1
Pengembangan Kawasan Perdesaan dalam RTRW berbasis Karakter lokal dan Lingkungannya Oleh : Baba Barus, Didiet O. Pribadi, Andi S. Putra, O.Rusdiana, dan Setia hadi (Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah) LPPM IPB, Baranang Siang, Bogor, Email penulis pertama :
[email protected]; Hp : 081383600745
I. PENDAHULUAN Menurut UU No 26, tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang diwujudkan dalam bentuk struktur dan pola ruang. Tata ruang ini merupakan gambaran situasi, fenomena atau keadaan mengenai pemanfaatan ruang. Penataan ruang secara filosofis adalah upaya intervensi manusia khususnya untuk ruang publik karena akan dipakai bersama sehingga dapat berkelanjutan. Intervensi ini perlu dilakukan karena mekanisme pasar tidak bekerja sempurna dan juga karena adanya kegagalan mekanisme secara alami. Hal-hal yang harus diatur (a) secara langsung adalah sumber daya publik, sumberdaya pribadi terkait publik, dan (b) pengaturan tidak langsung sumberdaya non-fisik, terkait dengan kepentingan umum. Hal-hal yang perlu diatur secara tidak langsung terkait dengan keamanan dari bencana dan kelaparan, dll, kenyamanan, keadilan dan keberimbangan, ketertiban dan kerteraturan, produktivitas wilayah dan kepastian. Kegagalan dalam mengatur kepentingan publik maka dapat mengancam keberlanjutan pemanfaatan ruang. Sejak diluncurkan UU penataan ruang terbaru, maka sebagian sudah terbentuk 12 perda RTRW provinsi (36%), 95 perda RTRW kabupaten (24%) dan 33 perda RTRW Kota (36%) (status bulan Maret 2011). Secara legal substansi sudah lebih banyak mendapatkan persetujuan dari badan kordinasi tata ruang nasional. Bentuk yang sudah mendapat persetujuan secara legal secara substansi ini ada kemungkinan belum benar secara teknis khususnya dikaitkan dengan adanya hambatan dalam pemahaman substansi penataan ruang oleh pembuat dan keberadaan data yang dipakai. Jika dilihat secara formal keberadaan data yang diperlukan untuk menyusun substansi membutuhkan data spesifik yang saat ini belum tersedia di seluruh Indonesia baik untuk data dasar maupun data tematik. Contoh sederhana adalah penentuan rencana ruang berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Dari pengkajian cepat pada beberapa dokumen RTTW ternyata tidak melakukan perhitungan secara tepat. Idealnya setiap penentuan zonasi ruang maka didasarkan berbasis daya dukungnya, baik untuk kawasan lindung dan budidaya (Lihat Gambar 1). Secara fisik pembagian kawasan ini terlihat dalam dokumen dan juga di lapangan. Dalam kawasan lindung juga ada kemungkinan ditemukan aktivitas budidaya, dan dalam kawasan budidaya ditemukan adanya daerah berfungsi lindung. Sedangkan Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan (sasaran makalah ini) tidak secara fisik dibatasi tetapi dikaitkan dengan fungsi utamanya. Kawasan “Perdesaan” adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi untuk pemukman pedesaan, pelayan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Wilayah pertanian merupakan bentuk dominan aktivitas yang ada di kawasan pertanian yang membutuhkan
2 pengelolaan yang sesuai dengan kemampuannya yang merupakan keunggulan komparatif. Kawasan perdesaan ini di kehidupan nyata merupakan daerah yang dominan berupa pertanian, perkebunan, kehutanan, dan juga industri berbasis sumberdaya yang ada. Secara fisik kawasan perdesaan juga mempunyai kedekatan dengan Kawasan lindung, sehingga diduga akan ada intraksi antara kedua wilayah ini. Jika ada intraksi maka hendaknya penduduk di kawasan perdesaan juga ikut dalam mengawal kawasan tersebut.
