga CHV tidak lagi melaksanakan programprogram bantuan yang sifatnya bantuan sesaat. “CHV tidak pernah membuka mata bagaimana sulitnya masyarakat mendapat pelayanan kesehatan, tidak ada dokter,tidak ada bidan dan puskesmas jauh, padahal di gunung salak ada klinik dan ada dokter tiap hari nganggur. Mestinya CHV memperbolehkan masyarakat berobat ke situ atau menyediakan bantuan ambulance untuk membantu kesehatan” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
102
“Sebagai salah saatu perusahaan multinasional yang besar dan beroperasi di daerah yang jauh dari rumah sakit, seharusnya program kesehatan CHV harus sudah dapat membangun rumah sakit yang lengkap untuk masyarakat. Program selama ini hanya bersifat insidentil dan seremonial seperti sunatan masal, pengobatan gratis 1 tahun sekali dan bantuan PMT untuk anak-anak balita, kegiatan tersebut bagus, tetapi belum menyentuh kehidupan masyarakat secara keseluruhan dan belum menjawab kebutuhan masyarakat terhadap sarana kesehatan yang memadai” (DG tokoh formal Kabandungan, 43 th)
Untuk membantu menyediakan air bersih CHV telah melaksanakan proyek pembangunan pipanisasi bagi warga kampung Tipar desa Mekarjaya sepanjang 1.020 meter. Penyediaan air bersih layak minum untuk 170 Kepala keluarga di di kecamatan Kalapanunggal juga membangun 7 unit “pompa setan” yang ditempatkan di desa-desa di kecamatan Kalapanunggal serta membangun dam
penampungan air di desa Cianten untuk digunakan sebagai irigasi
pertanian dan kebutuhan air lainnya. Sebagai upaya penyediaan fasililitas kesehatan bagi masyarakat, CHV bekerja sama dengan LSM setempat telah membangun pos yandu di desa Kabandungan, bantuan obat-obatan dan peralatan medis kepada Puskesmas di kecamatan Pamijahan, pembinaan kader-kader posyandu di kampung Babakan desa Kabandungan, menyediakan program makanan tambahan (PMT) untuk anak balita bekerjasama dengan puskesmas pembantu, Polindes serta kader PKK di kecamatan Pamijahan dan alam upaya perbaikan sanitasi masyarakat telah dibangun fasilitas MCK untuk TK Al mustofa di desa Tugubandung dan 14 unit MCK di desa Purwabakti. “Masyarakat tidak tahu samasekali tentang bantuan CHV dalam bidang kesehatan, karena tidak ada transparansi baik dari CHV maupun dari dinas kesehatan, pelaksanaan program kurang menyentuh masyarakat banyak, hanya segelintir orang saja yang menikmatinya”. (HND Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
5.3.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Pemberdayaan Ekonomi Lokal Untuk membantu memberdayakan ekonomi kerakyatan, CHV turut aktif
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, terutama masyarakat petani. CHV membina kelompok-kelompok tani antara lain petani sayur-mayur, jagung, pepaya. Bantuan yang diberikan antara lain dalam bentuk bibit,pupuk, penyiapan lahan dan fasilitas pertanian lain seperti bedeng-bedeng tanaman,
103
bangunan
tempat
diskusi,
peralatan
pertanian
cangkul,parang,alat penyemprot hama dan lain-lain. tersebut juga mendapat
seperti
pompa
air,
Kelompok-kelompok tani
binaan dari Penyuluh pertanian yang diperbantukan
CHV bekerjasama dengan Dinas Pertanian setempat. CHV juga membantu para kelompok tani di bidang peternakan. Melalui bantuan ini diharapkan peternak lokal akan mampu memasok kebutuhan komoditas pertanian di daerahnya sendiri.
Bantuan juga diberikan kepada
sejumlah kelompok peternak domba dan itik petelur. Bantuan yang diberikan berupa penyediaan bibit, pakan dan sarana
pemeliharaan seperti kandang,
peralatan seperti mesin inkubasi/penetas telur serta bimbingan teknis. Bantuanbantuan tersebut dilaksanakan secara bergulir, artinya setelah satu kelompok berhasil mandiri, maka bantuan harus diberikan kepada kelompok lain. Dilapangan beberapa dari program bantuan tersebut tidak sampai kepada masyarakat sasaran dan hanya dimanfaatkan oleh segelintir Tokoh, kelompok atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain kesalahan juga berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh, kelompok atau LSM yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari CHV untuk kepentingan pribadinya. “Progrm bantuan CHV itu selalu dimanfaatkan dan disalah gunakan oleh tokoh,LSM untuk kepentingan pribadinya sehingga rakyat tidak merasa terbantu karena bantuan jarang sampai sepenuhnya, terkadang kelompok usaha yang sudah ada dan berjalan tidak mendapat bantuan karena tidak ada yang mengajukan, tetepi kelompok lain yang baru dibentuk dan belum memulai usahanya di bantu karena ada yang bawa LSM atau tokoh tertentu.” (ARDY /YNT) Tokoh Pemuda, 29 th )
“CHV tidak melihat sendiri dan langsung apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, bantuan perusahaan yang turun tergantung dari proposal atau permintaan kelompok tertentu saja yang mengatasnamakan masyarakat, dan ini seringkali disalah gunakan.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
Disamping hal tersebut diatas, di masyarakat juga masih terdapat kelompok-kelompok pemberdayaan yang tidak mau menggulirkan bantuannya ke kelompok lain, sehingga perguliran menjadi terhenti, atau kalaupun digulirkan, digulirkan ke saudaranya atau kerabatnya bahkan ada yang menjual bantuan yang seharusnya digulirkan (kasus bantuan domba bergulir di Kedusunan Cimanggu, Babakan dan Ciawitali) dan CHV tidak pernah memberikan sanksi
104
kepada kelompok-kelompok yang melakukannya, hal ini tentunya akan mengganggu pelaksanaan program di masa yang akan datang.
“Program pemberdayan ekonomi lokal belum berjalan dengan maksimal, karena pihak-pihak yang telibat dan mendapatkan bantuan hanya itu-itu saja dan kelompokkelompok tertentu saja tidak merata kepada semua masyarakat. Mereka yang menerima tidak mau menggulirkan bantuan yang diperoleh, paling di gulirkan ke saudaranya walaupun bukan anggota kelompok. Contohnya bantuan domba.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun)
CHV juga mendukung upaya pengembangan usaha lokal untuk memajukan pertumbuhan ekonomi setempat dalam rangka meningkatkan mutu kehidupan dan membuka peluang bagi masyarakat sekitar.
Pertumbuhan
ekonomi tempatan sangat penting untuk mencapai pembanguan ekonomi berkelanjutan. lokal,
maka
pembelanjaan
Seiring dengan pertumbuhan dan perluasan-perluasan usaha akan ini
terjadi pada
lebih
akhirnya
banyak akan
pembelanjaan, menciptakan
meningkatkanya
pendapatan
untuk
mendukung lebih banyak usaha-usaha baru, sehingga terbangun sebuah sistem ekonomi lokal yang mampu menunjang pertumbuhan berkelanjutan serta membuka peluang bagi generasi mendatang.
“Partnership Program untuk Small And Medium Enterprises (Usaha Kecil Menengah); merupakan program pengembangan usaha masyarakat. Program ini untuk bekerjasama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian setempat. Program ini juga termasuk training entrepreneurship, dan penyuluhan dalam pengelolaan usaha. Besar harapan Kami, dengan adanya Program Pengembangan Usaha Masyarakat ini, secara langsung akan mendorong pertumbuhan usaha kecil menengah yang juga merupakan salah satu perhatian Chevron dengan kegiatan penguatan masyarakatnya. Dalam melaksanakan program ini, telah banyak bekerja sama dengan LSM dan lembaga, yang tujuannya untuk penguatan kelembagaan bagi lembaga UKM. Bentuk penguatan ini adalah dukungan bagi lembaga keuangan mikro, baik dari sisi operasional maupun teknis. Kegiatan selanjutnya adalah penyelenggaraan pelatihan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah di sekitar wilayah operasional CHV. Kemudian di akhiri dengan pendirian sentra produksi dan distribusi bagi komoditas pertanian dan produk industri kecil masyarakat. Program Pengembangan Usaha Masyarakat diharapkan akan semakin menampakan hasil dan manfaatnya dapat langsung dirasakan oleh masyarakat luas, khususnya para pengusaha kecil dan menengah.Program ini merupakan proses yang berjalan dari waktu ke waktu dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi, namun program harus terus berjalan sesuai dengan kebutuhan.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
Untuk mewujudkan harapan diatas, Perusahaaan memberikan bantuan bibit dan pupuk kepada kelopok-kelompok tani diantaranya bantuan bibit pepaya dan pupuk kepada kelompok tani IRMA di kampung Ciawitali desa Kabandungan dan di Desa Cianten, bantuan bibit pertanian,pupuk dan obat-obatan kepada
105
kelompok tani KSM Bina sejahtera di desa Palasari Girang, bantuan bibit,pupuk serta peralatan pertanian untuk kelompok tani Hemapta di desa Pulosari, budidaya pertanian organik dan pembuatan kompos bekerja sama dengan kelompok pertanian organik di desa Ciasmara dan Desa Ciasihan. Bantuan juga diberikan kepada kelompok tani ternak ikan air tawar berupa bantuan bibit ikan dan pakan serta tenaga instruktur di kampung Cimanggu desa Kabandungan dan di desa Cibunian serta di desa Purwabakti Bekerjasama dengan Pemuda Pancasila memberikan bantuan kepada kelompok pengrajin kayu untuk peningkatan kualitas pembuatan meubelair di desa tugu bandung serta peningkatan keahlian pemuda bekerja sama dengan forum pemuda empat desa (FPED) kecamatan Pamijahan. Dalam rangka membantu meningkatkan keterampilan masyarakat dan mengurangi pengangguran, CHV bekerjasama dengan balai latihan kerja (BLK) kabupaten Sukabumi telah memberikan pelatihan keterampilan kepada generasi muda dengan berbagai keterampilan antara lain montir,menjahit dan pemberian modal kerja. “Sebetulnya dulu CHV pernah membantu pemberdayaan ekonomi warga seperti bidang peternakan kambing dan ikan serta warung kelontong di kampung Cimanggu, namun program itu tidak ada kelanjutannya dan selesai begitu saja , tidak ada pertanggungjawabannya” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
“Pemberdayaan ekonomi lokal sudah berjalan tetapi tolong di kontrol minimal 1 bulan 1 kali jangan Cuma nunggu laporan akhir diatas kertas, karena masih banyak di rekayasa hasil kenyataan dan laporan diatas kertas jauh berbeda.” (ES, ketua kelompok penerima bantuan pertanian dan perikanan, 37 tahun)
Untuk
memanjukan serta memberikan kesempatan kepada para
pengusaha lokal CHV mengadakan program LBD (Local Business Development) yaitu suatu program untuk meningkatkan kesempatan berusaha bagi Pengusaha tempatan dengan memberikan kemudahan-kemudahan tertentu bagi para pengusaha lokal dengan sayarat-syarat tertentu. Program ini bertujuan untuk membantu, mendorong dan membina pengusaha kecil dan koperasi tempatan. Program ini memiliki visi menjadikan perusahaan kecil dan koperasi tempatan sebagai rekanan yang handal, professional dan mampu bersaing dengan perusahaan lainnya dalam proses pengadaan barang dan jasa di lingkungan perusahaan
106
“Program LBD itu penuh dengan muatan politis dan hanya akal-akalan saja untuk mengkerangkeng pengusaha lokal, karena sebenarnya, tidak ada kemudahan yang dijanjikan itu, kita diperlakukan sama saja dengan perusahaan-perusahaan besar.” (JHN tokoh Pemuda/Ketua LSM 40 tahun)
Walaupun CHV telah menjalankan program pengembangan masyarakat dalam bidang pemberdayaan ekonomi lokal tetapi dalam pelaksanaannya program tersebut dianggap masih kurang berdampak terhadap para pengusaha lokal (local vendor), para pengusaha lokal memandang masih kurangnya kesempatan bagi pengusaha lokal untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha. Kesempatan usaha yang besar cenderung jatuh kepada perusahaan besar dari luar daerah seperti dari Jakarta dan Bandung, sementara pengusaha loakal hanya mendapat kesempatan pekerjaan yang nilainya kecil seperti memasok material-material alam (batu kali, pasir dan material bangunan) dan pekerjaan-pekerjaan konstruksi yang tidak membutuhkan keahlian yang terlalu tinggi. Terlalu timpangnya kesempatan yang diperoleh antara pengusaha lokal yang kecil dengan pengusaha besar yang pendatang telah menimbulkan resistensi di kalangan pengusaha lokal terhadap perusahaan.
“Omong kosong, tidak ada pemberdayaan ekonomi lokal, gaji karyawan saja masih dibawah UMK, kesempatan besar lebih banyak di berikan kepada pengusaha besar dari jakarta, pengusaha lokal hanya di beri order-order kecil yang tidak dikerjakan oleh pengusaha besar.” (FF, Pengusaha lokal, 40 tahun.)
“Pemberdayaan ekonomi lokal CHV tidak berjalan, hal ini terlihat dari tidak adanya keterlibatan pengusaha lokal dalam tender-tender yang besar, semuanya perusahaan dari luar, mereka cenderung memberikan tender kecil-kecilan saja kepada pengusaha lokal.” (HND,Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
Program pengembangan masyarakat dalam bidang pemberdayaan ekonomi lokal (melalui usaha pertanian dan peternakan) di beberapa tempat (Pulosari dan Palasari) telah berhasil menggerakan perekonomian lokal, tetapi masih dalam wilayah yang sangat kecil (baru para pelaksana program saja). Hal ini terjadi karena belum meratanya penyebaran program ini, pelaksanaan program cenderung terpusat di satu atau dua daerah saja. Program tersebut sebenarnya berpotensi untuk dapat mengembangkan perekonomian lokal, tetapi harus dilaksanakan secara menyebar dan lebih intensif.
107
5.4.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Lingkungan Dalam bidang lingkungan CHV berpartisipasi melakukan kegiatan
konservasi bersama masyarkat dan stakeholder yang berada dalam satu kawasan diantaranya program penanaman kembali hutan (reboisasi) di kawasan koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) terletak di Desa Cipeuteuy, penyediaan bibit pohon untuk penghijauan di 4 desa.
CHV juga
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan pelatihan lingkungan untuk guru-guru dan pelajar
bekerja
sama
dengan
lembaga-lembaga
lain.
Dalam
rangka
meningkatkan kesadaran lingkungan sejak dini, CHV bekerjasama dengan LSM lokal mengadakan kegiatan pendidikan konservasi di untuk murid-murid sekolah dasar. CHV juga bekerja sama dengan PPLH-IPB (Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-Institut Pertanian Bogor) melakukan kegiatan dalam bidang konservasi kawasan hutan dimana perusahaan beroperasi, serta memantau kualitas air dan udara.
Kegiatan lingkungan; juga turut Kami lakukan, diantaranya dengan • Melakukan penghijauan bersama multistakeholders di lokasi-lokasi pinggir hutan Gunung Halimun Salak. • Pendidikan lingkungan ke murid-murid sekolah • Penelitian dan pemantauan flora fauna di lokasi hutan sekitar kerja CHV. (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
“CHV seharusnya lebih sering melakukan penghijauan, walaupun penghijauan sudah dilakukan, tetapi masih kurang dibanding dengan kerusakan hutan yang dilakukan.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
“Kekurangan air yang terjadi di wilayah kita adalah salah satu dampak dari adanya CHV, dulu musim kemarau 3 bulan air tidak surut sekarang kemarau seminggu sudah tidak ada air, hancrnya sungai-sungai di sini juga dampak tidak langsung dari adanya perusahaan, karena masyarakat mengambil batu-batu sungai untuk dijual ke proyek CHV” (FK Pengusaha/Tokoh Pemuda, 39 tahun)
“Program lingkungan yang dilakukan oleh CHV masih kurang, tidak sebanding dengan kerusakan lingkungan yang diakibatkannya.” (ARDY/YNT) Tokoh Pemuda, 29 tahun )
108
“Kegiatan pembangunan fasilitas produksi CHV telah menimbulkan kerusakan di daerah kabandungan yaitu dengan adanya galian C untuk penambangan batu dan pasir di sepanjang sungai cipanas,ciawitali dan cibeureum untuk di jual ke CHV. Program reboisasi yang dilakukan oleh CHV hanya seremonial saja, sedangkan efek dari kegiatan pengeboran seperti mengeringnya sumber air tidak pernah tersentuh program.” (HND Karang Aktivis Karang taruna. 26 tahun)
Dalam melaksanakan program pengembangan masyarakat di bidang lingkungan ini, CHV nampaknya masih melakukannya secara seremonial, misalnya ketika ada event-event
tertentu saja misalnya ketika ada program
penghijauan yang dilakukan pemerintah atau ketika sedang memperingati hari lingkungan hidup saja.
Program reboisasi dan forestasi yang kontinyu dan
terprogram hanya dilakukan dilingkungan kerja perusahaan saja yaitu di wilayah gunung salak (tempat CHV beropersi). Sementara yang di lakukan diluar wilayah opersi perusahaan tidak terprogram dengan baik dan tidak dikuti dengan pemeliharaan yang baik, sehingga banyak kayu yang ditanam mati, sehingga tidak berdampak kepada lingkungan.
“Yang saya ketahui program lingkungan yang dilaskanakan oleh CHV ada, tetapi kegiatannya tidak bersifat rutin, hanya insidentil aja jika ada hari lingkungan hidup.” (RHM, tokoh pemuda dan guru swasta, 34 tahun) “Ke depan Kami akan melakukan kegiatan penanaman pohon di fokuskan di sepanjang DAS yang d lingkungan operasi Kami, sehingga program ini akan lebih terarah dan bermanfaat bagi lingkungan.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
5.5.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Infrastruktur Bantuan berupa pembangunan dan renovasi fasilitas umum terus
diberikan oleh CHV dan ini merupakan kebutuhan yang sangat mendesak bagi masyarakat sekitar lokasi CHV. Bantuan di berikan dalam bentuk pemberian material/bahan bangunan, aspal dan meminjamkan alat berat. Sementara pembangunannya
dengan
melibatkan
partisipasi
masyarakat.
Kegiatan
pembangunan atau renovasi yang dilakukan selalu melibatkan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Dengan melibatkan masyarakat langsung,
diharapkan masyarakat setempat merasa memiliki dan menjaga fasilitas yang dibangun tersebut. Selain dapat merasakan manfaat dari fasilitas yang dibangun
109
tersebut mereka juga dapat menambah pendapatan keluarga melalui padat karya.
“Dalam kegiatan infrastruktur; CHV juga turut membantu pemerintah dalam membangun, merenovasi jembatan, jalan, saluran air bersih, MCK, dan public fasilitas lainnya. Diharapkan dengan bantuan ini menjadikan mempermudah akses sehingga nantinya lebih memudahkan dalam peningkatan perekonomian setempat, dan kebijakan perusahaan adalah selalu memberikan bantuan dalam bentuk barang.material (in kind) serta harus ada partisipasi dari masyarakat” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
“Bantuan yang diberikan seharusnya tidak hanya material saja, itupun tidak semua material yang dibutuhkan, misalnya untuk pembangunan jalan hanya diberikan bantuan asphalt-nya saja sehingga untuk membeli material lainnya diserahkan kepada masyarakat, sementara masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk itu, untuk makan aja sulit, jadi biasanya asphalt-nya di jual sebagian untuk membeli material lainnya Hal ini akan mengakibatkan rendahnya mutu jalan yang dibangun. Jadi kalau mau membantu jangan setengah-setengah.” (ARDY (YNT) Tokoh Pemuda,29 th )
Program yang telah dilakukan diantaranya partisipasi dalam renovasi kantor desa, pengaspalan jalan protokol dari parungkuda ke gunung salak, Pengaspalan jalan desa Pulosari, peningkatan jalan Kabandungan-Cipeuteuy, Peningkatan jalan Cigoong-Nangerang, pembangunan shelter ojek di desa Kabandungan, perbaikan pos Polsek Kalapanunggal, perbaikan jalan desa Kedusunan Babakan, Cimanggu dan Ciawitali, pembangunan jembatan di Cibeureum dan Cibojong, pembangunan bendungan untuk irigasi pertanian serta bantuan
penyediaan
alat-alat
berat
untuk
pekerjaan-pekerjaan
yang
membutuhkan alat-alat berat. CHV juga membantu pembuatan serta perbaikan lapangan sepak bola di tiga kecamatan.
