Volume 12, Nomor 1, Juni 2013
P
ISSN 1412-6133
Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial
emberdayaan komunita
S
Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Desember Diterbitkan oleh Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Dewan Pengarah Prof. Dr. Haryono Suyono (Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraam Sosial) Prof. Dr. Badaruddin, M.Si (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara) Hairani Siregar, S.Sos, M.SP (Ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP USU)
Pemimpin Redaksi Drs. Matias Siagian, M.Si., Ph.D Dewan Redaksi Prof. Dr. Risnawati Sinulingga, M.Th Drs. Edward, M.SP Drs. Bengkel Ginting, M.Si Dra. Tuti Atika, M.SP Agus Suriadi, S.Sos, M.Si Mastauli Siregar, Sos, M.Si Husni Thamrin, S.Sos, M.SP Dra. Berlianti, M.SP
Penelaah/Mitra Bebestari Pada Edisi Ini Drs. Tata Sudrajat, M.Si (Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia) Dr. Soni A. Nulhaqim, S.Sos., M.Si (Ketua Umum Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia) Rudi Saparuddin, S.Sos, M.Si (Ketua Lembaga Sertifikasi Profesi Pekerja Sosial) Prof. M.Arif Nasution, MA (Guru Besar Sosiologi Universitas Sumatera Utara Medan) Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA (Guru Besar Administrasi Negara Universitas Sumatera Utara Medan) Prof. Dr. Adi Fahruddin (Guru Besar Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta) Dr. Didiet Widiowati, M.Si (Direktur Pascasarjana Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung) Dra. Inon Beydha, M.Si, Ph.D (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara Medan)
Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jalan Prof. A. Sofyan No. 1 Kampus USU Medan, 20155 Telepon (061) 8211965, Fax (061) 8211633 Pemberdayaan komunitaS adalah Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial yang bertujuan melakukan kajian kritis terhadap masalah-malsalah kesejahteraan sosial dan pemberdayaan masyarakat, didasarkan atas kajian empirik, teoritis, dengan multi perspektif.
Volume 12, Nomor 1, Juni 2013
P
ISSN 1412-6133
Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial
emberdayaan komunita
S
DAFTAR ISI Editorial
Perjalanan Panjang Pengakuan Pekerjaan Sosial sebagai Profesi di Indonesia...............................................................
1 - 2
Abu Huraerah
Strategi Kebijakan Penanggulangan Masalah Kemiskinan di Indonesia.................................................................................
3 - 13
Matias Siagian
Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan......................................................................................
14 - 26
Mastauli Siregar
Implementasi Program Pembinaan Waria oleh Lembaga Kasih Rakyat di Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang....
27 - 34
Berlianti
Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan pada Pusat Kajian Perlindungan Anak dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak............................................................
35 - 47
Tonny Hendra Nadeak
Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Pada Lahan Sawah dan Kering dengan Sistem Rotasi dan Non Rotasi.......................................................................................
48 - 54
Sahawiah Abdullah
Kebijakan Profesionalisme Pekerja Sosial di Indonesia...........
55 - 64
Redaksi menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah diketik dengan spasi rangkap pada kertas A4, panjang 10 – 22 halaman sebanyak 3 (tiga) eksemplar. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Dewan Redaksi dan Penelaah/Mitra Bebestari. Dewan Redaksi dan Penelaah/Mitra Bebestari dapat melakukan perubahan pada naskah yang dimuat untuk keseragaman format, tanpa mengubah maksud dan isinya.
Editorial
Perjalanan Panjang Pengakuan Pekerjaan Sosial sebagai Profesi di Indonesia Sejak dibentuknya Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial pada tahun 2011 yang lalu, perjalanan sejarah profesi pekerja sosial di Indonesia berubah dari yang semula masih sebatas wacana menjadi sesuatu yang nyata. Walaupun pemerintah telah mengakui pekerjaan sosial sebagai suatu profesi melalui pemberian sertifikat yang ditandatangani langsung oleh Menteri Sosial Republik Indonesia, namun profesi pekerjaan sosial belum layak disejajarkan dengan profesi lain yang sudah mapan, seperti dokter, bidan, apoteker, dan lain-lain. Dalam membidani Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia sudah berupaya melibatkan seluruh stakeholders yang berkaitan dengan bidang ilmu kesejahteraan sosial dan aktifitas pekerjaan sosial, seperti Ikatan Pendidikan Pekerjaan Sosial Indonesia (IPPSI), Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI), Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), pihak institusi pengguna lulusan Ilmu Kesejahteraan Sosial dan pekerja sosial baik dalam maupun luar negeri, namun banyak pihak beranggapan, bahwa upaya yang dilakukan masih memerlukan perbaikan. Dalam rangka memulai tugasnya melakukan sertifikasi bagi pekerja sosial, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mengalami banyak kendala. Secara umum kendala tersebut sangatlah wajar, karena komisioner lembaga baru tersebut dituntut menciptakan segala sesuatunya, bukan meneruskan apa yang telah ada sebelumnya. Dalam membangun profesi pekerjaan sosial, profesi yang baru ini harus dilihat dalam dua konteks, yakni dalam konteks profesi yang sama di seluruh dunia, dan dalam konteks dunia profesi di Indonesia. Berkaitan dengan konteks pertama, maka Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mencoba melakukan komparasi dengan profesi pekerjaan sosial di beberapa negara yang lebih maju atau lebih dahulu merintis dan memapankan profesi
pekerjaan sosial, seperti Philipina, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam konteks ini, ternyata pembangunan profesi pekerjaan sosial di Indonesia telah ketinggalan antara 25 hingga 45 tahun. Sebagai negara sedang berkembang yang senantiasa mengalami keterbatasan anggaran, tentu tidak mudah bagi Indonesia, dalam hal ini Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial untuk mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain. Artinya, dengan keterbatasan anggaran, tidaklah mungkin ketertinggalan antara 25 hingga 45 tahun tersebut dapat dikejar dalam tempo 5 hingga 10 tahun. Berkaitan dengan konteks kedua, maka Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial berupaya melibatkan pelaku profesi lain di Indonesia dalam merintis pengakuan pekerjaan sosial sebagai profesi. Dalam rangka usaha ini, dalam berbagai kesempatan, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial beberapa kali mengundang pengurus teras asosiasi tingkat pusat dari berbagai profesi yang lebih mapan, seperti profesi dokter, bidan, psikolog, perawat dan lainlain. Bahkan Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial akhir-akhir ini telah bekerja sama dengan institusi yang mengelola seluruh profesi yang ada di Indonesia, yakni Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Berbagai upaya yang dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial bertujuan agar segala hal yang berkaitan dengan pengakuan (formal) profesi pekerjaan sosial melalui pelaksanaan uji kompetensi benar-benar memenuhi standar. Tentu langkah awal yang dilakukan adalah menyusun standar kompetensi sebagai blue print. Apakah standar itu dapat ditemukan di lapangan atau diimplementasikan dalam praktik nyata oleh pelaku profesi pekerjaan sosial? Tentu pertanyaan ini hanya mungkin dijawab melalui berbagai unsur yang ada dan diterapkan dalam rangka pelaksanaan uji kompetensi bagi pekerja sosial sebagai peserta uji kompetensi.
1
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Sudahkah kelulusan yang diperoleh pekerja sosial memenuhi standar jika disejajarkan dengan pelaku profesi yang sama di berbagai negara yang lebih maju seperti yang disebutkan sebelumnya? Sudahkah kelulusan yang diperoleh pekerja sosial sudah memenuhi standar jika disejajarkan dengan pelaku profesi lain yang lebih mapan di Indonesia seperti profesi dokter, bidan, psikolog, perawat dan lain-lain? Tentu kedua pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh karya nyata pekerja sosial, khususnya mereka yang telah dinyatakan lulus pada uji kompetensi dan telah memiliki sertifikat profesi pekerjaan sosial. Untuk itu, Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial mendorong asosiasi pekerja sosial, yakni Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia untuk pro aktif melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja pekerja sosial yang telah memiliki sertifikat. Hanya melalui monitoring dan evaluasi ini, dapat terdeteksi bagaimana kiprah para pekerja sosial dalam menjalankan
2
profesi pekerjaan sosial. Wujud nyata dari kiprah ini tentu adalah apa yang dirasakan oleh klien setelah mendapat sentuhan dari pekerja sosial. Apakah mereka merasakan bahwa sentuhan para pekerja sosial mampu memecahkan masalah yang mereka hadapi? Apakah sentuhan para pekerja sosial mampu membangun rasa percaya diri dan kemampuan klien sehingga sebelum dilakukan terminasi para klien dengan nyata mampu memecahkan masalahnya sendiri? Hasil monitoring dan evaluasi inilah yang menjawab dua pertanyaan: Apakah mereka layak menyandang profesi pekerja sosial? Apakah mereka layak memiliki sertifikat sebagai pekerja sosial? Jawaban atas kedua pertanyaan ini menjadi modal bagi Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia untuk memberikan rekomendasi kepada Lembaga Sertifikasi Pekerjaan Sosial: apakah sertifikat tersebut masih layak dimiliki atau justru harus ditarik kembali. Untuk itu, saatnya bagi kamu, wahai para pekerja sosial untuk membuktikannya. (Matias Siagian)
Artikel Telaahan
Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia Policy Strategy of Tackling Poverty in Indonesia Abu Huraerah
Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pasundan Bandung
Abstrak Sebagai suatu masalah yang berdimensi luas, kemiskinan harus dipandang sebagai masalah kompleks atau multi dimensi. Oleh karena itu, pemecahan masalah kemiskinan harus dilakukan melalui pendekatan multi dimensi. Pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam penanggulangan masalah kemiskinan dituntut memiliki komitmen yang kuat, dan pelaksanaan komitmen tersebut perlu menerapkan strategi yang didukung pendekatan multi disiplin. Kecenderungan pemerintah yang hanya memandang kemiskinan sebagai masalah ekonomi semata adalah menjadi salah satu penyebab kegagalan penanganan masalah kemiskinan. Bagaimanapun juga pemecahan masalah kemiskinan bukan sekadar pemberian bantuan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat miskin. Masyarakat harus dipandang lebih sebagai subyek daripada obyek, dan mereka harus diberi kesempatan mewarnai kebijakan dan strategi penanggulangan kemiskinan. Pemerintah tidak boleh mendominasi perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi penanggulangan kemiskinan, melainkan hanya sebagai fasilitator, sehingga strategi dan pendekatan penanggulangan kemiskinan benar-benar sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Kata kunci: kemiskinan, fasilitator, strategi, penanggulangan. Abstract Poverty is a complex problem , because it has wide dimension. So, the problem solving poverty need to be done through multi approach dimension. Government as party that most take responsibility in poverty problem tackling peosecuted own commitment that is strong, and implementation commitment need to apply strategy that supported by multi approach discipline. Tendency government that only look poverty as economic problem it is become one of problem handling failure cause poverty. However problem solving poverty not just subsidization in framework meet poor need community. Community should be viewed more as subyek of object, and they should granted by chance tint policy and poverty tackling strategy. Government cannot dominate planning, implementation until poverty tackling evaluation, but only as facilitator, until strategy and really appropriate poverty tackling approach with condition and need community. Keywords: poverty, facilitator, strategy, poverty tackling. Pendahuluan Kemiskinan merupakan konsep berdimensi ganda (multidimensional),
yang yaitu
dimensi ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Secara ekonomi, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumberdaya yang dapat
3
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumberdaya dalam konteks adalah dalam arti luas, tidak hanya menyangkut aspek finansial, melainkan meliputi semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi tersebut, maka kemiskinan dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Cara seperti ini sering disebut dengan metode pengukuran kemiskinan absolut. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2.100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan jumlah pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut. Secara politik, kemiskinan dilihat dari tingkat akses terhadap kekuasaan (power). Kekuasaan dalam pengertian ini mencakup tatanan sistem politik yang dapat menentukan kemampuan sekelompok orang dalam menjangkau dan menggunakan sumberdaya. Ada tiga pertanyaan mendasar yang bekaitan dengan akses terhadap kekuasaan ini, yaitu (a) bagaimana orang dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam masyarakat, (b) bagaimana orang dapat turut ambil bagian dalam pembuatan keputusan penggunaan sumberdaya yang tersedia, dan (c) bagaimana kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Kemiskinan secara sosial-psikologis menunjuk pada kekurangan jaringan dan struktur sosial yang mendukung dalam mendapatkan kesempatan-kesempatan peningkatan produktivitas. Dimensi kemiskinan ini juga dapat diartikan sebagai kemiskinan yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor penghambat yang mencegah atau merintangi seseorang dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di masyarakat. Faktor-faktor penghambat tersebut secara umum meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal datang dari dalam diri si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang datang dari luar diri si miskin, yang secara
4
langsung maupun tidak langsung mempengaruhi akses si miskin terhadap sumber daya yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraannya. Teori “kemiskinan budaya” (cultural poverty) yang dikemukakan Oscar Lewis, misalnya, menyatakan bahwa kemiskinan dapat muncul dari dalam diri si miskin (faktor internal), sebagai akibat adanya nilai-nilai atau kebudayaan yang dianut oleh orang-orang miskin, seperti malas, mudah menyerah pada nasib, kurang memiliki etos kerja, dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal, yang datang dari luar kemampuan orang yang bersangkutan antara lain adalah birokrasi atau peraturan-peraturan resmi yang dapat menghambat seseorang dalam memanfaatkan sumberdaya. Kemiskinan model ini seringkali diistilahkan dengan kemiskinan struktural. Menurut pandangan ini, kemiskinan terjadi bukan dikarenakan “ketidakmauan” si misikin untuk bekerja (malas), melainkan karena “ketidakmampuan” sistem dan struktur sosial dalam kesempatan-kesempatan yang memungkinkan si miskin untuk dapat bekerja. Konsepsi kemiskinan yang bersifat multidimensional itu kiranya lebih tepat jika digunakan sebagai pisau analisis dalam mendefinisikan kemiskinan dan merumuskan kebijakan penanganan kemiskinan di Indonesia. Sebagaimana akan dikemukakan pada pembahasan berikutnya, konsepsi kemiskinan ini juga sangat dekat dengan perspektif pekerjaan sosial yang memfokuskan pada konsep keberfungsian sosial dan senantiasa melihat manusia dalam konteks lingkungan dan situasi sosialnya. Komitmen Pemerintah Pemerintah sebagai pelaksana amanat kedaulatan rakyat tentu memiliki tanggung jawab dalam mensejahterakan masyarakat. Hal ini merupakan konsekwensi logis dari prinsip negara kesejahteraan (welfare state) sebagaimana ditegaskan dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945. Salah satu implementasinya adalah tanggung jawab Pemerintah dalam mengatasi kemiskinan. Dalam upaya mengatasi kemiskinan tersebut Pemerintah telah merumuskan, menetapkan dan mengimplementasikan berbagai program. Misalnya, program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Inpres ini, yaitu Inpres No. 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
Penanggulangan Kemiskinan. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan penanganan masalah kemiskinan secara berkelanjutan di desadesa miskin. Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang kemudian berlanjut menjadi krisis multidimensional, juga telah diluncurkan program pengentasan kemiskinan, yaitu Program Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE) yang kemudian dilanjutkan dengan Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP). Belum lagi di sejumlah provinsi, sebagai daerah otonom, masing-masing juga menetapkan dan mengimplementasikan program pengentasan kemiskinan. Pemda DKI Jakarta misalnya, mengeluarkan program khusus dalam menggalang potensi masyarakat untuk menangani masalah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) melalui Instruksi Gubernur mengenai pembentukan “Kelompok Kerja Kesejahteraan Sosial Usaha Masyarakat (Pokja Kesuma)” di tingkat kelurahan. Kemudian pada tahun 2002 yang lalu, Pemda DKI Jakarta mengeluarkan Program Pemberdayaan Masyarakat Kelurahan (PPMK), yaitu program pemberdayaan masyarakat yang secara khusus menyediakan bantuan masyarakat dengan pendekatan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Setelah itu, muncul kembali program P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), yang kemudian dilanjutkan dengan program penanggulangan kemiskinan yang beberapa tahun terakhir ini digulirkan, yang cukup populer dengan nama PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat)-Mandiri. Belum lagi, beraneka ragam program penanggulangan kemiskinan yang diluncurkan di setiap departemen/kementerian serta di setiap provinsi maupun kota/kabupaten. Meskipun masyarakat miskin telah mendapatkan bantuan program pengentasan kemiskinan, namun ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Masyarakat miskin yang telah tersentuh program pengentasan kemiskinan, tetap saja tidak beranjak dari kondisi kemiskinannya. Perubahan nasib dari kondisi kemiskinan yang mereka alami selama ini kepada kehidupan yang lebih layak, masih jauh dari kenyataan. Oleh karena itu, pasti ada yang salah
dalam strategi kebijakan kemiskinan tersebut.
penanggulangan
Kesalahan Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan memperlihatkan dengan jelas beberapa kekeliruan, antara lain : Pertama, masih berorientasi pada aspek ekonomi dari pada aspek multidimensional. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan dengan fokus perhatian pada aspek ekonomi terbukti mengalami kegagalan, karena pengentasan kemiskinan yang direduksi dalam soal-soal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. Fenomena kemiskinan sangat beraneka ragam, tidak hanya meliputi dimensi ekonomi, tetapi juga berkaitan dengan dimensi budaya dan dimensi struktural atau politik. Dalam konteks budaya, orang miskin diindikasikan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lain-lain. Sementara dalam konteks dimensi struktural atau politik, orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politis. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural akan miskin dalam bidang material (ekonomi). Kedua, lebih bernuansa karitatif (kemurahan hati) dibandingkan dengan produktivitas. Strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang hanya didasarkan atas karitatif, tidak akan mampu memunculkan dorongan dari masyarakat miskin sendiri untuk melakukan ikhtiar dan berupaya bagaimana mengatasi kemiskinan yang dihadapinya. Mereka akan selalu menggantungkan diri pada bantuan yang diberikan pihak lain. Dengan demikian, jangan berharap mereka akan menjadi produktif. Padahal program penanggulangan kemiskinan seharusnya diarahkan supaya mereka menjadi produktif. Ketiga, lebih memposisikan masyarakat miskin sebagai obyek dari pada subyek.
5
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Masyarakat miskin diposisikan sebagai obyek, yaitu kelompok yang dijadikan sasaran perubahan, bukan sebagai subyek yakni sebagai pelaku perubahan. Jika mereka diperlakukan sebagai obyek, berarti menjadikan mereka sebagai manusia pasif. Seharusnya mereka dijadikan sebagai subyek, yaitu sebagai pelaku perubahan yang aktif terlibat dalam aktivitas program penanggulangan kemiskinan. Keempat, pemerintah masih sebagai penguasa daripada fasilitator. Dalam penanganan kemiskinan, pemerintah masih bertindak sebagai penguasa yang kerap kali turut campur tangan terlalu luas dalam kehidupan orang-orang miskin. Tindakan seperti ini justru mengabaikan potensi (sekecil apapun potensi itu) yang dimiliki masyarakat miskin. Sebaliknya, pemerintah semestinya bertindak sebagai fasilitator, yang tugasnya adalah mengembangkan potensi-potensi yang mereka miliki. Paradigma baru mengenai identifikasi orang miskin lebih menekankan „apa yang dimiliki orang miskin‟ ketimbang „apa yang tidak dimiliki orang miskin‟. Potensi orang miskin tersebut bisa berbentuk aset personal dan sosial, serta berbagai strategi penanganan masalah (coping strategies) yang telah dijalankannya secara lokal.1 Penanggulangan Kemiskinan Kurang Efektif Dalam realitasnya menunjukkan bahwa upaya pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan belum membawa hasil yang maksimal. Kemiskinan semakin bertambah dan beban rakyat pun semakin berat saja. Sudah saatnya semua elemen bangsa ini ikut proaktif memikirkan solusi atas masalah kemiskinan yang bagaikan penyakit akut, tidak hanya menghujat dan mencari siapa yang salah. Persoalan kemiskinan adalah tanggung jawab kita bersama. Aparat pemerintah mulai dari pengambil kebijakan hingga petugas operasional di lapangan, legislatif, media massa, serta komponen masyarakat secara keseluruhan. Berdasarkan pengamatan di lapangan dapat diidentifikasikan beberapa faktor yang menyebabkan strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan itu tidak efektif, selain kesalahan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, juga disebabkan antara lain: Pertama, kurangnya koordinasi antar institusi yang terlibat dalam penanganan masalah kemiskinan, adanya ketidakseragaman indikator
6
kemiskinan, tidak validnya data kemiskinan serta masih ditemukannya indikasi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) dalam penyaluran bantuan program penanggulangan kemiskinan. Kurangnya koordinasi antar institusi yang menangani masalah kemiskinan tersebut menyebabkan pelaksanan program berjalan lambat dan cenderung sendiri-sendiri. Masingmasing institusi melaksanakan programnya sendiri, sehingga efektivitas program penanggulangan kemiskinan tidak tercapai. Sudah saatnya pemerintah sebagai pengambil kebijakan menciptakan suatu program yang terintegrasi dan saling bersinergi dalam menangani masalah kemiskinan. Kedua, pangkalan data jumlah penduduk miskin masih lemah. Pangkalan data yang berfungsi sebagai data dasar bagi berbagai upaya penanggulangan kemiskinan belum mampu menyediakan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor, seperti: 1) Perbedaan indikator kemiskinan dari masing-masing sektor atau departemen atau kementerian yang mengeluarkan data kemiskinan menimbulkan banyaknya versi data kemiskinan. Hal ini menyebabkan kekacauan pelaksanaan program-program penggulangan kemiskinan. 2) Adanya sikap ego sektoral di kalangan institusi pengelola data, yang senantiasa menganggap data yang mereka hasilkan sebagai data yang paling akurat dan benar. Menyebabkan tidak adanya proses pemeriksaan silang terhadap data lintas sektoral. 3) Masyarakat tidak dilibatkan secara aktif, terutama masyarakat miskin, pada setiap proses pendataan, mulai dari penentuan indikator sampai pada penetapan siapa yang tergolong miskin. Ketiga, tidak adanya sinergisme program penanggulangan kemiskinan yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan sebagai akibat dari masih adanya ego sektoral dan tumpang tindihnya tugas pokok dan fungsi antar-SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah). Dalam struktur kewenangan pemerintahan sekarang, ujung tombak penanggulangan kemiskinan adalah pemerintah daerah. Pemerintah pusat lebih berperan dalam proses fasilitasi dan asistensi
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
