EVALUASI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS (Kasus di UPT Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi)
Oleh : NURDIN NURHAYADI KOSASIH A14203045
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
LEMBAR PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “EVALUASI
PROGRAM
TRANSMIGRASI
LOKAL
BERBASIS
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.
Bogor, Agustus 2008
Nurdin Nurhayadi Kosasih NRP. A 14203045
RINGKASAN NURDIN NURHAYADI KOSASIH. EVALUASI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS. Evaluasi Program Transmigrasi Lokal di UPT Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi (Di bawah bimbingan LALA M. KOLOPAKING). Program transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Sukabumi
merupakan program transmigrasi lokal. Transmigrasi lokal adalah
pemindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain yang masih satu Pemerintahan Daerah Provinsi. Program transmigrasi lokal ini, selain untuk menanggulangi kepadatan penduduk,
juga untuk
menanggulangi penduduk
Sukabumi yang dulu pernah menjadi transmigran di Pulau Sulawesi dan Aceh, transmigran yang datang kembali ke Sukabumi (eksodan) dikarenakan adanya masalah keamanan di lokasi transmigrasi sebelumnya. Kesuksesan program transmigrasi lokal dapat terwujud apabila koordinasi petugas UPT, Pemda Kabupaten Sukabumi, dan transmigran dapat diwujudkan. Keberhasilan program transmigrasi lokal belum dapat dilihat apabila belum diadakan pengevaluasian. Evaluasi yang dilakukan merupakan evaluasi formatif dan dilakukan pada waktu program masih berlangsung (on-going evaluation) dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Dalam pengevaluasian program transmigrasi lokal ini terdapat alur evaluasi yang dimulai dari input, program, output, effect, dan impact. Input adalah keseluruhan sumberdaya yang dipakai oleh program, yang mana pada penelitian ini adalah seluruh warga transmigran yang ada di UPT Cimanggu II. Program yang dijalankan adalah program transmigrasi lokal sebagai usaha
Kabupaten
Sukabumi
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
warga
transmigran. Output yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari program transmigrasi lokal tersebut misalnya terbentuknya kelompok tani, kelompok kerja tani, dan lain-lain. Efek atau pengaruh langsung merupakan hasil yang diperoleh dari penggunaan output program misalnya adanya peningkatan produksi pertanian atau hasil panen. Impact atau dampak ialah hasil yang diperoleh dari effect program misalnya adanya peningkatan kesejahteraan dan kemandirian warga transmigran. Disertai paradigma pemberdayaan masyarakat, komunitas transmigran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup yang menjadi hak dasar transmigran di UPT Cimanggu II. Atas pemenuhan hak dasar inilah maka kesejahteraan komunitas transmigran dapat dicapai dan ditingkatkan. Upaya tersebut diantaranya
adalah
dengan
memperhatikan
peningkatkan
pendapatan,
kelembagaan sosial yang terbentuk, penanaman komoditas unggulan, keamanan, kesehatan, pendidikan, serta pembangunan sarana lokasi, yang mana semuanya itu berpengaruh pada tingkat kesejahteraan dan kemandirian warga transmigran. Warga transmigran ditemukan telah dapat melakukan usaha ekonomi dan produksi, namun dalam proses pelaksanaannya terdapat banyak kendala. Kendala yang ada misalnya
sulitnya akses pasar dalam artian kurangnya fasilitas
transportasi dan kurangnya wawasan warga mengenai harga komoditas di pasaran. Berbagai permasalahan lain yang timbul di UPT seperti; rendahnya pemahaman warga dalam memahami arti pentingnya jenjang pendidikan bagi anak-anak mereka, masih terdapat warga yang memandang remeh pendampingan, masih terdapatnya warga yang kurang mengorganisasikan diri dengan warga lain, serta
kurangnya inisiatif warga untuk menjual hasil panen ke pasar secara turun langsung tanpa perantara tengkulak. Faktor pendapatan adalah yang paling memiliki kontribusi positif dalam upaya
peningkatan
kesejahteraan
warga
transmigran.
Dengan
adanya
pemberdayaan pada dimensi struktural dan kultural, warga transmigran sekarang telah membentuk kelompok-kelompok tani. Terbentuknya kelompok-kelompok tani tersebut dijadikan sebagai wadah untuk ajang diskusi, mengemukakan masalah, serta bekerjasama untuk memecahkan masalah yang ada. Meski tidak seluruh warga seperti itu, namun keeratan yang tumbuh dikalangan warga dapat dirasankan cukup untuk dijadikan modal sosial dalam pengembangan UPT. Terbinanya warga, terjaganya keamanan, fasilitas umum, baiknya status kesehatan warga, pendidikan yang terus digalakan, dan ketahanan pangan warga yang stabil merupakan beberapa hal penting yang mempengaruhi kesejahteraan warga dan merupakan cerminan suatu masyarakat yang sejahtera yang mana hak hidupnya sebagai warga negara telah terpenuhi,
sehingga kedepannya membentuk
transmigran yang mandiri.
Kata kunci: Transmigrasi lokal, pemberdayaan, transmigran, kesejahteraan, kemandirian.
EVALUSI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS (Kasus di UPT Cimanggu II,Kecamatan Lengkong, Desa Langkapjaya, Kabupaten Sukabumi)
NURDIN NURHAYADI KOSASIH A14203045
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar SARJANA PERTANIAN
pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang ditulis oleh: Nama
: Nurdin Nurhayadi Kosasih
NRP
: A 14203045
Program Studi
: Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi
: Evaluasi
Program
Pemberdayaan
Transmigrasi
Komunitas
(Studi
Lokal Kasus
Berbasis di
UPT
Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamantan Lengkong, Kabupaten Sukabumi) dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 131 284 865
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus Ujian: ______________________________
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Sumedang, tanggal 24 Oktober 1984 sebagai anak dari dua bersaudara dan merupakan anak bungsu dari pasangan Asih Sutarsih dan Undang Sutaryat. Penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 1 Sumedang pada tahun 2003. Pada waktu sekolah, penulis menjadi anggota Remaja Pecinta Alam (REPALA) yang merupakan kegiatan ekstra kurikuler sekolah. Dalam REPALA penulis menjabat sebagai Humas. Setelah lulus dari SMUN 1 Sumedang, penulis mencoba melanjutkan studinya ke jenjang perguruan tinggi melalui ujian Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di tahun 2003 dan lolos seleksi serta dapat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi yaitu di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen SosialEkonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada angkatan 40 (KPM 40). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Pertanian.
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis tercurah kepada Allah SWT atas rahmat, karunia, serta lindungannya. Serta Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS yang senantiasa membimbing dalam proses pembuatan skripsi ini. Skripsi ini memuat informasi literatur mengenai transmigrasi dan pemberdayaan masyarakat. Dalam upaya untuk meningkatkan taraf hidup warganya, Pemerintah Kabupaten Sukabumi menjalankan program yang dinamakan Program Transmigrasi Lokal. Program transmigrasi lokal ini untuk menanggulangi kepadatan penduduk, penanggulangan eksodan, serta pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya. Dengan menggunakan paradigma pemberdayaan, maka diharapkan adanya pengoptimalan pemanfaatan sumberdaya yang ada serta tercapainya pemenuhan hak dasar yang tercantum dalam Undang-undang. Program yang dijalankan belum dinilai berhasil apabila belum mengalami evaluasi. Maka dari itu skripsi ini adalah suatu literatur yang merupakan evaluasi program Transmigrasi lokal di UPT Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang selalu melindungi penulis pada waktu turun lapang. Hanya dengan ridhaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam tulisan skripsi ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang tak terkira kepada : 1. Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS yang senantiasa memberikan bimbingan, arahan, saran, serta kritikan yang membangun bagi penulis. 2. Ibu Asih dan Bapak Undang selaku orang tua yang selalu memberikan dukungan moril dan materil. 3. Pak Afandi selaku petugas lapangan di lokasi penelitian serta pemberian dokumen-dokumen yang sangat bermanfaat. 4. Dian Novita yang telah membantu penulis dalam pencarian berbagai literatur mengenai bahasan evaluasi.
DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1.2 Perumusan Masalah .................................................................. 1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................
BAB II
x xii xiii xiv
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Trasnmigrasi ............................................................... 2.1.1 Pengertian Trasnmigrasi .................................................. 2.1.2 Kebijakan Transmigrasi ................................................... 2.1.3 Jenis Trasnmigrasi ........................................................... 2.1.4 Peranan Transmigrasi dalam Pembangunan .................... 2.1.5 Pemindahan penduduk yang harus ditangani secara lintas sektoral ......................................... 2.2 Pemberdayaan Komunitas ........................................................ 2.2.1 Pengertian Pemberdayaan ................................................ 2.2.2 Pemaknaan Komunitas ..................................................... 2.2.3 Dimensi Pemberdayaan Masyarakat ................................ 2.2.4 Elemen Pemberdayaan Masyarakat ................................. 2.3 Evaluasi Program ..................................................................... 2.3.1 Definisi Evaluasi Program ............................................... 2.3.2 Model Evaluasi ................................................................ 2.3.3 Pendekatan-pendekatan Evaluasi...................................... 2.4 Konsep Kesejahteraan ..............................................................
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran ................................................................. 3.2 Hipotesis Penelitian .................................................................. 3.3 Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Waktu Penelitianl .............................................................. 3.4 Sampel Penelitian ..................................................................... 3.5 Pengambilan Data dengan Kuisioner ........................................ 3.6 Pengolahan Data ....................................................................... 3.7 Variabel Penelitian ................................................................... 3.8 Definisi Operasional ................................................................
x
1 4 5 5
7 7 7 8 9 9 10 10 11 12 12 14 14 16 17 20
22 24 25 26 27 28 29 30
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1 Sejarah Lokasi Transmigrasi Lokal UPT Cimanggu II .......... 4.2 Batas-batas Wilayah UPT Cimanggu II ................................. 4.3 Topografi Wilayah .................................................................. 4.4 Aksesibilitas Wilayah.............................................................. 4.5 Lapangan Pekerjaan ................................................................ 4.6 Kependudukan......................................................................... 4.7 Pendidikan .............................................................................. 4.8 Kelembagaan Sosial ................................................................ 4.9 Sumberdaya Lahan .................................................................. 4.10 Sarana Rumah Warga............................................................ 4.11 Sarana Tempat Ibadah ........................................................... 4.12 Sarana Pendidikan ................................................................. 4.13 Sarana Jaringan Listrik.......................................................... 4.14 Sarana Air Bersih ................................................................. 4.15 Sarana Transportasi dan Jalan ...............................................
36 38 38 39 40 40 42 43 44 45 47 47 48 49 50
BAB V EVALUASI PENGEMBANGAN UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI CIMANGGU II 5.1 Penyuluhan di UPT ................................................................ 5.2 Kelembagaan Sosial ................................................................ 5.3 Penanaman Komoditas Unggulan ........................................... 5.4 Kemandirian ........................................................................... 5.5 Pendapatan ............................................................................. 5.6 Kesehatan ............................................................................... 5.7 Keamanan ............................................................................... 5.8 Kesejahteraan .........................................................................
53 57 59 61 63 66 67 69
BAB VI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS DI UPT CIMANGGU II 6.1 Pemberdayaan dalam Dimensi Struktural .............................. 73 6.2 Pemberdayaan dalam Dimensi Kultural ................................. 75 6.3 Evaluasi Output Pemberdayaan UPT Cimanggu II ............... 77 BAB VII PENUTUP 7.1 Kesimpulan ............................................................................ 80 7.2 Saran ....................................................................................... 82 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 84 LAMPIRAN .................................................................................................. 86
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12
Tabel 13
Judul
Halaman
Nilai Korelasi Peringkat Spearman.......................................... Persentase Jumlah Warga Transmigran yang Pernah Sekolah...................................................................................... Kategori Rumah Warga Transmigran.............................................................................. Jumlah Siswa yang Sekolah di UPT Cimanggu II.................... Pengkategorian Warga Terhadap Penting-tidaknya Penyuluhan................................................................................ Tingkat Kesolidan Warga Transmigran UPT Cimanggu II...................................................................... Pengkategorian Kemandirian Warga Trtansmigran............................................................................. Pengkategorian Pendapatan Warga Transmigran.............................................................................. Tabel Perbandingan Pendapatan Perkapita Kabupaten Sukabumi.................................................................................. Tingkat Kesehatan Warga Transmigran .................................................................................................. Tingkat Kemanan Lokasi UPT................................................. Tabel Rincian Kebutuhan Rutin Warga Transmigran Per Tahun (2005)........................................................................................ Tabel Usaha Peternakan UPT Cimanggu II..............................
xii
29 43 47 48 55 58 63 64 66 66 68
71 78
DAFTAR GAMBAR Nomor
Judul
Halaman
Gambar 1
Kerangka pemikiran ............................................................................
23
Gambar 2
Perbandingan Jumlah Warga Transmigran UPT, Kabupaten Sukabumi, 2005 (dalam jiwa)...................................................
41
Perbandingan Produktifitas Tanaman Unggulan, UPT Cimanggu II (2003 dan 2005)...........................................
60
Gambar 3
xiii
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Kabupaten Sukabumi .................................................. Lampiran 2. Peta Lokasi UPT Cimanggu II ............................................. Lampiran 3. Dokumentasi Persiapan Penyuluhan .................................... Lampiran 4. Lokasi UPT Cimanggu II Dilihat dari Atas Bukit Cimanggu............................................................. Lampiran 5. Contoh Gambar Rumah Warga Transmigran ....................... Lampiran 6. Pembinaan Warga dalam Penanaman Komoditas Unggul ................................................................. Lampiran 7. Dokumentasi Pembagian Bantuan Hewan Ternak Domba ....................................................................... Lampiran 8. Daftar Warga Transmigran UPT Cimanggu II ..................... Lampiran 9. Daftar Nama Daerah Asal Transmigran ............................... Lampiran 10. Hasil Olah Data (Korelasi Spearman) .................................. Lampiran 11. Bagan Struktur Organisasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sukabumi .............................
xiv
87 87 88 88 89 89 90 90 92 93 94
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tahun 1997 Bangsa Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sampai saat ini masih terasa dan dinilai belum selesai. Untuk mengatasi krisis tersebut, maka sektor pertanian menjadi semakin penting. Ketika Bangsa Indonesia menghadapi krisis ekonomi yang berkepanjangan, sektor pertanian dapat bertahan dari krisis yang melanda. Selama dalam krisis yang berlangsung sejak tahun 1997, pertanian justru menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi. Ketahanan nasional dalam berbagai aspek kehidupan juga sangat terkait dalam pembangunan pertanian. Indonesia adalah negara yang subur dan memiliki potensi dengan keanekaragaman hayati yang sangat melimpah. Potensi keanekaragaman hayati tersebut merupakan salah satu modal yang sangat berguna bagi pembangunan. Untuk dapat memanfaatkan kekayaan alam yang melimpah tersebut diperlukan sumberdaya manusia yang melimpah pula. Namun sayangnya potensi sumber daya manusia itu, tidak tersebar secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Potensi sumberdaya manusia Indonesia lebih banyak terkonsentrasi di pulau Jawa, Madura dan Bali (Arman, 2006). Kepadatan penduduk di pulau-pulau ini sampai sekarang adalah yang paling tinggi di Indonesia. Padahal daya tampung dan daya dukung dari pulau-pulau ini untuk menyediakan dan memenuhi kebutuhan hidup bagi penduduknya sudah minim, kaitannya dengan sumberdaya alam. Melihat ketimpangan antara potensi sumberdaya alam dan sumberdaya
2
manusia tersebut, maka pemerintah mencanangkan suatu program yang diberi nama transmigrasi. Bertolak dari sejarah, transmigrasi di Indonesia masih dipandang sebagai kelanjutan dari sistem kolonisasi yang dulu pernah diwariskan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Vries (1985) dalam M. Singarimbun dan S.E. Swasono (1986), tujuan dari kolonisasi itu sendiri adalah : (1) memindahkan penduduk miskin ke luar Jawa dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidupnya, (2) mengurangi kepadatan penduduk
di pulau Jawa. Memang transmigrasi merupakan
perealisasian politik etis (ethies politiek) pemerintahan Belanda, yang berisi edukasi, irigasi, dan kolonisasi. Istilah transmigrasi sendiri baru digunakan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1946 pada saat lahirnya kebijakan tentang pengembangan industrialisasi di luar Jawa yang dirumuskan dalam Konferensi Ekonomi di Yogyakarta. Konstitusi memberikan amanat kepada pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak dasar rakyat dalam UUD 1945 yang telah diamandemen yaitu khususnya pada bab X menganai warga negara dan penduduk serta bab XA tentang hak asasi manusia1. Dalam rangka pemenuhan hak dasar warga Negara, maka pemerintah daerah Provinsi Jawa Barat melaksanakan suatu program 1
‘Pasal 27 ayat 2 : “ Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak” Pasal 28 A ayat: “ Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Pasal 28 C ayat 1 :” Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”. Pasal 28 H ayat 1: “Setiap orang berhak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Ayat 2:”Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Ayat 3:”Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.’
3
transmigrasi yaitu transmigrasi lokal. Transmigrasi lokal ini adalah pemindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain yang masih berada dalam satu Pemerintahan Daerah Provinsi. Pemindahan ini dikarenakan wilayah asal transmigran terkena pembangunan strategis, bencana alam, padat penduduknya, dan yang merupakan wilayah kritis (hutan gundul, daerah aliran sungai, dan lainlain). Pemerintah Kabupaten Sukabumi, kaitannya dengan transmigrasi lokal, menjadikan beberapa kecamatannya sebagai lokasi unit pemukinan transmigrasi (UPT). Sebagai salah satu wilayah yang dimanfaatkan untuk UPT adalah UPT Cimanggu II yang berlokasi di Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Program ini diselenggarakan karena luasnya lahan yang masih belum termanfaatkan secara optimal atau adanya hak guna usaha (HGU) lahan yang telah habis serta adanya warga Sukabumi yang dulunya pernah menjadi transmigran di beberapa provinsi, misalnya di Provinsi Aceh dan Provinsi-provinsi di Pulau Sulawesi, datang kembali sebagai eksodan. Warga transmigran yang datang kembali (eksodan) ke wilayah asal memiliki alasan. Alasan yang kerap ada adalah alasan dalam hal keamanan di lokasi transmigrasi. Warga transmigran merasa tidak aman sehingga menjadikan warga transmigran ingin kembali ke daerah asal. Kembalinya eksodan menyebabkan penambahan pengangguran. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka program transmigrasi lokal pun diselenggarakan. Program transmigrasi lokal ini dimulai pada bulan September 2001. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan di lokasi UPT, maka digunakanlah paradigma pemberdayaan. Dengan adanya kesamaan ras (Sunda), pekerjaan (petani), dan lokasi tempat
4
tinggal (di UPT), masyarakat yang ada di lokasi UPT Cimanggu II dipandang sebagai suatu komunitas. Bersumber pada data yang didapat dari informasi yang didapat dari kantor Depnakertrans Kabupaten Sukabumi, warga transmigran ini bermatapencaharian sebagai petani. Warga transmigran, baik eksodan maupun transmigran penduduk setempat (TPS) ini tidaklah memiliki pengetahuan yang banyak sehingga perlu adanya upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Upaya yang dilakukan adalah dengan pemberdayaan komunitas agar kelak warga transmigran dapat memiliki jiwa mandiri.
