II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Agroindustri Perdesaan Mwabu dan Thorbecke (2001) menyatakan bahwa fokus dari kebijakan pembangunan perdesaan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan dengan memulai kebijakan tersebut di perdesaan seperti halnya selama ini telah dilakukan di wilayah perkotaan. Kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri agro-based di wilayah perkotaan akan merangsang produksi dari produk pertanian perdesaan yang digunakan sebagai input dalam agroindustri di perkotaan. Selanjutnya industri kota juga memerlukan pasar yang besar di perdesaan, investasi dalam pembangunan infrastruktur komersial, misalnya jalan penghubung dan telekomunikasi akan sangat berguna bagi penduduk perdesaan. Pengembangan agroindustri menjadi penting karena usaha ini memiliki multiplier effect yang lebih besar bila dibandingkan dengan industri lainnya. Pengembangan agroindustri merupakan langkah yang perlu dijadikan prioritas melebihi yang telah dilakukan selama ini. Beberapa pertimbangan yang mendukung pengembangan agroindustri sebagai sektor pemimpin adalah: (1) sektor agroindustri memiliki pangsa besar dalam perekonomian sehingga kemajuan yang diperoleh dapat mempengaruhi perekonomian secara keseluruhan, (2) Pertumbuhan dan nilai tambah relatif tinggi dan (3) Adanya keterkaitan antara sektor hulu dan hilir yang relatif besar sehingga mampu menarik pertumbuhan pada sektor lain (Rustiadi et al, 2004). Agroindustri pada dasarnya mencakup pengolahan atau penanganan produksi pertanian. Ada produksi pertanian yang perlu diolah (dirubah susunan kimianya) menjadi bentuk lain yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, baik bentuk, citarasa, warna, guna dan baunya. Selain itu ada juga produk pertanian yang hanya perlu ditangani sedemikian rupa agar tetap segar sampai ke konsumen, misalnya pada produk pertanian buah-buahan dan sayur-sayuran. Pengembangan sistem agribisnis yang menunjukkan adanya keterkaitan vertikal antar sub-sistem agribisnis serta keterkaitan horisontal dengan sistem atau subsistem lain seperti jasa jasa (finansial, perbankan, transportasi, perdagangan, pendidikan dan lain-lain). Keterkaitan ini (industrial linkages) sebenarnya sudah
lama disadari oleh ekonom pasca revolusi industri, sehingga mereka menekankan arti strategis dari menempatkan pertanian dan perdesaan sebagai bisnis inti (core business) dalam kaitannya dengan proses industrialisasi (Pambudy, 2005). Secara singkat lingkup model pembangunan atau paradigma agribisnis dapat digambarkan sebagai berikut: Subsistem Agroindustri
Subsistem Usahatani
Industri Perbenihan/ Pembibitan Industri Agrokimia Industri Agrootomotif
Usaha tanaman pangan dan hortikultura Usaha Perkebunan Usaha Peternakan
Subsistem Pengolahan Industri makanan Industri minuman Industri rokok Industri barang serat alam Industri biofarma Industri agrowisata dan estetika
Subsistem Pemasaran
Distribusi Promosi Informasi pasar Kebijakan perdagangan Struktur pasar
Subsistem Jasa dan Penunjang Perkreditan dan Asuransi Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Penyuluhan Transportasi dan Pergudangan
Gambar 1. Lingkup Pembangunan Sistem Agribisnis Sumber: Pembangunan Sistem Agribisnis sebagai Penggerak Ekonomi Nasional (Deptan, 2001)
Faktor ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah pembangunan disamping faktor-faktor lainnya. Para ahli studi pembangunan bahkan meyakini pentingnya faktor ini dalam proses pembangunan sebagai faktor yang mempunyai determinan tinggi. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan yang banyak terjadi di negara-negara berkembang, di mana pada umumnya mereka memberikan prioritas yang tinggi terhadap pembangunan ekonomi. Keadaan ekonomi yang meningkat diharapkan dapat memberikan kesempatan yang lebih baik untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan di bidang lainnya, sehingga lebih
mengejar
pertumbuhan ekonomi
sebagai
indikator
keberhasilan
pembangunan. Stabilitas ekonomi menjadi target utama yang harus diwujudkan melalui proses pembangunan, karena dengan adanya stabilitas ekonomi yang
