PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
TESIS
OLEH : HARIS SUTAN LUBIS 037024034/SP
SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2006
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : Haris Sutan Lubis Nomor Induk Mahasiswa : 037024034 Program Magister : Studi Pembangunan
Menyetujui, Komisi Pembimbing: Anggota,
Ketua,
(Drs.Goestanto, M.Hum.)
(Drs.R.Hamdani Harahap,M.Si)
Ketua Program Studi,
Direktur SPs USU,
(Drs.Subhilhar, MA) NIP.131754528
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc) NIP. 130535852
Tanggal Lulus
: 26 Agustus 2006
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
PERNYATAAN PERENCANAAN PENGEMBANGAN EKOWISATA BERBASIS KOMUNITAS DI KAWASAN WISATA TANGKAHAN KABUPATEN LANGKAT SUMATERA UTARA
TESIS Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleg orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 7 September 2006
(Haris Sutan Lubis)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Nama
: Haris Sutan Lubis
Tempat/Tgl.Lahir
: Padangsidempuan / 07 September 1959
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. PWS Gg. Dewi No. 45 F Medan 20118
Pendidikan
:
1. SDN 42
: Umum
: Medan
2. SMPN I
: Umum
: Medan : 1973 / 1975
3. SMAN II
: IPA
: Medan : 1976 / 1979
4. Fakultas Sastra USU
: Sastra Indonesia : Medan
5. SPs USU
: 1967 / 1972
: 1979 / 1985
: Magister Studi Pembangunan : Medan : 2003 / 2006
Pekerjaan : 1. 1986 – 2002
: Staf Pengajar Jurusan Sastra Indonesia FS. USU
2. 2003 – Sekarang : Staf Pengajar D3 Pariwisata FS.USU 3. 1989 – 1999
: Staf Pengajar Akademik Kesehatan YBS Medan
4. 1995 – Sekarang : Anggota / Pengurus HISKI Komda Sumut 5. 1989 - 1998
: Anggota Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI)
6. 1989
: Kursus Metodologi Survey untuk penelitian pembangunan pedesaan . PAU-UGM, Yogyakarta.
7. 2003
: Lokakarya pemberdayaan masyarakat kawasan TNGL seSumut dan NAD. UML – USU, Medan
8. 2006
: Pelatihan bagi pengelola ekowisata. DEPSENIBUD. Medan.
Status
: Kawin
Istri
: Hotnida Siagian
Anak
: 1. Gading Hidayat Malaon Lubis 2. Gerry Aulia Palaon Lubis 3. Galih Muhammad Soaloon Lubis 4. Givanie Singgarniari Lubis
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan menganalisis perencanaan pengembangan ekowisata di kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat Suimatera Utara secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam dan optimalisasi peranserta masyarakat. Pendekatan yang digunakan adalah analisis deskriptif secara kualitatif terhadap data primer yang diperoleh melalui diskusi kelompok (focusing group discussion) serta wawancara yang dilakukan dengan masyarakat setempat. Teknik analisis deskriptif ini dimaksudkan agar data dapat diinterpretasikan sesuai dengan persepsi dan keinginan masyarakat berdasarkan masukan dari bawah ke atas (bottom-up),sesuai dengan Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas yang kemudian diadopsi untuk pembangunan kepariwisataan yang mengisyaratkan pentingnya hubungan yang hormonis antara masyarakat lokal, sumberdaya dan wisatawan, sebagi kunci utama keberhasilan pembangunan. Berdasarkan data yang diperoleh, ditetapkan kesepakatan bahwa kawasan Tangkahan layak dikembangkan sebagai kawasan ekowista yang menawarkan berbagai produk/atraksi wisata sesuai dengan konsep pengembangan ekowisata, yakni : bersadarkan konservasi, partisipasi/pemberdayaan masyarakat, peningkatan kesadaran dan apresiasi pengetahuan, bermanfaat secara ekonomi, mengedepankan aspek legalitas, serta dibangun dengan pola kemitraan. Pengembangan kawasan disepakati harus menggunakan konsep perencanaan tata ruang dengan menetapkan fungsi utama kawasan, dan pembagian zonasi kawasan, yang terdiri dari zona intensif, zona semi intensif, zona ekstensif primer dan zona ekstensif sekunder. Sementara kegiatan wisata yang disesuaikan dengan arahan pengembangan di setiap zonasi adalah : wisata pendidikan / konservasi, jelajah hutan, bersepeda, petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata perkebunan, wisata tirta, wisata budaya, berkemah, rekreasi keluarga dengan beberapa atraksi alam/buatan, serta wisata goa, di samping pengembangan fasilitas penunjang yang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat lokal sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah kawasan ekowisata Tangkahan harus dikelola secara bersama (co-managenet) antara pihak-pihak yang terkait, agar pada saat yang tepat Tangkahan akan menjadi kawasan ekowisata yang eksotik dan handal. Kata kunci: Perencanaan, Ekowisata, Tangkahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ABSTRACT
This research provides an analysis of ecotourism development plan in tourism sphere of Tangkahan, Langkat Regency of North Sumatra Province. The analysis covers a comprehensive participation process that includes ecosystem sensitivity, potential of natural resource and the optimum of community participation. The approach applied in analyzing the data is qualitatively descriptive analysis. They have been collected from the group discussion and interview with the local community. Thus, the analysis is meant to interpret the data in accordance with the community’s will and perception which represent the bottom-up input. In reference to the adopted theory of human resource based community management, the tourism development is closely connected with the creation of harmony among local community, resource and tourist as primary key-success of development. It is reasonable, from the collected data, that Tangkahan sphere can be developed as ecotourism region through offering various products in the sense of tourism attractions. These must be related to the ecotourism development concept which covers conservation, community participation and empower, consciousness upgrade, knowledge appreciation over tourism advantage economically and legality aspect propose which are all constructed with partnership pattern. The sphere development has been agreed to apply the space arrangement concept by determining sphere primary function and division of zones. They consist of intensive, semi intensive, primary extensive, and secondary extensive zones. Meanwhile, the tourism activity is adjusted with development instruction to each zone i.e. educational tourism or conservations, forest cruise, bicycle, adventure and wild animal monitor, plantation, water, cave and culture tourism, family creation and the creation of artificial nature attractions. Besides, the development of supporting facility is expected to give contribution as part of empowering process of the community. By so doing, the Tangkahan sphere must be managed entirely (co-management) by interrelated parties in order to make it be exotic and top ecotourism sphere. Key words: Plan, Ecotourism, Tangkahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR ISI ABSTRAK ……………………………………………………………………………… KATA PENGANTAR ………………………………………………………………...... DAFTAR RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………. DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… DAFTAR TABEL ……………………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………
i iii vi vii ix x
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………….. 1.1 Latar Belakang ……………………………………………………………. 1.2 Perumusan masalah ………………………………………………………. 1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian .......................................................................................
1 1 22 23 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………………… 2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata ……………………………………… 2.2 Prinsip dan Kriteria Pembangunan Ekowisata ............................................ 2.3 Ekowisata Berkelanjutan ............................................................................. 2.4 Teori Pengelolaan sumberdaya Berbasis Komunitas ……………………..
26 26 44 51 63
BAB III METODOLOGI ………………………………………………………………. 3.1 Penentuan Lokasi Penelitian ........................................................................ 3.2 Desain Penelitian …………………………………………………………. 3.3 Data dan Sumber Data ................................................................................. 3.4 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………….. 3.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data .........................................................
68 68 71 71 72 72
BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN ................................................................ 4.1 Gambaran umum Kabupaten Langkat ……………………………………. 4.2 Kawasan Tangkahan ……………………………………………………… a. Geografi ………………………………………………………………… b. Kependudukan …………………………………………………………. c. Sarana dan Prasarana …………………………………………………… d. Potensi Kepariwisataan ………………………………………………… e. Kearifan Tradisional ……………………………………………………. f. Kelambagaan dan SDM ............................................................................
76 76 81 81 83 87 91 96 107
BAB V ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS ………………………………………………………………… 5.1 Kebijakan Pemkab Langkat ………………………………………………. 5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Ekstenal ………………………………. 5.3 Analisis Kawasan …………………………………………………………. a. Fungsi Kawasan ………………………………………………………… b. Zonasi Kawasan …………………………………………………………
110 115 117 124 124 126
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas …………………………………………… 5.4.1 Paket / Produk Wisata …………………………………………………… 5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat ………………………………….. 5.4.3 Bentuk Pengelolaan ……………………………………………………...
140 143 150 151
BAB VI PENUTUP ……………………………………………………………………. 6.1 Kesimpulan ………………………………………………………………. 6.2 Rekomendasi / Saran ………………………………………………………
154 154 157
DAFTAR PUSTAKA
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pertumbuhan Pariwisata Internasional ………………………………………………. 2 Table 2 Objek Wisata di Kabupaten Langkat ………………………………………………..76 Tabel 3 Penggunaan Lahan di Kabupaten Langkat …………………………………………..77 Tabel 4 Daftar Objek wisata di Tangkahan …………………………………………………. 93
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Plang Selamat Datang …………………………………………………………… 25 Gambar 2 Elemen Kunci Penegembanagan Pariwisata ………………………………………29 Gambar 3 Model untuk Sustainable Tourisem Devolepmen …………………………………35 Gambar 4 Tipe Pariwisata dan Ragamnya ……………………………………………………38 Gambar 5 Visi Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata ………………....42 Gambar 6 Atraksi Gajah …………………………………………………………………….. 43 Gamabr 7 Kawasan Tangkahan dari atas……………………………………………………...43 Gabmar 8 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat ………………………………….. 67 Gambar 9 Peta Kawasan Ekowista Tangkahan ………………………………………………81 Gambar 11 Akomodasi Pemondokan di Tangkahan …………………………………………88 Gambar 10 Peta Potensi SDA Tangkahan ……………………………………………………94 Gambar 12 Sungai Hijau Tangkahan ………………………………………………………..116 Gambar 13 Peta Zonasi Kawasan ………………………………………………………….. 127 Gambar 14 Zona Ekstensif …..…………………………………………………………….. 128 Gambar 15 Zona Semi Intensif …………………………………………………………….. 129 Gambar 16 Zona Ekstensif Primer …………………………………………………………. 130 Gambar 17 Zona Esktensif Sekunder ……………………………………………………… 131 Gambar 18 Peta Pengaturan Arus Wisatawan …………………………………………….. 132 Gambar 19 Keindahan Sumberdaya Alam Tangkahan ……………………………………. 149
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Telaah pustaka mengenai sejarah pariwisata mengungkapkan
adanya tulisan tentang awal
perniagaan internasional di zaman “Phoenisia”, bahkan ada yang berpendapat bahwa penemuan roda adalah awal kegiatan pariwisata. Tulisan yang lain merujuk pada perjalanan ibadah, tentu saja dalam hal ini termasuk yang menyangkut objek wisata terkenal di dunia, seperti yang terdapat di Indonesia semisal Candi Borobudur dan Prambanan. Namun, apabila kita menggali akar-akar pariwisata masa modern, barangkali lebih berkait bila merujuk kepada penemuan mesin uap sebagai saat atau peristiwa yang menentukan. Mesin uap tidak hanya membawa kita berkenalan dengan bentuk sarana angkutan bermesin yang dapat mengangkut lebih banyak orang dan dapat menempuh jarak yang lebih jauh dalam waktu yang lebih cepat bila dibandingkan dengan sarana angkutan yang lain sebelumnya; namun juga mendorong munculnya masyarakat kota yang industrial (dan kemudian pasca-industrial) dan modern. Masyarakat kota yang industrial tersebut juga mendorong perkembangan ilmu dan teknologi sampai terciptanya sarana angkutan yang lebih cepat daripada sarana yang didayai mesin uap. Mulamula kita mengenal mobil yang lebih luwes yang memungkinkan orang bergerak ke mana-mana, sehingga meningkatkan perjalanan wisata domestik, dan pada tahap selanjutnya penemuan pesawat jet untuk angkutan penumpanglah yang memicu perkembangan pesat pariwisata internasional. Perkiraan World Tourism International (WTO) pada tahun 2001 jumlah wisatawan dunia mencapai 661 juta dan 15,28% diserap oleh kawasan Asia Timur dimana Indonesia berada. Apabila kita melihat catatan lebih jauh lagi, tingkat perjalanan internasional meningkat enam kali lipat dalam periode dua puluh tahun sejak 1950-1970, dan kemudian tiga kali lipat dalam masa 20 tahun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
selanjutnya. Proyeksi tingkat pertumbuhan sebesar 50 persen selama dekade ini memperlihatkan jumlah pokok yang lebih besar dalam periode berikutnya.
Tabel 1 Pertumbuhan Pariwisata Internasional 1950-2001 Tahun
Jumlah Pergerakan Wisatawan Internasional (juta)
1950
25
1970
160
1991
450
2001
661
2011
?
Sumber: WTO
Memang harus diakui pasang-surut perkembangan sektor pariwisata sebagai salah satu industri terbesar abad 21 ini sangat mempengaruhi jumlah devisa yang bisa diraih Indonesia yang menempatkan pariwisata sebahai penghasil devisa terbesar di luar migas. Sejak tahun 1998, kemerosotan jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia terus berlangsung mengiringi tragedi-tragedi eksternal dan internal yang sangat mempengaruhi kinerja kepariwisataan. Kalau pada tahun 1997 tercatat jumlah 5,2 juta orang dengan penghasilan devisa sebesar 5,3 juta dollar, maka tiga tahun berikutnya berubah menjadi 4,6 juta, 4,7 juta, dan 5,0 juta (Ardika, 2003). Sementara itu untuk wilayah Sumatera Utara sebagai salah satu daerah tujuan wisata juga mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan. Hanya dalam waktu lebih kurang tiga tahun telah
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
terjadi penurunan jumlah wisatawan mancanegara sebesar 65 persen. Berbagai hal diperkirakan menjadi penyebab terjadinya stagnasi perkembangan pariwisata di Sumatera Utara tersebut, baik hal yang berhubungan dengan persoalan-persoalan mikro maupun persoalan kondisi objektif produk wisata, semisal kualitas infrastruktur yang sangat menentukan aksesibilitas. Ketidakmemadaian infrastuktur serta produk wisata yang relatif homogen menjadikan salah satu kelemahan Sumatera Utara sebagai daerah tujuan wisata. Atraksi-atraksi wisata yang disuguhkan sangat tidak menarik, karena nilai otentisitas, originilitas, dan keunikannya tidak begitu menonjol. Masingmasing daerah menawarkan produk wisata yang relatif sama, dan atraksi buatan yang disuguhkan relatif tidak unik. Oleh karena itulah, kinerja pariwisata ini sangat beralasan untuk dibenahi, karena pengalaman yang tidak nyaman akan meninggalkan kesan buruk terhadap produk wisata (Weiler, 1992). Salah satu terobosan yang potensial sebenarnya ialah dengan mengembangkan pariwisata alternatif, maupun pengembangan pasar wisatawan domestik sebagai basis pengembangan pariwisata nasional, sekaligus dalam rangka menumbuhkan masyarakat wisata. Para perencana pembangunan kepariwisataan seharusnya dapat menyusun kebijakan-kebijakan yang tidak saja mendorong peningkatan arus perjalanan penduduk di dalam negeri, tetapi juga memperkuat basis industri pariwisata nasional. Sementara itu di sisi lain pengembangan industri kepariwisataan sebaiknya didasarkan pada permintaan riel pasar wisatawan. Riset pasar yang dilakukan oleh Australian Tourist Commission misalnya, menunjukkan bahwa ciri-ciri alam Australia seperti hutan hujan, terumbu karang, pantai dan daerah pedalaman akan terus dimanfaatkan untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar. Riset ini juga mencatat bahwa pemandangan yang indah, keluasan daerah, keajaiban alam, kehidupan liar dan pantai yang bagus sebagai sifat-sifat utama dalam peringkat pariwisata internasional (Pitts, dalam Gunawan, 1997).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berbagai isu yang dikaitkan dengan munculnya konsep ekowisata yang mutakhir termasuk meningkatnya kesadaran akan lingkungan di masyarakat, publik yang semakin cerdas, dalam hal selera dan dambaan mereka akan pengalaman wisata di luar rumah, yaitu yang berbasis alam. Masyarakat yang semakin pandai ini juga memperlihatkan penghargaan atas kepekaan yang meningkat terhadap bentang alam biofisik dan budaya. Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif, yang mencakup perjalanan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan liarnya. Ekowisata dikembangkan berdasar prinsip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya. Pengembangan pariwisata alternatif ini dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian lingkungan, dan pembangunan yang berkelanjutan. Sektor pariwisata yang berorientasi pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas, merupakan salah satu alternatif yang mendapatkan perhatian, terutama dalam konsep pengembangan pariwisata jangka panjang. Dengan mencermati berbagai kondisi alam wilayah yang dimiliki Indonesia, diversitas budaya, serta komunitas yang berkualitas, pengembangan sektor pariwisata berbasis komunitas dianggap sangat potensial untuk ditingkatkan mutunya agar dapat menjadi sektor andalan devisa di luar migas. Dengan demikian diharapkan sektor pariwisata yang dikembangkan melalui konsep pariwisata berbasis komunitas dapat menjadi salah satu lokomotif penggerak perekonomian nasional. Sebab pengembangan sektor pariwisata memiliki keterkaitan yang erat dengan banyak sektor lainnya, serta memberikan dampak ekonomi yang menjangkau banyak elemen, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Di sisi lain, potensi pariwisata memang masih belum tergali secara optimal, padahal telah disadari bahwa sektor ini cenderung menghasilkan sangat banyak keuntungan, baik dari pasar domestik, dan terutama pasar internasional. Seiring dengan keadaan tersebut dan dengan menyadari multiplier effect ekonomi yang demikian besar, maka Pemerintah pun telah mengagendakan pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas sejak Repelita VI dengan orientasi pengembangan pariwisata yang berwawasan wilayah pada setiap propinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Pengembangan sektor pariwisata di daerah pastilah diarahkan untuk dapat memantapkan sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism). Investasi kepariwisataan diharapkan dapat memberikan lapangan kerja dan kegiatan usaha bagi masyarakat luas, mulai dari yang bergerak dalam bisnis transportasi, hotel dan bentuk-bentuk penginapan lain, rumah makan dan restoran, bahkan usaha-usaha sistem paket acara tour sampai kepenyediaan barang-barang kerajinan industri rumah tangga milik masyarakat setempat (souvenir) dan jasa-jasa kepariwisataan lainnya (tourism services). Disamping itu, pengembangan sektor pariwisata seperti pariwisata alternatif
--
ekowisata-- diharapkan juga untuk sekaligus menumbuhkan proses-proses pembelajaran program konservasi bagi pemeliharaan dan pelestarian kawasan hijau Indonesia guna menjaga keharmonisan ekosistem bagi kelangsungan hidup manusia. Sehubungan dengan pengembangan pariwisata berbasis komunitas, maka hal terpenting yang tidak dapat dilepaskan dari sektor ini ialah pendekatan perencanaan kepariwisataan yang meliputi pendekatan kemasyarakatan sebagai daya dukung utama pada sektor pariwisata ini. Hal ini sejalan dengan pendapat tentang pentingnya suatu pendekatan dalam menunjang strategi perencanaan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pembangunan dan pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas sebagaimana pernah diungkapkan oleh Inskeep (1991), bahwa: “Commnunity approach – There is maximum involvement of the local community in the planning and decision making process of tourism and to the extent feasible and desirable, there is maximum community participation in the actual development and management of tourism and it’s socioeconomic benefits” Berdasarkan konsep tersebut, haruslah diakui bahwa pada umumnya untuk mengembangkan kepariwisataan diperlukan pendekatan komunitas dalam rangka mendukung pembangunan dan kemandirian daerah di Indonesia yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktual agar dapat memberikan keuntungan sosio-ekonomis. Meskipun harus diakui bahwa pengembangan dan bahkan pelaksanaan
konsep
pengembangan
kepariwisataan
berbasis
komunitas
belum
sepenuhnya
direncanakan dan dilaksanakan secara profesional, sehingga kerapkali memunculkan pertanyaan, apakah memang Pemerintah dan termasuk juga Pemerintah Daerah benar-benar sungguh-sungguh atau tidak dalam menjalankan kebijakan tentang pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang sebenarnya telah pernah ditetapkan dalam Repelita yang lalu? Pertanyaan lain yang mungkin pula muncul ialah sudah sejauh mana Pemerintah Daerah telah melaksanakan kebijakan pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang menuju kepada hal-hal yang bisa menopang ekosistem dan kegiatan ekonomi masyarakat untuk jangka waktu yang lama dan untuk selalu berkesinambungan. Karena suatu kegiatan ekonomi dari sektor pariwisata yang ingin bertahan lama, tentunya tidak bisa hanya mengandalkan infrastruktur aksesibilitas, semisal jalan raya, pelabuhan laut dan lapangan udara yang skalanya terbatas, melainkan secara terpadu dilakukan bersama dengan pengembangan kualitas individu pelaku kepariwisataan dan respons positif komunitas di sekitarnya. Pengembangan sektor pariwisata yang berbasis komunitas, harus pula ditentukan berdasarkan perhitungan yang matang, dan kini harus pula sesuai dengan konsep otonomi daerah, yakni mengacu Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kepada kemampuan masyarakat, dan skalanya lebih besar dalam kapasitas spesifikasi daerah yang bersangkutan. Pentingnya pengembangan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah, pernah dinyatakan oleh Djamhur (1999), bahwa: “Dari sisi pariwisata, otonomi daerah mengarah pada pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Tujuannya memaksimalkan sumberdaya lokal dan kemampuan masyarakat setempat. Ini paradigma baru. Untuk itu ada beberapa elemen penting yang perlu diperhatikan dalam penerapannya, yaitu: 1) Produk; 2) Promosi; 3) Sumberdaya Manusia (SDM); 4) Pemberdayaan Masyarakat Setempat; 5) Investasi. Dalam hal pemberdayaan masyarakat setempat, pariwisata perlu menggalakkan program Community Tourism Development (CTD), yakni kegiatan pariwisata berdasarkan kemampuan masyarakat setempat. Dari, oleh, dan untuk masyarakat. Konsep CTD atau ekonomi rakyat ini mampu menciptakan produk wisata lokal dan ketahanan serta kestabilan kondisi sosioekonomi masyarakat. CTD menumbuhkan rasa saling membutuhkan dan bahkan memberdayakan semua pihak terkait. Masyarakat dapat langsung berpartisipasi dan menikmati keuntungan. Contohnya Desa Wisata” Secara tegas dikatakan pula bahwa pemberdayaan masyarakat setempat akan pula turut menentukan keberhasilan pengembangan sektor pariwisata dalam mendukung pelaksanaan program otonomi daerah dengan segala dinamikanya. Memang secara terus-menerus masalah untung-rugi pngembangan pariwisata berbasis komunitas di setiap daerah menurut konsep otonomi daerah masih terus dikaji dan merupakan suatu perbincangan yang panjang di antara para pakar pembangunan daerah dan perencana kepariwisataan, namun tampaknya pola pengembangan pariwisata berbasis komunitas cenderung lebih memberikan manfaat bagi kepentingan pariwisata, dan hal ini pun sejalan dengan pandangan Djamhur (1999) yang menyatakan bahwa:
“Keuntungannya daerah dididik mandiri (mengatur, mengembang-kan, dan mengawasi daerahnya sendiri). Pemerintah Daerah diberi kesempatan untuk membuka diri (masuknya investasi asing ke daerah Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
tersebut), pemberdayaan masyarakat (dari, oleh dan untuk rakyat), discover the unknown (menggali potensi wisata yang terpendam). Sedangkan kerugiannya, mungkin timbul arogansi Pemerintah Daerah, sementara di sisi lain Pemerintah Pusat masih akan ikut menanggung kerugian akibat mismanagement, kesenjangan pembangunan antara daerah maju dan daerah terbelakang” Oleh karena itulah dampak krisis ekonomi moneter dan politik yang dialami bangsa Indonesia sejak tahun 1997 yang menghembuskan angin segar bagi proses reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada tataran sosial, ekonomi, hukum maupun politik haruslah dapat dicermati dan disiasati maknanya demi mencapai cita-cita kehidupan yang lebih realistis. Walaupun mungkin hasil dari proses reformasi itu belum memuaskan atau belum mencapai pada tahap sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh komponen bangsa. Pembangunan kepariwisataan berbasis komunitas dalam perspektif otonomi daerah ini perlu kian dicermati dengan arif, karena dengan terbitnya undang-undang UU No. 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No, 25 tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, diharapkan untuk dapat membangun muara pada kemampuan meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di kawasan nusantara ini. Konsep desentralisasi kemudian menunjukkan bahwa otonomi menjadi hal yang sangat penting bagi daerah-daerah dalam proses pembangunan. Otonomi berarti penyelenggaraan Pemerintahan sebagai suatu urusan rumah tangga yang berdiri sendiri, yang meliputi tahapan perencanaan pembangunan, pelaksanaan dan evaluasi terhadap hasil-hasilnya. Konsekuensi logis dari penerapan asas desentralisasi ini adalah kesiapan Pemerintah Daerah untuk menata keseluruhan perangkat organisasi dan manajemen serta kemampuan untuk melakukan adaptasi terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal agar mampu melaksanakan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Fleksibilitas terhadap perubahan lingkungan ini merupakan prasyarat bagi kemampuan Pemerintah Pusat maupun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Daerah untuk sukses dalam melaksanakan program-program pembangunan yang tepat sasaran maupun tepat guna. Dalam lingkungan ekonomi dan politik pasca reformasi, industri pariwisata sebagai salah satu anasir segmen ekonomi, sangat memungkinkan untuk meraih kesempatan dan membuka peluang sukses sebesar-besarnya. Prospek pariwisata dalam artian yang seluas-luasnya dapat lebih mendorong pengertian antarbangsa menuju perdamaian dunia, di samping memberi peluang kesempatan kerja, meningkatkan devisa dan taraf kehidupan ekonomi (rakyat) melebihi kekuatan segmen ekonomi yang lain. Di sisi lain, pengembangan pariwisata melalui pendekatan pariwisata berbasis komunitas diyakini merupakan salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu disadari bahwa Pemerintah Daerah setempat semestinya juga memperhatikan secara serius masalah infrastuktur fisik yang tentu saja penting bagi kelangsungan pertumbuhan dunia usaha dan industri pariwisata yang berbasis komunitas, dalam artian bahwa Pemerintah Daerah semestinya dapat menyediakan jasa atau fasilitas khusus untuk memenuhi keinginan dunia usaha atau industri pariwisata, khususnya yang menunjang pemberdayaan masyarakat. Memang, melalui kerangka berfikir ekonomi politik, tidaklah sulit untuk menunjukkan bahwa pariwisata (terutama internasional) sangat meyakinkan untuk dapat menjadi pasport pembangunan bagi kebanyakan negara berkembang meskipun pada sisi lain tidak hanya gagal berfungsi sebagai motor penggerak pembangunan, tetapi bahkan dengan mudah berubah menjadi penyebab tidak berkembangnya banyak dunia ketiga. Contoh sederhana, perusahaan penerbangan asing dan rantai perhotelan amat berpengaruh dalam menentukan tempat tujuan wisata, dan sering mendiktekan kondisi yang harus diciptakan di daerah wisata yang akan dikembangkan. Dalam situasi seperti ini, subsidi Pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan keringanan pajak mendorong kepariwisataan internasional yang merugikan kebutuhan setempat (Britton, dalam Nasikun 1997). Yang lebih penting lagi ialah,
