7
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Wilayah dan Pengembangan Wilayah Wilayah menurut UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Sedangkan menurut Rustiadi et al., (2008), wilayah didefinisikan sebagai unit geografis dengan dengan batas-batas yang spesifik (tertentu), dimana bagian-bagian dari wilayah tersebut (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional. Dari definisi tersebut, terlihat bahwa tidak ada batasan yang spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat memiliki arti, baik untuk perencanaan, pelaksanaan, monitoring, pengendalian, maupun evaluasi. Dengan demikian, batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis (berubah-ubah). Sehingga istilah wilayah lebih menekankan pada interaksi antar manusia dengan sumberdayasumberdaya lainnya yang ada di dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Kerangka klasifikasi konsep wilayah yang lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang dikenal selama ini adalah (1) wilayah homogen (uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) wilayah perencanaan/ pengelolaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan dapat beragam (heterogen).
Pada dasarnya terdapat beberapa
faktor penyebab homogenitas wilayah. Secara umum terdiri atas penyebab alamiah dan penyebab artificial. Faktor alamiah yang dapat menyebabkan homogenitas wilayah adalah kelas kemampuan lahan, iklim, dan berbagai faktor lainnya. Sedangkan homogenitas yang bersifat artificial adalah homogenitas yang didasarkan pada pengklasifikasian berdasarkan aspek tertentu yang dibuat oleh manusia. Salah satu bentuk dari wilayah sistem/fungsional adalah wilayah nodal. Wilayah nodal didasarkan atas asumsi bahwa suatu wilayah diumpamakan sebagai suatu “sel hidup” yang mempunyai plasma dan inti. Inti (pusat simpul) adalah
8 pusat-pusat pelayanan/permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (periphery/hinterland) yang mempunyai sifat-sifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional Rustiadi et al., (2008). Pusat wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (pemukiman), (2) pasar bagi komoditikomoditi pertanian maupun industri, (3) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland, (4) lokasi pemusatan industri manufaktur yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai : (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi, (3) daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur umumnya terdapat suatu interdependensi antara inti dan plasma, (4) penjaga fungsi-fungsi keseimbangan ekologis. Secara filosofis suatu batas wilayah nodal memotong suatu daerah pada suatu garis yang memisahkan dua daerah karena memiliki orientasi terhadap pusat pelayanan yang berbeda. Dengan demikian batas fisik dari setiap daerah pelayanan bersifat sangat baur dan dinamis. Disamping itu, batas wilayah nodal sangat dipengaruhi oleh perkembangan sistem transportasi sebab kemampuan suatu pusat wilayah melayani hinterland-nya sangat ditentukan oleh sistem transportasi yang ada. Konsep wilayah berikutnya adalah wilayah perencanaan/pengelolaan, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah tersebut yang bisa bersifat alamiah maupun artificial dimana keterkaitannya sangat menentukan sehingga perlu perencanaan secara integral. Sebagai contoh, secara alamiah suatu daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu wilayah yang terbentuk dengan matrik dasar kesatuan hidrologis yang perlu direncanakan secara integral. Sedangkan secara artificial wilayah Jabotabek yang mempunyai keterkaitan faktor-faktor sosial ekonomi yang cukup signifikan juga perlu direncanakan secara integral. Namun cara klasifikasi konsep wilayah seperti tersebut di atas ternyata kurang mampu menjelaskan kompleksitas atau keragaman konsep-konsep wilayah yang ada. Strategi
pengembangan
suatu
wilayah
sangat
ditentukan
oleh
karakteristik dan potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan perumusan kebijakan yang dilaksanakan perlu mengetahui
9 tipe/jenis wilayahnya. Menurut Tukiyat (2002) dalam Mirza (2006), secara umum terdapat lima tipe wilayah dalam suatu Negara, yaitu: (1) wilayah yang telah maju, (2) wilayah netral, yang dicirikan dengan adanya tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi, (3) wilayah sedang, yang dicirikan adanya pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang relatif baik, (4) wilayah yang kurang berkembang atau kurang maju, yang dicirikan adanya tingkat pertumbuhan yang jauh di bawah tingkat pertumbuhan nasional dan tidak ada tanda-tanda untuk dapat mengejar pertumbuhan dan pengembangan, dan (5) wilayah tidak berkembang. Salah satu konsep pengembangan wilayah yang perlu mendapat perhatian
adalah
pengembangan
ekonomi
wilayah,
sehingga
konsep
pengembangan ekonomi wilayah harus berorientasi pada pertumbuhaan ekonomi wilayah dengan menggali potensi produk unggulan daerah. 2.2.