guna mempercepat pengurangan tingkat kemiskinan. Untuk mewujudkan efektivitas pemerintah daerah dalam penggulangan kemiskinan dengan dukungan aktif para pemangku kepentingan (stakeholders) diperlukan perbaikan sistem koordinasi melalui Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) daerah. Keempat, program penanggulangan kemiskinan masih diwarnai adanya indikasi KKN dalam penyaluran bantuan untuk keluarga miskin, baik oleh oknum aparat maupun oleh masyarakat sendiri. Hal ini tentu saja menyebabkan program penanggulangan kemiskinan menjadi salah sasaran. Alih-alih mengurangi beban masyarakat miskin, program tersebut justru sering memicu terjadinya konflik dalam masyarakat. Peranan masyarakat, LSM, legislatif, media masa dituntut untuk lebih aktif dalam hal pengawasan pelaksanaan program, sehingga kebocoran yang selama ini terjadi bisa dikurangi atau diminimalisir. Strategi Kebijakan yang Seharusnya Diterapkan Pemerintah Mencermati beberapa kekeliruan paradigmatik penanggulangan kemiskinan di atas, maka strategi yang harus dilakukan untuk mengatasi kemiskinan adalah sebagai berikut: pertama, karena kemiskinan itu adalah masalah yang bersifat multidimensional, maka program pengentasan kemiskinan seyogyanya juga tidak hanya memprioritaskan aspek ekonomi, melainkan juga memperhatikan dimensi lain. Dengan kata lain, pemenuhan kebutuhan pokok memang perlu mendapat prioritas, namun juga harus mengejar target mengatasi kemiskinan nonekonomik. Oleh karena itu, strategi pengentasan kemiskinan hendaknya juga diarahkan untuk mengikis nilai-nilai budaya negatif seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan, dan lainlain. Apabila budaya ini tidak dihilangkan, maka kemiskinan ekonomi akan sulit untuk ditanggulangi. Selain itu, langkah pengentasan kemiskinan yang efektif harus pula mengatasi hambatan-hambatan yang sifatnya struktural dan politis. Kedua, untuk meningkatkan kemampuan dan mendorong produktivitas, maka strategi yang dipilih adalah peningkatan kemampuan dasar
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan melalui langkah perbaikan kesehatan dan pendidikan, peningkatan keterampilan usaha, teknologi, perluasan jaringan kerja (networking) serta informasi pasar. Ketiga, melibatkan masyarakat miskin dalam keseluruhan proses penanggulangan kemiskinan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi, bahkan pada proses pengambilan keputusan. Keempat, strategi pemberdayaan. Kelompok agrarian populism yang dipelopori kelompok pakar dan aktivis LSM, menegaskan bahwa masyarakat miskin adalah kelompok yang mampu membangun dirinya sendiri jika pemerintah mau memberi kebebasan bagi kelompok itu untuk mengatur dirinya. Oleh karena itu, jalan keluar yang diusulkan dalam rangka memberantas kemiskinan adalah pemberdayaan (empowerment). Dalam kaitan ini, Ginandjar Kartasasmita menyatakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat setidaktidaknya harus dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang dengan titik tolak bahwa setiap manusia dan masyarakat memilki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat, dan (3) memberdayakan pula mengandung arti melindungi. Artinya, bahwa dalam proses pemberdayaan, harus dicegah terjadinya proses melemahkan pihak yang sudah lemah.2 Untuk proyeksi ke masa depan sangat dibutuhkan upaya yang lebih efektif dalam mengatasi kemiskinan. Strategi penanggulangan kemiskinan seperti yang dipaparkan di atas, adalah perlu dipertimbangkan untuk diterapkan dalam setiap program pengentasan kemiskinan sebagai upaya mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Hal ini perlu dilakukan, agar kita tidak terbiasa “terjebak” dalam bias-bias penanggulangan kemiskinan. Kritik terhadap Implikasi Kebijakan Sikap skeptis berbagai kalangan terhadap implikasi kebijakan didasarkan pada pemahaman Dye dan beberapa pakar yang juga mempertanyakan mengapa pemerintah tidak mengetahui kebijakan yang dibuat. Menurut
7
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Dye (1981), ada sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam studi evaluasi kebijakan, yang belakangan dideskripsikan sebagai eksperimentasi kebijakan: Pertama, penentuan apa tujuan yang akan dicapai oleh program. Siapa kelompok target dan apa efek yang diharapkan dari implementasi program itu? Pemerintah seringkali menghendaki tujuan yang bertentangan untuk memuaskan berbagai kelompok sekaligus. Ketika tidak ada kesepakatan mengenai tujuan program dan kebijakan, maka studi evaluasi kebijakan akan diperhadapkan pada konflik kepentingan yang besar. Kedua, sejumlah program dan kebijakan lebih memiliki nilai simbolis. Program dan kebijakan tersebut tidak secara aktual mengubah kondisi kelompok target, melainkan semata-mata menjadikan kelompok tersebut merasa bahwa pemerintah “memperhatikan”. Ketiga, agen pemerintah memiliki kepentingan tetap yang kuat dalam “mencoba” apakah program yang diimplementasikan itu membawa dampak positif. Administrator seringkali melakukan percobaan untuk mengevaluasi dampak program yang dibuat bagaikan mencoba membatasi atau merusak programnya atau mempertanyakan kompetensi administrator. Keempat, agen pemerintah biasanya memiliki investasi besar – organisasi, finansial, fisikal, dan psikologikal – pada program dan kebijakan yang sedang dikerjakan. Kelima, sejumlah studi empiris mengenai dampak kebijakan yang dikerjakan oleh agen pemerintah mencakup sejumlah gangguan terhadap kegiatan program yang sedang berjalan. Keenam, evaluasi program memerlukan pembiayaan, fasilitas, waktu, dan pegawai yang mana agen pemerintah tidak ingin berkorban dari program yang sudah berjalan. Studi dampak kebijakan, seperti halnya sejumlah penelitian, membutuhkan dana untuk membiayai. Studi itu tidak dapat dilakukan dengan baik, hanya bagaikan kegiatan ekstrakurikuler atau paruh waktu. Penyiapan sumber daya untuk studi tersebut berarti pengorbanan sumber daya program yang tidak ingin dilakukan oleh administrator. 3 Selain sikap skeptis di atas, administrator pemerintah dan pendukung progam memikirkan berbagai cara untuk
8
memberikan alasan mengapa temuan negatif dampak kebijakan harus ditolak. Begitu pula ketika menghadapi fakta empiris bahwa program yang diunggulkan tidak berguna atau kontra-produktif, pihak tersebut menyatakan : (1) efek program tersebut bersifat jangka panjang dan tidak dapat diukur pada saat sekarang; (2) efek program tersebut menyebar dan bersifat umum, tidak ada keriteria tunggal atau kesesuaian indeks untuk mengukur apa yang dicapai; (3) efek progam tidak jelas dan tidak dapat diidentifikasi dengan ukuran kasar atau statistik; (4) fakta yang ditemukan mengenai tidak adanya perbedaan orang yang penerima pelayanan dan orang yang tidak menerima berarti bahwa progam itu tidak intensif dan mengindikasikan perlunya lebih banyak mengeluarkan sumber daya program tersebut; (5) kegagalan mengidentifikasi sejumlah sejumlah efek positif suatu program dapat menandai ketidaksesuain atau bias dalam peneltian, bukan pada program. Berdasarkan uraian di atas, dapat bahwa sikap skeptis teoritisi dan praktisi seperti itu tidak sepenuhnya dapat diterima, karena realitas yang ditemukan di lapangan justru “berbeda”. Perbedaan dan bukti nyata dapat dipahami berdasarkan dampak kebijakan publik secara teori dan sejumlah praktek berikut ini. Dampak Kebijakan Dampak kebijakan adalah keseluruhan efek yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dalam kondisi kehidupan nyata (Dye, 1981). Anderson (1984) mengemukakan semua bentuk manfaat dan biaya kebijakan, baik yang langsung maupun yang akan datang, harus diukur dalam bentuk efek simbolis atau efek nyata. Output kebijakan adalah berbagai hal yang dilakukan pemerintah. Kegiatan ini diukur dengan standar tertentu. Angka yang terlihat hanya memberikan sedikit informasi mengenai outcome atau dampak kebijakan publik, karena untuk menentukan outcome kebijakan publik perlu diperhatikan perubahan yang terjadi dalam lingkungan atau sistem politik yang disebabkan oleh aksi politik. Pengetahuan mengenai jumlah dana per kapita yang digunakan untuk siswa dalam sistem persekolahan atau untuk kasus lainnya, tidak dapat memberikan informasi mengenai efek
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
persekolahan terhadap kemampuan kongnitif, afektif, dan psikomotorik siswa. 4 Menurut sebagian pakar (Dye, 1981; Anderson, 1984), terdapat sejumlah dampak kebijakan yang perlu diperhatikan di dalam evaluasi kebijakan, yakni : Pertama, dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok target. Obyek yang dimaksud sebagai sasaran kebijakan harus jelas. Misalnya masyarakat miskin (berdasarkan keriteria tertentu), para pengusaha kecil, kelompok anak-anak sekolah yang termarjinalkan, atau siapa saja yang menjadi sasaran. Efek yang dituju oleh kebijakan juga harus ditentukan. Jika berbagai kombinasi sasaran tersebut dijadikan fokus masa analisisnya menjadi lebih rumit karena prioritas harus diberikan kepada berbagai efek yang dimaksud. Disamping itu, perlu dipahami bahwa kebijakan kemungkinan membawa konsekuensi yang diinginkan atau tidak diinginkan. Faktanya, implikasi atau dampak kebijakan berbagai program penanggulangan kemiskinan (Program Pengembangan Kecamatan, Kemitraan Bagi Pengembangan Ekonomi Lokal, CERD, P2KP, Program Pengembangan Prasarana Perdesaan, dan lain sebagainya) dengan sasaran orang miskin di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu bukti nyata. Implikasi kebijakannya terlihat misalnya melalui upaya program tersebut di dalam mengembangkan kegiatan ekonomi produktif, kemudahan akses masyarakat terhadap akses pendanaan-informasi-pasar-jaringan, kemudahan akses terhadap peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, kemudahan terhadap penyediaan hak-hak dasar masyarakat miskin, peningkatan kualitas hidup masyarakat yang dapat dilihat dari penyediaan fasilitas sosial, prasarana da sarana, pendidikan, faktor lingkungan, perwakilan (hak) politik, dan kebutuhan lainnya. Kedua, dampak kebijakan terhadap situasi atau kelompok lain selain situasi atau kelompok target. Hal ini disebut efek eksternalitas atau spillover, karena jumlah sejumlah outcome kebijakan publik sangat berarti dipahami dengan istilah eksternalitas. Faktanya: dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program telah melibatkan secara langsung dan
tidak langsung berbagai pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, aparat pemerintah daerah, tokoh-tokoh masyarakat, guru, penyuluh kesehatan, konsultan, kontraktor dan sebagainya. Ketiga, dampak kebijakan terhadap kondisi sekarang dan kondisi masa yang akan datang. Faktanya, dampak kebijakan penanggulangan kemiskinan melalui beberapa program seperti di atas, telah menguatkan fondasi ekonomi kerakyatan dan kemandirian masyarakat miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa dampak positif kebijakan tersebut meneguhkan keinginan masyarakat dalam merespon gagasan otonomi daerah yang baru dimulai pelaksanaanya sejak tahun 1999 (Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang Undang- undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian diganti dengan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004). Keempat, biaya langsung kebijakan, dalam bentuk sumber dana dan dana yang digunakan dalam program. Faktanya, berbagai lembaga donor (nasional dan internasional) telah merealisasikan programnya. Hal ini logis dan sejalan dengan beberapa kesepakatan dalam program penanggulangan kemiskinan yang dibiayai oleh berbagai pihak seperti World Bank, UNDP, ADB, JICA, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kelima, biaya tidak langsung kebijakan, yang mencakup kehilangan peluang melakukan kegiatan-kegiatan lainnya. Biaya tersebut sering tidak diperhitungkan dalam melakukan evaluasi kebijakan publik karena sebagian tidak dapat dikuantifikasi. Faktanya, tidak bisa dipungkiri bahwa program yang dijalankan akan melibatkan berbagai pihak yang dengan keterlibatannya menghalangi melakukan kegiatan lain, misalnya anak dan anggota keluarga dari masyarakat miskin yang dulunya turut membantu kegiatan orang tua, harus berada di bangku sekolah untuk belajar pada jam tertentu. Hal ini berarti kesempatan membantu orang tuanya bekerja menjadi hilang atau berkurang. Keenam, tentu saja, juga sulit mengukur manfaat tidak langsung dari kebijakan terhadap komunitas. Faktanya, hal ini sesungguhnya dapat
9
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
dilihat dari dampak simbolis kebijakan, misalnya di bidang pendidikan terlihat dari perubahan sikap dan perilaku masyarakat untuk sadar akan arti penting pendidikan atau di bidang kesehatan melalui sikap dan perilaku sehat yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara teoritis, dampak kebijakan tidak sama dengan output kebijakan. Karena itu menurut Dye (1981), penting untuk tidak mengukur manfaat dalam bentuk aktivitas pemerintah semata. Hal ini perlu dicermati karena yang seringkali terlihat adalah pengukuran aktivitas pemerintah semata mengukur output kebijakan. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah. Garis Besar Aktivitas Kebijakan Sosial Kebijakan sosial adalah salah satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant, Watts, Dalton dan Smith (2006): “In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s live by providing a range of income support, community services and support programs.”5 Artinya, secara singkat kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Suharto, 2008).6 Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni
10
perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.7 a. Peraturan dan perundang-undangan. Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan. b. Program pelayanan sosial. Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi, pendampingan). c. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil. Di negara-negara maju, bantuan publik (public assistance) dan asuran sosial (social insurance) adalah dua bentuk jaminan sosial (social security) yang dananya sebagian berasal dari pajak. Kebijakan sosial seringkali melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat mata (intangible aids). Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh kebijakan sosial. Sebagai sebuah kebijakan publik, keputusan kebijakan sosial berada di tangan pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun,
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
sejalan dengan menguatnya embusan good governance, dalam proses perumusannya kebijakan sosial melibatkan tidak hanya „orang pemerintahan‟ saja. Melainkan pula para „pemain lain‟, mulai dari praktisi hingga akademisi; mulai dari kelompok populis (pegiat Ornop, Orsos) hingga kalangan spesialis (analis kebijakan, think thank). Sementara, komunitas pembuatan kebijakan melingkupi banyak pihak yang melakukan riset atau terlihat dalam advokasi guna mendesakkan perubahan-perubahan kebijakan. Muncullah istilah policy-making community yang menunjukkan bahwa pembuatan kebijakan melibatkan banyak pihak dan lembaga, selain birokrasi dan departemen-departemen pemerintahan (Suharto, 2009).1 Kebijakan sosial adalah suatu aspek dan obyek kajian yang memiliki ruang lingkup luas dan global. Peran pekerja sosial dalam menghadapi fenomena perkembangan suatu negara sangat diperlukan dan peran serta aktif pula dalam bekerjasama dengan instansi kepemerintahan yang memang memiliki otoritas dan peranan dalam melakukan suatu kebijakan. Seperti yang terdapat dalam definisi di atas, kebijakan sosial sangat berfungsi dalam melakukan suatu kesejahteraan bagi penduduk di suatu negara. Pekerja sosial sebagai tenaga yang sangat dibutuhkan kontribusinya dapat pula berfungsi dengan berperan serta aktif ikut menentukan dan membuat perancangan kebijakan sosial strategis tidak hanya dalam lingkup lokal melainkan dalam matra global. Pekerja sosial haruslah aktif dalam merespon situasi perubahan dan perkembangan kondisi global, sehingga dapat bersama dengan pemerintah melakukan rancangan yang efektif dalam mensejahterakan masyarakat. Setiap negara memiliki mekanisme tersendiri dalam proses perumusan suatu kebijakan sosial. Sebagian besar negara menyerahkan tanggungjawab ini kepada setiap departemen/kementerian pemerintahan, namun ada pula negara yang memiliki badan khusus yang menjadi sentral perumusan kebijakan sosial. Terdapat pula negara-negara yang melibatkan baik lembaga pemerintahan maupun swasta dalam merumuskan kebijakan sosialnya. Tidaklah mudah untuk membuat generalisasi
lembaga mana yang paling berkompeten dalam masalah ini (Suharto, 2007).8 Dalam perjalanan, penyusunan, perancangan, dan penerapannya, kebijakan sosial meliputi 4 (empat) tingkatan aktivitas profesi : I. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undangundang, mengartikannya dengan menjadikan sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan, yaitu pemerintah. II. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. III. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial. IV. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lainlain. Kesimpulan ringkas yang dapat kita petik dari adanya pembagian aktivitas yang secara tidak langsung dapat bekerjasama mengambil suatu ketetapan dalam penerapan kebijakan sosial. Dalam hal ini, pihak pemerintah dapat dengan mudah menentukannya. Hal ini disebabkan oleh fakta, bahwa masing-masing pihak dapat memantau kebijakan yang dibuat pemerintah dan mengawasi tindakan dalam penerapannya. Dengan demikian, tingkat pelanggaran yang mungkin terjadi dapat diantisipasi. Selain adanya tingkatan aktivitas yang dilakukan pada bidangnya masing-masing,
11
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
kebijakan sosial pun memiliki 3 (tiga) tingkatan intervensi, yang tidak jauh berbeda dengan tingkatan aktivitas, seperti diungkapkan Bruce. S Jansson, di dalam Social Policy, from Theory to Practice, yaitu: I. Direct-service practice, yang berkaitan dengan pekerjaan para pelaksana kebijakan; II. Community organization, yang membicarakan pada pengerahan kemampuan seperti menghimpun koalisi; III. Administrative social work, yang berkenaan dengan pokok persoalan. Suatu kebijakan yang telah disusun, dirancang, dan disepakati sebelumnya haruslah meliputi dua aspek yang harus diperhatikan, di antaranya adalah: (1) mengaktualisasikan kebijakan dan program yang dibuat untuk kesejahteraan masyarakat, (2) menyingkap dan memperlihatkan lapangan akademis dalam penyelidikan yang ditekankan dengan deskripsi, uraian, dan evaluasi terhadap suatu kebijakan Adanya aspek yang tertera di atas dimaksudkan agar masyarakat sebagai objek sasaran kesejahteraan dapat memahami dan menerapkannya dengan baik. Begitu juga dengan pemerintah dengan semua perangkatnya, sejatinya memperhatikan bagaimana kinerja tersebut berlangsung, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan baik. Kemudian, bagaimana nantinya pemerintah dapat mempengaruhi kesejahteraan masyarakat melalui kebijakan yang telah disuun dan diterapkan? Jawabannya adalah dapat ditempuh dengan 3 (tiga) langkah yang bila hal tersebut berjalan secara efektif maka penerapannya akan sempurna. Ketiga langkah tersebut antara lain seperti yang terdapat dalam The Handbook of Social Policy, yakni: I. Pemerintah membuat kebijakan yang bersifat spesifik dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Contoh: pemerintah mungkin dapat saja mencoba untuk memperbaiki kondisi sosial penduduknya dengan memperkenalkan bentuk program kebijakan yang baru; II. Pemerintah mempengaruhi kesejahteraan sosial melalui kebijakan sosial dengan melihatnya dari sisi ekonomi, lingkungan, atau kebijakan lainnya, walaupun begitu mereka memiliki
12
perhatian terhadap suatu kondisi sosial. Contoh: kebijakan sosial dengan menambah hubungan relasi perdagangan atau mengundang investor dari negara lain. Kemudian, menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membangkitkan pemasukan yang akan memengaruhi kesejahteraan masyarakat dengan melihat tumbuh suburnya jumlah investor perdagangan, dan lain-lain. III. Kebijakan sosial pemerintah yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat secara tidak terduga dan tidak diharapkan. Suatu kebijakan terfokus pada salah satu kelompok, tetapi pada kenyataanya justru mendatangkan keuntungan yang tidak terduga pada aspek yang lain.9 Kesimpulan 1. Masalah kebijakan sosial adalah suatu permasalahan yang membutuhkan penanganan khusus, terpadu dan dilakukan secara kontinu dan konsekuen. Sebagian besar negara berkembang selalu memerhatikan aspek kebijakan sosial sebagai program andalan yang dapat menjadi perencanaan untuk melakukan kesejahteraan sosial. 2. Terlebih lagi adanya kebijakan sosial tidak mungkin lepas dari pihak-pihak yang memiliki kaitan dengan lembaga pembuat kebijakan. Peranan yang harus menjadi tanggungjawab berbagai pihak dalam menyusun dan melakukan perencanaan sejatinya dapat dilakukan sebaik mungkin demi tercapainya kesejahteraan sosial. 3. Dalam menjelaskan determinan kebijakan publik, ukuran output kebijakan publik sangat penting untuk diperhatikan. Namun, dalam menilai dampak kebijakan publik, perlu ditemukan identitas perubahan dalam lingkungan yang terkait dengan upaya mengukur aktivitas pemerintah. 4. Dalam menyusun, merancang, dan menerapkan suatu kebijakan sosial hendaklah memperhatikan tingkatan aktivitas sebagai berikut: a. Melihat aktivitas di suatu tataran dengan merespon untuk membuat suatu kebijakan sosial yang melihat dari penetapannya terhadap suatu undang-undang, mengartikannya dengan menjadikan
Huraerah, Strategi Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan
sebagai suatu kebijakan yang dilindungi oleh hukum, membuat keputusan pada bidang administrasi, melaksanakan dan menerapkannya. Penentuan bidang ini dilakukan oleh pengambil kebijakan yaitu pemerintah. b. Melihat bentuk pelayanan dan sebagai penasihat secara teknis tentang suatu kebijakan, atau sebagai konsultan yang mengkhususkan dalam suatu lapangan yang berkepentingan. Bidang ini merupakan wewenang di tingkatan legislatif pada suatu negara demokrasi. c. Meneliti dan menginvestigasi problema sosial dan mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan kebijakan sosial. Bidang ini dilakukan oleh para pekerja sosial. d. Memberikan perlindungan atau advokasi secara khusus terhadap suatu kebijakan dasar yang berkepentingan dengan suatu bidang. Bidang ini merupakan kerja pihak LSM yang bergerak pada bidangnya, misalnya: LSM lingkungan, LSM ekonomi, LSM politik, dan lain-lain. 5. Pemerintah hendaknya memerhatikan strategi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kesalahan strategi penanggulangan kemiskinan berakibat pada tidak efektifnya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan.
Daftar Pustaka 1. Suharto, Edi. (2009). Pembangunan, Kebijakan Sosial, dan Pekerjaan Sosial: Spektrum Pemikiran. Bandung: LSP Press. 2. Kartasasmita, Ginandjar. (1997). Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Sarasehan DPD Golkar Tingkat I Jawa Timur 14 Maret 1997. Surabaya 3. Dye, Thomas R (1981). Understanding Public Policy. New Jersey: Prentice Hall. 4. Anderson, James E (1984). Public Policy Making. Boston: Houghton Miffin. 5. Bessant, Judith, Rob Watts, Dalton, Smith (2006). Talking Policy: How Social Policy in Made. Crows Nest: Allen and Unwin. 6. Suharto, Edi (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: Alfa Beta. 7. Midgley, James, Martin B (2000). Introduction: Social Policy and Social Welfare. London: Catalyst. 8. Suharto, Edi (2007). Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Memperkuat Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility). Bandung: Refika Aditama. 9. Spicker, Paul (1998). Social Policy: Themes and Approaches. London: Prentice Hall.
13
Artikel Penelitian
Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan Influence Transnational Broadcast to Teenage Behavior in Helvetia Tengah Subdistrict of Medan Helvetia Medan Matias Siagian Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Abstrak Perkembangan teknologi yang begitu cepat antara lain mengakibatkan siaran transnasional telah menjadi bagian hidup dari remaja. Penelitian ini secara khusus mengkaji hubungan antara siaran transnasional terhadap perilaku menyimpang remaja. Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 21 tahun, yang berstatus sebagai penduduk Kelurahan Helvetia Tengah Kecamataan Medan Helvetia, Kota Medan, yang memiliki channel televisi kabel, yang dapat mengakses siaran televisi dari banyak negara sehingga sering menonton siaran-siaran yang lebih vulgar, seperti olahraga keras, percintaan dan seks, film kekerasan, yang jarang ada pada siaran televisi nasional. Hasil analisis data menyimpulkan bahwa aktivitas menonton siaran televisi asing oleh remaja adalah tergolong kategori tinggi, aktivitas melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang remaja adalah tergolong kategori tinggi, dan terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas menonton dengan melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang. Kata kunci: Siaran transnasional, perilaku menyimpang. Abstract Technology development that is so fast among others result transnational broadcast has become part live off teenage. This research especially looked into a relationship between transnational broadcast to behavior deviate teenage. This population research is teenage that aged 13 – 21 year, that live in Helvetia Tengah, sub district of Medan Helvetia, Medan city, that own channel cable TV, that can access telecasts from countries wealth until often watch events those are more bawdy, like hard exercise, romances and sex, film violence , that rare is on broadcast national television. Data analysis result conclude that activity watch foreign telecasts by teenage is appertain high category, activity make or featured behavior that deviate teenage is appertain high category, and occurred by relationship that significant between activity watch by doing or featured behavior that deviate. Keywords: transnational broadcast, behavior that deviate.