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pariwisata internasional juga menghabiskan modal perekonomian negara dunia ketiga, memperkuat ekonomi monokultur yang didasarkan kepada perolehan dari hotel, menyebabkan defisit neraca pembayaran yang kronis, dan gagal untuk merangsang pertumbuhan industri kerajinan setempat (Perez, dalam Nasikun 1997), dan pada saat yang sama, sering mengakibatkan rusaknya lingkungan dan sosial budaya masyarakatnya. Bertolak dari dinamika pembangunan kepariwisataan yang mengacu pada pelibatan dan pemberdayaan masyarakat, maka penulis berketetapan untuk meneliti tentang “Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara”. Alasan yang dibangun dalam rangka penelitian tentang perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara ialah: 1. Dalam satu dekade terakhir telah terjadi perubahan kecenderungan wisatawan dalam memilih objek atau lokasi wisata. Wisatawan tidak lagi ingin sekedar datang untuk melihat objek wisata tertentu saja, tetapi telah meningkatkan keinginan ke arah wisata yang dapat memberikan tambahan wawasan, pengalaman dan pengetahuan baru, dan model wisata alternatif seperti ini dikenal dengan istilah ecotourism, yang dalam bahasa Indonesia disebut ekowisata. 2. Sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), Tangkahan merupakan kawasan yang didominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah, yang memiliki vegetasi dengan ciri-ciri pohon yang tinggi, dengan lebar kanopi 40-50 meter, kaya akan berjenis-jenis tumbuhan berbunga yang akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang hidup di dalamnya, dan paling kaya akan keanekaragaman fauna. Hampir 65% jumlah mamalia yang tercatat hidup di kawasan Sumatera terdapat di dalam KEL. Tercatat 205 jenis mamalia besar dan kecil. Oleh karena itu, dipandang dari sudut pengembangan ekowisata, KEL memiliki potensi sumberdaya alam yang luar biasa.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Ekowisata akan mampu membangkitkan ekonomi masyarakat setempat dalam bentuk keuntungan sosial dan juga partisipasi masyarakat dalam menentukan jenis kegiatan wisata dan jumlah fasilitas yang akan dibangun, disamping sebagai promosi nyata terhadap kepentingan konservasi dan pengembangan berkelanjutan KEL kepada masyarakat Indonesia dan internasional. 4. Melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dilakukan secara tepat dan jitu oleh Pemerintah Daerah bersama masyarakat setempat dan unsur-unsur swasta, diharapkan akan memberikan dampak positif setidaknya bagi peningkatan kunjungan wisatawan, baik wisatawan domestik, maupun wisatawan mancanegara. Pengembangan Pariwisata dengan pendekatan kemasyarakatan merupakan konsep alternatif yang berbeda dengan konsep pembangunan kapariwisataan secara konvensional yang berlangsung selama ini dengan pendekatan teknokratik-sentralistik. Konsep alternatif ini digunakan sebagai reaksi atas kegagalan model modernisasi yang diterapkan selama ini di negara-negara berkembang. Konsep dengan model top-down dirasakan telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri, sehingga rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri (Pitana, 1999). Dalam perkembangan selanjutnya, trend pariwisata dunia telah mengalami perubahan drastis. Pada beberapa negara/daerah, masyarakat setempat (local community) turut pula dilibatkan dalam aktifitas kepariwisataan guna menunjang keberhasilan pengembangan pariwisata. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila pada dasawarsa belakangan ini, kemajuan industri pariwisata yang tergolong cukup pesat ini dikarenakan peningkatan secara luas, keterlibatan masyarakat lokal (community based-tourism), waktu senggang (leisure time), peningkatan pendapatan, kemajuan dalam teknologi informatika dan penerbangan --memungkinkan biaya transportasi yang murah, mudah dan cepat--. Selain itu, pergerakan yang cepat di bidang telekomunikasi dan informasi menstimulir gairah manusia untuk mengunjungi tempat/negeri asing dan adat-istiadat yang unik dan orisinal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Memang harus diakui bahwa sampai saat ini, memperkenalkan, mempopulerkan dan memasarkan suatu produk wisata terutama ekowisata, bukanlah suatu hal yang mudah. Berbagai tantangan harus dihadapi, terutama bila tidak didukung oleh keterlibatan masyarakat untuk memberikan respon positif bagi pengembangan objek wisata tersebut. Oleh karena itulah, faktor utama bagi pengembangan pariwisata berbasis komunitas adalah keseimbangan dan harmonisasi antara lingkungan hidup, sumberdaya dan kepuasan wisatawan, yang diciptakan atas inisiatif masyarakat lokal, dan kesemua aspek tersebut akan mencerminkan keberlanjutan sistem sosial, budaya dan ekonomi, yang memang merupakan prioritas yang mesti didahulukan. Pada tingkatan konseptual Pemerintah telah melakukan langkah-langkah untuk mendorong pengembangan pariwisata berbasis komunitas. Langkah ini dilakukan karena pariwisata berbasis komunitas mempunyai potensi besar dan dapat menjadi tulang punggung penggerak perekonomian masyarakat. Selain dapat meningkatkan devisa, pariwisata juga diyakini dapat menyerap tenaga kerja dengan tuntutan kualitas yang tidak terlalu tinggi. Pengembangan pariwisata berbasis komunitas dapat melahirkan pemerataan, karena di daerah-daerah yang memiliki potensi kepariwisataan, masyarakat setempat dapat dilibatkan sebagai tenaga kerja, pengelola warisan-warisan budaya dan pengrajin industri sebagai aset wisata setempat. Oleh karenanya untuk mendukung pembangunan pariwisata berbasis komunitas, Pemerintah telah menerapkan sejumlah kebijakan sebagai pemandu dalam setiap perencanaan pembangunan dan pengembangan kepariwisataan sebagai berikut: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan khususnya pada Pasal 2, Pasal 3 huruf (d), dan Pasal 30. 2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Peraturan Pemerintah RO Nomor 67 Tahun 1996 Tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan; khususnya pada Pasal 2, 105, 106, dan 107. 4. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.5/UM.209/MPPT-89 Tanggal 18 Januari 1989 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sapta Pesona; khususnya pada Pasal 3, 4, 5, dan 7. 5. Keputusan Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.98/PW.102/MPPT-87 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Ketentuan Usaha Obyek Wisata. 6. Keputusan Direktur Jenderal Pariwisata Nomor KEP-18/U/II/88 Tanggal 25 Pebruari 1990 Tentang Pelaksanaan Ketentuan Usaha Objek Wisata. 7. Instruksi Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor IM.16/KS.001/MPPT-88 Tanggal 17 September 1988 Tentang Peningkatan Kerjasama Antar Instansi Pusat di Bidang Pengembangan dan Pemanfaatan Objek Wisata Alam dan Objek Wi ata Budaya. 8. Surat Edaran Bersama Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Nomor 07/Edr/II/88 dan Nomor SE.02/M/BP/88 Tanggal 26 Pebruari 1988 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Mempekerjakan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang di Bidang Usaha Hotel, Restoren, Usaha Perjalanan, Wisata Tirta, dan Objek Wisata. 9. Petunjuk Pelaksanaan Direktur Jenderal Pariwisata dan Direktur Jenderal Bina Usaha Koperasi Nomor KEP.67/U/VI/88 dan Nomor 205/SKB/BUK/VII/88 Tanggal 27 Juli 1988 Tentang Pengembangan Usaha Koperasi di Bidang Usaha Biro Perjalanan Umum dan Agen Perjalanan. 10. Instruksi Presiden RI Nomor 7 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata. 11. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 1987 Tanggal 23 Desember 1987 Tentang Penyederhanaan Perizinan dan Retribusi di Bidang Usaha Pariwisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
12. Surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan RI Nomor 177/DAGRI/VII/86 Tanggal 15 Juli 1986 Perihal Pembebasan Memiliki SIUP Bagi Usaha Jasa Pelayanan di Bidang Pariwisata. 13. Keputusan Menteri pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.52/HM.601/MPPT-89 Tanggal 17 April 1989 Tentang Penyelenggaraan Kampanye Nasional Sadar Wisata. 14. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.59/PW.002/MPPT-85 Tanggal 23 Juli 1985 Tentang Peraturan Kawasan Pariwisata. 15. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.70/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rekreasi dan Hiburan Umum. 16. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.71/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha dan Penggolongan Perkemahan. 17. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.72/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Mandala Wisata. 18. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.73/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Rumah Makan. 19. Keputusan Menteri Pariwisata. Pos, dan Telekomunikasi Nomor KM.74/PW.105/MPPT-85 Tanggal 30 Agustus 1985 Tentang Peraturan Usaha Pondok Wisata. Pembangunan Kepariwisataan berbasis komunitas secara nasional sudah dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 1990, dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan; Bab II Azas dan Tujuan, serta Bab V, Peran Serta Masyarakat yang menyatakan: “Penyelenggaraan kepariwisataan dilaksanakan berdasarkan azas manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, asli dan merata, perikehidupan dalam keseimbangan, dan kepercayaan pada diri sendiri. Penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan: a) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan objek dan daya tarik wisata; b) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; c) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; d) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; dan e) mendorong pendayagunaan produksi nasional. --Peran Serta Masyarakat-- yakni: 1) Masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan kepariwisataan. 2) Dalam rangka proses pengambilan keputusan, Pemerintah dapat mengikutsertakan masyarakat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) melalui penyampaian saran, pendapat, dan pertimbangan. Pariwisata secara universal harus mampu menghadapi kompetisi global serta memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu peran Pemerintah sebagai pelaku dan sekaligus fasilitator sangatlah besar dan sangat diperlukan untuk menjamin terlaksananya pembangunan dan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, dengan mengikutsertakan dan mengoptimalisasikan para pelaku pembangunan di sektor pariwisata, yakni: Pemerintah/Pemda, masyarakat lokal, swasta/investor. Peran tersebut dapat diwujudkan dalam Kebijaksanaan Umum Pengembangan Pariwisata, yaitu kebijakan untuk menjaga keseimbangan antara peran serta Pemerintah, swasta, dan masyarakat” (Suwantoro, 1997). Pembangunan pariwisata berbasis komunitas jelas-jelas memiliki potensi yang baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagaimana dikemukakan oleh Karyono (1997): “…Potensi positif pembangunan pariwisata berbasis komunitas meliputi: 1) Makin luasnya kesempatan usaha; 2) Makin luasnya lapangan kerja; 3) Meningkatnya pendapatan masyarakat dan Pemerintah; 4) Mendorong pelestarian budaya dan penggalan sejarah; 5) Mendorong terpeliharanya lingkungan hidup; 6) Terpeliharanya keamanan dan ketertiban; 7) Mendorong peningkatan dan pertumbuhan di bidang pembangunan sektor lainnya; dan 8) Memperluas Wawasan Nusantara, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa serta menumbuhkan cinta tanah air. Di sisi lain, terdapat pula potensi negatif pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yakni: 1) Harga di daerah yang menjadi tujuan pariwisata makin tinggi; 2) Terjadinya pencemaran lingkungan alam dan lingkungan hidup; 3) Terjadinya sifat ikut-ikutan oleh masyarakat setempat; 4) Tumbuhnya sikap mental materialistis; 5) Timbulnya pedagang asongan;6) Tumbuhnya sikap meniru wisatawan; dan 7) Meningkatnya tindak pidana” Pada sisi lain, bisa dilihat beberapa ciri-ciri atau karakteristik pengembangan pariwisata berbasis komunitas sebagaimana dimaksudkan oleh Nasikun (dalam Fandeli, 2000), yakni : a. Berskala kecil (small scale), sehingga lebih mudah diorganisasikan. Jadi jenis pariwisata yang dikembangkan dengan menggunakan konsep tersebut pada dasarnya adalah pariwisata yang Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkkan banyak dampak negatif. b. Lebih berpeluang untuk dikembangkan dan diterima oleh masyarakat lokal. c. Lebih memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dari proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, maupun penerimaan manfaat dan keuntungan. d. Selain menekankan partisipasi masyarakat, pembangunan berwawasan kerakyatan juga sangat mementingkan keberlanjutan kultural (cultural sustainability), dan secara keseluruhan berupaya untuk membangkitkan “rasa hormat” dan “penghargaan” wisatawan terhadap kebudayaan lokal. Dengan karakteristik tersebut, pengembangan suatu kawasan atau objek wisata yang memanfaatkan pendekatan pembangunan berbasis komunitas, akan lebih memberdayakan dan menguntungkan masyarakat, meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat, untuk kemudian keseimbangan dan keberlanjutan potensi atau modal dasar kepariwisataan di kawasan objek wisata tersebut akan tetap terjaga dan terpelihara. Sebenarnyalah pembangunan merupakan sebuah sociallearning yang menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut, sebagaimana dikatakan Korten (dalam Pitana, 1999). Masih menurut Korten, ada tiga alasan dasar yang menjelaskan mengapa konsep tersebut penting untuk dilaksanakan, yaitu pertama: variasi antar daerah (local variety) sehingga setiap daerah tidak dapat diberikan perlakuan yang sama. Setiap daerah memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berbeda satu dengan yang lainnya, karena itu sistem pengelolaannya juga harus berbeda, dan masyarakat lokal sebagai pemilik daerah adalah pihak yang paling mengenal dan paling akrab dengan situasi daerahnya. Kedua, adanya sumberdaya lokal (local resources), yang secara tradisional dikuasai oleh masyarakat lokal tersebut, karena pengalaman itu sudah dilaksanakanan beberapa generasi. Ketiga, tanggung jawab lokal (local accountabily), bahwa pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat lokal biasanya lebih
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bertanggung jawab, karena kegiatan tersebut secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka. Hal ini berarti masyarakat lokal umumnya selalu memiliki moral dan tanggung jawab yang lebih tinggi daripada pengelola yang berasal dari luar daerah tersebut. Model pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang mengikuti perubahan global dan perkembangan dunia kepariwisataan, merupakan unsur pendukung kepariwisataan dengan cara melibatkan secara langsung masyarakat di sekitar objek kawasan wisata. Keterlibatan masyarakat ini juga sampai pada pelayanan informasi, pelayanan telekomunikasi, pelayanan angkutan, maupun pelayanan administrasi untuk keperluan bisnis, hotel dan restoran, tour & travel, transportasi, souvenir, serta bidang pendidikan kepariwisataan. Sementara itu, usaha-usaha pariwisata yang masih bisa dikelola oleh Pemda bersama dengan masyarakat setempat ialah penginapan, penggunaan ruang pertemuan, penggunaan fasilitas jasa layanan masuk tempat rekreasi, pelabuhan udara dan dermaga, maupun money changer. Pelaksanaan aktivitas berbagai usaha kepariwisataan ini harus didukung sepenuhnya oleh para pramuwisata atau seseorang yang telah mendapat izin (license) dari Pemerintah Daerah untuk bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk tentang objek wisata serta membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan. Keterlibatan lain dari masyarakat juga dapat dilihat dari berbagai fungsi ketenagakerjaan, baik yang bersifat positif, maupun negatif, yakni sebagai tenaga kerja pada usaha pariwisata seperti pramuwisata (guide), peramu minuman, penerima tamu (receptionist), pramusaji, juru masak, operator telepon, satpam, dan lain-lain. Semakin maraknya aktivitas pariwisata alternatif yang mengarah pada konsep kesinambungan pariwisata, melahirkan partisipasi masyarakat dari berbagai jasa kepariwisataan dapat dilakukan di kawasan Daerah Tujuan Wisata. Konsep Tourism Based Community Development memang telah menjadi fokus bisnis pariwisata dunia, apalagi mengingat bisnis wisatawan mancanegara yang melayani semua kebutuhan wisatawan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
sejak dari negara asal sampai kembali lagi ke negerinya, merupakan peluang strategis bagi manajemen untuk melakukan diversifikasi usaha kepariwisataan (tourism business). Hal itu ditambah lagi dengan arus pergerakan wisatawan nusantara yang turut memberikan kontribusi bagi upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat di Daerah Tujuan Wisata, serta dalam rangka peningkatan pendapatan daerah. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata berbasis komunitas yang dilaksanakan di berbagai daerah semakin penting, tidak saja dalam rangka meningkatkan penerimaan devisa negara, melainkan juga dapat memperluas kesempatan berusaha, di samping memberikan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat serta untuk mengurangi pengangguran. Oleh karena itu pulalah pembangunan dan pengembangan pariwisata berbasis komunitas pada suatu daerah tujuan wisata sangat erat kaitannya dengan pembangunan perekonomian terutama bagi distribusi pendapatan masyarakat di daerah. Hal itu memberi pengertian bahwa pengembangan kepariwisataan yang mengacu pada pembangunan pariwisata berbasis komunitas harus selalu memperhitungkan keuntungan dan manfaatnya bagi masyarakat, yaitu dari sisi meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian daerah, dan pada gilirannya nanti untuk meningkatkan devisa negara. Menurut Yoeti (1997) industri pariwisata akan menyumbangkan devisa melalui: 1) Penerimaan visa-fee sewaktu wisatawan akan berangkat ke Indonesia pada kedutaan/perwakilan Indonesia di luar negeri; 2) Hasil penjualan tiket pesawat udara atau kapal laut (bila pesawat udara atau kapal laut yang digunakan adalah pesawat atau kapal yang merupakan milik bangsa Indonesia); 3) Biaya taxi/coach bus untuk transfer dari lapangan udara ke hotel dan sebaliknya; 4) Sewa kamar hotel selama menginap pada beberapa kota yang dikunjungi; 5) Biaya makanan dan minuman pada Bar dan Restoran, dalam maupun di luar hotel; 6) Biaya tours dan sight seeing serta excursion pada kota-kota yang dikunjungi;
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
7) Biaya taxi untuk transportasi lokal untuk keperluan berbelanja (shopping) dan keperluan pribadi lainnya; 8) Pengeluaran untuk membeli barang-barang souvenir serta barang-barang lainnya, yang dibeli pada beberapa kota yang dikunjunginya; dan 9) Fee perpanjangan visa di tempat atau kota yang dikunjunginya (bila diperlukan). Pada sisi lain, pengembangan sektor pariwisata harus pula diarahkan bagi terwujudnya tahapan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan (sustainability of tourism development), yang mensyaratkan: 1) Prinsip pengembangan yang berpijak pada keseimbangan aspek pelestarian dan pengembangan serta berorientasi ke depan (jangka panjang); 2) Penekanan pada nilai manfaat yang besar bagi bagi masyarakat setempat; 3) Prinsip pengelolaan assets/sumberdaya yang tidak merusak namun berkelanjutan untuk jangka panjang baik secara sosial, budaya, dan ekonomi; 4) Adanya keselarasan sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal. Antisipasi dan monitoring terhadap proses perubahan yang terjadi akibat kegiatan pengembangan pariwisata; 5) Pengembangan pariwisata harus mampu mengembangkan apresiasi yang lebih peka dari masyarakat terhadap warisan budaya dan lingkungan hidup. Oleh karena itulah, keberadaan suatu kawasan objek wisata perlu untuk selalu dipelihara, dirawat, diperbaiki, ataupun dikembangkan sehingga tetap menarik untuk dikunjungi, karena bila suatu kawasan kepariwisataan telah dirasakan masyarakat setempat sebagai miliknya sendiri dan berfungsi dalam kehidupannya, maka keberlanjutan kepariwisataan di daerah tersebut akan tetap dipelihara dan dijaga oleh masyarakat setempat. Hal ini mutlak harus dilakukan mengingat potensi pengembangan pariwisata di Indonesia yang sangat luar biasa yang meliputi warisan budaya bangsa yang kaya sebagai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
aset kunci, seperti sejarah keagamaan, seni, kerajinan, musik dan tari, dan gaya hidup tradisional di berbagai daerah; bentangan alam yang indah, meliputi gunung berapi dan daerah pegunungan, pulaupulau dan lingkungan bahari, pantai maupun hutan hujan; letaknya yang dekat dengan pasar-pasar pertumbuhan di Asia, seperti Singapura, Jepang, Hongkong, Korea dan Cina untuk jangka panjang; penduduk yang sangat besar jumlahnya dan semakin kaya, akan membentuk pasar domestik yang menunjang perkembangan pariwisata; serta tenaga kerja yang besar dan relatif murah, dan dengan demikian dapat menghasilkan produk dengan harga yang dapat bersaing (Faulkner, 1997).
1.2 Perumusan Masalah Sektor pariwisata merupakan sektor unggulan yang dapat memberikan kontribusi besar bagi penerimaan daerah, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peran aktif dan pelibatan masyarakat bersama Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya pariwisata daerah secara terpadu dan berkesinambungan, sekaligus mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, dengan memberikan kesempatan dan peluang yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dalam mengelola jasa wisata alam diharapkan mampu meningkatkan manfaat objek dan daya tarik wisata alam, sehingga kegiatan pariwisata alam dapat membantu menunjang program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka menjadikan pariwisata sebagai motor penggerak perekonomian daerah, sangat dibutuhkan campur tangan Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat setempat dan pihak swasta untuk mengembangkannya. Perencanaan yang layak bagi pembangunan pariwisata saat ini sudah saatnya untuk dimulai mengingat banyak negara telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi, dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang dapat diharapkan dari pariwisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dengan menyadari kekuatan potensi kepariwisataan Indonesia pada umumnya dan potensi daerah khususnya, maka sangat diperlukan terobosan bagi upaya pengembangan sektor pariwisata untuk dapat menggerakkan para pelaku kepariwisataan di daerah khususnya, yakni antara Pemerintah Daerah, masyarakat setempat dan pihak swasta. Bertolak dari alur pemaparan yang disampaikan, maka lebih khusus lagi dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: “Bagaimana perencanaan yang harus dilakukan dalam rangka Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat Sumatera Utara?”
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah: 1. Mengetahui kebijakan Pembangunan Pariwisata yang telah dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, terrutama terhadap kawasan Tangkahan, 2. Menganalisis pengembangan ekowisata berbasis komunitas, agar dapat diidentifikasi adanya isu-isu strategis yang perlu direspon melalui perumusan Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat secara komprehensif melalui proses partisipatif, dengan memperhatikan sensitifitas ekosistem, potensi sumberdaya alam, optimalisasi peran serta masyarakat.
1.4 Manfaat Penelitian Hasil studi ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para pembacanya, memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kepariwisataan, pemberdayaan masyarakat, setidaknya mereka yang tertarik untuk mengamati dan mempelajarinya secara lebih mendalam masalah pariwisata alternatif--ekowisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Hasil studi ini juga diharapkan bermanfat dan dapat menjadi informasi (input) bagi para perencana dan pengambil keputusan strategis dalam menata kebijakan pengembangan ekowisata berbasis komunitas, bagi Pemerintah dan bagi masyarakat setempat sebagai pemilik daerah objek wisata tersebut. Dengan perencanaan yang baik serta strategi pengembangan yang terarah dan jitu, maka kawasan objek wisata yang memiliki potensi-potensi kepariwisataan seperti lingkungan alam, budaya dan tradisi kehidupan masyarakat setempat dapat berjalan harmonis berkelanjutan dengan kualitas yang dapat diandalkan dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dalam kancah kepariwisataan baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gamabar 1 : Palang Selamat Datang Kawasan Ekowisata Tangkahan ( dok. Pribadi)
BAB II
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pariwisata Alternatif dan Ekowisata Masalah perencanaan yang layak bagi pembagunan pariwisata saat ini memiliki matra yang bersifat nasional dan internasional. Pada tingkat nasional, banyak negara di dunia ini telah mengenali pariwisata sebagai komponen utama untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Negara dan mereka mencari jalan untuk meningkatkan keuntungan yang tampaknya dapat diharapkan dari pariwisata. Pada tingkat internasional, aliran pariwisata antar Negara merupakan bagian terbesar dari kegiatan pariwisata, sebagai contoh misalnya, Indonesia dan Australia merupakan Negara yang giat membangun industri pariwisatanya atas nama pembangunan ekonomi nasional, dan perlu diketahui bahwa kegiatan pariwisata di kedua Negara tersebut sangat bergantung kepada daya tarik sumberdaya alamnya yang unik, namun di banyak tempat sumberdaya alam tersebut terancam oleh wisatawan yang besar jumlahnya yang datang mengunjunginya secara massal. Oleh karena itulah sangat dibutuhkan penyusunan kebijaksanaan mengenai perencanaan perluasan pariwisata di masa yang akan datang, semisal mengenai menyeimbangkan
pembangunan
pariwisata
dengan
sumberdaya
cara yang terbaik untuk
alam
dalam
pembangunan
perekonomian nasional. Dalam kekhawatiran itu pulalah muncul berbagai isyu kebijakan dalam perencanaan pembangunan pariwisata yaitu bagaimana dapat direncanakan suatu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, dan kegiatan yang bergerak ke arah pariwisata alternatif. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada intinya berkaitan dengan usaha menjamin agar sumberdaya alam, sosial dan budaya yang kita manfaatkan untuk pembangunan pariwisata dalam generasi ini dilestarikan untuk generasi yang akan datang. Sementara hal ini cenderung menjadi bahan perbincangan utama mengenai isu pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, keberlanjutan kegiatan pariwisata di suatu daerah ternyata juga
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
tergantung kepada kelangsungan hidup dunia perdagangannya. Dengan perkataan lain, boleh dikatakan bahwa tak ada manfaatnya segala upaya menetralkan dampak yang negatif terhadap lingkungan alam, sosial dan budaya dari kegiatan pariwisata apabila kita kehilangan wawasan akan perlunya kegiatan ini menghasilkan manfaat ekonomi, dan yang lebih penting lagi, manfaat itu harus disebarkan secara merata di antara penduduk kawasan. Dalam pengembangan pariwisata alternatif, konsep pembangunan berkelanjutan merupakan konsep alternatif yang mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi mendatang, pengurangan ketidakadilan dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Menurut Schouten (1992), hal yang melatarbelakangi
munculnya konsep pembanguan
berkelanjutan adalah sebagai “the central concept behind sustainable development is that”. Lingkungan kebudayaan (cultural enveiroment) kini mengalami tekanan yang sangat berat, sama halnya dengan yang dialami oleh lingkungan alam (natural environment). Warisan budaya manusia kini berada di posisi yang cukup berbahaya dan memprihatinkan, dan semua tekanan yang dialami ini bukan semata– mata disebabkan oleh pesatnya industri pariwisata saja, melainkan juga disebabkan oleh berbagai faktor seperti urbanisasi, peningkatan pertumbuhan penduduk dunia yang begitu pesat, masuknya industri teknologi yang berada di luar kontrol (uncontrolled), maupun karena perubahan infrastruktur yang begitu cepat terjadi dibanyak Negara di dunia ini. Menghadapi kenyataan ini, para cendikiawan, pencinta lingkungan, tokoh masyarakat dan banyak pihak lain, mencoba memberi jalan keluar yang dapat mencegah atau meminimalkan dampak negatif pembangunan yang telah berlangsung, pembangunan yang kurang memperhatikan semua warisan sumberdaya alam dan budaya manusia, yang hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Pendekatan pembangunan yang berkelanjutan bertujuan untuk menghentikan disintegrasi, mengupayakan dan menyediakan pilihan budaya sebanyak–banyaknya bagi generasi yang akan datang.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Namun begitu, pendekatan pembangunan yang berkelanjutan tidak bermaksud untuk menghentikan pembangunan
dan inovasi yang ada di dalam masyarakat. Pendekatan pembangunan yang
berkelanjutan hanya berupaya untuk mengawasi pembangunan agar lebih memperhatikan kemungkinan– kemungkinan yang harus dihadapi generasi yang akan datang dengan bercermin ke masa lalu (Schouten 1992). Masih menurut Schouten, dalam pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, tiga elemen kunci yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam pengembangan pariwisata yakni : 1. Quality of the experience ( outtomers ) 2. Quality of the resources ( culture and natural envirament ) 3. Quality of life ( for local people ). Keserasian dan keharmonisan ketiga elemen tersebut mencerminkan apa yang menjadi dasar dari falsafah pembangunan yang berkelanjutan, sebagaimana digambarkan Schouten (1992).