Hirarki Pusat Aktivitas Distribusi spasial dari berbagai aktivitas dengan treshold yang berbeda
akan mengarah pada tumbuhnya berbagai tingkatan lokasi pusat pelayanan, dan selanjutnya distribusi pusat-pusat ini akan membentuk pola spasial sistem lokasi pusat-pusat pelayanan. Keterkaitan antara aktivitas ekonomi dengan aspek lokasi dalam suatu ruang sudah mulai dipelajari sejak era Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen yang menjelaskan tentang pola spasial dari aktivitas produksi pertanian. Von Thunen berangkat dari suatu pemikiran sederhana, bahwa pola penggunaan lahan dalam suatu ruang merupakan fungsi dari perbedaan harga produk pertanian yang dihasilkan dan perbedaan biaya produksinya, dimana jarak dari pusat pasar merupakan faktor penentu besarnya biaya produksi. Pemikiran ini didasarkan pada suatu asumsi bahwa: (1) biaya hanya ditentukan oleh jarak dari pasar, (2) karakteristik wilayah dianggap homogen, (3) harga di pusat pasar ditentukan oleh mekanisme supply dan demand yang normal, (4) tidak ada halangan untuk melakukan perdagangan (no barrier to trade) seperti biaya tarif, kebijakan harga, labor immobility, dan tidak dapat menggambarkan dengan cukup baik aktivitas ekonomi riil yang terjadi. Berkembangnya suatu lokasi menjadi pusat pelayanan, secara alamiah terjadi karena adanya proses aglomerasi yang bertujuan untuk mengoptimalkan
10 economic of scale (biaya per satuan input menjadi lebih murah apabila skala aktivitasnya menjadi lebih besar) dan economic of scope (nilai tambah akan meningkat apabila berbagai aktivitas ekonomi yang berbeda digabungkan). Rustiadi et al., (2008) menyatakan bahwa timbulnya hirarki pusat-pusat pelayanan disebabkan oleh sarana dan prasarana penunjang tidak menyebar secara merata di dalam suatu sistem ruang, tetapi penyebarannya tergantung pada permintaan, sedangkan permintaan sangat tergantung pada konsentrasi penduduk. Dalam perencanaan tata ruang hirarki ditentukan dengan teknik skalogram. Oleh karena itu dalam penyusunan suatu hirarki dapat ditentukan jumlah jenis sarana. Hirarki dari pusat pelayanan yang lebih tinggi memiliki sarana pelayanan yang lebih banyak dan lebih beragam dari pusat pelayanan yang berhirarki lebih rendah. Hirarki ini tidak selalu sama dengan hirarki administratif. Adanya hirarki secara teoritis mencerminkan adanya perbedaan massa, dimana hirarki yang lebih tinggi mempunyai massa yang lebih besar daripada yang berhirarki lebih rendah. Oleh karena itu dalam hal alokasi sarana-sarana wilayah menimbulkan perbedaan pendapat apakah harus mendahulukan supply atau demand. 2.3.
Teori Lokasi Menurut Gunawan (1977) tempat berlangsungnya suatu kegiatan disebut
lokasi. Lokasi merupakan tempat yang dapat dikenali dan dibatasi dimana suatu kegiatan berlangsung atau dapat juga merupakan suatu tempat dimana suatu objek terletak. Pemikiran tentang penentuan lokasi objek-objek maupun tempat-tempat kegiatan berlangsung dimaksudkan untuk mencapai efisiensi dan optimasi (Harahap, 1999). Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumbersumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. Lokasi berbagai kegiatan seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, dan tempat ibadah tidaklah asal saja/acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti (Tarigan, 2005).