14
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
Pendahuluan Akhir-akhir ini masyarakat di kota-kota besar di Indonesia dikejutkan dengan berita keberadaan geng motor dengan segala sepak terjangnya. Mereka pada umumnya terdiri dari remaja, yang sering mengendaraai sepeda motor secara bergerombolan. Dalam aksinya mereka sering melakukan berbagai aktivitas yang mengganggu ketenteraman umum, seperti mengganggu orang, menyerang orang, merampok warung/swalayan. Jika mereka mendapat teguran dari masyarakat maupun aparatur keamanan, mereka justru merasa terganggu dan protes. Penampilannya mengindikasikan bahwa mereka identik dengan suatu kerajaan lengkap dengan penguasanya, bahkan mereka memberlakukan sistem rekruitmen dengan prosedur yang tegas. Perilaku dan tindakan mengejutkan juga sering dilakukan oleh sosok yang masih dikategorikan sebagai anak. Sebagai contoh, seorang yang masih duduk di bangku SD di Pangkalan Berandan, Langkat, Sumatera Utara melakukan penganiyaan terhadap teman sekolahnya. Oleh keluarga korban peristiwa tersebut bukan lagi dianggap sekadar peristiwa biasa dimana di antara anak-anak terlibat pertengkaran, kemudian berkelahi, dan dalam waktu singkat berdamai dan berteman kembali. Bagi keluarga korban, peristiwa itu dianggap sebagai perbuatan kriminal, sehingga pelaku pun dilaporkan ke polisi, dan polisi pun memproses laporan tersebut secara hukum. Sebagai konsekwensi logisnya, maka si anak kecil dianggap telah melakukan tindakan kriminal, sehingga berurusan dengan pengadilan dan dijatuhi vonis.1 Jika kita perhatikan lebih mendalam, akan kita ketahui bahwa remaja sekarang semakin atraktif dalam bersikap dan bertindak. Sebagai contoh, seorang remaja SMK menikam teman sekolahnya hingga meninggal dunia.2 Peristiwa tersebut membuka mata hati kita untuk lebih memperhatikan remaja dengan segala permasalahannya. Demikian halnya dengan seorang anak remaja yang dengan teganya memperkosa seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SD.3 Peristiwa ini menuntut perubahan persepsi kita terhadap penyimpangan perilaku remaja yang semula kita
anggap hanya sekadar kenakalan menjelma menjadi perbuatan kriminal. Hasil penelitian Gerbner yang dimuat dalam artikel yang ditulis oleh Hawkin dan Pingree dengan judul Television’s Influence On Social Reality yang dimuat dalam mengindikasikan adanya korelasi positif antara banyaknya menonton televisi perhari dengan prevalensi terhadap kekerasan (dengan menggunakan kontrol variabel pendidikan, jenis kelamin, umur, ras). Kesimpulan yang sama juga diperoleh Gerbner ketika dalam penelitiannya menggunakan variabel kontrol yang lain, yakni jenis kelamin, umur, membaca koran, dan pendidikan ayah. Demikian halnya ketika dalam penelitiannya menggunakan umur, kelas, achievement dan pengalaman menjadi korban sebagai variabel kontrol juga diperoleh kesimpulan yang sama.4 Hubungan antara film yang ditonton dengan pembentukan imagi juga dikemukakan oleh Slamet Rahardjo Djarot, seorang sutradara film kesohor. Dalam makalah seminarnya, Djarot mengemukakan bahwa pendapat pakar film Ingmar Bergman dan Alfred Hitchcock yang dikenal dengan ucapannya, bahwa membuat film berarti membentuk imagi. Lebih dalam lagi, Djarot mengemukakan, bahwa secara teknis sinematrografis, bahasa televisi adalah bahasa medium shot sebagai resiko ukuran layarnya yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan layar bioskop. Kesan yang ditimbulkan oleh format medium shot adalah adanya penggarisbawahan dan biasanya suatu penggarisbawahan menuntut adanya perhatian yang lebih dan untuk kepentingan itu setiap shot yang tampil di layar televisi harus memiliki daya pikat yang tinggi. Penggunaan format medium shot harus diperhitungkan, karena jarak yang diciptakannya menimbulkan kesan bahwa kita telah berada di antara masalah.5 Hawkins dan Pingree mengemukakan bahwa pengaruh televisi dalam pembentukan realitas sangat kompleks. Muatan siaran televisi berkontribusi nyata dalam konstruksi realitas sosial. Bagaimanapun juga, siaran televisi cepat atau lama secara jelas berpengaruh terhadap konstruksi realitas sosial, mungkin saja sangat dalam, baik secara langsung maupun tidak langsung yang terbentuk dalam interaksi yang
15
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
variatif dari lingkungan maupun institusiinstitusi.6 Simanjuntak (1992) mengemukakan, menurut teori panduan, salah satu teori yang menjelaskan latar belakang kenakalan remaja menegaskan, bahwa faktor penyebab kenakalan remaja dapat berupa faktor internal dan faktor eksternal. Adapun faktor internal meliputi kepribadian, jenis kelamin dan kedudukan dalam keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah kemudian dibedakan antara interpersonal environment dan cultural environment. Secara khusus, faktor interpersonal environment meliputi disharmoni keluarga, perlindungan yang berlebihan, pendidikan yang kurang baik. Adapun cultural environment meliputi lingkungan sekolah, media komunikasi massa dan disorganisasi sosial.7 Pada masyarakat kota-kota besar, tampaknya pengaruh faktor eksternal semakin dominan. Kondisi mana diakibatkan oleh perubahan sosial yang demikian cepat dan cenderung radikal baik dalam sistem sosial, sistem ekonomi dan sistem budaya. Kondisi ini merupakan konsekwensi logis dari pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan, sehingga tatanan yang mengental sejak jaman penjajahan dipaksa untuk berubah, baik dalam norma maupun peran. Sebagai contoh, seseorang yang selama ini pedagang bisa saja dipaksa menganggur akibat digusur pembangunan, pedagang menjadi bupati, priyayi tiba-tiba menjadi pedagang, sedangkan petani menjadi buruh. Harus diakui, akibat pembangunan senantiasa bermata dua, yakni berdampak positif dan negatif. Terlebih pembangunan tidak selamanya berimbang dan konsekwen. Misalnya, pembangunan yang demikian pesat yang diikuti pertumbuhan yang demikian cepat tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur maupun kesadaran hukum masyarakat. Kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan yang umum di kota-kota besar saat ini. Pagi hari masyarakat kota dipaksa mendapat sarana angkutan berdesak-desakan untuk mengejar tiba di sekolah dan tempat bekerja tepat waktu. Sepanjang jalan kita sering berhadapan dengan berbagai pihak yang memiliki identitas sebagai
16
preman. Kita sering dipaksa untuk ikut gaya dan aturan mereka. Kehidupan masyarakat berjalan terus. Saat sore dan malam hari tiba, penduduk kota tiba kembali di rumah setelah lelah dalam kesehariannya. Mereka yang beruntung dalam hidupnya dapat dengan nyaman menikmati berbagai fasilitas, seperti alat pendingin udara dengan berbagai kamar dan ruang rumah yang lapang. Sedangkan bagi mereka yang kurang beruntung dipaksa bernafas dalam suasana ruang sesak. Sebagian dari mereka yang tiba di rumah tidak mendapati anggota keluarga lain secara lengkap, karena anggota keluarga lain masih sibuk dengan urusan sendiri. Dalam berbagai kondisi yang ada, setelah tiba di rumah, sangat jarang dari masyarakat kota langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Pada umumnya mereka mengisi waktunya dengan menonton televisi. Ketika mulai menonton televisi apa yang terjadi? Menonton televisi berarti memasuki tatanan global, dengan sistem yang didominasi oleh pusat imperial, terutama Amerika Serikat, yang dengan dayanya yang adi senantiasa mengontrol aliran modal, barang dan jasa baik dengan internal, sesama bangsa maju dan bangsa yang dianggap pinggiran sistem seperti Indonesia. Negara-negara besar seakan-akan mendukung dengan ikhlas pembangunan negara-negara yang berada di pinggiran sistem, padahal sesungguhnya tidak. Pembangunan negara-negara pinggiran yang sering diidentifikasi dan mengidentifikasi diri sebagai negara dunia ketiga bagi mereka hanya sebagai pendukung dan memperkuat dominasi bangsa-bangsa maju dan memelihara ketergantungan negara-negara pinggirian. Secara teoritis, perusahaan multi nasional dan komunikasi transnasional melakukan fungsi yang sama dengan fungsi yang dijalankan tentara imperial pada abad ke 18 dan 19. Perusahaan multi nasional dan komunikasi transnasional datang, melihat, dan menduduki, lalu memanipulasi keinginan, kebutuhan, serta membuat negara dunia ketiga percaya bahwa pembangunan hanya akan dapat berhasil melalui sistem global yang mereka ciptakan dan sedang berlaku.8 Rembesan informasi global ini mendominasi televisi kita, terutama televisi
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
swasta dimana lebih separoh jam tayangnya berisi program dari luar, yang justru menawarkan model kehidupan yang berbeda dan serba baru. Negara maju sangat lihai dalam menjual kebudayaan populer, bahkan mampu meyakinkan masyarakat dari negara-negara sedang berkembang, bahwa masalah yang ada hanya dapat dijawab oleh Rambo, Superman, Batman, dan lain-lain produk mereka. Depari mengemukakan bahwa televisi dan CD/DVD adalah media pandang dengar yang memadukan antara bahasa lisan, bahasa tulisan, gambar yang bergerak, warna, animasi dan sound effect menjadi satu-kesatuan. Potensi televisi lebih besar dibandingkan dengan radio maupun media cetak karena sifatnya yang pandang dengar. Dalam literatur dewasa ini, pengaruh televisi dan CD/DVD makin banyak dibicarakan. Hal tersebut disebabkan oleh sifatnya, sehingga mendapat kedudukan yang demikian sentral dalam kehidupan masyarakat perkotaan.9 Kehadiran televisi kabel merupakan salah satu unsur kemajuan di bidang teknologi informasi dan entertain. Wallace mengemukakan, pembangunan yang sedang berjalan saat ini senantiasa dihiasi ketimpangan antara kemajuan fisik dengan kemajuan mental dan moral. Masyarakat menerima begitu saja kemajuan itu, tanpa dipersiapkan secara moral dan mental, sehingga banyak muncul penyimpangan-penyimpangan mental dan moral.10 Erat kaitannya dengan apa yang dikemukakan Wallace, perilaku menyimpang remaja atau kenakalan remaja merupakan penyimpangan moral. Dalam konteks ini penyimpangan tersebut menggunakan norma sebagai kriteria. Oleh karena itu perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma sosial yang berlaku dalam suatu lingkungan masyarakat merupakan penyimpangan perilaku. Gerald mengemukakan bahwa teknologi komunikasi cenderung menjadikan masyarakat itu sama, padahal kondisi nyata masyarakat itu berbeda, terutama dari tingkat kemajuan yang dialami. Melalui teknologi komunikasi, masyarakat tradisional dapat menerima berbagai unsur dari masyarakat modern. Termasuk di dalamnya adalah masyarakat dari negara sedang berkembang dapat menerima berbagai unsur
modern dari masyarakat yang ada di negaranegara maju. Akibatnya, unsur-unsur baru tersebut seakan-akan memaksa masyarakat tradisional tersebut menerimanya sebagai suatu pola baru yang dianggap lebih ideal, padahal sering justru mengakibatkan gangguan terhadap sistem kehidupan mereka.11 Hardin (2003) mengemukakan bahwa teknologi yang menyajikan informasi seperti televisi, film, internet mengakibatkan seseorang memasuki dunia baru, tetapi sekaligus meninggalkan dunia lama, seperti keluarga. Seseorang semakin menjauhi diri dari institusi keluarga, semakin besar pengaruh teman, karena banyak muatan informasi yang diperoleh dianggap kurang tepat untuk didiskusikan dengan keluarga, seperti orangtua dan saudara. Akibatnya terbuka peluang untuk melakukan halhal yang tidak diharapkan orangtua.12 Metode Penelitian Penelitian ini tergolong penelitian deskriptif, yang bertujuan menggambarakan fenomena penggunaan media internasional sebagai variabel bebas dan perilaku remaja sebagai terikat, serta pengaruh penggunaan media internasional terhadap perilaku remaja. Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Helvetia Tengah Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Populasi penelitian ini adalah remaja yang berusia 13 – 21 tahun, yang berstatus sebagai penduduk Kelurahan Helvetia Tengah Kecamataan Medan Helvetia, Kota Medan, yang memiliki channel televisi kabel, yang dapat mengakses siaran televisi dari banyak negara sehingga sering menonton siaran-siaran yang lebih vulgar, seperti olahraga keras, percintaan dan seks, film kekerasan, yang jarang ada pada siaran televisi nasional. Sangat sulit mengetahui berapa jumlah populasi penelitian ini, karena kepemilikan channel televisi kabel seperti indovision dan astro tidak dilaporkan kepada pihak pemerintah setempat. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak mungkin diterapkan teknik penarikan sampel yang termasuk random. Peneliti menerapkan teknik penarikan sampel snow ball, yang merupakan salah satu jenis teknik penarikan sampel non random. Dalam hal ini, selain menggunakan pengguna channel televisi kabel
17
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
(sampel penelitian) sebagai pintu masuk ke sampel penelitian, peneliti juga menggunakan pegawai lapangan indovision dan astro sebagai pintu masuk ke sampel penelitian. Melalui pendekatan tersebut diperoleh 25 orang sampel penelitian. Data penelitian dikumpulkan melalui observasi dan wawancara. Dalam hal ini observasi dilakukan untuk mengetahui sekilas gambaran perilaku remaja, termasuk membantu penentuan sampel. Sedangkan wawancara dilakukan dengan dibantu angket. Pendekatan persuasif dilakukan terhadap sampel sekaligus responden agar mereka dengan suka rela mau memberikan informasi apa adanya tentang aktivitas menonton siaran internasional perilaku mereka. Data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kuantitatif, melalui statistik deskriptis. Ukuran yang dominan digunakan dalam analisis data adalah persentase, setelah terlebih dahulu menggunakan skala likert dalam proses kuantifikasi data. Sehubungan dengan penggunaan skala likert ini, maka instrumen penelitian disusun secara simetris dan paralel, sehingga melalui kuantifikasi data, fenomena sosial yang menjadi variabel penelitian dapat diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan jarak antara nilai tertinggi dan terendah, maka diperoleh interval sebesar 1,66. Sehingga nilai untuk kategori setiap kelas adalah sebagai berikut: a) Ketegori tinggi 3,66 – 5,00 b) Ketegori sedang 2,33 – 3,655 c) Ketegori rendah 1,00 – 2,325 Temuan Penggunaan Siaran Transnasional Oleh Remaja Adapun data yang pertama kali disajikan adalah perihal jenis channel yang digunakan responden sebagaimana disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Jenis Televisi Kabel/Channel yang Digunakan No Jenis Channel 1 Indovision 2 Astro Jumlah Sumber: Data Primer
18
F 18 7 25
% 72 72 100
Tabel 1 menyajikan data yang menunjukkan bahwa responden penelitian dominan menggunakan channel indovision, yang mencapai 72%. Sedangkan yang menggunakan channel astro hanya 28%. Peneliti mencoba menelusuri perihal kecenderungan dominasi penggunaan channel indovision ini, dengan mencari informasi tentang sumber informasi pertama yang mereka peroleh sehubungan dengan pengambilan keputusan dalam pemilihan salah satu dari dua channel tersebut. Data tentang sumber informasi tersebut disajikan pada tabel 2 berikut. Tabel 2. Sumber Informasi Pertama dalam Pemilihan Jenis Televisi Kabel/ Channel yang Digunakan No 1 2 3 4 5
Sumber Informasi Pertama Teman Iklan Petugas lapangan Ibu Ayah Jumlah Sumber: Data Primer
F 20 3 2 0 0 25
% 80 12 8 0 0 100
Data yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan bahwa sumber informasi pertama dari mayoritas responden dalam rangka menjatuhkan pilihan atau menetapkan keputusan tentang jenis televisi kabel yang digunakan adalah teman. Sebesar 80% responden memperoleh informasi dari teman. Sumber ini diikuti oleh iklan, yang hanya 12%. Sedangkan responden yang menyatakan petugas lapangan kedua televisi kabel sebagai sumber informasi pertama hanya 8%. Selain lebih sering bertemu dan terlibat interaksi yang intensif dan dengan frekuensi yang tinggi, teman tentu menjadi pihak yang mudah dipercaya responden. Hal ini menunjukkan bahwa teman menjadi sosok yang istimewa bagi responden, dan jauh memasuki kehidupan responden. Peran yang seharusnya dibawakan orang tua kenyataannya justru dilakukan oleh teman. Dalam konteks ini terjadi kealpaan orang tua. Selanjutnya perihal siapa dari atau dalam keluarga yang pertama kali mengusulkan penggunaan televisi kabel. Data tentang hal ini disajikan pada tabel 3.
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
Tabel 3. Anggota Keluarga yang Pertama Kali Mengusulkan Penggunaan Televisi Kabel No 1 2 3 4 5
Pengusul Responden sendiri Saudara Laki-laki Saudara Perempuan Ayah Ibu Jumlah Sumber: Data Primer
F 13 6 2 3 1 25
% 52 24 8 12 4 100
Data yang disajikan pada tabel menunjukkan bahwa ternyata lebih separoh menyatakan bahwa responden sendirilah yang pertama kali mengusulkan penggunaan televisi kabel. Jumlah ini diikuti oleh saudara laki-laki dari responden, yakni 24%. Sedangkan responden yang menyatakan ayah sebagai pihak yang pertama kali mengusulkan penggunaan televisi kabel adalah 12%, diikuti oleh saudara perempuan sebanyak 8%. Sedangkan responden yang menyatakan ibu menjadi pihak yang pertama kali mengusulkan penggunaan televisi kabel hanya satu orang atau 4%. Tentu tidak selalu sama antara pihak yang pertama kali mengusulkan dengan pihak yang paling dominan dalam memutuskan penggunaan televisi kabel. Pada tabel 4 berikut ini disajikan data tentang siapa yang menjadi pihak yang paling dominan dalam memutuskan penggunaan televisi kabel. Tabel 4. Anggota Keluarga yang Paling Dominan dalam Memutuskan Penggunaan Televisi Kabel No Pemutus 1 Anak 2 Ibu 3 Ayah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 3 22 25
% 0 12 88 100
Data yang disajikan pada tabel 4 menunjukkan bahwa ternyata ayah merupakan pihak yang paling dominan dalam memutuskan apakah keluarga tersebut akan menggunakan televisi kabel atau tidak. Hal ini ternyata dinyatakan oleh 88% responden. Hanya 12%
responden yang menyatakan bahwa yang menentukan penggunaan televisi kabel adalah ibu. Bahkan tidak terdapat responden yang menyatakan anak yang paling dominan dalam memutuskan penggunaan televisi kabel. Informasi selanjutnya adalah siapa yang paling sering dijadikan teman dalam menonton tayangan internasional. Data perihal ini disajikan pada tabel 5 berikut. Tabel 5. Pihak yang Paling Sering Menonton Bersama Siaran Televisi Asing No 1 2 3 4 5
Teman Menonton Sembarang orang Teman Saudara Ibu Ayah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 19 4 1 1 25
% 0 76 16 4 4 100
Data yang disajikan pada tabel 5 menginformasikan bahwa pihak yang paling sering menonton bersama adalah teman, yang mencapai 76%. Hanya 16% responden yang menyatakan saudara sebagai teman paling sering menonton siaran televisi asing. Bahkan responden yang menyatakan sering menonton siaran televisi asing dengan ayah dan ibu masingmasing hanya 4%. Setelah menonton siaran internasional, remaja kemudian akan berbincang-bincang atau berdiskusi tentang apa yang telah mereka tonton. Dengan demikian sangatlah perlu ditelusuri pihak yang menjadi mitra bagi responden dalam mendiskusikan siaran yang sudah ditonton, yang datanya disajikan pada tabel 6 berikut. Tabel 6. Pihak yang Paling Sering Sebagai Mitra Diskusi tentang Siaran Televisi Asing yang Ditonton No 1 2 3 4 5
Teman Diskusi Sembarang orang Teman Saudara Ibu Ayah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 20 2 1 2 25
% 0 80 8 4 8 100
19
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Data yang disajikan pada tabel 6 menginformasikan bahwa pihak yang paling sering menjadi mitra dalam mendiskusikan siaran asing yang telah ditonton bersama adalah teman, yang mencapai 80%. Hanya 8% responden yang menyatakan saudara dan ayah adalah sebagai teman paling sering dalam mendiskusikan siaran asing yang telah ditonton. Bahkan responden yang menyatakan paling sering mendiskusikan siaran televisi asing yang telah ditonton dengan ibu hanya 4%. Hal lain yang sangat penting adalah jenis acara atau thema siaran asing yang paling disukai responden. Data mengenai hal ini disajikan pada tabel 7 berikut. Tabel 7. Thema Siaran Televisi Asing yang Disukai Untuk Ditonton Responden No Thema 1 Cinta dengan seks 2 Film action/kekerasan 3 Cinta tanpa seks 4 Olah raga keras 5 Sepak bola 6 Berita 7 Ilmu Pengetahuan Sumber: Data Primer
F 23 22 16 23 22 3 3
% 92 88 64 92 88 12 12
Dalam konteks ini responden dapat memilih lebih dari satu thema siaran yang disukai. Hal yang cukup mengejutkan adalah, meskipun remaja sedang menduduki bangku sekolah, namun mereka kurang tertarik memperoleh informasi tentang ilmu pengetahuan. Data yang disajikan pada tabel 7 menginformasikan bahwa hanya 12% responden yang menyukai thema siaran ilmu pengetahuan. Persentase ini sama dengan responden yang menyukai berita. Thema-thema yang paling disukai remaja adalah olah raga keras (seperti tinju, smack down, karate dan gulat) dan film percintaan dengan adegan seks, yang mana keduanya sama-sama mencapai 92%. Persentase ini diikuti oleh thema sepakbola dan olah raga lain tanpa kekerasan (seperti bulu tangkis dan basket) dan film kekerasan (action) yang keduanya mencapai 88%. Sedangkan responden yang menyukai thema percintaan tanpa adegan seks mencapai 64%. Responden cenderung menonton siaran yang monumental.
20
Informasi selanjutnya adalah perihal waktu responden menonton siaran asing. Data mengenai hal ini disajikan pada tabel 8 berikut. Tabel 8. Waktu yang Paling Sering Digunakan Responden Menonton Siaran Televisi Asing No 1 2 3 4 5
Waktu 01.00 - 03.00 WIB 23.00 - 01.00 WIB 21.00 - 23.00 WIB 19.00 - 21.00 WIB 17.00 - 19.00 WIB Jumlah Sumber: Data Primer
F 10 12 3 0 0 25
% 40 48 12 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 8 menginformasikan bahwa waktu yang paling banyak digunakan responden menonton siaran televisi asing adalah malam hingga dini hari, yang mencapai 48%. Jumlah ini diikuti oleh responden yang menonton siaran televisi asing malam hari hingga larut malam, yakni mencapai 40%. Sedangkan responden yang menonton siaran televisi asing pada malam hari hingga sebelum tengah malam hanya 12%. Lamanya remaja menonton siaran televisi asing tentu sangat penting untuk diketahui. Pada tabel 9 berikut akan disajikan data tentang alokasi waktu responden menonton siaran televisi asing dalam sehari. Tabel 9. Alokasi Waktu Rata-rata Responden Menonton Siaran Televisi Asing dalam Sehari No 1 2 3 4 5
Alokasi Waktu Lebih 5 jam 5 jam 4 jam 3 jam 2 jam Jumlah Sumber: Data Primer
F 6 13 4 2 0 25
% 24 52 16 8 0 100
Data yang disajikan pada tabel 9 menginformasikan bahwa mayoritas responden menghabiskan waktu 5 jam untuk menonton siaran televisi asing. Sedangkan responden yang menghabiskan waktu lebih 5 jam untuk
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
menonton siaran televisi asing mencapai 24%. Hanya 16% responden yang mengalokasikan waktu menonton siaran televisi nasional 4 jam. Sedangkan responden yang mengalokasikan waktu menonton siaran televisi asing selama 3 jam perhari adalah 8%. Bagaimana interaksi antara orang tua dengan anak, yang dalam hal ini diukur dengan tingkat kedalaman informasi yang diketahui orang tua berkenaan dengan kegiatan responden atau anaknya yang berkaitan dengan aktivitas menonton siaran televisi asing? Tabel 10 berikut akan menyajikan data tentang sejauh mana orang tua mengetahui jenis siaran televisi asing yang ditonton responden. Tabel 10. Pengetahuan Orang Tua tentang Jenis Siaran Televisi Asing yang Ditonton Responden No 1 2 3 4 5
Pengetahuan Orang Tua Sama sekali tidak tahu Sebagian kecil tahu Separuh tahu Sebagian besar tahu Tahu semua Jumlah Sumber: Data Primer
F 16 9 0 0 0 25
% 64 36 0 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 10 menginformasikan kepada kita bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa orang tua mereka tidak mengetahui sama sekali tentang jenis siaran televisi asing yang mereka tonton, yang dalam hal ini mencapai 64%. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa orang tua mereka hanya mengetahui sebagian kecil yang berkenaan dengan jenis siaran televisi asing yang mereka tonton mencapai 34%. Hal yang penting kita ketahui di sini adalah bahwa pengetahuan orang tua atas nilai-nilai yang tersosilisasi dalam diri anak sangatlah minim. Padahal sosialisasi nilainilai ini adalah proses mengisi memori anak tentang sesuatu yang akan mempengaruhi kehidupan si anak. Apakah orang tua mendapat informasi tentang alokasi waktu responden atau anaknya menonton siaran televisi asing? Tabel 11 berikut akan menyajikan data tentang alokasi waktu yang digunakan responden menonton siaran televisi asing.
Tabel 11. Pengetahuan Orang Tua tentang Alokasi Waktu yang Digunakan Responden Menonton Siaran Televisi Asing No 1 2 3 4 5
Pengetahuan Orang Tua Sama sekali tidak tahu Sebagian kecil tahu Separuh tahu Sebagian besar tahu Tahu semua Jumlah Sumber: Data Primer
F 14 7 4 0 0 25
% 56 28 16 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 11 menginformasikan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa orang tua mereka tidak mengetahui sama sekali tentang alokasi waktu yang mereka gunakan dalam menonton siaran televisi asing, yakni mencapai 56%. Sedangkan responden yang menyatakan bahwa orang tua mereka hanya tahu sebagian kecil tentang tentang alokasi waktu yang mereka gunakan dalam menonton siaran televisi asing mencapai 28%. Selanjutnya responden yang menyatakan bahwa orang tua mereka mengetahui separuh tentang tentang alokasi waktu yang mereka gunakan dalam menonton siaran televisi asing hanya 14%. Perilaku Menyimpang Remaja Temuan aktivitas menonton remaja pada umumnya dan alokasi waktu yang digunakan dalam menonton siaran televisi asing yang cukup panjang dan waktu mereka menonton siaran televisi asing tersebut yang larut malam hingga menjelang subuh pada khususnya tentu cukup mengejutkan. Terlebih jika dikaitkan dengan status responden yang semuanya masih di bangku sekolah dan kuliah, dimana mayoritas sebagai siswa SLTA (14 orang), SLTP (8 orang) dan sebagai mahasiswa (3 orang). Dalam konteks ini telah terjadi proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai yang jenis dan materinya sesungguhnya tidak sesuai dengan usia maupun status responden sebagai pelajar dan mahasiswa. Lalu bagaimana pengaruh aktivitas menonton siaran televisi asing tersebut terhadap perilaku remaja? Bagaimana perilaku mereka di sekolah? Pada tabel 12 berikut akan disajikan tentang frekuensi responden tidur saat guru/dosen menyajikan pelajaran.
21
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Tabel 12. Frekuensi Responden Tertidur Saat Guru/Dosen Menyajikan Pelajaran No 1 2 3 4 5
Frekuensi Tidur Selalu Sering Separohnya Jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 7 10 7 1 0 25
% 28 40 28 4 0 100
Data yang disajikan pada tabel 12 menginformasikan bahwa terdapat 40% responden yang menyatakan sering mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Sedangkan 28% responden menyatakan selalu dan separohnya mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Responden yang menyatakan jarang mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas hanya 14%. Perlu ditambahkan bahwa tidak ada responden yang menyatakan tidak pernah mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Apakah semua dari responden mendapat hukuman sebagai akibat mereka mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas? Informasi tentang hal ini disajikan dalam tabel 13 berikut. Tabel 13. Frekuensi Responden Mendapat Hukuman karena Tertidur Saat Guru/Dosen Menyajikan Pelajaran No 1 2 3 4 5
Frekuensi Dihukum Selalu Sering Separohnya Jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 13 12 0 0 25
% 0 52 48 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 13 menginformasikan bahwa terdapat 52% responden yang menyatakan sering dihukum karena mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Sedangkan 48% responden menyatakan jarang dihukum akibat mengantuk pada saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas mereka.
22
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah pentingnya adalah jenis atau bentuk sanksi yang diperoleh dari sekolah atas kesalahan yang dilakukan oleh responden. Tabel 14 menyajikan jenis atau bentuk sanksi tersebut. Tidak terdapat responden yang menyatakan selalu, jarang dan tidak pernah dihukum karena mengantuk saat guru/dosen menerangkan materi pelajaran. Tabel 14. Jenis Hukuman/Sanksi yang Pernah Diterima Akibat Tertidur Saat Guru/Dosen Menyajikan Pelajaran No Jenis Hukuman 1 Dipecat 2 Dilaporkan ke orangtua 3 Dikeluarkan dari kelas 4 Dimarahi 5 Dipermalukan Sumber: Data Primer
F 0 3 20 21 21
% 0 12 80 84 84
Karena terdapat kemungkinan responden sudah menerima beberapa jenis hukuman, maka responden dapat memilih lebih dari satu jawaban. Data yang disajikan pada tabel 14 menginformasikan bahwa terdapat 12% responden yang menyatakan pernah mendapat hukuman berupa dilaporkan ke orang tua karena mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Sedangkan 80% responden menyatakan pernah mendapat hukuman berupa dikeluarkan dari kelas karena mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Hukuman lainnya adalah dimarahi maupun dipermalukan, dimana masing-masing hukuman tersebut pernah dialami 84% responden akibat mengantuk saat guru/dosen menerangkan pelajaran di kelas. Tidak mengerjakan tugas merupakan salah satu bentuk kenakalan. Pada tabel 15 berikut disajikan data tentang hal ini. Data yang disajikan pada tabel 15 menginformasikan bahwa terdapat 52% responden yang menyatakan sering tidak mengerjakan tugas dari guru/dosen. Sedangkan 48% responden menyatakan jarang tidak mengerjakan tugas dari guru/dosen. Data ini mengindikasikan bahwa responden merupakan pelajar dan mahasiswa yang tidak menjalankan perannya sebagai pelajar dan mahasiswa.
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
Tabel 15. Frekuensi Responden Tidak Mengerjakan Tugas dari Guru/ Dosen No 1 2 3 4 5
Frekuensi Selalu Sering Separohnya Jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 13 12 0 0 25
% 0 52 48 0 0 100
Berbagai jenis kenakalan remaja saat ini. Demikian kompleksnya kenakalan remaja tersebut sehingga perlu digolongkan. Oleh karena itu terdapat dua aspek yang perlu dinilai, yakni jenis kenakalan dan frekuensi melakukan kenakalan tersebut. Pada tabel 16 berikut disajikan data tentang frekuensi melakukan hubungan suami-istri dengan pacar. Tabel 16.
No 1 2 3 4 5
Frekuensi Responden Melakukan Hubungan Suami Istri dengan Pacar
Frekuensi Sering Lumayan/agak sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 5 4 8 0 8 25
% 20 16 32 0 32 100
Data yang disajikan pada tabel 16 menginformasikan bahwa terdapat 32% responden tidak atau belum pernah melakukan hubungan suami-istri dengan pacar. Sedangkan 68% sudah pernah melakukan hubungan suamiistri dengan pacar, yang terdistribusi ke tingkat sering (20%), lumayan/agak sering (16%), dan jarang (32%). Data ini sesunggunya menujkkan kepada kita bahwa responden dengan statusnya sebagai pelajar dan mahasiswa sudah melakukan tindakan yang jauh dari kewajaran. Hal ini berarti telah terjadi penyimpangan perilaku. Hubungan suami-istri tentu bisa juga dilakukan dengan PSK. Pada tabel 17 berikut disajikan data tentang frekuensi melakukan hubungan suami-istri dengan PSK.
Tabel 17.
Frekuensi Responden Melakukan Hubungan Suami Istri dengan PSK
No 1 2 3 4 5
Konsumsi Narkoba Sering Lumayan sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 2 3 6 0 14 25
% 8 12 24 0 56 100
Data yang disajikan pada tabel 17 menginformasikan bahwa terdapat 56% responden yang menyatakan tidak atau belum pernah melakukan hubungan suami-istri dengan PSK. Sedangkan 44% sudah pernah melakukan hubungan suami-istri dengan PSK, yang terdistribusi ke tingkat sering (8%), lumayan sering (12%), dan jarang (24%). Salah satu bentuk kenakalan remaja yang saat ini mendapat perhatian banyak pihak adalah berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Pada tabel 18 berikut disajikan frekuensi penggunaan narkoba. Tabel 18. Frekuensi Responden Menggunakan Narkoba No 1 2 3 4 5
Konsumsi Narkoba Sering Lumayan sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 2 3 6 3 11 25
% 8 12 24 12 44 100
Data yang disajikan pada tabel 18 menunjukkan tidak ada dominasi jenis kenakalan yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkoba. Namun paling banyak atau 44% responden tidak atau belum pernah menggunakan narkoba. Sedangkan 24% menyatakan jarang, 12% lumayan sering dan sangat jarang. Sedangkan responden yang menyatakan sering menggunakan narkoba adalah 8%. Bentuk lain dari kenakalan remaja adalah perkelahian. Pada tabel 19 berikut disajikan frekuensi berkelahi dengan menggunakan alat,
23
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
seperti kayu, pisau, clurit, dan lain-lain yang membahayakan nyawa manusia. Tabel 19. Frekuensi Responden Berkelahi dengan Menggunakan Alat Berbahaya No 1 2 3 4 5
Frekuensi Selalu Sering Separohnya Jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 0 8 10 7 0 25
% 0 32 40 28 0 100
Data yang disajikan pada tabel 19 menujukkan bahwa tidak terdapat responden yang menyatakan selalu maupun tidak pernah menggunakan alat berbahaya saat berkelahi. Dengan demikian, semua responden pernah menggunakan alat berbahaya saat berkelahi, yang terdistribusi ke dalam separohnya (40%), sering (32%) dan jarang (28%). Pada tabel 20 berikut disajikan data tentang frekuensi responden melakukan pencurian di rumah atau barang/milik keluarga sendiri. Tabel 20. No 1 2 3 4 5
Frekuensi Responden Mencuri Barang/Uang di Rumah Sendiri
Frekuensi Mencuri Sering Lumayan sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 8 10 7 0 0 25
% 32 40 28 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 20 menujukkan bahwa semua responden pernah mencuri barang/uang milik keluarga sendiri. Paling banyak menyatakan lumayan sering (40%), diikuti sering (32%), dan jarang (28%). Kenakalan terakhir yang disoroti adalah mencuri barang/uang di luar rumah. Tentu kenakalan ini lebih parah daripada mencuri barang/uang milik keluarga sendiri. Datanya disajikan pada tabel 21 berikut.