“Dalam melaksanakan program pembangunan infrastruktur koq’ kayaknya lebih banyak diberikan ke daerah yang jauh, sementara daerah yang dekat dengan CHV diabaikan, proposal yang diajukan saja tanggapannya lamban, seperti jalan Cimanggu-Malani yang cuman 1.800 m, padahal ditempat lain yang jauh yaitu di cikidang mereka membangun jalan 6 Km, hotmix lagi.!” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
“CHV terlalu mengandalkan Pemda untuk pembangunan, seharusnya mereka punya andil yang besar untuk pembangunan infrastruktur desa kami, seperti yang mereka lakukan di Kamojang.bantuan yang ada juga cuman bantuan aspal curah saja tidak dengan materialnya.” (HND Aktivis Karang taruna. 26 th)
110
“CHV tidak mau membantu pembangunan sekolah madrasah dan mesjid dengan alasan kebijakan perusahaan melarang, padahal banyak kondisi madrasah banyak yang sudah tidak layak dan membahayakan keselamatan siswa.” (YDY, guru swasta, 35 tahun) “ Program comdev CHV dalam bidang infrastruktur Apa ya?, secara geografis kami adalah kampung yang paling berdekatan dengan perusahaan akan tetapi kepedulian mereka kepada kami sangat minim, padahal kami dengar di tempat lain yang jauh mereka membangun ini-itu. Contohnya masyarakat sini mengajukan pengaspalan jalan Cimanggu-malani sepanjang 1.800 m aja sampai sekarang tidak ada jawaban, entah kapan!, padahal kalau ada apa-apa kampung kami dulu yang kena,heran Saya!.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur ini merupakan program yang menyedot dana terbanyak dari sekian bidang yang digarap, masyarakat cenderung melihat bantuan yang dibutuhkan harus dalam bentuk infrastruktur karena memang di kecamatan Kabandungan infrastruktur masih belum lengkap, tetapi disisi lain perusahaan memandang bahwa infrastrukur bukanlah hal yang paling utama yang harus dibantu, dalam bidang pendidikan misalnya, CHV lebih melihat pentingnya membantu “Software”-nya ketimbang membantu “hardware”-nya artinya lebih membantu peningkatan kapasitas guru, beasiswa dan hal lain dalam peningkatan kualitas SDM-nya daripada membangun bangunan sekolahnya. Disisi lain CHV berharap bahwa sekolah-sekolah yang sudah di bantu pembangunan sarana fisiknya (bangunan, meubelair atau dalam bentuk lain) dapat memberikan beasiswa kepada murid yang membutuhkan, hal ini di mungkinkan karena sekolah yang di bantu tersebut secara tidak langsung sudah melakukan penghematan dana untuk pembangunan karena pembangunanya di ambil alih oleh CHV, sehingga dana pembangunan yang ada dapat di gunakan untuk menambah dana operasional sekolah agar menjadi lebih murah atau di gunakan untuk beasiswa murid, agar semakin banyak anak yang bisa masuk sekolah. Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur adalah program pengembangan masyarakat yang paling memungkinkan dilaksanakan oleh CHV, karena disamping banyaknya proposal pembangunan infrastruktur dari masyarakat juga pembangunan infrastruktur bentuknya konkret, sehingga lebih cepat dilihat mata dan dapat dijadikan etalase pelaksanaan program pengembangan masyarakat oleh perusahaan.
111
5.6.
Program Pengembangan Masyarakat dalam Bidang Komunikasi dan Hubungan Sosial Masyarakat Dalam rangka
melanjutkan komitmen CHV untuk membangun dan
memelihara hubungan konstruktif dan positif dengan masyarakat setempat khususnya masyarakat yang berada paling dekat dengan wilayah operasi, CHV menjalin dialog yang berkesinambungan dengan para tokoh setempat. Selain itu CHV berupaya untuk belajar lebih banyak tentang masyarakat setempat, sejarah dan keberadaan masyarakat dalam rangka membina dan membangun tatanan yang lebih baik bagi upaya pemberdayaan masyarakat setempat. Perusahaan sangat menghormati masyarakat setempat dan budayanya, serta mencoba berdialog mengenai isu-isu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari dialogdialog tersebut telah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan penting bersama masyarakat. “Dalam kegiatan komunikasi, memang sudah dan sedang dilakukan baik formal dan informal. Namun dirasakan perlu ditingkatkan sesuai dengan perkembangan dan kondisi.” (WE, Salak Community Affairs Manager CHV, 45 tahun)
“Seharusnya dalam hal komunikasi dan hubungan dengan masyarakat, perusahaan melibatkan kepala desa, kepala dusun, RW dan para RT serta tokoh masyarakat karena ini akan menghindarkan konflik antara masyarakat dengan perusahaan, yang terjadi sekarang CHV tidak melibatkan aparat setempat lebih sering menggunakan kelompok-kelompok atau tokoh-tokoh tertentu saja.” (IWR , Kepala Dusun , 33 tahun)
Dalam bidang komunikasi program yang telah dilaksanakan adalah menjalin komunikasi baik secara formal maupun informal dengan seluruh komponen masyarakat melalui berbagai macam kegiatan diantaranya safari Ramadhan dan buka puasa bersama yang dilakukan secara berkeliling dari mesjid ke mesjid bersama muspika di tiga kecamatan, peyuluhan kesehatan bekerjasama dengan puskesmas, mengadakan sosialisasi bahaya laten komunis (balatkom) bekerjasama dengan koramil di kecamatan Kabandungan dan Kalapanunggal.
“CHV dalam melakukan komunikasi agar lebih terbuka dan dekat dengan masyarakat serta dikenal oleh masyarakat, maka seharusnya mengangkat karyawan dalam bagian Humas dari penduduk lokal agar mengenal daerahnya.” (AR, anggota BPD, 33 tahun)
112
Dalam berkomunikasi dengan masyarakat, CHV menghormati adatistiadat yang yang berlaku di sekitar daerah operasi perusahaan. CHV juga terlibat aktif dalam perayaan peringatan hari kemerdekaan dalam bentuk partisipasi berupa bantuan alat-alat olah raga, kaos tim, piala bagi pemenang perlombaan serta mengirimkan karyawan perusahaan untuk mengikuti upacara peringatan hari kemerdekaan di kecamatan.
“Mungkin dengan orang-orang atau pihak-pihak tertentu bisa terjadi hubungan yang baik, tetapi secara keseluruhan untuk masyarakat biasa sangat susah untuk berkomunikasi dengan CHV, mau masuk aja susah apalagi bertemu.” (KW,Tokoh Pemuda,44 th)
CHV telah berpartisipasi dalam kegitan keagamaan seperti safari Ramadhan yaitu berkunjung untuk berbuka puasa
bersama masyarakat
sekaligus bersilaturahmi di desa-desa terpencil di dekat lokasi perusahaan, dalam kesempatan inilah terjadi proses dialog,berbagi pengalaman, sosialisasi program pengembangan masyarakat CHV, rencana kegiatan opersi perusahaan serta pembicaraan mengenai prioritas pembangunan di desa-desa yang mungkin dapat di bantu oleh perusahaan. “Komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat jarang dilakukan oleh CHV, jangankan untuk berkomunikasi dengan masyarakat, untuk akses masyarakat ke CHV saja sangat dibatasi, orang dari humas-nya saja tidak kami kenal apalagi untuk berkomunikasi, sehingga masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat jarang diketahui oleh CHV.” (HND Ketua Karang taruna. 26 tahun)
Olahraga juga digunakan sebagai media untuk berkomunikasi dengan masyarakat, perusahaan memberikan bantuan alat-alat olahraga dan perbaikan lapangan dan mensponsori
kegiatan pertandingan olahraga di tingkat
kecamatan, klub bola yang memenangkan pertandingan kemudian dikirim untuk bermain di stadion Lebak Bulus Jakarta untuk melakukan pertandingan persahabatan dengan karyawan CHV Jakarta sambil berekreasi. “Komunikasi dan hubungan sosial berjalan kurang baik, komunikasi baru dilakukan jika CHV sedang menghadapi masalah seperti jika mau ada demo dari masyarakat, baru CHV mengadakan komunikasi/pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat untuk meredam.” (YDY ,guru / ketua LSM S, 30 tahun)
“CHV menutup diri, berkomunikasi kalau sedang ada masalah dengan penduduk saja.” (DF, pengusaha,42 tahun)
113
“CHV kurang bermasyarakat, lebih banyak tertutup dan hanya orang-orang dekat dan orang-orang tertentu saja yang dapat berkomunikasi dengan perusahaan” (Ust. IR,guru madrasah,33 tahun)
“Komunikasi dengan masyarakat dirasa masih kurang dan jarang, saya sarankan tolong diadakan acara silaturahmi dengan masyarakat minimal 1 tahun sekali dalam acara hari besar Islam ataupun hari besar nasional untk mempererat hubungan dengan masyarakat sekitar.” (ES, ketua kelompok penerima bantuan pertanian dan perikanan, 37 tahun)
5.7.
Pelajaran Pelaksanaan Terbaik (Best Practice) Program Pengembangan Masyarakat
Untuk pelaksanaan terbaik (best practice) program pengembangan masyarakat, dipilih PT Aneka Tambang, Tbk (PT. Antam,Tbk), dengan alasan PT. Antam,Tbk di pandang sebagai perusahaan pertambangan yang memiliki program pengembangan masyarakat yang baik, hal ini di tandai dengan telah banyaknya penghargaan yang diperoleh oleh perusahaan baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri atas program pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakannya. PT. Antam,Tbk, sebagai perusahaan pertambangan dan pengolahan mineral yang terdiversifikasi dan terintegrasi secara vertikal menjadikan CSR sebagai bagian dari strategi Perusahaan untuk
dapat tumbuh secara
berkelanjutan. Sejak tahun 2005, PT. Antam,Tbk telah menerbitkan Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) dan sejak tahun 2006 PT. Antam,Tbk telah menggunakan format yang berpedoman pada Sustainability Reporting Guideline (G3) yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiatives (GRI). Informasi yang diungkapkan dalam laporan tersebut meliputi semua operasi unit bisnis PT. Antam,Tbk di Indonesia, termasuk di dalamnya pertambangan nikel, emas, dan mineral lainnya,manufaktur, perdagangan dan jasa yang terkait dengan kegiatan usaha
pertambangan.
Antam,Tbk
dalam
Sustainability
menempuh
jalan
Report
berisi
langkah-langkah
keberlanjutannya
serta
PT.
bagaimana
meningkatkan kinerja terbaiknya untuk pilar-pilar ekonomi, lingkungan dan sosial. Komitmen tinggi dari PT. Antam,Tbk untuk dapat melaksanakan pengelolaan tambang yang baik dan benar untuk mencapai pertumbuhan yang
114
berkelanjutan ditunjukkan dengan tingginya komitmen PT. Antam,Tbk untuk mengelola lingkungan dan sosial. Komitmen yang tinggi terhadap lingkungan dan sosial itu tercermin dari struktur organisasi perusahaan dimana pada tahun 2008, PT. Antam,Tbk melakukan perubahan struktur organisasi untuk menangani hal-hal yang terkait dengan isu lingkungan dan pasca tambang. Struktur organisasi pengelolaan CSR disahkan melalui SK Direksi No. 216.K/0251/DAT/2008, Sehingga dengan demikian maka pelaksanaan pengembangan masyarakat PT. Antam,Tbk dapat dilaksanakan dengan lebih terorganisir dan berkelanjutan karena adanya dukungan Perusahaan serta top management yang sangat besar untuk menwujudkannya. Tugas dan peran Satuan Kerja Corporate Social Responsibility PT. Antam,Tbk adalah: 1. Menyusun strategi, kebijakan dan program CSR dan post mining perusahaan untuk mendukung kelancaran pengelolaan perusahaan dan terciptanya citra perusahaan yang lebih baik di mata masyarakat; 2. Mengkoordinasi dan melaksanakan program CSR dan post mining (program kemitraan, bina lingkungan dan pengelolaan program post mining); 3. Mengendalikan dan mengevalusi kegiatan CSR dan post mining Satuan kerja CSR ini akan mengkoordinasikan implementasi CSR di seluruh unit bisnis PT. Antam,Tbk. Sebagai bentuk pelaksanaan prinsip responsibility dalam praktik good corporate governance (GCG), PT. Antam,Tbk telah menjalankan programprogram CSR. PT. Antam,Tbk telah melaporkan kegiatannya itu dalam Laporan Berkelanjutan (Sustainability Report) sebagai laporan yang terpisah dari Laporan Tahunan yang merupakan bentuk keterbukaan. Secara kelembagaan komitmen tersebut ditunjukkan dengan dibentuknya Komite Lingkungan dan Pasca Tambang sebagai bagian dari pengawasan yang dijalankan oleh Dewan Komisaris. Tanggung jawab sosial perusahaan di PT. Antam,Tbk dilandaskan pada nilai-nilai perusahaan,standar etika, peraturan perundangan nasional maupun internasional yang berlaku serta diselaraskan dengan strategi perusahaan. CSR dilakukan dengan identifikasi stakeholder, implementasi CSR, komunikasi dan kepatuhan atas CSR di PT. Antam,Tbk. Kegiatan CSR PT. Antam,Tbk terangkum dalam Laporan Keberlanjutan
115
(Sustainability Report) yang dibuat sebagai bagian dari praktik GCG PT. Antam,Tbk. Program CSR PT. Antam,Tbk dilakukan pada 4 area yaitu: 1.
Nature. Dalam konsep triple bottom line, nature atau planet merupakan area yang harus diperhatikan Perusahaan. Seperti dijelaskan di atas, kegiatan utama PT. Antam,Tbk berhubungan langsung dengan alam sehingga tidak salah jika PT. Antam,Tbk mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara alam dimana Perusahaan beroperasi. Bentuk CSR yang dilakukan PT. Antam,Tbk
pada
area
ini
berhubungan
dengan
pengelolaan
dan
pengendalian limbah, tingkat polusi, konsumsi energi, penggunaan material yang efisien, pengembalian fungsi lahan bekas tambang (reklamasi) dandihasilkannya produk yang bermutu dan tidak berbahaya bagi lingkungan. 2. Well being Karyawan sebagai bagian dari stakeholder Perusahaan merupakan bagian dari people dalam konsep triple bottom line. Tanggung jawab perusahaan terhadap karyawannya dilaksanakan dalam bentuk standar yang tinggi pada kesehatan dan keselamatan kerja, komitmen atas pendapatan pegawai yang memadai (income toliving cost ratio), kepuasan pegawai, dan kegiatan bersama keluarga pegawai. 3. Society Dukungan
dari
masyarakat
sekitar
sangat
diperlukan
bagi
keberadaan,kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan sehingga PT. Antam,Tbk sangat berkomitmen untuk memberikan manfaat dan nilai tambah kepada masyarakat. Bentuk kegiatan yang dilakukan PT. Antam,Tbk sebagai bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat berkaitan dengan pemberdayaan komunitas lokal, bantuan konsultasi kepada masyarakat dan community development. Contoh yang paling penting dari kegiatan ini adalah mendirikan lembaga pendidikan dimana Infrastrktur,manajemen, sumberdaya manusia, serta operasionalnya ditangani oleh Yayasan yang di bentuk oleh PT. Antam,Tbk, sehingga masyarakat mendapat manfaat yang berkelanjutan dari keberadaan lembaga tersebut. (kebanyakan yang dilakukan oleh perusahaan lain hanya membantu dalam pembangunan infrastruktur fisik saja, sementara hal-hal lain diluar itu tidak mendapat perhatian dan dianggap bukan merupakan
116
tanggung
jawab
perusahaan,
sehingga
berdampak
kecil
terhadap
pengembangan sumberdaya manusia masyarakat sekitar). 4. Economic Fokus utama dari seluruh kegiatan usaha Perusahaan adalah profit. Inilah bentuk tanggang jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham
Perusahaan.
pendapatan Perusahaan.
yang
Profit
dapat
Aktivitas
pada
hakikatnya
digunakan
ekonomi
untuk
merupakan menjamin
berhubungan
tambahan
kelangsungan
dengan
peningkatan
pendapatan, pengurangan biaya (cost reduction) atau peningkatan efisiensi, pengembangan produk/pasar baru, dan penyederhanaan proses. Pendekatan PT. Antam,Tbk terhadap pengelolaan lingkungan tertuang dalam Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), Lingkungan, pelayanan
kesehatan
melaksanakan
dan
kegiatannya,
pengembangan PT.
Antam,Tbk
masyarakat
dimana
akanmemprioritaskan
dalam K3,
memperhatikan kelestarian lingkungan, dan ikut serta dalam pengembangan masyarakat, di dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Selain secara kelembagaan dalam bentuk struktur organisasi, komitmen PT. Antam,Tbk juga ditunjukkan dengan adanya peningkatan pengeluaran untuk bidang lingkungan dari tahun ke tahun. Realisasi pengeluaran di bidang lingkungan tahun 2007 meningkat 6 persen dari tahun 2006 menjadi sebesar Rp. 42,6 miliar dan diperkirakan meningkat menjadi Rp. 57 miliar di tahun 2008. Bentuk-bentuk CSR dalam lingkungan hidup antara lain sistem manajemen lingkungan yang dicakup dalam ISO 14001, pencarian sumber energi baru yang lebih efisien dengan konversi energi dari PLTD menjadi PLTA dan PLTU, resirkulasi air kembali ke dalam sistem sehingga mengurangi jumlah air yang diambil dari lingkungan, pengelolaan limbah melalui pemanfaatan kembali atau daur ulang, pemantauan limbah cair (effluent), emisi, dan limbah padat, perencanaan penutupan dan kegiatan pasca tambang,pelestarian fauna yang dilindungi (Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor). Jika pelaksanaan Program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan oleh CHV dibandingkan dengan pelaksanaan terbaik (best practice) yang dilakukan oleh perusahaan lain (PT. Antam,Tbk), maka terdapat kelemahan
dalam
pelaksanaan
Program
pengembangan
masyarakat
dilaksanakan oleh CHV yaitu dalam hal transparansi program dan keberlanjutan program.
117
5.8.
Ikhtisar Disamping melaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi
di Gunung Salak, CHV juga telah melaksanakan program pengembangan masyarakat.
