PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN KELOMPOK Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Oleh: JOYAKIN TAMPUBOLON
PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok: Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama(KUBE) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Jakarta, Maret 2006 Yang Membuat Pernyataan,
JOYAKIN TAMPUBOLON NRP: P0560001
ii
ABSTRAK JOYAKIN Kelompok: Kelompok (KETUA), (Anggota)
TAMPUBOLON. Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Usaha Bersama (KUBE). Dibimbing oleh BASITA GINTING MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO, SUMARDJO
Sejak dulu hingga sekarang upaya penanganan kemiskinan terus dilakukan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan dan program sudah banyak diluncurkan dalam rangka penanggulangan kemiskinan, namun pemasalahan kemiskinan tidak pernah terselesaikan sampai tuntas hingga sekarang. Sejak 1984 Departemen Sosial telah menawarkan satu program pemberdayaan kepada fakir miskin melalui pendekatan KUBE namun keberhasilannya kurang optimal. Karena itu, KUBE menjadi menarik untuk diteliti Tujuan penelitian: (a) mengkaji sejauh mana tingkat kedinamisan
kehidupan KUBE dan keberhasilan KUBE, (b) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan KUBE, (c) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan KUBE, (d) mengidentifikasi faktor utama penentu keberhasilan KUBE dan (e) merumuskan model yang efektif pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan KUBE. Populasi penelitian adalah KUBE kelompok fakir miskin yang sudah berdiri semenjak (minimal) 4 tahun hingga tahun 2004. Responden yang dijadikan sampel dalam penelitian sebanyak 224 orang anggota KUBE dari 61 KUBE dengan teknik penarikan sampel adalah stratified random sampling, yang terdiri dari: dua orang pegurus KUBE, dan dua orang anggota dari setiap kelompok KUBE. Sedangkan lokasi penelitian meliputi 3 wilayah provinsi, yaitu: Propinsi Sumatera Utara; Propinsi Jawa Timur; dan Propinsi Kalimantan Timur yang dipilih secara purposive. Disain penelitian menggunakan deskripsi analisis eksploratorif dan korelasional. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumentasi, survey, serta dengan menggunakan instrumen wawancara berstruktur (setengah terbuka) , dan observasi berstruktur. Dari hasil penelitian yang dilakukan, jenis usaha ekonomis produktif KUBE dikelompokkan dalam tiga kategori: (a) KUBE Harian, (b) KUBE Bulanan, (d) KUBE Tahunan. Hasil menunjukkan 59,02 % KUBE merupakan KUBE Harian. Kedinamisa n KUBE dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu (a) dinamis inklusi, (b) dinamis aktif, dan (c) dinamis inovatif. Hasil penelitian menunjukkan 85,2 % KUBE kategori aktif. Sekitar 93,8 % keberhasilan aspek sosial KUBE berada dalam kategori sedang , dan sebesar 95,5 % keberhasilan aspek ekonomi berada pada kateori sangat rendah . Lemahnya keberhasilan aspek ekonomi ini karena variabel pengguliran, tabungan, pengembangan jenis usaha, dan pengelolaan IKS belum berjalan dengan baik. Dinamika kehidupan KUBE dipengaruhi terutama oleh: tingkat pendidikan anggota KUBE, modal awal yang dimiliki, pelatihan yang diikuti responden, motivasi responden untuk tergabung dalam KUBE, proses pendampingan, bantuan yang diterima (uang dan per alatan), proses pembentukan KUBE, norma dan nilai budaya yang berlaku, peluang pasar yang ada, keterkaitan kelompok dengan tokoh formal dan informal, dan jaringan kerja yang dibangun. Tingkat keberhasilan KUBE dipengaruhi terutama oleh pembinaan kelompok, kepuasan iii
anggota, kepemimpinan kelompok, keefektifan kelompok, kekompakan kelompok, fungsi tugas kelompok, dan tujuan kelompok. Ada 5 faktor utama eksistensi KUBE, yaitu: aset (asset), kemampuan (ability), kemasyarakatan (community), komitmen (commitment), pasar (market) selanjutnya diberi nama “KONSEP PEMBERDAYAAN ABCCM”. Tiga faktor kedinamisan KUBE, yaitu: pendampingan (guide), jaringan kerjasama (networking), dan inovasi (innovation). Ada beberapa variabel yang saling mempengaruhi dalam model, yaitu variabel dinamika kehidupan KUBE dipengaruhi pola pemberdayaan, karakteristik individu KUBE, dan lingkungan sosial KUBE. Sedangkan variabel tingkat keberhasilan KUBE dipengaruhi oleh dinamika kehidupan KUBE. Model yang dihasilkan disusun dalam tujuh tahap dan harus dilakukan secara bertahap dan konsisten, yaitu (a) pemahaman kondisi awal, (b) sosialisasi program, (c) pembentukan kelompok, (d) pelaksanaan ABCCM, (e) operasionalisasi usaha, (f) inovasi usaha, dan (g) evaluasi keberhasilan KUBE.. Didasarkan pada hasil penelitian disarankan beberapa hal perlu disarankan. P erlu mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang berkaitan - terutama dengan: (a) tingkat pendidikan anggota KUBE, (b) modal awal yang dimiliki, (c) pelatihan yang diikuti anggota KUBE, (d) motivasi anggota untuk tergabung dalam KUBE, (e) proses pendampingan, (f ) bantuan yang diberikan (uang dan peralatan), (g) proses pembentukan KUBE. (h) norma dan nilai budaya yang berlaku, (i) peluang pasar yang ada, (j) keterkaitan kelompok dengan tokoh formal dan informal, (k) jaringan kerja yang dibangun, (l) pembinaan kelompok, (m) kepuasan anggota, (n) kepemimpinan kelompok, dan (o) keefektifan kelompok Dalam penerapan model harus mengikuti 7 tahapan yang harus dilalui secara berur utan dan konsisten yang dimulai dari (a) pemahaman kondisi awa l; (b) sosialisasi program (c) pembentukan kelompok; (d) pelaksanaan “ABCCM” (e) operasionalisasi usaha ; (f) inovasi usaha ; dan (g) evaluasi keberhasilan KUBE. Ada beberapa faktor yang harus mendapat tekanan dalam penerapan model, yaitu: (a) konsep pemberdayaan ABCCM, meliputi: aset, kemampuan, kemasyarakat, komitmen, pasar, pendampingan, jaringan kerjasama, inovasi, (b) jenis sifat kegiatan KUBE, meliputi: harian, bulanan, semesteran, (c) kedinamisan KUBE, meliputi: inklusi, aktif dan inovatif. Mengingat keterbatasan-keterbatasan yang ada pada anggota KUBE maka pendampingan masih sangat diperlukan hingga jangka waktu tertentu. Guna mempercepat akses KUBE terhadap keuangan, maka eksistensi Lembaga Keuangan Mikro (LKM) masih diperlukan sehingga dapat mempercepat akses KUBE terhadap kebutuhan modal yang senantiasa berkembang. KUBE harus terintegrasi dengan teknologi tepat guna , karena, itu pihak perguruan tinggi khususnya Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) perlu bekerja sama dengan KUBE dan lebih proaktif dalam pengembangan inovasi KUBE Kata kunci: Pemberdayaan, Kelompok, Kemiskinan
iv
ABSTRACT JOYAKIN TAMPUBOLON. The Community Empowerment through The Group Approach: The Empowerment Case of The Poverty Community through The Group of Sharing Economic Business Approach. Under the direction of BASITA GINTING (Promoter), MARGONO SLAMET, DJOKO SUSANTO, and SUMARDJO (Co-Promoter). The objectives of the study are: (a) to overview the level of the dynamic of KUBE’s life, (b) to identify factors which effect the level of KUBE’s success is, (d) to identify main components which determine KUBE’s success and (e) to formulate an effective empowerment model for poor society through modified KUBE approach. The type of productive economical business of KUBE it is necessary classified in three categories : (a) Daily KUBE, (b) Monthly KUBE, (c) Annual KUBE. The result shows 59.02 percent of KUBE is Daily KUBE. The dynamic of KUBE need to be classified in three categories, they are (a) inclusion dynamic, (b) active dynamic, and (c) innovative dynamic. The result of the research shows 85.2 percent of KUBE is active category. It is about 93.8 percent of the success of social aspect of KUBE at medium category and 95.5 percent the success of economy aspect at very low category. The weak of success of economy aspect because the variable of turning time, saving, development of business variation, management of IKS have not run well. Dynamic of KUBE life is effected strongly by the level of education of KUBE members, initial asset owned, training is taken by members, the motivation of the members to join KUBE, guiding process, aids gotten (money and tools), process of building KUBE, norms and values of culture existed, the opportunity of market, the involve of groups with informa l and formal doer, and networking built. The level of the success of KUBE is effected strongly by guiding group, the satisfaction of members, the leadership of group, the effective of group, the harmony of group, the function of group work and the purpose of group. There are 5 main components of KUBE existence, they are: asset, ability, community, commitment, named “ABCCM Empowerment Concept”. The three of KUBE dynamic, they are: guide, networking and innovation. There are some variables effect each other in model, that is, variable of dynamic life of KUBE is effected by empowerment pattern, the characteristic of the individual KUBE and society environment of KUBE. Meanwhile the variable of the success level of KUBE is effected by the dynamic of KUBE life. M odel that has been formulated consist of seven phase and must be done step by step and consistently, those are: (a) understanding of the beginning condition, (b) program socialization, (c) forming of group, (d) application of ABCCM, (e) business operationalization, (f) business innovation, and (g) evaluate efficacy of KUBE. Key word: Empowerment, Group , Poverty v
Hak cipta milik Joyakin Tampubolon, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya
vi
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDEKATAN KELOMPOK Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Oleh: JOYAKIN TAMPUBOLON
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN)
PROGRAM STUDI ILMU PENYULUHAN PEMBANGUNAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 vii
Judul Disertasi
:
Pemberdayaan Masyarakat mela lui Pendekatan Kelompok: Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
Nama NRP Program Studi
: : :
Joyakin Tampubolon P05600001 Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Disetujui: Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA Ketua
Prof. Dr. H. Margono Slamet, MSc Anggota
Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU Anggota
Dr. Ir. Sumardjo, MS Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Amri Jahi, MSc
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Ujian tanggal : 22 Maret 2006
Lulus tanggal : ............................
viii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan karunia -Nya, disertasi yang berjudul: Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok ini dapat diselesaikan. Disadari bahwa bukan karena limpahan ramah-Nya semua ini tidak akan dapat dilaksanakan. Berbagai tantangan dan hambatan sudah dihadapi dalam rangka penyelesaiaan studi ini khususnya yang berkaitan dengan pelaksanaan penelitian mulai dari penyusunan proposal, terutama pada pelaksanaan penelitia n di lapangan hingga penyusunan laporan disertasi ini. Tetapi karena lindungan-Nya semua dapat diatasi dengan baik. Sejak dulu hingga sekarang upaya-upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat kelompok yang kurang mampu sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Berbagai kebijakan dan program sudah banyak diluncurkan, seperti Memantapkan Program Menghapus Kemiksinan (MPMK), Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (GARDUTASKIN), Inpres Desa Tertinggal (IDT), hingga Bantuan Lansung Tunai Rumah Tangga Miskin (BLTRTM), tetapi kondisi yang ada belum berpihak pada kelompok ini. Berbagai tantangan dan hambatan selalu silih berganti, seperti nilai tukar rupiah terhadap dolar yang tidak stabil, kerusakan terjadi diberbagai daerah, bencana alam terjadi di mana-mana , harga BBM naik, dan lain-lain. KUBE merupakan salah satu bentuk pemberdayaan yang ditujukan pada kelompok ini. Diperkirakan semenjak program ini dimulai tahun 1984 sudah lebih dari 35.000 KUBE sudah diberdayakan, namun keberhasilannya belum diketahui secara past i. Sampai tahun 2010 Departemen Sosial merencanakan akan memberdayakan + 300.000 KUBE fakir miskin. Didasarkan pada kondisi tersebut, eksistensi KUBE ini menjadi sesuatu yang sangat strategis untuk diteliti. Dalam memahami hasil penelitian ini, perlu mendalami apa sesungguhnya yang dimaksud dengan KUBE. KUBE dalam penelitian ini sebagai media dalam melakukan berbagai aktivitas kelompok yang pada intinya meliputi dua hal yaitu aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial atau Usaha -usaha Kesejahteraan Sosial (UKS) dan kegiatan yang bersifat ekonomis produktif. Dalam mendalami KUBE sebagai suatu media, penulis mencoba menerapkan ix
teori-teori kelompok untuk mendalami sejauh mana kedinamisan KUBE mampu meningkatkan keberhasilan KUBE. Ada 9 unsur dinamika kehidupan KUBE yang dianggap relevan dalam mendalami KUBE sebagai suatu media aktivitas kelompok, yaitu: (a) tujuan kelompok, (b) struktur kelompok, (c) fungsi tugas kelompok, (d) pembinaan kelompok, (e) kekompakan kelompok, (f) keefektivan kelompok, (g) kepemimpinan kelompok dan (h) kepuasan kelompok. Karena itu pemahaman KUBE dalam penelitian harus dilihat sebagai media perwujudan aktivitas kelompok. Untuk melihat bagaimana keberhasilan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan KUBE, penulis mengambil sampel KUBE-KUBE yang dikategorikan berhasil sebanyak 61 KUBE. Penulis mengambil lokasi di tiga Provinsi, yaitu: Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Kalimantan Timur. Alasan pemilihan lokasi ini, karena di ketiga wilayah provinsi kebehasilan KUBE relatif lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kedua, persentase kelompok miskin relatif besar dibandingkan dengan jumlah penduduk masingmasing wilayah. Ada lima tujuan penelitian yang diharapkan dapat diungkapkan melalui penelitian ini, yaitu: pertama , menggali seberapa besar tingkat kedinamisan kehidupan dan keberhasilan KUBE; kedua , mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan kehidupan KUBE; ketiga, mengindentifikasi faktorfaktor yang mempengaruhi keberhasilan
KUBE; keempat, mengindentifikasi
faktor utama penentu keberhasilan KUBE, dan kelima, merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang efektif melalui pendekatan KUBE. Penulis berdoa dan memohon mudah-mudah hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan efektivitas proses pemberdayaan masyarakat kelompok miskin sehingga bantuan pertolongan yang ditujukan kepada mereka benar-benar dapat memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan sosial mereka menjadi lebih baik. Amin. Jakarta, Maret 2006 Penulis,
x
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Pealinta suatu perkampungan di desa Siabal-abal II Kecamatan Sipahutar, Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 2 September 1960, putra bungsu dari enam bersaudara dari keluarga (alm) St Meman Tampubolon dan (alm) Karolina br Panjaitan, telah menikah dengan Merry Hutabarat, SE. Pada tanggal 15 Juni 1993 dan sudah dikaruniai tiga anak: Barata Teddy Irwanto Tampubolon (11 tahun), Sri Pascarini Agustina Tampubolon (11) dan Mastro Septri Johan Tampubolon (9 tahun). Pada usia 7 tahun penulis masuk sekolah SD Negeri Lumbanjulu dan lulus tahun 1974, Sekolah Menengah Tingkat P ertama di SMP Negeri Sipahutar lulus 1977, Sekolah Menengah Tingkat Atas di SMA Negeri Siborong-borong semua di dan lulus tahun 1981. Karena prestas i yang dicapai selama pendidikan SMP, penulis menerima beaswiswa mulai dari kelas I hingga kelas III SMA. Pada tahun 1986 setelah bekerja di Departemen Sosial RI, penulis melanjutkan pendidikan Diploma III di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung dengan status Tugas Belajar utusan dari Kanwil Departemen Sosial Propinsi Sumatera Utara lulus tahun 1989 (lulusan terbaik III). Setahun kemudian dengan tetap sebagai status Tugas Belajar dari kantor yang sama melanjutkan pendidikan pada sekolah yang sama (STKS Bandung) pada jenjang S1 lulus tahun 1992 (lulusan terbaik III). Pada tahun 1995 penulis kembali mendapat kesempatan dengan status Tugas Belajar melanjutkan pendidikan Program Magister (S2) di Universtas Indonesia jurusan Sosiologi kekhususan Kesejahteraan Sosial lulus tahun 1997. Kemudian pada tahun 2000 penulis kembali melanjutkan pendidikan Program Doktor di Institut Pertanian Bogor Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Selama sekolah di SD, SMP dan SMA penulis selalu aktif dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler sekolah, seperti anggota dan pengurus Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), Palang Merah Remaja, kegiatan Kegiatan Kerohanian Remaja, kegiatan Kesenian Remaja, Kegiatan Pramuka dan kegiatan-kegiatan lainnya. Pada tahun 1978-1979 semasa pendidikan di SMA penulis sebagai Koordinator Bidang Kesenian OSIS SMA Negeri Siborong-borong. Selama mengikuti pendidikan di STKS Bandung baik pada jenjang Diploma maupun xi
Sarjana, penulis aktif dalam kegiatan ektrakurikuler mahasiswa. Selama periode 1987-1989 penulis terpilih sebagai Sekretaris HIMA STKS Bandung, pada periode yang sama juga terpilih sebagai Wakil Ketua dan pelatih Paduan Suara mahasiswa Mahaswiswa STKS Bandung. Pada tahun 1991-1992 terpilih sebagai Ketua Badan Pengawas Harian Koperasi STKS Bandung. Dalam kegiatan kerohanian Kristen baik selama mengikuti pendidikan Diploma maupun jenjang S1 penulis aktif sebagai pelatih Paduan Suara Keluarga Mahasiswa Kristen (KMK) STKS Bandung. Selain itu, penulis juga terpilih beberapa kali sebagai Ketua Kelas dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan yang dilaksanakan oleh STKS Bandung seperti: Dies Natalis, Wisuda, Ospek Mahasiswa Baru, dan lain-lain. Sejak tahun 1983 penulis diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Sosial RI dan bertugas di Kantor Wilayah Departemen Sosial Propinsi Sumatera Utara pada Sub Bagian Kepegawaian hingga tahun 1986. Pada tahun 1986-1989 mengikuti pendidikan Diploma III di STKS Bandung dengan status Tugas Belajar. Pada tahun 1989 kembali bertugas di Kanwil P ropinsi Sumatera Utara dan dipindakan pada Bidang Penyusunan Program hingga tahun 1990. Selama periode 1989 hingga 1990 penulis aktif sebagai penulis berbagai Pedoman, Juknis dan Juklak yang diadakan oleh Kanwil Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara. Pada tahun 1990-1992 penulis kembali mendapat kesempatan mengikuti pendidikan jenjang S1 di STKS Bandung dengan status Tugas Belajar. Pada tahun 1993-1995 kembali bertugas di Kanwil Departemen Sosial Propinsi Sumatera Utara. Pada tahun 1995-1997 penulis kembali mengikuti pendidikan di Universitas Indonesia untuk Program Magister dengan status Tugas Belajar. Setelah selesai mengikuti pendidikan S2, penulis dipindahkan ke Departemen Sosial pusat dan ditempatkan di Pusdiklat Pegawai Seksi Penyusunan Kurikulum. Setahun kemudian diangkat menjadi Widyaiswara Muda (Tenaga Pengajar) Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial hingga sekarang. Berbagai seminar yang diikuti di antaranya adalah seminar Pengembangan Koperasi,
seminar
Remaja
dan
Pengaruh
Lingkungannya,
seminar
Pengembangan Masyarakat dan Usaha Kesejahteraan Sosial dalam Perpektif Islam, Seminar Sosial Budaya, Seminar Nasional Profesi Pekerjaan Sosial
xii
Modern. Seminar Nasional Isu-isu Masalah Sosial Strategik dan Isu-isu Global yang Berpengaruh terhadap Pembangunan Kesejahteran Sosial. Seminar Nasional Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Era Globalisasi. Pelatihan yang pernah diikuti adalah Pelatihan Pendataan dan Perencanaan Bidang Kesejahteraan Sosial (1993) yang diadakan oleh Kanwil Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara, Pelatihan Traning Need Assessment (1998) dan Pelatihan Traning Need Analysis (1998) , Diklat TOT SPAMA (1999) yang diadakan Lembaga Adminstrasi Negara , TOT Kepemimpinan dan Pemberdayaan SDM (1999), Diklat Metodologi Pembelajaran (1999) yang diadakan oleh Departemen Sosial RI, Diklat ADUM (1999) dan Diklat SPAMA (2000) yang diadakan oleh Departemen Sosial bekerjasama dengan Lembaga Adminstrasi negara, Diklat Statistik (2001) yang diadakan oleh FMIPA Institut Pertanian Bogor. Pengalaman la in yang diperoleh adalah sebagai Tenaga Pelatih / Fasilitor Diklat pada Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI, Dinas Bimbingan Mental dan Kesejahteraan Sosial DKI Jakarta, Disigner dan Pelatih Out Bound Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI. Tim Evaluasi Pelatihan Dasar Pekerjaan Sosial (PDPS) Pusdiklat Pegawai Departemen Sosial RI, Tim Pakar Pusdiklat Pegawai Depsos dan sebagai Tenaga Pengajar (Dosen) di STIA YAPPANN sejak 1999 hingga sekarang. Ketua Bidang Organisasi dan Keanggotaan IPSPI (periode 19992004), Anggota Pengurus Bidang Hukum dan Pemerintahan IPSPI (2004sekarang). Bertugas selama + 1 bulan setelah 3 hari terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussallam. Pengkajian yang sudah dilakukan adalah Pengkajian dan Penyusun Kurikulum Diklat Out Bound, Diklat Penanggulangan Bencana, Diklat Penanganan Fakir Miskin melalui Pendekatan KUBE, Diklat Penanganan Pengungsi, Diklat Manajemen Pimpinan Panti, Diklat Jabatan Fungsional Pekerjaan Sosial, Pengkajian Kearifan Lokal Pasca Bencana Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Aceh, dan pengkajian-pengkajian lainnya. Penelitian yang sudah dilakukan: penelitian tentang Integrasi WNI keturunan Asing dengan WNI Penduduk Masyarakat Setempat (1992) lokasi Bandung, Pelayanan Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GN -OTA) tahun 1997 lokasi Tangerang, Penelitian
xiii
Permasalahan Migran dan Model Pemberdayaannya (2003) 6 Provinsi, Penelitian Indikator Kemiskinan (2003) Uji Coba Model Pemberdayaan Keluarga dalam Rangka Mencegah Tindak Tuna Sosial oleh Remaja (2004) 9 Provinsi, Model Pemberdayaan Keluarga bagi Korban Bencana pasca bencana tsunami di Aceh (2005), Analisis Efektivitas Kebutuhan Anak melalui Sistem Panti dan Nonpanti (2005) di 6 wilayah Provinsi. Jakarta, Maret 2006 Penulis
xiv
UCAPAN TERIMA KASIH Selama proses penyelesaian studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) banyak bantuan maupun dukungan baik langsung maupun tidak langung
yang saya
terima dari berbagai pihak, terutama dalam penulisan disertasi ini. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya pertama-tama saya sampaikan kepada pembimbing saya: Bapak Dr. Ir. Basita Ginting Sugihen, MA, selaku Ketua Komisi, Bapak Prof. Dr. H. Margono Slamet, MSc, Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU, dan Dr. Ir. Sumardjo , MS, selaku Anggota Komisi yang telah sudi menjadi pembimbing
dan menyediakan waktu, tenaga dan pikiran di dalam proses
pembimbingan selama penyusunan rancangan penelitian dan disertasi ini. Banyak masuk dan arahan-arahan yang saya terima yang pada akhirnya dapat diwujudkan seperti sekarang ini. Pada kesempatan ini juga saya memberikan ucapan terima kasih kepada jajaran IPB khususnya para tenaga adminstrasi Pascasarjana, mantan Ketua dan Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Bapak Prof. Dr. H. Margono Slamet, MSc dan Dr. Ir. Amri Jahi, MSc. , serta staf pengajar dan tenaga adminstrasi program Ilmu Penyuluhan Pembangunan yang telah memberikan pelayanan selama mengikuti pendidikan di IPB bogor. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada . Kepada Bapak Drs. Chusnan Yusuf mantan Kepala Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial yang banyak memberikan dukungan dan dorongan untuk melanjutkan pendidikan ini. Kepada Bapak Drs. Agus Priyono, MAP, selaku Kepala Pusdiklat Pegawai Depsos RI dan jajarannya yang banyak memberikan dukungan, motivasi, fasilitas dan kemudahan-kemudahan kepada saya selama mengikuti pendidikan ini. Selanjuntya kepada Bapak Drs. Abdul Malik, SH, MSi (Kepala Biro Kepegawaian dan Hukum Depsos ) beserta staf yang telah banyak memberikan pelayanan adminstrasi kepagawaian. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan materil yang diberikan kepada penulis melalui keikutsertaan penulis dalam berbagai kegiatan yang diadakan selama ini,
kepada: Bapak Drs.
Mulyono Machasi (mantan Direktur Bantuan Sosial Fakir Miskin Depsos RI) beserta staf, Bapak Drs. Charles Talimbo, MSi (Kepala Pusat Penyuluhan Sosial Depsos RI) beserta staf, Bapak Drs. Agus Chamdun, Msi (Kepala Pusat Data dan Informasi Depsos RI) beserta staf, Bapak Drs. MP. Rondang Siahaan, Msi xv
(Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial Depsos RI) beserta staf, Dra. Sahawiyah Abdullah, Msi (Direktur Bina Pelayanan Korban Napza Depsos RI) beserta staf, Bapak Drs. Dedi Suhendi (Inspektur IV Bidang Penunjang) yang banyak memberikan perhatian selama ini. Pada kesempatan ini juga disampaikan terima kasih kepada ennumerator yang telah banyak membantu selama penelitian: Banten (sebagai lokasi uji coba intrumen penelitian): Dra. Agustina (Depsos), Dra. Lis Nurhidayah (Depsos); Sumatera Utara: Marsitta Simbolon, S.Sos, Indah Rivanti, S.Sos, Harpen Simarmata, SKM (masing-masing LSM YAKMI), Dra. Alwanti Saragih (Pendamping);
Jawa Timur: Teguh, S.Sos (Dinso Prov. Jatim), Drs. Edy (Dinso
Kab. Nganjuk), Dra. Drs. Sofii (Dinso Kota Pasuaruan), Sugiarto (Dinso Kota Pasuruan),
Dra. Nini (Dinso Kota Surabaya ); Kalimantan Timur: Sahuddin
(Pasir), Itjul Ardana (Berau) dan Mahyudin (Pasir) masing-masing Anak Panti PSAA Dharma Dinso Provinsi Kaltim, dan Rusman (Pelaksana Kaseksi Bidang Ekonomi, Kantor Pemberdayaan Kotamasya Balikpapan), Dra. Nani (Kepala Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial Pandeglang). Terima kasih juga disampaikan pada teman-teman yang telah turut membantu pelaksanaan penelitian di daerah sehingga penelitian dapat diselesaikan tepat waktu, Sumut: Drs. Haris Pasi, Msi (Kepala Seksi Fakir Miskin, Dinso Provinsi Sumut), Drs. Mansyur Syah (Staf Seksi Pemberdayaan Fakir Miskin), Ramdono (Staf Sudin Pemberdayaan Dinso Provinsi Sumut), Ester Hutabarat, Aks (Ketua Yayasan Kesejahteraan Masyarakat Indonesia, YAKMI); Dra. Redima Gultom, S.Sos (dalam peminjaman mobil); Jatim: Rachmat Syamsudin, SH (Kepala Panti PRSPP Teratai Surabaya, Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur yang sangat banyak membantu dalam memfasilitasi kegiatan penelitian), Dra. Sri Utami (Kasub Seksi Advokasi dan Perlindungan, Dinso Provinsi Jatim), Dra. Dwi Anti Sunarsih, Msi. (Staf Seksi Advokasi dan Perlindungan, Dinso Provinsi Jatim) yang sangat banyak membantu dan memfasilitasi pelaksanaan penelitian), Drs. Bayoe (Kepala Penyusunan Program, Dinso Provinsi Jatim), Hardyanto (Staf Seksi Advokasi dan Perlindungan, Dinso Provinsi Jatim) yang banyak berjasa sebagai driver selama di jawa Timur); Kalimantan Timur : Yusuf (Pelaksana Seksi Bantuan Fakir Miskin, Dinso Provinsi Kaltim) yang sangat banyak membantu dan
xvi
memfasilitasi pelaksaan penelitian di Provinis Kaltim, Dra. Dwi Hartini (Kasubag Tata Usaha PSAA Dharma Samarinda ) yang banyak membantu dan memfasilitasi pelaksanaan penelitian di Samarinda) , Drs. Maiwan Syam (Kepala Seksi Bantuan Sosial), Drs. Nomen Simarmata (Kasubdin Sarana, Prasarana dan Pengembangan Swadaya Masyarakat) yang telah banyak membantu dan memfasilitasi pelaksanaan penelitian di Balikpapan, Drs. Bambang Harjunadi (Kepala Seksi Bantuan Sosial, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Keluarga Berencana dan Sosial Kabupaten Nganjuk) , Aep Saifullah (Kepala Seksi Bantuan Sosial Fakir Miskin, Dinas Sosial dan Kependudukan Provinsi Banten). Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan terimah kasih yang sebesar-besarnya kepada: Kakanda tercinta Kel. Gr. BM. Tampubolon dan Kel Bapak Metua Drs. AM. Hutabarat, SH di Medan; Kel. Ir. Piter Nadeak dan Kel Silitonga/ br Simatupang (Bere ) di Balikpapan, Kel Rachmat Syamsudin, SH (Kepala Panti PRSPP Teratai Surabaya, Dinas Sosial Propinsi Jawa Timur), di Surabaya, Kepala Panti Jompo dan Staf di Kotamadya Samarinda atas pelayanan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian. Kepada beliau yang telah bertindak sebagai Penguji dari luar Komisi, yaitu: Bapak Dr. Ir. Harry Hikmat, MSi., (Direktorat Bantuan Sosial Fakir Miskin Departemen Sosial RI) sebagai Penguji pada Ujian Tertutup yang diadakan pada tanggal 18 Januari 2006, Prof. Dr. Robert Lawang (Ketua Program Studi Pembangunan Sosial Pascasarjana Universitas Indonesia) dan Prof. Dr. Gunawan Sumodiningrat, M.EC. (Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Departemen Sosial RI) masing-masing sebagai Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka yang diadakan pada tanggal 22 Maret 2006. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas masukan-masukan yang diberikan dalam penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dra. Lucy Sandra (Kepala Sub Bidang Metodologi dan Teknologi Pusdiklat Pegawai Depsos dan Dedi Simatupang (Bere) yang telah membantu dalam proses entri data hasil lapangan. Kepada Bapak Dr. Ir. Made Swande, MSi dan Drs. Bagus, MSi staf Pengajar Program Studi Statistik Institut Pertanian Bogor yang telah sudi meluangkan waktu dan tenaga dalam membimbing pengolaha n dan analisis data statistik
xvii
hingga penulisan akhir disertase ini. Kepada teman-teman seperjuangan di program Studi Ilmu Penyuluhan Pembanguan yang banyak membantu dan memberikan dukungan. Pada kesempatan ini saya mengucapakan terima kasih kepada Bapak (Alm) Prof. Drs. Mangatas Tampubolon, MSc dan istri yang saya anggap sebagai orang tua saya yang telah membesarkan saya dan banyak memberikan dorongan dan motivasi bagi penulis untuk terus melanjutkan pendidikan hingga Program Doktor. Namun, sayang Beliau (A lm) sudah dipanggil oleh yang Maha Kuasa sebelum studi saya ini berakhir. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Kuasa memberikan tempat yang layak disisi-Nya. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih yang sedalamdalamnya kepada istri tercinta Merry Hutaba rat SE, yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan, semangat dan pengertian dalam penyelesaian studi ini. Hal yang sama juga disampaikan kepada Ananda tercinta: Barata Teddy Irwanto Tampubolon, Sri Pascarini Agustina Tampubolon dan Mastro Septri Johan Tampubolon atas semangat, dorongan
dan pengertian yang diberikan dalam
proses penyelesaian disertasi ini. Kepada (alm) Ibunda tercinta yang selalu berusaha dan berjuang keras untuk pendidikan anak-anaknya. Terima kasih atas perjuangan (alm) Ibunda ter cinta. Terima kasih disampaikan kepada Kakanda Gr. BM. Tampubolon, STh dan istri, Drs. Jintar Tampubolon, MPd dan istri yang terus menerus mendorong dan memotivasi penulis dalam penyelesaian studi ini, demikian juga kepada Bapak/Ibu Mertua St. Drs. AM. Hutabarat, SH yang telah banyak memberikan dukungan dalam penyelesaian studi ini. Kepada semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan secara satu persatu dalam disertasi ini, atas bantuan dan dukungan yang diberikan pada penulis baik langsung maupun tidak langsung, diucapkan terima kasih. Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan, motivasi, dan perhatian diucapakan terima kasih, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan yang setimpal. Terima kasih. Jakarta, Maret 2006,
Penulis
xviii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ............................................................................. ix DAFTAR ISI ........................................................................................... xix DAFTAR TABEL ................................................................................. xx DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xxiii DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xxv PENDAHULUAN ................................................................................... Latar Belakang ................................................................................... Masalah Penelitian ............................................................................. Tujuan Penelitian ............................................................................... Kegunaan Penelitian ..........................................................................
1 1 6 7 7
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... Kemiskinan ........................................................................................ Kelompok .......................................................................................... Lingkungan Sosial ............................................................................. Kepemimpinan ................................................................................... Pemberdayaan ..................................................................................... Keberhasilan Kelompok ..................................................................... Penyuluhan dan Pemberdayaan ...........................................................
9 9 16 28 29 33 39 45
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS ..................................... Kerangka Pemikiran ............................................................................ Hipotesis Penelitian ............................................................................
49 49 64
METODE PENELITIAN .........................................................................
65
Populasi dan Sampel ........................................................................... Populasi penelitian ....................................................................... Teknik penarikan sampel .............................................................. Sampel penelitian ........................................................................
65 65 65 67
Lokasi dan Waktu Penelitian ..............................................................
67
Lokasi penelitian ......................................................................... Waktu penelitian .........................................................................
67 68
Disain Penelitian ................................................................................
68
Data dan Instrumen ........................................................................... Sumber data penelitian ............................................................... Teknik pengumpulan data .............................................................
68 68 69
xix
Peubah dan Pengukuran ................................................................... Peubah-peubah penelitian ........................................................... Pengukuran peubah ......................................................................
69 69 71
Validitas dan Reliabilitas ................................................................... Ana lisis Data .....................................................................................
72 76
Definisi Operasional dan Indikator Pengukuran ................................
80
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Miskin Lokasi Penelitian .. Karakteristik Masyarakat Miskin ......................................................
94 94 101
Pemberdayaan Mas yarakat Miskin .................................................... Lingkungan Sosial KUBE .................................................................
112 123
Dinamika Kehidupan KUBE .............................................................. Tingkat Keberhasilan KUBE .............................................................
132 142
Kelompok sebagai Media Pemberdayaan ......................................... Konsep Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Suatu Sintesis Hasil Kajian ................................................................................................. Visi dan misi Pemberdayaan Masyarakat Miskin ............................ Kedinamisan KUBE ..................................................................... Keberhasilan KUBE ...................................................................... Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kehidupan KUBE .......... Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan KUBE ...................... Faktor Utama Penentu Keberhasilan KUBE ............................... Model P emberdayaan yang Efektif bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin ..................................................................... Strategi Penerapan ModelPemberdayaan KUBE ........................ Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin ..................
161
SIMPULAN DAN SARAN ..............................................................
239 239 242
Simpulan ............................................................................................. Saran ................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
164 164 168 172 177 196 202 220 229 236
.............................................................................
245
LAMPIRAN .............................................................................................
253
xx
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
23 24 25 26 27 28
Indikator Garis Kemiskinan .......................................................... Model Hipotetik Dinamika Kehidupan Kelompok ....................... Model Hipotetik Paradigma Pola Pemberda yaan Masyarakat melalui KUBE ................................................................................ Model Hipotetik Aspek Lingkungan Sosial KUBE ..................... Model Hipotetik Keberhasilan KUBE ......................................... Jumlah Sampel dan Wilayah Penelitian ...................................... Pengujian Kesahihan Hubungan Antara Variabel Utama ............. Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen ........................................ Indikator dan Parameter Karakteristik Individu Anggota Kelompok KUBE (X1) .................................................... Indikator dan Parameter Pola Pemberdayaan (X2) ......................... Indikator dan Parameter Lingkungan Sosial (X3 ) .......................... Indikator dan Parameter Dinamika Kehidupan Kelompok (Z 1) .............................................................................. Indikator dan Parameter Tingkat Keberhasilan KUBE ................. Angka Garis Penduduk Miskin dan Miskin (Rp/Bln) .................. Jumlah Responden Menurut Kedudukan dalam KUBE dan Jenis Kelamin .......................................................................... Komposisi Tingkat Pendidikan dan Umur Anggota KUBE ....................................................................................... Nilai Mean, Median, Modus, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang Diterima .................................... Pengelompokan KUBE berdasarkan Jenis Usaha yang Dikembangkan .............................................................................. Distribusi Jenis Usaha KUBE menurut Provinsi ................. Penerapan Pendekatan atau Me tode Pembinaan Kelompok .... Reaksi atau Tanggapan Responden terhadap Metode yang Diterapkan ..................................................................................... Nilai Mean, Median, Modus, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang diterima, Modal Akhir dan Persentase Kenaikan Modal ................................................... Pendapatan Anggota dan Besarnya Tanggungan Keluarga ........................................................................................ Banyaknya Jenis Usaha dan Pertambahan Jenis Usaha .............. Kriteria Pengelompokan Kedinamisan KUBE .............................. Tingkat Keberhasilan Aspek Sosial menurut Provinsi ................. Tingkat Keberhasilan Aspek Ekonomi menurut Provinsi .......... Koefisien Korelasi antara Karakteristik Individu Anggota (X 1) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) ..... ......................... xxi
15 55 57 59 60 67 74 76 82 84 86 88 92 95 101 104 106 107 108 115 115
153 157 158 171 175 176 181
29 Koefisien Korelasi antara Pola Pemberdayaan (X2) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y 2) .......................................... 30 Koefisien Korelasi antara Lingkungan Sosial (X3) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y 1) ........................................... 31 Koefisien Korelasi antara Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Tingkat Keberhasilan Sosial KUBE (Y21) dan Tingkat Keberhasilan Ekonomi KUBE (Y21) ....................... ......................... 32 Nilai Hasil Pengujian Faktor Eksistensi dan Kedinamisan KUBE ....................................................................... 33 Jalur Lintasan dan besarnya Koefisien Lintas Pengaruh Langsung tidak langsung serta Pengaruh Total ..................... 34 Kerangka Model Strategi Pemberdayaan Masyarakat melalui KUBE ..........................................................................
xxii
188 194
200 204 224 235
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
31
Jenis kelompok Berdasarkan Struktur Kelompok ........................... Jenis kelompok Berda sarkan Fungsi Kelompok ............................. Jenis kelompok Berdasarkan Pola Interaksi ................................ Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan KUBE .......................................................................... Model Hubungan Antara Variabel ................................................. Persentase Penduduk Fakir Miskin dan Miskin terhadap Jumlah Pendudukan masing-masing Wilayah ..............................................
21 21 22
Tingkat Partisipasi Masyarakat Miskin menurut Pendidikan .....
97
Persentase Masyarakat Miskin yang berusia 15 tahun ke atas menurut Angkatan Kerja dan Jenis Pekerjaan .............................. Persentase Rumah Tangga Miskin menurut Kepemilikan Rumah .. Persentase Rumah Tangga Miskin menurut Kondisi Rumah
97 98
Tidak Layak Huni .......................................................................
99
63 77 96
Bentuk Kegiatan Badan Usaha dalam Penanganan Permasalahan Sosial ........ ..................................................................................... 100 Persentase Komposis Umur Anggota KUBE ............................ 102 Komposisi Pendidikan Formal Anggota KUBE ......................... 103 Penghasilan Utama dan Waktu yang Paling Banyak Dihabiskan untuk Bekerja ................................................................................... 109 Persentase Kehadiran dalam Pertemuan .......................................... 117 Besar Bantuan yang Diterima ......................................................... 118 Kesesuaian dan Besar Bantuan yang Diberikan ........................... 119 Peranan Pendamping sebagai Fasilitator, Katalisator dan Dinamisator .................................................................................. 121 Jaringan Kerjasama / Kemitraan Kerja yang Terbentuk ................ 129 Pencapaian Tujuan Kelompok ......................................................... 133 Persentase Pertambahan Modal Usaha KUBE ................................. 154 Lama KUBE Berdiri .......................................................................... 154 Pengguliran Bantuan ......................................................................... 155 Besarnya Pendapatan Keluarga dan Anggota KUBE ........................ 156 Ketersediaan Tabungan untuk Jangka Waktu 1 bulan ..................... 158 Konsep Kedinamisan KUBE ............................................................ 169 Hubungan Dinamika Kehidupan Kelompok dengan Keberhasilan Aspek Sosial ...................................................................................... 170 Tingkat Keberhasilan KUBE ......................................................... 173 Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karaktiristik Individu Anggota KUBE (X1 ) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) .................................................................................... 182 Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Pola Pemberdayaan KUBE (X 2) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) ..................................................................................... .. 189 Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Lingkungan Sosial (X 3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) .............................. 195 xxiii
32 33 34 35 36 37 38
Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) terhadap Keberhasilan KUBE (Y2) ........... Unsur Konsep Pemberdayaan “ABCCM” .................................. Pelaksanaan Kemitraan ................................................................ Faktor Penentu Keberhasilan KUBE ........................................... Hasil Pengujian Analisis Lintasan Pemberdayaan Masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) ............................. Model Pemberdayaan Masyarakat me lalui Pendekatan KUBE ..... Hubungan antara Penyuluhan dan Pemberdayaan ......................
xxiv
201 212 217 220 222 227 237
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1a 1b 2a 2b 2c 2d 2e 2f 2g 3a
3b
3c 3d 3e 3f 3g
Pola Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Pendekatan KUBE ........ Model Umum Kelembagaan dan Pengorganisasian Program Pemberdayaan Fakir Miskin .............................................. Pengujian Hubungan Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) .......................... Pengujian Hubungan Pola Pemberdayaan KUBE (X2) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) .......................................... Pengujian Hubungan Lingkungan Sosial KUBE (X3) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) .............................................. Pengujian Hubungan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Keberhasilan Aspek Sosial (Y21) ............................................... Pengujian Hubungan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Keberhasilan Aspek Ekonomi (Y22) ............................................ Pengujian Hubungan Antara Variabel X1, X2, X3, Y1, Y22, dan Y2 .................................................................................................. Analisis Keragaman Varian antara Wilayah Propinsi ................ Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1), Pola Pemberdayaan (X2), dan Lingkungan Sosial (X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ............ Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1), Pola Pemberdayaan (X2), dan Lingkungan Sosial (X3), Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) terhadap Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) ........................................................... Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) .. Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Pola Pemberdayaan (X2) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ................................. Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Lingkungan Sosial (X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ................................ Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) ............... Pengujian Persamaan Tingkat Kedinamisan KUBE antara Peubah Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) terha dap Tingkat Keberhasilan Sosial KUBE (Y21) ..............................................
xxv
253 254 255 256 257 258 259 260 261
262
263 264 265 266 267 268
PENDAHULUAN Latar Belakang Upaya penanganan kemiskinan sejak zaman pemerintah Orde Baru sudah dirasakan manfaatnya, terbukti dari jumlah penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi antara tahun 1976 hingga 1996. Pada tahun 1976 proporsi penduduk miskin masih sekitar 40,1 persen dari jumlah penduduk, pada tahun 1996 proporsi penduduk miskin tinggal hanya 17,7 persen dari 185 juta penduduk Indonesia (BPS, 2002). Pada masa itu berbagai upaya dan kebijakan dilakukan dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Sejak terjadinya multi krisis ekonomi dan sosial yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1997 hingga sekarang ini, terjadi peningkatan penduduk miskin secara fluktuatif. Pada tahun 1996 jumlah penduduk miskin hanya tinggal 17,7 persen dari penduduk Indonesia, pada tahun 1998 meningkat menjadi 24,2 persen (BPS, 2002). Pada masa itu dampak krisis ekonomi sangat dirasakan terhadap kehidupan masyarakat, lapangan kerja sangat terbatas, pendapatan menurun, perekonomian nasional menjadi stagnan. Pada tahun 2000 terjadi perbaikan, jumlah penduduk miskin hanya sekitar 19,1 persen (13,7 juta jiwa) dari jumlah penduduk Indonesia dan kemudian menurun kembali menjadi 18,2 persen (15,6 juta jiwa) pada tahun 2002 (BPS, 2004). Pada tahun 2005 jumlah penduduk miskin (berdasarkan hasil pendataan yang dilakukan oleh BPS tahun 2005) yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) Rumah Tangga Miskin meningkat menjadi sebesar 15,5 juta rumah tangga miskin (Depsos, 2005).
Setelah krisis seja k tahun 1997, pemerintah terus berupaya menaggulangi kemiskinan. Pemerintah mengeluarkan suatu kebijakan Memantapkan Program Menghapus Kemiskinan (MPMK) yang dicanangkan pada 1977. Kemudian pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 21 tahun 1998 tentang
Gerakan
Terpadu
Pengentasan
Kemiskinan
disingkat
dengan
GARDUTASKIN . Intinya adalah menginstruksikan kepada semua departemen / instansi dan kelompok masyarakat yang terkait dengan penanganan kemiskinan supaya secara bersama -sama dan berkoordinasi serta mengambil langkah-langkah
2
kongkrit di dalam menanggulangi kemiskinan (Menkokesra dan Taskin, 1998). Dengan instruksi ini, upaya -upaya penanggulangan kemiskinan ditata dan disusun kembali dalam suatu sistem yang lebih terpadu dan menyeluruh. Berbagai hambatan prosedur dan birokrasi yang selama ini dianggap dapat mengurangi efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program dihilangkan. Dengan adanya pencanangan dan instruksi ini maka muncullah berbagai kelompok-kelompok pemberdayaan di masyarakat, seperti: Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Akseptor (UPPKA), Takesra dan Kukesra, Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Kelompok Belajar Usaha (KBU), Kelompok Masyarakat (Pokmas) untuk IDT, Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), termasuk KUBE. Semenjak tahun 1983 sebenarnya Kelompok Usaha Bersama (KUBE) sudah dijadikan sebagai salah satu pendekatan dalam penanganan penggulangan kemiskinan. Dengan keluarnya kebijakan MPMK dan Instruksi Presiden tersebut menjadikan KUBE semakin eksis sebagai suatu pendekatan dalam penanganan permasalahan kemiskinan. Dalam perjalanannya pendekatan KUBE akhirnya merupakan program Departemen Sosial dalam menterjemahkan program MPMK dan Instruksi Presiden tentang Gardu Taskin tersebut. Pola pemberdayaan KUBE yang diterapkan oleh Departemen Sosial selama ini sangat seragam, kurang menekankan pada unsur-unsur lokal setempat. Jumlah kelompok sebanyak 10 KK. Jumlah kelompok ini sangat terkait dengan pengadministrasian bantuan yang akan diberikan, di mana pada setiap pengusulan bantuan melalui anggaran APBN setiap tahunnya selalu didasarkan pada jumlah 10 KK jumlah anggota KUBE. Bantuan yang diberikan tidak dalam bentuk uang tetapi berupa paket usaha yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti peralatan bengkel, ternak sapi, peralatan-peralatan pertanian, dan lain-lain.
Pemberian
bantuan ini diawali dengan pembekalan pengembangan keterampilan usaha seadanya. Jenis paket usaha yang dikembangkan dianjurkan untuk memilih jenis usaha sesuai dengan ketersediaan sumber-sumber di daerah masing-masing, namun pelaksanaannya lebih mengacu pada kondisi pengadministrasian yang harus dipertanggung jawabkan. Setiap kelompok mendapat 1 paket bantuan usaha, untuk KUBE yang berprestasi dapat diberikan bantuan pengembangan usaha
3
tahap berikutnya. Bantuan yang sudah diterima harus digulirkan pada kelompok fakir miskin lainnya yang ada di sekitarnya. Ada 10 indikator keberhasilan yang digunakan selama ini (Depsos, 1994), yaitu: 1. Perkembangan usaha ekonomis produktif keluarga 2. Perkemba ngan usaha ekonomis produktif kelompok 3. Kondisi kesejahteraan sosial Keluarga Binaan Sosial (KBS) secara keseluruhan 4. Sumbangan Sosial Wajib (SSW) / Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) dan perkebangan gotong royong 5. Perkebangan koperasi kelompok 6. Pelaksanaan jaminan kesejahteraan sosial melalui embrio organisasi sosial 7. Perkembangan tabungan dan tabanas 8. Ikut sertanya KBS dalam program keluarga berencana, Posyandu dan wajib belajar 9. Ada tidaknya partisipasi dalam kegiatan Karang Taruna 10. Dampak proyek bantuan kesejahteraan sosial dalam masyarakat Tujuan pemberdayaan pendekatan KUBE adalah untuk meningkatkan kesejahteraan sosial para kelompok miskin, yang meliputi: terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, meningkatnya pendapatan keluarga, meningkatnya pendidikan, dan meningkatnya derajat kesehatan. Selain itu, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan dinamika kehidupan kelompok sosial, seperti: pengembangan hubungan yang semakin harmonis, pengembangan kreativitas, munculnya semangat kebersamaan dan kesetiakawanan sosial, munculnya sikap kemandirian, munculnya kemauan, dan lain-lain, sehingga menjadi sumber daya manusia yang utuh dan mempunyai tanggung jawab sosial ekonomi terhadap diri, keluarga dan masyarakat serta ikut berpartisipasi dalam pembangunan. Melalui pendekatan KUBE ini diharapkan juga kelompok sasaran mampu menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, sosial, ekonomi, sumber daya manusia dan sumber lingkungan serta sumber-sumber lainnya yang ada di sekitarnya untuk kepentingan pengembangan potensi yang dimiliki, seperti: pemanfaatan lahan untuk pertanian, pemanfaatan air untuk pengembangan usaha ternak ikan, pemanfaatan tenaga yang mengganggur untuk menjadi tenaga kerja di KUBE yang dikelola, dan lain -lain. Diharapkan dengan pola seperti ini, mereka akan mudah mengintegrasikan sumber -sumber tersebut ke dalam kepentingankepentingan kelompok. Filosofi yang terbangun melalui pendekatan KUBE ini adalah dari, oleh dan untuk mereka. Kelompok mempunyai wewenang untuk
4
mengelola, mengembangkan, mengevaluasi dan menikmati hasil-hasilnya. Pemerintah hanya memfasilitasi agar KUBE dapat berhasil dengan baik. Dilihat dari komposisi ini, pendekatan KUBE merupakan pendekatan yang relevan di dalam pemberdayaan kelompok miskin tersebut. Namun kenyataannya di lapangan tidakla h selalu demikian, berbagai kendala dan hambatan dihadapi. Proses pembentukan, pengelolaan dan pengembangannya sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, bagaimana bantuan yang diberikan, bagaimana pendampingan yang dilakukan, dan lain-lain. Sebagian KUBE terbentuk atas insiatif
anggota, sebagian karena gagasan atau
bentuk aparat desa atau pihak lain yang berkepentingan. Dalam pengelolaannya juga demikian, ada KUBE yang memang murni dikelola oleh anggota dan sebagian ada pihak yang terlibat karena ada kepentingan, dan masalah-msalah lainnya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan KUBE tidak bisa hanya dilihat dari sisi sebelah mata, hanya menyalahkan pihak eksternal yang mungkin terlibat, yaitu karena adanya campur tangan pihak luar. Namun masalah-masalah yang bersifat internal juga perlu dikaji dan dianalisis, seperti sifat dan unsur -unsur yang ada dalam kelompok, seperti keanggotaan, struktur kelompok dan lain -lain. Dari hasil pemberdayaan yang dilakukan melalui pendekatan KUBE, diperoleh gambaran bahwa jumlah KUBE hingga 2002 sudah mencapai 35.378 KUBE (diolah dari laporan pelaksanaan KUBE, Depsos) yang tersebar di tingkat desa / kelurahan. Bila dilihat dari kuantitas jumlah ini cukup membanggakan, tetapi bila dilihat dari eksistensi keberlanjutan KUBE, sangat terbatas KUBE yang dapat bertahan atau dikategorikan berhasil. Guna memperoleh informasi yang valid seberapa jauh tingkat keberhasilan pelaksanaan KUBE, maka Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Sosial RI telah mengadakan penelitian evaluatif tentang “Tingkat keberhasilan Prokesos-KUBE dalam Pengentasan Fakir Miskin” sebanyak 2 kali pada KUBE yang berbeda, yaitu pada tahun 1997/1998 dan pada tahun 1998/1999. Pada tahun 1997/1998 penelitian diarahkan pada 3 kelompok KUBE yaitu KUBE Fakir Miskin, KUBE Karang Taruna dan KUBE Keluarga Muda Mandiri. Dari penelitian diperoleh hasil: KUBE Fakir Miskin: 71,43 persen berhasil, 7,1 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 21,4 persen kurang berhasil. KUBE Keluarga
5
Muda Mandiri: 40 persen berhasil, 50 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 10 persen kurang berhasil; KUBE Karang Taruna: 48 persen berhasil, 32 cukup berhasil (biasa-biasa saja), dan 20 persen kurang berhasil (Balatbangkesos, 1998). Penilaian yang dilakukan pada tiga faktor, yaitu: (a) pengembangan usaha ekonomi kelompok; (b) manfaat KUBE terhadap kesejahteraan sosial keluarga binaan, dan (c) perkembangan jaringan sosial kelompok binaan dengan fokus pada partisipasi KBS dalam berbagai kegiatan. Pada tahun 1998/1999 dilakukan penelitian terhadap 2 jenis program KUBE, yaitu KUBE Program Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (Paca) dan KUBE Program Peningkatan Peranan Wanita Bidang Kesejahteraan Sosial (P2WKS). Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh hasil: KUBE Paca: 50 persen berhasil, 25 persen cukup berhasil, dan 25 persen kurang behasil, sedangkan KUBE P2WKS: 45 persen berhasil, 30 persen cukup berhasil, 25 persen kurang berhasil. Kriteria yang digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan keberhasilan: (a) peningkatan kemampuan usaha bersama kelompok; (b) peningkatan pendapatan anggota; (c) pengembangan usaha kelompok; (d) peningkatan keperdulian dan kesetiakawanan sosial di antara anggota dan masyarakat lingkungannya (Balatbangsos, 1999) . Data ini menunjukkan bahwa KUBE yang dilaksanakan selama ini diduga belum dapat dikategorikan berhasil. Melalui hasil penelitian di atas, dan mengingat bahwa selama ini sangat jarang dilakukan penelitian atau pengkajian untuk melihat sejauh mana peranan dan keberhasilan KUBE serta mengingat bahwa KUBE merupakan suatu pendekatan dalam proses pemberdayaan terhadap sebagian besar kelompok masyarakat miskin , maka pemilihan topik penelitian ini menjadi sangat diperlukan. Selain itu, desentralisasi yang sudah mulai bergulir sekarang, menjadikan KUBE perlu dikaji sebagai sua tu pendekatan dalam proses pemberdayaan, sehingga benar-benar menjadi suatu pendekatan yang dapat menjadi satu alternatif penanganan atau model di dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Didasarkan alasan tersebut menjadi sangat penting untuk mendalami topik tersebut dalam disertasi ini dengan judul: Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok .
6
Masalah Penelitian Sejak diterapkannya KUBE sebagai suatu pendekatan pemberdayaan kepada kelompok masyarakat miskin, masih sangat terbatas penelitian maupun pengkajian atau evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana relevansi pendekatan KUBE sebagai suatu model pemberdayaan fakir miskin. Hasil penelitian yang diperoleh belum sepenuhnya dapat menggambarkan dan menjawab secara utuh idealisme KUBE sebaga i suatu pendekatan pemberdayaan. Dilihat dari jumlah keberadaan memang cukup berhasil, namun bila dilihat dari target pencapaian fungsional, mungkin masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk melihat hasil yang lebih objektif. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Badan Libang Kesos Departemen Sosial (1996-1999) menunjukkan bahwa
KUBE
belum dapat dikatakan berhasil, masih perlu pembenahan-pembenahan dalam berbagai hal. Kenyataan di lapangan menunjukkan belum dapat meyakinkan dan membuktikan bahwa KUBE sudah berhasil. Ada beberapa pendapat yang muncul dalam setiap forum diskusi, pertemuan-pertemuan yang diadakan dalam pembahasan KUBE, mengatakan: bahwa kekurangberhasilan KUBE disebabkan adanya intervensi dari luar KUBE yang terlalu berpengaruh, baik dalam proses pembentukan KUBE, pengelolaannya, pendampingannya, pemasaran hasilnya, pemilihan jenis usahanya, dan bantuan yang diberikan. Pada sisi lain, ada yang mengatakan bahwa ketidakberhasilan KUBE tidak terlepas dari masalah internal KUBE, seperti masalah keanggotaan kelompok, komitmen kelompok, tujuan kelompok, struktur organisasi kelompok, manajemen kelompok dan lain-lain. Memang terlihat adanya ketimpangan dalam pendekatan ini, di mana anggota masyarakat diupayakan untuk terhimpun dalam suatu wadah kelompok KUBE tetapi, kemampuan dan keterampilan anggota kelompok dalam hal manajerial kelompok masih terbatas, latar belakang pendidikan rendah, pengalaman dalam pengorganisasian kelompok terbatas, sekalipun mereka memiliki pengalaman individual yang lumayan. Tentu hal ini menjadi suatu problematik dalam kelompok tersebut.
7
Berkaitan dengan kondisi di atas, maka peneliti ingin melihat masalah ini menjadi suatu masalah yang menarik untuk diteliti. Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka masalah utama yang diangkat dalam penelitian ini adalah: Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan Kelompok. Pendekatan kelompok di sini menjadi hal yang penting dan menjadi fukus dalam penelitian ini. Berdasarkan rumusan permasalahan pokok yang dipaparkan di atas, maka lebih lanjut dijabarkan rincian masalah penelitian yang sekaligus dijadikan acuan atau arah di dalam pelaksanaan penelitian dimaksud. Adapun permasalahan penelitian dimaksud adalah: 1. Seberapa jauh tingkat kedinamisan dan keberhasilan KUBE? 2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan kehidupan KUBE? 3. Apa
faktor-faktor
dinamika
kehidupan
KUBE
yang
mempengaruhi
keberhasilan KUBE 4. Apa komponen utama penentu keberhasilan KUBE 5. Bagaimana model pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok?
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan penelitian yang dipaparkan di atas, ada beberapa tujuan penelitian, yaitu: 1. Mengkaji tingkat kedinamisan dan keberhasilan KUBE. 2. Mengindentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kedinamisan KUBE. 3. Mengindentif ikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan KUBE 4. Mengindentifikasi faktor-faktor utama penentu keberhasilan KUBE. 5. Merumuskan model pemberdayaan masyarakat yang lebih efektif melalui pendekatan kelompok.
8
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal: 1. Dapat dijadikan masukan dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin yang menerapkan pendekatan kelompok, khususnya yang berkaitan dengan pola
pemberdayaan,
pengembangan
kedinamisan
KUBE,
efektivitas
pembinaan KUBE. 2. Dapat menjadi masukan yang berharga dalam penentu atau perumus kebijakan pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan kelompok. 3. Dapat
menjadi
dasar
perumusan
dan
pelaksanaan
kegiatan-kegiatan
penyuluhan yang berkaitan dengan upaya peningkatan kemampuan (sikap, pengetahuan, dan keterampilan) .
4. Dapat memberikan masukan bagi pengembangan keilmuan, khususnya Ilmu Penyuluhan Pembangunan dalam rangka pengembangan sumber daya manusia yang berkaitan dengan peningkatkan kemampuan (sikap, pengetahuan, dan keterampilan) guna perwujudan profesionalisme penyuluhan pembangunan.
TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Pendefinisian suatu kemiskinan bukanlah suatu hal yang mudah, karena diperlukan berbagai aspek yang dapat dijadikan sebagai indikator pengukurannya Berbeda dengan fenomena kemiskinan di negara-negara maju, kemiskinan di negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya berkaitan dengan masalah kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain -lain (Griffin, 1980). Friedman (1981) mendefinisikan kemiskinan dari suatu basis kekuasaan sosial, yang meliputi: (a) modal yang produktif ata u asset, misalnya: tanah, perumahan, peralatan, kesehatan, dan lain-lain; (b) sumber-sumber keuangan, seperti: income dan kredit yang memadai; (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama, seperti: partai politik, sindikat, koperasi, dan lain-lain ; (c) network atau jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, dan lain -lain; (d) pengetahuan dan keterampilan yang memadai; (e) informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang. Dari definisi ini terlihat berbagai aspek yang dijadikan sebagai indikator pengukuran kemiskinan. Badan Koordinasi Pena nggulangan Kemiskinan (BKPK) bekerjasama dengan Lembaga Penelitian SEMERU (2001) membuat batasan kemiskinan: a. ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan); b. tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi): c. tidak adanya jaminan masa depan karena tidak adanya investasi untuk pendidikan dan keluarga); d. kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun masal; e. rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber alam; f. tidak dilibatkan dalam kegiatan sosial masyarakat; g. tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan; h. ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental; i. ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial, seperti anak terlantar, wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan terpencil.
10
Definisi-definsi di atas jelas terlihat apa yang dimaksud dengan kemiskinan. Kemiskinan tidak hanya saja menyangkut kepemilikan harta yang bersifat material, tetapi juga hal-hal yang bersifat non-material termasuk di dalamnya kepemilikan akses terhadap berbagai sumber. Secara umum, pendekatan yang biasa digunakan dalam mengukur kemiskinan adalah mengacu pada dua konsep yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut diukur dari kemampuan individu untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupanya secara layak, yang pada intinya berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pemenuhan makan, rumah dan pakaian. Kemiskinan seperti biasa dikenal dengan inability of individual to meet basic needs (Tjondronegoro, Seoyono, dan Har djono, 1993). Hal yang kurang lebih sama juga dikemukakan oleh Sen dalam Meier (1989), yang mengatakan bahwa kemiskinan adala h: the failure to have certain minimum capabilities.Dari dua konsep di atas dikategorika n miskin bilamana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya secara layak. BPS dan Departemen Sosial (2002) merumuskan kemiskinan dan fakir miskin dengan cara pendekatan menetapkan nilai standar kebutuhan minum yang harus dipenuhi seseorang dalam mempertahankan hidupnya yaitu berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan makanan dan non makan. Standar kebutuhan minum ini dikenal dengan garis kemiskinan atau poverty line atau poverty treshold . Garis kemiskinan yang berkaitan dengan kebutuhan makanan
adalah
sejumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seorang individu untuk dapat membayar kebutuhan
makan setara dengan 2.100 kalori per orang per hari.
Sedangkan kriteria kebutuhan non makan berkaitan dengan kemampuan invididu untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan kebutuhan barang-barang dan jasa lainnya. Bilamana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan di atas secara layak, maka dikategorikan sebagai miskin. Kemudian dalam penetapan rumah tangga miskin dalam rangka pemberian Bantuan Langsung Tunai Rumah Tangga Miskin (BLTRTM) kepada kelompok miskin, BPS (2005) menetapkan 14 kriteria kemiskinan, yaitu:
11
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal yang dimanfaatkan untuk aktivitas seharihari 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah / bambu / kayu berkualitas rendah 3. Jenis dinding bangunan tempat tinggal terluas terdiri dari tanah / bambu / kayu berkualitas rendah. 4. Fasilitas tempat buang air besar (jamban/kakus) digunakan secara bersama-sama atau penggunaan secara umum. 5. Sumber air minum adalah sumber atau mata air tidak terlindung/sungai/air hujan 6. Sumber penerangan utama bukan listrik 7. Jenis bahan bakar untuk memasak sehari-hari terdiri dari kayu / arang /minyak tanah 8. Jarang atau tidak pernah membeli daging/ayam/susu setiap minggunya. 9. Anggota rumah tangga biasanya hanya mampu menyediakan makan dua kali dalam sehari. 10. Tidak mampu membeli pakaian baru minimal satu stel setiap setahun. 11. Bila jatuh sakit tidak berobat karena tidak ada biaya untuk berobat 12. Pekerjaan utama anggota kepala keluarga sebagai buruh kasar atau tidak bekerja 13. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan kepala keluarga adalah SD ke bawah 14. Ada tidaknya barang dalam keluarga yang dapat dijual dengan nilai Rp 500.000,-.
Selanjutnya dari kriteria di atas dikembangkan 3 kategori dalam mengelompokkan siapa penduduk miskin tersebut, yaitu: a. Penduduk dik atakan sangat miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai 1900 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 120.000,- per bulan. b. Penduduk dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 1900 sampai 2100 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 150.000,per orang per bulan. c. Penduduk dikatakan mendekati miskin apabila kemampuan memenuhi konsumsi makanan hanya mencapai antara 2100 sampai 2300 kalori per orang perhari plus kebutuhan dasar non-makan, atau setara dengan Rp 175.000,- per orang per bulan. Didasarkan pada kriteria di atas, maka batas garis kemiskinan suatu keluarga dikatakan sangat miskin , miskin dan mendekati miskin adalah kemampuan memenuhi konsumsi perorang per hari plus kebutuhan sadar nonmakan plus kebutuhan dasar non-makan yang harus dipenuhi dikalikan dengan jumlah anggota keluarga dalam satu keluarga. Namun garis kemiskinan yang disetarakan dengan jumlah rupiah yang dibutuhkan akan bervariasi antar daerah tergantung para harga-harga kebutuhan dasar dari masing-masing daerah.
12
Bila dilihat kriteria di atas mungkin kasus-kasus di atas akan dapat dijumpai, tetapi apakah kasus -kasus tersebut sudah menggambarkan kriteria yang sesungguhnya, seperti kriteria nomor 2, 3, 7. Menurut hemat penulis kriteria ini sangat terkait dengan nilai budaya masyarakat. Untuk suatu daerah tertentu ada budaya masyarakat yang sebenarnya mampu membuat lantai dan dinding rumahnya dari semen, tetapi karena budaya masyarakat sangat terbiasa dengan rumah terbuat dari lantai dan berdinding kayu, sehingga rumahnya hanya berlantai dan berdinding kayu. Padahal
keluarga tersebut mampu secara ekonomi.
Demikian juga dengan kriteria makan hanya maksimal dua kali dalam sehari, ada budaya masyarakat yang hanya makan dua kali dalam sehari tetapi bukan karena mereka tidak mampu menyediakan makan lebih dari tiga kali, tetapi hanya karena budaya yang seperti itu. Bagaimana pun hal seperti ini perlu dipertimbangkan dalam proses penentuan keluarga miskin tersebut, sehingga tidak salah pilih. Departemen Sosial (2004) mencoba membedakan antara miskin dan fakir miskin berangkat dari persoalan-persoalan faktual yang dialami oleh kelompok miskin. Pendekatan makanan dan non makan dalam mengukur kemiskinan, sangat rentan terhadap perubahan kondisi kehidupan masyarakat miskin, di mana pendekatan ini lebih berorientasi pada harga pasar.
Melonjaknya jumlah
penduduk miskin pada tahun 1997 disebabkan terjadinya krisis ekonomi sehingga terjadi depresiasi rupiah terhadap dollar. Harga -harga kebutuhan pokok melonjak menjadikan jumlah penduduk miskin semakin bertambah secara statistik, karena pengukurannya lebih didasarkan pada perkembangan harga yang ada. Karena itu, untuk kepentingan operasionalisasi penaggulangan masalah kemiskinan, Ada beberapa indikator kemiskinan yang dijadikan acuan oleh Departemen Sosial yang terkait dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat miskin tersebut, yaitu: 1. Penghasilan rendah, atau berada dibawah garis kemiskinan yang dapat diukur
2. 3. 4. 5. 6.
dari tingkat pengeluaran per -orang per -bulan berdasarkan standar BPS per wilayah propinsi dan kabupaten/kota. Ketergantungan pada bantuan pangan kemiskinan (zakat/ raskin/ santunan sosial) Keterbatasan kepemilikan pakaian yang cukup setiap anggota keluarga per tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per orang per tahun) Tidak mampu membiayai pengobatan jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya Tidak memiliki harta yang dapat dijual untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis kemiskinan.
13
7. Ada anggota keluarga yang meninggal dalam usia muda atau kurang dari 40
tahun akibat tidak mampu mengobati penyakit sejak awal. 8. Ada anggota keluarga usia 15 tahun ke atas yang buta huruf. 9. Tinggal di rumah yang tidak layak huni
(Depsos, 2004)
Kriteria di atas sangat multidimensional, artinya bahwa setiap orang dapat berbeda jenis dan kedalaman kemiskinannya. Bilamana 3 (tiga) kriteria sudah dipenuhi dari 9 kriteria yang diapaparkan sudah dapat dikategorikan sebagai miskin atau layak mendapatkan bantuan atau pelayanan dari Departemen Sosial. Pada sisi lain, bila kriteria ini dikembangkan dalam kaitannya dengan pengelompokkan masyarakat miskin, 4 hingga 6 kriteria dipenuhi dikategorikan sebagai non-fakir dan lebih dari 6 kriteria dipenuhi seseorang maka seseorang tersebut dikategorikan sebagai fakir miskin . Tetapi perlu dipahami, bahwa kriteria di atas bukalah keriteria yang berdisi sendiri tetapi kriteria yang terintegrasi dengan kriteria yang lainnya. Jadi, kedalaman tingkat kemiskinan seseorang harus dilihat dalam kaitannya dengan kriteria yang lainnya. Pemahaman suatu kriteria harus dilihat secara utuh, tetapi tidak hanya secara sepotong-sepotong. Rumah sering dijadikan sebagai indikator atau tolok ukur kemiskinan. Ukuran kelayakan sebuah rumah tempat tinggal pada kenyataan sangat banyak dipengaruhi oleh faktor budaya sehingga kualitas sebuah rumah tidak hanya ditentukan oleh kemampuan ekonomi tetapi nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut, namun demikian secara umum Departemen Sosial mencoba merumuskan indikator rumah yang dapat dikategorikan sebagai rumah tak layak huni dengan kriteria sebagai berikut: 1. Luas bangunan sempit atau hanya mendukung fungsi ruang yang terbatas
2. 3. 4. 5. 6. 7.
(memiliki bagian ruangan yang tidak membedakan fungsi untuk ruang tamu, ruang tidur, ruang makan, dan dapur) atau luas lantai per orang untuk keperluan sehari-hari kurang dari 4 m2. Lantai masih dari tanah/ bambu/ diplester secara sederhana Kesulitan memperoleh air bersih Tidak memiliki tempat mandi, cuci pakaian dan membuang air besar (MCK) di rumah sendiri yang memenuhi syarat kesehatan Tidak mempunyai sirkulasi udara yang dapat memungkinkan sinar matahari dan udara masuk rumah dengan baik. Dinding umumnya terbuat dari bambu/ papan/ bahan yang mudah rusak Sanitasi lingkungan di sekitar rumah yang tidak sehat (Depsos, 2004)
14
Kriteria di atas juga sangat multidimensional, artinya seseorang dapat tingga l di rumah yang tidak layak huni dengan indikator yang berbeda. Menurut ukur penerimaan bant uan dan pelayanan, bilamana seseorang sudah memenuhi 2 kriteria dari indikator yang disebutkan, maka yang bersangkutan layak mendapatkan bantuan dan pelayanan yang berkaitan dengan perbaikan perumahan dari pemerintah, dan bilamana dikategorikan memiliki lebih dari dua kriteria maka yang bersangkutan layak untuk diprioritaskan untuk menerima bantuan dan pelayanan perumahan. Terkait dengan ukuran-ukuran kemiskinan yang sudah dipaparkan di atas, pada Tabel 1 disajikan beberapa indikator garis kemiskinan. Dalam pengukuran kemiskinan, hampir semua pendekatan yang berporos pada pendekatan ekonomi neo-k lasik ortodox yang melakukan pengkajian kemiskinan masih berkiblat pada paradigma modernisasi yang didasarkan pada teori-teori pertumbuhan ekonomi, human capital and the production -centered model (Elson, 1997). Kemudian setelah ahli ekonomi menemukan pendapatan nasional (GNP) sebagai suatu indikator untuk mengukur kemakmuran ne gara pada tahun 1950-an, hampir semua ahli ilmu sosial menggunakan indikator ini sebagai suatu pendekatan untuk mengukur kemajuan suatu negara. Namun, dalam penerapannya, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Karena indikator GNP dan pendapatan memiliki kelemahan dalam memotret kondisi kemajuan dan kemiskinan suatu kelompok masyarakat, maka sejak tahun 1970-an telah dikembangkan berbagai pendekatan alternatif, di antaranya adalah kombinasi garis kemiskinan dan distribusi pendapatan (Suharto, 2002). Kemudian pada tahun 1990-an, UNDP memperkenalkan pendekatan pembangunan manusia (human development) dalam mengukur kemajuan dan kemiskinan, seperti Human development Index (HDI) dan Human Proverty Index (HPI). Pendekatan yang digunakan UNDP relatif lebih komprihensif dan mencakup faktor-faktor ekonomi, sosial dan budaya kelompok miskin.
15
Tabel 1: Indikator Garis Kemiskinan Ahli
Ukuran
Esmara 1969/1970
Konsumsi beras per kapita Tingkat pengeluaran ekuivalen beras Sayogya per orang tahun (Kg) - Miskin - Miskin Sekali - Paling Miskin. Kebutuhan gizi minimum per orang per Ginneken 1971 hari: - Kalori - Protein (gram) Keb gizi minimum per org hari Anne Booth - Kalori - Protein (gram) Kebutuhan gizi minimum per orang per Gupta 1973 hari (US $) Kebutuhan gizi minimum per orang per Hasan 1975 hari (US $) - Konsumsi per kapita per hari BPS 1984 - Pengeluaran perkapita per hari Sayogya 1984 Pengeluaran per kapita per hari (Rp) Bank Dunia 1984 Pengeluaran per kapita per hari (Rp) Garis kemiskinan Pengeluaran per kapita per tahuan (R p) internasional - Nilai US $ 1970 a. Interim Report 1976 - US $ Paritas daya beli b. Ahlualia 1975 - Tingkat pendapatan perkapita per tahun (US $).
Kota
Desa
Desa/ Kota 125
-
-
480 360 270
320 240 180
-
-
2000 50
-
-
2000 50
-
-
2000
125
95
-
13.731 8.240 6.719
7.746 6.585 4.479
2100 -
-
-
75 200 50
Sumber: Suharto, 2002
Penyebab kemiskinan merupakan salah satu faktor penting dalam pembahasan kemiskinan tersebut. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk melih at apa yang menjadi faktor penyebab kemiskinan. Menurut Tansey dan Ziegler (1991) kemiskinan terjadi karena tiga hal, yaitu: (a) human capital deficiencies, yang berarti rendahnya kualitas sumber daya manusia. Ini dapat kita lihat dari rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya kemampuan dan keterampilan dalam bidang pekerjaan. Dengan demikian mereka hanya mampu bekerja pada pekerjaan kasar dengan pendapat yang rendah; (b) insufficient demand for labour, yakni rendahnya atau terbatasnya permintaan akan tenaga kerja sehingga mengakibatkan terjadinya pengangguran. Dengan pengangguran orang tidak memiliki pendapatan, sehingga daya beli terbatas,
yang
16
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan dasar menjadi terganggu; (c) diskriminasi (discrimination ), yaitu adanya perlakuan yang berbeda terhadap kelompok tertentu dalam pemilikan atau akses terhadap sumber-sumber, atau dapat juga dilihat karena adanya dominasi kelompok tertentu untuk menguasai sumbersumber yang ada, yang mengakibatkan kesempatan dan pendapatan menjadi terbatas
yang
kemudian
mengakibatkan
keterbatasan
dalam
pemenuhan
kebutuhan dasar hidup. Selain beberapa faktor penyebab kemiskinan yang sudah dipaparkan di atas, menurut beberapa ahli faktor penyebab kemiskinan dapat terjadi paling tidak karena tiga hal, yaitu: (a) faktor alamiah, yaitu bahwa kemiskinan itu terjadi karena sudah diwariskan atau diturunkan sejak dulu dari orang tua atau nenek mereka, sehingga tidak memberikan akses atau kesempatan untuk berkembang; (b) faktor struktural, yaitu kemiskinan te rjadi karena ada kebijakan pemerintah yang kurang atau tidak sesuai, seperti adanya penggusuran, distribusi bantuan yang kurang merata, adanya diskriminasi, terbatasnya akses; (c) faktor budaya, kemiskinan terjadi karena adanya budaya atau kebiasaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat setempat, seperti malas kerja, tidak mau bekerja keras, tidak berorientasi pendidikan, suka minum-minuman, tidak sabar, dan lain-lain. Badan Koordinasi Penaggulangan Kemiskinan (BKPK) dan Lembaga Penelitian SMERU (2001) mengemukakan beberapa faktor penyebab kemiskinan, yaitu; (a) keterbatasan pendapatan, modal dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar; (b) kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi goncangan; dan (c) tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruk dalam ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat. Bila kita berangkat dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa kemiskinan terjadi karena faktor internal dan eksternal.
Kelompok Karakteristik Kelompok . Banyak teori-teori yang mengungkapkan proses terbentuknya
kelompok.
