TINJAUAN PUSTAKA Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan permasalahan wilayah yang bersangkutan (Riyadi, 2002). Konsep pengembangan wilayah berbeda dengan konsep pembangunan sektoral, karena pengembangan wilayah sangat berorientasi pada issue (permasalahan) pokok wilayah secara saling terkait, sementara pembangunan sektoral sesuai dengan tugasnya, bertujuan untuk mengembangkan sektor tertentu, tanpa terlalu memperhatikan kaitannya dengan sektor-sektor lainnya. Walaupun kedua konsep tersebut berbeda namun dalam orientasi keduanya saling melengkapi, dalam arti bahwa pengembangan wilayah tidak mungkin terwujud tanpa adanya pembangunan sektoral. Sebaliknya, pembangunan sektoral tanpa berorientasi pada pengembangan wilayah akan berujung pada tidak optimalnya pengembangan sektor itu sendiri. Bahkan hal ini bisa menciptakan konflik kepentingan antar sektor, yang pada gilirannya akan terjadi kontraproduktif dengan pengembangan wilayah. Dengan demikian pengembangan wilayah seyogyanya menjadi acuan (referensi) bagi pembangunan sektoral, dan sama sekali bukan agregat dari pembangunan sektor-sektor pada suatu wilayah tertentu (Riyadi, 2002). Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat, misalnya menciptakan pusat-pusat produksi, memberikan kemudahan prasarana, dan pelayanan logistik. Di sisi lain secara ekologis, pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo, 1999)
Pendekatan wilayah sebagai basis perencanaan pengembangan wilayah harus diorientasikan kepada kemampuan bertindak lokal dalam kerangka berpikir global/makro, memperhitungkan kelayakan masa kini dalam pertimbangan masa depan, lebih fleksibel/dinamis dalam kerangka yang pasti, kemampuan memfokuskan pada masyarakat setempat dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat luas (bisnis, akademis, dan investor). Pembangunan dengan pendekatan wilayah hendaknya berwawasan : local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis (layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik (Deni dan Djumantri, 2002) Pada konsep pembangunan daerah yang berbasis sektor/komoditas ada beberapa kriteria sektor/komoditas sebagai penggerak pembangunan suatu daerah, antara lain : mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada peningkatan produksi, pendapatan dan pengeluaran, mempunyai keterkaitan kedepan dan kebelakang (forward dan backward linkages) yang kuat, mampu bersaing (competitiveness), memiliki keterkaitan dengan daerah lain (complementary), mampu menyerap tenaga kerja, bertahan dalam jangka waktu tertentu, berorientasi pada kelestarian sumberdaya dan lingkungan serta tidak rentan terhadap gejolak eksternal dan internal (Alkadri dan Djajadiningrat, 2002). Todaro berpendapat bahwa pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan. Jadi pada hakekatnya pembangunan harus mencerminkan perubahan total suatu masyarakat atau penyesuaian sistem sosial secara keseluruhan tanpa mengabaikan keragaman kebutuhan dasar dan keinginan individual maupun kelompok-kelompok sosial yang ada didalamnya untuk bergerak maju menuju suatu kondisi kehidupan yang serba lebih baik secara material maupun spiritual (Rustiadi et al., 2006) Menurut Hoover dan Giarratani (1985) dalam Nugroho dan Dahuri (2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi. Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan dengan
keaadan sumberdaya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antar wilayah, sehingga wilayah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Karakter tersebut sejauh ini berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer lain. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of good and service). Pilar ini adalah yang paling kasat mata yang terkait dengan jarak dan lokasi tidak dapat lagi diabaikan dalam proses produksi dan pengembangan wilayah. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan. Penentuan
pengambilan
keputusan
ini
berkaitan
lokasi
dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu locational factors dan non-lacational factors. Faktor yang berkaitan dengan lokasi secara langsung antara lain : a) Inersia, yaitu keputusan untuk menetapkan suatu lokasi kegiatan pada suatu tempat karena faktor-faktor spesifik yang berkaitan dengan limpahan sumber daya alam dan hubungan sosial b) Berhubungan dengan minimisasi biaya transpor c) Lokasi titik akhir d) Perpindahan alat pengangkutan, baik input maupun output e) Biaya/upah buruh Faktor yang berkaitan dengan lokasi secara tidak langsung diantaranya adalah : a) Kebijakan pemerintah b) Keadaan lingkungan dan sosial masyarakat c) Iklim dan stabilitas politik. Menurut Wiradisastra (2006) tujuan utama dari program pembangunan pertanian
adalah
menaikkan
produksi
per
ha
dan
per
orang,
yang
berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama. Pembangunan dalam arti ini mempunyai tujuan ekonomi dan juga ekologi. Tujuan ekonomi dan ekologi bersifat saling menunjang, tidak bersifat kompetititf. Pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan membutuhkan perhatian terhadap integritas dan sistem ekologi. Perencanaan pembangunan wilayah mestinya memadukan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral adalah pendekatan perencanaan dimana seluruh kegiatan ekonomi di dalam wilayah perencanaan dikelompokkan atas sektor-sektor. Selanjutnya sektor-sektor dianalisis satu persatu untuk dilihat potensi dan peluangnya, kemudian menetapkan apa yang dapat ditingkatkan dan dimana lokasi dari kegiatan peningkatan tersebut. Pendekatan regional berbeda dengan pendekatan sektoral walaupun tujuan akhirnya adalah sama. Analisis regional adalah analisis atas penggunaan ruang dan perkiraan atas bentuk yang akan datang. Pendekatan sektoral saja tidak mampu melihat adanya kemungkinan tumpang tindih dalam penggunaan lahan, juga tidak mampu melihat perubahan struktur ruang yang mungkin terjadi akibat dilaksanakannya rencana sektoral tersebut, sedangkan pendekatan regional saja tidak cukup karena analisisnya bersifat makro wilayah sehingga tidak cukup detil untuk membahas sektor persektor apalagi komoditas per komoditas (Tarigan, 2004). Menurut Rustiadi et al. (2006) pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spasial, serta antar pelaku pembangunan di dalam maupun antar daerah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah.
Peran Sektor Pertanian Peran sektor pertanian yang merupakan dasar bagi kelangsungan pembangunan ekonomi berkelanjutan diharapkan mampu memberikan pemecahan permasalahan bagi bangsa Indonesia, hal tersebut dikarenakan sektor pertanian mempunyai empat fungsi yang sama yang sangat fundamental bagi pembangunan suatu bangsa, yaitu (1) mencukupi pangan dalam negeri, (2) penyediaan lapangan kerja dan usaha, (3) penyediaan bahan baku industri, dan (4) sebagai penghasil devisa negara (Dillon, 2004).
Potensi pertanian sebagai leading sektor dalam perekonomian ditunjukkan dengan bertahan dan tumbuh positif semasa krisis. Agar tercipta suatu potensi pertanian tersebut ditujukan : 1. Hasil produksi pertanian dalam pembentukan Produk Domestik Regional Bruto, merupakan penyumbang nilai tambah (value added) terbesar dalam perekonomian nasional, diperkirakan sebesar 45 persen total nilai tambah. 2. Menyerap tenaga kerja terbesar 3. Pemanfaatan lahan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan 4. Terdapatnya sarana dan prasaran dalam menunjang pertanian Pangan bagi manusia merupakan kebutuhan primer. Oleh sebab itu pemenuhan kebutuhan pokok pangan bagi manusia, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas yang berkelanjutan, menjadi sangat penting. Strategi yang diperlukan dalam ketahanan pangan adalah menjawab pertanyaan bagaimana mencukupi ketersediaan pangan bagi masyarakat, bagaimana mempertahankan ketersediaan itu, bagaimana pendistribusiannya, serta bagaimana meningkatkan kualitas bahan pangan yang dihasilkan, dan yang penting pula adalah bagaimana harga pangan bisa terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Ketahanan pangan selalu berkaitan dengan sektor pertanian dalam arti luas (perikanan, peternakan, dan perkebunan). Untuk itu dalam menciptakan ketahanan pangan harus secara seksama memperhatikan potensi dan kemungkinan pengembangan sektor pertanian tersebut.
