105
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA Bab sebelumnya telah menguraikan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Sub bab pertama dalam bab ini akan menguraikan analisis mengenai taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik setelah melakukan strategi nafkah rumahtangga dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Kemudian, sub bab kedua membahas mengenai analisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Taraf Hidup Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik dalam penelitian ini diukur melalui pengukuran tingkat kesejahteraan rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, pengukuran taraf hidup rumahtangga dalam penelitian ini mengacu pada indikator pengukuran tingkat kesejahteraan menurut BPS (2009) yang disesuaikan dengan kondisi di lokasi penelitian. Variabel taraf hidup yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) tingkat pengeluaran rata-rata per bulan, (2) tingkat pendapatan rata-rata per bulan, (3) status kepemilikan rumah, (4) luas lahan tempat tinggal, (5) jenis lantai bangunan tempat tinggal, (6) jenis dinding bangunan tempat tinggal, (7) fasilitas tempat buang air besar, (8) sumber penerangan rumah tangga, (9) sumber air minum, (10) bahan bakar untuk memasak, (11) kepemilikan barang berharga, (12) kepemilikan aset pertanian, (13) kemampuan berobat ketika sakit, dan (14) jenis rumah. Namun, variabel nomor 3, 7, 9 dan 10 tidak digunakan dalam perhitungan taraf hidup karena data yang diperoleh homogen. Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangganya dapat dilihat pada Tabel 26 Lebih lanjut, persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangganya dapat dilihat pada Gambar 25. Tabel 26 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Taraf Hidup Rumahtangga
∑
%
1.
Tinggi
8
26.7
2.
Sedang
19
63.3
3.
Rendah
3
10.0
30
100.0
Total
Tabel 26 menunjukkan bahwa mayoritas taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berada pada tingkat sedang. Di sisi lain, jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah hanya sepuluh persen dari total rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum cenderung baik.. Meskipun demikian, terdapat temuan yang menarik ketika data taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dilihat korelasinya
106
dengan lapisan sosial melalui perbandingan indeks komposit taraf hidup pada masingmasing lapisan sosial. Temuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 27.
Gambar 25 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 27 Rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan indeks komposit taraf hidup rumahtangga menurut lapisan sosial di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No. 1. 2. 3.
Lapisan Sosial Atas Menengah Bawah
Jumlah Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik 9 10 11
Indeks Komposit Perhitungan Taraf Hidup Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik 1463.3 728.5 827.3
Tabel 27 menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan atas paling banyak yang bertaraf hidup tinggi. Temuan yang menarik pada data tersebut adalah pada rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah dan lapisan bawah. Jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan bawah yang bertaraf hidup tinggi ternyata lebih banyak bila dibandingkan jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah yang bertaraf hidup tinggi. Hal tersebut disebabkan pelapisan sosial di lokasi penelitian juga dilandaskan pada hal-hal selain taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik, antara lain: ada tidaknya anggota rumahtangga yang pendapatannya tetap, ada tidaknya anggota rumahtangga yang sudah naik haji, dan kemampuan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Hal tersebut terangkum dalam pernyataan Kepala Dusun Karangbolo berikut. “ Itu lapisannya nganu lho mbak, yo didelok seko ono opo rak sing gaweanne tetep penghasilanne, koyo ning kantor no lho mbak. Terus nek iso nyekolahke anake nganti kuliah yo mlebu sing atas, nek munggah kaji kuwi yo mesti atas