dinamis, proses pembangunan akan berhasil dengan baik, walaupun hal itu tidak dapat dilepaskan dari adanya stabilitas di bidang lainnya (Riyadi dan Bratakusumah, 2005). Anwar (2005) menyatakan bahwa peranan pemerintah dalam pembangunan adalah memberikan modal permulaan untuk mereplikasi pertumbuhan kota-kota kecil yang mempunyai lokasi strategik, yang selebihnya dibangun sistem insentif melalui pajak dan transfer dalam mendorong pihak swasta untuk turut serta membinanya. Sumbangan kota kecil dalam bentuk fasilitas urban seperti penyediaan infrastruktur, khususnya dalam upaya untuk mengatasi persoalan yang mer.garah kepada pengurangan kesenjangan produktifitas antara kegiatan sektorsektor pertanian dan non-pertanian melalui peningkatan human capital, social capital dan teknologi wilayah perdesaan di sekitar kegiatan non-pertanian tersebut diutamakan yang dapat memberikan dampak kepada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan mengurangi defisit neraca perdagangan. Jenis kegiatan tersebut akan sangat ditentukan oleh kemampuan strategi kebijakan pertanian dalam meningkatkan keunggulan kompetitif produk-produk pertanian olahan dari kegiatan agroindustri baik untuk permintaan di pasaran domestik maupun dunia. Dalam kaitan dengan strategi tersebut keunggulan komparatif dari masing-masing wilayah ditentukan oleh keadaan ekosistemnya. Oleh karena itu disamping perlunya fasilitas perkotaan umum, diperlukan juga organisasi dan kelembagaan yang melengkapinya (bank-bank, sekolah-sekolah umum, pusat koperasi pertanian, pusat penelitian) yang harus disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan setempat. Pada saat sekarang telah terlihat kecenderungan terjadinya pergeseran preferensi konsumen dari permintaan komoditas kepada permintaan produkproduk pertanian olahan yang pada umumnya lebih mempunyai mutu-mutu yang baku (standardized quality). Dengan demikian strategi pengembangan sektor pertanian yang diolah dan dibakukan dalam kegiatan agroindustri haruslah berorientasi pada peningkatan dan keseragaman mutu tersebut, agar produk-produk pertanian mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun luar negeri. Peningkatan dan keseragaman mutu produk-produk memberikan implikasi tentang perlunya penggunaan teknologi maju pada sistem produksi, pengolahan dan
pemasaran. Penggunaan teknologi maju dalam sistem produksi ini akan membawa konsekuensi bahwa ratio modal dan tenaga kerja yang meningkat skillnya menjadi tetap. Dengan perkataan lain, koefisien teknis sistem produksi pertanian olahan yang maju tidak dapat berubah-ubah lagi. Salah satu dampak dari koefisien teknis yang bersifat demikian mengarah kepada keadaan bahwa produk-produk sektor pertanian primer (budidaya) menjadi kurang mampu daya serapnya untuk menampung terhadap penyerapan tenaga kerja. Dan untuk meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut hanya dapat dilakukan melalui penambahan modal. Hal ini berarti bahwa sektor primer pertanian tidak dapat diharapkan terlalu banyak untuk menyerap tenaga kerja, yang membawa implikasi perlunya mengembangkan sektor komplemen agroindustri beserta kegiatan lainnya yang berkaitan dan turut membantu meningkatkan kapasitas penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di wilayah perdesaan. Sektor komplemen tersebut selain untuk membantu penyerapan tenaga kerja juga diharapkan dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga di wilayah perdesaan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sektor komplemen haruslah memenuhi syarat sebagai berikut: Pertama, produk sektor komplemen haruslah produk yang dihasilkan oleh masyarakat perdesaan lokal yang menjadi penghasil maupun penerima dari nilai tambah sektor utama. Syarat ini harus dipenuhi agar sektor pertanian mampu mengartikulasikan sektor komplemen melalui media penghubung keterkaitan dengan kegiatan konsumsi. Dengan jumlah penduduk perdesaan yang cukup besar, maka prospek pasar komoditas non-pangan (industri manufaktur) di wilayah perdesaan sangat baik, sehingga untuk meminimumkan biaya distribusi produk-produk olahan maka sebaiknya industri non-pertanian yang mendukung kegiatan sektor pertanian lokasinya juga di wilayah perdesaan. Kedua, produk-produk sektor komplemen yang dikembangkan sebaiknya merupakan produk yang mampu mengendurkan kendala permintaan (relaxing demand constraint) dalam masyarakat perdesaan. Strategi pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan permintaan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat. Dengan meningkatnya pendapatan masyarakat tersebut diharapkan permintaan terhadap produksi non-pertanian juga meningkat.
Ketiga, disamping kegiatan agroindustri, maka jenis kegiatan industri lain yang dibangun sebaiknya diprioritaskan pada industri yang mempunyai intensitas penggunaan tenaga kerja yang tinggi. Syarat ini harus dipenuhi agar di wilayah perdesaan mampu menyediakan kesempatan kerja di luar usaha tani yang mampu menampung pertumbuhan tenaga kerja pada masyarakat perdesaan. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan diharapkan akan dapat mendukung kebijakan strategi pembangunan pertanian di wilayah perdesaan, sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mampu menyediakan kesempatan
kerja.
Untuk
itu
pembangunan
sektor
primer
dan
sektor
komplemennya sebaiknya dilakukan secara bersama-sama agar diperoleh dampak sinergis yang kuat terhadap kinerja sistem ekonomi perdesaan.