1.2 Perumusan Masalah Transmigrasi lokal yang ada di Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu upaya penyebaran penduduk dan upaya peningkatan taraf hidup warga transmigran serta warga eksodan yang kembali ke Sukabumi. Transmigrasi lokal ini membutuhkan banyak pola pemikiran yang matang dan proses manajemen sistem yang compact agar program transmigrasi lokal ini dapat membuahkan hasil yang memuaskan, dalam artian program transmigrasi lokal yang ada di Kabupaten Sukabumi ini dapat membentuk suatu masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Dalam meneliti program transmigrasi yang ada di Kabupaten Sukabumi ini akan diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah program transmigrasi lokal yang dilakukan oleh pemerintahan Kabupaten
Sukabumi
transmigran UPT?
dapat
meningkatkan
kesejahteraan
warga
5
2. Apa sajakah yang menjadi kendala yang dihadapi oleh Pememerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dalam menyukseskan program transmigrasi lokal berbasis pemberdayaan komunitas?
1.3 Tujuan Penelitian Program transmigrasi lokal yang dilaksanakan di Kabupten Sukabumi, Khususnya di UPT Cimangu II, diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup warga transmigran. Merujuk pada harapan pemerintah Kabupaten Sukabumi ini, maka penelitian yang dilakukan di lokasi UPT Cimanggu II ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui Kontribusi dari Program Transmigrasi Lokal terhadap kesejahteraan masyarakat transmigran. 2. Untuk mengetahui kendala yang tengah dihadapi oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi dalam menyukseskan program transmigrasi lokal berbasis pemerdayaan komunitas.
1.4 Kegunaan Penelitian 1. Sebagai rujukan mengenai evaluasi program pemberdayaan masyarakat serta beberapa kontribusi yang diberikan program transmigrasi lokal terhadap peningkatan kesejahteraan. 2. Bagi Pemerintah Kabupaten Sukabumi, sebagai bahan gambaran jalannya program transmigrasi lokal yang tengah diselengarakan, kaitannya dengan penanggulangan kendala-kendala yang ada. 3. Bagi warga transmigran, untuk menjadi media pembelajaran agar lebih kritis terhadap apa yang mereka terima dan menjadi bahan pemahaman
6
dalam menilai arti penting yang terkandung dalam pemberdayaan masyarakat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Transmigrasi 2.1.1 Pengertian Transmigrasi Martono (1986) mengemukakan bahwa transmigrasi, apabila dilihat dari definisi demografi, adalah bagian dari migrasi yang merupakan salah satu komponen perubahan atau pertumbuhan penduduk dengan tujuan pembangunan. Dengan kata lain, transmigrasi merupakan perpindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam rangka pembentukan masyarakat baru untuk membantu pembangunan baik bagi daerah yang didatangi ataupun yang ditinggalkan dalam rangka pembangunan nasional. 2.1.2 Kebijakan Transmigrasi Kebijakan transmigrasi dalam Panca Matra Transmigrasi Terpadu, yaitu melalui rumusan “transmigrasi merupakan pemindahan penduduk dari suatu daerah ke daerah lain dalam rangka pembentukan masyarakat baru untuk membantu pembangunan daerah yang ditinggal dan daerah yang didatangi dalam rangka pembangunan nasional”. Kepres No.1 Tahun 1973 menetapkan pulaupulau Jawa, Madura, Bali, dan Lombok sebagai daerah asal transmigrasi. Ada empat macam ukuran (kriteria) untuk menentukan prioritas pemindahan penduduk dari pulau-pulau tersebut di atas yaitu: 1. Daerah yang terkena bencana alam 2. Daerah kritis (tanah gundul, daerah aliran sungai, dan sebagainya) 3. Daerah yang penduduknya terlalu padat
8
4. Daerah yang terkena pembangunan (umpamanya untuk pembangunan dam) Pemindahan penduduk disini bukanlah tanpa beban dan resiko. Penduduk adalah manusia. Orang-orang telah lama hidup dan bekerja bersama dan menghasilkan kebudayaan, dipindahkan dan ditempatkan dalam suatu wilayah pemukiman baru. Mereka bercampur dan bergaul dengan kelompok yang samasama dipindahkan (dari berbagai wilayah) maupun kelompok manusia yang ditemui
(penduduk
setempat).
Oleh
karena
itu,
melalui
transmigrasi
dipindahkanlah berbagai sistem dari kebiasaan dan cara-cara sistem wewenang dan kerja sama, sistem tingkah laku dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Transmigrasi mempercepat perubahan pengelompokan dan penggolongan manusia dan membentuk jalinan hubungan sosial dan interaksi sosial yang baru. Pemindahan penduduk yang dilakukan dalam rangka program transmigrasi berarti membentuk pola hidup bersama yang baru, yang akan melahirkan manusiamanusia baru dan akan menumbuhkan masyarakat baru (Arman, 2006). 2.1.3 Jenis Transmigrasi Pemerintah mengupayakan jenis-jenis transmigrasi
yaitu transmigrasi
umum, transmigrasi swakarsa atau transmigrasi spontan, dan transmigrasi lokal. Transmigrasi umum adalah transmigrasi dimana semua biaya untuk transmigrasi adalah ditanggung oleh pemerintah. Transmigrasi swakarsa atau transmigrasi spontan adalah transmigrasi yang dilakukan penduduk dengan sebagian biaya ditanggung sendiri tetapi masih diatur oleh pemerintah. Transmigrasi lokal adalah pemindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lain yang masih satu Pemerintahan Daerah Provinsi (Arman, 2006).
9
2.1.4 Peranan Transmigrasi dalam pembangunan Menurut Martono (1986) dalam Singarimbun dan Swasono (1986), apabila dilihat secara demografi, transmigrasi dipandang sebagai suatu upaya untuk mencapai keseimbangan penyebaran penduduk, juga dimaksudkan untuk menciptakan perluasan kesempatan kerja. Transmigrasi ini juga dinilai membantu mempercepat terwujudnya trilogi pembangunan, yaitu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, serta stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
2.1.5 Pemindahan penduduk yang harus ditangani secara lintas sektoral. Transmigrasi memindahkan penduduk atau manusia dalam rangka pembentukan masyarakat baru, maka penanganannya harus dilakukan dengan melibatkan berbagai sektor. Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa dalam definisi penduduk dan masyarakat terdapat berbagai komponen secara eksistensial di dalamnya terdapat manusia, nilai budaya, jalinan hubungan dan interaksi, kebutuhan perubahan dan sebagainya. Dalam pemindahan masyarakat itu sudah termasuk tujuan dalam wujud masyarakat baru. Hal ini tidak semua mungkin ditangani oleh satu sektor pembangunan, apabila oleh satu subsektor pembangunan, berbagai sektor harus dilibatkan, atau dengan perkataan lain penanganannya harus lintas berbagai kegiatan dan spesialisati sektor-sektor (Tjiptoherijanto, 1986).
10
2.2. Pemberdayaan Komunitas 2.2.1 Pengertian Pemberdayaan Istilah pemberdayaan (empowerment), muncul sekitar pertengahan 1990an sebagai isyarat terjadinya perubahan paradigma pembangunan. Pada mulanya, paradigma modernisme telah mendominasi dalam perencanaan maupun praktik pembangunan. Dalam paradigma tersebut menurut Sanderson (1993), paling tidak terdapat tiga asumsi pokok sebagai dasar yang melatarbelakanginya, yaitu salah satunya adalah keterbelakangan cenderung dilihat sebagai suatu “keadaan asli” (original state); suatu keadaan masyarakat yang telah ada dalam aneka bentuknya. Keterbelakangan itu terjadi akibat belum masuknya kapitalisme sehingga untuk keluar dari keterbelakangan, kapitalisme-lah jawabanya. Keterbelakangan merupakan akibat dari banyaknya kekurangan yang ada dalam suatu masyarakat seperti kekurangan kapital, sehingga untuk mengatasiya diperlukan formulasi kapital baru melalui difusi modal dan teknologi. Masyarakat terbelakang biasanya tidak mempunyai semacam kesadaran, atau mentalitas yang menawarkan perkembangan. Kemajuan baru terjadi jika orang telah mengadopsi pemikiran rasional, nilai-nilai yang berorientasi masa depan, dan sistem etika. Sementara itu, umumnya nilai-nilai lokal masyarakat dianggap tidak kondusif bagi pencapaian kemajuan. Secara empiris, paradigma modernisme menyebabkan berbagai persoalan ketimpangan di masyarakat. Sajogyo (1982) menyebutnya dengan istilah modernization without development, pembangunan yang justru menyebabkan polarisasi kesenjangan antara pemilik modal dan kaum miskin karena program-program pembangunan cenderung bias teknokratis, sentralistis, dan tidak “membumi”.
11
Kritik terhadap ideologi modernisme, telah berkembang paradigma pembangunan yang berpusat pada rakyat (people-centered development) yang lebih memberi tempat kepada rakyat untuk turut serta dalam merencanakan, melaksanakan, serta mengawasi proses pembangunan. Dalam wadah paradigma inilah wacana pemberdayaan (empowerment) mulai tumbuh. Pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat (Wahyono et.al, 2001). Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) dalam pengembangan masyarakat (community development) adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisasi diri mereka sendiri. Sistem pengorganisasian
ini
diharapakan
dapat
dijadikan
suatu
modal
dalam
mengembangkan diri mereka masing-masing.
2.2.2 Pemaknaan komunitas Ife dalam Tonny (2000) mengemukakan komunitas (community) dalam perspektif sosiologi adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat yang lebih luas (society) melalui kedalaman perhatian bersama (a community of intersest) atau oleh tingkat interaksi yang tinggi (an attachment community). Para anggota komunitas memiliki kebutuhan bersama (common needs). Jika tidak ada kebutuhan yang bersama maka warga setempat tersebut tidak bisa dikatakan sebagai komunitas. Komunitas (community) mengandung pengertian sebagai satu kesatuan masyarakat yang ukurannya relatif kecil sehingga terjadi hubungan yang intensif ke dalam daripada ke luar dan memiliki kesamaan tertentu. Suatu
12
komunitas merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki tingkat keeratan atau hubungan yang relatif kuat. Karakteristik komunitas terdiri dari: 1. Primordial community, yakni komunitas yang memiliki kesamaan suku, agama dan ras. 2. Occupation community, yakni komunitas yang anggotanya memiliki kesamaan pekerjaan/profesi. 3. Spacial community, yakni komunitas yang terbentuk karena kesamaan tempat tinggal. 2.2.3 Dimensi Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat memiliki dua dimensi pokok yaitu kultural dan dimensi struktural (Tonny, 2002). Dimensi kultural meliputi upaya untuk perubahan
prilaku
ekonomi,
peningkatan
pendidikan,
sikap
terhadap
pengembangan teknologi, serta kebiasaan masyarakat setempat. Dimensi struktural meliputi upaya perbaikan struktural sosial yang meningkatkan dan mempercepat solidaritas petani dan nelayan dengan cara berhimpun dalam suatu kelompok dan organisasi yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. 2.2.4 Elemen Pemberdayaan Masyarakat Menurut Tonny (2000) dalam Pemberdayaan terdapat dua elemen penting. Elemen tersebut merupakan elemen yang sarat dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Tanpa elemen tersebut suatu pemberdayaan tidak dapat dikatakan berjalan. Elemen tersebut terbagi menjadi elemen partisipasi dan elemen kemandirian. Partisipasi. Menurut Tonny (2003), partisipasi adalah proses aktif dimana inisiatif diambil oleh masyarakat sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka
13
sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat melakukan kontrol secara efektif. Definisi ini memberikan pengertian bahwa masyarakat diberi kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan serta kemampuan untuk mengelola potensi yang di miliki secara mandiri. Partisipasi dikategorikan menjadi dua, yaitu pertama, partisipasi yang dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi yang membentuk atau membangun kekuatan untuk keluar dari masalah yang sedang dihadapi. Menurut Slamet dalam Sumodiningrat (1999), partisipasi masyarakat diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, partisipasi dilakukan mulai dari penggalian potensi-potensi yang dapat dibangun oleh masyarakat setempat, pembinaan teknologi dan keterampilan tersebut. Menurut Coheb dan Uphoff dalam Tonny (2003), keterlibatan masyarakat dimulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, dan penikmatan hasil. Kemandirian. Menurut Sumodiningrat (1999), kemandirian mengandung arti bahwa proses pembangunan diciptakan dari, oleh dan untuk setiap anggota masyarakat. Sehubungan dengan konsep pemberdayaan masyarakat, kemandirian dikategorikan menjadi tiga yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Kemandirian material merupakan kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan dasar pada waktu krisis. Kemandirian intelektuan merupakan pembentukan dasar pengetahuan yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi dari pihak luar. Kemandirian
14
manajemen merupakan kemampuan untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif. Verhagen (1996) mengemukakan kemandirian adalah suatu kondisi dimana seorang individu atau kelompok tidak lagi bergantung pada bantuan dan kedermawanan pihak ketiga. Suatu kelompok mandiri berarti mereka telah mengembangkan kemampuan organisasional, produktif, dan analitik yang memadai sehingga mampu merancang dan melaksanakan suatu strategi yang dapat memberikan sumbangan secara efektif. Kemandirian tersebut juga dapat dirasakan manfaatnya oleh tiap anggota kelompok karena mereka telah dapat mengembangkan diri mereka untuk kepentingan dan harapan mereka sendiri dalam kelompok tersebut.
2.3 Evaluasi Program 2.3.1 Definisi Evaluasi Program Farida (2000) dalam bukunya mengemukakan pemahaman evaluasi dengan memakai contoh kasus pendidikan. Evaluasi adalah penelitian yang sistematik atau yang teratur tentang manfaat atau guna berbagai objek (Join committee, 1981). Kelompok Konsorsium Evaluasi Standford menolak definisi evaluasi yang menghakimi, karena evaluator bukanlah wasit yang menentukan suatu program berguna atau tidak. Evaluasi dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi formatif yaitu untuk perbaikan dan pengembangan program yang sedang berjalan dan fungsi sumatif yang dipakai sebagai pertanggungjawaban, keterangan, seleksi atau kelanjutan program. Jadi evaluasi hendaknya dapat membantu pengembangan, implementasi,
15
kebutuhan suatu program, perbaikan program, pertanggungjawaban, seleksi, motivasi, menambah pengetahuan dan dukungan dari mereka yang terlibat. Evaluasi yang dilakukan sendiri oleh pelaksana proyek dianggap kurang efektif oleh sebab itu diperlukan evaluator yang independent. Farida (2000) mengemukakan kriteria yang harus dilayani oleh evaluator supaya evaluasi betulbetul bermanfaat dan berguna yaitu sebagai berikut : 1. Evaluasi dapat mempunyai lebih dari seorang audiensi. 2. Masing-masing audiensi mungkin mempunyai kemungkinan yang berbeda. 3. Kebutuhan audiensi harus dirumuskan dengan jelas pada waktu memulai evaluasi. Evaluator dituntut untuk mempunyai ciri-ciri tertentu yang memerlukan latihan yang memadai. Ciri-ciri tersebut antara lain mengerti dan mengetahui teknik pengukuran, metode penelitian, mengerti tentang kondisi sosial dan hakekat objek evaluasi, mempunyai kemampuan human relation serta bertanggung jawab dan jujur. Evaluasi sering dilakukan oleh suatu tim karena sulit mencari orang yang memiliki begitu banyak kemampuan. Langkah-langkah dan prosedur yang dilakukan oleh evaluator harus sejalan dengan fungsi evaluasi yaitu memfokuskan evaluasi, mendesain evaluasi, mengumpulkan informasi, menganalisis informasi, melaporkan hasil evaluasi, mengelola evaluasi dan mengevaluasi evaluasi. Committee on Standard for Educational Evaluation (Join Committee, 1981) yang diketuai oleh Daniel Stufflebeam mengembangkan standar untuk kegiatan evaluasi yaitu: a. Utility (bermanfaat dan praktis).
