1st Edition / Edisi Perdana
BANTUAN HUKUM BERBASIS MASYARAKAT
Dari Redaksi
P
“Bondye konn bay, men li pa konn separe”
Dasuki,
Mediator
Andoyo,
Fasilitator
Sri,
Paralegal
emberdayaan hukum bagi kelompok masyarakat miskin adalah kerja keras yang tidak bisa disimpan sendirian. Dia butuh kawan: untuk memberi dukungan, kritikan atau sesekali penghargaan. Kawan juga diperlukan agar kita tidak harus mengulang segala sesuatu dari titik paling awal melainkan kerja estafet yang saling meneruskan dan memperkuat satu sama lain. Langkah paling awal untuk dapat kawan adalah berkenalan. Terbitan Newsletter pertama program Bantuan Hukum berbasis Masyarakat (BHM) ini dimaksudkan sebagai salam untuk memberitakan secara ringkas apa itu BHM: tujuan, strategi, lokasi program atau para pelaku yang bekerjasama mewujudkan tujuan program ini. Berbagai rubrik dalam terbitan ini memang masih ‘sesak’ dengan mandat untuk perkenalan program. Meski demikian, lewat rubrik profil paralegal, studi kasus dan cerita dari lapangan, diharapkan pembaca bisa merasakan berbagai kesenangan-kesenangan kecil –juga ancaman kegagalan dari sebuah inisiatif pembentukan posko pelayanan bantuan hukum yang dikelola dan digerakan oleh masyarakat itu sendiri. Dalam terbitan berikutnya, pasti lebih menyenangkan jika mendengar cerita dari kawan-kawan seperjalanan yang hendak membagi pengalaman dalam membangun inisiatif bantuan hukum di Indonesia (baca: ini sebuah undangan). Begitupun,perkenalan harusnya ditujukan untuk menambah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam terbitan ini dapat dibaca cuplikan Komik dan karikatur berbagai pengetahuan hukum sederhana: silakan dibaca, dijadikan bahan pembicaraan warung kopi atau ditempel di kantor kelurahan! Tapi..... buat apa sih kita repot-repot berkawan? Pepatah petani Haiti yang saya kutip di atas mungkin bisa jadi jawaban: jika bersama mungkin kita lebih mudah ‘membagi’ keadilan. Tabik, Redaksi
Redaksi/Editor: Dewi Damayanti, Taufik Rinaldi, Matthew Zurstrassen, Teguh P. Nugroho Kontributor/Contributor : Ismail Hasani Supplemen Komik/ Comic supplement: SEBIKOM Jogjakarta Lay out : Tria Manggala Kontak Redaksi/Contact: Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat (Revitalization of Legal Aid) Justice for The Poor Program - The World Bank Social Development Sub-Office Jln. Cik Di Tiro No. 68A, Menteng, Jakarta Pusat 10130 Tel. +62 21 391 1908, 310 7158 Fax. +62 21 392 4640 www.justiceforthepoor.or.id
TABLE OF CONTENTS Daftar Isi BANTUAN HUKUM BERBASIS MASYARAKAT (BHM)
1 2
DARI REDAKSI PILOT PROGRAM / PROGRAM PILOT Revitalization of Legal Aid / Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat
6 7
PROFIL “Menjadi Paralegal Setelah PHK”
CASE STUDY / STUDI KASUS Motor Seized, Money Frozen / “Motor Disita, Uang Ditahan”
9
EVALUATION REPORT / LAPORAN EVALUASI Revitalization of Legal Aid Program, Phase I (Sept 05 – Feb 07) / Program Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat, Tahap I (Sep 05 – Peb 07)
Justice for the Poor Program, World Bank
REVITALIZATION OF LEGAL AID PROGRAM (RLA)
Justice for the Poor Program, World Bank
12 18
Supplement / Suplemen
“Organization plays an important role in legal empowerment ... Even if the disadvantaged understand their rights, they may remain powerless unless they work together to assert common interests or to protect members of their group” 1
Comic / Komik
VISITING REPORT / LAPORAN KUNJUNGAN Tanggamus District, Lampung “What Community Wants Is That The Posko Solves All Problems” / Kabupaten Tanggamus, Lampung “Maunya Masyarakat, Posko Bisa Menyelesaikan Semua Masalah”
21
OPINION / OPINI Developing Paralegalism Initiative Developing Paralegalism in Indonesia Box : Sharing Lessons in Paralegal Issues / Inisiatif Pengembangan Keparalegalan Mengembangkan Keparalegalan di Indonesia Box : Berbagi Pembelajaran Keparalegalan
Revitalization of Legal Aid
Background
Legal empowerment initiatives for marginalized communities need to take into consideration both social context and how the existing legal system functions in those communities. Efforts to decrease poverty have to be directed at the structural and policy level with a main aim to empower the bargaining position of marginalized communities in representing their interests and increasing their capacity to protect their social-economic rights. This means that, in addition to conducting legal awareness socialization, efforts to support marginalized communities have to also place emphasize on strengthening of community organizations so that these organizations develop the capacity to directly address the needs of their communities and represent these interests in the local government policy process. In this context, the main aim of this legal empowerment initiative “...is to . Asian Development Bank, Legal Empowerment: Advancing Good Governance and Poverty Reduction, Overview Report, http://www1. worldbank.org/publicsector/legal/index.htm, pg. 7 1
“Organization plays an important role in legal empowerment ... Even if the disadvantaged understand their rights, they may remain powerless unless they work together to assert common interests or to protect members of their group” 1 Latar Belakang
Inisiatif pemberdayaan hukum bagi kelompok masyarakat miskin harus mempertimbangkan konteks sosial masyarakat dan pengalaman bekerjanya sistem hukum yang ada. Upaya untuk mengurangi kemiskinan harus diarahkan pada aspek struktural dan kebijakan dengan tujuan pokok untuk menguatkan posisi tawar mereka dalam merepresentasikan kepentingan dan kemampuan untuk melindungi hak-hak sosial-ekonomi kelompok miskin tersebut. Oleh karena itu, disamping tetap melakukan penyadaran hukum, intervensi kepada kelompok miskin harus diarahkan pada penguatan organisasi masyarakat sendiri agar mampu menjawab kebutuhan anggotanya serta sehingga kemudian dapat pula merepresentasikan kepentingan kelompok miskin dalam proses pengambilan kebijakan di tingkat pemerintah. Dengan demikian, tujuan inisiatif bantuan hukum sudah seharusnya, “...is aim to overcome the combination of constraints that prevent the disadvantaged from accessing the legal system and participating in governance, and which thereby limit the success of poverty reduction eforts.”2 Ketidaktahuan akan hukum berakibat pada situasi dimana kelompok masyarakat miskin menghadapi berbagai persoalan seperti: manipulasi atas sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi, kriminalisasi oleh negara, diskriminasi perlakuan lembaga penegak hukum. Pengabaian terhadap keberadaan institusi masyarakat di tingkat lokal mengakibatkan tidak bekerjanya mekanisme penyelesaian konflik . Asian Development Bank, Legal Empowerment: Advancing Good Governance and Poverty Reduction, Overview Report, http://www1. worldbank.org/publicsector/legal/index.htm, pg. 7 2 . ibid pg. 9 1
masyarakat sehingga memicu konflik sosial dalam skala besar dan luas. Pengalaman kelompok masyarakat miskin ketika berinteraksi dengan lembaga penegak hukum telah memunculkan persepsi buruk dan ketidakpercayaan akan sistem hukum formal.
Tujuan BHM • • •
Peningkatan kesadaran hukum dan keterampilan advokasi bagi kelompok masyarakat miskin melalui pendidikan hukum masyarakat Penguatan kapasitas institusi masyarakat di tingkat lokal (organisasi rakyat, petani, buruh) dalam melakukan pelayanan bantuan hukum melalui pembentukan paralegal Pembentukan Pelayanan Mediasi Masyarakat (Community Mediation Service/CMS)
Strategi BHM
overcome the combination of constraints that prevent the disadvantaged from accessing the legal system and participating in governance, and which thereby limit the success of poverty reduction eforts.” 2 Legal ignorance places marginalized communities in positions where they may potentially be faced with issues ranging from manipulation of natural and economic resources, government sanctioned crime and discrimination by legal institutions. Dismissing the existence of community institutions reduces the effectiveness of dispute resolution mechanisms and may cause more wide-spread social conflict. Similarly, the experience of marginalized groups in interacting with legal institutions has created bad perceptions and distrust in the formal legal system.
The Purpose of RLA • • •
Increasing the legal awareness and advocacy skill for marginalized groups through community legal education Strengthening the capacity of community institutions at the local level (village organizations, farmers, labour organizations) to deliver legal aid services through the development of paralegals Establishing Community Mediation Services (CMS)
RLA Strategy
(i) Working with community institutions/organizations at the local level. The geographical condition and size of the population in Indonesia means that various community empowerment, including legal empowerment, approaches need to be developed at the lowest, community, level: this includes through village and farmer organizations, fishermen, women’s groups, labour organizations, and many more). Working through community organizations ensures increased access to education and legal assistance as well strengthening the sustainability of the program. (ii) Conducting community legal education based on the legal needs of particular communities. (iii) Provision of legal assistance that provides choice in dispute resolution mechanisms. Surveys at the national level show that most legal issues/disputes in community are resolved through informal . ibid pg. 9
2
(i) Berbasis pada lembaga organisasi masyarakat di tingkat komunitas. Kondisi geografis dan jumlah populasi di Indonesia mengarahkan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat, termasuk pemberdayaan hukum, dikembangkan di tingkat terbawah yaitu komunitas: desa, organisasi petani, nelayan, kelompok perempuan, buruh dan sebagainya. Hal ini untuk menjamin akses terhadap pendidikan dan bantuan hukum sekaligus untuk memelihara keberlanjutan program itu sendiri. (ii) Pendidikan hukum masyarakat sesuai dengan konteks persoalan hukum komunitas. (iii) Penyediaan bantuan hukum dalam berbagai pilihan penyelesaian masalah. Survey di tingkat nasional menunjukan bahwa sebagian besar masalah/sengketa hukum di masyarakat diselesaikan melalui mekanisme informal (negosiasi, mediasi), selain melalui penyelesaian formal atau advokasi. Bantuan hukum, karenanya, dapat bekerja untuk mempeluas pilihan penyelesaian bagi masyarakat yang memerlukannya. (iv) Penguatan network bagi lembaga/organisasi masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan bantuan hukum masyarakat harus dilengkapi dengan upaya penguatan jaringan kerja bersama organisasi masyarakat sipil, NGO, instansi pemerintah dan instansi hukum terutama di tingkat lokal.
Kegiatan Pokok
Penguatan Organisasi Masyarakat. Lewat pelatihan dan pendampingan fasilitator, program berupaya untuk menguatkan organisasi lembaga/organisasi masyarakat seperti: peta sosial masyarakat, kaderisasi, administrasi, dokumentasi dan pembiayaan kegiatan posko BHM. Selain itu, disediakan pula dukungan untuk memperkuat jaringan kerja antara posko BHM dan jaringan kerja bantuan hukum, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media massa dan aparat pemerintah/hukum di tingkat lokal. Pendidikan Hukum Masyarakat. Dengan melibatkan dukungan Jaringan Kerja Bantuan Hukum di tingkat nasional, Instansi Penegak Hukum, Aparat Pemerintah Daerah, program melakukan berbagai upaya pendidikan hukum melalui: (i) Pelatihan Paralegal 3 kali dalam 1 tahun; (ii) PelatihanMediasi 1 kali dalam setahun; (iii) Klinik Hukum setiap 3 bulan dan (iv) Pendidikan hukum bagi kelompok masyarakat 1 kali perbulan. Pendekatan pokok dalam kegiatan ini adalah pendidikan hukum berbasis pada konteks dan persoalan hukum konkrit masyarakat. Revitalization of Legal Aid
mechanisms (negotiation, mediation). Formal mechanisms or advocacy are only used as a last resort. Legal assistance, therefore, gives communities more choices in how to resolve disputes. (iv) Empowering community institution/organization networks. Providing community legal aid knowledge and skills needs to be complimented with efforts to strengthen local networks through links between civil community organizations, NGOs, government officials, and legal institutions with a focus at the local level.
Main Activities
Strengthening Community Organizations. Through training and support from facilitators, the program aims to empower community organizations in areas including: community social mapping, cadre training, administration, documentation, and budgetting for RLA posko activities. In addition, support is also provided to strengthen networks between RLA posko and legal aid networks, civil community organizations, academicia, mass media, and government and legal officials at the local level. Community Legal Education. With the support of a legal aid network at the national level and the involvement of legal institutions and local government officials, the program conducts legal education through: (i) Paralegal Training three times a year; (ii) Mediation Training once a year; (iii) Legal Clinics every three months, and (iv) Legal education for communities once a month. All the legal education activities are targetted to respond directly to the context and needs of communities. Case Handling. Training and support from facilitators are essential to increase the knowledge and skill of paralegals and village mediators to support community members in resolving their legal issues or disputes reported to RLA posko. A key principle here is to provide community members with more choices in resolving their disputes. Alternatives include consultation, litigation, mediation, negotiation, and advocacy. The provision of case assistance is also used as important tool for community legal education. If necessary, support can also obtained from community lawyers, gender specialists, and legal aid networks, at both the local and national levels. Strengthen Government Policy for Community Legal Empowerment. This activity is run by the Justice for the Poor team in cooperation with LP and program facilitators. Policy advocacy documents will be drafted based on case documentation and legal issues identified through RLA posko. The documents will be socialized to the government and legal institutions, at both the local and national levels.
RLA Program Structure NATIONAL
JUSTICE FOR THE POOR PROGRAM & LEGAL AID NETWORK
(i)Organization strengthening
PROVINCE
IMPLEMENTING AGENCIES: COMMUNITY LAWYER, GENDER SPECIALIST
(ii)Community Legal Education
DISTRICT
PROGRAM FACILITATOR
(ii)Case support
VILLAGE/ COMMUNITY
RLA POSKO (2) PARALEGAL, M/F (2) VILLAGE MEDIATOR
(iv)Strengthening legal empowerment policy
Revitalization of Legal Aid
Penanganan Kasus. Pelatihan dan pendampingan fasilitator dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan Paralegal dan Mediator Desa guna membantu masyarakat menyelesaikan persoalan hukum atau sengketa yang dilaporkan ke Posko BHM. Prinsip utama dalam kegiatan ini adalah untuk memperbanyak pilihan penyelesaian sesuai dengan preferensi si pelapor (konsultasi, litigasi, mediasi, negosiasi dan advokasi). Pendampingan kasus dipakai sebagai media penting bagi pendidikan hukum bagi masyarakat. Jika diperlukan, tersedia dukungan dari Pengacara Masyarakat, Spesialis Gender dan Jaringan Kerja Bantuan Hukum, baik di tingkat lokal maupun nasional. Penguatan Kebijakan Pemberintah untuk Pemberdayaan Hukum Masyarakat. Kegiatan ini dijalankan oleh Tim Justice for the Poor program bekerjasama dengan LP dan Fasilitator Program. Bentuk kegiatan ini adalah penyusunan naskah advokasi kebijakan berdasarkan dokumentasi kasus dan persoalan hukum yang terjadi di posko BHM. Naskah tersebut akan disosialisasikan kepada pemerintah dan instansi penegak hukum, lokal dan nasional.
Struktur Program BHM NASIONAL
JUSTICE FOR THE POOR PROGRAM & JARINGAN BANTUAN HUKUM
(i) Penguatan organisasi
PROPINSI
LEMBAGA PELAKSANA: PENGACARA MASYARAKAT, SPESIALIS GENDER
(ii) Pendidikan Hukum Masyarakat
KABUPATEN
FASILITATOR PROGRAM
(ii) Pendampingan kasus
POSKO BHM (2) PARALEGAL, L/P (2) MEDIATOR DESA
(iv) Penguatan kebijakan pemberdayaan hukum
D E S A KOMUNITAS
/
Implementasi Program
Program BHM telah dijalankan mulai September 2005 - Februari 2007 (tahap 1) mencakup 3 propinsi dengan total 15 Kabupaten. Guna meningkatkan dan mengembangkan inisiatif program, maka BHM dilanjutkan pada tahap ke-2 ( January 2008 - Desember 2009) di lokasi yang sama, yaitu: a. Propinsi Lampung dengan Lembaga Pelaksana Kantor Bantuan Hukum (KBH) Lampung b. Propinsi Jawa Barat dengan Lembaga Pelaksana RACA Institute c. Propinsi Nusa Tenggara Barat dengan Lembaga Pelaksana Gravitasi Mataram
Peran dan Jenis Pelaku Program.
