Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
Bab6 INDUSTRIALISASI RUMPUT LAUT 6.1.Pasar Rumput Laut 6.1.1. Pasar Ekspor Rumput laut merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya yang memiliki potensi bisa menggerakan perekonomian nasional. Beberapa jenis rumput laut, seperti cotonii dan gracilaria, telah dibudidayakan dan diperdagangkan secara luas dengan jumlah besar sebagai bahan baku industri, terutama untuk perdagangan luar negeri (ekspor), sehingga bisa menghasilkan devisa bagi negara. Keunggulan rumput laut lainnya selain bisa menghasilkan devisa bagi negara, adalah bisa dijadikan komoditas dalam rangka pemberdayaan masyarakat pesisir. Dengan teknologi yang relatif sederhana, budidaya rumput laut bisa dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat, termasuk kaum marjinal sekalipun, sehingga berpotensi bagi penyediaan lapangan pekerjaan secara masal di sekitar kawasan pesisir dan pulaupulau kecil. Siklus produksi komoditas ini juga relatif singkat (45 hari), sehingga manfaat ekonomi pengembangan komoditas ini bisa cepat dirasakan oleh masyarakat dan dapat diukur secara langsung. Di sisi lain, komoditas ini merupakan spesies tanaman air yang pertumbuhan biomasanya bergantung kepada kesuburan perairan. Biota ini memiliki kemampuan menyerap hara terutama nitrogen dan fosfat di perairan, dan mengubah unsur tersebut, dengan bantuan cahaya matahari dalam proses fotosintesis, menjadi karbohidrat. Karaginan, agar dan alginat merupakan salah satu bentuk dari karbohidrat yang memiliki sifat kimia bisa menggumpal pada suhu tertentu, dan sifat ini sangat bermanfaat bagi berbagai industri, baik dalam proses maupun hasil akhir, seperti industri makanan, minuman, farmasi, tekstil, kecantikan, kulit dan industri kimia lainnya. Oleh karena itu komponen kandungan lokal (local content) dalam memproduksi rumput laut hampir mencapai 100 persen, berbasis sumber daya alam (natural resource-based). Komponen utama dalam memproduksi rumput laut adalah cahaya matahari dan hara di perairan. Dengan kemampuan menyerap hara dan mineral di perairan, rumput laut bisa menjaga keseimbangan ekosistem dan pelestarian lingkungan. Dari uraian di atas, dengan demikian pengembangan industri rumput laut Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
dapat memenuhi harapan pembangunan kelautan dan perikanan dalam rangka mewujudkan empat pilar pembangunan, yaitu pro-poor (pengentasan kemiskinan), pro-job (penyerapan tenaga kerja), pro-growth (pertumbuhan), dan pro-environment (pemulihan dan pelestarian lingkungan). Permintaan pasar ekspor rumput laut cenderung stabil. Hal ini bisa dilihat dari volume impor yang dilakukan oleh negara importir pada 2005-2009 yang berkisar antara 300-330 ribu ton kering per tahun atau rata-rata 320 ribu ton kering per tahun (Tabel 6.1). China merupakan negara importir terbesar rumput laut dunia, diikuti oleh Jepang pada posisi kedua dan Amerika Serikat (USA) pada posisi ketiga. Selama kurun waktu 2005 hingga 2009, ketiga negara tersebut mengimpor 54,91 persen dari seluruh impor dunia, sesuai dengan data yang diperoleh dari FAO (Food and Agriculture Organization). Lebih dari setengah produk rumput laut dunia diserap oleh ketiga negara importir terbesar tersebut. Indonesia diharapkan bisa memiliki daya saing dan menguasai pasar internasional rumput laut, terutama di negara utama importir tersebut di atas ditambah beberapa negara importir lainnya seperti Perancis, Korea Selatan dan Taiwan. Tabel 6.1. Negara importir rumput laut dunia (FAO, 2010) No .
Importir
Volume Impor per Tahun (ton) 2006 2007 2008 78.780 79.543 94.445 73.063 63.042 52.274 30.056 27.365 29.361 14.631 18.239 18.638 15.707 15.202 13.811 14.196 15.608 16.157 6.905 7.143 8.531 9.919 12.151 3.478 23.154 13.079 10.576 7.505 9.194 5.012 53.334 56.357 69.301
Total
2005 2009 Cina 64.441 101.337 418.546 Jepang 83.100 48.882 320.361 USA 25.858 26.394 139.034 Prancis 32.261 19.639 103.408 Korea 16.401 11.069 72.190 Taiwan 15.236 15.653 76.850 Denmark 12.513 3.810 38.902 Hongkong 9.752 1.260 36.560 Inggris 11.792 9.619 68.220 Spanyol 9.198 5.800 36.709 Negara lain 49.849 60.413 289.254 Volume Impor 1.600.04 330.410 327.250 316.923 321.584 303.876 Dunia 3 Rasio*) 84,91 83,70 82,22 78,45 80,19 81,92 (Sumber: FAO, 2010) Keterangan: *) Rasio Impor 10 negara utama terhadap total impor dunia (dalam persen) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Ratarata 83.709 64.072 27.807 20.682 14.438 15.370 7.780 7.312 13.644 7.342 57.851 320.009 81,92
Seiring dengan permintaan dunia yang relatif konstan, produksi rumput laut dunia mengalami peningkatan pada 2005-2010, yakni dari hampir 15 juta ton menjadi hampir 20 juta ton berat basah. Beberapa negara produsen bersaing memproduksi rumput laut dengan kuantitas yang besar dan kualitas terbaik, memperebutkan pangsa Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
pasar rumput laut kering yang ada. Berdasarkan data FAO dari 2005 hingga 2010, Cina memproduksi rata-rata 60,69 persen produksi rumput laut dunia, sekaligus menjadikan negara ini sebagai produsen utama rumput laut dunia. Produksi rumput laut Cina mencapai 11,4 juta ton basah pada 2010. Produsen rumput laut kedua adalah Indonesia dengan pangsa produksi 12,58 persen dari total produksi dunia, dan Philipina pada posisi ketiga sebagai produsen rumput laut dunia dengan pangsa produksi 9,32 persen (Tabel 6.2). Namun demikian, untuk rumput laut jenis kotoni (cotonii) dan Gracilaria, Indonesia dan Filipina merupakan produsen utama dunia, dan sekitar 95 persen produksi kedua rumput laut tersebut berasal dari kedua negara tersebut. Tabel 6.2. Produsen utama rumput laut dunia berdasarkan volume produksi (FAO, 2012) Negara Produsen China Indonesia Philipina Korea Selatan Korea Utara Jepang Chile Malaysia Zanzibar Prancis Negara lainnya Total Produksi Dunia Ratio
Volume Produksi per Tahun Basah (ton) 2005
2006
9.756.381 66,31 % 918.366 6,24 % 1.338.896 9,10 % 636.366 4,32 % 444.295 3,02 % 612.635 4,16 % 425.343 2,89 % 40.000 0,27 % 73.620 0,50 % 23.099 0,16 % 444.748 3,02 %
9.777.223 64,64 % 1.174.996 7,77 % 1.469.219 9,71 % 779.349 5,15 % 444.300 2,94 % 603.727 3,99 % 339.334 2,24 % 60.000 0,40 % 76.760 0,51 % 19.192 0,13 % 380.679 2,52 %
14.713.749 96,98 %
2007
Total
Rata-rata
11.338.890 57,00 % 3.917.714 19,69 % 1.801.745 9,06 % 914.715 4,60 % 444.300 2,23 % 529.396 2,66 % 380.759 1,91 % 207.892 1,05 % 125.157 0,63 % 22.717 0,11 % 209.419 1,05 %
62.025.899 60,69 % 12.858.758 12,58 % 9.522.654 9,32 % 4.945.964 4,84 % 2.665.795 2,61 % 3.484.858 3,41 % 2.353.865 2,30 % 638.047 0,62 % 570.994 0,56 % 163.642 0,16 % 2.973.688 2,91 %
10.337.650 60,69 % 2.143.126 12,58 % 1.587.109 9,32 % 824.327 4,84 % 444.299 2,61 % 580.810 3,41 % 392.311 2,30 % 106.341 0,62 % 95.166 0,56 % 27.274 0,16 % 495.615 2,91 %
18.288.980
19.892.704
102.204.164
17.034.027
98,80 %
98,95 %
97,09 %
97,09 %
2008
2009
2010
10.081.345 58,41 % 1.733.118 10,04 % 1.505.421 8,72 % 811.142 4,70 % 444.300 2,57 % 617.566 3,58 % 339.938 1,97 % 80.000 0,46 % 84.850 0,49 % 39.792 0,23 % 1.521.669 8,82 %
10.299.985 60,86 % 2.147.978 12,69 % 1.666.944 9,85 % 934.890 5,52 % 444.300 2,63 % 561.005 3,31 % 412.266 2,44 % 111.298 0,66 % 107.925 0,64 % 39.810 0,24 % 198.410 1,17 %
10.772.075 58,90 % 2.966.586 16,22 % 1.740.429 9,52 % 869.502 4,75 % 444.300 2,43 % 560.529 3,06 % 456.225 2,49 % 138.857 0,76 % 102.682 0,56 % 19.032 0,10 % 218.763 1,20 %
15.124.779
17.259.141
16.924.811
97,48 %
91,18 %
98,83 %
(Sumber: FAO, 2012)
Kecenderungan melemahnya pasar rumput laut kering dunia sudah terasa dalam beberapa tahun terakhir ini. Harga rumput laut yang pernah mencapai angka di atas Rp 11.000/kg kering, beberapa tahun terakhir ini hanya Rp 6.000- 7.000/ kg kering saja. Hal ini antara lain disebabkan salah satunya oleh adanya kebijakan pemerintah negera importir, seperti di Cina, yakni sanitary and phytosanitary measurement. Kebijakan tersebut menjadi salah satu hambatan atau ganjalan dalam upaya perluasan pasar rumput laut Indonesia. Kebijakan ini dikeluarkan dalam rangka keselamatan Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
pangan di negara tujuan ekspor yang berkaitan dengan kandungan beberapa zat yang dianggap berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti pestisida, antibiotik dan sebagainya. Hambatan yang sifatnya non tarif tersebut diharapkan dan seharusnya bisa dikurangi dengan penerapan HACCP dan cara produksi yang benar di negara produsen rumput laut, termasuk Indonesia. Penyebab lain adalah adanya kebijakan lingkungan, seperti yang diterapkan di Cina. Di negara tirai bambu ini kebijakan tersebut ditujukan untuk mengurangi limbah industri yang dihasilkan oleh pabrik, termasuk pabrik pengolah rumput laut menjadi karaginan. Dalam proses produksi karaginan dari rumput laut kering ternyata menghasilkan limbah yang relatif banyak. Memang sesungguhnya rumput laut kering mengandung sedikit saja karaginan, sisanya kebanyakan adalah “sampah”. Kebijakan Pemerintah Cina ini berdampak cukup signifikan terhadap negara eksportir utama rumput laut dunia, termasuk Indonesia. Produksi rumput laut dunia cenderung meningkat dari 15 juta ton basah (sekitar 1,5 juta ton kering) pada 2005 menjadi hampir 20 juta ton basah (sekitar 2 juta ton) kering pada 2010, sementara itu permintaan rumput laut kering relatif konstan (dilihat dari volume impor beberapa negara importir utama). Sudah saatnya Indonesia tidak lagi mengekspor rumput laut dalam bentuk raw material (kering), melainkan dalam bentuk karaginan yang memiliki nilai tambak lebih. Peningkatan produksi rumput laut nasional sebagai dampak dari keberhasilan program KKP ini harus diimbangi oleh penyerapan pasar dalam negeri untuk kebutuhan industri pabrik karaginan dalam rangka memproduksi karaginan, baik semi-refine carrageenan (SRC) maupun refine carrageenan (RC). Perluasan pasar produk olahan rumput laut berupa karaginan dan agar-agar ini juga sudah dilakukan terutama ke Jepang. Melihat pertumbuhan produksi karaginan dan agar-agar yang meningkat secara eksponensial, maka diperlukan ketersediaan bahan baku berupa rumput laut kering. Kebutuhan rumput laut karaginofit kering untuk keperluan industri karaginan dunia diperkirakan mencapai 400.000 ton pada 2012, dan ini berarti 2 kali lipat dari permintaan rumput laut jenis ini pada 2007 yang mencapai 200.000 ton (Gambar 6.1). Melihat kecenderungan pertumbuhan kebutuhan rumput laut jenis karagenofit yang meningkat secara eksponensial, sesungguhnya kita tidak perlu khawatir mengenai nasib pemasaran komoditas ini dalam bentuk kering.
