24
TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Industrialisasi Perdesaan
2.1.1. Pengertian Industrialisasi dan Industrialisasi Perdesaan Untuk menghindari kerancuan pengertian tentang konsep industrialisasi dan industrialisasi perdesaan perlu dikemukakan beberapa dasar pengertian yang digunakan dalam tulisan ini. Menurut Ruki, dalam Daeng (2008), banyak penafsiran yang salah kaprah dalam mendefinisikan industrialisasi. Industrialisasi sering diartikan dengan membangun industri. Padahal konsep industrialisasi adalah perubahan sosial dan ekonomi, dimana masyarakat ditransformasikan dari tahap atau keadaan pra industri ketika akumulasi modal per kapita itu rendah, ke tahap industrialisasi. Jadi, industrialisasi bukan sekedar transformasi ekonomi melainkan sebuah transformasi sosial. Sastrosoenarto (2006), juga mengemukakan hal yang sama tentang banyak terdapat kesalahpahaman mengenai industrialisasi. Bagi Indonesia
pengertian
industrialisasi tidak hanya membangun pabrik-pabrik saja, melainkan yang kita bangun adalah masyarakat industri yang luas. Hal ini mengandung makna adanya transformasi masyarakat menuju masyarakat yang sejahtera dan maju secara struktural maupun kultural, karena industrialisasi yang kita lakukan merupakan upaya terpadu dengan pengembangan sektor pertanian dalam arti yang luas utamanya upaya swasembada pangan dan pengembangan sektor jasa dalam arti luas. Selanjutnya dikemukakan bahwa dimensi struktural tampak pada upaya mengubah sikap masyarakat agraris menjadi masyarakat industri dikarenakan produk-produk pertanian sebagian besar terkait dengan sektor industri atau proses pasca panen yang memerlukan proses teknologi untuk meningkatkan nilai tambahnya. Sedangkan dimensi kultural tampak dari tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai baru, antara lain sikap tingkah laku yang rasional, etos kerja, menghargai waktu, hemat, kompetensi menata masa depan, produktivitas dan lain-lain.
25 Hartojo
(1989) mengemukakan
bahwa
industrialisasi yang pada
hakikatnya merupakan proses pembangunan masyarakat menyangkut peningkatan kualitas serta pendayagunaan potensi manusia Indonesia. Sedangkan menurut Bina UKM (2000), industrialisasi dalam arti sempit, menggambarkan penggunaan secara luas sumber-sumber tenaga non hayati dalam rangka produksi barang dan jasa. Industrialisasi tidak hanya terdapat pada pabrik/manufaktur tetapi bisa juga meliputi pertanian karena pertanian tidak bisa lepas dari penggunaan mekanisasi (pemakaian sumber tenaga non hayati), demikian pula halnya dengan transportasi dan komunikasi. Menurut Damanhuri, (2010), strategi baru industrialisasi seyogianya lebih berorientasi kepada penciptaan kesempatan kerja penuh (full employment strategy) dan karena itu haruslah bertumpu kepada ekonomi berbasis luas yakni ekonomi rakyat yang terkait dengan sumber daya domestik yang umumnya berlingkup sumber daya pertanian dalam arti luas dengan asupan pelbagai teknologi tepat guna. Dalam keterbatasan skala ekonomi, pelbagai usaha UMKM dan koperasi seyogyanya diupayakan bermitra dengan pelaku ekonomi besar, baik nasional (swasta dan/atau BUMN) maupun asing sehingga terjadi alih pengetahuan, manajemen, dan teknologi yang dibutuhkan UMKM. Makna praktis industrialisasi adalah memajukan tenaga produktif menjadi lebih modern, dapat diakses secara massal, dan tinggi kualitas. Tanpa kemajuan tenaga produktif, negeri ini tidak akan punya ketahanan ekonomi menghadapi gempuran neoliberalisme. Tanpa ketahanan ekonomi, kedaulatan negeri ini terutama kedaulatan rakyatnya - berhenti sebatas cita-cita (Oktavianus, 2007) Pengertian industrialisasi perdesaan menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (2003) adalah suatu proses transformasi struktur agribisnis dari pola dispersal menjadi pola industrial. Berbeda dengan pola dispersal, dalam agribisnis pola industrial setiap perusahaan agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau tergabung dalam asosiasi horizontal, tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (dari hulu hingga hilir ) dalam suatu kelompok usaha.
26 Menurut Saith (1986) dalam Tambunan (1990) industrialisasi perdesaan adalah suatu bentuk transisi antara industri yang sifatnya artisan dengan industri modern, dimana industri perdesaan ini dapat berfungsi sebagai mediator (alat pertumbuhan) pada periode tertentu dan berfungsi mengakumulasi dan transfer modal dari sektor pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (merchantile channel), sedangkan menurut Mandagi (1990), industrialisasi perdesaan mengandung pengertian yang lebih luas dan dapat didefinisikan sebagai pengembangan aktivitas-aktivitas ekonomi produktif dalam kelompok-kelompok aktivitas basis dan bukan basis, yang satu terhadap lainnya saling berkaitan. Tambunan (1989) mengemukakan bahwa di Indonesia industrialisasi perdesaan cenderung diartikan sebagai bagian dari alat pembangunan perdesaan (dengan ukuran industri kecil dan rumah tangga) dan bukan bagian industri yang berfungsi meningkatkan produktivitas ekonomi. Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam suatu negara industrialisasi dapat dikatakan berhasil jika di dalam masyarakat terjadi transformasi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri. Selama proses industrialisasi, pendapatan per kapita masyarakat naik dan produktivitas meningkat, sehingga untuk mengamati proses industrialisasi kita tidak bisa melihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian saja, akan tetapi juga pendapatan per kapita dan produktivitas yang ada, apakah mengalami pertambahan atau tidak. Selain itu, ciri lain proses industrialisasi adalah adanya perpindahan penduduk dari perdesaan ke perkotaan, adanya pergeseran aktivitas dari produksi rumah tangga ke pabrik dan meningkatnya penggunaan alat-alat bermesin dalam pertanian yang menyebabkan aktivitas pertanian meningkat dan ketersediaan pangan bagi masyarakat perkotaan. Industrialisasi dalam arti sempit, menggambarkan penggunaan secara luas sumber-sumber
tenaga non hayati dalam rangka produksi barang dan jasa.
