DEPARTEMEN SOSIAL RI BADAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN KESEJAHTERAAN SOSIAL PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL TAHUN 2009
Drs. Suradi M.Si Drs. Mujiyadi, MSW
Pemberdayaan
MASYARAKAT MISKIN Studi Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di Lima Provinsi
Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial; Pemberdayaan Masyarakat Miskin; Studi Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di Lima Provinsi, Drs. Suradi M.Si; Drs Mujiyadi, MSW - P3KS Press 2009 xxii+ 148 halaman, 14.8 x 21cm ISBN 978-979-3579-34-4 Penulis
:
Drs. Suradi M.Si Drs Mujiyadi, MSW
Perwajahan
:
Drs. Suradi M.Si
Tata letak
:
Tim Kreasi
Cetakan I
:
Tahun 2009
Penerbit
:
P3KS Press Jl. Dewi Sartika No. 200 Cawang III Jakarta Timur Telp. 021.8017146 Fax. 021.8017126
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 : Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
KATA PENGANTAR
Populasi penduduk miskin sampai saat ini masih sangat besar, dan kemungkinan akan mengalami peningkatan disebabkan oleh terjadinya krisis multidimensi di dalam negeri, bencana alam di berbagai daerah di Indonesia dan dampak krisis global. Kondisi ini pantas dikhawatirkan, karena kemiskinan selain sebagai permasalahan sosial, juga merupakan akar permasalahan sosial yang lain seperti ketelantaran anak, perdagangan anak dan perempuan, serta ketunaan sosial. Negara dan pemerintah memberikan respon yang tinggi terhadap permasalahan kemiskinan tersebut, dan menempatkan program penanggulangan kemiskinan sebagai program prioritas pada instansi yang menyelenggarakan program kesejahteraan rakyat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menempatkan penanggulangan kemiskinan pada bab tersendiri. Hal ini menunjukkan, besarnya komitmen negara dan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan kemiskinan. Di dalam Undang-Undang tersebut, Departemen Sosial mendapatkan mandat sebagai salah satu leading sector bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen Kehutanan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Jauh sebelum Undang-Undang tersebut lahir, Departemen Sosial telah mengembangkan program penanggulangan kemiskinan yang dikenal dengan Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM). Kemudian mulai tahun 2007, ada pengembangan mekanisme pada program tersebut, dimana bantuan bagi warga dampingan sosial tidak melalui mekanisme rekanan, tetapi dengan
i
mekanisme cash transfer ke rekening KUBE. Mekanisme ini dinilai sesuai dengan prinsip-prinsip pemberdayaan, dimana warga dampingan sosial menyusun rencana program sendiri dengan bimbingan pendamping yang sesuai dengan minat, kemampuan dan sumber daya lokal. Sebagai unit pendukung di lingkungan Departemen Sosial, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kessos) merasa ikut bertanggung jawab dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Puslitbang Kessos senantiasa siap mendukung unit kerja pada tingkat Direktorat Jenderal, dengan menyajikan data dan informasi analitik tentang permasalahan dan fenomena sosial yang ada di masyarakat. Berkaitan dengan itu, pada tahun 2009, Puslitbang Kessos menyelenggarakan penelitian evaluasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayan Sosial (P2FM-BLPS), yaitu program yang diselenggarakan oleh Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan diketahuinya aspek konteks, input program pemberdayaan, proses dan produk serta faktor yang mempengaruhi pelaksanaan P2FM-BLPS. Hasil penelitian secara umum menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum menunjukkan hasil yang maksimal. Ada berbagai kondisi yang merupakan kendala di lapangan, yaitu keterlambatan pencairan dana, pendidikan rendah pada warga dampingan sosial, keterbatasan sarana kerja pendamping, kompetensi pendamping masih rendah, sistem pengendalian masih rendah dan adanya intervensi dari otoritas lokal maupun instansi sosial di daerah. Tim penelilitan berupaya menyajikan hasil penelitian dalam buku ini secara detail dengan menggunakan model CIPP (context, input, process dan product). Hasil penelitian ini sangat menarik, karena dilengkapi dengan sejumlah rekomendasi yang akan memberikan manfaat yang besar dalam upaya penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Oleh karena itu,
ii
diharapkan menjadi inspirasi dan rujukan oleh berbagai pihak yang menyelenggarakan penanggulanganan kemiskinan. Jakarta, November 2009 Puslitbang Kesejahteraan Sosial Kepala,
Dr. Yusnar Yusuf, MS NIP:1955 0325 1979 0310 01
iii
iv
PENGANTAR PENERBIT Buku yang berjudul “Pemberdayan Masyarakat Miskin : Studi Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan di Lima Provinsi”, merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh tim peneliti dengan ketua tim Drs. Suradi, M.Si. Penelitian dilaksanakan di lima provinsi, yaitu Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Ada lima tujuan yang dicapai dalam penelitian ini berdasarkan model CIPP, yaitu : diketahuinya aspek konteks, input program proses dan produk serta faktor yang mempengaruhi pelaksanaan P2FM-BLPS. Penelitian evaluasi ini menggunakan pendekatan kombinasi, antara pendekatan kualitatif dan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif untuk mencermati aspek konteks, input dan proses. Sedangkan pendekatan kuantitatif untuk mencermati aspek produk. Berdasarkan deskripsi hasil penelitian dan analisis hasil penelitian, disimpulkan bahwa P2FM-BLPS menunjukkan hasil yang belum maksimal. Sebenarnya model BLPS ini secara konseptual sudah sesuai dengan prinsip pemberdayaan. Tetapi pada prakteknya di lapangan ditemukan berbagai persoalan mulai dari tahap persiapan, pelaksanaan, pengendalian dan terminasi. Selain tetap menjaga bobot akademis, hasil penelitian ini ditulis dengan memperhatikan kepentingan praktis bagi berbagai pihak yang menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan. Sejumlah
v
rekomendasi disampaikan pada bagian akhir buku ini, diharapkan dapat dipertimbangkan guna perbaikan program dan atau pengembangan program penanggulangan kemiskinan ke depan.
Jakarta, November 2009 Penerbit
P3KS Press
vi
PENGANTAR PENELITI
Buku ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya berkat hidayah dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, sepatutnya kami panjatkan rasa syukur kepada-Nya. Buku ini berisi hasil penelitian evaluasi penanggulangan kemiskinan pada P2FM melalui BLPS yang dilaksanakan di Provinsi Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Maka hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasi secara nasional. Meskipun demikian, data dan informasi yang dihimpun dari penelitian di lima provinsi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi impelementasi program di provinsi lain yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan kelima provinsi tersebut. Buku ini disusun dalam lima bab, yaitu BAB I PENDAHULUAN yang berisi latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, hipotesis dan metode yang digunakan; BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN RESPONDEN yang berisi deskripsi tentang kondisi geografis, demografis, sosial budaya dan infrastruktur di 10 desa/lokasi penelitain; dan karakteristik responden menurut : umur, jenis kelamin, pekerjaan, penghasilan dan tanggungan; BAB III DESKRIPSI HASIL PENELITIAN yang berisi data dan informasi lapangan tentang aspek konteks, input, proses dan produk pada P2FM-BLPS, serta faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi P2FM-BLPS; BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN yang berisi analisis tentang aspek konteks, input, proses dan produk serta analisis kesejahteraan sosial; BAB V PENUTUP yang berisi tentang kesimpulan hasil penelitian dan rekomendasi untuk penyempurnaan P2FM-BLPS ke depan.
vii
Kami berharap hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi berbagai pihak yang menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan pada umumnya, dan khususnya bermanfaat bagi Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin (Dit PFM) Departemen Sosial RI. Kritik dalam buku ini dimasudkan untuk memperkuat posisi dan peranan Dit PFM sebagai unit kerja yang memegang amanat menyelenggarakan program prioritas departemen maupun program nasional. Pada kesempatan ini kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Yusnar Yusuf, MS, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial yang telah memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada kami untuk melaksanakan penelitian ini; Direktur Pemberdayaan Fakir Miskin Direktorat Pemberdayaan Sosial – Departemen Sosial RI atas dukungan dalam bentuk data dan informasi yang berkaitan dengan P2FM-BLPS; Bapak Prof. Dr. Agus Suradika, M.Pd, Guru Besar Metodologi Penelitian Sosial pada Universitas Muhammadiyah Jakarta, selaku konsultan yang dengan sabar dan tekun memberikan bimbingan kepada kami, khususnya pada aspek metode penelitian; Bapak Drs. M. Rondang Siahaan, M.Si, Staf Ahli Menteri Sosial RI bidang Otonomi Daerah, selaku konsultan yang sangat teliti memberikan koreksi dan catatan kritis terhadap proses dan hasil penelitian ini; dan rekan-rekan peneliti di lingkungan Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, yang memberikan dukungan kepada kami dalam bentuk pikiran-pikiran kritis yang relevan dengan penelitian ini. Jakarta, November 2009
Peneliti
viii
Executive Summary PENELITAIN EVALUASI PENANGGULANGAN KEMISKINAN MELALUI PROGRAM PEMEBRDAYAAN FAKIR MSIKIN – BANTUAN LANGSUNG PEMEBRDAYAAN SOSIAL ( P2FM – BLPS ) Abstrak Populasi penduduk miskin sampai awal tahun 2009, masih cukup besar, dengan sebaran sebagian besar di daerah perdesaan. Jumlah tersebut akan mengalami peningkatan disebabkan oleh bencana alam, dan krisis ekonomi nasional maupun dampak krisis global. Sebagai wujud komitmen Departemen Sosial dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia, diselenggarakan program pemberdayaan fakir miskin di seluruh Indonesia. Pada prakteknya implementasi program tersebut belum mencapai tujuan dalam meningkatkan kesejahteraan fakir miskin. Berbagai persoalan dihadapi di lapangan, sehingga capaian tujuan pragram belum maksimal. Beberapa persoalan yang masih memerlukan perbaikan, yaitu berkaitan dengan pedoman pelaksanaan, pendampingan, sosialisasi, pilihan jenis usaha, pengelolaan KUBE dan pengendalian program. Kata kunci: fakir miskin, pemberdayaan, kesejahteraan sosial.
ix
I.
PENDAHULUAN Sampai dengan Maret tahun 2009, populasi orang miskin di Indonesia berjumlah 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen. Dari jumlah tersebut sebanyak 63,68 persen berada di daerah perdesaan. Angka tersebut diprediksi akan mengalami peningkatan, disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang belum pulih setelah terjadi krisis multidimensi, dan diperparah oleh krisis ekonomi global. Indonesia sebagai penganut Negara Kesejahteraan atau welfare state, telah memberikan perhatian yang khusus terhadap penanganan kemiskinan atau fakir miskin. Sesuai mandat konstitusi, Departemen Sosial RI menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan (fakir miskin), dan menempatkan P2FM tersebut sebagai program prioritas. Implementasi P2FM-BLPS masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik secara administratif maupun secara teknis operasional. Adanya berbagai permasalahan itu menyebabkan belum seluruh komponen program berjalan secara optimal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melaksanakan penelitian terhadap kinerja program pemberdayaan fakir miskin. Melalui penelitian evaluasi ini akan dicermati berbagai dimensi pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (FM-BLPS)
II. METODE YANG DIGUNAKAN Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif, dengan jenis penelitian evaluasi, serta desain penelitiannya praeksperimen.
x
Penelitian dilaksanakan di 5 provinsi, yaitu Lampung, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sumber data penelitian adalah Fakir miskin, Penanggung jawab program di instansi sosial provinsi, Pendamping Sosial provinsi, Penanggung jawab program di instansi sosial kabupaten/kota, Pendamping Sosial kabupaten/kota, Pendamping Sosial kecamatan, Pendamping Sosial desa, Aparat desa dan petugas BRI setempat; setiap provinsi berjumlah 48 orang, atau total di lima provinsi 240 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Studi dokumentasi, Wawancara Individu dan Wawancara Kelompok. Selanjutnya teknis analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kuantitatif yang dikombinasikan dengan teknik kualitatif. Untuk teknik kuantitatif dibantu dengan program SPSS untuk uji pengaruh (willcoxon) pada sampel dependen, skala ordinal dan tanpa kelompok kontrol. III. HASIL PENELITIAN 1. Aspek Konteks Penyelengaraan P2FM-BLPS telah dibekali dengan pedoman pelaksanaan yang diperuntukkan bagi penyelenggara, pendamping dan warga dampingan sosial. Namun demikian ada persoalan jumlah dan distribusi pada pedoman tersebut. Selain itu menurut pendamping pedoman tidak mudah untuk dilaksanakan, baik menyangkut konsep, pembahasaan dan ketebalannya. Mutasi internal di lingkungan instansi sosial maupun eksternal di daerah dan masih adanya ego sektoral, menyebabkan penyelenggaraan program belum optimal.
xi
Kepala desa mengikuti secara langsung dalam implementasi P2FM-BLPS, mulai persiapan sampai akhir program. Namun demikian, kepala desa melakukan intervensi lebih jauh dalam penyelenggaraan program, seperti dalam penentuan KUBE, pendamping dan jenis bantuan. Masyarakat di sekitar lokasi kegiatan KUBE memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan program. Pada umumnya kondisi lingkungan fisik/geografis, baik sebagai media usaha (perikanan), penyedia pakan/rumput (ternak sapi) dan infrastruktur, mendukung penyelenggaraan program. 2. Input Sebagian besar sasaran program telah sesuai kualifikasi. Namun demikian, pada pedoman ditentukan batasan umur 15-55 tahun, sementara temuan lapangan terdapat sasaran yang umurnya 56 – 72 tahun sebesar 14 persen. Selain itu terdapat KUBE yang beranggotakan perempuan dengan status sebagai isteri. Hal ini menimbulkan bias dengan sasaran program pada pemberdayaan perempuan. Sebagian besar KUBE tidak memenuhi kualifikasi, dimana KUBE penerima bantuan pengembangan sudah tidak memiliki aset dari usaha sebelumnya, atau sudah tidak produktif dan prospektif. Pada umumnya pendamping belum melaksanakan tugasnya dengan baik, karena kompetensinya masih relatif rendah, kesibukan dengan tugas-tugas sehari-hari dan tugas-tugas kedinasan. Pelatihan pendamping masih belum memadai, belum memberikan pengetahuan dan keterampilan sosial dalam pendampingan.
xii
Anggaran seluruhnya terserap untuk pengembangan usaha KUBE. Anggaran tersebut diberikan kepada anggota KUBE bersifat hibah murni. Pengendalian penggunaan anggaran ini masih lemah, sebagai contoh terjadi pembelian ternak dan bahan-bahan produksi dengan harga di atas harga pasar. 3. Proses Seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, karena ditemukan KUBE yang sebenarnya tidak memenuhi kelayakan untuk menerima program pengembangan. Proposal tidak sesuai potensi lokal, dan ada intervensi dari instansi sosial dengan alasan kemudahan dalam pembinaan. Sosialisasi program dirasakan masih kekurangan waktu, sehingga materi sosialisasi kurang dipahami secara tepat oleh anggota KUBE maupun pendamping lokal. Pengelolaan usaha di dalam KUBE bervariasi, yang menggambarkan ketidakpahaman pendamping dan anggota tentang hakikat KUBE. Administrasi kegiatan yang terdiri dari 10 buku yang mesti disiapkan oleh anggota KUBE dirasakan menjadi beban. Pertemuan rutin kelompok dan pendamping belum berjalan baik, disebabkan masih rendahnya kesadaran dan kesibukan dengan tugas-tugas pokok. Pembagian hasil usaha masih rendah, karena sebagian besar usaha KUBE belum produksi. Monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan dengan sungguhsungguh. Instansi sosial di daerah belum menganggap penting kegiatan ini dalam siklus perencanaan program. Pengakhiran pelaksanaan P2FM-BLPS tidak ada kejelasan, bagaimana tindak lanjut setelah program ini berakhir.
xiii
4. Produk Pada umumnya aset maupun modal usaha yang dimiliki KUBE belum bertambah. Iuran kesetiakawanan sosial (IKS) dan kas kelompok belum dilaksanakan. Sedangkan hasil secara individual sebagai berikut : Kondisi Ekonomi Setelah program terjadi perubahan, yaitu pada kategori rendah terjadi penurunan sebesar 18 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 7.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 11.5 persen. Pemenuhan kebutuhan Setelah program terjadi perubahan, yaitu kategori rendah terjadi penurunan hingga sebesar 0 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 15 persen, dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 19 persen. Kondisi Sosial Setelah program terjadi perubahan, yaitu kategori rendah terjadi penurunan sebesar 8.5 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 6.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 2 persen. IV. REKOMENDASI Berdasarkan temuan lapangan, direkomendasikan hal-hal berikut : 1. Konsep dan desain program • Bahwa core bisnis Departemen Sosial adalah menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Di dalam literatur pekerjaan sosial secara luas dibahas, bahwa kesejahteraan sosial sebagai sistem yang
xiv
diorganisasikan, maupun sebagai kondisi sejahtera yang harus dicapai. Direkomendasikan konsep yang dibangun di dalam P2FM-BLPS secara jelas menggunakan konsep dan perspektif pekerjaan atau kesejahteraan sosial. • Distribusi bantuan usaha berdasarkan pedoman langsung ke rekening KUBE melalui BRI. Bantuan bersifat hibah murni kepada warga dampingan sosial tersebut perlu ditinjau kembali, karena sikap mental warga dampingan sosial cenderung menggunakan habis bantuan yang diterima karena merasa sudah menjadi miliknya. Direkomendasikan bantuan bersifat hibah murni kepada lembaga ekonomi desa, sedangkan kepada warga dampingan sosial hibah bersyarat. Hal ini di dasarkan pada pemikiran, bahwa memberdayakan orang miskin termasuk juga memberdayakan lingkungan atau desanya. • Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin dalam penanggulangan fakir miskin mendesain P2FM dengan beberapa mekanisme, yaitu : mekanisme rekanan atau KUBE penumbuhan, mekanisme bantuan langsung atau P2FM-BLPS dan mekanisme Lembaga Ekonomi Mikro. Berbagai mekanisme ini ternyata tidak menjamin ketuntasan dan keadilan. Direkomendasikan ke depan direktorat ini hanya mengembangkan satu mekanisme dalam penanggulangan kemiskinan, yaitu Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) dengan mekanisme BLPS plus, tetapi nama program tetap P2FM. Program ini memerlukan waktu tiga tahun. Pada tahun pertama dilakukan pengkajian sosial atau studi kelayakan, dan penyiapan kondisi sosial masyarakat. Program ini bertolak pada prinsip ketuntasan dan keadilan dalam penanggulangan kemiskinan.
xv
2. Diperlukan pemikiran ulang terhadap pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS sehingga konsep/perspektif, metode, prinsip dan indikator program merujuk kepada literatur pekerjaan/ kesejahteraan sosial. Selain itu, pedoman didesain sepraktis mungkin dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pengguna cepat memahami dan memiliki pemahaman yang sama tentang maksud dan tujuan program. Kemudian jumlah dan distribusi pedoman masih perlu ditingkatkan, sehingga semua pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan program dapat memperolehnya. Beberapa hal yang perlu dirumuskan kembali di dalam pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS, yaitu : • Umur warga dampingan sosial antara 18 – 59 tahun. • Kepala keluarga adalah laki-laki • Bantuan pengembangan usaha diberikan untuk jenis usaha yang sejenis dengan usaha sebelumnya. • Kelayakan jenis usaha yag dikembangkan KUBE dengan mempertimbangkan minat, pengetahuan, kemudahaan pengadaan bahan produksi, pemasaran dan prospek. • Pendamping lokal dari unsur PSM atau WKSBM. Mereka perlu dilengkapi dengan sarana kerja yang berupa pedoman pelaksanaan kerja dan atribut (topi, jas hujan, lampu senter dll). • Pendamping provinsi, kabupaten dan kecamatan pada kenyataannya tidak efektif. Direkomendasikan diganti dengan fasilitator dari unit kerja yang membidangi pemberdayaan fakir miskin. Kepala desa termasuk di dalam fasilitator. Sedangkan pendamping adanya di tingkat lokal/desa, yang xvi
memiliki tugas teknis pendampingan dan langsung berhadapan dengan warga dampingan sosial. Sehubungan dengan itu, maka tidak ada honor bulanan untuk pendamping provinsi, kebupaten dan kecamatan. Tetapi mereka menerima honor sebagai narasumber pada pelaksanaan kegiatan. • Kegiatan yang diarahkan pada perubahan pola pikir warga dampingan sosial (orang miskin) belum memperoleh porsi yang memadai. Sebaliknya, kegiatan lebih banyak yang diarahkan pada pengembangan sektor ekonomi, dengan konsep Kerja Untung Nabung (KU-TABUNG) yang biasa dari dimensi sosial. • Istilah advokasi di dalam pedoman pelaksanaan tidak tepat. Seharusnya digunakan istilah sosialisasi program. 3. Untuk mencapai tujuan optimal, direkomendasikan dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) pada tingkat kabupten. Unsur-unsur yang tergabung dalam POKJA tergantung kebutuhan dengan mempertimbangkan kondisi setempat, dan berasal dari instansi pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi sosial kemasyarakatan, dan perguruan tinggi. 4. Pengendalian dan Terminasi Setiap program dalam perspektif manajemen selalu diikuti dengan kegiatan pengendalian yang dikenal dengan Supervisi, Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan atau SMEP. Sehubungan dengan itu direkomendasikan hal-hal berikut : • Supervisi dilaksanakan secara berjenjang oleh tenaga dari pusat, provinsi dan kabupaten. • Monitoring, evaluasi dan pelaporan dilaksanakan secara oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan program,
xvii
yaitu tenaga pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa dan pengelola KUBE. • Jadwalnya monitoring dan evaluasi dengan jelas, misalnya setiap empat bulan sekali. • Pelaporan dibuat oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan program. Di dalam pelaporan tersebut perlu standarkan : formal laporan dan isi pelaporan yang tidak hanya berisi target keuangan, tetapi juga memuat target fungsional. • Pengakhiran program atau terminasi perlu ada kejelasan. Direkomendasikan warga dampingan sosial pasca pemberdayaan dilimpahkan kepada pemerintah lokal, dan penegasan agar pemerintah lokal menyelenggarakan program tindak lanjut.
xviii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................
i
KATA PENGANTAR PENERBIT ...................................................
v
KATA PENGANTAR PENELITI ....................................................
vii
EXECUTIVE SUMMARY .............................................................
ix
DAFTAR ISI ............................................................................... xix BAB I
: PENDAHULUAN ....................................................... a. b. c. d. e. f.
BAB II
1
Latar Belakang ................................................... Rumusan Masalah .............................................. Tujuan Penelitian ............................................... Kajian Pustaka ................................................... Hipotesis Penelitian............................................ Metode Penelitian ..............................................
1 4 6 6 19 19
: DESKRIPSI LOKASI DAN RESPONDEN ....................
25
A. Deskripsi Lokasi.................................................... 25 B. Karakterisitik Responden ..................................... 49 BAB III : DESKRIPSI HASIL PENELITIAN ................................ A. B. C. D.
Konteks ............................................................. Input .................................................................. Proses ................................................................ Produk ...............................................................
57 57 62 70 80
xix
E. Faktor yang mempengaruhi implementasi P2FM-BLPS .................................
92
BAB IV : ANALISIS HASIL PENELITIAN .................................
95
A. Analisis Kinerja Program .................................... 95 B. Analisis Kesejahteraan Sosial............................. 118 BAB V
: PENUTUP ................................................................ 123 A. Kesimpulan ....................................................... 123 B. Rekomendasi...................................................... 127
Lampiran 1: PROFIL KUBE........................................................... 131 DAFTAR PUSTAKA .................................................................... 142 SEKILAS PENULIS..................................................................... 146 INDEX ..................................................................................... 149
xx
DAFTAR TABEL TABEL 1 : PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI DESA CAMPANG ....................................
36
TABEL 2 : PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI DESA GISTING........................................
39
TABEL 3 : KONDISI EKONOMI RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-BLPS..................
84
TABEL 4 : KONDISI PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-BLPS……………........
87
TABEL 5 : KONDISI SOSIAL RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-LPS………....….
91
xxi
DAFTAR DIAGRAM DIAGRAM 1 : RESPODNEN MENURUT UMUR..........................
50
DIAGRAM 2 : RESPONDEN MENURUT JENIS KELAMIN ..........
51
DIAGRAM 3 : RESPONDEN MENURUT PENDIDIKAN ............... 52 DIAGRAM 4 : RESPONDEN MENURUT JENIS PEKERJAAN........
53
DIAGRAM 5 : RESPONDEN MENURUT PENGHASILAN............
54
DIAGRAM 6 : RESPONDEN MENURUT TANGGUNGAN ...........
55
DIAGRAM 7 : KONDISI EKONOMI RESPONDEN SSD DAN SBL MENERIMA P2FM-BLPS ..............
85
DIAGRAM 8 : KONDISI PEMENUHAN KEBUTUHAN RESPONDEN SBL DAN SSD MENERIMA P2FM-BLPS...................................... 88 DIAGRAM 9 : KONDISI SOSIAL RESPONDEN SBL DAN SSD MENERIMA P2FM-BLPS……………...
xxii
92
Bab
I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Di Indonesia pembangunan kesejahteraan sosial merupakan salah satu sektor dari pembangunan kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, pembangunan atau sektor kesejahteraan sosial di bawah koordinasi Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat bersama-sama dengan sektor pendidikan, kesehatan dan agama. Pembangunan kesejahteraan rakyat yang di dalamnya termasuk sektor kesejahteraan sosial dilaksanakan untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaitu “meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan demikian posisi pembangunan kesejahteraan sosial merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, dan ikut menentukan keberhasilan pembangunan nasional. Pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia dilaksanakan dengan filosofi “kesejahteraan sosial adalah hak bagi setiap warga negara” atau welfare for all. Atas dasar filosofi tersebut, maka fakir miskin sebagai warga Negara Indonesia berhak atas kesejahteraan sosial sebagaimana warga Negara Indonesia pada umumnya. Mereka memiliki hak untuk hidup sejahtera, yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial untuk dapat hidup secara layak dan mampu mengembangkan diri, serta mampu melaksanakan fungsi sosialnya.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
1
Sampai dengan Maret tahun 2009, berdasarkan data pada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan populasi orang miskin di Indonesia berjumlah 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen. Dari jumlah tersebut sebanyak 63,68 persen berada di daerah perdesaan. Khusus di lokasi penelitian, populasi orang miskin di Lampung berjumlah 1.558 orang Kalimantan Barat berjumlah 548.300 orang, di Jawa Barat berjumlah 4.983.570 orang di Jawa Timur berjumlah 6,02 juta orang, dan di Sulawesi Utara berjumlah 250.100 orang. Angka tersebut sangat dimungkinkan akan mengalami peningkatan, disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang belum pulih setelah terjadi krisis multidimensi, dan diperparah oleh krisis global. Dampak dari krisis global antara lain terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di dalam negeri, dan PHK dari TKI di luar negeri. Dengan keadaan tersebut dapat diduga akan menambah jumlah orang miskin. Selain itu, bencana alam diperkirakan masih akan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Hal ini tentu akan ikut menyumbang jumlah orang miskin di Indonesia. Indonesia sebagai penganut Negara Kesejahteraan atau welfare state (lihat Suharto, 2005), telah memberikan perhatian yang khusus terhadap penanggulangan kemiskinan atau fakir miskin. Sebagaimana ditegaskan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34, bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”, dan Pasal 27 ayat (2) ditegaskan, bahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 1981 tentang Pelayanan Kesejahteraan Sosial bagi Fakir Miskin, yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Sosial RI nomor 84/HUK/ 1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial bagi Keluarga Fakir Miskin. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan
2
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Sosial mengatur secara khusus Penanggulangan Kemiskinan. Sebagaimana, tercantum di dalam Bab IV Pasal 19 sampai dengan Pasal 23. Pasal 19 menjelaskan, bahwa penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 20 menegaskan, bahwa penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk (a) meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin; (b) memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hakhak dasar; (c) mewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara bekelanjutan, dan (d) memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan. Selanjutnya pada Pasal 21 ditegaskan, bahwa penanggulangan kemiskinan dilaksanakan dalam bentuk (a) penyuluhan dan bimbingan sosial; (b) pelayanan sosial penyediaan akses kesempatan kerja dan berusaha; (c) penyediaan akses pelayanan kesehatan dasar; (d) penyediaan akses pelayanan pendidikan dasar; (e) penyediaan akses pelayanan perumahan dan permukiman, dan/atau (f) penyediaan akses pelatihan, modal usaha, dan pemasaran hasil usaha. Sesuai mandat konstitusi, Departemen Sosial RI menyelenggarakan program penanggulangan kemiskinan (fakir miskin), dan menempatkan program tersebut sebagai program prioritas. Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) ini secara berkala mengalami perbaikan-perbaikan dan pengembangan sesuai dengan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
3
perubahan kondisi masyarakat. Pergeseran pendekatan terjadi dari mekanisme “rekanan”, dimana distribusi bantuan dilakukan oleh rekanan; menjadi mekanisme “bantuan langsung”, dimana distribusi bantuan dilakukan langsung ke rekening KUBE melalui BRI. Selain pengembangan mekanisme program, Departemen Sosial juga secara bertahap meningkatkan anggaran untuk P2FM. Meskipun dana yang tersedia cukup besar, namun berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, P2FM tersebut belum didukung oleh komponen program yang lain, seperti sumber daya manusia, struktur organisasi pengelola dan manajemen pelaksanaan program yang memadai. Di sisi lain, kemiskinan merupakan permasalahan sosial yang telah menjadi isu nasional maupun global, dan ditetapkan menjadi program prioritas nasional. Sehubungan dengan itu, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial melaksanakan penelitian terhadap kinerja P2FBLPS. Melalui penelitian evaluasi ini akan dicermati berbagai dimensi pemberdayaan terhadap fakir miskin dengan menggunakan model CIPP (Context, Input, Process dan Product). Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi yang nyata dan bermakna bagi Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, dan Dinas Sosial provinsi maupun kabupaten/kota, dalam pengembangan program pemberdayaan fakir miskin sesuai kekhasan daerah masing-masing. B. RUMUSAN MASALAH Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS) akan mencapai tujuan yang diharapkan apabila komponen di dalam program tersebut telah bekerja dengan baik. Komponen-komponen dimaksud, seperti sumber daya manusia, struktur organisasi pengelola dan manajemen pelaksanaan program yang memadai. Komponen-komponen program tersebut 4
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
mestinya akan saling berhubungan, dan sangat menentukan pencapaian tujuan program secara optimal. Implementasi P2FM-BLPS sampai saat ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan, baik secara administratif maupun secara teknis operasional di lapangan. Berbagai permasalahan itu menyebabkan belum seluruh komponen program berjalan secara optimal. Hal ini menyebabkan proses dan hasil pelaksanaan P2FMBLPS belum mencapai target fungsional sebagaimana yang diharapkan. Implikasi dari kinerja program yang kurang optimal ini, secara internal akan mempengaruhi kredibilitas Direktorat Pemberdayan Fakir Miskin, dan secara eksternal akan mempengaruhi kredibilitas Departemen Sosial. Terlebih, bahwa program penanggulangan kemiskinan ini merupakan program prioritas nasional. Institusi terkait, seperti kalangan Dewan Perwakilan Rakyat dan Bappenas, tentunya akan terus memantau dan mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan program. Berkaitan dengan monitoring dan evaluasi P2FM-BLPS, ada empat aspek yang perlu dicermati, karena keempat aspek ini secara teoritis akan menentukan dan mempengaruhi kinerja program. Keempat aspek dimaksud, yaitu konteks, input, proses dan produk. Melalui pencermatan terhadap keempat aspek secara simultan, maka akan diperoleh data dan informasi yang obyektif, serta pengaruh P2FMBLS terhadap kondisi sosial ekonomi fakir miskin. Berdasarkan permasalahan tersebut, pertanyaan penelitian, yaitu : 1. Apa saja yang termasuk di dalam aspek konteks pada P2FM BLPS ? 2. Apa saja yang termasuk aspek input pada P2FM-BLPS ? 3. Bagaimana proses P2FM-BLPS ?. 4. Bagaimana aspek produk pada P2FM-BLPS ?
