LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT Eucheuma cattonii DENGAN PERLAKUAN ASAL THALLUS TERHADAP BOBOT BIBIT DI PERAIRAN LAKEBA, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA
Oleh : Nurfadly Mamang C 64104014
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yag berjudul : LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT EUCHEUMA CATTONII DENGAN PERLAKUAN ASAL THALLUS TERHADAP BOBOT BIBIT DI PERAIRAN LAKEBA, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini.
Bogor, November 2008
Nurfadly Mamang C64104014
RINGKASAN NURFADLY MAMANG. Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cattonii Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit Di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Dibimbing oleh DEDI SOEDHARMA dan NYOMAN METTA N. NATIH. Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya hayati yang sangat potensial. Tercatat sedikitnya ada 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia, diantaranya ada 55 jenis yang diketahui mempunyai nilai ekonomis tinggi, diantaranya Eucheuma sp, Gracilaria sp, Gelidium sp dan Sargassum sp. Bahkan kebutuhan dunia akan rumput laut jenis Eucheuma sp adalah sepuluh kali lipat dari persediaan alaminya yang ada di dunia. Oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai perlakuan asal thallus dan bobot bibit kaitannya terhadap parameter lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju pertumbuhan bobot rumput laut Eucheuma cattonii berdasarkan perlakuan asal thallus terhadap bobot bibit, menentukan bibit awal yang baik, menganalisis parameter penentu laju pertumbuhan dan menganalisis penyebab terjadinya penurunan bobot basah. Eucheuma cattonii ditanam dengan metode rakit apung dengan perlakuan asal thallus (ujung, tengah, pangkal) terhadap bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dengan jarak tanam yang sama (30cm) serta pengaruhnya terhadap parameter lingkungan pada perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu berkisar antara 26,5-29,50C, kecerahan 3,55-5,25 m, kecepatan arus 5,66-17,43 cm/det, cuaca dominan cerah, nilai pH tiap minggu sama yaitu 7,5, oksigen terlarut 3,63-4,84, salinitas 30,5-32 ppt, nitrat 0,119-0,162 mg/l, ortho-fosfat 0,014-0,053, tipe pasang surut yaitu semidiurnal, curah hujannya kategori hujan ringan, dan alga penempel yang ditemukan yaitu Ulva sp, Dictyota sp, Enteromorpha sp, Chaetomorpha sp, ikan beronang, ikan belanak. Rata-rata laju pertumbuhan pada perlakuan bobot bibit 50gr, asal ujung thallus rata-rata 3,47%, tengah thallus rata-rata 3,05% dan pangkal thallus ratarata 2,84%. Bobot bibit 100gr, asal ujung thallus rata-rata 2,41%, tengah thallus rata-rata 2,08% dan pangkal thallus rata-rata 1,12%. Bobot bibit 150gr asal ujung thallus rata-rata 1,84%, tengah thallus rata-rata 1,22% dan pangkal thallus ratarata 0,80%. Perlakuan bobot bibit yang berbeda terlihat bahwa rumput laut asal ujung thallus pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada asal tengah dan pangkal thallus, sedangkan untuk perlakuan asal thallus yang berbeda secara umum terlihat bahwa rumput laut bobot bibit 50gr cenderung mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari bobot bibit 100gr dan 150gr. Berdasarkan analisis faktorial perlakuanyang termasuk kategori sangat baik untuk dijadikan bibit yaitu ujung;50gr, ujung;100gr dan pangkal 150gr. Kategori baik yaitu tengah;50, pangkal;100gr dan tengah;150gr. Sedangkan kategori tidak baik yaitu pangkal;50gr, tengah;100gr dan ujung;150gr.
LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT Eucheuma cattonii DENGAN PERLAKUAN ASAL THALLUS TERHADAP BOBOT BIBIT DI PERAIRAN LAKEBA, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Nurfadly Mamang C64104014
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
© Hak cipta milik Nurfadly Mamang, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya
SKRIPSI Judul
Nama NRP Jurusan
: Laju Pertumbuhan Bibit Rumput laut Eucheuma cattonii Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara : Nurfadly Mamang : C64104014 : Ilmu dan Teknologi Lelautan
Menyetujui, Dosen Pembimbing Pemimbing I
Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA
Dr. Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si
NIP. 130 365 093
NIP. 131 953 478
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : 131 578 799
Tanggal lulus : 14 November 2008
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, rahmat dan kasih sayang-Nya sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan skripsi yang berjudul Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cattonii Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Dedi Soedharma, DEA dan Dr. Ir. Nyoman Metta N. Natih, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan kritik kepada penulis. 2. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si dan Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc atas kesediaan untuk menguji dalam Ujian Skripsi dan memberikan masukan untuk penulisan skripsi. 3. Keluarga tercinta, Ayah, Ibu, Fardiana, Indra yang selalu memberikan dukungan dan kasih sayangnya. 4. H. Kaharuddin Syukur selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Buton atas bantuan penelitian yang diberikan. 5. Keluarga La Naima yang telah memberikan izin menggambil data pada lokasi budidaya rumput lautnya dan La Roadhi yang telah membantu dalam proses pengambilan data. 6. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departeman ITK atas bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 7. Teman-teman ITK 41 atas dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak. Bogor, November 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR............................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... xii i I. 1
PENDAHULUAN........................................................................................ .... 1.1 Latar belakang.............................................................................................. 1 1.2 Tujuan......................................................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 5 2.1 Morfologi dan taksonomi rumput laut........................................................ 5 2.2 Reproduksi rumput laut.............................................................................. 7 2.3 Habitat rumput laut..................................................................................... 9 2.4 Budidaya rumput laut................................................................................. 9 2.4.1 Pengadaan bibit dan pemeliharaan.................................................. 9 2.4.2 Jarak tanam.................................................................................... 12 2.4.3 Metode budidaya........................................................................... 12 2.5 Pertumbuhan rumput laut dan kadar karaginan......................................... 16 2.5.1 Pertumbuhan rumput laut.............................................................. 16 2.5.2 Kadar karagenan............................................................................ 17 2.6 Faktor-Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan Rumput Laut............... 18 2.6.1 Suhu............................................................................................... 18 2.6.2 Salinitas......................................................................................... 20
2.6.3
Cahaya matahari............................................................................
2.6.4
Pergerakan ir..................................................................................
2.6.5
Pasang surut...................................................................................
2.6.6
Curah hujan...................................................................................
2.6.7
Substrat.........................................................................................
2.6.8
Kedalaman....................................................................................
2.6.9
Oksigen terlarut.............................................................................
21 22 24 25 26 27 27 2.6.10 Derajat keasaman........................................................................... 28 2.6.11 Unsur hara..................................................................................... 28 2.6.11.1 Nitrat dan Nitrit.............................................................. 29 2.6.11.2 Fosfat.............................................................................. 31 2.7 Biota dan tumbuhan laut........................................................................... 33 2.8
Penyakit ice ice.........................................................................................
2.9
Predator pada rumput laut........................................................................
34 36 2.10 Letak geografis lokasi penelitian.............................................................. 37 III. BAHAN DAN METODE................................................................................. 39 3.1 Waktu dan lokasi penelitian....................................................................... 39 3.2 Alat dan bahan........................................................................................... 40 3.3 Metode penelitian...................................................................................... 42 3.3.1 Penentuan lokasi stasiun pengamatan............................................ 42 3.3.2 Metode budidaya........................................................................... 42 3.3.3 Teknik pengamatan........................................................................ 45 3.4 Analisis data.............................................................................................. 47
3.4.1
Laju pertumbuhan..........................................................................
3.4.2
Analisis statistik.............................................................................
47 48 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 50 4.1 Pertumbuhan.............................................................................................. 50 a. Pertumbuhan pada bibit basah dengan perlakuan bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr)....................................................................... 51 b. Pertumbuhan bobot basah dengan perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal)............................................................................. 54 4.2 Laju pertumbuhan harian……………………………………………….. 57 4.3 Pengaruh dan penentuan perlakuan yang baik untuk bibit rumput laut.... 68 4.4 Hubungan laju pertumbuhan dengan suhu, arus dan oksigen terlarut...... 71 4.5 Kondisi lingkungan perairan..................................................................... 72 V. KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... 87 5.1 Kesimpulan…………………………………………………………...... 87 5.2 Saran........................................................................................................ 88 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 89 LAMPIRAN.......................................................................................................... 93 RIWAYAT HIDUP.............................................................................................. 105
DAFTAR TABEL Halam an 1. Perbedaan ketiga jenis Eucheuma bernilai ekonomis......................................... 7 2. Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cattonii.................. 15 3. Kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut................................. 16 4. Kategori intensitas curah hujan di Indonesia………………………………… 26 5. Parameter lingkungan perairan yang diukur...................................................... 41 6. Laju pertumbuhan harian (%) pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit…... 58 7. Pertumbuhan bobot basah rata-rata (gr) rumput laut Eucheuma cattonii pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit (selama 7 minggu)……………………. 69 8. Rata-rata parameter Kualitas air di lokasi penelitian perairan Lakeba.............. 73 9. Kondisi cuaca pada pada lokasi penelitian......................................................... 76 10. Intensitas curah hujan 2002-2007 pada lokasi penelitian……………………… 85
DAFTAR GAMBAR Halam an 1. Eucheuma cattonii........................................................................................ 7 2. Lokasi penelitian budidaya rumput laut Eucheuma cattonii dengan metode rakit apung………………………………………………………... 39 3. Desain rakit apung dengan perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) terhadap bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dengan jarak tanam 30 cm (tampak atas)………………………………………………... 44 4. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 50gr terhadap asal thallus yang berbeda……………………… 50 5. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 100gr terhadap asal thallus yang berbeda…………………….. 51 6. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 150gr terhadap asal thallus yang berbeda…………………….. 53 7. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan
asal ujung thallus terhadap bobot bibit yang berbeda……………………. 55 8. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan asal tengah thallus terhadap bobot bibit yang berbeda……………………. 56 9. Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan asal pangkal thallus terhadap bobot bibit yang berbeda…………………... 57 10. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 50gr terhadap asal thallus yang berbeda................................... 59 11. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 100gr terhadap asal thallus yang berbeda…………………….. 62 12. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 150gr terhadap asal thallus yang berbeda……………………. 63 13. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan ujung thallus terhadap bobot bibit yang berbeda………………………….. 65 14. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan tengah thallus terhadap bobot bibit yang berbeda………………………… 66 15. Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan pangkal thallus terhadap bobot bibit yang berbeda………………………. 67 16. Rata-rata suhu perairan pada lokasi penelitian (pagi, siang dan sore hari).. 74 17. Rata-rata kecepatan arus perairan pada lokasi penelitian (pagi, siang dan sore hari)...................................................................................................... 75 18. Rata-rata salinitas perairan pada lokasi penelitian...................................... 78 19. Nilai oksigen terlarut perairan pada lokasi penelitian................................. 78
20. Peramalan pasang surut pada waktu penelitian (a) 15 hari pertama dan (b) 15 hari sebelum panen………………………………………………… 84
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data parameter parameter lingkungan pada lokasi penelitian.......................... 94 2. Statistik Deskriptif dari parameter-parameter lingkungan................................ 96 3. Pengaruh perbedaan asal thallus dan bobot bibit terhadap lama hidup............ 97 4. Laju pertumbuhan harian (%) pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit….. 99
5. Data curah hujan tahun 2002-2007 pada lokasi penelitian…………………... 101 6. Bobot basah(gr) pada masing-masing perlakuan............................................. 103 7. Dokumentasi penelitian.................................................................................... 104
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perairan laut Indonesia dengan garis pantai sekitar 81.000 km2 diyakini memiliki potensi budidaya rumput laut yang sangat tinggi. Rumput laut merupakan salah satu sumberdaya hayati yang sangat potensial. Tercatat sedikitnya ada 555 jenis rumput laut di perairan Indonesia, diantaranya ada 55 jenis yang diketahui bernilai ekonomis tinggi, diantaranya Eucheuma sp, Gracilaria sp, Gelidium sp dan Sargassum sp. Rumput laut juga merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi dan merupakan salah satu komoditas ekspor andalan yang permintaannya tinggi di pasar dunia, sehingga kemampuan produksinya harus terus ditingkatkan guna memenuhi kebutuhan konsumen yang setiap tahunnya mengalami kekurangan. Salah satu dari jenis rumput laut yang sudah dibudidayakan secara intensif adalah Eucheuma cattonii di wilayah perairan pantai. Menurut Winarno (1990) karaginan Eucheuma cattonii sangat penting sebagai stabilisator, bahan pengental,
pembentuk gel, pengemulsi dan sebagainya. Dari hal-hal tersebut, 80% dimanfaatkan dalam produk makanan, untuk obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Permintaan rumput laut dari negara lain mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 2000, volume ekspor alga laut Indonesia sebesar 14,19 kiloton dengan nilai 10.784.079,07 US$, naik menjadi 17,13 kiloton (2002) dan 27,76 kiloton (2003) dengan nilai 13.739.062,81 US$ (DKP 2000-2003). Adapun jenisjenisnya meliputi Eucheuma sp, Gellidium, Gelidiopsis, dan Gracilaria. Diantara keempat jenis ini, Eucheuma sp. merupakan jenis yang terbanyak, bahkan menurut (Doty (1973) in Soegiarto et al., (1978) kebutuhan dunia akan rumput laut jenis Eucheuma sp. adalah sepuluh kali lipat dari persediaan alaminya yang ada di dunia. Permintaan ini menunjukan bahwa rumput laut Indonesia cukup diminati dan mampu untuk bersaing dengan rumput laut negara lain. Begitu tingginya permintaan rumput laut sebagai suatu komoditas ekspor maka perlu dilakukan peningkatan pula dalam pembudidayaan rumput laut, khususnya pada Kota BauBau, Sulawesi Tenggara. Namun keberhasilan suatu usaha budidaya rumput laut sangat tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi baik faktor eksternal yaitu terkait pemilihan lokasi yang sesuai dengan jenis rumput laut juga faktor-faktor yang erat hubungannya dengan karakteristik lingkungan perairan setempat maupun faktor internal terkait asal thallus, bobot bibit dan jarak tanam yang digunakan. Perairan pantai Kepulauan Buton mempunyai arti penting bagi masyarakat setempat dengan peranannya sebagai sumber mata pencaharian dalam bidang perikanan, salah satunya pembudidayaan rumput laut yang merupakan mata
pencaharian tambahan dari kegiatan menangkap ikan yang hasilnya kurang mencukupi kebutuhan sehari-hari. Hanya dengan menggunakan peralatan sederhana dan tenaga yang relatif lebih kecil, budidaya rumput laut dapat memperoleh hasil yang lumayan disamping juga pekerjaan utama menangkap ikan. Kondisi perairan pantai di Sulawesi Tenggara khususnya Perairan Lakeba merupakan daerah yang sangat potensial sebagai tempat untuk budidaya rumput laut, khususnya jika dilihat dari kondisi kualitas air dan topografi. Namun demikian sistem budidaya yang dilakukan dengan sistem rakit apung belum dapat mencapai produksi yang diharapkan. Kendala utama yaitu lokasi penempatan areal budidaya, jarak tanam serta, asal thallus dan bobot yang digunakan sebagai bibit awal yang digunakan. Untuk menghasilkan suatu kualitas rumput laut yang baik maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan antara faktor eksternal (faktor lingkungan perairan) dan faktor internal (perlakuan asal thallus dan bobot bibit) dari rumput laut Eucheuma cattonii khususnya di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, sehingga dapat ditentukan perlakuan yang baik untuk bibit dan faktorfaktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut Eucheuma cattonii.
1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk : -
Mengkaji laju pertumbuhan bobot rumput laut Eucheuma cattonii berdasarkan perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) terhadap bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dengan jarak tanam yang sama.
-
Menentukan bibit untuk pertumbuhan rumput laut Eucheuma cattonii pada perlakuan asal thallus terhadap bobot bibit. Diharapkan dari penelitian ini dapat ditentukan pada bobot berapa suatu
asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) yang tepat sehingga dapat memperbaiki kualitas produksi basah yang maksimal dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat petani budidaya rumput laut di Desa Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi dan taksonomi rumput laut Rumput laut (Seaweed) secara biologi termasuk salah satu anggota alga yang terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, berkarang atau berpasir, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya baik terbentuk secara alamiah maupun buatan. Dari segi morfologi rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut hanyalah thallus belaka (Aslan, 1998). Dawes (1981), menjelaskan sistematika klasifikasi Eucheuma cattonii adalah sebagai berikut : Divisio : Thallophyta Filum : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae
Ordo : Gigarnitales Famili : Solieriaceae Genus : Eucheuma Spesies : Eucheuma cattonii Alga laut termasuk dalam kelompok tumbuhan yang dikenal sebagai ganggang laut. Alga laut berbeda dengan tanaman tingkat tinggi. Struktur alga laut secara keseluruhan merupakan batang yang disebut thallus, tidak memiliki akar sejati, batang dan daun seperti pada tanaman tingkat tinggi. Bentuk akar alga laut disebut holdfast, yang berfungsi sebagai alat untuk melekat pada dasar perairan. Bagian yang menyerupai daun pada alga laut tertentu seperti Sargassum sp. disebut dengan blade. Fungsi utama blade adalah menyediakan permukaan yang luas untuk penyerapan sinar matahari dalam proses fotosintesis (Chapman 1970). Struktur anatomi thallus tiap jenis rumput laut berbeda-beda, misalnya pada genus yang sama antara Eucheuma cattonii dan Eucheuma spinosum, potongan thallus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam mengidentifikasi jenis genus, maupun famili (Aslan, 1998). Ciri-ciri dari Eucheuma cattonii adalah mempunyai thallus kasar, agak pipih dan bercabang tidak teratur, yaitu bercabang dua atau tiga, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintik-bintik. Adapun warna dari rumput laut ini biasanya kuning kecoklatan hingga merah ungu (Afrianto dan Liviawati, 1993). Menurut kebiasaan dalam perdagangan, Eucheuma sp yang menghasilkan fraksi karaginan
jenis iota-karaginan disebut cattonii, istilah tersebut menjadi rancu dengan penamaan ilmiah (binomial). Terdapat 3 jenis Eucheuma sp. yang bernilai penting oleh Norris (1985) in Doty (1985) adapun perbedaannya dijelaskan seperti pada tabel berikut.
Tabel 1. Perbedaan ketiga jenis Eucheuma bernilai ekonomis Nama umum dan spesies spinosum E. denticulatum
cattonii E. alvarezii gelatinae E. gelatinae
Ciri Morfologi Percabangan Aksis
Karaginan dan kadar sulfat
Melingkar atau pada interval yang dapat diperkirakan
Silindris, tegak Iota sulfat 30% dengan inti rhizoid atau lebih
Tidak teratur
Silindris, tegak tanpa inti rhizoid
Bilateral atau dorsi-ventral
Pipih, tegak Gamma, Beta, dengan inti rhizoid kappa sulfat 20%
Sumber : Doty (1985)
Gambar 1. Eucheuma cattonii
Kappa sulfat 28% atau kurang
Distribusi Eucheuma sp. menurut Chapman dan Chapman (1980) in Eidman (1991) meliputi laut Karibia (Florida, Antigua dan Barbados), Teluk California, pasifik tengah, Kepulauan Hawai dan Indonesia (Benoa, Bali dan Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara).
2.2 Reproduksi rumput laut Reproduksi rumput laut umumnya dilakukan melalui tiga cara yaitu secara vegetatif (seksual dengan gamet), generatif (aseksual dengan spora)dan pembelahan sel. Secara generatif terjadi dengan adanya peleburan antara gametgamet yang berbeda yaitu antara spermatozoid yang dihasilkan dalam antheridia dengan sel telur atau ovum yang dihasilkan dalam oogenium. Reproduksi secara fragmentasi terjadi pada alga uniseluler yaitu dengan cara pembelahan sel sedangkan pada alga multiseluler, thallus akan patah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian tiap bagian tersebut akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi secara vegetatif yaitu mula-mula tanaman tetrasporofit yang hidup bebas (diploid) sel-selnya menjalani proses meiosis. Tetraspora kemudian dilepaskan dan berkembang menjadi gametofit jantan dan betina yang haploid. Gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi sel spermatangia, sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial. Proses fertilisasi terjadi setelah spermatium mencapai trikogin dan karpogonium, meleburkan intinya dan bersatu dengan inti telur. Zygot yang dihasilkan mengalami pembelahan menjadi sel-sel yang bersifat diploid. Kelompok sel yang diploid tersebut dinamakan karposporofit. Karposporofit dapat dianggap sebagai gametofit betina karena mengambil makanan darinya.