Gambar 6.1. Proyeksi permintaan rumput laut dunia penghasil karaginan (ton kering)
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
(Sumber : Anggadiredja, 2010 diolah 2012)
Indonesia mengekspor karaginan ke luar negeri, selain ke Cina dan Jepang juga ke Irlandia, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, India, Taiwan, Thailand, Cili, Perancis, Jerman, Spanyol, Amerika Serikat, Belanda, Denmark, dan sebagainya. Di negara importir tersebut karaginan Indonesia digunakan untuk berbagai industri, baik industri makanan (food) maupun non food seperti industri farmasi, pewarnaan, penyamakan, wewangian (parfum), dan sebagainya. 6.1.2. Pasar Domestik Produksi rumput laut kering nasional diserap oleh pabrik pengolahan di dalam negeri diperkirakan hanya 20-25% saja, dan sebagian besar sisanya diekspor (Tabel 6.3). Sebaliknya, pada industri agar-agar, 81,6% produksi nasional rumput laut Gracilaria diserap oleh industri dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), produksi rumput laut mencapai 4,3 juta ton basah pada 2011, dan diprediksi akan terus meningkat di masa yang akan datang mengingat komoditas ini dijadikan salah satu komoditas unggulan perikanan budidaya. Tahun 2012, pemerintah menargetkan produksi rumput laut basah sebanyak 5,1 juta ton basah dan bahkan pada 2014 ditargetkan mencapai 10 juta ton basah. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sudah saatnya Indonesia menggarap pasar domestik rumput laut karaginofit, sehingga sebagian besar produksi rumput laut karaginofit kering bisa Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
diserap oleh pasar dalam negeri. Salah satu strategi dengan mengembangkan industri pabrik karaginan. Tabel 6.3. Produksi dan penyerapan rumput laut kering untuk pasar dalam negeri (DN) dan pasar luar negeri (LN) pada 2009 dan 2010.
Tahun/Tipe
Produksi (berat ton kering)
2009 Carrageenophytes Agarophytes 2010 Carrageenophytes Agarophytes (Sumber : Anggadiredja, 2011)
Penyerapan DN ton kering %
Penyerapan LN ton kering %
155,060 35,050
36,070 28,600
23.25 81.6
118,990 6,450
76.75 18.4
140,020 20,700
33,815 24,805
24.15 80.8
106,205 5,895
75.85 19.2
Dewasa ini produksi karaginan dan agar-agar nasional dilakukan oleh beberapa pabrik saja. Sekurang-kurangnya terdapat 32 pabrik pengolah rumput laut menjadi karaginan dan agar-agar yang beroperasi di Indonesia, dengan status aktif, tidak aktif, dalam proses konstruksi dan dalam perencanaan. Industri yang bergerak dalam produksi karaginan semata diperkirakan sebanyak 10 pabrik saja, dan beberapa diantaranya dalam proses pembangunan atau tidak aktif lagi (Tabel 6.4). Dari 10 pabrik penghasil karaginan tersebut diperkirakan bisa diproduksi karaginan sebanyak 12.312 ton per tahun dan membutuhkan bahan baku sebanyak 62.100 ton per tahun. Sementara itu produksi rumput laut nasional sekitar 4,3 juta ton basah pada 2011 atau sekitar 430.000 ton kering, sehingga dengan kebutuhan baku untuk 10 pabrik karaginan yang hanya mencapai 62.100 ton saja, maka seharusnya bisa dibangun lebih banyak lagi pabrik karaginan guna menyerap produksi rumput laut kering nasional tersebut. KKP perlu menggerakkan Ditjen P2HP untuk memfasilitasi pembangunan industri pengolahan rumput laut menjadi semi-refine carrageenan atau bahkan refinecarrageenan. Setiap perusahaan pengolah rumput laut tersebut ternyata memiliki jaringan pengadaan bahan baku rumput kering masing-masing. Sumber bahan baku rumput laut kering umumnya berasal dari Sumenep, Takalar, Jeneponto, Maluku, Kendari, Palopo, Bantaeng, Bone, Nunukan, Sabu, Bulukumba, Baubau, Makasar, Luwuk, Bali, Kupang, Maumere, Lembata, Parigi Moutong dan sebagainya. Sebagian besar rumput laut kering dari kawasan tersebut yang dipasarkan di dalam negeri diolah menjadi karaginan semi murni dan sebagian kecil saja menjadi karaginan murni. Tabel 6.4. Industri pengolahan rumput laut menjadi karaginan, baik murni (refine carrageenan) maupun semi murni (semi refine carrageenan) di Indonesia
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Kapasitas Produksi Saat ini (ton/thn) No.
Nama Perusahaan
Lokasi pabrik
Jenis Produksi Produk
1
PT. Galic Artha Bahari
2
Kebutuhan Bahan Baku
Utilisasi (ton/thn)
Produk
Kebutuh an Bahan Baku
Asal Bahan Baku
Sumenep, Takalar, Jeneponto, Maluku 70% dari Sulawesi (Kendari, Palopo) dan Maluku
Keterangan
Cikarang
ATC dan SRC
2.040
8.568
1.224
5.141
PT. Gumindo Perkasa Industri
Banten
SRC
1.200
6.000
720
3.600
3
PT. Giwang Citra Laut
Takalar
ATC dan SRC
960
4.032
576
2.419
Takalar, Jeneponto
Aktif
4
PT. Cahaya Cemerlang
Makassar
ATC dan SRC
720
3.024
432
1.814
Takalar, Jeneponto
Aktif
Aktif
Aktif
Aktif
5
PT. Bantimurung Indah
Makassar
ATC dan SRC
3.000
12.600
1.800
7.560
Takalar, Bantaeng,Jene ponto, Bone, Palopo, Nunukan, Sabu, Bulukumba, Baubau
6
PT. Algalindo Perdana
Pasuruan
ATC dan RC
1.560
7.956
936
4.774
Sulsel, Maluku, NTT
Aktif
7
PT. Centram Pasuruan
Pasuruan
RC
432
6.480
259
3.888
Maumere, Laembata
Aktif
8
PT. Indo Seaweed
Mojokerto
SRC
1.560
7.800
-
-
9
PT. Amarta Carragenan
GempolPasuruan
SRC
480
2.400
288
1.440
Makasar, Luwuk, Bali, NTT (Kupang)
Aktif
Agar-Agar
240
1.440
144
864
Parigi Moutong
Aktif
Refine Carrageena n
120
1.800
-
-
10
PT. Surya Indo Algas
Jimbaran Wetan, Kec. Wonoayu, Sidoarjo
TOTAL
12.312
62.100
6.379
31.500
Dalam pembangun an
Berhenti proses Setara dengan 1.564.200 ton RL basah
(Sumber : Anggadiredja, 2011)
Rumput laut sebagian besar diolah menjadi karaginan, baik murni (refine carrageenan) maupun semi murni (semi-refine carrageenan), dan agar-agar. Produk olahan karaginan berbahan baku rumput laut kering kotoni (Kappaphycus alvarezii, Euchema spinosum), sedangkan agar-agar berasal dari rumput laut Gracilaria spp. Selain itu rumput laut juga diperjualbelikan sebagai rumput laut kering yang telah diputihkan sebagai bahan baku manisan atau cendol rumput laut. Permintaan tipe Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
produk rumput laut kering Gracilaria tidak sebanyak rumput laut kering kotoni mengingat tipe produk rumput laut kering Gracilaria umumnya dipasarkan di dalam negeri dan permintaan kuat hanya pada saat tertentu saja, terutama pada saat menjelang bulan puasa. Kuatnya pasar rumput laut bisa dilihat dari peningkatan produksi nasional produk olahan komoditas ini berupa karaginan dan agar-agar (Tabel 6.5). Produksi karaginan selalu meningkat dalam kurun 2006-2010 dari 6.070 ton menjadi 9.080 ton. Peningkatan produksi karaginan yang cukup signifikan terjadi terutama pada jenis semi murni (semi refine carrageenan, SRC) untuk bukan makanan (non food grade). Sebagai negara produsen rumput laut, Indonesia hingga kini masih bergantung pada impor produk olahan. Sepanjang tahun 2011, impor karaginan mencapai 1.380 ton, atau 70 persen dari total kebutuhan. Pemerintah, dalam hal ini Kementrian Kelautan dan Perikanan, berupaya mengendalikan impor karaginan dengan cara mentargetkan volume impor menjadi 25% saja dari total kebutuhan dalam negeri. Selain impor karaginan, Indonesia juga mengimpor 800 ton tepung agar-agar. Tabel 6.5. Produksi produk olahan rumput laut Indonesia berupa karaginan dan agaragar pada 2006-2010 Tahun Karaginan (RC) 2006 670 2007 720 2008 740 2009 780 2010 800 (Sumber : Anggadiredja, 2011)
Karaginan (SRC-f) 1320 1500 1620 1860 1920
Karaginan (SRC-nf) 4080 4920 5400 6240 6360
Jumlah 6070 7140 7760 8880 9080
Agar-agar 2700 2780 2870 2980 2820
Impor karaginan ini disebabkan oleh belum memadainya industri pengolahan rumput laut nasional dalam menyerap produksi rumput laut kering dan memproduksi karaginan dan agar-agar. Jumlah industri pengolahan rumput laut menjadi karaginan tersebut pada 2012 ini mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun 2011 (Tabel 6.6). Pada 2011 jumlah pabrik pengolah rumput laut untuk produksi karaginan mencapai 14 unit, dan untuk produksi agar-agar mencapai 11 unit. Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan rumput laut tersebut adalah bahan baku rumput laut kering yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga. Hal ini disebabkan oleh sebagian besar rumput laut kering dari golongan karaginofit ini diekspor dan sebagian kecil saja yang diolah di dalam negeri.
