PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB)
CHANDRA APRINOVA
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
@ Hak Cipta milik Chandra Aprinova, Tahun 2006 Hak Cipta dilindungi. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.
ABSTRAK CHANDRA APRINOVA. Pemberdayaan Komunitas Miskin (studi kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY sebagai Ketua, dan MU’MAN NURYANA sebagai Anggota. Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai oleh penguasaan lahan yang tidak seimbang, pekerjaan yang tidak tetap, upah yang rendah, rasio beban tanggungan yang besar, keterbatasan pengetahuan dan informasi, serta keterbatasan akses terhadap fasilitas dan pelayanan publik. Dengan kondisi ya ng dimiliki ini mengakibatkan mereka terasing dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik (pemerintahan). Dalam kehidupan sosial mereka jarang terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan. Dalam kehidupan politik (pemerintahan) mereka jarang dilibatkan dalam pe ngambilan keputusan politik dan pembangunan, sehingga mereka memiliki akses yang lemah terhadap sumber-sumber ekonomi dan pembangunan. Sehubungan dengan itu, diperlukan upaya pemberdayaan agar mereka mampu berpartisipasi dalam pembangunan, lebih jauh lagi menjadi komunitas yang mandiri. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah kualitatif, dengan menggunakan strategi studi kasus. Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, pengamatan berperanserta, dan kajian dokumen. Perancangan program menggunakan metode PRA dengan menggunakan teknik diskusi kelompok, dengan tahapan kajian: penyajian seluruh informasi, pengorganisasian masalah, pembahasan alternatif-alternatif kegiatan, pemilihan kegiatan dan pengisian bagan rencana kegiatan. Metode pengolahan dan analisis data dilakukan dengan cara reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil kajian dapat diketahui bahwa kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh akses pembangunan yang kurang, keterampilan yang kurang, pengangguran, dan tidak ada aset (modal usaha). Berdasarkan hasil pleno dengan komunitas miskin dengan mengundang tokoh masyarakat, ketua RT, kepala dusun dan kepala desa, maka dibentuklah lembaga swadaya lokal dengan nama: Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Mambalan. Melalui lembaga ini dirancang bersama berbagai program kegiatan seperti: Program Pertemuan Rutin Warga, Program Penggalangan Dana Komunitas, Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga, serta Program Pembentukan Jaringan Kerja. Program-program kegiatan ini diharapkan bisa menjawab masalah-masalah dalam komunitas. Kesimpulan dari hasil kajian ini adalah: untuk bisa mandiri, komunitas harus berpartisipasi. Untuk bisa berpartisipasi komunitas harus diberdayakan melalui proses pemberdayaan. Untuk bisa diberdayakan, modal sosial dalam komunitas harus diperkuat terlebih dahulu. Modal sosial yang dimaksud disini adalah jaringan, norma -norma, kepercayan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama komunitas bagi keuntungan bersama, yang dalam hal ini adalah LPPM.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga Kajian ini berhasil diselesaikan. Kajian ini berjudul: “Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Ka bupaten Lombok Barat Propinsi NTB)”. Penulisan Kajian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada program studi Pengembangan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), yang pelaksanaannya dimulai sejak bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2005. Proses penyusunan Kajian ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Fredian Tonny, MS. selaku Ketua Pembimbing dan Mu’man Nuryana, MSc., Ph.D selaku Anggota Pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penulisan Kajian ini. 2. Seluruh Dosen Pengajar pada Program Studi Magister Pengembangan Masyarakat IPB, yang telah memberikan materi perkuliahannya. 3. Drs. Chusnan Yusuf selaku Kepala Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pascasajana kerjasama IPB dengan Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung. 4. Ir. Nanang Samodra K.A, MSi. selaku Sekda Propinsi NTB, yang telah memberikan ijin untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Sekolah pascasarjana IPB. 5. Lalu Thuhur selaku Kepala Desa Mambalan beserta jajarannya dan Zohri selaku Kepala Dusun Lilir Barat, yang telah banyak memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyusunan kajian ini. 6. Tokoh masyarakat dan seluruh warga komunitas Dusun Lilir Barat, yang telah terlibat dalam pengumpulan informasi dan penyusunan program kajian pengembangan masyarakat ini. 7. Isteri tercinta, yang selalu setia dan sabar menunggu penulis menyelesaikan pendidikannya. 8. Teman-teman seperjuangan pada MPM kelas Bandung angkatan II umumnya dan khususnya teman-teman Dago Pojok atas dukungan dan kerjasama selama ini, semoga sukses selalu. Sebagai sebuah proses, Kajian ini tidak luput dari berbagai macam kekurangan, sehingga saran dan kritik sangat diharapkan untuk penyempurnaannya. Akhirnya penulis mengharapkan semoga kajian ini dapat memberikan sumbangan kepada pihak-pihak yang berkepentingan, dan dapat bermanfaat untuk ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat.
Bogor,
Januari 2006,
Chandra Aprinova
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Masbagik Kabupaten Lombok Timur Propinsi NTB pada tanggal 16 April 1973 sebagai anak pertama dari pasangan H. Deran, BSW (alm.) dan Ichsanah. Penulis memulai jenjang pendidikan dasarnya pada Sekolah Dasar Negeri No. 6 Masbagik dan lulus tahun 1986. Pendidikan menengah pertama ditempuh pada SMP Negeri 1 Masbagik dan lulus tahun 1989, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Masbagik dan lulus pada tahun 1992. Penulis menempuh pendidikan sarjana pada Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, dan lulus tahun 1997. Sejak tahun 1997 penulis bekerja pada Departemen Sosial, selanjutnya pada tahun 1998 ditempatkan pada Kantor Wilayah (Kanwil) Departemen Sosial Propinsi NTB, pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2000 bertugas sebagai Pekerja Sosial Kecamatan (PSK) pada Kantor Departemen (Kandep) Sosial Kabupaten Lombok Barat, dan sejak tahun 2000 sampai dengan sekarang ditempatkan kembali pada Dinas Kesejahteraan Sosial dan Pemberdayaan Perempuan Propinsi NTB sebagai staf pada Seksi Penyuluhan Sosial. Pada tahun 2004 penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan Strata-2 pada Program Studi Pengembangan Masyarakat Istitut Pertanian Bogor (IPB) dari Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial (Balatbangsos) Departemen Sosial RI, kerjasama IPB dengan STKS Bandung. Bogor,
Januari 2006,
Chandra Aprinova
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tugas akhir Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tugas akhir ini. Bogor,
Januari 2006
Chandra Aprinova NIM. A154040155
Judul Tugas Akhir
Nama NIM
: Pemberdayaan Komunitas Miskin (Studi Kasus di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB) : Chandra Aprinova : A154040155
Disetujui Dosen Pembimbing
Ir. Fredian Tonny, MS. Ketua
Mu’man Nuryana, MSc., Ph.D. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS.
Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc.
Tanggal Ujian: 4 Januari 2006.
Tanggal Lulus:
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL
………………………….………………………
ix
DAFTAR GAMBAR ………………………….………………………
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………
xi
I.
PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
………………………………………….
1.2. Rumusan Masalah
………………………………….
1.3. Tujuan dan Kegunaan Kajian II.
5
2.1. Pembangunan dan Pembangunan Sosial ………………….
6
2.2. Kemiskinan
9
TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………. ………………………….
12
2.4. Partisipasi
…………………………………………
15
2.5. Kemandirian
….………………………..….…………
17
2.6. Modal Sosial
………………………………………….
19
2.7. Kelembagaan dan Organisasi Sosial ……………..……….
19
2.8. Kerangka Pemikiran
21
………………………………….
METODOLOGI KAJIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian 3.2. Metode Kajian
..………………………..
27
……...………………………………….
27
3.2.1. Sasaran dan Sampling
……...…...…………….
28
…………………
28
3.2.2. Metode Pengumpulan Data
3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data 3.3. Metode Perancangan Program IV.
4
………………………….
2.3. Pemberdayaan dan Komunitas
III.
1
..………..
30
.………………………
30
PETA SOSIAL KOMUNITAS DESA MAMBALAN 4.1. Gambaran Umum Desa Mambalan
………………….
38
………………………….
39
4.3. Kependudukan
………………………………….
40
4.4. Sistem Ekonomi
………………………………….
43
4.5. Struktur Komunitas
………………………………….
46
4.2. Masalah Sosial di Komunitas
4.6. Kelembagaan dan Organisasi Sosial
………………….
49
4.7. Sumberdaya Lokal 4.8. Ikhtisar V.
………………………………….
50
..……………………………………..………….
51
EVALUASI PENGEMBANGAN KOMUNITAS 5.1. Program Pendukung Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD) ………………………….
56
5.1.1. Deskripsi Program ………………………………..
56
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal
……………..……
60
5.1.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan……
62
5.1.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ………………..
63
5.2. Program Kesejahteraan Sosial Melalui KUBE (Prokesos KUBE) ………………………………………….
63
5.2.1. Deskripsi Program ………………………………..
63
5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal
……………..……
65
5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan……
66
5.2.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial ………………..
66
5.3. Konflik Sosial dalam Masyarakat ……..………………….
67
5.4. Ikhtisar
70
………………………………………………….
VI. ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 6.1. Karakteristik Kemiskinan Komunitas
………………….
77
6.2. Potensi dan Kelembagaan Lokal untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan ……………………………………………….
80
6.3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Partisipasi dan Kemandirian Komunitas ………………………………….
81
6.4. Ikhtisar
85
………………………………………………….
VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN 7.1. Latar Belakang Rancangan Program …..………………….
89
7.2. Tujuan dan Sasaran
………………………………….
91
………………………………………….
91
7.3. Program Aksi
VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 8.1. Kesimpulan
………………………………………….
100
8.2. Rekomendasi
………………………………………….
103
……………………………………………….
105
…………………………………………………………
108
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Halaman 1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat Tahun 2004/2005 ………….
27
2 Rincian Responden, Informan, dan Cara Pengumpulan Data ………….
29
3 Rekapitulasi Jumlah Penduduk berdasarkan Mata Pencaharian ………..
43
4 Tingkatan Sistem Pelapisan Sosial Masyarakat Desa Mambalan ………
47
5 Ikhtisar Peta Sosial Desa Mambalan ………………………………….
53
6 Hasil Evaluasi Program Pengembangan Komunitas …………………..
73
7 Pembahasan Alternatif Kegiatan ……………………………………….
90
8 Rencana Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Miskin ………………….
92
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di Desa Mambalan ……………………………………………………...
25
2 Piramida Penduduk berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ……………
42
3 Analisis Bawang Bombay Kasus Konflik di Desa Mambalan ………..
68
4 Analisis Pilar Kasus Konflik di Desa Mambalan
……..………………
70
5 Bagan Hubungan Sebab-Akibat Masalah ……………………………..
79
6 Alur Analisis Pemberdayaan Komunitas Miskin Desa Mambalan …….
87
7 Skema Pemberdayaan Komunitas Miskin yang Mandiri dan Berkelanjutan ……………………………………………………..
94
8 Jejaring Kelembagaan LPPM ...………………………………………..
96
9 Visi Pembentukan LPPM
98
...……………………………………….
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta Wilayah Desa Mambalan ………………………..……..…….
109
2 Jumlah Penduduk Desa Mambalan Menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin ………………………………………………… ….
110
3 Foto-Foto Kegiatan ……………………………………………...…
111
4 Struktur Kepengurusan LPPM Mambalan ………… …..……..…..
114
5 Catatan Kasus …………………………………………… ..………
115
I.
1.1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sentralisme pembangunan nasional selama tiga dekade terakhir ini telah
memarjinalkan arti “masyarakat lokal”, yaitu satuan masyarakat lintas-batas administratif desa/kecamatan/kabupaten, yang diikat oleh berbagai ragam hubungan kerjasama sosial-ekonomi sebagai basis perkembangan mandiri. Gaya perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan yang bersifat sentralistik (top
down),
telah
memandulkan
inisiatif
masyarakat
lokal
sekaligus
menjauhkannya dari sumberdaya sosial-ekonomi yang seharusnya menjadi hak masyarakat tersebut. Gejala seperti ini juga dialami dalam proses pembangunan di tingkat lokal. Berbagai program pembangunan yang tidak berakar pada potensi sumberdaya lokal justru telah melumpuhkan inisiatif lokal dalam mengatasi masalahnya. Akibatnya, kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalahnya menjadi berkurang. Demikian juga halnya yang terjadi dengan penanganan masalah kemiskinan di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB. Desa Mambalan memiliki penduduk sebanyak 5.697 orang, dengan jumlah penduduk laki- laki sebanyak 2.683 orang (47,10%) dan jumlah perempuan sebanyak 3.014 orang (52,90%), serta jumlah keluarga sebanyak 1.521 KK. Dari jumlah KK tersebut yang termasuk dalam kategori miskin adalah sebanyak 754 KK atau 49,57% yang tersebar di 12 dusun (Profil Desa Mambalan Tahun 2004). Angka ini merupakan angka yang sangat memprihatinkan di tengah upaya pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan yang membutuhkan segera pola penanganan yang tepat. Tidak mengherankan jika desa ini merupakan salah satu desa IDT. Kemiskinan dapat dikatakan induk dari semua masalah sosial yang ada. Kemiskinan melahirkan banyak manifestasi seperti: anak terlantar (bayi kurang
2
gizi, busung lapar), anak putus sekolah, jompo terlantar, perumahan tidak layak huni, gelandangan, pengemis, bahkan sampai prostitusi. Adanya pelapisan masyarakat antara tokoh elit desa (aparat desa dan tokoh-tokoh yang aktif di kantor desa) dengan warga komunitas biasa juga ikut mempengaruhi kemiskinan di Desa Mambalan. Golongan elit desa tentu saja lebih mudah memperoleh akses pelayanan publik dan program bantuan lainnya yang turun ke desa. Selain itu dalam kegiatan pembangunan di desa, penduduk yang miskin jarang sekali terlibat dalam rapat untuk menentukan kegiatan pembangunan desa, padahal tujuan dari setiap program pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya yang miskin. Hal ini disebabkan karena mereka lebih memprioritaskan waktunya untuk bekerja mencari uang, dan oleh para elit desa sendiri pendapat mereka dianggap tidak penting, mereka pasti akan menerima hasil keputusan para elit desa tersebut. Dalam
pelaksanaan
program
pemerintah
melalui
proyek,
warga
masyarakat miskin hanya dilibatkan pada tahap pelaksanaan saja , sedangkan pada tahap perancanaannya tidak. Akibatnya meskipun banyak program pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan yang diluncurkan, namun jumlah penyandang masalah kemiskinan belum berkurang secara signifikan. Hal ini dapat dipahami karena progr am/proyek yang diluncurkan belum menyentuh akar permasalahan
penerima
pelayanan/program
sehingga
tidak
memunculkan
partisipasi. Selain itu juga terdapat masalah struktural lainnya yaitu warga yang semestinya menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan banyak yang tidak menerima program bantuan, malahan yang menerima adalah warga yang tidak terlalu miskin namun dekat dengan tokoh elit desa, atau orang tersebut merasa ‘memiliki pengetahuan’ sehingga berani melakukan protes atau demo. Sementara itu masih ada juga oknum petugas instansi pemerintah yang merasa berjasa telah memberi bantuan kepada masyarakat miskin sehingga mereka diminta untuk menerima saja karena telah dibantu, apapun yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu juga banyak program/proyek diturunkan berdasarkan adanya kewajiban pemerintah saja untuk melaksanakan tugasnya, tanpa memperhatikan kesiapan masyarakat (Supriatna, 1997). Dengan demikian
3
program pembangunan yang dilaksanakan tidak memberikan proses pembelajaran kepada masyarakat dalam mengambil keputusan mengenai permasalahan mereka dan cara-cara yang dapat mereka lakukan untuk mengatasinya. Dengan adanya UU tentang Otonomi Daerah yang baru (UU No. 32 Tahun 2004), implementasi otonomi daerah melalui proses desentralisasi dari “pusat” ke “daerah” mengandung implikasi ganda yaitu: Pertama, desentralisasi peranan dalam pengembangan masyarakat di daearah, yaitu dari “pemerintah daerah” kepada “masyarakat lokal”; Kedua, pada saat bersamaan kelembagaan nonpemerintah (LSM dan koperasi) dan dunia usaha (swasta) secara khusus akan semakin dituntut untuk berperan dalam menggerakkan masyarakat lokal dalam proses pembangunan. Masalahnya sekarang, setelah termarjinalisasi akibat represi kekuasaan pusat selama tiga dekade, ternyata tidak mudah bagi masyarakat lokal untuk dapat mengartikulasikan otonominya sebagai basis gerakan perkembangan mandiri. Selain itu sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, kemampuan pemerintah untuk memberikan program bantuan kepada masyarakat menjadi berkurang padahal jumlah penyandang masalah kemiskinan justru bertambah. Disamping itu juga masih adanya anggapan oknum birokrat yang mengatakan bahwa masyarakat belum siap untuk diajak merencanakan program untuk mengatasi masalahnya, terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk itu sementara mereka dikejar oleh pertanggungjawaban yang harus sudah selesai pada akhir tahun. Namun bagaimana komunitas lokal dapat berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka tidak dipersiapkan, dilatih dan diberi kesempatan? Sehubungan dengan itu yang menjadi pertanyaan kajian adalah: “Bagaimanakah bentuk program partisipatif yang akan dirancang untuk memberdayakan komunitas miskin di Desa Mambalan?”.
4
1.2.
Rumusan Masalah Dalam menyusun strategi untuk memberdayakan komunitas miskin,
terlebih dahulu harus diketahui karakteristik masyarakat miskin di lokasi kajian dan faktor-faktor penyebabnya. Selain itu perlu juga diketahui potensi dan sumber yang dimiliki oleh masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan, baik sumberdaya
alam
maupun
sumberdaya
manusia,
serta
bentuk-bentuk
kelembagaan yang ada untuk mengatasi masalah kemiskinan. Hal tersebut dapat ditelusuri melalui pemetaan sosial. Dalam hal ini timbul permasalahan “bagaimana karakterisitik dan faktor -faktor penyebab kemiskinan di Desa Mambalan?” dan “bagaimana potensi dan sumber serta kelembagaan yang ada dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kemiskinan?”. Dari hasil pemetaan ini dapat diperoleh gambaran komprehensif tentang komunitas Desa Mambalan. Untuk melengkapi peta sosial Desa mambalan dalam rangka menyusun strategi untuk pemberdayaan masyarakat miskin dalam pembangunan, maka perlu juga dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program pembangunan di lokasi kajian. Untuk itu telah dilakukan evaluasi terhadap Program P2MPD (Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah) yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Lombok Barat dan Prokesos KUBE yang dilaksanakan oleh Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi NTB, dimana kedua program tersebut bertujuan untuk mengatasi masalah kemiskinan. Melalui evaluasi program ini dapat
diketahui
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat
dalam
program
pembangunan, dan faktor-faktor penting yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam program pembangunan. Faktor-faktor penting tersebut dapat dijadikan masukan dan acuan bagi program pemberdayaan yang akan disusun. Dalam hal ini yang menjadi permasalahan adalah “bagaimana faktor-faktor penting yang ada mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas miskin dalam program pembangunan di Desa Mambalan?”. Berdasarkan pengetahuan tentang potensi dan kelembagaan masyarakat dalam mengatasi masalah kemiskinan serta faktor-faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemberdayaan komunitas miskin dalam pembangunan, baru kita dapat menyusun strategi untuk memberdayakan masyarakat miskin
5
dalam pembangunan. Untuk itu akan dilakukan Kajian Pengembangan Masyarakat yang bertujuan untuk merancang program bersama-sama dengan masyarakat berdasarkan permasalahan dan potensi yang ada.
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Kajian Tujuan umum kajian ini adala h untuk merancang program pemberdayaan
komunitas miskin di Desa Mambalan, dengan tujuan khusus sebagai berikut: 1. Menganalisa karakteristik dan penyebab kemiskinan di Desa Mambalan. 2. Menganalisa potensi dan sumber serta kelembagaan yang ada untuk mengatasi masalah kemiskinan. 3. Menganalisa faktor-faktor penting yang mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas miskin dalam program pembangunan di Desa Mambalan. 4. Memfasilitasi proses perancangan program pemberdayaan komunitas miskin. Sedangkan kegunaan dari kajian ini adalah: 1. Bagi Dinas Sosial setempat, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menyusun pola penanganan fakir miskin, terutama untuk membangun partisipasi dan kemandirian fakir miskin dalam program pembangunan. 2. Bagi Dinas Instansi Terkait, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam menentukan strategi pemberdayaan masyarakat miskin, khususnya dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan untuk mengurangi masalah kemiskinan di Desa Mambalan. 3. Bagi pengembangan ilmu sosial khususnya pengembangan masyarakat, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan masukan untuk penelitian atau kajian lebih lanjut.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan dan Pembangunan Sosial Jika kita melihat pengertian dan konsep dasar pembangunan, tampaknya
tidak ada konsep dalam ilmu-ilmu sosial yang serumit dan sesamar kata tersebut. Istilah ‘pembangunan dipakai dalam bermacam-macam konteks, dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Penggunaan kata pembangunan seringkali tergantung pada konteks siapa yang menggunakan dan untuk kepentingan siapa. Terdapat banyak kata yang memiliki makna sama dengan
kata
‘pembangunan’,
misalnya
perubahan
sosial,
pertumbuhan,
industrialisasi, teransformasi, dan modernisasi. Dari kata tersebut istilah ‘pembangunan’ lebih sering digunakan untuk menggambarkan dan memberi makna perubahan kearah positif dan lebih maju dibandingkan keadaan sebelumnya. Menurut Conyers dan Hill (1989) serta Jameson dan Wilber (1979), dalam konteks bahasa Inggris kata pembangunan selaras dengan kata development yang berasal dari kata kerja to develop , yang artinya menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan atau mengubah secara bertahap (to change gradually). Dengan demikian pembangunan dapatlah diartikan sebagai proses memajukan atau memperbaiki suatu keadaan melalui berbagai tahap secara terencana dan berkesinambungan (Suharto, 1997). Meskipun kata pembangunan pada mulanya menunjuk pada setiap gerak dan aktivitas demi perbaikan kualitas hidup manusia secara luas, namun dalam realitas keseharian maknanya kerap menyempit menjadi sekedar upaya perbaikan fisik dan ekonomi suatu masyarakat. Hal ini selain disebabka n karena indikatorindikator fisik dan ekonomi memang lebih mudah diukur, di kalangan para ahli juga telah berkembang suatu anggapan bahwa membangun manusia adalah membangun ekonominya (Suharto, 1997). Demikian kuatnya variabel ekonomi ini mempengaruhi paradigma pembangunan, sehingga pada awal perkembangannya, teori-teori pembangunan sangat didominasi oleh paradigma pembangunan yang berorintasi pada pertumbuhan ekonomi.
7
Menurut Todaro (1997), kemajuan ekonomi merupakan kompenen penting dalam pembangunan. Namun demikian, pembangunan bukanlah semata -mata penomena ekonomi. Pembangunan harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan kemakmuran manusia secara material dan finansial. Pembangunan harus dipandang sebagai proses multi-dimensional yang melibatkan reorganisasi dan reorintasi sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh. Disamping upaya -upaya peningkatan pendapatan secara ekonomi, pembangunan juga memerlukan perubahan struktur -struktur
sosial,
kelembagaan,
sikap-sikap
masyarakat,
termasuk kebiasaan dan keyakinan. Selain itu, pembangunan juga tidak dapat dipisahkan dari proses global. Pembangunan tidak saja dipengaruhi oleh faktorfaktor sosial-ekonomi pada konteks nasional, ia dipengaruhi pula oleh perubahan sistem sosial dan ekonomi dalam konteks internasional. Kesadaran untuk merumuskan kembali konsepsi pembangunan terutama muncul dari keprihatinan atas realitas dan tantangan bahwa meskipun di satu pihak pembangunan ekonomi telah mencapai titik yang menggembirakan, namun di lain pihak persoalan-persoalan baru seperti ketimpangan kesejahteraan, keresahan sosial, kerusakan lingkungan, dan rendahnya partisipasi sosial muncul ke permukaan. Satu perspektif pembangunan yang kini tengah populer untuk menjawab tantangan pembangunan di atas adalah konsepsi “Pembangunan Sosial”. Paham pembangunan baru ini berupaya mencari titik keseimbangan optimal (optimum trade-off) antara kepentingan ekonomi dan sosial, menuju pembangunan yang humanistik, partisipatif dan memperhatikan wawasan pemberdayaan manusia (masyarakat). Konsepsi mengenai pembangunan sosial muncul sebagai kritik atas kekurangan model-model pembangunan konvensional, baik yang sosialis maupun yang kapitalis, yang begitu memusatkan perhatian pada produksi dan industri padat modal. Dengan mengabaikan prinsip keadilan sosial, pendekatan pembangunan konvensional kurang memiliki perhatian terhadap pemenuhan kebutuhan
dasar
dan
pemberdayaan
kelompok
lemah.
Secara
ringkas,
8
pembangunan sosial adalah sebuah strategi pembangunan yang pro-kerakyatan, anti kemiskinan dan anti kesenjangan (Suharto, 2005). Prinsip pokok pembangunan sosial menempatkan masyarakat sebagai pusat dari proses pembangunan, dan ekonomi adalah cara untuk melayani kebutuhan manusia. Setiap orang, pemerintah atau lembaga apapun harus menghormati arti kehidupan manusia secara global, yang bertanggung jawab terhadap generasi berikutnya dan melindungi kelangsungan lingkungan hidup kita sendiri. Dalam arti normatif, prinsip pembangunan sosial juga menganjurkan untuk
menyatukan
keterkaitan
aspek
dan
kebijakan ekonomi,
sosial,
kemasyarakatan dan pribadi dalam rangka mendukung martabat manusia itu sendiri. Anjuran untuk mempertinggi martabat manusia dilakukan pada berbagai tingkat, nasional maupun internasional, dengan cara toleransi serta menghormati pluralisme atau keanekaragaman budaya, sosial dan politik. Lebih lanjut pembangunan sosial mempunyai prinsip untuk memperkukuh hak terhadap pembangunan dan hak asasi lainnya, serta memajukan hak dan tanggung jawab untuk kemajuan sosial dan keamanan untuk semua. Dari dasar dan prinsip nilai tersebut, maka setiap orang berhak untuk medapat kehidupan yang layak, dimulai dari terpenuhinya kebutuhan dasar sampai pada kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitas pribadinya. Mengacu pada Conyers (1982), ada tiga karakteristik utama pembangunan sosial, yaitu pemberian pelayanan sosial, pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan pemberdayaan masyarakat. Berikut ini penjelasan dari masingmasing kategori tersebut, yaitu: 1. Pembangunan sosial sebagai pemberian pelayanan sosial, yang mencakup program nutrisi, kesehatan, pendidikan, perumahan dan sebagainya, yang secara keseluruhan memberikan kontribusi kepada perbaikan standar hidup masyarakat. Indikator keberhasilan pembangunan sosial dalam konotasi ini antara lain adalah angka harapan hidup, angka kematian bayi, morbiditi, angka kemampuan membaca dan menulis (literacy rate ), dan sebagainya. Dalam pengertian ini pembangunan sosial berorientasi pada kesejahteraan (welfare oriented).
9
2. Pembangunan sosial sebagai upaya mewujudkan nilai- nilai kemanusiaan, seperti keadilan sosial, keamanan dan ketentraman hidup, kemandirian keluarga dan masyarakat (self-reliance), harga diri (self-esteem), kebebasan dari dominasi (liberation), hidup sederhana (plain living), dan sebagainya. 3. Pembangunan sosial sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengambil keputusan dan mengaktualisasikan diri mereka. Dalam kaitan ini, pembangunan sosial terkait dengan upaya pemberdayaan (empowerment). Dengan demikian, pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material, namun juga harus menciptakan kondisikondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif manusia harus berada dalam kondisi-kondisi yang bisa menciptakan rasa adil, rasa bahagia, rasa aman dan bebas dari rasa takut. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menjalankan pemba ngunan dan memecahkan masalah yang dialaminya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh ilmu ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil dari membangun manusia pembangunan ini.