Inti-inti diploid tersebut dapat terbawa ke sel-sel lain dalam gametofit betina melalu filamen coblast. Akibatnya dalam satu kali fertilisasi dapat terbentuk karposporofit diploid yang akan tumbuh menjadi tetrasporofit ( Dawes, 1981 in Iksan, 2005). Menurut Kadi dan Atmadja (1988) menyatakan bahwa berbagai faktorfaktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, gerakan air (arus) dan unsur hara (nitrat dan fosfat).
2.3 Habitat rumput laut Menurut Dawson (1966) menyatakan bahwa pantai yang berterumbu karang merupakan tempat hidup yang baik bagi sejumlah besar spesies rumput laut dan hanya sedikit yang dapat hidup di pantai berpasir. Sedangkan substrat yang paling umum tempat hidup rumput laut adalah kapur atau bentuk lain dari kalsium karbonat dimana bahan ini memiliki tingkat kesuburan yang tinggi, mudah tererosi dan warna yang jelas sehingga sinar matahari terpantul. Mubarak dan Wahyuni (1981) juga mengatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Eucheuma sp. kebanyakan terdapat di daerah (intertidal) atau pada daerah yang selalu terendam oleh air (subtidal) dengan melekat pada substrat dasar perairan yang berupa batu karang mati, batu karang hidup, batu gamping atau cangkang molusca. Umumnya Eucheuma sp. tumbuh dengan baik dengan daerah
pantai terumbu karena persyaratan untuk pertumbuhan banyak terpenuhi seperti kedalaman, pencahayaan, substrat dan pergerakan air (Kadi dan Atmadja, 1988). Doty (1985) menyebutkan bahwa jenis Eucheuma sp. menyukai perairan terumbu karang karena jernih dan kaya akan cahaya.
2.4 Budidaya rumput laut 2.4.1 Pengadaan bibit dan pemeliharaan Bibit rumput laut yang baik untuk dibudidayakan adalah monospesies, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lain (Kolang et al., 1996). Kualitas dan kuantitas produksi budidaya rumput laut sangat ditentukan oleh bibit rumput lautnya, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan. Syahputra (2005) menyatakan bahwa pemilihan bibit dalam budidaya rumput laut merupakan hal yang sangat penting. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut : 1. Bibit yang berupa stek dipilih dari tanaman yang segar, dapat diambil dari tanaman yang tumbuh secara alami ataupun dari tanaman bekas budidaya. Selain itu, bibit harus baru dan masih muda. 2. Bibit unggul memiliki ciri bercabang banyak. 3. Bibit sebaiknya dikumpulkan dari perairan pantai sekitar lokasi usaha budidaya dalam jumlah yang sesuai dengan luas area budidaya. 4. Pengangkutan bibit harus dilakukan dengan hati-hati dan cermat, dimana bibit harus tetap dalam keadaan basah ataupun terendam air.
5. Sebelum ditanam, bibit dikumpulkan pada tempat tertentu, seperti dikeranjang atau jaring yang bermata kecil. Sewaktu disimpan harus diperhatikan dengan seksama, hindari terkena bahan bakar minyak, kehujanan, dan kekeringan. Menurut Kadi dan Atmadja (1988), persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi bagi budidaya Eucheuma sp yaitu bersubstrat pasir, dasar perairan terdiri dari campuran karang mati dan karang kasar, terlindung dari ombak yang terlalu kuat dan umumnya di daerah terumbu karang; tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran; kedalaman air pada waktu surut terendah 10-30 cm; perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun; kecepatan arus 20-40 m/detik; jauh dari mulut sungai; perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih; suhu air laut sekitar 27-300C dan salinitas sekitar 20-37 ppt. Aslan (1998) menyatakan untuk keberhasilan budidaya Eucheuma sp. perlu diperhatikan kesehatan dari bibit tersebut dengan ciri-ciri bila dipegang terasa elastis, bercabang yang banyak dengan ujungnya berwarna kuning kemerahmerahan dan mempunyai batang yang tebal. Dijelaskan lagi oleh Sulistijo (2002) bahwa rumput yang baik adalah bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit rumput laut yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga pencemaran (terutama minyak), tidak boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah bagian ujung tanaman (muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil
panen mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil panen atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih, 1999). Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam (Aslan, 1998). Tahap pemeliharaan dilakukan seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Aslan, 1998).
2.4.2 Jarak tanam Menurut Anwar dan Abdul (1999) in Iksan (2005) menyatakan bahwa jarak tanam yang menggunakan rakit apung yaitu dengan jarak 30 cm menunjukkan pertumbuhan harian yang paling tinggi sebesar 3,59% perhari. Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh jarak bibit yang diikat pada tali (Winarno, 1996). Afrianto dan Liviawati (1993) menyarankan jarak tanam antara bibit tidak kurang dari 20 cm. Selanjutnya Kolang et al., (1996) dan Ngang dan Wantasen (1998), menyatakan jarak tanam yang memberikan pertumbuhan yang baik adalah 20-50 cm. Jarak tanam 20 cm menurut Indriani dan Sumiarsih (1999), untuk metode rakit, sedangkan untuk metode lepas dasar bibit diikat pada jarak 30 cm.
2.4.3 Metode budidaya
Dalam penerapan metode budidaya, perlu diperhatikan sifat biologi dan reproduksi dari jenis rumput laut yang dibudidayakan yakni vegetatif dan generatif. Selain itu, metode budidaya yang akan diterapkan harus mempertimbangkan kondisi perairan yang dipakai sebagai lokasi budidaya (Syahputra, 2005). Pemilihan lokasi untuk budidaya rumput laut dibagi menjadi 3 metode sesuai dengan teknologi budidaya, yaitu metode rakit apung, lepas dasar dan metode dasar. Dasar ketiga metode tersebut yang sudah direkomendasikan oleh Direktorat Jenderal Perikanan (1997) adalah metode rakit dan metode lepas dasar. Selanjutnya dikatakan pula bahwa metode budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp. yang sudah memasyarakat di Indonesia adalah metode lepas dasar dan metode rakit apung. Teknik penanaman rumput laut umumnya menggunakan sistem dasar, lepas dasar dan apung. Sistem dasar dilakukan dengan langsung menebarkan bibit di dasar perairan dan dibiarkan tumbuh secara alami. Sistem lepas dasar dengan cara mengikat bibit dengan rafia pada tali plastik yang direntangkan beberapa cm di atas dasar perairan dengan patok kayu atau bambu. Letak tanaman diusahakan selalu terendam dalam air. Pada sistem apung, biasanya digunakan rakit bambu yang direntangi tali dan bibit diikat pada tali tersebut. Letak rakit dari permukaan air diatur dengan pemberat sehingga rumput laut tidak muncul dari permukaan air pada saat tanaman menjadi besar. Diantara ketiga teknik penanaman tersebut, yang banyak dilakukan oleh sistem lepas dasar dan apung, dengan bobot bibit awal sekitar 50-100 gr (Kadi dan Atmadja, 1988).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh LIPI terhadap budidaya rumput laut dengan menggunakan rakit apung di Pulau Pari Kepulauan Seribu dan Samaringan di Sulawesi Tengah menunjukan bahwa sistem apung yang dekat dengan permukaan air menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih baik bila dibandingkan dengan sistem lepas dasar. Untuk memperoleh rumput laut yang bermutu baik, maka perlu diperhatikan umur panen. Umur panen tergantung pada jenis tanaman dan metode budidaya rumput laut. Aslan (1998) menyatakan bahwa pemanenan dilakukan bila rumput laut telah mencapai berat tertentu yakni sekitar empat kali berat awal dalam waktu pemeliharaan 1,5-4 bulan dan menurut Kolang et al., (1996) umur panen jenis Eucheuma sp. adalah 1,5-2 bulan. Tetapi menurut Indriani dan Sumiarsih (1999), tanaman sudah dapat dipanen mencapai 6-8 minggu tetapi umumnya panen dilakukan pada usia satu bulan. Sedangkan Mukti (1987) panen dapat dilakukan setelah pemeliharaan selama 6 minggu yaitu saat tanaman dianggap cukup matang dengan kandungan polisakarida maksimum dan pemanenan dapat dilakukan secara keseluruhan. Produksi rumput laut untuk jenis Eucheuma cattonii dengan metode apung dapat mencapai sekitar 500-600 gr atau dengan tingkat pertumbuhan perhari 2-3%. Pada metode apung dengan 8 kali tanam dalam setahun dapat diproduksi kurang lebih 144 ton rumput laut basah atau kira-kira 11 ton rumput laut kering atau dengan perbandingan 7 : 5 : 1 (Afrianto dan Liviawati, 1993). Selanjutnya menurut Indriani dan Sumarsih (1999) perbandingan antara berat basah dengan berat kering apabila dipanen pada usia dua bulan adalah 6 : 1 dan jika dipanen pada usia 1 bulan perbandingannya 8 : 1.
Usaha budidaya terhadap beberapa jenis rumput laut telah berhasil dikembangkan di beberapa negara. Di Indonesia baru jenis Eucheuma sp dan Gracillaria sp saja yang dibudidayakan. Percobaan budidaya rumput laut di Indonesia pertama kali dilakukan oleh Soerjodinoto (1968) dari LON-LIPI terhadap rumput laut jenis Eucheuma sp di perairan gugusan pulau Pari Kepulauan Seribu (Pulau Tikus) dengan menggunakan rakit dan substrat batu karang. Kemudian sejak tahun 1974 LON-LIPI melanjutkan percobaan budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp. di Pulau Pari dengan mengikat bibit rumput laut pada tali nilon di kerangka rakit bambu dan kerangka lepas dasar seperti yang telah dilakukan di Filipina (Sulistijo, 2002). Kajian kriteria lokasi budidaya rumput laut dari segi kondisi tata letak dan kualitas perairan sangat berperan dalam pencapaian hasil usaha budidaya rumput laut. Indriani dan Sumiarsih (1999) menyatakan untuk memperoleh hasil yang memuaskan dari budidaya rumput laut hendaknya dipilih lokasi yang sesuai dengan ekobiologi (persyaratan tumbuh) rumput laut sebagai berikut, (1) lokasi budidaya harus bebas dari pengaruh angin topan, (2) tidak mengalami fluktuasi salinitas yang besar, (3) mengandung unsur hara untuk pertumbuhan, (4) perairan harus bebas dari predator dan pencemaran industri maupun rumah tangga dan (5) lokasi harus mudah dijangkau. Secara rinci Atmadja et al., (1996) mengadakan klasifikasi penilaian lokasi untuk budidaya hayati rumput laut Eucheuma cattonii dengan kriteria baik dan cukup baik (Tabel 2). Tabel 2. Klasifikasi kriteria lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cattonii Parameter Keterlindungan
Kriteria baik Terlindung
Kriteria cukup baik Agak terlindung
Arus (gerakan air)
20-30 cm/detik
30-40 cm/detik
Dasar perairan pH Kecerahan Salinitas Cemaran Hewan herbivora
Pasir berbatu 9-Jul Lebih dari 5 meter 32-34 permil Tidak ada Tidak ada
Pasir berlumpur 9-Jun 3-5 meter 28-32 permil Ada sedikit Ikan dan bulu babi
Kemudahan Tenaga kerja
Mudah dijangkau Banyak
Cukup mudah Cukup
Sumber : Atmadja et al., (1996)
Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahwa lokasi perairan untuk budidaya rumput laut biasanya merupakan daerah terlindung seperti teluk, selat maupun perairan karang. Untuk menentukan apakah lokasi suatu perairan sesuai atau tidak sesuai untuk budidaya rumput laut, terdapat beberapa kriteria umum yang harus dipenuhi. Berikut adalah beberapa parameter lingkungan yang digunakan sebagai acuan kesesuaian kondisi suatu perairan untuk dijadikan lokasi budidaya rumput laut (Tabel 3).
Tabel 3. Kriteria kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut No 1
Faktor Pembatas Kec. Arus (m/det)
2
Nitrat (ppm)
3
Phosfat (ppm)
4
Kecerahan (m)
5
pasang surut (m)
6 7
0
Salinitas ( /00) Suhu
Tingkat Potensi Perairan Sangat sesuai Cukup sesuai 0,31-0,40 atau 0,2-0,3 0,100-0,019 0,1-<0,9 atau 3,00,9-3,0 3,5 0,01-<0,02 atau 0,02-1,00 <1,0-2,0 >0,60 0,30-0,59 0,5-1,0 atau 3,01-3 3,5 28-32 25-27 atau 33-35 28-30 27-27 atau 30-31
Sumber : Sulistijo dan Atmadja (1996)
2.5 Pertumbuhan rumput laut dan kadar karaginan
Tidak sesuai <0,1 atau >0,4 <0,1 atau >3,5 <0.01 atau >2,00 <0,30 <0,5 atau >3,5 <25 atau >35 <26 atau >33
2.5.1 Pertumbuhan rumput laut Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat ataupun panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut Eucheuma cattonii sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut antara lain jenis, galur, bagian thallus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan lingkungan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut, ada faktor lain yaitu faktor pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan oleh manusia dalam kegiatan rumput laut kadang merupakan faktor utama yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga jarak tanam bibit dalam satu rakit apung. Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Menurut Pusat Penelitian Kegiatan Perikanan (1990) in Iksan (2005) laju pertumbuhan bobot rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah di atas 3% pertambahan berat perhari. Menurut Supit (1989) mengemukakan bahwa laju pertumbuhan Eucheuma cattonii yang ditanam di Goba Labangan Pasir Pulau Pari bahwa laju pertumbuhan rumput laut yang baik adalah diatas 3 %. Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit thallus yang berada bagian ujung akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan bibit thallus dari bagian pangkal. Selanjutnya Soegiarto et al., (1978) menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut adalah berkisar antar 2-3 % perhari. Pada percobaan penanaman
dengan menggunakan rak terapung dengan tiga lapisan, tampak bahwa tanaman yang lebih dekat dengan permukaan (30 cm) tumbuh lebih baik dari lapisan kedalaman dibawahnya. Rumput laut yang memiliki syarat-syarat lingkungan tertentu agar dapat hidup dan tumbuh dengan baik. Semakin sesuai kondisi lingkungan perairan dengan areal yang akan dibudidayakan, akan semakin baik pertumbuhannya.
2.5.2 Kadar karaginan Kadar karaginan standar untuk perdagangan internasional adalah 40%, jadi pemanenan sebaiknya dilakukan setelah berumur 1,5 bulan. Kadar karaginan dalam setiap spesies Eucheuma sp. berkisar antara 54-73% tergantung pada jenis dan lokasinya, dimana Indonesia berkisar antara 61,5-67,5% (Doty, 1986 in Puspita, 1991). Kualitas rumput laut yang terbaik dari kadar karaginan diperoleh dengan bibit dari asal ujung thallus dengan bobot awal 125 gr menjadi 1.012,5 gr (50,09% karaginan), 50,0 gr menjadi 577,5 gr (42,48% karaginan) yang dipanen pada minggu ke-4 atau pada usia tanam 4 minggu. Hubungan pertumbuhan dengan kadar karaginan berpola kuadratik, dimana semakin tinggi pertumbuhan bobot maka semakin tinggi kadar karaginan sampai batas tertentu (minggu ke-4), kemudian menurun seiring dengan kenaikan pertumbuhan (Iksan, 2005). Sulistijo dan Atmadja (1996) melaporkan bahwa pertumbuhan rumput laut berkorelasi dengan kandungan karaginanya, dimana saat pertumbuhan tinggi kandungan karaginan menurun. Hal ini disebabkan karena Eucheuma sp. mempunyai 2 fase siklus kehidupan yaitu fase vegetatif dan generatif. Pada fase vegetatif, energi didistribusikan untuk pertumbuhan dan pembentukan karaginan. Kemudian dilanjutkan dengan fase generatif dimana energi untuk pembuatan
karaginan direduksi untuk proses generatif sehingga kandungannya menurun sedangkan pertumbuhan tetap berjalan sampai mencapai titik maksimal.
2.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan rumput laut 2.6.1 Suhu Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut dan perairan yang dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada perairan tersebut. Suhu perairan mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Secara prinsip suhu yang tinggi dapat menyababkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) temperatur merupakan faktor sekunder bagi kehidupan rumput laut dan fluktuasi yang tinggi akan dapat terhindar dengan adanya water mixing. Crebs (1972) in Apriyana (2006), menyatakan bahwa rumput laut akan dapat tumbuh dengan subur pada daerah yang sesuai dengan temperatur di laut. Tiap-tiap spesies dari alga laut membutuhkan suhu yang berbeda untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu terdapat sedikit perbedaan jenis alga laut yang tumbuh didaerah tropis, daerah subtropis maupun di daerah dingin. Perubahan suhu yang nyata bagi alga laut dapat menghambat pertumbuhan baik berupa perubahan morfologi maupun fisiologinya bahkan dapat mematikannya.
Alga laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya kandungan enzim pada alga laut. Alga laut akan tumbuh dengan subur pada daerah yang sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Dawes et al. (1974), menyatakan bahwa Eucheuma isoforme, Eucheuma sp, gelidium masing-masing mencapai nilai optimum pada suhu 210C, 240C dan 21-270C yang berada pada kondisi intensitas cahaya yang sama. Selanjutnya dikatakan pada kondisi intensitas cahaya yang berbeda, laju fotosintesis dipengaruhi juga oleh suhu perairan. Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma sp. adalah 27-300C, sedangkan menurut Zatnika (1987) in Supit (1989) adalah sebesar 24-300C. Bird and McLanchian (1986) in Supit (1989), Soegiarto (1984) in Eidman (1991) mengatakan bahwa kisaran suhu yang baik untuk pertumbuhan Eucheuma cattonii adalah 24-310C.
2.6.2 Salinitas Salinitas adalah jumlah (gram) zat-zat yang larut dalam kilogram air laut dimana dianggap semua karbonat-karbonat telah diubah menjadi oksida, brom, dan ion diganti oleh clor dan semua bahan-bahan organik telah dioksidasi secara sempurna. Salinitas perairan untuk organisme laut merupakan faktor lingkungan yang penting. Setiap organisme laut memiliki toleransi yang berbeda terhadap salinitas untuk kelangsungan hidupnya. Beveridre (1987) in Iksan (2005) menyatakan salinitas berhubungan erat dengan tekanan osmotik yang mempengaruhi keseimbangan tubuh organisme akuatik. Dinyatakan pula bahwa semakin tinggi kadar garam (salinitas) maka makin besar pula tekanan osmotik
pada air. Selain itu salinitas juga berhubungan dengan proses osmoregulasi dalam tubuh organisme. Di dalam rumput laut Eucheuma sp. tumbuh berkembang dengan baik pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat masuknya air tawar dari sungai dapat menyebabkan pertumbuhan rumput laut Eucheuma sp menurun. Menurut Dawes (1981), kisaran salinitas yang baik bagi pertumbuhan Eucheuma sp adalah 30-35 ppt. Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) menyatakan bahwa salinitas perairan untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp, berkisar antar 28-34 ppt . Sedangkan menurut Soegiarto et al., (1978), kisaran salinitas yang baik untuk Eucheuma sp adalah 32-35 ppt. Apabila salinitas berada dibawah 30 ppt maka akan merusak rumput laut yang ditandai dengan timbulnya warna putih diujung-ujung tanaman (Collina, 1976 in Iksan, 2005).
2.6.3 Cahaya matahari Cahaya matahari dibutuhkan oleh alga laut untuk proses fotosintesis dimana hasilnya adalah fiksasi CO2. Selain itu ultraviolet juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dirinya. Kemampuan cahaya menembus perairan akan berkurang dengan bertambahnya dengan kedalaman. Zona ini disebut zona photic. Perubahan pada intensitas dan kualitas cahaya yang menembus perairan dengan bertambahnya kedalaman menggambarkan kemampuan alga laut untuk tumbuh. Eucheuma sp. termasuk dalam golongan Rhodophyceae yang dapat hidup pada perairan yang lebih dalam dari golongan Chlorophyceae maupun Phaeophyceae (Dawes, 1981).