Menurut
Gibson
(1984)
ada
beberapa
alasan
terbentuknya kelompok, yaitu: (1) pemuasan kebutuhan (the satisfaction of need)
17
akan keamanan, sosial, penghargaan dan realisasi diri; (2) kedekatan dan daya tarik (proximity and attraction) karena persamaan persepsi, sikap, hasil karya dan motivasi; (3) tujuan ekonomi (group goal) yaitu seseorang berkeinginan menjadi anggota suatu kelompok karena tertarik pada tujuan kelompok; (4) alasan ekonomi (economic reason) artinya bahwa dengan kelompok akan diperoleh keuntungan yang lebih besar. Dari teori yang dikemukakan oleh Gipson di atas, sangat jelas bahwa proses terbentuknya kelompok dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor yang bersifat psikologi, faktor sosiologis dan hingga faktor yang bersifat ekonomi. Teori ini sangat relevan dengan pendapat Aristoteles yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bermasyarakat dan teori Maslow terhadap kebutuhan manusia. Menurut Maslow bahwa salah satu kebutuhan manusia itu adalah kebutuhan untuk berhubungan dengan orang lain (kebutuhan sosial). Untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan seperti ini, manusia menyadari hanya dapat dicapai melalui kehidupan kelompok. Dengan demikian maka manusia membentuk kelompok yang didasarkan atas kesamaan latar belakang. Teori lain yang mengungkap terbentuknya kelompok dikemukakan oleh Heider (1956) yang menekankan pada keseimbangan (balance th eory). Teori ini menekankan bagaimana individu-individu sebagai bagian dari struktur sosial selalu berusaha untuk menjalin hubungan dengan orang lain dalam rangka mencapai keseimbangan sosial dalam diri individu. Tentu untuk mendapatkan kondisi seperti ini manusia harus melakukan komunikasi dengan pihak lain. Dalam komunikasi tersebut akan terjadi pertukaran informasi yang saling membutuhkan dan akhirnya membentuk suatu kelompok. Selain itu, Heider juga mengatakan proses komunikasi yang terjadi akan membentuk daya tarik yang menimbulkan rasa suka dan tidak suka terhadap obyek yang dimaksud yang pada akhirnya akan membentuk kelompok tersebut. Pengertian Kelompok . Banyak pengertian yang diberikan terhadap apa yang dimaksud dengan kelompok. Untuk memberikan arah atau pemahaman yang lebih tegas terhadap apa yang dimaksud dengan kelompok perlu kiranya dipaparkan beberapa definsi tentang kelompok. Kelompok sering juga disebut dengan kelompok sosial. Kelompok bukanlah sekedar kumpulan orang-orang yang tidak
18
mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, namun kelompok mempunyai ikatan yang cukup kuat di antara sesama anggotanya. Soekanto (1990) mempertanyakan apakah setiap himpunan manusia dapat dinamakan dengan kelompok. Terkait dengan itu, menurut Homans (1950) dan Bonner (1953) kelompok adalah sejumlah orang-orang yang saling melakukan interaksi. Dalam pengertian ini orang yang terhimpun dalam kelompok tersebut saling berinteraksi satu sama lain, jadi bukan hanya kumpulan orang semata-mata. Hal senada juga dikatakan oleh Iver dan Page (Mardikanto, 1992) yang mengatakan bahwa kelompok adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling pengaruh mempengaruhi serta memiliki kesadaran untuk saling tolong menolong. Menurut Lewin (1951) dan Cartwright (1968) kelompok adalah kumpulan manusia, dua orang atau lebih yang menunjukkan saling ketergantungan dengan pola interaksi yang nyata. Kemudian Slamet (2001) memberikan pengertian yang lebih tegas terhadap kelompok yang mengatakan dua atau lebih orang yang berhimpun atas dasar adanya kesamaan, berinteraksi melalui pola / struktur tertentu guna mencapai tujuan bersama, dan dalam kurun waktu yang relatif panjang. Kesamaan-kesamaan tersebut harus menjadi landasan utama sehingga kelompok dapat berfungsi dengan baik. Hendropuspito (1989) mengatakan kelompok sebagai kelompok sosial adalah sejumlah orang yang saling berhubungan secara teratur. Dalam penjelasan lebih lanjut dikatakan bahwa kelompok sosial adalah suatu kumpulan yang nyata, teratur dan tetap dari orang-orang yang melaksanakan peranan yang saling berkaitan guna mencapai tujuan bersama. Dari pengertian yang dikemukakan di atas, kita dapat melihat bahwa dalam kelompok terdiri dari dua orang atau lebih, terjadi interaksi yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya berdasarakan pola struktur yang ada, dan adanya kesamaan-kesamaan yang menjadi landasan dalam berinteraksi. Kemudian Sherif (1964) melihat bahwa kelompok sebagai suatu unit sosial terdiri dari sejumlah individu, di mana satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang saling tergantung sesuai dengan peranan (role) dan kedudukannya (status) yang secara eksplisit maupun implisit mempunyai norma
19
yang mengatur segala tingkah laku anggota dari kelompok tersebut. Di mana kelompok dan norma yang ada mempunyai hubungan yang erat dengan kesamaan sikap, kesamaan perasaan dan kesamaan tujuan. Senada dengan ini Gerungan (1981) mengatakan bahwa kelompok merupakan kesatuan sosial yang terdiri atas dua atau lebih individu yang mengadakan interaksi sosial cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu terdapat pembagian tugas, struktur dan normanorma tertentu yang khas bagi kesatuan sosial tersebut. Dari pengertian-pengertian di atas sangat jelas apa yang dimaksud dengan kelompok. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kelompok adalah kumpulan dari individu-individu yang memiliki kesamaan dan saling berinteraksi satu sama lain dalam waktu yang relatif singkat melalui suatu pola peranan dan pembagian tugas yang sudah terstruktur dalam rangka mencapai tujuan bersama. Selanjutnya perlu dipaparkan perbedaan antara kelompok dengan komunitas karena kedua konsep ini mempunyai arti yang cukup penting dalam proses pemberdayaan tersebut. Apakah KUBE termasuk kelompok atau komunitas. Mana di antara elemen ini yang sesungguhnya layak diberdayaakan, apakah kelompok atau komunitas, atau kedua -duanya merupakan elemen yang patut diberdayakan. Menurut Lawang (2005) komunitas adalah bilamana suatu kelompok didefinisikan secara teritorial, seperti desa merupakan suatu kelompok fungsional untuk semua anggotanya, dan apabila hal itu memperlihatkan suatu dimensi yang sungguh -sungguh berpengaruh, maka dinamakan komunitas. Jadi perbedaan yang hakiki dari kedua konsep ini adalah bahwa komunitas menggunakan batas teritorial yang jelas dan warganya hidup dalam waktu yang cukup lama bahkan permanen, misalnya desa atau RT atau RW di mana anggotaanggotanya jelas dan hidup dalam waktu yang cukup lama disebut sebagai komunitas. Sedangkan kelompok tidak mengenal batas teritorial seperti halnya komunitas. Anggotanya dapat berasal dari wilayah mana saja dan hidup untuk jangka waktu yang terbatas. Bila tujuan sudah tercapai biasanya kelompok ini bubar. Pertanyaan sekarang apakah KUBE termasuk kelompok atau komunitas. Apakah kedua kelompok ini dapat diberdayaan. Didasarkan pada pengertian di atas, KUBE dapat diartikan sebagai komunitas dan sebagai kelompok. Sebagian besar KUBE dilihat sebagai kelompok. Sebagai komunitas, KUBE berasal dari
20
satu wilayah teritorial tertentu, mereka hidup untuk jangka waktu yang cukup lama. Sebagai kelompok, KUBE bukan berasal dari wilayah teritorial tertentu tetapi berasal dari berbagai wilayah/tempat. Kelompok yang terakhir ini, mereka berkumpul karena adanya kesamaan keahlian atau keterampilan yang dimiliki, seperti pengerajin kayu, pelukis, dan lain-lain. KUBE seperti ini pada umumnya banyak dijumpai di kota-kota. Kedua jenis kelompok ini dapat diberdayakan, hanya saja konsep teritorial menjadi arti yang penting dalam proses pemberdayaan tersebut. Kedua -duanya menekankan pendekatan community development dalam proses pemberdayaan yang dilakukan. Jenis-jenis Kelompok. Ada berbagai jenis dan tipe kelompok yang ada dalam masyarakat. Secara umum jenis dan tipe kelompok ini digolongkan, sebagai berikut (Slamet, 2001) : Pertama, berdasarkan pada struktur kelompok . Didasarkan pada struktur kelompok, kelompok dapat dibedakan atas kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal adalah kelompok yang mempunyai tujuan yang jelas, yang disepakati bersama dan dirumuskan secara tertulis. Mempunyai aturan atau norma yang tertutlis yang dapat dipedomani dan dijadikan acuan dalam bertindak oleh anggota kelompok. Keanggotaan bersifat resmi dan adanya pembagian tugas dan peranan yang jelas dari masing-masing anggota. Kelompok informal merupakan kebalikan dari kelompok formal. Kelompok informal kurang mempunyai tujuan yang jelas dan tidak dirumuskan oleh semua anggota kelompok secara bersama-sama apa lagi dirumuskan secara tertulis. Norma dan nilai serta peraturan-peraturan kelompok tidak tertuang secara jelas, tetapi pada umumnya semua anggota kelompok sudah mengetahuinya dan menyepakatinya secara bersama, pembagian tugas kurang jelas. Keanggotaan tidak bersifat resmi dan bersifat sukarela. Anggota kelompok dapat dengan sesuka hati masuk dan keluar dari keanggotaan kelompok. Kepemimpinan kelompok ini kurang resmi sehingga siapa yang lebih berpengaruh, anggota kelompok dapat menjadi pemimpin. Namun, kedua jenis kelompok ini berada pada dua kontinum yaitu kontinum pada kelompok formal dan informal. Secara skematis dapat digambarkan sebagi berikut:
21
Kelompok Formal
Struktur serba Formal Tidak Fleksibel
Kelompok Informal
Persahabatan Sangat Fleksibel
Gambar 1: Jenis kelompok Berdasarkan Struktur Kelompok
Kedua, berdasarkan fungsi kelompok . Didasarkan pada fungsi kelompok, kelompok dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu kelompok sosial dan kelompok tugas. Kelompok yang lebih menekankan pada aspek sosial adalah kelompok di mana anggota-anggotanya lebih menekankan pada kesenangan dan kepuasan anggota, seperti kelompok wisata atau kelompok turis. Kelompok ini tidak berupaya meraih suatu prestasi dalam pencapaian suatu karier, tetapi bagaimana suatu kegiatan dapat memuaskan anggota. Sedangkan kelompok yang didasarkan pada tugas adalah kelompok yang lebih berorientasi pada tugas-tugas yang harus diselesaika n. Segala sesuatu yang dilakukan harus berorientasi pada penyelesaian tugas-tugas kelompok. Tugas merupakan hal yang diutamakan, sehingga pembagian tugas merupakan hal yang penting di dalam kelompok ini. Pembedaan antara kelompok sosial dan kelompok tugas tidaklah terjadi pembedaan yang keras yang hanya dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok sosial dan kelompok tugas, tetapi berada pada dua kutup kontinum yang dapat bergeser sesuai dengan kondisi dari masing-masing kelompok. Secara skematis kedua kelompok dapat dikelompokkan seperti Gambar 2.
Kelompok Tugas
Ada tugas tertentu yg harus dikerjaklan
Kelompok Sosial
Untuk kesenangan para anggotanya
Gambar 2: Jenis kelompok Berdasarkan Fungsi Kelompok
22
Ketiga, berdasarkan pada pola interkasi dala m kelompok. Pembagian kelompok yang didasarkan pada pola interaksi kelompok dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) Interacting group merupakan kelompok kerjasama di mana pencapaian tujuannya menuntut kerjasama yang baik di antara anggotaanggotanya, misalnya Tim Sepakbola. (b) Co -acting group, merupakan kelompok bersama, di mana tujuan kelompok dapat dicapai bilamana masing-masing anggota melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai peran yang telah ditetapkan, namun semua pelaksanaan tugas diarahkan dalam rangka pencapaian tujuan kelompok, misalnya kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat, termasuk di dalamnya KUBE. (c) Counter-acting group , adalah kelompok di mana anggota kelompok memiliki tujuan yang berbeda atau berlawanan untuk mencapai tujuan bersama, misalnya Klub Olah Raga Tinju (Gambar 3). Sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok di Kecamatan Morowali Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah di mana kelompok terbentuk oleh berbagai prakarsa pihak lain, hasilnya menunjukkan bahwa kelompok yang diprakarsai oleh faktor eksternal khususnya pihak
pemerintah
menunjukkan
perkembangan
yang
kurang
berhasil
dibandingkan dengan kelompok yang diprakarsai oleh masyarakat itu sendiri.
Interacting Group
Coacting Group
Counteracting Group
Gambar 3: Jenis kelompok Berdasarkan Pola Interaksi
23
Yang menarik juga dari hasil penelitian di atas adalah adanya pengaruh antara
latar
belakang
gagasan
pembentukan
dengan
keberhasilan
dan
keberlanjutan kelompok. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok yang digagasi oleh masyarakat lebih berkelanjutan dibandingkan dengan yang digagasi oleh pemerintah. Terlihat bahwa 2 kelompok yang di dalamnya pemerintah
sangat
berperan,
kesinambungannya
kurang
berkembangan
dibandingkan dengan yang dibentuk oleh masyarakat. Sedangkan lama kelompok berdiri kurang terlihat hubungan yang signifikan dengan keberhasilan dan kesinambungan kelompok. Demikian juga dengan jumlah kelompok, tidak terlihat hasil yang signifikan dengan keberhasilan kelompok. Namun beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah atau besarnya kelompok sangat mempengaruhi terhadap pencapaian tujuan kelompok. Hasil penelitian Jamaluddin (2002)
juga menggambarkan bahwa
tersedianya modal yang dimiliki suatu kelompok tidak menjadi jaminan bahwa kelompok tersebut akan berkembang, sebagaimana yang dialami oleh kelompok IDT dan kelompok Program SAADP dalam penelitian tersebut. Kedua kelompok ini modalnya sebagian besar berasal dari bantuan pemerintah namun kurang berhasil. Dari segi pengembangan usaha, ketersediaan modal memang sangat banyak mempengaruhi berhasiltidaknya suatu usaha. Karena itu, aspek ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti dalam kasus KUBE ini. Selain ketersediaan modal, jenis usaha juga turut memberikan andil dalam keberhasilan kelompok, di mana biasanya jenis usaha yang berkaitan dengan kebutuhan seharihari pemasarannya lebih mudah dibandingkan dengan jenis usaha yang bukan kebutuhan sehari-hari.
Dinamika Kelompok . Konsep dinamika kelompok sering digunakan dalam makna yang berbeda. Bagi para ahli ilmu sosial konsep dinamika kelompok diartikan sebagai bidang studi yang mempelajari gerak atau kekuatan dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok atau anggotanya. Bagi para praktisi, konsep dinamika kelompok digunakan untuk menunjukkan pada kualitas suatu kelompok dalam mencapai tujuannya, jadi cenderung ditujukan untuk mengukur tingkat keefektifan kelompok dalam mencapai tujuannya (Slamet, 1981).
24
Jenkins dalam Mardikanto (1992) mengemukakan bahwa dinamika kelompok merupakan suatu kajian terhadap kekuatan-kekuatan yang terdapat di dalam maupun di lingkungan kelompok yang akan menentukan perilaku anggotaanggota kelompok dan perilaku kelompok yang bersangkutan untuk bertindak atau melaksanakan kegiatan-kegiatan demi tercapainya tujuan bersama yang merupakan tujuan kelompok tersebut. Senada dengan itu, Masri (1984) mengatakan bahwa dinamika kelompok sebagai bentuk dari kekuatan kelompok, tercakup di dalamnya apa dan bagaimana bentuk dari kekuatan kelompok, unsur apa yang mendukung terjadinya kekuatan kelompok, bagaimana kelompok membenahi diri, menyusun dan mengembangkan / memajukan kelompoknya, apa dan bagimana fungsi pimpinan dalam kelompok, pada situasi / dalam keadaan bagaimana seseorang itu dapat mengetahui ataupun menyaksikan adanya dinamika / kekuatan dalam kelompok itu. Dari pengertian dinamika kelompok yang dipaparkan di atas, berarti mempelajari dinamika kelompok berarti juga mempelajari kekuatan atau gerak yang terdapat di dalam kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya dalam pencapaian tujuan. Kekuatan-kekuatan tersebut menurut Slamet (2001) bersumber dari 9 unsur, yang meliputi: (1) tujuan kelompok; (2) struktur kelompok; (3) fungsi tugas; (4) pembinaan dan pengembangan kelompok; (5) kesatuan kelompok; (6) suasana kelompok; (7) ketegangan kelompok; (8) efektivitas kelompok; dan (9) maksud terselubung. Menurut Cartwright (1968) bahwa tujuan kelompok merupakan hasil yang ingin dicapai oleh kelompok. Agar eksistensi kelompok dapat berkesinambungan maka tujuan kelompok harus berkesesuaian dengan tujuan individu-individu yang menjadi anggota kelompok. Bila hal ini tidak dapat disejajarkan akan sulit bagi kelompok untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu Slamet (2001) mengatakan bahwa tujuan kelompok bukan sekedar tujuan bersama akan tetapi harus mempunyai hubungan dengan tujuan individu sehingga akan menjadi sumber motivasi dan merupakan petunjuk bagi
anggota kelompok dalam
mencapai tujuan. Struktur
kelompok merupakan varia bel yang sangat mempengaruhi
efektivitas dan efisiensi kelompok dan interaksi yang terjadi dalam kelompok.
25
Menurut Gerungan (1981) bahwa struktur kelompok merupakan
susunan
hierarkhis mengenai hubungan-hubungan, berdasarkan peranan dan status antara masing-masing anggota kelompok dalam mencapai tujuan. Sedangkan menurut Cartwright (1968) struktur kelompok adalah bentuk hubungan antara individu di dalam kelompok, yang disesuaikan dengan posisi dan peranan masing-masing individu. Struktur kelompok dapat disusun secara formal dan informal. Pada kelompok struktur formal, pembagian tugas, norma-norma dan mekanisme kerja disusun dengan jelas dan tertulis sehingga semua anggota mengetahuinya. Pada kelompok dengan struktur informal hubungan-hubungan yang terjadi lebih bersifat bebas, pembagian tugas tidak tegas, penerapan norma dan sanksi kurang tegas, mekanisme kerja sesuai dengan kondisi kehidupan kelompok. Fungsi tugas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kelompok yang berorientasi pada pencapaian tujuan kelompok (Soediyanto, 1980). Maksud dari fungsi tugas adalah memfasilitasi dan mengkoordinasikan usaha -usaha kelompok yang menyangkut masalah-masalah bersama dan dalam rangka memecahkan masalah kelompok. Miles (1959) mengartikan pembinaan kelompok sebagai upaya untuk tetap memelihara dan mengembangkan kelompok, mengatur, memperkuat dan mengekalkan kehidupan kelompok. Pembinaan dan pengembangan kelompok ini diarahkan untuk tetap menjaga kelompok agar tetap hidup sesuai dengan perkembangan yang ada. Selain itu pembinaan dan pengembangan kelompok ini berorientasi pada upaya bertahan hidup (survival oriented ). Kekompakan kelompok dapat diartikan sebagai kesatuan kelompok yang dicirikan oleh keterikatan yang kuat dari semua atau di antara anggota kelompok dan juga menggambarkan kekuatan kelompok yang tidak saja tahan terhadap goncangan dari luar tetapi juga mampu meredam goncangan yang timbul dari dalam kelompok. Kekompakan kelompok diarahkan pada kesatuan dan persatuan kelompok yang dapat membentuk komitmen yang kuat dari semua anggota kelompok dan pada akhirnya akan menjadi kekuatan kelompok. Suasana kelompok pada dasarnya merupakan keadaan moral, sikap dan perasaan-perasaan yang terdapat di dalam kelompok. Suasana kelompok ini berkaitan dengan moral
26
kelompok seperti adanya sikap yang penuh semangat, sikap yang kurang bersemangat dan sikap yang apatis dari semua annggota kelompok. Ketegangan kelompok adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan tantangan pada kelompok. Ketegangan kelompok diperlukan unt uk menumbuhkan kedinamisan, tetapi ketegangan yang terlalu kuat juga dapat mematikan kedinamisan. Kelompok yang dinamis adalah kelompok yang memiliki aktivitas di mana didalamnya ketegangan berubah menjadi energi kelompok. Sumber ketegangan dapat berasal dari (1) tekanan internal (internal pressures), seperti konflik yang terjadi, sikap pimpinan yang otoriter, dan persaingan yang terjadi; (2) tekanan yang bersifat eksternal (external pressure), seperti tantangan yang ada, serangan yang muncul, sanksi yang diterapkan, penghargaan dan hukuman yang diberikan, keseragaman dan konformitas. Maksud tersembunyi adalah program atau tugas atau tujuan yang ingin dilaksanakan atau dicapai tetapi tidak diketahui oleh atau tidak disadari oleh anggota yang lainnya. Maksud tersebunyi ini berada di bawah dipermukaan. Biasanya suatu kelompok selalu memiliki maksud tersembunyi yang tidak diketahui oleh anggota kelompok. Bila suatu maksud tersembunyi sudah diketahui oleh anggota, maka hal itu tidak dapat dikategorikan sebagai maksud tersembunyi (hidden agenda). Maksud tersembunyi sama pentingnya dengan maksud dan tujuan yang dirumuskan secara terbuka. Maksud tersembunyi atau terselubung ini sangat penting artinya bagi kehidupan kelompok. Bila maksud terselubung ini seolaholah tidak ada atau sengaja mengabaikannya tidak akan menolong dalam pencapaian tujuan kelompok. Kelompok dapat bekerja untuk maksud-maksud terbuka dan maksud terselubung pada saat yang sama. Kedua tujuan ini dapat saling mendukung satu sama lain. Sumber dari maksud terselubung dapat berasal dari: (1) anggota kelompok; (2) pimpinan kelompok; dan (3) kelompok itu sendiri. Semua faktor yang baru saja di bahas adalah merupakan peubah (variabel) di dalam suatu kelompok yang “nilainya” dapat berbeda antara satu dan lain kelompok, dan dapat berubah dalam satu kelompok yang sama. Varia be l-variabel ini berada pada dua kontinum antara kondisi kelompok yang sangat jelek dan kondisi kelompok yang sangat baik.
27
Dalam rangka pembinaan kelompok, masing-masing peubah ini dapat dimanipulasi
agar
bisa
menjadi
bernilai
baik,
dengan
demikian
akan
meningkatkan dinamika kehidupan kelompok. Selanjutnya, kondisi suatu kelompok dapat dianalisis dengan “menggunakan nilai” dari masing-masing peubah. Peubah yang nilainya tidak baik dianggap menjadi sumber kurang dinamisnya kelompok. Karena itu, bila peubah tersebut diperbaiki keadannya, bisa mengarah pada meningkatnya efektivitas kelompok. Pembahasan kelompok juga tidak terlepas dari sistem sosial yang hidup dan berkembang dalam kelompok tersebut termasuk dalam kaitannya dengan sistem sosial yang ada di luar kelompok. O lsen dalam (Achlis, 1981) mengatakan bahwa sistem sosial merupakan model daripada organisasi sosial yang memiliki keseluruhan unit yang menonjol dalam bagian-bagian komponennya, sehingga membedakannya dengan lingkungannya oleh karena adanya ikatan yang jelas dan terbatas yang di dalamnya masing-masing bagian saling berinterelasi dalam polapola hubungan yang relatif stabil dalam kerangka tertib sosial. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem sosial merupakan suatu ikatan aktivitas-aktivitas terbatas yang saling berinterelasi dan yang bersamaan membentuk suatu kesatuan tunggal. Dari sini dapat kita simak bahwa kelompok sebagai sistem sosial menunjukkan adanya keterkaitan dan ketergantungan yang kuat di dalam suatu batas (boundary) tertentu yang membentuk unit sistem sosial tersebut. Dari pengertian sistem sosial di atas, kelompok sebagai sistem sosial lebih menekankan pada aspek sosiologis yaitu interaksi yang saling mempengaruhi terjadi di dalam kelompok. Dalam suatu sistem sosial, orang saling berinteraksi satu sama lain dan mempunyai pola perilaku yang relatif teratur dan sistematis. Suatu sistem sosial dapat diidentifikasi sebagai suatu sistem sosial yang besar dan sebagai sistem sosial yang kecil menurut bagian-bagiannya. Menurut Slamet (2001), ada 10 unsur -unsur pokok sistem sosial, yaitu: (a) tujuan (goal), (b) keyakinan (belief, (c) sentimen atau perasaan (sentimen t/feeling), (d) norma (norms), (e) sanksi (sanctions), (f) peranan kedudukan (status roles), (g) Kewenangan / kekuasaan (power / authority ), (h) jenjang sosial (social rank), (i) fasilitas (facility), (j) tekanan dan ketegangan (stress and strain ).
28
Secara teoritis, kelompok sebagai suatu sistem sosial harus memiliki kesepuluh unsur yang dikemukakan di atas, karena itu perlu diteliti apakah suatu kelompok memilik kesepuluh unsur tersebut. Perlu juga dipahami bahwa bobot nilai pengaruh masing-masing unsur sangat berbeda antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Selanjutnya, kesepuluh unsur yang dipaparkan di atas merupakan peubah yang mempunyai pengaruh pada interaksi anggota
dalam
suatu kelompok, juga akan berpengaruh pada perilaku individu dan perilaku kelompok.
Lingkungan Sosial Suatu kelompok tentulah tidak akan terlepas dari pengaruh aspek internal dan ekternal kelompok. Ada beberapa aspek internal dan ekternal yang dianggap berpengaruh dalam kelompok ini, seperti: kebutuhan dan harapan kelompok, motivasi anggota, tingkat pendidikan formal anggota yang ditama tkan, keterikatan dengan norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat, keterikatan kelompok dengan tokoh formal seperti dengan kepala desa atau lurah atau aparat pemerintah lainnya dan keterikatan dengan tokoh informal seperti pengusaha, tokoh agama dan tokoh-tokoh lainnya, akses terhadap lembaga keuangan, seperti bank atau BPR, dan peluang pasar. Tentu faktor-faktor ini mempunyai intensitas pengaruh yang berbeda -beda antara satu dengan yang lainnya. Motivasi merupakan unsur yang sangat banyak berpengaruh dalam proses internal dan eksternal KUBE.
Motivasi adalah sesuatu yang mendorong
seseorang untuk melakukan sesuatu tindakan / kegiatan di mana dorongan tersebut dapat berasal dari dalam individu yang bersangkutan atau bersumber dari luar diri individu. Hal ini sesuai dengan pengelompokan yang dilakukan oleh Winkel (1991) yang membagi motivasi menjadi dua bagian, yaitu motivasi yang bersifat intrinsik dan motivasi ekstrinsik . Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang tumbuh jika seseorang telah menyadari adanya kebutuhan, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang ditimbulkan karena faktor lingkungan. Menurut Steer (1996) bahwa dari dua konsep dasar penting motivasi dan kepemimpinan maka motivasi merupakan jelajah yang luas dan kompleks, karena
29
dipengaruhi oleh variabel yang sangat banyak (multi) yang biasanya berada dalam lingkungan kerja. Adalah suatu hal yang tidak mudah untuk menentukan apakah yang menyebabkan motivasi seseorang yang sebenarnya, kenapa mereka berperilaku seperti itu. Penjelasan tentang motivasi ini sangat penting, karena motivasilah yang menentukan efektivitas suatu tindakan dan perilaku seseorang. Steer (1996) pada prinsipnya melihat motivasi ini dari tiga hal penting yang dianggap mendasar, yaitu pertama, apakah yang mendorong perilaku manusia (berenergi). Kedua, apakah arah atau saluran-saluran dari perilaku tersebut. Ketiga, bagaimanakah perilaku itu dapat dipelihara dan dilestarikan. Tiap komponen tersebut bila dipelajari dengan baik akan memberikan penjelasan penting dalam kontribusi terhadap kenapa suatu kelompok masyarakat mau melakukan suatu tindakan. Bila kita lihat dari sisi yang lebih komprihensif terhadap pengaruh faktor internal dan ekternal tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok-kelompok masyarakat di Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah menunjukkan masih kuatnya pengaruh internal dan ekternal terhadap perkembangan kelompok. Hasil penelitian di atas menunjukkan masih kuatnya faktor internal dan eksternal kelompok. Namun yang lebih menarik dari hasil penelitian ini adalah, bahwa faktor -faktor eksternal diluar komunitas lokal juga turut mempengaruhi dan terlihat hasilnya cukup signifikan. Dengan demikian, landasan teori ini menjadi perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang ter kait dengan faktor internal dan eksternak KUBE tersebut.
Kepemimpinan Hampir setiap rumusan kepemimpinan yang dikemukakan oleh para ahli berbeda -beda antara satu dengan yang lainnya. Namun demikian terdapat cukup persamaan di antara beberapa definisi ya ng ditawarkan. Dalam buku Stogdill’s Handbook of Leadership, Bas s (1981) mengemukakan sebelas rumusan tentang kepemimpinan, yaitu:
30
(a) kepemimpinan sebagai titik pusat proses kelompok, (b) kepemim-pinan sebagai suatu kepribadian yang mempunyai pengaruh, (c) kepemimpinan sebagai seni mewujudkan kesepakatan, (d) kepemim-pinan sebagai penerapan pengaruh,(e) kepemimpinan sebagai tindakan atau perilaku, (f) kepemimpinan sebagai bentuk persuasi, (g) kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan, (h) kepemimpinan sebaga i sarana pencapaian tujuan, (i) kepemimpinan sebagai hasil yang timbul dari hasil interaksi, (j) kepemimpinan sebagai suatu peranan yang dibedakan, (k) kepemimpinan sebagai permulaan dari struktu r. Selanjutnya Gardner (1987) mengemukakan bahwa berdasarkan posisi yang istimewa dalam kelompok, pemimpin bertindak sebagai sarana bagi penentuan struktur kelompok, suasana kelompok, tujuan kelompok, ideologi kelompok, dan kegiatan-kegiatan kelompok. Dalam kaitan ini, Bass (1985) mendefinsikan pemimpin sebagai ora ng yang mempunyai sejumlah terbesar perangai kepribadian dan watak yang disyaratkan. Demikian juga Federman (1983) memandang kepemimpinan sebagai perpaduan perangai-perangai yang memungkinkan
seseorang
mampu
mendorong
orang-orang
lain
untuk
menyelesaikan tugas-tugas tertentu. Sedangkan Burns (1978) mendefinisikan kepemimpinan dalam pengertian sebagai kepribadian yang beraksi atau terjadi dalam kondisi-kondisi kelompok. Selain itu, disebutkan juga kepemimpinan merupakan suatu proses yang melibatkan sejumlah orang dalam kontak mental di mana seseorang mendominasi orang lain. Dalam
perkembangan
selanjutnya,
Burns
mengatakan
bahwa
kepemimpinan merupakan penciptaan dan penyusunan pola -pola perilaku yang luar biasa sedemikian rupa sehingga orang lain memberikan tanggapan terhadap pola-pola yang ditampilkan. Para ahli personalitiy melihat bahwa kepemimpinan sebagai akibat dari pengaruh yang bersifat sepihak. Mereka mengakui bahwa pemimpin dapat memiliki sifat-sifat yang membedakannya dari pengikut, tetapi mereka tidak mengakui adanya corak timbal balik dari situasi kepemimpinan. Pengertian pengaruh merupakan generalisasi dan abstraksi dari definisi kepemimpinan. Terkait dengan itu, Drucker (1986) menyarankan bahwa kepemimpinan berarti usaha mempengaruhi agar perilaku orang berubah. Bass (1981) melihat bahwa kepemimpinan adalah usaha seseorang untuk merubah perilaku pihak lain. Stogdill (1972) mengatakan bahwa kepemimpinan sebagai
31
proses atau tindakan mempengaruhi kegiatan-kegiatan suatu kelompok yang terorganisir dalam usaha menetapkan tujuan dan pencapaian tujuan. Shartle (1961) mengajukan beberapa definisi atas dasar proses pengaruh. Pemimpin dilihatnya sebagai seorang yang melaksanakan tindakan pengaruh positif terhadap pihak lain atau yang melaksanakan tindakan-tindakan pengaruh yang lebih penting daripada anggota-anggota lainnya dari kelompok organisasi lainnya. Sedangkan Beebe (1989) merumuskan kepemimpinan sebagai pengaruh interpersonal, dilakukan di dalam suatu situasi dan diarahkan melalui proses komunikasi yang mengacu pada pencapaian tujuan yang dirumuskan. Sedangkan Federman lebih lanjut menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan aktivitas mempengaruhi orang lain untuk bekerja sama ke arah pencapaian yang telah disepakati bersama. Sebagian para ahli mengatakan bahwa kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai tindakan dan perilaku. Dalam pengertian seperti itu Shartle lebih lanjut merumuskan kepemimpinan sebagai suatu usaha yang menghasilkan tindakan atau respon pada pihak lain sesuai dengan arah yang disepakati. Schein (1985) mengatakan bahwa kepemimpinan dapat dirumuskan sebagai suatu perilaku individu, sementara pemimpin tersebut terlibat dalam pengarahan kegiatankegiatan kelompok. Sedangkan Fiedler (1972) mengusulkan definisi yang hampir sama yang mengatakan bahwa kepemimpinan merupakan tindakan khusus, di mana pemimpin tersebut terlibat dengan cara-cara pengarahan dan koordinasi pekerjaan anggota kelompok.
Hal ini mencakup tindakan-tindakan seperti
penyusunan hubungan kerja, penilaian terhadap anggota kelompok dan pemberian perhatian tentang kesejahteraan dan perasaan-perasaan anggota. Beberapa teoritisi terdahulu terkesan menghilangkan pemaksaan dalam definisi kepemimpinan, sementara dalam saat yang sama mempertahankan pandangan bahwa kepemimpinan merupakan faktor penentu dalam hubungan dengan pengikut-pengikutnya. Karena itu dalam kondisi seperti ini diperlukan kepemimpinan persuasi. Karena itu, Posner (1986) mendefinsikan bahwa kepemimpinan merupakan pengeloaan
SDM melalui persuasi dan insipirasi,
kepemimpinan bukanlah suatu paksaan atau ancaman langsung yang bersifat terselubung. Kidder
(1981) mengatakan bahwa kepemimpinan menunjukkan
32
kemampuan mempengaruhi orang guna mencapai hasil melalui himbauan emosional, bukan melalui penggunaan paksanaan. Smith (1984) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah seni perlakuan terhadap manusia. Ini adalah seni mempengaruhi sejumlah orang dengan persuasi atau dengan contoh untuk mengikuti serangkaia n tindakan. Sedangkan Homans (1999) memandang kepemimpinan merupakan kegiatan mengajak orang untuk bekerja sama dalam pencapaian suatu tujuan bersama. French dkk (1960) merumuskan kepemimpinan merupakan kekuasaan interpersonal yang dipandang sebagai suatu hasil (result) dari maksimum kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin, dikurangi dengan maksimum penolakan anggota yang dapat bergerak pada arah yang berlawanan. Kelompok ini menyusun lima basis kuasa, yaitu: basis kuasa referen atau keteladanan pribadi, keahlian , ganjaran, paksaan dan kedudukan resmi. Namun bentuk hubungan kekuasaan seperti ini sangat kurang relevan bila diterapkan dalam kepemimpinan masyarakat yang tidak formal. Johnson (1970) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu hubungan kekuasaan yang khusus yang diwarnai oleh persepsi anggota kelompok bahwa anggota kelompok yang lain mempunyai hak untuk memperoleh perilaku yang menuntun kegiatannya sebagai seorang anggota suatu kelompok tertentu. Tosi (1976) memberikan pengertian kepemimpinan dalam arti luas adalah suatu hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin di mana pemimpin lebih banyak mempengaruhi daripada dipengaruhi, karena pemimpin menghendaki anggotanya berbuat seperti apa yang dikehendaki. Berlakunya kekuasaan
tersirat dalam
definisi Maccoboy (1981) yang menyarankan bahwa kepemimpinan sebagai suatu bentuk hubungan di antara orang-orang di mana mengharuskan seseorang atau lebih bertindak sesuai dengan permintaan pihak lain. Banyak teoritisi telah memasukkan pencapaian tujuan ke dalam definisi mereka. Beberapa di antaranya telah mendefinsikan kepemimpinan dalam arti nilai instrumentalnya dalam pencapaian tujuan dan pemuasan kebutuhan kelompok. Menurut Branford (1984), seorang pemimpin ialah seorang yang memiliki program dan bergerak ke arah suatu tujuan bersama menurut aturan yang sudah disepakati bersama. Sence ( 1999) mendefinsikan kepemimpinan
33
sebagai proses pengaturan suatu situasi sedemikian rupa sehingga anggotaanggota kelompok dapat mencapai tujuan bersama dengan hasil maksimum dengan waktu dan kerja yang minimum. Robbin (1979) menyebutkan bahwa kepemimpina n sebagai kekuatan dinamik yang pokok yang mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam pencapaian tujuan. Dalam suatu konsep kepemimpinan, bagi Rowan (1986) hubungan fungsional kepemimpinan ada, apabila kelompok mempersepsi pemimpin sebagai alat pengendali untuk memenuhi kebutuhannya. Beberapa ahli menganggap bahwa kepemimpinan bukan sebagai penyebab atau kontrol, melainkan sebagai suatu hasil dari tindakan interaksi kelompok. Burns mengatakan sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan merupakan suatu rangsangan sosial yang dapat mendorong orang untuk mengungkapkan tujuantujuan lamanya dengan penuh semangat atau tujuan baru dengan penuh harapan. Bagi Hammer (1982), kepemimpinan merupakan suatu proses pemberian rangsangan yang saling pengaruh-mempengaruhi di antara keberhasilan sesama anggota yang berbeda, pengendalian tenaga manusia guna pencapaian tujuan bersama. Merton (1969) memandang kepemimpinan sebagai suatu hubungan antar pribadi di mana pihak lain mengadakan penyesuaian-penyesuaian ka rena adanya berkeinginan untuk itu, bukan karena mereka harus dipaksa untuk itu.
Pemberdayaan Banyak metode yang dapat diterapkan dalam rangka pembangunan masyarakat. Salah satu di antaranya dengan metode pemberdayaan masyarakat (people -empowerment). Konsep “pemberdayaan” lahir dari kata bahasa Inggris yaitu “empower” yang artinya memberi kuasa / wewenang kepada. Konsep ini berkembang sejak tahun 1980-an dan digunakan oleh agen-agen pembangunan hingga sekarang ini. Sehingga pemberdayaan menjadi jargon yang sangat populer di kalangan para agen pembangunan masyarakat khususnya dalam penanganan kemiskinan. Pendefinisian pemberdayaan sangat tergantung pada konteksnya dan nilai budaya masyarakat setempat.
Tidak ada definisi yang baku tentang
pemberdayaan. World Bank (2002) mengatakan: “The term empowerment has
34
different meanings in different socio -culture and political contexts, and does not translate easily into all languages”. Karena itu konsep pemberdayaan ini sangat berbeda antara satu komunitas dengan komunitas lainnya. Menurut Ife (1999) pemberdayaan secara sederhana dapat diartikan sebagai pemberian “power” atau kekuasaan atau kekuatan atau daya kepada kelompok yang lemah sehingga mereka memiliki kekuatan untuk berbuat. Pranarka dan Vidhyandika (1996) mengemukakan proses pemberdayaan mengandung dua arti: Pertama, pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan , kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya . Proses ini biasanya dilengkapi dengan pemberian asset/material guna mendukung pembangunan kemandirian
melalui
organisasi.
Proses
pertama
disebutnya
sebagai
kecenderungan primer. Kedua, proses menstimuli, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Proses yang kedua ini sering disebut sebagai kecenderungan sekunder. Dalam pekembangannya , proses kedua ini
banyak
diwarnai
pemikiran
Freire
(1972:13)
dengan
konsepnya
conscientiousness (kemampuan individu untuk mengontrol lingkungannya) Sebagai dasar operasional dalam bekerja, Bank Dunia (2002) memberikan batasan pengertian tentang peberdayaan sebagai berikut: empowerment is the expansion of assets and capabilities of poor people to participate in, negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that affect their lives. Dari pengertian di atas, pemberdayaan lebih diarahkan pada pemberian aset dan kemampuan pada kelompok miskin sehingga mereka mampu berpartisipasi dan mengontrol akuntabilitas lembaga yang mempengaruhi kehidupan mereka. Ada dua hal penting dalam pengertian ini, yaitu pemberdayaan dalam proses pemberian aset dan aksesibilitas bagi kelompok miskin terhadap berbagai sumber yang mempengaruhi kehidupan mereka. Menurut Cornell University Empowerment Group dalam Saleebey (1992), mengartikan pemberdayaan sebagai berikut:
35
".... suatu proses yang disengaja dan berlangsung secara terus menerus yang dipusatkan di dalam kehidupan komunitas lokal, meliputi: saling menghormati, sikap refleksi kritis, adanya kepedulian dan partisipasi kelompok, yang melaluinya masyarakat yang merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga menjadi memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumbersumber tersebut". Konsep di atas mencoba mendeskripsikan pemberdayaan sebagai suatu proses atau upaya yang sengaja dilaksanakan dan terus menerus atau berkelanjutan. Upaya itu sendiri dibatasi di dalam skala kehidupan komunitas lokal yang tercermin dalam sikap-sikap, nilai- nilai tertentu yang kondusif untuk terciptanya partisipasi, kemampuan, dan sumber-sumber yang ada dalam masyarakat lokal. Pemberdayaan pada akhirnya merupa kan upaya mendapatkan akses untuk memperoleh, mendayagunakan dan mengontrol sumber-sumber yang ada untuk kepentingan bersama. Sedangkan menurut Sharp (1995) pemberdayaan secara harafiah berarti memberikan daya atau kekuatan kepada seorang individu atau kelompok untuk suatu tujuan khusus. Selanjutnya ia menambahkan bahwa pemberdayaan bisa dilaksanakan dengan dua cara yakni secara konseptual dan empirik . Yang pertama adalah pemberdayaan melalui gaga san, pendidikan, atau yang lebih spesifik lagi melalui suatu proses seperti 'pendidikan kesadaran' (consciousness education) sebagaimana yang diterapkan, dikembangkan dan disebarluaskan oleh Freire pada tahun 1970-an (seorang pendidik dari Brasil). Di sini pemberdayaan menjadi
suatu
sarana
positif,
yang
memungkinkan
masyarakat
dapat
melakukannya, tanpa menunggu konsesi dari pihak luar. Sedangkan yang kedua sering dirangsang melalui
latihan-latihan yang bersifat partisipatif, dengan
demikian akan membuka pikiran orang-orang
desa tentang
bagaimana
mereka dapat memperbaiki kehidupan mereka dengan cara yang praktis (by doing), dan menolong orang yang kurang berdaya dalam lingkungannya. Cara ini lebih menyadarkan mereka terhadap permasalahan kemiskinan yang ada dalam komunitasnya dan membantu mereka memahami sistem yang telah ada yang telah membatasi dan menghimpit mereka. Kesadaran ini akan mendorong melakukan berbagai aksi untuk ke luar dari sistem kemiskinan.
mereka
36
Sedang menurut Kartasasmita (1996) bahwa pemberdayaan mempunyai dua arah, yaitu: (a) upaya melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (b) meperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Dari pengertian ini, maka pemberdayaan itu pada intinya adalah pemberian kemampuan kepada masyarakat melalui berbagai stimuli sehingga lepas dari belenggu kemiskinan atau keterbelakangan. Blanchard, John dan Alan (1998) mengemukakan tiga kunci untuk keberhasilan pemberdayaan dalam perusahaan besar maupun perusahaan kecil, yaitu (a) memberikan informasi kepada setiap orang, (b) menciptakan otonomi melalui batas-batas, dan (c) menggantikan hierarhi lama dengan tim pengelola mandiri. Dalam pengertian ini terlihat bahwa dalam pemberdayaan adanya pemberian akses atau kebebasan melalui otomomi kepada setiap orang untuk berbuat. Selain itu, juga tercermin dalam pengertian pemberdayaan adanya pendekatan dan metode baru melalui penggantian hirarhi lama dengan tim atau metode yang baru. Menurut World Bank (2002) ada berbagai model pemberdayaan yang ditujukan pada kelompok miskin, namun pada intinya pemberdayaan menekankan pada empat elemen penting, yaitu: (a) access to information, (b) inclusion and participation, (c) accountability, and (d) local organizational capacity. Access to information, agar pemberdayaan kelompok miskin berjalan dengan baik maka informasi dari pemerintah kepada kelompok miskin dan dari kelompok miskin kepada
pemerintah
harus
berjalan
dengan
lanc ar,
bila
mungkin
akan
terlembagakan (institutionalized). Dengan proses informasi seperti ini akan tercipta pemberdayaan yang sinergis, karena program-program pemerintah akan menjadi kebutuhan masyarakat. Inclusion and participation, berarti perlunya keterlibatan kelompok miskin dalam proses pemberdayaan termasuk dalam proses perenca naan. Ada berbagai bentuk partisispasi yang dapat dilakukan, yaitu: direct, representation, political by elected represen tation, information based, based on competitive
market
mechanisms.
Accountability,
artinya
bahwa
dalam
pemberdayaan, pejabat pemerintah harus dapat mempertanggung jawabkan segala kebijakan, tindakan, program dan dana yang digunakan secara akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila tidak demikian, maka upaya pemberdayaan yang
37
dilakukan tidak akan berhasil maksimal. Local organizational capacity berarti bahwa
dalam
proses
pemberdayaan
perlunya
mengembangkan
dan
mengorganisasikan kemampuan masyarakat setempat. Proses seperti ini akan memandirikan masyarakat setempat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Sebagaimana yang sudah dikemukakan oleh Homan (1999) pada pembahasan kerangka teoritik beberapa elemen comunity development yang perlu dikembangkan dalam proses pemberdayaan masyarakat tersebut. Di mana pada intinya bahwa proses pemberdayaan menuntut semua elemen-elemen masyarakat harus diberdayakan dan dikembangkan, di mana pengembangannya harus didasarkan pada kemampuan dan ketersediaan sumber-sumber masyarakat setempat, bukan didasarkan pada ukuran-ukuran eksternal, sebagaimana yang terjadi selama ini. Bilamana sumber-sumber dimaksud tidak tersedia dalam masyarakat, adalah menjadi penting untuk mendatangkan sumber tersebut dari luar masyarakat sehingga pengembangan masyarakat menjadi lebih oiptimal. Bila disimak semua konsep pemberbedayaan yang sudah dipaparkan sebelumnya dan didasarkan pada kenyataan-kenyataan yang ada menurut penelitian bahwa pemberdayaan adalah suatu upaya memberikan kekuatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk dapat berfungsi secara sosial dalam kehidupan kelompoknya yang berarti mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya sehari-hari, mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya dan mampu menampilkan peranannya dengan baik dalam masyarakat. Konsep keberfungsian sosial di sini mempunyai makna bahwa upaya pengembangan seseorang atau sekelompok tersebut disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan atau situasi yang terjadi. Indikator pengukuran keberhasilan yang digunakan bukan indikator yang kaku tetapi indikator yang sesuai dengan tuntutan perubahan yang terjadi. Karena itu upaya pemberdayaan yang dilakukan harus dapat menagantisipasi perubahan kondisi dan lingkungan yang ada. Dalam kaitan konsep seperti di atas, upaya pemberdayaan yang dilakukan melalui kelompok, maka semua potensi dan sumber yang ada dalam kelompok perlu dioptimalkan dalam proses pemberdayaan tersebut. Anggota yang
38
terhimpun dalam kelompok mampunyai hetorogenitas yang tinggi baik. Anggota yang mempunyai pengalaman dan wawasan yang lebih luas harus berbagi pengalaman dengan yang lainnya, yang mempunyai keterampilan harus mengajri yang lainnya, yang mempunya pendidikan yang lebih tinggi harus mendidik anggota yang lainnya, yang mempunyai komitmen harus mengajak dan memotivasi yang lainnya, yang mempunyai modal lebih sharing dengan yang lainnya, yang mempunyai pendapat dan pandangan yang berbeda -beda akan memperkaya alternatif keputusan yang akan diambil. Melalui konsep seperti ini diharapakan keberfungsian anggota kelompok akan menjadi lebih optimal. Bilamana akses seperti di atas tidak dapat terpenuhi, diperlukan peranan seorang pendamping yang dapat menghubungkan anggota KUBE dengan pihak eksternal. Pengembangan aspek ekonomi dalam proses pembe rdayaan KUBE, pemberdayaan yang dilakukan perlu diarahkan pada pengembangan ekonomi yang berorientasi pada konsep usaha bisnis, di mana dalam setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan ada keuntungan yang diperoleh, kemudian dari setiap keuntungan yang diperoleh ada upaya anggota untuk menabung atau menyisihkan sebagian dari pendapatan yang diperoleh untuk ditabung). Pengembangan aspek ekonomi tidak hanya dilihat semata -mata dari aktivitas usaha ekonomi sudah berjalan atau tidak, tetapi lebih dari itu. Paling tidak dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu: (a) apakah semua anggota KUBE sudah bekerja atau hanya sekelompok saja atau bahkan sudah dapat mempekerjakan orang lain di luar KUBE, (b) apakah ada keuntungan yang diperoleh usaha ekonomi yang dikembangkan, (c) apakah mereka sudah dapat menabung secara ekonomi atau mereka secara ekonomi sudah dapat menabung (karena pendapatan sudah cukup) tetapi tidak mau untuk menambung. Tiga komponen ini menjadi indikator keberhasilan pengembangan aspek ekonomi KUBE tersebut dan merupakan aspek yang penting mendapat perhatian dalam proses pembedayaan KUBE, karena tanpa perkembangan aspek ekonomi yang baik, pengembangan aspek sosial tidak akan berjalan dengan baik. Selanjutnya, perkembangan aspek ekonomi yang baik perlu diwarnai dengan pengembangan aspek sosial yang dapat mempercepat pemulihan keberfunsian sosial anggota KUBE tersebut. Pendapatan atau keuntungan yang
39
diperoleh diharapakan dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup aggota keluarga, seperti kebutuhan makan, sehari-hari, rumah, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timbul, seperti anak putus sekolah, biaya pendidikan anak, kesehatan keluarga, perbaikan rumah, pembelian sarana hiburan dalam keluarga, dan lain -lain. Dapat diwujudkan dalam pengembangan peranan keluarga, seperti berpakaian layak, membantu keluarga atau tetangga yang lain pada saat kesulitan, dan lain-lain. Selain itu, KUBE perlu dilandasi oleh semangat pengembangan intelektual, spritual dan emosional yang baik. Dengan konsep seperti ini pada akhirnya akan mewujudkan jati diri anggota KUBE tersebut. Inilah inti dari proses pemberdayaan dalam KUBE tersebut.
Keberhasilan Kelompok Keberhasilan kelompok merupakan unsur penting untuk dikaji di dalam pengembangan kelompok. P emahaman akan keberhasilan kelompok secara objektif , akan menjadikan intervensi yang dilakukan lebih tepat dan akurat sesuai dengan keberhasilan kelompok tersebut. Paling tidak ada 2 aspek penting dalam keberhasilan kelompok tersebut , yaitu aspek yang bekaitan dengan sosial yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha-usaha kesejahteraan anggota kelompok yang dilakukan, seperti: keperdulian kelompok, kesetiakawanan kelompok, gotong royong, kerjasama kelompok, dukungan kelompok, dan lainlain; aspek yang berkaitan dengan ekonomi yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha ekonomis produkif yang dikembangkan kelompok. Dalam proses pemberdayaan kelompok masing-masing orang memberikan tekanan yang berbeda -beda dalam mengukur keberhasilan kelompok tersebut. Ada orang yang melihat bahwa aspek sosial merupakan unsur terpenting dalam suatu kelompok karena, sosial merupakan ciri dari suatu kelompok. Artinya kelompok dibentuk dalam rangka meningkatkan kerjasama dan tolong menolong di antara sesama anggota serta dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang dihadapi anggota. Bilamana persoalan atau masalah anggota sudah teratasi dengan baik, ini akan menjadi motivasi bagi pengembangan kelompok. Karena itu, bila
40
kelompok ingin berhasil maka pembenahan aspek sosial menjadi hal yang terpenting. Orang-orang yang berlatar belakang ekonomi melihat bahwa aspek ekonomi merupakan unsur yang terpenting dalam kelompok. Tanpa kegiatan ekonomi kelompok akan hilang dan selanjutnya akan mati. Bilamana kegiatan ekonomi suatu kelompok berjalan dengan baik atau produktif, biasanya kelompok itu akan langgeng dan mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan kelompok. Karena itu, bilamana ingin mengukur kelompok maka yang menjadi aspek utamanya adalah ekonomi. Memberikan tekanan pada salah satu aspek yang dipaparkan di atas, tidaklah hal yang salah. Masing-maing orang melihat sesuai pengetahuan, pengalaman dan latar belakang masing-masing. Tetapi memberikan tekanan yang terlalu berat pada satu aspek saja juga kurang mencerminkan tingkat keberhasilan kelompok, karena pada prinsipnya keberhasilan suatu kelompok digambarkan paling tidak oleh dua aspek tersebut. Dalam mengukur keberhasilan KUBE sering orang hanya menggunakan aspek ekonomi saja, seperti: pertambahan sapi dari 5 menjadi 10 ekor, kambing dari 20 menjadi 50 ekor, modal dari Rp 5 juta menjadi 10 juta. Tetapi jarang sekali orang melihat bagaimana tingkat penyelesaian pendidikan seseorang dengan hadirnya dia sebagai anggota KUBE apakah ada peningkatan pendidikan anak atau tidak, bagaimana keperdulian dan rasa tanggung jawab yang ditunjukkan oleh anggota, demikian juga peningkatan dalam kesehatan, perumahan, dan lain-lain. Pengukuran yang didasarkan hanya pada kedua aspek di atas kurang dapat mencerminkan keberhasilan kelompok yang sesungguhnya, tetapi perlu melihat bagaimana keberlanjutan (sutanable) dari kelompok tersebut, baik dari lamanya berdisi, maupun eksistensinya di masa-masa mendatang. Biasanya, suatu kelompok bila sudah menunjukkan keberhasilan dalam aspek sosial dan ekonomi akan diikuti dengan eksistensi keberlanjutan. Karena itu eksistensi keberlanjutan usaha merupakan aspek yang penting dalam dalam penelitian ini untuk dipaparkan. Konsep berkelanjutan (sustainable) pada awalnya merupakan konsep yang banyak digunakan untuk menjelaskan berbagai usaha-usaha yang dilakukan mempertahankan keberlangsungan atau keberlanjutan suatu pembangunan yang
41
akan dilakukan di masa yang akan datang. Dalam penerapannya, konsep ini kurang memperhatikan keseimbangan dan keharmonisan berbagai aspek-aspek yang ada di dalamnya, seperti keseimbangan antara lingkungan, SDA, dan kehidupan sosial masyarakat. Mereka lebih mengutamakan keberhasilan pembangunan daripada keseimbangan dan keharmonisan berbagai aspek yang menjadi pendukungnya. Berbagai usaha dilakukan untuk dapat mempertahankan (maintanance) keberlangsungan dan berlanjutan hasil pembangunan atau kegiatan yang sudah dicapai, namun kurang mengindahkan keseimbangan kehidupan berbagai hal yang menjadi a spek pembangunan tersebut. Sekarang ini, penerapan konsep keberlanjutan (susta inable) lebih menitikberatkan pada perlunya keseimbangan antara berbagai aspek yang ada dalam pembangunan tersebut, yaitu aspek lingkungan, ekonomi dan kehidupan masyarakat itu sendiri. Pemafaatan lingkungan perlu mempertimbangkan aspek ekonomi dan kehidupan masyarakat dan aspek-aspek lainnya. Perbaikan ekonomi perlu mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek kehidupan masyarakat serta aspek-aspek lainnya dan seterusnya. Keseimbangan yang harmonis di antara berbagai aspek yang ada dalam pembangunan, maka kelak generasi selanjutnya akan
dapat
meneruskan
keberhasilan
dan
kegemilangan
keberlanjutan
pembangunan tersebut. For society to continue developing in the way it has done in the past, we need to pay more attention to our environment. How this is best achieved is often a matter of opinion rather than fact, dependent upon different perspectives of the environment and views of nature. Recently, a concept has emerged that has attempted to bring together the best aspects of these different viewpoints, and to harmonize the development of mankind with the protection of nature. This is the concept of "Sustainable Development" (Atmosphere, Climate & Environment Information Programme, 2004).
Konsep keberlanjutan harus berbicara untuk jangka waktu yang lama (long term) bukan untuk jangka waktu yang singkat. Hasil yang sudah dicapai saat ini harus dapat dinikmati dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Selain itu, keberlanjutan perlu menerapkan pendekatan yang terintegrasi (integrated development) di antara unsur-unsur pembangunan yang ada. Keberlanjutan tidak akan terwujud dengan hanya mengedepankan satu aspek tertentu, tetapi perlu ada perpaduan di antara semuanya. Dengan demikian masing-masing unsur yang ada
42
akan saling mendukung satu sama lain. Kebe rlanjutan juga menekankan perlunya penerapan teknologi praktis (practice technology) untuk memafaatkan seoptimal mungkin sumber-sumber yang ada guna meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat. Keberlanjutan bukan berarti membiarkan unsur-unsur yang ada menjadi statis, tetap ada tapi kurang berkembang. Keberlanjutan berarti menjadikan unsur-unsur atau komponen yang ada menjadi dinamis dan dapat mengadaptasikan diri dengan perkembangan dan tuntutan perubahan lingkungan yang ada. Sumber-sumber yang ada harus diolah seoptimal mungkin untuk kepentingan anggota masyarakat ta npa merusak kehidupan yang sesungguhnya. Menurut Kelompok ini (atmosphere, climate & environment information programme) bahwa securing economic development, social equity and justice, and
environmental protection is the goal of sustainable development. Securing di sini menekankan perlu adanya keterjaminan di dalam hal pembangunan ekonomi, keadilan dan perlindungan terhadap lingkungan yang ada sehingga tetap lestari hingga ke generasi berikut. Sedangkan tujuan lainnya adalah terciptanya keseimbangan yang harmonis di antara unsur -unsur pembangunan yang ada. Sedangkan di dalam konsepsi pertanian tentang keberlanjutan, Reijntjes et al (1992) mengatakan sustainability pada dasarnya mengacu pada the capacity to remain productive while maintaining the resource base. Artinya bagaimana kita harus dapat mengelola sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhankebutuhan manusia (human need) dengan tetap menjaga keseimbangan dan kelestarian sumber daya yang ada. Hal ini sebenarnya merupakan unsur hakiki dari pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Pertanian yang berkelanjutan harus berorientasi komersial dan petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, serta dalam mengelola sumberdaya dilakukan secara optimal dan diterapkan dengan berwawasan kelestarian lingkungan serta mampu beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan fisik, sosial, ekonomi dan budaya (Sumardjo, 1999). Lebih lanjut Sumardjo mengatakan bahwa agar tercipta suatu pertanian yang berkelanjutan maka usaha -usaha produksi pertanian yang dilakukan harus dapat mendukung industri yang kuat, sehingga tercipta suatu struktur ekonomi yang seimbang. Tentu analog ini sangat relevan dengan konsepsi pemberdayaan
43
dalam KUBE. Usaha ekonomis produktif yang dikembangkan dalam KUBE harus mampu mendukung industri- industri yang ada di daerah tersebut. Agar posisi seperti ini dapat diwujudkan, maka Bunasor (1990) mengidentifikasi ciri-ciri usaha yang berkelanjutan, me liputi: (a) usaha yang dikembangkan harus mampu memanfaatkan semua sumber daya secara optimal; (b) mampu mengatasi berbagai hambatan fisik yang bersifat alamiah maupun ekonomi; (c) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinya terhadap peruba han yang terjadi baik perubahan permintaan pasar, maupun perubahan teknologi; (d) ikut serta aktif di dalam kontek pembangunan nasional (penyediaan lapangan kerja, pelestarian lingkunan, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Unsur lain di dalam keberlanjut an, adalah perlu adanya kemandirian. Hube is (1992) mengatakan bahwa kemandirian adalah perwujudan kemampuan seseorang untuk memanfaatkan potensi dir inya sendiri dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, yang dicirikan oleh kemampuan dan kebebasan menentukan pilihan yang terbaik. Dalam pengertian ini, kemandirian diartikan bagaimana seseorang individu atau secara kelompok bisa memanfatkan potensi yang dimiliki kelompok secara bebas tanpa harus tergantung pada atau dipengaruhi oleh kelompok atau pihak lain. Slamet (1995) berpendapat bahwa untuk menumbuhkan dan membina kemandirian petani, petani perlu di arahkan agar dengan kekuatan dan kemampuannya berupaya untuk bekerja sama untuk mencapai segala yang dibutuhkan dan diinginkan. Kemandirian tidak berarti anti terha dap kerja sama atau menolak saling keterkaitan dan saling ketergantungan. Kemandirian justru menekankan perlunya kerjasama yang disertai tumbuh dan berkembangnya (a) aspirasi, (b) kreativitas, (c) keberanian menghadapi resiko, (d) prakarsa seseorang bertindak atas dasar kekuatan sendiri dalam kebersamaan (collective self -reliance). Di beberapa literatur yang ada kemandirian diartikan sebagai ketangguhan. Menurut Sukardi (1993) manusia yang tangguh sebagai subjek pembangunan dalam era globalisasi, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) etos kerja tinggi, (b) prestatif, (c) peka dan cepat tanggap terhadap perubahan, (d) inovatif, (d) religius, (e) bermoral, (f) mandiri, dan (g) mampu mengendalikan diri. Hadiwigeno (1985) memberikan ciri-ciri petani yang berus aha tani, yakni: (a) mempunyai
44
pengetahuan dan keterampilan dalam menerapkan ide-ide baru, (b) memperoleh tingkat pendapatan yang layak, (c) berani menghadapi berbagai resiko, (d) mampu menarik manfaat dari asas skala ekonomi, dan (e) memiliki kekuatan unt uk mandiri dalam berusaha tani. Sedangkan menurut Abas (1995) menunjukkan ciri-ciri petani yang mempunyai
ketangguhan
berusaha
sebagai
berikut,
(a)
mampu
untuk
memanfaatkan sumber daya secara optimal dan efisien, (b) mampu mengatasi segala hambatan dan tantangan, (c) mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur pr oduksinya terhadap perubahan musim, perminataan pasar, maupun perkembamgan teknologi, (d) berperan aktif dalam peningkatan produksi, serta (e) mampu menciptakan pasar yang menguntungkan produksinya. Dengan menggunakan konsep yang berbeda, Wirosardjono (1992) mengartikan upaya seseorang yang didasarkan pada kepercayaan kemampuan diri dan pada sumber daya yang dimiliki sebagai semangat keswadayaan. Dikemukanakan bahwa faktor-faktor yang membentuk kemampuan swadaya adalah (a) keuletan, (b) kerja keras, dan (c) jiwa kewirausahaan. Pandangan ini diperkuat oleh Rasyid dan Adjid (1992) yang lebih menekankan kemandirian pada kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan secara bebas dan bijaksana. Didasarkan pada uraian-uraian tentang konsep keberla njutan yang sudah dipaparkan di atas,
konsep ini menekankan perlu adanya keseimbangan dan
keharmonis di antara berbagai unsur yang ada dalam pembangunan, tidak hanya mengedepankan atau mengutamakan hanya satu faktor saja, tetapi masing-masing mempunyai fungsi yang saling mendukung di antara unsur atau komponen yang ada, terintegrasi di antara berbagai unsur yang ada, berbicara untuk masa depan tidak untuk masa sekarang, adanya pembaharuan-pemba haruan di dalam metode dan pendekatan yang diterapkan (technology), pemanfaatan sumber seoptimal mungkin dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan yang ada, kegiatan yang dilakukan bersifat dinamis bukan statis, dan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anggota masyarakat.
45
Penyuluhan dan Pemberdayaan Apakah penyuluhan sama dengan pemberdayaan atau penyuluhan lebih luas dari pemberdayaan atau sebaliknya pemberdayaan lebih luas dari penyuluhan? Pertanyaan lain yang sering dilontarkan adalah bagaimana kaitan antara pemberdayaan dengan penyuluhan. Mungkin pertanyaan yang terakhir ini menjadi fokus pembahasan dalam bagian ini. Berangkat dari pendapat Ensmiger dalam Dahana dan Bhatnagar ( 1980) mengemukakan beberapa filosofi penyuluhan, yaitu: 1. It is an educational process. Extension is changing the attitudes, knowledge, and skills of the people. 2. Extension is working with men and women, young people, boys and girls to answer their needs and their wants. Extension is teaching people what to want and ways to satisfy their wants. 3. Extension is “helping people to help the themselves”. 4. Extension is “learning by doing” and “seeing is believing”. 5. Extension is development of individuals, their leaders, their society and their world as a whole. 6. Extension is working together to expand the welfare and happiness of people. 7. Extension is working in harmony with the culture of people. 8. Estension is a living relationship, respect and trust for each other. 9. Extension is a two-way channel, and 10. Extension is continuous, educational process.
Dari konsep di atas dapat dikatakan bahwa penyuluhan adalah suatu proses pendidikan dalam rangka mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan seseorang. Proses pendidikan ini berlangsung melalui pendidikan luar sekolah atau pendidikan non formal. Pendapat yang senada dikemukakan oleh Asngari dalam Yustina dan Sudrajat (2003) Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang (kegiatan pendidikan) dengan tujuan mengubah perilaku klien sesuai dengan yang direncanakan / dikehendaki yakni orang makin modern. Ini merupakan usaha mengembangkan (memberdayakan) potensi individu klien agar lebih berdaya secara mandiri. Dari kedua pendapat ini semakin jelas bahwa penyuluhan sosial merupakan proses pendidikan dalam rangka pengubahan perilaku. Pengubahan perilaku dan penge mbangan potensi diarahkan untuk menjadi orang yang modern atau orang yang berpikiran maju. Selain penyuluhan merupakan proses pendidikan, penyuluhan juga bertujuan untuk membantu kelompok sasaran sehingga mampu mandiri (helping people to help themselves). Dalam proses membantu kelompok sasaran,
46
penyuluhan dilakukan melalui
proses “learning by doing” and “seeing is
believing”, yaitu langsung mempraktekkan sendiri dan melihat kenyataan yang terjadi sehingga dengan demikian akan tumbuh kepercayaan dalam diri kelompok sasaran. Hal yang senada juga dikatakan oleh Mardikanto (1992) yang mengatakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia . Nampak dari beberapa pengertian di atas, bahwa pemberdayaan itu adalah suatu proses untuk mengubah perilaku, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran sehingga mampu berdiri sendiri. Sedangkan menurut Soedijanto (2003) dalam Yustina dan Sudrajat (2003), bahwa pemberdayaan adalah: Mu tu SDM petani akan dapat mendukung pembangunan pertanian kini dan masa yang mendatang manakala penyuluhan pertanian merupakan proses pemberdayaan bukan proses transfer teknolgi. Menyuluh bukannya “mengubah cara bertani” melainkan “mengubah petani” yang dilaksanakan melalui 6 dimensi belajar (learning) yaitu: (a) learning to know, (b) learning to do, (c) learning to live together, (d) learning to be, (e) learning society, (f) learning organization. Dari konsep yang sudah dipaparkan di atas sangat tegas sekali apa yang dimaksud dengan penyuluhan, penyuluhan bukan mengajari petani bercocok tanam tetapi merubah perilaku para petani. Dalam konsep ini tercermin adanya upaya peningkatkan kualitas SDM sehingga memiliki kemampuan dalam mengolah sumber-sumber yang ada di lingkungannya. Me nciptakan manusia untuk mandiri tanpa harus tergantung pada pihak lain. Dengan adanya kemampuan seperti itu diharapkan produktivitas kelompok sasaran akan meningkat dan pada akhirnya ketergantungan pada pihak lain akan hilang. Menurut Pranarka dan Vidhyandika (1996) pemberdayaan - sebagaimana yang sudah disinggung pada kerangka teoritik sebelumnya- mengandung dua arti: pertama (primer), pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan dan kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya dan biasanya dilengkapi dengan upaya pemberian aset material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka. Kedua (sekunder), proses menstimuli , mendorong atau memotivasi
47
individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dari konsep pemberdayaan yang dipaparkan di atas, terlihat bahwa pemberdayaan pada intinya adalah pemberian kekuatan, kemampuan dan kekuasaan yang memungkinkan orang tersebut mampu menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Pemberian kekuatan dan kemampuan ini dapat dilakukan melalui bantuan material dan non material. Ife (1995) memberikan arti bahwa tujuan pemberdayaan adalah to increase the power of the disadvantaged . Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep ini mengandung dua arti penting yaitu power and disadvantaged . Artinya bahwa pemberdayaan itu bertujuan untuk meningkatkan power atau kemampuan atau kekuatan orang yang kurang mampu sehingga menjadi mampu dalam menentukan pilihan-pilihannya. Mampu yang dimaksud dalam konsep ini adalah kemampuan berpikir yang diikuti dengan tindakan untuk melakukan. Lebih spesfik Kartasasmita (1996) mengatakan bahwa pemberdayaan mempunyai dua arah, yaitu: (a) upaya melepaska n belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, (b) memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Selama label kemiskinan dan keterbelakangan masih melekat, maka posisi tawar akan sulit diwujudkan, karena itu kedua unsur menjadi penting. Berdasarkan ulasan terhadap berbagai konsep yang sudah dipaparkan, dibawah ini akan disajikan bagaimana hubungan antara penyuluhan dan pemberdayaan. Bila kita berangkat dari konsep yang dikemukakan oleh Dahana dan Bhatnagar, atau Asngari, atau Mardikanto atau Soedijanto pada intinya bahwa penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk pengubahan sikap, pengetahun dan keterampilan kelompok sasaran. Proses pengubahan ini dilakukan secara sistematis melalui pendidikan formal. Karena itu, Soedijanto mengatakan bahwa penyuluhan bukan bertujuan untuk mengubah cara bertani tetapi yang menjadi sasaran utama penyuluhan adalah mengubah sikap, pengetahuan dan keterampilan petani sehingga para petani dari yang tadinya pengolahan pertanian secara tradisional sekara ng menjadi modern. Perubahan ini terjadi karena sudah terjadinya proses perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam diri kelompok sasaran. Jadi, yang menjadi inti atau fokus dalam konsep penyuluhan
48
ini adalah adanya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran. Bila dicermati bahwa konsep pemberdayaan yang dikemukakan Pranarka dan Vidhyandika, Ife atau Kartasasmita pada intinya adalah menyangkut pemberian power kepada kelompok sasaran yang dilakukan melalui dua hal, pertama : pemberdayaan yang dilakukan melalui pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kelompok sasaran, dan kedua : pemberdayaan guna mendukung dan mempercepat pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan
kelompok
sasaran tersebut, pemberdayaan tersebut disertai dengan pemberian berbagai fasilitas lainnya, seperti: bantuan modal pengembangan usaha, penyediaan kredit, penyediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan, penyediaan aksesibilitas dalam berbagai hal, pelayanan pendampingan, pengembangan pemasaran, pengembangan jaringan, dan lain-lain. Dari uraian di atas terlihat bahwa proses pemberdayaan diikuti dengan pemberian berbagai fasilitas yang memungkinkan kelompok sasaran tersebut dapat lebih cepat berkembang.
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS Kerangka Pemikiran Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin, pemerintah secara terus menerus berupaya merumuskan dan melaksanakan berbagai program kegiatan pemberdayaan. Berbagai program dira ncang dan diluncurkan dalam berbagai bentuk mulai dari pembinaan yang bersifat rutin, pemberian bantuan, pelayanan pengembangan, pembentukan kelompok-kelompok pemberdayaan, sampai penyediaan pelatihan-pelatihan. Semuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin, pemerintah telah mengembangkan kelompok sebagai salah satu media pemberdayaan masyarakat miskin yang dikenal dengan KUBE. Melalui KUBE diharapkan kesejahteraan sosial masyarakat miskin dapat terentaskan paling tidak dikurangi. Munculnya
gagasan tentang
pemberdayaan
masyarakat
miskin
melalui
pendekatan KUBE didasarkan pada suatu pemikiran bahwa setiap orang memiliki potensi dan kemampuan yang dapat dikembangkan. Potensi ini sifatnya sangat beragam, ada potensi yang dapat berkembang secara individual tanpa bantuan atau campur tangan orang lain dan ada juga potensi yang berkembang dengan bantuan atau pertolongan orang lain atau melalui pendekatan kelompok . Kadangkadang seseorang atau sekolompok orang kurang menyadari adanya potensi yang dimiliki yang bila dikembangkan bisa melebihi kemampuan dari orang biasa. Karena itu karakateristik individu menjadi unsur penting dan diperkirakan turut mempengaruhi proses pemberdayaan. Didasarkan pada karakteristik tersebut, maka pemberdayaan melalui KUBE diharapkan akan dapat mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi dan kemampuan yang dimiliki anggota KUBE (Depsos, 1999). Pemberdayaan melalui KUBE dimaksudkan juga akan mempermudah akses untuk menjangkau kelompok-kelompok miskin yang jumlahnya cukup besar. Modal yang tadinya ditujukan kepada individu bila digabungkan menjadi modal kelompok akan menjadi lebih besar dan diharapkan dapat mendongkrak
50
usaha -usaha ekonomis produktif masyarakat miskin dapat berkembang yang selama ini sangat lemah dalam permodalan usaha. Transformasi kemampuan di antara anggota KUBE diharapkan juga dapat terjadi dan berjalan lancar, di mana anggota KUBE yang kurang memiliki kemampuan baik dari segi pendidikan, keterampilan maupun pengalaman dapat saling tukar pengalaman dengan orang yang memiliki kemampuan di bidang itu, sehingga terjadi proses pembelajaran di antara mereka secara terus menerus selama mereka tetap dalam kelompok. Dengan demikian KUBE akan dapat hidup langgeng untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anggotanya. Selain itu, melalui pendekatan KUBE diharapkan rasa persaudaraan, kegotong-royongan dan kesetiakawanan sosial di antara anggota KUBE dapat terus berkembang. Sehingga bila ada kesulitan di antara sesama anggota dapat teratasi oleh kelompok, tanpa menimbulkan permasalahan sosial yang lebih jauh. Fungsi pencegahan munculnya permasalahan sosial dapat terwujud melalui pendekatan KUBE. Melalui pendekatan KUBE ini diharapkan juga pembinaan akan lebih efektif, baik dilihat dari sisi tenaga, waktu dan dana. Pembinaan pendampingan melalui kelompok (7-15 orang) secara umum akan jauh lebih efisien dan efektif dibandingkan bila dilakukan secara individual yang memerlukan biaya yang cukup besar. Ini bukan berarti bahwa pendekatan individual tidak perlu diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat miskin. Kedua-duanya perlu diterapkan sejauh mana yang lebih tepat. Melalui proses seperti itu, pemberdayaan masyarakat yang mengandalkan kekuatan kelompok tersebut menjadi aktual. Agar proses pemberdayaan kelompok melalui pendekatan KUBE lebih optimal maka pendekatan yang digunakan harus berorientasi pada pendekatan community development di mana pendekatan lebih mengedepankan kekuatan yang ada pada kelompok KUBE tersebut. Ini berarti bahwa kekuatan, kemampuan, keterampilan, sumber-sumber dan potensi yang dimiliki oleh anggota menjadi faktor utama dalam pengembangan KUBE tersebut. Menurut Milson (1974) ada tiga element proses community development, yaitu (a) community resources for each, konsep pengembangan masyarakat tersebut harus mengedepankan pemanfaatan sumber -sumber yang ada dalam masyarakat itu sendiri; (b) self-help,
51
bahwa pengembangan masyarakat tersebut dilakukan dengan mengandalkan pada kemampuan da n kekuatan masyarakat setempat; (c) communities decide their own needs, bahwa masyarakat memutuskan sendiri apa yang menjadi kebutuhan mereka sendiri, tidak ditentukan oleh pihak lain. Namun bila sumber-sumber, kekuatan dan kemampuan masyarakat setempat tidak tersedia, diperlukan bantuan dari pihak luar yang dapat mendukung terhadap pengembangan masyarakat setempat. Homan (1999) mengemukakan beberapa elemen comunity development yang perlu dikembangkan dalam proses pemberdayaan tersebut, yaitu: (a) build on community assets, (b) increase skill of individual, (c) connect people with one another, (d) connect existing resources, (e) create or increase community, (f) allow the community to assume ownership of direction, action and resources, (g) promote the expectation that community members will do all work possible, (h) create beneficial external relationships, (i) foster community self -reliance and confidence, (j) build self-sustaining organization, and (k) enhance the quality of life.
Dari elemen-elemen
yang
dikemukakan
di
atas,
bahwa
proses
pengembangan KUBE perlu mengembangkan dan mengintegrasikan seluruh elemen-elemen yang ada pada masyarakat ke dalam proses pemberdayaan KUBE tersebut. Masyarakat harus merumuskan sendiri apa yang menjadi kebutuhan dan harapan mereka yang didasarkan pada kekuatan dan kemampuan serta ketersediaan sumber-sumber yang dimiliki. Didasarkan pada pendekatan konsep community development yang dipaparkan di atas, penelitian ini ingin mencoba melihat bagaimana pola pemberdayaan KUBE yang sesungguhnya yang dilihat dari berbagai aspek, meliputi:
proses pembentukan kelompok yang dilakukan, pendekatan atau
metoda yang dilakukan, jumlah anggota yang efektif dan efisien dalam kelompok, jenis dan besar bantuan yang diperlukan, pola pendampinga n yang harus dilakukan, kebebasan anggota dalam pengambilan kebutusan, perlindungan dan proteksi yang diberikan. Semua komponen-komponen ini diprediksi kuat sebagai faktor -faktor yang mempengaruhi tingkat kedinamisan kehidupan KUBE tersebut, karena komponen ini merupakan bagian yang integral dan terkait langsung dengan kehidupan masyarakat tersebut.
52
Melalui
pendekatan
community
development,
pembentukan
dan
pengembangan KUBE diharapakan menjadi inisiatif anggota KUBE. Apa kegiatan, program dan jenis usaha yang dikembangkan sangat tergantung pada keinginan, harapan dan kemampuan serta keterampilan yang dimiliki oleh anggota KUBE, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan motivator.
Tentu
pengembangan usaha yang dilakukan sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya (sumber daya alam, sumber daya sosial, sumber daya manusia , sumber daya ekonomi) yang ada di lingkungan masing-masing. Ketersediaan sumber dan potensi tersedia menjadi pertimbangan utama di dalam menetukan jenis usaha yang dipilih. Bagaimana kemampuan anggota KUBE untuk mengidentifikasi dan menggali sumber daya yang ada sesuai dengan kemampuan KUBE sangat tergantung pada KUBE tersebut
Melalui proses seperti ini, diharapkan
pendekatan pemberdayaan melaui KUBE menjadi suatu alternatif pemberdayaan masyarakat miskin. KUBE sebagai mendia pemberdayaan juga diharapkan dapat berperan di dalam 3 hal, yaitu: (a) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang, (b) memperkuat potensi ekonomi yang dimiliki oleh masyarakat, dan (c) melindungi rakyat dan mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, juga mencegah eksploitasi golongan ekonomi yang kuat atas yang lemah (Depsos, 1999). Tujuan pemberdayaan ini memang sangat strategis dan jauh ke depan dalam meningkatkan harkat dan martabat serta kesejahteraan sosial kelompok masyarakat miskin tersebut. Tujuan ini memang sangat relevan dengan perkembangan kehidupan sekarang ini, di mana dalam proses pemberdayaan, terjadi penguatan ekonomi rakyat yang bersifat ekonomi riil grass root, berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat miskin seharihari. Inilah sesungguhnya yang diharapkan lahir dari proses pemberdayaan melalui KUBE tersebut. Dengan pendekatan seperti yang diungkapkan di atas KUBE diharapkan dapat berfungsi di dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin. Dalam pengembangan selanjutnya untuk memacu pertumbuhan KUBE yang lebih baik, pemerintah perlu memberikan berbagai pelayanan dan kemudahan dari yang sifatnya
pemberian bantuan, pendampingan hingga pembinaan baik terhadap
53
manajemen kelompok maupun terhadap SDM. Namun, kenyataan yang terjadi sekarang, di antara berbagai KUBE ada yang sangat berhasil dan ada yang kurang berhasil dan bahkan ada yang sama sekali tidak dapat berkembang. Tentu banyak faktor yang mungkin menjadi sebagai penyebabnya. Pada sisi lain, upaya meningkatkan keberfungsian KUBE yang lebih produktif, diharapkan semua komponen-komponen yang ada di masyarakat (lingkungan sosial) , seperti lembaga -lembaga pemerintah, lembaga keuangan, organisasi sosial, tokoh masyarakat, kelompok masyarakat diharapkan turut serta terlibat atau mengambil bagian dalam proses pembangunan di wilayahnya masing-masing termasuk dalam penumbuhan dan pengembangan KUBE. Dengan demikian semua elemen-elemen atau kom ponen masyarakat akan memberikan kontribusi sesuai dengan fungsi masing-masing. Keberfungsian masing-masing institusi yang ada akan memberikan kontribusi dan dukungan timbal-balik di dalam perbaikan fungsi dan pelayanan masing-masing di dalam meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sesuai dengan fungsinya. Ife (1999) mengatakan: “community development must always seek to maximize participation, with the aim being for everyone in the community to be actively involved in community processes and activities. The more people who are active participants, the more the ideals of community ownership and inclusive process will be realized”. Dari pernyataan ini sangat jelas bahwa salah satu syarat keberhasilan pemberdayaan masyarakat miskin adalah mengintegrasikan seoptimal mungkin komponen lingkungan sosial masyarakat tersebut ke dalam proses pemberdayaan, seperti nilai dan norma yang berlaku, eksistensi tokoh masyarakat, keberadaan lembaga keuangan, peluang pasar, ketersediaan sumber, jaringan kerja yang ada, dan lainlain. Sebagaimana
yang
sudah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
proses
pemberdayaan yang diterapkan berbasis pada pendekatan KUBE sebagai kelompok. Berangkat dari konsep kelompok ada beberapa aspek yang terkait dengan kelompok, seperti: tujuan kelompok, besar kecilnya struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan yang dilakukan terhadap kelompok, kekompakan kelompok, kepuasan dan suasana yang terbangun dalam kelompok, ketegangan yang ada terjadi dalam kelompok baik yang bersumber dari dalam
54
kelompok maupun dari luar kelompok, keefektifan kelompok dalam mencapai tujuan, kepemimpinan yang diterapkan. Masing-masing unsur berada dalam dua kontinum yang dapat bergerak dari satu kondisi kehidupan kelompok yang diharapkan ke kondisi kehidupan kelompok yang kurang diharapkan (Tabel 2). Melalui pendekatan ini, diharapkan kelompok menjadi media dalam proses pemberdayaan anggota KUBE. Konsekwensi logis dari pendekatan seperti ini adalah bahwa semua elemen-elemen kelompok harus dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok. Segala kemampuan, keterampilan, potensi dan sumbersumber yang dimiliki anggota harus dimanfaatkan untuk KUBE. KUBE harus dijadikan sebagai media pertemuan, pembinaan, proses pendampingan, dan sebagai sarana dalam peningkatkan kesejahteraan anggota KUBE. Sumber daya manusia yang berkualitas yang tersedia dalam kelompok harus dimanfaatkan menjadi motor dan motivator dalam menggerakkan kegiatan KUBE, menjadi model terhadap anggota yang lainnya . Pertemuan dan musyawarah di antara anggota harus dimanfaatkan untuk kepentingan pengambilan keputusan yang terkait dengan kehidupan KUBE. Pertemuan informal yang sering terjadi di a ntara anggota harus dimanfaatkan seotimal mungkin untuk menggalang kebersamaan dan kekompakan di antara anggota KUBE. Sumber -sumber dan potensi yang tersedia di dalam maupun di luar KUBE harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan KUBE. Intinya bahwa segala sumber dan potensi yang dimiliki KUBE harus dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk kepentingan KUBE, bila sumber tersebut tidak tersedia dalam KUBE, sumber tersebut dapat didatangkan dari luar kelompok. Ada kesan selama ini bahwa pola pemberdayaan masyarakat yang diberikan pemerintah dan lembaga lain sangat bersifat top down. Masyarakat kurang diberikan alternatif untuk menentukan pilihannya. Masyarakat hanya menerima apa adanya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak dilibatkan dalam perencaan pemberdayaan. Berlandaskan pada konsep community development tersebut, maka disajikan model hipotetik dari masing-masing aspek yang terkait dengan proses pemberdayaan KUBE tersebut.
