REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI DAN DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN (Survai: Empat Desa di Kab. Indramayu dan Kab. Pontianak)
ROOSGANDA ELIZABETH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER TULISAN
Dengan ini, saya: Roosganda Elizabeth, menyatakan bahwa tesis “Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam tesis ini dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 4 Januari 2007.
Roosganda Elizabeth NIM. A.15.204.0041
ABSTRAK
ROOSGANDA ELIZABETH. Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan. LALA M. KOLOPAKING, sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan FREDIAN TONNY sebagai Anggota Komisi Pembimbing. Sektor pertanian masih berperan penting, ditinjau dari kontribusi pada PDB, penyerapan tenaga kerja, dan devisa non-migas, sehingga layak diprioritaskan dalam kebijakan strategis pembangunan di Indonesia. Terdapat kecenderungan beralihnya kegiatan ekonomi petani ke sektor non-farm yang umumnya non-formal sebagai diversifikasi usaha rumahtangga. Menjadi TKI merupakan keputusan fenomenal, dimana remitansnya yang besar ternyata mampu meningkatkan pendapatan suatu rumahtangga dan membantu finansial pembangunan lingkungan di daerah asal. Diversifikasi usaha cenderung mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga yang melakukannya. Indeks diversifikasi berkorelasi negatif dengan pangsa pendapatan sektor pertanian, sebaliknya berkorelasi positif dengan pangsa pendapatan non pertanian. Dari hasil analisis, di Indramayu, pendidikan KK contoh berelasi relatif erat dengan diversifikasi usaha rumahtangga, namun cenderung berelasi kurang erat dengan besarnya pendapatan rumahtangga. Ditemukan kecenderungan relasi yang tidak terlalu erat antara luas penguasaan, pengusahaan lahan, anggota rumahtangga usia kerja dan tingkat pendapatan rumahtangga. Sedangkan di Pontianak, umumnya ditemukan relasi kurang erat antara jumlah anggota keluarga yang terlibat, tingkat penguasaan, pengusahaan lahan, tingkat pendidikan dan tingginya tingkat pendapatan. Hasil analisis Indeks Entropy menunjukkan terdapat kecenderungan relasi yang tidak erat antara diversifikasi usaha rumahtangga dan peningkatan pendapatan rumahtangga. Namun dari kualitatif hasil tabulasi data dan pengamatan di lapang, secara empirik diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga pada kenyataannya mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani contoh. Salah satunya dengan mencermati tabulasi kontribusi pendapatan diversifikasi usaha sub-sektor on-farm, offfarm, dan non-farm terhadap total pendapatan rumahtangga petani contoh. Perbedaan hasil analisis data dengan empirik hasil temuan di lapang secara kualitatif diduga lebih disebabkan (dipengaruhi) oleh: 1) besarnya pendapatan seorang anggota rumahtangga dari suatu usaha, dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga lain pada waktu yang bersamaan; 2) pendapatan seorang anggota rumahtangga dari beberapa usaha sekaligus, justru lebih tinggi dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga dari beberapa usaha pada rumah tangga lain; 3) keterbatasan alat analisis dan data peubah (variabel) yang diperoleh dari rumahtangga contoh. Meskipun demikian, dapat diartikan bahwasanya diversifikasi usaha rumahtangga petani contoh cenderung mengarah pada besarnya pendapatan yang dihasilkan suatu jenis usaha. Di sisi lain, diversifikasi usaha rumahtangga sebagai sumber pendapatan lebih mengarah pada kegiatan non-farm karena mampu meningkatkan pendapatan relatif tinggi. Tingkat pengeluaran rumahtangga petani contoh berbanding lurus dengan tingkat pendapatannya.