Konsepsi Ketahanan Pangan Ketahanan pangan sebagai terjemahan dari food security telah dibahas secara mendalam pada pertemuan-pertemuan internasional sejak terjadinya krisis pangan yang melanda dunia pada awal tahun 1970-an. Pada waktu itu pengertian ketahanan pangan lebih difokuskan pada masalah penyediaan pangan dalam kuantitas yang sesuai dengan kebutuhan pangan di suatu negara. Swasembada pangan merupakan indikator utama yang digunakan untuk mencerminkan kondisi ketahanan pangan tersebut di suatu negara. Oleh karena itulah pada tahun 1970-an seluruh negara berusaha mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1984 Indonesia memperoleh penghargaan dalam sidang FAO di Roma karena dinilai
berhasil membangun ketahanan pangannya akibat tercapainya swasembada beras (Irawan et al., 1999). Setelah krisis pangan berlalu, pengertian tentang ketahanan pangan terus mengalami perkembangan sesuai dengan permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Kondisi swasembada pangan mulai diragukan sebagai satu-satunya indikator ketahanan pangan suatu negara. Hal ini karena pengalaman di negaranegara yang dianggap telah mencapai swasembada pangan seperti Korea Selatan (1976), Filipina (1977) dan Indonesia (1984), menunjukkan bahwa kondisi swasembada pangan tidak selalu menjamin pemenuhan kebutuhan seluruh penduduk di negara yang bersangkutan, terutama bagi kelompok penduduk miskin. Disamping itu, kekurangan pangan yang diindikasikan dari mengalirnya impor pangan, seringkali masih terjadi khususnya apabila gangguan produksi pangan akibat berbagai faktor seperti kondisi iklim yang buruk, bencana alam, peningkatan serangan hama dan penyakit, konversi lahan pertanian dan sebagainya (Irawan, 2005). Dengan demikian, disadari bahwa kondisi ketahanan pangan tidak cukup hanya diukur dari kondisi swasembada pangan di tingkat negara hal tersebut belum menjamin terjadinya kecukupan pangan sepanjang waktu bagi seluruh lapisan masyarakat. Sejak itu konsep ketahanan pangan terus berkembang dan disempurnakan sesuai dengan permasalahan pangan yang dihadapi di berbagai negara. Pengertian ketahanan pangan yang mencakup aspek lebih luas dan bersifat universal dicetuskan dalam sidang komisi ketahanan pangan FAO pada tahun 1991 yang mendefinisikan bahwa :“Ketahanan pangan adalah suatu kondisi ketersediaan pangan yang cukup bagi setiap orang pada setiap saat, dan setiap individu memiliki akses untuk memperolehnya baik secara fisik maupun secara ekonomi”. Berdasarkan definisi tersebut, maka permasalahan substantif ketahanan pangan tidak hanya mencakup aspek kuantitas ketersediaan pangan secara memadai, tetapi menyangkut pula aspek stabilitas ketersediaan pangan menurut waktu dan aspek aksesibilitas penduduk terhadap bahan pangan yang dibutuhkan (Soetrisno, 1998). Berdasarkan hasil konferensi internasional tentang gizi yang disponsori oleh FAO dan WHO di Roma pada tahun 1992, aspek gizi mulai dimasukkan
meliputi tiga hal yaitu : kecukupan jumlah, mutu dan keragaman pangan, serta keamanan pangan bagi kehidupan yang sehat. Keragaman pangan dikaitkan dengan masalah kecukupan gizi makanan, karena setiap jenis pangan umumnya memiliki keunggulan dalam zat gizi tertentu tetapi memiliki keterbatasan dalam kandungan zat gizi lainnya. Dengan pola konsumsi pangan yang beragam, maka zat gizi makanan yang dikonsumsi penduduk akan semakin beragam pula, sesuai dengan kebutuhan fisiologis manusia. Perkembangan pemikiran tentang ketahanan pangan di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi di tingkat dunia. Sampai dengan akhir pelita V masalah ketahanan pangan masih diukur dari aspek kuantitas ketersediaan pangan secara nasional yang diukur dari kondisi swasembada pangan. Konsepsi ketahanan pangan dengan cakupan aspek yang lebih luas baru dicetuskan pada pelita VII melalui Undang-Undang Pangan Nomor 7 tahun 1996 dimana ketahanan pangan didefinisikan sebagai : kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Makna terjangkau dalam pengertiani ini adalah bahwa setiap individu memiliki kemampuan untuk mendapatkan bahan pangan baik secara fisik (aksesibiltas fisik) maupun secara ekonomi (aksesibilitas ekonomi). Sedangkan ketersediaan pangan yang dimaksud dapat berupa ketersediaan pangan di pasar atau di tingkat rumah tangga, yang dapat diperoleh dari hasil produksi sendiri atau membeli di pasar (Irawan, 2005). Berdasarkan definisi tersebut diatas maka ruang lingkup ketahanan pangan