Lembaga Pelaksana (propinsi). Lembaga Pelaksana adalah LSM/ organisasi masyarakat yang memiliki pengalaman melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pendidikan hukum, bantuan hukum dan advokasi minimal 5 tahun terakhir. Yang paling penting adalah LP memiliki pengalaman dan dapat diterima oleh organisasi masyarakat di mana Posko BHM dibentuk. Tugas pokok LP adalah mengelola
Program Implementation
The first phase of the RLA program, September 2005 – February 2007 operated in three provinces and a total of fiveteen districts. To strengthen and further develop this initiative, RLA will continue in a second phase ( January 2008 – December 2009) in the same locations: a. Province of Lampung with Kantor Bantuan Hukum (KBH or Legal Aid Office) as the Implementing Agency b. Province of West Jawa with RACA Institute as Implementing Agency c. Province West Nusa Tenggara with Gravitasi as Implementing Agency
Functions of Program Stakeholders
Implementing Agency (Province). The Implementing Agency is a NGO/community organization that has experience in conducting community empowerment activities, legal education, legal assistance and advocacy over the last five years. Most importantly, the Implementing Agency must have experience working with community organizations where RLA posko are established. The main function of the Implementing Agency is to manage program implementation in each province by overseeing the work of program management staff, administration, community lawyer, gender specialist, and program facilitators. Community Lawyer (CL) & Gender Specialist (GS). The main function of CL and GS is to help Implementing Agencies in identifying community legal issues and to prepare Legal Education Curricula that better address social contexts and meet the needs of program beneficiaries. Every month the CL and GS conduct Legal Clinics to posko groups (5 RLA posko) targetted at Paralegal, Village Mediator, and community members. Where required, CL and GS will also help in resolving issues/cases submitted to Posko. Posko Facilitator. Posko facilitators are recruited based on their experience working with communities at the grass roots level and their legal knowledge. One facilitator is responsible for providing support to a minimum of 5 RLA posko in socialization, community legal education, and case assistance. Posko Paralegal. Paralegals represent their community, with one male and one female paralegal in each RLA posko. Paralegal are identified by Facilitators and community members and receive paralegal training at least three times a year. Paralegals are responsible for managing posko activities, organizational strengthen, legal education, and case handling. Each paralegal is responsible for conducting education and case assistance for at least one community group (such as Koran reading, farmers, irrigation, and others) at the village level. Although paralegals are independent they can draw on support from facilitators. Village Mediator. Local community leaders who are active in conducting mediation to resolve community disputes and are trusted by community members will receive mediation training and assistance through this program. The program will, in particular, try to identify capable female community leaders. Total Program Stakeholders: 3 Community Lawyers, 3 Gender Specialists, 12 Program Facilitators, and 60 RLA posko (120 paralegals; 120 Village Mediator; and 120 community groups in village/unions level). (TR)
pelaksanaan program di propinsi masing-masing dengan menyediakan tenaga manager program, administrasi, pengacara masyarakat, spesialis gender dan fasilitator program. Pengacara Masyarakat & Spesialis Gender. Tugas pokok PM dan SG adalah membantu LP dalam memetakan persoalan hukum masyarakat untuk menyusun Kurikulum Pendidikan Hukum yang lebih sesuai dengan persoalan dan konteks sosial penerima manfaat program. PM dan SG akan melakukan Klinik Hukum bagi Paralegal, Mediator Desa dan anggota masyarakat 1 kali setiap bulan untuk 1 kelompok posko (5 Posko BHM). Jika diperlukan, PM dan SG akan membantu penyelesaian masalah/kasus yang dilaporkan ke Posko. Fasilitator Posko. Selain memiliki latar belakang pengetahuan hukum, Fasilitator diseleksi berdasarkan pengalamannya bekerja
bersama kelompok masyarakat di tingkat basis. Satu orang Fasilitator bertanggungjawab untuk mendampingi minimal 5 posko BHM baik dalam kegiatan sosialisasi, pendidikan hukum masyarakat dan pendampingan kasus. Paralegal Posko. Paralegal merupakan perwakilan masyarakat, terdiri dari 1 orang laki-laki dan 1 orang perempuan di setiap Posko BHM. Paralegal diidentifikasi bersama oleh Fasilitator dan anggota masyarakat untuk kemudian mendapat pelatihan paralegal minimal 3 kali dalam periode 1 tahun. Paralegal bertanggungjawab untuk mengelola kegiatan posko, penguatan organisasi, pendidikan hukum dan penanganan kasus. Satu orang paralegal bertanggungjwab untuk melakukan pendidikan dan pendampingan kasus bagi minimal 1 kelompok masyarakat yang ada di desa/komunitas tersebut (pengajian, petani, pengairan, dll.). Pendampingan oleh Fasilitator diarahkan pada kemandirian paralaegal. Mediator Desa. Tokoh masyarakat setempat yang selama ini dipercaya melakukan fungsi mediasi untuk menyelesaikan persengketaan warga masyarakat akan menerima pelatihan mediasi dan pendampingan dalam program ini. Proses identifikasi diarahkan pada tokoh perempuan di tingkat komunitas. Jumlah total Pelaku Program yaitu: 3 orang Pengacara Masyarakat, 3 orang spesialis gender, 12 orang Fasilitator Program dan 60 Posko BHM (120 orang paralegal; 120 orang Mediator Desa dan 120 kelompok masyarakat di tingkat desa/serikat buruh). (TR)
Revitalization of Legal Aid
Menyenangkan sekali mengobrol dengan profil Newsletter RLA kali ini. Sri Suyati, yang akrab dipanggil Mbak Sri, seorang paralegal perempuan di dunia perburuhan yang didominasi oleh laki-laki. Berikut petikan wawancara dengan perempuan bersuara lantang ini tentang pengalamannya sebagai paralegal buruh:
Sejak kapan Mbak Sri menjadi paralegal bagi para buruh? Sejak tahun 2000, ketika itu saya masih bekerja di sebuah perusahaan Garmen. Saat itu saya dan beberapa teman-teman menuntut hak normatif para pekerja kepada pihak pengusaha. Tuntutannya lumayan berhasil, dari 23 tuntutan 17 dikabulkan. Tapi akibatnya malah saya yang dipecat. Kemudian ada tawaran dari serikat pekerja Gaspermindo untuk bergabung untuk bergabung menjadi pengurus di cabang Bogor. Saya mau bergabung, karena ada keinginan untuk belajar mengenai dunia perburuhan. Semenjak itu saya mendampingi teman-teman buruh melakukan advokasi hak-hak mereka. Apa sih pengertian paralegal buat Mbak Sri? Paralegal adalah orang yang bisa membantu dirinya menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya (masalah buruh/hukum-red) dan setelah itu ia bisa membantu menyelesaikan masalah orang lain. Masalah apa yang biasanya ditangani? Biasanya sih advokasi normatif, seperti upah, cuti, libur, jamsostek, lembur, pokoknya hal-hal yang sudah diatur dalam UU ketenagakerjaan. Tapi seringkali juga saya membantu advokasi di luar hal-hal yang normatif (tidak ada dalalm UU ketenagakerjaan, tetapi sudah disepakati bersama oleh buruh dan pengusaha-red). Misalnya soal uang makan, jemputan, seragam yang biasanya sudah ada dalam Perjanjian Kerja. Bisa cerita bagaimana penanganan masalah buruh di posko BHM selama bergabung dalam program ini? Pertama-tama buruh lapor dulu ke paralegal yang ada di masing-masing perusahaan, kami menyebutnya sebagai pengurus basis atau paralegal basis. Kemudian terjadi perundingan antara pengusaha dengan buruh bersama pengurus basis yang disebut perundingan bipartit. Jika, tidak tercapai kesepakatan, maka paralegal basis biasanya melapor ke paralegal yang ada di serikat kerja. Di sini saya mulai berperan. Saya biasanya melakukan perundingan bipartit tahap II. Jika belum selesai juga, maka pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dilibatkan. Disini terjadi perundingan tripartit, dimana ada pemetintah sebagai pihak ketiga. Jika belum berhasil juga maka kasus akan diselesaikan melalui PPHI (Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial-red) Apakah semua paralegal bisa mendampingi buruh di PPHI? Dan apakah paralegal sudah mampu melakukan pendampingan di PPHI? Semua paralegal buruh yang mempunyai kartu pengurus serikat buruh
Revitalization of Legal Aid
bisa mendampingi buruh sampai ke PPHI. Hanya saja memang tidak semua kawan-kawan mampu melakukan pendampingan ketika sudah masuk PPHI. Soalnya kan prosedur PPHI itu cukup rumit, apalagi bagi teman-teman paralegal yang masih baru. Apa tantangan terbesar ketika menjalankan peran sebagai paralegal bagi buruh? Yang pertama dari pengusaha. Pengusaha sering sekali tidak proaktif terhadap masalah buruh dan tidak akomodatif terhadap tuntutan-tuntutan buruh. Bahkan, teman-teman seringkali mengahadapi ancaman-ancaman ketika sedang melakukan advokasi. Untuk paralegal, seringkali disulitkan jika harus mengikuti training-training atau kegiatan serikat buruh. Seringkali izin training dikurangkan langsung ke jatah cuti buruh. Padahal kan UU ketenagakerjaan sudah mengatur dan memperbolehkannya. Belum lagi, seperti yang kita ketahui, keberpihakan pemerintah pada pengusaha melalui berbagai peraturan perburuhan yang ada. Apakah tekanan dari pengusaha sering membuat paralegal mundur? Tergantung. Paralegal baru biasanya memang sering agak takut menghadapi tekanan dari para pengusaha. Namun, biasanya makin banyak mereka mendapat pelatihan soal perburuhan juga mengikuti diskusi-diskusi tentang berbagai masalah perburuhan dan UU terbaru, biasanya itu menambah keberanian mereka. Pengalaman advokasi yang paling berkesan buat mbak Sri? Yang paling berkesan itu malah kasus advokasi di pabrik garmen dimana saya bekerja dulu. Di situ tuntutan kami dipenuhi oleh pengusaha, tapi malah saya di-PHK karena kasus itu. Kasus itu yang juga mengantarkan saya menjadi paralegal untuk membantu kawan-kawan melakukan advokasi seperti sekarang ini. Selain kasus-kasus buruh pernah menangani kasus lain? Pernah, tapi baru sebatas orang tanya-tanya saja. Pernah ada yang tanya soal cerai, pernah juga ada yang berkonsultasi soal askes gakin (keluarga miskin-red) ada juga yang pernah menanyakan soal tanah. Mungkin karena saya dianggap mengerti hukum atau sering berhubungan dengan UU segala macam. Keterampilan apa yang paling penting bagi paralegal? Buruh harus cerdas membaca situasi baik yang diciptakan oleh pengusaha maupun pemerintah. Setiap perubahan peraturan membutuhkan strategi baru atau strategi berbeda untuk menghadapinya. Pokoknya selalu tambah wawasan terus dan banyak belajar dari manapun. Bagaimana rasanya menjadi paralegal perempuan, apalagi untuk dunia perburuhan? Sebenarnya nggak ada masalah. Teman-teman yang laki-laki sudah dapat menerima dengan baik keterlibatan perempuan dalam berbagai kegiatan dan diskusi. Cuma memang ingin sih lebih banyak paralegal perempuan. Menurut perhitungan saya, perbandingannya 1:20 jumlah paralegal perempuan:lakilaki di buruh. Tapi saya faham, agak sulit perempuan terlibat, karena mereka ada keluarga yang harus dipikirkan.(DD)
Nama : TTL : Pendidikan : Alamat :
BIODATA
Sri Suyati Purworejo, 3 Juli 1973 Sekolah Menengah Kesejahteraan Keluarga (SMKK) Negeri Purworejo Cibinong, Kab. Bogor
Pengalaman Kerja : Tahun 1994 - 1999 PT. Idea Gantara - Cibinong Tahun 1999 - 2000 PT Ricky Putra Garmindo Tahun 2000 - sekarang Pengurus di Serikat Pekerja Gaspermindo Pengalaman organisasi: 1. Sampai sekarang di Serikat pekerja Gaspermindo, sejak Tahun 2006 bertindak sebagai Ketua Cabang Bogor 2. Aktif di Koalisi Buruh Bogor (KBB) 3. Bersama Justice for The Poor-Bank Dunia melakukan studi banding tentang paralegal di Filiphina 4. Perwakilan Indonesia dalam Rapat Jaringan Buruh Se- Asia Pasifik di Thailand.
”Motor Disita, ”Motor Seized, Uang Ditahan” Money Frozen” Posko Case Study in NTB
This case happened in a posko in Jelantik village, Kecamatan Puyung, Kabupaten Lombok Tengah. Many motor dealers and lending companies provide credit to people in the area to enable them to purchase cars or motorbikes. This trend has created cases such as the one below. The example below highlights how a posko can help people such as Bapak Suryadi resolve their cases.
Chronology
In October 2006, Pak Suryadi was introduced to Pak Adin (not a real name), a local police officer, through a mutual friend. Pak Adin claimed he needed money and wanted to pawn his motorbike for 3.1 million Rupiah. Pak Adin promised to return the money in a month. Although Pak Adin couldn’t offer any guarantee that the motorbike was actually his, Pak Suryadi agreed to the transaction and trusted Pak Adin because he was a police officer. About two weeks later someone from a lending company met Pak Suryadi and told him that the motorbike wasn’t owned by Pak Adin but by a relative. The lending company took the motorbike from Pak Suryadi, claiming instalments hadn’t been repaid in 8 months and that because of this the company had a right to seize the bike. Pak Suryadi contacted Pak Adin after the motor was taken to get his money back as promised. Despite numerous promises from Pak Adin, several months passed and still no money had been repaid, Pak Suryadi tried to get a friend of his from the local military post to help in retreiving the money, but with no success. After five months of trying to retreive the money, Pak Suryadi was telling one of his friends about the experience. This friend told Pak Suryadi about the posko and that he knew personally a mediator, Pak Dasuki, who might be able to handle cases like Pak Suryadi’s. After hearing this Pak Suryadi to report his case to Pak Dasuki. As a retired policemen, Pak Dasuki, has gained respect from the community. His house is often used for get-togethers among villagers who come for advice on issues or disputes that involve the law. Pak Dasuki and Pak Suryadi’s first step was to talk again to Pak Adin who then asked for a week to collect the money so he could repay the loan. As predicted, Pak Adin failed to keep his promise again. A week later, Pak Dasuki and Pak Suryadi went to the district police station in Lombok Tengah where Pak Adin worked. Pak Dasuki reminded Pak Adin about his position as a police officer and that the way he collected money from Pak Suryadi could be considered a crime that could be processed in court. Because of the pressure placed on him by Pak Dasuki and the potential embarrassment, Pak Adin finally paid 2 million Rupiah a few days later
”Saya ini orang desa, sungkan berurusan dengan aparat. Untung ada dia (mediator desa), yang berani berhadapan dengan aparat untuk membantu orang-orang seperti saya” Warga desa pemakai jasa mediasi
Desa Jelantik merupakan salah satu desa di Kecamatan Puyung, Kabupaten Lombok Tengah yang bisa dicapai dalam waktu 1 jam berkendaraan dari Ibu Kota propinsi NTB, Mataram. Di desa tersebut, institusi masyarakat tradisional yang dikenal dengan nama Banjar, tetap berfungsi sebagai wadah yang mengatur pola hubungan sosial masyarakat setempat. Sejak tahun 2005 lalu, banjar desa Jelantik berpartisipasi dalam program Bantuan Hukum berbasis Masyarakat (BHM) di mana terdapat posko BHM berikut Paralegal dan Mediator Desa.