Tabel 6.6. Jumlah industri pengolahan rumput laut berupa agar-agar dan karaginan di Indonesia
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Jenis Produk Agar-agar Karaginan a. Refine b. Semirefine (puder dan chips, f dan nf) Alginat (Sumber : Anggadiredja, 2011)
Jumlah Industri (unit)
Produksi (ton)
11
3,000
3 11 -
900 10,600 -
Kebutuhan bahan baku untuk memproduksi karaginan murni adalah sebesar 5 kali dari volume hasil produk olahan, sedangkan untuk produk semi murni diperlukan 4 kali. Untuk memproduksi karaginan semi murni untuk tujuan bukan makanan diperlukan bahan baku sebanyak 3 kali dari produksi olahan. Untuk memproduksi agaragar diperlukan bahan baku berupa rumput laut Gracilaria kering dengan kandungan air 12,5 persen sebanyak 8 kali dari hasil olahannya. Oleh karena itu dengan meningkatnya produksi dan permintaan karaginan dan agar-agar, maka permintaan bahan baku berupa rumput laut kering juga akan meningkat secara linier. Ini adalah peluang pasar pengembangan rumput laut pada level onfarm. 6.2. Gambaran Umum Industri Rumput Laut Nasional 6.2.1. Karakteristik Industri Industri rumput laut di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu on farm dan off farm (Gambar 6.2): 1. On farm adalah bagian dari industri yang memproduksi atau membudidayakan rumput laut dengan produk utamanya adalah rumput laut kering. Pelaku utama on farm adalah pembudidaya atau petani rumput laut yang berkarakter pertanian. Karakter pertanian pada umumnya adalah bergantung pada musim, produksi tidak seragam, tidak tepat waktu, harga, jumlah dan kualitas, produksi tidak kontinyu, dan bermodal kecil. 2. Off farm yang merupakan bagian dari industri rumput laut yang mencakup pengolahan menjadi berbagai produk, antara lain karaginan. Termasuk di dalam kelompok ini adalah distribusi produk hingga ke konsumen (pemasaran). Pelaku yang termasuk dalam off farm ini adalah pengumpul, eksportir, pabrik karaginan dan pabrik yang berbahan baku karaginan. Karakter umum dari kelompok off farm ini diantaranya adalah produksi tidak bergantung kepada musim, dapat berproduksi sepanjang tahun, tepat waktu, harga, jumlah dan kualitas, serta bermodal besar. Karakter kelompok off farm ini kebalikan dari karakter on farm. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
On farm yang berkarakter pertanian (agricultural) harus berhadapan dengan pabrik pengolah rumput laut yang berkarakter industri (industrial). Permasalahan yang dihadapi dalam industri rumput laut adalah terjadinya rantai yang putus antara on farm dengan off farm. Gambar 6. 2. Industri budidaya rumput laut nasional: pembudidaya/petani rumput laut versus industriawan karaginan.
Industriawan Pembudidaya
Pembudiday a
Pengump ul
Pengumpul besar
Eksportir
Pabrik karaginan dalam negeri
Pabrik karaginan luar negeri
Industri minuman, makanan, farmasi, kimia
6.2.2. Keragaman Mutu Rumput Laut Kering Terdapat keragaman (variasi) mutu rumput laut kering yang dihasilkan oleh pembudidaya. Hal ini bergantung kepada jenis (spesies), varitas (sub-spesies), lokasi budidaya (lingkungan/kesuburan perairan), umur panen, cara panen, penangan pascapanen (penjemuran, pengepakan dan distribusi), dan sebagainya. Resultante dari berbagai faktor tersebut menyebabkan terjadinya variasi mutu rumput laut kering yang dihasilkan. Sebagai contoh adalah adanya perbedaan kualitas antara rumput laut kering yang berasal dari Indonesia dengan Filipina (Tabel 6.7). Dalam tabel tersebut di atas ternyata kualitas rumput laut Indonesia masih di bawah Filipina. Kualitas rumput laut kering dinyatakan dalam beberapa parameter seperti kadar air (moisture content), kemurnian/kebersihan (impurities), hasil/rendemen (yield), kekuatan jeli (gell strength), warna, dan sebagainya. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
Persyaratan mutu rumput laut sangat diperhatikan oleh industri pengolahan rumput laut (pabrik karaginan dan agar), dan bila persyaratan tersebut tidak dipenuhi seringkali produk rumput laut kering tersebut ditolak atau dihargai rendah oleh industri pengolahan. Hal ini (aspek kualitas) sering kali tidak dipahami sepenuhnya oleh pembudidaya rumput laut yang berorientasi kepada kuantitas. Kurang dipenuhinya persyaratan kualitas atau mutu oleh para produsen rumput laut kering pada level on farm disebabkan oleh perbedaan persepsi antara produsen rumput laut kering (pembudidaya) dengan kalangan industriawan tentang produk rumput laut kering. Peran pengumpul untuk menjembatani dan menyelaraskan perbedaan persepsi mutu produk rumput laut kering tersebut menjadi sangat penting. Saringan (screening) mutu rumput laut kering dari para pembudidaya pada umumnya dilakukan oleh para pengumpul rumput laut kering. Tabel 6.7. Perbandingan rumput laut kering Indonesia dengan Filipina. Standar
E. cottonii Filipina
E. cottonii Indonesia
Moisture content
37% maximum
42%-55%
42%-55%
Impurities (sand&salt)
3% maximum
3%-10%
5%-14%
Yield( in SRC powder)
28% minimum
22%-26%
17%-23%
Clean anhydrous weed (CAW)
50% minimum
35%-50%
30-45%
Water gel strength
250 gm/cm2 minimum
250-450 gm/cm2
150-300 gm/cm2
KCl gel strength
750 gm/cm2 minimum
700-100 gm/cm2
500-780 gm/cm2
Seaweed color (visual)
lighter color
lighter color
Mostly dark brown/black
Parameter
(Sumber : Neish, 2010)
6.2.3. Ekspor Rumput Laut Nasional Pada 2010 negara tujuan ekspor rumput laut Indonesia adalah ke Cina (51,7%), Filipina (12,28%), Vietnam (7,7%), Cili (4,5%), Jerman (3,9%), Amerika Serikat (3,3%) dan Inggris (3,2%) dan beberapa negara importir lainnya (Tabel 6.8). Lebih dari setengah ekspor rumput laut Indonesia ditujukan ke Cina. Selama tahun 2006-2010 peningkatan permintaan pasar rumput laut China mencapai 59,10% sedangkan untuk Hongkong terjadi penurunan permintaan walaupun di periode 2009-2010 kembali Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
meningkat. Jumlah total rumput laut kering yang diekspor pada tahun tersebut mencapai 123.074 ton senilai US$ 135.939.000. Umumnya terjadi kenaikan persentase volume ekspor rumput laut nasional ke negara importir utama antara 2009-2010, kecuali Amerika Serikat, Korea Selatan dan Prancis. Kenaikan persentase volume ekspor rumput laut nasional tertinggi terjadi pada ekspor ke Jerman (196%) dalam kurun waktu tersebut di atas, sedangkan penurunan paling besar terjadi pada ekspor ke Korea Selatan. Data pada Tabel 6.8 tersebut dapat menjelaskan bahwa di beberapa negara tertentu, Indonesia memiliki pasar yang cukup baik dan cukup potensial untuk menjadi market leader rumput laut kering. Tabel 6.8.Perkembangan rumput laut Indonesia berdasarkan negara tujuan 2006
2007
2008
Negara (dalam US$ 000)
2009
2010
Vol (ton)
US$ 000
% share
Vol (ton)
US$ 000
% share
Kenaikan 20062010 (%)
Kenaikan 20092010 %
Nilai
Cina
12.876
11.180
35.233
51.085
39.008
44,,44
72.213
70.277
51,70
59,10
41,36
80,16
Filipina
6.052
7.080
27.896
6.701
7.746
8,82
12.512
16.689
12,28
23,60
86,74
115,45
Vietnam
1.403
3.182
3.475
13.991
7.130
8,12
15.232
10.466
7,70
62,03
8,87
46,78
Cili
1.445
2.229
5.262
1.425
2.719
3,10
2.946
6.072
4,47
35,94
105,76
123,3
812
905
1.951
273
901
1,03
809
5.287
3,89
45,40
196,35
486,89
3.843
3.017
2.563
1.764
3.036
3,46
1.584
4.478
3,29
3,17
-10,24
47,52
Jerman USA Inggris
2.416
2.025
6.208
1.038
5.644
6,43
720
4.328
3,18
24,49
130,6
-23,32
Korea Selatan
2.281
3.404
7.577
5.019
5.576
6,35
3.056
4.017
2,96
17,65
-39,11
-27,95
549
1.243
2.980
3.058
2.993
3,41
2.211
2.572
1,89
48,69
-27,68
-14,07
4.606
8.037
2.018
2.323
841
0,96
5.252
1.984
1,46
-32,58
126,05
135,84
27,63
30,87
54,86
Prancis Hongkong Lainnya
13.304
15.221
14.991
7.365
12.187
13,88
6.539
9.769
7,19
Jumlah
49.587
57.523
110.154
94.042
87.781
100,00
123.074
135.939
100,00
(Sumber : FAO, 2012)
6.2.4. Kelembagaan Kelembagaan dalam industri rumput laut nasional mencakup pemerintah, swasta dan masyarakat. Lembaga pemerintah yang terkait dengan komoditas ini mencakup dinas teknis (Dinas Kelautan dan Perikanan) di tingkat provinsi dan daerah, balai perekayasaan dan balai penelitian. Kelembagaan swasta mencakup pengumpul, eksportir, importir, pabrik pengolahan rumput laut, perbankan, koperasi dan sebagainya, sedangkan kelembagan di masyarakat mencakup kelompok pembudidaya rumput laut, paguyuban (society), asosiasi, LSM dan sebagainya. Dalam upaya meningkatkan performa rumput laut, baik dari penyediaan benih yang berkualitas maupun hasil panen yang optimum diperlukan peran kelembagaan untuk mendukung keberhasilan budidaya rumput laut. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
Salah satu upaya yang telah dilakukan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau (BRPBAP) Maros, Sulawesi Selatan untuk meningkatkan hasil rumput laut adalah teknik perbanyakan rumput laut secara in vitro melalui kultur jaringan, spora, protoplas, teknik embriogenesis dan sebagainya. Teknik ini diharapkan bisa menjadi alat dalam rekayasa genetik rumput laut untuk mendapatkan jenis rumput laut unggul, dengan keunggulan antara lain kandungan yeald tinggi, tahan penyakit dan tumbuh dengan cepat. Untuk mentransfer ilmu dan teknologi yang telah dikuasai oleh balai penelitian tersebut, diperlukan adanya pelatihan bagi pembudidaya rumput laut. Di samping itu diperlukan juga dukungan pembiayaan dari lembaga keuangan dalam kaitannya dengan permodalan dengan mempermudah proses peminjaman modal usaha bagi pembudidaya rumput laut, sehingga dapat memperlancar pengembangan usaha rumput laut di masyarakat. Kultur jaringan adalah teknik perbanyakan (propagation) rumput laut melalui sepotong jaringan tanaman ini di dalam tabung (in vitro). Jaringan tersebut diharapkan bisa berkembang di dalam tabung menjadi individu rumput laut yang baru, kemudian ditumbuhkan di dalam wadah yang lebih besar di rumah kaca (indoor system), selanjutnya dalam wadah lebih besar lagi di dalam sistem out door, dan akhirnya ditumbuhkan di lapangan (laut). Dengan demikian rumput laut hasil perbanyakan melalui kultur jaringan ini telah mengalami serangkaian fase aklimatisasi sebelum ditanam di laut. Kultur jaringan rumput laut juga telah dilakukan oleh Biotrop Bogor. 6.3. Prioritas Industrialisasi Rumput Laut 6.3.1. Rencana Penambahan Luas Areal Budidaya Rumput Laut Dalam rangka industrialisasi budidaya rumput laut, pemerintah telah menetapkan 4 provinsi sebagai percontohan (demfarm), yakni Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah dan Nusa Tenggara barat (Tabel 6.9). Pada 2012 total areal percontohan mencapai 12.630 ha, meningkat menjadi 15.156 ha pada 2013 dan 19.703 ha pada 2014.