Sesuai dengan Undang-undang nomor 27 tahun 2003 tentang
panas bumi, pasal 29 huruf f dinyatakan bahwa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) panas bumi memiliki kewajiban melaksanakan program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setempat. Program
pengembangan
masyarakat
yang
telah
dan
sedang
dilaksanakan untuk masyarakat sekitar wilayah operasi gunung Salak antara lain meliputi
bidang
Pendidikan,
kesehatan,
pemberdayaan
ekonomi
lokal,
lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru diwakili oleh orang –orang tertentu saja, namun secara umum realisasi program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat charity berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan lainnya. Program pengembangan masyarakat CHV
dalam bidang pendidikan
antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa, program beasiswa ini di berikan kepada siswa-siswi yang berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu dan diutamakan bagi masyarakat yang berada di disekitar lokasi kerja CHV mulai dari jenjang sekolah dasar,menengah pertama, menengah atas sampai perguruan tinggi. Tetapi kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan. Dalam bidang kesehatan
CHV melakukan penyuluhan kesehatan,
penyuluhan gizi dan peningkatan jangkauan sarana kesehatan serta bekerja sama dengan dinas kesehatan kabupaten Sukabumi menggelar Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN), disamping itu yang telah dilakukan oleh CHV adalah pengobatan massal, sunatan massal serta bantuan obat-obatan. Di samping itu dilakukan juga menyebarkan informasi untuk mencegah HIV/AIDS kepada generasi muda, bekerja sama dengan Yapeka serta kantor kementrian negara lingkungan hidup. Program dalam bidang kesehatan yang selama ini dilakukan
118
oleh CHV dianggap masyarakat masih belum memadai, karena masih bersifat insidentil dan dilakukan secara seremonial saja. Untuk membantu memberdayakan ekonomi, CHV turut aktif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal, CHV membina kelompokkelompok tani antara lain petani sayur-mayur, jagung, pepaya. Bantuan yang diberikan antara lain dalam bentuk bibit,pupuk, penyiapan lahan dan fasilitas pertanian lain seperti bedeng-bedeng tanaman, bangunan tempat diskusi, peralatan pertanian seperti pompa air, cangkul,parang,alat penyemprot hama dan lain-lain. Tetapi di lapangan beberapa dari program bantuan tersebut tidak sampai kepada masyarakat sasaran dan hanya dimanfaatkan oleh segelintir Tokoh, kelompok atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi kelompok-kelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain kesalahan juga berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh, kelompok atau LSM yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari CHV untuk kepentingan pribadinya. Dalam bidang lingkungan CHV berpartisipasi melakukan kegiatan konservasi bersama masyarakat dan stakeholder yang berada dalam satu kawasan diantaranya program penanaman kembali hutan (reboisasi) di kawasan koridor Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS), penyediaan bibit pohon untuk penghijauan di 4 desa. CHV juga berpartisipasi dalam kegiatankegiatan pelatihan lingkungan untuk guru-guru dan pelajar bekerja sama dengan lembaga-lembaga lain. Tetapi program reboisasi dan forestasi yang kontinyu dan terprogram hanya dilakukan dilingkungan kerja perusahaan saja yaitu di wilayah gunung salak (tempat CHV beropersi). Sementara yang di lakukan diluar wilayah opersi perusahaan tidak terprogram dengan baik dan tidak diikuti dengan pemeliharaan yang baik, sehingga banyak kayu yang ditanam mati, sehingga tidak berdampak kepada lingkungan. Bantuan berupa pembangunan dan renovasi fasilitas umum juga diberikan oleh CHV bagi masyarakat sekitar lokasi CHV. Bantuan di berikan dalam bentuk pemberian material/bahan bangunan, aspal dan peminjaman alat berat. Sementara pembangunannya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastruktur ini merupakan program yang menyedot dana terbanyak dari sekian bidang yang digarap. Dalam rangka membangun dan memelihara hubungan konstruktif dan positif dengan masyarakat setempat khususnya masyarakat yang berada paling
119
dekat dengan wilayah operasi, CHV menjalin dialog yang dengan para tokoh setempat tetapi komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat jarang dilakukan oleh CHV. Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekkan dalam pengembangan
masyarakat
yang
dilakukan
oleh
CHV
di
kecamatan
Kabandungan adalah derajat ke-1 (paling rendah), dimana Pihak luar (baik perguruan
tinggi
maupun
LSM)
yang
merumuskan
permasalahan,
mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis, sedangkan masyarakat hanya sebagai obyek dari pelaksanaan program. Jika dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat dalam program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif. Jika pelaksanaan Program pengembangan masyarakat yang telah dan sedang dilaksanakan oleh CHV dibandingkan dengan pelaksanaan terbaik (best practice)
oleh perusahaan lain (PT. Antam,Tbk), maka terdapat kelemahan
antara lain dalam hal transparansi dan keberlanjutan program.
120
Matriks 5.3. Time line Pelaksanaan Program Pegembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak.
No.
Keterangan
2003
2004
1.
Pendekatan pengembangan masyarakat
Karitatif
Karitatif
2.
Penekanan program
• Infrastruktur • Income generation
• Infrastruktur • Income generation
2005
Karitatif
• Infrastruktur • Pemberdayaan ekonomi
• Kesehatan
2006
2007
Karitatif + Pemberdayaan
Karitatif + Pemberdayaan
• Infrastruktur • Pemberdayaan ekonomi masyarakat
• Infrastruktur • Local Business Development (untuk local vendor CHV) • Pembentukan UKM dan LKM
3.
Keterlibatan masyarakat dalam program pengembangan masyarakat
Kurang
Kurang
Kurang
Meningkat
Meningkat
4.
Jumlah dana
Tidak ada data
Tidak ada data
Rp. 4 Milyar
Rp. 8,5 Milyar
Rp. 8,9 Milyar (perkiraan)
5.
Luas area kegiatan
2 kecamatan (Kabandungan dan Kalapanunggal , Pamijahan belum intensif)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
3 kecamatan (Kabandungan, Kalapanunggal dan Pamijahan)
121
No.
Keterangan
2003
6.
Pihak yang terlibat
• Perguruan tinggi • Kelompokkelompok lokal • LSM Lokal
• Kelompokkelompok lokal • LSM Lokal
• INRR • Kelompokkelompok lokal • LSM Lokal
• INRR • CI • Perguruan tinggi • Kelompokkelompok lokal • Desa dan Muspika • LSM Lokal
• PNM • Perguruan tinggi • Kelompokkelompok lokal • LSM Lokal
7.
Keberhasilan Program
Kurang berhasil
Kurang berhasil
Kurang berhasil
Kurang berhasil
Kurang berhasil
8.
Transparansi kegiatan
Tidak Transparan
Tidak Transparan
Tidak Transparan
Tidak Transparan
Tidak Transparan
9.
Driving Force
Tuntutan Masyarakat
• Tuntutan Masyarakat • Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat • Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat • Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
• Tuntutan Masyarakat • Perluasan area produksi (expansi) perusanaan
Sumber: Hasil wawancara dan www.jabar.go.id
2004
2005
2006
2007
123
Matriks 5.4. Ikhtisar Analisis Pelaksanaan Program Pegembangan Masyarakat Pada Industri Panas Bumi Gunung Salak.
No.
Item
Harapan
Kenyataan
1
Hakikat Pembangunan
Pengembangan masyarakat merupakan suatu strategi dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada rakayat (people centered development) yang menyadari pentingnya kapasitas masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal serta kesanggupan untuk melakukan kontrol internal atas sumberdaya sosial ekonomi yang dimiliki, “ruh” pengembangan masyarakat adalah populisme atau popularisme, yaitu menempatkan masyarakat sebagai bagian terpenting energi pembangunan dengan keseluruhan hak dan kewajiban serta harkat dan martabatnya. Pengembangkan masyarakat seharusnya diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat untuk mencapai kondisi sosialekonomi-budaya yang lebih baik apabila dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya,-
Realisasi program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif) berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas infrastrukur fisik, bantuan belum dilanjutkan dengan tahapan selanjutnya, misalnya dengan bantuan manajemen dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia-nya. Akibatnya masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga kapasitas civil society menjadi lemah dan pada akhirnya menciptakan ketergantungan (dependency syndrome) masyarakat terhadap perusahaan
Penjelasan Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru diwakili oleh orang –orang tertentu saja, namun secara umum realisasii program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma berupa pendirian infrastruktur fisik dalam bentuk pembagunan fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, prasarana air bersih, olah raga, dan tempat peribadatan. Pada konteks ini, sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas tersebut kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal namun untuk perusahaan itu sendiri. Pendirian dan perbaikan fasilitas transportasi berupa jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya proses produksi mereka. Dengan demikian kalaupun fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat lokal, maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal Oleh karena itu, dalam pengembangan masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat-
124
No.
Item
Harapan
Kenyataan
sehingga masyarakat ditempat tersebut diharapkan menjadi lebih mandiri dengan kualitas kehidupan dan kesejahteraan yang lebih baik serta menjamin tumbuhnya self sustaining capacity masyarakat menuju sustainable development. 2
Model Partisipasi
Terjadi peningkatan dalam hal partisipasi, dimana masarakat melalui wakilnya (yang representatif) selalu dilibatkan dalam program pengembangan masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan serta pengawasannya program dan partisipasi tersebut juga harus secara berkelanjutan untuk semua program. Partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat ,dengan derajat kedalaman partisipasi yang di praktekan derajat paling tinggi
Penjelasan
khususnya dalam rangka peningkatan taraf hidupnya, tetapi terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi.
Realisasi program cenderung dilakukan secara tertutup dan didesain oleh pihak atau aktor dari luar, keterlibatan / partisipasi masyarakat masih kurang. Orang / kelompok yang mewakili masyarakat belum representatif. Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat dalam program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif serta dilihat dari derajat kedalaman partisipasi yang di praktekan dalam tingkat derajat paling rendah.
Dalam pengembangan masyarakat, partisipasi memegang peranan yang sangat penting. Keberhasilan pengembangan masyarakat akan sangat di pengaruhi oleh tingkat partisipasi masyarakat. Semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat, maka semakin tinggi keberhasilan program. Permasalahan dalam partisipasi pada saat ini bukan lagi merupakan masalah mau atau tidaknya masyarakat berpartisipasi, melainkan pada sejauh mana masyarakat dapat memperoleh manfaat bagi perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka melalui partisipasi. Dari uraian diatas, dapat terlihat bahwa dalam partisipasi masyarakat berlaku prinsip pertukaran dasar (Basic exchange principles), bahwa semakin banyak manfaat yang diduga akan diperoleh suatu pihak dari pihak lain melalui kegiatan tertentu maka semakin kuat pula pihak itu akan terlibat dalam kegiatan tersebut. Realisasi program yang dilaksanakan oleh CHV belum didasarkan pada semangat untuk melayani masyarakat lokal sehingga perusahaan belum melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah.
125
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan Dilihat dari kedalaman derajat partisipasi yang dipraktekan dalam pengembangan masyarakat, maka derajat partisipasi dapat digolongakan menjadi 1. Derajat paling rendah, yaitu dimana masyarakat memberikan konsultasi kepada pengembang masyarakat, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. 2. Derajat menengah yaitu dimana masyarakat ikut-serta menentukan decision making process, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dan, 3. Derajat paling tinggi yaitu dimana masyarakat melakukan self-management atau ikutmenentukan arah serta mengelola sendiri pengembangan, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya. Dari ketiga bentuk kedalaman partisipasi itu yang penting bagi pengembangan masyarakat di industri migas adalah derajat ke-tiga (paling tinggi),
126
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan Dari kriteria itu maka,yang di praktekan oleh CHV masih dalam tingkat derajat paling rendah. Dilihat dari derajat kedalaman ikatan orang-orang yang terlibat, menurut Bass et al.,(1995) dalam Hobley, (1996) seperti di kutip oleh Tadjudin (2000), partisipasi yang diharapkan muncul adalah partisipasi interaktif dan mobilisasi swakarsa atau kemitraan, pendelegasian kekuasaan, dan pengawasan masyarakat (Arnstein, 1969 dalam Fisher, 1995 dikutip oleh Tadjudin 2000). Lebih lanjut Tadjudin (2000) menjelaskan, menurut Bass et al.(1995) dalam Hobley, (1996) ,terdapat beberapa tipologi partisipasi masyarakat: 1. Partisipasi Manipulatif, partisipasi masyarakat ditunjukan dengan penempatan wakil masyarakat dalam suatu lembaga resmi, namun wakil tersebut tidak dipilih oleh masyarakat itu sendiri dan tidak memiliki kewenangan yang jelas. 2. Partisipasi Pasif, masyarakat diberitahu tentang hal-hal yang sudah jadi. Ini merupakan tindakan sepihak dari pembuat program tanpa menghiraukan tanggapan masyarakat yang bersangkutan. sumber informasi atau pendapat yang dihargai oleh pembuat program adalah pendapat para Profesional. proses pengambilan keputusan.
127
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan 3. Partisipasi Konsultatif, masyarakat diminta tanggapan atas suatu hal. Pihak luar yang merumuskan permasalahan, mengumpulkan informasi, dan melakukan analisis. Bentuk tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam Dan pihak luar tersebut pada dasarnya tidak berkompeten untuk ”mewakili” pandangan masyarakat. 4. Partisipasi dengan imbalan Material, masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya yang dimilikinya, misalnya sebgai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan makanan, uang tunai, maupun imbalan lainnya. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki pijakan untk melanjutkan kegiatan ketika imbalan dihentikan. 5. Partisipasi Fungsional, partisipas masyarakat dipandang oleh pihak luar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek, khususnya untuk mengurangi biaya. Masyarakta membentuk kelompok yang sesuai dengan tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak luar. Masyarakat lokal tetap sekedar dijadikan sebagai pelayan untuk merealisasikan tujuan-tujuan eksternal. 6. Partisipasi Interaktif, masyarakat berpartisipasi dalam tahapan analisis, pengembangan rencana kegiatan, dan dalam pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal dalam hai ini partisipasi dipandang sebagai hak dan bukan sekedar sebagai cara untuk mencapai tujuan proyek.
128
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan 7. Mobilisasi Swakarsa, masyarakat mengambil inisiatif secara mandiri untuk melakukan perubahan sistem. Mereka membangun hubungan konsultatif dengan lembaga eksternal megenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal yang mereka butuhkan, tetapi memegang kendali menyangkut pendayagunaan sumberdaya.Berdasarkan tipologi partisipasi tersebut maka bentuk partispasi yang ada dalam pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV adalah partisipasi manipulatif dan partisipasi pasif. Menurut Tadjudin (2000) bentuk partispasi yang sesuai untuk pengembangan masyarakat di kawasan industri migas adalah partisipasi mobilisasi swakarsa, karena partisipasi ini adalah bentuk paling ideal. Tetapi dalam pelaksanaannya harus di padukan dengan tipologi-tipologi partisipasi lainnya, sesuai dengan kondidi lokal. Mobilisasi swakarsa menuntut adanya sumberdaya manusia yang cukup ditingkat masyarakat untuk menjadi agent of change-nya. Sementara kebanyakan perusahaan pertambangan beroperasi di daerah pedalamam yang kondisi sumberdaya manusia masyaraktnya masih rendah. Sehingga tipologi-tipolgi tersebut dapat diterapkan secara bergantian sesuai dengan kondisi lokal.
3
Komunikasi
Komunikasi di lakukan dalam spektrum yang luas, baik dari segi luas cakupan wilayah maupun dari jumlah stakeholder yang terlibat.
Terbatas disekitar Operasi Perusahaan dan dengan orangorang / kelompok-kelompok terrtentu saja.
Dalam program bidang komunikasi yang telah dilaksanakan oleh CHV adalah menjalin komunikasi baik secara formal maupun informal dengan seluruh komponen masyarakat melalui berbagai macam kegiatan -
129
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan
Komunikasi yang intensif dilakukan hanya ketika ada gejolak dalam masyarakat (ada tuntutan dari masyarakat).
diantaranya safari Ramadhan dan buka puasa bersama yang dilakukan secara berkeliling dari mesjid ke mesjid bersama muspika di tiga kecamatan Tatapi masyarakat memandang, komunikasi dalam arti menyerap aspirasi masyarakat masih jarang dilakukan oleh CHV, kecuali atas permintaan masyarakat lokal.
4
Operasionalisasi Program
Perusahaan benar-benar mewujudkan komitmen sosial dan pemberdayaan masrakat lokal, menempatkan Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai nilai inti dan menganggap sebagai suatu keharusan bahkan kebutuhan dan menjadikannnya sebagai modal sosial. Perusahaan menyadari bahwa tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) merupakan suatu insentif dan bukan suatu beban.
Perusahaan melaksanakan program pengembangan masyarakat setelah ada dorongan dari masyarakat dan dalam rangka mengamankan operasi perusahaan sehingga belum merupakan prakarsa sendiri dari perusahaan (CHV), perusahaan masih pasif,menunggu usulan program dari masyarakat.
CHV mulai merealisasi kegiatan pengembangan masyarakat pada tahun 2000, fakta menunjukkan bahwa mereka merealisasi program-program tersebut secara lebih intensif pada tahun-tahun setelah dilakukannya otonomi daerah. Dalam era desentralisasi kekuatan masyarakat lokal menjadi lebih besar. Kebebasan mayarakat untuk menyalurkan aspirasinya manjadi lebih kuat serta ruang untuk menyuarakan tuntutan masyarakat pada masalah pencemaran, masalah tenaga kerja, dan masalah lainnya terhadap perusahaan pun menjadi lebih luas. Masyarakat mulai menuntut Perusahaan melalui demonstrasi untuk segera melakukan program Pengembangan masyarakat secara sungguhsungguh.
5
Tata Kelola Program Pengembangan Masyarakat
Pelaksanaa program pengembangan masyarakat di laksanakan secara transparan mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi, serta pihak yang terlibat maupun besaran dana yang digunakannya. .
Wakil masyarakat belum dilibatkan dalam perencanaan,pelaksanaan dan pengawasan program pengembangan masyarakat. Keterlibatan masyarakat masih terbatas, yang terlibat hanya kelompok-kelompok / orang-orang tertentu sebagai penerima program
Pengordinasian dan pengintegrasian program dengan program lain masih lemah serta perusahaan masih pasif menunggu usulan program dari masyarakat serta kurang berperan masksimal dalam upaya mengembangkan dan menjaga keberlangsungan usaha. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan juga mempunyai pengaruh negatif yaitu terjadinya
130
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Perusahaan menyediakan informasi yang memadai dan akurat yang dapat diakses oleh masyarakat tentang program yang sudah, sedang dan akan dilaksanakan
Program yang dilaksanakan belum transparan dan tidak ada mekanisme evaluasi/audit partisipatoris. Laporan kegiatan program tidak di berikan kepada masyarakat maupun pemerintah lokal (Desa dan Kecamatan) tetapi langsung ke Pemeritah Pusat, sehingga banyak terdapat program yang tumpang tindih dengan program pemerintah.
Penjelasan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan serta terdapatnya kelompok-kelompok dalam masyarakat yang menimbulkan konflik yang melibatkan kelompok-kelompok tersebut. Program community development CHV dalam bidang pendidikan antara lain dalam bentuk bantuan beasiswa, program beasiswa ini di berikan kepada siswa-siswi yang berprestasi tetapi berasal dari keluarga kurang mampu dan diutamakan bagi masyarakat yang berada di disekitar lokasi kerja CHV. Tetapi kriteria penerima beasiswa tersebut tidak diketahui oleh masyarakat sekitar sehingga terdapat opini di masyarakat bahwa program tersebut dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi dan tidak transparan serta hanya ditujukan untuk keluarga karyawan CHV atau orang –orang dan kelompok tertentu saja. Program tersebut dinilai masih kurang cukup oleh masyarakat sekitar, karena program tersebut masih bersifat project tidak terprogram dengan baik dan tidak berkesinambungan, sehingga belum berdampak maksimal terhadap peningkatan dan penciptaan Sumberdaya Manusia lokal. Evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program pengembangan masyarakat juga belum melibatkan komponen masyarakat, sehingga belum dapat meminimalisir penyimpanganpenyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan program seperti tidak tepat sasaran serta penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program.