2.2 Kelembagaan Agroindustri Kelembagaan dipandang penting mengingat kelembagaan inilah yang mendasari keputusan untuk produksi, investasi dan kegiatan ekonomi lainnya, yang dibuat oleh individu atau sebuah organisasi dalam konteks sosial atau interaksi dengan pihak lain. Perubahan dalam kelembagaan akan mengubah gugus oportunitas yang dihadapi oleh para pelaku ekonomi sehingga keragaan ekonomi, seperti produksi, kesempatan kerja, kemiskinan, kerusakan lingkungan, distribusi pendapatan dan lain-lain menuntut adanya perubahan dalam kelembagaan (Pakpahan, 1991). Menurut Mubyarto (1989), yang dimaksud dengan lembaga adalah organisasi atau kaidah-kaidah, baik formal maupun informal, yang mengatur perilaku dan tindakan anggota masyarakat tertentu, baik dalam kegiatan rutin sehari-hari maupun dalam usahanya untuk mencapai tujuan tertentu. Lembagalembaga dalam masyarakat desa ada yang bersifat asli berasal dari adat kebiasaan yang turun temurun, tetapi juga ada yang baru diciptakan, baik dari dalam maupun dari luar masyarakat desa tersebut. Adapun pengertian lain dari kelembagaan yaitu merupakan seperangkat aturan tingkah laku yang mengatur pola hubungan dan pola tindakan. Kelembagaan sangat penting dalam pembangunan nasional karena mempunyai konstribusi yang besar dalam memecahkan masalah aktual yang dihadapi oleh masyarakat. Konstribusinya dalam proses pembangunan adalah
mengkoordinasikan para pemilik input dalam rangka menghasilkan output serta mendistribusikan output tersebut. Hayami dan Kikuchi (1987) mendefinisikan lembaga (pranata) sebagai aturan-aturan yang dikukuhkan dengan sanksi oleh para anggota komunitas. Aturan-aturan tersebut memudahkan koordinasi dan kerjasama di antara penduduk dalam pemakaian sumber-sumber daya, dengan membantu mereka membentuk harapan-harapan yang dimiliki setiap orang dalam hubungannya dengan orang lain. Menciptakan, memelihara dan mengubah pranata ini memerlukan kolektif yang berarti memerlukan biaya untuk perundingan dan pelaksanaan. Tindakan untuk perubahan kelembagaan tidak akan tersusun kecuali jika keuntungan dari perubahan itu melebihi biayanya. Sementara itu, penyediaan sumberdaya, teknologi, dan permintaan pasar pun menghendaki perubahan. Pranata-pranata yang efisien sifatnya ketika diciptakan, mungkin menjadi kurang efisien dalam memudahkan alokasi sumberdaya. Ketidakseimbangan yang tumbuh akan menimbulkan kesempatankesempatan memperoleh keuntungan yang cukup besar guna menyusun tindakan kolektif bagi perubahan kelembagaan. Sedangkan Ruttan (1984) mendefinisikan lembaga sebagai aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan hubungan sosial yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan, seperti keluarga, perusahaan dan kantor, yang menjalankan fungsi pengendalian terhadap berbagai sumberdaya. Yustika (2006) menyatakan bahwa kelembagaan tidak statis, namun dinamis
sesuai dengan interaksi ekonomi
yang
mempertemukan antar
kepentingan. Sifat dinamis dari kelembagaan juga disebabkan oleh berubahnya nilai-nilai dan kultur masyarakat seiring dengan perubahan masa. Dengan begitu, kelembagaan pasti akan berubah sesuai dengan tantangan dan kondisi zaman. Pada titik ini, perubahan kelembagaan memiliki dua dimensi. Pertama, perubahan konfigurasi antarpelaku ekonomi akan memicu terjadinya perubahan kelembagaan (institutional change). Dalam pendekatan ini, perubahan kelembagaan dianggap sebagai dampak dari perubahan (kepentingan/konfigurasi) pelaku ekonomi. Kedua,perubahan kelembagaan sengaja didesain untuk mempengaruhi (mengatur) kegiatan ekonomi (termasuk aktor-aktor yang terlibat di dalamnya). Dari dua
spektrum tersebut, dapat diyakini bahwa perubahan kelembagaan sama pentingnya dengan desain kelembagaan itu sendiri. Perubahan kelembagaan di dalam masyarakat berarti terjadinya perubahan di dalam prinsip regulasi dan organisasi, perilaku, dan pola-pola interaksi. Arah perubahan tersebut biasanya menuju ke peningkatan berbagai prinsip-prinsip dan pola-pola umum di dalam kelembagaan yang saling berhubungan. Sementara itu, pada, waktu yang bersamaan terdapat peningkatan kebutuhan untuk melakukan integrasi di dalam sistem sosial yang kompleks. Perbedaan itu dapat berarti juga memperluas mata rantai saling ketergantungan yang menuntut adanya integrasi (Yustika, 2006). Manig (1992), seperti diacu dalam Yustika (2006), menyatakan adanya perubahan kelembagaan mendorong kepada perubahan kondisi-kondisi yang kemudian membuat penyesuaian baru yang diperlukan melalui faktor-faktor eksternal (proses