II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengembangan Wilayah Pembangunan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan untuk mencapai hasil yang lebih baik di masa yang akan datang. Sebagai proses yang bersifat terpadu, pembangunan dilaksanakan berdasarkan potensi lokal yang dimiliki, baik potensi sumber daya alam, manusia, buatan, maupun sumber daya sosial. Pembangunan juga merupakan upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik. Tujuan akhir pembangunan adalah tercapainya kesejahteraan bagi masyarakat (Rustiadi et al., 2011). Perencanaan pembangunan menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004) merupakan upaya untuk memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta menggunakan asumsi-asumsi tentang masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Pada umumnya suatu perencanaan mengandung beberapa hal pokok yang meliputi: (1) Adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta yang ada, (2) Adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan, (3) Adanya tujuan yang dicapai sebagai sarana atau alat untuk mencapai tujuan tersebut, (4) Bersifat memprediksi sebagai langkah untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi pelaksanaan perencanaan, (5) Adanya kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus dilaksanakan. Perencanaan dapat dilakukan dengan pendekatan sektoral dan pendekatan regional. Pendekatan sektoral memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada diwilayah tersebut, sedangkan pendekatan regional memperhatikan penggunaan ruang untuk kegiatan produksi barang dan jasa, memprediksi arah konsentrasi kegiatan, memperkirakan kebutuhan fasilitas untuk masing-masing konsentrasi kegiatan dapat dihubungkan secara efisien. Pendekatan pembangunan
10 wilayah harus tergabung antara pendekatan sektoral dan pendekatan regional (Tarigan, 2005). Pembangunan berbasis sumber daya kelautan dan perikanan harus dijadikan sebagai arus utama pembangunan nasional baik secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Hal ini dikarenakan beberapa alasan yaitu: (1) melimpahnya sumber daya yang kita miliki, dengan sejumlah keunggulan komparatif sekaligus kompetitif yang sangat tinggi; (2) keterkaitan yang kuat (backward dan forward linkage) antara industri berbasis kelautan dan perikanan dengan industri dan aktivitas ekonomi lainnya; (3) merupakan sumber daya yang senantiasa dapat diperbaharui sehingga keunggulan komparatif dan kompetitif ini dapat bertahan lama asal diikuti dengan pengelolaan yang arif; (4) dari aspek politik, stabilitas politik dalam dan luar negeri dapat dicapai jika kita memiliki jaminan keamanan dan pertahanan dalam menjaga kedaulatan perairan; dan (5) dari sisi sosial dan budaya, merupakan penemuan kembali (reinventing) aspek kehidupan yang pernah dominan dalam budaya dan tradisi kita sebagai bangsa maritim (Dahuri, 2002). Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari, 1989 diacu dalam Pulu, 2011). Pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional yang sinergis antar sektor pembangunan, sehingga setiap kegiatan pembangunan dalam kelembagaan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Dalam pandangan sistem industri, keterpaduan sektoral berarti keterpaduan sistem input dan output industri yang efisien dan sinergis. Oleh karena itu, wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis (Rustiadi et al., 2011). Menurut Rustiadi et al. (2011), skala prioritas diperlukan dalam suatu perencanaan pembangunan karena keterbatasan sumber daya yang tersedia. Dari
11 dimensi pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan wilayah, dan lain-lain); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektorsektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya. Dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, maka pemerintah seharusnya mengarahkan pengeluarannya kepada sektor-sektor unggulan karena mempunyai nilai keterkaitan dan multiplier effect yang besar. Selain pemerintah, peran yang sangat diharapkan adalah dari investasi. Investasi yang mengarah kepada sektor unggulan juga akan meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian daerah. Kinerja pembangunan daerah dapat tercapai apabila penganggaran telah sesuai dengan tujuan daerah itu sendiri, diantaranya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan wilayah, dan meningkatkan daya beli masyarakat (Suryawardana, 2006). Sebaran Nilai Tambah Bruto tiap sektoral yang mencerminkan tingkat berkembangnya struktur perekonomian wilayah, dari struktur ini dapat menjadi dasar untuk penetapan perencanaan pengembangan wilayah suatu daerah. Berdasarkan kontribusi sektoral ini dapat dilihat apakah dominasi struktur ekonomi suatu daerah berbasis SDA (primer), berbasis pada kegiatan ekonomi produktif dan industrialisasi (sekunder), dan atau jasa pelayanan dan perbankan (tersier). Indikator-indikator ekonomi ini penting bagi investor untuk mengetahui kegiatan ekonomi yang berkembang di suatu daerah (Jusuf, 2012). Sebagai penciri struktur ekonomi perkotaan, Jusuf (2012) juga mengatakan bahwa sektor basis yang berkembang di suatu wilayah dengan penyumbang struktur pembentukan ekonomi wilayah terbesar terlihat dari berkembanganya sektor-sektor dengan basis kegiatan yang bergerak pada sektor sekunder dan sektor tersier. Sektor sekunder ini berupa sektor lanjutan dari penunjang sektor primer (manufactur) yang cenderung berkaitan pada sumber daya manusia, modal, teknologi dan bahan baku yang berasal dari sektor primer. Sektor ini meliputi lapangan usaha industri pengolahan, gas, listrik, air minum dan konstruksi.
12 Sedangkan untuk sektor tersier merupakan sektor ekonomi yang berkaitan dengan nilai tambah yang diperoleh dari proses pengolahan informasi, daya cipta, organisasi dan koordinasi antar manusia sehingga tidak memproduksi dalam bentuk fisik melainkan dalam bentuk jasa. Sektor ini meliputi lapangan usaha perdagangan, restoran, hotel, angkutan, keuangan, komunikasi, dan jasa-jasa. 2.2 Peranan Subsektor Perikanan dalam Pengembangan Wilayah Tujuan pokok dari pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom adalah untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerah. Cara yang efektif dan efisien untuk membangun ekonomi daerah adalah melalui pendayagunaan berbagai sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah. Pada saat ini sumber daya ekonomi yang dimiliki dan siap didayagunakan untuk pembangunan ekonomi daerah adalah sumber daya agribisnis seperti sumber daya alam. Perikanan telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah peradaban manusia dari sejak zaman prasejarah, zaman batu (tone age), hingga zaman modern sekarang ini. Bahkan sejak sejak zaman manusia purba (Homo Erectus dan Australophiticus) ikan telah menjadi menu makanan manusia purba tersebut (Zuggarrmudi et al., 1995 diacu dalam Fauzi, 2010). Perikanan di zaman modern tidak meninggalkan peranan utamanya sebagai pemenuhan kebutuhan pangan, khususnya protein hewani sebagaimana telah dilakukan sejak zaman prasejarah. Subsektor perikanan menyediakan rata-rata paling tidak 15 persen protein hewani per kapita kepada lebih dari 2,9 miliar penduduk dunia (Fauzi, 2010). Acherson diacu dalam Fauzi (2010) mengatakan bahwa 200 juta ternak dibutuhkan untuk mensubsidi kebutuhan protein dari ikan tersebut. Serta data FAO menunjukkan hampir 1 milyar penduduk dunia yang umumnya tinggal di negara berkembang sangat menggantungkan protein hewaninya dari hasil perikanan laut. Peranan ekonomi pada subsektor perikanan juga dapat dilihat dari kontribusinya terhadap lapangan pekerjaan. Perikanan baik secara langsung maupun tidak langsung memainkan peranan penting bagi jutaan orang yang
13 bergantung hidupnya pada subsektor perikanan. Data FAO tahun 2009 diperkirakan 43,5 juta orang tahun 2006 secara langsung terlibat dalam kegiatan perikanan baik sebagai pekerja penuh maupun paruh waktu. Perikanan telah menjadi “mesin pertumbuhan” ekonomi regional dibeberapa negara yang secara “budaya” sudah menjadikan ikan sebagai bagian hidup mereka (Fauzi, 2010). 2.3 Permasalahan Pembangunan Perikanan Secara umum sumber daya dapat dikelompokkan sebagai sumber daya alam (natural resources), sumber daya manusia (human resources), sumber daya buatan (man made resources), dan sumber daya sosial (social recources). Dalam pengelompokan ini, sumber daya perikanan tergolong sebagai sumber daya alam yang lebih khusus lagi diklasifikasikan sebagai sumber daya alam flow (alir), dimana jumlah kuantitas fisiknya berubah sepanjang waktu. Dengan kata lain, disebut sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable) tergantung pada proses reproduksinya.