Tabel 6.9. Target luas areal laut dalam rangka industrialisasi budidaya rumput laut nasional (ha).
No.
Provinsi
Kabupaten
1
Sulawesi Selatan
Takalar dan Jeneponto
2
Sulawei Utara
Minahasa Utara
2012
2013
2014
8.497.7
10.196,5
13.253,8
410,4
490,9
639,5
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No.
Provinsi
Kabupaten
2012
2013
2014
3
Sulawesi Tengah
Parigi moutong
2.307,8
2.771
3.602,4
4
Nusa Tenggara Barat
Sumbawa
1.413,9
1.697,5
2.207,1
Total
12.630
15.156
19.703
(Sumber: Presentasi Dirjen Perikanan Budidaya pada Seminar Bioteknologi Akuakultur, 2012)
6.3.2. Lokasi Industrialisasi rumput laut nasional tahap I dilaksanakan di 5 kabupaten prioritas pengembangan yaitu Kabupaten Sumbawa Nusa Tenggara Barat (NTB), Jeneponto dan Takalar Sulawesi Selatan (Sulsel), Parigi Moutong Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Kabupaten Minahasa Utara Sulawesi Utara (Sulut). Pada Tahap II dan III (2013 dan 2014), lokasi prioritas ini akan ditambah hingga mencakup Kabupaten Sumba Timur NTB, Morowali Sulawesi Tenggara (Sultra), Rote Ndao dan Sumenep Jawa Timur (Jatim). Lokasi prioritas tersebut adalah sentra produksi rumput laut nasional dan tentunya memiliki potensi SDA yang mendukung pengembangan serta aksesibilitas yang tinggi, baik untuk distribusi sarana produksi dan pemasaran hasil. Di kawasan tersebut dilakukan percontohan (demfarm) budidaya rumput laut pada sejumlah luasan areal, dan diharapkan bisa menjadi stimulus pelaksanaan program untuk bergerak ke arah yang diharapkan. Berikut ini adalah penilaian lokasi prioritas pengembangan industrialisasi pada tahap I yang berdasarkan data luas, jumlah pembudidaya, produksi dan aksesibilitas terhadap sarana produksi dan pemasaran hasil (Tabel 6.10). Penilaian dilakukan secara kualitatif (sangat tinggi, tinggi dan cukup tinggi) berdasarkan data kuantitatif pada tahun terakhir (2011). Aksesibilitas dinilai berdasarkan kepada jarak lokasi tersebut ke ibu kota provinsi yang biasanya terdapat pelabuhan kargo untuk pengangkutan rumput laut kering ke luar daerah bahkan ekspor, dan pengadaan sarana produksi. Takalar dinilai memiliki luas produksi, produktivitas pembudidaya, dan aksesibilitas yang sangat tinggi, sedangkan Minahasa Utara memiliki produktivitas perairan paling tinggi di antara lokasi prioritas pengembangan industrialisasi rumput lau lainnya. Jeneponto memiliki jumlah pembudidaya paling banyak. Sumbawa dinilai memiliki luas areal, produksi, produkstivitas pembudidaya dan aksesibilitas yang cukup tinggi. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6. 10. Penilaian lokasi prioritas pengembangan industrialisasi rumput laut tahap I No.
Lokasi
1 2 3 4 5
Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Keterangan : +++ sangat tinggi ++ tinggi + cukup tinggi
Luas Areal
Produksi
Produktivitas Perairan
Pembudidaya
Produktivitas Pembudidaya
+ ++ +++ + +
+ ++ +++ + +
++ ++ ++ ++ +++
++ +++ + + +
+ + +++ + ++
Aksesibilitas Sarana Pasar produksi + + ++ ++ +++ +++ ++ ++ ++ ++
6.3.3. Data Baseline 6.3.3.1. Luas Areal Budidaya Diantara kabupaten prioritas program industrialisasi rumput laut nasional, pada 2010 luas areal budidaya rumput laut paling banyak di Kabupaten Takalar (lebih dari 10 ribu ha) dan diikuti oleh Kabupaten Jeneponto (Gambar 6.3, Lampiran 5). Di kabupaten ini, luas areal budidaya rumput laut cenderung meningkat antara tahun 2009-2010, sementara di Jeneponto cenderung menurun. Dalam satu provinsi terjadi fluktuasi luas areal budidaya rumput laut yang sangat dinamis. Sementara itu di Kabupaten Minahasa Utara terjadi kenaikan luas areal budidaya rumput laut antara 2010-2011. Sifat budidaya rumput laut masih sangat bergantung kepada faktor alam (oseanografi, klimatologi, kualitas air, ekosistem perairan), sehingga areal budidaya berubah-ubah secara dinamis bergantung kepada kondisi alam.
Gambar 6.3. Luas areal budidaya rumput laut di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
6.3.3.2. Produksi dan Produktivitas Perairan Mengikuti luas areal budidaya, produksi rumput laut di antara lokasi prioritas Tahap I ini yang paling tinggi adalah di Kabupaten Takalar yakni sekitar 417.424 ton pada 2010 (Gambar 6.4). Di kabupaten ini terjadi kenaikan produksi antara 20092010, mengikuti kenaikan luas areal budidaya pada kurun waktu yang sama (Gambar 6.3). Hal sama juga terjadi di Kabupaten Minahasa Utara, produksi meningkat antara 2010-2011 mengikuti peningkatan areal budidaya. Di Kabupaten Jeneponto terjadi kondisi kontradiksi yaitu terjadi peningkatan produksi rumput laut di saat terjadi penurunan luas areal budidaya. Hal ini mungkin terjadi karena peningkatan produktivitas di areal perairan budidaya yang ada.
Gambar 6.4. Produksi rumput laut (basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
Produktivitas perairan yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Minahasa Utara yang mencapai hampir 155 ton/ha pada 2010, namun menurun menjadi 111 ton/ha pada 2011 (Gambar 6.5). Produktivitas tertinggi kedua di antara lokasi prioritas industrialisasi rumput laut nasional Tahap I ini adalah Kabupaten Takalar yang hampir mencapai 88 ton/ha, namun menurun menjadi kurang dari setengahnya sekitar 44 ton/ha. Produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Minahasa Utara mencapai lebih dari 2 kali lipat produktivitas perairan di Kabupaten Takalar. Di Kabupaten Jeneponto, seperti telah dinyatakan di atas, memang terjadi peningkatan produktivitas perairan untuk budidaya rumput laut antara 2009-2010 dari 31 menjadi 44 ton/ha. Terjadi disparitas produktivitas yang sangat lebar antar kabupaten lokasi prioritas berproduktivitas tinggi dengan yang berproduktivitas rendah. Hal ini memang sudah menjadi karakteristik budidaya rumput laut, yakni variabilitas produktivitas perairan yang sangat tinggi, yang disebabkan oleh sifat budidaya ini yang masih sangat dipengaruhi oleh faktor alam. Faktor eksternal lingkungan terhadap sistem produksi dalam budidaya rumput laut masih sangat besar, sehingga menyebabkan variabilitas produktivitas yang lebar. Gambar 6.5. Produktivitas perairan (dalam bobot basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
6.3.3.3. Jumlah Pembudidaya dan Produktivitas Pembudidaya Di Jeneponto, jumlah pembudidaya rumput laut mencapai 8.368 RTP pada 2009-2010 tertinggi di antara kabupaten yang menjadi prioritas industrialisasi rumput laut nasional, padahal luas areal budidaya dan produksinya lebih sedikit dari Kabupaten Takalar (Gambar 6.6). Sementara di Kabupaten Takalar dengan produksi rumput laut paling tinggi, ternyata memiliki jumlah pembudidaya yang paling sedikit yaitu sekitar 478 RTP pada 2010 meningkat dari 337 RTP pada 2009. Hal ini menyebabkan produktivitas per pembudidaya di Kabupaten Takalar adalah paling tinggi (Gambar 6.7). Di kabupaten ini produktivitas budidaya rumput laut mencapai 873,27 ton/RTP pada 2010, meningkat dari 782,92 ton/RTP pada 2009. Produktivitas pembudidaya di Kabupaten Jeneponto hanya mencapai 17,8 ton/RTP pada 2010 paling rendah di antara kabupaten prioritas industrilisasi budidaya rumput laut.
Gambar 6.6. Jumlah pembudidaya di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012) Gambar 6.7. Produktivitas pembudidaya di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
6.3.3.4. Nilai Produksi Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
Nilai produksi rumput laut paling tinggi terjadi di Kabupaten Takalar pada 2010 yaitu sebesar Rp 626,14 milyar. Nilai produksi rumput laut di Kabupaten Takalar ini disebabkan oleh produksi rumput laut yang tinggi (Gambar 6.4). Peningkatan nilai produksi pada tahun 2009-2010 terjadi di Kabupaten Jeneponto, Takalar dan Minahasa Utara. Kabupaten Jeneponto mengalami peningkatan nilai produksi dari Rp 202,05 milyar menjadi Rp 203,38 milyar, Kabupaten Takalar mengalami peningkatan nilai produksi dari Rp 359,77 milyar menjadi Rp 626,14milyar sedangkan nilai produksi rumput laut di Kabupaten Minahasa Utara meningkat dari Rp 80,71 milyar menjadi Rp 118,59 milyar (Gambar 6.8). Gambar 6.8. Nilai produksi di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
Harga rumput laut di kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional berkisar antara Rp 1.100,- hingga Rp 4.000,- dengan rata-rata sekitar Rp 1.700 per kilogram rumput laut basah. Harga rumput laut tertinggi yaitu Rp 4.000,- berada di Kabupaten Paragi Moutong (Gambar 6.9). Hal tersebut yang menyebabkan nilai produksi rumput laut yang lebih tinggi dibandingkan kabupaten lainnya kecuali Kabupaten Takalar yang memang memiliki produksi paling tinggi (Gambar 6.4).
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Gambar 6.9. Harga produk rumput laut (basah) di setiap kabupaten prioritas industrialisasi rumput laut nasional 2009-2011
(Sumber : Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, diolah 2012)
Lampiran 5 menyajikan data keseluruhan kinerja budidaya rumput laut di lokasi prioritas pengembangan Tahap I yang mencakup Sumbawa, Janeponto, Takalar, Parigi Moutong dan Minahasa Utara. Data tersebut diharapkan bisa menjadi data baseline dalam rangka menentukan target indikatif program industrialisasi budidaya rumput laut di lokasi prioritas. Luas area budidaya rumput laut di 5 kabupaten prioritas pengembangan dalam tahun terakhir (2010-2011) adalah sebesar 18.608 ha. Produksi rumput laut basah pada tahun terakhir (2010-2012) dari ke lima lokasi prioritas tersebut mencapai 748.745,2 ton, dengan produkstivitas rata-rata dalam 3 tahun terkahir mencapai 62,76 ton/ha/tahun. Dalam budidaya rumput laut fluktuasi luasan area sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh tingginya faktor luar (eksternalitas) yang mempengaruhi usaha budidaya ini, terutama kondisi alam (klimatologi, oseanografi, kualitas dan ekosistem perairan). Keadaan tersebut menyebabkan usaha budidaya rumput laut memiliki ketidakpastian yang tinggi (high uncertainty) dan tidak stabil. Walaupun seperti itu budidaya rumput laut ini masih menjadi prioritas pemerintah sebagai komoditas unggulan perikanan budidaya, sehingga perkembangan luas area budidaya rumput laut terjadi peningkatan 73,03 persen setiap tahunnya. Hal ini juga terlihat dari jumlah RTP (Rumah Tangga Pembudidaya) yang mengalami kenaikan sebanyak 22,17 persen setiap tahunnya. Jumlah produksi yang dihasilkan dari ke 5 kabupaten prioritas tadi rata-rata Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
167.508 ton/tahun dan produktivitas perairannya 56,05 ton/ha. Untuk menghasilkan rumput laut sebanyak 837.542,2 ton diperlukan bibit 200.457 ton. Produksi rumput laut terjadi perkembangan sebesar 43,01 persen setiap tahun sedangkan produktivitas perairan mengalami penurunan 11,36 persen. Penurunan produktivitas perairan ini terjadi karena peningkatan produksi yang dihasilkan tidak optimal dibanding dengan perluasan area budidaya yang meningkat pesat. Walaupun produktivitas perairan menurun tetapi produktivitas pembudidaya meningkat sebesar 208,49 ton/ RTP, dengan kenaikan produktivitas 16,89 persen setiap tahunnya. Nilai produksi rumput laut yang dihasilkan sebesar Rp 1.266.485.709.000,-. 6.3.4 Rantai Pasok Industri dan Analisis Finansial 6.3.4.1. Rantai Pasok Industri Industri rumput laut Indonesia (Gambar 6.10) menghasilkan sejumlah jenis rumput laut yang dapat diperdagangkan dalam kondisi segar dan kering, yaitu kelompok Euchema, kelompok Gracilaria/Gelidium, dan kelompok Sargassum yang masing-masing menghasilkan produk berbeda, yaitu agar-agar, karaginan, dan alginat. Di dalam perdagangan, kelompok pertama dikenal pula sebagai rumput laut kotoni. Produk tersebut menjadi bahan baku farmasi, industri non pangan, dan bahan pangan dengan kebutuhan kualitas (grade) tertentu yang mempengaruhi harga jual rumput laut. Nilai tambah diperoleh pembudidaya apabila diproduksi rumput laut dengan kandungan produk yang tinggi dan melakukan penjualan rumput laut kering dibandingkan dengan rumput laut basah/segar. Harga rumput laut basah kotoni dari jenis Euchema cotonii sebesar Rp 800-1.250 per kg, dan yang kering Rp. 6.500-8.500 per kg dengan rendemen mencapai 12 persen (dari 1000 kg rumput laut basah menjadi 120 kg rumput laut kering, atau sekitar seperdelapan). Gambar 6.10. Pohon industri rumput laut Indonesia
(Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, diolah 2012)
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
Rantai pasok rumput laut (Gambar 6.11) terbagi ke dalam dua sisi, yaitu sisi penawaran dan sisi permintaan. Sisi penawaran meliputi bahan baku berupa bibit rumput laut dan material lain yang diperlukan untuk proses produksi rumput laut, arus logistik yang masuk ke dalam proses industri budidaya rumput laut. Sisi permintaan meliputi arus logistik keluar dari sistem budidaya rumput laut sampai konsumen, melalui pengumpul, pengolah, pedagang besar, dan pengecer. Penjualan rumput laut sama dengan komoditas perikanan budidaya lainnya, yaitu pembeli datang ke lokasi produsen sehingga produsen tidak mengeluarkan biaya penjualan, tetapi memerlukan fasilitas pengeringan dan gudang penyimpanan. Gambar 6. 11. Rantai pasok industri rumput laut Indonesia
(Sumber : Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, diolah 2012)
6.3.4.2. Analisis Finansial Analisis finansial budidaya rumput laut dilakukan berdasarkan kegiatan budidaya rumput laut dengan menggunakan metode rawai dan longline. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam perhitungan analisis usaha dan analisis kriteria investasi adalah sebagai berikut: 1. Metode budidaya yang digunakan dalam budidaya rumput laut adalah teknologi longline dan rawai. 2. Metode longline menggunakan tali dengan panjang 17 m dengan jumlah tali 100 bentangan. 3. Metode rawai luas petak 2.500 m2, dengan jumlah rumpun sebanyak 10.000 rumpun. 4. Harga bibit rumput laut Rp 2.000,00 per kg. 5. Rumput laut yang hidup sampai panen diasumsikan 90 persen dari total rumpun yang ditanam. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
6. Berat rata-rata panen rumput laut basah pada metode rawai adalah 700 gram per rumpun dan pada longline adalah 800 gram per rumpun. 7. Rendemen yang dihasilkan dari rumput laut basah menjadi kering pada budidaya rawai adalah 43 persen pada rawai dan 35 persen pada longline. 8. Rumput laut dijual dalam bentuk rumput laut kering. Harga jual rumput laut hasil panen dari metode rawai adalah Rp 6.000,00 perkg dan dari longline Rp 8.500,00 per kg. 9. Satu tahun produksi pada metode rawai adalah enam kali siklus dan pada longline empat kali siklus. 10. Produksi rumput laut kering pada metode rawai adalah 21,6 ton/tahun dan metode longline adalah 2.4 ton/tahun 11. Umur ekonomis dalam analisis kriteria investasi adalah 5 tahun berdasarkan pada umur teknis dari investasi. 12. Discount rate yang digunakan sebesar 14 % berdasarkan tingkat suku bunga pinjaman Bank BRI bulan Desember 2012. Kebutuhan investasi dan biaya pada kegiatan budidaya rumput laut dapat dilihat pada Lampiran 18-21. Masing-masing teknologi pada budidaya rumput laut memberikan nilai analisis usaha yang berbeda seperti terlihat pada Tabel 6.11 berikut ini Tabel 6.11.Analisis usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longline No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Komponen Investasi Biaya Tetap Biaya variabel Biaya total Penerimaan Keuntungan R/C BEP BEP Payback Periode (PP) Return on Investment (ROI)
Satuan Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Kg Tahun %
Rawai 18,800,000.00 23,500,000.00 24,000,000.00 47,500,000.00 129,600,000.00 82,100,000.00 2.73 28,840,909.09 4,806.82 0.23 436.70
Longline 11,107,500.00 2,442,928.57 13,160,000.00 15,602,928.57 19,495,000.00 3,892,071.43 1.25 7,517,741.52 812.90 2.85 285.39
Berdasarkan nilai analisis usaha, keuntungan tertinggi diperoleh pada kegiatan budidaya rumput laut dengan metode rawai. Demikian pula halnya dengan rasio antara penerimaan dan biaya yang tertinggi pada budidaya ini. Keuntungan usaha budidaya rumput laut dengan rawai sebesar Rp 82.100.000,00 dengan nilai R/C 2,73 yang artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan sebesar Rp 2,73 sedangkan keuntungan pada metode longline adalah Rp 19.495.000,00 dan R/C sebesar 1,25. Perbedaan nilai keuntungan dan R/C yang cukup tinggi Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