Quality of life -Integration in society -Economi viability -Social imoact
Quality of experience -Uniquueness -Curiousity -Imagination
Quality of the resources - Integrity - Capacity - Preservation
Gambar 2 : Elemen Kunci pengembangan Pariwisata (Schouten, 1992)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pengembangan pariwisata alternatif memang harus menggunakan pendekatan pembangunan yang berkelanjutan, karena sumberdaya alam, lingkungan dan budaya
yang terpelihara dan terjaga
kualitasnya merupakan potensi dan modal utama yang dapat menarik wisatawan. Dengan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan, diharapkan hubungan ketiga elemen pariwisata yaitu masyarakat setempat, wisatawan dan sumber daya alam dapat berjalan seimbang dan harmonis serta terjaga kualitasnya. World Commission on Environment and Development (WCED 1987
dalam: Nash 1996)
mengatakan bahwa, “Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of the future generation to meet their own needs“. Secara lebih jelas prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang dituliskan dalam laporan World Tourism Organization ( WTO, 1993 ) adalah sebagai berikut : 1. Ecological sustainability ensures that development is compatible with the maintenance of essential ecological process, biological diversity and biological resources. 2. Social & cultural sustainability, ensures that development increases people’s control over their lives, is compatible with the culure and valves of people affected by it, and maintans and strengthens community indentity. 3. Economic sustainability, ensores that development is economically efficient and that resources are managed so that they can support future generations. Konsep pembangunan berkelanjutan memang sangat mewarnai pembangunan kepariwisataan yang dikenal sebagai pembangunan pariwisata berkelanjutan
(sustainable tourisun
development), dan selalu pula disamakan dengan pariwisata alternatif. Eadington dan Smith memberikan defenisi “form of tourism that are consistent with natural, social and worth while interaction and shared experiences“
(dalam Pitana 2001).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan pada perinsipnya selalu menjaga keberlanjutan kualitas pengalaman wisatawan, kualitas hidup masyarakat lokal dan juga kualitas lingkungan sumberdaya alam. Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan menekankan tujuan dan kerjasama antara wisatawan, masyarakat setempat dan daerah tujuan wisata, untuk saling melengkapi satu sama lain. Kontinuitas sumberdaya alam dan budaya masyarakat setempat dapat berjalan seiring dengan kepuasan wisatawan dan keharmonisan di antara industri pariwisata, pecinta lingkungan dan masyarakat lokal. Dalam pariwisata yang berkelanjutan, kebutuhan masyarakat setempat adalah hal yang utama untuk diperhatikan, baik dalam perencanaan maupun manajemen kepariwisataan. Dampak negatif kepariwisataan harus diupayakan agar tidak merusak tatanan kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal, karena kualitas pengalaman wisatawan juga sangat tergantung pada kehidupan sosial dan budaya yang terdapat pada kawasan objek wisata tersebut. World Taurism Organization (1999) menyarankan prinsip pokok pariwisata berkelanjutan yang sebaiknya diperhatikan dalam pengembangan pariwisata altrnatif yakni : 1. Tourism planning, development and operation should be part of conservation or sustainable depelopment strategies for a region, a province (state) or nation. Tourism planning, development and operation shouldbe crossectoral and intergrated, involving government agencies, private corporations, citizens groups and individual thus providing the widest possible benefits. 2. Tourism should be planned and managed in a sustainable manner, with due regard for the protection and appropriate economic uses of the natural and human environment in host areas. 3. Tourism should be undertaken with equity in mind to distribute fairly benefits and costs among tourism promoters and host people and areas. 4. Good information, research and communication on the nature of tourism and its effects on the human and cultural environment should be available prior to and during development, especially
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
for the local people, so that they can participate in and influence the direction of development and its effects as much as possible, in the individual and collective interest. 5. Local people should be encouraged and expected to undertake leadership roles in planning, and development with the assistance of government, bussines, financial and other interests. 6. Intergrated environmental, social and economic planning analysis should be undertaken prior to the commencement of any mayor projects, with careful consideration given to different types of tourism development and the ways in which they might link with existing uses, ways of life and environmental considerations. 7. Throughout all stages of tourism development and operation, a careful assessment monitoring and mediation program should be conducted in order to allow local people and others to take advantage of opportunities or to respond to changes. Secara teoritis, pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat tercapai kalau pemanfaatan sumberdaya
tidak melampaui kemampuan regenerasi sumberdaya tersebut, dan keterlibatan
masyarakat lokal dianggap sebagai prasyarat multak untuk tercapainya pembangunan berkelanjutan (Woodley 1993, dalam Pitana , 2001). Konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan, pariwisata alternatif maupun pengembangan pariwisata yang berbasis masyarakat, selalu menekankan pentingnya keterlibatan masyarakat lokal secara penuh, mulai dari perencanaan, pengelolahan, pengawasan dan pemanfaatan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari keberadaan pariwisata di daerahnya, disamping skalanya yang kecil dan tidak melebihi daya tampung (carriying capacity) kawasan tersebut. Pengembangan ekowisata yang mensejahterakan masyarakat, yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pembangunan merupakan pengembangan kepariwisataan yang relevan diprioritaskan saat ini, sehingga masyarakat tidak hanya belajar ketrampilan untuk pengelolaan berbagai usaha pariwisata, tapi juga lebih memahami tentang lingkungan. Dengan demikian pembangunan pariwisata
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang dilakukan tidak hanya memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tetapi lebih jauh masyarakat juga akan lebih memahami dan menyadari tentang lingkungan dan beragam budaya
manusia
yang berbeda antara satu dengan yang lainya. Dengan demikian pembanguan
pariwisata yang dilakukan tidak hanya akan memberikan keuntungan dan kemajuan bagi kepariwisataan itu saja, tapi juga untuk mencapai berbagai tujuan lainnya (Ardika , 2001) International Union for the Conservation of Nature. (IUCN), United Nations Enviroment Programme ( UNEP ), dan World Wildlife Fund (WWF) pada tahun 1980 mengeluarkan sebuah strategi konservasi dunia ( world conservation strategy) untuk mencapai tiga tujuan pokok , yaitu : 1. Mempertahankan proses-proses ekologi yang esensial dan system pendukungnya 2. memelihara keanekaragaman genetik 3. menjamin kegunaan ekosistem dan spesiesnya secara berkelanjutan. Pada tahun 1987, Komisi Sedunia Tentang Lingkungan Hidup dan Pembanguan (World Commission on Enviroment and Development) yang banyak dikenal sebagai komisi Brundlandt, menyatakan argumentasinya bahwa linkungan dan pembagunan masa kini yang terjadi tidak berkelanjutan dan bahwa diperlukan tindakan-tindakan baru yang menjamin berkelanjutan dunia untuk masa mendatang. Sebagai tema sentral, komisi Brunlandt mendefinisikan istilah Sustainable Development sebagai “pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka“ (Soemarwoto, 2001) Kritik-kritik terhadap definisi Sustainable Development ini lebih menyangkut pada ketepatan interpretasi dari pengertian tersebut. Eckholm (1982) menyatakan : “Sustainable Development may beson as economis growth that is ecologically sustainable and satisfies the essential needs of the Underclass”. Kontrakdisi dalam istilah sustainable development yang memadukan kata “kebelanjutan“ (sustainable) dan “pembangunan“ (development) membuat ini bisa jadi hanya sebagai slogan saja.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Menurut Grundy (1993) konsep Sustainable Development merupakan “ a new Set of valdes, beliefs and assumptions” Bagi Grundy, paradigma yang dimunculkan ini melihat masalah kemanusiaan dan lingkungan alam bukan sebagai dua hal yang terpisah. Sebagai hasilnya, Sustainable Development dapat meningkatkan status sosial dan tetap menjamin berkelanjutan lingkungan untuk generasi mendatang. Secara spesifik Grundy menyebutkan bahwa konsep Sustainable Development terdiri dari tiga elemen system yang menyangkut: 1. Keberlanjutan ekologi 2. Keberlajutan sosial , dan 3. Keberlajutan ekonomi. Konsep Sustainable Development kemudian oleh Burns dan Holden (1997) diadaptasi untuk bidang pariwisata sebagi sebuah model yang mengintergrasikan lingkungan fisik (place) linkungan budaya ( host community) dan wisatawan (visitor)
Gambar 3 : Model untuk Sustainable Tourism Development ( Sumber : Burns & Holden , 1997 ) Adapun prinsip-prinsip yang menjadi acuan dalam Sustainable Tourism Development ini menurut Burns & Holden terdiri dari : Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1. Lingkungan memiliki nilai hakiki yang juga bisa sebagai asset pariwisata. Pemanfaatannya bukan hanya untuk kepentingan pendek, namun juga untuk kenpentingan generasi mendatang. 2. Pariwisata harus diperkenalkan sebagai aktifitas yang positif dengan memberikan keuntungan bersama kepada masyarakat, lingkungan dan wisatawan itu sendiri. 3. Hubungan antara pariwisata dan lingkungan harus dikelola sehingga lingkungan tersebut berkelanjutan untuk jangka panjang. Pariwisata harus tidak merusak sumberdaya, masih dapat dinikmati oleh generasi mendatang atau membawa dampak yang dapat diterima. 4. Aktifitas pariwisata dan pembangunan harus peduli terhadap skala/ ukuran alam dan karakter tempat kegiatan tersebut dilakukan. 5. Pada lokasi lainnya, keharmonisan harus dibangun antara kebutuhan-kebutuhan wisatawan, tempat/ lingkungan , dan masyarakat lokal. 6. Dalam dunia yang dinamis dan penuh dengan perubahan, dapat selalu memberikan keuntungan . Adaptasi terhadap perubahan, bagaimanapun juga, jangan sampai keluar dari prinsip-prinsip ini. 7. Industri pariwisata, pemerintah lokal dan lembaga swadaya masyarakat, pemerhati lingkungan, semuanya memiliki tugas untuk peduli pada prinsip-prinsip tersebut di atas dan kekerja bersama untuk merealisasikannya. Bentuk pariwisata seperti yang biasa dikenal hingga saaat ini --- yang sering disebut pariwisata modern --- bermula dari suatu bentuk kegiatan wisata yang dipelopori oleh Thomas Cook yang menyelengarakan suatu inclusive tour pada tahun 1841, dan diikuti oleh 570 orang peserta berkat upaya promosi yang dilakukan melalui iklan. Keberhasilan Thomas Cook ini kemudian ditiru oleh orang-orang lain dengan mendirikan perusahaan-perusahaan perjalanan (tour operator), yang menyelengarakan berbagai paket wisata (packaged tours) dan berkembang menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke Indonesia, dan Thomas Cook dijuluki sebagai Bapak atau Arsitek Pariwisata Modern. Namun, dengan munculnya bentuk-
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
bentuk pariwisata alternatif, pariwisata modern yang telah berusia lebih dari satu setengah abad itu kemudian disebut pariwisata konvensional. Pada dekade belakangan ini industri pariwisata (konvensional) ternyata telah mulai berubah secara radikal. Perubahan yang terjadi berasal dari karakteristik wisatawan yang berpergian ke daerah tujuan wisata yang sudah berkembang atau yang baru, maupun oleh karakteristik peristiwa budaya, kawasan dan hal-hal lain sebagai komponen penyediaan dalam upaya menarik wisatawan. Perbedaan antara pariwisata lama dan pariwisata baru seperti yang dinyatakan oleh Poon (dlm. Faulkner, 1997) terletak pada karakteristik konsumennya, cara pengelolaanya saat ini, teknologi yang diterapkan, dan proses produksi yang membuat pariwisata lama menjadi bentuk yang dikemas secara baku dan kaku, sementara pariwisata baru mengarah ke kelompok yang lebih kecil, lebih luwes dan lebih mandiri. Perubahan pariwisata yang lain ialah pola ruangnya, arus wisatawan ke Negara berkembang maningkat lebih pesat dari sebelumnya dan juga lebih cepat dari perubahan arus wisatawan ke negara maju. Arus dari negara maju ke negara maju telah menurun secara proporsional pada sepuluh tahun terakhir ini, karena semakin kuatnya minat wisatawan akan budaya asli daa alam yang murni. Perubahan bentuk pariwisata yang dimksud adalah munculnya pariwisata alternatif yang oleh Edington dan Smith diberi batasan sebagai ”Bentuk pariwisata yang konsisten dengan nilai-nilai alam, sosial dan masyarakat yang memungkinkan baik tuan rumah maupun pengunjung untuk menikmati interaksi yang positif dan berarti dan saling membagikan pengalamannya” (Gunawan, 1997). Pariwisata alternatif merupakan bentuk oposisi dari pariwisata konvensional/ masal. Menurut Wearing dan Neil (2000) pariwisata alternatif didefenisikan sebagai bentuk-bentuk pariwisata yang menaruh perhatian dan konsisten terhadap alam, sosial dan nilai-nilai kemasyarakatan, dan memberikan kesempatan wisatawan dan penduduk lokal untuk berinteraksi dan menikmatinya secara positif dan saling tukar pengalaman.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 4: Tipe Pariwisata & Ragamnya ( Wearing dan Neil , 2000 )
Dari karakteristik yang digambarkan di atas dapat dilihat bahwa ekowisata adalah salah satu bentuk dari pariwisata alternatif. Dalam istilah yang paling sederhana, ekowisata dapat digambarkan sebagai kegiatan wisata dengan dampak yang minimal, koservasi, bertanggung jawab dan apresiatif terhadap lingkungan dan budaya masyarakat yang dikunjungi. Sementara itu para pemerhati/pakar lingkungan mulai menyadari bahwa upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan tidak akan efektif jika tidak didukung oleh masyarakat luas, khususnya penduduk setempat, dan penduduk setempat akan mendukungnya jika mereka juga dapat memperoleh manfaat dari lingkungan yang lestari tadi, sehingga kesejahteraan hidup mereka bisa meningkat. Sehubungan dengan itu pada tahun 1993, The Ecotourism Society memberi rumusan defenisi yang bersifat pro-aktif tentang pengertian ecotourism, yaitu ecotourism is responsible travel to natural areas which conserves the environment and improves the welfare of local people. Selanjutnya The Ecotourism Society menetapkan delapan prinsip pengembangan ekowisata, yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penamggulangan disesuaikan dengan sifat karakter alam dan budaya setempat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelolaan kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula didalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan, termasuk pengembangan fasilitas dan ulititas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunganlah yang membatasi. 8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesarbesranya, dan dinikmati oleh Negara atau Negara bagian atau pemerintah daerah setempat. Dalam pekembangannya bentuk ekowisata ini berkembang karena banyak digemari oleh wisatawan.Wisatawan ingin berkunjung ke area yang alami, yang dapat menyiptakan kegiatan bisnis. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru
dari perjalanan bertanggung jawab dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
berpetualang ke area alami, yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood, 1999). Sementara itu Kodhyat , (1997) mengatakan bahwa : “Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam serta flora, fauna dan hidupan lainnya. Ekowisata dikembangkan berdasarkan prisip hendak melestarikan lingkungan alam dan budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang menjadi tuan rumahnya” Pengembangan pariwisata alterantif seperti ekowisata semestinya dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan perubahan persepsi tentang pariwisata, kriteria pengembangan pariwisata, pelestarian lingkungan, pembangunan yang berkelanjutan, serta mengindahkan amanat yang tercantum dalam GBHN 1993. Konservasi sebagai azas ekowisata merupakan prinsip yang penting dalam visi ekowisata, ditambah dengan upaya pemberdayaan masyarakat dan pengembangan untuk merumuskan misi. Sementara misi ekowisata yang dapat dijabarkan yakni melestarikan alam dengan mengkonservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, penciptaan lapangan kerja setempat, pengembangan ekonomi kerakyatan, meningkatkan pendapatan lokal , regional dan nasional secara berkeadilan. Strategi bagi pengembang
ekowisata ditentukan berdasarkan ekosistem dan kesatuan
pengelolaan, serta mengupayakan pengembangan berkesinambungan antara ekosistem daratan dan perairan dalam menciptakan kelestariannya. Muara dari strategi ini adalah menetapkan program pembangunan ekowisata yang berazaskan berkeadilan,
perberdayaan
masyarakat
keterpaduan dalam pelestarian dan pemanfaatan,
lokal,
keharmonisan
dan
berwawasan
lingkungan.
Penjabarannya yang lebih lanjut ialah dengan menetapkan proyek pembangunan yang berbasis pada komunitas.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
-
-
-
-
VISI PENGEMBANGAN EKOWISATA Konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya Pemberdayaan masyarakat lokal
MISI PENGEMBANGAN EKOWISATA Konservasi alam Pemberdayaan masyarakat dalam lapangan usaha kerja dan ekonomi kerakyatan Penghasilan nasional, regional, lokal secara berkeadilan
STRATEGI PENGEMBANGAN EKOWISATA Strukturisasi kewilayahan berdasarkan ekosistem dan kesatuan pengelolaan Pengembangan berkesinambungan ekosistem daratan dan perairan Meningkatkan kualitas dan fungsi pelestarian dalam kawasan hutan
PROGRAM PENGEMBANGAN EKOWISATA Keterpaduan pelestarian dan pemanfaatan kawasan hutan sebagai produk ekowisata Pengembangan ekowisata berkeadilan skala local, regional, nasional Pemberdayaan masyarakat lokal Keharmonisan masyarakat dan lingkungan Pengembangan pemasaran terpadu
Gambar 5: Visi,Misi dan Perencanaan Nasional Pengembangan Ekowisata (Sumber: Fandeli,2000)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 6 : Atraksi Gajah di Kawasan Ekowisata Tangkahan (Sumber : LPT)
Gambar 7 : Tangkahan dari atas (Sumber LPT)
2.2 PRINSIP DAN KRITERIA PENGEMBANGAN EKOWISATA
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep ekowisata dinilai cocok utuk dikembangan di Indonesia, dengan beberapa alasan yang melandasinya, pertama; Indonesia kaya akan keanekaragaman hayati dan ekowisata bertumpu pada sumberdaya alam dan budaya sebagai atraksi. Kedua; menitikberatkan pada pelibatan masyarakat, karena sesuai dengan karakter Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar. Dalam konteks ekowisata maka sumberdaya alam dipandang sebagai aset yang memiliki nilai, baik secara ekonomi maupun ekologi, sehingga kegiatan-kegiatan yang dilahirkan akan bersifat nonekstraktif. Pendekatan yang kemudian muncul dan harus digunakan para pengembang adalah yang bersifat simbiotik, dimana para pelaku berinteraksi positif dengan kawasan yang dikelolanya dan bukan bersifat parasitik, seperti yang banyak terlihat pada pengelolaan kawasan parawisata di Indonesia. Berikut dikemukakan juga prinsip pengembangan ekowisata dan kriteria ekowisata yang disusun oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia bekerjasama dengan Indonesian Ecotourism Network (INDECON), yang secara konseptual menekankan tiga prinsip dasar, yaitu: A. Prinsip Konservasi: Pengembangan ekowisata harus mampu memelihara, melindungi atau berkontribusi untuk memperbaiki sumberdaya alam. B. Prinsip Partisipasi Masyarakat: Pengembangan harus didasarkan atas musyawarah dan persetujuan masyarakat setempat serta peka dan menghormati nilai-nilai sosal-budaya dan tradisi keagamaan yang dianut masyarakat di sekitar kawasan. C. Prinsip Ekonomi: Pengembangan ekowisata
harus mampu memberikan manfaat untuk
masyarakat, khususnya setempat, dan menjadi pengerak pembangunan ekonomi di wilayahnya untuk memastikan bahwa daerah yang bangunan yang seimbang (balanced development) antara kebutuhan pelestarian lingkungan dan kepentingan semua pihak. Dalam penerapannya juga sebaiknya dapat mencerminkan dua prinsip lainnya, yaitu:
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
D. Prinsip Edukasi: Pengembangan ekowisata harus mengadung unsur pendidikan untuk mengubah perilaku atau sikap seseorang menjadi memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan dan budaya. E. Prinsip Wisata: Pengembangan ekowisata harus dapat memberikan kepuasan dan memberikan pengalaman yang orisinil kepada pengunjung, serta memastikan usaha ekowisata dapat berkelanjutan. A. Prinsip Konservasi Memiliki kepedulian tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan (alam dan budaya), serta melaksanakan usaha yang bertanggung jawab dan secara ekonomi berkelanjutan. a. Prinsip Konservasi Alam Prinsip konservasi alam diartikan sebagai memiliki keperdulian, tanggung jawab dan komitmen terhadap pelestarian alam serta pengembangan harus mengikuti kaidah ekologis. a) Kriteria Konservasi Alam Konservasi Alam memiliki tujuh kriteria, yakni : 1. Memperhatikan kualitas daya dukung lingkungan daerah tujuan ekowisata (DTE) , melalui pelasanaan pemintakatan ( Zonasi) 2.
Mengelolah dan menciptakan kegiatan wisata yang berdampak rendah dan ramah lingkungan.
3.
Menyisihkan hasil keuntungan untuk kegiatan konservasi DTE dan meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia setempat.
4.
Menjaga kualitas lingkungan DTE melalui pengelolaan pengunjung, sarana dan fasilitas.
5.
Mengembangkan kegiatan interpretasi untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi para pelaku dan pengunjung terhadap lingkungan alam dan budaya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
6.
Melakukan monitoring kegiatan untuk meminimumkan dampak negatif yang ditimbulkan.
7.
Mengelola usaha secara sehat.
b. Prinsip Konservasi Budaya Konservasi Budaya memiliki prinsip peka dan menghormati nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi keagamaan masyarakat setempat.
b) Kriteria Konservasi Budaya Konservasi Budaya memiliki tiga kriteria, yakni : 1. Melakukan penelitian dan mengenakan aspek-aspek sosia-budaya masyarakat setempat sebagai bagian terpadu dalam proses perencanaan dan pengelolaan ekowisata. 2. Melakukan
pendekatan,
meminta
saran-saran
dan
mencari
masukan
dari
tokoh/pemuka masyarakat setempat pada tingkat paling awal sebelum memulai langkah-langkah dalam proses pengembangan ekowisata. 3. Menerapkan kode etik ekowisata bagi wisatawan, pengelola dan pelaku usaha ekowisata, yang sesuai dengan nilai-nilai sosial-budaya dan tradisi setempat.
B. Prinsip Partisipasi Masyarakat Perencanaan dan pengembangan harus melibatkan masyarakat secara optimal
melalui
musyawarah dan mufakat masyarakat setempat. a. Kriteria Partisivasi Masyarakat memiliki enam kriteria, yakni :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1. Melibatkan masyarakat setempat dan pihak-pihak terkait lain dalam proses perencanaan dan pengembangan ekowisata 2. Membuka kesempatan dan mengoptimalkan peluang bagi masyarakat untuk mendapat keuntungan dan berperan aktif dalam kegiatan ekowisata. 3. Membangun hubungan kemitraan dengan masyarakat setempat untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap dampak negatif yang ditimbulkan. 4. Meningkatkan ketrampilan masyarakat setempat dalam bidang-bidang yang berkaitan dan menunjang pengembangan ekowisata. 5. Mengutamakan peningkatan ekonomi lokal dan menekan tingkat kebocoran pendapatan (leakage) serendah-rendahnya. 6. Meningkatan pendapatan masyarakat.
C. Prinsip Ekonomi Memberikan manfaat yang optimal kepada masyarakat setempat dan berkelanjutan. a. Kriteria: Prinsip Ekonomi menetapkan dua kriteria, yakni : 1. Membuka kesempatan kepada masyarakat setempat untuk berusaha dan menjadi pelekupelaku ekonomi kegiatan ekowisata baik secara aktif maupun pasif. 2. Memberdayakan masyarakat dalam upaya meningkatan usaha ekowisata untuk kesejahteraan penduduk setempat.
D. Prinsip Edukasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, nilai-nilai peninggalan sejarah dan budaya, serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat lokal dan para pihak yang terkait. a. Kriteria. Pengembangan dan produk ekowisata secara edukasi harus memiliki kriteria, sebagai berikut : 1. Mengoptimalkan keunikan dan kekhasan daerah sebagai daya tarik wisata. 2. Memanfaatkan dan mengoptimalkan pengetahuan tradisionl yang berbasis pelestarian alam dan budaya serta nilai-nilai yang dikandung dalam kehidupan masyarakat seharihari sebagai nilai tambah. 3. Mengoptimalkan peran masyarakat sebagai interpreter lokal dari produk ekowisata. 4. Memberikan pengalaman yang berkualitas dan bernilai bagi pengunjung. 5. Dikemas dalam bentuk dan teknik penyampaian yang komunikatif dan inovatif.
E. Prinsip Wisata Menciptakan rasa aman, nyaman dan memberikan kepuasan serta menambah pengalaman bagi pengunjung. a. Kriteria Kriteria untuk prinsip wisata ialah : 1. Membuat Standart Prosedur Operasi (SPO) untuk melaksanakan kegiatan kesehatan keamanan dan keselamatan di lapangan. 2. Menyediakan pasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan pengunjung, kondisi setempat dan mengoptimalkan kandungan material lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
3. Memprioritaskan kebersihan dan kesehatan dalam segala bentuk pelayanan, baik fasilitas maupun jasa. 4. Memberikan kemudahan pelayanan jasa dan informasi yang benar. 5. Memprioritaskan keramahan dalam sikap pelayanan. F. ASPEK LEGALITAS Selain lima prinsip tersebut dalam penerapan pengembangan ekowisata, juga diharuskan bagi para pelaku dan pengelola untuk memperhatikan aspek legalitas di tingkat lokal, regional, nasional dan internasional, serta mengembangkan pola kemitraan para pihak.
a. Kriteria Aspek legalitas memiliki kriteria memperhatikan: 1. Peraturan-peraturan yang berlaku di masyarakat setempat maupun peraturan adat. 2. Peraturan-peraturan tentang tata ruang di tingat daerah propinsi dan nasional. 3. Peraturan-peratuan/undang-undang kepariwisatan yang berlaku di tingkat daerah, propinsi dan nasional. 4. GBHN Pariwisata 5. Dokumen-dokumen internasional yang mengikat (agenda 21 sektor pariwisata, sustainable tourism, dsb) 6.
Sanksi atas pelangaran dan secara konsenkuen melaksanakanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
G. ASPEK KEMITRAAN
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep ekowisata pada dasarnya mendorong adanya kerjasama antara pihak-pihak yang berkentingan. Kerjasama yang lebih sinergi, adaptif antara pelaku ekowisata merupakan hal yang esensial untuk mendorong keberhasilan pengembangan ekowisata di Indonesia. Sebenarnya telah ada beberapa contoh kasus kemitraan yang langsung menyangkut pengelolaan ekowisata, dan umumnya kawasan yang dikelola adalah kawasan konservasi. Hal ini disebabkan karena upaya pengelolaan kolaboratif oleh kalangan konservasionis dianggap lebih efektif membantu pelestarian dan pemanfaatan kawasan, sehingga banyak organisasi dan institusi Taman Nasional yang melakukan ujicoba. 2.3 EKOWISATA BERKELANJUTAN Pengembangan ekowisata secara terpadu
diperlukan untuk membangun ekowisata yang
berkelanjutan dan berbasis masyarakat. Pengembangan ini melibatkan adanya sistem perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi yang mampu mengintegrasikan semua kepentingan stakeholders seperti pemerintah, masyarakat lokal, pelaku bisnis, peneliti, akademisi, wisatawan maupun LSM. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan secara fisik adalah ketersediaan sarana pendukung dan aksesibilitas di lokasi wisata. Perencanaan terpadu berupa Master Plan untuk membangun eco-destination berisi kerangka kerja, stakeholders yang terkait (lokal, regional, nasional) dan tanggung jawab masing-masing stakeholders untuk kegiatan konservasi lingkungan, peningkatan ekonomi lokal dan apresiasi budaya lokal. Menurut Wood (2002) beberapa karakteristik dari eco-destination adalah sebagai berikut: 1. Keaslian alam terpelihara dengan pemanfaatan yang terjaga 2. Pembangunan landscape tidak mendominasi 3. Pemanfaatan bisnis lokal dalam skala kecil, termasuk warung makanan atau kerajinan tangan 4. Pembuatan zonasi untuk kegiatan rekreasi seperti jalur untuk sepeda, untuk pejalan kaki yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk lokal dan wisatawan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5. Pengembangan berbagai events dan atraksi yang menampilkan budaya lokal 6. Pembangunan fasilitas publik yang bersih dan terjaga baik seperti fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk lokal maupun wisatawan 7. Interakasi bersahabat antara pengunjung dan penduduk lokal di lokasi wisata. Tanggung jawab masing-masing stakeholders bervariasi. Pemerintah bertanggung jawab dalam koordinasi pembuatan perencanaan, pembuatan kebijakan-peraturan, zonasi dan pembangunan lokasi ckowisata tersebut. Selain itu, pemerintah juga bertanggung jawab untuk membangun infrastruktur seperti jalan, sarana tetkomunikasi, sarana air bersih dan sistem pembuangan sampah. Stakeholders yang lain juga memiliki tanggung jawab masing-masing yang sesuai dengan prinsip bahwa perencanaan harus juga memperhatikan keuntungan dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan ekowisata, baik secara ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Selain itu perencanaan juga harus dapat memberikan rambu-rambu agar manfaat kegiatan ekowisata dapat dinikmati secara oftimal oleh semua pihak dan dampak negatif dapat diminimalkan. Dari aspek ekologi, perencanaan pengukuran daya dukung lingkungan sangat penting sebelum lokasi dikembangkan menjadi kawasan ekowisata. Daya dukung lingkngan akan merepresentasikan kemampuan lingkungan untuk mendukung kegiatan ekowisata seperti penyediaan air bersih, penataan lahan dan keanekaragaman hayati yang dimiliki daerah ekowisata. Daya dukung lingkunagan untuk pariwisata akan berkaitan dengan jumlah wisatawan yang dapat berkunjung ke lokasi ekowisata tersebut, fasilitas ekowisata yang dapat dibangun dan masalah sampah yang muncul dari kegiatan ekowisata. Selain itu bahan material yang dipergunakan dalam pembangunan fasilitas wisata merupakan produk lokal dan tidak dalam intensitas yang sangat besar. Secara ekonomis, suatau perencanaan pengembangan ekowisata harus memasukkan perhitungan biaya dan manfaat dari pengembangan ekowisata. Dalam perhitungan biaya dan manfaat (Cost Benefit Analysis) tidak hanya dijelaskan keuntungan ekonomis yang akan diterima oleh pihak terkait namun
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
juga biaya yang harus ditanggung seperti biaya konservasi atau preservasi lingkungan. Tentu saja jangka waktu yang diperhitungkan dalam perhitungan dapat bervariasi sesuai dengan kesepakatan semua stakeholders yang terkait. Sedangkan secara sosial budaya, perencanaan harus memasukkan kondisi sosial dan budaya lokal masyarakat yang dapat dikembangkan dalam kegiatan ini serta kemungkinan dampak negatif yang akan diterima dan cara mengatasinya. Keberhasilan ekowisata tergantung pada beberapa hal yang dapat dibagi menjadi tiga faktor utama yaitu faktor internal, eksternal dan struktural. Faktor internal dapat diklasifikasikan seperti potensi daerah untuk pengembangan ekowisata, pengetahuan operator ekowisata tentang pelestarian lingkungan dan pertisipasi penduduk lokal. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor kunci yang berasal dari luar lokasi ekowisata tersebut, seperti kesadaran wisatawan akan kelestarian lingkungan, kegiatan penelitian/pendidikan di wilayah ekowisata untuk kepentingan kelestarian lingkungan dan masyarakat lokal. Sedangkan faktor struktural adalah faktor yang berhubungan dengan kelembagaan, kebijakan dan regulasi pengelolaan kawasan ekowisata (tingkat lokal, daerah, nasional dan internasional). Untuk melaksanakan ekowisata diperlukan adanya operator wisata yang menurut Wood bertanggung jawab dalam : 1.
Menyediakan informasi sebelum perjalanan berkaitan dengan budaya dan lingkungan lokasi ekowisata (misal pakaian dan perilaku yang sopan)
2.
Melakukan briefing yang mendalam pada saat kedatangan termasuk informasi tentang kondisi geografis, sosial, politik dan beberapa kendala/tantangannya
3.
Menyediakan guide lokal yang terlatih
4.
Memberikan kesempatan untuk bertemu dan berinteraksi dengan penduduk lokal
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
5.
Membangun pengertian atas kehidupan sehari-hari dan tradisi penduduk lokal dan berbagai isu yang cocok untuk didiskusikan dalam interaksi dengan penduduk lokal
6.
Membuka kesempatan bagi LSM yang ingin berpartisipasi
7.
Mengatur agar semua tiket masuk harus dibayar penuh
8.
Menyediakan akomodasi yang ramah lingkungan (site-sensitive) Sesuai karekteristiknya, operator wisata selain berfungsi sebagai pemandu wisata yang
menyediakan informasi yang dibutuhkan wisatawan juga mempersiapkan akomodasi yang ramah lingkungan (eco-lodge) sebagai akomodasi yang cocok bagi ekowisata. Akomodasi ramah lingkungan dianggap merefleksikan inisiatif lokal dengan menerapkan desain lokal dan pemakaian bahan lokal. Akomodasi khusus yang dibangun ini mampu menghindari tekanan yang terlalu banyak bagi lingkungan dan relatif mudah dalam perawatannya. Selain itu, wisatawan akan lebih terkesan dengan suasana eksotik yang muncul dari akomodasi semacam ini. Wood (2002) mengemukakan karakteristik eco-lodge sebagai berikut: 1. Melindungi lingkungan alam dan budaya 2. Memperkecil dampak negatid dalam pembangunannya 3. Dibangun sesuai dengan budaya lokal seperti bentuk dan warna 4. Mempergunakan air dengan efisien (mampu mengurangi pemakaian air) 5. Memilki penanganan limbah 6. Memakai energi yang ramah lingkungan 7. Membuka peluang bagi masyarakat lokal untuk berinteraksi 8. Menawarkan program pendidikan bagi operator wisatawan maupun penduduk lokal tentang lingkungan alam dan budaya 9. Berkontribusi pada pembangunan lokal yang berkelanjutan lewat program riset.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Selain itu, salah satu faktor penting lain yang termasuk dalam pengelola wisata adalah upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini penting agar masyarakat lokal dapat terlibat dalam kegiatan ekowisata dan memberi perbaikan tingkat kesejahteraan tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial budaya setempat. Usaha pemberdayaan masyarakat lebih diarahkan agar masyarakat mampu membuat keputusan sendiri agar dalam pegembangan ekowista mampu mempresentasikan inisiatifnya dalam hubungan dengan stakeholders lain. Kegiatan yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan peran serta masyarakat di antaranya adalah usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia (capacity building). Uapaya ini biasa dilakukan dalam bentuk pelatihan, penyuluhan – sosialisasi tentang konsep ekowisata, pembuatan usaha kecil, pemandu wisata maupun pengelolaan akomodasi (eco-lodge). Selain itu, usaha pemberdayaan masyarakat juga dapat dilakukan dalam bentuk pemberian kredit bagi masyarakat lokal agar dapat memulai usaha seperti membuka warung/cafe, pembuatan cendera mata, toko cendera mata maupun fasilitas ekowisata lain seperti penyewaan alat selam dan sepeda. Dalam upaya pemberdayaan masyarakat penting untuk disosialisasikan bahwa kegiatan ekowisata selain memberi manfaat bagi masyarakat lokal juga harus memberi kontribusi langsung bagi kegiatan konservasi. Hal ini penting agar dalam mengembangkan usahanya mereka memiliki ramburambu konservasi yang harus dijaga. Hubungan dengan stakeholders yang lain juga dapat saling bahumembahu untuk melaksanakan konservasi. Dari sisi wisatawan, terdapat tiga hal yang harus dilaksanakan dalam kegiatan ekowisata yaitu pemasaran, pengelolaan wisatawan dan perilaku wisatawan. Pemasaran ekowisata dapat dilakukan dengan cara konvensional maupun modern. Cara konvesional yang masih dapat dilakukan adalah dengan penyebarluasan informasi dengan brosur atau leaflet maupun dari kantor-kantor pariwisata yang ada. Oleh karena itu penting untuk membangun kantor-kantor informasi pariwisata yang mudah diakses dan dapat memberikan keterangan yang benar tentang ekowisata yang dikembangkan. Selain itu sistem
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pemasaran global juga dapat dipergunakan yaitu dengan memanfaatkan teknologi canggih seperti internet sehingga informasi tentang objek tersebut dapat diakses dengan mudah oleh para pelancong dari manapun mereka berada Dalam hal pengelolaan wisatawan perlu untuk mengetahui pola kunjungan wisatawan yang biasanya bersifat musiman (seasonal). Pemahaman ini penting sehingga dalam mengalokasikan sumberdaya lokal dapat dilakukan dengan efisien. Sebagai contoh, pada liburan (peak season) dapat disediakan atraksi budaya lebih sering daripada saat sepi pengunjung, sehingga penduduk lokal yang terlibat dapat berusaha disektor lain selain pariwisata. Selain itu, jumlah maksimal wisatawan yang dapat masuk ke lokasi ekowisata seharusnya dapat diketahui. Hal ini berkaitan dengan daya dukung lokasi ekowisata karena menyangkut pemenuhan air bersih, maupun sumber bahan makanan yang akan disajikan untuk pengunjung. Sebagaian peneliti dan praktisi pariwisata yakin bahwa makin tinggi jumlah wisatawan yang masuk makin besar tekanan secara fisik bagi lokasi ekowisata tersebut. Namun demikian, sebagian peneliti dan praktisi lainnya menganggap bahwa yang lebih penting adalah perilaku wisatawan daripada jumlah wisatawan yang datang. Pendapat kedua ini masih mendapat kritikan tajam, karena perilaku wisatawan merupakan variabel yang jauh lebih sulit dikontrol daripada jumlah wisatawan. Dalam mengelola wisatawan perlu pula untuk menekankan bahwa kegiatan wisata yang dapat dilakukan hanya kegiatan yang telah ditentukan dalam eco-tour, sebagai satu paket kegiatan ekowisata yang mencintai dan melindungi serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal terakhir yang terdapat dalam kerangka kerja ekowisata adalah perilaku wisatawan. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa seorang eco-tourist memiliki lebih banyak pengetahuan tentang lingkungan dibanding dengan turis biasa. Menurut Lindberg (1991) terdapat empat tipe eco-tourist berdasar ekspektasi turis. Mereka adalah : (1) Hard-core nature tourist yang terdiri dari peneliti atau anggota paket tur yang memang didesain untuk kepentingan pendidikan maupun riset; (2) Dedicated
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
nature tourist yaitu mereka yang melakukan perjalanan terutama untuk melihat lokasi lindung (protected areas) dan mereka yang ingin mengetahui keindahan alam dan sejarah budaya lokal; (3) Mainstream nature tourist adalah mereka yang menginginkan mendapat pengalaman yang lain daripada yang lain seperti mengunjungi Taman Gorila Rwanda atau pergi ke Amazone; (4) Castual nature tourist ialah mereka yang menginginkan pengalaman menikmati alam sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar. Perilaku postif wisatawan pada lingkungan juga akan berpengaruh positif pada pemahaman penduduk lokal. Hal ini terjadi mengingat terdapat interaksi dengan penduduk lokal dalam kegiatan ekowisata yang dapat dipergunakan sebagai ajang untuk mensosialisasikan pemahamnan ini. Untuk mencapai ekowisata yang berkelanjutan diperlukan monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan ekowisata yang dilakukan secara internal dan eksternal. Secara internal, monitoring ke dalam dilakukan oleh pengelola sendiri, sedang secara eksternal dilakukan oleh pihak luar seperti masyarakat, LSM dan lembaga independen lainnya. Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia masih dalam tarap wacana. Hal ini diindikasikan bahwa belum diterbitkannya secara tersendiri peraturan perundang-undangan untuk pengembangan ekowisata. Pengembangan ekowisata masih mengacu pada peraturan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan konservasi, seperti dalam hal pembangunan sarana-prasarana yang mengikuti ketentuan untuk wisata alam yaitu: (1) sarana-prasarana dibangun di zona pemanfaatan dan tidak boleh melebihi 10% dari luas zona; (2) tidak merubah bentang alam; (3) menggunakan arsitektur setempat, dan (4) tinggi bangunan tidak melebihi tinggi tajuk. Selain itu, dalam pengelolaan wisata alam diperbolehkan adanya penanaman modal oleh swasta dalam bentuk perusahaan dengan badan hukum Indonesia, tetapi pembelian saham oleh warga negara asing tidak dapat dimungkinkan. Namun demikian, untuk operator wisata yang dianggap sebagai hal strategis harus ditangani oleh bangsa Indonesia (Hidayati dkk, 2003).
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Selanjutnya Hidayati dkk., menyarankan bahwa untuk menciptakan ekowisata yang berkelanjutan dibutuhkan strategi tersendiri mengingat karakteristik ekowisata yang agak berbeda dengan wisata alam. Mungkin untuk pengaturan hal-hal bersifat fisik seperti sarana-prasarana dapat mengacu pada peraturan perundangan wisata alam, namun butuh penegasan-penegasan lain sesuai dengan prinsip dasar ekowisata seperti peraturan yang mengatur kaitan ekowisata dengan keterlibatan masyarakat, pendidikan lingkungan maupun penelitian. Selain itu juga perlu disebutkan pentingnya sertifikasi dalam kegiatan ekowisata.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, perencanaan diartikan sebagai proses, perbuatan, cara merencanakan (merancangkan). Dalam konteks pembangunan misalnya dapat dicontohkan sebagai berikut : perencanaan kota adalah upaya pemikiran dan perencanaan pengembangan kota agar tercapai pertumbuhan yang efisien dan teratur. Conyer (dlm. Moeljarto, 1993) menyatakan bahwa perencanaan meliputi pengambilan keputusan-keputusan dan pilihan-pilihan tentang bagaimana sebaiknya memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia untuk meraih tujuan-tujuan tertentu, yaitu tujuan pembangunan pada suatu waktu dimasa depan. Perencanaan merupakan salah satu tahap pengelolaan yang dilakukan agar dapat berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki. Pengembangan dapat diartikan sebagai memajukan dan memperbaiki, atau meningkatkan sesuatu yang telah ada. Yoeti (1997) mengatakan bahwa pengembangan suatu produk pariwisata, baik berupa obyek wisata ataupun daya tarik wisata adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan berencana untuk memperbaiki produk atau obyek wisata yang sedang berjalan atau menambah jenis produk atau obyek wisata yang dihasilkan ataupun yang akan dipasarkan. Selajutnya dikatakan bahwa, pengemabngan produk dalam industri pariwisata secara mikro adalah :
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
1.
travel agents
2.
touris transportation
3.
hotel
4.
bar and restaurant
5.
tour operator
6.
tourist object Masih menurut Yoeti, bahwa pengembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata
memiliki tiga tujuan, yaitu: a. Pembangunan perekonomian daerah tersebut dalam arti pengembangan kepariwisataan pada suatu daerah tujuan wisata selalu akan diperhitungkan dengan keuntungan dan manfaat bagi rakyat banyak. b. Pengembangan Pariwisata juga bersifat nonekonomis. Dengan majunya pengembangan Pariwisata di suatu daerah tujuan wisata, maka hasrat dan keinginan masyarakat setempat untuk memelihara semua asset wisata yang ada di daerah itu akan meningkat. Dengan demikian, suasana yang nyaman, bersih dan aman, serta lingkungan yang terpelihara akan memberikan kesenangan dan kepuasan bagi wisatawan yang datang mengunjungi daerah tersebut. c. Pengembangan Pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata juga bertujuan untuk menghilangkan kepicikan berpikir, mengurangi salah pengertian, mengenal sikap dan budaya orang lain. Dengan kata lain, adanya interaksi antara masyarakat setempat dengan wisatawan akan membuka mata masyarakat sekitarnya dalam banyak hal. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengembangan berarti proses atau cara, atau perbuatan mengembangkan. Dalam konteks pembangunan, misalnya dapat disebutkan sebagai cara atau proses mengembangkan pembangunan secara bertahap dan teratur yang menjurus ke sasaran yang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dikehendaki. Dalam konteks kemasyarakatan misalnya dapat disebut pengembangan masyarakat, yakni proses kegiatan bersama yang dilakukan oleh penghuni suatu daerah untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam kerangka pengembangan kawasan Pariwisata sangat dibutuhkan perencanaan dan strategi yang tepat dan efektif, juga dibutuhkan penelitian awal terhadap semua aspek yang berkaitan dengan kepariwisataan itu, mulai dari potensi, kebiasaan masyarakat setempat, kepercayaan yang dianut, dan juga tingkah laku atau kebiasaan wisatawan. Dengan perencanaan dan strategi pengembangan yang tepat maka diharapkan manfaat dan keuntungan yang maksimal akan dapat dicapai, sementara dampak-dampak negative dapat dihindari, setidaknya diminimalisir. Chamberlain (1992) dalam salah satu makalahnya mengingatkan pentingnya proses pengembangan ditangani secara cermat dan professional, agar kehidupan pedesaan tidak mengalami kehancuran, mengingat perkembangan minat wisatawan untuk melakukan perjalanan ke desa-desa ini semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya minat dan kepedulian akan lingkungan dan kegiatan wisata di alam terbuka (outdoor activity) dan juga minat pada warisan budaya. Sementara itu Ketetapan MPR-RI No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999 menguraikan bahwa untuk mengembangkan Pariwisata harus melalui sistem yang utuh dan terpadu bersifat interdisipliner, partisipatori. Menggukana kriteria ekonomis, teknis sosial budaya hemat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kawasan diartikan sebagai daerah tertentu yang mempunyai ciri tertentu. Kawasan pariwisata adalah kawasan pengembangan sarana dan prasarana pariwisata, termasuk pelestarian alam yang terdiri dari atas zona inti, dan zona-zona lain yang dimanfaatkan untuk tujuan pariwisata, rekreasi dan pendidikan, serta sekaligus berfungsi sebagai daerah penyangga (Fandeli, 1995). Konsep pembangunan berwawasan kemasyarakatan adalah konsep yang dewasa ini mendominasi wacana pembangunan kepariwisataan, termasuk juga mengembangkan ekowisata.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Konsep yang dikenal sebagai Community-Based Tourism Development ini merupakan konsep yang berlawanan dengan konsep pembangunan kepariwisataan yang berlangsung selama ini.yaitu pembangunan dengan sistem top-down yang dianggap telah melupakan konsep dasar pembangunan itu sendiri sehinga rakyat bukannya semakin meningkat kualitas hidupnya tetapi malah dirugikan dan bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya sendiri, sebagaimana dikatakan Pitana (1999). Konsep pembangunan berwawasan masyarakat ini sangat menekankan pembangunan yang dimulai dari bawah --- bottom-up ----, pembangunan sebagai sosial learning, yang menunutut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolahan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka
yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh
pembangunan tersebut atau apa yang dikenal dengan Community Management ( Korten, 1986). Pembanguan pariwisata berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya juga merupakan model pemberdayaan masyarakat yang menberikan lebih banyak peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara efektif dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan kepada masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri dalam mengelolah sumberdaya setempat. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran utama dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya. Pendekatan ini melibatkan masyarakat sebagai proses pengembangan
ini melibatkan masyarakat sebagai upaya proses
pengembangan dirinya. Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan pewaris (beneficiary approach) dimana masyarakat hanya menerima keuntungan tetapi tidak diberi wewenang (Cernes, 1991). Sementara itu Natori (2001) mendefenisikan pembangunan pariwiasata berbasis masyarakat (Community-Based Tourism Development) sebagai aktifitas-aktifitas
masyarakat lokal untuk
mempromosikan keunggulan daerahnya dan menciptakan sebuah komunitif yang dipenuhi kekuatan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
memanfaatkan secara penuh sumberdaya alam, budaya, sejarah, industri, orang-orang berbakat, dan sumber-sumberdaya lokal lainnya.
2.4 Teori Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Komunitas Masyarakat sebagai salah satu stakeholder haruslah dilibatkan dalam pengelolaan berbagai sumberdaya yang terdapat di daerah/wilayah mereka. Masyarakat lokal memilih hak–hak azasi manusia untuk menginterprestasikan, memelihara dan mengelola sumberdaya yang mereka miliki. Net Faulkner ( dalam Pujaastawa , 2005 ) mengemukakan konsep yang disebutnya ”Democratic Archaeology from Below ”, yang pada dasarnya mengedepankan partisipasi masyarakat pada semua jenis dan tingkat pekerjaan. Kearifan lokal maupun lembaga tradisional yang berkembang dimasyarakat bersangkutan dalam pengelolaan sumberdaya budaya harus tetap dipelihara dan dilibatkan. Pemerintah maupun instansi yang berwenang berperan sebagai fasilisator dalam pengelolaan sumberdaya yang bersangkutan.
Menurut Moeljarto (1993) pengelolaan sumber yang bertumpu pada komunitas merupakan pendekatan yang dikemukakan oleh David Korten. Adapun ciri–ciri pendekatan ini adalah sebagai berikut : 1.
Prakarsa dari proses pengambilan keputusan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tahap demi tahap harus diletakkan pada masyarakat sendiri.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2.
Fokus utamanya adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan memobilisasi sumber–sumber yang terdapat dikomunitas untuk memenuhi kebutuhan mereka.
3.
Mentoleransi variasi lokal dan karenanya sifatnya amat fleksibel menyesuaikan dengan kondisi lokal.
4.
Didalam melaksanakan pembangunan, menekankan pada social learning yang didalamnya terdapat interaksi dan komunitas mulai dari proses perencanaan sampai evaluasi proyek dengan mendasarkan diri pada saling belajar.
5.
Proses pembentukan jaringan (Net Working) antara birokrat dan lembaga swadaya masyarakat, satuan – satuan organisasi tradisional yang mandiri, merupakan bagian interral dari pendekatan ini, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka mengindentifikasi dan mengelola berbagai sumber maupun untuk menjaga keseimbangan antara struktur vertikal dan horizontal. Melalui proses net working ini diharpkan terjadi simbosis antara struktur – struktur pembangunan ditingkat lokal .
David Korten (dalam Pitana, 1992 ) juga memberikan tiga pembenar pentingnya community-based resources management ini dilaksanakan sebagai ancangan dasar dalam pembangunan. Ketiga ancangan tersebut ialah : 1. Variasi kehidupan setempat (local variety), maksudnya kehidupan yang berbeda menurut sistem pengelolaan yang berbeda dan masyarakat lokallah yang paling akrab dengan situasi setempat. 2. Sumberdaya lokal (local resource), artinya sumberdaya lokal secara tradisional dikuasai dan dikelola oleh masyarakat lokal. 3. Tanggung jawab lokal (local accountability), yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena kegiatan yang dilakukan secara langsung akan mempengaruhi hidup mereka.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pendekatan sumber yang bertumpu pada masyarakat terhadap pembangunan sosial mencakup partisipasi timbal balik dan otonom yang mengakibatkan reorientasi birokrasi pemerintah secara mendasar kearah keterkaitan yang lebih efektif dengan komunitas klien, juga reorientasi fundamental komunitas klien itu sendiri. Beberapa alasan pembenar tentang arti penting partisipasi masyarakat dalam pembangunan sebagaimana disampaikan Moeljarto (1993) adalah sebagai berikut : 1. Masyarakat adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi adalah akibat logis dari dalil tersebut. 2. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut seta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat. 3. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi darah yang tampa keberadaannya akan tidak terungkap, pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari mana masyarakat itu berada dan dari apa yang mereka miliki. 4. Partisipasi memperluas zona (kawasan) penerimaan proyek pembangunan. 5. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat. 6. Partisipasi menopang pembangunan. 7. Partisipasi menyediakan lingkungan yang kondusif bagi baik aktualisasi potensi manusia maupun pertumbuhan manusia. 8. Merupakan cara efektif untuk membangun kemampuan masyarakat untuk mengelola pembangunan, guna memenuhi kebutuhan khas daerah. 9. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak–hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri ”. Oleh karena itulah dalam konteks ini perlu dikemukakan pandangan Natori (2001) tentang pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang menyebutkan bahwa hubungan yang harmonis antar
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
masyarakat lokal, sumberdaya, dan wisatawan merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan seperti dapat dilihat pada skema berikut:
Berdasarkan uraian–uraian tersebutlah kiranya teori Community-Based Resources Management dapat digunakan untuk menganalisis peran masyarakat lokal khususnya masyarakat di dua desa yang mengapit kawasan wisata Tangkahan, Kabupaten Langkat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB III METODOLOGI
3.1 Penentuan Lokasi Penelitian Pada dasarnya Sumatera Utara sangat kaya akan potensi kepariwisataan. Setiap daerah tingkat dua Kabupaten/Kota di Sumatera Utara memiliki obyek-obyek wiasata yang sebenarnya sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata, baik kawasan pariwisata konvensional maupun kawasan wisata-wisata alternatif yang pada dekade belakangan ini menjadi fokus/perhatian para perencana pembangunan kepariwisataan, baik ditingkat nasional maupun internasional. Pengembangan kepariwisataan di Sumatera Utara selama ini sangat disayangkan karena hanya berkonsentarsi pada sedikit daerah tertentu saja, lagi pula sangat monoton karena hanya mengandalkan keindahan panorama alam pegunungan dan danau sebagai daya tarik utamanya. Oleh karena itulah penelitian ini mencoba mengangkat dan menggali potensi kepariwisataan yang berasal dari sumberdaya alam utamanya, sumberdaya manusia, dan sumberdaya budaya secara seimbang untuk harmonis melalui perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Dipilihnya kawasan Tangkahan, Kabupaten Langkat sebagai lokasi penelitian didasari oleh pertimbangan profesional, dan dapat ditelusuri secara akademik, yaitu : 1. Tangkahan merupakan sebuah kawasan yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser di sisi Sumatera Utara, yang secara administratif masih termasuk ke dalam Wilayah Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat, Proipinsi Sumatera Utara.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Sebagaimana diketahui, pariwisata berbasis alam telah lama berkembang di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, seperti jelajah hutan (trekking), arung jeram dan pengamatan satwa liar. Beberapa lokasi yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) telah lama berkembang menjadi pusat wisata, seperti Kawasan Bukit Lawang-Bahorok, Gunung Sibayak-Berastagi, Ketambe Lawe Gurah-Kuta Cane, dan Pulau Banyak di Singkil. Oleh karena itu, tiba saatnya sekarang Tangkahan harus dikembangkan pula sebagai salah satu kawasan obyek wisata --wisata alternatif--. 2. Kawasan Tangkahan sangat tepat di jadikan sebagai media pengenalan ekosistem Leuser, serta wahana pendidikan lingkungan dan konservasi bagi masyarakat setempat, wisatawan domestik maupun mancanegara. Sebagaimana diketahui Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan suatu kawasan pelestarian yang memiliki sumberdaya alam yang kaya dan terdiri dari beberapa ekosistem yang relatif masih utuh dan asli. Sebagai contoh beberapa ekosistem yang masih dalam kawasan KEL seperti : ekosistem hutan rawa air tawar, ekosistem hutan hijau dataran rendah, ekosistem perbukitan, ekosistem hutan pegunungan renah dan ekosistem hutan pegunungan tinggi dengan puncak Leuser pada ketinggian 3119 m di atas permukaan laut. Sementara kawasan Tangkahan yang direncanakan sebagai kawasan pengembangan ekowisata berada pada ketinggian sekitar 200 m di atas permukaan laut dan termasuk dalam kawasan yang di dominasi oleh hutan dipterocarpaceae dataran rendah yang menurut telaah pustaka kawasan hutan hijau dataran rendah ini sangat kaya akan jenis-jenis tumbuhan berbunga, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jenis dan komposisi satwa yang hidup di dalamnya. Kawasan Tangkahan sebagai bagiandari KEL dikenal sebagai kawasan yang sangat potensial dari berbagai aspek, kaya dengan keberagaman flora dan fauna, disamping juga memiliki hutan-hutan alami, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, jeruk manis, pedesaan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
alamnya yang asri, sungai-sungai, bukit, tebing dan lembah-lembah yang merupakan aset kawasan yang sangat dapat diandalkan. 3. Kawasan Tangkahan sebagai bagian dari KEL memiliki potensi daya tarik obyek wisata yang sangat menggiurkan seperti tiga belas obyek air terjun, dua lokasi gua, tiga obyek air panas, serta letaknya yang indah mempesona dipertemuan dua sungai yaitu sungai Buluh dan sungai Batang Serangan yang kemudian bertemu dengan sungai Musam. Kesemua potensi ini apabila dipadu akan menjadi sumberdaya unggulan yang diyakini mampu mengundang decak kagum wisatawan di antara kemilau jernih air sungai yang mengalir. 4. Kawasan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata merupakan kawasan ekosistem Leuser di luar Taman Nasional Gunung Leuser, yang masuk ke dalam wilayah dua desa yaitu desa Namo Sialang dengan jumlah penduduk 5037 jiwa, dan desa Sei Serdang dengan jumlah penduduk 3120 jiwa, yang mayoritas merupakan suku Karo, ditambah suku Batak, Melayu dan Jawa. Potensi kultural yang dimiliki masyarakat setempat melahirkan suasana di kawasan Tangkahan sangat kondusif dan stabil, karena kehidupan beragama antara Islam, Kristen dan Katolik sangat toleran, ditambah ikatan kekeluargaan yang merupakan mata rantai yang tidak terputuskan dalam kehidupan sosial mereka. Gambaran kerukunan hidup dengan prinsip saling tolong-menolong, aktifitas kesenian tradisional, makanan khas tradisional dan pengobatan tradisional, masih dapat dijumpai dikawasan Tangkahan, sangat bisa dijadikan sebagai daya tarik atraksi budaya bagi pengembangan ekowisata. 3.2 Desain Penelitian Penelitian
mengenai
perencanaan
pengembangan
ekowisata
berbasis
komunitas
ini
menggunakan metode deskriptif dengan teknik analisis data secara kualitatif. Metode deskriptif-
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kualitatif ini digunakan agar terkumpulkan data dan informasi tentang situasi dan kondisi setempat berdasarkan fakta yang akurat. Penelitian deskriptif (Narbuko, 1997) merupakan penelitian yang berusaha untuk menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data, jadi ia juga menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasi. Semetara Supranto (1997) berpendapat bahwa penggunaan desain atau metode deskriptif-kualitatif adalah untuk mencari fakta dengan interpretasi yang tepat, dengan tujuan untuk mencari gambaran yang sistematis disertai fakta yang akurat.
3.3 Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari sumber pertama yang ada di lokasi penelitian, yang dikumpulkan secara khusus untuk menjawab pertanyaan penelitian, baik melalui pengajaran pertanyaan kepada beberapa untuk kemudian menganalisis jawaban, maupun melalui diskusi kelompok. Data primer ini akan diperoleh melalui sumber : Masyarakat setempat, Dinas Pariwisata dan Instansi terkait lainnya baik Pemerintah maupun Swasta, Camat Kecamatan dan perangkat Desa setempat, Lembaga Pariwisata Tangkahan, Pemandu Wisata. Sementara data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan maupun dokumen-dokumen berupa buku, hasil penelitian, jurnal dan bentuk-bentuk lain yang berhubungan dan relevan dengan kebutuhan, akan digunakan untuk mengisi kebutuhan akan rujukan khusus pada beberapa hal.
3.4 Teknik Pengumpulan Data Teknik-teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara : a. Focusing Group Discussion (FGD)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dalam melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan diskusi kelompok dengan masyarakat setempat, untuk melihat dan mengetahui aspirasi ataupun keinginan mereka sehubungan dengan pengembangan kawasan. Kegiatan diskusi ini tentu saja bagian dari usaha pengumpulan data primer melalui wakil-wakil masyarakat/tokoh-tokoh masyarakat. Diskusi dilakukan melalui kelompok-kelompok kecil untuk mencari masukan tetang berbagai hal seperti: -
bentuk-bentuk/jenis-jenis wisata yang mereka inginkan dilakukan dikawasan tersebut,
-
penentuan tata ruang pariwisata yang dihubungkan dengan daya tampung wisatawan, tingkat kebisingan, tingkat pencemaran dan sebagainya,
-
penentuan lokasi dan bentuk akomodasi (penginapan) bagi wisatawan,
-
penetuan pengembangan fasilitas penunjang, baik yang berhubungan dengan produk wisata, maupun yang behubungan dengan sarana dan prasarana,
-
penetuan bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat lokal dalam aktivitas kepariwisataan.
b. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah teknik mengumpulkan data sekunder melalui kepustakaan, dan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : -
Secara manual (manual search) yaitu, menghimpun informasi dari berbagai buku/literature, laporan/dokumen, jurnal, serta publikasi resmi pemerintah.
-
Secara komputerisasi (computerized search), dengan cara mengakses data melalui fasilitas internet.
c. Wawancara teknik wawancara dilakukan dalam upaya pengumpulan data dan merupakan salah satu cara memahami persepsi dari stakeholders yang antara lain dilakukan dengan : - pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat,
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
- masyarakat lokal dan LPT dan lembaga-lembaga sosial setingkat desa, -pihak PTPN II, pihak LSM. Masukan-masukan yang diperoleh dari hasil wawancara dimanfaatkan untuk mendukung hasil diskusi maupun untuk mendukung (crosschek) terhadap data sekunder yang diperoleh melalui beberapa sumber. Beberapa hal yang dieksplorasi melalui wawancara misalnya persepsi stakeholders terhadap upaya pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan ekowisata, pemahaman masyarakat tentang ekowisata,
kebijakan
pemkab
terhadap
pengembangan
ekowisata,
bentuk
pengelolaan
kemitraan/kolaborasi, pengamatan kondisi kawasan dan lain-lain.
3.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data Analisis yang dilakukan secara kualitatif dimaksudkan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai status kawasan Tangkahan dan rencana pengembangan kawasan tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Data-data dan informasi yang diperoleh terutama di lapangan, maupun Medan, Stabat dan sekitarnya, kemudian dideskripsikan untuk selanjutnya di interpretasikan sesuai dengan persepsi para pihak tentang hal-hal yang berkaitan dan relevan dengan perencanaan pengembangan kawasan. Berdasarkan kondisi obyektif di lapangan, pengkajian dan pengembangan dilakukan pula melalui analisis lingkungan internal dan eksternal untuk melihat dan mengetahui kekuatan maupun kelemahan kawasan di samping mengantisipasi peluang dan ancaman yang mungkin dapat mempengaruhi perencanaan program-program pengembangan meskipun disadari bahwa analisis lingkungan yang menggambarkan keadaan daerah penelitian tidak bersifat permanen. Hal ini dikarenakan adanya pengaruh dari berbagai faktor seperti situasi perekonomian, sosial-politik, stabilitas keamanan, dan lainnya. Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui perencanaan yang diarahkan berdasarkan masukanmasukan dari bawah ke atas (bottom-up) secara partisipatif, untuk kemudian berorientasi pada proses
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang berkembang. Perncanaan pengembangan diarahkan pula dengan memperhitungkan nilai-nilai ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat serta untuk pertimbangan fungsi-fungsi ekologi kawasan. Pengkajian-pengkajian persepsi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, serta persepsi dari para pihak stakeholder, dilakukan juga guna menguatkan landasan perencanaan pengembangan. Hasil pengumpulan data dari berbagai informasi, persepsi dan perencanaan masyarakat kemudian dianalisis. Berdasarkan diskusi-diskusi kelompok akan diperoleh kesepakatan-kesepakatan mengenai apa dan bagaimanakegiatan kepariwisataan yang diinginkan dilakukan di kawasan Tangkahan. Berdasarkan diskusi-diskusi dengan masyarakat setempat dan masukan dari para pihak stakeholder, maka dilakukanlah penyusunan suatu strategi perencanaan pengembangan ekowisata, yang nantinya juga didukung oleh data-data sekunder sebagai penunjang. Kesemuaan ini dilakukan dalam rangka menyatukan aspirasi dari masyrakat setempat dan dari pihak-pihak lain dalam menciptakan suatu perencanaan pengembangan kawasan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB IV GAMBARAN UMUM KAWASAN
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Langkat a. Geografi Kabupaten Langkat merupakan salah satu daerah tingkat dua di Propinsi Sumatera Utara. Kabupaten Langkat menurut sejarahnya ditetapkan pada tangga 17 Januari 1750. dan saat ini beribu Kota Stabat, memiliki luas wilayah 6.263,29 Km2. Secara geografis Kabupaten Langkat terletak pada koordinat antara 3014’ – 4013’ Lu dan 97052 98045 BT, berada pada ketinggian rata-rata 0-3000 m diatas permukaan laut. Kabupaten Langkat terdiri dari dua puluh kecamatan, 215 desa, dengan struktur penduduk yang terdiri dari berbagai etnis seperti etnis Melayu, etnis Karo, etnis Jawa, etnis Batak Toba, etnis Mandailing, dan beberapa etnis lainnya. Secara administrasi Kabupaten Langkat berbatasan dengan beberapa wilayah yakni : → Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, → Sebelah Barat
: berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara / Tanah Alas
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
→ Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Karo, → Sebelah Utara
: berbatasan dengan Selat Sumatera.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Langkat merupakan daerah pertanian seperti pertanian padi, kedelai, jagung, palawija dan lainnya, disamping perkebunan kelapa sawit, karet, coklat, tebu, jeruk, tanaman perkebunan lainnya. Kabupaten Langkat juga memiliki tambang minyak yang terdapat di daerah Pangkalan Susu. Potensi pertanian, perkebunan dan pertambangan ini juga turut mendukung kegiatan kepariwisataan di Kabupaten Langkat yang sesuai dengan konsep ekowisata, dan dapat dikemas dalam wisata agro, wisata tirta, wisata sejarah, maupun wisata religius/keagamaan. Beberapa obyek wisata yang terdapat di Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut : NO
NAMA OBYEK WISATA
LOKASI
1.
Bukit Lawang & Pusat Rehabilitasi Orang Hutan
KEC. BAHAOROK
2.
Gua Batu Rizal
KEC. BAHAOROK
3.
Gua Kampret
KEC. BAHAOROK
4.
Gua & Air Terjun Marike
KEC. SALAPIAN
5.
Pemandian Pantai Biru
KEC. SALAPIAN
6.
Pemandian Pangkal
KEC. SEI BINGAI
7.
Pemandian Namu Ukur Utara
KEC. SEI BINGAI
9.
Pamah Semelir
KEC. SEI BINGAI
10.
Masjid Azizi
KEC. TJG. PURA
11.
Pantai Kuala Serapuh
KEC. TJG. PURA
12.
Museum Derah Kabupaten Langkat
KEC. TJG. PURA
13.
Makam Pahlawan T. Amir Hamzah
KEC. TJG. PURA
14.
Tangkahan
KEC. BTG. SERANGAN
15.
Pantai Tanjung Kerang
KEC. PKL. SUSU
16.
Pantai Pulai Sembilan
KEC. PKL. SUSU
17.
Pusat TARikat Naqsyabandi
KEC. PDG. TUALANG
18.
Pantai Sekunder Indah
KEC. BESITANG
19.
Kampung Bali
KEC. WAMPU
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
20.
Arung Jeram Sei Wampu
KEC. SALAPIAN
21.
Dusun Pantai Buaya
KEC. BESITANG
22.
Dusun Aras Napal
KEC. BESITANG
21.
Dusun Pantai Buaya
KEC. BESITANG
22.
Dusun Aras Napal
KEC. BESITANG
Tabel 2 : Objek wisata di Kabupaten Langkat b. Topografi Topografi wilayah Kabupaten Langkat dapat digolongkan atas tiga bagian : a. Wilayah Pesisir pantai dengan ketinggian 0 – 4 m dpl b. Wilayah dataran rendah dengan ketinggian 4 – 30 m dpl c. Wilayah dataran tinggi dengan ketinggian 30 – 1200 m dpl c. Geologi Jenis dan struktur tanah : a. Daerah pantai terdiri dari tanah alluvial b. Dataran rendah terdiri dari tanah jenis Gleihumus rendah, Hidromofil Kelabu dan Plarosal c. Dataran tinggi d. Perbukitan terdiri dari tanah Podsolid merah kuning No.
Penggunaan
1.
Hutan
2.
Hutan Bakau
3.
Kebun
Luas (Ha)
Keterangan
Besitang, S.Lepan, S.Seberang, B.Serangan Bahorok, Selapian, Sei Bingai, Kuala 21090 3.38 Sebelah Utara Langkat Utama : K-Sawit, karet, lainnya: kelapa, 188707.3 30.25 coklat, kopi, tebu.
239328.4 38.38
5.
Kebun Campuran/Pemukiman Pemukiman Padat
6.
Sawah
38273.7
7. 8.
Tegelan Rawa
2633.8 79.2
9.
Tambak
7215.8
4.
%
114436.1 18.35 Terbesar 127.7
0.02 Binjai, Selesai Terbesar : kecuali Sw. Seberang dan 6.14 Bahorok 0.42 Sayuran, kacang, buah-buahan Binjai, Stabat 0.01 Brandan Barat Ikan, Udang : P. Susu, B. Barat, Babalan, 1.16 Gebang, T. Pura dan Secanggang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
10. 11.
Lahan Terbuka Sungai Jumlah
3066.1 0.49 Lahan terbuka = Lahan tandus 11370.9 1.4 626329 Tabel 3 : Penggunaan Tanah/Lahan di Kabupaten Langkat
Pemukiman
d. Potensi Sumberdaya Alam Kabupaten Langkat sangat kaya dengan sumberdaya alam berupa hutan tropis dan keanekaragaman hayatinya ; areal pertanian tanaman pangan, peternakan dan perkebunan ; sungai ; laut ; pariwisata ; dan bahan tambang seperti mintak bumi dan gas bumi. Setiap Kecamatan di Kabupaten Langkat, mempunyai potensi ekonomi dan peluang investasi terutama disektor pertanian, industri dan pariwisata. Bila ditelusuri hampir semua kecamatan memiliki komoditi unggulan yang dapat dipasarkan ke Medan bahkan ke negara-negara tetangga khususnya dalam kawasan segitiga pertumbuhan Indonesia-Malaysia-Thailand yang dikenal dengan IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle). Seperti disektor pertanian siapa tak kenal dengan rambutan Brahrang, Jeruk Pantai Buaya, Durian Bahorok. Begitu juga di sub sektor perkebunan, Langkat berperan dalam menghasilkan devisa negara terutama untuk komoditas kelapa sawit, karet, kakao, kelapa. Di sub sektor peternakan potensi terutama domba dan ayam petelur. Di sub sektor perikanan dan kelautan potensi terutama komoditi udang, kerapu dan kepiting. Di sub sektor kehutanan potensi terutama kayu bakau dan hasil hutan seperti damar dan kayu. Sedangkan pada sektor industri terutama industri kecil dan rumah tangga seperti pengolahan hasil perikanan, udang beku, terasi, kerupuk ikan, industri anyaman purun, gula aren, sulaman bordir dan lain-lain.
e. Potensi Sumberdaya Manusia Jumlah penduduk Kabupaten langkat sesuai hasil sensus penduduk tahun 2000 adalah 902086 jiwa, dimana jumlah laki-laki sebanyak 456964 jiwa dan perempuan sebanyak 446022 jiwa. Dan persentase tingkat Pendidikan dan Angkatan Kerja penduduk Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut : Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Usia 5 tahun ke atas yang tidak menamatkan pendidikannya atau tidak bersekolah sebesar 30,77%, sementara yang menyelesaikan Sekolah Dasar (SD) 36,77%; menyelesaikan SLTP 17,33%; menyelesaikan SLTA 13,78%; dan menyelesaikan Pendidikan Diploma hingga Perguruan Tinggi 1,35%.
f. Sarana dan Praasarana Fisik Prasarana jalan yang menghubungkan Ibukota Kecamatan dengan Ibukota Kabupaten, antar desa dengan desa diKabupaten Langkat pada umumnya relatif baik. Untuk beberapa Kecamatan terutama di desa-desa pantai terdapat juga angkutan sungai, sedangkan angkutan laut hanya menghubungkan Pangkalan Susu-Pulau Kampai-Pulau Sembilan. Fasilitas umum seperti jaringan listrik saat ini telah menjangkau semua desa, sedangkan telepon telah menjangkau delapan Kecamatan. Air minum yang dikelola oleh PDAM telah menjangkau delapan belas Kecamatan, tujuh pasar induk dan pusat pertokohan sekitar lima belas. Sarana pendidikan dan kesehatan juga telah menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Penduduk Kabupaten Langkat dinilai sangat heterogen dapat dilihat dari keadaan jumlah penduduk berdasarkan komposisi suku bangsa: Jawa 56,87%; Melayu 14,93%; Karo 10,22%; Toba 4,50%; Madina 2,54%; Aceh 2,29%; Minang 1,29%; Cina 0,88%; Pakpak 0,16%; Nias 0,12%; Simalungun 0,10%; lainnya 6,10%. Dari sudut pemeluk agama yang dianut, penduduk Kabupaten Langkat terdiri dari : Islam 90%; Protestan 7,56%; Katolik 1,06%; Budha 0,95%; Hindu 0,09%; lainnya 0,34%
4.2 Kawasan Tangkahan a. Geografi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Batang Serangan, Kabupaten Langkat Propinsi Sumatera Utara. Kawasan Tangkahan yang dimaksudkan akan dikembangkan sebagai kawasan ekowisata merupakan kawasan ekosistem Leuser, namun berada di luar Taman Nasional Gunung Leuser, yang berada di dalam dua desa yaitu Desa Namo Sialang, dan Desa Sei Serdang. Wilayah-wilayah yang membatasi kawasan Tangkahan secara geografis dapat disebut sebagai berikut : -
Sebelah Timur : Desa Kuala Buluh
-
Sebelah Selatan : Perkebunan Kelapa Sawit milik PT. Garuda Permana
-
Sebelah Barat
: Taman Nasional Gunung Leuser
-
Sebelah Utara
: Perkebunan Kelapa Sawit Milik PTP N II
Secara geografis kawasan Tangkahan berada pada koordinat “03041” Lu, 9804,28,2” BT, dan berada pada ketinggian 130 – 200 m di atas permukaan laut. Kawasan Tangkahan memiliki jenis tanah yang terdiri dari podsolik dan litosol. Podsolik diartikan termasuk jenis tanah yang telah mengalami tingkat perkembangan agak lanjut, umumnya terbentuk dari batu liat (serpih), dari batu pasir, atau pada beberapa bagian telah tercampur dengan bahan vulkanis. Penampang tanah dengan kedalaman sedang, mempunyai sifat kurang baik dan peka terhadap erosi meskipun tingkat kesuburannya rendah, namun cukup baik untuk tanaman-tanaman seperti karet dengan memperhatikan segi-segi keerosian tanah serta ketersediaan air. Litosol diartikan sebagai jenis tanah tanpa perkembangan profil merupakan batuan kukuh dengan lapisan tanah sangat tipis di atasnya. Pada wilayah yang curam terdapat batuan tanpa lapisan tanah. Dari segi topografi, Tangkahan merupakan kawasan landai, berbukit dengan kemiringan yang bervariasi antara 45-900. Suhu udara rata-rata di kawasan Tangkahan berkisar antara 21,10C – 27,5 0C, dengan kelembaban nisbi berkisar antara 80 – 100 %.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan dicurahi musim hujan yang berlangsung marata sepanjang tahun tanpa musim kemarau berarti, dan diperkirakan curah hujan rata-rata 2000-3200 mm pertahun. Keadaan ini sangat memberi keuntungan dalam ketersedian air bagi kawasan Tangkahan yang rata-rata masih tertutup oleh hutan. Oleh karena itu kebutuhan air masyarakat kawasan ini sangat mudah diperoleh dari sumur tanah dan sungai. Limpahan air hujan pun dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber air.
Gambar 9 : Peta Kawasan Ekowisata Tangkahan (Sumber LPT) b. Kependudukan Kawasan Tangkahan dan sekitarnya didiami oleh penduduk yang terdiri dari beberapa etnis. Etnis Karo merupakan mayoritas penduduk yang mendiami perkampungan-perkampungan di sekitar hutan, ditambah dengan etnis Jawa, Etnis Batak, dan Etnis Malayu yang tinggal sebagai pekerja perkebunan kelapa sawit dan karet. Desa Namo Sialang memiliki penduduk berjumlah 5037 jiwa yang terdiri dari 2477 laki-laki dan 2560 perempuan. Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah pekerja perkebunan, pegawai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
negeri, dan sebagian lagi ada yang melakukan aktivitas pertanian, berternak dan mengusahakan perikanan. Desa Sei Serdang memiliki jumlah penduduk 3120 jiwa yang terdiri dari 1531 laki-laki dan 1589 perempuan. Hampir sama dengan penduduk di desa Namo Sialang, mata pencaharian penduduk Desa Sei Serdang adalah pekerja perkebunan (baik kebun milik pribadi maupun milik swasta, berupa kebun jeruk manis, kebun karet atau pun kelapa sawit), pegawai negeri, bertani dan berternak. Aktivitas kehidupan masyarakat di kedua desa tersebut terasa sangat kondusif. Ikatan kekeluargaan merupakan rantai yang tidak terputus dalam kehidupan sosial di kawasan Tangkahan dan sekitarnya. Demikian pula halnya dengan kehidupan beragama terasa sangat toleran antara Islam, Khatolik dan Prostestan yang sama-sama menganjurkan manusia untuk saling tolong menolong dan hal ini merupakan sebuah kekuatan kultural di kawasan Tangkahan, sehingga suasana tetap kondusif dan stabil. Dalam diskusi-diskusi maupun dialog yang dilakukan dengan masyarakat lokal dikawasan Tangkahan beberapa pembuktian-pembuktian data sekunder terasa mengalir tanpa ada yang mengaturnya. Prinsip saling menghargai dan menghormati antar sesama pemeluk agama yang berbeda misalnya tanpa terasa berlangsung sangat nyaman tanpa gesekan-gesekan, dan membuktikan kondusifnya suasana kehidupan yang terbangun selama ini. Diskusi-diskusi tetap berjalan sangat femiliar meskipun misalnya beberapa anggota diskusi tersebut melakukan aktifitas peribadatan saat acara sedang berlangsung. Rasa kekeluargaan yang hadir kadang terasa melebihi rasa persaudaraan yang sebenarnya, baik dalam pergaulan/aktifitas sehari-hari maupun dalam acara-acara yang sengaja dibangun dengan suasana formal. Diskusi-diskusi maupun dialog yang dibangun dengan konsep-konsep tertentu dengan berbagai tawaran-tawaran gagasan ataupun penekanan-penekanan tema yang berhubungan dengan perencanaan pengembangan kawasan selalu disambut dengan antusiasme yang tinggi yang menyiratkan aspirasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
maupun ekspresi masyarakat lokal akan harapan-harapan kehidupan untuk masa depannya. Aspirasi maupun ekspresi yang selalu muncul dan mengalir jernih itu cukup memberi gambaran kepada kita betapa masyarakat setempat sangat berkeinginan untuk selalu dan tetap diakui (eksis) sebagai masyarakat pemilik langsung dan merupakan orang-orang yang paling tahu kondisi Tangkahan yang sebenarnya; meskipun di sisi lain kita dapat pula menangkap pengakuan-pengakuan mereka yang sangat sadar akan kelemahan-kelemahansumberdaya manusianya untuk mampu mengelola aktifitas ekowisata sebagai wujud pengembangan kawasan objek wisata alternatif tersebut. Pengakuan-pengakuan tersebut justru merupakan gambaran kerendahan hati dan kesadaran masyarakat setempat untuk tetap mendapat kepedulian pihak pemerintah Kabupaten dalam hal pembinaan dan dorongan-dorongan insentif lainnya bagi upaya pengembangan dan pemanfaatan kawasan Tangkahan secara benar. Pesona budaya tampak pula pada acara-acara sakral seperti perkawinan, ritual tolak bala, dan rutinitas lainnya. Kesenian tradisional, makanan khas, dan pengobatan tradisional masih terdapat di kawasan ini, dan dapat dijadikan sebagai daya tarik bagi pengembangan ekowisata. Terlepas dari potensi sumberdaya alam dan kondusifnya kehidupan masyarakat di kawasan Tangkahan, aspek pendidikan masih merupakan kelemahan bagi penduduk di kedua desa tersebut. Kelemahan pendidikan ini disebabkan oleh kurangnya pendapatan serta insfrastruktur pendidikan, sehingga masyarakat tidak dapat menemukan atau mendapatkan pendapatan (hasil usaha) diluar usaha pertanian yang cenderung diwariskan oleh orang tua mereka. Disamping terbatasnya lahan dan tekanan demografi yang telah merusak pendapatan, pendidikan masih dilihat sebagai bentuk pengeluaran yang membebankan kebutuhan keluarga. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh langsung bagi kebutuhan sumberdaya manusia dalam upaya pengembangan ekowisata di kawasan tersebut kelak. Perspektif edukasi yang tersa lemah ini tentu saja menjadi bagian kekhawatiran masyarakat lokal yang secara psikilogis akan mempengaruhi kinerja pola kemitraan yang selama ini terjalin. Kekhawatiran ekses negatif terekspresikan dari jawaban maupun cara pandang masyrakat lokal
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
manakala harapan kedatangan sosok wisatawan mancanegara menjadi sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi masyarakat lokal sangat antusias untuk menyambut kedatangan turis-turis macanegara khususnya, namun di sisi lain mereka juga mempunyai kekhawatiran manakala putra-putri mereka kelak tidak mampu menghempang pengaruh perilaku dan pola pikir turis mancanegara dengan sistem budaya bangsanya. Dari kekhawatiran itu sebenarnya tersirat keinginan dan harapan masyarakat agar pihak pemerintah hendaknya memberi perhatian yang serius terhadap peningkatan aspek pendidikan sebagai salah satu sarana formal peningkatan pengetahuan masyarakat, di samping kegiatan-kegiatan penyuluhan maupun pembekalan dan pelatihan dari aspek sosial kebudayaan dan pengetahuan kepariwisataan. Masalah konservasi dan lingkungan hidup yang pada saatnya nanti merupakan bagian dari pertarungan global sebenarnya kita sadari bukanlah merupakan bagian pemikiran masyarakat setempat saat ini. Karena memang kesederhanaan dan kebersahajaan kehidupan masyarakat lokal hanya sebatas keinginan memiliki pekerjaan dengan tujuan penambahan pendapatan/penghasilan ekonomi, serta keinginan berpartisipasi aktif dalam program-program pembangunan yang selalu disosialisasikan tersebut. Komersialisasi dan politisasi kawasan penyangga maupun program-program konservasi dan pemberdayaan masyarakat lokal secara tersembunyi yang selalu terjadi hendaknya jangan sempat meracuni kebersahajaan masyarakat hanya karena kekurangpedulian pihak pemerintah Kabupaten membekali masyarakat lokal melalui aspek pendidikan. Sesuai data yang terhimpun sebenarnya sejak tahun 1970-an perkebunan kelapa sawit telah berkembang di kawasan tersebut dan banyak penduduk yang telah menjual tanahnya kepada pihak perkebunan. Kegiatan pertanian yang mereka lakukan telah terjepit di antara perkebunan kelapa sawit dan Taman Nasional Gunung Leuser. Akibatnya penduduk semakin kekurangan lahan untuk menampung pertambahan populasi dan kebutuhan ekonomi. Oleh karena itu perlu adanya alternatif ekonomi yang lain yang tidak bertumpu pada pemakaian atau pemanfaatan lahan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Sarana dan Prasarana Kawasan Tangkahan yang berada di antara dua desa yaitu Desa Namo Sialang dan Desa Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan berjarak lebih kurang 124 km dari Kota Medan, apabila jalan melalui Tanjung Pura, sementara jika jalan pintas melalui Stabat dan Simpang Sidodadi, jaraknya lebih pendek menjadi 95 km. Disamping itu jalur jalan melalui Medan-Stabat-Tanjung Pura yang lebih jauh, kondisinya lebih memadai dibanding jalur pintas memotong melalui Stabat-Simpang Sidodadi. Hampir sepanjang 50 km jalan di jalur pintas memotong ini mengalami rusak yang cukup parah, terutama jalur di perkebunan karet. Walaupun mungkin saja kondisi ini perlu juga untuk tetap dibiarkan mengingat kawasan Tangkahan memang direncanakan sebagai kawasan ekowisata. Hanya saja mungkin perlu dibenahi sedikit untuk mengantisipasi keamanan dan menambah eksotiknya suasana perjalanan menuju kawasan Tangkahan yang sangat menarik. Akan halnya kondisi jalanan yang sangat cukup memprihatinkan ini, terungkap juga keresahan maupun keluhan dari masyarakat lokal terutama komunitas yang tergabung di dalam Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang secara sabar dan tekun terus berupaya mengelola dan mempopulerkan kawasan ekowisata Tangkahan keluar bahkan ke mancanegara. Masyarakat di kawasan Tangkahan sebenarnya telah lama mengeluhkan kondisi jalan yang tidak memadai ini kepada pemerintah Kabupaten. Keluhan ini sebenarnya bukan hanya mereka kaitkan dengan keberadaan daerah tujuan ekowisata, namun lebih banyak disebabkan karena memang kebutuhan mereka terhadap kelancaran hubungan keluar-masuk penduduk dari desa ke desa maupun antar Kecamatan. Masyarakat
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
setempat sangat tidak merasakan perhatian serius dari pemerintah Kabupaten terhadap keluhan yang mereka sampaikan dari tahun ke tahun sampai saat ini. Hal senada juga dikemukakan oleh komunitas Lembaga Pariwisata Tangkahan, bahwa mereka pada akhirnya sangat pesimis kalau pihak pemerintah Kabupaten memang tidak akan memberi perhatian bagi pengembangan sarana dan prasarana bagi asksesibilitas menuju kawasan ekowisata Tangkahan. Dari wawancara maupun diskusi yang dilakukan terungkap pula sikap arogan aparat pemerintahan Kabupaten terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh LPT. Pernah aparat Kabupaten tanpa pendekatan maupun pemberitahuan/musyawarah melakukan pemancangan papan pengumuman mengenai peraturan-peraturan daerah yang berhubungan dengan daerah tujuan wisata. Peraturanperaturan tertulis yang dipancangkan di jalan depan gerbang menuju lokasi kawasan wisata tersebut semuanya bermuara pada masalah yang berhubungan dengan pengutipan retrebusi. Malah kepada pengurus LPT pihak aparat pemerintah Kabupaten memberi perintah untuk setiap tahunnya membayar uang sewa pengelolaan kawasan sebesar yang ditentukan sepihak oleh pemerintah Kabupaten. Memang sampai saat ini semua perintah berdasarkan PERDA tersebut tidak dapat terlaksana mengingat LPT memang tidak memiliki dana sebagaimana diharuskan pihak pemerintah Kabupaten. Sisi negatif dari keadaan ini menurut masyarakat pada akhirnya pun pihak pemerintah Kabupaten tidak bersedia memberi perhatian bagi upaya pengembangan kawasan wisata tersebut. Ironisnya pula, masyarakat dan komunitas Lembaga Pariwisata Tangkahan sampai-sampai merasakan bahwa mereka sekarang lebih nyaman berada di bawah binaan dan perlindungan berbagai LSM lokal maupun asing yang memang kerap memberi pencerahan bagi aktifitas kehidupan mereka sehari-hari. Sarana transportasi umum menuju Tangkahan selama ini masih dilayani oleh satu perusahaan bus umum yakni Pembangunan Semesta, yang memang membuka trayek Medan-Tangkahan setiap hari. Namun trayek ini hanya sampai di Dusun Titi Mangga, Desa Namo Sialang, selanjutnya perjalanan ke
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Tangkahan harus menggunakan ojek, dan jalur jalan yang ditempuh masih berupa jalan batu/krikil (pengerasan). Transportasi lain yang terdapat di kawasan untuk menjangkau Tangkahan ialah dengan cara menyebrangi sungai Batang Serangan. Sarana trasnportasi ini dinilai sangat terbatas, dan biasanya dilakukan dengan getek/rakit yang terbuat dari bambu, atau juga perahu yang sangat sederhana dan terlihat sudah berumur. Apabila sungai Batang Serangan banjir maka penyeberangan tidak dapat dilakukan. Akomodasi (penginapan) di kawasan Tangkahan juga masih terasa sangat terbatas. Baru terdapat dua penginapan yakni : Bamboo River, dengan kapasitas enam kamar double, dengan fasilitas kamar mandi di dalam, serta Alex’s House dengan kapasitas delapan kamar. Di penginapan Bamboo River Lodge yang dinilai lebih baik dibanding Alex’s House, juga terdapat sebuah restoran. Kedua penginapan tersebut berada di lokasi seberang sungai dan jika sungai dalam keadaan sedang banjir maka alternatif penginapan berpindah ke rumah penduduk di Dusun Kuala Buluh.
Gambar 11 : Salah satu Akomodasi Pemondokan di Tangkahan (Sumber : LPT)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Salah satu sarana yang dinilai tidak memadai adalah telekomunikasi. Padahal sarana ini merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi wisatawan. Oleh karena itu aspek ini sangat perlu mendapat perhatian serius. Sebagaimana kenyataan di lapangan, sarana telekomunikasi terdekat dengan kawasan wisata terdapat di desa dengan menggunakan jasa peneydia saluran telepon dari TELKOM dengan menggunakan sistem telepon satelit. Jarak yang harus ditempuh dari kawasan wisata ke desa tempat Wartel Telkom adalah lebih kurang lima puluh menit perjalanan berkendaraan. Akan halnya pengunaan telepon genggam dari berbagai pengelola saluran, maka sinyal terakhir hanya didapatkan di daerah Tanjung Pura atau Stabat. Di luar kedua daerah ini dan menuju ke kawasan Tangkahan sinyal telepon genggam tidak akan pernah ada. Sarana kesehatan yang sebenarnya merupakan salah satu aspek penting dalam pengembangan suatu kawasan obyek wisata Tangkahan sampai saat ini dinilai juga masih sangat tidak memadai. Desa Namo Sialang hanya memiliki satu Puskesmas, satu orang mantri dan dua toko obat, sementara Desa Sei Serdang hanya memiliki dua Puskesmas dan satu orang mantri. Keadaan ini menyebabakan masyarakat belum mendapatkan fasilitas yang lebih baik bagi peningkatan kesehatan. Sebuah rumah sakit memang dimiliki oleh Swasta yakni rumah sakit PTP N II yang harus ditempuh dalam waktu lebih satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor apabila sangat dibutuhkan. Sarana kesehatan yang sangat tidak memadahi ini kiranya perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius, sebagai antisipasi mencegah terjadinya hal-hal yang berhubungan dengan tindakan/usaha pertolongan pertama. Harapan adanya perhatian yang serius terhadap peningkatan sarana dan prasarana kesehatan lebih jauh sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat agar dapat terwujud masyarakat yang sehat jasmani dan rohani dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja untuk mengisi pembangunan nantinya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
d. Potensi Kepariwisataan Bumi Tangkahan memang merupakan salah satu anugrah Tuhan Yang Mahapencipta yang menitipkannya kepada bangsa Indonesia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan umat manusia. Harmonisasi kehidupan makhluk ciptaanNya dapat dilihat dan dirasakan apabila kita memasuki kawasan ini dengan perasaan yang ikhlas sebagai manusia insan ciptaanNya yang paling mulia. Melihat dan menapakkan kaki di bumi Tangkahan memberi kesadaran kepada kita betapa Mahabesarnya Allah SWT yang menjadikan seisi alam ini dengan keanekaragaman ciptaanNya yang mampu melahirkan decak kagum yang tidak berkesudahan. Bumi Tangkahan hanyalah salah satu dari bukti kebesaran dan kekuasaan Yang Mahapencipta. Bumi Tangkahan hanyalah sebagian dari harta kekayaan yang dilimpakan kepada bangsa Indonesia untuk dijaga, dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kelangsungan kehidupan yang harmonis antar sesama makhluk hidup untuk saling berdampingan dan harga-menghargai. Oleh karena itulah pemnfaatan dengan perhitungan dan perencanaan yang cermat dan benar sangat dituntut bagi pengembangan kawasan Tangkahan sebagai kawasan objek ekowisata, agar kekayaan yang dimiliki bumi Tangkahan dapat pula menjadi kekayaan filisofis kehidupan umat manusia di manapun berada. Kawasan Tangkahan terletak pada pertemuan dua sungai yaitu sungai Buluh dan sungai Batang Serangan, yang bergerak mengalirke hilir dan bertemu dengan dengan Sungai Musam. Sungai Batang Seranganlah yang mengalir membelah kota Tanjung Pura sebelum sampai di Pantai Timur Sumatera. Kawasan Tangkahan pada bagian Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat kaya. Sebagian besar kawasan Tangkahan merupakan hutan hujan tropis, mulai dari hutan primer Dipterocarpaceae dan hutan primer campuran. Oleh sebab itu kawasan ini secara umum didominasi oleh tumbuhan dari family Dipterocarpaceae, Meliaceae, Burceraceae, Euphorbiaceae dan Myrtaceae. Pohon-pohon besar dengan diameter di atas satu meter seperti pohon
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kayu jenis damar, meranti, raja dan cendana masih dapat disaksikan pada jalur-jalur yang relatif mudah dicapai di dalam kawasan hutan yang asri, sehingga sangat memungkinkan untuk dijadikan sebagai daya tarik bagi kegiatan kepariwisataan. Demikian juga halnya dengan hutan-hutan di Taman Nasional Gunung Leuser di kawasan Tangkahan terdapat enam spesiesprimata seperti Orang Utan Sumatera (pong pygmaeus abelii), Siamang (hylobates syndactilus), Owa (Hylobates lar), Kedih (presbytis sp), Monyet ekor panjang (macaca fascicularis), dan beruk (macaca namestrina). Sementara jenis fauna lainnya juga terdapat di kawasan ini adalah Tupai kecil (tupaia minor), Burung Rangkong (buceros Rhinoceros), Srigunting Batu (dicrurus paradiceus), Elang (haliastur sp), yang dengan mudah dapat dilihat diselurh kawasan dan didalam hutan. Orang hutan dan Ku (phasianidae) dapat dilihat pada waktu-waktu tertentu saja. Selain keanekaragaman flora dan fauna, bentang alam di kawasan Tangkahan baik yang berada di dalam maupun di luar Taman Nasional Gunung Leuser merupakan pula sumberdaya yang dapat dijadikan aset bagi pengembangan kepariwisataan. Hutan yang alami dan asri, perkebunan kelapa sawit dan karet yang menghijau serta perkebuanan jeruk manis yang indah ditambah suasana pedesaan yang sejuk dan tenang, merupakan sumberdaya alam yang sangat dapat diunggulkan, disamping sungaisungai yang mengalir jernih, bukit dan tebing, goa-goa alam, lembah, air terjun dan air panas sebagai bagian dari sumberdaya alam yang akan melahirkan inspirasibagi wisatawan dan tentunya merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung kelak. Kawasan Tangkahan memang memiliki bentuka-bentukan alami yang dapat menjadi potensi kepariwisataan khususnya ekowisata. Beberapa potensi andalan seperti sumber mata air panas di Sei Beluh, Sei Sekucip, dan Sei Glugur, Air Terjun Umang, Air Terjun Gambir, Gua dan Tebing merupakan daya tarik tersendiri yang sangat dapat diandalkan bagi pengembangan kawasan Tangkahan sebagai kawasan wisata nantinya. Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) pernah mengidentifikasi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
obyek wisata alam dan wisata minat khusus lainnya di kawasan Tangkahan yang berjumlah tujuh belas buah obyek wisata yaitu :
No. 1.
Nama Objek wisata Air Terjun Sungai Buluh
2.
Air Panas Sungai Buluh
3.
Air Terjun Sungai Garut
4.
Air Terjun Sungai Umang
5.
Air Terjun Tala-Tala
6.
Air Terjun Grogoh Kiri
7.
Air Terjun Batak
8.
Air Terjun Cengke-Cengke
9.
Air Terjun Murbe
10.
Air Terjun Alor Grogoh Kanan
11.
Air Terjun Sungai Gambir
12.
Air Terjun Alur Simpang Kanan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
13.
Air Terjun Alur Simpang Kiri
14.
Goa Kalong
15.
Goa Sungai Putih
16.
Air Panas Sekucip
17.
Air Panas Sungai Glugur. Tabel 4 : Sumber LPT
Sumberdaya alam yang luar biasa ini diyakini dapat dikembangkan menjadi obyek wisata alam dan ekowisata yang potensial, meskipun mungkin tidak secara keseluruhan dalam waktu yang bersamaan, mengingat dan mempertimbangkan sarana dan prasarana pendukung dari setiap kawasan obyek tersebut berada disamping prioritas pengembangan obyek-obyek tersebut harus pula disesuaikan dengan prioritas pengembangan kawasan. Melihat kekayaan sumberdaya alamnya yang sangat tinggi dan partisipasi masyarakat yang sangat sadar akan potensi tersebut, wajarlah kiranya kawasan Tangkahan direncanakan sebagai salah satu kawasan tujuan wisata baik bagi wisatawan mancanegara maupun wisatawan lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 10 : Peta Potensi SDA Tangkahan (Sumber LPT)
e. Kearifan Tradisional dan Peranannya Pada dekade belakangan ini banyak negara berkembang termasuk Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah yang sulit dalam mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi yang tinggi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan memerlukan suplai sumberdaya, sementara pada saat yang sama harus mengupayakan kelestarian lingkungan, baik yang dapat diperbaharui (renewable resources) maupun sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources). Memang kalau kita ingat, sejak tahun 1965 – 1967 saatnya kejatuhan pemerintahan Soeharto dan bergulirnya era reformasi, Indonesia sempat mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi yakni rata-rata tujuh persen pertahun, namun tujuan yang lainnya seperti pemerataan distribusi pendapatan, baik antargolongan penduduk maupun antardaerah belum menunjukkan hasil yang diinginkan. Kondisi ini menimbulkan sinyalemen di antara para pakar ekonomi pembangunan yang mengatakan adanya ketidakmampuan pendekatan pembangunan yang konvensional, yaitu konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan konsep trickling down effect (efek pertumbuhan yang menetes ke bawah) yang gagal mewujudkan pemerataan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pertumbuhan terjadi sesuai harapan namun sebagian besar dinikmati oleh yang memang sudah kuat perekonomiannya, sedangkan yang lemah tetap lemah, yang miskin tetap miskin dan malah bertambah miskin, karena adanya persaingan antara yang kuat dan yang lemah, di samping lahirnya masyarakat-masyarakat yang termaginalisasi. Menyadari adanya kelemahan yang mewarnai pendekatan pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini muncullah berbagai konsep pembangunan alternatif seperti ecodevelopment dan sustainanble development. Pendekatan pembangunan ekologi –ecodevelopmentadalah konsep yang memandang keberlanjutan pembangunan dari sudut sejarah kebudayaan masyarakat tertentu, keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat biasa, ethno-ecology, dan keadaan alam yang mewarnai ekosistem setempat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tinggal dalam lingkungan tersebut. Konsep pembangunan ini tidak menolak kehadiran sumberdaya dari luar masyarakat tertentu, namun bagaimana sumberdaya yang berasal dari luar dimanfaatkan sedemikian rupa agar tidak mengarah pada penyalahgunaan lingkungan setempat, dan pendekatan pembangunan ini sejalan dengan perekonomian indigenous yang aktifitas kesehariannya berdasarkan kepada kearifan lokal. Sementara disisi lain konsep pembangunan yang berkelanjutan berarti pembangunan yang dapat mendukung keberlanjutan kehidupan manusia dan proses untuk mencapai keberlanjutan pada suatu tempat tertentu, pada saat ini, untuk generasi sekarang dan generasi dimasa yang akan datang. Konsep ini mendekati pembangunan dari sudut masyarakat dan ekologi serta lingkungan fisik, dan konsep ini menggarisbawahi pentingnya kearifan lokal dan ekonomi indigenous sebagai acuan dasar dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu penemuan, penggalian dan pemahaman kearifan lokal dengan sistemnya yang terkait dengan masa lampau merupakan hal yang penting untuk membantu terwujudnya berbagai kebijakkan yang terkait dengan perencanaan untuk mencapai masa depan yang lebih menjanjikan. Memang sebagaimana disampaikan Todaro (2000), para ahli ekonomi masih menekankan tujuan ekonomi dan pembangunan pada pertumbuhan yang tinggi, namun mereka
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pun telah sepakat untuk menyempurnakan pendekatan perhitungan Gross National Product (GNP) dalam menilai keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara agar mencerminkan keadaan yang sebenarnya, seperti dalam perhitungan GNP dan penilaian kemerosotan kualitas lingkungan yang selama ini belum diperhitungkan akan dipertimbangkan sebagai biaya yang harus dihitung dalam perhitungan GNP. Pembangunan tidak dapat dikatakan berkelanjutan apabila pembangunan tersebut tidak memperhitungkan nilai-nilai budaya yang dipercaya dan dijadikan landasan dan pegangan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dimana pembangunan tersebut dilaksanakan. Pembangunan hendaknya harus memperhitungkan nilai budaya masyarakat serta dapat melestarikan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat yang dapat diwujutkan sebagai suatu kompleks gagasan, konsep dan pikiran manusia; sebagai suatu kompleks aktivitas, dan sebagai suatu wujud fisik atau benda yang menurut Koentjaraningrat (1992) ada tujuh unsur kebudayaan secara universal yakni : bahasa, sistem teknologi, sistem matapencaharian atau ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi dan kesenian. Dalam konteks pengembangan ekowisata pada tataran konsep pembangunan yang berkelanjutan maka sasaran pencapaian pertumbuhuan ekonomi menjadi sangat penting dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar manusia. Pencapaian tujuan ekonomi tersebut sedapat mungkin diusahakan merata keseluruh lapisan masyarakat atau stakeholder yang mendukung pembangunan tersebut sesuai dengan kontribusinya masing-masing yang berpartisipasi dalam setiap proses pembangunan. Di samping itu konsep ekowisata yang mengedepankan prinsip konservasi perlu dilakukan secara terintegrasi agar pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Lingkungan fisik merupakan sumber bahan baku yang diperlukan dalam pembangunan ekonomi, dan berkelanjutan pertumbuhan ekonomi akan terwujud apabila suplai bahan baku yang bersumber dari alam/lingkungan tetap terjamin kelestariannya, dalam pengertian bahwa sumberdaya alam yang diperbaharui (renewable resources)
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
hendaknya dipakai sebanyak kemampuan untuk memperbaharuinya, dan sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources) hendaknya dipakai sehemat mungkin. Pada sisi lain, tanggung jawab upaya pelestarian kebudayaan sangat perlu dipertimbangkan agar pencapaian tujuan pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan dapat berlangsung secara berkelanjutan dalam jangka panjang. Kebudayaan masyarakat yang sedang membangun atau dibangun dengan pendekatan penggalangan pelibatan masyarakat harus dipertimbangkan keberlanjutannya terlebih dalam sektor perekonomian seperti industri kecil, kepariwisataan, maupun pertanian. Karena tanpa
adanya
keberlanjutan
budaya,
maka
sektor-sektor
tersebut
mustahil
pula
terjamin
keberlanjutannya. Sebagaimana kita ketahui, sektor-sektor tersebut akan sulit berkembang tanpa adanya kepercayaan dan inspirasi yang sangat kuat dan tajam dari segi agama maupun tradisi setempat. Dalam pembangunan dan pengembangan berbagai sektor perekonomian daerah,peran lembaga-lembaga sosial/adat masyarakat setempat sebenarnya sangat dominan. Dalam pengembangan kepariwisataan misalnya, hasil kebudayaan dan kehidupan masyarakat dapat dijadikan sebagai modal dasar, yang berfungsi sebagai daya tarik wisata. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan di Bali (Tjatera, 2000) misalnya menyimpulkan bahwa lembaga adat seperti Subak, Banjar dan Sekeke, sangat berperan dalam usaha melestarikan lingkungan, dan budaya dalam berbagai kegiatan pembangunan pertanian dan pariwisata yang ada di lingkungan desanya. Lembaga-lembaga adat dalam berbagai kegiatan pembangunan akan berperan sebagai pemantau pelanggaran norma dan tradisi yang berlaku di lingkungan desa. Lembaga adat yang kaya dengan kearifan tradisional dan yang relevan dengan lingkungan sekitarnya patut dilibatkan dalam proses penyusunan perencanaan, pelaksanaan rencana, sampai kepada pemamntauan pelaksanaan pembangunan, serta penikmatan hasilnya sesuai dengan kontribusi yang disumbangkan dalam rangkaian kegitan tersebut.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pembangunan dimana pun memang akan melahirkan perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang terjadi pada aspek kebudayaan. Oleh karena itu perlu pula disosialisasikan kepada masyarakat setempat bahwa setiap pembangunan akan mengakibatkan perubahan dan masyarakat tersebut harus dapat sepakat untuk menerima perubahan tersebut. Hanya saja masyarakat hendaknya harus dapat mengendalikan perubahan tersebut, sehingga dampak negatif yang cenderung muncul dapat ditekan seminimal mungkin, karena memang pada dasarnya kebudayaan akan tetap dinamis, berubah dan berkembang. Dalam konteks ini maka, pengembangan pariwisata yang membungkus aktifitas pertanian maupun industri kerajinan serta segala aspek yang berhubungan dengan kepariwisataan harus tetap infrastruktur berlandaskan budaya masyarakat setempat yang sarat dengan kemasan kearifan tradisional tetap tidak akan terdapat dari berbagai pengaruh negatif. Namun demikian , gejala ketercemaran ini harus disikapi secara arif dan bijaksana, dengan tetap mengacu pada kearifan tradisional, serta tetap mempertimbangkan partisipasi masyarakat dan lembaga adat sebagai pengusung kearifan tradisional dalam proses perencanaan pengembangan ekowisata di Tangkahan, Langkat. Agar sasaran dan tujuan pembangunan dapat dicapai dengan baik, sesuai dengan aspirasi masyarakat dan program pemerintah, maka organisasi terbawah di desa dan di pihak pemerintahan harus memiliki akses yang seimbang dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan rencana pembangunan untuk mencapai dan mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Kelembagaan tradisional yang langsung melayani kebutuhan masyarakat serta memberikan tempat bagi aspirasi yang dimilikinya sudah waktunya untuk dipertimbangkan ke dalam proses perencanaan pembangunan pedesaan, dalam hal ini pengembangan objek ekowisata. Apabila hal ini dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan, maka pengembangan ekowisata yang berkelanjutan akan dapat terwujud pada tingkat nasional dengan bertindak sesuai dengan kearifan tradisional. Apabila suatu rencana dirumuskan dari bawah dan diintegrasikan ke dalam proses perumusan rencana ke tingkat kecamatan, kabupaten, dan provinsi atau ke tingkat nasional, maka pada saatnya akan dapat mewujudkan rencana yang realistik di tingkat yang lebih tinggi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pendekatan partisipatif dalam proses perencanaan memang telah diterima secara luas dibanyak negara berkembang maupun negara maju, dan di Indonesia pun sebetulnya konsep partisipatif ini sudah lama berjalan meskipun mungkin kadang seolah tertatih-tatih dan ragu-ragu seperti yang ditunjukkan lembaga-lembaga nasional di tingkat desa-desa yang selama ini kita ketahui cukup berperan memberhasilkan berbagai program pemerintah. Perencanaan pembangunan perlu menekankan pentingnya pelibatan masyarakat setempat, mulai dari perumusan rencana sampai pengawasan pelaksanaannya, dan untuk pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan perlu pula dilakukan pendelegasian kewenangan kepada kelembagaan yang paling bawah di desa, termasuk lembaga adat. Pendelegasian kewenangan akan dapat memberikan kebebasan kepada lembaga terbawah untuk merencakan dan melaksanakan rencana, program dan kegiatan pembangunan; karena lembaga adat memiliki jarak yang terdekat dengan anggota masyarakat. Pendekatan proses perencanaan dari bawah akan dapat memberi jalan kepada masyarakat setempat dalam merencanakan pemenuhan kebutuhannya atas dasar ketersediaan sumberdaya di lingkungannya. Perencanaan dari bawah memungkinkan suatu rencana yang mendekati kenyataan, realistik, layak, tidak terlalu mahal, mudah dilaksanakan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping itu, secara berkelanjutan lembaga dengan kebudayaanya tetap hidup karena bermakna dan berfungsi dalam kehidupan sehari-hari anggota masyarakatnya. Karena sebagaimana diketahui bahwa keikutsertaan/keterlibatan, partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan merupakan tradisi yang populer, yang menjiwai kegiatan lembaga tradisional. Partisipasi anggota masyarakat dalam kegiatan lembaga sesuai denga proses yang telah disepakati sesuai dengan budaya, dan berdasar kepada hak masing-masing. Fenomena ini ternyata sesuai dan setara untuk mendukung konsep pembangunan berkelanjutan bagi perbaikan kehidupan manusia yang dikeluarkan oleh Komisi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan --World Commision on Enviroment and Development (WCED) melalui Our Common Future (1987) yang berisi konsep dan karangka berpikir mengenai pembangunan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang berkelanjutan, yang juga mempertegas pentingnya pelibatan/partisipasi masyarakat melalui lembaga tradisional sebagai pengusung kearifan tradisional (indigenous knowledge) dalam proses perencanaan dari bawah ke atas, sebagai prasyarat terwujudnya perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Uraian ini memberikan gambaran bagaimana seharusnya eksistensi dan peran dan dapat dilakukan oleh kearifan tradisional dalam proses pembangunan di daerah. Kearifan tradisional memang harus tetap digali, dipelajari dan diakomodir meskipun eraglobalisasi menghantam semua aspek dalam proses pembangunan. Pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan akan berhasil apabila perencana mampu mengembangkan pengetahuan yang berdasarkan pada prioritas masyarakat lokal serta menciptakan teknologi yang mensinergikan pendekatan tradisional dengan teknologi modern dalam pemecahan suatu masalah. Oleh karena itu kearifan tradisional perlu untuk ditelusuri kembali karena bermanfaat dalam proses perencanaan pembangunan dari bawah ke atas sebagai pendekatan alternatif untuk mewujudkan perencanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, mensinergikan budaya dan kearifan tradisional --indigenous knowledge-- ke dalam perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan, Langkat untuk mewujudkan pembangunan berkualitas yang tidak hanya mengejar keuntungan materi semata. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan merupakan salah satu jawaban atas perubahan trend kepariwisataan dunia, di samping itu kerentanan kualitas sumberdaya manusia, adanya kekhawatiran bergesernya nilai-nilai budaya semisal bentuk-bentuk kesenian tradisional, kerajinan, seperti pengobatan dan obat-obat tradisional serta berbagai pengetahuan tradisonal masyarakat lokal lainnya. Pengkonsentrasian ekowisata di kawasan Tangkahan sangat beralasan mengingat kegiatan ekowisata memang dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip konservasi dan pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itulah pengembangan ekowisata berbasis komunitas salah satunya bertujuan untuk
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan kawasan karena bagaimanapun masyarakat lokal lebih memiliki tanggung jawab dan kearifan tradisonal dalam mengolah sumberdaya yang ada di tempat mereka hidup. Hal ini juga didasari oleh asumsi bahwa kesiapan masyarakat lokal merupakan faktor utama yang dapat menjadi landasan dan fondasi yang cukup kuat dalam mengembangkan suatu objek kepariwisataan. Masyarakat lokal adalah pihak yang paling tahu kondisi wilayahnya dan mereka adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas semua sumberdaya yang ada di daerahnya. Sumberdaya pedesaan berkaitan secara langsung dengan kehidupan mereka, dan apabila sumberdaya tersebut rusak merekalah pihak yang paling terganggu dan generasi mendatang pun tidak akan dapat lagi menikmati kehidupannya dengan baik lagi. Oleh karena itulah aspirasi masyarakat lokal harus di dengarkan karena mereka adalah pihak yang sudah memiliki pengetahuan dan kebiasaan dalam mengolah sumberdaya alam di daerahnya. Pengetahuan dan kebiasaan ini diperoleh berdasarkan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun, dan atas dasar pengetahuan dan pengalaman itu pulalah masyarakat lebih sangat memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan memanfaatkan potensi daerahnya dengan prinsip ramah lingkungan yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, budaya dan religius. Kearifan tradisional masyarakat merupakan proses adaptasi yang harus dipertimbangkan dan diangkat dalam proses pengembangan ekowisata. Kearifan tradisional adalah bagian dari kekayaan budaya bangsa yang perlu untuk tetap dilestarikan dan dikembangkan untuk dapat memberikan manfaat dan keuntungan sebesar-besarnya bagi kehidupan umat manusia saat ini maupun untuk generasi mendatang. Bagi masyarakat Tangkahan, harmonisasi kehidupan yang mereka jalani selama ini pun sebenarnya merupakan hasil dari pengejawantahan pola hidup yang selalu dilandasi oleh elemenelemen kearifan tradisional yang mereka miliki. Kehidupan mereka yang jauh dari aktivitas modernisasi perkotaan membentuk hubungan mereka dengan alam dan budayanya menyatu dan saling meleingkapi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari yang sebagainnya mereka dapatkan dari lingkungan alamnya seperti ikan dari sungai atau pun sayuran dan buah dari kesuburan tanah tempat mereka tinggal bukanlah merupakan sebuah bentuk kegiatan yang berlebihan yang dapat merusak tatanan ekosistem secara ekologis, namun tak lebih daripada aktivitas keseharian yang berlangsung normal dan wajar tanpa adanya pretense negatif dan arogansi sebagai pemilik kawasan potensial. Pemanfaat hasil sungai seperti penangkapan ikan misalnya selalu mereka lakukan dalam batas-batas kebutuhan sehari-hari dan dengan perilaku sebagaimana yang diajarkan secara turun-temurun tanpa merusak tatanan ekosistem sesame makhluk hidup. Perilaku dan kebersahajaan terpuji ini sangat dapat menyentuh nurani kita sebagai bagian dari masyarakat kota yang cenderung individualis--kurang peduli pada keterkaitan dan hubungan antar sesame makhluk untuk hidup berdampingan dengan aman dan damai. Sebagai contoh misalnya, betapapun mereka sangat membutuhkan ikan untuk dikonsumsi namun tidak dengan serta merta mereka menyerbu lubuk-lubuk di sungai yang menawarkan beragam ikan. Masyarakat lokal sangat mengenal pola hidup ikan-ikan yang akan mereka tangkap tanpa mengusik dan merusak habitatnya sesuai dengan prinsip keberlanjutan yang didengung-dengungkan para pakar pembangunan saat ini. Antusiasme eksploitasi sama sekali tidak terpancar dari wajah dan gerak-gerik mereka meskipun puluhan jurung bersileweran di hadapan mereka, begitu juga dengan cericit dan siulan burung-burung yang setiapo pagi menghiasi pendengaran mereka tidaklah membuat masyarakat lokal serta merta bersiap-siap memasuki pinggir sugai dan hutan dengan senapan atau ketapel yang melumpuhkan. Semua berjalan sangat wajar dan seadanya. Kearifan tradisional sebenarnya merupakan salah satu elemen budaya masyarakat lokal yang sangat dapat diandalkan sebagai bagian dari upaya pengembangan kawasan objek wisata Tangkahan. Tradisi pengobatan yang dilakukan oleh seorang dukun kampung juga masih dapat disaksikan dan dialami oleh wisatawan yang berkunjung di kawasan tersebut.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Banyak sebenarnya bentuk-bentuk kearifan tradisonal yang dimilki oleh masyarakat Tangkahan yang dapat dijadikan sebagai objek daya tarik ekowisata dalam rangka pengembangan kawasan tersebut. Kegiatan metar sebagai tradisi menangkap ikan di sungai merupakan pula salah satu kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat setempat yang tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan salah satu contoh pemanfaatan sumberdaya alam yang secara lestari tetap melindungi ekosistem sebagaimana disuarakan para aktifis lingkungan sekarang. Secara filosofis kegiatan metar mengandung upaya pemanfaatan sumberdaya alam bagi kebutuhan saat ini tanpa merusak habitatnya untuk dapat dimanfaatkan bagi generasi yang akan dating secara berkelanjutan. Pengenalan mereka terhadap perilkau dan pola hidup ikan yang mereka buru di sungai benar-benar menunjukkan tanggungjawab mereka terhadap keberlanjutan kehidupan dan tatanan ekosistem yang sudah mendarahdaging sejak lama. Di samping tradisi metar, masyarakat Tangkahan yang mengelola kawasan ekowisata sudah pula mulai menerapkan tradisi “lubuk larangan” dalam upaya menunjang pengembangan peternakan ikan dengan prinsip konservasi dan system budaya yang berlaku di tempat tersebut, sebagaimana layaknya kita lihat di daerah Tapanuli Selatan ataupun Mandailing. Pengembangan “lubuk larangan” dilakukan untuk terus mendidik masyarakat setempat dalam hal pemberdayaan masyarkat serta pemanfaatan sumberdaya bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat secara harmonis. Pada sisi lain hutan-hutan Tangkahan dengan pohon-pohon besar yang siap menghasilkan balok-balok berharga yang selalu menjadi intipan pembalak-pembalak hutan, serta pohon-pohon kecil semisal berbagai jenis bunga maupun tumbuhan penghasil rempah tidaklah membuat masyarakat setempat tergiur untuk mengeksploitasinya. Bahkan di satu sisi masyrakat setempat sangat menjaga dan melindungi sumberdaya alam untuk pelestarian ekosistem dengan kesadaran yang tinggi. Kesadaran dan komitmen masyarakat terhadap upaya pelestarian ini tidak terlepas dari peranan aktifis-aktifis
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
lingkungan yang membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang kemudian mengelola kawasan sebagai objek wisata.
f. Kelembagaan dan SDM Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) adalah sebuah lembaga masyarakat lokal yang dibentuk berdasarkan kesepakatan bersama masyarakat desa Namo Sialang dan masyarakat Sei Serdang, Kecamatan Batang Serangan. Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dibentuk atas dasar kesadaran masyarakat untuk bisa memperoleh kegiatan yang bermanfaat sebagai salah satu solusi alternatif peningkatan sektor ekonomi keluarga. Sebagaimana diketahui sebelum tahun 2000 sebenarnya kegiatan perburuan dan penebangan kayu secara liar juaga terjadi di kawasan Tangkahan dan Taman Nasional Gunung Leuser. Melihat keadaan kegiatan liar ini beberapa aktifis lingkungan mempelopori pendekatan kepada masyarakat serta memberi motifasi agar perburuan dan penebangan kayu secara liar ini dihentikan. Masyarakat malahan diajak untuk sama-sama menjaga kawasan dari intervensi pihak luar bagi kegiatan pembalakkan yang dapat menimbulkan bencana dan malapetaka sembari mengajak masyarakat memikirkan dan memusyawarahkan alternatif kegiatan. Oleh karena itulah pada tanggal 20 April 2001 masyarakat dan aktifis-aktifis lingkungan sepakat membentuk Lembaga Pariwisata Tangkahan yang bertujuan untuk merencanakan dan mengelola kawasan Tangkahan sebagai objek ekowista. Gerakan alternatif ini mereka harapkan untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan memberi solusi bagi permasalahan yang ada, yakni di satu sisi sebagai upaya pelestarian hutan dan Taman Nasional Gunung Leuser, dan di sisi lain dalam rangka pemberdayaan dan penguatan perekonomian masyarakat lokal.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) menetapkan pengembangan Tangkahan sebagai objek ekowisata karena mereka berkeyakinan bahwa kegiatan ekowisata akan mampu mengajak dan melibatkan semua pihak untuk bekerja sama, mengedepankan sisi kemanusiaan, memelihara dan meningkatkan aspek sosial dan budaya masyarakat. Sejak tahun 2001 semakin nyatalah peran Lembaga Pariwisata Tangkahan ini dalam upaya pengembangan kawasan tersebut sebagai objek ekowisata di samping upaya pengkonservasian. Mereka kemudian membentuk beberapa divisi untuk operasional kegiatan, serta mendirikan sekretariat yang salah satu fungsinya untuk mendokumentasikan segala kegiatan yang pernah dilakukan yang berhubungan dengan Tangkahan. Di samping itu LPT juga mendidik anggotanya sebagai pemandupemandu wisata maupun tim penyelamat (SAR) yang siap membantu dan mengawasi segala kegiatan yang berhungan dengan aktivitas ekowisata, dan juga menjalin hubungan kemitraan dengan LSM lokal maupun internasional, serta upaya promosi melalui pameran, kegiatan seminar, promosi melalui media cetak dan televisi maupun melalui internet yang dapat diakses secara luas. Lembaga Pariwisata Tangkahan yang setiap tahunnya mengadakan kongres rakyat di kawasan tersebut juga terus melakukan kerja sama dengan lembaga-lembaga lain yang ada di tingkat desa seperti dengan ormas-ormas lokal, organisasi kepemudaan lokal, kerukunan warga-warga adat Karo, kerukunan adat Jawa, persatuan gereja, persatuan remaja mesjid, perwiritan, maupun lembaga pemberdayaan masyarakat desa, dengan ibu-ibu PKK dan Badan Penasihat Desa. Perlu pula diinformasikan pada tahun 2006 ini Lembaga Pariwisata Tangkahan melakukan kerja sama dengan pihak INDECON untuk mendidik dan melatih masyarakat setempat dalam kegiatan industri rumah tangga pembuatan kerajinan/souvenir sebagai salah satu upaya pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Pelatihan yang dipandu oleh instruktur kerajinan dari daerah Yogyakarta ini khusus didatangkan kekawasan Tangkahan untuk memahami kondisi sosial-budaya masyarakat sebagai upaya apresiasi untuk membangun inspirasi masyarakat mengekspresikan gagasan dan ide-idenya melalui seni
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kerajinan/souvenir untuk meningkatkan daya tarik kawasan. LPT tidak menutup kemungkinan untuk bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain yang telah ada di desa untuk bersama-sama meningkatkan kapasitas masyarakat dan juga kesejahteraan.
BAB V
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
ANALISIS PENGEMBANGAN DAN PAKET WISATA BERBASIS KOMUNITAS
Pariwisata merupakan industri tercepat dan terbesar yang mengalami pertumbuhan. Menurut data yang dihimpun oleh Kementrian Kebudayaan Dan Pariwisata Repiblik Indonesia, tercetat pengeluaran dibidang pariwisata pada tahun 2000 mencapai 4,2 triliun dollar Amerika . Pariwisata juga merupakan salah satu industri terbesar yang menyediakan lapangan pekerjaan yaitu sekitar 10% dari seluruh pekerjaan ditingkat global (Mc. Loren , dalam Rethiaking Tourism and Ectroravel, 1998), dan WTO juga memperhitungkan wisata alam berkembang hingga 7% dari seluruh perjalanan wisata internasional.(Linberg dalam : Ecotourism : A Guide for Planner and Manager , Vol 2 , 1997) The World Resources Institute (1990) menyatakan ketika perkembangan pariwisata secara umum tumbuh hingga 4%, wisata alam tumbuh 10-30 % pertahunnya. Data penunjang mengenai tingkat pertumbuhan ini diperoleh dari survei mengenai tour operator di wilayah Asia Pasifik yang mengalami tingkat pertumbuhan (pertahun) 10-25% dalan tahun-tahun terakhir ini. WTO dalam Yearbook of Tourism Statistic (1998) menyatakan bahwa ekowisata dan semua kegiatan wisata yang berhubungan dengan alam diperkirakan tumbuh sekitar 20% dari total perjalanan internasional. Jumlah ini belum termasuk wisatawan domestik yang melakukan perjalanan ke alam. Para ekotouris berdasarkan hasil survey di negara-negara beriklim tropis seperti di negara kita, menunjukkan bahawa mereka adalah orang-orang berpendidikan (82%), 50% melakukan perjalanan antara 8-14 hari, bersedia membayar tinggi untuk memuaskan keingintahukan tentang alam, satwa, tumbuhan maupun budaya serta mendapatkan pengalaman yang orisinal. Melihat profil ekotouris dan jenis kegiatan yang diinginkan, maka pangsa pasar ekowisata Indonesia sangat terbuka dan memiliki peluang besar untuk bersaing di tingkat regional. Indoneia merupakan negara “ Megadiversity” yang memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitas yang tinggi, memiliki potensi pariwisata yang sangat besar.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Dalam rangka memanfaatkan seluruh potensi tersebut secara optimal sebagai daya tarik utama pariwisata, maka perlulah dilakukan perencanaan-perencanaan pengembangan kepariwisataan dengan lebih terarah. Yoeti (1997) mengemukakan bahwa perencanaan pariwisata hendaknya harus sejalan dengan sasaran yang hendak dicapai. Keputusan pertama yang harus diambil oleh suatu daerah ialah apakah sudah ada kesepakatan antar pemukan/pejabat setempat bahwa daerah itu akan dikembangkan menjadi suatu obyek wisata atau suatu daerah tujuan wisata. Kalau demikian halnya, apakah manfaat dan keuntungan langsung bagi penduduk si sekitarnya sehingga pengembangan pariwisata selanjutnga akan mendapat dukungan dari masyarakat banyak. Menurut Nasikun (1999) dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, keterlibatan komunitas di dalam perencanaan dan pengedalian pelaksanaan pembangunan pariwisata merupakan syarat yang paling esensial. Sementara Pitana (1999) menyatakan bahwa agar masyarakat dapat secara langsung berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan kepariwisataan maka jenis kepariwisataan yang harus dikembangkan adalah pariwisata kerakyatan. Partisipasi harus diartikan sebagai keterlibatan secara aktif dalam setiap proses, mulai dari perencanaan, penetuan rancangan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan dan penikmatan hasilnya. Kebijakan pembangunan kepariwisataan pada masa-masa yang lalu yang mengacu kepada pendekatan advocancy yaitu pendekatan yang lebih berorientasi pada keuntungan ekonomi, telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bahwa pariwisata tidak saja membawa berkah, tetapi juga musibah. Kenikmatan meraup dollar bagi semua pihak/insan pariwisata kerap juga disertai dengan kerugian-kerugian sosial budaya, bahkan juga lingkungan. Oleh karena itulah perencanaan pengembangan pariwisata ke depan haruslah dilandasi oleh tiga aspek pokok yang paling mendasar yakni aspek lingkungan (eco), aspek manusia atau masyarakat (socio), dan aspek budaya (cultural). Ketiga aspek tersebut haruslah merupakan suatu kesatuan integral dan memiliki hubungan timbak balik
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang saling mempengaruhi. Berdasarkan ketiga aspek pokok itu pulalah maka potensi yang dapat dikembangkan dalam rangka pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan, Kabupaten Langkat meliputi berbagai jenis potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusaia dan sumberdaya budaya. Disamping itu, masyarakat setempat di kawasan Tangkahan merupakan pemegang hak atas kekayaan sumberdaya alam dan budaya setempat merupakan pula pemegang peran sentral dalam pegembangan dan pengelolaan kepariwisataan. Oleh karena itu diperlukan hubungan kerjasama dengan pihak-pihak pengusaha pariwisata yang berperan sebagai mitra usaha, serta peran fasilisator sekaligus kontrol dari lembaga-lembaga pemerintah. Dengan demikian pengembangan diharapkan mampu memberikan manfaat bagi pemberdayaan masyarakat khususnya dalam hal pengelolaan sektor kepariwisataan, peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat, keberlanjutan konservasi bagi keberadaan potensi ekologis dan kelestarian keberadaan sistem sosial-budaya masyarakat setempat. Pengembangan ekowisata pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hubungan manusia, meningkatkan kualitas hidup penduduk setempat serta juga untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Dalam konteks pengembangan ekowisata di suatu kawasan maka kawasan tersebut mutlak harus memiliki sumberdaya kepariwisataan, karena seluruh sumberdaya tersebut merupakan potensi yang menjadi modal utama bagi pelaksanaan proses pengembangan objek wisata, dan sebaliknya pula berbagai sumberdaya tersebut hendaknya dapat pula diberdayakan agar memberikan manfaat bagi masyarakat setempat khususnya. Oleh karena itulah beberapa kriteria dalam pengembangan wisata alternatif harus menjadi perhatian utama, sebagaimana disampaikan O’Crady (dalam Kodyat, 1997) : a. Decision making about the from of tourism in any place must be made in consultation with the local people and be acceptable to them. b. A reasonalble share of profits derived from tourism must return to the people
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Tourism must be based on found enviromemtal and ecological principles, be sensitive to local culture and religious traditions and should not place any members of the host community in a position of inferioity. d. The mmbers of tourists visitins any area should not be such thay overwhelm the local population and dery the possibility of genuine human resource. Dalam paradigma pengembangan wisata alternatif masyarakat setempat harus dilibatkan sehingga kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat, sekaligus lingkungan alam dan budayanya akan lebih terjaga serta terpelihara kelestarian dan keberlanjutannya. Dengan pemberdayaan berbagai sumber budaya/wisatayang ada di daerahnya tersebut, maka pengembangan objek wisata diharapkan dapat memberi bentuk kepariwisataan yang lebih berkualitas, memberi kepuasan dan pengalaman serta memberi keuntungan kepada pihak-pihak yang terlibat. Oleh karena itulah diperlukan suatu perencanaan yang tepat dan akurat yang diharapkan untuk dapat menciptakan produk kepariwisataan yang berkualitas. Dalam pengembangan ekowisata pada suatu kawasan harus pula dipahami kondisi internal kawasan tersebut yang dapat diidentifikasi melalui data-data baik primer maupun sekunder, seperti kondisi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya, yang merupakan tiga aspek modal utama pengembangan kawasan kepariwisataan, terutama bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan/pengembangan masyarakat. Ekowisata sebagai salah satu bentuk pariwisata alternatif membutuhkan strategi yang tepat dalam perencanaannya agar sumberdaya alam dan sumberdaya budaya yang ada dapat dimanfaatkan dan diberdayakan secara seimbang. Sementara keterlibatan masyarakat setempat akan dapat dilakukan secara langsung dan aktif apalagi potensi masyarakat dengan segala kearifan tradisionalnya (traditional knowledge) dapat digali dimanfaatkan secara bijaksana. Kearifan tradisional sebagai bagian dari budaya masyarakat setempat sungguh dapat dijadikan sebagai pendukung dan daya tarik objek wisata di
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan. Hal ini tentu sejalan dengan kemauan kita bahwa pariwisata dan budaya harus dapat berjalan seiring secara harmonis sebagai salah satu upaya penggalian tradisi sebagai sumberdaya yang dapat diandalkan sesuai dengan pandangan kaum Struktural Fungsional bahwa kebudayaan dapat berlangsung secara kontiniu apabila masyarakat pendukung kebudayaan tersebut masih merasakan fungsi dari kebudayaan tersebut. Perencanaan yang strategis dalam rangka pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan haruslah memandang dua sisi yang saling terkait sebagai bentuk program pembangunannya yaitu pembangunan yang bersifat fisik dan nonfisik yang dimaksudkan untuk menunjang kelayakan dan daya tarik kawasan agar mampu menawarkan kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan.
5.1 Kebijakan Pemerintah Kabupaten Langkat Terhadap Pembangunan Kawasan
Ekowisata
Tangkahan Perencanaan pengembangan suatu kawasan ekowisata sebenarnyalah bukan merupakan hal yang mudah. Selain diharapkan memberi peningkatan kepuasan bagi pengunjung (wisatawan), kegiatan ekowisata diharapkan pula mampu memberhasilkan usaha-usaha lokal dengan baik serta tetap melindungi sumberdaya sebagai aset pariwista, dan mengembangkan kesatuan wilayah dan masyrakat. Dalam dialog yang dilakukan dengan instansi pemerintah Kabupaten yang terkait diperoleh data bahwa kawasan Tangkahan memang belum memiliki rencana tata ruang kawasan yang diperuntukkan bagi pengembangan objek ekowisata. Kenyataan ini sesuai pula dengan data dari Badan Perencena Pembanguna Daerah Tingkat Kabupaten, bahwa program pengembangan kawasan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata belum teridentifikasi sebagai salah satu prioritas kawasan pengembangan, meskipun di sisi lain ada dukungan dari lembaga-lembaga terkait seperti pihak Taman Nasional serta pihak PTPN II, maupun pihak-pihak perseorangan yang memiliki lahan yang terkait dengan kawasan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Di samping itu beberapa lembaga swasdaya masyarakat bertaraf internasional sebenarnya sangat bersedia untuk berpartisipasi dalam kerangka pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata, seperti UML/YLI, INDECON, CI, yang terus membina masyarakat setempat melalui LPT maupun unit-unit kerjanya seperti Tangkahan Simalem Ranger yang merupakan wadah bagi mudamudi kawasan Tangkahan untuk terus menjaga, melestarikan dan mengembangkan Tangkahan sebagai kawasan ekowista. Sampai saat ini kelihatannya pihak pemerintah Kabupaten Langkat belum siap untuk mengakomodir aspirasi masyarakat lokal dalam rangka pengembangan kawasan Tangkahan, baik dalam bentuk peraturan di tingkat desa (PERDES) maupun tingkat Kabupaten (PERDA) yang sebenarnya telah pernah menyetujui perencanaan pembangunan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata (lihat Suhandi, 2002), padahal dukungan politis dari pemerintah Kabupaten sebenarnyalah merupakan kebutuhan yang mendasar bagi realisasi pengembangan kawasan secara partisipatif. Apalagi mengingat bahwa pada tahun 2003 yang lalu Dinas Pariwisata Kabupaten Langkat bekerja sama dengan Unit Manajemen Leuser (UML) sebenarnya telah menyusun Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) pengembangan kawasan ekowisata Tangkahan, Langkat (2003). Namun pada kenyataannya realisasi di lapangan tidak menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat sebagai pengelola langsung kawasan. Perencanaan pengembangan dengan pola kemitraan yang pernah dimusyawarahkan pada tahun 2002 yang menempatkan pemerintah kabupaten sebagai fasilitator, katalisator dan pembina bagi pengembangan ekowisata Tangkahan belum berjalan sebagaimana mestinya. Pengadopsian peraturan ditingkat desa (PERDES) di kawasan Tangkahan sebagai bahan peraturan daerah (PERDA) belum pernah terwujud secara nyata. Hal ini juga merupakan jawaban bahwa perencanaan pengembangan objek ekowisata Tangkahan belum merupakan agenda bagi Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) maupun Rencana Strategis Daerah (RENSTRA) Kabupaten Langkat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 12 : Sungai Hijau Kawasan Tangkahan (Sumber LPT)
5.2 Analisis Lingkungan Internal dan Eksternal Para perencana pembangunan pada dasarnya dapat memulai langkah awal dengan merumuskan visi dan misi melalui analisis lingkungan. Hal ini dilakukan biasanya untuk mengidentifikasi setiap isu strategis yang diperkirakan mempengaruhi kinerja dalam mencapai tujuannya. Analisis lingkungan dapat pula dipakai sebagai alat diagnosis untuk mengenali apa yang dibutuhkan oleh para perencana. Jaunch dan Glueck (1996) mengidentifikasikan strategi sebagai rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu ang mengaitkan keunggulan strategi perusahaan dengan tantangan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
(lingkungan) dan yang direncang untuk memastikan bahwa tujuan utama perusahaan dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat oleh perusahaan. Strategi berarti pula cara antisipatif yang harus ditempuh organisasi terhadap sejumlah persoalan dan peluang di masa depan dalam upaya mewujudkan visi melalui misi organisasi. Dalam rangka perencanaan pengembangan ekowosata berbasis komonitas di kawasan Tangkahan, perlu pula diantisipasi keadaan lingkungan internal dan eksternal untuk melihat sisi-sisi kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman. Penganalisisan lingkungan dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat kelayakan potensi wilayah untuk dikembangkan dan dimanfaatkan. Berdasarakan potensi, peluang, kelemahan, dan ancaman yang diidentifikasi akan dicoba membuat perencanaan pengembangan yang tepat sehingga pembangunan ekowisata diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada setiap unsur yang terlibat. Spesifikasi objek dan daya tarik wisata dalam dunia kepariwisataan merupakan unsure yang harus diperhatikan. Dengan ke khususan tersebut, potensi kepariwisataan di kawasan Tangkahan semakin memiliki kekuatan untuk menangkap berbagai peluang yang ada. Hal ini akan menjadi lebih semarak lagi manakala masyarakat juga turut berpartisifasi aktif membenahi dan melakukan pembangunan ekowisata yang berbasis komunitas tersebut. Dengan demikian upaya penciptaan dan pemerataan pendapatan bagi sebagaian besar penduduk akan terpenuhi. Keikutsertaan masyarakat dalam berbagai atraksi budaya, event dan aktivitas kepariwisataan lainnya semakin memperkaya khazanah kepariwisataan Kabupaten Langkat khususnya, terlebih bila potensi kekhasan Pariwisata tersebut tetap dibina, dipelihara, dikembangkan dan dilestarikan; karena sumberdaya merupakan aspek terpenting yang harus diperhitungkan apabila sebuah kawasan akan dkembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Kawasan Tangkahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya memang memiliki bentang alam, pegunungan, air terjun, goa, sumber mata air panas, sungai dan kekayaan flora dan fauna yang luar
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
biasa, yang merupakan kekuatan dari kawasan tersebut untuk dapat dikembangkan sebagai daerah tujuan ekowisata. Samapai saat ini kawasan Tangkahan merupakan salah satu kawasan wisata yang diminati dan dikunjungi oleh wisatawan domestic, dan ini membuktikan kawasan ini memiliki kekuatan untuk menarik wisatawan. Buku pemandu wisata Sumatera Utara juga telah merekomendasikan kawasan Tangkahan sebagai salah satu kawasan yang pantas untuk dikunjungi, terutama bagi wisatawan yang ingin menikmati alam dan kekayaan hutan hujan tropis. Kekuatan Tangkahan yang lain sebagai salah satu daerah tujuan ekowisata yang direncanakan dapat dikembangkan ialah adanya organisasi non pemerintah yang tertarik untuk melaksanakan kegiatan konservasi di kawasan tersebut, serta adanya institusi local yang berminat dan terus bertahan sampai saat ini untuk terlibat aktif menangani pengembangan ekowisata di Tangkahan, yakni Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang anggota dan pengurusya adalah masyarakat setempat. Disamping sumberdaya alam sebagai kekuatan alam, maka sumberdaya budaya masyarakat setempat merupakan pula kekuatan yang cukup potensial untuk menciptakan produk wisata yang sangat bervariasi, sehingga kawasan ekowisata ini nantinya mampu bersaing untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara, apalagi mengingat dari segi letak, kawasan Tangkahan dapat dikatakan cukup strategis, sehingga lokasi ini relatif mudah dijangkau dan berada pada jalur pasar yang telah ada. Kelemahan utama dalam mekanisme pengembangan bisnis kepariwisataan di daerah biasanya terletak pada rendahnya kualitas SDM masyarakat lokal yang dalam hal ini bertindak selaku unsure pokok pelaku pengembangan ekowisata berbasis komunitas. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia tersebut pastilah akan berpengaruh langsung pada kualitas pelayanan yang diberikan secara pribadi (person to person), sehingga tidak tertutup kemungkinan kondisi ini dapat menjadi faktor negative. Padahal
bertolak
dari
konsep
pembangunan
Pariwisata
berbasis
komunitas,
tingkat
kesadaranmasyarakat terhadap pentingnya pariwisata merupakan modal keberhasilan pengembangan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kepariwisataan di daerah. Sebab dengan latar belakang pendidikan yang memadai, masyarakat akan menjadi lebih sadar wisata, yang pada akhirnya akan melahirkan rasa memiliki terhadap objek dan daya tarik wisata tersebut. Perubahan mendasar dalam manajemen kepariwisataan global menuntut setiap insan pelaku bisnis kepariwisataan untuk menata kembali manajemen kepariwisataannya. Paradigma baru dalam dunia kepariwisataan lebih berkonsentrasi pada pemanfaatan objek dan daya tarik wisata yang dapat dinikmati dalam jangka panjang dan lestari. Namun pada kenyataannya juga aparatur instansi terkait belum dapat diharapkan turut berkiprah membenahi manajemen kepariwisataan di daerahnya. Secara jujur harus diakui bahwa SDM untuk kawasan Tangkahan merupakan salah satu sisi kelemahan yang terbesar, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan pengembangan kawasan objek wisata berbasis ekologi. Kelemahan lain berupa lemahnya infrastruktur pendukung, kondisi jalan yang rusak pada beberapa bagian, serta terbatasnya akses komunikasi telepon atau selular dari dan lokasi kawasan.
Produk-produk wisata yang ditawarkan juga belum belum dikemas dalam bentuk paket-
paket wisata yang sebenarnya harus mampu menarik minat wisatawan untuk dating, dan hal itu mungkin disebabkan juga karena kawasan Tangkahan belum pernah dipasarkan secara serius. Keterbatasan alokasi anggaran pembangunan/rutin
bagi pengembangan kepariwisataan daerah
mengakibatkan lemahnya promosi dan pelayanan system informasi kepariwisataan. Padahal peranan promosi sangat penting untuk meningkatkan persaingan di antara berbagai kawasan dan destinasi wisatawan. Kelemahan lain yang dapat diidentifikasi adalah terbukanya akses menuju Taman Nasional yang hanya dibatasi sungai Batang Serangan dan perkebunan masyarakat, padahal kawasan Taman Nasional merupakan daerah atraksi utama. Di Sumatera Utara umumnya kawasan wisata alam yang dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata sebenarnya cukup banyak, dan khusus di wilayah Kabupaten Langkat, maka salah satu yang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
selama ini cukup dikenal adalah kawasan wisata alam unggulan Bukit Lawang yang mengetengahkan berbagai potensi sumberdaya alamnya yang indah serta pusat rehabilitasi orang utan. Pada lima tahun berakhir ini kondisi kawasan Bukit Lawang sebagaimana diketahui benar-benar mengalami penurunan kualitas dalam semua sisi, terutama sejak terjadinya banjir banding yang meluluhlantakkan hamir semua sarana dan prasarana yang telah terbangun selama ini. Akibatnya Bukit Lawang mulai ditinggalkan para peminat dan wisatawan khusus. Kondisi buruk Bukit Lawang ini sebenarnya harus dicermati untuk merealisasikan pengembangan kawasan Tangkahan sebagai suatu prioritas pengembangan objek wisata alternatif. Kawasan yang didominasi oleh masyarakat etnis Karo ini sebenarnya membuka peluang untuk menjadikan daerah tersebut dibangun sebagai desa wisata yang bercirikan budaya dan adat-istiadat Karo, baik bangunan-bangunan yang secara fisik bercirikan arsitektur/ornament tradisional, maupun gambaran-gambaran sosio-budaya Karo yang dapat ditampilkan melalui tata cara/pola hidup masyarakat Karo, termasuk popularitas kearifan budaya “pengobatan tradisonal” yang sebenarnya masih terdapat di kawasan tersebut. Peluang lain ang dapat diidentifikasi ialah telah berlangsungnya proses pola kemitraan antar berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, pihak PTPN II, LSM dalam dan luar negeri, pihak TNGL, dan terpenting ialah terlibat aktifnya masyarakat setempat yang tergabung dalam Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) untuk mengelola dan mengawasi kawasan. Oleh karena itu pengembangan Tangkahan sebagai objek ekowisata dapat menjadi model pengembangan kemitraan bagi berbagai pihak nantinya. Sebagaimana diketahui dewasa ini dunia kepariwisataan telah mencoba mengembangkan paradigma pariwisata berkelanjutan yang secara sederhana bertumpu pada pilar-pilar kriteria : layak secara ekonomi (economically viable), pengemabangan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
(environmentally sustainable), dapat diterima secara social (socially acceptable) dan secara teknologi dapat diterapkan (technologically appropriate). Ketaatan terhadap azas-azas perencanaan merupakan kriteria utama konsep pembangunan Pariwisata berbasis komunitas, sementara prinsip pengembangann kepariwisataan dilakukan dengan berpijak kepada aspek-aspek pelestarian dan berorientasi kedepan (long term). Selain itu penekanan dilakukan pada nilai manfaat yang besar bagi masyarakat lokal, serta membangun keselarasan yang sinergis antara kebutuhan wisatawan, lingkungan hidup dan masyarakat lokal dengan bermuara pada pengembangan apresiasi yang lebih peka terhadap warisan budaya, lingkungan hidup, dan jati diri bangsa dan agama. Berdasarkan semua aspek itulah maka kawasan Tangkahan sangat berpeluang dikembangkan sebagai kawasan tujuan ekowisata, karena kualitas sumberdaya alamnya yang relatif orisinal dan asri dan sangat terjaga dari segala bentuk kerusakan/pencemaran. Sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Lauser (meski sebagian) kawasan Tangkahan juga memiliki ancaman-ancaman yang jika tidak diantisipasi sedini mungkin akan berakibat fatal setidaknya dari upaya mempertahankan dan pelestarian ekosistem. Karena harus diakui bahwa kawasan Tangkahan juga merupakan daerah yang menggiurkan bagi pengusahaan pembelahan kayu hutan, maupun bagi kepentingan perburuan liar terhadap satwa lindung. Ancaman lain ialah lemahnya penegakan peraturan-peraturan penggunaan tata guna lahan, peraturan desa dan peraturan pariwisata yang mengatur tata pelaksanaan pengembangan kawasan. Di sisi lain, sebagaimana diketahui bahwa pariwisata merupakan fenomena yang kompleks, bukan sekedar kegiatan dengan objek utama industri pelayanan yang melibatkan manajemen produk dan pasar, tetapi lebih dari itu merupakan proses dialog antara wisatawan sebagai guest dan masyarakat sebagai host. Kegiatan pengembangan yang terkait dengan karekteristik masyarakat lokal namun hanya menggunakan pendekatan sepihak dari sisi pasar merupakan konsep yang tidak proporsional.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan dinamika perubahan dunia kepariwisataan, kegiatan pengembangan terhadap suatu lokasi komunitas tertentu, dimana karakter masyarakat secara fisik sosial buadaya merupakan sumberdaya utama, maka pengembangannya perlu memandang masyarakat lokal sebagai sumberdaya yang berkembang dinamis agar dapat berkembang sebagai subjek dan bukan sebagai objek. Pendekatan ini perlu ditempuh karena masyarakat lokal adalah
orang yang paling tahu kondisi sosial budaya
masyarakatnya. Sebagai kawasan wisata yang terbuka bagi wisatawan, maka masuknya budaya asing yang dibawa oleh wisatawan mancanegara dan tingginya daya serap masyarakat terhadap budaya asing tersebut akan menimblkan fenomena positif maupun negartif bagi kehidupan sosial budaya yang bersifat kontradiktif. Efek demonstratif yang ditimbulkannya akan sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat lokal. Apabila hal ini terjadi maka perubahan perilaku masyarakat pada akhirnya akan turut merubah nilai-nilai buadaya lokal. Hal ini berarti bahwa pada suatu titik waktu tertentu akan terjadi pergeseran terhadap budaya lokal. Oleh karena itu upaya antisipatif harus dilakukan sedini mungkin agar kehidupan masyarakat berdasarkan norma-norma budayanya dapat terus dipelihara dan bermanfaat bagi pengembangan objek wisata budaya. Oleh karena itu pulalah hal yang juga merupakan ancaman bagi pengembangan sebuah kawasan wisata adalah kemampuan tingkat lokal untuk menangani konflik-konflik yang mungkin saja akan timbul sebagai akibat upaya pengembangan kawasan wisata tersebut.
5.3 Analisis Kawasan A. Fungsi Kawasan Perencanaan pengembangan ekowisata di kawsan Tangkahan mestilah menggunakan konsep perencanaan tata ruang kawasan pariwisata yang harus memperhatikan rencana fungsi kawasan, fasilitas yang tersedia serta optimalisasi atraksi wisata yang terdapat di kawasan. Sesuai dengan diskusi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
yang dilakukan dengan masyarakat setempat berdasarkan pengetahuan dan kebutuhan masyarakat di kawasan Tangkahan maka kawasan dibagi dalam empat fungsi utama yaitu : a. Pemukiman penduduk Kawasan pemukiman pendudukdi Tangkahan terdapat di desa Namo Sialang dan desa Sei Serdang yang telah lama didiami oleh penduduk lokal dengan mayoritas suku Karo beragama Kristen dan Islam. Karekteristik perumahan penduduk adalah perumahan non/semi permanen yang menggunakan teknologi konstruksi sederhana dan sistem utilitas yang seadanya. Sentuhan arsitektur tradisional Karo pada perumahan penduduk sudah berkurang, dan dapat dikatakan perkampungan yang ada memiliki tipikal citra perkampungan di pedesaan di Indonesia pada umumnya, tidak memiliki identitas khas khusus, seperti misalnya desa Lingga di Kabupaten Karo. Hal ini bisa dimaklumi jika ditinjau dari sejarah berdirinya kampung. Kedua kampung berdiri pada abad modern dan muncul karena tuntutan kebutuhan penduduk yang bekerja sebagai buruh perkebunan dan petani akan kebutuhan terhadap rumah sederhana dengan teknologi dan material yang sederhana, praktis dan murah. b. Hutan Lindung (Taman Nasional Gunung Leuser) Sebagai kawsan ekowisata, Tangkahan termasuk dalam Taman Nasional Gunung Leuser yang merupakan kawasan hutan lindung. Kawasan TNGL akan dikembangkan menjadi objek utama ekowisata, khususnya wisata pendidikan konservasi. c.
Hutan Produksi Rakyat, merupaka perkebunan inti rakyat (PIR) sebagai salah satu mata pencaharian penduduk lokal PIR yang ada terdiri dari perkebunan karet, jeruk, kelapa sawit dan beberapa tanaman sayur. PIR merupakan inkubator ekonomi kawasan pada saat ini, yang dapat juga dijadikan sebagai objek wisata agro.
d. Fungsi Kawasan sebagai Objek Wisata
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kawasan Tangkahan memiliki beberapa potensi wisata seperti sungai dan hutan, yang telah mulai menarik minat wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
B. Zonasi Kawasan Melihat fungsi kawasan di atas, fasilitas yang ada saat ini dan atraksi wisata di kawasan, maka kaawasan harus direncanakan, dikembangkan dan dikelola secara terintegrasi dan berkelanjutan sebagai satu kesatuan guna mendukung terwujudnya kawasan wisata Tangkahan yang lestari. Keempat fungsi kawasan ini memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi satu kesatuan daya tarik wisata yang kuat bagi Tangkahan serta menjadi gambaran umum bagi perencanaan pengembangan kawasan tersebut. Salah satu hal penting lainnya dalam penyiapan perencanaan pengembangan adalah pembagian zonasi secara matang dengan memperhatikan aspek-aspek yang diperlukan dalam perencanaan. Zonasi dibentuk dari kriteria pengembangan yang membantu para pengembang dan sekaligus meningkatkan pengalaman dan kepuasan pengunjung. Zonasi kawasan berhubungan erat dengan daya dukung kawasan. Informasi awal dari gambaran umum kawasan dan permasalahan yang ada merupakan bahan dalam penentuan zonasi. Zonasi merupakan aspek manajemen kawasan yang berhubungan dengan kepekaan` suatu kawasan, objek dan atraksi wisata serta tingkat kunjungan maksimum yang disarankan. Diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai zonasi dalam aturan kawasan konservasi dan zonasi dalam pengembangan kawasan ekowisata. Dalam pengembangan ekowisata, zona-zona ini menggambarkan pembagian kawasan dalam daerah-daerah tertentu. Pembagian zonasi pada kawasan Tangkahan dihasilkan dari proses perencanaan yang partisipatif bersama masyarakat, dimana zonasi yang dihasilkan telah sesuai dengan kebutuhan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
persepsi di tingkat masyarakat. Hal ini diharapkan dapat membantu para pengembang di masa yang akan datang.
Beberapa petimbangan yang dijadikan dasar dalam penataan ruang di kawasan Tangkahan adalah : 1. Kerentanan ekosistem dan hidupan liar ; 2. Nilai Keanekaragaman hayati; 3. Status Kawasan; 4. Peraturan Daerah dan Peraturan Taman Nasional; 5. Akses ruang dan kesempatan bagi masyarakat untuk partisipasi; 6. Sumberdaya manusia (kekuatan institusi termasuk alur pengambilan keputusan); 7. Nilai Sejarah kawasan; 8. Aksesibilitas, termasuk Akses kontrol; 9. Keamanan dan kenyamanan pengunjung; 10. Optimalisasi potensi wisata yang tersedia; 11. Optimalisasi potensi sarana pendukung wisata; 12. efisiensi biaya. Pembuatan kriteria dari ruang-ruang yang diciptakan ini, menjadi sangat penting dan harus dilakukan secara partisipatif, sehingga masyarakat dan para pihak mengerti peran dan tanggung jawabnya dalam upaya mencapai tujuan pengembangan yang disepakati. Kriteria penting yang berhasil diidentifikasi dan dihasilkan dari kajian ini adalah kriteria zonasi kawasan. Hal ini tentunya akan memberikan arahan bagi pengembang kawasan untuk mengimplementasikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan bersama.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 13 : Peta Zonasi Kawasan (Sumber LPT)
Berdasarkan hasil pengamatan dan kajian bersama masyarakat di lapangan mengenai kawasan Tangkahan, maka pembagian zonasi dari kawasan terdiri dari : 1. Zonasi Intensif (± 10 Ha di kawasan PTPN II dan ± 7 Ha di kawasan Pulau Tujuh, Desa Kuala Gemoh Lama). A. Zona Intensif adalah kawasan yang dirancang untuk dapat menerima jumlah kunjungan dang tingkat kegiatan yang tinggi, dengan memberikan ruang lebih luas untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. B. Kriteria Zona Intensif
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Adapun beberapa kriteria Zona Intensif yang dimaksud adalah : a.
Berada di luar kawasan Taman Nasional.
b. Dapat merupakan lahan milik masyarakat dan/atau perkebunan (pemerintah atau perseorangan). c. Kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati rendah d. Memilki ruang terbuka yang luas dan berkontur datar e. Kemudahan aksesibilitas f. Pembangunan sarana fisik dipusatkan pada kawasan ini dengan prosentase 40% dan 60% tetap dibiarkan alami. g. Rancang bangun dan lansekap yang alami h. Kedekatan dengan sumber air
Gambar 14 : Peta Zonasi Kawasan Intensif]
2. Zonasi Semi Intensif (± 35 Ha) A. Zonasi Semi Insentif adalah kawasan yang direncang sebagai kawasan untuk menerima kunjungan dengan tujuan kegiatan yang bersifat lebih spesifik, dengan menyediakan ruang yang cukup untuk untuk kegiatan dan kenyamanan pengunjung. B. Kriteria Zona Semi Intensif : Zona Semi Intensif memiliki kriteria sebagai berikut : a.
Berada di luar kawasan Taman Nasional
i. Kawasan ang memilki konsetrasi keanekaragaman hayati rendah j. Kawasan dapat merupakan tahan/perkebunan milik masyarakat dan/atau pemerintah/swasta
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
k. Memilki ruang terbuka cukup dan relatif datar l. Aksesibilitas dapat dikontrol m. Pembangunan sarana fisik terbatas pada pembangunan sarana pendukung (15%) untuk komodasi dan kegiatan spesifik.
Gambar 15 : Peta Zonasi Kawasan Semi intensif 3. Zonasi Ekstensif Primer (± 18 Ha) A. Zona Ekstensif Primer, adalah kawasan yang dirancang hanya untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan terbatas, untuk menjaga kualitas keanekaragaman hayati. Dalam hal ini merupakan kawasan Taman Nasional yang memilki kerentanan tinggi B. Kriteria Zona Ekstensif Primer Zona Ekstensif Primer mempunyai kriteria sebagai berikut : a. Merupakan kawasan hutan di dalam Taman Nasional b. Memilki keanekaragaman hayati sedang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
c. Mampu menerima toleransi gangguan bertaraf sedang d. Pembangunan sarana fisik dibatasi maksimal 5% dan hanya sebatas papan informasi dan pendukung kegiatan (tempat istirahat, jalan setapak alami, tempat mengamati satwa, lokasi perkemahan terbatas) e. Aksesibilitas harus terkontrol (satu pintu masuk) f. Hanya menerima jumlah wisatawan yang terbatas g. Hanya dapat menerima tingkat kebisingan yang rendah.
Gambar 16 : Peta Zonasi Ekstensif Primer 4. Zonasi Ekstensif Sekunder (± 22 Ha) A. Zona Ekstensif Sekunder, adalah kawasan yang dirancang hanya untuk menerima kunjungan dan tingkat kegiatan sangat terbatas. Jalur lintasan memilki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan memberikan nilai petualangan. Merupakan kawasan Taman Nasional yang memilki kerentanan tinggi.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
B.
Kriteria zona ekstensif sekunder
a. Merupakan kawasan hutan di dalam Taman Nasional b. Kawasan yang memilki keanekaragaman hayati sangat tinggi c. Kawasan yang memilki kerentanan yang sangat tinggi d. Tingkat ancaman tinggi e. Tidak ada pembangunan sarana fisik wisata f. Aksesibilitas sangat terkontrol g. Tidak boleh ada kebisingan h. Kawasan yang memerlukan pemandu yang dilatih khusus dalam teknik-teknik berdampak rendah.
Gambar 17 : Peta Zonasi Ekstensif Sekunder
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 18 : Peta Pengaturan Arus Wisatawan
c. Pengembangan Kawasan / Zonasi Zona Intensif dialokasikan pada dua kawasan, pertama adalah di kawasan perkebunan kelapa sawit milik PTPN II yang termasuk ke dalam wilayah Desa Sei Serdang dengan luas kawasan kurang lebih 10 hektar. Lokasi tersebut direncanakan untuk diusahakan bersama menjadi Pusat Penerimaan Pengunjung (Staging area) didukung oleh lahannya yang datar tidak bergelombang dan akses jalan yang mudah. Sarana dan prasarana yang lengkap ditempatkan pada kawasan ini untuk dapat memenuhi kebutuhan pengunjung akan sarana pendukung wisata lainnya. Fasilitas yang disediakan di antaranya adalah pusat informasi pengunjung, lapangan parkir, kedai cenderamata, warung, restoran, taman, dan lapangan terbuka yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk dibuat panggung pertunjukan. Alokasi kedua dari Zona Intensif Primer adalah kawasan Pantai Tujuh dengan luas kurang lebih tujuh hektar dan dapat dikembangkan sebagai Wisata Desa di Desa Kuala Gemoh Lama. Kegiatan dan produk wisata yang bersifat rekrreasi, masal dan cenderung bising akan ditempatkan pada Zona Intensif ini dan tetap dengan pengaturan tertenu. Pengelolaan kawasan ini diharapkan dapat dilakukan bersamasama antara para pihak yang berkepentingan dalam pengembangan kawasan. Kawasan ini direncanakan menjadi satu-satunya pintu masuk kedalam kawasan Tangkahan dengan satu kali pungutan untuk semua jenis kegiatan. Pengunjung yang telah menentukan pilihan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
kegiatan wisatanya baru kemudian akan dibesarkan ke lokasi-lokasi yang dipilihnya. Di kawasan ini arus serta jumlah pengunjung yang akan masuk ke zona-zona di dalam kawasan telah ditentukan. Sumberdaya manusia yang diperlukan relatif tidak begitu memrlukan spesifikasi yang khusus. Akan tetapi pembagian peran dari masing-masing pihak yang turut dalam pengelolaan bersama perlu mendapatkan kesepakatan. Dalam upaya mewujudkan pengembangan di zona intensif ini, proses negosiasi mengenai pemakaian lahan dengan pihak PTPN II harus segera dimulai. Pihak PTPN II dan masyarakat masingmasing memilki kepentingan. Disatu sisi masyarakat membutuhkan peningkatan ekonomi melalui pariwisata dengan menggunakan peran serta masyarakat dalam upaya pengurangan dan pencegahan pencurian kelapa sawit. Hal ini tentunya dapat dijadikan isu utama untuk menggalang kerjasama yang saling menguntungkan kedua belah pihak dan piahk-pihak lainnya. Setelah proses ini berjalan, maka perlu dipikirkan mengenai siapa yang dapat/akan mendanai pengembangan di kawasan ini? Pihak yang terkait dengan kedua proses ini ditingkat awal harus segera diidentifikasikan. Strategi pengelolaan dampak pengunjung dapat dilakukan dengan menyebarkan pengunjung pada lokasi-lokasi objek daya tarik serta fasilitas yang akan dikembangkan di kawasan, disamping Pantai Tujuh yang diperuntukkan bagi pengunjung domestik yang lebih bersifat masal. Kawasan ini terletak kurang lebih tiga kilometer dari kawasan Ektensif Primer di lokasi PTPN II, yang dijadikan daya tarik utama kawasan. Selain itu Desa Kuala Gemoh Lama, direkomendasikan untuk dikembangkan menjadi Kawasan Model Pengembangan Wisata Budaya Karo, dimana sembilan rumah yang ada saat ini, dapat dikembangkan dan dikembalikan kepada ciri tradisional Karo serta dapat dikembangkan sebagai “homestay” Akses masuk merupakan salah satu faktor penting dalam mengelola pariwisata yang berdampak rendah terhadap lingkungan. Sepanjang pengelola mampu melakukan kontrol terhadap akses masuk, maka dipastikan akan mampu memperkecil dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
disarankan untuk hanya menggunakan satu akses masuk untuk menuju Zona Intensif sekunder serta ekstensif primer dan sekunder. Selain melakukan kontrol akses, salah satu cara guna mengurangi dampak terhadap lingkungan adalah menggunakan sistem reservasi pada pengelolaan di kawasan ekstensif, baik primer maupun sekunder. Perlu diperhatikan pula bagaimana mengatur arus wisatawan yang datang dan memanfaatkan Pusat Pengunjung sebagai staging area atau pusat penerimaan tamu yang berfungsi menyebarkan tamu berdasarkan kemampuan membeli dan keingintahuan pengunjung. Potensi di Zona Semi Intensif dengan luas kawasan kurang lebih 35 hektar terdiri dari akomodasi terbatas, perkebunan karet rakyat dan kebun-kebun lainnya memiliki kekuatan untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata agro. Lokasinya yang relatif datar pun menjadi daya tarik sendiri. Potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata agro dan juga pemandian air panas Sei Glugur. Pembuatan jalur wisata dan jalur interpretasi merupakan salah satu prioritas pengembangan. Untuk mengembangkan jalur-jalur wisata agro di kawasan perkebunan rakyat tentunya harus berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Salah satu kesepakatan yang perlu dihasilkan adalah mengenai kepemilikan tanah. Sangat diharapkan bahwa di kawasan ini tidak ada lagi penjualan tanah milik masyarakat lokal kepada masyarakat pendatang. Alternatif yang diberikan adalah penyewaan lahan, sehingga masyarakat tetap memiliki lahan tersebut sekaligus mendapatkan pendapatan dari uang sewa. Sarana dan prasarana yang terbatas ditempatkan pada kawasan ini, diutamakan adalah akomodasi di sepanjang Sungai Buluh. Dalam pengembagannya pembatasan jumlah bangunan menjadi sangat penting dalam upaya untuk memberikan keuntungan lebih kepada masyarakat. Jumlah akomodasi dalam kawasan ini tidak melebihi tujuh puluh kamar atau dengan total 140 tempat tidur. Peningkatan jumlahnya pun harus dilakukan secara bertahap dan kemudian melakukan pemantauan pada jumlah lima puluh kamar, terutama dampak yang diakibatkan dari besarnya jumlah pengunjung
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
pada kawasan ekstensif. Jika dalam perkembangannya pasar melebihi kapasitas akomodasi, maka pembangunan akomodasi harus diarahkan pada dua lokasi, yaitu : lokasi desa Kuala Gemoh Lama, dengan memperbaiki dan memodifikasi rumah tradisional serta lokasi rekreasi Pulau Tujuh. Hal ini berguna untuk mengurangi tekanan dan sekaligus menyebarkan keuntungan ke tengah-tengah masyarakat sehingga memberikan keuntungan lebih banyak pada masyarakat. Penambahan sarana dan prasarana tidak disarankan dilakukan pada lahan di sepanjang Sungai Batang Serangan, yang dimiliki masyarakat. Kawasan ini sebaiknya tetap dibiarkan alami dan menjadi pusat kawasan pertanian sebagai pasokan sayur-mayur bagi pemilik akomodasi dan rumah makan. Selain itu dalam pembangunan sarana dan prasana perlu adanya kesepakatan para pihak tentang : - bentuk bangunan - rancangan sistem pengelolaan limbah - rancangan sistem pengelolaan - rancangan sistem energi - rancangan sarana aksesibilitas Peningkatan sumberdaya manusia untuk pengadaanakomodasi dan wisata agro pada zona semi intensif sangat diperlukan, terutama mengenai tingkat pelayanan pada akomodasi dan rumah makan. Sementara tenaga pemanduan bagi wisata agro dapat menjadi prioritas yang berikutnya. Kawasan zona ekstensif primer adalah kawasan di dalam TNGL dan menjadi pusat daya tarik ekowisata dengan luas kawasan kurang lebih 18 hektar. Ekowisata berbasiskan pendidikan diterapkan pada kawasan ini, melalui pembuatan jalur-jalur interpretasi. Pembuatan jalur-jalur interpretasi adalah prioritas, termasuk di dalamnya menentukan titik-titik hal-hal menarik, jalur jelajah hutan berdasarkan tema-tema tertentu, seperti tanaman obat, pengamatan burung dan sebagainya. Juga mendesain sarana yang dibutuhkan, seperti tempat peristirahatan, tempat pengamatan serta membuat buku panduan dan
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
interpretasi dalam kawasan yang memanfaatkan informasi biologi kawasan maupun pengetahuan tradisional masyarakat tentang hutan. Jalur jalan setapak minimal selebar satu meter dan harus dibuat relatif mudah dan dapat dilalui oleh wisatawan dari berbagai umur (mulai 10 tahun hingga 60 tahun). Kawasan ini haruslah memberikan rasa aman dan nyaman bagi pengunjung, karena jalur intepretasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan pengunjung tentang pentingnya melesterikan sumberdaya alam, khususnya hutan. Jalur ini hanya dikhususkan maksimum berjalan 4 jam dalam satu hari dengan medan yang relatif mudah. Fasilitas yang dikembangkan di kawasan ini hanyalah tanda-tanda petunjuk, tempat pengamatan dan tempat istirahat yang bermanfaat untuk pembelajaran selama dalam hutan dan papan interpretasi serta perkemahan terbatas. Perkemahan terbatas yang dimaksud adalah lahan perkemahan dengan fasilitas MCK, dapau (alami), blok-blok perkemahan dengan titik-titik api unggun yang telah di tentukan dan hanya diperuntukkan bagi kurang lebih sepuluh tenda. Perlu peningkatan sumberdaya manusia terutama dalam hal pemanduan dan interpretasi aerta monitoring kawasan. Setiap pengunjung dalam kawasan ini perlu ditemani oleh pemandu. Setiap pemandu maksimum hanya memandu sebanyak enam pengunjung. Hal ini didasarkan pada upaya untuk melibatkan pengunjung lebih aktif dan dapat efektif menerima pesan yang disampaikan interpreter. Selain itu pula untuk menjaga keamanan para pengunjung sendiri, karena satu pemandu hanya berkemampuan melakukan koordinasi dengan sebanyak lima sampai enam orang dalam satu perjalanan di dalam hutan. Pemandu/interpreter perlu dilengkapi dengan alat komunikasi dan pemandu harus terlatih dan memahami ceritera dan daya tarik pada setiap jalur. Pelibatan TNGL dalam pengelolaan kasawan ini menjadi cukup penting, terutama di dalam mengarahkan pembangunan sarana fisik, serta melakukan monitoring dampak yang diakibatkan pengunjung. Potensi Zona Ekstensif Sekunder adalah kawasan di dalam Taman Nasional Gunung Leuser dengan luas kurang lebih 22 hektar. Pesona hutan tropis dengan flora dan faunanya menjadi
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
sumberdaya bagi pengembangan jalur-jalur petualangan di dalam hutan. Kawasan ini direncanakan menjadi kawasan petualangan dan pangamatan satwa liar. Oleh karena itu perlu untuk dibuatkan jalurjalur trekking, beserta dengan peta jalur dalam kawasan yang akurat. Disamping itu perlu petunjuk jalur pada setiap persimpangan. Zona ini hanya dikembangkan dengan sarana dan prasarana sebatas penyediaan jalur jalan setapak, papan informasi, dan lokasi peristirahatan. Zona ini akan meliputi kawasan dengan jarak tempuh maksimal hingga enam sampai tujuh jam perjalanan dalam satu hari. Daya tarik yang termasuk dalam kawasan ini adalah air terjun, sumber air panas dan goa-goa. Kebutuhan akan sumberdaya manusia harus sejalan dengan pengembangan produk, yaitu kebutuhan akan pemandu yang memiliki pengetahuan dalam interpretasi. Pengetahuan P3K dan search and rescue, mereka diharapkan minimal menguasai pengetahuan umum mengenai apa dan bagaimana perjalan di hutan tropis serta cara hidup di alam bebas. Pemandu perlu dibekali dengan alat komunikasi dan selalu melakukan kontak dengan Pusat pengunjung serta disiapkan dengan peralatan yang memadai. Hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan ekowisata di zona ekstensif sekunder ini adalah kerja sama dengan TNGL, terutama dalam masalah pengembangan sarana dan prasarana serta kepemanduan. Harus ada kesepakatan bersama mengenai fasilitas yang akan dibangun oleh TNGL di kawasan. Disamping itu pengembangan kawasan pun harus dapat meningkatan sumberdaya manusia di TNGL (bukan hanya peningkatan di tingkat masyarakat setempat). Kesepakatan bersama juga harus mengenai program-program apa saja yang akan dikembangkan baik yang menyangkut pelatihan maupun sarana dan prasarana. Salah satu prioritas di kawasan ini adalah TNGL melakukan monitoring agar dampak kegiatan pada kawasan yang akan digunakan sebagai core dari produk ekowisata ini dapat diminimalkan. Selain itu Taman Nasional juga diharapakan melakukan upaya perubahan status di kawasan Tangkahan menjadi zona pemanfaatan menjadi lebih cepat.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Fasilitas kawasan yang akan disediakan guna mendukung terwujudnya Kawasan Wisata Tangkahan yang nyaman bagi pengunjung, adalah sebagai berikut : a. Gerbang Kawasan b. Pusat Informasi dan Administrasi Kawasan Wisata Tangkahan a. Fasilitas Akomodasi b. Pasar Souvenir c. Restoran dan warung kopi d. Poliklinik e. Musholla f. Dermaga Tubing g. Kantor Pengelola Utilitas Kawasan h. Toilet Umum i. Terminal Kenderaan umum dan pribadi.
5.4 Ekowisata Berbasis Komunitas Perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas dikawasan Tangkahan seharusnya mampu memberikan nuansa baru bagi upaya pencerahan kehidupan masyarakat setempat ke depan. Oleh karena itu pngembangan industri pariwisata yang direncanakan haruslah merupakan sarana penciptaan lapangan kerja dan mampu melahirkan pemerataan pendapatan secara struktural. Wacana ini memberi pengertian bahwa perluasan lapangan kerja dapat dilakukan melalui pembangunan infrastruktur kepariwisataan, terutama bila pembangunan tersebut berbasis pada pola pengegembangan ekonomi masyarakat. Kerterlibatan masyarakat di sekitar kawasan akan turut memberikan pencerahan usaha bagi setiap aktivitas produksi yang dilakukan oleh masyarakat, sehingga nilai tambah ekonomi dapat
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dirasakan langsung dan momentum tersebut dapat memberdayakan masyarakat secara nyata. Partisipasi masyarakat dalam setiap usaha pembangunan infrastruktur kepariwisataan merupakan pula upaya untuk menyadarkan masyarakat akan perlunya kawasan kepariwisataan bagi pengembangan usaha dan aktivitas mereka, yang pada gilirannya akan menciptakan pemerataan pendapatan yang berdampak kepada tumbuhnya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap kawasan maupun objek wisata yang terdapat di wilayahnya. Pembangunan infrastruktur kepariwisataan di suatu sisi harus pula mampu memberikan prioritas pada pemanfaatan sumber-sumber lokal khususnya yang dimiliki oleh masyarakat, meskipun pembangunan infrastruktur kepariwisataan yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyarakat akan mengakibatkan biaya produksi lebih mahal. Namun di sisi lain aktivitas kebersamaan ini memiliki tingkat sosialisasi yang tinggi karena memanfaatkan berbagai potensi masyarakat setempat, sehingga masyarakat turut dilibatkan. Di samping itu pemanfaatan sumber-sumber lokal yang dimiliki oleh masyarakat akan memberikan keuntungan ganda, yakni melahirkan nuansa dan tema kepariwisataan yang sejalan dengan tuntutan perubahan dunia kepariwisataan -- exoti tourism -- ,dan di sisi lain dapat pula meningkatkan harkat dan martabat masyarakat lokal selaku pemilik adat, budaya dan kehidupan sosial yang unik dan langka, serta mempunyai nilai jual yang tinggi. Dalam konteks kualitas sumberdaya manusia sebagai pelaku utama pengembangan kepariwisataan merupakan pula salah satu aspek penting yang harus diperhatikan. Ada tiga komponen utama dalam pengelolaan manajemen kepariwisataan, yakni unsur pemerintah, swasta dan masyarakat. Oleh karena itu kepada ketiga komponen ini perlu diberikan pelatihan-pelatihan yang mengarah kepada peningkatan kapasitas maupun skil dalam rangka pengelolaan manajemen kepariwisataan tersebut. Implikasi dari pendidikan ataupun pelatihan ini diharapkan meningkatkan kemampuan dan skil pelaku utama dalam mengelola dan mengembangkan kepariwisataan terutama di daerah, dan juga
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
meningkatkan kesempatan masyarakat lokal untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengelolaan manajemen kepariwisataan di daerahnya bertempat. Pengelolaan program pendidikan ataupun pelatihan ini seharusnya ditangani oleh suatu lembaga pelatihan yang berada di dalam instansi daerah atau sektoral yang terkait dengan kepariwisataan. Pelatihan juga merupakan salah satu upaya memberdayakan masyarakat lokal untuk terlibat aktif. Oleh karena itu kepada masyarakat Tangkahan harus diberi peluang seluas-luasnya mempersiapkan diri menjadi pemandu wisata yang handal melalui program pelatihan yang difokuskan untuk membentuk tenaga-tenaga pramuwisata yang mempunyai pengetahuan dan skil dalam memandu kegiatan atraksi wisata pada semua zona yang ditetapkan. Pelatihan yang disarankan ini sebenarnya bukan hanya ditujukan bagi lembaga pariwisata Tangkahan sebagai representasi masyarakat Tangkahan, tapi juga perlu untuk staf lapangan TNGL maupun bagi staf Dinas Kepariwisataan Kabupaten Langkat. Beberapa bentuk pelatihan yang perlu bagi peningkatan pengetahuan dan ketrampilan yang dimaksud adalah : a. persepsi dan wawasan mengenai ekowisata, b. bentuk-bentuk pengelolaan kawasan yang berkelanjutan, c. peningkatan kemampuan dalam pemanduan dan interpretasi, d. peningkatan pengetahuan dalam pelayanan jasa pariwisata, e. peningkatan kemampuan dalam P3K dan SAR serta keamanan secara menyeluruh, dan f. peningkatan kemampuan berbahasa asing. Dalam konteks perencanaan pengembangan ekowisata produk-produk kegiatan wisata dilakukan kawasan wisata Tangkahan dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk, yakni pengembangan kegiatan wisata alam dan wisata budaya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Kedua bentuk paket ini lebih lagi ditekankan pada pola pengembangan usaha yang berbasis pada potensi ekologi dan budaya yang nantinya diharapkan mampu memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, konservasi sumberdaya alam dan lingkungan sekaligus konservasi terhadap budaya lokal.
5.4.1 Paket / Produk Wisata Dalam rangka perencanaan pengembangan kawasan Tangkahan sebagai daerah tujuan ekowisata maka melalui bebrapa diskusi yang telah di lakukan dengan masyarakat setempat terutama dengan Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) dan Tangkahan Simalem Ranjer ditetapkan beberapa hal seperti pengidentifikasian potensi pariwisata, jumlah dan kegiatan wisata yang di inginkan, penetapan tata ruang pariwisata serta bentuk / model pengelolaan dengan prinsip kemitraan. Dirinci juga beberapa bentuk pelibatan yang dapat dilakukan dalam konteks pengembangan produkwisata sebagai salah satu upaya peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat secara langsung. Beberapa produk wisata yang akan ditawarkan adalah sebagai berikut : a. Wisata Pendidikan Konservasi Wisata pendidikan koservasi bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian pengunjung maupun masyarakat terhadap pentingnya konservasi hutan beserta ekosistemnya. Perencanaan produk wisata ini dilakukan dalam kawasan Taman Nasional yang berupa hutan hujan dataran rendah. Fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan ini adalah jalur-jalur jalan setapak pada kawasan dengan area tertentu, dengan menyediakan interpretasi berdasarkan tematik tentang hutan (fungsi dan peranannya), fungsi Taman Nasional, serta persepsi masyarakat tentang pemanfaatan hutan. Produk ini akan memberikan nilai tambah bagi upaya konservasi Taman Nasional, khususnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, pengunjung.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
b. Paket Wisata Jalan Kaki dan Bersepeda Paket jalan kaki dan bersepeda ini sebenarnya merupakan salah satu paket yang cukup diminati oleh para wisatawan. Paket wisata jalan kaki ini dapat pula dilakukan melalui dua bentuk, yakni jalan kaki santai (fun trekking) dan jalan kaki petualangan (adventure trekking). Jalan kaki santai merupakan kegiatan jalan santai melintasi jalur-jalur di sekitar kawasan pertanian dan perkampungan penduduk. Sambil menghirup udara segar dan mendengarkan suara satwa dari dalam dan sekitar hutan, serta gemericik dan benturan air ke batu dan tebing di sungai, wisatawan juga dapat menikmati keindahan panorama persawahan dan perkebunan, serta menyaksikan secara langsung berbagai aktifitas bercocok tanam dan tradisi kehidupan masyarakat setempat. Kondisi medan untuk kegiatan ini haruslah relatif ringan, sehingga paket wisata ini sangat memungkinkan untuk diikuti oleh kaum wisata, anak-anak ataupun orang lanjut usia. Kegiatan ini nantinya dipandu oleh beberapa pemandu wisata lokal yang dianggap mewakili pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Semantara paket wisata adventure trekking lebih diperntukkan bagi wisatawan yang menyukai kegiatan petualangan. Hal ini disebabkan kondisi medan yang dilalui memang harus memiliki sejumlah tantangan dan rintangan yang bervariasi, seperti menyusuri pematang-pematang sawah, menyeberangi sungai, memanjat dan menuruni tebing. Khusus untuk pelaksanaan kegiatan ini diperlukan tenaga pemandu lokal dan sejumlah peralatan keselamatan. Paket wisata bersepeda pada dasarnya merupakan kombinasi dari kegiatan olah raga dan rekreasi. Para wisatawan diajak berkeliling mengenderai sepeda dan ditemani oleh tenaga pemandu. Lokasi kegiatan ini juga meliputi kawasan persawahan, perkebunan, dan perkampungan penduduk yang dapat dijangkau dengan mengenderai sepeda. Melalui kegiatan ini wisatawan dapat merasakan nikmatnya bersepeda sambil menikmati suasana alam dan panorama pemandangan sekitar.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Jenis-jenis paket wisata ini memberikan peluang berperan serta yang lebih besar kepada masyarakat setempat dibanding dengan paket wisata lainnya, karena pelaksanaannya relatif lebih aman, dan murah. Selain tidak menuntut fasilitas dan keterampilan secara khusus, pada umumnya infrastruktur yang digunakan dalam rangka paket ini merupakan infrastruktur alamiah yang telah tersedia dan merupakan bagian integral darikehidupan masyarakat setempat. Kecuali untuk paket bersepeda, maka peran serta masyarakat harus ditambah untuk dapat menyediakan fasilitas sepeda gunung. Dengan mengacu kepada konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, maka paket wisata ini harus dikelola dengan melibatkan masyarakat setempat. Memang dalam pelaksanaannya nanti diperlukan adanya perjanjian kerjasama yang saling menguntungkan antara pihak pengusaha agen perjalanan wisata dengan masyarakat setempat. Adapun bentuk-bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan paket wisata jalan kaki dan bersepeda ini adalah : penataan dan pemeliharaan infrastruktur, penyajian atraksi budaya, penyediaan jasa pemandu wisata, penyediaan konsumsi dan cendera mata. Dengan demikian paket-paket wisata ini tidak saja memberikan keuntungan ekonomi kepada para pengusaha agar perjalanan wisata, tetapi juga memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat setempat sesuai dengan peran yang diberikannya. Disamping manfaat ekonomi, jenis paket wisata ini relatif ramah lingkungan.
c. Wisata Petualangan dan Pengamatan Satwa Liar Wisata Petualangan dan Pengamatan Satwa Liar bertujuan untuk menanmbah pengalaman menjelajah hutan hujan tropis dataran rendah dan meningkatkan pengetahuan mengenai jenis-jenis satwa yang terdapat di Taman Nasional perjalan dalam hutan akan dilakukan dengan memanfaatkan jalur-jalur jalan setapak dan diharapkan para wisatawan akan dapat mengamati hidup liar dari menara pengamatan yang dipersiapkan. Paket wisata ini tentunya ditawarkan bagi wisatawan yang memiliki standar kesehatan dan stamina yang baik, karena direncanakan pula wisata petualangan ini pada
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
perjalan akhirnya menawarkan kegiatan menyusuri goa-goa dan tubing. Kegiatan ini juga mesti dilakukan di bawah panduan tenaga terlatih dan diikuti oleh kelompok terbatas.
d. Wisata Agro Wisata agro akan dikembangkan dengan merencanakan kunjungan ke berbagai areal perkebunan tanaman keras dan kebun buah milik masyarakat. Kegiatan ini akan memberikan pengalaman serta menambah wawasan dan pengetahuan wisatawan dalam hal kebiasaan berkebun dan bertani oleh masyarakat. Jalur-jalur interpretasi wisata agro harus dibangun dan disaipkan untuk mampu menawarkan perjalanan melalui berbagai areal kebun masyarakat sekligus utnuk biasa mendapat pengalaman langsung sebagai pemanen hasil perkebunan/pertanian seperti menyadap karet, memetik jeruk, memanen sayuran dan tanaman kebutuhan sehari-hari lainnya. Kegiatan ini ditawarkan dengan cara berjalan kaki atau bersepeda menyusuri areal-areal yang telah ditentukan.
e. Wisata Tirta Wisata tirta tentu saja diartikan sebagai wisata yang dikaitkan dengan air. Sebagaimana diketahui, kawasan ekowisata Tangkahan sangat kaya dengan bentuk wisata tirta karena Tangkahan memang memiliki sungai-sungai yang mengalir jernih, pantai, air terjun, maupun sumber air panas yang memiliki peluang besar untuk dikembangkan dengan baik. Wisata sunagi dengan pantainya khususnya pada zona intensif memang lebih menawarkan unsur rekreasi, sehingga tidak berlebihan kalau target utamanya adalah masyarakat umum secara masal, karena sebagaimana diketahui wisata pemandian ini merupakan produk wisata yang telah lama berkembang di kawasan Tangkahan. Berdasarkan potensi kawasawan Tangkahan yang kaya dengan sumberdaya alam air, maka beberapa kegiatan yang jelas dapat ditawarkan adalah berenang dan menyusuri sungai dengan ban karet (tubing),
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
rafting dan kakayak. Disamping itu pengembangan objek wisata air masih bisa diperluas lagi dengan mengunjungi lokasi-lokasi air terjun, goa-goa serta sumber air panas yang bermanfaat bagi penyembuhan penyakit
f. Berkemah Pada areal zona insentif sebenarnya sudah disediakan kegiatan bagi pengunjung yang ingin melakukan kegiatan perkemahan dengan jumlah yang besar (perkemahan masal). Kegiatan berkemah pada zona insentif ini akan diarahkan pada kegiatan berkemah ramah lingkungan dengan memperhatikan nilainilai kebersiha, pelestarian kawasan dan juga sistem reservas, sehinggan pengunjung atau wisatawan makin meningkat kesadarannya dan berperan aktif melestarikan lingkungan alam. Selain perkemahan masal pada zona insentif, paket perkemahan lainnya juga dilakukan di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, namun dalam bentuk yang terbatas. Kegiatan perkemahan terbatas ini menawarkan kehidupan di alam bebas namun tetap dengan prinsip ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap flora dan fauna di dalam kawasan hutan lindung Taman Nasional.
g. Wisata Budaya Wisata budaya merupakan pula kegiatan konservasi bagi keberlanjutan budaya masyarakat setempat disamping kemungkinan untuk pengembangannya. Wisata budaya direncanakan ditawarkan dalam bentuk kunjungan ke perkampungan penduduk yang mayoritas bersuku Karo. Kunjungan ke perkampungan penduduk ini merupakan upaya untuk memperkenalkan model perumahan dengan bentuk arsitektur tradisonalnya, memperkenalkan cara hidup dan adat-istiadat masyarakat Karo, yang salah satu terkenal dengan kebiasaan pengobatan tradisonalnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Pada paket ini akan diupaya untuk memperkenalkan pengembangan cara pengobatan dan perawatan diri melalui pemanfaatan rempah-rempah (tanaman setempat) sebagai bagian dari kebiasaan turun-temurun yang merupakan sebagaian dari kearifan buadaya bangsa yang sangat kaya, sehingga wisatawan dapat melihat dan merasakan keterkaitan yang sangat erat antara alam dengan tumbuh-tumbuhannya dan dukungannya terhadap kesehatana dan kebugaran fisik manusia. Selain itu pada paket wisata budaya ini juga perlu direncanakan pembuatan dan penjualan barangbarang souvenir atau makana khas masyarakat setempat yang mampu menunjukkan identitas budayanya. Pakat penjualan barang-barang ini dirasa perlu untuk dikemas dengan terencana, mengingat buruknya persepsi wisatawan terhadap produk-produk souvenir khususnya yang beridentitas etnik Sumatera Utara selama ini. Laopran penelitian (Nasution, 2005) juga menyatakan bahwa pengamatan di kancah menunjukkan bahwa banyaka cendera mata yang dijual sebagian besar sebenarnya tidak merepresentasikan keunikan dan kekhasan lokal. Diluar cendera mata berupa kerajinan ukiran dan kain tenun lokal, sebagian besar souvenir merupakan produk luar dan lebih banyak berbentuk pakaian (kaus oblong), sandal, topi, tas, dompet dan sejenisnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Gambar 19 : Keindahan Sumberdaya Alam Tangkahan
5.4.2 Pemberdayaan / Pelibatan Masyarakat Keikutsertaan masyarakat sekitar kawasan ekowisata dapat berbentuk usaha dagang atau poelayanan jasa baik di dalam maupun di luar kawasan objek wisata, antara lain: -
penyediaan jasa penginapan atau homestay,
-
penyediaan atau usaha warung makanan dan minuman,
-
penyediaan toko sovenir / cendra mata yang bercurihas budaya setempat,
-
penyediaan jasa pemandu / penunjuk jalan,
-
penyedian jasa photografi
-
menjadi karyawan perusaaan / pengusahaan ekowisata
-
pelaku kesenian tradisional / seni pertunjukan
-
pengamanan kawasan,
-
ketertiban dan kebersihan kawasan
-
pengembangan usaha transportasi baik yang berbentuk tradisional maupun konvesional.
5.4.3 Bentuk Pengelolaan dan Penegmbangan Fasilitas Penunjang
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
Berdasarkan pengalaman-pengalaman pengelolaan kawasan pariwisata selama ini, maka dalam pengelolaan kawasan Tangkahan sebagai kawasan ekowisata disepakati suatu usaha pengembangan yang dikelola secara bersama-sama antara pihak-pihak yang terkait. Meskipun dikenal beberapa konsep pengelolaan pengembangan suatu kawasan, perlu diingat bahwa khusus di kawasan Tangkahan sudah sejak lama eksis suatu komunitas masyarakat setempat yang tergabung dalam Lembaga Pariwisata Tangkahan (LPT) yang selama ini diketahui sangat dominan mengelola dan menjaga kawasan tersebut. Memang disisi lain akan terdapat beberapa aspek kelemahan yang segera perlu dibenahi ditingkatkan, seperti kualitas sumberdaya manusia, sarana dan prasarana kawasan, pengembangan sistem manajemen, maupun kemampuan evaluasi dan monitoring dampak Kawasan tangkahan diupayakan dapat dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang dikelola bersama (co-management) antara pihak-pihak yang terkait, seperti LPT sebagai wakil masyarakat, lembaga pemerintahan tingkat desa, TNGL, PTPN II, YLI, Dinas Pariwisata Langkat, maupun biro perjalanan ditingkat kabupaten. Sementara untuk pengembangan fasilitas penunjang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pengembangan akomodasi wisata dengan memanfaatkan rumah-rumah pemukiman penduduk setempat, dengan meningkatkan kualitas, penampilan (arsitektur, gaya) serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan sesuai dengan standarisasi perakomodasian. Pengembangan ini didasarkan atas pemikiran : a. Pelestarian lingkungan dengan mengurangi daerah-daerah yang terbangun b. Efisiensi biaya pengembangan c. Memberdaya masyarakat setempat d. Meningkatkan kualitas sumberdaya masyarakat e. Menjaga kelestaraian lingkungan pemukiman
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
2.
Pengembangan akomodasi wisata yang ditempatkan pada masing-masing zonasi dengan tetap
mempertimbangkan tata nilai, sosial budaya dan kelestarian lingkungan 3. Pengembangan akomodasi yang dikonsentrasikan pada suatu lokasi tertentu yang dianggap sangat strategis. Pengembangan dengan model ini memang membutuhkan investasi yang relatif besar, memerlukan lahan baru, namun lebih mudah dalam menyediakan sarana dan prasarana karena terkonsentrasi pada satu kawasan serta memungkinkan akulturasi budaya lebih kecil/rendah. 4.
Pengembangan kampung/desa dan perumahan penduduk.
Pengembangan kawasan Tangkahan diharapkan akan menjadi daerah industri ekowisata yang maju dengan pesat, oleh karena itu diperhitungkan bahwa perkembangan penduduk lokal maupun penduduk pendatang di kawasan wisata Tangkahan akan semakin kompleks. Berdasarkan pengamatan tersebut besar
kemungkinan
perkampungan
pemukiman
penduduk
sebaiknya
dipersiapkan
sebagai
kampung/desa wisata sebagai bagian dari paket wisata lingkungan. Oleh karena itu perlu direncanakan dengan baik konsep pengembangan desa wisata di kawasan ekowisata Tangkahan sebagai berikut: a.
Pemanfaatan konsep desa tradisional dengan keunikan/kekhasan identitas etnik Karo
b. Pemanfaatan konsep rancang bangun rumah penduduk melalui adaptasi konstruksi bangunan tradisional etnik Karo, dan didasari dengan prinsip-prinsip rumah sehat dan ramah lingkungan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
BAB VI PENUTUP
6.1 SIMPULAN a. Ekowisata merupakan salah satu bentuk wisata alternatif yang mencakup perjalanan ke daerah alami yang masih belum cemar dengan tujuan khusus hendak mempelajari, mengagumi dan menikmati pemandangan alam dengan flora dan faunanya serta hidupan liarnya.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
b. Pengembangan kawasan Tangkahan Kabupaten Langkat sebagai objek ekowisata sangat beralasan mengiingat kawasan Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang sebagain wilayahnya masuk dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) memiliki sumberdaya alam, sumberdaya budaya, sumberdaya lingkungan dan sumberdaya manusia yang sangat potensial sebagai modal pengembangannya. Pengembangan ekowisata di kawasan Tangkahan perlu direncanakan dengan secermat-cermatnya mengingat multiplier effect ekonomi yang ditimbulkannya sangat signifikan untuk memantapkan sumbangan ekonominya pada pendapatan daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat, maupun sebagai sarana promosi daerah di kancah kepariwisataan nasional dan bahkan internasional (global tourism).
c. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan perlu direncanakan dengan pendekatan Pengembangan Kepariwisataan Berbasis Komunitas (Tourism Based Community Development) karena konsep yang mengedepankan pelibatan masyarakat ini bertumpu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan (ecological sustainability), berkelanjutan secara sosial budaya (social and cultural sustainability) dan berkelanjutan secara ekonomi (economic sustainability) yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan generasi saat ini tanpa merugikan generasi yang akan datang
d. Perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan harus pula dilakukan berdasarkan daya dukung kawasan sesuai dengan pembagian zonasi kawasan. Hal ini dilakukan karena zonasi kawasan merupakan aspek manajemen kawasan yang berhubungan dengan kepekaan suatu kawasan, objek dan atraksi wisata serta tingkat kunjungan maksimal yang disarankan. Pembagian zonasi dihasilkan melalui proses perencanaan yang partisipatif bersama masyarakat sesuai
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
dengan kebutuhan dan persepsi ditingkat masyarakat. Adapaun penetapan zonasi kawasan adalah Zonasi Intensif, Zonasi Semi Intensif, Zonasi Ekstensif Primer dan Zonasi Ekstensif Sekunder.
e. Pengembangan ekowisata berbasis komunitas di kawasan Tangkahan direncanakan mampu menawarkan produk/kegiatan wisata yang dikategorikan ke dalam dua bentuk yakni wisata alam dan wisata budaya, seperti : wisata pendidikan/konservasi, wisata jalan kaki dan bersepeda, wisata petualangan dan pengamatan satwa liar, wisata agro, wisata tirta, berkemah, wisata budaya, pembuatan dan penjualan souvenir berciri khas setempat, pengobatan tradisional, maupun memperkenalkan cara hidup dan adat-istiadat masyarakat setempat
f. pengembangan fasilitas penunjang diharapkan mampu memberi kontribusi kepada masyarakat setempat sebagai bagian dari proses pemberdayaan masyarakat agar perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas yang dimulai dari inisiatif masyarakat setempat akhirnya memberi keuntungan bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan masyarakatnya, yang konsisten menjaga, memelihara dan melestarikan sumberdaya alam dan lingkungan, sumberdaya budaya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
6. 2 SARAN
a. Berkaitan dengan perubahan persepsi wisatawan yang semakin meningkat kepada kegiatan ekowisata, maka pihak pemerintah Kabupaten seyogiyanya dapat melakukan antisipasi sedini mungkin terhadap upaya pemberdayaan masyarakat lokal bagi pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata. Oleh karena itu pemerintah Kabupaten diharapkan melakukan pembinaan secara serius terhadap masyarakat lokal yang selama ini diketahui telah melakukan inisiatif menjaga dan mengolah kawasan serta melestarikan Kawasan Hijau Tangkahan sebagai bagian dari Kawasan Ekonomi Leuser, sehingga pada saatnya nanti masyarakat dapat memberikan konstribusi yang besar dalam pembangunan kepariwisataan daerah.
b. Pemerintahan Kabupaten diharapkan memberi kesempatan dan kepercayaan yang seluas-luasnya kepada masyarakat lokal dalam setiap proses perencanaan dan pelaksanaan sampai pada tahap pengawasan dan evaluasi, terutama dalam hal pemerataan hasil untuk setiap komponen yang terlibat di seluruh kawasan pengembangan. Oleh karena itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisat harus siap berperan sebagai fasilitator, katalisator dan pembina dalam upaya pengembangan kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata yang dapat diandalkan untuk menarik wisatawan lokal maupun mancanegara.
c. Pemerintah Kabupaten dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata diharapkan melakukan inisiatif upaya peningkatan sumberdaya manusia di tingkat lokal dalam hal pemahaman, persepsi, wawasan dan pengetahuan mengenai ekowisata. Disamping itu pengetahuan tentang upaya-upaya pengelolaan kawasan dengan prinsip pembangunan yang berkelanjutan merupkan pula upaya penyadaran bagi masyarakat setempat untuk bertindak lebih arif dan bijaksana dalam setiap aktifitas kepariwisataan.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008
d. Pemerintahan kabupaten bersama BAPPEDA dan badan Legislatif sudah saatnya mengagendakan Perencanaan Pengembangan Kawasan Tangkahan sebagai objek ekowisata dalam bentuk Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA) maupun dalam bentuk Rencana Strategis Daerah Kabupaten Langkat, agar pada saat yang tepat nanti kawasan ekowisata Tangkahan Kabupaten Langkat dapat menjadi daerah tujuan ekowisata yang handal dan sohor.
Haris Sutan Lubis : Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata Tangkahan Kabupaten Langkat..., 2006 USU e-Repository © 2008