131
No.
Item
Harapan
Kenyataan
6
Tekanan Program
Pemberdayaan masyarakat berarti menghilangkan ketidakberdayaan masyarakat dengan membuka peluang yang sebesar-besarnya dalam segala bidang, baik ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan
Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan lebih banyak dalam bidang pembangunan Infrastruktur
Sumber : Hasil Penelitian
Penjelasan Kehaadiran perusahaan akan membawa dampak positif dan negatif baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak ini dapat terjadi pada aspek aspek sosial-ekonomi dan budaya, lingkungan, tata ruang, lahan dan tanah maupun aspek fisik-kimia-biologi. Dalam pelaksanaannya program pengembangan masyarakat menekankan pada tiga aspek utama, yaitu: 1.Aspek sosial,Yang menekankan bagaimana kebutuhan masyarakat dan perusahaan perlu diakomodasikan dan dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar, 2.Aspek ekonomi,yang menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat; 3.Aspek kelestarian lingkungan,yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV lebih banyak dilakukan pada bidang pembangunan infrastruktur fisik saja. Sehingga bidang-bidang lain kurang mendapatkan perhatian yang besar, hal ini dilakukan CHV dengan alasan sesuai dengan permohonan masyarakat.
VI.
KONTRIBUSI PELAKSANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT INDUSTRI PANAS BUMI GUNUNG SALAK TERHADAP PENGEMBANGAN WILAYAH
Kontribusi program pengembangan masyarakat terhadap pengembangan wilayah dapat dikaji dari berbagai aspek antara lain pertumbuhan perekonomian daerah,
peningkatan
kesejahteraan
masyarakat
melalui
pengembangan
masyarakat. Pengembangan wilayah akan selalu mengarah pada langkah atau tindakan yang dapat merubah produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan dan nilai tambah yang diperoleh dari industri. Perubahan tersebut juga terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti peningkatan kualitas prasarana publik, kesejahteraan dan kualitas lingkungan. Pelaksanaan penggerak
bagi
program
pengembangan
pengembangan
wilayah,
masyarakat
melalui
dapat
menjadi
pelaksanaan
program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dapat membantu wilayah untuk berkembang. Program pengembangan masyarakat dalam bidang infrastrukutur jalan dan jembatan misalnya, akan meningkatkan mobilitas masyarakat dalam menjual output yang dihasilkan oleh masyarakat sehingga dapat berdampak terhadap murahnya ongkos yang harus dikeluarkan yang pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan, meningkatnya keuntungan akan meningkatkan kesejahteraan dan dengan meningkatnya kesejahteraan akan meningkatkan daya beli masyarakat. Meningkatnya daya beli masyarakat akan memicu tumbuhnya produksi yang akan mengakibatkan penyerapan tenaga kerja dan pada akhirnya akan berdampak terhadap pengembangan ekonomi wilayah. Melalui melakukan
program
pengembangan
pengembangan
masyarakat,
perusahaan
dan penguatan kelompok-kelompok
dapat
swadaya
masyarakat, masyarakat adat, komunitas lokal, organisasi profesi serta peningkatan kepasitas usaha masyarakat yang berbasiskan sumberdaya setempat (resources based), serta aspek sosial yang menekankan bagaimana kebutuhan
masyarakat
dan
perusahaan
perlu
diakomodasikan
dan
dikomunikasikan, serta peran apa yang dapat dilakukan perusahaan untuk membantu kehidupan masyarakat sekitar.
133
Disamping itu mengoptimalkan penggalian,pemanfaatan dan pengelolaan berbagai potensi ekonomi daerah sesuai dengan kondisi obyektif daerah. Memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di daerah, memperkecil kesenjangan, pertumbuhan dan ketimpangan kesejahteraan masyarakat, serta menekankan bagaimana perusahaan dapat membantu kehidupan perekonomian masyarakat sehingga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan publik, mengembangkan dialog dan interaksi antara pemimpin dengan masyarakat. Pengembangan
masyarakat
yang
dilaksanakan
juga
dapat
merealisasikan dan menumbuhkan kehidupan demokrasi di masyarakat (grassroot democracy), pengembangan Lingkungan,
kelestarian lingkungan
yang menekankan bagaimana perusahaan dan masyarakat memandang masalah lingkungan sebagai masalah bersama serta merumuskan langkah preventif dan kuratif yang perlu dilaksanakan bersama-sama. Uraian diatas menunjukan bahwa program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan dapat mendorong pengembangan wilayah dimana perusahaan beroperasi,
oleh karena itu, dalam pengembangan
masyarakat bukan hanya sekedar membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi masyarakat, tetapi yang terpenting adalah sebagai upaya untuk menciptakan kemandirian masyarakat sehingga mau dan mampu mengatasi segala permasalahan yang terjadi dalam upaya pengembangan wilayah. Untuk mengetahui kontribusi program pengembangan masyarakat terhadap pengembangan wilayah, tidak hanya di pandang dari satu aspek tetapi dapat
dilihat
dari
berbagai
aspek
antara
lain
pembangunan
daerah,
pembangunan manusia serta kebijakan-kebijakan yang mendukung pelaksanaan kegiatan industri panas bumi itu sendiri. Dalam implementasi program pengembangan masyarakat juga dianalisis mengenai kelemahan dan program
pengembangan
pengordinasian
dan
pengaruh negatif yang timbul dari pelaksanaan masyarakat
pengintegrasian
seperti program,
adanya
kelemahan
lemahnya
evaluasi
dalam dan
pengawasan terhadap program serta munculnya ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan juga adanya potensi konflik yang ditimbulkan.
134
6.1. Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pertumbuhan Perekonomian Daerah dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat PDRB Kabupaten Sukabumi menunjukan peningkatan dari tahun ke tahun. Namun PDRB tanpa migas menunjukan peningkatan yang ralatif lebih tinggi dibandingkan dengan PDRB dengan migas. Hal ini menunjukan bahwa sektor perekonomian Kabupaten Sukabumi tidak di pengaruhi oleh subsektor migas. PDRB atas dasar umum dari tahun
harga berlaku untuk Kabupaten Sukabumi secara
2000 – 2005 meningkat 5.9 trilyun rupiah, pada tahun 2000,
6,8 trilyun rupiah pada tahun 2001, menjadi 7,7 trilyun rupiah pada tahun 2002, dan melonjak pada tahun 2003 menjadi 8.4 trilyun rupiah serta pada tahun 2004, menjadi 9,5 trilyun rupiah terakhir tahun 2005, meningkat menjadi 11,3 trilyun rupiah.
Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2005 yaitu sebesar 18.95
persen dan terkecil pada tahun 2003 yaitu hanya sebesar 9.09 persen. Dengan mengelompokan sembilan sektor ekonomi menjadi tiga sektor yaitu sektor primer, sekunder dan tersier tampak bahwa kelompok sektor primer yaitu sektor pertanian dan pertambangan dan penggalian masih mendominasi dalam penciptaan nilai tambah di Kabupaten Sukabumi. Tahun 2005 sumbangan sektor primer terutama pertanian terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi mencapai 4.687 miliar rupiah atau 41.3 persen dari total PDRB Kabupaten Sukabumi. Pada Tabel 6.1 terlihat bahwa struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi menurut kelompok sektor terlihat sektor pertanian mempunyai peranan yang
sangat
besar
dibandingkan
dengan
sektor
yang
lainnya
dalam
perekonomian Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 35.98 persen pada tahun 2005.
Jika di telaah lebih lanjut di sektor pertanian ini, dari tahun ke tahun
didominasi oleh sub sektor pertanian tanaman pangan yang memiliki peranan yang sangat besar. Ditinjau dari peran masing-masing sektor ternyata ada empat sektor yang peranannya kurang dari lima persen yaitu sektor Listrik, gas & air minum yaitu hanya 1.32 persen; sektor bangunan & konstruksi 3.34 persen; sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan 3.25 persen; dan sektor Pertambangan dan Penggalian 3.36 persen.
135
Tabel 6.1. PDRB atas dasar harga berlaku Kabupaten Sukabumi Menurut sektor usaha tahun 2000-2005 (dalam miliar rupiah) Sektor (1)
I. Primer 1. Pertanian 2. Pertamb & Penggalian II. Sekunder 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas & air bersih 5. Bangunan III. Tersier 6. Perdag,Hotel & Rest 7. Pengangk & Kom 8. Keu,perswn & jasa Perh. 9. Jasa-jasa PDRB
2000 (2)
2.552,2 2.250,2 302,5 1.124,1 989.2 52.6 82.3 2.202.9 1.018.9 311.8 212.5 659.6 5.879.6
2001 (3)
2.961.2 2.596.3 365.0 1.352.5 1.193.1 64.4 95.0 2.477.4 1.142.7 377.3 241.5 715.9 6.791.1
2002
2003
(4)
3.394.2 2.998.6 395.6 1.578.3 1.393.9 72.6 111.8 2.687.2 1.237.6 424.6 267.6 757.4 7.659.7
(5)
3.740.4 3.311.6 428.8 1.812.3 1.521.0 1001.1 190.2 2.886.8 1.317.4 470.5 292.3 806.6 8.439.5
2004 (6)
4.105.7 3.631.5 474.2 2.069.0 10642.5 130.8 295.6 3.314.4 1.513.4 627.8 312.2 860.7 9.488.7
2005 (7)
4.687.1 4.079.3 607.8 2.471.3 1.942.8 150.1 378.4 4.179.4 1.969.0 906.6 368.0 935.8 11.337.8
Sumber: PDRB Kabupaten Sukabumi, BPS Kabupaten Sukabumi
Semakin besar presentase suatu sektor dalam PDRB, maka semakin besar pula pengaruh sektor tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu daerah.
Jadi besarnya persentase sumbangan sektor pertanian jika di
bandingakan dengan sektor lain terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi menandakan bahwa sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting di dalam perkembangan ekonomi Kabupaten Sukabumi dibandingkan dengan sektor-sektor yang lain.
Hal ini juga menunjukan bahwa perekonomian
Kabupaten Sukabumi tidak tergantung pada subsektor migas, sektor migas hanya berperan kurang dari lima persen saja dalam perekonomian Kabupaten Sukabumi. Berdasarkan Tabel 6.1 diatas, jika dilihat dari sumbangan sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB, maka kehadiran industri panas bumi belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian Kabupaten Sukabumi, hal ini terlihat dari rendahnya sumbangan sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi. Rendahnya sumbangan terhadap PDRB, menyebabkan rendah pula sumbangan perusahaan terhadap kemajuan perekonomian wilayah. Hal ini mengindikasikan telah terjadinya leakages syndrome, yaitu kebocoran ekonomi lokal berupa penghisapan rente ekonomi sumberdaya alam ke luar wilayah. Aliran arus pendapatan dan manfaat (benefit) terjadi pada tingkat nasional.
Namun belum memberikan manfaat yang
masyarakat lokal terutama kepada mereka yang
sangat besar kepada tinggal disekitar proyek
136
tersebut. Meskipun keberadaan industri geothermal memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat, namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini disebabbkan sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari luar daerah Kecamatan Kabandungan. Oleh karena itu jika dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, maka kontribusi perusahaan terhadap pengembangan wilayah terutama dalam pengembangan ekonomi wilayah masih sangat rendah. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pun belum mengarah pada peningkatan pertumbuhan ekonomi wilayah, hal ini terlihat dari jenis program pengembangan masyarakat yang dijalankan oleh perusahaan yang didominasi oleh kegiatan yang masih berbentuk karitatif. Disamping itu, kehadiran industri panas bumi belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan.
Hal ini disebabkan karena program pengembangan masyarakat
yang dilakukan oleh perusahaan lebih banyak di tujukan kepada pembangunan infrastruktur secara fisik, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai. Meskipun masyarakat,
perusahaan
namun
belum
telah
melakukan
memberikan
program
perubahan
pengembangan
terhadap
tingkat
kesejahteraan masyarakat di sekitar perusahaan. Ini terlihat dari masih banyaknya jumlah keluarga miskin di Kecamatan Kabandungan seperti terlihat dalam tabel berikut:
Tabel 6.2.
Rumah Tangga Miskin Penerima BLT di Kecamatan Kabandungan Tahun 2005/2006
Rumah Tangga 8.467
Rumah Tangga Miskin 5.170
Persentase Rumah Tangga Miskin ( persen) 61.06 persen
Sumber Data: BPS Kab. Sukabumi 2006 (diolah)
Seperti terlihat
dalam Tabel diatas, Penduduk miskin di Kecamatan
Kabandungan masih cukup besar yaitu mencapai 5.170 keluarga dari 8.467 Rumah tangga yang ada di Kecamatan Kabandungan atau sekitar 61,06 persen, dan
merupakan jumlah prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten
Sukabumi.
137
Hal ini mendukung hasil penelitian yang terdahulu yang dilakukan oleh Saleng (2004) yang menyatakan bahwa kontribusi perusahaan pertambangan terhadap masyarakat sekitar baik melalui program community development maupun
program
pembangunan
lainnya
belum
merupakan
jaminan
kesejahteraan sosial–ekonomi mayarakat setempat, tetapi masih sebatas untuk menghilangkan konflik antara masyarakat sekitar dengan perusahaan. Penyebab
rendahnya
pengaruh
kehadiran
perusahaan
terhadap
masyarakat lokal yang berada disekitar perusahaan antara lain karena program pengembangan masyarakat yang dilakukan perusahaan masih bersifat top-down. Hal ini tercermin dari bentuk pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang umumnya bersifat proyek dan masyarakat hanya sebagai penerima atau objek.
Selama ini Jenis dan bentuk program Pengembangan masyarakat
ditentukan oleh CHV sehingga masyarakat bersifat sebagai obyek dari pelaksanaan program. Bentuk kegiatan pengembangan masyarakat seperti ini lebih dikenal dengan istilah development for community karena berbagai inisiatif, perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan dilaksanakan oleh aktor dari luar. Kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan perusahaan belum mampu menyelesaikan permasalahan utama kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan lingkungan yang dihadapi masyarakat lokal. Padahal esensi pengembangan masyarakat mestinya mampu menyelesaikan masalah tersebut. Disamping itu program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan hanya menyentuh sebagaian masyarakat saja, yaitu masyarakat yang berada pada lapisan atas (elite) saja. Hal ini disebabkan karena perencanaan program belum melibatkan masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat tidak tertampung dalam program-program tersebut. Program kemitraan (partnership program) untuk small and medium enterprises (usaha kecil menengah) yang merupakan program pengembangan usaha masyarakat dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian setempat, belum berjalan sesuai dengan harapan, sehingga program tersebut belum berdampak bagi para pelaku usaha kecil dan menengah di sekitar wilayah operasional CHV. Dalam bidang infrastruktur terjadi peningkatan pembangunan sarana umum yang dibangun atas bantuan dari perusahaan, tetapi hanya sedikit saja
138
yang dibangun secara langsung oleh perusahaan (kurang dari 10 Bangunan), selebihya hanya bantuan materialnya saja sehingga kualitas sarana yang di bangun menjadi di bawah standar. Berdasarkan uraian diatas, terlihat bahwa kegiatan industri panas bumi di gunung
Salak
belum
memberikan
dampak
yang
signifikan
terhadap
pengembangan wilayah Kecamatan Kabandungan. Hal ini tercermin dari: 1). Masih rendahnya sumbangan industri panasbumi terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi, 2). Kesejahteraan masyarakat masih rendah, 3).
Rendahnya
penyerapan tenaga kerja lokal dan belum meratanya pelaksanaan program pengembangan masyarakat. 6.2.
Ketergantungan Masyarakat Terhadap Perusahaan Kecamatan Kabandungan yang relatif jauh dari pusat pemerintahan
kabupaten Sukabumi serta relatif sulit dijangkau oleh sarana transportasi dan komunikasi.
Sulitnya
medan
sering
menjadi
penyebab
minimnya
porsi
pembangunan yang diterima masyarakat sehinga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah, tetapi juga menciptakam masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang. Dalam kondisi masyarakat seperti ini, maka kehadiran industri panas bumi gunung Salak yang dikelola oleh CHV merupakan potensi penting untuk mempercepat perkembangan masyarakat dan pembangunan fisik wilayah di tengah keterbatasan kemampuan yang dimiliki pemerintah daerah melalui pelaksanaan program pengembangan masyarakat. Tingginya tingkat harapan masyarakat terhadap perusahaan ditandai dengan besarnya permohonan bantuan kepada perusahaan, baik berupa bantuan pembangunan dan perbaikan sarana umum maupun bantuan modal usaha.
Pemenuhan terhadap permohonan bantuan tersebut selama ini
dilakukan oleh perusahaan melalui program pengembangan masyarakat yang mereka laksanakan. Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan perusahaan
dirasakan
program,sehingga
manfaatnya
semakin
oleh
memperbesar
masyarakat keyakinan
yang
menerima
masyarakat
akan
pentingnya kehadiran perusahaan, tetapi disisi lain semakin mempertegas posisi antara “pemberi” dan “penerima” bantuan.
Sandaran sosio economic security
yang ada pada ikatan-ikatan sosial horizontal berganti ke arah vertikal yaitu perusahaan.
Akibatnya masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus
bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
139
sehingga kapasitas civil society menjadi lemah dan pada akhirnya menciptakan ketergantungan (dependency syndrome) masyarakat terhadap perusahaan. Ketergantungan
masyarakat
ini
pengembangan
merupakan masyarakat,
ekses
negatif
karena
dari
pelaksanaan
program
rendahnya
pemahaman
para pelaksana program terhadap program yang dilaksanakan,
atau karena tidak diikutsertakannya masyarakat penerima bantuan dalam merencanakan kegiatan. Ketergantungan
terhadap
perusahaan
antara
lain
terlihat
dalam
pendanaan untuk pembangunan sarana infrastruktur seperti pembangunan mesjid, mushola dan madrasah, perbaikan jalan, jembatan serta peringatan hari besar agama dan nasional yang pada awalnya dapat dilakukan dari dana yang bersumber dari swadaya masyarakat dan gotong royong, kini sebagian besar merupakan bantuan perusahaan.
Pada dasarnya selama bantuan-bantuan
tersebut dapat dijadikan sebagai stimulan untuk meningkatkan partisipasi dan inisiatif lokal merupakan hal yang positif, namun apabila bantuan perusahaan justru dijadikan pilar utama dalam pengembangan usaha maupun dalam pembiyaan pembangunan sarana umum sehingga memperkecil partisipasi dan swadaya masyarakat dan memperbesar ketergantungan terhadap perusahaan justru menjadi sesuatu yang kontra produktif. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi tidak mampu untuk mandiri dalam melaksanakan berbagai kegiatan kemasyarakatan,
jika sudah menyangkut kegiatan yang memerlukan dana
secara otomatis yang ada dalam benak para pelaksana adalah mengajukan proposal permohonan bantuan dana kepada perusahaan tanpa terlebih dahulu melakukan usaha-usaha sendiri.
Masyarakat lebih memilih tidak meneruskan
/tidak jadi membangun jika tidak menerima bantuan dari perusahaan. Walaupun tujuan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat adalah untuk memberdayakan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya justru menumbuhkan ketidak-mandirian masyarakat, hal ini dikarenakan kedua belah pihak memiliki persepsi yang berbeda tentang program pengembangan masyarakat, disamping itu tidak terjalinnya komunikasi. Komunikasi mengenai program yang diusulkan terjadi hanya melalui proposal atau surat menyurat, sehingga bisa jadi perusahaan merealisasikan program yang di propose-kan dengan motif untuk keamanan
bukan pemberdayaan, sementara pemohon
mengajukan program dengan motif untuk meminta “jatah” sehingga proposal hanya formalitas untuk menjadi alat agar “jatah” tersebut dapat diterima.