16
b. Accuracy (secara tekhnik tepat). c. Feasibility (realitik dan teliti). d. Proppriety (dilakukan dengan legal dan etik). Evaluasi yang baik adalah yang memberikan dampak positif pada perkembangan program. Farida memberikan beberapa pengertian kepada istilah-istilah yang dipakai didalam bukunya, seperti pengertian program, sponsor, audiensi dan instrumen. Program adalah sesuatu yang dicoba lakukan seseorang dengan harapan akan membawa hasil atau pengaruh (Joan L. Herman & Cs dalam Farida, 2000). Sponsor adalah orang atau organisasi yang meminta evaluasi dan membayar untuk itu. Audiensi orang yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan evaluasi, seperti pemakai program, peminat dan pelanggan. 2.3.2 Model Evaluasi 1. Model Evaluasi CIPP Model ini mengusulkan pendekatan yang berorientasi pada pemegang keputusan (a decision oriented evaluation approach structured). Untuk melayani para manajer dan administrator dibuatlah pedoman kerja yang membagi evaluasi menjadi empat macam : 1) Contect evaluation to serve planning decision. Konteks evaluasi ini membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program. 2) Input evaluation, structuring decision. Evaluasi ini menolong mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber yang ada alternatif yang akan
17
diambil, apa rencana dan strategi yang akan diambil untuk mencapai kebutuhan serta bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. 3) Process evaluation to serve implementing decision. Evaluasi proses membantu mengimple-mentasikan keputusan. 4) Product evaluation, to serve recycling decision. Evaluasi produk untuk menolong pembuat keputasan dalam membuat keputusan selanjutnya. Huruf pertama dari model ini dijadikan ringkasan dan model ini terkenal dengan nama model CIPP stufflebeam. 2. Model Stake atau Model Countenence Stake (1967) menekankan adanya dua dasar kegiatan dalam evaluasi ialah descriptions dan judgement
dan membedakan tiga tahap dalam program
pendidikan, yaitu : Antecedents (konteks), Transaction (proses) dan Outcomes (output). Matrik description menunjukkan Intents (hasil) dan Observations (efek) atau yang sebenarnya terjadi. Judgement mempunyai dua aspek yaitu standard dan judgement. Stake juga mengatakan apabila kita menilai suatu program maka kita melakukan perbandingan antara satu program dengan program lain (relatif) atau perbandingan yang absolut yaitu satu program dengan standar yang ditetapkan. Pada model ini penekanannya adalah evaluator yang membuat penilaian tentang program yang akan dievaluasi. 2.3.3 Pendekatan-pendekatan Evaluasi Proses pengevaluasian memiliki enam pendekatan (Farida, 2000). Pendekatan yang dimaksud adalah berkaitan dengan tujuan dari pengevaluasian yang dilakukan. Pendekatan yang dilakukan menilai dari segi mana baiknya
18
proses evaluasi dijalankan. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengevaluasi suatu program yang diantaranya: 1. Pendekatan Eksprimental Tujuan dari pendekatan ini adalah memperoleh kesimpulan yang bersifat umum tentang dampak suatu program dengan menciptakan situasi yang dikontrol, seperti membandingkan kelompok yang menerima program dan yang tidak. Pendekatan ini membuat evaluator sebagai orang ketiga yang objektif dalam menarik kesimpulan. 2. Pendekatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan Pendekatan ini memakai tujuan program sebagai kriteria untuk menentukan sampai sejauh mana program telah berhasil. Model ini memberikan petunjuk tentang tentang perkembangan program. 3. Pendekatan yang berfokus kepada keputusan Pendekatan ini menekankan peranan informasi
yang sistematik untuk
pengelola program dalam menjalankan tugasnya. Pada pendekatan ini evaluator memerlukan 2 macam informasi dari klien. Pertama ia harus mengetahui butir-butir keputusan penting pada setiap periode selama program berjalan. Kedua ia perlu mengetahui macam informasi yang mungkin akan sangat berpengaruh untuk setiap keputusan. Keunggulan program ini ialah perhatiannya terhadap kebutuhan pembuat keputusan dan kerelevanan keputusan program. 4. Pendekatan yang berorientasi kepada pemakai Pada pendekatan ini evaluator lebih terlibat dalam kegiatan program, mereka lebih bertindak sebagai orang dalam daripada sebagai konsultan
19
luar. Penedekatan ini dilakukan dengan bersahabat, evaluator mencari pengetahuan tentang fungsi program dan keperluan orang-orang yang mempengaruhi keputusan. Pende-katan
ini membuat evaluator dapat
memberikan ide kepada kelompok pemakai, menerima saran mereka dan mengadaptasikan evaluasi sesuai dengan kebutuhan pemakai atau klien. Evaluator harus seorang yang komunikatif, karena interaksi dengan orangorang program dan klien mempengaruhi kegunaan hasil evaluasi. 5. Pendekatan yang responsif Pendekatan ini berusaha mencari pengertian suatu isu dari berbagai sudut pandang
dari
semua
orang
yang
terlibat,
berminat,
dan
yang
berkepentingan dengan program. Evaluator bertujuan berusaha mengerti urusan program melalui berbagai sudut pandang yang berbeda. Evaluasi responsif memiliki cirri-ciri penelitian yang kualitatif apa adanya. Evaluator harus dilatih tekhnik-tekhnik penelitian kualitatif. Pendekatan ini memiliki kelebihan memiliki
kepekaan terhadap berbagai titik
pandang. 6. Goal Free Evaluation (Evaluasi bebas tujuan) Ciri-ciri evaluasi ini adalah ; evaluator sengaja menghindar untuk mengetahui tujuan program, tujuan yang telah dirumuskan terlebih dahulu tidak menyempitkan fokus evaluasi, berfokus pada hasil yang sebenarnya dan bukan pada hasil yang telah direncanakan, hubungan dengan orangorang program dibuat seminimal mungkin dan evaluasi dimungkinkan akan ditemukannya dampak yang tidak diramalkan.
20
Scriven (1996) dalam Farida (2000) membedakan evaluasi menjadi 2 yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif dilaksanakan selama program berjalan untuk memberikan informasi kepada pemimpin program sebagai bahan perbaikan program. Sedangkan evaluasi sumatif dilaksanakan pada akhir program untuk memberikan informasi kepada konsumen yang potensial tentang manfaat atau kegunaan program. Selain evaluasi formatif dan sumatif ada juga evaluasi internal dan eksternal, yang mana evaluasi ekternal dilakukan oleh orang diluar program dan evaluasi internal dilakukan oleh orang dari dalam program. 2.4 Konsep Kesejahteraan Kesejahteraan erat kaitannya dengan kebutuhan seseorang. Tingkat kesejahteraan adalah merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup seseorang pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep kesejahteraan memiliki sifat relatif, yaitu tergantung bagaimana penilaian masingmasing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Keadaan sejahtera yanng dimiliki seseorang dapat berbeda dengan keadaan sejahtera orang lain. Terpenuhinya kebutuhan makan nasi tiap hari untuk seorang buruh adalah dapat dikatakan sejahtera, namun lain halnya dengan seorang pengusaha besar (Pangemanan, 1996). Menurut Yosep (1996) dalam Saharti (1998), definisi kesejahteraan mencakup dua pendekatan yaitu pendekatan makro dan pedekatan mikro. Pendekatan makro memandang bahwa kesejahteraan dapat dinyatakan dengan indikator-indikator yang telah disepakati secara ilmiah, sehingga ukuran kesejahteraan masyarakat berdasarkan data-data empiris suatu masyarakat. Pendekatan makro ini disebut juga pendekatan makro objektif karena mencakup
21
keadaan kesejahteraan suatu wilayah, negara atau provinsi. Konsep Kesejahteraan untuk setiap individu berbeda dan bersifat relatif sehingga dapat dikemukakan beberapa kriteria dan indikator kesejahteraan. BPS dan beberapa instansi lain menggunakan indikator kesejahteraan sebagai indikator sosial.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran Pemerintah Kabupaten Sukabumi, dengan menggunakan paradigma pemberdayaan masyarakat, menyelenggarakan suatu program yaitu program transmigrasi lokal. Program transmigrasi lokal ini merupakan program untuk menanggulangi kepadatan penduduk dan untuk mengingkatkan kesejahteraan. Penduduk yang dimaksud adalah warga Sukabumi sendiri juga warga transmigran yang datang kembali (eksodan) ke Sukabumi dikarenakan adanya masalah keamanan di lokasi transmigrasi.
Program transmigrasi lokal yang diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi perlu adanya pengevaluasian. Evaluasi yang dilakukan bersifat formatif yang mana program yang dievaluasi masih berlangsung (on-going evaluation). Dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan, program transmigrasi ini dievaluasi untuk diketahui sejauhmana perkembangan dan keberhasilan program. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menilai keberhasilan program transmigrasi yaitu : pendapatan warga transmigran, pendidikan warga transmigran, sarana lingkungan atau fasilitas yang ada di lokasi UPT, keamanan yang tercipta di lokasi UPT, kesehatan warga dan lingkungan, dan kelembagaan sosial yang terbentuk, yang kemudian semua hal tersebut dapat meningkatkan kesejahateraan warga transmigran dalam pemenuhan kebutuhan serta dapat membentuk warga transmigran mandiri.
23
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Kebijakan Pemerintah Kabupaten Sukabumi
Paradigma Pemberdayaan Komunitas Transmigran
TRANSMIGRASI LOKAL Kelembagaan sosial masyarakat Peningkatan Pendapatan Penanaman komoditas
Pendidikan Kesejahteraan warga transmigran Kesehatan
Sarana lokasi
Warga transmigran mandiri
Keamanan
Evaluasi Program Transmigrasi Lokal (on-going evaluation)
Keterangan: = Menghasilkan = Dilakukan
24
3.2 Hipotesis Penelitian Penilitian yang dilakukan di UPT Cimanggu II merumuskan beberapa hipotesis penelitian yaitu: 1. Pendapatan berhubungan positif dengan kesejahteraan warga transmigran. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka pemenuhan terhadap kebutuhan juga semakin tinggi. 2. Kelembagaan sosial berhubungan positif dengan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan warga transmigran. Terbentuknya kelembagaan memungkinan warga untuk mengorganisasikan diri dengan warga lain kaitannya dengan peningkatkan pendapatan. 3. Penanaman komoditas unggulan berhubungan positif dengan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan warga transmigran. Peningkatan hasil panen meningkatkan pendapatan warga transmigran. 4. Pendidikan berhubungan positif dengan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan warga transmigran. Semakin tinggi kapabilitas warga maka semakin beragam juga usaha yang dilakukan untuk meningkatkan pendapatan. 5. Kesehatan berhubungan positif dengan kesejahteraan warga transmigran. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan seseorang maka semakin tinggi juga kualitas kesehatannya. 6. Sarana lokasi berhubungan positif dengan kesejahteraan melalui peningkatan pendapatan warga transmigran. Semakin beragamnya keberadaan fasilitas di lokasi memungkinkan warga untuk meningkatkan upaya peningkatan pendapatan.
25
7. Keamanan berhubungan positif dengan kesejahteraan warga transmigran. Status keamanan yang baik menciptakan kenyamanan warga transmigran tinggal di UPT. 8. Kesejahteraan
berhubungan
positif
dengan
kemandirian
warga
transmigran. Kesejahteraan warga melahirkan jiwa warga transmigran mandiri.
3.3 Lokasi Penelitian, Teknik Pengumpulan Data, dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di UPT Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Pemilihan lokasi dilakukan dengan sengaja. Hal ini dilakukan karena UPT merupakan lokasi yang dipandang sangat memerlukan upaya pemberdayaan masyarakat. Di lokasi UPT terdapat suatu sistem baru yang terbentuk secara sengaja dengan tujuan pembangunan. Waktu penelitian dan pengambilan data dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2007. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik triangulasi data yaitu pengumpulan data kuantitatif dengan menggunakan kuisioner, pengamatan berperan serta, dan penelusuran dokumen yang relevan dengan topik penelitian. Pengamatan berperan serta yang dilakukan peneliti diantaranya keikutsertaan peneliti dalam beberapa kegiatan pemberdayaan yang dilakukan di UPT Cimanggu II. Penelusuran dokumen-dokumen yang dianggap memberikan informasi dilakukan di kantor Disnakertrans sebagai bahan gambaran umum lokasi penelitian.
26
3.4 Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan kuisioner sebagai instrumen penelitian. Dengan menggunakan kuisioner, diharapkan responden dapat memberikan data yang akurat pada tiap kali proses pengambilan data. Selain kuantitatif, untuk dapat memperoleh data yang yang lebih lengkap, pendekatan yang dilakukan juga dengan pendekatan kualitatif untuk menggali informasi dan menjelaskan informasi yang didapat langsung dari responden ataupun informan. Pada saat pengumpulan data, peneliti mendatangi informan dan responden pada waktu yang disesuaikan dengan kesibukan informan atau responden. Penyesuaian waktu pengambilan data ini dikarenakan kesediaan informan atau responden tidak tentu. Tidak tentu disini maksudnya tidak semua responden dan informan memiliki kesediaan waktu yang sama satu dengan yang lainnya. Populasi sampel penelitian ini adalah masyarakat transmigran. Pada penelitian ini terdapat sumber informasi yang terdiri dari Informan merupakan pihak yang akan memberikan informasi tentang pihak lain dan lingkungannya, dan responden yang memberikan informasi mengenai dirinya sendiri dan kegiatan yang dilakukannya. Pemilihan sampel, untuk memenuhi syarat N=30 (N adalah besar sampel), maka dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling yang mana jumlahnya 30 KK dari 79 KK. Hal ini dilakukan karena pada program transmigrasi lokal masyarakat yang menjadi populasi sampel merupakan masyarakat yang homogen yaitu sebagai transmigran yang bermatapencaharian sebagai petani atau dengan kata lain responden masih bergantung pada lahan pertanian. Kehomogenan warga transmigran juga dapat dilihat pada tingkat
27
pendidikan yang mana semua warga transmigran hanya mengenyam pendidikna sekolah dasar. Selain dipandang sebagai petani, warga transmigran juga dipandang sebagai orang yang memiliki luas lahan yang sama. Jadi dalam penelitian ini kehomogenan warga tidak hanya dalam status pekerjaan saja tetapi juga dalam hal sumberdaya lahan.
3.5 Pengambilan Data dengan Kuisioner Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer mencakup semua data yang berkenaan dengan variabel pengaruh dan variable terpengaruh. Data primer juga mencakup data yang didapat dari hasil observasi dan hasil wawancara dengan warga transmigran, apabila diperlukan. Data sekunder yang dikumpulkan mencakup semua data yang diambil dan ditelusuri dari
dokumen Disnakertrans Sukabumi dan dokumen lain (misalnya, catatan
pribadi petugas translok UPT Cimanggu II) yang dipandang mendukung penelitian ini. Dalam pengumpulan data informasi, yaitu dengan menggunakan kuisioner, kuisioner disebarkan pada responden dengan tujuan responden dapat memberikan informasi yang lengkap mengenai UPT Cimanggu II. Kuisioner ini dibuat dan disesuaikan dengan topik penelitian yang terkategori dalam beberapa variabel dan sebisa-bisa kuisioner disajikan dalam bentuk pertanyaan yang mudah dipahami, memandang bahwa tingkat pendidikan warga transmigran hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sehingga penggunaan istilah-istilah pun di sesuaikan dengan tingkat pemahaman warga terhadap istilah tersebut. Istilahistilah yang dimaksud misalnya ‘konflik’ diganti dengan ‘pertengkaran’, ‘konsumsi’ dengan ‘menggunakan’ atau ‘memakan’, dan sebagainya.
28
3.6 Pengolahan Data Data yang diperoleh dari kuesioner merupakan data primer yang dianalisa berdasarkan masing-masing sub-pokok bahasan. Sesuai dengan rancangan dan tujuan penelitian, maka data dianalisa dengan menggunakan tabulasi frekuensi untuk mengecek konsistensi jawaban, dan tabulasi silang untuk menentukan klasifikasi terbaik dengan melihat hubungan atau keterkaitan antara variabelvariabel penelitian yang akan diuji (Sofian dan Chris Manning dalam Singarimbun dan Effendi, 1989). Hubungan antar variabel penelitian ditentukan dengan menggunakan analisis korelasi peringkat Spearman yang kemudian diinterpretasikan. Uji korelasi Spearman dipergunakan untuk melihat tingkat keeratan (signifikansi) antar variabel-variabel tersebut. Untuk memudahkan dalam proses pengolahan data, pengeolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan software SPSS 13 for Windows. Dalam statistika, rumus untuk mencari tingkat keeratan variabel adalah sebagai berikut:
n
6∑ D 2 rs =
1−
(
)
N N 2 −1
,
Keterangan : rs = koefisien korelasi peringkat Spearman D = selisih antara peringkat Xi dan Yi N = banyaknya pasangan data Interpretasi Nilai Koefisien Korelasi Peringkat Spearman (rs).
29
Tabel 1. Nilai Korelasi Peringkat Spearman. No.
Besarnya nilai rs
Interpretasi
1.
Antara 0,000 sampai dengan 0,200
Sangat lemah/tidak berkorelasi
2.
Antara 0,201 sampai dengan 0,400
Lemah
3.
Antara 0,401 sampai dengan 0,600
Cukup kuat
4.
Antara 0,601 sampai dengan 0,800
Kuat
5.
Antara 0,801 sampai dengan 1,000
Sangat Kuat
Data yang didapat kemudian di tabulasi silang. Pada tabulasi silang masing-masing variabel yang terkait dibedakan ke dalam tiga kategori yang didasarkan pada nilai rata-rata. Nilai rata-rata merupakan perolehan nilai dari keseluruhan responden untuk masing-masing variabel dibagi dengan jumlah responden. Adapun tiga kategori yang dimaksud ditentukan oleh nilai-nilai yang berada di atas, di bawah, dan pada nilai rata-rata. Nilai yang berada di atas rata-rata masuk pada kategori tinggi sedangkan nilainilai yang berada di bawah rata-rata masuk pada kategori rendah. Hubungan antara dua variabel yang dihubungkan dilihat dari perolehan persentase pada kombinasi kategori dua variabel terkait. Sedangkan pada korelasi Spearman, signifikansi hubungan dua variabel tampak dari nilai r (koefisien korelasi) yang diperoleh dari hasil perhitungan.
3.7 Variabel Penelitian Variabel secara harfiahnya adalah konsep yang memiliki nilai. Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan beberapa variabel penelitian. Variabel yang digunakan ada dua jenis variabel, variabel yang
30
mempengaruhi (independent variable) dan variabel yang dipengaruhi (dependent variable). Merujuk pada pernyataan Tjiptoherijanto (1986), Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menilai perkembangan program
transmigrasi
diantaranya;
pendapatan
warga
transmigran,
pendidikan warga transmigran, sarana lingkungan atau fasilitas yang ada di lokasi UPT, keamanan yang tercipta di lokasi UPT, kesehatan warga dan lingkungan, dan kelembagaan sosial yang terbentuk. Beberapa hal tersebut merupakan variabel yang mempengaruhi. Sedangkan variabel yang dipengaruhi dalam penelitian ini adalah variabel kesejahteraan yang membentuk jiwa warga transmigran yang mandiri.
3.8 Definisi Operasional Penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengandung beberapa definisi operasional. Definisi operasional ini menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam penelitian. Definisi operasional tersebut diantaranya: 1. Pendapatan. Pendapatan adalah uang yang didapat atau dihasilkan oleh warga transmigran di UPT Cimanggu II satu bulan terakhir. untuk pengkategorian, peneliti menentukan rendah, sedang, dan tinggi berdasarkan acuan nilai pendapatan yang paling tinggi yang ada di UPT. kategori: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan berpendapatan rendah yaitu dibawah Rp. 562.000,/bulan.
31
b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan berpendapatan sedang yaitu antara Rp. 562,000,sampai Rp. 1000.000,- / bulan. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan berpendapatan tinggi yaitu diatas Rp. 1.000.000,/bulan. 2. Pendidikan. Pendidikan adalah pengetahuan yang dimiliki oleh warga transmigran. Pengetahuan tersebut dapat berupa pengetahuan yang didapat sebelum menjadi transmigran atau setelah menjadi transmigran. Pendidikan
juga
mencakup
kemampuan
keterampilan
warga
transmigran. Baik melalui jenjang formal maupun informal. pendidikan ini diukur dari : a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan sebagai warga yang kurang memandang penting pengetahuan. b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan sebagai warga yang cukup memandang penting pengetahuan. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan sebagai warga yang sangat memandang penting pengetahuan. 3. Sarana lingkungan. Sarana lingkungan yang dimaksud disini adalah segala sarana yang ada di lokasi UPT Cimanggu II. Sarana lingkungan adalah sarana yang berupa fasilitas, baik fasilitas umum maupun pribadi
32
yang kaitannya dengan kenyamanan warga untuk tetap tinggal di UPT. pengkategorian ini diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan tidak nyaman berada di UPT. b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan cukup nyaman tinggal di UPT. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan sangat nyaman tinggal di UPT. 4. Keamanan. Keamanan adalah suatu kondisi dimana warga transmigran di UPT Cimanggu II tidak merasa berada dalam bahaya apabila mereka berada di lokasi UPT. Pengukuran variabel keamanan diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan merasa tidak aman berada di UPT. b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan merasa cukup aman berada di UPT. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan merasa sangat aman di UPT. 5. Kesehatan. Kesehatan adalah konsisi warga transmigran UPT Cimanggu II tidak pada kondisi yang tidak sehat. Konsisi tersebut terkait dengan lingkungan tempat warga transmigran tinggal maupun kondisi tubuh warga transmigran itu sendiri. Pengkategorian kesehatan diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan berada pada kondisi tidak sehat.