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
5
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi P2FMBLPS? C. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut di atas, tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Memperoleh informasi tentang aspek konteks P2FM-BLPS. 2. Memperoleh informasi tentang aspek input pada P2FM-BLPS. 3. Memperoleh informasi tentang aspek proses P2FM-BLPS. 4. Memperoleh informasi tentang aspek produk pada P2FM-BLPS. 5. Memperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan P2FM-BLPS. D. KAJIAN PUSTAKA 1. Tinjauan tentang Kemiskinan Populasi penduduk miskin yang cukup besar tersebut merupakan beban yang masih cukup berat bagi Negara maupun Pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa kemiskinan itu memiliki berbagai dimensi atau bersifat multi-dimensional. Sebagaimana dikemukakan oleh Nugroho (1995), bahwa kemiskinan merupakan persoalan multi-dimensional yang melibatkan faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik. Pertama, kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelaskan berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dengan rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung dari tingkat inflasi rupiah itu sendiri; kedua, kemiskinan berdimensi sosial dan budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat dipergunakan 6
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
untuk memahami dimensi ini, sehingga ukurannya sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan berbentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan lain-lain; dan ketiga, kemiskinan berdimensi struktural atau politik. Orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakikatnya mengalami kemiskinan struktural atau politik. Kemiskinan ini terjadi karena orang tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial paling bawah. Oleh sebab itu timbul kesulitan ketika fenomena kemiskinan ditampakkan dalam bentuk angka-angka, seperti dalam penentuan garis kemiskinan yang sampai kini masih diperdebatkan. Dengan demikian, kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan-persoalan kuantitatif, tetapi juga persoalan-persoalan kualitatif. Berkaitan dengan dimensi sosial budaya, menurut Paul Horton dan Cheaster L. Hunt (Susanto, 1980) rumah tangga miskin memiliki nilai-nilai yang khas, yaitu (1) situasi keluarga dengan ibu sebagai fokus kehidupan keluarga, pengelola dan pengendali rumah tangga, (2) sikap agresif – fisik, (3) ketidakmampuan merencanakan hari depan dan mengutamakan apa yang dapat dicapai dalam jangka pendek, (4) sikap memberi reaksi impulsif - emosional; dan (5) sikap fatalistik/pasrah terhadap kehidupan masa kini dan masa depan. Nilai-nilai tersebut merupakan siklus atau lingkaran setan yang menghambat pihak yang terjerat dalam hidup kemiskinan untuk keluar darinya, juga dalam jangka panjang. Kesukaran untuk memperbaiki nasib ini ialah selain kemiskinan ekonomi, juga kemiskinan sosial dan karenanya pergaulan yang terbatas pada
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
7
sesama teman senasib. Disamping nilai-nilai yang khas tersebut, orang miskin pada umumnya berpendidikan rendah, berumur relatif lebih pendek, frekuensi jatuh sakit lebih tinggi, tidak mengenal teknologi, dan berpenghasilan rendah. Freidman seperti dikutip Suharto dkk (2003) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi modal yang produktif atau aset (misalnya tanah, perumahan, peralatan, kesehatan dan lain-lain; (sumber-sumber keuangan (pendapatan dan kredit); organisasi sosial dan politik dapat digunakan untuk mencapai kepentingan (partai politik, koperasi); jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barangbarang dan lain-lain; pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan orang. Kemudian Griffin seperti dikutip Suharto dkk (2003) mengemukakan, bahwa kemiskinan di negara Asian Selatan dan Asia Tenggara pada umumnya ditunjukkan dengan adanya kelaparan, kekurangan gizi, ditambah pakaian dan perumahan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, tidak ada atau sedikit sekali kesempatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang elementer, dan lain-lain. Berdasarkan hasil studi Chambers di Asia Selatan dan Afrika, Soetrisno (1995) menyimpulkan, bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada apa yang disebut dengan deprivation trap atau jebakan kekurangan. Di dalam deprivation trap tersebut terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin, yaitu (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan, (4) kerentanan dan (5) ketidakberdayaan. Kelima ketidakberuntungan tersebut saling berkait, sehingga merupakan deprivation trap ini. Dari lima ketidakberuntungan tersebut, ada dua yang memerlukan perhatian serius, yaitu (1) kerentanan dan (2) 8
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis ketidakberuntungan ini sering menjadi sebab orang miskin menjadi lebih miskin. Kerentanan sebagai ketidakmampuan untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi situasi darurat, seperti bencana alam atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau “roda penggerak kemiskinan” yang menyebabkan orang miskin harus menjual harta miliknya. Sedangkan ketidakberdayaan dimanifestasikan dengan seringnya orang miskin ditipu oleh penguasa dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka memiliki posisi tawar yang lemah terhadap kebijakan penguasa. Etika pembangunan di Indonesia merupakan kondisi yang ikut menciptakan ketidakberdayaan pada orang miskin. Menurut Remi dan Prijono(2002), ada beberapa karakterisitik penduduk miskin, yaitu : a. Karakteristik Demografi Rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesia adalah 5.8 orang, sedangkan yang bukan miskin 4.5 orang. Berdasarkan analisis kuantitatif, bertambah besar jumlah anggota rumah tangga, bertambah besar pula kecenderungannya menjadi miskin. Kemudian perbandingan antar-regional, menunjukkan, bahwa luar Jawa-Bali mempunyai anggota keluarga lebih banyak dibandingkan Jawa-Bali. Sedangkan antara wilayah barat Indonesia dengan wilayah timur, tidak ada perbedaan yang signifikan. Begitu juga perbandingan antara wilayah perdesaan dan perkotaan tidaklah terlalu berbeda. b. Karakteristik Ekonomi Porsi konsumsi makanan dari rumah tangga miskin sampai Pemberdayaan Masyarakat Miskin
9
sebesar 70.67 persen dibandingkan dengan porsi konsumsi bukan makanan yang hanya 29.31 persen. Kondisi ini terjadi karena rumah tangga miskin masih menganggap kebutuhan makanan sebagai kebutuhan utama. Dibandingkan dengan kondisi perkotaan, porsi konsumsi makanan rumah tangga miskin lebih besar di wilayah perdesaan. Kemudian perbandingan antar wilayah, rumah tangga miskin di luar Jawa-Bali lebih besar daripada di Jawa-Bali, yaitu 72.04 persen dibandingkan dengan 66.31 persen. c.
Karakterisitik Sosial Budaya Karaktersiitik sosial budaya mencakup tingkat pendidikan anggota rumah tangga, dan rasio yang lulus dari tingkat pendidikan terhadap jumlah penduduk pada kelompok usia sekolah yang didasarkan pada SUSENAS 1990.
Pada rumah tangga miskin hanya 6.8 persen dari anggota rumah tangga yang menyelesaikan pendidikan SLP (bukan miskin 18.6 persen). Kemudian lebih dari 70 persen tidak memasuki sekolah dan atau tidak tamat sama sekali dari sekolah dasar (bukan miskin 55.5 persen). Perbandingan antara wilayah perdesaan dan perkotaan, rumah tangga miskin di perkotaan berpendidikan lebih tinggi. Kemudian perbandingan antara Jawa-Bali dan luar Jawa-Bali, tidak ada perbedaan yang signifikan. Begitu juga perbandingan antara wilayah barat dan timur, tidak ada perbedaan yang besar. Badan Pusat Statistik (Dit FM, 2007) menetapkan 14 indikator kemiskinan atau rumah tangga miskin, yaitu: a. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang. b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/
10
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
bambu/kayu murahan. c.
Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa pelester.
d. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. f.
Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.
g.
Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/minyak tanah.
h. Hanya mengkonsumsi daging/ayam/susu satu kali dalam seminggu. i.
Hanya membeli 1 (stu) stel pakaian baru dalam setahun.
j.
Hanya sanggup makan sebanyak 1 (satu)/2 (dua) kali dalam sehari.
k.
Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskemas/ poliklinik.
l.
Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan dengan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000 per bulan.
m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga : tidak sekolah/ tidak tamat SD/hanya SD. n. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp. 500.000,- seperti sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Berdasarkan indikator kemiskinan tersebut, maka kemiskinan dibagi menjadi tiga, yaitu : Pemberdayaan Masyarakat Miskin
11
a. Hampir miskin Seseorang atau rumah tangga yang masuk kategori hampir miskin apabila memenuhi 6 - 9 indikator. b. Miskin Seseorang atau rumah tangga yang masuk kategori miskin apabila memenuhi 9 -12 indikator. c.
Sangat miskin/fakir miskin Seseorang atau rumah tangga yang masuk kategori sangat miskin atau fakir miskin apabila memenuhi 12 -14 indikator.
Soemardjan (1997) mengemukakan ada beberapa pola kemiskinan yang dapat digunakan untuk memahami orang miskin, yaitu : a. Kemiskinan individual Kemiskinan ini terjadi karena adanya kekurangan-kekurangan yang disandang oleh seorang individu mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mengentaskan dirinya dari lembah kemiskinan. Mungkin individu itu sakit-sakitan saja, sehingga tidak dapat bekerja yang memberi penghasilan. Mungkin ia tidak mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang wajar. Mungkin juga ia tidak mempunyai modal finansial atau modal keterampilan (skill) untuk berusaha. Mungkin juga ia tidak mempunyai jiwa usaha atau semangat juang untuk maju di dalam kehidupannya. Individu demikian itu dapat menderita hidup miskin dalam lingkungan yang kaya. Namun bagaimanapun, kalau individu itu dikaruniai jiwa usaha yang kuat atau semangat juang yang tinggi, niscaya ia akan menemukan jalan untuk memperbaiki taraf hidupnya. b. Kemiskinan relatif
12
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Kemiskinan relatif merupakan pengertian sosiologis yang di atas disebut dengan Socio-Economic-Status (SES). Untuk menentukan SES (biasanya untuk suatu keluarga atau rumah tangga) diadakan perbandingan antara taraf kekayaan materiel dari keluarga-keluarga atau rumah tangga-rumah tangga di dalam suatu komunitas teritorial. Dengan perbandingan itu dapat disusun pandangan masyarakat mengenai mereka yang tergolong kaya dan relatif miskin di dalam komunitas itu. Ukuran yang dipakai adalah ukuran setempat (lokal). Dengan demikian suatu keluarga yang di suatu daerah komunitas dianggap relatif miskin dapat saja termasuk golongan kaya diukur dengan kriteria di tempat lain yang secara keseluruhan dapat dianggap komunitas atau daerah yang lebih miskin. c.
Kemiskinan struktural Kemiskinan ini dinamakan struktural oleh karena disandang oleh suatu golongan yang “built in” atau menjadi bagian yang seolah-olah tetap dalam struktur suatu masyarakat. Seperti yang digambarkan mengenai kemiskinan individual, maka di dalam konsep kemiskinan struktural ada suatu golongan yang menderita kekurangan-kekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Contoh dari golongan yang menderita kemiskinan struktural ini misalnya golongan pegawai negeri sipil kecil, petani yang tidak memiliki tanah, nelayan yang tidak memiliki perahu, buruh tanpa keterampilan khusus, pemulung sampah dan sebagainya. Di dalam tiap –tiap golongan itu banyak terdapat orang-orang yang tidak mungkin hidup wajar hanya dari penghasilan kerjanya. Akibatnya mereka harus pinjam dan selama hidup terbelit utang yang tidak kunjung lunas. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
13
d. Kemiskinan budaya Yang dimasudkan dengan kemiskinan budaya di sini adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu masyarakat di tengahtengah lingkungan alam yang mengandung cukup banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Sebab kemiskinan itu karena kebudayaan menyarakat tidak mengandung ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial yang diperlukan untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya dan masyarakat. Kalau ditinjau secara obyektif, maka sebenarnya masyarakat di Indonesia sebagian besar hidup dalam kemiskinan budaya seperti didefinisikan di sini. e. Budaya kemiskinan Istilah kemiskinan budaya adakalanya dipakai secara terbalik menjadi budaya kemiskinan. Yang dimaksudkan dengan kemiskinan budaya adalah tata hidup yang mengandung sistem kaidah serta sistem nilai yang menganggap bahwa taraf hidup miskin yang disandang suatu masyarakat pada suatu waktu adalah wajar dan tidak perlu diusahakan perbaikannya. Dengan perkataan lain, kemiskinan yang diderita oleh masyarakat itu dianggap sudah menjadi nasib dan tidak mungkin diubah, karena itu manusia dan masyarakat harus menyesuaian diri dari kemiskinan itu, agar tidak merasa keresahan jiwa atau frustrasi serta berkepanjangan. Dalam rangka budaya kemiskian ini manusia dan masyarakat menyerah kepada nasib dan besikap tidak perlu menggunakan sumber daya lingkungannya untuk mengubah nasib itu. 2. Tinjauan tentang Pemberdayaan Menurut Chambers yang dikutip oleh Ginanjar (1996) 14
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
pemberdayaan dimaknai sebagai konsep pembangunan yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman yang dikutip oleh Ginanajar (1996) disebut alternative development, yang menghendaki “ inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”. Sehubungan dengan itu, maka dalam rangka memberdayakan masyarakat yang dapat juga diberlakukan bagi fakir miskin, dilakukan melalui tiga dimensi (lihat Ginanjar, 1996), yaitu : a. Menciptakan situasi atau iklim sosial yang memungkinkan potensi fakir miskin berkembang (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya karena, kalau demikian sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. b. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh fakir miskin (strengthening). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
15
pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang membuat fakir miskin menjadi makin berdaya. Dalam rangka pemberdayaan ini, upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses kepada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar. Pemberdayaan ini menyangkut pembangunan prasarana dan sarana dasar baik fisik, seperti irigasi, jalan, listrik, maupun sosial seperti sekolah, dan fasilitas pelayanan kesehatan, yang dapat diakses oleh fakir miskin pada lapisan paling bawah, serta ketersediaan lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di perdesaan tempat terkonsentrasinya penduduk yang keberdayaannya amat kurang. Untuk itu, perlu ada program khusus bagi fakir miskin yang kurang berdaya, karena program-program yang umum yang berlaku untuk semua tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini. c.
Memberdayakan mengandung pula arti melindungi (protecting). Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, karena kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, dalam konsep pemberdayaan fakir miskin, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya. Dalam rangka ini, adanya peraturan perundangan yang secara jelas dan tegas melindungi golongan yang lemah sangat diperlukan.
Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi karena hal itu justru mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan fakir miskin
16
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
bukan membuat fakir miskin menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, dan hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain. Konsep pemberdayaan tidak hanya berlaku secara individual, tetapi juga secara kolektif (individual self empowerment maupun collective self empowerment), dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusiaanlah yang menjadi tolok ukur instrumen, dan substansial dalam proses pemberdayaan. Ini tidak lain adalah menempatkan konsep pemberdayaan atau empowerment sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, pemerintahan, negara, dan tata dunia di dalam kerangka proses aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab; yang terwujud di berbagai medan kehidupan: politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan lain sebagainya. Maka dari itu konsep empowerment pada dasarnya adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional; dalam bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, dan lain-lain (lihat Ginanjar, 1996). Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan fakir miskin, yaitu melalui mekanisme kelompok. Di dalam perspektif pekerjaan sosial (lihat Soetarso, 1980), dikenal dengan Group Work yang seringkali diterjemahkan dengan Bimbingan Sosial Kelompok sebagai metode intervensi sosial. Dalam hal ini kelompok ditempatkan sebagai metode atau cara (bukan sekedar wahana atau tempat) untuk melakukan perubahan bagi client. Selain Group Work, dalam perpspektif pekerjaan sosial dikenal metode Case Work, Community Organization dan Community Develompment. Ketiga metode tersebut tidak berlaku secara parsial, akan tetapi berlaku secara Pemberdayaan Masyarakat Miskin
17
simultan dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi client yang pada umumnya bersifat multi-demisional. 3. Tinjauan tentang Kesejahteraan Sosial Menurut Suharto (2005), kesejahteraan sosial dapat didefinisikan sebagai arena atau domain utama tempat berkiprahnya pekerja sosial. Pemaknaaan kesejahteraan sebagai arena, menempatkan kesejahteraan sosial sebagai alat atau sarana untuk mencapai tujuan pembangunan. Pemaknaan kesejahteraan sosial ini mendukung pemikiran Dunham yang dikutip oleh Soetarso (1980), bahwa kesejahteraan sosial adalah kegiatan-kegiatan yang terorganisasi untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Kemudian Friedlander yang dikutip oleh Soetarso (1980) menggabungkan pelayanan sosial dan lembaga sosial dalam pengertian kesejahteraan sosial, yaitu sistem terorganisasi dari pelayanan dan lembaga sosial yang dimaksudkan untuk membantu perorangan dan kelompok untuk mencapai standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan sosial dan pribadi yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuan sepenuhnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka serasi dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Kesejahteraan sosial juga sering didefinisikan sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhiya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan (lihat Suharto, 2005). Pengertian ini menempatkan kesejahteraan sosial sebagai tujuan dari suatu kegiatan pembangunan. Berkaitan dengan konsep kebutuhan, selain 18
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
kebutuhan dasar ada jenis kebutuhan yang juga memerlukan pemenuhan. Menurut Haryanto dan Tamrin (1997), jenis kebutuhan dimaksud, yaitu kebutuhan sosial-psikologis dan kebutuhan pengembangan. Termasuk di dalam kebutuhan sosial psikologis, yaitu pendidikan, rekreasi, transportasi, interaksi sosial internal dan eksternal. Sedangkan kebutuhan pengembangan, yaitu tabungan, pendidikan khusus/kejuruan dan akses terhadap informasi. E. HIPOTESIS PENELITIAN Di dalam penelitian ini ada dua variabel, yaitu variabel bebas dan variable terikat. Sebagai variabel bebas yaitu Program Pemberdayaan Fakir Miksin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS), sedangkan sebagai variabel terikat, yaitu kondisi sosial ekonomi fakir miskin. Sehubungan dengan variabel penelitian ini, rumusan hipotesis dalam penelitian ini, adalah : 1. Ho =
“Tidak ada Pengaruh P2FM-BLPS terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Fakir Miskin”
Sedangkan hipotesa alternatifnya adalah : H1 =
“Ada Pengaruh P2FM-BLPS terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Fakir Miskin”.
F. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian evaluasi, dengan desain penelitiannya pra-eksperimen. Menurut Stevelbeam yang dikutip oleh Isaac dan Michael (1983), ada empat komponen di dalam model evaluasi, yaitu context, input, process dan product. Berkenaan dengan itu, pendekatan kuantitatif digunakan untuk aspek product, yaitu mengetahui pengaruh P2FM-BLPS, sedangkan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
19
kualitatif untuk mengetahui aspek context, input dan process pada P2FM-BLPS Untuk pendekatan kuantitatif, desain penelitiannya sebagai berikut : O1
X
O2
Sumber : Sugiyono, 2007. Keterangan :
O1
: Kondisi awal fakir miskin sebelum pemberdayaan
X
: Pemberdayaan atau perlakuan yang diberikan kepada fakir miskin
O2
: Kondisi akhir fakir miskin pasca pemberdayan
2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan dengan pertimbangan, bahwa lokasi tersebut telah memasuki pasca pemberdayaan fakir miskin, jumlah populasi dan tersedianya dukungan sumber daya. Selain itu penentuan lokasi berdasarkan pula pada hasil diskusi dengan unit Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin. Maka ditentukan lokasi penelitian berikut : a. Lampung b. Kalimantan Barat c.
Jawa Barat
d. Jawa Timur e. Sulawesi Utara. 3. Responden Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah warga fakir miskin yang telah menerima P2FM-BLPS tahun 2008. Berdasarkan data pada 20
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Direktorat Pemberdyaan Fakir Miskin, jumlah fakir miskin pasca pemberdayaan tahun 2008 di lima provinsi sebagai berikut : No. 1 2 3 4 5
Provinsi Kabupaten Lampung Tanggamus Kalimantan Barat Kab. Pontianak Jawa Barat Cirebon Jawa Timur Pacitan Sulawesi Utara Minahasa JUMLAH
KUBE 40 39 22 50 50 201
KK 400 390 220 500 500 2.010
Dari populasi 2.010 KK/orang tersebut, diambil Sosial sebesar 10 persen, sehingga diperoleh Sosial sebesar 200 KK/orang dari total populasi di 5 (lima) provinsi. 4. Sumber Data Sumber data (responden dan informan) dalam penelitian ini meliputi fakir miskin, penanggung jawab program pada instansi Sosial provinsi dan kabupaten/kota, dan pendamping Sosial provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa serta aparat desa. Rincian sumber data pada masing-masing provinsi sebagai berikut : 1. Fakir miskin
=
40
= =
1 1
=
1
5. Pendamping Sosial kabupaten/kota =
1
6. Pendamping Sosial kecamatan
=
1
7. Pendamping Sosial desa
=
1
2. Penanggung jawab program di instansi sosial provinsi 3. Pendamping Sosial provinsi 4. Penanggung jawab program di instansi sosial kabupaten/kota
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
21
8. Aparat desa
=
1
9. Aparat BRI setempat
=
1
JUMLAH
= 48
Dengan demikian sumber data untuk lima provinsi adalah 5 x 48 orang = 240 orang. 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah : 1). Studi dokumentasi Pengumpulan data dan informasi dengan mengkaji dokumen tertulis seperti laporan kegiatan pemberdayaan fakir miskin, hasil penelitian, dan kepustakaan yang relevan dan mendukung tujuan penelitian. 2). Wawancara Individu Pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan terstruktur yang dilakukan kepada individu yang relevan dengan tujuan penelitian. Wawancana secara individu dilakukan dengan penanggung jawab/pelaksana program, pendamping sosial, dan pendamping sosial. Wawancara untuk mengumpulkan data dan informasi tentang pelaksanaan program pemberdayaan fakir miskin, kondisi fakir miskin pasca pemberdayaan dan tindak lanjut pemberdayaan fakir miskin. 3). Wawancara Kelompok Pengumpulan data dengan mengajukan sejumlah pertanyaan terstruktur kepada kelompok yang relevan dengan tujuan penelitian. Wawancara dengan kelompok atau melalui mekanisme diskusi terfokus (FGD) dilakukan terhadap tokoh 22
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
masyarakat setempat untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi fakir miskin pasca pemberdayaan, dan pemikiran-pemikiran ke depan dalam peningkatan taraf hidup fakir miskin. 6. Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi antara kuantitatif dan kualitatif. Proses analisis dimulai dari editing instrumen untuk memperoleh data yang valid. Kemudian dilakukan coding, yaitu proses pemberian kode atas jawaban responden pada setiap item pertanyaan. Selanjutnya dilakukan pemrosesan data dengan menggunakan sistem SPSSPC. Selanjutnya dilakukan entry data sebanyak jumlah responden fakir miskin. Untuk analisis kualitatif digunakan model analisis domain, taksonomi dan komponensial yang berkaitan dengan aspek context, input dan process. Analisis kualitatif berupa deskripsi tentang aspekaspek tersebut, yang didukung dengan tabel dan atau diagram. Kemudian untuk analisis kuantitatif, yaitu untuk mengetahui pengaruh program BLPS terhadap fakir miskin, analisis data yang digunakan dengan bantuan statistik non parametrik dari Wilcoxon (Sugiyono, 2007; Wahid Sulaiman, 2003). Metode ini dipilih dengan alasan (1) sampel berpasangan (dependent sample), (2) skala ordinal dan (3) desain pretest – posttest tanpa kelompok kontrol. Pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak hipotesis penelitian ditentukan dengan taraf signifikansi (a ) sebesar 0.05. Dengan memanfaatkan taraf signifikan sebesar 0.05, maka kriteria menerima atau menolak hipotesis penelitian sebagai berikut :
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
23
Apabila Asymp.Sig (2-tailed) < a (0.05) , maka tolak Ho, yaitu : Ada Pengaruh P2FM - BLPS Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Fakir Miskin.
24
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Bab
II
DESKRIPSI LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN
Penelitian Evaluasi Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS) dilaksanakan di 5 (lima) provinsi, yaitu Provinsi, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Lampung Sulawesi Utara. Sub bab A pada Bab II ini mendeskripsikan kondisi umum kelima lokasi penelitian tersebut, yaitu desa-desa yang menjadi locus P2FM-BLPS. Kemudian pada sub bab B mendeskripsikan karakterisitik umum responden penelitian, khususnya fakir miskin sebagai warga dampingan sosial. A. DESKRIPSI LOKASI 1. Provinsi Sulawesi Utara Penelitian di Provinsi Sulawesi Utara dilaksanakan di Kabupaten Minahasa. Penentuan Kabupaten Minahasa berdasarkan pertimbangan dari Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Utara, bahwa (1) di Minahasa terdapat KUBE FM-BLPS bervariasi, yang lokasinya bercorak perdesaan dan pantai, dan (2) banyak KUBE di Kabupaten Minahasa dinilai berhasil. Hal ini diperkuat oleh penanggung jawab program pada Dinas Sosial Kabupaten Minahasa, bahwa bedasarkan hasil monitoring dan evaluasi, sekitar 50 persen KUBE di Kabupaten Minahasa dinilai berhasil. Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kabupaten Minahasa
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
25
tersebut, maka ditentukan dua desa, yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Toliomembet dan Desa Mukupa. a. Desa Toliomembet Setelah 20 menit dari ibu kota Kecamatan Kakas menuju ke Desa Toliomembet, sampailah di ujung Danau Tondano yang memiliki luas 4.620 hektare. Dari kejauhan, di hampir sepanjang pinggir Danau Tondano terlihat tiang-tiang bambu yang ditancapkan dengan kokoh. Begitu dekat tampak jelas, bahwa selain batang-batang bambu juga jaring-jaring apung yang ditambatkan di tiang bambu tersebut. Jaring apung merupakan cara yang digunakan penduduk di sekitar Danau Tondano untuk membudidayakan ikan air tawar (ikan mujaer). Hal ini memberikan gambaran, bahwa Danau Tondano merupakan sumber daya alam yang memberikan penghidupan bagi penduduk Desa Toliomembet. Setelah menelusuri jalan sepanjang tepi Danau Tondano selama satu jam dan 30 menit, akhirnya sampai di Desa Toliomembet. Desa Toliomembet adalah salah satu desa di Kecamatan Kakas yang memiliki wilayah 350 hektare. Batas-batas wilayah desa sebelah utara Desa Telap Kecamatan Eris, sebelah selatan Desa Kaweng Kecamatan Kakas, sebelah timur Desa Kakosan Kecamatan Lembean Timur dan sebelah barat Danau Tondano. Meskipun Danau Tondano secara adminstratif tidak termasuk wilayah Desa Toliomembet, namun penduduk Desa Toliomembet dapat memanfaatkan danau tersebut untuk mencari (memancing) ikan dan membudidayakan ikan mujaer dengan sistem jaring terapung. Secara geografis, Desa Toliomembet memiliki lahan yang subur untuk usaha pertanian darat atau berladang. Berbagai jenis tanaman, baik tanaman keras, tanaman buah-buahan
26
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dan palawija tumbuh subur. Usaha pertanian di desa ini cukup menjanjikan karena didukung dengan 5 (lima) sungai yang melintasi desa, yaitu Sungai Kekeretan, Sungai Rano Oki, Sungai Pinantik Parentek, Sungai Tarandi dan Sungai Watumbigo. Selain sungai-sungai tersebut, terdapat Gunung Makalelon dan Pegunungan Lembean. Data kependudukan diperoleh berdasarkan dokumen yang ada di kantor desa, dan wawancara dengan sekretaris desa. Berdasarkan studi dokumentasi dan wawancara diperoleh data, bahwa Desa Toliomembet dihuni oleh 1.026 jiwa, dengan rincian laki-laki sebanyak 513 jiwa dan perempuan sebanyak 513 jiwa. Kemudian dilihat dari aspek pendidikan, penduduk yang berpendidikan SD berjumlah 452 orang, SMP berjumlah 174 orang, SMA berjumlah 115 orang dan perguruan tinggi (D2 dan Sarjana) berjumlah 40 orang. Berdasarkan data tersebut, sebagian besar penduduk atau 61.01 persen termasuk berpendidikan rendah, yaitu tamat SD dan SMP. Kondisi ini menunjukkan masih rendahnya kualitas sebagian besar SDM Desa Toliomembet. Dimana kondisi ini akan mempengaruhi produktivitas masyarakat dan pembangunan desa. Kualitas SDM tersebut tergambar pada pilihan mata pencaharian penduduk. Sebagian besar atau 59,34 persen penduduk memiliki usaha sebagai petani dan nelayan. Kemudian wiraswasta sebanyak 80 orang, PNS sebanyak 20 orang, pensiunan sebanyak 10 orang dan TNI/Polri sebanyak satu orang. Jenis-jenis pekerjaan penduduk tersebut berpengaruh terhadap status ekonomi rumah tangga, dan lebih jauh akan berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
27
Penduduk Desa Toliomembet sebagian besar atau 96,49 persen penganut agama Kristen. Agama lainnya yang dianut penduduk, yaitu Islam (1,46 %) dan Katholik (2,04 %). Meskipun sebagian besar penduduk beragama Kristen, kehidupan antar umat bergama selama ini berjalan dengan baik dan hidup rukun. Dalam upaya memperkuat kerukunan, terdapat berbagai kelompok sosial, yaitu kelompok keagamaan (kolom), dan kelompok pertanian. Mapalus masih dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat pada kegiatan gotong royong dan tolong menolong seperti, mendirikan rumah, peristiwa kedukaan, suka cita dan kegiatan pertanian. Redahnya kualitas SDM, dan pilihan jenis usaha yang berpengaruh terhadap status ekonomi rumah tangga penduduk, merupakan faktor yang melatarbelakangi timbulnya permasalahan sosial di Desa Toliomembet. Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris desa, pada tahun 2009 terdapat sejumlah PMKS, yaitu anak terlantar sebanyak 50 orang, fakir miskin sebanyak 150 KK, wanita rawan sosial ekonomi sebanyak 50 orang dan rumah tidak layak huni sebanyak 70 unit. Dari PMKS tersebut, yang sudah menerima bantuan dari pemerintah (Departemen Sosial) adalah fakir miskin sebanyak 50 KK melalui P2FM-BLPS. Dilihat dari tipe desa, Desa Toliomembet termasuk Desa Swa Daya. Desa ini telah memiliki berbagai jenis infrastruktur ekonomi maupun sosial, seperti warung sembako (10 unit), sekolah (TK dan SD), Posyandu, sarana olah raga (bola voli, tenis meja dan bulu tangkis), gereja (5 unit), penerangan listrik, transportasi umum dengan kendaraan bermotor (ojek motor, angkutan perdesaan), telepon, kantor pos dan media massa (televisi, radio, surat kabar lokal).