11 Menurut Tarigan (2005) dalam mempelajari lokasi berbagai kegiatan, terlebih dahulu membuat asumsi bahwa ruang yang dianalisis datar dan kondisinya sama di semua arah. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana manusia mengatur kegiatannya dalam ruang, baru kemudian asumsi ini dilonggarkan secara bertahap sehingga ditemukan kondisi dalam dunia nyata. Dalam dunia nyata, kondisi dan potensi setiap wilayah adalah berbeda. Dampaknya menjadi lebih mudah dianalisis karena telah diketahui tingkah laku manusia dalam kondisi potensi ruang adalah sama. Salah satu unsur ruang adalah jarak. Jarak menciptakan “gangguan” ketika manusia berhubungan/bepergian dari satu tempat ke tempat lainnya. Jarak menciptakan gangguan karena dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya untuk mencapai lokasi yang satu dari lokasi lainnya. Selain itu jarak juga menciptakan gangguan informasi,sehingga makin jauh dari suatu lokasi makin kurang diketahui potensi/karakter yang terdapat pada lokasi tersebut. Makin jauh jarak yang ditempuh, makin menurun minat orang untuk bepergian dengan asumsi faktor lain semuanya sama. Terkait dengan lokasi, salah satu faktor yang menentukan apakah suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak adalah tingkat aksesibilitas. Tingkat aksesibilitas adalah tingkat kemudahan untuk mencapai suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya. Tingkat aksesibilitas antara lain dipengaruhi jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tesebut. Di sisi lain, berbagai hal yang disebutkan di atas sangat terkait dengan aktivitas ekonomi yang terjalin antara dua lokasi. Artinya, frekuensi perhubungan sangat terkait dengan potensi ekonomi dari dua lokasi yang dihubungkannya. Dengan demikian, potensi mempengaruhi aksesibilitas, tetapi di sisi lain, aksesibilitas juga menaikkan potensi suatu wilayah. Menurut
Hanafiah
(1982),
pemerintah
sebagai
penentu
lokasi
mempunyai kekuatan atau kewenangan yang dapat mempengaruhi penentuan lokasi berbagai kegiatan ekonomi rumah tangga dan perusahaan melalui kegiatan masyarakat yang tersebar secara spasial, dan bertujuan untuk memaksimumkan pelayanan kepada masyarakat melalui penyebaran fasilitas pelayanan secara merata.
12 2.3.1. Masalah Lokasi Menurut Rushton (1973) dalam banyak kasus, kasus lokasi merupakan salah satu variabel yang hampir selalu diabaikan. Padahal di dalam penetapan lokasi yang tepat dari suatu jenis kegiatan/aktivitas, pada dasarnya hendaknya tidak hanya sekedar menerapkan aktivitas/kegiatan tersebut sebagaimana adanya melainkan harus dibuat suatu putusan yang rasional bagaimana dan mengapa aktivitas/kegiatan tersebut berada di suatu tempat. Rushton (1973) menyebutkan bahwa dalam rangka penetapan lokasi suatu aktivitas agar optimum harus dilihat dari dua segi kepentingan yang berlainan, yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Untuk kepentingan pribadi, pemilihan lokasi ditentukan atas dasar perolehan keuntungan yang sebesar-besarnya. mempertimbangkan
Dimana biaya
keuntungan transportasi
tersebut yang
diperoleh
dikeluarkan,
baik
dengan untuk
pengangkutan bahan baku maupun pendistribusian hasil produksi pada para produsen, dan menekan biaya operasi semurah mungkin. Untuk kepentingan umum, penentuan lokasi memperhatikan lokasi sebagai fasilitas pelayanan umum sehingga tidak mempertimbangkan keuntungan semata. Dimana penetapan lokasi suatu fasilitas umum lebih sulit dioptimumkan karena memerlukan berbagai pertimbangan sebelum diputuskan. Hasil penetapan lokasi suatu fasilitas umum biasanya merupakan kompromi dari berbagai kepentingan, rasa dan pertimbangan politis. Bahkan banyak pada lokasi fasilitas umum harus dibuat melalui proses yang berbelit-belit dengan memperhatikan prioritas sektor-sektor lainnya. Dalam penetapan lokasi fasilitas umum juga perlu membedakan jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh fasilitas umum tersebut ke dalam dua hal, yaitu pelayanan biasa dan pelayanan darurat. Pelayanan biasa tidak mensyaratkan ketentuan
khusus
dalam
penetapannya.