Berdasarkan
sifat
persaingan
untuk
memanfaatkan
dan
kemungkinan penguasaannya, maka sumber daya perikanan digolongkan sebagai barang publik (public goods1) karena memiliki dua sifat dominan yaitu nonrivalry dan non-excludable (Fauzi, 2006). Menurut Widodo dan Suadi (2006), beberapa ciri yang dapat menjadi patokan perikanan sedang menuju kondisi overfishing adalah: (1) waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya; (2) lokasi melaut menjadi lebih jauh dari biasanya; (3) ukuran mata jaring menjadi lebih kecil dari biasanya; (4) produktivitas (hasil tangkapan per satuan upaya atau trip, CPUE) yang menurun; (5) ukuran ikan sasaran yang semakin kecil; dan (6) biaya operasional penangkapan yang semakin meningkat. Fauzi dan Anna (2005) menyatakan bahwa penyebab utama krisis perikanan global adalah buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari dua fenomena menonjol, yaitu overcapacity dan destruksi habitat. Dari kedua fenomena itu kemudian muncul berbagai penyebab lain, misalnya subsidi yang massive, 1
Public goods memiliki dua kata kunci. Pertama, dia adalah non-rival yang berarti pemakaian oleh seseorang pengguna tidak mengurangi pasokan yang tersedia bagi yang lainnya. Kedua, dia adalah non-excludable, artinya para pengguna public goods tidak dapat dikecualikan dari penggunaan public goods tersebut.
14 kemiskinan, overfishing dan berbagai turunannya. Overcapacity di subsektor perikanan akan menimbulkan berbagai masalah, yaitu: (1) tidak sehatnya kinerja subsektor perikanan sehingga permasalahan kemiskinan dan degradasi sumber daya dan lingkungan menjadi lebih persisten; (2) menimbulkan tekanan yang intens untuk mengeksploitasi sumber daya ikan melewati titik lestarinya; (3) menimbulkan inefisiensi dan memicu economic waste sumber daya yang ada, di samping menimbulkan komplikasi dalam pengelolaan perikanan, terutama dalam kondisi akses yang terbuka (open acces). Penyusutan sumber daya perikanan di Indonesia makin diperparah oleh adanya otonomi daerah, dimana setiap daerah terus memacu pendapatan setinggi-tingginya melalui eksploitasi sumber daya perikanan tanpa memperhitungkan daya dukungnya. Menurut
Fauzi
dan
Anna
(2005),
permasalahan
perikanan
dan
penyelesaiannya akan sangat tergantung pada bagaimana kita mengambil pelajaran dari kegagalan-kegagalan yang terjadi di masa lalu (path dependency). Dengan demikian maka pembangunan perikanan akan lebih banyak dilaksanakan oleh segenap masyarakat yang didukung oleh pemerintah melalui instansi terkait sebagai penyedia prasarana dan sarana yang bersifat non komersial dan bersifat pembinaan. Sependapat dengan hal tersebut, Widodo dan Suadi (2006) menyatakan bahwa pengelolaan perikanan merupakan proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya, dan implementasi dari aturan-aturan main di bidang perikanan dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas sumber daya dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Fauzi dan Anna (2005) juga menyatakan bahwa kebijakan pengelolaan perikanan tradisional didominasi oleh penentuan tingkat produksi lestari maksimum (Maximum Sustainable Yield, MSY). Pendekatan ini lebih diarahkan pada sisi biologi semata tanpa mempertimbangkan aspek lain dalam pengelolaan perikanan. Dalam kenyataannya, pendekatan MSY sering mengalami kegagalan karena bersifat umum dan abstrak serta didasarkan pada indikator yang tidak jelas (measuring unmeasurable). Oleh karena itu disarankan agar kebijakan pengelolaan perikanan lebih didasarkan pada kapasitas perikanan dibandingkan dengan yang berbasis MSY. Kebijakan berbasis kapasitas ini dikenal dengan