28
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
b. Desa Mukupa Desa Mukupa lebih dekat dengan ibu kota provinsi di Manado. Kalau jarak dari ibu kota Kabupaten Minahasa 50 km, sementara jarak dari Manado 25 km atau 20 menit menyurusi pantai. Desa Mukupa memiliki pantai yang landai, dimana para nelayan mendarat, menambatkan perahu, menurunkan hasil tangkapannya, dan langsung menjual ikanikan mereka. Di Desa Mukupa ini belum ada Tempat Pelelangan Ikan. Desa Mukupa adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan Amboriri yang memiliki luas wilayah 600 hektare. Batas-batas wilayah desa sebelah utara Kecamatan Pineleng, sebelah selatan Desa Tambala, sebelah timur Desa Koha Kecamatan Tinelang dan sebalah barat Laut Sulawesi. Secara geografis, Desa Mukupa memiliki lahan yang subur. Tanaman keras yang paling banyak terlihat yaitu kelapa yang tumbuh subur dan banyak buahnya. Demikian pula pohon mangga yang tumbuh subur juga banyak ditemukan di desa ini. Selain kelapa dan mangga, hampir semua ladang ditanami dengan jagung. Jagung ini dipanen ketika sudah tua dan dikeringkan. Penduduk belum ada yang mencoba menanam jagung manis. Padahal, desa ini memiliki kawasan wisata pantai yang sering dikunjungi turis domestik, serta dekat dengan kawasan wisata kuliner di sepanjang pantai ke arah Manado. Data kependudukan yang tersedia di kantor desa, maupun yang tercantum di dalam dokumen profil desa belum lengkap, dan sudah out of date. Sehubungan dengan itu, data kependudukan diperoleh dari diskusi dengan aparat desa dan tokoh masyarakat. Dilaporkan bahwa jumlah penduduk
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
29
Desa Mukupa sebanyak 723 KK atau 2.715 jiwa, dengan rincian laki-laki berjumlah 1.381 jiwa dan perempuan berjumlah 1.334 jiwa. Dilihat dari pendidikan penduduk, penduduk yang berpendidikan SD berjumlah 820 orang, SMP berjumlah 715 orang, SMA berjumlah 620 orang dan perguruan tinggi berjumlah 95 orang, serta penduduk yang belum dan tidak sekolah berjumlah 465 orang. Berdasarkan data tersebut, sebagian besar atau 56,54 persen penduduk Desa Mukupa masih termasuk berpendidikan rendah, yaitu berpendidikan SD dan SMP. Kondisi ini tentu akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (SDM), yang selanjutnya berdampak terhadap pembangunan desa secara keseluruhan. Kualitas SDM penduduk desa tersebut, akan mempengaruhi pilihan mereka pada jenis mata pencaharian. Jenis-jenis mata pencaharian penduduk, yaitu petani berjumlah 400 orang, nelayan berjumlah 130 orang, PNS/Polri berjumlah 55 orang dan pedagang berjumlah 85 orang. Berdasarkan hasil wawancara dengan aparat desa dan tokoh masyarakat, pada umumnya petani hanya memiliki tanah yang sempit (kurang dari satu hal), buruh tani dan petani penggarap lahan milik swasta yang saat ini belum digunakan. Begitu juga dengan nelayan, mereka sebagian besar nelayan kecil dan buruh nelayan. Maka sebenarnya modal utama mereka hanya tenaga atau modal fisik saja. Oleh karena itu, penghasilan mereka relatif rendah dan sangat terbatas untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebagian besar penduduk Desa Mukupa beragama Protestan, yaitu berjumlah 1.226 orang, kemudian Katholik berjumlah 1.185 orang dan Islam berjumlah 59 orang. Meskipun ada
30
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
tiga kelompok penganut agama yang berbeda, selama ini mereka menjalankan kehidupan dengan rasa tolerasi yang tinggi. Belum pernah terjadi konflik sosial di antara mereka yang berbeda agama, dan di antara mereka saling kerja sama untuk kegiatan sosial. Berdasarkan data pendidikan dan mata pencaharian penduduk, dapat diduga bahwa di Desa Mukupa terdapat permasalahan kesejahteraan sosial. Ketika penelitian ini dilakukan, data tertulis tentang PMKS maupun PSKS belum ada. Data diperoleh dari hasil wawancara dengan aparat desa dan tokoh masyarakat, bahwa fakir miskin kurang lebih berjumlah 290 orang atau 10,68 persen dari jumlah penduduk. Menurut tokoh masyarakat, sebenarnya di desa ini ada penyandang cacat, lanjut usia terlantar, wanita rawan sosial ekonomi, anak terlantar dan rumah tidak layak huni, tetapi hingga saat ini belum dilakukan pendataan. Desa Mukupa termasuk Desa Swa Daya, dilihat dari tipe desa. Desa ini telah memiliki berbagai jenis infrastruktur ekonomi maupun sosial, seperti warung sembako, sekolah (TK dan SD), Posyandu, Puskesmas, sarana olah raga (bola voli), gereja, penerangan listrik, transportasi umum dengan kendaraan bermotor (ojek motor, angkutan perdesaan), telepon, dan media massa (televisi, radio, surat kabar lokal). Di desa ini juga terdapat hotel bertaraf internasional yang banyak dikunjungi turis asing yang mau berwisata ke Bunaken. 2. Provinsi Kalimantan Barat Penelitian di Provinsi Kalimantan Barat dilaksanakan di Kabupaten Pontianak. Hal ini berdasarkan pertimbangan dari Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat dan Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Pontianak, bahwa di Segedong Pemberdayaan Masyarakat Miskin
31
memiliki KUBE-BLPS yang dinilai berhasil. Sesuai dengan rancangan penelitian, dimana satu kabupaten diambil satu kecamatan sebagai sampel penelitian dan dua desa, yaitu Desa Parit Bugis dan Desa Sui Purun Besar yang keduanya di Kecamatan Segedong. a. Desa Parit Bugis Desa Parit Bugis merupakan salah satu desa/pekon di wilayah Kecamatan Segedong, dengan luas wilayah 1.125 hektare. Desa ini secara administrataif memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah utara dengan Desa Sui Purun Besar, sebelah selatan dengan Sungai Segedong, sebelah timur dengan Desa Peniti Besar dan sebelah selatan dengan Laut Cina Selatan. Desa Parit Bugis ini relative mudah dijangkau dengan kendaraan bermotor rodak empat. Dari ibu kota kecamatan berjarak 0.5 km (30 menit), dari ibu kota kabupaten berjarak 38 km (75 menit) dan dari ibu kota provinsi berjarak 36 km (60 menit). Secara geografis Desa Parit Bugis memiliki lahan pertanian yang subur. Selain untuk lahan pertanian sawah, peruntukan lahan dimanfaatkan penduduk untuk lahan pertanian ladang atau perkebunan. Berbagai jenis tanaman keras, tanaman buah dan palawija tumbuh dengan subur. Karena itu, sebagian besar penduduk Desa Parit Bugis memiliki pekerjaan pokok sebagai petani. Kondisi kependudukan Desa Parit Bugis belum terdata dengan baik. Menurut aparat desa, jumlah penduduk hampir mencapai 4 ribu jiwa. Dari jumlah tersebut sebagian besar termasuk usia produktif, yaitu berusia antara 15 - 55 tahun. Kemudian kondisi sumber daya manusia, sebagian besar penduduk berpendidikan rendah, yaitu antara tidak sekolah 32
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
hingga tamat SLP. Agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk desa, yaitu agama Islam. Agama lain yang dianut penduduk desa, yaitu Kristen, Katholik dan Budha. Kondisi sosial desa Parit Bugis cukup baik. Selama ini belum pernah terjadi konflik sosial antara kelompok masyarakat dalam satu wilayah desa, maupun konflik sosial dengan warga desa lain. Kedamaian sosial tersebut dapat diwujudkan karena didukung oleh perkumpulan sosial di setiap lingkungan, seperti majelis ta’lim, rukun kematian, arisan dan kelompok sosial olah raga dan pemuda. Kegotong royongan penduduk masih terjadi dengan baik, terutama pada kegiatan kedukaan atau ada musibah (sakit, meninggal dunia) atau dalam peristiwa suka cita. Untuk mendukung aktivitas sosial ekonomi penduduk desa, di Desa Parit Bugis telah ada sarana ekonomi seperti warung sembako, pasar tradisional dan toko. Sarana pendidikan yang ada yaitu SD, sarana kesehatan yang ada, yaitu dukun bayi, mantri, bidan dan posyandu; sarana keagamaan yang ada, yaitu masjid dan mushala. Penerangan di seluruh wilayah desa sudah menggunakan listrik, meskipun sebagian kecil warga masih menyambung ke tetangga. Sarana transportasi yang ada, yaitu ojek motor, dan kendaraan umum perdesaan. Selanjutnya sarana komunikasi dan informasi yang ada, yaitu telepon keluarga, poncell, televisi keluarga, dan radio. Disampaikan oleh perangkat desa, bahwa di Desa Parit Bugis terdapat berbagai PMKS, seperti keluarga miskin, balita telantar, anak telantar, lanjut usia telantar, dan wanita rawan sosial ekonomi. Meskipun demikian, sampai saat penelitian ini dilakukan, PMKS tersebut belum pernah dilakukan pendataan. Sedangkan PSKS, yang ada yaitu Karang Taruna meskipun kegiatannya masih bersifat rekreatif dan insidental. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
33
b. Desa Sui Purun Besar Desa ini terletak di bagian selatan yakni sebagai pintu masuk dari kabupaten Pontianak yang apabila dijangkau dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh kira-kira satu jam dari bukota Kabupaten, atau sekitar 40 km dari ibukota kabupaten. Wilayah ini terletak di daerah pinggiran sungai yang apabila terjadi hujan yang cukup lama maka akan terjadi luapan air yang relatif besar. Sebagian lain berada di daerah rawa dan sebagian lagi lahan gambut yang dengan demikian mengakibatkan daerah ini cukup sulit untuk budidaya pertanian. Secara keseluruhan luas wilayah desa adalah 6.945,376 hektar. Adapun penggunaannya adalah sebagai daerah pemukiman, daerah sungai dan daerah pertanian. Adapun jumlah penduduk yang menghuni desa ini sebanyak 5500 jiwa. Dari penduduk yang tinggal di desa ini paling banyak bermata pencaharian sebagai petani, sebagian lainnya di sektor perdagangan kecil dan menengah. Sebagian lainnya bergerak di sektor kenelayanan, yakni nelayan sungai. Untuk peternakan di desa ini pada umumnya beternak sapi potong, kambing dan domba. Selain itu terdapat ternak ayam ras. Kondisi sosial ekonomi desa ini cukup baik, dalam arti bahwa stabilitas masyarakat cukup stabil. Masyarakat beraktivitas ekonomi di bidang jasa dan hasil pertanian. Sarana transportasi di desa ini cukup baik, yakni sudah dilewati oleh kendaraan umum dari ibukota provinsi ke kabupatenkabupaten di Kalimantan Barat. Dengan demikian kondisi sosial daerah ini relatif maju. Sebagian besar anggota masyarakat sudah memiliki sarana angkutan sepeda motor.
34
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
3. Provinsi Lampung Penelitian di Provinsi Lampung dilaksanakan di Kabupaten Tanggamus, di Kecamatan Gisting. Hal ini berdasarkan pertimbangan dari Dinas Sosial Provinsi Lampung dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Kesejahteraan Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Tanggamus, bahwa di Gisting memiliki KUBE BLPS yang dinilai berhasil. Sesuai dengan rancangan penelitian, dimana satu kabupaten diambil satu kecamatan sebagai sampel penelitian dan dua desa. Berdasarkan informasi dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Kesejahteraan Sosial dan Tenaga Kerja Kabupten Tanggamus, maka ditentukan dua desa, yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Campang dan Desa Gisting Atas, keduanya termasuk wilayah Kecamatan Gisting. a. Desa Campang Desa Campang merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Gisting. Batas-batas wilayah Desa Campang sebelah utara dengan Desa/Pekon Simpang Kanan, sebelah selatan dengan Kecamatan Kuto Dalam, sebelah timur dengan Desa/ Pekon Gunung Alit dan sebelah barat dengan Desa/Pekon Lomban. Desa Campang dapat dicapai dari ibu kota Kecamatan Gisting sejauh 3 (tiga) km, dari ibu kota Kabupaten Tenggamus sejauh 10 km, dan dari Ibu Kota Provinsi Lampung sejauh 70 km. Dari ibu kota provinsi dapat dicapai dengan kendaraan bermotor roda empat hingga ke lokasi KUBE. Secara geografis, Desa Campang memiliki lahan yang relative kurang subur, dengan system pertanian tadah hujan. Hasil pertanian seperti beras, sayuran, pisang dan kelapa. Namun demikian, karena sebagian terluas dari lahan pertanian, Pemberdayaan Masyarakat Miskin
35
berupa tanah kering atau pengairan tadah hujan, maka hasil pertanian hanya dapat dipanen setahun sekali. Oleh karena itu, hasil pertanian dari Desa Campang dan belum dapat memenuhi kebutuhan penduduknya. Desa Campang dihuni oleh 4.664 jiwa dengan rincian sebanyak 2.349 jiwa dan perempuan sebanyak 2.315 jiwa. Sebagian besar penduduk menganut agama Islam, dan hanya beberapa jiwa yang bergama lain. Meskipun demikian, selama ini mereka menjalankan kehidupan dengan rasa tolerasi yang tinggi. Belum pernah terjadi konflik sosial di antara mereka yang berbeda agama, dan di antara mereka saling kerja sama untuk kegiatan sosial. Perpindahan penduduk juga sering terjadi karena desakan kebutuhan keluarga. Dan di tingkat desanya warga yang migrasi ke luar Lampung dalam satu tahun sebanyak 3 – 4 keluarga. Disamping itu warga juga senang melakukan kegiatan keagamaan seperti pengajian dan gotong royong yang menjadi aktivitas sosial warga. Di Desa Campang terdapat permasalahan kesejahteraan sosial, sebagaimana tabel berikut : NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9
36
PMKS Balita telantar Anak telantar Anak KTK Anak nakal Anak Cacat Wanita RSE Wanita KTK Lanjut Usia Paca
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
JUMLAH (orang/unit) 29 118 4 15 5 35 11 21 19
10 11 12 13 14 15 16
Gelandangan Eks Napi Penyalahgunaan Napza Fakir Miskin Rumah TLH Keluarga Rentan Pekerja Migran
2 3 22 230 27 25 24
Sumber: Desa Campang, 2008.
Di Desa Campang memiliki perkumpulan sosial yang ada seperti Kelompok jimpitan, arisan, pengajian, kelompok kesenian, rukun kematian, posyandu dan kelompok lansia. Kemudian Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang ada di Desa Campang, yaitu Pekerja Sosial Masyarakat (5 orang), WKSBM (5 unit), organisasi sosial (8 unit) dan Karang Taruna. Masyarakat juga melakukan interaksi sosial dengan komunitas luar seperti acara keluarga pada hari-hari menjelang lebaran dan acara suka cita serta apda acara kedukaan (ada warga yang mendapatkan musibah, sakit dan meninggal dunia). Desa Campang telah memiliki berbagai jenis infrastruktur ekonomi mampun sosial, seperti warung sembako, sekolah (SD), Posyandu, sarana olah raga , sarana ibadah umat islam (masjid dan mushala), penerangan listrik, transportasi umum dengan kendaraan bermotor (ojek motor, angkutan perdesaan), telepon, dan media massa (televisi, radio). b. Desa Gisting Atas Desa Gisting Atas merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Gisting. , dengan luas wilayah 771,65 hektare. Batas-batas wilayah Desa Gisting Atas sebelah utara dengan Pekon/Desa Gisting Bawah, sebelah selatan dengan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
37
Kecamatan Kota Agung Timur, sebelah timur dengan utan Kawasan Register 28 dan sebelah barat Hutan Kawasan Register 30. Desa Gisting Atas dapat dicapai dari ibu kota Kecamatan Gisting sejauh 2,5 km, ke Ibu Kota Kabupaten sejauh 9 km dan ke Ibu Kota Provinsi sejauh 73 km. Meskipun demikian, untuk mencapai Desa Gisting Atas relatif mudah, karena dapat dijangkau dengan kendaraan bermotor hingga ke lokasi KUBE. Desa Gisting Atas merupakan daerah pertanian tadah hujan. Hasil pertanian dari kedua desa ini seperti beras, sayuran, pisang dan kelapa. Namun demikian, karena sebagian terluas dari lahan pertanian, berupa tanah kering atau pengairan tadah hujan, maka hasil pertanian hanya dapat dipanen setahun sekali. Oleh karena itu, hasil pertanian dari Desa Gisting Atas belum dapat memenuhi kegutuhan penduduknya. Akibat dari kondisi perekonomian tersebut, perpindahan penduduk sering terjadi ke luar desa, terutama ke Bandar Lampung karena desakan kebutuhan keluarga. Desa Gisting Atas dihuni oleh 10.84 jiwa dengan rincian lakilaki berjumlah 5.429 jiwa dan perempuan berjumlah 5.345 jiwa. Sebagian besar dari penduduk tersebut memiliki mata pencaharian sebagai petani yang mengolah lahan pertanian tadah hujan. Sebagian besar penduduk (10.779 jiwa) beragama Islam dan selebihnya beragama Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Meskipun penduduk Desa Gisting Atas menganut lebih dari satu agama, selama ini mereka hidup rukun dan damai belum pernah terjadi konflik sosial antara kelompok masyarakat. Meskipun secara ekonomi pada umumnya warga masyarakat dihadapkan dengan berbagai keterbatasan, tetapi dalam
38
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
kehidupan sosial mereka hidup dalam kehidupan sosial yang harmonis. Belum pernah terjadi konflik sosial, baik antara warga di desa maupun dengan desa luar. Warga masyarakat juga melakukan interaksi sosial dengan komunitas luar seperti menghadiri acara keluarga pada saat lebaran, ada peristiwa kedukaan dan suka cita. Disamping itu warga secara berkala melakukan kegiatan keagamaan, seperti pengajian, gotong royong dan upacara adat. TABEL 2 : PENYANDANG MASALAH KESEJAHTERAAN SOSIAL DI DESA GISTING NO 1 2 3 4 5 6 7 8
PMKS Anak telantar KDRT Pekerja Migran Paca Fakir Miskin Napza Rumah TLH Anak nakal
JUMLAH 186 6 6 57 625 10 500 76
Sumber : Desa Gisting Atas, 2008.
Selain banyaknya PMKS, Desa Gisting Atas sering mengalami bencana alam seperti angin puting beliung dan udaranya sejuk seperti di daerah pegunungan umumnya. Desa Gisting Atas memiliki perkumpulan sosial yang ada seperti Kelompok jimpitan, arisan, pengajian, kelompok kesenian, rukun kematian, posyandu dan kelompok lansia. Kemudian Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) yang ada di Desa Gisting Atas, yaitu Pekerja Sosial Masyarakat (7 orang), WKSBM (1 unit), Pondok organisasi sosial (1 unit) dan Karang Taruna.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
39
4. Provinsi Jawa Barat Penelitian di Provinsi Jawa Barat dilaksanakan di Kabupaten Cirebon, di Kecamatan Babatan. Hal ini berdasarkan pertimbangan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat dan Dinas Sosial Kabupaten Cirebon, bahwa di Babakan memiliki KUBE BLPS yang dinilai berhasil. Hal ini diperkuat oleh petugas pada Dinas Sosial Kabupaten Cirebon, bahwa bedasarkan hasil monitoring dan evaluasi, sekitar 30 persen KUBE di Kabupaten Cirebon dinilai berhasil. Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kabupten Cirebon, maka ditentukan dua desa, yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Gembongan dan Desa Karangwangun, yang keduanya di Kecamatan Babakan. a. Desa Gembongan Desa Gembongan merupakan salah satu desa yang termasuk wilayah Kecamatan Babakan. Orang yang baru memasuki Desa Gembongan tentu akan bertanya-tanya, apakah benar di desa ini ada penduduk yang masuk kategori fakir miskin. Karena sejak memasuki desa ini, pemandangan yang menarik adalah rumah-rumah penduduk, baik di kanan kiri jalan utama desa maupun di jalan dusun. Rumah berukuran cukup besar dengan arsitek modern, dan secara fisik berkesan mewah, seperti rumah-rumah mewah di kota-kota besar. Menurut kepala desa, di Desa Gembongan memang banyak rumah-rumah yang mewah. Tetapi apa yang kelihatan secara fisik itu, berbeda dengan yang terjadi sesungguhnya. Dijelaskan, bahwa sekitar 500 orang warga Desa Gembongan bekerja di luar negeri, yaitu di Saudi Arabia, Thaiwan, Jepang dan Korea. Mereka secara berkala mengirimkan uang kepada orangtuanya untuk membangun rumah. Salah seorang warga mengatakan, bahwa tiga anaknya yang bekerja di Korea,
40
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
setiap bulan mengirim uang sebesar 10 juta rupiah. Rumah-rumah mewah itu saat ini dihuni oleh orang-orang tua yang anak-anak mereka bekerja di luar negeri. Orangtuaorangtua tersebut hidup dalam kondisi pas-pasan. Seharihari mereka bertani (lahan sendiri), buruh tani, tukang batu, dan buruh tidak tetap. Ini memang ironis, di dalam rumah yang berkesan mewah itu ternyata dihuni oleh orang-orang yang menghadapi permasalahan secara ekonomis. Fenomena ini menggambarkan, bahwa rumah menjadi simbul dan citra, bahwa anak-anak mereka bekerja dan sukses di luar negeri. Desa Gembongan memiliki luas wilayah 188,901 hektare, yang secara administratif memiliki batas-batas wilayah sebelah utara dengan Desa Dompyong Kulon, sebelah selatan dengan Desa Serang Wetan, sebelah timur dengan Desa babakan Gebang dan sebelah barat dengan desa Gembongan Mekar. Desa ini termasuk desa pertanian dengan lahan yang subur. Dimana di desa ini terdapat perkebunan tebu, perkebunan bawah merah, perkebunan jagung dan pertanian sawah dengan sistem irigasi. Tanaman buahbuahan di pekarangan rumah penduduk, seperti mangga dan pisang tumbuh dengan subur. Desa Gembongan ini mudah dijangkau, karena seluruh wilayah desa berupa dataran dengan kondisi jalan beraspal hingga ke lokasi KUBE. Dari ibu kota kecamatan berjarak 2 km (10 menit), dari ibu kota kabupaten berjarak 38 km (60 menit) dan dari ibu kota provinsi berjarak 189 km (4 jam) dengan menggunakan kendaraan bermotor roda empat. Desa Gembongan dihuni oleh 5.468 jiwa dengan rincian laki-laki berjumlah 2.697 jiwa dan perempuan berjumlah 2.771 jiwa. Sebagian besar penduduk termasuk berada pada usia
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
41
produktif. Penduduk yang berumur 56 tahun ke atas berjumlah 172 jiwa atau 3,15 persen dari jumlah penduduk. Kemudian dari penduduk yang berada pada usai kerja (15 ke atas), sebagian besar adalah petani, menyusul jasa/ perdagangan, tukang batu, tukang kayu dan penjahit. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar penduduk masih termasuk berpendidikan rendah, yaitu menamatkan SD dan SLP. Penduduk yang menamatkan SLA ke atas berjumlah 266 orang, dimana dari jumlah tersebut sebanyak 13 orang menamatkan pendidikan tinggi setingkat S1. Desa Gembongan dihuni oleh penduduk yang relatif homogen dilihat dari suku/ras, dan agama. Karena itu, kondisi sosial masyarakat desa ini cukup kondusif. Dari observasi terlibat, tampak bahwa interaksi sosial antar warga maupun warga dengan perangkat desa cukup baik. Kehidupan tolong menolong dan gotong royong antar warga tetap dipertahankan, baik di kalangan kelompok dewasa maupun remaja/pemuda. Terwujudnya kedamaian sosial tersebut difasilitasi oleh kelompok-kelompok sosial di setiap lingkungan, seperti majelis ta’lim, arisan, kelompok olah raga dan kegiatan kerja bakti di lingkungan yang dikoordinasikan oleh RT/RW. Menurut aparat desa, di Desa Gembongan terdapat berbagai jenis PMKS. Namun demikian sampai saat ini PMKS yang ada belum dilakukan pendataan, sehingga belum diketahui dengan pasti jenis dan jumlahnya pada setiap PMKS, kecuali Rumah Tangga Miskin (RTM). Jenis PMKS yang ada, yaitu fakir miskin/RTM (471 KK), balita telantar, anak telantar, lanjut usia telantar/jompo, wanita rawan sosial ekonomi dan penyandang cacat. Selain itu, terdapat 42
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
penggangguran pada penduduk usia 15-55 tahun dan remaja putus sekolah, yang menurut aparat desa jumlahnya cukup banyak. Tidak adanya pekerjaan di desa asal dan putus sekolah, merupakan kondisi yang mendorong mereka sebagai tenaga kerja (TKI) ke luar negeri. Desa Gembongan termasuk Desa Swa Daya, dilihat dari tipe desa. Desa ini telah memiliki berbagai jenis infrastruktur ekonomi maupun sosial, seperti warung sembako, sekolah (TK dan SD), Posyandu, sarana olah raga (bola voli), masjid dan mushala, penerangan listrik, transportasi umum dengan kendaraan bermotor (ojek motor, angkutan perdesaan), telepon, dan media massa (televisi, radio, surat kabar lokal). b. Desa Karangwangun Desa Karangwangun merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Babakan. Desa ini secara administrative memiliki batas-batas wilayah sebelah utara dengan Desa Gebang Kecamatan Gebang, sebelah selatan dan barat dengan Desa Babakan, dan sebelah timur dengan Desa Pakusamben kedua desa tersebut termasuk wilayah Kecamatan Babakan. Desa Karangwangun ini mudah dijangkau, karena seluruh wilayah desa berupa dataran dengan kondisi jalan beraspal hingga ke lokasi KUBE. Dari ibu kota kecamatan berjarak 2 km (10 menit), dari ibu kota kabupaten berjarak 36 km (60 menit) dan dari ibu kota provinsi berjarak 200 km (4 jam dan 15 menit) dengan menggunakan kendaraan bermotor roda empat. Desa Karangwangun dihuni oleh 1.982 KK atau 7.117 jiwa dengan dengan rincian laki-laki berjumlah 3.528 jiwa dan perempuan berjumlah 3.589 jiwa. Sebagian besar penduduk Pemberdayaan Masyarakat Miskin
43
termasuk berada pada usia produktif. Penduduk yang berumur 56 tahun ke atas berjumlah 821 jiwa atau 11,54 persen dari jumlah penduduk. Kemudian dari penduduk yang berada pada usai kerja (15 ke atas), sebagian besar adalah petani, buruh tani, karyawan swasta, dan PNS. Kemudian dilihat dari tingkat pendidikan, menurut aparat desa sebagian besar penduduk masih termasuk berpendidikan rendah. Masih banyak penduduk usia kerja (18-55 tahun) yang buta aksara, tidak tamat SD dan tamat SD. Sementara itu penduduk yang menamatkan pendidikan SLA berjumlah 405 orang dan perguruan tinggi berjumlah 51 orang. Desa Karangwangun dihuni oleh penduduk yang relative homogen dilihat dari suku/ras, dan agama. Penduduk adalah suku/ras sunda dan pada umumnya beragama Islam. Homogenitas ini yang mampu membangun kondisi sosial masyarakat desa ini cukup kondusif. Interaksi sosial antar warga maupun warga dengan perangkat desa cukup baik, yang ditandai dengan kehidupan tolong menolong dan gotong royong antar warga, baik di kalangan kelompok dewasa maupun remaja/pemuda. Terwujudnya kedamaian sosial tersebut difasilitasi oleh kelompok-kelompok sosial di setiap lingkungan, seperti majelis ta’lim, kelompok tani, arisan, kelompok olah raga dan kegiatan kerja bakti di lingkungan yang dikoordinasikan oleh RT/RW. Di Desa Karangwangun terdapat berbagai jenis PMKS. Namun demikian sampai saat ini PMKS yang ada belum dilakukan pendataan, sehingga belum diketahui dengan pasti jenis dan jumlahnya pada setiap PMKS, kecuali Rumah Tangga Miskin (RTM). Jenis PMKS yang ada, yaitu fakir miskin/RTM (471 KK), balita telantar, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik, anak telantar, lanjut usia telantar/ 44
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
jompo, wanita rawan sosial ekonomi dan penyandang cacat. Selain itu, terdapat penggangguran pada penduduk usia 1555 tahun berjumlah 420 orang, dan remaja putus sekolah pada tingkat SD, SLP maupun SLA yang menurut aparat desa berjumlah 117 orang. Kemudian anak yang bekerja membantu keluarga menghasilkan uang berjumlah 20 orang dan perempuan yang menjadi kepala keluarga berjumlah 364 orang. Desa Karangwangun memiliki berbagai jenis infrastruktur ekonomi maupun sosial, seperti warung sembako, sekolah (TK dan SD), Posyandu, sarana olah raga, masjid dan mushala, penerangan listrik, transportasi umum dengan kendaraan bermotor (ojek motor, angkutan perdesaan), telepon, dan media massa (televisi, radio, surat kabar lokal). 5. Provinsi Jawa Timur Penelitian di Provinsi Jawa Timur dilaksanakan di Kabupaten Pacitan. Penentuan Kabupaten Pacitan berdasarkan pertimbangan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur, bahwa KUBE di Kabupaten Pacitan dinilai berhasil. Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Kabupten Pacitan, maka ditentukan dua desa, yang menjadi lokasi penelitian, yaitu Desa Belah Kecamatan Donorojo dan Desa Glinggangan Kecamatan Pringkuku. a. Belah Desa terletak di bagian barat dari kabupaten Pacitan, berjarak 21 km dari ibu kota kabupaten dan apabila dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama 50 menit. Sebagaimana diketahui, bahwa Desa Belah berada di daerah yang hampir berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah. Secara orbitasi jarak dari desa ke ibu kota kecamatan sejauh 2 km yang dapat ditempuh selama lima menit dengan kendaraan bermotor. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
45
Desa Belah secara administratif pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Donorojo. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Runo yang masih termasuk wilayah Kecamatan Donorojo, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sana, sebelah barat berbatasan dengan Desa Ngasem dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Royong. Secara keseluruhan luas wilayah desa adalah 845,376 hektare, dengan penggunaannya untuk permukiman seluas 226,285 hektare, pertanian sawah seluas 93,745 hektare, ladang/tegalan seluas 471,628 hektar, hutan seluas 125 hektare, perkebunan seluas 41 hektare dan lainnya (bangunan, dan fasilitas umum) seluas 1,92 hektare. Desa Belah relatif subur mencakup wilayah seluas 83,475 hektare dan yang kategori sedang seluas 371,685 hektare. Meskipun secara geografis tidak jauh dari laut, namun daerah ini terdapat dalam ketinggian 400-650 meter di atas permukaan laut. Hasil pertanian Desa Belah meliputi palawija, padi, buahbuahan dan tanaman obat-obatan. Jenis palawija yang didapat meliputi kacang tanah, jagung dan ubi kayu. sedangkan untuk jenis padi didapat dari dua jenis lahan, yakni dari sawah seluas empat hektare dan padi ladang seluas 300 ha. Dengan demikian lebih banyak daerah tanaman padi gogo, yakni bukan padi sawah yang didapat dari daerah ini. Untuk buah-buahan dihasilkan jenis rambutan, mangga, salak dan semangka. Sedangkan untuk tanaman obat-obatan berupa kunyit dan lengkuas. Sarana pertanian, pada umumnya masih mengandalkan curah hujan musiman, dan belum terdapat sarana irigasi teknis. Itulah sebabnya Desa Belah lebih berorientasi pada jenis tanaman tegalan yang berupa kelapa dan pinang. Kemudian untuk peternakan, pada umumnya penduduk 46
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
beternak sapi potong, kambing dan domba. Selain itu terdapat ternak ayam ras. Desa Belah dihuni oleh 824 KK atau 3.876 orang, yang terdiri dari laki-laki berjumlah 2.265 orang dan perempuan berjumlah 1.691 orang. Dari jumlah tersebut apabila dikategorikan menurut umur balita berjumlah 416 orang, usia anak berjumlah 824 orang, orang dewasa berjumlah 1.166 orang dan lanjut usia berjumlah 586 orang. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, yakni berjumlah 944 orang dan bekerja di sektor industri berjumlah 62 orang. Penduduk Desa Belah sebagian besar menamatkan SD, berjumlah 2.205 orang, SLTP berjumlah 546 orang, SLTA berjumlah 157 orang dan tidak tamat SD berjumlah 420 orang. b. Glinggangan Desa Glinggangan terletak di bagian barat dari kabupaten Pacitan yang apabila dijangkau dengan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama 40 menit dari bukota Kabupaten, atau sekitar 21 km dari ibukota kabupaten. Seperti diketahui bahwa wilayah ini berada di daerah yang hampir berbatasan dengan provinsi Jawa Tengah. Secara orbitasi jarak dari desa ke ibu kota kecamatan terdekat adalah 4 km yang dapat ditempuh kira-kira 15 menit dengan kendaraan bermotor Desa Glinggangan secara administratif pemerintahan berada di wilayah kecamatan Pringkuku. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pelem yang masih termasuk wilayah kecamatan Pringkuku, dan sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sedeng kecamatan Pacitan. Adapun bagian Barat berbatasan dengan Desa Ngadirejan kecamatan Pringkuku dan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Sambong kecamatan Pacitan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
47
Secara keseluruhan luas wilayah desa adalah 644,380 hektar, dengan penggunaannya untuk permukiman seluas 138,285 hektar, pertanian sawah seluas 83,745 hektar, ladang/tegalan seluas 371,685 hektar, perkebunan seluas 51 hektar,hutan seluas 100 hektar dan lainnya seluas 2,160 hektar. Secara georgafis Desa Glinggangan relatif subur. Sesuai dengan gambaran yang didapat di desa ini, tingkat subur mencakup wilayah seluas 83,475 hektare dan yang kategori sedang seluas 371,685 hektare. Meskipun secara geografis tidak jauh dari laut, namun daerah ini terdapat dalam ketinggian 300-600 meter di atas permukaan laut. Hasil pertanian yang diperoleh di desa ini meliputi palawija, padi, buah-buahan dan tanaman obat-obatan. Jenis palawija yang didapat meliputi kacang tanah, jagung dan ubi kayu. sedangkan untuk jenis padi didapat dari dua jenis lahan, yakni dari sawah seluas empat ha dan padi ladang seluas 300 hektare. Dengan demikian lebih banyak daerah tanaman padi gogo, yakni bukan padi sawah yang didapat dari daerah ini. Untuk buah-buahan dihasilkan jenis rambutan, mangga, salak dan semangka. Sedangkan untuk tanaman obat-obatan berupa kunyit dan lengkuas. Sarana pertanian, pada umumnya masih mengandalkan dari curah hujan musiman dan belum terdapat sarana irigasi. Itulah sebabnya maka daerah ini lebih berorientasi pada jenis tanaman tegalan. Sedangkan hasil untuk tanaman tegalan ini terbanyak adalah dari tanaman kelapa dan pinang. Untuk peternakan di desa ini pada umumnya beternak sapi potong, kambing dan domba. Selain itu terdapat ternak ayam ras. Desa Glinggangan dihuni oleh 719 KK atau 2.966 orang, yang terdiri dari laki-laki berjumlah 1.265 orang dan perempuan
48
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
berjumlah 1.798 orang. Proporsi penduduk menurut umur, yaitu balita berjumlah 318 orang, 6-18 tahun berjumlah 770 orang, 19-60 tahun berjumlah 1.092 orang dan di atas 60 tahun berjumlah 688 orang. Penduduk Desa Glinggangan paling banyak memiliki mata pencaharian sebagai petani, yakni sekitar 736 orang dan bekerja di sektor industri sebanyak 22 orang. Kemudian dari dilihat dari aspek pendidikan, paling banyak adalah menamatkan SD, yakni sebanyak 1904 orang, SLTP sebanyak 474 orang, SLTA 237 orang dan tidak tamat SD sebanyak 320 orang. Organisasi Kemayarakatan yang ada di desa ini meliputi LKMD, majelis taklim, pengajian, lembaga adat serta organisasi kepemudaan yang dikenal sebagai Karang Taruna. Organisasi-organisasi dimaksud relatif aktif dan dipakai sebagai wadah pengembangan masyarakat. Di Glinggangan terdapat berbagai penyandang masalah kesejahteraan sosial seperti anak terlantar, kecacatan, lanjut usia terlantar dan sebagainya. Namun demikian, diakui bahwa hingga saat ini belum pernah ada pendataan. Kalaupun pernah ada, menyangkut masalah kemiskinan. B.