24
Tabel 21. No 1 2 3 4 5
Frekuensi Responden Mencuri Barang/Uang di Luar Rumah
Frekuensi di Rumah Sering Lumayan sering Jarang Sangat jarang Tidak pernah Jumlah Sumber: Data Primer
F 9 12 4 0 0 25
% 36 48 16 0 0 100
Data yang disajikan pada tabel 21 menujukkan bahwa semua responden pernah mencuri barang/uang di luar rumah. Bahkan 48% menyatakan lumayan sering mencuri barang/uang di luar rumah. Sedangkan yang menyatakan sering mencuri barang/uang di luar rumah adalah 36%. Selanjutnya 16% menyatakan jarang mencuri barang/uang di luar rumah. Analisis Menonton Siaran Asing (Transnasional) Data tentang aktivitas menonton siaran asing atau internasional dianalis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif. Untuk dapat dianalisis dengan statistik deskriptif terlebih dahulu dilakukan kuantifikasi data dengan menggunakan skala likert. Semua item pertanyaan sebagai alat penjaring data sudah dirancang sedemikian rupa sehingga jika digunakan skala likert, memiliki nilai yang bersifat paralel, yakni nilai maksimal 5 dan nilai minimal 1. Nilai yang diperoleh dengan menggunakan skala likert selanjutnya diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan jarak antara nilai tertinggi dan terendah (nilai tertinggi dikurangi nilai terendah), maka diperoleh interval sebesar 1,66. Sehingga nilai untuk kategori setiap kelas adalah sebagai berikut: a) Ketegori tinggi 3,66 – 5,00 b) Ketegori sedang 2,33 – 3,655 c) Ketegori rendah 1,00 – 2,325 Terdapat 10 item pertanyaan yang memenuhi syarat dikuantifikasi melalui penggunaan skala likert. Selanjutnya diperoleh nilai rerata sebesar 3,80. Dengan demikian dapat diketahui bahwa variabel bebas termasuk kategori tinggi.
Siagian, Pengaruh Siaran Transnasional terhadap Perilaku Remaja
Perilaku Menyimpang Remaja Data tentang aktivitas perilaku menyimpang remaja dianalis secara kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriptif. Untuk dapat dianalisis dengan statistik deskriptif terlebih dahulu dilakukan kuantifikasi data dengan menggunakan skala likert. Semua item pertanyaan sebagai alat penjaring data sudah dirancang sedemikian rupa sehingga jika digunakan skala likert, memiliki nilai yang bersifat paralel, yakni nilai maksimal 5 dan nilai minimal 1. Nilai yang diperoleh dengan menggunakan skala likert diklasifikasi ke dalam tiga kelas, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Berdasarkan jarak antara nilai tertinggi dan terendah, maka diperoleh interval sebesar 1,66. Sehingga nilai untuk kategori setiap kelas adalah sebagai berikut: a) Ketegori tinggi 3,66 – 5,00 b) Ketegori sedang 2,33 – 3,66 c) Ketegori rendah 1,00 – 2,33 Perlu ditambahkan bahwa dalam penelitian ini terdapat 10 item pertanyaan yang memenuhi syarat dikuantifikasi melalui penggunaan skala likert. Artinya, tidak semua pertanyaan yang ada dalam angket memenuhi syarat untuk dijadikan data yang akan dianalisis. Oleh karena itu dilakukan seleksi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada, agar kuantifikasi data yang dilakukan mendukung proses temuan dalam penelitian ini. Setelah dilakukan kuantifikasi data dengan menggunakan skala likert, diperoleh nilai rerata sebesar 3,67. Dengan demikian dapat diketahui bahwa variabel bebas termasuk kategori tinggi. Pengaruh Aktivitas Menonton Siaran Televisi Asing terhadap Perilaku Menyimpang Remaja Hasil analisis variabel bebas yakni aktivitas menonton siaran televisi asing dan variabel terikat yakni perilaku menyimpang remaja yang sama-sama tinggi (3,80 dan 3,67) sesungguhnya sudah mengindikasikan adanya signifikansi antara menonton siaran televisi asing dengan perilaku menyimpang remaja. Untuk lebih mendalami hubungan di antara kedua variabel tersebut peneliti menyajikan tabel silang yang menyajikan data kedua variabel tersebut melalui tabel 22 berikut ini.
Tabel 22. Hubungan Sebaran Data Varibel X dan Y menurut ukuran ketinggian. Y
Tinggi
Sedang
X Tinggi 14 3 Sedang 1 4 Rendah 0 0 Jumlah 15 7 Sumber: Hasil Olahan Data
Rendah Jumlah 1 0 2 3
18 5 2 25
Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada tabel 22 dapat diketahui hubungan antara variabel x dan y sebagai berikut. a. Variabel x dan y sama-sama tinggi: 14 b. Variabel x dan y sama-sama sedang: 4 c. Variabel x dan y sama-sama rendah: 2 Dengan demikian dapat diketahui bahwa jumlah responden yang memiliki kategori yang sama dalam variabel x dan y adalah 20 orang atau 80%. Berdasarkan sebaran data ini dapat dipastikan bahwa jumlah responden yang memiliki kategori yang berbeda dalam variabel x dan y hanya 20%. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dapat ditarik kesimpulan, bahwa: 1. Aktivitas menonton siaran televisi asing oleh remaja yang tergolong kategori tinggi dan sangat minimnya pengetahuan orang tua atas kegiatan menonton siaran internasional menunjukkan sangat renggangnya pengawasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Hal ini menunjukkan bahwa peran orangtua sebagai pembimbing sekaligus supervisor atas anak tidak berjalan dengan baik. Akibatnya anak sering melakukan kegiatan yang tidak mendukung, bahkan kontra produktif bagi masa depan anak sendiri. 2. Aktivitas melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang remaja adalah tergolong kategori tinggi menunjukkan bahwa perbuatan anak sering tidak sesuai atau melampaui usia dan statusnya sebagai pelajar dan mahasiswa. Perbuatan mana diawali oleh perbuatanperbuatan yang sedikit menyimpang, tetapi lamm kelamaan semakin dalam penyimpangannya. Bahkan pada satu titik
25
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
waktu perilaku yang ditampilkan sudah sangat menyimpang dari usia dan statusnya sebagai pelajar dan mahasiswa. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas menonton dengan melakukan atau menampilkan perilaku menyimpang, dimana 80% responden menunjukkan perilaku dengan kategori yang selaras antara kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas menonton dengan muatan siarannya sangat tidak sesuai dengan informasi-informasi yang diperlukan oleh responden yang merupakan pelajar dan mahasiswa. Akibatnya muncullah perbuatan-perbuatan yang juga sangat tidak sesuai atau tidak pantas dilakukan oleh seorang pelajar dan mahasiswa. Rekomendasi Berdasarkan hasil analisis data, peneliti merumuskan dan mengajukan rekomendasi sebagai berikut: 1. Orang tua harus lebih ketat dalam melakukan pengawasan atas anak. Walaupun anak cenderung tampil layaknya sebagai orang dewasa, dan seakan-akan mampu melakukan yang terbaik bagi diri dan masa depannya, namun faktanya anak belum mampu melakukan keputusan yang terbaik atas apa yang sebaiknya dilakukan. 2. Tidak ada alasan apapun dan kepada orang tua manapun untuk membiarkan anak melakukan apa saja sesuai dengan keinginannya. Lebih jauh lagi, tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh anak dalam kehidupannya sehari-hari, baik di rumah maupun di luar rumah. Dalam rangka pengawasan terhadap anak tersebut, orang tua harus menggunakan berbagai cara dan sarana untuk benar-benar setiap saat senantiasa melakukan pengawasan terhadap, seperti menggunakan telepon genggam atau media lainnya. 3. Dalam menghadapi anak, orang tua harus mampu melakukan cara-cara persuasif terhadap anak melalui penerapan tipe dan
26
gaya kepemimpinan demokratis. Dalam kaitannya dengan tipe dan gaya kepemimpinan ini, maka orang tua tidak salah jika menganggap anak sebagai teman, dan orang tua benar-benar mampu tampil sebagai teman bagi anak. Dengan cara demikian, maka anak akan mau menampilkan sikap terbuka terhadap orang tua. Anak akan menjadikan orang tua tempat curhat kala mana anak menghadapi masalah. Daftar Pustaka 1. Harian Indonesi Baru, 7 Januari 2008. 2. Kompas, 8 Oktober 2008 3. Kompas, 3 Oktober 2002 4. Gerbner, G (1980). The Demonstration of Power: Violence Profile. No. 10, Journal of Communication. 5. Djarot, Rahardjo, Slamet. (1997). Televisi dan Kenakalan Remaja Tinjauan Sinematografis. Makalah Seminar Televisi dan Remaja Menjelang Abad 21 Oleh LIPI. 5 Juni 1997: Jakarta. 6. Hawkins, Pingree. (1987), Television: Symbolic Reality And Subjective Reality. London: Sage Publications. 7. Simanjuntak, B. (1992). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Alumni: Bandung. 8. Comstock, George. Et.al. (1984). Television and Human Behavior. New York: Columbia University Press. 9. Depari, Eduard. (1997). Televisi dan Kenakalan Remaja. Seminar Televisi dan Remaja: Dampak dan Prospek Menjelang Abad 21: Jakarta. 10. Wallace, Samuel, E, 2001, Social Problems: An Ecological Perspective, Department of Sociology, University of Tennessee: Knoxville 11.Gerald, D. Suttles. (2002). The Social Construction of Communities. Chicago: University of Chicago. 12.Hardin, Garrett (2003). Information Technology and Behaviour, Journal of Social Problems: Philipina – Manila.
Artikel Penelitian
Implementasi Program Pembinaan Waria Oleh Lembaga Kasih Rakyat Di Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Transsexual Cultivation Program Implementation By Lembaga Kasih Rakyat In Pancur Batu Subdistrict Deli Serdang Regency Mastauli Siregar
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Abstrak Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Munculnya waria sebagai fenomena sosial transsexual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Kurangnya kepedulian pemerintah dalam menangani permasalahan waria tersebut, membuat beberapa lembaga yang dikelola oleh pihak swasta turut serta dalam memberikan program pembinaan terhadap waria-waria tersebut. Kata kunci: Implementation, Program, Transsexual Abstract In communities that have a social order often see things out of the ordinary as something deviant and violating norms. Emergence as a social phenomenon transsexual regarded as deviant behavior by society in general. Lack of government awareness to issues such transvestites, making some institutions managed by private parties like the Institute Kasih Rakyat located in Medan city participated in providing training programs for transsexual, transsexual who are in Pancur Batu regency Deli Serdang. The purpose of this research to obtain data and information directly, realistic and objective about the Implementation Program Development transsexual by Institution Kasih Rakyat. Keywords: Implementation, Program, Transsexual Pendahuluan Dalam masyarakat selama ini hanya dua kategori gender, yakni laki-laki dan perempuan. Maka, munculnya jenis seksual seperti waria
yang tidak mempunyai kejelasan posisi menjadi masalah karena dianggap berada di luar pola pengaturan sosial yang sudah baku. Dalam disiplin ilmu psikologi, dikenal beberapa gejala
27
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
kewariaan. Di antaranya, transeksualitas, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis. Tranvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaiaan dari jenis kelamin lainnya. Sedangkan hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis kelamin atau tidak kedua-duanya.1 Dalam konteks ini, kaum waria akan dilihat sesama anggota masyarakat yang keberadaannya tidak selalu ditentukan oleh kondisi tubuhnya saja, melainkan juga dimensi psikisnya. Mereka juga mempunyai hak, baik dalam pendidikan, politik, serta hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pada masyarakat yang mempunyai keteraturan sosial sering memandang hal-hal yang di luar kewajaran sebagai sesuatu yang menyimpang dan melanggar norma. Penyimpangan diidentifikasi sebagai setiap perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap norma-norma kelompok atau masyarakat.2 Norma diciptakan dan menjadi pedoman bagi masyarakat melalui proses kesepakatan sosial yang merujuk pada tuntunan agama atau kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan meskipun sesungguhnya normanorma tersebut mengalami pergeseran dan pada perkembangan selanjutnya bentuk-bentuk penyimpangan perilaku sosial dianggap sebagai suatu kewajaran. Munculnya waria sebagai fenomena sosial transsexual dianggap sebagai perilaku yang menyimpang oleh masyarakat pada umumnya. Pelaku transsexual di Indonesia disebut dengan istilah waria (wanita-pria), wadam (wanitaadam), banci atau bencong. Norma kebudayaan hanya mengakui dua jenis kelamin secara obyektif, yaitu pria dan wanita. Jenis kelamin itu sendiri mengacu kepada keadaan fisik alat reproduksi manusia. Kelly berpendapat bahwa mengenai jenis kelamin dapat mengakibatkan masyarakat menilai tentang perilaku manusia dimana pria harus berperilaku sebagai pria (berperilaku maskulin) dan wanita harus berperilaku sebagai wanita.3
28
Pandangan dari aspek psikologi mengatakan bahwa transeksual merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual baik dalam hasrat untuk mendapatkan kepuasan seksual maupun dalam kemampuan untuk mencapai kepuasaan seksual.4 Di lain pihak, pandangan sosial beranggapan bahwa akibat dari penyimpangan perilaku yang ditunjukkan oleh waria dalam kehidupan sehari-hari akan dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai bentuk pelecehan seperti mengucilkan, mencemooh, memprotes dan menekan keberadaan waria di lingkungannya. Kehadiran seorang waria menjadi bagian dari kehidupan sosial rasanya tidak mungkin untuk dihindari. Mereka akan terus bertambah selama belum ditemukan cara yang tepat untuk mencegahnya. Satu hal yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu pengertian waria (transsexual), yang berbeda dengan homoseksual (perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis) atau transvestisme (suka menggunakan pakaian wanita dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya). Walaupun hal tersebut juga merupakan bagian dari suatu kelainan seksual. Seorang transsexual khususnya seorang waria hanya akan bahagia apabila diperlakukan sebagai seorang wanita. Mereka akan mencari teman atau populasi yang keadaannya serupa dengan diri mereka agar mereka dapat diterima dan dihargai sebagai individu yang utuh, sebagaimana layaknya individu yang normal. Selanjutnya timbul masalah lain, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini antara lain disebabkan oleh fakta, bahwa tidak semua waria memiliki bakat dan keterampilan yang memadai untuk bertahan hidup, sehingga cara yang mereka lakukan adalah menjajakan diri dalam dunia pelacuran. Kondisi ini merupakan dilema tersendiri bagi waria. Di satu sisi, masyarakat tidak membuka kesempatan pendidikan, kehidupan yang layak dan pekerjaan bagi waria. Sedangkan di sisi lain, seiring dengan menjamurnya prostitusi waria, pandangan masyarakat yang sering ditujukan pada waria adalah bahwa waria identik dengan prostitusi. Ironisnya, pada saat yang lain diam-diam, masyarakat juga tidak memiliki kestabilan diri dan tidak dapat menerima kritikan dari orang lain mengenai dirinya.5
Siregar, Implementasi Program Pembinaan Waria
Tidak adanya kepedulian dan solusi dari pemerintah dalam menyelesaikan masalah penyimpangan transeksualitas di Indonesia, jelas terlihat antara lain dari tidak adanya program pemberdayaan bagi mereka. Program-program pemberdayaan waria yang ada saat ini masih dipegang oleh berbagai organisasi dan LSM dalam dan luar negeri. Bukti nyata dari tidak adanya kepedulian pemerintah, bisa kita lihat dari fakta di lapangan. Salah seorang waria yang biasa mencari penghidupan di pinggiran jalan, mengaku kalau dirinya selalu saja ‟diuber-uber‟ Trantib. Tindak kekerasan dan pemerasan, baginya sudah menjadi hal yang biasa. Seandainya pun berhasil ditangkap, hal itu tidak membawa pengaruh baik sama sekali untuk diri dan kaumnya.6
memperlihatkan, bahwa dalam diri responden terdapat keinginan untuk memperoleh informasi tentang permasalahan seperti seks menular, kesehatan reproduksi dan keterampilan. Keinginan seperti ini terdapat pada seluruh responden, sehingga mereka mengikuti dan mengetahui sosialisai. Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh Lembaga Kasih Rakyat merupakan kegiatan yang rutin. Karena itu merupakan bagian dari visi lembaga. Dengan demikian responden dalam hal ini para waria dengan sendirinya akan terlibat dalam sosialisasi, karena lembaga tersebut secara rutin menginformasikan kepada masyarakat.
Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pancur Batu, Kabupaten Deli Serdang yang menjadi lokasi binaan Lembaga Kasih Rakyat. Program pembinaan diberikan kepada 112 orang waria yang sekaligus menjadi populasi penelitian. Dengan menggunakan teknik simple random sampling ditentukanlah sampel sebanyak 22 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan cara penyebaran angket dan melakukan wawancara mendalam. Data yang dikumpulkan ditabulasi kemudian dianalisis dengan menggambarkan, menjelaskan dan memberikan interpretasi.
Pagi Siang Jumlah Sumber : Data Primer
Temuan dan Analisis Sosialisasi Program Pembinaan Lembaga Kasih Rakyat sering melakukan kunjungan-kunjungan ke masyarakat, dalam hal ini kepada kaum waria. Selain daripada itu Lembaga Kasih Rakyat juga melibatkan berbagai stakeholders untuk ikut berdiskusi mengenai permasalahan seperti seks menular, kesehatan reproduksi dan keterampilan. Hal ini dilakukan dalam rangka memperoleh dan memberikan informasi yang lebih lengkap dan ditinjau dari berbagai aspek. Menjadi tidak mengherankan kalau seluruh responden menyatakan bahwa mereka pernah mengikuti sosialisasi yang dilakukan oleh Lembaga Kasih Rakyat. Hal ini juga
Tabel 1. Waktu Mengikuti Sosialisasi No 1 2
Waktu
F 9 13 22
% 40,9 59,1 100
Tabel di atas menyatakan bahwa 59,1% waria yang mengikuti program pembinaan tersebut lebih menyukai sosialisasi itu dilakukan siang hari, karena responden memiliki waktu luang, walaupun waktu mereka padat tetapi di sela-sela waktu istirahat dapat dimanfaatkan untuk mengikuti sosialisasi. Sedangkan sebanyak 40,9% lainnya memilih pagi hari. Alasan waria tersebut lebih memilih siang hari karena pada malam hari mereka beraktifitas sebagai pekerja seks komersial. Sedangkan yang memilih pagi hari karena pada siang hari mereka beraktifitas pekerjaan seperti salon, menjahit, berdagang dan lain-lain. Dengan demikian pemilihan waktu mengikuti sosialisasi didasarkan pada jenis kegiatan ekonomi mereka. Tabel 2. Intensitas Sosialisasi No 1 2 3 4
Intensitas
1 kali 2 kali 3 kali > 3 kali Jumlah Sumber : Data Primer
Mengikuti F 4 2 14 2 22
Program % 18,2 9,1 63,6 9,1 100
29
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 2 dapat diketahui bahwa mayoritas responden telah mengikuti sosialisasi sebanyak 3 kali atau lebih. Hal ini menunjukkan kepedulian dan ketertarikan mereka dalam program lembaga kasih rakyat tersebut.
Sebesar 18,2% responden mengatakan bahwasanya keterampilan hanya berupa sosialisasi saja bukan langsung mereka mendapatkannya. Tabel 5. Pemahaman Sosialisasi Pembinaan No
Tabel 3. Bentuk Sosialisasi yang Dilakukan No 1 2
Bentuk Seminar Konseling Jumlah Sumber : Data Primer
F 10 12 22
% 45,5 54,5 100
Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada 2 jenis sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga. Dalam hal ini ternyata keduanya mendapatkan respon yang hampir sama. Dimana sosialisasi dalam bentuk seminar diikuti oleh sebesar 45,5% dan yang tertarik dengan sosialisasi dalam bentuk konseling sebesar 54,5%. Sosialisasi dalam bentuk konseling lebih mudah dilaksanakan dibandingkan dengan bentuk seminar. Responden merasa lebih mudah mengerti dan bisa menjaga prinsip kerahasiaan bagi mereka yang mengikuti koseling tersebut. Selain itu bentuk sosialisasi ini juga dapat dilakukan kapan saja, sebab tidak ada waktu yang mengikat bagi responden. Tabel 4. Tema Sosialisasi No 1
Tema
Pencegahan HIV/ Penyakit Kelamin 2 Pelatihan 3 Ketrampilan Jumlah Sumber : Data Primer
F
%
13
59,1
5 4 22
22,7 18,2 100
Data yang disajikan pada tabel 4 menunjukkan tema yang paling sering disosialisasikan adalah yang berkaitan dengan aktifitas/pekerjaan mereka sehari-hari sebagai PSK yaitu pencegahan HIV/AIDS dan penyakit kelamin, yakni mencapai 59.1%. Sedangkan 22,7% mengikuti sosialisasi dalam bentuk pelatihan.
30
1 2 3
Pemahaman Memahami Kurang memahami Tidak memahami
Jumlah Sumber : Data Primer
F
%
17 4 1
77,3 18,2 4,5
22
100
Mayoritas responden atau 77,3% menyatakan sudah memahami apa yang disosialisasikan pembinaan yang dilakukan. Sementara 22,7% responden menyatakan kurang/tidak memahami berbagai materi yang disosialisasi. Hal ini juga tentu saja mempengaruhi pola pemikiran dan pemahaman mereka tentunya. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa belum sepenuhnya anggota binaan Lembaga Kasih rakyat memahami sosialisasi yang telah dilakukan. Dengan demikian tentunya sosialisasi tersebut harus terus dilangsungkan, mengingat pemahaman terhadap hal tersebut penting untuk para responden. Dari hasil wawancara langsung dengan responden, secara umum mereka mengetahui akan bahaya virus HIV/AIDS, akan tetapi pengetahuan yang dalam akan bahaya virus tersebut tidak sepenuhnya mereka ketahui, hal ini disebabkan karena daya ingat serta kehadiran mereka yang tidak selalu rutin pada saat lembaga melaksanakan sosialisasi. Implementasi Program Pembinaan Waria oleh Lembaga Kasih Rakyat Tabel 6. Mengerti Atau Tidak Terhadap Pendidikan Seks yang Sehat No 1 2
Kategori Mengerti Kurang mengerti Jumlah Sumber : Data Primer
F 18 4 22
% 81,2 18,8 100
Siregar, Implementasi Program Pembinaan Waria
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sebahagian besar yakni 81,2% menyatakan bahwa mereka mengerti akan pendidikan seks yang sehat. Hanya 18,8% menyatakan bahwa mereka kurang mengerti terhadap pendidikan seks yang sehat. Sebahagian besar responden yang mengatakan bahwa mereka mengerti akan pendidikan seks yang sehat, terlihat bahwa mereka lebih antusias pada saat mengikuti pelatihan dan keterampilan yang diadakan oleh lembaga tersebut. Responden antusias mengikuti pelatihan dan keterampilan, karena mereka menganggap hal tersebut penting. Hal tersebut menjadi salah satu hal penunjang agar mereka mendapatkan pengetahuan, yang diharapkan bisa menjadi bekal dalam memenuhi kebutuhan. Berbagai jenis pelatihan dan ketrampilan diberikan oleh lembaga kepada responden. Hal ini bukan hanya semata sebagai program, akan tetapi agar para responden dapat menjadikan pelatihan dan ketrampilan yang diberikan sebagai sumber mata pencaharian bagi mereka, sehingga diharapkan dapat meminimalisir mereka dari pekerjaan-pekerjaan yang lebih akrab dengan mereka sebagai PSK. Bervariasinya pemberian pelatihan dan ketrampilan ini juga di karenakan berbedanya bakat yang dimiliki para responden. Tabel 7: Jenis Pelatihan dan Ketrampilan yang Diberikan No 1 2 3 4
Kategori Menjahit Salon Menganyam Memasak Jumlah Sumber : Data Primer
F 6 12 2 2 22
% 27,3 54,5 9,1 9,1 100
Data yang disajikan pada tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar 27,3% mengatakan bahwa menjahit adalah jenis ketrampilan yang pernah mereka terima. Kemudian 54,5% mengatakan mereka memperoleh ketrrampilan mengenai salon, 9,1% menganyam adalah ketrampilan dan 9,1% memasak. Berdasarkan pengamatan dan wawancara yang dilakukan, bahwa mereka merasa tertarik
terhadap pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga kasih rakyat. Disamping sangat menambah pengetahuan bagi para responden, pelatihan dan ketrampilan yang diberikan ternyata sangat membantu menjadi mata pencaharian atau sumber penghasilan bagi para responden. Oleh karena itu mereka menjadi tertarik dan cenderung untuk mengikutinya apabila setiap kali pertemuan dilangsungkan. Tabel 8 : Waktu Pelatihan No 1 2
Kategori
F
%
Sudah sesuai Kurang sesuai
16 6
72,8 27,2
22
100
Jumlah Sumber : Data Primer
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 8 dapat dinyatakan bahwa sebahagian besar responden yaitu 72,8% mengatakan bahwa waktu pelatihan dan ketrampilan yang dilaksanakan sudah sesuai, sedangkan 27,2% menyatakan kurang sesuai. Hal ini disebabkan rutinitas waktu pekerjaan mereka sama dengan waktu berlangsungnya pelatihan dan ketrampilan. Dari pengamatan dan wawancara yang dilakukan, seluruh responden memperoleh uang pada saat mereka mengikuti pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga. Pemberian uang tersebut sebagai biaya pengganti transport bagi para responden ketika mereka mengikuti pelatihan dan ketrampilan yang diberikan oleh lembaga. Pemberian uang tersebut merupakan bagian dari pelaksanaan program dan telah ditetapkan dalam anggaran. Tujuan dari pemberian itu sudah dipahami para waria, bahwa uang tersebut merupakan uang transport dalam mengikuti pelatihan dan keterampilan. Tabel 9: Kecukupan Dana Transport Pelatihan No 1 2 3
Kategori Cukup Kurang Tidak cukup Jumlah Sumber : Data Primer
F 6 4 12 22
Pengganti % 27,3 18,2 54,5 100
31
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Berdasarkan data yang disajikan tabel 9 dapat dinyatakan bahwa hanya 27,3% yang mengatakan bahwa uang pengganti transport yang diberikan sudah cukup. Sedangkan sebesar 72,7% mengatakan bahwa uang yang diberikan kurang/tidak cukup. Beberapa responden pernah meminta untuk penambahan jumlah nominal yang biasa diberikan karena berbedanya daerah mereka tinggal, sehingga bila di bandingkan tentu tidak seimbang dengan responden yang menerima dengan jumlah yang sama akan tetapi berbeda dalam jumlah jarak tempuh dan biaya yang harus di keluarkan. Tabel 10 : Ketersediaan Sarana dan Prasarana Mengikuti Pelatihan No 1 2
Kategori
Ada Tidak tahu Jumlah Sumber : Data Primer
F 15 7 22
% 68,2 31,8 100
Tabel di atas menunjukkan sebesar 68,2% responden menyatakan bahwa pada saat pelatihan dan ketrampilan berlangsung lembaga menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. Selain itu, terdapat 31,8% mengatakan tidak tahu. Hal tersebut dikarenakan selama ini terfokus kepada materi pelatihan, sehingga respoden tersebut tidak mengetahui kalau alat yang disediakan tersebut berasal dari pihak lembaga. Tabel 11 : Kesesuaian Sarana dan Prasarana Pada Saat Mengikuti Pelatihan No 1 2 3
Kategori
F
%
Sudah sesuai Kurang sesuai Tidak sesuai
5 7 10
22,7 31,8 45,5
22
100
Jumlah Sumber : Data Primer
Data pada tabel di atas menunjukkan hanya sebesar 22,7% yang mengatakan kalau sarana dan prasarana yang disediakan pada saat pelatihan dan ketrampilan sudah sesuai dan memadai. Sedangkan 77,3% mengatakan sarana dan prasarana yang disediakan kurang/tidak
32
sesuai seperti yang mereka harapkan. Misalnya, mesin jahit yang masih dengan mendayung atau dengan kaki. Hasil wawancara dengan responden di dapat informasi bahwa masih terdapat kekurangan seperti tidak terpenuhinya alat-alat praktik yang dibutuhkan pada saat pelatihan dan ketrampilan diberikan. Sehingga responden harus secara bergilir untuk mendapat kesempatan melakukan praktik yang instruksikan ataupun diajarkan. Tabel 12 : Penyampaian Informasi Mengikuti Pelatihan dan Ketrampilan No
Media
F
%
Telephone/HP Surat
9 13
41 59
Jumlah Sumber : Data Primer
22
100
1 2
Data pada tabel di atas menunjukkan sebesar 41% menerima informasi akan diadakan pelatihan dan ketrampilan melalui telephone/HP, dan 59% mengatakan melalui surat yang disampaikan lembaga. Penyampaian informasi karena mereka anggota tetap yang sudah terdaftar sebagai anggota resmi lembaga. Lembaga kasih rakyat tidak dapat memaksakan pertemuan wajib pelatihan keterampilan, karena keterbatasan waktu dari para waria. Mereka terhalang oleh pekerjaan, sehingga waktu mereka sangat terbatas untuk mengikuti kegiatan tersebut. Tabel 13 : Alasan Mengikuti Pelatihan dan Ketrampilan No
Kategori Menambah wawasan 1 Menambah 2 ketrampilan 3 Lain-lain Jumlah Sumber : Data Primer
F
%
6 14 2
27,3 63,7 9,0
22
100
Tabel 13 menunjukkan bahwa sebesar 27,3% menyatakan alasan mengikuti kegiatan pelatihan dan ketrampilan karena ingin
Siregar, Implementasi Program Pembinaan Waria
menambah wawasan. Sebesar 63,7% mengatakan untuk menambah ketrampilan. Mereka menganggap bahwa ketrampilan yang diberi selain sesuai dengan bakat juga dapat dipergunakan sebagai sumber penghasilan mereka. Ada 9,0% mengatakan hanya ingin mengisi waktu luang. Mereka sebenarnya hanya ingin mengikuti sosialisasi tentang HIV/AIDS dan penyakit kelamin. Tabel 14 : Minat Melakukan Seks Tidak Sehat Setelah Mengikuti Program No 1 2
Kategori Tidak ada Biasa saja
Jumlah Sumber : Data Primer
F
%
19 3
86,3 13,7
22
100
Tabel di atas menunjukkan 86,3% responden mengatakan tidak ada lagi minat atau keinginan untuk melakukan kegiatan seks yang tidak sehat yang selama ini mereka kerjakan setelah mereka mengikuti program yang diberikan. Keterampilan yang diperoleh telah mereka jalani dan mulai tekuni sebagai mata pencaharian dan sumber penghasilan. Sementara sebesar 13,7% mengatakan biasa saja. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan mereka masih sulit melepas kebiasaan dan penghasilan yang mereka peroleh dari kegiatan seks yang tidak sehat tersebut. Tabel 15 : Efektifitas Tidaknya Program No Kategori F % 1 2 3
Efektif Tidak efektif Biasa saja
17 1 4
77,3 4,6 18,1
Jumlah Sumber : Data Primer
22
100
Berdasarkan tabel di atas dapat dinyatakan bahwa mayoritas responden atau sebesar 77,3% mengatakan bahwa program yang dilaksanakan sudah efektif, terlihat dari pekerjaan mereka setelah mengikuti program tersebut. Sebesar 4,6% mengatakan tidak efektif, dan 18,1% mengatakan biasa saja.