umpan balik permanen). Dengan demikian, perubahan kelembagaan merupakan proses transformasi permanen yang merupakan bagian pembangunan. Oleh karena itu, tujuan utama dari setiap perubahan kelembagaan adalah untuk menginternalisasikan potensi produktivitas yang lebih besar daripada perbaikan pemanfaatan sumber daya yang kemudian secara simultan menciptakan keseimbangan baru (misalnya keadilan sosial). Ragam kelembagaan yang berkembang cukup banyak namun dalam bidang agroindustri yang berkembang di masyarakat petani adalah koperasi, kemitraan, contract farming, dan partisipasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat sudah lama dikenal di Indonesia. Koperasi adalah salah satu badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan para anggotanya (Kartasapoetra, 1993). Menurut UU N0.25 tahun 1992 tentang koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang, atau badan-badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Kelembagaan kedua yang diterapkan di kalangan petani adalah kemitraan. Kemitraan adalah suatu bentuk kerjasama yang menganut asas kesetaraan sebagai konsekuensi logis dari kondisi alamiah bahwa manusia mengakui adanya keterbatasan dan saling ketergantungan. Petani bermitra dengan petani-petani lainnya dalam Koperasi Unit Desa (KUD), kemudian KUD ini bermitra dengan perusahaan besar. Para petani bermitra antar sesama petani untuk mendapatkan skala ekonomi dari komoditi yang dihasilkannya sehingga dapat layak untuk diproses lebih lanjut (agroindustri) atau dijual kepada konsumen. Petani yang bergabung dengan KUD mempunyai potensi lahan, tenaga kerja dan fasilitas kredit dari pemerintah tetapi lemah dalam manajemen, teknologi dan akses pasar. Karena itu perlu bermitra dengan perusahaan besar yang memiliki kemampuan manajemen, modal, teknologi dan akses pasar tetapoii tidak memiliki tenaga kerja dan lahan (terbatas). Kemitraan tersebut akan meningkatkan efisiensi secara bersama secara keseluruhan, sehingga akan memberikan keuntungan yang lebih tinggi pada petani dan perusahaan inti. Pembentukan kemitraan memiliki kelebihan karena lebih mudah dibentuk, lebih luwes diimplementasikan, tidak memerlukan dana yang besar, beriko kecil, serta menimbulkan beberapa efek ganda yang cukup berarti bagi perusahaan (Wahyudi, 1997). Salah satu persoalan besar dari koperasi tradisional (KUD-KUD) yang dibentuk oleh pemerintah ini adalah bahwa para anggotanya tidak pernah mempunyai suatu saham finansial yang cukup besar dalam koperasi. Karena koperasi seperti KUD merupakan bentukan organisasi yang umumnya dibiayai oleh pemerintah. Kebanyakan koperasi-koperasi menderita berbagai persoalan organisasi dan kekurangan (lack of governance), atau tidak mempunyai hak-hak yang
ditegaskan
secara
jelas
(property
rights
assignments),
sehingga
menghasilkan perilaku-perilaku para anggotany yang mengarah opportunistik, seperti kecenderungan mau untung sendiri (free riding), kerusakan moral (moral hazard), persoalan agensi (agency problems), ketidakefisienan birokrasi (bureaucratic inefficiencies) dan kekurangan investasi dalam kegiatan ekonomi koperasi yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, citra koperasi tradisional (KUD) yang dibentuk pemerintah tersebut menjadi buruk dan jumlahnya menyusut dalam waktu akhir-akhir ini (Rustiadi dan Pranoto, 2007).
Kelembagaan ketiga yang diterapkan di kalangan petani adalah contract farming, yaitu bentuk organisasi produksi yang menggabungkan secara vertikal kegiatan petani kecil dengan perusahaan besar agroindustri. Penggabungan petani kecil dengan perusahaan besar tersebut dikenal dengan berbagai istilah seperti Inti Satelit, Usaha Tani Kontrak (contract farming) atau Outgrower System (Glover, 1984). Contract Farming didefinisikan sebagai suatu cara mengorganisasikan produksi pertanian, dimana petani-petani kecil atau outgrower dikontrak oleh suatu badan pusat untuk memasok hasil pertanian sesuai persyaratan yang tercantum dalam kontrak perjanjian. Badan pusat yang merupakan pembeli hasil produksi petani dapat memberikan bimbingan teknis, kredit dan masukan-masukan lainnya. Model kontrak produksi seperti contract farming tersebut juga dikenal sebagai model inti satelit dimana badan pusat sebagai inti membeli hasil pertanian dari petani satelit yang dikontrak tersebut. Dalam uraian khusus yang dipromosikan oleh The Commonwealth Development Corporation (CDC), inti merupakan sebuah nucleous estate, yaitu suatu wilayah kecil beserta unit pengolahan dan kepadanya sejumlah petani