2.2.
Kemiskinan Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya, dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karena struktur sosial-ekonomi yang ada tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (Maskun, 1997). Menurut Friedman, kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi: (a)
10
modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan); (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit); (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial); (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; (e) pengetahuan dan keterampilan; dan (f) informasi yang berguna untuk kema juan hidup (Suharto dkk., 2004). Ditinjau dari indikatornya konsep kemiskinan dapat dibagi tiga, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, dan kemiskinan subyektif. Pertama , kemiskinan absolut adalah keadaan miskin yang diakibatkan oleh ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti untuk makan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain. Penentuan kemiskinan absolut ini biasanya diukur melalui ‘batas kemiskinan’ atau ‘garis kemiskinan’ (poverty line) baik yang berupa indikator tunggal maupun komposit, seperti nutrisi, kalori, beras, pendapatan, pengeluaran, kebutuhan dasar, atau kombinasi beberapa indikator. Untuk mempermudah pengukuran, indikator tersebut umumnya dikonversikan dalam bentuk uang (pendapatan atau pengeluaran). Dengan demikian, seseorang atau sekelompok orang yang kemampuan ekonominya berada dibawah garis kemiskinan, dikategorikan miskin secara absolut (Suharto, 2005). Dalam penelitian atau kajian, orang yang masuk dalam kategori kemiskinan absolut ini dapat ditetapkan sendiri oleh peneliti atau pengkaji berdasarkan patokan garis kemiskinan yang dipakai. Kriteria yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan tersebut adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk hidup yang diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori perkapita perhari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian, dan barang tahan lama (Sutrisno, dalam Rudito dkk., 2003). Sementara itu Nuryana (2004) mengungkapkan bahwa garis kemiskinan secara internasional diukur dari pendapatan sebanyak 1 dolar perkapita perhari masuk dalam kategori miskin sekali, dan pendapatan 2 dolar per hari masuk dalam kategori miskin. Jika dikonversi dengan mata uang rupiah,
11
maka seseorang yang penghasilannya Rp. 10.000 perhari masuk dalam kategori miskin sekali. Kedua, kemiskinan relatif adalah keadaan miskin yang dialami individu atau kelompok, yang dibandingkan dengan ‘kondisi umum’ suatu masyarakat. Misalnya jika batas kemiskinan Rp. 100.000 perkapita perbulan, maka seseorang yang memiliki pendapatan Rp. 125.000 per bulan secara absolut tidak miskin. Namun jika pendapatan rata-rata masyarakat setempat adalah Rp. 200.000 per orang per bulan, maka secara relatif orang tersebut termasuk orang miskin (Suharto, 2005). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan siapa yang miskin dan siapa yang tidak adalah masyarakat sendiri. Masyarakat biasanya tahu siapa saja warganya yang penghasilannya dibawah rata -rata secara umum. Ketiga, kemiskinan subyektif adalah kemiskinan yang dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri mengenai kondisi sosialekonominya. Konsep kemiskinan ini tidak mengenal batas garis kemiskinan, dan tidak memperhitungkan penghasilan rata-rata penduduk. Orang yang menurut ukuran kita berada dibawah garis kemiskinan, boleh jadi tidak menganggap dirinya miskin, demikian pula sebaliknya. Begitu juga dengan orang yang menurut perasaan kita tergolong hidup da lam kondisi tidak layak, bisa jadi tidak merasa dirinya demikian, begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, konsep kemiskinan subyektif ini dianggap lebih tepat apabila dipergunakan untuk memahami kemiskinan dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya (Usman, 2003). Dalam konsep kemiskinan ini, yang bisa menentukan apakah ia miskin atau tidak adalah orang yang bersangkutan itu sendiri. Ia lebih tahu karena merasakan sendiri kondisi sosial-ekonomi yang dialaminya. Ditinjau dari sumber penyebabnya kemiskinan dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan kultural dan kemiskinan struktural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sikap, gaya hidup, nilai, orientasi sosial budaya seseorang atau masyarakat yang tidak sejalan dengan etos kemajuan (masyarakat modern). Sikap malas, tidak memiliki kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement), fatalis, berorientasi ke masa lalu, tidak memiliki jiwa wirausaha
12
adalah beberapa karakteristik yang umumnya dianggap sebagai ciri-ciri kemiskinan kultural. Mereka sudah merasa berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Masyarakat yang berada pada tipologi seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi untuk memperbaiki tingkat kehidupannya. Meskipun pendapatan mereka dibawah garis kemiskinan, namun mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena struktur masyarakat yang tidak seimbang, baik dalam pemilikan ataupun pengelolaan sumberdaya, ketidakmerataan kesempatan berusaha, ketidaksamaan informasi atau akses terhadap sumberdaya, ataupun karena adanya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada mereka. Kemiskinan struktural dapat pula disebabkan karena kondisi geografis yang terisolir. Sekuat apapun motivasi dan kerja keras seseorang dalam kondisi struktural demikian tidak akan mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset yang ada serta akses terhadap sumbersumber telah sedemikian rupa dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para buruh tani yang tidak memiliki lahan atau memiliki hanya sedikit lahan, para pekerja yang tidak terampil (unskilled labour), termasuk juga para keluarga miskin yang menjadi sasaran program pembangunan namun tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaannya, semuanya ini masuk kedalam mereka yang berada dalam kemiskinan struktural. Definisi kemiskinan sangat beraneka ragam, tergantung latar belakang orang yang mengemukakannya dan konteks wilayah atau negara dimana definisi kemiskinan tersebut dikeluarkan. Namun satu hal yang pasti bahwa kemiskinan selalu berhubungan dengan ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar. Sementara itu ketidakmampuan ini bisa disebabkan oleh faktor kultural atau struktural. Jika ingin mengatasi masalah kemiskinan maka kita harus memfokuskan kegiatan kita pada faktor penyebabnya tersebut.
2.3.
Pemberdayaan dan Komunitas Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok
rentan dan lemah, untuk: (a) memiliki akses terhadap sumber-sumber produktif
13
yang
memungkinkan
mereka
dapat
meningkatkan
pendapatannya
dan
memperoleh barang-barang dan jasa -jasa yang mereka perlukan; dan (b) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Pemberdayaan berasal dari bahasa Inggris: ‘empowerment’, yang secara harfiah bisa diartikan sebagai ‘pemberkuasaan’, dalam arti pemberian atau peningkatan ‘kekuasaan’ (power) kepada masyarakat yang lemah atau tidak beruntung (disadvantage) (Ife, 1995). Lebih jauh lagi Prijono dan Pranarka (1996), mengemukakan bahwa pemberdayaan mengandung dua pengertian, yaitu: Pertama, memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Kedua, upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan.
Jadi
dalam
kemampuan
kepada
pemberdayaan
komunitas
untuk
komunitas, mengatasi
selain
memberikan
masalahnya
dengan
menggunakan potensi yang ada, kita juga perlu menciptakan situasi yang mendukung diwujudkannya kemampuan tersebut. Oleh karena itu konsep pemberdayaan dalam pembangunan erat kaitannya dengan konsep partisipasi, swadaya, jaringan kerja, kemadirian dan keberlanjutan. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat miskin yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan ke mampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan
sosial,
dan
mandiri
dalam
melaksanakan
tuga s-tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses (Suharto, 2004).
14
Sedangkan yang dimaksud dengan pemberdayaan komunitas adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memperkuat kemampuan komunitas sesuai dengan sumber-sumber daya komunitas, dengan tujuan memandirikan komunitas agar mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, kesempatan kerja, kemauan, kerohanian, relasi sosial, kebudayaan dan keadilan (Bastaman, 2000). Komunitas yang dimaksud disini adalah komunitas yang didasarkan pada kesatuan geografis, seperti Desa atau juga Dusun, dengan asumsi bahwa komunitas tersebut mampu mengatasi permasalahan dan memenuhi kebutuhannya melalui upaya berkelompok, berusaha belajar dan mengembangkan diri. Menurut pandangan sosiologis, yang dimaksud dengan komunitas adalah warga setempat yang dapat dibedakan dari masyarakat luas melalui kedalaman perhatian bersama, atau oleh tingkat interaksi yang tinggi, dan para anggota komunitas mempunyai kebutuhan bersama (Ife, 1995). Sehubungan dengan itu, Tonny (2004) lebih jauh lagi mengatakan bahwa komunitas bukan hanya merupakan sekumpulan orang, tapi juga merupakan sekumpulan lembagalembaga yang mengatur pemenuhan kebutuhan anggotanya yang membedakannya dengan kelompok sosial yang lain. Pemahaman yang lebih luas mengenai komunitas adalah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan
bersama,
baik
yang
bersifat
fungsional
maupun
teritorial.
Berdasarkan pendekatan basis pembentukan komunitas, maka tipe komunitas yang dimaksud dalam kajian ini adalah tipe komunitas yang memiliki kesamaan perhatian dan keprihatinan (common interest). Selain itu terdiri dari kumpulan institusi, dimana anggota-anggotanya memiliki kebutuhan bersama, memiliki kedalaman perhatian bersama, dan memiliki tingkat interaksi sosial yang tinggi. Kemudian secara teritorial bertempat tinggal menetap dan permanen serta mempunyai ikatan solidaritas yang kuat, sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Jadi ciri-ciri suatu komunitas adalah mempunyai rasa solidaritas yang tinggi, dimana satu sama lain saling berinteraksi secara intensif dan mempunyai ikatan emosional yang kuat serta berada dalam wilayah teritorial yang jelas.
15
Menurut Rappaport, (1984), Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya. Selanjutnya Parson, et al, ( 1994) mengatakan bahwa pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap
kejadian-kejadian
serta
lembaga-lembaga
yang
mempengaruhi
kehidupannya (Suharto, 2004). Jadi dalam hal ini selain meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengambil keputusan mengenai nasib mereka, pemberdayaan juga mendidik masyarakat untuk bisa kritis terhadap ketidakadilan struktural yang ada. Dengan demikian tercipta kondisi yang memungkinkan bagi semua warga masyarakat untuk berpartisipasi dalam program pembangunan, khususnya warga miskin yang sering diabaikan keberadaannya. Makna pemberdayaan dalam pengertian ini adalah pemberian kekuatan dan kekuasaan/kesempatan yang lebih besar bagi masyarakat, termasuk warga miskin untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan program pembangunan yang akan dilaksanakan melalui organisasi-organisasi sosial, organisasi- organisasi politik, ataupun organisasi-organisasi swadaya lokal lainnya.
2.4.
Partisipasi Menurut Slamet (1992) dalam Sumardjo dan Saharudin (2003), untuk
dapat berpartisipasi dalam pembangunan ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi yaitu : (1) adanya kemampuan, (2) adanya kesempatan, (3) adanya kemauan untuk berpartisipasi. Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam kegiatan pembangunan berkelanjutan. Bahkan dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah jaminan bagi suatu program yang berkelanjutan. Namun untuk dapat berpartisipasi seseorang tentu harus berdaya dulu, yang dapat diperoleh melalui proses pemberdayaan. ESCAP (1999) menyatakan bahwa permasalahan sosial yang terjadi dalam masyarakat (termasuk juga masalah kemiskinan), bukan hanya akibat dari penyimpangan perilaku atau masalah pribadi. Namun juga sebagai akibat masalah
16
struktural, kebijakan yang keliru, implementasi kebijakan yang tidak konsisten, dan tidak adanya partisipasi masyarakat dalam pembangunan (Hikmat, 2003). Dalam hal ini masalah kemiskinan bukan hanya disebabkan oleh sikap mental masyarakat yang fatalis, namun juga karena kondisi struktur kekuasaan yang tidak mendukung masyarakat untuk bisa berpartisipasi dalam pembangunan. Partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki modal sosial berupa jaringan kerja, norma atau aturan-aturan yang jelas, dan kepercayaan. Jaringan merupakan lintasan bagi proses berlangsungnya pertukaran, sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar, dan norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran tersebut berjalan adil atau tidak. Dalam konteks organisasi, yang dipertukarkan adalah hak dan kewajiban. Modal sosial merupakan wahana yang memungkinkan terjadinya pertukaran tersebut. Pertukaran akan semakin sering bila pertukaran tersebut mengakibatkan pemenuhan
hak
seimbang
dengan
pelaksanaan
kewajiban
yang
akan
mempengaruhi frekwensi pertukaran sosial. Hal ini senada dengan pendapat George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) yang menyatakan bahwa “bagi semua tindakan yang dilakukan orang, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh imbalan, semakin cenderung orang tersebut melakukan tindakan tersebut”. Proposisi ini dapat diartikan bahwa semakin sering seseorang memperoleh imbalan, manfaat atau kepuasan karena mengikuti kegiatan desa, kelompok atau suatu organisasi, maka seseorang tersebut cenderung melakukan tindakan tersebut. Agar seseorang aktif salam suatu kegiatan maka harus dijamin bahwa keaktifannya tersebut akan memperoleh imbalan atau manfaat. Dengan demikian agar partisipasi masyarakat tinggi dalam kegiatan organisasi atau kelompok, maka harus dapat dipastikan bahwa tindakan partisipasi tersebut akan memberikan manfaat bagi masyarakat tersebut. Hal ini juga diperjelas dengan pendapat Blau dalam Ritzer (1988) yang menyatakan bahwa “orang-orang akan tertarik pada kelompok sosial bilamana mereka merasa hubungan tersebut menawarkan penghargaan yang lebih dari
17
kelompok sosial lainnya”. Oleh karena itu agar partisipasi anggota meningkat maka modal sosialnya perlu ditingkatkan (Saragi, 2004). Selanjutnya Ndraha (1990) mengungkapkan bahwa partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dipilah sebagi berikut: (1) partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain sebagai awal perubahan sosial; (2) dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya; (3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan; (4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional; (5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya apakah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan, tidak lepas dari hubungan dengan pihak lain dan penguasaan intervensi. Hal yang perlu diingat adalah bahwa partisipasi dalam
perencanaan menjadi dasar bagi munculnya
partisipasi dalam pelaksanaan. Dengan demikian dapat didefinisikan bahwa partisipasi adalah proses ketika warga komunitas, baik sebagai individu maupun kelompok sosial, organisasi atau lembaga, mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan kebijakan-kebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka (Sjaifudian, 2002).
2.5.
Kemandirian Kemandirian merupakan suatu kondisi yang ingin dituju dalam kegiatan
pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat sudah mampu melaksanakan program pembangunan sendiri dengan sumberdaya yang tersedia, mulai dari proses pengambilan keputusan, melaksanakan, mengevaluasi, sampai pada tahap pemanfaatan tanpa dominasi dari pihak luar. Prinsip
kemandirian
menegaskan
bahwa
kegiatan
pembangunan
masyarakat pedesaan disusun dan dilaksanakan berdasarkan kemampuan diri dan sumber-sumber yang lokal yang dimiliki masyarakat. Keterlibatan pihak lain, baik
18
perorangan, kelompok maupun lembaga, hanyalah memberikan dorongan dan kemudahan agar masyarakat mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumbersumber dari dalam dan luar masyarakat secara efektif dan efisien. Kemandirian ini diwujudkan dalam swadaya dan gotong royong, kreativitas, sikap inovatif, dan produktif masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan (Supriatna,1997). Pentingnya kemandirian terutama dirasakan pada saat negara dalam keadaan krisis. Pengalaman di Indonesia, pada saat krisis terasa bahwa masyarakat sangat tergantung pada pemerintah atau terpuruk. Hal ini disebabkan karena masyarakat selama ini tergantung pada pemerintah, terbiasa disediakan program
bantuan dari
pemerintah.
Sementara
itu
pemerintah
sendiri
kemampuannya menjadi sangat terbatas untuk menopang kebutuhan masyarakat karena krisis yang terjadi. Sejumlah kasus menunjukkan bahwa penekanan perencanaan dan alokasi dana yang sentralistik telah menumbuhkan mentalitas dependensi, memperlemah prakarsa, serta mengurangi kreativitas dan daya inovasi. Sejumlah pembicaraan dengan para birokrat lokal membawa pada kesimpulan bahwa mereka cenderung lebih memilih alokasi dana yang sentralistik, daripada harus menggali sumbersumber sendiri dalam konteks otonomi dan desentralisasi. Sikap inertia yang demikian akan membawa kerentanan sosial dan membahayakan keberlanjutan pembangunan (Tjokrowinoto, 2004). Berbagai
program
pembangunan
yang
telah
dilaksanakan
lebih
berorientasi pada “target group” pembangunan dan tidak memperhatikan keberlanjutan program, proses pendidikan masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pelembagaan pembangunan. Dengan perkataan lain, program pembangunan kurang berorientasi pada pemberdayaan, pelembagaan pembangunan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dalam menciptakan kualitas
sumber
daya
yang
memiliki
kemandirian,
malah
menciptakan
ketergantungan (Supriatna, 1997). Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan akan memungkinkan terwujudnya partisipasi masyarakat, dan melalui partisipasi masyarakat akan dapat terwujud kemandirian masyarakat.
19
2.6.
Modal Sosial Modal sosial mengandung aspek stuktur sosial yang memfasilitasi
tindakan tertentu dari seorang aktor yaitu manusia atau korporasi. Sebagaimana jenis modal lainnya, modal sosial juga produktif, memungkinkan tercapainya sesuatu dan bila modal sosial tidak ada maka hal itu tidak mungkin tercapai. Bentuk yang biasa dari modal sosial yaitu nilai-nilai yang memfasilitasi tindakan tertentu dalam hubungan antar manusia untuk mencapai kepentingan bersama. Tidak seperti modal lainnya, modal sosial melekat dalam struktur hubungan antar aktor. Modal sosial merupakan sumberdaya bagi seseorang. Konsep modal sosial merupakan konsep yang lebih baru dibandingkan dengan konsep modal ekonomi, modal manusia dan modal fisik. Padahal modal sosial tersebut sesungguhnya sering dilakoni seseorang dalam kehidupannya tanpa disadari bahwa hal-hal tersebut merupakan modal sosial. Mengacu pada preposisi sukses George C. Homans (1987) dalam Saragi (2004) mengenai tindakan rasional, maka partisipasi anggota akan meningkat bila modal sosial berupa jaringan kerja, aturan-aturan yang jelas (norma) dan kepercayaan ditingkatkan. Interaksi yang didasari saling percaya, nilai-nilai luhur dan hubungan yang baik diyakini banyak orang sebagai faktor yang menentukan keberhasilan seseorang. Hal tersebut sudah dilakoni dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian didefinisikan oleh para pakar sosiologi bahwa faktor tersebut sebagai modal sosial. Jadi dengan demikian dapat diambil suatu pengertian bahwa modal sosial adalah jaringan, norma-norma atau aturan, dan kepercayaan dalam proses interaksi antar manusia (aktor) yang dapat mempermudah terjadinya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan bersama.
2.7.
Kelembagaan dan Organisasi Sosial Kelembagaan sosial merupakan terjemahan langsung dari istilah social
institution. Selain itu ada pula yang menggunakan istilah pranata sosial untuk mengartikan istilah social institution tersebut , yang menunjuk pada adanya unsur-
20
unsur yang mengatur perilaku warga masyarakat. Koenjaraningrat (1964) mengatakan bahwa pranata sosial adalah “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi komplekskomplek s kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Jadi dalam hal ini kelembagaan sosial adalah sistem norma, nilai dan pola hubungan yang mengatur warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Kelembagaan sosial yang dimaksud disini bukan istilah “lembaga” (yang berasal dari kata institute ) seperti yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah “lembaga” biasanya merujuk kepada suatu “badan”, seperti organisasi ilmiah, organisasi ekonomi, dan berbagai bentuk organisasi yang memiliki tujuan tertentu. Wujud kongkrit kelembagaan sosial tersebut adalah asosiasi (association) atau organisasi (organisation). Dengan demikian organisasi sosial merupakan sistem norma yang mengatur pergaulan hidup dengan tujuan tertentu yang diwujudkan dalam hubungan antar manusia. Sebagai contoh, universitas merupakan suatu kelembagaan sosial, sedangkan IPB, UI, UGM, ITB dan lainlain merupakan suatu asosiasi. Dari contoh tersebut, tepatlah batasan kelembagaan yang diungkapkan oleh Bertrand (1974) yang menyatakan bahwa kelembagaan sosial adalah “tata abstaraksi yang lebih tinggi dari group, organisasi, dan sistem sosial lainnya”. Namun dalam pengertian ini Bertrand tidak menangkap bahwa kelembagaan sosial bukan saja mengatur hubungan antar orang, tapi juga mengatur hubungan antar lembaga (Tonny, 2004). Contohnya KUD – PUSKUD – INKUD. Kelembagaan yang mengatur hubungan ketiga lembaga tersebut adalah “birokrasi” atau sering juga disebut “hubungan kelembagaan”. Kelembagaan sosial pada dasarnya menya ngkut seperangkat norma atau tata perilaku. Sejalan dengan itu, maka menurut Van Doorn dan Lammers (1959) fungsi kelembagaan sosial itu adalah: (1) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat, mengenai cara mereka harus bertingkah laku atau bersikap dalam menghadapi masalah-masalah di dalam masyarakat, terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan; (2) Menjaga keutuhan, dengan adanya pedoman yang
21
diterima bersama maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara; (3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control), yaitu sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya; dan (4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia/masyarakat. Oleh karena itu apabila kita mempelajari kebudayaan dan masyarakat tertentu maka kita ha rus pula memperhatikan
kelembagaan
sosial
yang
ada
dalam
masyarakat
yang
bersangkutan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa organisasi sosial merupakan wujud konkrit dari kelembagaan sosial, dan kelembagaan sosial merupakan bentuk dari modal sosial.
2.8.
Kerangka Pemikiran Untuk kondisi nasional, khususnya pada masa Orde Baru, penanganan
masalah sosial (kemiskinan dengan berbagai manifestasinya) cenderung didasarkan pada kebijakan dan program yang sentralistik. Sehingga masalah sosial seringkali tidak lagi dianggap sebagai masalah masyarakat. Dengan kondisi demikian yang berlangsung selama tiga dekade lebih, dewasa ini masyarakat menjadi kurang menyadari masalah sosial yang ada di lingkungannya dan kurang mampu memanfaatkan potensi dan sumber sosial yang ada untuk menangani masalah sosial yang ada tersebut. Dengan demikian, kondisi masyarakat berada dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara bebas menyampaikan aspirasi dan merealisasikan potensi mereka dalam penanganan masalah sosial, sehingga masyarakat berada dalam kondisi yang skeptis dan tidak berdaya (Hikmat, 2003). Masyarakat yang terbiasa memperoleh program bantuan dari pemerintah tanpa bersusah payah menjadi kurang memiliki inisiatif untuk mengatasi masalahnya sendiri. Di lain pihak, sejak krisis ekonomi melanda Indonesia kemampuan pemerintah untuk memberikan program bantuan kepada masyarakat menjadi berkurang padahal jumlah penyandang masalah kemiskinan justru bertambah.
22
Di lokasi kajian terdapat sekitar 49,57% penduduknya mengalami masalah kemiskinan. Mereka miskin karena mereka memang sudah tidak tahu lagi apa yang harus dikerjakan untuk meningkatkan penghasilan. Keterampilan mereka di luar pertanian, pertukangan dan berjualan tidak ada, padahal lahan pertanian sebagian besar dimiliki oleh bangsawan kaya dan orang kaya dari luar desa. Artinya mereka memiliki lapangan kerja yang sangat terbatas, padahal mereka harus tetap memperoleh penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka yang rata-rata berjumlah empat orang. Akibatnya banyak diantara mereka yang bekerja sebagai buruh tani, buruh bangunan atau buruh serabutan dengan penghasilan yang rendah dan tidak menentu. Kemiskinan merupakan masalah sosial yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mambalan. Kemiskinan di Desa Mambalan ditandai dengan beberapa keterbatasan antara lain keterbatasan pemilikan lahan pertanian dan ternak, keterbatasan akses pelayanan dan fasilitas publik, keterbatasan akses lapangan kerja, serta keterbatasan penghasilan. Menurut pendapat masyarakat, seseorang dikatakan miskin jika mereka tidak mempunyai penghasilan tetap dan sulit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang pokok sehari-hari, sedangkan lahan atau ternak yang dimiliki tidak ada. Secara struktural, kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh struktur masyarakat yang tidak seimbang, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada warga miskin, dan sebagian lagi karena kondisi geografis yang terisolir. Struktur masyarakat yang tidak seimbang tersebut ditandai dengan adanya pelapisan masyarakat yang masih kaku berdasarkan jabatan dan harta yang dimiliki, serta kepemilikan lahan yang tidak merata. Lahan hanya dimiliki oleh sebagaian kecil warga, padahal mata pencaharian penduduk sebagaian besar sebagai petani. Dengan struktur yang demikian tentu saja akan berdampak pada kemampuan masyarakat lapisan bawah untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi dan pembangunan yang tersedia. Selain itu dari sisis pemerintah sendiri, dengan kondisi warga miskin tersebut menganggap mereka lemah, malas dan perlu dibantu melalui program-program bantuan. Oleh karena itu mereka jarang dilibatkan
dalam
prencanaan
program
pembangunan,
sehingga
program
pembangunan yang turun untuk mereka banyak yang tidak menyentuh akar
23
permasalahan yang mereka alami. Dengan luasnya wilayah Desa Mambalan yang juga berbatasan dengan hutan dan pegunungan menyebabkan sebagian wilayahnya terisolir karena fasilitas transportasi berupa jalan maupun angkutan umum tidak memadai. Dengan demikian kegiatan ekonomi warganya menjadi tidak bisa berkembang cepat karena pema saran hasil pertanian dan perkebunan tidak lancar. Secara kultural, kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh kurangnya pengetahuan karena tingkat pendidikan yang rendah, kurangnya keterampilan di luar pertanian dan peralatan kerja untuk menunjang pekerjaannya, serta kurangnya penguasaan bahasa baik bahasa Indonesia apalagi bahasa Inggris. Kondisi yang demikian ini tentu saja akan mengurangi nilai kompetitif mereka dalam mencari kerja di kota ataupun menjadi TKI di luar negeri. Selain kondisi ini keluarga miskin di Desa Mambalan juga cepat puas dengan apa yang ada, masih tergantung pada pemerintah, dan mereka merasa lebih rendah (inferior) sehingga bila bertemu dengan orang dari luar lingkungannya mereka malu mengungkapkan keinginannya. Dalam perayaan hari-hari besar agama atau upacara adat mereka melaksanakannya secara besar-besaran dengan biaya besar yang diperoleh dari investasi yang sudah diniatkan untuk acara tersebut, atau menjual ternak yang dimiliki. Selain itu, besarnya jumlah anggota keluarga miskin ini juga memperberat perbaikan ekonomi keluarga, karena banyak yang harus diberi makan dan disekolahkan. Pada akhirnya kemiskinan komunitas yang disebabkan oleh dimensi struktural dan dimensi kultural tersebut mengakibatkan keterasingan mereka dalam
kehidupan
sosial
dan
kehidupan
politik
(pemerintahan).
Dalam
memberikan pelayanan program pembangunan, lembaga pemerintah desa memang tidak membeda -bedakan sasarannya asalkan memenuhi kriteria, namun pengaruh dari struktur sosial yang ada mau tidak mau ikut juga menjadi penentu sasaran
pelayanan
program
pembangunan
tadi.
Akhirnya,
warga
yang
berpengaruh, aktif di kantor desa dan dekat dengan elit desa, meskipun ia tidak terlalu miskin dapat menikmati pelayanan program pembangunan yang semestinya diperuntukkan bagi orang yang benar-benar membutuhkan (miskin).