KARAKTERISTIK RESPONDEN Sebagaimana dijelaskaan sebelumnya, bahwa sasaran P2FMBLPS adalah masyarakat miskin. Kata ‘miskin’ menunjuk pada kondisi yang diliputi serba keterbatasan pada orang, baik secara individu maupun kelompok untuk hidup layak dan manusiawi. Berikut akan dideskripsikan kondisi responden penelitian menurut umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, penghasilan dan jumlah tanggungan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
49
1. Responden menurut umur Responden dalam penelitian ini sebagian besar, yang sebanyak 172 orang atau 86 persen berada pada umur 24 - 55 tahun. Rentang umur tersebut berada pada usia produktif. Kemudian sebanyak 9 orang atau 4.5 persen yang berumur 56 59 tahun, dan sebanyak 19 atau 9.5 persen berumur 60 - 72 tahun. Proporsi responden menurut umur sebagaimana tampak pada diagram 1 berikut :
Berdasarkan pedoman P2FM-BLPS, bahwa umur yang dipersyaratkan bagi penerima program antara 15 – 55 tahun. Sementara itu, dari penelitian ini diperoleh data terdapat responden atau penerima program PFM-BLPS yang umurnya 56 – 72 tahun yang cukup signifikan. Dengan demikian pada proses identifikasi dan seleksi untuk menetapkan penerima program, apabila merujuk pada buku pedoman terjadi bias sasaran sebesar 14 persen. Sedangkan apabila aspek umur ini dikaitkan dengan kriteria PMKS yang menjadi sasaran program Departemen Sosial, maka 50
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
pada rentang umur 15 - 55 tahun tersebut terdapat kelompok anak (umur anak 0 - < 18 tahun), dan belum menjangkau kelompok 56 - 59 tahun, yaitu kelompok yang belum termasuk lanjut usia (umur lanjut usia 60 tahun ke atas). 2. Responden menurut Jenis Kelamin Responden laki-laki yang terjangkau di dalam penelitian ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan responden perempuan. Laki-laki berjumlah 176 orang atau 88 persen, sementara itu responden perempuan berjumlah 24 atau 12 persen dari total responden. Proporsi responden menurut jenis kelamin dapat dilihat pada diagram 2 berikut :
Responden perempuan ini sebagian sebagai kepala rumah tangga dan sebagian yang lain ibu rumah tangga. Pada kasus KUBE di Provinsi Sulawesi Utara, anggota KUBE adalah perempuan dengan status ibu rumah tangga dan bersuami. Terbentuknya KUBE perempuan (ibu rumah tangga) ini menjadi bias dengan sasaran pada program pemberdayaan perempuan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
51
3. Responden menurut Pendidikan Sebagian besar responden di dalam peneltiain ini, yaitu berjumlah 194 orang termasuk berpendidikan rendah, sebagaimana dapat dilihat pada diagram 3 berikut. Hanya 6 orang atau 3 persen responden yang berpendidikan SLA. Kondisi ini mendukung kajian teoretis, yang menyatakan bahwa fakir miskin pada umumnya menghadapi keterbatasan dalam mengakses pelayanan sosial dasar, salah satunya adalah pendidikan.
Pendidikan yang rendah menyebabkan pengetahuan dan keterampilan mereka juga terbatas. Berbagai keterbatasan ini menyebabkan mereka mengalami kesulitan untuk menemukan cara-cara baru dalam mengatasi masalah yang dihadapi. Seringkali mereka kesulitan untuk mengartikulasikan kebutuhannya, dan tidak mampu membedakan antara kebutuhan dengan keinginan. Kondisi demikian itu akan menciptakan lingkaran kemiskinan, apabila tidak ada intervensi dari luar. 4. Responden menurut Pekerjaan Jenis pekerjaan responden dalam penelitian ini bervariasi, yaitu petani, nelayan, buruh, dagang, tukang dan lainnya. Jumlah responden yang memiliki pekerjaan sebagai petani paling besar 52
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
jika dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain, yaitu berjumlah 94 orang atau 47 persen. Proporsi responden menurut jenis pekerjaan sebagaimana tampak pada diagram 4 berikut :
Melihat jenis-jenis pekerjaan responden, pada umumnya mereka memiliki jenis-jenis pekerjaan yang banyak mencurahkan tenaga fisik, konsisten dengan pendidikan mereka yang pada umumnya relatif rendah. Hal ini akan berkaitan dengan besarnya penghasilan rumah tangga dan kemampuan konsumsi mereka terhadap kebutuhan dasar. 5. Responden menurut Penghasilan Pendidikan dan keterampilan yang rendah akan menentukan pilihan pada jenis-jenis pekerjaan responden yang pada umumnya termasuk jenis pekerjaan rendah karena lebih banyak mencurahkan tenaga fisik. Jenis pekerjaan demikian tentu akan mempengaruhi besar kecilnya penghasilan mereka per bulan. Pada diagram 5 disajikan data, bahwa sebanyak 151 orang atau 75.5 persen responden memiliki penghasilan kurang dari Rp. 600.000, kemudian sebanyak 41 orang atau 20.5 persen yang
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
53
berpenghasilan antara Rp. 601.000 – 1.500.000 dan sebanyak 8 orang atau 4 persen yang berpenghasilan di atas Rp. 1.500.000.
Berdasarkan data besarnya penghasilan, pekerjaan dan pendidikan responden, menunjukkan bahwa sebagian besar responden termasuk fakir miskin, kemudian miskin dan rentan miskin. Klaster-klaster ini akan berkaitan dengan metode pemberdayaan yang sesuai bagi mereka, apakah hibah murni, atau hibah bersyarat. 6. Responden menurut Jumlah Tanggungan Pada jumlah tanggungan, sebanyak 142 atau 71 persen respon memiliki tanngungan cukup sedikit, yaitu 0 – 4 jiwa. Sedangkan responden yang memiliki tanggungan 5-6 jiwa sebanyak 49 orang atau 24,5 persen dan responden yang memiliki tanggungan 7-8 jiwa sebanyak 9 orang atau 4,5 persen, sebagaimana tampak pada diagaram 6 berikut :
54
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Meskipun jumlah tanggungan relatif kecil, akan tetapi penghasilan responden rendah. Karena itu mereka tetap menghadapi permasalahan kesejahteraan sosial. Apalagi responden yang memiliki tanggungan 5 – 8 jiwa yang berjumlah 58 orang atau 29 persen, tentu beban ekonomi rumah tangga mereka akan lebih berat lagi. Hal ini berarti, hampir sepertiga responden dalam penelitian ini berada dalam kondisi yang masih jauh dari garis kemiskinan. Pada bab terdahulu diuraikan 4 (empat) aspek yang menjadi perhatian dalam penelitian evaluasi ini, yaitu konteks, input, proses, dan produk. Keempat aspek tersebut didasarkan pada kajian teoretis yang dikembangkan dari Stevelbeam, yang dikutip oleh Isaac dan Michael (1983). Empat aspek tersebut akan membantu peneliti untuk mengetahui pengaruh implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS) terhadap kondisi KUBE dan warga dampingan sosial.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
55
56
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Bab
III
DESKRIPSI HASIL PENELITIAN
A. KONTEKS Keberhasilan sebuah program dipengaruhi berbagai kondisi, yaitu instrumen penyelenggaraan program, penyelenggara program, dukungan pemegang otoritas, insfrastruktur sosial dan ekonomi serta masyarakat dimana program diimplementasikan. Sehubungan dengan itu, berbagai hal yang termasuk di dalam unsur konteks ini perlu diidentifikasi dan diinventarisasi dengan tepat dan cermat, sehingga ketika program diimplementasikan, maka kondisi yang berpengaruh itu sifatnya memberikan dukungan atau sebagai sistem sumber, dan bukan sebaliknya malahan sebagai kendala. Penyelenggara program seringkali melupakan unsur-unsur di dalam konteks ini, dan pemikirannya lebih banyak dicurahkan pada pengelolaan anggaran dan hal-hal yang bersifat administratif. Penyelenggara program sudah merasa programnya siap untuk diimplementasikan, ketika panduan telah didistribusikan, ketika pendamping telah diberikan sosialisasi dan pelatihan, dan ketika quota sasaran program secara difinitif telah ditetapkan. Hal ini tentu masih mengandung beberapa kelemahan, ketika sebuah program P2FMBLPS dirancang-kembangkan dan diimpelentasikan dengan prinsip dan pendekatan pemberdayaan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
57
1. Instrumentasi program Program P2FM-BLPS telah dibekali dengan manual yang berupa Pedoman Pelaksanaan Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial. Pedoman ini telah disebarluaskan kesetiap provinsi, tetapi belum seluruh kabupaten memperoleh pedoman tersebut. Para pendamping dari instansi sosial kabupten, kecamatan maupun desa memperoleh pedoman tersebut berupa foto copy pada waktu mereka mengikuti pelatihan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial. Sebagian besar instansi sosial provinsi dan kabupaten telah menggunakan pedoman kerja ini, meskipun diakui tidak semua sesuai dengan kondisi lapangan. Hanya instansi sosial Kabupaten Tanggamus yang menyusun pedoman kerja sesuai kondisi lokal berdasar pada pedoman kerja yang dibuat Departemen Sosial. Memang, pada pedoman kerja yang dibuat Departemen Sosial pada bab penutup memberi kesempatan kepada daerah untuk membuat pedoman kerja teknis yang lebih teknis dan sesuai dengan kondisi lokal. Tampaknya, daerah tidak sempat lagi untuk membuat pedoman kerja. Mereka tetap menggunakan pedoman kerja yang dibuat Departemen Sosial, dan ketika di lapangan petugas instansi sosial provinsi maupun kabupaten melakukan penyesuaian-penyesuaian. Kemudian berkenaan dengan aspek yuridis, Pemerintah Daerah hingga saat ini belum menerbitkan Peraturan Daerah tentang penanggulangan kemiskinan. Hal ini tentu akan mempengaruhi komitmen daerah dalam penanggulangan kemiskinan. Pemerintah Daerah memang telah menyediakan anggaran dari APBD, tetapi masih jauh dari memadai dibandingkan dengan APBN. Padahal, Pusat telah berkali-kali mengingatkan kepada daerah agar penyelenggaraan pembangunan kesejahteraan sosial ada sharing budget dari Daerah. 58
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
2. Penyelenggara Program Penanggung jawab program P2FM, dan pendamping pada instansi sosial di provinsi dan kabupaten merupakan pihak yang bertanggung jawab terhadap implementasi program penanggulangan kemiskinan melalui P2FM-BLPS. Mereka itu yang melakukan kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pengakhiran program. Serangkaian kegiatan tersebut memerlukan pengetahuan, keterampilan dan komitmen, agar program P2FMBLPS dapat terlaksana dan mencapai tujuan yang optimal. Kondisi ideal tersebut hingga saat ini belum dapat diwujudkan. Berbagai kondisi yang terjadi di daerah, seperti mutasi internal di lingkungan instansi sosial maupun eksternal di luar lingkungan instansi sosial, karena memasuki masa pensiun, dan kesibukan di luar tugas kedinasan; merupakan kondisi sosial yang menyebabkan implementasi program P2FM-BLPS belum mencapai tujuan secara optimal. Ditemukan beberapa kasus di daerah, seperti (1) seorang seksi yang membidangi P2FM tidak mau menyerahkan dokumen hasil kegiatan pemberdayan FM kepada seksi yang menggantikannya, (2) seorang yang beberapa bulan lagi memasuki masa pensiun, diberi SK sebagai pendamping P2FM-BLPS. Maka ketika pelaksanaan P2FM-BLPS belum selesai, ia sudah memasuki masa pensiun, (3) data yang berkaitan dengan penyelenggaraan P2FM-BLPS dan hasil monitoring sulit diperoleh, karena di tangan satu orang. Temuan penelitian tersebut menunjukkan, bahwa penyelenggaraan P2FM-BLPS belum mampu membangun komitmen para penyelenggara program di daerah. Padahal, penanggulangan kemiskinan merupakan program prioritas Departemen Sosial, yang sekaligus menjadi program prioritas nasional. Kondisi ini sebuah kenyataan yang ironis, dimana pusat
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
59
telah bekerja keras memprioritaskan program P2FM-BLPS sebagai bagian dari program nasional penanggulangan kemiskinan, sementara itu respon daerah relatif masih rendah. 3. Otoritas Lokal Pada tingkat lokal atau desa, kepala desa merupakan pemegang otoritas pertama. Karena itu, implementasi program mesti melibatkan kepala desa dan aparatnya sejak tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Sebagai pemegang otoritas, kepala desa bisa menerima program yang masuk ke wilayahnya apabila program tersebut dinilai memberikan manfaat bagi warganya, dan pembangunan desa pada umumnya. Namun demikian, kepala desa juga bisa menolak program yang masuk ke wilayahnya, apabila program tersebut dinilai akan menimbulkan masalah baru. Pada implementasi P2FM-BLPS, pada umumnya kepala desa dan aparatnya terlibat mulai tahap persiapan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Keterlibatan kepala desa ini diketahui dari diskusi dengan anggota kelompok maupun hasil pengamatan partisipasi. Sebagaimana dikatakan salah seorang ketua anggota KUBE di Minahasa : “hukum tua suka marah-marah kalau kita tidak melaksanakan kegiatan dengan baik”. Juga disampaikan oleh anggota KUBE di Cirebon :” bapak kepala desa terjun langsung membantu kami mulai dari penentuan jenis usaha, pengelolaan usaha, pemasaran dan alternatif pengembangan usaha”. Ditemukan satu kasus, dimana kepala desa “memperluas” otoritasnya, yaitu menempatkan isterinya sebagai ketua KUBE dan anak laki-lakinya sebagai pendamping desa, meskipun kurang kompeten. Kebijaksanaan kepala desa ini kemungkinan besar memberi peluang timbulnya kesalahan manajemen dalam pengelolaan KUBE. Sebaliknya ditemukan satu kasus, dimana kepala 60
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
desa kehilangan otoritasnya dikarenakan ada intervensi dari instansi sosial kabupaten dalam menentukan jenis bantuan usaha. 4. Dukungan Masyarakat Warga masyarakat di luar kelompok/bukan sasaran program P2FM-BLPS, memberikan dukungan dalam pengelolaan program. Pada umumnya masyarakat di luar anggota KUBE mendukung implementasi program, seperti membantu dalam pemasaran produk, menjadi instruktur dan tenaga bantuan untuk mengelola usaha. Warga masyarakat membantu memasarkan ikan hasil usaha KUBE seperti terjadi di Minahasa. Kemudian di Pontianak, dua orang warga di luar anggota KUBE bekerja di bengkel motor dan mobil milik KUBE dan mereka menerima upah harian. Berdasarkan temuan kasus tersebut, implementasi P2FMBLPS memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar atau di luar anggota KUBE. Hal ini merupakan kondisi sosial yang kondusif guna mendukung implementasi program. Dukungan masyarakat ini menunjukkan, bahwa P2FM-BLPS tidak hanya memberikan manfaat bagi sasaran program, akan tetapi juga memberikan manfaat bagi masyarakat desa lainnya. Meskipun demikian, perlu antisipasi timbulnya kecemburuan dari warga masyarakat di luar KUBE. Dimana ia telah memenuhi kriteria, tetapi tidak mendapatkan bantuan melalui P2FM-BLS. Sementara itu, penerima P2FM-BLPS menerima bantuan selama dua tahun berturut-turut dengan nilai yang cukup besar, yaitu sebesar Rp. 20 juta/ kelompok pada tahun 2007, dan bantuan tambahan sebesar 30 juta Rupiah/kelompok pada tahun 2008. Apabila potensi kecemburuan ini kurang memperoleh perhatian dari aparat desa dan instasni sosial di kabupaten, maka akan menjadi permasalahan laten, dan potensial akan menjadi memicu terjadinya konflik sosial di kemudian hari. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
61
5. Lingkungan fisik/geografis Lingkungan fisik merupakan kondisi yang menentukan implementasi dan keberhasilan program. Lingkungan fisik dapat menjadi sumber yang menyediakan bahan-bahan produksi dan atau iklim yang mendukung proses produksi. Namun demikian, lingkungan fisik juga dapat menjadi tantangan, dan bahkan kendala yang menyebabkan implementasi dan kinerja program tidak optimal dan atau mengalami kegagalan. Karena itu, lingkungan fisik perlu dipertimbangkan secara matang oleh anggota KUBE dengan bimbingan pendamping maupun instansi sosial kabupaten pada saat merencanaan jenis usaha yang akan dikelola KUBE. KUBE yang mengelola ternak kambing maupun sapi pada kasus Cirebon, Lampung dan Pontianak; lingkungan fisik mendukung implementasi program, karena menyediakan bahan pakan ternak yang berupa : rumput, jerami, bekatul dan ampas tahu. Demikian juga KUBE yang mengelola perikanan air tawar dengan sistem jaring apung di Danau Tondano Kabupaten Minahasa. Sementara KUBE di Pacitan yang juga mengelola sapi, kondisi lingkungan fisik kurang dipertimbangkan, padahal lingkungan fisik kurang mendukung ketersediaan bahan/pakan ternak. Seperti dikemukakan oleh anggota KUBE : “ pengadaan bantuan dilakukan oleh anggota KUBE dengan membuat proposal, tetapi dibatasi hanya bentuk sapi, tidak boleh bentuk usaha lain”. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak, anggota KUBE mengeluarkan biaya yang cukup mahal, yaitu Rp. 200.000 per bulan. B. INPUT Prinsip pada sistem manajemen dalam proses produksi, apabila bahan dasar (row material) yang dimasukkan ke dalam mesin produksi berupa sampah, maka hasil yang akan dikeluarkan akan berupa 62
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
sampah pula. Di dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan bahan dasar atau input yang akan diproses itu adalah orang miskin, KUBE, pendamping, program, dan anggaran. a. Orang miskin (klien) Penerima manfaat dari P2FM-BLPS atau selanjutnya disebut dengan warga dampingan sosial adalah orang miskin berdasarkan kriteria yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, dimana kriteria yang sama digunakan oleh BPS bagi penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kriteria penerima manfaat program ini diatur cukup jelas di dalam Buku Pedoman Pelaksanaan P2FM-BLPS. Di dalam buku pedoman diatur dengan jelas, bahwa anggota KUBE pada P2FM-BLPS, orang miskin yang berumur 15 – 55 tahun dimana rentang umur ini dalam menurut BPS berada pada usia kerja. Pada penelitian ini ditemukan, anggota KUBE yang berumur 60 – 72 tahun, dimana mereka itu sebenarnya sudah termasuk lanjut usia. Kemudian berkenaan dengan jenis kelamin, di dalam buku pedoman tidak dijelaskan secara tegas. Karena itu, instansi sosial di daerah ada yang menafsirkan, bahwa anggota KUBE boleh perempuan meskipun mereka bukan kepala rumah tangga. Pada kasus KUBE di Minahasa, ditemukan satu kelompok KUBE yang mengelola usaha peminjaman peralatan katering, anggotanya perempuan semua, dan KUBE ini diketuai oleh isteri kepala desa. Kemudian dilihat dari besarnya penghasilan, sebagimana dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa sebanyak 151 orang atau 75.5 persen responden memiliki penghasilan kurang dari Rp.600.000 atau termasuk klaster pertama. Kemudian sebanyak 41 orang atau 20.5 persen yang berpenghasilan antara Rp. 601.000 - 1.500.000 atau klaster kedua. Selanjutnya sebanyak 8 orang
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
63
atau 4 persen yang berpenghasilan di atas Rp.1.500.000 – Rp.2.500.000 termasuk klaster ketiga. Penentuan klaster ini perlu diketahui, karena akan berkaitan dengan sistem pendistribusian bantuan kepada orang miskin. Penetapan orang miskin sebagai anggota KUBE bervariasi. Ada yang ditetapkan dengan Surat Keputusan instansi sosial provinsi, ada yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Desa dan ada yang tidak ditetapan secara resmi (dalam bentuk SK). Model penetapan di dalam SK pun berbeda-beda. Ada yang satu SK sekaligus menetapkan seluruh kelompok, ada yang satu SK hanya menetapkan satu kelompok. Penetapan orang miskin menjadi anggota KUBE ini adalah persoalan administrasi, tetapi dapat mempengaruhi implementasi dan kinerja program. b. KUBE P2FM-BLPS merupakan upaya pengembangan usaha ekonomis produktif yang dikelola oleh KUBE. Sebagaimana dijelaskan di dalam buku pedoman, bahwa salah satu persyaratan KUBE penerima program P2FM-BLPS, yaitu KUBE yang pernah menerima program penumbuhan, apakah oleh Pusat, provinsi maupun kabupten/kota. Berdasarkan penilaian instansi sosial provinsi dan kabupten/kota, KUBE calon penerima P2FM-BLPS adalah KUBE produktif serta memiliki usaha ekonomi yang prospektif untuk dikembangkan lebih lanjut. Temuan penelitian menunjukkan, seluruh KUBE yang menjadi sasaran penelitian pernah menerima Program Pemberdayaan Fakir Miskin dalam bentuk KUBE, dari Pusat, dari provinsi maupun dari kabupten/kota. Namun demikian, tidak semua KUBE yang menjadi sasaran penelitian ini menerima program dalam tahun yang berturut-turut. Ada KUBE yang pernah menerima P2FM setahun yang lalu, dua tahun yang lalu dan empat tahun yang lalu. Pada 64
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
umumnya aset mereka dari KUBE dari bantuan tahun sebelumnya sudah tidak ada lagi. Karena itu, ketika mereka menerima P2FMBLPS, anggota KUBE tersebut seperti mengelola usaha baru. Dari KUBE sasaran penelitian, sebanyak 65 persen KUBE sudah tidak memiliki aset lagi dari KUBE sebelumnya. Sebagian lain masih memiliki aset, akan tetapi sudah tidak dapat dijadikan barang modal karena rusak. Salah satu contoh aset yang tidak dapat digunakan sebagai modal usaha, seperti traktor tangan, dan mesin motor perahu nelayan pada kasus KUBE di Minahasa. Pada kasus KUBE di Cirebon, aset sebelumnya (tahun 2007) dari 11 ekor sapi tinggal satu ekor lagi. Sepuluh ekor dijual dan uangnya dibagi-bagi kepada angota KUBE, dan sisanya untuk membuat kandang sapi untuk F2FM-BLPS tahun 2008. Berdasarkan temuan lapangan, terjadi bias pada penentuan sasaran KUBE penerima P2FM-BLPS. Sebagian besar KUBE sebenarnya sudah tidak tepat lagi menerima bantuan pengembangan melalui P2FM-BLPS. Meskipun benar bahwa mereka itu sudah pernah menerima bantuan melalui P2FM (konvensional). Ditemukan kasus lain di Pontianak, dimana bantuan awal yang diberikan kepada KUBE berupa peralatan penangkap ikan (KUBE nelayan), tetapi bantuan pengembangan melalui P2FMBLPS berupa peralatan pesta. Padahal KUBE yang lama yang mengelola usaha penangkapan ikan, belum memberikan hasil yang layak bagi setiap anggota KUBE. Untuk usaha ekonomis yang baru ini tentu memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajerial yang baru, dan bukan bersifat pengembangan usaha. Kasus Pontianak ini menunjukkan, belum adanya kesamaan persepsi antara Pusat dengan Daerah dalam mendefinisikan “pengembangan usaha KUBE”.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
65
c. Pendamping Pendamping seseorang yang mampu melaksanakan berbagai peranan sosial dalam upaya mendukung penerima program untuk mengelola KUBE dengan baik. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan oleh pendamping lebih banyak berkaitan dengan kegiatan teknis, dibandingkan dengan kegiatan administratif. Sementara itu, di dalam buku pedoman dikenal ada pendamping provinsi, pendamping kebupaten/kota, pendamping kecamatan dan pendamping desa/kelurahan. Dari pendampingpendamping tersebut yang sering bertemu dengan anggota KUBE adalah pendamping desa/kelurahan. Pendamping desa/kelurahan yang sering melakukan kegiatan teknis pendamping kepada anggota KUBE, dibandingkan dengan ketiga pendamping lainnya yang lebih banyak melaksanakan kegiatan koordinasi. Rekruitmen pendamping KUBE desa/kelurahan menurut buku pedoman adalah seseorang penduduk desa/kelurahan setempat yang memiliki kemauan kerja, mengerti kriteria PMKS, PNS/tokoh masyarakat/relawan dan mengerti tugas-tugas pendampingan. Setelah ditetapkan sebagai calon pendamping desa/kelurahan, sebagian besar pendamping mengikuti pelatihan pendampingan yang dilaksanakan oleh Departemen Sosial melaui Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesejahteraan Sosial (B2P2KS). Sementara itu pada kasus Jawa Timur, para pendamping tidak mengikuti pelatihan. Mereka hanya memperoleh penjelasan tentang program yang akan diluncurkan. Karena itu, dalam melaksanakan pendampingan hanya bermodalkan pengetahuan, kemampuan dan pengalaman yang mereka miliki. Temuan penelitian menunjukkan, pada umumnya pendamping provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan kurang aktif memberikan pendampingan. Alasannya (1) keterbatasan jumlah tenaga dibandingkan dengan jumlah program dan luas wilayah kerja, (2) keterbatasan sarana transportasi, dan 66
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
(3) keterbatasan anggaran untuk kegiatan pendampingan. Demikian juga sebagian pendamping desa/kelurahan kurang aktif memberikan pendampingan, disebabkan mereka bekerja di luar desa untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ada pendamping yang berstatus pegawai negeri guru SD (kasus Lampung), selain menjadi pendamping juga aktif di PSM, Karang Taruna dan penanganan program-program sosial lainnya. Hal ini menyebabkan kegiatan pendampingan dilaksanakan pada malam hari dan dirasakan anggota kurang efektif. Kemudian di temukan kasus, ada pendamping yang sekaligus sebagai anggota KUBE, dan pendamping kabupten yang ketika program operasional sudah pensiun (kasus Cirebon). Mengenai jumlah pendamping, sebagian besar satu desa satu pendamping. Namun demikian, ditemukan ada dua pendamping di satu desa. Pendamping pada instansi sosial provinsi, kabupten, kecamatan maupun desa belum melaksanakan peranannya sebagaimana yang diharapkan. Sebagaimana dikemukakan oleh anggota KUBE :”pendamping bukan orang yang memahami betul permasalahan maupun pengelolaan usaha KUBE. Pendamping yang tugasnya membantu, mengarahkan dan memotivasi kelompok dalam mengelola bantuan dan mengatasi permasalahan, tidak dapat berbuat banyak terhadap permasalahan yang dihadapi kelompok”. Ditambahkan oleh anggota kelompok yang lain :”kesibukan pendamping di kantor, menyebabkan frekuensi pertemuan dengan anggota kelompok sangat jarang”. Bahkan untuk pendamping di Desa Parit Besar Kabupten Pontianak, anggota kelompok belum pernah bertemu dengan pendamping dari provinsi maupun kabupten. Implementasi P2FM-BLPS secara administratif selama 12 bulan. Namun demikian, hanya selama 6 (enam) bulan pelayanan pendampingan yang difasilitasi oleh Departemen Sosial RI, yaitu Pemberdayaan Masyarakat Miskin
67
Juli - Desember 2008. Padahal, program tahun 2008 masih berlangsung hingga tahun 2009, dikarenakan realisasi bantuan dan pengelolaan KUBE tahun 2008 efektif mulai Januari 2009. Jadi pendamping menerima honor lebih dahulu, sebelum mereka melaksanakan tugas pendampingan. Para pendamping mendapatkan honor yang diterima langsung ke nomor rekening pribadi dalam tiga termin, tanpa potongan dan diterima tepat waktu. Jumlah keseluruhan honor selama 6 (enam) bulan untuk masing-masing pendamping berbeda sesuai dengan tingkatannya. Pendamping provinsi mendapat honor sebesar Rp. 9.000.000, pendamping kabupaten sebesar Rp. 7.200.000, pendamping kecamatan sebesar Rp. 5.700.000, dan pendamping desa/ kelurahan sebesar Rp. 4.500.000. Bagi pendamping kecamatan dan desa, dalam melaksanakan tugas pendampingan dibekali dengan sarana dalam bentuk foto copy pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS. Pedoman tersebut menurut mereka tidak seluruhnya dapat digunakan karena tidak sesuai dengan kondisi lapangan, terlalu tebal dan sulit dipahami. Dikemukakan oleh pendamping kecamatan dan dasa di Minahasa, bahwa mereka ketika mengikuti pelatihan pendampingan di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial di Makasar dijanjikan oleh petugas Pusat akan diberi pakaian seragam. Sebagaimana dikemukakan oleh pendamping desa :”pada waktu kami ikut pelatihan pendamping di Makasar, kami sudah diukur baju seragam. Tapi sampai saat ini belum ada realisasinya. Tolong pak tanyakan ke Pusat”. Apa yang disampaikan oleh pendamping desa tersebut dibenarkan oleh pendamping kecamatan. d. Komponen Program/Kegiatan P2FM-BLPS di dalamnya meliputi komponen program/ kegiatan, yaitu advokasi, pelatihan pendamping dan warga
68
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dampingan sosial, bantuan UEP, pendampingan, monitoring dan evaluasi. Di dalam buku pedoman dijelaskan, bahwa di dalam advokasi meliputi kegiatan sosialisasi, deseminasi, dan informasi. Kemudian kegiatan pemantapan pendamping kecamatan dan pendamping desa/kelurahan selama 3 (tiga) hari, dan pelatihan anggota KUBE selama 1 (satu) hari. Distribusi bantuan untuk UEP dalam bentuk uang tunai yang ditransfer melalui BRI setempat ke rekening pengurus KUBE. Selanjutnya dilaksanakan monitoring dan evaluasi secara berjenjang untuk mengetahui, sejauhmana proses yang dilaksanakan sesuai dengan rencana, dan hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. e. Anggaran P2FM-BLPS merupakan kegiatan pemberdayaan fakir miskin yang diarahkan pada pengembangan usaha ekonomis produktif. KUBE yang dinilai produktif dan prospektif, diberi bantuan lagi agar mereka lebih produktif dari usaha ekonomi semula. Pada implementasi P2FM (konvensional) setiap KUBE menerima batuan sebesar RP. 20 juta sebagai modal usaha. Selanjutnya, melalui P2FM-BLPS, setiap KUBE menerima tambahan modal usaha sebesar Rp. 30 juta. Sehingga total bantuan yang diterima setiap KUBE sebesar Rp. 50 juta dengan rasio per orang WBS menerima bantuan sebesar Rp. 5 juta. Bantuan yang dimaksudkan sebagai strategi pemberdayaan fakir miskin tersebut, bersifat hibah murni, tanpa syarat dan tanpa penjaminan apapun. Sifat bantuan hibah ini tepat bagi fakir miskin atau rumah tangga sangat miskin, atau keluarga miskin klaster pertama dengan penghasilan kurang dari Rp. 600 ribu, sesuai dipersyaratan BPS bagi penerima BLT. Namun ditemukan kasus yang menunjukkan pengendalian penggunaan anggaran cukup lemah, dimana pembelian ternak Pemberdayaan Masyarakat Miskin
69
dengan harga di atas harga pasar; pakan ternak yang mestinya tidak membeli, juga dimasukkan dalam pengeluaran, dan anggaran obat-obatan yang sebenarnya tidak perlu. C. PROSES Secara umum proses implementasi P2FM-BLPS dapat dibagi dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal dan tahap pelaksanaan. 1. Tahap awal Pada tahap ini dilakukan kegiatan penyiapan pelaksanaan program yang meliputi kegiatan : a. Membentuk dan melaksanakan Tim Koordinasi BLPS (TK_BLPS) pada tingkat Provinsi dan Tingkat Kabupaten/Kota. Tim koordinasi ini dibentuk dengan tujuannya untuk mengoptimalkan koordinasi pelaksanaan P2FM-BLS di antara Pusat dan daerah. Struktur Organisasi TK-BLPS terdiri dari : ketua, wakil ketua, anggota, pelaksana harian, tim sekretariat dan tim teknis. susunan personalia TK-BLPS terdiri dari unsur instansi sosial provinsi/kabupaten, unsur bidang pemberdayaan fakir miskin, unsur BRI, unsur forum komunikasi PSM dan unsur Bappeda. Selain dalam tahapan impelementasi P2FM-BLPS, koordinasi dilaksanakan juga dalam rangka pengendalian. Koordinasi dalam pengendalian P2FM-BLPS ini dalam bentuk kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi. Pada kenyataannya, pembentukan tim koordinasi tersebut tidak memberi dampak langsung terhadap implementasi dan kinerja program P2FM-BLPS. Sebaliknya, menunjukkan adanya beban administrasi, karena agenda-agenda pertemuan mereka.