dapat dilihat dari tiga dimensi yaitu : (1) dimensi ruang lingkup ketahanan pangan yaitu lingkup nasional, daerah dan rumah tangga yang terkait dengan aspek kuantitas ketersediaan pangan, (2) dimensi waktu dan musim yang terkait dengan aspek stabilitas ketersediaan pangan sepanjang waktu, dan (3) dimensi sosial ekonomi rumah tangga yang terkait dengan aspek aksesibilitas rumah tangga terhadap bahan pangan, aspek kualitas konsumsi pangan, dan aspek keamanan pangan (Irawan, 2005). Soetrisno (1998) berpendapat bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional atau daerah dapat diartikan sebagai agregasi ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga. Namun pendapat tersebut tidak sejalan dengan Simatupang (1999), yang
mengemukakan bahwa lingkup ketahanan pangan mulai dari tingkat nasional hingga tingkat individu pada dasarnya merupakan suatu hirarki dengan aspek ketahanan yang tidak selalu sama untuk setiap tingkatan hirarki. Ketahanan pangan di tingkat nasional, regional atau lokal tidak selalu menjamin ketahanan pangan di tingkat rumah tangga akibat ketimpangan distribusi pendapatan rumah tangga. Dalam kaitan ini masalah kelancaran distribusi juga memiliki peranan penting agar bahan pangan yang tersedia dapat diakses oleh seluruh kelompok rumah tangga miskin dan kaya.
Tanaman Padi Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia. Meskipun mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang disebut padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Negara produsen padi terkemuka adalah Tiongkok (31% dari total produksi dunia), India (20%), dan Indonesia (9%). Namun hanya sebagian kecil produksi padi dunia yang diperdagangkan antar negara (hanya 5%6% dari total produksi dunia). Thailand merupakan pengekspor padi utama (26% dari total padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Vietnam (15%) dan Amerika Serikat (11%). Indonesia merupakan pengimpor padi terbesar dunia (14% dari padi yang diperdagangkan di dunia) diikuti Bangladesh (4%), dan Brazil (3%) (Wikipedia, 2007). Padi tersebar luas di seluruh dunia dan tumbuh di hampir semua bagian dunia yang memiliki cukup air dan suhu udara cukup hangat. Padi menyukai tanah yang lembab dan becek. Sejumlah ahli menduga, padi merupakan hasil evolusi dari tanaman moyang yang hidup di rawa. Padi termasuk dalam suku padi-padian atau Poaceae (sinonim Graminae atau Glumiflorae). Sejumlah ciri suku (familia) ini juga menjadi ciri padi, misalnya berakar serabut, daun berbentuk lanset (sempit memanjang), urat daun sejajar, memiliki pelepah daun, bunga tersusun sebagai bunga majemuk dengan satuan bunga berupa floret, floret tersusun dalam spikelet,
khusus untuk padi, satu spikelet hanya memiliki satu floret, buah dan biji sulit dibedakan karena merupakan bulir (Ing. grain) atau kariopsis (Wikipedia, 2007). Terdapat dua spesies padi yang dibudidayakan manusia: Oryza sativa yang berasal dari daerah hulu sungai di kaki Pegunungan Himalaya (India dan Tibet/Tiongkok) dan Oryza glaberrima yang berasal dari Afrika Barat (hulu Sungai Niger). O. sativa terdiri dari dua varietas, indica dan japonica (sinonim sinica). Varietas japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, paleanya memiliki "bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung panjang. Varietas indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, paleanya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan biji cenderung oval. Walaupun kedua varietas dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar IR8, yang merupakan hasil seleksi dari persilangan varietas japonica (kultivar 'Deegeowoogen' dari Formosa dan varietas indica (kultivar 'Peta' dari Indonesia). Selain kedua varietas ini, dikenal pula sekelompok padi yang tergolong varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua varietas utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Budidaya padi yang telah berlangsung lama telah menghasilkan berbagai macam jenis padi akibat seleksi dan pemuliaan yang dilakukan oleh beberapa petani dan ilmuwan antara lain (Wikipedia, 2007) :
Padi pera adalah padi dengan kadar amilosa pada pati lebih dari 20% pada berasnya. Butiran nasinya jika ditanak tidak saling melekat. Lawan dari padi pera adalah padi pulen. Sebagian besar orang Indonesia menyukai nasi jenis ini dan berbagai jenis beras yang dijual di pasar Indonesia tergolong padi pulen. Penggolongan ini terutama dilihat dari konsistensi nasinya.