Gambar 1. Ilustrasi Peta Rencana Pola Ruang Wiiayah (pengaturan ruang dapat bervariasi sesuai dengan keberadaan sifat lingkungan dan lainnya)
Gambar 2. Ilustrasi Peta Rencana Pola dan Struktur Ruang (pengaturan ruang dan struktur dapat bervariasi sesuai keberadaan sifat lingkungan dan lainnya)
3 Secara umum dalam penyusunan struktur ruang, maka intraksi antara kawasan didisain melalui pembuatan pusat pengembangan dan jaringan transportasi. Gambar 2 mengilustrasikan bahwa pusat hierarki pengembangan akan berada di Kawasan Perkotaan, dan hirarki lainnya menyusul dan secara umum Kawasan Perdesaan akan mempunyai hirarki lebih rendah. Hal ini juga tercermin dalam keberadaan infrastruktur transportasi dan fasilitas lainnya. Jika mengacu dalam penyusunan pola ruang berbasis daya dukung, maka idealnya penyusunan hirarki dan infrastruktur juga berbasis daya dukung atau sesuai dengan fungsi. Ilustrasi yang disajikan khususnya dalam kaitan dengan adanya hirarki dan infrastruktur dapat dipertanyakan apakah sudah mencerminkan mendukung fungsi setiap zona yang dibuat. Misalnya daerah pertanian yang maju mungkin akan memerlukan sarana transportasi yang sangat baik untuk mendukung aliran produknya yang cenderung bersifat ‘berat’ tetapi mudah ‘busuk’. Berarti status infrastrukturnya harus mendukungnya. Kalau tidak, maka daerah ini juga akan tidak berkembang. Juga kawasan lain seperti kawasan lindung, sehingga idealnya untuk ini diperlukan perencanaan pemanfaatan ruang yang memandang pola dan struktur sebagian sistem (Gambar 3).
Gambar 3. Ilustrasi pembagian peran kawasan dalam RTRW secara sistem internal Gambar 3 merupakan ilustrasi adanya 3 (tiga) kawasan dalam RTRW yaitu kawasan lindung, kawasan perkotaan, dan kawasan perdesaan, yang semuanya mempunyai peran utama yang berbeda, dan kemungkinan ada wilayah transisi. Dalam kenyataannya di lapangan ada kalanya batas ini tidak mudah dipisahkan. Khusus untuk kawasan perdesaan dan kawasan lindung umumnya intraksi di lapangan lebih kuat, sehingga sampai batas tertentu sebagian kehidupan penduduk di kawasan perdesaan juga masuk ke kawasan lindung (kawasan lindung jarang berbatasan dengan kawasan perkotaan). Dalam kaitan sistem, intraksi kawasan lindung, perdesaan dan perkotaan sejauh ini dibangun dari infrastruktur, yang secara konseptual harusnya juga memperhitungkan akan keberadaan intraksi karena fungsi lingkungan, misalnya kawasan lindung akan menyediakan jasa air dan udara segar ke kawasan lainnya.
4 Kawasan perdesaan atau pertanian akan mensuplai kebutuhan tertentu ke kawasan perkotaan, dan kawasan perkotaan mensupai produk tertentu ke kawasan perdesaan, dan lindung. Gangguan dalam satu subsistem akan menganggu subsistem lainnya (Barus dan Didit, 2009). Apakah hal ini sudah tercermin dalam perencanaan ruang secara umum di Indonesia ? Apakah pengembangan Kawasan perdesaan sudah dilakukan secara adil dibandingkan dengan Kawasan Perkotaan ?? atau dalam konteks lebih luas, apakah intraksi dalam skala lebih luas juga diperhatikan dalam penyusunan RTRW kabupaten ? Bagaiman hubungan dengan skala perencanaan yang lebih luas ??