Industrialisasi tidak hanya terdapat pada pabrik/manufaktur tetapi bisa juga meliputi pertanian karena pertanian tidak bisa lepas dari penggunaan mekanisasi (pemakaian sumber tenaga non hayati). Demikian pula halnya dengan transportasi dan komunikasi. Prasyarat di dalam industrialisasi adalah produktivitas di sektor pertanian tinggi, pasar yang berfungsi dan pemerintah yang stabil. Hal ini dikarenakan
27 industrialisasi adalah pembangunan ekonomi yang ditekankan pada pembangunan industri yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dan disertai dengan adanya kebijakan yang konsisten di setiap tahapannya, untuk mencapai tujuan yang lebih besar di dalam jangka panjang. Industrialisasi yang berhasil mensyaratkan adanya kenaikan yang signifikan dari produktivitas pertanian. Satu kesalahan besar dari proses industrialisasi di Indonesia adalah bahwa sektor pertanian ditinggalkan yang menyebabkan produktivitas sektor pertanian rendah. Secara konsep memang disebutkan bahwa pembangunan industri ditopang oleh pembangunan pertanian. Dapat disimpulkan bahwa industrialisasi adalah sebuah proses jangka panjang. Proses tersebut tidak bisa dilakukan secara melompat. Suatu kesalahan besar dalam industrialisasi adalah ketika suatu pemerintahan terlampau optimis, yang melompat jauh membangun industri yang sebenarnya ia tidak mendukung industri tersebut secara ekonomi dan sosial, seperti pendidikan, keterampilan, nilai-nilai yang berkembang, filosof, dan sebagainya. Kalau industri semacam itu dipaksa dibangun dia harus terus menerus dilindungi dan tidak bisa menjadi kuat.
2.1.2. Pengembangan Industrialisasi Perdesaan Pembangunan yang dilaksanakan selama era orde baru telah memberikan hasil-hasil yang menakjubkan jika diukur dari parameter agregat seperti laju pertumbuhan ekonomi, pengendalian inflasi, pertumbuhan sektor industri dan swasembada beras, namun apabila diperhatikan dari segi pemerataan nikmat yang diperoleh dari pembangunan tersebut maka pembangunan yang dilakukan selama ini masih belumlah menggembirakan. Hasil pembangunan yang dilakukan selama ini dirasakan lebih banyak dinikmati oleh masyarakat perkotaan. Bahkan masih banyak penduduk pedesaan yang menurun kesejahteraan selama periode pembangunan lebih dari 20 tahun terakhir (Simatupang, 1989). Menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Departemen Pertanian (2003), proses industrialisasi perdesaan di Indonesia sangat lambat, hal ini terlihat antara lain dari semakin senjangnya ekonomi desa-kota. Dualisme ekonomi desa-kota telah mengakibatkan kota menjadi pusat segalagalanya dan ekonomi perdesaan hanyalah pendukung ekonomi perkotaan. Lebih-
28 lebih apabila dikaitkan dengan kebijakan di masa lalu yang lebih mendorong pengembangan industri yang kurang berbasis pada bahan baku lokal, menyebabkan potensi yang ada kurang dapat dioptimalkan. Dalam jangka panjang apabila industrialisasi perdesaan dan dualisme ekonomi desa-kota tidak dapat diatasi maka dapat dipastikan akan muncul masalah lain yang lebih rumit, seperti: urbanisasi besar-besaran, rusaknya kultur asli bangsa seperti gotong-royong dan kekeluargaan, kriminalitas yang meningkat serta yang tidak kalah pentingnya semakin senjangnya pendapatan dalam masyarakat. Masyarakat kaya pemilik modal akan semakin kaya sementara penduduk miskin bertambah besar. Habibie (1995) dalam Hertadi (1995)1 secara implisit mengatakan, masyarakat jangan terbius dengan indikator ekonomi makro seperti
tingkat
pendapatan per kapita, DSR (debt service ratio – perbandingan antara kewajiban membayar hutang dan bunga dengan nilai ekspor non migas dalam satu tahun), serta angka-angka pertumbuhan ekonomi, tetapi cobalah kita melihat sisi mikro dari perekonomian nasional. Di situ akan terlihat sejumlah permasalahan, antara lain ada sejumlah masyarakat terutama di perdesaan yang hidup marginal alias pas-pasan. Seharusnya dalam perekonomian yang bagaimana pun orientasi kerakyatan itu tetap diperlukan. Kemiskinan di perdesaan menyebabkan mengalirnya penduduk desa ke kota. Hal ini memang akan mengurangi beban masyarakat di perdesaan dan justru bisa menghidupi desa karena sebagian hasil gaji dikirim ke desa. Tetapi menurut Habibie (1995), bukan arus urbanisasi yang menjadi solusi terhadap kemiskinan di desa. “Kita tidak harus membiarkan masyarakat desa itu sendiri yang mencari penyelesaian terhadap kesulitannya. Seharusnya kita yang pintar-pintar ini yang mencari jalan keluarnya. Sebaiknya, kita menciptakan teknologi canggih untuk bisa dipergunakan memproduksi komoditas hortikultura bernilai tinggi di perdesaan teknologi pertanian yang bermanfaat bagi masyarakat“. 1
Hertadi, 1995. Belum Seiring,Tingginya Pertumbuhan Ekonomi dengan Pemerataan Kemakmuran. Kompas , 26 Januari 1995.