Gadai Motor yang Berujung Hutang
Suatu siang di bulan Oktober 2006, seorang aparat Kepolisian dari Polres Praya, Lombok Tengah, ditemani seorang kenalan mendatangi rumah Pak Suryadi –pemilik bengkel kecil di desa Jelantik. Polisi itu, kita sebut saja Pak Adin, berniat menggadaikan motor yang diakui miliknya kepada Pak Suryadi karena membutuhkan uang dalam jumlah cukup besar. Pak Suryadi kemudian menyerahkan uang Rp 1,3 juta kepada Pak Adin yang berjanji akan menebus motor tersebut bulan depan. Meskipun tanpa dilengkapi dengan dokumen BPKB, Pak Suryadi saat itu mengaku percaya pada Pak Adin, ”Dia kan polisi, jadi saya kira tidak mungkin dia membohongi saya,” ujar Pak Suryadi. Lewat dua pekan dari kunjungan Polisi tersebut, tiba-tiba beberapa orang yang mengaku sebagai petugas kredit motor mendatangi kediaman Pak Suryadi. Mereka bersikeras akan membawa paksa motor yang digadaikan oleh Pak Adin dengan alasan bahwa motor tersebut sebenarnya masih dalam status hutang kredit. Berdasarkan peraturan kredit motor, jika pemiliknya tidak membayar angsuran motor selama 8 bulan berturutturut, maka pihak pemberi kredit berhak untuk mengambil paksa motor tersebut. Meskipun sudah menjelaskan status gadai Pak Adin, namun motor tersebut tetap disita dan tinggalah Pak Suryadi yang merasa sangat dirugikan dan jengkel karena merasa telah ditipu. Keesokan harinya, Pak Suryadi segera menghubungi Pak Adin untuk meminta agar yang bersangkutan segera mengembalikan uang pinjaman sebesar Rp 3,1 juta tersebut. Yang bersangkutan kemudian menyatakan bahwa ia bersedia untuk segera membayar. Namun lewat beberapa bulan berlalu, janji pembayaran tersebut tidak pernah ditepati. Setiap kali mendatangi rumah Pak Adin, selalu saja janji kosong yang diberikan tanpa pernah dipenuhi. Pak Suryadi merasa sangat kesal dengan hal tersebut. Selain merasa telah ditipu, ia juga sebenarnya mengaku agak segan untuk berurusan dengan aparat negara seperti Pak Adin, ”Saya kan segan juga karena dia itu Polisi,” akunya. Walaupun sempat meminta bantuan salah seorang kenalannya, aparat Kodim setempat, untuk menekan Pak Adin agar melunasi hutangnya, tetap saja janji tersebut tidak pernah dipenuhi.
Revitalization of Legal Aid
and promised to pay the remaining amount in one month. When the interview took place, the deadline for the final payment was due in the coming week. Pak Dasuki and Pak Suryadi planned to visit Pak Adin in his house to get the final payment.
Posko Role
When asked why he always failed in getting the money back from Pak Adin, Pak Suryadi replied “it’s difficult for me to ask Pak Adin to do things. He’s a policeman you know, so I feel inferior to him.” Pak Suryadi was amazed when he saw how brave Pak Dasuki to argue with Pak Adin at the police station. His approached worked and it probably helped that he was once in the military and knows about the law, meaning that Pak Adin had to think twice about his actions. As village mediator, Pak Dasuki received training but he also is frequently asked to resolve cases from villagers who ask him for solutions. In this case, Pak Dasuki’s position as an ex-law enforcement officer provided him with knowledge of how to use the law to get a positive response. Pak Dasuki knew that in this context Pak Adin could be found guilty of an act of criminal deception for hawking goods that could be confiscated by a credit company.
Why do cases like this occur frequently?
Motorbike dealers are frequently advertising deals that promise easy access to credit to purchase motorbikes with deposits as low as Rp.500.000,- But this has led to numerous problems. Many people borrow money to buy motorbikes with very little intention of repaying. After missing a few repayments dealers find it difficult to meet with the borrowers to re-acquire the motorbikes. In some instances, even before the repayments have been remade, borrowers are selling the motorbikes on or hawking them. This causes problems for people like Pak Suryadi, who want to buy the goods or lend money using them as collateral and trust those selling the goods, either because they know them or because they hold a high position in the community. In addition to this, they often claim they need the money for their families. In this case, Pak Suryadi is considered lucky because person who sold the motorbike was still around. In a lot of cases, after money is obtained from the victim, the seller often disappears. Pak Suryadi thinks he’s learned his lesson ”what I have to learn from this is to be careful about buying or lending money on goods where they don’t have complete documentation. Before I wanted to ask but didn’t. I’ve learnt.” According to Pak Dasuki, these cases occur frequently in the area. He thinks villagers need knowledge on transactiong goods, such as motorbikes, so they aren’t tricked anymore. Fortunately, the posko that Pak Dasuki established in his house often acts as a meeting place for villagers, including for traditional banjar (community organization) and youth meetings. At these meetings the paralegals and mediators often open discussions about various legal issues. Pak Dasuki thinks this way often sharing information about law is more effective then through formal meetings. (DD)
Revitalization of Legal Aid
Menempuh Jalur Mediasi
Lima bulan berlalu, Pak Suryadi kemudian mendengar keberadaan Posko BHM di desa Jelantik. Ia mendapat informasi dari tetangganya bahwa di Posko tersebut tersedia jasa mediator desa, Pak Dasuki, yang bisa dimintai bantuan untuk menyelesaikan persengketaan hutangpiutangnya bersama Pak Adin. Kebetulan, Pak Dasuki adalah seorang pensiunan polisi dan cukup disegani di Desa Jelantik dan sekitarnya. Pak Dasuki juga selama ini dikenal suka membantu jika masyarakat desa memiliki persoalan hukum atau sengketa. Setelah mendengar cerita kasus selengkapnya, Pak Dasuki kemudian mendatangi kediaman Pak Adin guna menawarkan penyelesaian sengketa hutang piutang tersebut lewat mediasi. Dengan tekun ia mendengarkan persoalan dari sisi Pak Adin. Lewat beberapa pertemuan, dicapai kesepakatan bahwa Pak Adin akan segera melunasi hutang tersebut dalam waktu beberapa minggu. Sayangnya, perilaku buruk Pak Adin ternyata belum juga berubah. Janjinya masih tidak ditepati. Melihat perkembangan tersebut, mediator desa kemudian berinisiatif untuk mendatangi Pak Adin di Polres Praya untuk mendesak yang bersangkutan segera memenuhi kesepakatan untuk membayar hutang itu segera. Mediator dengan jelas menyampaikan bahwa tidak sepatutnya seorang aparat kepolisian melakukan tindakan penipuan kepada warga desa yang seharusnya justru dilindungi kepentingan hukumnya oleh Polisi. Mediator juga menegaskan bahwa Pak Adin bisa diancam pidana karena pasal penipuan. ”Saya kagum dengan keberanian dia (mediator) dan sikap tegasnya agar Pak Adin segera melunasi hutang kepada saya,” kata Pak Suryadi yang menemani mediator ke kantor Polres hari itu. Himbauan keras dari Mediator desa Jelantik akhirnya mambawa hasil baik; tiga hari kemudian Pak Adin melunasi sebagian besar hutangnya (Rp 2 juta) dan akan membayar sisanya tak lama kemudian.
Peran Mediator
Pak Dasuki memang dilatih sebagai mediator desa, tetapi seringkali orang desa langsung melapor kasus padanya dan minta dibantu menyelesaikan. Dalam kasus ini Pak Dasuki membantu Pak Suryadi untuk bernegosiasi dengan pihak Pak Adin yang nyata-nyata telah merugikan Pak Suryadi. Kedudukan Pak Dasuki sebagai mantan anggota polisi memberikan bekal yang cukup kepadanya untuk mengetahui bagaimana aturan hukum yang seharusnya diterapkan atas suatu kasus. Pak Dasuki paham, bahwa dalam hal ini Pak Adin dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana penipuan karena menggadaikan barang yang statusnya akan disita oleh perusahaan pemberi kredit. Pak Dasuki mengatakan bahwa kasus-kasus serupa ini memang sedang marak terjadi didaerahnya. Menurutnya masyarakat perlu mendapat pengetahuan soal jual beli barang-barang terdaftar seperti kendaraan bermotor agar tidak ada yang tertipu lagi. Untungnya, posko berada di rumah Pak Dasuki yang juga sering menjadi tempat berkumpulnya para penduduk sekitar entah itu untuk pertemuan banjar ataupun perkumpulan para pemuda sekitar. Di saat seperti inilah paralegal dan mediator posko sering bertukar pikiran tentang berbagai masalah hukum. Menurut Pak Dasuki cara ini lebih efektif untuk menyampaikan informasi tentang hukum kepada penduduk daripada melalui pertemuan-pertemuan formal. (DD)
Revitalization of Legal Aid Program, Phase I (Sept 05 – Feb 07) 1. INTRODUCTION
Since its inception in September 2005, the Revitalization of Legal Aid Program (RLA) has had success in empowering communities to access their legal rights in the three provinces where it is being piloted. In Lampung, Jawa Barat and Nusa Tenggara Barat active posko (legal aid posts) have supported cases that have a direct impact on the lives and livelihoods of communities. Cases handled have included negotiating re-employment for union members unfairly dismissed,mediating land disputes and on-going negotiations to re-open a port that will provide fishermen with better market access. Posko members are more confident of the capacity to resolve disputes fairly and villagers have expressed approval for the services they provide. The program has been particularly successful in building capacity where posko have pre-existing links to broader community groups such as adat or union groups. The combination of case handling and socialization activities in these posko has been mutually re-enforcing and their services are in demand, in some cases too in demand. The varying strength of posko depends heavily both on the commitment of posko members and on the capacity and commitment of TF (tim fasilitator or field facilitators). In cases where these are not optimal the impact of the program has been affected. In particular, where posko members have limited pre-existing community networks socialization activities suffer, impacting on the number of cases reported to posko. Posko members in most cases have had particular difficultly reaching out to women in communities. Finally, the commitment level of a minority of TF is an issue in each province. These are the main findings of a review conducted of RLA between May to June of 2007. The overall objective of the review was to assess whether or not RLA has improved access to justice for communities where it operates and to provide recommendations for the second phase of RLA and broader community legal empowerment programs. This article describes some of the main findings of the review with a particular focus on activities at a posko level. Section 2 provides background on RLA and posko operations. In section 3, activities related to socialization, legal education, case handling and mediation are assessed. Section 4 summarises gender issues. In section 5 documentation issues are addressed. Finally, section 6 provides conclusions and recommendations.
Program Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat, Tahap I (Sep 05 – Peb 07) 1. PENDAHULUAN
Sejak dimulai pada bulan September 2005, Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat/BHM (Revitalization of Legal Aid Program/RLA) telah berhasil memberdayakan masyarakat untuk mengakses hak-hak hukum mereka di tiga propinsi tempat yang menjadi contoh (pilot). Di Lampung, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat posko secara aktif telah membantu kasus-kasus yang mempunyai pengaruh langsung pada hidup dan kehidupan masyarakatnya. Kasuskasus yang ditangani termasuk negosiasi untuk mendapatkan kerja kembali bagi buruh anggota serikat yang telah dipecat secara tidak adil, menengahi sengketa tanah, negosiasi yang masih berlangsung untuk membuka kembali pelabuhan yang memberi nelayan akses pasar yang lebih baik. Anggota posko lebih percaya diri terhadap kemampuannya untuk menyelesaikan sengketa secara adil dan masyarakat desa telah menunjukkan penerimaan pada layanan yang mereka berikan. Program ini telah sukses khususnya dalam membangun kemampuan dimana posko telah mempunyai hubungan sebelumnya dengan kelompok masyarakat luas seperti adat atau perserikatan. Kombinasi cara menangani dan mensosialisasi kegiatan di posko-posko semacam ini telah memperkuat kembali fungsinya dan layanan mereka banyak dibutuhkan, juga pada beberapa kasus. Variasi kekuatan setiap posko tergantung sekali pada komitmen anggota posko dan pada kemampuan serta komitmen dari tim fasilitator/ TF. Pada kasus-kasus dimana hal-hal tersebut tidak optimal, pengaruhnya pada program juga terlihat. Khususnya, bila anggota posko mempunyai jaringan dengan masyarakat yang terbatas, sosialisasi kegiatan terganggu sehingga mempengaruhi jumlah kasus yang dilaporkan ke posko. Pada banyak kasus anggota posko mempunyai kesulitan tertentu untuk membuka hubungan dengan perempuan di masyarakat. Pada akhirnya, tingkat komitmen sebagian kecil TF merupakan isu di setiap propinsi. Hal-hal tersebut merupakan temuan dari tinjauan yang dilaksanakan RLA antara bulan Mei sampai Juni 2007. Tujuan keseluruhan dari tinjauan ini adalah untuk mengetahui apakah RLA mempunyai akses yang lebih baik ke keadilan bagi masyarakat dimana RLA dilaksanakan dan telah memberikan rekomendasi untuk RLA tahap dua dan programprogram pemberdayaan hukum masyarakat yang lebih luas. Artikel ini memberi gambaran beberapa temuan dari tinjauan dengan fokus tertentu pada kegiatan-kegiatan di tingkat posko. Bagian 2 merupakan latar belakang RLA dan operasi-operasi posko. Di bagian 3, kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sosialisasi, pendidikan hukum, penanganan kasus dan mediasi ditinjau. Bagian 4 mengupas masalah gender. Di bagian 5 pendokumentasian isu ditinjau. Terakhir, bagian 6 memaparkan kesimpulan dan rekomendasi. Revitalization of Legal Aid
2. OVERVIEW OF RLA AND POSKO OPERATIONS
2. TINJAUAN PELAKSANAAN RLA DAN POSKO
2.1. Overview of RLA
2.1. Tinjauan RLA
“Our role is to help villagers. If there is disorder, we can provide assistance to villagers to try and resolve the problems peacefully at the village level. In this way there won’t be interference from the police.” Paralegal, Lampung Although documentation at the posko level is still rudimentary, LP (Lembaga Pelaksanaan or Implementing agency) reports indicate that the 94 posko across the three implementing provinces have handled a total of 831 cases in RLA phase 1, an average of approximately eight cases per posko. The average number of cases handled per posko does not vary significantly between provinces. However, variation occurs in the types of cases and the type of assistance provided. Across the three provinces land (25% of cases) and criminal law (24%) issues were the most
common, followed by civil (18%) and labour law (16%). In Lampung, land cases were particularly prevalent (28%). A third of all cases in NTB involved criminal law issues, with a proportionally high number (16%) of corruption cases also being handled there. In Jawa Barat, a third of all cases involved labour issues. This is to be expected as one-third of posko have links to labour unions. Legal consultation was the most popular form of assistance provided by posko, accounting for almost 40% of assistance provided, followed by advocacy (29%) and mediation (19%). Legal consultation was particularly in demand for cases involving criminal (49%), civil (45%) and labour law (44%). Mediation was popular for both labour cases and family law cases (both 33%). Communities, preferred to use advocacy methods when the cases involved either land (40%) or corruption issues (37%). 2.2. Posko History and Composition One of the key objectives of RLA was to identify structures that were created in response to past specific legal-political issues (primarily land and labour cases) and to strengthen these structures to provide broader services to community members in three areas: legal aid assistance; alternative dispute resolution; and community legal education. As such,
10
Revitalization of Legal Aid
“Tujuan kami adalah untuk membantu masyarakat desa. Bila ada penyimpangan, kami dapat membantu masyarakat untuk mencoba dan menyelesaikan masalahnya secara damai di tingkat desa. Dengan cara ini tidak akan ada campur tangan polisi.” Paralegal, Lampung Meskipun dokumentasi pada tingkat posko masih sangat dasar, laporan Lembaga Pelaksanaan/LP menggambarkan 94 posko yang tersebar di tiga propinsi yang mengimplementasikan program ini, telah menangani sejumlah 831 kasus pada RLA tahap 1, sekitar 8 kasus tiap posko. Jumlah rata-rata kasus yang ditangani per posko tidak banyak berbeda antar propinsi. Yang berbeda adalah variasi tipe kasus dan bantuan yang diberikan. Di tiga propinsi tersebut kasus yang paling umum adalah masalah tanah (25% dari jumlah kasus) dan hukum kriminal (24%), diikuti dengan masalah sipil (18%) dan hukum buruh (16%). Di Lampung, kasus tanah tersebar di beberapa daerah khususnya (28%). Sepertiga dari semua kasus di NTB adalah mengenai masalah hukum kriminal, dengan angka secara proporsional tinggi (16%) untuk kasus korupsi yang juga ditangani disana. Di Jawa Barat, sepertiga dari semua kasus melibatkan masalah-masalah buruh. Ini dapat diduga karena sepertiga posko mempunyai hubungan dengan serikat buruh. Konsultasi hukum adalah bentuk bantuan yang paling sering diberikan oleh posko, kira-kira hampir 40% dari bantuan yang telah diberikan, diikuti oleh advokasi (29%) dan mediasi (19%). Konsultasi legal khususnya diminta untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan kriminal (49%), sipil (45%), dan hukum buruh (44%). Mediasi sangat umum baik untuk kasus buruh dan hukum keluarga (keduanya 33%). Masyarakat, memilih untuk menggunakan metode advokasi bila kasus menyangkut tanah (40%) atau korupsi (37%). 2.2. Sejarah dan Komposisi Posko Salah satu tujuan kunci RLA adalah untuk mengidentifikasi struktur yang diciptakan untuk menyelesaikan masalahmasalah hukum-politik tertentu di masa lalu (terutama kasus tanah dan buruh) dan untuk menguatkan struktur ini dalam menyediakan layanan yang lebih luas kepada anggota masyarakat di tiga cakupan: bantuan hukum, alternatif penyelesaian sengketa, dan pendidikan hukum masyarakat. Dengan demikian, di banyak kasus, hubungan antara LP dan anggota posko telah terjalin sebelumnya. LP mempunyai peranan penting dalam mengidentifikasi posko. Anggota posko adalah sukarelawan dan posko tidak menerima pendanaan untuk menutup biaya administratif, operasi, atau pelatihan. Anggota posko menerima pelatihan secara berkala dari LP dan TF. Kurangnya sumber dana untuk posko sering dimunculkan sebagai penghambat utama kegiatan posko. Namun demikian, sejumlah anggota posko yang mendapatkan pelatihan tetap aktif. Mengetahui latar belakang anggota posko dirasakan perlu karena ini ada kaitannya dengan cara mereka melaksanakan pekerjaannya. Anggota posko dapat dibagi menjadi tiga kategori umum sebagai anggota masyarakat. Pertama, proporsi anggota posko mempunyai posisi berpengaruh di desa mereka. Masyarakat desa sering meminta pendapat mereka mengenai kasus bukan karena peran mereka sebagai paralegal atau mediator tapi dalam kapasitas mereka sebagai tokoh masyarakat. Membekali para tokoh masyarakat ini dengan pelatihan dan peran
in most cases a pre-existing relationship was present between the LP and posko members. The LP play an important role in identifying posko. Posko members are volunteers and the posko does not receive funding to cover administrative, operating or training costs. Posko members do receive periodic training from the LP and TF. The lack of financial resources for posko is often raised as a key limitation for posko activities. Despite this, a significant number of posko members who attended training remain active. It is important to understand the background of posko members as this has an impact on the manner in which they implement their work. Posko members can be divided into three broad categories of community members. First, a significant proportion of posko members have other influential positions within their village. Villagers often seek their advice in these cases not in their role as paralegals or mediators but in their capacity as local leaders. Providing these leaders with training and semi-formal roles as posko members can increase their status within communities. This is mostly positive as it increases the quality of their dispute resolution skills. In a minority of cases, this re-enforces the status quo, not necessarily representing the interests of the most marginalized. Second, a number of posko members play a more adversarial role. The posko members are seen as providing checks on the power of local authorities and therefore, do not enjoy good relations with those authorities. Finally, some posko members had limited experience or had yet to develop sufficient credibility within the community to effectively manage a posko.