dikontrak untuk memasok hasil pertanian (Kirk, 1987). Kelembagaan lainnya di kalangan petani adalah partisipasi, yaitu sebagai suatu keikutsertaan masyarakat secara aktif di dalam mencapai suatu tujuan. Pengalaman praktek dalam pemberdayaan sumberdaya menunjukkan bahwa pengembangan masyarakat partisipatif merupakan pilihan yang cermat untuk memberdayakan masyarakat. Di dalam partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan terjadi secara sukarela dan atas kemauan sendiri, dan sifat kesukarelaan tersebut menjadi ciri dari partisipasi. Partisipasi tidak dapat dipaksakan tetapi harus tumbuh dari kesadaran dan kemauan sendiri. Kurnia (1997), menyatakan bahwa secara umum kelembagaan yang ada di tingkat petani masih berfungsi sebagai lembaga kerjasama dalam melaksanakan kegiatan produksi. Sedangkan tahapan pasca produksi, yaitu pemasaran, pada umumnya belum tersentuh. Pentingnya kesatuan dalam membentuk kelompok pemasaran ini berkaitan pula dengan upaya meningkatkan bargaining position petani terhadap kekuatan lain. Ada kecenderungan bahwa sulitnya petani diikat dalam kegiatan kelompok yang bergerak di dalam bidang pemasaran ini, karena
acapkali mereka dihadapkan kepada kebutuhan yang mendesak. Untuk itu, salah satu prasyarat agar petani bias juga bergabung di dalam kelompok pemasaran (bukan hanya dalam kegiatan produksi), adalah harus adanya dukungan lembaga keuangan. Perlu dipikirkan adanya federasi kelompok tani dalam suatu wilayah administrasi tertentu, yang berfungsi memperjuangkan kepentingan-kepentingan petani dengan pihak luar dan mengatur kesepakatan-kesepakatan di antara para petani dalam menentukan jenis usaha yang akan dipilihnya. Pemberdayaan masyarakat dalam wadah koperasi, khususnya untuk sentra pengembangan agribisnis dan agroindustri dapat dicapai dengan dua tahap. Tahap pertama adalah kerjasama sesama petani melalui koperasi, dan tahap kedua setelah koperasi terbentuk dengan mantap adalah kerjasama kemitraan antara koperasi dengan perusahaan pembimbing. Dalam kelembagaan tersebut intervensi dari pemerintah daerah diperlukan sebagai konsultan dalam membentuk dan menjalankan kemitraan sejajar, yang dapat berperan dalam rekayasa iklim usaha yang kondusif, rekayasa dana dan rekayasa ekonomisasi teknologi tepat sasaran (Maarif, 2000). Menurut Didu (2000), pengembangan kelembagaan agroindustri harus mengindahkan aturan dan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Karena itu diperlukan kajian tentang faktor sosial budaya dan ekosistem dalam pembentukan kelembagaan, agar kelembagaan tersebut mampu menciptakan sumber kehidupan alternatif bagi masyarakat, harapan hidup yang lebih banyak dan lebih baik, rasa keadilan dalam masyarakat dan memberikan jaminan tentang kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pengertian organisasi sering
bercampur
aduk dengan pengertian
kelembagaan. Organisasi berarti adanya hirarki untuk membuat pengambilan keputusan dan didalamnya terdapat unsur kelembagaan. Sedangkan kelembagaan adalah aturan main untuk mengatur prilaku manusia atau organisasi secara individual sehingga kelembagaan membatasi prilaku individu. Oleh karena itu kelembagaan dapat diartikan sebagai aturan main atau rule of the game, the player of the game dan equilibrium rule of the game (Anwar, 2003). Bottomore (1975) dalam Saptana et al, (2001) mendefinisikan kelembagaan sebagai a complex or cluster of roles yang menyebutkan bahwa
konsep peranan (role) merupakan komponen utama kelembagaan. Sedikitnya terdapat lima sistem kelembagaan yaitu : sistem komunikasi, sistem ekonomi, sistem kesepakatan, sistem otoritas dan pembagian kekuasaan serta sistem ritual untuk mempertahankan ikatan-ikatan sosial (social cohession) yang ada. Definisi tersebut jelas menekankan pada pentingnya fungsi dan peranan kelembagaan dalam mewarnai tata kehidupan masyarakat. Menurut North (1991) kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut masyarakat atau anggota yang dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan interaksi. Peran utama kelembagaan dalam masyarakat adalah mengurangi ketidakpastian (uncertainty) dengan menciptakan struktur yang seimbang dalam interaksi manusia (namun tidak otomatis efisien). Rachman (1999) menambahkan bahwa kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk. Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan, pemanfaatan, dan transfer teknologi. Keragaan yang merupakan dampak dari bekerjanya suatu institusi sangat tergantung pada bagaimana institusi mengatur hal-hal tersebut.