140
6.3.
Pengordinasian Dan Pengintegrasian Program Pengembangan Masyarakat Dengan Program Lain Dalam implementasi program pengembangan masyarakat perusahaan
masih bersifat menunggu usulan dari masyarakat, serta masih kurang maksimal dalam
upaya
masyarakat.
mengembangkan Pelaksanaan
dan
program
menjaga
keberlangsungan
pengambangan
masyarakat
usaha yang
dilaksanakan oleh perusahaan porsinya masih relatif kecil, dan cenderung tumpang tindih dengan program yang sedang dilaksanakan oleh CHV sendiri atau dengan program yang di laksanakan pemerintah, misalnya tumpang tindih antara program pengembangan masyarakat CHV dengan program PNPM (program nasional pengembangan masyarakat) yang dikelola oleh pemerintah Kecamatan Kabandungan. Padahal antara kedua program ini dapat di padukan antara satu dengan yang lain dan dapat saling menopang, karena bidang garapan dari program ini relatif sama yaitu bidang pendidikan dan kesehatan. Padahal jika program yang memiliki bidang garapan yang sama itu di padukan akan meningkatkan efektifitas program serta dapat lebih meningkatkan jumlah masyarakat yang dapat di bantu, hal ini pernah dilakukan oleh CHV dengan Pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dalam pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional (PIN) tahun 2006, dan berhasil meningkatkan keikutsertaan masyarakat dalam program ini dan keberhasilannya mencapai 100,8 persen pada putaran ke–enam, akan tetapi sayang program kolaborasi yang baik ini tidak diukuti oleh program-program lainnya. Apabila dikaji pada tingkatan yang lebih makro, program yang dilakukan terlihat tidak dirancang secara sistematis untuk jangka waktu yang panjang dengan goal yang jelas. Beberapa program terlihat diimplementasikan secara parsial, terpisah satu sama lain. Beberapa program pengembangan masyarakat yang dilakukan CHV, dilaksanakan secara insidentil, menunggu pengajuan masyarakat tanpa ada kerangka berpikir yang tersusun secara terencana. Pada kasus yang lain, suatu program terlihat didesain cukup sistematis seperti program dalam bidang pertanian yang direalisasi oleh CHV misalnya, dalam prakteknya terlihat belum terintegrasi antara sub-program yang satu dengan yang lain. Dalam tahapan peningkatan hasil produksi pertanian program tersebut mampu melakukannya dengan baik. Namun keberhasilan ini tidak diikuti dengan penyiapan pasar untuk menjual hasil produksi sehingga yang terjadi adalah ketika terjadi produksi yang besar, pasar lokal tidak mampu menampung hasil
141
pertanian tersebut. Sementara Perusahaan belum menyiapakan alternatif tempat penjualan. Akibatnya merugikan petani. Pendekatan seperti ini tentu saja tidak memberikan kontribusi secara signifikan bagi peningkatan ekonomi rumah tangga. Secara ekonomis masyarakat tidak mengalami peningkatan pendapatan yang berarti. Secara politis mereka tidak terberdayakan. Mereka masih terlihat sebagai penerima program pasif. Mereka tidak memiliki ruangan yang cukup untuk berpartisipasi dalam penentuan program dan mengelolanya. Mereka belum ditempatkan pada posisi sentral realisasi program. Hal tersebut diatas menunjukan masih rendahnya pengoordinasian dan pengintegrasian pelaksanaan program pengembangan masyarakat dengan program lain. Padahal pengintegrasian program pengembangan masyarakat perusahaan
dengan program pemerintah akan menghindari inefesiensi dan
inefektif, tidak tepat sasaran atau bertabrakan dengan program lainnya., serta dapat
mengisi
kekosongan
pembangunan,
Sekalipun
pada
umumnya
pengucuran dana bantuan untuk pembangunan sarana dan prasarana berdasarkan pengajuan dan permohonan masyarakat, tetapi dengan dana yang terbatas maka akan sulit bagi perusahaan untuk memenuhi seluruh pengajuan bantuan dari masyarakat yang tentu jumlahnya akan banyak, untuk menghindari inefesiensi, tidak tepat sasaran atau bertabrakan dengan program lainnya seperti tersebut diatas, maka dalam mengalokasikan dana dan memilih program yang akan dibantu perlu mempertimbangkan rasa keadilan dalam arti siapakah pihak yang paling membutuhkan dan cakupan manfaat yang akan ditimbulkannya paling besar serta memperhatikan pula perencanaan makro pembangunan wilayah agar tidak bertabrakan dengan program lain yang dilaksanakan oleh pemerintah. Untuk meningkatkan efektifitas dari program, maka penentuan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan sebagai pilihan program pengembangan masyarakat oleh perusahaan yang berimplikasi pada peningkatan pendapatan, alokasi dana untuk peningakatan pendidikan dan keterampilan serta upaya pengembangan usaha dan penciptaan prospek pasar sebaiknya dilakukan melalui mekanisme perencanaan yang sistematis dan terpadu dengan melibatkan berbagai stakeholders yang ada dalam masyarakat sehingga dapat memadukan potensi dan menciptakan sinergitas. Hal tersebut diatas perlu dilakukan karena pengembangan masyarakat bukan hanya tanggung jawab perusahaan saja, melainkan tanggung jawab
142
bersama stakeholders, maka keterpaduan dengan program-program lain yang dilaksanakan oleh stakeholders tersebut sangat diperlukan dalam rangka memberikan penguatan terhadap aktivitas program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan. mekanisme
tidak
hanya
Dalam pelaksanaannya diperlukan suatu
menciptakan
keterpaduan
proses
(mulai
dari
perencanaan program, pelaksanaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap program) tetapi juga dapat mengatur dan memberi kesejajaran tempat bagi stakeholders untuk turut berperan serta dalam program pengembangan masyarakat,
sehingga
diperlukan
pelembagaan
pola
hubungan
antara
stakeholder terkait (masyarakat,Pemda,Perusahaan serta LSM) baik dalam perencanaan,pelaksanaan dan evaluasi program. Jika dilihat dari sudut pengoordinasian dan pengintegrasian program, maka program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan terlihat masih rendah. Dari hasil pengamatan dilapangan, Pelaksanaan program pengambangan masyarakat
yang
dilaksanakan oleh perusahaan belum
dapat
mengisi
kekosongan pembangunan di wilayah Kecamatan Kabandungan, hal ini terlihat dari rendahnya pengoordinasian program seperti di jelaskan sebelumnya. Pelaksanaa program pengembangan masyarakat cenderung terpusat pada daerah-daerah atau kelompok-kelompok tertentu saja yang di pilih oleh perusahaan sendiri. Rendahnya tingkat koordinasi dengan pihak pemerintah ( dalam hal ini Kecamatan Kabandungan) mengakibatkan tumpang tindihnya program yang digarap, dan ada program-program tertentu yang pihak Kecamatan Kabandungan tidak me-recognize, sehingga pihak Kecamatan Kabandungan Kabandungan cenderung tidak mendukung program yang sedang dilaksanakan.
6.4. Jaringan Kelembagaan Lokal Selain lembaga formal yang sudah ada seperti Pemerintah Desa, BPD, MUI, PKK, KNPI dan Karang taruna juga terdapat
lembaga-lembaga
kemasyarakatan yang di bentuk oleh masyarakat seperti berbagai kelompok organisasi
kepemudaan,remaja
mesjid,
kelompok
pengajian/majlis
ta’lim,
,kelompok olah raga, organisai pecinta Alam, organisasi underbow partai politik dan juga LSM yang dibentuk untuk tujuan mengadvokasi masyarakat dalam bidang pemberdayaan ekonomi, lingkungan hidup serta pendidikan baik tingkat desa maupun tingkat Kecamatan.
Kelompok tersebut adalah LSM sorak, LSM
143
Barak, LSM KPP, LSM Forum Guru untuk Lingkungan,LSM P3LH, LSM absolute, Aspak 213, kelompok-kelompok tersebut memiliki bidang garapan yang berbeda tetapi ada juga yang memiliki bidang garapan yang sama. Disamping LSM lokal terdapat juga LSM-LSM dari luar Kecamatan Kabandungan seperti dari Bogor dan Jakarta yang bekerja di Kecamatan Kabandungan diantaranya Yapeka, CI, Telapak, Peka dan JK3GS. seperti terlihat dalam Matriks 6.1. berikut
Matriks 6.1. LSM yang melakukan kegiatan di Kecamatan Kabandungan No
Nama LSM
Asal LSM
1 2 3
Absolute Aspak 213 Barak
Cipeuteuy Jayanegara Cipanas
4 5
CI Indonesia Forum Guru Untuk Lingkungan JK3GS Komunitas Peduli Pendidikan (KPP) P3LH Peka Sorak
Jakarta Tugubandung
6 7 8 9 10
11 Yapeka Sumber : Hasil Wawancara
Bidang Garapan Lingkungan hidup Olah Raga Tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat Lingkungan dan pendidikan Lingkungan dan pendidikan
Bogor Kabandungan Kabandungan Bogor Kabandungan Bogor
Lingkungan Hidup Pendidikan, lingkungan hidup dan pengembangan masyarakat Lingkungan hidup Pemberdayaan masyarakat Tenaga kerja, pemberdayaan masyarakat Pendidikan lingkungan hidup
Disamping itu terdapat juga kelompok-kelompok tani yang tersebar di desa-desa Kecamatan Kabandungan, sebagaimana terlihat dalam Tabel
6.3
berikut: Tabel 6.3. Jumlah Kelompok Tani Menurut Kelas Kelompok
Pemula -
Kelas kelompok Lanjut Madya 8 -
Utama -
Jumlah
Anggota
8
1.827
Sumber: kantor Penyuluhan Pertanaian Kabupaten Sukabumi
LSM-LSM tersebut melaksanakan program-program pemberdayaan bekerjasama dengan CHV secara sendiri-sendiri sehingga sering terjadi persaingan antara LSM-LSM lokal untuk mendapatkan program dari CHV. Hal ini mengakibatkan
pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang
dilakukan kurang mendapatkan dukungan dari masyarakat, karena masyarakat menganggap bahwa apa yang diusulkan oleh LSM-LSM tersebut bukan merupakan kebutuhan masyarakat.
144
Oleh karena itu dibutuhkan suatu kelembagaan kolektif yang dapat menjembatani antara masyarakat dengan perusahaan, sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat dapat tersampaikan dengan jelas. Disamping itu juga
agar
perusahaan
pelaksanaan program
tidak
kesulitan
dalam
memilih
“partner”
dalam
yang benar-benar merepresentasikan masyarakat dan
diakui oleh masyarakat sebagai wakil dari masyarakat.
6.5.
Konflik Yang Muncul Dalam Masyarakat Pembangunan pada dasarnya merupakan usaha-usaha yang dilakukan
secara sistematis dan terarah dalam melakukan perubahan yang mengarah kepada perbaikan dalam kehidupan kesejahtraan masyarakat. Tetapi disamping tujuan untuk melakukan perubahan yang mengarah kepada perbaikan dalam kehidupan kesejahtraaan masyarakat, usaha-usaha tersebut juga memicu konflik-konflik, dimana melibatkan pertarungan antara dua pihak kelompok atau lebih yang menyangkut soal-soal perbedaan nilai, baik soal status, wewenang, kekuasaan dan perebutan hak-hak akses terhadap sumberdaya yang bersifat langka. Konflik ini juga dapat terjadi baik secara vertikal maupun horizontal dan baik dalam sifat konflik terbuka maupun bersifat laten.
Tetapi konflik-konflik ini
bisa saja tidak terjadi jika dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian program di laksanakan secara bersama-sama oleh seluruh stakeholder, sehingga konflik dapat di hindari. Terdapatnya kelompok-kelompok masyarakat yang berada di Kecamatan Kabandungan juga membawa konflik-konflik yang melibatkan kelompokkelompok, kelompok-kelompok itu secara garis besar dapat dikelompokan menjadi beberapa kelompok besar yaitu: CHV, Pemerintah Daerah, masyarakat serta LSM. Isu-isu yang menjadi konflik, seperti terlihat dalam Matriks 6. 2.
145
Matriks 6. 2.
Potensi Konflik yang Terjadi di Kecamatan Kabandungan Pemerintah Daerah
CHV
Kurangnya dukungan terhadap program pembangunan regional dan Penyelesaian permasalahan sosial
CHV
Pemerintah Daerah
Masyarakat
LSM
Kurangnya dukungan terhadap program pembangunan regional dan Penyelesaian permasalahan sosial • Tuntutan pemberdayaan • Kesempatan kerja • • • •
Pemberdayaan Lingkungan Kemiskinan Kesempatan kerja
Masyarakat • Tuntutan pemberdayaan • Kesempatan kerja
LSM • • • •
Pemberdayaan Lingkungan Kemiskinan Kesempatan kerja
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat
Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat
ketimpangan dalam akses dan kontrol terhadap sumberdaya air Keterwakilan masyarakat oleh LSM
Keterwakilan masyarakat oleh LSM • Persaingan program • Tumpang tindih program & lokasi pember dayaan
Sumber: Diolah dari hasil Wawancara
Sebagaimana dinyatakan oleh (Dinitto 1987 dan Hill 1996 dalam Pawoko 2008) bahwa stakeholder dalam pelayanan sosial adalah negara, sektor privat, Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Apabila diurai dengan lebih rinci, peta permasalahan yang terjadi dapat di kelompokan dalam Jalinan simpul-simpul yang menjalin konflik yang relatif rumit. Hal ini karena stakeholders yang terlibat dalam pelayanan-pelayanan sosial yang dilakukan cukup kompleks. Sementara mereka memiliki kepentingan berbeda-beda yang satu sama lain bisa saling berseberangan dan sangat mungkin merugikan pihak yang lain. Konflk yang terjadi diantara stakeholder di Kabandungan jika dilihat dari derajat konflik belum merupakan suatu konflik yang terbuka yang melibatkan seluruh anggota masyarakat dengan kekerasan fisik dan penghancuran asset milik pihak yang berkonflik, tetapi masih konflik yang bersifaat laten. Konflik laten di cirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak, tidak sepenuhnya berkembang atau belum terangkat ke puncak kutub-kutub konflik, bahkan salaj satu atau kedua pihak belum menyadari adanya konflik. Konflik yang timbul dalam masyarkat dapat saja sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin mengambil manfaat dari bergejolaknya konflik tersebut. Dengan menyadari bahwa akibat buruk dari merebaknya suatu konflik
146
yang tidak dapat diselesaikan dengan baik, maka pengelolaan konflik yang terbaik adalah mencegah munculnya konflik itu. Dalam kegiatan pengembangan masyarakat, mencegah munculnya konflik dapat dilakukan dengan menjadikan lembaga, kebijakan, dan programnya lebih responsif terhadap kepentingan-kepentingan masyarakat, bukan saja masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang akan dilaksanakan.
Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar
masyarkat yang terlibat langsung, tetapi juga pihak-pihak lainnya yang diperkirakan mempunyai kepentingan terhadap usaha-usaha pembangunan yang akan dilaksanakan.
Secara lebih rinci permasalahan potensi konflik antar
stakeholder yang ada di Kecamatan Kabandungan dapat dijelaskan sebagai berikut: 6.5.1. CHV dengan Masyarakat Sumber konflik antara masyarakat dengan CHV diantaranya adalah tuntutan pembangunan
sarana (infrastruktur) pedesaan dalam
pengembangan masyarakat
program
yang dilakukan oleh CHV yang di rasa masih
kurang oleh masyarakat. Program pengembangan masyarakat yang selama ini dilaksanakan oleh CHV dianggap masih kurang dan tidak menyentuh kebutuhankebutuhan mendasar dari masyarakat, disamping distribusi bantuan dan pelaksanaan program yang tidak merata. Oleh karena itu, dalam pengalokasian bantuan idealnya tidak didasarkan atas pertimbangan lokalitas area dan kemudahan dalam pemberian bantuan, tetapi harus berdasarkan pertimbangan yang objektif atas usulan permohonan masyarakt dengan memperhatikan aspek efesiensi, ketepatan sasaran dan pemenuhan rasa keadilan dalam arti diberikan kepada yang paling membutuhkan dan yang dapat memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat. Disamping masalah tersebut diatas, yang menjadi sumber konflik adalah tuntutan untuk bekerja pada perusahaan, kesempatan kerja bagi masyarakat dinilai masih kurang serta masalah-masalah lingkungan seperti berkurangnya sumber air dan pencemaran air yang dianggap oleh masyarakat disebabkan oleh operasi CHV. Aksi demonstrasi sudah beberapa kali di lakukan oleh masyarakat terhadap CHV untuk menuntut perhatian yang lebih banyak terhadap hal-hal tersebut diatas. Tetapi aksi-aksi tersebut berjalan dengan damai dan tidak terjadi
147
kekerasan dan sebagian dapat diredam oleh CHV dengan melibatkan tokohtokoh masyarakat dengan janji akan memberikan bantuan-bantuan. Masyarakat juga menilai adanya kecenderungan mark-up terhadap biaya yang digunakan untuk merealisasi program pengembangan masyarakat. Masyarakat merasa bahwa realisasi program tidak menggunakan biaya sebesar seperti yang tertulis pada laporan-laporan yang di keluarkan oleh CHV. Tetapi menurut hasil wawancara dengan pihak CHV, bahwa perbedaan biaya yang terjadi antara yang tertulis pada laporan dengan pelaksanaan, bukanlah mark-up, jumlah biaya yang ditulis dalam laporan adalah biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh CGS untuk pelaksanaan program pengembangan masyarakat, tetapi dalam pelaksanaanya pengadaan barang-barang yang dipergunakan untuk pelaksanaan program tersebut di sediakan oleh vendor sehingga terdapat pebedaan antara nilai barang yang diterima dengan jumlah uang yang dikeluarkan oleh CHV, hal ini disebabkan karena adanya margin yang di peroleh oleh vendor sebagai suplayer. Konflik yang terjadi antara CHV dengan masyarakat dapat di kelompokan ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar (1998), Konflik Kepentingan, disebabkan oleh persaingan kepentingan yang dirasakan atau yang secara nyata memang tidak bersesuai dengan yag diinginkan seseorang atau kelompok. Konflik kepentingan dapat terjadi ketika satu pihak atau lebih menyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, maka pihak lain diharapkan harus mau berkorban. Konflik yang berdasarkan kepentingan ini terjadi karena masalah yang mendasar (karena uang, sumberdaya fisik, waktu, dll), atau menyangkut masalah tata-cara (sikap dalam menangani masalahnya) atau masalah psikologis (presepsi atau rasa percaya diri, mempertahankan keadilan, rasa hormat, dll). Disamping hal tersebut diatas, penyebab tidak harmonisnya relasi sosial antara masyarakat dengan perusahaan disebabkan juga oleh beberapa hal berikut dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat yaitu:1) Dalam hubungan Masyarakat dengan Perusahaan, masyarakat terus menerus menuntut apa yang mereka anggap sebagai tanggung jawab sosial perusahaan. Akan tetapi apa yang disebut sebagai masyarakat hanya merupakan sekumpulan individu atau kelopmpok yang tidak ada
hubungannya dengan keberadaan
Masyarakat. Apa yang mereka tuntut juga seringkali tidak ada hubungannya dengan kepentingan masyarakat banyak melainkan kepentingan pribadi maupun
148
kelompok,
2). Perusahaan menerjemahkan tanggung jawab sosial mereka
kedalam bentuk kegiatan-kegiatan yang bersifat reaktif, untuk meredam tuntutan warga kepada perusahaan, dimana yang disebut warga tersebut tidak lebih dari individu atau kelompok yang membawa kepentingannya. melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dirancang
3). Perusahaan
oleh kebijakan Perusahaan
sendiri tanpa melakukan komunikasi dan kesepakatan dengan Masyarakat.