3. STRENGTHENING THE CAPACITY OF EXISTING POSKO 3.1. Socialization and Legal Education Socialization at the village level is taking place in a variety of forms including through formal meetings, informal socialization to small groups of villagers on an ad hoc basis and socialization through case handling. Formal socialization has been more successful where posko are able to tap into pre-existing community structures and attach their message to routine meetings at the community level. The ability of the posko to tap into these structures varies greatly and depends heavily on the status of posko members in their community. In several posko in NTB, posko members have had success in socializing their activities through routine monthly meetings of banjar (local adat organizations). Socialization can also occur informally. Posko members invariably pass on information about their activities and the existence of the posko when meeting in smaller groups or through informal interaction with extended family and friends in their village. With informal socialization, the breadth of socialization is dependent on the networks of the posko members. Awareness may therefore be limited to a number of villagers determined by the posko members. This has implications on the extent to which other groups including women and the most marginalized can access information. Using actual cases to provide information on legal education has been an effective tool to socialize posko activities. It provides concrete examples to villagers about the importance of protecting their rights. The approach however, requires the presence of cases and is more successful when cases involve community interests against third parties rather than conflicts within a community. Socialization through case handling has, for example, been used as a successful strategy by posko linked to unions in Jawa Barat. In most villages, socialization has been conducted to village level officials. The type of socialization depended both on local context and the composition of posko members but also, just as importantly, on the initiative of facilitators. In a number of villages the TF accompanied
semi-formal sebagai anggota posko dapat meningkatkan status mereka didalam masyarakat. Hal ini dinilai positif karena dapat meningkatkan kualitas kemampuan mereka dalam memecahkan masalah. Pada kasuskasus sederhana, hal ini menegaskan status quo, tidak selalu mewakili kepentingan kelompok marginal. Kedua, sejumlah anggota posko memainkan peran yang kurang menguntungkan. Anggota posko tersebut terlihat sedang melakukan pengawasan terhadap penguasa setempat sehingga tidak mendapatkan hubungan yang baik dari penguasapenguasa tersebut. Yang terakhir, beberapa anggota posko mempunyai pengalaman yang terbatas atau masih harus mengembangkan kredibilitas yang cukup di dalam masyarakat untuk dapat mengelola posko secara efektif.
3. MEMPERKUAT KAPASITAS POSKO YANG ADA 3.1. Sosialisasi dan Pendidikan Hukum Sosialisasi di tingkat desa dilakukan dengan berbagai bentuk termasuk melalui pertemuan resmi, sosialisasi tidak resmi dengan kelompok kecil masyarakat desa dengan tujuan tertentu saja, dan sosialisasi melalui penanganan kasus. Sosialisasi resmi lebih sukses bila posko mampu untuk masuk dalam struktur masyarakat yang sudah ada dan memasukkan pesan mereka dalam pertemuan rutin di tingkat masyarakat. Kemampuan posko untuk masuk dalam struktur tersebut sangat bervariasi dan tergantung pada status anggota posko di dalam masyarakatnya. Di beberapa posko di NTB, anggota posko sukses mensosialisasikan kegiatan mereka melalui pertemuan bulanan rutin di banjar (organisasi adat setempat). Sosialisasi juga dapat berlangsung secara tidak resmi. Anggota posko dengan berbagai cara menyampaikan informasi mengenai kegiatannya dan keberadaan posko saat pertemuan di kelompok kecil atau melalui interaksi tidak resmi seperti dengan keluarga besar dan teman di desa mereka. Melalui sosialisasi tidak resmi, cakupan sosialisasi tergantung pada jaringan yang dimiliki anggota posko. Kesadaran mungkin terbatas pada jumlah penduduk desa yang ditentukan oleh anggota posko. Ini dapat berpengaruh pada rentang kelompok-kelompok lain termasuk perempuan dan lapisan miskin yang dapat memperoleh informasi. Menggunakan kasus aktual untuk memberikan informasi pada pendidikan hukum merupakan cara efektif untuk mensosialisasikan kegiatan posko. Hal tersebut memberikan contoh nyata pada penduduk desa tentang pentingnya melindungi hak-hak mereka. Pendekatan ini bagaimanapun juga membutuhkan adanya kasus dan akan lebih sukses bila kasusnya menyangkut kepentingan masyarakat yang berhadapan dengan pihak ketiga daripada sekedar konflik diantara anggota masyarakat. Sosialisasi melalui penanganan kasus, sebagai contoh, telah digunakan sebagai strategi yang sukses oleh posko yang terkait dengan serikat-serikat di Jawa Barat. Di kebanyakan desa, sosialisasi telah dilaksanakan untuk pejabat tingkat desa. Jenis sosialisasi tergantung pada baik konteks setempat dan komposisi anggota posko tapi juga, sama pentingnya, pada inisiatif dari fasilitator. Di sejumlah desa TF didampingi oleh anggota posko untuk menjelaskan kegiatan-kegiatan posko pada pejabat desa. Namun hal ini terjadi di tingkat lainnya. Di posko kecil tidak ada sosialisasi dalam bentuk apapun pernah dilakukan. Ini adalah hasil dari kombinasi identifikasi yang kurang baik atas anggota posko yang tepat dan terbatasnya dukungan yang diberikan oleh TF. Meskipun kegiatan pendidikan hukum kelihatannya telah dilaksanakan di beberapa desa, aspek ini didalam program masih pada tahap awal dan pemberian pendidikan hukum belum dilaksanakan secara sistematis diseluruh posko. Kegiatan pendidikan hukum telah dilaksanakan dengan lebih sukses di desa-desa dimana posko terkait ke organisasi masyarakat yang lebih luas atau dimana anggota posko mempunyai posisi resmi di Revitalization of Legal Aid
11
Apa yang Harus Diperhatikan Bila Kita Menjadi Tersangka Sebuah Tindak Pidana? Bila Terjadi Penangkapan:
Revitalization of Legal Aid
12
Revitalization of Legal Aid
13
posko members to explain the activities of the posko to village officials. This did not, however, occur across the board. In a minority of posko no socialization has taken place whatsoever. This has been as a result of a combination of poor identification of appropriate posko members and limited ongoing support from the TF. Although legal education activities appear to have occurred in several of villages, this aspect of the program is still at a nascent stage and the provision of legal education has not been done systematically throughout all posko. Legal education activities have been conducted more successfully in villages where the posko is either linked to broader community organizations or where posko members hold formal positions
in their village. Further mentoring from the TF, distribution of materials (such as brochures and posters) to posko members and consideration of financial support to offset costs of organizations education activities are required to improve the impact of legal education activities. 3.2. Case Handling Case handling has been the strongest aspect of posko work. This is primarily because many posko were selected on the basis that they have a background in case handling. Posko members generally receive cases through word of mouth, because they are identified in their village as people that are able to resolve problems, or, in several villages, cases were referred to posko members by local level authorities. Most cases handled by posko are resolved at the village level. Posko members are comfortable with their ability to provide assistance on cases at this level. The training received by posko members is well tailored and has improved the capacity of these community members to resolve disputes. Similarly, posko users interviewed, were satisfied with the assistance provided by the posko. Of the posko visited, those linked to the banjar organizations in NTB or unions in Jawa Barat represented best practice in case handling. Here posko members document all their cases, in part because they are required to report their activities to the broader community organizations. Posko members also consciously use the cases as learning exercises for communities. The posko are supported by committed TF who provide advice on a needs basis and become more actively involved when cases enter the formal legal system or involve significant power imbalances. Further, focus on socializing activities to formal legal structures will help increase the legitimacy of posko members in their case handling activities. Without socialization to institutions in the formal system,
14
Revitalization of Legal Aid
desa mereka. Pengarahan lebih lanjut dari TF, distribusi bahan (seperti brosur dan poster) untuk anggota posko dan pertimbangan dukungan dana untuk menutup biaya kegiatan pendidikan organisasi dibutuhkan untuk memperbaiki hasil dari kegiatan-kegiatan pendidikan hukum. 3.2. Penanganan Kasus Penanganan kasus adalah aspek yang paling kuat dari pekerjaan posko. Hal ini dikarenakan kebanyakan posko dipilih dengan dasar latar belakang mereka dalam penanganan kasus. Anggota posko umumnya menerima kasus dari mulut ke mulut, karena di desanya mereka dianggap mampu menyelesaikan masalah, atau, di beberapa desa, kasus dilimpahkan ke anggota posko oleh penguasa tingkat setempat. Kebanyakan kasus yang ditangani oleh posko diselesaikan di tingkat desa. Anggota posko merasa sesuai dengan kemampuan mereka untuk menyediakan pendampingan pada kasus-kasus di tingkat ini. Pelatihan yang diterima oleh anggota posko telah dibentuk sedemikian rupa dan telah memperbaiki kemampuan anggota masyarakat tersebut untuk menyelesaikan sengketa. Sama halnya, pemakai jasa posko yang diwawancara menyatakan puas dengan pendampingan yang diberikan oleh posko. Dari posko yang telah dikunjungi, posko yang terkait dengan organisasi banjar di NTB atau serikat-serikat di Jawa Barat menggambarkan “best practices” dari penanganan kasus. Disini anggota posko mendokumentasikan semua kasusnya, selain itu karena mereka diminta untuk melaporkan kegiatannya pada organisasi masyarakat yang lebih luas. Anggota posko sengaja menggunakan kasus-kasus tersebut sebagai sarana praktek belajar bagi masyarakat. Posko tersebut didukung oleh TF yang berkomitmen yang memberikan saran berdasarkan kebutuhan dan menjadi lebih aktif terlibat bila kasus memasuki sistem hukum formal atau terlibat ketidaksesuaian kekuatan yang nyata. Lebih lanjut, fokus pada kegiatan-kegiatan sosialisasi di struktur hukum resmi akan membantu meningkatkan legitimasi anggota posko dalam kegiatan penanganan kasus mereka. Tanpa sosialisasi pada lembaga-lembaga di sistem formal, anggota posko akan menghadapi kesulitan untuk menerima pengakuan atas bantuan yang mereka berikan bila kasus memasuki sistem resmi. Ada tiga jenis kasus yang nampaknya mendapat dukungan penuh dari LP dibawah RLA. Yang pertama, kasus-kasus yang melibatkan anggota posko sebelum adanya RLA, seperti kasus-kasus buruh dan korupsi. Yang kedua, LP memainkan peranan aktif dalam memberikan dukungan pada serikat posko untuk memecahkan sengketa buruh. Pada kasus-kasus seperti ini, LP memberikan saran hukum, membantu dalam mengidentifikasi berkas-berkas yang diperlukan untuk memproses kasus, membantu posko untuk membangun jaringan dengan pemerintah daerah dan memberikan saran pada posko dalam mengembangkan strategi negosiasi. Dan terakhir, nampaknya LP memberikan beberapa bantuan pada kasus korupsi, namun dari posko-posko yang dikunjungi tidak ada yang menangani kasus korupsi.
4. GENDER
Masalah hukum yang dihadapi perempuan, khususnya dalam hal kekerasan rumah tangga, terus diidentifikasi sebagai satu dari banyak masalah utama yang dihadapi penduduk desa. Meskipun demikian, program RLA menghadapi kesulitan dalam menangani kebutuhan perempuan, dengan hanya 7,5% kasus di Lampung dan 6% di NTB melibatkan masalah-masalah hukum keluarga/kekerasan rumah tangga. Sedikitnya jumlah anggota posko yang perempuan menunjukkan tantangan untuk membantu penduduk desa yang perempuan. Merekrut anggota posko yang perempuan tidak mudah karena beberapa alasan. Pertama, program ini secara khusus diperuntukkan untuk pelaku penyelesaian sengketa dan biasanya ini didominasi oleh laki-laki.
posko members will find it difficult to receive recognition for the support they provide when cases enter into the formal system. There are three types of cases that appear to receive ongoing support from the LP under RLA. These are, first, cases involving the posko members that began prior to RLA, labour cases and corruption cases. Second, the LP is playing an active role in providing support to union posko to resolve labour disputes. In these cases the LP provides legal advice, assists in identifying documentation required to process cases, assists the posko to build networks with local government and provides advice to the posko on developing negotiating strategies. Finally, it appears the LP is providing some assistance on corruption cases, however none of the posko visited had handled corruption cases.