15 istilah CuCme yang merupakan kependekan dari Capacity Utilization dan Capacity Measurement. Kapasitas perikanan dapat diartikan sebagai: (1) kemampuan input (kapital) untuk menghasilkan produksi perikanan; (2) kapasitas optimum hanya bisa dicapai dengan biaya pengelolaan yang minimum; dan (3) jumlah stok ikan maksimum yang dapat dihasilkan jika input yang digunakan dalam kondisi biologi, ekonomi, dan teknologi yang optimum. Pendekatan CuCme bekerja dengan mendeteksi terlebih dahulu penyakit inefisiensi baik dari sisi teknis, ekonomis, maupun biofisik yang menjadi penyebab buruknya kinerja perikanan. Hal ini dilakukan dengan mengukur kapasitas perikanan pada suatu wilayah terlebih dahulu. 2.4 Keterkaitan Sektor Perkembangan perekonomian suatu daerah sangat tergantung pada besar atau kecilnya aliran investasi ke daerah bersangkutan. Semakin besar investasi ke suatu daerah maka akan semakin pesat pula perkembangan perkembangan perekonomiannya, sebaliknya semakin kecil aliran investasi ke suatu daerah maka akan semakin lambat pula perkembangan perekonomiannya. Artinya terdapat hubungan positif antara besarnya realisasi investasi dengan tingkat perkembangan perekonomian suatu daerah (Jusuf, 2012). Untuk melihat suatu wilayah yang berkembang adalah dengan adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dimana terjadi transfer input dan output barang maupun jasa secara dinamis dan terbuka. Untuk melihat transfer input dan output barang dan jasa antar sektor dapat dipakai tabel input-output (I-O). Melalui model I-O dapat ditunjukkan seberapa besar aliran keterkaitan antar sektor dalam suatu ekonomi. Dari hubungan ekonomi yang sederhana ini jelaslah kelihatan pengaruh yang bersifat timbal balik antara sektor tersebut. Suatu wilayah dapat berkembang melalui berkembangnya sektor-sektor unggulan di wilayah tersebut yang pada akhirnya akan mendorong berkembangnya sektor-sektor lainnya yang selanjutnya sektor sektor tersebut akan turut berkembang dan mendorong sektorsektor terkait sehingga membentuk keterkaitan antar sektor. Menurut Hirschman, 1958 diacu dalam Muflikhati et al., (1996) bahwa keterkaitan (linkage) merupakan aplikasi dari Model Input-Output (I-O) yang penting dalam pembangunan perekonomian. Industri (sektor) yang satu terkait
16 dengan sektor lain dalam dua kaitan, yaitu kaitan ke depan (forward linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Kaitan ke depan menunjukkan besarnya output yang dijual kepada sektor lain terhadap total output sektor tersebut. Sedangkan kaitan ke belakang menunjukkan hubungan antara banyaknya pembelian dari sektor lain terhadap keseluruhan input sektor tersebut Bagi perencana daerah penggunaan model I-O menurut Daryanto dan Hafizrianda (2010) dapat mendatangkan keuntungan dalam beberapa hal antara lain: (1) dapat memberikan deskripsi lebih rinci mengenai perekonomian nasional ataupun perekonomian regional dengan menguantifikasikan ketergantungan antar sektor dan asal (sumber) dari ekspor dan impor; (2) untuk suatu perangkat permintaan akhir dapat ditentukan besaran