6.5.2. CHV dengan Pemerintah Daerah Konflik yang terjadi antara CHV dengan Pemerintah daerah dalam hal ini dengan Kecamatan Kabandungan masih bersifat laten artinya konflik ini belum muncul secara terbuka kepermukaan. “Kecamatan tidak mau memberikan tanda tangan pada proposal yang di ajukan oleh masyarakat, karena mereka merasa hanya di jadikan sebagai tukang stempel saja” (IW, 53 Tahun, Ketua kelompok Pertanian)
Konflik
ini
di
sebabkan
oleh
tidak
transparannya
CHV
dalam
melaksanakan program pengembangan masyarakat serta tidak dilibatkannya pihak Kecamatan dalam perencanaan dan penentuan kelompok-kelompok yang akan memerima bantuan. Disamping itu CHV juga tidak pernah melaporkan program-program yang telah dilaksanakan kepada pihak Kecamatan, sedangkan disisi lain pihak kecamatan merasa berhak tahu, karena proposal yang diajukan oleh kelompokkelompok masyarakat harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Muspika. Hal ini ditunjukan dengan kenyataan bahwa perusahaan lebih merasa bertanggung jawab kepada pemerintah pusat dibanding kepada pemerintah daerah dan masyarakat. Pemerintah daerah tidak mendapatkan laporan tertulis secara rinci mengenai realisasi program pengembangan masyarakat. Kontrak kerjasama berlangsung antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) di bawah payung Departemen Pertambangan dan Energi. Penandatanganan itu tidak melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat walaupun merekalah yang merasakan langsung konsekuensi-konsekuensi
buruk
proses
ekstraksi
yang
dilakukan
oleh
perusahaan. Untuk menunjukkan bahwa perusahaan sudah melakukan kegiatankegiatan tersebut maka perusahaan menyatakan hal tersebut pada publik dengan mempropagandakannya lewat media massa
149
Keadaan yang seperti itu berdampak tidak diakuinya pelaksanaan program pengembangan masyarakat oleh pemerintah Kecamatan Kabandungan dan di anggap bukan merupakan bagian dari pembangunan wilayah yang di laukan oleh pemerintah.
Disisi lain CHV membuthkan pengakuan dari
pemerintah daerah terhadap program pengembangan masyarakat yang telah dilkukannya, sebagai laporan dari pelaksanaan pengembangan masyarakat ke Pertamina atau pemerintah pusat.
6.5.3. CHV dengan LSM Lokal Sebenarnya apa yang menjadi sumber konflik antara masyarakat dengan CHV, juga merupakan sumber konflik bagi CHV dengan LSM Lokal.
Tetapi
secara spesifik konflik dengan LSM lebih bersifat terbuka, hal ini bisa dilihat dari pernyataan-pernyataan LSM tentang kebijakan pengembangan masyarakat yang sudah dilakukan oleh CHV, dimana sebagaian besar menganggap bahwa CHV masih kurang peduli.
Hal tersebut terepresentasi dari adanya sinisme,
keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan masyarakat, atau bahkan memprotesnya. Konflik yang terjadi bisanya bermula dari tidak di penuhinya proposal yang diajukan oleh LSM kepada CHV, Alokasi dana yang terbatas serta adanya seleksi dan prioritas terhadap berbagai permohonan bantuan yang diajukan menyebakan tidak seluruh permohonan dapat dikabulkan. Ketidakpuasan yang muncul karena adanya penolakan terhadap permohonan yang diajukan dimana pengharapan yang meningkat menyebabkan terjadinya berbagai reaksi. Pihak LSM memandang bahwa perusahaan kurang akomodatif, kurang membuka diri dengan pihak-pihak luar dan cenderung defensif. Hal ini dapat ditunjukan dari kerapkali pihak perusahaan tidak hadir dalam pertemuanpertemuan LSM atau tidak menjawab surat permohonan audiensi dari LSM, kalaupun pihak perusahaan hadir, wakil perusahaan yang menghadiri tidak punya wewenang dalam mengambil keputusan di pertemuan. Keadaan tersebut terepresentasi dari sinisme, keengganan untuk terlibat kegiatan-kegiatan pengembangan
masyarakat
yang
dilakukan
oleh
CHV,
atau
bahkan
memprotesnya. LSM juga menilai adanya kebijakan perusahaan untuk sengaja menimbulkan situasi konflik, dimana akhirnya LSM menjadi terbagi dua, yaitu yang sejalan dengan perusahaan dan yang oposisi. Yang sejalan diberi insentif dan yang oposisi disingkirkan.
150
Sementara dari sisi perusahaan, CHV menganggap bahwa konflik yang terjadi tidak pernah sengaja diciptakan oleh perusahaan, konflik yang ada terjadi karena kurangnya komunikasi diantara LSM-LSM itu sendiri sehingga saling mencurigai.
Menurut CHV, dalam pelaksanaan program pengembangan
masyarakat, perusahaan lebih menilai bobot serta manfaat program yang diusulkan oleh LSM ketimbang LSM-nya sendiri. Jika di kelompokan, maka konflik yang terjadi antara CHV dengan LSM Lokal dapat di kelompokan ke dalam Konflik kepentingan. Menurut Anwar (Anwar.1999).
,Konflik struktural, terjadi ketika terdapat ketimpangan untuk
melakukan akses dan kontrol terhadp sumberdaya. Pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menentukan dan menetapkan kebijakan umum, biasanya memilki peluang dalam menguasai akses dan melakukan kontrol sepihak terhadap pihak lain. Pada sisi lain, faktor geografis dan sejarah seringkali menjadi alasan untuk memusatkan kekuasaan serta pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan suatu pihak.
6.5.4. Masyarakat dengan Masyarakat Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan masyarakat disebabkan oleh ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya terutama air. Semakin langkanya sumberdaya air menimbulkan konflik dalam masyarakat, air yang tadinya tidak menjadi masalah bagi warga masyarakat, kini menjadi rebutan. Berkurangnya sumber air ini terjadi sebagai akibat maraknya penebangan liar di sekitar kawasan hutan yang ada di Kecamatan Kabandungan, kemudian yang dianggap penyebab lainnya oleh sebagain masyarakat adalah akibat dari beroperasinya CHV di Kecamatan Kabandungan. Konflik yang terjadi antara masyarakat misalnya konflik antara secagian penduduk desa Kabandungan dan desa Cipeuteuy yang tanahnya di lalui oleh aliran
sungai buatan
yang di bangun oleh kelompok masyarakat dari desa
Tugubandung. Konflik tersebut sebagai akibat dari rusaknya tanah (erosi) milik warga masyarakat di sepanjang aliran sungai. Konflik juga terjadi antara masyarakat kedusunan kampung Babakan dengan masyarakat kedusunan kampung Cimanggu di desa Kabandungan. Penyebab konfliknya adalah perebutan dalam penggunaan air pada musim kemarau.
151
CHV melakukan bantuan pipanisasi air untuk membantu masyarakat di Kedusunan Kampung Babakan dan kedusunan Kampung Cimanggu. Sebelumnya kedua dusun tersebut mempunyai sumber mata air yang berbeda , tetapi karena alasan teknik (untuk mencari gravitasi, agar air mempunyai tekanan yang besar dan dapat mengalir ke sumua tempat di dua kedusunan) maka sumber mata air untuk kedua kedusunan tersebut akhirnya di gabungkan yaitu dengan memakai sumber air yang biasa di pakai oleh kampung Babakan. Tetapi karena sumber mata airnya terbatas, maka pada musim kemarau sering terjadi saling sabotase antara kedua kedusunan ini dengan cara menutup jalur air ke saluran masing-masing kedusunan dengan sampah atau batu agar aliran ke pelaku penutupan menjadi besar. Kondisi ini menimbulkan ketegangan masyarakat antara kedua kedusunan. (Hasil wawancara dengan beberapa Tokoh Masyarakat Babakan dan Cimanggu)
Disamping itu potensi konflik juga muncul karena adanya perbedaan antara desa yang mendapat alokasi bantuan dari perusahaan dengan porsi yang lebih besar di banding dengan desa lainnya.
Lokasi CHV yang berada di
Kecamatan Kabandungan dengan desa terdekat adalah desa Kabandungan dan Desa Cipeuteuy serta desa Pulosari di Kecamatan Kalapanunggal mendapat porsi alokasi bantuan yang lebih besar ketimbang desa-desa lainnya. Kondisi ini menyebabkan kecemburuan masyarakat desa lainnya. 6.5.5. Masyarakat dengan LSM Konflik yang terjadi antara masyarakat dengan LSM disebabkan oleh adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap LSM-LSM yang meng-atasnamakan masyarakat untuk meminta pendanaan program kepada CHV, tetapi setelah bantuan program diturunkan bantuan itu tidak sampai kepada masyarakat. Hal tersebut menimbulkan protes dari masyarakat, Ini terjadi karena beberapa LSM menggunakan posisinya untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini tidak mengherankan karena realisasi program pengembangan masyarakat melibatkan dana yang relatif besar sehingga stakeholder yang terlibat berusaha mendapatkan keuntungan-keuntungan dari program ini. 6.5.6
LSM dengan LSM Konflik yang terjadi antara LSM dengan LSM disebabkan oleh adanya
perbedaankepentingan,
persaingan
baik
dalam
program
maupun
lokasi
pelaksanaan program. Pada sisi yang lain LSM, terutama LSM lokal melakukan dua peranan. Peranan yang pertama adalah mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi yang dilakukan perusahaan dan realisasi program pengembangan masyarakat. Sedangkan peranan yang kedua adalah menjadi
partner
perusahaan
untuk
menjalankan
program-program
152
pengembangan masyarakat, akan tetapi terkadang dua peran ini dilakukan oleh LSM yang berbeda, dan saling berhadapan sebagai LSM yang pro dan kontra. LSM yang mengontrol akibat-akibat buruk yang ditimbulkan dari proses produksi perusahaan biasanya dinggap sebagai LSM yang kontra perusahaan, sedangkan LSM yang menjadi partner perusahaan untuk menjalankan program-program pengembangan masyarakat dianggap sebagai LSM yang pro. Di Kecamatan Kabandungan konflik antar LSM lebih disebabkan oleh adanya konflik pribadi antara tokoh-tokoh pemuda yang rata-rata menjadi ketua LSM, sehingga konflik pribadinya mewarnai gerakan LSM yang di pimpinnya. Jadi secara substansial sebetulnya antara LSM-LSM tersebut tidak saling bertentangan, tetapi adanya masalah pribadi pemimpin yang di bawa masuk ke dalam organisasi yang membuat konflik terjadi. Contoh dari kasus seperti itu
misalnya LSM SRK yang pengurusnya
terlibat dalam konflik, dan pengurus yang dianggap bersalah di keluarkan dari organisasi, kemudian pengurus yang di pecat tersebut dengan dukungan tokoh pemuda lain yang sebelumnya tidak terakomodir dalam LSM SRK mendirikan LSM baru yaitu BRK dengan maksud untuk menjegal dan menyaingi LSM yang memecatnya dengan melaksanakan program yang sama dalam bidang yang sama.
Akhirnya masing-masing LSM berlomba secara tidak sehat (dengan
saling menjatuhkan) serta membuat program untuk mendapatkan dukungan dari CHV, jika salah satu LSM berhasil, maka LSM lain membuat program tandingan, kondisi seperti ini akhirnya berujung pada konflik terbuka yang melibatkan kekerasan fisik. Dilain pihak kondisi ini mendatangkan tudingan dari kalangan LSM kepada pihak CHV, bahwa pihak CHV telah melakukan politik adu-domba terhadap LSM-LSM lokal. Bentuk konflik dan sumber konflik yang terjadi antar LSM di Kecamatan Kabandungan seperti terlihat dalam Matriks 6. 3. berikut
Matriks 6. 3.
Bentuk konflik dan sumber konflik di Kecamatan Kabandungan
Pelaku konflik
Bentuk konflik
Sumber konflik
LSM Barak dengan LSM Sorak
Pemukulan fisik oleh anggota LSM Sorak terhadap anggota LSM Sorak Intimidasi oleh LSM Sorak kepada KPP
LSM Barak menganggap LSM Sorak menghalangi program mereka
LSM KPP dengan LSM Sorak
Sumber data
: Diolah dari hasil wawancara
LSM Sorak merasa CHV terlalu memperhatikan LSM KPP
153
6.5.7. Pemerintah Daerah dengan LSM Regulasi pemerintah yang di anggap tidak memihak rakyat menjadi salah satu penyebab konflik, dalam pengelolaan sumberdaya alam misalnya, LSM sebagai salah satu kekuatan kontrol sosial memandang kepentingan ekonomi masyarakat setempat dalam kepentingan konservasi (ekologi) kawasan tidak di akomodir oleh pemerintah, akhirnya menimbulkan tekanan dan ancaman terhadap sumberdaya alami kawasan.
Kondisi ini terjadi karena tidak ada
partisipasi dari masyarakat serta LSM lokal sebagai akibat dari tersentralisasinya sistem pengelolaan kawasan di tangan pemerintah (dephut/Perhutani/Pemda). Kebijakan otonomi daerah juga menjadi salah satu penyebab adanya konflik antara LSM dengan pemerintah, lahirnya Undang-undang Otonomi Daerah memberi ruang yang lebih besar kepada pemerintah daerah terutama pemerintah daerah Kabupaten
untuk mengelola sumberdaya alam di
wilayahnya, sehingga terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak (stakeholders) seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, BTNGH,pihak swasta, LSM serta Masyarakat. Dalam
bidang
pembangunan
wilayah,
LSM
juga
menyuarakan
ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam distribusi pembangunan misalnya rusaknya kondisi jembatan jalan di Kecamatan Kabandungan, disamping itu juga melakukan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
progrtam-program
yang
dilakukan oleh pemerintah di Kecamatan Kabandungan seperti pelaksanaan program Program BOS,PNPM, Program BLT dan program pemberdayaan lainnya. Pengawasan yang dilakukan kadang-kadang membuat institusi yang melaksanakan program merasa risih dan menolak kehadiran LSM sehingga berujung konflik. Disisi lain penolakan Institusi pelaksana program ini juga disebabkan karena adanya oknum LSM yang ”memeras” mereka dengan memanfaatkan kesalahan-kesalahan
yang
ada,
sehingga
mereka
beranggapan
bahwa
pengawasan yang dilakukan oleh LSM hanyalah mencari-cari jalan untuk ”memeras” pelaksana program. 6.6. Hubungan Program Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah Lokal Karaktaeristik wilayah Kecamatan Kabandungan jika ditinjau dari aspek kemajuannya termasuk wilayah yang belum berkembang, hal ini dicirikan oleh
154
tingkat pertumbuhan yang masih rendah baik secara absolut maupun secara secara relatif, serta kualitas sumber daya manusia rendah (SD / sederajat), namun
memiliki
potensi
sumberdaya
alam
yang
belum
dikelola
atau
dimanfaatkan. Dari jumlah penduduk yang mendiami juga masih rendah dimana tingkat kepadatan penduduk rata-rata adalah tiga jiwa/ha, selain itu juga wilayah Kecamatan Kabandungan belum memiliki asksesibilitas yang baik, baik antar wilayah dalam Kecamatan Kabandungan maupun dengan wilayah lainnya. Struktur ekonomi wilayah Kecamatan Kabandungan juga masih di dominasi oleh sektor primer dengan tingkat pendapatan yang rendah seingga belum mampu membiayai pembangunan secara mandiri. CHV sebagai salah satu perusahaan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Kabandungan melalui program pengembangan masyarakat yang dilaksanakannya juga telah memberikan bantuan dalam usaha peningkatan aksesibilitas yang diperlukan oleh masyarakat yaitu dengan membantu pengembangan/peningkatan
prasarana
perhubungan
seperti
memberikan
bantuan aspal untuk pengaspalan jalan desa, bantuan material untuk pembangunan MCK serta Sekolah. Tetapi karena bantuan yang diberikan hanya berupa material saja mengakibatkan kualitas sarana yang dibangun tersebut tidak sesuai sengan standar sehingga cepat rusak.
Berdasarkan hasil
wawancara dengan panitia pelaksana pembangunan, dalam beberapa kasus panitia menjual sebagian material bantuan dari CHV untuk membeli material lain yang di perlukan serta untuk membayar upah pekerja, sehingga material yang terpasang menjadi sangat sedikit dan dipaksakan untuk mencukupi. Dari uraian diatas, terlihat bahwa sebetulnya sudah ada upaya dari pihak CHV untuk berperan serta dalam usaha pengembangan wilayah, meskipun bantuan yang diberikan masih bersifat insidentil dan tidak terprogram. Kehadiran
CHV
di
Kecamatan
Kabandungan
belum
meberikan
perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan, hal ini terlihat dari masih terdapatnya daerah kantong-kantong kemiskinan di selitar lokasi perusahaan, rendanya penyerapan tenaga kerja lokal, program
pengembangan
masyarakat.
masyarakat
belum
menyentuh
semua
lapisan
155
6.7.
Analisis Badan Swasta Pembangunan Wilayah Keterlibatan
(frofit-maximizing
body)
Dalam
pihak swasta dalam pembangunan merupakan suatu
keharusan, karena badan swasta (frofit-maximizing body) merupakan salah satu pilar utama pembangunan disamping Pemerintah dan masyarakat, sesuai dengan konsepsi good governance yaitu State, society dan private sector. Program Pengembangan masyarakat adalah instrumen swasta untuk memasuki ”wilayah” pembangunan yang selama ini ”wilayah” tersebut menjadi domain negara/pemerintah. Pihak swasta harus
menyadari tanggungjawab sosial
perusahaan
(corporate social Responsibility / CSR) merupakan insentif bukan beban. Oleh karena itu pihak swasta perlu menjadi stakeholder yang potensial untuk melakukan kolaborasi dengan pihak pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan wilayah dimana persahaan beroperasi. Ditengah keterbatasan pembangunan prasarana yang dilakukan oleh pemerintah daerah, Kecamatan
CHV sebagai perusahaan yang beroperasi di wilayah
Kabandungan
seharusnya
dapat
mengisi
kekosongan
pembangunan, sehingga dapat berperan serta dalam pengembangan wilayah. Suatu unit usaha, terlepas dari besar atau kecilnya, maupun jenis dan bidang usaha yang digelutinya, tidaklah dapat dipisahkan dari pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang lainnya terutama Masyarakat disekitar daerah Operasi Perusahaan, karena hubungan yang baik dan harmonis antara Masyarakat sekitar dengan Perusahaan akan sangat berperan terhadap kelangsungan hidup serta kemajuan Perusahaan. Hubungan yang baik dan harmonis ini tentu saja tidak dapat diharapkan akan terjadi dengan sendirinya, tetapi hubungan yang baik dan harmonis ini harus didorong dan diciptakan oleh para pihak yang berkepentingan. Agar terjadi hubungan yang harmonis, maka harus diciptakan suatu hubungan timbal balik yang mempunyai nilai ekonomis dan dilandasi oleh kesetaraan antara perusahaan dengan Masyarakat sekitar, sehingga semua stakeholder dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama. Suatu Unit usaha dimanapun ia beroperasi
harus dapat memberikan
kontribusi kepada pembangunan ekonomi, peningkatan kualitas
hidup para
pekerja maupun Masyarakat disekitarnya serta mempunyai kepedulian terhadap pelestarian alam dan pemeliharaan lingkungan.