4. GENDER
Legal issues faced by women, in particular domestic violence, were constantly identified as one of the main issues facing villagers. Despite this, the RLA program faces difficulties addressing the needs of women, with only 7.5% and 6% of cases in Lampung and NTB respectively involving family law/domestic violence issues. The low number of female posko members represents a challenge for reaching out to female villagers. The recruitment of female posko members is difficult for a number of reasons. First, the program specifically targeted active dispute resolution actors and these are predominantly male. Second, recruitment of female posko members is limited by time and social stigma constraints. Third, the lack of female members in the TF and LP makes it more difficult to encourage female participation at the village level. Socialization through formal village structures does not necessarily reach women. Information provided at village meetings only reaches women second hand, if at all, as women villagers are less likely to attend meetings. One avenue for effective socialization is through the pre-existing groups that these posko are linked to. Although in some cases, such as land-based community organizations, these groups will be predominantly male based, in other cases, such as the unions in Jawa Barat they may be inclusive to women. Where women’s groups do not exist at a village level, socialization to women will depend on informal activities. However, the limited number of female posko members makes this form of socialization difficult. Further training on legal issues affecting women, in particular KDRT, was identified as a key training need. Although this additional training won’t necessarily increase demand for posko services from women it will be useful in socializing issues relating to KDRT to villagers more broadly. In addition, posko members should be provided with support, either through training or facilitator support, to increase their capacity to reach out to female community members. Finally, identifying services that are in need by female villagers is one way to increase use of the posko by women. One possibility is to provide training to posko members on a specific issue, such as the rights of tenaga kerja wanita (TKW), that will meet a market need, increase demand for posko services and assist in socializing the posko.
5.DOCUMENTATION
Documentation is a weak aspect of posko activities. There are two reasons for this. First, posko members feel that the burden of documenting activities outweighs the benefits derived from documentation. Documentation is perceived as taking too much time, with few tangible benefits. Second, the limited prioritisation on documentation in the first phase of RLA reduced the incentive of posko members to complete the forms. In two posko visited as part of this review the approach to documentation was significantly stronger than in the other posko. The primary reason is that these posko originate from more established organizations that
Kedua, perekrutan anggota posko yang perempuan terbatas oleh waktu dan hambatan stigma sosial. Ketiga, sedikitnya anggota perempuan di TF dan LP membuat sulit untuk mendorong partisipasi perempuan di tingkat desa. Sosialisasi melalui struktur desa resmi tidak selalu dapat mencapai perempuan. Informasi yang diberikan pada pertemuan desa hanya sampai pada perempuan melalui orang kedua, hal itu karena jarang penduduk desa yang perempuan menghadiri pertemuan. Salah satu cara untuk sosialisasi yang efektif adalah melalui kelompok-kelompok yang sudah ada yang mempunyai hubungan dengan posko. Meskipun di beberapa kasus, seperti organisasi masyarakat berdasarkan tanah, kelompok ini didominasi oleh laki-laki, dan dalam hal lain, seperti serikat di Jawa Barat yang mungkin termasuk anggota perempuan. Karena kelompok perempuan di tingkat desa tidak ada, maka sosialisasi untuk perempuan tergantung pada kegiatan-kegiatan tidak resmi. Bagaimanapun juga, terbatasnya jumlah anggota posko yang perempuan membuat bentuk sosialisasi semacam ini tidak mudah. Pelatihan lebih lanjut mengenai masalah-masalah hukum mempengaruhi perempuan, secara khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diidentifikasi sebagai pelatihan kunci yang dibutuhkan. Meskipun pelatihan tambahan serupa ini tidak akan menambah permintaan perempuan atas layanan posko tapi akan berguna bagi pensosialisasian masalah-masalah yang berkaitan dengan KDRT pada penduduk desa secara lebih luas. Ditambah lagi, anggota posko sebaiknya dibekali dengan dukungan, baik melalui pelatihan atau dukungan fasilitator, untuk meningkatkan kemampuan mereka untuk membantu anggota masyarakat yang perempuan. Pada akhirnya, pengidentifikasian layanan yang dibutuhkan penduduk desa perempuan adalah satu cara untuk meningkatkan penggunaan posko oleh perempuan. Satu kemungkinan adalah menyediakan pelatihan bagi anggota posko mengenai masalah khusus, seperti hak-hak tenaga kerja wanita (TKW), yang kemudian akan memenuhi kebutuhan pasar, meningkatkan permintaan atas layanan posko dan membantu mensosialisasikan posko tersebut.
5. PENDOKUMENTASIAN
Mendokumentasikan adalah aspek yang masih lemah dalam kegiatan posko. Ada dua hal yang menyebabkan ini. Pertama, anggota posko merasa beban kegiatan mendokumentasikan lebih berat daripada keuntungan yang didapat dari pendokumentasian tersebut. Kedua, keterbatasan prioritas dalam mendokumentasikan di tahap awal dari RLA mengurangi insentif anggota posko untuk melengkapi formulir. Di dua posko yang dikunjungi sebagai bagian dari tinjauan ini, pendekatan untuk mendokumentasikan nampak lebih besar daripada posko-posko yang lain. Penyebab utamanya adalah posko-posko ini asalnya adalah dari organisasi yang lebih mapan yang mendukung budaya mendokumentasikan. Anggota posko di posko-posko ini telah diyakinkan kalau dokumentasi dapat memperkuat kegiatan mereka dan mempermudah mereka mendapatkan data penting bila masyarakat membutuhkan. Kesulitannya adalah mendorong anggota posko untuk memulai proses mendokumentasikan. Ada dua hal yang dibutuhkan. Pertama, dibutuhkan satu bentuk pendokumentasian yang dapat memenuhi kebutuhan semua pihak yang terlibat tetapi sedapat mungkin tidak membebani anggota posko. Kedua, perlu usaha untuk meyakinkan anggota posko tentang pentingnya untuk mendokumentasikan, bahkan untuk mereka sendiri. Pendokumentasian seharusnya ditekankan pada saat pelatihan. Sama halnya, pendokumentasian sebaiknya digunakan oleh TF pada saat kunjungan ke posko untuk memandu diskusi mengenai kegiatan posko, apa yang telah dicapai, dan masalah yang dihadapi.
Revitalization of Legal Aid
15
encourage a culture of documentation. The posko members in these posko are convinced that documentation strengthens their other activities and provides them with important data on community needs. The difficulty lies in encouraging posko members to commence the documentation process. What is required is twofold. First, a form of documentation is required that satisfies the needs of all the stakeholders but imposes as little a burden as possible on the posko members. Second, efforts need to be made to convince posko members that documentation is of importance, including to themselves. Documentation should have greater prominence in training. Similarly, documentation should be used by TF in visits to posko to guide discussions on posko activities, achievements and problems.
6. CONCLUSIONS AND KEY LESSONS LEARNED
The implementation of the first phase of RLA has identified key lessons learned for the development of successful legal empowerment programs. These lessons learned have provided detailed recommendations for the next phase of RLA and also can provide guidance for other legal empowerment programs. This section will highlight the main lessons learned. These include the benefits in utilising pre-existing community structures as foundations for legal empowerment programs; the importance of the role of the facilitator in supporting the work of paralegals and mediators; strategies on how to maximise socialization and legal education to community members; and the need to ensure that posko services are accessible by all, in particular marginalized groups. 6.1. Linking to Community Structures Where Posko have strong links to pre-existing community structures they are more likely to succeed. These links can either be through formal community organizations such as adat systems in NTB or unions in Jawa Barat or where posko members are identified as local leaders with previous experience in resolving disputes. Where these pre-conditions exist, it is likely to provide the posko with legitimacy and respect from community members. These links also provide the posko with an immediate demand from an identifiable client base for their services and increase the impact of socialization and legal education activities. In addition, where posko are linked to broader community organizations they are likely to have better organizational capacity and this in turn impacts on the quality of the services provided by posko. Linking posko to pre-existing structures or identifying posko members with previous dispute resolution experience requires detailed local knowledge and a need to undertake an assessment or mapping exercise upfront to identify appropriate posko members. The one potential risk of linking posko to community structures is that clients are restricted to members of those community organizations. In practice this means, that marginalized members of the community who, by the nature, may not be represented in community structures may find it difficult to receive services from these posko. This risk can be reduced by monitoring the inclusiveness of posko activities and providing training on how to reach out to marginalized communities. As the structures already exist, RLA can work to improve the inclusiveness or equality of these structures. 6.2. The Role of the Facilitator Field research highlights the importance of the work of the facilitator in strengthening the capacity of posko. There is a strong correlation between posko that are successful and committed and active facilitators. The inverse also applies. Facilitators play a key role in identifying potential posko members, facilitating socialization and legal education activities and providing support to posko members in handling cases. They also provide the posko with legitimacy.
16
Revitalization of Legal Aid
6. KESIMPULAN DAN PENGALAMAN UTAMA YANG DIDAPAT Dari implementasi tahap pertama RLA telah diidentifikasi pengalaman utama yang didapat untuk pengembangan programprogram pemberdayaan hukum yang sukses. Pengalaman yang didapat telah memberikan rekomendasi rinci untuk tahap RLA selanjutnya dan juga dapat memberikan panduan untuk program-program pemberdayaan hukum lainnya. Bagian ini akan mengetengahkan pengalaman-pengalaman utama yang didapat. Hal ini termasuk keuntungan pemanfaatan struktur masyarakat yang sudah ada sebagai dasar bagi program pemberdayaan hukum; pentingnya peran fasilitator dalam mendukung pekerjaan paralegal dan mediator; strategi bagaimana untuk memaksimalkan sosialisasi dan pendidikan hukum pada anggota masyarakat; dan perlunya untuk meyakinkan kalau layanan posko dapat diakses oleh semua, terutama golongan masyarakat miskin.
6.1. Hubungan dengan Struktur Masyarakat Posko yang mempunyai hubungan kuat dengan struktur masyarakat yang ada kemungkinan akan lebih berhasil. Hubungan ini dapat melalui organisasi-organisasi masyarakat resmi seperti sistem adat di NTB atau serikat-serikat di Jawa Barat atau dimana anggota posko juga merupakan tokoh masyarakat yang telah mempunyai pengalaman dalam menyelesaikan sengketa. Bila kondisi awal seperti ini, posko kemungkinan mendapat legitimasi dan respek dari anggota masyarakat. Hubungan-hubungan ini juga membuat posko diminta segera oleh klien yang dikenal untuk memberikan layanan dan meningkatkan pengaruh dari kegiatan sosialisasi dan pendidikan hukum. Sebagai tambahan, bila posko dikaitkan dengan organisasi masyarakat yang lebih luas, kemungkinan posko tersebut mempunyai kemampuan organisasi yang lebih baik dan pada waktunya akan mempengaruhi kualitas layanan yang diberikan oleh posko. Menghubungkan posko ke struktur yang sudah ada atau mengidentifikasi anggota posko yang mempunyai pengalaman menangani sengketa sebelumnya membutuhkan pengetahuan mengenai kondisi setempat dengan rinci dan melakukan peneraan atau pemetaan sebelumnya untuk mengidentifikasi anggota posko yang sesuai. Risiko yang mungkin dihadapi dalam menghubungkan posko dengan struktur masyarakat adalah klien jadi terbatas pada anggota organisasiorganisasi masyarakat tersebut. Dalam prakteknya ini berarti kelompok marjinal dalam masyarakat yang secara alami tidak mempunyai wakil dalam struktur masyarakat akan menemui kesulitan untuk mendapatkan layanan dari posko tersebut. Risiko ini dapat ditekan dengan memonitor keterlibatan kegiatan posko dan mengadakan pelatihan mengenai bagaimana mencapai masyarakat marjinal. Karena struktur sudah terbentuk, RLA dapat bekerja untuk memperbaiki keterlibatan atau persamaan dari struktur-struktur ini. 6.2. Peranan Fasilitator Riset lapangan mengetengahkan pentingnya pekerjaan fasilitator dalam memperkuat kemampuan posko. Ada kaitan yang kuat antara posko yang sukses dan berkomitmen dengan fasilitator yang aktif. Hubungan sebaliknya juga berlaku. Fasilitator memainkan peranan penting dalam mengidentifikasi anggota posko yang potensial, memfasilitasi sosialisasi, dan kegiatan pendidikan hukum serta memberikan dukungan pada anggota posko dalam menangani kasus,juga memberi posko legitimasi. Peranan fasilitator adalah untuk meningkatkan ketrampilan anggota posko dan meningkatkan kemampuan posko tersebut. Hal ini membutuhkan penyeimbangan antara menciptakan hubungan kerja yang kuat dengan anggota posko dengan keyakinan bahwa anggota posko mandiri dan posko dikembangkan secara berkelanjutan. Jadi fasilitator awalnya harus terlibat secara intensif dengan anggota posko sebelum
The role of the facilitator is to increase the skills of posko members and build the capacity of the posko. This requires balancing creating a strong working relationship with posko members with ensuring that posko members are independent and posko are developed in a sustainable manner. Thus facilitators must initially engage intensively with posko members initially to build capacity and to assist in socializing activities, in particular to local officials. After capacity has been built, facilitators should become support mechanisms, whereby posko members contact them to seek clarification on issues, facilitators provide ongoing informal training and also provide support to resolve more complex legal issues. The selection of facilitators is therefore a key issue given the importance they play in legal empowerment programs. Facilitators should be committed to grass roots work and capable of building and maintaining strong relationships with posko members. To this extent they should be willing to spend substantial periods of time at the posko level. Furthermore, facilitators should also be offered the opportunity to build their skills through training over the course of the implementation of the program. 6.3. Strategies for Socialization The success of the posko will depend to a large degree on the ability of posko members to socialize activities to two groups of constituents: fellow community members and local level leaders. For maximal impact socializing the posko activities to villagers requires a combination of different approaches. This will include utilizing formal meetings that exist at the local level, whether village meetings or routine meetings of groups (religious, women’s, employee) within the village. Access to these meetings will vary depending on both the standing of posko members in the community and the assistance of facilitators. Where posko have ties to broader community groups this form of socialization is particularly successful. Socialization should also occur through informal mechanisms, although in this context, the breadth of socialization is dependent on the networks of the posko members. Using case studies to spread information about posko services is also a particularly effective method of socialization. This is particularly the case where posko take on cases representing the interests of the whole community. Socialization to local level leaders is also important to ensure the sustainability of posko. Getting the buy in of local level leaders is also one way of ensuring demand, as, in some cases, local village leaders refer disputes on to posko members for resolution. Socialization to local level leaders, at least initially, requires the support of facilitators. This is to highlight the fact that posko members have back up, thereby increasing the standing of posko members. 6.4. Opening Access to Marginalized Groups One of the weaknesses of local level dispute resolution mechanisms in Indonesia is that they do not always represent the interests of the marginalized including the poor, ethnic minorities or women. As one of the principles of RLA was to identify and strengthen structures that already existed, it is also susceptible to this weakness. The low level of use by women community members in the first phase of implementation is an example of this problem. Increasing usage of posko by marginalized groups involves a multitrack approach. First, efforts should be made to ensure that representatives from such groups are involved in the posko. Second, training should be provided to posko members on legal issues affecting these community members and on methods of socializing or providing services to those community members. This should be accompanied by support from the facilitators. Finally, posko activities should be monitored to ensure that they are providing services to the most marginalized members within the community, and not only the status quo. (MZ)