Kecerahan perairan menentukan jumlah intensitas sinar matahari atau cahaya yang masuk ke dalam perairan sangat ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik tersuspensi di perairan, kepadatan plankton, jasad renik dan detritus. Kekeruhan merupakan faktor pembatas bagi proses fotosintesis dan produksi primer perairan karena mempengaruhi penetrasi cahaya matahari. Disamping itu, kekeruhan merupakan gambaran sifat optik dari suatu air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air (Boyd, 1988 in Apriyana 2006). Menurut Soemarwono (1984) in Masrawati (1999) menyatakan bahwa salah satu penyebab kekeruhan adalah adanya zat-zat organik yang terurai, jasad-jasad renik, lumpur dan tanah liat atau zat-zat koloid yaitu zat-zat terapung yang mudah mengendap. Mutu dan kualitas cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Intensitas cahaya yang tinggi merangsang persporaan Porphyra tetapi menghambat persporaan dalam Eucheuma sp. Kebutuhan cahaya pada alga laut merah lebih rendah dibandingkan dengan alga cokelat. Misalnya persporaan Gracillaria verrucosa berkembang baik pada intensitas cahaya 400 lux, sedangkan Ectocarpus pada intensitas cahaya antara 6.500-7.500 lux (Aslan, 1998).
2.6.4 Pergerakan air Pergerakan air adalah faktor ekologi utama yang mengontrol kondisi komunitas alga laut. Arus dan gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air. Pengadukan air berperan untuk menghindari fluktuasi suhu yang besar (Trono and Fortes, 1988). Peranan lain dari arus adalah menghindarkan akumulasi silt dan epifit yang melekat pada
thallus yang dapat menghalangi pertumbuhan alga laut. Soegiarto in Sinaga (1999) mengemukakan bahwa semakin kuat arus suatu perairan maka pertumbuhan alga laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel thallus semakin banyak, sehingga metabolisme dipercepat. Arus merupakan faktor yang harus diutamakan dalam pemilihan lokasi, karena biasanya arus akan mempengaruhi sedimentasi dalam perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi cahaya (Doty, 1973). Menurut Sidjabat (1973) proses pertukaran oksigen antara udara yang terjadi pada saat turbelensi karena adanya arus. Adanya ketersediaan oksigen yang cukup dalam perairan, maka respirasi rumput laut dapat berlangsung pada malam hari, sehingga pertumbuhan akan berlangsung secara optimal. Pergerakan massa air yang cukup kuat mampu menjaga rumput laut bersih dari sedimen sehingga semua bagian thallus dapat berfungsi untuk melakukan fotosintesis. Semakin cepat arus, maka semakin banyak nutrien inorganik yang terbawa air dan dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses difusi. Pada air yang diam tumbuhan kurang mendapatkan nutrien, sehingga mengganggu proses fotosintesis. Maka dari itu benih rumput laut harus ditanam pada daerah dimana terdapat arus yang kuat yaitu pada kisaran 20-40 cm/detik (Sulistijo dan Atmadja, 1996). Arus merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dapat disebabkan oleh tiupan angin, perbedaan densitas air laut dan rambatan pasang surut yang bergelombang panjang dari laut terbuka (Nontji, 1993). Dawes (1981) mengatakan bahwa arus lautan disebabkan oleh kombinasi gerakan dari angin pada permukaan laut dan perbedaan densitas antara bagian-bagian yang berbeda
dari laut tersebut. Pergerakan gelombang dan arus kadang cukup kuat untuk melepaskan alga laut dari dasar perairan. Arus juga merupakan salah satu penyebab stadia reproduksi dan persporaan alga laut. Hal ini penting terutama dalam penyebaran spora, peletakan dan pertumbuhannya. Selanjutnya Winarno (1996) mengatakan bahwa pergerakan air atau arus dapat memindahkan atau menyuplai hara dari bagian perairan sekitarnya. Alasan rumput laut biasanya tumbuh dengan baik didaerah dengan pergerakan arus yang baik adalah jika air tidak bergerak, maka rumput laut akan mengambil nutrien yang tersedia dalam jumlah terbatas, jika tersedia pergerakan air yang lebih aktif, maka nutrien yang tersedia akan lebih banyak. Arus yang lebih cepat dan ombak yang terlalu tinggi dapat menimbulkan kerusakan tanaman, seperti dapat patah, robek ataupun terlepas dari substratnya. Selain itu penyebaran unsur hara akan terhambat dan air laut menjadi keruh (Indriani dan Sumiarsih, 1999). Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996) salah satu syarat untuk menentukan lokasi Eucheuma sp. adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33-0,66 m/detik. Sedangkan menurut Ryder (2003) in Iksan (2005) pada percobaan di lagoon, dimana kecepatan arus berkisar antara 3,6-11,6 cm/detik, laju pertumbuhan G. parvispora mencapai kisaran 0,02-10,03% perhari. Adapun tinggi gelombang yang baik untuk pertumbuhan alga laut yaitu tidak lebih dari 30 cm (Apriyana, 2006).
2.6.5 Pasang surut Naik turunnya permukaan laut secara periodik selama interval waktu tertentu disebut pasang surut. Hal serupa juga dikatakan oleh Bhatt (1978) bahwa
pasut adalah periode naik turunnya permukaan air laut yang merupakan hasil gaya tarik-menarik bumi dan bulan, dan sebagian kecil disebabkan gaya tarik menarik bumi dan matahari. Friedrich (1973) menyatakan bahwa pasang surut dapat memperbesar atau memperkecil pergerakan arus-arus lain, fenomena seperti ini terutama sekali muncul di perairan pantai. Secara umum dapat dikatakan bahwa kekuatan arus pasut dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut. Menurut Nontji (1993) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat pasut diantaranya kedalaman laut, posisi kedudukan bulan dan matahari relatif terhadap bumi serta pantai. Semua ini menimbulkan penyimpangan dari kondisi yang ideal dan dapat menimbulkan ciri-ciri pasut yang berbeda-beda dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya. Dalam kaitannya dengan fenomena biologi dikatakan oleh Friedrich (1973) bahwa pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena biologi laut, seperti distribusi dan suksesi organisme. Frekuensi pasang surut juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan alga laut diwilayah intertidal. Pada pasang semidiurnal yang memliki frekuensi yang lebih besar daripada pasang diurnal lebih menyokong bermacam-macam populasi alga laut.
2.6.6
Curah hujan
Handoko (1995) menyatakan bahwa pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis, secara rinci pola umum hujan di Indonesia yaitu pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur, curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah
curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat, curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 - 900 m di atas permukaan laut, di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering.
Adapun untuk intensitas hujan dikategorikan menjadi 5 kategori yaitu pada table berikut :
Tabel 4. Kategori intensitas curah hujan di Indonesia. Kategori Hujan
Intensitas (mm/jam)
Hujan sangat ringan
<1
Hujan ringan
1-5
Hujan normal
5-10
Hujan Lebat
10-20
Hujan sangat lebat
>20
(Sumber : BMG, 2008)
Intensitas curah hujan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu pada intensitas sangat ringan sampai ringan pada musim peralihan antara musim kemarau-hujan (Sulistijo dan Atmadja, 1996). Menurut Handoko (1995) Sulawesi tenggara memiliki tingkat curah hujan sedang dengan curah hujan antara 20003000 mm pertahun.
2.6.7 Substrat Substrat perairan merupakan dasar perairan dimana alga laut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Penyebaran alga laut dan kepadatannya di suatu perairan tergantung pada tipe substrat, musim dan komposisi jenis. Menurut Mubarak dan Wahyuni (1981) jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang. Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenisjenis alga laut Halimeda sp, Caulerpa sp, Gracillaria sp. Sedangkan dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang dan pecahan karang akan banyak di jumpai jenis-jenis alga laut Sargassum sp, Turbinaria sp, Ulvasp, dan Entermorpha sp. Nontji (1993) menyatakan bahwa sedikitnya alga laut yang terdapat pada perairan dengan dasar pasir atau berlumpur, disebabkan karena terbatasnya benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya. Susunan kimia dari substrat tidak mempengaruhi kehidupan alga laut, hanya sebagai tempat melekatnya alga laut pada dasar perairan. Alga laut Eucheuma sp. paling baik pertumbuhannya adalah pada dasar perairan berkarang.
2.6.8 Kedalaman Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Soegianto dan Sulistijo (1985) in Syahputra (2005), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar dalam 0,3-0,6 m pada surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.
2.6.9 Oksigen terlarut Oksigen terlarut sangat penting karena sangat dibutuhkan oleh organisme air. Oksigen terlarut umumnya banyak dijumpai pada lapisan permukaan, oleh karena gas oksigen berasal dari udara di dekatnya melakukan pelarutan (difusi) ke dalam air. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigan terlarut pada lapisan permukaan diwaktu siang hari. Penambahan ini disebabkan oleh terlepasnya gas oksigen sebagai hasil dari fotosintesis. Kelarutan oksigen dilaut sangat penting artinya dalam mempengaruhi kesetimbangan kimia air laut dan juga dalam kehidupan organisme. Oksigen dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Baku mutu DO untuk rumput laut adalah lebih dari 5 mg/l (Sulistijo dan Atmadja, 1996), hal ini berarti jika oksigen terlarut dalam perairan mencapai 5 mg/l maka metabolisme rumput laut dapat berjalan dengan optimal. Buesa (1977) in Iksan (2005) menyatakan bahwa perubahan oksigen harian dapat terjadi di laut dan bisa berakibat nyata terhadap produksi alga bentik. Untungnya oksigen biasanya selalu cukup untuk metabolisme alga (Chapman, 1962 in Iksan, 2005).
2.6.10 Derajat keasaman pH merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan alga laut, sama halnya dengan faktor-faktor lainnya. Menurut US-EPA (1973) in Iksan (2005) kisaran pH maksimum untuk kehidupan organisme laut adalah 6,5-8,5. Chapman (1962) in Supit (1989) menyatakan bahwa hampir seluruh alga menyukai kisaran pH 6,8-9,6 sehingga pH bukanlah masalah bagi pertumbuhannya. Selanjutnya Kylin (1927) in Supit (1989) menemukan daya
tahan alga laut yang tersebar yaitu pada pH 3,6-10. Namun menurut Rao dan Mehta (1973) in Supit (1989), ada alga laut yang memerlukan kondisi pH perairan yang khas baginya.
2.6.11 Unsur hara Rumput laut atau alga sebagaimana tanaman berklorofil lainnya memerlukan unsur hara sebagai bahan baku untuk proses fotosintesis. Untuk menunjang pertumbuhan diperlukan ketersediaan unsur hara dalam perairan. Masuknya material atau unsur hara ke dalam jaringan tubuh rumput laut adalah dengan jalan proses difusi yang terjadi pada seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses metabolisme sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air (Doty dan Glenn 1981). Unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu makronutrien, dibutuhkan dalam jumlah banyak dan mikro nutrien, dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Yang termasuk makro nutrien yang dibutuhkan oleh alga adalah sulfat, potasium, kalsium, magnesium, karbon, nitrogen, dan fosfor. Sulfat dibutuhkan untuk sintesis protein berupa ikatan sulfat dan produksi polisakarida sulfat (karaginan). Potasium sebagai aktifator enzim, magnesium untuk sintesis klorofil, kalsium untuk pembentukan membran sel dan dinding sel, karbon untuk pembentukan karbohidrat (karaginan), nitrogen untuk pertumbuhan tanaman dan fosfor untuk pembangkitan energi dan proses transfer, sedangkan yang termasuk mikro nutrien meliputi Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, Cl dan V ((Baracca, 1999 in Iksan, 2005). Unsur N dan P diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan untuk pembentukan
cadangan makanan berupa kandungan zat-zat organik seperti karbohidrat protein dan lemak.
2.6.11.1 Nitrat dan Nitrit Nitrogen adalah salah satu unsur utama penyusun sel organisme yaitu dalam proses pembentukan protoplasma. Nitrogen sering kali berada dalam jumlah yang terbatas di perairan, terutama didaerah beriklim tropis. Kekurangan nitrat dalam perairan dapat menghambat pertumbuhan tanaman akuatik, walaupun unsur hara lain berada dalam jumlah yang melimpah (Hunter, 1970 in Patadjal, 1993). Nitrogen di perairan sebagian besar dalam bentuk ion nitrit dan ion nitrat, maka dengan bantuan bakteri yang mempunyai kemampuan mengubah nitrit manjadi nitrat kemudian menjadi amonia melalui proses reduksi, sehingga proses asimilasi amonia oleh tanaman akuatik dapat berlangsung. Nitrat dan nitrit terlebih dahulu direduksi sebelum digunakan oleh sel-sel alga. Sedangkan amonia biasanya digunakan langsung untuk sintesis asam-asam amino melalui proses transamilasi (COOLOS dan Slawyk, 1980 in Patadjal, 1993). Nitrat juga merupakan jenis nitrogen yang sangat mudah larut dalam airdan bersifat stabil yang dihasilkan darioksidasi sempurna senyawa nitrogen dalam perairan. Peningkatan kadar nitrat dilaut disebabkan oleh masuknya limbah domestik atau pertanian yang umumnya banyak mengandung nitrat. Menurut Morris (1974) in Patadjal (1993) alga mempunyai kecenderungan untuk lebih dahulu menggunakan N-anorganik dan urea, dan N-organik terlarut hanya akan digunakan jika sumber atau bentuk nitrogen lain konsentasinya sudah sangat rendah.
Nitrat dimanfaatkan untuk metabolisme dengan bantuan enzim nitrat reduktase yang dihasilkannya. Masa pembentukan enzim nitrat ini memerlukan waktu yang lama, sehingga laju pengambilan nitrat sangat lambat dibandingkan dengan laju pengambilan amonia yang tidak memerlukan enzim dalam pemanfaatannya. Kadar enzim nitrat reduktase sangat rendah pada alga yang hidup pada perairan dengan konsentrasi nitrat yang rendah. Konsentrasi amonia yang tinggi dalam perairan akan menyebabkan terhambatnya pembentukan enzim nitrat reduktase pada alga. Selain nitrat dan amonia, alga dapat pula menggunakan nitrit dan hidroksil amin untuk proses metabolismenya. Senyawa nitrit yang terdapat dalam air laut merupakan hasil reduksi senyawa nitrat atau oksidasi amoniak oleh mikroorganisme. Nitrit biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit diperairan alami, kadarnya lebih kecil dari pada nitrat karena bersifat tidak stabil. Konsentrasi ini dapat meningkat menuju ke arah perairan pantai dan muara sungai. Meningkatnya kadar nitrit dilaut berkaitan erat dengan masuknya bahan organik yang mudah urai (baik yang mengandung unsur nitrogen maupun nitrat). Dengan demikian senyawa nitrit merupakan salah satu indikator pencemaran (Hutagalung et al., 1997 in Iksan, 2005). Penelitian Dawes et al., (1974) menunjukan nilai kadar karaginan yang tinggi pada musim panas, yaitu saat laju fotosintesis tinggi dan kadar nitrogen rendah. Sebaliknya, pada musim semi kadar karaginan rendah, sementara kondisi lingkungannya optimal bagi pertumbuhan dan pasokan nutrien lebih tinggi.
2.6.11.2 Fosfat
Fosfor merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi untuk transformasi energi metabolik yang perannya tak dapat digantikan oleh unsur lain (Kuhl, 1974). Unsur fosfor merupakan penyusun ikatan pirofosfat dari adenosin trifosfat (ATP) yang kaya energi dan merupakan bahan bakar bagi semua kegiatan dalam semua sel hidup serta merupakan penyusun sel yang penting. Senyawa fosfat merupakan penyusun fosfolipida yang penting sebagai penyusun membran dan terdapat dalam jumlah besar. Energi yang dibebaskan dari hidrosis pirofosfat dan berbagai ikatan fosfat organik digunakan untuk mengendalikan berbagai reaksi kimia (Noggle dan Fritz, 1986 in Patadjal, 1993). Kandungan fosfor dalam sel alga mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa jenis alga mampu menyerap fosfat pada konsentrasi yang sangat rendah serta mempunyai enzim alkaline. Dapat dikatakan bahwa kekurangan fosfat akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk tanaman alga, dibandingkan dengan bila kekurangan nitrat di perairan. Dilain pihak fosfor walaupun ketersediannya dalam perairan sering melimpah dalam bentuk berbagai senyawa fosfat namun hanya dalam bentuk ortofosfat (PO42-) yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman akuatik (Fritz, 1986). Kebutuhan fosfat untuk pertumbuhan optimum bagi alga dipengaruhi oleh senyawa nitrogen. Batas tertinggi konsentrasi fosfat akan lebih rendah jika nitrogen berada dalam bentuk garam amonium. Sebaliknya jika nitrogen dalam bentuk nitrat, konsentrasi tertinggi fosfat yang diperlukan akan lebih tinggi. Batas terendah konsentrasi untuk pertumbuhan optimum alga laut berkisar antara 0,018-
0,090 ppm P-PO4 apabila nitrogen dalam bentuk nitrat, sedangkan bila nitrogen dalam bentuk amonium batas tertinggi berkisar pada 1,78 ppm P-PO4 (Fritz, 1986). Fosfat dalam air baik terlarut maupun tersuspensi, keduanya berbentuk anorganik dan organik. Fosfat organik dalam laut umumnya berupa ion (ortho) asam fosfat H3PO4 yang berkisar 10% fosfat anorganik berada dalam bentuk PO43dan 90% dalam bentuk HPO42-. Sumber alami fosfat dalam perairan berasal dari erosi tanah, kotoran buangan hewan, lapukan tumbuhan, buangan industri, hanyutan pupuk, limbah domestik, hancuran bahan organik dan mineral-mineral fosfat (Susana, 1989). Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu perairan oligotrofik yang memliki kadar ortofosfat 0,003-0,01 mg/l, perairan mesotrofik memiliki kadar ortofosfat 0,011-0,03 mg/l dan perairan eutrofik memiliki kadar ortofosfat 0,031-0,1 mg/l (Vollenweider in Iksan 2005). Senyawa fosfat dalam perairan berasal dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan hewan dan lapukan tumbuhan serta dari laut itu sendiri. Fosfat diabsorbsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan. Dalam air laut, kadar rata-rata fosfat adalah sekitar 2ug at PO4-p/l.
2.7 Biota dan tumbuhan laut Komunitas alga laut merupakan tempat perlindungan dan rumah bagi ikanikan kecil, invertebrata, mamalia dan lainnya. Komunitas alga laut juga merupakan sumber makanan bagi biota laut. Beberapa faktor yang mempengaruhi komunitas alga laut adalah organisme/hewan pemangsa dan adanya jenis-jenis
alga laut yang lain. Persaingan untuk mendapatkan sinar matahari dan juga nutrien akan mempengaruhi keberadaannya dan pertumbuhan alga laut Hewan-hewan laut seperti molusca dan ikan dapat berpengaruh terhadap persporaan alga laut. Menurut Ruond (1980) in Kadi dan Atmadja (1988) molusca ’Limpet’ dan ’Litorina’ dapat memakan spora dan menghambat pertumbuhan muda alga laut.
2.8 Penyakit ice ice Penyakit tanaman pada rumput laut pertama kali diketahui pada tahun 1974 di Filipina dengan gejala yang dilaporkan adanya bercak pada thallus yang terinfeksi selanjutnya berwarna putih dan mati kemudian hancur. Penyakit ini menyerang Eucheuma sp. Terutama disebabkan oleh adanya perubahan lingkungan arus, suhu, kecerahan dan lain-lain. Penyakit rumput laut ini terjadi di daerah-daerah dengan kecerahan tinggi dan dikenal sebagai ice ice dengan gejala timbulnya bercak-bercak pada thallus, lama kelamaan akan kehilangan warna sampai menjadi putih dan terputus (Anonymous, 2005). Bila dikaitkan dengan penyakit tumbuhan, maka ice ice pada tanaman rumput laut terjadi karena infeksi mikroba pada saat tanaman menjadi rentan. Kondisi ini disebabkan karena adanya perubahan lingkungan yang ekstrem dan tidak dapat ditolerir, sehingga tanaman menjadi lemah atau tidak sehat. Rumput laut yang terkena penyakit ice ice ini sebelumnya disebabkan adanya gejala pertumbuhan yang lambat, permukaan thallus menjadi kasar dan pucat.