Dari wawancara yang dilakukan para responden yang mengatakan biasa saja menginginkan adanya tambahan kegiatan ataupun jenis pelatihan lainnya, sehingga lebih menambah pengetahuan, wawasan serta keterampilan mereka. Kesimpulan Berdasarkan hasil paparan dan analisis data peneliti merumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan program pembinaan cegah tangkal HIV/AIDS yang dilakukan lembaga kasih rakyat kepada waria berlangsung dengan baik. Lembaga Kasih Rakyat dalam hal ini memiliki sumber daya manusia, anggaran serta ketersediaan sarana yang baik dan memadai untuk mendukung kegiatan tersebut. 2. Terdapat antusias dari para waria untuk mengikuti pembinan yang diberikan, sehingga mereka mengerti dan memahami pendidikan seks sehat, wawasan tentang infeksi menular seksual, dan penggunaan alat pengaman atau kondom serta bagaimana menjaga kesehatan reproduksinya. 3. Dalam melaksanakan programnya, Lembaga kasih rakyat senantiasa berpedoman pada strategi dan tujuan pelaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni dalam rangka meningkatkan pendidikan dan informasi masyaarakat tentang HIV/AIDS dan penyakit menular seks, kesehatan reproduksi serta menjadi pusat pembinaan bagi para waria. 4. Pelaksanaan program pembinaan keterampilan yang diberikan Lembaga kasih rakyat kepada para waria dalam bentuk keterampilan di bidang salon, tata rias dan menjahit telah memberikan dampak positif dalam bentuk perubahan ekonomi ke arah yang lebih baik dalam kehidupan mereka. Hal tersebut terlihat dari peningkatan penghasilan para waria rata-rata diatas Rp. 500.000 sampai Rp. 2.000.000. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah disajikan, peneliti mengajukan rekomendasi sebagai berikut:
33
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
1.
2.
3.
34
Waria merupakan kelompok masyarakat yang juga warga negara yang sah serta memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain, namun kenyataannya, mereka sangat jarang atau hampir tidak pernah mendapat perhatian dari Pemerintah. Oleh karena itu, semestinya Pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah memberikan perhatian khusus kepada kelompok tersebut, dan secara khusus mengalokasikan anggaran untuk pemberdayaan mereka, baik di APBN maupun APBD masing-masing daerah. Antusian dan keseriusan kelompok waria dalam mengikuti program sosialisasi yang dilakukan menunjukkan mereka sebenarnya mudah untuk diajak dan dilibatkan dalam pelaksanaan berbagai program. Oleh karena itu mereka perlu diberikan kesempatan untuk mengajukan aspirasi mereka berkenaan dengan apa saja yang mereka butuhkan untuk dirumuskan sebagai kebijakan. Pemerintah perlu mengumpulkan NGONGO yang selama ini memberikan perhatian kepada kelompok waria, agar diketahui
bagaimana kondisi nyata mereka, apa masalah yang mereka hadapi serta apa kebutuhan yang mereka harus penuhi. Melalui pertemuan tersebut, pemerintah belajar dalam menyusun dan menetapkan kebijakan serta program yang paling tepat bagi kelompok waria. Daftar Pustaka 1. Nadia, Z. (2005). Waria Laknat atau Kodrat. Galang Press: Yogyakarta. 2. Horton, P.B. (1999). Sosiologi. Erlangga: Jakarta. 3. Koeswinarno. (2005). Hidup Sebagai Waria. : Kanisius: Yogyakarta. 4. Supraktiknya, A. (1995). Mengenal Perilaku Abnormal. LKIS Pelangi Aksara: Yogyakarta. 5. Calhoun, J. F dan Accoella, J. R. (1995). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Edisi III. Diterjemahkan oleh Satmoko. IKIP Semarang Press: Semarang. 6.Nurdiyansah.(2007).http://Bulan/06/tgl21/time/ 015504/idnews/795921/idkanal/10.htm.Diaks es Tanggal 16 oktober 2012,pukul 13:00 WIB.
Artikel Penelitian
Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan Pada Pusat Kajian Perlindungan Anak dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak Street Children Empowerment Comparative Study in Study Centre of Child Protection and Centre of Education and Information of Right Child Berlianti
Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
Abstrak Pemberdayaan anak jalanan pada PKPA dan KKSP memiliki program yang sama jenisnya yaitu dibidang pendidikan non formal dan seni musik namun pada prakteknya pelaksanaannya berbeda. Hal ini disebabkan karena latar belakang anak dampingan pada kedua lembaga sangatlah berbeda. Anak dampingan PKPA seluruhnya masih sekolah dan tinggal bersama orangtua dan sedangkan anak dampingan KKSP mayoritas tidak sekolah dan tidak tinggal bersama orang tua. Kata kunci : Studi komparatif, Pemberdayaan anak jalanan. Abstract Empowerment of street children by PKPA and KKSP have the same type of program that is non-formal education and music, but different implementation in practice. This is because the background of children assisted at both institutions are very different. Child assistance PKPA whole school and still living with parents while majority of children assisted KKSP not school and not living with parents. Keywords : comparative study, Empowerment of street children. Pendahuluan Kemiskinan yang melanda kota-kota besar di Indonesia disebabkan oleh gejolak ekonomi yang semakin menyengsarakan masyarakat telah menimbulkan masalah-masalah baru yang cukup kompleks seperti makin banyaknya pengangguran, menjamurnya perumahan kumuh, munculnya anak-anak jalanan, dan lainnya. Ini juga diperparah oleh keadaan birokrasi pelayanan masyarakat yang
tidak berpihak kepada masyarakat bawah, bahkan lebih cenderung memojokkan masyarakat bawah. Permasalahan yang melanda kota-kota besar di Indonesia begitu kompleks sehingga membuat pemerintah kesulitan untuk mengatasi masalah tersebut dengan cepat. Tidak siapnya pemerintah dalam mengatasi permasalahan tersebut, membuka kesempatan baru bagi pelakupelaku sosial untuk mendirikan suatu lembaga untuk membantu pemerintah, khususnya dalam 35
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
mengatasi masalah-masalah sosial yang telah menjamur di perkotaan Indonesia. Dengan kesempatan ini berdirilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang pada awalnya nama lembaga tersebut adalah Organisasi Non Pemerintah (ORNOP) yang bergerak di berbagai bidang dan kebanyakan memanfaatkan bantuan dari lembaga-lembaga asing.1 LSM di Indonesia memiliki berbagai macam karakter yang berbeda. Dilihat dari pembentukannya, setidaknya ada 4 kategori LSM, yaitu yang didirikan oleh aktifis mahasiswa, pejabat atau politisi yang menduduki jabatan di struktur pemerintahan (baik eksekutif atau legislatif), para dosen dan peneliti, dan yang dibentuk oleh aktifis organisasi sosial lainnya, termasuk aktifis organisasi keagamaan. Karakter LSM-LSM ini juga sangat beragam, karena dipengaruhi oleh paradigma dan ideologi yang mereka kembangkan sebelumnya. Tetapi kalau dilihat dari cara kerjanya, terkait dengan identifikasi generasi, LSM di Indonesia bisa dikategorikan menjadi 4 jenis yaitu : 1. Generasi pertama: LSM yang selalu memberikan bantuan kepada masyarakat secara langsung atau masih bersifat karitif (amal). 2. Generasi kedua: selain melakukan bantuan langsung, LSM generasi kedua sudah memasukkan unsur-unsur pemberdayaan dalam programnya, misalnya pemberdayaan ekonomi. 3. Generasi ketiga: sering disebut sebagai LSM advokasi. LSM ini menitik beratkan kerjanya pada proses-proses advokasi untuk masyarakat, baik secara litigasi maupun nonlitigasi. 4. Generasi keempat: LSM ini mencoba menggabungkan kegiatan pemberdayaan dan advokasi.2 Di tengah tumbuh suburnya perkembangan LSM, bukan berarti bisa menyelesaikan masalah yang menerpa bangsa ini, bahkan cenderung ada ungkapan yang menyatakan semakin banyak LSM maka semakin banyak pula permasalahan yang terjadi atau lebih parah. Bahkan ada yang menyatakan, LSM sengaja menciptakan masalah agar lembaga tersebut memiliki kegiatan dan melangsungkan
36
kehidupan lembaganya. Fakta memang menunjukkan bahwa banyak LSM didirikan untuk ikut menyelesaikan masalah kemiskinan, pengangguran, pelanggaran HAM, kekerasan, pendidikan, pemberdayaan anak jalanan, dan masalah sosial lainnya, tetapi masalah-masalah tersebut masih menjadi berita yang sering kita baca di berbagai media. Di balik masalah akuntabilitas LSM, ada banyak cerita sukses pembangunan komunitas yang sudah dilakukan LSM, yang kemudian dijadikan model pembangunan di beberapa tempat di Indonesia. Kesuksesan ini semakin memperkuat kedudukan, penghargaan dan peran LSM sebagai salah satu aktor pembangunan. Sehingga apa yang diamanatkan kebijakan dan strategi pembangunan, bahwa pelaksanaan pembangunan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan para pengusaha (pengusaha besar, menengah dan kecil), tetapi juga masyarakat yang antara lain diwakili LSM. Di Kota Medan perkembangan LSM juga tumbuh subur tetapi bukan berarti permasalahanpermasalahan sosial di kota Medan sudah berkurang, malahan terus bertambah dan apabila kita bandingkan jumlah LSM dan masalah sosial yang ada di Kota Medan terdapat korelasi positif dan kenyataan ini tentu tidak baik dalam mengatasi masalah sosial, karena seyogianya LSM itu ada untuk mengatasi permasalahan yang tidak mampu diatasi pemerintah. Artinya hubungan korelasinya harus negatif, yaitu semakin banyak LSM maka masalah sosial yang eksis akan semakin sedikit. Contoh yang paling dekat dengan kita adalah semakin bertambahnya jumlah anak jalanan di Kota Medan walaupun sudah banyak berdiri LSM yang bergerak dalam pemberdayaan anak jalanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 menyebutkan, bahwa jumlah penduduk miskin perkotaan 2007 tercatat 47,11 persen dari 1.768 juta jiwa. Hal inilah salah satu penyebab perkembangan anak jalanan. Walaupun pada dasarnya bukan hanya masalah ekonomi dan kemiskinan yang menyebabkan mereka turun ke jalan, tetapi juga karena keinginan mereka sendiri untuk merasakan kebebasan tanpa banyak aturan norma dari orang tua.3 Anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur di bawah 18 tahun yang
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk melakukan aktifitas di jalanan, atau di tempat-tempat umum lainnya seperti terminal bis, stasiun kereta api, pasar, tempat hiburan, pusat perbelajaan, atau taman kota. Aktifitas mereka biasanya bervariasi, dari sekadar menghabiskan waktu bersama teman sebaya, sampai menjalani hidup (tidur, makan, dan lain-lain) dan mencari penghidupan di jalanan. Namun pada umumnya adalah mencari uang dengan cara mengasong, mengamen, memulung, mengemis, menyemir sepatu, menjadi kuli pasar, dan lainnya. Variasi aktifitas ini sangat beragam tergantung pada jenis kelamin dan usia anak. Selain itu aspek spasial kota yang mencakup tata ruang dan pola penggunaan tanah untuk aktifitas ekonomi juga turut menentukan keberadaan anak jalanan dan jenis pekerjaan anak. Karenanya setting masing-masing kota memberikan peluang yang berbeda pada anakanak miskin untuk menjadi anak jalanan.4 Sebagian dari anak jalanan menganggap bahwa mereka lebih baik bekerja dan mencari uang jajan daripada mereka pergi ke sekolah, apalagi anak jalanan mendapatkan uang yang cukup besar dari hasil bekerja di jalanan, sehingga berdampak pada ketidakinginan untuk kembali ke habitat “normal” seperti pada umumnya anak seusia mereka, misalnya kembali ke sekolah. Anak jalanan lebih menikmati bermain dan mencari uang di jalanan dan menganggap jalanan sebagai tempat tinggalnya.5 Jalanan bukanlah tempat yang baik bagi anak-anak dan remaja, karena di jalanan anak lebih mudah dipengaruhi untuk berbuat hal-hal negatif seperti narkoba, mencopet dan merampok, belum lagi pelecehan seksual yang dialami anak-anak jalanan. Jalanan juga bisa mengubah perilaku dari sianak untuk bersikap lebih keras dan kejam, hal ini didorong kerasnya persaingan dan kehidupan diantara penghuni jalanan.6 Anak jalanan cenderung rawan terjerumus dalam tindakan yang patologis. Salah satu perilaku menyimpang yang populer adalah “ngelem”, yang secara harafiah berarti menghisap lem. Diperkirakan sekitar 65-70% anak yang seharian hidup dan mecari nafkah di jalanan menggunakan zat ini. Beberapa jenis lem yang dikomsumsi adalah lem kambing, uhu, cat
dan pembersih kuku, zat yang mudah menguap, baik itu tinner, ether, spritus, atau benjene adalah zat-zat yang biasa dihisap anak jalanan, seolah dengan itu mereka sudah menemukan pengganti narkotika. Perilaku atau gaya hidup anak jalanan yang tak kalah merisaukan adalah, mereka umumnya sudah aktif secara seksual dalam usia yang terlalu dini, sehingga beresiko hamil dan penularan penyakit menular seksual sangat tinggi.7 Data yang dikeluarkan oleh Dinas Sosial Sumatera Utara tahun 2003 menunjukkan bahwa, jumlah anak jalanan yang berada di kota Medan menduduki jumlah yang tertinggi yaitu, mencapai 2.526 jiwa (50.26%) dari seluruh anak jalanan yang berada di kabupaten/kota yang ada di Sumatera Utara. Hal ini terjadi karena kota Medan merupakan ibukota provinsi yang memiliki daya tarik yang lebih besar jika dibandingkan dengan ibukota kabupaten/kota lainnya. Alasan lain menunjukkan bahwa kota Medan memiliki perkembangan kota yang lebih cepat jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang berada di Provinsi Sumatera Utara. Keberadaan LSM yang melaksanakan aktifitas menangani masalah anak jalanan seperti kekerasan pada anak dan pemberdayaan anak jalanan sudah cukup banyak namun dari perkembangan anak jalanan secara mata telanjang kita bisa melihat bahwa perkembangan anak jalanan masih belum mampu ditekan oleh lembaga yang menangani masalah anak, khususnya masalah anak jalanan, dimana setiap pusat kota dan di persimpangan lampu merah banyak kita lihat anak jalanan. Di Kota Medan ada beberapa LSM yang aktif bergerak dalam pemberdayaan anak jalanan, di antaranya adalah Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak atau lebih dikenal dengan nama Yayasan KKSP. Masing-masing lembaga ini mempunyai divisi pemberdayaan anak jalanan yang memiliki konsep berbeda dalam menggali potensi anak-anak jalanan dan dengan lapangan yang berbeda juga, dimana diharapkan melalui program pemberdayaan anak jalanan dapat dikurangi dan dicegah sehingga tidak menjadi masalah yang terus berlanjut/meningkat dan minimal bisa menekan terjadinya tindak kekerasan pada anak jalanan.
37
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
PKPA dan KKSP, dalam pemecahan masalah perkembangan anak jalanan biasanya berkoalisi dan bekerjasama untuk melakukan advokasi dan menjalin komunikasi dengan LSM lainnya dan dengan pemerintahan dan juga dengan pihak swasta. Prinsip tersebut didasarkan atas sebuah kesadaran bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai jika mampu membangun satu pemahaman yang utuh di tataran komunitas dan pemerintah akan pentingnya kolaborasi untuk tujuan bersama. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di beberapa tempat, untuk lokasi pemberdayaan anak jalanan yang difasilitasi oleh Pusat Kajian Perlindungan Anak ada di Sanggar Kreatifitas Anak yang beralamat di Jalan TB. Simatupang Gang Wakaf Nomor 3 Pinang Baris Medan. Sedangkan untuk pemberdayaan anak jalanan yang difasilitasi oleh Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak terdapat di Rumah Musik yang berlokasi di jalan Djamin Ginting Gang Arihta Simpang Pos Padang Bulan. Populasi penelitian ini adalah keseluruhan anak-anak jalanan yang menjadi anak dampingan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak sebanyak 118 orang (12 orang menjadi sampel) dan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak sebanyak 193 orang (20 orang menjadi sampel). Untuk memperoleh data primer, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dilakukan berupa observasi, penyebaran angket dan wawancara. Ketiga teknik dan lat pengumpulan data tersebut diupayakan saling melengkapi sehingga data yang diperoleh selain lengkap juga akurat. Sedangkan studi pustaka digunakan untuk memperoleh data sekunder. Data ini bersumber dari berbagai pihak yang konsisten dan berkaitan dengan fenomena pekerja anak, baik pemerintah maupun non pemerintah. Selanjutnya data yang dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis dengan menggunakan statitistik sederhana atau statistik deskriptif. Data disajikannya melalui tabel tunggal kemudian dianalisis dengan menggambarkan, menjelaskan dan memberikan interpretasi.