disebabkan karenaperbedaan pada lahan yang digunakan danperbedaan jumlah panen yang dilakukan dalam waktu satu tahun, pada metode rawai dapat melakukan panen enam kali setahun sedangkan pada longline hanya empat kali. Nilai tingkat pengembalian investasinya (PP dan ROI) yang dihasilkan lebih besar pada metode rawai. ROI sebesar 436,70 % pada budidaya rumput laut metode rawai menunjukkan bahwa investasi yang ditanamkan pada usaha ini memberikan pengembalian investasi sebesar 436,70 % dan nilai payback periode sebesar 0,23 tahun menunjukkan bahwa pada periode pemeliharaan sekitar 3 bulan, investasi yang ditanamkan sudah kembali. Analisis kriteria investasi pada kegiatan budidaya budidaya rumput laut dijelaskan pada Tabel 6.12 secara terperinci dapat dilihat pada Lampiran 18-21. Tabel 6.12. Analisis kriteria investasi usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longline No 1 2 3 4
Komponen NPV Net B/C IRR Payback Periode (PP)
Satuan Rp Rp % Tahun
Rawai 276.533.899,79 15,71 469,18 0,24
Longline 9.438.874,39 1,85 43,80 2,27
Analisis kriteria investasi menunjukkan nilai kelayakan usaha dalam pengembangan budidaya rumput lautselama 5 tahun.Usaha budidaya rumput laut yang paling tinggi memberi manfaat pada pembudidaya adalah budidaya rumput laut dengan metode rawai. Berdasarkan nilai NPV yang diperoleh menunjukkan bahwa manfaat bersih yang dihasilkan dari usaha budidaya rumput laut dengan rawai selama 5 tahun adalah sebesar Rp 276.533.899,79. Nilai net B/C sebesar 15,71 berarti bahwa satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan manfaat bersih sebesar Rp 15,71 sedangkan nilai IRR menunjukkan bahwa usaha ini memperoleh tingkat keuntungan atas investasi yang ditanamkan sebesar 469,18 %. Periode pengembalian investasi jangka panjang dari usaha ini adalah sekitar 3 bulan. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode switching value dan dianalisis berdasarkan terjadinya kenaikan harga bibit rumput laut dan penurunan harga jual rumput laut kering (Tabel 6.13). Perhitungan terperinci dapat dilihat pada Lampiran 18-21. Tabel 6.13. Analisis sensitivitas usaha budidaya rumput laut untuk metode rawai dan longline No 1 2 3 4
Komponen Kenaikan harga bibit Harga bibit awal Harga bibit setelah kenaikan Kenaikan harga bibit
Satuan % Rp Rp Rp
Rawai 559,37 2.000,00 13.187,47 11.187,47
Longline 42,96 2.000,00 2.859,19 859,19
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No 5 6 7 8
Komponen Penurunan harga jual Harga jual awal Harga jual setelah penurunan Penurunan harga jual
Satuan % Rp Rp Rp
Rawai 62,15 6.000,00 2.270,84 3.729,16
Longline 17,74 8.500,00 6.991,90 1.508,10
Usaha budidaya rumput laut dengan metode longline lebih sensitif pada perubahan kenaikan harga bibit dibandingkan dengan metode rawai. Penurunan harga jual rumput laut kering lebih sensitif dibanding dengan kenaikan harga bibit rumput laut sehingga dalam pengembangan usaha rumput laut perlu memperhatikan terjadinya fluktuasi perubahan harga jual rumput laut kering yang pada umumnya digunakan untuk keperluan industri. Maksimal kenaikan harga bibit pada usaha rumput laut metode longline agar usaha ini masih layak untuk dijalankan adalah sebesar 42,96 % atau kenaikan sebesar Rp 859,19. Lebih dari nilai ini maka usaha tidak layak untuk dijalankan. Penurunan harga jual maksimal pada metode longline adalah sebesar 17,74 % atau sebesar Rp 1.508,10. Jika lebih dari nilai ini maka usaha budidaya rumput laut tidak layak untuk diteruskan. 6.3.5. Analisis Fungsi Produksi Model fungsi produksi yang digunakan dalam kegiatan budidaya rumput laut ini adalah fungsi Cobb Douglas dan metode budidaya rumput laut yang digunakan adalah metode longline. Faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh dalam usaha rumput laut metode long line adalah bibit (X1) dan adanya pengaruh musim (D1). Persamaan model fungsi produksi usaha budidaya rumput laut adalah: Ln Y = - 0,679 + 0,97 Ln X1 + 0,70 Ln D1 atau 0,97
0,70
Y = - 0.679 X1 D1 Dimana: Y = Produksi rumput laut (kg/100 bentang) X1 = Jumlah bibit rumput laut (kg/100 bentang) D1= musim (1=musim bagus, 0=musim tidak bagus) Hasil pendugaan fungsi produksi Cobb Douglas usaha budidaya rumput laut terlihat pada Tabel 6.14.
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6. 14. Hasil Pendugaan Fungsi Produksi Cobb Douglas Pada Usaha Budidaya Rumput Laut Variable C X D1
Coefficient -0.678826 0.973520 0.700833
Std. Error 0.217613 0.032563 0.004691
t-Statistic -3.119416 29.89639 149.3887
Prob. 0.0062 0.0000 0.0000
Berdasarkan Tabel 6.14 dan Lampiran 26 model fungsi produksi telah memenuhi syarat tidak terjadi multikolinearitas antar peubah bebas, model menyebar secara normal dan tidak terjadi heteroskedastisitas. Pendugaan model menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) adalah sebesar 99,9 persen. Berarti bahwa sebesar 99,9 persen dari variasi produksi rumput laut dapat dijelaskan oleh faktor jumlah bibit yang digunakan pada budidaya rumput laut (X1) dan pengaruh musim tanam rumput laut (D1) . Sedangkan 0,1 persen lainnya dijelaskan oleh faktor-faktor lain diluar model. 6.3.5.1. Elastisitas Produksi dan Skala Usaha Budidaya Rumput Laut Dalam model fungsi produksi Cobb Douglas nilai koefisien regresi merupakan nilai elastisitas dari masing-masing variabel tersebut, sedangkan penjumlahan dari nilai– nilai elastisitas dapat digunakan untuk menduga keadaan skala usaha. Dari dugaan model fungsi produksi rumput laut nilai elastisitasnya adalah sebesar 1,67 yang berasal dari penjumlahan koefisien regresi bibit sebesar 0,97 dan musim sebesar 0,70.. Jumlah nilai elastisitas 1,67 ( Ep>1), menunjukkan bahwa usaha budidaya rumput laut berada pada skala kenaikan hasil yang bertambah (increasing return to scale). Nilai ini mengandung arti bahwa penambahan 1 (satu) persen dari masing-masing faktor produksi secara bersama-sama akan meningkatkan produksi sebesar 1,67 persen atau proporsi penambahan output produksi melebihi proporsi penambahan input produksi. Adanya pengaruh musim terhadap jumlah produksi rumput laut yang dihasilkan ditunjukkan dengan koefisien variabel musim (D1) yang bernilai positif (0,70) artinya pendugaan fungsi produksi terjadi pada musim bagus atau produksi yang dihasilkan cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis fungsi produksi Cobb Douglas menunjukkan elastisitas faktor produksi jumlah bibit rumput laut sebesar 0,97 yang berarti setiap penambahan satu persen bibit rumput laut akan meningkatkan jumlah produksi sebesar 0,97 persen, dengan asumsi faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus). 6.3.5.2 Analisis Efisiensi Produksi Budidaya Rumput Laut Hasil analisis optimalisasi input pada budidaya rumput laut dapat dilihat pada Tabel 6.15. Analisis ini menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada usaha budidaya rumput laut yang menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
dalam usaha rumput laut belum efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak ada yang sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha budidaya rumput laut belum optimal pada suatu hasil produksi (Tabel 6.15) Tabel 6. 15. Analisis optimalisasi usaha budidaya rumput laut Faktor Produksi Jumlah bibit (X1) D1 Rata-rata Produksi Harga Produksi
Kg/100 bentang
Ratarata Input 800
(Kg/m2)
512.5
(Rp/Kg)
6,000
Satuan
bi
NPM
0.97 0.70
3,741.97
BKM
NPM/ BKM
Input Optimal
2,500
1.50
1,197.4
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa rasio antara NPM dan BKM dari jumlah bibit rumput laut adalah 1,50 (> 1), berarti bahwa jumlah bibit rumput laut belum efisien dalam penggunaannya. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi maka jumlah bibit rumput laut yang saat ini digunakan sebesar 8 kg/ bentang harus ditingkatkan menjadi 12 kg/ bentang. Budidaya rumput laut yang menghasilkan produksi yang optimal dilakukan pada musim bagus yakni tiga kali musim tanam per tahun. 6.3.6. Isu dan Permasalahan Isu dan permasalahan yang dihadapi dalam program Industrialisasi Perikanan Budidaya rumput laut di Indonesia diantaranya adalah: 1. Rendahnya tingkat pemanfaatan sumber daya perairan laut potensial untuk budidaya rumput laut. 2. Rendahnya produktivitas usaha budidaya rumput laut yang hanya berkisar antara 33,9 ton/ha/tahun (basah) atau 3,4-12 ton/ha/tahun (kering). 3. Ketersedian bibit rumput laut yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat mutu dan tepat harga. 4. Rendahnya kapasitas SDM dan kelembagaan usaha. 5. Penyakit dan kegagalan panen. 6. Kurangnya nilai tambah produk usaha budidaya rumput laut.
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6.16. Isu dan permasalahan dalam kegiatan budidaya rumput laut.