Ice ice sering dikaitkan dengan pengaruh tekanan fisika-kimia perairan yang kurang dapat ditolerir oleh rumput laut, seperti peningkatan permeabilitas sel dikarenakan rendahnya laju pertumbuhan atau akibat reaksi fotosintesis yang sangat lambat (Doty, 1973). Trono (1974) menemukan korelasi positif terjadinya penyakit ice ice dikarenakan keadaan lingkungan yang kurang mendukung, diantaranya air yang tenang atau pergerakan arusnya lemah. Uyenco et al., (1981) in Lundsor (2002) mengemukakan bahwa adanya korelasi positif antara ice ice terhadap konsentrasi fosfat pada rumput laut dan adanya korelasi positif antara ice ice dengan banyaknya jumlah epifit pada rumput laut. Namun belum jelas apakah epifit penyebab dari ice ice, atau rumput laut yang lemah hanya menjadi substrat bagi epifit tersebut. Sebagaimana tentang ”Aging effect” pada rumut laut yang ditandai dengan penurunan pertumbuhan persatuan waktu. Tanda-tanda ini nampak sebulan atau beberapa waktu setelah penanaman yang ditandai dengan cabang-cabang tanaman sedikit, keseluruhan tanaman menjadi pucat dan permukaan thallus menjadi besar. Bila keadaan ini terus berlanjut, maka akan terjadi kekeroposan thallus sebagai ciri dari penyakit ice ice yang mengakibatkan kegagalan panen. Bercak putih (ice ice) merupakan penyakit yang timbul pada musim laut tenang dan arus lemah diikuti dengan musim panas yang dapat merusak areal tanaman sampai mencapai 60-80% dan lamanya 1-2 bulan (Sulistijo dan Atmadja, 1996). Infeksi mikroba penyebab penyakit ice ice sudah menjalar pada lokasi perairan budidaya rumput laut yang dibudidayakan dipulau Pari, sehingga semua tanaman rumput laut yang dibudidayakan di pulau pari terkena penyakit ice ice
dan menurunkan harga dipasaran. Terjadinya penyakit dipengaruhi oleh berkembangnya jenis rumput laut lain yang menempel atau epifit, ini didahului dengan rendahnya unsur hara di perairan karena dengan berkembangnya rumput laut jenis lain akan mengakibatkan penurunan unsur hara yang diperlukan oleh pertumbuhan (Direktorat jenderal Perikanan, 2004). Sampai saat ini belum ada metode yang dapat diterapkan untuk mengendalikan penyakit ice-ice tetapi untuk mengurangi kerugian, maka tanaman harus dipanen sesegera mungkin jika penyakit telah berjangkit. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan memonitor adanya perubahan-perubahan lingkungan, terutama pada saat terjadinya perubahan lingkungan, disamping itu dilakukan penurunan posisi tanaman lebih dalam untuk mengurangi penetrasi cahaya sinar matahari. Penelitian terhadap bakteri yang menyebabkan penyakit pada Eucheuma cattonii ini pernah dilakukan oleh Laboratorium mikrobiologi P2O-LIPI dan hasilnya diduga ada 8 jenis bakteri tersebut yang menimbulkan penyakit ice-ice, namun patogenitas bakteri tersebut belum diketahui. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian uji patogenitas dari 8 jenis bakteri tersebut yang hasilnya menunjukkan hanya 5 bakteri yang dapat menimbulkan penyakit ice ice. Lima bakteri tersebut adalah Pseudomodas nigricaciens, Pseudomonas fluorescens, Vibrio granii, Bacillus cereus dan Vibrio agarliquefaciens. Sementara bakteri Pseudomonas gelatica, Pseudomonas icthyodermis dan Bacillus megaterium yang tidak memiliki patogenitas, sehingga tidak menyebabkan gejala penyakit ice ice . Hasil uji patogenitas terhadap kelima bakteri tersebut dilanjutkan dan ditemukan yang memiliki daya patogenitas tertinggi adalah Vibrio agarliquefaciens . Sampai sekarang belum ditemukan cara untuk membasmi penyakit ice ice, namun upaya
yang dilakukan adalah berhenti menanam pada saat musim penyakit, sehingga dalam budidaya perlu pemantauan lingkungan perairan dan memperhatikan musim dimana budidaya harus dihentikan untuk sementara.
2.9 Predator pada rumput laut Salah satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komunitas rumput laut dijadikan spawning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama. Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput laut sehingga akan menimbulkan kerusakan fisik thallus, dimana thallus akan mudah terkupas, patah ataupun habis dimakan hama. Hama penyerang rumput laut dibagi menjadi dua menurut ukuran hama, yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat di lokasi budidaya dan sudah dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama yang hidup menumpang pada thallus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp) yang bersifat planktonik, melayang-layang didalam air dan kemudian menempel pada tanaman rumput laut. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya rumput laut adalah ikan Beronang (Siganus sp), bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp), penyu hijau (Cheloniamydas). (Ditjen Perikanan, 2004). Alga penempel dalam koloni yang cukup besar akan menggaggu pertumbuhan rumput laut. Alga penempel tersebut antara lain adalah Hipnea, Dictyota, acanthopora, Laurensia, padina, Amphiroa dan alga filamen seperti chaetomorpha, Lyngbya dan Symploca (Atmadja dan Sulistijo, 1977).
2.10 Letak geografis lokasi penelitian Kepulauan Buton terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi dan jika di tinjau dari peta Propinsi Tenggara, secara geografis Kepulauan Buton memanjang dari Utara ke Selatan diantara 4,00’ - 6,05’ LS dan membentang dari Barat ke Timur adalah 120,03’ – 125,00’ BT yang meliputi pulau Buton, Muna dan Wakatobi. Adapun batas-batas wilayahnya, di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe Selatan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, di sebelah Timur berbatasan dengan laut Banda dan di sebelah Barat berbatasan dengan Teluk Bone. Secara topografi kepulauan Buton pada umumnya memiliki permukaan yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit. Kelembaban udara relatif konstan, berkisar antara 81-85%, sementara suhu udara rata-rata terendah adalah 220C dan rata-rata tertinggi mencapai 310C (BPS Buton, 2003).
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan dari tanggal 15 Mei – 26 Juni 2008 selama 42 hari di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara dengan posisi 05027’24,5’’LS dan 122036’43,5’’BT dengan jarak 75 meter dari garis pantai dimana lokasi ini merupakan ekosistem rumput laut yang cukup luas, yang dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat dan lokasinya berjarak kurang lebih 4 Km dari pemukiman penduduk. Berikut disajikan peta daerah penelitian :
Gambar 2. Lokasi penelitian budidaya rumput laut Eucheuma cattonii dengan metode rakit apung.
Pemilihan lokasi didasarkan pada potensi sumber daya perairan pesisir yang cukup besar, intensitas kegiatan budidaya dan lingkungan penduduk yang cukup, serta kebijakan pemerintah daerah yang cukup mendukung dalam pengembangan budidaya rumput laut secara berkelanjutan. Untuk analisis parameter lingkungan dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Menejemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 3.2 Bahan dan alat Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut jenis Eucheuma cattonii yang diperoleh dari hasil budidaya rumput laut di sekitar daerah penelitian (Pulau Mawasangka). Sedangkan alat-alat yang diperlukan
untuk membantu pelaksanaan penelitian adalah neraca pegas 2 kg dengan ketelitian 0,1gr untuk mengukur bobot basah rumput laut, meteran untuk menyamakan jarak tanam yang digunakan (30cm), perahu sebagai sarana transportasi menuju lokasi rakit apug dan mempermudah dalam pengamatan alga penempel atau predator, kamera digital untuk dokumentasi dan alat-alat pengukur parameter fisika kimia seperti tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Parameter lingkungan perairan yang diukur No Fisika 1 2
Parameter Suhu Posisi
Satuan
Metoda/alat
Keterangan
(0C)
Termometer GPS (Global Positioning System) Alat pengukur panjang Floating droudge, Stopwatch dan Kompas
in situ
Secchi disk
in situ
Data peramalan pasang surut Tiap 4 jam visual 5 tahun terakhir
Dishidros TNI-AL visual in situ BMG
3
Kedalaman
4
Kecepatan dan arah arus
5 6
Kecerahan (08.00, 12.00, 16.00) Pasang surut
7 8 9
Cuaca Substrat dasar Curah hujan
m m/det m m mm
in situ in situ in situ
Kimia 1 2 3 4 4 5 Biologi 1 2
Salinitas Oksigen terlarut Nitrat Nitrit Orthophosfat pH Biota Pengganggu Laju pertumbuhan (Berat thallus)
0
/00 mg/l mg/l mg/l mg/l -
Hand-Refraktometer Titrasi Winkler Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik Kertas lakmus
in situ in situ laboratorium laboratorium laboratorium in situ
Ind/m2
Disekitar lokasi Neraca pegas 2 kg ketelitian 0,1 gr
visual
gr
in situ
Disamping alat dan bahan, yang dipakai untuk pertumbuhan wadah penelitian adalah tali ris dari bahan nilon (Polyethylene) yang disimpulkan pada tali rafia sebagai tempat untuk mengikat bibit rumput laut, bambu 4 buah dengan panjang + 3 meter sebagai tempat untuk mengikat tali ris, jangkar 4 buah yang diletakkan pada masing-masing ujung rakit apung sebagai jangkar agar rakit apung tidak berpindah tempat, pisau untuk membagi rumput laut jadi tiga bagian utama yaitu ujung, tengah dan pangkal thallus masing-masing pada bobot bibit yag berbeda 50gr, 100gr dan 150gr), botol sampel (1 liter) sebagai tempat penyimpanan botol sampel air sementara, kemudian dimasukkan ke freezer.
3.3 Metode penelitian 3.3.1 Penentuan lokasi stasiun pengamatan Penentuan lokasi umumnya berdasarkan bahwa daerahtersebut merupakan pusat budidaya rumput laut yang telah dilakukan sejak dulu oleh masyarakat setempat. Adapun lokasi yang ditetapkan diusahakan merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup besar. Dimana berdasarkan gerakan arus apakah posisi tersebut berarus tenang atau deras, selain itu apakah pada daerah lagoon, tempat terbuka atau pada teluk. Hal-hal ini akan menunjang
hasil penelitian yang diperoleh terhadap pengaruh parameter-parameter perairan yang diukur.
3.3.2 Metode budidaya Dalam penelitian ini digunakan metode penanaman yaitu metode rakit apung. Metode ini adalah cara penanaman yang dilakukan pada permukaan air dan terapung sehingga mengikuti naik turunnya permukaan air. Metode ini diambil berdasarkan dari keputusan Direktorat Jenderal Perikanan (2004) yang menyatakan bahwa metode yang paling baik digunakan diantara ketiga metode yaitu metode rakit apung, selain itu berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa metode rakit apung lebih baik dibandingkan dengan metode lepas dasar. Bibit yang akan digunakan ditimbang dengan bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) dengan jarak tanam yang sama (30 cm). Satu-satunya teknik penanaman yang dikenal dalam budidaya rumput laut selama ini adalah secara fragmentasi. Thallus dipotong-potong dengan menggunakan pisau dari bagian ujung, tengah dan pangkal. Dasar penggunaan bibit dari ujung, tengah dan pangkal (asal thallus) didasari pada hasil laju pertumbuhan yang akan diperoleh saat panen dan juga untuk mengetahui thallus bagian mana yang paling baik untuk dijadikan bibit dalam pembudidayaan rumput laut, begitu pula dengan bobot bibit karena pada umumnya masyarakat kurang mengerti mengenai asal thallus dan bobot bibit yang digunakan. Selanjutnya masing-masing rakit apung diikat bibit basah yang dilakukan di darat pada rakit yang telah dibuat. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Pada rakit yang telah dibuat, dipasang kurang lebih 9 buah tali ris (3 tali ris untuk tanaman uji) dengan jarak tiap tali ris disesuaikan dengan jarak tanam yang digunakan pada tali ris tersebut dengan masing-masing panjang tali ris sekitar 3 meter. Lalu pada rakit apung dipasang bibit rumput laut dengan bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dan asal thallus (ujung, tengah, pangkal) yang telah ditentukan tiap tali risnya. (Gambar 3). b. Benih rumput laut diikat pada tali nilon yang telah disimpulkan pada tali ris dengan jarak antara simpul sama (30 cm) dengan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) terhadap bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr). c. Jarak antara tali ris yang satu dengan tali ris yang lain disesuaikan dengan perlakuan jarak tanam yang digunakan, artinya jika jarak tanam yang digunakan 30 cm, maka jarak antara tali risnya sekitar 50 cm. d. Pada tanaman yang akan diteliti diberi tali rafia yang berbeda warna (penanda) untuk jarak tanam, asal thallus dan bobot bibit untuk memudahkan dalam mencari saat melakukan pengukuran bobot. e. Setiap minggu kondisi tanaman dipantau dan dibersihkan dari sampah serta diamati biota pengganggunya lalu diidentifikasi.
Keterangan : : Pemberat dari semen X : Pelampung (botol aqua) : Tali ris : Bambu : Ujung thallus : Tengah thallus : Pangkal thallus Gambar 3. Desain rakit apung dengan perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) terhadap bobot bibit (50gr, 100gr dan 150gr) dengan jarak tanam 30 cm (tampak atas).
3.3.3 Teknik Pengamatan a. Tanaman uji yang telah ditentukan ditimbang setiap minggu sekali untuk dipantau pertambahan laju pertumbuhannya, yang dicatat pertambahan berat thallus sampai minggu ketujuh.
b. Sampel rumput laut disetiap tali ris ditimbang secara berurutan dengan cara membuka ikatan tali ris satu persatu. Sebelum rumput laut ditimbang, direndam terlebih dahulu dalam air laut untuk menghindari kekeringan. c. Selama masa penanaman, rumput laut tidak diberi perlakuan apapun termasuk dibersihkan dari kotoran yang menempel. Tujuannya adalah supaya hasil pertumbuhan rumput laut murni dipengaruhi oleh keadaan oseanografi lingkungan, tanpa campur tangan manusia. d. Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara bersamaan setiap minggu pada saat pengukuran pertumbuhan bobot basah thallus rumput laut. e. Pengukuran pada lokasi penelitian dilakukan tiap hari Kamis (Lampiran 1). Adapun waktu pengambilan data dilakukan pada tiga waktu yaitu waktu ke-1 pada pagi hari pukul 08.00, waktu ke-2 pada siang hari pukul 12.00 dan waktu ke-3 pada sore hari pukul 16.00, untuk mewaliki data harian yang diambil. Parameter fisika seperti suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan dan arah arus, gelombang, pasang surut, posisi, cuaca dan substrat dasar diukur secara langsung di lokasi penelitian (in situ). Pengukuran suhu permukaan air diukur dengan menggunakan termometer analog yang dicelupkan sekitar ½ m dari permukaan air dengan tiga kali ulangan tiap satu waktu. Pengukuran kedalaman diukur dengan menggunakan alat pengukur panjang, dan dilakukan sebelum peletakan rakit apung dengan menggunakan alat pengukur panjang. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan floating droudge dengan prinsip membandingkan jarak yang ditempuh dengan lamanya pergerakan floating droudge adapun prosedurnya dengan dilepas ke permukaan air dan dicatat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jarak 5 meter dari posisi awal, setelah itu
tentukan arah arus dengan menggunakan kompas. Kecerahan perairan diukur dengan menggunakan secchi disk, yaitu dengan mencatat pada kedalaman berapa secchi disk mulai tidak tampak dari permukaan (D1) dan pada kedalaman berapa secchi disk terlihat lagi dipermukaan (D2), kemudian nilai kecerahan merupakan rata-rata dari hasil yang didapatkan. Pasang surut dengan menggunakan data peramalan pasang surut yang diperoleh dari DISHIDROS TNI-AL. Substrat dasar dilakukan dengan metode visual yaitu pengamatan langsung. Posisi diambil dengan menggunakan GPS (Global Positioning System) tiap titik lokasi. Cuaca diamati tiap minggu dalam selang waktu 4 jam sekali untuk mewakili wktu pagi, siang dan sore, apakah keadaan cuaca pada selang waktu tersebut secara umum dalam keadaan cerah, mendung atau hujan, dan curah hujan dengan menggunakan data 5 tahun terakhir dari Badan Meteorologi Kelautan (BMG). Parameter kimia seperti salinitas, oksigen terlarut dan pH diukur secara langsung di lokasi penelitian (in situ). Pengukuran salinitas perairan diukur dengan menggunakan Hand-Refraktometer dengan menggunakan sampel air laut yang ada di permukaan dengan tiga kali ulangan masing-masing waktu. Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan metode Titrasi Winkler dengan menggunakan sampel air permukaan pada stasiun pengamatan, tiap minggu sekali. Pengukuran ortofosfat, nitrat dan nitrit dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Manajemen Sumberdaya Perairan dengan menggunakan metode spektrofotometrik. Sampel air yang diambil adalah pada permukaan perairan pada stasiun pengamatan . Data parameter lingkungan yang diperoleh akan dibandingkan dengan standar baku mutu untuk kesesuaian lokasi perairan
budidaya rumput laut, dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kesesuaian kedua tempat untuk digunakan sebagai lokasi budidaya rumput laut Eucheuma cattonii. Parameter biologi yang diukur dalam penelitian ini adalah pertambahan bobot thallus rumput laut tiap minggu dan melihat secara visual predator dan alga kompetitor lain dalam lokasi budidaya. Pengukuran ini bertujuan untuk melihat tekanan ekologis terhadap rumput laut dilihat dari faktor biologi, yang kemudian akan dilihat dari dampak yang ditimbulkan terhadap laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Pengukuran bobot rumput laut dilakukan tiap pengamatan dengan menggunakan neraca pegas 2 kg dengan ketelitian 0,1 gr.
3.4 Analisis data 3.4.1 Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut dihitung dengan menggunakan rumus perhitungan laju pertumbuhan spesifik sebagai berikut (Dawes et al., 1994 in Munoz et al., 2004) :
DGR
Keterangan ; DGR Wt Wo t
ln(
Wt ).100 Wo t
: Daily Growth Rate / laju pertumbuhan (% berat/hari) : bobot pada waktu t hari (gram) : bobot awal pada 0 hari (gram) : lama penanaman (hari)
Laju pertumbuhan ini dihitung sebagai parameter utama apakah masingmasing perlakuan berbeda dan apakah berpengaruh nyata terhadap kondisi rumput laut yang ditanam, yang berupa laju pertumbuhannya.
3.4.2 Analisis statistik
Dalam pengujian data untuk melihat apakah terdapat perbedaan laju pertumbuhan rumput laut di kedua lokasi menggunakan softward Minitab 14 (Iriawan dan Septian, 2006). Adapun rinciannya untuk pertumbuhan bobot basah rata-rata dianalisis dengan One-Way ANOVA sampai Fisher’s Test, dimana huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antarperlakuan. Untuk pengaruh asal thallus dan bobot bibit terhadap lama hidup dianalisis dengan Analisis Desain Faktorial (Steel dan Torrie, 1989) yang terdiri dari dua faktor utama yaitu asal thallus dan bobot bibit. Dimana faktor pertama terdiri dari 3 taraf dan faktor kedua terdiri dari 3 taraf sebagai berikut : -
faktor asal thallus (T), terdiri atas 3 taraf : A1 (ujung thallus), A2 (tengah thallus), A3 (pangkal thallus).
-
faktor bobot thallus (B), terdiri atas 3 taraf : B1 (50gr), B2 (100gr), B3 (150gr). Dari faktor pertama dan kedua yang masing-masing terdiri dari 3 taraf
setelah dikombinasikan maka tampilannya sebagai berikut : A1B1
A2B1
A3B1
A1B2
A2B2
A3B2
A1B3
A2B3
A3B3
Hipotesis ini untuk menguji hipotesis adanya pengaruh asal thallus dan bobot bibit terhadap pertumbuhan bobot basah. Adapun model yang digunakan adalah : Yijk = +Ai+Bj+ABij+
ijk
Dimana : Yijk
: laju pertumbuhan rumput laut ke-k yang dihasilkan dari asal thallus ke-i dan bobot bibit thallus
Ai Bj ABij ijk
: pengaruh rata-rata : pengaruh asal thallus ke-i : pengaruh bobot bibit thallus ke-j : pengaruh interaksi asal thallus ke-i dan bobot bibit thallus ke-j : pengaruh sisa
Untuk parameter lingkungan dibuat grafik time series plot pada minitab 14, terkecuali pasang surut diolah dengan metode admiralty.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pertumbuhan a. Pertumbuhan pada bibit basah dengan perlakuan bobot bibit (50gr, 100gr dan 150 gr). Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut yang dilakukuan selama 7 minggu pada perlakuan bobot bibit terhadap asal thallus yang berbeda umumnya
meningkat dan mencapai puncak pertumbuhan bobot basah pada minggu ke-6. Kecenderungan pola pertumbuhan ini terjadi pada rumput laut yang mempunyai bobot awal 50 gr, 100gr maupun 150 gr. Namun demikian pada rumput laut dengan asal thallus ujung yang memperlihatkan puncak bobot yang lebih jelas dibandingkan dua asal thallus yang lainnya. Rumput laut asal ujung thallus pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada asal tengah thallus dan pangkal, sedangkan asal tengah thallus cenderung lebih baik dari pada asal pangkal thallus.