55
Tabel 2: Model Hipotetik Dinamika Kehidupan Kelompok Aspek -Aspek
Kehidupan Dinamika Kelompok yang Diharapkan
Kehidupan Dinamika Kelompok yang Kurang Diharapkan
Tujuan kelompok
• ada tujuan KUBE yang jelas dan sudah
• tujuan KUBE kurang jelas dan kurang
disosialisasikan • anggota KUBE memahami tujuan KUBE • tujuan KUBE sesuai dengan tujuan anggota • tujuan KUBE realistis / dapat dicapai.
Struktur kelompok
• ada struktur organisasi KUBE dan
Fungsi tugas kelompok
• berfungsi sebagai pemberi informasi • berfungsi sebagai koordinasi kegiatan • berfungsi menjelaskan • berfungsi sebagai media kerjs ama
sudah berjalan • pembagian tugas proporsional • hubungan struktural berjalan lancar • semua anggota sudah memahami struktur KUBE
• penumbuhan inisiatif atau prakarsa
disosialisasikan • anggotakurang memahami tujuan
KUBE • tujuan KUBE kurang relevan dengan
tujuan anggota • tujuan KUBE kurang rasional • • • •
KUBE kurang terstruktur pembagian tugas tidak proporsional hubungan struktural kurang berfungsi anggota kurang memahami struktur KUBE.
• berfungsi sebagai penghimpun
informasi • bertindak individual • tertutup terhadap anggota • sebagai beban tambahan bagi anggota
anggota, mendorong munculnya partisipasi, kebersamaan di antara anggota • pemberian penjelasan kepada anggota dan sebagai sarana penyelesaian masalah
• kurang mengembangkan inisiatif,
• pembinaan partisipasi anggota intensif • sebagai sarana penyediaan fasilitas
• penumbuhan partsipasi anggota
untuk kelancaran kegiatan • menyelenggarakan berbagai aktivitas yang intensif • ada sosialisasi norma/aturan. • ada sosialisasi program dan kegiatan • pembinaan hubungan keharmonisan yang terus menerus • ada standar kerja yang menjadi pedoman.
• kurang memfasilitasi kelancaran
Kekompakan kelompok
• identifikasi keanggotaan yang lengkap • kesatuan dan persatuan kelompok
• identifikasi keanggotaan belum
terwujud • kebersamaan kelompok tinggi • kerja sama anggota tinggi
• terjadi pengkotak-kotakan • kebersamaan kelompok rendah • kerjasama anggota rendah
Ketegangan kelompok (internal dan ekternal)
• ada persaingan sehat dalam kelompok • hindari konflik-konflik yang bersifat
• muncul persaingan yang kurang sehat
internal • kepemimpinan lebih mengarah demokratis • ada tantangan dan peluang dalam tugas • ada penerapan sanksi yang tegas
• • • •
Pembinaan / pengembangan kelompok
prakarsa dan partisipasi anggota. • kurang berperan sebagai sarana
pemecah masalah.
terbatas • • • • •
kegiatan kegiatan rutinitas sosialisasi aturan / norma terbatas sosialisasi program / kegiatan terbatas pembinaan hubungan terbatas belum ada standar kerja yang dapat dijadikan pedom an.
dilaksankan
dalam kelompok muncul konflik internal dalam kelom pok kepemimpinan lebih mengarah otoriter kegiatan KUBE menjadi statis sangksi kurang diterapkan secara tegas.
56
Tabel 2: Lanjutan Aspek -Aspek
Kehidupan Dinamika Kelompok yang Diharapkan
Kehidupan Dinamika Kelompok yang Kurang Diharapkan
Keefektivan kelompok
• hasil atau produktivitas KUBE tinggi • semangat kerja dan kesungguhan
• hasil dan produktivitas KUBE rendah • anggota kurang bersemangat dan
anggota tinggi • anggota ada kepuasan • anggota berpartisipasi dengan
sungguh-sungguh • ada keinginan untuk mempertahankan
kesungguhan dalam bekerja • anggota belum merasa puas • kurang terlihat adanya partisipasi dr
anggota. • anggota ingin membubarkan diri
kelompok Kepemimpinan kelompok
• menerapkan gaya kepemimpinan yang
demokratis • mampu menjalanakan peran sebagai pemimpin • kepemimpinan berupaya mengembangkan tanggung jawab • ada pelimpahan wewenang • kekuasaan yang dijalankan proporsional • penerapan pendekatan persuasi untuk mempengaruhi anggota
• menerapkan gaya kepemimpinan yang
mengarah otoriter • tidak mampu menjalanakan peranan
sebagai pemimpin • pemimpin kurang mengembangkan
tanggung jawab anggota • wewenang kurang didistribusikan
dengan baik • kekuasaan yang dijalanakan kurang
sesuai dengan aturan yang ada • lebih banyak menerapakan
pedekatakan kekuasaan Kepuasan anggota
• ada kepuasan atas keadilan atas
• timbulny a kekesalan karena terjadinya
pembagian pendapatan yang diperoleh • ada keinginan untuk meneruskan kelompok • ada keinginan untuk bertemu dengan sesama anggota KUBE
ketidakadilan dalam pembagian pendapatan • ada keinginan untuk membubarkan KUBE • timbul kebencian di antara sesama anggota.
Sehingga pemberdayaan yang diberikan oleh pemerintah atau lembaga lain kurang dapat menjawab atau mengatasi permasalahan yang ada. Sangat ironis sebenanrnya, bilamana suatu kelompok masyarakat tidak memiliki lahan yang cukup untuk ternak penggemukan sapi, tetapi harus diberikan bantuan pemberdayaan ternak penggemukan sapi. Kelompok fakir miskin yang hanya dapat makan bila bekerja hari ini, tetapi diberikan bantuan ternak sapi, tentu tidak dapat menjawab dan mengatasi permasalahan yang ada karena pemberdayaannya berjangka lama. Ini adalah suatu kasus pemberdayaan yang kurang tepat. Karena itu, variabel-variabel yang terkait dengan hal ini penting dikaji. Ada beberapa peubah yang berkaitan dengan pola pemberdayaan tersebut, yaitu: bagaimana proses pembentukan KUBE apakah bersifat bottom up atau top down , bagaimana pendekatan dan metode yang diterapkan apakah dapat merubah pola kehidupan
57
Tabel 3: Model Hipotetik Paradigma Pola Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan KUBE Aspek -aspek
Pola yang Memberdayakan
Pola yang Kurang Memberdayakan
Proses pembentukan KUBE
• gagasan atau ide pembentukan
• gagasan / ide pembentukan KUBE
Pendekatan / metode yang diterapkan
Keanggotaan KUBE
KUBE dari anggota • pembentukan KUBE direalisasikan oleh anggota • pertemuan diadakan sesuai kebutuhan • pertemuan-pertemuan yang diadakan berlangsung secara efektif dan terjadi kesepakatan di antara anggota • ada dasar hukum tertulis (SK) yang menjadi acuan kelompok • menerapakan pendekatan individu
dan atau kelompok • lebih menekankan pada pendekatan partisipatif • lebih menekankan pada pendekatan demokratis • lebih delegatif • ada respon dan keterlibatan anggota yang sungguh-sungguh dalam pendekatan yang diterapkan • ada daftar anggota secara lengkap • sebagian besar anggota aktif dalam
kegiatan
Pendampingan
pihak luar
• pertemuan yang diadakan tidak
terjadwal dan membebani
• pertemuan yang diadakan kurang
menghasilkan apa-apa dan sulit mendapatkan kesepakatan • belum adany a dasar hukum secara tertulis (SK) untuk menjadi acuan • menitikberatkan hanya pada
pendekatan individu saja
• lebih menerapkan pada pendekatan
individu
• lebih menekankan pada pendekatan
otoriter
• kurang delegatif • anggota kurang merespon dan terlibat
dalam pendekatan yang diterapkan
• belum ada daftar anggota secara lengkap • hanya sebagian anggota yang aktif
dalam kegiatan
• tidak ada perubahan dan pergantian
• sering terjadi perubahan dan pergantian
• bantuan tepat waktu • bantuan diterima secara utuh • jenis dan besar bantuan sesuai
• bantuan diterima terlambat • bantuan kurang sesuai dengan paket
anggota
Bantuan yang diberikan
berasal dari pihak luar
• pembentukan KUBE direalisasikan oleh
anggota.
yang ada
dengan kebutuhan KUBE • prosedur penerimaan bantuan mudah. • ada dampak bantuan terhadap perkebangan usaha KUBE
• jenis dan besar bantuan kurang sesuai
• pendamping berperan sebagai
• pendamping terlibat terlalu jauh dalam
falitator • pendamping berperan sebagai katalisator • pendamping berperan sebagai dinamisator • masukan dan saran-saran yang diberikan sangat relevan • pendamping aktif dan memiliki komitmen dalam menjalankan tugas
dengan kebutuhkan KUBE
• prosedur sulit, berbelit- belit. • bantuan kurang berdampak terhadap
perkembangan usaha pengambil keputusan
• pendamping berperan sebagai
pelaksanan
• pendamping kurang memberikan
semangat dan mendorong pd anggota
• masukan dan saran-saran yang
diberikan kurang relevan
• pendamping kurang memiliki komitmen
dan pasif
Kebebasan Kelompok
• ada kebebasan anggota dalam hal:
• ada tekanan dari pihak luar yang dapat
Perlindungan / proteksi
• mampu bersaing dalam harga • mampu bersaing dalam mutu • memiliki daya saing yang tinggi. • mampu mengembangkan modal
• • • •
pembentukan kelompok, penentuan jenis usaha, pengelolaan usaha, pengembangan kreativitas dan sikap berkreasi serta dalam pengambilan keputusan
usaha
mengurangi kebebasan kelompok: pembentukan kelompok, penentuan jenis usaha, pengelolaan usaha, pengembangan kreativitas dan sikap berkreasi, pengambilan keputusan
ada perlindungan terhadap harga ada perlindungan terhadap mutu ada perlindungan terhadap daya saing. ada perlindungan terhadap penyediaan modal usaha
58
KUBE, seberapa besar jumlah anggota untuk satu kelompok, bagaimana bantuan yang diberikan apakah sesuai dengan kebutuhan anggota KUBE, bagaimana pendampingan yang efektif apakah profesional atau tidak, kebebasan yang diberikan untuk berkreasi atau untuk mengembangkan kelompok, dan bagaimana perlindungan atau proteksi yang diberikan sehingga KUBE dapat eksis. Terkait dengan itu, pada Tabel 3 disajikan model hipotetik pola pemberdayaan KUBE. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi dinamika kehidupan KUBE adalah lingkungan sosial KUBE sebagaimana yang sudah disinggung di atas perlunya partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat. Menurut penelitian yang
dilakukan
oleh
Jamaluddin
(2002)
terhadap
kelompok-kelompok
pemberdayaan di Kecamatan Marowali Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah ditemukan bahwa faktor eksternal yang ada di luar desa lokasi penelitian jauh lebih berpengaruh terhadap kehidupan kelompok dibandingkan dengan faktor eks ternal yang ada di lingkungan desa tersebut. Ini dapat terjadi karena produksi yang dihasilkan bersifat eksternal. Karena itu, kedua faktor ini merupakan hal yang perlu dimasukkan sebagai variabel penelitian. Pada Tabel 4 disajikan model hipotetik pengaruh lingkungan sosial terhadap KUBE. Beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi dinamika kehidupan KUBE meliputi: norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat (seperti: kerjasama dalam pertanian, gotong royong, dan lain -lain), bagaimana keterkaitan KUBE dengan tokoh-tokoh formal maupun informal masyarakat (seperti: keterkaitan dengan para pengusaha, pendididik, dan lain-lain). Keberhasilan KUBE juga banyak dipengaruhi oleh bagaimana akses kelompok terhadap pelayanan perbankan (seperti: kemudahan dalam mendapatkan pinjaman atau kredit), ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE, bagaimana peluang pasar yang ada dan juga ancaman yang mungkin muncul. Sebagai dampak dari upaya pemberdayaan yang dilakukan diharapkan keberhasilan KUBE dapat terwujud secara optimal. Ada dua aspek keberhasilan KUBE yang harus dilihat yaitu aspek yang berkaitan dengan aspek sosial dan aspek yang berkaitan dengan ekonomi atau pengembangan usaha ekonomis produktif keluarga.
59
Tabel 4: Model Hipotetik Aspek Lingkungan Sosial KUBE Pengaruh Aspek Lingkungan Sosial yang Diharapkan
Pengaruh Aspek Lingkungan Sosial yang Kurang Diharapkan
Keterkaitan kegiatan KUBE dengan budaya masyarakat
• kegiatan. KUBE relevan dengan kebia-
• kegiatan KUBE kurang relevan dengan
saan/ tradisi, nilai budaya yang ada • nilai budaya mendukung terhadap keg. KUBE yang dilaksanakan
kebiasaan / tradidi dan nilai budaya yang ada • nilai budaya kurang mendukung dengan kegiatan KUBE
Keterkaitan KUBE dengan tokoh informal dan formal
• hubungan KUBE dengan tokoh formal /
• hubungan KUBE dengan tokoh formal
Aspek -aspek
Akses terhadap lembaga keuangan
informal berjalan baik • ada keterlibatan tokoh formal dan informal dalam kegiatan KUBE • tokoh formal dan informal berpengaruh positif terhadap KUBE • tokoh formal dan informal memberikan ide atau gagasan serta keperdulian untuk memperbaiki kinerja KUBE • ada akses KUBE terhadap pelayanan •
•
• •
Peluang pasar
Kemitraan yang dikembangkan
perbankan perbankan menyediakan pelayanan informasi tentang pelayanan perbankan yang ada anggota KUBE mampu menjangkau dan memanfaatkan pelayanan perbankan yang ada adanya kemudahan memanfaatkan pelayanan perbankan. jarak KUBE dekat dengan perbankan
dan informal kurang berjalan lancar • tokoh formal dan informal kurang
keterlibatan dalam kegiatan KUBE • tokoh formal dan informal berpengaruh
negatif terhadap KUBE • tokoh-tokoh formal dan informal
bersikap apatis terhadap kehidupan KUBE. • akses KUBE terbatas terhadap pela-
yanan perbankan • keterbatasan informasi akan pe-
layanan perbankan yang ada • anggota KUBE kurang memiliki
kemampuan untuk menjangkau dan memanfaatkan pelayanan perbankan • anggota KUBE sulit memanfaat kan pel. perbankan yang ada • jarak KUBE jauh dari pelayanan lembaga keuangan.
• kelompok memiliki nilai bisnis yang kuat
• nilai bisnis rendah
• UEP memiliki kualitas yang baik • UEP memiliki daya saing yang tinggi
• UEP krg memiliki kualitas yang baik • daya saing rendah
• UEP memiliki peluang pasar yang baik • Pasar mudah dijangkau
• KUBE kurang memiliki peluang pasar • pasar sulit dijakau
• KUBE mampu mengidentifikasi
• keterbatasan kemampuan mengidentifi-
lembaga yang dapat menjadi mitra kerja • KUBE mampu menjalin relasi dengan pihak lain • KUBE mampu mempertahakan relasi • KUBE mampu mengembangkan relasi
kasi lembaga yang menjadi mitra kerja • KUBE tidak berorientasi kemitraan • KUBE tidak berorientasi menjalin relasi
dengan pihak lain • KUBE tidak mampu bersaing/kurang
perduli terhadap pesaing • tidak berupaya menjalin relasi dengan
pihak lain Ancaman
• aman dari ketersediaan bahan baku,
persaingan pasar (tidak ada gangguan) dan pencurian hasil usaha serta pemutusan jaringan kerja
• ada acaman penyediaan bahan baku,
persaingan pasar, pencurian hasil usaha dan pemutusan jaringan kerja
60
Ada bebrapa indikator yang berkaitan dengan keberhasilan aspek sosial, yaitu: bagaimana kerjasama yang terjadi di antara sesama anggota, bagaimana kesediaan anggota memberikan pertolongan terhadap sesama anggota termasuk anggota masyarakat lainnya, bagaimana kemampuan dalam mengatasi masalah yang muncul, bagaimana tingkat partisipasi anggota dalam menjalankan kegiatankegiatan KUBE, bagaimana keberanian anggota dalam menghadapi risiko dari rencana yang akan dilakukan, bagaimana perencanaan usaha atau kegiatan yang dilakukan, bagaimana pemanfaatan sumber daya yang tersedia, dan bagaimana inovasi usaha yang dilakukan dalam rangka pengembangan KUBE. Tabel 5: Model Hipotetik Keberhasilan KUBE Aspek -Aspek
Keberlanjutan Usaha yang Diharapkan
Keberlanjutan Usaha yang Kurang Diharapkan
• terjadi koordinasi yang baik • pembagian tugas secara merata • kesediaan memberikan bantuan bila
• bekerja secara aindividual • tugas hanya diselesaikan beberapa
Aspek Sosial Kerjasama sesama anggota KUBE Kesediaan memberikan pertolongan Kemampuan mengatasi masalah
Tingkat partisipasi anggota
• egoisme masih tinggi.
• sebagian besar anggota selalu hadir
• sebagian kecil anggota hadir dalam
• anggota banyak memberikan saran dan
• anggota kurang memberikan saran dan
• sebagian besar anggota terlibat dalam
• anggota kurang terlibat dalam
• sebagian besar anggota aktif dalam
• anggota kurang aktif dalam
dalam setiap pertemuan masukan
keputusan
pelaksanaan keputusan
• sebagian besar anggota terlibat dalam
evaluasi / penilaian
• hasil yang dicapai sangat maksimal
Keberanian menghadapi risiko
orang saja
ada kesulitan. • keperdulian terhadap orang lain • adanya sikap penerimaan terhadap orang lain • adanya kesungguhan memberikan pertolongan. • KUBE siap menerima masalah yang muncul • ada kemauan untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang ada • ada kemauan untuk mendengarkan nasehat orang lain • adanya kerja sama untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang ada • adanya keuletan dalam mengatasi masalah
• ada keberanian memulai dan
mengembangkan jenis usaha baru
• ada keberanian untuk menerapakan
inovasi baru
• ada kesiapan untuk menerima
kegagalam yang mungkin muncul
• kepedulian terbatas • kurang menerima terhadap orang lain • kurang iklas dalam membantu orang
lain.
• kawatir menghadapi prubahan yang
akan terjadi
• kurang bersemangat menghadapi suatu
masalah yang timbul
• apatis terhadap suatu hambatan dan
tantangan yang ada
• kurang menerima nasehat orang lain. • kurang kerja sama dalam mengatasi
hambatan dan tantangan yang ada
• kurang keuletan dalam mengatasi
masalah yang ada. setiap pertemuan masukan
pengambilan keputusan pelaksanaan keputusan
• anggota kurang terlibat dalam evaluasi /
penilaian
• hasil yang dicapai kurang maksimal. • adanya rasa takut untuk memulai dan
mengembangkan jenis usaha atau kegiatan baru • adanya rasa takut untuk gagal dalam menerapakan inovasi baru. • kurang menerima terhadap kegagalan yang mungkin ada
61
Tabel 5: Lanjutan
• berorientasi masa yang akan datang • tidak merasa puas dengan kondisi yang
Keberlanjutan Usaha yang Kurang Diharapkan • berorientasi pada masa lalu • menerima apa adanya.
Perencanaan usaha
• KUBE mampu mengidentifikasi
• keterbatasan kemampuan dalam
Pemanfaatan sumber
• KUBE mampu mengidentifikasi dan
• keterbatasan kemampuan dalam
Inovasi usaha
• anggota sdh memahami makna
• anggota kurang memahami makna
Aspek -Aspek
Keberlanjutan Usaha yang Diharapkan
ada
kebutuhan yang akan dipenuhi, mampu menganalisis masalah yang ada, mampu merencakan memanfaatkan sumber yang ada dan mampu menyusun proposal
mengolah sumber yang ada • ada pemanfaatan limbah guna kelestarian lingkungan • menjaga kelestarian lingkungan • ada keseimbangan daya dukung lingk. dengan pemanfaatan sumber • perduli pada sumber daya / lingkungan. pembaharuan usaha • ada sikap penerimaan terhadap inovasi • KUBE mampu menerapkan inovasi • KUBE aktif untuk mendapatkan informasi inovasi baru
mengidentifikasi kebutuhan, menganalisis masalah, merencanakan pemanfaatan sumber dan menyusun proposal.
mengidentifikasi dan pengolahan sumber yang ada • lim bah kurang dimanfaatkan • dayadukung lingkungan kurang sebanding dengan pemanfaatan sumber • hanya perduli pada sumber daya yang dimiliki. pembaharuan usaha
• KUBE terbiasa dengan yg konvensional • keterbatasan kemampuan dalam
penerapan inovasi
• KUBE pasif terhadap inovasi baru
Aspek Ekonomi Perkembangan modal
• meningkatnya modal sampai dua kali
• modal tidak bertambah • kegiatan KUBE statis
Pengguliran
dari modal semula • kegiatan lancar • pengguliran berjalan setelah dua tahun
Pendapatan
• pendapatan meningkat minimal dua kali
• pendapatan dibawah garis kemiskinan
Tabungan
• adanya tabungan untuk jangka waktu
• tidak ada tabungan, pendapatan sangat
Jenis usaha
• bertambahnya jenis usaha hingga dapat
• jenis usaha tidak bertambah dan tidak
Pengelolaan hasil keuntungan
• ada keadilan dalam pembagian hasil
• ada ketidak adilan dalam pembagian
Pengelolaan IKS
di atas garis kemiskinan
minimal 1 bulan ke depan
menerap tenaga kerja di luar KUBE
keuntungan • ada sikap keterbukaan dalam hal pengelolaan keuangan • pembagian keuntungan tepat waktu • pembagian. keuntungan sebanding dengan hasil keuntungan yang diperoleh KUBE • KUBE sdh mengelola dana IKS • besarnya iuran dana IKS sesuai dengan kemampuan anggota • pembayaran dana IKS sesuai dengan jadwal yang sdh ditetapkan • prosedur pemanfaatan IKS mudah • pemanfaatan dana IKS sesuai dengan sasaran / tujuan
• pengguliran tidak berjalan
minim menutupi kebutuhan setiap hari mampu menerap tenaga kerja hasil keuntungan
• kurang ada keterbukaan dalam
pengelolaan keuangan
• pembagian keuntungan tergantung
pimpinan
• besarnya pembagian keuntungan
kurang sebanding dengan pendapatan.
• KUBE belum menjalankan dana IKS
secara penuh
• besarnya dana IKS kurang sesuai
dengan kemampuan anggota
• pembayaran dana IKS selalu terlambat • prosedur pemanfaatan IKS berbelit- belit • sasaran pemanfaatan dana IKS kurang
sesuai dengan tujuan.
62
Beberapa indikator yang berkaitan dengan keberhasilan aspek ekonomi meliputi: perkembangan modal KUBE, pengguliran terhadap kelompok miskin lainnya di luar KUBE, meningkatkanya pendapatan anggota KUBE, adanya tabungan anggota KUBE yang dapat dimanfaatkan minimal untuk jangka waktu satu bulan ke depan, bertambahnya jenis usaha KUBE yang dapat menerap tenaga kerja (anggota) yang ada dalam KUBE termasuk di luar KUBE yang belum bekerja,
terjadinya
pengelolaan
hasil
keuntungan
yang
transparan
dan
terlaksananya pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial yang lebih baik. Terkait dengan aspek-aspek di atas, di bawah ini disajikan model hipotetik keberlanjutan usaha kelompok KUBE (Tabel 5). Untuk mempermudah pemahaman mengenai kerangka pemikiran di atas, secara sistematis keseluruhan kerangka pemikiran tersebut disajikan dalam Gambar 4.
63
KART. AGGT. KUBE (X1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jenis kelamin Umur Pendidikan formal Pelatihan yang diikuti Modal awal yang dimiliki Pola penghasilan Sumber penghasilan utama Kebutuhan / harapan Persepsi tentang kehidupan berkelompok 10. Motivasi anggota
TK KEBERHASIL KUBE (Y2) DINAMIKA KEHIDUPAN KUBE (Y1)
POLA PEMBERDAYAAN (X2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Proses pembentukan KUBE Pendekatan / metode Jumlah anggota Bantuan (uang & peralatan) Pendampingan Kebebasan yang diberikan Perlindungan / proteksi
1. Tujuan kelompok 2. Struktur kelompok 3. Fungsi tugas kelompok
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Pembinaan kelompok Kekompakan kelompok Ketegangan kelompok Keefektifan kelompok Kepemimpinan Kepuasan anggota
LINGKUNGAN SOSIAL (X3) 1. Norma / nilai budaya. 2. Keterkaitan kelompok dengan tokoh (formal & infor mal) 3. Akses terhadap lembaga keuangan 4. Peluang pasar 5. Jaringan kerja 6. Ketersediaan sumber daya 7. Ancaman
Gambar 4:
Aspek Sosial (Y2.1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kerjasama sesama anggota Kesediaan memberikan pertolongan Kemamp mengatasi masalah Tingkat partisipasi anggota Keberanian menghadapi risiko Perencanaan usaha Pemanfaatan sumber Inovasi usaha
Aspek Ekonomi (Y2.2) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Perkembangan modal Pengguliran (Revolving Fund) Pendapatan Tabungan Banyaknya jenis usaha Pengelolaan hasil keuntungan Pengelolaan IKS
Kerangka Pemikiran Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan KUBE
64
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian, meliputi: Hipotesis H0 , yaitu: 1. Karakteristik individu anggota KUBE tidak mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terha dap dinamika kehidupan KUBE. 2. Pola pemberdayaan KUBE tidak mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE. 3. Lingkungan sosial tidak mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE. 4. Dinamika kehidupan kelompok KUBE tidak mempunyai hubungan / pengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Hipotesis H1 , yaitu: 1. Karakteristik individu anggota KUBE mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE. 2. Pola pemberdayaan KUBE mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE. 3. Lingkungan sosial mempunyai hubungan / pengaruh yang nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE. 4. Dinamika kehidupan kelompok KUBE mempunyai hubungan / pengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE.
METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian, maka populasi dalam penelitian adalah KUBE yang dikategorikan berhasil. Diharapakan dari KUBE-KUBE seperti ini akan ditemukan berbagai hal atau komponen penting yang dapat dijadikan sebagai dasar atau acuan dalam pengembangan KUBE di masa mendatang. Dari hasil penjajagan yang dilakukan di lapangan, ukuran keberhasilan KUBE antara satu daerah dengan daerah lainnya belum seragam seragam, tergantung daerah masingmasing. Ada yang melihat keberhasilan KUBE dari keberadaan KUBE, struktur dan organisasi KUBE, jaringan atau kemitraan yang dikembangkan, pendapatan yang diperoleh anggota, kegiatan usaha ekonomis produktif yang dikembangkan. KUBE pada dasarnya memiliki dua kegiatan: (a) kegiatan yang berkaitan dengan usaha ekonomis produktif (UEP) dan (b) kegiatan yang berkaitan dengan usaha kesejahteraan sosial (UKS). Didasarkan pada kenyataan dan pertimbangan di atas, maka ada 4 kriteria KUBE yang dianggap berhasil dan dijadikan acuan dalam penelitian ini, yaitu: (a) dilihat dari aktivitas, ada kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan, seperti: arisan, pengajian, tolong menolong dalam kesulitan keuangan, dan lain sebagainya ; (b) dilihat dari segi waktu, KUBE sudah berdiri se belum tahun 2001; (c) dilihat dari jenis usaha, ada jenis usaha ekonomis produktif yang dikembangkan, seperti: usaha dagang, usaha pembuatan kue, usaha jahit menjahit, dan lain sebagainya; (d) dilihat dari segi pendapatan, ada pendapatan yang diperoleh anggota dari usaha yang dikembangkan. Mengacu pada kriteria yang sudah dipaparkan di atas, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah KUBE yang memenuhi 4 kriteria di atas. Teknik penarikan sampel Didasarkan pada ketersediaan populasi penelitian, heterogenitas penelitian dan kemampuan peneliti baik dana, waktu maupun tenaga maka untuk keperluan penelitian dilakukan penarikan sampel. Beberapa hal perlu dipertimbangkan
66
dalam teknik penarikan sampel ini. Menurut Win van Zanten (1994 : 81) “pengelompokan dapat dibuat berdasarkan kriterium pokok yang relevan untuk tujuan analisis atau untuk meningkatkan keefisienan (efficiency) pendugaan, misalnya (1) jenis kelamin, (2) kelompok umur; (3) propinsi atau kota; (4) kelas pendapatan; (5) jenis pekerjaan, (6) perusahaan, dikelompokkan menurut besar perusahaan, (7) suku bangsa”. Atas pertimbangan di atas dan tingkat keberhasilan KUBE sekarang (hasil penjajagan di lapangan) , maka dilakukan penarikan sampel dengan beberapa teknik. Lokasi penelitian propinsi dan kabupaten / kota dipilih secara purposive. Ada beberapa alasan kenapa memilih lokasi ini, yaitu: (a) wilayah ini merupakan provinsi di mana tingkat keberhasilan KUBE relatif bagus dibandingkan dengan propinsi lainnya, dan (2) tingkat persentase penduduk fakir miskin relatif tinggi dibandingkan dengan jumlah penduduk masing-masing wilayah. Sedangkan pemilihan wilayah kabupaten / kota didasarkan atas keberadaan KUBE dengan kategori berhasil menurut daftar yang ada pada Dinas Sosial Provinsi masingmasing. Didasarkan pada data yang ada dan hasil penjajagan awal di lapangan, keberhasilan KUBE masih belum menggembirakan. Masih relatif sulit menemukan KUBE di satu wilayah dengan kriteria berhasil seperti kriteria yang sudah diajukan di atas , sekalipun sudah te rdaftar sebagai kriteria KUBE berhasil. Berdasarkan hasil identifikasi, jumlah KUBE dengan kriteria berhasil hanya terbatas, maka peneliti menggunakan sensus di dalam penentuan KUBE yang menjadi sampel penelitian. Sedangkan pemilihan anggota KUBE dilakukan dengan teknik cluster ramdom sampling dengan kelompok pengurus dan bukan pengurus. Kemudian di antara pengurus dan anggota dipilih masing-masing dua orang secara acak, sehingga satu KUBE terpilih sebanyak 4 orang. Pemilihan pengurus dan bukan pengurus dilakukan secara acak dengan menunjuk masing-masing dua orang pengurus dan anggota menurut daftar anggota yang masih aktif , baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota KUBE. Penentuan dua orang pengurus dan dua orang anggota dilakukan untuk tujuan objektivitas jawaban responden.
67
Sampel penelitian Didasarkan pada teknik sampel yang sudah dipaparkan sebelumnya, diperoleh sampel penelitian seperti Tabel 6. Responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengurus dan anggota KUBE yang sebelumnya dikategoikan sebagai fakir miskin. Jumlah responden yang dijadikan sampel dalam penelitian adalah sebanyak 224 orang yang terdiri dari; dua orang pegurus KUBE, dan dua orang anggota dari setiap kelompok KUBE. Namun dalam proses wawancara ada responden yang tidak dapat diwawancarai karena berhalangan, sehingga untuk beberapa KUBE hanya dapat diwawacarai 1 atau 2 orang anggota atau pengurus. Sehingga tidak secara lengkap 1 KUBE terwakili 2 orang pengurus dan 2 orang anggota. Untuk selengkapnya komposisi sampel pe nelitian disajikan pada Tabel 6. Tabel 6: Jumlah Sampel KUBE dan Wilayah Penelitian Propinsi Sumatera Utara Jawa Timur Kalimantan Timur Jumlah
Kab/ Kota
Jlh KUBE Jlh %
Pengurus Jlh %
Anggota Jlh %
4 5
13 22
21,31 36,07
22 44
50 51,8
22 41
50 48,2
2
26
42,62
49
51,6
46
48,4
61
100
115
51,3
109
48,7
Untuk objektivitas informasi yang diperoleh dari sumber sekunder , maka beberapa sumber yang dianggap dapat mewakili, yaitu: (a) tokoh kunci informal dan formal masyarakat setempat, kepala desa dan jajarannya, (b) pendamping, (c) Departemen Sosial, dan Dinas Instansi Propinsi dan Kabupaten / Kota yang secara fungsional menangani KUBE; dan (d) LSM/ Organisasi Sosial yang melakukan pemberdayaan. Penentuan responden ini dilakukan dengan melihat keterkaitan kelompok dengan eksistensi KUBE.
Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Lokasi penelitian meliputi 3 wilayah propinsi, yaitu: (1) Propinsi Sumatera Utara , yang meliputi: Kota Binjai, Kabupaten Deliserdang, Kabupaten Langkat dan Kota Medan ; (2) Propinsi Jawa Timur, yang meliputi: Kabupaten Blitar,
68
Kabupaten Lamongan, Kabupaten Nganjuk, Kotapasuruan, dan Kota Surabaya; dan (3) Propinsi Kalimantan Timur, yang meliputi: Kota Balikpapan dan Kota Samarindah. Pemilihan wilayah Kabupaten / Kota didasarka n pada keberadaan KUBE dengan kriteria berhasil yang sudah dipaparkan. Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu penyusunan dan bimbingan proposal penelitian selama 12 bulan hingga pertengahan tahun 2004, kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan penelitian yang dimulai dari pertengahan tahun 2004 hingga 2005 awal. Pembuatan laporan atau penulisan hasil dilakukan sejak pertengahan tahun 2005 hingga sekarang.
Disain Penelitian Untuk menjawab permasalahan penelitian yang sudah dirumuskan, maka disain penelitian yang digunakan, adalah: 1. Analisis deskrip tif eksploratif, yaitu metode yang bertujuan untuk menggali, mengungkapkan, dan menggambarkan secara analitis, faktual dan akurat berbagai hal atau aspek yang berkaitan dengan peubah-peubah yang ada dalam penelitian 2. Korelasional, yaitu metode penelitian yang bertujuan untuk mencari, menggali dan mengungkapkan secara faktual dan akurat berbagai pengaruh dan hubungan yang terjadi di antara peubah-peubah penelitian.
Data dan Instrumen Sumber data penelitian Ada beberapa sumber data dan informasi yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Data Primer, yang meliputi: a. Data atau informasi yang diperoleh dari responden yang meliputi pengurus KUBE dan anggota kelompok KUBE.
69
b. Data dan informasi yang diperoleh dari keluarga anggota KUBE c. Hasil observasi di lapangan. 2. Data Sekunder, yaitu data atau informasi yang diperoleh: a. Data atau informasi yang diperoleh dari petugas lapangan Kantor Pemerintah yang menangani pemberdayaan KUBE. b. Data atau informasi yang diperoleh dari Kantor Kelurahan / Desa masingmasing KUBE. c. Data atau informasi yang diperoleh dari pendamping KUBE d. Data atau informasi yang diperoleh dari petugas lapangan LSM/ Organisasi Sosial yang terlibat dalam pemberdayaan KUBE. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian adalah: 1. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data melalui studi dokumentasi terhadap laporan-laporan yang berkaitan dengan sumber data sekunder. 2. Wawancara berstruktur (setengah terbuka), yaitu teknik pengumpulan data dengan mengajukan berbagai pertanyaan-pertanyaan secara mendalam kepada responden secara tatap muka dengan pedoman wawancara yang sebelumnya telah disediakan. 3. Survey dan observasi berstruktur, yaitu bentuk pengumpulan data melalui pengamatan langsung di lapangan dan tinggal bersama masyarakat selama beberapa waktu untuk melihat secara langsung kenyataan yang ada di masyarakat.
Peubah dan Pengukuran Peubah-peubah penelitian Gambar 5 memperlihatkan hubungan antar peubah, di mana terdapat 3 peubah bebas X, yaitu: karakteristik individu anggota KUBE (X1 ), pola pemberdayaan yang diberikan (X2` ) dan lingkungan sosial KUBE (X2` ). Terdapat 2 pubah tidak bebas Y (respon), yaitu: dinamika kehidupan kelompok (Y1 ) dan tingkat keberhasilan KUBE (Y2 ). Peubah-peubah ini saling berhubungan dengan yang lainnya seperti yang digambarkan pada Gambar 5.
70
Peubah yang berkaitan dengan karakteristik individu anggota KUBE (X 1) adalah: 1. Jenis kelamin (X1.1 ) 2. Umur (X1.2 ) 3. Pendidikan formal yang dicapai (X1.3) 4. Pelatihan yang diikuti (X1.4 ). 5. Modal awal yang dimiliki (X1.5 ) 6. Pola penghasilan (X1.6 ) 7. Sumber penghasilan utama (X1.7 ) 8. Kebutuhan / harapan anggota (X1.8 ) 9. Persepsi tentang hidup berkelompok (X1.9 )
10. Motivasi anggota (X1.10 ) Peubah yang berkaitan pola pemberdayaan kelompok yang diberikan selama ini (X 2) adalah: 1. Proses pembentukan KUBE (X2.1 ) 2. Pendekatan atau metode yang diterapkan (X2.2 ) 3. Jumlah anggota (X2.3 ) 4. Bantuan (uang dan peralatan) yang diberikan (X2.4) 5. Pendampingan (X2.5) 6. Kebebasan yang diberikan (X2.6) 7. Perlidungan / Proteksi (X2.7) Peubah yang berkaitan dengan lingkungan sosial KUBE adalah (X3) adalah: 1. Norma / nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat (X3..1) 2. Keterkaitan kelompok dengan tokoh informal dan formal masyarakat (X 3.2) 3. Akses terhadap keuangan (pemanfaatan, kesulitan, dll.) (X3.3). 4. Peluang pasar (X3.4) 5. Ketersediaan sumber daya (X3.5)
6. Ancaman yang mungkin muncul (X3.6) Peubah yang berkaitan dengan dina mika kehidupan kelompok adalah (Y 1) adalah: 1. Tujuan kelompok (Y1.1) 2. Struktur kelompok (Y 1.2) 3. Fungsi dan tugas kelompok (Y1.3)
71
4. Pembinaan kelompok (Y 1.4) 5. Kekompakan kelompok (Y 1.5) 6. Ketegangan Kelompok (Y1.6 ) 7. Keefektifan kelompok (Y1.7) 8. Kepemimpinan (Y1.8 ) 9. Kepuasan anggota (Y1.9 ) Peubah-peubah yang berkaitan dengan tingkat keberhasilan KUBE adalah (Y2 ) adalah: Aspek Sosial (Y 21): 1. Kerjasama sesama anggota (Y21.1) 2. Kesediaan memberikan pertolongan (Y21.2 ) 3. Kemampuan mengatasi masalah (Y21.3 ) 4. Tingkat partisipasi anggota (Y21.4 ) 5. Keberanian menghadapi risiko (Y21.5 ) 6. Perencanaan usaha (Y 21.6) 7. Pemanfaatan sumber (Y21.7 ) 8. Inovasi Usaha (Y 21.8) Aspek Ekonomi (Y 22): 1. Perkembangan Modal (Y22.1) 2. Pengguliran (revolving fund) (Y 22.2) 3. Pendapatan (Y 22.3) 4. Tabungan (Y22.4 ) 5. Banyaknya jenis usaha (Y22.5 ) 6. Pengelolaan hasil keuntungan (Y22.6 ) 7. Pengelolaan IKS (Y22.7) Pengukuran peubah Menurut Black dan Champion dalam Renzo (1966) definisi pengukuran dalam suatu penelitian merujuk pada sejumlah prosedur yang memungkinkan dilakukannya observasi emperis untuk menunjukkan gejala secara simbolik dan mengkonseptualisasikan apa yang akan dijelaskan. Mengacu pada konsep Steven, Cohen dan Negerl dalam Black dan Champion (1976) serta Miller (1991) definsi pengukuran dalam penelitian ini adalah pemberian angka-angka secara nominal
72
terhadap perangkat sosial atau perangkat psikologis individu yang sesuai dengan aturan dan menetapkan hubungan di antara keduanya secara simbolik. Berdasarkan pada pengertian pengukuran di atas, dalam rangka pengolahan dan pengujian data-data statistik, maka di bawah ini akan dijelaskan kriteria pengukuran variabel atau peubah-peubah yang ada. 1. Untuk kategori jawaban yang bersifat nominal, jawaban akan menggunakan skala pengukuran “nominal”. Kategori pengukuran ini merupakan kategori yang hanya dapat mengungkapkan satu kondisi atau keadaan, seperti jenis kelamin laki-laki atau perempuan, desa atau kota, pekerjaan, dan lain -lain. 2. Untuk kategori jawaban yang bersifat ordinal, dilakukan pengukuran menurut skala Likert (Mueller dalam Kartawidjaja , 1992) yang terdiri dari 4 tingkatan sebagai berikut: a. Kategori “sangat sesuai”, bilamana responden merasakan bahwa pernyataan atau pertanyaan yang diajukan sangat sesuai semuanya dengan yang diharapkan atau diinginkan, diberi skor 4 b. Kategori “sesuai” atau “sedang ”, bilamana responden merasakan bahwa pernyataan atau pertanyaan yang diajukan sebagian besar lebih sesuai dengan yang diharapkan atau diinginkan, diberi skor 3. c. Kategori “kurang sesuai” bilamana responden merasakan bahwa pernyataan atau pertanyaan yang diajukan hanya sebagian kecil sesuai dengan yang diharapkan atau diinginkan, diberi skor 2. d. Kategori “tidak sesuai” bilamana responden merasakan bahwa pernyataan atau pertanyaan yang diajukan sama sekali tidak sesuai dengan yang diharapkan atau diinginkan, diberi skor 1. Untuk kategori jawaban yang bersifat interval dan rasio, akan menggunakan jawaban responden sesuai dengan kategori, jenjang, rangking dan tingkatan pengelompokannya.
Validitas dan Reliabilitas Sebelum kuestioner yang final digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas. Vailiditas atau kesahihan suatu alat ukur adalah
73
bahwa akat ukur tersebut dapat digunakan secara tepat untuk mengukur hal yang sesungguhnya diinginkan (Ancok, 1978) . Jadi dikatakan valid apabila dapat mengungkapkan variabel yang diteliti secara tepat. Sedangkan reliabilitas menunjuk pada tingkat keterandalan instrumen. Reliabel artinya dapat dipercaya dan diandalkan (Arikunto, 1982: 136). Artinya berapakali pun instrumen itu digunakan untuk hal yang sama hasil tetap sama. Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah alat atau instrument (kuestioner) yang digunakan sudah sahih, atau sesuai dan cocok dipergunakan untuk mengumpulkan dan mengukur data dan infomasi yang dimaksudkan. Mengacu pada pendapat Downie dan Health dalam Black dan Cahampion (1976) mengatakan bahwa tingkat kesahihan penelitian dapat dilihat dari 3 hal, yaitu (a) kesahihan konstruk (constru ct validity),
(b) kesahihan isi (content
validity) dan (c) kesahihan konkuren (predictive validity). 1. Kesahihan konstruk berkaitan dengan validitas struktur peubah-peubah yang dimasukkan dalam penelitian. Artinya bahwa peubah-pubah independen yang ada secara logis dapat mempenga ruhi peubah-peubah yang dependen. Dalam kosep ini bahwa karakteristik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan, lingkungan sosial KUBE akan mempengaruhi dinamika kehidupan KUBE. Selanjuntya dinamika kehidupan KUBE akan mempengaruhi tingkat keberhasilan KUBE. Uji validitas konstrak dilakukan melalui penetapan kerangka konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Ancok dalam Sigarimbun dan Effendi (1978) yang mengatakan bahwa konstrak adalah kerangka suatu konsep. Dengan kerangka konsep ini disusun tolok ukur operasional penelitian dan pertanyaan-pertanyaan yang harus didasarkan pada definisi operasional peubah penelitian. 2. Kesahihan isi berkaitan dengan relevansi peubah-peubah yang dituangkan dalam intrumen dengan kerangka teori yang dijadikan acuan penelitian. Pengujian validitas eksternal
(konstruk validity) dilakukan dengan cara
membandingkan teori-teori tentang berbagai peubah sebagai suatu konsep yang sudah dipaparkan pada kerangka terori dengan peubah-peubah yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Dalam kontek ini, variabel-variabel yang
74
dijadikan peubah dalam penelitian ini terlebih dahulu dikaji dengan sumber teori yang dijadikan kerangka acuan dalam penelitian ini. Pengkajian ini dilakukan beberapa kali hingga menemukan suatu kesahihan antara peubahpeubah penelitian dengan kerangka konsep teori yang digunakan. Selain kesesuaian antara konsep yang ditua ngkan dengan kenyataan di lapangan, validitas eskternal ini juga diuji melalui pendapat para ahli (jury opinion), yakni petunjuk para ahli yang relevan dengan bidangnya, dalam hal ini diajukan ke komisi pembimbing. Melalui pengujian ini pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam kuestioner dapat mencakup secara tepat semua aspek, fakta, gejala
yang terjadi di lapangan. Melalui proses ini, maka dapat
dikatakan bahwa validitas eksternal penelitian cukup valid karena adanya kesesuaian antara kenyataan di lapangan yang dituangkan dalam instrumen dengan kerangka konsep / teori penelitian yang digunakan. 3. Kesahihan konkuren berkaitan dengan kesahihan hubungan di antara peubahpeubah yang ada. Kesahihan ini dituangkan dalam skor yang diperoleh dari hubungan di antara berbagai variabel yaitu: karaktersitik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan, lingkungan sosial, dinamika kehidupn kelompok, dan tingkat keberhasilan KUBE. Pengujian kesahihan kongkuren ini dilakukan terhadap hasil uji instrumen terhadap 20 responden yang dilakukan di Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dengan menggunakan teknik Product Moment Coeficient Correlation dari Pearson atau dikenal dengan teknik Korelasi Pearson (Siegel, 1990). Hasil pengujian kesahihan yang dilakukan diperoleh seperti Tabel 7. Tabel 7: Pengujian Kesahihan Hubungan Antara Variabel Utama Variabel Utama
(Y1 )
(Y2)
Karakteristik Individu Anggt KUBR (X 1)
0,872
0,798
Pola Pemberdayaan (X2 )
0,765
0,778
Lingkungan Sosial (X3)
0,821
0,798
Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1 )
-
0,821
Keberlanjutan Kelompok (Y2 )
-
-
75
Nilai hubungan terendah sebesar 0,765 yaitu hubungan antara peubah pola pemberdayaan dengan dinamika kehidupan KUBE dan tertinggi sebesar 0,872 yaitu hubungan antara karakteristik individu anggota KUBE dengan dinamika kehidupan KUBE. Ini menunjukkan bahwa hubungan di antara peubah penelitian sangat baik. Menurut Arikunto (1982) reliabilitas menunjukkan keterpercayaan suatu alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik. Lebih lanjut dikatakan suatu instrume n dikatakan baik bila instrumen tersebut tidak akan bersifat tendensius mengarahkan responden untuk memilih jawaban-jawaban tertentu. Hal yang senada dikatakan oleh Sellfiz dalam Black dan Champion (1976) keterandalan suatu instrumen berkaitan dengan kemampuan alat ukur untuk mengukur gejala secara konsisten, teliti dan sebagai alat ukur yang tepat dalam mengukur gejala yang sama. Untuk mencapai reliabilitas alat ukur yang maksimal telah dilakukan penyempurnaan instrumen melalui pengujian terhadap 20 responden dengan menggunakan rumus Alpha (Arikunto, 1982) sebagai berikut:
r 11
di mana:
r11 k
= =
? s b2 s t2
= =
k ? s b2 = [ --------][1- ---------] (k-1) s t2
Reliabilitas instrumen banyaknya butir pertanyaan setiap kelompok variabel Jumlah varian butir varian totoal
Untuk melihat apakah instrumen yang digunakan reliabel atau tidak, maka nilai r11
yang diperoleh dikonfirmasikan dengan nilai t tabel pada taraf
signigikansi 0. 05 persen. Jika nilai rxy tehitung lebih besar dari t tabel, maka instrumen yang digunakan dinyatakan reliabel, jika sebaliknya maka instrumen dinyatakan tidak reliabel. Dari hasil pengujian yang dilakukan pada taraf signifikansi 0,05 untuk pengujian dua sisi diperoleh hasil seperti Tabel 8 berikut, sedangkan t tabel untuk db = 18 diperoleh sebesar 1.328. Terbukti bahwa t hitung lebih besar dari t tabel yang berarti bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini cukup reliabel.
76
Tabel 8: Hasil Pengujian Reliabilitas Instrumen No
Variabel
Koefisien r11
1.
Karakteristik Individu Anggt KUBR (X1 )
2.
Pola Pemberdayaan (X2)
0,723 0,765
4.
Lingkungan Sosial (X3)
0.762
6.
Dinamika Kehidupan Kelompok (Y 1)
0,812
7.
Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2 )
0,798
Analisis Data Atas dasar tujuan penelitian, model teoritis yang dikembangkan dan hipotesis yang diajukan, maka metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif eksploratif dan analisis hubungan kausal untuk melihat hubunganhubungan yang terjadi antara varibael. Untuk menggali dan mendalami serta menggambarkan secara faktual dan akurat berbagai kondisi dan keadaan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan KUBE digunakan tabel-tabel frekwensi, analisis tabel dan grafik-grafik. Sedangkan untuk melihat pengaruh dan hubungan yang terjadi di antara peubah yang ada digunakan analisis lintasan (path analysis model). Menurut Dilton dan Goldstein (1984) analisis lintas bertujuan untuk (1) melihat dan menjelaskan mekanisme hubungan kausal yang terjadi antar peubah dengan cara menguraikan korelasi menjadi pengaruh langsung dan tidak langsung; (2) dapat menggabungkan keterangan kuantitatif yang diperoleh dari koefisien korelasi dengan keterangan kualitatif melalui hubungan kausal yang telah diformulasikan, dengan demikian dapat menghasilkan suatu interpretasi yang kuantitif; (3) menentukan ukuran pentingnya secara relatif pengaruh langsung dan tidak langsung. Dalam menerapkan model analisis lintas (path analysis model) dilakukan dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1. Menentukan terlebih dahulu model hubungan-hubungan (model analisis path) yang terjadi di antara peubah-peubah yang ada. Didasarkan pada kerangka
77
teori dan kerangka pemikiran yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka model hubungan antara variabel dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti Gambar 5.
Karakt Individu Anggota (X1)
Pola Pemberdayaan (X2 )
Lingkungan Sosial (X3 )
Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1 )
Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2 ) Gambar 5: Model Hubungan Antara Variabel
Dalam pemodelan ini, tingkat keberhasilan KUBE ditentukan oleh bagaimana dinamika kehidupan KUBE yang terjadi dan secara tidak langsung dipengar uhi oleh karakteristik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan dan lingkungan sosial KUBE. Kemudian dinamika kehidupan KUBE dipengaruhi oleh karakteristik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan dan lingkungan sosial KUBE. Dalam hubungan variavel-variabe l ini terlihat bahwa dengan adanya pemberdayaan yang diberikan kepada KUBE terjadi perubahan yang berarti terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Hanya saja perubahan tingkat keberhasilan ini ada yang cepat dan ada yang lambat, ada yang disadari betul dan ada yang kurang disadari oleh anggota. Dalam
78
pemodelan ini, hubungan dan pengaruh sebab akibat yang terjadi di antara variabel dapat terjadi baik secara individual maupun secara bersama-sama di antara peubah-peubah penelitian, tetapi yang diamati melalui model ini adalah perubahan yang terjadi secara kelompok. Ada peubah yang mempunyai pengaruh sangat kuat dan ada yang pengaruhnya kecil. (2) Menguji keterkaitan hubungan-hubungan di antara satu peubah terhadap peubah lainnya dilakukan melalui pengujian statistik korelasi rank Spearman, dengan rumus sebagai berikut: N
6 ? d i2 i=1
rs
=
1
(N3 – N)
di mana : N
? d i2 = total jumlah perbedaan ranking d i i=1
rs = koefisien korelasi rank Spearman N = jumlah pasangan pengamatan antara satu variabel terhadap variabel lainnya d i = perbedaan ranking dari tiap pasangan dari variabel pengamatan Menurut Siegel (1990) salah satu syarat di dalam penggunaan korelasi rank Spearmen adalah bahwa kedua variabel yang diukur sekurang-kurangnya dalam skala ordinal sehingga objek-objek atau individu-individu yang dipelajari dapat diranking dalam dua rangking berurutan. Dengan demikian penggunaan korelasi rank Spearmen dapat diterapkan dalam pengujian ini. Untuk pengujian data ordinal melalui uji statistik parametrik, terlebih dahulu dilakukan transformasi data dengan menggunakan rumus transformasi umum seperti berikut:
Indeks Transformasi =
Jumlah skor yang diperoleh per indikator dikurangi Jumlah skor terkecil x 100 Jumlah skor maksimum dikurangi jumlah skor terkecil
79
(3) Penentukan komponen utama (principal component analysis) yang bertujuan untuk: (1) menentukan komponen utama yang dapat menerangkan sebanyak mungkin keragaan total data; (2) untuk menentukan peubah yang saling bebas atau tidak berkorelasi; (3) pereduksian dimensi atau peubah yang saling tumpang tindih. Komponen utama ini dapat dihitung dengan persamaan: KUi = a1iX1 + a2iX2 + ……… + apiXn di mana : KU i a1.i Xn
= Komponen utama ke i, di mana i = 1, 2, …n = vektor ciri ke i, di mana i = 1, 2, …n = variabel bebas hingga ke n
(4) Untuk mencari koefisien lintasan, dapat ditelusuri dari model regresi linear berganda (setelah dibakukan) yang terdiri dari n varibel bebas (Dillon dan Golstein, 1994), dengan rumus: Z0 = p01 Z1 + p02Z 2 + ……… + pokZk + pou U di mana : Z0 Zi poi pou U
= = = = =
peubah tak bebas yang dibakukan peubah bebas yang dibakukan koefisien lintas koefisien lintas peubah sisa peubah sisa
Sedangkan untuk menghitung nilai koefisien lintas peubah sisa dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:
P01 =
1 - R1 2
di mana : R12 = koefisien determinasi Dalam analisis penelitian ini dilakukan analisis secara individu dan agregat
kelompok.
Analisis
dengan
menggunakan
agregat
kelompok
menunjukkan hasil yang tidak terlalu berbeda dengan analisis unik kelompok dengan menggunakan informasi individu. Komponen utama merupakan unsur penting dalam keberhasilan KUBE. Komponen utama meliputi 2 hal, yaitu: komponen eksistensi KUBE dan
80
komponen kedinamisan KUBE. Kedua komponen ini dihasilkan dari peubahpeubah yang ada yang dilakukan melalui uji hubungan antara peubah dan analisis lintasan. Hasil pengujian yang signifikan dan memberikan kontribusi yang besar kemudian ditetapkan sebagai komponen utama keberhasilan KUBE. Selanjutnya berdasarkan sifatnya / karakter peubah dikelompokkan sebagai komponen eksistensi dan komponen kedinamisan KUBE (Tabel 32). Agar penerapan model pemberdayaan KUBE yang ditawarkan lebih maksimal, maka disusun strategi pemberdayaan KUBE. Strategi ini disusun berdasarka n hasil analisis hubungan antara variabel yang dilakukan melalui uji korelasi dan analisis lintas (Tabel 34).
Definisi Operasional dan Indikator Pengukuran Untuk menghindari kesimpangsiuran dalam pemahaman konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka akan diberikan terlebih dahulu batasan pengertian beberapa konsep-konsep yang digunakan, kemudian akan dilakukan penentuan indikator pengukuran. 1. Kelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah suatu perkumpulan atau perhimpunan warga masyarakat kurang mampu (fakir miskin) yang terdiri dari 5 hingga 10 kepala keluarga dan menjalankan usaha bersama dalam bidang usaha kesejahteraan sosial (UKS) dan usaha ekonomis produktif (UEP) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial anggota. 2. Masyarakat miskin adalah sejumlah warga yang mempunyai pengeluaran ekuivalen dengan nilai beras sebesar 480 kg per orang per tahun atau 40 kg per orang per bulan untuk masyarakat perkotaan dan sebesar 320 kg per orang per tahun atau 26,7 kg per orang per bulan untuk masyarakat pedesaan (Sajogyo dalam Soeharto). 3. Fakir miskin adalah warga masyarakat yang mempunyai kriteria: a. Tingkat pengeluaran ekuivalen dengan beras 270 kg per orang per tahun atau 22,5 kg per orang per bulan untuk daerah perkotaan dan 180 kg per orang per tahun ata u 15 kg per orang per bulan untuk daerah pedesaan (Sayogo dalam Soeharto, 2002).
81
b. Tingkat pendidikan pada umunya rendah, tidak tamat SLTP dan tidak ada keterampilan tambahan. 4. Karakteristik Individu Anggota KUBE (X 1) a. Jenis kelamin
adalah sifat jasmani yang dimilik anggota KUBE yang
dapat membedakan apakah laki-laki atau perempuan. b. Umur adalah jumlah tahun usia yang dimiliki oleh anggota KUBE hingga saat penelitian ini dilakukan. c. Tingkat pendidikan anggota adalah jenjang sekolah yang ditamatkan atau yang pernah dilalui untuk mengikuti proses belajar pada jejang yang paling tinggi (terakhir). d. Pelatihan anggota adalah pembinaan keterampilan yang diikuti anggota KUBE baik yang diselenggarakan berkaitan dengan eksistensi program KUBE sendiri maupun pun yang tidak berkaitan dengan jenis usaha ekonomis produktif yang dikembangkan ataupun yang kurang sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. e. Modal yang dimiliki adalah banyaknya uang atau barang awal yang dimiliki oleh KUBE baik yang bersumber dari bantuan orang lain atau modal sendiri yang dijadikan sebagai modal dalam rangka pengembangan usaha KUBE. f. Pola penghasilan adalah sifat jenis pendapatan yang diperoleh setiap KUBE yang dikelompokkan pada tiga sifat jenis pendapatan yaitu jenis kegiatan dengan penghasilan harian , jenis kegiatan dengan penghasilan bulanan dan jenis kegiatan dengan penghasilan tahunan . g. Sumber penghasilan utama adalah jenis mata pencaharian yang menjadi pendapatan keluarga/anggota KUBE secara menetap dan waktunya dihabiskan sebagian besar untuk bekerja mendapatkan penghasilan atau pendapatan dari mata pencaharian utama tersebut. h. Kebutuhan atau harapan yang akan dipenuhi adalah semua hal atau aspek yang berkaitan dengan pemenuhan keperluan, keingingan dan kepentingan anggota KUBE yang dapat mempengaruhi keterlibatan anggota dalam KUBE, yang meliputi: harapan dan keinginan yang akan diwujudkan,
82
Tabel 9: Indikator dan Parameter Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) Peubah :
Indikator dan Parameter Karakteristik Individu Anggota Kelompok KUBE (X 1)
No
Indikator / Parameter
1.
Jenis kelamin (X1.1 ): (1) Identitas kelamin yang didimiliki Umur (X1.2): (1) Jumlah tahun usia yang dicapai hingga penelitian dilakukan Tingkat pendidikan (X1.3): (1) Tingkat atau jenjang pendidikan (2) Lama tahun untuk mengikuti pendidikan
2.
3.
Kriteria • laki -laki atau perempuan • tahun
• SD, SLTP, SLTA, dan lainnya • tahun
4.
Pelatihan yang pernah diikuti (X1.4) (1) Pernah tidaknya mengikuti pelatihan (2) Banyaknya pelatihan yang diikuti
• pernahtidak pernah • 1, 2, 3, lebih dari 3
5.
Modal yang dimiliki (X1.5): (1) Modal awal yang dimiliki KUBE sendiri (2) Besarnya uang bantuan yang diterima (3) Besar bantuan peralatan yang diterima (konversi dalam uang)
• besarnya dalam rupaih (Rp) • sda • sda
6.
Pola Penghasilan (X1.6 ) (1) UEP yang dikelola secara intensif (2) Penentuan jenis UEP
• bersifat harian, bulanan, dan tahunan • pemerintah, tokoh masyarakat, secara
(3) Perkembangan keberhasilan UEP.
• tidak berkembang-berkembang baik.
bersama-sama, anggota KUBE 7.
Sumber penghasilan utama (X1.7): (1) Jenis pekerjaan sebagai sumber penghasilan utama (2) jenis pekerjaan yang waktunya lebih banyak 8 Kebutuhan / harapan yang akan dipenuhi (X1.8 ): (1) Kebutuhan yang ingin diwujudkan (2) Harapan bersama yang ingin diwujudkan (3) Pemahaman terhadap pencapaian kebutuhan dan harapan (4) Rasionalitas terhadap pencapaian kebutuhan dan harapan (5) Keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari 9. Persepsi tentang kehidupan berklp (X1.9 ): (1) Pemahaman tujuan kelompok (2) Penilaian tujuan kelompok (3) Manfaat hidup berkelompok (4) Kesadaran anggota hidup berkelompok 10. Motivasi anggota (X1.10): (1) Pemahaman nilai dan makna hidup (2) Semangat untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab (3) Kemauan dan dorongan untuk menjalankan tugas dan t. jawab (4) Usaha untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab Ket: sda = sama dengan di atas
• penghasilan yang paling banyak diterima • waktu yang lebih banyak dihabiskan. • tidak terpenuhi-sudah terpenuhi • sda • tidak memahami-sangat memahami • tidak rasional-sangat rasional • tidak terkait-sangat terkait • tidak memahami-sangat memahami • tidak baik-sangat baik • tidak bermanfaat-sangat beranfaat • tidak sadar-sangat sadar • sangat memahami-tidak memahami • sangat bersemangat-tidak bersemangat • sangat tinggi-tidak ada sama sekali • sangat kuat-tidak ada sama sekali
83
pemahaman terhadap pencapaian kebutuhan dan harapan, rasionalitas pencapaian kebutuhan dan harapan, dan keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari anggota KUBE. i.
Persepsi tentang berkelompok adalah tanggapan atau penilaian anggota terhadap keseluruhan kehidupan kelompok yang melatarbelakangi keikutsertaan anggota kelompok bergabung dalam KUBE.
j.
Motivasi anggota adalah suatu dorongan atau kemauan yang muncul dari dalam diri anggota KUBE unt uk melaksanakan segala tugas-tugas dan tanggung jawab yang diberikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial anggota KUBE.
k. Didasarkan pada pengertian yang sudah diuraikan, maka yang menjadi parameter pengukurann karakteristik individu anggota KUBE dirinci seperti pada Tabel 9. 5. Pola Pemberdayaan (X2) a. Proses pembentukan kelompok adalah keseluruhan kegiatan dan usahausaha yang dilakukan anggota kelompok mulai dari awal adanya ide pembetukan kelompok hingga kesepakatan terbentuknya kelompok KUBE secara permanen. b. Pendekatan atau metode adalah cara penanganan pemberdayaan KUBE yang dilakukan yang berupa pendekatan individu, kelompok, partisipastif, demokratis dan delegatif yang diyakini akan dapat lebih motivasi atau mendorong anggota KUBE untuk terlibat dalam pengembangan KUBE. c. Jumlah anggota adalah keseluruhan orang yang terdaftar dan aktif dalam mengikuti kegiatan KUBE secara rutin. d. Bantuan adalah pertolongan yang bersifat materi (uang atau peralatan) dalam rangka penambahan modal usaha yang dapat mendorong atau memotivasi anggota KUBE sehingga usaha yang dikembangkan dapat lebih berhasil dalam rangka meningkatkan pendapatan anggota KUBE. e. Pendampingan, adalah proses pembinaan melalui penghunjukan seseorang yang bertugas memfasilitasi dan membantu memperlancar keberhasilan pengembangan usaha kelompok untuk jangka wantu tertentu.
84
Tabel 10: Indikator dan Parameter Pola Pemberdayaan (X2 ) Peubah : Pola Pemberdayaan yang diberikan (X 2) No
Indikator / Parameter
Kriteria
1.
Proses pembentukan kelompok (X2.1 ): (1) Ide pembentukan (oleh siapa)
• pihak luar desa, pemerintah, tokoh
(2) (3) (4) (5) (6)
• • • • •
2
3.
4.
5.
6.
7.
Proses merealisasikan ide Frekwensi pertemuan Proses yang terjadi dalam pertemuan Kesepakatan anggota yang dicapai Dasar hukum yang dijadikan acuan
Pendekatan / metode yang diterapkan (X2.2): (individu, kelompok, gabungan individu/kelompok, partisipatif, demokratis, delegatif). (1) Proses penerapannya (2) Respon/reaksi anggota kelompok Jumlah anggota sekarang ini (X2.3): (1) Jumlah anggota yang terdaftar hingga saat ini (2) Jumlah anggota yang aktif dalam kegiatan, termasuk rapat, pembinaan, dll. (3) Perubahan dan pergantian anggota yang terjadi hingga sekarang. Bantuan yang diberikan (X2.4): (1) Jenis bantuan yang diterima (2) Besar bantuan yang diterima (3) Kesesuaian jenis bantuan (4) Kesesuaian besar bantuan (5) Dampak bantuan yang diberikan (6) Keutuhan bantuan yang diterima (7) Prosedur penerimaan bantuan. Pendampingan (X2.5): (1) ada tidaknya pelayanan pendampingan (2) Keaktivan pendampingan. (3) Peranan pendamping (fasilitator, katalisator, dinamisator) (4) M asukan atau saran-saran yang diberikan (5) Komitmen pendamping (6) Keterlibatan dalam pengambilan keputusan Kebebasan yang diberikan (X2.6 ): (1) Kebebasan anggota dalam pembentukan kelompok dan kepengurusan (2) Kebebasan dalam penentuan jenis usaha (3) Kebebasan anggota dalam pengelolaan usaha Perlindungan / proteksi adalah (X 2.7): (1) Perlindungan terhadap harga (2) Perlindungan terhadap mutu (3) Perlindungan terhadap daya saing (4) Perlindungan terhadap penyediaan modal
Ket: sda = sama dengan di atas
masyarakat / orsos; anggota. sda minggu, triwulan, bulan, tahun tidak efektif-sangat efektif tidak sepakat-sangat sepakat tdk ada, kebiasaan, kesepakatan, tertulis
• tidak tepat-sangat tepat • tidak menerima-sangat menerima • orang • orang • tidak ada-ada
• • • • • • •
tidak ada, barang, uang banyaknya dalam rupiah (Rp) tidak sesuai-sangat sesuai sda tidak berpengaruh-sangat berpengaruh persentase (%) sulit sekali-sangat mudah
• tidak ada, ada • tidak aktif-sangat aktif • kurang-sangat baik • tidak berguna-sangat berguna • tidak ada-sangat tinggi • tidak ada-selalu terlibat • tidak bebas-sangat bebas • sda • sda • • • •
tidak melindungi-sangat melindungi sda sda sda
85
f. Kebebasan yang diberikan adalah perlakuan atau tindakan yang ditunjukkan pada KUBE yang memungkinan KUBE dengan leluasa menentukan pilihannya dalam hal pembetukan dan kepengurusan KUBE, dalam penentuan jenis usaha, dan pengelolaan usaha yang dikembangkan oleh KUBE. f. Perlindungan / proteksi adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk menjaga atau mengamankan usaha kelompok guna
mencapai
keberhasilan
yang meliputi: perlindungan terhadapa harga, mutu, daya saing dan modal. keberhasilan yang lebih optimal melalui penyediaan modal, pemasaran hasil usaha dan pengembangan usaha kelompok. Didasarkan pada pengertian yang sudah diuraikan, maka yang menjadi parameter pengukuran pola pemberdayaan diperinci seperti pada Tabel 10. 6. Lingkungan Sosial KUBE (X3 )
Lingkungan
Sosial KUBE
adalah
segala
aspek-aspek
yang
mempengaruhi kehidupan KUBE yang bersifat ekternal yang meliputi: norma/ nilai budaya masyarakat yang ada,
keterikatan masyarakat dengan tokoh
informal maupun formal, akses terhadap lembaga-lembaga keuangan (pemanfaatan, kemudahan, dan lain-lain), dan peluang-peluang pasar yang ada, ketersediaan sumber daya dan ancaman yang muncul. a. Keterkaitan dengan norma / nilai budaya adalah segala kebiasaankebiasaan, aturan-aturan yang hidup dan berlaku dalam masyarkat baik secara formal maupun informal yang mengikat atau mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap kinerja anggota KUBE dalam menjalankan program dan kegiatan-kegiatan KUBE. b. Keterkaitan KUBE dengan tokoh informal dan formal adalah adanya hubungan yang mungkin terjadi antara KUBE dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mempunyai pengaruh positif ma upun negatif baik langsung maupun tidak langsung dalam rangka pengelolaan KUBE oleh anggota kelompok. c. Akses terhadap lembaga keuangan adalah kemudahan dan kesempatan yang
ada
untuk
mendapatkan,
menggungkan
dan
memanfaatkan
86
pelayanan-pelayanan perbankan dalam rangka mengembangkan program dan kegiatan-kegiatan KUBE Tabel 11: Indikator dan Parameter Lingkungan Sosial KUBE (X3) Peubah : Lingkungan Sosial KUBE (X3) No
Indikator / Parameter
Kriteria
1
Keterkaitan KUBE dengan nilai budaya masyarakat (X3.1): (1) Keterkaitan dengan kebiasaan/ tradisi yang ada (2) Dukungan nilai/norma masyarakat
• sangat terkait- tidak terkait • sda
Keterkaitan KUBE dengan tokoh informal dan formal (X3.2): (1) Hubungan dengan tokoh formal dan informal (2) Intervensi yag dilakukan (3) Ide atau gagasan yang diberikan (4) Keperdulian yang ditunjukkan
• • • •
tidak baik -sangat baik tidak terlibat-sangat terlibat tidak ada-sangat banyak tidak ada-sangat tinggi
Akses te rhadad lembaga keuangan (X3.3): (1) Pelayanan perbankan yang disediakan (2) Kejelasan informasi akan pelayanan (3) Keterjangkauan pelayanan (4) Kemudhan untuk mendapatkan (5) Pemanfaatan pelayanan perbankan.
• • • • •
tidak tersedia-sangat tersedia tidak jelas-sangat jelas tidak terjangkau-sangat terjangkau sangat sulit-sangat mudah tidak dimanfaatkan-sangat dimanfaatkan
Peluang pasar (X3.4 ): (1) Nilai bisnis UEP (2) Daya saing UEP (3) Kualitas produksi UEP (4) Keterjangkauan pasar (5) Peluang penguasaan pasar
• • • • •
tidak ada-sangat tinggi tidak ada-sangat tinggi sangat rendah-sangat tinggi tidak terjangkau-sangat terjangkau tidak ada-sangat tinggi
Jaringan kerja (X3.5): (1) Ada tidaknya jaringan kerja yang terbentuk (2) Kemanfaatan jaringan kerja (3) Kejelasan peranan dalam jaringan (4) Prospek jaringan di masa yang akan datang
• • • •
tidak ada-sudah terjalin dengan baik tidak bermanfaat-sangat bermanfaat tidak jelas-sangat jelas tidak baik -sangat baik
2
3
4
5
6.
Ketersediaan sumber daya(X3.6): (1) Akses terhadap sumber daya (2) Ketersediaan informasi tentang sumber daya (3) Ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan (4) Kesempatan utk mendapatkan sumber daya (5) Kemudahan menjangkau sumber daya (6) Pemanfaata sumber daya.
• tidak ada-sangat tersedia • tidak ada-sangat tersedia • sda • tidak ada-sangat banyak • sangat sulit-sangat mudah • tidak dimanfaatkan-sangat
dimanfaatkan 7.
Ancaman (X3.7): (1) Acaman ketersediaan bahan baku (2) Ancaman pencurian hasil usaha (3) Ancaman pemutusan jaringan kerja
Ket: sda = sama dengan di atas
• tidak ada-sangat tinggi • sda • sda
87
d. Peluang pasar adalah posisi tawar dan permintaan yang menguntungkan dan bahkan memungkinkan untuk menguasai pasar terhadap semua produk-produk yang dihasilkan oleh KUBE e. Jaringan / kemitraan kerja adalah hubungan kerja sama yang terbentuk dengan berbagai kelompok usaha (baik industri besar, menengah dan kecil) dalam rangka pengembangan usaha kelompok yang dijalankan. f. Ketersediaan sumber daya adalah ada tidaknya tidaknya peluang KUBE dalam pemanfaatan segala potensi dan kekuatan yang ada dalam rangka pengembangan usaha KUBE g. Ancaman adalah sesuatu hal yang dapat merugikan, menyulitkan, menggangu, menyusahkan atau mencelakakan kegiatan atau usaha -usaha kelompok yang sudah dibangun yang mengakibatka n kelompok sulit atau tidak dapat mengembangkan usaha yang sudah dilakukan dalam bentuk ketersediaan bahan baku, gangguan pencurian hasil usaha, pemutusan jaringan kerja dan gangguan pihak luar yang mungkin terjadi. Didasarkan pada pengertian yang sudah diuraikan, maka yang menjadi parameter pengukuran lingkungan sosialKUBE dirinci seperti pada Tabel 11.
7. Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1 ) a. Tujuan kelompok adalah hasil yang ingin dicapai atau diwujudkan oleh KUBE baik secara bersama -sama maupun secara individual dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sosial anggota KUBE. b. Struktur kelompok adalah susunan hierarkhis dan pembagian tugas serta wewenang yang terjadi di antara anggota dalam rangka mencapai tujuan. c. Fungsi tugas kelompok adalah segala ses uatu yang harus dilakukan oleh KUBE yang bertujuan untuk memfasilitasi dan mempermudah usahausaha KUBE dalam rangka mencapai tujuan KUBE. d. Pembinaan kelompok adalah upaya yang dilakukan untuk tetap memelihara,
mempertahankan
dan
mengembangkan,
mengatur,
memperkuat dan mengekalkan kehidupan KUBE (survival oriented).
88
Tabel 12: Indikator dan Parameter Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1 ) Peubah : Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) No
Indikator / Parameter
1
Tujuan kelompok (Y1.1 ): (1) Tujuan kelompok (2) Kejelasan rumusan tujuan kelompok (3) Sosialisasi tujuan kelompok (4) Kesesuaian tujuan dengan tujuan individu Struktur kelompok (Y1.2 ): (1) Struktur kelompok (2) Pembagian tugas di antara anggota (3) Hubungan struktural yang terjadi (4) Pemahaman kelompok terhadap struktur kelompok yang ada. Fungsi tugas kelompok (Y1.3 ): (1) Fungsi memberikan informasi (2) Fungsi menyelenggarakan koordinasi (3) Fungsi menjelaskan (4) Fungsi pemecahan masalah (problem solving)
2
3
4
5
6
7
8
9
Pembinaan dan pengembangan kelompok (Y1.4): (1) Penumbuhan partisipasi anggota (2) Penyediaan fasilitas (3) Penyelenggaraan berbagai aktivitas (4) Sosialisasi aturan / norma (5) Sosialiasi program dan kegiatan (6) Penciptaan hubungan di antara kelompok (7) Penentuan standar kerja yang dijalankan Kekompakan kelompok (Y1.5): (1) Perwujudan kesatuan dan persatuan kelompok (2) Identifikasi keanggotaan (3) Homogenitas (kesamaan dan kebersamaan) (4) Kerjasama anggota (5) Keharmonisan hubungan kelompok Ketegangan kelompok (internal dan ekternal) (Y1.6) (1) Persaingan internal (2) Persaingan ekternal (3) Konflik internal yang terjadi (4) Kempimpinan yang diterapkan (5) Tantangan dan peluang yang ada (6) Penerapan sanksi Keefektivan kelompok (Y1.7): (1) Hasil atau produktivitas yang sudah dicapai (2) Semangat kerja dan kesungguhan anggota (3) Keberhasilan anggota dalam mencapai kebutuhan pribadinya Kepemimpinan kelompok (Y1.8): (1) Gaya kepemimpinan yang diterapkan (2) Peranan sebagai pengurus yang dijalankan (3) Tanggung jawab yang dibangun (4) Pelimpahan wewenang (5) Kekuasaan yang dijalankan (6) Persuasi yang diterapkan Kepuasan anggota (Y1.10 ): (1) Perasaan atas hasil keuntungan diperoleh (2) Keinginan untuk meneruskan kelompok KUBE (3) Keinginan untuk bertemu sesama anggota (4) Tingkat kepuasan anggota (5) Tingkat partisipasi anggota
Ket: sda = sama dengan di atas
Kriteria • • • •
tidak ada-ada dan sudah dicapai tidak jelas-sangat jelas tidak dilakukan-sering dilakukan tidak sesuai-sangat sesuai
• • • •
tidak ada-ada dan sudah dijalankan tidak merata-sangat merata tidak baik-sangat baik tidak memahami-sangat memahami
• • • •
tidak lancar-sangat lancar tidak baik-sangat baik sda sda
• tidak ada-sangat baik • tidak tersedia-sangat tersedia • tidak ada-sangat bayak • tidak ada-sangat sering • sda • tidak ada-sangat baik • tidak ada-sudah diterapkan • • • • •
tidak ada-sangat baik tidak ada-sudah ada tidak ada-sudah diterapkan tidak ada-sangat baik tidak harmonis-sangat harmonis
• • • • • •
tidak baik-sangat baik sda tidak dapat diatasi -dapat diatasi mengarah otoriter-mengarah demokratis tidak ada-sangat tinggi tidak ada-sangat kuat
• sangat rendah-sangat tinggi • sda • tidak ada-sangat tinggi
• mengarah otoriter-mengarah demokratis • buruk -sangat baik • tidak ada-sangat tinggi • tidak ada-sangat baik • sangat besar-sangat proporsional • tidak ada-sangat baik • tidak puas-sangat puas • tidak ada-sangat tinggi • tidak ada-sangat senang • tidak ada-sangat tinggi • sda
89
e. Kekompakan kelompok adalah perwujudan kesatuan KUBE yang dicirikan oleh adanya indentifikasi anggota, adanya kesamaan dan keberdamaan serta kerjasama yang kuat dari semua atau di antara anggota KUBE sehingga mampu dan tahan menghadapi setiap goncangan yang mungkin timbul baik dari dalam maupun dari luar KUBE. f. Ketegangan kelompok adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan tantangan bagi KUBE, seperti: persaingan internal dan ekternal, konflik internal yang terjadi, kepemimpinan yang kurang sesuai dengan kehidupan KUBE, tantangan dan peluang yang muncul
serta penerapan sanksi
terhadap anggota KUBE g. Keefektivan kelompok adalah keberhasilan KUBE dalam mencapai tujuannya, yang dapat dilihat dari produktivitas yang sudah dicapai, semangat kerja dan kesungguhan anggota dalam menjalankan tugas dan keberhasilan anggota dalam mencapai kebutuhan pribadinya. h. Kepemimpinan adalah usaha -usaha yang dilakukan pemimpin untuk mempengaruhi anggota kelompok sehingga mau mengikuti apa yang diinginkan
yang
ditunjukkan
melalui
gaya
kepemimpinan
yang
ditampilkan, peranan yang dijalanakan, tanggung jawab yang diberikan, pelimpahan wewenang, kekuasaan dan persuasi yang dijalankan. i.
Kepuasan kelompok adalah perasaan atas hasil yang diperoleh dari KUBE yang meliputi keuntungan atau
pendapatan yang diperoleh, keinginan
untuk meneruskan KUBE, keinginan untuk bertemu sesama anggota KUBE dan tingkat partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE. Didasarkan pada pengertian yang sudah diuraikan, maka yang menjadi parameter pengukurannya diperinci seperti pada Tabel 12.
8. Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2) Tingkat keberhasilan adalah prestasi atau kesuksesan yang sudah dicapai oleh KUBE yang berkaitan dengan aspek sosial dan aspek ekonomi.