Variabel Bibit
Teknologi
Penyakit Sarana produksi Area budidaya
Komunikasi Listrik dan air Jalan
Pasar Penanganan pasca panen
Jenis produk
Isu dan Permasalahan
Solusi
A. Input Penyediaan kebun bibit di wilayah pengembangan Penyediaan bibit rumput laut dari berbagai varietas Penyediaan demfarm kebun bibit dilokasi pengembangan Pengembangan kultur jaringan rumput laut B. Proses Produksi Rendahnya produktivitas Pemakaian teknologi terbaru budidaya rumput laut usaha budidaya rumput laut yang hanya berkisar antara 33,9 ton/ha/tahun (basah) atau 3,4-12 ton/ha/tahun (kering) Penyakit dan kegagalan Pembuatan SOP dalam bentuk buku sebagai panen pedoman budidaya Keterbatasan fasilitas Mempermudah fasilitas produksi untuk petani produksi C. Infrastruktur Rendahnya tingkat Penataan kawasan detil setiap kabupaten pemanfaatan sumber daya perairan laut potensial untuk Penambahan luas wilayah kawasan budidaya budidaya rumput laut rumput laut setiap tahun Ketersediaan bibit rumput laut yang tidak tepat waktu, tepat mutu dan tepat harga
Jaringan komunikasi masih Perbaikan jaringan telepon atau komunikasi. terbatas Ketersediaan listrik dan air Penyediaan pasokan listrik dan air yang masih sulit Akses jalan yang sulit dan Perbaikan jalan dan penambahan sarana angkutan belum terbangun dengan baik D. Pemanenan dan Pemasaran Manajemen pemasaran Pengembangan manajemen kurang baik Iklan sebagai sarana promosi Kualitas rumput laut yang Peningkatan mutu rumput laut rendah pelatihan dan pengepakan rumput laut 6 kali setahun Keterbatasan fasilitas Penyediaan fasilitas pengolahan pengolahan Kurangnya nilai tambah Peningkatan variasi pengemasan produk produk usaha budidaya Penambahan jumlah pabrik karaginan di kawasan rumput laut pengembangan bertambah Penambahan jumlah produk berbahan baku rumput laut
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Variabel Rantai pasar
Kelembagaan usaha Permodalan
SDM
Isu dan Permasalahan Margin pembudidaya kecil
Solusi Mempermudah petani memperoleh daftar harga yang up to date Peningkatan harga olahan rumput laut E. SDM dan Kelembagaan Lemahnya kelembagaan Penguatan kelembagaan usaha budidaya rumput usaha laut Peningkatan jumlah dan kapasitas kelompok pembudidaya setiap tahun Rendahnya aksesibilitas ke Peningkatan jumlah petani yang memanfaatkan sumber permodalan koperasi dan lembaga keuangan mikro Peningkatan jumlah investor usaha budidaya rumput laut Rendahnya kapasitas SDM Pengenalan berbagai macam metode budidaya dan kelompok rumput laut kepada pembudidaya Pelatihan rutin kepada pembudidaya rumput laut Penguatan kelompok pembudidaya
Demfarm Tata ruang
6.4.
F. Kebijakan dan Sistem Usaha Kurangnya percontohan Penambahan luas wilayah demfarm uji coba industrialisasi dikawasan pengembangan Konflik pemanfaatan Penyusunan zonasi pada kawasan untuk usaha perairan budidaya rumput laut
Strategi Pengembangan
Berdasarkan isu dan permasalahan dalam industri budidaya rumput laut seperti disajikan di atas, maka strategi pengembangan industrialisasi rumput laut adalah sebagai berikut: 1) Meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas produk dan kualitas bahan baku melalui intensifikasi, seperti : a) Pemakaian teknologi terbaru budidaya rumput laut b) Pembuatan SOP dalam bentuk buku sebagai pedoman budidaya c) Peningkatan jumlah petani yang memanfaatkan koperasi dan lembaga keuangan mikro d) Peningkatan jumlah investor usaha budidaya rumput laut e) Pengenalan berbagai macam metode budidaya rumput laut kepada pembudidaya Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut
f) Pelatihan rutin kepada pembudidaya rumput laut 2) Meningkatkan kapasitas prasarana dan sarana produksi rumput laut, melalui : a) Penyediaan kebun bibit di wilayah pengembangan b) Penyediaan bibit rumput laut dari berbagai varietas c) Penyediaan demfarm kebun bibit dilokasi pengembangan d) Pengembangan kultur jaringan rumput laut 3) Mengembangkan sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi rumput laut melalui ekstensifikasi, seperti : a) Penambahan luas wilayah demfarm uji coba dikawasan pengembangan b) Penyusunan zonasi pada kawasan untuk usaha budidaya rumput laut 4) Membangun dan mengembangkan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik yang terintegrasi, seperti : a) Penataan kawasan detil setiap kabupaten b) Perbaikan jaringan telepon atau komunikasi c) Penyediaan pasokan listrik dan air d) Perbaikan jalan dan penambahan sarana angkutan 6.5.Target Indikatif Target yang ingin dicapai dari program industrilisasi rumput laut di lokasi atau kabupaten prioritas mengacu kepada Renstra Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) 2010-2014 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.15/Men/2012 berdasarkan data baseline kinerja. Penetapan target juga memperhatikan data baseline kinerja budidaya di setiap kabupaten prioritas pengembangan industrialisasi rumput laut nasional. Asumsi yang digunakan dalam menetapkan target indikatif ini disajikan Tabel 6.17 di bawah ini, mencakup persentase peningkatan luas areal budidaya dan peningkatan produktivitas, jumlah tenaga kerja, bibit, tali ris per ha, dan sebagainya. Tabel 6. 17. Asumsi yang digunakan dalam menetapkan target indikatif industrialisasi rumput laut di kabupaten prioritas.
Indikator Peningkatan Luas areal budidaya/ ekstensifikasi (%)
Kabupaten Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong
2012 5,00 5,00 5,00 5,00
2013 7,50 7,50 7,50 7,50
2014 10,00 10,00 10,00 10,00
Tahun 2015 2016 12,50 15,00 12,50 15,00 12,50 15,00 12,50 15,00
2017 17,50 17,50 17,50 17,50
2018 20,00 20,00 20,00 20,00
2019 22,50 22,50 22,50 22,50
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Indikator
Peningkatan Produktivitas/ Intensifikasi (%)
Kabupaten Minahasa Utara Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara
Tenaga kerja Kebutuhan bibit Harga kering Tali ris (metode longline) Jumlah kebun bibit Luas kebun bibit Produktivitas kebun Biomasa panen Jumlah Pembudidaya Jumlah Sampan
2012
2013
2014
Tahun 2015 2016
2017
2018
2019
5,00
7,50
10,00
12,50
15,00
17,50
20,00
22,50
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,14 0,15 0,15
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
0,03
22 4 7.500,00 100 2 10 2000 8 2 2
orang/ha ton/ha Rp/kg kg/ha kebun/1000ha ha/kebun ton/kebun/thn Kali dari biomasa tanam RTP/ha Unit/ha
Berdasarkan asumsi tersebut di atas, maka tabel di bawah ini menyajikan target indikatif industrialisasi rumput laut di kabupaten prioritas (Tabel 6.18). Peningkatan produksi rumput laut dicapai melalui perluasan areal budidaya dan peningkatan produktivitas. Pada 2014 ditargetkan produksi rumput laut dari kabupaten prioritas mencapai 1,5 juta ton basah dengan nilai Rp 1,4 trilyun, dan pada 2019 diharapkan mencapai 6,5 juta ton basah dengan nilai Rp 6 trilyun, meningkat dari 837, 5 ribu ton pada 2011 (data baseline) dengan nilai Rp 785 milyar. Dengan demikian pada 2014 diharapkan terjadi peningkatan produksi hampir 2 kali lipat dibandingkan dengan 2011. Produktivitas diharapkan meningkat dari 62 ton/ha/tahun pada 2011 menjadi 83 ton/ha/tahun pada 2014 dan kemudian menjadi 140 ton/ha/tahun pada 2019. Peningkatan produktivitas rumput laut dilakukan melalui pemilihan lokasi yang tepat, penerapan cara budidaya rumput laut yang benar, penggunaan bibit yang baik, manajemen budidaya yang benar dan sebagainya. Seiring dengan bertambahnya luas areal budidaya rumput laut melalui program ekstensifikasi, maka jumlah tenaga kerja yang terlibat juga akan meningkat dari 368.438 orang manjadi 457.462 orang pada 2014 dan menjadi lebih dari 1 juta orang pada 2019. Target indikatif untuk setiap kabupaten disajikan dalam Tabel 6.19. Kabupaten Takalar ditargetkan memiliki luas areal budidaya yang paling luas serta produksi dan nilai produksi yang paling tinggi pada 2014 dan 2019, masing-masing seluas 11.661 dan 26.059 ha dan sebanyak 796.956 dan 3.648.245 ton basah. Kebutuhan bibit kabupaten ini pun paling banyak yakni 46.646 dan 104.236 ton masing-masing pada 2014 dan 2019. Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6. 18. Target indikatif industrialisasi rumput laut No
1
2
3
4
Kegiatan Utama
Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan baku
Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan produk kelautan dan perikanan Pengembangan sentrasentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikanan Pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasi
Indikator
2010/2011 (baseline)
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
Produksi (ton)
837.542
995.991
1.214.299
1.516.836
1.940.123
2.539.476
3.399.702
4.652.523
6.505.284
Produktivitas (ton/ha/thn) Jumlah Pembudidaya (RTP)
62
68
75
83
92
102
113
126
140
33.494
35.169
37.807
41.587
46.786
53.804
63.219
75.863
92.933
Nilai produksi (Rp Milyar)
785
934
1.138
1.422
1.819
2.381
3.187
4.362
6.099
Jumlah tenaga kerja (orang) Kebutuhan Bibit (ton/thn) Jumlah Sampan (unit)
368.438
386.860
415.875
457.462
514.645
591.842
695.414
834.497
1.022.259
66.989
70.338
75.614
83.175
93.572
107.608
126.439
151.727
185.865
33.494
35.169
37.807
41.587
46.786
53.804
63.219
75.863
92.933
Jumlah tali ris (ton)
1.675
1.758
1.890
2.079
2.339
2.690
3.161
3.793
4.647
Luas areal (ha)
16.747
17.585
18.903
20.794
23.393
26.902
31.610
37.932
46.466
33
35
38
42
47
54
63
76
93
Jumlah unit kebun bibit (unit)
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6. 19. Target indikatif industrialisasi rumput laut di setiap kabupaten prioritas
Indikator Luas areal (ha)
Kabupaten Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara
Produksi (ton) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Produktivitas (ton/ha/thn) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Nilai produksi (Rp Milyar) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Kebutuhan Bibit (ton/thn) Sumbawa
2010/2011 16.747 1.863 3.351 9.392
2012 17.585 1.957 3.518 9.862