33
b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan berada pada kondisi kurang sehat. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan berada pada kondisi sehat. 6. Kelembagaan Sosial. Kelembagaan sosial yang dimaksud adalah keadaan sosial yang ada di lokasi UPT Cimanggu II. Kondisi sosial tersebut merupakan cerminan dari terbentukanya sistem masyarakat yang solid dibentuk oleh program transmigrasi lokal (translok). pengkategorian diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan tidak solid atau peduli satu sama lain. b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan cukup solid atau peduli satu sama lain. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan sangat solid atau peduli satu sama lain. 7. Kesejahteraan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah suatu keadaan dimana warga transmigran dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengukuran nilai kesejahteraan ini memakai pendekatan mikro subyektif. Hal ini dikarenakan tingkat kepuasan warga transmigran dengan warga masyarakat kota atau masyarakat sekitarnya berbeda. pengkategorian ini diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan kurang sejahtera.
34
b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan cukup sejahtera. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan sangat sejahtera. 8. Kemandirian. Kemandirian adalah kemampuan warga transmigran UPT Cimanggu II untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa adanya bantuan dari puhak luar dengan harapapan adanya pengoptimalisasian sumberdaya yang dimiliki sendiri. pengkategorian variabel kemandirian diukur: a. untuk responden yang memilih jawaban a, maka responden tersebut dikategorikan kurang mandiri. b. untuk responden yang memilih jawaban b, maka responden tersebut dikategorikan cukup mandiri. c. untuk responden yang memilih jawaban c, maka responden tersebut dikategorikan sangat mandiri. 9. Kondisi rumah hunian. Kondisi Baik, bagian struktur rumah masih layak dan berfungsi baik. Kondisi kurang baik, Bagian struktur rumah sebagian ada yang tidak berfungsi misalnya, adanya atap rumah yang sudah tembus air. Kondisi rusak, banyak bagian struktur rumah yang sudah tidak berfungsi dan perlu adanya perbaikan kondisi rumah. 10. UPT. UPT kependekan dari unit pemukiman transmigrasi. UPT merupakan lokasi dimana warga transmigran tinggal. 11. Kepala Keluarga (KK) adalah orang yang dijadikan pemimpin dalam suatu keluarga yang dalam hal ini dijadikan sebagai responden.
35
12. Petugas Lapangan adalah orang yang memiliki tanggung jawab dalam menangani segala urusan yang ada di UPT Cimanggu II. Maksud menangani di sini adalah berupaya untuk melaporkan dan mengatasi permasalahan yang timbul di UPT Cimanggu II. 13. Pembinaan adalah upaya yang dilakukan baik oleh petugas lapangan maupun penyuluh dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang ada di UPT Cimanggu II yang dalam pelaksanaannya warga dibimbing dan diajari tentang bagaimana cara-cara bertani, memberantas hama, berekonomi, mengembangbiakan ternak dan sebagainya. 14. Pengembangan UPT adalah upaya yang dilakukan untuk membentuk UPT yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. 15. Pendapatan perkapita adalah jumlah pendapatan wilayah dalam satu tahun dibagi dengan jumlah warga yang ada di wilayah tersebut.
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH
4.1 Sejarah Lokasi Transmirasi Lokal UPT Cimanggu II Unit pemukiman transmigrasi (UPT) lokal yang ada di Kabupaten Sukabumi tidak hanya UPT Cimanggu II saja tetapi juga ada UPT-UPT lain. UPT yang ada terdiri dari enam lokasi UPT. UPT-UPT tersebut dinamakan berdasarkan kawasan pemerintahan desa setempat. UPT-UPT tersebut diantaranya di: 1. Desa Cikarang, Kecamatan Cidolog yang dinamakan UPT Cikarang, 2. Desa Curug Luhur, Kecamatan Sagaranten dinamakan UPT Curug Luhur, UPT Cikopeng, UPT Gunung Gedogan, UPT Puncak Kembar. Khusus pada kecamanan ini terdapat empat UPT, 3. Desa Girimukti, Kecamatan Ciemas dinamakan UPT Balewer, dan 4. Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong dinamakan UPT Cimanggu II. Kembali pada UPT Cimanggu II, Unit pemukiman transmigrasi (UPT) Cimanggu II berlokasi di Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi. UPT Cimanggu II terletak di daerah perkebunan teh yang mana perkebunan teh ini dahulunya dimiliki oleh pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka, perkebunan teh ini ditinggalkan oleh pemerintah Belanda dan hak guna usahanya (HGU) dianggap sudah habis. Hal ini menyebabkan Pemda Kabupaten Sukabumi memiliki bagian wilayah yang belum termanfaatkan. Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Sukabumi memilih wilayah perkebunan teh di Desa Langkapjaya
37
sebagai lokasi UPT. Proses pembentukan lokasi UPT Cimanggu II dilaksanakan berdasarkan pada surat-surat kebijakan pembangunan sebagai berikut: 1. Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Barat yang ditujukan kepada
Menteri
Transmigrasi
dan
PPH
RI
Nomor:
475.1/29-
99/BAPPEDA tanggal 9 November 1999 perihal Permohonan Penempatan Wilayah Pengembangan dengan pola transmigrasi yang sesuai dengan PP Nomor 2 tahun 1999. 2. Ditindaklanjuti
dengan Surat Kepala Kantor Wilayah Departemen
Transmigrasi dan PPH Provinsi Jawa Barat yang ditujukan kepada Para Kepala Kantor Departemen Transmigrasi dan PPH Garut, Cianjur, Sukabumi, dan Pandeglang Nomor: 4023.HK.03.33.99 tanggal 20 November 1999 perihal Permohonan Penetapan Wilayah Pengembangan dengan pola transmigrasi. 3. Ditindaklanjuti dengan Surat Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Sukabumi Nomor: 525/639/BIRYS tanggal 17 Desember 1999 tentang status lahan bekas perkebunan Cimanggu II. 4. Berdasarkan Surat Menteri Transmigrasi dan Kependudukan Nomor: 344.PR.01.31.2000tanggal 17 Februari 2000 tentang Penetapan Lokasi Cimanggu II seluas 118,72 Ha sebagai lokasi pemukiman transmigrasi lokal. 5. Langka Selanjutnya adalah penjajagan lahan yang dilakukan oleh Team Tingkat II yang dipimpin oleh Kepala Kantor Departemen Transmigrasi dan PPH Kabupaten Sukabumi seperti yang dilaporkan Kepala Desa
38
Langkapjaya dalam Surat Nomor: 595/241UPT/2000 tanggal 8 April 2000 perihal Rencana Pemukiman Transmigrasi di Cimanggu II. 6. Surat Bupati Nomor: 475.1/879-Tapem tanggal 2 Juni 2000 perihal Penetapan Wilayah Pengembangan dengan Pola Transmigrasi. 7. Berita Acara yang ditanda tangani oleh Kepala Desa Langkapjaya dengan beberapa saksi nomor: 595/01/2000 tanggal 24 Agustus yang pada dasarnya tidak keberatan apapun pengalihan status peruntukan Cimangu II serta sangat mendukung untuk segera dibangun Wilayah Pengembangan dengan Pola Transmigrasi di Cimanggu II.
4.2 Batas-batas Wilayah UPT Cimanggu II UPT Cimanggu II memiliki batas-batas wilayah; Hutan Lindung Departemen Kehutanan di sebelah utara, Kampung Cisuren di sebelah selatan, Kampung Ciwaru dan Kampung Cieurih di sebelah barat, dan Kampung Cimanggu Girang di sebelah timur.
4.3 Topografi Wilayah UPT Cimanggu II, yang memiliki ketinggian 600 meter diatas permukaan laut, apabila dilihat secara topografi merupakan suatu wilayah yang berbukit. Dengan daerah datar 4 hektar dan daerah yang bergelombang 14 Hektar. Apabila dikonfersikan ke persentase dari total luas wilayah UPT, maka daerah datar hanya mencapai sekitar 3 persen dari total luas wilayah UPT 118,78 hektar. Dengan keadaan kontur wilayah yang bergelombang ini maka penempatan rumah hunian warga transmigran pun ditempatkan secara berjauhan. Jarak terdekat antara satu
39
rumah dengan rumah lainnya hanya mencapai ±10 meter sedangkan jarak terjauh antara satu rumah dengan rumah lainnya ada yang mencapai ±50 meter. Apabila dipetakan dalam fungsional lahan adalah; 7 Hektar untuk lahan pekarangan, 52,5 hektar untuk lahan usaha, 21 hektar untuk fasilitas umum, dan 38 Hektar untuk lahan cadangan.
4.4 Aksesibilitas Wilayah UPT Cimanggu II terletak sangat jauh dari pusat kota Kabupaten Sukabumi. Jarak yang harus ditempuh untuk dapat sampai ke lokasi UPT ini adalah; 24 kilometer dari Kecamatan Lengkong dan 72 kilometer dari Ibukota Kabupaten, yang apabila dikonversikan kedalam waktu maka perjalanan memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga jam, apabila kita bertolak dari pusat kota Kabupaten Sukabumi. Apabila kita bertolak dari terminal Baranang Siang Bogor, maka kendaraan yang disarankan adalah Colt mini bus atau bus MGI dengan rute Bogor-Jampang Via Surade. Jalan yang dilalui adalah jalan aspal, hanya pada saat akan memasuki lokasi UPT jalan yang ada hanya jalan biasa, bukan aspal dan bahkan cenderung ke jalan batu yang masih kasar dan sulit untuk dilalui baik untuk kendaraan roda empat maupun roda dua. Namun meskipun demikian warga transmigran masih bisa memanfaatkan sarana transportasi. Sarana transportasi yang digunakan warga transmigran adalah jenis kendaraan roda dua dan itu juga setelah mengalami pemodifikasian ban, yaitu dengan memasangkan rantai besi ukuran kecil pada ban dengan tujuan agar jalan yang dilalui tidak licin. Pemodifikasian alat transportasi ini memang sudah menjadi sarat agar alat
40
transportasi dapat dimanfaatkan mengingat kondisi jalankurang memungkinkan untuk dilakui oleh kendaraan bermotor. 4.5 Lapangan Pekerjaan Warga transmigran merupakan petani semi-subsisten, yang berarti warga mengkonsumsi hasil pertanian yang diusahakannya serta menjual sebagian hasil taninya di pasar. Komoditas yang biasa ditanam di lokasi UPT Cimanggu II diantaranya; padi gogo, kacang panjang, buncis, bawang daun, cabe merah, ketela pohon, ubi jalar, salak, jagung, dan pisang. Dalam sektor peternakan, warga transmigran sudah mampu beternak ayam dan domba yang diberikan oleh Pemda Kabupaten Sukabumi sebagai salah satu upaya dalam pemberdayaan warga transmigran dalam sektor peternakan dan pertanian. Kegiatan sehari-hari warga transmigran adalah bertani. Kegiatan ini dipandang sangat sarat dengan kehidupan warga. Hal ini dikarenakan warga hanya dapat bekerja pada sektor pertanian saja. Kalau pun ada pada sektor perdagangan itu juga dilakukan pada waktu pasca panen. Pada saat inilah warga yang hasil panennya melimpah menjual hasil panennya tersebut ke pada tengkulak dikarenakan akses pada pasar tradisional dapat dikatakan relatif sulit.
4.6 Kependudukan Penduduk atau warga transmigran yang ada di UPT Cimanggu II secara keseluruhan merupakan warga asli Kabupaten Sukabumi. Yang menjadi transmigran tidak semuanya sebagai pemula atau baru pertama kali menjadi transmigran, namun ada juga yang merupakan eksodan (exsodus) dari lokasi
41
transmigrasi lain misalnya eksodan dari UPT yang ada di Pulau Sulawesi. Namun dengan alasan ketidaknyamanan akan keamanan di UPT tersebut maka eksodan ini mengikuti kembali program transmigrasi lokal yang diselenggarakan di Kabupaten Sukabumi. UPT Cimanggu II merupakan UPT yang memiliki jumlah transmigran yang lebih sedikit apabila dibanding dengan UPT-UPT lain. Namun demikian, dengan jumlah yang relaif lebih sedikit tersebut tidaklah manjadikan UPT Cimanggu II berada pada kondisi kekurangan tenaga kerja khususnya dalam hal pertanian. Jumlah warga transmigran yang relatif lebih sedikit tersebut merupakan jumlah yang dapat memudahkan dalam proses penyampain dan pelaksanaan pendampingan untuk pengembangan sumberdaya manusia. Jumlah transmigran UPT-UPT di Kabupaten Sukabumi dapat dilihat di tabel berikut: Gambar 2. Perbandingan Jumlah Warga Transmigran UPT, KabupatenSukabumi, 2005 (dalam jiwa) UPT Balewer UPT Cikopeng UPT Cimanggu II UPT Gunung Gedogan
Eksodan Sekarang
UPT Puncak Gembor
Transmigran Sekarang Eksodan Awal
UPT Cikarang
Transmigran awal 0
500
Sumber: Laporan UPT (2005)
1000
1500
42
UPT Cimanggu II merupakan UPT yang dijadikan acuan bagi UPT-UPT lain di Kabupaten Sukabumi khususnya dalam bidang peningkatan produksi pertanian. Dengan jumlah warga transmigran yang relatif lebih sedikit dibanding UPT lain, UPT Cimanggu II lebih cepat berkembang. Menurut Af, petugas lapangan UPT Cimanggu II, dengan jumlah yang relatif sedikit maka dalam hal pengontrolan dan penggerakan semangat warga transmigran dapat dikatakan relatif lebih mudah. “secara logis, lebih sedikit orang ya sudah barang tentu lebih mudah diatur. Warga tidak berani bandel. Tapi justru malah ngerasa membutuhkan bimbingan dan dorongan dari pihak pemerintah, yang dalam hal ini sebagai pengucur dana dan pembentuk program.(Af.Petugas lapangan, 2007)”
Dengan jumlah warga transmigran yang relatif lebih sedikit tersebut, maka dalam hal pengkoordinasian antar warga juga relatif tidak terlalu sulit untuk dilakukan bahkan hanya oleh seorang petugas lapangan. Penyampaian informasi sejauh ini tidak mengalami kendala. Penyampaian informasi hanya dengan penyampaian dari mulut ke mulut dan itu pun tidak memakan waktu yang lama. Dengan demikian, maka pengupayaan untuk mengembangkan UPT dapat lebih mudah.
4.7 Pendidikan Warga transmigran UPT Cimanggu II merupakan contoh warga yang tidak mengenyam pendidikan sekolah dengan jenjang pendidikan yang tinggi, yang dapat mengenyam pendidikan di sekolah hanyalah beberapa orang saja. Tingkat pendidikan terakhir warga transmigran di UPT Cimanggu II adalah lulusan SD
43
(sekolah dasar). Sebagai gambaran tingkat pendidikan yang ada di UPT Cimanggu II dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2. Persentase Jumlah Warga Transmigran yang Pernah Sekolah Jenjang SD SMP SMU/Kejuruan
Laki-laki 90 2 Total
Perempuan
Jumlah (jiwa)
92 1 -
182 3 185
Persentase (%) 58,1 0,9 59
Keterangan: Persentase (%) diperoleh dari : jumlah warga yang pernah sekolah dibagi dengan jumlah warga transmigran (313 jiwa) Sumber: Laporan UPT (2005)
Pada tabel tersebut dapat dilihat bawah jumlah warga transmigran yang pernah sekolah hanya sebanyak 185 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah warga yang 313 orang, maka hanya sebesar 59 persen saja warga transmigran yang pernah menerima pendidikan formal di sekolah. 4.8 Kelembagaan Sosial Unit pemukiman transmigrasi (UPT)
Cimanggu II merupakan satu-
satunya UPT yang dinilai sebagai UPT teladan. Dari sekian UPT yang ada di Kabupaten Sukabumi, UPT Cimanggu II telah memiliki berbagai kemajuan, misalnya dalam hal kelembagaan sosial. Yang paling menonjol di masyarakat adalah kelompok kerohanian. Masyarakat transmigran yang secara keseluruhan adalah masyarakat yang beragama islam sering mengadakan acara pengajian sore. Pengajian yang diadakan merupakan pengajian yang rutin tiap hari jumat untuk wanita dan sabtu sore untuk laki-laki. Sedangkan sore hari-hari lainnya digunakan oleh anak-anak untuk pengajian belajar iqro.
44
4.9 Sumberdaya lahan Luas tanah seluruh indonesia sekitar 192 juta hektar. Kondisi iklim tropis memungkinkan untuk membudidayakan sebagian besar tanah di Indoensia untuk usaha pertanian. Jumlah penduduk pada saat ini telah mencapai 210 juta jiwa, sekitar 110 juta (52%) bertempat tinggal di Pulau jawa yang luasnya hanya 13.3 juta hektar atau 7 persen dari luas daratan Indonesia. Pulau jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya memiliki keunggulan dalam kesuburan tanahnya. Sumber-sumber agraria merupakan faktor penting dalam pembangunan pertanian. Kaitannya dengan lahan, masyarakat transmigran di UPT Cimanggu II merupakan masyarakat yang secara umum merupakan masyarakat semi subsisten sebagian besar adalah petani yang sudah bisa mengolah hasil tani dan menjualnya ke pasar. Dalam hal ini keterkaitan atau bahkan keterikatan warga transmigran dengan sumberdaya lahan sangatlah kuat. “ Kebanyakan dari warga Cimanggu hanya berharap pada kualitas lahan. Hal ini dikarenakan warga Cimanggu saat ini hanya bisa menanam dan mengkonsumsi saja. Ada sih yang sudah bisa mengolahnya menjadi makanan yang bisa dijual di pasaran, misalanya dari hasil tanaman pisang dapat dibikin jadi keripik pisang atau seperti singkong jadi keripik singkong, seperti itu. (Af.Petugas lapangan, 2007).”