29 Tambunan (1990), mengemukakan bahwa industrialisasi perdesaan dalam konteks ekonomi Indonesia haruslah dilihat dalam pengertian yang lebih luas, yakni sebagai usaha transformasi masyarakat pertanian perdesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial. Dalam hal ini industrialisasi perdesaan menampilkan peranan penting dalam pembentukan organisasi sosial yang bersifat industrial. Industrialisasi perdesaan sekaligus juga berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur antara lain dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit industrialisasi perdesaan bertujuan untuk menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi perdesaan melalui penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan, dan peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat perdesaan. Nugroho,
2010, mengemukakan bahwa
Prasyarat berkembangnya
industrialisasi perdesaan, adalah diperlukan adanya suatu proses konsolidasi usahatani dan disertai dengan koordinasi vertikal agribisnis dalam suatu alur produk melalui mekanisme non pasar, sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan preferensi konsumen akhir. Dengan demikian, setiap usaha agribisnis tidak lagi berdiri sendiri atau bergabung dalam asosiasi horizontal, tetapi memadukan diri dengan perusahaan-perusahaan lain yang bergerak dalam seluruh bidang usaha yang ada pada satu alur produk vertikal (hulu-hilir) dalam suatu kelompok usaha. Selanjutnya dikemukannya bahwa untuk mewujudkan hal tersebut, maka hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam mendukung pengembangan industrialisasi pedesaan berbasis pertanian, antara lain: 1) Diperlukan suatu kebijakan yang agribisnis (hulu-hilir), sehingga
menyeluruh dalam pembangunan
nilai tambah sektor pertanian dapat
dinikmati oleh masyarakat di pedesaan, karena selama ini keberpihakan pada kegiatan yang terkait dalam industrialisasi pedesaan berbasis pertanian masih tertinggal, dibandingkan dengan kegiatan di sektor hulu. 2) Pengembangan penanganan industrialisasi pedesaan berbasis pertanian ke depan tidak dapat dilakukan secara partial, oleh karena itu pendekatan koordinasi antar kelembagaan terkait yang telah dirintis perlu ditingkatkan baik di tingkat pusat, daerah dan di lembaga penyuluhan. Koordinasi
30 tersebut dimaksudkan antara lain untuk mensinkronkan program dan pelaksanaan
perbaikan penanganan
pascapanen,
pengolahan
dan
pemasaran hasil pertanian agar dapat memberikan hasil/dampak yang maksimal. 3) Meningkatkan peran teknologi melalui penambahan jumlah alsin yang masih
sangat
terbatas. Dalam
penambahan
alsin
tersebut
perlu
memperhatikan jenis alat dan mesin yang secara teknis dan ekonomi layak untuk dikembangkan serta kondisi sosial memungkinkan. Dalam pengembangan alsin tersebut pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas kredit alsin dengan tingkat suku bunga rendah dan persyaratan lunak. 4) Peningkatan mutu Sumber Daya Manusia (SDM) diarahkan untuk peningkatan sikap,
pengetahuan,
keterampilan
dan pengembangan
kewirausahaan, manajemen serta kemampuan perencanaan usaha. Dengan adanya peningkatan mutu SDM diharapkan penggunaan alsin akan meningkat dan areal yang dapat ditangani akan bertambah. Peningkatan mutu SDM dilakukan
melalui pelatihan/kursus, kerjasama dengan
lembaga pelatihan seperti perguruan tinggi,magang diperusahaan yang telah maju. Sedangkan pelatihan dilakukan baik kepada petugas maupun para pengelola alsintan dan petani. 5) Kelembagaan yang menangani pascapanen/pengolahan pada umumnya lemah dalam permodalan. Untuk itu perlu diupayakan adanya skim khusus untuk alat mesin pascapanen/pengolahan dengan persyaratan yang mudah suku bunga rendah dan dapat dijangkau oleh masyarakat.