2.3 Evaluasi Kelayakan Agroindustri Pengembangan agroindustri memerlukan berbagai kajian kelayakan, yaitu kelayakan teknis, ekonomis dan kelayakan sosial. Kelayakan teknis menyangkut aspek teknis dan teknologi yang digunakan. Menurut Husnan dan Suwarsono (1994) aspek teknis dan teknologis berkaitan dengan penentuan kapasitas produksi, pemilihan teknologi, penentuan kebutuhan bahan baku, bahan pembantu dan bahan pendukung serta penentuan lokasi dan letak pabrik pengolahan. Tarigan (2006) menyatakan bahwa dalam studi kelayakan terkandung berbagai aspek seperti aspek teknis, manajerial, keuangan, sosial ekonomi dan dampak lingkungan. Dari sudut pertimbangan teknis perlu dilihat apakah proyek itu memang dapat dibangun, misalnya setelah memperhatikan lokasi, bahan yang dibutuhkan, dan peralatan yang diperlukan. Dari sudut manajerial perlu dilihat apakah memang ada orang-orang yang memiliki berbagai keahlian yang sesuai dan dapat digabung dalam satu kesatuan kerja, baik dalam masa pembangunan
maupun pada masa pengoperasiannya. Dari sudut keuangan (financial) perlu dilihat apakah ada sumber dana yang cukup untuk membiayai pengoperasiannya. Selain itu, apabila proyek ditujukan untuk memperoleh pendapatan, maka pendapatan itu selain mampu menutupi ongkos-ongkos yang dikeluarkan juga masih dapat menghasilkan laba, sehingga penanam modal tidak merasa rugi untuk menanamkan modalnya di proyek tersebut. Aspek sosial ekonomi adalah melihat dari sudut pandang kepentingan ekonomi nasional, yaitu apakah proyek itu memiliki manfaat (benefits) lebih besar dari biaya, yang tidak kurang dari alternatif lain. Aspek dampak lingkungan adalah melihat bahwa proyek itu tidak akan merusak lingkungan sedemikian rupa sehingga banyak pihak luar yang dirugikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Apabila kerugian semua pihak ikut dihitung, proyek itu sebetulnya tidak lebih merugikan dibandingkan manfaat yang dapat dirasakan orang banyak. Agroindustri sebagai suatu proses lanjutan untuk peningkatan nilai tambah dari hasil produksi pertanian, pengoperasiannya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan bahan baku yang berkualitas, cukup jumlahnya dan kontinyu. Standar kualitas bahan baku ini juga akan mempengaruhi pemilihan jenis mesin dan peralatannya. Kajian mengenai ketersediaan bahan baku yang mudah didapat, murah dan dapat dikelola merupakan faktor yang sangat menentukan kelancaran operasi pabrik industri. Berkaitan dengan tata letak pabrik agroindustri, pemilihannya secara umum perlu mempertimbangkan beberapa faktor. Faktor pertama adalah ketersediaan bahan baku, dimana pabrik adakalanya harus dekat dengan lokasi bahan baku. Faktor kedua adalah pemasaran produk, dimana letak pabrik adakalanya harus dekat dengan pemasaran produk dan atau dekat dengan bahan baku dan pemasaran produk. Pertimbangan-pertimbangan ini dipengaruhi perhitungan biaya dan resiko. Ketiga faktor kebijakan pemerintah. Kadangkala pemerintah telah menentukan lokasi dari suatu industri tertentu, sehingga pemerintah memberikan berbagai fasilitas, keringan, bimbingan dan dukungan. Penentuan lokasi oleh pemerintah ini biasanya dikaitkan dengan kebijakan pengembangan wilayah untuk menjadikan suatu daerah sebagai kawasan investasi dan pusat pertumbuhan. Faktor keempat adalah berkaitan dengan ketersediaan industri penunjang dan industri komplementer termasuk di dalamnya kelembagaan
keuangan, jasa energi, telepon, serta infrastruktur baik berupa jalan, sarana angkutan maupun fasilitas pelabuhan. Faktor kelima adalah faktor lingkungan, terutama pengaruh kegiatan terhadap lingkungan seperti limbah dan pencemaran lingkungan lainnya, sehingga untuk jenis jenis industri tertentu harus mengeluarkan biaya yang besar agar kegiatannya ramah terhadap lingkungan. Kelayakan ekonomi pada umumnya menyangkut lamanya life cycle profit dari produk yang dihasilkan, sehingga berkaitan erat dengan aspek pasar dan pemasaran serta aspek finansial. Menurut Gittinger (1986), terdapat empat hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan aspek pasar dan pemasaran, yaitu : (1) kedudukan produk yang direncanakan pada saat ini, (2) komposisi dan perkembangan permintaan pada masa yang akan datang, (3) adanya persaingan dan (4) peranan pernerintah dalam menunjang pemasaran produk. Kelayakan sosial pada pustaka yang ada jarang digunakan atau dijadikan pertimbangan, biasanya pada waktu dulu hanya dimasukkan dalam kelayakan teknis dan teknologi terutama yang berkaitan dengan penanganan limbah dan pencemaran lingkugan. Akan tetapi belakangan ini, dimana dunia memasuki era globalisasi dan era hak-hak asasi manusia (HAM), maka kelayakan sosial harus dipertimbangkan dengan seksama, karena kelayakan sosial tersebut bukan saja berkaitan dengan limbah dan pencemaran lingkungan, akan tetapi sudah meluas kepada faktor-faktor agama, adat istiadat, kelestarian alam, pemakaian tenaga kerja dan lainnya. Secara matematis perhitungan mengenai kelayakan sosial belum ada rumus yang baku, kecuali berdasarkan data-data rasional dengan opsi berlawanan atau tidak. Apabila berlawanan dengan tata nilai atau norma sosial yang ada, maka lebih baik investasi tersebut dibatalkan (Basdabella, 2001).