90
Aspek Sosial (Y2.1) a. Kerjasama anggota adalah usaha-usaha bersama yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan tugas-tugas yang ada yang meliputi keoordinasi yang dilakukan
anggota,
kesediaan
membantu
orang
lain,
dan
penyelesaian tugas bila ada kesulitan b. Kesediaan memberikan pertolongan adalah kemauan yang tulus untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan yang ditandai dengan keperdulian terhadap orang la in, sikap penerimaan terhadap orang lain, dan kesungguhan memberikan pertolongan pada orang lain c. Kemampuan mengatasi masalah adalah
sikap penerimaan terhadap
masalah yang ada, kemauan untuk mengatasi hambatan dan tantangan yang ada, kemauan untuk mendengarkan nasehat orang lain, kerjasama mengatasi hambatan dan tantangan, dan keuletan mengatasi masalah. d. Tingkat partisipasi anggota adalah banyaknya pertemuan yang diadakan dalam sebulan, rata-rata kehadiran anggota dalam setiap pertemuan, masukan dan saran-saran yang diberikan, keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan, pelaksanaan keputusan, keterlibatan dalam penilaian, keikutsertaan dalam pelaksanaan keputusan bersama yang sudah dihasilkan dan keperdulian anggota terhadap keberhasilan kelompok. e. Keberanian menghadapi risiko adalah sikap dan rasa percaya diri untuk memulai jenis usaha / kegiatan baru, pengembangan usaha, penerapan inovasi, dan kesiapan untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi f. Perencanaan usaha adalah kegiatan yang dilakukan KUBE untuk mengidentifikasi, menggali dan menganalisis kebutuhan serta memanfaatkan sumber yang tersedia dalam rangka pengembangan usaha. g. Pemanfaatan sumber daya adalah kemampuan anggota KUBE di dalam mengidentifikasi, mengolah dan memanfaatkan segala potensi dan kekuatan yang ada termasuk pemanfaatan limbah untuk kepentingan kesejahteraan
para
anggota
KUBE
dengan
tetap
mempertahankan kelestarian dan daya dukung lingkungan.
menjaga
dan
91
h. Inovasi usaha adalah penerapan ide / teknologi baru ke da lam sistem yang sudah ada sehingga usaha dan kegiatan yang dikembangkan menjadi lebih produktif,
yang
meliputi
kegiatan
pemahaman
terhadap
makna
pembaharuan, kemampuan menerapkan inovasi, keberhasilan dalam penerapan inovasi, keaktifan dalam mendapatkan informasi inovasi baru.
Aspek Ekonomi (Y22): a. Modal yang dimiliki adalah banyaknya uang atau barang awal yang dimiliki oleh kelompok baik yang bersumber dari bantuan orang lain atau modal sendiri serta bagaimana pengelolaan dan perkembangan modal tersebut hingga saat ini. b. Pengguliran adalah pengalihan bantuan kepada kelompok miskin yang lain yang dilakukan secara cicilan dan bertahap sesuai dengan perkembangan usaha yang dilakukan dan kemampuan anggota yang menerima bantuan. c. Pendapatan adalah besarnya hasil atau keuntungan yang diterima oleh anggota KUBE dari hasil pengembangan usaha yang dilakukan oleh anggota KUBE maupun hasil keuntungan yang diperoleh dari luar KUBE. d. Tabungan adalah simpanan yang disisihkan dari hasil pendapatan untuk jaminan hidup selama satu bulan ke depan yang meliputi ketersediaan kebutuhan makan untuk jangka waktu satu bulan ke depan dan kepemilikan tabungan dalam bentuk uang. e. Jenis usaha yang dikembangkan adalah banyaknya ragam usaha produksi yang dikelola hingga sekarang ini dan bagaimana perkembangan pengelolaan dan keberhasilan masing-masing jenis usaha yang ada. f. Pengelolaan hasil keuntungan adalah pengaturan hasil pendapatan yang diperoleh dari hasil usaha yang dikembangkan, yang meliputi pembagian hasil keuntungan, transparansi dalam keuntugan, ketepatan pembagian keuntungan, dan frekwensi pembagian keuntugan. g Pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) adalah pengaturan dan pemanfaatan dana IKS yang terkumpul untuk kesejahteraan anggota yang
92
meliputi besarnya dana IKS, ketepatan pembayaran dana IKS, kemudahan prosedur dalam pemanfaatan dana IKS dan kemanfaatan dana IKS Didasarkan pada pengertian yang sudah diuraikan, maka yang menjadi parameter pengukuran keberlanjutan usaha diperinci seperti pada Tabel 13. Tabel 13: Indikator dan Parameter Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2 ) Peubah : Keberlanjutan usaha (Y2 ) No
Indikator / Parameter
Kriteria
Aspek Sosial 1
2.
3
Kerjasama sesama anggota (Y21.1) (1) Koordinasi yang dilakukan anggota (2) Kesediaan membantu orang lain (3) Penyelesaian tugas bila ada kesulitan Kesediaan memberikan pertolongan (Y2.2 ) (1) Keperdulian terhadap orang lain (2) Sikap penerimaan terhadap orang lain, (3) Kesungguhan memberikan pertolongan Kemampuan mengatasi masalah (Y 21.3): (1) Penerimaan terhadap masalah yang muncul (2) Kemauan mengatasi hambatan dan tantangan (3) Kemauan mendengarkan nasehat orang lain (4) Kerjasama mengatasi hambatan dan tantangan (5) Keuletan mangatasi masalah
Tingkat partisipasi anggota (Y21.4) (1) Banyaknya pertemuan yang diadakan dalam sebulan (2) Rata-rata kehadiran anggota setiap pertemuan (3) Masukan atau saran-saran yang diberikan oleh anggota (4) Keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan (5) Keterlibatan anggota dalam pelaksanaan keputusan (6) Keterlibatan anggota dalam evaluasi (7) Tindak lanjut terhadap keputusan / saran-saran (8) Keperdulian terhadap keberhasilan KUBE 5. Keberanian menghadapi risiko (Y21.5): (1) Keberanian untuk memulai jenis usaha / kegiatan baru (2) Keberanian untuk pengembangan usaha (3) Keberanian untuk menerapkan inovasi baru (4) Kesiapan untuk menerima kegagalan yang ada 6 Perencanaan usaha (Y21.6): (1) Kemampuan mengidentifikasi kebutuhan (2) Kemampuan menganalisis masalah dan kebutuhan (3) Kemampuan merencanakan pemanfaatan sumber daya Ket: sda = sama dengan di atas
• tidak ada-sangat baik • tidak merata-sangat merata • terbatas sekali-sangat baik • terbatas sekali-sangat tinggi • tidak menerima-sangat baik • tidak tulus -sangat tulus • • • • •
tidak menerima-sangat menerima tidak ada-sangat tinggi sda sda sda
4.
• kali • persen (%) • tidak ada-sangat banyak • tidak terlibat-sangat terlibat • sda • sda • tidak ada-semua ditindaklanjuti • tidak perduli -sangat perduli. • tidak ada-sangat tinggi • sda • sda • sda • tidak ada-sangat baik • sda • sda
93
Tabel 13: Lanjutan No
Indikator / Parameter
Kriteria
7.
Pemanfaatan sumber daya (Y21.7 ): (1) Kemampuan mengidentifikasi sumber daya (2) Kemampuan mengolah sumber daya (3) Pemanfaatan limbah (4) Kelestarian lingkungan (5) Daya dukung sumber daya
• • • • •
8.
Inovasi usaha (Y 21.8 ): (1) Pemahaman terhadap makna pembaharuan usaha (2) Kemampuan menerapkan inovasi (3) Keberhasilan menerapkan inovasi (5) Keaktifan untuk mendapatkan informasi inovasi baru
Aspek Ekonomi 1. Modal yang dimiliki (Y 22.1 ): (1) Modal awal yang dimiliki KUBE (2) Besarnya modal saat ini (3) Perkembangan modal yang ada (4) Besarnya bantuan yang diterima selama ini (5) Pengelolaan modal yang ada 2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengguliran bantuan (Y22.2) (1) Ada tidaknya pengguliran (2) Bentuk penguliran (3) Besarnya dana pengguliran Pendapatan anggota (Y22.3) (1) Besarnya pendapatan dari KUBE per bulan (2) Besar pendapatan keluarga pe bulan Tabungan anggota (Y 22.4 ) (1) Ketersediaan makan untuk satu bulan ke depan (2) Ada tidaknya tabungan keluarga
tidak ada-sangat baik sda sda sangat rusak-sangat lestari sda
• tidak mem ahami-sangat memahami • tidak ada-sangat tinggi • sda • tidak aktif-sangat aktif
• • • • •
besarnya dalam rupiah (Rp) besarnya dalam rupiah (Rp) besarnya dalam persentase (%) besarnya dalam rupiah (Rp) sangat intensif-tidak intensif
• tidak ada-ada • uang / barang • 1 % , 2 % , lebih dari 2 % dari modal. • dalam rupiah • sda • tidak tersedia- tersedia • tidak ada-ada
Jenis (UEP) yang dikembangkan (Y 22.5 ): (1) Banyak jenis UEP yang dikelola pada awalnya (2) Banyak jenis UEP yang bertambah
• 1, 2, 3, lebih dari 3 jenis usaha • sda
Pengelolaan hasil keuntungan (Y22.6): (1) Pembagian hasil keuntungan (2) Keterbukaan dalam keuangan (3) Ketepatan pembagian keuntungan (4) Frekwensi penerimaan keuntungan
• • • •
tidak adil -sangat adil tertutup-sangat terbuka tidak tepat-sangat tepat rutin per minggu, bulan, semester, tidak tentu (kadang-kadang)
Pengelolaan Iuran Kesejahteraan S osial (IKS) (Y 2.7 ): (1) Ada tidaknya dana IKS (2) Besarnya dana IKS (3) Ketepatan pembayaran IKS (4) Kemudahan prosedur pemanfaatan dana IKS (5) Sasaran k egunaan dana IKS
• • • • •
tidak ada dana IKS-ada tidak sesuai-sangat sesuai terlambat-tepat waktu sangat sulit-sangat mudah tidak tepat-sangat tepat
Ket: sda = sama dengan di atas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kehidupan Masyarakat Miskin Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di tiga provinsi dan 11 kabupaten, yaitu Provinsi Sumatera Utara (4 kabupaten/kota) , Provinsi Jawa Timur (5 kabupaten/kota) dan Provinsi Kalimantan Timur (2 kabupaten/kota). Dari sudut demografi, dua provinsi yang pertama, Sumatera Utara dan Jawa Timur merupakan provinsi urutan ke 2 dan ke 4 terbesar jumlah penduduk provinsi yang ada di Indonesia , sedangkan Kalimantan Timur berada pada urutan ke 19. Dilihat dari persentase banyaknnya penduduk miskin (fakir dan tidak fakir) di masing-masing wilayah provinsi, Sumatera Utara 14,91 persen, Jawa Timur 20,1 persen dan Kalimantan Timur 11,54 persen dari jumlah penduduk masing-masing provinsi. Bila dilihat dari urutan banyaknya jumlah penduduk miskin di masing-masing wilayah provinsi dibandingkan provinsi lainnya, Sumatera Utara merupakan urutan ke-4, Jawa Timur urutan ke-2 dan Kalimantan Timur merupakan urutan ke-19. Tabel 14: Angka Garis Kemiskinan Penduduk Fakir Miskin dan Miskin menurut Wilayah Kabupaten / Kota dalam Rp/Bln Provinsi Jatim
Kaltim Sumut
Kabupaten Blitar Lamongan Nganjuk Pasuruan Surabaya Balikpapan Samarinda Binjai Deli Serdang Langkat Medan
Garis Kemiskinan Fakir Miskin Miskin 80.598 96.950 90.700 108.008 79.135 99.459 99.537 112.247 118.614 120736 121.022 134.967 116.555 125.526 102.918 103.813 92.767 95.385 97.126 112.089 110.119 115.422
Sumber: BPS dan Despsos, 2002
BPS dan Departemen Sosial (2002) telah menetapkan besarnya angka garis kemiskinan (proverty line) di seluruh wilayah kabupaten atau kota yang ada
95
di Indonesia. Pada Tabel 14 disajikan besarnya angka garis kemiskinan masingmasing wilayah kabupaten dan kota yang menjadi wilayah penelitian. Berbagai pengukuran tentang kemiskinan sudah dilakukan para ahli (Tabel 1) namun masing-masing memiliki versi ukuran sendiri-sendiri. Pendekatan yang dilakukan oleh Sa jogya mungkin akan lebih relevan dalam mengukur kemiskinan karena pendekatan yang digunakan mampu mengantisipasi perkembangan atau perubahan yang terjadi di mana yang menjadi ukuran adalah ekuivalensi pengeluaran beras kg per tahun. Untuk masyarakat kota dikatakan miskin bila tinggkat pengeluaran ekuivalen dengan 480 kg per tahun, miskin sekali ekuivalen dengan 360 kg per tahun dan paling miskin ekuivalen dengan 270 kg per tahun. Untuk masyarakat desa dikatakan miskin bila tinggkat pengeluaran ekuivalen dengan 320 kg per tahun, miskin sekali ekuivalen dengan 240 kg per tahun dan paling miskin ekuivalen 180 kg per tahun. Pada pembahasan teoritik sudah dipaparkan bagaimana kriteria fakir misksin dan miskin. Pada Gambar 6 disajikan besarnya persentasi jumlah penduduk yang dikategorikan sebagai fakir miskin dan tidak fakir di masingmasing kabupaten dan kota wilayah penelitian. Data ini menunjukkan bahwa angka kemiskinan di 11 wilayah masih relatif tinggi kecuali untuk Balikpapan, Samarinda, Deli Serdang dan Binjai. Daerah-daerah ini termasuk kota industri yang cukup berarti dalam perkembangan ekonomi. Selain itu, untuk beberapa daerah jumlah kelompok miskin lebih besar di bandingkan kelompok fakir miskin. Untuk wilayah seperti
Nganjuk, Lamongan, Blitar, dan Langkat
persentase jumlah fakir miskin lebih besar dibandingkan dengan masyarakat miskin, bahkan untuk Nganjuk dan Lamongan jumlah fakir miskin hampir dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah kelompok miskin. Ini menunjukkan bahwa daerah-daerah ini sebenarnya masih sangat rawan terhadap permasalahan ekonomi, kondisi ini sangat memprihatinkan. Daerah ini sebenarnya termasuk daerah kategori kota berkembang. Aktivitas kehidupan ekonomi di ketiga wilayah termasuk tinggi. Lalu lintas ekonomi tinggi, industri-industri berkembang dengan pesat, namun persentase jumlah penduduk miskin relatif tinggi bila dibandingkan jumlah penduduk setempat. Bila dilihat dari topografi termasuk daerah yang potensial dalam bidang pertanian dibandingkan dengan daerah lainnya.
96
Balikpapan Samarindah Surabaya
1,34
2,65
Fakir 3,18
4,75
1,55
Pasuruan
5,03
7,52
Blitar
9,7
Nganjuk
7,83
18,57
Langkat
11,57
Medan
Binjai
6,37
15,57
Lamongan
D. Serdang
Miskin
7,67
4,41
8,35
9,85
1,72
1,26
7,25
6,18
4,96
Sumber: Diolah dari BPS dan Despsos, 2004
Gambar 6: Persentase P enduduk Fakir Miskin dan Miskin menurut Wilayah Banyak faktor penyebab terjadinya kemiskinan ini, seperti banyaknya SDM yang potensial migrasi dari daerah ini ke berbagai daerah lainnya. Sistem pertanian yang tradisional sehingga tingkat produktivitas rendah. Sikap budaya masyarakat yang merasa puas dengan kondisi yang ada (status quo). Pada sisi lain, kepedulian para pengusaha atau kelompok mampu dalam penanganan permasalahan sosial masih belum terlihat. Perlu dicarikan upaya yang dapat mengurangi kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dengan kelompok miskin, sehingga tidak menggangu kondisi mayarakat yang sudah harmonis. Selain itu, menurut Sudibiyo dalam Dewanta (1995) kondisi seperti ini dapat terjadi karena adanya kesenjangan dalam fungsi produksi. Karena itu perlu distribusi produksi yang lebih merata di dalam masyarakat tersebut. Tingkat partisipasi fakir miskin di dalam pendidikan masih tergolong rendah atau jauh dari harapan (Gambar 7). Masih banyak fakir miskin yang tidak tamat SD di ke tiga wilayah bahkan besarnya melebihi persentase kelompok tingkat pendidikan lainnya. Pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi persentase jumlah fakir miskin semakin menurun. Ini dapat terjadi karena faktor, seperti: faktor usia, beberapa di antara mereka sudah berusia lanjut, kedua , faktor
97
pendapatan atau tingkat kesejahteraan masyarakat relatif rendah, ketiga faktor wawasan yang dimiliki anggota, terbatasnya informasi, akses dan sumber-sumber lainnya menjadikan pola berpikir menjadi sempit, keempat faktor budaya yang kurang mendukung. Ada anggapan orang yang sekolah sama saja dengan orang yang tidak sekolah, sulit mencari pekerjaan. Ini akan mempengaruhi motivasi masyarakat terhadap pendidikan termasuk anak-anak mereka .
40
Sumut
Jatim
Kaltim
30
20
10
0 Tdk/Blm
Tdk Tmt SD
SD
SLTP
SLTA
Sumber: BPS dan Despsos, 2004
Gambar 7: Tingkat Partisipasi Masyarakat Miskin menurut Pendidikan Fakir miskin di tiga wilayah penelitian bekerja diberbagai sektor , antara lain ada di sektor pertanian, industri dan jasa. Namun banyak yang masih pengangguran. Pada Gambar 8 terlihat bahwa sebagian besar fakir miskin bekerja pada sektor pertanian. Fakta ini sesuai dengan kenyataan di lapangan, di mana sebagian besar penduduk Indonesia bekerja disektor pertanian.
100
Sumut
Jatim
Kaltim
75
Sumut
75
Jatim
Kaltim
50
50 25
25 0
0 Bekerja
Pengangguran
Tani
Indust
Jasa
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 8: Persentase Masyarakat Miskin yang Berusia 15 tahun ke Atas menurut Angkatan Kerja dan Jenis Pekerjaan
98
Bila data di atas dianalisis lebih lanjut menunjukkan bahwa angka pengangguran di ke tiga wilayah masih relatif tinggi, mencapai 11 persen. Artinya dari setiap 100 orang fakir miskin 11 orang di antaranya belum bekerja. Fakir miskin di Sumatera Utara lebih banyak pengangguran dibandingkan dua wilayah lainnya. Ini terkait dengan lokasi-lokasi industri yang ada di ketiga wilayah masing-masing, terutama yang ada di Kalimantan Timur dan Jawa Timur. Berbagai industri kecil hingga besar tersedia di daerah ini. Bagaimana pun kehadiran industri ini sangat memengaruhi terhadap persentase jumlah pengangguran. Fakir miskin Sumatera Utara lebih banyak beker ja di sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya. Sebaliknya, persentase fakir miskin Jawa Timur dan Kalimantan Timur lebih banyak bekerja di sektor industri dan jasa dibandingkan Sumatera Utara. Karena itu, kondisi ini perlu menjadi bahan pertimbangan dalam proses pemberdayaan fakir miskin, sehingga pemberdayaan tersebut dapat sesuai kebutuhan fakir miskin. Bila dilihat dari komposisi ini, upaya untuk menjadikan Indonesia menjadi negara industri masih jauh dari harapan baru berupa angan-angan, masih diperlukan puluhan bahkan ratusan tahun lagi untuk pembenahannya . 93,98 81,79 75,47
9,19 2,36 Milik Sendiri
Milik Orang tua
2,36
6,96
7,02 0,98 Lainnya
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 9: Persentase Rumah Tangga Miskin menurut Kepemilikan Rumah Pada umumnya keluarga fakir miskin memiliki rumah sendiri terutama untuk wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Timur, hanya sedikit yang menyewa atau kontrak. Mereka yang tidak memiliki rumah sendiri, sebagian tinggal
99
bersama orang tua, dan yang lainnya ada yang menumpang bersama orang lain atau tetangga, ada yang menempati rumah untuk dijaga, dan lain -lain (Gambar 9). Untuk Provinsi Sumatera Utara persentase fakir miskin yang bukan rumah milik sendiri masih relatif besar. Status kepemilikan rumah yang termasuk kategori rumah sendiri sangat beraneka ragam, sebagia n besar karena warisan dari orang tua, sebagian ada orang tua sudah memiliki tanah kemudian mewariskan kepada anak-anak dan membangun rumah masing-masing. Ada sebagian yang sudah milik sendiri karena hasil usahanya, namun kondisinya masih kurang layak, ada karena tanah garapan, dan lain-lain.
80,17
Sumut
Jatim
3,14
87,53
Kaltim
13,91 5,92
86,17
10,69
10,31
2,16
Tidak Layak Huni
Rawan Layak Huni
Layak Huni
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 10: Persentase Rumah Tangga menurut Kondisi Rumah Tidak
Layak Huni
Kondisi dan keadaan bagunan rumah tempat tinggal fakir miskin di ketiga wilayah sebagian besar tinggal di rumah layak huni, namun fakir miskin yang ada di Kalimantan Timur lebih besar persentase yang memiliki rumah kategori layak huni dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ini menunjukkan kesejahteraan fakir miskin yang ada di Kalimantan Timur lebih tinggi dibandingakan dengan yang ada di daerah lainnya. Sebaliknya persentase fakir miskin yang ada di Provinsi Sumatera Utara yang tinggal pada rumah yang tidak layak huni maupun yang rawan tidak layak huni lebih besar dibandingakan dengan dua provinsi lainnya. Bila diamati lebih jauh bahwa persentasi fakir miskin yang tinggal pada rumah yang tidak layak huni dan rawan tidak layak huni terjadi penurunan persentase
100
yang semakin kecil. Ini akan menjadi sasaran perhatian proses pemberdayaan wilayah masing-masing (Gambar 10).
Teknologi
1,6
Subsidi BBM
3,2
Sistem manajemen
1,6
Saran promosi
1,6
Peralatan Penjualan produk Pelatihan
11,3 1,6 8,1
Bantuan modal
71
Sumber: BPS dan Despsos, 2003
Gambar 11: Bentuk Kegiatan Badan Usaha dalam Penanganan Permasalahan Sosial
Usaha penanganan permasalahan sosial khususnya fakir miskin bukanlah hanya tugas Departemen Sosial saja, tetapi merupakan tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat, para pengusaha dan badan-badan usaha. Departemen Sosial selalu berupaya agar masyarakat mau berpartisipasi dalam penanganan fakir miskin. Sejauh mana keterlibatan para pengusaha dan berbagai badan usaha dalam penanganan fakir miskin disajikan pada Gambar 11. Partisipasi dunia usaha lebih banyak dalam bidang pemberian bantuan modal usaha, sedangkan jenis partisipasi lainnya persentasenya masih kecil. Masih minimnya angka partisipasi badan usaha dalam penanganan permasalahan sosial karena minimnya usaha sosialisasi dan pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Mudahmudahan dengan hasil penelitian ini menjadi suatu masukan sehingga partisipasi masyarakat dunia usaha akan semakin besar. Selain badan usaha, berbagai organisasi kemasyarakat lokal juga terlibat dalam penanganan fakir miskin. Menurut Departemen Sosial (2004) ada berbagai
101
organisasi sosial yang terlibat dalam penanganan permasalahan sosial meliputi: Lembaga Swadaya Masyarakat / Organisasi Sosial, Pekerja Sosial Masyarakat, Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial, (Warga mampu setempat, Tokoh Adat / Tokoh Pemuda, PKK, (g) Aparat Desa / Kelurahan (Depsos, 2004). Sedangkan jenis bantuan yang diberikan oleh organisasi lokal (Depsos, 2004) meliputi pelayanan-pelayanan dalam bidang pengungsian, bantuan permaka nan, bantuan pelatihan dan keterampilan dalam berbagai bidang / sektor, konseling / bimbingan, akses ke pelayanan sosial / rujukan, penyediaan lapangan pekerjaan, pemberian beasiswa untuk berbagai jenjang dan tingkatan, bantuan barang perlatan kerja dan pemberian modal usaha usaha/uang. Dari data yang ada menunjukkan bahwa bantuan pelayanan yang paling banyak diberikan adalah dalam bidang konseling / bimbingan, akses kepelayanan umum, lapangan pekerjaan, serta pemberian bantuan peralatan dan barang.
Karakteristik Masyarakat Miskin
Jenis Kelamin . Jumlah anggota KUBE yang dijadikan sampel dalam penelitian ini sebanyak 224 orang. Dari jumlah ini diperoleh komposisi bahwa laki-laki sebesar 53,1 persen dan perempuan 46,9. Keterpilihan responden untuk dijadikan sampel (apakah laki-laki atau perempuan) dalam penelitian ini bukan karena faktor sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga, tetapi bahwa yang bersangkutan resmi terdaftar menjadi salah satu anggota atau menjadi pengurus Tabel 15: Jumlah Responden Menurut Kedudukan dalam KUBE dan Jenis Kelamin No 1. 2. 3. 4. 5.
Jabatan dalam KUBE Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Anggota Jumlah
Lk 31 2 20 5 61 119
Jenis Kelamin % Pr 26,05 26 1,68 0 16,81 18 4,20 10 51,26 51 100 105
Total % 24,76 0 17,14 9,53 48,57 100
Jlh 57 2 38 15 112 224
% 25,45 0,89 16,96 6,70 50,0 100
102
KUBE dengan kriteria berhasil. Dari gambaran data di atas jum lah laki-laki dan perempuan hampir seimbang. Ini menunjukkan bahwa perempuan banyak yang menjadi anggota KUBE. Dilihat dari sudut pandang jender, partisipasi wanita dalam KUBE cukup positif. Umur. Umur yang dimaksudkan di sini adalah usia anggota mulai dari lahir hingga penelitian dilakukan. Untuk melihat bagaimana komposisi usia anggota KUBE, dapat dilihat pada Gambar 12. Terlihat dari grafik bahwa sebagain besar anggota berusia 31-50 tahun. Bila dilihat dari rata-rata usia anggota adalah 39,98 tahun, sedangkan modus (paling sering muncul) adalah 40 tahun dan modenya (nilai tengah) adalah 40 tahun. Dari komposisi ini, usia anggota KUBE termasuk usia kategori produktif. Anggota masih memungkinkan untuk dioptimalkan. Mereka masih memiliki kemampuan fis ik dan semangat yang tinggi, kemuan dan idealisme.
Namun perlu pendapingan yang intensif yang dapat membimbing,
mengarahkan dan mendorong kemauanan dan semangat mereka.
36,2 31,3
=<20
21-30
31-40
41-50
51-60
61-70
>=71 17,4
6,3 3,6
4,9 0,4
Umur
Gambar 12: Persentase Komposisi Umur Anggota KUBE
Data menunjukkan bahwa umur anggota KUBE tidak terlalu berpengaruh terhadap kehidupan KUBE. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena usia kategori ini sudah sama-sama dewasa, sudah sama-sama memiliki pa ndangan dan pemikiran ke depan, sehingga tidak ada perbedaan di antara kelompok umur ini. Sebagai implikasi dari pengujian ini, dalam proses pemberdayaan fakir miskin, tidak perlu harus membeda-bedakan atau menggolong-golongkan faktor usia
103
untuk mencapai suatu keberhasilan, tetapi lebih banyak ditentukan oleh faktor lain seperti penyediaan modal usaha, pelayanan pendampingan, pelatihan, pemasaran, jaringan kerja dan lain-lain. PendidikanFormal. Tingkat pendidikan yang dimaksud di sini adalah jenjang pendidikan terakhir yang ditamatkan hingga memperoleh ijazah tanda tamat belajar atau sertifikat yang disamakan dengan itu. Dari data yang ada diperoleh komposisi pendidikan anggota KUBE seperti Gambar 13. Secara umum bahwa tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi proses berpikir, cara bertindak dan bersikap seseorang termasuk dalam proses pe ngambilan keputusan yang dilakukan. Anggota KUBE yang berpendidikan rendah mungkin orientasi hidupnya hanya masa sekarang, bagaimana bisa makan hari ini, apa yang bisa dikerjakan hari ini, sehingga tidak sempat berpikir untuk hari esok apalagi untuk merencanakan apa yang harus dikerjakan dan terbaik untuk KUBE di hari esok. Proses-proses seperti ini akan mempengaruhi pemenuhan dan harapan hidup anggota KUBE. Bila anggota KUBE mempunyai target di hari esok untuk dicapai biasanya akan menjadi suatu motivator untuk bertindak dan berperilaku lebih proaktif.
33,9
33,9
21,9
8 2,2 Tadak Tamat SD
SD
SLTP
SLTA
Lainnya
Gambar 13: Komposisi Pendidikan Formal Anggota KUBE
Pendidikan sangat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang karena adanya proses pema haman yang semakin baik dan akhirnya akan mempengaruhi atau mendorong perilaku seseorang untuk bertindak. Dari hasil yang diperoleh,
104
terbukti bahwa pendidikan
anggota KUBE yang semakin tinggi cukup
mempengaruhi kualitas pengelolaan KUBE, pembinaan dan pengembangan KUBE. Kepemimpinan yang diterapkan semakin baik sekalipun masih terbatas. Jadi, intinya, pendidikan yang semakin tinggi akan memberikan wawasan dan proses berpikir yang semakin luas. Tetapi, tidak menjadi suatu jaminan bahwa tingkat pendidikan seseorang menjadi suatu faktor tunggal penentu keberhasilan, masih banyak faktor -faktor lain yang mempengaruhi yang harus dipertimbangkan. Perlu dicatat, apapun yang terkait dengan pendidikan, variabel pendidikan merupakan aspek yang perlu diperhitungkan dalam pengembangan KUBE. Tabel 16 : Komposisi Tingkat Pendidikan dan Umur Anggota KUBE Pendidikan
Umur =< 20 21-30
31-40
41-50 51-60 61-70
>=71
Total
Tdk tamat SD
0
1
3
5
2
7
0
18
SD
2
8
21
34
8
2
1
76
SLTP
2
10
17
18
0
2
0
49
SLTA
4
20
37
12
3
0
0
76
Lainnya
0
0
3
1
1
0
0
5
Total
8
39
81
70
14
11
1
224
Bila analisis lebih jauh hubungan komposisi pendidikan anggota KUBE dengan umur, sebagian besar anggota KUBE yang berusia 41 tahun ke atas adalah berpendidikan SD ke bawah, sedangkan anggota KUBE yang berusia lebih muda di bawah 41 tahu ke bawah pada umumnya berpendidikan SLTA. Kelompok usia ini merupakan generasi muda zaman sekarang yang masih memiliki semangat dan motivasi untuk melanjutkan pendidikan mereka. Namun masih ada beberapa anggota KUBE yang berusia muda (30 tahun) ke bawah hanya berpendidikan SD dan SLTP. Tentu ini sangat terkait dengan masalah ekonomi. mereka sangat memiliki keterbatasan dalam hal keuangan untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Sedangkan mere ka yang berusia 51 tahun ke atas situasi mereka saat itu sangat berbeda dengan situasi sekarang, di mana pendidikan bukan yang terutama (Tabel 16).
105
Pelatihan yang diikuti. Bila dilihat dari tingkat pendidikan formal anggota KUBE, dapat dikatakan masih tergolong rendah. Salah satu upaya yang dapat meningkatkan kemampuan anggota KUBE diharapkan dapat melalui pendidikan informal. Data menunjukkan bahwa 32,1 % anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan KUBE. Sebanyak 81,2 persen anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, namun kurang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Mereka mengikuti pelatihan dalam berbagai jenis pelatihan, seperti jahit, bordir, budidaya ikan hias, manejemen kelompok, perikan peternakan, da n lain-lain. Sebagian besar di antara mereka hanya mengikuti pelatihan 1 kali, beberapa di antaranya ada yang sudah pernah mengikuti dua dan tiga kali bahkan ada yang sudah pernah empat kali mengikuti pelatihan tapi persentasenya sangat kecil. Dari gambaran ini dapat diprediksi bagaimana kemampuan dan wawasan anggota KUBE di dalam pengembangan usaha yang dilakukan, sangat terbatas. Mereka hanya bekerja berdasarkan pengalaman-pengalaman yang ada selama ini. Sudah barang tentu hal-hal yang sifatnya inovasi dalam berusaha menjadi kurang mendapat perhatian. Jenis pelatihan yang sudah pernah diikuti oleh anggota KUBE, (diurutkan berdasarkan banyak anggota KUBE yang mengikuti satu jenis pelatihan), antara lain:
pelatihan jahit menjahit, pelatihan peternakan, pelatihan pertanian,
keterampilan pengembangan usaha, pelatihan pembuatan kue, manajemen atau pengelolaan usaha, pelatihan pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial (UKS), pelatihan manajemen kelompok, pelatihan masak-memasak, pelatihan kursus kecantikan / salon, pelatihan pengembangan home industri, pelatihan perikanan, pelatihan okulasi (penangkar) rambutan, pelatihan pertukangan, pelatihan kursus mengetik, pelatihan adminstrasi KUBE, penataan keuangan. Ada berbagai jenis pelatihan yang pernah diikuti anggota KUBE namun persentasenya sangat kecil. Modal awal yang dimiliki. Modal dalam konsep ini meliputi dua hal yaitu modal awal yang dimiliki anggota KUBE itu sendiri dan bantuan yang diterima dari pihak luar, seperti dari pihak pemerintah atau organisasi lainnya. Modal awal adalah harta atau kekayaan yang dimiliki KUBE sendiri sebelum mendapat bantuan dari pihak luar. Modal awal yang dimiliki kelompok sangat bervariasi. Ada kelompok yang memiliki modal awal dan ada kelompok yang sama sekali
106
tidak memiliki modal awal, anggota hanya mengharapkan bantuan yang diberikan oleh pemerintah. Dengan proses seperti ini, pembentukan KUBE ini bersamaan waktunya dengan datangnya bantuan dari pemerintah. Kenapa demikian, karena mereka adalah orang yang serba kekurangan, jangankan untuk modal awal untuk makan saja juga sangat kesulitan, namun di antara kelompok KUBE ada yang memiliki modal awal, tetapi sangat terbatas. Data menunjukkan, rata-rata modal awal yang dimiliki KUBE sebesar Rp 803.688,-, median Rp 500.000,-, sedangkan modenya Rp 0. (Tabel 17). Masih ada anggota KUBE yang sama sekali tidak memiliki modal awal dalam mendirikan KUBE. Selain modal awal yang dimiliki KUBE, kelompok juga menerima bantuan dari pihak luar, baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah atau pihak lain. Besar bantuan yang diterima sangat bervariasi antara KUBE. Variasi pemberian bantuan yang diberikan pemerintah, sangat ditentukan pada ketersediaan anggaran yang sudah direncankan setiap tahunnya melalui anggaran APBN maupun APBD daerah masing-masing. Rata -rata besar bantuan yang diterima kelompok adalah + Rp 5.366.393,- per KUBE, dengan median Rp 5.000.000,- dan modenya Rp 5.000.000,- (Tabel 17). Tabel 17: Nilai Mean, Median, Mode, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang D iterima Aspek
Modal Awal 1
Bantuan yang diterima
Modal (2+3)
2
3
803.688,52
5.366.393,44
6.170.081,97
500.000
5.000.000
5.375.000
Mode
0
5.000.000
5.000.000
Minimum
0
2.000.000
2.500.000
Maximum
3.000.000
15.000.000
17.500.000
Mean Median
4
Pola Penghasilan. Untuk melihat sejauh mana keberhasilan jenis usaha yang dikembangkan oleh KUBE, jenis usaha dikelompok dalam tiga kelompok. Pengelompokan ini didasarkan pada sifat penghasilan hasil produksi yang diperoleh, yaitu usaha yang bersifat harian-mingguan, bulanan -triwulan, dan semesteran-tahunan (Tabel 18). Jenis usaha yang dikembangkan sebagian besar
107
merupakan jenis usaha yang penghasilannya bersifat harian -mingguan , seperti: usaha bengkel, menjahit, bordir, berbagai macam dagangan (baju, kue, jualan nasi, pracangan, sembako), pembuatan krupuk/kripik, pembuatan rempeyek, pembuatan tahu/tempe, usaha simpan pinjam (uang dan barang), usaha ternak kepiting sangka, berbagai macam industri kerajinan (manik-maik, tenun, anyaman tikar, pembuatan wajan, dll.), nelayan dan keterampilan musik. Usaha yang sifat penghasilannya bulanan -triwulan, seperti: pembibitan bunga, usaha pertanian, okulasi rambutan, dan sayur mayur. Usaha yang sifat penghasilannya semesterantahunan , seperti: te rnak kambing, ternak sapi, dan perikanan. Untuk jelasnya dapat dilihat seperti Tabel 18.
Tabel 18: Pengelompokan Kube Berdasarkan Jenis Usaha Yang Dikembangkan PENGELOMPOKAN KUBE KUBE HARIAN
KUBE BULANAN
KUBE TAHUNAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat HARIANMINGGUAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat BULANANTRIWULAN
KUBE dengan penghasilan jenis usaha bersifat SEMESTERANTAHUNAN
Sasaran Pemberdayaan: Sasaran Pemberdayaan: (a) Fakir (a) Non Fakir (b) Non Fakir (b) Miskin. (c) Miskin
Sasaran Pemberdayaan: (a) Miskin
Jenis Kegiatan: • Dagang (klontong) • Jualan sayur mayur • Dagang kue • Dagang buah-buahan • Warung nasi • Jahit-menjahit, bordir, sulaman • Sablon, melukis • Ukiran • Sewa tenda • dll (59,02 %
Jenis Kegiatan: • Tanaman sayur -mayur • Tanaman Cabe • Perikanan • Ternak ikan • Tenak aya m, itik • Ternak burung • Ternak lebah • Tanaman padi • dll
Jenis Kegiatan: • Ternak kambing • Ternak sapi / lembu • Ternak kerbau • Tanaman Jeruk dan buah yang sejenis lainnya • Tanaman jagung • dll.
18,03 %
22,95 %
(
108
Dari penelitian yang dilakukan 59,02 persen termasuk kategori sifat penghasilan harian-mingguan , 18,03 kategori sifat penghasilan bulanan -triwulan dan 22,95 persen sifat penghasilan semesteran-tahunan. Terlihat bahwa jenis usaha yang sifatnya harian-mingguan lebih berhasil bila dibandingkan dengan jenis usaha yang bersifat bulanan-triwulan dan semesteran-tahunan, pada hal di lapangan ? dari segi jumlah? bantuan yang dialokasikan lebih banyak terhadap jenis usaha yang bersifat bulanan-triwulan dan semesteran-tahunan. Selain itu, jenis usaha yang bersifat harian-mingguan lebih responsif terhadap persoalan kehidupan masyarakat miskin, karena keuntungan yang diperoleh lebih cepat (bersifat harian) dibandingkan dengan dua kelompok lainnya. Keuntungan yang diperoleh akan dapat mengatasi permasalahan hidup yang dihadapi saat ini. Persoalan fakir miskin bukan persoalan bagaimana makan hari esok, tetapi bagaimana bisa makan hari ini (permasalahan masa kini). Pengembangan jenis usaha yang bersifat bulanan-triwuan dan semesterantahunan lebih tepat diarahakan pada masyarakat miskin (non fakir) dalam rangka pengembangan kualitas hidup masyarakat mis kin. Karena itu, pemilihan jenis usaha yang akan dikembangkan dalam KUBE harus lebih selektif sesuai dengan kebutuhan kelompok sasaran bukan kebutuhan pendamping atau aparat desa. Bagaimana distribusi jenis usaha KUBE menurut Provinsi dapat dilihat pada Tabel 19 Tabel 19: Distribusi Jenis Usaha KUBE menurut Provinsi Kategori (%)
Provinsi
Total
Harian
Bulanan
Tahunan
9 (40.9)
0 (0.0)
13 (59.1)
22 (100)
Kalimantan Timur
18 (69.2)
8 (30.8)
0 (0.0)
26 (100)
Sumatera Utara
8 (61.5)
4 (30.8)
1 (7.7)
13 (100)
35 (57.4)
12 (19.0)
14 (23.0)
61 (100)
Jawa Timur
Jumlah Ket: (
) persen wilayah
Sumber Penghasilan Utama. KUBE merupakan sumber mata pencaharian utama sebagaian besar anggota KUBE, sedangkan yang lainnya menjadikan KUBE sebagai sumber pendapatan sambilan, namun mereka tetap mengikuti kegiatan
109
dan pembinaan sebagai anggota KUBE. Dari segi waktu sebagian besar dihabiskan dengan kegiatan KUBE, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk kepentingan lainnya (Gambar 14). KUBE sebagai sumber penghasilan utama atau tidak merupakan hal yang sangat strategis dan turut memberikan kontribusi dalam penentuan keberhasilan KUBE tersebut. Bila KUBE dijadikan sebagai sumber penghasilan utama keluarga, diyakini anggota KUBE akan berkonsentrasi secara penuh dalam pembinaan dan pengembangan, KUBE akan berhasil. Sebaliknya bila KUBE dijadikan sebagai sumber penghasilan tambahan, maka perhatian anggota terhadap KUBE akan berkurang dan aktivitas KUBE menjadi kurang maksimal dan pada akhirnya KUBE akan hilang. Banyak faktor yang harus disiapkan agar KUBE dapat menjadi sumber penghasilan utama anggota, seperti: modal yang cukup, sikap dan perilaku, keterampilan yang memadai, pasar yang mendukung, pelayanan pendampingan, dan lain -lain.
Dalam KUBE 59,8
Luar KUBE 56,7
40,2
Penghasilan Utama
43,3
Waktu paling banyak
Gambar 14: Penghasilan Utama dan Waktu yang Paling Banyak Dihabiskan untuk Bekerja.
Pemenuhan Kebutuhan dan Harapan. Pemenuhan kebutuhan berkaitan dengan sejauh mana kebutuhan yang diinginkan sudah dapat diwujudkan, bagaimana rasionalitas kebutuhan dan harapan yang akan diwujudkan, bagaimana keterkaitan harapan/ keinginan dengan kehidupan sehari-hari, apakah kebutuhan dan harapan yang diinginkan relevan atau tidak dengan kenyataan yang ada. Terpenuhinya
110
kebutuhan dan harapan seseorang ukurannya sangat relatif. Mungkin untuk seorang anggota KUBE sudah terpenuhi, tetapi untuk orang lain belum terpenuhi. Yang menjadi ukuran terpenuhinya kebutuhan dan harapan anggota KUBE tersebut adalah ditentukan oleh anggota itu sendiri. Dari data yang ada menunjukkan bahwa 71,9 persen anggota KUBE mengatakan sebagian kecil kebutuhan dan harapan baru dapat terpenuhi, 27,2 anggota KUBE mengatakan sebagian besar sudah terpenuhi. Dari data terlihat pemenuhan kebutuhan atau harapan anggota KUBE masih belum terpenuhi, masih perlu usaha kerja keras. Pemenuhan kebutuhan dan harapan ini akan mempengaruhi motivasi anggota KUBE dan juga keberlanjutan KUBE, sebaliknya bisa menjadikan anggota kurang semangat dan akhirnya meninggalkan KUBE.
Pemenuhan kebutuhan sangat terkait dengan tingkat
pendapatan keluarga KUBE yang rata -rata hanya Rp 345.000 per orang perbulan. Tingkat pendidikan anggota KUBE termasuk kategori rendah rata -rata hanya SMP bahkan ada yang tidak tamat SD, demikian juga dengan keterampilan yang dimiliki masih sangat terbatas. Persepsi hidup berkelompok. Persepsi hidup berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap tujuan kelompok, penilaian anggota terhadap tujuan kelompok, dan kesadaran anggota akan kehidupan berkelompok sebagai suatu kebutuhan. Pada umumnya
anggota KUBE sudah memiliki persepsi yang baik terhadap
hidup berkelompok. Sebanyak 63,4 persen anggota KUBE mempunyai persepsi dalam kategori sedang dan 30,8 persen berada dalam kategori sangat baik. Ini sangat relevan dengan motivasi anggota yang sebagian besar berada dalam kategori sedang. Pesepsi atau pemahaman seseorang sangat mempengaruhi tindakan yang diperbuatnya. Semakin baik persepsi seseorang terhadap suatu obyek, maka sikap dan tindakannya akan semakin baik. Hal ini juga terlihat dari kemauan dan dorongan anggota yang cukup tinggi dalam melakukan kegiatan. Dilihat dari aspek manajerial pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan kelompok cukup dilematis, mereka sulit diorganisir dalam kelompok dan kurang kemampuan manajerial dalam pengelolaan kelompok karena berbagai keterbatasan yang dimiliki, karena itu sebagian di antara mereka memilih
111
pemberdayaan dilakukan dalam bentuk individu. Namun manfaatnya , melalui pendekatan kelompok, mereka dapat saling membantu satu sama lain karena mereka memiliki pengalaman dan keterampilan yang berbeda-beda. Perbedaan yang ada perlu dijadikan sebagai kekuatan kelompok bukan sebagai kelemahan. Data menunjukkan sebagian besar anggota KUBE menyadari pentingnya hidup berkelompok dalam KUBE sebagai suatu kebutuhan. Anggota mengakui ba hwa dalam KUBE mereka dapat saling tolong menolong, saling membantu-membantu, saling bekerjasama dalam berbagai hal terutama dalam pengembangan usaha. Berangkat dari gambaran
ini, pendekatan KUBE yang didasarkan pada
pendekatan kelompok dapat dipertahankan, namun perlu disempurnakan sehingga dapat mengantisipasi berbagai keterbatasn yang dimiliki oleh anggota KUBE dan perkembangan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Motivasi anggota. Motivasi anggota di sini berkaitan dengan sejauh mana pemahama n anggota akan nilai dan makna hidup berkelompok bermanfaat bagi kehidupan anggota , bagaimana kemauan, dorongan dan usaha-usaha yang dilakukan anggota untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab masing-masing dalam KUBE. Data menunjukkan bahwa 74,6 persen motivasi anggota masih termasuk kategori sedang, 6,3 persen berada dalam kategori tinggi. Masih ada anggota KUBE yang memiliki motivasi dalam kategori rendah sekalipun persentasenya kecil. Motivasi ini sangat terkait dengan pemahaman seseorang terhadap eksistensi KUBE tersebut. Bagaimana dalam pa ndangan anggota KUBE dapat sebagai suatu solusi dalam mengatasi masalah dalam keluarga. Bilamana pemahaman terbatas, maka akan mempengaruhi motivasi untuk tergabung dalam KUBE tersebut. Pemahaman akan nilai dan makna kelompok juga sangat mempengaruhi terhadap motivasi anggota dalam KUBE dan juga terhadap dinamika kehidupan KUBE. Anggota yang memiliki pemahaman yang semakin positif terhadap nilai dan makna hidup dalam KUBE akan semakin memberikan apresiasi
yang
semakin bagus terhadap KUBE, sebaliknya pemahaman yang terbatas akan memberikan apresiasi yang terbatas terhadap KUBE dan akhirnya partisipasinya juga akan terbatas dalam KUBE. Ini suatu bentuk konsekwensi logis dari dua
112
variabel yang saling terkait. Karena itu, pemahaman makna KUBE yang sesungguhnya menjadi hal yang penting dalam kegiatan KUBE. Pemahaman anggota yang baik terhadap nilai dan makna hidup berkelompok juga akan menjadi dorongan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab anggota yang sudah diberikan. Anggota yang semakin memberikan pemahanan yang positif akan nilai dan makna hidup berkelompok akan semakin membangkitkan kemauan dan mendorong anggota KUBE untuk bergabung dalam KUBE. Melihat data yang ada, kemauan dan dorongan anggota KUBE dalam menjala nkan tugas dan tanggung jawabnya masih dalam kategori sedang. Karena itu, masih memerlukan pembinaan-pembinaan pendampingan sehingga motivasi mereka semakin meningkat.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Akhir -akhir ini pendekatan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat miskin menjadi sesuatu yang populer dan banyak diterapkan. Berbagai lembaga baik pemerintah maupun masyarakat mencoba menerapkan pendekatan ini dalam berbagai bentuk, tergantung dari tujuan yang akan dica pai. Dalam konsep pemberdayaan yang diterapkan Departemen Sosial terhadap fakir miskin dilakukan melalui pendekatan kelompok yang dikenal dengan Kelompok Usaha Bersama atau disingkat dengan KUBE. Melalui pendekatan KUBE, masyarakat miskin yang menjadi sasaran pelayanan dikelompokkan dalam kelompok-kelompok yang jumlahnya sesuai kebutuhan. Hasil lapangan menunjukkan besarnya kelompok ini sangat tergantung pada jenis usaha yang dilakukan, seperti usaha bengkel anggotanya terdiri dari 8-10 orang, usaha dagang anggotanya 5-10 orang, usaha simpan pinjam anggotanya bisa mencapai puluhan hingga ratusan orang. Namun, secara umum anggota KUBE terdiri antara 8-15 orang,. Anggota satu KUBE diupayakan memiliki kesamaan latar belakang, seperti: berasal dari satu wilayah yang sama dengan alasan mobilitas mereka akan mudah dalam mengikuti kegiatan atau aktivitas bersama yang dilakukan. Keterampilan dan pengalaman yang hampir sama, seperti: bidang pertanian, perikanan, perdagangan, industri rumah tangga dan lain-lain. Berasal
113
dari satu daerah dan suku yang sama , bila memungkinkan masih ada hubungan keluarga atau persaudaraan. Kesamaan-kesamaan ini sangat diperlukan untuk mempercepat proses pemberdayaan tersebut. Proses pembentukan KUBE. Proses pembentukan KUBE merupakan suatu hal yang penting karena sangat terkait dengan proses pengembangan selanjutnya. Proses pembentukan KUBE berkaitan dengan bagaimana proses munculnya ide pembentukan KUBE dan proses merealisasikan terbentuknya KUBE, frekuensi kehadiran dan intensistas pertem uan anggota dalam proses pembentukan KUBE, kesepakatan anggota yang dicapai dalam pembentukan KUBE, dan dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pe mbentukan KUBE, seperti surat keputusan atau yang lainnya. Dari hasil pengujian yang dikategorikan pada 4 kategori, yaitu kurang, sedang dan baik diperoleh gambaran bahwa 56,3 persen proses pembentukan KUBE berada dalam kategori sedang, dan 38,4 persen KUBE berada dalam kategori kurang. Dari distribusi jawaban anggota, sebagian besar berada pada kategori sedang dan kurang. Dari kategori ini, dapat dikatakan bahwa proses pembentukan semua KUBE masih tergolong kurang memuaskan. Kurang dilakukan persiapanpersiapan sebelum KUBE dibentuk, seperti observasi, identifikasi dan need assessment terhadap kebutuhan anggota (modal, keterampilan yang dimiliki, pasar, perilaku anggota) , sumber dan potensi yang tersedia, kurang sosialisasi baik kepada anggota KUBE, tokoh masyarakat maupun kepada masyarakat setempat, bimbingan motivasi kepada Keluarga Binaan Sosial (KBS). Proses pembentukan KUBE harus menjadi bagian yang integral dari keseluruhan kehidupan KUBE yang pentingnya sama dengan aspek-aspek yang lainnya. Kenyataan di lapangan banyak KUBE yang dibentuk langsung oleh aparat desa atau tokoh masyarakat setempat dengan menunju k langsung siapa yang menjadi anggota KUBE tanpa proses seleksi yang objektif, termasuk penunjukkan pengurusnya . Kondisi seperti ini dapat terjadi karena keterbatasan pemahaman petugas lapa ngan dan anggota KUBE itu sendiri dan faktor penyelesaian administrasi yang harus segera diselesaikan. Pada sisi lain dalam proses ini, anggota KUBE yang terpilih merasa beruntung karena mereka diikutsertakan sebagai penerima bantuan, sehingga segala sesuatu yang disampaikan oleh aparat
114
desa tidak dapat ditolak oleh calon penerima bantuan, semua diikuti termasuk dalam pemilihan anggota dan pengurus KUBE. Pemilihan pengurus KUBE banyak ditentukan oleh aparat desa atau tokohtokoh masyarakat setempat. Dapat dikatakan bahwa partisipasi anggota menjadi relatif terbatas dalam proses pembentukan kepengurusan. Sebagai dampaknya, bila pembentukan kepengurusan KUBE tidak sesuai dengan tahapan, hasilnya di masa mendatang akan menjadi kurang maksimal, partisipasi anggota menjadi rendah, karena pimpinan yang ditunjuk bukan pilihan mereka. Dalam kondisi seperti ini ada dua hal, biasanya pimpinan yang ditunjuk adalah orang yang sesuai karena kemampuannya sudah diakui selama ini, tetapi kadang-kadang orang yang diangkat adalah bukan orang yang pas tetapi karena ada kepentingan pribadi yang ingin dicapai. Karena itu, proses pembentukan dan pemilihan pengurus KUBE di masa mendatang menjadi hal yang penting untuk menjadi perhatian, agar pelaksanaannya diserahkan pada anggota KUBE itu sendiri. Struktur KUBE yang diterapkan selama ini cukup sederhana, yaitu terdiri dari: Ketua, Sekretaris, Bendahara, dan Seksi-seksi yang menjalankan berbagai urusan menurut kebutuhan. Namun demikian dimungkinkan masing-masing KUBE dapat mengembangkan struktur KUBE sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Pendekata n / Metode. Pendekatan atau metode di sini
berkaitan dengan
pendekatan-pendekatan yang dijadikan oleh pendamping sebagai media dalam pembinaan KUBE, seperti: pendekatan individu, kelompok, perpaduan antara pendekatan individu dan kelompok, pendekatan partisipatif, pendekatan yang bersifat demokratis dan pendekatan yang bersifat delegatif. Bagaimana gambaran penerapan metode pembinaan kelompok (individu, kelompok, perpaduan antara pendekatan individu dan kelompok, partisipatif, demokratis dan delegatif) disajikan seperti Tabel 20. Bila dibandingkan, penerapan antara berbagai metode atau pendekatan terlihat bahwa pendekatan individu dan kelompok lebih sering digunakan dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Metode pembinaan partisipasi dan demokratis berada dalam kategori sedang. Namun, untuk pendekatan yang bersifat delegatif terlihat masih terbatas, berada dalam kategori kurang dan dalam
115
kategori sangat terbatas. Ini menunjukkan bahwa campur tangan pihak luar masih tinggi. Kondisi seperti ini dapat terjadi karena berbagai faktor, seperti: pihak Tabel 20: Penerapan Pendekatan atau Metode Pembinaan Kelompok Penilaian
Pendekatan / metode pembinaan klp (%) Kelom Individu/ PartisiDemopok kelompok patif kratis 1.8 2.2 6.7 1.8
Sangat terbatas
Individu 4.9
Kurang
15.6
29.9
26.8
28.1
27.2
40.6
Sedang
62.5
50.4
58.9
52.7
58.9
44.6
Tinggi
17.0
17.9
12.1
12.5
12.1
7.6
100
100
100
100
100
100
Jumlah
Delega -tif 7.1
eksternal belum memahami apa makna KUBE yang sesungguhnya, bagaimana mereka harus berbuat dan bertindak terhadap KUBE dan juga pemahaman pendamping di dalam penerapana metode atau pendekatan masih terbatas. Sebaliknya, keterbatasan kemampuan
anggota dalam pengelolaan
KUBE juga turut mewarnai keberhasilan penerapa n metode dimaksud Tabel 21: Reaksi atau Tanggapan Anggota terhadap Metode yang Diterapkan Penilaian
Pendekatan (%) Ind ividu/ Partisikelompok patif 0 0
Individu 0
Kelom pok 0
Kurang menerima
9.8
.9
3.6
Menerima
65.6
62.5
Sangat menerima
24.6 100
Tidak menerima
Jumlah
Demokratis 0
Delega -tif 0.9
4.5
2.7
12.9
64.3
65.6
63.4
68.8
36.6
32.1
29.9
33.9
17.4
100
100
100
100
100
Bagaimana reaksi anggota KUBE terhadap metode atau pendekatan yang diterapkan disajikan dalam Tabel 21. Secara umum dapat dikatakan menerima. Hanya saja pendekatan delegatif terlihat lebih rendah dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Bahkan masih ada anggota KUBE yang tidak menerima pendekatan tersebut. Demikian juga dengan persentase kategori kurang menerima
116
masih lebih besar dibandingkan dengan persentase metode/pendekatan lainnya. Rendahnya reaksi anggota KUBE khususnya terhadap metode atau pendekatan delegatif yang diterapkan tidak terlepas dari masih rendahnya kepercayaan pendamping atau pihak eksternal terhadap kapabilitas anggota dalam mengelola KUBE, sehingga pendelegasian menjadi kurang optimal. Namun, secara umum bahwa pendekatan atau metode yang diterapkan cukup diterima oleh anggota, sebagai implikasinya metode ini dapat diterapkan di masa yang akan datang dalam pembinaan dan pengembangan KUBE tersebut. Jumlah anggota dan tingkat kehadiran. Jumlah anggota KUBE yang terdaftar cukup bervariasi mulai dari 5 orang hingga 10 orang. Tetapi, sebagian besar KUBE mempunyai anggota 10 orang, selebihnya sangat bervariasi. Ada 7 KUBE yang mempunyai anggota (yang terdaftar) hanya 5 orang, ada 7 KUBE lagi yang mempunyai anggota 6-10 orang dan 2 KUBE yang mempunyai anggota sebanyak 30 orang. Bila dilihat dari rata keanggotaan yang terdaftar adalah sebesar 12 orang. Sedangkan mode dan mediannya masing-masing 10 ora ng. KUBE yang mempunyai anggota 30 orang atau lebih biasanya bergerak dalam bidang usaha simpan pinjam. Modal atau bantuan yang diterima biasanya digunakan semuanya untuk modal simpan pinjam anggota dan masyarakat sekitarnya. Namun, prioritas pelayanan diberikan kepada anggota sendiri, dengan bunga yang relatif lebih ringan dibandingkan dengan masyarakat biasa. Dilihat dari persentase keaktifan anggota, dapat digambarkan bahwa keaktifan relatif baik, median persentase kehadiran anggota adalah 90 persen dan modenya adalah 100 persen. Untuk lebih rinci, persentase keaktifan anggota dapat dilihat dari Gambar 15. Dari data ini dapat dikatakan bahwa keanggotaan KUBE cukup aktif. Keaktifan anggota sangat berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap eksistensi KUBE, tempat tinggal anggota yang hampir berdekatan, dan KUBE sebagian besar dijadikan sebagai sumber penghasilan utama anggota. Selain itu, tingkat pendapatan yang diperoleh dari KUBE memberikan kepastian akan eksistensi mereka terhadap KUBE. Keatifan anggota yang dimaksud di sini adalah persentase kehadiran anggota dalam mengikuti pertemuan, diskusi dan rapat-rapat yang diadakan oleh KUBE.
117
61.6
%
22.8 9.4
6.3
40-56,3
56,4-72,6
72,7-88,9
89-100
% Tingkat Kehadiran
Gambar 15: Persentase Kehadiran dalam Pertemuan
Bantuan yang Diterima. Dalam pemberdayaan fakir miskin, Departemen Sosial maupun Dinas Sosial setempat selalu memberikan bantuan modal usaha, namun besarnya sangat bervariasi. Data menunjukkan tidak ada KUBE yang tidak menerima bantuan. Bantuan yang diterima ada yang berupa barang, ada yang berupa uang dan ada yang berupa barang dan uang sekaligus. Bantuan uang yang diterima sifatnya hanya berupa dukungan terhadap bantuan barang yang diberikan, seperti bantuan uang untuk pembuatan kandang ternak kambing, ayam atau babi atau ternak lainnya. Ada bantuan uang untuk membantu pendirian kios, dan lain-lain, namun jumlahnya kecil. KUBE lebih menginginkan bantuan uang dibandingkan
dengan
bantuan
barang,
karena
anggota
KUBE
dapat
mengembangkan bantuan uang sesuai kebutuhan mereka. Bantuan barang yang diterima sangat bervariasi, ada yang berupa peralatan masak untuk jualan nasi, peralatan pembuatan kue, peralatan pembuatan tempe dan tahu, peralatan pembuatan kripik, krupuk, peralatan mesin jahit, bordir, peralatan industri tenun, peralatan pembuatan manik-manik, peralatan pertanian seperti handtractor, bibit, peralatan okulasi, handsprayer, platik untuk pembibitan. Ada bantuan barang berupa ternak sapi, kambing, babi, bibit ikan, ada berupa barang-barang sembako, barang-barang dagangan kebutuhan dapur, ada berupa peralatan bengkel sepeda motor, mobil. Sebagian ada berupa kapal penangkap ikan dan ada yang berupa peralatan industri rumah tangga. Bantuan yang diberikan selalu diupayakan sesuai dengan kebutuhan dan pengalaman penerima
118
bantuan, tetapi pada kenyataan sulit terpenuhi. Bila dikonversi besar bantuan barang yang diterima dengan uang diperoleh gambaran seperti Gambar 16. %
67,2
21,3 8,2
3,3
Rp
2-5.25 juta
5.26-8.50 juta
8.51-11.75 juta
11.76-15 juta
Gambar 16: Besar Bantuan yang Diterima
Rata-rata bantuan yang diterima anggota KUBE adalah Rp 5.366.393, median sebesar Rp Rp 5 juta, dan modenya sebesar Rp 5 juta. Bila dilihat dari hasil perhitungan rata -rata terlihat bahwa bantuan yang diterima masih relatif kecil bila dibandingkan dengan jumlah anggota 10 orang per kelompok. Kondisi ini sangat sesuai dengan bantuan plafon yang diberikan oleh Departemen Sosial selama ini yaitu Rp 5 juta per kelompok. Besar bantuan yang dibutuhkan anggota KUBE sangat bervariasi. Ada anggota yang membutuhan di bawah Rp 5 juta dan ada yang membutuhkan di atas 5 juta. Selama ini variasi kebutuhan seperti ini belum
terjawab.
Pendekatan
pemberian
bantuan
sangat
universal atau
disamaratakan. Jenis usaha apa saja yang dikembangkan oleh KUBE besar bantuannya adalah sama yaitu Rp 5 juta. Generalisasi dalam konsep ini kurang tepat bila dilihat dari kebutuhan dan latar belakang jenis usaha yang dikembangkan KUBE. Kesesuaian bantuan yang diberikan dengan yang dibutuhkan juga merupakan hal yang prinsip. Bila mana suatu bantuan yang diharapkan tidak atau kurang sesuai dengan kebutuhan tentu akan mempengaruhi kinerja . Demikian juga dengan ketidaksesuaian besar bantuan dengan kebutuhan yang diharapkan, akan terjadi hasil suatu rencana yang berbeda. Perbedaan seperti ini sering terjadi karena kemampuan pemerintah sangat terbatas dala m pemberian bantuan. Bantuan yang diberikan hanya berupa stimulan, yang berfungsi sebagai
119
pendorong, pendukung atau penguat bagi modal kelompok yang sudah ada sebelumnya. Namun, kenyataan di lapangan, masih ada kelompok yang sama sekali belum memiliki modal awal. Dengan demikian konsep bantuan stimulan menjadi kurang tepat (Gambar 17). Sekalipun jenis bantuan yang diberikan lebih sesuai dibandingkan dengan besar bantuan yang diterima oleh KUBE, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa baik jenis maupun besar bantuan masih kurang sesuai dengan kebutuhan anggota. Perlu dilakukan need assesment yang mendalam terhadap kebutuhan anggota KUBE sebelum bantuan diberikan. Penyamarataan jenis dan besar bantuan adalah sesuatu yang kurang pas dalam konsep pemberdayaan
fakir
miskin.
Mungkin
persoalan-persoalan
penyelesaian
administrasi perlu dirancang untuk mengikuti pencapaian target fungsional yang menjadi prioritas utama dalam konsep pemberdayaan KUBE. Adalah menjadi keliru bilamana target penyelesaian admin istras i menjadi tujuan utama sementara target fungsional dinomorduakan. Sebagai implikasi dari fakta ini, maka di masa mendatang jenis dan besarnya bantuan perlu dipertimbangkan secara masakmasak sebelum bantuan tersebut diberikan sehingga ada kesesuaian antara jenis dan besar bantuan dan kebutuhan anggota KUBE.
%
68,3 59,4
Jenis
Besar
34,8 23,7 8
0
4,9
0,9
Tidak sesuai
Kurang
Cukup
Sangat sesuai
Gambar 17: Kesesuaian dan Besar Bantuan yang Diberikan
Di balik fakta di atas, ada hal yang menggembirakan dari hasil penelitian yaitu bahwa proses penerimaan bantuan mulai dari pengusulan hingga keluarnya bantuan prosesnya sangat mudah dirasakan
anggota dan tidak berbelit-belit.
120
Karena itu, untuk masa mendatang, mungkin prosedur yang ada selama ini minimal harus dipertahankan namun perlu disempurnakan sehingga semua anggota dapat merasakannya secara mudah. Pendampingan. Aspek pendamping dalam proses pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan kelompok menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan. Menurut penulis bahwa memberikan perhatian yang terlalu banyak pada aspek pendamping untuk memacu keberhasilan KUBE adalah menjadi sesuatu yang kurang tepat. Terbukti dari kenyataan yang terjadi selama ini, bahwa pemberdayaan yang dilakukan pemerintah sangat menekankan pada eksistensi pendamping, seperti peningkatan keterampilan dan kemampuan pendamping, tetapi kurang menekankan pada aspek anggota KUBE itu sendiri. Anggota diminta untuk membentuk dan beraktivitas dalam kelompok, sementara kemampuan mereka untuk mengelola kelompok sangat terbatas. Untuk pengelolaan KUBE akhirnya diserahkan pada pendamping dengan harapan pendamping akan mentransfer keilmuan, pengalaman dan keterampilan yang dimiliki pada anggota. Tetapi harapan tersebut tidak terlaksana, yang terjadi, perubahan pada struktur pemerintahan berubah dari se ntralisasi me njadi desentralisasi (otonomi daerah) dan proses pendampingan menjadi hilang karena orientasi otonomi oleh masing-masing daerah menjadi berubah. Dampak dari proses ini banyak kelompok-kelompok binaan pemerintah khususnya Departemen Sosial menjadi hilang. Berangkat dari pengalaman ini, maka penekanan yang berlebihan pada proses pendampingan adalah kurang tepat, pelepasa n pendamping juga kurang tepat mengingat keterbatasan anggota KUBE, tetapi keseimbangan di antara keduanya, proses pendampingan dan unsur kelompok itu sendiri. Pendampingan yang dimaksud dalam konsep ini tidak selalu pendamping secara formal yang disediakan atau ditunjuk oleh Departemen Sosial atau Dinas Sosial setempat, tetapi pendamping selama ini dapat berupa aparat desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, atau tokoh petani setempat, yang dihormati dan disegani serta memiliki wawasan yang luas tentang kehidupan bermasyarakat serta memiliki pengaruh terhadap anggota masyarakat, kemauan dan komitmen untuk membantu KUBE baik dari segi waktu, tenaga maupun pikiran.
121
Fasilitator
57,1
Katalisator
Dinamisator
58,5
52,2
33,9
1,3
4,5
25,9
23,7
17,9
14,3
9,4
1,3
Sangat terbatas
Kurang
Cukup
Sangat baik
Gambar 18: Peranan Pendamping sebagai Fasilitator, Katalisator dan Dinamisator Ada beberapa peranan yang ditampilkan oleh pendamping, yaitu peranan sebagai fasilitator, katalisator dan dinamisator (Gambar 18). Berkaitan dengan peranan pendamping tersebut diharapkan pendamping tidak terlibat dalam pengambilan keputusan tetapi memfasilitasi terciptanya kebutuhan besama. Peranan pendamping sebagai fasilitator, katalisator dan dinamisator masih perlu ditingkatkan sebagian besar hanya berada pada kategori sedang. Khusus peranan sebagai katalisator masih perlu mendapat perhatian. Bila dibandingkan dengan dua peranan pendamping lainnya, peranan sebagai katalisator berada pada kondisi kurang. Pada kategori kurang dan kategori sangat baik, keduanya menunjukkan bahwa peranan ini kurang dijalankan. Ini sangat sinkron dengan kondisi faktual jaringan kerja yang terjadi dalam KUBE sekarang. Peranan sebagai dinamisator relatif lebih baik dibandingkan dengan dua peranan lainnnya. Kehadiran seorang pendamping secara emosional dapat berfungsi sebagai dinamisator, apalagi pendamping mampu memotivasi anggota KUBE maka fungsi ini benar -benar akan dirasakan oleh anggota KUBE. Sebagai fasilitator, pendamping masih sulit untuk membedakan dengan peranan sebagai pengambilan keputusan (decision maker). Data menunjukkan bahwa banyak pendamping yang terlibat dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan-keputusan kelompok, yang seharusnya adalah kewenangan dari anggota KUBE. Ini menunjukkan bahwa pendamping kurang memahami peranan yang seharusnya dijalankan. Perlu
122
diberikan pelatihan dan pembinaan kepada pendamping tentang tugas, kewenangan dan tanggung jawab yang harus dijalankan sebagai pendamping KUBE. Kebebasan yang diberikan. Kebebasan berkaitan dengan bagaimana kebebasan anggota dalam pembentukan dan kepengurusan KUBE, bagaimana kebebasan KUBE dalam penentuan jenis usaha yang dikelola, bagaimana kebebasan KUBE dalam pengelolaan usaha. Ada filosofi yang mengatakan bahwa kebebasan akan menghasilakan kreasi baru dan mempercepat terjadinya perubahan. Karena dengan kebebasan akan muncul ide atau metode-metode baru. Tetapi, apakah demikian halnya dengan kehidupan KUBE, kebebasan yang terjadi dapat mempercepat perubahan usaha yang dikelola KUBE. Sebagian besar (61,12 persen) anggota mengakui sangat bebas dalam membentuk dan menentukan kepengurusan KUBE. Sedangkan dalam penentuan jenis usaha ekonomis produktif dan pengelolaan usaha sebagian besar KUBE berada dalam kategori bebas. Dilihat dari fakta-fakta ini, dapat dikatakan bahwa anggota KUBE relatif bebas dalam pengembangan KUBE. Hanya kebebasan anggota KUBE kurang didukung dengan kemampuan dan kreativitas anggota KUBE, sehingga kebebasan mereka menjadi tidak terlihat, mereka hanya puas dengan status quo yang ada selama ini. Perlindungan / Protek si. Perlindungan atau proteksi yang dimaksud di sini adalah pelayanan perlindungan terhadap harga, pelayanan perlindungan terhadap mutu, pelayanan perlindungan terhadap daya saing dan pelayanan perlindungan terhadap penyediaan modal. Dari pandangan ekonomi pasar, bilamana usaha sudah mapan, pelayanan perlindungan tidak perlu diberikan. Pemberian pelayanan perlindungan menunjukkan bahwa jenis usaha tersebut belum mampu bersaing di pasaran, apalagi pelayanan perlindungan tersebut diberikan secara terus menerus. Karena itu, dalam pengujian ini, bila pelayanan perlindungan masih dijalankan berarti menunjukkan suatu kelemahaman atau penurunan kemampuan, tetapi sebaliknya, bila pelayanan perlindungan tidak diberikan berarti jenis usaha tersebut dianggap mampu bersaing di pasaran dan berada pada posisi kuat.
123
Sebanyak 57,1 persen KUBE tidak mendapat pelayanan perlindungan, 37,5 persen KUBE masih mendapat perlindungan tetapi terbatas. Ini menunjukkan bahwa harga produk KUBE sudah mampu bersaing dan harga ditentukan oleh pasar. Terlihat adanya suatu kemandirian dalam KUBE. Tetapi dapat dibayangkan bagaimana KUBE harus bersaing dalam mekanisme pasar dengan hanya mengandalkan cara -cara tradisional, sementara pihak lain sudah menerapkan teknologi canggih. Penerapan teknologi baru dalam KUBE menjadi hal yang serius untuk dipikirkan di masa-masa yang akan datang. Untuk tahun 2005 Departemen Sosial sudah mulai melakukan uji coba penerapan teknologi tepat guna dalam KUBE bekerja sama dengan 5 perguruan tinggi (U SU, UNPAD, UNBRA, UNDIP dan UNHAS). Perlindungan mutu berkaitan dengan penetapan standar yang harus diikuti dalam menghasilkan suatu produk. Standarisasi dalam KUBE masih belum tersentuh. Konse ntrasi perhatian anggota KUBE masih pada produksi. P asar produk sangat terkait dengan mutu yang dihasilkan. Sulit bagi KUBE untuk bersaing dipasaran bila mutu kurang bagus. Tetapi, mutu belum menjadi prioritas, masih apa adanya. Ini terkait dengan akses pasar KUBE yang masih berada pada tingkat lingkungan dan lokal sehingga tidak menuntut perlindungan mutu yang harus ketat. Untuk beberapa produk seperti okulasi rambutan, pembuatan wajan, industri tenun, keterampilan manik -manik sudah mulai menerapkan perlindungan mutu sekalip un dalam kondisi yang terbatas, yaitu kontrol yang dilakukan dalam masa proses produksi, tetapi persentasi mereka masih kecil. Hasil yang kurang memenuhi standar tidak dipasarkan secara bebas, tetapi melalui pemasaran khusus.
Lingkungan Sosial KUBE
Norma / Nilai Budaya. Norma dan nilai budaya berkaitan dengan bagaimana keterkaitan KUBE dengan kebiasaan atau tradisi yang berlaku dalam masyarakat, bagaimana dukungan nilai dan norma masyarakat terhadap KUBE. Apa yang dimaksud dengan keterkaitan di sini ser ing sekali suatu usaha yang dikembangkan KUBE bertentangan dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat,
124
misalnya pemerintah sudah melarang mengembangkan ternak ayam di Kota Medan karena daerah kota tidak layak lagi untuk pengembangan ternak ayam dan dapat menggangu terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat sekitar, tetapi ada saja anggota KUBE yang tetap mengembangkan ternak ayam karena nilai bisnisnya sangat menguntungkan dan strategis. Usaha seperti ini kurang sesuai dan kurang didukung oleh nilai dan norma masyarakat. Pengertian keterkaitan di sini tidak selalu diartikan bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat tetapi dapat juga diartikan sebagai kesesuaian usaha yang dikembangkan oleh KUBE dengan kebutuhan sehari-hari masyarakat, misaln ya usaha industri tenun Sasirangan di Kalimantan Timur dengan kebutuhan masyarakat setempat akan hasil tenunan tersebut saling membutuhkan. Bagaimana keterkaitan KUBE dengan norma dan nilai budaya masyarakat, sebanyak 74,6 persen KUBE berada pada kategori cukup terkait, 17,9 persen KUBE berada pada kategori sangat terkait. Ini berarti bahwa usaha ekonomis produktif KUBE yang dikembangkan sangat relevan dengan budaya masyarakat, dan bahkan ? mungkin?
dapat membantu masyarakat sekitarnya dalam
memenuhi kebutuhan mereka. Hal yang sama juga terlihat dengan keterkaitan terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sebagian besar anggota KUBE mengata kan relatif terkait bahkan ada yang mengatakan sangat sesuai. Dari fakta-fakta di atas dapat dikatakan bahwa usaha -usaha ekonomis produktif yang dikembangkan oleh KUBE cukup relevan dengan nilai dan norma masyarakat yang ada. Kondisi-kondisi seperti ini merupakan suatu bentuk dukungan nyata dari nilai dan norma yang ada dan akan menjadikan KUBE menjadi tetap eksis, dukungan masyarakat juga akan mengalir dan pada akhirnya KUBE menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat. Selain keterkaitan budaya juga perlu dukungan masyarakat terhadap KUBE. Dukungan masyarakat di sini adalah bagaimana masyarakat memberikan penguatan-penguatan terhadap usaha yang dijalankan oleh KUBE, misalnya: adanya usaha-saha dari tokoh-tokoh masyarakat atau anggota masyarakat itu sendiri untuk membeli produk-produk yang sudah dihasilkan oleh KUBE tetapi bukan sebaliknya menjadi menjauhi. Dukungan masyarakat terhadap KUBE
125
sebagian besar berada pada kategori sedang dan sangat tinggi. Dukungan ini perlu dipertahankan dan semakin ditingkatkan sehingga KUBE dapat lebih maju. Keterkaitan dengan Tokoh Formal dan Informal. Hubungan yang terjalin antara KUBE dengan tokoh formal dan informal mempunyai arti yang penting bagi KUBE. Kehadiran tokoh formal dan informal tidak mengikat seperti halnya seorang pendamping yang ditunjuk secara resmi, yang berkewajiban untuk hadir dalam KUBE secara rutin. Seorang pendamping yang ditunjuk secara resmi untuk mendapingi KUBE tidak dianggap sebagai tokoh formal dan informal tetapi disebut sebagai pendamping. Sebanyak 64,3 persen KUBE mempunyai hubungan yang relatif kuat dengan tokoh formal dan informal dan 15,6 persen KUBE berada dalam kategori kuat. Terlihat hubungan yang relatif baik dengan tokoh formal dan informal. Hubungan itu terjadi pada umumnya secara informal, misalnya kemauan untuk berkunjung ke lokasi KUBE, bila ada pertemuan-pertemuan dengan masyarakat selalu menyinggungnya sebagai bentuk suatu pembinaan. U ntuk beberapa KUBE yang tidak memiliki pendamping, bila ada terjadi masalah dalam KUBE biasanya anggota KUBE selalu berkonsultasi dengan tokoh formal dan informa l yang berpengaruh di daerah tersebut baru mengambil keputusan. Keterlibatan mereka ini sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap warga masyarakatnya. Keterkaitan tokoh-tokoh formal dan informal seperti ini sangat diperlukan dalam rangka memberikan dukungan terhadap anggota KUBE, dengan demikian anggota KUBE merasa percaya diri bahwa mereka mendapat dukungan dari pemimpinnya. Sebaliknya kepedulian dan komitmen para tokoh formal dan informal sangat dibutuhkan dalam rangka pengembangan KUBE. Kepedulian dan komitmen para tokoh formal dan informal berada dalam kategori sedang. Terlihat kepedulian dan komitmen dari beberapa tokoh formal dan informal, seperti datang berkunjung ke KUBE pada saat penelitian dilakukan, responsif terhadap kehadiran peneliti, terbuka terhadap eksistensi KUBE, sharing tentang berbagai cara pembinaan KUBE, dan lain-lain. Namun jumlahnya masih terbatas. Sebagian ada di antara tokoh yang membantu pembinaan admintrasi KUBE.
126
Keterlibatan yang terlalu jauh juga dapat menimbulkan masalah dalam KUBE. Tokoh formal dan inf ormal tidak perlu terlibat terla lu jauh dalam prosesproses yang ada dalam internal KUBE, seperti dalam proses pengambilan keputusan kelompok. Mereka cukup berperan
memfasilitasi, memantau,
memberikan saran-saran, dorongan, perhatian dan bantuan materil bila mungkin. Keterlibatan tokoh masyarakat berada pada kategori sedang bahkan ada yang mengatakan sama sekali tidak terlibat dalam pengambilan keputusan. Akses terhadap lembaga keuangan. Akses terhadap lembaga keuangan berkaitan dengan pelayanan perbankan yang tersedia bagi kelompok-kelompok seperti KUBE, kejelasan akan informasi tentang pelayanan, keterjangkauan terhadap pelayanan, kemudahan untuk mendapatkan pelayanan, bagaimana pemanfaatan pelayanan untuk kepentingan KUBE. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa 64,7 persen akses KUBE terhadap pelayanan perbankan berada dalam kategori kurang atau terbatas, 18,8 persen akses tidak ada sama sekali. Akses pelayanan perbankan dapat berupa akses pelayanan yang disediakan oleh bank-bank umum, atau bank perkreditan rakyat, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya, seperti LKM (lembaga Keuangan Mikro) yang beroperasi di masyarakat. Pemerintah sudah menyediakan berbagai skim atau kredit pinjaman lunak yang ditujukan bagi pengusaha kecil atau sektor riil seperti KUBE sela ma ini, namun kelompok ini belum tersentuh oleh pelayanan tersebut kecuali bantuan yang diberikan oleh Departemen Sosial atau Dinas Sosial setempat. Alasan mereka tidak menggunakan pelayanan perbankan karena sangat tradisional, yaitu takut dipidana bilamana pinjaman tidak sanggup dikembalikan. Sebagian ada yang mengatakan tidak pernah tahu tentang pelayanan tersebut. Kalau ke rentenir bunga telalu tinggi, tidak sanggup untuk mengembalikan. Keuntungan tidak sesuai dengan besar pinjaman. Sehingga modal mereka menjadi sangat terbatas.
Keterbatasan pemanfaatan ini sangat terkait dengan tingkat
kemampuan dan pendidikan mereka yang terbatas dan juga keterbatasan dalam harta yang dapat dijadikan sebagai agunan atau jaminan pinjaman.