Sedangkan
pelayanan
darurat
mensyaratkan bahwa dalam penempatannya harus memenuhi standar minimum agar dapat dijangkau secepat-cepatnya dan memerlukan fasilitas/peralatan yang memadai. Menurut Rushton (1973) penentapan lokasi suatu fasilitas umum di negara-negara sedang berkembang dihadapkan pada masalah-masalah nyata seperti berikut:
13 a)
Belum berkembang/terbangunnya sistem transportasi sehingga pemecahan lokasi fasilitas umum sangat tergantung pada pembangunan sarana transportasi;
b) Pola integrasi lokasi sebagai fasilitas umum, yaitu berbagai fasilitas umum harus diintegrasikan sedemikian rupa sehingga pengembangan pola yang optimal suatu fasilitas umum tertentu menjadi sulit dilakukan; c)
Fungsi melayani ataukah menciptakan kebutuhan, yaitu apakah fasilitas umum yang akan ditempatkan tersebut dapat berperan melayani kebutuhan selain hanya menciptakan kebutuhan;
d) Memperbaiki kesalahan lokasi sistem kolonial. Pada masa kolonialisasi pola fasilitas umum sangat dikaitkan dengan kepentingan penjajah yang memperlihatkan tujuan dan kebutuhan penguasa semata. Keadaan ini sangat berbeda setelah negara berkembang tersebut merdeka karena tujuan pembangunan pada umumnya adalah pemerataan fasilitas umum sehingga setelah negara tersebut merdeka pola fasilitas umum akan tersebar tidak seperti pada zaman kolonial yaitu mengelompok; e)
Pemerataan tingkat kesejahteraan, penempatan suatu fasilitas umum sering dilihat
sebagai
salah
satu
alternatif
pemerataan
pelayanan
untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi penduduk daerah perkotaan umumnya tersebar tidak merata dan penduduk tetap harus mendapatkan pelayanan dari fasilitas-fasilitas yang dialokasikan di tempat yang berbeda-beda. Namun yang pasti semua penduduk berhasrat sama agar lokasi fasilitas-fasilitas itu benar-benar memiliki kemudahan untuk dicapai (most accessible) untuk melakukan berbagai kegiatan penduduk (Rushton, 1973). Oleh karena itu suatu fasilitas harus berlokasi pada tempattempat yang memiliki kemudahan untuk dicapai. Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat dijangkau masyarakat. Lokasi ini pun mempunyai banyak pilihan. Dari pilihan yang ada tersebut masyarakat akan memilih yang berada dalam posisi most accessible bagi mereka. Tidak hanya pada masalah lokasi umum namun pada masalah lain mereka juga akan tertarik pada fasilitas yang most accessible.
14 Pengertian most accessible sendiri menurut pendapat Rushton (1973) adalah: 1.
Jumlah jarak (total) semua penduduk dari fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut juga ‘meminimalkan jarak rata-rata atau disebut dengan kriteria jarak rata-rata
2.
Jarak terjauh dari penduduk ke fasilitas yang terdekat adalah minimum. Kriteria ini disebut meminimalkan jarak maksimum
3.
Jumlah penduduk di sekitar masing-masing fasilitas yang terdekat kira-kira sama. Kriteria ini disebut kesamaan penetapan
4.
Jumlah penduduk di sekitar fasilitas yang terdekat selalu lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala batas ambang
5.
Jumlah penduduk di daerah sekitar fasilitas yang terdekat tidak pernah lebih besar dari jumlah tertentu. Kriteria ini disebut kendala kapasitas. Secara umum kita dapat mendefinisikan most accessible sebagai mudah
tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat pelayanan yang terdekat dalam hal ini adalah lokasi pasar. 2.3.2.
Pemilihan Metode yang Sesuai Untuk mencari dasar pijakan yang kuat bagi pemilihan metode yang tepat
perlu meninjau beberapa teori dan metode yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang seperti lokasi dan wilayah pelayanan. Dalam tinjauan ini yang dilihat adalah prinsip-prinsip dasar teori, anggapan dasar, kegunaan dan metode penerapannya. Von Thunen pada tahun 1783-1850 mengeluarkan teori ‘Isolated States’, bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan bagi petani. Kegunaannya untuk menentukan jenis komoditas yang cocok untuk ditanam di wilayah pelayanan dari pusat kegiatan. Anggapan dasar yang digunakan adalah : a) wilayah pelayanan homogen dihuni petani yang ingin memaksimumkan keuntungan dan dapat menentukan jenis kegiatan yang sesuai dengan permintaan pasar, b) pusat (kota) hanya satu yang memiliki fungsi sebagai pasar untuk wilayah belakang (hinterland), c) hanya ada satu modus transportasi dan transportasi berbanding lurus dengan jarak (Alexander, 1977). Saat ini tidak ada lokasi yang benar-benar homogen dan modus transportasi yang tidak hanya satu.