Menurut
Kartasasmita
(1996),
dengan
industrialisasi
perdesaan
diharapkan: 1) Berkembang cakrawala baru pembangunan pertanian. Sumber peningkatan produktivitas perdesaan adalah investasi di sektor pertanian modern yang didukung oleh investasi di bidang sumberdaya manusia seperti pendidikan dan pelatihan, sarana dan prasarana iptek. Peningkatan produktivitas perdesaan melalui pembangunan pertanian industri akan makin didorong
31 dengan tumbuhnya lembaga-lembaga perdesaan yang modern, tetapi tetap mengakar pada masyarakat perdesaan. 2) Merupakan poros utama dari proses modernisasi masyarakat perdesaan. Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan masyarakat desa diikuti oleh peningkatan
investasi
dalam
pertanian
modern
beserta
industri
pengolahannya. 3) Pengembangan kawasan andalan dengan basis pertanian sebagai pusat pertumbuhan alternatif akan menjadikan perdesaan sebagai “kota-kota pertanian”. Perkotaan pertanian ini diharapkan dapat mengimbangi interaksi desa-kota yang diharapkan dapat mengurangi tumbuhnya zona ketidakstabilan masyarakat. 4) Di samping nilai tambah akan meningkat, industri perdesaan juga mencegah berkembangnya pengangguran terdidik di perdesaan. Bahkan menjadi pemacu daya tarik bagi tenaga terdidik untuk berkarya dan berkiprah di perdesaan. 5) Desa akan memiliki posisi tawar menawar yang lebih kuat, sehingga dapat memperkuat pula posisi nilai tukarnya.
Tujuan utama industrialisasi perdesaan sebenarnya adalah untuk mengurangi pelebaran kesenjangan ekonomi. Dalam konteks ini pertanian berbagai potensi asli daerah perlu didayagunakan melalui industrialisasi perdesaan. Fungsi industrialisasi perdesaan yang lebih luas adalah untuk: 1) Mendorong
pertumbuhan
perdesaan
dengan
diversifikasi sumber
pendapatan. 2) Meningkatkan dampak pertumbuhan permintaan di dalam atau di luar suatu daerah. 3) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. 4) Peningkatan dan pemerataan pendapatan. 5) Mendekatkan hubungan fungsional (functional linkage) antara pertanian dengan sektor urban/industri. 6) Meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri.
32 7) Mengurangi kemiskinan di perdesaan. 8) Mengurangi beban pertambahan tenaga kerja di sektor pertanian. 9) Meningkatkan volume ekspor.
2.2.
Industrialisasi Berbasis Pertanian Sejak Pelita I yang dimulai tahun 1969, pemerintah telah melaksanakan
industrialisasi di Indonesia. Namun tidak dapat diingkari bahwa krisis ekonomi yang dialami Indonesia selama periode 1997-1999, salah satu penyebabnya adalah karena kesalahan strategi industrialisasi selama pemerintahan orde baru yang tidak berbasis pada sektor yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang sangat besar, yaitu pertanian. Selama krisis terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu memiliki laju pertumbuhan yang positif, meskipun dalam persentase yang kecil. Sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif di atas satu digit. Pengalaman di Negara Industri Maju, seperti negara-negara di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang menunjukkan bahwa mereka memulai industrialisasi setelah atau bersamaan dengan pembangunan di sektor pertanian. Sebagai contoh, Inggris mengalami revolusi industri pada abad ke 18 setelah diawali dengan revolusi pertanian yang terjadi melalui introduksi teknologi turnip. Industrialisasi di Jepang berlangsung waktu itu bersamaan dengan revolusi pertanian yang terjadi melalui reformasi agraria (restorasi meiji). Demikian juga pengalaman Taiwan pada dekade 1950 an yang menunjukkan bahwa industrialisasi berbasis pertanian melalui pengembangan industri kecil dan berlokasi di perdesaan mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan merata serta struktur ekonomi yang tangguh (Simatupang dan Syafaat, 2000). Tambunan (2001), mengemukakan bahwa krisis ekonomi yang dialami Indonesia selama periode 1997-1999, salah satu penyebabnya adalah karena kesalahan strategi industrialisasi selama pemerintahan orde baru yang tidak berbasis pada sektor yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang sangat besar, yaitu pertanian. Selama krisis terbukti bahwa sektor pertanian masih mampu memiliki laju pertumbuhan yang positif, walaupun dalam persentase yang
33 kecil. Sedangkan sektor industri manufaktur mengalami laju pertumbuhan yang negatif di atas satu digit. Perkembangan industri pertanian di tanah air selama ini, dinilai belum dapat mengimbangi tuntutan pasar walaupun dari segi potensi cukup tersedia. Untuk itu, revitalisasi pertanian melalui agroindustri perdesaan adalah pilihan utama, Disadari pula bahwa melalui agroindustri di perdesaan, merupakan tugas yang sangat berat dan multi dimensional sehingga diperlukan partisipasi berbagai lembaga pemerintah dan non pemerintah, para pakar, lembaga masyarakat serta para praktisi di bidang pertanian dan sarana pendukungnya. Proses industrialisasi yang sedang kita laksanakan bukan berarti kita hendak
mengalihkan pertanian ke manufaktur. Kita tetap mempertahankan