50 gr 225
Bobot Basah (gr)
200 175 150 Variable Ujung Tengah Pangk al
125 100 75 50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar.4 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 50gr terhadap asal thallus yang berbeda.
Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut (Eucheuma cattonii) bobot bibit awal 50gr selama 7 minggu yang menunjukkan peningkatan dari minggu ke1 sampai ke-7, dimana ketiga asal thallus baik ujung, tengah maupun pangkal mengalami peningkatan yang hampir sama pada minggu ke-6. Pertumbuhan bobot bibit basah dari minngu ke-1 sampai minggu ke-7 relatif sama antara ketiga asal thallus, masing-masing mengalami peningkatan sampai proses pemanenan, perbedaannya terjadi dimana pada minggu ke-4 asal ujung thallus mengalami
peningkatan yang signifikan dibandingkan kedua asal thallus yang lain (tengah dan pangkal). Setelah minggu ke-6 sampai ke-7, bobot basah rumput laut yang berasal dari ujung thallus tampak jauh lebih besar dari pada bobot basah asal thallus yang lain. Laju pertumbuhan tertinggi relatif sama antara ketiga asal thallus yaitu terjadi pada minggu ke-6. Adapun bobot basah tertinggi dicapai pada minggu ke-7 yaitu 215gr, 180gr dan 170gr masing-masing berasal dari bagian ujung, tengah dan pangkal thallus rumput laut.
100gr 300
Bobot Bibit (gr)
250
Variable Ujung Tengah Pangk al
200
150
100 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar.5 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 100gr terhadap asal thallus yang berbeda.
Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii bobot bibit 100gr selama 7 minggu menunjukkan peningkatan dari minggu ke-1 sampai ke-7 yang terjadi pada asal ujung thallus dan tengah thallus, sedangkan untuk pangkal thallus hanya sampai pada minggu ke-5, selanjutnya pada minggu ke-6 sampai ke-7 mengalami penurunan berat (Gambar 5). Perbedaan pertumbuhannya terjadi dimana pada minggu ke-4 laju pertumbuhan pangkal thallus meningkat, sedangkan pada asal ujung thallus dan tengah mengalami peningkatan yang
signifikan nanti pada minggu ke-6 (berbanding terbalik dengan pangkal thallus yang justru menurun). Setelah minggu ke-5 sampai ke-7 bobot basah rumput laut yang berasal dari ujung thallus tampak jauh lebih besar dari pada bobot basah asal thallus yang lain. Dimana ujung dan tengah thallus hanya mengalami peningkatan sampai minggu ke-7 sedangkan pangkal thallus yang mulai turun sejak minggu ke-6 sampai ke-7. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi di minggu ke6 pada bibit asal ujung thallus dan tengah thallus. Adapun untuk bobot basah tertinggi adalah 275gr, 245gr dan 170gr masing-masing berasal dari bagian ujung thallus pada minggu ke-7, tengah pada minggu ke-7 dan pangkal thallus pada minggu ke-5.
150gr 350
Bobot Bibit (gr)
300
Variable Ujung Tengah Pangk al
250
200
150 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar. 6 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 150gr terhadap asal thallus yang berbeda. Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii bobot bibit 150gr selama 7 minggu menunjukkan peningkatan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-6 yang terjadi pada ujung dan tengah thallus. Sedangkan untuk pangkal thallus sama halnya dengan bobot bibit pada 100gr yang hanya
sampai minggu ke-5 kemudian turun dari minggu ke-6 sampai minggu ke-7 (Gambar 6). Perbedaan pertumbuhannya terjadi dimana pada minggu ke-4 sampai ke-7 asal ujung thallus mengalami peningkatan yang drastis dibandingkan tengah thallus dan pangkal thallus, sedangkan tengah thallus nanti pada minggu ke-6 dan pangkal thallus pada minggu ke-5 mengalami peningkatan drastis. Setelah minggu ke-6 sampai minggu ke-7 bobot basah rumput laut yang berasal dari ujung thallus jauh lebih besar dari pada bobot basah asal thallus yang lain. Dimana tengah thallus hanya mengalami peningkatan sampai minggu ke-6 dan pangkal thallus yang telah mengalami penurunan sejak minggu ke-6 sampai ke-7. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada minggu ke-7 untuk bibit asal ujung thallus, sedangkan pada asal thallus bagian tengah dan pangkal mengalami laju pertumbuhan tertinggi pada minggu ke-6 dan minggu ke-5. bobot basah tertinggi adalah 325gr, 260gr dan 220gr masing-masing berasal dari bagian ujung, tengah dan pangkal thallus.
b. Pertumbuhan bobot basah dengan perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii yang dilakukan selama 7 minggu pada perlakuan asal thallus terhadap bobot bibit awal yang berbeda (50gr, 100gr dan 150gr) umumnya meningkat dan mencapai bobot basah pada minggu ke-6. Kecenderungan pola ini berbeda-beda, dimana pada asal ujung thallus yang pertumbuhannya terus meningkat mulai minggu ke-1 sampai minggu ke-7 untuk semua bobot bibit. Pada asal tengah thallus pertumbuhannya juga relatif meningkat pada bobot bibit 50gr dan 100gr, pada asal pangkal thallus
pertumbuhannya relatif menurun dari minggu ke-6 sampai minggu ke-7 (pada bobot bibit 100gr dan 150gr), Secara umum dilihat dari bobot awal sampai minggu ke-7 pertumbuhan untuk bobot bibit yang baik yaitu pada perlakuan asal ujung thallus dengan bobot bibit 100gr dan 150gr yang lebih baik jika dibandingkan dengan bobot bibit 50gr. Terlihat dari selisih akhir antara bobot awal dan panen yaitu 175gr untuk bobot bibit 100gr dan 150gr, sedangkan bobot bibit 50gr hanya 165gr. Untuk perlakuan asal tengah thallus dengan bobot bibit 100gr dan 50gr yang lebih baik jika dibandingkan dengan bobot bibit 150gr. Terlihat dari selisih akhir antara bobot awal dan panen yaitu 140gr untuk bobot bibit 100gr, 130gr untuk bobot bibit 50gr, sedangkan bobot bibit 150gr hanya 100gr. Untuk perlakuan asal pangkal thallus dengan bobot bibit 50gr yang lebih baik jika dibandingkan dengan bobot bibit 100gr dan 150gr. Terlihat dari selisih akhir antara bobot awal dan panen yaitu 115gr untuk bobot bibit 50gr, sedangkan bobot bibit 100gr dan 150gr hanya 60gr.
Ujung 350
Bobot Bibit (gr)
300 250 Variable 50gr 100gr 150gr
200 150 100 50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar. 7 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan asal ujung thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii asal ujung thallus menunjukkan peningkatan dari minggu ke-1 sampai ke-7 baik bobot bibit 50gr, 100gr maupun 150gr. Laju pertumbuhan tertinggi terjadi sama pada minggu ke-6 pada ketiga bobot bibit. Bobot basah tertinggi masing-masing terjadi pada minggu ke-7 adalah 325gr, 275gr dan 215 masing-masing berasal dari bobot 150gr, 100gr dan 50gr (Gambar 7).
Tengah
Bobot Basah (gr)
250
200 Variable 50gr 100gr 150gr
150
100
50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar. 8 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan asal tengah thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii asal tengah thallus menunjukkan peningkatan dari minggu ke-1 sampai ke-7 (untuk bobot 50gr dan 100gr) sedangkan untuk bobot bibit 150gr hanya sampai minggu ke-6 yang selanjutnya mengalami penurunan berat pada minggu ke-7. Pertumbuhannya hampir sama mengalami peningkatan yang signifikan pada minggu ke-6. Namun dari ketiga bobot bibit awal menunjukan laju pertumbuhan
tertinggi dicapai pada bobot bibit 100gr. Bobot basah tertinggi adalah 260gr pada perlakuan bobot bibit 150gr yang terjadi di minggu ke-6, 245gr pada bobot bibit 100gr yang terjadi pada minggu ke-7, dan 180gr pada bobot bibit 50gr terjadi pada minggu ke-7 (Gambar 8).
Pangkal 225 200
Bobot Bibit (gr)
175 150
Variable 50gr 100gr 150gr
125 100 75 50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar. 9 Pertumbuhan bobot basah (gr) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan asal pangkal thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pertumbuhan bobot basah rata-rata rumput laut Eucheuma cattonii asal pangkal thallus menunjukkan peningkatan dari minggu ke-1 sampai minggu ke-7 untuk bobot bibit 50gr, untuk 100gr dan 150gr peningkatannya hanya dari minggu ke-1 sampai minggu ke-5 selanjutnya pada minggu ke-6 sampai minggu ke-7 mengalami penurunan berat (Gambar 9). Laju pertumbuhan tertinggi dari ketiga bobot bibit dicapai pada bobot bibit 50gr yang terjadi pada minggu ke-6. bobot basah tertinggi adalah 220gr pada perlakuan bobot bibit 150gr yang terjadi pada minggu ke-5, 170gr pada perlakuan bobot bibit 100gr yang juga terjadi pada
minggu ke-5, dan 170gr pada perlakuan bobot bibit 50gr yang terjadi pada minggu ke-7.
4.2 Laju pertumbuhan harian Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii pada perlakuan bobot bibit dapat dilihat pada Tabel 6. Terlihat bahwa rata-rata laju pertumbuhan harian pada bobot bibit 50gr (3,12%), lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan harian pada bobot bibit 100gr (1,84%), dan bobot bibit 100gr lebih baik dari pada bobot bibit 150gr (1,29%). Tabel. 6 Laju pertumbuhan harian (%) pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit Perlakuan Hari ke- U-50gr U-100gr U-150gr T-50gr T-100gr T-150gr P-50gr P-100gr P-150gr 7 1,36 1,79 2,60 1,36 0,92 2,60 1,36 0,47 5,79* 14 5,47 2,39 1,83 1,68 3,19 1,24 1,32 3,02 5,79* 21 3,45 2,04 2,49 1,51 1,51 3,38 2,20 1,96 3,53* 28 1,91 3,38* 0,56 2,60 1,68 1,68 2,73 2,77 1,72 35 3,19 2,51 4,98* 3,50 -0,43 -0,33 3,92 2,07 4,26 42 1,03 1,36* 0,68 0,82 0,61 -0,56 0,89 -0,44 -0,34 Jumlah 20,84 14,45 11,05 18,30 11,90 7,30 17,06 6,71 4,81 Rerata 3,47 2,41 1,84 3,05 2,08 1,22 2,84 1,12 0,80 Keterangan : U=ujung, T=tengah, P=pangkal Cetak tebal menunjukkan laju pertumbuhan harian terbasar dari masing-masing perlakuan. * : Laju pertumbuhan harian tertinggi tiap minggu.
Pada hari ke-7 terlihat bahwa pada perlakuan asal ujung thallus dengan bobot bibit 50gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (5,79%) dan terendah (0,47%) pada perlakuan asal pangkal thallus dengan bobot bibit 150gr. Pada hari ke-14 terlihat bahwa pada perlakuan asal ujung thallus dengan bobot bibit 50gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (5,79%) dan terendah (1,24%) pada perlakuan asal pangkal thallus dengan bobot bibit 100gr. Pada hari ke-21 terlihat bahwa pada perlakuan asal tengah thallus dengan bobot bibit 100gr memiliki laju
pertumbuhan tertinggi (3,53%) dan terendah (1,51%) pada perlakuan asal tengah thallus dengan bobot bibit 50gr dan 150gr. Pada hari ke-28 terlihat bahwa pada perlakuan asal ujung thallus dengan bobot bibit 100gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (3,38%) dan terendah (0,56%) pada perlakuan asal ujungthallus dengan bobot bibit 150gr. Pada hari ke-35 terlihat bahwa pada perlakuan asal tengah thallus dengan bobot bibit 50gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (4,98%) dan terendah (-0,33%) pada perlakuan asal pangkal thallus dengan bobot bibit 150gr. Pada hari ke-42 terlihat bahwa pada perlakuan asal ujung thallus dengan bobot bibit 100gr memiliki laju pertumbuhan tertinggi (1,36%) dan terendah (-0,34%) pada perlakuan asal pangkal thallus dengan bobot bibit 150gr. Adapun untuk laju pertumbuhan harian (%), dibagi menjadi 3 fase, dimana fase I (masa tanam 7-14 hari), fase II (masa tanam 21-28 hari) dan fase III (masa tanam 35-42 hari). Perlakuan ini dilakukan untuk membedakan laju pada awal, tengah dan akhir dari laju pertumbuhan harian dari tanaman uji sehingga dapat jelas terlihat pada hari ke berapa suatu rumput laut tumbuh subur baik dengan perlakuan bobot bibit maupun asal thallus.
50gr 6
Laju Pertumbuhan (%)
5
4 Variable Ujung Tengah Pangk al
3
2
1 7
14
21
28 Hari Ke-
35
42
Gambar.10 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 50gr terhadap asal thallus yang berbeda.
Pada perlakuan bobot bibit 50gr terhadap asal thallus yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada asal ujung thallus memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 3,47%, selanjutnya 3,05% untuk asal tengah thallus dan terendah pada asal pangkal thallus sebesar 2,84% (Gambar 10). Pada bobot bibit 50gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada ujung thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase I (hari ke-7) sebesar 5,79 % dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 1,03%. Pada fase I (hari ke-7) ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya maksimum, hal ini diduga karena pada waktu tersebut Eucheuma cattonii cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara pada saat awal tanam masih cukup banyak yang ditandai tingginya kadar nutrien air laut sehingga dapat menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan, jika dikaitkan dengan parameter lingkungan terlihat bahwa pada fase ini kecepatan arus relatif tinggi serta kondisi cuaca yang dominan cerah. Sebaliknya pada fase II dan III relatif tidak menentu (turun pada hari ke-28, naik lagi pada hari ke-35 dan kembali turun pada hari ke-42. Pada bobot bibit 50gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada tengah thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase I (hari ke-14) sebesar 5,79% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,82%. Pada fase I (hari ke-14) ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya maksimum, hal ini diduga karena pada waktu tersebut Eucheuma cattonii cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara pada
saat awal tanam masih cukup banyak yang ditandai tingginya kadar nutrien air laut sehingga dapat menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan, jika dikaitkan dengan parameter lingkungan terlihat bahwa pada fase ini kecepatan arus relatif tinggi serta kondisi cuaca yang dominan cerah. Sebaliknya pada fase II terjadi penurunan drastis hal ini diduga karena pada tahap ini kadar nutriennya kecil, kadar oksigen terlarut menurun dan juga terjadi hujan, dan pada fase III relatif tidak menentu, meningkat pada hari ke-35 sebesar 4,98% Dan turun drastis pada hari ke-42, hal ini diduga karena pada hari ke-35 laju pertumbuhannya maksimal, dan hari ke-42 telah menurun karena telah masuk waktu panen. Pada bobot bibit 50gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada pangkal thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase IV (hari ke-35) sebesar 4,26% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,89%. Pada fase I sampai awal fase II (hari ke21) pada pangkal thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat, hal ini diduga karena pada waktu tersebut Eucheuma cattonii cepat beradaptasi dengan perairan, unsur hara pada saat awal tanam masih cukup banyak yang ditandai tingginya kadar nutrien air laut sehingga dapat menunjang laju pertumbuhan rumput laut yang dibudidayakan. Jika dikaitkan dengan parameter lingkungan terlihat bahwa pada fase ini kecepatan arus relatif tinggi serta kondisi cuaca yang dominan cerah, namun akhir fase II (hari ke-28) terjadi penurunan, dan meningkat sampai taraf maksimum pada awal fase III (hari ke-35) tingkat pertumbuhannya maksimal, namun pada akhir fase III terjadi penurunan drastis, hal ini diduga karena rumput laut telah mencapai waktu panen atau dengan
kata lain tidak akan bertambah lagi laju pertumbuhannya selain itu pula semakin meningkatnya alga penempel yang justru akan menghambat pertumbuhan dan akan menimbulkan penyakit ice ice pada rumput laut yang dibudidayakan.
100gr
Laju pertumbuhan (%)
4
3
Variable Ujung Tengah Pangk al
2
1
0
7
14
21
28
35
42
Hari Ke-
Gambar. 11 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 100gr terhadap asal thallus yang berbeda.
Pada perlakuan bobot bibit 100gr terhadap asal thallus yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada asal ujung thallus memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 2,41%, selanjutnya 2,08% untuk asal tengah thallus dan terendah pada asal pangkal thallus sebesar 1,12% (Gambar 11). Pada bobot bibit 100gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada ujung thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase III (hari ke-35) sebesar 3,92 % dan terkecil juga pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 1,36%. Pada fase I (hari ke-7) ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan semakin meningkat sampai pada hari ke-35 dan menurun pada hari ke-42.
Pada bobot bibit 100gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada tengah thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-21) sebesar 3,53% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,61%. Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai pada awal fase II (hari ke-21), lalu menurun pada akhir fase II (hari ke-28), selanjutnya meningkat lagi pada awal fase III (hari ke-35), dan terjadi penurunan kembali pada akhir fase III (hari ke-42). Pada bobot bibit 100gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada pangkal thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-28) sebesar 2,77% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang mengalami penurunan drastis bobot bibit sampai bernilai -0,44%. Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai akhir fase II (hari ke-28) yang menjadi pertumbuhan maksimal dari asal pangkal thallus, selanjutnya terjadi penurunan drastis sampai bernilai -0,44% pada akhir fase III (hari ke-42).
150gr
Laju pertumbuhan (%)
3
2 Variable Ujung tengah Pangk al
1
0
-1 7
14
21
28 Hari Ke-
35
42
Gambar. 12 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan bobot bibit 150gr terhadap asal thallus yang berbeda.
Pada perlakuan bobot bibit 150gr terhadap asal thallus yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada asal ujung thallus memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 1,84%, selanjutnya 1,22% untuk asal tengah thallus dan terendah pada asal pangkal thallus sebesar 0,80% (Gambar 12). Pada bobot bibit 150gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada ujung thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase I (hari ke-14) sebesar 3,02 % dan terkecil juga pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,56%. Pada fase I sampai fase III ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan yang tidak menentu. Pada bobot bibit 150gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada tengah thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase III (hari ke-35) sebesar 2,07% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang mengalami penurunan drastis bobot bibit sampai bernilai
-
0,56%. Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai pada awal fase III (hari ke-35), lalu menurun drastis pada akhir fase III (hari ke-42). Pada bobot bibit 150gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada pangkal thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-21) sebesar 1,96% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang mengalami penurunan drastis bobot bibit sampai bernilai -0,34%. Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai akhir fase II (hari ke-28) selanjutnya terjadi penurunan drastis sampai bernilai
-0,34% pada akhir fase III (hari ke-42).
Ujung 6
Laju Pertumbuhan (%)
5 4 Variable 50gr 100gr 150gr
3 2 1 0 7
14
21
28
35
42
Hari Ke-
Gambar. 13 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan ujung thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pada perlakuan Asal ujung thallus terhadap bobot bibit yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 3,47%, selanjutnya 2,41% untuk bobot bibit 100gr dan terendah pada bobot bibit 150gr sebesar 0,80% (Gambar 13). Pada asal ujung thallus dengan perlakuan bobot bibit yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase I (hari ke-14) sebesar 5,79 % dan terkecil pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 1,03%. Pada fase I sampai fase III ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan yang tidak menentu. Pada asal ujung thallus dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 100gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase III (hari ke-35) sebesar 3,92 % dan terkecil juga pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 1,36%. Pada fase I (hari ke-7)
ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan semakin meningkat sampai pada hari ke-35 dan menurun pada hari ke-42. Pada asal ujung thallus dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 150gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase I (hari ke-14) sebesar 3,02 % dan terkecil juga pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,56%. Pada fase I sampai fase III ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan yang tidak menentu.