127
Pada sisi lain, kondisi kehidupan yang kurang menguntungkan dan legitimasi kelompok miskin yang diberikan oleh lembaga perbankan atau masyarakat umum terhadap kelompok ini cukup mewarnai tingkat kesulitan mereka dalam mengakses pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh perbankan. Kesulitan di sini berkaitan dengan persyaratan adminstrasi dan agunan yang harus disiapkan. Sementara mereka tidak memiliki harta kekayaan yang dapat diagunkan sebagai jaminan peminjaman uang. Peluang Pasar. Peluang pasar ini berkaitan dengan nilai bisnis usaha ekonomis produktif
(UEP)
yang
dikembangkan,
daya
saing,
kualitas
produksi,
keterjangkauan pasar, dan peluang pasar. Adanya peluang pasar mengakibatkan saingan yang lainnya menjadi terkalahkan, sebaliknya bila peluang pasar tidak ada usaha KUBE menjadi ambruk dan mungkin akan mati. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa peluang pasar KUBE 62,9 persen peluang pasar KUBE berada pada kategori sedang, dan 33 persen berada pada kategori tinggi. Dari data ini bahwa peluang pasar KUBE relatif bagus, tetapi masih pe rlu ditingkatkan. Diperlukan kreativitas untuk membaca pengalaman-pengalaman pasar yang sudah ada selama ini sehingga penguasaan pasar dapat lebih optimal. Adanya peluang pasar KUBE yang termasuk dalam kategori sedang tidak terlepas dari cakupan KUBE di da lam pemasaran hasil usaha yang masih bersifat tingkat lokal belum mencapai tingkat global, sehingga daya saing tidak terlalu tinggi. B ila pemasaran hasil usaha sudah masuk pada tingkat global persaingan semakin kuat, KUBE akan kalah bersaing dengan yang lain, karena mutu produk yang hasilkan kurang memenuhi standar. Namun, peluang pasar (lokal dan lingkungan) yang sudah dicapai oleh KUBE selama ini perlu dipertahankan bila mungkin ditingkatkan sampai tingkat global. Pasar yang dimaksud dalam hal ini berkaitan dengan kemudahan memasarkan hasil produksi ke pusat pasar yang dapat dilihat dari segi transportasi, jarak tempat produksi ke pasar apakah jauh atau dekat. Pasar di sini tidak selalu berarti pasar formal seperti yang biasa dilihat yang merupakan kumpulan orang-orang untuk melakukan transaksi barang-barang kebutuhan. Pasar di sini dapat juga berupa pasar kaki lima, warung yang ada diperkam-
128
pungan, transaksi terjadi di tempat produksi (pembeli datang ke tempat produksi) dan pasar-pasar sejenis, namun dapat menjadi kegiatan transaksi hasil produksi. Kualitas produk KUBE sudah relatif bagus. Bahkan ada beberapa produk seperti penangkar rambutan sudah menerapkan standar mutu yang harus dijual. Bilamana bibit rambutan yang dihasilkan mau dijual tidak memenuhi standar d, bibit tersebut tidak dipasarkan, karena akan mempengaruhi terhadap pemasaran berikutnya . Kualitas produk berkaitan dengan mutu produk yang dihasilkan yang sesuai dengan kebutuhan pelanggan. Mutu tidak selalu yang berkualitas tinggi, tetapi mutu berkaitan dengan kemampuan daya beli dan kebutuhan pelanggan atau pembelinya. Karena itu, dalam menciptakan produk KUBE harus memperhatikan kebutuhan pelanggan. Jaringan kerja sama . Jaringan kerjasama atau kemitraan kerja yang dimaksud adalah
ada
tidaknya
hubungan/jalinan
kerja sama
yang
menggambarkan
keterkaitan kegiatan dengan pihak luar yang dapat membawa keuntungan dan manfaat pada KUBE, bagaimana kemampuan KUBE dalam mengidentifikasi lembaga yang dapat menjadi mitra KUBE, kemampuan untuk menjalin, mempertahankan dan mengembangkan relasi kerja sama dalam berbagai bidang kegiatan, seperti: perencanaan usaha, penyediaan bibit unggul, penerapan teknologi, pemasaran hasil usaha, manfaatan jaringan terhadap KUBE dan prospek jaringan di masa-masa mendatang. Suatu usaha yang sudah berkiprah lama dan mempunyai modal yang cukup biasanya mempunyai jaringan kerjasama yang cukup luas. Jaringan ini sangat bermanfaat baik dalam penyediaan modal, pemasaran hasil usaha, pengembangan teknologi dan kerja sama lainnya. Jaringan kerjasama atau kemitraan dalam KUBE yang sedang diteliti, belum dimanfaatkan secara optimal dan belum sesuatu yang menentukan dalam KUBE tetapi sudah mulai berkembang (Gambar 19). Dari data dapat dikatakan bahwa jaringan kerjasama KUBE masih belum dapat diandalkan sebagai suatu komponen yang dapat menentukan keberhasilan KUBE. Lemahnya pengembangan jaringan KUBE berkaitan dengan kemampuan anggota KUBE yang serba terbatas terutama untuk berhubungan dengan dunia luar. Pada sisi lain produk yang dihasilkan masih
129
sangat tradisional belum mampu memenuhi standar atau kriteria umum. Diperlukan usaha kerja keras untuk membenahinya terutama dari pihak pendamping. Dilihat dari kondisi pasar sekarang ini, tidaklah sulit untuk membangun suatu jaringan kerjasama, karena di satu sisi pihak pengusaha besar juga membutuhan mitra kerja pada posisi hilir yang dapat memproduksi dan memasarkan berbagai hasil usaha. Yang terutama sekarang ini bagaimana KUBE mampu membaca peluang yang ada.
%
63,8
15,6
14,3
6,3
Tidak ada
Kurang
Sedang
Baik
Gambar 19: Jaringan Kerjasama / Kemitraan Kerja yang Terbentuk
Ketersediaan sumber daya . Sumber daya meliputi segala sesuatu baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE untuk mencapai tujuan KUBE, seperti: lahan, perlatan, dana, tenaga, dukungan sosial, bahan baku, dan lain-lain Ketersediaan sumber daya yang diukur dalam penelitian ini meliputi bagaimana akses KUBE terhadap pemanfaatan sumbersumber yang ada, bagaimana ketersediaan informasi
tentang sumber daya,
ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan, kesempatan kelompok untuk mendapatkan sumber daya dan bagaimana kemudaha n kelompok untuk mendapatkan sumber daya. Sumber daya ini merupakan input bagi KUBE. Sebanyak 50 persen KUBE mengatakan sumber daya tersedia dengan kategori terbatas, 42 persen mengatakan sumber daya sangat minim atau sangat terbatas. Keterbatasan ini akan mempengaruhi terhadap kinerja KUBE. Produktivitas akan berkurang karena input terbatas.
130
Akses yang tersedia bagi KUBE untuk memanfaatkan berbagai sumber menjadi hal yang menentukan. A kses terhadap berbagai sumber daya dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu adanya kemampuan internal anggota KUBE seperti kemampuan untuk mengidentifikasi ketersediaan sumber yang dapat dimanfaatkan, kemampuan untuk mengolah, kemampuan melakukan bargaining, kemamuan untuk memulihkan kembali, dan lain-lain. Faktor eksternal berkaitan dengan peluang-peluang yang diberikan oleh lingkungan dalam proses pemanfaatan sumber, seperti pemanfaatan lahan kosong, kesempatan pemasaran hasil usaha dalam swalayan, dalam pameran-pameran tertentu. Bagaimana akses KUBE terhadap sumber-sumber yang ada , data menunjukkan sebagian besar berada pada kategori rendah (42,4 persen) dan tidak ada akses sama sekali (29,9 %). Dari hasil ini, dapat dikatakan bahwa KUBE belum terintegrasi dengan lingkungannya secara baik. Diperlukan usaha -usaha kerja keras. Akses yang diperoleh KUBE sangat terkait dengan ketersediaan informasi. Sebagian besar KUBE (52,2 %) sudah mendapatkan informasi tentang sumbersumber dalam kategori sedang atau cukup lumayan, kemudian disusul dengan kategori rendah. Tidak ada anggota KUBE yang tidak mendapatkan sumber informasi. Berangkat dari data ini, terlihat bahwa persoalan yang sesungguhnya bukan persoalan eksternal tetapi lebih pada persoalan internal, yaitu kemampuan internal anggota KUBE dalam mengolah sumber daya. Sebagai implikasinya diperlukan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan anggota KUBE, selain itu proses pendampingan menjadi hal yang penting. Berkaitan dengan ketersediaan sumber daya, sebagian besar KUBE (71,4 %) memiliki sumber daya dengan kategori sedang, kemudian pada kategori rendah. Tetapi ada 10,3 persen
KUBE berada dalam kategori tinggi dalam
ketersediaan sumber. Bila dilihat dari fakta ini,
KUBE memiliki sumber daya
yang dapat dimanfaatkan. Tinggal bagaimana KUBE memanfaatkannya secara maksimal. Dalam pemanfaatan sumber daya, sebagian besar KUBE (50 %) berada dalam kategori rendah, kemudian kategori se dang. Fakta ini menunjukkan bahwa KUBE harus bekerja lebih keras dalam pemanfaatan sumber daya yang ada.
131
Dilihat dari kesempatan KUBE dalam pemanfaatan sumber, sebagaian besar berada dalam kategori sedang bahkan ada dalam kategori tinggi sebesar 7,6 persen. Dari dua fakta yang terakhir ini dapat dikatakan bahwa KUBE mempunyai peluang besar dalam pemanfaatan sumber daya, tetapi perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan anggota KUBE seperti melalui pelatihan, pembinaan, dan pendampingan yang lebih intensif. Ancaman. Acaman di sini berkaitan dengan acaman ketersediaan bahan baku untuk produksi, ancaman pencurian hasil usaha dan ancaman pemutusan hubungan kerja. Bahan baku merupakan hal yang penting dalam kegiatan usaha, bila bahan baku tidak tersedia usaha bisa macet bahkan mati. Tidak sedikit usaha yang bangkrut karena bahan baku sulit didapat. Banyak faktor yang menyebabkan bahan baku sulit diperoleh, antara lain: harus didatangkan dari daerah lain, harganya mahal, seperti rumput di musim kemarau untuk makanan ternak, ada karena penyakit. Bagimana kesulitan anggota KUBE di dalam penyediaan bahan baku. Data menunjukkan bahwa acaman bahan baku kadang-kadang sulit kadangkadang mudah didapat. Dari gambaran di atas dapat diprediksi bahwa anggota KUBE masih kesulitan dalam penyediaan bahan baku, mereka harus bekerja ekstra keras agar bahan baku tersedia dengan cukup. Selain ancaman di atas, ancaman terhadap jaringan kerja juga dapat terjadi. Jaringan kerja atau kemitraan KUBE yang sudah terbentuk selama ini masih belum optimal diperlukan usaha kerja keras untuk membangun suatu jaringan kerja yang saling menguntungkan. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas jaringan kerja KUBE yang ada selama ini, antara lain: kualitas produksi yang dihasilkan KUBE masih belum memenuhi standard mutu konsumen, seperti ijin produksi, label nama, lebel halal, kemasan, dan lain -lain; produksi masih terbatas karena sistem kerja KUBE masih bersifat tradisional sehingga sulit untuk memenuhi permintaan konsumen; KUBE merupakan kelompok marginal yang kurang diperhitungkan oleh para pengusaha karena status kemiskinan yang melekat pada diri mereka; para pengusaha menganggap bahwa bermitra dengan KUBE hanyalah menuntut suatu tanggung jawab untuk membina dan membantu KUBE. Melihat kondisi ini upaya membangun jaringan kerja menjadi sesuatu hal
132
yang penting dan prioritas yang harus diwujudkan oleh KUBE dan pendamping, sehingga kegiatan KUBE dapat lebih optimal.
Dinamika Kehidupan KUBE Dalam pembahasan ini dinamika kehidupan KUBE berkaitan dengan bagaimana pencapaian tujuan, bagaiaman struktur kelompok apakah ada secara lengkap, bagaiaman pelaksanaan fungsi tugas kelompok, bagaimana pembinaan kelompok, bagaiaman kekompakan kelompok, bagaiamana ketegangan kelompok yang ada, bagaimana keefektifan kelompok, bagaimana kepemimpinan yang diterapkan dalam kelompok dan bagaimana kepuasan yang dirasakan oleh anggota KUBE. Tujuan KUBE . Dari beberapa tujuan KUBE yang diidentifikasi, secara umum dapat dirumuskan yaitu: usaha dapat berjalan langgeng dan lanc ar, meningkatnya pendapatan anggota KUBE, meningkatkan kesejahteraan anggota KUBE, anakanak dapat meneruskan pendidikannya jangan sampai ada yang putus sekolah, modal KUBE dapat meningkat, adanya kerjasama yang baik di antara sesama anggota KUBE. Sebagia n KUBE tidak mempunyai tujuan, sebagian sudah ada, tetapi tidak dijadikan acuan dalam proses kegiatan yang dilakukan. Sebagian kecil KUBE sudah menjadikan tujuan sebagai acuan dalam kegiatan yang dilakukan, ada sebagian benar -benar sudah dijadikan acuan da lam kegiatan KUBE (Gambar 20). Bila dilihat dari hasil ini, anggota KUBE kurang memperhatikan tujuan KUBE, mereka lebih menitikberatkan pada hasil. Ukuran pendapatan yang diperoleh merupakan segala -galanya, bila pendapatan meningkat KUBE dianggap sebagi sesuatu yang berhasil. Keterbatasan kemampuan anggota menjadikan rumusan tujuan KUBE tidak ada. Karena itu kehadiran pendamping sangat diperlukan untuk membimbing anggota KUBE tersebut. Tujuan ini perlu dipahami karena akan mempengaruhi terhadap motivasi anggota KUBE. Kejelasan rumusan tujuan KUBE juga menjadi suatu hal yang menentukan. Bila tujuan KUBE rasional, ada kemungkinan pencapaiannya,
133
mungkin anggota akan termotivasi untuk mencapainya, tetapi sebaliknya bila tidak rasional mungkin hanya sebagai angan-angan saja dan tidak ada usaha untuk mencapainya. Hasil menunjukkan bahwa rumusan tujuan kelompok masih kurang jelas, perlu dirumuskan kembali dan disepakati oleh anggota semuanya. Selain itu, tujuan perlu disosialisasikan kepada semua anggota KUBE secara terus-menerus hingga anggota KUBE dapat memahami secara benar.
Sebagian besar tercapai
9,4 68,3
Sebagian kecil tercapai Belum dijadikan acuan Tidak ada tujuan
17 5,4
Gambar 20: Pencapaian Tujuan Kelompok
Selain tujuan kelompok harus jelas, tujuan kelompok juga harus sesuai dengan tujuan individu, jangan sampai terjadi perbedaan. Bila terjadi perbedaan tujuan individu dengan tujuan kelompok biasanya anggota menjadi kurang termotivasi untuk mencapainya. Data menunjukkan bahwa tujuan kelompok KUBE relevan dengan tujuan individu, tidak terlihat perbedaan yang jauh. Bagaimana pun kondisinya sosialisasi tujuan kelompok perlu dilakukan secara terus-menerus. Struktur Kelompok . Struktur kelompok berkaitan dengan ada tidaknya struktur KUBE dan bagaimana penerapannya, bagaimana pembagian tugas di antara anggota, bagaimana hubungan struktural yang terjadi di antara anggota, dan bagaimana pemahaman anggota terhadap struktur yang ada. Diperoleh gambaran bahwa ada KUBE yang belum lengkap struktur organisasinya, hanya ada ketua saja. Sebagian ada yang sudah lengkap tetapi kurang dijalankan, sebagian ada yang sudah lengkap termasuk bagian-bagiannya dan pelaksanaan tugas-tugas sudah berjalan sesuai dengan struktur yang ada .
134
Bagaimana keberadaan struktur KUBE saat ini. Sebagian besar KUBE sudah memilki struktur kelompok, namun belum diterapkan dalam pelaksanan tugas. Struktur yang ada dalam KUBE cenderung hanya merupakan dokumen saja, belum dijalankan menurut struktur yang ada. Khusus mengenai administrasi, banyak tugas -tugas yang dikerjakan hanya oleh beberapa orang yang aktif dalam KUBE, seda ngkan yang lainnya sebagai pengikut saja. Tetapi tidak dapat disalahkan kenapa harus demikian, bila dilihat dari tingkat pendidikan anggota sangat terbatas, mereka tidak memahami soal administrasi atau pe mbukuan, mereka lebih memilih untuk bekerja menyelesaikan tugas-tugas operasional daripada menyelesaikan tugas administrasi. Diperlukan pelatihan-pelatihan yang intensif sehingga anggota mampu melakukan tugas masing-masing yang menjadi tanggung jawabnya. Keberhasilan penerapan suatu struktur kelompok tidak saja hanya ditentukan oleh lengkap tidaknya struktur kelompok, tetapi bagaimana pemahaman dari anggota yang tergabung dalam struktur tersebut. Terlihat dari data di atas bahwa anggota kelompok masih belum sepenuhnya memahami keberadaan struktur KUBE yang ada. Diperlukan sosialisasi tentang arah dari struktur kelompok yang ada. Dilihat dari kondisi ini, bahwa penerapan struktur kelompok belum seperti yang diharapkan masih diperlukan pembenahanpembenahan. Perlu adanya pembinaan yang secara khsusus yang ditujukan untuk penataan struktur kelompok KUBE. Fungsi Tugas Kelompok . Fungsi tugas kelompok berkaitan dengan fungsi dalam menyampaikan informasi, fungsi dalam koordinasi, fungsi penjelasan bilamana ada tugas atau permasalahan yang perlu dijelaskan, fungsi pemecahan masalah (problem solving). Kenyataan di lapangan fungsi-fungsi ini sebagian besar berpusat pada ketua saja kurang terdistribusi pada anggota. Sebanyak 56,3 persen pelaksanaan fungsi tugas berada pada kategori sedang dan 30,8 persen berada pada kate gori sangat baik. Dari hasil ini terlihat bahwa pelaksanaan fungsi tugas KUBE sudah berjalan dengan baik. Keberhasilan ini tentu tidak terlepas dari interaksi di antara anggota KUBE yang relatif aktif. Banyak kesamaan latar belakang kehidupan di antara anggota seperti daerah asal,
135
suku, tempat tinggal, pengalaman. Akibatnya banyak pertemuan-pertemuan intensif yang terjadi di antara mereka, seperti pengajian, hajatan, dan lain-lain. Semua ini menjadi sarana informal yang mempertemukan di antara sesama anggota KUBE. Pelaksnaan fungsi tugas tidak hanya dijalankan pada pertemuan formal yang sudah dijadwalkan dalam KUBE, tetapi dalam pertemuan informal seperti pengajian atau pertemuan lainnya pelaksanaan fungsi tugas tetap berjalan, seperti penyampaian informai, koordinasi tugas, penyelesaian masalah-masalah bila ada, dan lain -lain. Karena intensifnya pertemuan-pertemuan informal seperti ini dalam pengembangan
KUBE, maka bagi seorang pendamping KUBE pertemuan
informal perlu menjadikannya sebagai sarana pertemuan menjadi bagian yang integral dari pembinaan KUBE, di samping pertemuan formal yang sudah terjadwal. Pembinaan dan Pengembangan Kelompok. Pembinaan dan pengembangan kelompok berkaitan dengan penumbuhan dan pengembangan partisipasi anggota, penyediaan fasilitas yang digunakan KUBE, pelaksanaan berbagai aktivitas KUBE, sosialisasi kegiatan, penciptaan hubungan di antara anggota KUBE, serta penentuan standar d kerja yang harus dijalankan. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan pada tiga kategori: kurang, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa pelaksanaan pembinaan dan pengembangan KUBE 62,5 persen masih berada dalam kategori sedang dan 38,4 berada dalam kategori kurang. Pembinaan dan pengembangan kelompok dapat dilakukan oleh pengurus kelompok atau penda mping kelompok atau instansi pemerintah terkait. Masa transisi yang dihadapi KUBE seja k tahun 1997 hingga sekarang ini memang merupakan masa-masa krisis, terutama karena diterapkannya otonomi daerah. Terjadi proses pengalihan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara pemerintah daerah belum siap menerima limpahan atau pengalihan yang ada, baik dari segi SDM apalagi dari segi pendanaan. Dari segi SDM sangat terbatas jumlah SDM yang dapat memahami konsep-konsep penanganan permasalahan sosial, dari segi sarana juga mengalami hal yang sama dan keterbatasan alokasi dana untuk permasalahan sosial.
136
Di satu sisi, apresiasi pemerintah daerah terhadap program-program eks pemerintah pusat sepeti KUBE relatif kurang mendapat perhatian, terutama dari segi pendanaan. Program -program sosial seperti ini dianggap sebagai program yang konsumtif yang hanya menghabiskan dana. Pendamping yang ada selama ini sudah ditarik menjadi pegawai pemda yang kewenangan pengendaliannya ada pada pemerintah daerah, sebagian ada yang pindah tugas ke daerah asal masingmasing. Sementara pemerintah pusat sangat memiliki keterbatasan untuk menja ngkau kelompok-kelompok KUBE tersebut, baik dari segi dana maupun tenaga. Karena kondisi ini dapat dikatakan bahwa pembinaan terhadap KUBE praktis menjadi terbatas. Agar pembinaan dan pengembangan KUBE tetap berjalan lancar, usaha sosialisasi program-program yang bernuansa sosial kepada pemerintah daerah perlu dilakukan, sehingga pemerintah daerah memberikan apresiasi yang baik terhadap program-progam sosial, termasuk KUBE. Karena bagaimana pun, pemberdayaan kelompok ini merupakan asset bangsa yang tidak kalah pentingnya dengan kelompok-kelompok lainnya. Mereka mempunyai peranan penting dalam pembangunan bangsa ini. Kekompakan kelompok. Bila kekompakan tercipta biasanya rencana kegiatan akan mudah dilakukan, sebaliknya bila perpecahan atau ketidakenakan dalam kelompok terjadi kegiatan sulit dikoordinasikan. Kesamaan persepsi dan pemahaman di antara kelompok sangat mempengaruhi kekompakan, bila pemahaman berbeda tentulah kekompakan kelompok akan sulit dibangun. Kekompakan kelompok bukanlah suatu usaha yang mudah dilakukan, namun diperlukan kerja keras dari pimpinan untuk melakukannya. Kekompakan kelompok berkaitan dengan identifikasi keanggotaa n KUBE, perwujudan kesatuan dan persatuan kelompok, homogenitas keanggotaan KUBE, kerjasama anggota yang terbentuk, dan keharmonisan hubungan di antara anggota kelompok.
Kesamaan latar belakang anggota dapat dijadikan sebagai modal
dalam membina dan mengembangkan kekompakan anggota KUBE. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan pada tiga kategori: kurang, sedang dan baik menunjukkan bahwa sebagaian besar (73,2 %) kekompokan kelompok
137
berada pada kategori sedang kemudian diikuti kategori sangat baik, sedangkan persentase yang lainnya kecil. Berangkat dari fakta ini dapat dikatakan kekompokan kelompok sudah mulai bagus namun perlu ditingkatkan. Diperlukan upaya -upaya yang dapat lebih mempererat kekompakan anggota KUBE. Bila dilihat dari latar belakang kehidupan anggota KUBE seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya ,
mereka memiliki banyak persamaan seperti:
pengalaman, suku, daerah asal, tempat tinggal, jenis usaha. B iasanya semakin banyak persamaan latar belakang kekompakan kelompok semakin tinggi. Namun dalam kasus ini terjadi suatu situasi yang terbalik. Terlihat adanya sedikit kemunduran dalam kekompakan kelompok. Perubahan kehidupan modernisiasi yang terjadi sekarang banyak mempengaruhi kehidupan kelompok KUBE. Karena terjadinya perubahan terjadi pergesaran dalam interaksi di antara sesama anggota KUBE. Terkait dengan pergeseran kekompakan kelompok tersebut, maka identifikasi anggota perlu dilakukan sehingga antara yang satu dengan yang lainnya saling kenal dan saling memahami. Identifikasi ini tidak hanya menyangkut anggota KUBE itu sendiri, tetapi termasuk keluarganya istri atau suami dan anak-anaknya dan anggota keluarga yang lainnya. Diharapkan melalui identifikasi akan terjadi pengenalan kepribadian yang semakin dalam di antara sesama keluarga anggota KUBE, dengan demikian di antara sesama KUBE tumbuh kekompakan yang semakin baik. Ketegangan kelompok . Ketegangan kelompok sangat banyak dipengaruhi oleh persaingan internal dan eksternal yang terjadi di antara sesama anggota kelompok dan antara KUBE baik yang positif maupun yang negatif, konflik yang terjadi di antara anggota KUBE, kebebasan yang ada dalam kelompok, tantangan dan peluang yang ada dan sanksi yang diterapkan. Perlu disadari bahwa ketegangan yang terjadi dalam kelompok adalah hal yang biasa dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengembangkan kelompok, tetapi ketegangan yang berkelanjutan adalah hal yang tidak biasa dan harus diatasi, karena dapat menghancurkan kelompok. Sebanyak 78,6 persen anggota KUBE merasakan adanya ketegangan dalam kategori cukup berpengauh. Dilihat dari fakta ini, dapat dikatakan bahwa
138
ketegangan yang terjadi dalam kelompok cukup berpengaruh dalam kehidupan KUBE. Ketegangan kelompok sangat berkiatan dengan kekompakan kelompok. Tidak mungkin tercipta kekompakan kelompok kalau ketegangan kelompok tinggi. Tetap tidak juga menjadi jaminan ketegangan kelompok yang rendah menjadikan kekompakan kelompok menjadi tinggi. Ketegangan kelompok berbeda dengan kekompakan kelompok. Ketegangan kelompok bisa muncul bisa tidak. Ketegangan kelompok dapat seperti api dalam sekam, tidak muncul ke permukaan. Kalau kekompakan kelompok jelas bisa dilihat dan ada dipermukaan. Ketegangan kelompok sangat mempengaruhi kehidupan KUBE. Karena itu, ketegangan kelompok harus dihindari sehingga tidak sampai menimbulkan dampak yang lebih buruk. Ketegangan kelompok dapat terjadi karena masalah-masalah internal di antara sesama kelompok dan masalah eksternal di antara sesama anggota KUBE. Masalah seperti ini dapat terjadi karena persaingan, karena salah paham, kare na pekerjaan, karena masalah pribadi dan lain-lain. Persaingan ini dapat bersifat positif dan negatif. Tekanan yang terjadi dalam kelompok juga dapat mempengaruhi ketegangan kelompok, seperti pencapaian target-target tertentu yang harus dicapai, ketatnya peraturan yang harus ditaati dan beratnya sanksi yang harus diterima bilamana melakukan kesalahan. Semuanya menjadi sumber ketegangan dalam KUBE. Namun, sumber-sumber ketegangan seperti ini relatif sulit ditemukan dalam KUBE, karena mereka pada umumnya (tidak semuanya KUBE) hidup dalam suasana informal yang bebas dari keterikatan seperti halnya dalam perusahaan yang waktu bekerjanya sangat ketat. Karena kondisi yang demikian, maka ketegangan kelompok relatif tidak ada . Namun perlu dicatat, bahwa sifat keinformalan KUBE yang terlalu tinggi dapat menjadikan produktivitas KUBE menjadi menurun. Keefektifan Kelompok. Keefektifan kelompok berkaitan dengan sejauh mana hasil atau produktivtas yang dihasilkan oleh KUBE, bagaimana semangat kerja dan kesungguhan anggota dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dan bagaimana keberhasilan anggota dalam mencapai kebutuhan pribadi masing-
139
masing. Produktivitas yang dihasilkan oleh KUBE dapat bersifat sosial dan ekonomi. Hasil pengukuran penelitian yang dikelompokkan dalam empat kategori: tidak, kurang, sedang dan tinggi menunjukkan bahwa sebagian besar keefektifan kelompok KUBE berada pada kategori sedang, kemudian diikuti persentase kategori tinggi. Dari gambaran ini keefektifan KUBE dapat dikatakan masih banyak terkait dengan rutinitas belum pada hal-hal yang bersifat inovatif. Sebagaimana yang sudah disinggung di atas bahwa keefektifan kelompok berkaitan dengan hasil atau produktivitas yang sudah dihasilkan oleh kelompok. Tetapi bila dilihat hasil atau produktivitas KUBE, keberhasilan efektifitas KUBE lebih terlihat pada aspek sosial dari pada aspek ekonomi. Ini dapat terjadi karena beberapa variabel ekonomi belum dapat diwujudkan seperti: pengguliran, tabungan, pengelolaan IKS, pengembangan jenis usaha belum dilaksanakan sebagai mana mestinya. Bila dilihat sejauh mana efektivitas
KUBE, data
menunjukkan bahwa 78,1 persen ektivitas KUBE berada pada kategori sedang, sedangkan sisanya berada pada tiga kategori lainnya secara merata. Dari distribusi persentasi ini dapat dikatakan bahwa efektivitas KUBE cukup lumayan, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi. Peningkatkan produktivitas dapat dilakukan dengan mengoptimalkan semua sumber daya yang ada pada KUBE. Selain hasil atau produktiv itas yang dilihat sebagai indikator dari efektivitas kelompok, semangat dan kesungguhan anggota juga merupakan hal yang penting dalam membangun efektivitas kelompok. Sebanyak 65,6 persen anggota menunjukkan semangat dan kesungguhan dalam mewujudkan tujuan kelompok berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori rendah dan tinggi. Tingginya semangat dan kesungguhan anggota biasanya sangat terkait dengan pencapaian tujuan yang ingin dicapai oleh anggota KUBE. Bila tujuan semakin terpenuhi maka semangat dan kesungguhan anggota akan semakin tinggi. Sejauh mana keberhasilan anggota dalam pencapaian kebutuhan pribadinya. Data menunjukkan bahwa 70,1 persen anggota KUBE pemenuhan kebutuhan pribadinya berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori tinggi. Fakta ini menggambarkan bahwa tujuan pribadi anggota KUBE sangat relevan dengan tujuan KUBE yang ingin dicapai. Menurut Slamet (2001)
140
suatu kelompok akan semakin ekfektif bilamana tujuan kelompok semakin relevan dengan tujuan individu. Kepemimpinan. Kepemimpinan yang diterapkan di sini meliputi: gaya kepemimpinan yang diterapkan, peranan sebagai pengurus maupun sebagai anggota yang ditampilkan, tanggung jawab yang dijalankan, pelimpahan wewenang kepada anggota dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, kekuasaan yang dijalanakan dan persuasi yang diterapkan dalam menjalankan kepemimpinan tersebut. Adalah wajar dalam suatu kepemimpinan ada yang merasa senang dan ada yang kurang senang dalam kepemimpinan yang diterapkan. Tergantung bagaimana orang mempersepsi kepe mimpinan tersebut. Gaya kepemimpinan ya ng diterapakan sangat mempengaruhi terhadap kinerja kelompok. Pengukuran gaya kepemimpinan ini bergerak pada dua kontinum dari gaya kepemimpinan yang bersifat otoriter hingga gaya kemepimpinan yang demokratis. Data menunjukkan bahwa 72,8 anggota KUBE mengatakan bahwa gaya kepemimpinan yang diterapkan mengarah pada gaya kepemimpinan yang bersifat demokratis , tetapi 19,2 persen mengatakan mengarah pada gaya kepemimpinan yang bersifat otoriter. Dilihat dari kehidupan demokrasi yang ada sekarang, gaya kepemimpinan ini merupakan gaya kepemimpinan yang paling ideal. Didasarkan pada keberhasilan KUBE yang sudah dicapai selama ini, gaya kepemimpinan demokratis patut dipertahankan, namun perlu disesuaikan dengan perubahan yang t erjadi. Terkait dengan gaya kepemimpinan yang diterapkan, peranan pengurus dalam mengelola KUBE masih terbatas, demikian juga dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai pengurus. Para pengurus kurang proaktif dalam pelayanan dan pelaksana an tugas-tugas. Kekuasaan yang dijalanakan ketua masih dominan. Agar kehidupan KUBE menjadi lebih baik, kekuasaan pengurus KUBE perlu diseimbangkan dengan kondisi kelompok, sehingga tidak terkesan mendominasi KUBE. Di dalam menjalankan kekuasaan sebagai pengurus, pengurus perlu menerapakan pendekatan persuasif dalam kepemimpinan. Pelimpahan wewenang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan kelompok. Pelimpahan wewenang merupakan suatu bentuk kepercayaan
141
atas kemampuan seseorang untuk melaksanakan tugas dan tangung jawab yang diberikan. Tidak mungkin semua pekerjaan harus ditangani oleh pimpinan atau ketua, tetapi harus didelegasikan kepada orang lain yang ada dalam kelompok tersebut. Karena itu, pelimpahan wewenang merupakan suatu proses yang harus berlangsung dalam kelompok. Data menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang dalam KUBE masih sangat terbatas. Namun, bagaimana pun kondisi ini tidak terlepas dari tingkat kemampuan SDM yang ada, yang masih termasuk kategori lemah. Untuk mengatasi hal ini diperlukan pelatihan-pelatihan praktis kepada anggota yang berkaitan dengan tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh KUBE. Kepuasan sebagai Anggota KUBE. Tentu sebagai anggota KUBE ada keuntungan yang diharapkan. Sulit bagi seseorang untuk masuk menjadi anggota kalau tidak ada keuntungan yang diharapkan. Bagaimana perasaan anggota atas hasil keuntungan yang diperoleh dari KUBE yang dikelompokkan dalam empat kategori: tidak puas, kurang puas, puas dan sangat puas menunjukkan bahwa 65,6 persen anggota berada dalam kategori puas, dan 18,3 persen berada dalam kategori sangat puas. Dari data ini terlihat bahwa pada umumnya anggota KUBE ada rasa kepuasan atas keuntungan yang diperoleh, namun belum maksimal. Keuntungan di sini tidak hanya dalam bentuk uang yang diperoleh tiap bulannya, tetapi juga dalam bentuk penambahan modal (investasi) , seperti ternak yang tadinya hanya 1 ekor sekarang sudah 3-5 ekor sapi. Mereka belum pernah menjualnya, tetapi mereka puas atas hasil tersebut dan melihatnya itu sebagai keuntungan. Bila dilihat dari tingkat pendapatan keluarga hanya Rp 747.522,- per keluarga dengan jumlah tanggungan antara 3-4 orang. Kepuasan anggota KUBE sangat berkaitan dengan keberadaannya dalam KUBE. Tentu orang yang merasa puas akan berusaha untuk meneruskan KUBE agar tetap ada, tetapi orang yang merasa kurang puas akan mengundurkan diri dari KUBE. Sejauh mana keinginan anggota KUBE untuk meneruskan kelompok yang sudah ada. Sebagain besar anggota KUBE mengatakan sangat menginginkan KUBE tetap ada. Keinginan ini sangat terkait dengan eksistensi KUBE sebagai sumber penghasilan utama sebagian besar anggota KUBE.
142
Sejalan dengan tingkat kepuasan sebagai anggota KUBE, tentu harus diikuti dengan tingkat partisipasi sebagai anggota KUBE. Data menunjukkan bahwa partisipasi anggota berada dalam kategori sedang, masih diperlukan pembenahan-pembenahan Kondisi ini dapat terjadi karena kegiatan KUBE bukan merupakan mata pencaharian utama semua anggota KUBE, sebagian di antara mereka (40,2 %) menjadikan kegiatan KUBE sebagai kegiatan sampingan. Agar keberhasilan KUBE lebih maksimal, maka kegiatan-kegiatan KUBE harus dirancang sehingga menjadi sumber mata pencaharian utama semua anggota. Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menjadi KUBE sebagai sumber mata pencaharian utama, seperti: memperbesar modal usaha, memberikan pelatihanpelatihan yang sesuai jenis usaha anggota, membuka jaringan dengan berbagai pihak, mengintegrasikan KUBE dengan teknologi tepat guna, melakukan pemasaran secara intensif. Menjadikan KUBE sebagai sumber penghasilan utama anggota akan menjadikan KUBE semakin eksis.
Tingkat Keberhasilan KUBE Aspek Sosial Kerjasama sesama anggota. KUBE sebagai salah satu bentuk usaha bersama, salah satu aspek yang menjadi cirinya adalah adanya kerjasama di antara sesama anggota. Kerjasama di sini adalah bagaimana mereka saling bersama (sharing), diskusi, tukar pendapat atau berinteraksi bilamana ada hal yang akan dicapai atau dalam istilah populernya koordinasi di antara anggota, bagaimana anggota membagi tugas dalam penyelesaian pekerjaan yang harus dijalankan, bagaimana penyelesaian tugas bilamana menemui kesulitan, bagaimana anggota KUBE saling menghargai antara sesama pengurus, sesama anggota dan antara anggota dengan pengurus .
Ssebagian besar (72,3 %) KUBE menunjukkan kerjasama
anggota berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori sangat tinggi. Berangkat dari data ini dapat dikatakan bahwa filosofi usaha bersama KUBE sudah dijalankan. Koordinasi bisa diwujudkan dalam bentuk diskusi, sharing atau saling tukar pendapat di antara sesama anggota. Koordinasi merupakan suatu wujud dari
143
bentuk kerjasama di antara anggota KUBE. Tentu banyak yang didiskusikan atau dibicarakan berkaitan dengan tugas yang akan dilakukan. Bila tugas dijalankan secara sendiri-sendiri tanpa koordinasi dengan anggota yang lainnya menunjukkan bahwa kerjasama di antara sesama anggota belum berjalan dengan baik. Data menunjukkan bahwa koordinasi di antara sesama anggota sebagaian besar berada dalam kategori sedang. Bila dilihat dari aspek ini, koordinasi dalam KUBE sudah mulai berjalan dengan baik, tetapi masih perlu ditingkatkan. Sebagai suatu kelompok tentu di dalamnya ada pembagian tugas, pembagian tugas hendaknya merata dari satu orang hingga semua anggota terdistribusi secara merata. Namun beberapa kasus kelompok ditemukan bahwa pelaksanaan kegiatan atau tugas-tugas KUBE hanya dibebankan pada beberapa orang saja, sementara anggota yang lainnya tidak dilibatkan. Bagaimana pembagian tugas dalam KUBE yang sedang diteliti. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (50,4 %) KUBE pembagian tugasnya berada dalam kategori kurang, kemudian disusul dengan kategori sedang dan sangat baik dengan persentase yang relatif sama. Bila dilihat dari hasil ini, pembagian tugas dalam KUBE masih belum merata, masih banyak KUBE yang tugas -tugasnya hanya dikerjakan oleh satu orang. Ini sangat terkait dengan hasil yang menunjukkan bahwa KUBE belum merupakan pekerjaan utama bagi semua anggota KUBE. Kesulitan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan KUBE. Kesulitan bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi sesuatu yang harus dihadapi dan diatasi. Suatu KUBE diharapkan anggotanya dapat saling bekerja sama bila menghadapi kesulitan dalam penyelesaian tugas. Hasil menunjukkan 83,9 persen KUBE berada dalam kategori sedang dalam penyelesaian tugas bila ada kesulitan. Budaya kerjasama di antara sesama anggota KUBE bukanlah sesuatu hal yang baru, tetapi sudah merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, karena mereka sejak usia dini sudah ditanamkan nilai-nilai kerjasama bagaimana saling membantu di antara sesama. Kondisi seperti ini sudah membudaya dalam kehidupan anggota KUBE,
proses pendampingan
hanya tinggal mengarahkan anggota sehingga bentuk kerjasama tersebut semakin terarah. Tetapi diperlukan pemahaman pendamping yang mendalam tentang budaya atau kebiasaan hidup anggota KUBE tersebut.
144
Kesediaan memberikan pertolongan. Salah satu filosofi KUBE adalah saling tolong menolong antara yang kuat dengan yang lemah, antara yang mampu dengan yang tidak mampu, antara yang berpendidikan dengan yang tidak berpendidikan, antara yang terampil dengan yang tidak terampil, antara yang muda dengan yang tua sehingga konsep saling tolong menolong benar-benar dapat terwujud dalam kehidupan KUBE. Kesediaan anggota KUBE dalam memberikan pertolongan kepada orang lain, meliputi: kepedulian anggota terhadap anggota dan orang lain, sikap penerimaan terhadap orang lain, dan kesungguhan anggota untuk memberikan pertolongan pada orang lain. Sebagian besar (73,2 %) anggota KUBE menunjukkan sikap kesediaan memberikan pertolongan anggota KUBE kepada orang lain dalam kategori sedang, dan sisanya pada kategori sangat baik. Fakta ini menunjukkan bahwa sikap membantu di antara sesama anggota KUBE sudah mulai membudaya. Bagi seorang pendamping fakta ini menjadi entry point dalam pengembangan kebersamaan kehidupan KUBE tersebut. Kesediaan memberikan pertolongan kepada orang lain diawali karena adanya sikap kepedulian terhadap orang lain. Sikap kepedulian tidak terbentuk dengan begitu saja dalam waktu yang singkat, tetapi terbentuk bersamaan dengan pola pembentukan kehidupan seseorang dalam lingkungannya sejak kecil hingga dewasa. Sikap kepedulian merupakan sikap keterpanggilan dan ungkapan hati seseorang untuk memberikan pertolongan atau bantuan kepada orang lain. Data menunjukkan 84,8 persen kepedulian anggota KUBE berada dalam kategori sedang, dan yang lainnya pada kategori sangat baik. Sikap kepedulian seperti ini menjadi hal yang penting dalam KUBE, seorang pendaping dapat memanfaatkan kondisi ini di dalam upaya mempererat hubungan di antara anggota dalam rangka mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam KUBE termasuk persoalan-persoalan yang bersifat individual, sehingga benar-bear filosofi KUBE sebagai suatu bentuk kerjasama dapat teruji. Sikap kepedulian terhadap orang sangat berkaitan dengan sikap penerimaan terhadap orang lain. Kepedulian seseorang akan menimbulkan sikap penerimaan terhadap orang lain. Namun ada sikap penerimaan yang berpura-pura dan ada sikap tulus yang muncul dari hati yang tulus. Suatu sikap penerimaan yang didasarkan pada rasa kepedulian biasanya merupakan sikap penerimaan
145
yang tulus. Bagaimana sikap penerimaan anggota terhadap orang lain, data menunjukkan bahwa sebagian besar (84,4 %) berada dalam kategori seda ng sedangkan yang lainnya berada pada kategori sangat baik. Bila dikaitkan dengan sikap kepedulian dari anggota KUBE yang pada umumnya berada pada kategori sedang, maka dapat dikatakan bahwa sikap penerimaan ini merupakan sikap penerimaan yang tulus dalam memberikan pertolongan kepada orang lain. Kesungguhan dalam memberikan pertolongan kepada orang lain juga sangat terkait dengan sikap kepedulian dan sikap penerimaan terhadap orang lain. Kesungguhan seseorang dalam memberikan pertolongan kepada orang biasanya karena dilandas i oleh adanya sikap kepedulian dan sikap penerimaan yang tulus dari orang tersebut. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (83,5 %) kesungguhan anggota KUBE dalam memberikan pertolongan berada dalam kategori sedang, dan yang lainnya berada dalam kategori sangat baik. Dari pengujian ketiga sub variable ini dapat dijelaskan bahwa kesediaan anggota dalam memberikan pertolongan kepada orang lain cukup membanggakan. KUBE sebagai suatu wujud kelompok diharapkan dapat saling membantu mengatasi berbagai masalah di antara sesama anggota bahkan di luar anggota sekalipun. Dengan demikian KUBE tidak saja hanya menjadi milik KUBE itu sendiri tetapi menjadi miliki bersama masyarakat. Dengan kondisi seperti ini, KUBE akan mendapat dukungan dari masyarakat termasuk dari tokoh-tokoh masyarakat. Kemampuan Mengatasi Masalah. Kemampuan mengatasi masalah tidak terbentuk hanya seketika akan tetapi dibangun oleh suatu proses dan beberapa faktor penting, seperti tingkat pendidikan, pengalaman yang dimiliki, pelatihan yang diikuti, kematangan sikap emosional atau kedewasaan yang dimiliki, sarana dan prasarana yang dimiliki, termasuk seberapa seringnya seseorang dihadapkan pada berbagai persoalan-persoalan dan tantangan dalam hidupnya. Berkaitan dengan faktor-faktor tersebut, sejauh mana kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah yang muncul dalam KUBE yang dikategorikan dalam empat kelompok: tidak mampu, kurang mampu, sedang dan sangat tinggi menunjukkan bahwa 78,1 persen anggota memiliki kemampuan dalam kategori sedang, dan 17,9 memiliki kemampuan kategori sangat tinggi.
Dari data terlihat bahwa
kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul
146
dalam KUBE relatif cukup, tetapi masih perlu ditingkatkan, sehingga permasalahan dalam KUBE dapat segera teratasi tidak sampai membawa pengaruh negatif terhadap KUBE. Selain kemampuan individual, dituntut adanya kerjasama di antara anggota. Diperoleh gambaran bahwa sebagian besar anggota KUBE mengatakan bahwa kerjasama dalam KUBE sudah relatif baik. Tidak ada anggota KUBE yang mengatakan kerjasama sama tidak ada. Terlihat dari data bahwa kerjasama di antara sesama anggota KUBE sudah relatif baik. Kerjasama seperti ini dapat tercipta karena intensitas interaksi informal di antara anggota KUBE relatif tinggi. Namun, apapun alasannya sikap kerjasama seperti ini perlu dibina dan dipertahankan, tidak hanya dalam mengatasi masalah tetapi juga dalam menyelesaikan tugas-tugas lainnya. Partisipasi anggota terhadap KUBE. Tingkat partisipasi anggota sangat menentukan dalam keberhasilan pengembangan KUBE. Bentuk partisipasi anggota yang dilakukan dalam kegiatan KUBE, meliputi: ada tidaknya pertemuan yang diadakan KUBE secara rutin, persentase rata-rata kehadirian anggota dalam pertemuan, masukan atau saran-saran yang diberikan anggota dalam setiap pertemuan, bagaimana keterlibatan anggota dalam pengambilan keputusan kelompok, bagaimana keterlibatan anggota dalam pelaksanaan hasil keputusan yang sudah disepakati, bagaimana tindak lanjut terhadap keputusan dan saransaran yang disampaikan oleh anggota. Seberapa be sar partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE, Data menunjukkan bahwa 63,8 persen tingkat partisipasi anggota KUBE berada dalam kategori sedang dan 32,1 persen berada dalam kategori sangat tinggi. Banyak faktor yang menyebabkan tingginya angka partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE. Jenis usaha yang dikembangkan anggota KUBE relatif sesuai dengan keterampilan dan latar belakang kehidupan yang dimiliki anggota. Selain itu, usaha yang dikembangkan berada di sekitar lingkungan mereka, sehingga tidak membutuhkan jasa transportasi yang memberatkan. Dari sudut penghasilan sebagian besar penghasilan utama anggota berasal dari KUBE. Tentu ini akan mempengaruhi terhadap kehadiran anggota dalam kegiatan KUBE. Hasil
147
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KUBE dalam satu kelompok masih ada hubungan atau ikatan persaudaraan. Bagaimana pun ikatan-ikatan persaudaraan seperti ini akan mempengaruhi terhadap kehadiran mereka dalam KUBE. Pada sisi lain posisi tempat tinggal anggota yang hampir berdekatan juga menjadi faktor pendorong tingginya partisipasi anggota dalam kegiatan KUBE. Keberanian menghadapi risiko. Keberanian merupakan unsur penting dalam kehidupan. Namun keberanian perlu didasarkan pada aturan yang ada, bukan keberanian tanpa dasar. Diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang logis dalam menjalankan suatu tindakan sehingga hasilnya lebih maksimal. Suatu tindakan yang dilakukan tidaklah selalu berhasil, kadang kala berhasil dan kadang kala kurang be rhasil. Suatu tindakan hasilnya tidak selalu dapat diperkiran berhasil atau tidak tetapi dituntut untuk dilakukan. Dalam kondisi seperti ini diperlukan keberanian melaksanakan tindakan tersebut. Tugas kita adalah mengendalikan risiko yang mungkin muncul sehingga keberhasilan menjadi maksimal, tetapi bukan malah sebaliknya menghidari kegiatan tersebut untuk tidak dilaksanakan, namun keberanian-keberanian seperti ini sangat diperlukan dalam KUBE. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam pengukuran keberanian dalam menghadapi risiko, yaitu: keberanian untuk memulai jenis usaha baru, keberanian pengembangan usaha dan kesiapan diri untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi. Data menunjukkan bahwa 79,5 persen anggota KUBE memiliki sikap keberanian mengha dapi risiko dalam kategori sedang, kemudian 12,5 persen dalam kategori kurang. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa sikap keberanian anggota KUBE dalam menghadapi risiko yang mungkin timbul masih perlu ditingkatkan melalui pembinaan-pembinaan yang terus menerus. Banyaknya jenis usaha yang dikembangkan oleh KUBE pada umumnya hanya satu jenis usaha, ada sekitar 30 persen KUBE yang jenis usahanya bertambah satu setelah KUBE berjalan, beberapa di antaranya ada yang bertambah lebih dari satu tetapi persentasenya kecil. Pertambahan jenis usaha yang dimaksud dalam hal ini, adalah pertambahan jenis usaha yang lebih produktif, dan mampu bertahan secara terus menerus. Tujuan pertambahan jenis
148
usaha lebih jauh adalah bahwa KUBE diharapkan dapat menyerap tenaga kerja terutama anggota KUBE sehingga KUBE dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan utama. Bila jenis usaha hanya satu dan hanya mampu menyerap beberapa orang anggota sebagai tenaga kerja, bagaimanapun KUBE seperti ini akan menjadi kurang efektif, dan akhirnya KUBE akan menjadi penghasilan sampingan. Bagaimana keberanian KUBE dalam pengembangan usaha, data menunjukkan hanya 30,7 persen KUBE yang berani memulai jenis usaha baru dalam kategori sedang, sedangkan yang lainnya berada dalam kategori buruk. Didasarka n pada fakta ini, maka KUBE perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan pemanfaatan peluang-peluang baru yang berkaitan dengan penambahan jenis usaha baru. Kurang lebih sama dengan penambahan jenis usaha baru, keberanian dalam pengembangan usaha juga masih kurang menggembirakan, namun demikian terlihat adanya perkembangan yang lebih baik. Data menunjukkan bahwa sebagian besar (63,4 %) KUBE memiliki keberanian dalam pengembangan usaha dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Dalam aspek kesiapan untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi, hasil menunjukkan bahwa 82,1 persen KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Dilihat dari kedua pengujian ini disarankan masih perlu
pembekalan-pembekalan
yang
berkaitan
dengan
keberanian
dan
peningkatkan keterampilan pengembangan jenis usaha KUBE tersebut. Perencanaan Usaha. Perencanaan usaha merupakan salah satu bagian dan unsur penting dalam pengembangan usaha KUBE. Namun, seringkali komponen ini dilupakan, karena dianggap hanya sebagai pemborosan belaka. Kebiasaan yang terjadi selama ini, adalah orang hanya mengikuti kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan tahun-tahun sebelumnya sehingga unsur perencanaan diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dilakukan dan hanya menghamburhamburkan uang. Pada hal
dengan perencanaan usaha berbagai pembaharuan-
pembaharuan dalam KUBE dapat dilakukan. Perencanaan
usaha
sangat
terkait
dengan
kemampuan
dalam
mengidentifikasi kebutuhan yang harus dipenuhi, dalam menganalisis masalah
149
dan kebutuhan, dalam merencanakan pemanfaatan sumber-sumber yang ada, dalam mengolah sumber-sumber yang ada, pemanfaatan limbah hasil produksi, dalam menjaga kelestarian lingkungan dan daya dukung sumber lingkungan. Kemampuan anggota KUBE yang berkaitan dengan beberapa aspek di atas masih terbatas demikian juga dengan pendidikan masih relatif rendah. Data menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun anggota KUBE yang pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan perencanaan. Kem ampuan mereka dalam perencanaan sebagian besar hanya terbangun karena faktor pengalaman yang ada selama ini. Bila dilihat bagaimana distribusi frekwensi kemampuan perencanaan usaha yang dikategorikan pada empat kelompok: tidak ada kemampuan, kurang mampu, mampu, dan sangat mampu
menunjukkan bahwa 82,1 persen KUBE
mempunyai kemampuan dalam kategori mampu, 10,3 persen berada dalam kategori sangat mampu. Berangkat dari fakta ini, perencanaan usaha yang dilakukan oleh KUBE relatif lebih baik namun masih perlu ditingkatkan karena masih adanya anggota yang mengatakan kurang. Bila dicermati lebih mendalam, anggota KUBE perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan perencanaan-perencanaan praktis, seperti bagaimana mengidentifikasi kebutuhan, teknik menggali potensi dan sumber, menganalisis masalah dan kebutuhan, pengenalan lingkungan, dan lain-lain yang terkait dengan perencanaan, karena kemampuan anggota sebagian besar berada dalam kategori sedang. Pemanfaatan Sumber. Sumber yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk mencapai tujuan KUBE. Sebagai suatu bentuk usaha kelompok, KUBE sangat memerlukan sumber-sumber yang dapat dijadikan sebagai bahan baku dalam pengembangan usaha. Sumber memiliki keterbatasan, diperlukan kemampuan untuk mengelolanya sehingga sumber dapat mendukung terhadap pengembangan usaha KUBE yang dilakukan. Indikator pemanfaatan sumber yang dijadikan dalam penelitian ini meliputi: bagaimana kemampuan dalam mengidentifikasi kebutuhan, kemampuan dalam mengolah sumber-sumber yang ada, pengelolaan dan pemanfaatan limbah, kelestarian lingkungan, daya dukung
150
lingkungan. Data menunjukkan bahwa 86,2 persen KUBE mampu memanfaatkan atau mengelola sumber dengan kategori cukup, kemudian diikuti dengan kategori sangat maksimal. Selanjutnya akan diuraikan lebih rinci bagaimana pelaksanaan indikator pemanfaatan sumber tersebut. Agar pemanfaatan sumber dapat lebih optimal, maka diperlukan kemampuan mengidentifikasi kebutuhan. Kemampuan mengidentifikasi adalah kemampuan untuk menggali, mengenali dan memilah-milah mana kebutuhan yang
diperlukan
dan
mana
yang
tidak
diperlukan. Bila
kemampuan
mengidentifikasi kebutuhan kurang maka pemanfaatan sumber akan menjadi kurang optimal. Pemanfaatan sumber hendaknya sesuai dengan kebutuhan sehingga sumber dapat bertahan lama. Data menunjukkan bahwa kemampuan anggota KUBE dalam mengidentifikasi 67,4 persen baru pada taraf kategori sedang, kemudian disusul dengan kategori kurang. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya diperlukan kemampuan untuk mengolah sumber agar dapat lebih bermanfaat. Bila mana ada keseimbangan antara kebutuhan yang harus dipenuhi dengan kemampuan dalam mengolah dan memanfaatan sumber yang ada, KUBE akan dapat bertahan lama, tetapi sebaliknya KUBE akan sulit berkembang. Data menunjukkan hanya 59,8 KUBE yang dapat mengolah sumber-sumber dengan baik dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori kurang. Pemanfaatan sumber juga berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan limbah hasil usaha. Pemanfaatan limbah yang kurang baik dapat merusak lingkungan dan pada akhirnya akan merusak sumber daya lingkungan yang ada, Karena itu diperlukan keseimbangan antara pemanfaatan sumber yang ada dengan pemanfaatan limbah hasil produksi. Mungkin bila dibandingkan limbah hasil produksi KUBE dengan limbah hasil industri besar tidak berarti apa -apa. Tetapi bila jumlah KUBE sudah banyak akan menjadi berarti sekali. Data menunjukkan bahwa 76,8 persen pemanfaatan limbah KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian kategori kurang dan sangat baik. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan limbah KUBE sudah mulai baik. Pemanfaatan limbah pada umumnya dilakukan secara daur ulang melalui pembusukan sebagian ada yang dibakar dijadikan sebagai pupuk untuk tanaman, sebagian ada yang ditanam.
151
Sebagai
dampak
dari
pemanfaatan
sumber
yang
ada,
tentu
konsekwensinya akan terjadi gangguan keseimbangan ekosistem. Kelestarian lingkungan menjadi terganggu. Di dalam pemanfaatan sumber, diperlukan kemampuan untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan sehingga sumber yang ada dapat mendukung terhadap pengembangan usaha. Bagaimana kelestarian lingkungan dalam kaitan pemanfaatan sumber yang dilakukan. Data menunjukkan bahwa 81,7 persen kelestarian lingkungan KUBE berada dalam kategori sedang, kemudian diikuti dengan kategori sangat baik. Dari hasil ini terlihat adanya kelestarian lingkungan yang relatif baik dalam kaitan dengan pemanfaatan sumber-sumber tersebut. Kurang lebih sama dengan kelestarian lingkungan, daya dukung sumber lingkungan juga merupakan hal yang penting dalam pengembangan sumber. Karena itu perlu dilakukan need assesment yang mendalam terhadap daya dukung sumber lingkungan sebelum KUBE dibentuk dan jenis usaha KUBE ditentukan, apakah sumber -sumber lingkungan yang ada sudah mampu memberikan kondisi keberlanjutan terhadap jenis usaha yang dipilih. Daya dukung sumber lingkungan yang kurang akan mengakibatkan KUBE sulit berkembang. Data menunjukkan 86,6 persen KUBE memiliki sumber daya lingkungan dalam kategori sedang, kemudian dalam kategori sangat baik. Dilihat dari fakta ini, persoalan daya dukung lingkungan relatif tidak menjadi hambatan utama dalam pengembangan usaha. Didasarkan hasil pengujian dan analisis di atas , anggota KUBE masih memerlukan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan identifikasi, pengolahan dan pemanfaatan sumber, pengelolaan dan pemanfaatan limbah
sehingga
pengembangan usaha KUBE dapat lebih maksimal. Inovasi Usaha. Inovasi usaha berkaitan dengan pemahaman anggota terhadap makna pembaharuan, kemampuan KUBE dalam penerapan inovasi, keaktivan untuk mendapatkan informasi inovasi-inovasi baru, kemauan untuk memulai inovasi baru, kemampuan dalam pengembangan usaha baru, kesiapan untuk menerima kegagalan yang mungkin terjadi se bagai dampak dari usaha pembaharuan yang dilakukan. Sejauh mana gambaran inovasi usaha yang
152
dilakukan oleh KUBE, data menunjukkan bahwa 68,3 persen KUBE menerapkan inovasi pada sebagian kecil unit produksi dan 28,6 persen KUBE sudah menerapakan inovasi pada sebagian besar unit produksi. Dari data dapat dikatakan bahwa KUBE kurang melakukan inovasi dalam pengembangan usaha, masih jauh dari harapan. Perlu sosialisasi inovasi usaha yang lebih intensif sehingga pemahaman anggota KUBE terhadap pentingnya inovasi usaha menjadi berubah. Keberhasilan dalam pemanfaatan inovasi ini sangat terkait dengan sejauh mana pemahaman anggota terhadap inovasi. Dari data yang ada dapat dikatakan bahwa anggota KUBE
masih kurang memahami
tentang inovasi, apa manfaatnya, bagaimana konsepnya, apa yang harus diterapkan, dan lain-lain. Kenyataan ini memang dapat dilihat di lapangan, di mana sebagian besar KUBE masih menggunakan cara-cara tradisional dan manual dalam proses produksi. Anggota KUBE tidak melihat itu sebagai suatu masalah yang perlu dipersoalkan dan dirubah, tetapi suatu kebiasaan yang memang sudah dilakukan selama ini. Berkaitan dengan kondisi itu, perubahan sikap anggota KUBE menjadi unsur yang penting dalam penerapan inovasi, kemudian diikuti dengan penerapan teknologi tepat guna yang dapat mempercepat proses produksi sehingga KUBE mampu bersaing dalam pasar. Aspek Ekonomi Perkembangan Modal. Modal dalam konsep ini meliputi tiga hal yaitu modal awal anggota KUBE itu sendiri, bantuan yang diterima dari pihak luar, dan modal akhir yang berupa modal awal ditambah bantun dari luar dan hasil pengembangan usaha selama ini. Pada kolom 4 Tabel 22 terlihat seberapa besar modal yang dimiliki KUBE untuk menjalankan usahanya sekarang ini. Modal ini merupakan modal penjumlahan modal awal yang dimiliki KUBE ditambah bantuan yang diterima dari berbagai pihak. Rata -rata modal KUBE dimaksud adalah Rp 6.170.081, median Rp 5.375.000,- dan mode Rp 5.000.000,- Sedangkan modal akhir yang dimiliki KUBE hingga penelitian ini dilakukan diperoleh gambaran seperti Tabel 22 kolom 5. Rata-rata modal akhir KUBE adalah Rp 18.138.360,-
153
median Rp 15.000.000,- dan modenya Rp 12.000.000. Dari data ini terlihat kenaikan modal rata -rata 193,54 persen dari modal awal. Tetapi perlu dipahamai bahwa semua perhitungan ini hanya berdarsarkan perhitungan-perhitungan nominal, tidak termasuk perhitungan penyusutan-penyusutan dan pengaruh inflasi dan pengaru-pengaruh lainnya. Untuk lebih jelasnya bagaimana perkembangan modal dapat dilihat pada Tabel 22. Hasil pengola han menunjukkan rata -rata kenaikan modal usaha KUBE sudah mencapai 193 persen atau terjadi kenaikan sebesar + 2 kali lipat (Gambar 21). Dari data ini terlihat bahwa kenaikan modal usaha KUBE sudah terjadi sekitar 1,5 kali lipat dari modal semula. Dari kenaikan modal ini dapat dikatakan sangat membanggakan. Bila dilihat dari tingkat pendapatan
anggota perbulan
masih relatif rendah sekitar Rp 345.000,- tetapi sudah di atas garis kemiskinan. Perkembangan modal yang baik harus diikuti dengan pertambahan tingkat pendapatan baik juga. Tabel 22: Nilai Mean, Median, Mode, Minimum dan Maksimum dari Modal Awal, Bantuan yang diterima, Modal Akhir dan Persetase Kenaikan Modal Aspek 1
Mean
Modal Awal
Bantuan yang diterima
Modal (2+3)
Modal Akhir
%
2
3
4
5
6
803. 688,52
5.366.393,44
6.170.081,97
18.138.360,66
193,54
500.000
5.000.000
5.375.000
15.000.000
155,10
Mode
0
5.000.000
5.000.000
12.000.000
100
Minimum
0
2.000.000
2.500.000
3.000.000
20
Maximum
3.000.000
15.000.000
17.500.000
50.000.000
900
Median
Dalam pola pengembangan usaha khususnya yang berkaitan dengan jenis usaha semesteran-tahunan terlihat adanya investasi modal yang perputaran nilai ekonominya sangat lambat, seperti pada ternak sapi, kerbau, kambing. Mereka bisa memiliki sapi hingga 4 ekor unt uk satu KK sebagai pengembangan dari KUBE. Tetapi sapinya baru mendapat nilai jual setelah 2-3 tahun bahkan sampai 5 tahun. Selama proses ini anggota tidak memiliki pendapatan apa -apa dari KUBE, tetapi mencari pendapatan diluar KUBE sebagai pekerjaan sambilan.
154
Dalam proses seperti ini terjadi peningkatkan investasi yang tidak dinikmati anggota KUBE secara langsung, tetapi dinikmati setelah beberapa tahun kemudian. Pada hal persoalan mereka terjadi saat ini, seperti: biaya untuk makan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
%
78,6
14,3
20.0-240
120.1-460
1,8
5,4
460.1-680
680.1-900
% Tk Kenaikan Modal KUBE
Gambar 21: Persentase Pertambahan Modal Usaha KUBE
Bila dikaitkan lama KUBE berdiri dengan tingkat perkembangan modal dan tingkat pendapatan anggota dari usaha KUBE, terlihat hubungan yang nyata di mana masing-masing nilai p = 0,001 dan p = 0,000 pada pengujian TS 0,05 untuk dua sisi. Artinya KUBE yang semakin lama menunjukkan adanya peningkatkan pertambahan modal dan pendapatan anggota yang cukup berarti. Untuk melihat berapa lama KUBE sudah berdir i disajikan dalam Gambar 22.
17
4
12
5
14
Jumlah tahun
6
5
7
5
8 10
1
12
1 4
14 16
1
21
1
Jumlah KUBE
Gambar 22: Lama KUBE Berdiri
155
Pengguliran. Salah satu ciri khas KUBE adalah adanya pengguliran. Penguliran merupakan bentuk pelaksanaan dari filosofi KUBE yaitu adanya kepedulian di antara sesama dan adanya rasa saling tolong-menolong antara kelompok mampu dengan kelompok yang kurang mampu. Data menunjukkan bahwa ada sebagian KUBE yang sudah melakukan pengguliran tetapi ada sebagian yang macet kemudian berhenti dan ada yang kurang lancar tetapi masih tetap jalan. Tetapi yang paling mengejutkan adalah sebagian besar belum melakukan pengguliran. Faktor penyebab pengguliran usaha belum dilakukan karena pendapatan yang diperoleh anggota KUBE belum mampu untuk melakukan pengguliran, sebagian besar baru mampu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Sebagian anggota ada yang kurang mengetahui bahwa bantuan yang diterima akan digulirkan dan bentuk penggulirannya bagaimana. Agar pengguliran ini dapat berjalan lancar di masa mendatang, mensosialisasikan
maka
peranan
pengguliran
pendamping
mulai
dari
sangat
sosialisasi
diperlukan awal
untuk
pembentukan
kelompok, pemberian bantuan hingga selama proses pendampingan KUBE. Dengan adanya pengguliran, secara tidak langsung akan menjadi alat kontrol terhadap KUBE yang sedang dijalankan. Namun waktu pelaksanaan pengguliran perlu dipertimbangkan sehingga tidak sampai memberatkan anggota KUBE.
Lancar Kurang lancar Macet/berhenti
0 8,5 32,6 58,9
Tidak ada
Gambar 23: Pengguliran Bantuan
Pendapatan Pendapatan merupakan sesuatu hal yang sangat diharapkan dari KUBE sebagai konsekwensi dan usaha yang sudah dikembangkan. Selain itu, persoalan-persoalan ekonomi keluarga diharapkan dapat diatasi melaluai
156
pendapatan yang diperoleh dari KUBE. Data menunjukkan rata-rata pendapatan anggota KUBE per bulan adalah Rp 345.500, modus Rp 300.00, median Rp 300.000,-, minimum Rp 0 dan maksimum Rp 1.100.000,-. Pendapatan ini merupakan pendapatan yang nominal belum termasuk perhitungan-perhitungan defaluasi yang mungkin menyebabkan nilai mata uang menjadi bertambah. Selain itu, pendapatan ini belum termasuk rata -rata nilai investasi pemeliharaan ternak sapi oleh beberapa KUBE yang hasilnya baru dapat dihitung setelah beberapa tahun. Pendapatan ini murni adalah pendapata n yang diperoleh dari hasil usaha KUBE yang diperoleh setiap bulannya (Gambar 24). Bila dibandingkan dengan pendapatan keluarga perbulan diperoleh hasil rata-rata pendapatan keluarga sebesar Rp 747.522,-, median Rp 700.000,- dan modus Rp 600.000,-, pendapatan minimum adalah Rp 200.000,- dan pendapatan maksimum Rp 1.700.000,- (Gambar 24). Bila dikaitkan dengan jumlah rata -rata tanggungan keluarga antara 3-4 orang sebagaimana terlihat pada Tabel 23. Dari data ini, bila dihitung rata-rata besarnya pendapatan per orang bulan dalam keluarga adalah sekitar antara Rp 186.880 – Rp 249.174,-,. Dari hasil ini dapat disimak bahwa pendapatan anggota KUBE sudah berada di atas garis fakir miskin dan miskin seperti yang sudah dipaparkan pada Tabel 14 sebelumnya.
747.522
345.000
Pdptn kel
Pdptn dr KUBE
300.000
300.000
Median
Modus
Gambar 24: Besarnya Pendapatan Keluarga dan Anggota KUBE Tanggungan keluarga yang termasuk di sini adalah banyaknya anggota keluarga baik anak kandung, saudara, anak angkat atau pihak lain yang menjadi beban dan tanggung jawab keluarga untuk menghidupi setiap hari.
Data
157
menunjukkan bahwa tanggungan keluarga relatif besar, dengan rata-rata (mean) tanggungan keluarga 3-4 orang per keluarga, sedangkan mediannya 4 dan modusnya 4, seperti terlihat pada Tabel 23. Hasil ini sangat sinkron dengan ratarata jumlah anggota keluarga yang sudah dijelaskan di atas. Dari komposisi ini, dapat dikatakan masih kuatnya hubungan ikatan keluarga di antara meraka. Terlihat dari jumlah tanggungan keluarga selain istri dan anak kandung sendiri juga ada beberapa keluarga dekat yang menjadi tanggungan keluarga. Tabel 23: Pendapatan Anggota dan Besarnya Tanggungan Keluarga Pendapatan Keluarga (Rp)
Jumlah Tanggungan (orang) Total
Antara
Rata-rata
1-2
3-4
5-6
7-8
9-10
11-12
0-250.000
228.571,43
7
0
0
0
0
0
7
251.000-500.000
423.142,86
22
47
1
0
0
0
70
501.000-750.000
632.065,22
12
21
12
1
0
0
46
751.000-1.000.000
896.491,23
6
36
12
2
1
0
57
1.001.000-1.250.000
1.132.608,70
0
15
6
1
1
0
23
1.251.000-1.500.000
1.405.263,16
0
8
6
4
0
1
19
1.501.000-1.700.000
1.650.000,00
0
0
1
1
0
0
2
747.522,32
47
127
38
9
2
1
224
Tabungan. Tabungan merupakan hasil penyisihan sebagian dari biaya kebutuhan keluarga untuk kepentingan hari esok. Diharapkan anggota KUBE dapat menabung sesuai dengan kemampuannya. Bagaimana pola menabung bagi anggota KUBE untuk jangka waktu satu bulan ke depan. Data menunjukkan bahwa sebagian besar anggota KUBE masih kesulitan dalam menambung. Tetapi sebagian di antara anggota KUBE sudah ada yang menabung walaupun dalam jumlah yang terbatas. Tentu kondisi ini tidak terlepas dari tingkat pendapatan anggota KUBE yang relatif masih rendah. Mereka baru dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi keluarga. Persoalan menabung mungkin merupakan prioritas yang berikut.
158
Sangat tersedia
2,7
Tersedia
13,8
Sangat minim
27,1
Tidak ada
55,5
Gambar 25: Ketersediaan Tabungan untuk Jangka Wakt u 1 bulan Banyaknya jenis usaha. Banyaknya jenis usaha yang bertambah hingga penelitian ini dilakukan diperoleh gambaran seperti Tabel 24. Sebagian besar KUBE hanya mampu mengembangkan jenis yang sudah ada sejak awal hingga penelitian dilakukan, sebagian ada yang mampu mengembangkan 1 hingga 4 jenis usaha di luar jenis usaha awal yang sudah dikembangkan selama ini namun persentasenya kecil. Dari kondisi ini dapat dilihat bagaimana kemampuan mereka dalam mengembangkan jenis usaha, mereka kurang melihat pe rkembangan dan peluang pasar yang ada, wawasan mereka terbatas , inovasi yang dikembangkan sangat terbatas, mereka sangat terbiasa dengan pola-pola lama yang sudah dilakukan selama ini. Sebagai dampaknya,
banyak anggota KUBE yang
menjadikan KUBE sebagai penghasilan sampingan bukan penghasilan utama. Tabel 24: Banyaknya Jenis Usaha dan Pertambahan Jenis Usaha Banyaknya Jenis Usaha yang dikelola Tdk ada 1 2 3 4 Total
Persentase KUBE Pada awalnya 0 96,7 3,3 0 0 100
Yang bertambah 70,5 19,7 3,3 1.6 4,9 100
Ket
Pengelolaan Hasil Keuntungan. Pengelolaan hasil keuntungan merupakan hal yang sensitif dalam kegiatan KUBE bila dikelola tidak jujur. Namun, bila dikelola
159
secara jujur dan transparan, pengelolaan menjadi hal yang biasa dan tidak perlu dirahasiakan atau ditutup-tutupi. P engelolaan keuntungan yang dilakukan oleh KUBE menunjukkan bahwa 67,4 persen KUBE menunjukkan pengelolaan keuangan dengan kategori kurang baik, kemudian diikuti persentase kategori relatif baik sebesar 13,4. Dapat dikatakan bahwa pengelolaan hasil keuntungan KUBE masih jauh dari yang diharapkan. Terlihat persentase anggota yang cukup lumayan yang mengatakan bahwa pengelolaan sangat buruk dan kurang. Kenyataan ini dapat diterima, karena pada saat dilakukan wawancara di lapangan banyak KUBE yang tidak dapat menunjukkan laporan pertanggung jawaban keuangan administrasi pembukuan. Kalaupun ada pembukuannya tidak teratur, pengisian tidak rutin. Ada tiga hal penting yang dapat dilihat dari kondisi ini yaitu, pertama , kemampua n anggota KUBE dalam pengadministrasian keuangan sangat terbatas, kedua
ada unsur kesengajaan untuk tidak
mengadminis-trasikan karena adanya kepentingan yang bersifat individual, ketiga proses pendampingan kurang berjalan lancar sehingga pengawasan sangat lemah. Untuk beberapa KUBE, pengelolaan bentuk lain adalah ada penyisihan pembagian keuntungan yang tidak dibagikan secara langsung tetapi pembangian keuntungan dikembalikan menjadi modal KUBE, seperti: dalam usaha ternak sapi. Untuk jangka waktu tertentu, sapi bantuan yang diberikan oleh pemerintah dibesarkan oleh beberapa anggota hingga diperkirakan dapat membelikan anak sapi untuk sejumlah anggota kelompok ditambah 1 KUBE (untuk menjadi modal KUBE) untuk dipelihara masing-masing. Sapi yang menjadi milik kelompok menjadi warisan KUBE. Biasanya sapi ini dijadikan menjadi sapi induk. Sapi ini dipelihara oleh salah satu anggota KUBE dan seperempat dari sapi ini menjadi bagian dari yang memelihara sebagai jasa pemeliharaan, demikian seterusnya untuk anak yang berikutnya . Semua keturunan dari sapi ini menjadi milik KUBE. Khusus untuk usaha ekonomis produktif yang bersifat semesteran-tahunan, seperti ternak sapi, kerbau, kambing yang dibantu oleh pemerintah kurang dapat dinikmati langsung oleh anggota KUBE karena jangka waktu produksi yang terlalu lama. Sampai penelitian dilakukan masih banyak ternak sapi yang belum pernah dijual sama sekali, tetapi dipelihara dan dijadikan menjadi sapi induk. Ada anggota KUBE yang sudah mempunyai ternak sapi hingga 5 ekor has il bantuan
160
pemerintah dan belum pernah dijual sama sekali. Penghitungan keuntungan seperti ini agak sulit dilakukan dibandingkan dengan usaha sembako yang keuntungannya dapat diperoleh setiap hari dan dapat dihitung. Bagaimana kejujuran dalam pembagian keuntungan usaha KUBE, sebagain besar anggota mengatakan kurang adil. Sebagian mengatakan kurang dan ada anggota yang mengatakan sangat buruk. Bila dilihat dari persentase pembagian keuntungan relatif adil. Pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS). IKS merupakan salah satu ciri khas kegiatan KUBE. Dari data yang ada menunjukkan bahwa tidak semua KUBE menjalankan IKS, dari data yang diperoleh hanya 42,9 persen KUBE yang menerapakan IKS, sisanya sama sekali tidak ada kegiatan IKS. Tetapi sayangnya malah lebih banyak KUBE yang tidak menyelenggarakan IKS dibandingkan dengan
yang
menyelenggarakan
IKS.
Ini
adalah
suatu
kondisi
yang
memprihatinkan yang perlu mendapat perhatian di masa-masa mendatang. Karena dengan IKS anggota KUBE akan dapat saling tolong menolong bilamana mereka mengalami kesulitan atau ada hal-hal penting yang harus diselesaikan. Banyaknya KUBE yang tidak memiliki IKS disebabkan oleh beberapa faktor seperti: pendapata n yang rendah, kurangnya informasi, pengetahuan dan pemahaman anggota KUBE tentang manfaat IKS, besarnya tanggungan keluarga, kurangnya pemahaman pendamping tentang IKS. Sejauhmana keberhasilan pengelolaan dana IKS dikategorikan dalam empat kelompok: tidak ada IKS, macet atau berhenti, kurang lancar dan lancar. Data menunjukkan bahwa hanya 3,1 persen KUBE yang memiliki IKS dengan kategori lancar, 57,1 persen KUBE sama sekali tidak ada IKS dan 34,8 persen IKS macet atau berhenti. Seberapa besar dana IKS yang sudah dijalankan oleh KUBE, hasil menunjukkan bahwa rata -rata besarnya IKS KUBE adalah Rp 4.187,- dengan mediannya Rp 1.750,- sedangkan modusnya adalah Rp 1.000,-. IKS yang terkecil adalah Rp 500,- dan yang terbesar adalah Rp 20.000,-. Dari fakta ini dapat dilihat bagaimana eksistensi IKS dalam KUBE dan sejauh mana peranan IKS dapat mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh anggota KUBE. Dapat dikatakan pengelolaan IKS masih kesulitan, belum berarti apa -apa. Bagaimana
161
pendapat anggota tentang besarnya dana IKS yang sudah dijalankan selama ini. Sebagian besar anggota mengatakan bahwa dana IKS relatif sesuai karena pendapatan anggota relatif rendah. Bila dibandingkan dengan nilai keuangan sekarang, dana IKS ini tidak berarti apa-apa. Namun, makna yang terkandung dalam konsep IKS yang sesungguhnya perlu dikedepankan bukan masalah nilai nominal uang yang harus disetorkan. IKS merupakan sarana wadah ikatan dan wadah tolong menolong di antara anggota KUBE.
Kelompok sebagai Media Pemberdayaan
KUBE adalah singkatan dari Kelompok Usaha Bersama, KUBE merupakan salah satu dari bentuk kelompok di mana anggota KUBE terdiri antara 7 hingga 15 orang dan bahkan ada yang mencapai 30 orang. Dalam disertasi ini, kelompok atau KUBE menjadi fokus penelitian. Menurut Gibson (1984) ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kelompok, seperti: adanya kebutuhan, adanya kedekatan dan daya tarik kelompok, tujuan ekonomi baik, dan adanya keuntungan yang ekonomi yang diharapkan dari KUBE. Bila dilihat dari kenyataan lapangan, KUBE terbentuk karena dua hal, yaitu: (a) kepentingan ekonomi dan (b) kepentingan sosial. Kepentingan ekonomi berkaitan dengan pendapatan yang diharapakan dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga, sedangkan kepentingan sosial berkaitan dengan usaha tolong-menolong yang dapat dikembagkan dalam rangka mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh anggota KUBE. Aspek kedua ini menjadi penting, karena keberhasilan ekonomi tidak dapat dicapai hanya karena faktor phyisical capital, human capital saja tetapi karena adanya kondribusi social capital sekitar 20% (Fukuyama, 2001). Dalam proses pembentukan kelompok, ada kelompok yang terbentuk karena dimotori oleh aparat desa atau tokoh masyarakat yang perduli dengan kehidupan kelompok miskin dan ada juga karena insiatif sendiri dari masyarakat karena mereka memiliki komitmen yang kuat. Mereka ingin saling tolongmenolong. Namun, kelompok seperti ini jarang ditermukan di lapangan, sebagian besar kelompok yang ada terbentuk karena dimotori oleh aparat desa atau tokoh
162
masyarakat setempat bahkan beberapa kepengurusan yang ada terbentuk karena penunjukan langsung dari aparat atau tokoh masyarakat setempat. Dari kenyataan yang ada, pada umumnya anggota KUBE adalah orang yang serba memiliki keterbatasan, baik pengetahuan, wawasan, pendidikan, pemilikan harta benda, komunikasi, interaksi dan berbagai hal lainnya. Karena itu, untuk memotivasi kelompok ini, maka setiap KUBE disarankan ada 2 % dari anggota KUBE yang dapat sebagai motivator dalam kelompok namun masih tetap dalam kategori miskin, diterima oleh anggota dan berasal dari kominitas anggota. Diharapakan mereka ini akan menjadi motivator dan dinamisator kelompok, mulai dari perencanaan usaha kelompok, keuangan kelompok, transaksi-transaksi yang mungkin ada, hingga pemasaran hasil usaha. Dalam merumuskan keputusan yang berkaitan dengan kepenitngan kelompok, biasanya kelompok mengadakan pertemuan untuk membicarakan berbagai hal. Pertemuan dapat bersifat formal dan bersifat informal. Untuk pertemuan yang bersifat formal, pertemuan biasanya dipimpin oleh ketua kelompok dan dihadiri oleh pendamping. Untuk pertemuan yang bersifat informal, pertemuan diadakan tanpa harus dipimpin oleh ketua, kadang-kadang tanpa dihadiri oleh semua anggota. Pertemuan berlangsung secara tidak resmi dan kadang-kadang pertemua tidak disengaja. Pertemuan dapat berlangsung di tempat bekerja sambil bekerja, dapat berlangsung dipinggir sawah atau di mana saja yang mungkin dilakukan. Forum seperti ini biasanya lebih efektif dibandingkan dengan pertemuan formal. Hasil pertemuan yang disepakati biasanya sangat mengikat terhadap kelompok. Pertemuan ini biasanya tidak dihadiri oleh pendamping hanya berupa laporan yang disampaikan kepada pendamping. Kemampuan dan keterampilan anggota KUBE pada umumnya relatif terbatas, namun di antara anggota ada yang mempunyai kelebihan dibanding yang lainnya, ada yang memiliki pengalaman dan wawasan yang lebih dibandingkan dengan yang lainnya, ada yang lebih dewasa dibandingkan yang lainnya, ada yang lebih cepat berpikir dibandingkan yang lainnya, ada yang suka terhadap perubahan dibandin gkan yang lainnya, ada yang lebih potensial dibandingkan dengan yang lainnya, dan lain-lain. Potensi-potensi seperti ini dijadikan sebagai sumber dalam
kelompok dalam rangka pengembangan kelompok tersebut.