107
mbak masuke. Nek sing seko ketok moto yo kuwi-kuwi mau mbak, terus yo omahe barang apik opo rak, jubin, tetep, kokoh no lho mbak. Yo tapi nek omah yo ra mesti ding, ono sing omahe elek tapi yo itunganne masuk sing atas kuwi mbak, kan tergantung wonge mbak seneng omahe apik opo rak, kan yo ono sing disimpen, nek ngono kan yo rak katon moto.”- Pak ASR “Itu lapisannya gini lho mbak, dasarnya juga dilihat dari ada tidaknya anggota rumahtangga yang pekerjaannya tetap, misalnya seperti yang kerja di kantor gitu lho mbak. Kemudian, jika bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah ya masuk lapisan yang atas, kalau sudah naik haji ya itu jelas masuk lapisan atas mbak masuknya. Kalau dari yang terlihat mata ya dari hal-hal tadi mbak, dari rumah juga bagus atau tidak, keramik, tetap, kokoh gitu lho mbak. Ya tapi kalau rumah ya tidak selalu juga sih mbak, ada yang rumahnya jelek tetapi ya termasuk lapisan atas mbak, kan tergantung orangnya mbak, senang rumahnya bagus atau tidak, kan ada juga yang disimpan hartanya, kalau seperti itu kan tidak terlihat mbak.”Pak ASR
Ketidaksesuaian antara lapisan sosial responden dan taraf hidup rumahtangganya memiliki alasan yang beragam pada beberapa rumahtangga pemilik usaha keripik. Ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah disebabkan beberapa alasan. Salah satu alasan yang umum terjadi adalah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tersebut ternyata memiliki tempat tinggal yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, yaitu permanen, berlantai keramik, berdinding tembok, dan luas. Berikut pernyataan salah satu pemilik usaha keripik terkait hal tersebut. “ Omahku ki elek banget mbak asline, iki wae tak utangke ben iso apik. Aku ngesakke anakku mbak, isin le kancane dolan kok omahe elek banget, isin barang mbek tanggane. Nek rak ngutang yo rak iso mbak nggawe omah apik ngene. Saben wulan saiki duite entek nggo nyaur utang”- Ibu MLH “Rumah saya itu aslinya jelek sekali mbak, ini saja saya hutang untuk memperbaiki rumah sampai bagus begini. Saya kasihan dengan anak saya mbak, malu jika temannya main ke rumah kok rumahnya jelek sekali, malu juga dengan tetangga mbak. Kalau tidak hutang ya tidak bisa mbak membuat rumah bagus seperti ini. Setiap bulan sekarang uangnya juga banyak habis buat melunasi hutang tadi mbak.”Ibu MLH “ Ini ya sedikit demi sedikit mbak, uangnya dikumpulin buat benerin rumah. Kan juga pengen mbak ndue omah apik koyo tanggane.”- Ibu SRH “ Ini ya sedikit demi sedikit mbak, uangnya dikumpulkan untuk memperbaiki rumah. Kan juga ingin mbak punya rumah yang bagus seperti tetangga.”- Ibu SRH
Selain akibat kondisi rumah yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah juga disebabkan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tidak memiliki anggota rumahtangga yang bekerja tetap/ pegawai kantor tetapi memiliki aset pertanian sebagai sumber nafkah tambahan, misalnya pada rumahtangga Ibu RWY, beliau memiliki aset pertanian berupa sawah, kebun dan ternak.
108
“ Saya ya sedikit-sedikit nyisihke mbak, dari Bapakke barang, buat sekolah anakke pokoke tak sisihke sik, kudu kuwi mbak pokoke. Alhamdulillah yo bisa buat sawah, kebun sama kambing mbak. Nek ngono yo nggo tambah-tambah tho mbak, ora tak nggo ngapiki omah, ngene wae yo Alhamdulillah nyaman. Yen omahe tak bangun apik ngko nek ngeleh mosok meh nyuil keramik nggo mangan, anakke kan sih sekolah barang. Yo dongakke wae yo mbak omahe sesuk apik, nak saiki no sing penting anake iso sekolah sing dhuwur mbak, wong tuo kan isone nyangoni anak kuwi thok nggo suk mbenne”- Ibu RWY “Saya ya sedikit-sedikit menyisihkan pendapatan mbak, dari bapaknya (re: suami) juga, untuk sekolah anak-anak saya pokoknya saya sisihkan terlebih dahulu mbak, harus itu mbak pokoknya. Alhamdulillah ya bisa untuk beli sawah, kebun sama kambing mbak. Kalau untuk seperti itu kan bisa untuk tambahan pendapatan mbak, tidak saya gunakan untuk memperbaiki rumah, seperti ini saja Alhamdulillah nyaman. kalau misalnya saya gunakan untuk memperbaiki rumah nanti jika lapar gimana mbak? Mau makan keramik? Anak-anak saya kan juga masih sekolah mbak. Ya doakan saja ya mbak rumah saya nanti bisa bagus, kalau sekarang yang penting anaknya bisa sekolah yang tinggi mbak, orang tua kan hanya bisa member bekal pendidikan mbak ke anak-anaknya untuk bekal mereka nanti.”- Ibu RWY