Pertumbuhan ekonomi secara nyata telah mempengaruhi dinamika dan perubahan struktur kesempatan kerja, baik terhadap perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan kerja, maupun persepsi terhadap status dan jenis pekerjaan. Pentingnya pemahaman struktur dan dinamika kesempatan kerja terutama pada masa pasca krisis ekonomi, dimana sektor industri mengalami pemulihan yang relatif lambat dibanding sektor pertanian. Keadaan ini hendaknya menyadarkan pemerintah pada peran penting sektor pertanian. Hal ini terkait dengan peran penting sektor pertanian terutama sebagai sumber utama matapencaharian penduduk di pedesaan dan stabilitas penyerap tenaga kerja. Dengan demikian, sektor pertanian di pedesaan tetap menjadi harapan penyerap tenaga kerja, di samping sektor informal di perkotaan. Key words: peran sektor pertanian, remitans TKI, diversifikasi usaha rumahtangga, tenaga kerja.
ABSTRACT
ROOSGANDA ELIZABETH. Remittance of Work from Outside the Country and Diversify the Household Effort. LALA M. KOLOPAKING, as chief of counsellor commission; and FREDIAN TONNY, as member of counsellor commission. Agriculture sector still the important role, evaluated from contribution to PDB, labour absorbtion, and foreign exchange non migas, so that competent given high priority in development strategic policy in Indonesia. There’re tendency change over farmer economic activity to non-farm sector which generally non-formal such the household diversified. Become TKI represent fenomenal, where its remittance is big really able to improve household earnings and assist environmental development financial in origin area. Diversify the household effort tend to able to improve household earnings which conducting it. Make a negative correlation to diversified index with agricultural sector compartment, but have the positive correlation to non-agriculture earnings compartment. At farmer household example follow in Indramayu, found relative sliver correlate between the household effort diversifiedly and family head education. But, the tend to less tight correlate with the household earning level. Less tight relationship among owner and farm cultivation (enterpasing), household member of age work, mount education, and mount household earnings. In Pontianak, generally found not differently condition than Indramayu. The tend to less tight relationship between household member in concerned, owner and cultivation farm, mount education and earnings heights. Even Entropy Index analysis show not tight relationship between diversified by household effort and earning improvement; but from qualitative analyse the data tabulation and empirical perception in spacious, the effort diversified done by example household able to improve earning it. This matter is influenced by: 1) earning level of household member from an area of just effort compared to some member to other earnings, dissimiliar household, when which at the same time; 2) a household member earnings from some effort area at one blow, higher exactly compared to some household member earnings differ from some effort area. Then, diversifying the household effort as earnings source more instruct at non-farm activity caused able to improve high earnings relative. Mount expenditure compare diametrical with storey; earning level of the examples of farmer household. Economic growth manifestly dynamics and change of opportunity work structure influenced, do well by change of labour composition according to employment, status and work type perception too. The important that’s shall awake government, especially pasca of economic crisis, on decided the agriculture important role, as source of subsistence means on rural resident, expectation of labour absorbtion stability. Keywords: agriculture sector role, remittance of TKI, household effort diversified, labour
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, 2007. Hak cipta dilindungi. Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm, dan sebagainya.
Akademik SPs IPB
Judul Tesis
:
Nama NIM Program Studi
: : :
Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan Roosganda Elizabeth A152040041 Sosiologi Pedesaan
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Ketua
Ir. Fredian Tonny, MS Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan
Dr.Ir.M.T.Felix Sitorus, MS
Tanggal Ujian: 15 Januari 2007.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Lulus:
REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI DAN DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN (Survai: Empat Desa di Kab. Indramayu dan Kab. Pontianak)
ROOSGANDA ELIZABETH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PRAKATA