Menurut Af, yang mana beliau sebagai petugas lapangan di UPT Cimanggu II, keterikatan warga terhadap lahan merupakan suatu hal yang wajar. Warga transmigran datang dengan tidak membawa apa-apa. Kalaupun datang dengan membawa keahlian, itupun hanya merupakan keahlian yang cenderung “subsisten”. Hal ini dapat dilihat industri rumah tangga yang ada hanya pembuatan anyaman bambu saja. Informasi tersebut menyiratkan bahwa warga transmigran, kalau tidak berusaha memanfaatkan lahan yang ada, maka mereka
45
akan sulit untuk dapat bertahan di lokasi UPT karena akses ke pasar tradisional sangatlah jauh, kurang lebih sekitar 10 kilometer dan itupun warga harus melewati jalan yang berbukit. Kaitannya dengan pemanfaatan lahan, luas lahan yang dialokasikan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan warga secara total mencapai 7 hektar untuk lahan pekarangan dan 52 hektar atau 0,75 hektar per KK untuk kepentingan usaha tani ladang. Usaha tani ladang yang ada di UPT Cimanggu II diantaranya usaha tani tanaman cabe merah, bawang daun, singkong, salak, kacang panjang, dan berbagai tanaman bumbu lainnya. 4.10 Sarana Rumah Warga Keberhasilan suatu UPT dalam mencapai target kesejahteraan diantaranya adalah adanya sarana lokasi fisik yang dipandang layak untuk dimanfaatkan sebagai wilayah pemukiman. Sarana lokasi fisik yang dimaksud disini adalah alat, baik benda maupun bangunan gedung yang dipadang memberikan manfaat secara fungsional. Sarana fisik yang ada di UPT Cimanggu II diantaranya adalah; rumah hunian, jalan umum, jaringan listrik, sarana ibadah (mesjid), kantor petugas lapangan, saluran irigasi, bangunan koperasi, dan balai riung. Keadaan sarana tersebut tidaklah sama dengan keadaan sarana yang ada di kota maupun di desadesa yang sudah lama dihuni. Lingkungan adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, makhluk hidup, serta prilaku dari makhluk hidup yang menempatinya. Manusia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kualitas lingkungan tempat ia tinggal. Manakala kualitas hidup di suatu tempat adalah tinggi, maka kualitas lingkungan tempat hidup pun haruslah tinggi. Kaitannya dengan sarana fisik tersebut, keadaan rumah hunian bagi warga transmigran, apabila dibandingkan dengan fasilitas yang
46
ada di kota atau desa-desa lainnya yang bukan merupaka kawasan wilayah UPT, memang sarana yang ada di UPT Cimanggu II belum merupakan suatu lokasi pemukiman yang terkesan nyaman. Namun, apabila ditelaah lebih, keadaan yang serba “hanya cukup” tersebut ternyata dapat membuat warga transmigran merasa nyaman dengan kondisi yang demikian. Hal ini bisa dilihat dengan tidak berkurangnya jumlah warga transmigran yang ada dan justru malah bertambah dari yang pada penempatan awal adalah 297 jiwa manjadi 313 jiwa. Ini menandakan bahwa dari sarana lokasi bisa dinilai dapat memberikan kenyamanan bagi warga transmigran dan dapat dipandang layak untuk dijadikan pemukiman warga. Selain dapat dilihat dari kenaikan jumlah warga trasmigran, juga dapat dilihat dari adanya beberapa warga yang telah berhasli membangun rumahnya dengan menggunakan biaya sendiri sebagai hasil dari usahanya sendiri meski rumah tersebut berdindingkan kayu jati. Apabila dilihat kebelakang, waktu awal penempatan, rumah hunian warga transmigran hanya merupakan rumah yang mana dinding rumah tersebut berdinding anyaman bambu, bilik, dengan beratapkan asbes saja. Apabila dibagi menjadi tingkatan kategori, maka kondisi rumah hunian warga transmigarn dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu kondisi baik, kondisi kurang baik, dan kondisi rusak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3.
47
Tabel 3. Kategori Rumah Warga Transmigran Kategori¹ Kondisi Baik
Jumlah Unit Rumah 22
Persentase (%)² 17,14
Kondisi Cukup Baik Kondisi Rusak Jumlah
49 8 79
70 12,85 100
Keterangan: 1. Pengkategorian didasarkan pada penilaian fisik bangunan dan fungsi bagian struktur bangunan. 2. Persentase (%) diperoleh dari jumlah unit rumah terkategori dibagi dengan keseluruhan jumlah unit yang ada di UPT (79 unit)
4.11 Sarana Tempat Ibadah Selain sarana bangunan rumah, sarana lainnya misalanya adalah bangunan tempat ibadah. Mesjid yang hanya berukuran 10 meter x 9 meter ini, selain untuk beribadah shalat, juga digunakan untuk tempat pengajian rutin warga transmigran. Mesjid ini dibangun bersamaan dengan dibangunnya rumah warga pada awal penempatan. Mesjid ini di urus oleh seorang pengurus mesjid dan dua orang ustad. Bangunan mesjid ini awalnya hanya berdinding anyaman bambu, tapi dengan semangat warga yang peduli akan rumah peribadatan, maka mesjid ini bangun ulang dengan dinding dari tembok semen.
4.12 Sarana Pendidikan Sarana pendidikan disini adalah bangunan yang digunakan untuk melakukan kegiatan belajar-mengajar. Di UPT Cimanggu II bangunan sebagai sarana pendidikan belum ada, kalaupun ada itu juga terdapat di luar UPT Cimanggu II, yaitu di kecamatan Lengkong
(SMP dan SMA) dan di Desa
Langkapjaya (SD). Jumlah siswa yang bersekolah hanya 30 orang dan itupun
48
hanya pada jenjang sekolah dasar saja. Untuk anak yang sekolah pada jenjang sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, di UPT Cimanggu II belum ada. Hal ini dikarenakan belum adanya anak umurnya cukup untuk mengenyam pendidikan di jenjang yang lebih tinggi selain sekolah dasar. Jumlah anak yang umurnya dalam masa sekolah yang ada adalah 33 orang sedangkan yang bersekolah hanya 30 orang. Jadi yang apabila dipersentasekan hanya 90,9 persen saja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4. Jumlah Siswa yang Sekolah di UPT Cimanggu II Jenjang Sekolah¹ SD
Kelas
Jumlah Anak yang Sekolah
Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4 Kelas 5 Kelas 6
5 5 3 5 4 8 30
Jumlah
Persentase (%)² 15 15 9 15 13 24 90,9
Keterangan: 1. Jenjang sekolah yang diikuti hanya SD saja dikarenakan belum adanya anak yang cukup umur untuk belajar pada jenjang pendidikan diatas SD. 2. Persentase (%) diperoleh dari jumlah jumlah anak yang sekolah dibagi dengan jumlah anak pada usia sekolah (33 orang)
4.13 Sarana jaringan Listrik Listrik merupakan salah satu kebutuhan warga transmigran khususnya untuk penerangan lokasi UPT. Selain dimanfaatkan untuk penerangan, sarana jaringan listrik juga dimanfaatkan untuk menghidupkan barang-barang elektronik dan berbagai alat komunikasi misalnya radio dan televisi. Jaringan listrik pada awal penempatan belumlah ada, baru akan ada pada bulan Desember 2007. Itupun juga hanya pada tahap pembangunan dan penanaman tiang-tiang listrik, belum dapat dimanfaatkan untuk penerangan. Kalaupun ada penerangan, itu pun hanya
49
menggunakan genset solar, bukan merupakan penerangan dari jaringan listrik PLN. Untuk menyalurkan listrik dari gardu listrik yang ada di dekat Kecamatan Lengkong, pihak PLN dan pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi menanam tiang listrik sebanyak 32 tiang. Banyaknya tiang yang digunakan dikarenakan jarak dari gardu ke lokasi UPT terbilang jauh dengan kontur tanah yang berbukit dan bergelombang sehingga diperlukan jumlah tiang listrik yang relatif banyak. 4.14 Sarana Air Bersih Pembangunan lokasi UPT sangatlah sarat dengan air bersih sebagai sanitasi warga transmigran. Untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih, Pemerintah Kabupaten Sukabumi, khususnya di UPT Cimanggu II, telah membangun 15 fasilitas air bersih untuk warga. 15 titik fasilitas air bersih ini bersumber dari mata air yang ada di atas bukit Cimanggu. Dengan menggunakan selang dan pipa plastik, air dari bukit Cimanggu tersebut dialirkan ke 15 titik fasilitas air bersih atau dalam bahasa setempat disebut tampian. Tampian ini digunakan warga untuk mandi dan mengambil air. Tampian yang hanya memiliki 5 buah keran tersebut benar-benar dimanfaatkan warga. Meski telah dibangun sarana air bersih bagi warga transmigran, namun ternyata ada beberapa warga yang dengan inisiatifnya sendiri, membeli selang sendiri, dan kemudian menyalurkannya ke rumahnya sendiri. Ide tersebut cukup memotifasi warga lainnya untuk segera memiliki sarana air bersih sendiri, bukan lagi di tempat sarana air bersih umum. Dari 79 KK, terhitung 64 KK telah memiliki sarana air bersih di rumahnya sendiri.
50
4.15 Sarana Transportasi dan Jalan Sarana yang dimaksud adalah fisik jalan serta alat transportasi yang menggunakannya. Jalan yang dimaksud adalah jalan yang digunakan sebagai jalan umum yang dimanfaatkan warga transmigran untuk mobilisasi keluar dari UPT Cimanggu II. Jalan ini di kategorikan menjadi tiga jalan; jalan penghubung, jalan poros, dan jalan desa. Berdasarkan keterangan yang didapat dari petugas lapangan, jalan penghubung adalah jalan yang menghubungkan antara UPT Cimanggu II dengan desa-desa sekitarnya. Jalan poros adalah jalan yang digunakan warga didalam lingkungan UPT Cimanggu II. Sedangkan jalan desa adalah jalan yang menuju ke Kantor Kepala Desa Langkapjaya. Jalan yang ada pada umumnya masih merupakan jalan tanah biasa. Kalaupun jalan yang bukan tanah itu juga hanya jalan yang dilapisi dengan batu kecil, koral, agar jalan yang digunakan tidak licin pada waktu hujan dan setelah hujan. Upaya untuk meningkatkan sarana jalan umum, pemerintah Kabupaten Sukabumi saat ini tengah melaksanakan proses pembangunan merataan jalan dan pengaspalan jalan. Perataan jalan dan pengaspalan jalan ini dilakukan agar aktifitas warga dalam hal akses ke luar UPT dapat dilakukan dengan lancar. Dari data yang didapat di kantor Disnakertrans Kabupaten Sukabumi, besarnya dana untuk membiayai pembangunan jalan ini murni dari anggaran APBN yaitu sebesar tiga milyar rupiah. Pembiayaan yang cukup besar ini tidak hanya melibatkan antara pemerintah dengan kontraktor saja, tetapi juga partisipasi aktif warga transmigran juga diperlukan agar proses pembangunan jalan ini dapat dinikmati hasilnya
sesegera
mungkin.
Dengan
dibangunnya
fasilitas
jalan
juga
51
memungkinkan warga dapat melakukan akses keluar lokasi dengan mudah kaitannya dengan pemasaran hasil usaha tani dan peningkatan pendapatan.
BAB V EVALUASI PENGEMBANGAN UNIT PEMUKIMAN TRANSMIGRASI CIMANGGU II
Program Transmigrasi lokal yang tengah dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi perlu adanya pengevaluasian. Evaluasi yang dilakukan merupakan evaluasi formatif dan dilakukan pada waktu program masih berlangsung (on-going evaluation) dengan menggunakan pendekatan yang berorientasi pada pencapaian tujuan. Evaluasi ini mengandung informasi mengenai sejauh mana perkembangan program translok yang tengah dijalankan. Selain itu juga memungkinkan ditemukannya berbagai permasalahan atau kendala dalam upaya pencapaian tujuan program yaitu peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan warga transmigran yang kemudian dapat membentuk jiwa warga transmigran mandiri. Dengan ditemukannya berbagai permasalahan atau kendala, diharapakan kedepannya permasalahan atau kendala yang ada dapat diatasi demi perkembangan dan peningkatan kualitas hidup warga transmigran. Dalam mengevaluasi, terdapat beberapa pokok bahasan yang dipandang perlu untuk dievaluasi yaitu diantaranya adalah pendampingan, sosial kemasyarakatan, pendapatan,
keamanan,
kesehatan,
penanaman
komoditas
unggul,
dan
kesejahteraan warga transmigran. Alur pengevaluasian dimulai dari input, program, output, effect, dan impact. Input adalah keseluruhan sumberdaya yang dipakai oleh program, yang mana pada penelitian ini adalah seluruh warga transmigran yang ada di UPT
53
Cimanggu II. Program yang dijalankan adalah program transmigrasi lokal sebagai usaha Pemerintah Kabupaten Sukabumi untuk meningkatkan kesejahteraan warganya. Output yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari program translok tersebut misalnya terbentuknya kelompok tani, kelompok kerja tani, dan lain-lain. Efek atau pengaruh langsung merupakan hasil yang diperoleh dari penggunaan output program misalnya adanya peningkatan produksi pertanian atau hasil panen. Impact atau dampak ialah hasil yang diperoleh dari effect program misalnya adanya peningkatan kesejahteraan dan kemandirian warga transmigran. 5.1 Pendampingan di UPT Mosher
(1968)
mendefinisikan
pendampingan
sebagai
aktivitas
pendidikan orang dewasa diluar bangku sekolah, dimana fungsi lembaga tidak hanya sekedar menyampaikan hasil-hasil penelitian pertanian kepada petani akan tetapi lebih dari itu yakni menyadar-kan petani tentang adanya alternatif-alternatif metode-metode lain untuk menyelenggarakan usahatani mereka. Dalam rangka membangun pertanian tangguh maka para pelaku pembangunan pertanian perlu memiliki kemampuan dalam memanfaatkan segala sumberdaya secara optimal dan senantiasa tanggap akan perubahan yang terjadi dengan kualifikasi dan spesifikasi tertentu. Penyuluh pertanian sebagai petugas fungsional dalam melaksanakan pekerjaannya tidak terlepas dari dua jenis tugas yaitu : tugas mandiri (tugas pokok) dan tugas limpahan (pekerjaan berdasarkan limpahan pekerjaan organisasi tempat fungsional tersebut berada). Tugas pokok penyuluh pertanian
adalah
melakukan
kegiatan
pendampingan
pertanian
untuk
mengembangkan kemampuan petani dalam menguasai, memanfaatkan, dan
54
menerapkan teknologi baru sehingga petani mampu bertani lebih baik, berusahatani lebih menguntungkan, serta membina kehidupan keluarga yang lebih sejahtera. Pengupayaan pengembangan lokasi UPT Cimanggu II dilakukan melalui pendampingan. Pendampingan dijadikan sebagai ujung tombak pengembangan. Penyampaian informasi, baik mengenai inovasi maupun dana bantuan, dilakukan pada saat berlangsungnya proses pendampingan. Penyuluh benar-benar sangat diharapkan keakifannya dalam rangka membangun sumberdaya manusia warga transmigran di UPT Cimanggu II. Pendampingan yang sering dilakukan diantaranya adalah pendampingan mengenai pemeliharaan tanaman pertanian, kesehatan, usaha tani, dan pendidikan. Pendampingan pertanian di UPT Cimanggu II dilakukan dua kali dalam satu bulan dan bisa lebih sering dari itu. Pendampingan yang diadakan biasanya berlangsung di Balai Riung UPT. Balai Riung ini diangap sebagai tempat atau sarana umum yang digunakan untuk kepentingan pertemuan kaitannya dengan kepentingan warga transmigran. Balai Riung ini merupakan bangunan yang ber ukuran 10 meter x 8 meter dengan atap dari genteng dan tanpa dinding, yang ada hanyalah penadah angin yang disebut kre bambu saja. Proses pemberitahuan bahwa akan diadakannya pendampingan biasanya dilakukan melalui sistem komunikasi dua langkah. Misalnya pada tahap pertama seorang petugas lapangan memberitahukan acara pendampingan pada Ketua Rukun Tetangga (RT) lalu kemudian Ketua RT inilah yang memberitahukan bahwa akan diadakan acaca pendampingan kepada warga transmigran di UPT Cimanggu II.
55
“biasanya pendampingan yang akan diadakan suka dikabarkan dulu pada RT. Lalu kemudian RT inilah yang nyebarin kabar kepada warga. Memang sih pendampingan yang diadakan disini tidak tentu, tapi biasanya pendampingan dilakukan sekitar dua minggu sekali.(Af. Petugas lapangan, 2007)” Pendampingan yang dilakukan di UPT Cimanggu II sangatlah penting kaitannya dengan pencapaian kesejahteraan warga transmigran. Dari hasil pengolahan data, keeratan hubungan antara pendidikan dan pendampingan dengan tingkat kesejahteraan warga mencapai tingkat keeratan yang sangat kuat. Hal ini dapat dimengerti karena dengan adanya pendidikan pendampingan, maka warga yang diasumsikan datang dengan “tidak memiliki bekal” kemampuan dan kapasitas sumberdaya untuk mandiri dididik dan diberi pengarahan tentang bagaimana proses-proses baik bertani atau berpola kehidupan yang sehat. Berdasarkan hasil pengolahan data, pengkategorian warga berdasarkan tingkat memandang penting-tidaknya dilakukan pendampingan dapat dilihat pada tabel berikut; Tabel 5. Pengkategorian Warga Terhadap Penting-tidaknya Pendampingan No. 1 2 3
Pengkategorian¹ Tidak memandang penting Memandang penting Memandang sangat penting Jumlah warga
Jumlah warga² 5 9 16 30
Persentase (%)³ 16,7 30.0 53.3 100
Keterangan: 1. Pengkategorian dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal yaitu, kehadiran dalam acara pendampingan, kebutuhan warga akan informasi inovasi, juga orientasi warga terhadap pendampingan. 2. Jumlah warga disini merupakan sampel yang terkategori. 3. Persentase (%) diperoleh dari jumlah warga terkategori dibagi dengan jumlah sampel penelitian (30 orang).