2.4 Strategi Pengembangan Ekonomi di Kawasan Agropolitan Rustiadi dan Pranoto
(2007)
menyatakan bahwa
cara
pandang
pendikotomian yang melihat desa hanya sebagai tempat pertanian dan perkampungan, sedangkan kota adalah tempat aktivitas non pertanian merupakan salah satu sumber kelemahan pembangunan perdesaan. Konsep perdesaan terkesan masih dipandang dengan prespektif sempit yakni suatu kawasan yang dicirikan oleh kegiatan pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam. Pada
dasarnya, pembangunan perdesaan tidak akan pernah berhasil sebelum sektor non pertaniannya berkembang. Hal ini terjadi karena produktivitas dan nilai tukar dari produk sektor-sektor primer pertanian secara relatif cenderung rendah dan semakin rendah sehingga kurang mampu menyejahterakan masyarakat. Program pengembangan agropolitan dimaksudkan untuk mendorong pembangunan ekonomi berbasis pertanian yang dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada, untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis dalam suatu sistem yang utuh dan menyeluruh, yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh mayarakat dan difaslitasi oleh pemerintah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004). Sektor pertanian pada umumnya merupakan sektor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi masyarakat perdesaan, sehingga menyebabkan wilayah perdesaan sangat bergantung kepada kinerja dari satu-satunya sektor tunggal ini, dimana investasi pada sektor ini sangat beriko tinggi. Lagi pula penerimaan (revenues) yang dapat dikumpulkan oleh pemerintah lokal keadaannya sangat terbatas karena sumber pendapatan dari pajak sangat langka. Keadaan terakhir ini menyebabkan sangat sukar untuk memobilisasikan sumberdaya secara mencukupi guna mampu membiayai program-program penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh pemerintah lokal secara mandiri (Rustiadi dan Pranoto, 2007). Tujuan dari pengembangan program agropolitan adalah untuk: (1) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan, (2) mendorong berkembangannya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, dan berkelanjutan, (3) meningkatkan keterkaitan desa dan kota (urban rural linkages), (4) mempercepat pertumbuhan kegiatan ekonomi perdesaan yang berkeadilan, (5) mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan, (6) mengurangi arus migrasi dari desa ke kota, (7) memberi peluang berusaha dan menciptakan lapangan pekerjaan, serta (8) meningkatkan pendapatan asli daerah (Pokja Pengembangan Kawasan Agropolitan Pusat, 2004). Untuk memacu perkembangan Kota Batu melalui pengembangan kawasan agropolitan, dperlukan pengelolaan suatu wilayah secara terpadu yang mencakup sinergi sektoral dan spasial antara desa dan kota. Salah satu strategi yang
digunakan agar kawasan-kawasan agropolitan cepat terbentuk adalah dengan mengembangkan sistem agribisnis yang berkelanjutan dan terdesentralisasi untuk komoditas-komoditas unggul potensial di wilayah Kota Batu. Pengelolaan komoditas secara profesional mulai dari hulu ke hilir dalam sistem agribisnis akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat yang pada akhirnya akan mempercepat pembangunan ekonomi wilayah Kota Batu secara keseluruhan (Bappeda Kota Batu, 2004).
2.5 Penelitian Terdahulu Assidiqqi (2005) dalam penelitiannya, menganalisis keterkaitan pola penganggaran, sektor unggulan dan sumberdaya dasar untuk optimalisasi pembangunan di Kota Batu. Sektor unggulan dianalisis dengan menggunakan Metode Input-Output, pola penganggaran dianalisis dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP) dan sumberdaya dasar dianalisis dengan metode SWOT. Hasil
analisis
menunjukkan
bahwa
pola
penganggaran
belanja
pembangunan Kota Batu selama ini belum sepenuhnya memperhatikan sektor unggulan dan sumberdaya yang ada di Kota Batu, meskipun hasil analisis sistem mekanisme penyusunan belanja pembangunan APBD Kota Batu menunjukkan bahwa sektor unggulan menjadi prioritas utama dalam penyusunan APBD Kota Batu. Jika melihat struktur APBD Kota Batu terlihat bahwa dukungan anggaran terhadap pengembangan sektor unggulan sangat lemah. Sektor unggulan di Kota Batu yang memberikan multiplier effects yang tinggi terhadap pendapatan, penyerapan tenaga kerja dan kesejahteraan masyarakat adalah sektor industri, restoran, bangunan, hotel, energi dan perdagangan. Sedangkan sumberdaya dasarnya adalah kondisi tanahnya sebagian besar sesuai untuk lahan pertanian dan tersedia dalam jumlah cukup luas, terdapat banyak sumber mata air dengan kapasitas debit air yang besar, banyak terdapat kawasan wisata alam dan buatan, banyak terdapat home industry, adanya dukungan sarana akomodasi, transportasi, komunikasi dan perbankan serta potensi tenaga kerja dan kualitas sumberdaya manusia di bidang pertanian. Sektor pertanian yang memiliki konstribusi cukup tinggi terhadap PDRB dan menyerap banyak tenaga kerja bila dilihat dari indikator-indikator yang