II. RTRW SEBAGAI DOKUMEN PERENCANAAN Seperti sudah disampaikan sebelumnya, maka sebagai dokumen perencanaan maka pemanfaatan kawasan harus sesuai dengan rencana yang dibuat. Secara umum kawasan lindung ditujukan untuk keperluan publik dan lingkungan, yang jika tidak diatur dapat merugikan publik dan atau menimbulkan kerusakan atau bencana, sedangkan kawasan budidaya ditujukan untuk keperluan parapihak (pemerintah, usaha, dan masyarakat) yang keperluannya berbeda dan dalam pemanfaatannya tidak mengganggu keberadaan kawasan lindung. Dokumen RTRW Kabupaten sebagai bahan perencanaan perlu dibuat lebih jelas melalui pengembangan kawasan pedesaan yang salah satunya menjadi dokumen rencana rinci di tingkat kabupaten, yang dicerminkan dengan berbagai zonasi ruang rencanan pemanfaatan. Dalam UU No 26 tahun 2007 pasal 48, jika dilakukan penataan ruang kawasan perdesaan, maka akan diarahkan untuk : 1. Pemberdayaan masyarakat perdesaan; dalam penjelasan ditegaskan hal ini ditujukan untuk memperkuat kelembagaan perekonomian perdesaan, dan juga dapat dibuat lebih jauh seperti mendukung sistem tatanan yang sudah ada khususnya yang baik dan konstruktif. Proses pemberdayaan masyaralat perdesaan ini dalam prakteknya sering tidak tepat, misalnya dilakukan secara tidak langsung. Misalnya dalam pemanfaatan sumberdaya lokal, maka dididik masyarakat khusus dalam peningkatan produksi, tetapi dalam pemasaran diserahkan ke pihak lain, atau dalam membentuk produk lanjutan maka yang dididik pihak non petani. Jika pendekatan ini dilakukan maka nilai tambah akan diperoleh oleh keluarga non-produsen pertanian atau perdesaan. Jika pada akhirnya petani tidak mau berproduksi atau lahannya dikonversi karena tidak mensejahterakan, maka usaha yang sudah dilakukan dalam pengembangan industri pedesaan adalah gagal. 2. Pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya; Kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya, dapat dimaknakan pemanfaatan ruang sesuai dengan kemampuannya, dan produktivitasnya juga memperhitungkan kepentingan lebih luas selain di lokasinya. Hal yang nyata dalam ini adalah kawasan lindung, yang salah satu fungsinya sebagai sumber pasokan air ke kawasan budidaya yang harus terjaga; atau kawasan produktif sebagai sumberdaya ekonomi yang menyediakan lowongan kerja, atau sumber pangan ke penduduk setempat atau lainnya.
5
3. Konservasi sumber daya alam; Lokasi ini mudah ditentukan dalam RTRW melalui pengembangan kawasan berfungsi lindung; tetapi hal ini sebagian sudah ada dalam kawasan lindung, sehingga sistem konservasinya akan lebih terbatas. Yang mungkin perlu dikembangkan adalah bagaimana supaya adanya peran dari komunitas perdesaan ikut dalam pengelolaan kawasan lindung atau sejenis. Hal ini perlu dipertimbangkan mengingat saat ini pengamanan kawasan lindung yang dilakukan oleh pemerintah semakin sulit karena keterbatasan sumberdaya manusia. Konsep Island of biogeografi tidak tepat lagi diterapkan. 