pertanian, dan tidak akan meninggalkannya. Industri pertanian atau agroindustri dan jasa yang telah kita kuasai itu akan terus dikembangkan melalui teknologi tinggi agar bangsa kita tetap digaris depan bidang ini. Dan rakyat kita dapat menikmati keunggulan dan keandalannya. Namun karena rakyat kita ingin mengubah kualitas hidupnya dan kita punya peluang lagi untuk mengubah nilai tambah teori bidang pertanian dan jasa menjadi nilai tambah riil, akibat kendalakendala yang tidak mungkin diubah, maka kita harus mencari peluang di sektor lain, antara lain manufaktur, agar dengan demikian diharapkan produk-produk kita bisa masuk ke pasaran regional dan global, sehingga dapat meningkatkan cadangan devisa, kekuatan ekonomi dan ketahanan nasional (Habibie, 1997). Tujuan pengembangan industrialisasi perdesaan berbasis pertanian secara umum adalah untuk mempercepat kemajuan kegiatan ekonomi perdesaan melalui pembangunan agroindustri. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan, menyediakan bahan pangan dan bahan lain untuk kebutuhan konsumsi dan produksi, penguatan pengelolaan ekonomi lokal, serta peningkatan kapasitas lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat perdesaan. Pelaksanaan pembangunan ini harus diupayakan melalui keterkaitan ekonomi wilayah perdesaan dan wilayah perkotaan. Mengacu pada hal tersebut, industrialisasi perdesaan berbasis pertanian pada intinya diarahkan pada pengorganisasian produksi hasil pertanian secara terpadu antara sektor hulu, budidaya dan sektor hilirnya melalui pembentukan
34 suatu usaha komersial (commercial business) yang berawal dari produksi benih unggul, penyediaan sarana produksi lainnya, produksi hasil pertanian, penanganan produk segar sampai pengolahan dengan pemakaian teknologi yang efisien, layak usaha (viable) dan dengan partisipasi penuh dari masyarakat pertanian di perdesaan. Karakteristik kegiatannya adalah sebagai berikut: 1) Partisipasi penuh masyarakat tani dan kelembagaan ekonomi di perdesaan. 2) Skala usaha komersial (commercial business). 3) Keterkaitan dan kesepadanan antara penangkar benih. Sentra produksi, packaging dan industri pengolahan. 4) Kelancaran
akses bagi petani
dan pengusaha terhadap pasar dan
sumberdaya pendanaan. 5) Pemakaian
teknologi
yang
efisien,
layak
usaha (viable) dan
6) Menguntungkan dengan dukungan SDM yang terampil.
Iklim usaha industrial yang menunjang seperti ketersediaan lahan, sarana dan prasarana, kemudahan ijin usaha serta penekanan biaya operasi (Anonimous, 2003).
2.3.
Agroindustri Perdesaan
2.3.1. Agroindustri Sebagai Penggerak Industrialisasi di Perdesaan Beberapa ciri yang harus dimiliki agar agroindustri dapat berperan sebagai penggerak utama industri di perdesaan adalah : 1) Berlokasi di perdesaan. 2) Terintegrasi vertikal ke bawah. 3) Mempunyai kaitan input-output yang besar dengan industri-industri lainnya. 4) Dimiliki oleh penduduk desa. 5) Padat tenaga kerja. 6) Mempergunakan tenaga kerja terutama yang tinggal di desa (penduduk desa). 7) Mempergunakan bahan baku yang diproduksi di perdesaan. 8) Produk yang dihasilkan terutama dikonsumsi penduduk desa.
35
Baharsjah (1992), mengemukakan bahwa perusahaan agroindustri harus didorong untuk tumbuh di perdesaan dengan model industri rumah tangga. Dengan demikian, sebanyak mungkin penduduk pedesaan dapat terlibat tanpa melepaskan prinsip-prinsip efisiensi termasuk skala usaha. Untuk pertimbangan efisiensi, usaha industri rumah tangga tersebut bisa saja bernaung di bawah suatu perusahaan besar dengan model PIR atau sejenisnya. Selanjutnya dikemukakan, bahwa perkembangan agroindustri yang berkelanjutan (sustainable) juga menuntut persyaratan tertentu pada sisi produksi pertanian sebagai bahan baku, yaitu : 1) Untuk menjamin jumlah bahan baku yang memenuhi suatu skala ekonomi, produksi bahan baku harus dilakukan dalam suatu hamparan yang terpadu. 2) Kelanggengan
produksi
antar
musim
sedapat
mungkin
juga
dipertahankan. Hal ini menuntut teknologi produksi maupun penyimpanan yang mampu menjaga kelanggengan tersebut.
Perhepi (1989) dalam Soekartawi (1993) mengemukakan bahwa ada berbagai aspek penghambat dalam pengembangan agribisnis di Indonesia yaitu antara lain: 1) Pola produksi beberapa komoditas pertanian terletak di lokasi terpencarpencar, sehingga menyulitkan pembinaan dan menyulitkan tercapainya efisiensi pada skala usaha tertentu. 2) Sarana dan prasarana, khususnya yang ada di luar Jawa terasa belum memadai sehingga menyulitkan untuk mencapai efisiensi usaha pertanian; 3) Akibat dari kurangnya sarana dan prasarana tersebut, maka biaya transportasi menjadi lebih tinggi; 4) Sering ditemukan adanya pemusatan agroindustri yang terpusat di kotakota besar, sehingga nilai bahan baku pertanian menjadi lebih mahal untuk mencapai lokasi agribisnis tersebut, dan 5) Sistem kelembagaan terutama di perdesaan terasa masih lemah sehingga kondisi seperti ini kurang mendukung berkembangnya kegiatan agribisnis.