Dari data diatas, dapat dilihat bahwa dalam memahami arti pentingnya pendampingan masih terdapat warga sebanyak 5 orang yang memandang bahwa
56
pendampingan yang dilakukan di UPT Cimanggu II tidaklah penting, 9 orang memandang penting, dan 16 orang memandang sangat penting.. Memang terkadang tidak menutup kemungkinan isi dari pendampingan yang disampaikan merupakan ilmu yang telah dikuasai oleh warga. Misalnya dalam pendampingan mengenai bagaimana menanam padi huma atau gogo, diantaranya warga transmigran telah menguasai teknik penanaman. Maka jumlah 5 orang yang memandang tidak penting tersebut sangat mungkin ada. Tabel 5 menunjukan bahwa warga transmigran memang memandang pendidikan sebagai suatu hal yang sangat penting. Arti pendidikan yang sangat penting disini bukan pada jenjang pendidikan misalnya dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, tapi pada pendidikan kaitannya dengan pendampingan. Warga masih menganggap pendidikan sekolah belum bisa dimanfaatkan secara nyata untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak. Maka dari itu pendidikan pendampinganlah yang lebih di utamakan, terutama oleh warga yang sudah dewasa yang dianggap produktif dalam usaha dan bertani. Dengan pandangan yang demikian, maka menjadikan warga kurang dalam memerintahkan anaknya untuk bersekolah dan terkesan acuh tak acuh dalam pendidikan sekolah. Menurut petugas lapangan UPT Cimanggu II, warga UPT Cimanggu ada juga yang memandang pendidikan sekolah itu penting tapi hanya beberapa orang saja. “Sebenarnya ada juga sebagian warga yang nyuruh anaknya untuk sekolah, tapi kebanyakan warga cuek dengan pendidikan sekolah. Wajar sih, soalnya dilihat dari penggunaan ilmu pendidikan sekolah dengan pendidikan pendampingan, warga lebih menginginkan pendidikan pendampingan yang bisa diterapkan secara langsung dan nyata, tidak seperti pendidikan sekolah yang butuh bertahun-tahun baru bisa diterapkan.(En.Warga transmigran,2007)”
57
Anggapan “memandang sebelah mata” pendidikan sekolah kerap ada di tiap UPT di Kabupaten Sukabumi. Warga transmigran lebih memilih pengetahuan secara teknis dibanding dengan pengetahuan secara akademis. Hal ini memberikan penilaian kepada warga transmigran sebagai warga dengan sumberdaya manusia yang masih rendah, yang belum mengerti akan pentingnya ilmu pengetahuan yang didapat dari sekolah.
5.2 Kelembagaan Sosial Sistem kelembagaan dalam konteks UPT Cimanggu II diartikan sebagai sistem yang berlaku dikalangan warga transmigran. Warga transmigran, kaitannya dengan sistem nilai budaya orang Indonesia, mengandung empat konsep (Koentjaraningrat, 2004). Empat konsep tersebut diantaranya; manusia tidak hidup sendiri, bergantung pada orang lain, memelihara hubungan baik, dan berbuat sama dengan sesamanya dalam suatu komunitas. Merujuk pada empat konsep tersebut, dalam proses pengembangan UPT diperlukan adanya keeratan warga (ke-solid-an) sebagai komunitas transmigran dan juga komunitas petani yang mana keeratan warga ini dimaksudkan agar pada proses pembangunan dan pengembangan UPT dapat dilakukan secara bersamasama untuk kepentingan bersama. Meski umur UPT Cimanggu II telah meninjak umur yang ke-7, tapi ternyata dalam proses mempersatukan warga untuk proses pengembangan dan pembangunan UPT tidaklah semudah yang diperkirakan. Diantaranya masih saja ada warga yang masih bersikap kurang mau bekerjasama atau berbuat sama dengan warga lain. Untuk lebih jelasanya dapat dilihat pada Tabel 6.
58
Tabel 6. Tingkat Kesolidan Warga Transmigran UPT Cimanggu II No. 1 2 3
Pengkategorian¹ Tidak Solid Kurang Solid Solid Jumlah Warga
Jumlah Warga² 17 13 30
Persentase (%)³ 56.7 43.3 100.0
Keterangan: 1. Pengkategorian dilakukan dengan memperhatikan intensitas keikutsertaan warga pada acara-acara yang ada di UPT. Selain itu, diperhatikan juga intensitas komunikasi warga dengan warga lain. 2. Jumlah warga disini merupakan sampel yang terkategori. 3. Persentase (%) diperoleh dari jumlah warga terkategori dibagi dengan jumlah sampel penelitian (30 orang).
Berdasarkan tabel 6, dapat dilihat bahwa di UPT Cimanggu II tingkat kesolidan warga dengan warga lainnya perlu dibina dan diarahkan. Hal ini berkenaan
dengan
proses
meningkatan
pengembangan
UPT.
Proses
pengembangan UPT ini sangatlah memerlukan warga yang solid, yang merasa satu bagian untuk semuanya, sehingga dalam upaya pengembangan dan peningkatan kesejahteraan dapat dinikmati secara bersama-sama. Pengkategorian yang dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal yaitu keikutsertaan warga pada berbagai acara di UPT misalnya, acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, kerja bakti pembabatan rumput dijalan poros Desa, kerja bakti perataan jalan dengan batu kerikil, kepedulian warga dengan tetangganya, dan intensitas komunikasi dengan warga lain. Peningkatan kesejahteraan dan perkembangan UPT ini akan sulit apabila diantara warga transmigran masih ada yang memandang bahwa “dirinya adalah untuk dirinya”. Berdasarkan data tabel 7, warga yang memiliki rasa persatuan
59
hanyalah sekitar 43,3 persen saja. Berarti masih sekitar 56,7 persen warga lainnya yang masih memadang remeh akan arti solidaritas kaitannya dengan pengembangan
UPT dan
peningkatan
kesejahteraan
secara menyeluruh
dikalangan warga transmigran.
5.3 Penanaman Komoditas Unggulan Program transmigrasi erat kaitannya dengan pembangunan wilayah penyelenggara transmigrasi itu sendiri (Tjiptoherijanto, 1986). sehingga dengan kata lain dapat dikatakan transmigrasi merupakan bagian integral dari suatu pembangunan daerah. Dengan demikian juga perlu adanya usaha pengikatan transmigrasi dengan perekonomian daerah yang pada dasarnya ditujukan pada agro development. Agro development ini berbentuk pertanian campuran (mixed farming) yaitu pertanian bahan makanan, hasil yang bisa diperdagangkan, serta bentuk-bentuk peternakan. Merujuk pada agro development, para transmigran dalam proses pengembangan UPT Cimanggu II, kaitannya dengan pola pencukupan kebutuhan rumah tangga, mereka dianjurkan menanam tanaman yang dianggap dapat mencukupi kebutuhan dan merupakan tanaman unggulan UPT. Meski dengan sarana pertanian yang seadanya, dengan menggunakan cangkul, parang, dan kored, para transmigran senantiasa menanam tanaman yang dianjurkan. Kalaupun ada bantuan juga yaitu satu buah traktor yang dalam penggunaannya tidak semua warga dapat mengoperasikannya. Penggunaan traktor tersebut masih belum maksimal, dalam artian tidak semua warga dapat memanfaatkan traktor. Ada beberapa arga yang justru lebih memilih menggunakan alat tradisional, cangku,
60
untuk membajak lahan garapan mereka. Penggunaan alat pertanian tradisional ini bukanlah suatu masalah bagi sebagian warga, dikarenakan keahlian warga dalam menggunakan traktor belum begitu menguasai. Tanaman yang dianjurkan untuk dikembangkan adalah; cabe kriting, kacang tanah, salak pondoh, kacang bogor, kacang kedelai, kacang panjang, padi gogo, jagung, cabe merah, panili, dan kapol laga. Berikut tabel tingkat produktifitas UPT pada sektor pertanian khususnya jenis tanaman komoditas yang dianggap unggulan warga transmigran: Gambar 3. Perbandingan Produktifitas Tanaman Unggulan, UPT Cimanggu II (2003 dan 2005)
45 40 35 30 25 20 15
Luas Tanam (Ha) Tahun 2003 Produksi (Ton) Tahun 2003
10 5 0
Sumber : Laporan UPT (2005)
Luas Tanam (Ha) Tahun 2005 Produksi (Ton) Tahun 2005
61
Selain tanaman yang diunggulkan juga terdapat tanaman perkebunan dan tanaman buah-buahan. Tanaman buah tersebut misalnya, salak pondoh, jambu air, durian, rambutan, dan mangga jenis harum manis. Penanaman komoditas unggulan diatas ternyata memiliki kontribusi yang besar dalam peningkatan pendapatan warga transmigran. Beberapa warga transmigran sangat berharap pada beberapa jenis tanaman tersebut. Tanaman yang dimaksud adalah padi, kacang tanah, cabe rawit,bawang daun, dan jagung. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan produksi pertanian pada tanamna tersebut.
5.4 Kemandirian Sumodiningrat (1999) mengemukakan tiga kategori mandiri yaitu kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Kemandirian material merupakan kemampuan produktif guna memenuhi kebutuhan dasar pada waktu krisis. Kemandirian intelektual merupakan pembentukan dasar pengetahuan yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi dari pihak luar. Kemandirian manajemen merupakan kemampuan untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif. Warga transmigran, apabila dipandang dari segi komunitas, mereka merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki pekerjaan sebagai petani. Dengan adanya pendampingan maka warga transmigran diberi pendidikan dan pendampingan
agar
kapabilitasnya
dapat
bertambah
dan
berkembang.
Peningkatan kapabilitas inilah yang diharapkan agar warga dapat melakukan segala aktifitas dan pemenuhan kebutuhannya dilakukan dengan kemampuan
62
sendiri. Dari data yang didapat melalui observasi, tingkat kemandirian warga, 77 persen warga telah dikatakan mandiri dan sebesar 23 persen dikatakan kurang mandiri. Kemandirian materil tercermin pada penimbunan bahan makanan pokok untuk mengantisipasi datangnya paceklik. Warga biasa menimbun bahan makanan pokok tersebut didalam satu kamar yang biasa disebut goah. Tidak hanya bahan makanan pokok, bibit tanaman untuk masa panen yang akan datang juga disimpan dalam ruangan tersebut. Bibit tanaman yang biasa disimpan diantaranya bibit tanaman kacang tanah dan jagung. Kemandirian intelekual warga tercermin dalam tawar-menawar harga jual komoditas pada tengkulak. Hal ini juga mencerminkan warga yang tidak mau dicurangi pada waktu transaksi jual-beli komoditas pertanian. Kemandirian manajemen dapat dilihat dari adanya warga yang bersedia untuk menjadi Ketua RT, sebagai pengurus hand tracktor ,serta nersedia untuk jadi pengelola pabrik penggilingan padi. Jiwa mandiri yang tumbuh dikalangan warga transmigran diantaranya dapat dilihat dari upaya pengembangan lingkungan rumah tinggal, misalnya dalam hal pengembangan rumah hunian dan halaman rumah. Selain itu juga dalam hal pengadaan barang kebutuhan rumah tangga seperti pengadaan kompor minyak, lemari, kursi, dan barang-barang rumah tangga lainnya yang pada penempatan awal tidak diberikan. Tingkat kemandirian warga transmigran dapat dikategorikan menjadi warga yang tidak mandiri, kurang mandiri, dan mandiri. Pengukuran kemandirian dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang berkaitan
dengan
tiga
kategori
kemandirian
yang
dikemukakan
oleh
Sumodiningrat (1999). Pengkategorian kemandirian warga transmigran tersebut dapat dilihat pada Tabel 7.
63
Tabel 7. Pengkategorian Kemandirian Warga Transmigran No. 1. 2. 3.
PengkategorianKemandirian warga¹ Tidak mandiri Kurang mandiri Mandiri Jumlah warga
Jumlah Orang² 7 23 30
Persentase (%)³ 23 76,7 100
Keterangan: 1. Tingkat kemandirian diukur berdasarkan minimnya harapan bantuan dari pihak luar, keinginan warga untuk membuka lapangan usaha sendiri, keinginan warga untuk menjadi pemelihara dan pengelola sarana umum (hand tracktor, pabrik penggilingan padi, dan sebagainya). 2. Jumlah orang disini merupakan sampel yang terkategori. 3. Persentase (%) diperoleh dari jumlah orang yang terkategori dibagi dengan jumlah sampel penelitian (30 orang)
Kemandirian warga juga tercermin dalam upaya untuk mengembangkan potensi atau bakat mereka sendiri. Misalnya, ada beberapa warga yang mampu membuat furnitur atau bahan kerajinan ukiran dan seni pahat untuk membuat alat dapur, lemari pakaian, atau hiasan ruangan. Bahan yang dipakai biasanya adalah bahan kayu sisa bekas pengembangan rumah hunian.
5.5 Pendapatan Pendapatan adalah faktor yang paling diperhatikan kaitannya dengan kesejahteraan warga transmigran. Pendapatan merupakan gambaran upaya pencapaian berbagai kebutuhan hidup warga transmigran yang ada di UPT Cimanggu II. Pendapatan warga tersebut diukur melalui seberapa besar warga transmigran dapat menghasilkan uang dalam periode perbulannya. dalam
64
pengkategorian, terdapat tiga kategori yaitu; pendapatan rendah, sedang, dan tinggi. pendapatan rendah yang diperoleh warga transmigran yaitu berkisar dibawah pendapatan rata-rata warga transmigran, sebesar Rp. 562.000,-. Pendapatan rata-rata ini dilihat dari pengakumulasian seluruh pendapatan yang diperoleh warga lalu dirata-ratakan dengan dibagi oleh jumlah KK. Untuk melihat pengkategorian tingkat pendapatan warga transmigran, dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 8. Pengkategorian Pendapatan Warga Transmigran No. 1 2 3
Kategori Pendapatan¹ Pendapatan rendah Pendapatan sedang Pendapatan tinggi Jumlah warga
Jumlah Warga² 5 22 3 30
Persentase (%)³ 16,7 73,3 10 100
Keterangan: 1. Pengkategorian pendapatan dilakukan berdasarkan pendapatan yang dihasilkan oleh seluruh responden dibagi dengan jumlah reponden dalam satu bulan terakhir. 2. Jumlah warga disini merupakan sampel yang terkategori. 3. Persentase (%) diperoleh dari jumlah warga terkategori dibagi dengan jumlah sampel.
Pendapatan yang dihasilkan merupakan hasil dari penjualan hasil usaha tani yang dilakukan oleh warga transmigran. Untuk menjual hasil usaha taninya, kebanyakan warga tidak menjual langsung ke pasar tapi melalui para tangkulak yang biasa sengaja datang pada waktu pasca panen. Adanya pengunggulan suatu komoditas di UPT Cimanggu II menjadikan warga merasa memiliki potensi untuk dapat bersaing di bidang ekonomi dalam hal perdagangan hasil pertanian. Hanya saja dalam tindakan ekonomi yang dilakukan pada umumnya warga masih menjual komoditas tersebut kepada tengkulak, yang mana harga di tengkulak lebih rendah dari harga pasaran. Perbedaan harga tersebut misalnya pada komoditas jagung. Warga menjual hasil pertanian jagung ke tengkulak dengan harga Rp.3.000,- per Kg, sedangkan harga di pasaraan adalah Rp.4.000,- per Kg.
65
Kaitannya dengan kemandirian, pengunggulan akan suatu komodiats juga dapat memotivasi warga transmigran untuk lebih meningkatkan usaha taninya. Warga transmigran benar-benar memanfaatkan lahan yang diberikan dan menanam tanaman yang dianjurkan oleh petugas lapangan. Bibit tanaman yang dianjurkan merupakan bantuan langsung dari pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi dan dan merupakan pembiayaan yang telah teranggarkan oleh pemerintah pusat (APBD dan APBN). “Untuk membiayai proses pengembangan pertanian, pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi mem-backup dana yang telah diturunkan oleh pemerintah pusat. Misalnya pemerintah pusat memberikan dana yang sudah dianggarkan tapi ternyata dalam pengalokasian dana kurang, maka pemerintah daerah Kabupaten Sukabumi memberikan bantuan yang sudah dianggarkan dalam APBD Kabupaten (Af.Petugas lapangan, 2007)”.
Pengevaluasian kemajuan dan perkembangan program transmigrasi perlu melihat perbandingan pendapatan perkapita daerah tiap tahunnya. Apabila adanya penaikan dalam pendapatan perkapita, maka program transmigrasi dipandang memiliki
kontribusi
yang
positif
dan
dianggap
memiliki
kemajuan
(Tjiptoherijanto, 1986). Merujuk pada pernyataan tersebut, maka program transmigrasi lokal yang ada di Kabupaten Sukabumi dinilai memiliki kontribusi dalam hal peningkatan pendapatan daerah dan dinilai mengalami kemajuan. Dengan peningkatan pendapatan yang ada pada masyarakat, khususnya peningkatan pendapatan pada warga transmigran, maka secara otomatis pendapatan kawasan tempat UPT berada pun menjadi meningkat. Peningkatan pendapatan wilayah berimplikasi pada peningkatan pendapatan perkapita wilayah
66
tersebut. Untuk melihat kemajuan dan peningkatan pendapatan perkapita Kabupaten Sukabumi dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Tabel Perbandingan Pendapatan Perkapita Kabupaten Sukabumi, 2002, 2003,dan 2004. Indikator perbaikan ekonomi LPE (%) PDRB (Rp. juta) Pendapatan perkapita (Rp.) Tingkat inflasi (%)
2002 12,60 7.501.576,18 3.496.526 6,59
2003 10,40 8.281.948,43 3.801.064 5,08
2004 11,23 9.211.845,10 4.160.729 4,44
Keterangan: LPE : Laju pertumbuhan ekonomi PRDB : Pendapatan rata-rata daerah bulanan Sumber : BAPPEDA (2002) , BAPPEDA (2003), BAPPEDA ( 2004)
5.6 Kesehatan Tjiptoherijanto (1986) mengemukakan bahwa kesehatan merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan program transmigrasi. Kondisi kesehatan wagra transmigran mempengaruhi kualitas hidup warga transmigran itu sendiri. Dengan meningkatnya kualitas kesehatan warga transmigran, maka tingkat imunitas warga transmigran terhadap beberapa penyakit menular seperti; TBC, malaria, filariasis, dan sebagainya dapat dijadikan gambaran bahwa kondisi kesehatan warga transmigran adalah baik. Membaiknya tingkat kesehatan warga transmigran akan menunjukan nilai kualitas hidup dan keberhasilan progran transmigrasi. Tabel 10. Tingkat Kesehatan Warga Transmigran No. 1 2 3
Kategori¹ Tidak Sehat Kurang Sehat Sehat Jumlah Warga
Keterangan:
Jumlah Warga² 1 1 28 30
Persentase (%)³ 3,3 3,3 93,3 100.0
67
1. 2. 3.
Pengkategorian dilakukan berdasarkan kondisi tubuh yang dirasakan warga dan kondisi lingkungan tempat tinggal (sanitasi, sampah, dan polusi) pada saat mengisi kuisioner. Jumlah warga disini merupakan jumlah sampel yang terkategori. Persentase (%) diperoleh dari jumlah warga terkategori dibagi dengan jumlah sampel penelitian (30 responden)
Tabel 10 menggambarkan bahwa di UPT Cimanggu II masih terlihat adanya warga yang berada pada kategori kurang sehat dan tidak sehat. Kondisi demikian memang sangat mungkin terjadi pada suatu lokasi UPT. Dengan kondisi fasilitas yang seadanya, dalam artian tidak selengkap kondisi fasilitas yang ada di kota, memungkinkan warga sulit untuk memanfaatkan inovasi dalam bidang kesehatan. Meski dengan fasilitas “seadanya”, warga tetap menjaga kesehatannya berbekal pengetahuan yang didapat dari pendampingan yang diselenggarakan tiap bulan dan biasa diselenggarakan bersamaan dengan penimbangan balita di Desa Langkapjaya.