4. Pelestarian warisan budaya lokal; Budidaya lokal merupakan cerminan dari sistem adaptasi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdayanya. Sumberdaya warisan budaya yang dapat dikaitkan dengan sifat fisik relatif mudah diadopsi ke penataan ruang, sedangkan yang bersifat non-fisik memerlukan proses tertentu sehingga dapat diadopsi. Secara umum warisan yang sudah diadopsi adalah menjadikannya sebagai kawasan berfungsi lindung (heritage area), tetapi sebenarnya juga dapat dalam bentuk lain. 5. Pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan Lahan pertanian pangan diperlukan untuk mendukung produksi pangan di Indonesia dan merupakan usaha strategis. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan dapat diarahkan menjadi kawasan strategis di level pedesaan atau lebih besar, sehingga isu ketahanan pangan, kemandirian dan kedaulatan pangan dapat dilaksanakan. Istilah yang diadopsi dalam UU No 41 , 2009 adalah lahan atau kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B). Di dokumen RTRW lebih rinci atau disusun kawasan strategisnya dapat dilakukan dengan berbagai proses dan tahapan yang spesifik; yang pada akhirnya diharapkan dapat mendukung kesejahteraan masyarakat. Bentuk KP2B ini mudah diterjemahkan di lapangan dan dokumen, hanya konsekuensinya yang harus diperhitungkan seperti insentif dan disinsentif terkait dengan lahan yang dipertahankan, atau konversi atau lainnya (Rustiadi dan Wafda, 2008). Saat ini tantangan terbesar dalam menjaga lahan pangan adalah konversi lahan. Beberapa tahun lalu sebelum munculnya UU 26, 2007 maka 30 persen konversi sawah akan disebabkan oleh rencana ruang; dan diharapkan hal ini tidak terjadi lagi. 6. Penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. Penempatan fungsi daerah perdesaan dan perkotaan yang tepat seyogyanya membuat kedua kawasan ini berkembang, dengan asumsi fungsi kawasan lindung juga dijaga. Upaya membuat keseimbangan ini hendaknya dilihat dalam kebutuhan secara utuh, karena kenyataan saat ini pembangunan infrastruktur di kedua kawasan ini relatif timpang sehingga memunculkan berbagai masalah. Sejauh ini muncul pandangan bahwa kawasan perdesaan adalah inferior terhadap kawasan perkotaan yang seharusnya tidak terjadi. Idealnya semua kebutuhan pengembangan perdesaan seperti infrastruktur yang mendukung perdesaan tersedia; atau yang lebih progresif seperti juga dinyatakan dalam UU Penataan ruang dalam pembangunan daerah agropolitan. Secara ringkas dalam konteks perencanaan ruang, atau pemanfaatan dan pengendalian ruang disusun tabel matriks berikut.
6
Tabel 1. Usulan terjemahan pengembangan perdesaan dalam Penataan Ruang Tujuan
Perencanaan
Pemanfaatan
Pengendalian
A. Pemberdayaan masyarakat
Akomodasi tatanan yang sudah ada (perencanaan partisitatif)
Aturan lokal
Kontrol lokal dan tidak bertentangan dengan diatasnya
B. Kualitas lingkungan lokal dan tetangga
Daya dukung lokal dan regional untuk menguatkan keunggulan komparatif
Sesuai kemampuan
Semi kontrol
C. konservasi sumberdaya alam
Kaw lindung
Spesifik dan terbatas
Terkontrol
D. Pelestarian budaya lokal
Kaw lindung (heritage)
Spesifik dan terbatas
Terkontrol
E. Lahan pangan berkelanjutan
LP2B, KP2B, LCP2B
Insentif dan disinsentif dan sanksi
Terkontrol
F. Keseimbangan pembangunan kota dan desa
Seharusnya seimbang Membangun dengan status sama dalam ruang
Peran masingmasing nyata
Semi kontrol