36 Akibat dari lemahnya kelembagaan ini dapat dilihat dari berfluktuasinya produksi dan harga komoditas pertanian. 2.3.2. Strategi dan Kebijakan Pengembangan Agroindustri Perdesaan Menurut Suprapto (1991) dalam Mulyono (1996) kegiatan pengembangan agroindustri dalam pembangunan ekonomi nasional seyogyanya tetap menjadikan agroindustri sebagai leading sector karena: 1) Kegiatan agroindustri dalam
perekonomian Indonesia
merupakan
perekat bidang singgung antara sektor pertanian sektor-sektor lainnya.. 2) Agroindustri merupakan kegiatan yang banyak menyerap tenaga kerja 3) Agroindustri dapat memperluas lapangan kerja. 4) Kegiatan agroindustri mampu meningkatkan pendapatan petani. 5) Agroindustri sangat mengandalkan kekayaan alam yangdapat diperbaharui 6) Agroindustri mampu meningkatkan kesejahteraan para petani, dan konsumen.
Damanhuri (2002), mengemukakan agroindustri merupakan kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian pada dasarnya agroindustri meliputi pengolahan hasil pertanian, industri peralatan dan mesin pertanian, serta industri jasa di sektor pertanian. Dengan pendekatan lain, agroindustri dianggap merupakan bagian atau subsistem agribisnis yang memproses dan mentransformasi bahan-bahan hasil pertanian (bahan makanan, kayu dan serat) menjadi barang-barang setengah jadi maupun barang jadi yang langsung dapat dikonsumsi, dan barang yang dapat digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk, pestisida dan lain-lain. Agroindustri telah memperlihatkan peran yang sangat besar sebagai sektor yang mempunyai kekuatan sebagai penggerak ekonomi nasional. Namun demikian dalam pengembangan agroindustri terdapat sejumlah kendala yang antara lain adalah: 1) Rendahnya jaminan ketersediaan dan mutu bahan baku. 2) Mutu produk agroindustri yang masih belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan pasar, khususnya pasar internasional.
37 3) Sumberdaya manusia (SDM) yang masih belum profesional, tingkat pengetahuan dan kesadaran petani masih sangat terbatas dalam penerapan teknologi pengolahan hasil, kurangnya tenaga terampil (technical skill) dalam mengoperasikan alat/mesin (alsin) pengolahan hasil. 4) Sarana dan prasarana yang belum memadai, seperti belum berkembangnya workshop-workshop yang mengembangkan alat-alat pengolahan, daya beli petani terhadap teknologi pengolahan hasil rendah sehingga permintaan alsin juga relatif rendah. 5) Penerapan teknologi pengolahan yang masih belum optimal, karena keterbatasan akses informasi masyarakat tentang teknologi tersebut dan perhatian pemerintah terhadap peningkatan nilai tambah selama ini masih relatif kecil apabila dibandingkan dengan upaya di bidang produksi hasil pertanian. 6) Sumber pendanaan yang terbatas dan belum tersedianya skim khusus untuk pengadaan alsin untuk usaha pengolahan hasil. 7) Pemasaran yang belum berkembang.
Disamping itu, terdapat pula peluang untuk pengembangan agroindustri di Indonesia terbuka sangat luas, hal ini dimungkinkan karena adanya dukungan faktor internal dan eksternal yang kuat. Faktor internal yang memperkuat pengembangan agroindustri adalah: 1) Besarnya jumlah penduduk yang menjadi pasar produk agroindustri. 2) Tingkat pendapatan masyarakat yang semakin meningkat mendorong permintaan akan produk pangan olahan. 3) Cukup tersedianya aneka ragam bahan baku produksi di dalam negeri. 4) Tersedianya teknologi pengolahan tepat guna, walaupun belum untuk seluruh komoditas pertanian dan seluruh jenis diversifikasi produk.
Adapun faktor eksternal yang memperkuat pengembangan agroindustri adalah: 1) Perekonomian dunia yang semakin membaik. 2) Naiknya permintaan akan produk agroindustri.
38 3) Tingginya konsumsi produk agroindustri di masyarakat negara maju.
Tujuan pengembangan agroindustri secara makro adalah meningkatkan nilai tambah hasil panen di perdesaan, baik untuk konsumsi langsung maupun untuk bahan baku agroindustri; 1) Meningkatkan jaminan mutu dan harga sehingga tercapai efisiensi agribisnis; 2) Mengembangkan diversifikasi produk sebagai upaya penanggulangan kelebihan produksi atau kelangkaan permintaan pada periode panen tertentu; 3) Sebagai wahana pengenalan, penguasaan, dan pemanfaatan teknologi tepat guna serta sekaligus sebagai wahana peran serta masyarakat dalam sistem agribisnis secara keseluruhan . Pengembangan agroindustri berperan sebagai suatu tahapan antara dalam proses industrialisasi nasional. Proses transformasi masyarakat yang selama ini dominan agraris membutuhkan transformasi budaya secara bertahap untuk menuju masyarakat yang berbudaya industri. Sektor pertanian dan perdesaan merupakan sektor yang paling strategis mengingat bahwa keduanya merupakan dua sisi mata uang yang mencerminkan porsi dominan masyarakat dan sumberdaya potensial. Pengembangan kedua sektor tersebut sangat berarti dalam upaya memecahkan sebagian besar masalah nasional yang dihadapi bangsa ini. Menurut Kartasasmita (1996), dalam upaya membangun pertanian di masa depan pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan teknologi, selain dari teknologi budidaya pertanian, perlu ditingkatkan dan diperluas sebaran teknologinya. Dengan demikian pada sekitar tahun 2020an nanti sumberdaya manusia dan iptek yang meningkat kualitasnya, jangkauannya, penerapannya, akan menjadi sumberdaya utama untuk menjamin dan meningkatkan mutu proses produksi, mutu produk, kontinuitas suplai dan output, dan berkembangnya inovasi pertanian.