24
Dalam kehidupan sosial masyarakat, pola-pola relasi antar orang, relasi antara orang dengan lembaga pemerintah desa, dan pola relasi antara lembaga pemerintah desa dengan lembaga yang lain juga turut terpengaruh oleh adanya stratifikasi masyarakat dan keadaan kekurangan kaum miskin ini (dimensi struktural dan kultural). Akibatnya pola-pola relasi yang ada dalam masyarakat sedikit-demi sedikit bergeser menjadi pola-pola relasi yang dibentuk oleh faktor ekonomi, timpang, dan menguntungkan yang kaya. Dalam kondisi seperti ini orang yang kaya dihormat, sedangkan yang miskin kurang diperhatikan kerena keberadaanya tidak memiliki pengaruh apa-apa. Dengan adanya semua kondisi tidak mendukung yang membelenggu warga miskin tersebut menjadikan mereka menjadi tidak berdaya, dan yang lebih parah lagi mereka sudah mulai kehilangan harapannya untuk meningkatkan kondisi kehidupannya (fatalis). Kondisi ketidakberdayaan mereka ini terlihat dari rendahnya tingkat partisipasi mereka dalam kegiatan kemasyarakatan maupun dalam kegiatan pemerintahan (desa). Mereka jarang hadir dalam kegiatan rapat desa ataupun pertemuan di tingkat komunitas. Dengan demikian mereka tidak memiliki pengetahuan dan informasi tentang sumber-sumber ekonomi dan pembangunan, sehingga akses mereka lemah terhadap sumber-sumber tersebut. Pada akhirnya tingkat kemandirian mereka juga sangat rentan. Hal ini bisa terlihat dari sumber daya seperti lahan, program pembangunan untuk masyarakat dan kredit perbankan yang tidak bisa mereka manfaatkan, hilangnya inovasi, rendahnya kreativitas dan produktivitas, serta pada akhirnya sulit untuk mewujudkan keswadayaanya sebagai anggota komunitas yang terdiri dari manusia -manusia yang sebenarnya memiliki daya, harkat dan martabat, serta hak yang sama dengan warga komunitas yang lain. Untuk lebih jelasnya mengenai kerangka pemikiran pemberdayaan komunitas miskin di Desa Mambalan ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Struktur Masyarakat yang tidak seimbang.
Kebijakan Pemerintah yang tidak berpihak pada warga miskin.
Kondisi Geografis yang terisolir.
Kurangnya pengetahuan, keterampilan, penguasaan bahasa dan peralatan kerja.
Kemiskinan Komunitas
Keterasingan warga miskin dalam kehidupan sosial dan politik (pemerintahan). .
Tingkat Keberdayaan Komunitas Miskin.
Fatalis, boros, tergantung dan inferior. Jumlah anggota keluarga yang besar.
Tingkat P artisipasi: - Kehadiran. - Usulan, Kritik, Saran. - Perencanaan. - Pelaksanaan. - Pemeliharaan.
Tingkat Kemandirian: - Keswadayaan. - Kreativitas. - Inovasi. - Produktivitas.
Gambar 1: Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Komunitas Miskin di Desa Mambalan.
25
26
Berdasarkan semua kondisi ini maka dilakukan kajian keadaan komunitas dan penyusunan program bersama-sama dengan komunitas yang kemudian menghasilkan suatu lembaga swadaya lokal sebagai wadah partisipasi bagi setiap warga komunitas. Dengan adanya wadah lembaga tersebut diharapkan dapat diperkuat kelembagaan lokal yang dimiliki masyarakat melalui pertemuan rutin mingguan warga untuk membahas permasalahan yang ada dan cara-cara yang bisa ditempuh untuk mengatasinya. Diharapkan dengan adanya pelembagaan kegiatan pertemuan ini, komunitas dapat melakukan proses pemahaman diri (konsientisasi) mengenai keberadaan mereka, permasalahan mereka, hak-hak mereka, potensi dan sumber yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan yang ada, dan kemudian merencanakan suatu program bersama, melaksanakan, mengevaluasi dan memelihara hasil-hasilnya. Setelah mereka memahami posisi, hak-hak, permasalahan dan sumbersumber yang bisa dimanfaatkan komunitas juga bisa mengadakan pendekatan kepada pemerintah desa untuk membuat kebijakan yang mendukung partisipasi dan kemandirian komunitas dalam meningkatkan kondisi kehidupannnya sendiri. Dalam hal ini pemerintah desa juga perlu diyakinkan bahwa lembaga swadaya lokal ini dibentuk bukan untuk menyaingi atau menentang keberadaan pemerintah desa, melainkan untuk membantu meringankan tugas pemerintah desa dalam pembangunan. Dengan demikian secara tidak langsung akan membawa nama baik kepala desa yang telah berhasil da lam membina warganya untuk melaksanakan pembangunan secara swadaya. Selain itu pengurus lembaga swadaya lokal ini juga perlu mendekati dinas instansi terkait untuk membuat kebijakan yang lebih fleksibel, yang mendukung perencanaan dari bawah dalam pelaksanaan proyek pembangunan fisik maupun proyek pengadaan bantuan kepada komunitas.
III.
3.1.
METODOLOGI KAJIAN
Lokasi dan Waktu Kajian Kajian Lapangan dilaksanakan di Desa Mambalan Kecamatan Gunungsari
Kabupaten Lombok Barat Propinsi NTB, yang dimulai sejak Praktek Lapangan I (dilaksanakan pada tanggal 9 Nopember sampai dengan 1 Desember 2004), kemudian dilanjutkan dengan Praktek Lapangan II (dilaksanakan pada tanggal 21 Pebruari sampai dengan 5 Maret 2005), dan untuk Kerja Lapangan dalam rangka Kajian Pengembangan Masyarakat ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2005. Tabel 1 Jadwal Kajian Pengembangan Masyarakat Tahun 2004/2005. No.
Jadwal Kegiatan
2004 11 12
1.
Pemetaan Sosial
2.
Evaluasi Program
3.
Penyusunan Proposal Kajian
3.
Pelaksanaan Kajian
4.
Penulisan Laporan
5.
Seminar dan Ujian
3.2.
2005 1
2
3 4
5
6
7 8
9
10
11
Metode Kajian Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah penelitian
kualitatif, dengan menggunakan strategi studi kasus terhadap warga miskin agar bisa memaha mi masalah kajian secara mendalam, menyeluruh dan rinci. Adapun
28
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: wawancara mendalam, pengamatan berperanserta, dan kajian dokumen. Penyusunan programnya menggunakan metode PRA dengan menggunakan teknik diskusi kelompok.
3.2.1. Sasaran dan Sampling Sasaran dalam kajian ini adalah warga miskin di Desa Mambalan, dengan menggunakan teknik sampling purposive sampling , yaitu menentukan sample dengan pertimbangan tertentu yang dipandang dapat memberikan data secara maksimal (Arikunto, 2002). Teknik sampling ini digunakan untuk menarik sample dengan sengaja (non random), karena alasan-alasan diketahuinya sifat-sifat sampel itu. Purposive sampling ini merupakan teknik penarikan sampel yang berdasarkan penilaian atau tujuan-tujuan dari penilaian yang dilakukan oleh pengkaji. Tujuan itu akan bersifat khusus. Dalam hal ini responden yang dipilih adalah warga miskin di Desa Mambalan yang memenuhi kriteria, termasuk perempuan dan anak-anak. Sedangkan informannya terdiri dari tokoh masyarakat yang peduli dengan masalah kemiskinan, kepala dusun dan aparat desa khususnya kepala desa, sekretaris desa dan Kaur Pembangunan. Termasuk juga yang menjadi informan adalah petugas dari dinas instansi terkait yang telah melaksanakan program pembangunan/proyek di lokasi kajian dan pendamping program yang diangkat dari warga setempat.
3.2.2. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode: 1. Wawancara Mendalam, dilakukan terhadap responden dan informan guna mengumpulkan data primer berupa informasi mengenai pengalaman hidup, pendapat
mereka
lingkungannya,
tentang
faktor
yang
pelaksanaan mendukung
program dan
pembangunan
menghambat
berpartisipasi dalam proses pembangunan yang ada (Tabel 2).
di
mereka
29
Tabel 2 Rincian Responden, Informan dan Cara Pengumpulan Data No.
Tujuan Kajian
Variabel
Data dan Informasi
Sumber Data
Metode
Rekaman
1.
Menganalisa karakteristik dan penyebab kemiskinan di lokasi kajian.
Penghasilan, Pemilikan, Pendidikan, Keterampilan, Kesehatan, akses sumber, hubungan sosial.
Karakteristik dan penyebab kemiskinan.
Warga miskin dan tokoh masyarakat.
Wawancara, pengamatan berperan serta dan kajian dokumen.
Catatan harian dan dokumen.
2.
Menganalisa potensi, sumber , dan kelembagaan lokal untuk mengatasi masalah kemiskinan.
Jml penddk, keterampilan, luas lahan, peranan lembaga lokal, relasi dalam komunitas.
Kependudukan Pekerjaan, Lahan, kelembagaan lokal.
Warga miskin, tokoh masyarakat dan aparat desa.
Wawancara, pengamatan berperanserta dan kajian dokumen.
Catatan harian dan dokumen.
3.
Menganalisa faktor-faktor penting yang mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas miskin.
Kehadiran, masukan, keterlibatan, inovasi, kreativitas, produktivitas, swadaya..
Proses pemberdayaan, permasalahan dan potensi komunitas miskin.
Warga miskin, tokoh masyarakat dan petugas dinas instansi terkait.
Wawancara, pengamatan berperanserta dan kajian dokumen.
Catatan harian.
4.
Perancangan Program Pemberdayaan Komunitas Miskin.
Fenomena kemiskinan, akses sumber, dan pengalaman program pemberdayaan.
Masalah, potensi, dan program pemberdayaan yang telah dilaksanakan.
Warga miskin, tokoh masyarakat dan aparat desa.
Diskusi Kelompok.
Catatan proses dan dokumen.
2. Pengamatan Berperanserta, dilaksanakan di lokasi Kerja Lapangan terhadap kondisi
fisik
keluarga
miskin,
kebiasaan
sehari-hari mereka, serta
hubungannya dengan lembaga-lembaga pelayanan dan fasilitas publik. 3. Kajian Dokumen, dilakukan terhadap arsip-arsip yang berhubungan program pembangunan yang diperoleh dari berbagai Stakeholders , seperti: a. Aparat Desa, berupa Buku Profil Desa dan Data Potensi Desa.
30
b. Pendamping Program yang berada di desa, berupa data perkembangan program. c. Petugas Dinas Intansi Penanggung Jawab Program, berupa buku pedoman pelaksanaan program. 4. Diskusi Kelompok, dilakukan untuk memperoleh pendapat dan saran peserta dalam proses perancangan program.
3.2.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan te rus menerus. Data kualitatif bersumber dari wawancara mendalam dan pengamatan berperan serta. Data tersebut kemudian dianalisis dengan melalui tahapan : 1. Reduksi data, yaitu melakukan pemilihan, penggolongan dan penyederhanaan data “kasar” yang muncul dalam catatan-catatan tertulis di lapangan. Datadata tersebut tentu saja dipusatkan pada masalah kemiskinan dan pemberdayaan. 2. Penyajian data, yaitu upaya untuk menampilkan sekumpulan data dan informasi dalam bentuk yang sederhana dan mudah dipahami melalui tebel, gambar dan alur masalah. 3. Penarikan kesimpulan, yaitu tahap menjawab permasalahan dan tujuan kajian namun dengan tetap melakukan triangulasi untuk meyakinkan validitas kesimpulan yang dibuat. Dengan demikian dapat dibuat rekomendasi program untuk pemecahan masalah.
3.3.
Metode Perancangan Program Perancangan program merupakan lanjutan dari kegiatan pengkajian
keadaan masyarakat yang dilakukan untuk mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan potensi dengan menggunakan teknik-teknik PRA (Parcipatory Rural Appraisal atau metode pengkajian keadaan desa secara partisipatif). Hasil kajian
31
tersebut dijadikan bahan untuk menyusun Rencana Kegiatan yang sederhana, jelas dan wajar. Artinya, bentuk rancangan itu benar-benar dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan dukungan dari lembaga mitra yang mempunyai hubungan kerja dengan Desa Mambalan. Adapun tujuan dari penyusunan rencana kegiatan ini adalah: (1) Memfasilitasi masyarakat untuk menyusun kegiatan mereka sendiri berdasarkan masalah, kebutuhan dan potensi yang dimiliki; (2) Mendapatkan perencanaan dari komunitas lokal sendiri (keluarga miskin) yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah ataupun LSM sebagai bahan perencanaan program lembaga itu sendiri di Desa Mambalan. Dalam kegiatan perancangan program ada beberapa tahapan kegiatan yang dilalui yaitu: A. Persiapan Perancangan program merupakan kegiatan yang cukup besar, dengan melibatkan cukup banyak peserta dan memerlukan waktu yang memadai. Oleh karena itu persiapan yang sebaik -baiknya perlu dilakukan. Tahap persiapan ini terdiri dari: 1. Persiapan Bahan-Bahan Perencanaan Seluruh informasi hasil kajian dengan teknik-teknik PRA dikumpulkan oleh Tim PRA dan dikaji bersama. Untuk mempermudah proses perencanaan, dibuat tulisan masing-masing pada selembar kertas besar, mengenai: •
Berbagai data yang terkumpul dari seluruh penerapan teknik.
•
Berbagai potensi yang terkumpul dari seluruh penerapan teknik.
Berdasarkan pengalaman, masyarakat senang bila diminta mempersiapkan bahan yang akan disampaikannya sendiri pada pertemuan di desa. 2. Penyepakatan Waktu Waktu pertemuan penyusunan rencana kegiatan tentu saja disepakati dengan masyarakat agar waktu pertemuan tidak mengganggu waktu kerja
32
mereka. Kita tidak bisa sehari penuh melakukan pertemuan dengan masyarakat. Waktu yang diperlukan kemudian dibagi dalam 3 hari, yang meliputi: •
Hari
pertama
untuk
persentasi
seluruh
hasil
temuan
dan
pengoganisasian masalah •
Hari kedua untuk kajian alternatif pemecahan masalah dan pilihan kegiatan
•
Hari ketiga untuk penyusunan rencana kegiatan.
3. Persiapan Teknis Persiapan teknis yang dilakukan antara lain adalah: •
Menyepakati jadwal pertemuan dengan masyarakat
•
Mengundang berbagai kelompok masyarakat untuk hadir dalam pertemuan (bisa dengan lisan atau dengan undangan tertulis)
•
Mempersiapkan tempat pertemuan (yang agak luas)
•
Mempersiapkan konsumsi (kopi/teh, makanan kecil)
•
Mempersiapkan alat-alat dan bahan seperti: kartu-kartu, kertas besar, lem, selotip dan alat tulis.
B. Pelaksanaan Pleno Desa 1. Pembukaan, Penyampaian Maksud dan Tujuan Setelah peserta pertemuan desa berkumpul, ‘pimpinan rombongan’ Tim PRA menyampaikan kembali maksud dan tujuan dari pertemuan ini. Selain itu dari pemuka masyarakat, seperti kepala desa dan wakil tokoh masyarakat
menyampaikan
sambutan
singkat
kepada
masyarakat
mengenai adanya kegiatan penerapan PRA ini. 2. Penyajian Seluruh Hasil Informasi Pengkaji (ketua Tim PRA) menyampaikan seluruh hasil kajian kepada peserta pertemuan. Hasil kajian disampaikan dalam bentuk rangkuman, dan menyampaikan masalah-masalah utama yang ditemukan di desa serta
33
potensi yang ada. Setiap penyajian didiskusikan bersama oleh peserta pertemuan. 3. Pengorganisasian Masalah. Masalah-masalah yang muncul di masyarakat akan sangat beraneka ragam, meskipun kajian hanya menekankan pada masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan yang muncul banyak berkaitan dengan bidang-bidang lain seperti lingkungan alam, sosial, budaya, kebijakan pemerintah dan lainlain. Oleh karena itu tidak mungkin
menangani semua masalah yang
dihadapi sekaligus pada saat yang bersamaan. Dengan demikian perlu dilakukan ‘seleksi’ dengan proses pengorganisasian masalah dengan cara : a. Pengumpulan Masalah Setelah penyajian seluruh hasil kajian, masalah-masalah yang muncul kemudian
ditampilkan
seluruhnya
di
atas
kertas
lebar
yang
ditempelkan di dinding. Masalah-masalah ini da pat saja dikurangi apabila peserta mengusulkan agar sejumlah masalah di ‘drop’ karena tidak layak dibahas. Biasanya pada saat pengkajian hubungan sebabakibat masalah, muncul tampilan masalah-masalah baru. a. Pengelompokan Masalah Tujuan dilakukannya pengelompokkan masalah ini antara lain adalah: •
Menyederhanakan tampilan seluruh permasalahan di desa.
•
Mendiskusikan pembidangan pembangunan desa.
•
Mendiskusikan bidang/aspek kehidupan yang mana di desa yang paling banyak masalah.
Langkah-langkahnya: •
Pengelompokan masalah dilakukan dengan cara menyatukan masalah-masalah yang dianggap berada dalam satu topik.
•
Menulis masing-masing masalah di atas kartu-kartu, sehingga proses pengelompokan ini lebih mudah dilakukan.
34
•
Menempel kartu-kartu satu per satu saling berdekatan bila dianggap sebagai satu kelompok masalah. Tempelkan dengan selotip kecil agar mudah dipindah (dikoreksi).
•
Menyepakati bersama setiap penempelan kartu masalah tersebut, jangan sampai ditentukan oleh pendapat seseorang yang dominan.
•
Apabila pengelompokan itu sudah dianggap tepat, baru kartu-kartu itu dilem dengan kuat.
•
Menuliskan di atas kartu berwarna lain, nama topik untuk setiap kumpulan masalah (misalnya: masalah hutan, masalah pertanian, masalah kesehatan, masalah pemasaran, dan lain-lain).
b. Kajian Hubungan Sebab-Akibat Masalah Tujuan kajian hubungan sebab-akibat masalah antara masalah-masalah yang ada, yaitu: •
Mengkaji masalah-masalah apa yang menjadi penyebab dari masalah yang lain.
•
Mengkaji masalah yang paling banyak menyebabkan masalah lainnya, yang disebut sebagai AKAR MASALAH.
•
Mengkaji masalah-masalah apa yang menjadi akibat dari masalah yang lain. Manfaat kajian hubungan sebab-akibat antara lain adalah:
•
Masyarakat dapat melihat permasalahan yang mereka hadapi secara menyeluruh dalam bentuk visual (bagan hubungan sebabakibat).
•
Masyarakat dapat menilai permasalahan itu sebagai suatu keadaan yang tidak bisa dipisah-pisah, sehingga perlu dipecahkan bersama.
Langkah-langkah pelaksanaanya meliputi: •
Menempelkan kartu-kartu satu per satu saling berdekatan bila dianggap memiliki hubungan sebab-akibat. Untuk memudahkan
35
dimulai dengan masalah-masalah yang berada dalam satu kelompok (satu topik). •
Menempelkan
dengan
selotip
kecil
agar
mudah
dipindah
(dikoreksi). •
Menyepakati bersama setiap penempelan kartu masalah tersebut, jangan sampai ditentukan oleh pendapat seseorang yang dominan.
•
Setelah pengelompokan itu sudah dianggap tepat, baru kartu-kartu itu dilem dengan kuat.
c. Pengurutan Prioritas masalah Bagian terpenting dari Pleno Desa adalah penyepakatan prioritas masalah yang dirasakan paling penting dan juga memiliki potensi (sumber daya) untuk merancang kegiatan yang benar-benar bisa dilaksanakan. Langkah-langkahnya adalah: •
Dari hasil analisis pohon masalah, kemudian dipilih sejumlah masalah yang paling penting untuk dicantumkan di dalam tabel prioritas masalah.
•
Mendiskusikan alasan-alasannya dan menyepakati pilihan tersebut (jangan ditentukan oleh seseorang yang dominan), diminta pendapat dari banyak pihak.
•
Setelah sejumlah masalah utama terpilih, kemudiaan dilakukan penilaian untuk mengurutkan masalah utama tersebut (prioritas masalah) dengan Teknik Bagan Urutan (Matriks Ranking).
Untuk menyepakati pemilihan masalah maupun untuk menentukan prioritas masalah hasil seleksi tersebut, diperlukan kriteria-kriteria yang disepakati bersama. Kriteria -kriteria yang digunakan untuk membuat prioritas masalah adalah: mendesak, merupakan masalah utama (akar masalah), dirasakan oleh banyak orang, adanya ketersedian
potensi
dan
meningkatkan pendapatan.
sumberdaya,
serta
dapat
membantu
36
4. Pembahasan Alternatif -alternatif Kegiatan Berdasarkan bagan prioritas masalah di atas, masyarakat mengembangkan gagasan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Oleh karena suatu masalah dapat saja dipecahkan melalui berbagai cara, maka masyarakat diajak untuk memilih kegiatan yang paling mungkin dilaksanakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, misalnya dengan mengkaji kebutuhan alat dan bahan, serta modal untuk masing-masing pilihan yang ada dibandingkan dengan sumberdaya alam yang ada, keterampilan yang dimiliki, tenaga kerja yang tersedia, waktu, dan modal tempat. 5. Pemilihan Kegiatan dan Pengisian Bagan Rencana Kegiatan Bagan Alternatif Pemecahan Masalah yang telah disusun di atas, kemudian dijadikan bahan diskusi untuk melakukan pembuatan Bagan Rencana Kegiatan. Caranya adalah dengan memilih dari alternatifalternatif
kegiatan
tersebut,
mana
yang
paling
mungkin
untuk
dilaksanakan. Bentuk penulisan perencanaan kegiatan dibuat atas kesepakatan dengan masyarakat. Contoh bentuk penulisan sederhana yang dapat dipertimbangkan penggunaannya berisikan: Masalah Prioritas, Kegiatan
Terpilih,
Penanggung
Jawab,
Pendukung,
Waktu,
dan
Keterangan Tambahan. a. Pemilihan (Alternatif) Kegiatan Pemilihan alternatif pemecahan yang paling layak menurut masyarakat dilakukan dengan menggunakan Matriks Ranking sederhana untuk masing-masing masalah prioritas yang tercantum, atau dipilih berdasarkan kesepakatan bersama. b. Penentuan Penanggung Jawab Kegiatan Penanggung jawab untuk masing-masing kegiatan sebaiknya jelas karena akan menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan yang dimaksudkan. Penentuan penanggung jawab yang terlalu umum, misalnya mengatakan bahwa semua pihak (masyarakat) bertanggung
37
jawab atas sebuah kegiatan, sama artinya dengan tidak ada penanggung jawab. Penentuan ini dilakukan dengan musyawarah bersama peserta. Sehubungan dengan itu juga dibentuk organisasi (lembaga)
yang
akan
melaksanakan,
memantau,
mengatur
pemanfaatan dan mengevaluasi kegiatan ini nantinya. Selain tugas dan tanggung jawab masyarakat sendiri, juga disebutkan tugas dan tanggung
jawab
‘pihak
luar’
yang
terlibat
dalam
kegiatan
pengembangan masyarakat tersebut. c. Penetapan Pendukung Kegiatan Selain pihak yang menjadi pelaksana langsung dan penanggung jawab suatu kegiatan, pihak-pihak yang akan memberikan dukunganpun sebaiknya dipastikan. Dukungan yang dapat diperoleh tidak terbatas pada keterlibatan langsung sebuah pihak dalam pelaksanaannya, tetapi dukungan tersebut dapat berbentuk dukungan fasilitas, penyediaan informasi, penyediaan bahan dan pelatihan teknis yang dibutuhkan. d. Pembuatan Jadwal Pelaksanaan Kegiatan Bila tugas dan tanggung jawab sudah tersusun, maka langkah berkutnya adalah pembuatan Jadwal Kegiatan. Setiap kegiatan perlu ditentukan saat mulainya, lama waktu pelaksanaannya dan perkiraan waktu selesainya. Penentuan waktu ini sangat penting, terutama sebagai pedoman dalam menyiapkan berbagai hal yang berhubungan dengan pelaksanaan masing-masing kegiatan. Penentuan batas waktu yang tidak jelas, misalnya ‘akan dilaksanakan kapan saja’, tidak akan menjamin terlaksananya kegiatan tersebut. e. Keterangan Tambahan Hal- hal lain yang dianggap penting tetapi belum termuat pada kolomkolom yang tersedia, perlu juga untuk dicantumkan. Misalnya hambatan yang mungkin ditemui, persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk terselenggaranya sebuah kegiatan tertentu, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bisa ditulis pada kolom keterangan (Djohani, 1996).
IV.
4.1.
PETA SOSIAL KOMUNITAS DESA MAMBALAN
Gambaran Umum Desa Mambalan Desa Mambalan merupakan salah satu desa IDT yang berada di Wilayah
Kecamatan Gunung Sari yang letaknya di bagian tengah Kabupaten Lombok Barat. Jaraknya dengan ibukota propinsi hanya sekitar 6 km, dengan waktu tempuh 15 menit. Jaraknya dengan ibukota kabupaten memang lebih jauh yaitu sekitar 15 km dengan waktu tempuh 1 jam karena Kecamatan Gunung Sari berbatasan langsung dengan ibukota propinsi maka jaraknya lebih dekat dengan ibukota propinsi daripada dengan ibukota kabupaten. Sementara jarak dengan ibukota kecamatan dan pusat ekonomi seperti pasar hanya 3 km dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dengan ojek. Fasilitas jalan raya baru diaspal hanya sampai pusat desa saja, sementara sisanya masih jalan tanah. Desa Mambalan merupakan desa pertanian dengan tingkat kesuburan tanah yang tinggi yang dikelilingi oleh lahan pertanian dan hutan/pegunungan. Adapun batas-batas desa ini meliputi : Sebelah utara
: Desa Pemenang Timur, dengan batas fisik hutan.
Sebelah selatan
: Desa Kekeri, dengan batas fisik sawah.
Sebelah barat
: Desa Dopang, dengan batas fisik sungai.
Sebelah timur
: Desa Penimbung, dengan batas fisik sawah.
Meskipun letak geografis Desa Mambalan ini cukup startegis karena dekat dengan ibukota propinsi namun jarak sosial-ekonominya masih jauh. Hal ini dapat dilihat dari belum meratanya hasil pembangunan di Desa Mambalan. Selain itu komunitas Desa Mambalan termasuk dalam kategori komunitas miskin. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya warga miskin yaitu sebanyak 754 KK atau 49,57% dari keseluruhan jumlah penduduk. Sebagian besar penduduk miskin ini bekerja sebagai buruh serabutan, tukang pelihara ternak (peternak), petani kecil dan buruh tani dengan tidak memiliki lahan sama sekali. Dengan kondisi pekerjaan dan struktur kepemilikan ini membuat mereka tidak berdaya untuk keluar dari kemiskinannya.
39
4.2.