Dari tabel matrik terlihat untuk tujuan komponen C dan D sudah diketahui dan diterjemahkan ke perencanaan ruang dengan baik, karena menyangkut penentuan kawasan berfungsi lindung. Sedangkan tujuan B dan E sedang dicoba dijalankan melalui penentuan zonasi berbasis kemampuan lahan atau daya dukung wilayah dan berbagai parameter lainnya. Saat ini dalam penentuan zonasi perntukan lahan pertimbangan kesesuaian fisik sudah dijalankan; sedangkan usaha menjaga lahan sawah sudah menjadi kepedulian pemerintah dan juga sedang mengarah ke perencanaan yang lebih operasional. Untuk mencapai tujuan A dan F lebih sulit karena lebih kompleks, mengingat diperlukan keterlibatan masyarakat secara lebih komprehesif dan perlu dikombinasikan dengan kepentingan dan petimbangan lainnya.. III. EVALUASI PEMANFAATAN RUANG 3.1. Evaluasi daya dukung dalam perencanaan dan pemanfaatan ruang a. Daya dukung setempat Dalam penyusunan dokumen rencana ruang maka disyaratkan sudah memperhitungkan daya dukung lingkungan, dan salah satunya adalah melalui evaluasi kemampuan lahan (atau keseseuaian lahan), yang secara esklisit di syaratkan dalam UU No 26, 2007 dan UU 32, 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dan didukung dalam Permen KLH No 17, 2009, tentang Daya Dukung Lingkungan Hidup. Daya dukung (dan daya tampung) ini dilihat dari aspek fisik lahan, air dan sosial – ekonomi. Penentuan zonasi peruntukan akan disesuaikan dengan pertimbangan bahwa lahan yang mempunyai kemampuan terbatas akan diarahkan ke penggunaan yang bersifat tidak intensif, dan bila perlu diarahkan ke kawasan berfungsi lindung. Dalam pedoman ini maka kelas kemampuan lahan yang rendah (seperti kelas 6,7,8, lihat pedoman penentuan daya dukung lahan dalam. PermenLH 17 , 2009) akan
7 disarankan menjadi kawasan berfungsi lindung. Sedangkan kelas lain dapat diarahkan ke berbagai pilihan lain sesuai dengan kepentingan atau peran faktor lain. Dari beberapa studi kasus yang penulis jumpai, maka sebagian dokumen RTRW yang lama adalah tidak melakukan analisis daya dukung fisik secara baik; dan pada era saat ini sebagian hambatan berada dari keberadaan data. b. Pertimbangan lingkungan eksternal (luar lokasi) Penentuan daya dukung dari sisi kemampuan lahan hanya memperhitungkan secara langsung di lokasi tersebut, dan secara tidak langsung ke aspek lain. Secara fisik hubungan yang sering dilihat adalah dalam kaitan dengan air atau kajian dalam lingkup daerah aliran sungai, khususnya dalam penentuan daya dukung air. Adakalanya daya dukung air untuk tujuan setempat masih cukup, tetapi jika dilihat dalam ruang lingkup lebih besar dapat tidak memadai lagi atau untuk tujuan lain adalah tidak sesuai. Penentuan daya dukung untuk eksternal ini juga perlu dilakukan dari sisi sosial dan ekonomi. Kemandirian secara ekonomi biasanya akan terkait dengan tenaga kerja yang sering berasal dari daerah lain. Dalam konteks pengembangan perdesaan, peran suatu kawasan pertanian dalam sistem produksi atau budidaya untuk mendukung perkotaan adalah layak diperhitungkan. Dalam kenyataan yang ada, maka perhitungan eksternal ini masih lemah, mulai dari melihat apa yang dikembangkan oleh kota atau kabupaten berdampingan, apalagi dalam kaitan dengan intraksi yang lebih luas.