Puji dan syukur yang berkesinambungan penulis panjatkan ke hadirat Bapa di Surga, yang senantiasa melimpahkan rahmat, rejeki, kesehatan, kemampuan, kekuatan, dan ketabahan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini mengemukakan tema upaya peningkatan pendapatan rumahtangga petani dan solusi makin sulitnya lapangan pekerjaan. Dengan judul Remitans Bekerja Dari Luar Negeri Dan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Di Pedesaan, Studi Survai pada rumahtangga petani di empat desa di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menyadari benar bahwa tesis ini diselesaikan dalam masa-masa prihatin kehidupannya baik dari sisi ekonomi maupun sulitnya membagi waktu antara kewajiban sekolah, bekerja, dan mengurus rumahtangga. Dengan tekad yang kuat, ketabahan dan kesabaran serta dukungan seluruh keluarga, teman-teman, dan para dosen yang menjadi kunci terselesaikannya tesis ini. Terima kasih yang setulusnya dari hati penulis disampaikan kepada dosen pembimbing yang telah dengan sabar dan meluangkan waktu yang tidak sedikit dalam membimbing penulis hingga tahap akhir penulisan dan penyempurnaan tesis ini. Dr. Lala M. Kolopaking, MS, atas kepercayaan, arahan, dorongan, dan diskusi aktif yang selalu aktual dan sangat berarti bagi perbaikan dan penyempurnaan kerangka analisis. Ir. Fredian Tonny, MS, atas dukungan, diskusi yang berarti dalam pengembangan tesis ini. Ir. Said Rusli, MA, sebagai dosen penguji yang telah memberi input yang berarti bagi penyempurnaan akhir tesis. Kepada seluruh dosen pengajar Program Studi Sosiologi Pedesaan, yang telah membuka dan memperluas wawasan berpikir penulis dengan berbagai ilmu dan pengetahuan selama menjalankan studi; yang sangat bermanfaat bagi kredibilitas penulis sebagai seorang peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian (PSE-KP d/h PSE) Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada Dr. Pantjar Simatupang dan Dr. Tahlim Sudaryanto (yang menggantikannya) sebagai Pimpinan di unit kerja penulis yang telah memberikan kesempatan dan ijin belajar. Terima kasih kepada Tim Penelitian Pola Multi Usahatani 2006 yang telah mengilhami dan memotivasi tema tesis, serta seluruh rekan kerja di PSE-KP dan instansi lainnya.
Dari hati yang paling dalam, dengan penuh cinta kasih penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada suami tercinta, P.P Situmorang, SH, MM dan buah hati anandaku tercinta Giovanni Inez Erika M. S (kakak) dan Geraldi Samuel I. S (abang) yang dengan penuh do’a, pengertian, pengorbanan, dan kasih sayang, mendukung dan memotivasi penulis untuk tetap kuat dan semangat hingga semua proses studi ini dapat diselesaikan dengan baik. Terima kasih yang tulus kepada Mami tercinta, abang-abang, kakak-kakak, adik, Ibu Mertua, adik-adik ipar, dan keponakan semua. Mereka semua adalah anugerah dari Tuhan YME yang paling berharga dan membanggakan bagi penulis. Mohon maaf yang sebesar-besarnya disampaikan penulis kepada semua pihak atas segala keterbatasan yang terjadi selama proses studi ini berlangsung. Semoga tesis ini dapat menjadi karya ilmiah yang bermanfaat bagi semua pihak. Tuhan Memberkati kita, senantiasa.
”Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup.” (Carl Jung) (Ai ndang na huhailahon barita nau uli i, ai hagogoon ni Debata do i , paluahon nasa na porsea. Rom.1: 16a)
Bogor, 4 Januari 2007.
Roosganda Elizabeth
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 September 1966, hari Jumat pk. 09.45 WIBB, di RS. Elisabet, di kota Medan, Sumatera Utara, sebagai putri ketujuh dari delapan bersaudara, dari orangtua tercinta, pasangan D.S Manurung† dan B br Ambarita. Lulus dari SD Budi Murni I, tahun 1979. Lulus dari SMP Budi Murni I, tahun 1982. Lulus dari SMAN I tahun 1985, yang semuanya diselesaikan di kota Medan. Selulusnya pendidikan SMA, tahun 1985 diterima melalui jalur PMDK (Penelusuran Minat Dan Kemampuan) di Universitas Sumatera Utara (USU), jurusan Sosial Ekonomi Pertanian (SEP), dan berhasil lulus tahun 1990. Tahun 1990 - 1991, pernah bekerja di Bank Umum Nasional (d/h Bunas) di Medan, pindah bekerja ke Bank LIPPO di Batam. Dalam rentang waktu yang sama, kemudian pindah bekerja kembali sebagai tim audit dan analis operasional karena di rekrut oleh BPR Bona Pasogit untuk wilayah Sumatera Utara. Tahun 1991 – 1994 bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) menjadi staf peneliti di Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Puslitbangtan), Bogor. Dari pertengahan tahun 1994 hingga sekarang, karena re-organisasi, penulis direkrut untuk bekerja sebagai seorang peneliti di Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian (PSE-KP d/h PSE), Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian, dengan alamat kantor berlokasi di Bogor-Jawa Barat. Baru tahun 2004, dengan kasih, kuasa, dan rahmat Tuhan YME, serta seizin pemimpin instansi, penulis diberi kesempatan meneruskan studi S2 di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (SPs IPB, Bogor) pada program studi Sosiologi Pedesaan (SPD). Penulis berhasil lulus dan memperoleh gelar Magister Sains pada bulan Januari 2007.