5.7 Keamanan Tjiptoherijanto (1986) mengemukakan bahwa kondisi UPT yang aman dapat membuat warga transmigran merasa betah untuk tinggal di UPT. Meski keamanan dan intensitas kriminalitas di suatu UPT sulit untuk diketahui dan diukur secara pasti, tapi minimalnya kondisi keamanan UPT dapat dilihat secara keseluruhan dalam keberhasilan program dengan beberapa informasi yang dapat diyakini kebagai nilai keamanan. Misalnya, rendah atau tidak adanya warga yang merasa disakiti secara fisik, tidak adanya warga yang merasa kehilangan barang, tidak adanya warga yang merasa jiwanya tertekan, dan tidak adanya hak warga transmigran yang diambil secara paksa, adalah merupakan informasi bahwa UPT merupakan tempat yang aman sebagai tempat tinggal. Warga transmigran yang
68
tidak merasa aman tinggal di UPT akan pergi dari UPT. Untuk itu, keamanan warga yang tinggal di UPT haruslah di perhatikan. Keadaan keamanan wilayah UPT Cimanggu II dapat dikatakan aman. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari yang tidak ada konflik yang ekstrim. Dari data yang didapat berdasarkan hasil observasi, secara keseluruhan responden memberikan jawaban yang berada pada kategori merasa aman. Dalam pengkategorian jawaban, terdapat tiga kategori jawaban yaitu; tidak aman, kurang aman, dan aman. Keamanan yang terwujud di lingkungan UPT memberikan kenyamanan dan ketenangan warga untuk melakukan aktivitas sehari-hari dan untuk melakukan pengupayaan peningkatan pendapatan. Untuk melihat lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 11. Tingkat Keamanan Lokasi UPT No. 1 2 3
Kategori Tidak aman Kurang kurang aman Aman Jumlah
Jumlah Warga 30 30
Persentase (%) 100 100
Keterangan: 1. Pengkategorian didasarkan pada sering tidaknya terjadi tindakan kriminal di lokasi UPT Cimanggu II. 2. Jumlah warga disini merupakan jumlah sampel yang terkategori. 3. Persentase (%) diperoleh dari jumlah warga terkategori dibagi dengan jumlah sampel (30 responden)
Keadaan keamanan yang ada di UPT diklarifikasi kembali oleh peneliti yaitu dengan melakukan wawancara pada petugas lapangan UPT sebagai informan. Menurut Af, petugas lapangan, sejauh ini belum pernah ada warga yang melaporkan adanya berita kriminal yang terjadi di UPT Cimanggu II. Selain kepada petugas lapangan, penggalian informasi juga dilakukan kepada warga
69
transmigran. Penggalian informasi tersebut dilakukan untuk lebih menguatkan data yang didapat dari hasil observasi melalui kuisioner. Salah satu warga transmigran mengemukakan pendapatnya terhadap kondisi keamanan UPT.
“Disini belum pernah ada kasus atau tindakan yang mengganggu keamanan UPT. Pemerkosaan, perampokan, pencurian, atau sebagainya, belum pernah terjadi. Lagian siapa sih yang mau merampok sama warga yang tidak memiliki barang-barang mewah?(Uj.Warga transmigran,2007)”.
Kondisi aman yang memang ada di UPT Cimanggu II apabila dikaitkan dengan sistem budaya, secara keseluruhan warga transmigran merupakan kumpulan orang-orang yang beretnis sama yaitu suku sunda. Kemungkinan adanya bentrokan norma atau tingkah laku yang berada di UPT Cimanggu II dapat dikatakan minim. Lain halnya apabila dalam satu UPT terdapat berbagai macam suku bangsa, maka tingkat kerawanan untuk timbulnya konflik yang menggangu keamanan warga dapat dikatakan lebih tinggi dibanding dengan UPT yang hanya terdiri dari satu suku bangsa. Keamanan yang ada di UPT Cimanggu II tidak terlepas juga dari usaha warga yang senantiasa menjaga agar kondisi aman yang ada dapat terus terjaga. Untuk mewujudkan kondisi aman tersebut warga bertoleransi satu sama lain.
5.8 Kesejahteraan Kesejahteraan sangat berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan juga berkaitan dengan kemiskinan. Penilaian miskin dan sejahtera tiap wilayah berbeda satu sama lain begitu juga tingkat kemiskinan dan kesejahteraan antara lokasi UPT Cimanggu II dengan Kabupaten Sukabumi. Perbedaan tingkat kemiskinan
70
dan kesejahteraan antara Kabupaten Sukabumi dengan UPT Cimanggu II ini didasarkan pada adanya perbedaan tingkat kepuasan dalam pemenuhan kebutuhan. Misalnya, dalam hal pemenuhan kebutuhan makanan dan lauk pauk, masyarakat yang berada di wilayah kota Kabupaten Sukabumi merasa biasa apabila makan dengan nasi dan daging gepuk. Tapi bagi warga transmigran yang berada di UPT Cimanggu II makan dengan lauk pauk seperti itu dikatakan hal yang tidak biasa dalam artian warga transmigran menganggap makanan daging gepuk adalah lauk pauk yang mahal. “ ya jangan disamain dengan di kota. Disini mah cukup dengan makan nasi sama lauk seadanya juga sudah cukup. Ga ada yang senikmat makan nasi dan ikan asin pake sambal ditambah tempe goreng. Bagi saya makan seperti itu juga sudah enak.(Ad.warga transmigran, 2007).” Dari pernyataan salah satu warga diatas mencerminkan
bahwa
memang dengan pola makan yang “seadanya” tersebut sudah dapat dikatakan memenuhi kepuasan warga dalam pemenuhan kebutuhan dalam hal makan. Memang warga transmigran kebanyakan lebih memilih pola makan yang demikian dibanding dengan pola makan yang biasa di lakukan oleh masyarakat perkotaan. Said (1995) melakukan penilaian mengenai tingkat kemiskinan (kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup) ditentukan berdasarkan beberapa pengkategorian. Pengkasifikasian kemiskinan tersebut diantaranya: 1. Miskin sekali, yaitu daerah-daerah yang pendapatan per kapita penduduknya di bawah 75 % dari kebutuhan hidup minimum.
71
2. Miskin, yaitu daerah-daerah yang pendapatan per kapita penduduknya 25 % kurang atau tepat di "garis kemiskinan" atau 25 % tepat pada kebutuhan hidup minimum. 3. Hampir miskin, adalah daerah-daerah yang pendapatan per kapita penduduknya 25 % lebih dari kebutuhan hidup minimum sampai dengan mencapai kebutuhan hidup sekunder (200 %). 4. Tidak miskin, yaitu daerah-daerah yang pendapatan per kapita penduduknya melebihi kebutuhan pokok hidup sekunder. Warga transmigran cenderung termasuk kedalam pengklasifikasian hampir miskin apabila dihubungkan dengan pendapatan yang dihasilkan oleh warga transmigran UPT Cimanggu II. Meski ada beberapa warga yang pendapatannya berada pada klasifikasi tidak miskin, tapi secara umum warga transmigran UPT Cimanggu II berada pada klasifikasi hampir miskin. Berikut adalah rincian jenis kebutuhan warga transmigran UPT Cimanggu II: Tabel 12. Tabel Rincian Kebutuhan Rutin Warga Transmigran Per Tahun (2005) No. 1 2 3
Jenis Kebutuhan Biaya makan Biaya transportasi Biaya kebutuhan lain
Jumlah (Rp.) 2.880.000,125.000,504.000,-
Keterangan Makan Rp.8.000,-/hari Ongkos transportasi umum Pembelian alat dapur, alat bangunan, Alat mandi, dsb.
Total biaya yang 3.509.000,dibutuhkan Sumber: Laporan UPT Cimanggu II 2005
Menurut Sajogyo (1984) seperti yang dikutip Prabawa (1998) mengemukakan konsep kesejahteraan keluarga sebagai penjabaran dari “delapan jalur pemerataan” yang salah satunya adalah pendapatan. Kaitannya dengan
72
pendapatan, dengan pendapatan yang dihasilkan oleh warga transmigran maka ada kebutuhan yang terpenuhi misalnya pemenuhan kebutuhan akan beras untuk makan. Sajogyo (1984) mengemukakan kriteria tingkat pengeluaran dengan pendapatan setara beras per tahun dalam penetapan garis kemiskinan, yaitu miskin di kota dengan 480 kilogram dan pedesaan 320 kilogram, miskin sekali dengan perkotaan 360 kilogram dan desa 240 kilogram serta paling miskin di perkotaan dengan 270 kilogram dan di desa dengan 180 kilogram. Merujuk pada pernyataan tersebut, warga transmigran yang ada di UPT Cimanggu II tergolong masyarakat yang terbebas dari miskin. Hal ini dapat dilihat pada penghasilan yang diperoleh warga transmigran untuk bidang pertanian, khususnya beras, adalah 1,3 ton per hektar untuk padi gogo dan 2,5 ton per hektar untuk padi sawah. Dengan jumlah warga yang hanya 313 jiwa, maka kebutuhan akan konsumsi beras berada pada titik aman bahkan warga dapat menjual gabah hasil taninya tersebut ke pasar. Selain menjual gabah ke pasaran, warga juga mampu menyimpan bagah tersebut sebagai cadangan bahan makanan pokok.
BAB VI PEMBERDAYAAN KOMUNITAS WARGA TRANSMIGRAN DI UPT CIMANGGU II
Pemberdayaan yang jalankan awalnya adalah berupa pembinaan dan pengelompokan terhadap warga transmigran. Pengelompokan ini bukan berarti suatu cara untuk memecah warga tetapi sebagai usaha untuk mempermudah jalannya proses pemberdayaan yang berupa kegiatan-kegiatan pembinaan warga transmigran untuk membantu warga transmigran dalam memenuhi kebutuhan serta memanfaatkan sumberdaya yang ada.
6.1 Pemberdayaan dalam Dimensi Struktural Pemberdayaan masyarakat memiliki dua dimensi pokok yaitu kultural dan dimensi struktural (Tonny, 2002). Pemberdayaan pada dimensi struktural yang ada di UPT Cimanggu II diantaranya melalui penghimpunan warga transmigran dan pengelompokan warga kedalam beberapa kelompok. Kelompok tersebut beranggotakan, seluruhnya merupakan, warga UPT Cimanggu II. Pengelompokan ini merupakan hasil atau output
dari program transmigrasi lokal. Adapun
kelompok-kelompok yang ada di UPT Cimanggu II diantaranya: 1. Kelompok Tani. Terdiri dari tiga kelompok tani. Masing-masing kelompok terdiri dari sekitar 24-26 orang. Pembagian kelompok tersebut dilakukan berdasarkan Blok yaitu Blok A, Blok B, dan Blok C. Jadi secara keseluruhan KK merupakan anggota dari Kelompok Tani. Pembagian
74
dengan jumlah anggota yang relatif banyak dilakukan agar pada waktu pendampingan penyuluh tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan pendampingan. 2. Kelompok Kerja Tani. Terdiri dari tujuh kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 11-12 orang. Kelompok Kerja Tani merupakan pembangian kecil dari Kelompok Tani. 3. Kelompok Pengurus Penggilingan Padi yang terdiri dari 5 orang. Anggota Kelompok Pengurus Penggilingan Padi merupakan perwakilan secara sukarela dari Kelompok Kerja Tani. 4. Kelompok Pengurus Traktor yang terdiri dari 3 orang. Pemilihan anggota kelompok ini dipilih langsung oleh petugas lapangan UPT Cimanggu II. 5. Kelompok Usaha Bersama yang terdiri dari empat kelompok. Masingmasing terdiri 19-20 orang. Kelompok usaha bersama ini dibentuk untuk dijadikan perhimpunan usaha di bidang ekonomi di kalangan warga UPT Cimanggu II. Namun untuk waktu sekarang ini ternyata masih belum aktif. Kelompok-kelompok tani tersebut di bina dan diberi bantuan fasilitas saprotan dengan bantuan dari pemerintah (APBN). Kelompok tani yang ada sensntiasa memanfaatkan bantuan yang diberikan tersebut. Bantuan yang dimaksud misalnya : 1. Bibit tanaman. Bibit tanaman tersebut misalnya; bibit kacang kedelai (1,5 Kg per KK), jagung (2,5 Kg per KK), kacang tanah (1 Kg per KK), padi gogo (7 Kg per KK), kacang panjang (0,5 Kg per KK), dan cabe merah (0,025 Kg per KK).
75
2. Pupuk. Jenis pupuk yang di bagikan kepada warga diantaranya; urea (26 Kg per KK), SP 36 (16 Kg per KK), KCL (8,5 Kg per KK), puradan (2,25 Kg per KK), Rhijobium (50 Kg per KK), pupuk kandang (430 Kg per KK), dan Dolomit (100 Kg per KK). 3. Peptisida. Jenis peptisida yang dibagikan kepada warga diantaranya; insektisida (110 cc per KK), Herbisida (0,25 Kg per KK), rodensida (0,25 Kg per KK), fungisida (0,25 Kg per KK). 4. Hand Sprayer sebanyak tujuh buah. Masing-masing KK pendapatkan satu buah.
6.2 Pemberdayaan dalam Dimensi Kultural Pemberdayaan komunitas yang dilakukan adalah upaya agar warga transmigran memiliki pendidikan dan pengetahuan, keahlian, dan keterampilan dalam mengembangkan usaha tani mereka. Proses pemberdayaan dalam meningkatan sumberdaya warga transmigran ini sepenuhnya dilakukan melalui pendampingan dan pembinaan kelompok-kelompok tani yang diadakan dua kali dalam satu bulan. Pembinaan yang dilakukan dimaksudkan agar warga transmigran mempunyai tujuan yang jelas dan terarah dalam upaya meningkatkan mutu pengetahuannya serta agar warga transmigran dapat mengembangkan keahlian dan keterampilannya. Pemberdayaan warga transmigran UPT Cimanggu II yaitu: 1. Pemberdayaan Kelompok Tani. Kegiatan yang dilakukan adalah untuk dapat memberikan motivasi kepada warga transmiran dalam pentingnya meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian. Melaui sistem
76
sharing dikalangan warga pada saat pendampingan diadakan, semua masalah dan keluhan warga transmigran dibahas untuk dicari jalan keluarnya. 2. Pengendalian
Hama
dan
Penyakit
Tanaman.
Pemberdayaan
ini
dimaksudkan agar warga transmigran dalam upaya pemberantasan hama dan penyakit tanaman dapat dilakukan oleh warga secara efektif dan efisien. 3. Pemberdayaan Pengawetan Tanah. Pemberdayaan ini dimaksudkan agar warga transmigran mengerti tentang bagaimana cara-cara dalam penggunaan lahan, mencegah kerusakan lahan, serta meningkatkan produktifitas lahan. 4. Pemberdayaan
Pengembangan
Apotek
Hidup.
Pemberdayaan
ini
dimaksudkan agar warga transmigran dapat memanfaatkan lahan pekarangan menjadi lahan tanaman obat. Hal
ini dipandang penting
karena kondisi lokasi UPT yang jauh dari puskesmas atau rumah sakit jadi diharapkan pengembangan apotek hidup ini dapat membantu mengatasi warga yang kesulitan dalam hal pengobatan secara tradisional. 5. Pemberdayaan
Pengembangbiakan
Ternak.
Pemberdayaan
ini
dimaksudkan agar warga mengerti dan tahu bagaimana cara merawat hewan ternak, memelihara kandang ternak, menghindari dan mengatasi penyakit ternak, dan mengetahui umur ternak yang produktif.. 6. Pemberdayaan dan Pengembangan Sistem Koperasi Warga Transmigran. Pembinaan serta pelaksanaan dari pemberdayaan warga dalam bidang ekonomi dan pemenuhan kebutuhan ini dimaksudkan agar warga dapat
77
menjadikan koperasi bersama sebagai wadah untuk penyedian sembilan bahan pokok (sembako). Dalam proses pembinaan yang dilakukan, warga yang dibina diberikan modal dan sarana penunjang seperti alat tulis dan timbangan. Pembinaan pengembangan sistem koperasi warga transmigran ini dilakukan oleh petugas lapangan UPT. Dari sekian banyak pembinaan yang dilakukan terhadap warga transmigran, yang dianggap sulit untuk dilaksanakan adalah pemberdayaan dan pengembangan sistem koperasi. Hal ini dikarenakan masih adanya warga yang menganggap koperasi sebagai sistem usaha pribadi. Jadi dalam upaya pengembangan sistem koperasi dirasakan kurang begitu memuaskan dalam artian sistem koperasi yang tengah dijalankan tidak berjalan dan berlaku untuk seluruh warga transmigran. Dari data hasil observasi, masih terdapat 56,7 persen warga yang kurang solid (lihat Tabel 7). Hal ini juga yang mencerminkan bahwa keantusiasan warga dalam pengembangkan sistem koperasi dinilai kurang.
6.3 Evaluasi Output Pemberdayaan UPT Cimanggu II Pemberdayaan komunitas transmigran yang dilakukan di UPT Cimanggu II, warga diberdayakan dalam hal usaha tani on-farm.
Selain dengan bantuan
bibit tanaman, warga transmigran UPT Cimanggu II juga di berikan bantuan berupa hewan ternak untuk dikembangbiakan. Hewan ternak yang diberikan adalah domba yang mana per KK mendapatkan sepasang, jantan dan betina. Bantuan hewan ternak ini juga berasal dari bantuan pemerintah (APBN). Sejauh ini, dalam kurun waktu 6 tahun (2001 – 2007), warga telah dapat mengembangbiakan hewan ternak domba masing-masing KK menjadi 3-5 ekor.
78
tercatat hewan ternak domba yang telah dikemangbiakan adalah 175 ekor hasil pengembangbiakan dan 10 ekor hasil dari pembelian pribadi warga itu sendiri. Selain diberdayakan dalam pengembangbiakan hewan ternak domba, warga juga diberdayakan dalam pengembangbiakan hewan ternak unggas, ayam dan itik. Tercatat 361 ekor ayam dan 9 ekor itik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 13. Usaha Peternakan UPT Cimanggu II (2005) No.
Jenis ternak
Bantuan awal¹
Pembelian sendiri²
Hasil Pengembangbiakan
Jumlah sekarang
1. 2. 3.