163
Namun bila potensi tersebut tidak tersedia dalam kelompok biasanya melalui rekomendasi pendamping sumber didatangkan dari luar kelompok. Dalam pemanfaatan sarana, di antara anggota kelompok ada yang memiliki rumah (sekalipun terbatas) untuk dijadikan sebagai tempat untuk bekerja dan untuk berjualan, ada yang memiliki sepeda untuk transportasi, ada yang memiliki tanah yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, dan lainlain. Pada intinya KUBE selalu berusaha untuk memanfaatkan sumber-sumber yang dimiliki oleh anggota kelompok sendiri. Hanya saja, sarana dan prasaran yang dimiliki kualitasnya sangat terbatas. Persoalan lain yang dihadapi oleh anggota KUBE adalah sebagian besar anggota KUBE tidak memiliki modal. Karena keterbatasan ini, biasanya mereka meminta bantuan dari pihak lain, sebagian ada da ri pengusaha, sebagian ada dari perorangan / anggota masyarakat yang perduli, sebagian ada dari organisasi, dan lain-lain. Namun sebagian besar berasal dari pihak pemerintah. Bantuan yang diterima biasanya sangat terbatas karena hanya bersifat bantuan stim ulan (pendukung). Karena bantuan yang sangat terbatas, di mana bila dikelola sendiri tidak akan berarti apa -apa, karena itu pengelolaan bantuan tersebut dihimpun melalui kelompok sehingga modal yang ada menjadi lebih berarti. Misalnya, dana bantuan 1 juta per keluarga yang akan diberikan untuk 15 aggota KUBE dapat dihimpun untuk membeli satu hand tranctor yang dapat dimanfaatkan oleh semua anggota KUBE secara bergantian. Dalam konsep ini, kelompok sebagai media sangat berarti dalam proses pemberdayaan tersebut. Untuk pengembangan usaha yang dilakukan, anggota KUBE biasanya memanfaatkan sumber -sumber yang tersedia di antara anggota, seperti tenaga musiman yang dibutuhkan. Biasanya mengutamakan dan memanfaatkan anggota keluarga yang ada. Tetapi bila sumber tersebut tidak tersedia dalam kelompok biasanya didatangkan dari luar kelompok. Demikian juga dalam pemanfaatan sumber daya alam, anggota kelompok selalu mengutamakan sumber daya alam yang dimiliki masing-masing kelompok, tetapi bila tidak tersedia baru didatangkan dari luar kelompok. Dilihat dari proses pembinaan dan proses pendampingan pendekatan kelompok dalam proses pemberdayaan lebih efektif dan efisien dibandingkan
164
dengan pendekatan individual baik dari segi biaya, tenaga maupun waktu, di mana tenaga satu orang pendamping dapat melayani sekaligus berberapa orang anggota KUBE daripada harus melayani orang per orang. Selain itu, di antara mereka dapat saling membantu antara satu dengan orang lain. Anggota yang satu akan menjadi contoh, motivator dan supervisor terhadap yang lainnya tanpa harus diperintah. Dalam pendekatan seperti ini ada proses peniruan terhadap perilaku seseorang yang dianggap positif. Kelompok akan menjadi media pertemuan, tempat berkumpul dan curhat di antara anggota. Didasarkan pada pendekatan kelompok ini, maka proses pemberdayaan KUBE berlangsung di antara , oleh dan untuk anggota KUBE itu sendiri. Intervensi hanya dilakukan bila mana sumbersumber yang tersedia dalam kelompok tidak mencukupi atau tidak tersedia untuk memenuhi kebutuhan kelompok.
Konsep Pemberdayaan Masyarakat Miskin: Suatu Sintesis Hasil Kajian Pada bagian ini akan dipaparkan konsep pemberdayaan fakir miskin yang didasarkan pada sintesis hasil penelitian dan temuan-temuan studi literatur dan hasil penelitian sebelumnya. Banyak pendekatan dan konsep yang ditawarkan kepada kelompok miskin mulai dari pemberian bantuan hingga pelatihan yang bersifat jangka panjang, nanum konsep ini merupakan model spesifik yang ditujukan untuk pemberdayaan kelompok miskin khususnya mela lui pendekatan KUBE.
Visi dan Misi Pemberdayaan Fakir Miskin Eksistensi fakir miskin adalah suatu fakta yang tidak dapat dihindari tetapi harus dihadapi dan diatasi, keberadaan kelompok ini harus diterima sebagaimana kelompok masyarakat lainnya. Ada yang memandang bahwa eks istensi fakir miskin hanya sebagai sampah dari kehidupan masyarakat, sering merusak keindahan kehidupan dan sering mengganggu terhadap kehidupan kelompok masyarakat lainnya, karena itu tidak perlu diberdayakan. Namun, ada yang me-
165
mandang bahwa fakir miskin mempunyai arti dan peranan penting
dalam
kehidupan seperti layaknya kelompok masyarakat lainnya. Dengan mereka banyak pekerjaan kelas bawah yang tidak mungkin dikerjakan oleh kelas atas dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu, adalah menjadi hak mereka untuk dapat hidup secara wajar dan layak sebagaimana warga lainnya. Karena itu, pem pemberdayaan harus tetap diberikan kepada mereka sehingga mereka mampu memenuhi kebutuhannya secara wajar dan tanpa harus mengganggu dengan kelompok lainnya. Konsep pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan perlu semakin disempurnakan. Pemberdayaan fakir miskin melalui pendekatan KUBE merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan fakir miskin. Ada pertanyaan yang sangat hakiki yang patut dilemparkan berkaitan dengan pendekatan KUBE, yaitu “Kenapa harus melalui KUBE?”. Ada berberapa filosofi yang dapat dilihat melalui pendekatan KUBE (Depsos, 2004). Pertama, KUBE merupakan tempat perkumpulan orang yang dikategorikan kurang mampu. Dalam KUBE mereka saling berkomunikasi dan berhubungan satu sama lain dan membicarakan banyak hal yang berkaitan denga kehidupan mereka. Kedua, anggota KUBE mempunyai latar belakang yang berbeda dan penuh keterbatasan, seperti: wawasa n, pengetahuan, pendidikan, keterampilan, modal dan kepemilikan lainnya. Dengan perbedaan pengalaman dan keterbatasan ini, diharapkan mereka akan saling mengisi satu dengan lainnya , saling bantu membantu dan tolong menolong satu sama lain. Ketiga, KUBE merupakan sarana kerjasama , artinya melalui KUBE mereka akan kerjasama dalam menyelesaikan pekerjaan. Kerjasama ini berlangsung secara terus menerus untuk waktu jangka panjang dan tidak hanya waktu jangka pendek. Nilai ini sangat sesuai dengan budaya masyarakat Indonesia, yaitu kerjasama dan saling tolong menolong. Keempat, KUBE merupakan sarana sharing modal usaha dalam rangka pengembangan usaha ekonomis produktif. Persoalan yang terjadi selama ini adalah modal usaha anggota masyarakat sangat kecil. Melalui KUBE diharapkan modal yang dimiliki perorangan atau seharusnya ditujukan kepada individu dapat dihimpun menjadi modal kelompok sehingga menjadi lebih besar. Kelima, KUBE merupakan sarana pengembangan usaha ekonomis produktif . Disadari bahwa
166
usaha -usaha kesejahteraan sosial tidak dapat berdiri sendiri atau berarti apa -apa tanpa disiplin lain seperti ilmu ekonomi. Karena itu, usaha -usaha sosial perlu diintegrasikan atau dipadukan dengan pengembangan usaha ekonomis produktif yang dapat meningkatkan pendapata n anggota KUBE. Hal ini sejalan dengan pendapat Wahab (1994) yang mengatakan bahwa terdapat empat strategi pengentasan kemiskinan, yaitu (a) strategi pertumbuhan (the growth strategy), (b) strategi kesejahteraan (the welfare strategy), (c) strategi yang tanggap kebutuhan masyarakat (the responsive strategy), (d) strategi terpadu atau menyeluruh (the holistic strategy). Keenam, bahwa KUBE berlandaskan pada semangat “dari”, “oleh” dan “untuk semua”. Artinya bahwa KUBE harus dibangun atas kemampuan anggota, semangat dan kemauan anggota dan keuntungannya adalah untuk mereka. Karena itu ukurannya menjadi sangat relatif. Ketujuh, bahwa KUBE merupakan sarana untuk memandirikan anggota tidak harus tergantung pada orang lain. Kedelapan, melalui KUBE harus dapat mewujudkan fungsi sosial anggota KUBE, yang meliputi 3 hal, yaitu: (a) meningkatknya kemampuan anggota KUBE dalam memenuhi kebutuhan hidup yang diperlukan; (b) meningkatkan kemampuan anggota KUBE dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya; (c) meningkatnya kemampuan anggota KUBE dalam menampilkan peranan-penanan sosialnya dalam masyarakat. Dengan konsep seperti di atas, pendekatan KUBE dipandang sebagai pendekatan yang lebih efektif dan efisien dalam pemberdayaan masyarakat miskin tersebut. Berkaitan dengan filosofi dan model yang ditawarkan, maka yang menjadi visi pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan KUBE adalah “terewujudnya kualitas hidup, kemandirian dan kesejahteraan sosial fakir miskin” (Depsos, 2005). Kesejahteraan sosial yang dimaksud adalah situasi dan kondisi baik lahir maupun psikis yang memungkinkan fakir miskin mewujudkan keberfungsian sosialnya. Kondisi tersebut hanya dapat dicapai bila mana fakir miskin memiliki kemandirian dalam segala bidang kehidupan. Kemandirian hanya dapat terwujud bilamana kualitas hidup fakir miskin semakin baik. Kualitas hidup yang dimaksud adalah segala kemampuan yang dimiliki oleh fakir miskin yang memungkikan terwujudnya keberfungsian sosial fakir miskin secara baik.
167
Terkait dengan rumusan visi di atas , ada beberapa misi pemberdayaan fakir miskin yang harus diwujdukan, yaitu: (a) mendayagunakan potensi dan sumber kesejahteraan sosial dalam pemberdayaan fakir miskin; (b) meningkatkan pendapatan anggota KUBE; (c) meningkatkan jaringan kerja dan kemitraan KUBE yang semakin baik ; (d) meningkatkan akses KUBE terhadap berbagai sumber dalam rangka pengembangan KUBE. Kemandirian KUBE adalah kemampuan KUBE dalam pengelolaan dan pengembangan KUBE
mulai dari penyediaan modal hingga pemasaran hasil
usaha tanpa harus tergantung pada pihak lain. Kemandirian (autonomy) menurut konsep Kant adalah kehendak manusia untuk bertindak dari prinsip yang diyakini sendiri, mampu mengatur diri sendiri, menentukan diri sendiri, mengarahkan diri sendiri, bebas dari kehendak orang lain, hak untuk mengikuti kemauannya se ndiri (Kant dalam Sumardjo, 1999). Kemandirian di sini bukan berarti sikap menutup diri terhadap dunia luar, tidak meminta tolong pada orang lain, atau haram menggunakan bantuan orang lain melainkan dengan rendah hati menerima masukan atau saran-saran atau pertolongan dari orang lain dan aturan-aturan yang terkait dengan itu. Namun keputusan akhir berada pada kemandirian KUBE tersebut. Jelas bahwa dalam konsep ini harus menghindari pemaksanaan. Peningkatkan pendapatan diarahkan pada peningkatan keuangan anggota KUBE yang
mampu
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
seluruh
keluarga.
Peningkatkan pendapatan ini harus menjadi kegiatan utama anggota KUBE bukan menjadi kegiatan sampingan seperti yang banyak ditemukan di lapangan. Penempatan KUBE sebagai pekerjaan sampingan, menjadikan pengelolaan KUBE menjadi kurang optimal. Karena itu upaya -upaya pembaharuan dalam KUBE perlu terus dilakukan yang berkaitan dengan bidang pengelolaan usaha, penerapan teknologi tepat guna, perluasan pemasaran dan jaringan kerja, penyelenggaraan pelatihan praktis yang terkait dengan bidang usaha yang dikembangkan. Peningkatan jaringan kerja dan kemitraan KUBE diarahkan pada peningkatan hubungan KUBE yang saling menguntungkan dan berlangsung langgeng dengan berbagai pihak, seperti dalam penyediaan bibit unggul, penyediaan modal, penyediaan bimbingan teknis, peningkatan kemampuan atau pelatihan-pelatihan yang terkait, ahli teknologi, pengawasan mutu, pemasaran
168
hasil, dan bidang lainnya . Sedangkan peningkatan akses KUBE terhadap sumber diarahkan pada semakin terbukanya kesempatan KUBE untuk memanfatkan berbagi fasilitas-failitas yang ada baik yang diberikan pemerintah maupun masyarakat dalam rangka pengembangan KUBE. Peningkatan akses ini dapat berupa pengurangan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi tetapi kurang diperluakan, penyediaan pelayanan yang secara khusus ditujukan kepada KUBE, atau peningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota KUBE berkaitan dengan pemanfaatan sumber tersebut.
Kedinamisan KUBE KUBE sebagai suatu wujud kelompok, maka dinamika kehidupan KUBE menjadi salah satu unsur penting untuk dikaji. Dinamika kehidupan KUBE sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sebagaimana akan dijelaskan pada pembahasan lebih lanjut. Dinamika kehidupan KUBE bukanlah sesuatu yang statis, tetapi dinamis dan selalu berubah-ubah tergantung dari interaksi, stimulus dan respon yang terjadi dalam KUBE tersebut. Masri (1984), Jenkins (Mardikanto, 1992), dan Slamet (2001) mengatakan bahwa kedinamisan kelompok pada intinya adalah bentuk kekuatan-kekuatan kelompok baik yang bersifat internal dan eksternal yang mengatur perilaku anggota kelompok dan perilaku kelompok untuk bertindak dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan kelompok dalam rangka memajukan kelompoknya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Menurut Slamet (2001) ada 9 unsur dinamika kelompok sebagaimana yang sudah dipaparkan pada tinjauan pustaka sebelumnya. Kedinamisan KUBE dapat dilihat sebagai input dan output. Sebagai input, kedinamisan KUBE akan menjadi titk masuk (entri point) dan ukuran kekuatan dalam proses pemberdayaan tersebut, sedangkan sebagai output seberapa besar tingkat kedinamisan KUBE tersebut menjadi kekuatan kelompok dalam mencapai tujuan yang ingin diwujdukan. Berangkat dari pengertian di atas, kedinamisan kehidupan KUBE menjadi hal yang penting dalam proses pemberdayaan KUBE.
169
Akan sulit bagi seorang pendamping dalam melakukan pemberdayaan bilamana kedinamisan KUBE kurang dipahami secara mendalam. Karena itu, menjadi penting untuk menterjemahkan dinamika kehidupan KUBE ke dalam bentuk pengelompokan yang dapat menjelaskan kedinamisan KUBE secara tepat. Pengelompokan ini diberi nama “Konsep Pengelompokan Dinamika Kelompok” (Group Dynamic Grouping Concept). Konsep Pengelompoka n Dinamika Kelompok Aspek Sosial / (afektif, kognitif, psikom otorik)
Y2 = 53,510 + 0,326 Y 1
86,1 INOVATIF (6,6 %)
(Inovatif: 80-100 % :)
79,6 AKTIF (85,2)
(Nilai: 60-79 %)
73.1
(Nilai: 25-59 %)
INKLUSI (8,2 %)
60 Persiapan
80 Pra-Dinamis
100 Dinamis
Kedinamisan KUBE
Gambar 26: Konsep Kedinamisan KUBE Dalam pengelompokan ini, skore nilai kedinamisan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan terhadap 44 butir pertanyaan dengan skala ordinal 4 kategori terlebih dahulu ditransfer terhadap nilai kedinamisan yang bergerak dari nilai 25 (sebagai nilai terendah) hingga 100 (nilai terbesar) dengan proses sebagai berikut: nilai skore pengamatan yang diperoleh dibagi nilai skore
170
maksimum yang seharunya diperoleh kemudian dikali seratus persen. Dari hasil perhitungan ini diperoleh skore nilai kedinamisan dari masing-masing KUBE. Nilai skore kedinamisan dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (a) nilai skore kedinamisan dengan nilai antara 25 hingga 59, diberi nama kedinamisan INKLUSI; (b) nilai nilai skore kedinamisan dengan nilai 60 hingga 79, diberi nama kedinamisan AKTIF; (c) nilai skore kedinamisan dengan nilai 80 hingga 100, diberi nama kedinamisan INOVATIF . Kedinamisan KUBE merupakan dampak dari tindakan yang timbul dari perilaku-perilaku anggota KUBE, karena itu pengkategorian kedinamisan KUBE ini sangat relevan bila dikaitkan dengan kualitas perilaku (pendekatan Bloom) anggota KUBE yang meliputi aspek afektif, kognitif dan psikomotorik yang secara sederhana dilihat sebagai aspek sosial. Secara skematis bagaimana pengelompokan kedinamisan KUBE disajikan pada Gambar 26 dan hasil pengujian persamaan disajikan pada Lampiran 3g.
90.00
Y1
80.00
70.00
60.00
50.00
65.00
70.00
75.00
80.00
Y21
Gambar 27: Hubungan Dinamika Kehidupan Kelompok dengan Keberhasilan Aspek Sosial KUBE
Dari grafik terlihat sulitnya kelompok untuk masuk pada kategori KUBE inovatif. KUBE pada umumnya hanya dapat berada pada kategori aktif. Tetapi bilamana KUBE dapat masuk pada kategori KUBE inovatif, KUBE akan lebih cepat
berkembang karena
masuknya
inovasi
yang
dapat
mempercepat
171
produktivitas, dibandingkan pa da saat KUBE berada pasa masa aktif yang cenderung hanya menerapkan cara-cara tradisional yang sudah ada selama ini. Bila dilihat bagaimana pola bentuk hubungan antara dinamika kehidupan kelompok dengan keberhasilan aspek sosial yang dilakukan melalui pengujian rank Spearman dapat dilihat seperti Gambar 27. Adapun kriteria dari masing-masing pengelompokan dapat dilihat seperti pada Tabel 25. Tabel 25: Kriteria Pengelompokan Kedinamisan Kelompok. KEDINAMISAN INKLUSI
KEDINAMISAN AKTIF
KEDINAMISAN INOVATIF
Skore: 25-59
Skore 60-79
Skore: 80-100
Kriteria: • KUBE dengan struktur organisasi, keanggotaan sudah terbentuk • Intensitas pertemuan terbatas • Produksi sudah mulai berjalan tetapi masih bersifat rutin • Pendapatan sudah ada tetapi relatif terbatas • Jaringan kerja mulai dirintis • UKS belum berjalan lancar
Kriteria: • Aspek kelembagaan (struktur, keanggota, pembukuan, program) sudah berjalan • Intensitas pertemuan sedang • Produksi sudah lancar • Pendapatan sudah meningkat • UKS sudah mulai berjalan • Jaringan kerja sudah mulai berjalan • Inovasi sudah mulai diperkenalkan
Kriteria: • Aspek kelembagaan sudah berjalan baik • Intensitas pertemuan tinggi • P oduksi tinggi • P endapatan stabil dan relatif besar • UKS berjalan baik • Jaringan kerja lancar • Inovasi usaha tinggi
Didasarkan pada konsep pengkategorian kedinamisan KUBE di atas, sebanyak 85,2 persen KUBE berada pada kategori aktif (Gambar 26). Peubahpeubah yang dijadikan indikator dalam pengukuran kedinamisan KUBE mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Slamet (2001) yaitu: tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi tugas kelompok, pembinaan kelompok, kekompakan kelompok, ketegangan kelompok, keefektivan kelompok, kepemimpinan yang
172
diterapkan dalam kelompok dan bagaimana kepuasan yang dirasakan oleh anggota KUBE. Hasil ini sangat relevan dengan kenyataan-kenyataan lapangan di mana ditermukan hanya ada beberapa KUBE yang termasuk kategori inovatif dan kategori inklusi.
Keberhasilan KUBE Tingkat keberhasilan KUBE merupakan sesuatu hal yang perlu dikaji untuk melihat sejauh mana keberhasilan KUBE. Keberhasilan KUBE dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu keberhasilan yang berkaitan dengan aspek sosial dan keberhasilan yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Sejak tahun 1983 hingga sekarang Departemen Sosial sudah menjadikan KUBE sebagai suatu pendekatan dalam rangka menangani permasalahan fakir miskin. Diperkirakan semenjak tahun 1983 hingga tahun 2003 sudah sekitar + 35.000 KUBE yang diberdayakan yang tersebar di seluruh pelosok tanah air , hanya saja keberhasilannya kurang membanggakan (Balatbangsos, 1998 dan 1999). Banyak faktor yang mempengaruhi eksistensi dan keberhasilan KUBE. Selama masa kurun waktu 1983 hingga tahun 1997 proses pemberdayaan yang dilakukan terhadap fakir miskin kurang mencerminkan kebutuhan kelompok sasaran. Beberapa kelemahan yang dapat diidentifikasi, antara lain: (a) Jumlah kelompok diwajibkan harus 10 KK dan tidak boleh kurang dan tidak bole h lebih. Ini sangat terkait dengan perta nggung jawaban administrasi yang harus diselesaikan. (b) Modal yang diberikan harus dalam bentuk barang karena harus dilakukan melalui pengadaan pihak ketiga dan besar bantuan sudah given . (c) Jenis bantuan kurang mencerminkan kebutuhan kelompok sasaran, et tapi lebih pada pertanggung jawaban administrasi yang sudah dianggarkan. (d) Memberikan tekanan yang lebih besar pada proses pendampingan, sementara pelatihan kepada anggota KUBE sangat terbatas, (e) Diterapkannya otonomi daerah, sementara apresiasi sebagian pemerintah daerah terhadap hal-hal yang sifatnya non-PAD kurang mendapat perhatian - karena dianggap sebagai sektor yang konsumtifsehingga perhatian terhadap KUBE menjadi sangat terbatas. Karena faktor-faktor ini banyak terjadi kegagalan terhadap KUBE dan tidak sedikit yang gulung tikar.
173
Untuk me lihat gambaran bagaimana tingkat keberhasilan KUBE baik aspek sosial maupun aspek ekonomi disajikan berikut ini. Kriteria jawaban responden dikelompokkan dalam empat kategori, yaitu: tidak berkembang, kurang berhasil, sedang dan sangat berhasil. Hasil pengujian menunjukkan bahwa 95,1 persen keberhasilan KUBE berada pada kategori kurang berhasil, dan hanya 4,9 persen keberhasilan KUBE berada dalam kategori cukup. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa KUBE belum dapat dikategorik berhasil. Bila ditelusuri lebih mendalam faktor penyebab ketidakberhasilan ini lebih banyak dikarenakan faktor aspek ekonomi belum berjalan sesuai dengan yang diharapakan (akan bahas lebih lanjut). Sedangkan faktor aspek sosial relatif lebih baik sekalipun hanya pada tingkat keberhasilan kategori cukup. Nampaknya, proses pemberdayaan dalam bidang aspek ekonomi masih perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Untuk melihat gambaran perbandingan keberhasilan masing-masing aspek (KUBE, Sosial dan Ekonomi) disajikan pada Gambar 28. Selanjutnya, untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan masing-masing aspek sosial dan aspek ekonomi dipaparkan berikut ini.
95,1
95,1
91,8
KUBE Sosial Ekonomi
4,9
0
3,3
Tidak berhasil
Kurang berhasil
0
4,9
0
Sedang
4,9
Sangat berhasil
Gambar 28: Tingkat Keberhasilan KUBE Pengelompokan aspek sosial dan aspek ekonomi dalam anlisis ini tidak bertujuan untuk mendikotomikan antara aspek sosial dan aspek ekonomi. Namun, hanya bertujuan untuk mempertajam analissis bagaimana tingkat keberhasilan dari masing-masing kedua aspek tersebut. Kedua aspek ini dipandang sebagai satu
174
kesatuan yang mempunyai hubungan yang sangat erat antara satu dengan yang lainnya, seperti dua sisi mata uang yang menyatu. Aspek sosial tidak akan dapat berlajalan dengan baik bila tidak didukung dengan aspek ekonomi yang kuat, seperti usaha yang berkembang, pendapatan yang meningkat, tabungan, dan lainlain. Sebaliknya, aspek ekonomi tidak akan berarti apa-apa bila tidak didukung dengan kegiatan-kegiatan sosial yang baik, seperti kerjasama di antara mereka, keperdulian, rasa tolong-menolong, keperdulian, tingkat pendidikan anak dalam keluarga yang semakin meningkat dan lain-lain. Karena itu,
pengembangan
kedua aspek ini perlu disejajarkan, tidak menempatkan salah satu menjadi yang terpenting. Pemisahan kedua aspek ini akan menjadikan pemberdayaan KUBE menjadi tidak optimal. Bagaimana eksistensi dan keberhasilan aspek sosial dan aspek ekonomi dijasikan pada analisis berikut ini. Keberhasilan Aspek Sosial Pengukuran aspek sosial ini berkaitan dengan pengembangan sikap dan perilaku yang berkaitan dengan pendekatan Bloom terhadap tiga aspek perilaku manusia yang meliputi: ranah afektif, ranah kognitif dan ranah psikomotorik. Didasarkan pada pendekatan ini, aspek sosial yang diukur pada KUBE juga berkaitan langsung dengan tiga ranah dimaksud. Adapun indikator-indikator yang diukur dalam aspek sosial meliputi: bagaimana kerjasama yang terjadi di antara sesama anggota, bagaimana kesediaan anggota dalam memberikan pertolongan, bagaimana kemampuan dalam mengatasi masalah, bagaimana tingkat partisipasi anggota, bagaimana keberanian mengahadapi risiko, bagaimana kemampuan dalam perencanaan usaha, bagaimana pemanfaatan sumber yang dilakukan, dan bagaimana inovasi usaha yang sudah dikembangkan. Dalam pengukuran ini tidaklah mudah mengklasifikasikan semua indikator yang disebutkan dalam penggolongan Bloom. Karena itu, dalam pembahasan ini penggolongan indikator tidak dilakukan secara individual tetapi pembahasannya dilakukan secara global. Dari hasil yang diperoleh, sebanyak 3,3 persen berada dalam kategori kurang berhasil, dan 91,8 persen keberhasilan aspek sosial KUBE berada dalam kategori sedang dan hanya 4,9 % persen berada dalam kategori sangat berhasil. Dilihat dari data ini dapat dikatakan bahwa keberhasilan aspek sosial KUBE masih perlu
175
ditingkatkan. Diperlukan usaha-usaha kerja keras untuk le bih meningkatkan keberhasilan aspek sosial. Pencapaian keberhasilan aspek sosial merupakan hal yang penting dalam proses kehidupan KUBE karena KUBE merupakan usaha kerja sama dari sekelompok orang yang di dalamnya bagaimana mereka harus saling tolong menolong, saling perduli satu sama lain, dan saling bantu membantu dalam berbagai kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Usaha kerja sama ini bukanlah hanya mengejar target pencapaian keberhasilan aspek ekonomi tetapi kesetaraan dengan keberhasilan aspek-aspek sosial. Tabel 26: Tingkat Keberhasilan Aspek Sosial KUBE menurut Provinsi Propinsi Jawa Timur
Kategori(%) Sangat Rendah 0 (0.0)
Kurang
Sedang
Tinggi
Total
8 (36.4)
14 (63.6)
0 (0.0)
22 (100)
Kalimantan Timur
0 (0.0)
15 (57.7)
11 (42.3)
0 (0.0)
26 (100)
Sumatera Utara
0 (0.0)
6 (46.2)
7 (53 .8)
0 (0.0)
13 (100)
Jumlah
0 (0.0)
29 (47.5)
32 (52.5)
0 (0.0)
61 (100)
Ket: (
) = persen wilayah
Secara umum gambaran keberhasilan aspek sosial sudah dipaparkan di atas, selanjutnya bagaiamana gambaran keberhasilan aspek sosial menurut wilayah provinsi. Pengkajian ini merupakan hal yang penting untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan KUBE di masing-masing wilayah karena akan dijadikan sebagai bahan acuan dalam pengembangan KUBE di masing-masing wilayah. Hasil menunjukkan bahwa KUBE yang ada di Provinsi Jawa Timur merupakan KUBE yang paling berhasil dibandingkan dua wilayah provinsi lainnya, kemudian diikuti dengan Sumatera Utara dan Kalimantan Timur. Kondisi ini dapat terjadi karena tingkat homogenitas masyarakat sangat tinggi (yang pada umumnya adalah masyarakat Jawa) bila dibandingkan dengan dua provinsi lainnya yang lebih heterogen dan juga budaya kehidupan masyarakat sehari-hari lebih senang hidup bersama. Kalimantan Timur banyak dipengaruhi ole h migrasi penduduk yang datang dan ke luar daerah tersebut sehingga lebih heterogen. Sejauh mana keberhasilan KUBE di masing-masing wilayah disajikan dalam Tabel 26.
176
Keberhasilan Aspek Ekonomi Aspek ekonomi sebenarnya merupakan mean atau alat dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi anggota KUBE. Tidak berarti bahwa aspek ekonomi menjadi hal yang nomor dua dalam kehidupan KUBE. KUBE tanpa aspek ekonomi tidak berarti apa-apa, demikian juga KUBE tanpa aspek sosial juga tidak berarti apa-apa, keduanya memiliki fungsi yang sangat berarti dalam kehidupan anggota KUBE tersebut. Aspek sosial dan ekonomi harus dilihat dalam arti kesejajaran yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lainnya. Ada beberapa indikator yang digunakan dalam mengukur keberhasilan aspek ekonomi, yaitu: bagaimana perkembangan modal usaha KUBE, bagaimana pengguliran yang sudah dilakukan, seberapa besar tingkat pendapatan anggota dan hasil usaha yang dikembangkan oleh KUBE, bagaimana ketersediaan tabungan keluarga, bagaimana perkembangan jenis usaha, bagaimana pengelolaan hasil keuntungan yang dilakukan, bagaimana pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) KUBE. Tabel 27: Tingkat Keberhasilan Aspek Ekonomi KUBE menurut Provinsi Propinsi
Kategori (%)
Jawa Timur
Sangat Rendah 18 (81.8)
Kalimantan Timur Sumatera Utara Jumlah
Kurang
Sedang
Tinggi
Total
4 (18.2)
0 (0.0)
0 (0.0)
22 (100)
24 (92.3)
2 (7.7)
0 (0.0)
0 (0.0)
26 (100)
9 (69.2)
4 (30.8)
0 (0.0)
0 (0.0)
13 (100)
51 (83.6)
10 (16.4)
0 (0.0)
0 (0.0)
61 (100)
Ket: ( ) persen wilayah
Data menunjukkan bahwa 95,1 persen keberhasilan aspek ekonomi KUBE berada dalam kategori tidak berkembang, dan hanya 4,9 persen yang berada dalam kategori kurang berhasil, sedangkan pada kategori sedang dan sangat berhasil sama sekali tidak ada. Dari kumulatif jawaban anggota KUBE dapat dikatakan bahwa aspek ekonomi KUBE belum berhasil. Tetapi bila dianalisis lebih jauh, rendahnya tingkat keberhasilan aspek ekonomi diakibatkan bahwa beberapa peubah seperti aspek pengguliran usaha, tabungan perkembangan jenis
177
usaha, pengelolaan IKS belum terlaksana sebagaimana yang diharapkan. Tetapi peubah seperti perkembangan usaha dan pendapatan terlihat perkembangan keberhasilan yang sangat berarti terhadap kehidupan KUBE dan anggota KUBE tersebut (Gambar 24). Keberhasilan aspek ekonomi yang sudah dipaparkan di atas masih jauh dari yang diharapkan. Selanjutnya akan dipaparkan bagaimana tingkat pencapaian keberhasilan
aspek
ekonomi
KUBE
di
masing-masing
provinsi.
Data
menunjukkan KUBE yang ada di Provinsi Suamatera Utara sedikit lebih berhasil dibandingkan dengan dua provinsi lainnya, kemudian diikuti oleh KUBE yang ada di Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Perbedaan ini
tidak dapat dilihat
sebagai keberhasilan karena semua KUBE di ketiga wilayah berada pada kategori sangat rendah dan kurang (Tabel 27).
Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kehidupan KUBE Berbagai faktor yang diduga sebagai faktor -faktor penentu keberhasilan dinamika kehidupan KUBE, adalah: karakteristik individu anggota KUBE, pola pemberdayaan yang diberikan kepada KUBE, dan aspek lingkungan sosial. Hubungan di antara peubah-peubah ini mempnyai pengaruh langsung terhadap dinamika kehidupan KUBE tersebut. Karena itu dilakukan pengujian terhadap pengaruh langsung dari ketiga peubah terhadap dinamika kehidupan KUBE tersebut. Selain itu peubah ini ada yang pengaruhnya besar dan ada yang pengaruhnya kecil. Peubah ini berada dalam keadaan kontimum. Untuk melihat sejauhmana hubungan di antara peubah ini dilakukan pengujian lebih lanjut.
Hipotes is 1 : Karaktersitik individu anggota KUBE (X1) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y 1) Sebelum dilakukan pengujian analisis lintasan pengaruh sub peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1) terhadap peubah dinamika kehid upan KUBE (Y 1), terlebih dahulu dilakukan pengujian hubungan antara sub peubah untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara masing-masing peubah.
178
Didasarkan pada pengujian statistik rank Spearman pada TS 0,05 untuk dua sisi terlihat adanya hubunga n yang nyata di antara sub berikut terhadap dinamika kehidupan kelompok yaitu: varibael pendidikan formal, pelatihan yang diikuti, modal awal yang dimiliki, pola penghasilan, sumber penghasilan utama, kebutuhan / harapan, persepsi tentang kehidupan berkelompok dan motivasi anggota menjalankan KUBE. Sedangkan peubah jenis kelamin dan umur tidak terlihat hubungan yang berarti dengan dinamika kehidupan KUBE. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan dalam Tabel 28. Jumlah laki-laki dan perempuan yang menjadi responden dalam penelitian hampir seimbang. Dalam pengujian tidak terlihat hubungan yang nyata antara jenis kelamin dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. Antara laki-laki dan perempuan tidak terlalu jauh berbeda dalam pemikiran, apalagi pendidikan mereka hanya sebatas SLTA. Mungkin yang lebih bisa dibedakan adalah aspek kekuatan fisik, tetapi aspek-aspek tersebut kurang berpengaruh dalam kegiatan KUBE, karena itu dalam konsep pemberdayaan KUBE perempuan dan laki-laki sama.
Umur adalah usia anggota KUBE mulai dari lahir hingga penelitian dilakukan. Bila dilihat dari komposisi umur anggota KUBE (Gambar 12) pada umumnya berusia antara 21 hingga 50 tahun. Bila dikaitkan dengan kegiatan KUBE, jenjang usia seperti ini tidak terlalu berpengaruh terhadap kegiatan KUBE. Kegiatan mereka sangat tradisional tidak menuntut pemikiran atau kedewasaan atau kematangan berpikir, yang lebih dituntut adalah kemampuan fisik. Pengalaman yang ada selama ini sudah cukup. Karena itu, tidak terlihat suatu hubungan yang nyata antara peubah umur dengan komponen karakteristik KUBE dan dinamika kehidupan kelompok. Hubungan tersebut terlihat dalam hubungan negatif. Implikasi hasil penelitian ini, tidak perlu memberikan tekanan yang berlebihan dalam KUBE yang berkaitan dengan umur dalam batas 16 tahun hingga 78 tahun. Pendidikan formal yang dimaksudkan di sini adalah jenjang pendidikan
terakhir yang ditamatkan hingga memperoleh ijazah tanda tamat belajar atau sertifikat yang disamakan dengan itu. Hasil pengujian menunjukkan bahwa
179
pendidikan anggota KUBE mempunyai hubungan yang nyata dengan dinamika kehidupan KUBE. Bila dilihat dari komposisi pendidikan
anggota KUBE
(Gambar 13) sebagian besar mereka hanya berpendidikan SD dan SLTA, bahkan ada yang sama seka li tidak tamat SD. Sedangkan pendidikan SMP hanya sedikit sekali tidak sebanding dengan SD maupun SLTA. Perbedaan jenjang kelompok pendidikan ini mungkin turut mempengaruhi hubungan diantara peubah tersebut. Selain itu, bila ditelusuri lebih jauh anggota KUBE yang berpendidikan SLTA pada umumnya adalah mereka yang berusia muda, yang semangat dan idealismenya masih tinggi. Mereka lebih berorientasi ke masa depan. Demikian halnya dengan pelatihan juga mempunyai hubungan yang nyata dengan karakteristik KUBE, aspek internal dan dinamika kehidupan KUBE. Data menunjukkan bahwa 81,2 persen anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, bahkan ada di antara anggota yang sudah mengikuti pelatihan sampai tiga kali. Hanya saja pelatihan yang diikuti oleh anggota KUBE
ada yang
berkaitan langsung dan ada yang kurang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Belum pernah ada anggota KUBE yang mengikuti pelatihan yang berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan. Keikutsertaan mereka dalam mengikuti pelatihan karena adanya kesempatan di luar KUBE. Bagaimanapun keikutsertaan mereka dalam diklat ini akan turut mempengaruhi cara berpikir dan wawasan mereka didukung dengan pengalaman-pengalaman yang sudah ada selama ini. Didasarkan pada uraian di atas, aspek pendidikan dan pelatihan patut dipertimbangkan dalam pengembangan KUBE mulai dari proses pembentukan KUBE hingga pengembangan lebih lanjut. Mungkin tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa modal menjadi salah satu faktor terpenting dalam pengembangan usaha. Demikian juga halnya dalam KUBE, bila tidak ada modal sulit untuk mengembangkan jenis usaha ekonomis produktif yang sedang digeluti. Modal yang dimilki oleh KUBE (Tabel 22) cukup berarti bagi KUBE sekalipun masih relatif kecil. Karena modal awal dan bantuan yang diterima oleh KUBE menjadikan pengembangan modal KUBE menjadi sangat berarti. Terjadi peningkatkan yang sangat nyata (Gambar 21). Hal lain juga dapat dilihat dari tingkat pendapatan
anggota terjadi peningkatan yang
berarti. Berbagai faktor-faktor tersebut menyebabkan peningkatan aktivitas KUBE
180
yang cukup berarti. Sebagai implikasi dari pengujian ini, maka penambahan modal KUBE dalam rangka peningkatkan dinamika kehidupan KUBE menjadi faktor yang menentukan dan perlu dilakukan Dilihat dari pola penghasilan, sifat kegiatan usaha yang dikembangkan KUBE dan dalam kaitannya dengan permasalahan fakir miskin, jenis usaha ekonomis produktif KUBE dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu: (a) KUBE Harian, (b) KUBE Bulanan, (d) KUBE Tahunan (Tabel 18). Dari penelitian yang dilakukan 59,02 persen termasuk kategori sifat penghasilan harianmingguan, 18,03 kategori sifat penghasilan bulanan-triwulan dan 22,95 persen sifat penghasilan semesteran-tahunan. Jenis usaha yang bersifat penghasilan haria n-mingguan sangat relevan dengan permasalahan fakir miskin yang berkaitan dengan bagaimana pemenuhan hidup hari ini dan bukan bagaimana hari esok. Sebagai dampaknya KUBE menjadi lebih dinamis, di mana persoalanpersoalan ekonomi keluarga dapat lebih teratasi. Kebutuhan dan harapan seseorang sangat mempengaruhi terhadap perilaku yang ditampilkan. Menurut Steer (1996) kebutuhan dapat menjadi motivasi penguat
untuk
berperilaku
bagi
seseorang
dalam
rangka
memenuhi
kebutuhannya. Tuntutan akan pemenuhan kebutuhan dan harapan keluarga dapat menjadi pendorong yang memaksa anggota KUBE untuk tetap menjalankan program -progam KUBE dan tetap menjadi anggota KUBE. Selain itu, hasil yang sudah dicapai melalui KUBE selama ini dapat menjadi penguat terhadap eksistensinya dalam KUBE. Pada sisi lain sulitnya mencari lapangan pekerjaan di luar KUBE karena keterbatasan kemampuan dan keterampilan juga menjadi faktor yang mempengaruhi eksistensi mereka tetap dalam KUBE. Tuntutan kebutuhan dan harapan yang harus dipenuhi, mendorong mereka untuk tetap mengembangkan dan mempertahankan KUBE. Persepsi berkaitan dengan pemahaman seseorang tentang makna dari suatu obyek. Persepsi seseorang sangat dipengaruhi latar belakang kehidupan seseoang, seperti tingkat pendidikan, pengalaman, wawasan, dan lain-lain. Persepsi seseorang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam bertindak. Jadi, semakin tinggi pemahaman anggota KUBE terhadap eksistensi KUBE akan semakin mendorong anggota KUBE untuk terlibat dalam pengembangan KUBE. Berbagai
181
upaya aka n dilakukan dalam mempertahankan KUBE tersebut. Keterbatasn kemampuan dan wawasan mereka dalam mempersepsi dan menga nalisis eksistensi KUBE membuat mereka menjadi bernilai positif terhadap KUBE, sehingga semakin mendekatkan mereka dengan kehidupan KUBE. Dari hasil pengujian yang dilakukan terlihat hubungan antara persepsi anggota KUBE dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha.
Tabel 28 : Koefisien Korelasi antara Karaktersitik Indivdu Anggota KUBE (X1) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) Peubah
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Jenis Kelamain (X1.1)*
43,214
,630
Umur (X1.2)*
54,464
,207
Pendidikan Formal (X1.3)
,542(**)
,000
Pelatihan yang diikuti (X1.4)
,567(**)
,000
Modal awal yang dimiliki (X1.5)
,545(**)
,000
Pola Penghasilan (X1.6)
,396(**)
,002
Sumber Penghasilan Utama (X1.7)
,380(**)
,002
Kebutuhan / Harapan (X1.8)
,563(**)
,000
Persepsi tentang hidup berkelompok (X1.9)
,459(**)
,000
Motivasi anggota (X1.10)
,416(**)
,000
Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1)
,343( **)
,006
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) *Correlation is significant at the 0.05 level (2- tailed)
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas ; * dilakukan melalui pengujian Chi Square. Hampir sama dengan pemenuhan kebutuhan dan harapan di atas, motivasi seseorang juga dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Winkel (1991) mengatakan bahwa motivasi sangat mempengaruhi perilaku seseorang bahkan lebih lanjut dikatakan bahwa motivasi seseorang sangat menentukan efektivitas suatu tindakan dan perilaku seseorang. Motivasi seseorang dapat meningkatkan komitmen dalam penyelesaian tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Terlihat hubungan yang nyata antara motivasi yang dimiliki oleh anggota KUBE dengan
182
dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan KUBE. Unsur motivasi menjadi aspek yang penting dalam pengembangan KUBE. Berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan motivasi anggota KUBE seperti: menghidupkan kembali pelayanan pendamping yang sudah berjalan selama ini, mengadakan pelatihan-pelatihan praktis, penambahan sarana dan prasarana kerja, penambahan modal dan lain-lain. Dari hasil pengujian di atas terlihat bahwa pada umumnya peubah karateristik individu anggota KUBE (kecuali sub peubah jenis kelamin dan umur anggota KUBE) mempunyai hubungan yang nyata dengan peubah dinamika kehidupan kelompok, di mana nilai p yang dihasilkan hampir mendekati nilai 0, bahkan untuk sub peubah terlihat hubungan yang nyata pada pengujian TS 0,01. Tetapi untuk sub peubah jenis kelamin dan umur tidak terlihat hubungan yang berarti. Artinya bahwa sub peubah jenis kelamin dan umur dapat diabaikan dalam proses pemberdayaan KUBE tersebut (Lampiran 2a).
R2 =0,710
(X1 ) Karakteristik Ind Anggota KUBE
(Y 1) Dinamika Kehidupan KUBE
Peubah Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1-Y1): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pendidikan formal (0,16) Modal awal yang dimiliki (0,14) Pelatihan yang diikuti (0,13) Kebut uhan / harapan (0,12) Motivasi anggota (0,12) Sumber Penghasilan Utama (0,11) Persepsi ttg kehidupan berklp (0,10) Pola penghasilan (0,09)
Gambar 29: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karaktiristik Individu Anggota KUBE (X1 ) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1)
183
Untuk melihat lebih jauh seberapa besarnya koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap dinamika kehidupan KUBE, dilakukan analisis lintasan pada TS 0,05. Dari hasil pengujian yang dilakukan diperoleh nilai p = 0,000, dengan R 2 = 0.710. Pada pengujian ini beberapa sub peubah harus dikeluarkan karena kurang nyata dan mendukung terhadap persamaan, yaitu sub peubah jenis kelamin dan umur. Dengan nilai R2 = 0.71 berarti sub prediktor peubah X1 mampu menjelaskan peubah Y 1 sebesar + 71 persen, sedangkan sisanya 29 persen dijelaskan oleh peubah lain diluar X1 (Lampiran 3f). Hasil pengujian menunjukkan beberapa sub peubah karakteristik anggota KUBE yang dapat dipertahankan dan mendukung terhadap persamaan adalah pendidikan formal, modal awal yang dimiliki, pelatihan yang diikuti, motivasi anggota, pola penghasilan, sumber penghasilan utama, kebutuhan / harapan, persepsi tentang kehidupan berkelompok. Dua sub variabel lainnya (jenis kelamin dan umur) dikeluarkan dari persamaan karena kurang mendukung terhadap persamaan. Secara skematis pengujian peubah dimaksud digambarkan seperti Gambar 29. Bila dilihat hasil pengujian Gambar 298, terlihat distribusi nilai yang cukup berarti. Nilai yang ada tidak semata-mata hanya dilihat dalam arti kuantitatif, tetapi lebih dari itu. Ini tidak berarti bahwa peubah yang mempunyai nilai lebih besar lebih
berarti dibandingkan yang lainnya. Nilai hanya
menggambarkan kontribusi yang mungkin diberikan, semua peubah ini harus dilihat secara utuh, tidak dilihat secara individual dan semua peubah perlu mendapat perhatian dalam proses pemberdayaan. Peubah pendidikan formal perlu mendapat perhatian, bukan tujuan untuk menyekolahkan kembali para anggota KUBE, tetapi dalam proses pembentukan kelompok, komposisi tingkat pendidikan formal anggota patut dipertimbangkan, sehingga tidak semuanya berpendidikan SD atau sama sekali tidak sekolah. Demikian dengan modal, sebenarnya persoalan internal anggota KUBE pada umumnya adalah modal dan keterampilan yang sangat terbatas bahkan sama sekali tidak ada. Karena itu, penyediaan modal perlu diikuti dengan pelatihan-pelatihan yang sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Jenis usaha yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan kebutuhan, kemampuan dan sumber daya yang tersedia. Dari
184
hasil penelitian ini terlihat bahwa penyediaan modal perlu diikuti dengan pelatihan
keterampilan,
pemberian
modal
perlu
diikuti
dengan
proses
pendampingan. Banyak orang mempertanyakan, “apakah lebih utama modal (uang dan peralatan) daripada pendampingan atau keterampilan dalam proses pemberdayaan fakir miskin?”. Dalam penelitian ini tidak diartikan demikian, tetapi pemberian modal perlu diikuti dengan pendampingan (yang sudah dimulai sejak
awal)
dan
peningkatan
keterampilan
(sesuai
jenis
usaha
yang
dikembangkan), pemberian motivasi, penumbuhan komitmen dan penyamaan persepsi akan eksistensi KUBE, pengembangan usaha perlu terus dilakukan agar KUBE menjadi sumber penghasilan utama. Jenis usaha yang dikembangkan perlu disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan para anggota KUBE (KUBE Harian, Bulanan dan Tahunan ). Dalam konteks ini, tidak melihat pengembangan suatu peubah menjadi hal yang terpenting dari yang lainnya. Pengembangan peubahpeubah ini tidak diartikan secara sendiri-sendiri tetapi sesuatu yang integral yang harus dikembangkan secara bersama-sama dalam proses pemberdayaan tersebut.
Hipotes is 2 : Pola Pemberdayaan (X2) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y 1) Sebelum dilakukan pengujian analisis lintasan pengaruh lebih jauh dari sub peubah pola pemberdayaan (X 2) terhadap peubah dinamika kelompok (Y1), akan dilakukan pengujian hubungan antara sub peubah pola pemberdayaan dengan dinamika kehidupan KUBE untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara masing-masing. Didasarkan pada pengujian rank Spearman pada TS 0,05 untuk dua sisi terlihat adanya hubungan yang nyata di antara sub peubah pola pemberdayaan terhadap dinamika kehidupan kelompok yaitu: proses pembentukan KUBE, pendekatan / metode yang dilakukan, jumlah anggota KUBE, bantuan yang diterima, pendampingan, kebebasan yang diberikan, perlindungan / proteksi (Tabel 29). Terkait dengan proses pembentukan KUBE, hasil penelitian tidak hanya ditujukan pada KUBE yang akan dibentuk, tetapi juga terhadap KUBE yang sudah
terbentuk
yang
memerlukan
pembenahan
dan
pengembangan-
185
pengembangan lebih lanjut. Namun dalam penelitian ini, proses pembentukan KUBE menjadi suatu proses yang sangat mempunyai arti dalam perjalanan KUBE tersebut. Bila proses pembentukan KUBE kurang demokratis biasanya sangat berdampak pada perkembangan kehidupan KUBE selanjutnya Karena itu, dalam proses pembentukan KUBE berbagai hal perlu dipertimbangkan, seperti latar belakang kehidupan anggota, keterampilan, suku, tempat tinggal, dan lain -lain perlu disesuaikan dengan keinginan anggota. Anggota kelompok lebih memilih kesamaan di antara berbagai variabel tersebut. Namun kenyataan seperti ini sulit ditemukan
di
lapangan
sekaligus.
Karena
adanya
administrasi pemberdayaan bagi masyarakat
pertanggungjawaban
miskin yang akan segera
direalisasikan, sehingga pembentukan KUBE tidak lagi mempertimbangkan asalusul kesamaan latar belakang tetapi lebih pada pertimbangan jumlah kelompok. Sehingga terbentuklah KUBE dengan latar belakang yang beragam. Untuk mengantisipasi perbedaan latar belakang ini, pada awalnya jenis usaha dikembangkan hanya satu, setelah dalam perjalanan KUBE usaha dikembangkan sesuai dengan keterampilan dan pengalaman yang dimiliki oleh anggota KUBE, namun pembinaan anggota KUBE tetap dalam kelompok. Pengembangan jenis usaha sangat banyak diwarnai oleh keterampilan dan pengalaman (skill ability) yang dimiliki anggota KUBE, tetapi bukan karena modal yang cukup atau dalam rangka pengembangan usaha. Ada
beberapa
pendekatan
atau
metode
yang
diterapkan
dalam
pemberdayaan fakir miskin (Tabel 20). Reaksi anggota terhadap metode tersebut pada umumnya sangat positif, khususnya terhadap metode yang bersifat demokratis, dan gabungan di antara pendekatan kelompok dan individu. Terlihat hubungan yang nyata antara peubah pendekatan yang diterapkan dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. Dalam pendekatan yang dilakukan baik dalam proses sosialisasi, pemberian bantuan, pendampingan dan pembinaan-pembinaan selalu diupayakan melalui demokratisasi atau lebih dikenal dengan pendekatan musyawarah. Terlihat hubungan antara jumlah anggota kelompok dengan tingkat kedinamisan KUBE. Namun, melalui pengujian analisis jalur peubah jumlah anggota kelompok dikeluarkan dari persamaan karena kurang memberikan
186
kontribusi yang berarti. Bila dilihat dari komposisi anggota KUBE cukup bervariasi mulai dari 5 orang hingga 100 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa efektivitas besarnya jumlah anggota suatu KUBE sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan. Bila jenis usaha yang dikembangkan bergerak dalam usaha simpan pinjam misalnya memerlukan jumlah anggota di atas 30 orang, karena dalam proses seperti ini ada akumulasi modal yang cukup berarti. Bila jenis usaha bergerak dala m bidang dagang (jualan) membutuhkan anggota antara 7 hingga 15 orang. Namun perlu dipahami, bahwa jumlah anggota yang sedikit atau banyak bukanlah suatu faktor jaminan keberhasilan KUBE, namun yang lebih penting adalah bagaimana kemauan dan komitmen dari anggota untuk terlibat dalam kegiatan yang dilakukan. Komitmen dan kemauan bukanlah sesuatu yang dibawa lahir tetapi sesuatu yang dapat dipelajari dan ditingkatkan. Sekalipun kemampuan seseorang terbatas atau pendidikannya rendah, bila ada kemauan dan komitmen pada orang tersebut, faktor -faktor lainnya dapat diatasi. Semua itu adalah proses belajar. Bila kemauan dan komitmen didukung oleh tingkat pendidikan dan pelatihan yang memadai akan lebih sempurna. Terlihat dari hasil bahwa persentase kehadiran anggota KUBE berada dalam kategori sangat baik sementara tingkat pendidikan mereka relatif rendah. Dilihat dari data ini, mereka lebih mengedepankan kemauan dan komitmen dalam menjalanakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam pengujian ini terlihat ada hubungan antara tingkat kehadiran dengan dinamika KUBE. Bantuan yang diberikan kepada KUBE sangat dirasakan manfaatnya oleh KUBE. Ada sebagian KUBE yang tidak memiliki modal awal, mereka hanya mengharapkan bantuan dari pemerintah. Tetapi dengan bant uan yang diberikan KUBE dapat lebih eksis. Namum konsep bantuan yang dimaksud dalam hal ini adalah kesesuaian bantuan dengan kebutuhan KUBE yang diharapkan, baik dari segi jumlah maupun jenis. Bantuan yang diberikan sebagian besar cukup sesuai, namun masih ada yang mengatakan kurang sesuai dan ada juga yang mengatakan sangat sesuai. Perlu dipahami bahwa konsep bantuan yang diberikan sasarannya hanya bersifat stimulan, atau bersifat merangsang atau mendorong modal yang sudah dimiliki KUBE atau anggota KUBE, sehingga KUBE dapat menjadi lebih dinamis atau lebih cepat berkembang. Tetapi bila dikaji lebih jauh, konsep
187
stimulan yang ditujukan kepada KUBE kelompok fakir miskin sebenarnya kurang tepat sasaran, karena kenyataannya kelompok fakir miskin adalah kelompok masyarakat yang tidak memiliki. Kelompok ini merupakan kelompok masyarakat yang
serba tidak memiliki atau serba keterbatasan, sehingga konsep bantuan
stimulan kurang tepat ditujukan pada kelompok ini. Konsep ini sangat tepat bila ditujukan pada mereka yang dikategorikan sebagai kelompok non fakir miskin atau kelas mene ngah ke atas. Eksistensi pendamping dalam KUBE sangat diperlukan. Terkait dengan latar belakang kemampuan anggota KUBE yang sangat terbatas dan juga dalam rangka pengembangan KUBE di masa-masa mendatang, eksistensi seorang pendamping sangat diperlukan. Ada hubungan yang nyata antara pelayanan pendampingan dengan dinamika kehidupan KUBE. Ada minimal tiga peranan yang harus ditampilkan oleh pendamping dalam proses pendampingan (Gambar 18). Dalam kaitan proses pendampingan, pendamping harus dapat berperan sebagai fasilitator dan dinamisator dan sebagai katalisator. Peranan-peranan ini sudah ditampilkan sekalipun masih belum optimal, dan perlu ditingkatkan. Kebebasan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan kreativitas, tetapi perlu didukung oleh kemampuan yang cukup. Kebebasan di sini berkaitan mulai dari proses pembentukan KUBE hingga pengembangan KUBE. Hilangnya proses pendampingan selama kurun waktu masa krisis ekonomi telah mendewasakan KUBE untuk mampu bertahan, tetapi sebaliknya telah berdampak negatif terhadap sebagian besar KUBE yang kurang mampu dan bahkan sebagian KUBE ada yang sudah mati. KUBE yang diteliti merupakan KUBE yang mampu bertahan menghadapi berbagai rintangan dan tantangan yang terjadi selama ini. Dalam masa itu terlihat kebebasan KUBE karena proses pendampingan tidak ada, pengembangan KUBE sangat tergantungan hanya pada KUBE itu sendiri. Tetapi nampaknya kebebasan ini hanya berdampak terhadap hal-hal yang bersifat internal KUBE, seperti pengambilan keputusan, pemilihan pengurus, penentuan jenis usaha. Terhadap hal- hal yang sifatnya eksternal, seperti: persaingan pasar, pemanfaatan sumber daya, atau pengembangan jaringan kerjasama belum terlihat hasil yang menggembirakan hasilnya belum berarti.
188
Keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh KUBE menjadikan perlunya diberikan perlindungan. Tetapi pemberian perlindungan yang terus menerus juga merupakan suatu hal yang kurang baik dalam suatu bentuk usaha. Perlindungan yang diberikan terhadap KUBE selama ini terbukti sudah dapat meningkatkan dinamika kehidupan KUBE, termasuk juga dalam hal akumulasi modal yang dimiliki, tingkat pendapat, kemampuan dalam pemasaran. Dalam pengujian ini terlihat hubungan negatif, yang berarti bahwa bila perlindungan diberikan secara terus menerus, maka karakteristik KUBE dan dinamika kehidupan KUBE menjadi kurang berkembang dan sebaliknya. Semua ini mencerminkan dampak dari pemberian perlindungan kepada KUBE. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara sub peubah penelitian yang sudah dipaparkan di atas, disajikan dalam Tabel 29. Dari pengujian Tabel 29 terlihat pada umumnya sub peubah mempunyai hubungan yang nyata dengan dinamika kehidupan KUBE. Terlihat hubungan tersebut relatif tinggi, di mana nilai p hampir mendekati 0 bahkan sebagian sama dengan 0. Tetapi untuk pengujian proses pembentukan KUBE dan perlindungan / proteksi yang diberikan terlihat nilai p relatif besar. Ini menunjukkan bahwa hubungan tidak terlalu kuat. Tabel 29
: Koefisien Korelasi antara Pola Pemberdayaan (X1) dengan Dinamika Kehidupan Kelompok (Y 1) Aspek
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Proses pembentukan KUBE (X1.1)
.292(*)
,024
Pendekatan / metode (X1.2)*
.341(**)
,007
Jumlah anggota (X1.3)
,350(**)
,005
Bantuan (uang dan peralatan) (X1.4)
,502(**)
,000
Pendampingan (X1.5)
,399(**)
,001
Kebebasan yang diberikan (X1.6)
,334(**)
,009
Perlindungan / proteksi terhadap KUBE (X1.7)
,255(*)
,047
Pola pemberdayaan (X2)
,380(**)
,002
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *Correlation is significant at the 0.05 level (2- tailed).
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
189
Selanjutnya akan dilakukan analisis lintasan untuk menentukan peubahpeubah mana yang mendukung dan seberapa bes ar koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap persamaan yang akan dibangun. Dari pengujian yang dilakukan pada TS 0,05 diperoleh hasil nilai p = 0.000 dengan R2 = 0,721. Beberapa sub peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap pengujian yaitu peubah perlindungan atau proteksi yang diberikan. Persamaan ini cukup kuat di mana vaiabel pola pemberdayaan dapat memberikan kontribusi sebesar 72,1 persen terhadap dinamika kehidupan kelompok (Lampiran 2b). Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan terlihat ada sub peubah yang harus dikeluarkan yaitu sub peubah perlindungan atau proteksi karena kurang mendukung terhadap persamaam sekalipun terlihat hubungan yang nyata dalam pengujian hubungan yang disajikan pada Tabel 29. Beberapa sub peubah yang mendukung terhadap persamaan (Lampiran 3d), meliputi: proses pembentukan KUBE, pendekatan atau metode yang diterapkan, jumlah anggota dan tingkat kehadiran, bantuan yang diterima (uang dan perlatan), pendampingan dan kebebasan yang diberikan. Secara skematis pengujian peubah
dimaksud
digambarkan seperti Gambar 30.
R2=0,721
(X2 ) Pola Pemberdayaan
Y1 Dinamika kehidupan KUBE
Peubah Pola Pemberdayaan (X2-Y1 ): 1. 2. 3. 4. 5.
Bantuan (uang & peralatan) (0,24) Pendampingan (0,22) Proses pembentukan KUBE (0,15) Kebebasan yngg diberikan (0,14) Pendekatan / metode (0,13)
Gambar 30: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Pola Pemberdayaan KUBE (X2) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1)
190
Dari hasil pengujian pada Gambar 30 terlihat suatu distribusi nilai yang relatif berbeda di antara peubah yang ada. Namun demikian, nilai yang ada tidak hanya dilihat semata -mata dari anrti kuantitatif, tetapi lebih pada makna eksistensi dari peubah tersebut dalam konteks proses pemberdayaan. Hasil menunjukkan bahwa nilai peubah bantuan (uang dan peralatan) lebih besar dibandingkan dengan peubah yang lainnya. Tetapi, ini tidak berarti bahwa peubah bantuan lebih penting dari peubah pendampingan atau peubah lainnya, tetapi lebih menekankan pada eksistensi dari peubah dalam proses pemberdayaan KUBE. Komposisi nilai ini hanya menggambarkan bahwa semua peubah-peubah ini memberikan kontribusi yang sangat berarti terhadap proses pemberdayaan KUBE. Peubah yang memberikan kontribusi terbatas seperti: perlindungan atau proteksi sudah dikeluarkan dari komponen karena memberikan kontribusi yang terbatas. Bantuan sosial tidak berarti apa-apa bila tidak didukung dengan proses pendampingan yang intensif, proses pembentukan KUBE yang demokratis, pemberian otonomi dalam pengelolaan KUBE dan pendekatan pendampingan yang tepat, dan sebaliknya. Tidak ada peubah yang lebih penting tetapi, semua peubah menjadi bagian yang integral dari pola pemberdayaan KUBE. Semua peubah ini tidak berarti apa -apa bila penerapannya dilakukan secara individual dan proses pemberdayaan akan menjadi sia -sia. Karena itu, agar KUBE dapat lebih berhasil, maka peubah-peubah ini perlu mendapat perhatian yang integratif.
Hipotes is 3 : Lingkungan Sosial (X3) berpengaruh nyata terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y2) Secara garis besar ada dua aspek yang mempengaruhi kehidupan kelompok, yaitu aspek yang bersifat internal dan aspek yang bersifat eksternal.
Menurut
hasil penelitian yang dilakukan oleh Jamaluddin (2002) terhadap 5 kelompok masyarakat di Kabupaten Donggali Sulawesi Tengah menunjukkan masih kuatnya pengaruh internal dan eksternal terhadap kehidupan kelompok. Pengaruh internal dan eksternal tidaklah selalu sama tetapi sangat tergantung pada intensitas hubungan di antara kedua peubah terhada p kelompok. Terkait dengan hasil penelitian tersebut, di bawah ini akan dilakukan pengujian pengaruh peubah lingkungan sosial terhadap dinamika kehidupan KUBE.
191
Selain nilai, norma dan budaya yang berlaku dalam masyarakat yang harus diikuti oleh KUBE, KUBE juga memiliki nilai dan norma yang harus ditaati. Nilai dan norma dapat bersifat tertulis dan tidak tertulis. Hasil wawancara di lapangan menunjukkan bahwa mereka sebagian besar tidak memiliki aturan yang tertulis, tetapi terbangun oleh aturan-aturan yang tidak tertulis yaitu kebiasan-kebiasaan yang sudah disepakati oleh semua anggota selama ini. Aturan seperti ini sangat ampuh karena dibangun atas kesepakatan bersama bukan karena paksaan, sehingga kepatuhan mereka terhadap aturan kelompok menjadi tinggi. Sanksi yang diterapkan sebagian besar berupa teguran saja. Dampaknya terhadap dinamik a kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha KUBE sangat berarti. Tidak ada suatu kelompok masyarakat yang terlepas dari nilai atau norma atau budaya yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma atau kebiasaan yang ada dalam masyarakat dijadikan sebagai acuan dalam bertindak dan berperilaku. Demikian juga halnya dengan KUBE, nilai dan norma atau kebiasaan yang ada di lingkungan masing-masing menjadi acuan dalam pengembangan usaha yang dijalankan. Bagaimana gambaran hubungan KUBE dengan masyarkat sekitarnya, hasil pengujian yang dilakukan terlihat hubungan yang nyata antara peubah nilai, norma dan
budaya masyarakat dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Pengujian ini sangat sinkron dengan kenyataan-kenyataan yang ditemukan di lapangan yang berkaitan dengan kebiasaan masyarakat. Biasanya suatu KUBE yang kurang sesuai dengan nilai dan budaya masyarakat setempat, tidak akan bertahan lama dan akan bubar. Beberapa KUBE mampu bertahan hingga 20 tahun, ini menunjukkan bahwa KUBE sangat mendukung terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, dan sebaliknya KUBE sangat didukung oleh nilai, norma dan budaya yang ada. Krisis yang terjadi beberapa tahun lalu sangat mempengaruhi kehidupan KUBE kemudian diikuti dengan pelaksanaan otonomi daerah mengakibatkan KUBE harus mampu mandiri tanpa tergantung pada pihak lain. Selama masa sebelum krisis yang menjadi mediator atau penghubung antara KUBE dengan tokoh masyarakat adalah pendamping. Terlihat hubungan yang sangat harmonis antara KUBE dengan tokoh masyarakat yang secara fungsional juga berperan sebagai pembina di lapangan. Pada saat itu keberhasilan KUBE cukup
192
menggembirakan. Tetapi selama kurun waktu krisis berlangsung proses pendampingan sangat minim dan hampir tidak ada. Dibalik peristiwa sejarah KUBE tersebut tercermin adanya suatu proses kemandirian KUBE yang semakin dewasa karena tidak harus selalu bergantung pada pendamping atau tokoh masyarakat. Sebagai dampaknya hubungan di antara KUBE dengan masyarakat menjadi terbatas bahkan sempat terputus. Didasarkan pada kenyataan ini, maka KUBE perlu diintegrasikan dengan tokoh masyarakat setempat yang merupakan pengawas dan pembina fungsional di lapangan sehingga eksistensi KUBE semakin baik di masa yang akan datang. Dapat dikatakan bahwa akses KUBE terhadap lembaga keuangan sangat minim. Lembaga keuangan dimaksud tidak selalu bank umum, tetapi yang terkait dengan pelayanan keuangan dan dapat dijadikan sebagai sumber modal usaha dalam rangka pengembangan usaha KUBE, seperti: Koperasi, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Banyak faktor yang menyebabkan pemanfaatan akses ini kurang maksimal, seperti keterbatasan informasi, pengetahuan yang terbatas terhadap liku-liku perbankan, harta milik yang tidak ada untuk dijadikan agunan, pelayanan perbankan sangat jauh (kurang terjangkau) dari lokasi KUBE, bunga terlalu tinggi, posisi marginalisasi KUBE yang selalu terpinggirkan dan lain-lain. Namun beberapa di antara KUBE sudah memanfaatkan akses perbankan dan hasilnya cukup optimal, pengembangan usaha yang dijalankan cukup bagus . Bila dilihat dari hubungan ini, maka di masa mendatang perlu mengintegrasikan KUBE dengan lembaga keuangan seperti LKM, BPR, dan lain-lain yang ada di lingkungan masyarakat setempat yang aksesnya sangat dekat dengan masyarakat KUBE. Dilihat dari eksistensi lembaga ini dalam masyarakat, lembaga seperti ini dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat menyediakan kebutuhan akan pelayanan keuangan bagi KUBE tersebut. Ada hubungan yang nyata antara peluang pasar dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha. Peluang pasar merupakan suatu hal yang sangat menentukan dalam kegiatan usaha termasuk dalam KUBE. Bila dilihat sasaran peluang pasar KUBE memang harus diakui masih bersifat lokal atau pasar yang ada di lingkungan masyarakat sekitar. Namun karena merupakan kebutuhan masyarakat sehari-hari sehingga pemasarannya menjadi lancar. Ada kesesuaian
193
antara hasil produksi dengan kebutuhan masyarakat. Pemasaran seperti super market, mall, swalayan masih belum terjangkau, banyak faktor yang menjadi kendala, seperti: kualitas produk, modal, kemasan, ijin produksi, dll. Bila dilihat dari peluang, KUBE perlu diintegrasikan dengan pasar-pasar besar seperti yang disebutkan di atas, tetapi perlu didukung dengan sarana dan prasarana yang tersedia dan juga bimbingan pendamping yang intensif. Suatu jaringan kerja atau sering disebut kemitraan sangat diperlukan dalam KUBE. Melalui jaringan ini berbagai hal dapat diatasi, seperti penyediaan bahan baku, proses produksi, pemasaran, pelatihan dan lain-lain. Jaringan yang dimaksud di sini tidak berarti harus jaringan dengan pengusaha besar, tetapi jaringan yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak sekalipun hanya pada tingkat lingkungan atau lokal. Hasil menunjukkan bahwa jaringan kerja KUBE berada pada kategori cukup. Berbagai hasil produksi KUBE sebagian sudah ada yang dipasarkan pada tingkat global dan wilayah provinsi dan sebagian ada yang masih tingkat lokal dan lingkungan. Namun yang terpenting dari jaringan kerja ini adalah bagaimana kedua belah pihak dapat saling menguntungkan dan berjalan langgeng, tetapi bukan ditentukan oleh global, wilayah atau tingkat lokal. Terlihat hubungan yang nyata antara peubah ketersediaan sumber daya dengan peubah dinamika kehidupan kelompok. KUBE sebagai suatu bentuk usaha kelompok memerlukan sumber daya yang harus dimanfaatkan. Sumber daya dapat berupa dukungan sosial, lahan, bahan baku, dana, dan lain -lain. Agar KUBE semakin dinamis harus memiliki sumber daya yang cukup. Ketersediaan sumber daya berarti juga harus dapat dijangkau oleh KUBE secara mudah. Mungkin secara geografis tersedia dengan cukup namun sulit dijangkau. Dari data yang dihasilkan dapat dikatakan bahwa ketersediaan sumber daya masih relatif terbatas. Ancaman juga merupakan hal yang serius dalam KUBE. Namun tidak terlihat hubungan yang nyata atara sub peubah ancaman dengan dinamika kehidupan kelompok dan keberlanjutan KUBE. Ancaman yang dimaksud berkaitan dengan acaman ketersediaan bahan baku, persaingan pasar, pencurian hasil usaha dan pemutusan jaringan kerja. Ancaman tidaklah harus selalu bernuansa negatif, tetapi juga dapat bernuansa positif tergantung bagaimana
194
mensikapinya. Bagi seseorang yang berpikiran positif ancaman ini akan menjadi sumber kehati-hatian, sumber kewaspadaan bahkan menjadi suatu tantangan terhadap usaha yang dikembangkan. Bagi yang berpikiran negatif, ancaman dijadikan sebagai penghambat bagi usaha yang dikembangkan. Namun apakah anggota KUBE orang yang berpikiran postif atau negatif. Dilihat dari hasil pengujian tidak ada hubungan di antara peubah ancaman dengan dinamika kehidupan KUBE dan keberlanjutan usaha, berarti ancaman tidak selalu berarti negatif dalam pikiran anggota KUBE tetapi dapat berarti positif. Untuk melihat keeratan dan keterkaitan di antara peubah penelitian disajikan dalam Tabel 30.
Tabel 30 : Koefisien Korelasi antara Lingkungan Sosial (X3) dan D inamika Kehidupan KUBE (Y2) Aspek
Koefisien Korelasi (Y1) r
p (2-tailed)
Norma / nilai budaya (X3.1)
,457(**)
,000
Keterkaitan Kelompok dengan Tokoh Masyarakat (formal dan informal) (X3.2)*
,432(**)
,001
Akses terhadap lembaga keuangan (X3.3)
,253(*)
,049
Peluang pasar (X3.4)
,495(**)
,000
Jaringan kerja (X3.5)
,435(**)
,001
Ketersediaan sumber daya (X3.6)
,423(**)
,001
-, 007
,957
,294(*)
,022
Ancaman yang ada terhadap KUBE (X3.7) Lingkungan Sosial (X3) ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *Correlation is significant at the 0.05 l evel (2- tailed).
Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
Dari hasil pengujian terlihat beberapa sub peubah sangat berhubungan nyata dengan dinamika kehidupan KUBE, tetapi sub peubah akses terhadap lembaga keuangan mempunyai hubungan yang relatif kecil dibandingkan dengan peubah yang lainnya yang ditunjukkan dengan nilai p yang relatif besar namun masih tetap berhubungan. Satu di antara sub peubah tidak berhubungan sama sekali dengan dinamika kehidupan KUBE, yaitu sub peubah ancaman yang ada (Lampiran 2c ).
195
X3 Lingkungan Sosial KUBE
R2=0,621
Y1 Dinamika Kehidupan KUBE
Peubah Lingkungan Sosial (X3-Y1): 1. 2. 3. 4. 5.
Peluang pasar (0,23) Norma / nilai Budaya (0,21). Keterkaitan KUBE dengan tokoh (formal & informal) (0,15) Jaringan kerja (0,13) Ketersediaan sumber daya (0,12)
Gambar 31: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Lingkungan Sosial KUBE (X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan pada TS 0,05 diperoleh nilai p = 0.001 dengan R2 = 0,621 (Lampiran 3e). Dua peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap persamaan yaitu akses terhadap lembaga keuangan dan ancaman yang ada. Beberapa sub peubah yang mendukung terhadap persamaan, meliputi: norma / nilai budaya, keterkaitan kelompok dengan tokoh formal dan informal, peluang pasar, jaringan kerja dan ketersediaan sumber daya. Seberapa besar koefisien betha dari masingmasing sub peubah terhadap persamaan yang ada disajikan dalam (Gambar 31). Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya, lingkungan sosial merupakan variabel yang cukup memberikan kontribusi terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Melalui pengujian yang disajikan dalam Gambar 31 terlihat beberapa peubah yang mempunyai kontribusi dalam mempengaruhi keberhasilan KUBE. Nilai dari masing-masing peubah tidak semata-mata hanya dilihat dalam arti kuantitatif, tetapi lebih dari itu yaitu bahwa peubah yang ada merupakan satu keutuhan yang utuh dalam proses pemberdayaan tersebut. T idak berarti bahwa di antara ke lima variabe l, peluang pasar lebih penting dari variabel lainnya sekalipun mempunyai nilai yang lebih tinggi. Kelima peubah ini harus dilihat secara utuh, bahwa variabel yang satu mendukung vaiabel yang lainnya. Peluang pasar misalnya tidak berarti apa-apa bila tidak didukung ketersediaan sumber,
196
sebaliknya ketersediaan sumber yang banyak kalau tidak didukung dengan peluang pasar atau nilai dan norma masyarakat tidak berarti apa. Karena itu menjadi penting untuk melihat secara utuh kelima variabel bukan melihatnya secara individual dalam kaitannya dengan nilai yang diperolehnya. Nilai yang ada lebih mempunyai makna bahwa variabel tersebut memberikan kontribusi dalam pengembangan KUBE. Dua peubah yang kurang memberikan kontribusi adalah peubah ancaman dan akses terhadap lembaga keuangan sudah dikeluarkan karena kurang memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pemberdayaan.
Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan KUBE
KUBE merupakan salah satu bentuk kelompok. Keberlanjutan dari suatu kelompok sangat banyak ditentukan oleh dinamika kehidupan kelompok. Menurut Masri (1984) dinamika kelompok merupakan bentuk kekuatan kelompok yang menggerakkan kelompok. Berkaitan dengan itu ada beberapa faktor yang diduga mempengaruhi keberlanjutan KUBE.
Hipotes is 4 : Dinamika kehidupan KUBE (Y1) berpengaruh nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE (Y2)
Dari hasil pengujian yang dilakukan menunjukkan bahwa semua sub peubah dinamika kehidupan KUBE mempunyai pengaruh yang nyata terhadap keberlanjutan KUBE. Untuk melihat seja uh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan pada Tabel 16. Selanjutnya akan diuraikan kondisi hubungan antara sub peubah dengan keberlanjutan KUBE dimaksud. Tujuan KUBE merupakan unsur penting dalam KUBE. Tujuan KUBE akan mengarahkan ke mana KUBE akan bergerak. Menurut Cartwright (1968) tujuan kelompok merupakan hasil yang ingin dicapai. Sangat jelas bahwa tujuan kelompok merupakan sesuatu yang diinginkan dan akan dicapai. Selain itu tujuan kelompok juga merupakan kesepakatan bersama yang diinginkan. Apakah KUBE memiliki tujuan seperti apa yang digambarkan di atas. Ada sebagian KUBE yang
197
tidak memiliki tujuan, ada sebagian yang sudah memilik i tujuan tetapi tidak dijadikan acuan dalam bekerja , dan ada sebagian yang sudah benar-benar dijadikan acuan dalam bekerja. Sejauh mana pencapaian tujuan KUBE dapat dilihat seperti Gambar 20. Bila dilihat dari proses pencapaian tujuan dan keberhasilan yang dicapai oleh KUBE, rumusan tujuan tidak menjadi unsur yang terpenting bagi anggota. Mereka lebih berorientasi pada hasil dari pada tujuan, seberapa besar pendapatan yang diperoleh dari KUBE. Sangat sedikit sekali KUBE yang memiliki rumusan tujuan yang lengkap dan disosialisasikan kepada anggota. Implikasi dari kondisi ini, agar KUBE lebih terarah di masa mendatang, perwujudan dari tujuan ini menjadi salah satu tugas penda mping yang harus diwujudkan. Mungkin kalau rumusan tujuan dikemas lebih baik dan disosialisikan pada anggota maka hasilnya akan lebih optimal. Menurut Gerungan (1981) struktur kelompok merupakan
susunan
hirarkhis mengenai hubungan-hubungan di antara anggota kelompok yang terbentuk. Struktur kelompok dapat bersifat formal dan informal. Data menunjukkan bahwa sebagian KUBE sama sekali tidak ada struktur akan tetapi yang ada hanya ketua saja, sebagain ada struktur tetapi tidak dijalankan sesuai dengan perannya, sebagian sudah ada dan sudah dijalankan sebagaimana mestinya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa mereka lebih berorientasi pada hubungan struktur informal, di mana penerapan aturan lebih bersifat fle ksibel, pembagian tugas lebih bersifat bebas, norma dan sanksi kurang tegas. Namun demikan, secara moral dalam pelaksanaan tugas mereka sangat bertanggung jawab dan sangat komitmen dengan pekerjaannya yang sudah diberikan kepadanya. Dilatarbelakangi tingkat pendidikan anggota KUBE yang terbatas, mereka kurang memahami hubungan hirarkhis dalam KUBE seperti halnya dalam kelompok pada umumnya, tetapi mereka lebih berorientasi pada penyelesaian tugas dan tanggung jawab masing-masing, tanpa harus dikomando. Suatu KUBE agar dapat hidup langgeng he ndaklah fungsi tugas dijalankan dengan baik. Menurut Soedijanto (1980) fungsi tugas adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh kelompok sehingga kelompok dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. KUBE merupakan suatu kelompok yang mempunyai banyak tugas yang harus dilaksanakan dan dikoordinasikan. Data menunjukkan bahwa
198
pelaksanaan fungsi tugas KUBE sudah relatif berjalan dengan baik. Proses pelaksanaan fungsi tugas dalam KUBE sangat terkait dengan hubungan struktural informal yang terjadi dalam KUBE. Pelaksanaan fungsi tugas seperti perencanaan, penyampaian informasi, koordinasi pemecahan masalah berlangsung dalam hubungan-hubungan informal, tidak dilakukan dalam hubungan formal seperti mengadakan pertemuan yang resmi seperti kelompok biasanya. Memang bila disadari, pada tingkat pendidikan seperti anggota KUBE rasanya sulit untuk melakukan hubungan-hubungan formal karena keterbatasan kemampuan dalam pengelolaan KUBE. Hubungan informal yang sudah terbentuk sejak awal hingga akhir merupakan sarana yang paling tepat dalam pelaksanaan fungsi tugas tersebut. Mungkin bagi seorang pendamping hubungan informal ini perlu dikemas sehingga dapat lebih bermakna bagi KUBE. Agar kelompok dapat berkembang dengan baik, harus diikuti dengan pembinaan-pembinaan. Inti dari suatu pembinaan kelompok adalah bagaimana agar kelompok dapat hidup dan berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan yang ada (Miles: 1959). Terkait dengan tujuan pembinaan maka pembinaan dapat dilakukan oleh orang yang memahami tentang kehidupan KUBE. Banyak pihak yang melakukan pembinaan terhadap KUBE mulai dari pejabat pemerintah pusat hingga ke aparat desa. Pembinaan seperti ini lebih bersifat eksternal. Selain pembinaan yang bersifat eksternal ada juga pembinaan yang bersifat internal yang dilakukan oleh penguru-pengurus KUBE sendiri. Data menujukkan bahwa pembinaan yang dilakukan kepada KUBE masih relatif kurang. Hal ini sangat terkait dengan situasi dan kondisi krisis yang terjadi pada masa sebelum otonomi daerah hingga sekarang ini. Sedangkan menurut hasil wawancara di lapangan pembinaan internal yang dilakukan oleh KUBE diintegrasikan dengan kegiatankegiatan kemasyarakatan yang ada di lingkungan masing-masing, seperti: pengajian, arisan-arisa n dan lain-lain. Pertemuan seperti ini sangat efektif dalam pembinaan anggota KUBE, berbagai hasil disampaikan dalam pertemuan, seperti: penyampaian informasi, pembahasan masalah, penyampaian laporan keuangan dan lain-lain. Sarana pertemuan ini menjadi salah satu alternatif penting dalam proses pembinaan anggota KUBE.