156
Program community development yang dijalankan oleh perusahaan tidak dengan sendirinya akan diterima atau ditolak oleh masyarakat secara keseluruhan. Program yang sedang dijalankan tersebut akan mendapat respon dan tanggapan yang berbeda-beda dari anggota masyarakat sesuai dengan sikap
dan persepsi masing-masing
dalam
menilai
program
community
development yang sedang dijalankan oleh perusahaan, apakah sesuai dengan kebutuhan masayarakat atau tidak.
6.8.
Ikhtisar Struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi menurut kelompok sektor
terlihat sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian Kabupaten Sukabumi yaitu sebesar 35.98 persen. pertanian didominasi oleh sub sektor pertanian tanaman.
Sektor
Sektor yang
peranannya kurang dari lima persen yaitu sektor Listrik, gas & air minum yaitu hanya 1.32persen; sektor bangunan & konstruksi 3.34 persen; sektor keuangan, persewaan & jasa perusahaan 3.25 persen; dan sektor Pertambangan dan Penggalian 3.36 persen. Semakin besar sumbangan suatu sektor terhadap PDRB, maka semakin besar pula pengaruh sektor tersebut di dalam perkembangan ekonomi suatu daerah. Sumbangan sektor pertanian terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi sangat besar, sehingga pertanian memegang peranan yang sangat penting di dalam perkembangan ekonomi Kabupaten Sukabumi
dibandingkan dengan
sektor-sektor yang lainnya. Dilihat dari sumbangan sektor-sektor perekonomian terhadap PDRB, maka kehadiran industri panas bumi belum memberikan dampak yang besar terhadap perekonomiam Kabupaten Sukabumi, hal ini terlihat dari rendahnya sumbangan sektor ini terhadap PDRB Kabupaten Sukabumi. Disamping itu kehadiran industri geothermal di Kecamatan Kabandungan belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar perusahaan hal ini terlihat dari banyakanya penduduk miskin di kecamatan Kabandungan (61,06 persen).
Meskipun keberadaan industri
geothermal memberikan kesempatan kerja kepada
masyarakat setempat,
namun masih dalam jumlah yang relatif kecil, karena sebagaian pekerja dari luar kecamatan Kabandungan (kurang dari 20 persen).
157
Kehadiran industri panas bumi belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar perusahaan. Hal ini disebabkan karena program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan lebih banyak di tujukan kepada pembangunan infrastruktur secara fisik, sedangkan sumberdaya manusia sebagai bagian penting dari kegiatan pembangunan belum mendapatkan porsi yang memadai. Tingginya tingkat harapan masyarakat terhadap perusahaan ditandai dengan besarnya permohonan bantuan kepada perusahaan, masyarakat menganggap bahwa perusahaan harus bertanggung jawab atas apapun permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sehingga pada akhirnya menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap perusahaan. Ketergantungan masyarakat
ini
merupakan
dampak
negatif
dari
pelaksanaan
program
pengembangan masyarakat. Pelaksanaan program pengambangan masyarakat yang dilaksanakan oleh perusahaan porsinya masih relatif kecil, dan cenderung tumpang tindih dengan program yang sedang dilaksanakan oleh CHV sendiri atau dengan program yang di laksanakan pemerintah. Hal tersebut diatas menunjukan masih rendahnya
pengoordinasian
dan
pengintegrasian
pengembangan masyarakat dengan program lain.
pelaksanaan
program
Pelaksanaan program
pengembangan masyarakat juga memicu konflik baik vertikal maupun horizontal.
158
Matriks 6.4.
No. 1
Ikhtisar Kontribusi Pelaksanaan Program Pengembangan Masyarakat Industri Panas Bumi Gunung Salak Terhadap Pengembangan Wilayah
Item Ekonomi lokal
Harapan
Kenyataan
Penjelasan
Terjadi pergeseran perekonomi lokal dan diversifikasi nafkah bagi masyarakat lokal serta memperoleh akses untuk menggali dan mengembangkan potensi sosial ekonominya serta mengelola beragam potensi untuk berkembang secara mandiri dan berkelanjuan. Sehingga dapat meningkatkan taraf hidup atau kesejahteraan masyarakat
Hanya beberapa orang/Kelompok yang mendapat keuntungan dari program yang dilaksanakan oleh perusahaan, terutama dalam bidang pertanian dan bantuan bergulir. Pemberian bantuan belum merata, masih terkonsentrasi didaerah-daerah tertentu
Kehadiran industri geothermal di Kecamatan Kabandungan belum menyebabkan terjadinya diversifikasi nafkah dalam masyarakat, secara keseluruhan belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar perusahaan, hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan Kabandungan yaitu sekitar 61,06 persen, dan merupakan jumlah prensentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi. Meskipun keberadaan industri geothermal memberikan kesempatan kerja kepada masyarakat setempat, namun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Hal ini disebabkan sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari luar daerah Kecamatan Kabandungan. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, terdapat beberapa program bantuan yang tidak sampai kepada masyarakat sasaran, bantuan hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang, Tokoh, kelompok atau LSM, hal ini terjadi karena adanya kesalahan dalam mengidentifikasi kelompokkelompok dalam masyarakat oleh CHV, disisi lain kesalahan juga berada di pihak masyarakat, karena masih terdapat Tokoh, kelompok atau LSM yang memanfaatkan bantuan-bantuan dan program dari CHV untuk kepentingan pribadinya.
159
2
Pengembangan infrastruktur kawasan
Meningkatnya pembangunan infrastrukutr wilayah sehingga dapat membantu berkembangnya potensi wilayah karena tersedianya infrastruktur yang memadai.
Sulit dibedakan bahwa pembangunan fasilitas infrastruktur kadang bukan ditujukan untuk masyarakat lokal semata namun untuk perusahaan sendiri. Pendirian dan perbaikan infrastrukutur transportasi jalan dan jembatan misalnya, pada tingkat tertentu sebenarnya ditujukan untuk memperlancar dan mempercepat jalannya lalulintas dan proses produksi perusahaan. Dengan demikian kalaupun fasilitas tersebut juga bermanfaat bagi masyarakat lokal, maka hal tersebut merupakan externality yang menguntungkan masyarakat lokal
Kebanyakan Industri yang berhubungan dengan sumberdaya alam terletak di daerah pedalaman (hinterland),Letak yang jauh ini sering menjadi penyebab minimnya porsi pembangunan yang diterima masyarakat sehingga tidak hanya menyebabkan ketertinggalan perkembangan fisik wilayah tetapi juga dapat menciptakan masyarakat marginal yang sulit untuk berkembang, serta semakin memperbesar disparitas antara wilayah maju dengan wilayah yang belum maju sehingga dalam proses pembangunannya menimbulkan ketergantungan terhadap wilayah yang sudah maju. Menurut Riyadi (2002), pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah bersangkutan karena kondisi sosial ekonomi,budaya dan geografis antara suatu wilayah dengan wilayah lain sangat berbeda. Dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, untuk menumbuhkan keberdayaan mesti bersandar pada aspirasi dan partisipasi masyarakat. Oleh karena itu konsep pengembangan masyarakat dapat digunakan sebagai pendekatan utama dalam pelaksanaan pembangunan wilayah. Salah satu strategi yang dapat dilaksanakan adalah meningkatkan kemitraan antara pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan. Penyelenggaraan pembangunan wilayah tidak semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah daerah saja, tetapi juga berada di pundak masyarakat secara keseluruhan. Salah satu wujud rasa tanggung jawab yang dimaksud adalah sikap mendukung dari warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pembangunan wilayah yang ditunjukkan dengan partisipasi aktif warga masyarakatnya dalam pengembangan masyarakat (Nasdian, 2002 dalam Wahyudin 2005).
160
No.
Item
Harapan
Kenyataan
Penjelasan
3
Keberlanjutan usaha ekonomi rakyat dari program pengembangan masyarakat
Berlanjut dan berkembang sesuai dengan kapasitas masyarakat.
Tidak berkelanjutan karena kedua belah pihak tidak amanah (committed) terhadap program yang di laksanakan.
Menurut Ife (2002), pengembangan masyarakat bertujuan untuk membangun kembali masyarakat dengan menempatkannya sebagai manusia yang saling berhubungan dan membutuhkan satu sama lain, bukan saling ketergantungan kepada yang lebih besar sehingga lebih tidak manusiawi, memiliki keteraturan mengenai kesejahteraan, perekonomian yang luas, birokrasi serta kemampuan untuk memilih. Agar program dapat berhasil maka harus ada komitmen baik dari masyarakat mapun perusahaan untuk melaksanakan program tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di temukan baynak program yang dilaksanakan berhenti di tengah jalan atau tidak ada kelanjutannya, hal ini disebabkan diantaranya karena perusahaan menarik kembali komitmennya atau kelompok/orang yang mengelola program tidak amanah.
4
Ekonomi regional
Dapat menyumbang secara Signifikan terhadap perekonomian regional, menyerap tenaga kerja serta meningkatkan kesejahteraan.
Sumbangan terhadap ekonomi regional masih kurang
Kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah masih relatif rendah. Hal ini terlihat dari Struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi dimana sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian kabupaten Sukabumi. Serta rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan Kabandungan yang merupakan populasi orang miskin terbesar se Kabupaten Sukabumi dan rendahnya kesempatan kerja untuk masyarakat lokal, karena sebagian besar pekerja berasal dari luar daerah.
Sumber : Hasil Penelitian
161
VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Kesimpulan
1. Program pengembangan masyarakat yang dilaksanakan oleh CHV antara lain meliputi bidang Pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, lingkungan, infrastruktur serta komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV dapat dibagi ke dalam dua periode, yaitu periode sebelum tahun 2000 dan periode setelah tahun 2000.
Program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV telah mengalami pergeseran, beberapa program telah berusaha untuk meningkatkan kapasitas masyarakat lokal, masyarakat mulai di libatkan walaupun baru diwakili oleh orang–orang tertentu saja,
namun secara umum realisasi
program masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan yang bersifat derma (karitatif).
Hasil
analisis
menunjukan
bahwa
pelaksanaan
program
pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV belum sesuai dengan best practice dalam pengembangan masyarakat, komitmen perusahaan terhadap pengembangan masyarakat masih rendah, Komitmen yang rendah itu tercermin dari: a. Struktur organisasi perusahaan, dimana bagian yang bertanggung jawab terhadap perencanaan dan pelaksanaan program pengembangan masyarakat hanya setingkat manager. b. Pelaksanaan program bersifat tidak berkelanjutan, bantuan yang diberikan kebanyakan berupa pembangunan fisik/infrastruktur. c. Laporan pelaksanaan program pengembangan yang di buat tidak transparan, sehingga sulit untuk mengukur peningkatan pelaksanaan program pengembangan masyarakat dari tahun ketahun. 2. Pelaksanaan program pengembangan masyarakat dapat menjadi penggerak bagi pengembangan wilayah, melalui pelaksanaan program pengembangan masyarakat, perusahaan dapat membantu wilayah untuk
berkembang.
Terdapat kontribusi dari pelaksanaan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh industri panas bumi Gunung Salak terhadap pengembangan wilayah, tetapi kontribusi tersebut masih sangat rendah dan belum sesuai dengan harapan, hal ini terjadi karena adanya kendala-kendala
162
dalam pelaksanaan program (lihat matriks 5.4 dan matriks 6.4). Kontribusi yang masih rendah terhadap pengembangan wilayah ini terlihat dari Struktur perekonomian Kabupaten Sukabumi, dimana sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat besar dalam perekonomian di bandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Disamping itu kehadiran industri geothermal di Kecamatan Kabandungan belum banyak memberikan perubahan terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat yang berada di lingkar perusahaan hal ini terlihat dari masih banyaknya keluarga miskin yang ada di Kecamatan Kabandungan yang mencapai 61,06 %, dan merupakan jumlah presentase keluarga miskin terbesar se-Kabupaten Sukabumi. Meskipun keberadaan industri geothermal memberikan kesempatan kerja kepada
masyarakat
setempat, namun masih dalam jumlah yang kecil (kurang dari 20%), sebagian besar karyawan perusahaan berasal dari luar daerah. 3. Pengordinasian dan pengintegrasian program dengan program lain masih lemah serta perusahaan masih pasif menunggu usulan program dari masyarakat. Program pengembangan masyarakat yang dilakukan juga mempunyai dampak negatif yaitu terjadinya ketergantungan masyarakat terhadap
perusahaan
serta
terdapatnya
kelompok-kelompok
dalam
masyarakat dan menimbulkan konflik yang melibatkan kelompok-kelompok tersebut. 4. Program pengembangan masyarakat hanya dilakukan di daerah tertentu saja yang dekat dengan lokasi perusahaan dan pelaksanaannya belum merata., Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Christaller (1930) dalam Rustiadi et.al (2005) tentang pembangunan wilayah dalam hubungannya dengan lokasi industri dan pertumbuhan perkotaan.
7.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, perlu di perhatikan
hal-hal sebagai berikut: 7.2.1.
Untuk Pengembangan Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Perdesaan Pelaksanaan program pengembangan masyarakat sangat di pengeruhi
oleh kondisi dari sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dimana program tersebut dijalankan, sehingga dalam pelaksanaan program pengembangan
163
masyarakat tidak hanya dititik beratkan pada programnya saja tetapi harus ada komunikasi yang baik dengan masyarakat. Program yang berhasil di suatu daerah belum tentu berhasil jika di terapkan di tempat lain,sehingga pola penanganan program pengembangan masyarakat di setiap daerah juga berbeda-beda. 7.2.2. Pihak Perusahaan 1. Perusahaan
harus
pengembangan
meningkatkan
masyarakat
dan
lagi
komitmen-nya
pengembangan
wilayah
terhadap di
mana
perusahaan beroperasi. 2. Dalam pelaksanaan program pengembangan masyarakat, perusahaan harus melibatkan partisipasi Masyarakat dan stakeholders lain dalam, penyusunan, pelaksanaan serta pengawasan program, sehingga program yang dijalankan benar-benar merupakan kebutuhan dan keinginan masyarakat serta untuk menghindari konflik dan benturan kepentingan. 3. Perlu di bentuk sebuah lembaga yang berfungsi menjembatani kepentingan perusahaan dan masyarakat dimana di dalamnya terdapat wakil-wakil masyarakat,
LSM,
pemerintah
serta
perusahaan
sehingga
dapat
menyatukan seluruh potensi yang ada dan juga dapat berfungsi sebagai media untuk saling berkomunikasi antar stakeholders, agar terdapat keterpaduan antar stakeholder serta keterpaduan proses mulai dari identifikasi
kebutuhan,
perencanaan
program,
pelaksanaan
dan
pengembangan sampai kepada membangun jejaring yang efektif. 4. Perusahaan
harus
menyelaraskan
serta
mengintegrasikan
program
pengembangan masyarakat yang dilakukannya dengan program-program pembangunan dilaksanakan di kecamatan Kabandungan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga lainnya. Sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan program lainnya, disamping itu untuk mendapatkan pengakuan dari masyarkat serta pemerintah setempat. Dalam hal ini perusahaan dapat menggunakan kegiatan musrenbang (musyawarah perencanaan pembangunan) baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan sebagai media untuk mengordinasikan program dan menjaring aspirasi masyarakat mengenai program-program yang dibutuhkan. 5. Evaluasi
dan monitoring terhadap pelaksanaan program pengembangan
masyarakat harus lebih ditingkatkan dengan melibatkan komponen-
164
komponen masyarakat, sehingga program yang dilaksanakan tepat sasaran dan berdampak sesuai dengan harapan, serta dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan program. 7.2.3. Pihak Pemerintah Daerah Sukabumi 1. Menciptakan payung hukum (perda tentang pengembangan masyarakat) yang dapat memayungi program kemitraan antara pemerintah daerah, industri dan masyarakat. 2. Melakukan evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan program pengembangan
masyarakat
oleh
perusahaan
dengan
melibatkan
masyarakat, sehingga program yang dilaksanakan berdampak sesuai dengan harapan, serta selaras dengan program pemerintah dalam melaksanakan pembangunan wilayah. 7.2.4. Pihak Desa dan Kecamatan Kabandungan Mensinergikan antara program pembangunan pemerintah dengan program pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan, sehingga program yang dilaksanakan dapat saling mendukung dan menguatkan. 7.2.5. Pihak Masyarakat 1. Menciptakan iklim yang baik bagi kelangsungan dunia usaha melalui kerjasama dengan perusahaan dalam usaha
peningkatan kesejahteraan
dan pengembangan wilayah. 2. Membentuk sikap mental mandiri dan tangguh untuk menolong diri sendiri (self help)
karena perusahaan bukanlah satu-satunya sumber, upaya
pengembangan masyarakat bukan hanya tanggung jawab perusahaan saja, melaikan merupakan tanggung jawab bersama. (committed) serta
Bertindak amanah
tidak memanfaatkan program-program bantuan untuk
kepentingan pribadi/kelompok dengan mengatasnamakan masyarakat. 3. Bersama stakeholder lain melakukan Evaluasi
dan monitoring terhadap
pelaksanaan program pengembangan masyarakat sehingga program yang dilaksanakan berdampak sesuai dengan harapan, serta dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program.
165
DAFTAR PUSTAKA Aman. 2002.Masyarakat Adat dan Pertambangan: Jalan Sesat Menuju Penyerahan Kedaulatan. Makalah Diskusi Panel Nasional: Memahami Persepsi Community Development di Sektor Pertambangan dan Migas Ditinjau dari Perspektif Otonomi Daerah May 14 2002. Yogyakarta, Azof. Iwan.S. 2002. Program Pengembangan Masyarakat Unocal Geothermal Of Indonesia,Ltd Di Daerah Gunung Salak. Makalah Diskusi Panel Nasional: Memahami Persepsi Community Development di Sektor Pertambangan dan Migas Ditinjau dari Perspektif Otonomi Daerah. , May 14 2002.. Yogyakarta Anonimous, 2003, Undang-undang RI Nomor 27 Tahun 2003 Tentang Panas Bumi Anonimous, 2004, Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Anonimous, 2007, Undang-Undang RI nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Adi. Isbandi Rukminto. 2001, Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas: Pengantar
pada pemikiran Masyarakat
dan
Pendekatan Praktis, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI Adisasmita. Rahardjo.H. 2005. Dasar – dasar Ekonomi Wilayah, Yogyakarta: Graha Ilmu Anwar. A. 2001. Kerangka Ekonomi Fundamental Dalam Menghadapi Masalah Pengelolaan Sumberdaya Alam. Makalah Bahan Kuliah Program Studi Ilmu
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Program
Pascasarjana IPB. Bogor. Anwar A, Rustiadi E. 2001. Pembangunan Tata Ruang Wilayah Pedesaan Dalam Pembangunan Regional. Bahan Kuliah Perencanaan Sistem Ekonomi Tata Ruang, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Pasca Sarjana IPB. Bogor. Asy’ari.Sapari Imam. 1993. Sosiologi Kota dan Desa, Surabaya: Usaha Nasional. Bungin. Burhan 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Metode Aplikasi. Jakarta: Raja Grafindo.