Alasan selanjutnya, rumahtangga tersebut tidak memiliki anggota rumahtangga yang berpenghasilan tetap (bekerja di kantor) tetapi tingkat pendapatan per bulannya tidak tergolong rendah dalam pengolahan variabel taraf hidup, misalnya melalui usaha keripik yang dijalankan rumahtangga tersebut, misalnya pada Ibu SMH. Anggota rumahtangga Ibu SMH tidak ada yang bekerja sebagai pegawai kantor, tetapi tingkat pendapatan beliau tergolong tinggi. Beliau mengaku dalam sehari dapat memproduksi enampuluh kilogram keripik, beliau menggunakan pinjaman dari bank untuk modal usaha beliau tersebut. Selanjutnya, ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial rendah yang ternyata tingkat pengeluaran per bulan dan kepemilikan barang berharganya tergolong tinggi dalam pengolahan variabel taraf hidup, misalnya pada Ibu MSD. Hal tersebut disebabkan beliau masih memiliki dua anak yang bersekolah dan konsumsi makan hariannya tergolong tinggi. Untuk barang berharga, beliau memiliki motor, TV, lemari es, mesin cuci, dan perhiasan emas. Ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial menengah juga disebabkan beberapa alasan. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik yang ternyata memiliki taraf hidup tinggi, yaitu Ibu MQN, disebabkan anggota rumahtangga beliau tidak ada yang bekerja sebagai pegawai kantor tetap tetapi ternyata tingkat pendapatan per bulannya tinggi dari usaha keripik yang dijalankannya dan dari usaha pemasangan listrik yang dijalankan suaminya. Selain itu tingkat pengeluaran perbulan rumahtangga beliau juga tergolong tinggi, demikian pula kepemilikan barang berharga dan kemampuan berobatnya. Terakhir, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial menengah juga disebabkan beberapa alasan. Pada ibu SFH, hal tersebut disebabkan beliau memiliki luas tempat tinggal, sumber listrik dan kepemilikan aset pertanian yang tidak tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup. Alasan berupa sumber listrik tempat tinggal yang tidak tergolong rendah juga terdapat pada ibu SFY dan Ibu THM. Hal tersebut disebabkan ternyata rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut sudah memasang listrik sejak lama ketika pemasangan listrik masih diperbolehkan dengan daya 450 watt sedangkan saat ini pemasangan listrik diharuskan minimal 900 watt, berikut pernyataan salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik.
109
“ Halah iki wis suwi owk mbak masange, makane iso 450 watt, nek sakiki kan rak entuk mbak, minimal kudu 900 watt, nek aku yo sakmene wae wis cukup mbak, rak njeglek, ngopo kudu nambah.”- Ibu SFY “ Ini sudah lama mbak memasang listriknya, makanya bisa 450 watt dayanya. Kalau sekarang kan tidak boleh mbak, minimal harus 900 watt. Kalau saya ya segini saja sudah cukup mbak, tidak mati kalau digunakan sehari-hari, jadi kenapa saya harus tambah dayanya.”- Ibu SFY
Alasan lainnya adalah rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dalam kepemilikan barang berharga dan aset pertanian tidak tergolong tinggi dalam perhitungan variabel taraf hidup, misalnya pada Ibu SFY. “Halah mbak, napa beli macem-macem, wong bisa pake tangan owk nyucinya, kulkas juga ndak perlu mbak. Wis TV karo motor thok wae cukup mbak”- Ibu SFY “ Duh mbak, kenapa harus beli macam-macam, kan bisa pakai tangan cuci bajunya mbak, lemari es jug tidak butuh mbak. Sudah, TV dan motor saja cukup mbak.”Ibu SFY “Nek lemah karo kebon rak ndue mbak, bapake barang kan rak iso tani. Nek ternak barang kan omahe ora jembar mbak, ning tengah-tengah ngene rak ono panggone, ngko malah diseneni tanggane. Wis cukup seko pensiunanne wae mbak.Wis tuwo barang yo rak ono tenagane yen tani mbak.”- Ibu THM “Kalau tanah dan kebun tidak punya mbak, bapaknya kan juga tidak bisa bertani. Kalau hewan ternak juga kan rumah saya tidak luas mbak, posisinya juga di tengahtengah rumah penduduk seperti ini, tidak ada tempatnya lah mbak, nanti malah dimarahi tetangganya. Ya sudah cukup dari pensiunan bapak saja mbak, sudah tua juga mbak, sudah tidak ada tenaganya.”- Ibu THM