2013 18.903 2.103 3.782 10.601
2014 20.794 2.314 4.160 11.661
2015 23.393 2.603 4.680 13.119
2016 26.902 2.993 5.382 15.087
2017 31.610 3.517 6.324 17.727
2018 37.932 4.220 7.589 21.273
2019 46.466 5.170 9.297 26.059
1.171
1.229
1.322
1.454
1.636
1.881
2.210
2.652
3.249
970
1.019
1.095
1.205
1.355
1.558
1.831
2.197
2.692
837.542 88.797 148.920 417.424
995.991 106.682 180.481 505.889
1.214.299 131.221 223.938 627.701
1.516.836 165.158 284.322 796.956
1.940.123 212.596 369.191 1.034.846
2.539.476 279.741 490.047 1.373.606
3.399.702 376.094 664.607 1.862.898
4.652.523 516.394 920.523 2.580.234
6.505.284 723.804 1.301.546 3.648.245
74.596
86.426
102.517
124.432
154.463
196.004
254.123
336.485
454.825
107.805
116.513
128.921
145.969
169.028
200.078
241.981
298.886
376.865
62 48 44 44
68 55 51 51
75 62 59 59
83 71 68 68
92 82 79 79
102 93 91 91
113 107 105 105
126 122 121 121
140 140 140 140
64
70
78
86
94
104
115
127
140
111
114
118
121
125
128
132
136
140
785,20 83,25 139,61 391,34
933,74 100,01 169,20 474,27
1.138,40 123,02 209,94 588,47
1.422,03 154,84 266,55 747,15
1.818,87 199,31 346,12 970,17
2.380,76 262,26 459,42 1.287,76
3.187,22 352,59 623,07 1.746,47
4.361,74 484,12 862,99 2.418,97
6.098,70 678,57 1.220,20 3.420,23
69,93
81,02
96,11
116,65
144,81
183,75
238,24
315,46
426,40
101,07
109,23
120,86
136,85
158,46
187,57
226,86
280,21
353,31
66.989 7.453
70.338 7.826
75.614 8.413
83.175 9.254
93.572 10.411
107.608 11.973
126.439 14.068
151.727 16.882
185.865 20.680
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Indikator
Kabupaten Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Jumlah tenaga kerja (orang) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Jumlah tali ris (kg) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Jumlah unit kebun bibit (unit) Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara Jumlah Sampan Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi
2010/2011 13.403 37.568
2012 14.073 39.447
2013 15.128 42.405
2014 16.641 46.646
2015 18.721 52.476
2016 21.530 60.348
2017 25.297 70.909
2018 30.357 85.090
2019 37.187 104.236
4.684
4.918
5.287
5.815
6.542
7.524
8.840
10.608
12.995
3.881
4.075
4.380
4.818
5.421
6.234
7.325
8.790
10.768
368.438 40.994 73.715 206.625
386.860 43.044 77.401 216.956
415.875 46.272 83.206 233.228
457.462 50.899 91.527 256.551
514.645 57.261 102.968 288.619
591.842 65.851 118.413 331.912
695.414 77.375 139.135 389.997
834.497 92.849 166.962 467.996
1.022.259 113.741 204.529 573.296
25.760
27.048
29.076
31.984
35.982
41.379
48.621
58.345
71.472
21.344
22.412
24.092
26.502
29.814
34.287
40.287
48.344
59.222
1.674.720 186.336 335.070 939.204
1.758.456 195.653 351.824 986.164
1.890.340 210.327 378.210 1.060.127
2.079.374 231.359 416.031 1.166.139
2.339.296 260.279 468.035 1.311.907
2.690.190 299.321 538.240 1.508.693
3.160.974 351.702 632.433 1.772.714
3.793.168 422.043 758.919 2.127.256
4.646.631 517.003 929.676 2.605.889
117.090
122.945
132.165
145.382
163.555
188.088
221.003
265.204
324.875
97.020
101.871
109.511
120.462
135.520
155.848
183.122
219.746
269.189
33 4 7 19
35 4 7 20
38 4 8 21
42 5 8 23
47 5 9 26
54 6 11 30
63 7 13 35
76 8 15 43
93 10 19 52
2
2
3
3
3
4
4
5
6
2
2
2
2
3
3
4
4
5
33.494 3.727 6.701 18.784 2.342
35.169 3.913 7.036 19.723 2.459
37.807 4.207 7.564 21.203 2.643
41.587 4.627 8.321 23.323 2.908
46.786 5.206 9.361 26.238 3.271
53.804 5.986 10.765 30.174 3.762
63.219 7.034 12.649 35.454 4.420
75.863 8.441 15.178 42.545 5.304
92.933 10.340 18.594 52.118 6.497
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Indikator
Kabupaten Moutong Minahasa Utara Jumlah Pembudidaya Sumbawa Jeneponto Takalar Parigi Moutong Minahasa Utara
2010/2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
1.940
2.037
2.190
2.409
2.710
3.117
3.662
4.395
5.384
33.494 3.727 6.701 18.784
35.169 3.913 7.036 19.723
37.807 4.207 7.564 21.203
41.587 4.627 8.321 23.323
46.786 5.206 9.361 26.238
53.804 5.986 10.765 30.174
63.219 7.034 12.649 35.454
75.863 8.441 15.178 42.545
92.933 10.340 18.594 52.118
2.342
2.459
2.643
2.908
3.271
3.762
4.420
5.304
6.497
1.940
2.037
2.190
2.409
2.710
3.117
3.662
4.395
5.384
6.6. Road Map Berdasarkan pendekatan dan kegiatan utama disusun rencana aksi untuk setiap tahun hingga 2019 (Tabel 6.20). Terdapat 5 kegiatan utama, yaitu : 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan baku 2) penerapan sistem pengendalian dan jaminan mutu dan keamanan pangan produk kelautan dan perikanan 3) peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan keamanan produk kelautan dan perikanan 4) pengembangan sentra-sentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikanan 5) pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasi.
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut Tabel 6. 20. Road map industrilisasi rumput laut No 1
Pendekatan Pengembangan komoditas dan produk unggulan berorientasi pasar Pengendalian mutu dan keamanan produk
Kegiatan utama Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas komoditas dan bahan baku
Rencana Aksi
2013
2014
2015
Pengembangan metode budidaya
√
√
Pengembangan teknologi budidaya
√
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
Pengembangan jumlah pembudidaya rumput laut
√
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
√
√
Pengembangan kelompok pembudidaya
√
Studi identifikasi lokasi kebun bibit
√ √
2
Pengendalian mutu dan keamanan produk
Penerapan sistem pengendalian dan jaminan mutu dan keamanan pangan produk kelautan dan perikanan Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana pelaksanaan sistem jaminan mutu dan
Standarisasi mutu rumpu laut kering
Sosialisasi standar mutu rumput laut kering untuk industri
2018
2019
Pelaku KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
√
Pengadaan bibit berbagai varitas dari berbagai sumber bibit nasional
2017
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
Pengembangan bibit unggul Penyusunan SOP kebun bibit
2016
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No
3
Pendekatan
Penataan dan pengembangan kawasan dan sentra produksi secara berkelanjutan. Pengembangan konektivitas dan infrastruktur.
Kegiatan utama keamanan produk kelautan dan perikanan
Pengembangan sentrasentra produksi potensial sebagai basis industrialisasi kelautan dan perikanan. Pembangunan dan manajemen infrastruktur dasar dan pelayanan publik terintegrasi
Rencana Aksi Peningkatan mutu produk rumput laut basah dan kering, baik putihan maupun asalan Pengadaan fasilitas produksi (tambang, tali, jangkar, perahu) Pengadaan para-para jemur, mesin pres (balling) dan gudang
2013
√
Pengadaan peralatan pengujian kadar air rumput laut
2014
2015
√
√
√
√
√
√
√
√
2017
2018
2019
Pelaku KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
Desain detil pabrik karaginan Penyusunan detil tata ruang kawasan untuk pengembangan budidaya rumput laut
2016
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda
√
Konstruksi dan operasi pabrik karaginan
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
Pengembangan sarana dan prasarana transportasi
√
√
√
KPU, KKP, Dinas PU, DKP Provinsi dan Kabupaten
Pengembangan sarana dan prasarana komunikasi
√
√
√
KPU, KKP, Dinas PU, DKP Provinsi dan Kabupaten
Pengembangan pasokan energi dan air bersih
√
√
√
KESDM, Dinas ESDM,DKP Provinsi dan Kabupaten
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No 4
Pendekatan Pengembangan usaha dan investasi
Kegiatan utama 1. Pengembangan pola kemitraan usaha kelautan dan perikanan; 2. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan; 3. Promosi investasi usaha kelautan dan perikanan.
Rencana Aksi
2013
Pengembangan koperasi dan lembaga keuangan mikro agribisnis rumput laut Studi kelayakan (bisnis, teknis, lokasi, lingkungan/Amdal) pembangunan pabrik karaginan Pengembangan industri makanan berbahan baku rumput laut (kerupuk, dodol, mie instan, manisan, dan sebagainya) Pengembangan pengemasan produk alternatif rumput laut
2014
√
Promosi rumput laut daerah Pengembangan informasi pasar
√
2016
2017
2018
2019
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
√
√
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD
√
√
√
√
Pelaku KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, Dinas Koperasi-UKM
√
Peningkatan peran eksportir Pengembangan kemitraan dan kerjasama antara pembudidaya dengan pengumpul lokal atau eksportir
2015
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No
Pendekatan
Kegiatan utama
Rencana Aksi
2013
Pengembangan kerjasama dengan investor lokal , regional dan nasional
2014
√
Promosi investasi daerah
Pengembangan Iptek dan sumber daya manusia
Penerapan terkini pemuliaan induk, benih dan produksi komoditas unggulan.
√
√
Penyusunan petunjuk investasi 5
2015
2016
2018
2019
√
Demfarm uji coba dan kaji tindak usaha budidaya rumput laut di kawasan potensial pengembangan
√
√
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Bappeda
√
√
√
Demfarm kebun bibit di lokasi pengembangan
√
√
√
Pengembangan kultur jaringan
√
√
√
√
√
√
√
Pelaku KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten, BKPMD
√
Kajian identifikasi potensi pengembangan kawasan budidaya rumput laut
Pelatihan, pendampingan dan percontohan usaha (demfarm) budidaya rumput laut Pelatihan penanganan dan pengepakan rumput laut kering
2017
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35
Laporan Akhir Bab 6. Industrialisasi Rumput Laut No
Pendekatan
Kegiatan utama
Rencana Aksi
2014
2015
2016
√
√
√
Pembinaan pengumpul dan eksportir rumput laut
√
√
Pembentukan dan pembinaan forum/asosiasi rumput laut daerah
√
√
Peningkatan peran lembaga perantara lokal / pengumpul lokal
2013
2017
2018
2019
Pelaku KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
√
KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, Desprindag Provinsi dan Kabupaten
Jasa Konsultansi Kajian Strategi Pengembangan Industrialisasi Perikanan Budidaya
6-35