Masalah Sosial di Komunitas Masalah sosial yang dialami warga komunitas Desa Mambalan adalah
masalah-masalah yang merupakan manifestasi dari kemiskinan yang dialami seperti anak putus sekolah, pengangguran, anak terlantar, jompo terlantar serta tingkat kesehatan dan gizi yang rendah. Masyarakat memandang masalah ini sebagai masalah sepanjang tahun, karena masalah-masalah ini menghinggapi masyarakat sejak dulu sehingga masyarakat sudah terbiasa dengan kondisi ini meskipun sebenarnya mereka ingin sekali keluar dari masalah-masalah ini tapi tidak tahu caranya. Masalah-masalah ini semakin terasa pada saat musim tanam karena masyarakat menggunakan uang yang mereka miliki untuk membeli bahan untuk pertanian sementara untuk makan selama menunggu panen merupakan masalah utama masyarakat. Jika mengalami kesulitan keuangan yang tidak bisa diatasi maka masyarakat biasanya menjual tanah yang mereka miliki kepada orang luar, akibatnya banyak tanah yang ada di desa dimiliki oleh orang luar. Padahal dilain pihak lapangan kerja diluar pertanian di desa sangat jarang sekali, akibatnya banyak yang mencari kerja ke luar desa ataupun ke kota sebagai buruh bangunan padahal keterampilan mereka sangat terbatas karena tingkat pendidikan yang rendah. Akibatnya mereka menjadi kurang produktif, artinya mereka bekerja keras dengan curahan waktu yang lama namun penghasilannya kecil. Dampak kemiskinan terhadap lingkungan sos ial adalah munculnya pengangguran yang tampak pada banyaknya anak-anak muda “nongkrong” di depan gang atau di pinggir-pinggir jalan. Lama-kelamaan dikhawatirkan mereka ini karena banyaknya waktu senggang dan tidak ada yang dikerjakan mereka bisa mengganggu ketertiban umum, mengganggu cewek yang lewat, minum-minuman keras, atau bahkan mencuri. Dilain pihak, desa yang memiliki banyak penganggur mengalami hambatan dalam membangun desanya, akibatnya desa tersebut tetap mengalami kemiskinan. Dampak negatif kemis kinan terhadap lingkungan alam demikian besarnya, sehingga sering dikatakan bahwa bencana alam disebabkan oleh kemiskinan. Jika segala usaha manusia untuk mencari penghidupan di bidang lain telah gagal, maka
40
ia akan mencarinya dari alam, dalam hal ini biasanya tanah. Jika tanah sudah begitu sempit untuk bertani, sementara tidak ada lagi pekerjaan lain diluar pertanian, maka satu-satunya cara untuk mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya adalah masyarakat ada yang membuka hutan untuk bertani, bahkan ada yang menebang pohon untuk dijual kayunya. Selain itu kejernihan air sungai juga tercemar karena pasir, kerikil dan batu-batu yang terdapat didalamnya diambil oleh masyarakat untuk dijual. Untuk mencari penghasilan guna memenuhi kebutuhan pokok hidup apapun akan dilakukan oleh orang tanpa memikirkan akibatnya dikemudian hari, yang penting mereka bisa makan.
4.3.
Kependudukan Penduduk Desa Mambalan berdasarkaan Profil Desa Tahun 2004 termasuk
dalam struktur penduduk usia kerja. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk 5.697 jiwa terdapat penduduk sebanyak 3.421 jiwa (60,05%) yang tergolong penduduk usia kerja (15 – 64 tahun). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat beban pembangunan yang perlu diatasi di Desa Mambalan karena dari jumlah penduduk usia produktif ini hanya 2.121 orang (62,00%) yang terserap oleh lapangan pekerjaan, sementara sisanya 1.300 orang (38,00%) belum terserap oleh lapangan pekerjaan. Umumnya mereka ini adalah remaja dan pemuda usia 15 - 29 tahun. Besarnya angka pengangguran ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan pokok keluarga menjadi terbatas. Pendidikan anak, kesehatan dan gizi keluarga menjadi rendah. Dengan kondisi keluarga yang demikian akan menghasilkan kualitas SDM yang rendah. Dengan rendahnya kualitas SDM menjadikan keluarga dan masyarakat menjadi tidak berdaya dalam menyesuaikan diri dengan laju
pembangunan.yang
semakin
dipacu
dengan
indikator
peningkatan
penghasilan saja, dengan kurang memperhatikan sisi pemberdayaan dan pemerataan hasil-hasil pembangunan itu. Komposisi jumlah penduduk perempuan sebanyak 3.014 jiwa (52,90%) dan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.683 (47,10%). Hal ini menunjukkan bahwa penduduk perempuan lebih banyak jumlahnya dari dari penduduk laki-laki.
41
Dalam konteks pembangunan desa, keberadaan penduduk perempuan sangat berperan dalam mendukung pembangunan perekonomian desa. Demikian juga dalam menopang perekonomian keluarga. Perempuan di Desa Mambalan banyak yang ikut menopang ekonomi keluarga dengan berjualan bakulan di pasar, sebagai buruh angkut pasir/batu kerikil, ataupun ikut membantu suami bercocok tanam di sawah. Namun sayangnya dalam hal pengambilaan keputusan untuk penggunaan penghasilan mereka tersebut didominasi oleh suami. Hal ini erat kaitannya dengan budaya setempat yang mengharuskan istri patuh pada suami. Budaya seperti ini akhirnya juga membuat kaum perempuan di Desa Mambalan menjadi enggan mengeluarkan pendapat mereka tentang keinginan dan harapaan mereka sehubungan dengan pembangunan di desa, yang selama ini memang didominasi oleh ka um laki-laki. Artinya, meskipun penduduk perempuan jumlahnya lebih banyak dari kaum laki-laki namun pengaruhnya dalam pengambilan keputusan kurang, padahal dalam aktifitas sehari-hari mereka memberikan kontribusi besar bagi perekonomian keluarga maupun perekonomian desa karena mereka banyak yang bekerja sebagai pedagang bakulan di pasar terdekat. Fertilitas Penduduk cukup tinggi, terbukti dari jumlah penduduk usia 0 – 4 tahun sebanyak 887 jiwa (15,57%). Hal ini tentu merupakan tugas berat keluarga untuk merawat dan membesarkan anak-anak ini dengan penghasilan keluarga sebagai buruh serabutan atau buruh tani yang tidak menentu. Mortalitas Penduduk cukup tinggi khususnya pada kelompok usia 5 – 9 tahun (39,49%), yang merupakan dampak dari keterbatasan keluarga dalam mencukupi gizi yang baik bagi anak-anak balita mereka. Selain itu angka mortalitas juga tinggi pada usia 65 tahun keatas. Hal ini menandakan kurangnya gizi dan perawatan bagi lanjut usia di Desa Mambalan. Hal ini terjadi karena keterbatasan penghas ilan kepala keluarga dan rasio tanggungan keluarga, sehingga pemenuhan gizi, perumahan, kesehatan dan pendidikan anggota keluarga termasuk anak menjadi terbatas juga. Hal ini tentu saja akan berdampak pada rendahnya kualitas SDM dikemudian hari. Dengan demikian masyarakat setempat
42
mengulang kembali pola hidup yang dulu dan tetap terbelenggu oleh rantai kemiskinan. Untuk lebih jelasnya, komposisi jumlah penduduk Desa Mambalan berdasarkan usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar piramida berikut ini:
Gambar 2 Piramida Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2004 USIA (tahun) 75 + 70 – 74 65 – 69 60 – 64 55 – 59 50 – 54 45 – 49 40 – 44 35 – 39 30 – 34 25 – 29 20 – 24 15 – 19 10 – 14 5– 9 0– 4
Skala 1 : 100 Laki-laki
4
Perempuan
3
2
1
0
1
2
3
4
Sumber : Profil Desa Mambalan Tahun 2004
Gerak Penduduk (migrasi) berdasarkan data potensi penduduk desa nampaknya tidak ada, namun menurut keterangan kepala desa migrasi keluar jumlahnya cukup tinggi khususnya pada kelompok umur (25 - 34 tahun), namun mereka termasuk migrasi keluar musiman. Meskipun demikian, hal ini tentu berpengaruh bagi pembangunan desa karena tenaga merekalah sebenarnya yang dibutuhkan untuk membangun desa. Namun karena kurangnya lapangan kerja di desa membuat mereka pergi mencari kerja ke kota, dan ada juga sebagai TKI ke Malaysia. Mereka memang pulang ke rumahnya tapi tidak berapa lama, dan uang
43
yang dihasilkan bekerja dihabiskan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok dan untuk bayar hutang.
4.4.
Sistem Ekonomi Mata pencaharian pokok penduduk Desa Mambalan pada umumnya terdiri
dari lima jenis mata pencaharian, yaitu : petani, buruh tani, buruh serabutan, pedagang dan peternak (tukang pelihara ternak). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 3 Rekapitula si Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian No.
Jenis Mata Pencaharian
Jumlah Jiwa
Prosentase
1.
Petani
768
22.45
2.
Buruh Tani
494
14.44
3.
Buruh, Swasta (serabutan)
1,300
38.00
4.
Pegawai Negeri
16
0.47
5.
Pedagang
82
2.40
6.
Peternak
425
12.42
7.
Industri Rumah Tangga
11
0.32
8.
Oje k
68
1.99
9.
Lain-lain
257
7.51
3,421
100.00
JUMLAH Sumber : Profil Desa Mambalan Tahun 2004
Berdasarkan data yang ada dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk yang memiliki mata pencaharian sebagai buruh serabutan. Mereka ini pada dasarnya memiliki keterampilan di bidang pertukangan. Mereka bisa bertahan hidup hanya dengan cara mengerjakan pekerjaan apasaja (serabutan) dari
44
tetangga atau keluarganya yang membutuhkan tenaganya. Bila tidak ada pekerjaan tentu tidak ada penghasilan, padahal anak istri harus makan. Cara menyiasatinya adalah dengan cara berhutang beras sekilo atau dua kilo untuk dimasak dengan lauk apasaja seperti ikan asin dan sayur yang diminta dari pekarangan atau pematang sawah tetangga. Jika ada yang membutuhkan tenaganya dan memperoleh upah maka langsung dipakai untuk bayar hutang. Mereka malu kalau sampai berhutang dua atau tiga kali, sehingga mereka takut untuk lewat di depan warung tempatnya berhutang itu. Demikian juga dengan peternak atau pengangon sapi milik orang lain. Selama perjalanan waktu mengangon dia banyak berhutang pada orang yang punya ternak, sehingga ketika ternak dijual dan diadakan bagi hasil sering para pengangon ini mendapat bagian yang sangat sedikit bahkan ada yang tidak dapat sama sekali karena habis setelah dipotong hutang-hutangnya. Kasusnya hampir sama dengan buruh tani yang bagi hasilnya sangat sedikit karena banyaknya potongan hutang selama musim tanam. Sedangkan petani yang ada hanya memiliki sawah kurang dari 0,5 hektar, itupun dengan kwalitas yang marjinal. Mereka sangat tergantung pada kesempatan kerja sampingan, iklim, dan yang terpenting adalah faktor harga. Mereka tidak mampu mengontrol harga, jika harga bibit dan pupuk naik mereka harus membelinya karena harus menanami sawahnya. Namun jika harga hasil panen turun mereka tidak mempunyai pilihan selain menjualnya karena mereka butuh untuk makan. Untuk pedagang, mereka hanya memiliki modal yang sangat terbatas yaitu antara Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 100.000. Mereka tidak berani meminjam kepada bank ataupun orang lain karena takut tidak bisa membayar dan dikejarkejar sehingga malu pada tetangga. Dengan modal yang sangat minim ini sangat sulit untuk bisa mengembangkan usahanya, bahkan kadang modal yang ada dipakai untuk makan. Hal ini tentu membuktikan bahwa komunitas Desa Mambalan merupakan komunitas miskin dengan ciri-ciri masyarakat yang subsisten, yang hanya mencari nafkah hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk hari ini saja karena untuk memperoleh lebih dari itu sulit sekali mengingat ketidakpastian pekerjaannya,
45
kadang ada kadang tidak ada, itupun upahnya sangat rendah. Jika mereka memperoleh upah dari pekerjaannya maka akan digunakan untuk bayar hutang di warung selama menganggur, baru sisanya untuk bayar makan. Sehingga sulit sekali bisa menyisihkan untuk biaya pendidikan anak dan gizi keluarga. Dengan demikian akan menghasilkan kualitas SDM yang rendah. Sistem tata niaga input dan output hasil pertanian dan non pertanian masyarakat Desa Mambalan pada umumnya sangat tergantung pada keberadaan tengkulak. Artinya, hasil-hasil pertanian dan non pertanian seperti hasil kerajinan dan hasil industri rumah tangga dijual kepada tengkulak yang ada di desa. Kemudian tengkulak inilah yang akan menjual hasil pertanian dan non pertanian ini di pasar. Hal ini dilakukan oleh masyarakat karena mereka merasa perlu mengeluarkan biaya transportasi lagi jika ingin menjual hasil pertaniannya ke pasar. Jadi hasil pertanian dan non pertanian ini tidak dijual melalui kelompok usaha ataupun koperasi. Sedangkan sistem input untuk keperluan aktivitas ekonomi, masyarakat memperolehnya dari lingkungan sekitar dan pasar. Kaitan mata pencaharian dengan sumberdaya lokal masih bersifat tradisional dan bersifat subsisten. Artinya dengan adanya lahan pertanian, penduduk dipenuhi kebutuhan pangannya melalui aktivitas pertanian. Industri batu bata, genteng dan meubeler memanfaatkan bahan baku dari sumberdaya lokal. Untuk industri rumah tangga seperti pembuatan kerupuk masih diproduksi secara terbatas dengan menggunakan tenaga kerja dari anggota keluarga sendiri. Semua kegiatan ekonomi yang dilakukan ini hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok saja, bukan untuk mencari keuntungan dan mengembangkan usaha. Keterkaitan ekonomi lokal di Desa Mambalan dengan kegiatan ekonomi yang lebih luas belum ada. Hal ini terjadi karena sistem ekonomi yang ada hanya didasarkan pada adanya waktu atau kesempatan untuk melakukannya dan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Oleh karena itu usaha yang dilakukan masih bersifat subsisten dan belum mengarah kepada manajemen kewirausahaan yang profesional.
46
4.5.
Struktur Komunitas Sistem pelapisan sosial yang ada di Desa Mambalan masih tertutup.
Artinya seseorang berada pada suatu lapisan karena harta, jabatan dan pendidikan yang dimiliki. Warga Desa Mambalan terdiri dari tiga lapisan sosial. Lapisan sosial yang pertama adalah kepala desa dan aparatnya. Mereka masuk dalam lapisan ini karena dianggap sebagai wakil pemerintah di tingkat desa, sehingga apapun yang ditetapkan oleh desa mau tidak mau harus diikuti oleh warganya. Namun sayangnya ketetapan yang diterapkan kepada masyarakat hampir
seluruh
aspek
pembangunan,
sehingga
masyarakat
tidak
bisa
menyampaikan aspirasinya karena menghormati ketetapan desa. Apalagi ketetapan desa yang berhubungan dengan proyek pembangunan, masyarakat biasanya diminta untuk menerima dan melaksanakan perencanaan yang disusun oleh tim yang dibentuk oleh kepala desa yang beranggotakan aparat desa dan tokoh-tokoh masyarakat yang aktif di kantor desa. Demikian juga sebaliknya karena masyarakat merasa beruntung telah mendapatkan proyek pembangunan sehingga menerima saja ketetapan yang telah dibuat oleh kepala desa. Seorang kepala de sa biasanya diangkat berdasarkan kekayaan dan kebangsawanannya, karena menurut sejarah yang mendirikan Desa Mambalan adalah golongan bangsawan yang bernama Datu Mambal. Hal ini juga diperkuat karena selama ini kepala desa yang pernah menjabat selalu memiliki gelar bangsawan di depan namanya seperti datu, raden, dan lalu. Hal ini tentu saja menutup kesempatan orang-orang dari golongan lain untuk menjadi kepala desa, meskipun ia memiliki kemampuan yang lebih. Lapisan sosial yang kedua adalah mereka yang terma suk dalam kelompok tokoh masyarakat atau golongan bangsawan yang memiliki harta dan berpendidikan. Mereka masuk dalam lapisan ini karena harta dan pendidikannya serta sering aktif dalam kegiatan di desa. Mereka ini sering membantu kepala desa dalam menetapkan kebijakan pemerintah desa dan perencanaan pembangunan desa. Namun sayangnya kebijakan dan perencanaan yang dihasilkan banyak yang menguntungkan kepentingan mereka dan golongannya saja, sementara warga miskin yang tidak memiliki wakil aktif di desa menjadi bertambah terisolir saja
47
dari program pembangunan. Aspirasi mereka tidak tertampung, mereka hanya sebagai pelaksana dari perencanaan yang telah dibuat golongan yang termasuk dalam lapisan pertama dan lapisan kedua tadi. Lapisan sosial yang ketiga adala h mereka yang termasuk warga biasa dan warga miskin. Mereka masuk kedalam lapisan ini karena sudah tidak ada lapisan lain lagi tempat mereka masuk. Mereka ini adalah warga biasa dan warga miskin yang sering menjadi obyek dari segala macam bentuk program pe mbangunan di desa, namun kondisi kehidupan mereka tidak kunjung berubah menjadi lebih baik karena program yang ada tidak menyentuh akar permasalahan mereka. Selain itu, banyak fasilitas dan pelayanan publik sebenarnya yang bisa mereka manfaatkan untuk meningkatkan kondisi kehidupannya. Namun keterbatasan pengetahuan dan kemampuan mereka, serta birokrasi yang ada tidak memudahkan mereka untuk bisa memanfaatkan pelayanan dan fasilitas yang ada tadi. Untuk lebih jelasnya mengenai lapisan sosial masyarakat di Desa Mambalan dapat dilihat dalam tabel berikut ini : Tabel 4 Tingkatan Sistem Pelapisan Sosial Masyarakat Desa Mambalan
I
II
III
Keterangan : I. Kepala Desa dan Aparatnya II. Tokoh Masyarakat / Bangsawan Kaya III. Warga Biasa dan Warga Miskin
48
Meskipun di Desa Mambalan secara tidak transparan ada pelapisan sosial berdasarkan keturunan bangsawan (istilahnya : lalu) dan bukan bangsawan (istilahnya : amak) , namun hal ini sudah tidak berpengaruh lagi dalam kehidupan sosial. Pelapisan berdasarkan keturunan bangsawan dan bukan bangsawan ini hanya berpengaruh pada kepemilikan lahan pertanian dan ternak saja yang dimiliki lebih oleh keturunan bangsawan tersebut. Namun hal ini sudah tidak terjadi lagi, karena baik bangsawan maupun tidak sekarang sama-sama tidak memiliki lahan dan ternak lagi. Hanya sebagian saja dari golongan bangsawan ini ada yang termasuk dalam lapisan pertama dan kedua karena mereka masih memiliki harta dan berpendidikan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penetapan seseorang masuk dalam sistem tingkatan pelapisan masyarakat sangat dipengaruhi oleh hartanya, luas tanah, pekerjaan dan pendidikannya, serta keterlibatannya dalam kegiatan desa. Demikian pula dengan sistem kepemimpinan formal dan informal. Kepemimpinan informal biasanya dilekatkan oleh masyarakat pada lapisan kedua, yang lebih melihat kharismatik dan kepekaan mereka terhadap masalah sosial kemasyarakatan. Sedangkan kepemimpinan formal biasanya dilekatkan pada lapisan pertama, dengan melihat jabatan mereka sebagai wakil pemerintah di desa. Oleh karena kepemimpinan formal dan informal memiliki mekanisme tersendiri, maka jarang terjadi adanya rangkap kepemimpinan. Bahkan seseorang yang ingin menjadi pemimpin formal hendaknya memiliki dukungan dari pemimpin informal. Keberfungsian kepe mimpinan formal dan informal dapat dilihat dari aktivitasnya dalam kegiatan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Pada kasuskasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah desa, unsur kepemimpinan formal dan informal membangun kerjasama melalui kegiata n musyawarah untuk menetapkan keputusan yang akan diambil desa. Sedangkan untuk kasus-kasus sosial kemasyarakatan, pemimpin informal lebih utama dalam meyelesaikannya. Apabila tidak terselesaikan akan dibawa pada tingkat desa. Oleh karena itu masyarakat lebih dekat dan lebih patuh kepada pemimpin informal karena interaksi mereka dengan masyarakat cukup dekat dalam kehidupan sehari-hari dan khususnya dalam keterlibatannya menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan.
49
Hal ini terjadi karena dalam kehidupan masyarakat lebih banyak ditemui masalah sosial kemasyarakatan dan harus dicari upaya pemecahannya dalam komunitas, daripada masalah pemerintahan. Sedangkan kepatuhan kepada pemimpin formal bersifat formal juga. Artinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan desa, masyarakat akan patuh kepada pemimpin formal sebagai wakil dari pemerintah di desa.
4.6.
Kelembagaan dan Organisasi Sosial Kelembagaan yang ada pada umumnya adalah kelembagaan formal yang
dibentuk untuk mendukung tugas pemerintah desa seperti Karang taruna, BPD dan LPM. Namun kiprah lembaga -lembaga tersebut belum bisa menyentuh permasalahan yang dihadapi oleh komunitas miskin di Desa Mambalan. LPM misalnya, lebih banyak disibukkan dengan perencanaan-perencanaan proyek fisik yang turun ke desa da ripada pemberdayaan masyarakat dalam arti peningkatan kemampuan dan kesempatan ikut merencanakan. Lembaga-lembaga ini hanya bisa dimanfaatkan oleh aparat desa dan orang-orang yang duduk di lembagalembaga tersebut. Meskipun demikian di tengah-tengah komunitas telah ada bentuk kelembagaan-kelembagaan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian dan krama gubug (untuk perkawinan). Namun manfaat dari lembaga-lembaga tersebut masih sangat kecil karena hanya me layani masalah-masalah khusus yang sesuai dengan tujuan awalnya ada. Norma yang mengatur hubungan antar orang dalam lembagalembaga tersebut adalah hubungan baik, trust dan semangat tolong menolong yang sudah lama dibangun diantara warga komunitas. Jika semangat hubungan kekerabatan, trust dan tolong menolong yang ada dalam kelembagaan tersebut bisa dimobilisir untuk kepentingan yang lebih mendasar seperti untuk mengatasi masalah kemiskinan, maka pasti akan sangat bermanfaat.
50
4.7.
Sumberdaya Lokal Hubungan masyarakat Desa Mambalan sebagai masyarakat pertanian
sangat erat. Masyarakat sangat tergantung pada alam dan lahan pertanian mereka, karena itulah satu-satunya harta yang mereka miliki dan keterampilannya hanya bisa bercocok tanam. Selain lahan pertanian, ada juga sungai dan hutan yang menjadi sumber mata pencaharian penduduk. Untuk sungai mereka mengambil manfaatnya berupa pasir dan batu kerikil, namun hal ini perlu diwaspai karena keterbatasan daya dukungnya setelah diambil pasir dan batu kerikil didalamnya. Untuk hutan, masyarakat memanfatkannya sebagai tempat bercocok tanam dan memelihara ternak seperti sapi dan kambing serta ayam, namun hanya bisa dimanfaatkan oleh warga sebuah dusun di sekitar hutan saja Ada juga beberapa warga yang melakukan penebangan, tapi dengan sepengetahuan pemerintah desa dan masih dalam batas yang wajar. Hal ini sesuai dengan keterangan yang diungkapkan oleh Kepala Desa Mambalan. Untuk penguasaan lahan pertanian, sebagian besar dimiliki oleh orang kaya dari luar desa 50%, kemudia n oleh kaum bangsawan 30% dan masyarakat biasa 20%. Hal ini tentu saja berpengaruh bagi pemerataan penghasilan karena masyarakat yang sebagian besar sebagai petani ternyata hanya memiliki lahan yang sangat terbatas, dan sebagian lagi bekerja sebagai buruh tani mengelola sawah-sawah orang lain. Dengan keterbatasan lahan dan pola hubungan kerjasama yang demikian akan menyulitkan berkembangnya kondisi kehidupan golongan yang terdominasi seperti buruh tani dan tukang pelihara ternak. Tekanan penduduk terhadap sumberdaya masih dalam taraf seimbang. Artinya dengan luas lahan yang ada masyarakat akan dapat memenuhi kebutuhan mereka melalui pertanian. Namun sayangnya tidak semua lahan pertanian ada sebagai milik masyarakat setempat, malahan sebagian besar dimiliki oleh orang luar dan orang kaya setempat. Hal ini tentu mempersulit masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhannya dan meningkatkan perekonomian keluarganya. Untuk
lembaga-lembaga
yang
berhubungan
dengan
pengelolaan
sumberdaya alam belum ada, namun secara adat ada sanksi yang diberikan kepada orang yang menebang pohon secara liar untuk keperluan dijual/bisnis, bukan
51
untuk memenuhi kebutuhan makan. Sangsi tersebut berupa membayar denda kepada kepala dusun, yang kemudian digunakan untuk kas dusun yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk kepentingan masyarakat.
4.8.
Ikhtisar Kemiskinan yang terjadi di Desa Mambalan disebabkan oleh tingginya
angka pengangguran (38,00%), rendahnya tingkat pendidikan (tidak tamat SD 23,27% dan tamat SD 23,80%), pekerjaan yang tidak menentu (buruh serabutan, buruh tani, tukang pelihara ternak), rendahnya pendapatan (rata -rata Rp. 5.000 per hari), rasio beban tanggungan yang besar (rata-rata 4 orang), dan yang tidak kalah pentingnya adalah tidak seimbangnya kepemilikan lahan oleh warga komunitas yang sebagian besar bekerja sebagai petani. Akhirnya mereka hanya bisa menjadi petani kecil yang sangat rentan terhadap perubahan harga, buruh serabutan atau buruh bangunan, peternak (tukang pelihara ternak), dan sebagai buruh tani yang selalu tergantung pada pemilik lahan. Pekerjaan marjinal dengan penghasilan tidak menentu ini menyebabkan rendahnya penghasilan untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Dengan pendapatan yang terbatas ini menyebabkan pemenuhan kebutuhan kesehatan, gizi dan pendidikan anak-anaknya menjadi terbatas juga. Hal inilah menyababkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia (SDM)-nya, sehingga mereka kesulitan untuk memperoleh lapangan pekerjaan bahkan menjadi penggangguran. Dengan kondisi ini mereka sulit sekali keluar dari tali te mali kemiskinan yang menjerat mereka ini, sehingga kondisi kemiskinan ini terus berlangsung secara turun temurun. Dengan rendahnya kualitas SDM ini menyebabkan juga mereka tidak mampu mengakses basis kekuatan sosial, yang tidak terbatas pada modal produktif atau aset (tanah, perumahan, peralatan dan kesehatan, dan lain-lain), tetapi juga meliputi sumber-sumber keuangan (penghasilan dan kredit), jaringan sosial
untuk
keterampilan
memperoleh yang
pekerjaan,
memadai,
serta
barang-barang, informasi
yang
pengetahuan bermanfaat
dan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya
52
oknum birokrat yang masih menganggap warga miskin tidak berdaya sehingga sering dijadikan sebagai obyek pembangunan yang harus digarap, daripada memberdayakan mereka agar mampu mengatasi permasalahannya sendiri. Dengan kondisi demikian yang melingkupi komunitas di Desa Mambalan mengakibatkan mereka memiliki beberapa ketidakberuntungan, yaitu: 1. Kemiskinan Ditandai dengan ketiadaan aset untuk mencari naf kah seperti lahan atau ternak, ekonomi keluarga dijalankan dengan ekonomi gali lubang tutup lubang, serta pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai, sehingga keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu juga. 2. Fisik yang lemah Ditandai dengan fisik yang lemah dan sering sakit, sehingga produktivitas juga rendah atau adanya kematian yang mendadak dari orang dewasa dalam keluarga miskin yang menjadi pencari nafkah utama atau kepergian seorang bapak atau suami untuk mengadu nasib di tempat yang jauh dalam waktu yang lama sehingga keluarga miskin harus dikepalai oleh seorang wanita yang juga mengalami fisik yang lemah. 3. Kerentanan (vulnerability). Keluarga miskin ini tidak memiliki cadangan berupa uang atau makanan untuk menghadapi keadaan darurat seperti kegagalan panen, kerugian berjualan, jatuh sakit atau bayar sekolah anak sehingga akan menjual barang apa saja yang mereka miliki, bahkan utang kepada tetangga atau rentenir. 4. Keterisolasian (isolation). Keluarga miskin tidak memiliki akses terhadap sumber informasi, misalnya pada saat diadakan pertemuan hanya kelompok elit desa yang hadir sehingga mereka lemah terhadap akses program pemerintah dan pelayanan publik.
53
5. Ketidakberdayaan (powerlessness). Orang miskin tidak berdaya menghadapi rentenir atau orang-orang lain yang sering mengeksploitasi mereka, termasuk juga oknum birokrat yang menganggap mereka tidak berdaya dan dijadikan sebagai obyek pembangunan yang perlu digarap, yang kurang memperhatikan perencanaan ya ng mereka inginkan. Untuk lebih ringkasnya mengenai ikhtisar Peta Sosial Desa Mambalan ini dapat dilihat pada Tabel berikut ini. Tabel 5 Ikhtisar Peta Sosial Desa Mambalan No.