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK PERNYATAAN RIWAYAT HIDUP PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR BAGAN PENDAHULUAN Latar Belakang …………………………………………………………….. Perumusan Masalah ……………………………………………………….. Justifikasi ………………………………………………………………….. Tujuan Penelitian ………………………………………….......................... Kegunaan Penelitian ..................................................................................... Defenisi dan Batasan Operasional ................................................................
1 3 4 6 6 7
TINJAUAN PUSTAKA Peran Penting Sektor Pertanian .…………………………………………… Petani: Metamorphosis dan Dimensi Struktur Sosial …….……………….. Dinamika dan Entitas Sosial Petani yang Khas …………………………… Kemiskinan: Fenomena Sosial Ketidakberdayaan Masyarakat ……….….. Tingkat Upah Sektor Pertanian: Prospek Pendapatan RT di Pedesaan ….... Diversifikasi Usaha RT: Pemberdayaan TK dan Peningkatan Pendapatan RT TKI: Fenomenal Ketenagakerjaan Era Globalisasi ………………………... Kerangka Pemikiran ……………………………………………………….
9 14 20 26 29 30 31 36
METODOLOGI PENELITIAN Jenis dan Analisis Data ……………………………………………………. Pemilihan Responden ……………………………………………………... Spesifikasi Alat Analisis ……………………………………………........... Indeks Entropy ……………………………………………………………. Analisis Usahatani …………………………………………………………. Analisis Korelasi ………………………………………………………….. Waktu Penelitian …………………………………………………………... Jadwal Palang ………………………………………………………………
38 39 40 40 41 41 42 42
KARAKTERISTIK LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN a. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat …………………………… b. Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat …………………….. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh 1. Struktur Rumahtangga Berdasarkan Umur ..…………………………... 2. Struktur Rumahtangga berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan ..……… 3. Kondisi Rumah Tinggal Petani Contoh .………………………………. 4. Penguasaan dan Pengusahaan Aset Produktif ………………………… 5. Pola Usahatani …………………………………………………………. 6. Analisa Pendapatan Usahatani ………………………………………… 7. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan ………………………………………
49 50 53 56 61 61 63
PERAN REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI Remitans dan Mobilitas Sosial TKI di daerah Asal ……………………… TKI: Aset Ekonomi bagi Daerah …………………………………………
68 72
KONTRIBUSI PENDAPATAN ON-FARM, OFF-FARM, NON-FARM, SEBAGAI DIVERSIFIKASI USAHA TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA CONTOH DI PEDESAAN Struktur Pendapatan RT dari Diversifikasi Usaha On-farm, Off-farm, Non-farm …………………………………………………………………
78
DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN Tingkat Diversifikasi Usaha Rumahtangga ...…………………………… Relasi Diversifikasi Usaha Rumahtangga dengan Karakteristik RT ...….. Relasi Tingkat Pendapatan dan Tingkat Pengeluaran RT Contoh .……...
88 91 95
DINAMIKA DAN PERGESERAN STRUKTUR KETENAGAKERJAAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
43 45
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja oleh Berbagai Sektor, 1981-2004 ..…………..
10
Tabel 2. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDB, 1981-2004 (%) ……………………
11
Tabel 3. Pertumbuhan dan Proporsi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia, 1997-2003 ……………………………….
13
Tabel 4. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berbagai Sektor Ekonomi di Daerah Penelitian, 2004/2005 .……………………………………....
13
Tabel 5. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDRB, di Daerah Penelitian ……………
14
Tabel 6. Perbandingan Masyarakat Primitif, Petani, dan Petani Modern ………...