70
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
b. Seleksi kelayakan KUBE dan Pendamping Proses seleksi KUBE dan pendamping dilaksanakan secara berjenjang. Diawali oleh instansi sosial kabupaten menyiapkan data KUBE yang telah mendapatkan bantuan program pemberdayaan sebelumnya, baik dari dana dekonsentrasi (APBN) maupun dana APBD. Selanjutnya instansi sosial provinsi menseleksi KUBE berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Hasil seleksi KUBE diumumkan ke masing-masing instansi sosial kabupaten. Temuan lapangan menunjukkan, terjadi bias dalam identifikasi dan seleksi KUBE yang memenuhi kelayakan sebagai penerima P2FM-BLPS. Ditemukan ada KUBE yang sebenarnya tidak produktif dan tidak prospektif, tetapi mereka menerima P2FM-BLPS. Kemudian pada seleksi pendamping, masing-masing desa, kecamatan dan kabupaten mengusulkan ke instansi sosial provinsi. Selanjutnya instansi sosial provinsi menseleksi pendamping berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Hasil seleksi pendamping diumumkan ke masing-masing instansi sosial kabupaten. Temuan lapangan menunjukkan terjadi bias dalam seleksi pendamping. Ditemukan ada pendamping yang sudah mendekati masa pensiun, dan pendamping karena kedekatan hubungan dengan aparat desa. Akibat bias seleksi ini, ditemukan pendamping yang tidak dapat melaksanakan tugas-tugas pendampingan secara optimal. c.
Seleksi Proposal Kegiatan dan Alokasi Dana Bantuan KUBE. KUBE yang telah terpilih sebagai penerima P2FM-BLPS, diharuskan membuat proposal rencana kegiatan dan alokasi penggunaan dana bantuan yang dibantu oleh pendamping desa, kecamatan atau kabupaten dan mendapat persetujuan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
71
dari kepala desa. Proposal kegiatan diajukan melalui instansi sosial kabupaten kepada instansi sosial provinsi untuk dinilai, dan mendapatkan rekomendasi. Proposal tersebut diteruskan oleh instansi sosial provinsi ke Direktorat P2FM Departemen Sosial RI. Setiap KUBE memang membuat proposal kegiatan sebagai dasar untuk realisasi dana bantuan. Namun demikian, ditemukan KUBE yang membuat proposal kurang mempertimbangkan dengan cermat jenis usaha dan prospek dari usaha yang dipilih. Akibatnya, ketika usaha sudah berjalan, ada KUBE yang menginginkan penggantian jenis usaha. Kemudian ditemukan pula, ada intervensi dari instansi sosial kabupaten, baik dalam menentukan jenis usaha maupun dalam pengadaaan bahan-bahan yang akan dikelola KUBE. Semata-mata untuk memudahkan pembinaan, maka anggota KUBE diarahkan untuk mengelola satu jenis usaha, meskipun usaha tersebut kurang prospektif. Adapun sifat bantuan P2FM-BLPS adalah hibah murni. Warga dampingan sosial menerima bantuan dari Departemen Sosial dalam bentuk uang tunai sebesar Rp. 30 juta langung rekening KUBE melalui BRI. Oleh karena bantuan bersifat hibah, maka tidak ada agunan dalam bentuk apapun yang perlu disiapkan oleh anggota KUBE. d. Seleksi Dokumen-Dokumen Pendukung dalam Proses Pencairan Dana, Dokumen-dokumen pendukung, seperti nama KUBE, nama pendamping desa, rekening dan proposal kegiatan yang telah mendapat rekomendasi, dikompilasi di instansi sosial kabupaten dan diajukan kepada instansi sosial provinsi. Kemudian diseleksi kelengkapan dokumennya masing-masing
72
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dan dilaporkan ke Direkorat P2FM dan PT. BRI (Persero) Tbk untuk proses pencairan dana bantuan. Dokumen yang tidak terseleksi, yaitu dokumen aset KUBE sebelumnya sebagai bukti bahwa KUBE tersebut produktif dan prospektif, sehingga memenuhi kriteria sebagai penerima P2FM-BLPS. Ditemukan KUBE yang tidak memiliki dokumen atas aset sebelumnya, sehingga sangat diragukan kalau KUBE tersebut produktif dan prospektif. e. Sosialisasi dan Penyampaian Informasi Tentang Program. Pada saat awal pelaksanaan program dan pada pelaksanaan pelatihan pendamping, penyelenggara program dari instansi sosial provinsi memberikan penjelasan dan informasi tentang P2FM-BLPS. Di dalam buku pedoman, kegiatan sosialisasi atau penjelasan tentang pelaksanaan P2FM-BLPS digunakan istilah advokasi. Pada saat itu disampaikan pedoman pelaksanaan kegiatan terutama kepada pihak-pihak yang terkait yaitu aparat instansi sosial kabupaten, para pendamping dan anggota KUBE. Sosialisasi program telah dilaksanakan secara berjenjang. Namun demikian temuan lapangan menunjukkan, pelaksanaan sosialisasi program lebih pada memenuhi tujuan administrastif daripada tujuan fungsional. Menurut para peserta sosialisasi, sosialisasi dilaksanakan selama satu hari. Karena waktu yang terbatas, maka pada saat dan setelah kegiatan sosialisasi, mereka merasa tidak memperoleh pengetahuan yang jelas menegnai P2FM-BLPS. f.
Pelatihan Pendamping Untuk mempersiapkan pengetahuan pendamping mengenai kegiatan pendampingan, manajemen pengelolaan kegiatan (bimbingan sosial, pelatihan keterampilan, bimbingan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
73
pembukuan dan pemantapan serta pengembangan usaha KUBE), proses pelaporan dinamika kelompok, dilaksanakan pelatihan bagi pendamping desa dan kecamatan. Pelatihan pendamping bekerjasama dengan Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (B2P2KS). Pelatihan bagi pendamping desa dan kecamatan dilaksanakan selama 2 (dua) hari efektif. Pelaksanaan pelatihan pendamping ini secara regional. Untuk Provinsi Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Jawa Timur, pelatihan dilaksanakan bekerjasama dengan B2P2KS Bandung, Yogakarta dan Makassar. 2. Tahap Pelaksanaan Pelaksanaan merupakan serangkaian kegiatan yang dimulai sejak proses pencairan dana, pembelanjaan dana, pengelolaan kegiatan UEP secara bersama-sama dalam kelompok sampai pada pengelolaan hasil usaha dan pengembangan usaha. Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap pelaksanaan adalah : a. Pengelolaan UEP Di dalam buku pedoman, dijelaskan bahwa KUBE dikelola secara kelompok yang terdiri dari 10 orang. Jenis usaha yang dikelola sama, dalam satu lokasi dan satu manajemen. Model ini cukup pragmatis, meskipun dalam praktiknya relatif tidak mudah dilaksanakan. Temuan lapangan menunjukkan, tidak semua KUBE mengelola usaha sejenis, dalam satu lokasi, tetapi tetap dalam satu manajemen. Beberapa variasi KUBE adalah: 1). KUBE yang usahanya dikelola secara per orangan dengan manajemen kelompok. Pada KUBE ternak sapi, ditemukan KUBE yang mengelola usaha secara bergiliran 74
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dari satu anggota kepada anggota yang lain. Bagi anggota yang belum mendapatkan giliran memelihara sapi, menunggu 1 (satu) tahun setelah sapi induk melahirkan. 2). Pengelolaan KUBE dikerjakan oleh sebagian anggota saja, dan anggota yang lain menunggu pembagian hasil usaha. Bagi anggota KUBE yang pasif mendapatkan 10 persen dari SHU. 3). Pengelolaan KUBE dalam kelompok kecil (10 orang) dengan mengelola satu jenis usaha dan satu lokasi usaha. 4). Pengelolaan KUBE dalam kelompok besar (50 orang), tetapi manajemen pada setiap kelompok kecil (10 orang). Mencermati variasi KUBE tersebut, perlu dikembalikan kepada esensi dan tujuan dari konsep dasar pembentukan KUBE. Dimana pada awalnya, KUBE dibentuk tidak semata-mata berorientrasi pada tujuan ekonomi, tetapi juga pada tujuan sosial. Namun demikian, khusus pada P2FM-BLPS, di dalam buku pedoman jelasjelas ditegaskan, bahwa prinsip dari program adalah KU-TABUNG (Kerja Untung Nabung). Berdasarkan prinsip program tersebut, maka pada P2FM-BLPS bobot tujuan ekonomi lebih besar dibandingkan dengan bobot tujuan sosialnya, sebagaimana tercermin dari indikator keberhasilan program yang diuraikan pada buku pedoman pelaksanaan. b. Administrasi Kegiatan Untuk meningkatkan pengetahuan anggota KUBE tentang manajemen pengelolaan usaha, dan membiasakan anggota untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan usaha, serta untuk kepentingan pemantauan kegiatan KUBE oleh pendamping, setiap KUBE mendapatkan 10 buku, yang terdiri dari
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
75
1) Buku anggota, mencatat tentang nama-nama anggota kelompok 2) Buku kegiatan, mencatat tentang jadwal kegiatan dan notulen hasil musyawarah. 3) Buku tamu, mencatat kunjungan tamu dan tujuannya 4) Buku agenda, mencatat surat keluar/masuk 5) Buku kas umum, mencatat pengeluaran dan pemasukan keuangan 6) Buku inventaris, mencatat kepemilikan asset kelompok 7) Iuran kesejahteraan sosial, mencatat iuran kesetiakawanan sosial 8) Sumbangan suka rela, mencatat simpanan suka rela sebagai tabungan anggota 9) Arisan, mencatat pelaksanaan arisan anggota kelompok KUBE. 10) Daftar hadir kegiatan. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa sebagian besar KUBE hanya memiliki sebagian kecil dari 10 jenis buku tersebut. Sebagian KUBE merasa kesulitan untuk mengisi buku-buku tersebut, dikarenakan kesibukan rutin mereka, dan pendidikan anggota KUBE yang pada umumnya rendah. Bahkan untuk kegiatan arisan, sumbangan suka rela, iuran kesejahteraan sosial; pada umumnya KUBE belum melaksanakan. c.
Pertemuan Rutin Kelompok. Setiap anggota KUBE diharapkan akan membicarakan caracara pengelolaan usaha dan berbagai hal yang berkaitan dengan kegiatan dengan mekanisme kelompok. Melalui pertemuan kelompok secara rutin, akan terjadi proses
76
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
pembelajaran terhadap bagi anggota KUBE. Meskipun pada umumnya anggota KUBE berpendidikan rendah, melalui pertemuan kelompok mereka akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru, baik yang berkaitan dengan persoalan ekonomi maupun sosial kemasyarakatan. Pada umumnya, anggota KUBE sudah memiliki jadwal rutin pertemuan kelompok seminggu sekali. Acara pada pertemuan tersebut antara lain mengevaluasi kegiatan, menyelesaikan masalah yang dihadapi anggota, dan tukar pengalaman. d. Pertemuan Pendampingan Pertemuan anggota KUBE dengan pendamping dimulai sejak dari proses penyusunan proposal. Pada tahap tersebut pendamping membimbing anggota KUBE untuk menyusun proposal kegiatan. Selain itu pendampingan mengenai penggunaan anggaran, pengelolaan usaha dan pengembangan usaha. Setiap KUBE dapat menghubungi pendamping kapan saja apabila diperlukan. Tetapi untuk pertemuan rutin yang terjadwal adalah sebulan sekali dengan agenda pembinaan yang sudah dipersiapkan sesuai kebutuhan. Temuan lapangan menunjukkan, tidak semua pendamping desa siap setiap saat memberikan pendampingan kepada KUBE. Hal ini disebabkan pendamping tersebut sibuk dengan pekerjaannya, atau pendamping tersebut bekerja di luar desa. Selain itu, menurut anggota KUBE ada pendamping yang tidak memahami tugas-tugasnya dalam memberikan pendampingan. e. Pengelolaan hasil usaha Pengelolaan hasil usaha ini tentunya mengikuti cara pengelolaan usaha. Sebagaimana temuan peneltian yang Pemberdayaan Masyarakat Miskin
77
diuraikan di atas, ada 4 (empat) variasi cara pengelolaan usaha. Berdasarkan cara pengelolaan usaha, maka pengelolaan hasil usaha sebagai berikut : 1). Bagi usaha yang dikelola secara perorangan, hasilnya langsung diambil oleh pengelola/ per orangan. 2). Bagi usaha yang dikelola secara kelompok, hasilnya dibagi sama besar kepada 10 orang anggota KUBE, setelah dikurangi biaya operasional. Ditemukan kasus pada KUBE ternak sapi, dimana usaha yang dikelola KUBE tersebut belum produksi. Kemudian KUBE membagikan hasil dari usaha tambahan (penjualan pupuk kompos) kepada anggota dalam bentuk sembako. 3). Bagi usaha yang dikelola dengan cara mempekerjakan anggota kelompok, hasil usaha bagi anggota yang mengelola (anggota aktif) lebih besar dari yang tidak mengelola (tidak aktif). Bagi yang tidak aktif mendapatkan 10 persen dari hasil usaha, setelah dikurangi biaya operasional. 3. Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi (moneva) merupakan bagian dari menajemen program yang dilaksanakan sebagaai upaya pengendalian, agar proses dan hasil dari pelaksanaan P2FM-BLPS tercapai sesuai rencana. Mulai dari penanggung jawab program dan pendamping mulai dari provinsi, kebupaten, kecamatan dan desa semuanya menyatakan, bahwa moneva itu penting dilaksanakan, dan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan program. Berdasarkan hasil moneva, dapat diketahui kekuatan dan kelemahan dari P2FM-BLPS ketika diimpelementasikan di lapangan.
78
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Pada umumnya moneva telah dilaksanakan secara berjenjang mulai dari provinsi, kabupten, kecamatan dan desa. Temuan penelitian, menunjukkan bahwa masih belum ada kesungguhan Daerah untuk melaksanakan moneva kegiatan pada P2FM-BLPS. Instansi sosial provinsi melakukan moneva secara insidental, dan instansi sosial kabupaten melaksanakan moneva setahun sekali. Temuan lapangan ini didukung oleh seorang Kepala Subdin Pemberdayaan Sosial :”monitoring dan evaluasi yang kita lakukan itu masih belum serius. Biasanya kita melakukan monitoring dan evaluasi pada BLPS ini bersamaan dengan monitoring dan evaluasi dengan kegiatan lain. Atau ketika berkunjung ke lokasi tertentu, kita sempatkan mampir melihat lokasi program BLPS”. Dokumen hasil moneva ini lebih pada aspek administratif, dan belum menyajikan aspek fungsional dari implementasi P2FMBLPS. Format pelaporan belum ada keseragaman dan materi pelaporan. berbeda-beda antar masing-masing komponen. Hal ini menyebabkan hasil moneva sulit dianalisis. Sebagimana disampaikan oleh seorang pendamping provinsi :”saya kebingungan menyimpulkan hasil moneva dan mencari benang merah permasalahan berkaitan dengan P2FM-BLPS”. 4. Terminasi Istilah terminasi sangat dikenal di dalam intervensi pekerjaan sosial, baik mikro, messo maupun makro. Terminasi merupakan tahap pengakhiran kegiatan, karena semua tahapan telah dilalui sesuai waktu yang direncanakan, dan tujuan dari intervensi tersebut telah tercapai. P2FM-BLPS sebagai model dari intervensi pekerjaan sosial, tentunya pada akhir proses pemberdayaan menetapkan terminasi. Di dalam pedoman dijelaskan, bahwa setelah pelaksanaan P2FM-BLPS berakhir, pemerintah daerah menindaklanjuti dengan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
79
APBD. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa setelah akhir P2FM-BLPS tidak ada program tindak lanjut bagi warga dampingan sosial. Di lapangan yang terjadi, bahwa setelah selesai pemberdayaan selama satu tahun atau telah memasuki tahap terminasi, warga dampingan sosial dan para pendamping sosial desa lepas begitu saja. Kemudian instansi sosial daerah sibuk mencari lokasi baru untuk program tahun berikutnya, dan begitu seterusnya. D. PRODUK Aspek produk dalam penelitian ini mencakup dua sasaran, yaitu kondisi akhir pada kelompok atau KUBE, dan warga dampingan sosial setelah mereka menerima P2FM-BLPS. Kedua sasaran pada aspek produk ini perlu dicermati untuk memperoleh informasi yang utuh tentang pengaruh P2FM-BLPS. 1. Secara Kelompok KUBE sesungguhnya dirancang bukan sekedar wadah kegiatan sekelompok orang, tetapi sebagai metode bimbingan kelompok (groupwork) dalam intervensi pekerjaan sosial. Melalui KUBE setiap individu akan mengalami proses belajar, baik hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi maupun sosial. Implementasi KUBE ini ketika di lapangan diarahkan pada satu kelompok, satu jenis usaha; dengan alasan untuk memudahkan dalam proses bimbingan dan pendampingan. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa konsep kebersamaan ini ketika di lapangan tidak sepenuhnya dapat diimplementasikan. Hal ini disebabkan oleh kesibukan anggota, rendahnya kesadaran anggota, rendahnya pemahaman anggota terhadap hakikat KUBE dan peran yang domiman pada pengurus KUBE.
80
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Kondisi tersebut tentu berdampak pada pengelolaan KUBE. Memang KUBE secara fisik masih dikelola secara kelompok, tetapi belum dapat dijamin kelangsungan usahanya. Dari 20 KUBE yang menjadi sasaran penelitian ini, hanya tujuh KUBE yang mengalami penambahan aset kelompok. Penambahan aset kelompok tersebut terjadi pada KUBE dengan jenis usaha ternak sapi, bebek dan alat-alat prasmanan (kasus Lampung), domba (kasus Cirebon dan Pontianak) dan peralatan perikanan/jaring apung (kasus Minahasa). Sementara itu, KUBE yang lain mengalami kekurangan modal, jika dihitung dari bantuan sebelumnya (sebelum BLPS) dengan alasan : rusak berat, hilang dan dijual kemudian uangnya dibagi-bagi anggota kelompok. 2. Secara Individual a. Kondisi Ekonomi Untuk mengetahui kondisi ekonomi warga dampingan sosial, melalui penelitian evaluasi ini dicermati aspek penghasilan, tabungan, kepemilikan alat-alat rumah tangga dasar, dan harta milik. Skor pada aspek-aspek/sub aspek tersebut kemudian diinterpretasikan melalui teknik analisis kuantitatif dengan bantuan statistik nonparametric. Khusus pada variabel ekonomi, hipotesis uji pada penelitian ini, yaitu : Ho
=
Tidak ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi ekonomi fakir miskin.
Dengan hipotesa alternatif : H1
= Ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi ekonomi fakir miskin.