38
Temuan dan Analisis Program Pemberdayaan yang Dilaksanakan Sebelum membahas program yang dijalankan oleh lembaga adalah sangat penting bagi kita untuk mengetahui karakteristik responden. Untuk itu pada tabel 1 berikut disajikan kharakteristik responden. Tabel 1. Usia Responden PKPA F % 1 10-12 3 25 2 13-15 9 75 3 16-18 0 0 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
KKSP
Umur
F 3 6 11 20
% 15 30 55 100
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 1 dapat diketahui bahwa usia responden berada di antara 10 sampai 18 tahun. Data tersebut memberikan informasi kepada kita bahwa pada batasan usia inilah yang merupakan usia yang tergolong rawan menjadi korban eksploitasi dari berbagai pihak. Justru dengan pengetahuan atas fakta inilah, maka Yayasan KKSP menggariskan suatu kebijakan dan secara mayoritas berusia 16-18 tahun dan yang berusia inilah terlihat selalu mendampingi anak dampingan yang lebih muda. Tabel 2. Status Sekolah No
Jawaban
PKPA F % 12 100
Masih Sekolah Tidak 0 2 Sekolah Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1
KKSP F % 12 60
0
8
40
100
20
100
Sekolah merupakan salah satu institusi dari lembaga pendidikan dalam rangka meningkatkan mobilitas sosial masyarakat ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk itulah pemerintah mendirikan sekolah-sekolah agar bisa memfasilitasi keinginan anak-anak untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Anak dampingan PKPA seluruhnya masih bersekolah. Tampaknya ini dipengaruhi
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
oleh posisi anak yang masih tinggal bersama orang tua mereka dan mereka ini turun ke jalan setelah pulang sekolah. Berbeda dengan anak dampingan KKSP ada 40% yang tidak sekolah, dimana mereka tidak tinggal bersama orang tua lagi sehingga lebih sering tinggal di Rumah Musik yang difasilitasi oleh KKSP. Tabel 3. Tinggal Bersama Orang Tua No
Jawaban
1 2
PKPA F % 12 100
Bersama Tidak Bersama 0 Jumlah 12 Sumber : Data Primer
KKSP F % 11 55
0 100
9 20
45 100
Anak jalanan dampingan PKPA seluruhnya tinggal bersama orang tua yang mayoritas berada di sekitar terminal Pinang Baris. Mereka turun ke jalan setelah pulang sekolah. Dengan demikian besar kemungkinan mereka terjun ke jalanan karena mereka memang bermukim di sana dan setiap hari melihat fenomena yang ada di jalanan. Lama kelamaan mereka tertarik, karena mungkin bagi mereka ada aspek-aspek yang menarik bagi mereka perihal fenomena tersebut, secara instan dapat mereka nikmati walaupun dalam jangka panjang justru berdampak negatif terhadap masa depan mereka. Sedangkan anak dampingan KKSP 45% tidak tinggal bersama orang tua. Dengan adanya rumah singgah (rumah musik) mereka lebih suka tinggal disana juga didukung jarak rumah singgah dengan Simpang Pos tempat mereka beraktifitas sangat dekat. Tabel 4. Lama Bekerja Di Jalanan PKPA F % 25 1 <3 3 41,6 2 3-5 5 7 3 6-8 3 25 4 9 - 11 1 8,33 5 > 11 0 0 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Jam
KKSP F
%
2 10 5 3 0
10 50 25 15 0
20
100
Lama anak bekerja di jalanan sangat variatif. Kebanyakan memiliki jam kerja diantara 3 sampai 5 jam. Buat dampingan PKPA hal ini dipengaruhi oleh waktu luang anak adalah ketika pulang sekolah dan akan kembali ke rumah masing-masing menjelang magrib. Begitu juga dengan anak dampingan KKSP juga kebanyakan memiliki jam kerja 3 - 5 jam. Anak yang memiliki jam kerja ini adalah anak dampingan yang masih sekolah, mereka bekerja pulang sekolah, setelah agak malam yang rumahnya di Simalingkar biasanya langsung pulang sementara yang tinggal di rumah singgah masih ada yang tetap nongkrong di seputaran Simpang Pos, main Play Station 2. Biasanya anak yang memiliki 9 - 11 jam kerja adalah anak yang tidak memiliki rumah dan tidak memiliki hubungan teratur dengan orang tua. Tabel 5. Aktifitas di Jalanan No
Aktifitas
1 2 3 4
Mengamen Menyapu Angkot Menyemir sepatu Lain-lain
Jumlah Sumber : Data Primer
PKPA F %
KKSP F %
1 8,33 15 7 58,34 0 4 33,33 2 0 0 3
75 0 10 15
12 100
100
20
Sebenarnya pekerjaan anak di jalanan merupakan pekerjaan yang murah dan tidak begitu memerlukan keahlian dan langsung mendapatkan imbalan seperti mengamen, menyapu angkutan kota, berjualan, menyemir, tetapi pekerjaan ini tergolong keras dan berbahaya bagi anak-anak karena dikerjakan di jalan raya yang ramai lalu lintasnya. Anak jalanan dampingan PKPA kebanyakan aktif sebagai penyapu angkutan kota yang sedang parkir di Terminal Pinang Baris dan menyemir sepatu, hanya ada sebagian kecil yang mau mengamen. Jelas ini karena banyaknya angkutan kota yang selalu parkir di terminal. Berbeda dengan anak dampingan KKSP 75% aktif sebagai pengamen di jalanan Simpang Pos. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya mobil berbagai jenis yang melewati Simpang Pos karena Simpang Pos merupakan jalur strategis keluar masuk Kota Medan dan saat traffic light 39
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
berwarna merah cukup lama sehingga sangat cocok untuk mengamen di jalanan Simpang Pos. Tabel 6. Besar Penghasilan Dalam Sehari No
Rp
1 < 10.000 2 10.000- 20.000 3 > 20.000 Jumlah Sumber : Data Primer
PKPA F % 3 25 9 75 0 0 12 100
KKSP F % 4 20 11 55 5 25 20 100
Penghasilan mayoritas anak jalanan adalah berkisar antara Rp 10.000 - Rp 20.000. Terdapat hanya sebesar 25% anak dampingan KKSP yang mempunyai penghasilan di atas Rp. 20.000. Pada umumnya mereka yang memperoleh pendapatan lebih besar adalah anak jalanan yang sudah berumur 17 tahunan. Di samping itu mereka memiliki pengalaman yang sudah cukup lama aktif di jalanan dibandingan dengan anak jalanan lainnya. Tabel 7. Lama Menjadi Anak Jalanan PKPA F % 1 <1 2 16,67 2 1-2 4 33,33 3 2-3 3 25 4 3-4 5 >4 3 25 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Tahun
KKSP F 10 5 2 3 20
% 50 25 10 15 100
Banyak faktor yang mengakibatkan anak terjun ke jalanan salah satunya adalah faktor keluarga, dimana banyak keluarga yang menggantungkan hidup bekerja di jalanan untuk mendapatkan sesuap nasi. Misalnya ibu yang bekerja sebagai pemulung atau pengumpul sisa makanan untuk pakan ternak babi. Lama menjadi anak jalanan dampingan kedua lembaga sangat variatif tetapi mayoritas adalah kurang dari 1 tahun sampai 2 tahun. Hubungan Lembaga dengan Anggota Situasi anak jalanan yang serba kekurangan membuat mereka sangat berbagi dengan sesamanya apabila mendapat bantuan dari
40
suatu lembaga atau organisasi tertentu. Terlihat dari jawaban yang hampir sama, yaitu bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa mereka mengetahui keberadaan lembaga dampingan adalah dari sesama anak jalanan. Di sini jelas memberikan informasi kepada kita terjadinya interaksi yang intensif sesama mereka. Tabel 8. Mengetahui Adanya Lembaga PKPA F % 75 1 Sesama 9 0 2 Ortu 0 8,33 3 Peksos 1 16,6 4 Lainnya 2 7 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Sumber
KKSP F % 16 0 4 0
80 0 20 0
20
100
Tabel 9. Status Anak Dampingan No 1 2
Status
PKPA F % 11 91,67 0 0
F 20 0
KKSP % 100 0
8,33 100
0 20
0 100
Terdaftar Tidak Terdaftar 3 Tidak tahu 1 Jumlah 12 Sumber : Data Primer
Keakraban terlihat begitu jelas terjalin antara anak jalanan dengan pendamping pada lembaga. Jadi tidak mengherankan jika semua anak mengaku sebagai anak dampingan lembaga yang ada. Disamping itu yang membuat anak jalanan memberitahu tentang adanya lembaga dampingan adalah disebabkan lembaga juga Semua anak jalanan terdaftar pada lembaga yang ada, hanya ada 8,33% orang yang tidak tahu apakah dia terdaftar sebagai anak jalanan atau tidak. Hal ini disebabkan bahwa menyuruh mereka untuk mengajak anak jalanan lainnya untuk mengikuti program-program pada lembaga. responden merasa tidak terlalu sering mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh lembaga pendampingan. Dari tabel di atas terlihat bahwa kebanyakan anak sudah mengenal lembaga pendampingan selama 1-2 tahun, bahkan ada
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
anak yang mengenal sudah lebih dari 3 tahun. Melihat fakta tersebut kelihatannya lembaga masih sangat sulit untuk menarik mereka agar tidak lagi menjadi anak jalanan. Walaupun kedua lembaga sudah berusaha melalui berbagai program pemberdayaan dan dengan cara masingmasing, tetapi kelihatan hasilnya masih kurang maksimal. Tabel 10. Lama Menjadi Anak Dampingan No
Tahun
PKPA
F <0,5 0 0,5 -1 4 1-2 5 2-3 0 >3 3 Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1 2 3 4 5
% 0 33,33 41,67 0 25 100
KKSP F 5 4 10 0 1 20
% 25 20 50 0 5 100
Tabel 11. Fasilitas Rumah Singgah PKPA F % 1 Tersedia 7 58,33 2 Tidak 5 41,67 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Tersedia
F 18 2 20
KKSP % 90 10 100
Kedua lembaga menyediakan fasilitas rumah singgah yang diberi nama SKA PKPA dan rumah musik “the bamBoes” oleh KKSP. Namun ada anak dampingan yang tidak mengetahui tentang adanya fasilitas tersebut karena jarang ke rumah singgah. Selesai bekerja di jalanan biasanya anak-anak ini langsung pulang dan mereka inilah yang masih memiliki orang tua aktif dan masih bersekolah. Rumah singgah/musik “the bamBoes” sudah memiliki fungsi sebagai rumah singgah yang baik dan dapat dimanfaatkan anak jalanan dengan baik. Bahkan di antaranya banyak yang tinggal/menetap di rumah sana. Setiap anak yang tinggal di sana hidup seperti sebuah keluarga dimana masing-masing punya jadwal kegiatanan dan wajib memberikan kontribusi seribu rupiah perhari untuk keperluan operasional. Rumah singgah SKA PKPA lebih kelihatan seperti sebuah kantor, dan tidak ada anak dampingan yang tinggal di sana. Semua
anak dampingan PKPA masih tinggal bersama orang tua masing-masing, sehingga ada anak yang tidak tahu tentang adanya fasilitas tersebut. Tabel 12. Informasi Pelayanan Lembaga
Mengenai Program Anak Jalanan Oleh
PKPA F % 1 Tahu 11 91,67 2 Tidak tahu 1 8,33 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No Jawaban
KKSP F % 19 95 1 5 20 100
Program-program yang dilakukan lembaga sudah diketahui oleh hampir keseluruhan anak dampingan. Walaupun ada yang tidak mengetahui, tetapi dapat dinyatakan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh lembaga mendapat respon positif dari anak anak jalanan. Hal ini memperlihatkan bahwa kedua lembaga tersebut sangat serius dalam upaya pemberdayaan anak jalanan. Pelayanan Pendidikan Non Formal Pelayanan pendidikan yang dijalankan lebih kepada pendidikan non formal. Pendampingan dilakukan menjaga agar anak tetap sekolah. Tabel 13. Penyediaan Fasilitas Non Formal No 1 2
Penyediaan
Tersedia Tidak tersedia Jumlah Sumber : Data Primer
F 11 1 12
PKPA % 91,67 8,33 100
Pendidikan KKSP F % 17 85 3 15 20 100
Berbagai fasilitas yang diberikan di antaranya adalah pemberian alat tulis, buku tulis, buku bacaan. Fasilitas-fasilitas yang disediakan sangat berguna untuk menunjang program pendidikan non formal bagi anak. Fasilitas ini juga berfungsi sebagai penarik minat anak agar mau belajar dan berkreasi di rumah singgah yang sebenarnya tujuannya berguna untuk mengurangi jam anak berada di jalan. 41
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Tabel 14. Proses Pelayanan Pendidikan Non Formal Yang Diberikan PKPA F %
KKSP F %
Workshop Penyuluhan Diskusi Dan lainlain
0 4 6 2
0 33,33 50 16,67
0 6 14 0
0 30 70 0
Jumlah
12
100
20
100
No
Jenis
1 2 3 4
Tabel 16. Pemberian Program Pelayanan Pendidikan Dalam 1 Bulan No
Frekuensi
1 2 3 4 5
1 kali 2 kali 3 Kali >3 Kali Tidak tahu Jumlah Sumber : Data Primer
PKPA F % 0 0 3 25 5 41,67 4 33,33 0 0 12 100
KKSP F % 10 50 6 30 0 0 0 0 4 20 20 100
Sumber : Data Primer Proses pelayanan pendidikan non formal yang paling sering diberikan pada anak jalanan pada kedua lembaga adalah diskusi. Adapun dalam diskusi ini diupayakan nara sumber atau pembicara mengajak ngobrol topik-topik tertentu pada anak dampingan. Hal ini disebabkan karena memang cara dan pendekatan seperti inilah yang paling mudah dilakukan tanpa harus melakukan persiapan rumit. Dengan kata lain, cara-cara informal lebih tepat diterapkan. Jika dilakukan cara-cara yang formal, anak-anak justru merasa segan dan tidak mau terbuka, sehingga tidak akan dapat diketahui perasaan mereka. Tabel 15. Bertambah Tidaknya Pengetahuan Setelah Mendapat Pelayanan Pendidikan Non Formal Dari Lembaga No 1 2
Hasil
PKPA F % 12 100 0 0
Bertambah Tidak bertambah 3 Tidak tahu 0 Jumlah 12 Sumber : Data Primer
0 100
KKSP F % 16 80 0 0 4 20
20 100
Berdasarkan data yang disajikan pada table 15 antara lain dapat diketahui bahwa anak dampingan mengaku bahwa pengetahuan mereka bertambah. Namun sesungguhnya yang paling penting bukanlah aspek bertambahnya pengetahuan mereka, melainkan adalah bahwa mereka secara nyata dapat melaksanakan hal yang diajarkan. 42
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 16 di atas dapat diketahui bahwa program pendidikan yang dilaksanakan oleh lembaga PKPA berkisar di antara 2-3 kali bahkan lebih dalam sebulan. Dalam arti kata, bahwa program tersebut dijalankan oleh lembaga dengan baik dan anak dampingan juga menyambut positif program tersebut. Hal ini disebabkan oleh materinya yang tepat bagi mereka. Berbeda dengan responden pada yayasan KKSP yang menunjukkan bahwa kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh yayasan KKSP hanya berkisar 1-2 kali dalam sebulan dan hal ini terjadi karena pihak lembaga memang hanya melakukan program pendidikan ini sekali sebulan bahkan kadang-kadang tidak dilaksanakan, mengingat untuk memobilisasi anak dampingan memang sangat susah. Tabel 17. Mengerti Akan Tujuan dari Pelayanan Pendidikan Non Formal Dari Pihak Lembaga No 1 2
Jawaban
Mengerti Tidak mengerti Jumlah Sumber : Data Primer
PKPA F %
KKSP F %
6 6
50 50
13 7
65 35
12
100
20
100
Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 17 dapat diketahui bahwa perbandingan responden yang mengerti dan tidak mengerti akan tujuan program pendidikan pada yayasan PKPA adalah 50 : 50. Artinya bahwa responden yang mengerti hanya setengah dan setengah
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
responden lagi malah tidak mengerti akan tujuan program ini. Ketika penulis menanyakan responden mengapa tidak mengerti akan tujuan pelayanan ini, salah seorang responden menyatakan setelah mempelajari satu topik tidak ada kelanjutan dari topik itu sehingga putus di tengah jalan dan anak dampingan jadi lupa akan topik tersebut. Sedangkan fakta yang ada di lembaga KKSP menunjukkan, bahwa yang mengerti tujuan dari program pendidikan tersebut ada sekitar 65% dan yang tidak mengerti ada sekitar 35%. Responden yang mengerti tujuan dari program tersebut adalah anak dampingan yang berusia sekitar 17 tahun, yang merupakan usia yang sudah bisa memahami dan menggali sendiri apa manfaat dari pendidikan tersebut, sedangkan responden yang tidak mengerti adalah anak-anak dampingan yang sangat jarang mengikuti program pelayanan pendidikan non formal tersebut. Pelayanan Keterampilan Bidang Kesenian Tabel 18. Tahu Tidaknya Informasi Pelayanan Di bidang Kesenian PKPA F % 1 Tahu 7 58,33 2 Tidak tahu 5 41,67 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Jawaban
KKSP F % 20 100 0 0 20 100
Bentuk pelayanan yang diberikan oleh kedua lembaga adalah pelayanan keterampilan di bidang seni. PKPA memberikan pelayanan di bidang seni musik, sedangkan Yayasan KKSP memberikan pelayanan di bidang seni musik, dan seni lukis. Program ini dilaksanakan untuk menampung bakat-bakat terpendam dari anak jalanan hal ini bisa kita lihat kalau kita ke rumah singgah Yayasan KKSP, maka kita akan melihat pajangan berupa hasil lukisan anak dampingan lembaga tersebut. Ada sekitar 5 dari 12 responden pada lembaga PKPA yang tidak tahu akan adanya program pelayanan ini, dan responden yang tidak tahu ini adalah responden yang tidak mengikuti perkembangan pelayanan bagi anak dampingan.
Berbeda dengan anak dampingan yayasan KKSP semua responden menjawab bahwa mereka tahu tentang adanya program pelayanan kesenian tersebut. Tabel 19. Penyediaan Pendidik Khusus Dalam Pelayanan Dibidang Kesenian No
Jawaban
PKPA F %
Disediakan 7 Tidak 1 disediakan 4 Tidak Tahu Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1 2 3
KKSP F %
58,33 8,34 33,33
11 4 5
55 20 25
100
20
100
Dari tabel di atas kita juga dapat melihat, bahwa dibidang seni Yayasan KKSP lebih kreatif dalam pelayanan keterampilan dibidang seni, karena pihak lembaga bisa menjalankan 2 bidang kesenian sekaligus, yaitu seni musik dan seni lukis dan sangat dinikmati oleh anak dampingan KKSP. Berbeda dengan PKPA yang hanya melayani keterampilan dalam seni musik saja. Artinya PKPA tidak memiliki program dibidang seni lukis. Perbandingan jawaban responden mengenai pennyediaan pendidik khusus pada lembaga PKPA ternyata bersifat variatif. Namun memang responden yang memberikan jawaban menyediakan lebih banyak ada 58,33%, dan menurut peneliti pendidik khusus yang mengajari mereka adalah mahasiswa magang atau relawan yang kebetulan memiliki keterampilan yang cukup dibidang ini. Ternyata tidak jauh beda dengan responden pada yayasan KKSP responden yang menjawab bahwa lembaga menyediakan pendidik khusus ada 55% dan menurut penulis bahwa sebenarnya lembaga tidak menyediakan pendidik khusus dan yang mengajari mereka adalah pendamping yang memang memiliki keterampilan dibidang ini. Dalam setiap program yang dilaksanakan kedua lembaga selalu menggunakan jasa mahasiswa PKL. Hal ini sangat bermanfaat dalam menekan anggaran biaya operasional lembaga, jadi tidak harus menggaji seorang guru seni misalnya.
43
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Tabel 20. Penyediaan Fasilitas Dalam Pelayanan Dibidang Kesenian No
Fasilitas
PKPA F %
Tersedia Tidak 6 Tersedia 3 Tidak 3 Tahu Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1 2 3
KKSP F %
50 25 25
15 1 4
75 5 20
100
20
100
Penyediaan fasilitas sebagai penunjang terlaksananya program pelayanan keterampilan dibidang seni memang sangat penting, karena letak berjalan tidaknya program ini terlihat pada ada tidaknya fasilitas penunjang, seperti misalnya gitar untuk seni musik dan krayon dan buku gambar bagi yang mau melukis. Jika dibandingkan jawaban responden pada tabel di atas responden PKPA 50% menjawab tersedia dan responden KKSP 75% menjawab tersedia, dari fakta ini bisa kita lihat bahwa kedua lembaga memang menyediakan fasilitas dalam pengembangan keterampilan seni Ada juga responden yang menjawab bahwa fasilitas itu tidak tersedia dan menjawab tidak tahu. Keadaan seperti ini terjadi karena memang di lembaga PKPA sendiri ini disebabkan alat musik yang tersedia merupakan perlengkapan band. Alat tersebut khusus diperuntukkan bagi warga binaan yang yang bisa memakainya adalah mereka yang minimal harus punya keterampilan sedikit dan yang paling sering menggunakan peralatan band itu adalah grup band hasil bentukan yayasan PKPA sebanyak tiga grup band yang bernama Komic Blue, Komic Radja, dan Komic Gelang, di lembaga KKSP peralatan yang digunakan adalah alat musik yang sudah rusak lalu diperbaiki sehingga bisa dipergunakan kembali karena perlatan music mereka rata-rata adalah peralatan rusak yang anak dampingan selalu menyebutnya sebagai “sampah” dan mereka sering dijuluki sebagai “komunitas musik sampah” dan di rumah musik ada nama grup bernama the bamBoes yang anggotanya tidak terbatas, maksudnya siapa yang mau berkreatifitas dalam the bamBoes akan diterima menjadi anggota the bamBoes.
44
Tabel 21. Kelengkapan Diberikan
Sarana
PKPA Kelengk apan F % 1 Lengkap 10 83,3 2 Tidak 2 4 Lengkap 16,66 Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer No
Yang
F
KKSP %
8 12
40 60
20
100
Jika dilihat dari data di atas perbandingan fasilitas pada kedua lembaga adalah untuk fasilitas PKPA lengkap namun fasilitas KKSP tidak lengkap. Hal ini disebabkan oleh yayasan PKPA memiliki peralatan band yang cukup lengkap, namun tentu tidaklah semua anak dampingan diperbolehkan menggunakan alat ini, sehingga kurang efektif sebagai penunjang peningkatan keterampilan dibidang musik. Berbeda dengan di lembaga KKSP peralatannya memang kurang memadai karena kebanyakan dari alat-alat musik yang sudah rusak apabila kita ke rumah musik KKSP maka yang pertama dilihat oleh mata adalah pajangan gitargitar tua dan sudah rusak namun masih dapat dipergunakan. Meski demikian anak dampingan bebas menggunakannya sehingga cukup efektif untuk peningkatan keterampilan anak dampingan dibidang musik. Jadi jika dilihat dari dua lembaga tersebut dapat diketahui bahwa kelengkapan yang paling efektif bagi anak dampingan untuk pengembangan keterampilan adalah alat-alat yang bisa digunakan oleh anak dampingan sepuasnya. Tabel 22. Jenis Pelayanan Kesenian Yang Diberikan No
Jawaban
F
PKPA %
Seni 12 Musik Seni Lukis Seni Rupa Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1 2 3
F
KKSP %
100 -
12 8 -
60 40 -
100
20
100
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
Berdasarkan tabel di atas bahwa anak dampingan di kedua lembaga lebih sering mengikuti keterampilan di bidang seni musik. Tetapi kalau dilihat dari efektifitas pelayanan keterampilan dibidang seni musik ada pada yayasan KKSP karena pelayanan ini sangat membantu anak jalanan untuk dapat meningkatkan kemampuan misalnya main gitar dan program ini sangat mendukung kegiatan anak dampingan di jalanan yang mayoritas adalah pengamen beda dengan anak dampingan yayasan PKPA yang bermain musik hanya untuk hiburan semata. Yayasan KKSP juga mengembangkan program dibidang seni lukis yang menurut pendamping yayasan KKSP ini lebih berguna untuk peningkatan kualitas karakter anak dampingan, yang secara psikologis mengajari anak dampingan untuk lebih ulet dan sabar dalam menghadapi persoalan hidup. Mengenai hasil lukisan sendiri sampai saat ini hasil lukisan anak dampingan banyak dipajang di rumah musik KKSP. Anak dampingan PKPA seluruhnya mengaku bahwa responden diberikan pelayanan dibidang seni musik. Tabel 23. Sikap Terhadap Layanan Kesenian No 1 2 3
Sikap
Suka Biasa saja Tidak Suka Jumlah Sumber : Data Primer
PKPA F % 9 75 3 25 12 100
KKSP F % 15 75 5 25 20 100
Anak dampingan PKPA yang memiliki bakat dan menyukai kegiatan pelayanan di bidang seni mencapai 75%. Sedangkan anak dampingan KKSP yang memiliki bakat dan menyukai kegiatan pelayanan di bidang seni sekitar 60% tetapi ada juga anak dampingan di kedua lembaga yang menyambut biasa-biasa saja program ini, Anak yang menyambut biasa-biasa saja program ini dikarenakan tidak begitu punya bakat dibidang ini. Anak dampingan KKSP lebih senang dengan program ini terbukti dari kegiatan anak disela-sela diskusi ada juga yang bermain musik/berkolaborasi gitar untuk menyanyikan sebuah lagu.
Tabel 24. Pelayanan Keterampilan Dibidang Seni Dalam 1 Bulan No
Frekuensi
PKPA F %
1 2 3 4
1-2 kali 5 3-4 kali 5 >4 kali 2 Tidak Tahu Jumlah 12 Sumber : Data Primer
KKSP F %
41,67 41,67 16,66 -
9 5 6 -
45 25 30 -
100
20
100
Data yang disajikan pada tabel 24 menunjukkan bahwa jawaban responden di kedua lembaga sangat variatif ini. Keadaan ini disebabkan jadwal pelayanan dibidang seni dari masing-masing lembaga memang tidak menentu, kadang sekali seminggu kadang sekali sebulan jadi tidak teratur, oleh karena hal inilah jawaban responden sangat merata di masing-masing pilihan. Anak dampingan KKSP mayoritas sudah memiliki keterampilan dalam bermain musik sehingga tanpa dikordinir lagi anak dampingan itu akan belajar dan berlatih musik sendiri yang dibantu sesama anak dampingan. Tabel 25. Keikutsertaan Dalam Pelayanan Kesenian Dalam 1 Bulan No
Frekuensi
PKPA F %
1-2 Kali 5 3-4 Kali 2 >4 Kali 4 Tidak 1 Tahu Jumlah 12 Sumber : Data Primer 1 2 3 4
KKSP F %
41,66 16.66 33,34 8,34
8 6 5 1
40 30 25 5
100
20
100
Frekuensi anak jalanan mengikuti pelayanan keterampilan menunjukkan seberapa sering anak mengikuti pelayanan keterampilan yang dilakukan oleh lembaga, dimana semakin sering anak mengikuti pelayanan keterampilan tersebut maka anak akan semakin terampil dalam melakukan apa yang dia ikuti dalam pelatihan keterampilan tersebut, dan sebaliknya jika anak tidak pernah mendapatkan pelayanan
45
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
keterampilan dibidang ini maka anak tidak akan pernah terampil. Dari tabel di atas kita lihat bahwa frekuensi anak mengikuti pelayanan keterampilan sangat variatif, tetapi frekuensi yang paling banyak dijawab adalah 1-2 kali. Tabel 26. Kemampuan Setelah Mendapat Pelayanan Dibidang Seni PKPA Kemamp uan F % Tambah 1 6 50 Tetap 2 1 8,33 Menurun 3 Tidak 4 1 41,67 Tahu Jumlah 12 100 Sumber : Data Primer N O
KKSP F % 19 1
95 5
20
100
Berdasarkan data di atas menunjukkan hal yang berbanding terbalik. Dibidang musik hanya 50% responden PKPA yang memberikan respon positif, sedangkan anak dampingan KKSP, ada 95% yang memberikan respon positif pada program ini. Hal ini terjadi karena tidak semua anak dampingan PKPA yang bisa menggunakan dan memakai alat musik PKPA, berbeda dengan anak dampingan KKSP yang bebas menggunakan alat musik yang ada di rumah musik. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang, peneliti merumuskan kesimpulan penelitian ini sebagai berikut: 1. Program pendidikan non formal yang dijalankan mendapatkan sambutan positif. 2. Penyediaan fasilitas seperti buku tulis, alat tulis, ruang belajar yang sederhana dan juga perpustakaan kecil-kecilan sangat membantu bagi anak dampingan. 3. Model belajar dengan metode diskusi dapat menarik minat anak dampingan. 4. Program seni musik diselenggarakan untuk menyalurkan minat dan bakat dari anak dampingan. Penyediaan fasilitas musik dan pendidik musik sangat bisa menggali minat dan bakat anak dampingan dibidang musik.
46
5. Frekuensi pelayanan oleh kedua lembaga cukup variatif dan belum memiliki jadwal rutin. Rekomendasi Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah disajikan, penulis mengajukan rekomendasi sebagai berikut: 1. Pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan yang diperoleh dengan kurikulum yang sistematik dan bersumber dari negara. Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan non formal senantiasa harus didukung selain jalur pendidikan formal. Hal ini disebabkan oleh fakta, banyak orang, tua maupun muda ingin mendapatkan pengajaran, namun waktu mereka yang tersita untuk melakukan aktivitas ekonomi mengakibatkan mereka tidak dapat mengikuti pendidikan formal. Oleh karena itu, pendidikan non formal harus lebih disosialisasi agar kemauan dan kebutuhan masyarakat memperoleh pendidikan tidak dibatasi hanya untuk pendidikan formal. 2. Pengadaan isi perpustakaan yang masih sederhana sudah membantu anak didik, dan akan besar bantuannya jika lebih dilengkapi lagi dengan fasilitas yang lebih lengkap dan berkualitas. Oleh karena itu perlu kelengkapan kepustakaan menjadi sangat penting di masa mendatang, sehingga benar-benar memberikan kontribusi yang lebih baik dan lebih besar terhadap peningkatan prestasi anak didik di masa mendatang. 3. Peningkatan fasilitas keterampilan di bidang lain masih sangat diperlukan agar keterampilan peserta didik lebih variatif lagi. Hal ini disebabkan oleh fakta, peserta didik pasti memiliki bakat yang lebih variatif, sehingga jika jenis keterampilan yang dilatif lebih variatif, maka bakat-bakat yang selama ini terpendam dan tidak tersalurkan akan tersalurkan dan berkembang di masa mendatang. Daftar Pustaka 1. Adi, Rukminto, Isbandi. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Berlianti, Studi Komparatif Pemberdayaan Anak Jalanan
2. Ascholani, Chasan. (2007). Kegagalan LSM.http.//www. kabar indonesia. com/berita php?pil 20&jd=KEGAGALAN-LSM benarkah?&dn=200710290824, diakses tanggal 23 Maret 2012, pukul 10:53 WIB 3. Waspada, (2008), anak jalanan harus diberi pendidikan.http: //yayasan-kksp.blogspot. com/2007/08/anak jalanan harus diberi pendidikan.html. Diakses tanggal 26 Maret 2012, pukul 13:10 WIB. 4. Susy, Y. R dkk. (2006). Evaluasi Dampak
ProgramDukungan Anak Jalanan di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Bandung: Atmajaya Press. 5. Edy, Ikhsan. (2004). Buku Saku Pendamping Anak Jalanan yang Berkonflik dengan Hukum. Medan: Yayasan Pusaka Indonesia. 6. Huraeah, Abu. Child Abuse. Bandung: Nuansa. 7. Suyanto, Bagong. (2001). Anak-anak yang dilanggar haknya. Surabaya: Lutfansah Mediatama.