meningkatkan kemampuan dan membantu kegiatan sosialisasi, khususnya ke pejabat setempat. Sesudah kemampuan terbentuk, fasilitator menjadi mekanisme pendukung, dimana anggota posko dapat menghubungi mereka untuk meminta penjelasan mengenai satu masalah, fasilitator terus memberikan pelatihan tidak resmi dan juga memberikan dukungan untuk memecahkan masalah hukum yang lebih rumit. Maka pemilihan fasilitator adalah masalah kunci mengingat pentingnya peranan mereka dalam program pemberdayaan hukum. Fasilitator harus mampu berkomitmen pada golongan masyarakat paling dasar (grass roots) dan mampu membangun dan memelihara hubungan yang kuat dengan para anggota posko. Dalam hal ini mereka harus dapat mencurahkan satu periode waktu di tingkat posko. Dan, fasilitator harus juga mempunyai kesempatan untuk meningkatkan ketrampilan mereka melalui pelatihan selama masa implementasi program. 6.3. Strategi Dalam Sosialisasi Sukses dari sebuah posko akan tergantung pada tingginya tingkat kemampuan anggota posko untuk mensosialisasikan kegiatankegiatannya pada dua kelompok konsituen: sesama anggota masyarakat dan tokoh masyarakat setempat. Untuk mendapatkan hasil maksimal sosialisasi kegiatan posko pada penduduk desa dibutuhkan satu kombinasi berbagai pendekatan. Hal ini termasuk menggunakan pertemuan resmi yang ada di tingkat setempat, apakah pertemuan desa atau pertemuan rutin kelompok (keagamaan, perempuan, pekerja) di desa. Akses ke pertemuan-pertemuan ini beragam tergantung pada baik posisi anggota posko di masyarakat maupun bantuan fasilitator. Bila posko mempunyai hubungan dengan kelompok masyarakat secara luas bentuk sosialisasi ini dapat berhasil. Sosialisasi dapat juga melalui mekanisme pertemuan tidak resmi, meskipun dalam konteks ini, cakupan sosialisasi tergantung pada jaringan anggota posko. Menggunakan studi kasus untuk menyebarkan informasi tentang layanan posko juga merupakan metode sosialisasi yang efektif. Hal ini khususnya pada kasus dimana posko menangani kasus yang mewakili kepentingan masyarakat luas. Sosialisasi ke tokoh masyarakat setempat juga penting untuk menjaga kesinambungan posko. Mendapatkan perhatian dari tokoh masyarakat setempat juga merupakan satu cara untuk mendapatkan permintaan, seperti, di beberapa kasus, tokoh desa setempat menyebut satu sengketa pada anggota posko untuk mencari pemecahan. Sosialisasi kepada tokoh masyarakat setembat, paling tidak diawalnya, membutuhkan bantuan dari fasilitator. Hal ini untuk menekankan pada kenyataan kalau anggota posko mempunyai pendukung, sehingga dapat meningkatkan posisi anggota posko. 6.4. Membuka Akses bagi Kelompok Marjinal Salah satu kelemahan mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat daerah di Indonesia adalah mereka tidak selalu mewakili kepentingan dari kaum marjinal termasuk masyarakat miskin, kelompok etnik minoritas, dan perempuan. Salah satu prinsip RLA adalah mengidentifikasi dan memperkuat struktur yang sudah ada, yang juga rentan pada kelemahan ini. Rendahnya tingkat pemanfaatan oleh kelompok perempuan di implementasi tahap awal adalah satu contoh masalah ini. Peningkatan pemanfaatan posko oleh kelompok marjinal melibatkan pendekatan berbagai cara. Pertama, usaha harus dilakukan untuk menjamin wakil dari kelompok-kelompok tersebut terlibat di dalam posko. Kedua, pelatihan harus diberikan kepada anggota posko mengenai masalah-masalah hukum yang mempengaruhi para anggota masyarakat ini dan mengenai metode sosialisasi atau penyediaan layanan kepada para anggota masyarakat ini. Hal ini harus disertai dengan dukungan dari fasilitator. Terakhir, kegiatan posko harus dimonitor untuk memastikan kalau mereka menyediakan layanan kepada anggota yang paling marjinal didalam masyarakat, dan tidak hanya pada status quo. (MZ) Revitalization of Legal Aid
17
Kabupaten Tanggamus, Lampung
“Maunya Masyarakat,
Posko Bisa “What Community Wants Menyelesaikan Is That The Posko Solves Semua Masalah” Tanggamus District, Lampung
All Problems”
Dewi Damayanti, Justice for the Poor Program Team Visiting several posko in Tanggamus District of Lampung left me with a special impression. In my relatively brief first visit, I was very pleased to be able to meet Pak Mugi, a paralegal at posko in Padang Ratu Village. Padang Ratu Posko is a new posko, meaning that it was established after the RLA program started. In this respect, it is slightly different from most posko in Lampung, which build on community organizations with previous experiences in dealing with structural cases. Pak Mugi, who is also a teacher, said that since establishing the posko there have always cases reported. The cases range from minor debt and fraud cases, to controversial issues like domestic violence. The community expectation towards the posko and its paralegals is rather high, “Communities want paralegals to be able to handle all problems, but I have to explain to them that I can only help as much as I can to settle the problem.” After a year I was back in Tanggamus, now for a longer period to conduct a program evaluation. The Justice Team was accompanied by Andoyo, Tanggamus facilitator. Andoyo told us, Posko Bumi Ratu was helping the community in dealing with the Village Head from a neighbouring village, who embezzled grants from the government. It appeared that Pak Mugi was a lot busier. In this second visit, we went to Ambarawa posko. Here we met with paralegals, a village mediator and village officials. Two interesting issues arose from this visit. First, we met Bu Sujinah, a women mediator with whom women in her neighborhood would consult. “There are many legal issues concerning women here, but when asked the women would say there are none,” said Bu Jinah when asked about what the legal problems women face in her
18
Revitalization of Legal Aid
Oleh: Dewi Damayanti, Tim Justice for The Poor Program. Berkeliling di beberapa posko di kabupaten Tanggamus, Lampung memberikan kesan tersendiri bagi saya. Pada kunjungan pertama yang cukup singkat, saya sangat senang karena bisa berkenalan dengan Pak Mugi, paralegal posko BHM di Desa Bumi Ratu Kabupaten Tanggamus. Dua kali saya kesana pertama saya mengunjungi posko Bumi Ratu. Posko Bumi Ratu adalah posko baru artinya posko itu baru didirikan setelah program RLA ada. Agak berbeda dengan kebanyakan posko di lampung yang lahir dari berbagai organisasi rakyat (OR) yang sebelumnya berpengalaman dengan berbagai kasus struktural. Pak Mugi, yang juga seorang guru, menuturkan bahwa sejak posko didirikan ada saja kasus yang datang. Dari sekedar utang piutang, penipuan, sampai kasus KDRT yang cukup menggemparkan. Harapan masyarakat terhadap posko dan paralegalnya cukup tinggi,“Maunya masyarakat kan paralegal bisa menyelesaikan semua masalah, tapi saya jelaskan saya hanya bisa membantu semampu saya untuk menyelesaikan masalah itu.” Setahun kemudian saya kembali ke Tanggamus, kali ini dalam rangka evaluasi program dengan waktu yang lebih lama. Tim Justice waktu itu ditemani oleh Andoyo, fasilitator Tanggamus. Dari cerita Andoyo, sekarang Posko Bumi Ratu sedang membantu masyarakat menghadapi kepala Pekon (Desa) yang mengkorupsi dana bantuan dari pemerintah. Wah, tambah sibuk saja Pak Mugi rupanya. Pada kesempatan kunjungan kedua ini, kami mengunjungi posko Ambarawa. Di posko ini kami bertemu dengan paralegal, mediator desa dan perangkat desa. Ada 2 hal menarik yang kami temukan di posko ini. Pertama, kami bertemu Bu Sujinah, mediator perempuan yang sering dijadikan konsultasi oleh para ibu di lingkungannya. ”Disini masalah hukum yang berhubungan perempuan cukup banyak, hanya saja jika ditanyakan pasti ibu-ibu disini bilang, nggak ada” tutur Bu Jinah mengenai apa saja masalah hukum perempuan yang ada didesanya. Yang menarik, menurut Bu Jinah sebelum ikut training ibu-ibu banyak yang konsultasi padanya, entah suaminya yang menikah lagi, suaminya yang tidak memberi nafkah atau ada juga perempuan yang kerap dipukuli suaminya. Setelah training Bu Jinah membagi sedikit-sedikit pengetahuan yang ia dapat, tentang KDRT misalnya atau tentang hukum perkawinan. “Nah, malah sekarang jarang yang konsultasi pada saya, apa karena ibu-ibu sudah mulai mengerti ya?” Sengketa Penggilingan Padi Di posko Ambarawa kami juga bertemu dengan Pak Sudi Suwarno, warga desa yang telah dibantu oleh posko. Pak Sudi adalah pemilik penggilingan padi yang didirikan di salah satu sudut desa. Pada awal pengoperasiannya (2001), penggilingan itu diprotes oleh warga sekitar dengan alasan debu yang beterbangan dan bising. Akhirnya Pak Sudi membangun dinding disekitar penggilingannya untuk menahan debu dan suara bising. Pak Sudi juga melengkapi izin usahanya serta mempekerjakan orang-orang disekitar penggilingan padinya. Belum lama usaha Pak Sudi berjalan, protes kembali dilancarkan warga bahkan ada yang meminta Pak Sudi menutup usahanya, jika tidak Pak Sudi akan mereka tuntut.
village were. Interestingly, before Bu Jinah attended training, many women sort her advice. These women include one whose husband married another woman, one whose husband no longer provided her with financial support and one who was often beaten by her husband. After the training Bu Jinah started to share the knowledge she had gained from the training on issues such as domestic violence or marriage law. “Well, it’s now getting rare for women to consult with me; is it possibly because they start to understand?” Dispute on Rice Mill In Ambarawa posko we also met with Pak Sudi Suwarno, a villager who had received support from the posko. Pak Sudi is the owner of a rice mill built on the edge of the village. In the beginning of its operation (2001), the mill was a target of protest from the neighboring community who complained that it produced dust and noise. Finally, Pak Sudi built a wall surrounding his mill to control the dust and noise. Pak Sudi also obtained the appropriate business permits and provided employment to villagers. Despite this, it did not take long before another protest was launched by the villagers demanding Pak Sudi respond to their demands or close his business. Pak Sudi was terrified, especially because the complainants brought a lawyer. The mill was closed for almost two years. In the midst of this uncertainty, Pak Sudi was contacted by the complainants’ lawyer. The lawyer said that he could help, provided that Pak Sudi paid him a certain amount of money. “I was blind to the law. When somebody said that he could help, I just believed it”. Thus, Pak Sudi paid a reasonably large amount of money to the lawyer only to find out that the lawyer did not keep his words -- there was no settlement in the case. Pak Sudi then reported his case to the posko. The paralegal put Pak Sudi in contact with KBH Lampung (a legal aid office and program implementing partner in Lampung). After confirming that there were no environmental or regulatory problems with Pak Sudi’s business, KBH Lampung drafted a letter stating that the rice mill was legal and requesting that anyone who objected to this should contact them. After that, Pak Sudi restarted his business, and most of his neighbors apparently did not object his business. Their initial objections were caused by provocateurs. The importance of support from village officials Although our itinerary only included a scheduled visit to Ambarawa posko, we were also tempted to visit another posko, Margosari Posko, which is the least accessible posko in Tanggamus. There, we met with Pak Dayat, a paralegal. Pak Dayat talked with us about the constraints faced by Margosari posko. The posko paralegal and mediator were known to strongly defend the community’s right to their land. “Possibly because of that, we lack support from village officials and community members seem afraid to be seen contacting the posko”. Even with such constraints, Pak Dayat said that some cases even came from different villages. “The people of a neighboring village once reported a theft; how strange is that.” Pak Dayat then mentioned that he and his friends in the posko still tried to stick to their initial objective, which was to help the village community as much as possible, including to monitor various corruption cases that
Pak Sudi ketakutan, apalagi orang-orang yang tidak suka dengan usaha Pak Sudi membawa pengacara. Penggilingan itu bahkan sempat tutup hampir 2 tahun lamanya. Dalam ketidakpastian akan kelanjutan usahanya, pengacara lawannya mengontak Pak Sudi. Pengacara itu mengatakan dapat membantu Pak Sudi, asal Pak Sudi membayar sejumlah uang kepadanya. “Saya ini buta hukum, ketika ada yang bilang dapat membantu saya, ya saya percaya saja”. Maka, Pak Sudi membayar jumlah yang cukup besar kepada pengacara dan pengacara itu ingkar janji, tidak ada penyelesaian apapun untuk kasusnya. Pak Sudi kemudian melapor ke posko. Oleh paralegal Pak Sudi, dihubungkan dengan Kantor Bantuan Hukum Lampung. Setelah melihat bahwa tidak ada masalah dengan usaha Pak Sudi baik dari segi lingkungan dan izin, KBH Lampung kemudian menempelkan surat pernyataan bahwa penggilingan padi itu sah secara hukum dan barangsiapa yang keberatan disilahkan menghubungi KBH Lampung. Setelah itu, Pak Sudi kembali menjalankan usahanya, terutama kebanyakan tetangganya ternyata tidak keberatan dengan usahanya itu. Ketidaksetujuan mereka hanya provokasi dari beberapa orang.
Pentingya Dukungan Aparat Desa
Sebenarnya, jadwal kunjungan kami hanya untuk posko Ambarawa, namun kami tergoda juga untuk mengunjungi posko lain, Posko Margosari yang terletak paling jauh dari posko-posko lainnya. Disana, kami bertemu dengan Pak Dayat, paralegal posko tersebut. Pak Dayat menceritakan tentang kendala yang dihadapi posko Margosari. Paralegal dan mediator yang ada di posko itu adalah orang-orang yang gigih mempertahankan hak masyarakat atas tanah mereka. “Mungkin karena itu, kami kurang mendapat dukungan dari aparat desa dan sepertinya penduduk sini malah takut jika berhubungan dengan posko”. Dengan kendala itu, Pak Dayat menuturkan bahwa kasus malah datang dari desa lain. “Warga desa sebelah pernah ada melapor soal pencurian, aneh juga itu” Pak Dayat kemudian menuturkan bahwa ia dan teman-teman lain di posko, berusaha untuk tetap pada tekad awal mereka, membantu masyarakat desa sebisa mungkin, termasuk mengawasi berbagai kasus korupsi yang kerap terjadi di desa. Melihat berbagai tipe posko yang ada di Tanggamus, kami tertarik berdiskusi dengan Andoyo, fasilitator yang menyertai kami untuk menceritakan pengalamannya memfasilitasi posko-posko tersebut. Menurut Andoyo, sebenarnya sudah cukup lama ia berinteraksi dengan posko maupun warga sekitarnya. Baik itu membantu mereka mengadvokasi kasus maupun dalam rangka mencari berita dalam rangka tugasnya sebagai wartawan salah satu media lokal. Ketertarikannya untuk menjadi salah satu fasilitator program ini juga didukung oleh pengalaman melakukan advokasi dan melihat bahwa masyarakat desa yang ada di Tanggamus, juga masyarakat yang tidak luput dari masalah hukum. Selain kasus Pak Sudi di atas, banyak sekali kasus lain yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, bisa berupa utang-piutang, Revitalization of Legal Aid
19
occurred frequently in the village. Seeing various types of posko in Tanggamus, we were interested to learn from Andoyo, the facilitator who accompanied us, about his experiences in facilitating the posko. According to Andoyo, he has been interacting with the posko and community members for a long time, either to provide advocacy for their cases or to find news as he was a journalist with one of the local papers. His interest in becoming a facilitator emerged from his experience in advocacy and in recognizing that villages in Tanggamus encountered numerous legal problems. According to Andoyo apart from Pak Sudi’s case above, there are many other cases that can be found in daily life, ranging from debt issues, divorce, inheritance and land disputes to criminal cases such as theft, fights and fraud. According to Andoyo, one big weakness is that communities really lack legal knowledge. In the case of Pak Sudi, he had to lose a relatively large amount of money due to his ignorance even though he was acting in accordance with the law. In Andoyo’s experience, ignorance of the law is often exploited by strong and powerful parties to pressure people in certain cases. One example is the land dispute in Margosari posko, where community resistance is weakening due to pressure and persuasion being exerted on them. Andoyo believes that posko can play an effective role here. The community should be able to obtain legal knowledge about their rights from information provided by the posko. Bu Jinah has pioneered these types of efforts through using a women’s religious group she leads. The posko can also educate the community in how to advocate when their rights are violated. Andoyo highlighted the example of the community in Bumi Ratu who managed to make a Village Head return stolen funds. Community members can also learn about the law from cases they experience and share those experiences with others. For example, Pak Sudi was helping a friend who had a problem with his permits by telling him about his case. The most important thing is the role that posko can play as a venue for legal consultation at village level, where legal aid is inaccessible. Posko aim to be the first reference point when communities have legal issues and outline options for assistance that communities can access. “I always emphasize the option of settlement in a familial or informal way to the paralegal and mediator”. Informal settlement, through mediation for example, according Andoyo is one of the options communities should utilize, especially as legal proceedings are complicated and the community’s confidence in legal officials is low. When villagers are subject to formal legal proceedings, such as in criminal case, they need to know their rights either as victim or suspect, so that people are no longer arrested indiscriminately or put in detention beyond the time limit as stipulated in the law. As a new initiative, it is not easy to run a posko. There are many constraints, particularly when legal and government officials are not adequately informed about the posko and its tasks and functions. Especially when posko are assisting community members in an advocacy effort, it is common for officials to see the paralegals as opposing parties. However, this is not the case in all posko. In Ambarawa posko, the Village Head said that whenever villagers report a legal issue, he often consulted first with the posko. Apart from that, villagers often shake their heads right away once they hear the word “law”. The women we interviewed usually answered promptly, “Well, when it comes to law we know nothing.” It is really a challenge to carry out legal education to community members in a way that is not confrontational or does not leave them frowning. On the way home, I realized that there were still many challenges to overcome to help communities to be able to use law to protect their interests. I was even more convinced that this was not going to be my last visit. Seeing how the villagers start to gain knowledge and courage, abstract theories and legal issues I was trained about in university were dancing in around my head. Pushing to be implemented in reality. Not merely debated about endlessly.