Pengujian hipotesis penelitian tersebut mengggunakan uji statistik nonparametric dari Willcoxon. Dimana uji statistic ini Pemberdayaan Masyarakat Miskin
81
selain mengetahui adanya perbedaan, juga mengetahui besarnya perbedaan antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan. Dari uji statistik Willcoxon tersebut diperoleh hasil sebagai barikut : NPar Tests Descriptive Statistics N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
sebelum
200
14.6000
2.61999
8.00
23.00
sesudah
200
16.2650
2.57642
10.00
23.00
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks
sesudah sebelum
N
Mean Rank
Sum of Ranks
Negative Ranks
1a
88.50
88.50
Positive Ranks
130b
65.83
8557.50
Ties
69c
Total
200
a. sesudah < sebelum b. sesudah > sebelum c. sesudah = sebelum
Test Statisticsb sesudah - sebelum Z Asymp. Sig. (2-tailed)
82
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
-9.809a .000
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test Hasil analisis dengan bantuan statistic deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut : 1). Untuk variable sebelum perlakuan :
•
Jumlah sample = 200
•
Nilai rata-rata = 14,6
•
Nilai standar deviasi = 2,619
•
Nilai minimum = 8
•
Nilai maksimum = 23
2). Untuk variable sesudah perlakuan :
•
Jumlah sample = 200
•
Nilai rata-rata = 16,26
•
Nilai standar deviasi = 2,576
•
Nilai minimum = 10
•
Nilai maksimum = 23
Dari tabel rank diperoleh informasi :
•
Bertanda negative sebanyak = 1
•
Bertanda positif sebanyak = 130
•
Bernilai nol = 69
Dari tabel test statistic diperoleh informasi :
•
Exact Sig, (2-tailed) = 0,00 Karena nilai exact sig < taraf nyata (a = 0,05, maka dapat menolak Ho. Artinya, ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi ekonomi warga dampingan sosial.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
83
Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengaruh implementasi P2FM-BLPS terhadap kondisi ekonomi warga dampingan sosial, total skor pada variable kondisi ekonomi warga dampingan sosial tersebut dibuat kategori, sehingga menghasilkan informasi sebagaimana tampak pada tabel berikut : TABEL 3 : KONDISI EKONOMI RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-BLPS Kategori
Skor
Sebelum
Frekuensi Persen 8 -13 62 31 14 -19 132 66 20 - 24 3 2 JUMLAH 200 100 N = 200, Skor min = 8; Skor maks = 24 Rendah Sedang Tinggi
Sesudah Frekuensi 26 147 27 200
Persen 13 73.5 13.5 100
Tabel 3 tersebut di atas menyajikan data, bahwa pada kategori rendah (skor 8-13), menunjukkan adanya pengaruh dari 62 responden menurun menjadi 26 responden atau ada kemajuan pada 36 responden. Kemudian pada kategori sedang (skor 14-19), menunjukkan adanya pengaruh dari 132 responden menjadi 147 responden atau ada kemajuan pada 15 responden. Selanjutnya pada kategori tinggi (skor 20-24), menunjukkan adanya pengaruh dari 3 responden menjadi 27 responden atau ada kemajuan pada 24 responden. Sementara itu, pada data karakteritisk responden (lihat diagram 5) diketahui ada warga dampingan sosial yang termasuk kategori tinggi sebanyak 8 orang/responden. Atas dasar data tersebut, maka responden yang mengalami kemajuan menjadi 16 responden. Persandingan data dalam persen untuk variabel ekonomi, antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada diagram 7 berikut : 84
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
a. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan warga dampingan sosial, melalui penelitian evaluasi ini dicermati aspek pangan, pakaian dan tempat tinggal. Skor pada aspek-aspek/sub aspek tersebut kemudian diinterpretasikan melalui teknik analisis kuantitatif dengan bantuan statistik nonparametric. Khusus pada variabel pemenuhan kebutuhan dasar, hipotesis uji pada penelitian ini, yaitu : Ho = Tidak ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial fakir miskin. Dengan hipotesa alternatif : H1 = Ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial fakir miskin. NPar Tests Descriptive Statistics N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
sebelum
200
16.9750
3.43999
9.00
27.00
sesudah
200
17.6100
3.15399
11.00
27.00
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
85
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N sesudah sebelum
Negative Ranks
Mean Rank
Sum of Ranks
a
29.21
409.00
b
40.60
2517.00
14
Positive Ranks
62
c
Ties
124
Total
200
a. sesudah < sebelum b. sesudah > sebelum c. sesudah = sebelum Test Statisticsb sesudah - sebelum -5.526a
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil analisis dengan bantuan statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut : 1). Untuk variable sebelum perlakuan :
•
Jumlah sample = 200
•
Nilai rata-rata = 16,97
•
Nilai standar deviasi = 3,439
•
Nilai minimum = 9
•
Nilai maksimum = 27
2). Untuk variable sesudah perlakuan :
•
86
Jumlah sample = 200
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
•
Nilai rata-rata = 17,61
•
Nilai standar deviasi = 3,153
•
Nilai minimum = 11
•
Nilai maksimum = 27
Dari tabel rank diperoleh informasi :
•
Bertanda negative sebanyak = 14
•
Bertanda positif sebanyak = 62
•
Bernilai nol = 124
Dari tabel test statistic diperoleh informasi :
•
Exact Sig, (2-tailed) = 0,00
Karena nilai exact sig < taraf nyata (a = 0,05, maka dapat menolak Ho. Artinya, ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial warga dampingan sosial. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengaruh implementasi P2FM-BLPS terhadap pemenuhan kebutuhan dasar warga dampingan sosial, total skor pada variable pemenuhan kebutuhan dasar warga dampingan sosial tersebut dibuat kategori, sehingga menghasilkan informasi sebagaimana tampak pada tabel berikut : Tabel 4 : KONDISI PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-BLPS Kategori
Skor
Sebelum Frekuensi Persen
Rendah 9 -15 67 33.5 Sedang 16 -22 120 60 Tinggi 23 - 27 13 6.5 JJUMLAH 200 100 N = 200, Skor min = 9; Skor maks = 27
Sesudah Frekuensi Persen 50 133 17 200
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
25 66.5 8.5 100
87
Tabel 4 tersebut di atas menyajikan data, bahwa pada kategori rendah (skor 15-25), menunjukkan adanya pengaruh dari 8 responden menurun menjadi 0 responden atau ada kemajuan pada 8 responden. Kemudian pada kategori sedang (skor 26-36), menunjukkan adanya pengaruh dari 80 responden menjadi 50 responden atau ada kemajuan pada 30 responden. Selanjutnya pada kategori tinggi (skor 37-45), menunjukkan adanya pengaruh dari 112 responden menjadi 150 responden atau ada kemajuan pada 38 responden. Persandingan data dalam persen untuk variabel ekonomi, antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada diagram 8 berikut :
a. Kondisi Sosial Untuk mengetahui kondisi sosial warga dampingan sosial, melalui penelitian evaluasi ini dicermati aspek pendidikan dan aktivitas sosial kemasyarakatan. Skor pada aspek-aspek/sub aspek tersebut kemudian diinterpretasikan melalui teknik analisis
88
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
kuantitatif dengan bantuan statictik nonparametric. Khusus pada variabel kondisi sosial, hipotesa uji pada penelitian ini, yaitu : Ho = Tidak ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial fakir miskin. Dengan hipotesa alternatif : H1 = Ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial fakir miskin. Pengujian hipotesis penelitian tersebut mengggunakan uji statistic nonparametric dari Willcoxon. Dimana uji statistic ini selain mengetahui adanya perbedaan, juga mengetahui besarnya perbedaan antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan. Dari uji statistic Willcoxon tersebut diperoleh hasil sebagai barikut : NPar Test Descriptive Statistics N
Mean
Std. Deviation
Minimum
Maximum
sebelum
200
16.9750
3.43999
9.00
27.00
sesudah
200
17.6100
3.15399
11.00
27.00
Wilcoxon Signed Ranks Test Ranks N sesudah sebelum
Negative Ranks Positive Ranks
Mean Rank
Sum of Ranks
a
29.21
409.00
b
40.60
2517.00
14 62
c
Ties
124
Total
200
d h b l a. sesudah < sebelum
c. sesudah = sebelum
b. sesudah > sebelum Pemberdayaan Masyarakat Miskin
89
Test Statistics
b
sesudah - sebelum -5.526a
Z Asymp. Sig. (2-tailed)
.000
a. Based on negative ranks. b. Wilcoxon Signed Ranks Test
Hasil analisis dengan bantuan statistik deskriptif diperoleh hasil sebagai berikut : 5). Untuk variable sebelum perlakuan : "
Jumlah sample = 200
"
Nilai rata-rata = 16,97
"
Nilai standar deviasi = 3,439
"
Nilai minimum = 9
"
Nilai maksimum = 27
6). Untuk variable sesudah perlakuan : "
Jumlah sample = 200
"
Nilai rata-rata = 17,61
"
Nilai standar deviasi = 3,153
"
Nilai minimum = 11
"
Nilai maksimum = 27
Dari tabel rank diperoleh informasi : "
Bertanda negative sebanyak = 14
"
Bertadna positif sebanyak = 62
"
Bernilai nol = 124
Dari tabel test statistic diperoleh informasi : "
90
Exact Sig, (2-tailed) = 0,00
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Karena nilai exact sig < taraf nyata (a = 0,05, maka dapat menolak Ho. Artinya, ada pengaruh P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial warga dampingan sosial. Untuk memperoleh informasi lebih lanjut mengenai pengaruh implementasi P2FM-BLPS terhadap kondisi sosial warga dampingan sosial, total skor pada variable kondisi sosial warga dampingan sosial tersebut dibuat kategori, sehingga menghasilkan informasi sebagaimana tampak pada tabel berikut : Tabel 5 : KONDISI SOSIAL RESPONDEN SEBELUM DAN SESUDAH MENERIMA P2FM-BLPS Kategori
Skor
Sebelum Frekuensi Persen
Rendah 9 -15 67 33.5 Sedang 16 -22 120 60 Tinggi 23 - 27 13 6.5 JJUMLAH 200 100 N = 200, Skor min = 9; Skor maks = 27
Sesudah Frekuensi Persen 50 133 17 200
25 66.5 8.5 100
Tabel 5 tersebut di atas menyajikan data, bahwa pada kategori rendah (skor 9-15), menunjukkan adanya pengaruh dari 67 responden menurun menjadi 50 responden atau ada kemajuan pada 17 responden. Kemudian pada kategori sedang (skor 1622), menunjukkan adanya pengaruh dari 120 responden menjadi 133 responden atau ada kemajuan pada 13 responden. Selanjutnya pada kategori tinggi (skor 23-27), menunjukkan adanya pengaruh dari 13 responden menjadi 17 responden atau ada kemajuan pada 4 responden. Persandingan data dalam persen untuk variabel ekonomi, antara kondisi sebelum dan sesudah perlakuan dapat dilihat pada diagram 9 berikut :
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
91
E. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI IMPLEMENTASI P2FMBLPS Keberhasilan atau kegagalan dari impelementasi program ditentukan oleh dua kondisi yang mempengaruhi, yaitu faktor pendukung dan penghambat. Dua faktor ini tidak dapat dilepaskan pada setiap impelementasi program apapun, tidak terkecuali pada P2FM-BLPS. 1. Faktor Pendukung Faktor pendukung dipahami sebagai kondisi yang memperkuat pengaruh implementasi P2FM-BLPS. Berdasarkan temuan lapangan, faktor yang mendukung implementasi P2FMBLPS, yaitu : a. Secara konsetual, P2FM-BLPS sudah sesuai dengan prinsip pemberdayaan yang ditandai mulai dari proses perencanaan yang disusun oleh warga dampingan sosial, sesuai dengan kebutuhan mereka. b. Semangat warga dampingan sosial untuk berubah ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan 92
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
kesediaan warga untuk melaksanakan jadwal kegiatan, membayar iuran sosial dan mengikuti pendampingan. c.
Dukungan kepala desa dan tokoh masyarakat lokal pada proses pengelolaan KUBE. Pada umumnya kepala desa mengikuti semua rangkaian kegiatan pengelolaan KUBE mulai tahap persiapan hingga pengelolaan. Pada tahap persiapan kepala desa memberikan pertimbangan dalam penentuan jenis usaha KUBE. Kemudian pada tahap pengelolaan, kepala desa memberikan arahan dan bimbingan kepada warga dampingan sosial.
d. Dukungan warga masyarakat di luar KUBE dalam proses produksi maupun dalam pemasaran produk KUBE. Sejauh ini warga masyarakat di luar tidak menunjukkan kecemburuan sosial terhadap penerima P2FM-BLPS membantu anggota KUBE. Sebaliknya, membantu dan bekerja sama dengan mereka. e. Kondisi lingkungan geografis yang menyediakan sumber atau bahan-bahan dalam proses produksi. Pada umumnya lingkungan menyediakan bahan-bahan yang murah, dan bahkan cuma-cuma bagi proses produksi KUBE. f.
Proses distribusi honor pendamping berjalan lancar. Pendamping menerima honor melalui BRI tepat pada waktunya. Persoalannya, honor pendamping sudah diterima dan sudah habis, padahal sebenarnya mereka itu belum melaksanakan tugas-tugas pendampingan.
g.
Keterlibatan instansi sektoral (pertanian, peternakan) dan dunia usaha dalam proses produksi KUBE.
2. Faktor Penghambat Faktor penghambat dipahami sebagai kondisi yang memperlemah pengaruh implementasi P2FM-BLPS. Berdasarkan temuan lapangan, faktor yang menghambat implementasi P2FMPemberdayaan Masyarakat Miskin
93
BLPS, yaitu : a. Proses pencairan dana untuk kegiatan KUBE melalui BRI berjalan lancar. Tetapi dana kegiatan tersebut baru dapat dicairkan pada akhir tahun anggaran 2008, sehingga efektif penggunaan dana kegiatan pada awal tahun 2009. b. Pada umumnya warga dampingan sosial berpendidikan rendah, sehingga relatif sulit untuk memahami informasi yang berkenaan dengan pengelolaan KUBE. Selain pendidikan yang rendah, waktu pelatihan keterampilan untuk mengelola usaha KUBE dirasakan masih kurang. c.
Keterbatasan sarana kerja pada pendamping desa dan kecamatan, menyebabkan kegiatan pendampingan kurang intensif. Para pendamping sangat memerlukan pedoman kerja yang praktis, tetapi sampai akhir masa kerja pendampingan tidak diperoleh.
d. Pada umumnya pendamping desa masih kurang pengetahuan dan keterampilan sosialnya dalam memberikan pendampingan. Rekruitmen pendamping belum didasarkan pada kompetensi, masih ada kepentingan-kepentingan lain. e. Pengendalian oleh instansi sosial provinsi maupun instansi sosial kabupten dalam bentuk monitoring dan evaluasi, masih rendah. Monitoring dan evaluasi sudah dilaksanakan, tetapi belum sungguh-sungguh. Kegiatan monitoring dan evaluasi P2FM-BPLS dilaksanakan bersamaan dengan monitoring dan evaluasi pada program lain yang lokasinya berdekatan atau searah jalan. Adanya intervensi dari instansi sosial dalam penentuan jenis usaha KUBE, padahal jenis usaha tersebut kurang diminati dan tidak prospektif menurut anggota KUBE. Akibatnya, ditengah jalan anggota KUBE menghendaki pergantian jenis usaha.
94
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Bab
IV ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. ANALISIS KINERJA PROGRAM 1. Aspek Konteks Termasuk di dalam aspek konteks ini, adalah instrumentasi program, penyelenggara program, otoritas lokal, dukungan masyarakat dan lingkungan fisik/geografis. Unsur-unsur di dalam aspek konteks ini perlu diidentifikasi dengan baik, karena ikut mempengaruhi pelaksanaan dan keberhasilan program. a. Instrumentasi program Pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS telah disusun dan distribusikan oleh Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin ke seluruh instansi sosial provinsi dan kabupten/kota. Kemudian bagi pendamping kecamatan dan pendamping desa/ kelurahan, pedoman tersebut digandakan dalam bentuk foto copy. Artinya, jumlah pencetakan pedoman masih jauh dari kebutuhan di lapangan. Selain persoalan jumlah, pedoman tersebut menurut pendamping tidak mudah untuk dilaksanakan, baik menyangkut konsep, pembahasaan dan kepraktisannya. Pendamping berupaya memahami pedoman berdasarkan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
95
pengetahuan yang dimiliki, dan menterjemahkannya ketika mereka melaksanakan kegiatan pendampingan. Kekurangan pada pedoman ini tentu akan mempengaruhi implementasi program di lapangan. Terjadinya bias dalam seleksi KUBE, rekruitmen pendamping, dan tidak optimalnya pendampingan dan pengelolaan KUBE, merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman pihak-pihak yang terkait langsung dengan pelaksanaan P2FM-BLPS. b. Penyelenggara Program Berbagai kondisi yang terjadi di daerah, seperti mutasi internal di lingkungan instansi sosial maupun eksternal di luar lingkungan instansi sosial, karena memasuki masa pensiun, dan kesibukan di luar tugas kedinasan; merupakan kondisi yang menyebabkan implementasi program P2FM-BLPS belum mencapai tujuan secara optimal. Selain persoalan tersebut, ditemukan kasus yang klasik, yaitu beberapa orang seksi pada Subdin Pemberdayaan Sosial yang mempertahankan egonya. Ketika seksi tersebut dimutasikan ke Subdin lain, berkas dan dokumen yang berkenaan dengan pelaksanaan P2FM-BLPS, tetap disimpan dan tidak mau menyerahkan berkas dan dokumen tersebut kepada seksi yang menggantikannya. Sementara mereka sulit ditemukan, dengan alasan mendapatkan tugas luar atau kesibukan yang lain. Ini sebuah gambaran, bahwa iklim kerja pada instansi sosial kurang kondusif. Tentu kondisi ini secara langsung akan mempengaruhi pelaksanaan dan kinerja program. c.
Otoritas Lokal Kepala desa adalah pemegang otoritas pada tingkal lokal, bertanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan bagi
96
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
seluruh warganya. Pada P2FM-BLPS, kepala desa memang tidak masuk dalam struktur. Tetapi posisinya tetap strategis, karena tanggung jawab yang melekat dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai kepala desa tersebut. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa pada umumnya kepala desa mengikuti secara langsung P2FM-BLPS, mulai persiapan sampai akhir program. Keikutsertaan kepala desa ini dapat dipahami sebagai unsur kekuatan program. Penelitian menemukan kasus, dimana selaku pemegang otoritas lokal, kepala desa melakukan intervensi lebih jauh terhadap program, seperti memasukkan isterinya menjadi pengelola KUBE, anaknya menjadi pendamping desa, padahal kurang kompeten dan mempengaruhi anggota KUBE dalam pengelolaan KUBE. Hal ini terjadi karena di satu pihak pedoman belum mengatur secara tegas peranan kepala desa, dan di pihak lain kepala desa merasa ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warganya. Maka kemudian yang terjadi masuknya kepentingan pribadi kepala desa ketika melihat bantuan yang begitu besar jumlahnya, dimana sifat bantuan tersebut adalah hibah. d. Dukungan Masyarakat Masyarakat di sekitar lokasi P2FM-BLPS perlu diidentifikasi dalam upaya menggali sumber-sumber yang dapat diakses oleh warga dampingan sosial dalam proses pengelolaan usaha. Pada pendekatan pekerjaan sosial ditekankan pentingnya lingkungan sosial ini yang dikenal dengan pendekatan intervensi dua arah atau dualistic approarch. Sehubungan dengan itu, dalam model intervensi pekerjaan sosial, Anne Minahan yang dikutip oleh Suradi (2005) medesain sebuah sistem dasar yang juga berlaku dalam intervensi komunitas, yaitu sistem klien, sistem pelaksana
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
97
perubahan, sistem kegiatan dan sistem tindakan. Berdasarkan sistem dasar tersebut, maka desain program pemberdayan sosial atau intervensi komunitas, perlu menetapkan dengan tegas peranan masyarakat sekitar dalam kiatannya dengan pelaksanaan P2FM-BLPS. Diharapkan masyarakat sekitar menjadi salah satu sistem sumber, dan mendukung capaian tujuan program. e. Lingkungan fisik/geografis Lingkungan fisik atau kondisi geografis perlu dipertimbangkan dengan cermat, sehingga mampu menyediakan sumber yang mendukung pelaksanaan program, terutama berkaitan dengan jenis usaha. Penelitian ini menemukan kondisi geografis yang kurang mendukung pelaksanaan program. Dimana KUBE mengelola usaha ternak sapi, padahal lingkungannya tidak menyediakan pakan ternak sapi. Kurangnya dukungan lingkungan fisik ini mengakibatkan biaya yang dikeluarkan oleh KUBE untuk proses produksi menjadi mahal. Berkaitan dengan lingkungan fisik atau kondisi geografis ini, diperlukan pencermatan terhadap proposal yang diajukan oleh KUBE. Perlu dilakukan telaah yang komprehensif, sehingga jenis usaha yang dikelola KUBE memperoleh dukungan maksimal dari lingkungan. 2. Aspek Input Termasuk di dalam aspek input pada P2FM-BLPS, yaitu : orang miskin, KUBE, pendamping, komponen program/kegiatan, dan anggaran. a. Orang miskin ( klien ) Kemiskinan digambarkan oleh Freidman (lihat Suharto, dkk, 98
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
2003) sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial, yang berupa tanah, perumahan, peralatan, kesehatan; pendapatan dan kredit; jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, jasa dan barang-barang; pengetahuan dan keterampilan yang memadai; dan informasi yang berguna untuk memajukan kehidupan. Kemudian Badan Pusat Statistik menetapkan 14 indikator, dan berdasarkan indikator-indikator tersebut diperoleh 3 (tiga) kategori kemiskinan, yaitu hampir miskin, miskin dan fakir miskin. Ketiga kategori kemiskinan tersebut diperoleh dalam penelitian ini, dengan jumlah terbesar pada kategori “fakir miskin” berdasarkan aspek pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan. Salah satu indikator kemiskinan adalah pendidikan yang rendah. Penelitian ini memperoleh informasi, bahwa sebesar 97 persen orang miskin berpendidikan rendah. Bahkan dari jumlah tersebut sebesar 18.5 persen tidak sekolah dan tidak tamat SD. Tingkat pendidikan yang rendah ini menyebabkan mereka tidak mampu mengartikulasikan kebutuhan yang nyata (real needs), tidak mampu menentukan pilihan-pilihan secara cepat, tidak mampu membuat pertimbangan yang rasional, dan tidak mampu mengembangkan cara-cara baru untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Disebabkan oleh kondisi tersebut, partisipasi mereka dalam pembangunan pun menjadi sangat rendah. Kemudian dilihat dari pola kemiskinan, orang miskin yang ditemukan dalam penelitian ini termasuk kemiskinan struktural dan sekaligus kemiskinan budaya (lihat Soemarjan, 1997). Kemiskinan struktural digambarkan adanya suatu kelompok masyarakat yang menderita kekurangankekurangan fasilitas, modal, sikap mental atau jiwa usaha Pemberdayaan Masyarakat Miskin
99
yang diperlukan untuk melepaskan diri dari ikatan kemiskinan. Misalnya, pegawai negeri sipil kecil, petani yang tidak memiliki tanah, nelayan yang tidak memiliki perahu, buruh tanpa keterampilan khusus, pemulung sampah dan sebagainya. Sebenarnya mereka hidup di tengah-tengah lingkungn alam yang mengandung cukup banyak bahan yang dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki taraf hidupnya. Tetapi disebabkan mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan, pengalaman, teknologi, jiwa usaha dan dorongan sosial untuk menggali kekayaan alam di lingkungannya; maka mereka hidup dalam kemiskinan atau disebut dengan kemiskinan budaya. Hal ini menggambarkan, bahwa kemiskinan merupakan persoalan multi-dimensional yang melibatkan faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik (lihat Surjono dan Nugroho, 2007). Oleh karena itu, upaya memahami orang miskin tidak dapat dengan satu perspektif saja, tetapi perlu dengan multi perspektif. Pekerjaan sosial telah mengembangkan pendekatan multi perspektif ini dalam memahami setiap fenomena sosial, yang kemudian dikenal dengan eclectic methode. Melalui pemahaman dengan multi perspektif terhadap orang miskin, maka akan diperoleh informasi yang tepat tentang : siapa orang miskin, permasalahan, kebutuhan, potensi diri yang dapat dikembangkan dan sumber-sumber yang dapat diakses untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosial mereka. Desain P2FM-BLPS ini belum memahami orang miskin dari multi perspektif. Hal ini dapat dilihat dari komponen program yang meliputi ada intervensi dalam pemilihan jenis usaha KUBE, dan mekanisme penentuan pendamping di tingkat lokal. Hal ini tentu membawa implikasi pada kinerja program, 100
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
padahal telah didukung dengan anggaran yang sangat besar. Akhirnya kembali kepada penyelenggaran program, yaitu Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin, menyangkut pilihanpilihan kebijakan yang diambil. Apakah capaian tujuan program dengan menggunakan ukuran-ukuran administratif, atau dengan ukuran-ukuran fungsional. Kemudian berkaitan dengan orang miskin yang menjadi sasaran P2FM-BLPS, pada pedoman ditegasnya berada apda usia 15 - 55 tahun. Penentuan batas umur ini menggambarkan adanya ego sektoral pada Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin. Direktorat ini tidak mencermati, batasan umur yang berlaku pada “anak”, yaitu 0 sampai kurang dari 18 tahun, dan “lanjut usia”, yaitu 60 tahun ke atas. Atau pada batasan umur yang ditetapkan sebagai sasaran P2FM-BLPS terdapat sasaran yang termasuk pada kategori anak, yaitu mereka yang berumur 15 sampai kurang dari 18 tahun. Sementara itu, tidak menjangkau sasaran yang masih termasuk kelompok umur produktif, yaitu mereka yang berumur 55 – 59 tahun. b. KUBE Kelompok Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat KUBE menurut Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin merupakan wadah dilaksanakannya kegiatan pemberdayaan bagi fakir miskin (lihat Dit P-FM, 2007). Sebenarnya fungsi KUBE bukan sekadar wadah kegiatan orang-orang miskin, ketika digunakan cara pandang dari perspektif pekerjaan sosial. KUBE mesti dipahami sebagai metode atau teknologi pemberdayaan dengan pendekatan kelompok atau dalam pekerjaan sosial dikenal dengan metode groupwork. Dalam perspektif ini, kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mengembangkan sumber-sumber pada individu-invidu guna
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
101
pemecahan masalah maupun pemenuhan kebutuhan. Inviduinvidu akan terlibat proses belajar di dalam kelompok, untuk menemukan cara-cara dan keterampilan baru dalam upaya mengeluarkan diri dari lingkaran kemiskinan. Sebagaimana dikemukakan oleh Iver, Page dan Cooley (Soekanto, 1990), bahwa anggota dalam suatu kelompok akan mengalami hubungan timbal balik, saling mempengaruhi serta tumbuh kembangnya kesadaran untuk saling menolong. Terbentuknya kelompok akan memberikan kesadaran, bahwa tujuan anggota secara individu akan menjadi tujuan kelompok. Oleh karena itu, apabila KUBE hanya dipahami sebagai wadah kegiatan, maka KUBE sebagai sesuatu (thing) yang bersifat statis dan fungsinya menjadi tidak optimal, bukan sebagai metode untuk melakukan perubahan (methode). Pemahaman demikian ini tentu berpengaruh pada penyelenggaraan kegiatan di dalam KUBE. Ketika KUBE dipahami sebagai metode perubahan, maka di dalamnya akan diisi dengan unsur-unsur yang memenuhi standar pemberdayan sosial, seperti : pekerja sosial (pendamping), metode dan teknik-teknik intervensi komunitas, dan pengorganisasian sistem dasar. c. Pendamping Salah satu unsur di dalam P2FM-BLPS adalah pendamping pada tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa/ kelurahan. Pengadaaan pendamping yang berada di lingkungan birokrasi pada instansi sosial provinsi dan kabupten/kota tentu tidak efektif. Kesibukan mereka melaksanakan tugas-tugas administrasi tidak mungkin intervensi langsung kepada warga dampingan sosial. Pendamping seyogyanya adalah orang-orang yang melaksanakan intervensi langsung atau tugas-tugas teknis
102
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
pendampingan di lapangan. Oleh karena pendamping melaksanakan tugas-tugas teknis pendampingan, maka mereka mestinya menguasai metode dan teknik-teknik intervensi langsung dalam pemberdayaan masyarakat atau intervensi komunitas. Kalaupun mereka tidak memiliki latar belakang pendidikan pekerjaan sosial, sekurangkurangnya mereka memiliki pengamalan yang memadai di bidang intervensi komunitas. Pada penelitian ini diperoleh informasi, bahwa implementasi P2FM-BLPS belum didukung dengan kualifikasi pendamping yang memiliki pengalaman di bidang intervensi komunitas. Pendamping belum memahami tugasnya sebagai pendamping, sehingga proses pendampingan belum dapat dilaksanakan dengan baik. Di dalam konteks pemberdayaan sosial dalam perspektif pekerjaan sosial, pendamping melaksanakan peranan sebagai pekerja sosial. Ada beberapa peranan yang mestinya dilaksanakan oleh pendamping, antara lain peranan sebagi fasilitator, pemberdaya, mediator dan motivator (lihat Soetarso, 200). Berperanan sebagai fasilitator, yaitu memberikan kemudahan-kemudahan bagi warga dampingan sosial untuk mengakses pelayanan sosial. Berperanan sebagai pemberdaya, yaitu memberikan informasi dan pengetahuan baru kepada warga dampingan sosial, sehingga ditemukan cara-cara baru untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Selain itu menumbuhkan kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi bagi warga dampingan sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Berperanan sebagai mediator, yaitu menjalurkan warga dampingan sosial dengan pemilik sumber dalam upaya pemberdayaan. Berperanan sebagai motivator, yaitu mampu memberikan semangat kepada warga dampingan sosial dalam mengelola KUBE maupun melakukan perubahan-perubahan Pemberdayaan Masyarakat Miskin
103
ke arah kondisi kehidupan yang lebih baik. Berdasar tugas dan peranan pendamping sebagai pekerja sosial tersebut, maka di dalam rekruitmen pendamping perlu ditentukan kualifikasi pendamping yang tegas. Pendidikan, pengalaman dalam intervensi komunitas, komitmen dalam pemberdayaan masyarakat, tempat domisili, dan kompetensi pribadi; merupakan hal-hal yang menjadi pertimbangan utama pada waktu rekruitmen pendamping P2FM-BLPS. d. Komponen Program/Kegiatan Desain P2FM-BLPS merupakan program pengembangan usaha pada KUBE fakir miskin. Menurut pedoman pelaksanaan, karena merupakan usaha pengembangan, maka dipersyaratkan KUBE yang produktif dan prospektif. Jika kualifikasi ini terpenuhi, maka P2FM-BLPS sesungguhnya program ini belum memenuhi rasa keadilan. Karena KUBEKUBE yang masih memerlukan bantuan modal dan jumlahnya paling banyak, justru tidak menjadi sasaran program ini. Kelihatannya, program ini menghendaki keberhasilan seperti bangunan mercusuar, sedikit tapi maksimal. Sementara itu kenyataan di lapangan, ribuan KUBE yang pernah dibentuk melalui P2FM berada antara hidup dan mati. Kemudian dalam program ini digunakan istilah advokasi yang secara konseptual tidak tepat. Advokasi diterjemahkan menjadi sosialisasi, diseminasi, dan penyebaran informasi (lihat Dit PFM, 2007). Sementara itu, menurut Soetarso (2000), advokasi memiliki pengertian mewakili kepentingan sasaran (orang miskin) untuk memperoleh semua sumber yang dibutuhkannya guna pemecahan permasalahan dan peningkatan kesejahteraannya. Penggunaan konsep di dalam buku pedoman ini perlu diluruskan, karena akan
104
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
mempengaruhi pemahaman pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan P2FM-BLPS. Diperlukan pemahaman yang tepat ketika mendesain sebuah program dalam penanggulangan kemiskinan. Hal ini dikarenakan penanggulangan kemiskinan telah menjadi agenda dan program prioritas nasional. Program penanggulangan kemiskinan yang diselenggarakan Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin dalam bentuk Program Pemberdayaan Fakir Miskin melalui Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial (P2FM-BLPS), merupakan komitmen negara dalam hal ini Departemen Sosial RI berdasarkan undang-undang. Berdasarkan pemahaman itu, maka penyelenggara program dituntut untuk mengembangkan gagasan-gagasan yang orisinal dalam penanggulangan kemiskinan, dan terus menerus mengikuti perkembangan nasional maupun global. e. Anggaran Secara nominal, anggaran yang dialokasikan pada P2FM-BLPS sudah memadai untuk membiayai penyelenggaraan program. Pada KUBE sebelumnya (konvensional), per KUBE menerima dana kegiatan sebesar Rp. 20 juta. Kemudian pada usaha pengembangan melalui P2FM-BLPS menerima dana tambahan sebesar Rp. 30 juta. Jadi total bantuan dana KUBE selama dua periode sebesar Rp. 50 juta atau rata-rata per orang Rp. 5 juta. Untuk mengatasi terjadinya penyalahgunaan anggaran, penyelenggara program di daerah telah melakukan upayaupaya pengendalian. Seperti menelaah kelayakan proposal dan memberikan disposisi dalam pencairan dana. Selain itu, pengendalian secara administrasi juga telah dilakukan dalam
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
105
bentuk pelaporan keuangan, yang didukung kwitansi pembelian barang atau bahan produksi. Meskipun demikian, ada kesulitan untuk membuktikan, bahwa dana yang besarnya Rp. 30 juta (khusus BLPS), dapat terserap habis oleh setiap KUBE. Keraguan mengenai daya serap pada seluruh anggaran ini didasarkan pada laporan kegiatan KUBE ternak sapi. Di dalam pelaporan disebutkan ada pengeluaran untuk membeli pakan ternak. Padahal, informasi yang dihimpun peneliti dari lapangan, pakan ternak tersebut dapat diperoleh secara gratis. 3. Aspek Proses Unsur-unsur di dalam aspek input merupakan bahan dasar yang di proses melalui P2FM-BLPS. Di dalam tahap proses ini dilaksanakan berbagai kegiatan yang dikelompokkan menjadi empat tahapan, yaitu : tahap awal, tahap pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta teminasi. a. Tahap awal Pada tahap awal pemberdayaan, di tingkat provinsi dan kabupten/kota dibentuk Tim Koordinasi BLPS (TK-BLPS), seleksi kelayakan KUBE dan pendamping, seleksi proposal kegiatan dan alokasi dana bantuan KUBE, seleksi dokumendokumen pendukung dalam proses pencairan dana, sosialisasi dan penyampaian informasi tentang program, serta pelatihan pendamping. TK-BLPS dibentuk dengan tujuan agar penyelenggaraan P2FM-BLPS terkoordinasi antara unsur-unsur terkait, yaitu unsur dari instansi sosial, Bappeda, BRI dan unsur masyarakat (FK-PSM). Melalui TK-BLPS ini diharapkan setiap tahapan dalam proses kegiatan, dan hasil akhir yang dicapai dari
106
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
penyelenggaraan program dapat dicapai secara optimal (lihat Dit PFM, 2007). TK-BLPS ini sudah bekerja, dan hasil yang dapat dilihat yaitu lancarnya pencarian dana dari BRI ke warga dampingan sosial. Menurut warga dampingan sosial maupun pendamping, proses pencarian dana kegiatan maupun honor pendamping berjalan lancar, langsung dikirim melalui rekening masing-masing. Berikutnya adalah seleksi KUBE dan pendamping. Sebagimana dideskripsikan sebelumnya, bahwa dalam seleksi KUBE belum sesuai dengan pedoman pelaksanaan program. Ditemukan tidak sedikit KUBE yang sebenarnya sudah tidak layak memperoleh bantuan pengembangan, karena usaha sebelum BLPS sudah tidak ada lagi, dan atau tidak produktif. Artinya, pada seleksi KUBE sudah terjadi bias sasaran program yang membawa implikasi pada aspek produk. Seleksi pendamping merupakan upaya untuk memperoleh pendamping yang memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan tugas-tugas bidang intervensi komunitas. Namun demikian, hasil seleksi ini mendapatkan pendamping yang belum memenuhi kualifikasi yang diharapkan. Ada pendamping lokal karena anak kepala desa, ada pendamping lokal karena suaminya sebagai pendamping di kecamatan, ada pendamping kabupaten yang selesai masa dinasnya sebelum akhir program, ada pendamping yang melaksanakan pendamping pada beberapa kegiatan, ada pendamping yang sibuk dengan tugas pokoknya dan ada pendamping yang tidak mengetahui tugasnya dalam pendampingan. Berbagai kondisi tersebut tentu sangat berpengaruh terhadap proses pendampingan, dan selanjutnya akan mempengaruhi capaian tujuan program.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
107
Setelah KUBE siap menerima program pengembangan, KUBEKUBE tersebut menyusun proposal kegiatan lengkap dengan rencana anggaran belanjanya (RAB). Instansi sosial kabupten menelaah proporal dari KUBE dan memberikan catatancatatan, dan menetapkan kelayakan proposal tersebut. Setelah proposal dinilai layak, instansi sosial kabutapen memberikan rekomendasi kepada BRI untuk pencarian dana. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa ada instansi sosial yang sudah mengarahkan KUBE untuk mengajukan proposal bantuan yang berupa ternak sapi. Instansi sosial yang lain mempengaruhi KUBE dalam pembelian ternak sapi melalui rekanan yang selama ini sudah bekerja dengan instansi sosial. Intervensi dari instansi sosial diketahui ketika diskusi dengan anggota KUBE, dimana mereka merasa tertipu pada saat membeli bibit sapi. Rekanan memberikan harga sapi yang tinggi, padahal kualitasnya rendah. Sehingga hampir satu tahun, sapi belum tampak pertumbuhannya. Kemudian sebagian dari anggota KUBE, merasa kurang sesuai dengan usaha ternak sapi. Mereka mengusulkan mengganti ternak sapi dengan jenis usaha yang lain, seperti ternak domba dan warung sembako. Intervensi dari instansi sosial tersebut tentu tidak mendukung proses pemberdayaan. Sebagaimana prinsip yang berlaku dalam pekerjaan sosial, bahwa salah satu dari prinsip pemberdayaan sosial adalah memberikan kesempatan kepada klien agar mereka menentukan cara-cara yang terbaik untuk dirinya atau self-determination. Kesempatan untuk menentukan cara-cara terbaik bagi diri sendiri ini akan memberikan keyakinan bagi mereka, bahwa bantuan akan dikelola dengan sebaik-baiknya, agar dengan bantuan itu
108
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
mampu mengatasi masalah yang dihadapi atau help people to help the self (lihat Iskandar, 1992). Kemudian berkaitan dengan bantuan, setiap KUBE menerima bantuan dalam bentuk hibah murni dari Departemen Sosial, yaitu uang tunai sebesar Rp. 30 juta langung rekening KUBE melalui BRI. Tidak ada agunan dalam bentuk apapun yang perlu disiapkan oleh anggota KUBE. Hibah murni ini seringkali menimbulkan kesalahpahaman pada anggota KUBE, dimana mereka merasa bantuan tersebut sudah sepenuhnya menjadi milik kelompok, atau bahkan milik pribadi. Dikarenakan merasa sudah dihibahkan, maka kurang memberikan rasa tanggung jawab bagi anggota KUBE untuk kesinambungan bantuan tersebut. Sosialisasi program dan pelatihan pendamping secara administratif telah dilaksanakan. Meskipun demikian di lapangan ditemukan ada pendamping yang tidak mengikuti pelatihan pendampingan, dan mereka hanya diberikan penjelasan dari instansi sosial. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, bahwa beban pendamping cukup berat karena mereka melaksanakan sejumlah tugas dan peranan selama dan setelah proses pemberdayaan. Namun demikian, pembekalan pengetahuan dan keterampilan sosial bagi mereka masih jauh dari memadai. Mereka yang pada umumnya tidak memiliki ilmu dan pengalaman di bidang intervensi komunitas, diberikan pembekalan dalam bentuk pelatihan selama 3 (tiga) hari. Tentu sulit untuk dipahami, dalam waktu yang sangat pendek seseorang yang tugasnya memberikan pendampingan kepada fakir miskin, diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan sosial yang diperlukan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
109
b. Tahap Pelaksanaan Pada tahap pelaksanakan ada sejumlah kegiatan yang dilaksanakan, yaitu pengelolaan UEP, administrasi kegiatan, pertemuan rutin kelompok, pertemuan pendampingan dan pengelolaan hasil usaha. Pada bab sebelumnya telah dideskripsikan, bahwa terdapat variasi dalam pengelolaan UEP. Adanya variasi ini sebenarnya menggambarkan, penanggung jawab program, pendamping dan warga dampingan sosial tidak memahami hakikat P2FM-BLPS. Atau tidak terjadi proses transformasi antara penanggung jawab program di Departemen Sosial dengan petugas instansi sosial dan pendamping di daerah. Salah satu faktor yang menghambat proses transformasi itu adalah terbatasnya distribusi pedoman, dan pedoman dinilai oleh orang-orang di daerah kurang praktis, serta sulit dipahami dari sisi konsep dan pembahasaan. Apalagi pedoman yang menjadi pegangan para pendamping lokal, hanya berupa foto copy saja. Hal ini juga menggambarkan, bahwa penyelenggara program belum memiliki pemahaman yang komprehensif. Pedoman belum dipahami sebagai alat kerja yang menentukan berhasil tidaknya program ketika diimplementasikan di lapangan. Setiap KUBE diberi tugas untuk menyiapkan sejumlah buku untuk kepentingan administrasi. Tujuan menyiapkan bukubuku tersebut cukup baik, yaitu agar warga dampingan sosial terlatih untuk tertib administrasi. Semua aktivitas, belanja bahan, hasil pemasaran produk, pembagian hasil usaha, dana sosial dan lain-lain dibukukan, sehingga keseluruhan aktivitas KUBE dapat diketahui.