Ketan (sticky rice), baik yang putih maupun merah/hitam, sudah dikenal sejak dulu. Padi ketan memiliki kadar amilosa di bawah 1% pada pati berasnya. Patinya didominasi oleh amilopektin, sehingga jika ditanak sangat lekat.
Padi wangi atau harum (aromatic rice) dikembangkan orang di beberapa tempat di Asia, yang terkenal adalah ras 'Cianjur Pandanwangi' (sekarang telah menjadi kultivar unggul) dan 'rajalele'. Kedua kultivar ini adalah varietas javanica yang berumur panjang.
Di beberapa daerah tadah hujan orang mengembangkan padi gogo, suatu tipe padi lahan kering yang relatif toleran tanpa penggenangan seperti di sawah. Di Lombok dikembangkan sistem padi gogo rancah, yang memberikan penggenangan dalam selang waktu tertentu sehingga hasil padi meningkat.
Padi rawa atau padi pasang surut dikembangkan oleh masyarakat yang tinggal di rawa-rawa Kalimantan. Padi rawa mampu membentuk batang yang panjang sehingga dapat mengikuti ayunan kedalaman air. Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang
lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi.
Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok.
Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah.
Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan.
Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat. Pemanfaatan teknologi pascapanen padi dan produk sampingannya
memegang peranan penting, alternatif dan peluang peningkatan nilai tambah padi melalui sistem industri beras disajikan pada Gambar 2.
Jerami (±50 %)
• • • • •
Pangan pokok
Kompos Pakan Media jamur Kertas Papan • Beras (±61%) • Menir (±10 %)
Pangan fungsional Panganan
PADI
Tepung Beras pecah kulit (±80%)
Bahan baku industri
Pati
Dedak (±9 %)
Tepung BKP Tepung instan Industri Tekstil Pangan olahan Bihun, ekstrudat
Gabah (±50 %) Sekam (±20 %)
• • • •
• Pangan olahan • Modified starch
Industri Tekstil
Sumberdaya Lahan Pertanian Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) mendefinisikan lahan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat bersifat siklik yang berbeda diatas dan dibawah wilayah tersebut termasuk atmosfir serta segala akibat yang ditimbulkan oleh manusia di masa lalu dan sekarang yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan dimasa yang akan datang. Pemanfaatan lahan merupakan proses yang dinamis dari pola dan aktivitas manusia. Manusia memerlukan bahan pangan, air, energi, dan minyak serta infrastruktur perumahan dan fasilitas publik. Kegiatan pemenuhan kebutuhan tersebut menuntut tersedianya lahan. Namun karena ketersediaan tanah relatif tetap, kelangkaan lahan akan terjadi seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan tingkat konsumsinya. Dalam kaitan ini, respon terhadap lahan dapat berupa (a) ekstensifikasi, bila masih mungkin ketersediaan lahan yang bersifat elastis, (b) intensifikasi, dengan ketersediaan lahan yang tidak elastis dan digantikan perannya oleh teknologi dan (c) kombinasi kedua hal tersebut. Terhadap keseimbangan antara permintaan dan penawaran lahan, sistem umpan balik penggunaan lahan dapat mengalir dalam dua arah, yaitu menghasilkan perbaikan kesejahteraan atau justru menurunkan produktivitas dan menganggu keberlanjutan produksi (Nasution, 1995). Dalam keadaan demikian lahan adalah aset yang memberikan nilai guna (use value) bagi manusia seperti yang ditampilkan oleh ciri-cirinya. Nilai guna lahan dapat berupa langsung dan tidak langsung. Nilai guna langsung diperlihatkan misalnya sebagai dasar hunian atau pendukung kegiatan-kegiatan ekonomi.