20
Revitalization of Legal Aid
perceraian, warisan, sengketa tanah atau kasus pidana seperti pencurian, perkelahian dan penipuan. Hanya saja, Andoyo melihat bahwa pengetahuan hukum masyarakat masih amat kurang. Lihat saja, Pak Sudi yang harus kehilangan uang dalam jumlah cukup besar karena ketidaktahuannya. Bahkan, dalam hal ini Pak Sudi adalah pihak yang secara sah dilindungi oleh hukum. Menurut pengalaman Andoyo, ketidaktahuan masyarakat akan hukum ini pula yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang kuat atau berkuasa untuk menekan mereka pada kasus-kasus tertentu. Misalnya saja, kasus sengketa lahan di posko Margosari, dimana-mana akhir-akhir ini perlawanan masyarakat menjadi lemah karena berbagai tekanan dan bujukan yang dilancarkan oleh pihak yang menjadi lawan mereka dalam sengketa tersebut. Disinilah peran posko terlihat, lanjut Andoyo. Masyarakat seharusnya bisa mendapat pengetahuan hukum yang memadai mengenai hak-hak mereka melalui informasi yang disampaikan oleh posko. Bu Jinah sudah mulai merintis hal tersebut dengan ibu-ibu pengajian yang ia pimpin. Posko juga dapat mengedukasi masyarakat bagaimana melakukan advokasi jika hak-hak mereka dilanggar. Andoyo kemudian mencontohkan masyarakat Bumi Ratu yang berhasil membuat kepala Pekonnya mengembalikan uang bantuan yang telah ia sunat. Masyarakat juga bisa belajar tentang apa itu hukum dari kasus yang dialaminya dan menularkan pengalamannya pada orang lain. Sebagai tambahan, di akhir wawancara, Pak Sudi mengatakan bahwa ia sedang membantu temannya yang bermasalah dengan izin seperti dirinya dengan menceritakan kasusnya. Yang terpenting adalah peran posko sebagai tempat konsultasi hukum di tingkat desa, dimana akses bantuan hukum tidak terjangkau. Posko ditujukan sebagai tempat rujukan pertama, apabila masyarakat tersangkut masalah hukum dan memberi pilihan-pilihan bantuan yang bisa digunakan masyarakat desa “Saya selalu menekankan penyelesaian secara kekeluargaan atau informal kepada paralegal dan mediator”. Penyelesaian informal, dengan jalur mediasi misalnya, menurut Andoyo adalah salah satu pilihan yang dibutuhkan masyarakat, karena rumitnya proses hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat pada aparat hukum. Jikalau harus mengikuti proses hukum formal, misalnya dalam kasus pidana, masyarakat juga harus tahu apa saja hak-haknya baik sebagai korban maupun sebagai tersangka, sehingga tidak ada lagi orang yang ditangkap tanpa surat penangkapan atau ditahan sampai melewati batas waktu yang ditetapkan UU. Sebagai suatu inisiatif baru, memang tidak mudah menjalankan posko. Banyak hambatannya, terutama jika posko belum tersosialisasi dengan baik pada aparat hukum maupun aparat pemerintahan mengenai posko, tugas dan fungsinya. Apalagi jika posko sedang membantu masyarakat melakukan advokasi, biasanya aparat melihat paralegal dalam posisi yang berseberangan. Namun, tidak semua posko seperti itu. Di posko Ambarawa, kepala Pekon mengatakan bahwa jika ia mendapat laporan kasus hukum dari warganya, dia seringkali mengkonsultasikan dulu dengan posko. Selain itu, masyarakat desa seringkali langsung geleng-geleng kepala mendengar kata “hukum”. Ibu-ibu yang kami tanyai biasanya langsung menjawab, “wah mbak, kalau soal hukum itu kami tidak tahu”. Merupakan tantangan tersendiri untuk melakukan pendidikan hukum pada masyarakat tentang hukum dengan cara menarik, tanpa membuat dahi mereka berkerut. Sepanjang perjalanan pulang, saya tahu bahwa masih banyak yang harus dikerjakan untuk membantu masyarakat desa bisa memanfaatkan hukum untuk melindungi kepentingan mereka. Dan saya semakin yakin bahwa ini bukan kunjungan saya yang terakhir. Melihat bagaimana orang desa mulai terbangun keberanian dan pengetahuannya, berbagai teori dan ilmu hukum yang pernah saya dapat diperguruan tinggi menarinari di kepala. Mendesak untuk diimplementasikan. Tidak sekedar diperdebatkan.
Developing Paralegalism in Indonesia What’s the current state of Paralegals in Indonesia?
Paralegals and the provision of legal aid and advocacy at the community level has been around for a long time. Paralegals, also frequently called legal cadres, local facilitators, empowerment cadres, advocacy players or community legal aid forces, play an important role in a variety of different
legal empowerment and advocacy programs. Paralegals in Indonesia are actively engaged in various issues, ranging from legal aid, empowerment of women’s groups, land advocacy, labor to anti-corruption issues. It needs to be acknowledged that, in the last 10 years, paralegals have been the crucial link in community-based legal empowerment and advocacy programs in Indonesia. Strengthening the function and capacity of paralegals requires the presence of related institutions (NGOs, community organizations, legal aid institutions) that have sufficient capacity and training skills: clear training objectives, systematic training modules, creative training methods, experienced trainers and increasingly more importantly, a long term and sustainable paralegal capacity strengthening plan. In reality, the growing role of paralegals in various issues/sectors has not necessarily led to the enhanced capacity of institutions forming or providing paralegal trainings. In several locations, mainly in big cities where there is a longer history of the provision of legal aid, there are NGOs or Legal Aid Institutions with strong capacity and planning skills to develop paralegals that meet the needs or interests of the institutions. However, the capacity of institutions training paralegals in many other locations is still very limited. This is often the result of competing short-term program priorities, lack of training capacity, dependency on other institutions for trainers and limited post-training paralegal development plans. Other problems become apparent when the development of paralegalism is observed from a collective perspective, either at the local or national level, instead of assessing individual programs. The overlapping of many programs at the local and national levels often leads to overlapping paralegal training activities and management. The same people are often involved in numerous paralegal training
Mengembangkan Keparalegalan di Indonesia Apa Kabar Paralegal Indonesia kini?
Paralegal atau pelaku bantuan hukum dan advokasi di tingkat komunitas telah dikenal keberadaannya sejak lama. Mereka yang kerap disebut dengan berbagai isitilah seperti kader hukum, fasilitator lokal, kader pemberdayaan, pelaku advokasi, tenaga bantuan hukum komunitas dan sebagainya telah menjadi bagian penting dari berbagai program pemberdayaan hukum dan advokasi. Paralegal di Indonesia terlibat aktif dalam berbagai isu mulai dari bantuan hukum, pemberdayaan kelompok perempuan, advokasi tanah, perburuhan hingga gerakan anti korupsi. Harus diakui bahwa selama 10 tahun terakhir, paralegal merupakan mata rantai paling penting dalam pemberdayaan hukum dan advokasi berbasis komunitas di Indonesia. Penguatan peran paralegal mensyaratkan tersedianya lembaga pembentuk paralegal (Lembaga Swadaya Masyarakat-LSM, Organisasi Masyarakat-Ormas, Lembaga Bantuan Hukum-LBH) yang memiliki kapasitas dan tenaga pelatih yang memadai: tujuan pelatihan yang jelas, modul pelatihan yang sistematis, metode pelatihan yang kreatif, tenaga pelatih yang cukup berpengalaman dan, yang menjadi semakin penting, rencana kegiatan peningkatan kapasitas paralegal jangka panjang dan berkelanjutan. Pada kenyataanya, menguatnya peran paralegal di berbagai isu/ sektor di Indonesia tidak dengan sendirinya dikuti dengan peningkatan kapasitas lembaga pembentuk/ pengada pelatihan paralegal. Di beberapa lokasi, terutama kota-kota besar yang memiliki sejarah bantuan hukum lebih lama, terdapat LSM/ LBH dengan kesiapan dan rencana pengembangan keparalegalan untuk kepentingan lembaga masing-masing dengan sangat baik. Namun kapasitas lembaga pembentuk paralegal di banyak lokasi lain masih sangat terbatas. Hal ini pada umumnya diakibatkan oleh kegiatan yang diarahkan oleh program jangka pendek, kurangnya kemampuan pelatihan, ketergantungan akan tenaga pelatih dari lembaga lain yang sudah lebih mapan tanpa disertai dengan rencana pengembangan paralegal paskapelatihan. Persoalan lain akan semakin terlihat jika mengamati perkembangan keparalegalan tidak saja dari pengalaman masing-masing lembaga melainkan pengalaman kolektif, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tumpang tindih berbagai program di tingkat lokal maupun tingkat nasional seringkali berakibat pada tumpang tindih pengelolaan dan kegiatan pelatihan paralegal. Sering ditemui orang yang sama telah mengikuti pelatihan paralegal berkali-kali dengan materi yang hampir serupa untuk kepentingan program dari berbagai isu dan oleh berbagai lembaga: bantuan hukum, pertanahan, anggaran daerah dan sebagainya. Namun, pelatihan tersebut tidak disertai dengan rencana lembaga pengada pelatihan untuk kaderisasi yang terstruktur. Atau, dari pengalaman beberapa LSM, seringkali mereka harus membuat modul pelatihan untuk isu yang berbeda-beda berulang kali, padahal ada lembaga lain, baik di propinsi yang sama atau di lokasi lain, telah mengembangkan modul yang siap pakai untuk pelatihan tesebut. Jika permasalahan keparalegalan dibawa ke tataran yang lebih substantif, muncul pula diskusi yang sangat menarik tentang pendefinisian kembali pengertian paralegal itu sendiri. Ketegasan soal definisi akan menentukan rumusan peran dan standar kompetensi paralegal, yang seharusnya menjadi bahan pokok penyusunan modul pelatihan dan rencana pengembangan paskapelatihan. Jika paralegal dimaksudkan untuk menjalankan peranperan yang lebih bersifat litigatif (pendampingan korban dalam proses hukum pidana maupun perdata) maka modul pelatihan yang dikembangkan akan berbeda jika definisi paralegal diperbaharui untuk mencakup peranperan baru seperti pelaku pendidikan hukum masyarakat dan mediasi. Dengan kata lain, pengalaman kita di berbagai lokasi di Indonesia Revitalization of Legal Aid
21
programs, utilising similar materials depending on the focus of programs or institutions: legal aid, land issues or local budget. These trainings, however, do not always include plans for follow up support or facilitation for training participants. In other cases, some NGOs note that they are frequently developing training modules for different issues on a continual basis, whereas there are other institutions, sometimes close by, that have developed ready-for-use modules covering similar issues. On a more substantive level, the issue of paralegalism generates detailed discussions on the definition of paralegals. A clear definition will determine the formulation of paralegal’s function and standard of competence, which will in turn determine the main materials for training and post-training development plans. If paralegals are meant to play more litigation-related roles (assistance to victims in both criminal and civil legal proceedings) the training module developed will be different to modules developed for paralegals who provide community legal education and mediation. In other words, our experience in several locations in Indonesia leads to an interim conclusion that activities related to paralegal development are still often limited to the recruitment of stakeholders, module drafting and training. Whereas, to develop a strong paralegal network in the future, a multi-stage development is needed. For example, in order to strengthen paralegalism in Indonesia several key issues need to be addressed: definition of roles and competence of paralegals, quality enhancement of training and the development of paralegal network. The main question is: what strategies and process is required to support the enhancement of paralegalism in Indonesian as an important element in social development in the area of legal empowerment, legal aid and advocacy?
A initiative that needs to begin
Several pilot programs implemented by The Justice Team and working partners, including the Revitalisation of Legal Aid (RLA) program and Women’s Legal Empowerment (WLE) as well as research activities such as Village Judicial Autonomy (VJA) and Local Government Corruption Study (LGCS) have provided an opportunity to closely observe issues relating to paralegalism in Indonesia. The experience of organizing paralegal and legal cadre trainings in 6 locations for the RLA and WLE programs immediately highlights strengthens and weaknesses relating to the trainings and education of paralegals. Considering the important roles of paralegals – not only from the perspective of these pilot programs but also for community legal empowerment more generally, since the beginning of 2007 there has been a series of discussions aimed at developing paralegalism. At an initial stage, this initiative was developed through intensive discussions with NGOs and legal aid institution providing paralegal training both at local and national levels. Paralegals themselves where also involved in many discussions and mapping exercises, particularly paralegals who have been involved in the pilot programs.This initial activity, supported by the Justice Team and the UNDP Legal Empowerment and Assistance for Disadvantaged (LEAD) project, had the following objectives: (i) developing an early concept on the status of paralegals: definition, roles, standard of competence and the paralegal development agenda in Indonesia; and (ii) collecting documents related to paralegal activities, such as training modules, list of trainers, visuals and reading materials as well as locations of paralegal activities in Indonesia. As a result of this initial series of group discussions in Jakarta and 3 regions (Lampung, Palu and Central Java) from November 2007 to March 2008 a position paper was developed that addressed some of the key questions relating to the development of paralegalism and identified the need for a paralegalism documentation centre in Indonesia. It should be noted, that since the inception of this initiative, it is acknowledged that progress may involve a new (or combination of ) NGOs or networks that is led by or formed based on the agreement of NGOs or organizations that are currently implementing paralegal activities. Therefore, the next
22
Revitalization of Legal Aid
mengarahkan pada kesimpulan sementara bahwa kegiatan keparalegalan masih berkutat dan terbatas pada kegiatan perekrutan aktor basis, penyusunan modul, dan pelatihan. Padahal, untuk membangun jaringan tenaga paralegal yang kuat di masa mendatang, dibutuhkan pengembangan di berbagai tahap, misalnya beberapa kebutuhan penguatan keparalegalan di Indonesia adalah: rumusan peran dan kompetensi paralegal, peningkatan kualitas pelatihan, pembangunan jaringan kerja paralegal. Pertanyaan pokoknya adalah: bagaimana strategi dan apa saja agenda yang harus dimulai untuk meningkatkan pranata keparalegalan Indonesia sebagai salah satu elemen penting dalam gerakan sosial bersama di bidang pemberdayaan hukum, bantuan hukum, dan advokasi?