110
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Pada prakteknya anggota KUBE dan pendamping lokal menemukan kesulitan untuk menyediakan buku-buku tersebut. Kalaupun secara fisik buku-buku tersebut dapat disiapkan, tetapi mereka tidak dapat menuliskan kegiatannya setiap saat, dengan alasan kesibukan mereka mengurus tugas pokok. Hal berikutnya yang perlu mendapatkan pemahaman semua pihak adalah eksistensi KUBE. Pada uraian terdahulu dijelaskan, bahwa KUBE tidak cukup dipahami sebagai wadah kegiatan fakir miskin. Tetapi KUBE perlu dipahami sebagai wahana belajar bagi fakir miskin (lihat Soekanto, 1990). Berkaitan dengan itu, maka di dalam KUBE tersebut hendaknya dikembangkan aktivitas-aktivitas kelompok secara rutin, yang difasilitasi oleh pendamping lokal. Melalui pertemuan-pertemuan yang terjadwal secara rutin, maka KUBE akan memberikan manfaat ganda, yaitu peningkatan penghasilan (income generating) dan peningkatan kemampuan melaksanaan peranan-peranan sosial sebagai bagian dari keberfungsian sosial (social functioning). Di dalam pertemuan rutin tersebut, pendamping lokal memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk melaksanakan berbagai peranan, tanpa memberikan intervensi yang terlalu jauh, karena akan merusak inisiatif dan kemandirian warga dampingan sosial. Pada tahap pelaksanaan ini, hasil usaha KUBE seringkali dijadikan ukuran keberhasil KUBE. Pada uraian terdahulu sudah dijelaskan, bahwa sebagian besar KUBE telah membagikan hasil usaha kepada anggota KUBE dengan berbagai variasi. KUBE nelayan dan bengkel membagi hasil usaha setiap hari, KUBE pertanian setiap panen (3 bulan), dan KUBE ternak domba setiap 6 (enam) bulan sekali. Sementara itu KUBE ternak sapi belum membagi hasil usaha. Pemberdayaan Masyarakat Miskin
111
Apabila dilihat dari jumlah nominal, hasil usaha yang dibagikan kepada anggota KUBE sangat tidak memadai, yaitu berkisar antara Rp. 50.000 – Rp. 100.000 per bulan. Bahkan ditemukan kasus dalam penelitian ini, yaitu ada 5 (lima) KUBE yang kondisi keuangannya minus, karena pakan ternak sapi sehari-hari membeli. Masih dalam kaitannya dengan pengelolaan hasil usaha, sebagian besar KUBE tidak mengisi uang kas dan Iuran Kesetiakawanan Sosial (IKS). Hal ini dapat dipahami, karena hasil usaha yang diperoleh sangat kecil, dan tidak diterima setiap bulan. Selain alasan ekonomi, kosongnya IKS dan kas KUBE disebabkan kurangnya penjelasan dari pendamping lokal. Ditemukan kasus, bahwa anggota KUBE tidak mengetahui kalau mesti mengisi IKS dan kas KUBE. Pada pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS ditegaskan, bahwa arah yang akan dicapai dari program ini adalah kerja, untung dan nabung atau KUTABUNG. Temuan lapangan menunjukkan, bahwa keterlibatan sebagian besar warga dampingan sosial mengelola usaha KUBE sebagai kegiatan tambahan. Pada umumnya, mereka telah memiliki pekerjaan pokok seperti nelayan, petani pemilik atau petani penggarap, pedagang dan dan tukang. Maka di lapangan ditemukan KUBE yang dikelola secara individual atau bahkan dikelolakan kepada anggota KUBE yang lain. Temuan lapangan ini tentu saja tidak mendukung arah kebijakan dari program ini. P2FM-BLPS baru memberi pekerjaan (sambilan) dan belum memberikan penghasilan yang layak (untung) bagi anggota KUBE, apalagi memiliki tabungan. c.
Monitoring dan Evaluasi Setiap program yang diimpelementasikan seyogyanya diikuti
112
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
dengan sistem pengendalian, dalam bentuk monitoring dan evaluasi, agar setiap tahapan dan hasil yang dicapai dari program tersebut sesuai dengan yang direncanakan. Monitoring adalah suatu kegiatan observasi yang berlangsung terus menerus untuk memastikan dan mengendalikan keserasian pelaksanaan program dengan perencanaan yang telah ditetapkan. Evaluasi adalah suatu teknik penilaian kualitas program yang dilakukan secara berkala melalui metode yang tepat. Evaluasi diyakini sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas operasional suatu program dan berkontribusi penting dalam memandu pembuat kebijakan. Evaluasi yang baik dan menganalisis hasilnya dengan tajam, evaluasi dapat memberi gambaran tentang bagaimana kualitas operasional program, layanan, kekuatan dan kelemahan yang ada, efektivitas biaya dan arah produktif potensial masa depan. Disamping itu, evaluasi dapat dimanfaatkan untuk menilai dan meningkatkan kualitas serta kebijakan program (Ristek, 200). Implikasi dari pemahaman ini, bahwa diperlukan kesungguhan untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi pada setiap program yang diimplementasikan. Pada implementasi P2FM-BLPS, instansi sosial provinsi dan kabupten belum melaksanakan monitoring dan evaluasi dengan sungguh-sungguh. Alasan yang disampaikan sangat klasik, seperti keterbatasan tenaga, sarana kerja dan anggaran. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi keterbatasn tersebut, dengan cara melakukan monitoring dan evaluasi secara bersama-sama pada beberapa program yang lokasinya berdekatan. Alasan klasik seperti ini terjadi setiap tahun dan pada semua program. Artinya, sistem pengendalian program di daerah belum dilaksanakan dengan kesungguhan. Padahal, di dalam siklus perencanaan, hasil
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
113
yang diperoleh dari monitoring dan evaluasi akan menjadi bahan penyusunan rencana pada tahun berikutnya. Lemahnya sistem pengendalian ini, merupakan peluang yang lebar terjadinya kesalahan pada implementasi program, dan atau rendahnya capaian tujuan pada akhir program. Tetapi di dalam laporan tertulis, dapat disampaikan data kuantitatif maupun kualitatif keberhasilan program. Sebagai contoh terjadinya peluang kesalahan, ditemukan kasus KUBE yang sudah tidak memiliki aset dari bantuan sebelumnya, tetapi memperoleh bantuan pengembangan melalui BLPS. d. Terminasi Pada setiap program pemberdayaan sosial atau intervensi komunitas, baik yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat, ada batas waktu akhir yang telah ditentukan di dalam perencanaan. Batas waktu akhir program tersebut di dalam perspektif pekerjaan sosial dikenal dengan istilah terminasi (lihat Comton and Galaway, 1995). Pada P2FM-BLPS ditentukan waktu pelaksanaan program selama 12 bulan pada tahun anggaran yang berlaku. Pada kurun waktu 12 tersebut dibagi-bagi ke dalam tahap persiapan atau pendekatan awal dan pelaksanaan program. Pada P2FM-BLPS batas akhir program pada akhir tahun anggaran atau Desember. Berdasarkan tahun anggaran yang berlaku, mestinya P2FM-BLPS telah berakhir pada Desember 2008. Tetapi dikarenakan ada keterlambatan pada pencairan anggaran, maka ketika memasuki tahun anggaran 2009 program masih dilaksanakan. Sementara honor pendamping sudah dibayarkan pada tahun anggaran 2008. Pada P2FMBLPS tahun 2008, anggaran dicairkan pada akhir tahun 2008, sehingga pada tahun 2009, program tersebut secara efektif
114
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
baru dilaksanakan. Padahal, secara adimistrasi pada tahun 2009 itu telah memasuki tahap terminasi. Selain tidak tepat waktu, pengakhiran program tidak ada ketegasan dari instansi sosial. Tidak ada penyerahan secara resmi kepada pemerintah daerah setelah bahwa P2FM-BLPS telah selesai, dan tidak tindak lanjut pada pemerintah daerah. Program berakhir begitu saja, dan instansi sosial mencari lokasi baru untuk program tahun anggaran berikutnya. 4. Aspek Produk Produk yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hasil akhir yang dicapai dari P2FM-BLPS. Produk mencakup dua sasaran, yaitu secara kelompok dan secara individual. a. Secara Kelompok Pada uraian sebelumnya dijelaskan, bahwa P2FM-BLPS merupakan program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pendekatan kelompok dengan model KUBE. Sehubungan dengan itu, sasaran program menjadi dua, yaitu kelembagaan atau KUBE-nya itu sendiri dan individu-individu warga dampingan sosial. Oleh karena KUBE merupakan wadah kegiatan yang sekaligus metode pemberdayan, maka KUBE harus terus berkesinambungan. Untuk itu, setiap anggota KUBE seyogyanya memiliki tanggung jawab mempertahankan eksistensi KUBE dengan cara menambah aset atau modal kerja pada KUBE tersebut. Selain itu setiap anggota merasa memiliki dan menggunakan KUBE sebagai basis untuk melaksanakan kegiatan sosial. Temuan lapangan menunjukkan, pada umumnya KUBE belum mengalami penambahan aset dan modal usaha, belum ada
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
115
iuran kesetiakawanan sosial belum dilaksanakan, dan belum ada kas kelompok. Hal ini akan mengancam kelangsungan hidup KUBE, disebabkan oleh lemahnya keterikatan sosial antara anggota KUBE. b. Secara Individual Kondisi Ekonomi Berdasarkan hasil perhitungan dengan statisitik, bahwa P2FM-BLPS memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi warga dampingan sosial. Dari total responden sebanyak 200 orang, pada kategori rendah terjadi penurunan sebesar 18 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 7.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 11.5 persen. Apabila tabel 3 dibaca pada kolom sesudah pemberdayaan, maka terdapat 13 persen yang masih termasuk kategori rendah, 73.5 persen termasuk kategori sedang, dan 13.4 persen termasuk kategori tinggi. Interpretasi dari sebaran angka-angka tersebut menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum maksimal.
Pemenuhan Kebutuhan Dasar Berdasarkan hasil perhitungan dengan statisitik, bahwa P2FMBLPS memberikan pengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar warga dampingan sosial. Dari total responden sebanyak 200 orang, pada kategori rendah terjadi penurunan hingga sebesar 0 (nol) persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 15 persen, dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 19 persen. Apabila tabel 4 dibaca pada kolom sesudah pemberdayaan, maka terdapat 0 (nol) persen yang masih termasuk kategori
116
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
rendah, 25 persen termasuk kategori sedang, dan 75 persen termasuk kategori tinggi. Interpretasi dari sebaran angka-angka tersebut menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum maksimal. Interpretasi dari sebaran angka-angka tersebut menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum maksimal. Apabila angka yang diperoleh pada aspek ekonomi disandingkan dengan aspek pemenuhan kebutuhan dasar, menggambarkan kondisi yang tidak kosisten. Dimana kondisi ekonomi menunjukkan derajat rendah, sementara itu pada pemenuhan kebutuhan dasar menunjukkan derajat yang tinggi. Hal ini dapat dijelaskan, bahwa warga dampingan sosial yang menjadi sasaran dalam penelitian ini seluruhnya berdomisili di daerah pedesaan. Mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari melalui sumber ekonomi subsisten, dan masih ada gotong royong antar warga masyarakat. Oleh karena itu, meskipun mereka tidak memiliki uang (nominal), mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan dasar. Kondisi Sosial Berdasarkan hasil perhitungan dengan statisitik, bahwa P2FM-BLPS memberikan pengaruh terhadap kondisi sosial warga dampingan sosial. Dari total responden sebanyak 200 orang, pada kategori rendah terjadi penurunan sebesar 8.5 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 6.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 2 persen. Apabila tabel 5 dibaca pada kolom sesudah pemberdayaan, maka terdapat 25 persen yang masih termasuk kategori rendah, 66.5 persen termasuk kategori sedang, dan 8.5 persen termasuk kategori tinggi. Interpretasi dari sebaran angka-angka
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
117
tersebut menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum maksimal. Interpretasi dari sebaran angka-angka tersebut menunjukkan, bahwa keberhasilan P2FM-BLPS belum maksimal. B. ANALISIS KESEJAHTERAAN SOSIAL Kesejahteraan sosial memiliki beberapa definisi dan pengertian. Pertama, kesejahteraan sosial sebagai kegiatan-kegiatan yang terorganisasi untuk meningkatkan kondisi kesejahteraan sosial melalui pemberian bantuan kepada orang untuk memenuhi kebutuhankebutuhan (lihat Soetarso, 1980). Kedua, kesejahteraan sosial sebagai sistem terorganisasi dari pelayanan dan lembaga sosial yang dimaksudkan untuk membantu perorangan dan kelompok untuk mencapai standar kehidupan dan kesehatan yang memuaskan, serta hubungan sosial dan pribadi yang memungkinkan mereka untuk mengembangkan kemampuan sepenuhnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka serasi dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat ( lihat Soetarso, 1980). Ketiga, kesejahteraan sosial sebagai kondisi sejahtera, yaitu suatu keadaan terpenuhiya segala bentuk kebutuhan hidup, khususnya yang bersifat mendasar seperti makanan, pakaian, perumahan, pendidikan dan perawatan kesehatan (lihat Suharto, 2005). Kemudian menurut Haryanto dan Tamrin (1997), kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi, di dalamnya mencakup tiga aspek, yaitu (1) kebutuhan dasar, yang terdiri dari pangan, sandang, papan dan kesehatan, (2) kebutuhan sosial psikologis, yang terdiri dari pendidikan, rekreasi, dan interaksi sosial; dan (3) kebutuhan pengembangan, yang terdiri dari tabungan, pendidikan khusus/ kejuruan dan akses terhadap informasi. Ketiga aspek tersebut menggambarkan suatu herarki, dimana jenis kebutuhan yang menuntut pemenuhan paling awal adalah kebutuhan dasar, 118
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
kemudian kebutuhan sosial-psikologis dan paling akhir kebutuhan pengembangan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka kebutuhan menabung merupakan kebutuhan yang dipenuhi setelah kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial-psikologis dipenuhi terlebih dahulu. Berdasarkan definisi dan pengertian kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi sejahtera tersebut di atas, konsep kesejahteraan sosial di dalam penelitian ini dioperasionalkan ke dalam tiga aspek, yaitu (1) kondisi ekonomi, (2) pemenuhan kebutuhan dasar dan (3) kondisi sosial. Pada ketiga aspek tersebut dilakukan pengukuran, dan berdasarkan pengukuran itu dibuat kategori terhadap warga dampingan sosial, yaitu kategori rendah, sedang dan tinggi. Total dari pengukuran terhadap ketiga aspek menunjukan, bahwa warga dampingan sosial yang berada pada kategori rendah setelah menerima program sebesar 12.67 persen, pada kategori sedang sebesar 55.00 persen, dan pada kategori tinggi sebesar 32.33 persen. Berdasarkan total hasil pengukuran tersebut, maka tujuan P2FM-BLPS untuk meningkatkan kesejahteraan sosial bagi warga dampingan sosial belum tercapai secara maksimal, yaitu baru 32.33 persen. Sementara itu sebesar 12.67 persen warga dampingan sosial belum mengalami perubahan atau masih berada pada kategori fakir miskin. Kemudian sebesar 55.00 persen warga dampingan sosial sudah mengalami perubahan, tetapi masih berada pada kategori miskin. Data tersebut diharapkan menjadi bahan refleksi bagi penyelenggara program penanggulangan kemiskinan, yaitu Direktorat Pemberdayaa Fakir Miskin. Bab IV Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, secara khusus mengatur penanggulangan kemiskinan. Dimana Departemen Sosial sebagai leading sector bersama Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dan Departemen Kehutanan dalam penanggulangan kemiskinan. Tugas khusus ini membawa implikasi pada tanggung jawab yang sangat
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
119
besar bagi Departemen Sosial dalam mewujudkan negara kesejahteraan partisipatif (lihat Suharto, 2005). Departemen Sosial sebagai representasi dari negara akan menyelenggarakan programprogram terobosan dalam penanggulangan kemiskinan, dan menyediaan ruang yang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Berkaitan dengan tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan sosial tersebut, diperlukan pergeseran-pergesaran pendekatan dalam penanggulangan kemiskinan. Pergeseran dimaksud, yaitu dari pendekatan belas kasihan atau bersifat karitas, bergeser ke arah pendekatan pemberdayaan (lihat Ginanjar, 1996). Di dalam pendekatan pemberdayaan di dalamnya mencakup tiga kegiatan, yaitu (1) mengembangan potensi diri fakir miskin melalui penciptaan situasi sosial yang kondusif. Kegiatan yang dapat dilakukan, yaitu bimbingan memotivasi guna memberikan kesadaran bahwa orang miskin memiliki potensi yang dapat dikembangkan; (2) memperkuat potensi fakir miskin melalui peningkatan pendidikan, derajat kesehatan dan serta akses kepada sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, teknologi, informasi, lapangan kerja, dan pasar; dan (3) memberikan perlindungan, membela dan berpihak bagi kepentingan kepada fakir miskin. Ketiga kegiatan di dalam pendekatan pemberdayaan tersebut menjadi dasar ketika dalam merancangkembangkan program penanggulangan kemiskinan. Berkenaan dengan itu, kegiatan yang penting dilakukan sebelum program dibuat, yaitu studi kelayakan yang di dalamnya termasuk asesmen. Melalui studi kelayakan dapat diidentifikasi potensi diri fakir miskin, sumber daya lingkungan, prospek usaha yang dikelola kelompok, dan sistem dasar dalam intervensi komunitas. Pada pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS ditegaskan, bahwa nilai yang dibangun pada program ini adalah Kerja Untung Nabung atau
120
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
KU-Tabung (Dit PFM, 2007). Berdasar nilai tersebut, maka kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi sejahtera dapat dipahami ketika seseorang memiliki pekerjaan tetap dan layak (Kerja), memiliki penghasilan yang baik (Untung) dan memiliki tabungan atau investasi (Nabung). Konsep kesejahteraan sosial tersebut masih sarat dengan dimensi ekonomi, dan sedikit sekali dimensi sosialnya. Oleh karena itu wajar, apabila di dalam indikator keberhasilan program, dimensi ekonomi lebih dominan dibandingkan dengan dimensi sosial. Apabila konsep ini digunakan, tentu akan mengundang pertanyaan, dimana core bisnis Departemen Sosial.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
121
122
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Bab
V PENUTUP A. KESIMPULAN Pada bab-bab sebelumnya dideskripsikan temuan-temuan lapangan, dan dilakukan analisis terhadap keempat aspek penelitian, yaitu aspek konteks, input, proses dan produk. Berdasarkan deskripsi temuan lapangan di lima provinsi, yaitu Lampung Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Utara, dan analisis tersebut, berikut ini disampaikan kesimpulan : 1. Aspek Konteks a. Instrumentasi program Penyelengaraan P2FM-BLPS telah dibekali dengan pedoman pelaksanaan yang diperuntukkan bagi penyelenggara, pendamping dan warga dampingan sosial. Namun demikian ada persoalan jumlah dan distribusi pada pedoman tersebut. Selain itu menurut pendamping pedoman tidak mudah untuk dilaksanakan, baik menyangkut konsep, pembahasaan dan kepraktisannya. b. Penyelenggara Program Mutasi internal di lingkungan instansi sosial maupun eksternal di daerah dan masih adanya ego unit, menyebabkan penyelenggaraan program pada instansi sosial di daerah belum optimal.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
123
c.
Otoritas Lokal Kepala desa mengikuti secara langsung dalam imlementasi P2FM-BLPS, mulai persiapan sampai akhir program. Namun demikian, sebagian kepala desa melakukan intervensi lebih jauh dalam penyelenggaraan program, seperti dalam penentuan KUBE, pendamping dan jenis bantuan.
d. Dukungan Masyarakat Masyarakat di sekitar lokasi kegiatan KUBE memberikan dukungan terhadap penyelenggaraan program. e. Lingkungan fisik/geografis Pada umumnya kondisi lingkungan fisik/geografis, baik sebagai media usaha (perikanan), penyedia pakan/rumput (ternak sapi) dan infrastruktur, mendukung penyelenggaraan program. 2. Input a. Orang miskin ( klien ) Sebagian besar sasaran program telah sesuai kualifikasi. Namun demikian, pada pedoman ditentukan batasan umur 15-55 tahun, sementara temuan lapangan terdapat sasaran yang umurnya 56 – 72 tahun sebesar 14 persen. Selain itu terdapat KUBE yang beranggotakan perempuan dengan status sebagi isteri dengan usia yang masih produktif. Hal ini menimbulkan bias dengan sasaran program pada pemberdayaan perempuan. b. KUBE Sebagian besar KUBE tidak memenuhi kualifikasi, dimana KUBE penerima bantuan pengembangan sudah tidak memiliki aset dari usaha sebelumnya, atau sudah tidak produktif dan prospektif.
124
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
c. Pendamping Pada umumnya pendamping belum melaksanakan tugasnya dengan baik, karena kompetensinya masih relatif rendah, kesibukan dengan tugas-tugas sehari-hari dan tugas-tugas kedinasan. d. Komponen Program/Kegiatan Pelatihan pendamping masih belum memadai, belum memberikan pengetahuan dan keterampilan sosial dalam pendampingan. e. Anggaran Anggaran seluruhnya terserap untuk pengembangan usaha KUBE. Anggaran tersebut diberikan kepada anggota KUBE bersifat hibah. Pengendalian penggunaan anggaran ini masih lemah. Sebagai contoh terjadi pembelian ternak dan bahanbahan produksi dengan harga di atas harga pasar. 3. Proses a. Tahap awal Seleksi KUBE dan pendamping belum tepat, karena ditemukan KUBE yang sebenarnya tidak memenuhi kelayakan untuk menerima program pengembangan. Proposal tidak sesuai potensi lokal, dan ada intervensi dari instansi sosial dengan alasan kemudahan dalam pembinaan. Sosialisasi program dirasakan masih kekurangan waktu, sehingga materi sosialisasi kurang dipahami secara tepat oleh anggota KUBE maupun pendamping lokal. b. Tahap Pelaksanaan Pengelolaan usaha di dalam KUBE bervariasi, yang menggambarkan ketidakpahaman pendamping dan anggota
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
125
tentang hakikat KUBE. Administrasi kegiatan yang terdiri dari 10 buku yang mesti disiapkan oleh anggota KUBE dirasakan menjadi beban. Pertemuan rutin kelompok dan pendamping belum berjalan baik, disebabkan masih rendahnya kesadaran dan kesibukan dengan tugas-tugas pokok. Pembagian hasil usaha masih rendah, karena sebagian besar usaha KUBE belum produksi. c.
Monitoring dan Evaluasi Monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Karena itu ada kesan, bahwa instansi sosial di daerah belum menganggap penting kegiatan monitoring dan evaluasi ini dalam siklus perencanaan program.
d. Terminasi Pengakhiran pelaksanaan P2FM-BLPS belum ada ketegasan, bagaimana tanggung jawab daerah menindaklanjuti setelah program berakhir. 4. Produk a. Secara Kelompok Pada umumnya aset maupun modal usaha yang dimiliki KUBE belum bertambah. Iuran kesetiakwanan sosial (IKS) dan kas kelompok belum dilaksanakan. b. Secara Individual 1). Kondisi Ekonomi Setelah program terjadi perubahan, yaitu pada kategori rendah terjadi penurunan sebesar 18 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 7.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 11.5 persen.
126
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
2). Pemenuhan kebutuhan Setelah program terjadi perubahan, yaitu kategori rendah terjadi penurunan hingga sebesar 0 (nol) persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 15 persen, dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 19 persen. 3). Kondisi Sosial Setelah program terjadi perubahan, yaitu kategori rendah terjadi penurunan sebesar 8.5 persen, pada kategori sedang terjadi kenaikan 6.5 persen dan pada kategori tinggi terjadi peningkatan sebesar 2 persen. B. REKOMENDASI Berdasarkan temuan lapangan, direkomendasikan hal-hal berikut : 1. Konsep dan desain program
•
Bahwa core bisnis Departemen Sosial adalah menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Di dalam literatur pekerjaan sosial secara luas dibahas, bahwa kesejahteraan sosial sebagai sistem yang diorganisasikan, maupun sebagai kondisi sejahtera yang harus dicapai. Direkomendasikan konsep yang dibangun di dalam P2FM-BLPS secara jelas menggunakan konsep dan perspektif pekerjaan atau kesejahteraan sosial.