15 Alfred Weber (1904-1907) mengeluarkan teori lokasi industri. Teori ini bertujuan
untuk
memaksimumkan
biaya
masukan.
Kegunaannya
untuk
menentukan lokasi yang optimal bagi usaha industri. Anggapan dasar yang digunakan dalam teori ini adalah : a) unit analisis terisolasi, iklim homogen, konsumen terpusat pada pusat-pusat tertentu, semua unit perusahaan dapat memasuki pasar sehingga terdapat persaingan yang sempurna, b) beberapa sumberdaya alam seperti air, pasir dan tanah terdapat dimana-mana, c) bahanbahan lainnya seperti bahan bakar, mineral adalah sporadik, tersedia secara terbatas pada sejumlah tempat, d) tenaga kerja tidak tersedia secara luas, ada yang lokasinya sudah tetap dan ada yang mobilitasnya sudah tetap. (Rustiadi et al., 2008). Hoover (1948) menyebutkan bahwa keuntungan aglomerasi Weber tersebut terutama berkenaan dengan keuntungan lokasinya, yaitu keuntungan dari skala yang merupakan bagian eksternal pada perusahaan, namun internal pada industri. Dalam hal ini Weber hanya mempertimbangkan keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat perusahaan-perusahaan lain dalam industri yang sama akan tetapi tidak ada keuntungan dan biaya dari perusahaan yang berlokasi dekat dengan jenis aktivitas ekonomi yang berbeda. Selain itu Weber juga tidak mempertimbangkan perbedaan permintaan yang disebabkan oleh adanya distribusi penduduk, tingkat pendapatan, preferensi dan selera yang tidak merata dalam ruang. Dengan demikian pendekatan Weber hanya berdasarkan dari segi penawaran/penyediaan semata. Losch (1954) mengemukakan teori lokasi ekonomi yang mempunyai kegunaan untuk menentukan lokasi industri yang optimal. Anggapan dasar yang digunakan adalah : a) tidak ada perbedaan spasial dalam distribusi input faktor bahan baku, tenaga kerja dan modal pada dataran yang homogen, b) kepadatan penduduk yang seragam dan mempunyai selera yang konstan, c) tidak ada interdependensi lokasional antara perusahaan-perusahaan. Menurut Losch penentuan lokasi industri yang optimal harus didasarkan pada maksimasi keuntungan dengan mempertimbangkan baik biaya maupun pendapatan. Escap (1972) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa lokasi optimal mungkin tidak
16 harus lokasi dimana biaya minimal atau pendapatan maksimal akan tetapi merupakan lokasi dimana perbedaan diantara keduanya adalah maksimal. Setelah mengetahui bahwa teori lokasi dari Weber dan Losch dinilai tidak memadai dalam menjelaskan pertumbuhan perkotaan dan wilayah maka Isard pada tahun 1956 mengemukakan bahwa tiap keputusan lokasi merupakan satu penyeimbang biaya-biaya yang dihadapi dan pendapatan pada keadaan ketidakpastian yang berbeda-beda. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya biaya tersebut maka faktor jarak dan aksesibilitas merupakan faktor yang terpenting dalam konteks tata ruang. Walaupun seluruh biaya bervariasi dengan waktu dan tempat, namun biaya transportasi merupakan fungsi dari jarak. Dalam hal ini Isard menekankan bahwa keputusan lokasi dari perusahaan ditentukan oleh faktor-faktor jarak, aksesibilitas dan keuntungan aglomerasi. (Ashar, 2002). Teori Isard mempertimbangkan faktor jarak, aksesibilitas dan aglomerasi namun penentuan titik optimal dapat berada diantara titik-titik yang dicalonkan. Sehingga muncul dalil Hakimi pada tahun 1964 yang menyebutkan ‘titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan’ (Rushton, 1979). 2.3.3.
Penempatan Fasilitas Publik dan Location-allocation Models Analisis lokasi dalam perencanaan wilayah sudah dikenal baik, salah satu
alat analisis kuantitatif location-allocation modelling. Kerangka pikir yang digunakan berdasarkan pada masalah aksesibilitas dalam pengertian efesiensi dalam meningkatkan kualitas pelayanan, baik yang akan dibangun maupun yang sudah ada sebelumnya. Fotheringham (1995) dan Rushton (1979) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa di negara-negara berkembang keputusan lokasi hanya diambil oleh beberapa orang saja dari pejabat pemerintah atau malah kadangkadang hanya oleh satu orang saja yaitu oleh pimpinan daerah yang dipilih lewat pemilihan yang sering kali mengabaikan hasil analisis formal dari alternatifalternatif yang ada, keputusan akhir bisa saja karena pertimbangan politis semata atau hanya karena pertimbangan yang “asal” saja. Bahkan hasil keputusan sering sekali sangat jauh dari optimal.