47
Artikel Penelitian
Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah Pada Lahan Sawah dan Kering Dengan Sistem Rotasi dan Non Rotasi Difference Cost Of Shallot Production and Productivity in Paddy and Dry Land with Rotational and Nun Rotational System Tonny Hendra Nadeak
Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Prima Indonesia Medan
Abstrak Peningkatan dan penurunan produksi bawang merah sering terjadi dari tahun ke tahun, antara lain karena faktor iklim, sarana produksi yang tidak dapat dijangkau petani serta pemeliharaannya yang kurang intensif. Faktor lain yang tidak langsung adalah pendidikan petani, modal petani, pengalaman petani itu sendiri, tenaga kerja dan peningkatan harga. Salah satu cara dalam upaya meningkatkan produksi adalah rotasi tanaman yang sering dilakukan oleh petani pada lahan sawah dan kering. Kata kunci : biaya produksi, produktivitas, rotasi. Abstract Increase and decrease in onion productin often occur from year to year, partly because of climatic factors, production facilities can not reach farmers and less maintenance intensive. Another indirectly factor is education of farmers, capital of farmers, the experience of farmers, manpower and increased prices. One way in an effort to increase the production is crop rotation which is often practiced by farmers in paddy fields and dry. Keywords: cost of production, productivity, rotation Pendahuluan Peningkatan dan penurunan produksi bawang merah sering terjadi dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan petani, modal petani, pengalaman petani itu sendiri, iklim, tenaga kerja, peningkatan harga, dan sarana produksi yang tidak dapat di jangkau petani serta pemeliharaannya.1
48
Berbagai cara dalam upaya meningkatkan produksi yaitu intensifikasi, ekstensifikasi, diversifikasi dan rehabilitasi. Diversifikasi merupakan salah satu cara yang berkembang di Sumatera Utara dalam upaya meningkatkan produksi. Salah satu bentuk diversifikasi adalah rotasi tanaman yang sering dilakukan oleh petani pada lahan sawah dan kering. Rotasi tanaman bawang merah dan padi banyak dikembangkan di Sumatera Utara. Hal ini
Nadeak, Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah
terkait dengan potensi wilayah dan sumber daya yang cocok untuk kedua komoditi tersebut. Tersedianya sarana dan faktor produksi belum berarti produktifitas yang diperoleh cukup tinggi namun bagaimana usaha petani melakukan usahanya secara efisien adalah usaha yang paling penting. Efisiensi usaha tani sangat penting dalam menggunakan faktor-faktor produksi sehingga produksi yang tinggi akan dicapai., karena luas lahan yang digarap oleh petani pada umumnya sempit dan keterbatasan modal yang dimiliki mengakibatkan faktor produksi dari petani hanya menggambarkan sifatsifat subsistem petani.2 Produksi merupakan suatu kegiatan atau proses yang mengubah faktor-faktor produksi menjadi produk. Tingkat produksi suatu tanaman ditentukan oleh tingkat penggunaan faktor-faktor produksi yang terdiri dari alam, tenaga kerja, modal, dan pengelolaan. Faktor alam yang dimasukkan biasanya adalah tanah, sedangkan modal adalah semua milik usaha tani yang mempunyai nilai uang yang digunakan untuk melaksanakan usaha taninya. Namun dalam praktek keempat faktor produksi tersebut belum cukup untuk menjelaskan produksi. Faktor-faktor sosial ekonomi lainnya seperti tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,tingkat ketrampilan dan lainlain juga berperan mempengaruhi tingkat produksi. Oleh karena itu sebelum seseorang berperan dalam merancang untuk menganalisis kaitan input dan output maka diperlukan pemahaman dan identifikasi terhadap variabelvariabel apa yang mempengaruhi proses produksi.3 Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dan petani pada khususnya, maka pemerintah menetapkan kebijaksanaan dalam memilih urutan jenis tanaman pertanian. Untuk menentukan jenis tanaman itu telah disusun pedoman sebagai berikut: mengutamakan jenis tanaman yang menpunyai prospek pasar dan pemasaran yang baik dan mengutamakan jenis tanaman yang dapat mempertinggi nilai gizi masyarakat.4 Bawang merah termasuk komoditas utama dalam perioritas pengembangan sayuran di Indonesia. Karena selain ratusan tahun lamanya dibudidayakan, sekaligus merupakan salah satu
sumber pendapatan petani maupun ekonomi negara.5 Dalam rangka perbaikan produksi Bawang Merah pemerintah telah memberikan bantuan sebesar 1,6 milyar untuk meningkatkan produksi Bawang Merah melalui adanya penelitian terhadap adanya dugaan virus yang menyerang bibit tanaman bawang merah dan adanya sistem perotasian tanaman agar dapat meningkatkan produktivitas tanaman bawang merah. Usaha tani yang memproduksi lebih dari satu jenis komoditi bertujuan untuk mendapatkan produksi yang optimum dari sawah atau ladang yang sempit, selain itu umur tanaman yan bersangkutan tidak sama, akan menjamin tersedianya bahan makan sepanjang tahun dan mengurangi resiko kegagalan panen dengan mengadakan semacam sistem rotasi. Jadi jika satu tidak berhasil maka diharapkan tanaman lainnya memberi hasil, untuk itu petani akan mencari kombinasi tanaman yang terbaik dalam usahataninya dengan mempertimbangkan keadaan tanah, tenaga kerja dan sumber lainnya. Rotasi tanam adalah penggunaan sebidang tanah yang sama dalam waktu tertentu (semusim atau setahun) dengan pertanaman beberapa kali atau beberapa jenis tanaman secara bergantian. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di desa Siboro Kecamatan Sianjur Mula-mula Kabupaten Samosir. Di desa tersebut kebanyakan petani berusahatani tanaman bawang merah di lahan sawah dan kering. Populasi penelitian ini adalah petani di Desa Siboro yang mengusahakan bawang merah dilahan kering dan dilahan sawah. Populasi petani di daerah penelitian ini adalah sebanyak 100 KK, yang dikelompokkan atas tiga strata berdasarkan luas lahan. Penentuan sampel dilakukan dengan beberapa cara yaitu menafsirkan semua anggota populasi pada setiap strata, untuk setiap populasi dan strata ditarik sampel dengan menggunakan angka acak dan hasil langkah satu dan dua itulah yang menjadi responden yang akan di wawancarai. Sampel yang ditetapkan sebesar 30 kepala keluarga dari jumlah populasi, dan jumlah
49
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
sampel menurut strata ditetapkan secara “stratified random sampling” berdasarkan luas lahan. Dalam menentukan populasi ada beberapa langkah – langkah yang dilakukan antara lain : 1. Dengan mendaftarkan seluruh petani Bawang Merah. 2. Mengklasifikasikan petani Bawang Merah berdasarkan karakteristik (petani yang mengusahakan Bawang Merah di lahan sawah dan kering). 3. Mengelompokkan petani Bawang Merah berdasarkan rotasinya (padi sawah – Bawang Merah), (Bawang Merah – Bawang Merah + Jagung), (Bawang Merah – Bawang Merah). 4. Mengklasifikasikan petani Bawang Merah berdasarkan strata untuk sampel. Data dikumpulkan melalui metode wawancara langsung dengan menggunakan daftar quesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara statistik deskriptif dan statistik inferensial, yaitu: 1. Untuk menguji hipotesis (1) digunakan teknik analisis statistik deskriptif, 2. Untuk menguji hipotesis (2) digunakan teknik analisis statistik inferensial, yaitu uji t. 6
Besarnya biaya total produksi untuk usahatani bawang merah dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 menunjukkan bahwa biaya produksi total pada usahatani bawang merah pada lahan sawah dengan sistem pertanaman rotasi bawang merah – padi sawah sebesar Rp. 1.095.981,56/petani/mt atau Rp. 4.683.681,56/ha/mt. Besarnya biaya total usahatani bawang merah pada lahan kering dengan sistem pertanaman rotasi bawang merah – bawang merah + jagung sebesar Rp. 958.761,31/petani/mt atau Rp. 4.631.697,15/ha/mt dan non rotasi sebesar Rp. 973.788,61/petani/ mt atau Rp. 4.197.364,70/ha/mt. Besarnya biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam usahatani bawang merah dipengaruhi oleh jumlah bibit, pupuk, pestisida, curahan tenaga kerja, nilai penyusutan alat dan pajak serta harga dari setiap faktor produksi yang dikorbankan oleh petani pada saat usahatani tersebut dilaksanakan. Besarnya biaya produksi ini juga dipengaruhi oleh jenis areal pertanaman yang diusahakan dalam usahatani bawang merah.
Hipotesis Penelitian Dalam penelitian ini diajukan hipotesis untuk diuji sebagai berikut: 1. Adakah perbedaan yang signifikan antara besarnyan biaya produksi yang diusahai dengan pola rotasi dan nono rotasi pada lahan sawah dan kering. 2. Adakah perbedaan yang signifikan antara produktivitas yang diusahakan dengan sistem rotasi dan non rotasi pada lahan sawah dan kering.
Pola Rotasi pada Lahan Sawah dan Lahan Kering Untuk melihat perbedaan besarnya biaya produksi yang diusahai dengan pola rotasi pada lahan sawah dan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa besarnya biaya produksi pada lahan sawah dengan sistem pola rotasi sebesar Rp. 1.095.981,56/petani/mt atau Rp. 4.683.681,56/ha/mt, sedangkan biaya produksi lahan kering dengan sistem pola rotasi sebesar 958.761,31/petani/mt atau Rp. 4.631.697,15/ha/mt. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa biaya produksi pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah dengan sistem pola tanam yang sama (secara rotasi).
Temuan dan Analisis Biaya Produksi Biaya total produksi dalam penelitian ini adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk usahatani satu kali musim tanam mulai dari biaya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, penyusutan alat dan biaya pajak yang keseluruhannya dihitung dalam rupiah.
Pola Rotasi pada Lahan Sawah dan Mono Rotasi pada Lahan Kering Perbedaan besarnya biaya produksi yang diusahai dengan pola rotasi pada lahan sawah dan mono rotasi pada lahan kering dapat dilihat pada Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa besarnya biaya produksi pada lahan sawah dengan sistem pola rotasi sebesar
50
Nadeak, Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah
Tabel 1. Biaya Total Usahatani Bawang Merah per Petani dan per Hektar, (Rp/mt) Lahan Sawah
Lahan Kering Bwng. Merah –
Bwng Merah No
Uraian
-
%
Padi Sawah
Bwng. Merah +
Bwng Merah %
Jagung
–
%
Bwng. Merah
Per Petani 1.
2.
Biaya Variabel
1.066.967.50
- Bibit
202.500,00
18,48
163.500,00
17,05
95.250,00
9,78
- Pupuk
185.020,00
16,88
173.900,00
18,14
253.170,00
26,00
- Pestisida
141.135,00
12,88
152.720,00
15,93
178.130,00
18,29
- Tenaga Kerja
538.312,50
49,12
424.500,00
44,28
393.075,00
40,37
Biaya Tetap
29.014,60
- Penyusutan
24.334,6
2,22
40.001,31
4,17
49.523,61
5,09
- PBB/Ipeda
4.680,00
0,43
4.140,00
0,43
4.640,00
0,48
1.095.981,56
100
958.761,31
100
973.788,61
100
Total
914.620.00
919.625.00
44.141,31
54.163,61
per Hektar 1.
2.
Biaya Variabel
4.559.690,18
- Bibit
865.384,62
18,48
789.855,07
17,05
410.560,34
- Pupuk
790.683,76
16,88
480.096,62
18,14
1.091.250,00 26,00
- Pestisida
603.141,03
12,88
737.777,78
15,93
767.801,72
- Tenaga Kerja
2.300.480,77
49,12
2.050.724,64
44,28
1.694.288,79 40,37
Biaya Tetap
123.991,69
- Penyusutan
103.991,69
2,22
193.243,04
4,17
213.463,84
5,09
- PBB/Ipeda
20.000,00
0,43
20.000,00
0,43
20.000,00
0,48
4.683.681,56
100
4.631.697,15
100
4.197.364,70 100
Total
4.058.454,07
3.963.900,85
213.243,04
9,78
18,29
233.463,84
Sumber: Data Primer Rp.1.095.981,56/petani/mt atau Rp. 4.683.681,56/ha/mt, sedangkan biaya produksi lahan kering dengan sistem pola mono rotasi sebesar Rp. 973.788,61/petani/ mt atau Rp. 4.197.364,70/ha/mt. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa biaya produksi pada lahan sawah juga lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kering dengan sistem pola mono rotasi.
Pola Rotasi pada Lahan Kering dan Mono Rotasi pada Lahan Kering Dari Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa besarnya biaya produksi pada lahan kering dengan sistem pola rotasi sebesar 958.761,31/petani/mt atau Rp. 4.631.697,15/ha/mt, sedangkan biaya produksi lahan kering dengan sistem pola mono rotasi 51
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
sebesar Rp. 973.788,61/petani/ mt atau Rp. 4.197.364,70/ha/mt. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa biaya produksi pada lahan kering dengan sistem pola tanam lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kering dengan sistem pola mono rotasi. Perbedaan biaya produksi yang lebih besar pada lahan kering dengan pola tanam rotasi dibandingkan dengan pola tanam mono rotasi disebabkan pada pola rotasi dibutuhkan jumlah bibit yang lebih banyak dan penggunaan faktor produksi seperti pupuk dan pestisida yang lebih besar. Perbedaan biaya produksi ini juga disebabkan sistem perawatan yang berbeda
terhadap tanaman sehingga akan dibutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak. Produktivitas Usahatani Bawang Merah Produksi dalam hal ini adalah bawang merah yang diperoleh dalam satu kali musim tanam sedangkan produktivitas adalah kemampuan dari satuan luas lahan usahatani untuk memberikan hasil sebagai balas jasa atas sejumlah pengorbanan faktor-faktor produksi yang telah diberikan.
Tabel 2 : Produksi, Luas Lahan dan Produktivitas Usahatani Lahan Lahan Sawah No
Uraian
1.
Produksi (kg)
2.
Luas lahan (ha)
3.
Kering
B. Merah – B. Merah – B. Merah + B. Merah Jagung 870,00 970,00 658,00
B. Merah-Padi Sawah
0,23
0,21
0,23
Produktivitas (kg/ha)
3.970,76
5.174,67
3.145,04
4.
Biaya Produksi Total
1.095.981,56
958.761,31
973.788,61
5.
Biaya produksi
1.026,99
819,86
1335,17
Sumber: Data Primer Pola Rotasi pada Lahan Sawah dan Lahan Kering Untuk melihat perbedaan besarnya produktivitas yang diusahai dengan pola rotasi pada lahan sawah dan kering dapat dilakukan dengan menggunakan uji-t. Dari hasil perhitungan diperoleh diperoleh thitung 65,94 yang lebih besar dari ttabel 2,31 pada tingkat kepercayaan 95 % (0,05), sehingga dapat disimpulkan menolak H0 dan menerima H1, artinya bahwa produktivitas pada pola rotasi pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan pola rotasi pada lahan sawah. Hal ini disebabkan tanaman bawang lebih baik tumbuh pada tekstur tanah lembab tetapi tidak mengandung air yang cukup tinggi. Pada lahan sawah yang kandungan air tanahnya cukup tinggi dapat mengakibatkan terjadinys stress air pada bawang yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman bawang
52
menjadi terganggu. Terganggunya pertumbuhan tanaman bawang akan menyebabkan menurunnya produktivitas. Pola Rotasi pada Lahan Sawah dan Mono Rotasi pada Lahan Kering Secara statistik dengan menggunakan uji beda rata-rata (uji t) diperoleh thitung 49,73 yang lebih besar dari ttabel 2,31 pada tingkat kepercayaan 95 % (0,05), sehingga dapat disimpulkan menolak H0 dan menerima H1, artinya bahwa produktivitas pada pola rotasi bawang merah – padi sawah pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan pola non rotasi bawang merah – bawang merah pada lahan kering. Pada sistem pola tanam dengan rotasi pada lahan sawah produktivitasnya lebih tinggi.
Nadeak, Perbedaan Biaya Produksi dan Produktivitas Bawang Merah
Hal ini disebabkan dengan dilakukannya rotasi pada lahan dapat menjaga struktur tanah tetap dalam kondisi yang baik, sehingga pertumbuhan bawang lebih baik. Sedangkan pada lahan kering dengan pola tanam mono rotasi dapat menyebabkan kerusakan struktur tanah. Disamping itu dengan pola mono rotasi akan menyebabkan terjadinya peningkatan serangan hama dan penyakit. Peningkatan serangan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah akan menurunkan produktivitas. Pola Rotasi pada Lahan Kering dan Mono Rotasi pada Lahan Kering Secara statistik dengan menggunakan uji beda rata-rata (uji t) diperoleh thitung 121,34 yang lebih besar dari ttabel 2,31 pada tingkat kepercayaan 95 % (0,05), sehingga dapat disimpulkan menolak H0 dan menerima H1, artinya bahwa produktivitas pada pola rotasi bawang merah – bawang merah + jagung pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan pola mono rotasi pada lahan kering. Produktivitas tanaman lebih tinggi pada sistem pola tanam rotasi dibandingkan dengan mono rotasi. Pada sistem mono rotasi, dengan keadaan lingkungan yang sama, hama dan penyakit lebih cepat beradaptasi dengan lingkungan sehingga perkembangannya lebih cepat, sedangkan pada sistem rotasi, proses adaptasi hama dan penyakit lebih lama sehingga kerusakan yang terjadi pada tanaman lebih kecil. Besarnya tingkat serangan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah sangat menentukan tingkat produktivitas. Untuk lebih jelasnya besarnya tingkat produktivitas dari setiap sistem pertanaman di lahan sawah dan lahan kering pada delapan kali musim tanam disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa produktivitas usahatani bawang merah pada delapan musim tanam terakhir berfluktuasi yang dipengaruhi oleh cuaca dan iklim serta tingkat serangan hama dan penyakit pada setiap musim tanam. Kondisi cuaca dan iklim dalam satu tahun berbeda-beda, sehingga dengan bulan tanam yang berbeda dalam satu tahun akan dihasilkan
produksi yang pertanaman.
berbeda
dalam
satu
areal
Gambar 1 : Grafik Tingkat Produktivitas dalam Delapan Musim Tanam Terakhir
Keterangan : A = Pola Rotasi pada Lahan Sawah B = Pola Rotasi pada Lahan Kering C = Pola Mono Rotasi pada Lahan Kering Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa produktivitas pada lahan kering selalu lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah. Demikian juga halnya dengan sistem pola tanam sangat mempengaruhi tingkat produktivitas lahan. Lahan yang ditanam bawang merah dengan sistem rotasi lebih tinggi produktivitasnya dibandingkan dengan sistem pola tanam mono rotasi. Hal ini disebabkan pada sistem tanam mono rotasi tingkat serangan hama dan penyakit lebih tinggi dibandingkan dengan sistem rotasi. Gambar 1 menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir (delapan musim tanam terakhir) produksi bawang merah di desa Siboro relatif konstant, akan tetapi setelah musim tanam terakhir, tanaman bawang merah sudah tidak ditanam lagi. Hal ini disebabkan terjadinya serangan hama Liriomyza sp. Serangan hama ini akan mengakibatkan terjadinya kerusakan pada bawang merah seperti bintik-bintik putih pada permukaan daun atas, sedangkan gejala yang ditimbulkan oleh larva berupa korokan pada jaringan mesofil. Permukaan daun terlihat berjalur-jalur yang tidak beraturan. Akibat dari korokan larva pada jaringan daun dapat menurunkan kemampuan fotosintesis tanaman. Terganggunya fotosintesis pada tanaman akan 53
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
menyebabkan metabolisme tanaman akan terganggu dan daun menjadi gugur prematur. Untuk menghindari serangan hama ini sebaiknya lahan yang digunakan untuk pertanaman bawang merah sebaiknya ditanami dengan tanaman yang lain tanpa menanam bawang merah. Dengan demikian dapat memutus siklus perkembangan hama bawang merah tersebut. Setiap jenis lahan yang berbeda memberikan produktivitas yang berbeda. Hal ini juga dipengaruhi oleh jenis tanaman yang diusahakan. Pada usahatani bawang merah produktivitas lebih tinggi pada lahan kering. Hal ini disebabkan pada lahan kering aerasi tanah dan struktur tanah lebih baik sehingga pertumbuhan tanaman akan lebih baik. Di samping itu serangan penyakit jamur pada akar tanaman lebih sedikit karena keadaan tanah yang tidak basah dan lembab. Pada lahan sawah struktur tanah lebih lengket sehingga aereasi dan drainase kurang baik. Kondisi tanah yang lembab menyebabkan akar tanaman mudah terserang jamur dan bakteri. Pada lahan yang dirotasi produktivitas lebih tinggi dibanding yang tidak dirotasi. Pada sistem rotasi lahan tidak mengalai kerusakan struktur tanah, karena jenis tanaman yang diusahakan berbeda, sehingga produksinya tetap tinggi. Pada lahan yang tidak dirotasi akan mengakibatkan stuktur tanah menjadi rusak, di mana teksturnya mudah mengalami pemadatan yang selanjutnya mengganggu pertumbuhan tanaman. Di samping itu dengan sistem non rotasi perkembangan hama dan penyakit tidak dapat diputus siklusnya. Kesimpulan Besarnya biaya produksi total pada usahatani bawang merah pada lahan sawah dengan sistem pertanaman rotasi bawang merah – padi sawah sebesar Rp. 1.095.981,56/petani/mt atau Rp. 4.683.681,56/ha/mt. Besarnya biaya total usahatani bawang merah pada lahan kering dengan sistem pertanaman rotasi bawang merah – bawang merah + jagung sebesar Rp. 958.761,31/petani/mt atau Rp. 4.631.697,15/ha/mt dan non rotasi sebesar Rp. 973.788,61/petani/ mt atau Rp. 4.197.364,70/ha/mt.
54
Biaya produksi pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan lahan sawah dengan sistem pola tanam yang sama (secara rotasi). Biaya total produksi pada pola rotasi bawang merah – padi sawah pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan pola non rotasi pada lahan kering. Biaya total produksi pada pola rotasi bawang merah – bawang merah + jagung pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan pola mono rotasi pada lahan kering. Produktivitas usahatani bawang merah pada lahan sawah dengan sistem rotasi bawang merah – padi sawah sebesar 3.970,76 kg/ha. Besarnya biaya total usahatani bawang merah pada lahan kering dengan sistem pertanaman rotasi bawang merah – bawang merah + jagung sebesar 5.174,67 kg/ha dan non rotasi sebesar 3.145,04 kg/ha. Produktivitas pada pola rotasi pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan pola rotasi pada lahan sawah. Produktivitas pada pola rotasi bawang merah – padi sawah pada lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan pola non rotasi bawang merah – bawang merah pada lahan kering. Produktivitas pada pola rotasi bawang merah – bawang merah + jagung pada lahan kering lebih tinggi dibandingkan dengan pola mono rotasi pada lahan kering. Daftar Pustaka 1. Hutagaol, R. 2000. Analisis Usahatani di Lahan Sawah dengan Sistem Rotasi Padi dan Bawang Merah. Skripsi Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian. Universitas Katolik St. Thomas. Medan. 2. Soekartawi. 1989. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 3. Soekartawi. 1986. Ilmu Usahatani Dan Penelitian Untuk Pengembangan Petani Kecil. UI – Press. Jakarta. 4. Tohir, KA. 1983. Seuntai Pengetahuan tentang Usahatani Indonesia. Bima Aksara. Jakarta. 5. Rukmana, 1994. Budidaya Bawang Merah Dan Pengolahan Pasca Panen. Penerbit Kanisius. Jakarta. 6. Sudjana. 1992. Metode Statistik. Penerbit Tarsito Bandung.