39 Pembaharuan fungsi-fungsi pertanian itu harus dikembangkan agar sesuai dengan proses pergeseran mendasar dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Selanjutnya dikemukakannya bahwa pertanian yang dilandasi oleh profesionalisme dan kompetensi para pelakunya itu haruslah pertanian yang bernafaskan industri. Pengertian industri di sini tidak berarti mendirikan pabrik-pabrik, akan tetapi pengertian yang lebih fundamental adalah membangun sikap mental dan budaya sebagaimana yang hidup di masyarakat industri yang pada intinya mempunyai ciri-ciri berikut: 1) Pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan (bukan intuisi atau kebiasaan saja). 2) Kemajuan teknologi merupakan media utama dalam pemanfaatan sumberdaya. 3) Mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa. 4) Efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dalam alokasi sumber daya, dan karena itu hemat dalam penggunaan sumberdaya. 5) Mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana (discourse), sekaligus tujuan. 6) Profesionalisme merupakan karakter yang menonjol dalam setiap karya yang dihasilkan. 7) Perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam, sehingga setiap produk yang dihasilkan senantiasa sesuai dengan yang dikehendaki dalam mutu, jumlah, bentuk, rasa, dan sifat-sifat lainnya dengan ketepatan waktu.
Pada zaman orde baru, meskipun di dalam dokumen Repelita-Repelita selalu menyebut pentingnya pembangunan sektor pertanian, tetapi dalam tingkatan kongkritasinya, sektor pertanian hanyalah sebagai penyangga dari proses industrialisasi yang ternyata justru berdampak pada termarjinalkannya sektor pertanian tersebut. Arsitek pembangunan ekonomi orde baru merujuk pada konsep “trickle down effect”, yakni transformasi masyarakat Indonesia termasuk
40 memecahkan masalah kemiskinan dari sebagian besar penduduk yang bermata pencaharian di bidang pertanian diasumsikan setelah dilakukan proses industrialisasi yang berbasis teknologi modern, perkotaan bersifat manufakutur non pertanian dengan melibatkan kalangan multi national coorporation (MNC) dan negara donor dari negara industri maju. Bahkan, untuk merealisasikan proses ekonomi nasional tersebut pemerintah secara by design memilih pelaku ekonomi nasional berasal dari kalangan non pribumi yang dianggap mempunyai kesiapan modal, jaringan pemasaran, dan mental enterpreneurship. Strategi tersebut berujung pada kegagalan yang sangat fatal, karena proses industrialisasi meninggalkan sukma bangsa, yakni Indonesia sebagai negara sumberdaya Indonesia salah
alam, khususnya pertanian. Krisis satu
yang
terpenting
adalah
ekonomi yang terjadi di karena
industrialisasi
yang berjalan sejak dimulai hingga akhir tahun 1990 an tidak pernah terjadi perubahan signifikan bahwa industrialisasi tersebut sangat berbasiskan kandungan impor yang tinggi, yaitu mengutamakan industri manufaktur non pertanian. Kalaupun terdapat prioritas pembangunan, namun sektor pertanian hanyalah dimaksudkan
sebagai
penyangga
suksesnya
pembangunan industri
manufaktur. Selanjutnya dikemukakan, bahwa tadinya banyak pihak berharap setelah Indonesia masuk era reformasi akan terjadi paradigm shift dari strategi industrialisasi yang berbasiskan impor kepada industrialisasi yang bersifat resourses based dan people driven dimana proses industrialisasi lebih terkait ke hulu maupun ke hilir, umumnya kepada pertanian dalam arti luas dan berbasiskan ekonomi rakyat. Namun ternyata reformasi hanyalah menyentuh reformasi politik dengan strategi pembangunan dalam “bussines as usual”, yakni tetap bertumpu pada modal asing dan impor. Weiss
(1988)
dalam
Tambunan
(2001)
mengemukakan
bahwa
pembangunan ekonomi di suatu negara dalam periode jangka panjang akan membawa perubahan mendasar dalam struktur ekonomi negara tersebut, yaitu dari ekonomi tradisional yang dititikberatkan pada sektor pertanian ke ekonomi modern yang didominasi oleh sektor industri dengan increasing returns to scale
41 yang dinamis (relatif positif antara pertumbuhan output dan pertumbuhan produktivitas) sebagai mesin utama pertumbuhan. Menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian (2003), strategi pengembangan industrialisasi perdesaan berbasis pertanian dititikberatkan pada: 1) Penyebaran teknologi agroindustri yang disesuaikan dengan potensi SDA yang dimiliki daerah setempat, sehingga dapat menjadi penggerak pembangunan daerah tersebut. 2) Mengembangkan kelembagaan berupa unit pelayanan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. 3) Membantu menstimulasikan pelaku usaha agroindustri perdesaan untuk meningkatkan produktivitas dan mutu untuk mencapai keunggulan kompetitif dan meningkatkan pendapatan. 4) Memberikan pengakuan melalui penghargaan kepada pelaku usaha agroindustri yang telah berhasil meningkatkan produktivitas, produk, jasa, dan menjadi contoh bagi pengusaha agroindustri kecil dan menengah. 5) Mengembangkan pedoman dan kriteria yang dapat digunakan oleh pelaku usaha agribisnis perdesaan, pemerintah, dan organisasi lainnya dalam mengevaluasi usahanya untuk meningkatkan kualitas usahanya. 6) Menciptakan
diversifikasi
produk
hasil
pertanian
dalam
rangka
meningkatkan nilai tambah melalui penggunaan alat pengolahan hasil yang efisien dan tepat guna. 7) Mengupayakan penurunan kehilangan hasil produk pertanian melalui penerapan alat mesin pasca panen yang tepat guna. 8) Meningkatkan
pengetahuan
dan
keterampilan
pertanian
dalam
penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian.