199
Latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh anggota KUBE sangat mempengaruhi terhadap intensitas kekompakan anggota KUBE. Banyak kesamaan latar belakang kehidupan anggota KUBE, seperti asal daerah, tempat tinggal, suku, dan lain-lain yang menjadi pengikat kesatuan dan persatuan kelompok. Dalam proses pembentukan kelompok unsur-unsur ini memang merupakan prasyarat yang harus diikuti sebelum KUBE dibentuk. Sebagai dampaknya hubungan di antara anggota menjadi kuat. Kekompakan KUBE sangat tercermin dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mereka, seperti: keikutsertaan dalam pengajian, arisan, hajatan, tolong menolong dalam suasana dukacita, pinjam meminjam uang bilamana dalam kesulitan, dan lain-lain. Nuansa kekompakan ini terlihat secara alami bukan karena dipaksakan, sehingga hubungan informal di antara mereka sangat kuat. Selain itu, nua nsa kekompakan ini sudah menjadi bagian yang integral dari kehidupan mereka karena terintegrasi dengan aktivitas-aktivitas kehidupan mereka. Ketegangan kelompok merupakan salah satu ciri khas dari suatu kelompok. Menurut Slamet (2001) ketegangan kelompok dapat bersifat intenal dan bersifat eksternal. Ketegangan sangat diperlukan dalam suatu kelompok agar kelompok tersebut menjadi dinamis. Tetapi ketegangan harus diatasi sehingga tidak membawa dampak negatif terhadap kelompok. Bila anggota KUBE tidak mampu mengatasinya, ketegangan kelompok dapat menjadi sumber kehancuran KUBE. Bila dilihat dari aktivitas KUBE yang dite liti dapat dikatakan aktivitas relatif stabil, tidak terlihat perubahan-perubahan yang berarti yang dapat menjadikan anggota KUBE menjadi sibuk, semuanya berjalan dengan rutinitas. Pada sisi lain, hubungan di antara mereka bersifat informal dan bebas. Berbagai faktor ini mengakibatkan ketegangan dapat dihindari secara alami. Bila dilihat dari sumber ketegangan yang bersifat eksternal atau pihak yang berkepentingan dengan KUBE relatif terbatas, kalaupun ada kepentingan mereka tidak sampai menganggu hubungan di antara mereka. Dengan kondisi kehidupan seperti ini, maka proses ketegangan relatif dapat dicegah dan bila muncul dapat diatasi. Dalam kehidupan berkelompok kepemimpinan merupakan unsur yang penting. Melalui proses kepemimpinan semua unsur-unsur yang ada dalam kelompok akan digerakkan dan diarahkan untuk mencapai tujuan yang sudah
200
ditentukan. Kepemimpinan sesuatu yang dapat dipelajari dan dikembangkan Bagaimana kepemimpinan yang diterapkan dalam KUBE sehingga dapat membawa KUBE berhasil atau dapat bertahan hingga saat ini. Bila dilihat dari kemampuan latar belakang pendidikan anggota sebagian besar hanya tamat SD dan SLTA, dapat dibayangkan bagaimana gaya kepemimpinan yang diterapkan sementara pelatihan yang diikuti sangat terbatas. Beberapa KUBE sudah menerapakan kepemimpinan yang cukup bagus, namum sebagian masih sangat terbatas. Dari hubungan yang terjadi di antara KUBE, kepemimpinan yang diterapkan lebih mengarah pada kepemimpinan kolektif
yang bersifat
interpersonal. Komando atau penugasan-penugasan sangat jarang dilakukan, tetapi sudah berjalan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing. Hal-hal yang perlu dikoordinasikan dilakukan secara informal. Anggota KUBE bekerja atas rutinitas tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Tabel 31
: Koefisien Korelasi antara Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Tingkat Keberhasilan Sosial KUBE (Y21) dan Tingkat Keberhasilan Ekonomi KUBE (Y22)
Aspek
Koefisien Korelasi Y22
Y21
Y2
Tujuan Kelompok (Y1.1) Stuktur Kelompok (Y1.2) Fungsi Tujuan Kelompok (Y1.3) Pembinaan Kelompok (Y1.4) Kekompakan Kelompok (Y1.5)
,472(**)
p (2tailed) ,000
,480(**)
,000
,357(**)
,005
,434(**)
,001
,460(**)
,000
,375(**)
,003
,426(**)
,001
,702(**)
,000
,535(**)
,000
,703(**)
,000
,516(**)
,000
,488(**)
,000
,448(**)
,000
Ketegangan Kelompok (Y1.6) Keefektifan Kelompok (Y1.7) Kepemimpinan Kelompok (Y1.7) Kepuasan Anggota (Y1.8) Dinamika kehidupan KUBE (Y1)
,556(**)
,000
-,151
,240
-,174
,175
,457(**)
,000
,395(**)
,002
,464(**)
,008
,535(**)
,000
,436(**)
,000
,575(**)
,000
,418(**)
,000
,527(**)
,001
,416(**)
,001
,480(**)
,000
,323(**)
,011
,556(**)
,000
r
,351(**)
p (2tailed) ,006
,534(**)
p (2tailed) ,000
r
r
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed) * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed) Ket : r = rank Spearman; p = probabilitas
Kepuasan anggota merupakan unsur penting dalam kelompok. Bila anggota tidak dapat puas dari kegiatan KUBE, dia akan menarik diri. Kepuasan
201
dapat dilihat dari dua hal, yaitu: pertama: kepuasan yang bersifat materi, terlihat adanya peningkatkan pendapatan yang diperoleh dari keikutsertaannya sebagai anggota KUBE. Ini merupakan hal yang penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga. Bila pendapatan tidak ada, diyakini anggota KUBE akan bubar, mereka harus mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarga. Kedua, kepuasan yang bersifat non materi, seperti: hubungan yang sudah terjalin dengan akrab di antara anggota KUBE, perhatian, kegiatan tolong menolong, pertemuanpertemuan keagamaan dan lain-lain. Semua ini menjadikan anggota tetap eksis sebagai anggota KUBE. Kondisi seperti ini bagaimana pun akan mempengaruhi terhadap
dinamika
kehidupan
KUBE
dan
akan
tetap
berupaya
untuk
mempertahankan KUBE sebagai bagian dari kehidupan mereka. Untuk melihat sejauh mana keeratan hubungan di antara peubah disajikan pada Tabel 31.
R2= 0,715
Y1 Dinamika Kehidupan KUBE
Y2 Keberhasilan KUBE
Peubah Dinamika Kehidupan KUBE (Y1-Y2): 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Pembinaan kelompok (0,21) Kepuasan anggota (0,15) Keefektifan kelompok (0,12) Kepemimpinan (0,11) Tujuan kelompok (0,10) Fungsi tugas kelompok (0,09) Kekompakan kelompok (0,09)
Gambar 32: Skema Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Dinamika Kehidupan Kelompok (Y1) terhadap Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2). Bila disimak hubungan di antara peubah terlihat bahwa hampir semua sub variabel dinamika kehidupan KUBE mempunyai hubungan yang nyata terhadap tingkat keberhasilan aspek sosial (Lampiran 2d dan 2e). Hubungan terlihat sangat nyata di mana nilai p sama dengan 0. Hal yang sama juga terlihat terhadap tingkat keberhasilan aspek ekonomi, tetapi beberapa sub peubah menunjukkan hubungan
202
yang tidak terlalu nyata seperti tujuan kelompok. Ada satu peubah yang tidak mempunyai hubungan sama sekali yaitu sub peubah ketegangan kelompok.Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan pada TS 0,05 untuk dua sisi diperoleh nilai p = 0,000, dengan R2 = 0,715. Dua sub peubah yang dikeluarkan karena kurang nyata dan kurang mendukung terhadap persamaan yaitu struktur kelompok dan ketegangan kelompok (Lampiran 3f). Untuk melihat lebih jauh seberapa besar koefisien betha masing-masing sub peubah dinamika kehidupan kelompok terhadap peubah tingkat keberhasilan KUBE disajikan dalam Gambar 32. Sama halnya dengan pengujian-pengujian lainnya, Gambar 32 juga menunjukkan besarnya kontribusi masing-masing peubah terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Namun, kembali diingatkan nilai yang diperoleh masingmasing peubah tidak hanya diartikan dalam arti kuantitatif semata-mata, tetapi lebih dari pada itu bahwa masing-masing peubah memiliki arti dan kontribusi yang sangat berarti dalam proses pemberdayaan masyarakat miskin tersebut. Selain itu, masing-masing peubah harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang utuh dalam proses pemberdayaan KUBE. Pemberdayaan yang hanya menekankan pada salah satu aspek saja akan menjadikan proses pemberdayaan menjadi tidak gagal. Pembinaan kelompok (sekalipun mempunyai nilai yang lebih besar) kalau tidak didukung variabel lainnya seperti: rumusan tujuan yang jelas, fungsi tugas yang jelas, kepemimpinan yang baik
tidak berarti apa -apa. Masing-masing peubah
harus dibangun secara bersama -sama, tidak ada peubah yang mempunyai arti yang lebih penting dari yang lainnya. Ada satu peubah yang kurang memberikan kontribusi nyata terhadap proses kedinamisan kelompok yaitu peubah ketegangan kelompok, sehingga dikeluarkan dari persamaan yang ada. Artinya sekalipun peubah ini diatasi kurang memberikan kontribusi yang berarti dalam proses pemberdayaan tersebut.
Faktor Utama Penentu Keberhasilan KUBE Salah satu tujuan yang ingin diungkapakan dalam penelitian ini adalah “Mengidentifikasi faktor utama penentu keberhasilan KUBE”. Tidak sedikit
203
KUBE yang gagal atau kurang berhasil bahkan mati sama sekali. Sudah sejak lama KUBE diterapkan sebagai salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap kelompok masyarakat miskin, tetapi dari berbagai data dan fakta yang ada sangat banyak KUBE yang kurang berhasil. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan dan kegagalan KUBE tersebut. Karena itu, pengungkapan tujuan ini menjadi penting, apa faktor-faktor utama penentu keberhasilan KUBE tersebut. Dalam upaya pengungkapan tujuan ini, peneliti mencoba menganalisis dan menguji berbagai hubungan di antara peubah yang sudah dituangkan dalam kerangka pemikiran (Gambar 1) yang merupakan sintesa pemikiran, teori dan kenyataan-kenyataan yang ditemukan di lapangan. Kemudian peubah yang mempunyai skor tinggi
dan arah pengaruh serta hubungan yang relatif sama
diyakin secara teoritis dan logis terkait dengan konsep dikelompokkan menjadi satu faktor . Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, ada mempengaruhi keberhasilan KUBE. Lima faktor utama
8 faktor
yang
yang mempengaruhi
keberhasilan disebut faktor eksistensi KUBE, meliputi: (a) aset (asset), (b) kemampuan
(ability),
(c)
kemasyarakatan
(community),
(d)
komitmen
(commitment), dan (e) pasar (market). Kelima faktor ini diberi nama dengan konsep pemberdayaan “ABCCM”. Tiga faktor lainnya yang mempengaruhi kedinamisan KUBE, disebut faktor
kedinamisan KUBE,
meliputi:
(a)
pendampingan (guide), (b) jaringan kerjasama (networking), dan (c) inovasi (innovation). Kenapa lima faktor pertama (ABCCM) dikatakan sebagai faktor eksistensi KUBE, karena faktor-faktor ini diyakini sebagai prasyarakat berdirinya KUBE. Bilamana KUBE harus berdiri, maka modal (assest) harus ada, kemampuan harus ada, pemahaman terhadap kemasyarakatan harus ada, komitmen harus ada, dan begitu juga dengan pasar harus ada. Salah satu di antara lima faktor ini tidak ada, diyakini KUBE tersebut akan bubar dan hilang atau mati, sehingga faktor ini diberi nama faktor eksistensi KUBE. Tiga faktor lainnya dikatakan sebagai faktor kedinamisan KUBE. Bila ketiga faktor ini ada, maka KUBE akan dinamis dan semakin dinamis. Kehadiran pendamping sangat diperlukan untuk menggerakkan aktivitas KUBE, tetapi perlu
204
dilandasi adanya komitmen dari anggota KUBE. Demikian juga halnya dengan jaringan kerja dan inovasi. Adanya jaringan kerja dan inovasi dalam KUBE akan menjadikan KUBE semakin dinamis. Karena posisi yang demikian, maka faktor ini disebut sebagai faktor kedinamisan KUBE.
Tabel 32: Hasil Pengujian Faktor Eksistensi dan Kedinamisan KUBE Aspek
Pengujian Antara
Singkatan
Hasil Pengujian
Peubah
Peubah
Korelasi Uji (p) Lintasan
Faktor Eksitensi KUBE Aset (Asset)
A
• Modal awal yang dimiliki (X 1.5 ) • Bantuan yang diterima (X 2.4) • Akses t erhadap lembaga keuangan (X 3.3 )
Y1
.000 .000 .049
0.14 0.24 0.03
Kemampuan (Ability)
B
• Pendidikan (X1.3 ) • Pelatihan (X1.4)
Y1
.000 .000
0.16 0.13
Kemasyarakatan (Community)
C
• Norma/nilai budaya masyarakat (X 3.1) • Keterkaitan dengan tokoh masyarakat
Y1
.000 .001
0.21 0.15
.001 .000
0.12 0.10
.000 .002
0.12 0.11
Y1
.000 .001
0.23 0.12
Komitmen (Commitment)
Pasar (Market)
(formal& informal) (X 3.2 )
C
• Motivasi anggota (X1.10) • Persepsi tentang kehidupan
berkelompok (X 1.9)
Y1
• Kebutuhan / harapan (X1.8 ) • Sumber penghasilan utama (X1.7)
M
• Peluang pasar (X 3.4) • Ketersediaan sumber daya (X3.6)
Faktor Kedinamisan KUBE Pendamping
• Pendamping (X2.5)
Y1
.001
0.22
Jaringan
• Jaringan (X3.5 )
Y1
.001
0.13
Inovasi
• Inovasi (X 21.8)
Y2
.000
0.17
Ket: Y 1 = Dinamika Kehidupan Kelompok; Y2 = Keberhasilan Kelompok; p = probabilitas
Namun, perlu dipahami bahwa semua faktor ini tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi dengan faktor lainnya. Modal atau aset kelompok tidaklah berarti apa -apa bila tidak didukung oleh komitmen atau kemampuan anggota atau inovasi dalam KUBE, sebaliknya komitmen tidak berarti apa-apa bila modal tidak tersedia. Kemampuan atau keterampilan tidak berarti apa bila tidak didukung dengan ketersediaan modal atau pasar, semua itu akan berarti sia -sia bila masingmasing aspek tidak saling mendukung satu sama lain. Semua faktor ini akan bersinergi bila masing-masing dapat berfungsi dengan baik. Didasarkan pada
205
urgensi dari kelima faktor ini, maka peneliti memberi nama menjadi Konsep Pemberdayaan “ABCCM”. Selanjutnya, bagaimana hubungan di antara konsep, peubah dan hasil pengujian yang dilakukan disajikan dalam Tabel 32. Kemudian akan dipaparkan bagaimana konsep dari
masing-mas ing faktor pada uraian
berikut.
Aset (Asset -A). Aset yang dimaksud di sini adalah kepemilikan modal, baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan sebagai modal kerja termasuk bagaimana akses KUBE terhadap lembaga keuangan. Besarnya aset yang dinilai adalah besarnya modal yang dapat dioperasionalisasikan dan berkaitan langsung dengan jenis usaha yang dikembangkan KUBE. Ife (1995) melihat bahwa dalam proses pemberdayaan ada dua konsep penting, yaitu power and disadvantage. Empowerment giving power to individual or group, allowing them to take power into their own hands, distributing power from the ‘haves’ to the ‘have not’, and so on. Salah satu bentuk power yang dimaksud dalam konsep empowerment adalah ‘power over economic activity’. Hal yang senada juga diungkapkan para pengikut Marx yang mengakui bahwa ‘kekuatan ekonomi’ sebagai faktor penting dalam proses pemberdayaan (Pranarka dan Moeljarto dalam Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Hasil pengujian pada TS 0,05 untuk dua sisi yang dilakukan terhadap hubungan antara modal awal yang dimiliki KUBE, bantuan modal yang diterima dan akses KUBE terhadap lembaga keuangan dengan dinamika kehidupan KUBE diperoleh hasil dengan nilai p yang nyata, demikian juga hasil pengujian analisis lintasan diperoleh besar koef isien seperti Tabel 32. Ini berarti, semakin tinggi modal yang dimiliki KUBE, maka kedinamisan KUBE diyakini akan semakin bertambah. Ini menunjukkan bahwa aset merupakan faktor penting atau faktor utama yang patut diperhitungkan dalam kehidupan KUBE. Karena itu, agar KUBE dapat berkembang dengan baik harus didukung dengan kepemilikan aset. Sejauh mana gambaran kepemilikan modal KUBE dapat dilihat seperti pada Tabel 22. Data menunjukkan bahwa kepemilikan modal KUBE masih belum merata terlihat dari modus dan rata-rata kepemilikan modalmasih jauh berbeda. Konsep disadvantage (ketidakberuntungan) merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari proses pemberdayaan, di mana pemberdayaan bertujuan meningkatkan power dari orang yang kurang beruntung (disadva ntage).
206
Menurut Ife (1995) if, as has been suggested, empowerment is about increasing the power of the disadvantaged, it is necessary to look not only at what constitutes power, but also at the nature od disadvantaged. Ada tiga konsep yang berkaitan denga n disadvantage
yaitu (a) primary
structural
disadvantage,
yaitu
ketidakberuntungan stuktural (mendasar) yang terjadi karena class, gender, dan race atau ethnicity; (b) other disadvantaged group, yaitu kelompok yang kurang beruntung karena suatu kondisi ter tentu seperti: penurunan kemampuan fisik dan kemampuan intelektual (usia lanjut), kelompok gay atau lesbian; (c) personal disadvantaged, yaitu ketidakberuntungan yang dialami seseorang karena berbagai hal, seperti: penindasan, pemerkosaan, penggusuran, te rjadinya bencana, dan lainlain. Kelompok ini menurut Ife perlu diberdayakan sehingga memiliki power. Kepemilikikan aset dapat juga berupa kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada KUBE untuk dapat mengakses keperluan atau kebutuhan keuangan pada lembaga keuangan seperti Bank Umum, LKM, BPR, Koperasi atau lembaga keuangan lainnya, atau berupa bantuan dan jaminan dari pihak lain. Aset tidak harus selalu ketersediaan uang tunai, tetapi aset dapat berupa akses, jaminan atau dalam bentuk-bentuk lain yang dapat memperlancar pengembangan usaha yang dijalankan KUBE.
Kemampuan (Ability-B). Salah satu ciri khas KUBE adalah adanya kelompok dan adanya pengembangan usaha ekonomis produktif yang diharapkan dapat menjadi pusat kegiatan dan sumber pendapatan anggota KUBE. Karena itu, dalam rangka pengelolaan KUBE dan pengembangan usaha diperlukan adanya keterampilan, pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang dapat dijadikan dasar dalam bekerja. Karena alasan yang demikian maka sangat wajar bila bantuan yang diberikan ke pada KUBE harus didasarkan pada keterampilan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki anggota. Bantuan yang kurang sesuai dengan jenis keterampilan yang dimiliki anggota KUBE akan menjadi sia-sia. Dari data yang ada menunjukkan bahwa 18.8 persen anggota KUBE tidak pernah mengikuti pelatihan. Sebagian besar di antara anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan bahkan ada yang sudah 4 kali, tetapi pelatihan yang diikuti kurang sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Mereka mendapat
207
pelatihan karena adanya kesempatan mengikuti pelatihan di luar KUBE. Hal yang mengherankan adalah berkaitan dengan pengembangan suatu usaha yang bernuansa ekonomis produktif. Mereka mengembangkan usaha ekonomis produktif hanya didasarkan pada pengalaman-pengalaman semata. Jenis pelatihan yang diikuti sangat beragam, namun yang terbesar adalah jenis pelatihan di bidang pembuatan kue, jahit-menjahit, latihan di bidang pertanian, pelatihan di bidang PKK, dan pembekalan-pembelakan pada saat bantuan diberikan. Kondisi ini sanga t berkaitan erat dengan tingkat keberhasilan KUBE
yang dilihat dari
pendapatan anggota KUBE yang rata-rata hanya Rp 747.522,- per bulan dengan jumlah tanggungan 3-4 orang (Gambar 24). Melalui hasil pengujian terlihat bahwa ada hubungan yang sangat nyata antara tingkat pendidikan anggota KUBE dan pelatihan yang diikuti anggota KUBE dengan kedinamisan kehidupan KUBE, baik melalui pengujian hubungan yang dilakukan melalui rank Spearman maupun analisis lintasan diperoleh hasil seperti Tabel 32. Ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan dan pelatihan yang diikuti oleh perserta perlu dijadikan acuan dalam pembentukan KUBE dan pemberian jenis bantuan. Karena itu, menjadi penting bahwa setiap pembentukan KUBE, 20 % dari jumlah anggota KUBE diharapakan adalah orang yang memiliki tingkat pendidikan minimal SMP, sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dikembangkan atau memiliki pengalaman dalam bidang pengembangan jenis usaha ekonomis produktif yang dipilih. Dari pengalaman-pengalaman di lapangan ditemukan adanya pengalihan jenis usaha terhadap jenis usaha lain di luar jenis yang sudah dikembangkan selama ini (berdasarkan pengalaman anggota KUBE) karena adanya jenis bantuan yang harus diterima dan harus dipertanggung jawabkan secara administratif. Ini menunjukkan bahwa bantuan yang diterima kurang sesuai dengan kebutuhan dan keterampilan yang dimiliki anggota KUBE. Secara otomatis pengalihan seperti ini akan mengakibatkan pengalihan keterampilan
anggota KUBE. Kenyataannya,
pemberdayaan seperti ini tidak dapat bertahan lama dan akhirnya menjadi hilang atau mati. Karena itu, dalam proses pemberian bantuan, identifikasi dan penilaian kebutuhan (need assesment) terhadap keterampilan dan pengalaman calon penerima bantuan menjadi hal yang urge n.
208
Kemasyarakatan (Community-C). Konsep kemasyarakatan yang berkaitan dengan KUBE adalah bagaimana anggota KUBE harus memahami hal-hal yang berkiatan dengan kondisi kehidupan lingkungannya yang di dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu; pertama, bagaimana keterkaitan KUBE dengan nilai, norma dan budaya masyarakat dan sebaliknya bagaimana dukungan nilai dan norma masyarakat terhadap KUBE. Kedua , bagaimana keterkaitan KUBE dengan tokoh formal dan informal masyarakat dan juga sebaliknya bagaimana keterkaitan tokoh formal dan informal masyarakat dengan KUBE. Dalam konsep Sanders (1958) community dapat dilihat dari beberapa aspek, yaitu (a) ecology, bahwa community merupakan suatu sistem yang terorganisir oleh batasa n wilayah, (b) demography, bahwa community memiliki sejumlah penduduk yang beraneka ragam dan terdiri dari beberapa lapisan dan gaya hidup, (c) culture, bahwa community memiliki nilai dan norma yang terintegrasi dengan masyarakatnya, (d) personality, bahwa community memiliki mekanisme sosialisasi untuk membentuk kepribadian anggotanya sesuai simbol-simbol yang dimilikinya. Terkait dengan konsep ini, maka eksistensi KUBE dalam masyarakat harus terintegrasi secara utuh dengan konsep community. Kehadiran KUBE dalam masyarakat harus melihat secara ekologis, apakah sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut mampu untuk mendukung jenis usaha ekonomis produktif yang dikembangkan. Sulit bagi KUBE untuk dapat bertahan bila sumber-sumber tidak tersedia . Pelu reidentifikasi dan penilaian kebutuha n jenis usaha lain yang lebih sesuai dengan kondisi wilayah, sehingga nanti KUBE dapat bertahan lama untuk jangka panjang. KUBE harus mempelajari latar belakang dan karakter penduduk setempat. Dari pendekatan ekonomi, penduduk setempat adalah menjadi sasar an utama pemasaran hasil produksi yang dikembangkan. Karena itu, pengenalan terhadap latar belakang dan karakter masyarakat setempat menjadi hal yang sangat penting. Selain itu, kehidupan KUBE akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penduduk setempat, mungkin akan dijadikan sebagi mitra, mungkin akan dijadikan sebagai sahabat, penduduk mungkin akan menjadi sumber modal usaha, mungkin akan menjadi pendamping KUBE, dan mungkin sebagian masyarakat ada yang melihat bahwa eksistensi KUBE adalah sebagai saingan (kompetitor)
209
berat terhadap usaha yang dikembangkan masyarakat. Kondisi ini patut dipelajari secara ha ti-hati sehingga eksistensi KUBE dapat diterima secara utuh oleh masyarakat dan bahkan mendapat dukungan dari masyarakat. Suatu community selalu memiliki culture atau kebiasaan-kebiasaan serta nilai dan norma yang disepakati bersama yang mengatur perilaku anggotanya. Kebiasaan ini dapat berupa aturan tertulis dan tidak tertulis. Secara moral semua warga dihimbau untuk mengikutinya, bila ada warga yang tidak mematuhinya biasanya akan dikucilkan. Eksistensi KUBE dalam suatu community harus benarbenar mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Usaha ekonomis produktif yang dikembangkan KUBE hendaknya harus sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan, nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Kultur juga berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum formal yang berlaku dalam masyarakat. KUBE tidak boleh didirikan di wilayah tanah yang sudah dilarang oleh pemerintah. KUBE tidak boleh didirikan di wilayah yang sudah dilarang oleh pemerintah. Bagaimanapun KUBE seperti ini aka n hilang bila waktu penggusuran sudah tiba. Bahwa community memiliki simbol-simbol yang sudah menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Kehadiran KUBE dalam community hendaknya mendukung terhadap eksistensi dari simbol-simbol yang ada. Masyarakat Minang misalnya memiliki rumah yang khas bila dibandingkan dengan masyarakat umum lainnya. Alangkah baiknya bila jenis usaha KUBE yang dikembangkan adalah jenis usaha yang berkaitan dengan produksi pembuatan peralatan rumah-rumah Minang, seperti ukiran dinding bila KUBE yang dikembangkan masih berorientasi lingkungan (belum berorientasi global). Masyarakatnya adalah mayoritas muslim, adalah sangat tepat dan bija ksana bila dikembangkan jenis usaha yang berkaitan dengan pembuatan kopiah, tenunan kain sarung, dan lain-lain yang terkait dengan kehidupan masyarakat muslim. Terlihat keterkaitan yang erat antara peubah norma dan nilai budaya masyarakat dan peubah keterkaitan KUBE dengan tokoh masyarakat formal dan informal dengan tingkat kedinamisan kehidupan KUBE. Keterkaitan peubah cukup berarti, terlihat dari nilai pengujian baik pengujian korelasi maupun analisis lintasan (Tabel 32). Didasarkan pada pengujian ini, maka aspek kemasyarakatan
210
(community) menjadi hal yang penting dalam pembentukan dan pengembangan KUBE.
Komitmen (Commitment-C). Commitment merupakan unsur penting dalam kehidupan apalagi dalam bidang usaha. KUBE merupakan organisasi sukarela, di mana anggotanya bisa saja keluar bilamana yang bersangkutan sudah tidak melihat KUBE sebagai sesuatu yang kurang menguntungkan dan bila KUBE sudah berhasil dia berusaha untuk masuk kembali. Atau dengan segaja dia terdaftar sebagai anggota namun tidak menunjukkan sikap yang baik atau kurang berpartisipasi dalam kegaitan KUBE. Banyak kenyataan yang terjadi seperti itu. Diharapkan orang yang menjadi anggota KUBE benar-benar memiliki komitmen yang tinggi untuk bergabung dengan KUBE, dan harus berusaha sekuat tenaga untuk memajukan dan mengembangkan KUBE sehingga dapat berhasil. Menurut Hradesky (1995) the first requirement for culture change is all-out organization commitment to the company, with the goal being economic survival of the commpany. Jelas sekali bahwa yang terutama harus ada komitmen di antara anggota KUBE, bila tidak KUBE akan sulit berkembang. Adanya suatu tekad yang kuat untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab. Komitmen yang dima ksud dalam penelitian ini meliputi: motivasi yang dimiliki anggota untuk bergabung dalam KUBE, persepsi tentang kehidupan berkelompok, pemenuhan kebutuhan dan harapan anggota, dan sumber penghasilan utama anggota yang diperoleh dari KUBE. Semua peubah ini sangat mempengaruhi komitmen anggota untuk bergabung dalam KUBE tersebut. Melalui pengujian baik korelasi maupun analisis lintasan terlihat hubungan dan pengaruh dari peubah-peubah di atas dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32). Ini menunjukkan bahwa aspek komitmen dari seseorang anggota KUBE merupakan aspek penting dan sangat menentukan dalam KUBE. Untuk itu, pembinaan dan peningkatan motivasi anggota, peningkatan pemahaman anggota tentang KUBE, pemenuhan kebutuhan dan harapan anggota serta menjadikan KUBE sebagai sumber penghasilan utama menjadi aspek yang sangat penting.
Pasar (Market -M). Market atau pasar merupakan unsur penting dalam eksistensi KUBE. Pasar yang dimaksud di sini adalah peluang yang dimiliki
211
KUBE dalam memasarkan hasil usaha , bagaimana ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatan KUBE. Hasil pengujian hubungan dan anlisis lintasan menunjukkan bahwa peluang pasar dan ketersediaan sumber daya yang dapat dimanfaatkan oleh KUBE sangat mempunyai hubungan dan pengaruh dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32). Analisis lintasan menunjukkan bahwa peluang pasar memiliki nilai koefisien betha sebesar 0,23 yang berarti bahwa peubah dapat memberikan kontribusi sebesar + 23 persen dalam menentukan kedinamisan KUBE tersebut. Tetapi peluang pasar perlu didukung dengan ketersediaan sumber daya yang dapat dima nfaatkan oleh KUBE. Bila sumber daya tidak tersedia sedangkan pasar memberi peluang, akan sulit untuk meningkatkan produksi dan pemasaran akan menjadi macet. Pendirian-pendirian KUBE yang ada selama ini kurang mempertimbangkan pasar. Dari data yang ada bahwa akses KUBE terhadap pasar sebagian besar baru pada tingkat lingkungan dan tingkat lokal, hanya sebagian kecil yang sudah mencapai tingkat wilayah dan tingkat global. Tentu kondisi ini sangat memprihatinkan. Ini dapat terjadi karena pendirian KUBE tidak mempertimbangkan kondisi pasar, keterjangkaun pasar dan lain sebaginya. Pasar memiliki konsep tersendiri. Pasar perlu mempertimbangkan beberapa hal: (a) sasaran/konsumen, KUBE perlu mempelajari siapa konsumen, lapisan masyarakat ke berapa, apa kebutuhannya, jenis barang apa yang diperlukan, (b) mutu, bagaimana mutu yang harus dibuat oleh KUBE. Indikator mutu adalah kepuasan pelanggan. Mutu tidak selalu harus berkualitas tinggi, tetapi mutu sesuai dengan kebutuhan konsumen atau sesuai dengan kemampuan konsumen. (c) produksi dan keuntungan , seberapa banyak barang yang harus diproduksi, sehingga tidak melebihi permintaan pasar. Barang yang diproduksi harus mendapatkan keuntungan, (d) pesaing, bagaimana saingan yang ada, apakah KUBE mampu bersaing atau mengalahkan pesaing atau malah sebaliknya. Semua aspek ini harus dipertimbangkan secara masak-masak sebelum KUBE memilih jenis
usaha
produktif
yang
dikembangkan.
Kemampuan
KUBE
untuk
mempertimbangkan semua ini akan menjadi salah satu faktor keberhasilan KUBE.
212
Didasarkan pada hasil pengujian statistik dan analisis yang sudah dijelaskan di atas, maka faktor -faktor di atas merupakan faktor yang sangat menentukan eksistensi KUBE dan bila KUBE mau eksis, kelima faktor harus dipenuhi. Kelima faktor merupakan prasya rat pokok berdirinya (eksisnya) KUBE. Bila faktor dapat dipenuhi KUBE akan tetap eksis, tetapi sebaliknya bila tidak dilakukan dengan baik, KUBE akan hancur dan pemberdayaan yang diberikan akan sia -sia. Didasarkan pada urgensi dari kelima faktor di dalam eksistensi KUBE, maka peneliti menyebutnya menjadi Konsep Pemberdayaan “ABCCM”. Secara skematis digambarkan seperti Gambar 33.
“KONSEP PEMBERDAYAAN ABCCM” l
l
Aset (Asset-A)
Kemampuan (Ability-B)
l
Kemasyarakatan (Community-C)
EKSISTENSI KUBE
l
Pasar (Market-M)
l
Komitmen (Commitment-C)
Gambar 33: Unsur Konsep Pemberdayaan “ABCCM”
Penerapan konsep ini sangat situasional, tidak ada suatu titik masuk pada faktor tertentu. Penerapannya dapat dimulai dari aspek kemasyarakatan bilamana kompenen aset atau pelatihan atau faktor lainnya sudah dimiliki oleh KUBE, demikian seterusnya. Jadi, sangat tergantung pada kondisi dan situasi dari KUBE tersebut. Karena itu dalam penerapannya diperlukan penilaian yang seksama terhadap kelima faktor dimaksud.
213
Sebagaimana yang sudah disinggung, di luar faktor di atas masih ada 3 faktor lain yang mempengaruhi kedinamisan
KUBE, yaitu (a) pendamping
(guide), (b) jaringan kerjasama (network ing), dan (c) inovasi (innovation). Untuk jelasnya dipaparkan berikut ini.
Pendampingan (Guide). Ada polemik tentang perlu tidaknya pendamping dalam kelompok. Ada yang mengatakan bahwa pendamping tidak dipe rlukan dalam kelompok, karena anggota kelompok jauh lebih berpengalaman di banding pendamping. Ada juga yang berkomentar bahwa seorang pendamping sangat dibutuhkan dalam kelompok, mengingat kemampuan anggota kelompok sangat minim baik dari segi tingkat pendidikan, pengetahuan, wawasan maupun keterampilan. Pada pengujian TS 0,05 untuk dua arah baik pada pengujian hubungan maupun analisis lintas terlihat hubungan yang nyata antara hadirnya pendamping dalam KUBE dengan dinamika kehidupan KUBE (Tabel 32), demikian juga dalam hubungan dengan besarnya peningkatkan modal dan tingkat pendapatan anggota KUBE terlihat hasil di mana p masing-masing sebesar 0,001 dan 0,034. Semua pengujian menunjukkan bahwa eksistensi pendamping dalam KUBE sangat diharapakan dalam mendorong kedinamisan KUBE. Karena itu kehadiran pendamping dalam KUBE sangat diharapakan. Namun, eksistensi pendaping secara terus -menerus juga akan menimbulkan ketergantungan KUBE dan tidak akan memandirikan KUBE tersebut. Bilamana KUBE sudah sampai pada tingkat inovatif (Gambar 26) maka peranan pendamping dapat dikurangi guna memberikan kebebasan berkreasi pada anggota KUBE. Ada yang berpandangan bahwa anggota KUBE kurang memiliki kemampuan dalam manajerial atau kepemimpinan kelompok karena pada umumnya pendidikan dan wawasan mereka relatif rendah, tetapi mereka harus disatukan dalam kelompok. Karena itu, menurut mereka bahwa pendekatan individual merupakan alternatif paling tepat karena mereka memerlukan bimbingan yang bersifat individual, sehingga mereka lebih bisa. Namun, karena interaksi di antara anggota yang relatif tinggi, pendekatan kelompok masih lebih efektif dibandingkan pendekatan individu. Karena itu, Moeljarto dalam Prindjono dan Pranarka (1996) mengatakan:
214
Fungsi pendamping sangat krusial dalam membina aktivitas kelompok. Pendamping bertugas menyertai proses pembentukan dan penyelenggaraan kelompok sebagai fasilitator (pemandu), komunikator (penghubung), atau pun dinamisator (penggerak). Dengan adanya pendamping ini, kelompok diharapkan tidak ter gantung pada pihak luar, namun dapat dibantu untuk tumbuh dan berfungsi sebagai suatu kelompok kegiatan yang mandiri. Dari pendapat di atas terlihat betapa pentingnya kehadiran seorang pendamping dalam kelompok. Karena urgensinya kehadiran pendamping, maka pendamping harus memulai tugasnya sejak awal mulai dari pembentukan kelompok hingga kelompok diharapkan dapat mandiri. Proses yang diterapkan selama ini, pendamping ditunjuk setelah KUBE terbentuk. Ini sesuatu yang terbalik dari proses yang seharusnya. Seorang pendamping KUBE harus mampu melakukan peranan seperti yang dikemukakan oleh Ife (1995), yaitu: (a) Facilitative roles , pendamping harus mampu membangun semangat kelompok, sebagai mediator dan negosia tor, memberikan dukungan kepada anggota kelompok, membangun kesepakan di antara anggota kelompok, memfasilitasi kegiatan kelompok. (b) Educational roles, pendamping harus mampu membangkitkan kesadaran anggota, mampu mengorganisir kelompok, mampu memanfaatkan keterampilan yang dimiliki anggota dan sumber -sumber yang ada, mampu berperan sebagai pemberi informasi, dan mampu menjadi pelatih. (c) Representational roles, mampu menggali dan memanfaatkan sumber-sumber yang ada, mampu melakukan advocay, mampu memanfaatkan media untuk kepentingan kelompok, mampu menjadi penghubung, mampu menjalin relasi atau network ing dengan berbagai pihak, mampu berbagi pengalaman dan pengetahuan. (d) Technical roles, mampu mengumpulkan dan menganalisis data, mampu menggunakan teknologi, mampu membuat laporan kegiatan, mampu memimpin dan mengelola (manage) kegiatan, mampu mengontrol kegiatan. Selain peranan di atas pendamping harus memilik pengetahuan, keterampilan dan wawasan yang luas, memiliki komitmen untuk membantu, kejujuran dan ketulusan dalam menjalankan tugasnya. Bila dilihat dari peranan dan tugas-tugas di atas, pendamping menurut kriteria Ife harus benar-benar orang yang kualifait: memiliki pengetahuan,
215
keterampilan, wawasan dan pengalaman yang luas dan menguasai kehidupan KUBE. Dengan peranan-peranan seperti di atas, kekhawatiran akan kemampuan anggota KUBE akan dapat teratasi. Tetapi, perlu digaris bawahi, peranan seperti di atas hendaknya tidaklah mengurangi kreativitas anggota dan pengembangan KUBE.
Jaringan kerjasama (Networking). Jaringan kerja merupakan unsur penting dalam konsep pengembangan usaha KUBE. Jaringan merupakan konsep kerjasama yang ‘saling menguntungkan’ di antara KUBE dengan pihak lain. Jaringan diciptakan untuk tujuan yang sangat luas. Jaringan kerjasama diharapkan dapat mengatasi kelemahan atau kekura ngan yang ada pada masing-masing pihak yang terlibat. Hasil pengujian hubungan maupun analisis lintasan menunjukkan bahwa ada hubungan dan pengaruh yang nyata antara jaringan kerjasama dengan dinamika kehidupan kelompok. Artinya bahwa KUBE yang memiliki ja ringan dan sudah berjalan dengan baik memiliki tingkat kedinamisan KUBE yang tinggi. Hubungan juga terlihat dengan tingkat keberhasilan KUBE dalam pemupukan modal usaha dan tingkat pendapat anggota KUBE per bulan, diperoleh hasil yang nyata, yaitu masing-masing nilai p = 0,020 dan p=0,031. KUBE yang mempunyai jaringan menunjukkan tingkat kedinamisan KUBE yang tinggi dan peningkatkan modal dan pendapatan anggota yang lebih besar dibandingkan dengan anggota KUBE yang kurang mengembangkan jaringan. Didasarkan pada analisis ini, maka jaringan merupakan aspek yang perlu dikembangkan. Dalam konsep Homan (1999) a principal aim of a network is to have as many people with similar interests get to know, trust, and commit to help each other as possible . Dari pandangan Homan di atas, bahwa networking diciptakan untuk tujuan saling membantu di antara sesama yang saling berkepentingan. Tidak ada pihak yang mau dirugikan tetapi mengharapkan saling menguntungkan dari jaringan kerja sama yang dibangun. Lebih lanjut Hotman mengatakan: in addition to the emphasis placed on building personal relationships and sharing resources, networks stress the importance of circulating information . Dari konsep ini bahwa dalam jaringan kerja terjadi saling tukar sumber-sumber dan saling tukar informasi yang saling menguntungkan.
216
Bila dikaitkan dengan kehidupan KUBE, penerapan konsep jaringan sangat tepat. Konsep jaringan dapat dibangun mulai dari awal pembentukan KUBE, proses produksi, pemanfaatan sumber, pemasaran, hingga evaluasi dampak kegiatan terhadap kehidupan anggota KUBE. Dalam pembentukan awal KUBE, jaringan kerjasama dapat dija dikan sebagai wahana bimbingan teknis dalam rangka pembentukan kelompok yang sesuai dengan bidang tugas yang akan dikembangkan di masa yang akan datang. Dalam bidang proses produksi dapat berperan sebagai sub kerja atau produsen dalam menghasilkan berbagai barang dan jasa yang dibutuhkan oleh perusahaan besar. Dalam bidang pemasaran, jaringan kerja merupakan hal yang sangat menguntungkan, di mana hasil-hasil produksi KUBE dapat dengan mudah dipasarkan melalui jaringan kerja yang sudah terbentuk, seperti: pemasaran hasil usaha dalam mall, swalayan, dan lainlain. Praktek-praktek seperti ini sangat banyak dilakukan oleh pengusahapengusaha besar dalam mengembangka n usaha , namun jaringan di antara mereka belum bersifat permanen. Agar pencapaian tujuan jaringan kerjasama dapat lebih optimal, menurut Dosher dalam Homan (1999) ada empat kunci utama network , yaitu: (a) communication likages and information channels for the exchange of needs and resources, (b) participant support systems and resources sharing , (c) a means for coordination, cooperation, collaboration, person and program actualization, training, and capacity building, (d) a means for collective actions. Dari konsep empat fungsi network di atas, jelas bahwa konsep ini sangat tepat untuk dikembangkan dalam KUBE dengan segala kompleksistas yang ada dalam KUBE. Melalui pengembangan jaringan, KUBE akan dapat berkembang lebih cepat. Bentuk jaringan pengembangan KUBE yang dilakukan selama ini di sajikan pada Gambar 34. Terlihat dalam gambar bagaimana hubungan antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat miskin dalam pengembangan KUBE. Pemerintah berfungsi sebagai pengatur kebijakan dalam penanganan masyarakat miskin, nampak peraturan-peraturan yang dikeluarkan belum berpijak sepenuhnya pada masyarakat miskin, banyak kebijakan yang dikeluarkan kurang memperhatikan kondisi faktual kelompok miskin, seperti kenaikan harga BBM yang terjadi akhir-akhir ini, kenaikan tarif dasar listik, dan lain-lain. Kebijakan,
217
peraturan dan perijinan dalam pengembangan dunia usaha, sudah terlihat suatu kondisi yang relatif lebih bagus, tetapi SDM yang ada kurang mendukung kebijakan yang ada, sehingga terjadi penyelewengan-penyelewengan. Pemberian ijin pengembangan usaha sebenarnya diarahkan untuk dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja kelompok-kelompok miskin termasuk KUBE sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Pemerintah
Kebijakan, peraturan ƒ Perijinan ƒ
Lingkungan kondusif Transparansi Koordinasi daerah Dukungan
Dunia Usaha
‚ • ‚ ‚
• ‚ • •
‚ ‚ ‚ ‚
Kesempatan kerja Keadilan sosial Kesetaraan Jaminan sosial
Masyarakat Miskin (KUBE)
Sumber: Depsos, 2004
Pelatihan Permodalan Pemasaran Pendampingan Ket:
‚ Kebijakan berpihak pada masyarakat
ƒ ‚ ‚ ‚
Pekerjaan Pengembangan Usaha Keterampilan Pendapatan
ƒ Kuat ‚ Lemah • T idak ada
Gambar 34: Pelaksanaan Kemitraan
Melalui kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dunia usaha memiliki peluang besar dalam pengembangan usaha, tetapi lingkungan sosial yang ada masih kurang kondusif, terlihat dari berbagai kasus kerusuhan yang terjadi di mana -mana. Bagaimanapun kondisi ini sangat mempengaruhi investasi badan usaha. Transparansi dunia usaha masih tertutup tentang kondisi usaha yang dikelola. Koordinasi badan usaha dengan pemerintah daerah masih terbatas hanya dalam bidang tertentu seperti pelaksanaan kegiatan, dalam hal
218
perencanaan yang bersifat strategis dalam kaitannya dengan pena nganan masyarakat miskin belum terlihat hasilny. Dengan demikian, bahwa dukungan dunia usaha terhadap pemerintah daerah masih belum optimal. Keberpihakan badan usaha dengan kelompok miskin khususnya KUBE masih lemah terlihat pada Gambar 11. Keterlibatan dunia usaha sebagian besar hanya difokuskan pada penyediaan dana bantuan. Dalam bidang seperti pelatihan, pemasaran, dan pendampingan terhadap KUBE masih terbatas. Diperlukan regulasi yang dapat memaksa badan usaha sehingga mereka menjadi lebih peduli dalam mengembangkan kemitraan dengan kelompok masyarakat miskin. Kesempatan kerja yang diperoleh masyarakat miskin melalui pemerintah masih sangat terbatas. Gambar 8 menunjukkan sebagian besar hanya pada sektor pertanian khususnya pertanian tradisional. Ini membuktikan bahwa usaha pemerintah dalam industrialisasi pertanian masih belum dimulai. Kelompok masyrakat miskin masih berkerja secara tradisional. Dalam hal perwujudan keadilan sosial masih belum terealisasikan, banyak kelompok miskin yang diberlakukan seadanya, seperti penggusuran, ketidakadilan dalam bidang hukum, dan lain-lain. Sebenarnya kondisi keberadaan kelompok masyrakat miskin menjadi tanggung jawab pemerintah yang dapat diberikan melalui sistem jaminan sosial. Didasarkan pada fakta-fakta ini dapat dikatakan bahwa kesetaraan di antara pemerintah dengan kelompok miskin masih jauh dari harapan. Penyediaan lapangan pekerjaan bagi kelompok miskin sudah mulai terlihat, namum dalam sistem upah atau penggajian yang ditawarkan masih relatif kecil, banyak upah/gaji di bawah upah minimum regional apalagi nasional. Kemitraan dalam pengembangan usaha masih terbatas, tetapi beberapa badan usaha sudah mulai merintis khususnya dalam bidang pemasaran. Demikian juga dalam bidang pengembangan keterampilan masih terbatas (Gambar 11).
Inovasi (Innovation). Teknolgi yang dimaksud adalah inovasi-inovasi yang dilakukan oleh KUBE dalam rangka meningka tkan produktivitas kirerja. Dalam konsep Rogers (1983) inovasi is an idea, practice, or object that is perceived as new to an individual or another unit of adoptions. Berangkat dari konsep ini, inovasi tidaklah selalu harus diartikan sebagai yang rumit dan berteknologi tinggi,
219
tetapi sesuatu hal yang baru baik oleh seseorang maupun oleh suatu kelompok organisasi. “Baru ” dalam konsep inovasi adalah sesuatu yang berbeda dari caracara yang sudah dipraktekkan sebelumnya, namun diarahkan pada hal-hal yang lebih praktis, produktif, simpel atau sederhana, efektif dan efisien dan lebih produktif. Apakah KUBE sudah melakukan inovasi dalam produktivitas usaha yang dikembangkan. Penerpan inovasi dalam KUBE masih sangat terbatas sekali, hanya terlihat pada bebe rapa unit produksi saja. Tentu ini tidak terlepas dari tingkat pendidikan anggota KUBE yang pada umumnya adalah SLTA ke bawah (Gambar 7). Akibat minimnya penerapan inovasi sehingga pengembangan KUBE juga menjadi terbatas. Dalam pengembangan usaha, anggota KUBE hanya mengandalkan proses-proses manual yang sudah sangat akrab dengan kehidupan selama ini. Mereka sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan mereka. Dari pengujian hubungan maupun analisis lintasan pada TS 0.05 untuk dua sisi terlihat hubungan yang nyata antara KUBE yang sudah menerapkan inovasi dengan tingkat keberhasilan KUBE (Tabel 32). Hal yang sama juga terlihat hubungan dengan pemupukan modal dan tingkat pendapatan anggota. Melalui pengujian diperoleh hasil masing p = 0,043 (pemupukan modal) dan p = 0,016 (tingkat pendapat anggota perbulan). Salah satu kelemahan KUBE dibandingkan dengan pendekatan kelompok pemberdayaan masyarakat lainnya adalah bahwa KUBE belum terintegrasi dengan teknologi tepat guna yang sudah ada sekarang ini. Ketiadaan inovasi ini mengakibatkan hasil produksi KUBE kurang mampu bersaing di pasar, terutama dari segi mutu. Agar KUBE dapat lebih berhasil, maka faktor utama eksistensi KUBE perlu didukung dengan faktor-faktor kedinamisan KUBE seperti yang sudah dijelaskan di atas. Faktor-faktor tersebut merupakan bagian yang integral dari pengembangan KUBE secara menyeluruh. Secara skematis, faktor-faktor keberhasilan KUBE dimaksud disajikan dalam Gambar 35. Selanjutnya untuk melihat peubah-peubah mana yang menjadi dasar penilaian faktor eksistensi dan kedinamisan KUBE serta seberapa besar hasil pengujian dari tiap peubah disajikan dalam Tabel 32.
220
l l
Aset
Kemampuan
Kemasyarakatan
l l
Pasar
KEDINAMISAN KUBE l l
Komitmen
Pendamping
l l
Inovasi
Jaringan
Gambar 35: Faktor Penentu Keberhasilan KUBE
Model Pemberdayaan yang Efektif bagi Penanganan Masyarakat M iskin Model yang dimaksud di sini adalah hubungan keterkaitan antara berbagai peubah yang dirumuskan dalam bentuk persamaan linier yang dapat dijadikan sebagai alat untuk meramalkan kejadian atau peristiwa yang akan terjadi dalam KUBE di masa yang akan datang sebagai akibat dari perlakuan yang diberikan. Hubungan keterkaitan peubah-peubah dan besarnya koefisien lintas dari model dimaksud disajikan pada Tabel 33. Selanjutnya akan dipaparkan model analisis lintasan hubungan di antara peubah-peubah penelitian dimaksud. P eneliti terlebih dahulu mengelompokkan model tersebut dalam dua tahapan, yaitu (a) tahap pertama model analisis lintasan hubungan karakteristik individu anggota KUBE (X1) dan pola pemberdayaan KUBE (X2), dan lingkungan sosial (X3) terhadap dinamika kehidupan KUBE
221
(Y1), (b) tahap kedua , model analisis lintasan hubungan dinamika kehidupan KUBE (Y1) terhadap tingkat keberhasilan KUBE (Y1). Pengaruh karakteristik individu anggota (X1 ), pola pemberdayaan (X 2) dan lingkungan sosial KUBE (X3) terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y1) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap hubungan linier antara karakteristik individu anggota KUBE (Y1), pola pemberdayaan (X2) dan lingkungan sosial (X2) terhadap dinamika kehidupan KUBE (Y1) diperoleh nilai p = 000 dan R2 = 0.704. Hasil menunjukkan ketiga peubah diterima dalam persamaan. Adapun persamaan yang dihasilkan adalah: Y1 = 61,474 + 0,497 X1 + 0,546 X 2 + 0 ,300 X3, Nilai R 2 = 0.704 mengandung arti bahwa dinamika kehidupan KUBE (Y 1) dapat dijelaskan sebesar 70,4 persen oleh peubah: karakteristik individu anggota KUBE (Y 1), pola pemberdayaan (X2 ) dan lingkungan sosial (X3 ), sedangkan sisanya sebesar 30 persen ditentukan oleh faktor lainnya di luar persamaan (Lampiran 3a). Terkait dengan pengujian ini dan pengujian sebelumnya beberapa sub peubah yang dikeluarkan dari model karena kurang mendukung model yang dibangun. Ada pun peubah yang mendukung dan yang kurang mendukung terhadap model disajikan dalam Gambar 36. Pengaruh dinamika kehidupan kelompok (Y1) dengan tingkat keberhasilan KUBE (Y2) Dari hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap hubungan linier antara aspek dinamika kehidupan kelompok (Y1) dengan peubah tingkat keberhasilan KUBE (Y 2) diperoleh nilai p = 0,000 dengan R2 = 0,715 (Lampiran 3f). Ini berarti bahwa peubah dinamika kehidupan KUBE mempunyai pengaruh yang nyata terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Adapun persamaan yang dihasilkan adalah: Y 2 = 64,345 + 0,659 Y 1.1 + 0,627 Y 1.3 + 2,145 Z 1.4 + 0,479 Y 1.5 + 1,249 Y 1.7 + 0,913 Y 1.8 + 1,579Y 1.9. Nilai R2 = 0,715 mengandung arti bahwa peubah tingkat keberhasilan KUBE (Y2) dapat dijelaskan sebesar 71,5 persen oleh peubah prediktor: dinamika kehidupan kelompok (Y1). Sedangkan 28,50 persen lainnya ditentukan oleh faktor-faktor lain di luar persamaan. Didasarkan pada hasil pengujian ini dan analisis pengujian sebelumnya beberapa sub peubah dikeluarkan dari model karena kurang mendukung persamaan (Gambar 36).
222
X1 Karakteristik Ind. Angg 0,11 (h) 0,13 (d) 0,27 (a)
0,04 (f)
R = 0,683
Y1 R = 0,704 Dinamika Kehidupan KUBE e = 0,30
X2 Pola Pemberdayaan KUBE 0,31 (b)
0,34 (g)
Y2 Keberhasilan KUBE e = 0,32
0,07 (i) 0,07 (e) 0,25 (c) 0,03 (j)
X3 Lingkungan Sosial Gambar 36: Hasil Pengujian Analisis Lintasan Pemberdayaan Masyarakat melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Penjelasan: Karakteristik Anggota KUBE (X 1) 1. Pendidikan formal (0,16) 2. Modal awal yang dimiliki (0,14) 3. Pelatihan yg diikuti (0,13) 4. Kebutuhan / harapan (0,12) 5. Motivasi anggota (0,12) 6. Sumber Penghasilan Utama (0,11) 7. Persepsi ttg kehidupan berklp (0,10) 8. Pola penghasilan (0,09) 9. Jenis kelamin (0,002) * 10. Umur (0,004) *
Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1) 1. Pembinaan kelompok (0,21) 2. Kepuasan anggota (0,15) 3. Keefektifan kelompok (0,12) 4. Kepemimpinan (0,11) 5. Tujuan kelompok (0,10) 6. Fungsi tugas kelompok (0,09) 7. Kekompakan kelompok (0,09) 8. Ketegangan kelompok (0,02) * 9. Struktur kelompok (0,01) * Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2)
Pola Pemberdayaan (X 2) 1. Bantuan (uang & peralatan) (0,24) 2. Pendampingan (0,22) 3. Proses pembentukan KUBE (0,15) 4. Kebebasan yg diberikan (0,14) 5. Pendekatan / metode (0,13) 6. Perlindungan / proteksi (0,003 * 7. Jumlah anggota (0,01).* Lingkungan Sosial (X3) 1. Peluang pasar (0,23) 2. Norma / nilai Budaya (0,21). 3. Keterkaitan KUBE dengan tokoh (formal & informal) (0,15) 4. Jaringan kerja (0,13) 5. Ketersediaan sumber daya (0,12) 6. Akses terhadap lembaga keuangan (0,03) * 7. Ancaman (0,02) *
Ket: * dikeluarkan dari persamaan
Aspek Sosial (Y2.1) 1. Kerjasama sesama anggota 2. Kesediaan memberikan pertolongan 3. Kemamp mengatasi masalah 4. Tingkat partisipasi anggota 5. Keberanian menghadapi risiko 6. Perencanaan usaha 7. Pemanfaatan sumber 8. Inovasi usaha Aspek Ekonomi (Y 2.2) 1. Perkembangan modal 2. Pengguliran (Revolvin Fund) 3. Pendapatan 4. Tabungan 5. Banyaknya jenis usaha 6. Pengelolaan hasil keuntungan 7. Pengelolaan IKS
223
Berdasarkan hasil pengujian analisis lintasan yang dilakukan terhadap peubah-peubah dan sub-sub peubah, semua peubah utama dapat diterima oleh model, sedangkan beberapa sub peubah harus dikeluarkan karena kurang mendukung terhadap model atau persamaan yang dihasilkan. Adapun model dan peubah akhir yang mendukung terhadap pengujian model akhir yang dihasilkan disajikan pada penjelasan Gambar 36. Untuk melihat sebesar pengaruh langsung (direct effect), tidak langsung (indirect effect) dan pengaruh total dari masing-masing variabel independen terhadap peubah dependen maka dilakukan perhitungan nilai koefisien. Pengaruh langsung adalah besarnya nilai hubungan yang diperoleh dari hubungan di antara kedua peubah. Pengaruh tidak langsung adalah besarnya nilai hubungan yang diperoleh dari keterkaitan dengan variabel lain (intervening variabel) yang diprediksi mempengaruhi
hubungan langsung di antara kedua variabel.
Perhitungan pengaruh tidak langsung dilakukan dengan mengalikan setiap nilai hubungan yang diperoleh dari masing-masing peubah yang dilalui. Pengaruh total adalah penjumlahan nilai hubungan yang diperoleh dari pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Untuk menentukan besarnya pengaruh langsung, tidak langsung dan pengaruh total dari masing-masing peubah, terlebih dahulu ditentukan jalur atau lintasan yang akan dilalui, dalam penelitian ini dirumuskan seperti Gambar 36. Didasarkan pada Gambar 36 diperoleh jalur dan besarnya nilai lintasan pengaruh langsung dan tidak langsung serta pengaruh total seperti pada Tabel 33. Melalui analisis jalur yang dilakukan (Tabel 33) menunjukkan ba hwa peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan yang diberikan (X2) dan lingkungan sosial (X3) memberikan pengaruh langsung yang cukup berarti terhadap kehidupan dinamika KUBE terlihat dari hasil pengujian masing-masing memberikan kontribusi sebesar X1 = 0,27, X2 = 0,31, dan X3 = 0 ,25, sedangkan pengaruh tidak langsung dari hubungan dengan peubah lain hanya sebesar masing-masing X1 = 0,05, X2 = 0,05, dan X3 = 0,04. Ini menunjukkan bahwa peubah karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan yang diberikan (X2) dan lingkungan sosial (X3) memberikan kontribusi yang besar
dalam
mengembangkan
kedinamisan
kehidupan
KUBE
tersebut.
224
Kondtribusi terbesar diberikan oleh pola pemberdayaan yang diberikan, kemudian karakteristik individu anggota KUBE dan lingkungan sosial. Tabel: 33 Jalur lintasan dan besarnya koefisien lintas pengaruh langsung dan tidak langsung serta pengaruh total Peubah
Pengaruh
Dependen Independen Langsung 1
Y1
Y2
Ket:
Tidak langsung
Total (3 + 4)
2
3
4
5
X1
a = 0,27
0,32
X2
b = 0,31
X3
c = 0,25
X1
h = 0,11
X2
i = 0,07
X3
j = 0,03
Y1
g = 0,34
d.b + d.e.c + f.c + f.e.b = 0,05 d.a + d.f.c + d.f.e.b + e.c + e.f.a + e.f.d.b = 0,05 e.b + e.d.a + f.a + f.d.b = 0,04 a.g + d.b.g + d.i + d.e.c.g + d.e.j + f.c.g + f.j + f.e.b.g = 0,12 b.g + d.a.g + d.h + d.f.c.g + d.f.j + d.f.e.b.g + e.c.g + e.j + e.f.a.g + e.f.h + e.f.d.b.g = 0,14 c.g + e.b.g + e.i + e.d.a.g + e.d.h + f.a.g + f.h + f.d.b.g = 0,11 0
0,36 0,29 0,23 0,21 0,14 0,34
X1 = Karakteristik individu anggota, X 2 = Pola pemberdayaan, X3 = Lingkungan sosial; Y1= Dinamika kehidupan KUBE; Y2= Tingkat keberhasilan KUBE;
Sebagai implikasi dari pengujian ini, maka dalam proses pemberdayaan kelompok miskin, pengembangan karakter istik individu anggota KUBE dan pembinaan lingkungan sosial merupakan faktor penting dan cukup berarti. Penekanan hanya pada pemberian bantuan atau pendampingan yang berlebihan menjadikan proses pemberdayaan tersebut menjadi kurang berhasil, tetapi harus keseimbangan di antara ketiganya, yaitu (a) pola pemberdayaan yang diberikan, kemudian (b) karakteristik individu anggota KUBE dan (c) lingkungan sosial. Bagaimana pengaruh karakteristik individu anggota KUBE (X1), pola pemberdayaan (X2) dan lingkungan sosial (X 3) terhadap tingkat keberhasilan KUBE. Hasil menunjukkan bahwa ketiga peubah memberikan pengaruh langsung yang relatif kecil, terlihat dari nilai pengujian yang diperoleh masing-masing X1 = 0,11, X2 = 0,07, dan X3 = 0 ,03. Peubah yang lebih banyak memberikan kontribusi adalah karakteristik individu anggota KUBE sebesar 0,11. Ketiga peubah ini memberikan pengaruh tidak langsung yang cukup berarti melalui dinamika
225
kehidupan KUBE yaitu masing-masing sebesar X1 = 0,12, X2 = 0,14, dan X3 = 0 ,11. Terlihat bahwa pengaruh tidak langsung yang diberikan melalui dinamika kehidupan KUBE lebih besar dari pengaruh langsung masing-masing peubah. Sedangkan kontribusi dinamika kehidupan KUBE terhadap tingkat keberhasilan KUBE adalah sebesar 0,34. Ini berarti bahwa eksistensi kelompok dalam hal ini KUBE sangat berperan besar dalam proses keberhasilan KUBE tersebut. Sebagai implikasi dari penelitian maka: (a) eksistensi keberadaan KUBE merupakan hal yang penting dalam proses pemberdayaan untuk dipertahanakan, (b) perlu pembenahan-pembenahan terutama yang berkaitan dengan pembinaan kelompok, kepuasan kelompok, keefektifan kelompok, kepemimpinan kelompok, tujuan kelompok, fungsi tugas dan kekompakan kelompok. Selanjutnya, didasarkan pada hasil pengujian hubungan dan pengaruh di antara peubah dan analisis berbagai fakta serta kerangka berpikir model pemberdayaan yang disusun, maka disusun model pemberdayaan masyarakat miskin melalui pendekatan KUBE
yang dianggap lebih efektif dalam proses
pemberdayaan masyarakat miskin tersebut (Gambar 37). Suatu model harus memiliki minimal dua kriteria seperti apa yang diungkapkan oleh Yollies (1996) yaitu bahwa model harus (1) dynamic, artinya model harus responsif dan adaptif terhadap segala bentuk perubahan baik untuk perubahan yang bersumber dari dalam maupun yang bersumber dari luar. Hubungan-hubungan di antara berbagai faktor yang ada dalam model harus saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Kegagalan model untuk dapat menyesuaikan terhadap perubahan mengakibatkan keterandalan model menjadi diragukan. Kedua, model harus memiliki (2) probability, artinya model harus memberikan peluang bagi pengembangan sistem yang lebih maksimal, seperti pengembangan SDM, inovasi, peningkatkan pendapatan, dan lain-lain. Sebagai suatu sifat dari model, ada beberapa kekuatan dan kelemahan model yang dihasilkan. Kekuatan: (1) Model mudah diterapkan oleh
anggota KUBE. Mekanisme atau proses-
proses yang ada pada model ini merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari
226
anggota KUBE. Beberapa komponen yang ada dalam model bahkan sudah pernah diterapkan oleh anggota KUBE, tetapi kurang diberikan tekanan yang berarti. (2) Sistem yang ada pada model ini relatif sederhana, yang dimulai dari identidikasi kebutuhan, pembentukan kelompok, pemberian dukungan modal dan
pelatihan
sesuai
tuntutan
kebutuhan
masyarakat,
pelayanan
pendampingan, produksi, pemasaran hingga pembagian hasil keuntungan. (3) Model terkait dengan matapencaharian utama anggota KUBE, sehingga sangat berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan anggota KUBE. (4) Model menuntut kerja sama kelompok, baik dalam modal, produktivitas, pembinaan, dan hal-hal lainnya. Budaya seperti ini sangat sesuai dengan budaya masyarakat Indoensia yang masih memiliki nilai- nilai kegotong royongan dan tolong-menolong di antara sesama. Kelemahan: (1) Model menekankan pada pendekatan kelompok baik dalam usaha maupun dalam pembinaan-pembinaan, pada hal sering masih dihadapkan pada kemampuan manajerial atau kepemimpinan anggota KUBE yang minim, sehingga mengakibatkan berkurangnya kedinamisan kelompok atau menjadi kurang optimal. (2) Model ini menuntut kemandirian anggota tanpa harus tergantung pada pihak luar, tetapi kemampuan dan keterampilan anggota KUBE sangat terbatas, karena mereka sebagian besar berasal dari kelompok yang kurang mampu. (3) Model ini masih mengharapkan intervensi dari luar untuk jangka waktu tertentu, baik yang menyangkut modal, pendampingan, penerapan teknologi tepat guna, produktivitas, pemasaran. Ini terkait dengan kemampuan dan keterampilan anggota KUBE yang terbatas. (4) Masih rendahnya komitmen anggota KUBE untuk melakukan atau mengikuti kegiatan kelompok.
227
PERSIAPAN KONDISI AWAL
•
Kondisi permasalahan kemiskinan Potensi dan sumber daya Kebijakan dan perundangundangan yang ada Eksistensi pendamping
3
1
KOMUNIKASI PROGRAM • • • • •
Reorientasi partisipastif kehidupan kelompok miskin Penyadaran program pada kelompok sasaran, keluar dan masyarakat Penilaian bersama kebutuhan ABCCM Mengidentifikasi kelompok sasaran (fakir dan miskin) Identifikasi dan pemberdayaan pendamping 2
PEMBENTUKAN KUBE
• • •
•
• • • • • •
PELAKSANAAN
PENGEMBANGAN
PELAKSANAAN “ABCCM”
INOVASI USAHA
Identifikasi dan penetapan bersama jenis usaha (KUBE Harian, Bulan, Tahunan) Pelatihan sesuai kebutuhan (ability) Pengembangan sikap dan perilaku (commitment) Reorientasi nilai kemasyarakatan/ etika sosial (community) Identifikasi Pasar (market). 4 Pemberdayaan LKM Pengembangan dukungan modal (asset).
OPERASIONALISASI USAHA • • • • •
Pemberdayaan struktur sesuai tujuan Pendam pingan Identifikasi jaringan kerja 5 sama Pengelolaan IKS Pengembangan kedinamisan KUBE (inklusi, aktif, inovatif)
Gambar 37: Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Pendekatan KUBE
• • • • • • •
Pengembangan kelompok Pengembangan jenis usaha Pengembangan pasar 6 Peningkatkan produktivitas 7 Inovasi usaha Reidentifikasi kedinamisan kelompok Pemberian bantuan penguatan.
KEBERHASILAN • •
Aspek Sosial Aspek Ekonomi
7
228
Pengembangan model ini dilihat dari dua sisi, ya itu pengembangan yang berkaitan dengan aspek sosial dan pengembangan yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Pengembangan aspek sosial KUBE berkaitan dengan pengembangan keberfungsian sosial keluarga, yang meliputi: (a) pengembangan kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga sehari-hari, seperti: makan, pakaian, rumah, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, (b) pengembangan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah-masalah yang ada, seperti keterbatasan biaya pendidikan, biaya kesehatan, dan lain-lain (c) pengembangan kemampuan keluarga dalam menampilkan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat,
seperti
kerjasama
sesama
anggota,
kesediaan
memberikan
pertolongan, keberanian menghadapi risiko, perencanaan usaha, perencanaan usaha, kemampuan dalam inovasi usaha , dan lain-lain. Sedangkan pengembangan aspek ekonomi KUBE berorientasi pada pengembangan usaha bisnis, yang meliputi: (a) pengembangan usaha yang lebih maju, adanya pertambahan jenis usaha yang dapat menerap lebih banyak tenaga kerja , semua anggota KUBE dapat bekerja dalam usaha yang dikembangkan, tetapi tidak hanya sebagian dan bahkan dapat mempekerjakan orang lain di luar anggota KUBE, dan lain-lain, (b) adanya peningkatkan pendapatan atau keuntungan dari usaha yang dikembangkan, ada pertambahan modal, ada pengguliran, dan lain-lain, (c) anggota mampu dan memiliki sikap untuk menabung dari pendapatan yang diperoleh, IKS berjalan lancar, dan lain -lain. Selain itu pemberdaaan KUBE harus diarahkan pada pengembangan semangat KUBE yang meliputi: (a) intelektual, yaitu pengembangan pengetahuan dan keterampilan anggota KUBE sesuai dengan kapasitas dan sumber-sumber yang dimiliki, yang dapat dilakukan melalui pelatihan, pembinaan dan pendampingan, (b) spritual, yaitu pengembangan keimanan untuk dapat mensyukuri setiap rejeki yang diterima melalui KUBE, dan agar senantiasa menyadari bahwa segala sesuatu adalah pemberian Tuhan yang sewaktu-waktu dapat diambil, dan merupakan amanah yang harus dimanfaatan untuk kesejahteraan keluarga, (c) emosional, yaitu pengembangan kesadaran akan pentingnya kerja sama, hidup tolong menolong sebagai sarana dalam mewujudkan kesejahteraan bersama tersebut.
229
Strategi Penerapan Model Pemberdayaan KUBE
Model yang sudah dihasilkan perlu diterapkan agar lebih berhasilguna dalam rangka penanganan permasalahan kemiskinan tersebut. Namun perlu dipahami, banyak model yang dapat diterapkan dalam penangan masalah kemiskinan. Ini hanyalah salah satu model dari sekian banyak model yang mungkin diterapkan terhadap kelompok miskin. Adapun yang menjadi ciri khas dari model ini adalah: (a) landasan modelnya adalah ABCCM Empowerment Concept, (b) pemberdayaan tersebut dilakukan melalui kelompok yang terdiri dari 5 hingga 20 orang anggota , (c) sasaran dan jenis usaha adalah: kelompok fakir: dengan sifat penghasilan harian, kelompok non fakir: dengan sifat penghasilan harian dan bulanan, kelompok miskin : dengan sifat penghasilan harian, bulanan dan tahunan, (d) pemberian bantuan didasarkan pada jenis usaha (harian, bulanan atau tahunan) yang dikembangkan dan kedinamisan kelompok (inklusi, aktif dan inovatif), ada pelayanan pendampingan, (e) untuk kelompok fakir ada 20 persen anggota kelompok yang bukan termasuk kategori fakir tetapi kategori miskin sebagai motor kelompok untuk mengatasi ke terbatasan kemampuan kelompok fakir, (f) tidak ada pengguliran bagi KUBE yang termasuk KUBE kelompok fakir, (g) ada LKM yang dapat mempermudah akses KUBE terhadap kebutuhan modal usaha, (h) keberhasilan diukur dari dua hal yaitu aspek sosial dan ekonomi. Penerapan model ini dilakukan secara bertahap, mulai dari tahap awal pemahaman akan eksistensi kemiskinan hingga tahap evaluasi keberhasilan. Karena itu maka disusun langkah-langkah atau tahapan pelaksanaan yang dianggap sebagai rangkaian untuk melaksanaka n tahapan berikutnya . Adapun tahapan dimaksud adalah: pertama, perlunya melakukan analisis yang seksama tentang kondisi dan permasalahan kemiskinan secara umum. Apakah kondisi yang ada perlu melakukan pemberdayaan atau tidak bagaimana penerapan kebijakan yang sudah ada, bagaimana keberadaan perundang-undangan yang terkait dengan permasalahan kemiskinan. Berkaitan dengan itu, perlu dilakukan analisis terhadap sumber daya yang ada. Bagaimana kemampuan ekonomi yang ada, bagaimana partisipasi masyarakat, bagaimana tingkat kemampuan kelompok sasaran, dan
230
lain-lain. Agar program ini lebih berjalan lancar perlu dikaji eksistensi pendampingan yang relevan dengan proses pendampingan. Kedua, suatu program hendaknya diawali dengan suatu proses komunikasi program , sehingga kelompok sasaran, keluarga dan masyarakat mengetahui apa program yang ada di lingkungan mereka. Langkah ini sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari kelompok sasaran dan masyarakat setempat. Berkaitan dengan hal itu, maka perlu dilakukan reorientasi yang bersifat partisipatif terhadap kondisi faktual atau kehidupan kelompok sasaran apa yang terjadi di masyarakat. Pemahaman ini akan menjadi bahan atau modal dalam proses komunikasi program tersebut. Komunikasi program dapat dilakukan melalui pertemuan langsung atau tatap muka dengan kelompok sasaran atau melalui media massa. Dengan demikian masyarakat mengetahui program yang sesungguhnya. Bila komunikasi program sudah dilakukan dan partisisipasi kelompok sasaran sudah muncul, selanjutnya dilakukan penilaia n bersama terhadap kebutuhan kelompok yang berkaitan dengan ABCCM, yaitu: aset (A) yaitu besar modal yang dibutuhkan, keterampilan (B) yaitu jenis pelatihan apa yang diperlukan, tentu sesuai jenis usaha yang dikembangkan, kemasyarakatan (C) yaitu yang berkaitan dengan nilai dan budaya masyarakat setempat, komitmen (C) yaitu sikap, kesungguhan dan kemauan yang dituntut dari kelompok sasaran untuk menjalankan bantuan yang diberikan, pasar (M) yaitu bagaimana peluang pasar yang ada bilamana usaha dikembangkan. Hasil menunjukkan bahwa kelima aspek ini mempunyai pengaruh yang sangat nyata terhadap keberhasilan KUBE. Bila ke lima aspek sudah dilakukan kemudian diidentifikasi, apakah kelompok termasuk kategori fakir, non fakir atau miskin. Ini perlu dilakukan dalam rangka penentuan jenis usaha yang dikembangkan. Pada saat yang sama perlu dilakukan identifikasi dan pemberdayaan pendamping yang akan ditugaskan dalam KUBE. Ketiga, pembentukan KUBE perlu dilakukan secara demokratis dengan pendekatan bottom up . Proses pembentukan KUBE bukan hal yang mudah. Bila pembentukan kelompok dilakukan secara demokratis, partisipasi anggota akan lebih baik. P embentukan kelompok hendaknya diserahkan pada anggota KUBE itu sendiri (bottom up) yang meliputi: penentuan struktur KUBE, pengurus KUBE, penentuan jenis usaha, pihak luar hanya berperan sebagai fasilitator untuk
231
memperlancar proses pembentukan KUBE tersebut. Jumlah anggota yang disarankan sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan oleh anggota KUBE, namun demikian jumlah berkisar antara 5-20 orang. Untuk mengantisipasi keterbatasan-keterbatasan yang ada pada anggota KUBE, maka 20 persen dari jumlah anggota KUBE dapat dimasukkan anggota masyarakat umum yang memiliki kemampuan lebih namun masih tetap termasuk kategori masyarakat miskin atau mendekati miskin. Ada beberapa pendekatan yang dilakukan dalam pemilihan siapa yang menjadi anggota kelompok, yaitu: (a) berdasarkan pengalaman dan keterampilan anggota, (b) wilayah tempat tinggal yang berdekatan, (c) latar belakang daerah asal, agama, suku. Namun semua ini sangat tergantung pada kebutuhan kelompok sasaran tersebut. Keempat, setelah kelompok terbentuk dengan sepakat, maka selanjutnya adalah pelaksanaan ABCCM yang diawali dengan identifikasi dan penetapan jenis usaha yang akan dikembangkan. Ini penting dilakukan sehingga bantuan yang diberikan tidak sia-sia tetapi dapat berkembang dengan baik. Bilamana penetapan jenis usaha sudah dilakukan maka selanjutnya adalah pelaksanaan pelatihan sesuai dengan jenis usaha yang dikembangkan. Dalam proses pelatihan ini maka perlu diintegrasikan dengan pembentukan team building yang berkaitan dengan pembentukan sikap dan perilaku kelompok sasaran dan pembekalan nilai-nilai dan budaya kemasyarakatan. Tim building ini akan menjadi landasan
dalam
memperkuat kesatuan dan kekompakan kelompok tersebut. Hal yang penting dalam tahap ini adalah identifikasi pasar yang menjadi pemasaran hasil usaha. Bila ini tidak tersedia, usaha yang dilakukan akan menjadi sia -sia. Jadi usaha yang dikemba ngkan diharapakan dapat sesuai dengan kebutuhan pasar. Dari penelitian yang dilakukan bahwa akses terhadap modal menjadi persoalan yang serius dalam pengembangan usaha KUBE, karena itu perlu pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dapat pempercepat akses pengembangan dukungan modal terhadap KUBE. LKM yang dimaksud di sini merupakan lembaga keuangan yang lahir dan dibentuk dari inisiatif masyarakat mampu setempat dan KUBE yang ada di daerah tersebut. Selain fungsi penyedaiaan modal bagi KUBE, LKM juga dapat berfungsi sebagai sarana pemasaran bagi hasil
produktivitas KUBE.