Nilai
guna
tidak
langsung
dapat
diduga
dari
unsur
hara,
mikroorganisme, keanekaragaman hayati, nilai-nilai sosial atau nilai lahan yang dapat diwariskan (Nugroho dan Dahuri, 2004). Konversi lahan pertanian terutama sawah produktif berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan (terutama di pulau jawa) selain telah menimbulkan dampak terhadap berkurangnya kapasitas produksi beras yang mengancam ketahanan pangan secara nasional, juga menimbulkan masalah ketenagakerjaan bidang pertanian, hilangnya aset pertanian yang telah dibangun dengan biaya mahal dan menimbulkan masalah lingkungan serta hilangnya sistem
kelembagaan sosial yang telah terbentuk di wilayah tersebut. Berkurangnya luas baku sawah akibat konversi, merupakan salah satu penyebab rendahnya peningkatan produksi padi sejak pertengahan tahun 1990-an dan juga merupakan salah satu penyebab utama berlanjutnya proses marginalisasi usaha pertanian rakyat, yang berarti juga merupakan faktor penghambat dalam upaya menghapus kemiskinan absolut yang masih dominan di wilayah pedesaan. Masalah konversi lahan sawah merupakan ancaman serius terhadap pembangunan nasional, khususnya dalam pemantapan ketahanan pangan, meningkatkan kesejahteraan melalui pengentasan kemiskinan (Rustiadi dan Wafda, 2005)
Evaluasi Kesesuaian Lahan Evaluasi lahan merupakan proses penilaian potensi suatu lahan untuk penggunaan-penggunaan tertentu. Hasil evaluasi lahan digambarkan dalam bentuk peta sebagai dasar untuk perencanaan tataguna tanah yang rasional, sehingga tanah dapat digunakan secara optimal dan lestari. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuannya, disamping dapat menimbulkan terjadinya kerusakan lahan juga akan meningkatkan masalah kemiskinan dan masalah sosial lain, bahkan dapat menghancurkan suatu kebudayaan yang sebelumnya telah berkembang (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2001). Menurut Sitorus (2004) metode evaluasi lahan secara langsung untuk keperluan pertanian pada dasarnya dilakukan melalui percobaan, pengumpulan dan pengolahan data hasil tanaman atau pengukuran komponen produktivitas pertanian lainnya. Produktivitas dapat diukur melalui pengumpulan data hasil tanaman yang umum dibudidayakan atau melalui penghitungan keuntungan kegiatan usahatani pada sebidang lahan tertentu. Menurut Ritung et al. (2007) evaluasi lahan adalah suatu proses penilaian sumber daya lahan untuk tujuan tertentu dengan menggunakan suatu pendekatan atau cara yang sudah teruji. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi dan/atau arahan penggunaan lahan sesuai dengan keperluan. Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial).
Kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan sebelum lahan tersebut diberikan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang lebih sesuai. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut kerangka FAO (1976) dapat dibedakan menurut tingkatannya, yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas dan Unit. Ordo adalah keadaan kesesuaian lahan secara global. Pada tingkat ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan yang tergolong sesuai (S=Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N=Not Suitable). Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2), dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) tidak dibedakan ke dalam kelas-kelas. (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N) . Kelas S1 : Sangat sesuai, Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata. Kelas S2 : Cukup sesuai, Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input). Pembatas tersebut biasanya dapat diatasi oleh petani sendiri. Kelas S3 : Sesuai marginal, Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong
S2. Untuk mengatasi faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta. Kelas N Lahan yang tidak sesuai karena mempunyai faktor pembatas yang sangat berat dan/atau sulit diatasi. Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat, misal Subkelas S3rc, sesuai marginal dengan pembatas kondisi perakaran (rc=rooting condition). Unit adalah keadaan tingkatan dalam subkelas kesesuaian lahan, yang didasarkan pada sifat tambahan yang berpengaruh dalam pengelolaannya. Contoh kelas S3rc1 dan S3rc2, keduanya mempunyai kelas dan subkelas yang sama dengan faktor penghambat sama yaitu kondisi perakaran terutama faktor kedalaman efektif tanah, yang dibedakan ke dalam unit 1 dan unit 2. Unit 1 kedalaman efektif sedang (50-75 cm), dan Unit 2 kedalaman efektif dangkal (<50 cm). Dalam praktek evaluasi lahan, kesesuaian lahan pada kategori unit ini jarang digunakan. (Ritung et al., 2007) Evaluasi lahan merupakan bagian dari proses perencanaan tata guna tanah. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001), isu utama dalam evaluasi lahan adalah menjawab pertanyaan yaitu lahan manakah yang terbaik untuk suatu jenis penggunaan lahan dan penggunaan lahan apa yang terbaik untuk suatu lahan tertentu. Adanya hasil evaluasi lahan dapat dijadikan dasar untuk memilih komoditas pertanian alternatif yang dikembangkan. Pelaksanaan evaluasi lahan dibedakan ke dalam tiga tingkatan, yaitu : tingkat tinjau skala 1 : 250.000 atau lebih kecil, semi detil skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000, dan detil skala 10.000 sampai 25.000 atau lebih besar. Menurut Djaenuddin et al. (2003) evaluasi lahan merupakan suatu pendekatan atau cara untuk menilai potensi sumberdaya lahan. Hasil evaluasi lahan akan memberikan informasi atau arahan penggunaan lahan yang diperlukan, dan akhirnya nilai harapan produksi yang kemungkinan akan diperoleh. salah satu pendekatan yang digunakan adalah sistem matching atau mencocokkan antara kualitas dan sifat-sifat lahan (land qualities/land characteristics) dengan kriteria
kelas kesesuaian lahan yang disusun berdasarkan persyaratan tumbuh komoditas pertanian yang berbasis lahan. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu. Kelas kesesuaian suatu lahan dapat berbeda tergantung tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Djaenuddin et al., 2000). Pada prinsipnya penilaian kesesuaian lahan dilaksanakan dengan cara mencocokkan (matching) data tanah dan fisik lingkungan dengan tabel rating kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan mencakup persyaratan tumbuh/hidup komoditas pertanian yang bersangkutan, pengelolaan dan konservasi. Pada proses matching hukum minimum dipakai sebagai parameter dalam evaluasi lahan antara lain : kemiringan lereng, temperatur udara, drainase, tekstur, alkalinitas, bahaya banjir/genangan. Perencanaan penentuan wilayah pengembangan komoditas tertentu dalam proses evaluasi lahan dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Geografi (SIG). SIG adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang bereferensi spasial atau berkoordinat geografi. Untuk keperluan tersebut maka perlu diketahui peta-peta seperti : peta lereng, peta status lahan dan peta penutupan lahan. Operasi selanjutnya adalah menumpangtindihkan (overlay) berbagai peta tersebut sehingga dapat diperoleh lokasi yang sesuai dengan persyaratan komoditas yang bersangkutan (Barus dan Wiradisastra, 2000).