dianalisis tidak muncul sebagai sektor unggulan kecuali untuk indikator angka pengganda pajak tak langsung neto. Namun begitu, sektor ini tetap menjadi sektor prioritas yang harus mendapatkan perhatian dalam pembangunan wilayah Kota Batu. Selain itu, banyak penduduk Kota Batu yang bekerja di sektor ini dan ketersediaan lahan yang luas serta cocok untuk pertanian dan perkebunan. Cara yang dapat dilaksanakan adalah dengan menciptakan sentra produksi dan pengolahan hasil-hasil pertanian atau membangun kawasan agropolitan mengingat bahwa kondisi dan sumberdaya dasar Kota Batu sangat mendukung dibangunnya kawasan agropolitan. Selain itu, pemerintah Kota Batu dapat memanfaatkan sumberdaya dasar yang ada di Kota Batu untuk pengembangan industri agrowisata dengan cara menata kembali berbagai potensi dan kekayaan alam yang berbasis pada pengembangan kawasan secara terpadu. Pengembangan kawasan wisata mampu memberikan konstribusi pada pendapatan asli daerah, membuka peluang usaha dan keseinpatan kerja, sekaligus dapat berfungsi untuk menjaga dan melestarikan kekayaan alam dan hayati. Lebih lanjut, diperlukan adanya regulasi yang memberikan perlindungan dan jaminan usaha masyarakat sehingga institusi pemodal besar dari luar daerah, para tengkulak, dan aktivitas ekonomi yang meningkatkan biaya transaksi dapat dikurangi. Investor pemodal besar dapat menanamkan modalnya tetapi melalui pola kemitraan strategis dengan masyarakat lokal. Sementara peran tengkulak dapat dikurangi dengan cara penguatan kapasitas dan kelembagaan lokal serta menata aspek produksi dan pemasarannya. Kemudian di sisi yang lain, aspekaspek penguatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat juga memerlukan perhatian yang serius dari pemerintah untuk ditindaklanjuti dengan menata kelembagaan ekonomi serta mengoptimalkan sektor unggulan dan sumberdaya potensial guna meminimalisir terjadinya perangkap kemiskinan di masyarakat, khususnya di perdesaan. Sementara Purnomowati (1999) dalam penelitiannya menganalisis Peran Agroindustri Hilir dalam Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Salak di Kabupaten Malang-Jatim. Penelitian ini bertujuan mengoptimalisasi nilai tambah output agroindustri salak, menentukan kombinasi output optimum dan pemasaran output
agroindustri salak. Informasi yang diperoleh berguna untuk mengembangkan agroindustri salak yang melibatkan pemasok bahan baku, pengolahan, lembaga pemasaran output industri. Lokasi desa Sowaru-Gondanglegi Malang. Dengan responden RTG pengolah salak yang diambil secara sensus. Penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan Hayami (1987), kombinasi output optimum ditentukan dengan program linier dan analisis pemasaran digunakan marjin pemasaran. Hasil penelitian ini merekomendasikan bahwa nilai tambah yang diciptakan dari setiap kg Salak bervariasi dan cukup besar(Rp 6.537 – Rp.13..558) atau 87% 94% dari nilai produksi yang dihasilkan per Kg Salak. Dengan kendala yang ada. Kombinasi output optimum adalah 1.613 jenang salak, 458 gelas manisan salak basah, 58 botol selai salak. Kombinasi ini menghasilkan keuntungan total maximum Rp. 3.379.544,-. Kombinasi output industri pada saat penelitian 410 pak jenang salak dengan keuntungaan total Rp. 2.779.182. Shadow price terigu, gula,dan salak cukup tinggi, masing masing kurang lebih Rp 47.129/ kg, Rp. 5.037/kg. kondisi tersebut pada saat harga terigu, gula, salak masing-masing sebesar Rp. 1.500, Rp. 2.975,Rp. 521/kg. jumlah output yang dijual pada konsumen akhir mencapai 96%, sedangkan 4 % sisanya pengecer. Profit sebesar 51,24% - 85,24% dari marjin pemasaran. Pengecer yang menangani pasca produksi memperoleh keuntungan 6,71% - 16,39% dari marjin pemasaran. Serta Syakir (2001) dalam penelitiannya menganalisis nilai tambah dan optimasi agroindustri apel studi kasus agroindustri apel PT. Kusuma Agrowisata Kota Batu. Dari analisis diketahui struktur biaya penerimaan dan pendapatan nilai tambah pengolahan apel, kombinasi berbagai bentuk olahan apel dengan kendala output apel, analisis marjin dan proses pemasaran, menunjukkan hasil bahwa keuntungan tertinggi diperoleh oleh sari apel (55,29%) dari total total biaya yang dikeluarkan oleh produsen sampai ke konsumen. Sedangkan pihak pemasaran memperoleh keuntungan tertinggi pada penjualan wingko apel (28,60%) dari marjin pemasaran.