output dari setiap sektor dan kebutuhannya akan faktor produksi dan sumber daya; (3) dampak perubahan permintaan terhadap perekonomian baik yang disebabkan oleh swasta maupun pemerintah dapat ditelusuri dan diramalkan secara terperinci; dan (4) perubahanperubahan permintaan terhadap harga relatif dapat diintegrasikan ke dalam model melalui perubahan koefisien teknik. Model I-O dapat juga dijadikan sebagai alat pengambil keputusan dalam merencanakan pembangunan sektoral. Dari hasil analisis I-O dapat diputuskan sektor-sektor yang dijadikan sebagai leading sector atau sektor pemimpin dalam pembangunan ekonomi. Dengan memfokuskan pembangunan pada sektor-sektor yang menjadi pemimpin maka target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat dicapai dengan lebih baik. Suatu sektor yang terindikasi sebagai pemimpin dianggap memiliki kemampuan daya sebar dan kepekaan yang sangat tinggi dalam suatu perekonomian, sehingga efek yang diberikan bersifat ganda (Daryanto dan Hafizrianda 2010). Menurut Setiono (2010), model analisa Input-Output mampu menyajikan gambaran rinci mengenai struktur ekonomi dan hubungan antar sektor dalam perekonomian wilayah pada suatu waktu tertentu. Dengan menggunakan model Input-Output, perencana ekonomi dapat menerapkan beberapa kemungkinan skenario pembangunan dan menilai berbagai dampak yang akan terjadi untuk masing-masing skenario.
17 Secara metodologi tabel I-O mempunyai beberapa keterbatasan hal ini dikarenakan model I-O yang dilandasi oleh asumsi-asumsi dasar sebagai berikut: (Rustiadi et al., 2009) (1) Asumsi homogenitas yang mensyaratkan bahwa tiap sektor hanya memproduksi suatu jenis output yang seragam (homogenity) dengan sruktur input tunggal dan antar sektor tidak dapat saling mensubstitusi. (2) Asumsi linieritas/proporsionalitas yang mensyaratkan bahwa dalam proses produksi, hubungan antara input dan output merupakan fungsi linier atau berbanding lurus (proporsionality), yang berarti perubahan tingkat output tertentu akan selalu didahului oleh perubahan pemakaian input yang sebanding. (3) Asumsi aditivitas, yaitu efek keseluruhan dari kegiatan produksi di berbagai sektor merupakan penjumlahan (additivity) dari proses produksi masingmasing sektor secara terpisah. Dengan kata lain, di luar sistem input-output semua pengaruh dari luar diabaikan. Jika dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang memiliki kewenangan
untuk
menggali
sumber-sumber
keuangan,
mengelola
dan
menggunakan sendiri pembiayaan pembangunan daerah, model I-O penting sebagai landasan analisis perencanaan pembangunan daerah. Dengan analisis I-O, keterkaitan antar sektor-sektor ekonomi dapat dilihat, sehingga pada saat penetapan alokasi anggaran pembangunan sektoral, pada akhirnya dapat membangkitkan efek sebar yang tinggi dalam mewujudkan pembangunan. Dalam hal kontribusi PDRB, suatu sektor yang memiliki kontribusi ekonomi sangat besar, belum tentu memiliki efek sebar yang besar pula dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi wilayah. Padahal dampak pembangunan ekonomi suatu sektor tidak cukup hanya dilihat dari kemampuannya menciptakan PDRB, namun yang lebih penting adalah bagaimana sektor tersebut mampu menggerakkan seluruh roda perekonomian wilayah. Maka model I-O sangat diperlukan untuk memotret fenomena semacam ini (Daryanto dan Hafizrianda, 2010).