Prioritas Pembangunan Sektor Prioritas merupakan sektor basis yang memiliki potensi optimal dalam pembangunan daerah. Sektor prioritas atau sektor strategis merupakan sektor yang memberikan sumbangan besar dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan aspek spatialnya, mengingat besarnya sumbangan sektor prioritas dalam perekonomian wilayah maka program-program pembangunan diarahkan kepada sektor ini untuk memperoleh hasil pembangunan yang optimal (Anwar dan Rustiadi , 2000). Sektor prioritas menitik beratkan pada efisiensi dan efektifitas dalam pengembangan sektor tersebut. Efektif berarti pengelolaan sektor tersebut dilakukan secara tepat dan efisien artinya dalam pelaksanaan pengembangan
sektor tersebut dilakukan dengan benar. Suatu aktifitas ekonomis dikatakan secara teknis efisien apabila sejumlah input tertentu menghasilkan maksimum output, atau sejumlah output tertentu dicapai dengan input minimal. sedangkan suatu proses produksi dikatakan efisien apabila dengan biaya tertentu dicapai keuntungan maksimal. Langkah awal dalam penentuan prioritas pembangunan adalah mengkaji terlebih dahulu sistem sosial, ekonomi, dan ekologi yang ada dalam wilayah perencanaan, dari pengkajian ini akan diketahui antara lain tingkat perkembangan dan potensi-potensi yang ada dalam wilayah tersebut, kebutuhan atau keinginan masyarakat
dan
diperhatikan
juga
seberapa
besar
hubungan
saling
ketergantungan/interaksi dengan wilayah lain. Struktur keterkaitan antara variabel-variabel (potensi) yang dimiliki oleh tiap daerah akan dapat dijadikan dasar dalam penentuan prioritas pembangunan. Potensi-potensi wilayah yang akan dikembangkan nantinya diharapkan mampu untuk dikelola bersama masyarakat dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat. Hal lain yang harus diperhatikan adalah sebagian besar dalam penentuan prioritas pembangunan adalah keinginan atau kebutuhan masyarakat. Pemerintah mungkin saja menentukan suatu program pembangunan. Namun jika program tersebut tidak sesuai dengan keinginan ataupun kebutuhan masyarakat maka keinginan masyarakat dalam perkembangan tidak akan pernah muncul. Bahkan yang terjadi adalah hasil pembangunan yang tidak termanfaatkan oleh masyarakat, terbengkalai begitu saja, atau hasilnya hanya dinikmati oleh individu dan golongan tertentu saja. bentuk-bentuk kemubaziran seperti ini sangat banyak dijumpai diberbagai tempat di wilayah Indonesia Menurut Rustiadi et al. (2006) dalam suatu perencanaan pembangunan selalu diperlukan adanya skala prioritas pembangunan sebagai akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, dimana dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa : (1) setiap sektor memiliki sumbangan yang langsung maupun tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan baik penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional dan lain-lain, (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lain dengan karakteristik yang berbeda-beda, (3) aktivitas sektoral
tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan (infrastruktur) dan sosial yang ada. Atas dasar pemikiran tersebut, di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis sebagai akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memberikan dampak langsung dan tidak langsung secara signifikan, dimana dampak tidak langsung terwujud akibat perkembangan sektor tersebut berdampak bagi berkembangnya sektor-sektor lain dan secara spasial berdampak luas di seluruh wilayah sasaran. Interaksi atau hubungan antara satu wilayah dengan wilayah lain dapat pula dijadikan dasar dalam menentukan prioritas pembangunan. seberapa besar suatu wilayah tergantung kepada wilayah lain dan sebaliknya (tingkat saling ketergantungan) dapat ditunjukkan oleh besarnya aliran penduduk atau barang dan jasa antar wilayah. Apabila suatu wilayah sangat tergantung dengan daerah lain hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana yang menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan atau diinginkan oleh masyarakat wilayah setempat. Untuk mengurangi tingkat ketergantungan tersebut kemungkinan penentuan prioritas untuk membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan atau dinginkan oleh masyarakat. Hirarki potensi dan sistem interaksi spatial berimplikasi pada tingkat perkembangan wilayah serta diarahkan kepada tingkat-tingkat yang telah ditentukan (Yasin, 2005). Kaidah penentuan prioritas pembangunan sangat penting diketahui dan dipahami untuk pembuatan keputusan prioritas dari sekian banyak kebutuhan atau aktifitas pembangunan. Saat ini terdapat suatu kerancuan besar dalam menghadapi persoalan-persoalan yang harus diputuskan untuk didahulukan yang disebabkan oleh ketidak-mengertian pembuat keputusan tentang apa, bagaimana, dan mengapa suatu persoalan diprioritaskan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan dan politik.