166
Chevron Geothermal Salak,Ltd. 2006. Laporan dan Program Community Development dan Relation Chevron Geothermal Salak,Ltd .2005-2006. Christenson. James A ,Robinson JR, Jerry W. 1989. Community Development in Perspective, Ames: Iowa State University Press. BPS Kabupaten Sukabumi .2006. Sukabumi Dalam Angka. Budiharsono. S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita Budimanta A. 2003. Prinsip Pengelolaan Community Developoment di Dunia Pertambangan. Indonesia. Jakarta: Center fot Sustainable Development (ICSD). Pustaka Sinar Harapan. IKAPI. Dawkins C.J. 2003. Regional Development Theory: Conseptual Foundations, Classic Works, and Recent Developments. Journal of Planning Literature. Vol. 18/2. pp. 131-172. Sage Publications. Ellis F .2000. Rural Livelihoods and Diversity in Developing Countries. Oxford: Oxford University Press. Fisher RJ, Durst PB. Enters T ,M. Victor. 2001.
Overview of the issues in
devolution and decentralization of forest management in Asia and the facific, B angkok: RAP publication. Haeruman H,Eriyanto. 2001. Kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal, Bogor :Yayasan Mitra Pengembangan Desa-Kota dan Business Inovation Centre of Indonesia.. Hamzah, Hasnawati. 2005. Dampak Kegiatan Pertambangan Terhadap Pengembangan Wilayah: Kasus di Kota Bontang dan Kabupaten Kutai timur Provinsi Kalimantan Timur. tesis Pasca Sarjana IPB.Bogor. Hikmat Harry. 2004, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama. Hendrapawoko Kunto. 2008. Perlunya Peningkatan Peran Internal Audit Dalam Good Corporate Governance (GCG) Melalui Evaluasi Implementasi Corporate Sosial Responsibility (CSR) di PT. ANTAM Tbk. Makalah seminar. Tidak dipublikasikan. Ife Jim. 2002. Community Development: Community Based Alternatives In An Age Of Globalization, Australia: Pearson Education. Karsyono, F dan N. Syafaat. 2000. Strategi Pembagunan Pertanian yang Berorientasi Pemerataan di Tingkat Petani, Sektoral dan Wilayah. Prosiding Persfektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam
167
Otonomi Daerah. , Bogor :Badan Litbang. Departemen Pertanian dan Kehutanan. Kartodiharjo H,
H Jhamtani. 2006 . Politik Lingkungan Dan Kekuasaan Di
Indonesia. Jakarta. PT.
Equinox
Publishing
Indonesia.
Khairuddin.
2000.
Pembangunan
Masyarakat, Yogyakarta: Liberty Marzali A. 2003. Teknik Identifikasi Kebutuhan dalam Community Development Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. IKAPI. Mitchell, B.,B. Setiawan dan D.H. rahmi. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Yogyakarta :Gadjah Mada University Press. Muhammad. Cholid. 2000. Reformasi Kebijakan Pertambangan Indonesia Suatu Kebutuhan Mendesak. Ndraha
Taliziduhu.
1987,
Pembangunan
Masyarakat:
Mempersiapkan
Masyarakat Tinggal Landas, Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, Iwan. dan Dahuri, Rokhmin 1999. Pembangunan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Parker, SR. et Al. 1992. Sosiologi Industri, Jakarta; Rineka Cipta Putnam, Robert. 1995. Tuning In, Tuning Out : The Strange Disappearance of Social Capital in America. Political Studies Vol. 4 No. 28. Ross. Murray G. 1955. Community Organization. H New York harper and Brother.. Roy, S.B. 1992.
Bilateral Matching Institution: an Illustration in forest
conservation. J. Indian Anthrop. Soc. 27:253-262. Riyadi dan Bratakusumah ,DS. 2003. Perencanaan Pembangunan Daerah : Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Daerah. Jakarta : PT Gramedia PustakaUtama. Rukminto, Isbandi. 2001. Pemberdayaan Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas: Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis. Jakarta. Lembaga Penerbitan FE-UI. Rustiadi, et.al. 2005, Perencanaan dan pengembangan wilayah. Bahan kuliah tata ruang program studi PWD, Pasca Sarjana IPB. Bogor. Soesilo, Nining I. 2002, Manajemen Strategik di Sektor Publik (Pendekatan Praktis) Buku III, Jakarta : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi UI.
168
Soetrisno,
Loekman.1995,
Menuju
Masyarakat
Partisipatif,
Yogyakarta:
Kanisius. Sundawati, L dan Trison,Soni. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Kemitraan Untuk Pembaruan Tata-Kelola Pemerintahan Desa. Bogor : LPPM-IPB bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia-UNDP. Sumodiningrat, Gunawan. 1996. Pembangunan Daerah Dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta :Bina Rena Pariwara. Suparlan, P., 2003. Manajemen Konflik dalam pengelolaan Community Development. Jakarta.Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Pustaka Sinar Harapan. IKAPI. Jakarta. Supardian. 2005,Pengembangan Masyarakat Dalam Industri Geothermal, tesis Pasca Sarjana IPB.Bogor. Sutrisno
Anas M. Fauzi dan Purwiyanto Hariyadi. 2001.
kemitraan dalam Pengembangan Ekonomi Lokal.
Kelembagaan Yayasan Mitra
Pengembangan Desa-Kota dan Business Inovation Centre of Indonesia. Bunga Rampai. Tadjudin, Djuhendi, 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor.:Pustaka Latin, Todaro, Michael P. and Smith,Stephen C.2004, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga,Jakarta; Erlangga. Trijono, Lambang. 2001: “Strategi Pemberdayaan Komunitas Lokal : Menuju Kemandirian Daerah”. Dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Vol 5 No 2 Nopember 2001. Uphoff, Norman T. and Milton J. Esman. 1974. Local organizaation for rural development: Analysis Of Asian Experience.
Special Series On Rural
Local Government. Ithaca: Cornel University. Wahyuningsih, Rina,Potensi Dan Wilayah Kerja Pertambangan Panas Bumi di Indonesia, Kolokium Hasil Lapangan , 2005 Wahyudin, 2005. Strategi Mensinergikan Program-program Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah, tesis Pasca Sarjana IPB.Bogor. www.jabar.go.id (Kominfo-Newsroom). Chevron geothermal Salak digandeng menggali panas bumi. 28 Juni 2007
Lampiran 1
Chevron Geothermal Salak,Ltd.
Kab. Bogor
Kab. Lebak Kecamatan
Cisolok
PROPINSI JAWA BARAT
Sukabumi
Peta Wilayah Penelitian
170
Lampiran 2. Quesioner untuk responden mengenai Pelaksanaan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh CHV
Nama : Umur : Instansi : Jabatan : Menurut pendapat anda bagaimanakah pelaksanaan program community development yang telah dilakukan oleh Chevron dalam bidang: 1. Pendidikan
2. Kesehatan
3. Pemberdayaan Ekonomi Lokal
4. Lingkungan
171
5. Infrastruktur
6. Komunikasi dan hubungan sosial dengan masyarakat
...............................,..................................
..................................................................
172
Lampiran 3. Program Tahunan Community Engagement CGS
No 1
2
CE Group Pendidikan
Kesehatan
Judul Program
Deskripsi Program
Beasiswa untuk murid SMA dan Universitas
CGS akan membantu beasiswa untuk 10 murid SMA dan 4 mahasiswa universitas, beasiswa akan diberikan sampai mereka lulus sekolah
Banatuan fasilitas sekolah (meja,bangku/ meubelair ,papan tulis dan sebagainya)
CGS akan membantu untuk renovasi 2 SD dan membantu pembangunan 2 ruang kelas baru SMA di dua kecamatan
Kursus bagi pengajar untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan
Membantu persiapan kursus dengan mengundang instruktur professional untuk pembelajaran yang lebih spesifik
Bauku-buku baru untuk perpusatakaan umum
CGS akan membantu untuk memberikan 3.000 buku untuk 3 perpustakaan
Renovasi sekolah/bangunan baru
CGS akan membantu untuk merenovasi 2 SD dan membantu pembangunan 2 kelas baru SMA di 2 Kecamatan
Kontes pidato bahasa Inggris
dalam
Untuk meningkatkan pengetahuan yang lebih baik dalam bahasa Inggris. CGS akan membantu melaksanakan kontes pidato dalam bahasa Inggris
Pelayanan bantuan kesehatan umum
Program bantuan kesehatan di dua kecamatan yaitu berupa pelayanan pemerikasaan gigi dan opersi kecil
Bantuan fasilitas kesehatan dan obatobatan untuk masyarakat
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dengan menyediakan peralatan kesehatan dan obat-obatan
Training untuk perawat dan sukarelawan (kader kesehatan)
Untuk mengurangi tingkat kematian ibu dan anak karena pertolongan dukun bayi. Diharapkan dengan training dapat meningkatkan kedewasaan (improve maturity)
173
3
Pemberdayaan Ekonomi Lokal
Lingkungan
Kampanye kesehatan
Untuk mengurangi peyekit kulit yang mewabah akibat kondisi lingkungan yang kurang sehat
Renovasi Puskesmas/Posyandu
Beberpa pusat pelayanan kesehatan masyarakatkan kondisinya sudah tidak layak dan memerlukan renovasi
Menyediakan umum
MCK
Menyediakan bantuan untuk masyarakat lokal untuk meningkatkan sanitasi lingkungan dan peningkatan kualitas MCK tradisional
Training meningkatkan kemampuan
untuk
CGS bekerjasama dengan pusat pelatihan setempat (pemda) mengadakan pelatihan/kursus yang tepat untuk masyarakat yang dibutuhkan oleh pasar
Program pengembangan usaha kecil dan mikro(UKM), lembaga Keuangan mikro (LKM)
Menbantu meningkatkan dan memudahkan produksi dan pemasaran produk yang dihasilkan oleh masyarakat serta akses modal untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat
Pengembangan kegiatan yang menguntungkan melalui kolaborasi dari berbagai stakeholder (partisipasi aktif)
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap CGS serta meningkatkan rasa memiliki masyarakat pada program/proyek yang mereka kerjakan
Reforestasi sekitar perusahaan
kawasan operasi
CGS mengimplemntasikan program pengijauan dengan menyediakan bantuan bibit tanaman penghijauan dan keperluan lainnya kepada masyarakat sekitar operasii perusahaan
Menyediakan bibit tanaman untuk mendukung kegiatan reforestasi setempat
Dalam rangka Kepedulian terhadap hutan lindung, CGS menyediakan bantuan bibit tanaman kepada masyarakat setempat dalam rangka mendukung reforestasi
Promosi health,environmental and safety (HES) kepada masyarakat
Mempromosikan dan menyebarkan informasi tentang kesehatan, keselamatan kerja dan lindung lingkungan kepada masyarakat setempat.
174
Infrastruktur
Komunikasi
Mendukung program forum peduli lingkungan
CGS mendukung program lingkungan melalui program peduli lingkungan
Mendukung biodiversity
CGS memberikan bantuan untuk mendukung program biodiversity
program
Renovasi fasilitas umum
Menyediakan bantuan material untuk membangun/merenovasi fasilitas umum
Pembangunan irigasi/saluran air
Bekerjasama dengan masyarakat dalam penyediaan air bersih, pengelolaan sumber air dan pemanfaatannya
Perbaikan jalan
Membantu material untuk peningkatan/perbaikan jalan di desa sekitar untuk meningkatkan akses.
Pembuatan/perbaikan jembatan
Membantu material untuk peningkatan/perbaikan jalan di desa sekitar untuk meningkatkan akses.
Bantuan terhadap korban bencana alam
Memberikan bantuan korban bencana alam
Pertemuan informal
dan
Pertemuan di maksudkan untuk menyampaikan informasiinformasi yana up to date dan untuk meningkatkan hubungan yang baik dengan masyarakat
Kunjungan ke lapangan tempat operasi perusahaan atau ke tempat lain
Untuk mempromosikan serta meningkatkan hubungan yang lebih baik antara perusahaan dengan pihak-pihak lain(pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat dan lain-lain)
formal
Pertandingan persahabatan
kepada
Meningkatkan persahabatan dan kerja sama dengan masyarakat melalui sarana olah raga Sumber: Salak Community Engagement Report CVR,Ltd.
175
Lampiran 4.
Struktur Organisasi Community Affairs CHV
Presiden
GM Operations Jakarta
Gunung Salak
Salak Geothermal Manager
Comunity Affairs Manager
Sumber: Laporan dan Program Community Development dan Relation Geothermal Salak,Ltd .2005-2006.
Chevron
176
Lampiran. 5 Struktur organisasi pengelolaan CSR PT. Antam, Tbk
Director General Affairs and Corporate Social Responsibility
Senior Manager Corporate Social Responsibility
Senior Manager General Affairs and External Relation
ASM Community Development
ASM Post Mining
Sumber: Hendrapawoko,2008
ASM General Affairs
ASM External Relations
177
Lampiran 6. Kronologis Pelaksanaan Program Community Development CVR Di Kecamatan Kabandungan Kabupaten Sukabumi
PENGEMBANGAN PROYEK PERIODE <1979 1980-1989
KEGIATAN
MASALAH YANG MUNCUL
PROGRAM CD YANG DILAKSANAKAN
PIHAK YANG TERLIBAT
DAMPAK
JUMLAH DANA
MEKANISME PROGRAM
Eksplorasi • 1982 Ditandatangani Kontrak antara Pertamina, PLN dan Union 1983 – 1986 Proses studi rona awal lingkungan dan pengajuan proposal pembuktian 230 MW ke Pertamina • 1989 Penyusunan AMDAL dan mengajukan proposal pengembangan sebesar 110 MW ke Pertamina
1990-1999
• Pencemaran air sungai yang digunakan oleh penduduk untuk usaha perikanan • Penduduk menuntut ganti rugi
Ganti rugi kepada para pemilk kolam
• Tokoh-tokoh formal • Para pemilik kolam
• 1994 Unocal memulai operasi secara komersial sebesar 110 MW
Program-program masih bersifat charitatif
Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat)
• 1994 Diajukan proposal pengembangan ke Pertamina sebesar 220 MW
Mulai diadakan program yang mengarah ke pemberdayaan kelompok
Para pemimpin formal (Kepala Desa,Camat), Tokoh Masyarakat serta tokoh Pemuda.
Masyarakat merasa senang
Kepala desa menghitung jumlah kerugian yang diderita oleh masyarakat, kemudian mengajukan penggantian lepada preusan Memberikan bantuan acaraacara keagamaan dan perayaan hari besar nasional Pembentukan kelompok-kelompok masyarakat, tetapi masih terbatas didaerah-daerah terdekat dengan
178
lokasi peusahaan • 1997 Unocal geothermal Indonesia,Ltd. (UGI) melakukan operasi secara komersial sebesar 330 MW. • 1998 Renegosiasi Kontrak
2000-2007
• 2002 kontrak diamandemen dan disetujui oleh para pihak
Muncul tuntutan dari LSM lokal, dengan tuntutan: 1. Perekrutan tenaga kerja lokal 2. pemberdayaan masyarakat lokal 3. adanya tanggung jawab lingkungan dari Unocal 4. penyediaan fasilitas BLK untuk meningkatkan keterampilan/skil l masyarakat lokal
• Pengembangan Usaha pertanian • Usaha-usaha penghijauan • Pembangunan dalam bidang infrastruktur (pos yandu, perbaikan jalan dan jembatan) • Pembetukan kelompokkelompok pemberdayaan • Dombanisasi • Bantuan gen-set untuk para pemulung bangbung(kumba ng) • Pembangunan Lapangan Olah raga
• • • • • •
• 2005
Muncul kembali tuntutan yang
• Bantuan
• Ketua kelompok
LSM FORIDA Tokoh masyarakat Kelompok tani Kelompok Pemuda PPLH-IPB INRR
• Dengan Munculnya LSM FORIDA, mendorong munculnya LSM-LSM lokal lain yang mengadvok asi masyarakat • Munculnya kelompokkelompok kepentingan dalam masyarakat
Belum berdampak
Masing-masing kelompok mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.
Masing-masing kelompok
179
Diakuisisi oleh Chevron Pacific Indonesia (CPI) menjadi Chevron Geohermal Salak,Ltd.
disuarakan oleh LSM lokal mengenai issu-issu seputar: 1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan Masyarakat 3. Peningkatan kesejahteraan dan ekonomi 4. Lingkungan 5. peningkatan kesempatan berusaha
pembangunan infra struktur • Bantuan untuk kelompok tani
• LSM • Ketua Pemuda
terhadap peningkatan ekonomi dan kesejahteraa n masyarakat
• 2007
Muncul kembali tuntutan yang disuarakan oleh LSM lokal mengenai issu-issu seputar: 1. Tenaga Kerja 2. Pemberdayaan Masyarakat 3. Peningkatan kesejahteraan dan ekonomi 4. Pingkungan 5. peningkatan kesempatan berusaha
• Bantuan pembangunan infra struktur • Bantuan untuk kelompok tani • Pembentukan UKM dan LKM
• • • •
Belum berdampak secara signifikan terhadap kesejahteraa n masyarakat
Sumber: Hasil wawancara dengan responden
LSM KPP KKMD PNM CGS
mengajukan proposal kegiatan sendiri-sendiri.
Diperkirak an Rp. 5 M
Proposal harus disetujui oleh kepala desa dan camat
180
Lampiran 7
GLOSSARY AMDAL Antam Aspak 213 Barak BBM BUMN BLK BLT BOS BPD BP Migas BPN BPS 0 C CGS CHV CI CSR Dephut DO dpl ECOSOC GCG GRI GWe Ha HAM HIV/AIDS IUP JK3GS K3 Kadus Kandepag Kg KM KK KPP LSM LBD MWe NAPZA PAD PDRB Pemda Perda PIN
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Analisis mengenai dampak lingkungan Aneka Tambang, Tbk Asosiasi pemuda antar kedusunan 1, 2 dan 3 (LSM) Barisan Rakyat Kecamatan Kabandungan (LSM) Bahan bakar minyak Badan usaha milik negara Balai latihan kerja Bantuan langsung tunai Bantuan operasional sekolah Badan permusyawaratan desa Badan Pelaksana minyak dan gas Badan pertanahan nasional Badan pusat statistik Derajat celcius Chevron geothermal salak, Ltd. Chevron geothermal salak, Ltd. Concervation international Corporate social resposibility Departemen kehutanan Drop out Diatas permukaan laut Economic social council (UN) Good corporate governance Global reporting initiative Giga watt electric hektar Hak azasi manusia Human imuno defeciency virus/acquired imuno defeciency syndrom Izin usaha penambangan Jaringan kerjasama konservasi kawasan gunung Salak Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kepala dusun Kantor departemen agama Kilogram Kilometer Kepala keluarga Komunitas peduli pendidikan (LSM) Lembaga swadaya masyarakat Local business development Mega watt electric Narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya Pendapatan asli daerah Product domestic regional brutto Pemerintah daerah Peraturan daerah Pekan imunisasi nasional
181
PKBL P3LH PLTA PLTD PLTU PMA PMKS PMT PNBP PNPM PNS FPED PT PTP VIII Pustu PwC RSUD RT RW RT/RW SDM Sorak TNCs TNGHS UGI UN UU
: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :
Program kemitraan dan bina lingkungan Pemuda peduli pelestarian lingkunganhidup (LSM) Pembangkit listrik tenaga air Pembangkit listrik tenaga diesel Pembangkit listrik tenaga uap Penanaman modal asing Penyandang masalah kesejahteraan sosial Program makanan tambahan Penerimaan negara bukan pajak Program nasional pemberdayaan masyarakat Pegawai negeri sipil Forum pemuda empat desa (LSM) Perseroan terbatas Perseroan terbatas Perkebunan wilayah 8 (BUMN) Pusat kesehatan masyarakat pembantu Price water house coopers Rumah sakit umum daerah Rukun tetangga Rukun warga Rencana tata ruang dan tata wilayah Sumberdaya manusia Solidaritas rakyat kecamatam Kabanungan (LSM) Trans national corporations Taman nasional gunung Halimun-Salak Unocal geothermal of Indonesia,Ltd United nataions Undang-undang