3.2. Pemanfaatan ruang perdesaan berdasarkan peraturan PP No 15, 2010 Sejauh ini dalam pengembangan kawasan perdesaan yang jika diterjemahkan secara peraturan maka dapat dilakukan dalam kaiatan dengan Penyelenggaran Penataan Ruang Kawasan Perdesaan dapat merupakan kawasan strategis nasional, kawasan strategis provinsi, dan/atau kawasan strategis kabupaten (pasal 71). Untuk mempertegas kawasan Perdesaan maka dibuat kriteria sebagai berikut (Pasal 73) yaitu merupakan daerah yang : a). berfungsi sebagai kawasan produksi pertanian kabupaten; b) mempunyai sistem jaringan prasarana pendukung kegiatan pertanian; c) adanya aglomerasi penduduk yang bermata pencaharian petani, nelayan, penambang rakyat, atau pengrajin kecil; d) mempunyai tatanan nilai budaya lokal dan berfungsi sebagai penyangga budaya dan lingkungan hidup bagi wilayahnya; e) kegiatan utama pertanian dan pengelolaan sumber daya alam termasuk perikanan tangkap; f). susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan termasuk kawasan transmigrasi, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi; g). kerapatan sistem permukiman dan penduduk yang rendah; dan h). bentang alam berciri pola ruang pertanian dan lingkungan alami. Salah satu bentuk pengembangan kawasan perdesaan menurut peraturan ini adalah pengembangan kawasan agropolitan dengan kriteria (Pasal 74) seperti berikut: a). Kawasan perdesaan pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agrobisnis yang mampu melayani, menarik, dan mendorong kegiatan agrobisnis di wilayah sekitarnya; b). Kawasan perdesaan yang mempunyai kondisi geomorfologi, iklim, dan topografi yang mendukung kegiatan agribisnis di kawasan agropolitan; dan
8 c). Kawasan perdesaan yang memiliki dukungan kelembagaan yang mengembangkan kegiatan agribisnis.
3.3. Fakta pengembangan kawasan pedesaan a. Pengembangan agropolitan Berbagai lokasi Kawasan Agropolitan sudah dikembangkan di Indonesia yang sebagian disusun berdasarkan kebutuhan wilayah setempat melalui pembuatan perencanaan induk pengembangan komoditas tertentu, yang mungkin penyusunannya dilakukan sebelum RTRW selesai atau kebalikannya. Dari berbagai lokasi perencanaan pengembangan berbasis komoditas terdapat variasi kemajuan, tetapi umumnya lokasi yang maju ini sangat ditentukan oleh keberadaan infrastruktur yang mendukung pengembangan komoditas tersebut (Rustiadi dan Pranoto, 2006). Fakta menunjukkan kawasan pertanian belum tentu menjadi sektor yang mendapatkan keuntungan di wilayah tersebut tetapi keuntungannya terdapat diwilayah lain, yang sebagian hal ini terjadi karena infrastruktur penciptaan nilai tambah berada di wilayah lain. Di Jawa Kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB secara signifikan hanya terjadi di kota kecil dan menengah, bukan di sentra produksi (Andi, 2012) (Gambar 4). Hal ini juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia seperti di Sumut atau Sulsel
Gambar 4. Daerah berwarna merah menunjukkan beberapa daerah yang kontribusi pertanian ke PDRB relatif besar tetapi bukan daerah pertanian
b. Perencanaan dan pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik Perencanaan dan / atau pemanfaatan yang tidak sesuai dengan daya dukung fisik lingkungan masih terjadi dalam perencanaan ruang yang baru (dan tentu yang lama). Perencanaan seperti ini tentu tidak akan menghasilkan pembangunan yang berkelanjutan atau mensejahterakan masyarakat di masa yang akan datang. Potensi terjadinya bencana tidak akan terelakkan dimasa yang akan datang. Sebagian perencanan yang ada adalah mencoba mengadopsi penggunaan atau pemanfaatan yang sudah ada, tanpa mengindahkan daya dukung fisik. Upaya ini kemungkinan besar dilakukan untuk aspek praktis saja supaya tidak mendapatkan tolakan dari komunitas tertentu, tetapi pada akhirnya lokasi tersebut juga akan rusak
9 dan juga berdampak ke wilayah lain (lihat Gambar 5 dan Gambar 6a). Idealnya dilakukan revisi perencanaan ruang yang mengadopsi isu tersebut.
Gambar 5. Kenampakan a) penggunaan lahan, b) kemampuan lahan dan c) evaluasinya dan d) usulan revisi RTRW di Aceh Besar (sumber: P4W dan KLH, 2009), yang menunjukkan sebagian penggunaan ruang tidak sesuai daya dukung (kemampuan lahan). Hal ini valid untuk pengembangan kawasan perdesaan.
c. Pengembangan Lahan Pertanian Berkelanjutan (LP2B atau KP2B) Untuk pengembangan kawasan perdesaan, salah satu yang eksplisit yang menjadi tujuan adalah mempertahankan daerah pertanian pangan berkelanjutan. Melalui UU No 41, 2009, sudah diarahkan ke perlunya penetapan lahan (LP2B), lahan cadangan (LCP2B) dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan (KP2B); yang semuanya disusun dalam RTRW rinci, sedangkan dalam RTRW sebagai indikasi. Untuk menyusun hal yang dimaksud dalam UU No 41 tersebut maka disusun berbagai persyaratan fisik, sosial dan ekonomi. Dari ujicoba yang dilakukan penulis, maka penggunaan parameter kesesuaian lahan, infrastruktur irigasi, produktivitas, keinginan masyarakat, dan prediksi pertumbuhan penduduk relatif mudah dilakukan, sedangkan untuk akomodasi dari ekonomi secara ekonomi masih perlu pengkajian lebih spesifik (Barus dkk, 2010). Di Kabupaten Garut, upaya penentuan LP2B, KP2B relatif mudah dengan pendekatan kriteria fisik, produktivitas dan infrastruktur dan persepsi (Lihat Gambar 6). Hanya untuk menghitung keuntungan yang layak untuk mempertahankan lahan sawah perlu dilihat dari sisi kesejahteraan masyarakat; dan hal ini dapat dilakukan atau dikonversikan ke besaran insentif yang layak diberikan untuk setiap peranan petani dengan berbagai kategori. Sejauh ini rencana lebih detil belum dilakukan dengan alasan tertentu seperti status poduksi masih surplus untuk kebutuhan lokal atau karena isu lain terkait dengan keperluan konversi lebih mudah dilakukan jika tidak disusun dalam dokumen rinci. Dalam jangka pendek, untuk pembangunan perdesaan dimana ditemukan banyak lahan sawah, maka diperlukan secara cepat penyusunan insenitif sehingga petani akan menghasilkan produktivitas yang tinggi atau tidak mengkonversikan lahan sawahnya ke penggunaan lain.
10
Gambar 6. a) Pemanfaatan ruang yang dievaluasi dengan kemampuan lahan, b) Lahan sawah dan usulan KP2B di Kabupaten Garut (Sumber Barus, dkk, 2010).
IV. USULAN PENGEMBANGAN KAWASAN PEDESAAN Untuk pengembangan kawasan perdesaan dalam kaitan dengan penataan ruang, maka disarankan beberapa hal sebagai berikut : 4.1. Secara filosofis / konsep Saat ini perlu perubahan pandangan dalam pengembangan kawasan dari pandangan kawasan perkotaan lebih utama dibandingkan kawasan lain. Dalam hal ini semua kawasan mempunyai peran spesifik dan berbagai sarana pendukungnya hendaknya dipenuhi sehingga berkembang. Intraksi antara kawasan perlu dikalkulasi dengan baik, dan diseimbangkan, sehingga semua kawasan merupakan daerah yang nyaman untuk dihuni. 4.2. Prinsip utama yang perlu dilakukan Ada 2 program alternatif yang perlu dilakukan yaitu: a. Mendorong pengembangan industri pedesaan berbasis sumber daya lokal. Dalam hal ini pengembangan berbasis keunggulan komparatif harus diutamakan karena sudah akan lebih mudah diterapkan, dibandingkan pengembangan dari sisi manusia dan teknolog. Terjemahan secara operasional adalah berdasarkan daya dukung. Hambatan sejauh ini datang dari manusia dan infrastruktur dan kepemilikan lahan kecil (tidak ekonomis). Upaya menekan hambatan perlu dilakukan b. Menginternalisasikan jasa-jasa lingkungan. Konsep ini juga sesuai dengan daya dukung lingkungan seperti yang disarankan dalam perundangan, tetapi mempunyai hambatan karena sebagai kawasan lindung dan sejenisnya adalah dikuasai oleh negara dan masyarakat masih terisolasi dalam pengelolaannya. Sampai saat ini masalah ketimpangan juga terjadi sehingga sebagian masyarakat menjarah kawasan lindung ini. Berarti isu perlunya lahan menjadi penting khususnya dari sisi penguasaan (dan bukan dari pemilikan). Sistem penguasaan ke masyarakat di sekitar kawasan lindung perlu dikembangkan.
11
4.3. Pengembangan berbasis komoditas Pengembangan agropolitan dalam UU penataan ruang sebagai salah satu solusi pengembangan kawasan perdesaan, yang sudah dilakukan di beberapa wilayah, dengan tingkat keberhasilan bervariasi. Sejauh ini diperlukan perencanaan induk yang benar, dan pengembangan SDM dan lembaga yang kuat. Selain itu pengembangan infrastruktur sesuai kebutuhan industri dan jasa di level pedesaan mutlak dilakukan. Kenyataan yang ada bahwa saat ini - infrastruktur pedesaan ini tidak dibangun; malah yang ada semakin rusak dan perlunya pengembangan SDMi.
V. PENUTUP Dari ulasan yang sudah disampaikan sebelumnya maka untuk pengembangan kawasan perdesaan yang ideal dan sudah berjalan saat ini dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Dalam penyusunan RTRW untuk kawasan perkotaan dan perdesaan saat ini dalam pelaksanaannya lebih mengembangkan kawasan perkotaan dan belum seimbang dan ini mengancam pembangunan secara keseluruhan 2. Kawasan perdesaan perlu dikembangkan secara selaras dengan pengembangan perkotaan dengan melihat kebutuhan peran dan fungsi secara utuh 3. Sebagian tujuan pengembangan perdesaan di penataan ruang sudah/mudah diterjemahkan dalam praktek melalui penentuan kawasan lindung di RTRW (untuk konservari dan budidaya lokal), sedang (KP2B dan daya dukung) dan relatif sulit (partisipasi masyarakat dan keseimbangan kota –desa) 4. Ada 2 (dua) ide utama untuk pengembangan perdesaan yaitu: pengembangan industri lokal dan pemanfaatan jasa lingkungan, yang semuanya terkait dengan keunggulan komparatif lokal atau daya dukung wilayah yang membutuhkan perbaikan dalam SDM. 5. Pengembangan perdesaan berbasis sumberdaya lokal saat ini masih mengalami hambatan terutama dari infrastruktur dan SDM
DAFTAR REFERENSI 1. Anonim, 2006. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Direktorat Pangan dan Pertanian, Bappenas 2. Barus, B. Dan Didit, O.P. 2009. Pengembangan Ecovillage dalam Rangka Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Dalam Pengembangan Model Ecovillage (editor E. Sunarti).. LPPM IPB 3. Barus, B, D. Panuju, LS Iman, Bambang H.T. 2010. Pemetaan Lahan Sawah untuk mendukung Pengembangan Kebijakan Pertanian di Kabupaten Garut. P4W dan Pemda Garut 4. Rustiadi, E dan S. Pranoto, 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Pedesaan. Crespent Press. 5. UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Departemen Pekerjaan Umum 6. UU No 41, tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Departemen Pertanian. 7. Rustiadi, E dan R. Wafda, 2008. Urgensi Pengembangan Lahan Pertanian Pangan Abadi dalam Persfektif Ketahanan Pangan. Dalam Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan (editor S. Arsyad dan E. Rustiadi). Yayasan Obor