Peta Sosial
Kondisi
1
2
3
1.
Gambaran Umum
Merupakan masyarakat pertanian, dengan pemilikan lahan yang tidak seimbang, sehingga banyak yang bekerja sebagai buruh serabutan selain sebagai buruh tani. Dengan pekerjaan seperti ini mereka sangat sulit untuk keluar dari kemiskinannya.
2.
Masalah Sosial
Kemiskinan merupakan masalah utama yang dirasakan. Akibat dari kondisi kemiskinan ini muncul masalah sosial seperti anak putus sekolah, pengangguran, anak terlantar, jompo terlantar serta tingkat kesehatan dan gizi yang rendah. Mereka ini membutuhkan perhatian dari keluarganya, padahal keluarganya sendiri tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka dengan semestinya.
54
1
2
3
3.
Kependudukan
Penduduk usia produktif banyak menganggur, padahal rasio beban tanggungan besar (1 : 4). Hal ini mengakibatkan terbatasnya pemenuhan kebutuhan anggota keluarga, yang menyebabkan gizi rendah dan anak putus sekolah sehingga menghasilkan kualitas SDM yang rendah. Kualitas SDM yang rendah akan mengakibatkan keterbatasan dalam mengakses program dan pelayanan publik yang ada.
4.
Sistem Ekonomi
Mata pencaharian: petani, buruh tani, buruh serabutan, pedagang, dan peternak (tukang pelihara ternak). Hal ini tentu membuktikan bahwa komunitas Desa Mambalan merupakan komunitas miskin dengan ciri-ciri pekerjaan tidak menentu dan upah yang rendah. Dengan demikian sulit untuk bisa keluar dari kemiskinan dengan pekerjaan seperti ini. Jika mereka memperoleh upah dari pekerjaannya maka akan digunakan untuk bayar hutang di warung selama menganggur ataupun bayar hutang kepada pemilik sawah atau pemilik ternak, baru sisanya untuk makan. Sehingga sulit sekali bisa menyisihkan untuk biaya pendidikan anak dan kesehatan keluarga.
5.
Struktur Komunitas
Sistem pelapisan sosial yang ada di Desa Mambalan masih tertutup. Artinya seseorang berada pada suatu lapisan karena jabatan dan harta yang dimiliki. Dengan demikian orang miskin akan semakin miskin begitu pula sebaliknya, karena penguasaan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi telah dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat saja.
55
1
2
3
6.
Kelembagaan dan Organisasi Sosial
Kiprah lembaga -lembaga formal yang ada seperti BPD dan LPM belum bisa memenuhi aspirasi komunitas miskin. Lembaga-lembaga ini cenderung menjadi mitra kerja yang selalu mendukung setiap kebijakan pemerintah desa. Meskipun demikian di tengah-tengah komunitas telah ada bentuk kelembagaan-kelembagaan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian dan krama gubug (untuk perkawinan). Lembaga swadaya yang telah ada ini diharapkan dapat dimobilisir untuk mengatasi kemiskinan di Desa Mambalan.
7.
Sumberdaya Lokal
Penguasaan lahan pertanian, sebagian besar dimiliki oleh orang kaya dari luar desa 50%, kemudian oleh bangsawan 30% dan masyarakat biasa 20%. Hal ini tentu saja berpengaruh bagi pemerataan penghasilan karena masyarakat yang sebagian besar sebagai petani ternyata hanya memiliki lahan yang sempit, dan sebagian lagi bekerja sebagai buruh tani mengelola sawah-sawah orang lain. Dengan pekerjaan seperti ini mereka sangat sulit keluar dari lingkaran kemiskinan yang menjeratnya selama ini.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemiskinan di Desa Mambalan bersifat struktural, artinya kemiskinan ini ada sejak dulu dan warga miskin sudah tidak memiliki daya untuk keluar dari kondisi ini meskipun mereka telah berupaya dengan berbagai cara seperti bekerja dari pagi hingga petang sebagai buruh tani, buruh panen, buruh material, dan melakukan pekerjaaan-pekerjaan serabutan lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur sosial dan birokrasi yang ada menyulitkan mereka untuk keluar dari kondisi kemiskinan ini.
V.
5.1.
EVALUASI PENGEMBANGAN KOMUNITAS
Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD)
5.1.1. Deskripsi Program Berbagai tuntutan perubahan, baik dalam kaitannya dengan krisis ekonomi maupun dengan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, akan dapat dilaksanakan jika masyarakat dan pemerintah daerah memiliki kemampuan teknis, manajemen maupun keuangan yang memadai dalam kegiatan pembangunan. Untuk itu Pemerintah Indonesia telah mendapat pinjaman dan hibah dari ADB (Asian Develompment Bank) untuk mendukung program pengentasan kemiskinan melalui Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Daerah (P2MPD). Untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan, monitoring
dan
evaluasi,
disediakan
tenaga
Fasilitator
yang
berfungsi
memfasilitasi LKMD atau nama lain dan masyarakat desa dalam mengelola dan melaksanakan proyek di desa-desa peserta dan memberi dukungan manajemen dan teknis sejak tahap persiapan, perencanaan, pelaksanaan, hingga tahap monitoring dan evaluasi. Secara umum, Program P2MPD ini bertujuan untuk: a. Mengembangkan dan memperkokoh proses pelaksanaan desentralisasi melalui pentahapan yang digunakan di dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, serta operasional dan pemeliharaan proyek. b. Membantu mempercepat proses pemulihan dampak krisis melalui penyediaan hibah langsung ke desa-desa untuk membiayai pembangunan prasarana. Keduanya dilakukan melalui pendekatan pelaksanaan pembangunan daerah dengan meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan peran serta masyarakat pada semua tahap pembangunan (pemilihan, perumusan, dan pelaksanaan pembangunan).
57
Sedangkan secara khusus Program P2MPD ini memiliki tujuan sebagai berikut: a. Menurunkan tingkat kemiskinan melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap layanan umum dasar dan memulihkan kegiatan ekonomi. b. Mendukung usaha-usaha desentralisasi pemerintah melalui peningkatan prosedur-prosedur transparansi, ketatanegaraan, pengawasan, akuntansi, dan pelaporan pada tingkat kabupaten/kota. c. Memberdayakan masyarakat desa/kelurahan dan kabupaten/kota untuk berperan aktif dalam pembangunan daerah. Ruang lingkup pekerjaan yang didanai terdiri atas dua tipe pekerjaan, yaitu Proyek Tipe A dan Tipe B. Tipe A: pembangunan, peningkatan dan/atau perbaikan prasarana umum pada tingkat desa yang diusulkan, direncanakan, diputuskan, dan dikerjakan sendiri oleh masyarakat dengan alokasi dana Rp. 15 juta sampai dengan Rp. 75 juta per desa. Dana maksimum untuk setiap kontrak dengan masyarakat maksimum sebesar Rp. 37,5 juta. Untuk setiap kecamatan dapat dialokasikan dana maksimum sebesar Rp. 750 juta per kecamatan per tahun. Proyek Tipe A merupakan pekerjaan prasarana skala kecil yang terdiri atas: a. Sarana air bersih dan perawatannya. b. Jaringan irigasi sederhana c. Jalan dan jembatan lokal d. Sarana Pengelolaan Sampah e. Drainase f. Pasar g. Bangunan sekolah h. Sanitasi Lingkungan (contoh: MCK). i.
Fasilitas transportasi air, seperti tambatan perahu, bukan perahu atau kapal. Tipe B: pembangunan, perbaikan dan/atau perluasan pekerjaan prasarana
umum yang sama dengan Tipe A, teta pi dengan skala yang lebih besar di tingkat
58
kabupaten/kota dengan alokasi dana maksimuam Rp. 3,75 milyar untuk setiap subproyek. Proyek Tipe B diusulkan oleh masyarakat atau dinas teknis dengan tetap memperhatikan saran-saran dari masyarakat. Tipe B dikerjakan oleh kontraktor dengan sedapat mungkin melibatkan masyarakat setempat melalui pola kerjasama operasional (KSO). Nilai kontrak tunggal maksimum Rp. 375 juta, dan proyek yang bernilai lebih dari Rp. 1,5 milyar harus disertai analisis kelayakan ekonomi untuk memastikan bahwa investasi tersebut berkelanjutan. Tipe A dapat dikerjakan di kota, asalkan pelaksanaannya dilakukan oleh masyarakat dan lokasinya berada di dalam batas -batas administratif kota (Buku Panduan P2MPD Tahun 2002: I.1-4). Untuk Program P2M PD yang dilaksanakan di Desa Mambalan termasuk dalam Proyek Tipe A, dengan jenis pekerjaan pasarana kecil yeng terdiri dari pembuatan drainase, pembuatan jalan lokal (paving Block), dan pembuatan MCK. Misi pemberdayaan masyarakat yang dibawa P2MPD untuk menjadikan warga desa sasaran Program P2MPD, yaitu orang-orang miskin, perempuan, dan pemuda putus sekolah sebagai komponen utama di dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, sangat tergantung pada dukungan kepala dan aparat desa, para tokoh dan elit desa, dan organisasi masyarakat desa lainnya. Mengedepankan orang miskin, perempuan dan pemuda putus sekolah di dalam forum pengambilan keputusan di sebagain besar desa-desa di tanah air bukanlah hal yang mudah. Kita agaknya sudah terbiasa mengesampingkan orangorang miskin. Kita terlalu mudah mengatakan bahwa orang-orang miskin dan tak berpendidikan tidak mampu mengemukakan pendapat, mereka enggan turut serta dalam musyawarah desa, mereka telah menyerahkan urusan-urusan desa kepada orang ya ng lebih pintar. Dalam pengelolaan P2MPD, orang-orang miskin, perempuan dan para pemuda putus sekolah itulah yang akan menjadi aktor atau pelaku, sejak dari tahap perencanaan hingga tahap pemeliharaan hasil pembangunan. Merekalah yang menjadi kelompok inti yang akan mengikuti Lokakarya perencanaan, pemantauan dan evaluasi partisipatif Program P2MPD. Merekalah yang akan menjadi inti dari Tim Pelaksana kegiatan pembangunan di lapangan, menjadi inti
59
dari Tim Monitoring dan Evaluasi pelaksanaan pembangunan, me njadi inti dari Tim Operasi dan Pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Dalam Program P2MPD diminta dengan sangat agar para aparat desa/kelurahan menempatkan diri mereka sebagai pendukung dan pemberi legitimasi terhadap kegiatan yang dilaksanakan oleh kelompok sasaran P2MPD, yaitu orang-orang miskin, perempuan, dan para pemuda putus sekolah. Selain itu juga diminta dengan sangat dan hormat agar para tokoh masyarakat mau menempatkan diri sebagai pendorong agar orang-orang miskin, perempuan, dan para pemuda putus sekolah mau mengungkapkan pendapat mereka, mau menuangkan ide-ide mereka, mau berperan tidak hanya sebagai pekerja fisik tetapi juga sebagai pengambil keputusan dalam menentukan jenis pembangunan yang dikerjakan dalam Program P2MPD. Namun dalam kenyataannya pelaksanaan panduan yang telah ada ini tidak mudah. Hal ini disebabkan karena banyaknya pihak-pihak yang terlibat mulai dari tahap persiapan sampai dengan tahap pemeliharaan. Dengan demikian banyak juga kepentingan yang masuk, sehingga sulit untuk mengakomodir berbagai kepentingan yang ada ini. Oleh karena itu meskipun dalam tahap persiapan diadakan Lokakarya Desa untuk menetapkan kebutuhan prasarana apa yang akan dikerjakan di lokasi masing-masing dusun yang menjadi sasaran Program P2MPD di Desa Mambalan, namun lokakarya ini hanya dihadiri oleh tokoh masyarakat dan kepala dusun saja. Sedangkan yang menjadi sasaran inti, yaitu orang-orang miskin, perempuan, dan para pemuda putus sekolah tidak ikut terlibat. Hal ini disebabkan oleh masih adanya keenggana n kelompok sasaran inti ini untuk menyuarakan pendapatnya karena mereka menganggap hal itu menjadi urusan tokoh masyarakat dan pemerintah desa. Demikian juga sebaliknya tokoh masyarakat dan pemerintah desa menganggap mereka tidak memiliki pendapat, usulan dan saran karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman mereka. Selain itu kelompok sasaran inti ini juga memang merasa tidak
bisa
berbicara di depan orang banyak. Alasannya karena hal itu tidak pernah dilakukan di kantor desa sebelumnya dan mereka memba yangkan bagaimana nanti jika
60
pendapatnya tidak diterima, mereka akan merasa malu. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Srph: “Memang kami diundang untuk hadir di kantor desa untuk membicarakan jenis prasarana yang akan dibangun di dusun kami, namun saya tidak hadir karena saya sibuk ke sawah dan saya menganggap musyawarah seperti itu menjadi tanggung jawab tokoh masyarakat dan kepala desa untuk menghadirinya. Lagi pula saya malu berbicara di depan orang banyak di kantor desa, saya tidak terbiasa, apalagi kalau pendapat saya tidak diterima, saya jadi malu.” Namun dalam tahap pelaksanaan pekerjaan memang semua kelompok sasaran inti ini dilibatkan dan ikut terlibat karena mereka mengharapkan adanya upah yang diberikan bagi setiap orang yang ikut bekerja. Bahkan para lanjut usia yang ikut bekerja juga diberikan upah meskipun ia bekerja semampunya saja. Hal ini sesuai dengan informasi yang diperoleh dari Bapak Saharuji seorang anggota LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Mambalan yang me ngatakan bahwa bukan hanya orang-orang miskin, perempuan, dan para pemuda putus sekolah saja yang ikut bekerja tapi warga masyarakat yang lain juga ikut bekerja seperti warga lanjut usia yang masih sehat, dengan kemauan sendiri ikut bekerja semampunya kare na mengharapkan upah bekerja.
5.1.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Untuk melihat keterkaitan pelaksaanaan P2MPD dengan pengembangan ekonomi lokal di Desa Mambalan dapat diketahui dari informasi yang diperoleh dari Ir. Lalu Rasman, MT selaku Pimpro P2MPD yang menyatakan bahwa keterkaitan Program P2MPD dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat adalah melalui perolehan pendapatan masyarakat saat ikut bekerja membangun parasarana umum di lingkungannya. Pendapatan ini bisa digunakan untuk tambahan modal usaha atau makan. Se lain itu dengan adanya program ini, upah yang diperoleh masyarakat digunakan untuk berbelanja di warung-warung sekitarnya, sehingga menambah perputaran uang di lingkungannya. Namun manfaatnya tidak dapat dirasakan sampai sejauh itu oleh sasaran program karena semua warga ikut terlibat karena mengharapkan upah sehingga upah yang diperoleh masing-masing orang sangat kecil dan tidak bisa untuk menambah
61
modal usaha, melainkan hanya dapat dipakai untuk beli makan dan rokok pada hari itu saja. Untuk warung disekitarnya memang ada penambahan omset tapi hanya pada hari-hari pelaksanaan pengerjaan fisik sarana lingkungan itu saja, setelah itu kembali seperti biasa. Pembangunan prasarana umum seperti drainase, jalan kampung dan MCK di Desa Mambalan melalui Program P2MPD sebenarnya diharapkan berdampak terhadap UKM dan sektor informal dalam bentuk kemudahan terhadap akses ekonomi dan produksi, namun manfaatnya sekarang belum sampai sejauh itu. Hal ini disebabkan karena kegiatan ekonomi dan produksi masyarakat setempat saja belum jelas yang diandalkan, jadi belum ada yang akan diproduksi atau akan dipasarkan. Jadi prasarana umum yang telah dibangun hanya bisa dimanfaatkan oleh warga yang sudah memiliki usaha yang sudah berjalan sejak dulu dan mapan. Meskipun demikian, dalam tahap pelaksaannya, program ini selalu memanfaatkan potensi ekonomi lokal berupa tenaga kerja lokal dan sumber daya alam seperti pasir dan batu kali. Sementara itu mengenai keterkaitan program ini dengan pasar yang lebih luas masih belum tampak. Hal ini disebabkaan karena Program P2MPD yang berupa pembangunan prasarana umum ini belum bisa melengkapi kebutuhan masyarakat akan perlunya pinjaman dana bantuan stimulan untuk menambah modal usaha mereka. Jika prasarana umum di lingkungannya sudah terpenuhi namun kegiataan ekonomi mereka tidak dikembangkan maka pemanfaatan prasarana yang telah dibangun itu menjadi tidak efektif. Saran untuk perbaikan aspek ekonomi dari program ini adalah bahwa lembaga desa semestinya dapat diberdayakan untuk memfasilitasi dan me njamin kredit perbankan bagi UKM dan sektor informal agar prasarana fisik pendukung yang dibangun dapat bermanfaat seiring dengan perkembangan usaha UKM dan sektor informal.
62
5.1.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan Program P2MPD mengorganisasikan masyarakat melalui kegiatan gotong royong dalam pembangunan prasarana umum. Selain itu ada juga warga yang menyumbang bahan, tanaman, bahkan lahan. Semua kegiatan ini tentu saja didahului oleh kegiatan musyawarah untuk mecapai kata mufakat tentang hal-hal yang akan dilakukan dan untuk meminta persetujuan warga yang tanaman atau lahannya
terkena
kegiatan
pembangunan
prasarana
umum.
Kegiatan
pengorganisasian warga ini terlihat dalam setiap tahap Program P2MPD mulai dari tahap perencanaan (Lokakarya Desa), pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, sampai pada tahap pemeliharaan. Pengorganisasian ini memanfaatkan modal sosial berupa kebiasaan warga untuk bermusyawarah dalam menetapkan keputusan mengenai jenis prasara umum yang akan dibangun. Hal ini terlihat dari dilibatkannya tokoh masyarakat dan kepala dusun dalam Lokakarya Desa untuk merumuskan kebutuhan parasana umum yang akan dibangun di masing-masing dusun yang menjadi lokasi Program P2MPD di Desa Mambalan. Selain itu juga sifat gotong royong masyarakat juga diperkuat lagi dengan adanya program ini. Pada tahap pelaksanaan pekerjaan setiap warga memiliki kesempatan untuk ikut bekerja membangun prasarana umum di lingkungannya. Namun kesempatan ini hanya bisa dimanfaatkan oleh warga yang sehat dan memiliki waktu, sementara warga yang miskin sibuk mencari nafkah dan fisiknya lemah, sehingga tidak dapat terlibat dan memperoleh upah dalam kegiatan padat karya ini. Saran untuk perbaikan program dari sisi pengembangan modal sosial dan kelembagaan adalah perlunya pengoptimalan peran tokoh masyarakat dan kepala dusun dalam membantu mengorganisir masyarakat dalam setiap kegiatan pembangunan. Selain itu juga perlu penetapan tujuan yang jelas dan terukur, rencana kegiatan serta pembagian tugas untuk tiap-tiap kelompok masyarakat melalui peran-peran yang jelas dan mampu dilaksanakan. Selain itu perlunya penciptaan jaringan kerja dalam pembangunan prasarana umum maupun pengembangan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dengan dinas instansi lain yang terkait dan LSM.
63
5.1.4. Kebijakan dan Perencana an Sosial Proses penyusunan kebijakan dalam buku pedoman pelaksanaan program ini sudah cukup baik karena melibatkan masyarakat baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, serta pemeliharaan. Namun sayangnya pada saat lokakarya desa untuk merencanakan prasarana umum yang akan dibangun warga miskin sebagai sasaran tidak dihadirkan, malahan yang diundang hanya tokoh masyarakat dan kepala dusun. Dengan demikian prasarana umum yang dibangun pada akhirnya mewakili kepentingan para elit desa yang hadir tersebut. Saran untuk memperbaiki proses ini adalah semestinya lokakarya desa untuk merencanakan prasarana umum yang akan dibangun ini harus benar-benar bisa menghadirkan warga miskin yang menjadi sasaran program.
5.2.
Program Kesejahteraan Sos ial Melalui KUBE (Prokesos KUBE)
5.2.1. Deskripsi Program Pada tahun 1997, dalam kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dikenal istilah “Prokesos” atau Program Kesejahteraan Sosial. Prokesos merupakan komitmen kebijakan pemerintah dalam Memantapkan Program Menghapuskan Kemiskinan (MPMK). Program ini dilaksanakan oleh Departemen Sosial melalui institusi Departemen Sosial yang ada di propinsi dan kabupaten. Dana yang digunakan berasal dari anggaran APBN dan bantuan Instansi BUMN. Sifat dari Prokesos lebih berupa bantuan, sehingga dana program tersebut melekat pada anggaran institusi Departemen Sosial dari pusat, propinsi dan kabupaten. Untuk
menjabarkan
Prokesos,
Departemen
Sosial
menggunakan
pendekatan “KUBE” (Kelompok Usaha Bersama). Dengan pendekatan tersebut diharapkan tidak saja berkurangnya jumlah angka keluarga miskin, tetapi juga melahirkan usaha -usaha ekonomis produkrif dari pelaku yang selama ini kurang beruntung dan termarjinalkan dalam pembangunan nasional. Pelaku usaha ekonomis produktif tersebut digerakkan melalui kelompok berdasarkan semangat kebersamaan dan keinginan untuk berubah.
64
Prokesos dengan pendekatan KUBE (Prokesos KUBE) ditetapkan sebagai strategi terintegrasi dari keseluruhan proses Prokesos dalam rangka MPMK. Pendekatan ini diharapkan da pat mempercepat pengurangan angka kemiskinan, yang ditandai dengan indikator: (1) peningkatan kemampuan usaha bersama; (2) peningkatan pendapatan; (3) pengembangan usaha; (4) Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan KUBE dan masyarakat sekitar (Soeweno,1998). Hal menarik dari program ini adalah diletakkannya konsep “pemberdayaan, kemitraan dan partisipasi” sebagai prinsip dasar dalam kebijakan yang diambil. Konsepsi prinsip tersebut merupakan istilah yang kental dengan nuansa “altruisme” terhadap penerima manfaat (beneficieries). Secara umum tujuan Prokesos KUBE diarahkan pada meningkatnya taraf kesejahteraan sosial, yakni: (1) kemampuan memenuhi kebutuhan dasar; (2) meningkatnya dinamika sosial dan; (3) meningkatnya kemampuan dan keterampilan memecahkan masalah. Sasaran program diarahkan pada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang hidup dibawah garis kemiskinan, dengan rincian sebagi berikut: keluarga fakir miskin, masyarakat terasing, penyandang cacat, lanjut usia terlantar, anak terlantar, wanita rawan sosial ekonomi, keluarga muda mandiri, remaja dan pemuda, dan keluarga miskin di daerah kumuh (Soeweno, 1998). Kelompok sasaran yang akan menerima bantuan Prokesos KUBE pertamatama didata dan diinventarisir melalui desa/kelurahan kemudian dilanjutkan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Data mengenai desa/kelurahan dan kecamatan miskin diperoleh dari Bapenas, sehingga dalam pelaksanaan program Departemen Sosial tinggal melakukan pengiriman bantuan program melaui institusi Departemen Sosial di tingkat propinsi dan kabupaten. Desa Mambalan pada tahun anggaran 1999/2000 menerima Program Prokesos melalui KUBE
dalam bentuk bantuan usaha bersama ternak sapi.
Pengembangan ternak sapi tersebut dikelola secara kelompok masing-masing 5 ekor untuk 1 KUBE, dengan anggota 10 orang. Seiring dengan berjalannya waktu, Prokesos dengan pendekatan KUBE ini mengalami kegagalan, apalagi untuk bisa digulirkan. Hal ini ditandai dengan habisnya bantuan sapi yang diberikan
65
pemerintah untuk dikelola secara kelompok tadi. Kegagalan ini menurut pendapat Drs. Lalu Kusumanatha selaku Kepala Seksi BKS FM Dinas Sosial Kabupaten Lombok Barat, disebabkan karena: (1) kurangnya kesiapan mental sasaran program untuk mengelola bantuan; (2) Tidak adanya sangsi yang tegas dalam Surat Perjanjian mengenai penyalahgunaan bantuan; (3) adanya kecenderungan untuk menseragamkan jenis bantuan kepada KUBE yang berbeda untuk memudahkan pengadministrasian proyek; (3) kurangnya pendampingan dan bimbingan lanjut.
5.2.2. Pengembangan Ekonomi Lokal Program ini berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi masyarakat berupa peningkatan pendapatan masyarakat dengan pengelolaan bantuan yang diberikan melalui KUBE. Pendapatan ini bisa disisihkan untuk pengembangan usaha, pengguliran, dan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS). Dampaknya terhadap UKM dan sektor informal adalah dengan adanya bantuan tersebut masyarakat dapat mengembangkan usahanya dan meningkatkan pendapatannya yang selama ini hanya untuk makan karena keterbatasan bahan dan alat. Namun bantuan yang diberikan butuh waktu 9 bulan baru bisa menghasilkan. Selama menunggu hasil mereka sudah banyak berhutang, sehingga ketika tiba saatnya bagi hasil mereka memperoleh bagian sangat kecil karena dipakai untuk bayar hutang. Potensi ekonomi lokal yang dimanfaatkan dalam program ini berupa keterampilan lokal yang ada selama ini dalam hal beternak dan sumber daya alam seperti lahan menggembala, rumput dan dedaunan lainnya. Keterkaitan program ini dengan pasar yang lebih luas sudah tampak melalui penjualan hasil penggemukan ternak ke pasar yang berada di luar kecamatan/kabupaten. Saran untuk perbaikan aspek ekonomi dari program ini adalah semestinya selain bantuan ternak sapi ada bantuan pendukung lainnya yang lebih cepat menghasilkan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
66
5.2.3. Pengembangan Modal Sosial dan Kelembagaan Kegiatan ini mengorganisasikan masyarakat melalui kegiatan pengelolaan bantuan secara berkelompok, yang diwujudkan dalam pembagian tugas mencari rumput, menggembala dan menjaga ternak di malam hari. Pengorganisasian ini memanfaatkan modal sosial berupa kebiasaan warga untuk bermusyawarah dalam menetapkan jenis bantuan serta pembagian tugas dan kewajiban masing-masing anggota KUBE terhadap barang bantuan. Selain itu juga sifat gotong royong masyarakat juga diperkuat lagi dengan adanya program ini melalui tolong-menolong jika ada anggota kelompok yang mengalami musibah atau kesulitan. Namun jika yang miskin mengalami kesulitan jarang ada yang tahu karena mereka malu mengungkapkannya dan mereka tidak tampak dalam kehidupan sehari-hari komunitas. Saran untuk perbaikan program dari sisi pengembangan modal sosial dan kelembagaan adalah perlunya pengoptomalan peran tokoh masyarakat dalam mendampingi usaha anggota KUBE, serta perlunya penetapan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan oleh KUBE. Selain itu perlunya penciptaan jaringan kerja baik dalam hal pemasaran maupun dalam jaringan kerja dengan dinas instansi terkait dan LSM dalam rangka keberlajutan program.
5.2.4. Kebijakan dan Perencanaan Sosial Proses penyusunan kebija kan dalam program ini belum cukup baik karena hanya melibatkan masyarakat pada tahap penetapan jenis bantuan bahan atau alat dan pelaksanaan saja. Namun prosedur pengadaan dan pengelolaan bantuan sudah ditetapkan oleh pelaksana program. Dalam pengadaan dengan sistem penunjukan langsung ataupun tender, maka rekanan (pihak ketiga) yang memang sudah kaya yang sering diuntungkan. Saran untuk memperbaiki proses ini adalah semestinya cara pengadaan dan pengelolaan bantuannya tidak ditentukan terlebih dahulu oleh pemerintah, biarkan masyarakat yang menentukan cara pengadaan dan pengelolaan bantuan yang ada dengan cara-cara yang mereka inginkan dan kuasai.
67
5.3. Konflik Sosial Dalam Masyarakat Kasus konflik antar warga merupakan peristiwa yang terjadi ketika segala prasa ngka buruk antara masing-masing kelompok diwujudkan dalam pola perilaku yang agresif, kadangkala prasangka itu muncul karena kesalahpahaman antara pihak-pihak yang bertentangan. Pihak-pihak yang terlibat konflik seringkali membawa berbagai simbol-simbol sosial, kelas-kelas sosial, dan nilai-nilai yang dianut komunitasnya, padahal hal tersebut tidak selalu memiliki korelasi dengan alasan timbulnya konflik. Namun pada umumnya konflik yang terjadi di desa karena adanya ketidak-adilan yang diterima oleh suatu kelompok masyarakat. Pengrusakan kantor desa oleh warga, merupakan contoh akibat konflik antara warga dengan pemerintah desa yang banyak kita lihat dalam pemberitaan di media massa. Konflik sosial yang ada di Desa Mambalan sebagai akibat dari pelaksanaan Prokesos melalui KUBE tidak nampak (bersifat laten) antara pemerintah desa dengan warga miskin dan kelompok marjinal. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Bapak Md (Tokoh Masyarakat/PSM) sebagai berikut: “Kasus-kasus konflik yang terjadi ketika turunnya bantuan sebenarnya tidak ada yang langsung berupa konflik terbuka yang terlihat, namun hanya berupa protes saja kepada pemerintah desa oleh sebagian warga yang tidak memperoleh bantuan, yang menanyakan kenapa mereka tidak termasuk sasaran. Sebagian dari mereka ini ada yang mempengaruhi penerima bantuan agar menghabiskan saja bantuan yang ada karena menurut mereka bantuan itu dari pemerintah untuk rakyat.” Mengenai Konflik yang terjadi di Desa Mambalan, lebih jauh lagi Bapak Drs. Lalu Kusumanatha mengatakan bahwa konflik yang terjadi saat pemberian bantuan muncul karena oknum kepala desa cenderung mengarahkan bantuannya ke lokasi dusun yang menjadi basis pendukungnya, sehingga warga dusun yang lain menjadi cemburu. Dalam menganalisis konflik sosial yang ada di Desa Mambalan digunakan alat bantu konflik berupa: a. Analogi Bawang Bombay b. Analogi Pilar
68
Berikut ini merupakan penjelasan mengenai penggunaan tiga alat bantu ini untuk menganalisa konflik yang terjadi di Desa Mambalan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan Prokesos melaui KUBE: a. Analogi Bawang Bombay Alat bantu ini digunakan untuk memahami sikap antara aparat desa dan kelompok marjinal dalam menilai bantuan Prokesos melalui KUBE. Kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang berkonflik dapat diketahui dengan menggunakan alat bantu ” Analogi Bawang Bombay”. Alat ini dibuat dengan analogi sebuah bawang bombay dan lapisan-lapisannya. Lapisan terluar merupakan posisi-posisi kita didepan umum yang dapat dilihat dan didengar oleh semua orang. Lapisan pokok kedua adalah kepentingan yang ingin dicapai dalam situasi tertentu. Lapisan terakhir yang merupakan inti adalah kebutuhan-kebutuhan terpenting yang perlu dipenuhi. Berdasarkan analogi bawang bombay diperoleh gambaran posisi, kepentingan dan kebutuhan dari pihak-pihak yang berkonflik di Desa Mambalan, seperti pada gambar dibawah ini:
69
Analisa bawang Bombay digunakan dengan tujuan untuk bergerak berdasarkan posisi masing-masing pihak dan memahami berbagai kepentingan serta kebutuhan masing-masing pihak, untuk mencari titik kesamaan diantara kelompok-kelompok sehingga dapat menjadi dasar bagi pembahasan selanjutnya. Berdasarkan alat bantu tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi perbedaan kebutuhan, kepentingan, dan posisi kedua kelompok, dan masingmasing kelompok memiliki alasan yang rasional untuk memperjuangkan kepentingannya tersebut. Pengelolaan konflik diarahkan untuk bisa menselaraskan masing-masing kepentingan agar tidak merugikan fihak lain. Menghilangkan seluruh perbedaan tidak mungkin dilaksanakan, te tapi mengurangi dampak buruknya perbedaan itu bisa dilakukan apabila ada niat baik dari kedua belah pihak.
b. Analogi Pilar Alat bantu ini digunakan untuk memahami bagaimana berbagai struktur yang mengakibatkan konflik sosial ditopang, baik dari pihak aparat desa maupun dari pihak kelompok marjinal. Tujuan alat bantu ini adalah untuk mengidentifikasi faktor -faktor yang mengakibatkan situasi yang tidak diinginkan tetap bertahan, untuk kemudian dikelola dan bila memungkinkan dihilangkan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar berikut ini:
70
Berdasarkan analogi pilar diperoleh gambaran mengenai
faktor-faktor
yang mendukung aparat desa mempertahankan situasi yang tidak diinginkan oleh kelompok marjinal tersebut. Hal ini disebabkan oleh: komunikasi yang kurang baik dalam mensosialisasikan bantuan, kriteria penerima bantuan yang tidak jelas, adanya kepentingan tersembunyi, serta adanya kekawatiran terhadap masyarakat miskin dan kelompok marjinal tidak mampu menggulirkan bantuan. Sedangkan masyarakat miskin dan kelompok marjinal berada dalam posisi yang sama, dikarenakan: adanya prasangka terhadap pengelola atau aparat desa dalam memberikan bantuan, lebih mementingkan kerabatnya atau kelompoknya, adanya ketidakadilan dalam memberikan bantuan, serta kurangnya koordinasi yang baik dengan kelompok penerima bantuan terlebih lagi dengan bukan penerima bantuan.
5.4.
Ikhtisar Berdasarkan hasil evaluasi program pengembangan masyarakat yang
dilaksakan di Desa Mambalan yang meliputi Program P2MPD dan Prokesos KUBE, diperoleh gambaran tentang upaya -upaya untuk memunculkan patisipasi
71
komunitas dalam pelaksanaan program-program tersebut. Pada dasarnya kedua program tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu pengembangan masyarakat melalui partisipasi aktif pada program. Pada tahap pelaksanaan pembangunan prasarana umum dalam Program P2MPD, banyak warga masyarakat yang ikut bekerja. Namun hal ini juga perlu dikaji lebih jauh lagi apakah mereka keluar bekerja karena memang merasa perlu ikut bekerja karena mereka merasa membutuhkan prasarana yang akan dibangun ataukah mereka keluar bekerja karena mengharapkan adanya upah? Pada dasarnya kegiatan pengembangan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya dengan memanf aatkan kelembagaan dan sumberdaya lokal yang ada. Oleh karena itu perlu diwaspadai jangan sampai program pengembangan masyarakat yang diadakan malah merusak kelembagaan yang mengatur masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalahnya selama ini. Suatu program pengembangan masyarakat hendaknya tidak menjadikan upah uang sebagai alat untuk menggerakkan masyarakat agar ikut berpartisipasi. Biarkan masyarakat yang menyadari sendiri bahwa kegiatan pengembangan masyarakat yang ada memang dibutuhkan oleh mereka sehingga mereka secara sukarela ikut berpartisipasi. Bantuan stimulan modal usaha berupa uang dapat diberikan dengan syarat jika warga masyarakat yang menjadi calon sasaran program sudah memiliki rintisan usaha dan memang membutuhkan tambahan modal untuk mengembangkan usahanya yang dikuatkan dengan keterangan dari tokoh masyarakat setempat. Saran untuk memperbaiki desain dan performa program P2MPD ini adalah semestinya pelaksanaan pembangunan prasarana umum dalam Program P2MPD ini dirangkaikan pula dengan bantuan stimulan modal usaha bergulir bagi warga miskin. Dengan demikian proyek pembangunan prasarana seperti jalan kampung yang sudah dilaksanakan, dapat dimanfaatkan juga untuk mempermudah akses masyarakat miskin dalam hal pengangkutan bahan menta h untuk produksi dan mempermudah pengangkutan hasil produksi ke pasar. Bukannya malah hanya bisa dimanfaatkan oleh pengusaha kaya yang sudah memiliki usaha yang mapan.
72
Sedangkan Prokesos KUBE diarahkan untuk mempersiapkan anggota KUBE untuk mengelola usaha secara kelompok dan nantinya akan menjadi embrio koperasi. Program ini muncul untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi jumlah keluarga miskin. Namun dalam pelaksanaannya bantuan sapi yang diterima butuh waktu lama untuk menghasilkan, dan pengguliran bantuan hanya terjadi di sekitar keluarganya saja, tidak sampai pada keluarga miskin yang lain. Selain itu tidak semua anggota KUBE bersedia mengelola bantuan secara berkelompok melalui KUBE dan ada anggota KUBE yang keterampilannya tidak sesuai dengan bantuan yang diberikan kepada KUBE yang jenisnya seragam. Saran untuk memperbaiki desain dan performa program adalah bahwa penyelenggara program perlu memperhatikan keragaman usaha anggota KUBE, bantuan kepada suatu KUBE tidak mesti seragam. Selain itu perlu diperhatikan bahwa pengelolaan bantuan tidak hanya terbatas dalam kelompok, tapi yang terpenting adalah semangat tolong menolong, musyawarah atau kelembagaannya di tingkat dusun. Artinya yang terpenting dibangun adalah kesiapan mental anggota KUBE untuk bersedia saling tolong menolong, saling memberi nasihat bukan hanya dengan anggota kelompoknya saja tetapi lebih luas lagi dengan tetangga sekitarnya dalam lingkup wilayah dusun. Jadi kelembagaan sosial dan modal sosialnya yang perlu diperkuat dalam hal ini. Berdasarkan hasil pemetaaan sosial di Desa Mambalan perlu juga dipertimbangkan untuk mengganti jenis usaha yang hanya bertumpu pada sektor pertanian kepada jenis usaha yang bertumpu di luar pertanian seperti sektor produksi, perdagangan dan jasa. Hal ini diperlukan mengingat kepemilikan lahan sebagian besar dimiliki oleh orang luar dan bangsawan kaya setempat, sementara itu petani kecil dan buruh tani yang ada hanya memiliki lahan yang sangat terbatas. Dengan kepemilikan lahan yang tidak seimbang ini menyebabkan usaha di bidang pertanian oleh petani kecil dan buruh tani akan sulit berkembang. Bidang produksi, perdagangan dan jasa yang bisa dikembangkan di Desa mambalan adalah: produksi minyak kelapa asli(Virgin Coconut Oil atau VCO), produksi batu alam dan batu kali, produksi keripik pisang, produksi kerupuk, serta pemasok jasa buruh bangunan yang banyak terdapat di Desa Mambalan. Jadi
73
diharapkan program pengembangan masyarakat yang akan dilaksanakan di Desa Mambalan di masa mendatang dapat memanfaatkan potensi sumberdaya lokal ini. Tabel 6 Hasil Evaluasi Program Pengembangan Komunitas No.
Tinjauan Konseptual
P2MPD
Prokesos KUBE
1
2
3
4
1.
Pengembangan Ekonomi Lokal
Berupa peningkatan pendapatan dari upah padat karya membangun prasarana umum, dan uangnya dipakai berbelanja di warung setempat. Prasarana yang dibangun untuk mempermudah akses ekonomi. Namun prasarana yang ada hanya bisa dimanfaatkan oleh warga yang sudah memiliki usaha cukup mapan dan tergolong kaya, sedangkan kelompok miskin belum memiliki usaha.
Pengembangan usaha masyarakat melalui pengelolaan bantuan yang diberikan kepada KUBE, sehingga pendapatan juga meningkat. Namun hasilnya perlu waktu. Sementara memperoleh hasil mereka sudah banyak berhutang, sehingga ketika usaha KUBE memetik hasil mereka memperoleh sedikit setelah dipakai untuk bayar hutang.
2.
Pengembangan Modal dan Gerakan Sosial
Gotong royong dilakukan oleh warga karena mengharap ada upah, bukan karena kebutuhan bersama. Namun yang dapat keluar bekerja adalah warga yang masih punya waktu dan fisik yang sehat, sementara warga miskin yang sibuk mencari nafkah dan fisik yang lemah tidak dapat terlibat sehingga tidak memperoleh upah dalam kegiatan padat karya ini.
Ada Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS) untuk anggota dan warga sekitar yang kena musibah. Namun bila yang mengalami musibah atau kesulitan warga yang benar-benar miskin, tidak ada yang tahu karena mereka malu mengungkapkannya selain itu mereka tidak tampak dalam kehidupan di tengah-tengah komunitas.
74
1
2
3
4
4.
Kebijakan dan Perencanaan Sosial
Prasarana yang dibangun pada akhirnya hanya mewakili kepentingan elit desa yang hadir dalam lokakarya desa.
Jenis bantuan dan cara pengelolaannya sudah ditetapkan, padahal tidak semua anggota kelompok memiliki keinginan dan keterampilan yang sama.
5.
Partisipasi
Keikutsertaan pada tahap pelaksanaan saja karena mengharapkan upah kerja, bukan karena kebutuhan.
Keikutsertaan pada tahap pelaksanaan saja setelah bantuan diturunkan untuk dikembangkan, sehingga partisipasi yang ada bersifat semu.
6.
Kemandirian
Masih menganggap pemerintah yang memiliki kewajiban untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan prasarana umum untuk masyarakat.
Masih tergantung pada bantuan pemerintah karena tanpa bersusah payah dapat memperoleh program bantuan.
7.
Kekuatan
Keinginan dan semangat kuat warga untuk bisa merubah kondisi kehidupannya, dan masih tingginya hubungan kekerabatan serta nilainilai kebersamaan dalam komunitas.
Keinginan dan semangat kuat warga untuk bisa merubah kondisi kehidupannya, dan masih tingginya hubungan kekerabatan serta nilainilai kebersamaan dalam komunitas.
8.
Kelemahan
Struktur sosial dan birokrasi yang ada belum memungkinkan kelompok miskin untuk bisa berkembang. Otonomi hanya bergeser dari pemerinta h pusat kepada pemerintah daerah (termasuk desa), belum sampai kepada otonomi masyarakat untuk merencanakan dan mengelola pembangunan di desanya. Kalaupun ada hanya pada tahap pelaksanaan saja.
Struktur sosial dan birokrasi yang ada belum memungkinkan kelompok miskin untuk bisa berkembang. Otonomi hanya bergeser dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (termasuk desa), belum sampai kepada otonomi masyarakat untuk merencanakan dan mengelola pembangunan di desanya. Kalaupun ada hanya pada tahap pelaksanaan saja.
75
Konflik yang terjadi biasanya karena ada warga yang menerima bantuan dan ada yang tidak. Hal ini bisa terjadi karena sebab struktural, alasan politis, atau bisa juga karena kesalahan teknis pendataan. Untuk Desa Mambalan hal ini terjadi karena sebab struktural, yaitu warga yang dapat bantuan adalah warga yang dekat dengan tokoh elit desa atau warga yang suka melakukan protes meskipun mereka tidak terlalu miskin. Selain itu karena alasan politis seperti banyak program bantuan pemerintah diturunkan di dusun atau wilayah basis pendukung kepala desa, sehingga menimbulkan kecemburuan penduduk dusun yang lain. Hal inilah yang bisa memicu terjadinya konflik. Pada dasarnya secara prosedural berdasarkan buku pedomannya, pengelolaan kegiatan P2MPD dan Prokesos melalui KUBE dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal dan gerakan sosial, serta kebijakan
dan
perencanaan
sosial
sudah
cukup
baik.
Namun
dalam
pelaksanaannya di lapangan sangat sulit untuk menyesuaikannya dengan tujuan kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan karena pola -pola lama masih belum bisa ditinggalkan baik oleh pemerintah sebagai penyedia program, maupun masyarakat sebagai subyek program. Pemerintah masih menganggap masyarakat belum siap untuk merencanakan, melaksanakan dan mengatur sendiri program pembangunan di wilayahnya, demikian juga dari sisi masyarakatnya sendiri merasa perencanaan dan penyiapan program adalah tugas pemerintah, mereka tinggal melaksanakan dan menikmati hasilnya saja. Sehubungan dengan itu dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: a. Kegiatan pengembangan masyarakat di Desa Mambalan melalui P2MPD dan Prokesos KUBE mekipun memiliki tujuan yang sama dalam rangka menanggulangi masalah kemiskinan dengan pendekatan pemberdayaan dan partisipasi, namun memiliki dimensi pengelolaan yang berbeda. Ada yang melalui pembangunan prasarana umum untuk mempermudah akses ekonomi, adapula yang langsung mengelola bantuan untuk usaha ekonomis produktif. b. Program pembangunan yang ada secara substansial hanya menekankan pada pencapaian tujuan ekonomi, dengan mengabaikan dimensi lain seperti
76
pemerataan, sehingga terjadi ketimpangan dalam pemanfaatannya karena perbedaan kondisi sosial-ekonomi warga komunitas. c. Program atau proyek diturunkan berdasarkan adanya kewajiban pemerintah saja, dengan kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat, kesiapan masyarakat dan kelembagaannya. Sehingga sulit bagi terwujudnya partisipasi, keberlanjutan program, dan kemandirian masyarakat. d.
Program pengembangan masyarakat yang diturunkan bias oleh pertumbuhan ekonomi, daripada proses pembelajaran masyarakat dalam mengambil keputusan sendiri mengenai kegiatan yang dapat mereka laksanakan. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam program ini menjadi semu, dan sulit untuk bisa mewujudkan kemandirian masyarakat.
e.
Kegiatan bantuan yang diberikan melalui P2MPD dan Prokesos KUBE dikembangkan secara situasional dan institusional dengan mengabaikan nilai kreatif dan keragaman usaha ekonomi kecil.
f.
Masih adanya oknum petugas pemerintah yang merasa telah memberi bantuan kepada masyarakat sehingga masyarakat diminta untuk menerima saja program yang diturunkan oleh pemerintah. Selain kendala -kendala tersebut terdapat juga faktor-faktor pendukung
yang menunjang keberhasilan program antara lain: a. Adanya kemauan yang kuat dari warga komunitas miskin untuk merubah kondisi hidupnya menjadi lebih baik. b. Kuatnya pengaruh kepala dusun dan tokoh masyarakat tingkat dusun untuk ikut membantu mendampingi masyarakat. c. Semakin ketatnya pengawasan pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah terhadap aparatnya. d. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah sistem norma dan nilai serta pola hubungan kekerabatan di tingkat dusun yang masih tinggi, yang berguna dalam mengatasi masalah kemiskinan dalam komunitas secara swadaya.
VI.
6.1.
ANALISIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN
Karakteristik Kemiskinan Komunitas Kemiskinan di Desa Mambalan merupakan jenis kemiskinan absolut, yang
ditandai dengan ketidakmampuan komunitasnya memenuhi kebutuhan pokoknya seperti makan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan lain -lain. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan responden yang mengetahui selisih antara pendapatan yang diperoleh dengan kebutuhan pengeluarannya untuk kebutuhan sehari-hari yang ternyata penghasilannya jauh lebih kecil dari pengeluaran yang diperlukan untuk kebutuhan pokok sehari-hari. Sebagai contoh, semua responden tidak mengetahui penghasilan mereka yang sebenarnya karena pekerjaan mereka yang tidak tetap, namun kalo ditanya rata -ratanya mereka menjawab Rp. 5.000,. Sedangkan pengeluaran mereka sehari-hari mereka tahu pasti, yaitu paling sedikit Rp. 5.000 juga dan selalu begitu. Jadi pada dasarnya mereka cuma bisa memenuhi kebutuhan untuk makan saja, sedangkan kebutuhan pokok yang lain seperti pendidikan anak dan kesehatan dipenuhi melalui gali lubang-tutup lubang (ngutang kecil-kecilan). Adapun kondisi yang dialami oleh komunitas miskin di Desa Mambalan tersebut meliputi: a.
Kepemilikan lahan yang tidak seimbang (rata-rata kurang dari 0,5 hektar), padahal sebagian besar penduduk bekerja sebagai petani .
b.
Pekerjaannya tidak tentu. Mereka selalu tergantung pada faktor luar seperti musim usaha yang sedang berlangsung dan bidang usaha orang lain tempat mereka biasa ikut bekerja.
c.
Upah mereka rendah (rata-rata Rp. 5.000 per hari) dengan curahan waktu kerja yang sangat panjang (dari jam 08.00 sampai dengan jam 17.00).
d.
Besarnya rasio beban tanggungan (rata -rata 4 orang), padahal upah mereka rendah.
78
e.
Mereka jarang bisa memanfaatkan pelayanan publik dan program pengentasan kemiskinan karena keterbatasan pengetahuan dan informasi. Kalaupun dapat mereka hanya terlibat pada tahap pelaksanaannya saja. Pelayanan publik tidak mereka mamfaatkan karena tidak ada biaya transport untuk sampai ke lokasi pelayanan publik tersebut (contoh: Puskesmas). Dengan kondisi ini mengakibatkan mereka mengalami beberapa ketidak-
beruntungan seperti: a. Ketiadaan aset untuk mencari nafkah seperti lahan atau ternak, ekonomi keluarga dijalankan dengan ekonomi gali lubang tutup lubang, serta pendapatan mereka tidak menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai, sehingga keluarga miskin menghabiskan apa yang mereka peroleh pada hari itu juga. b. Perempuan banyak menjadi pencari nafkah utama karena bapak atau suaminya telah meninggal atau pergi mencari kerja ke tempat yang jauh dalam waktu yang lama. c. Tidak memiliki cadangan berupa uang atau barang untuk menghadapi keadaan darurat seperti bayar sekolah anak atau tiba -tiba masuk rumah sakit. d. Selain itu banyak anak-anak yang harus keluar dari bangku sekolah karena tidak ada biaya. Jika usianya sudah mencapai belasan tahun biasanya akan menjadi buruh bangunan dengan penghasilan kecil dan tidak menentu, sehingga tidak terjadi perubahan pola mata pencaharian yang berarti mengulang bentuk kemiskinan yang sama. e. Mereka tidak memiliki akses terhadap sumber informasi, misalnya pada saat diadakan pertemuan hanya kelompok elit desa yang hadir sehingga mereka lemah terhadap akses program pemerintah dan pelayanan publik. f. Mereka juga tidak berdaya menghadapi petugas pemerintah yang memberikan program bantuan kepada mereka karena keterbatasan mereka, mereka sudah bersyukur dapat memperoleh bantuan meskipun tidak sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan mereka.
79
Mengenai hubungan sebab-akibat masalah yang dialami oleh komunitas miskin di Desa Mambalan dapat dilihat pada gambar berikut ini: Gambar 5 Bagan Hubungan Sebab-Akibat Masalah
Terisolir
Tidak ada Jaringan Kerja
Tidak ada aset
Akses Pembangunan Kurang
Lapangan Kerja Sempit
Pengangguran
Tidak ada Modal Usaha
Keterampilan Kurang
Anak Putus Sekolah /Pendidikan Rendah
Penghasilan / Upah Rendah
Gizi Buruk
Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan, maka diketahui bahwa kemiskinan di Desa Mambalan sebenarnya lebih disebabkan oleh faktor struktural daripada faktor kulturalnya. Komunitas miskin di Desa Mambalan bukan merupakan orang-orang yang malas dan fatalis. Hal ini terbukti dari jerih payah mereka sebagai buruh tani dan buruh angkut material bangunan yang bekerja dari pagi hingga petang hanya untuk mendapatkan upah yang cukup buat makan saja. Selain itu juga banyak ibu-ibu yang sabar menunggu orang yang selesai panen untuk kemudian menyisihkan sisa-sisa biji padi bekas panen orang tersebut.
80
Jadi pada dasarnya mereka memiliki etos kerja yang tinggi, namun karena tidak memiliki kesempatan untuk bekerja yang disebabkan oleh keterbatasan keterampilan dan lapangan kerja menjadikan mereka larut dalam keadaan menunggu pekerjaan (menganggur). Ada juga yang sudah menyerah dengan keadaan mereka karena berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka namun tetap saja begini karena keterbatasan penguasaan aset-aset ekonomi seperti lahan, pinjaman modal, termasuk juga program pemerintah untuk masyarakat. Jadi dapat dikatakan sebenarnya kemiskinan di Desa Mambalan disebabkan oleh faktor struktural, yaitu struktur pemerintahan dan ekonomi yang ada belum memberikan kesempatan kepada komunitas miskin untuk meningkatkan kondisi kehidupan mereka. Artinya asetaset ekonomi yang ada tersebut hanya bisa dimanfaatkan oleh orang yang memang sudah kaya dan orang-orang yang dekat dengan tokoh elit di desa.
6.2.
Potensi dan Kelembagaan Lokal untuk Mengatasi Masalah Kemiskinan Potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kemiskinan di
Desa Mambalan yaitu : pekarangan yang belum efektif pemanfaatannya, sungai dan hutan (untuk ditanami dan dimanfaatkan airnya), pemimpin formal dan informal, serta fasilitas pasar. Sementara itu kelembagaan yang ada pada umumnya bersifat formal yang dibentuk untuk mendukung tugas pemerintah desa seperti Karang taruna, BPD dan LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat). Namun kiprah lembaga -lembaga tersebut belum bisa menyentuh permasalahan yang dihadapi oleh komunitas miskin di Desa Mambalan. Lembaga -lembaga ini hanya bisa dimanfaatkan oleh keluarga aparat desa dan orang-orang yang duduk di lembaga -lembaga tersebut. LPM misalnya lebih banyak disibukkan dengan perencanaan-perencanaan proyek fisik yang turun ke desa daripada pemberdayaan masyarakat dalam arti penin gkatan kemampuan dan kesempatan ikut merencanakan, bukan hanya peningkatan keikutsertaan pada saat pengerjaan proyek fisik tersebut melalui kegiatan padat karya saja.
81
Meskipun demikian di tengah-tengah komunitas telah ada bentuk kelembagaan-kelembagaan yang memiliki tujuan-tujuan khusus seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian dan krama gubug (untuk perkawinan). Namun manfaat dari lembaga-lembaga tersebut masih sangat kecil karena hanya melayani masalah-masalah khusus yang sesuai dengan tujuan awalnya ada. Selain itu lembaga -lembaga tersebut masih bersifat informal sekali, belum ada susunan pengurus dan pembagian tugas, lembaga-lembaga tersebut dijalankan berdasarkan pola hubungan baik dan trust diantara anggota komunitas saja. Padahal jik a pola hubungan baik dan semangat trust yang ada dalam komunitas tersebut bisa dimobilisir untuk kepentingan yang lebih mendasar seperti untuk mengatasi masalah kemiskinan, maka pasti akan sangat bermanfaat. Satu hal lagi yang perlu diingat bahwa komunitas sangat dekat dengan kepala dusun mereka selaku pemimpin mereka yang paling dekat, namun aspirasi masyarakat sering kandas karena kebijakan kepala desa yang pada hakekatnya merupakan atasan langsung kepala dusun. Dengan demikian kepala dusun menjadi terje pit diantara menyampaikan aspirasi masyarakatnya dan posisinya sebagai bawahan kepala desa. Namun pada akhirnya mau tidak mau kepala dusun lebih banyak mengikuti kebijakan pemerintah desa meskipun bertentangan dengan keinginannya yang juga merupakan keinginan masyarakat dusunnya.
6.3.
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Partisipasi dan Kemandirian Komunitas Pada
pemberdayaan
umumnya
program
masyarakat,
namun
yang tujuan
diturunkan utamanya
meskipun selalu
berlabel
peningkatan
pendapatan kelompok sasarannya tanpa atau kurang memperhatikan proses penyusunan rencana kegiatan program pemberdayaan tersebut. Hal yang menjadi tujuan program pengentasan kemiskinan selalu berupa peningkatan penghasilan, tidak ada yang bertujuan untuk pemerataan kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan pembangunan, untuk bekerja atau memberikan kemudahan bagi kelompok miskin untuk berusaha. Bila tujuan ekonomi saja yang menjadi prioritas, maka yang akan tercipta ketimpangan antara antara kelompok kaya dan
82
kelompok miskin, karena masing-masing kelompok memiliki faktor -faktor yang saling terkait (intelinking factors) seperti pengetahuan, kemampuan, tatus, harta dan kedudukan yang berbeda dalam memanfaatkan program pemberdayaan yang diintroduksi. Dengan adanya titik berat pada tujuan akhir berupa peningkatan pendapatan tersebut juga mengaburkan partisipasi masyarakat miskin sebagai subyek program dalam ikut merencanakan program pemberdayaan yang dimaksud. Dengan tidak dilibatkannya masyarakat miskin dalam perencanaan tersebut menjadikan mereka tidak berdaya, pasif, kurang inisiatif dan cuma menerima saja program yang diturunkan pemerintah. Kelompok-kelompok tertentu yang mengalami diskriminasi dalam suatu masyarakat, seperti masyarakat kelas sosial ekonomi rendah, kelompok minoritas etnis, wanita, populasi lanjut usia, serta para penyandang cacat, adalah orangorang yang mengalami ketidakberdayaan. Keadaan dan perilaku mereka yang berbeda dari ‘keumuman’ kerapkali dipandang sebagai ‘deviant’ (penyimpang). Mereka seringkali kurang dihargai dan bahkan dicap sebagai orang yang malas, lemah, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Padahal ketidakberdayaan mereka seringkali merupakan akibat dari adanya kekurangadilan dan diskriminasi dalam aspek-aspek kehidupan tertentu. Para teoritisi, seperti Seeman (1985), Seligman (1972), dan Learner (1986) meyakini bahwa ketidakberdayaan yang dialami oleh sekelompok masyarakat merupakan akibat dari proses internalisasi yang dihasilkan dari interaksi mereka dengan masyarakat. Mereka menganggap diri mereka sebagai yang lemah dan tidak berdaya, karena masyarakat memang menganggapnya demikian. Seeman menyebut keadaan ini dengan istilah ‘alienasi’. Sementara Seligman menyebutnya sebagai ‘ketidakberdayaan yang dipelajari’ (learned helplessness), dan Learner menamakannya
dengan
istilah
‘ketidakberdayaan
surplus’
(surplus
powerlessness)(Suharto, 1997). Learner lebih jauh menjelaskan konsep ‘pentidakberdayaan’ ini sebagai proses dengan mana orang merasa tidak berdaya melalui pembentukan seperangkat pikiran emosional, intelektual dan spiritual yang mencegahnya dari
83
pengaktualisasian kemungkinan-kemungkinan yang sebenarnya ada. Sebagai contoh, para penerima Bantuan Sosial Keluarga (AFDC/Aid for Families with Dependent Children) merasa tidak berdaya untuk merubah program dan bentukbentuk pelayanan AFDC. Mereka memiliki persepsi bahwa dirinya tidak mampu, tidak berdaya, atau bahkan tidak berhak untuk merubah program-program tersebut. Menurut Kieffer (1984: 9), ketidakberdayaan yang dipersepsi ini merupakan hasil dari pembentukan interaksi terus-menerus antara individu dan lingkungannya yang meliputi kombinasi antara sikap penyalahan-diri sendiri, perasaan tidak dipercaya, keterasingan dari sumber -sumber sosial dengan perasaan tidak mampu dalam perjuangan politik (Suharto, 1997). Hal yang perlu disadari adalah meskipun berbagai program pembangunan dilaksanakan secara optimal, bukanlah suatu jaminan bahwa akses masyarakat miskin terhadap program pembangunan akan cepat meningkat dengan sendirinya khususnya yang berkaitan dengan program bantuan pemerintah. Korten (1984) menyatakan
bahwa
banyak
program
pembangunan
yang
tidak
mampu
meningkatkan akses masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan, bahkan gagal mencapai tujuan tersebut. Kendala yang sangat besar dalam pelayanan publik ialah adanya perbedaan status sosial-ekonomi antara masyarakat yang beragam, dan kemampuan birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah dalam melakukan pelayanan publiknya harus memperhatikan kondisi lokal, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran dalam masyarakat. Inti dasar pelayanan ini terletak pada proses kebijakan publik dan operasionalisasinya (Supriatna, 1997). Lebih jauh Supriatna (1997) mengungkapkan bahwa berbagai program pembangunan yang telah dilaksanakan lebih berorientasi pada “target group” pembangunan dan tidak memperhatikan kelanjutan program, proses pendidikan masyarakat dan peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pelembagaan pembangunan. Dengan perkataan lain, program pembangunan kurang berorientasi pada pemberdayaan, pelembagaan pembangunan dan peningkatan kemampuan kelembagaan dalam menciptakan kualitas sumber daya yang memiliki kemandirian, malah menciptakan ketergantungan.
84
Pemberdayaan merupakan prasyarat bagi tumbuhnya partisipasi, dan partisipasi merupakan prasyarat terwujudnya kemandirian. Jadi, untuk dapat mewujudkan masyarakat yang mandiri maka pertama -tama mereka harus diberikan kepercayaan, kemampuan dan kesempatan untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program-program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan di wilayah mereka (pemberdayaan). Dengan adanya proses pemberdayaan ini diharapkan komunitas merasa memiliki dan bertanggung jawab secara moral untuk mensukseskan program pembangunan yang telah mereka rencanakan tadi (partisipasi). Dengan adanya pelaksanaan dan pengaturan sendiri oleh masyarakat khususnya dalam pemanfaatan sumber-sumber daya lokal yang tersedia menjadi dorongan bagi terwujudnya kemandirian masyarakat. Program pembangunan yang menggunakan tenaga ahli dari luar, teknologi baru dan sumber daya dari luar hanya akan mengakibatkan keberhasilan sesaat, bahkan malahan menimbulkan program yang rentan untuk gagal dan menimbulkan ketergantungan masyarakat. Jadi jika ingin melihat suatu program pembangunan berhasil, persyaratan yang harus dipenuhi adalah pemberian kemampuan
dan
kesempatan
kepada
komunitas
untuk
merencanakan,
melaksanakan, memanfaatkan dan memelihara sendiri program pembangunan di wilayahnya sesuai dengan harapan, kebiasaan, kemampuan dan sumberdaya yang tersedia. Dalam pelaksanaan program pembangunan selama ini, keterlibatan masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia dipandang sebagai tenaga kerja untuk mengurangi biaya pembangunan sosial. Dengan kondisi ini, peran serta masyarakat terbatas hanya pada implementasi atau penerapan program saja; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar” . Partisipasi disini menjadi bentuk yang pasif (Prijono dan Pranarka, 1996). Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk bisa memunculkan partisipasi dan mewujudkan kemandirian dalam komunitas, maka yang perlu dirubah adalah paradigma pembangunan yang ada selama ini dari komunitas sebagai obyek pembangunan menjadi komunitas sebagai subyek pembangunan. Artinya pola
85
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan bukan lagi pola hubungan subyek-obyek, melainkan pola hubungan subyek-subyek. Selanjutnya diperlukan upaya pemberdayaan, pemberian kepercayaan dan kesempatan kepada masyarakat untuk merencanakan dan melaksanakan sendiri program pembangunan untuk mengatasi masalah dalam komunitas dengan memanfaatkan sumber -sumber yang tersedia berdasarkan kelembagaan yang ada.
6.4.
Ikhtisar Pada dasarnya kemiskinan di Desa Mambalan lebih disebabkan oleh faktor
struktural daripada faktor kultural. Mereka miskin karena ketiadaan aset untuk berusaha dan keterbatasan untuk menjangkau pelayanan publik dan informasi untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Hal ini ditandai dengan kepemilikan lahan yang sangat terbatas bahkan tidak ada, pekerjaan yang tidak menentu, dan upah yang rendah (Rp. 5.000 per hari). Dengan kondisi demikian mereka sulit untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan karena sibuk dengan urusan pemenuhan kebutuhan pokok mereka dan juga mereka memang jarang dilibatkan. Namun pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang ulet. Hal ini bisa kita katahui dari beratnya beban kerja mereka meskipun upahnya rendah misalnya sebagai buruh tani, tukang batu atau buruh bangunan. Kelembagaan yang ada pada umumnya adalah kelembagaan formal yang dibentuk untuk mendukung tugas pemerintah desa seperti Karang taruna, BPD dan LPM. Namun kiprah lembaga -lembaga tersebut belum bisa menyentuh permasalahan yang dihadapi oleh komunitas miskin di Desa Mambalan. LPM misalnya, lebih banyak disibukkan dengan perencanaan-perencanaan proyek fisik yang turun ke desa daripada pemberdayaan masyarakat dalam arti peningkatan kemampuan dan kesempatan ikut merencanakan. Lembaga-lembaga ini hanya bisa dimanfaatkan oleh keluarga aparat desa dan orang-orang yang duduk di lembaga -lembaga tersebut. Meskipun demikian di tengah-tengah komunitas telah ada bentuk kelembagaan yang memiliki tujuan-tujuan tertentu seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian dan krama gubug (untuk perkawinan).
86
Namun manfaat dari lembaga-lembaga tersebut belum bisa dirasakan oleh banyak orang. Selain itu lembaga-lembaga tersebut masih bersifat informal sekali, belum ada susunan pengurus dan pembagian tugas, lembaga -lembaga tersebut dijalankan berdasarkan pola hubungan baik dan trust diantara anggota komunitas saja. Padahal jika pola hubungan baik dan semangat trust yang ada dalam komunitas tersebut bisa dimobilisir untuk kepentingan yang lebih mendasar sepert i untuk mengatasi masalah kemiskinan, maka pasti akan sangat berguna. Pada dasarnya secara prosedural perdasarkan buku pedomannya, program pemberdayaan komunitas di Desa Mambalan dalam konteks pengembangan ekonomi lokal, pengembangan modal dan gerakan sosial, serta kebijakan dan perencanaan sosial sudah cukup baik. Namun dalam pelaksanaannya di lapangan sangat sulit untuk menyesuaikannya dengan tujuan kegiatan tersebut. Hal ini disebabkan karena pola -pola lama masih belum bisa ditinggalkan baik oleh pemerin tah sebagai penyedia program, maupun masyarakat sebagai subyek program. Pemerintah masih menganggap masyarakat belum siap untuk merencanakan, melaksanakan dan mengatur sendiri program pembangunan di wilayahnya, demikian juga dari sisi masyarakatnya sendiri merasa perencanaan dan penyiapan program adalah tugas pemerintah, mereka tinggal melaksanakan dan menikmati hasilnya saja. Hal ini juga erat kaitannya dengan perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan pengetahuan warga masyarakat, yang mengakibatkan perbedaan kemampuan juga dalam menjangkau fasilitas dan pelayanan publik yang ada. Dengan demikian tingkat partisipasi dan kemandirian masyarakat yang menjadi tujuan program pemberdayaan masyarakat sangat rendah. Untuk lebih jelasnya mengenai alur proses analisis pemberdayaan komunitas miskin di Desa Mambalan dapat dilihat pada gambar berikut ini:
87
Gambar 6 Alur Analisis Pemberdayaan Komunitas Miskin Desa Mambalan
a Komunitas Mambalan
b1
Peta Sosial
b2
Fenomena Kemiskinan dan Ketidakberdayaan
c1
c3
c2
Komunitas Miskin: 1. Fenomena Kemiskinan 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi. 3. Dimensi Kemiskinan
Evaluasi Program
Program Pemberdayaan Masyarakat:
~
d
1. Proses dan strategi pemberdayaan dalam konteks pengembangan ekonomi lokal dan modal sosial. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi (kekuatan dan kelemahan) dalam proses pemberdayaan. 3. Tingkat keberdayaan komunitas yang ditandai dengan Tingkat Partisipasi dan Tingkat Kemandirian.
88
Hal yang perlu disadari adalah meskipun berbagai program pembangunan dilaksanakan secara optimal, bukanlah suatu jaminan bahwa akses masyarakat miskin terhadap program pembangunan akan cepat meningkat dengan sendirinya khususnya yang berkaitan dengan program bantuan pemerintah. Korten (1984) menyatakan
bahwa
banyak
program
pembangunan
yang
tidak
mampu
meningkatkan akses masyarakat terhadap program pengentasan kemiskinan, bahkan gagal mencapai tujuan tersebut. Kendala yang sangat besar dalam pelayanan publik ialah adanya perbedaan status sosial-ekonomi antara masyarakat yang beragam, dan kemampuan birokrasi pemerintahan. Oleh karena itu, pemerintah dalam melakukan pelayanan publiknya harus memperhatikan kondisi lokal, sehingga dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kelompok sasaran dalam masyarakat. Inti dasar pelayanan ini terletak pada proses penyusunan kebijakan publik dan operasionalisasinya (Supriatna, 1997). Sehubungan dengan itu dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas adalah pemberdayaan komunitas agar mampu terlibat khususnya sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan evaluasi program. Untuk mewujudkan kemandirian komunitas diperlukan iklim yang mendukung dalam pe manfaatan kemampuan diri dan potensi lokal yang tersedia. Jadi pemberian daya, kepercayaan dan kesempatan merupakan faktor utama yang mempengaruhi partisipasi dan kemandirian komunitas. Hal ini dapat terwujud dengan merubah paradigma pembangunan dari masyarakat sebagai obyek pembangunan menjadi masyarakat sebagai subyek pembangunan. Artinya pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat adalah bukan lagi pola hubungan subyek-obyek, melainkan pola hubungan subyek-subyek.
VII. RANCANGAN PROGRAM PEMBERDAYAAN KOMUNITAS MISKIN
7.1.
Latar Belakang Rancangan Program Kemiskinan di Desa Mambalan merupakan kemiskinan yang lebih
disebabkan oleh faktor struktural daripada faktor kulturalnya. Meskipun demikian dalam perancangan program diupaya kan untuk mengatasi masalah kemiskinan komunitas melalui pendekatan struktural maupun kultural. Komunitas mengalami kemiskinan karena struktur yang ada tidak memungkinkan lagi bagi mereka untuk meningkatkan pendapatannya dan menjangkau pelayanan-pelayanan publik untuk mereka seperti kredit perbankan. Warga komunitas yang sebagian besar bekerja sebagai petani hanya memiliki 20% dari luas lahan yang ada di Desa Mambalan. Mereka memiliki lahan rata-rata kurang dari 0,5 hektar. Selain itu, fasilitas yang semestinya ditujukan bagi mereka seperti lembaga pemerintah desa, puskesmas, sekolah dan pasar ternyata tidak dapat mereka manfaatkan karena keterbatasan pengetahuan
dan
kemampuan
untuk
menjangkaunya,
malahan
yang
memanfaatkanya adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan, kemampuan dan modal untuk menjangkaunya. Selain itu pemerintah sendiri selaku penyedia fasilitas sering menempatkan komunitas miskin ini sebagai obyek dari program pemerintah yang dilibatkan hanya pada tahap pelaksanaan program saja. Mata pencaharian komunitas miskin ini juga mencerminkan struktur yang sulit untuk dirubah menjadi lebih baik seperti: buruh tani, buruh serabutan, buruh bangunan, tukang pelihara ternak dan lain -lain. Mereka bekerja keras dengan curahan waktu yang panjang setiap hari namun penghasilannya tetap kecil karena jenis pekerjaannya memang digaji kecil. Padahal tanpa tenaga dan jasa mereka para tuan tanah dan developer tidak bisa menjalankan usahanya. Potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan dalam komunitas ini adalah kelembagaan lokal berupa hubungan kekerabatan yang masih erat dan semangat trust yang dimiliki oleh warga. Hal ini terbukti dari adanya lembaga -lembaga swadaya lokal untuk memenuhi kebutuhan bersama seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian dan krama gubug (retribusi untuk dusun yang warga perempuannya dinikahi).
90
Untuk mengetahui permasalahan, penyebab, potensi dan sumber, serta upaya pemecahan yang bisa dilakukan di Desa Mambalan, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 7 Pembahasan Alternatif Kegiatan Permasalahan
Penyebab
Potensi dan Sumber
Akses Pembangunan Kurang
§Terisolir
§Kelembagaan lokal
§Pengetahuan Kurang
§Kepala Desa
Tidak ada Modal Usaha
§Akses pembangunan kurang
§Kelembagaan keuangan lokal
§Aset tidak ada
§Keluarga Mampu
§Akses pembangunan kurang
§Dinas Instansi
Keterampilan Kurang
§Tokoh Masyarakat
§Pendidikan rendah Pengangguran
§Keterampilan Kurang
§Pihak Swasta §Balai Latihan Kerja §Pihak swasta
§Lapangan kerja terbatas §Keluarga mampu atau Pemilik Lahan.
Upaya Pemecahan Pertemuan Rutin Warga-Warga dan Warga-Kepala Desa. Pengelolaan kelembagaan keuangan lokal untuk mengatasi kemiskinan. Pelatihan dan magang pada dinas instansi dan Pihak Swasta Menghubungkan warga terampil dengan pihak swasta, keluarga mampu atau pemilik lahan.
Sehubungan dengan itu perlu dirancang suatu program pemberdayaan agar warga komunitas miskin dapat ikut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat maupun kehidupan bernegara (pemerintahan). Dalam hal ini diperlukan suatu lembaga loka l yang akan membantu komunitas miskin memperoleh hak-haknya, yang akan melakukan pengaturan-pengaturan pemanfaatan sumber-sumber lokal maupun sumber luar yang bisa dimanfaatkan oleh komunitas miskin untuk memperoleh pekerjaan dan meningkatkan penghasilannya. Termasuk juga sebagai media untuk menyampaikan permasalahan dan aspirasi komunitas miskin kepada pemerintah desa.
91
7.2.
Tujuan dan Sasaran Tujuan disusunnya rancangan program ini adalah untuk merancang
program memberdayakan komunitas miskin di Desa Mambalan. Rancangan program ini merupakan rangkaian proses pemberdayaan komunitas miskin melalui pendekatan partisipastif, yang disusun oleh komunitas sendiri berdasarkan aspirasi yang terhimpun pada saat diskusi kelompok. Sasaran rancangan program ini adalah tokoh masyarakat yang peduli dengan kondisi kemiskinan komunitas beserta seluruh warga komunitas.
7.3.
Program Aksi Berdasarkan hasil pleno dengan komunitas miskin dengan mengundang
semua tokoh masyarakat, semua Ketua RT dan Kepala Desa, maka dibentuklah Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Mambalan dengan berbagai program kegiatan, antara lain: Program Pertemuan Rutin Warga, Program Penggalangan Dana Komunitas, Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga, serta Program Pembentukan Jarin gan Kerja. Programprogram kegiatan LPPM ini diharapkan bisa menjawab masalah-masalah dalam komunitas. Setelah dibentuknya LPPM ini kemudian disusun rancangan program yang akan dilaksanakan oleh LPPM. Mengenai rancangan program ini dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 8 Rencana Kegiatan Pemberdayaan Komunitas Miskin Masalah
Program
Kegiatan
Tujuan
Indikator
Pelaksana
Penanggung Pendukung Jawab
Waktu
Akses Pembangunan Kurang
Program Pertemuan Rutin Warga.
Pertemuan Rutin Warga -Warga dan Warga -Kepala Desa.
Memperkuat kelembagaan lokal.
Banyak warga yang hadir.
LPPM
Ketua LPPM
Toma, Kades
Setiap Jumat dan sebulan sekali
Tidak ada Modal Usaha
Program Penggalangan Dana Komunitas.
Pengelolaan kelembagaan keuangan lokal untuk mengatasi kemiskinan.
Memberi Pinjaman Modal Usaha Bergulir.
Banyak warga yang dapat memanfaatkan pinjaman modal bergulir.
LPPM
Ketua LPPM
Toma, Keluarga Mampu.
Januari Desember 2006.
Keterampilan Kurang
Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga.
Pelatihan dan magang pada dinas instansi dan Pihak Swasta.
Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Produktivitas Tinggi.
LPPM
Ketua LPPM
Pihak Swasta, Dinas Instansi, Toga.
Juli Desember 2006.
Pengangguran
Program Pembentukan Jaringan Kerja.
Melakukan pendekatan pada pihak swasta, dan keluarga mampu atau pemilik lahan.
Menghubungkan warga terampil dengan pihak swasta, keluarga mampu atau pemilik lahan.
Banyak warga yang memperoleh pekerjaan.
LPPM
Ketua LPPM
Pihak Swasta, Keluarga Mampu atau Pemilik Lahan.
Januari Desember 2006.
92
93
Berdasarkan permasalahan dan potensi yang ada, terdapat beberapa rancangan program kegiatan yang akan dilaksanakan oleh LPPM, yaitu: 1. Program Pertemuan Rutin Warga Melakukan pertemuan rutin warga setiap hari Jumat dalam rangka memperkuat kelembagaan yang ada, untuk membicarakan permasalahan yang mendesak untuk segera ditangani, dan pertemuan rutin bulanan dengan kepala desa untuk menyampaikan permasalahan dan aspirasi komunitas. 2. Program Penggalangan dana komunitas Mengaktifka n kelembagaan-kelembagaan lokal untuk mengatasi kemiskinan seperti: arisan warga, kerama gubug (retribusi laki-laki yang kawin dengan perempuan setempat), iuran kematian dan lain-lain, untuk kemudian uangnya dikumpulkan dan dikelola untuk diberikan kepada yang berhak ataupun menjadi pinjaman modal usaha bergulir. Dalam pembentukannya LPPM juga sudah mengagendakan untuk melebihkan seribu rupiah untuk setiap pembelian raskin, yang akan digunakan untuk membiayai pengerukan sumur warga yang dilanda kekeringan. 3. Program Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Warga Mengadakan diskusi tentang kewirausahaan dan latihan keterampilan dengan mengundang fasilitator dari Instansi Pemerintah dan Sektor Swasta, serta mengadakan kegiatan magang pada Instansi Pemerintah dan Sektor Swasta. Selain itu diadakan juga pengajian rutin oleh Tuan Guru (Kyai) untuk meningkatkan pengetahuan agama komunitas miskin tentang
pentingnya
kesejahteraan hidup di dunia disamping kehidupan di akhirat. Perlu juga pemberian informasi yang benar tentang perayaan hari besar agama islam yang sering diperingati secara besar-besaran dengan biaya besar padahal kondisi ekonomi pas-pasan. 4. Program Pembentukan Jaringan Kerja Melakukan pendekatan pada dinas istansi terkait, pihak swasta, dan keluarga mampu atau pemilik lahan, yang sekiranya memiliki program bantuan untuk
94
rakyat miskin atau butuh tenaga kerja, untuk kemudian dipersiapkan kelembagaan atau pengaturannya oleh LPPM. Sehubungan dengan itu dapat digambarkan hubungan partnership berdasarkan kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian yang terjadi antara komunitas miskin, pemerintah dan sektor swasta melalui pembentukan LPPM ini sebagai berikut: Gambar 7 Skema Pemberdayaan Komunitas Miskin yang Mandiri dan Berkelanjutan
PEMERINTAH
1
c
b LPPM 2
3
KOMUNITAS MISKIN
SEKTOR SWASTA
a Keterangan: 1.
Advokasi Kebijakan
a.
Keterkaitan Prasarana Pendukung
2.
Pengembangan Kemitraan Sosial
b.
Pengembangan Keswadayaan
3.
Pengembangan Kelembagaan, Produktivitas dan Kemandirian
c.
Pertumbuhan Ekonomi
Berdasarkan program kegiatan yang telah dirancang, maka dapat ditetapkan tugas utama lembaga yang telah dibentuk ini yaitu melakukan kajian permasalahan-permasalahan komunitas miskin dan mencari solusinya melalui
95
media musyawarah warga. Setelah itu merancang program kegiatan untuk melaksana kan solusi yang telah ditetapkan tersebut. Adapun perincian tugas LPPM tersebut adalah: 1. Memfasilitasi
kegiatan
pertemuan
atau
musyawarah
warga
untuk
mendiskusikan masalah bersama dan mencari upaya pemecahannya dengan memamfaatkan sumber-sumber yang ada. 2. Menghubungi pihak terkait seperti dinas instansi pemerintah dan dunia usaha yang bisa membantu melalui pembentukan jaringan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan. 3. Mengatur pemanfaatan dan pemeliharaan hasil kegiatan. 4. Melakukan evaluasi kegiatan komunitas yang telah dilakukan. 5. Menyampaikan masukan dan saran kepada pemerintah desa dalam rangka pembangunan desa. 6. Memelihara norma dan pola hubungan baik (kelembagaan) yang ada dalam komunitas. Diharapkan dengan adanya Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) ini dapat menjadi media bagi komunitas untuk bertemu dan berdialog mengenai permasalahan bersama dan upaya untuk mengatasinya berdasarkan sumber -sumber dan kelembagaan yang ada. Termasuk juga sebagai media untuk menyampaikan aspirasi komunitas kepada pemerintah desa. Selain itu LPPM juga akan mengatur dan mengelola pemanfaatan sumber-sumber lokal maupun sumber luar yang bisa dimanfaatkan oleh komunitas miskin untuk meningkatkan penghasilannya, serta menghubungkan komunitas dengan pihakpihak terkait yang bisa membantu seperti Dinas Instansi Pemerintah dan Pihak Swasta. Dalam hal berhubungan dengan pihak-pihak terkait yang bisa membantu, banyak pihak yang dapat diajak untuk membentuk jaringan kerjasama dengan komunitas Desa Mambalan antara lain: pemerintah dearah (desa hingga kabupaten), perbankan, dunia usaha, perguruan tinggi, LSM, Tokoh masyarakat, koperasi dan dinas instansi pemerintah.
96
Sehubungan dengan itu dapat dilihat pola jaringan kerja LPPM dengan pihak-pihak terkait yang bisa membantu seperti gambar berikut ini: Gambar 8 Jejaring Kelembagaan LPPM
Perguruan Tinggi Dunia Usaha
Koperasi
Perbankan
LPPM
Tokoh Masyarakat
Pemerintah Desa
Kecamatan
Kabupaten Dinas Instansi Pemerintah
LSM
Bentuk hubungan kelembagaan yang terdapat antara LPPM dengan pemerintah daerah mulai dari desa hingga kabupaten bersifat fasilitasi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung tumbuh kembangnya organisasi lokal sejenis LPPM. Kemudian LLPM juga sebaliknya memberikan umpan balik kepada pemerintah mengenai kebijakan yang diambil selama ini sehubungan dengan pembangunan masyarakat. Dengan hubungan demikian tercipta umpan balik yang merupakan stimulasi bagi munculnya langkah-langkah perbaikan di masa-masa mendatang dari masing-masing pihak (LPPM - Pemerintah Daerah).
97
Kondisi demikian diharapkan menjadi modal sosial bagi terwujudnya good goovernance , jika governance diartikan sebagai tata cara pemerintah dan warga mengatur sumberdaya dan mecahkan masalah-masalah publik. Sementara itu governance yang baik (good) memiliki unsur-unsur akuntabilitas, partisipasi, predictability dan transparansi (Sjaifudian, 2002). Asumsi yang mendasari pemikiran ini adalah, bahwa governance yang baik hanya dapat tercipta apabila dua kekuatan saling mendukung, yaitu: warga yang bertanggung jawab, aktif dan memiliki kesadaran dengan cara mengorganisir diri, bersama dengan pemerintah yang terbuka, tangggap, mau mendengar dan mau melibatkan (iklusif). Inilah basis dari tatanan masyarakat yang diidamkan. Perlu diingat kembali bahwa LPPM lahir karena ada aspirasi dari bawah, dengan kata lain LPPM merupakan lembaga swadaya lokal yang berbasis komunitas. Sedangkan mengenai hubungan kelembagaan LPPM dengan pihakpihak yang bisa membantu (stakeholders) juga bersifat fasilitasi dari masingmasing stakeholders untuk memperlancar kegiatan LPPM. Adapun bentuk fasilitasi yang dapat diberikan antara lain: (a) perbankan, memberikan kredit modal usaha yang akan diputar oleh LPPM; (b) dunia usaha, menyediakan lapangan kerja bagi buruh bangunan yang banyak terdapat di Desa Mambalan melalui perantara LPPM, selain itu juga membeli produk kerajinan yang dihasilkan oleh warga masyarakat Desa Mambalan berdasarkan prinsip keadilan dan saling menguntungkan; (c) perguruan tinggi, melakukan penelitian atau kajian, memberikan fasilitasi berupa pendampingan masyarakat dan pelatihan teknologi tepat guna melalui koordinasi LPPM; (d) LSM, melakukan kerjasama dan pendampingan kepada LPPM dalam rangka memperkuat LPPM agar lebih mampu melaksanakan tugas memberdayakan masyarakat; (e) Tokoh masyarakat, memberikan pengayoman, arahan-arahan, nasihat-nasihat berdasarkan nila i-nilai luhur dan keagamaan; (f) koperasi, menjadi mitra kerja LPPM dalam mengembangkan usaha simpan pinjam anggota LPPM; dan (g) dinas instansi pemerintah, memfasilitasi berupa program bantuan alat atau bahan bagi kegiatan usaha ekonomi produktif warga komunitas yang dibina oleh LPPM.
98
Dengan demikian diharapkan LPPM mampu menjalankan aktivitasnya sebagai media pemberdayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi dan politik karena telah bekerjasama dan didukung oleh pemerintah, Swasta, perguruan tinggi dan LSM. Selanjutnya LPPM diharapkan mampu menjadi lembaga civil society, dimana civil society dimaknai sebagai kumpulan insitusi atau organisasi di luar pemerinta dan sektor swasta, atau sebagai ruang tempat kelompok-kelompok sosial dapat eksis dan bergerak. LPPM merupakan salah satu bentuk komponen civil society. Dari keseluruhan uraian mengenai proses dan tujuan terbentuknya LPPM ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 9 Visi pembentukan LPPM
Pemerintah (Government)
Good Governance
Civil Society
Partisipasi masyarakat melalui lembaga atau organisasi (LPPM)
Modal Sosial
Rancangan program yang disusun dalam kajian ini bertujuan untuk memperkuat modal sosial yang ada dalam komunitas agar warga komunitas dapat berpartisipasi. Partisipasi yang dilakukan oleh warga komunitas dapat dilakukan
99
dengan cara mengorganisir diri agar memiliki posisi tawar yang lebih kuat melalui lembaga atau organisasi yang dalam hal ini adalah LPPM. Dengan adanya LPPM ini menjadi salah satu komponen kekuatan penyeimbang bagi pemerintah maupun sektor swasta, yang dalam hal ini dikenal dengan istilah civil society. Pemberdayaan komunitas yang kemudian berwujud dalam bentuk partisipasi melalui LPPM ini tidak berarti melemahkan atau mereduksi kekuasaan atau kapasitas negara. Baik negara maupun masyarakat dapat saling memperkuat dengan membentuk mekanisme yang memungkinkan masin g-masing pihak saling menstimulasi, sehingga menciptakan umpan balik yang positif dan dapat mendorong kepada perbaikan yang signifikan terhadap pemerintah dan masyarakat dalam mengatasi masalah bersama dengan mengatur memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia secara adil, bijak dan berkelanjutan. Bila kondisi ideal seperti ini dapat terwujud barulah dapat dikatakan suatu negara menerapkan sistem good governance.
VIII.
8.1.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Berdasarkan hasil pemetaan sosial, evaluasi pengembangan komunitas,
sampai pada tahap perancangan program, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Orang menjadi miskin bukan karena sikap malas, melainkan karena tidak tahu apalagi yang harus dilakukan untuk bisa meningkatkan penghasilannya. Jadi dalam hal ini kemiskinan disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap: (a) modal produktif atau asset seperti tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan; (b) sumber keuangan seperti pekerjaan, pinjaman modal; (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama seperti koperasi, partai politik, organisasi sosial; (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa; (e) pengetahuan dan keterampilan; dan (f) informasi yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Demikian halnya yang terjadi di Desa Mambalan. Pada dasarnya orang miskin memiliki semangat kerja yang tinggi. Hal ini terbukti dari jerih payah mereka bekerja untuk mencari penghasilan sebagai buruh tani, buruh bangunan, buruh serabutan, yang bekerja dari pagi hingga petang meskipun dengan upah yang rendah. Sikap malas dan pasrah yang sering dituduhkan kepada mereka itu sebenarnya karena akumulasi dari kondisi struktural yang mereka alami selama ini, yang membuat mereka tetap dalam keadaan miskin meskipun berbagai upaya telah mereka lakukan. 2. Potensi yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalah kemiskinan di Desa Mambalan yaitu: pekarangan yang belum efektif pemanfaatannya, sungai dan hutan (untuk ditanami dan dimanfaatkan airnya), pemimpin formal dan informal, serta fasilitas pasar. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah sistem norma dan pola hubungan kekerabatan yang masih erat, yang ditandai dengan adanya kelembagaan lokal untuk memenuhi kebutuhan bersama warga komunitas seperti kelompok arisan, kelompok perabotan, iuran kematian, krama gubug (untuk perkawinan), termasuk juga pasar dan pemerintah dusun.
101
Sedangkan pihak-pihak yang dapat ikut membantu mengatasi masalah kemiskinan di Desa Mambalan tersebut adalah pemerintah desa, orang kaya yang memiliki lahan pertanian di Desa Mambalan, Bank NTB, Dinas Koperasi, Dinas Sosial, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, serta Dinas Prindustrian dan Perdagangan setempat. 3. Berdasarkan evaluasi program pemberdayaan komunitas yang dilakukan melalui program pembangunan di lokasi kajian, ditemukan beberapa kendala antara lain: a. Program pembangunan yang ada secara substansial hanya menekankan pada pencapaian tujuan ekonomi, dengan mengabaikan dimensi lain seperti pemerataan, sehingga terjadi ketimpangan dalam pemanfaatannya karena perbedaan kondisi sosial-ekonomi warga komunitas. b. Program
atau
proyek
diturunkan
berdasarkan
adanya
kewajiban
pemerintah saja, dengan kurang memperhatikan kebutuhan masyarakat, kesiapan
masyarakat
terwujudnya
dan
partisipasi,
kelembagaannya.
keberlanjutan
Sehingga
program,
dan
sulit
bagi
kemandirian
masyarakat. c. Kegiatan program bantuan yang diberikan dikembangkan secara situasional dan institusional dengan mengabaikan nilai kreatif dan keragaman usaha ekonomi kecil. d. Banyak program pengembangan masyarakat yang bias oleh pertumbuhan ekonomi, daripada proses pembelajaran masyarakat dalam mengambil keputusan sendiri mengenai kegiatan yang dapat mereka laksanakan. Dengan demikian partisipasi masyarakat dalam program ini menjadi semu, dan sulit untuk bisa mewujudkan kemandirian masyarakat. Selain kendala -kendala tersebut terdapat juga faktor -faktor pendukung yang menunjang keberhasilan program antara lain: a. Adanya kemauan yang kuat dari warga komunitas untuk merubah kondisi kehidupannya menjadi lebih baik.
102
b. Kuatnya pengaruh kepala dusun dan tokoh masyarakat tingkat dusun untuk ikut membantu mendampingi masyarakat. c. Semakin
ketatnya
pengawasan
pelaksanaan
pembangunan
yang
dilaksanakan oleh pemerintah terhadap aparatnya. d. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah sistem norma dan nilai serta pola hubungan kekerabatan tingkat dusun yang masih tinggi yang berguna dalam mengatasi masalah kemiskinan dalam komunitas secara swadaya. 4. Pemberdayaan merupakan prasyarat bagi tumbuhnya partisipasi dan kemandirian. Untuk bisa memberdayakan komunitas, hal pertama yang perlu dirubah adalah paradigma pembangunan yang ada selama ini dari komunitas sebagai
obyek
pembangunan
menja di
komunitas
sebagai
subyek
pembangunan. Artinya pola hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dalam pembangunan bukan lagi pola hubungan subyek-obyek, melainkan pola hubungan subyek-subyek. Selanjutnya untuk bisa diberdayakan, modal sosial dalam komunitas juga perlu diperkuat. Modal sosial yang dimaksud disini adalah jaringan, norma-norma, kepercayan sosial, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama komunitas untuk kepentingan bersama, yang dalam hal ini adalah LPPM. 5. LPPM atau Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Mambalan adalah wadah atau forum untuk bertemu dan berdiolog bagi warga masyarakat mengenai permasalahan bersama, dan berupaya untuk menyusun kegiatan bersama berdasarkan potensi dan kelembagaan yang ada. LPPM ini merupakan salah satu bentuk perwujudan modal sosial yang ada di Desa Mambalan, yang berfungsi memelihara norma dan pola hubungan baik yang ada dalam komunitas. Dengan adanya LPPM masyarakat menjadi lebih sering bertemu, berdialog, saling bantu, sehingga tercipta kondisi yang kondusif bagi tumbuhnya manusia -manusia yang berpikiran positif yang selanjutnya mampu menumbuhkan harapan dan inovasi untuk mengatasi permasalahannya serta terlibat dalam proses pembangunan di desa.
103
8.2.
Rekomendasi Dalam memberdayakan komunitas miskin, pr ogram yang dirancang harus
mampu membangun partisipasi dan kemandirian komunitas demi keberlajutan program. Oleh karena itu direkomendasikan beberapa hal untuk dijadikan pertimbangan oleh pihak-pihak yang terkait dengan program pemberdayaan komunitas miskin di Desa Mambalan, yaitu: 1. Mengingat kemiskinan yang dialami oleh komunitas disebabkan oleh faktor struktural, maka perlu diadakan pengaturan kembali kebijakan pemerintah daerah untuk lebih memperhatikan lagi keberadaan komunitas miskin khususnya dalam hal pengaturan pemanfaatan lahan, perencanaan program pembangunan agar lebih partisipatif, serta menempatkan fasilitas-fasilitas pelayanan publik lebih dekat dan ramah kepada mereka. Artinya, persyaratan untuk memperoleh pelayanan publik atau program bantuan disesuaikan dengan kemampuan mereka. 2. LPPM hendaknya mampu menjadi media yang bermanfaat untuk bertemu dan berdialog bagi warga masyarakat mengenai permasalahan bersama dan upaya mengatasinya, yang dapat dilaksanakan melalui penyelenggaraan pertemuan rutin warga setiap jumat secara terus menerus. Lebih jauh lagi LPPM hendaknya mampu menjadi media untuk menyampaikan aspirasi komunitas kepada pemerintah desa, menghubungkan komunitas miskin dengan pihakpihak terkait yang bisa membantu, serta mampu mengatur da n mengelola pemanfaatan sumber-sumber lokal maupun dari luar yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama warga komunitas. 3. Mengingat tumbuhnya lembaga swadaya lokal untuk mengatasi kemiskinan dalam hal ini LPPM, maka pemerintah desa semestinya mendukungnya karena beban tugasnya sedikit berkurang karena sebagian dilaksanakan oleh lembaga swadaya yang telah hadir ini, dan diharapkan pemerintah desa mampu memberikan dukungan, kemudahan serta dapat bekerjasama dengan lembaga tersebut. 4. Mengingat lembaga swadaya lokal tersebut masih baru dalam hal program kegiatan, maka dinas instansi terkait diharapkan dapat menjadikan lembaga
104
swadaya lokal yang ada sebagai mitra kerja yang membantu mempersiapkan kelembagaan komunitasnya dan sebagai pendamping program dinas instansi tersebut di tingkat komunitas. 5. Mengingat kendala utama setiap lembaga swadaya yang baru berdiri adalah dana, maka para pengusaha, pihak swasta serta keluarga mampu yang memiliki lahan dan tempat usaha di lokasi komunitas miskin dapat menciptakan hubungan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan dengan warga komunitas setempat melalui wadah lembaga swadaya lokal yang telah terbentuk tersebut.
LAMPIRAN
109
Lampiran 1
110
Lampiran 2 Jumlah Penduduk Desa Mambalan menurut Golongan Umur dan Jenis Kelamin
Gol. Umur (tahun)
Jenis Kelamin
Persentase (%)
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
0– 4
433
451
884
15.52
5– 9
302
357
659
11.57
10 – 14
264
286
550
9.65
15 – 19
255
265
520
9.13
20 – 24
242
253
495
8.69
25 – 29
213
231
444
7.79
30 – 34
191
221
412
7.23
35 – 39
166
188
354
6.21
40 – 44
158
171
329
5.77
45 – 49
144
152
296
5.20
50 – 54
130
119
249
4.37
55 – 59
73
104
177
3.11
60 – 64
58
87
145
2.55
65 – 69
24
69
93
1.63
70 – 74
19
42
61
1.07
75 +
11
18
29
0.51
2,683
3,014
5,697
100.00
Jumlah
Sumber: Profil Desa Mambalan Tahun 2004.
111
Lampiran 3 : Foto-Foto Kegiatan.
Profil Keluarga Miskin di desa Mambalan.
Wawancara dengan seorang perempuan dari keluarga miskin.
Para buruh tani yang bekerja dari pagi hingga petang.
112
Peserta diskusi kelompok tentang permasalahan komunitas.
Penjelasan tujuan diskusi oleh Pengkaji.
Suasana diskusi tentang lembaga yang ada di sekitar komunitas.
113
Suasana diskusi tentang hubungan sebab-akibat masalah.
Suasana diskusi pembahasan alternatif kegiatan.
Peserta pertemuan pembentukan LPPM dengan latar belakang Bagan Kepengurusan LPPM.
Lampiran 4 Struktur Kepengurusan Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) Mambalan
Pelindung dan Penasihat
Ketua
Pembina
Kepala Desa Mambalan
M. Solihin
Kadus Lilir Barat
Sekretaris
Bendahara
M. Musanip
Datu Sumardiah
Seksi Humas
Seksi Pembangunan
Seksi Perlengkapan
Saharman
I Gede Ardika
Sahli
114
115
Lampiran 5: Catatan Kasus Kemiskinan dan Ketidakberdayaan Komunitas di Desa Mambalan Solihin adalah seorang laki-laki kepala rumah tangga miskin dengan usia 60 tahun. Responden ini tinggal di rumah yang cukup layak untuk ukuran keluarga yang dikatakan miskin oleh masyarakat, dengan tembok bata, lantai semen dan atap genteng mekipun dengan ukuran kecil dan tanpa MCK. Hal ini terjadi karena prinsip orang desa di lokasi kajian adalah mengutamakan punya rumah terlebih dahulu, baru kemudian memikirkan makan. Responden mengaku rumah tersebut baru jadi, yang sudah dirintis sejak 10 tahun yang lalu. Hal ini juga terjadi pada warga yang lain, namun ada juga dengan cara menjual sawah atau kebun yang mereka miliki untuk membangun rumah. Menurutnya bila sudah memiliki rumah apapun yang kita makan orang tidak tahu, artinya biar lauknya ikan asin saja orang tidak tahu. Istilahnya untuk menyembunyikan kemiskinan mereka. Jadi kalau ada penduduk yang rumahnya tidak layak huni berarti untuk makan saja dia pasti lebih sulit, karena rumahnya bagus saja belum tentu cari makannya mudah. Pekerjaan responden sehari-hari adalah mencari kayu bakar untuk dijual, kemudian mencari rumput untuk kambing orang lain yang dititip kepadanya. Penghasilan sehari-harinya diperoleh dari menjual kayu bakar dari ranting-ranting pohon yang dikumpulkan. Untuk bagi hasil ternak diperoleh dalam jangka waktu yang relatif lama mulai dari tiga bulan untuk bagi hasil ternak kambing, sampai dengan satu tahun untuk bagi hasil ternak sapi setelah dipotong huta ng-hutangnya selama masa pemeliharaan. Jumlah anak Responden sebenarnya tujuh orang, namun semuanya meninggal satu persatu saat mereka masih berusia balita. Saat balita anak-anaknya tersebut sakit, namun karena tidak ada biaya untuk berobat maka hanya dibawa ke dukun saja. Setelah dibawa sampai kepada tiga orang dukun dan belum juga sembuh, maka akhirnya Responden pasrah saja dengan kondisi ini dan berserah diri kepa pertolongan Allah. Erat kaitannya dengan kesehatan dan ekonomi keluarga ini adalah adanya informasi tentang masih adanya budaya yang mengatakan bahwa “banyak anak banyak rejeki” juga turut mempengaruhi kondisi kehidupan warga miskin. Selain itu mereka juga yakin bahwa tiap-tiap anak sudah ada bagian rejekinya masingmasing dari Sang Pencipta, namun mereka tidak bisa lagi mencarinya agar mencukupi dengan keterbatasan yang ada. Akhirnya banyak anak yang terlantar, tidak sekolah, bahkan ada yang sudah bekerja sebagai buruh bangunan atau tukang ojek kalau sudah berusia belasan tahun. Mereka memang menghasilkan rejeki karena mereka bekerja, namun sebenarnya belum saatnya mereka menghasilkan secara ekonomi sekarang ini adalah saatnya mereka untuk duduk di bangku sekolah. Ketika ditanya apakah Responden pernah sakit dan bagaimana cara mengatasinya, Responden menjawab sebenarnya ada sakit yang sering dirasakan
116
di dadanya namun karena tidak ada biaya transport ojek ke Puskemas maka ia tidak memperdulikan lagi rasa sakit itu, lama kelamaan rasa sakit itu tidak dirasakan lagi. Responden lebih memilih menggunakan uang yang ada untuk membeli beras daripada untuk biaya transport ojek ke Puskesmas. Untuk makan sehari-hari responden sering berhutang (ngutang) pada tetangga atau warung disekitarnya. Setelah dapat upah baru dibayar. Ngutang yang dimaksud disini ada lah ngutang kecil-kecilan untuk makan saja, responden tidak berani mengambil kredit atau utang dalam jumlah besar karena tidak mampu membayar nantinya. Selain itu dalam berhubungan dengan bank selalu diminta persyaratan berupa kesanggupan untuk mengembalikan angsuran dalam jumlah tertentu dengan jaminan. Padahal mereka jelas-jelas tidak mempunyai barang berharga sebagai jaminan. Dengan demikian responden tidak pernah memanfaatkan jasa bank sebagai tempat untuk meminjam modal usaha. Ketika ditanya apakah Res ponden pernah menjadi sasaran program bantuan untuk rakyat miskin dari Pemerintah, ia menjawab pernah namun pada tahap pelaksanaan seleksi oleh Tim dari Kantor Desa, pertama-tama ditanyakan kesanggupan responden untuk menyetor jumlah yang telah ditetapkan sebagai angsuran pengembalian pinjaman bantuan modal usaha ini. Padahal dengan kondisi responden tersebut untuk makan saja kadang-kadang tidak ada, tetapi malahan ditanya kesanggupan untuk mengangsur diluar kemampuannya, maka otomatis responden dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi sasaran program tersebut. Dengan demikian untuk menghindari kegagalan program, maka ditunjuklah orang-orang dari golongan agak miskin yang dianggap mampu untuk mengembalikan jumlah angsuran yang telah ditetapkan oleh Tim Seleksi tersebut. Hal yang demikian tentu saja menjadikan warga miskin terisolir dari sumbersumber yang sebenarnya diperuntukkan bagi mereka. Hal senada juga disampaikan oleh Zohri selaku kepala dusun yang kebetulan mendampingi pada saat wawancara mengatakan bahwa: “Permasalahan lainnya dalam kasus bantuan untuk warga miskin adalah kurang tepatnya sasaran sehingga banyak dinikmati oleh orang-orang yang tidak terlalu miskin namun dekat dengan elit desa. Kemudian pengguliran hanya dilakukan di lingkungan keluarga warga yang mendapatkan bantuan pada tahap pertama saja. Untuk bisa sampai kepada orang lain membutuhkan waktu lama, bahkan bantuannya sudah habis duluan.” Ketika pelaksanaan kegiatan padat karya Program P2MPD berupa pentaludan sungai di lingkungannya, responden mengaku ikut bekerja dan memperoleh upah namun ia mengatakan bahwa jauh lebih penting membuat sengkedan untuk warga yang tinggal di daerah rawan longsor di perbukitan ini. Artinya responden hanya terlibat saat pelaksanaan program saja, padahal ada yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat luas selain pentaludan sungai seperti yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan oleh tim dari desa tersebut. Selain itu warga juga melakukan protes kepada tim dari desa mengenai volume pekerjaan yang bisa dihasilkan oleh dana yang sebenarnya cukup besar berdasarkan informasi awalnya itu. Hal seperti ini memang kerap terjadi jika warga yang menjadi sasaran program tidak dilibatkan dalam tahap perencanaan dan kurang adanya transparansi dari para oknum birokrat atau tim yang dibentuk.
117
Mengenai luas kepemilikan lahan juga kini semakin sedikit karena sistem pewarisan kepada anak-cucu yang semakin lama semakin bertambah terus jumlahnya. Bahkan setelah lahan ini dibagikan, banyak yang kemudian menjualnya karena desakan ekonomi, sehingga lahan yang dulunya dimiliki oleh warga setempat kini banyak dimiliki oleh orang kaya dari luar desa. Sementara itu menurut informasi responden, dalam sistem bagi hasil antara pemilik sawah atau ternak dengan buruh tani ataupun orang miskin ya ng mengelolaanya (pengangon), seringkali terjadi hasilnya sudah habis atau tersisa sedikit karena diambil sedikit demi sedikit karena desakan ekonomi selama proses pemeliharaan berlangsung. Jadi pada saat panen mereka hanya mendapatkan sedikit sisa dari ha knya itu, atau bahkan tidak mendapatkan apa-apa setelah dipotong hutang-hutangnya. Responden mengeluh dengan ketidakpastian penghasilannya. Responden berharap pemerintah bisa lebih memperhatikan rakyat miskin dengan memberikan bantuan sarana usaha agar bisa memperoleh penghasilan yang tetap baik bagi dirinya maupun warga miskin lainnya.
118
Kemiskinan dan Pendekatan Kelembagaan di Desa Mambalan Zohri adalah sosok pemimpin masyarakat yang sangat perduli pada kondisi kemiskinan warganya. Meskipun ia hanya seorang kepala dusun namun ia memiliki pikiran yang jauh kedepan tentang masa depan warga dusunnya. Namun ia bingung dengan siapa ia harus berdiskusi mengenai cara untuk mengatasi masalah kemiskinan yang terjadi di wilayahnya. Setelah beberapa kali bertemu dan melakukan tukar pikiran dengan pengkaji, akhirnya Zohri memutuskan untuk mengundang warganya dari semua lapisan untuk membicarakan permasalahan kemiskinan yang ada dan cara -cara yang bisa ditempuh untuk mengatasinya. Menurut masyarakat, seseorang dikatakan miskin jika ia tidak punya pekerjaan tetap atau memiliki pekerjaan tetapi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya seperti makan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Dalam pertemuan pertama semua warga yang hadir menyampaikan permasalahan mereka adalah tidak adanya modal usaha, namun setelah dijelaskan bahwa kita akan mencari akar permasalahan dari masalah tidak adanya modal ini baru kemudian muncul masalah-masalah lainnya. Masalah-masalah lainnya yang muncul kemudian adalah keterampilan kurang, pengangguran, tidak ada asset atau modal untuk berusaha dan mere ka merasa terisolir atau kurangnya akses terhadap program pemerintah. Dengan permasalahan-permasalahan yang ada ini kemudian muncul harapan-harapan warga miskin terhadap pemerintah adalah: adanya lapangan pekerjaan yang tetap, ada latihan keterampilan, ada bantuan alat atau bahan, atau ada bantuan tambahan modal. Selain permasalahan yang ada, dicoba juga untuk mendata potensi dan sumberdaya yang dimiliki komunitas. Dalam pertemuan ini diketahui bahwa sumberdaya alam berupa lahan pertanian dimiliki oleh seba gian kecil bangsawan kaya dan orang kaya dari luar desa. Hutan hanya bisa dimanfaatkan untuk bercocok tanam sayuran dan buah-buahan oleh warga satu dusun yang berdekatan dengan hutan saja. Pada akhirnya dapat disadari bahwa jauh lebih penting dari semua itu adalah warga komunitas masih memiliki hubungan kekerabatan yang masih erat, dan semangat saling mempercayai serta tolong menolong diantara warga merupakan modal sosial yang memungkinkan untuk melaksanakan suatu kegiatan bersama untuk mengatasi masalah ke miskinan komunitas. Hal ini diketahui dari pernyataan salah seorang peserta yang ditemui mengatakan: “Walau kami miskin, tapi jika ada tetangga kami yang mengalami musibah seperti sakit, sedang membangun rumah, atau menyelenggarakan hajatan, maka kami sebagai tetangga pasti datang membantu dengan membawa bahan atau alat kerja semampunya. Hal ini kami lakukan karena kami percaya jika kami mengalami hal yang sama, maka tetangga yang lainpun pasti akan berlaku sama.” Sejalan dengan itu Zohri juga menceritaka n sifat kegotong-royongan yang dirasakan masih cukup kuat, asalkan untuk kepentingan bersama. Cara yang biasa dilakukan dalam gotong royong dalam pembangunan prasarana fisik untuk umum
119
misalnya adalah dengan cara bergiliran untuk keluar bekerja atau menyumbang nasi bungkus. Jika seorang kepala keluarga tidak keluar bekerja, maka dia wajib menyumbang nasi bungkus buatan sendiri dengan lauk semampunya. Demikian pula sebaliknya jika dia keluar bekerja, maka yang menyumbang nasi bungkus adalah warga yang tidak keluar bekerja. Setelah melalui beberapa kali pertemuan diskusi dengan warga hadir dari semua lapisan masyarakat tersebut akhirnya disepakati perlunya membentuk sebuah lembaga atau wadah sebagai media bagi komunitas untuk bertemu dan berdialog mengenai permasalahan bersama dan upaya untuk mengatasinya berdasarkan sumber -sumber dan kelembagaan yang ada. Termasuk juga sebagai media untuk menyampaikan aspirasi komunitas kepada pemerintah desa. Selain itu lembaga yang akan dibentuk ini juga akan mengatur dan mengelola pemanfaatan sumber-sumber lokal maupun sumber luar yang bisa dimanfaatkan oleh komunitas miskin untuk meningkatkan penghasilannya, serta menghubungkan komunitas dengan pihak-pihak terkait yang bisa membantu seperti Dinas Instansi Pemerintah dan Pihak Swasta. Keputusan pembentukan lembaga yang disepakati bernama LPPM (Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat) Mambalan ini diperkuat dengan pernyataan Zohri selaku kepala dusun dan tokoh masyarakat yang sangat perduli dengan kemiskinan warganya yang mengatakan: “Masyarakat sebenarnya sudah mengerti tentang program pemerintah, dan mereka juga tahu tentang hak-haknya. Namun mereka tidak tahu bagaimana cara untuk menyampaikan harapan mereka sesuai dengan hakhaknya tersebut. Semoga melalui lembaga yang dibentuk ini masyarakat dapat menyampaikan harapannya kepada pemerintah.” Lebih jauh lagi Zohri juga mengungkapkan bahwa dalam kasus program bantuan untuk warga miskin, seleksi dilakukan oleh Tim Pengelola Keuangan Desa (TPKD), termasuk juga penentuan jumlah angsuran pengembalian oleh warga miskin yang menjadi sasaran. Dalam kasus ini banyak warga yang benarbenar miskin yang tidak sanggup dengan ketetapan TPKD ini. Akhirnya yang memperoleh bantuan malahan warga masyarakat yang dekat dengan elit desa atau golongan menengah yang sanggup dengan ketetapan TPKD tersebut. Oleh karena itu tambahnya melalui lembaga yang telah dibentuk ini diharapkan pendataan yang tepat sasaran, pengaturan distribusi dan pengelolaan bantuan dapat dilakukan. Tingkat pendidikan yang rendah, dan kurangnya penyuluhan dari petugas instansi pemerintah menjadikan masyarakat semakin tidak tahu informasi tentang sumber-sumber dan pelayanan publik yang bisa dimanfaatkan untuk mengatasi masalahnya. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga yang menjadi wadah masyarakat untuk berhubungan dan menjangkau sumber-sumber yang tersedia untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang ada ungkap Zohri. Selain itu menurut besar (50%) milik orang (kesepakatan) antara warga bisa bekerjasama dalam menguntungkan.
zohri sumberdaya berupa lahan pertanian sebagian luar desa. Dalam hal ini dibutuhkan awik-awik melalui wadah LPPM dengan pemilik lahan untuk pengolaan pertanian secara adil dan saling