Pengembangan industrialisasi perdesaan berbasis pertanian dilakukan di sentra-sentra produksi utama dengan kelompok sasaran sebagai berikut: 1) Petani kecil yang sudah menggunakan teknologi pasca panen dan pengolahan hasil. 2) Prosesor produk pertanian.
42 3) Kelompok usaha, Koperasi usaha pengolahan hasil pertanian. 4) Aparat pembina di lapangan
2.3.3. Agroindustri Sebagai Penggerak Usaha Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Agroindustri merupakan kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Dengan demikian, pada dasarnya agroindustri meliputi pengolahan hasil pertanian, industri peralatan dan mesin pertanian, serta industri jasa di sektor pertanian. Dengan pendekatan lain, agroindustri dianggap merupakan bagian atau subsistem agribisnis yang memproses dan mentransformasi bahan-bahan hasil pertanian (bahan makanan, kayu dan serat) menjadi barang-barang setengah jadi maupun barang jadi yang langsung dapat dikonsumsi, dan barang yang dapat digunakan dalam proses produksi seperti traktor, pupuk, pestisida dan lain-lain (Aziz, 1992). Ronny (2006)2, mengemukakan, Indonesia sebagai negara agraris dan maritim sudah seharusnya memprioritaskan agribisnis dan agroindustri sebagai motor pembangunan ekonomi nasional. Selanjutnya dikemukakan, bahwa paling tidak terdapat empat alasan utama yang berhubungan dengan hal tersebut, yaitu: 1) Pada era pertumbuhan ekonomi nasional rendah, agribisnis dan agro industri terbukti mampu berperan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional ke arah pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. 2) Terdapat sebanyak 60 persen angkatan kerja nasional, yaitu sekitar 70-80 persen jumlah penduduknya masih menggantungkan hidupnya pada sektor agribisnis dan agroindustri. “Karena itu pengembangan agribisnis dan
agroindustri
sebagai
komitmen
nasional
merupakan
suatu
keharusan”. 3) Pengembangan agribisnis yang berkelanjutan akan mampu memberikan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan nasional yang lebih baik,
2
Ronny Rachman Noor, Saatnya Redefinisi Politik Pembangunan Peternakan. Republika Online, Jakarta
43 terutama di perdesaan. Pemerataan pembangunan ini tentunya akan mampu meningkatkan ketahanan nasional yang lebih baik. 4) Pada keadaan krisis ekonomi seperti saat ini, diduga dalam jangka pendek hanya sektor pertanian dalam arti luas yang mampu menyediakan pangan yang cukup bagi 210 juta penduduk Indonesia. Salah satu dampak yang sangat meresahkan dari krisis ekonomi adalah semakin melonjaknya harga bahan pangan, di lain pihak daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah sangat rendah.
Ronny juga mengemukakan, bagi Indonesia pemenuhan kebutuhan pangan merupakan masalah yang sangat serius karena jumlah penduduknya yang sangat besar. Masalah keamanan pangan sangat erat hubungannya dengan stabilitas ekonomi, biaya hidup serta stabilitas politik nasional. Oleh karena itu pembangunan agribisnis dan agroindustri harus dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah Indonesia agar kendala jarak dan kesulitan dalam pendistribusian produknya dapat diatasi. Sebagian dari pengadaan bahan pangan, khususnya untuk komoditas yang dibudidayakan di Indonesia, misalnya beras, jagung, gula dan berbagai buah-buahan dan sayuran masih harus diimpor. Keadaan seperti ini , selain menguras devisa akan memberikan citra negatif kepada Indonesia, karena secara tidak langsung Indonesia dianggap sebagai bangsa yang lemah dan tidak mampu mengelola sumberdaya alamnya yang melimpah dengan baik. Menurut Bakrie (2002)3, penerapan konsep agribisnis dan agroindustri yang holistik dan terpadu, harus dilakukan dalam pembangunan di sektor pertanian secara komprehensif serta terpadu. Secara hakiki, pendekatan ini mengandung arti bahwa sistem produksi, pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan pemasaran harus secara produktif dan efisien dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi baik di pasar domestik maupun pasar internasional. Produk-produk yang baik dalam arti kuantitas maupun kualitas hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan pasar, sehingga permasalahan market glut (harga turun drastis pada saat terjadinya panen raya), yang sampai saat ini masih 3
Bakri, Aburizal ( 2003 ). Kembali Jakarta
ke Basis Pertanian
Pikiran Rakyat. Cyber Media..
44 merupakan dilema klasik sektor pertanian dapat dihindari. Untuk dapat menghasilkan berbagai produk yang memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi, diperlukan penerapan iptek dan manajemen profesional melalui pendekatan QCD (Quality, Cost, and Delivery) pada keseluruhan mata rantai (sistem) agribisnis, dari mulai aspek produksi. Pasca panen, transportasi dan distribusi sampai ke pemasaran.