Implementasi Industrialisasi Pedesaan dan Taraf Hidup Rumahtangga Sayogyo dan Tambunan (1990) juga menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi. Pengukuran tingkat kesejahteraan berasosiasi dengan pengukuran taraf hidup sebagaimana yang dikatakan Pratiwi (2009) bahwa tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Hasil wawancara dengan rumahtangga pemilik usaha keripik mayoritas menyatakan bahwa rumahtangga pemilik usaha keripik mengaku lebih mampu meningkat taraf hidupnya dengan menjalankan industri keripik, misalnya dalam hal tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan barang berharga, dan kepemilikan aset pertanian. Beberapa juga menyatakan menyenangi kondisi kerja dengan menjalankan industri keripik. Bahkan ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang merasa senang karena dengan menjalankan industri keripik status sosialnya meningkat. Berikut pernyataan beberapa pemilik usaha keripik terkait dengan hal tersebut.
110
“ Ya Alhamdulillah mbak, dari usaha keripik ini yo iso nggo tuku montor, lemah barang. Terus yo iso nggo mbangun omah, sithik-sithik diapiki ngono tho mbak. ”- Ibu SFR “Ya Alhamdulillah mbak, dari usaha keripik ini ya saya bisa untuk beli mobil, beli tanah juga. Selain itu juga bisa memperbaiki rumah mbak, sedikit demi sedikit.”Ibu SFR “Saya dulunya di pabrik mbak, terus njahit ikut orang tu lho mbak. nek gini enaknya tuh punya sendiri mbak, nek ikut orang kan ndak enak mbak, ada bosnya, dioyak-oyak kudu cepet dadi jahitane. Nek bikin keripik gini kan enak mbak, santai, ora kemrungsung, paling sing ngoyak-oyak yo bakule ning, kan orak setertekan nek melu wong mbak. Njur yo iso libur nek tetanggane hajatan, nek melu wong kan ndak bisa tho mbak. Nek sekarang yo capek mbak, tapi bar dapet duit yo capeknya ilang. ”- Ibu MTF “Saya dulunya di pabrik mbak, kemudian saya kerja menjahit, jadi bawahannya orang lain. Kalau usaha keripik seperti ini itu enak mbak, karena milik sendiri. Kalau ikut orang lain kan tidak enak mbak, ada bosnya, dikejar-kejar harus cepat jadi jahitannya. Kalau membuat keripik seperti ini kan enak mbak, santai, tidak terburu-buru, paling yang mengejar-ngejar hanya pembelinya, tidak terlalu tertekan seperti ketika menjadi bawahan orang mbak. Selain itu juga bisa libur mbak kalau ada tetangga ada yang punya acara, kalau jadi bawahan orang kan tidak bisa seperti itu mbak. Kalau sekarang ya capek mbak, tapi setelah dapat uang ya capeknya hilang”- Ibu MTF “ Nek di rumah kan enak mbak kerjane, nek capek tidur, nek ngeleh mangan. Nek ning pabrik rekoso, jam enem esuk wis mangkat ngantor mbak, mulihe mbengi banget, opomeneh yen lembur”- Ibu WNN “Kalau usaha keripik kan enak mbak di rumah kerjanya, kalau capek bisa tidur, kalau lapar bisa makan. Kalau di pabrik sengsara mbak, jam enam pagi sudah berangkat ke kantor mbak, pulangnya malam sekali , apalagi kalau lembur”- Ibu WNN “ Enak ngene mbak, nek ikut orang thu nggak enak, ndak bebas. Nek gini kan enak, iso ning omah, ngerawat omah, ndampingi anak. Lebih ayem sekarang mbak, nek dulu kan kerjone dioyak-oyak. “- Ibu IZR “ Enak usaha keripik mbak, kalau jadi bawahan orang lain itu tidak enak. Kalau seperti ini kan enak, bisa di rumah, mengurus rumah, mendampingi anak. Lebih tenang begini mbak, kalau dulu kan kerjanya dikejar-kejar terus.”- Ibu IZR “ Jane yo mbak nek diitung-itung per harine yo mungkin banyak dari kuli bangunan lho mbak. Tapi saya no seneng wae ik usaha gini, ora kemrungsung, yo lemu wae ik walopun gaweanne akeh. Nek ngene kan luwih enak mbak, diundang tanggane “gan, gan, juragan”- Ibu MQR