Inisiatif yang Harus Dimulai
Berbagai pilot program yang dilaksanakan Tim Justice dan mitra kerja selama ini seperti Program Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat (BHM) dan Women’s Legal Empowerment (WLE) serta kegiatan penelitian seperti Village Judicial Authonomy (VJA) dan Local Government Corruption Corruption (LGCS), memberi kesempatan yang sangat baik untuk mengamati dari dekat peran dan isu-isu seputar keparalegalan di Indonesia. Pengalaman melakukan pelatihan paralegal dan kader hukum di 6 lokasi program BHM dan RLA dengan segera memperlihatkan berbagai contoh baik dan permasalahan yang ada dalam kegiatan pelatihan dan pembinaan paralegal atau kader hukum perempuan. Mengingat peran paralegal yang sangat penting –tidak hanya dalam konteks pilot tapi dalam pemberdayaan hukum masyarkat, mulai awal tahun 2007 lalu inisiatif pengembangan keparalegalan mulai digagas. Pada tahap awal, inisiatif ini dikembangkan melalui diskusi intensif dengan LSM atau LBH pelaku pelatihan paralegal baik di tingkat lokal maupun nasional. Tidak lupa, dalam berbagai diskusi dan pemetaan dilibatkan pula paralegal terutama yang terlibat dalam pilot program tersebut. Kegiatan awal yang didukung oleh Tim Justice bersama program Legal Empowerment and Assistance for Disadvantaged (LEAD) project – UNDP, pada dasarnya bertujuan untuk: (i) menyusun rumusan awal mengenai posisi paralegal: pendefinisian, peran, standar kompetensi dan agenda pengembangan keparalegalan di Indonesia; dan (ii) mengumpulkan berbagai dokumen dalam kegiatan keparalegalan seperti modul pelatihan, daftar pelatih, alat peraga dan bahan bacaan pelatihan serta lokasi kegiatan keparalegalan di Indonesia. Keluaran dari kegiatan awal berupa dikusi kelompok di Jakarta dan 3 daerah (Lampung, Palu dan Jawa Tengah) sejak November 2007 hingga Maret 2008 adalah: kertas posisi yang memuat rumusan tentang pertanyaan-pertanyaan substantif dan agenda pengembangan keparalegalan serta embrio lembaga dokumentasi keparalegalan di Indonesia. Perlu diperhatikan bahwa sejak awal mula inisiatif ini disadari bahwa motor penggerak haruslah (gabungan) LSM atau jaringan baru yang memang dimotori dan dibentuk berdasarkan kesepakatan oleh LSM atau organisasi yang memang melakukan kegiatan keparalegalan itu sendiri. Oleh karena itu, tindak lanjut dari pengembangan inisiatif di tahap awal akan sangat tergantung pada agenda dan kontribusi setiap LSM pelaku keparalegalan
steps in developing this initiative at this early stage will largely depend on the agenda and contributions of each NGO involved in paralegalism, either at the national or local level. The types of follow up activities will be directed by each of the group discussions. This possibly include a variety of approaches between groups in different locations. Therefore, at some stage, dependent on need, a Paralegal Summit will be held to develop a common platform. As the participation of paralegals and other stakeholders involved in implementing paralegal programs is very important, the development of this initiative is open to anybody interested in sharing thoughts and other materials related to paralegalism. In the meantime, for further input and advice, please contact the Justice Team. (TR)
Sharing Lessons on Paralegal Issues
A series of focus group discussions were conducted in Jakarta on December 11, 2007 and January 3 and 17, 2008. Similar discussions took place in the regions, in Lampung on December 13, Palu on December 17 and in Semarang on January 31, 2008. In total 40 NGOs were involved in the FGDs. Some of the key issues that emerged from these discussions are outlined below. (i)
Set Paralegalism as a priority, now In general the institutions involved in the discussions believe that the spirit of paralegalism must be promoted as an aspect of social change. Even though there appears to be a decrease in organizations focusing on training needs, all respondents still felt that the development of paralegalism was an important issue. These meetings also re-affirmed the initial assumption that despite the need for organizations focusing on paralegal issues to coordinate and work together, this has been neglected in the past, particularly in relation to mutual development of institutional capacity.
(ii) There are many reasons why paralegalism is no longer a focus in Indonesia. At the macro level, the dynamics of civil society organizations in Indonesia after 1998 has experienced a shift in orientation. NGOs that used to be active in community education, grass roots mobilisation, and community facilitation have shifted focus towards research, studies and policy advocacy institutions. This trend is also been influenced by the change in focus and funding from donor countries. While funding was previously readily accessible for legal aid activities, currently there are very few donor countries that provide support for legal aid. Although this trend is not the main reason behind the change of NGO’s orientation, it has to be admitted that the limited capacity of Indonesian NGOs to raise funds for legal aid activities is one reason why there has been a change in orientation by NGOs. (iii) As a tool for social development, since the outset paralegals have not been recognized in a formal capacity by the legal and justice system in Indonesia. Therefore, paralegals remain outside the boundary of the judicial process. Until now, there are only two laws that clearly recognize the role of paralegals: the Law on PKDRT (Domestic Violence) and the Law on PPHI (Industrial Court). The Law concerning Domestic Violence, does not yet provide a paralegal, defined in this law as a “companion”, with the authority to attend trial in an independent capacity. The same applies for the Law on the Industrial Court. (iv) On the one hand, there is a need for legal recognition of paralegals, to provide them with support to implement their duties. On the other hand, legal recognition will lead to standardization, accreditation and probably the existence of a professional association, which may well
yang ada, baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Bentuk kegiatan tindak lanjut akan diarahkan oleh masing-masing kelompok diskusi. Kemungkinan akan terjadi variasi agenda kerja oleh kelompok yang ada di satu lokasi dan kelompok di lokasi lain. Karenanya, jika memang dianggap perlu, pada tahap tertentu akan dilakukan pertemuan nasional Keparalegalan (Paralegal Summit) guna menyusun agenda bersama. Mengingat peran serta paralegal dan pelaku keparalegalan sangat penting, maka pengembangan inisiatif ini terbuka bagi siapa saja yang berminat untuk berbagi pemikiran atau materimateri lain menyangkut keparalegalan. Untuk sementara, jika ada saran atau pendapat, silakan menghubungi Tim Justice. (TR)
Berbagi Pembelajaran Keparalegalan
Serial FGD dilakukan di Jakarta pada tanggal 11/ 12/ 2007, 3 dan 17 /01/ 2008. Sementara di daerah dilaksanakan di Lampung 13/12, Palu 17/12, dan di Semarang pada 31/1/ 08. Total jumlah lembaga yang ikut terlibat dalam FGD tersebut adalah 40 LSM. Sudah Saatnya Diprioritaskan (i) Secara umum lembaga yang dikunjungi/yang mengikuti diskusi berpandangan bahwa semangat paralegalism harus didorong sebagai salah satu modal bagi perubahan sosial. Semua merasa penting bahwa pengembangan keparalegalan adalah kebutuhan bersama di tengah menurunnya konsentrasi lembaga-lembaga pengada pelatihan. Hipotesa Tim Justice juga diafirmasi oleh sejumlah lembaga, bahwa meskipun kita semua bekerja butuh dan bersama paralegal, tapi kita abai untuk merawat, mengembangkan, dan meningkatkan kapasitas mereka. (ii) Banyak hal mengapa paralegal tidak lagi menjadi perhatian lembaga-lembaga di Indonesia. Secara makro, dinamika organisasi masyarakat sipil di Indonesia pasca 1998 telah mengalami pergeseran orientasi. Lembaga swadaya masyarakat yang selama ini akrab dengan kegiatan-kegiatan pendidikan rakyat, penguatan basis, dan pendampingan rakyat, banyak yang bergeser dan mengubah fungsi menjadi lembaga studi, riset, dan advokasi kebijakan. Trend ini juga dipicu oleh adanya perubahan orientasi distribusi sumber dana dari negara-negara donor. Jika dahulu kegiatan bantuan hukum masih memperoleh akses pendanaan besar, saat ini hampir tidak ada negara donor yang menyediakan komponen biaya untuk bantuan hukum. Meskipun trend ini bukan hal utama yang mengubah orientasi LSM tapi harus diakui, kapasitas fund rising LSM-LSM di Indonesia yang masih sangat terbatas, telah menuntut pegiat LSM mengubah orientasi dan gerakannya. (iii) Sebagai modal dan instrumen gerakan sosial, sejak awal kelahirannya paralegal bukanlah merupakan pranata formal yang diakui oleh sistem hukum dan peradilan Indonesia. Karena itu, paralegal berada di luar garis proses-proses yudisial. Hingga kini, hanya dua produk UU yang secara tegas mengakui peran paralegal: UU PKDRT dan UU PPHI. Khusus untuk UU PKDRT, paralegal yang disebut pendamping inipun belum bisa bersidang secara mandiri di pengadilan sebagaimana dalam pengadilan PHI. (iv) Memunculkan pengakuan secara hukum keberadaan paralegal, satu sisi merupakan kebutuhan untuk memudahkan akses paralegal dalam menjalankan peran-perannya. Di sisi lain, pengakuan yuridis, yang tentunya menuntut adanya standarisasi, akreditasi, dan mungkin asosiasi profesi, akan mencerabut akar paralegal sebagai modal dan instrumen gerakan sosial. Dari proses diskusi yang dikembangkan Tim Justice, hampir semua sepakat bahwa pengakuan legal formal
Revitalization of Legal Aid
23
change the foundation of paralegalism from being a tool of social development. During the discussion process facilitated by the Justice Team, most participants agreed that legal-formal recognition, although important, was not as important as social recognition. The full confidence of the community in the roles of paralegals was the key. Although social recognition can not always overcome legal barriers frequently faced by paralegals, with public recognition, paralegals can create strategies and achieve some breakthroughs to overcome these constraints. A number of NGOs in several regions have proved this. Ways to do this include developing a partnership with legal institutions and courts or identifying paralegals as members of a legal aid institution. Such approaches represent the middle ground for paralegals. They provide paralegals with recognition from legal institutions without compromising the spirit of paralegalism by entrenching it in law.
tidak jauh lebih penting dari pengakuan sosial. Yang terpenting adalah pengakuan sosial, di mana masyarakat menaruh kepercayaan penuh atas peran-peran paralegal. Meskipun pengakuan sosial ini tidak akan mengatasi kendala-kendala legal yang sering dihadapi oleh paralegal, tapi dengan modal pengakua publik atas peran-peran strategisnya, sejumlah terobosan untuk mengatasi kedala itu dapat diciptakan. Sejumlah LSM di beberapa daerah telah membuktikannya. Baik melalui kerjasama dengan institusi-institus hukum dan peradilan maupun dengan membekali paralegal dengan identitas sebauah lembaga bantuan hukum. Terobosan semacam ini adalah jalan tengah bagi paralegal untuk memperoleh pengakuan dari institusi hukum tanpa harus dipasung oleh UU yang menuntut banyak konsekuensi, yang kemungkinan akan mencerabut semangat paralegal.
Sharing Opportunity The development of paralegals currently covers numerous different issues and sectors. Despite this they all share something in common, which is a struggle for people’s rights. The difference in issues and sectors surely leads to variety of approaches, strategies and methods. If this variety can be captured and shared it represents a strength compared to institutions working in isolation. As a network of community movements, there is a need to strengthen opportunities to share knowledge between paralegals and institutions providing support to paralegals. Creating a space to share information will not only be an opportunity to share success stories and best practices, but also constraints faced by paralegals and institutions forming them. This space can also become a sort of information center on various issues related to paralegalism. Apart from sharing experiences, cooperation can extend to other issues. For example, from a review conducted by a coalition of several NGOs in Jakarta it was discovered that each institution has a different training module. This diversity, on the one hand, is an asset and inevitable as each institution has a specific focus. On the other hand, however, upon being reviewed, most modules contained several similarities in basic materials. If we can share time, efforts, and mostly thoughts, best practice modules for key issues can be developed that can be used as materials for training. Meanwhile, other more specific issues related to each institution’s sectoral focus can be developed separately by these institutions. There were many examples of best practice recorded during the visits and series of discussions. These included the independency and capacity of paralegals in fighting for their rights, the capacity in negotiation/mediation, and solidarity of their organizations. There was even a success story of an institution that had supported the development of paralegals for cases of out of court settlement in such a way that it gained recognition from local court authorities as the court found their roles very helpful and was willing to legalize the results of the agreements/settlements. (IH)
Ruang Berbagi Paralegal yang berkembang saat ini meliputi banyak isu dan sektor. Namun demikian, paralegal tetap memiliki satu kesamaan orientasi, yakni memperjuangkan hak-hak rakyat. Keberbedaan isu dan sektor jelas memunculkan variasi pendekatan, strategi, dan cara untuk tetap mempertahankan semangat pembelaan. Variasi yang dikembangkan adalah kekayaan yang tidak semua dimiliki oleh paralegal dan lembaga pembentuk paralegal. Sebagai sebuah jalinan gerakan masyarakat, kebutuhan akan ruang untuk berbagi sesama paralegal dan lembaga pengada pelatihan paralegal jelas tak terelakkan. Ruang berbagi tidak hanya akan menjadi tempat bertukar pengalaman sukses dan praktik-praktik terbaik, tapi juga kendala-kendala yang dihadapi oleh paralegal dan lembaga pembentuk paralegal. Ruang ini juga bisa menjadi semacam pusat informasi segala hal yang berhubungan dengan keparalegalan. Selain soal ruang berbagi informasi ini, kita semua sebenarnya juga bisa berbagi untuk soal lain. Dari review modul yang dilakukan oleh gabungan beberapa LSM di Jakarta misalnya, setiap lembaga memiliki modul yang berbeda-beda. Keberbedaan ini satu sisi merupakan kekayaan dan keniscayaan karena area concern yang berbada. Hanya saja, ketika ditelaah, sebagian besar modul-modul itupun memuat beberapa materi pokok yang sama. Jika kita bisa berbagi waktu, kesempatan, dan utamanya pikiran, kita bisa membuat modul yang sama untuk isu-isu pokok yang akan menjadi materi pelatihan. Sementara, untuk materi lain yang lebih spesifik dan berhubungan dengan sektor isu lembaganya, masing-masing lembaga bisa mengembangkannya secara khusus. Banyak best practicies yang terrekam dalam kunjungan dan serial diskusi, di antaranya adalah kemandirian dan kemampuan paralegal memperjuangkan hak-hak mereka, kemampuan bernegosiasi/ mediasi, dan soliditas organisasi-organisasi mereka. Bahkan terdapat keberhasilan dari sebuah lembaga dalam mengembangkan paralegal (untuk kasuskasus out of court settlement) hingga memperoleh pengakuan dari otoritas pengadilan setempat, hingga pengadilan setempat merasa sangat terbantu dan bersedia melegalisasi setiap hasil-hasil kesepakatan/ penyelesaian. (IH)
h Telabit Ter
Komik ini berilustrasi sebagai panduan untuk Paralegal (kader hukum) di masyarakat mengenai proses hukum pidana, hukum perdata serta pengorganisasian Revitalization rakyat untuk advokasi.of Legal Aid
24
Komik ini merupakan bahan bacaan yang sederhana yang diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan para mediator yang ada di desa. Berisi tentang gambaran tentang bagaimana urutan dan proses mediasi dalam jalinan sebuah cerita.
Komik masyarakat di tingkat pemerintahan yang paling bawah (desa/kecamatan) memproses keadilan bagi dirinya. Komik ini bisa dijadikan gambaran bagaimana masyarakat bisa meng-advokasi dirinya ketika haknya dilanggar.