17 Location-allocation model adalah metoda untuk menentukan lokasi optimal untuk penempatan fasilitas. Metoda ini secara simultan memilih suatu lokasi yang demands-nya terdistribusi secara spasial untuk optimasi beberapa kriteria yang secara spesifik dapat diukur. Issu utama yang muncul dari masalah lokasi adalah menentukan kriteria yang cocok dan objektif. Penentuan lokasi untuk private sector facilities biasanya didasarkan pada pertimbangan yang objektif dan terukur seperti untuk meminimalkan cost atau memaksimalkan profit. Hakimi (1964) dan Swain (1970) dalam Ashar (2002) menyebutkan bahwa salah satu dari model yang paling populer untuk masalah lokasi fasilitas publik adalah metode P-Median. Masalah lokasi dapat disederhanakan dengan menghubungkan antara lokasi fasilitas dengan lokasi demands yang dapat meminimalkan bobot total jarak tempuh atau waktu tempuh sehingga dapat membantu pengguna untuk mendapatkan fasilitas terdekat. Anggapan dasar dari metode P-Median adalah : a) pelayanan diberikan oleh simpul-simpul pelayanan, b) heterogenitas wilayah ditunjukkan oleh adanya simpul-simpul dan panjang jarak antar simpul, dan c) biaya transportasi adalah fungsi dari bobot simpul dan jarak. Metode P-Median pertama kali dipelajari pada tahun 1964 oleh Hakimi dan kemudian pada tahun 1974 Shajamadas dan H. Benyamin Fisher menggunakan metode ini sebagai salah satu cara dalam menentukan hirarki lokasi untuk satuan wilayah perencanaan daerah pedesaan di India. Selain itu pada tahun 1974, E. Harvey, Ming Sing Hung dan I. Randal Brown menggunakan metode ini untuk mengidentifikasi dan mengaktifkan growth center bagi Sierra Leona (Ashar, 2002). Marianov dan Serra (2006) menggunakan metode P-Median ini untuk membangun model pembangunan suatu fasilitas darurat dan juga non darurat di Spanyol. Sedangkan Rahman dan Smith (2000) menggunakan metode P-Median untuk merencanakan pembangunan fasilitas kesehatan di negara berkembang. P-Median merupakan salah satu jenis model optimasi. Model ini pada dasarnya bertujuan untuk menentukan lokasi fasilitas pelayanan atau pusat pelayanan (supply center) agar tingkat pelayanan yang diberikan oleh fasilitas dan pusat tersebut kepada penduduk (demand point) yang tersebar secara tidak merata
18 dalam suatu area menjadi optimal. Dalam model ini, pusat pelayanan (supply center) merupakan titik yang akan ditentukan lokasinya, sedang titik permintaan (demand point) merupakan lokasi yang telah ditentukan terlebih dahulu. Dasar dari metoda P-Median adalah teori yang dikembangkan oleh Hakimi yang menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpul pada jaringan (Rushton, 1979). Rumus yang digunakan untuk menyatakan dalil tersebut adalah sebagai berikut: …………………… ………....(2-1)
Dimana: Z
=
total jarak tempuh (total travel)
n
=
jumlah simpul yang dianalisis
p
=
jumlah simpul yang dicalonkan sebagai pusat
aij
=
1 jika simpul yang dilayani i lebih dekat ke simpul j daripada ke simpul pelayanan lainnya; jika tidak aij = 0
wij
=
bobot dari simpul yang dilayani (i)
dij
=
jarak terpendek antara simpul yang dilayani (i) ke simpul yang pelayanan (j) Rumus tersebut dapat ditafsirkan menjadi meminimumkan total jarak
tempuh dari simpul yang dilayani (i) ke simpul pelayanan (j) untuk m simpul pelayanan yang dipilih dari sejumlah n simpul untuk melayani sejumlah (n-m) simpul. Berdasarkan perbandingan antara beberapa teori dan model tata ruang yang telah dibahas sebelumnya maka dipilih metode P-Median sebagai metode yang dianggap sesuai untuk menyelesaikan permasalahan penentuan lokasi pasar induk Kabupaten Bogor. Karena terdapat kesesuaian-kesesuaian dan pemenuhan terhadap anggapan dasar metoda P-Median, yaitu:
19 1. Penentuan lokasi pasar induk didasarkan atas simpul-simpul yang berada di dalam suatu jaringan yaitu jaringan jalan 2. Pelayanan diberikan oleh pasar induk. Dalam pengoperasiannya metoda P-Median tidak berdiri sendiri, akan tetapi ditunjang oleh program komputer/software Java Applets P-Median Solver. Model analisis ini sejak tahun 1998 mulai diperkenalkan sebagai salah satu mata ajaran pada mata kuliah Facilities Design and Logistics oleh Professor Phill Kaminsky dari University of Berkeley, informasi lebih rinci dapat diperoleh dari
[email protected]. Software P-Median Solver ini disediakan secara gratis melalui situs internet http://www.hyuan.com/java/index.html, yang untuk mengolah datanya harus dalam keadaan on line dengan situs tersebut. Program ini dapat digunakan untuk menganalisis suatu wilayah dengan jumlah simpul yang besar sampai dengan 99 simpul. Program tersebut digunakan untuk ketepatan penentuan jalur terpendek dan penentuan pusat-pusat yang dipilih dari sejumlah simpul tidak dapat dihitung secara manual. Karena jika jumlah node dan link mecapai puluhan bahkan ratusan akan sulit dan tidak efektif dengan perhitungan secara manual. Berdasarkan pertimbangan tersebut dan mengingat banyaknya simpul yang akan dianalisis maka dipergunakan program GAMS. Kelebihan dari program GAMS adalah dapat digunakan untuk mengembangkan skenario yang dibangun dan sekaligus menguji simulasi-simulasi yang digunakan. 2.4. Pengertian Pasar Induk Pengertian pasar secara luas adalah suatu kondisi dimana pembeli dan penjual dapat berhubungan. Dengan demikian, pasar dapat berarti secara fisik dan non fisik. Pengertian pasar secara fisik adalah suatu tempat dimana penjual dan pembeli dapat saling bertemu dan berinteraksi. (Winardi, 1992). Sedangkan menurut Suganda et al., (2009) pasar merupakan sebuah fasilitas umum perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sehari-hari penduduk kota. Pasar adalah sarana perkotaan yang merupakan tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Salah satunya yang ditransaksikan adalah sayuran dan buah-buahan.
20 Dewasa ini, hasil produksi sayuran dan buah-buahan
dipasarkan di
dalam negeri maupun untuk ekspor. Sayuran dan buah-buahan yang dipasarkan di dalam negeri dapat disalurkan ke berbagai pasar seperti pasar umum, pasar swalayan, pasar khusus dan pasar induk. Pasar induk merupakan pusat distribusi yang menampung hasil produksi petani dalam jumlah partai besar yang dibeli oleh para pedagang tingkat grosir. Komoditi pertanian tersebut kemudian dilelang atau dijual kepada para pedagang tingkat eceran untuk selanjutnya diperdagangkan di pasar-pasar eceran yang tersebar di berbagai tempat mendekati lokasi para konsumen. (Anonymous, 2008). Sedangkan menurut Anonymous (1998) pasar induk merupakan pusat penampungan dan pemasaran golongan komoditi tertentu dalam berbagai jenis. Biasanya dijual dalam skala tertentu pula. Di pasar ini pembeli umumnya adalah pedagang pengecer atau pedagang khusus. Contoh pasar induk antara lain adalah pasar induk sayuran dan buah-buahan, pasar induk beras, dan pasar induk bunga. Menurut Lilanda (1997) dalam Wahyudi dan Linawati (2007) pasar induk adalah pasar dimana terdapat permintaan dan penawaran dalam jumlah besar, merupakan tempat pengumpulan dan penyimpanan bahan-bahan pangan untuk disalurkan ke grosir-grosir dan pusat-pusat pembelian. Pasar induk ini memiliki tempat yang strategis dan luas, bangunan permanen, mempunyai kemampuan pelayanan meliputi seluruh wilayah kota dan barang-barang yang diperjualbelikan lengkap. Menurut Anonymous (2008) pasar induk diperlukan untuk melayani jumlah penduduk diatas tiga juta jiwa.