Domba Ayam Itik
158 158 158
10 -
10 203 -
175 361 9
Keterangan: 1. Bantuan awal adalah jumlah hewan ternak yang dibagikan kepada warga. 2. Pembelian sendiri adalah pengadaan hewan ternak atas usaha sendiri, bukan merupakan bantuan dari pemerintah. Sumber: Laporan UPT (2005)
Pengembangbiakan hewan ternak itik rupanya tidak merangsanga antusias. Ternyata hanya seorang saja yang mampu bertahan dalam pengembangbiakan itik. Pengembangbiakan
hewan
ternak
itik
dianggap
gagal.
Kegagalan
pengembangbiakan ini menyebabkan pemerintah ragu-ragu utuk memberikan bantuan lagi kepada warga, khususnya pada hewan ternak itik. Tabel usaha tani peternakan tersebut menggambarkan, dalam pengembangbiakan hewan ternak domba, warga begitu antusias. Warga tidak hanya mencoba mengembangkan usaha tani peternakan domba dengan bantuan pemerintah tapi juga sudah mulai mencoba mengembangbiakan hewan ternak domba dengan modal sendiri. Meski tidak semua warga dapat mengeluarkan modal untuk pengembangbiakan hewan
79
ternak domba tapi dapat dilihat bahwa inisiatif warga sudah mulai nampak, kaitannya dengan kemandirian warga akan pengembangan usaha tani. Proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap warga transmigran juga terdapat beberapa masalah yang misalnya masih saja ada warga yang pada saat pendampingan berlangsung warga tidak datang ke pendampingan. Alasan yang kerap ada adalah sibuk dan menganggap pendampingan yang diadakan merupakan pengetahuan yang sudah didapatnya. Padahal dalam pelakanaan pendampingan yang disampaikan penyuluh tidak selalu berupa ilmu pengetahuan tapi juga upaya menumbuhkan sikap solidaritas antar warga juga diperhatikan. Belum maksimalnya tingkat kepedulian warga untuk datang dalam pendampingan juga tercermin dalam data hasil obsrvasi. Masih terdapat 16,6 persen warga yang memandang bahwa pendampingan yang diadakan dianggap tidak penting (lihat Tabel 6).
BAB VII PENUTUP
7.1 Kesimpulan 1. Program transmigrasi lokal yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Sukabumi ini dapat memberikan kontribusi yang positif dalam meningkatkan kesejahteraan warga transmigran. Hal ini dapat dilihat dari terpenuhinya berbagai kebutuhan warga transmigran melalui peningkatan pendapatan yang dihasilkan oleh warga transmigran. Berbagai kebutuhan tersebut yaitu; a. Kebutuhan akan konsumsi bahan makanan pokok. Dengan tingkat produktifitas padi yang total adalah 3,8 ton per masa panen (1,3 ton per hektar pada padi gogo dan 2,5 ton per hektar pada padi sawah). b. Kebutuhan akan pekerjaan penghidupan yang layak. Dengan adanya pemberdayaan terhadap warga, khususnya dalam bidang pertanian, warga dapat melakukan penanaman tanaman yang merupakan komoditas unggulan. Komoditas yang dimaksud adalah padi, cabe rawit, kacang tanah, bawang, dan cabe keriting. Penjualan dari hasil panen komoditas tersebut di jual oleh warga melalui tengkulak pada waktu pasca panen. Dengan pekerjaan sebagai petani, warga sudah dapat bertahan untuk melangsungkan hidup.
81
c. Kebutuhan akan pendidikan juga dapat terpenuhi melalui pendampingan warga transmigran. Dengan pendampingan, warga diupayakan untuk meningkatkan pendidikannya. d. Kebutuhan akan pengembangan diri. Warga transmigran mengalami peningkatan kapabilitas dalam bidang pertanian dan wawasan mengenai harga pasar. Warga transmigran telah mampu mengembangbiakan hewan ternak, meningkatkan produksi pertanian, serta melakukan tindakan ekonomi. Pengembangan diri ini merupakan cerminan jiwa mandiri warga transmigran. 2. Pemerintah Kabupaten Sukabumi dalam rangka menyukseskan program transmigrasi lokal menemui beberapa kendala yaitu: a. Rendahnya pemahaman warga dalam memahami arti pentingnya jenjang pendidikan bagi anak-anak mereka yang dapat menyebabkan pewarisan pola pikir yang sempit kepada anak-anak mereka. b. Masih terdapat warga yang ‘memandang sebelah mata’ pendampingan. Hal ini dapat dilihat dari belum maksimalnya kehadiran warga pada waktu pendampingan. Partisipasi warga terasa masih kurang maksimal. c. Masih terdapatnya warga yang kurang mengorganisasikan diri dengan warga lain. Hal ini dipandang menghambat proses pelaksanaan pemberdayaan terhadap warga. d. Masih terdapat warga yang memiliki pandangan bahwa sistem usaha koperasi adalah sistem usaha pribadi. Sehingga jalannya pemberdayaan dalam sistem usaha koperasi tidak berjalan.
82
e. Masih terdapatnya antusias yang kurang dari warga transmigran terhadap hewan ternak itik, yang berakibat
kegagalan pada pembinaan usaha
pengembangbiakan hewan ternak itik, yang kemudian menyebabkan pemerintah ragu-ragu untuk memberikan bantuan hewan ternak itik lagi kepada warga transmigran kaitannya, kitannya dengan pemberdayaan warga dalam bidang peternakan. f. Kurangnya inisiatif warga untuk menjual hasil panen ke pasar secara turun langsung tanpa perantara tengkulak yang dapat menyebabkan harga jual komoditas yang dihasilkan lebih rendah dari harga pasar. Contoh komoditas tersebut misalnya harga jual jagung di pasaran adalah Rp. 4.000,- per kilogram, sedangkan melalui tengkulak adalah Rp. 3.000,-per kilogram.
7.2 Saran Saran yang perlu disampaikan dalam rangka penyuksesan program transmigrasi lokal yang ada di UPT Cimanggu II yaitu: 1. Perlu adanya pengubahan cara pandang warga transmigran dalam bidang pendidikan. Pengubahan cara padang tersebut dapat melalui pemberian pemahaman kepada warga tentang apa saja yang menjadi keuntungan apabila mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. 2. Untuk memaksimalkan partisipasi warga dalam pendampingan yang dilakukan, diharapkan adanya pemberitahuan bahwa pendampingan yang dilakukan bukan hanya sekedar penyampaian bahan pendampingan tetapi juga sebagai salah satu cara untuk membangun forum diskusi, sharing
83
permasalahn yang tengah dihadapi, serta untuk membina keeratan warga transmigran. 3. Untuk mengatasi masalah pandangan warga terhadap sistem usaha koperasi, baiknya warga diberi pemahaman terlebih dahulu mengenai sistem
perkoperasian.
Terlebih
lagi
pada
pemahaman
mengenai
keuntungan berkoperasi. 4. Dalam bidang peternakan, baiknya warga yang tengah mengembangbiakan hewan ternak diberi wawasan mengenai keuntungan, apa-apa saja yang dihasilkan oleh ternak tersebut, serta pemberian wawasan mengenai pemasaran hewan ternak tersebut. 5. Baiknya fasilitas jalan segera diperbaiki. Dengan adanya kondisi jalan yang baik, maka diharapkan dapat menstimuli inisiatif warga untuk menjual komoditas pertaniannya langsung ke pasar tanpa melalui tengkulak, dengan demikian pendapatan warga pun dapat meningkat karena harga jual dipasar lebih tinggi dibanding dengan harga jual ke tengkulak. 6. Dengan jumlah pendapatan warga yang “lumayan”,rata-rata Rp. 562.000 per KK, baiknya diberikan fasilitas kredit usaha tani sebagai rangsangan agar warga transmigran dapat meningkatkan dan mengembangkan usaha taninya.
84
DAFTAR PUSTAKA Arman, Syamsuni. 2006. Transmigrasi dan Pluralitas. Artikel. Kompas, 18 September 2006 Djajadiningrat, Surna Tjahja dkk. 2003. Akses Peran Serta Masyarakat; lebih jauh memahami community development. Jakarta: Indonesia Center for Sustainable Development (ICSD). Kolopaking, LM. 2006. TRANSMIGRASI
PENGEMBANGAN KAWASAN PERDESAAN DAN KOTA
MANDIRI
BERBASIS
PEMBERDAYAAN
KOMUNITAS.
Depnakertrans. Mosher, A.T 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV.Yasaguna. Jakarta. Mubyarto. 2000. Membangun Sistem Ekonomi, edisi pertama. Yogyakarta: BPFE Nasdian, Fredian tonny. Pengembangan Masyarakat (Bogor, 2000) Pusat Pengkajian Fiskal dan Moneter. Strategi Perencaan dan Evaluasi Pengentasan Kemiskinan. Jakarta. PT Bina Rena Pariwara : 1996 Rusli, S., Sumarjo, Syaukat, Y., Sotarto, E., Krisnamurti, Y. Bayu, Sitorus, F. Marlyn. Metodologi Identifikasi Golongan dan Daerah Miskin Suatu Tinjauan dan Alternatif. Jakarta. Grasindo : 1995. Rusli, Said. 1996. Pengantar Ilmu Kependudukan. Jakarta: LP3S Sitorus, Felix dkk. 2001. Agribisnis Berbasis Komunitas; sinergi modal ekonomi dan modal sosial. Bogor: Pustaka Wirausaha Muda. Siregar, Hermanto. 2007.
TRANSMIGRASI DAN PEMENUHAN HAK-HAK DASAR
RAKYAT.Depnakertrans.
Soeharto, 1990. Monitoring dan Evaluasi. Jakarta: PT. Gramedia
85
Suporahardjo. 2005. Manajeman Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka LATIN. Susanto, Hari. Adhikerana dan Asep S. 2000. Pembangunan Berbasis Pemberdayaan (Kasus Kalimantan Barat). Bogor: PT. Sarbi Moerhani Lestari. Tayibnapis, Farida Yusuf. Evaluasi Program (Jakarta, 2000). Wirutomo, Paulus dkk. 2003. Paradigma Pembangunan di Era Otonomi Daerah; Memanusiakan Manusia. Jakarta: Penerbit Cipruy
86
LAMPIRAN
87
Lampiran 1. Peta Kabupaten Sukabumi
Lampiran 2. Sketsa Lokasi UPT Cimanggu II
88
Lampiran 3. Dokumentasi Persiapan Pendampingan
Lampiran 4. Lokasi UPT Cimanggu II Dilihat dari Atas Bukit Cimanggu II
89
Lampiran 5. Contoh Gambar Rumah Warga Transmigran
Lampiran 6. Pembinaan Warga dalam Penanaman Komoditas Unggul
90
Lampiran 7. Dokumentasi Pembagian Bantuan Hewan Ternak Domba
Lampiran 6. Daftar Warga Transmigran UPT Cimanggu II No . 1. 2. 3. 4. 5. 5. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Nama Kepala Keluarga SULAEMAN ALHADI BADIN SUPARDI USUP DADIN NURAHMAN NANA MUHTADI SUKARMA MADRONI OKIH DEDEN SUPARMAN KUSNADI RUDI H. SUGANDI DINTA HERMAN DIDI DADANG
Umur
Jumlah Anggota Keluarga
25 36 35 41 36 33 36 45 43 35 34 56 31 31 42 45 47 35 35 35 46
3 4 2 5 4 6 4 4 4 5 3 6 5 4 7 5 3 4 5 4 6
91
22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67.
SAMSUDIN JEJES AJIDIN AEP EMPUR JALUDIN ADUN YANA KODIN TARYAN USUP B. UKAT LUKMAN ATMAJA ATMAWIJAYA UYEH DEDI YADI ENAS Ii SUTISNA SAMSU U. SUTISNA BARNAS ADANG BARDUN AJAN PARDI MADSOWI HERDI PENDI PIAT AJUM EMPUR C ADANG SUTISNA HUSEN MADIN DARJI LEDI KONDI YUSUP MAMAN WAWAN USUP C. ULOH TU’I
47 42 42 43 45 36 33 34 36 45 34 28 35 31 42 30 34 35 45 56 33 35 37 34 32 31 35 38 36 40 45 36 33 33 31 36 37 43 38 45 44 41 35 34 36 38
8 5 4 3 6 4 6 5 5 5 3 7 5 5 4 3 5 4 6 4 3 4 5 3 4 5 3 4 3 3 3 5 6 4 7 4 3 5 6 4 7 6 5 7 4 3
92
68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79.
MAMAT DEDIS ANDEN ENCEP ATON ADE UMA ENDANG DADUN UJANG UCE DANI
43 42 34 33 36 43 45 36 35 35 33 42
4 3 5 4 6 7 5 4 4 3 4 3 313
Jumlah
Lampiran 9. Daftar Nama Daerah Asal Transmigran No.
Nama Daerah
1.
Kecamatan Lengkong: a. Desa Lengkong b. Desa Neglasari c. Desa Tegal Lega d. Desa Langkapjaya
2.
3
Kecamatan Jampang Tengah: a. Desa Cijulang b. Desa Bantar Agung Kecamatan Lengkong (Pendatang baru): a. Desa Tegal Lega
Status Transmigran
Tanggal Penempatan
Jumlah KK
Jumlah Jiwa
Eksodan Maluku
30/09/2001
12
55
Eksodan Aceh
30/09/2001
3
14
Eksodan Kalteng
30/09/2001
2
8
TPS
30/09/2001
50
189
Eksodan Maluku Eksodan Maluku
30/09/2001 30/09/2001
2 1
9 4
TPS
13/05/2005
9
34
79
313
Jumlah
Sumber: Laporan Tahunan UPT, 2005 TPS : Transmigran penduduk setempat Eksodan : Transmigran yang kembali dikarenakan adanya masalah keamanan di lokasi transmigrasi.
Lampiran 10. Hasil Olah Data (Korelasi Spearman) Correlations Spearman's rho
** *
pendapatan
Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N kelembagaan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N kemandirian Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N keamanan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Penge_penyul Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N pen_komoditas Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N sarana_lok Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N kesehatan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N kesejahteraan Correlation Coefficient Sig. (1-tailed) N Correlation is significant at the 0.01 level (1tailed). Correlation is significant at the 0.05 level (1tailed).
pendapatan 1,000 . 30,000 0,568 0,324 30,000 0,469 0,004 30,000 0,542 0,007 30,000 0,432 0,037 30,000 0,672 0,073 30,000 0,400 0,014 30,000 0,426 0,040 30,000 0,768 0,023 30,000
Kelembagaan 0,568 0,324 30,000 1,000 . 30,000 0,451 0,029 30,000 0,602 0,000 30,000 0,476 0,004 30,000 0,404 0,013 30,000 0,514 0,002 30,000 0,639 0,000 30,000 0,622 0,000 30,000
kemandirian 0,469 0,004 30,000 0,451 0,029 30,000 1,000 . 30,000 0,755 0,000 30,000 0,728 0,000 30,000 0,403 0,014 30,000 0,705 0,000 30,000 0,706 0,000 30,000 0,800 0,000 30,000
Keterangan: Data diolah dengan menggunakan software SPSS for Windows 13
keamanan 0,542 0,007 30,000 0,602 0,000 30,000 0,755 0,000 30,000 1,000 . 30,000 0,644 0,000 30,000 0,446 0,007 30,000 0,741 0,000 30,000 0,855 0,000 30,000 0,824 0,000 30,000
Penge_penyul 0,432 0,037 30,000 0,476 0,004 30,000 0,728 0,000 30,000 0,644 0,000 30,000 1,000 . 30,000 0,376 0,020 30,000 0,699 0,000 30,000 0,751 0,000 30,000 0,788 0,000 30,000
pen_komoditas 0,672 0,073 30,000 0,404 0,013 30,000 0,403 0,014 30,000 0,446 0,007 30,000 0,376 0,020 30,000 1,000 . 30,000 0,371 0,022 30,000 0,453 0,006 30,000 0,459 0,005 30,000
sarana_lok 0,400 0,014 30,000 0,514 0,002 30,000 0,705 0,000 30,000 0,741 0,000 30,000 0,699 0,000 30,000 0,371 0,022 30,000 1,000 . 30,000 0,720 0,000 30,000 0,852 0,000 30,000
kesehatan 0,426 0,040 30,000 0,639 0,000 30,000 0,706 0,000 30,000 0,855 0,000 30,000 0,751 0,000 30,000 0,453 0,006 30,000 0,720 0,000 30,000 1,000 . 30,000 0,881 0,000 30,000
kesejahteraan 0,768 0,023 30,000 0,622 0,000 30,000 0,800 0,000 30,000 0,824 0,000 30,000 0,788 0,000 30,000 0,459 0,005 30,000 0,852 0,000 30,000 0,881 0,000 30,000 1,000 . 30,000
Lampiran 11.
BAGAN STRUKTUR ORGANISASI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN SUKABUMI KEPALA DINAS Drs. ACEP BARNASAH, MM NIP 480 070 047
SEKERTARIAT
UPTD Drs. DADI SUSILA, MSi DAMAN RUSWADI NIP 010 240 815 NIP 010 136 672
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
BIDANG PROGRAM
SUB.BAG.UMUM
SUB.BAG.KEPEGAWAIAN
SUB.BAG.KEUANGAN
PARNUDIN A, S.IP
TITIN SUMIATI
SUTIYANI
NIP 160 024 571
NIP 480 075 727
NIP 480 070 047
BIDANG PENEMPATAN TENAGA KERJA DAN BINA LLS
BIDANG PENGAWASAN DAN PERLINDUNGAN
USEP RIYANDI, SH.
AMINAH, S.Sos
NIP 480 105 477
NIP 160 024 548
Drs. MAMAN SUPRATMAN
Drs. H.ZAINAL ABIDIN, MSi
NIP 130 414 759
SEKSI PERENCANAAN
BIDANG TRANSMIGRASI
NIP 010205 847
SEKSI HUBIN SYAKER DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
R. TAKARINA HP, SH. EDI SUPRIADI NIP 010 234 813 NIP 192 168 012
SEKSI MONEV
SEKSI HUBIN SYAKER DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Drs. BAYU TERESNADI
EDI SUPRIADI
NIP 730 009 000
NIP 192 168 012
SEKSI HUBIN SYAKER DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
SEKSI PENATAAN KAWASAN UMAR SILABAN
EDI SUPRIADI NIP 160 018 870 NIP 192 168 012
SEKSI PENGAWASAN NORMA KETENAGAKERJAAN
SEKSI PEESEB. DAN PEMBINAAN AAM SUKARYA
SOHUTURON HUTAPEA, SH. NIP 160 024 543 NIP 160 047 288
SEKSI HUBIN SYAKER DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
SEKSI PENGAWASAN KESELAMATAN DN KESEHATAN KERJA
EDI SUPRIADI
Drs. SUPENA
NIP 192 168 012
NIP 435 898 098
SEKSI PEMBINAAN MASYARAKAT TRANSMIGRAN MAMAT SUDARMAT NIP 730 008 695