Berkaitan dengan eksistensi LKM tersebut, maka LKM dapat berfungsi menjadi
232
tempat penyimpanan sementara bantuan modal yang seharusnya diberikan kepada kelompok sasaran hingga diguna kan seluruhnya, karena kenyataannya tidak semua KUBE membutuhkan bantuan yang sama tetapi sangat tergantung pada jenis usaha yang dikembangkan. Pada saat seperti ini, sisa bantuan yang belum dimanfaatkan oleh KUBE dapat dikelola LKM untuk dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok lainnnya yang belum mendapat
bantuan. Bila semua
komponen ini sudah dilakukan maka tahap selanjutnya dalam pemberian bantuan yang disalurkan melalui LKM. Kelima, tahap selanjutnya adalah operasionalisasi usaha sesuai dengan bidang tugas yang sudah disepakati. Dalam pelaksanaan tugas ini diperlukan pendampingan yang terus menerus. Hal ini penting dilakukan dalam rangka mengantisipasi keterbatas an pelaksanaan tugas yang masih relatif baru, sehingga dapat terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Proses pendampingan
ini
sekaligus
dapat
menjadi
kontrol
terhadap
semua
penyimpangan-penyimpangan yang secara segaja dilakukan. Bila usaha sudah mulai berjalan lancar, maka pendamping perlu melakukan identifikasi jaringan yang dapat me njadi mitra kerja sama dalam pengembangan usaha, kemudian menindaklanjuti dalam bentuk kerjasama yang lebih konkrit. Karena usaha dan produksi KUBE sudah berjalan lancar, maka pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS) perlu dilakukan. IKS adalah sumbangan yang harus disetorkan oleh anggota kepada KUBE untuk mendanai kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan oleh KUBE. Besarnya IKS sangat ditentukan oleh kesepakatan di antara anggota KUBE. Bila kegiatan dan produktivitas KUBE sudah berjalan dengan lancar, maka perlu dilakukan bagaimana tingkat kedinamisan KUBE. Ini penting dilakukan untuk menentukan bagaiamana tindakan intervensi yang harus diberikan kepada KUBE sehingga KUBE dapat lebih berhasil. Keenam, diharapakan KUBE tidak stagnan atau berada pada kondisi stabil apalagi menjadi mati, tetapi dapat berkembang lebih cepat, karena itu diperlukan usaha -usaha pembaharuan yang dapat mempercepat perkembangan KUBE tersebut. Pembaharuan-pembaharuan terhadap kelompok perlu dilakukan yang berkaitan dengan reorganisasi pengurus, rumusan tujuan kelompok, sasaran atau pelanggan. Demikian juga dalam pengembangan jenis usaha perlu dilakukan dari
233
satu bidang usaha menjadi beberapa jenis usaha, dan bila mungkin memanfatakan tenaga kerja yang tersedia di luar KUBE. Terkait dengan itu, pengembangan pasar perlu dilakukan, karena keberhasilan pasar merupakan salah satu kunci keberhasilan pengembangan usaha. Pasar hendaknya diarahkan pada pasar yang menjadi kebutuhan orang banyak bukan hanya segelintir orang. Pasar juga hendaknya
dapat
menekan
harga
seminimal
mungkin
sehingga
dapat
memperlancar pemasaran. Bila pasar sudah terbuka luas, maka produktivtas perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pasar, dengan tetap mempertahankan bahakan meningkatkan mutu produksi. Agar produktivitas dan mutu dapat lebih meningkat, maka perlu dilakukan inovasi-usaha terhadap semua unit-unit produksi. Dengan proses seperti ini produktivitas akan bisa dicapai dan kebutuhan pasar dapat terpenuhi. Keberhasilan satu faktor biasanya akan mempengaruhi faktor lainnya, dan pada akhirnya semua faktor akan menjadi bersinergi membentuk kedinamisan KUBE hingga sampai pada taraf kedinamisan inovatif. Bila kondisi seperti ini sudah dicapai maka perlu dilakukan reidentifikasi kedinamisan KUBE untuk melihat sejauh mana kedinamisan KUBE sudah dicapai dan bagaiamana bentuk intervensi yang harus dilakukan pada KUBE. Mungkin dalam kondisi seperti ini KUBE sangat memerlukan bantuan dana penguatan, di sini fungsi LKM dapat berperan dalam penyediaan dana tersebut. Ketujuh , pada tahap terakhir ini dilakukan tahap evaluasi untuk melihat sejauhmana keberhasilan aspek sosial dan aspek ekonomi. Aspek sosial berkaitan dengan: bagaimana ker jasama di antara sesama anggota KUBE, bagaimana kesediaan memberikan pertolongan, bagaimana kemampuan mengatasi masalah yang mungkin terjadi, bagaimana perencanaan usaha yang dilakukan, bagaimana pemanfaatan sumber yang dilakukan dan bagaimana inovasi yang dilakukan. Sedangkan keberhasilan aspek ekonomi dilihat dari: bagaimana perkembangan modal yang diterima, pengguliran yang dilakukan (untuk kelompok non fakir dan miskin), bagaimana tingkat pendapatan anggota (apakah di atas garis kemiskinan), bagaimana perkembangan jenis usaha yang dikelola, bagaimana pengelolaan hasil keuntungan dan bagaimana pengelolaan IKS. Secara skematis langka h-langkah penerapan model digambarkan seperti Gambar 37.
234
Dalam penerapan model ini ada kerangka model strategi yang turut dipertimbangkan dalam pelaksanaan model yang terdiri dari berberapa aspek, meliputi: kondisi awal, input, proses, output, outcome dan impact. Kondisi awal merupakan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dan menjadi dasar berpijak dalam proses pemberdayaan tersebut. Input berkaitan dengan hal- hal yang perlu diintegrasikan ke dalam proses pember dayaan, karena faktor ini merupakan bagian yang integral dari pemberdayaan tersebut. Proses berkaitan dengan kegiatan yang dilakukan dalam pemberdayaan. Ada 3 tahapan yang harus dilakukan, yaitu tahap awal, tahap pelaksanaan dan tahap pengembangan pemberdayaan. Output, outcome dan impact merupakan indikator keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan. Apabila output ini dapat dicapai, maka proses pemberdayaan dapat dikatakan berhasilan. Output berkaitan dengan tujuan atau keluaran yang diinginkan dan akan dic apai sebagai hasil dari awalnya pemberdayaan. Outcome berkaitan dengan pengaruh dari proses pemberdayaan yang
dilakukan,
seperti
teratasinya
permasalahan
ekonomi
keluarga,
meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota, meningkatnya kepedulian dan tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Impact berkaitan dengan dampak lebih jauh yang dihasilkan dari proses pemberdayaan biasanya berkaitan dengan hal-hal yang lebih mendasar, seperti peningkatan kesejahteraan, peningkatan pendidikan anak, peningkatan aksesibilitas, perubahan status, dan lain-lain. Secara skematis kerangka model strategi pemberdayaan ini disajikan pada Tabel 34.
235
Tabel 34: Kerangka Model Strategi Pemberdayaan Masyarakat melalui KUBE Kondisi Awal § Kondisi permasalahan kelompok sasaran § Potensi dan sumber daya sosial § Kebijakan dan peraturan yang ada § Antisipasi perubahan kondisi sosial. § Identifikasi pendamping.
Input
Proses
Output
Outcome
Impact
§ Reorientasi partisipatif terhadap kehidupan kelompok miskin § Komunikasi program pd kelompok sasaran, keluarga dan masyarakat § Penilaian bersama kebutuhan 5 faktor utama eksistensi KUBE (ABCCM Concept: asset, ability, community, commitment, market § Identifikasi kelompok sasaran (fakir, non fakir dan miskin) § Identifikasi jenis usaha kelompok sasaran (harian, bulanan, triwulan) § Pengembangan aspek afektif, kognitif, psikomotorik. § Penetapan dan pemberdayaan pendamping
Tahap awal § Pelalatihan sesuai jenis usaha (abilityc) § Pengembangan komitmen (commitment) § Pengembangan aspek sosial (community). § Pembentukan kelompok § Pengembangan dukungan modal usaha (asset)
§ Terwujudnya struktur organisasi / manajemen KUBE yang produktif § Terlwujudnya konsep eksistensi (ABCCM) dalam penentuan kelompok sasaran § Terwujudnya konsep kedinamisan KUBE (pendamping, network, inovasi) § Meningkatnya pendapatan anggota KUBE § KUBE dinamis inovatif § KUBE semakin produktivtas § Perluasan jaringan / interdependensi KUBE § Pemasaran lancar § Pengelolaan hasil keuntungan berjalan dengan baik § Bertambahnya jenis usaha.
§ Permasalahan sosial dan ekonomi keluarga dapat teratasi § Meningkatnya keberdayaan/ kemandirian anggota KUBE dalam berusaha § Meningkatkan kepedulian, kerjasama dan tanggung jawab anggota KUBE § Berkembangnya kembali keberfungsian sosial anggota KUBE § Penguliran berjalan dengan lancar § Adanya tabungan anggota.
§ Meningkatnya kesejahteraan anggota KUBE § Meningkatnya aksesibilitas anggota terhadap berbagai sumber § Meningkatnya tingkat pendidikan anak anggota KUBE § Meningkatnya posisi tawar KUBE / tidak dilihat sebagai kelompok marginal. § Hilangnya ketergantungan pada bantuan sosial
Tahap Pelaksanaan: § Pengembangan usaha § Pendampingan § Pengembangan jaringan § Pengembangan IKS § Identifikasi kedinamisan kelompok (inclusi, aktif, inovatif) Tahap Pengembangan § Pengembangan kelompok. § Pengembangan jaringan § Pengembangan pasar (market). § Inovasi Usaha § Reidentifikasi kedinamisan kelompok (inclusi, aktif, inovatif)
236
Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Penyuluhan bagian dari pemberdayaan yang tidak dapat dipisahkan, penyuluhan dan pemberdayaan saling mendukung sa tu sama lain. Penyuluhan berkaitan dengan upaya pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan (Asngari dan Soedijanto dalam Yustina dan Sudrajat, 2003). Sedangkan pemberdayaan - sebagaimana yang sudah dibahas dalam kerangka teoritikmerupakan (a) upaya pemberian power (Ife, 1995) kepada kelompok sasaran yang dapat dilakukan melalui dua hal (Pranarka dan Vidhyandika, 1996) yaitu yang berkaitan dengan pemberian dan pengalihan kekuasaan, kekuatan, kemampuan dan materi (asset) kepada kelompok sasaran, dan (b) berkaitan dengan proses menstimuli, mendorong atau memotivasi kelompok sasaran sehingga memiliki semangat dalam mengatasi hidupnya. Karena itu, akan sulit mencapai keberhasilan suatu proses pemberdayaan bila tidak diikuti dengan kegiatan penyuluhan. Adanya pemberian fasilitas lainnya berupa materi dalam proses pemberdayaan, dapat dikatakan bahwa pemberdayaan merupakan penyuluhan plus. Bahkan dalam program-program tertentu, ada program penyuluhan yang disertai dengan pemberian berbagai fasilitas atau paketpaket tertentu, yang dimaksud untuk mempercepat dan mendorong terjadinya perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan yang diinginkan. Proses ini disebut sebagai penyuluhan di mana yang menjadi titik beratnya adalah proses pengubahan perilaku bukan pada aspek penyediaan fasilitas. Penyediaan fasilitas hanya berupa penunjang mempercepat tejadinya perubahan. Didasarkan pada ulasan di atas, penyuluhan merupakan unsur penting dalam pemberdayaan. Pemberdayaan yang hanya menitikberatkan pada penyediaan fasilitas tanpa diawali dengan proses pengubahan sikap dan perilaku mengakibatkan tujuan pemberdayaan tidak akan optimal. Secara skematis di bawah ini disajikan bagaimana hubungan antara penyuluhan dan pemberdayaan dalam proses pemberdayaan tersebut (Gambar 38). Proses penyuluhan dan pemberdayaan yang diberikan pada KUBE selama ini lebih menitikberatkan pada penyediaan fasilitas penunjang, terutama dalam penyediaan modal usaha, sarana kerja, dan pendampingan. Sedangkan proses
237
pengembangan perilaku yang menyangkut aspek: sikap, pengetahuan dan keterampilan sangat minim sekali. Pelatihan-pelatihan yang diberikan pada KUBE dengan nomenklatur “pembekalan” sangat terbatas, baik dalam hal kurikulum, tenaga pengajar, ketersediaan fasilitas pembelajaran, jumlah jam pelatihan yang dilaksanakan, untuk beberapa kegiatan hampir tidak ada. Data menunjukkan hanya 32,1 % anggota KUBE yang sudah pernah mengikuti pelatihan yang berkaitan dengan KUBE. Sebanyak 81,2 % anggota KUBE sudah pernah mengikuti pelatihan, tetapi pelatihan yang dilaksanakan oleh pihak lain bukan pelatihan yang berkaitan dengan jenis usaha yang dikembangkan melalui KUBE. Pada hal secara adminstratif, tersedia alokasi anggaran yang ditujukan dalam rangka pelaksanaan pelatihan tersebut.
PEMBERDAYAAN
PENYULUHAN Pengubahan: § § §
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Diikuti dengan pengembangan fasilitas: dukungan modal usaha dukungan kredit dukungan sumber daya dukungan aksesilitas lain dalam pengembangan usaha pelayanan pendampingan pengembangan pemasaran pengembangan jaringan dan lain-lain.
KEBERDAYAAN KELOMPOK SASARAN
Gambar 38: Hubungan antara Penyuluhan dan Pemberdayaan
238
Akibat minimnya pelatihan yang diikuti, dampaknya dapat dilihat dari bagaimana persepsi anggota tenta ng kehidupan kelompok, bagaimana motivasi anggota untuk tergabung dalam KUBE hasilnya masih belum membanggakan. Hanya 30,8 % anggota KUBE yang memiliki persepsi tentang kelompok dalam kategori sangat baik dan 63,4 % berada dalam kategori sedang . Sedangkan dalam hal motivasi, hanya 6,3 % anggota KUBE yang memiliki motivasi dalam kategori tinggi dan 74,6 % dalam kategori sedang. Tentu hasil ini sangat terkait dengan proses pelatihan yang diadakan. Bila ditelusuri lebih jauh bagaimana hubungan antara pelatihan yang diikuti dengan perkembangan modal KUBE dan pendapatan anggota KUBE diperoleh hubungan yang positif dengan nilai p masing-masing 0,000 dan 0,000. Ini menunjukkan bahwa anggota KUBE yang sudah mengikuti pelatihan cenderung memiliki modal dan tingkat pendapatan yang lebih besar. Hasil pengujian analisis lintasan juga menunjukkan bahwa pelatihan memberikan kontribusi sebesar 0,14 terhadap kedinamisan kehidupan KUBE. Didasarkan pada data ini, aspek pengubahan perilaku (sikap, pengetahuan dan keterampilan) melalui pelatihan merupakan aspek yang perlu diperhatikan dalam KUBE, dan hendaknya pelatihan ini tidak diberikan hanya sekali saja tetapi sesuai kebutuhan, perkembangan dan perubahan yang terjadi. SDM yang ditugaskan sebagai pelatih juga harus didasarkan pada profesionalisme penyuluhan, memiliki pengalaman, wawasan dan komitmen terhadap penyuluhan, kurikulum yang diterapkan perlu dirancang dan dipersiapkan sesuai kebutuhan lapangan, jam pelatihan harus disesuaikan dengan kebutuhan anggota KUBE, sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai. Pelatihan yang dilaksanakan perlu didukung dengan pemberian jaminan biaya hidup yang merupakan kompensasi keikutsertaan mereka sebagai peserta pelatihan. Implikasi terhadap Ilmu Penyuluhan Pembangunan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat perlu mengutamakan atau mengedepankan perubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan kemudian diikuti dengan penyediaan sarana penunjang lainnya, seperti bantuan modal, sarana dan prasarana, akses terhadap pelayanan perbankan, akses terhadap kredit dan lain-lain.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan (1) Kedinamisan KUBE dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu (a) KUBE yang termasuk kategori dinamis inklusi, dengan kriteria: struktur organisasi KUBE sudah terbentuk, intensitas pertemuan terbatas, produksi sudah mulai berjalan tetapi masih bersifat rutin, pendapatan sudah ada tetapi relatif terbatas, jaringan kerja mulai dirintis, UKS belum berjalan lancar; (b) KUBE yang termasuk dinamis aktif, dengan kriteria: aspek kelembagaan (struktur, keanggota, pembukuan, program) sudah berjalan, intensitas pertemuan sedang, kegiatan produksi sudah lancar, pendapatan sudah meningkat, UKS sudah mulai berjalan, jaringan kerja sudah berjalan, inovasi sudah mulai diperkenalkan, dan (c) KUBE yang termasuk dinamis inovatif, dengan kriteria: aspek kelembagaan sudah berjalan lancar, intensitas pertemuan tinggi, produksi tinggi, pendapatan tinggi, UKS berjalan lancar, jaringan kerja lancar, inovasi usaha tinggi. Sebagian besar kedinamisan KUBE berada dalam kategori dinamis aktif. Keberhasilan KUBE dapat dilihat dari dua sisi, yaitu keberhasilan yang berkaitan dengan aspek sosial dan keberhasilan yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Sebagian besar keberhasilan aspek sosial KUBE berada dalam kategori cukup. Indikator yang digunakan, meliputi: (a) kerjasama sesama anggota, (b) kesediaan memberikan pertolongan, (c) kemampuan mengatasi masalah, (d) tingkat partisipasi anggota, (e) keberanian menghadapi risiko, (f) perencanaan usaha, (g) pemanfaatan sumber daya, dan (h) inovasi yang dilakukan. Sedangkan sebagian besar untuk aspek ekonomi KUBE berada dalam kateori tidak berkembang . Indikator yang digunakan, meliputi: (a) perkembangan modal usaha, (b) pengguliran yang dilakukan, (c) pendapatan, (d) tabungan anggota, (e) banyaknya jenis usaha yang dik embangkan KUBE, (f) pengelolaan hasil keuntungan dan (f) pengelolaan IKS. Kondisi ini dapat terjadi karena aspek pengguliran, tabungan dan pengelolaan IKS belum dijalankan, anggota KUBE pada dasarnya baru mampu memenuhi kebutuhan
240
sehari-hari. Pada aspek ekonomi terlihat pertambahan modal dan tingkat pendapatan anggota KUBE yang semakin meningkat. (3) Kedinamisan KUBE merupakan faktor penting di dalam KUBE. Kedinamisan KUBE dipengaruhi oleh beberapa faktor , yaitu: karakteristik individu, faktor pola pemberdayaan, dan faktor lingkungan sosial secara rinci sebagai berikut (berturut-turut dari yang paling besar pengaruhnya): Faktor karakteristik individu anggota KUBE, meliputi: (a) tingkat pendidikan anggota KUBE, (b) modal awal yang dimiliki, (c) pelatihan yang diikuti anggota , (d) kebutuhan / harapan anggota, (e) motivasi anggota untuk tergabung dalam KUBE. Faktor pola pemberdayaan, meliputi: (a) bantuan yang diterima, (b) pelayanan pendampingan, (c) proses pembentukan KUBE, (d) kebebasan yang diterima, (e) pendekatan / metode yang diterapkan. Faktor lingkungan sosial KUBE, meliputi: (a) peluang pasar, (b) norma dan nilai budaya yang hidup dalam masyarakat, (c) keterkaitan dan hubungan KUBE dengan tokoh formal dan informal yang ada dalam masyarakat, (d) jaringan kerjasama yang dibangun, dan ketersediaan sumber daya. (4) Tingkat keberhasilan KUBE dipengaruhi terutama oleh (berturut-turut dari yang paling besar pengaruhnya): (a) pembinaan kelompok , meliputi: penumbuhan partisipasi anggota, sosialisai aturan dan norma kelompok, sosialisasi program / kegiatan, penyediaan fasilitas, penciptaan hubungan di antara anggota, penyelenggaraan berbagai aktivitas, dan penentuan sta ndar kerja); (b) kepuasan anggota, meliputi: perasaan atas hasil keuntungan atau pendapatan yang diperoleh, keinginan untuk bertemu sesama anggota, dan keinginan untuk meneruskan kelompok); (c) keefektifan kelompok, meliputi: hasil produktivitas kelompok, semangat kerja dan kesungguhan anggota dan keberhasilan anggota dalam memenuhi kebutuhan; (d) kepemimpinan kelompok , meliputi: gaya kepemimpinan yang diterapkan, pelimpahan wewenang. Kekuasaan yang dijalankan, persuasi yang diterapkan, tanggung jawab yang diberikan dan peranan yang ditampilkan baik sebagai pengurus dan anggota; (e) tujuan kelompok , meliputi: eksistensi tujuan kelompok, kejelasan rumusan tujuan kelompok, sosialisasi tujuan kelompok, kesesuaian tujuan kelompok dengan tujuan individu; (f) fungsi tugas kelompok, meliputi:
241
fungsi memberikan informasi, koordinasi kegiatan, dan menjelaskan, pemecahan masalah; dan (e) kekompakan kelompok, meliputi: identifikasi keanggotaan, perwujudan kesatuan dan persatuan kelompok, kesamaan dan kebersamaan anggota, kerjasama anggota, penyatuan kelompok. (5) Ada 8 faktor utama keberhasilan KUBE, 5 faktor ya ng berkaitan dengan eksistensi KUBE dan 3 faktor yang berkaitan dengan kedinamisan KUBE. Lima faktor utama eksistensi KUBE, meliputi: (a) aset: modal dan akses terhadap
lembaga
keuangan;
(b)
kemampuan:
sikap,
pengetahuan,
keterampilan dan pengalaman yang dimiliki; (c) kemasyarakatan: aspek yang berkaitan dengan ekologi, kependudukan, nilai/norma budaya dan personality masyarakat; (d) komitmen: teka d yang kuat dari anggota KUBE untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab; (e) pasar: peluang pasar dan ketersediaan sumber daya yang dimiliki. Faktor ini diberi nama dengan: “KONSEP PEMBERDAYAAN ABCCM” . Tiga faktor kedinamisan KUBE lainnya , meliputi: (e) pendampingan: dengan peranan sebagai: fasilitator, pendidik , komunikator, dinamisator, perwakilan dan teknisi; (f) network (jaringan kerja): hubungan kerjasama dalam berbagai bidang yang saling menguntungkan di antara KUBE; (g) inovasi: pembaharuan yang diterapkan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja KUBE. (6) Model pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan KUBE terdiri dari 7 tahapan, yaitu: (a) tahap kondisi awal; (b) tahap komunikasi program; (c) tahap pembentukan KUBE; (d) tahap pelaksanaan “ABCCM; (e) tahap operasionalisasi usaha; (f) tahap inovasi usaha ; dan (g) tahap evaluasi keberhasilan. Proses pemberdayaan KUBE yang dilakukan berupaya mengintegrasikan pengembangan aspek sosial dan ekonomi secara seimbang. Kedua aspek ini merupakan dua sisi mata uang yang tidak dipisahkan, antara satu dengan yang lainnya sangat mendukung dan memiliki art i yang penting, yang satu akan berarti bila yang lainnya ada. Pengembangan aspek sosial diarahkan pada pengembangan keberfungsian sosial keluarga, yang meliputi: (a) keluarga mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, (b) mampu mengatasi masalah yang ada, dan mampu menampilkan peranan-peranan sosialnya dalam masyarakat. Sedangkan pengembangan aspek ekonomi
242
beroerientasi pada konsep pengembangan usaha bisnis, di mana dari setiap kegiatan (pekerjaan) yang dilakukan ada keuntungan yang diperoleh dan selanjutnya anggota KUBE dapat menambung untuk hari esok. Selain itu, KUBE perlu dilandasi oleh semangat intelektual, spritual dan emosional yang baik. Proses seperti ini pada akhirnya akan mewujdukan jati diri anggota KUBE tersebut. (7) Upaya yang berkaitan dengan pengubahan sikap, pengetahuan dan keterampilan anggota KUBE masih sangat terbatas. Pemberdayaan yang ada selama ini lebih mengutamakan penyediaan sarana penunjang (bantuan modal dan sarana peralatan, pendampingan, dan lain-lain) daripada pengubahan sikap dan perilaku. Pada hal pelatihan yang diikuti anggota (yang dimaksudkan untuk mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan) ternyata berpengaruh positif terhadap peningkatan modal dan pendapatan anggota. (8) Generalisasi pembinaan yang diterapkan selama ini ternyata cenderung membuat KUBE menjadi kurang efektif. KUBE dapat dikelompokkan dalam 3 kategori, yaitu: (a) KUBE Harian, seperti: usaha dagang sembako, dagang kue, warung nasi, dan lain-lain, dengan sasaran: masayrakat kelompok fakir; non fakir dan miskin (b) KUBE Bulanan, seperti: tanaman sayur -mayur, ternak ikan, ternak burung, dan lain -lain, dengan sasaran: masyarakat kelompok non fakir dan miskin; (d) KUBE Tahunan, seperti: usaha ternak sapi, kambing, ternak babi, dengan sasaran: kelompok masyarakat miskin. Pemberdayaan KUBE yang diberikan selama ini relevan dengan permasalahan fakir miskin yang mengembangkan jenis usaha KUBE Harian . Relevan karena jenis usaha harian ini dapat lebih menjawab permasalahan fakir miskin dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Saran (1) Pemberdayaan masyarakat miskin berbasis KUBE, perlu mempertimbangkan dan mewujudkan faktor berikut: (a) tingkat pendidikan yang dimiliki anggota, (b) mengadakan pelatihan (sesuai jenis usaha) bagi anggota sebelum bantuan diberikan yang bertujuan untuk membangun komitmen, motivasi dan
243
keterampilan kerja anggota KUBE, (c) modal yang diberikan tidak digeneralisasikan terhadap semua KUBE tetapi sesuai kebutuhan dan jenis usaha yang dikembangkan dan tidak terlalu stimulan, (d) adanya pelayanan pendampingan hingga jangka waktu tertentu, (e) memberikan kebebasan kepada anggota untuk menentukan pilihan dan keputusan mereka, pihak luar termasuk pendamping tidak terlalu banyak ikut campur, (f) melakukan studi kelayakan terhadap pasar yang ada, (g) mengembangkan jenis usaha sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat, (h) mengembangkan hubungan yang harmonis antara KUBE dengan tokoh formal dan informal yang ada dalam masyarakat, (i) membangun jaringan kerja dengan berbagai piha k dalam rangka pengembangan KUBE, (j) memanfaatkan seoptimal mungkin ketersediaan sumber daya dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan, (k) mengintegrasikan inovasi ke dalam KUBE. (2) Dalam rangka pengembangan dinamika kehidupan KUBE, maka perlu dilakukan (terutama): (a) pembinaan kelompok yang diarahkan pada pembinaan anggota dan organisasi, (b) peningkatan kepuasan anggota melalui peningkatan pendapatan yang diperoleh dari KUBE, (c) keefektifan kelompok yang berkaitan dengan pencapaian produktivitas KUBE yang semakin baik, (d) menerapkan kepemimpinan yang lebih demokratis, (e) merumuskan tujuan yang sesuai dengan kebutuhan anggota sehingga termotivasi untuk mewujudkannya, (f) melakukan fungsi tugas kelompok sesuai fungsi pembagian tugas yang sudah disepakati, (g) membangun dan membina kekompakan kelompok yang semakin akrab. (3) Sebelum KUBE dibentuk, perlu dilakukan identifikasi yang mendalam terhadap 8 faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan KUBE, yaitu: (a) aset, meliputi modal awal dan bantuan yang dimiliki dan dibutuhkan oleh KUBE (uang atau barang), termasuk akses terhadap lembaga keuangan; (b) kemampuan , meliputi pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang dimiliki dan harus dimiliki oleh KUBE; (c) masalah kemasyarakatan , yaitu seperangkat aspek-aspek kemasyarakatan yang harus dipahami oleh anggota KUBE, (d) komitmen , yaitu suatu tekad yang kuat dari anggota KUBE untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab; (e) peluang pasar yang
244
ada, (f) kebutuhan pelayanan pendampingan; (g) network (jaringan kerja) yang sudah ada dan yang akan dikembangkan; (h) inovasi, berkaitan dengan pembaharuan yang diterapkan dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja KUBE. (4) Proses pemberdayaan melalui pendekatan KUBE diharapkan mengikuti 7 tahapan berikut secara berurtan dan konsisten yang dimulai dari (a) pemahaman kondisi awal; (b) sosialisasi program (c) pembentukan kelompok; (d) pelaksanaan “ABCCM” (e) operasionalisasi usaha; (f) inovasi usaha; dan (g) evaluasi keberhasilan KUBE. Penerapan model ini hendaknya dilakukan secara utuh, sungguh-sungguh dan mendalam, tetapi tidak dilakukan hanya sebagian-sebagian. Keberhasilan faktor yang lain sangat ditentukan oleh bagian yang lainnya, terjadi hubungan yang sangat erat di antara faktor yang ada , karena itu pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. (5) Dalam penerapan model ini perlu memberikan tekanan yang berarti pada faktor-faktor berikut: (a) konsep pemberdayaan “ABCCM, yang meliputi: aset, kemampuan, pengetahuan kemasyarakatan, pengembangan komitmen, peluang pasar, pendampingan, jaringan kerjasama , inovasi usaha, (b) jenis usaha KUBE, yang meliputi: jenis usaha dengan sifat penghasilan harian, bulanan, dan semesteran, dan (c) tingkat kedinamisan KUBE, yang meliputi: dinamis inklusi, dinamis aktif dan dinamis inovatif. (6) Dalam rangka mengembangkan inovasi KUBE, pihak perguruan tinggi khususnya Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) perlu bekerja sama dengan KUBE dan lebih proaktif dalam pengembangan inovasi sebagai salah satu wujud pengabdian yang lebih kongkrit khususnya terhadap masyarakat kelompok miskin. (7) Pemberdayaan melalui pendekatan KUBE yang ditujukan pada kelompok miskin perlu mengedepankan aspek pengubahan perilaku melalui kegiatan penyuluhan sosial daripada sarana penunjang lainnya. Pengubahan perilaku ini menjadi hal yang mendasar dalam proses pemberdayaan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Syamsudin. 1995. “Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia”, Makalah Lokakarya Dinamika dan Perpektif Penyuluhan Pertanian pada PJP II. Tanggal 4-5 Juli 1995. Bogor , Jakarta: Departemen Pertanian. Achlis. 1981. Pendekatan Sistem Sosial: Pemahaman Tingkah Laku. Bandung: STKS Ancok, dalam Singarimbun, Masri dan Sofian Efendi. Ed. 1978. Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES.
Metode
Arikunto, Ny. Suharsimi. 1982. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik . Jakarta: Bina Aksara. Atmosphere, Climate & Environment Information Progamme, and supported by the Department for Environment, Food & Rural Affairs. 2004. The Encyclopedia of the Sustainable Development. http://www.doc.mmu. ac.uk/aric/esd/menu.html (18/1/2004) [Balabangksoso] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial. 1998. “Penelitian Tingkat Keberhasilan Program Kesejahteraan Sosial Melalui Kelompok Usaha Bersama (ProkesosKUBE)” dalam Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Departemen Sosial. [Balabangksoso] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial. 1999. “Pengkajian Tingkat Keberhasilan Program Kesejahteraan Sosial Melalui Kelompok Usaha Bersama (ProkesosKUBE)” dalam Pengentasan Kemiskinan.Jakarta: Departemen Sosial. Bass, Bernard M. 1981. Stogdill’s Handbook of Leadership : A Survey of Theory and Research. London: The Free Press. ------- 1985. Leadership and Performance Beyond Expectation. New York: Free Press. Beebe , Steven A & John T. Masterson. 1989. Communicating in Small Group, Principles and Practices, Third Edition. Glenview: Harper Collins Publishers BKPK [Badan Koordinasi Pena nggulangan Kemiskinan RI] dan Lembaga Penelitian SEMERU. 2001. Penanggulangan Kemiskinan . Jakarta. Black, Jamen A., and D.J. Champion. 1976. Method and Issues in Social Research. New York: John Wiley and Sons.
246
Blanchard, K, PC John dan R. Alan. 1998. Pemberdayaan Memerlukan Waktu Lebih Dari Semenit (terjemahan oleh Zoelkifli Kasip). Jakarta: Interaksara. Bonner
H., (1953). Social Psychology: An Interdiciplinary Approach. Sanfrancisco. Ney York: American Book.
BPS [Badan Pusat Statistik ] dan BKSN [Badan Kesejahteraan Sosial Nasiona l]. 2000. Peta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial. Jakarta: BPS dan BKSN. BPS [Badan Pusat Statistik) dan [Depsos] Departemen Sosial RI. 2002. Penduduk Fakir Miskin di Indonesia . Jakarta: BPS dan Depsos. BPS [Badan Pusat Statistik] dan [Depsos] Departemen Sosial RI. 2003. Profil Penduduk Fakir Miskin di Indonesia. Jakarta: BPS dan Depsos BPS [Badan Pusat Statistik) dan [Depsos] Departemen Sosial RI. 2004. Penduduk Fakir Miskin di Indonesia . Jakarta: BPS dan Depsos. BPS [Badan Pusat Statistik). 2005. Pelaksanaan Pendataan Rumah Tangga Miskin 2005. Jakarta : BPS dan Depsos. Bunasor . 1996. “Transformasi Pertanian Tradisonal Menuju Pertanian Industri Menghadapi Pasar Bebas”. Makalah. Disampaikan dalam Temu Pakar “Penyusunan Konsep Pertanian Berbudaya Industri” di IPB Bogor. Burns, J. M. 1978. Leadership . New York: Harper & Row. Brandford, D. L. & Cohen, A. R. 1984. Managing for Excellence. New York: Wiley. Carthwright, Darwin san Alvin Zander. 1968. Group Dynamic: Research and Theory. Second Edition. Michigan: Roe, Peterson and Company. Dahana, OP. and OP. Bhatnagar. 1980. Education and Communication for Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing CO. Dewata, Awan Setya, dkk. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. [Depsos] Departemen Sosial RI. 1983. Buku Himpunan Perundang-undangan. Jakarta: Depsos. ----------. 1994. Indikator Keberhasilan Program / Proyek Bantuan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Bantuan Sosial. ----------. 1996. Peningkatan Kesejahteraan Fakir Miskin melalui Panyantunan dan Pengentasan Fakir Miskin . Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Bantuan Sosial.
247
----------. 1999. Menuju Masyarakat Yang Berketahanan Sosial. Pelajaran Dari Krisis. Edisi 1. jakarta: Departemen Sosial. ----------. 2002. (Bulletin). “Dengan Kelompok Usaha Bersama Fakir Miskin (KUBE FM) Melalui Penggemukan Sapi Potong Kita Tingkatkan Kesejahteraan Sosial (Percepatan, Pemberdayaan Masyarakat Miskin)”. Jakarta: Depsos. ---------. 2004a. Panduan Umum, P engembangan Usaha Ekonomi Produktif Fakir Miskin melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Jakarta: Depsos RI. ---------. 2004b. Badan Usaha yang Menyelenggarakan Usaha Kesejahteraan Sosia,. Jakarta: Depsos RI. ---------. 2004c. Indikator Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial: Ditinjau dari Aspek Ketahanan Sosial Masyarakat. Jakarta: Depsos. ---------. 2005a. Rencana Stategis Penanggulangan Kemiskinan : Program Pemberdayaan Fakir Miskin Tahun 2006 -2010. Jakarta: Departemen Sosial. ---------. 2005b. Petunjuk Teknis, “Program Subsidi Lansung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin ”. Jakarta: Depsos. Dillon, W.R. and M. Goldstein, 1984. Multivariate Analysis: Methods and Applications. New York: John Wiley and Sons. Dubois, Brenda and Karla Krogsrud Mileey. 1992. Social Work : An Empowering Profession . Boston: Ally and Bacon. Drucker, P. F. 1986. The Practice of Management. New York: Harper & Row. Elson, Dine. 1997. Economic Paradigms Old and New: The Case of Human Development, dalam Culpeper, Roy, Albert Berry and Frances Stewart (ed). Global Development Fifty Years after Bretton Woods: Essays in Honor of Gerald K. Helleiner. London: McMillan Press. Federman, I. 1983. “A Personal View Of Leadership”. P resentation to the Executive Seminar In Corporate Excellence. Santa Clara University. Fiedler, F. E. 1972. The Effects of Leadership Training and Experience: A Contingency Model Interpretation. Administrative Science Quarterly. French, J.R.P., Morrison, W., & Levinger, G. 1960. “Coercive Power and Forces Affecting Conformity”. Journal of Abnormal and Social Psychology. Freire, Paulo. 1972. Pedagogy of The Oppressed. London: Penguin.
248
Friedman, J. 1981. The Active Community dalam R.P. Mirsa, ed. Rural Development. Nagoya: National Policies and Experiences. Mauruzen Asra. Fukuyama, F. 2001. “Social Capital, Civil Society and Development”. Third World Quarterly. Vol. 22. Gardner, J. W. 1987. The Moral Aspect of Leadership : Leadership Papers. Vol. 5th. Washington, D.C.: Independent Sector. Gerunga n, W.A. 1981. Psik ologi Sosial. Bandung: Eresco Gibson, et al. 1984. Organisasi dan Manajemen : Perilaku, Struktur, Proses. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga. Griffin. Keith B., and John L. Enos. 1980. Planning Development. London: Addison-Wesley Publishing Company. Hadiwigeno, S. 1985. Sektor Pembangunan yang Menunjang Peningkatan Produksi Pertanian dalam Era Industrialisasi. Memo Dewan Hamkamnas, Agustus 1985. Jakarta: Dewan Hamkamnas. Hammer, W. C. & Organ, D. S. 1982. Organizational Behavior: An Applied Psychological Approach. Rev. Ed. Plano Tex: Business Publication. Heider, Fritz, (1956). The Psychology Of Interpersonal Relations. New York: John Mileey and Sons Inc . Hemphill, J. K. 1949. Situational factors in Leadership . Colombus: Ohio State University, Bureau Of Educational Research. Hendropuspito, D. 1989. Sosiologi Sistematik . Cetakan Pertama. Jogyakarta: Kanisius. Hepworth, Dean H., and Jo Ann Larsen. 1982. Direct Social Work Practice. Illinois: The Dorsey Press. Homans, G.C. 1950. The Human Group, Brace and Word. New York: Horcourt. Homan, Mark S. 1999. Promoting Community Change: Making It Happen in the Real World . Second Edition. Pacific Gove, USA: Brooks/Cole Publishing Company. Hradesky, Jack. 1995. Total Quality Management Handbook . New York: McGraw Hill, Inc. Hubeis, Aida V.S, 1992. “Strategi Penyuluhan Pertanian sebagai salah Satu Upaya Menswadayakan Petani-Nelayan”. Makalah Seminar Sehari dalam rangka Ulang Tahun ke -V PERHIPTANI. Tanggal 1-12- 1992 di Jakarta: PERHIPTANI.
249
Ife, Jim. 1995). Community Development, Creating Community Alternatives: Vision, Analysis and Practice. Australia: Longman. Jamaluddin, 2002. “Strategi Pengembangan Kelompok-Kelompok Produktif dan Unit-unit Usaha di Pedesaan: Suatu Analisis Formasi Kelompok (Studi Kasus di Tigas Desa di Kecamatan Marawola, Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah”. Thesis. Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Johnson, D. E. 1970. Concepts of Air Force Leadership . Maxwell AF Base, Alabama: Air University. [Kantor Menkokesra dan Taskin] Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan. 1998a. Pedoman Umum Pelaksanaan Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin). Jakarta: Kantor Menkokesra dan Taskin. [Kantor Menkokesra dan Taskin] Kantor Menteri Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan. 1998b. Pokok -pokok Pelaksanaan Program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gardu Taskin). Kantor Menkokesra dan Taskin, Jakarta. Kidder, T. 1981. The Soul of New Machine. Boston: Little, Brown. Klausmeier, Herbert J. and William Goodwin. 1975. Learning and Human Ability: Educational Psychology. Fourth Edition. New York: Harper & Row, Publishers. Knapp, Martin. 1994. The Economic of Social Care. Hongkong: Macmillan Publisher LTD. Koontz, H. and O’Donnell, C. 1955. Principles of Management. New York: McGraw -Hill. Lawang, Robert M, Z. 2005. Kapital Sosial dalam Perspektif Sosiologik : Suatu Pengantar. Jakarta: FISIP UI Press Lewin, 1951. Field Theory In Social Science. Edited by Harper and Row. New York: Publisher. Maccoboy, M. 1981. The Leader. New York: Simon & Schuster. Mardikato, T. 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Meier, G.M.1989. Leading Issues in Economic Development. 5th Edition. New York: Oxford University Press. Merton, R. K. 1969. “The Social Nature of Leadership”. New York: American Journal Nurse.
250
Miller, Delbert C. 1991. Handbook of Research Design and Social Measurement. Fifth Edition. London: Sage Publication. Miles, M.B., 1959. Learning to Work in Group. New York: B ureau of Publication, Teacher College, Columbia University. Milson, Fred. 1974. An Introduction to Community Work . London: Routledge and Kegan Paul Morales, Armando dan Sheafor, B.W. 1983. Social Work. A Profession of Many Faces. Ed ke-3. Boston: llyn and Bacon, Inc. Kartawidjaja, Eddy Soewardi (Penerjemah). 1986. Mengukur Sikap Sosial: Pegangan untuk Peneliti dan Praktisi. Jakarta: Bumi Aksara. Posner, B. Z. Hall, J. L. & Harder, J. W. 1986. People Are Our Most Important Resource: Encouraging Employee Development. Business Horizons. Pranarka, A.M.W dan Vidhyandika Moeljarto. (Editor: Onny S. Rijono dan A.M.W. Pranarka) 1996. Pemberdayaan Kondep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre For Strategic and International Studies. Prijono O.S. dan Pranarka (Editor). 1996. Pemberdayaan : Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center For Strategic and International Studies. Rasyid, Al. Harun, dan Dr. Abdul Adjid. 1992. “Partsipa si Masyarakat PetaniNelayanan dalam Menciptakan Kemandirian dalam Pembangunan Pertanian”. Makalah seminar Sehari dalam rangka Ulang Tahun V PERHIPTANI. Tanggal 1-12- 1992. Jakarta: PERHIPTANI. Reinjntjes, C., B. Haverkort and W. Bayer. 1992. Farming for the Future: An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture. Netherlands: Ilea, Mac Milan. Robbins, Stephen P. 1979. Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Jilid 2. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Prenhallindo. Rogers, Eve rtt. 1983. Diffusion of Innovations. Third Edition. New York: The Free Press. Rowan, R. 1986. The Intuitive Manager. New York: Little, Brown. Saleebey, Dennis. 1992. The Strength Perspective in Social Work Practice. London: Longman. Sander Irwin T, 1958. The Community: An Introduction to a Social System. New York: The Ronald Company. Schein, E. H. 1985. Organization Culture and Leadership: A Dynamic View. San Francisco: Jossey-Bass.
251
Sence, Peter. 1999. The Dance of Change: The Challenges to Sustaining Mo mentum in Learning Organization . New York: Doubleday. Sharp, Robin. 1995. Organizing for Change: People Power and the Role of the Institutions dalam Kirby, John, Phil O'Keefe and Lloyd Timberlake . E d. The Earthscan Reader in Sustainable Development. London: Earthscan Publica tions Ltd. Shartle, C. L. 1961. Leadership and Organization Behavior dalam L. Petrullo & B.M. Bass. Ed. Leadership and Interpersonal Behavior. New York: Holt, Rinehart & Winstone. Sherif, Muzafer. 1964. Intergroup Relations and Leadership . Ed. John New York: Miley and Sons Inc. Siegel, Sidney. 1990. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu -ilmu Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Slamet, Margono. 1981. “Dasar-dasar Pengembangan Dinamika Kelompok Tani Indonesia”. Makalah pada “Pertemuan Tim Teknis Proyek Penyuluhan Pertanian”. Tanggal 24-26 September. Cisarua, Bogor. ----------. 1995. “Menatapkan Posisi dan Meningkatkan Peran Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan”. Disampaikan dalam Seminar Nasional Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Mandiri. Tanggal 25-26 September 2000. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, IPB Bogor. ----------. 2001. Kelompok, Organisasi dan Kepemimpinan. Bogor: Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan (PPN), PPs-IPB. Smith, J. E., Carson, K. P., & Alexander, R. A. 1984. Leadership: It Can Make a Difference. Academy of Management Journal. Vol. 27. Soekanto, S. 1978. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Universitas Inonesia Press. ________. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Edisi Baru Ketiga. Jakarta: Rajawali Press. Soedijanto. 1980. Organisasi, Kelompok dan Kepemimpinan. Ciawi, Bogor: Institut Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian. Steven, Cohen & Negerl. 1976. dalam Black, James A., and D.J. Champion. Method and Issues in Social Research. New York: John Wiley and Sons. Steers, Richard M., Lyman W. Porter and Gregory A. Bigley. 1996. Motivation and Leadership At Work. New York: The Mac Graw Hill Company.
252
Stogdill, R. M. 1972. Group Productivity, Drive, and Cohesiveness. New York: Organizational Behavior Human Performance. Suharto, Edi. 2002. “Coping Strategy Keluarga Miskin”. Seminar Kemiskinan di IPB. Tanggal 17 Desember 2002. Bogor: IPB. Sukardi, Iman S. 1993. “Era Globalisasi Dunia dan Karakterisik Manusia Indonesia Yang Tangguh”. Jurnal Psikologi dan Masyarakat. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia kerjsama dengan Ikatan Sarjana Psikologi (ISPSI). Sumardjo. 1999. “Transpormasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di propinsi Jawa Barat)”. Disertasi. Bogor: Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Program Pascasarjana, IPB. Tansey, M.M and Ziegler, L.F. 1991. The Micro Economy Today. London: Mac Milan Press. Tosi, Henry L. & Stephen J. Carroll. 1976. Management: Contingencies, Structure, and Process. New York: John Wiley & Sons Tjondronegoro, SMP., I Soe yono, & J. Hardjono. 1974. “Rural Poverty in Indonesia : A Draft Report for Asia Development Bank”. World Bank. 2002. Empowerment and Poverty Reduction: A Sourcebook. Washington, DC: World Bank. Winkel, W.S. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Grasindo. Wirosardjono, 1992, (Editor) Pengembangan Swadaya Nasional. Dalam Rahardjo, DM.: Keswadayaan dalam Pembangunan Sosial Ekonomi. Jakarta: LP3ES. Yollies, M.I. 1996. Critical System Thinking, Paradigm and the Modeling Space System Practice. Vol. 9. Number 6 December 1996. New York and London: Plenum Press. Yustina, Ida dan Adjat Sudrajat. 2003. Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Cetakan ke-1. Bogor: IPB Press.
Lampiran 1a Jenis Klp Sasaran
T AHAP PERSIAPAN
T AHAP PELAKSANAAN
TAHAP PENGEM. KEMITRAAN
KEGIATAN:
OUTPUT
KEGIATAN
OUTPUT
KEGIATAN
Fakir Miskin
1. Orientasi / observasi, 2. Identifikasi, need assessment 3. Registrasi, 4. Penyuluhan sosial umum, 5. Bimbingan pengenalan masalah, 6. Bimbingan motivasi sosial;
1. Tersedianya data & informasi penyandang masalah fakir miskin, sumber/ potensi yang mendukung pemlaksanaan pemberd. fakir miskin 2. Masyarakat mengerti dampak dari pemasalahan social 3. Keluarga fakir miskin sadar akan masalahnya.
1. Tersedianya petugas pendamping yang handal dan memiliki dedikasi. 2. Terbentuknya KBS yg bersedia dibina 3. KBS terampil dan memiliki keinginan bersaha. 4. Meningkatnya kesehatan KBS 5. KBS dapat berusaha melalui KUBE 6. KUBE berjalan lancar
1. Bimbingan usaha kesejahteraan sosial (UKS), 2. Bimbingan kemitraan usaha, bimbingan penumbuhan koperas, 3. Evaluasi
Klp Miskin
Melalui Pembinaan & Pelatihan
KBS bersedia mendapatkan pembinaan
1. Seleksi petugas pendamping, 2. pemantapan petugas pendamping, 3. Seleksi calon KBS, 4. Diskusi pemilihan jenis usaha, 5. Latihan keterampilan UEP bagi KBS, 6. Bantuan santuan hidup, 7. Bantuan modal UEP bagi KUBE, 8. Bimbingan pengolahan usaha, 9. Bantuan pengembangan usaha
Klp Marginal
1. Petugas dinas social Kab/Kota 2. Lembaga Sosial Masyarakat/orsos 3. Petugas Pemda (Kel/Desa, Kec).
1. KBS dpt
melaksanakan peran dan fungsinya secara baik. 2. KBS dengan KUBE-nya memiliki kemandirian 3. KUBE dapat melaksanakan skim kredit. 4. Tumbuh embrio Koperasi / Orsos.
Klp Marginal bersedia dibina
Bimbingan Motivasi
Tahap Persiapan
Pelak. Pendam pingan
OUTPUT
Tahap Pelaksanaan
1. 2. 3. 4.
Petugas Dinas Dosial Kab/Kota Petugas instansi teknis terkait (Kab/Kota/Prop) LSM / Oros Petugas Pemda (Kel/Desa, Kec).
Sumber: Depsos (2002)
Gambar 38: Pola Pemberdayaan Fakir Miskin Melalui Pendekatan KUBE
Tahap Pengemb.Kemitraan 1. Petugas Dinas Dosial Kab/Kota 2. Petugas instansi teknis terkait (Kab/Kota/Prop) 3. lembaga Keuangan 4. LSM / Dunia Usaha 5. Petugas Pemda (Kab/Kota).
Keluarga Produktif yang mempu melaksanakan peran dan fungsi sosialnya
253
Lampiran 1b
254
KPKN
Departemen Sosial & teknis lainnya Mitra Usaha Nasional
Ornop/ LPSM/PT
Bank di pusat
Dekonsentrasi Asistensi & peningkatan kapasitas
Jalur bantuan
Pemda & Instansi Sosial Provinsi Pembantuan
Pemda & Instansi Sosial Kab/Kota
Supervisi & Monev
Pendampingan UEP
Kelembagaan Lokal & Masyarakat
KUBE
Lembaga Pendamping / LSM/ Orsos/PT
Mitra Usaha Lokal
Bank Cabang
Pendampingan Sosial
LKM
KUBE
KUBE
KUBE
KUBE
Keluarga Fakir Miskin
Sumber: Depsos, 2004
Gambar 39: Model Umum Kelembagaan dan Pengorganisasian Progr am Pemberdayaan Fakir Miskin
255
Lampiran 2a Tabel 35: Pengujian Hubungan Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Peubaha Jenis Kelamin (X1.1) Umut (X1.2) Pendidikan Formal (X1.3) Pelatihan yang diikuti (X1.4) Modal awal yang dimiliki (X1.5) Pola Penghasilan (X1.6) Sumber penghasilan Utama (X1.7) Kebutuhan / Harapan (X1.8) Persepsi ttg kehidupan berkelompok (X1.9) Motivasi anggota (X1.10) Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1)
Koefisien korelasi Person Chi-Square Sig. (2-tailed) Person Chi-Square Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
Y1_1
Y1_2
Y1_3
Y1_4
Y1_5
Y1_6
Y1_7
Y1_8
Y1_9
Y1
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
21,190 ,447 112,193 ,000 ,301(*) ,020 ,321(*) ,010 ,354(**) ,006 ,260(*) ,042 ,044 ,734 ,294(*) ,022 ,345(**) ,007
22,887 ,408 93,928 ,014 ,260(*) ,042 ,279(*) ,035 ,045 ,731 ,077 ,553 ,103 ,428 ,029 ,826 ,298(*) ,020
23,280 ,617 129,117 ,000 ,305(*) ,018 ,352(**) ,005 ,369(**) ,003 ,426(**) ,001 ,361(**) ,004 ,371(**) ,003 ,314(*) ,014
27,710 ,480 83,445 ,497 ,309(*) ,015 ,322(*) ,009 ,253(*) ,049 ,101 ,440 ,380(**) ,002 ,237 ,066 ,417(**) ,001
24,498 ,433 114,334 ,001 ,315(*) ,012 ,401(**) ,001 ,305(*) ,018 ,332(**) ,008 ,149 ,251 ,281(*) ,032 ,279(*) ,035
21,679 ,540 61,193 ,737 ,266(*) ,039 ,236 ,068 ,243 ,060 ,290(*) ,024 ,028 ,832 ,382(**) ,002 ,290(*) ,023
18,850 ,401 72,028 ,051 ,301(*) ,020 ,313(*) ,014 ,274(*) ,036 ,368(**) ,003 ,313(*) ,014 ,356(**) ,005 ,227 ,079
25,049 ,403 74,465 ,398 ,372(**) ,003 ,203 ,078 ,335(**) ,008 ,301(*) ,020 ,090 ,490 ,249 ,053 ,587(**) ,000
24,565 ,373 56,125 ,868 ,324(*) ,009 065 ,638 ,319(*) ,011 ,262(*) ,041 ,291(*) ,023 ,283(*) ,028 ,264(*) ,040
43,214 ,630 54,464 ,207 ,542(**) ,000 ,567(**) ,000 ,545(**) ,000 ,396(**) ,002 ,380(**) ,002 ,563(**) ,000 ,459(**) ,000
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
,319(*) ,011 ,323(*) ,009
, 151 , 246 ,035 ,791
, 256(*) ,046 ,287(*) ,025
,559(**) ,000 ,498(**) ,000
,295(*) ,021 ,319(*) ,012
,309(*) ,015 ,322(*) ,011
,306(*) ,017 ,319(*) 012
,542(**) ,000 ,561(**) ,000
,346(**) ,006 ,023 ,863
61
61
61
61
61
61
61
61
61
,416(**) ,001 ,348(**) ,006 61
N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Ket:
NB: Variabel X1_1; X1_2; dihitung berdasarkan pengujian statistic Chi- Square
Y1_1 = Tujuan Kelompok; Y1_2 = Struktur Kelompok; Y 1_3 = Fungsi Tugas Kelompok; Y1_4 Pembinaan Kelompok ; Y 1_5 = Kekompakan Kelompok; Y1_6 = Ketegangan Kelompok; Y 1_7 = Keefektifan Kelompok; Y 1_8 = Kepemimpinan; Y1_9 = Kepuasan anggota; Y 1 = Dinamika Kehidupan KUBE
Lampiran 2b
256
Tabel 36: Pengujian Hubungan Pola Pemberdayaan KUBE (X2) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Peubah Proses Pembentukan KUBE (X2. 1) Pendekatan / metoda (X2. 2) Jumlah anggota (X2. 3) Bantuan )uang & peralatan (X2.4) Pendampingan (X2. 5) Kebebasan yang diberikan (X2.6) Perlindungan / proteksi (X2. 7) Pola pemberdayaan X2
Koefisien Korelasi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y1_1
Y1_2
Y1_3
Y1_4
Y1_5
Y1_6
Y1_7
Y1_8
Y1_9
Y1
,040 ,762 ,281(*) ,029 ,099 ,449 ,319(*) ,012 ,297(*) ,022 ,373(**) ,003 ,129 ,321 ,274(*) ,032 61
,082 ,528 ,143 ,272 ,289(*) ,025 ,113 ,385 ,382(**) ,001 ,013 ,922 -,036 ,784 ,307(*) ,016 61
,342(**) ,007 ,332(**) ,009 ,308(*) ,015 ,302(*) ,017 ,343(**) ,006 ,322(*) ,011 ,348(**) ,006 ,315(*) ,013 61
,087 ,507 ,489(**) ,000 ,337(**) ,008 ,315(*) ,013 ,317(*) ,013 ,032 ,804 -,010 ,940 ,485(**) ,000 61
,257(*) ,045 ,325(*) ,011 ,132 ,309 ,021 ,871 ,331(**) ,010 ,272(*) ,034 ,298(*) ,020 ,254(*) ,048 61
,093 ,477 ,263(*) ,040 ,134 ,303 ,252(*) ,049 ,261(*) ,043 ,220 ,088 ,028 ,831 ,330(**) ,010 61
,028 ,833 ,287(*) ,025 ,222 ,085 ,313(*) ,014 ,306(*) ,016 ,319(*) ,012 ,238 ,065 ,284(*) ,027 61
,329(**) ,010 ,304(*) ,016 ,255(*) ,047 ,309(*) ,015 ,083 ,526 ,346(**) ,006 ,019 ,887 ,312(*) ,014 61
,151 ,244 ,269(*) ,036 ,296(*) ,023 ,202 ,118 ,262(*) ,042 ,262(*) ,042 ,333(**) ,009 ,268(*) ,037 61
,292(*) ,024 ,341(**) ,007 ,350(**) ,005 ,502(**) ,000 ,399(**) ,001 ,334(**) ,009 ,255(*) ,047 ,380(**) ,002 61
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Ket:
Y1_1 = Tujuan Kelompok; Y1_2 = Struktur Kelompok; Y1_3 = Fungsi Tugas Kelompok; Y1_4 Pembinaan Kelompok ; Y1_5 = Kekompakan Kelompok; Y1_6 = Ketegangan Kelompok; Y1_7 = Keefektifan Kelompok; Y1_8 = Kepemimpinan; Y1_9 = Kepuasan anggota; Y1 = Dinamika Kehidupan KUBE
Lampiran 2c
257
Tabel 37: Pengujian Hubungan Lingkungan Sosial KUBE (X3) dengan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Peubah Norma / Nilai Budaya Masayrakat (X3. 1) Keterkaitan dengan Tokoh formal dan informal (X3. 2) Akses thp Lembaga keuangan (X3.3) Peluang Pasar (X3. 4) Jaringan Kerja (X3. 5) Ketersediaan Sumber Daya (X3. 6) Ancaman (X3. 7) Lingkungan Sosial KUBE (X3)
Koefisien Korelasi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y1_1 ,312(*)
Y1_2 ,104
Y1_3 ,272(*)
Y1_4 ,357(**)
Y1_5 ,356(**)
Y1_6 ,289(*)
Y1_7 ,287(*)
Y1_8 ,323(**)
Y1_9 ,302(*)
Y1 ,457(**)
,014 ,339(**) ,008 ,256(*) ,046 ,290(*) ,023 ,480(**) ,000 ,292(*) ,023 -,269(**) ,036 ,279(*) ,030 61
,425 ,093 ,474 ,300(*) ,019 ,020 ,879 ,097 ,459 ,107 ,410 ,089 ,496 ,072 ,581 61
,034 ,294(*) ,022 ,182 ,161 ,360(**) ,004 ,430(**) ,001 ,344(**) ,007 -,012 ,929 ,269(*) ,036 61
,005 ,339(**) ,008 ,399(**) ,001 ,447(**) ,000 ,279(*) ,030 ,446(**) ,000 ,143 ,272 ,576(**) ,000 61
,005 ,274(*) ,033 -,015 ,911 ,318(*) ,013 ,064 ,623 ,281(*) ,029 -,104 ,425 ,311(*) ,015 61
,024 ,143 ,272 ,341(**) ,007 ,221 ,087 ,313(*) ,014 ,333(**) ,009 -,322(*) ,012 ,500(**) ,000 61
,025 ,253(*) ,049 ,120 ,356 ,299(*) ,020 ,357(**) ,005 ,284(*) ,027 -,144 ,267 ,274(*) ,033 61
,010 ,150 ,250 ,184 ,157 ,268(*) ,037 ,375(**) ,003 ,457(**) ,000 ,010 ,939 ,375(**) ,003 61
,018 ,271(*) ,035 ,075 ,567 ,315(*) ,013 ,345(**) ,007 ,372(**) ,003 ,010 ,941 ,280(*) ,030 61
,000 ,432(**) ,001 ,253(*) ,049 ,495(**) ,000 ,435(**) ,001 ,423(**) ,001 -,007 ,957 ,294(*) ,022 61
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Ket:
Y1_1 = Tujuan Kelompok; Y1_2 = Struktur Kelompok; Y1_3 = Fungsi Tugas Kelompok; Y1_4 Pembinaan Kelompok ; Y1_5 = Kekompakan Kelom pok; Y1_6 = Ketegangan Kelompok; Y1_7 = Keefektifan Kelompok; Y1_8 = Kepemimpinan; Y1_9 = Kepuasan anggota; Y1 = Dinamika Kehidupan KUBE
Lampiran 2d
258
Tabel 38: Pengujian Hubungan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Keberhasilan Aspek Sosial (Y21) Peubah Tujuan Kelompok (Y1. 1) Struktur Kelompok (Y1. 2) Fungsi Tugas Kelompok (Y1. 3) Pembinaan Kelompok (Y1. 4) Kekompakan Kelompok (Y1.5) Ketegangan Kelompok (Y1. 6) Keefektifan Kelompok (Y1. 7) Kepemimpinan (Y1. 8) Kepuasan anggota (Y1. 9) Dinamika Kehidupan KUBE (Y1)
Koefisien Korelasi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y21_1 ,320(*) ,012 ,092 ,482 ,260(*) ,044 ,283(*) ,027 ,285(*) ,026 ,245 ,057 ,352(**) ,005 ,271(*) ,035 ,345(**) ,006 ,332(**) ,009 61
Y21_2 ,360(**) ,004 ,017 ,897 ,262(*) ,041 ,336(**) ,008 ,298(*) ,020 ,095 ,465 ,335(**) ,009 ,329(**) ,010 ,262(*) ,044 ,439(**) ,000 61
Y21_3 ,316(*) ,013 ,269(*) ,036 ,469(**) ,000 ,518(**) ,000 ,304(*) ,017 ,565(**) ,000 ,350(**) ,005 ,463(**) ,000 ,442(**) ,000 ,487(**) ,000 61
Y21_4 ,057 ,663 ,321(*) ,012 ,331(**) ,009 ,347(**) ,006 ,285(*) ,026 ,485(**) ,000 ,327(*) ,010 ,340(**) ,007 ,326(*) ,011 ,255(*) ,048 61
Y21_5 ,274(*) ,033 ,324(*) ,011 ,282(*) ,028 ,503(**) ,000 ,347(**) ,006 ,253(*) ,049 ,180 ,165 ,234 ,069 ,204 ,115 ,382(**) ,002 61
Y21_6 ,334(**) ,009 ,471(**) ,000 ,296(*) ,020 ,536(**) ,000 ,318(*) ,012 ,375(**) ,003 ,311(*) ,015 ,477(**) ,000 ,336(**) ,008 ,449(**) ,000 61
Y21_7 ,352(**) ,005 ,305(*) ,017 ,302(*) ,019 ,502(**) ,000 ,338(**) ,008 ,327(*) ,010 ,271(*) ,035 ,523(**) ,000 ,282(*) ,028 ,334(**) ,009 61
Y21_8 ,325(*) ,011 ,014 ,912 ,067 ,609 ,290(*) ,023 ,271(*) ,035 ,279(*) ,030 ,313(*) ,014 ,286(*) ,025 ,082 ,530 ,309(*) ,016 61
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Ket:
Y21_1 = Kerjasama sesama anggota; Y21_2 = Kesediaan memberikan pertolongan; Y21_3 = Kemampuan mengatasi masalah; Y21_4 = Tingkat partisipasi anggota; Y21_5 = Keberanian menghadapi risiko; Y21_6 = Perencanaan usaha; Y21_7 = Pemanfaatan sumber; Y21_8 = Inovasi Usaha
Y21 ,474(**) ,000 ,480(**) ,000 ,460(**) ,000 ,702(**) ,000 ,516(**) ,000 ,556(**) ,000 ,457(**) ,000 ,535(**) ,000 ,418(**) ,001 ,480(**) ,000 61
Lampiran 2e
259
Tabel 39: Pengujian Hubungan Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Keberhasilan Aspek E konomi (Y22) Peubah Tujuan Kelompok (Y1_1) Struktur Kelompok (Y1_2) Fungsi Tugas Kelompok (Y1_3) Pembinaan Kelompok (Y1_4) Kekompakan Kelompok (Y1_5) Ketegangan Kelompok (Y1_6) Keefektifan Kelompok (Y1_7) Kepemimpinan (Y1_8) Kepuasan anggota (Y1_9) Dinamika Kehidupan KUBE (Y1)
Koefisien Korelasi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Y22_1
Y22_2
Y22_3
Y22_4
Y22_5
Y22_6
Y22_7
Y22
Y2
,364(**) ,004 ,310(*) ,015 ,282(*) ,028 ,329(**) ,010 ,422(**) ,001 ,120 ,356 ,556(**) ,000 ,396(**) ,002 ,328(*) ,010 ,305(*) ,017 61
,356(**) ,005 ,594(**) ,000 ,020 ,877 ,448(**) ,000 ,310(*) ,015 ,372(**) ,003 ,315(*) ,013 ,541(**) ,000 ,354(**) ,005 ,371(**) ,003 61
,470(**) ,000 ,178 ,169 ,261(*) ,042 ,257(*) ,045 ,302(*) ,019 ,153 ,239 ,417(**) ,001 ,401(**) ,001 ,452(**) ,000 ,471(**) ,000 61
,187 ,150 ,182 ,160 ,193 ,137 ,304(*) ,018 ,131 ,313 -,073 ,575 ,269(*) ,036 ,142 ,277 ,277(*) ,030 ,253(*) ,049 61
,364(**) ,004 ,119 ,360 ,051 ,696 ,452(**) ,000 ,457(**) ,000 -,120 ,365 ,423(**) ,001 ,425(**) ,001 ,187 ,148 ,267(*) ,037 61
,318(*) ,012 ,373(**) ,003 ,297(*) ,020 ,354(**) ,005 ,349(**) ,006 ,112 ,389 ,355(**) ,005 ,284(*) ,026 ,255(*) ,047 ,254(*) ,048 61
,343(**) ,007 ,422(**) ,001 ,042 ,747 ,360(**) ,004 ,260(*) ,041 -,294(*) ,022 ,316(*) ,013 ,343(**) ,007 ,404(**) ,001 ,259(*) ,044 61
,351(**) ,006 ,357(**) ,005 ,375(**) ,003 ,535(**) ,000 ,488(**) ,000 -,151 ,240 ,395(**) ,002 ,436(**) ,000 ,527(**) ,000 ,323(*) ,011 61
,534(**) ,000 ,434(**) ,001 ,426(**) ,001 ,703(**) ,000 ,448(**) ,000 -,174 ,175 ,464(**) ,000 ,575(**) ,000 ,416(**) ,001 ,556(**) ,000 61
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Ket:
Y22_1 = Perkembangan modal; Y22_2 = Pengguliran (Revolving fund); Y22_3 = Pendapatan; Y22_4 = Tabungan; Y22_5 = Banyaknya jenis usaha; Y22_6 = Pengelolaan hasil keuntungan; Y22_7 = Pengelolaan Iuran Kesejahteraan Sosial (IKS);
Lampiran 2f
260
Tabel 40: Pengujian Hubungan Antara Vaeiabel X1, X2, X3, Y1, Y21, Y22, dan Y2 Peubah Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) Pola Pemberdayaan (X2) Lingkungan Sosial KUBE (X3) Dinamika Kehiudpan KUBE (Y1) Aspek Sosial Keberhasilan KUBE (Y21) Aspek Ekonomi Keberhasilan KUBE (Y22) Keberhasilan KUBE (Y2)
Koefisien korelasi Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
X1
X2
X3
Y1
Y21
Y22
Y2
1,000 .
Correlation Coefficient
,134
1,000
Sig. (2-tailed)
,305
.
Correlation Coefficient
,042
,065
1,000
Sig. (2-tailed)
,759
,613
.
,348(**)
,380(**)
,294(*)
1,000
Sig. (2-tailed)
,006
,002
,022
.
Correlation Coefficient
,132
,222
,035
,480(**)
1,000
Sig. (2-tailed)
,309
,085
,791
,000
.
Correlation Coefficient
,151
,083
,028
,323(*)
,433(**)
1,000
Sig. (2-tailed)
,244
,526
,832
,011
,000
.
Correlation Coefficient
,129
,082
,087
,556(**)
,257(*)
,910(**)
1,000
Sig. (2-tailed)
,321
,528
,507
,000
,045
,000
.
61
61
61
61
61
61
61
Correlation Coefficient
N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Lampiran 2g
Tabel 41: Analisi Keragaman Varian antara Wilayah Propinsi Peubah Penelitian Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1)
Pola Pemberdayaan (X2)
Lingkungan Sosial KUBE (X 3)
Dinamika Kehidupan KUBE (Y 1) Aspek Sosial Keberhasilan KUBE (Y21)
Aspek Ekonomi Keberhasilan KUBE (Y22) Tingkat Keberhasilan KUBE (Y 2)
Pengujian Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 137,340 840,018 977,357 717,691 17325,291 18042,982 392,586 11150,396 11542,982 1414,340 25618,406 27032,746 487,827 8511,062 8998,888 186,124 4636,091 4722,214 644,662 16290,334 16934,996
df 2 221 223 2 221 223 2 221 223 2 221 223 2 221 223 2 221 223 2 221 223
Mean Square 68,670 3,801
F
Sig.
18,066
,000
358,845 78,395
4,577
,011
196,293 50,454
3,891
,022
707,170 115,920
6,100
,003
243,913 38,512
6,334
,002
43,062 20,978
2,053
,031
322,331 73,712
4,373
,014
261
262
Lampiran 3a
Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1), Pola Pemberdayaan (X2), dan Lingkungan Sosial ( X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered X3, X2, X1(a)
Variables Removed
Method Enter
.
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Model Summary(b)
Model 1
R
R Square
,849(a)
Adjusted R Square
,721
Std. Error of the Estimate
,704
R Square Change ,721
7,6690
Change Statistics F Change df1 8,179 3
df2 57
Sig. F Change ,000
a Predictors: (Constant), X3, X2, X1 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ANOVA(b)
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 3352,365 1443,025 4795,390
df 3 57 60
Mean Square 58,813 481,008
F 8,179
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), X3, X2, X1 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
(Constant) X1 X2 X3
Standardized Coefficients
B Std. Error 61,474 15,469 ,497 ,344 ,546 ,300
,063 ,182
X1 = Karakteristik Individu Anggota KUBE X2 = Pola Pemberdayaan X3 = Lingkungan Sosial
Sig.
Beta
a Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Ket:
t
Collinearity Statistics Tolerance
,271
3,974 2,863
,000 ,000
,314 ,253
3,899 1,645
,000 ,000
,699 ,793 ,727
VIF 1,431 1,262 1,375
Lampiran 3b
263
Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1), Pola Pemberdayaan (X2), dan Lingkungan Sosial ( X3), Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) terhadap Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Variables Entered/Removed(b) Variables Entered Y1, X1, X3, X2(a)
Model 1
Variables Removed
Method .
Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Model Summary(b)
Model 1
R
R Square
,835(a)
Adjusted R Square
,697
Std. Error of the Estimate
,683
8,5988
Change Statistics R Square Change ,697
F Change 13,798
df1 4
df2 56
Sig. F Change ,000
a Predictors: (Constant), Y1, X1, X3, X2 b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) ANOVA(b)
Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 4080,846 4140,574 8221,420
df 4 56 60
Mean Square 1020,212 73,939
F 13,798
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), Y1, X1, X3, X2 b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Coefficients(a)
Model 1
(Constant)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 2,270 19,601
Standardized Coefficients Beta
Sig. ,116
,908
X1 X2
,237 ,055
,389 ,080
,114 ,007
1,444 ,654
,030 ,442
X3 Y1
,024 ,580
,209 ,149
,003 ,342
,611 3,694
,613 ,000
a Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Ket:
t
X1 = Karakteristik Individu Anggota KUBE X2 = Pola Pemberdayaan X3 = Lingkungan Sosial Y1 = Dinamika Kehidupan KUBE .
Collinearity Statistics Tolerance VIF ,690
1,450
,626 ,694 ,699
1,598 1,440 1,430
264
Lampiran 3c Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Karakteristik Individu Anggota KUBE (X1) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Variables Entered/Removed(b) Model 1
Variables Entered X1_10, X1_4, X1_5, X1_3, X1_7, X1_8, X1_6, X1_9(a)
Variables Removed
Method .
Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Model Summary(b)
Model 1
R
R Square
,852(a)
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
,710
6,7852
,726
Change Statistics F Change df1 df2 6,520 8 52
R Square Change ,726
Sig. F Change ,000
a Predictors: (Constant), X1_10, X1_4, X1_5, X1_3, X1_7, X1_8, X1_6, X1_9 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ANOVA(b) Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 2401,345 2394,045 4795,390
df 8 52 60
Mean Square 300,168 46,039
F 6,520
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), X1_10, X1_4, X1_5, X1_3, X1_7a, X1_8, X1_6, X1_9 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Coefficients(a) Model 1
(Constant)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 119,678 14,873
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
8,046
,000
Collinearity Statistics Tolerance VIF
X1_1
-,041
1.556
-,002
-,025
,878
,435
1,534
X1_2
-,042
0,230
-,004
-,975
,643
,530
1,132
X1_3 X1_4
1,657 1,297
1,644 1,869
,155 ,130
3,722 2,185
,016 ,023
,608 ,831
1,644 1,203
X1_5
1,413
1,421
,142
2,982
,019
,780
1,283
X1_6 X1_7
,480 ,791
1,450 1,333
,089 ,109
,665 1,185
,049 ,038
,524
1,908
X1_8
1,123
1,634
,119
1,690
,029
,652 ,695
1,535 1,439
X1_9
,632
1,031
,097
,925
,041
,365
2,737
,116
1,326
,031
,394
2,537
X1_10 ,983 1,936 a Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1)
Ket X1_1 = Jenis kelamin; X1_2 = Umur; X1_3 = Pendidikan Formal; X1_4 = Pelatihan yang diikuti; X1_5 = Modal awal yang diikuti; X1_6 = Pola lenghasilan; X1_7 = Sumber penghasilan utama; X1_8 = Kebutuhan/harapan; X1_9 = Persepsi ttg kehiudpan berkelompok; X10 = Motivasi anggota;
265
Lampiran 3d Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Pola Pemberdayaan (X2) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Variables Entered/Removed(b)
Model 1
Variables Entered X2_7, X2_1, X2_5, X2_6, X2_4, X2_3_per, X2_2(a)
Variables Removed
M ethod
.
Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Model Summary(b)
Model 1
R
R Square
,857(a)
Std. Error of the Estimate
Adjusted R Square
,734
,721
Change Statistics F Change df1 df2 4,809 7 53
R Square Change ,734
7,4387
Sig. F Change ,000
a Predictors: (Constant), X2_7, X2_1, X2_5, X2_6, X2_4, X2_3_per, X2_2 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ANOVA(b) Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1862,703 2932,687
df
Mean Square 266,100 55,334
7 53
4795,390
F 4,809
Sig. ,000(a)
60
a Predictors: (Constant), X2_7, X2_1, X2_5, X2_6, X2_4, X2_3_per, X2_2 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
B 49,413
Std. Error 19,255
X2_1
,452
,703
X2_2
,284
X2_3_per
,054
X2_4 X2_5
(Constant)
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
2,566
,013
,154
1,308
,016
,370
,132
,745
,070
,011
,083
1,404 ,920
,776 ,382
,237 ,215
X2_6
,350
,769
X2_7
-,096
,593
VIF
,022
,887 ,679
1,127 1,474
,356
,865
1,156
3,536 2,982
,001 ,005
,843
1,187
,137
,948
,020
,754 ,937
1,327 1,067
-,025
-,118
,127
,929
1,077
a Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Ket X2_1 = Proses pembentukan KUBE; X2_2 = Pendekatan / Metoda; X2_3 = Jumlah anggota; X2_4 = Bantuan (uang & peralatan); X2_5 = Pendampingan; X2_6 = Kebebasan yang diberikan; X2_7 = Perlindungan / proteksi;
266
Lampiran 3e Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Lingkungan Sosial (X3) terhadap Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Variables Entered/Removed(b) Variables Variables Model Entered Removed 1 X3_7, X3_2, X3_5, X3_3, . X3_1, X3_6, X3_4(a)
Method
Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Model Summary(b)
Model 1
R ,798(a)
R Square
Adjusted R Square
,637
Std. Error of the Estimate
,621
7,6831
Change Statistics R Square F Change Change df1 df2 ,637 4,034 7 53
Sig. F Change ,001
a Predictors: (Constant), X3_7, X3_2, X3_5, X3_3, X3_1, X3_6, X3_4 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) ANOVA(b) Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 1666,771 3128,619 4795,390
df 7 53 60
Mean Square 238,110 59,031
F 4,034
Sig. ,001(a)
a Predictors: (Constant), X3_7, X3_2, X3_5, X3_3, X3_1, X3_6, X3_4 b Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Coefficients(a) Unstandardized Coefficients
Model 1
B 58,639
Std. Error 16,024
X3_1 X3_2
1,207 ,879
1,542 ,646
X3_3
,113
,517
(Constant)
Standardized Coefficients
t
Sig.
Beta
Collinearity Statistics Tolerance
VIF
3,659
,001
,214 ,147
2,825 2,181
,005 ,018
,833 ,871
1,201 1,148
,026
,127
,097
,892
1,122 1,374 1,138
X3_4 X3_5
1,308 ,630
,724 ,291
,226 ,126
3,189 1,584
,003 ,025
,728 ,879
X3_6
,460
,591
,117
,912
,030
,740
1,351
X3_7
-,068
,879
-,015
-,096
,231
,864
1,157
a Dependent Variable: Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) Ket X3_1 = Norma / Nilai Budaya; X3_2 = Keterkaitan KUBE dgn tokoh formal dan informal; X3_3 = Akses tehadap lembaga keungan; X3_4 = Peluang pasar; X3_5 = Jaminan kerja; X3_6 = Ketersediaan sumber daya; X3_7 = Ancaman;
Lampiran 3f
267
Pengujian Analisis Lintasan Pengaruh Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) dengan Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Variables Entered/Removed(b) Variables Variables Entered Removed Method Y1_9, Y1_8, Y1_2, Y1_5, Y1_6, Y1_3, . Enter Y1_4, Y1_1, Y1_7(a) a All requested variables entered. b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Model 1
Model Summary(b) Change Statistics R Square F Change Change df1 df2 1 ,857(a) ,734 ,715 6,2973 ,734 17,368 9 51 a Predictors: (Constant), Y1_9, Y1_8, Y1_2, Y1_5, Y1_6, Y1_3, Y1_4, Y1_1, Y1_7 b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
Sig. F Change ,000
ANOVA(b) Sum of Squares df Mean Square F Regression 6198, 940 9 688,771 17,368 Residual 2022,480 51 39,656 Total 8221,420 60 a Predictors: (Constant), Y1_9, Y1_8, Y1_2, Y1_5, Y1_6, Y1_3, Y1_4, Y1_1, Y1_7 b Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Model 1
Sig. ,000(a)
Coefficients(a) Model 1
(Constant)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 64,346 15,196
Standardized Coefficients Beta
t
Sig.
Collinearity Statistics Tolerance VIF
4,234
,000
Y1_1 Y1_2
,659 ,047
,782 ,617
,099 ,006
1,095 ,046
,040 ,531
,471 ,633
2,125 1, 580
Y1_3 Y1_4
,627 2,145
,704 ,467
,094 ,211
,889 5,665
,045 ,006
,319 ,520
3,135 1,922
Y1_5 Y1_6 Y1_7
,479 ,119 1,249
,606 ,689 2,072
,087 ,017 ,121
,659 ,103 2,114
,050 ,197 ,027
,593
1,687
,626 ,144
1,596 6,953
Y1_8 Y1_9
,913 1,579
,658 ,765
,109 ,146
1,467 3,119
,038 ,018
,505 ,222
1,979 4,497
a Dependent Variable: Tingkat Keberhasilan KUBE (Y2) Ket Y1_1 = Tujuan Kelompok; Y1_2 = Struktur Kelompok; Y1_3 = Fungsi Tugas Kelompok; Y1_4 = Pembinaan Kelompok; Y1_5 = Kekompakan K elompok; Y1_6 = Ketegangan Kelompok; Y1_7 = Keefektifan Kelompok; Y1_8 = Kepemimpinan; Y1_9 = Kepuasan anggota
Lampiran 3g
268
Pengujian Persamaan Tingkat Kedinamisan KUBE antara Peubah Dinamika Kehidupan KUBE (Y1) terhadap Tingkat Keberhasilan Sosial KUBE (Y21) Variables Entered/Removed(b) Model 1
Variables Entered Y1(a)
Variables Removed .
Method Enter
a All requested variables entered. b Dependent Variable: Keberhasilan Aspek Sosial (Y21) Model Summary(b)
Model 1
R
R Square
,535(a)
Adjusted R Square
,286
Std. Error of the Estimate
,274
Change Statistics F Change df1 df2 23,688 1 59
R Square Change ,286
4,6436
Sig. F Change ,000
a Predictors: (Constant), Dinamika kehidupan KUBE (Y1) b Dependent Variable: Keberhasilan Aspek Sosial (Y21) ANOVA(b) Model 1
Regression Residual Total
Sum of Squares 510,798 1272,242 1783,039
df 1 59 60
Mean Square 510,798 21,563
F 23,688
Sig. ,000(a)
a Predictors: (Constant), Dinamika kehidupan KUBE (Y1) b Dependent Variable: Keberhasilan Aspek Sosial (Y21) Coefficients(a) Model 1
(Constant) Y1
Unstandardized Coefficients B Std. Error 53,510 8,443 ,326 ,067
Standardized Coefficients Beta
a Dependent Variable: Keberhasilan Aspek Sosial (Y21)
,535
t 6,337 4,867
Sig. ,000 ,000
Collinearity Statistics Tolerance VIF 1,000
1,000