111
“ Sebenarnya ya mbak, kalau dihitung-hitung per harinya mungkin lebih banyak kuli bangunan mbak dapat uangnya. Tapi saya ya senang saja itu mbak usaha seperti ini, tidak terburu-buru dan tertekan, ya gendut saja tuh walaupun banyak pekerjaan. Kalau seperti ini kan lebih enak mbak, dipanggil tetangga “gan, gan juragan”- Ibu MQR
Hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga responden dalam penelitian ini dilihat melalui hasil pengolahan data melalui tabel silang yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Implementasi No. Industrialisasi Pedesaan
Taraf Hidup Rumahtangga Tinggi
Sedang
Σ
%
Σ
%
Total
Rendah Σ
%
Σ
%
1.
Tinggi
6
75.0
7
36.8
0
0.0
13
43.3
2.
Sedang
2
25.0
12
63.2
3
100.0
17
56.7
3.
Rendah
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Total
8
100.0
19
100.0
3
100.0
30
100.0
Tabel 28 memperlihatkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, terdapat 75 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 25 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Dengan kata lain, terlihat adanya hubungan semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan, semakin tinggi taraf hidup rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik. Hubungan ini juga diperkuat oleh hasil uji korelasi Rank Spearman yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berkorelasi dan signifikan. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk kedua variabel tersebut sebesar 0.445 dengan nilai signifikansi sebesar 0.014. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo, dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya.
112
Ikhtisar Mayoritas taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berada pada tingkat sedang. Di sisi lain, jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah hanya sepuluh persen dari total rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum cenderung baik. Meskipun demikian, terdapat temuan yang menarik ketika data taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dilihat korelasinya dengan lapisan sosial melalui perbandingan indeks komposit taraf hidup pada masing-masing lapisan sosial. jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan atas paling banyak yang bertaraf hidup tinggi. Temuan yang menarik pada data tersebut adalah pada rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah dan lapisan bawah. Jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan bawah yang bertaraf hidup tinggi ternyata lebih banyak bila dibandingkan jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah yang bertaraf hidup tinggi. Hal tersebut disebabkan pelapisan sosial di lokasi penelitian juga dilandaskan pada hal-hal selain taraf hidup rumahtangga, misalnya ada tidaknya anggota rumahtangga yang pendapatannya tetap, ada tidaknya anggota rumahtangga yang sudah naik haji, dan kemampuan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Selain itu, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah disebabkan beberapa alasan. Salah satu alasan yang umum terjadi adalah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tersebut ternyata memiliki tempat tinggal yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, yaitu permanen, berlantai keramik, berdinding tembok, dan luas. Hasil penelitian juga memperlihatkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi rumahtangga pemilik usaha keripik. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan terdapat 75 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 25 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Hubungan ini juga diperkuat oleh hasil uji korelasi Rank Spearman yang memperlihatkan bahwa tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik berkorelasi dan signifikan. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk kedua variabel tersebut sebesar 0.445 dengan nilai signifikansi sebesar 0.014. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo, dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya.