PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR BERBASIS KOMUNITAS LOKAL
(STUDI KASUS KELOMPOK PENGELOLA KAWASAN WISATA “SAMUDERA BARU” DI DESA SUNGAIBUNTU, KECAMATAN PEDES, KABUPATEN KARAWANG, PROPINSI JAWA BARAT)
ENI SUPRIYATIN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
ABSTRAK
ENI SUPRIYATIN, Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal. Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh : ARYA HADI DHARMAWAN sebagai ketua, CAROLINA NITIMIHARDJO sebagai anggota komisi pembimbing. Pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal melalui penguatan kelembagaan merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan keberlanjutan kawasan wisata yang didukung oleh semua pihak dengan memadukan harapan-harapan antara Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan stakeholders, dalam hal ini yaitu kelembagaan komunitas lokal, meliputi kelembagaan BPD, LPM, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda serta kelembagaan pemerintah, meliputi Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. Kajian ini bertujuan untuk memahami profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” yang dapat menopang keberlanjutan kawasan wisata, mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi kelembagaan tersebut serta menyusun alternatif solusi terhadap permasalahan tersebut serta menyusun strategi pengembangan masyarakat secara partisipatif melalui penguatan kelembagaan bagi pelestarian lingkungan atau kawasan wisata. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat ini melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) Observasi, (2) Wawancara mendalam, (3) Studi dokumentasi dan (4) Diskusi kelompok. Hasil kajian terhadap profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ditinjau dari aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama dan pengetahuan telah menimbulkan isu kritis terkait dengan munculnya fenomena prostitusi, kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan, intransparancy manajemen, non responsiveness kelompok pengelola terhadap harapan dan aspirasi komunitas serta adanya potential conflict keagrariaan Keberlanjutan kawasan wisata dapat terwujud apabila terdapat keseimbangan antara aspek-aspek ekonomi, sosial, ekologis dan keagrariaan. Berdasarkan analisis profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan isu-isu kritis yang terjadi menunjukkan bahwa kelompok telah mampu menunjukkan keberfungsiaan secara ekonomi. Telah tumbuh inisiatif, gagasan dan pemikiran terkait dengan aspek-aspek sosial, ekologis dan keagraiaan meskipun belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan program penguatan bagi individu yang terikat dalam wadah Kelompok Pengelola Wisata Samudera Baru, program penguatan kelompok dan program penguatan jejaring dengan komunitas dan stakeholders melalui suatu “co-management”. Melalui perumusan program-program tersebut diharapkan dapat terwujud pengembangan kawasan wisata pesisir yang didukung oleh komunitas dan stakeholders sehingga pengembangan kawasan tersebut dapat tetap berkelanjutan.
ABSTRACT
ENI SUPRIYATIN. Development of coastal tourism area based on the local community. Case study of group organizer of coastal tourism area “Samudera Baru” in Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupatern Karawang, West Java. Guided by : ARYA HADI DHARMAWAN as chief, CAROLINA NITIMIHARDJO as member counsellor commission. Development of coastal tourism area based on the local community through reinforcement institutionalism approach is one alternative to realize the sustainable of tourism activity has been supported by all party in community, with combine the expectation of between group of organizer of coastal tourism area and stakeholders; in this case that local community institutions, covering institute are BPD, LPM, religion figure, ellite figure and figure of young fellow and also govermental institute, covering are sie. PMD. UPTD PKP of Kecamatan Pedes and on Departemen Penerangan, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karwang. This study aim to comprehend the profile institue of organizer of coastal tourism area “Samudera Baru” which can sustained the continueing of tourism area, identifying problem faced by the institutions and also compile the solution altenative to the problems and the strategy of community development partisipatively through institutions reinforcement for continuation of environment or tourism area. Research methode used in this community development study is qualitative approach. Technique fo data collecting used by 1) observation, (2) circumstantial interview (3) documentation study, and (4) group discussion. Result of study to profile of group of organizer of coastal tourism area “Samudera Baru” evaluated from target aspect are leadership, division duty and role, pattern of relation and communication, cooperation and knowledge have generated the relevant critical issue with the appearance of prostitution phenomenon, damage of beauty of environmental continuity, intranparancy management and non responsiveness of organizer group to expectation and community aspiration and also the existence of potential agrariant conflict. Continueing of tourism area can be existed by if there are balance among of aspect are economic, social, ecological and agrariant. Pursuant to analysis of group of organizer of tourism are “Samudera Baru” and critical issue that happened indicate that the group have been able to show the economical function, have growed the initiative, relevant opinion and idea with the aspect are social, ecological and agrariant through not yet been supported by optimal effort. Pursuant to mentioned is hence formulated by a reinforcement program for individual trussed in basin of organizer of coastal tourism area “Samudera Baru”, a reinforcement program for the group and networking between the community and stakeholders through “co- management”. Through the programs formulated expected can be existed a development of coastal tourism area supported by community and stakeholders so that the tourism area development can fixed have continuation.
Goals of a study to understanding profile the “Samudera Baru’s” a group of managerial the beach tourism can of....................problem identification and to design an alterntive solution and to design a community development strategy to reach a sustainable the beach tourism development. Reseach methode has used qualitative approach. Data collecting technich has used (1) observation, (2) deep interview (3) documentation study, (4) group discussion
Kajian ini bertujuan untuk memahami profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” yang dapat menopang keberlanjutan kawasan wisata, mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi kelembagaan tersebut serta menyusun alternatif solusi terhadap permasalahan tersebut serta menyusun strategi pengembangan masyarakat secara partisipatif melalui penguatan kelembagaan bagi pelestarian lingkungan atau kawasan wisata. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian pengembangan masyarakat ini melalui pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah (1) Observasi, (2) Wawancara mendalam, (3) Studi dokumentasi dan (4) Diskusi kelompok.
A sustainable of the beach tourism development can be reached if .......equlibrium by....................economic, social, ecology and...............................aspect. Keberlanjutan kawasan wisata dapat terwujud apabila terdapat keseimbangan antara aspek-aspek ekonomi, sosial, ekologis dan keagrariaan. Berdasarkan analisis profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan isu-isu kritis yang terjadi menunjukkan bahwa kelompok telah mampu menunjukkan keberfungsiaan secara ekonomi. Telah tumbuh inisiatif, gagasan dan pemikiran terkait dengan aspek-aspek sosial, ekologis dan keagraiaan meskipun belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal. Berdasarkan hal tersebut, maka dirumuskan program penguatan bagi individu yang terikat dalam wadah Kelompok Pengelola Wisata Samudera Baru, program penguatan kelompok dan program penguatan jejaring
subdistrict Pedes, regency Karawang, West Java province
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir dengan judul Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal (Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain yang telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas ini.
Bogor, Oktober 2006
Eni Supriyatin NRP. A154050065
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya
PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR BERBASIS KOMUNITAS LOKAL
(STUDI KASUS KELOMPOK PENGELOLA KAWASAN WISATA “SAMUDERA BARU” DI DESA SUNGAIBUNTU, KECAMATAN PEDES, KABUPATEN KARAWANG, PROPINSI JAWA BARAT)
ENI SUPRIYATIN
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul
: PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR BERBASIS KOMUNITAS LOKAL (Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat)
Nama Nrp.
: Eni Supriyatin : A154050065
Disetujui, Komisi Pembimbing :
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua
Dr. Carolina Nitimihardjo, MS. Anggota
Diketahui : Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat
Dr. Ir. Juara P. Lubis, MS
Tanggal Ujian : 29 November 2006
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Alloh SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis mendapat kesempatan
untuk mengikuti Pendidikan
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor hingga dapat menyelesaikan penulisan Kajian Pengembangan Masyarakat. Penulisan Kajian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Profesional
Pengembangan
Masyarakat.
Judul
laporan
Kajian
Pengembangan Masyarakat ini, yaitu Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal. Studi Kasus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Penulisan Kajian ini dapat diselesaikan tidak luput dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moral maupun material bagi penyelesaian Kajian Pengembangan Masyarakat ini, diantaranya kepada : 1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan. MSc.Agr, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Ibu Dr. Carolina Nitimihardjo, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan Kajian Pengembangan Masyarakat. 2. Dr. Ir. Juara P. Lubis, MS selaku Ketua Program Studi Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (IPB). 3. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). 4. Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS selaku Dosen Penguji di Luar Komisi yang telah memberikan masukan yang berarti bagi kelengkapan Kajian ini. 5. Drs. Ade Sudiana selaku Camat Kecamatan Pedes dan Bapak Sukarta selaku Kasie. PMD Kecamatan Pedes. 6. Suharyadi, SH selaku Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Karawang. 7. Bapak Sutisna selaku Kepala UPTD Perikanan Kelautan dan Peternakan Kecamatan Pedes.
8. Bapak Tata Husein selaku Kepala Desa Sungaibuntu merangkap Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” beserta anggota kelompok. 9. Bapak Sukandi selaku Ketua BPD dan Bapak Nian Abdullah selaku Ketua LPM,
tokoh
agama,
tokoh
masyarakat
serta
tokoh
pemuda
Desa
Sungaibuntu. 10. Ibunda Astuti dan Ayahanda Ma’en Ahmad Yusuf (alm.) serta adik-adikku tercinta : Evi Indriati, Edy Suyitno dan Eli Gusmayadi yang senantiasa memberikan suluh semangat dalam menjalani kehidupan ini. 11. Ibunda Mertua Hjh. Imas Kartini, Ma ‘Enan, Ayah Ucu, kakak-kakak dan adik-adik yang senantiasa memberikan waktu dan perhatian bagi penulis dan keluarga. 12. Suami terkasih, Ir. Ichwan Fadjaruddin serta anak-anakku tersayang Adityaji Fachry Izharuddin (Adit) dan Adyatna Asykur Ramadyana (Adya) yang senantiasa
memberikan
dukungan
dan
menghidupkan
suasana
dari
keletihan. 13. Sahabat-sahabat dan rekan-rekan kerja di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Lembang, Bandung yang senantiasa memberikan perhatian serta dukungan. 14. Sahabat-sahabat dan rekan-rekan MPM Angkatan III-2005 yang telah bersama-sama mengisi waktu menjalani studi dengan keceriaan, perjuangan dan kerja keras. 15. Pihak-pihak lain yang tidak penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Kajian ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian, semoga Kajian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang akan mengadakan penelitian lebih lanjut dan semoga dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan terkait dengan permasalahan pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal melalui penguatan kelembagaan.
Bogor,
November 2006
Eni Supriyatin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat pada tanggal 25 Maret 1968 dari pasangan Ibu Astuti dan Bapak Ma’en Ahmad Yusuf. Penulis menyelesaikan Pendidikan Sekolah Dasar Negeri Karang Mulya di Desa Karangjaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang
pada tahun 1981;
Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Rengasdengklok di Kabupaten Karawang pada tahun 1984; Sekolah Menengah Atas Negeri 1 di Kabupaten Purwakarta pada tahun 1987 dan STKS Bandung Program S1 pada tahun 1992. Pada akhir tahun 1992 penulis menikah dengan Ir. Ichwan Fadjaruddin dan dikaruniai dua orang putera, yaitu Adityaji Fachry Izharuddin (Adit) lahir pada 23 Juni 1995 dan Adyatna Asykur Ramadyana (Adya) lahir pada 1 Desember 2000. Sejak tahun 1996 sampai dengan saat ini, penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Lembang, Bandung.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xi DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xiii DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xiv I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1.1. Latar Belakang.................................................................................. 1.2. Ruang Lingkup................................................................................. 1.3. Masalah Kajian.................................................................................. 1.4. Tujuan Kajian.................................................................................... 1.5. Kegunaan Kajian..............................................................................
1 2 6 7 9 9
II. KERANGKA KAJIAN................................................................................11 2.1. Komunitas Pesisir............................................................................11 2.2. Pariwisata......................................................................................... 13 2.2.1. Pengertian................................................................................ 13 2.2.2. Dampak.................................................................................... 16 2.2.3. Pariwisata secara Tepat........................................................... 17 2.2.4. Perkembangan......................................................................... 18 2.3. Kelembagaan, Modal Sosial dan Gerakan Sosial .........................20 2.3.1. Kelembagaan...........................................................................20 2.3.1.1. Pengertian................................................................... 20 2.3.1.2. Norma-norma Masyarakat............................................23 2.3.1.3. Kontrol atau Pegendalian Sosial….............................. 25 2.3.2. Modal Sosial........................................................................ 26 2.3.3. Gerakan Sosial…………………………………………………….28 2.4. Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi.................................. 30 2.5. Pembangunan Berkelanjutan..........................................................31 2.6. Analisis Relevansi Pekerjaan Sosial, Kelembagaan dan Pembangunan Berkelanjutan...................................................36 2.7. Penguatan Kapasitas Kelompok.....................................................43 2.8. Kerangka Analisis.............................................................................45 III. METODE KAJIAN....................................................................................48 3.1. Batas-batas Kajian ......................................................................... 48 3.2. Strategi Kajian ................................................................................ 48 3.3 Tempat dan Alasan Pemilihan Komunitas.................................... 49 3.4. Waktu Kajian.................................................................................... 50 3.5. Metode Pegumpulan Data dan Analisis Data ...............................50 3.6. Metode Analisis untuk SetiapTujuan.............................................52 3.7. Rancangan Analisis dan Penyusunan Program...........................55 IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS PESISIR DESA SUNGAIBUNTU…………58 4.1. Lokasi...............................................................................................58 4.2. Kependudukan............................................................................... 60 4.2.1. Komposisi dan Piramida Penduduk........................................60 4.2.2. Gerak Penduduk.....................................................................63
viii
Halaman 4.3. Sistem Sosial Budaya........................................................................ 4.3.1. Sistem Kekerabatan.................................................................. 4.3.2. Pendidikan.................................................................................. 4.3.3. Kesehatan................................................................................. 4.4.4. Agama dan Suku Bangsa.......................................................... 4.4.5. Kesejahteraan Sosial................................................................. 4.4. Sistem Ekonomi................................................................................. 4.5. Struktur Komunitas............................................................................ 4.5.1. Pelapisan Sosial....................................................................... 4.5.2. Kepemimpinan........................................................................... 4.5.3. Tanggapan Masyarakat terhadap Kepemimpinan..................... 4.5.4. Jejaring Sosial dalam Komunitas............................................... 4.6. Organisasi dan Kelembagaan.......................................................... 4.6.1. Lembaga Kemasyarakatan....................................................... 4.6.2. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga................................................. 4.6.3. Proses Sosialisasi dalam Komunitas......................................... 4.7. Sumberdaya Lokal............................................................................. 4.7.1. Potensi Lahan............................................................................ 4.7.2. Pola Hubungan Kerjasama........................................................ V. EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR....................................................................................... 5.1. Dekripsi Kegiatan........................................................................... 5.2. Pelaksanaan dan Perkembangan Kegiatan ................................... 5.3. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Permasalahan..................... 5.4. Pengembangan Modal Sosial, Gerakan Sosial dan Permasalahan............................................................................. 5.4.1. Ditinjau dari Perspektif Modal Sosial......................................... 5.4.2. Ditinjau dari Perspektif Gerakan Sosial..................................... 5.5. Aspek Psikologi Sosial dan Permasalahan.................................... 5.6. Kebijakan dan Perencanaan Sosial serta Permasalahan............. 5.7. Evaluasi Umum.................................................................................
63 63 64 65 65 66 67 68 69 69 70 70 72 72 74 74 74 74 76 77 78 79 81 83 83 88 90 92 94
VI. ANALISIS TINJAUAN KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR ................................................................... 97 6.1. Profil Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”.............................................................................. 97 6.1.1.Tujuan....................................................................................... 99 6.1.2. Kepemimpinan......................................................................... 100 6.1.3. Pembagian Tugas dan Peranan............................................... 101 6.1.4. Pola Hubungan dan Komunikasi……………………………….. 101 6.1.5. Kerjasama………………………………………………………… 102 6.1.6. Pengetahuan............................................................................ 103 6.2. Analisis Situasi terhadap Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”.................................................................104 6.3. Analisis Potensi Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”...............................................................................106 6.4. Analisis Permasalahan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”..................................................................107 ix
Halaman 6.5. Analisis Keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”.................................................................108 6.6. Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata ”Samudera Baru” dan Efektivitasnya.............................................112 6.7. Analisis Potensi dan Efektivitas di Tingkat Kelembagaan....................................................................................113 6.7.1. Kelembagaan BPD.................................................................. 113 6.7.2. Kelembagaan LPM..................................................................114 6.7.3. Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Pengusaha.............................................. 115 6.7.4 Kelembagaan Pemerintah....................................................... 117 6.8. Strategi Pengembangan Masyarakat............................................. 118 6.8.1. Strategi Penguatan Kelompok.................................................119 6.8.2. Strategi Penguatan Individu....................................................119 6.8.3. Strategi Penguatan Jejaring................................................... 120 6.9. Ikhtisar............................................................................................ 120 VII. PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLA KAWASAN WISATA PESISIR BERBASIS KOMUNITAS LOKAL.........124 7.1. Identifikasi Potensi Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal.................... 124 7.2. Identifikasi Permasalahan Penguatan Kelembagaan Pengelola Wisata Pesisir.................................................................127 7.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Penguatan Kelembagaan Pengelola Wisata Pesisir.........................................134 7.4.Asumsi-asumsi yang Mendasari Pelaksanaan Program Kerja pada Aras Anggota, Aras Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir dan Srategi Penguatan Jejaring........................... 155 7.5. Penyusunan Program Kerja pada Aras Anggota, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir dan Srategi Penguatan Jejaring.............................................................155 7.6. Ikhtisar............................................................................................ . 165 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 167 8.1. Kesimpulan...................................................................................... 167 8.2. Saran................................................................................................ 171 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 172 LAMPIRAN ....................................................................................................175
x
DAFTAR TABEL Halaman 1. Jumlah Wisatawan Mancanegara ke Indonesia........... ................................. 19 2. Jumlah Penerimaan Devisa dari Wisatawan Mancanegara ......................... 19 3. Karakteristik Kelembagaan ditinjau dari Perspektif Kelembagaan dan Keorganisaian ................................................................. 21 4. Jadual Pelaksanaan Kajian ........................................................................... 50 5. Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................... 52 6. Topik Utama dan Sub Topik Kajian ............................................................... 54 7. Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh .............................................................. 58 8. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 .......................................... 60 9. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005 .................................................................... 64 10. Data Masalah Sosial Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ................................... 66 11. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2005 ..................................................................... 68 12. Keadaan Penggunaan Lahan Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ..................... 75 13. Susunan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang ..................... 98 14. Profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ..................104 15. Profil dan Potensi Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” .............................................................................106 16. Profil, Potensi dan Permasalahan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ............................................................................. 107 17. Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata “Samudera Baru” ......................................................................................... 113 18. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan BPD ................................... 114 19. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan LPM ................................... 115 20. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Pengusaha .................................. 116 21. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah terkait ............. 118
xi
Halaman 22. Identifikasi Potensi Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ........................................................................... 125 23. Identifikasi Permasalahan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ........................................................................... 130 24. Data tentang Proses Perencanaan Perencanaan Program secara Partisipatif (FGD) ....................................................................................... 145 25. Identifikasi Permasalahan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan Alternatif Solusi/Permasalahan ............................... 151 26. Rencana Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ........................................................... 160
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tipologi Modal Sosial ..................................................................................... 28 2. Relevansi Pekerjaan Sosial, Kelembagaan dan Pembangunan Berkelanjutan .......................................................................... 37 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan Kawasan Wisata Berbasis Komunitas Lokal............................................................................... 47 4. Piramida Penduduk Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ..................................... 61 5. Jejaring Sosial Komunitas Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ........................... 71 6. Diagram Proses Perencanaan Programsecara Partisipatif ......................... 135
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Peta Lokasi .................................................................................................... 175 2. Susunan Nama Pedagang di Lokasi Wisata ................................................ 176 3. Susunan Pengurus Kelembagaan BPD ........................................................ 177 4. Susunan Pengurus Kelembagaan BPD ........................................................ 177 5. Susunan Nama Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Pengusaha ............................................................................................. 178
xiv
DAFTAR TABEL Hal 1. Jumlah Wisman ke Indonesia Tahun 2005 ................................................... 19 2. Jumlah Penerimaan Devisa dari Wisman ...................................................... 19 3. Karakteristik Kelembagaan ditinjau dari Perspektif Kelembagaan dan Keorganisaian ................................................ 23 4. Jadual Pelaksanaan Kajian ........................................................................... 44 5. Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................... 47 6. Topik Utama dan Sub Topik Kajian ............................................................... 48 7. Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh .............................................................. 52 8. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 .......................................... 54 9. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005 .................................................................... 58 10. Data Masalah Sosial Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ................................... 60 11. Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2005 ..................................................................... 62 12. Keadaan Penggunaan Lahan Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ..................... 69 13. Susunan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang ..................... 98 14. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ............................................................. 104 15. Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan Efektivitasnya ............................... 105 16. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan BPD .................................. 106 17. Analisis Profil, Potensi dan Efektivitas Kelembagaan LPM ........................ 108 18. Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Pengusaha .................................. 109 19. Susunan Kelembagaan Pemerintah terkait ................................................. 110 20. Identifikasi Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru ............................................. 118 21. Identifikasi Permasalahan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ............................................................. 123
xvi
Hal 22 Proses Perencanaan Program secara Partisipatif pada Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ............................................................................ 134 23. Identifikasi Permasalahan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” serta Alternatif Solusi ............................................................................................ 140 24. Rencana Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ............................................................ 146
xvii
DAFTAR GAMBAR
Hal 1. Ilustrasi Kajian ................................................................................................. 10 2. Relevansi Kelembagaan, Pekerjaan Sosial dan Pembangunan Berkelanjutan .......................................................................... 39 3. Kerangka Pemikiran Pengembangan Kawasan Wisata Berbasis Komunitas Lokal............................................................................... 41 4. Piramida Penduduk Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ..................................... 55 5. Jejaring Sosial Komunitas Desa Sungaibuntu Tahun 2005 ........................... 65 6. Tipologi Modal Sosial ..................................................................................... 82 7. Diagram Alir Proses Perencanaan Program secara Partisipatif .................... 139
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Hal 1. Peta Lokasi ....................................................................................................... 28 2. Susunan Nama Pedagang di Lokasi Wisata ................................................... 32 3. Susunan Pengurus Kelembagaan BPD ........................................................... 32 4. Susunan Pengurus Kelembagaan BPD ........................................................... 32 5. Susunan Nama Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Pengusaha ................................................................................................ 32
xix
I. PENDAHULUAN
Charles
Zastrow
(1982)
mengungkapkan
bahwa
Pekerjaan
Sosial
merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok maupun masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka serta menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif bagi keberfungsian sosial mereka.
Pernyataan ini sebagaimana kutipan berikut :
“Social work is the
professional activity of helping individuals, groups or communities to enhance or restore their capacity for social functioning and to create societal conditions favorable to their goals”. Dengan demikian, fokus utama dari Pekerjaan Sosial adalah keberfungsian sosial di dalam situasi sosial mereka. Guzman (1983) mengungkapkan bahwa keberfungsian sosial merupakan ungkapan dari interaksi antara orang dengan lingkungannya; keberfungsian sosial merupakan hasil dari aktivitas orang dengan sekelilingnya.
Pernyataan
tersebut sebagaimana kutipan berikut ini, yaitu “The expression of the interaction between man and his social environment : it is the product of his activity as he related to his surrounding”. Pengertian keberfungsian sosial mengarah pada cara yang dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, memecahkan permasalahan maupun
memenuhi
kebutuhannya.
Terdapat
berbagai
kendala,
seperti
keterbatasan sumberdaya alam, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, keterbatasan
memanfaatkan
peluang-peluang
yang
tersedia
sehingga
menyebabkan individu, kelompok atau masyarakat mengalami ketidakmampuan melaksanakan keberfungsian sosial secara memadai atau mengalami disfungsi sosial. Salah satu akibat dari adanya ketidakmampuan dalam melaksanakan keberfungsian sosial ini adalah masih ditemukannya kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakat yang tidak layak. Kondisi kehidupan dan penghidupan yang tidak layak dapat diartikan sebagai suatu ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2002 dikutip Suharto, 2005). Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut diantaranya dilaksanakan kegiatan
pengembangan
pengembangan
kemampuan
masyarakat
atau
secara
community
kolektif
melalui
development.
strategi Semakin
2 diperlukannya upaya-upaya pengembangan kemampuan secara kolektif melalui strategi pengembangan masyarakat ini juga didasarkan pada adanya pergeseran paradigma dalam Pekerjaan Sosial sebagaimana diungkapkan oleh Muhidin dalam Huraerah (2003), yang menyatakan bahwa pendekatan-pendekatan klinis yang sifatnya berskala kecil dipandang tidak mampu menyelesaikan masalahmasalah
sosial yang sifatnya luas,
oleh karena itu kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan hendaknya lebih menekankan pada peningkatan potensi-potensi dan partisipasi masyarakat secara luas.
1.1. Latar Belakang
Desa Sungaibuntu merupakan desa yang terletak di ujung Utara Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki tipologi sebagai desa pesisir dengan ketinggian 2 meter di atas permukaan air laut, memiliki luas wilayah 1.000 hektar dengan batas wilayah desa sebelah Utara yaitu Laut Jawa. Desa Sungaibuntu memiliki jumlah penduduk sebanyak 8.607 jiwa dengan 2.167 kepala keluarga, yang mana 55,75 persen atau 1.208 kepala keluarga berada dalam kondisi kehidupan dan penghidupan yang tidak layak. Jumlah angkatan kerja (15-64 tahun), yaitu sebanyak 91,14 persen atau 7.845 jiwa yang menyebar pada 6 dusun, yaitu Dusun Sungaibuntu, Sungaibambu, Sungaitegal, Sungaisari, Sungaimanuk dan Dusun Karajan. Dusun yang memiliki lokasi terdekat ke pantai adalah Dusun Sungaibuntu dengan sebaran penduduk tertinggi, yaitu sebanyak 1.891 jiwa. Ditinjau dari penggunaan lahan, desa ini memiliki area lahan terluas yang dimanfaatkan bagi pertanian tambak, yaitu sebanyak 50 persen atau seluas 500 hektar, pertanian sawah sebanyak 40 persen atau seluas 400 hektar dan tanah darat termasuk area pemukiman seluas 83,5 hektar . Dari segi matapencaharian, 62,91 persen
dari jumlah penduduk yang
bekerja atau sebanyak 2.266 orang memiliki matapencaharian sebagai buruh, baik buruh petani tambak, petani sawah, home industry maupun nelayan buruh. Para buruh tersebut bekerja secara temporal dengan rata-rata upah perhari sebesar Rp 25.000,00 sampai dengan Rp 35.000,00.
3 Ditinjau dari aspek pendidikan, pendidikan masyarakat Desa Sungaibuntu tergolong masih rendah, yaitu 46,18 persen atau sebanyak 3.975 orang adalah tidak tamat SD dan sebanyak 25,42 persen atau 2.188 orang adalah tamat SD. Kondisi kehidupan masyarakat seperti ini mendorong prakarsa dan inisiatif lokal yang dipelopori oleh kepala desa untuk menjalin kerjasama dengan warga desa guna memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang tersedia, dalam hal ini memanfaatkan keindahan alam pesisir sebagai kawasan wisata. Pariwisata dapat diartikan sebagai aktivitas waktu luang untuk berlibur pada suatu tempat. Secara sosiologis pariwisata merupakan proses komersialisasi dari hubungan antara tamu dangan tuan rumah (Urry, 1990 dalam Pitana et al., 2005). Kegiatan pengembangan kawasan wisata dimulai tahun 2002, berlokasi di Dusun Sungaibuntu (peta sebagaimana terlampir), dikembangkan di atas tanah timbul sepanjang garis pantai 2,5 kilometer. Pemanfaatan tanah didasarkan atas izin lisan Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes. Pengembangan kawasan wisata dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, beranggotakan sepuluh orang dan diketuai oleh kepala desa. Pengembangan kawasan wista ditujukan untuk membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan guna menambah pendapatan dan sebagai sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan. Pada area wisata dibangun sebanyak 30 unit rumah panggung sebagai tempat berjualan makanan. Bagi para pengunjung wisata dikenakan retribusi atau biaya masuk sebesar Rp 2.500,00 per orang. Berdasarkan pengamatan dan informasi dari Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, jumlah pengunjung pada umumnya mengalami ledakan selama satu minggu pada lima hari pascalebaran (pada tanggal empat sampai dengan sepuluh November 2005 jumlah pengunjung mencapai sekitar 1.000 orang setiap hari). Pengembangan kawasan wisata pesisir serupa sebelumnya pernah terselenggara tahun 1989 di perbatasan wilayah desa sebelah Timur, tepatnya di Dusun Betok Mati. Aktivitas ini muncul seiring dibangunnya proyek-proyek pemerintah, seperti pembangunan tambak udang (TIR) dan pemboran minyak bumi lepas pantai. Namun, berakhirnya proyek-proyek pembangunan tersebut mengakibatkan aktivitas ini juga berakhir sekitar tahun 1992. Tahun 1999, muncul kawasan wisata di perbatasan wilayah desa sebelah Barat, yaitu di Pisangan. Tetapi, kegiatan ini juga berakhir sekitar tahun 2001 karena
4 transportasi dan kawasan tersebut mulai digenangi air akibat abrasi air laut yang cukup tinggi. Berakhirnya aktivitas pada kawasan tersebut memberikan masukan atau gambaran bagi pengembangan kawasan di “Samudera Baru” mengenai faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menopang keberlanjutan suatu kawasan wisata. Pengembangan kawasan wisata disamping memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan, juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu terjadinya perusakan terhadap
lingkungan dan konservasi,
penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti munculnya warung remang-remang dan fenomena prostitusi. Prostitusi diartikan sebagai peristiwa penjualan diri dengan cara memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan
pembayaran
(Kartono,
1981).
Fenomena
prostitusi
ini
muncul
tersamarkan dalam wujud pertunjukan kesenian jaipongan atau dangdutan dan atas kesepakatan tokoh pemuda pertunjukan digelar mulai dari jam 21.00 sampai dengan 01.00 WIB. Untuk itu, agar pengembangan kawasan wisata dapat berkelanjutan sehingga mendukung upaya menciptakan kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas, maka kegiatan tersebut harus didasarkan
pada
prinsip-prinsip
“pariwisata
secara
tepat”
yaitu
bahwa
pelaksanaan aktivitas wisata secara aktif mendorong kelangsungan objek atau atraksi wisata yg ditawarkan, memberdayakan masyarakat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat atau sesuai konteks lokal (Marpaung dan Bahar, 2002). Upaya-upaya kegiatan pengembangan masyarakat bagi pengembangan kawasan wisata secara tepat guna mewujudkan kawasan wisata berkelanjutan dilaksanakan melalui suatu pendekatan strategis, yaitu
penguatan Kelompok
Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta stakeholders atau pihak-pihak penanggung kepentingan. Stakeholders dalam hal ini yaitu kelembagaan komunitas lokal,
meliputi
kelembagaan BPD, LPM, tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda serta kelembagaan pemerintah, meliputi Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola manusia, dalam komponen kebudayaan serta komponen-komponen yang terdiri
5 dari sistem norma, tata kelakuan, sebagai wujud ideal kebudayaan dan peralatan sebagai wujud fisik kebudayaan, ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola tersebut. Kelembagaan juga sering diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas manusia
untuk memenuhi kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997). Lembaga merujuk pada sesuatu bentuk, sekaligus mengandung pengertian yang abstrak
perihal
adanya
norma-norma
dan
peraturan-peraturan
tertentu
(Soekanto, 2002). Batasan kelembagaan dalam kajian ini adalah adanya sejumlah peranan sosial dan sistem nilai serta peraturan-peraturan dalam Kelompok Pengelola Kawasan
Wisata
“Samudera
Baru”
yang
diasumsikan
mempengaruhi
permasalahan-permasalahan terkait dengan pengembangan kawasan wisata. Penguatan kelembagaan dipandang sebagai suatu pendekatan strategis dalam pengembangan masyarakat karena sebagaimana diungkapkan oleh Syahyuti (2003) bahwa : 1. Kelembagaan merupakan wadah beraktivitas setiap manusia dan tidak ada seorang manusiapun yang tidak mengikatkan diri didalamnya. 2. Berbicara kelembagaan bukan membahas individu, tetapi individu-individu yang terikat dalam wadah aktivitasnya. Kelembagaan secara fungsional menghidupkan sistem sosial. Oleh karena itu, membahas kelembagaan adalah lebih rasional, efisien dan ekonomis dibandingkan dengan membahas individu satu persatu. 3. Perubahan kelembagaan bersifat lebih permanen, karena eksistensinya tidak tergantung pada satu individu melainkan pada sejumlah orang. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata merupakan salah satu bentuk kelembagaan yang berfungsi memenuhi kebutuhan rekreasi bagi masyarakat. Melalui penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir “Samudera Baru” dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta stakeholders ini diharapkan : 1. Aktivitas yang dilaksanakan tidak berorientasi pada aspek ekonomi sematamata, melainkan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologis, keagrariaan dan sosial.
6 2. Keindahan alam dan lingkungan pesisir sebagai atraksi atau objek wisata yang ditawarkan dapat tetap terjaga dan terpelihara sehingga kawasan wisata akan tetap berkelanjutan. 3. Pengembangan
kawasan
wisata
pesisir
merupakan
wahana
pengembangan masyarakat, melalui aktivitas ini diupayakan
bagi
mampu
menumbuhkan pola hubungan dan gerakan koperatif dari Kelompok Pengelola penanggung
Kawasan
Wisata
kepentingan,
dengan seperti
stakeholders kelembagaan
atau
pihak-pihak
komunitas
lokal,
kelembagaan swasta dan kelembagaan pemerintah. 4. Peningkatan pola hubungan dan gerakan koperatif dengan stakeholders diharapkan dapat mewujudkan suatu kontrol atau pengendalian sosial dalam upaya meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, seperti adanya
fenomena
keagrariaan,
prostitusi
terselubung,
ketidaktransparanan
dan
munculnya
potensi
kekurangtanggapan
konflik
Kelompok
Pengelola Kawasan Wisata terhadap aspirasi dan harapan komunitas.
Dengan demikian, fokus telaahan dalam kajian ini adalah masalah “Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal (Studi Kasus
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” di Desa
Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat). Topik dari kajian ini adalah bagaimana peranan-peranan sosial dan tata peraturan serta tata nilai yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam upaya mengembangkan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan sehingga mendorong terwujudnya kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak
bagi komunitas tersebut dengan meminimalisir
dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. .
1.2. Ruang Lingkup Kajian Kelembagaan sering diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia memenuhi
kompleks
kebutuhan
khusus
dalam
kehidupan
untuk
masyarakat
(Koentjaraningrat, 1997). Kelembagaan dalam kajian ini diartikan sebagai suatu pranata sosial yaitu sistem tata kelakuan yang diwujudkan dalam sejumlah peranan dan peraturan-
7 peraturan serta sistem nilai yang mengatur hubungan antar manusia yang terikat dalam wadah Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Persoalan utama dalam upaya penguatan kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” bagi upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan ini adalah adanya sejumlah peranan sosial dan sistem nilai serta tata aturan dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” terkait dengan profil kelompok, meliputi aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan. Profil
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ini
diasumsikan mempengaruhi terjadinya permasalahan-permasalahan dalam pengembangan
kawasan
wisata.
Permasalahan-permasalahan
tersebut
dikategorisasikan meliputi permasalahan terkait dengan aspek ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan.
1.3. Masalah Kajian Aktivitas pengembangan kawasan wisata disamping memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan, juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu terjadinya kerusakan lingkungan dan konservasi, penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat. Diasumsikan bahwa masalah-masalah tersebut bisa didekati melalui perspektif kelembagaan. Masyarakat lokal telah berinisiatif menumbuhkan suatu kelembagaan yang bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan sarana rekreasi, mereka tergabung dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Selama ini kelompok tersebut telah menunjukkan keberfungsian secara ekonomi, tetapi belum menunjukkan keberfungsian secara sosial, ekologis maupun keagrariaan. Pada saat ini, kelompok tersebut mengalami kondisi sebagai berikut : 1. Tujuan pengembangan kawasan wisata lebih berorientasi pada faktor ekonomi sehingga mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
serta
menimbulkan
adanya
kekurangtanggapan
terhadap
keindahan dan kelestraian lingkungan atau kawasan wisata. Dengan kata lain,
8 mengabaikan faktor-faktor sosial ekologis sebagai penopang keberlanjutan kawasan tersebut. 2. Pemimpin atau ketua kelompok tidak dipilih melalui suatu proses tertentu. Dasar pertimbangan pemilihan lebih didasarkan pada : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus
menjabat sebagai
kepala desa yang masih aktif. Hal ini telah menumbuhkan adanya sense selaku pelopor dalam pengembangan kawasan wisata sehingga kelompok dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan ekonomi sematamata dinikmati secara pribadi atau kelompok. 3. Pembagian tugas dan peranan dalam kelompok masih bersifat implisit, sederhana
dan
belum
berfungsi
sebagaimana
mestinya
serta
tidak
dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan. Hal ini telah menimbulkan ketidaktransparanan (intransparency) manajemen kelompok. 4. Pola hubungan dan komunilkasi yang terjadi dalam kelompok lebih didasarkan pada pola hubungan kekerabatan dan pertemanan sehingga sulit menerapkan sistem sanksi secara tegas serta mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal, sehingga
pemanfaatan tanah timbul sebagai kawasan wisata hanya
didasarkan pada izin lisan dari Kepala UPTD Perikanan Kelautan dan Peternakan. Situasi ini menumbuhkan terjadinya potensi konflik keagrariaan (potential conflict atau latent conflict). 5. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi maupun konsultasi
cenderung
dilakukan
dengan
pihak-pihak
yang
sekiranya
membawa manfaat ekonomi atau disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya mendesak. Kondisi ini telah mengabaikan kerjasama dengan kelembagaan lokal yang ada. 6. Lemahnya pengetahuan dalam tata cara menjaga dan memelihara keindahan serta
kelestarian
lingkungan
di
kawasan
wisata
sebagai
penopang
keberlanjutan kawasan. Apabila kelompok ini kelak menjadi tumpuan harapan bagi penjaga kelestarian alam dan keberlanjutan kawasan, penopang kehidupan sosial sesuai dengan norma, nilai
dan aturan-aturan dalam masyarakat serta menjadi
penggerak ekonomi lokal, maka apakah yang harus dilakukan? Apakah penguatan kelembagaan menjadi solusi yang tepat? Jika ya, maka perlu beberapa
studi
awal
yang
menginventarisasi
profil
dan
keberfungsian
kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Untuk dapat
9 melakukan upaya-upaya penguatan kelembagaan secara konstruktif, maka beberapa hal berikut ini harus dilakukan atau dijawab : 1. Bagaimanakah profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam mendukung keberlanjutan kawasan wisata pesisir? 2. Apa sajakah masalah-masalah yang dihadapi oleh kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam mengelola atau melestarikan kawasan wisata? 3. Bagaimanakah
alternatif
strategi
pengembangan
masyarakat
secara
partisipatif melalui penguatan kelembagaan harus disusun bagi pelestarian kawasan wisata?
1.4. Tujuan Kajian
Sesuai dengan rincian masalah tersebut di atas, maka tujuan yang diharapkan dari kajian ini adalah untuk : 1. Memahami profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” yang dapat mendukung keberlanjutan kawasan wisata pesisir. 2. Mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam mengelola atau melestarikan kawasan wisata. 3. Menyusun alternatif strategi pengembangan masyarakat secara partisipatif melalui penguatan kelembagaan bagi pelestarian kawasan wisata.
1.5. Kegunaan Kajian
1. Bagi masyarakat akademik dapat dijadikan bahan dan konsep dalam pengembangan masyarakat atau kajian lebih lanjut mengenai penguatan kelembagaan. 2. Bagi
Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Karawang,
khususnya
Sie.
Pemberdayaan Masyarakat, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes, aparatur Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya serta Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Karawang dapat dijadikan sumbangan saran praktis,
10 bahan evaluasi dalam proses pendampingan bagi upaya pengembangan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kondisi kehidupan dan penghidupan relatif layak bagi komunitas yang bersangkutan.
II. KERANGKA KAJIAN
2.1. Komunitas Pesisir Community yang diterjemahkan menjadi komunitas oleh Koentjaraningrat (1990) memiliki pengertian sebagai “suatu kesatuan hidup manusia, yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat serta oleh suatu rasa identitas komunitas yang memiliki ciri-ciri, yaitu adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas sebagai suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri”. Soekanto (2002) mengartikan community sebagai masyarakat setempat. Masyarakat setempat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa
yang mana para anggotanya hidup bersama sehingga merasakan
bahwa kelompok dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama. Keterikatan secara geografis merupakan suatu ciri dasar yang sifatnya pokok sebagai suatu komunitas, tetapi hal ini tidaklah cukup, karena suatu community harus memiliki apa yang dinamakan dengan community sentiment atau perasaan komunitas. Perasaan sebagai suatu komunitas memiliki beberapa unsur, yaitu seperasaan, sepenanggungan dan saling memerlukan. Komunitas pesisir merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah pesisir Desa Sungaibuntu. Dahuri dan Nugroho (2005) mengungkapkan bahwa batas wilayah pesisir tidak luput dari tujuan penggunaan dan pengelolaannya.
Penetapan
batas wilayah pesisir pada
umumnya
didasarkan pada tiga kriteria, yaitu : 1. Garis linier secara arbitrer tegak lurus terhadap garis pantai. 2. Berdasarkan pada batas-batas administrasi dan hukum. 3. Berdasarkan karakteristik dan dinamika ekologis, yakni atas dasar sebaran spasial dari karakteristik alamiah atau kesatuan proses-proses ekologis, seperti daerah aliran air sungai, area pasang surut. Rapat Kerja Nasional Proyek MREP (Marine Resource Evaluation and Planning) atau Perencanaan dan Evaluasi Sumberdaya Kelautan di Manado pada tanggal 1 sampai dengan 3 Agustus 1994, telah menetapkan bahwa batas ke arah laut suatu wilayah pesisir untuk keperluan praktis dalam proyek MREP adalah sesuai dengan batas laut yang terdapat dalam peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI)
12 dengan skala 1 : 50.000 yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), yakni sejauh 12 mil, sedangkan batas ke arah darat wilayah pesisir mencakup batas administrasi seluruh desa pantai.
Dahuri dan Nugroho (2005)
mengungkapkan sifat dan karakteristik
komunitas pesisir, khususnya komunitas nelayan.
Sifat dan karakteristik
komunitas nelayan ditentukan oleh interaksi antara faktor-faktor sosial, ekonomi, lingkungan
serta
faktor
ketidakpastian
memperoleh
penghasilan
karena
ketergantungan pada musim atau terjadinya kerusakan ekosistem laut yang disebabkan oleh polusi atau penangkapan ikan secara berelebihan, yang pada akhirnya semakin memperburuk hasil tangkapan ikan mereka. Kondisi kehidupan sosial ekonomi para nelayan semakin sulit dengan terjadinya krisis ekonomi dan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Biaya operasional untuk melaut meningkat menjadi tiga sampai dengan empat kali lipat dari biasanya. Nelayan akan melaut pada saat laut mengalami ombak kecil, yaitu pada bulan November sampai dengan Mei. Para
nelayan akan menganggur serta
tinggal di rumah pada saat laut mengalami ombak besar, yaitu pada bulan Juni sampai dengan Oktober. Pada musim ini, penghasilan nelayan menurun drastis, nelayan hanya mencuri waktu disela-sela perubahan angin yang relatif singkat untuk menangkap ikan. Ketergantungan pada musim ini semakin tinggi bagi para nelayan kecil dan pandhiega yang tidak mampu mengakses teknologi penangkapan (90 persen nelayan di Indonesia menguasai teknologi penangkapan tradisional). Kondisi ini memiliki implikasi terhadap perilaku konsumsi. Pada musim penangkapan, nelayan cenderung konsumtif dan relatif kekurangan pada musim paceklik. Untuk mempertahankan
kelangsungan
hidup
pada
musim
paceklik,
mereka
mengembangkan strategi adaptasi tertentu. Strategi adaptasi menurut Bartlett dalam Kusnadi (2000) merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial, politik, ekonomi dan ekologi dimana penduduk tersebut hidup atau bertempat tinggal. Pemilihan tindakan ini dimaksudkan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungan guna mengatasi tekanan-tekanan sosial ekonomi. Strategi adaptasi untuk mempertahankan kelangsungan hidup pada musim paceklik, bagi para nelayan kecil dan pandhiega seringkali dilakukan dengan
13 meminjam uang atau barang dengan memanfaatkan hubungan keluarga dan ikatan kekerabatan, tetangga serta teman atau kepada juragan nelayan atau kepada para tengkulak. Konsekuensinya harus ditebus oleh nelayan dengan keharusan menjual ikan tangkapannya kepada juragan nelayan atau kepada para tengkulak. Pola hubungan yang tidak simetris atau tidak seimbang ini sangat mudah berubah menjadi alat dominasi dan eksploitasi. Aspek penting lain pada komunitas pesisir adalah aktivitas wanita dan anakanak. Pada umumnya wanita dan anak-anak ikut bekerja mencari nafkah sebagai pedagang ikan segar maupun ikan olahan, melakukan pengolahan ikan dalam skala kecil di rumah untuk dijual sendiri maupun sebagai buruh pada pengolahan ikan. Sementara anak laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam kegiatan melaut sehingga banyak diantara mereka memiliki pendidikan rendah atau bahkan tidak bersekolah. Aktivitas lain yang dilakukan sebagai suatu upaya bertahan hidup yaitu dengan mencari peluang usaha pada sektor-sektor lain. Salah satu diantaranya yaitu dengan memanfaatkan keindahan alam pesisir bagi kegiatan pariwisata seperti halnya yang terjadi pada unit analisis kajian penulis, yaitu Kelompok Pengelola Kawasan Wisata yang ada pada komunitas pesisir Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang. Dengan demikian, komunitas pesisir sesuai dengan batasan kajian ini adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah pesisir. Batas wilayah pesisir ke arah darat mencakup batas administrasi seluruh desa pantai, dalam hal ini yaitu batas administrasi Desa Sungaibuntu.
2.2. Pariwisata 2.2.1. Pengertian Secara etimologis pariwisata berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari “pari” berarti banyak, berkali-kali, berputar-putar
dan “wisata”
berarti
perjalanan, bepergian yang dalam bahasa Inggris bersinonim dengan kata “travel”. Berdasarkan hal ini, pariwisata menurut Yoeti (1966a) diartikan sebagai perjalanan berputar-putar atau dilakukan berkali-kali dari satu tempat ke tempat lain yang dalam bahasa Inggris disebut “tour”, sedangkan dalam pengertian jamak digunakan kata “kepariwisataan” atau “tourisme” atau “tourism”.
14 Robinson (1976) dan Murphy (1985) dalam Pitana dan Gayatri
(2005)
mengungkapkan bahwa pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia didalam mencari sesuatu yang belum diketahuinya, menjelajahi wilayah yang baru, mencari perubahan suasana atau untuk memperoleh perjalanan baru. Pemahaman dan pengertian terkait dengan pariwisata yaitu : 1. Urry (1990) mengungkapkan bahwa pariwisata dapat diartikan sebagai aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang untuk berlibur pada suatu tempat, dilakukan pada saat seseorang bebas dari pekerjaan yang wajib dilakukan, seperti pada saat cuti atau libur. Dalam perkembangan selanjutnya, berwisata dapat diidentikan dengan “berlibur ke daerah lain” untuk melakukan perjalanan wisata. Secara sosiologis pariwisata merupakan proses komersialisasi dari hubungan antara tamu dengan tuan rumah. 2. Perjalanan wisata merupakan sesuatu yang sifatnya “tidak biasa” dan pengalaman yang diharapkan adalah pengalaman yang “lain dari biasanya” atau sesuatu yang baru. Kualitas perjalanan wisata diantaranya ditentukan oleh kuantitas dan kualitas dari pengalaman itu sendiri. 3. Kegiatan pariwisata tidak akan luput dari apa yang dinamakan pengunjung atau visitor. United Nation Conference on Travel and Tourism di Roma memberikan batasan pengunjung atau visitor yaitu setiap orang yang mengunjungi suatu wilayah yang bukan merupakan tempat tinggalnya untuk berbagai tujuan, tetapi bukan untuk mencari pekerjaan atau penghidupan dari wilayah yang dikunjungi.
Pemahaman lain tentang pariwisata diungkapkan oleh The World Tourism Organization (WTO) dalam Mak (2004), yaitu aktivitas perjalanan orang untuk tinggal sementara pada suatu tempat di luar lingkungan kebiasaannya tidak lebih dari satu tahun untuk bersantai, urusan pekerjaan dan tujuan lainnya, sebagaimana kutipan berikut ini :”the activities of persons traveling to and staying in places outside their usual environtment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purpose”. Selanjutnya Matley dalam Mak (2004) mengemukakan bahwa terdapat perbedaan antara apa yang dinamakan dengan “tourism” dan “recreation”. Perbedaan utama diantara keduanya yaitu bahwa rekreasi tidak membutuhkan adanya aktivitas perjalanan; bermain tenis atau jalan-jalan di taman sekitar lingkungan tempat tinggal merupakan kegiatan rekreasi, jarak perjalanan menuju
15 lokasi tidak jauh dari tempat tinggal. Rekreasi dapat dilaksanakan di luar rumah maupun di dalam rumah; di luar rumah misalnya berbagai kegiatan olahraga, di dalam rumah misalnya mengunjungi teater, bioskop atau klub-klub yang ada di lingkungan tempat tinggal. Rekreasi tidak membutuhkan adanya aktivitas perjalanan yang jauh dan tidak perlu meninggalkan rumah untuk beberapa lama. Sedangkan aktivitas wisata membutuhkan adanya pergerakan orang untuk pergi dari lingkungan tempat tinggal atau rumah dan tinggal sementara pada lokasi yang berbeda untuk bersantai, beristirahat dan penyembuhan diri. Sebagaimana diungkapkan Matley dalam Mak (2004) : “Recreation does not necessarily imply travel. A game of tennis or a stroll in a neighborhood park constitute recreation, but the distance traveled to the location where these acts take place may be minimal. Much outdoor recreation, such as sports of various types; or indoor recreation, such as visits to theaters, cinemas and clubs may be local in nature. The participant does not travel far and does not leave his home for any lenghty period. Tourism.........implies the removal of a person away from his habitual place of residence and his stay in another location. This stay or removal is temporary and is motivated by a search for personal pleasure in the shape of rest, relaxation and self improvement”. Marioti dalam Yoeti (1996a) menyebutkan bahwa objek atau atraksi wisata merupakan “product” yang ingin dikonsumsi, disebut dengan “attractive spontanee” yaitu segala sesuatu yang terdapat di daerah tujuan wisata yang merupakan daya tarik agar orang-orang mau datang berkunjung ke satu tempat daerah tujuan wisata. Objek atau atraksi wisata antara lain terdiri dari : 1. Kenyamanan alami (natural amenites), termasuk didalamnya adalah iklim, bentuk tanah dan pemandangan, hutan belukar, flora dan fauna serta pusatpusat kesehatan (air mineral, sumber air panas dan lain sebaginya) 2. Hasil
ciptaan
manusia,
dapat
dikelompokkan
menjadi
benda-benda
bersejarah, kebudayaan dan keagamaan. 3. Tata cara hidup masyarakat. Dengan demikian, pariwisata memiliki beberapa komponen atau ciri-ciri pokok : 1. Adanya unsur perjalanan yaitu pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain. 2. Adanya unsur “tinggal sementara” di tempat yang bukan merupakan tempat tinggal biasanya. 3. Tujuan utama dari pergerakan manusia tersebut bukan untuk mencari penghidupan atau pekerjaan
16 Pariwisata memiliki ciri-ciri khas ekonomis sebagaimana diungkapkan oleh Spillane (1994), yaitu : 1. Permintaan produk pariwisata sangat tergantung pada musim. 2. Permintaan dipengaruhi oleh faktor luar dan pengaruh yang tidak dapat atau sulit diramalkan, misalnya perubahan cuaca, iklim politik. 3. Permintaan tergantung pada banyaknya motivasi yang rumit; terdapat lebih dari satu alasan mengapa seorang wisatawan melakukan perjalanan, jarang ada unsur loyalitas, mereka lebih cenderung mengunjungi tempat yang berbeda daripada kembali ke tempat yang sama. 4. Pariwisata sangat elastis terhadap harga dan pendapatan, permintaan sangat dipengaruhi oleh perubahan yang relatif kecil dalam harga dan pendapatan; apabila harga atau pendapatan naik atau turun, perubahan tersebut sangat mempengaruhi konsumsi jasa-jasa pariwisata.
Berdasarkan uraian di atas, meskipun pengertian dan pemahaman tentang wisata berbeda-beda, tetapi konsep wisata yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang untuk berlibur pada suatu tempat, guna menikmati objek atau atraksi wisata, dalam hal ini adalah keindahan alam pesisir yang terdapat di Desa Sungaibuntu.
2.2.2. Dampak Aktivitas wisata disamping memiliki dampak positif juga memiliki dampak negatif.
Dampak yang bersifat positif (khususnya pariwisata internasional)
menurut Inpres Nomor 9 Tahun 1969 dalam Yoeti (1996a) yaitu : 1. Meningkatkan pendapatan devisa dan pedapatan negara 2. Memperkenalkan dan mendayagunakan keindahan alam dan budaya bangsa. 3. Meningkatkan persaudaraan serta persahabatan nasional dan internasional. Marpaung dan Bahar (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan. Namun, disamping memiliki dampak positif, pariwisata juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu : 1. Terjadinya penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti meningkatnya kejahatan, munculnya perjudian dan prostitusi.
17 2. Terjadinya perusakan terhadap
lingkungan dan konservasi, seperti
menurunnya nilai hutan lindung, nilai sejarah dan kebudayaan serta menurunnya nilai daerah wisata.
Pengembangan kawasan wisata terjadi karena adanya daya tarik wisata yang
ditawarkan,
dalam
hal
ini
yaitu
keindahan
alam
pesisir.
Untuk
mengembangkan kawasan wisata secara berkelanjutan agar mampu membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan bagi komunitas, maka pengembangan kawasan wisata sesuai dengan konteks lokal melalui strategi atau pendekatan kelembagaan, baik kelembagaan lokal maupun pemerintah menjadi alternatif solusi.
2.2.3. Pariwisata secara Tepat Pengembangan pariwisata memiliki dampak positif dan dampak negatif. Untuk itu, kepariwisataan harus dikembangkan berdasarkan pada konsepkonsep pariwisata secara tepat. Marpaung dan Bahar (2002) mengemukakan prinsip-prinsip kepariwisataan yang tepat, diantaranya yaitu: 1. Secara aktif mendorong kelangsungan peninggalan di suatu daerah kebudayaan, sejarah dan alam sehingga menjadi aktivitas pariwisata yang berkelanjutan. 2. Memberdayakan masyarakat lokal, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengevaluasian sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan bagi pengunjung. 3. Membangun rasa bangga masyarakat lokal. 4. Membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat. Dengan demikian, konsep pariwisata secara tepat mengandung pengertian bahwa aktivitas yang dilaksanakan harus mempertimbangkan aspek-aspek sesuai dengan konteks lokal, yaitu mampu memberdayakan masyarakat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat atau dengan kata lain yaitu pelaksanaan aktivitas wisata dengan memperhatikan keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologis dan status keagrariaan sesuai dengan konteks lokal.
18 2.2.4. Perkembangan Crick (1989), Graburn et al., (1991) dalam Pitana dan Gayatri mengungkapkan bahwa
(2005)
aktivitas pariwisata telah ada sejak dimulainya
peradaban manusia, ditandai oleh adanya pergerakan manusia melakukan ziarah dan perjalanan agama lainnya. Di Indonesia, kegiatan pariwisata dapat ditelusuri dari awal abad 20, tepatnya tahun 1910, yang ditandai dengan dibentuknya VTV (Vereeneging Toeristen Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda, berkedudukan di Batavia. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1946 pemerintah membentuk Honet (Hotel national and Tourism), badan yang bertugas untuk menghidupkan kembali pariwisata, khususnya menangani perusahaan-perusahaan Belanda. Pada tahun 1955 berdiri Natour dan YTI (Yayasan Turisme Indonesia). Dengan usaha keras badan-badan ini berhasil mengangkat pariwisata Indonesia. Kongres I YTI pada 12 sampai dengan 14 Januari 1957 (Munas Tourisme I) melahirkan Dewan Tourisme Indonesia (DTI). Isitilah Pariwisata muncul pada saat Munas Tourisme Indonesia II pada 12 sampai dengan 14 Juni 1958. Sejak Pelita I pariwisata Indonesia melaju dengan tingkat pertumbuhan yang melebihi negara-negara Asia Pasifik lainnya, yaitu 7 persen berbanding 4,4 persen. Loncatan pariwisata Indonesia terjadi cukup drastis (sebagaimana Tabel 1). Selama Pelita I pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ini mencapai 39,6 persen pertahun, meskipun pemerintah baru memusatkan perhatian pada daerah-daerah wisata yang memang accessible, seperti Jawa, Bali dan Sumatera. Pada Pelita II daerah tujuan wisata diperluas ke pulau-pulau lain, pertumbuhannya mencapai 11,7 persen. Selanjutnya, pengembangan pariwisata tercantum dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS). Program pengembangan pariwisata yang tercantum dalam PROPENAS
diisyaratkan
untuk dilaksanakan dengan berbasis potensi sumberdaya keragaman budaya, seni dan alam serta pendekatan peningkatan nilai tambah sumberdaya secara terpadu
antara
pengembangan
produk
pariwisata
dan
pengembangan
pemasaran pariwisata melalui pendekatan pemberdayaan masyarakat lokal. Laju jumlah wisatawan mancanegara atau wisman dapat dilihat pada tabel di berikut ini :
19 Tabel 1 Jumlah Wisatawan Mancanegara ke Indonesia NO
TAHUN
JUMLAH (Orang)
1.
1966
20.000
2.
1968
86.000
3.
1970
129.000
4.
1974
313.452
5.
1978
486.674
6.
1997
5.180.000
7.
2001
5.150.000
Sumber : Gayatri dan Pitana, Tahun 2005 Jumlah penerimaan devisa dari kunjungan wisman dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2 Jumlah Penerimaan Devisa dari Wisatawan Mancanegara NO
TAHUN
JUMLAH (Juta US$)
1.
1984
519,7
2.
1988
1.194,1
3.
1990
1.890
4.
2002
5.741
7.
2003
4.037
Sumber : Gayatri dan Pitana, Tahun 2005
PROPENAS dalam bidang kepariwisataan kemudian diuraikan dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Propinsi Jawa Barat dan Program Pembangunan di daerah-daerah (PROPEDA), termasuk Kabupaten Karawang. Penerimaan devisa pada tahun 2003 mengalami penurunan sebagai akibat berbagai peristiwa seperti tragedi bom di Kuta, Bali tahun 2002, tragedi bom Marriot Jakarta, issu wabah SARS dan Flu burung tahun 2003. Terjadinya penurunan devisa dan jumlah wisman mendorong untuk meningkatkan jumlah pengunjung atau wisatawan lokal (domestik) dengan upaya mengembangkan kawasan dan daya tarik wisata.
20 2.3. Kelembagaan, Modal Sosial dan Gerakan Sosial
2.3.1. Kelembagaan
2.3.1.1. Pengertian Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola manusia, dalam komponen kebudayaan serta komponen-komponen yang terdiri dari sistem norma tata kelakuan sebagai wujud ideal kebudayaan dan peralatan sebagai wujud fisik kebudayaan, ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola tersebut. Kelembagaan juga sering diartikan sebagai pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas manusia
untuk memenuhi kompleks kebutuhan
khusus dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1997).
Sistem tata
kelakuan ini diwujudkan dalam sejumlah peranan dan sistem nilai yang mengatur hubungan antar manusia, dalam hal ini anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dalam menciptakan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan sesuai dengan konteks lokal sehingga mampu menopang upaya peningkatan kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas. Lembaga merujuk pada sesuatu bentuk, sekaligus mengandung pengertian yang abstrak perihal adanya norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu (Soekanto, 2002). Dengan demikian, kelembagaan memiliki dua wujud, yaitu : 1. Wujud abstrak, dalam bentuk norma-norma dan peraturan-peraturan masyarakat. Norma-norma masyarakat mengatur pergaulan hidup dengan tujuan untuk mencapai suatu tata tertib dan upaya memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. 2. Wujud konkrit, dalam bentuk asosiasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Aspek keorganisasian meliputi struktur sosial dan peranan sosial. Syahyuti (2003) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki dua perspektif : 1. Perspektif Kelembagaan, yaitu perspektif yang memandang kelembagaan sebagai suatu konsepsi dan bukan sesuatu yang kongkrit; kelembagaan sebagai
kompleks
peraturan,
norma
dan
nilai.
Dikatakan
bahwa
kelembagaan merupakan tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi dan sistem sosial lainnya.
21 2. Perspektif
Keorganisasian,
yaitu
persepektif
yang
memandang
baik
kelembagaan maupun asosiasi sebagai bentuk organisasi sosial, yaitu sebagai kelompok-kelompok. Kelembagaan bersifat lebih universal dan penting, sedangkan asosiasi bersifat kurang penting dan bertujuan lebih spesifik. Perbandingan Karakteristik Kelembagaan dan Keorganisasian dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3 Karakteristik Kelembagaan ditinjau dari Perspektif Kelembagaan dan Keorganisasian NO
URAIAN
PERSPEKTIF KELEMBAGAAN
PERSPEKTIF KEORGANISASIAN
1.
Fokus Utama
Perilaku (Perilaku Sosial)
Struktur (Struktur Sosial)
2.
Inti Kajian
Nilai (Value), Aturan (Rule) dan Norma (Norm)
Peran (Roles)
Berkenaan dengan Custom, Mores, Volkways, Usage, Ide, Gagasan, Doktrin, Keinginan, Kebutuhan, Orientasi, Polapola Kelakuan, Fungsi dari Tata Kelakuan, dll
Peran, Aktivitas, Hubungan antar Peran, Struktur : Umum, Riel, Kewenangan, Kekuasaan, Hub.Keg. dengan Tujuan, Solidaritas, Profil dan Pola Kekuasaan (Sentralistis, Distributif), dll.
3.
Kajian
4.
Bentuk Perub. Sosial
Bersifat Kultural
Bersifat Struktural
5.
Proses Waktu Perubahan
Lebih Lama
Lebih Cepat
6.
Wujud
Lebih Abstraks dan Dinamis
Lebih Visual dan Statis
7.
Topik
Proses Sosial
Struktur Sosial
Berdasarkan uraian di atas, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dapat dipahami dari perspektif kelembagaan maupun keorganisasian. Ditinjau dari perspektif kelembagaan, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” memiliki sejumlah aturan dan norma yang disepakati dan harus ditaati oleh para anggotanya agar tetap dianggap dan diakui sebagai bagian dari kelompok. Aturan dan norma tersebut diantaranya patuh dan taat pada apa yang menjadi keputusan kelompok atau ketua, menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan sesama anggota kelompok, aktif dan hadir dalam pertemuanpertemuan kelompok.
22 Ditinjau dari perspektif keorganisasian, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” telah mengenal adanya pembagian tugas dan peranan menyangkut adanya jabatan ketua atau pemimpin, wakil ketua, bendahara, sekretaris, penjaga keamanan, petugas loket dan petugas yang berhubungan dengan masyarakat. Tidak mudah untuk membedakan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dari perspektif kelembagaan maupun keorganisasian, karena satu sama lain saling terkait. Perspektif kelembagaan juga dapat dilihat berdasarkan asal terbentuknya. Dalam hal ini dikenal adanya kelembagaan tradisional dan kelembagaan modern : 1. Kelembagaan tradisional, memiliki ciri-ciri : a. Lembaga yang berasal dan terbentuk dari dalam masyarakat itu sendiri, identik dengan “lembaga” dari perspektif kelembagaan. b. Memenuhi kebutuhan anggota masyarakat secara langsung. c. Bersifat kekeluargaan atau non-formal. 2. Kelembagaan modern, memiliki ciri-ciri : a. Lembaga yang berasal dan terbentuk dari luar, identik dengan perspektif “organisasi”. b. Cenderung bersifat formal, yakni memiliki perumusan tertulis berkenaan dengan tujuan, prosedur penerimaan anggota dan pengurus serta peraturan-peraturan. c. Terdapat hierarkhi, yakni adanya pola wewenang yang berbentuk piramida d. Ukuran, yakni jumlah anggota organisasi umumnya besar sehingga relasi sosial diantara mereka cenderung tidak langsung tatap muka e. Durasi atau Kelangsungan, yakni umur organisasi selalu lebih lama dari usia keterlibatan anggotanya. Berdasarkan uraian tentang asal terbentuknya, Kelompok
Pengelola
Kawasan Wisata Pesisir “Samudera Baru” merupakan bentuk kelembagaan yang masih bersifat tradisional. Kelompok dibangun lebih atas dasar hubungan kekeluargaan dan pertemanan, komuniasi
yang
terjadi didasarkan pada
komunikasi langsung dan bersifat informal, mengenal adanya pembagian tugas dan peranan tetapi belum dituangkan secara tertulis. Pelaksanaan tugas dan peranan lebih didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok.
23
Berbagai jenis kelembagaan dikelompokkan ke dalam delapan kebutuhan hidup manusia (Koentjaraningrat, 1997) : 1.
Kelembagaan kekerabatan
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan (domestic institutions) berupa kelembagaan pelamaran,
perkawinan, poligami, pengasuhan anak-anak, perceraian dan sebagainya. 2.
Kelembagaan (economic
untuk
memenuhi
institutions)
berupa
kebutuhan
mata
pertanian,
pencaharian
peternakan,
hidup
pemburuan,
feodalisme, industri barter, koperasi, penjualan dan sebagainya. 3.
Kelembagaan institutions)
untuk berupa
memenuhi pengasuhan
kebutuhan anak-anak,
pendidikan pendidikan
(educational menengah,
pendidikan keagamaan, perpustakaan, pers dan sebagainya. 4.
Kelembagaaan untuk memenuhi kebutuhan ilmiah manusia (scientific institutions) berupa metode ilmiah, penelitian, pendidikan ilmiah dan sebagainya.
5.
Kelembagaan untuk menyatakan rasa keindahan dan rekreasi (aesthetic and recreational institutions) misalnya seni rupa, seni suara, seni gerak, kesusasteraan, olah raga dan sebagainya. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir “Samudera Baru” dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk kelembagaan untuk memenuhi kebutuhan rekreasi bagi masyarakat.
6.
Kelembagaan untuk berhubungan dengan Tuhan dan alam gaib (religious institutions) berupa gereja, do’a, kenduri, upacara, pantangan, ilmu gaib dan sebagainya.
7.
Kelembagaan untuk kehidupan berkelompok atau bernegara (political institutions) yaitu sistem pemerintahan, demokrasi, kehakiman, kepartaian, kepolisian dan sebagainya.
8.
Kelembagaan untuk mengurus kebutuhan jasmaniah manusia (somatic institutions), misalnya salon, kedokteran dan sebagainya.
2.3.1.2. Norma-norma Masyarakat Agar hubungan antar manusia dalam suatu masyarakat dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan, maka dibutuhkan adanya norma-norma. Normanorma dan peraturan-peraturan masyarakat ini memiliki fungsi : 1. Memberikan pedoman pada anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah dalam
24 masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan sekaligus melarang seorang anggota masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. 2. Menjaga keutuhan dan kerjasama masyarakat. Disatu pihak norma-norma dan peraturan-peraturan memaksa orang
agar menyesuaikan tindakan-
tindakan yang ditampilkan dengan dengan norma-norma dan peraturanperaturan yang berlaku, sedangkan di lain pihak mengusahakan agar masyarakat
menerima
seseorang
karena
kemampuannya
untuk
menyesuaikan diri. 3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial, artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah-laku anggota-anggotanya. Secara konseptual terdapat empat tingkatan norma, mulai dari kekuatan mengikat yang terlemah sampai pada yang terkuat, yaitu : 1. Cara (usage), dalam hubungan antar-individu didalam masyarakat tampak lebih menonjol atau menunjuk pada suatu perbuatan. Suatu penyimpangan, secara moral dirasakan sebagai sesuatu yang tidak pantas dan masyarakat menilainya sebagai sesuatu yang janggal. 2. Kebiasaan (folkways),
memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar
dibandingkan dengan usage. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama. Bagi yang melanggar kebiasaan, secara moral akan merasa malu dan akan dicela oleh masyarakat. 3. Tata kelakuan (mores), merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara berprilaku dan diterima sebagai norma-norma pengatur; mencerminkan sifatsifat yang hidup dari kelompok manusia berfungsi sebagai alat pengawas atau kontrol oleh masyarakat terhadap para angggotanya, baik secara sadar maupun tidak sadar. Tata kelakuan ini sangat penting, karena : memberikan batas-batas pada perilaku
individu, mengidentifikasi individu dengan
kelompoknya serta menjaga solidaritas antar anggota masyarakatnya. Orang-orang yang melanggar tingkatan norma tata kelakuan, secara moral akan merasa bersalah dan para pelanggar akan dihukum oleh masyarakat. 4. Adat istiadat (customs), merupakan tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat. Apabila adat istiadat dilanggar, secara moral pelanggar akan merasa berdosa dan masyarakat akan mengeluarkan pelaku dari komunitasnya.
25 Norma-norma tersebut akan mengalami suatu proses sebelum akhirnya menjadi bagian dari kelembagaan yang ada di masyarakat. Proses ini dinamakan dengan pelembagaan, meliputi tahapan, yaitu : 1. Diketahui; norma baru diketahui oleh masyarakat sehingga memiliki taraf pelembagaan yang masih rendah. 2. Dipahami atau dimengerti; norma dipahami dan dimengerti oleh masyarakat serta mengatur perilaku mereka sehingga memiliki taraf pelembagaan yang mulai meningkat. 3. Ditaati; apabila masyarakat mengerti dan memahami norma-norma yang mengatur kehidupannya, maka terdapat kecenderungan bahwa norma-norma tersebut akan ditaati. 4. Dihargai; apabila norma-norma tersebut diketahui, dipahami dan dimengerti serta ditaati maka norma tersebut kemudian akan dihargai. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” sebagai bagian dari
komunitas
atau
masyarakat
seharusnya
dituntut
untuk
mampu
menyesuaikan dengan nilai-nilai atau norma-norma yang ada di pada masyarakat sehingga tidak
menimbulkan
penyimpangan-penyimpangan
yang dapat
mengakibatkan terjadinya konflik dengan masyarakat.
2.3.1.3. Kontrol atau Pengendalian Sosial Kontrol
atau
pengendalian
sosial
meliputi
berbagai
direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik,
proses,
baik
mengajak atau bahkan
memaksa warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Kontrol atau pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu maupun oleh individu terhadap kelompok sosial; oleh suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosial lainnya atau oleh suatu kelompok sosial terhadap individu. Kontrol atau pengendalian sosial bertujuan untuk mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat atau untuk mencapai keadaan damai melalui keserasian antara kepastian dengan keadilan. Kontrol atau pengendalian sosial dapat bersifat : 1. Preventif; yaitu upaya pencegahan terhadap terjadinya gangguan-gangguan pada keserasian antara kepastian dengan keadilan. Dilaksanakan melalui proses sosialiasi, pendidikan formal maupun informal.
26 2. Represif; yaitu upaya untuk mengembalikan keserasian yang pernah mengalami gangguan. Dilaksanakan melalui pemberian sanksi terhadap warga masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari norma-norma yang berlaku. 3. Dilaksanakan dengan menggabungkan kedua hal di atas. Kontrol atau pengendalian sosial dapat dilaksanakan dengan berbagai cara yang pada prinsipnya berkisar pada cara-cara tanpa kekerasan atau persuasive dan cara-cara paksaan atau coercive. Cara-cara yang dipilih akan sangat tergantung pada faktor “terhadap siapa kontrol atau pengendalian sosial tersebut diberlakukan dan dalam situasi dan kondisi yang bagaimana”. Dalam situasi dan kondisi yang relatif tenteram cara-cara persuasive mungkin akan jauh lebih efektif daripada penggunaan coercive. Coercive mungkin akan efektif jika diterapkan terhadap warga yang melakukan tindakan-tindakan penyimpangan. Berdasarkan uraian tentang konsep kelembagaan di atas, penulis mengambil batasan kelembagaan dalam kajian ini adalah kelembagaan sebagai suatu pranata sosial, yaitu suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas manusia
untuk memenuhi kompleks
kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Sistem tata kelakuan ini diwujudkan dalam suatu tata aturan yang mengatur hubungan antar manusia dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Pelaksanaan nilai-nilai dan tata aturan yang terdapat dalam kelompok
memerlukan peran
penting kontrol atau pengendalian, baik bersumber dari internal kelompok maupun eksternal kelompok. Kontrol atau pengendalian sosial ini diharapkan mampu
menopang
upaya
mewujudkan
kawasan
wisata
pesisir
secara
berkelanjutan. Tetapi, dalam pelaksanaan aktivitasnya, kelompok ini
belum
melibatkan kelembagaan-kelembagaan tersebut, baik lokal (BPD, LPM, Tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda), pemerintah (Sie. PMD Kecamatan Pedes, UPTD PKP Kecamatan Pedes, Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang) maupun swasta (pengusaha).
2.3.2. Modal Sosial Upaya pengembangan kelembagaan, dalam hal ini kelembagaan pengelola kawasan wisata pesisir harus dikembangkan berdasarkan potensi modal sosial
27 (trust, norm, networking) yang telah terbentuk ditingkat grasroot (Dharmawan, 2004). Modal sosial terbentuk melalui pengembangan hubungan-hubungan aktif, partisipasi, demokrasi, penguatan pemilikan komunitas dan kepercayaan. Sumber-sumber modal sosial muncul dalam bentuk tanggung jawab dan harapan-harapan yang tergantung dari kepercayaan lingkungan sosial, aliran informasi dalam struktur sosial dan dan norma-norma yang disertai sanksi. Colleta dan Cullen dalam Tonny, (2005) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil organisasi sosial ekonomi, seperti pandangan umum, kepercayaan, pertukaran timbal balik, pertukaran ekonomi dan informasi kelompok-kelompok informal dan asosiasiasosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Daryanto (2004) mengungkapkan bahwa apabila pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat berkelanjutan, maka hubungan, sikap dan pranata sosial dalam masyarakat harus diperbaiki. Masyarakat yang memiliki modal sosial dapat
mendukung
pengembangan
pengembangan
modal
sosial
perlu
potensi
ekonomi.
dilakukan
agar
Revitalisasi masyarakat
dan dapat
mengembangkan roda perekonomian. Dengan demikian, kajian tentang Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal melalui pendekatan strategis kelembagaan perlu dikembangkan berdasarkan potensi modal sosial yang dimiliki. Tonny (2004) mengemukakan dimensi-dimensi yang dimiliki Modal Sosial yaitu : 1. Dimensi Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan yang ada didasarkan pada hubungan kekerabatan, etnik dan agama. 2. Dimensi pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas berupa jejaring (networking) dan asosiasi-asosiasi bersifat kewargaan (civic associations) yang menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama. 3. Integritas
organisasional
(organizational
integrity),
yaitu
menyangkut
keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakan peraturan.
28 4. Sinergi (sinergy), yaitu menyangkut relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state cmmunity relations). Untuk memahami pengembangan aktivitas ini ditinjau dari Modal Sosial dilakukan analisis berdasarkan Tipologi Modal Sosial (Tonny, 2005) sebagai berikut : Functioning Government Tinggi
Cross Cutting Ties of Social Group Rendah
II Latent Conflict
III Conflic
I Socio Economic Well Being
IV Coping
Cross Cutting Ties of Social Group Tinggi
Functioning Government Rendah Gambar 1 Tipologi Modal Sosial
2.3.3. Gerakan Sosial Baldridge (1986) sebagaimana ditulis oleh Tonny (2005) merumuskan Gerakan Sosial atau Sosial Movement sebagai “suatu bentuk perilaku atau tindakan kolektif yang melibatkan sekelompok orang yang membaktikan diri untuk mendorong atau sebaliknya menolak suatu perubahan sosial”. Perilaku kolektif diartikan sebagai suatu bentuk perilaku yang dilakukan bersama sejumlah
orang, tidak bersifat rutin dan merupakan tanggapan terhadap
rangsangan tertentu. Arti lain Gerakan Sosial, sebagaimana ditulis Sztompka (2004) dalam, yaitu : 1. Kolektifitas orang yang bertindak bersama. 2. Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka, yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama. 3. Kolektifitas relatif tersebar, namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal.
29 4. Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi, namun tidak terlembaga dan bentuknya tidak konvensional. Dengan demikian, Gerakan Sosial merupakan tindakan kolektif yang diorganisir secara longgar, tanpa cara terlembaga untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat mereka. Penekanan serupa ditemukan dalam berbagai definisi pakar dari berbagai literatur, yaitu : 1. Upaya kolektif untuk membangun tatanan kehidupannya yang baru (Blumer, 1951 : 199) 2. Upaya kolektif untuk mengubah tatanan sosial (Lang & Lang, 1961 : 507) 3. Upaya kolektif untuk mengubah norma dan nilai (Smelser, 1962 : 3) 4. Tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu (Turner & Killian, 1972 : 246) 5. Upaya kolektif untuk mengendalikan perubahan atau untuk mengubah arah perubahan (Lauer, 1976 : XIV) Jika dicermati dari perspektif Gerakan Sosial, aktivitas wisata pesisir di Desa Sungaibuntu dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku yang dapat dikategorikan sebagai suatu Gerakan Sosial, sebab : 1. Bentuk-bentuk perilaku di atas sifatnya tidak rutin atau tidak biasa dilakukan. 2. Tindakan atau kegiatan di atas, tidak dilakukan secara individual, melainkan dilakukan secara kolektif, yaitu oleh sejumlah penduduk yang bergabung untuk berpartisipasi mendukung dan merealisasikan gagasan kepala desa. 3. Aksi-aksi di atas memiliki tujuan dan cara-cara yang disepakati bersama. 4. Aksi-aksi atau kegiatan kolektif pengelolaan wisata ini dilakukan untuk membangun tatanan kehidupan yang baru, mengubah tatanan sosial serta mengubah norma dan nilai, yaitu untuk mengubah dan memperbaiki tatanan kondisi kehidupan masa lalu yang dianggap belum mendayagunakan dan memberdayakan secara efektif sumberdaya alam yang dimiliki dan sumberdaya manusia atau tenaga kerja yang ada.
Ciri dasar Gerakan Sosial menurut Smelser (1971) sebagaimana ditulis oleh Tonny (2005) terdapat empat ciri dasar dari perilaku kolektif, yaitu :
30 1. Nilai, merupakan tujuan umum yang menjadi penuntun bagi terjadinya social movement, menyangkut hal-hal baik atau buruk, negatif atau positif. 2. Norma, merupakan aturan yang menuntun keseluruhan upaya pencapaian sasaran social movement, menyangkut aspek-aspek tertulis atau tidak tertulis. 3. Proses, yang mendasari terjadinya aksi-aksi kolektif 4. Momentum, merupakan situasi sosial yang sangat mendukung terjadinya suatu tindakan sosial.
2.4. Kelembagaan dan Pembangunan Ekonomi Faktor kelembagaan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang memungkinkan adanya pembagian kerja secara seimbang, peningkatan pendapatan, perluasan upaya kegiatan serta kebebasan untuk memperoleh peluang usaha. Pembangunan ekonomi dipandang sebagai strategi utama bagi pembangunan sosial. Midgley alih bahasa oleh Setiawan dan Abbas (2005) mengungkapkan bahwa pembangunan sosial merupakan proses perubahan sosial yang terencana yang didisain untuk mengangkat kesejahteraan penduduk secara menyeluruh dengan menggabungkannya dengan pembangunan ekonomi yang dinamis. Soemarjan dalam Soekanto (2002) mengungkapkan rumusan perubahan sosial sebagai segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya termasuk nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam suatu masyarakat. Gillin dan Gillin dalam Soekanto (2002) mengemukakan perubahan sosial sebagai variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan ‘keseimbangan’ dan ‘kesatuan’ pembangunan sosio-ekonomi sebagai gabungan komponen pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi. Saptana et al., (2003) mengungkapkan bahwa terdapat tiga pilar utama kelembagaan sebagai pendukung ekonomi, yaitu: 1. Kelembagaan
komunitas
lokal
tradisional
(voluntary
sector)
perlu
ditransformasikan ke arah kelembagaan komunitas lokal yang maju dan responsif terhadap perubahan.
31 2. Kelembagaan pasar (private sector); kelembagaan pasar dapat menciptakan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang memiliki jiwa kewirausahaan yang tinggi, ulet, tidak mengenal lelah serta dinamis dalam mengikuti perubahan. 3. Kelembagaan politik ditingkat lokal (public sector); kelembagaan ini dapat mempermudah akses masyarakat dalam pengambilan keputusan
pada
tingkat otonomi yang lebih tinggi Dengan demikian, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata sebagai suatu kelembagaan yang bersifat lokal tradisional, agar dapat meningkatan kondisi kehidupan sosio ekonomi serta menjadi aktivitas wisata yang berkelanjutan harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan kelembagaan baik private sector maupun public sector.
2.5. Pembangunan Berkelanjutan Ndraha, (1990) mengungkapkan bahwa
pembangunan sebagai upaya
yang terus menerus dilakukan dan bertujuan menempatkan manusia pada posisi dan
peranannya
yang
wajar
dan
mengembangkannya
sehingga
dapat
berhubungan serasi dan dinamis ke luar dan berkembang serasi, selaras dan seimbang di dalam.
Katz M. Saul dalam Ndraha, (1990) menyatakan
pembangunan merupakan perubahan besar-besaran suatu bangsa dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik, sebagaimana diungkapkan : “major societal change from one state of national being to another, more valued, state”. Goulet et al., dalam Ndraha, (1990) menyatakan tiga tujuan pembangunan, yaitu ekonomi, perubahan sosial dan nilai etik. Ketiga hal tersebut diungkapkan oleh Michael dalam Ndraha, (1990) melalui tiga konsep, meliputi
kebutuhan
hidup (pertumbuhan ekonomi), kebebasan memilih (perubahan sosial) dan harga diri (nilai etik). Supriatna, (1997) menyatakan bahwa pada awalnya konsep pembangunan di Indonesia lebih difokukan pada pertumbuhan ekonomi. Strategi ini mampu meningkatkan pertumbuhan pendapatan nasional, tetapi tidak dapat menjamin meratanya distribusi pendapatan nasional dan harapan “trickle down effect” bahkan lebih banyak merugikan masyarakat lapisan bawah; hasil-hasil pembangunan lebih terkonsentrasi pada sekelompok orang, yang ditandai dengan semakin meningginya tingkat pengangguran, urbanisasi, marginalisasi
32 kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kondisi demikian memunculkan konsep pembangunan dengan strategi pertumbuhan dan pemerataan “Growth and Equity” Penerapan konsep pembangunan dengan strategi pertumbuhan dan pemerataan “Growth and Equity”
ternyata juga menimbulkan permasalahan
baru, yakni pengurasan sumber daya alam yang mengancam kelangsungan pembangunan itu sendiri. Ketergantungan terhadap negara maju berupa pola konsumsi, investasi, bantuan dan pinjaman luar negeri telah menimbulkan ekses negatif terjadinya pengurasan terhadap sumber daya alam, disamping masalahmasalah pengangguran, urbanisasi, pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Kegagalan berbagai konsep pembangunan di atas melahirkan konsep pembangunan baru, yaitu konsep pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia atau human development. Konsep ini dipandang sebagai pembangunan alternatif dengan berbasis pada pemberdayaan dan pendekatan partisipatif masyarakat. Konsep pembangunan berkelanjutan yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia lebih dititikberatkan pada pembangunan sosial dan lingkungan
agar
mendukung
pertumbuhan
ekonomi.
Konsep
“sustained
development” ini dicirikan dengan : 1. Berorientasi pada manusia sebagai subjek pembangunan “people centered development” dan “promote the empowerment people”. (Supriatna, 1997) 2. Bryant et al., dalam Ndraha, (1990), menyebutkan : a. Membangkitkan kemampuan
optimal manusia, baik secara individu
maupun kelompok (capacity). b. Mendorong
tumbuhnya
kebersamaan
dan
kemerataan
nilai
serta
kesejahteraan (equity). c. Menaruh kepercayaan pada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki. Kepercayaan ini dinyatakan
dalam bentuk : kesempatan yang sama, kebebasan memilih dan kekuasaan untuk memutuskan. d. Menciptakan hubungan saling menguntungkan dan saling menghormati. 3. Adanya kerjasama yang harmonis antar masyarakat lokal serta kepercayaaan bahwa rakyat dan masyarakat memiliki kapasitas yang inhern dalam mengorganisir diri mereka sendiri untuk memastikan bahwa kebutuhan
33 mereka dapat terpenuhi, masalah mereka dapat dipecahkan serta tercipta kesempatan untuk memperbaiki hidup. (Midgley, 2005) 4. Suparjan et al., (2003) mengemukakan : a. Terciptanya
hubungan
serasi
antara
needs
dan
resources
serta
menerapkan pendekatan lokalitas, yaitu tidak hanya melalui suatu pendekatan tunggal, seperti penguatan ekonomi saja, tetapi hendaknya dibangun dalam kerangka pendekatan yang komprehensif, holistik
dan
harmonis dengan memperhatikan sistem nilai, kelembagaan yang tumbuh dalam masyarakat setempat, potensi lokal, unit usaha masyarakat dan daya dukung lingkungan. b. Terjadinya transformasi sosial yang bermakna harus bergerak dari dalam diri manusia sendiri, yaitu teraktualisasinya prakarsa, swadaya dan percaya pada kemampuan sendiri. c. Memperhatikan dimensi keseimbangan ekologis dan keadilan sosial. Keseimbangan ekologis, ditujukan pada : - Upaya meminimalkan ketergantungan terhadap sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan menggantikannya dengan sumber daya alam yang dapat diperbaharui. - Upaya meminimalkan polusi lingkungan dan konservasi terhadap sumber-sumber daya alam. Aras keadilan sosial, ditujukan pada terciptanya distribusi pendapatan yang proporsional dari negara terhadap warga negara. d. Adanya pengakuan
terhadap perlunya
peran yang
seimbang
dari
stakeholders. Strategi ini menekankan pentingnya kemitraan yang sejajar antara pemerintah, masyarakat, pihak swasta dan LSM. Dalam konteks pengembangan kawasan wisata pesisir “Samudera Baru”, apabila kawasan tersebut diharapkan dapat menjadi kawasan wisata yang berkelanjutan, maka konsep pengembangan kasawan wisata tersebut disamping berorientasi pada aspek ekonomi juga harus mempertimbangkan aspek-aspek sosial ekologis dan keagrariaan, meliputi kemampuan :
34 1. Menjalin hubungan kerjasama yang harmonis, baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal, kerjasama
dilaksanakan dengan sesama anggota
kelompok (internal kelompok) dan pihak-pihak yang ada didalam komunitas. Hal ini berarti bahwa Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, dituntut untuk : a. Mampu menciptakan hubungan dan komunikasi yang baik dan seimbang sehingga terjalin keserasian antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok serta tidak terjadi dominasi dari ketua didalam kelompok. b. Memberikan kontribusi bagi komunitas pesisir pada umumnya, baik secara ekonomi maupun sosial. Secara ekonomi, dapat membuka kesempatan bagi peningkatan
pendapatan
komunitas
atau
peningkatan
anggaran
pembangunan desa. Secara sosial, dapat mengharumkan dan memberikan kebanggaan pada komunitas serta melibatkan kelembagaan-kelembagan lokal yang ada. Kondisi ini dapat menumbuhkan partisipasi dan tanggung jawab sosial komunitas untuk memelihara dan melestarikan aktivitas tersebut. Suparjan et al., (2003) mengungkapkan pengertian partisipasi dari berbagai pakar yang intinya merupakan : “keterlibatan mental dan emosional seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk ikut serta menyumbangkan kemampuan dalam mencapai tujuan kelompok dan ikut bertanggungjawab atas tujuan kelompok tersebut”. c. Mempertegas dan memperjelas status serta izin pemanfaatan tanah timbul yang dijadikan sebagai kawasan wisata. Apabila ketidakjelasan ini tetap dibiarkan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya konflik pertanahan dengan masyarakat (potential/latent confilct). Fisher (2001) dalam Prasodjo et al., (2004), mengartikan konflik sebagai suatu benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan dan kelangkaan sumberdaya. Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu bentuk hubungan antar dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Secara vertikal, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” harus mampu bekerjasama dengan pihak-pihak di luar komunitas, baik pihak swasta maupun pemerintah.
35 Upaya kerjasama dengan pihak swasta yang pernah ditempuh, yaitu dengan perusahaan Teh Botol, PT. Gudang Garam, Indosat (Mentari) berupa pemasangan tenda dan spanduk-spanduk. Upaya kerjasama dengan pemerintah dapat dilakukan dengan pihak UPTD PKP, Sie. PMD Kecamatan Pedes, Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. Tetapi, selama aktivitas ini berlangsung belum ada bentuk kerjasama nyata yang dilaksanakan dengan Sie. PMD dan Dinas Pariwisata. Kerjasama dengan pihak pemerintah dilaksanakan dengan pihak UPTD PKP dalam upaya-upaya penanganan abrasi air laut. 2. Melaksanakan upaya-upaya pemeliharaan dan pelestarian lingkungan di kawasan wisata. Atraksi atau nilai jual dari pengembangan kawasan wisata ini adalah keindahan alam pesisir. Untuk itu kebersihan, keindahan dan kelestarian alam pada kawasan tersebut mutlak harus dipelihara dan dipertahankan. Ancaman terhadap kelestarian atau kesinambungan kawasan muncul dari : a. Tingginya abrasi air laut; berdasarkan informasi dari Kepala UPTD PKP serta pengamatan penulis, sejak tahun 1985 sampai dengan saat ini abrasi telah mencapai tingkatan relatif parah, yaitu sekitar 300 meter. Tingginya abrasi air laut mengakibatkan daratan semakin menyempit dan dalam kurun waktu 2005 para pedagang di lokasi wisata telah memindahkan (mundur dari garis pantai) bangunannya sepanjang dua meter. Kondisi seperti ini dapat mengancam keberlanjutan kawasan wisata. b. Masih lemahnya kepemimpinan kelompok dalam menggerakkan anggota kelompok, para pedagang di lokasi wisata serta para pengunjung dalam menjaga dan memelihara keindahan, kebersihan dan kelestarian lingkungan wisata. 3. Mampu meminimalisir maraknya kehidupan “warung remang-remang” atau fenomena prostitusi. Munculnya fenomena ini menimbulkan tanggapan beragam dari komunitas. Kelompok para pemuda menilai hal ini sebagai aktivitas turun temurun yang biasa terlihat dan tidak menggangu kehidupan masyarakat karena kawasan tersebut terletak sekitar 1,5 kilometer dari pemukiman penduduk. Sedangkan tokoh masyarakat dan tokoh agama menilai fenomena prostitusi sebagai sumber kemaksiatan yang akan mencoreng nama baik desa dan harus dihapuskan.
36 2.6. Analisis Relevansi Pekerjaan Sosial, Kelembagaan dan Pembangunan Berkelanjutan Pekerjaan Sosial menurut Charles Zastrow (1982) merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka serta menciptakan kondisikondisi
masyarakat
yang
kondusif
bagi
keberfungsian
sosial
mereka,
sebagaimana diungkapkan bahwa : “Social work is the professional activity of helping individuals, groups or communities to enhance or restore their capacity for social functoning and to create societal conditions favorable to their goals”. Pernyataan serupa diungkapkan oleh Skidmore dan Tackeray (1982) yang menyatakan keberfungsian
bahwa
Pekerjaan
individu,
baik
Sosial
secara
bertujuan
individual
untuk
maupun
meningkatkan kelompok
yang
kegiatannya difokuskan pada relasi sosial mereka, khususnya interaksi antara manusia dengan lingkungannya : “Social work seeks to enhance the social functioning of individuals, singly and in groups, by activities focused upon their social relationship which constitute the interaction between man and his environtment”. Dubois dan Miley (2005) menyatakan bahwa tujuan dan sasaran Pekerjaan Sosial mengarahkan Pekerja Sosial untuk memperkuat kompetensi kelayan, mengkaitkan
mereka
dengan
sumber-sumber,
menolong
perkembangan
perubahan bagi organisasi maupun kelembagaan sosial agar lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sebagaimana diungkapkan yaitu : “The goals and objectives lead social workers to enhance clients’ sense of competence, link them with resources and foster changes that make organization and social institutions more responsive to citizens’ need”. Secara rinci, maksud dari Pekerjaan Sosial yaitu : 1. Memperkuat
keberfungsian
sosial
bagi
individu,
keluarga,
kelompok,
organisasi maupun komunitas 2. Mengkaitkan sistem kelayan dengan sumber-sumber yang dibutuhkan 3. Memperbaiki pelaksanaan jaringan pemberian pelayanan sosial 4. Meningkatkan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial Hal ini sebagaimana diungkapkan Dubois dan Miley (2005) :
37 ϕ
Purpose of Social Work
Enhance social functioning of individuals, families, group, organizations and communities ϕ Link client systems with needed resources ϕ Improve the operation of the social service delivery network ϕ Promote social justice through development of social policy
Dengan demikian, pengertian Pekerjaan Sosial mengandung dua unsur pokok, yaitu : 1. Pekerjaan Sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial orang, baik sebagai individu, kelompok mupun masyarakat. 2. Fokus utamanya adalah pada hubungan sosial, khususnya tentang interaksi manusia dengan lingkungan sosialnya.
Guzman (1983) menyatakan bahwa keberfungsian sosial berkaitan dengan interaksi antara orang dengan lingkungan sosialnya. Keberfungsian sosial mengarah pada cara yang dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya. Orang yang bermasalah adalah orang yang kurang mampu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya secara memadai. Konsepsi pertolongan Pekerjaan Sosial ditujukan agar orang mampu menolong dirinya sendiri dan lingkungannya. Upaya untuk meningkatkan keberfungsian sosial dalam Pekerjaan Sosial dilaksanakan melalui suatu metode praktek Pekerjaan Sosial sebagaimana diungkapakan oleh Dubois dan Miley (2005), yaitu : 1. Casework, yaitu metode praktek Pekerjaan Sosial dengan individu. Metode ini tidak hanya memberikan pertolongan melalui pendekatan langsung pada individu yang bersangkutan, melainkan juga terhadap sistem keluarga sebagai suatu upaya untuk membangun interaksi yang dinamis antara orang dengan lingkungannya. 2. Group Work, yaitu suatu metode prakek dalam Pekerjaan Sosial dengan memanfaatkan
kelompok
sebagai
suatu
proses
pertolongan
untuk
mendukung perkembangan dan perubahan yang diharapkan. Group work merupakan suatu strategi pemberdayaan untuk mengadakan perubahan terhadap individu, yang pada penerapannya dilaksanakan melalui kolaborasi dengan organisasi maupun kelompok-kelompok dalam suatu komunitas.
38 3. Community Organization, yaitu metode praktek dalam Pekerjaan Sosial yang bersifat
makro,
meliputi
kegiatan
pengorganisasian
masyarakat,
pengembangan organisasi dan pembaharuan sosial. Gagasan pemecahan masalah dalam metode ini membutuhkan keterlibatan para pemimpin atau tokoh masyarakat, termasuk pihak pemerintah, para pengusaha baik dari perusahaan negara maupun swasta, organisasi-organisasi kedaerahan dan keagamaan, para profesional, para pengguna jasa kepentingan atau pelayanan umum serta badan-badan pendanaan lainnya. Orang-orang berpartsipasi dalam masyarakat, mengadakan perubahan “dari masyarakat dan untuk masyarakat”, mereka meyakini bahwa masalah utama terletak pada aksi atau aktivitas yang diselenggarakan oleh masyarakat itu sendiri. Pelaksanaan metode praktek Community Organization semakin diperlukan seiring dengan terjadinya pergeseran paradigma dalam Pekerjaan Sosial sebagaimana diungkapkan Muhidin dalan Huraerah (2003) bahwa : “Krisis moneter sejak tahun 1998 telah menyebabkan terjadi perubahan paradigma dalam Pekerjaan Sosial, yaitu bahwa pendekatan-pendekatan klinis yang sifatnya berskala kecil tidak mampu menyelesaikan masalahmasalah sosial yang sifatnya luas. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan lebih menekankan pada peningkatan potensi-potensi dan partisipasi masyarakat secara luas”. Untuk itu, upaya dalam membantu orang, baik secara inidividu maupun kolektif agar mampu menolong dirinya sendiri dan lingkungannya dilaksanakan melalui strategi pengembangan masyarakat. Kegiatan pengembangan masyarakat diartikan sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk mewujudkan kondisi kehidupan yang lebih baik bagi keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan inisiatif masyarakat. Hal ini meliputi berbagai kegiatan pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga non pemerintah. Pengembangan masyarakat harus dilakukan melalui gerakan koperatif dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat. Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan Brokensha dan Hodge (1969) sebagaimana dikutip Adi (2003) : “Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation, and, if possible, on the initiative of the community... it includes the whole range of the development activities in the district whether these are
39 undertaken by government or unofficial bodies...[Community development] must make use of the cooperative movement and must be put into effect in the closest association with local government bodies”. Aktivitas
pengembangan
masyarakat
pada
intinya
ditujukan
agar
pembangunan yang dilaksanakan didasarkan pada manusia sebagai subjek pembangunan dengan memperhatikan aspek-aspek lokalitas. Dengan demikian, pembangunan memiliki basis atau akar yang kuat pada komunitas lokal sehingga mendukung terwujudnya aktivitas pembangunan secara berkelanjutan. Upaya kegiatan pengembangan masyarakat yang dapat mendukung terwujudnya
aktivitas
pembangunan
secara
berkelanjutan
diantaranya
dilaksanakan melalui suatu pendekatan strategis, yaitu penguatan kelembagaan. Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” sebagai upaya bagi pengembangan kawasan wisata ini mencakup adanya sejumlah peranan-peranan sosial dan tata aturan serta nilai-nilai dalam pelaksanaan aktivitas wisata sehingga mendorong terwujudnya kawasan wisata secara berkelanjutan. Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata Wisata “Samudera Baru” merupakan salah satu upaya pemberdayaan komunitas lokal. Dharmawan (2002) mendefinisikan makna pemberdayaan sebagai proses untuk memperoleh energi yang cukup, yang memungkinkan orang untuk mengembangkan kemampuannya dan memperoleh posisi tawar yang kuat dalam mengambil keputusan serta kemudahan untuk memperoleh akses bagi kehidupan yang lebih baik, sebagaimana kutipan berikut ini : ”a process of having enough energy enabling people to expand their capabilities, to have greater burgaining power, to make their own decisions and to more easily access to a source of better living”. Merriam Webster sebagaimana dikutip Negarayati (2004) mengungkapkan bahwa pemberdayaan mengandung dua pengertian, yaitu : 1. Upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan agar kondisi kehidupan masyarakat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan, dan 2. Memberi kewenangan, mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada
masyarakat
agar
masyarakat
memiliki
kemandirian
dalam
pengambilan keputusan dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri.
40 Menurut
Ife
dalam
Suharto
(2005),
pemberdayaan
bertujuan
untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Dengan demikian, pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yaitu kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau penguasaan orang atau komunitas dalam menentukan: 1. Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan hidup; kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup, tempat tinggal, pekerjaan. 2. Pendefinisian kebutuhan; kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya. 3. Ide atau gagasan; kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4. Lembaga-lembaga;
kemampuan
menjangkau,
menggunakan
dan
mempengaruhi pranata-pranata masyarakat, seperti lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan. 5. Sumber-sumber; kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan. 6. Aktivitas ekonomi; kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi dan pertukaran barang dan jasa. Pemberdayaan merupakan sebuah proses sekaligus tujuan. Sebagai suatu proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat. Sebagai suatu tujuan, pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh suatu perubahan soial, yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial, seperti kepercayaan diri,
mampu
menyampaikan
aspirasi,
mempunyai
matapencaharian,
berpartisipasi dalam kegitan sosial serta mandiri dalam melaksanakan tugastugas kehidupannya. Dengan demikian, konsep pemberdayaan merupakan suatu bentuk upaya dalam
meningkatkan
keberfungsian
sosial.
Keberfungsian
sosial
yang
diharapkan dalam kajian ini, yaitu : 1. Bagi anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru “, yaitu mampu berperan dan melaksanakan tugas-tugasnya agar :
41 a. Tujuan pengembangan kawasan wisata tidak hanya berorientasi pada faktor ekonomi sehingga mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat serta menimbulkan adanya kekurangtanggapan terhadap keindahan dan kelestraian lingkungan atau kawasan wisata. Dengan kata lain, mengabaikan faktor-faktor sosial ekologis sebagai penopang keberlanjutan kawasan tersebut. b. Pemimpin atau ketua kelompok pengembangan kawasan wisata memiliki pemahaman bahwa kelompok tidak dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan ekonomi hanya tidak dinikmati secara pribadi atau oleh kelompok semata-mata. c. Dilaksanakan pembagian tugas dan peranan dalam kelompok secara jelas dan tegas serta anggota kelompok dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan sehingga ketidaktransparanan
(intransparency)
manajemen
kelompok
dapat
dihindari. d. Pola hubungan dan komunilkasi dalam kelompok yang sifatnya informal dan formal terjadi secara seimbang dan proporsional. Pola hubungan dan komunilkasi dalam kelompok tidak hanya didasarkan pada pola hubungan kekerabatan dan pertemanan sehingga sulit menerapkan sistem sanksi secara jelas. e. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi, maupun konsultasi tidak hanya dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau disebabkan oleh hal-hal yang sifatnya
mendesak
serta
tidak
mengabaikan
kerjasama
dengan
kelembagaan lokal yang ada. f. Memiliki pengetahuan dan pemahaman secara benar dalam tata cara menjaga dan memelihara keindahan serta kelestarian lingkungan di kawasan wisata sebagai penopang keberlanjutan kawasan. 2. Bagi stakeholders, dalam hal ini meliputi Kepala Unit Pelaksana
Teknis
Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes; tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah Desa Sungaibuntu, termasuk BPD (Badan Perwakilan/Permusyawaratan Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat); Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes, meliputi Camat, Kasi. Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD);
42 Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang : Mampu meningkatkan pola hubungan dan gerakan koperatif dengan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” sehingga dapat berperan dan berfungsi sebagai kontrol sosial dalam upaya meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, seperti adanya fenomena prostitusi
terselubung,
munculnya
potensi
konflik
keagrariaan,
ketidaktransparanan dan kekurangtanggapan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata terhadap aspirasi dan harapan komunitas.
Analisis relevansi Pekerjaan Sosial, Kelembagaan dan Pembangunan Berkelanjutan dapat dilihat dari gambar di bawah ini :
Pekerjaan Sosial
Keberfungsian Sosial
Pembangunan Berkelanjutan
Sebagai Upaya Pemberdayaan
Pengembangan Masyarakat
Penguatan Kelembagaan
Gambar 2 Relevansi Pekerjaan Sosial, Kelembagaan dan Pembangunan Berkelanjutan Secara sederhana gambar di atas menunjukkan bahwa Pekerjaan Sosial bertujuan untuk meningkatkan keberfungsian sosial orang, baik sebagai individu, kelompok maupun masyarakat. Meningkatnya kemampuan keberfungsian sosial orang, baik secara individu, kelompok maupun masyarakat diharapkan akan mampu mendukung kegiatan pembangunan secara berkelanjutan. Pekerjaan Sosial memiliki salah satu metode praktek yang dinamakan Pengorganisasian dan Pengembangan
Masyarakat atau dikenal dengan
Community Organization and Community Development. Strategi pengembangan masyarakat dalam hal ini dilaksanakan melalui pendekatan penguatan kelembagaan.
43 Melalui
pendekatan penguatan kelembagaan diharapkan orang yang
terikat dalam suatu wadah kelembagaan dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya
sehingga
mampu
mendukung
kegiatan
pembangunan
secara
berkelanjutan.
2.7. Penguatan Kapasitas Kelompok
Strategi penguatan kelembagaan dapat ditempuh melalui penguatan kapasiatas kelompok. Johnson & Johnson (1987) dalam Sarwono (1997) mengidentifikasi
sedikitnya
terdapat
tujuh
jenis definisi
kelompok yang
penekanannya berbeda-beda, yaitu : 1. Kumpulan individu yang saling berinteraksi (Bonner, 1959 ; Stogdill, 1959). 2. Satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sendiri sebagai bagian dari diri kelompok itu (Bales, 1950 ; Smith, 1945). 3. Sekumpulan individu yang saling tergantung (Cartwright dan Zander, 1968; Friedler, 1967 ; Lewin, 1951). 4. Kumpulan individu yang sama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan (Deutsch, 1959 ; Mills, 1967). 5. Kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association) (Bass, 1960 ; Cattell, 1951). 6. Kumpulan individu yang interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma (McDavid dan Harari, 1968 ; Sherif, 1956). 7. Kumpulan individu yang saling mempengaruhi (Shaw, 1979). Berdasarkan kumpulan berbagai definisi tersebut di atas,
Johnson &
Johnson (1987) dalam Sarwono (1997) merumuskan definisi kelompok sebagai berikut : Sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka, yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama.
44 Soekanto (2002), membagi kelompok menjadi kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang keanggotaannya terbentuk menurut struktur resmi dan aturan yang dibuat dengan sengaja oleh anggotanya. Sebaliknya kelompok informal merupakan kelompok yang tidak memiliki struktur tertentu dan aturan dibuat secara tidak tegas. Dalam interaksi diantara anggota kelompok terdapat kekuatan atau pengaruh
(Nitimihardjo
dan
Iskandar,
1993).
Anggota
kelompok
saling
berinteraksi secara tetap, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh anggota kelompok lainnya. Keberadaan kekuatan saling mempengaruhi menyebabkan anggota kelompok dapat mengajak orang lain untuk mencapai tujuan. Pencapaian tujuan kelompok dapat dilakukan dengan baik melalui koordinasi. Kepemimpinan didefinisikan sebagai penggunaan kekuatan untuk mencapai tujuan dan memelihara kelompok. Minat-minat yang bertentangan dan konflik tidak mungkin dapat diatur tanpa menggunakan kekuatan (kontrol). Tidak ada komunikasi tanpa pengaruh, yang berarti tidak ada komunikasi tanpa kekuatan. Dengan demikian kekuatan merupakan esensi bagi semua keberfungsian kelompok. Pendekatan kelompok sebagai upaya pemberdayaan menurut Vitalaya (1986) memiliki kelebihan antara lain dapat mempercepat proses adopsi karena terdapat interaksi antara sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengaruhi satu sama lain. Selain itu, Gaetano Mosca dalam Olson (1957) menyatakan bahwa manusia mempunyai naluri untuk berkumpul dan berjuang dengan kumpulan manusia lainnya, sehingga individu ‘senasib’ saling berkumpul dalam suatu kelompok. Kurt Lewin dalam Soekanto (2002) mengungkapkan bahwa lebih mudah untuk mengubah pola tingkah laku individu-individu yang terikat dalam suatu kelompok daripada secara individual. Lebih lanjut Achlis (1983) menulis bahwa penggunaan kelompok merupakan mekanisme yang lebih daripada mekanisme-mekanisme
lainnya dan bahwa kelompok memiliki
kekuatan-kekuatan tertentu yang apabila digali dan dikembangkan atas nama dan kerja sama kelompok dapat merupakan sumber-sumber untuk penyembuhan dan pengembangan bagi para angotanya. Penguatan kapasitas merupakan suatu istilah yang makna dan metodenya bervariasi dan mencakup secara luas diantara orang dan organisasi. Sumpeno (2002) mengungkapkan bahwa penguatan kapasitas berarti terjadi perubahan perilaku untuk :
45 1. Meningkatkan kemampuan individu dalam pengetahuan, keterampilan dan sikap 2. Meningkatkan kemampuan kelembagaan dalam organisasi dan manajemen, keuangan dan budaya 3. Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kemandirian, keswadayaan dan mengantisipasi perubahan. Selanjutnya hasil yang diharapkan adalah ; 4. Penguatan individu, organisasi dan masyarakat 5. Terbentuknya model pengembangan kapasitas dan program, serta 6. Terbangunnya sinergitas pelaku dan kelembagaan
2.8. Kerangka Analisis Keberfungsian sosial mengarah pada cara yang dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, memecahkan permasalahan maupun memenuhi
kebutuhannya.
Sebagai
salah
satu
akibat
dari
adanya
ketidakmampuan dalam melaksanakan keberfungsian sosial ini adalah masih ditemukannya kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakat yang tidak layak. Kondisi kehidupan dan penghidupan tidak layak yang terjadi di Desa Pesisir Sungaibuntu telah memunculkan inisiatif lokal untuk menjalin kerjasama guna memanfaatkan keindahan alam pesisir dalam kegiatan wisata. Upaya untuk mengembangkan
kemampuan
secara
kolektif
dilakukan
melalui
suatu
pendekatan strategis, yaitu penguatan kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Penguatan kelembagaan pengelola kawasan wisata ini diperlukan untuk menopang keberlanjutan pengembangan kawasan wisata. Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal terkait dengan profil kelembagaan yang meliputi aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan. Diasumsikan bahwa profil kelembagaan tersebut mempengaruhi permasalahan-permasalahan Permasalahan-permasalahan
dalam yang
pengembangan terjadi
pada
kawasan
prinsipnya
wisata.
dikategorikan
sebagai permasalahan terkait dengan faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologis dan keagrariaan. Melalui penguatan kelembagaan Pengelola Wisata terkait dengan profil kelembagaan yang meliputi aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian
46 tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan diharapkan : (1) terwujud suatu aktivitas pengembangan kawasan wisata yang tidak berorientasi pada aspek ekonomi semata-mata, melainkan tetap memperhatikan aspek-aspek ekologis, keagrariaan dan sosial; (2) keindahan alam dan lingkungan pesisir sebagai atraksi atau objek wisata yang ditawarkan dapat tetap terjaga dan terpelihara sehingga kawasan wisata akan tetap bertahan dan berkelanjutan; (3) pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan wahana bagi pengembangan masyarakat,
melalui aktivitas ini
diupayakan mampu menumbuhkan pola hubungan dan gerakan koperatif dari Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dengan stakeholders atau pihak-pihak penanggung kepentingan, seperti kelembagaan komunitas lokal (Badan Perwakilan/ Permusyawaratan Desa, LPM, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda) dan kelembagaan pemerintah terkait; (4) melalui peningkatan pola hubungan dan gerakan koperatif dengan stakeholders diharapkan dapat terjalin suatu kontrol atau pengendalian sosial sehingga dapat meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan, seperti adanya fenomena prostitusi terselubung. Pemahaman tentang profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan masalah-masalah yang dihadapi memberikan kontribusi bagi alternatif solusi serta strategi yang harus disusun atau dikembangkan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Strategi pengembangan masyarakat secara partisipatif dibutuhkan dalam upaya-upaya penentuan pemecahan masalah yang didasarkan pada tiga pilar utama kelembagaan, yaitu kelembagaan komunitas lokal tradisional (voluntary sector), kelembagaan pasar (private sector) dan kelembagaan politik ditingkat lokal (political sector). Melalui pengembangan jejaring atau kerjasama ini diharapkan melahirkan
perubahan ide, gagasan dan harapan akan adanya
sejumlah peranan sosial dan sistem nilai serta aturan-aturan baru dalam sistem pengembangan kawasan wisata, yaitu sistem pengembangan kawasan wisata sesuai dengan konteks lokal dan berbasis komunitas lokal. Kerangka analisis kajian dapat ditelaah dari gambar berikut ini :
47
47
PROFIL KELOMPOK PENGELOLA KAWASAN WISATA ”SAMUDERA BARU”
Aspek-aspek : Tujuan Kepemimpinan Pembagian Tugas dan Peranan Pola Hubungan dan Komunikasi Kerjasama Pengetahuan
PERMASALAHANPERMASALAHAN YANG DIHADAPI
ALTERNATIF STRATEGI PENGUATAN KELOMPOK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA
PENYUSUNAN PROGRAM PENGUATAN KELOMPOK DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA
SISTEM PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA SESUAI KONTEKS LOKAL
Gambar 3 Kerangka Analisis Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal
OUTCOMES PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN
48
42
43
Definisi Operasional
1. Komunitas pesisir merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah Desa Sungaibuntu, memiliki rasa identitas sebagai suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri. 2. Pariwisata merupakan aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang untuk berlibur guna menikmati objek atau atraksi wisata, dalam hal ini adalah keindahan alam pesisir yang terdapat di Desa Sungaibuntu. 3. Pengembangan kawasan wisata secara tepat yaitu pelaksanaan aktivitas wisata dengan memperhatikan keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologis dan status keagrariaan sesuai dengan konteks lokal. 4. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata adalah sekumpulan individu berjumlah sepuluh orang yang berinteraksi secara tatap muka, lebih didasarkan pada hubungan kekerabatan, berfungsi memenuhi kebutuhan sarana rekreasi masyarakat. 5. Kelembagaan mengacu pada peranan-peranan yang ditampilkan dan peraturan-peraturan serta sistem nilai yang ada pada Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” terkait dengan aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama serta pengetahuan yang dimiliki. 6. Modal sosial merupakan suatu sistem pengembangan kawasan wisata yang terbentuk melalui pengembangan kepercayaan serta kerjasama baik horizontal maupun vertikal. 7. Pekerjaan Sosial merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka serta menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif bagi keberfungsian sosial mereka.
44 8. Keberfungsian sosial mengacu pada kemampuan atau tatacara yang dipergunakan
orang
dalam
melaksanakan
tugas-tugas
kehidupan,
memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. 9. Pembangunan berkelanjutan adalah upaya yang dilakukan terus menerus dan bertujuan menempatkan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
pada
posisi dan peranan sebagaimana mestinya dan mengembangkan keterlibatan aktif kelembagaan lokal dan pemerintah sehingga terjalin hubungan serasi dan dinamis guna memelihara keseimbangan antara faktor ekonomi dengan faktor-faktor sosial, ekologi dan keagrariaan. 10. Relevansi
1. Komunitas pesisir merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang menempati wilayah Desa Sungaibuntu. dimana satu sama lain saling berinteraksi, menurut suatu sistem adat istiadat serta diikat oleh suatu rasa identitas komunitas yang memiliki ciri-ciri, yaitu adanya kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas sebagai suatu komunitas dan rasa loyalitas terhadap komunitas itu sendiri”.
45 2. Pariwisata merupakan aktivitas bersantai atau aktivitas waktu luang untuk berlibur pada suatu tempat, guna menikmati objek atau atraksi wisata, dalam hal ini adalah keindahan alam pesisir yang terdapat di Desa Sungaibuntu. 3. Pengembangan kawasan wisata secara tepat yaitu pelaksanaan aktivitas wisata dengan memperhatikan keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologis dan status keagrariaan sesuai dengan konteks lokal. 4. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata adalah sekumpulan dua individu atau lebih yang berinteraksi secara tatap muka, berfungsi memenuhi kebutuhan rekreasi masyarakat, masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok dan menyadari keberadaan orang lain sebagai anggota kelompok serta menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. 5. Kelembagaan merupakan sejumlah peranan sosial dan peraturan-peraturan serta sistem nilai yang ada pada
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
“Samudera Baru” dalam upaya menciptakan kawasan wisata pesisir yang mampu menopang agar kegiatan tersebut berkelanjutan sehingga mampu meningkatkan kondisi kehidupan dan penghidupan komunitas secara layak dengan meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan. 6. Modal sosial merupakan suatu sistem yang terbentuk melalui pengembangan hubungan-hubungan
aktif,
partisipasi,
penguatan
pemilikan
komunitas,
kepercayaan, norma-norma yang mengatur dan penegakkan sanksi serta jejaring baik horizontal maupun vertikal. 7. Pekerjaan Sosial merupakan aktivitas profesional untuk menolong individu, kelompok dan masyarakat dalam meningkatkan atau memperbaiki kapasitas mereka serta menciptakan kondisi-kondisi masyarakat yang kondusif bagi keberfungsian sosial mereka. 8. Keberfungsian sosial merupakan tatacara yang dipergunakan orang dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, memecahkan permasalahan maupun memenuhi kebutuhannya. 9. Pembangunan berkelanjutan sebagai upaya yang terus menerus dilakukan dan bertujuan menempatkan manusia pada posisi dan peranannya yang wajar
46 dan mengembangkannya sehingga dapat berhubungan serasi dan dinamis ke luar dan berkembang serasi, selaras dan seimbang di dalam. 10. Pemberdayaan 11. Relevansi
Berdasarkan uraian tentang kensep pariwisata di atas, penulis mengambil batasan konsep pariwisata sebagai upaya memberdayakan komunitas melalui penguatan terhadap kelembagaan lokal ditimbulkan sehingga menjadi aktivitas pariwisata
yang
berkelanjutan
(sustainable).
Upaya
pengembangan
kepariwisataan dengan berbasis komunitas lokal ini diantaranya dilaksanakan melalui pendekatan dengan meningkatkan atau mengembangkan kelembagaan komunitas lokal.
47
Kegiatan pengembangan masyarakat atau community development diartikan sebagai suatu gerakan yang dirancang untuk meningkatkan taraf hidup keseluruhan komunitas melalui partisipasi aktif dan jika memungkinkan berdasarkan
inisiatif
masyarakat...Hal
ini
meliputi
berbagai
kegiatan
pembangunan di tingkat distrik, baik dilakukan oleh pemerintah ataupun lembaga-lembaga
non
pemerintah...
[pengembangan
masyarakat]
harus
dilakukan melalui gerakan koperatif dan harus berhubungan dengan bentuk pemerintahan lokal terdekat...Pernyataan ini sesuai dengan ungkapan Brokensha dan Hodge (1969) sebagaimana dikutip Rukminto (2003) : “Community development is a movement designed to promote better living for the whole community with the active participation, and, if possible, on the initiative of the community... it includes the whole range of the development activities in the district
whether
these
are
undertaken
by
government
or
unofficial
48 bodies...[Community development] must make use of the cooperative movement and must be put into effect in the closest association with local government bodies”.
Polak dalam Sosiologi Umum (2003) merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilsi-nilai yang penting dengan tujuan untuk mengatur antar hubungan dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting. Dengan demikian, Pengembangan kelembagaan merupakan faktor yang dipandang penting karena apabila upayaupaya peningkatan pendapatan atau pembangunan ekonomi diinginkan akan tetap berlanjut maka hubungan, sikap dan pranata sosial dalam masyarakat harus diperbaiki (Daryanto, 2004).
Aktivitas pariwisata pesisir dan lautan semakin dominan seiring dengan dimasukkannya
sektor
maritim
dalam
GBHN
1999
serta
dibentuknya
Departemen Eksplorasi Lautan dan Perikanan (DELP). Kebijakan pembangunan diarahkan pada 3 kebijakan strategis yang terintegrasi, yakni Kebijakan ekonomi, Kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan serta Kebijakan
kelembagaan.
Penjabaran dari kebijakan tersebut diantaranya pengembangan wilayah pesisir melaui aktivitas pariwisata.
III. METODE KAJIAN
3.1. Batas-Batas Kajian Tipe kajian bersifat deskriptif atau penguraian terhadap suatu kejadian atau gejala sosial secara lengkap, rinci dan mendalam. Unit analisis dalam kajian ini berada pada aras mikro dan messo, yaitu individu-individu yang terlibat dan terikat pada wadah atau Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” sebanyak 10 orang dan informan sebagai pihak-pihak terkait (stakeholders) dalam pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal, yang terdiri dari : 1. Para pedagang di kawasan wisata sebanyak 20 orang (jumlah keseluruhan ada 30 orang, 10 orang diantaranya berjualan secara musiman) 2. Kepala Unit Pelaksana
Teknis Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan
(UPTD PKP) Kecamatan Pedes. 3. Tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan aparat pemerintah Desa Sungaibuntu, termasuk BPD (Badan Perwakilan/Permusyawaratan Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat). 4. Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes, meliputi Camat, Kasi. Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD). 5. Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang.
3.2. Strategi Kajian Strategi kajian menggunakan studi kasus, yaitu penerapan serangkaian metode kerja (multi metode) penelitian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal. Alasan studi kasus sebagai strategi kajian adalah : 1. Studi kasus meneliti suatu kejadian atau gejala sosial yang sifatnya kontemporer atau masa kini dalam konteks kehidupan nyata; masih sedikit dimengerti, mengidentifikasi perubahan-perubahan penting; menjelaskan faktor penyebab dan jaringan sebab akibat kejadian atau gejala sosial; hasil kajian bersifat lengkap, rinci dan mendalam. Studi kasus dalam hal ini, mencakup suatu gejala atau aktivitas Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
49 yang
telah
menimbulkan
terjadinya
dampak
negatif.
Upaya
untuk
meminimalisir dampak negatif dan memperkuat dampak positif dilakukan melalui penyusunan rancangan strategi dan
program melalui upaya
pengembangan kawasan wisata dengan melibatkan kelembagaan lokal, swasta dan kelembagaan pemerintah. 2. Kontrol peneliti terhadap peristiwa atau gejala sosial yang dikaji tidak ada atau sangat kecil, artinya peneliti tidak dapat memanipulasi peristiwa atau gejala sosial yang dikajinya.
3.3. Tempat dan Alasan Pemilihan Komunitas Rencana kajian ini bertempat di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat dan subjek dari rencana kajian ini adalah komunitas Desa Pesisir Sungaibuntu yang terlibat dalam wadah Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Alasan pemilihan komunitas tersebut adalah : 1. Wilayah Desa Sungaibuntu memiliki tipologi desa pesisir,
dengan batas
wilayah utara berbatasan dengan Laut Jawa. Kondisi demikian menyebabkan desa ini berbeda dengan desa-desa lainnya yang ada di wilayah Kecamatan Pedes, karena disamping memiliki sumber penghidupan dari sektor pertanian dan perdagangan juga bersumber dari sektor yang memanfaatkan potensi sumberdaya laut, termasuk memanfaatkan keindahan alam pesisir sebagai kawasan wisata. 2. Masyarakat Desa Sungaibuntu memiliki tingkat keswadayaan yang cukup tinggi. Dari data anggaran tahun 2004 diketahui bahwa
82,56 persen
anggaran pembangunan desa bersumber dari iuran swadaya masyarakat, diantaranya bersumber dari pajak sawah, tambak, KUD Nelayan, BUMD (gedung walet milik desa) dan 17,44 persen bersumber dari bantuan Pemerintah Kabupaten . 3. Pada tahun 2000, pernah menjadi juara I dalam lomba desa untuk tingkat kecamatan dan juara III untuk tingkat kabupaten.
50 3.4. Waktu Kajian Waktu kajian dilaksanakan secara bertahap dan telah diawali dengan pemetaan sosial masyarakat Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang pada tanggal 1 sampai dengan 16 November 2005. Dilanjutkan dengan evaluasi program atau kegiatan penguatan kelembagaan dalam pengembangan kawasan wisata pada bulan 17 sampai dengan 24 Pebruari 2006. Rencana jadual kajian yang akan dilaksanakan dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini : Tabel 4 Jadual Pelaksanaan Kajian di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat Tahun 2005-2006 No
Kegiatan
1.
Pemetaan Sosial (Praktek Lapangan I )
2.
Evaluasi Program Pengembangan Masyarakat (Praktek Lapangan II)
3.
Penyusunan Proposal Kajian
4.
Kolokium
5.
Kerja Lapangan/ Pengumpulan Data
6.
Pengolahan dan Analisis Data
7.
Penulisan Laporan
2005 2006 Nov Des Jan Peb Mar Apr Mei Juni Juli Agst Sept
3.5. Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data
Data yang digunakan dalam upaya menguraikan suatu kejadian atau gejala sosial secara lengkap, rinci dan mendalam berkaitan dengan masalah yang dikaji adalah data kualitatif. Data kualitatif merupakan pandangan atau pendapat, konsep-konsep, keterangan, kesan-kesan, tanggapan-tanggapan dan lain-lain tentang sesuatu keadaan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. (Handari dan Martini, 1995). Dalam hal ini yaitu pendapat, konsep-konsep,
51 keterangan,
kesan-kesan,
tanggapan-tanggapan
dari
anggota
Kelompok
Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, serta kelembagaan-kelembagaan terkait
atau
stakeholders,
baik
kelembagaan
tradisional
lokal
maupun
kelembagaan pemerintah dalam upaya mewujudkan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal sehingga aktivitas tersebut memperoleh dukungan dan partisipasi dari komunitas. Sumber data dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari tineliti maupun informan, meliputi Kelompok Pengelola Wisata, Kepala UPTD PKP, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, aparat pemerintah Desa Sungaibuntu, aparat pemerintah Kecamatan Pedes dan aparat Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Teknik pengumpulan data yang digunakan melalui : a. Pengamatan berperan serta, bertujuan untuk : 1) Melihat, merasakan, memaknai peristiwa dan fenomena sosial subyek peneliti
mencakup
aktivitas
Kelompok
Pengelola
Wisata
dan
pengembangan kawasan wisata pesisir yang telah dilaksanakan. 2) Membentuk pengetahuan bersama b. Wawancara mendalam, bertujuan untuk memperoleh pemahaman tentang pandangan subyek peneliti atau pihak-pihak terkait atau stakeholders dalam hubungannya dengan pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal. c. Diskusi kelompok dilakukan berdasarkan hasil dari wawancara sebelumnya dengan
unit
analisis
kajian,
untuk
mengidentifikasi
potensi
dan
permasalahan serta upaya memperoleh solusi bagi pengembangan kawasan wisata yang didukung oleh komunitas lokal agar kawasan tersebut dapat berkelanjutan dan dapat meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan sehingga mampu meningkatkan kondisi kehidupan dan penghidupan yang layak bagi komunitas tersebut. 2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari pihak lain; teknik yang digunakan melalui studi arsip atau dokumentasi berkaitan dengan situasi dan kondisi subyek peneliti, yaitu Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Data kuantitatif, baik primer maupun sekunder disajikan dalam bentuk tabel frekuensi, grafik maupun bagan sesuai dengan jenisnya. Data ini diinterpretasikan untuk dapat menunjang
52 dan saling melengkapi dengan data kualitatif guna menjawab permasalahanpermasalahan dalam kajian. Data kualitatif diolah dan dianalisis melalui tahapan peringkasan atau reduksi
data,
penggolongan,
penyederhanaan,
penelusuran
tema
dan
pengkaitan antar tema. Selanjutnya data yang telah diolah disajikan secara deskriptif sesuai dengan tema-tema pembahasan untuk dapat mendukung penarikan kesimpulan atau tindakan lebih lanjut. Pendekatan yang digunakan dalam penerapan metode ini dilaksanakan melalui suatu pendekatan partisipatif, yaitu sejumlah metode dan teknik serta persiapan yang dibutuhkan untuk melakukan kajian tentang profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, menyusun
disain
program
atau
kegiatan
potensi, identifikasi masalah, serta
implementasinya
yang
memungkinkan keterlibatan berbagai pihak atau stakeholders.
3.6. Metode Analisis untuk Setiap Tujuan Rincian metode analisis masalah yang digunakan untuk menjawab setiap tujuan dari kajian diuraikan dengan memerinci jenis data yang dibutuhkan, sumber data dan metode pengumpulan data. Hal ini dapat dilihat sebagaimana pada tabel di bawah ini : Tabel 5 Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
No
Tujuan
1.
Memahami profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” pendukung atau penopang keberlanjutan kawasan wisata pesisir
Data dan Informasi yang dibutuhkan
Sejarah Aktivitas Tujuan Kepemimpinan Keanggotaan Pembagian Tugas dan Peranan Pola hubungan dan komunikasi Kerjasama Pengetahuan Keagrariaan Sosial Ekologi Mekanisme Efektivitas Stakeholders
Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data Kelompok Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masy. dan Tokoh Pemuda - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata Data perkembangan dan potensi Desa Sungaibuntu
Wawancara mendalam Observasi Studi dokumentasi Diskusi kelompok
53 Lanjutan Tabel 5 No
Tujuan
2.
Mengidentifikasi masalah yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan wisata
3.
Mempelajari alternatif solusi serta bentuk strategi pengembangan masyarakat bagi pengembangan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan melalui penguatan kelembagaan
Data dan Informasi yang dibutuhkan
Pemahaman terhadap permasalahan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” saat ini
Pemahaman permasalahan kelembagaan lokal dan kelembagaan pemerintah terhadap pengembangan kawasan wisata yang ada saat ini
Strategi Pengembangan Masyarakat
Rancangan Program
Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data Kelompok Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kepala Bidang Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelompok Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kepala Bidang Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
Wawancara mendalam Observasi FGD
Untuk memperjelas bagian jenis data yang menjadi topik utama, maka penulis memerinci kembali bagian-bagian tersebut ke dalam sub-sub topik untuk mempermudah pengumpulan data dan analisis, terutama berkenaan dengan profil
kelembagaan
Pengelola
Wisata
“Samudera
Baru”
dalam
upaya
pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal, terkait dengan aspekaspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan. Selanjutnya masing-masing sub topik disusun dalam indikator (parameter) dan dikategorikan dalam jenis data kuantitatif atau kualitatif. Rincian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :
54
Tabel 6 Topik Utama dan Sub Topik Kajian No
Topik Utama dan Sub Topik
1.
Tujuan
Tertulis Tidak tertulis Proses penetapan Orientasi tujuan
Kelompok
Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kepala Bidang Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
Kualitatif Kualitatif Kualitatif
2.
Kepemimpinan
Tata cara pemilihan Sumber kekuasaan Gaya kepemimpinan Penyebaran kekuasaan
Kelompok
Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Pembagian Tugas dan Peranan
Jenis kelamin Usia Pendidikan Pembagian kerja Pengambilan Keputusan
Kelompok
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
Kuantitatif Kuantitatif Kuantitatif Kualitatif Kualitatif
3 .
Indikator (Parameter)
Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data
Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masy. dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata
Jenis Data
55 Lanjutan Tabel 6 No
Topik Utama dan Sub Topik
Indikator (Parameter)
4.
Pola Hubungan dan Komunikasi
Intensitas Sistem koordinasi Derajat Kedekatan Bentuk Hubungan Pihak-pihak yang terlibat
Kelompok Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masy. dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata
5.
Kerjasama
Kerjasama dengan Pihak Luar Komunitas, baik Public Sector maupun Private Sector
Kelompok Pengelola Wisata (Management) Informan : - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masy. dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
6.
Pengetahuan
Tata cara pemeliharaan, pengembangan serta pengaturan kawasan wisata Tata cara kerjasama
Teknik Pengumpulan Data
Sumber Data
Wawancara mendalam Observasi Diskusi kelompok
Kelompok Pengelola Wawancara mendalam Wisata (Management) Observasi Informan : Diskusi kelompok - Para pedagang di lokasi wisata - Tokoh Agama, Tokoh Masy. dan Tokoh Pemuda - BPD dan LPM - Aparat Pemerintah Desa Sungaibuntu - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes - Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes - Kabid. Dinas Pariwisata
Jenis Data Kuantitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
Kualitatif
3.7. Rancangan Analisis dan Penyusunan Program Rancangan analisis strategi dan penyusunan program pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas dilakukan secara partisipatif terhadap unit analisis kajian yaitu Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir
56 “Samudera Baru” serta stakeholders. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ini merupakan bentuk aktivitas kolektif yang membutuhkan adanya kerjasama, baik dengan kelembagaan komunitas lokal tradisional, kelembagaan pasar dan kelembagaan politik ditingkat lokal. Dalam upaya mewujudkan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan, perlu dipelajari dan dipahami bagaimana perananperanan sosial dan aturan-aturan serta sistem nilai yang ada pada Kelompok Pengelola Wisata kaitannya dengan : bagaimana profil kelembagaan Pengelola Wisata terkait dengan aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan yang dimiliki; bagaimana permasalahan-permasalahan yang terjadi; dan bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk merumuskan alternatif pemecahan masalah tersebut secara partsipatif; bagaimana strategi pengembangan serta penyusunan program dilaksanakan bagi pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal. Rencana penyusunan rancangan strategi dan penyusunan program penguatan
kelembagaan
Pengelola
Kawasan
Wisata
dalam
upaya
pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal, dilaksanakan melalui metode partisipatif. Rencana kegiatan disusun ditingkat Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, Kelompok Pedagang di lokasi wisata dan kelembagaan lokal (tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, BPD, LPM) serta stakeholders (Camat Kec. Pedes, Kasie. PMD, Ka. UPTD PKP dan Kabid. Pariwisata
pada
Dinas
Penerangan,
Priwisata
dan
Budaya
Kabupaten
Karawang). Teknis atau tahapan penyusunan program dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Persiapan bahan perencanaan Informasi hasil kajian menyangkut profil kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata terkait dengan tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama serta pengetahuan; identifikasi potensi dan permasalahan yang terjadi, diperoleh berdasarkan hasil analisis dan dialog-dialog dengan
anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
“Samudera Baru” dengan para pedagang di lokasi wisata dan beberapa orang anggota komunitas yang tinggal relatif dekat dengan kawasan wisata, kelembagaan lokal serta pihak terkait (stakeholders). Pada saat Praktek Lapangan I dan Praktek Lapangan II telah terjadi kontak dengan para stakeholders tersebut.
57 2. Penyampaian informasi Semua hasil informasi dikaji ulang dalam diskusi kelompok, baik dengan Kelompok Pengelola Wisata, para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan lokal serta stakeholders. Kemudian disusun masalah-masalah yang terjadi dan potensi-potensi yang dimiliki. 3. Pengorganisasian masalah Permasalahan-permasalahan yang muncul diinventarisir dan dikelompokkan menurut aspek kajian. Masalah yang kurang memiliki keterkaitan dengan penguatan Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Wisata dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal diabaikan dalam kajian ini. 4. Penyusunan hubungan sebab akibat dan masalah atau isu kritis (critical issue) Setelah pengelompokkan masalah dilaksanakan, selanjutnya dilakukan kajian secara bersama terhadap masalah-masalah yang menjadi isu kritis, penyebab atau akar masalah tersebut atau dari masalah lain sehingga kelompok dapat melihat permasalahan yang dihadapi secara menyeluruh. 5. Pembahasan alternatif kegiatan sesuai akar masalah Berdasarkan isu kritis dan permasalahan yang dihadapi serta akar masalah, pertemuan diskusi mengembangkan gagasan kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Selanjutnya, dipilih kegiatan yang paling mungkin dilaksanakan dengan mempertimbangkan sumberdaya, dana, tenaga kerja yang tersedia, keterampilan yang dimiliki, waktu dan tempat. 6. Penyusunan rencana kegiatan atau program Alternatif-alternatif kegiatan dipilih secara bersama berdasarkan akar masalah yang dihadapi. Rencana kegiatan disusun dalam bentuk tabel program mencakup isu kritis, akar masalah, tujuan yang ingin diwujudkan apabila masalah teratasi, kegiatan untuk mengatasi masalah, pelaksana kegiatan, instansi pendukung, waktu dan tempat pelaksanaan, mekanisme atau metode pelaksanaan serta anggaran kegiatan.
58
LANJUT HAL 53
59
OUTLINE PENULISAN LAPORAN
PENDAHULUAN Memuat latar Belakang, Ruang Lingkup, Masalah Kajian, Tujuan Kajian, Kegunaan Kajian
KERANGKA KAJIAN Memuat Teori dan Konsep, Kerangka Analisa
METODOLOGI
60 Memuat Batas-batas Kajian, Strategi Kajian, Tempat dan Alasan Pemilihan Komunitas, Waktu Kajian, Metode Pengumpulan Data, Tabel Teknik Pengumpulan Data
PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA SUNGAIBUNTU Memuat Lokasi, Kependudukan, Sistem Sosial Budaya, Sistem Ekonomi, Struktur Komunitas, Organisasi dan Kelembagaan Sumberdaya Lokal
TINJAUAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR
ANALISIS KELEMBAGAAN LOKAL DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR Memuat Peranan-peranan dan Aturan-aturan yang ada
dalam Upaya
Pengembangan Kawasan Wisata kaitannya dengan Aspek Sosial, Keagrariaan
dan
Ekologi
(menjawab
tujuan
1),
Permasalahan-
permasalahan yang Dihadapi dalam Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir (Menjawab tujuan 2), Perumusan Pemecahan Masalah Secara Partisipatif (menjawab tujuan 3), Strategi Pengembangan Masyarakat bagi Penguatan Kelembagaan Lokal dalam Upaya Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir secara Berkelanjutan (menjawab tujuan 4).
61
Polak dalam Sosiologi Umum (2003) merupakan suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting dengan tujuan untuk mengatur antar hubungan dalam upaya memenuhi kebutuhan manusia yang paling penting. Dengan demikian, Pengembangan kelembagaan merupakan faktor yang dipandang penting karena apabila upaya-upaya peningkatan pendapatan atau pembangunan ekonomi
62 diinginkan akan tetap berlanjut maka hubungan, sikap dan pranata sosial dalam masyarakat harus diperbaiki (Daryanto, 2004).
Aktivitas pariwisata pesisir dan lautan semakin dominan seiring dengan dimasukkannya
sektor
maritim
dalam
GBHN
1999
serta
dibentuknya
Departemen Eksplorasi Lautan dan Perikanan (DELP). Kebijakan pembangunan diarahkan pada 3 kebijakan strategis yang terintegrasi, yakni Kebijakan ekonomi, Kebijakan sumberdaya alam dan lingkungan serta Kebijakan
kelembagaan.
Penjabaran dari kebijakan tersebut diantaranya pengembangan wilayah pesisir melaui aktivitas pariwisata.
63
OUTLINE PENULISAN LAPORAN
PENDAHULUAN Memuat latar Belakang, Masalah Kajian, Tujuan Kajian, Kegunaan Kajian
KERANGKA KAJIAN Memuat Teori dan Konsep, Kerangka Analisa
METODOLOGI Memuat Batas-batas Kajian, Strategi Kajian, Tempat dan Alasan Pemilihan Komunitas, Waktu Kajian, Metode Pengumpulan Data, Tabel Teknik Pengumpulan Data
PETA SOSIAL MASYARAKAT DESA SUNGAIBUNTU Memuat Lokasi, Kependudukan, Sistem Sosial Budaya, Sistem Ekonomi, Struktur Komunitas, Organisasi dan Kelembagaan, Sumberdaya Lokal
TINJAUAN KELEMBAGAAN PENGELOLA WISTA PESISIR “SAMUDERA BARU” DALAM UPAYA PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BERBASIS KOMUNITAS LOKAL
ANALISIS KELEMBAGAAN KOMUNITAS PESISIR DALAM PENGELOLAAN WISATA LOKAL Memuat Peranan-peranan dan Sistem Nilai yang ada pada Komunitas Pesisir dalam Pengelolaan Wisata Lokal kaitannya dengan Aspek Struktural, Aspek Kultural, Aspek Ekonomi (menjawab tujuan 1), Kekuatan-
64 kekuatan dan Persoalan-persoalan yang dihadapi Komunitas Pesisir dalam Pengelolaan Wisata Lokal (menjawab tujuan 2), Pengembangan Jejaring dalam Komunitas Pesisir bagi Pengelolaan Wisata Lokal (menjawab tujuan 3),
Strategi
Pengembangan
Masyarakat
bagi
Pengembangan
Kelembagaan Komunitas Pesisir dalam Pengelolaan Wisata Lokal secara Berkelanjutan.
IV. PETA SOSIAL KOMUNITAS PESISIR DESA SUNGAIBUNTU
Peta sosial suatu komunitas menjadi sangat penting artinya bagi pelaksnaan pengembangan masyarakat. Dengan peta sosial akan diketahui potensi, sumber dan permasalahan-permasalahan yang ada serta peluang yng dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan suatu masyarakat melalui potensi lokal yng dimiliki oleh suatu komunitas. Pemetaan sosial juga dilaksanakan sebagai bahan masukan dan analisis bagi aspek-aspek kehidupan suatu komunitas khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal. Peta sosial ini meliputi deskripsi tentang lokasi, kependudukan, sistem sosial budaya, sistem ekonomi, struktur komunitas, organisasi dan kelembagaan serta sumberdaya lokal.
4.1. Lokasi Desa Sungaibuntu merupakan tipologi desa pesisir, memiliki luas wilayah 1.000 hektar dengan ketinggian 2 meter di atas permukaan air laut. Orbitasi, jarak dan waktu tempuh dapat dilhat pada tabel berikut ini : Tabel 7 Orbitasi, Jarak dan Waktu Tempuh No.
Orbitasi
Jarak (Km)
1. 2. 3. 4.
Ibukota Kecamatan Ibukota Kabupaten Ibukota Provinsi Ibukota Negara
5 40 122 114
Waktu Tempuh (Jam) 0,5 2 5 4
Sumber : Data Potensi Desa Sungaibuntu, Tahun 2005 Jalan yang menghubungkan desa dengan Ibukota Kecamatan merupakan jalan aspal dengan lebar jalan sekitar 5 meter, setiap 20 menit angkutan umum (angkutan pedesaan) melewati jalan tersebut. Kondisi demikian mempermudah kegiatan administratif, arus informasi dan komunikasi pemerintah desa dengan pemerintah kecamatan. Komunikasi antara pihak pemerintahan desa dengan
59 pihak kecamatan dilakukan secara langsung, baik pihak desa yang mendatangi pihak kecamatan maupun pihak kecamatan yang mendatangi pihak desa. Pertemuan rutin antara kepala dan aparat desa dengan pihak kecamatan dilaksanakan dalam “minggon kecamatan” yang berlangsung seminggu sekali setiap hari Selasa. Untuk menyampaikan informasi yang diperoleh dalam minggon kecamatan pihak desa mengadakan “minggon desa” yang dihadiri oleh para kepala dusun. Minggon desa ini berlangsung seminggu sekali setiap hari Rabu. Secara geografis wilayah Desa Sungaibuntu berbatasan dengan beberapa wilayah, meliputi : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa 2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Dongkal (Desa Kendal Jaya) 3. Sebelah Barat berbatasan dengan Camara (Desa Gebang Jaya) 4. Sebelah Timur berbatasan dengan Betokmati (Desa Pusaka Jaya Utara) Desa Sungaibuntu terdiri dari enam dusun, yaitu Dusun Karajan (lokasi dimana terdapat kantor desa), Dusun Sungaibambu, Dusun Sungaisari, Dusun Sungaibuntu (lokasi dimana terdapat kawasan wisata “Samudra Baru”) , Dusun Sungaitegal dan Dusun Sungaimanuk. Desa Sungaibuntu memiliki 2.167 kepala keluarga dengan 12 RW dan 23 RT. Energi penerangan rumah tangga pada umumnya bersumber dari tenaga listrik (PLN). Jumlah keluarga yang telah memanfaatkan energi listrik sebanyak 67,74 persen atau 1.468 kepala keluarga, sedangkan sisanya sebanyak 32,26 persen atau 699 kepala eluarga menggunakan lampu minyak (petromak). Penggunaan air bersih rumah tangga bersumber dari sumur PDAM, sumur gali, sumur pompa dan hidran umum. Jumlah rumah tangga yang masih memanfaatkan sumur gali sebagai sumber air bersih sebanyak 79,23 persen atau 1.717 kepala keluarga, jasa PDAM sebanyak 12 persen atau 260 kepala keluarga, sumur pompa sebanyak 6,46 persen atau 140 kepala keluarga dan hidran umum sebanyak 2,31 persen atau 50 kepala keluarga. Kawasan wisata “Samudra Baru” terletak di Dusun Sungaibuntu.
Jalan
utama menuju lokasi wisata merupakan jalan aspal yang kondisinya sudah rusak dengan lebar jalan sekitar 3,5 meter, dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat, sedangkan angkutan penumpang umum hanya dalam bentuk ojeg motor dengan biaya yang dikelurkan sebesar Rp. 5.000.
60 Jarak dari terminal angkutan umum atau dari pangkalan ojeg menuju kawasan wisata sekitar 3,5 kilometer dapat ditempuh dalam waktu sekitar 15 menit. Pada saat ini, jembatan penghubung menuju lokasi wisata dalam keadaan rusak dan dalam proses perencanaan pembangunan kembali. Sebagai alternatif, dibangun jembatan
yang terbuat dari bambu, yang hanya dapat dilalui oleh
kendaraan roda dua dan licin apabila turun hujan. Tak jarang kendaraan nyaris jatuh dan tergelincir ke muara sungai.
4.2. Kependudukan
4.2.1. Komposisi dan Piramida Penduduk Data kependudukan masyarakat Desa Sungaibuntu sampai dengan Bulan Juni Tahun 2005 sebanyak 8.607 jiwa dengan komposisi laki-laki sebanyak 49,03 persen atau 4.220 jiwa dan perempuan sebanyak 50,97 persen atau 4.387 jiwa. Penduduk Desa Sungaibuntu mayoritas memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 99,63 persen atau 8.575 orang,
Budha sebanyak 0,35 persen atau 30 orang
dan Khatolik sebanyak 0,02 persen atau 2 orang. Jumlah penduduk terbanyak terdapat di Dusun Sungaibuntu, yaitu sebanyak 21,97 persen
atau 1.891 jiwa. Komposisi jumlah penduduk
berdasarkan usia dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini : Tabel 8 Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2005 Jenis Kelamin LakiPerempuan laki
No.
Kelompok Umur
01
02
03
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
0 - 4 5 -9 10 – 14 15 - 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44
324 373 371 389 384 371 397 380 384
Jumlah (Jiwa)
Prosentase Total
04
05
06
337 388 385 391 393 385 380 382 400
661 761 756 780 777 756 777 762 784
7,68 8,84 8,78 9,06 9,03 8,78 9,03 8,85 9,11
61
Lanjutan Tabel 8 01
02
03
04
05
06
10. 11. 12. 13. 14.
45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 -64 65 ke atas
312 267 170 62 36
334 280 185 82 65
646 547 355 144 101
7,51 6,36 4,12 1,67 1,17
Jumlah
4.220
4.387
8.607
100
Sumber : Data Statistik Kantor Kecamatan Pedes, Tahun 2005 Apabila digambarkan dalam bentuk piramida penduduk, maka jumlah penduduk Desa Sungaibuntu berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin adalah termasuk pada komposisi usia muda. Berdasarkan bentuk piramida penduduk yang melebar pada bagian bawah piramida, baik untuk laki-laki maupun perempuan menunjukkan bahwa angka kelahiran pada beberapa tahun terakhir masih cukup tinggi. Piramida penduduk Desa Sungaibuntu dapat dilihat sebagaimana gambar di bawah ini :
65+ 60-64 55-59 50-54 45-49 40-44 35-39 30-34 25-29 20-24 15-19 10-14 5-9 0-4 4
3
2
1
0
1
2
3
4
Keterangan : 1 : 100 orang
Laki-laki Perempua
Gambar 4 Piramida Penduduk Desa Sungaibuntu Tahun 2005
62 Berdasarkan bentuk piramida penduduk yang melebar pada bagian bawah piramida, baik untuk laki-laki maupun perempuan menunjukkan bahwa angka kelahiran pada beberapa tahun terakhir masih cukup tinggi. Pada piramida penduduk terlihat bahwa terjadi penurunan angka kelahiran pada empat tahun terakhir, yaitu pada kelompok usia 0-4 tahun dibandingkan dengan angka kelahiran pada kelompok usia 5-9 tahun. Hal ini dapat terjadi diantaranya karena keberhasilan program Keluarga Berencana. Berkaitan dengan perubahan kelahiran dan kematian, Perserikatan Bangsabangsa mengkategorikan penduduk ke dalam tipe-tipe sebagai berikut: 1. Kelahiran tinggi-kematian tinggi. 2. Kelahiran tinggi-kematian cukup tinggi/sedang menurun 3. Kelahiran tinggi-kematian rendah 4. Kelahiran sedang menurun-kematian rendah 5. Kelahiran rendah-kematian rendah Apabila tipe-tipe tersebut diterapkan pada komposisi penduduk Desa Sungaibuntu, maka desa ini termasuk ke dalam tipe “kelahiran tinggi-kematian tinggi”. Untuk mengetahui perbandingan antara banyaknya penduduk laki-laki dan perempuan di Desa Sungaibuntu dipergunakan ukuran Rasio Jenis Kelamin (RJK). Rasio Jenis Kelamin jumlah penduduk Desa Sungaibuntu pada Bulan Juni Tahun 2005 adalah 96. Hal ini berarti bahwa dalam setiap 100 penduduk perempuan terdapat 96 laki-laki. Kemungkinan ini terjadi karena tingkat mortalitas dan tingkat migrasi yang tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Besarnya
Rasio
Beban
Tanggungan
(RBT)
penduduk
merupakan
perbandingan antara banyaknya penduduk yang tidak produktif (usia di bawah 15 tahun dan usia 65 ke atas) dengan banyaknya penduduk usia produktif (usia 1564 tahun). Rasio Beban Tanggungan penduduk Desa Sungaibuntu adalah sebesar 10, yang berarti bahwa setiap 100 orang penduduk produktif menanggung 10 orang penduduk yang tidak produktif. Hal ini terjadi seiring dengan mengecilnya jumlah anggota keluarga. Jumlah penduduk usia produktif yaitu 15-44 tahun menunjukkan jumlah yang cukup besar, yaitu 53,86 persen dari jumlah penduduk atau 4.636 jiwa. Hal ini mempunyai peluang tinggi untuk menambah angka kelahiran atau fertilitas di desa ini.
63 Jumlah usia kerja digunakan untuk menilai apakah seseorang merupakan angkatan kerja atau bukan angkatan kerja, dipakai batas usia 15-64 tahun. Jumlah penduduk usia kerja di Desa Sungaibuntu adalah sebanyak 91,14 persen atau 7.845 jiwa, sedangkan jumlah usia kerja yang termasuk angkatan kerja yang bekerja sebanyak 3.621 orang atau 46,16 persen. Pertumbuhan penduduk merupakan keseimbangan yang dinamis antara kekuatan-kekuatan yang menambah dan kekuatan-kekuatan yang mengurangi jumlah penduduk. Jumlah penduduk secara terus-menerus akan dipengaruhi oleh jumlah bayi yang lahir (menambah jumlah penduduk), tetapi dalam waktu yang bersamaan pula akan dikurangi oleh jumlah kematian yang terjadi pada semua golongan umur. Berdasarkan data potensi desa tahun 2005, angka kelahiran atau fertilitas sebanyak 22 orang pertahun dan angka kematian sebanyak 13 orang pertahun yang sebagian besar terjadi karena faktor usia lanjut dan penyakit-penyakit, seperti stroke, lever dan diabetes.
4.2.2. Gerak Penduduk Gerak penduduk atau migrasi, baik migrasi masuk maupun migrasi ke luar juga berperan dalam menambah dan mengurangi jumlah penduduk. Gerak penduduk di Desa Sungibuntu terjadi lebih karena adanya migrasi ke luar, yaitu terjadi karena kegiatan mencari pekerjaan ke luar kota, seperti ke Jakarta atau menjadi Tenaga Kerja Indonesia/Tenaga Kerja Wanita ke Saudi Arabia dan Malaysia. Tercatat sekitar 100 orang penduduk desa yang pergi menjadi
Tenaga
Kerja
Indonesia/Tenaga
Kerja
Wanita.
Sulit
untuk
mendapatkan data pasti penduduk yang melakukan migrasi ke luar, karena diantara mereka kadang tidak melaporkan diri ke pihak desa. Pengelolaan aktivitas wisata pesisir merupakan salah satu upaya untuk membuka alternatif lapangan berusaha bagi warga atau penduduk setempat.
4.3. Sistem Sosial Budaya 4.3.1. Sistem Kekerabatan Berdasarkan data yang ada, masyarakat Desa Sungaibuntu terdiri dari 2.167 kepala keluarga dan menempati 1.658 rumah, hal ini berarti bahwa rata-
64 rata dalam satu rumah dihuni oleh dua kepala keluarga. Dengan demikian, secara umum masyarakat Desa Sungaibuntu masih memiliki sistem kekerabatan yang terdiri atas lebih dari satu keluarga inti. Bagi keluarga yang tidak bertempat tinggal dalam satu rumah, mereka biasanya bertempat tinggal saling berdekatan dan tidak jauh dari keluarga atau saudara-saudaranya. Pada pelaksanaan aktivitas wisata pesisir juga masih berlaku sistem kekerabatan, mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut masih memiliki hubungan atau ikatan kekeluargaan atau kekerabatan dan hubungan sebagai kawan.
4.3.2. Pendidikan Komposisi
penduduk
berdasarkan
tingkat
pendidikan
dapat
dilihat
sebagaimana Tabel 9 di bawah ini : Tabel 9 Komposisi Penduduk Desa Sungaibuntu Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tahun 2005 No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah (Jiwa)
1.
Belum Tamat SD
1.983
2.
Tidak Tamat SD
3.975
46,18
3.
Tamat SD
2.188
25,42
4.
SLTP (Sederajat)
295
3,43
5.
SLTA (Sederajat)
148
1,72
6.
Akademi (Sarjana Muda)
10
0,12
7.
Sarjana
8
0.09
8.607
100
Jumlah
Prosentase (%) 23,04
Sumber : Data Potensi Desa Karangjaya, Tahun 2005 Berdasarkan data di atas, tingkat pendidikan penduduk Desa Sungaibuntu termasuk pada kategori masih rendah, karena 46,18 persen atau sebanyak 3.975 orang penduduknya tidak tamat SD dan sebanyak 25,42 persen atau 2.188 orang tamat SD. Kondisi demikian secara umum mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan serta mempengaruhi pemahaman terhadap informasi-informasi pembangunan. Demikian pula halnya dengan Kelompok Pengelola Kawasan
65 Wisata “Samudera Baru” sebanyak 10 orang, memiliki latar belakang pendidikan SLTA/STM sebanyak satu orang atau 10 persen dan SD sebanyak sembilan orang atau 90 persen. Masih rendahnya tingkat pendidikan penduduk Desa Sungaibuntu lebih disebabkan karena ketiadaan biaya keluarga bagi pendidikan anak-anaknya. Sementara sarana pendidikan dasar yang tersedia cukup memadai, meliputi : TK sebanyak satu unit, TPA satu unit, SD Negeri sebanyak empat unit, Madrasah sebanyak satu unit dan Pondok Pesantren satu unit. Untuk melanjutkan ke SMP atau SMA dapat dilanjutkan ke daerah lain yang yang berjarak sekitar enam kilometer dari desa tersebut. Upaya-upaya mengatasi masalah ini dilakukan dengan mengembangkn program orang tua asuh. Mereka yang menjadi orang tua asuh ini adalah penduduk etnis Cina yang ada di Desa Sungaibuntu. Tetapi, program orang tua asuh ini selanjutnya terhenti seiring dengan terjadinya krisis moneter.
4.3.3. Kesehatan Menurut paramedis setempat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan sudah cukup tinggi, terbukti dari tingginya pemanfaatan terhadap balai-balai kesehatan yang tersedia. Sarana kelembagaan kesehatan penduduk di Desa Sungaibuntu, meliputi : Puskesmas Pembantu sebanyak satu unit , Poliklinik dua unit dan Toko obat satu unit dengan paramedis empat
orang,
bidan desa satu orang dan dukun terlatih tiga orang. Jenis-jenis penyakit yang dialami oleh penduduk desa ini pada tahun 2005 diantaranya penyakit muntaber, demam berdarah, stroke, lever, diabetes dan jantung. Muntaber sering dialami pada saat mulai memasuki musim kemarau. 4.3.4. Agama dan Suku Bangsa Penduduk Desa Sungaibuntu mayoritas memeluk agama Islam, yaitu sebanyak 99,63 persen atau 8.575 orang, Budha sebanyak 0,35 persen atau 30 orang dan
Khatolik sebanyak 0,02 persen atau dua orang. Penduduk yang
memeluk agama di luar agama Islam merupakan Warga Negara Indonesia keturunan Cina. Mereka pada umumnya adalah para pemilik tambak yang cukup luas atau para pemilik toko pupuk. Selama ini tidak pernah terjadi konflik yang dipicu karena perbedaan agama ataupun ras, mereka hidup berdampingan secara damai dengan penduduk asli bahkan tak jarang juga menikah dan beralih
66 memeluk agama Islam. Bahasa yang dipergunakan komunitas ini adalah bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. 4.3.5. Kesejahteraan Sosial Berdasarkan hasil wawancara dengan perangkat desa, tokoh agama dan data potensi Desa Sungaibuntu diperoleh data bahwa tingkat kesejahteraan penduduk Desa Sungaibuntu masih rendah; keluarga miskin merupakan jenis masalah sosial yang tertinggi. Desa Sungaibuntu memiliki jumlah penduduk sebanyak 8.607 jiwa dengan 2.167 kepala keluarga dan 55,75 persen
atau
1.208 kepala keluarga berada dalam kondisi kehidupan dan penghidupan yang tidak layak. Beberapa masalah sosial lainnya, meliputi : Tabel 10 Data Masalah Sosial Desa Sungaibuntu Tahun 2005 No. 1.
Jenis Masalah Sosial
Prosentase (%)
38 Orang
1,28
14 Orang 1.208 kepala keluarga
0,47 40,70
160 Orang
5,39
Penyandang cacat : -Fisik -Mental (idiot, gila, stres)
2.
Jumlah
3.
Keluarga Miskin Balita Gizi Buruk
4.
Germo
14 Orang
0,47
5.
PSK Rumah tidak layak huni
34 Orang
1,15
1.500 Unit
50,54
2.968
100
6.
Jumlah
Sumber : Data Potensi Desa Karangjaya, Tahun 2005 Upaya-upaya penanganan terhadap masalah balita gizi buruk diantaranya dilaksanakan oleh Pos Yandu yang dikoordinir oleh Puskesmas Pembantu, melalui pemberian makanan sehat yang dilaksanakan secara rutin setiap satu bulan sekali bekerja sama dengan RW setempat. Upaya-upaya penanganan masalah lainnya adalah untuk menangani masalah germo dan Pekerja Seks Komersial dilakukan oleh pihak Puskesmas dalam bentuk penyuntikan sebagai pencegahan penyakit menular yang dilaksanakan empat kali dalam setahun. Sedangkan untuk masalah penyandang cacat belum ada upaya-upaya nyata yang dilakukan, baik oleh masyarakat maupun Dinas Sosial.
67 4.4. Sistem Ekonomi Matapencaharian
penduduk
Desa
Sungaibuntu
bersifat
heterogen.
Matapencaharian pokok masyarakat Desa Sungaibuntu, 62,91 persen bersumber dari aktivitas sebagai buruh
(tani sawah, tani tambak, nelayan dan home
industry), dan prosentase tertinggi buruh bersumber dari aktivitas pertanian tambak sebanyak 26,95 persen, pertanian sawah sebanyak 18,70 persen. Ratarata penghasilan buruh setiap hari Rp. 25.000,00 untuk tenaga buruh wanita dan Rp 35.000,00 untuk tenaga buruh laki-laki. Perbedaan upah buruh terjadi karena jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh laki-laki dianggap lebih menguras tenaga, laki-laki dianggap lebih cekatan dan terampil. Matapencaharian menempati urutan kedua sebagai sumber penghidupan penduduk,
sebanyak
13,96
persen
adalah
sebagai
pedagang.
Sektor
perdagangan diantaranya meliputi perdagangan ikan, baik ikan segar maupun ikan asin, pupuk dan obat-obatan pertanian, rumah makan serta pedagang barang kebutuhan sehari-hari. Matapencaharian lain yang menjadi sumber penghidupan penduduk adalah bertani. Bertani bagi penduduk Desa Sungaibuntu meliputi dua jenis kegiatan, yaitu bertani sawah dan bertani tambak. Jumlah petani tambak sebanyak 6,46 persen atau 234 orang dengan area tambak seluas 500 hektar, ini berarti setiap penduduk memiliki rata-rata lahan tambak seluas 2,14 hektar sedangkan jumlah petani sawah sebanyak 5,97 persen atau 216 orang dengan area sawah seluas 400 hektar, ini berarti bahwa rata-rata kepemilikan lahan sawah per orang petani seluas 1,9 hektar. Penduduk yang
memiliki matapencaharian sebagai juragan nelayan
sebanyak 1,85 persen atau 67 orang. Perahu-perahu yang dimiliki sejenis perahu bermotor. Perahu-perahu ini disewakan kepada nelayan dengan sistem bagi hasil. Secara umum, modal yang dipergunakan untuk melaut merupakan modal yang diperoleh dari juragan nelayan. Penduduk yang memiliki matapencaharian sebagai tukang ojeg motor menempati prosentase cukup tinggi, yaitu 5,52 persen
atau 200 orang dan
sebagai tukang becak sebanyak 1,38 persen atau 50 orang. Pada umumnya motor ataupun becak yang digunakan untuk menarik penumpang adalah milik sendiri. Selain
melakukan
pekerjaan-pekerjaan
pokoknya,
penduduk
Desa
Sungaibuntu pada umumnya juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sampingan,
68 misalnya seorang guru di luar tugas mengajar juga melakukan pekerjaan sebagai tukang ojeg atau bertani. Demikian pula halnya dengan berkembangnya kawasan wisata pesisir, aktivitas ini juga merupakan salah satu alternatif bagi lapangan pekerjaan tambahan atau sebagai pola nafkah ganda yang dilaksanakan oleh penduduk setempat. Data tentang komposisi penduduk berdasarkan matapencaharian dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini : Tabel 11 Komposisi Penduduk Desa Matapencaharian Tahun 2005 No.
Matapencaharian
Sungaibuntu
Berdasarkan
Jumlah (Jiwa)
Prosentase (%)
2.266 976 677 413 200 12
62,91 26,95 18,70 11,41 5,52 0,33 13,81
1.
Buruh : -Tani Tambak -Tani sawah -Nelayan -Home industry -Bangunan
2.
Pedagang
500
3.
Petani : -Sawah -Tambak
450 216 234
12,43 5,97 6,46
4.
Tukang ojeg (motor)
200
5,52
5.
Juragan Nelayan
67
1,85
6.
Tukang becak
50
1,38
7.
PNS
28
0,77
8.
Guru swasta
10
0.28
9.
Pengrajin (home industry)
10
0,28
10.
Penjahit
10
0.28
11.
Montir
3
0,08
12.
Sopir
15
0,41
3.621
100
Jumlah
Sumber : Data Potensi Desa Karangjaya, Tahun 2005
4.5. Struktur Komunitas
Struktur sosial pada suatu komunitas dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu :
69 4.5.1. Pelapisan Sosial Soekanto (2002) mengungkapkan bahwa sistem pelapisan sosial dalam masyarakat terjadi karena terdapat hal-hal tertentu yang dihargai didalam masyarakat, seperti kekayaan yang dimiliki, kekuasaan, pendidikan formal yang ditempuh,
keaktifan
dalam
kegiatan
keagamaan/kemasyarakatan
serta
pekerjaan. Hal ini dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat, namun dapat pula terjadi dengan sengaja, disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Adanya perubahan sosial yang terjadi di tingkat lokal sebagai akibat arus informasi, teknologi dan kemajuan dibidang pendidikan merupakan kendala tersendiri dalam mengamati sistem pelapisan sosial penduduk Desa Sungaibuntu. Penduduk Desa Sungaibuntu memandang status sosial seseorang berdasarkan kekayaan, ilmu pengetahuan atau keahlian baik yang sifatnya formal maupun nonformal dan senioritas. Dalam kehidupan sehari-hari, pelapisan sosial tersebut tidak menimbulkan terjadinya konflik dan kesenjangan diantara warga masyarakat, interaksi sosial tetap terjalin sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 4.5.2. Kepemimpinan Secara umum masyarakat tunduk pada kepemimpinan formal maupun informal. Hal ini nampak dari kepatuhan masyarakat dalam menjalankan keputusan-keputusan yang dihasilkan dan senantiasa berkonsultasi apabila menghadapi masalah keluarga maupun masalah lain dalam kehidupannya. Dari informasi dan pengamatan, sumber kepemimpinan yang muncul di Desa Sungaibuntu didasarkan pada : 1. Posisi yang tengah dijabat oleh seseorang 2. Seberapa banyak aset yang dimiliki seseorang 3. Adanya para pendukung yang menokohkan seseorang Dalam kaitannya dengan aktivitas wisata, kepemimpinan Kelompok Pengelola Wisata Pesisir bersumber dari sosok kepala desa sekaligus sebagai tokoh pemuda desa setempat. Namun demikian, tokoh-tokoh informal
tetap
memberikan saran dan masukan-masukan pada pihak pengelola wisata seandainya terdapat hal-hal yang dirasakan tidak berkenan oleh masyarakat, meskipun pada akhirnya keputusan tetap ada pada ketua kelompok pengelola kawasan wisata.
70
4.5.3. Tanggapan Masyarakat terhadap Kepemimpinan Masyarakat Desa Sungaibuntu memberi dukungan dan kepercayaan yang tinggi bagi pemimpin yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah yang ada di dalam masyarakat. Kepemimpinan formal, dalam hal ini kepala desa dan perangkat desa memiliki peranan penting dan sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari latar belakang terpilihnya kepala desa, diperoleh informasi bahwa kepala desa memiliki sikap-sikap
peduli, yang
memihak pada kepentingan masyarakat. Pada umumnya perangkat desa memiliki peranan menyangkut hal-hal yang bersifat prosedural, seperti pembuatan Kartu Tanda Penduduk, pengurusan izin mengadakan acara-acara (rekes), mengurus administrasi jual beli, memberikan rekomendasi bagi penduduk yang akan meminjam uang ke Bank Rakyat Indonesia. Disamping melaksanakan tugas-tugas tersebut, perangkat desa berperan dalam mengadakan pesta laut, acara dalam menyambut malam 17 Agustus (istighasah), pengajian masjid ta’lim yang dilaksanakan di aula desa setiap satu bulan sekali serta berperan langsung dalam menyelesaikan kasuskasus perkelahian yang terjadi. Kegiatan-kegiatan tersebut terlaksana melalui kerjasama dengan masyarakat, tokoh keagamaan dan tokoh pemuda. Peran dan tanggung jawab perangkat desa juga menentukan dan menunjuk siapa yang menjabat sebagai kepala dusun, ketua RW dan RT. Kepemimpinan informal yang berperan dalam masyarakat merupakan tokoh-tokoh yang aktif dalam kegiatan keagamaan (ketua Dewan Keluarga Mesjid, pemimpin pondok pesantren, madrasah) dan kepemudaan (ketua karang taruna). Tokoh-tokoh ini memberikan bimbingan dan pembinaan mental kepada generasi muda dalam mencegah terjadinya kenakalan-kenakalan remaja melalui kegiatan-kegiatan pengajian, latihan olah raga volley ball, sepak bola yang dilaksanakan secara rutin setiap seminggu sekali. Secara umum tanggapan masyarakat terhadap kepemimpinan formal maupun informal adalah cukup baik.
4.5.4. Jejaring Sosial dalam Komunitas Jejaring sosial kepemimpinan formal dalam membangun hubungan dengan masyarakat terjalin dalam suatu minggon desa yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali, yang jatuh pada hari Rabu melalui enam kepala dusun masingmasing.
71 Jejaring sosial dalam membangun kepemimpinan formal dan informal terjalin dalam satu bentuk komunikasi yang sifatnya informal dalam konteks kepentingan menyangkut aktivitas dan persoalan kehidupan sehari-hari. Keputusan desa diperoleh sebagai hasil musyawarah antara kepala desa, perangkat desa dan Badan Perwakilan Desa. Badan Perwakilan Desa terdiri dari seorang ketua, sekertaris dan 13 orang anggota. Pengurus dan anggota Badan Perwakilan Desa adalah orang yang dipilih mampu mewakili kepentingankepentingan masyarakat. Jejaring sosial kepemimpinan formal dalam membangun hubungan di luar komunitas dilakukan dengan pihak kecamatan. Hubungan ini terjalin dalam suatu minggon kecamatan yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali yang jatuh pada hari Selasa. Jejaring sosial komunitas Desa Sungaibuntu dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
Kepala Desa
BPD
Musyawarah Desa
Perangkat Desa
Keputusan Desa
Kecamatan
Keterangan : BPD = Badan Perwakilan Desa
Gambar 5 : Jejaring Sosial Komunitas Desa Sungaibuntu Dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan wisata, tokoh atau kepemimpinan yang memegang peranan penting adalah ketua pengelola yang secara kebetulan adalah kepala desa. Ketua dipandang sebagai tokoh yang berinisiatif
dan
mengeluarkan
sejumlah
biaya
untuk
membangun
dan
mengembangkan kawasan tersebut. Jejaring sosial dibangun antara Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dengan para pedagang, berdasarkan perintah dan keputusan ketua pengelola wisata. Jejaring dikembangkan dengan instansi
72 pemerintah yang berada didalam komunitas, yaitu dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran dan pendapat, dengan pihak perusahaan rokok Gudang Garam, Teh Botol Sosro, Voucer Mentari dalam wujud spandukspanduk; juga mulai dirintis kerjasama dengan Dinas Pariwisata.
4.6. Organisasi dan Kelembagaan
4.6.1. Lembaga Kemasyarakatan Lembaga-lembaga kemasyarakatan muncul baik berdasarkan insiatif masyarakat lokal maupun bentukan dari pihak luar (pemerintah). Lembagalembaga kemasyarakatan yang muncul berdasarkan insiatif masyarakat lokal, misalnya kelompok remaja mesjid, kelompok pengajian mingguan, kelompok pengajian masjid ta’lim, kelompok arisan (terdapat 13 kelompok arisan pada tingkat RW).
Kelompok-kelompok pengajian mingguan terdapat pada setiap
dusun, kelompok pengajian mesjid ta’lim dilaksanakan satu bulan sekali yang jatuh pada tanggal 27, bertempat di aula kantor Desa Sungaibuntu. Desa ini memiliki sarana ibadah sebanyak tiga buah mesjid dan 18 mushola. Lembaga kemasyarakatan yang muncul sebagai bentukan dari pihak luar, misalnya Koperasi, PKK, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM), Karang Taruna, BPD (Badan Perwakilan Desa) dan Pos Yandu. Kehadiran Lembaga PKK tidak menunjukan fungsi dan peranan yang berarti dalam masyarakat, kegiatannya bersifat periodik (jika ada undangan dari ibu camat). Kegiatan Pos Yandu dikoordinir oleh Puskesmas pembantu, dilaksanakan secara rutin pada tingkat RW. Karang taruna menunjukkan aktivitas rutin dalam bidang olah raga sepak bola dan bola volley, berlatih satu minggu sekali. Karang Taruna, BPD (Badan Perwakilan Desa), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dinilai cukup berani dalam menyuarakan aspirasi atas nama warga desa. Lembaga ekonomi yang ada di Desa Sungaibuntu, diantaranya meliputi kelompok-kelompok pembuatan ikan asin, terasi, industri pengolahan ikan remang dan koperasi. Koperasi diresmikan oleh pemerintah dengan Badan Hukum Nomor : 7209B/BH/KWK.10/ VI/1995, bernama KUD Mina Karya Makmur, beranggotakan 976 orang, memiliki lima jenis kegiatan ekonomi (sebagaimana tercermin dalam struktur organisasi KUD), meliputi :
73 1. Unit TPI (Tempat Pelelangan Ikan) 2. Unit TPHT (Tempat Pengolahan Hasil Tambak) 3. Unit Listrik (Penerimaan Jasa Pembayaran Rekening Listrik) 4. Unit SP (Simpan Pinjam) 5. Unit WASERDA (Warung Serba Ada) Namun, aktivitas ekonomi yang aktif terlaksana hanya meliputi 3 jenis usaha, yaitu : Unit TPI (Tempat Pelelangan Ikan), Unit TPHT (Tempat Pengolahan Hasil Tambak) dan Unit Listrik (Bekerjasama dengan PLN sebagai Jasa Pembayaran Rekening Listrik). Kecuali Unit Listrik, kehadiran KUD untuk Unit TPI dan Unit TPHT belum bisa dirasakan secara optimal oleh masyarakat. Kelompok-kelompok pembuatan ikan asin, terasi dan industri pengolahan ikan remang berkembang cukup baik. Dari data di ketahui bahwa total produksi pembuatan terasi dalam satu tahun senilai Rp. 30 juta dan total produksi pembuatan ikan asin dalam satu tahun senilai Rp. 3,5 milyar. Untuk memenuhi target produksi, kekurangan bahan baku dipenuhi dengan mendatangkannya dari Blanakan, Indramayu, Cilacap. Sistem pengelolaan (manajemen) kelompokkelompok tersebut masih bersifat tradisional dan belum mengarah pada suatu wadah atau organisasi formal. Kehadiran lembaga ekonomi lain yang juga penting dalam pengembangan modal usaha penduduk, yaitu kehadiran jasa perbankan Bank Rakyat Indonesia Cabang Pembantu. Akses pinjaman penduduk ke bank difasilitasi dengan rekomendasi dari pemerintahan desa (keterkaitan dengan kesyahan agunan yang dimiliki). Sarana kelembagaan pendidikan di Desa Sungaibuntu, meliputi : TK sebanyak satu unit, TPA satu unit, SD Negeri sebanyak empat unit, Madrasah sebanyak satu unit dan Pondok Pesantren satu unit. Kelembagaan pendidikan menyerap para siswa yang kesemuanya berasal dari penduduk Desa Sungaibuntu. Sarana kelembagaan kesehatan penduduk di Desa Sungaibuntu, meliputi : Puskesmas Pembantu sebanyak satu unit, Poliklinik dua unit dan Toko obat satu unit dengan paramedis dua orang, bidan desa satu orang dan dukun terlatih tiga orang.
74 4.6.2. Fungsi Kontrol Sosial Lembaga Dalam
menjalankan
fungsi
dan
peranannya,
lembaga-lembaga
kemasyarakatan dikontrol berdasarkan acuan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat serta agama. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang teguran muncul dari tokoh-tokoh agama yang diajukan kepada kepala desa (perangkat desa). Apabila penyimpangan tersebut tidak menyangkut aspek hukum negara, sanksi dan tindakan akan tergantung pada sikap dan kebijakan kepala desa. Kaitannya dengan aktivitas wisata, sistem pengelolaan aktivitas wisata cenderung masih bersifat tradisional. Fungsi kontrol terhadap pelaksanaan kegiatan ini masih berada di bawah kendali dan instruksi ketua pengelola; belum ada pembagian tugas secara jelas dan tegas. Demikian pula halnya fungsi kontrol dari kelembagaan lokal maupun pemerintah, belum terjalin suatu proses koordinasi, pengawasan atau pendampingan secara nyata, baik
dari Dinas
Pariwisata Kabupaten Karawang maupun dari kelembagaan lokal yang ada.
4.6.3. Proses Sosialisasi dalam Komunitas Proses sosialisasi di dalam masyarakat umumnya dilaksanakan oleh keluarga, yaitu ayah, ibu dan kerabat dari pihak isteri maupun suami. Apabila kedua orang tuanya bekerja pada sektor formal, biasanya pola pengasuhan anak diserahkan pada kerabat dan apabila keluarga jauh dari kerabat atau sanak saudara maka pola pengasuhan anak diserahkan pada pembantu rumah tangga atau meminta bantuan jasa tetangga dekat. Apabila kedua orang tuanya bekerja pada sektor informal, pada umumnya pola pengasuhan anak akan tetap dilakukan orang tua dengan membawa anak ke tempat bekerja.
4.7. Sumberdaya Lokal
4.7.1. Potensi Lahan Desa Sungaibuntu memiliki luas wilayah 1.000 hektar, dimana luas penggunaan lahan tertinggi yaitu 50 persen atau 500 hektar merupakan area lahan tambak (umumnya ikan bandeng) yang menghasilkan sekitar 30 ton ikan pertahun. Penggunaan area lahan terluas ke dua, yaitu 40 persen atau 400 hektar dari wilayah desa merupakan area sawah. Rata-rata penghasilan per
75 hektar sawah dalam satu kali panen sekitar Rp 5 juta (sebelum dikurang biaya pembelian bibit, pupuk dan obat-obatan sekitar Rp 2.255.000,00). Pemanfaatan lahan sebagai potensi sumber daya ekonomi lokal memberikan kontribusi pada modal pembangunan desa sebagai suatu bentuk swadaya masyarakat yang ditetapkan berdasarkan keputusan desa dengan ketentuan : kontribusi pajak sawah 2,5 kwintal per hektar pert ahun, pajak tambak
Rp. 125.000,00 per
hektar per tahun. Data area penggunaan lahan dapat dilihat sebagaimana Tabel 12 berikut ini : Tabel 12 Keadaan Penggunaan Lahan Desa Sungaibuntu Tahun 2005 No.
Penggunaan Lahan
Luas (Hektar)
Prosentase (%)
1.
Tanah Sawah
400
2.
Tanah Tambak
500
50
3.
Tanah Darat (Pemukiman)
83,5
8,35
4.
Tanah Bengkok
15
1,5
5.
Kantor Desa
0,5
0,05
6.
Makam
1
0,1
1.000
100
Jumlah
40
Sumber : Data Potensi Desa Sungaibuntu, Tahun 2005 Aktivitas lain dalam upaya memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah desa, yaitu memanfaatkan keindahan pesisir pantai sebagai kawasan wisata. Aktivitas ini merupakan upaya untuk membuka variasi, kesempatan dan lahan pekerjaan tambahan dalam kerangka mengatasi jumlah pengangguran agar mereka memperoleh penghasilan dan dapat melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya baik sebagai individu, kelompok maupun sebagai anggota suatu komunitas guna meningkatkan taraf kesejahteraannya. Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan suatu bentuk dari upaya pengembangan sumberdaya lokal, meskipun dalam kondisi kehidupan nyata belum memberikan hasil secara optimal, baik ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, kelengkapan dan kenyamanan suatu sarana wisata maupun tingkat pendapatan yang dapat diperoleh, tetapi ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap,
aktivitas wisata ini diantaranya mampu
mempekerjakan sekitar 10 orang tenaga pengelola wisata, lima orang pengemudi perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, lima orang yang menjual jasa
76 penyewaaan ban untuk berenang, 30 orang para pedagang makanan dan minuman menetap (menghuni rumah atau bangunan yang berada di lokasi wisata) dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2002, dari penarikan retribusi pengunjung sebesar Rp. 2.500,00 per orang mampu memberikan
kontribusi
bagi
anggaran
pembangunan
desa
sebesar
Rp. 2.500.000,00.
4.7.2. Pola Hubungan Kerjasama Pola hubungan kerjasama sebagai wujud pengembangan sumberdaya lokal dilakukan dalam bentuk kerjasama ekonomi, yaitu terbentuknya wadah koperasi,
kelompok-kelompok pembuatan ikan asin, terasi dan industri
pengolahan ikan remang. KUD Nelayan saat ini beranggotakan 976 orang, dengan tiga unit usaha, yaitu TPI (Tempat Pelelangan Ikan), TPHT (Tempat Pengolahan Hasil Tambak) dan Tempat Pembayaran Rekening Listrik. Dari data tahun 2005 di ketahui bahwa total produksi dari Unit TPI sebanyak 961.831 kilogram ikan atau Rp. 3.035.059.000,00. Total produksi dari Unit TPHT sebanyak 1.083.000 ekor ikan atau Rp 148.098.000,00. Unit Pembayaran Rp
Rekening
1.562.485.702,00.
Listrik Total
mampu produksi
melayani dari
39.306
pembuatan
rekening terasi
atau senilai
Rp. 30.000.000,00 dan total produksi pembuatan ikan asin senilai Rp. 3,5 milyar. Untuk memenuhi target produksi ikan asin, kekurangan bahan baku dipenuhi dengan mendatangkan dari Blanakan, Indramayu, Cilacap. Wujud pengembangan pola hubungan kerjasama
lainnya dilakukan
dengan memanfaatkan serta mengembangkan keindahan alam pesisir melalui pengembangan kawasan wisata.
V. EVALUASI KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR “SAMUDERA BARU”
Evaluasi terhadap program atau kegiatan pengembangan kawasan wisata pesisir “Samudera Baru” penting dilakukan untuk memperbaiki atau memberi masukan dan saran bagi tindakan selanjutnya agar kegiatan yang dilaksanakan lebih berdaya guna, lebih memberikan manfaat bagi anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata maupun komunitas, sehingga dapat melaksanakan tugas, peran dan fungsinya dalam upaya meningkatkan kondisi kehdupan dan penghidupan yang layak. Evaluasi terhadap apakah
kegiatan
yang
kegiatan dilaksanakan dengan mempertimbangkan dilaksanakan
sudah
memenuhi
prinsip-prinsip
pengembangan masyarakat seperti azas kemandirian, kejujuran, kesetaraan dan berkelanjutan; penilaian
terhadap pengaruh atau efek suatu kegiatan, baik
secara langsung maupun tidak langsung terhadap individu, kelompok sasaran, kelembagaan, kebijakan serta konsekuensinya bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Evaluasi kegiatan pengembangan kawasan wisata pesisir diperlukan untuk : 1. Memahami perubahan ataupun manfaat yang dicapai oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, pihak-pihak terkait serta komunitas Desa Sungaibuntu. 2. Meningkatkan pemahaman mengenai faktor-faktor pendukung dan faktorfaktor
penghambat,
yang
memberikan
kontribusi
bagi
keberlanjutan
pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru”. 3. Memahami upaya-upaya yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola
Kawasan Wisata “Samudera Baru” serta pihak-pihak terkait dalam mengatasi kendala-kendala atau hambatan tersebut. 4. Memberikan
kontribusi
bagi
pengambilan
keputusan
dalam
penyusunan program atau kegiatan yang tepat sebagai alternatif solusi dari permasalahan atau kendala yang dihadapi, baik oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” itu sendiri, para pedagang di lokasi wisata maupun pihak-pihak terkait, dalam hal ini meliputi tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan aparat
78 pemerintah
Desa
Sungaibuntu,
Perwakilan/Permusyawaratan
Desa),
termasuk LPM
(Lembaga
BPD
(Badan
Pemberdayaan
Masyarakat); Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes, meliputi Camat, Kasi. Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Kepala Unit Pelaksana Teknis
Dinas Peternakan Kelautan dan Perikanan (UPTD PKP) serta Kepala Bidang
Pariwisata
pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya
Kabupaten Karawang.
5.1. Deskripsi Kegiatan Pengembangan kawasan wisata pesisir muncul atas inisiatif lokal, dimulai sejak tahun 2002, di atas tanah timbul sepanjang garis pantai 2,5 kilometer. Tanah timbul ini merupakan tanah yang tidak memiliki status kepemilikan yang jelas dan atas izin desa serta Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) tanah tersebut ditata dan dibangun untuk dimanfaatkan sebagai kawasan wisata. Kawasan wisata ini dinamakan “Samudera Baru”, berada di Dusun Sungaibuntu (peta sebagaimana terlampir) dan berjarak sekitar 2,5 kilometer dari perkampungan atau pemukiman penduduk. Pengembangan kawasan wisata dipimpin oleh ketua Kelompok Pengelola yang kebetulan seorang kepala desa sekaligus tokoh pemuda. Pembiayaan awal bagi penataan lingkungan wisata bersumber dari ketua Kelompok Pengelola. Bagi para pengunjung wisata dikenakan biaya masuk sebesar Rp 2.500,00 per orang. Pada kawasan wisata dibangun sebanyak 30 unit rumah panggung sebagai tempat-tempat berjualan makanan. Penduduk dapat berjualan di area wisata dengan cara membeli (antara Rp 10 juta sampai dengan Rp 15 juta) atau mengontrak bangunan tersebut (antara Rp 100 ribu sampai dengan Rp 200 ribu perbulan). Ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, aktivitas wisata ini diantaranya mampu mempekerjakan sekitar 10 orang anggota Kelompok Pengelola Wisata, lima orang pengemudi perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, lima orang yang menjual jasa penyewaaan ban untuk berenang, dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2003, aktivitas ini mampu memberikan
kontribusi
pada
anggaran
pembangunan
desa
sebesar
Rp.2.500.000,00 namun pada tahun-tahun selanjutnya dana hasil penarikan
79 retribusi dari pengunjung (Rp 2.500,00 per orang) dialokasikan pada penataan lingkungan dan pembuatan bangunan-bangunan bagi para pedagang wisata. Pengembangan area pesisir sebagai kawasan wisata yang dilaksanakan ditujukan sebagai sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan mengingat di wilayah Kecamatan Pedes sulit menemukan daerah-daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai area wisata. Disamping itu, juga dimaksudkan untuk membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan agar masyarakat memiliki kondisi kehidupan dan penghidupan yang relatif layak. Pengembangan area pesisir sebagai kawasan wisata
semacam ini
sebelumnya pernah terselenggara pada tahun 1989 di perbatasan wilayah desa sebelah Timur, tepatnya di Dusun Betok Mati. Aktivitas wisata ini muncul seiring dengan dibangunnya proyek-proyek pemerintah, seperti pembangunan tambak udang (TIR) dan pemboran minyak bumi lepas pantai. Namun,
aktivitas ini
akhirnya berakhir pada sekitar tahun 1992 seiring dengan meredupnya proyekproyek pembangunan tersebut. Pada tahun 1999, muncul aktivitas wisata di perbatasan wilayah desa sebelah Barat, tepatnya di Pisangan. Tetapi, akhirnya kegiatan ini berakhir pada sekitar tahun 2001 karena transportasi sekaligus wilayah tersebut mulai digenangi air akibat abrasi air laut yang cukup tinggi. Berakhirnya aktivitas pada kawasan tersebut memberikan masukan atau gambaran bagi pengembangan kawasan wisata
“Samudera Baru” mengenai
faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam menopang keberlanjutan suatu kawasan wisata.
5.2. Pelaksanaan dan Perkembangan Kegiatan
Bapak Tata Husein selaku kepala desa merupakan ketua Kelompok Pengelola atau penanggungjawab langsung kawasan wisata pesisir. Warga desa memahami dan menyepakati bahwa jika
kepala desa telah habis masa
jabatannya sekalipun (September 2006) aktivitas wisata tersebut tetap akan berada di bawah tanggung jawab kepala desa yang terikat dalam wadah Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”. Susunan kepengurusan secara informal telah terbentuk dan menjalankan fungsinya sesuai instruksi dan keputusan dari ketua kelompok. Susunan
80 kepengurusan masih bersifat sederhana, mulai dari wakil ketua, sekretaris, bendahara, petugas loket, humas dan keamanan. Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan para anggota kelompok senantiasa berada di lokasi setiap hari, meskipun situasi saat ini tengah mengalami sepi pengunjung, mereka tetap menjaga kebersihan lingkungan wisata dan melakukan penataan-penataan lingkungan, karena pengaruh angin Barat telah mengakibatkan permukaan air meningkat
dan
menghanyutkan
serta
mematikan pohon-pohon bakau
(mangrove) yang sebelumnya ditanam. Upaya-upaya pengembangan jejaring baik secara horizontal maupun vertikal telah diupayakan. Secara horizontal dilakukan dengan para pedagang, artis-artis kota Karawang dalam bentuk panggung-panggung hiburan, perusahaan teh botol, Indosat (Mentari), perusahaan rokok gudang garam dalam wujud pemasangan bendera-bendera dan spanduk-spanduk perusahaan. Secara vertikal dilakukan dengan instansi pemerintah yaitu dengan kepolisisan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat dan mulai dirintis kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Pengembangan jejaring aktif dilakukan pada saat terjadi ledakan jumlah pengunjung, biasanya pada musim liburan hari raya Idul Fitri (lima hari pasca lebaran). Berdasarkan hasil pengamatan (sejak Praktek Lapangan I) dan informasi dari Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, jumlah pengunjung pada umumnya mengalami ledakan selama satu minggu pada lima hari pasca lebaran (pada tanggal 4 sampai dengan 10 November 2005 jumlah pengunjung mencapai sekitar 1.000 orang setiap hari). Para pengunjung tidak hanya berasal dari wilayah seputar Kabupaten Karawang, melainkan juga dari Jakarta, Bandung dan Bogor. Kehadiran para pengunjung wisata mengalami pasang surut, namun walaupun saat ini kawasan wisata tengah mengalami sepi pengunjung, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudra Baru” tetap bertahan. Diperoleh informasi bahwa sesungguhnya kawasan tersebut tidak pernah mengalami sepi pengunjung, karena pada malam hari terdapat “warung remang-remang” yang menyediakan sarana hiburan malam seperti dangdutan, tarling lengkap dengan wanita-wanita penghibur yang juga memberikan pelayanan/jasa seks. Aktivitas ini mulai digelar pada pukul 21.00 sampai dengan 01.00 WIB. Kondisi demikian pada sebagian penduduk, khususnya tokoh-tokoh agama dan masyarakat
81 dipandang sebagai sumber kemaksiatan yang harus dihapuskan, memalukan dan mencemarkan nama baik desa. Namun pada sebagian penduduk, khususnya para pemuda aktivitas tersebut dipandang sebagai hal yang biasa dan tidak mengganggu, selain disebabkan karena lokasi wisata berjauhan (sekitar 2,5 kilometer) dari lokasi pemukiman penduduk,
juga fenomena
prostitusi dipandang sebagai aktivitas yang lumrah terlihat di wilayah pesisir dan telah ada secara turun temurun. Belum ada keterlibatan baik dari kelembagaan-kelambagaan lokal maupun pemerintah bagi upaya-upaya pengembangan kawasan. Kelompok pengelola kawasan ini sudah ada dan terdaftar pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya, namun belum memperoleh pengakuan resmi sebagai suatu kelompok atau organisasi formal, karena belum memiliki status atau badan hukum yang jelas secara tertulis.
5.3. Pengembangan Ekonomi Lokal dan Permasalahan
Pengembangan ekonomi lokal merupakan suatu proses yang menekankan pada pemanfaatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam secara optimal untuk meningkatkan jumlah dan variasi kesempatan kerja serta mengembangkan ketenagakerjaan dan menciptakan suatu kesejahteraan bagi komunitas. Komunitas lokal Desa Sungaibuntu berusaha memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di wilayahnya, yaitu berupa keindahan pesisir pantai sebagai area atau kawasan wisata. Pengembangan kawasan ini dimaksudkan untuk membuka variasi dan jumlah lahan kerja atau kesempatan kerja bagi sejumlah tenaga kerja dalam kerangka mengatasi jumlah pengangguran yang ada agar mereka memperoleh penghasilan tambahan serta dapat melaksanakan tugas, fungsi dan peranannya baik sebagai individu, kelompok maupun sebagai anggota suatu komunitas guna meningkatkan taraf kehidupan dan penghidupan yang layak. Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan suatu bentuk upaya bagi pengembangan ekonomi lokal, meskipun masih mebutuhkan peningkatan dan perbaikan agar memberikan hasil lebih optimal, baik ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, kelengkapan dan kenyamanan sarana wisata maupun
82 tingkat pendapatan yang dapat diperoleh. Ditinjau dari jumlah tenaga kerja yang dapat
diserap
oleh
kehadiran
aktivitas
wisata
ini
diantaranya
mampu
mempekerjakan 10 orang tenaga pengelola wisata, lima orang pengemudi perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, lima orang yang menjual jasa penyewaaan ban untuk berenang, para 30 orang pedagang makanan dan minuman menetap (menghuni rumah atau bangunan yang berada di lokasi wisata) dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2003, aktivitas ini mampu memberikan kontribusi pada anggaran pembangunan desa sebesar Rp 2.500.000,00 tetapi pada tahun-tahun selanjutnya dana hasil penarikan retribusi dari pengunjung ini tidak lagi dialokasikan bagi anggaran pembangunan desa, melainkan lebih diprioritaskan pada penataan lingkungan dan pembuatan bangunan-bangunan bagi para pedagang wisata. Upaya-upaya pemanfaatan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam secara optimal memiliki kendala-kendala, diantaranya : 1. Jalan dan jembatan menuju kawasan wisata pada saat ini dalam keadaan rusak. Sebagai alternatif dibangun jembatan yang terbuat dari bambu, yang hanya dapat dilalui oleh kendaraan roda dua dan sangat licin apabila turun hujan. Tak jarang kendaraan yang nyaris jatuh dan tergelincir ke arus sungai. Jalan utama menuju lokasi wisata merupakan jalan aspal yang kondisinya sudah rusak, dengan lebar jalan sekitar 3,5 meter. Rusaknya infrastruktur ini dapat mengurangi jumlah pengunjung yang datang sehingga menjadi salah satu penghambat bagi pengembangan ekonomi lokal secara optimal. 2. Akses transportasi umum ke lokasi wisata hanya dapat ditempuh dengan kendaraan
pribadi roda dua maupun roda empat, sedangkan angkutan
penumpang umum
hanya dalam bentuk ojeg motor dan ongkos yang
dikeluarkan relatif mahal, yaitu sebesar Rp 5.000,00. Hal ini dapat menjadi salah satu penghambat bagi pengembangan ekonomi komunitas lokal. 3. Tingginya abrasi air laut, berdasarkan informasi dari para orang tua dan Kepala UPTD PKP serta pengamatan penulis, sejak tahun 1985 sampai dengan saat ini abrasi telah mencapai tingkatan relatif parah, yaitu sekitar 300 meter.
Jika
kondisi
ini
tidak
diimbangi
dengan
upaya-upaya
untuk
mengatasinya maka tingginya abrasi air laut mengakibatkan daratan semakin menyempit, yang pada akhirnya akan menghambat atau mengancam pengembangan ekonomi lokal dan keberlajutan kawasan wisata tersebut. Upaya-upaya untuk mengatasi hal ini dilakukan melalui kerja sama dengan
83 UPTD PKP dalam aksi penanaman kembali pohon mangrove sebanyak 150 batang pohon mangrove. 4. Kehadiran para pengunjung, para pedagang kaki lima dan para penyewa ban di lokasi wisata kerapkali mengakibatkan persoalan-persoalan sampah, penataan area parkir dan terabaikannya pertumbuhan pohon-pohon bakau (mangrove) sebagai upaya penanggulangan abrasi air laut yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan. Sementara pada sisi lain pengelola wisata tidak atau belum begitu respect terhadap masalah-masalah tersebut. Untuk selanjutnya, Kelompok Pengelola Wisata ini memiliki lahan pembibitan mangrove
yang
dikelola
sendiri.
Namun,
upaya-upaya
pemeliharaan
lingkungan, kebersihan, keindahan, keamanan/kesehatan dan ketertiban lahan parkir serta pedagang kaki lima pada kawasan wisata ini seringkali terabaikan pada saat terjadi ledakan pengunjung. 5. Kawasan wisata dilaksanakan di atas tanah timbul yang belum jelas status kepemilikannya. Kawasan ini dapat bertahan karena Ketua Kelompok Pengelola Wisata sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa dan pada tahun September 2006 Kepala desa sudah tidak lagi menjabat jabatan tersebut (meskipun kembali mencalonkan diri sebagai kepala desa untuk periode tahun berikutnya). Situasi-situasi
ini dapat menghambat keberlanjutan kawasan
wisata dan pengembangan ekonomi komunitas lokal.
5.4. Pengembangan Modal Sosial, Gerakan Sosial dan Permasalahan
5.4.1. Ditinjau dari Perspektif Modal Sosial Pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” muncul atas inisiatif kepala desa (Bapak Tata Husein). Gagasan ini memperoleh dukungan dari para pemuda sehingga mereka bersedia menunjukkan keterlibatan dan partisipasinya dalam kegiatan tersebut. Dukungan dan partisipasi ini merupakan wujud dari adanya kepercayaan (trust) warga terhadap kepala desa. Disamping itu, jika ditinjau dari kemampuan aktivitas wisata pesisir bertahan selama hampir empat tahun membuktikan suatu fenomena adanya jalinan hubungan komunikasi yang baik antara penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata (kepala desa) dengan anggota kelompok pengelola wisata.
84 Kepercayaan ini tidak hanya terjadi dari anggota kelompok pengelola wisata terhadap penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata, melainkan
juga
terjadi
secara
timbal
balik
(resiprocity)
yaitu
dari
penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata terhadap anggota kelompok. Hal ini terwujud dari kesediaan kepala desa selaku penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata untuk mempercayakan keuangan hasil pembayaran retribusi pengunjung kepada bendahara dengan administrasi atau pembukuan yang belum tertata dengan tertib. Dengan demikian, kepala desa selaku penanggungjawab atau ketua kelompok pengelola wisata memahami serta percaya pada sikap dan tabiat para anggota kelompok serta percaya akan kejujuran (honesty) mereka. Dari gambaran tentang pengelolaan wisata di atas, dapat dipahami bahwa aktivitas wisata pesisir dapat terselenggara dan tetap terpelihara sampai saat ini karena adanya Modal Sosial yang meliputi suatu jalinan relasi yang diwarnai dengan kepercayaan, kejujuran, timbal balik dan kesepemahaman satu sama lain didalam kelompok yang membentuk suatu kebiasaan aturan-aturan yang disepakati bersama. Analisis pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru” ditinjau dari dimensi-dimensi yang dimiliki Modal Sosial adalah sebagai berikut : 1. Gagasan pengembangan kawasan wisata pesisir dapat terselenggara karena adanya kesamaan etnik, hubungan kekerabatan dan pertemanan. Tetapi, pola hubungan kekerabatan dan pertemanan ini juga telah menyebabkan sulit diterapkannya aturan-aturan dan sanksi-sanksi secara jelas, misalnya masih adanya anggota kelompok atau para pedagang di lokasi wisata yang lalai menjaga kebersihan. Etnik dalam konteks ini lebih terkait pada lokalitas dimana penanggungjawab dan para pengelola kawasan wisata berada, yaitu sebagai suatu komunitas pesisir Sungaibuntu. Hal ini terkait dengan dimensi integrasi dari suatu Modal Sosial. 2. Adanya pertalian atau linkage dengan komunitas lain di luar komunitas, diwujudkan dalam bentuk kerja sama dengan : - Perusahaan teh botol, Indosat (Mentari), perusahaan rokok gudang garam dalam
wujud
pemasangan
bendera-bendera
dan
spanduk-spanduk
perusahaan, artis-artis dari kota Karawang. Kerja sama ini biasanya terjalin dalam situasi terjadi ledakan pengunjung,
85 - Instansi Pemerintah yaitu dengan kepolisian, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat dan mulai dirintis kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Namun upaya kerja sama ini belum terwujud secara nyata dan optimal. Hal ini menunjukkan adanya dimensi pertalian ataulinkage, yaitu bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata telah menjalin ikatan atau kerja sama dengan komunitas lain di luar komunitas. 3. Selama ini, aktivitas pengembangan kawasan wisata belum tersentuh oleh suatu bentuk peraturan atau kebijakan yang mengatur tata operasionalnya di lapangan. Segala aktivitas terkait dengan masalah-masalah ekonomi maupun sosial lebih merupakan masalah yang harus diatasi oleh komunitas itu sendiri tanpa ada campur tangan dari pemerintah baik
pada tingkat kecamatan,
kabupaten, maupun propinsi sehingga belum terbentuk suatu integritas organisasional yang baik antara pihak pemerintah (political sector), swasta (private sector) maupun organisasi swadaya masyarakat. (participatory sector). Hal ini berarti bahwa aktivitas pengembangan kawasan wisata belum menunjukkan suatu bentuk integritas organisasional atau organizational integrity antara institusi negara dalam menjalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakan peraturan. 4. Selama ini aktivitas pengembangan kawasan wisata pesisir belum berjalan secara sinergi dengan pihak pemerintah. Aktivitas ini lebih merupakan upaya praktis dari komunitas lokal dalam mengatasi kemiskinan dan pengangguran di wilayahnya, belum ada suatu sikap atau upaya, baik dari pemerintah maupun swasta untuk memelihara inisiatif dan mengembangkan motivasi komunitas lokal dalam pengembangan kawasan tersebut. Dengan demikian, pengembangan kawasan wisata pesisir belum menunjukkan adanya dimensi sinergi, yaitu menyangkut relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas
Untuk memahami pengembangan aktivitas ini ditinjau dari Modal Sosial dilakukan analisis berdasarkan Tipologi Modal Sosial, yaitu sebagai berikut :
86 a. Gagasan pengembangan kawasan wisata bertujuan untuk membuka alternatif lahan pekerjaan guna meningkatkan pendapatan anggota kelompok, meskipun masih dibutuhkan upaya peningkatan dan perbaikan agar memberikan hasil secara lebih optimal, baik dari segi jumlah tenaga kerja yang dapat diserap maupun dari segi kelengkapan dan kenyamanan suatu sarana wisata. Dari gambaran tersebut, maka analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran I, yaitu Social Economic Well Being. b. Adanya suatu stigma negatif terhadap area wisata “Samudera Baru” karena adanya panggung hiburan sekaligus wanita-wanita penghibur pada malam hari menjadi suatu polemik tersendiri bagi tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Ustadz Gufron : “Saya pernah mengungkapkan dan mempertanyakan masalah ini kepada Pak Lurah, tapi beliau menjawab bahwa wisata dan kehadiran wanita-wanita penghibur merupakan dua sisi yang sulit atau tidak bisa dipisahkan” Dalam wawancara lain, penulis mencoba meminta penjelasan kepada Bapak Cakra Suarawijaya, Bapak Dudin dan Bapak Iman selaku perwakilan dari para pemuda, mengatakan bahwa : “Kami sejak kecil dibesarkan di sini, tapi kami tidak pernah mencoba menikmati kehidupan malam seperti itu. Kami tidak merasa terusik dengan kehadiran mereka, karena disamping tempat mereka terpencil dari pemukiman penduduk, kami juga menganggap bahwa kehidupan seperti itu telah biasa ada di lingkungan kami secara turun temurun, hanya tempatnya yang berpindah-pindah, meskipun kami tidak tahu kapan kehidupan seperti itu berawal” Dari gambaran di atas, dapat dipahami bahwa sebagian kelompok memandang kehadiran wanita-wanita penghibur di area wisata “Samudra Baru” sebagai suatu masalah, sedangkan kelompok yang lain memandang kehadiran mereka sebagai sesuatu hal yang biasa, yang telah ada secara turun temurun. Pada sisi lain, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi kelembagaan lokal, seperti tokoh-tokoh agama dan para pengelola pondok pesantren sebagai suatu bentuk kontrol sosial dan basis pengembagan masyarakat
yang
dapat
menopang
keberlanjutan
kawasan
tersebut.
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” seakan-akan terpisah dari kehidupan komunitas lokal. Hal ini sebagaimana diungkapkan
87 oleh Bapak Ni’an Abdullah selaku Ketua LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Sungaibuntu : “Saya setuju dengan dikembangkannya kawasan wisata “Samudera Baru” ini, tetapi saya memohon agar kawasan tersebut akhirnya jangan hanya menjadi milik pribadi atau sekelompok orang tertentu saja, tetapi hasilnya juga harus dapat dinikmati oleh masyarakat” Disamping
itu,
kawasan
wisata
pesisir
“Samudera
Baru”
ini
dikembangkan di atas tanah tanah timbul yang belum memiliki izin dan status pemanfaatan yang jelas. Izin pemanfaatan tanah timbul didasarkan atas izin secara lisan dari Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP). Hal ini mulai disadari betul oleh Kepala Desa selaku Ketua Pengelola Kawasan Wisata sebagaimana diungkapkan : “Sebentar lagi jabatan Saya sebagai kepala desa akan berakhir, saya menyadari hal ini dan harus memikirkan status tanah bagi kelangsungan Samudera Baru.....” Situasi-situasi upaya-upaya
demikian apabila tidak diantisipasi dan dibicarakan
pemecahannya
dapat
mengakibatkan
terjadinya
konflik
tersembunyi, yang pada akhirnya juga dapat menimbulkan konflik terbuka antara Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” dengan komunitas setempat. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran II, yaitu Latent Conflict. c. Gagasan aktivitas wisata pesisir muncul sebagai upaya untuk mengatasi masalah
kemiskinan
yang
terjadi.
Data
hasil
Praktek
Lapangan
I
menunjukkan bahwa jumlah keluarga miskin tahun 2005 sebanyak 55,75 persen. Dengan demikian, analisis terhadap Modal Sosial berada pada Kuadran IV, yaitu Coping. Analisis Modal Sosial dapat digunakan untuk menjelaskan konteks kehidupan masyarakat secara holistik dalam perspektif jaringan (networking), baik secara horizontal maupun vertikal : a. Secara Horizontal, jaringan terbentuk karena adanya ikatan dalam jenjang hubungan kesetaraan, dilakukan
dengan sesama anggota kelompok
pengelola, para pedagang, artis-artis kota Karawang dalam mengisi acaraacara hiburan, perusahaan teh botol, Indosat (Mentari), perusahaan rokok gudang garam. Namun, jenjang hubungan kesetaraan ini belum terlaksana secara baik dengan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, kelompok
88 pengelola wisata selama ini masih kurang mengindahkan harapan dan aspirasi dari komunitas. b. Secara Vertikal, jaringan terbentuk karena adanya kerja sama dengan lembaga atau instansi Pemerintah, dilakukan dengan pihak kepolisisan, Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes dalam wujud konsultasi, saran serta pendapat, tetapi kerja sama ini sifatnya tidak dibina secara teratur dan periodik juga mulai dirintis kerja sama dengan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang meskipun belum ada relisasi kegiatan secara nyata. Dari uraian di atas, diketahui bahwa dalam pelaksanaan pengorganisasian, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum sepenuhnya memanfaatkan Modal Sosial secara optimal. Ditinjau dari dimensi pertalian dan perspektif jaringan, baik secara horizontal maupun vertikal dilaksanakan hanya pada momentum terjadinya ledakan pengunjung.
Kerja sama dengan pihak-
pihak terkait atau dengan pihak lain agar kawasan wisata lebih menarik para pengunjung tidak hanya pada momentum liburan lebaran, melainkan pada setiap saat hari libur, misalnya liburan akhir pekan belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan. Namun, meskipun kehadiran pengunjung wisata mengalami pasang surut, Kelompok Pengelola Wisata tetap eksist, mereka mengadakan pertemuan rutin dengan para pedagang di lokasi wisata setiap dua minggu sekali, tetap bergabung dalam menata dan mengelola keindahan area wisata. Dengan demikian, tipe Modal Sosial yang ada lebih menekankan pada Ikatan Solidaritas (Bounded Solidarity) dan Nilai Luhur (Value Introjection) serta Bersifat Consummatory.
5.4.2. Ditinjau dari Perspektif Gerakan Sosial Jika dicermati dari perspektif Gerakan Sosial, aktivitas wisata pesisir di Desa Sungaibuntu dapat dipahami sebagai suatu bentuk perilaku yang dapat dikategorikan sebagai suatu Gerakan Sosial, sebab : 1. Aktivitas pengembangan kawasan wisata merupakan bentuk perilaku yang sifatnya tidak rutin atau tidak biasa dilakukan. Secara umum, bentuk kegiatan menata dan mengelola area pesisir sebagai sarana wisata yang dapat bertahan hingga kurun waktu mencapai empat tahun merupakan suatu kegiatan yang tidak biasa bagi desa di wilayah Kecamatan Pedes.
89 2. Tindakan atau kegiatan di atas, tidak dilakukan secara individual, melainkan dilakukan secara kolektif, yaitu oleh sejumlah penduduk yang bergabung untuk berpartisipasi mendukung dan merealisasikan gagasan kepala desa. 3. Aktivitas pengembangan kawasan wisata memiliki tujuan dan cara-cara yang disepakati bersama. Tujuannya yaitu untuk mengadakan perubahan terhadap kondisi kemiskinan yang dialami oleh komunitas pesisir dan sekaligus sebagai
solusi bagi para tenaga kerja yang memiliki tingkat pendidikan
rendah agar memiliki aktivitas yang dapat menambah pendapatan dan meningkatkan kesejahteraannya. Cara yang disepakati untuk ditempuh yaitu melalui jalur negosiasi dan komunikasi yang sifatnya persuasif, melalui permohonan izin kepada Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Perikanan, Kelautan dan Peternakan (UPTD PKP) Kecamatan Pedes untuk mengelola sepanjang 2,5 kilometer tanah timbul sebagai lokasi wisata, yang mana bagi setiap pengunjung harus membayar retribusi masuk sebesar Rp. 2.500,00 per orang. 4. Aktivitas pengembangan kawasan wisata muncul sebagai salah satu langkah untuk mengubah dan memperbaiki tatanan kondisi kehidupan masa lalu yang dianggap belum mendayagunakan dan memberdayakan secara efektif sumberdaya alam yang dimiliki dan sumberdaya manusia atau tenaga kerja yang ada. Melalui kegiatan ini, kondisi kehidupan sosial ekonomi ke depan diharapkan dapat membawa perubahan positif yang signifikan dengan tetap menjaga kelestarian dan keberlanjutan (sustainability) sumberdaya alam tersebut. Apabila dianalisis berdasarkan ciri dasar Gerakan Sosial, adalah sebagai berikut : 1. Nilai, aktivitas pengembangan kawasan wisata pesisir didasarkan pada suatu harapan untuk mewujudkan suatu kondisi kehidupan dan penghidupan sosial ekonomi masyarakat yang dinilai layak dan manusiawi. 2. Norma, menyangkut aspek-aspek tertulis atau tidak tertulis yang mendasari muncul dan tetap bertahannya kawasan wisata pesisir adalah adanya aturanaturan yang sifatnya tidak tertulis yang selama ini lebih mengacu pada apa yang
menjadi
keputusan
dan
kebijakan
kepala
desa
sebagai
penanggungjawab/ketua kelompok pengelola kawasan wisata melalui suatu komunikasi dan dialog dengan anggota kelompok.
90 3. Proses, yang mendasari terjadinya aksi-aksi kolektif seperti halnya pengelolaan wisata pesisir adalah adanya suatu kendala atau kesulitan untuk mewujudkan harapan dan keinginan dengan mengandalkan pada kebijakan atau kebaikan hati pemerintah baik di tingkat kecamatan, kabupaten maupun propinsi. Untuk itu, upaya yang ditempuh untuk mewujudkan harapan dan aspirasi dalam mewujudkan suatu kegiatan yang dapat membuka peluang kerja bagi penduduk lokal ini pada akhirnya ditempuh melalui kekuatan sendiri dengan mengefektifkan partisipasi dan dukungan warga atau tenaga kerja serta biaya yang tersedia. Sebab kenyataan yang dialami selama ini, upaya untuk memperoleh dukungan dana dari Pemerintah kepada Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang amat sulit untuk terealisasi. 4. Momentum, jika ditelaah dari munculnya gagasan kegiatan pengembangan kawasan wisata yang pada akhirnya mendapat dukungan dan partisipasi dari sejumlah tenaga kerja yang tergabung dalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, didukung oleh suatu momentum bahwa : pencetus gagasan adalah seorang kepala desa yang notabene memiliki kekuatan, baik dari segi otoritas maupun dari segi pembiayaan.
5.5. Aspek Psikologi Sosial dan Permasalahan Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial berkaitan dengan adanya respons atau reaksi Pemerintah yang belum tanggap, baik pada tingkat Kecamatan, Kabupaten maupun Propinsi terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, ketua kelompok dan anggota pengelola kawasan wisata menyadari bahwa kegiatan yang dirintis dan dilaksanakan akan sulit berkembang tanpa adanya dukungan dari Pihak Pemerintah, baik moral maupun material. Dukungan moral terwujud dalam bentuk saran pendapat dan masukan bagi upaya-upaya perbaikan ke depan maupun dalam bentuk bantuan nyata, seperti perbaikan jalan menuju kawasan wisata yang saat ini kondisinya telah rusak dan digantikan oleh jembatan alternatif yang sangat tidak memadai. Namun, kenyataan yang dialami tidaklah mudah untuk memperoleh kebaikan hati dan uluran tangan dari pihak Pemerintah. Kondisi psikologis sosial demikian, melahirkan suatu pandangan, seperti diungkap oleh Kepala desa dan Camat :
91 “Untuk masyarakat kita, bantuan seperti perbaikan jembatan, jalan belum akan dikabulkan oleh Pemerintah sebelum jembatan tersebut runtuh atau jalan benar-benar rusak parah”” Reaksi evaluatif anggota masyarakat demikian membentuk suatu sikap individual. Sikap individual yang dinyatakan tidak hanya oleh seorang saja akan membentuk suatu sikap sosial. Sikap sosial akan membentuk suatu Identitas sosial yaitu konsep mental yang dikembangkan oleh pikiran dan disimpan di dalam memori sebagai hasil pengalaman, diasosiasikan dengan sejumlah kenyakinan (belief) dan perasaan (feelings). Suatu sikap sosial yang negatif terhadap Pemerintah diwujudkan dalam suatu bentuk swadaya dan tingkat kemandirian yang cukup tinggi. Sebagai contoh : - Pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan suatu bentuk aktivitas yang bersumber dari kekuatan lokal, baik dari segi gagasan maupun dari segi sumber pembiayaan. - Prosentase
anggaran
pembangunan
Desa
Sungaibuntu
tahun
2004
menunjukkan bahwa 82,56 persen anggaran pembangunan bersumber dari iuran swadaya masyarakat dan 17,44 persen bersumber dari bantuan Pemerintah Kabupaten Karawang. Disamping sikap sosial negatif terhadap Pemerintah, sikap sosial negatif lain muncul dari tokoh-tokoh agama. Adanya fenomena prostitusi pada kawasan wisata dikhawatirkan akan membawa pengaruh buruk bagi perkembangan anakanak dan remaja di desa serta mempermalukan dan mencoreng nama baik desa. Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Gufron selaku ustadz dan pengajar di pondok pesantren : “Saya mendukung pengembangan kawasan wisata “Samudera Baru”, tapi tolong kepada kelompok pengelola agar bisa mengatasi permasalah mabuk-mabukan dan aktivitas prostitusi di kawasan tersebut karena pernah kejadian anak murid saya berhenti sekolah dan menjadi kacau sejak bergaul dengan kehidupan “Samudera Baru”.
92 5.6. Kebijakan dan Perencanaan Sosial serta Permasalahan Suharto (2005) mengemukakan
kebijakan sosial sebagai seperangkat
tindakan (course of action), kerangka kerja (framework), petunjuk (guideline), rencana (plan), peta (map) atau strategi yang dirancang untuk menterjemahkan visi politis Pemerintah atau Lembaga Pemerintah
ke dalam program dan
tindakan untuk tujuan tertentu di bidang kesejahteraan sosial. Karena urusan kesejahteraan sosial senantiasa menyangkut orang banyak, maka kebijakan sosial seringkali diidentikan dengan kebijakan publik. Istilah publik umumnya dikaitkan dengan urusan pemerintah. Namun, belakangan ini makna publik merujuk pada ‘urusan orang banyak‘ dalam konteks ‘kepemerintahan’ atau ‘tatakelola’
(governance). Dengan demikian, kebijakan
sosial merupakan kebijakan publik yang tidak lagi merupakan domain pemerintah, melainkan pula badan-badan swasta, sejauh berurusan dengan kepentingan orang banyak. Kebijakan sosial berorientasi pada pencapaian tujuan sosial. Tujuan sosial mengandung dua pengertian yang saling terkait, yaitu memecahkan masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial. Tujuan pemecahan masalah sosial mengandung arti mengusahakan atau mengadakan perbaikan karena ada suatu keadaan yang tidak diharapkan, misalnya kemiskinan atau kejadian yang bersifat destruktif atau patologis yang mengganggu dan merusak tatanan masyarakat. Tujuan pemenuhan kebutuhan sosial mengandung arti menyediakan pelayanan-pelayanan sosial yang diperlukan, baik dikarenakan adanya masalah maupun tidak ada masalah, dalam arti bersifat pencegahan, misalnya mencegah terjadinya masalah, mencegah tidak terulang atau timbulnya kembali masalah atau mencegah meluasnya masalah atau bersifat pengembangan, misalnya meningkatkan kualitas atau suatu kondisi agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Perencanaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan guna memilih alternatif terbaik dari sejumlah alternatif yang ada untuk mencapai tujuan tertentu. Secara singkat perencanaan adalah proses membuat rencana. Dengan demikian perencanaan sosial adalah proses membuat ‘rencana sosial’. Sebagaimana tercermin dalam pernyataan Conyers (1984) bahwa perencanaan sebaiknya tidak dipandang sebagai aktivitas yang terpisah dari kebijakan, tetapi sesuatu bagian dari proses pengambilan keputusan yang amat kompleks yang
93 dimulai dari perumusan tujuan kebijakan serta sasaran yang lebih luas kemudian dikembangkan
melalui
tahapan-tahapan
dimana
tujuan
kebijakan
ini
diterjemahkan ke dalam bentuk rencana yang lebih rinci bagi program dan proyek khusus yang selanjutnya dilaksanakan secara nyata. Bila ditelaah, pengembangan kawasan wisata yang dilaksanakan oleh warga komunitas pesisir Sungaibuntu merupakan suatu proses dari kebijakan dan perencanaan sosial, yaitu kebijakan dan perencanaan sosial yang lahir dari komunitas lokal. Proses kebijakan dan perencanaan pengembangan kawasan wisata pesisir lahir dari gagasan awal tokoh sentral, yaitu kepala desa. Gagasan ini muncul sebagai upaya untuk memenuhi tujuan pemecahan sosial dan tujuan pemenuhan kebutuhan sosial ; 1. Tujuan pemecahan masalah sosial yaitu berupaya memperbaiki kondisi kemiskinan yang dialami oleh komunitas setempat yang menghambat individu, keluarga maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam melaksanakan tugas, tanggung jawab dan peranan-peranan sosial yang disandangnya atau dengan kata
lain
tidak
dapat
melaksanakan
keberfungsian
sosial
mereka
sebagaimana yang diharapkan. 2. Tujuan pemenuhan kebutuhan sosial ini diperuntukkan tidak hanya bagi mereka
yang
terlibat
secara
langsung
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan, melainkan juga bagi masyarakat secara luas, yaitu berupaya memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap sarana hiburan dan refreshing yang dapat terjangkau oleh semua kalangan.
Bagi pencetus gagasan, pengembangan kawasan wisata pesisir dinilai merupakan suatu alternatif terbaik yang dapat direalisasikan, karena adanya dukungan sumberdaya alam dalam hal ini keindahan pantai, tenaga kerja dan dana, meskipun dana ini berawal dari sumber pembiayaan pribadi kepala desa. Dengan demikian, kebijakan dan perencanaan sosial terkait dengan kegiatan pengembangan kawasan wisata pesisir merupakan kebijakan atau perencanaan yang muncul dari inisiatif lokal, dalam hal ini kepala desa. Kepala desa lebih memainkan peranan dan tanggungjawabnya, meskipun komunikasi dan dialogdialog anggota kelompok tetap dilakukan, misalnya rapat atau pertemuan dengan para pedagang dilaksanakan rutin setiap dua minggu sekali. Tetapi, dalam
94 proses perumusan kebijakan dan perencanaan, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” ini : 1. Belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi dari pihak-pihak terkait, seperti : - Tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat; aparat pemerintah Desa Sungaibuntu, termasuk BPD (Badan Perwakilan/Permusyawaratan Desa), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), - Aparat Pemerintah Kecamatan Pedes, meliputi Camat, Kasi. Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Kepala Unit Pelaksana
Teknis Dinas
Peternakan Kelautan dan Perikanan (UPTD PKP) - Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang sebagai basis pengembangan masyarakat. dan kontrol sosial yang dapat menopang keberlanjutan
kawasan wisata tersebut. Kelompok Pengelola
Kawasan Wisata “Samudera Baru” seakan-akan terpisah dari kehidupan komunitas lokal. 2. Belum mampu menciptakan interaksi dan relasi yang baik bagi pembentukan jejaring (networking) secara kolaboratif, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal bagi pengembangan dan keberlanjutan kawasan wisata tersebut.
5.7. Evaluasi Umum Evaluasi terhadap aktivitas Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal dapat dilihat dari aspek proses awal pengembangan kawasan, pelaksanaan kegiatan, hasil-hasil yang dicapai dan kendala-kendala yang dihadapi serta upaya-upaya yang dilaksanakan untuk mengatasi masalah tersebut. Ditinjau dari segi proses awal pengembangan kawasan wisata, kawasan ini muncul bersumber dari kekuatan lokal, baik dari segi gagasan maupun dari segi sumber pembiayaan, dalam hal ini yaitu dipelopori oleh kepala desa setempat (Bapak Tata Husein). Pengembangan kawasan ini ditujukan untuk membuka alternatif atau variasi lahan pekerjaan tambahan bagi masyarakat agar dapat menambah pendapatan dan sebagai sarana rekreasi yang terjangkau oleh semua kalangan mengingat di wilayah Kecamatan Pedes sulit menemukan daerah-daerah yang dapat dimanfaatkan sebagai area wisata.
95 Ditinjau dari aspek pengembangan masyarakat, munculnya gagasan atau inisiatif komunitas lokal merupakan kekuatan positif bagi upaya pemberdayaan masyarakat, yang mana selama ini gagasan-gasan dan penentuan-penentuan kebutuhan masyarakat selalu bersumber dari pemerintah. Disamping manfaat dan pengaruh positif yang menopang keberlanjutan (sustainable) kawasan wisata, sebaliknya pengembangan kawasan ini juga memiliki kendala-kendala maupun dampak-dampak yang dapat mengancam keberlanjutan aktivitasnya. Ditinjau dari aspek pengembangan ekonomi lokal kendala muncul, diantaranya dalam bentuk : - rusaknya jalan dan jembatan menuju kawasan wisata, - sulitnya akses transportasi umum ke lokasi wisata dan hanya dapat ditempuh dengan kendaraan pribadi roda dua maupun roda empat, sedangkan angkutan penumpang umum
hanya dalam bentuk ojeg motor dan ongkos yang
dikeluarkan relatif mahal, yaitu sebesar Rp 5.000,00; - tingginya abrasi air laut, mengakibatkan daratan atau kawasan wisata semakin menyempit serta, - kehadiran para pengunjung, para pedagang kaki lima dan para penyewa ban di lokasi wisata yang kerapkali mengakibatkan persoalan-persoalan sampah, penataan area parkir dan terabaikannya pertumbuhan pohon-pohon bakau (mangrove) sebagai upaya penanganan abrasi, - pada sisi lain Kelompok Pengelola Kawasan dinilai lalai untuk mengantisipasi dan menemukan solusi dari masalah-masalah tersebut. - kendala lain muncul dari ketidakjelasan status kepemilikan dan pemanfaatan kawasan. Kawasan ini masih dapat bertahan diantaranya disebabkan karena Ketua Kelompok Pengelola Kawasan sekaligus menjabat sebagai Kepala Desa dan pada September 2006 Kepala desa sudah tidak lagi menduduki jabatannya (meskipun kembali mencalonkan diri untuk periode selanjutnya). Situasi-situasi ini dapat menghambat keberlanjutan kawasan wisata dan pengembangan ekonomi komunitas lokal. Dari aspek modal sosial kendala muncul dari adanya trust yang tidak proporsional dalam Kelompok Pengelola Wisata serta berkembangnya kondisikondisi yang dapat menumbuhkan terjadinya latent conflict. Trust yang tinggi terhadap ketua cenderung mengakibatkan semua keputusan, instruksi dan kendali berada dibawah tangan ketua kelompok. Sistem kerabatan dan kentalnya
96 hubungan pertemanan mempersulit penerapan aturan-aturan dan sanksi secara tegas serta muncul kecenderungan mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal pemanfaat an tanah timbul sebagi kawasan wisata hanya didasarkan pada izin lisan dari Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes -. Tidak adanya izin pemanfaatan tanah timbul secara jelas dan tegas serta berkembangnya fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan di kawasan wisata dapat menimbulkan terjadinya latent conflict. Dari aspek sosial pikologis
kendala muncul dari adanya kekhawatiran
anggota komunitas akan pengaruh fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan yang umumnya terjadi saat malam hari di kawasan wisata. Hal ini dikhawatirkan akan
berpengaruh
negatif
terhadap
perkembangan
para
remaja
dan
kekhawatiran akan mencoreng kembali nama baik Desa Sungaibuntu. Dari segi perencanaan dan kebijakan sosial kendala muncul karena belum terciptanya interaksi dan relasi harmonis, baik yang sifatnya horizontal maupun vertikal bagi pengembangan kawasan wisata berkelanjutan. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” belum melibatkan dan mempertimbangkan saran, pendapat serta aspirasi kelembagaan stakeholders, baik kelembagaan lokal,
kelembagaan
swadaya
masyarakat
(LSM)
maupun
kelembagaan
pemerintah. Berdasarkan informasi dan dialog-dialog dengan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, para pedagang di lokasi wisata dan para stakeholders
dikaji
secara
bersama-sama
bagaimana
upaya
penguatan
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata melalui alternatif-alternatif pendekatan kelembagaan untuk mengatasi kendala-kendala atau permasalahan tersebut.
VI. ANALISIS TINJAUAN KEGIATAN PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA PESISIR 6.1. Profil dan Potensi Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” merupakan kelompok yang terbentuk lebih karena hubungan kekerabatan dan pertemanan. Kelompok ini lebih bersifat sebagai kelompok informal, yaitu kelompok yang tidak memiliki struktur tertentu dan aturan dibuat secara tidak tegas. Diantara mereka terdapat kesadaran sebagai bagian dari kelompok, ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain, ada suatu faktor kepentingan yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat, yaitu upaya untuk membuka variasi lahan pekerjaan sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Namun, sistem keterikatan dalam kelompok karena hubungan kekerabatan dan pertemanan jauh lebih menonjol. Hal ini dapat dilihat dari fenomena fakta bahwa secara ekonomi tingkat pendapatan yang diperoleh dari aktivitas wisata mengalami pasang surut, namun demikian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ini tetap mampu bertahan sampai dengan saat ini (sejak tahun 2002 sampai dengan 2006). Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” beranggotakan sebanyak 10 orang, memiliki latar belakang pendidikan SLTA sebanyak dua orang atau 20 persen, SLTP sebanyak tiga orang atau 30 persen
dan SD
sebanyak lima orang atau 50 persen. Rendahnya tingkat pendidikan anggota kelompok
diasumsikan
dapat
mempengaruhi
tingkat
pemahaman
dan
pengetahuan mereka dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara tepat dan berkelanjutan. Ditinjau dari jenis kelamin, tingkat keterlibatan perempuan dalam kelompok hanya satu persen atau satu orang. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam aktivitas ini karena perempuan dinilai riskan dan tidak aman jika terlibat dalam kegiatan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan penulis, secara umum peran dan keterlibatan perempuan didalam aktivitas-aktivitas ekonomi memang tidak mengalami hambatan, tetapi masih ada pandanganpandangan yang menganggap bahwa laki-laki lebih gesit dan pekerjaan laki-laki lebih menguras tenaga. Untuk itu, upah laki-laki lebih mahal dibandingkan
98 dengan wanita. Sebagai contoh upah buruh tani sawah untuk laki-laki Rp 30.000,00 per hari dan buruh perempuan Rp 25.000,00 per hari. Dengan
demikian,
masih
terjadi
adanya
perspektif
gender
dalam
pembagian tugas dan pekerjaan di masyarakat. Faqih dalam Sumarti dan Ekawati (2005) mengungkapkan pengertian gender yaitu suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Perbedaan gender antara perempuan dan laki-laki ini selanjutnya melahirkan ketidaksetaraan
peran gender
gender
muncul
yang berbeda. Ketidakadilan atau
ketika
faktor
sosiokultural
membentuk
perbedaan-perbedaan dari peran gender ini menjadi suatu pembedaan. Pembedaan
menyebabkan
pandangan-pandangan
yang
stereotype
dan
mengakibatkan segregasi terhadap perempuan. Stereotype yaitu pelabelan negatif terhadap perempuan, yang mana
laki-laki dianggap sebagai pencari
nafkah utama dan perempuan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan sehingga perempuan dibayar dengan upah lebih rendah. Segregasi yaitu pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan oleh laki-laki dan oleh perempuan. Susunan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru“ dapat dilihat sebagaimana tabel di bawah ini : Tabel 13 Susunan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang Jenis No. Nama Usia Jabatan Pendidikan Kelamin 1.
Tata Husein
L
42
Ketua
STM
2.
Boy Junanto
L
35
Wakil Ketua
SMP
3.
Sutomo
L
39
Bendahara
SD
4.
Nina
P
38
Sekretaris
SMA
5.
Amad
45
Keamanan
SD
6.
Bayu
L L
34
Keamanan
SMP
40
Petugas Loket
SD
32
Petugas Loket
SD
30
Humas
SMP
30
Humas
SD
7. 8 9. 10.
Akum Kubil Rudi Waryono
L L L L
Sumber : Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Samudera Baru, 2006. Keterangan : L : Laki-laki P : Perempuan
99 Profil dan potensi Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” dapat dilihat dari aspek-aspek :
6.1.1. Tujuan Tujuan merupakan harapan dan keinginan yang ingin dicapai dalam kelompok. Tujuan memberikan arahan dan acuan perilaku bagi para anggotanya. Tapi, karena Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” merupakan kelompok yang sifatnya informal, maka tujuan yang ingin dicapai tidak dituangkan secara tertulis atau implisit. Secara implisit tujuan ditetapkan oleh pencetus gagasan, dalam hal ini yaitu kepala desa sebagai ketua kelompok. Pengembangan kawasan wisata pesisir ditujukan sebagai : 1) alternatif lahan pekerjaan tambahan agar masyarakat memiliki kesempatan untuk menambah penghasilan guna mewujudkan kondisi kehidupan dan penghidupan yang relatif layak. 2) upaya memanfaatkan sumber daya lahan timbul 3) sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Tata Husein selaku ketua pengelola kawasan sekaligus sebagai Kepala desa : “Daripada mubazir tanah ini Saya kembangkan sebagai kawasan wisata untuk membuka alternatif lahan pekerjaan agar menambah pendapatan penduduk sekaligus sebagai sarana rekreasi yang murah dan terjangkau oleh masyarakat, karena saya menyadari sulit untuk mencari fasilitas hiburan di wilayah Kecamatan Pedes.................” Upaya kelompok untuk mencapai tujuan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik, tetapi untuk tujuan pemeliharaan kawasan wisata, baik secara sosial, ekologis maupun keagrariaan sebagai penopang keberlanjutan kawasan belum dilaksanakan secara optimal, sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Tata Husein selaku ketua pengelola kawasan : “Saya sudah berusaha untuk menggerakkan anak buah saya dan para pedagang di sini untuk tetap menjaga kebersihan, memelihara pohonpohon mangrove yang sudah di tanam, tapi ya itu.........susah, harus saya marah-marah dulu baru sadar, belum lagi kalau sudah ramai pengunjung........”
100 6.1.2. Kepemimpinan Siagian,
P.
Sondang
(1979)
mengemukakan
bahwa
kepemimpinan
merupakan suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang agar bekerja sama menuju pada suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan. Hakekat kepemimpinan
adalah
kemampuan
untuk
mempengaruhi
pihak
lain.
Kepemimpinan juga dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang atau pihak lain melalui komunikasi, baik langsung maupun tidak langsung dengan maksud untuk menggerakkan pihak lain agar dengan penuh pengertian, kesadaran dan senang hati bersedia mengikuti kehendak pemimpin. Penetapan pimpinan atau ketua didalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak dilakukan melalui suatu proses pemilihan tertentu, melainkan berlangsung secara alamiah. Proses penetapan pimpinan atau ketua lebih didasarkan pada pertimbangan : 1) ketua kelompok merupakan penggagas utama sekaligus penyandang dana atau sumber pembiayaan. 2) ketua kelompok adalah sebagai kepala desa yang masih aktif. Gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh ketua kelompok terhadap anggota maupun para pedagang di kawasan wisata cenderung masih bersifat mendominasi,
walaupun
pendekatan-pendekatan
atau
komunikasi
yang
dilaksanakan lebih didasarkan pada hubungan informal kekerabatan dan pertemanan. Upaya-upaya pemeliharaan keindahan dan kebersihan kawasan wisata, penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial dan keagrariaan sangat tergantung pada keputusan, instruksi dan gerakan dari ketua kelompok. Bagi anggota kelompok maupun para pedagang di lokasi wisata tidak merasakan adanya
masalah-masalah
yang
berarti
terkait
dengan
pelaksanaan
kepemimpinan atau ketua kelompok pengelola kawasan wisata, sebagaimana diungkapkan oleh Pak Waryono selaku humas Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” : “Pak lurah orang yang baik, kita bisa leluasa untuk ngobrol tentang apa saja. Tapi untuk hal-hal yang terkait dengan Samudera Baru semua tergantung pada keputusan Pak Lurah, saya tidak berani melanggar.............”
101 6.1.3. Pembagian Tugas dan Peranan Pembagian tugas pekerjaan dalam suatu kelompok penting dilkukan agar setiap orang berdaya upaya dan semua daya upaya yang dijalankan oleh setiap anggota terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Setiap anggota harus mengerti apa yang dikerjakannya, apa hak, wewenang serta tanggungjawabnya. Secara implisit pembagian tugas pekerjaan didalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata telah dilakukan. Proses penetapan pembagian tugas pekerjaan yang dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah menjadi keputusan dari ketua kelompok. Namun, dalam pelaksanaannya pembagian tugas yang telah dilakukan secara implisit tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebagai contoh anggota yang ditunjuk sebagai bendahara tidak dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, jabatan tersebut dilaksanakan oleh anggota yang lain. Ketidakberfungsian pembagian tugas dan peranan ini tidak menimbulkan permasalahan-permasalahan berarti bagi anggota. Tidak terdapat sanksi-sanksi dan proses pertanggungjawaban secara tegas. “Semua yang terlibat di sini adalah masih saudara dan teman-teman saya, jadi kalau terjadi kecurangan-kecurangan terkait dengan penarikan retribusi atau apapun ya saya maklumi saja, karena tidak enak ribut sama saudara atau teman sendiri kecuali jika sudah sangat keterlaluan.......”
6.1.4. Pola Hubungan dan Komunikasi Komunikasi merupakan pertukaran informasi yang terjadi didalam kelompok. Pola hubungan dan komunikasi didalam kelompok penting artinya bagi eksisitensi kelompok. Eksistensi kelompok ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi keberadaan dan keberlanjutan kawasan wisata. Pola hubungan dan komunikasi didalam kelompok akan terhambat, khususnya antara anggota dengan ketua kelompok apabila terdapat perasaan-perasaan ”takut, tidak berani atau segan” yang berlebihan terhadap ketua kelompok. Pola hubungan dan komunikasi yang terjadi antara anggota, ketua dan para pedagang di kawasan wisata berjalan harmonis. Pola hubungan dan komunikasi yang terjadi merupakan komunikasi langsung dan lebih didasarkan pada hubungan kekerabatan dan pertemanan. Anggota kelompok tidak merasakan adanya tekanan atau segan dalam menyatakan pendapat, usulan atau keinginan meskipun pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan ketua dan kurang
102 mempertimbangkan masukan, pendapat dan usulan dari anggota. Pertemuan didalam kelompok dilaksanakan setiap dua minggu sekali. Pola hubungan dan komunikasi dengan UPTD PKP telah dirintis dalam bentuk permohonan izin lisan bagi pemanfaatan tanah timbul untuk dijadikan kawasan wisata; diskusi dan konsultasi dalam upaya-upaya penanganan abrasi air laut yang telah mengakibatkan kawasan wisata semakin menyempit. Tetapi, pola hubungan dan komunikasi ini tidak berlangsung secara periodik. Pola hubungan dan komunikasi dengan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang dan kelembagaan-kelembagaan lokal (BPD, LPM, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat) baik dalam bentuk masukan, saran, usulan dan pendapat belum pernah dilakukan.
6.1.5. Kerjasama Kesinambungan suatu kelompok serta aktivitasnya dapat terancam apabila terdapat hambatan-hambatan, gangguan, keterbatasan kemampuan atau ancaman baik yang bersumber dari internal kelompok maupun eksternal kelompok. Untuk itu penting dikembangkan adanya kerjasama dengan pihakpihak terkait. Inisiatif untuk bekerjasama dengan pihak lain tidak selalu muncul dari pimpinan atau ketua kelompok. Kerjasama yang telah berlangsung selama ini adalah dengan pihak swasta. Upaya bekerjasama dengan pihak pemerintah, seperti UPTD PKP telah dirintis dengan baik. Kerjasama dengan Dinas Penerangan,
Pariwisata
dan
Kebudayaan
Kabupaten
Karawang
pernah
dilakukan dalam bentuk pengajuan anggaran bagi pengembangan kawasan, tetapi hal ini belum dapat direalisasikan. Upaya-upaya kerjasama atau upaya untuk melibatkan kelembagaan-kelembagaan lokal (BPD, LPM, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat) belum dilaksanakan. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi atau konsultasi dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak, seperti halnya kerjasama dengan UPTD PKP dalam menanggulangi ancaman abrasi melalui penanaman mngrove; tidak atau belum diupayakan dialog atau diskusi dengan kelembagaankelembagaan lokal yang diperkirakan merasa khawatir dan dengan keberadaan kawasan tersebut.
tidak berkenan
103 6.1.6. Pengetahuan Keraf A. Sonny (2001) mengungkapkan bahwa pengetahuan merupakan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya; mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu juga mencakup praktek atau kemampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis. Dalam hal ini, pengetahuan merupakan pemikiran, gagasan, ide, konsep, pemahaman dan kemampuan yang dimiliki oleh anggota kelompok dalam mengembangkan ”kawasan wisata secara tepat atau sesuai dengan konteks lokal”, yakni secara sosio ekonomi dan ekologis serta keagrariaan mampu : memberdayakan komunitas lokal, mempertegas tata aturan pemanfaatan tanah atau kawasan, menjaga keindahan alam pesisir sebagai atraksi wisata yang ditawarkan serta meminimalisir dampak-dampak negatif yang ditimbulkan sehingga upaya pengembangan kawasan wisata dapat
berkesinambungan.
Anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata memahami sepenuhnya bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Tumbuh ide, gagasan dan pemikiran serta kesadaran-kesadaran bahwa manfaat ekonomi akan lestari jika didukung oleh adanya kepastian hukum tanah timbul yang selama ini digunakan dan terpeliharanya luas daratan dari ancaman abrasi air laut serta adanya keseimbangan atau keharmonisan dengan nilai-nilai dan norma-norma serta harapan-harapan dan aspirasi komunitas (keseimbangan aspek sosial, ekologis dan keagrariaan), tetapi gagasan dan pemikiran tersebut belum diimbangi oleh upaya-upaya yang optimal. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Tata Husein selaku ketua pengelola kawasan : “Wawasan dan pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri. Kita di sini merasa membutuhkan informasi dan pengetahuan tentang bagaimana seharusnya kawasan ini dapat dikembangkan sesuai dengan kondisi yang ada...” Tabel tentang profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dapat dilihat sebagamana Tabel 14 berikut ini :
104 Tabel 14 Profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” NO
ASPEK
1.
Tujuan
PROFIL Tidak
dituangkan secara tertulis atau bersifat implisit oleh pencetus gagasan, dalam hal ini yaitu ketua kelompok Terfokus pada upaya peningkatan pendapatan Tidak ditetapkan melalui suatu proses pemilihan tertentu atau berlangsung alamiah. Lebih didasarkan pada pertimbangan : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa yang masih aktif Proses penyebaran pengaruh melalui komunikasi langsung dan bersifat informal, yaitu berdasarkan pada hubungan kekerabatan dan pertemanan Tidak dituangkan secara tertulis atau bersifat implisit serta belum dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya. Proses pembagian tugas dan peranan didasarkan pada keputusan atau instruksi lisan ketua kelompok Terjalin pola hubungan dan komunikasi antara anggota, ketua dan para pedagang di kawasan wisata secara : harmonis, langsung, dilaksanakan pertemuan kelompok dua minggu sekali Terjalin pola hubungan dan komunikasi dengan Kepala UPTD PKP, meskipun berifat informal dan tidak atau belum diagendakan secara periodik Anggota kelompok memiliki kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain Dasar pertimbangan hubungan kerja sama, baik dalam bentuk diskusi, konsultasi cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yg sifatnya mendesak Wawasan, pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri Ditetapkan
2.
Kepemimpinan
3.
Pembagian tugas dan peranan
4.
Pola hubungan dan komunikasi
5.
Kerjasama
6.
Pengetahuan
6.2. Analisis
Situasi terhadap Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
”Samudera Baru” Berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman pada awal kajian (Praktek Lapangan I : Pemetaan Sosial), pemimpin atau ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” merupakan sosok yang memiliki pengaruh cukup kuat dalam menentukan semua keputusan. Hal ini diantaranya disebabkan karena ketua kelompok sekaligus sebagai kepala desa, pencetus ide atau gagasan, pemilik anggaran serta didukung penuh oleh para anggota kelompok. Tidak mudah bagi penulis untuk menggali semua informasi tentang aktivitas di
105 kawasan tersebut. Di luar wawancara ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak jarang mengecek pada anggota kelompok tentang hal-hal apa yang dibahas serta menyampaikan peringatan
pada anggota kelompok agar tidak
membawa penulis pada wilayah tertentu dari kawasan wisata. Hal ini menghadirkan pertanyaan dalam benak penulis : “ada apa sebenarnya dibalik semua pengembangan kawasan ini?”.
Untuk memahami lebih jauh tentang
aktivitas di kawasan tersebut, penulis melakukan penggalian informasi dari aparat desa, anggota masyarakat yang tinggal tidak jauh dari lokasi wisata, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, pengurus BPD dan LPM bahkan isteri dari ketua itu sendiri. Pembicaraan
dimulai dari hal-hal yang sifatnya umum
terkait dengan kondisi kehidupan sosial ekonomi komunitas desa dan akhirnya menjurus pada informasi-informasi terkait dengan pengembangan kawasan wisata. Selanjutnya pada saat penulis melakukan Praktek Lapangan II (Evaluasi Kegiatan) dan Kajian Pengembangan Masyarakat, informasi-informasi tentang pengembangan kawasan wisata mulai lebih terbuka, bahkan pada saat FGD stakeholders kegiatan ini tidak hanya dihadiri oleh pihak-pihak terkait yang diundang, melainkan oleh pihak lain yang juga memiliki perhatian terhadap keberadaan kawasan ini. Namun sikap hati-hati dan kewaspadaan tetap penulis jaga, mengingat situasi dan kondisi sebagai berikut : 1. Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” adalah juga kepala desa. Pada saat Praktek Lapangan ini dilaksanakan, masa jabatan kepala desa menjelang berakhir dan tengah mempersiapkan diri untuk mencalonkan kembali; menggali informasi dan pelaksanaan FGD stakeholders terkait
dengan
permasalahan-permasalahan
Kelompok
Pengelola
dan
pengembangan kawasan wisata terkesan dapat menggiring opini umum yang negatif terhadap kepala desa dan hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi proses pemilihan kepala desa. 2. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dibangun atas kepercayaan
hubungan
kekerabatan
dan
kekeluargaan.
Kondisi
ini
menyulitkan untuk memperoleh informasi secara transparan dari anggota kelompok. Namun demikian, konsistensi
informasi
dapat diatasi dengan
melakukan kontrol atau cross check melalui pihak-pihak terkait.
106 6.3. Analisis
Potensi
Kelompok
Pengelola
Kawasan
Wisata
”Samudera Baru” Berdasarkan profil Kelompok Pengelola Wisata sebagaimana telah diuraikan, terdapat potensi-potensi yang dimiliki oleh kelompok, sebagaimana dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 15 Profil dan Potensi Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” NO
ASPEK
1.
Tujuan
2.
3.
4.
5.
6.
PROFIL Tidak
POTENSI
dituangkan secara tertulis atau bersifat Mampu membuka lahan pekerjaan baru implisit Mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi anggota kelompok Ditetapkan oleh pencetus gagasan, dalam hal ini ketua kelompok Mampu menjadi sarana wisata yang Terfokus pada upaya untuk meningkatkan dapat terjangkau oleh semua kalangan pendapatan Kepemimpinan Tidak ditetapkan melalui suatu proses Mampu menumbuhkan trust dan pemilihan tertentu atau berlangsung alamiah solidaritas Lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa : Terpeliharanya pendekatan-pendekatan ketua kelompok adalah pemilik ide utama, personal yang mewujudkan rasa sebagai penyandang dana sekaligus menjabat nyaman sebagai kepala desa dan masih aktif Mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi Proses penyebaran pengaruh melalui wisata komunikasi langsung dan bersifat informal; didasarkan pada hubungan kekerabatan dan pertemanan Pembagian Tidak dituangkan secara tertulis atau bersifat Meskipun bersifat implisit telah tumbuh tugas dan implisit kesadaran dan dikenal adanya peranan pembagian tugas dan peranan. Proses pembagian tugas dan peranan didasarkan pada keputusan ketua kelompok Pola Terjalin pola hubungan dan komunikasi antara Pola hubungan dan komunikasi bersifat hubungan dan anggota, ketua dan para pedagang di kawasan personal informal yang menumbuhkan komunikasi wisata secara : harmonis, langsung, dilaksana- kesetiakawanan dan trust kan pertemuan kelompok dua minggu sekali Terjalin pola hubungan dan komunikasi dengan Kepala UPTD PKP meskipun tidak atau belum diagendakan secara periodik Kerjasama Anggota kelompok memiliki kesempatan untuk Tumbuh gagasan untuk mengembangmenjalin kerja sama dengan pihak lain kan kerja sama dengan pihak swasta dan pihak Pemerintah Dasar pertimbangan hubungan kerja sama, baik dlm bentuk diskusi, konsultasi cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena halhal yang sifatnya mendesak Pengetahuan Wawasan, pemahaman tentang pengelolaan Tumbuh inisiatif, gagasan dan pemikiran dan pengembangan kawasan wisata diperoleh untuk mengembangkan kawasan wisata atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri secara berkelanjutan
107 6.4. Analisis
Permasalahan
Kelompok
Pengelola
Kawasan
Wisata
”Samudera Baru” Disamping terdapat potensi-potensi, baik yang telah dikembangkan, maupun baru pada tataran ide, gagasan ataupun pemikiran, profil Kelompok Pengelola
Wisata
sebagaimana
telah
diuraikan
juga
menimbulkan
permasalahan-permasalahan, sebagaimana dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 16 Profil, Potensi dan Permasalahan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” NO
ASPEK
1.
Tujuan
2.
3.
PROFIL Tidak
dituangkan secara tertulis atau bersifat implisit Ditetapkan oleh pencetus gagasan, dalam hal ini ketua kelompok Terfokus pada upaya peningkatan pendapatan
POTENSI
Mengabaikan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma masyarakat Cenderung lebih berorientasi pada aspek ekonomi Mengabaikan upaya-upaya menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan wisata atau mengabaikan aspek-aspek sosial, ekologi Kepemimpinan Tidak ditetapkan melalui Mampu menumbuhkan Pengelolaan kelompok cenderung suatu proses pemilihan trust dan solidaritas tidak profesional; kelompok tertentu atau berlangsung Terpeliharanya pendipandang milik pribadi dan seakan alamiah menjadi bagian terpisah dari dekatan-pendekatan komunitas personal Lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa : Menumbuhkan ketergantungan Mampu menciptakan ketua kelompok adalah terhadap pemimpin atau ketua keamanan dan keterpemilik ide utama, sebagai tiban bagi para pedakelompok penyandang dana gang di lokasi wisata sekaligus menjabat sbg kepala desa dan masih aktif Proses penyebaran pengaruh melalui komunikasi langsung dan bersifat informal yang didasarkan pada hubungan kekerabatan dan pertemanan Pembagian Tidak dituangkan secara Meskipun bersifat Pembagian tugas dan peranan tugas dan tertulis atau bersifat implisit telah tumbuh belum dapat berfungsi peranan implisit kesadaran akan sebagaimana mestinya pentingya pembagian Pembagaian tugas didasarkan Proses pembagian tugas tugas dan peranan. dan peranan didasarkan pada instruksi lisan ketua pada keputusan atau kelompok, sulit dilaksanakan instruksi ketua kelompok kegiatan pencatatan atau pelaporan serta pertanggungjawaan, baik administratif maupun finansial
Mampu membuka lahan pekerjaan baru Mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi Mampu menjadi sarana wisata yang dapat terjangkau oleh semua kalangan
PERMASALAHAN
108 Lanjutan Tabel 16 NO
ASPEK
4.
Pola hubungan dan komunikasi
PROFIL
5.
Kerjasama
6.
Pengetahuan
6.5. Analisis
POTENSI
PERMASALAHAN
Terjalin pola hubungan dan Pola hubungan dan komunikasi antara anggota, komunikasi bersifat ketua dan para pedagang di personal informal yang kawasan wisata secara : har- menumbuhkan rasa monis, langsung, dilaksananyaman, kesetiakakan pertemuan kelompok dua wanan atau solidaritas minggu sekali dan trust Terjalin pola hubungan dan komunikasi dengan Kepala UPTD PKP, meskipun tidak atau belum diagendakan secara periodik Anggota kelompok memiliki Tumbuh gagasan untuk kesempatan untuk menjalin mengembangkan kerja kerja sama dengan pihak lain sama dengan pihak swasta dan pihak Dasar pertimbangan hubuPemerintah ngan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi, konsultasi cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yg sifatnya mendesak Wawasan, pemahaman Tumbuh inisiatif, pemitentang pengelolaan dan kiran, gagasan untuk pengembangan kawasan memelihara dan wisata diperoleh atas dasar menjaga kelestarian pemikiran-pemikiran sendiri serta keindahan kawasan wisata secara berkelanjutan
Keberfungsian
Kelompok
Pengelola
Sulit bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan pola-pola hubungan yang sifatnya formal
Mengabaikan upaya kerja sama dengan kelembagaan lokal karena dinilai tidak membawa manfaat ekonomi bahkan dianggap dapat menghambat kesinambungan pengembangan kawasan wisata
Pemikiran
dan gagasan memelihara kelestarian serta keindahan kawasan belum dilaksanakan secara optimal, baik oleh pihak Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, para pedagang di lokasi wisata maupun oleh Kepala UPTD PKP
Kawasan
Wisata
”Samudera Baru” Supriatna,
Tjahya
(1997)
mengungkapkan
bahwa
pembangunan
berkelanjutan merupakan konsep pembangunan yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia (human development), lebih dititikberatkan pd pembangunan sosial dan lingkungan agar mendukung pertumbuhan ekonomi. Marpaung dan Bahar (2002), mengungkapkan bahwa
pengembangan
kawasan wisata secara tepat, yaitu secara ekologi aktif mendorong kelangsungan objek atau atraksi wisata yang ditawarkan,
secara sosial ekonomi mampu
109 memberdayakan masyaralat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilai-nilai setempat atau sesuai konteks lokal. Dalam konteks ini, keberlanjutan kawasan wisata dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologi dan kepastian agraria. Upaya-upaya untuk mewujudkan suatu kawasan wisata secara berkelanjutan diasumsikan dapat ditelaah atau dikaji melalui profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, yang meliputi aspek-aspek : (1) tujuan : mampu membuka lahan pekerjaan baru, mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi pengelola dan para pedagang serta mampu menjadi sarana wisata yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Pada sisi lain, orientasi tujuan peningkatan pendapatan telah mengabaikan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melaksanakan upaya-upaya menjaga dan memelihara kelestarian serta keindahan lingkungan di kawasan wisata secara optimal. Kondisi demikian telah memunculkan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata, (2) kepemimpinan : lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa sehingga memiliki pengaruh yang kuat, mampu menumbuhkan trust dan solidaritas kelompok, mampu memelihara pendekatan-pendekatan personal, mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi wisata. Pada sisi lain, pola kepemimpinan ini telah menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok cenderung menjadi tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang-responsifan
pihak
management
terhadap
komunitas
(non
responsiveness), (3) Secara implisit telah dilaksanakan pembagian tugas dan peranan tetapi belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok, tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang
110 responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (4) pola hubungan dan komunikasi antara anggota, ketua dan para pedagang di kawasan wisata lebih didasarkan pada hubungan personal informal berdasarkan hubungan kekerabatan dan pertemanan yang menumbuhkan kesetiakawanan atau solidaritas dan trust, tetapi pada sisi lain menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan halhal yang sifatnya formal, termasuk pola hubungan dengan Kepala UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan, (5) kerja sama : tumbuh gagasan dan mulai dirintis upaya untuk mengembangkan kerja sama baik dengan pihak swasta maupun pemerintah, anggota kelompok memiliki kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena ada hal-hal yang sifatnya mendesak yang menuntut pemecahan segera; belum melibatkan kelembagaan lokal dan stakeholders, baik dalam bentuk diskusi, dialog, saran atau pendapat. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang-responsifan
pihak
management
terhadap
komunitas
(non
responsiveness), (6) pengetahuan : ide, gagasan, pemikiran dan pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri; anggota kelompok maupun para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka; tumbuh ide, gagasan dan pemikiran serta kesadaran-kesadaran bahwa manfaat ekonomi akan lestari jika didukung oleh aspek sosial, ekologis dan keagrariaan tetapi belum diimbangi oleh upaya-upaya yang optimal. Kondisi demikian telah memunculkan isu kritis terkait kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata. Berdasarkan uraian tentang profil kelembagaan tersebut, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” selama ini telah menunjukkan keberfungsian secara ekonomi. Tetapi, secara umum keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata secara ekonomi ini belum dapat dinikmati oleh komunitas secara luas. Pengembangan kawasan ini telah mampu menunjukkan pertumbuhan ekonomi dengan baik melalui penyediaan kesempatan dan lahan kerja bagi
111 penduduk, mampu mempekerjakan sekitar 10 orang tenaga pengelola wisata, orang pengemudi perahu bermotor sebagai sarana rekreasi, 5 orang yang menjual jasa penyewaaan ban untuk berenang, para 30 orang pedagang makanan dan minuman menetap, mereka menghuni rumah atau bangunan yang berada di lokasi wisata dan sekitar 40 orang pedagang kaki lima. Pada tahun 2002, dari penarikan retribusi terhadap pengunjung mampu memberikan kontribusi pada anggaran pembangunan desa sebesar Rp. 2.500.000, meskipun pada tahun-tahun selanjutnya dana hasil penarikan retribusi pengunjung ini tidak lagi dialokasikan bagi anggaran pembangunan desa, tetapi lebih diprioritaskan pada penataan lingkungan dan pembuatan bangunan-bangunan bagi para pedagang di lokasi wisata. Secara sosial, kelembagaan ini belum dapat berfungsi dalam upaya memelihara dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melibatkan serta mempertimbangkan harapan dan aspirasi komunitas. Kelompok Pengelola Kawasan ini telah berusaha mengembangkan gagasan pengembangan jejaring melalui kerjasama dengan pihak swasta, seperti Perusahaan Teh Botol Sosro, Rokok Gudang Garam, Indosat/Mentari dan pihak Pemerintah, seperti UPTD PKP. Namun, upaya pengembangan kerjasama ini belum dilakukan terhadap kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, sehingga terkesan bahwa kelompok ini merupakan bagian terpisah dari komunitas karena tidak memberikan kontribusi serta manfaat pada komunitas. Pada sisi lain, kehadiran aktivitas kawasan wisata juga telah menimbulkan kekhawatiran pada komunitas terkait dengan adanya fenomena prostitusi dan mabuk-mabukan. Kelompok memahami kondisi-kondisi seperti ini, tetapi kesadaran untuk mengembangkan gagasan perubahan belum dilakukan secara nyata. Secara ekologis,
Kelembagaan Pengelola
Kawasan
Wisata
belum
berfungsi sebagai pemelihara keindahan dan kelestarian lingkungan pada kawasan wisata. Pengembangan kawasan wisata erat kaitannya dengan nilai jual dari atraksi wisata yang ditawarkan yaitu keindahan alam pesisir. Untuk itu, upaya-upaya pemeliharaan kelestarian keindahan dan kebersihan mutlak untuk diperhatikan, termasuk upaya-upaya mempertahankan luas wilayah kawasan. Dalam kurun tahun 2005, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan para pedagang telah memundurkan bangunan 2 Meter dari posisi semula karena naiknya permukaan air laut ke daratan. Kesadaran semacam ini telah dimiliki
112 oleh Kelompok Pengelola Kawasan, meskipun belum didukung oleh upayaupaya yang optimal. Kendala muncul dari lemahnya dukungan para pedagang di lokasi wisata dan para pengunjung serta lemahnya konsistensi pendampingan oleh instansi terkait, yaitu UPTD PKP Kecamatan Pedes. Secara keagrariaan, kelembagaan ini juga belum berfungsi dalam upaya mempertegas legalitas status pemanfaatan tanah timbul yang dijadikan sebagai kawasan wisata. Tanah timbul dalam hal ini termasuk pada sumber daya milik umum atau common resource, yaitu tanah yang tidak memiliki status kepemilikan dan pemanfaatan yang tegas dan notabene lahan tersebut bukan milik pribadi ataupun sekelompok orang tertentu, dalam hal ini Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, sehingga komunitas secara luas juga memiliki hak untuk dapat menikmati manfaat dari kawasan tersebut. Masyarakat berharap bahwa pengembangan kawasan wisata ini tidak hanya memberikan kontribusi dan dinikmati oleh sekelompok orang tertentu melainkan juga oleh komunitas secara luas. Dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal, dibutuhkan pemahaman tentang potensi-potensi dan dukungan yang diberikan oleh pihak-pihak terkait bagi upaya pengembangan dan keberlanjutan kawasan tersebut.
Data tentang analisis potensi serta efektivitas potensi pihak-pihak
terkait, meliputi :
6.6. Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata ”Samudera Baru” dan Efektivitasnya Secara umum, para pedagang di kawasan wisata patuh pada pihak Kelompok Pengelola Kawasan Wisata atau pihak Management. Para pedagang ini memandang bahwa kepemimpinan atau Ketua Kelompok dinilai berhasil dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi mereka. Sebagai contoh, tidak jarang para pengunjung di malam hari mengalami mabuk berat dan bertengkar memperebutkan ”primadona” warung. Para pedagang di kawasan wisata berjumlah 30 orang, 10 pedagang diantaranya berjualan secara musiman; seminggu sekali (menjelang akhir pekan) atau pasca panen. Data tentang para pedagang di lokasi wisata dapat dilihat sebagaimana Lampiran 3. Analisis mengenai potensi para pedagang di lokasi wisata dan efektivitasnya dapat dilihat pada tabel di berikut ini :
113
Tabel 17 Analisis Potensi para Pedagang di Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan Efektivitasnya No.
Aspek
Potensi
Efektivitas
1.
Kepemimpinan
Tumbuhnya kepercayaan atau trust terhadap Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
Menumbuhkan ketergantungan terhadap ketua atau pemimpin kelompok
2.
Tujuan
Aktivitas berdagang dapat menyokong pendapatan dan kehidupan ekonomi para pedagang
Mengabaikan ketaatan terhadap norma dan nilai-nilai masyarakat
Aktivitas berdagang merasa terancam karena abrasi air laut yang cukup tinggi; dalam 1 tahun para pedagang telah memundurkan bangunannya sekitar 2 meter
Pola hubungan dan komunikasi yang bersifat personal informal menumbuhkan rasa nyaman, kesetiakawanan dan trust
Ada perasaan “sungkan” untuk menyampaikan peringatan, teguran atau hal-hal yang sifatnya serius atau formal
Tumbuh dukungan terhadap upaya-upaya untuk memelihara keindahan dan kelestarian kawasan wisata
Dukungan terhadap upaya-upaya untuk memelihara keindahan dan kelestarian kawasan wisata lebih dikarenakan instruksi ketua Kelompok Pengelola
3.
Pola Hubungan dan komunikasi
4.
Pengetahuan
6.7. Analisis Potensi serta Efektivitas di Tingkat Kelembagaan Untuk mewujudkan aktivitas pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal, penting untuk memahami potensi-potensi dan efektivitas yang terjadi di tingkat kelembagaan baik lokal maupun pemerintah, terkait dengan kelembagaan itu sendiri maupun pengetahuan, gagasan, pandangan serta pemahamannya terhadap kawasan wisata tersebut.
6.7.1. Kelembagaan BPD Badan Perwakilan Desa (BPD) merupakan kelembagaan yang para anggotanya dipilih atas musyawarah desa, berfungsi sebagai kelembagaan yang mewakili aspirasi masyarakat yang mengontrol kebijakan jalannya pemerintahan desa. Data tentang kepengurusan BPD dapat dilihat sebagaimana Lampiran 4. Analisis tentang potensi dan efektivitas Kelembagaan BPD dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
114 Tabel 18 Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan BPD No. 1.
2.
Aspek Profil Kelembagaan BPD
Keberadaan dan aktivitas Kawasan
Potensi
Efektivitas
Dinilai cukup ”vokal” dan ”berani” dalam mengungkapkan pendapat-pendapatnya atas nama kepentingan masyarakat.
Disinyalir bahwa semua persoalan bisa “dikompromikan”, diambangkan dan tidak ada tindak lanjut atau penyelesaian yang jelas
Pada prinsipnya mendukung gagasan pengembangan kawasan wisata
Dukungan yang diberikan tidak efektif, karena : Tujuan : dipandang lebih cenderung pada aspek ekonomi sehingga mengabaikan ketaatan terhadap norma dan nilai-nilai masyarakat, khawatir dengan semakin berkembangnya fenomena prostitusi Jabatan sebagai kepala desa, hubungan dan kedekatan dengan pejabat di daerah menjadikan ketua kelompok memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan tanah timbul yang ada tanpa status hukum atau aturan main yang jelas, juga; Aktivitas yang dilaksanakan seolah menjadi milik pribadi atau sekelompok orang, sehingga tidak ada pertanggungjawaban baik secara adminsitratif maupun finansial atau tidak transparans. Kelompok pengelola kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas Tidak atau belum melibatkan kelembagaan lokal dalam perencanaan ke depan dan kurang atau tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat Pembagian tugas dan peranan tidak jelas sehingga tidak ada pertanggungjawaban yang jelas kepada desa baik dari segi administrasi maupun finansial Tidak ada kerja sama sehingga tidak pernah melibatkan kelembagaan BPD dalam perencanaan dan perumusan kebijakan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
6.7.2. Kelembagaan LPM LPM atau Lembaga Pemberdayaan Masyarakat ini beranggotakan warga masyarakat desa yang memiliki ketaatan pada ajaran agama (Islam). Memiliki keberanian untuk mengungkapkan kritik, saran dan masukan secara lugas dan terbuka. Berupaya untuk menjaga citra dan nama baik desa. Lembaga ini berusaha memberikan saran dan masukan agar nama desa yang dalam sejarah dikenal karena maraknya aktivitas prostitusi tidak kembali melekat karena adanya kawsan wisata “Samudera Baru. Data kepengurusan LPM dapat dilihat sebagaimana Lampiran 5. Analisis tentang potensi dan efektivitas Kelembagaan LPM dapat dilihat pada Tabel 17 berikut ini :
115 Tabel 19 Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan LPM No.
Aspek
Potensi
Efektifitas
01
02
03
04
1.
2.
Profil Kelembagaan LPM
Keberadaan dan Aktivitas Kawasan
Kelembagaan ini dinilai Karena potensi yang dimiliki tersebut, lembaga ini ”vokal, berani, agamis kadang-kadang tidak dilibatkan dalam rapat-rapat tetapi sebagian pihak desa menilai ”kaku”. Pada prinsipnya setuju Dukungan yang diberikan tidak efektif, karena : dan mendukung Terkait dengan kepemimpinan rangkap yang keberadaan kawasan dianggap menyebabkan tidak adanya pertanggungjawaban secara administratif maupun finansial, sehingga keuntungan atau manfaat ekonomi hanya dinikmati oleh pribadi atau management Tidak ada kerjasama dengan kelembagaan LPM sehingga pihak management tidak atau belum memberikan peluang bagi kelembagaan ini untuk berpartisipasi, baik dalam diskusi maupun dialog Dinilai tidak membawa manfaat dan kemaslahatan bagi warga Munculnya fenomena mabuk-mabukan dan prostitusi dipandang bahwa Kelompok Pengelola Kawasan Wisata lebih berorientasi pada tujuan ekonomi sehingga menghalalkan segala cara termasuk penyimpangan terhadap nilai-nilai dan norma-norma agama sehingga dipandang sebagai tempat atau sumber maksiat
6.7.3. Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda dan Pengusaha Tokoh merupakan sosok orang yang dijadikan panutan oleh masyarakat karena dianggap memiliki suatu kelebihan dibandingkan dengan anggota masyarakat yang lain. Kelebihan ini diantaranya karena kemampuannya memikat hati orang lain, kemampuannya untuk membina hubungan yang serasi dengan orang lain atau keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. “Penokohan” ini merupakan wujud dari kepemimpinan yang sifatnya informal sebagaimana diungkapkan oleh Siagian P. Sondang (1979). Data tentang tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda dan pengusaha dapat dilihat sebagaimana Lampiran 6. Analisis potensi dan efektivitas
116 kelembagaan tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh masyarakat dan pengusaha lokal dapat dilihat pada Tabel 18 berikut ini :
Tabel 20 Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Pengusaha No.
Kelembagaan
Aspek
Potensi
Efektivitas
01
02
03
04
05
Profil kelembagaan Tokoh Masyarakat
Tokoh ini dinilai cukup ”vokal” dan ”berani”
1.
Tokoh Masyarakat
Keberadaan dan Aktivitas Kawasan
2.
Tokoh Agama
Profil kelembagaan Tokoh Agama Keberadaan dan Aktivitas Kawasan
Karena kekuatan yang dimilikinya, lembaga ini seringkali diabaikan dalam rapat-rapat desa
Pada prinsipnya setuju Dukungan tidak diwujudkan secara nyata, karena; dan mendukung keberadaan kawasan Ketua Kelompok Pengelola jika dapat memberikan Kawasan Wisata merangkap manfaat bagi orang sebagai kepala desa telah banyak memberikan kekuasaan yang luas untuk memutuskan dan mengambil kebijakan tanpa kerja sama, diskusi serta dialog dengan kelembagaan lokal. Hal ini menyebabkan : Kelompok Pengelola Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas, dapat memanfaatkan tanah timbul tanpa aturan main yang jelas, berkembangnya fenomena prostitusi Tokoh ini dinilai cukup Karena kekuatan yang dimilikinya, lembaga ini ”vokal” dan ”berani” seringkali diabaikan dalam serta ”agamis” rapat-rapat desa Pada prinsipnya setuju Dukungan tidak diwujudkan secara nyata, karena; dan mendukung keberadaan kawasan Terkait dengan tujuan jika dapat membawa kelompok yang mengabaikan kemaslahatan bagi ketaatan terhadap nilai-nilai orang banyak agama sehingga memelihara aktivitas prostitusi Kepemimpinan yang kurang respons terhadap keluhan tokoh agama serta tidak ada pertanggungjawaban yang jelas kepada desa, baik dari segi administrasi maupun finansial Tidak adanya dialog dan kerjasama dengan tokoh agama
117
Lanjutan Tabel 20 No.
Kelembagaan
Aspek
Potensi
Efektivitas
01
02
03
04
05
3.
4.
Tokoh Pemuda
Keberadaan dan Aktivitas Kawasan
Pengusaha
Profil Kelembagaan Pengusaha
Salut dan pada prinsipnya mendukung aktivitas pengembangan kawasan wisata
Berbeda dengan kelembagaan lokal yang lain, tokoh ini memandang dampak sosial yang ditimbulkan, seperti fenomena prostitusi sebagai “hal biasa”. Sikap salut dan mendukung juga disertai dengan sikap menyayangkan, karena : Tidak adanya kerjasama kelompok dengan kelembagaan lokal yang ada di desa dan tidak adanya kontribusi ataupun manfaat yang bisa dinikmati oleh komunitas secara luas serta lebih berorientasi bagi keuntungan pribadi atau kelompok Potensial bagi pe- Upaya pengembangan kerjasama ngembangan kerja atau jejaring belum dapat diwujudsama atau jejaring kan karena adanya pandangan karena memiliki rasionalitas, fisibilitas dan profit kekuatan modal oriented, terkait dengan luas finansial bagi kawasan yang terbatas, ditambah investasi dan semakin menyempit karena promosi ancaman abrasi air laut serta; pengembangan Tidak adanya legalitas dan kejelasan kawasan struktur menyulitkan upaya kerja sama. Untuk itu, perlu dibangun kerja sama dengan pihak-pihak yang mendukung upaya-upaya untuk mempertahankan luas kawasan dan upaya untuk memperjelas status dan struktur organisasi pengelola kawasan
6.7.4. Kelembagaan Pemerintah
Kelembagaan
pemerintah
yang
dimaksud
adalah
pihak-pihak
yang
sesungguhnya memiliki legalitas formal terhadap upaya pengembangan, penataan dan penertiban kawasan wisata. Analisis potensi kekuatan dan permasalahan tentang kelembagaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini :
118 Tabel 21 Analisis Potensi dan Efektivitas Kelembagaan Pemerintah terkait No
Nama
Jabatan
Potensi
Efektivitas
01
02
03
04
05
1.
Ade Sudiana
Camat Kecamatan Pedes
2.
Sukarta Kasie. PMD Kantor Kecamatan Pedes
3.
4.
Suharyadi
Sutisna S
Kabid. Pariwisata Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang Kepala UPTD Perikanan Kelautan dan Peternakan (PKP)
Memiliki
akses untuk memberikan dukungan bagi pengembangan kawasan secara tepat. Mampu memfasilitasi komunitas untuk berdialog membahas alternatif solusi permasalahan yang dialami komunitas
Memiliki akses promosi dan kontribusi informasi bagi pengembangan Kelompok Pengelola Wisata agar mengembangkan aktivitasnya secara tepat guna mendukung keberlanjutan kawasan
Mendukung
dan memberikan izin lisan bagi pengembangan kawasan wisata.
Menyambut
kerjasama dalam upaya pemeliharaan lingkungan atau keindahan kawasan dan pelestarian sumber daya pesisir.
Terkait dengan belum terjalinnya kerjasama dengan kelembagaan pemerintah yang ada sehingga belum ada upaya-upaya nyata sebagai wujud pemberian dukungan. Merasakan khawatir terhadap isu prostitusi, tetapi bersikap menunggu dan mengembalikan semua keputusan atau kebijakan pada dialog komunitas, karena ; Beranggapan tidak ada pengaduan atau keluhan resmi bahwa kawasan tersebut telah menimbulkan gangguan bagi masyarakat
Belum ada upaya-upaya nyata bagi pengembangan kawasan wisata secara tepat. Hal ini terkait dengan ; Ketiadaan legalitas/tata aturan hukum menyangkut kepastian struktur, aktivitas, status tanah, manajemen, aturan penarikan retribusi yg selama ini dilakukan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
Telah
dilaksanakan kerja sama dengan pihak management sebagai upaya pemeliharaan dan pelestarian kawasan, dalam bentuk pembibitan dan penanaman mangrove serta pengajuan permohonan “penuraban” kepada pemerintah
6.8. Strategi Pengembangan Masyarakat
Berdasarkan uraian di atas, dapat dianalisis dan dipahami adanya potensipotensi serta efektivitas dari potensi tersebut. Pemahaman tentang efektivitas potensi memberikan gambaran adanya sejauhmana potensi yang dimiliki mendukung Kelompok Pengelola (Management) Kawasan Wisata untuk mengembangkan aktivitasnya secara berkelanjutan, terkait dengan aspek-aspek
119 tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama dan pengetahuan. Upaya pemberdayaan bagi Pengembangan Kawasan Wisata “Samudera Baru” Berbasis Komunitas Lokal dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki oleh para pedagang di lokasi wisata dan stakeholders (kelembagaan lokal, kelembagaan pemerintah) serta efektivitas potensi tersebut. Berdasarkan analisis potensi dan efektivitas tersebut, dapat dikaji peluangpeluang yang dapat diberdayakan untuk mengembangkan dukungan dan meminimalisir hal-hal yang menghambat bagi upaya pengembangan kawasan wisata
secara
berkelanjutan.
Alternatif
strategi
pemberdayaan
bagi
Pengembangan Kawasaan Wisata “Samudera Baru” Berbasis Komunitas Lokal yang dapat dilaksanakan berdasarkan penelitian dalam kajian ini adalah :
6.8.1. Strategi Penguatan Kelompok Strategi ini ditujukan bagi : 1. penguatan kelembagaan pengelola kawasan wisata “Samudera Baru” yang diarahkan untuk memperbaiki aspek keorganisasian (tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerja sama dan
pengetahuan); melalui strategi ini diharapkan terjadi keseimbangan
antara sistem pengelolaan kelompok yang sifatnya informal dengan sistem yang lebih profesional. 2. penguatan sosial ekologis dan keagrariaan; melalui strategi ini diharapkan terjadi keseimbangan antara pencapaian tujuan-tujuan ekonomi dengan tujuan-tujuan
sosial
ekologis
dan
keagrariaan,
meliputi
upaya
untuk
meningkatkan tanggung jawab dan solidaritas sosial sehingga bersedia untuk menerima saran, masukan dan keterlibatan stakehoders; mempertegas tata aturan hukum pemanfaatan tanah serta meningkatkan kepedulian yang lebih optimal terhadap upaya-upaya pelestarian lingkungan bagi pengembangan kawasan secara berkelanjutan.
6.8.2. Strategi Penguatan individu Strategi penguatan individu diarahkan bagi peningkatan peran serta anggota didalam Kelompok Pengelola Kawasan Wisata. Melalui strategi ini individu diharapkan dapat menyampaikan pendapat, harapan di dalam kelompok, terlibat
120 didalam pengambilan keputusan dan perencanaan, sehingga terjadi pola hubungan yang seimbang antara ketua atau pimpinan dengan anggota.
6.8.3. Strategi Penguatan Jejaring Strategi penguatan jejaring diarahkan bagi penguatan Kelembagaan Pengelola Wisata, baik secara horizontal maupun vertikal dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara tepat sesuai dengan konteks lokal dan berkelanjutan. Secara horizontal jejaring dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta anggota Kelompok Pengelola Wisata, para pedagang di lokasi wisata (internal kelompok) dan kelembagaan lokal di tingkat komunitas (BPD, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda). Secara vertikal, jejaring dilakukan dengan meningkatkan keterlibatan dan peran serta instansi terkait (Sie. Pemberdayaan, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang). Strategi penguatan jejaring, baik secara horizontal maupun vertikal dilaksanakan melalui suatu pendekatan ”co-management”. Dharmawan (2005) mengungkapkan ”co-management” sebagai suatu tata laksana hubungan dalam pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan dua pihak atau lebih (stakeholders)
yang
mana
mereka
secara
bersama-sama
mengadakan
negosiasi, menentukan serta menjamin kerjasama secara fair dalam hal fungsi manajemen, hak dan tanggung jawabnya. Fungsi manajemen ini menyangkut : 1. siapa-siapa yang boleh memanfaatkan sumber daya alam, dalam hal ini sumber daya alam pesisir yang dijadikan sebagai kawasan wisata. 2. keputusan pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam 3. keputusan tentang konservasi atau perlindungan terhadap sumber daya alam dari kerusakan lingkungan 4. perencanaan ke depan tentang pemanfaatan sumber daya alam
6.9. Ikhtisar
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) merupakan kelompok yang terbentuk atas inisiatif lokal. Pengembangan kawasan ini ditujukan sebagai sarana rekreasi yang dapat terjangkau oleh semua kalangan, juga untuk membuka alternatif lahan pekerjaan tambahan agar masyarakat memiliki
121 kesempatan untuk mewujudkan kondisi kehidupan dan penghidupan yang relatif layak. Berdasarkan analisis potensi dan efektivitas yang dimiliki, permasalahanpermasalahan yang muncul sehubungan dengan pengembangan kawasan wisata diasumsikan memiliki keterkaitan dengan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, yang meliputi aspek-aspek : (1) tujuan; kelompok yang lebih ke economic oriented
mampu membuka lahan pekerjaan baru, mampu
menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi pengelola dan para pedagang serta mampu menjadi sarana wisata yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Pada sisi lain, hal ini telah menumbukan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata; (2) kepemimpinan; lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa sehingga memiliki pengaruh yang kuat, mampu menumbuhkan kepercayaan (trust) dan solidaritas kelompok, mampu memelihara pendekatan-pendekatan personal, mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi wisata. Pada sisi lain, pola kepemimpinan ini telah menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok cenderung menjadi tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (3) pembagian tugas dan peranan; bersifat sederhana dan belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok, tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu
kritis
terkait
dengan
kekurang-transparanan
pihak
management
(intransparency management) dan kekurang responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness); (4) pola hubungan dan komunikasi; lebih
didasarkan
pada
hubungan
personal
informal
(kekerabatan
dan
pertemanan) yang menumbuhkan kesetiakawanan (solidaritas) dan trust, tetapi pada sisi lain menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal, termasuk dalam
122 melaksanakan pola hubungan dengan pihak UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah memumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan; (5) kerja sama; inisiatif untuk bekerjasama dengan pihak lain tidak selalu muncul dari pimpinan atau ketua kelompok. Kerjasama yang telah berlangsung selama ini adalah dengan pihak swasta, pihak pemerintah seperti UPTD PKP Kecamatan Pedes. Namun, upaya kerjasama belum dilaksanakan dengan kelembagaan lokal dan kelembagaan pemerintah terkait. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi atau konsultasi dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak atau urgent. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang-responsifan pihak management terhadap komunitas (non responsiveness), (6) pengetahuan, anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Tetapi, belum disadari sepenuhnya bahwa manfaat ekonomi akan tetap berkelanjutan apabila didukung oleh adanya kepastian hukum tanah timbul yang selama ini digunakan, terpeliharanya luas daratan dari ancaman abrasi air laut dan adanya keseimbangan atau keharmonisan dengan nilai-nilai dan norma-norma serta harapan-harapan dan aspirasi komunitas. Wawasan dan pemahaman tentang pengembangan kawasan wisata dan manajemen pengelolaan kawasan selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) merasa membutuhkan informasi dan wawasan tentang bagaimana pengelolaan kawasan wisata yang semestinya dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang dimiliki. Analisis keberfungsian Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
secara
ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan menunjukkan bahwa secara ekonomi, aktivitas wisata ini telah mampu menunjukkan pertumbuhan yang baik meskipun dibutuhkan upaya-upaya pengembangan lebih optimal. Secara ekologis, pengembangan kawasan wisata erat kaitannya dengan nilai jual dari atraksi wisata yang ditawarkan yaitu keindahan alam pesisir. Untuk itu upaya-upaya pemeliharaan keindahan, kebersihan, keamanan dan ketertiban pada kawasan wisata mutlak untuk diperhatikan. Kesadaran secara ekologis ini telah dimiliki oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, meskipun belum didukung oleh upaya-upaya yang optimal. Kesadaran yang dimiliki Kelompok
123 Pengelola (Management) ini kurang mendapat dukungan dari para pedagang yang berjualan di kawasan wisata dan pengunjung yang datang (terutama pada saat terjadi ledakan pengunjung). Secara
sosial,
Kelompok
Pengelola
Kawasan
ini
telah
berusaha
mengembangkan kawasan dengan mengembangkan jejaring melaui kerjasama dengan pihak swasta. Namun, upaya pengembangan
kerjasama ini belum
melibatkan kelembagaan-kelembagaan lokal yang ada, baik formal maupun informal, sehingga masyarakat setempat beranggapan bahwa kelompok ini merupakan bagian yang terpisah dari komunitas dan belum memberikan kontribusi pada komunitas. Pada sisi lain, kehadiran aktivitas kawasan wisata juga telah menimbulkan kekhawatiran pada komunitas terkait dengan hadirnya fenomena mabuk-mabukan dan prostitusi. Secara keagrariaan, mulai tumbuh kesadaran akan perlunya kepastian hukum atau tata aturan yang dapat memperkuat atau menjamin pemanfaatan tanah kawasan, namun belum ditunjukkan dalam upaya-upaya yang nyata. Pada sisi lain, berdasarkan analisis potensi dan efektivitas stakeholders (para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan baik pemerintah maupun yang ada di tingkat komunitas) dikembangkan potensi-potensi yang dapat diperkuat guna mendukung keberlanjutan kawasan wisata dan meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan. Kajian ini merupakan studi awal untuk menyusun alternatif-alternatif bagi pengembangan kawasan wisata dengan melibatkan komunitas lokal. Berdasarkan telaahan ini, alternatif strategi
diarahkan pada
penguatan kapasitas individu sebagai anggota Kelompok, strategi penguatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan penguatan jejaring melalui kolaborasi manajemen atau ”co-management”.
VII. PROGRAM PENGUATAN KELEMBAGAAN PENGELOLA KAWASAN WISATA PESISIR ”SAMUDERA BARU” BERBASIS KOMUNITAS LOKAL 7.1. Identifikasi Potensi Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal
Dalam rangka penyusunan program kegiatan pada pengembangan kawasan
wisata
pesisir
berbasis
komunitas
lokal
melalui
pendekatan
kelembagaan, maka analisis potensi serta efektivitas kelembagaan yang dapat mendukung, seperti telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya menjadi bahan masukan bagi penyusunan rencana kegiatan secara partisipatif. Potensi pengembangan
serta
efektivitas
kawasan
wisata
kelembagaan berbasis
yang
komunitas
dapat
mendukung
lokal
diidentifikasi
berdasarkan pendekatan terhadap profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pesisir ”Samudera Baru”, dikaji atau ditelaah melalui aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama dan pengetahuan yang dimiliki. Aspek-aspek tersebut dianalisis dan diidentifikasi berdasarkan indikasi, pihak-pihak yang terlibat, mekanisme yang dilaksanakan dan efektivitas yang terjadi. Indikasi potensi merupakan bentuk ide, gagasan atau perilaku yang menunjukkan atau menggambarkan suatu potensi ditinjau dari aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama dan pengetahuan yang dimiliki. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang, kelompok, kelembagaan baik lokal maupun pemerintah yang mendukung atau terlibat dalam pemanfaatan potensi yang ada. Mekanisme merupakan sistem pelaksanaan yang terjadi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam memanfaatkan potensi yang ada. Efektivitas menyangkut sejauhmana potensi yang ada dilaksanakan dalam suatu mekanisme tertentu dengan melibatkan pihak-pihak terkait guna mendukung terwujudnya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan. Tabel tentang identifikasi potensi Kelompok Pengelola Wisata ”Samudera Baru” dapat dilihat sebagaimana Tabel 22.
125 Tabel 22 Identifikasi Potensi Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” No.
Aspek dan Profil Kelompok
01
02
1.
Tujuan : Terfokus
pada upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan
Indikasi
03 Mampu
membuka lahan pekerjaan baru Mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi Mampu menjadi sarana wisata yang terjangkau oleh semua kalangan
Mampu tetap bertahan selama empat tahun walaupun mengalami pasang surut penghasilan Ketua dan atau anggota kelompok serta para pedagang saling terbuka, membicarakan semua persoalan yang dihadapi Ketua dan anggota kelompok mampu mengatasi atau menyelesaikan pertengkaran, perkelahian antara sesama pengunjung saat mabuk, karena memperebutkan “primadona warung”
Pembagian Tugas dan Peranan : Bersifat implisit, didasarkan pada keputusan atau instruksi lisan ketua kelompok
Telah dikenal adanya pembagian tugas dan peranan, meskipun masih bersifat sederhana dan didasarkan pada keputusan ketua
Meskipun bersifat implisit telah tumbuh kesadaran akan pentingnya pembagian tugas dan peranan; telah ditunjuk siapa yang bertanggungjawab sebagai penjaga tiket masuk, sekretaris, humas, keamanan, bendahara.
Mekanisme
O5
para pedagang menetap di lokasi wisata (20 orang pedagang efektif, 10 orang berdagang diakhir pekan atau musiman) Terjadi ledakan pengunjung setiap 5 hari pasca Idul Fitri Tahun 2003 mampu memberikan kontribusi bagi anggaran pembangunan desa sebesar Rp.2.500.000,00
Pihak yang terlibat
04 Tumbuhnya
Mampu menumbuhkan Kepemimpinan : trust dan solidaritas Ditetapkan atas dasar pertimbangan Terpeliharanya pendekatan-pendekatan personal bahwa : ketua kelompok adalah Mampu menciptakan pemilik ide utama, keamanan dan ketertiban sebagai penyandang bagi para pedagang di dana sekaligus lokasi wisata menjabat sebagai kepala desa dan masih aktif
2.
3.
Potensi
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) Para pedagang Aparat Polsek Kecamatan Pedes
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
Efektivitas
06
07
Para pedagang berjualan di lokasi wisata menempati bangunan yang telah disediakan oleh pihak Management dengan cara membeli atau menyewa per bulan Kerja sama dengan aparat Polsek pada umumnya dilaksanakan saat terjadi ledakan pengunjung
Mengabaikan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma masyarakat Mengabaikan upaya-upaya untuk menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan wisata, termasuk upaya mempertegas status pemanfaatan dan pengelolaan tanah kawasan, dengan kata lain ; Mengabaikan aspek-aspek sosial, ekologi dan status keagrariaan
Ketua dan atau anggota kelompok setiap hari berada di kawasan wisata; berkomunikasi, berkeliling mengunjungi para pedagang
Ketua dan Anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
Pembagian tugas dan peranan lebih didasarkan pada keputusan dan instruksi lisan ketua kelompok
Pengelolaan kelompok cenderung tidak profesional; kelompok dipandang sebagai milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas Menumbuhkan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua kelompok
Pembagian tugas dan peranan masih bersifat sederhana dan belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya Sulit dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan serta pertanggungjawaban, baik administratif maupun finansial
126
Lanjutan Tabel 22 No.
Aspek dan Profil Kelompok
Potensi
Indikasi
Pihak yang terlibat
Mekanisme
Efektivitas
01
02
03
04
05
06
07
4.
Pola Hubungan dan Komunikasi : Bersifat informal, mengatasi persoalan-persoalan diutamakan secara kekeluargaan
Kerjasama : pertimbangan hubungan kerjasama cenderung dilakukan dengan pihakpihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena halhal yang sifatnya mendesak
Pengetahuan : Wawasan, pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata diperoleh serta atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri
5.
Dasar
6.
Pola hubungan dan komunikasi bersifat informal menumbuhkan kesetiakawanan dan trust
Hal-hal yang dibicarakan menyangkut hal-hal yang sifatnya pribadi Ada perasaan “sungkan” untuk menyampaikan peringatan, teguran atau hal-hal yang sifatnya serius atau formal
Perasaan sungkan dimiliki, baik oleh ketua maupun anggota Kelompok Pengelola Kawasan (Management) dan para pedagang di kawasan wisata
Masing-masing pihak menjaga diri dari ketersinggungan satu sama lain. Apabila terjadi hal-hal yang tidak berkenan, maka : - langkah awal adalah berdiam diri mengurangi frekuensi komunikasi - apabila langkah awal tidak efektif, baru dikomunikasikan secara lisan
Sulit bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan pola-pola hubungan yang sifatnya formal
Tumbuh gagasan untuk Kerjasama dilakukan Pihak (Kelompok Pengelola Peluang atau kesempatan untuk Mengabaikan upaya kerja mengembangkan kerja dengan : Kawasan Wisata menjalin kerjasama dimiliki oleh sama dengan kelembagaan sama dengan pihak (Management) semua anggota Kelompok Pengelola lokal karena dinilai dapat - Perusahaan Teh Botol swasta dan pihak Kawasan Wisata menghambat kesinambungan Pihak Swasta Sosro, Rokok Gudang Pemerintah kawasan dan tidak membawa Garam, Indosat (Mentari) Pihak Pemerintah dalam manfaat ekonomi dalam bentuk pemasangan hal ini, yaitu UPTD PKP tenda, bendera. Kecamatan Pedes - Tim hiburan dan penyanyi lokal - UPTD PKP Kecamatan Pedes dalam upaya menciptakan keindahan dan kelestarian kawasan wisata Fokus upaya pemeliharaan Sudah dilaksanakan kegiatan Pihak Management Tumbuh inisiatif, Pemikiran, gagasan memelikeindahan dan kelestarian kawasan pemeliharaan keindahan dan Para pedagang di kawasan pemikiran, gagasan hara kelestarian dan keindawisata lebih aktif dilakukan oleh kelestarian kawasan melalui untuk memelihara han kawasan wisata belum wisata Kelompok Pengelola Kawasan kegiatan pembibitan dan pekelestarian dan dilaksanakan secara optimal Pihak Pemerintah, dalam nanaman mangrove, kegiatan keindahan kawasan dan konsisten, baik oleh pihak (Management). hal ini, yaitu UPTD PKP bersih-bersih tetapi masih wisata (aspek Management, para pedagang Kecamatan Pedes membutuhkan upaya-upaya ekologis) di lokasi wisata maupun oleh peningkatan yang lebih Kepala UPTD PKP Kecamatan optimal. Pedes
127 7.2. Identifikasi
Permasalahan
Penguatan
Kelembagaan
Pengelola
Kawasan Wisata Pesisir
Dalam rangka penyusunan program kegiatan pada pengembangan kawasan
wisata
pesisir
berbasis
komunitas
lokal
melalui
pendekatan
kelembagaan, maka analisis terhadap permasalahan-permasalahan terkait dengan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata yang dapat menghambat pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan menentukan masukan bagi penyusunan rencana kegiatan secara partisipatif. Identifikasi
permasalahan
kelembagaan
Pengelola
Kawasan
Wisata
”Samudera Baru” dalam upaya pengembangan kawasan wisata berbasis komunitas lokal ditelaah dari aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama dan pengetahuan yang dimiliki. Hasil analisis atau telaahan terhadap aspek-aspek tersebut disimpulkan permasalahan-permasalahan yang terjadi didalam kelompok yang mempengaruhi munculnya permasalahan-permasalahan dalam pengembangan kawasan wisata. Identifikasi terhadap profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”, terkait dengan aspek-aspek : (1) tujuan; kelompok yang lebih berorientasi pada aspek ekonomi telah menumbukan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata; (2) kepemimpinan; lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana sekaligus menjabat sebagai kepala desa menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok yang cenderung tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurangtransparanan (intransparency) pihak management dan kekurangresponsifan (non-responsiveness) pihak management terhadap komunitas, (3) pembagian tugas dan peranan; bersifat sederhana dan belum berfungsi sebagaimana mestinya, belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok,
tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan
pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait
128
dengan kekurangtransparanan (intransparency) pihak management kekurangresponsifan
(non-responsiveness)
pihak
management
dan
terhadap
komunitas; (4) pola hubungan dan komunikasi; lebih didasarkan pada hubungan personal informal (kekerabatan dan pertemanan) menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan halhal yang sifatnya formal, termasuk dalam melaksanakan pola hubungan dengan pihak UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah memumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan; (5) kerja sama; dasar pertimbangan hubungan kerjasama, baik dalam bentuk diskusi atau konsultasi dilakukan dengan pihakpihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurangresponsifan (non-responsiveness) pihak management terhadap komunitas; (6) pengetahuan, wawasan dan pemahaman tentang pengelolaan atau manajemen dan pengembangan kawasan wisata selama ini diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri. Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
merasa
membutuhkan
informasi
dan
wawasan
tentang
bagaimana pengelolaan kawasan wisata yang semestinya dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang dimiliki. Anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka. Tetapi, belum disadari sepenuhnya bahwa manfaat ekonomi akan tetap berkelanjutan apabila didukung oleh adanya kepastian hukum tanah timbul yang selama ini digunakan, terpeliharanya luas daratan dari ancaman abrasi air laut dan adanya keseimbangan atau keharmonisan dengan nilai-nilai dan norma-norma serta harapan-harapan dan aspirasi komunitas. Permasalahan-permasalahan tersebut dapat dikategorisasikan menjadi permasalahan-permasalahan atau isu kritis (critical issue) terkait dengan aspek ekonomi, sosial, ekologis dan keagrariaan. Isu kritis terhadap keagrariaan menyebabkan munculnya
masalah
potensi konflik pertanahan; terhadap
masalah sosial menyebabkan munculnya perilaku kurang responsif (nonresponsiveness) pihak fenomena
prostitusi
management terhadap komunitas dan berkembangnya serta
mabuk-mabukan;
terhadap
masalah
ekonomi
menyebabkan permasalahan kurang transparannya (intransparency) pihak
129 management dan masalah-masalah ekologis telah menyebabkan munculnya isu kritis terkait dengan kerusakan lingkungan dan keindahan kawasan wisata. Selanjutnya profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dikaji atau dianalisis berdasarkan isu kritis yang muncul, akar masalah, kelembagaan atau norma yang mengatur, pihak yang terlibat dalam pengaturan, mekanisme dan efektivitas. Penjelasan tentang profil kelompok dalam kajian ini adalah : 1. Isu kritis menunjukkan atau mengambarkan tingkat kemendesakan
suatu
masalah untuk segera diatasi atau dipecahkan. 2. Akar masalah merupakan bentuk ide, gagasan atau perilaku yang dianalisis sebagai sumber terjadinya masalah. 3. Indikasi merupakan bentuk ide, gagasan atau perilaku yang menunjukkan atau menggambarkan suatu permasalahan. 4. Kelembagaan atau norma yang mengatur menyangkut nilai-nilai ataupun aturan-aturan baik formal maupun informal sebagai jawaban atau solusi atas masalah yang terjadi. 5. Pihak-pihak yang terlibat, yaitu orang, kelompok, kelembagaan baik lokal maupun pemerintah yang mendukung atau terlibat dalam pengaturan atau penegakkan aturan. 6. Mekanisme merupakan sistem pelaksanaan yang terjadi diantara pihak-pihak yang terlibat dengan masalah atau sumber masalah yang terjadi. 7. Efektivitas menyangkut sejauhmana potensi yang ada dilaksanakan dalam suatu mekanisme tertentu dengan melibatkan pihak-pihak terkait didasarkan pada masalah yang terjadi dalam Kelompok Pengelola Wisata yang menyebabkan munculnya isu kritis dengan kelembagaan atau norma yang mengatur. Analisis
atau
identifikasi
terhadap
memberikan masukan bagi penentuan
permasalahan-permasalahan
ini
alternatif pengembangan strategi
pemberdayaan guna mendukung terwujudnya kawasan wisata berkelanjutan sesuai dengan konteks lokal yang ada. Analisis atau identifikasi terhadap profil kelompok menyangkut aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi,
kerjasama
dan
pengetahuan
yang
dipandang
sebagai
permasalahan atau hal yang dapat menghambat upaya pengembangan kawasan wisata ini dapat dilihat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 23.
130 Tabel 23 Identifikasi Permasalahan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” No.
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
01
02
03
04
05
1.
Tujuan :
Terfokus
pada upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan
Tumbuh dan berkembangnya fenomena prostitusi
Mengabaikan ketaatan terhadap normanorma dan nilai-nilai masyarakat
Muncul tersamarkan dalam pertunjukan karaoke, organ tunggal, dangdutan, jaipongan
Kelembagaan/ Norma yang Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
06
07
08
09
Secara formal : dilarang oleh Perda Kabupaten Karawang No. 26 dan 27 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Kemaksiatan
Secara
Formal : -Sie. PMD Kecamatan Pedes -Polsek Kecamatan Pedes -Dinsos dan PMD Kabupaten Karawang -Depag Kabupaten Karawang -Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang -UPTD Kesehatan Kecamatan Pedes
Secara Formal : Belum ada upayaupaya penegakkan Perda Kabupaten Karawang No. 26 dan 27 Tahun 2001 oleh instansi terkait.
Secara Informal : -Upaya pernyataan kekhawatiran sudah diungkapkan oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama -Muncul toleransi dari tokoh pemuda bahwa pertunjukan boleh digelar mulai dari pukul 21.00 s.d. 01.00 WIB
Upaya pelestarian kawasan pesisir, baik secara alamiah, yaitu melalui penanaman pohon mangrove maupun secara cepat, yaitu melalui penuraban telah dilaksanakan oleh UPTD PKP Kecamatan Pedes dengan sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi
Secara
Informal : Kelembagaan-kelembagaan lokal di tingkat komunitas
Kerusakan pelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Pengembangan kawasan wisata lebih berorientasi pada manfaat ekonomi Adanya kekurangtanggapan pihak Management dan para pedagang di lokasi wisata terhadap upaya-upaya menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata
Rusaknya pohonpohon mangrove sebagai upaya untuk memperindah sekaligus memelihara kelestarian lingkungan di kawasan wisata dari abrasi air laut Pengelolaan sampah yang tidak tertata Penataan area parkir yang tidak tertib Sarana MCK yang tidak memadai Luas kawasan yang semakin menyempit
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi luas kepada daerah termasuk pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. (Psl 10 Ayat 1) Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) secara Berkelanjutan
UPTD PKP Kecamatan Pedes
Dinas PKP Kabupaten Karawang
Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Secara
formal, (melalui Perda dan instansi terkait) maupun secara informal, (melalui tokoh masyarakat, tokoh agama serta tokoh pemuda) belum sepakat dan efektif dalam menanggapi dan mengatasi munculnya fenomena prostitusi di kawasan wisata tersebut
Upaya-upaya alamiah mengalami hambatan berupa “konsistensi pemeliharaan”, baik dari instansi PKP itu sendiri maupun dari pihak Management Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak mengetahui dan tidak memahami Perda No. 4 Tahun 2000 tersebut
131 Lanjutan Tabel 23 No.
01
2.
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yang Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
02
03
04
05
06
07
08
09
Kepemimpinan : Non-Responsiveness pihak Management Ditetapkan atas dasar pertimba- terhadap komunitas ngan bahwa : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus menjabat kepala desa dan masih aktif
Munculnya sense sebagai pelopor dalam pengembangan kawasan wisata sehingga kelompok dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan finansial hanya dinikmati secara pribadi atau kelompok
Intransparency pihak Management
Intransparency pihak Management
Tidak ada ketentuan atau kebijakan yang mengatur berapa persen keuntungan bagi kas desa Keputusan yang dilaksanakan oleh Management tidak melibatkan : anggota kelompok dan kelembagaan lokal yang ada
Kelembagaan
Ketua Kelompok merangkap jabatan sebagai Kepala Desa
Tidak ada laporan atau pertanggungjawaban kegiatan, baik terhadap kelompok maupun terhadap desa
Kelembagaan Musyawarah Desa berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Menumbuhkan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua kelompok
Semua kegiatan terkait dengan kawasan wisata tergantung dari keputusan dan instruksi ketua, baik menyangkut keuangan, upayaupaya menjaga keindahan dan kelestarian kawasan
Kelembagaan Musyawarah Desa berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Pihak
Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelembagaan lokal dan musyawarah desa semestinya berfungsi dalam memperjuangkan kepentingan warga
Kelembagaan lokal dan musyawarah desa belum atau tidak dapat berfungsi sebagai wahana dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat
Anggota Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan dapat melakukan dialog guna meminta pertanggungjawaban Ketua Management wisata
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum atau tidak dapat menyelenggarakan dialog untuk meminta laporan, pertanggungjawaban Ketua Management
Anggota Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan dapat melakukan dialog bagi pelaksanaan partisipasi dan peran serta anggota kelompok dalam aktivitas wisata
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum atau tidak dapat menyelenggarakan fungsi atau mekanisme tersebut
132 Lanjutan Tabel 23 No.
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yang Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
01
02
03
04
05
06
07
08
09
3.
4.
Pembagian Tugas dan Peranan : Bersifat implisit, didasarkan pada keputusan atau instruksi ketua kelompok
Pola Hubungan dan Komunikasi : Bersifat informal, mengatasi persoalan-persoalan diutamakan secara kekeluargaan
Intransparency pihak management
Potensi Konflik Pertanahan (Potential /Latent Conflict)
Ketidakjelasan
struktur dan mekanisme Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pembagian tugas hanya berdasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok sehingga sulit dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan serta pertanggungjawaban administratif maupun finansial
Mengabaikan polapola hubungan dan komunikasi yang sifatnya formal sehingga tidak ada legalitas kewenangan tentang pemanfaatan tanah di kawasan wisata
Tidak ada acuan bagi anggota atau pengurus kelompok untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya Sulit untuk mengevaluasi kegiatan termasuk mengetahui berapa jumlah pengunjung dan jumlah retribusi atau uang yang masuk
Kawasan wisata dibangun di atas tanah timbul yang secara hukum tidak atau belum jelas status pemanfaatannya Pemanfaatan lahan didasarkan pada Izin lisan dari Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes
Kepmen Budaya dan Pariwisata Nomor : KEP-012/ MKP/IV/2001 tentang Pedoman Umum Perizinan Usaha Pariwisata Perda Kabupaten Karawang No. 24 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan, Tempat Rekreasi dan Olah Raga Kelembagaan Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Penentuan Hubungan Hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Pihak
Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelembagaan Lokal (Desa, BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda) Kasie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum berfungsi sebagai mekanisme kontrol dalam upaya meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas pengembangan kawasan wisata
Kelembagaan lokal, dalam hal ini tokoh agama, tokoh masyarakat, ketua LPM secara pribadi sudah berupaya berfungsi sebagai wahana kontrol, tetapi belum menunjukkan adanya perubahan yang berarti dari pihak Management
Penetapan pemanfaatan tanah timbul dapat ditentukan dalam dialog atau musyawarah desa
Kelembagaan lokal yang ada belum mengupayakan dialog khusus untuk membahas tentang solusi dari masalah ini
133
Lanjutan Tabel 23 No.
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yang Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
01
02
03
04
05
06
07
08
09
5.
Kerjasama : Dasar pertimbangan hubungan kerjasama cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak
6.
Non-Responsiveness
Pengetahuan : Wawasan, pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata diperoleh serta dikembangkan atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri
pihak Management terhadap komunitas
Kerusakan pelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Mengabaikan kerjasama dengan kelembagaan lokal
Pemikiran, gagasan memelihara kelestarian dan keindahan kawa-san belum dilaksanakan secara optimal
Tidak
pernah meminta saran, pendapat dalam upaya pengembangan kawasan wisata Upaya kerjasama yang sifatnya mendesak dibangun dengan pihak UPTD PKP dalam upaya menanggulangi abrasi air laut melalui pembibitan dan penanaman mangrove
Rusaknya pohonpohon mangrove sebagai upaya memperindah sekaligus memelihara kelestarian lingkungan di kawasan wisata dari abrasi air laut Pengelolaan sampah yang tidak tertata Penataan area parkir yang tidak tertib Sarana MCK yang tidak memadai Luas kawasan semakin menyempit
Kelembagaan Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi luas kepada daerah termasuk pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. (Psl 10 Ayat 1) Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) secara Berkelanjutan
Kelembagaan Lokal (Desa, BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda)
Pihak Management Wisata
UPTD
PKP Kecamatan Pedes
Dinas
PKP Kabupaten Karawang
Dinas
Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelembagaan lokal dan pihak Management wisata dapat bermusyawarah untuk menampung aspirasi dan harapan komunitas terkait dengan pengembangan kawasan wisata ke depan
Kelembagaan lokal dan pihak Management belum mengupayakan dialog atau diskusi untuk mencari solusi dari masalah ini
UPTD PKP Kecamatan Pedes dapat menyelenggarakan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kelompok mengenai kegiatan menjaga keindahan dan pelestarian lingkungan di kawasan pesisir
Belum dilaksanakan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kelompok mengenai kegiatan untuk menjaga keindahan dan pelestarian lingkungan di kawasan pesisir Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak mengetahui dan tidak memahami tentang Perda tersebut
134 7.3. Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata Pesisir
Sebelum dilaksanakan penyusunan program kegiatan untuk memecahkan permasalahan pada kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”, maka terlebih dahulu terdapat proses perencanaan secara partisipatif yang melibatkan anggota kelompok pengelola wisata dan stakeholders, yang meliputi : para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan lokal, yaitu BPD, LPM, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, pengusaha dan kelembagaan pemerintah, yaitu Camat dan Kasie. PMD dan Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes serta Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Karawang. Perencanaan tersebut dilaksanakan melalui diskusi kelompok yang terbagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu : 1. Diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
”Samudera Baru” dengan tujuan untuk memahami
permasalahan dan kebutuhan pada aras individu dan kelompok pengelola. 2. Diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat kelompok pedagang yang ada di lokasi wisata dengan tujuan untuk memahami profil kelembagaan pengelola kawasan wisata, permasalahan-permasalahan yang muncul dan sejauhmana ketaatan para pedagang terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oleh Kelompok Pengelola Wisata ”Samudera Baru”. 3. Diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat kelembagaan pemerintah lokal, yaitu BPD dan LPM dengan tujuan untuk memahami profil Kelompok Pengelola
Kawasan
Wisata
”Samudera
Baru”
dan
permasalahan-
permasalahan yang muncul serta harapan-harapan terhadap kelompok tersebut. 4. Diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat kelembagaan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pengusaha dengan tujuan untuk memahami profil kelembagaan pengelola wisata dan permasalahan-permasalahan yang muncul serta harapan-harapan terhadap kelembagaan atau Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tersebut. 5. Diskusi kelompok dilaksanakan pada tingkat kelembagaan pemerintah terkait, yaitu Camat, Kasie. PMD, Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang dengan tujuan untuk memahami profil kelembagaan pengelola
135 wisata,
permasalahan-permasalahan
yang
muncul
serta
sejauhmana
dukungan dan harapan-harapan terhadap kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata tersebut. 6. Diskusi kelompok dilaksanakan dengan melibatkan semua unsur terkait, yaitu Kelompok Pengelola Wisata ”Samudera Baru”, perwakilan para pedagang yang ada di lokasi wisata, pengurus dan dua orang anggota BPD dan pengurus dan dua orang LPM, tingkat kelembagaan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pengusaha serta Camat, Kasie. PMD, Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata
dan
Budaya
Kabupaten
Karawang
dengan
tujuan
untuk
mengidentifikasi permasalahan serta menyusun program guna memecahkan permasalahan-permasalahan tersebut. Diagram atau proses diskusi kelompok tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Diskusi dengan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) dan para Pedagang di Kawasan Wisata Diskusi Kelompok I Diskusi melibatkan semua pihak terkait pada Diskusi Kelompok I II III dan IV
Diskusi dengan Anggota dan Pengurus Kelembagaan BPD dan LPM
Diskusi Kelompok V
Diskusi Kelompok II
Diskusi Kelompok IV Camat, Sie. PMD, Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata Kabupaten Karawang
Diskusi Kelompok III
Diskusi dengan Kelembagaan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Pengusaha
Gambar 6 Diagram Proses Perencanaan Program secara Partisipatif pada Pengembangan Kawasan Wisata Berbasis Komunitas Lokal
Secara
sederhana,
gambar
di
atas
menunjukkan
bahwa
proses
perencanaan program secara partisipatif pada pengembangan kawasan wisata
136 pesisir berbasis komunitas lokal dilaksanakan melalui lima tahapan diskusi. Tahap pertama, diskusi kelompok dilaksanakan dengan melibatkan anggota, pengurus dan ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) ”Samudera Baru” serta para pedagang yang ada di lokasi wisata. Pada tahap kedua, diskusi kelompok dilaksanakan dengan melibatkan anggota dan pengurus pada tingkat kelembagaan pemerintah lokal, yaitu BPD dan LPM. Pada tahap ketiga, diskusi kelompok dilaksanakan dengan melibatkan kelembagaan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pengusaha. Pada tahap keempat, diskusi kelompok dilaksanakan dengan melibatkan kelembagaan pemerintah terkait, yaitu Camat, Kasie. PMD, Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang. Pada tahap kelima, diskusi kelompok dilaksanakan dengan semua unsur terkait, melibatkan para peserta pada diskusi kelompok tahap ke satu, kedua, ketiga dan keempat atau dikenal dengan Focus Group Discussion (FGD) Stakeholders. Hasil diskusi kelompok dapat dilihat sebagaimana uraian berikut : Diskusi Kelompok I Peserta : Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) ”Samudera Baru” dan Para Pedagang di Kawasan Wisata Hasil Diskusi Kelompok dengan Pengelola Kawasan Wisata (Management) ”Samudera Baru”
Hasil Diskusi Kelompok dengan para Pedagang di Kawasan Wisata
Masalah :
Masalah :
1.
Keterbatasan modal atau anggaran bagi pengembangan kawasan
1.
Keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan
2.
Bangunan seringkali harus mundur karena abrasi air laut
2.
Keterbatasan dalam menjalin kerjasama untuk menaggulangi abrasi air laut
3.
Sungkan untuk melakukan teguran, memberikan saran apalagi marah
3.
Sarana MCK dan pengelolaan sampah tidak memadai
4.
Keterbatasan pengetahuan dan rendahnya kesadaran anggota kelompok dalam melakukan kegiatan kebersihan, pemeliharaan keindahan dan kelestarian kawasan. Upaya memelihara kebersihan selalu harus dimulai dari pimpinan atau ketua kelompok
4.
Bangunan seringkali harus mundur karena abrasi air laut. Dalam kurun waktu satu tahun para pedagan telah memundurkan bangunannya kurang lebih sejauh dua meter
5.
Kejelasan terhadap status tanah kawasan wisata
5
Kawasan wisata semakin menyempit
6.
Lokasi kawasan semakin menyempit
137
Lanjutan Diskusi Kelompok I Hasil Diskusi Kelompokdengan Pengelola Kawasan Wisata (Management) ) ”Samudera Baru” Kebutuhan/Kegiatan/Program :
Hasil Diskusi Kelompok dengan para Pedagang di Kawasan Wisata Kebutuhan/Kegiatan/Program : 1. Bekerjasama dengan Dinas PKP dalam upaya penanggulangan abrasi air laut
1.
Bekerjasama dengan pemilik modal
2. 3. 4.
Pelatihan Kepemimpinan Pelatihan Manajemen Organisasi Bekerjasama dengan Dinas PKP dan Dinas Pariwisata
Sumber : Diskusi Kelompok Tahun 2006
Berdasarkan proses diskusi tersebut, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) ”Samudera Baru” menyimpulkan bahwa : 1. Permasalahan-permasalahan yang dirasakan adalah : - sulitnya upaya pengembangan kawasan karena terbatasnya anggaran dan modal bagi pengembangan kawasan sehubungan dengan rencana ketua kelompok yang akan membangun penginapan di kawasan tersebut. - keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan, serta; - rendahnya kesadaran anggota kelompok dalam melakukan kegiatan kebersihan, pemeliharaan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata. Tetapi, permasalahan utama yang dirumuskan
oleh Kelompok Pengelola
Kawasan ini adalah menyangkut keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan
kawasan
wisata
secara
berkelanjutan
sehingga
menumbuhkan isu kritis terkait dengan semakin menyempitnya tanah sebagai kawasan wisata, rendahnya kesadaran anggota kelompok dalam melakukan kegiatan kebersihan, pemeliharaan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata serta ketidakjelasan pemanfaatan tanah di kawasan wisata. 2. Kebutuhan yang dirasakan, yaitu dibutuhkannya kerja sama dengan pemilik modal, instansi UPTD PKP serta diselenggarakan pelatihan tentang organisasi dan kepemimpinan. Sedangkan para pedagang di lokasi wisata menyimpulkan bahwa : 1. Permasalahan
mendesak
yang
dialami
menyangkut
keterbatasan
pengetahuan dan kerjasama dalam upaya mengembangkan kawasan wisata
138 secara berkelanjutan. Hal ini menumbuhkan isu kritis tentang kerusakan keindahan dan pelestarian lingkungan di kawasan wisata, terkait dengan permasalahan MCK, sarana pengelolaan sampah yang tidak memadai serta tingginya abrasi air laut yang mengakibatkan bangunan tempat berdagang harus mundur dua meter dari posisi semula. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu diperlukannya kerjasama dengan UPTD PKP dan instansi terkait lainnya dalam upaya penanggulangan abrasi air laut Diskusi Kelompok II Peserta : Anggota dan Pengurus Kelembagaan BPD dan LPM Hasil Diskusi dengan Kelembagaan BPD
Hasil Diskusi Kelompok dengan Kelembagaan LPM
Masalah :
Masalah :
1.
Upaya peningkatan pendapatan dengan mengembangkan prostitusi telah menimbulkan kekhawatiran pada kelembagaan ini Jabatan ketua sekaligus kepala desa menjadikan kelompok memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata, padahal tanah kawasan wisata sepenuhnya bukan milik kelompok
1.
Aktivitas wisata belum dapat memberdayakan warga komunitas
2.
Distribusi keuntungan hanya dinikmati oleh pribadi atau kelompok, sedangkan dampak negatifnya turut dirasakan oleh komunitas luas
3.
Kelompok pengelola kawasanwisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
3.
Tidak pernah melibatkan kelembagaan LPM dalam diskusi, dialog dan perumusan rencana ke depan
4.
Tidak ada pertanggungjawasan yang jelas kepada desa, baik dari segi administrasi maupun finansial
4.
Dipandang sebagai tempat atau sumber maksiat
5.
Tidak pernah melibatkan kelembagaan BPD dalam perencanaan dan kebijakan
2.
Kebutuhan/Kegiatan/Program :
Kebutuhan/Kegiatan/Program :
1.
Dilibatkan diskusi, dialog dalam penyusunan rencana dan kegiatan
1.
Dibentuk wadah yang dapat mensahkan kelembagaan ini untuk terlibat atau berpartisipasi
2.
Ada keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan wisata
2.
Ada kontribusi/manfaat finansial bagi komunitas atau masyarakat
3.
Dibentuk wadah komunikasi yang dapat menjembatani aspirasi dan kepentingan komunitas
3.
Ada upaya-upaya penertiban dari instansi terkait
Sumber : Diskusi Kelompok Tahun 2006
Berdasarkan proses diskusi tersebut, anggota dan pengurus kelembagaan BPD menyimpulkan bahwa : 1. Permasalahan yang dirasakan dan dialami sehubungan dengan keberadaan kawasan wisata yaitu menyangkut : - adanya
upaya
kelompok
untuk
meningkatkan
pendapatan
telah
menumbuhkan isu kritis terkait dengan berkembangnya prostitusi yang telah menimbulkan kekhawatiran mendalam dari kelembagaan ini.
139 - jabatan ketua kelompok sekaligus kepala desa menjadikan
kelompok
memiliki kekuasaan yang luas dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Hal ini menumbuhkan isu kritis ketidakjelasan
status
dan
pemanfaatan
terkait dengan
tanah,
tidak
ada
pertanggungjawaban yang jelas kepada desa baik dari segi administrasi maupun finansial serta tidak pernah melibatkan kelembagaan BPD dalam perencanaan dan kebijakan. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dilibatkan dalam diskusi, dialog dan penyusunan rencana kegiatan; dirumuskan atau disusun keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan serta dibentuk wadah komunikasi yang dapat menjembatani aspirasi dan kepentingan komunitas. Sedangkan anggota dan pengurus kelembagaan LPM menyimpulkan bahwa: 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut adanya jabatan rangkap ketua kelompok sekaligus kepala desa yang dianggap telah mengakibatkan tidak adanya
pertanggungjawaban
kegiatan
secara
jelas.
Hal
ini
telah
menimbulkan isu kritis terkait dengan distribusi keuntungan yang hanya dinikmati oleh pribadi atau kelompok, sedangkan dampak negatifnya turut dirasakan oleh komunitas secara luas serta tidak pernah dilibatkannya kelembagaan LPM ini dalam diskusi, dialog,. perencanaan dan kebijakan. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dibentuknya suatu wadah yang dapat mensahkan kelembagaan ini untuk terlibat atau berpartisipasi, adanya kontribusi atau manfaat finansial bagi komunitas serta dilaksanakannya upaya-upaya penertiban dari instansi terkait
Proses diskusi kelompok yang diikuti kelembagaan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pengusaha dapat dilihat sebagaimana proses Diskusi Kelompok III berikut ini :
140
Diskusi Kelompok III Peserta : Kelembagaan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Pengusaha Hasil Diskusi Kelompok dengan Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Pengusaha Masalah : Tokoh Masy 1.
Jabatan ketua kelompok merangkap kepala desa memberikan kekuasaan yang luas untuk mengambil keputusan atau kebijakan terkait dengan pengembangan kawasan wisata, sehingga;
2.
Ketua atau kelompok memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata, padahal tanah tersebut sepenuhnya bukan milik kelompok.
3.
Khawatir dengan berkembangnya fenomena prostitusi
4.
Kelompok pengelola kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
5.
Tidak pernah melibatkan kelembagaan ini dalam diskusi, dialog, perumusan rencana dan kegiatan
Masalah Tokoh Agama : 1.
Kelompok dipandang lebih mementingkan tujuan peningkatan pendapatan sehingga berkembang fenomena prostitusi
2.
Dipandang sebagai tempat atau sumber maksiat
3.
Tanah kawasan wisata bukan milik kelompok
4.
Kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
5.
Tidak ada pertanggungjawasan yang jelas kepada desa, baik dari segi administrasi maupun finansial
6.
Tidak pernah melibatkan kelembagaan ini dalam diskusi, dialog, penentuan perencanaan dan kebijakan
Masalah Tokoh Pemuda : 1.
Tidak pernah melibatkan kelembagaan ini dalam perencanaan dan kebijakan
2.
Tidak ada kontribusi ataupun manfaat yang bisa dinikmati oleh komunitas secara luas
3.
Tanah di kawasan wisata merupakan tanah milik umum yang tidak bisa dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang
Masalah Pengusaha :
Kebutuhan/Kegiatan/Program : 1.
Dibentuk wadah yang dapat mengkomunikasikan aspirasi masyarakat terhadap aktivitas kawasan
2.
Terdapat tata pengaturan mengenai hak dan kewajiban bagi pihak yang memanfaatan tanah timbul atau tanah kawasan wisata
Kebutuhan/Kegiatan/Program : 1.
Distribusi keuntungan harus dinikmati dan dirasakan oleh komunitas secara luas
2.
Melibatkan tokoh agama dalam diskusi, dialog dan perencanaan dan perumusan kegiatan ke depan
3.
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata harus menyesuaikan diri dengan aturan-aturan agama, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
Kebutuhan/Kegiatan/Program : 1.
Dibentuk wadah yang dapat melegalkan kelembagaan lokal untuk berpartisipasi
2.
Ada keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut
3.
Ada upaya-upaya penertiban dari instansi terkait
Kebutuhan/Kegiatan/Program :
1.
Sulit dilakukan investasi modal bagi pengembangan kawasan sebab luas kawasan terbatas, ditambah semakin menyempit karena ancaman abrasi air laut
1.
Harus dilakukan upaya-upaya untuk mempertahankan atau bahkan memperluas area daratan
2.
Legalitas dan ketidakjelasan struktur menyulitkan upaya kerjasama
2.
Memperjelas status dan struktur organisasi pengelola kawasan wisata
Sumber : Diskusi Kelompok Tahun 2006
141
Berdasarkan proses diskusi tersebut, disimpulkan bahwa : Bagi Tokoh Masyarakat : 1. Permasalahan yang dialami menyangkut adanya jabatan ketua kelompok merangkap kepala desa yang dinilai telah memberikan kekuasaan luas untuk mengambil keputusan terkait dengan pengembangan kawasan wisata dan tidak adanya kerjasama yang melibatkan kelembagaan ini dalam diskusi, dialog, perencanaan dan kebijakan kegiatan. Kondisi ini menumbuhkan isu kritis terkait dengan tumbuhnya kekhawatiran terhadap berkembangnya fenomena prostitusi, ketidakjelasan status dan pemanfaatan tanah, Kelompok Pengelola Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas serta tidak pernah melibatkan tokoh masyarakat dalam diskusi, dialog, perumusan rencana dan kegiatan ke depan. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dibentuk suatu wadah yang dapat mengkomunikasikan aspirasi masyarakat menyangkut keberadaan kawasan wisata dan disusunnya tata pengaturan tentang hak dan kewajiban bagi pihak yang memanfaatan tanah di kawasan tersebut.
Bagi Tokoh Agama : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut upaya peningkatan pendapatan yang dilaksanakan oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dipandang telah mengabaikan aspek-aspek nilai, norma dan aturan agama. Hal ini menimbulkan isu kritis terkait dengan kekhawatiran terhadap berkembangnya fenomena prostitusi, kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas dan tidak adanya pertanggungjawaban yang jelas kepada desa, baik dari segi administrasi maupun finansial serta tidak pernah melibatkan kelembagaan tokoh agama dalam diskusi, dialog, perumusan rencana dan kebijakan ke depan. 2. Kebutuhan yang dirasakan meliputi : adanya distribusi keuntungan bagi komunitas, melibatkan tokoh agama dalam diskusi, dialog, penentuan perencanaan dan kebijakan serta dilaksanakan upaya-upaya penertiban oleh instansi terkait.
142 Bagi Tokoh Pemuda : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut tidak adanya kerjasama antara Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dengan kelembagaan lokal yang ada sehingga tidak pernah melibatkan kelembagaan lokal dalam perencanaan dan perumusan kebijakan. Hal ini menimbulkan isu kritis terkait dengan pandangan bahwa tanah di kawasan wisata merupakan tanah timbul milik umum yang tidak bisa dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang sehingga kontribusi ataupun manfaat yang diperoleh tidak bisa dinikmati oleh sekelompok orang tertentu, melainkan harus memberikan manfaat atau kontribusi bagi komunitas secara luas. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dibentuknya suatu wadah yang dapat melegalkan kelembagaan ini untuk terlibat atau berpartisipasi, disusun keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan kawasan tersebut serta adanya upaya-upaya penertiban dari instansi terkait Bagi Pengusaha : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut kesulitan dilakukannya investasi modal bagi pengembangan kawasan wisata disebabkan oleh luas kawasan yang terbatas dan semakin menyempit karena ancaman abrasi air laut serta ketiadaan legalitas dan ketidakjelasan
struktur
menyulitkan upaya kerja
sama. 2. Kebutuhan
yang
dirasakan
yaitu
dilakukannya
upaya-upaya
untuk
mempertahankan atau bahkan memperluas area daratan serta memperjelas status dan struktur organisasi pengelola kawasan wisata.
Diskusi Kelompok IV Peserta : Camat Kecamatan Pedes. Sie. PMD Kantor Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata, Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya, Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes Hasil Diskusi dengan Camat, Kasie. PMD dan Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes Masalah bagi Camat dan Kasie. PMD Kecamatan Pedes : 1.
Khawatir dengan marak dan berkembangnya fenomena prostitusi
2.
Kawasan belum mampu memberikan manfaat bagi komunitas secara luas
Kebutuhan/Kegiatan/Program : 1.
2.
Dilaksanakan upaya penertiban kawasan dari kemaksiatan dengan melibatkan komunitas setempat Melibatkan komunitas dalam suatu wadah yang diakui oleh Kelompok Pengelola (Management) Kawasan Wisata
Masalah bagi UPTD PKP Kecamatan Pedes :
Kebutuhan/Kegiatan/Program :
1.
1.
Pengembangan kawasan wisata pesisir harus tetap menjaga keindahan dan kelestarian SDA pesisir
Dibangun kerjasama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan pelestarian lingkungan pesisir
143
Lanjutan Diskusi Kelompok IV Hasil Diskusi dengan Kabid. Pariwisata pada Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya
Kabupaten Karawang Masalah bagi Dinas Pariwisata :
Kebutuhan/Kegiatan/Program :
1.
Penarikan retribusi belum mengikuti sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda No. 24 Tahun 2004
1.
Diselenggarakan musyawarah/dialog untuk memperjelas dan mempertegas pelaksanaan Perda
2.
Ketidakjelasan status dan struktur menghambat upayaupaya bagi instansi terkait untuk melakukan pendampingan dan kerjasama
2.
Memperjelas status dan struktur keorganisasian (dalam bentuk CV, Perdes)
Sumber : Diskusi Kelompok Tahun 2006
Berdasarkan proses diskusi dengan kelembagaan pemerintah, disimpulkan bahwa : Bagi Camat dan Kasie. PMD Kecamatan Pedes : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut aktivitas pengembangan kawasan wisata yang belum mampu memberikan manfaat bagi komunitas secara luas serta kekhawatiran dengan marak dan berkembangnya fenomena prostitusi. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dilaksanakan upaya penertiban kawasan dari kemaksiatan dengan melibatkan komunitas setempat serta melibatkan komunitas dalam suatu wadah yang diakui oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata.
Bagi UPTD PKP Kecamatan Pedes : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut keterbatasan pengetahuan dan lemahnya kesadaran, baik dari Kelompok Pengelola Kawasan Wisata itu sendiri maupun dari para pedagang di kawasan wisata dalam upaya menjaga dan
memelihara
kelestarian
Sumber
Daya
Alam
(SDA)
pesisir.
Pengembangan kawasan wisata pesisir harus dilaksanakan dengan tetap menjaga keindahan dan kelestarian SDA pesisir. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu dibangun kerjasama dengan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata untuk mengatasi permasalahan-permasalahan keindahan dan kelestarian lingkungan pesisir
Bagi Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang : 1. Permasalahan yang dirasakan menyangkut penarikan retribusi yang belum mengikuti sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda No. 24 Tahun
144 2004 dan ketidakjelasan status serta struktur kelompok pengelola kawasan wisata menghambat upaya-upaya bagi instansi terkait untuk melakukan pendampingan dan kerjasama. 2. Kebutuhan yang dirasakan yaitu diselenggarakan musyawarah atau dialog guna memperjelas dan mempertegas pelaksanaan Perda No. 24 Tahun 2004 serta memperjelas status dan struktur keorganisasian.
Diskusi Kelompok V (Rumusan Akhir) Peserta : Camat Kecamatan Pedes. Kasie. PMD Kantor Kecamatan Pedes dan Kabid. Pariwisata, Dinas Penerangan, Pariwisata dan Budaya, Ka. UPTD PKP Kecamatan Pedes : Ketua dan Sekretaris Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, BPD, LPM : Satu orang Pengusaha, 2 orang perwakilan dari tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Hasil Diskusi : 1.
Pada diskusi kelompok yang melibatkan semua unsur terkait masing-masing kelompok menyampaikan aspirasinya sesuai dengan hasil diskusi pada masing-masing kelompok sebelumnya.
2.
Masing-masing kelompok memberikan tanggapan dan solusi untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
3.
Identifikasi permasalahan dan kebutuhanserta program untuk memecahkan permasalah tersebut dijabarkan pada uraian selanjutnya
Sumber : Diskusi Kelompok Tahun 2006
Data tentang kesimpulan proses perencanaan program secara partsipatif dapat dilihat sebagaimana Tabel 24.
145 Tabel 24 Data tentang Proses Perencanaan Program secara Partisipatif (FGD) No
Peserta
01
02
1.
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) ”Samudera Baru”
Kesimpulan
Permasalahan yang Dialami/ Dirasakan
Isu Kritis
03
04
Keterbatasan anggaran dalam upaya pengembangan kawasan Keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan Rendahnya kesadaran anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata dalam menjaga keindahan kawasan
2.
Para Pedagang di Kawasan Wisata
Keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan Keterbatasan dalam mengembangkan kerjasama untuk menanggulangi abrasi
Modal atau anggaran bagi pengembangan kawasan Bangunan seringkali harus mundur karena abrasi air laut Sungkan untuk melakukan teguran, memberikan saran apalagi marah Upaya melakukan kegiatan kebersihan, pemeliharaan keindahan dan kelestarian lingkungan selalu harus dimulai dari pimpinan atau ketua kelompok Kejelasan status pemanfaatn tanah di kawasan wisata Lokasi kawasan wisata yang semakin menyempit
Bangunan seringkali harus mundur karena abrasi air laut Kawasan wisata semakin menyempit Sarana MCK dan pengelolaan sampah tidak memadai
Kebutuhan/ Kegiatan/ Program
Permasalahan
Isu Kritis
Kebutuhan
05
06
07
08
Bekerjasama dengan pemilik modal Pelatihan Manajemen dan Organisasi Bekerjasama dengan Dinas PKP dan Dinas Pariwisata
Keterbatasan pengetahuan dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan
Bekerjasama dengan Dinas PKP dalam upaya penanggulangan abrasi air laut
Keterbatasan pengetahuan dan kerja sama dalam upaya pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan
Semakin sempitnya tanah daratan karena abrasi air laut Lemahnya kesadaran anggota kelompok dan para pedagang di lokasi wisata untuk menjaga kebersihan dan keindahan kawasan Kejelasan terhadap status tanah kawasan wisata
Pelatihan Kepemimpinan Pelatihan Manajemen dan Organisasi Bekerjasama dengan Dinas PKP dan Dinas Pariwisata
Abrasi air laut mengakibatkan bangunan tempat berdagang harus mundur dari posisi semula Permasalahan MCK serta sarana pengelolaan sampah yang tidak memadai
Bekerjasama dengan UPTD PKP dan instansi terkait lainnya dalam upaya penanggulangan abrasi air laut
146 Lanjutan Tabel 24 No
Peserta
Permasalahan yang Dialami/Dirasakan
01
02
03
3.
Kelembagaan BPD
4.
Kelembagaan LPM
Orientasi ekonomi telah mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat Jabatan rangkap sebagai kepala desa dan ketua kelompok menumbuhkan hubungan dan kedekatan dengan pejabat di daerah sehingga ketua kelompok memiliki kekuasaan luas untuk memanfaatkan tanah timbul yang ada Tidak ada pertanggungjawaban yang jelas kepada desa baik dari segi administrasi maupun finansial Tidak pernah melibatkan kelembagaan BPD dalam perencanaan dan perumusan kebijakan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
Tumbuhnya
perasaan sebagai pelopor, pemilik ide dan pemilik anggaran, sehingga belum bersedia berbagi keuntungan dengan pihak desa atau komunitas Jabatan ketua kelompok merangkap sebagai kepala desa mengakibatkan tidak ada pertanggungjawaban kegiatan secara jelas
Kesimpulan
Isu Kritis
Kebutuhan/ Kegiatan/Program
Permasalahan
Isu Kritis
Kebutuhan
04
05
06
07
08
Kekhawatiran berkembangnya fenomena prostitusi Ketidakjelasan status dan pemanfaatan tanah Kelompok Pengelola Kawasan Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
Distribusi
keuntungan hanya dinikmati oleh pribadi atau kelompok, sedangkan dampak negatifnya turut dirasakan oleh komunitas luas Dipandang sebagai tempat atau sumber maksiat
Dilibatkan diskusi, dialog dalam penyusunan rencana dan kegiatan Ada keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut Dibentuk wadah komunikasi yang dapat menjembatani kepentingan komunitas
Dibentuk wadah yang dapat mensahkan kelembagaan ini untuk berpartisipasi Ada kontribusi atau manfaat finansial bagi komunitas
Terkait dengan orientasi tujuan yang cenderung lebih pada aspek ekonomi, kepemimpinan yang cenderung mendominasi, pola hubungan dan komunikasi yang lebih bersifat personal informal, pembagian tugas dan peranan yang tidak jelas sehingga tidak ada pertanggungjawaban, baik secara administrasi maupun finansial, tidak adanya kerja sama dengan kelembagaan BPD serta adanya sikap eksklusif dari kelompok
Kekhawatiran
dengan berkembangnya fenomena prostitusi Ketidakjelasan status dan pemanfaatan tanah, Tidak ada keuntungan ekonomi bagi desa maupun komunitas Tidak pernah melibatkan kelembagaan BPD dalam perumusan perencanaan dan kebijakan
Dilibatkan
Terkait dengan tujuan yang lebih berorientasi pada aspek ekonomi, kepemimpinan yang mendominasi menyebabkan tidak adanya pertanggungjawaban secara administratif maupun finansial
Secara
sosial ekonomi keberadaan kawasan belum dapat memberdayakan warga
dalam diskusi, dialog dan penyusunan rencana kegiatan Disusun keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan dan pemanfaatan kawasan Dibentuk wadah komunikasi yang dapat menjembatani kepentingan komunitas
Dibentuk wadah yang dapat mensahkan kelembagaan ini untuk terlibat atau berpartisipasi Ada kontribusi atau manfaat finansial bagi komunitas
147 Lanjutan Tabel 24 Kesimpulan
No
Peserta
Permasalahan yang Dialami/Dirasakan
Isu Kritis
Kebutuhan/ Kegiatan/Program
Permasalahan
Isu Kritis
Kebutuhan
01
02
03
04
05
06
07
08
Tidak
adanya kerja sama dengan kelembagaan LPM
5.
Tokoh Masyarakat
6.
Tokoh Agama
Tidak
pernah melibatkan kelembagaan LPM dalam diskusi, dialog perencanaan dan kebijakan
Ada
Tidak
Jabatan rangkap sebagai ketua kelompok sekaligus kepala desa memberikan kekuasaan yang luas untuk mengambil keputusan dan kebijakan terkait dengan pengembangan kawasan Belum terwujudnya pola hubungan dan komunikasi serta kerjasama yang baik dengan kelembagaan lokal
Khawatir
dengan berkembangnya fenomena prostitusi Kelompok pengelola kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak pernah melibatkan kelembagaan ini dalam diskusi, dialog dan perumusan perencanaan
Dibentuk
wadah yang dapat mengkomunikasikan aspirasi masyarakat terhadap keberadaan kawasan wisata Terdapat tata pengaturan yang menentukan hak dan kewajiban bagi pihak yang memanfaatkan tanah kawasan wisata
Tujuan ekonomi menjadi lebih penting dibandingkan dengan aspekaspek lain Tidak pernah ada diskusi, dialog dengan tokoh agama Keluhan terkait dengan dampak negatif pengembangan kawasan pernah diutarakan kepada ketua kelompok, tetapi belum atau tidak ada upaya-upaya menuju perubahan
Khawatir
Melibatkan tokoh agama dalam diskusi, dialog dan perencanaan serta kebijakan kegiatan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata harus menyesuaikan diri dengan aturan-aturan agama, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
dengan berkembangnya fenomena prostitusi Kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas Tidak pernah melibatkan tokoh agama dalam perencanaan dan kebijakan
upaya-upaya penertiban dari instansi terkait
adanya kerja sama dengan kelembagaan LPM
Tidak
pernah melibatkan kelembagaan LPM dalam diskusi, dialog dan perumu-san perencanaan kegiatan
Terkait dengan kepemimpinan rangkap dinilai telah menumbuhkan kekuasaan yang luas untuk memutuskan dan mengambil kebijakan tanpa dialog dan kerja sama dengan kelembagaan lokal yang ada
Kekhawatiran dengan berkembangnya fenomena prostitusi Ketidakjelasan status dan pemanfaatan tanah Kelompok Pengelola Wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas
Terkait dengan tujuan kelompok, kepemimpinan yang kurang responsif tehadap keluhan tokoh agama serta tidak adanya dialog dan kerjasama dengan tokoh agama
Kekhawatiran terhadap berkembangnya fenomena prostitusi Kawasan wisata seolah menjadi bagian terpisah dari komunitas Tidak ada pertanggungjawaban yang jelas kepada desa, baik dari segi administrasi maupun finansial Tidak pernah melibatkan tokoh agama dalam diskusi, dialog, perumusan rencana dan kegiatan
Ada upaya-upaya penertiban dari instansi terkait
Dibentuk wadah yang dapat mengkomunikasikan aspirasi masyarakat terhadap kebradaan kawasan wisata Disusun tata pengaturan tentang hak dan kewajiban bagi pihak yang memanfaatan tanah kawasan wisata
Melibatkan
tokoh agama dalam diskusi, dialog, penentuan perencanaan dan kebijakan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata harus menyesuaikan diri dengan aturan-aturan agama, norma-norma dan nilai-nilai masyarakat serta; Dilaksanakan upayaupaya penertiban oleh instansi terkait.
148 Lanjutan Tabel 24 No
Peserta
Permasalahan yang Dialami/Dirasakan
01
02
03
7.
Tokoh Pemuda
8.
Pengusaha
Tidak
Kesimpulan
ada kerjasama dengan kelembagaankelembagaan lokal, baik menyangkut pemanfaatan tanah, kontribusi ekonomi bagi komunitas maupun perumusan perencanaan ke depan
Tidak
Kerjasaa dengan pihak swasta (pengusaha) sulit dilakukan karena keterbatasan luas kawasan dan ketidak-adaan legalitas serta ketidakjelasan struktur
Isu Kritis
Kebutuhan/Kegiatan/ Program
Permasalahan
Isu Kritis
Kebutuhan
04
05
06
07
08
pernah melibatkan kelembagaan ini dalam perencanaan dan kebijakan Tidak ada kontribusi ataupun manfaat yang bisa dinikmati oleh komunitas secara luas Tanah di kawasan wisata merupakan tanah milik umum yang tidak bisa dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang
Sulit dilakukannya investasi modal bagi pengembangan aktivitas wisata sebab luas kawasan terbatas, ditambah semakin menyempit karena ancaman abrasi air laut Tidak adanya legalitas dan ketidakjelasan struktur menyulitkan upaya kerja sama
Dibentuk
wadah yang dapat melegalkan kelembagaan lokal untuk terlibat atau berpartisipasi Ada keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan kawasan tersebut
Terkait
Dilakukan
Terkait
upaya-upaya untuk mempertahankan atau bahkan memperluas area daratan Memperjelas status dan struktur organisasi pengelola kawasan
dengan tidak adanya kerjasama kelompok dengan kelembagaan lokal yang ada di desa.
dengan perlunya kerja sama dengan pihak-pihak yang mendukung upaya-upaya untuk mempertahankan luas kawasan dan kejelasan status serta struktur organisasi pengelola kawasan wisata
Tidak pernah melibatkan kelembagaan ini dalam perencanaan dan kebijakan Tidak ada kontribusi ataupun manfaat yang bisa dinikmati oleh komunitas secara luas
Sulit dilakukan investasi modal bagi pengembangan aktivitas wisata sebab luas kawasan terbatas, ditambah semakin menyempit karena ancaman abrasi air laut Legalitas dan ketidakjelasan struktur menyulitkan upaya kerjasama
Dibentuk
suatu wadah yang dapat melegalkan kelembagaan ini untuk terlibat atau berpartisipasi Disusun keputusan atau tata peraturan yang jelas terhadap sistem pengelolaan kawasan
Dilakukan
upayaupaya untuk mempertahankan atau bahkan memperluas area daratan Memperjelas status dan struktur organisasi pengelola kawasan wisata ”Samudera Baru”
149 Lanjutan Tabel 24 Kesimpulan
No
Peserta
Permasalahan yang Dialami/Dirasakan
Isu Kritis
Kebutuhan/ Kegiatan/ Program
Permasalahan
Isu Kritis
01
02
03
04
05
06
07
9.
Camat, Kasie. PMD Kecamatan Pedes
Melibatkan komunitas dalam suatu wadah yang diakui oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
Pengembangan ka wasan belum mampu memberikan manfaat bagi komunitas secara luas Khawatir terhadap marak dan berkembangnya fenomena prostitusi
upaya-upaya konsisten untuk menyampaikan pemahaman akan pentingnya menjaga keindahan dan kelestarian Sumber Daya Alam (SDA) pesisir melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait
Upaya-upaya
Dibangun
Terkait
Menyangkut pemahaman Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan kesediaan untuk menjalin kerja sama dengan kelembagaan pemerintah mengenai penarikan retribusi agar mengikuti sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda No. 24 Tahun 2004, serta ketidakjelasan struktur menghambat upayaupaya bagi instansi terkait untuk melakukan pendampingan dan kerja sama
Penarikan
Diselenggarakan
10.
Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes
Diperlukan
11.
Kabid. Pariwisata
untuk menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan atau kawasan wisata pesisir belum dilksanakan secara optimal dan konsisten oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
retribusi belum mengikuti sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda No. 24 Tahun 2004 Ketidakjelasan struktur menghambat upaya-upaya bagi instansi terkait untuk melakukan pendampingan dan kerjasama
Dilaksanakan upaya penertiban kawasan dari kemaksiatan dengan melibatkan komunitas setempat
Terkait dengan belum terjalinnya kerja sama dengan kelembagaan pemerintah yang ada
kerja sama dengan pihak-pihak terkait untuk mengatasi permasalahan keindahan dan kelestarian lingkungan pesisir
musyawarah, dialog untuk memperjelas dan mempertegas pelaksanaan Perda No. 24 Tahun 2004 Memperjelas status dan struktur keorganisasian (apakah ditetapkan dalam bentuk CV, Peraturan desa atau dalam bentuk lainnya)
Kebutuhan 08
Pengembangan kawasan belum mampu memberikan manfaat bagi komunitas secara luas Khawatir terhadap marak dan berkembangnya fenomena prostitusi
Membentuk
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata belum melaksanakan upayaupaya menjaga kelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata secara optimal dan konsisten
dengan pengetahuan dan konsistensi kerja sama dengan kelembagaan pemerintah terkait dalam upaya menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata pesisir
Terkait dengan pengetahuan dan belum terjalinnya kerja sama dengan kelembagaan pemerintah dalam penyelenggaraan retribusi serta upaya memperjelas status Kelompok Pengelola Kawasan
Penarikan
retribusi belum mengikuti sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Perda No. 24 Tahun 2004 Ketidakjelasan struktur menghambat upayaupaya bagi instansi terkait untuk melakukan pendampingan dan kerjasama
wadah yang dapat mengendalikan semua aktivitas di kawasan wisata dengan melibatkan komunitas dalam suatu wadah yang diakui oleh Kelompok Pengelola Wisata (Management) Dibangun wadah kerja sama dengan pihakpihak terkait untuk mengatasi permasalahan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata pesisir
Diselenggarakan
musyawarah, dialog untuk memperjelas dan mempertegas pelaksanaan Perda No. 24 Tahun 2004 Memperjelas status dan struktur keorganisasian (dalam bentuk CV, Peraturan desa atau dalam bentuk lainnya)
150 Analisis potensi dan identifikasi secara partisipatif dilakukan terhadap profil Kelompok Pengelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”
yang
meliputi aspek-aspek tujuan, kepemimpinan, pembagian tugas dan peranan, pola hubungan dan komunikasi, kerjasama dan pengetahuan. Aspek-aspek tersebut dianalisis dan identifikasi mempengaruhi timbulnya permasalahan-permasalahan terkait dengan keberadaan kawasan, baik yang terjadi dalam Kelompok Pengelola
Kawasan Wisata (Management), para
pedagang di lokasi wisata dan stakeholders. Permasalahan-permasalahan yang terjadi dikategorisasikan menyangkut aspek ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan. Berdasarkan
analisis
dan
identifikasi
terhadap
profil
kelompok,
permasalahan atau isu kritis yang muncul meliputi adanya potensi konflik pertanahan
(potential
conlict/latent
conflic),
kurangresponsifnya
(non-
responsiveness) pihak Management terhadap komunitas, ketidaktransparanan (intransparency) pihak Management, terjadinya kerusakan lingkungan dan berkembangnya fenomena prostitusi. Berdasarkan isu kritis tersebut, secara partisipatif disusun alternatif solusi atau pemecahan dapat dilihat sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 25.
151 Tabel 25 Identifikasi Permasalahan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dan Alternatif Solusi/Pemecahan No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yg Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
Alternatif Solusi
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
1.
Tujuan : Terfokus
pada upaya untuk meningkatkan pendapatan
Berkembangnya fenomena prostitusi
Mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
Muncul tersamarkan dalam pertunjukan karaoke, organ tunggal, dangdutan, jaipongan
Secara formal dilarang oleh Perda Kabupaten Karawang No. 26 dan 27 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Kemaksiatan
Secara
Formal : -Sie. PMD Kecamatan Pedes -Polsek Kecamatan Pedes -Dinsos dan PMD Kabupaten Karawang -Depag Kabupaten Karawang -Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang -UPTD Kesehatan Kecamatan Pedes
Secara Formal : Belum ada upayaupaya penegak-kan Perda Kabu-paten Karawang No. 26 dan 27 Tahun 2001 oleh instansi terkait.