Tengah 6
laju Pertumbuhan (%)
5 4 3
Variable 50gr 100gr 150gr
2 1 0
7
14
21
28
35
42
Hari Ke-
Gambar. 14 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan tengah thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pada perlakuan Asal tengah thallus terhadap bobot bibit yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 3,05%, selanjutnya 2,08% untuk bobot bibit 100gr dan terendah pada bobot bibit 150gr sebesar 1,22% (Gambar 14). Pada asal tengah thallus dengan perlakuan bobot bibit yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-14) sebesar 5,79 % dan terkecil pada akhir fase
III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,82%. Pada fase I sampai fase III ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan yang tidak menentu. Pada tengah thallus dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 100gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-21) sebesar 3,53% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,61%. Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai pada awal fase II (hari ke-21), lalu menurun pada akhir fase II (hari ke-28), selanjutnya meningkat lagi pada awal fase III (hari ke-35), dan terjadi penurunan kembali pada akhir fase III (hari ke-42).
Pangkal
Laju Pertumbuhan (%)
4
3
Variable 50gr 100gr 150gr
2
1
0
7
14
21
28
35
42
Hari Ke-
Gambar.15 Laju pertumbuhan harian (%) rumput laut Eucheuma cattonii perlakuan pangkal thallus terhadap bobot bibit yang berbeda.
Pada perlakuan Asal pangkal thallus terhadap bobot bibit yang berbeda secara umum terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr memiliki rata-rata laju pertumbuhan harian tertinggi sebesar 2,84%, selanjutnya 1,12% untuk bobot bibit 100gr dan terendah pada bobot bibit 150gr sebesar 0,80% (Gambar 15).
Pada asal pangkal thallus dengan perlakuan bobot bibit yang berbeda-beda terlihat bahwa pada bobot bibit 50gr, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam awal fase III(hari ke-35) sebesar 4,26% dan terkecil juga pada akhir fase III (hari ke-42) yang hanya sebesar 0,89%. Pada fase I sampai fase III ujung thallus terlihat bahwa laju pertumbuhan yang tidak menentu. Pada bobot bibit 100gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada pangkal thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-28) sebesar 2,77% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang mengalami penurunan drastis bobot bibit sampai bernilai
-0,44%.
Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai akhir fase II (hari ke-28) yang menjadi pertumbuhan maksimal dari asal pangkal thallus, selanjutnya terjadi penurunan drastis sampai bernilai
-0,44% pada
akhir fase III (hari ke-42). Pada bobot bibit 150gr dengan perlakuan asal thallus yang berbeda-beda terlihat bahwa pada pangkal thallus, laju pertumbuhan hariannya terbesar terjadi pada masa tanam fase II (hari ke-21) sebesar 1,96% dan terkecil pada fase III (hari ke-42) yang mengalami penurunan drastis bobot bibit sampai bernilai
-0,34%.
Pada fase I terlihat bahwa laju pertumbuhan hariannya semakin meningkat sampai akhir fase II (hari ke-28) selanjutnya terjadi penurunan drastis sampai bernilai – 0,34% pada akhir fase III (hari ke-42).
4.3 Pengaruh dan penentuan perlakuan yang baik untuk bibit rumput laut Tabel 6 menunjukkan bobot bibit yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata (semua perlakuan sama) terhadap pertumbuhan bobot basah baik pada bobot 50gr, 100gr maupun 150gr. Sedangkan asal thallus yang berbeda
memberikan pengaruh yang nyata (ada perlakuan tidak sama) terhadap pertumbuhan bobot basah rumput laut, baik berasal dari ujung, tengah maupun pangkal thallus, dengan kata lain untuk penentuan bibit perlu diperhatikan asal thallus dari pada bobot bibit dari rumput laut itu sendiri. Jadi dapat diasumsikan dengan menggunakan perlakuan asal thallus yang berbeda maka akan berdampak pada pertumbuhannya. Tabel. 6 Pertumbuhan bobot basah rata-rata (gr) rumput laut Eucheuma cattonii pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit (selama 7 minggu). Bobot bibit Perlakuan
50gr Ujung a
100gr
Tengah
Pangkal
a
a
Ujung a
150gr
Tengah
Pangkal
a
a
Ujung
Tengah
a
a
Pangkal a
Asal thallus
135,71
110,00
102,14
172,14
137,86
164,29
187,86
203,57
239,29
Selisih (gr)
85,71
60,00
52,14
72,14
37,86
64,29
37,86
53,57
89,29
Asal thallus Perlakuan
Ujung 50gr
100gr a
Tengah 150gr
b
50gr a
Pangkal
100gr a
150gr b
50gr a
100gr a
Bobot 110,00 203,57 164,29 110,00 164,29 203,57 102,14 137,86 bibit Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris yang sama (perlakuan) menunjukkan adanya perbedaan antarperlakuan (P<0,05) berdsarkan uji Fisher’s Test.
Lebih rinci lagi pengaruh perlakuan asal dan bobot bibit dijelaskan sebagai berikut. Dengan asal thallus yang berbeda pada bobot bibit 50gr menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan asal ujung thallus dengan nilai 135,71gr dan terendah pada perlakuan asal pangkal thallus dengan nilai 102,14gr. Dengan asal thallus yang berbeda pada bobot bibit 100gr menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan asal ujung thallus dengan
150gr b
187,86
b
nilai 172,14gr dan terendah pada perlakuan asal pangkal thallus dengan nilai 137,86gr. Dengan asal thallus yang berbeda pada bobot bibit 150gr menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan asal pangkal thallus dengan nilai 239,29gr dan terendah pada perlakuan asal ujung thallus dengan nilai 187,86gr. Dengan bobot bibit yang berbeda pada asal ujung thallus menunjukkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan bobot bibit 100gr dengan nilai 203,57gr dan terendah pada perlakuan bobot bibit 50gr dengan nilai 110,00gr. Dengan bobot bibit yang berbeda pada asal tengah thallus menunjukkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan bobot bibit 150gr dengan nilai 203,57gr dan terendah pada perlakuan bobot bibit 50gr dengan nilai 110,00gr. Dengan bobot bibit yang berbeda pada asal pangkal thallus menunjukkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan bobot basah. Namun terlihat pertumbuhan rata-rata tertinggi dicapai pada perlakuan bobot bibit 150gr dengan nilai 187,86gr dan terendah pada perlakuan bobot bibit 50gr dengan nilai 102,14gr. Jadi secara keseluruhan perlakuan asal thallus lebih berpengaruh jika dibandingkan dengan perlakuan bobor bibit terhadap pertumbuhan rumput laut hal
ini ditandai pada perlakuan bobot bibit semua perlakuan sama (huruf a) berbeda dengan perlakuan asal thallus ada perlakuan yang tidak sama (huruf a dan b). Pada Tabel 6 juga dapat ditentukan mengenai perlakuan antara bobot bibit dan asal thallus yang cocok digunakan sebagai bibit awal dalam pembudidayaan rumput laut Eucheuma cattonii dengan melihat selisih terbesar. Semakin besar selisihnya maka perlakuan tersebut cocok digunakan untuk bibit awal. Adapun untuk perlakuan bobot awal dikategorikan menjadi tiga yaitu perlakuan sangat baik, baik dan tidak baik. Adapun untuk perlakuan yang termasuk kategori sangat baik yaitu ujung;50gr, ujung;100gr dan pangkal 150gr. Kategori baik yaitu tengah;50, pangkal;100gr dan tengah;150gr. Sedangkan kategori tidak baik yaitu pangkal;50gr, tengah;100gr dan ujung;150gr.
4.4 Pengaruh perbedaan asal thallus dan bobot bibit terhadap lama hidup Laju pertumbuhan rumput laut yang terdiri dari dua faktor yaitu asal thallus dan bobot bibit yang masing-masing memiliki tiga perlakuan, sehingga untuk mengetahi pengaruh dari kedua faktor tersebut terhadap lama hidup dari rumput laut Eucheuma cattonii digunakan Analisis Desain Faktorial (Lampiran 3) Pada hari ke-7 sampai ke-14 untuk uji pengaruh asal thallus terhadap waktu hidup rumput laut dikatakan bahwa seluruh perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) tidak ada pengaruh terhadap lama hidup dari rumput laut tersebut dengan kata lain tidak ada perbedaan yang signifikan antara asal thallus terhadap lama hidup dari rumput laut (Lampiran 3A). Untuk uji pengaruh bobot bibit terhadap waktu hidup dari rumput laut terlihat bahwa bobot bibit sangat berpengaruh terhadap lama hidup dari suatu rumput laut dengan kata lain ada perbedaan antara ketiga perlakuan (50gr, 100gr dan 150 gr) terhadap lama hidup
dari rumput laut tersebut. Sedangkan untuk interaksi antara asal thallus dan bobot bibit terhadap waktu hidup tidak ada pengaruh yang cukup signifikan artinya dengan perlakuan asal thallus dan bobot bibit yang sama, maka pada minggu ke-7 sampai ke-14 diasumsikan bahwa tidak akan terjadi penurunan bobot basah dari seluruh perlakuan asal thallus terhadap bobot bibit rumput laut Eucheuma cattonii. Berbeda dengan hari ke-21 sampai hari ke-42 dimana untuk uji pengaruh asal thallus terhadap waktu hidup rumput laut dikatakan bahwa seluruh perlakuan asal thallus (ujung, tengah dan pangkal) ada pengaruh terhadap lama hidup dari rumput laut tersebut dengan kata lain ada perbedaan yang signifikan antara asal thallus terhadap lama hidup dari rumput laut (Lampiran 3B-3F). Untuk uji pengaruh bobot bibit terhadap waktu hidup dari rumput laut terlihat bahwa bobot bibit sangat berpengaruh terhadap lama hidup dari suatu rumput laut dengan kata lain ada perbedaan antara ketiga perlakuan (50gr, 100gr dan 150 gr) terhadap lama hidup dari rumput laut tersebut Sedangkan untuk interaksi antara asal thallus dan bobot bibit terhadap waktu hidup ada pengaruh yang cukup signifikan artinya dengan perlakuan asal thallus dan bobot bibit yang berbeda-beda menyebabkan waktu hidup yang berbeda-beda pula. Maka diasumsikan bahwa akan terjadi penurunan bobot basah dari seluruh perlakuan asal thallus terhadap bobot bibit rumput laut Eucheuma cattonii.
4.5 Kondisi lingkungan perairan Kehidupan rumput laut tidak terlepas dari pengaruh faktor dari luar. Gambaran tentang biofisik air laut penting diketahui karena dapat mempengaruhi
perkembangan rumput laut. Faktor luar yang mempengaruhi perkembangan rumput laut adalah faktor fisika, kimia dan biologi. Hasil pengukuran dan pemantauan kualits air dilokasi penelitian dirincikan pada Tabel 7 dan Lampiran 1.
Tabel 7. Rata-rata parameter Kualitas air di lokasi penelitian perairan Lakeba. Parameter Suhu Kec. arus Kecerahan Cuaca
Satuan 0 C cm/det m -
Salinitas Oksigen terlarut Nitrat Nitrit Ortho-fosfat pH Pasang surut Curah hujan
ppt mg/l mg/l mg/l mg/l cm mm
Nilai/jenis 27,72 9,84 5,64 dominan cerah 31,29 4,21 0.144 <0,001 0,034 7,5 semidiurnal Dominan ringan dan normal
Ideal 27-30 20-40 1,5-5 peralihan
>4 0.227-1,129 0,051-0,100 0,018-0,090 6,5-8,5 semidiurnal Sangat ringanringan
Sumber Pustaka Sulistijo dan Atmadja et al., (1996) Sulistijo dan Atmadja et al., (1996) Direktorat Jenderal Perikanan (1997) Sulistijo dan Atmadja et al., (1996) Soegiartoet al., (1978) Sulistijo et al., (1996) Vollenweider, 1968 in Iksan (2005) Vollenweider, 1968 in Iksan (2005) Fritz, (1986) US-EPA, 1973 in Iksan (2005) Freidrich, (1973) Sulistijo dan Atmadja et al., (1996)
4.5.1 Suhu Suhu mempunyai peranan yang sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Suhu air laut dapat berpengaruh terhadap beberapa fungsi fisiologi rumput laut seperti fotosintesis, respirasi, metabolisme, pertumbuhan dan reproduksi (Dawes, 1981). Perbedaan suhu dari tiap pengamatan terjadi dikarenakan adanya perbedaan energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Hal ini dapat meningkatkan kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu.
Rata-Rata Suhu Perairan Pada Lokasi Penelitian 29,5 29,0
Suhu (C)
28,5 28,0
Variable Pagi Siang Sore
27,5 27,0 26,5 26,0 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar 16. Rata-rata suhu perairan pada lokasi penelitian (pagi, siang dan sore hari). Suhu penelitian selama penelitian pada pagi hari berkisar antara 26-290C, pada siang hari 27-290C, dan pada sore hari antara 27-280C. Dengan rata-rata suhu diperairan sebesar 270C masih cukup ideal untuk pertumbuhan rumput laut dengan fluktuasi suhu yang tidak terlalu besar antara pagi, siang dan sore hari. Hal ini didukung oleh Sulistijo (1996) bahwa kisaran suhu perairan yang baik untuk rumput laut Eucheuma sp. adalah 27-300C. Suhu relatif stabil dari minggu ke-1 sampai minggu ke-5 dan terjadi sedikit penurunan pada minggu ke-6 (Gambar 16), kondisi ini disebabkan karena pada satu hari sebelum pengambilan data minggu ke-6 dilakukan, turun hujan yang berdampak pada laju pertumbuhan dari Eucheuma cattonii tersebut.
4.5.2 Kecepatan arus Kecepatan arus merupakan faktor penentu lama waktu keberadaan substansi gas, unsur hara terlarut dan padatan partikel berada pada suatu habitat dan kolom air. Kecepatan arus secara tidak langsung menjadi penentu pemasok
unsur hara, pembersih/pengangkut padatan partikel yang dapat menempel pada rumput laut dan mengatasi kenaikan temperatur air laut.
Rata-Rata Kecepatan Arus Perairan Pada Lokasi Penelitian 18
Kecepatan Arus (cm/det)
16 14 Variable Pagi Siang Sore
12 10 8 6 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar 17. Rata-rata kecepatan arus perairan pada lokasi penelitian (pagi, siang dan sore hari). Kecepatan arus selama penelitian di lokasi budidaya Eucheuma cattonii pada pagi hari berkisar antara 8,82 - 16,60 cm/det dengan kecepatan arus rata-rata 10,68 cm/det, pada siang hari berkisar antara 6,57 - 12,14 cm/det dengan kecepatan arus rata-rata 10,26 cm/det dan pada sore hari kecepatan arusnya lebih rendah dengan rata-rata 8,58 cm/det dengan kisaran antara 7,09 - 10,84 cm/det (Gambar 18). Secara statistika kecepatan arus pada lokasi penelitian rata-rata 9,84 cm/det, dimana kondisi arus pada lokasi ini kurang memenuhi memenuhi kriteria budidaya, sehingga kondisi rumput laut berada pada kondisi yang kurang baik. Menurut (Sulistijo, 1996) kecepatan arus yang baik untuk budidaya Eucheuma cattonii adalah 20-40 cm/dtk, sehingga daerah ini kurang memenuhi kriteria lahan
budidaya, hal ini diduga karena lokasinya yang mencolok ke dalam dan agak tertutup karena terhalang oleh pulau yang ada di depannya (P. Mawasangka). Adapun untuk arahnya berdasarkan pengamatan dengan dasar mata angin secara umum terlihat bahwa pada pagi hari ke barat laut, siang hari ke tenggara dan sore hari ke barat daya.
4.5.3 Cuaca
Pengamatan cuaca dilakukan tiap minggu selang empat jam (08.00, 12.00 dan 16.00). Pada pagi hari cuaca relatif cerah. Pada siang hari sebagian besar cuaca mendung dan cerah, cuaca mendung yaitu pada minggu ke-3, 4 dan 7, cuaca cerah pada minggu ke-1, 2 dan 6 dan pada minggu ke-5 turun hujan yang berpengaruh terhadap penurunan suhu perairan. Dan pada sore hari relatif cerah yaitu pada minggu ke-2, 4, 6 dan 7 dan sempat terjadi mendung pada minggu ke1, 3 serta hujan pada minggu ke-5 (Tabel 8).
Tabel 8. Kondisi cuaca pada pada lokasi penelitian. No
Waktu
1 2 3
Pagi Siang Sore
Cuaca (Hari Ke-) 0 7 14 21 28 35 Cerah Cerah Cerah Mendung Cerah Cerah Cerah Cerah Mendung Mendung Hujan Cerah Mendung Cerah Hujan Cerah Mendung Cerah
42 Cerah Mendung Cerah
Pada umunnya cuaca sangat mempengaruhi parameter fisika-kimia air laut, terutama jika terjadi hujan yang selanjutnya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan Eucheuma cattonii. Keadaan cuaca mendung dan hujan mengakibatkan cahaya matahari terhalang sampai pada tanaman uji yang akan menghambat proses fotosintesis.
Pada saat musim hujan tanaman rumput laut sering diserang penyakit ”iceice” yang disebabkan oleh bakteri. Sebaliknya saat musim cerah, kelebihan cahaya menyebabkan thallus rumput laut berubah warna menjadi pucat mendekati putih dan biasanya mudah patah dan jatuh ke dasar perairan sering disebut “aging effect”. Dari data pengamatan secara visual intensitas curah hujan mulai terjadi minggu ke-3 sampai minggu ke-5. Diperkirakan terdapat hubungan antara intensitas/curah hujan dengan persentase pertumbuhan Eucheuma cattonii seperti yang dikatakan oleh Kahat et al., 1992 bahwa budidaya Eucheuma cattonii pada musim peralihan dari musim kemarau ke musim hujan akan menghasilkan produksi yang lebih besar.
4.5.4 Salinitas Salinitas perairan penting bagi organisme laut terutama dalam mengatur tekanan osmosis yang ada dalam tubuh organisme dengan lingkungannya. Menurut Zatnika dan Angkasa (1994) menyatakan bahwa salinitas perairan untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara 28-34 ppt. Dimana salinitas perairan selama penelitian berkisar antara 30,5-32 ppt, salinitas maksimum terjadi pada minggu ke-1 dan ke-7. dari hasil penelitian nilai salinitas cenderung konstan karena diduga adanya aliran arus yang sedang dan merata sehingga memperlihatkan bahwa salinitas pada perairan ini cukup menunjang pertumbuhan dan perkembangan rumput laut Eucheuma cattonii.
Salinitas Perairan Pada Lokasi Penelitian 32,00
salinitas (ppt)
31,75 31,50 31,25 31,00 30,75 30,50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
7
Gambar 18. Rata-rata salinitas perairan pada lokasi penelitian. 4.5.5 Oksigen terlarut Oksigen dihasilkan dari tanaman rumput laut dan menjadi kelanjutan kehidupan biota perairan karena dibutuhkan oleh hewan dan tanaman air, termasuk bakteri untuk respirasi. Fitoplankton juga membantu menambah jumlah kadar oksigen terlarut pada lapisan permukaan di waktu siang hari sebagai hasil dari fotosintesis. Dari hasil penelitian diperoleh kandungan oksigen terlarut berkisar antara 3,63-4,84 mg/l dengan rata-rata 4,21 mg/l. Salinitas maksimum terjadi pada minggu ke-6 dan salinitas minimum terjadi pada minggu ke-4. Nilai Oksigen Terlarut Pada Lokasi Penelitian 5,00 4,75
DO(mg/l)
4,50 4,25 4,00 3,75 3,50 1
2
3
4 Minggu Ke-
5
6
Gambar 19. Nilai oksigen terlarut perairan pada lokasi penelitian.
7
Rata-rata oksigen terlarut perairan pada minggu ke-3, 4 dan 5 lebih rendah dari rata-rata oksigen terlarut pada minggu ke-6 dan 7. Kondisi ini dipengaruhi oleh cuaca lokasi yang mendung dan hujan pada minggu ke-3, 4 dan 5. Beberapa saat sebelum pengamatan oksigen terjadi perbedaan konsentrasi kandungan oksigen yang terjadi ini disebabkan oleh pada saat turun hujan kegiatan fotosintesis ini hanya dapat terjadi bila ada cahaya matahari atau pada kondisi cerah, sehingga akumulasi oksigen pada saat kondisi cuaca cerah dengan adanya sinar matahari lebih tinggi dibandingkan pada saat cuaca turun hujan kadar DO perairan kurang dari 4,0 mg/l akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan bagi hampir semua organisme akuatik seperti yang terjadi pada minggu ke-4.