•
Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin dalam penanggulangan fakir miskin mendesain P2FM dengan beberapa mekanisme, yaitu : mekanisme rekanan atau KUBE penumbuhan, mekanisme bantuan langsung atau P2FM-BLPS dan mekanisme Lembaga Ekonomi Mikro. Berbagai mekanisme ini ternyata tidak menjamin ketuntasan dan keadilan.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
127
Direkomendasikan ke depan direktorat ini hanya mengembangkan satu mekanisme dalam penanggulagan kemiskinan, yaitu Program Pemberdayaan Fakir Miskin (P2FM) dengan mekanisme BLPS plus, tetapi nama program tetap P2FM. Program ini memerlukan waktu tiga – lima tahun. Pada tahun pertama dilakukan pengkajian sosial atau studi kelayakan, dan penyiapan konsisi sosial masyarakat. Program ini bertolak pada prinsip ketuntasan dan keadilan dalam penanggulangan kemiskinan. 2. Diperlukan pemikiran ulang terhadap pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS sehingga konsep/perspektif, metode, prinsip dan indikator program merujuk kepada literatur pekerjaan/ kesejahteraan sosial. Selain itu, pedoman didesain sepraktis mungkin dengan bahasa yang mudah dipahami, sehingga pengguna cepat memahami dan memiliki pemahaman yang sama tentang maksud dan tujuan program. Kemudian jumlah dan distribusi pedoman masih perlu ditingkatkan, sehingga semua pihak yang terlibat di dalam penyelenggaraan program dapat memperolehnya. Beberapa hal yang perlu dirumuskan kembali di dalam pedoman pelaksanaan P2FM-BLPS, yaitu :
128
•
Umur warga dampingan sosial antara 18 – 59 tahun.
•
Kepala keluarga adalah laki-laki atau perempuan kepala keluarga.
•
Bantuan pengembangan usaha diberikan untuk jenis usaha yang sejenis dengan usaha sebelumnya.
•
Kelayakan jenis usaha yag dikembangkan KUBE dengan mempertimbangkan minat, pengetahuan, kemudahaan pengadaan bahan produksi, pemasaran dan prospek.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
•
Pendamping lokal perlu dilengkapi dengan sarana kerja yang berupa pedoman pelaksanaan kerja dan atribut (topi, jas hujan, lampu senter dll).
•
Kegiatan yang diarahkan pada perubahan pola pikir warga dampingan sosial (orang miskin) perlu ditambah lagi volumenya.
•
Istilah advokasi di dalam pedoman pelaksanaan tidak tepat. Seharusnya digunakan istilah sosialisasi program.
3. Untuk mencapai tujuan optimal, direkomendasikan dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) pada tingkat kabupten. Unsur-unsur yang tergabung dalam POKJA tergantung kebutuhan dengan mempertimbangkan kondisi setempat, dan berasal dari instansi pemerintah daerah, dunia usaha, organisasi sosial kemasyarakatan, dan perguruan tinggi. 4. Pengendalian dan Terminasi Setiap program dalam perspektif manajemen selalu diikuti dengan kegiatan pengendalian yang dikenal dengan Supervisi, Monitor, Evaluasi dan Pelaporan atau SMEP. Sehubungan dengan itu direkomendasikan hal-hal berikut :
•
Supervisi dilaksanakan secara berjenjang dengan serius oleh tenaga dari pusat, provinsi dan kabupaten.
•
Montiroing, evaluasi dan pelaporan dilaksanakan dengan serius secara oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan program, yaitu tenaga pusat, provinsi, kabupten, kecamatan, desa dan pengelola KUBE.
•
Pelaporan dibuat oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggara program dengan serius. Di dalam pelaporan tersebut perlu standarkan : formal laporan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
129
dan isi pelaporan yang tidak hanya capaian target keuangan, tetapi juga memuat capaian target fungsional.
•
130
Pengakhiran program atau terminasi perlu ada ketegasan lagi. Direkomendasikan warga dampingan sosial pasca pemberdayan dilimpahkan kepada pemerintah daerah secara resmi, dan penegasan agar pemerintah daerah menyelenggarakan program tindak lanjut.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Lampiran I :
PROFIL KUBE A. PROVINSI SULAWESI UTARA 1. KUBE Nikita Woya
•
Alamat KUBE Desa Toliomembet, Kecamatan Kakas
•
Jenis UEP yang dikembangkan Catering/peminjaman peralatan catering
•
Inventaris barang-barang BLPS tercatat dengan baik
•
Inventaris barang-barang sebelumnya tidak diketahui
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik
•
Telah membagikan hasil usaha satu kali sebesar Rp. 300.000 per orang/anggota
•
Kas kelompok Rp. 4.000.000
•
Dana sosial/IKS belum ada
•
Rencana pengembangan UEP a.
Penyewaan tenda dan kursi
b. Rias penganten dan kematian •
Penyewaan organ 1 unit
•
Anggota KUBE seluruhnya perempuan
2. KUBE Temboan Jaya
•
Alamat KUBE Desa Toliomembet, Kecamatan Kakas
•
Jenis UEP yang dikembangkan perikanan air tawar atau jaring terapung, jenis ikan mujaer.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
131
•
Inventaris barang-barang BLPS tidak tercatat
•
Inventaris barang-barang sebelumnya tidak tercatat
•
Kegiatan harian belum tercatat
•
Hasil usaha belum ada, sehingga belum membagi kepada anggota kelompok
•
Kas kelompok 1 juta
•
Dana Sosial/IKS belum ada
•
Rencana pengembangan UEP, menambah jaring
3. KUBE Cumi-Cumi
•
Alamat KUBE Desa Mukupa, Kecamatan Tombariri
•
Jenis UEP yang dikelola yaitu perikanan laut
•
Inventaris barang-barang BLPS tercatat dengan baik
•
Inventaris barang-barang sebelumnyta tercatat cukup baik
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik
•
Telah membagi hasil usa ke anggota, rata-rata 250 per orang / bulan
•
Kas kelompok Rp. 600.000
•
Dana sosial/IKS, belum ada
•
Rencana pengembangan belum ada
4. KUBE Sondoken
132
•
Alamat KUBE Desa Mukupa, Kecamatan Tombarisi
•
Jenis UEP yang dikelola pertanian jagung
•
Inventaris barang-barang BLPS tercatat baik
•
Inventaris barang-barang sebelumnya tidak tercatat (tetapi fisik barang ada)
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik.
•
Telah membagi hasil usa ke anggota 2 x @ Rp. 100.000 per orang/anggota
•
Kas kelompok belum ada
•
Dana sosial/IKS belum ada
•
Rencana pengembangan belum ada
B. PROVINSI KALIMANTAN BARAT 1. KUBE Kerja Bersama
•
Alamat KUBE di Desa Parit Bugis, Kecamatan Segedong
•
Jenis UEP yang dikembangkan adalah meubel ( 6 orang) dan bengkel reparasi sepeda motor-mobil ( 1 orang) dan las (3 orang).
•
Penghitungan upah harian anggota di usaha meubel bagi tenaga tukang sebesar Rp 50.000,- per hari, dan kenek atau tukang amplas sebesar Rp 25.000,- per hari.
•
Perhitungan upah harian anggota yang bekerja di bengkel sebesar Rp 25.000,- per hari.
•
Keuntungan per bulan, diperkirakan mencapai Rp 4-5 juta per bulan (menurut ketua kelompok). Namun demikian, sampai Agustus 2008 belum diadakan pembagian hasil usaha.
•
Pembagian keuntungan akan didasarkan aktif dan tidaknya anggota pada UEP. Untuk anggota yang tidak aktif, hanya mendapatkan 10 persen dari SHU. Sedangkan anggota aktif, tentunya sudah mendapatkan upah harian.Dana sosial/IKS belum ada
•
Pertemuan anggota tidak diadakan secara reguler. Pertemuan
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
133
hanya diadakan pada tahap awal. Rencananya akan diadakan apabila ada yang darurat. 2. KUBE Alternatif
•
Alamat KUBE di Desa Parit Bugis, Kecamatan Segedong
•
Jenis UEP yang dikelola KUBE pada awalnya beternak sapi, tetapi dengan berbagai pertimbangan dan kesepakatan anggota kelompok maka sapi dimaksud dijual dan kemudian diganti dengan jenis ternak kambing.
•
Pemeliharaan kambing di lahan sekretaris, dimana ia sekaligus sebagai pemelihara sebanyak 57 ekor, dan sebanyak 4 ekor dipelihara oleh anggota yang lain.
•
Jumlah kambing pada awalnya 40 ekor, dan saat ini sudah berkembang menjadi 61 ekor atau ada penambahan (hasil usaha) sebanyak 21 ekor.
•
Sampai saat ini belum pernah ada pembagian keuntungan bagi anggota. Rencana pembagian keuntungannya sebesar 50 persen bagi penggarap (pemelihara), dan 50 persen dibagi 10 orang anggota.
3. KUBE Labora
134
•
Alamat KUBE di Desa Sui Purun Besar, Kecamatan Segedong
•
Jenis UEP yang dikelola KUBE pada awalnya (2004) di bidang nelayan. Kemudian mendapat pengembangan melalui BLPS tahun 2008, dengan jenis usaha penyewaan alat pesta (tenda 5 unit, kursi, papan dan kelengkapan lain). KUBE juga mengembangkan usaha las untuk melengkapi peralatan pesta.
•
Administrasi barang sudah dibuat, antara lain buku kas untuk mengetahui kekayaan (asset) milik KUBE.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
•
Telah dilakukan pembagian hasil usaha sebesar Rp 500.000,per orang yang dibagikan setiap 2 bulan bagi anggota yang aktif. Sementara bagi anggota yang tidak aktif mendapatkan Rp 100.000.
•
Disepakati bahwa apabila ada anggota KUBE yang sakit atau meninggal diberikan santunan sebesar Rp 200.000.
•
Bagi anggota KUBE yang memerlukan biaya sekolah bagi anaknya, dapat meminjaman dengan pengembalian secara diangsur dan tanpa bunga.
•
Adapun rencana pengembangan, berupa rias pengantin dan peralatan memasak.
4. KUBE Harapan
•
Alamat KUBE di Desa Sui Purun Besar, Kecamatan Segedong
•
Jenis UEP pada awalnya (2004) perontokan padi (mesin perontok padi). Kemudian memperoleh pengembangan melalui BLPS tahun 2008, yaitu jenis usaha kopra. Untuk usaha kopra ini dikerjakan di rumah anggota (sekretaris) dengan menggunakan alat tradisional. Pemasaran kopra sudah ada tempat penampungan.
•
Administrasi pengelolaan usaha sudah dikerjakan, yakni berupa buku kas untuk mengetahui kekayaan (asset) milik KUBE
•
Keuntungan KUBE sampai dengan Agustus 2008 sekitar Rp 4.000.000 dimasukkan kas KUBE. Sampai saat ini belum pernah ada pembagian keuntungan bagi anggota KUBE.
•
Anggota KUBE memperoleh upah per bulan berkisar antara Rp 1 – 1,5 juta atau ada peningkatan dari sebelum ada KUBE yang berkisar antara Rp 600.000 - Rp 1.000.000,-
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
135
•
Sudah ada dana sosial bagi anggtoa yang sakit atau meninggal, yaitu bagi anggota sakit atau kematian diberikan santunan sebesar Rp 200.000.
•
Bagi anggota KUBE yang memerlukan biaya sekolah anaknya dapat diberikan pinjaman dengan pengembalian secara diangsur dan tanpa bunga.
•
Belum ada rencana pengembangan usaha.
C. PROVINSI LAMPUNG 1. KUBE Unggul
•
Alamat KUBE di Desa Campang, Kecamatan Gisting.
•
Jenis UEP ternak sapi.
•
Inventaris BLPS dan sebelumnya maupun perkembangannya tercatat dengan baik.
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan cukup baik.
•
Belum semua anggota kelompok mendapatkan sapi karena hasil pembagiannya dilakukan setelah sapi melahirkan atau pengelolalan UEP dengan sistem guliran. Hal ini dikarenakan keterbasan jumlah sapi dan pemilikan kandang induk serta lahan.
•
Kas kelompok tahun berjalan 2009 sebesar 540.000,-
•
Dana sosial atau IKS ada (tidak diketahui jumlahnya).
•
Perkembangan UEP : a.
Pertambahan jumlah sapi menjadi 10 ekor.
b. Sudah mempunyai usaha kompos.
•
Rencana Pegembangan UEP : ♦
136
Budidaya jamur
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
2. KUBE Dasa Manunggal
•
Alamat KUBE Desa Campang, Kecamatan Gisting
•
Jenis UEP ternak sapi
•
Inventaris barang-barang BLPS, barang-barang sebelumnya maupun perkembangannya tercatat dengan baik
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik
•
Hasil usaha ada, pembagian total THR tahun 2007 Rp 1.990.000,- tahun 2008 Rp 1.925.000,- yang didapat dari usaha penjualan kompos untuk 10 orang.
•
Kas kelompok tahun berjalan 2009 Rp 1.450.000,-
•
Dana sosial / IKS tahun 2009 Rp 51.000,-
•
Perkembangan bantuan UEP ada 40 ekor bebek dari UEP sebelumnya
•
Rencana Pengembangan UEP : a.
Pembuatan kompos organik dari kotoran sapi
b. Budidaya jamur 3. KUBE Maju Lancar
•
Alamat KUBE Desa Gisting Atas, Kecamatan Gisting
•
Jenis UEP sewa alat prasmanan dan ternak kambing
•
Inventaris barang-barang BPLS, sebelumnya dan perkembangannya tercatat dengan baik
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan cukup baik
•
Pembagian paket sembako bagi angota pada saat lebaran
•
Kas kelompok Rp 3.159.000,-
•
Dana Sosial/IKS ada sejumlah Rp 205.000,-
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
137
•
Perkembangan UEP berupa penambahan alat prasmanan
•
Rencana Pengembangan UEP a.
Penambahan alat prasmanan
b. Penyewaan alat-alat pesta 4. KUBE Langgeng Lestari
•
Alamat KUBE Gisting Atas, Kecamatan Gisting
•
Jenis UEP ternak sapi
•
Inventaris barang-barang BPLS, sebelumnya dan perkembangannya tercatat dengan baik
•
Kegiatan hasil dan usaha terbukukan dengan baik.
•
Pembagian hasil usaha KUBE sebesar Rp. 100.000 dari hasil penjualan kompos.
•
Kas kelompok Rp. 285.000,-
•
Dana Sosial/IKS Rp 160.000,-
•
Perkembangan UEP terjadi penambahan sapi 5 ekor, sehingga total sapi 12 ekor sapi pada tahun 2008).
•
Rencana Pengembangan UEP belum ada.
D. PROVINSI JAWA BARAT 1. KUBE Sejahtera IV
138
•
Alamat KUBE Desa Karangwangun, Kecamatan Babakan
•
Jenis UEP yang dikembangkan ternak sapi penggemukan
•
Inventaris barang-barang BLPS belum tercatat
•
Inventaris barang-barang sebelumnya, tinggal seekor sampi
•
Kegiatan/pengeluaran tercatat dengan baik.
•
Hasil usaha belum ada, sehingga belum membagi kepada
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
anggota kelompok
•
Dana sosial/IKS belum ada
•
Rencana pengembangan UEP belum ada.
2. KUBE Sejahtera V
•
Alamat KUBE Desa Karangwangun, Kecamatan Babakan
•
Jenis UEP yang dikembangkan ternak sapi penggemukan
•
Inventaris barang-barang BLPS belum tercatat
•
Inventaris barang-barang sebelumnya, satu ekor sapi dan kandang sapi (sapinya dijual dan dibagi-bagi anggota).
•
Kegiatan/pengeluaran harian tercatat dengan baik.
•
Hasil usaha belum ada, sehingga belum membagi kepada anggota kelompok
•
Dana Sosial/IKS belum ada
•
Rencana pengembangan UEP belum ada.
3. KUBE Dahlia
•
Alamat KUBE Desa Gembongan, Kecamatan Babakan
•
Jenis UEP yang dikelola yaitu ternak domba dan sapi diternakkan.
•
Inventaris barang-barang BLPS tercatat.
•
Inventaris barang-barang sebelumnya tidak tercatat, tetapi fisik barang ada berupa domba.
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik
•
Telah membagi hasil usaha 3 (tiga) kali dari UEP sebelumnya (2007), sedangkan UEP 2008 belum ada hasil usaha.
•
Dana sosial/IKS, belum ada
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
139
•
Perkembangan UEP, domba 20 ekor.
•
Rencana pengembangan ternak belut, kompos dan jamur jerami
4. KUBE Melati
•
Alamat KUBE Desa Gembongan Kecamatan Babakan
•
Jenis UEP yang dikelola yaitu ternak domba dan sapi diternakan.
•
Inventaris barang-barang BLPS tercatat.
•
Inventaris barang-barang sebelumnya tidak tercatat, tetapi fisik barang ada berupa domba
•
Kegiatan dan hasil usaha terbukukan dengan baik.
•
Telah membagi hasil usaha 3 (tiga) kali dari UEP sebelumnya (2007), sedangkan UEP 2008 belum ada hasil usaha.
•
Dana sosial/IKS belum ada.
•
Perkembangan UEP, domba 24 ekor.
·
Rencana pengembangan ternak belut, kompos dan jamur jerami.
E. PROVINSI JAWA TIMUR 1. KUBE Sumber Karya I
140
•
Alamat KUBE Dusun Jatisari
•
Jenis UEP yang dikelola KUBE pada awalnya (2002) di bidang ternak kambing, kemudian mendapat pengembangan melalui BLPS Tahun 2008, dengan jenis usaha pengembangan Sapi.
•
Administrasi pengelolaan usaha sudah dikerjakan, yakni berupa buku Kas untuk mengetahui kekayaan (asset) milik KUBE.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
•
Sampai saat ini belum ada pembagian keuntungan bagi anggota, rencana pembagian keuntungan sebesar 60% bagi pemelihara; kesejahteraan pengurus 5%; kesejahteraan anggota 15%pengembangan 10%, dana social 5% dan pendamping 5%
•
Rencana pengembangan usaha kedepan dari pengembangan sapi menjadi ke sapi jenis peranakan.
2. KUBE Sumber Mulyo
•
Alamat KUBE Dusun Tempel Lord an Tempel Kidul
•
Jenis UEP yang dikelola KUBE Tahun 2005 ternak kambing, kemudian mendapat pengembangan melalui BLPS Tahun 2008 dengan jenis usaha penggemukan sapi.
•
Administrasi pengelolaan usaha sudah dikerjakan, yakni berupa buku Kas untuk mengetahui kekayaan (asset) milik KUBE.
•
Sampai saat ini belum ada pembagian keuntungan bagi anggota, rencana pembagian keuntungan sebesar 60% bagi pemelihara; kesejahteraan pengurus 5%; kesejahteraan anggota 15%pengembangan 10%, dana social 5% dan pendamping 5%
•
Pengembangan UEP terjadi penambahan kambing, awalnya 20 ekor dan sapi 7 ekor. Saat ini sudah berkembang menjadi 43 ekor kambing dan 8 ekor sapi
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
141
DAFTAR PUSTAKA Adi, Rukminto, Isbandi. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat Dan Intervensi Komunitas (Pengantar pada Pemikiran Dan Pendekatan Praktis), Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI. Anwara, Kholil, 2009, “Jumlah Kemiskinan di Indonesia Maret 2009”, Jakarta : Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, (2004), FaktorFaktor Penghambat Perkembangan Potensi Sosial Masyarakat Lokal di Daerah Miskin, Jakarta: Pusbangtansosmas ———————, 2005, Prioritas Penanganan Permasalahan Kesejahteraan Sosial di Enam Provinsi, Jakarta: Pusat Pusat Penelitian Permasalahan Sosial ——————, 2004, Kemiskinan dan Keberfungsian Sosial – Studi Kasus Rumah Tangga Miskin di Indonesia, Jakarta: Kerjasama Puslitbang UKS dengan STKS Bandung Departemen Kehutanan, 2008. Pedoman Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) di Sekitar Kawasan Konservasi, Bogor, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Konservasi Alam. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, 2006, Pedoman Umum Program Pemberdayaan Fakir Miskin – Tahun Anggaran 2006, Jakarta
142
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
: Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin. Compton, Beulah R dan Burt Galaway, 1989, Social Work Processes. Fourth Edition, California : Cole Publishing Co. Hisbullah, Jousairi, 2006, Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Menusia Indonesia). Jakarta : MR-United Press. Haryanto, Rohadi dan Tamrin Amal Tomagola,”Instrumen Pemantau Keberdayaan Keluarga untuk Mengentaskan Kemiskinan”, Jurnal Sosiologi, Indonesia, Nomor 2/September 1997, Jakarta : Ikatan Sosiologi Indonesia. Hikmat, Harry. 2001. Strategi Pemberdayan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama. Ife, Jim. 1995. Community development: Creating community alternativesvision, analysis and practice, Australia, Longman Pty Ltd. Isaac, Stephen dan William B. Michael, Second Edition,1983, Handbook In Research and Evalaution : For Education and the Behavioral Sciences, USA : Los Angeles, California . Iskandar, Jusman, 1992. Etika dan Filsafat Pekerjaan Sosial, Bandung : Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Kantor Kementerian Riset dan Teknolig, 2000, “ Panduan Monitoring dan Evaluasi Riset Unggulan Terpadu”, Jakarta : Ristek. Kartosasmito, Ginanjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat : Meamdukan Pertumbuhan dengan Pemerataan, Jakarta : CIDES. Komite Penanggulangan Kemiskinan, 2003, Buku Pedoman Komite Penanggulangan Kemiskinan, Jakarta: Sekretariat KPK Mujiyadi, B. dkk. 2007, Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin – Studi Evaluasi di Delapan Daerah di Indonesia, Jakarta : Pusat
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
143
Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial ——————2008, Pemberdayaan Fakir Miskin Pinggiran Hutan, - Studi Eksperimentasi, Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Pranarka, A.M.W. & Moeljarto, Vindyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Pemberdayaan, konsep, dan implementasi, Jakarta: Centre for Strategic and Intenational Studies (CSIS). Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Kelompok, Jakarta : Gramedia. Soemarjan, Selo, 1997, “Kemiskinan Pandangan Sosiologi”, Jakarta, Jurnal Sosiologi Edisi September. Soetarso, 1980, Kesejahteraan Sosial, Pelayanan Sosial dan Kebijakan Sosial, Bandung : STKS Bandung. —————— 2000, “Peran Pekerja Sosial dalam Upaya Perlindungan Anak di Era Pelaksanaan Otoda”, Makalah disampaikan pada Pertuan Finalisasi Studi kasus Perlindungan Anak, Bogor : Direktorat Pelayanan Sosial Anak. Soetrisno, Loekman, 1995. Menuju Pembangunan Partisipasitf, Yogyakarta : Sugiyono, 2005, Metode Penelian Kuantitatif dan Kualitatif, Bandung : Alfabeta. Soetomo, 2008, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suharto, Edi, 2003, Penelitian Penanggulangan Kemiskinan, yakarta : Puslitbang Kesejahteraan social. ————— 2005, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung: PT Refika Aditama .
144
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
—————2006, “Pengembangan Masyarakat dalam Praktek Pekerjaan Sosial”, Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat, Jember : Jurusan Ilmu Kesos Univ. Jember. Sulaiman, Whid, 2003, Statistik Nonparametrik, Yogyakarta : UGM Press. Suradi, 2005, Perubahan Sosial Budaya : Implikasinya terhadap Kesejahteraan Anak, Keluarga dan Pengembangan Masyarakat, Surabaya : Swastika Media Citpa. Surjono, Agus dan Trilaksono Nugroho, 2007, Paradigma, Model, Pendekatan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat di Era Otonomi Daerah, Malang : FIA Universitas Brawijaya. Susanto, Astrid S, 1980, Perubahan Sosial, Jakarta : Rieneka Cipta Sutyastie Soemitro Remi dan Prijono Tjiptaherijanto, 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia, Jakarta : CV, Rikneka Cipta. Tampubolon, Joyakin. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendekatan Kelompok - Kasus Pemberdayaan Masyarakat Miskin melalui Pendekatan Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
145
SEKILAS PENULIS Drs. Suradi, M.Si memperoleh gelar Sarjana Pekerjaan Sosial dari Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung tahun 1991 (mahasiswa tugas belajar), dan Magister Sain program studi Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial diperoleh dari Universitas Indonesia tahun 1999 (mahasiswa tugas belajar). Saat ini menjabat Peneliti Madya dengan bidang kepakaran Kebijakan Sosial pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Penulis aktif menulis dan telah menerbitkan 15 buku hasil penelitian secara mandiri maupun kelompok, dan menulis 30 artikel yang dimuat di Jurnal maupun majalah sosial ilmiah dan majalah semi ilmiah dan popular di lingkungan Departemen Sosial. Bidang-bidang yang menjadi perhatian penulis adalah perlindungan anak, keluarga, kemiskinan, komunitas adat terpencil, eks korban Napza dan pengembangan masyarakat. Buku yang diterbitkan secara mandiri, yaitu Kemiskinan dan Politik Pembangunan Sosial (2006 sebagai editor), Perlindungan Anak di Kalimantan Barat (2007), Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil : Filosofi, Konsep dan Strategi (2008 sebagai editor), Masalah Sosial dan Kesejahteraan Sosial (dalam proses final). Jabatan pada saat ini yang mendukung tugas sebagai peneliti, yaitu Ketua Dewan Redaksi Majalah (Ilmiah) Informasi, Anggota Penilai Peneliti Instansi, Anggtoa Tim Teknis Pada Forum Pakar Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil, dan Tim Teknis Staf Ahli Menteri Sosial bidang Otonomi Daerah. Nara sumber dan moderator pada berbagai pertemuan ilmiah, khususnya nara sumber tentang pengembangan masyarakat.
146
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Drs B Mujiyadi, MSW, menamatkan program S1 dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Jogyakarta, dan Master of Social Work dari La Trobe Universty, Melbourne, Australia. Saat ini menjabat Peneliti Muda pada Puslitbang Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Departemen Sosial. Selain itu juga sebagai anggota Pembina Ilmiah pada lembaga yang sama. Penelitian yang pernah dilakukan berkaitan dengan (1) Gelandangan dan Pengemis, (2) Anak Jalanan, (3) Lanjut Usia, (4) Penanganan Masalah Sosial Melalui Panti, (5) Penyusunan Indikator Kesejahteraan Sosial, (6) Perlindungan Tenaga Kerja Wanita di Sektor Industri, (7) Tanggung Jawab Dunia Usaha bagi Masyarakat di sekitarnya, (8) Model Pemberdayaan Keluarga dalam Pencegahan Tindak Tuna Sosial Remaja di Perkotaan, (9) Subsidi BBM bagi Panti Sosial, (10) Social Work With Migrant Worker, Pelayanan Sosial Bagi Korban Tindak Kekerasan, (11) Implementasi Program Pemberdayaan Fakir Miskin, dan (12) Pemberdayaan Fakir Miskin Pinggiran Hutan. Aktif mengikuti berbagai kursus dan seminar di dalam dan luar negeri yang meliputi topik Social Development, Social Work With Migrant and Refugee, Community Based Rehabilitation for Disabled Persons, Micro Planning for Poverty Reduction and Sustainable Development, Senior Social Welfare Administrators, dan lain-lain. Pernah bekerja dengan ADB, Safe the Children UK, UN DSA, JICA dan beberapa lembaga lain dalam berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan sosial. Pengalaman di luar kegiatan penelitain, yaitu sebagai anggota POKJA MPMK, POKJA JPS, Penyusunan Repelita VII bidang Kesejahteraan Sosial, penyusunan Renstra Pembangunan Kesejahteraan Sosial 2000-2004, 2004-2009 dan 2010-2014.
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
147
148
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
Index A
C
Alasan klasik 113 alternative development 15 apatis 7 APBN 58, 71 apolitis 7 aspek context 20, 23 awareness 15
Chambers 8, 14 collective self empowerment 17 Comton and Galaway 114
B B2P2KS 66, 74 Badan Pusat Statistik 10, 63, 99 BLPS 4,5, 6, 19, 20, 23, 24, 25, 28,32,35,40,49,50, 55,57, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 65, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 75, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 85,87, 89, 91,92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101,102, 103, 104, 105, 106, 107, 110, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 123,124, 126, 127,128, 131,132, 134, 135,136, 137,138, 139, 140, 141 built in 13
D dependent sample 23 deprivation trap 8 Desa Gembongan 40, 41, 42, 43 desa Gembongan 41 Desa Mukupa 26, 29, 30, 31 Desa Parit Bugis 32, 33, 133, 134 desa Parit Bugis 33 Desa Swa Daya 28, 31, 43 Desa Toliomembet 26, 27, 28, 131 Direktorat Pemberdayaan Fakir Miskin 4, 20, 95, 101, 105, 127, 143 Dit PFM 104, 107, 121 dualistic approarch 97
E eclectic methode 100 Empowerment 144 empowerment 17 enabling 15
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
149
127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 145
encourage 15 Exact Sig 83, 87, 90 exact sig 83, 87, 91
M
F fatalistik 7 FGD 22
moneva 78, 79
N
G
Nugroho 6, 100, 145
Ginanjar 14, 15, 17, 120, 143 Group Work 17
O
H
orbitasi 45, 47 out of date 29
Horton 7
P
I
P2FM 3, 4, 5, 6, 19, 20, 24, 25, 28, 49, 50, 55, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81,83,84, 85, 86, 87, 89, 91, 92, 93, 94,95,96,97,98,99,100,101,102, 103,104,105, 106, 107, 108,109, 110, 111, 112, 113, 114, 115,116, 117,118,119,120,121,123, 124, 126,127,128, 129, 130, 134, 135, 136 PC 23 PHK 2 PMKS 28, 31, 33, 39, 42, 44, 50, 66 posttest 23 pretest 23 PSKS 31, 33, 37, 39
income generating 111 individual self empowerment 17 Isaac dan Michael 19, 55
K Kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat 1 klien 63, 97, 98, 108, 124 KUBE 4, 25, 32, 35, 38, 40, 41, 43, 45, 51, 55, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,71, 72, 73, 74,75, 76,77, 78, 80, 81, 93, 94, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106,107, 108, 109, 110,111,112, 114, 115, 116, 124, 125, 126,
150
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
R
SUSENAS 10
Rank 82, 83, 86, 89 rank 83, 87, 90 Ranks 82, 83, 86, 89 ranks 83 Remi dan Prijono 9, 145 RTM 42, 44
T
S Segedong 31, 32, 133, 134, 135 self-determination 108 SES 13, 70, 84, 87, 91 Ses 3, 12, 32, 35, 48 ses 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 15, 16, 17, 19, 23, 40, 41, 50, 52, 54, 55,58,62, 63, 66, 68, 69, 70,71, 72, 73, 74, 76, 77, 78, 79, 80, 82, 83, 84, 86, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 97, 98, 100, 102, 103, 104, 106, 107, 108, 109, 110, 113, 116, 117, 118, 120, 121, 123, 124, 125, 143, 144, 146 social functioning 111 Soetarso 17,18,103,104, 118,144 SPSS 23 statistik deskriptif 86, 90 statistik nonparametric 81, 85 Stevelbeam 19, 55 strengthening 15 Suharto 2, 8, 18, 98, 118, 120, 144 SULAWESI UTARA 131 Sulawesi Utara 2, 20, 25, 51, 74,123
Tbk 73 test statistic 83, 87, 90 TK-BLPS 70, 106, 107 TKI 2, 43 Tondano 26, 62
U UEP 69, 74, 110, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139,140, 141
W Wahid Sulaiman 23 welfare for all 1 welfare state 2 Willcoxon 81, 82, 89
Pemberdayaan Masyarakat Miskin
151