Secara Informal : -Upaya pernyataan kekhawatiran sudah diungkapkan oleh tokoh masyarakat dan tokoh agama -Muncul toleransi dari tokoh pemuda bahwa pertunju-kan boleh digelar mulai dari pukul 21.00 s.d. 01.00 WIB
Upaya pelestarian kawasan pesisir, baik secara alamiah, yaitu melalui penanaman pohon mangrove maupun secara cepat, yaitu melalui penuraban telah dilaksanakan oleh UPTD PKP Kecamatan Pedes dengan sumber pembiayaan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi
Secara
Informal : Kelembagaan-kelembagaan lokal di tingkat komunitas
Kerusakan pelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Pengembangan kawasan wisata lebih berorientasi pada manfaat ekonomi Adanya kekurangtanggapan pihak Management dan para pedagang di lokasi wisata terhadap upayaupaya menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata
Rusaknya pohonpohon mangrove sebagai upaya untuk memperindah sekaligus memelihara kelestarian lingkungan di kawasan wisata dari abrasi air laut Pengelolaan sampah yang tidak tertata Penataan area parkir yang tidak tertib Sarana MCK yang tidak memadai Luas kawasan yang semakin menyempit
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi luas kepada daerah termasuk pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan (Psl 10 Ayat 1) Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) secara Berkelanjutan
UPTD PKP Kecamatan Pedes
Dinas PKP Kabupaten Karawang
Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Secara formal, (melalui Perda dan instansi terkait) maupun secara informal, (melalui tokoh masyarakat, tokoh agama serta tokoh pemuda) belum sepakat dan efektif dalam menanggapi dan mengatasi munculnya fenomena prostitusi di kawasan wisata tersebut
Disusun Wadah/ Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Program Pendampingan Sosial
Upaya-upaya alamiah mengalami hambatan berupa “konsistensi pemeliharaan”, baik dari instansi PKP itu sendiri maupun dari pihak Management Kelompok Pengelola Kawasan Wisata tidak mengetahui dan tidak memahami Perda No. 4 Tahun 2000 tersebut
Program Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan
Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Wisata
152 Lanjutan Tabel 25 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yg Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
Alternatif Solusi
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
2
Kepemimpinan : atas dasar pertimbangan bahwa : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus menjabat kepala desa dan masih aktif
Ditetapkan
Munculnya sense sebagai pelopor dalam pengembangan kawasan wisata sehingga kelompok dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan finansial hanya dinikmati secara pribadi atau kelompok
Ketua Kelompok merangkap jabatan sebagai Kepala Desa
Tidak ada laporan atau pertanggungjawaban kegiatan, baik terhadap kelompok maupun terhadap desa
Kelembagaan Musyawarah Desa berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Menumbuhkan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua kelompok
Semua kegiatan terkait dengan kawasan wisata tergantung dari keputusan dan instruksi ketua, baik menyangkut keuangan, upayaupaya menjaga keindahan dan kelestarian kawasan
Kelembagaan Musyawarah Desa berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Non-Responsiveness pihak Management terhadap komunitas
Intransparency pihak Management
Intransparency pihak Management
Tidak ada ketentuan atau kebijakan yang mengatur berapa persen keuntungan bagi kas desa Keputusan yang dilaksanakan oleh Management tidak melibatkan : anggota kelompok dan kelembagaan lokal yang ada
Kelembagaan
Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Pihak Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelembagaan lokal dan musyawarah desa semestinya berfungsi dalam memperjuangkan kepentingan warga
Kelembagaan lokal dan musyawarah desa belum atau tidak dapat berfungsi sebagai wahana dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat
Membentuk Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” Rapat/Musyawarah Kerja Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Anggota Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan dapat melakukan dialog guna meminta pertanggungjawaban Ketua Management wisata
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum atau tidak dapat menyelenggarakan dialog untuk meminta laporan, pertanggungjawaban Ketua Management
Program Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Wisata
Anggota Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan dapat melakukan dialog bagi pelaksanaan partisipasi dan peran serta anggota kelompok dalam aktivitas wisata
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum atau tidak dapat menyelenggarakan fungsi atau mekanisme tersebut
Program Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata
153 Lanjutan Tabel 25 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yg Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
Alternatif Solusi
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
3.
4.
Pembagian Tugas dan Peranan : Bersifat implisit, didasarkan pada keputusan atau instruksi ketua kelompok
Pola Hubungan dan Komunikasi : Bersifat informal, mengatasi persoalanpersoalan diutamakan secara kekeluargaan
Intransparency pihak Management
Potensi Konflik Pertanahan (Potential/Latent Conflict)
Ketidakjelasan
struktur dan mekanisme Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Pembagian tugas hanya berdasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok sehingga sulit dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan serta pertanggungjawaban administratif maupun finansial Mengabaikan
polapola hubungan dan komunikasi yang sifatnya formal sehingga tidak ada legalitas kewenangan tentang pemanfaatan tanah di kawasan wisata
Tidak ada acuan bagi anggota atau pengurus kelompok untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya Sulit untuk mengevaluasi kegiatan termasuk mengetahui berapa jumlah pengunjung dan jumlah retribusi atau uang yang masuk
Kawasan wisata dibangun di atas tanah timbul yang secara hukum tidak atau belum jelas status pemanfaatannya Pemanfaatan lahan didasarkan pada Izin lisan dari Kepala UPTD PKP Kecamatan Pedes
Kepmen Budaya dan Pariwisata Nomor : KEP-012/ MKP/IV/ 2001 tentang Pedoman Umum Perizinan Usaha Pariwisata Perda Kabupaten Karawang No. 24 Tahun 2004 tentang Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan, Tempat Rekreasi dan Olah Raga Kelembagaan Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tentang Penentuan Hubungan Hukum antara orang dengan bumi, air dan ruang angkasa Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
Pihak
Management Wisata Kelembagaan Lokal Sie. PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum berfungsi sebagai mekanisme kontrol dalam upaya meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas pengembangan kawasan wisata
Pihak-pihak yang terlibat dalam pengaturan belum berfungsi sebagai mekanisme kontrol dalam upaya meminimalisir dampak negatif yang ditimbulkan dari aktivitas pengembangan kawasan wisata
Kelembagaan Lokal (Desa, BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda) Kasie. PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes
Penetapan pemanfaatan tanah timbul dapat ditentukan dalam dialog atau musyawarah desa
Kelembagaan lokal yang ada belum mengupayakan dialog khusus untuk membahas tentang solusi dari masalah ini
Program Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata Program Pendampingan Sosial (pentingnya kegiatan pencatatan dan pelaporan)
Menyusun MOU yang dituangkan secara tertulis dalam Surat Keputusan dan Peraturan Desa
154 Lanjutan Tabel 25 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Indikasi
Kelembagaan/ Norma yg Mengatur
Pihak yang terlibat dalam Pengaturan
Mekanisme
Efektivitas
Alternatif Solusi
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
5.
Kerjasama : Dasar pertimbangan hubungan kerjasama cenderung dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena hal-hal yang sifatnya mendesak
6.
Pengetahuan : Wawasan, pemahaman tentang pengelolaan dan pengembanga kawasan wisata diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendiri
Non-Responsiveness pihak Management terhadap komunitas
Kerusakan pelesta- rian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Mengabaikan kerja sama dengan kelembagaan lokal
Pemikiran, gagasan memelihara kelestarian dan keindahan kawasan wisata belum dilaksanakan secara optimal
Tidak
pernah meminta saran, pendapat dalam upaya pengembangan kawasan wisata Upaya kerjasama yang sifatnya mendesak dibangun dengan pihak UPTD PKP dalam upaya menanggulangi abrasi air laut melalui pembibitan dan penanaman mangrove
Rusaknya pohonpohon mangrove sebagai upaya memperindah sekaligus memelihara kelestarian lingkungan di kawasan wisata dari abrasi air laut Pengelolaan sampah yang tidak tertata Penataan area parkir yang tidak tertib Sarana MCK yang tidak memadai Luas kawasan semakin menyempit
Kelembagaan Musyawarah Desa, berupa rapat atau minggon desa yang diselenggarakan pada setiap hari Rabu
UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi luas kepada daerah terma suk pembangunan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. (Psl 10 Ayat 1) Perda No. 4 Tahun 2000 tentang Penggunaan Sumber Daya Alam (SDA) secara Berkelanjutan
Kelembagaan Lokal (Desa, BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda)
Pihak Management Wisata
UPTD
PKP Kecamatan Pedes
Dinas
PKP Kabupaten Karawang
Dinas
Pariwisata Kabupaten Karawang
Kelembagaan lokal dan pihak management wisata dapat bermusyawarah untuk membahas ttg pengembangan kawasan wisata ke depan agar mampu menampung aspirasi dan harapn komunitas
Kelembagaan lokal dan pihak Management wisata dapat bermusyawarah untuk menampung aspirasi dan harapan komunitas terkait dengan pengembangan kawasan wisata ke depan
Membentuk Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Upaya pelestarian kawasan pesisir, baik secara alamiah (penanaman pohon mangrove) maupun secara cepat (penuraban) telah dilaksanakan oleh UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas PKP Kabupaten Karawang
UPTD PKP Kecamatan Pedes dapat menyelenggarakan upaya-upaya peningkatan pengetahuan dan pemahaman kelompok mengenai kegiatan menjaga keindahan dan pelestarian lingkungan di kawasan pesisir
Program
Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Wisata
155 7.4. Asumsi-asumsi yang Mendasari Pelaksanaan Program Kerja pada Aras Anggota, Aras Kelompok Pengelola Kawasan Wisata serta Melalui Penguatan Jejaring Alterntif pemecahan masalah yang dirumuskan secara partisipatif dengan melibatkan
unsur-unsur
terkait
atau
stakeholders
dapat
dilaksanakan
sebagaimana yang diharapkan dengan dasar-dasar asumsi bahwa : 1. Pengembangan masyarakat merupakan upaya pengembangan gerakan koperatif
atau
partisipatif
dari
keseluruhan
unsur-unsur
stakeholders untuk mereduksi atau meminimalisir
terkait
atau
masalah-masalah sosial
yang ada, serta bagi tertciptanya suasana kehidupan sosial kemasyarakatan yang lebih baik. 2. Pengembangan masyarakat merupakan strategi pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan melalui pendekatan penguatan kelembagaan merupakan wahana bagi peningkatan keberfungsian kelompok dalam meminimalisir atau mengurangi permasalahan sosial di lokasi penelitian. 3. Masyarakat dan unsur-unsur terkait atau stakeholders pada lokasi penelitian menghormati dan mentaati nilai, norma, hukum dan tata peraturan yang berlaku.
7.5. Penyusunan Program Kerja pada
Aras Anggota, Aras Kelompok
Pengelola Kawasan Wisata serta Melalui Penguatan Jejaring Berdasarkah hasil diskusi kelompok dengan semua unsur yang terlibat dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan dan rencana program kegiatan pada aras anggota kelompok dan aras Kelompok Pengelola Kawasan Wisata serta upaya penguatan jejaring melalui manajemen kolaborasi atau ”comanagement”. Rencana program kegiatan ini dirumuskan berdasarkan akar permasalahan yang dialami mulai dari periode Oktober 2006, meliputi : 1. Menyusun MOU yang dituangkan secara tertulis dalam Surat Keputusan dan Peraturan Desa Pelaksanaan kegiatan ini ditujukan untuk mempertegas dan mengatur status pemanfaatan tanah lokasi wisata oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata. Ketegasan dan jaminan kepastian pemanfaatan tanah ini diharapkan dapat menjamin keberlanjutan kawasan dan aktivitas wisata oleh Kelompok
156 Pengelola Wisata “Samudera Baru”. Penyusunan MOU dilaksanakan dalam suatu musyawarah desa yang melibatkan kelembagaan lokal, yaitu BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda serta instansi pendukung, yaitu Sie PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Oktober 2006, bertempat di Aula Kantor Desa Sungaibuntu. Dana atau anggaran bersumber dari Kelompok Pengelola (Management) Kawasan Wisata dan kelembagaan lokal, yaitu anggaran desa. 2. Membentuk Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” merupakan suatu sadah
yang
beranggotakan
Kelompok
Pengelola
Kawasan
Wisata
“Samudera Baru”, pihak-pihak yang mewakili dari kelembagaan tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda dan kelembagaan pemerintah lokal, yaitu BPD dan LPM. Pembentukan wadah ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan keterlibatan dan peran serta
kelembagaan lokal dalam
pengembangan kawasan wisata. 2. Meningkatkan keterlibatan
kelembagaan lokal dalam menumbuhkan
kepedulian pihak Management 3. Meningkatkan kontrol sosial komunitas untuk meminimalisir maraknya fenomena prostitusi. Mekanisme kegiatan yaitu melaksanakan suatu musyawarah desa antara elembagaan BPD, LPM, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Pemuda dan Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) dengan intansi pendukung yaitu Sie PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Desember 2006, bertempat di Aula Kantor Desa Sungaibuntu. Dana atau anggaran bersumber dari Kelompok Pengelola (Management) Kawasan Wisata dan kelembagaan lokal, yaitu anggaran desa. 3. Program Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya peran serta dan keterlibatan anggota maupun Kelompok Pengelola Kawasan Wisata.
pengurus dalam aktivitas
157 2. Meningkatkan
pengetahuan
dan
pemahaman
tentang
tugas-tugas
pengurus Kelompok PengelolaKawasan Wisata. Kegiatan ini diikuti oleh Ketua dan dua orang pengurus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management). Pengiriman peserta pelatihan ini tidak lepas dari dukungan instansi terkait, yaitu Sie PMD Kecamatan Pedes, Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang dan Badiklat Pariwisata Jakarta. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Maret 2007 (selama tujuh hari), dengan lokasi serta dana atau anggaran bersumber dari Badiklat Pariwisata, Jakarta.
4. Program Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Wisata Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pemimpin dalam suatu organisasi kepariwisataan. Kegiatan ini diikuti oleh Ketua Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management). Pengiriman peserta pelatihan ini tidak lepas dari dukungan instansi terkait, yaitu Sie PMD Kecamatan Pedes, Dinas Pariwisata Kabupaten
Karawang
dan
Badiklat
Pariwisata
Jakarta.
Kegiatan
dilaksanakan pada bulan Juni 2007 (selama tiga hari), dengan lokasi serta dana atau anggaran bersumber dari Badiklat Pariwisata, Jakarta. 5. Rapat atau Musyawarah Kerja “Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata Samudera Baru” Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan pihak Management yang telah dilaksanakan (mulai periode tahun 2007). Kegiatan ini diikuti oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) dan Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” serta instansi pendukung, yaitu Sie PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Januari 2008 pada saat menjelang tahun anggaran baru, bertempat di Aula Kantor Desa Sungaibuntu dengan dana atau anggaran bersumber dari “Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata Samudera Baru”. 6. Program Pendampingan Sosial tentang pentingnya kegiatan pencatatan dan pelaporan Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya penulisan atau pencatatan perkembangan aktivitas
158 kelompok, meliputi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi,
jumlah
pengunjung dan retribusi yang diterima serta pengeluaran yang dilakukan oleh Management. Kegiatan ini diikuti oleh pengurus dan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management). Program pendampingan sosial dilaksanakan atas dukungan dari instansi terkait, yaitu Sie PMD Kecamatan Pedes, Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang dan kelembagaan lokal yang terikat dalam Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”. Kegiatan dilaksanakan setiap dua bulan, bertempat di lokasi wisata “Samudera Baru”, dengan dana atau anggaran bersumber dari Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. 7. Program Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dan menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi dengan aspek sosial dan ekologis 2. Meningkatkan wawasan,
pemahaman tentang pentingnya menjaga
kelestarian lingkungan dan keterampilan teknis menata keindahan, kebersihan serta daya tarik wisata sesuai dengan konteks lokal. Kegiatan ini diikuti oleh Ketua dan dua orang anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management). Pengiriman peserta pelatihan ini terlaksana atas dukungan dari instansi terkait, yaitu Sie PMD Kecamatan Pedes, Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang dan Badiklat Pariwisata Jakarta. Kegiatan dilaksanakan pada bulan September 2007 (selama lima hari), dengan lokasi serta dana atau anggaran bersumber dari Badiklat Pariwisata, Jakarta. 8. Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Wisata Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk : 1. Meningkatkan pemahaman, kepedulian dalam menjaga dan memelihara keindahan, kebersihan serta kelestarian lingkungan di kawasan wisata 2. Meningkatkan keterampilan
dalam menata keindahan, kebersihan,
penanaman dan pemeliharaan pohon bagi kelestarian lingkungan di kawasan wisata Kegiatan
diikuti
oleh
Kelompok
Pengelola
Kawasan
Wisata
(Management) dan para pedagang di lokasi wisata serta instansi pendukung,
159 yaitu Sie PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Kegiatan dilaksanakan setiap bulan, bertempat di lokasi wisata “Samudera Baru”. Dana atau anggaran yang dibutuhkan bagi pelaksanaan kegiatan ini bersumber dari kolaborasi antara Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”, Sie. PMD dan UPTD PKP Kecamatan
Pedes
serta
Dinas
Pariwisata
Kabupaten
karawang.
Pelaksanaan kegiatan ini diisi dengan penyampaian informasi, diskusi dan melaksanakan aksi langsung upaya-upaya menata keindahan, kebersihan, penanaman dan pemeliharaan pohon bagi pelestarian kawasan pesisir. 9. Program Pendampingan Sosial Pelaksanaan kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat serta pentingnya menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi yang ingin dicapai dengan tujuan sosial dan kelestarian ekologis. Kegiatan ini diikuti oleh pengurus dan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata serta para pedagang di lokasi wisata. Program pendampingan sosial dilaksanakan atas dukungan dari instansi terkait, yaitu Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes, Dinas Sosial, Departemen Agama dan Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juni 2007 (setiap enam bulan sekali) dalam suatu pertemuan, dialog yang bertempat di Aula Kantor Desa Sungaibuntu. Dana atau anggaran bersumber dari Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”. Rincian tentang rencana program kegiatan di atas dapat dilihat sebagaimana Tabel 26 berikut ini.
160 Tabel 26 Rencana Penguatan Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”
No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah /Isu Kritis (Critical Issue)
01
02
03
1.
Tujuan : Terfokus
pada upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan
Berkembangnya fenomena prostitusi
Akar Masalah
Program/ Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
04
05
06
07
Mengabaikan ketaatan terhadap norma-norma dan nilai-nilai masyarakat
Membentuk wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Meningkatkan kontrol sosial komunitas untuk meminimalisir maraknya fenomena prostitusi
Kelembagaan lokal desa, yaitu : tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, BPD dan LPM Pihak Management wisata
Program Pendampingan Sosial
Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat
Wadah/Forum
Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” Para pedagang di kawasan wisata
Instansi/ Kelembagaan Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisme/ Metode
08
09
10
Sie. PMD Kecamatan Pedes Polsek Kecamatan Pedes Dinsos dan PMD Kabupaten Karawang Depag Kabupaten Karawang Dinas Pariwsata Kabupaten Karawang UPTD Kesehatan Kecamatan Pedes Kelompok Pengajian Muslimah Majelis Ta’lim Pondok Pesantren Karang Taruna Ikatan Remaja Mesjid Cabang Organisasi Nahdlatul Ulama (NU) Sie. PMD Kecamatan Pedes Dinsos dan PMD Kabupaten Karawang Depag Kabupaten Karawang Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Desember 2006, di Aula Kantor Desa Sungaibuntu
Juni 2007, 6 bulan sekali di Aula Balai Desa Sungaibuntu
Anggaran
Menyelenggarakan Kelembagaan pertemuan, diskusi, Lokal (desa) dialog, menyam Pihak paikan saran, ide, Management pendapat, harapan wisata tehadap keberadaan kawasan wisata “Samudera Baru” Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata beranggotaka
Mengadakan pertemuan, dialog, evaluasi terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya menjaga keharmonisan dengan aspirasi dan harapan komunitas
Kolaborasi
antara : Wadah/ Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” dan Sie. PMD Kecamatan Pedes, Dinsos dan Dinas Pariwisata
161
Lanjutan Tabel 26 No
01
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Program/ Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
02
03
04
05
06
07
Kerusakan pelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Pengembangan kawasan wisata lebih berorientasi pada manfaat ekonomi
Adanya kekurangtanggapan pihak Management dan para pedagang di lokasi wisata terhadap upayaupaya menjaga keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata
Program
Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan
Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Wisata
Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dan menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi dengan aspek sosial dan ekologis
Ketua
dan 2 orang anggota Management
Meningkatkan pemahaman dan kepedulian dalam menjaga dan memelihara keindahan, kebersihan serta kelestarian lingkungan di kawasan wisata
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) Para pedagang di lokasi wisata
Instansi/ Kelembagaan Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisme/ Metode
Anggaran
08
09
10
11
Sie. PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Badiklat Pariwisata Jakarta
Sie.
PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
September 2007, Badiklat Pariwisata Jakarta (selama 5 hari)
Melakukan penyampaian informasi, diskusi tentang pentingnya menyelaraskan dan menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi dengan aspek sosial dan ekologis bagi pengembangan kawasan wisata secara berkelanjutan
Badiklat Pariwisata Jakarta
Setiap bulan, di Lokasi Wisata “Samudera Baru”
Melakukan penyampaian informasi, diskusi dan melaksanakan aksi langsung upaya-upaya menata keindahan, kebersihan, penanaman dan perawatan pohon bagi pelestarian lingkungan di kawasan wisata
Kolaborasi
antara Wadah/ Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” drngan Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata
162 Lanjutan Tabel 26 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Program/ Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
01
02
03
04
05
06
07
Kepemimpinan atas dasar pertimbangan bahwa : ketua kelompok adalah pemilik ide utama, sebagai penyandang dana sekaligus menjabat kepala desa dan masih aktif
Non-Responsiveness pihak Managementt terhadap komunitas
Munculnya
Intransparency pihak Management dalam pengelolaan kawa-san wisata
Ketua Kelompok merangkap jabatan sebagai Kepala Desa
Menumbuhkan ketergantungan anggota terhadap pemimpin (ketua)
Program
2.
Ditetapkan
Intransparency pihak Management dalam pengelolaan kawa-san wisata
sense sebagai pelopor dalam pengembangan kawasan wisata sehingga kelompok dipandang sebagai milik pribadi, manfaat atau keuntungan finansial hanya dinikmati secara pribadi atau kelompok
Membentuk
Meningkatkan
wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Program Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Wisata
Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata
keterlibatan kelembagaan lokal dalam menumbuhkan kepedulian pihak Management
Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tugastugas pemimpin dalam organisasi wisata
Meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman tentang pentingnya peran serta dan keterlibatan anggota maupun pengurus dalam aktivitas kelompok pengelola wisata
Instansi/ Kelembagaan Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisme/ Metode
Anggaran
08
09
10
11
Kelembagaan lokal desa, yaitu : tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, BPD dan LPM Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) dalam suatu; Musyawarah Desa
UPTD
PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Sie PMD Kecamatan Pedes
Desember
Ketua
2006, di Aula Kantor Desa Sungaibuntu
Menyelenggara-
kan pertemuan, diskusi, dialog, menyampaikan saran, pendapat, harapan tehadap keberadaan kawasan wisata “Samudera Baru”
Kelembagaan
lokal, yaitu dari anggaran desa Pihak Management wisata
Management Wisata
Sie.
PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Badiklat Pariwisata Jakarta
Juni
Badiklat Melakukan Pariwisata penyampaian Jakarta materi, diskusi, studi kasus ttng tgs pemimpin dalam organisasi wisata
Ketua dan 2 orang pengurus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management
Sie.
Maret
Melakukan
PMD Kec. Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Badiklat Pariwisata, Jakarta
2007, Badiklat Pariwisata, Jakarta (selama 3 hari)
2007, Badiklat Pariwisata, Jakarta (selama 7 hari)
peyampaian materi, dis-kusi, studi kasus ttng tugas-tugas kepengurusan kelompok pengelola wisata
Badiklat
Pariwisata, Jakarta
163 Lanjutan Tabel 26 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Program/ Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
01
02
03
04
05
06
07
3.
4.
Pembagian tugas dan Peranan : Bersifat implisit, didasarkan pada keputusan atau instruksi lisan ketua kelompok
Pola hubungan dan komunikasi : Bersifat informal, mengatasi persoalanpersoalan diutamakan secara kekeluargaan
Intransparency pihak Management dalam pengelolaan kawasan wisata
Ketidakjelasan
Intransparency pihak Management dalam pertanggungjawaban administrasi
Pembagian
Potensi Konflik Pertanahan (Potential /Latent Conflict)
Program
struktur dan mekanisme Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
Meningkatkan
Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata
tugas hanya berdasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok sehingga sulit dilaksanakan kegiatan pencatatan dan pelaporan serta pertanggungjawaban administratif maupun finansial
Program Pendampingan Sosial (pentingnya kegiatan pencatatan dan pelaporan)
Mengabaikan pola-pola hubungan dan komunikasi yang sifatnya formal sehingga tidak ada legalitas kewenangan tentang pemanfaatan tanah di kawasan wisata
Menyusun
MOU yang dituangkan secara tertulis dalam Surat Keputusan dan Peraturan Desa
pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pengurus kelompok pengelola wisata
Meningkatkan pemahaman pentingnya penulisan, pencatatan perkembangan aktivitas kelompok, meliputi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, jumlah pengunjung dan retribusi yang diterima serta pengeluaran yang dilakukan
Mempertegas
dan mengatur status pemanfaatan tanah lokasi wisata oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
Ketua dan 2 orang pengurus Kelompok Pengelola Kawasan Wisata
Pengurus dan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
Kelembagaan lokal, yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, BPD dan LPM, dan; Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dalam Musyawarah Desa
Instansi/ Kelembagaan Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisme/ Metode
Anggaran
08
09
10
11
Sie.
PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Badiklat Pariwisata, Jakarta
Maret
2007, Badiklat Pariwisata, Jakarta (selama 7 hari)
Melakukan
Wadah/Forum
Setiap
dua bulan, di Lokasi Wisata “Samudera Baru”
Melakukan
Oktober 2006, di Aula Kantor Desa Sungaibuntu
Melenggara-
Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” Sie.PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Sie. PMD Kecamatan Pedes
pe- Badiklat yampaian mate- Pariwisata, ri, diskusi, studi Jakarta kasus tentang tugas-tugas kepengurusan kelompok pengelola wisata
pemeriksaan pembukuan mengenai pemasukan dan pengeluaran retribusi serta peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
Wadah/Forum
Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” Dinas Pariwisata
Kelembagaan kan musyaLokal (anggawarah desa ran desa) untuk menyu Pihak sun Surat KeManagement putusan dan wisata Peraturan Desa
164 Lanjutan Tabel 26 No
Aspek dan Profil Kelompok
Masalah/Isu Kritis (Critical Issue)
Akar Masalah
Program/ Kegiatan
Tujuan
Pelaksana
01
02
03
04
05
06
07
5.
6.
Kerjasama : Non-Responsiveness pihak Dasar pertimbaManagement ngan hubungan kerjasama cenderung dilakukan dengan pihakpihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena halhal yang sifatnya mendesak Pengetahuan : pemahaman tentang pengelolaan dan pengembangan kawasan wisata diperoleh atas dasar pemikiran-pemikiran sendirii
Wawasan,
Kerusakan upaya-upaya pelestarian dan keindahan lingkungan di kawasan wisata
Mengabaikan kerjasama dengan kelembagaan lokal
Membentuk
Pemikiran, gagasan, memelihara kelestarian dan keindahan kawasan belum dilaksanakan secara optimal
Meningkatkan
keterlibatan dan peran serta kelembagaan lokal dalam pengembangan kawasan wisata
Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”
Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan di Kawasan Wisata
Program
Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan
Meningkatkan
keterampilan dalam menata keindahan, kebersihan, penanaman dan pemeliharaan pohon bagi kelestarian lingkungan di kawasan wisata
Meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dan menjaga keseimbangan antara tujuan ekonomi dengan aspek sosial dan ekologis
Kelembagaan
lokal, yaitu tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, BPD, LPM dan; Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dalam suatu; Musyawarah Desa Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) Para pedagang di lokasi wisata
Ketua
dan 2 orang anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management)
Instansi/ Kelembagaan Pendukung
Waktu, Tempat
Mekanisme/ Metode
Anggaran
08
09
10
11
UPTD
PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Sie PMD Kecamatan Pedes
Desember
Menyelenggarakan
2006, di Aula Kantor Desa Sungaibuntu
pertemuan, diskusi, dialog, menyampaikan saran, pendapat, harapan terhadap keberadaan kawasan wisata “Samudera Baru”
Kelembagaan
Melakukan penyampaian informasi, diskusi dan melaksanakan aksi langsung upaya-upaya menata keindahan, kebersihan, penanaman, perawatan pohon bagi pelestarian lingkungan di kawasan wisata
Kolaborasi
Sie PMD Kecamatan Pedes UPTD PKP Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang
Setiap bulan, di Lokasi Wisata “Samudera Baru”
Sie. PMD Kecamatan Pedes Dinas Pariwisata Kabupaten Karawang Badiklat Pariwisata Jakarta
September 2007, Badiklat Pariwisata Jakarta (selama 5 hari)
Melakukan
penyampaian informasi, diskusi tentang pentingnya menyelaraskan dan menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial dan ekologis bagi pengembangan kawasan wisata pesisir secara berkelanjutan
lokal, dalam hal ini yaitu anggaran desa Pihak Management wisata
antara Wadah/ Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” dengan Sie. PMD, UPTD PKP Kecamatan Pedes dan Dinas Pariwisata Kabupaten karawang
Badiklat Pariwisata Jakarta
165
7.6. Ikhtisar Penyusunan program pengembangan kawasan wisata pesisir
berbasis
komunitas lokal dalam upaya mengembangkan kawasan wisata secara dilaksanakan melalui pendekatan terhadap kelembagaan atau Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru”. Program disusun secara partisipatif melalui tahapan : (1) menganalisis dan mengidentifikasi potensi terkait dengan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” (2) menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan terkait dengan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”, (3) menganalisis dan mengidentifikasi potensi yang dimiliki para pedagang di lokasi wisata serta efektivitasnya,(4) menganalisis dan mengidentifikasi permasalahan para pedagang di lokasi wisata serta efektivitasnya, (5) menganalisis potensi serta
efektivitas
kelembagaan
lokal
dan
kelembagaan
pemerintah,
(5)
mengidentifikasi permasalahan yang ada pada kelembagaan lokal maupun kelembagaan pemerintah terkait dengan keberadaan kawasan wisata, serta (5) menyusun program kegiatan secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders. Melalui analisis secara partisipatif dengan melibatkan stakeholders diharapkan mampu merumuskan alternatif program kegiatan yang mampu mengatasi permasalahan yang dialami. Berdasarkan FGD (Focus Group Discussion) dengan stakeholders, dianalisis dan diidentifikasi profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” yang mempengaruhi terjadinya permasalahan-permasalahan dalam pengembangan kawasan wisata, baik ditingkat Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan lokal dan kelembagaan pemerintah terkait. Profil
Kelompok Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” yang
mempengaruhi terjadinya permasalahan-permasalahan dalam pengembangan kawasan wisata dikategorisasikan menjadi permasalahan-permasalahan yang meliputi masalah ekonomi, sosial, ekologi dan keagrariaan. Berdasarkan kategorisasi terhadap aspek-aspek tersebut ditetapkan permasalahan yang menjadi isu kritis, meliputi adanya potensi konflik (potential conlict/latent conflic) pertanahan, kurangnya respons (non-responsiveness) pihak Management terhadap komunitas, ketidaktransparanan (intransparency) pihak Management dalam
melaksanakan
aktivitasnya, terjadinya
berkembangnya fenomena prostitusi.
kerusakan
lingkungan
dan
166 Strategi yang dikembangkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut dilaksanakan melalui penguatan individu sebagai anggota kelompok, penguatan kelembagaan atau kelompok pengelola wisata dengan memanfaatkan penguatan jejaring baik secara vertikal maupun horizontal dalam suatu kolaborasi manajemen atau co-management. Rencana program kegiatan ini dirumuskan berdasarkan akar permasalahan yang dialami, ditetapkan mulai dari bulan Oktober 2006, meliputi : (1) Menyusun MOU yang dituangkan secara tertulis dalam SK Desa dan Peraturan Desa; (2) Membentuk Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru”. (3) Program Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata; (4) Program Pelatihan Kepemimpinan
Organisasi
Wisata;
(5)
Rapat
atau
Musyawarah
Kerja
“Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata Samudera Baru”; (6) Program Pendampingan Sosial (pentingnya kegitan pencatatan dan pelaporan); (7) Program
Pelatihan
Pengembangan
Kawasan
Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian
Wisata
Berkelanjutan;
(8)
Lingkungan Kawasan Wisata; (9)
Program Pendampingan Sosial (pentingnya menyelaraskan dengan nilai-nilai dan norma masyarakat).
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Marpaung dan Bahar (2002) mengungkapkan bahwa pariwisata memiliki dampak positif, yaitu mempengaruhi pendapatan atau penghasilan penduduk, membuka lahan pekerjaan dan memacu bisnis kecil-kecilan. Namun, disamping memiliki dampak positif, pariwisata juga memiliki dampak negatif, diantaranya yaitu : terjadinya penurunan moral, sikap dan nilai-nilai dalam masyarakat, seperti meningkatnya kejahatan, munculnya perjudian dan prostitusi dan terjadinya perusakan terhadap
lingkungan dan konservasi,
seperti menurunnya nilai hutan lindung, nilai sejarah dan kebudayaan serta menurunnya nilai daerah wisata. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya-upaya untuk mewujudkan keberlanjutan kawasan wisata. Upaya-upaya untuk mewujudkan keberlanjutan kawasan wisata dalam hal ini dikaji atau ditelaah berdasarkan profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru”. Hal ini memberikan gambaran dan input tentang potensi dan permasalahan terkait dengan pengembangan kawasan wisata. Analisis dan identifikasi tentang profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata digali berdasarkan telaahan terhadap para pedagang di lokasi wisata serta stakeholders, baik pada tingkat kelembagaan lokal tradisional maupun kelembagaan pemerintah. Analisis dan identifikasi tentang profil Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” meliputi aspek-aspek : (1) tujuan : mampu membuka lahan pekerjaan baru, mampu menyokong pendapatan atau kehidupan ekonomi pengelola dan para pedagang serta mampu menjadi sarana wisata yang dapat dijangkau oleh semua kalangan. Pada sisi lain, orientasi tujuan peningkatan pendapatan telah mengabaikan ketaatan terhadap nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melaksanakan upaya-upaya menjaga dan memelihara kelestarian
serta keindahan
lingkungan di kawasan wisata secara optimal. Kondisi demikian telah memunculkan isu kritis terkait dengan berkembangnya fenomena prostitusi; kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata, (2) kepemimpinan : lebih didasarkan pada pertimbangan bahwa ketua merupakan pelopor gagasan pengembangan kawasan, penyandang dana
168 sekaligus menjabat sebagai kepala desa sehingga memiliki pengaruh yang kuat, mampu menumbuhkan kepercayaan (trust) dan solidaritas kelompok, mampu memelihara pendekatan-pendekatan personal, mampu menciptakan keamanan dan ketertiban bagi para pedagang di lokasi wisata. Pada sisi lain, pola kepemimpinan ini telah menumbuhkan pengelolaan atau manajemen kelompok cenderung menjadi tidak profesional; menumbuhkan dominasi ketua dan ketergantungan anggota terhadap pemimpin atau ketua; kelompok dipandang milik pribadi dan seakan menjadi bagian terpisah dari komunitas serta belum memberikan manfaat atau kontribusi ekonomi bagi masyarakat secara luas. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait dengan kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang-responsifan
pihak
management
terhadap
komunitas
(non
responsiveness), (3) Secara implisit telah dilaksanakan pembagian tugas dan peranan tetapi belum berfungsi sebagaimana mestinya, didasarkan pada instruksi lisan ketua kelompok,
tidak dilaksanakan kegiatan-kegiatan
pencatatan dan pelaporan. Kondisi demikian menumbuhkan isu kritis terkait kekurang transparanan pihak management (intransparency management) dan kekurang
responsifan
pihak
management
terhadap
komunitas
(non
responsiveness), (4) pola hubungan dan komunikasi antara anggota, ketua dan para pedagang di kawasan wisata lebih didasarkan pada hubungan personal informal (kekerabatan dan pertemanan) yang menumbuhkan kesetiakawanan dan trust, tetapi pada sisi lain menyulitkan untuk bersikap tegas, menegakkan disiplin, teguran dan sanksi serta mengabaikan hal-hal yang sifatnya formal, termasuk dalam melaksanakan pola hubungan dengan pihak UPTD PKP dalam memanfaatkan tanah timbul sebagai kawasan wisata. Kondisi demikian telah menumbuhkan isu kritis terkait dengan munculnya potensi konflik pertanahan, (5) kerja sama, tumbuh gagasan dan mulai dirintis upaya untuk mengembangkan kerjasama, baik dengan pihak swasta maupun pemerintah, anggota kelompok memiliki kesempatan untuk menjalin kerja sama dengan pihak lain. Dasar pertimbangan hubungan kerjasama dilakukan dengan pihak-pihak yang sekiranya membawa manfaat ekonomi atau karena ada hal-hal yang sifatnya mendesak yang menuntut pemecahan segera; belum melibatkan kelembagaan lokal dan stakeholders, baik dalam bentuk diskusi, dialog, meminta saran atau pendapat. Kondisi-kondisi ini telah menumbuhkan
isu
kritis
terkait
dengan
kekurang-responsifan
pihak
169 management terhadap komunitas (non responsiveness), (6) pengetahuan, ide,
gagasan,
pemikiran
dan
pemahaman
tentang
pengelolaan
dan
pengembangan kawasan wisata selama ini diperoleh atas dasar pemikiranpemikiran sendiri; anggota kelompok maupun para pedagang di lokasi wisata memahami bahwa suatu kawasan wisata dapat berkesinambungan apabila mampu memberikan manfaat ekonomi bagi mereka; tumbuh ide, gagasan dan pemikiran serta kesadaran-kesadaran bahwa manfaat ekonomi akan lestari jika didukung oleh aspek sosial, ekologis dan keagrariaan tetapi belum diimbangi
oleh
upaya-upaya
yang
optimal.
Kondisi
demikian
telah
memunculkan isu kritis terkait kerusakan keindahan dan kelestarian lingkungan di kawasan wisata. Supriatna,
Tjahya
(1997)
mengungkapkan
bahwa
pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) merupakan konsep pembangunan yang didukung oleh pendekatan konsep pembangunan manusia (human development), lebih dititikberatkan pd pembangunan sosial dan lingkungan agar mendukung pertumbuhan ekonomi. Marpaung dan Bahar (2002), mengungkapkan bahwa pengembangan kawasan wisata secara tepat, yaitu secara ekologi, aktif mendorong kelangsungan objek atau atraksi wisata yang ditawarkan,
secara sosial
ekonomi mampu memberdayakan masyaralat lokal, membangun rasa bangga masyarakat lokal, membantu memelihara pola-pola atau gaya hidup dan nilainilai setempat (sesuai konteks lokal). Dalam konteks ini, keberlanjutan kawasan wisata dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor-faktor ekonomi, sosial, ekologi dan kepastian agraria atau pertanahan. Berdasarkan uraian tentang profil kelembagaan tersebut, Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” selama ini telah menunjukkan keberfungsian secara ekonomi. Tetapi, secara umum belum dapat dinikmati oleh komunitas secara luas. Secara sosial, kelembagaan ini belum dapat berfungsi dalam upaya memelihara dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat, belum melibatkan serta mempertimbangkan harapan dan aspirasi komunitas. Secara ekologis, Kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata belum berfungsi sebagai pemelihara keindahan dan kelestarian lingkungan pada kawasan wisata. Secara keagrariaan, kelembagaan ini juga belum berfungsi dalam upaya
170 mempertegas legalitas status pemanfaatan tanah timbul yang dijadikan sebagai kawasan wisata. Upaya-upaya penentuan alternatif solusi dan pemecahan masalah dilaksanakan dengan melibatkan partisipasi pihak-pihak terkait, meliputi para pedagang di lokasi wisata, kelembagaan lokal (BPD, LPM, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda) serta kelembagaan pemerintah (Ka.UPTD PKP, Sie. PMD, Camat Kecamatan Pedes dan Dinas Penerangan, Budaya dan Pariwisata Kabupaten Karawang). Strategi yang dikembangkan yaitu melalui strategi penguatan pada aras individu sebagai anggota kelompok, aras Kelompok Pengelola Kawasan Wisata dan strategi penguatan jejaring melalui manajemen kolaborasi atau Co-Management. Program kegiatan yang dirumuskan secara partisipatif meliputi : (1) Menyusun MOU yang dituangkan secara tertulis dalam SK dan Peraturan Desa; kegiatan ini ditujukan untuk mempertegas dan mengatur status pemanfaatan tanah atau lokasi oleh Kelompok Pengelola Kawasan Wisata, (2) Membentuk Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata “Samudera Baru” ; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan
kelembagaan lokal
dalam menumbuhkan kepedulian pihak Management, (3) Program Pelatihan Kepengurusan Organisasi Wisata; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pengurus Kelompok Pengelola Wisata, (4) Program Pelatihan Kepemimpinan Organisasi Wisata; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang tugas-tugas pemimpin dalam suatu organisasi kepariwisataan, (5) Rapat/Musyawarah Kerja “Wadah/Forum Komunikasi Peduli Wisata Samudera Baru”; kegiatan ini bertujuan untuk melaksanakan laporan pertanggungjawaban kegiatan dan keuangan pihak Management yang telah dilaksanakan (mulai periode tahun 2007), (6) Program Pendampingan Sosial (pentingnya penulisan atau pencatatan); kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya penulisan atau pencatatan perkembangan aktivitas kelompok, meliputi peristiwa-peristiwa penting yang terjadi, jumlah pengunjung dan retribusi yang diterima serta pengeluaran yang dilakukan oleh Management, (7) Program Pelatihan Pengembangan Kawasan Wisata Berkelanjutan; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan, pemahaman tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dan keterampilan teknis menata keindahan, kebersihan serta daya tarik wisata
171 sesuai dengan konteks lokal, (8) Pertemuan Rutin Gerakan Pelestarian Lingkungan Kawasan Wisata; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian, pemahaman, konsistensi dan keterampilan menjaga kebersihan dan menata keindahan kawasan wisata, (9) Program Pendampingan Sosial; kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang pentingnya menyelaraskan dengan nilai-nilai dan keseimbangan lingkungan
norma masyarakat serta menjaga
sehingga terwujud keseimbangan antara tujuan
ekonomi yang ingin dicapai dengan tujuan sosial dan kelestarian ekologis. Kegiatan ini diikuti oleh pengurus dan anggota Kelompok Pengelola Kawasan Wisata (Management) serta para pedagang di lokasi wisata. Ditinjau dari jenis kelamin, tingkat keterlibatan perempuan dalam Kelompok Pengelola Wisata “Samudera Baru” hanya satu persen atau satu orang. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam aktivitas ini karena perempuan dinilai riskan dan tidak aman jika terlibat dalam kegiatan tersebut. Dengan demikian, masih ditemukan adanya perspektif gender dalam pembagian tugas dan pekerjaan di masyarakat.
Saran Berdasarkan kajian terhadap kelembagaan Pengelola Kawasan Wisata ”Samudera Baru” di Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang ada beberapa saran atau rekomendasi yang perlu dilakukan bagi implementasi program kegiatan yang telah disusun untuk mewujudkan kawasan wisata secara berkelanjutan, yaitu : Upaya-upaya pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal agar lebih membuka peluang dan kesempatan bagi kelembagaankelembagaan partsipasi masyarakat, seperti LSM, Organisasi Masyarakat Perempuan serta Organisasi-organisasi Non Pemerintah lainnya dalam rangka penguatan kelembagaan dan peningkatan keberfungsian sosial Kelompok Pengelola Kawasan Wisata “Samudera Baru” dalam memecahkan masalahmasalah, baik secara sosial, ekonomi, ekologi dan keagrariaan.
DAFTAR PUSTAKA Achlis. 1983. Bimbingan Sosial Kelompok. Kopma STKS. Bandung. Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Budiharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dharmawan, A.H. 2002. Kemiskinan Kepercayaan (The Proverty of Task), Stok Modal Sosial dan Disintegrasi Sosial. Makalah Seminar dan Kongres Nasional IV. Ikatan Sosiologi Indonesia. Dharmawan, A.H. Adiwibowo, Soeryo. 2005. Ekologi Manusia. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Dubois, Brenda. Miley, Karla, Krogsrud. 2005. Social Work an Empowering Profession. Pearson Education, Inc. Boston. Handari, H.N. Martini, H. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. UGM. Yogyakarta. Huraerah, Abu. 2003. Isu Kesejhteraan Sosial di Tengah Ketidkpastian Indonesia. CEPLAS. FISIP UNPAS. Bandung. Kartini Kartono. 1981. Patologi Sosial. Rajawali Press. Jakarta. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. PT. Gramedia. Jakarta. _____________. 1997. Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. PT. Gramedia. Jakarta. Marpaung, Happy. Bahar, Herman. 2002. Pengantar Pariwisata.
Alfabeta.
Bandung. Mak, James. 2004. Tourism and The Economy. University of Hawaii Press. Honolulu. Midgley, James. Alih Bahasa Setiawan, Dorita dan Abbas, Sirojudin. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam. Jakarta.
173 Nitimihardjo, Carolina et. All. 1993. Dinamika Kelompok dan Beberapa Catatan tentang Organisasi, Kepemimpinan dan Komunikasi dalam Pekerjaan Sosial. Kopma STKS. Bandung. Nugroho, Iwan. Dakhuri Rokhmin. 2004. Pengembangan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta. Nurmala, K. Panjaitan. Nitimiharjo, Carolina. Fahrudin, Adi.
2004. Perlaku
Manusia dalam Lingkungan Sosial. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Olson, Mancur. 1975. The Logic of Collective Action. Harvard University Press. London. Pitana, Gde. Gayatri, Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Andi Offset. Yogyakarta. Prasodjo, W Nuraini. Yuhana, Ida F. Tonny. 2004. Pengelolaan Konflik Sosial. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Program Pascasarjana Magister Bisnis dan Administrasi Tekologi ITB. 2003. Jurnal Manajemen Teknologi ITB Volume 3. ISSN. Bandung. Rusli, Said. Wahyuni Ekawati Sri. Sunito, Mlani A. 2004. Kependudukan. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana IPB. Bogor Sarwono, Sarlito, Wirawan. 2001. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikilogi Terapan. Balai Pustaka. Jakarta. Serafica, Leonora-Guzman, de. 1983. Fundament of Social Work. Schools of Social Work Association of the Philippines. Manila. Siagian, P, Sondang. 1979. Peranan Staf dan Manajemen. PT. Gunung Agung. Jakarta. Sitorus, Felix. Agusta, Ivanovich. 2004. Metodologi Kajian Komunitas. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian dan Program Pascasarjana IPB. Bogor. Skidmore, Rex, A. & Tackeray, Milton, G. 1982. Introduction to Social Work. Printice Hall, Inc, Englewood Cliff. New Jersey. Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Persada. Jakarta.
PT. Raja Grafindo
174 Sonny A. Keraf. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofi. Atmajaya. Jakarta. Spillane, James, J. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Kanisius. Jakarta. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung. Sumpeno. 2002. Capacity Building, Persiapan dan Perencanaan. Catholic Relief Services. Jakarta. Suparjan,
Suyanto,
Hempri.
2003.
Pengembangan
Masyarakat,
dari
Pembangunan sampai Pemberdayaan. Aditya Media. Yogyakarta. Supriyatna,
Tjahya.
1997.
Birokrasi,
Pemberdayaan
dan
Pengetahuan
Kemiskinan. Humaniora Utama Press. Bandung. Syahyuti. 2003.
Bedah Konsep Kelembagaan : Strategi Pengembangan dan
Penerapannya dalam Penelitian Pertanian.
Bogor. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian. IPB. Bogor Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta. Tim Editor. 2003. Sosiologi Umum. Bogor. Bagian Ilmu-ilmu Sosial, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Tony F. Nasdian. Sulistyo, B. Utomo. 2004. Pengembangan Kelembagaan dan Modal Sosial. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian dan Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor. Vitalaya, Aida. 1996. Menuju Masyarakat Lewat Penyuluhan.
LPPM.
IPB.
Bogor. Yoeti, Oka, A. 1996a. Pengantar Ilmu Pariwisata. Angkasa. Bandung --------------, 2005. Daftar Isian Tingkat Perkembangan Desa, Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang --------------, 2005. Daftar Isian Potensi Desa, Desa Sungaibuntu, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang
175
176
Lampiran 2 Susunan Nama Pedagang di Kawasan Wisata “Samudera Baru” No.
Nama
Pendidikan
01
02
03
1.
Asep Joy
SMP
2.
Kacung
SD
3.
Alex
SMP
4.
Suhi
SD
5.
Ano
SD
6.
Suharja
SD
7.
Darman
SD
8
Hj. Bastiah
SD
9.
Sutawat
SD
10.
Kubil
SD
11.
Rusdi
SD
12.
Suwargo
SD
13.
Sun
SD
14.
Lili
SMP
15.
Dede S
SD
16.
Midah
SD
17.
Supardi
SD
18.
Jumaidi
SD
19.
Sacem
SD
20.
Darpot
SD
Sumber : Kelompok Pengelola Kawasan Wisata Samudera Baru, 2006.
177 Lampiran 3 Susunan Pengurus Kelembagaan BPD No.
Nama
Jabatan
Pendidikan
01
02
03
1.
Kandi, MC
04 SMA
2.
Edi, IK
3.
Caslan, S
Anggota
SMA
4.
Jundira
Anggota
SMP
5.
Tolib
Anggota
D3
6.
Rusdi
Anggota
SD
7.
Tisin K
Anggota
SD
8
Kartim
Anggota
SD
9.
Mistar
Anggota
SD
10.
Rahendra
Anggota
SMA
11.
Rasum S
Anggota
S1
12.
H.A. Majid
Anggota
SD
13.
Sukari
Anggota
SD
14.
Isman
Anggota
SD
Ketua Sekretaris
SMA
Sumber : Kantor Desa Sungaibuntu, 2005
Lampiran 4 Susunan Pengurus Kelembagaan LPM No.
Nama
Jabatan
Pendidikan
01
02
03
04 SD
1.
Nian Abdullah
Ketua
2.
M. Sadi
Sekretaris
3.
Jumhadi
Anggota
4.
Napsika
Anggota
5.
Tabrizi
Anggota
6.
Tatang
Anggota
S1
7.
Johari
Anggota
SD
8
Ahmad A
Anggota
SMA
9.
Syamsuhardi
Anggota
SD
10.
Arnasem
Anggota
SD
Sumber : Kantor Desa Sungaibuntu, 2005
SD SD SD SD
178
Lampiran 5 Susunan Kelembagaan Tokoh Agama, Tokoh Pemuda, Tokoh Masyarakat dan Pengusaha No.
Nama
Jabatan
01
02
03 Tokoh Agama
Pendidikan
1.
Gufron
2.
Nian Abdullah
Tokoh Agama
SD
3.
Cakra
Tokoh Pemuda
S1
4.
Dudin
Tokoh Pemuda
D3
5.
Canim
Tokoh Masyarakat
S1
6.
Rasum
Tokoh Masyarakat
S1
7.
Urlim MC
Tokoh Masyarakat
SMA
8.
H. Samsuardi
Pengusaha
SMA
9.
H. Ahmad
Pengusahan
SMA
Sumber : Kantor Desa Sungaibuntu, 2005
SMA