4.5.6 Kecerahan dan kedalaman perairan Kecerahan Perairan merupakan salah satu faktor yang penting untuk pertumbuhan alga, sebab rendahnya kecerahan mengakibatkan cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan berkurang. Intensitas matahari yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama dalam proses fotosintesis seperti diketahui fotosintesis rumput laut sangat membutuhkan cahaya dan apabila aktifitas fotosintesisnya terganggu akan mengakibatkan pertumbuhan rumput laut yang tidak optimal, sebagai contoh adanya cahaya matahari yang berlebihan mengakibatkan tanaman menjadi putih, karena hilangnya protein yang dibutuhkan untuk hidup. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa rata-rata kecerahan perairan di lokasi penelitian pada pagi hari berkisar sebesar 5,85 meter, siang hari sebesar
5,32 meter dan sore hari sebesar 5,75 meter dengan rata-rata tingkat kecerahan sebesar 5,64 meter. Tingkat kecerahan ini termasuk kriteria baik (Tabel 2) dan sangat ideal untuk budidaya rumput laut Eucheuma cattonii karena melebihi kedalaman 5 meter. Kedalaman perairan pada umumnya dikategorikan dalam dua kelompok yaitu kawasan perairan curam dan kawasan perairan landai. Kondisi perairan pada lokasi penelitian termasuk dalam pola perairan landai yang sempit dibagian pesisir dengan kedalaman sekitar 15 meter.
4.5.7 Nitrat dan Nitrit Nitrat merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk pertumbuhan alga. Nitrat diperairan laut, digambarkan sebagai senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer dilapisan permukaan daerah eufotik. Kadar nitrat didaerah eufotik sangat dipengaruhi oleh transportasi nitrat di daerah tersebut. Menurut Efendi (2003) bahwa kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar dari 0,2 mg/l akan mengakibatkan eutrofikasi (pengayaan) yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,1190,162 mg/l dengan nilai rata-rata 0,144 mg/l. Konsentrasi nitrat ini cukup stabil hal ini menunjukan bahwa kondisi lingkungan perairan lokasi penelitian cukup dinamis, dimana aktifitas biologis organisme laut cukup tinggi. Konsentrasi nitrat ini cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut dan juga menunjukkan bahwa nitrat merupakan faktor pembatas bagi pertumbuhan rumput laut dimana pada pengukuran minggu ke-1 konsentrasi nitrat ideal untuk rumput laut karena pada
minggu ini rumput laut berada pada periode pertumbuhan eksponensial sehingga protein lebih banyak akibatnya pembentukan dinding sel dan cadangan makanan lebih sedikit. Disaat pasokan nitrogen sedikit, maka sebagian proses sintesa protein diubah menjadi sintesa karbohidrat. Berdasarkan tingkat kesuburan maka perairan pada penelitian ini termasuk dalam perairan oligotrofik yaitu perairan yang memiliki kadar nitrat antara 0-1 mg/l. Sedangkan konsentasi kadar nitrit pada lokasi penelitian rata-rata <0.001 mg/l, dengan nilai ini menunjukkan bahwa kadar nitrit pada perairan ini sangat sedikit karena jaraknya yang agak jauh dari pantai dan tidak adanya sungai di sekitar lokasi penelitian.
4.5.8 Ortho-Fosfat
Unsur ortho-fosfat diperlukan alga bagi pertumbuhannya, umumnya unsur fosfat yang dapat diserap oleh alga adalah dalam bentuk ortho-fosfat . kandungan ortho-fosfat dilokasi penelitian berkisar antara 0,014 – 0,053 mg/l dengan ratarata 0,034 mg/l. Berdasarkan kadar ini maka perairan pada lokasi penelitian ini termasuk pada perairan eutrofik yaitu perairan yang memiliki kadar ortho-fosfat 0,031-0,1 mg/l (Volenweider, 1969 in Iksan 2005). Hal ini diduga karena lokasi penelitian dekat dengan daratan yang cukup banyak membawa unsur hara seperti fosfat. Kandungan ortho-fosfat pada penelitian ini berada pada konsentrasi cukup tinggi sehingga konsentrasi ini sangat sesuai bagi pertumbuhan Eucheuma cattonii. Konsentrasi ortho-fosfat ideal terjadi pada minggu ke-1 yang ditandai tinggi laju pertumbuhan harian yang menurun pada minggu ke-4 dan naik lagi pada minggu ke-7. kondisi ini disebabkan karena pada minggu ke-4 terjadi hujan
akibatnya akumulasi fosfat sedikit. Hasil ortho-fosfat yang diperoleh pada penelitian ini relatif berfluktuasi, ini membuktikan bahwa kebutuhan fosfat yang optimum pada Eucheuma cattonii berbeda-beda tiap minggunya. Pendapat ini didukung oleh (Khul,1974 in Iksan, 2005) yang mengatakan kebutuhan yang optimum untuk pertumbuhan alga sangat berbeda dari jenis satu ke jenis yang lain. Meskipun tidak adafaktor luar sebagai pembatas. Fosfat pada siang hari berbeda dengan konsentrasi fosfat pada malam hari. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan aktifitas fitoplankton pada siang hari dan malam hari. Pada siang hari atau suhu tinggi kegiatan fitoplankton lebih tinggi dengan adanya fotosintesis. Pada proses ini kandungan fosfat lebih banyak dipakai dalam kegiatan pembentukan sel-sel tumbuhan. Itu sebabnya kandungan fosfat diperairan lebih rendah pada siang hari atau pada suhu tinggi dibandingkan pada malam hari atau suhu rendah.
4.5.9 Derajat keasaman Pengukuran pH digunakan untuk menyatakan intensitas dari kondisi asam atau basa suatu larutan. pH erat hubungannya dengan aktifitas fotosintesis. Penyerapan CO2 dari air pada proses fotosintesis akan meningkatkan pH menjadi lebih basa. pH perairan selama penelitian adalah 7,5. Selama pengamatan pH perairan relatif stabil dan berada pada kisaran normal dalam mendukung kehidupan dan pertumbuhan rumput laut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Aslan (1998) bahwa hampir seluruh alga mempunyai kisaran daya penyesuaian terhadap pH antara 6,8 – 9,6. perubahan pH selama penelitian relatif kecil karena perairan mempunyai sistem penyangga terhadap perubahan ion yang drastis. Dengan
demikian maka pH air selama penelitian cukup baik dengan nilai relatif stabil dan sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cattonii.
4.5.10 Substrat dasar Secara visual dasar perairan di lokasi penelitian berada pada kedalaman 1012 meter, memiliki jenis substrat campuran pasir karang. Mubarak (1978) menyatakan bahwa tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan rumput laut adalah campuran pasir karang dan potongan atau pecahan karang, karena perairan dengan substrat demikian biasanya dilalui oleh arus yang sesuai bagi pertumbuhan rumput laut. Dengan kedalaman lebih dari 10 meter ini , maka substrat perairan pada lokasi penelitian tidak terlalu berpengaruh pada asal thallus dan bobot bibit yang digunakan sebagai perlakuan dengan metode rakit apung.
4.5.11 Pasang surut Tampilan pasang surut pada Gambar 20 dibedakan menjadi 2 bagian yaitu pada awal penanaman-hari ke-15 dan 15 hari sebelum panen. Hal ini berdasarkan prinsip peramalan pasut yang hanya 15 hari. Adapun menganbilan harinya dengan mengasumsikan semua waktu pengambilan data dapat terkait didalamnya. Dari analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa tipe pasang surut dari lokasi penelitian adalah tipe pasang surut campuran dominan ganda (semidiurnal) karena keadaan yang terjadi dalam satu hari (24 jam) yaitu terdapat dua kali pasang dan dua kali surut tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan satu kali surut dengan tinggi dan periode berbeda.
(a) (b) Gambar 20. Peramalan pasang surut pada waktu penelitian (a) 15 hari pertama dan (b) 15 hari sebelum panen. Elevasi penting muka air di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pada 15 hari pertama nilai MSL (Mean Sea Level) sebesar 139,39 cm, HW (Highest Water) nilainya sebesar 239,59 cm dan LW (Lowest Water) nilainya sebesar 3,36 cm. Sedangkan untuk 15 hari terakhir nilai MSL (Mean Sea Level) sebesar 140,25 cm, HW (Highest Water) nilainya sebesar 237,05 cm dan LW (Lowest Water) nilainya sebesar -6,38 cm. Berdasarkan pernyataan Freidrich (1973) bahwa frekuensi pasang surut juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan alga laut diwilayah intertidal. Pada pasang semidiurnal yang memliki frekuensi yang lebih besar daripada pasang diurnal lebih menyokong bermacam-macam populasi alga laut. Jadi dapat diasumsikan bahwa pada lokasi penelitian ini cukup pemungkinkan untuk di pembudidayaan rumput laut. 4.5.12 Curah Hujan Berdasarkan data 5 tahun yang diperoleh dari BMG terlihat bahwa untuk curah hujan pada bulan Mei-Juni secara umum memiliki intensitas curah hujan
ringan sampai normal, namun pada bulan Juni pada tahun 2002 dan 2005 memiliki intensitas curah hujan sangat ringan (Tabel. 9). Adapun curah hujan tertinggi yaitu pada bulan Juni 2007 yaitu sebesar 8,57 mm/jam dan terendah yaitu pada bulan Juni 2002.
Tabel. 9 Intensitas curah hujan 2002-2007 pada lokasi penelitian Curah Hujan (mm) Mei Intensitas(mm) Juni Intensitas (mm)
2002 3.08 ringan 0.67 sangat ringan
2003 7.94 normal 3.54
2004 3.06 ringan 6.10
ringan
normal
2005 2.55 ringan 0.70 sangat ringan
2006 2.15 ringan 5.00
2007 2.92 ringan 8.57
normal
normal
Data curah hujan ini diperlukan untuk mengetahui kondisi cuaca daerah penelitian apakah sesuai untuk dilakukan budidaya pada bulan mei-juni 2008. Intensitas curah hujan pada 5 tahun terakhir ini kurang memenuhi kriteria budidaya rumput laut, karena adanya intensitas curah hujan normal yang terjadi, kemudian di dukung dengan pernyataan dengan pernyataan Sulistijo dan Atmadja (1996) menyatakan bahwa curah hujan yang baik untuk pertumbuhan rumput laut yaitu dengan intensitas sangat ringan sampai ringan. Selain itu menurut Handoko (1995) Sulawesi Tenggara, bagian Timur Sulawesi Selatan dan Maluku Tengah, musim hujannya berbeda yaitu pada Bulan Mei-Juni. 4.6 Faktor biologi
Alga yang dibudidayakan tidak terlepas dari pengaruh biologi perairan seperti predator, pencemaran dan penyakit. Fungsi ekologis dari rumput laut sebagai pendukung kehidupan akuatik di laut yaitu sebagai makanan dan pelindung binatang akuatik yang selalu mempengaruhi persporaan rumput laut.
Binatang-binatang ini pada awalnya hanya memakan tumbuhan penempel disekitar rumput laut tetapi kemudian mulai memakan rumput laut itu sendiri. Hama tanaman (biota pengganggu) budidaya rumput laut umumnya merupakan organisme laut yang memangsa tanaman rumput laut. Organisme ini hidup dengan rumput laut sebagai makanan utamanya atau sebagian masa hidupnya memakan rumput laut. Hama tanaman (biota pengganggu) dapat menimbulkan kerusakan secara fisik pada tanaman budidaya, seperti terkelupas, patah atau habis dimakan sama sekali. Hasil pengamatan secara langsung pada tanaman uji di perairan ditemukan berbagai jenis alga penempel yang dapat di identifikasi yaitu Ulva sp, Dctyota sp, Enteromorpha sp, dan Chaetomorpha sp. Rata-rata semakin lama waktu tanam maka jumlah dari alga penempel akan semakin banyak pula. Hal ini terlihat dengan semakin menurunnya laju pertumbuhan Eucheuma cattonii. Akibat yang ditimbulkan dari alga penempel ini yaitu terjadi penutupan permukaan rumput laut sehingga mengganggu penyerapan nutrisi dan fotosintesis untuk pertumbuhan. Namun untuk mencegah banyaknya alga penempel ini yaitu dengan melakukan pencabutan langsung atau membersihkan tali-tali pengikat tanaman uji tiap minggunya. Selain itu juga ditemukan berbagai jenis ikan disekitar tanaman uji diantaranya ikan beronang (Siganus sp) dan ikan belanak (mugil sp). Ikan-ikan ini diduga salah satu penyebab dari penurunan pertumbuhan rumput laut yaitu dengan cara memakan rumput laut tersebut. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya thallus rumput laut yang putus dan rusak akibat bekas gigitan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Pada perlakuan bobot bibit yang berbeda terlihat bahwa rumput laut asal ujung thallus pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada asal tengah thallus dan pangkal, sedangkan asal tengah thallus cenderung lebih baik dari pada asal pangkal thallus. Sedangkan untuk perlakuan asal thallus yang berbeda secara umum terlihat bahwa rumput laut bobot bibit 50gr cenderung mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dari bibit awal 100gr dan 150gr. Perlakuan bobot bibit yang berbeda tidak memberikan pengaruh nyata (semua perlakuan sama) terhadap pertumbuhan bobot basah baik pada bobot 50gr, 100gr maupun 150gr. Sedangkan asal thallus yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata (ada perlakuan tidak sama) terhadap pertumbuhan bobot basah rumput laut, baik berasal dari ujung, tengah maupun pangkal thallus. Perlakuan yang sangat baik digunakan untuk bibit yaitu pada perlakuan ujung thallus berbobot 50gr, tengah thallus juga berbobot 50gr dan pangkal thallus berbobot 150gr. Penyusutan bobot basah Eucheuma cattonii mulai terjadi pada hari ke-21 sampai ke-42.
5.2 Saran Sebaiknya dilakukan penelitian yang sama pada musim dan waktu yang berbeda ditempat yang sama maupun pada lokasi yang berbeda, dengan menggunakan bibit yang diperoleh dari stek maupun bibit yang diperoleh dialam atau yang berasal dari pembenihan untuk mendapatkan perbandingan kualitas rumput laut Eucheuma cattonii. Selain itu mesti dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hama dan penyakit dari rumput laut sehingga dapat dikaitkan dengan pengaruh pertumbuhannya.
DAFTAR PUSTAKA Afrianto, E., dan E. Liviawati. 1993, Budidaya Rumput Laut dan cara Pengolahannya. Bhratara. Jakarta. Anonymous. 2005. Prospect and Perspective of the Seaweed Industry for Building Capacities of Lokal Communities to Cope with Globalization (presentasi). Seaweed Industry Association of the Philipines. Apriyana, D. 2006. Studi hubungan Karakteristik Habitat terhadap Kelayakan pertumbuhan dan kandungan Karagenan Alga Eucheuma spinosum di Perairan kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep. Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Aslan, L. M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. Atmadja, W. S., A. Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar. 1996. Pengenalan JenisJenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. Atmadja, W. S dan Sulistijo, 1977. Usaha pemanfaatan bibit Stek Alga Laut Eucheuma Spinosum (L) J. Agradh di Pulau-pulau Seribu untuk dibudidayakan. Dalam : Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologis serta permasalahannya. Editor : M. Hutomo, K. Romimohtarto dan Burhanuddin. LON-LIPI, Jakarta : hal 433-449. Bhatt, J. J. 1978. Oceanography Exploring the Planet Ocean. D’von Nonstrand Company. Toronto. BPS Buton. 2003. Badan Pusat Statistik Buton. Kabupaten Buton : hal. 84. Chapman, V. J. 1970. Seaweeds and Their Uses 2nd edition. Methuen & Co. Ltd. Dawes, C. J., J. W. LaClaire, and R. E. Moon. 1974. Culture Studies on Eucheuma nudum J. Agarth, carrageenan producing red alga from Florida. Aquaculture, 7 : hal 1- 9. Dawes, C. J. 1981. Marine Botany. John Wiley and Sons. University of South Florida. New York. Dawson, E. Y. 1966. Marine Botany. Holt, Rinehart and Winston, Inc. United States of America. Direktorat Jenderal Perikanan. 1997. Pedoman Teknis Pemilihan Lokasi Budidaya Rumput Laut. Ditjen Perikanan. Jakarta. Direktorat Jenderal Perikanan. 2004. Hama dan Penyakit Rumput Laut.
Doty, M. S. 1973. Eucheuma Farming for Carrageenan. Univ. Hawaii. Sea Grant Report. Unihi Seagrant.United States of Amerika. Doty, M.S., dan E. P. Glenn. 1981. Aquatic Botany. Photosynthesis and Respiration of the Tropical Red Seaweeds, Eucheuma striatum (Tambalang and Elkhorn Varieties) and E. denticulatum. Elseiver Scientific Publishing Company. Amsterdam. Eidman, M. 1991. Studi Efektifitas Bibit Algae (Rumput Laut). Salah satu Upaya peningkatan Produksi Budidaya Algae laut (Eucheuma sp). Laporan Penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Friedrich, H. 1973. Marine Biology, An Introduction ti Ist Problem and Result, University of Washington Press. United States of America. Fritz, G. J. 1986. The Stucture and Reproduction of The Algae Volume 2. Vicas Publisher House. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar (Landasan Pemahaman Fisika Atmosfer dan Unsur-Unsur Iklim). Di dalam Abujamin A.N. et al. Pustaka Jaya. Bogor. Iksan, K. H. 2005. Kajian Pertumbuhan, Produksi Rumput Laut (Eucheuma cattonii), dan kandungan Karaginan pada berbagai Bobot Bibit dan Asal Thallus di perairan desa Guraping Oba Maluku Utara. Tesis (tidak dipublukasikan). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Indriani, H., dan E. Sumiarsih. 1999. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta. Kadi, A., dan W. S. Atmadja. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis. Reproduksi. Produksi. Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdaya Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI. Jakarta. Kolang, M., X, Lalu, dan H, Korah. 1996. Panduan Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Dinas Perikanan Sulawesi Utara. Manado. Kuhl, A. 1974. Phosphorus in : Stewart W. D. P. (ed). Algae Phisiology and Biochemistry : hal : 639-653. Lundsor, E. 2002. Eucheuma Farming in Zanbibar. Broadeast System, an Alternative Method for Seaweed Farming. Thesis. Candidate Scientiarum in matine Biology. University of Bergen. Masrawati. 1999. Struktur Komunitas Rumput Laut di Taman Wisata Gili AirMeno-Trawangan, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mubarak, H., dan I.S. Wahyuni. 1981. Percobaan Budidaya Rumput Laut Eucheuma spinosum di Perairan Lorok Pacitan dan Kemungkinan Pengembangannya. Bul. Panel. Perikanan Vol. 1 No. 2. Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. hal : 157-166. Mukti, E. D. W. 1987. Ekstraksi dan Analisa Sifat Fisika-Kimia Karaginan Dari Rumput Laut jenis Eucheuma cattonii. Skripsi (tidak dipublikasikan). Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Munoz, J., Y. F. Pelegrin., dan D. Robledo. 2004. Mariculture of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta, Solieriaceae) Color Strains in Tropical Waters of Yucatan. Cinvestaf-Ipn Yucatan. Mexico. Ngang dan Kusen, 1998. Faktor Lingkungan Budidaya Rumput Laut di Desa Serey Kecamatan Likupang Minahasa. Laporan Penelitian fakultas – perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado. Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Patadjal, R. S. 1993. pengaruh pupuk TSP Terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Glacillaria gigas harv. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal 14-19. Puspita, N. 1991. Laju Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Eucheuma denticulum J. AGARDHG yang ditanam di Pulau Geger, Nusa dua, Bali. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sidjabat, M. M. 1973. Pengantar Oseanografi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sinaga, T. 1999. Sturuktur Komunitas Rumput Laut di Perairan Rataan Terumbu Pulau Pari, Kepulauan seribu, Jakarta Utara. Skripsi (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soegiarto, A. W., Sulistijo., dan H. Mubarak. 1978. Rumput laut (Algae) Manfaat. Potensi dan Usaha Budidayanya. Lembaga Oseanologi Nasional. LIPI. Jakarta. Soerjodinoto. 1968. Masalah Kultivasi Eucheuma sp. di Pseudo Atol Pulau Pari. Dit Hidral. Jakarta. Steel, R.G.D., dan J. H. Torrie. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Edisi Kedua. PT. Gramedia. Jakarta.