Artikel Telaahan
Kebijakan Profesionalisme Pekerja Sosial Professionalism of Social Worker Policy Sahawiah Abdullah
Sekolah Tinggi Ilmu Kesejahteaan Sosial Tamalanrea Makassar
Abstrak Artikel ini menjelaskan persoalan utama terkait dengan kebijakan profesionalisme pekerja sosial. Pada bagian ini, akan dibahas rumusan substansial kebijakan tentang profesionalisme pekerja sosial berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut, yaitu: mandat konstitusional tentang keadilan sosial, pekerjaan sosial sebagai profesi, konsep pekerja sosial yang profesional, kualifikasi pekerja sosial profesional, pengembangan profesi pekerjaan sosial, kompetensi pekerja sosial, sertifikasi pekerja sosial profesional dan akreditasi lembaga pelayanan sosial. Kata kunci: kompetensi pekerja sosial, sertifikasi pekerja sosial, akreditasi lembaga pelayanan sosial Abstract This article describes the main issues related to professionalism of social worker policy. In this section, will be discussed substantial formulation of social workers professionalism policy with regard to the following matters, namely: constitutional mandate of social justice, social work as a profession, the concept of professional social workers, qualification of professional social workers, social work profession development, social worker competencies, certification of professional social workers, and social services instituon accreditation. Keywords: social worker competencies, social workers certification, social services instituon accreditation Pendahuluan Berbicara tentang rumusan substansial kebijakan tentang profesionalisme pekerja sosial harus bersumber dari pada rumusan ideologi dan konstitusi, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Mandat dan amanat konstitusional untuk memajukan kesejahteraan sosial termaktub dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertibab dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UndangUndang dasar negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.1 Dalam rumusan Pembukaan UUD 1945 tersurat sebuah alasan keberadaan Negara Republik 55
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Indonesia adalah untuk mensejahterahkan rakyat berdasarkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pekerjaan Sosial Sebagai Profesi Definisi dan konsep tentang tenaga kesejahteraan sosial profesional dirumuskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab I Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Tenaga kesejahteraan sosial adalah seseorang yang dididik dan dilatih secara profesional untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial dan atau seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya di bidang kesejahteraan sosial.”2 Sementara definisi dan konsep pekerjaan sosial diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia,Bab I butir D ayat 2 yang berbunyi, “Pekerjaan sosial adalah: a) profesi utama dalam pelayanan kesejahteraan social, baik pelayanan langsung maupun tidak langsung; b) pekerjaan sosial adalah suatu konstelasi nilai, tujuan, pengakuan, pengetahuan, dan metode untuk membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat melaksanakan tugas kehidupan/fungsionalitas sosial sebaik-baiknya melalui: identifikasi dan pemecahan masalah sosial yang dihadapi individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat yang timbul dari ketidakseimbangan antara diri mereka dan lingkungan sosialnya. Identifikasi kemungkinan timbulnya ketidakseimbangan tersebut supaya dapat mencegahnya; identifikasi dan penguatan potensi individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat secara optimal; c) fungsi utama pekerja sosial adalah memperkuat/mengembangkan kemampuan pemecahan masalah sosial individu, keluarga, kelompok, organisasi, masyarakat, dan potensi pengembangan diri mereka; mengusahakan beroperasinya secara manusiawi sistem sumber dan pelayanan dalam masyarakat; menghubungkan individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat dengan sistem sumber, pelayanan dan peluang; d) strategi
56
intervensi pekerjaan sosial meliputi: strategi perubahan langsung: strategi perubahan langsung terhadap individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat; strategi perubahan langsung di lingkungannya; strategi perubahan tidak langsung terhadap perundangan dan kebijakan kesejahteraan sosial, program kesejahteraan sosial, pengelolaan pelayanan kesejahteraan sosial, serta penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial, reformasi, dan pembangunan kesejahteraan sosial; e) kompetensi dalam strategi intervensi langsung: membantu individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat untuk mencegah timbulnya permasalahan sosial individu, keluarga, kelompok, organisasi, dan masyarakat; membantu perseorangan, kelompok atau komunitas dalam menggali, mengerahkan, dan mengarahkan nilai-nilai dan sumber; memelihara dan memperkuat potensi perseorangan, kelompok atau komunitas, yaitu kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, kepedulian sosial dan kesetiakawanan sosial masyarakat; membantu perseorangan, kelompok atau masyarakat mengatasi atau memecahkan permasalahan sosial yang dihadapinya serta memulihkan dan memperkuat fungsionalitas sosialnya; mendorong, meningkatkan, mengembangkan, dan mengorganisasikan prakarsa dan peran serta masyarakat dalam pelayanan dan pembangunan kesejahteraan sosial pada khususnya dan kegiatan-kegiatan pembangunan pada umumnya; f) kompetensi dalam strategi intervensi tidak langsung: mengawasi, mengelola, mengadministrasikan kegiatan dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat; melaksanakan penelitian dan pengembangan di bidang kesejahteraan sosial; melaksanakan pendidikan dan pelatihan profesional pekerjaan sosial; menganalisis dan merumuskan rancangan kebijakan dan menyusun rencana program kesejahteraan sosial; berperan serta dalam tim antardisiplin ilmu dan antarsektor dalam perumusan kebijakan dan perencanaan pembangunan nasional atau daerah.”3 Pekerja sosial yang profesional juga disejajarkan dengan pekerja professional yang lain, terutama dalam kaitannya dengan tunjangan jabatan fungsional pekerja sosial. Hal ini
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
dirumuskan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, dimana Pasal 1 menegaskan: Dalam peraturan Presiden ini yang dimaksudkan denganTunjangan jabatan Fungsional Pekerja sosial, yang selanjutnya disebut denganTunjangan Pekerja Sosial adalah tunjangan jabatan fungsional yang diberikan kepada pegwai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan secara penuh dalam jabatan Fungsional Pekerja sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.4 Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil Pasal 1 butir 7dan 8 ditegaskan: Kualifikasi professional adalah kualifikasi yang bersifat keahlian yang berdasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan yang berkelanjutan secara sistematis yang pelaksanaan tugasnya meliputi penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pengembangan dan penerapan konsep, teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah serta memberikan pengajarannya dan terikat pada etika profesi. Kualifikasi teknisi atau penunjang professional adalah kualifikasi yang bersifat keterampilan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan kejuruan dan pelatihan teknis yang pelaksanaan tugasnya meliputi kegiatan teknis profesional berdasarkan prosedur standar operasional serta melatihkannya dan terikat pada etika profesi.5 Berkaitan dengan jabatan fungsional keahlian dirumuskan dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil Pasal 5 menegaskan: Jabatan fungsional keahlian adalah jabatan fungsional yang pelaksanaan tugasnya: Mensyaratkan kualifikasi profesional dengan pendidikan serendah-rendahnya berijasah sarjana (strata 1); Meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengembangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori serta metoda operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi ilmu pengetahuan yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsional yang bersangkutan; Terikat pada etika profesi tertentu yang ditetapkan oleh ikatan profesinya. 5
Akan tetapi, sebenarnya tunjangan jabatan fungsional pekerja sosial di lingkungan Kementerian Sosial belum bisa dilaksanakan sebab sampai saat ini belum ada peraturan tentang kualifikasi pekerja sosial yang profesional. Juga belum adanya lembaga akreditasi dan sertifikasi pekerja sosial profesional di Kementerian Sosial sehingga sulit untuk menerapkan tunjangan jabatan fungsional keahlian berdasarkan kualifikasi professional.5 Dalam kaitan jabatan fungsional pekerja sosial dan angka kreditnya, pekerja sosial dikategorikan sebagai profesi. Hal itu diungkapkan dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang jabatan fungsional pekerja sosial dan angka kreditnya, Bab I Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Pekerja sosial adalah suatu profesi yang ditujukan untuk membantu orang, baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memperbaiki atau meningkatkan kemampuannya mencapai keberfungsian sosial secara penuh serta mengupayakan kondisi-kondisi kemasyarakatan tertentu yang menunjang pencapaian fungsi sosial.6 Dalam rumusan ini, secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa pekerja sosial profesional itu adalah “pembantu” (helper). Hal ini sejalan dengan rumusan hakikat pekerja sosial profesional untuk membantu atau menolong. Sebaliknya, dalam Undang-Undang tentang Kesejahteraan Sosial, kata “membantu” atau “menolong” tidak muncul sama sekali, tetapi dipakai kata “menangani” dan “melayani”. Dilihat dari sejarah awalnya, pekerja sosial (social worker) memang dimaksudkan untuk membantu atau menolong individu, kelompok, dan masyarakat agar mereka bisa memahami kondisi kehidupannya dan keluar atau bebas dari kesulitan hidup sehingga terciptalah keadilan sosial dan kesejahteraan sosial. Jadi pekerja sosial hanya sebagai pembantu atau penolong. Definisi dan konsep profesi diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 1 yang berbunyi: Profesi ialah suatu pekerjaan yang: a) secara 57
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
sosial, moral, hukum, dan agama sah; b) berdasarkan kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang diakui; c) berdasarkan kerangka pengetahuan dan kerangka nilai yang diperoleh melalui pendidikan khusus yang sah dan diakui serta menggunakan metode, teknik, dan keterampilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial; d) berdasarkan pengangkatan atau perizinan resmi; e) diakui oleh masyarakat tentang keberadaan dan kemanfaatannya; f) mempunyai kedudukan, peranan, dan kewenangan khusus di bidangnya; g) mendapatkan imbalan yang patut atas pelaksanaan tugas profesionalnya dari penerima pelayanan atau dari lembaga yang mempekerjakannya.3 Dalam peraturan ini, diungkapkan enam syarat untuk disebut sebagai profesi. Keenam syarat itu adalah, pertama, sah secara sosial, moral, hukum, dan agama. Artinya, pekerjaan itu disebut profesi jika memenuhi kriteria sah secara sosial, moral, hukum, dan agama. Kedua, kompetensi diperoleh melalui pendidikan. Ketiga, pekerjaan itu ditempatkan dalam kerangka nilai dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Keempat, pekerjaan itu disebut profesi jika diakui oleh masyarakat. Kelima, mempunyai kedudukan dan kewenangan dalam bidangnya. Keenam, pekerjaan itu menghasilkan imbalan. Konsep Pekerja Sosial Profesional Sementara tentang pekerja sosial profesional dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, Bab I Pasal 1 ayat 4 yang berbunyi: Pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, dan kepeduliaan dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan dan atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.3 Berdasarkan rumusan ini, pekerja sosial profesional mengandung unsur-unsur yang penting sebagai berikut: 1) Seseorang yang bekerja di lembaga pemerintah ataupun lembaga swasta;
58
2) Seseorang yang memiliki kompetensi, profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam bidang pekerjaan sosial; 3) Seseorang yang memiliki pendidikan, pelatihan, dan pengalaman praktik sebagai pekerja sosial; 4) Seseorang yang melaksanakan tugastugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa konseptualisasi pekerja sosial dalam rumusan ini mengandung atau memuat unsurunsur yang meliputi kompetensi profesi pekerja sosial dan kepedulian dalam bidang pekerjaan sosial; memiliki pendidikan, pelatihan dan pengalaman praktik sebagai pekerja sosial dan melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial. Konseptualisasi pekerja sosial profesional dalam rumusan ini mengabaikan unsur fundamental dari hakekat pekerja sosial profesional yang mempromosikan hak asasi manusia dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sebenarnya kekurangan mendasar dalam rumusan pemikiran soal pengembangan profesionalisme adalah pada dasar pemikiran tentang pemberdayaan dan perwujudan mandat keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Uraian tersebut sesuai dengan teori pemberdayaan pekerja sosial profesional menurut Dubois, bahwa profesionalisme pekerja sosial adalah untuk membantu orang lain, yakni untuk meningkatkan kemampuan individu dalam pemecahan masalah; menghubungkan klien dengan sumber-sumber yang dibutuhkan; meningkatkan jaringan pelayanan sosial; dan meningkatkan keadilan sosial melalui pengembangan kebijakan sosial. Dapatlah dikatakan secara singkat bahwa profesionalisme pekerja sosial memiliki kompleksitas nilai, pengetahuan, dan keterampilan. Ada tiga nilai yang harus dimiliki pekerja sosial profesional, yakni nilai tentang orang (values about people), nilai tentang masyarakat (values about society), dan nilai tentang perilaku profesional (values about professional behavior). Berdasarkan hal itu, pengembangan dan peningkatan profesi pekerjaan sosial harus secara sungguh-sungguh menekankan pentingnya nilai-nilai yang
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
berkaitan dengan individu, masyarakat, dan perilaku profesional.7 Perihal profesionalisme pekerja sosial yang telah diuraikan senada dengan yang ditegaskan pada Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kerja Sosial, Pasal 1 Pasal 1 ayat 6 menyatakan bahwa: pekerja sosial profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di lembaga pemerintah maupun swasta, yang memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial, serta kepedulian dalam pekerjaan sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.8 Kualifikasi Pekerja Sosial Profesional Kualifikasi pekerja sosial profesional dirumuskan pada Pasal 33 ayat 2 UndangUndang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang berbunyi: Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf a, b, dan c sekurangkurangnya memiliki kualifikasi: pendidikan di bidang kesejahteraan sosial; pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial; dan atau pengalaman melaksanakan pelayanan sosial.2 Pasal ini membahas kualifikasi pekerja sosial profesional, yakni: a) pendidikan di bidang kesejahteraan sosial b) pelatihan dan keterampilan pelayanan sosial c) pengalaman melaksanakan pelayanan sosial. Masih tentang kualifikasi ini, dirumuskan dalam Pasal 34 ayat 1 yang berbunyi: Tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional, dan penyuluh sosial sebagaimana dimaksud Pasal 33 ayat 1 huruf a, b, c dapat memperoleh: pendidikan, pelatihan, promosi, tunjangan dan atau penghargaan.2 Jadi dapatlah dikatakan bahwa pekerja sosial dapat meningkatkan kualitas profesionalnya melalui : a. pendidikan dan pelatihan b. promosi dan tunjangan
c. penghargaan. Pengaturan lebih lanjut mengenai kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. : 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pasal 12, ayat (1) yang berbunyi “Sertifikasi ditujukan untuk menentukan kualifikasi dan kompetensi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial yang didasarkan pada : a. jenis; dan b. jenjang” (2) yang berbunyi “Jenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a didasarkan pada bidang kerja, obyek/sasaran, dan spesialisasi metode. (3) yang berbunyi “Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Pekerja Sosial Profesional meliputi : a. Pekerja Sosial Profesional generalis; dan b. Pekerja Sosial Profesional spesialis; serta ayat (4) yang berbunyi “Jenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk Tenaga Kesejahteraan Sosial meliputi : a. Tenaga Kesejahteraan Sosial generalis; dan b. Tenaga Kesejahteraan Sosial spesialis.8 Peraturan Menteri Sosial tersebut merupakan prasyarat bagi Pekerja Sosial agar memperoleh status sebagai Pekerja Sosial Profesional. Apabila peraturan tersebut telah diterapkan dapatlah diharapkan pekerja sosial dapat melaksanakan perannya dimasyarakat secara profesional. Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial Betapa pentingnya profesionalisme pekerja sosial terkait dengan pekerjaan sosial sebagai profesi dan pekerja sosial yang profesional, sehingga dibutuhkan pengembangan profesi pekerjaan sosial. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir A yang berbunyi: Dasar pemikirannya: guna menunjang terselenggaranya pembangunan kesejahteraan sosial, kemampuan profesional penyelenggara, baik unsur pemerintah maupun masyarakat perlu ditingkatkan. Di samping peningkatan profesionalisme dari penyelanggaranya, pendekatan utama dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah melalui profesi
59
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
pekerjaan sosial. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk melakukan peningkatan dan pengembangan profesi itu sendiri. Jika negaranegara yang jauh lebih maju dari Indonesia saja menganggap begitu pentingnya profesi pekerjaan sosial, maka tidak ada satu pun alasan bagi masyarakat Indonesia untuk tidak memacu pengembangan profesi tersebut.3 Dasar pemikiran dan pertimbangan untuk pengembangan profesionalisme pekerja sosial, berdasarkan rumusan ini adalah: pertama, dasarnya adalah terselenggaranya pembangunan kesejahteran sosial. Artinya, pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan sosial harus diselenggarakan oleh pekerja-pekerja sosial professional, serta harus melihat dan memahami secara tepat pekerjaan sosial sebagai profesi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dasar pengembangan profesionalisme pekerja sosial adalah untuk menyelenggarakan pembangunan kesejahteraan sosial. Ideologi pembangunan demi kesejahteraan sosial dan kebaikan bersama harus sungguhsungguh dijalankan dengan menjunjung tinggi profesionalisme pekerja sosial. Dalam hal ini juga ditekankan profesionalisme pekerja sosial berkaitan dengan profesionalisme penyelenggara dan pekerjaan sosial sebagai profesi. Hal kedua yang ditekankan, pengembangan profesi pekerjaan sosial itu harus becermin ke negara yang sudah maju dalam bidang pekerjaan sosial. Harus diakui bahwa di Indonesia masyarakat belum mengenal atau memahami profesi pekerjaan sosial, sebab selain pekerja sosial (social worker) belum distratifikasi atau diakreditasi, juga ada anggapan bahwa pekerjaan sosial itu bukan profesi, tetapi sekadar pekerjaan karitatif. Dengan belajar dari negara maju, pekerja sosial diharapkan bisa benar-benar menjalankan mandat dan tugas kemanusiaan untuk terciptanya keadilan sosial. Pekerja sosial bisa belajar tentang pola peningkatan, pengembangan, dan pemberdayaan profesi pekerjaan sosial, pekerjaan sosial sebagai profesi, dan pekerja sosial profesional.9 Terkait dengan pengembangan profesionalisme pekerja sosial dalam perspektif keadilan sosial dan kesejahteraan sosial dengan pendekatan penanaman nilai-nilai, maka tujuan pengembangan profesi pekerjaan sosial harus
60
konsisten dengan alasan keberadaan profesionalisme pekerja sosial, yakni demi tercapainya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Akan tetapi, rumusan tujuan pengembangan profesi pekerja sosial seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial No. 87/HUK/2003 tersebut tidak sesuai atau tidak konsisten dengan hakikat profesionalisme pekerja sosial.3 Tujuan pengembangan profesionalisme pekerja sosial yang tertulis adalah pengembangan administrasi dan tata kelola pelayanan kesejahteraan sosial. Sebenarnya tujuan utama pengembangan dan pemberdayaan profesionalisme pekerja sosial adalah mewujudkan keadilan sosial dan melihat pekerjaan sosial sebagai profesi. Dengan demikian, mereka harus memiliki kompetensi yang memadai. Jadi, pengembangan dan pemberdayaan profesionalisme pekerja sosial tidak cukup hanya dengan pengembangan administrasi, manajerial, ataupun teknis, tetapi harus lebih terfokus pada substansi dan hal yang bersifat mendasar. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I, butir B yang berbunyi: Tujuan pengembangan profesi pekerjaan sosial adalah dilaksanakannya administrasi dan pengelolaan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial serta kegiatan teknik pelayanan kesejahteraan sosial secara profesional, dengan berlandaskan pengetahuan, prinsip dan nilai serta menggunakan metode, teknik dan keterampilan pekerjaan sosial yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, sehingga dapat menjamin ketepatgunaan, kemanfaatan, hasil guna, dan akuntabilitasnya.3 Dalam rumusan di atas, tujuan pengembangan profesionalisme pekerja sosial lebih mengutamakan aspek manajerial-teknis. Seharusnya pengetahuan tentang prinsip dan nilai ditempatkan pada tujuan utama dari pengembangan profesionalisme pekerja sosial. Setelah menambah pengetahuan, memahami prinsip-prinsip, dan menghayati nilai-nilai, pekerja sosial juga harus menguasai metode, teknik, dan cara-cara tertentu agar
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
profesionalisme pekerja sosial bisa membawa visi dan misi kemanusiaan serta keadilan sosial di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya dalam ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial harus juga dirumuskan prinsip-prinsip dan nilainilai yang harus diberikan dalam pengembangan profesionalisme pekerja sosial. Ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial menyangkut lima bidang, yaitu perencanaan; pengembangan pendidikan dan latihan; pengembangan organisasi; pengembangan sistem pembinaan karier; serta pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Ruang lingkup ini berkaitan dengan perencanaan. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.1 yang berbunyi: Ruang lingkup pengembangan profesi pekerjaan sosial ini meliputi: perencanaan ketentuan profesional pekerjaan sosial untuk berbagai tingkatan dan bidang spesialisasi, baik pelayanan langsung maupun tidak langsung.3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan, pendidikan, dan pelatihan profesional pekerjaan sosial. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.2 yang berbunyi: Pengembangan pendidikan dan pelatihan profesional pekerjaan sosial, baik program pendidikan S-1, S-2, maupun S-3 dilaksanakan bekerja sama dengan perguruan tinggi pekerjaan sosial, baik di dalam maupun di luar negeri; demikian pula melalui program pendidikan dan pelatihan kekhususan jangka pendek pada UPT Diklat Departemen Sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan organisasi profesional pekerjaan sosial dan organisasi mitra kerjanya. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.3 yang berbunyi: Pengembangan organisasi profesional pekerjaan
sosial dan organisasi-organisasi mitra kerjanya, yaitu organisasi pendidikan pekerjaan sosial; dan dewan kesejahteraan sosial; demikian pula pengembangan kode etik profesional serta sistem akreditasi pekerjaan sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan sistem pembinaan karier bagi para pekerja sosial profesional yang memegang jabatan struktural dan fungsional. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I, butir C.4 yang berbunyi: Pengembangan sistem pembinaan karier bagi para pekerja sosial profesional yang memegang jabatan struktural dan fungsional, baik di lingkungan Departemen Sosial, instansi pemerintah lainnya, dan lembaga pelayanan kesejahteraan sosial bukan pemerintah serta pembinaan praktik/operasional profesi pekerjaan sosial. 3 Ruang lingkup ini berkaitan dengan pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Hal tersebut diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir C.5 yang berbunyi: Pengembangan keilmuan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.3
Kompetensi Pekerja Sosial Perihal pekerja sosial yang memiliki kompetensi profesional diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 yang berbunyi: Pekerja sosial adalah seseorang yang mempunyai kompetensi profesional dalam pekerjaan sosial yang diperolehnya melalui pendidikan formal atau pengalaman praktik di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial yang diakui secara resmi oleh pemerintah dan melaksanakan tugas profesional pekerjaan sosial. 3
61
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
Berdasarkan tingkatan kompetensinya, pekerja sosial dapat digolongkan pertama ke dalam pekerja sosial profesional pembantu. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (a) yang berbunyi: Pekerja sosial profesional pembantu ialah seseorang berpendidikan sekolah menengah pekerja sosial dengan tambahan pelatihan pengkhususan tertentu memenuhi persyaratan di bidang kesejahteraan sosial, atau program D-3 pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi sebagai pembantu pekerja sosial, baik dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung maupun tidak langsung. 3 Berdasarkan kompetensinya, ada juga pekerja sosial profesional umum. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (b) yang berbunyi: Pekerja sosial profesional umum yaitu seseorang yang berpendidikan D-4 atau S-1 atau yang dipersamakan di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial dengan kompetensi penuh dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung.3 Berdasarkan kompetensi, pekerja sosial juga digolongkan sebagai pekerja sosial spesialis karena berijazah S-3. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (c) yang berbunyi: Pekerja sosial spesialis yaitu seseorang yang berpendidikan S-2 atau spesialis 1 yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh sebagai spesialis dalam pelayanan kesejahteraan sosial, langsung atau tidak langsung, praktik mandiri atau dalam lembaga pelayanan kesejahteraan sosial. 3 Berdasarkan kompetensi, pekerja sosial juga digolongkan sebagai pekerja sosial ahli. Hal itu diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003
62
tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 3 butir (d) yang berbunyi: Pekerja sosial ahli yaitu seseorang dengan pendidikan S-3 atau spesialis 2 atau yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh dalam bidang pendidikan, penelitian, pengembangan, perumusan rancangan kebijakan, atau perencanaan program kesejahteraan sosial.3 Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial. Semua kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional mencakup penyuluhan, penyembuhan, penyantunan, pengembangan nilai-nilai, pengorganisasian, dan perumusan kebijakan. Semua ini diungkapkan dalam Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003 tentang Pengembangan Profesi Pekerjaan Sosial di Indonesia, Bab I butir D ayat 4 yang berbunyi: Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial, yaitu semua bentuk kegiatan pelaksanaan usaha dan kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional, meliputi: a) penyuluhan dan bimbingan sosial untuk menggugah, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa dan peran serta sosial perseorangan, kelompok, dan masyarakat; b) penyembuhan dan pemulihan sosial; c) penyantunan dan penyediaan bantuan sosial; d) pengembangan nilai-nilai, potensi, dan sumber kesejahteraan sosial; e) pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan lembaga kesejahteraan sosial; f) perumusan kebijakan dan perencanaan program kesejahteraan sosial.3 Jadi dalam undang-undang secara jelas dinyatakan bahwa seorang pekerja sosial disebut profesional jika dia memenuhi persyaratan sebagai seseorang yang terlatih atau terdidik, memiliki kompetensi dan profesi pekerjaan sosial sehingga terciptalah kesejahteraan sosial. Berdasarkan tingkat kompetensinya, pekerja sosial dapat digolongkan ke dalam: a) pekerja sosial profesional pembantu, yaitu seseorang yang berpendidikan sekolah menengah pekerjaan sosial dengan tambahan pelatihan pengkhususan tertentu, memenuhi persyaratan di bidang kesejahteraan sosial, atau program D-3 pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan
Abdullah, Kebijakan Profesionalisme Pekerjaan Sosial
kompetensi sebagai pembantu pekerja sosial, baik dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung maupun tidak langsung; b) pekerja sosial profesional umum, yaitu seseorang yang berpendidikan D-4 atau S-1 atau yang dipersamakan di bidang kesejahteraan sosial/pekerjaan sosial dengan kompetensi penuh dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung; c) pekerja sosial spesialis yaitu seseorang yang berpendidikan S-2 atau spesialis 1 yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh sebagai spesialis dalam pelayanan kesejahteraan sosial langsung atau tidak langsung, praktik mandiri, atau dalam lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; d) pekerja sosial ahli yaitu seseorang dengan pendidikan S-3 atau spesialis 2 atau yang dipersamakan di bidang pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial dengan kompetensi penuh dalam bidang pendidikan, penelitian, pengembangan, perumusan rancangan kebijakan atau perencanaan program kesejahteraan sosial. 4) Pelayanan sosial adalah pelayanan kesejahteraan sosial, yaitu semua bentuk kegiatan pelaksanaan usaha dan kegiatan kesejahteraan sosial yang dilaksanakan secara profesional, meliputi: a) penyuluhan dan bimbingan sosial untuk menggugah, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sosial, tanggung jawab sosial, prakarsa, dan peran serta sosial perseorangan, kelompok, dan masyarakat; b) penyembuhan dan pemulihan sosial; c) penyantunan dan penyediaan bantuan sosial; d) pengembangan nilai-nilai, potensi, dan sumber kesejahteraan sosial; e) pengorganisasian, pengadministrasian, dan pengelolaan lembaga kesejahteraan sosial; f) perumusan kebijakan dan perencanaan program kesejahteraan sosial. Sertifikasi Pekerja Sosial Profesional Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 108/HUK/2009 tentang sertifikasi bagi pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial melalui uji kompetensi yang mengacu pada standar kompetensi. Seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Sosial No.
87/HUK/2003 tersebut. Dalam kaitan itu, dibentuklah Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial sesuai dengan definisi dalam Pasal 1 ayat 5: Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial adalah lembaga independen yang berwenang menetapkan kualifikasi dan memberikan sertifikat kompetensi untuk menjamin mutu kompetensi dan kualifikasi pekerja sosial profesional dan tenaga kesejahteraan sosial untuk melaksanakan praktik pekerjaan sosial dan/atau penyelenggaraan kesejahteraan sosial.3 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 6 ayat 1 berbunyi: Standar minimal untuk kelengkapan lembaga meliputi antara lain, ketersediaan pekerja sosial profesional dan/atau tenaga kesejahteraan sosial yang memiliki sertifikat kompetensi. Lembaga yang diberi wewenang untuk menetapkan akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial adalah lembaga akreditasi bidang kesejahteraan sosial. Hal itu dirumuskan dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 ayat 1 yang berbunyi: Akreditasi adalah penentuan tingkat kelayakan dan standardisasi penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang diberikan kepada lembaga di bidang kesejahteraan sosial. Dan, pasal 1 ayat 2 berbunyi: Badan akreditasi lembaga kesejahteraan sosial yang selanjutnya disebut Badan Akreditasi adalah lembaga yang diberi kewenangan oleh Menteri untuk menetapkan akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial. Sementara Pasal 2 menyatakan: Akreditasi lembaga di bidang kesejahteraan sosial dimaksudkan untuk menjamin dan meningkatkan mutu peneyelenggaraan kesejahteraan sosial.10 Lebih lanjut, Pasal 5 ayat 3 berbunyi “akreditasi diberikan setelah memenuhi standar pelayanan minimal penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang meliputi kelengkapan kelembagaan, proses pelayanan, dan hasil pelayanan”. Kesimpulan Profesionalisme pekerja sosial di Indonesia didasari oleh kebijakan yang
63
Pemberdayaan Komunitas, Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial Vol. 12, No. 1, Juni 2013
bersumber dari rumusan konstitusi, yaitu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Mandat dan amanat konstitusional untuk memajukan kesejahteraan sosial memberi implikasi perlunya sumber daya manusia yang profesional untuk mewujudkannya. Disinilah bermulanya tuntutan profesionalisme pekerja sosial. Implementasi kebijakan profesionalisme pekerja sosial di Indonesia belum berjalan baik diindikasikan. Diperlukan koordinasi antar kementerian dan instansi pemerintah dan komitmen politik pemerintah yang selaras dengan tuntutan dan perkembangan global dan regional untuk meningkatkan profesionalisme pekerja sosial dalam pelayanan kesejahteraan sosial Berbagai strategi perlu dilakukan termasuk menempatkan pekerja sosial profesional di lembaga pelayanan kesejahteraan sosial; mengembangkan pekerja sosial profesional melalui pendidikan dan pelatihan; menyusun kualifikasi dan standardisasi kompetensi pekerja sosial profesional, serta membuat undang-undang tentang pekerja sosial. Rekomendasi Perkembangan profesionalisme di semua bidang pekeraan semakin cepat sesuai dengan tuntutan pengguna tenaga kerja. Sudah hampir semua pekerjaan menuntut sertifikasi sebagai salah satu upaya untuk lebih menjamin profesionalisme kerja. Pekerjaan sosial sebagai suatu profesi harus terus dikembangkan secara terus-menerus dan menuntut percepatan ke depan. Hanya dengan cara seperti inilah pekerjaan sosial sebagai suatu profesi dapat mengejar ketertinggalannya dari profesi lain. Oleh karena itu semua stakeholders pekerjaan sosial/kesejahteraan sosial harus mampu bekerja sama dan bekerja keras dalam rangka penyempurnaan profesionalisme pekerjaan sosial antara lain melalui pelaksanaan sertifikasi. Untuk hal ini, Kementerian Sosial dan instansi Pemerintah lain harus meningkatkan dukungannya dalam rangka percepatan pengembangan dan penyempurnaan profesi pekerjaan sosial.
64
Daftar Pustaka 1. Tim Redaksi. (2011). Undang-Undang Dasar 1945. Remaja Rosdakarya: Bandung. 2. Tim Redaksi. (2010). Undang-Undang Kesejahteraan Sosial 2009 Dilengkapi Dengan UU No. 13 Tahun 1998 PP. RI. No. 43 Tahun 2004. Senar Grafika: Jakarta. 3. Departemen Sosial Republik Indonesia. (2003). Lampiran Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 87/HUK/2003 Tanggal 13 November 2003. Biro Humas Departemen Sosial: Jakarta. 4. Republik Indonesia. (2006). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 54 Tahun 2006 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Sekretariat Negara: Jakarta. 5. Republik Indonesia. (2006). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil. Sekretariat Negara: Jakarta. 6. Kementerian Aparatur Negara Republik Indonesia. (2004). Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. Kep/03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya. Biro Hubungan Masyarakat. 7. DuBois, Brenda. Karla, Krogsrud Miley. (2005). Social Work: An Empowering Profession, Pearson: New York, 2005. 8. Kementerian Sosial Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 108/HUK/2009 tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kerja Sosial. Biro Hubungan Masyarakat: Jakarta. 9. Chamsyah, Bachtiar. (2008). Reinventing Pembangunan Sosial untuk Kesejahteraan Masyarakat Indonesia, Universitas Trisakti: Jakarta. 10.Kementeriam Sosial Republik Indonesia. (2009). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 107/HUK/2009 tentang Akreditasi Lembaga di Bidang Kesejahteraan Sosial.