Sulistijo. 2002. Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang Akuakultur, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sulistijo dan W. S. Atmadja. 1996. Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. Supit, S. D. 1989. Karakteristik Pertumbuhan dan kandungan Caragenan Rumput Laut (Eucheuma cattonii) yang berwarna Abu-abu Cokelat dan Hijau yang Ditanam di Goba lambungan Pasir Pulau Pari, Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Susana, T. 1989. kadar Fosfat di Beberapa Muara Sungai Teluk JakartaProsiding Seminar Ekologi laut dan Pesisir. P3O-LIPI. Jakarta. Syahputra, Y. 2005. Pertumbuhan dan kandungan karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cattonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlauan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu. Tesis (tidak di publikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Trono, G. C. 1974. A Review of The Production Technologies of Tropical Species of Economic Seaweeds. Technical Research Reports. Marine Science Institute, University of the Philippines. Philippines. Trono, G. C., Ganzon., dan F. Fortes. 1988. Philippine Seaweeds. National Book Store Inc. Philippines. Winarno, F. G. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar harapan. Jakarta. Zatnika, A dan W. I. Angkasa. 1994.Teknologi Budidaya Rumput Laut, Makalah pada seminar Pekan Akuakultur V.TimRumput Laut BPPT. Jakarta.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data parameter parameter lingkungan pada lokasi penelitian No
Parameter
1 Kedalaman 2 Substrat Dasar 3 Suhu
Alat
Peng. Panjang Visual Thermometer
Pagi
Siang
Sore 4
Kece. Arus
floating droudge dan kompas
Unit Pengamatan Hari Kamis Kamis Kamis Kamis Kamis Tanggal 15-Mei 22-Mei 29-Mei 05-Jun 12-Jun Hari ke0 7 14 21 28 m 12 meter campuran pasir karang C 28,5 28 27 27,5 28 29 28,5 27,5 27,5 28 28,5 28,5 27,5 27 28 28 29 27,5 27,5 27 28 29,5 27,5 27,5 27 28 29 28 27 27 28,5 28 28 27,5 27,5 28,5 27,5 28 27 27,5 28 28 27,5 27,5 27 m/det
Pagi
Siang
Sore 5
Kecerahan Pagi
Secchi disk
Maks
Min
Rata-Rata
29
26
27,69
29,5
26,5
27,81
28,5
27
27,67
17,43
8,18
10,68
13,08
5,66
10,26
11,97
7,19
8,58
5,25
4,3
4,85
Kamis Kamis 19-Jun 26-Jun 35 42
28 28 28 28,5 29 28,5 28 27,5 28
26 26,5 26 26,5 27 27 27,5 27 27
15,58 9,50 13,00 7,89 10,06 7,66 10,52 7,81 7,27
12,16 10,16 8,32 10,94 13,08 10,82 7,39 8,51 9,28
9,49 17,43 9,18 11,70 5,66 10,89 9,49 10,15 8,08
7,19 11,15 8,94 9,13 10,08 9,81 6,57 7,15 7,41
8,58 8,18 16,80 10,73 12,54 6,16 8,50 11,97 11,17
11,00 10,83 8,76 11,88 10,52 10,49 7,19 7,43 7,70
9,21 9,98 8,78 11,99 11,30 12,18 8,00 7,48 11,09
5,225 5,095
5,05 5,075
4,4 4,575
4,4 4,25
5,125 5,125 4,3 5,125 5,25 4,475
m
Siang
Sore 6
Cuaca Pagi Siang Sore 7 pH 8 Oksigen terlarut 9 Salinitas Nitrat Ortho-Fosfat Nitrit
Visual
Kertas Lakmus Titrasi Winkler Refraktometer Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik
5,155 4,875 4,75 5,025 5 4,975 5,05
5,075 4,625 4,75 4,675 5,325 5,15 5,525
4,575 4,15 4,475 4,45 3,95 4,15 4,05
4,35 4,05 4,45 4,55 4,35 4,45 4,4
Cerah
Cerah
Cerah
Mendung
5,125 5,15 4,85 3,975 4,025 3,55 4,1 4,25 3,725 4,1 4,35 3,8 4,5 5,35 4,5 4,725 5,275 4,725 4,675 5,175 4,45
5,025
3,55
4,3190476
5,525
3,95
4,75
4,84 32 0,162 0,053
3,63 30,5 0,119 0,014
7,5 4,21 31,29 0,144 0,034
-
mg/l ppt mg/l mg/l mg/l
Cerah
Cerah
Mendung
Cerah
Mendung Mendung Hujan
Cerah
7,5 4,03 32 0,162 0,053 <0,001
7,5 4,44 31 -
7,5 4,03 31,5 -
7,5 3,63 31 0,119 0,014 <0,001
Cerah
Cerah
Hujan
Cerah Mendung
Mendung Cerah
7,5 4,03 30,5 -
Cerah Cerah
7,5 7,5 4,84 4,44 31 32 0,15 0,035 <0,001
Lampiran 2. Statistik Deskriptif dari parameter-parameter lingkungan Descriptive Statistics:(Suhu) : Pagi; Siang; Sore Variable N N* Mean SE Mean StDev Pagi 21 0 27,690 0,178 0,814 Siang 21 0 27,810 0,184 0,844 Sore 21 0 27,667 0,0996 0,456 Variable Pagi Siang Sore
Minimum 26,000 26,500 27,000
Q1 27,250 27,000 27,500
Descriptive Statistics: (Nitrat) Variable N N* Mean Nitrat 3 0 0,1437
SE Mean 0,149
SE Mean 0,0128
StDev 0,395
Minimum 3,630
StDev 0,0222
Variable Ortho-Fosfat
Q3 11,655 11,790 9,820
Q1 4,030
Minimum 0,1190
Median 4,030
Q1 0,1190
Q3 4,440
Median 0,1500
Maximum 4,840
Q3 0,1620
StDev 0,0195
Minimum 0,0140
Q1 0,0140
Median 0,0350
Q3 0,0530
Maximum 0,0530
Descriptive Statistics: (Salinitas) Variable N N* Mean SE Mean Salinitas 7 0 31,286 0,214
StDev 0,567
Minimum 30,500
Q1 31,000
Median 31,000
Q3 32,000
Maximum 32,000
Descriptive Statistics: (Kecerahan) : Pagi; Siang; Sore Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Pagi 21 0 5,8481 0,0789 0,3614 5,2500 Siang 21 0 5,3210 0,0865 0,3963 4,5500 Sore 21 0 5,752 0,100 0,459 4,950 Variable Pagi Siang Sore
Median 9,500 10,730 8,000
Maximum 0,1620
Descriptive Statistics: (Ortho-Fosfat) Variable N N* Mean SE Mean Ortho-Fosfat 3 0 0,0340 0,0113
Variable Salinitas
Q1 8,770 9,470 7,400
Maximum 17,430 13,080 11,970
Descriptive Statistics: (DO) Variable N N* Mean DO 7 0 4,206
Variable Nitrat
Q3 28,250 28,500 28,000
Maximum 29,000 29,500 28,500
Descriptive Statistics: (Kecepatan Arus) : Pagi; Siang; Sore Variable N N* Mean SE Mean StDev Minimum Pagi 21 0 10,677 0,620 2,843 7,190 Siang 21 0 10,262 0,434 1,988 5,660 Sore 21 0 8,579 0,342 1,566 6,570 Variable Pagi Siang Sore
Median 28,000 27,500 27,500
Maximum 6,2500 6,0300 6,530
Q1 5,4400 5,0400 5,425
Median 6,0800 5,3500 5,730
Q3 6,1300 5,6550 6,165
Lampiran 3. Pengaruh perbedaan asal thallus dan bobot bibit terhadap lama hidup A. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot bibit (Hari Ke-7) Factor Asal Thallus Bobot bibit
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 1; 2; 3 50; 100; 150
Analysis of Variance for Waktu Hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot bibit Asal Thallus*Bobot bibit Error Total S = 6,66667
DF 2 2 4 9 17
R-Sq = 98,62%
Seq SS 344,4 28077,8 188,9 400,0 29011,1
Adj SS 344,4 28077,8 188,9 400,0
Adj MS 172,2 14038,9 47,2 44,4
F 3,88 315,88 1,06
P 0,061 0,000 0,429
R-Sq(adj) = 97,40%
B. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot Bibit (Hari ke-14) Factor Asal Thallus Bobot Bibit
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 1; 2; 3 50; 100; 150
Analysis of Variance for Waktu Hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot Bibit Asal Thallus*Bobot Bibit Error Total S = 8,81917
DF 2 2 4 9 17
R-Sq = 97,70%
Seq SS 2233,3 27033,3 533,3 700,0 30500,0
Adj SS 2233,3 27033,3 533,3 700,0
Adj MS 1116,7 13516,7 133,3 77,8
F 14,36 173,79 1,71
P 0,002 0,000 0,230
R-Sq(adj) = 95,66%
C. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot Bibit (Hari Ke21) Factor Asal Thallus Bobot Bibit
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 1; 2; 3 50; 100; 150
Analysis of Variance for waktu hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot Bibit Asal Thallus*Bobot Bibit Error Total S = 10
R-Sq = 97,69%
DF 2 2 4 9 17
Seq SS 4011,1 31811,1 2222,2 900,0 38944,4
Adj SS 4011,1 31811,1 2222,2 900,0
Adj MS 2005,6 15905,6 555,6 100,0
F 20,06 159,06 5,56
P 0,000 0,000 0,016
R-Sq(adj) = 95,63%
D. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot Bibit (Hari Ke28) Factor Asal Thallus
Type fixed
Levels 3
Values 1; 2; 3
Bobot Bibit
fixed
3
50; 100; 150
Analysis of Variance for waktu Hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot Bibit Asal Thallus*Bobot Bibit Error Total S = 10
R-Sq = 97,69%
DF 2 2 4 9 17
Seq SS 4011,1 31811,1 2222,2 900,0 38944,4
Adj SS 4011,1 31811,1 2222,2 900,0
Adj MS 2005,6 15905,6 555,6 100,0
F 20,06 159,06 5,56
P 0,000 0,000 0,016
R-Sq(adj) = 95,63%
E. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot Bibit (Hari Ke-35) Factor Asal Thallus Bobot Bibit
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 1; 2; 3 50; 100; 150
Analysis of Variance for Waktu Hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot Bibit Asal Thallus*Bobot Bibit Error Total S = 10
R-Sq = 97,82%
DF 2 2 4 9 17
Seq SS 16177,8 21744,4 2488,9 900,0 41311,1
Adj SS 16177,8 21744,4 2488,9 900,0
Adj MS 8088,9 10872,2 622,2 100,0
F 80,89 108,72 6,22
P 0,000 0,000 0,011
R-Sq(adj) = 95,88%
F. General Linear Model: Waktu Hidup versus Asal Thallus; Bobot Bibit (hari Ke-42) Factor Asal Thallus Bobot Bibit
Type fixed fixed
Levels 3 3
Values 1; 2; 3 50; 100; 150
Analysis of Variance for Waktu Hidup, using Adjusted SS for Tests Source Asal Thallus Bobot Bibit Asal Thallus*Bobot Bibit Error Total S = 9,12871
DF 2 2 4 9 17
R-Sq = 98,38%
Seq SS 25344,4 16177,8 3955,6 750,0 46227,8
Adj SS 25344,4 16177,8 3955,6 750,0
Adj MS 12672,2 8088,9 988,9 83,3
R-Sq(adj) = 96,94%
F 152,07 97,07 11,87
P 0,000 0,000 0,001
Lampiran 4. Laju pertumbuhan harian (%) pada perlakuan asal thallus dan bobot bibit One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (50gr)AAA Source Asal Thallus Error Total S = 52,76
DF 2 18 20
Level 1 2 3
N 7 7 7
SS 4317 50114 54431
MS 2158 2784
R-Sq = 7,93%
Mean 135,71 110,00 102,14
F 0,78
P 0,475
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev +---------+---------+---------+--------(-------------*-------------) (-------------*-------------) (-------------*-------------) +---------+---------+---------+--------60 90 120 150
StDev 61,54 50,33 45,08
One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (100gr)AAA Source Asal Thallus Error Total S = 54,16
DF 2 18 20
Level 1 2 3
N 7 7 7
SS 4517 52807 57324
MS 2258 2934
R-Sq = 7,88%
Mean 172,14 164,29 137,86
F 0,77
P 0,478
R-Sq(adj) = 0,00% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ---+---------+---------+---------+-----(-----------*-----------) (-----------*-----------) (-----------*------------) ---+---------+---------+---------+-----105 140 175 210
StDev 68,67 57,33 28,26
One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (150gr)AAA Source Asal Thallus Error Total S = 48,76
Level 1 2 3
N 7 7 7
DF 2 18 20
SS 9724 42800 52524
MS 4862 2378
R-Sq = 18,51%
Mean 239,29 203,57 187,86
StDev 66,48 43,08 29,28
F 2,04
P 0,158
R-Sq(adj) = 9,46%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -------+---------+---------+---------+-(----------*----------) (----------*----------) (----------*----------) -------+---------+---------+---------+-175 210 245 280
One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (ujung)ABA Source Asal Thallus Error Total
DF 2 18 20
SS 38645 77536 116181
MS 19323 4308
F 4,49
P 0,026
One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (TENGAH)ABA Source Asal Thallus Error Total S = 50,58
DF 2 18 20
Level 1 2 3
N 7 7 7
SS 30907 46057 76964
MS 15454 2559
R-Sq = 40,16%
Mean 110,00 164,29 203,57
S = 65,63
StDev 50,33 57,33 43,08
F 6,04
P 0,010
R-Sq(adj) = 33,51%
Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev ------+---------+---------+---------+--(-------*-------) (-------*-------) (-------*-------) ------+---------+---------+---------+--100 150 200 250
R-Sq = 33,26%
R-Sq(adj) = 25,85%
One-way ANOVA: Minggu Ke- versus Asal Thallus (Pangkal)ABB Source Asal Thallus Error Total S = 35,06
Level 1 2 3
N 7 7 7
DF 2 18 20
SS 25952 22129 48081
MS 12976 1229
R-Sq = 53,98%
Mean 102,14 137,86 187,86
StDev 45,08 28,26 29,28
F 10,56
P 0,001
R-Sq(adj) = 48,86% Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev -+---------+---------+---------+-------(------*-----) (-----*------) (------*------) -+---------+---------+---------+-------80 120 160 200
Lampiran 5. Data curah hujan tahun 2002-2007 pada lokasi penelitian DATA CURAH HUJAN HARIAN PERIODE BULAN MEI-JUNI Na Sta Lintang
Bau-Bau -5.26
Bujur Elev. (m)
122.37 6
Bulan
Mei
Tahun
Jumlah Rata-rata
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1
0
12
0
0
0
0
2
23
21
2
0
0
0
3
14
7
2
0
0
0
4
1
37
2
0
0
6
5
3
156
0
2
4
5
6
4
2
0
0
0
1
7
15
7
2
16
0
55
8
25
0
14
0
5
5
9
8
4
9
0
13
0
10
0.4
0
7
1
0
0
11
0
0
0
0
0
0
12
0
0
10
0
0
0
13
0
0
0
0
0
0
14
0
0
0
0
0
0
15
0
0
0
0
0
0
16
0
0
0
0
0.5
0
17
0
0
0
0
0
0
18
0
0
0
0
3
0
19
0
0
26
0
0
0
20
0
0
0
0
7
0
21
0
0
0
0
6
0
22
0
0
0
0
7
0
23
0
0
0
22
3
0
24
0
0
0
0
11
0
25
0
0
0
20
7
0
26
0
0
0
4
0.1
0
27
0
0
6
6
0
0
28
2
0
13
6
0
3
29
0
0
0
2
0
0.5
30
0
0
0
0
0
0
31
0
0
2
0
0
15
95.4
246
95
79
66.6
90.5
3.077419
7.935484
3.064516
2.548387
2.148387
2.919355
Bulan
Juni
Tahun
2002
2003
2004
2005
2006
2007
1
0
2
0
0
0
0
0
6
0
47
0
0
2
3
1
0
4
0
4
78
4
4
0
0
0
2
0
5
0
0
0
0
9
8
6
0
0
20
0
0
4
7
0
0
87
0
0
11
8
0
0
24
8
0
13
9
1
0
0
4
0
0
10
1
0
0
4
0
29
11
5
8
0
0
9
0
12
2
0
1
0
0
5
13
1
0
0
0
0
0
14
0
1
0
0
1
0
15
0
0.1
0
0
0
0
16
0
0
0
0
0
3
17
0
3
0
5
108
0
18
0
37
0
0
0
0
19
0
23
0
0
0
0
20
4
4
0
0
12
13
21
1
14
0
0
2
0
22
0
10
0
0
0
0
23
0
3
0
0
0
0
24
0
3
0
0
0
0
25
0
0
0
0
0
3
26
0
0
0
0
0
5
27
0
0
0
0
0
28
28
0
0
0
0
0
47
29
0
0
0
0
3
0
30
0
0
0
0
0
2
20
106.1
183
21
150
257
Rata-rata
0.666667
3.536667
6.1
0.7
5
8.566667
Sumber :
BMG (2008)
31 Jumlah
Lampiran 6. Bobot basah(gr) pada masing-masing perlakuan
Perlakuan Ujung,50gr
Ulangan
0
7
14
21
28
35
42
1
50
70
105
130
150
190
205
2
50
80
115
150
170
210
225
50
75
110
140
160
200
215
1
100
110
135
160
200
255
280
2
100
110
125
140
180
245
270
100
110
130
150
190
250
275
1
150
180
220
255
265
320
330
2
150
160
200
245
255
300
320
150
170
210
250
260
310
325
1
50
65
100
110
125
175
185
2
50
55
80
90
115
165
175
50
60
90
100
120
170
180
1
100
115
130
165
190
240
245
2
100
105
120
155
170
220
235
100
110
125
160
180
230
240
1
150
165
185
205
230
265
255
2
150
155
175
195
220
255
245
150
160
180
200
225
260
250
1
50
60
85
105
125
165
175
2
50
60
75
95
115
155
165
50
60
75
95
115
155
165
1
100
110
120
145
175
170
165
2
100
110
120
135
165
160
155
100
110
120
140
170
165
160
1
150
155
165
190
215
210
200
2
150
155
175
200
225
220
220
150
155
170
195
220
215
210
Rata-rata Ujung,100gr Rata-rata Ujung,150 gr Rata-rata Tengah,50gr Rata-rata Tengah,100gr Rata-rata Tengah,150gr Rata-rata Pangkal,50gr Rata-rata Pangkal,100gr Rata-rata Pangkal,150gr Rata-rata
Lampiran 7. Dokumentasi penelitian
Terkena penyakit ice ice
Penimbangan bobot basah
Tanaman uji
Contoh pengukuran parameter lingkungan
Proses pengikatan bibit pada tali polyetilen
Rakit apung
Pembuatan Rakit apung
Panen
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, 15 Juni 1986 anak dari Bapak H. Mamang Sainong SE dan Ibu Hj. Sitti Saleha Ramli S.Sos. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 1 BauBau pada tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Mahasiswa IPB). Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM-FPIK) sebagai Staf Pemanfaatan Sumberdaya Manusia (PSDM) periode 2004-2005. Penulis juga aktif sebagai Ketua Departemen Kewirausahaan organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) periode 20062007. Penulis juga aktif sebagai Staf Pemanfaatan Sumberdaya Manusia (PSDM) divisi Bakat dan Minat juga di HIMITEKA periode 2005-2006. Selama kuliah Penulis dipercaya selalu sebagai Ketua Bidang Transportasi dan Logistik yaitu pada PORIKAN 2005, Fieldtrip Oseanografi Umum 2005, Ekologi Laut Tropis 2006, Praktek Laut 2007 dan Temu Warga 2006 dan 2007. Untuk menyelesaikan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis membuat skripsi yang berjudul Laju Pertumbuhan Bibit Rumput Laut Eucheuma cattonii Dengan Perlakuan Asal Thallus Terhadap Bobot Bibit Di Perairan Lakeba, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.