16
Tabel 7. Persentase TKI menurut Gaji/Upah Sebulan …………………………….
32
Tabel 8. Penempatan TKI ke Luar Negeri menurut Kawasan, 2001-2003 ……….
33
Tabel 9. Perolehan Remitansi TKI tahun 1999 – 2003 ………………...................
34
Tabel 10. Tataguna Lahan di Prov. Jabar, Kab. Indramayu, 2004/2005 ………….
43
Tabel 11. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas berbagai Komoditas Usahatani Di Kec. Losarang, Kab. Indramayu, dan Prov. Jabar …………………..
44
Tabel 12. Luas Areal, Produksi Komoditas Pertanian Prov.Kalbar dan Kab. Pontianak. 2004/2005 .....................................................................
45
Tabel 13. Tataguna Lahan di Kab. Pontianak, Kec. Sungai Kakap dan Rasau Jaya
47
Tabel 14. Luas Areal dan Produksi Komoditas Pertanian Kab. Pontianak Kec. S. Kakap dan Rasau Jaya. 2004/2005. ....................................…….
48
Tabel 15 Luas Areal dan Produksi Tanaman Tahunan Kab. Pontianak. 2004/2005
49
Tabel 16. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga, Umur KK, dan Kelompok Umur, 2006 ……………
50
Tabel 17. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan, 2006 ………………………………………..
52
Tabel 18. Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga Petani Contoh, 2006 ……….....
54
Tabel 19. Kelengkapan Rumahtangga Contoh di Lokasi Penelitian, 2006 ...……...
56
Tabel 20. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Petani Contoh di Kab. Indramayu, 2006 ………….........................................................
57
Tabel 21. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Petani Contoh di Kab. Pontianak, 2006 ………..............................................................
58
Tabel 22. Rataan Pemilikan Ternak pada Rumahtangga Contoh, 2006 ....………..
59
Tabel 23. Pemilikan Alsintan Rumahtangga Contoh, 2006 .............……………….
59
Tabel 24. Pemilikan Alat Transportasi Rumahtangga Contoh, 2006 …...…………
60
Tabel 25. Analisa Usahatani dan Palawija di Lokasi Penelitian, 2006 ……………
62
Tabel 26. Luas Penguasaan, Pengusahaan Lahan, dan Rasio Keduanya Di Lokasi Penelitian ……………………………………………………
64
Tabel 27. Perbandingan Pendapatan Rumahtangga Contoh dari Remitans TKI Di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2005/2006. ................……………..
68
Tabel 28. Rataan Pendapatan Rumahtangga TKI Contoh dari Pertanian dan Luar Pertanian di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2005/2006 ..............
69
Tabel 29. Rataan Pendapatan RT TKI Contoh dibanding Non-TKI sebagai Pendapatan Non-Farm di Kab. Indramayu dan Pontianak.2005/2006 .…
70
Tabel 30. Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Pedesaan Kab. Indramayu berdasarkan Penguasaan Lahan. 2005/2006 .............….
79
Tabel 31. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-farm terhadap Total Pendapatan On-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, Kab.Indramayu. 2005/2006 .....................……………………………….
80
Tabel 32. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-farm terhadap Total Pendapatan Off-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, Kab.Indramayu. 2005/2006 .............…………………………………….
81
Tabel 33. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-farm terhadap Total Pendapatan Non-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, Kab.Indramayu. 2005/2006 .............…………………………………….
81
Tabel 34. Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Pedesaan Kab. Pontianak berdasarkan Penguasaan Lahan. 2005/2006 .............…..
84
Tabel 35. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-farm terhadap Total Pendapatan On-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, di Kab. Pontianak 2005/2006 ……………………………………………
85
Tabel 36. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-farm terhadap Total Pendapatan Off-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, Kab. Pontianak.2005/2006 ......………………………………………….
86
Tabel 37. Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-farm terhadap Total Pendapatan Non-farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan, Kab. Pontianak. 2005/2006 …………………………………………….
87
Tabel 38. Rasio Jenis Pekerjaan dan Indeks Entropy Rumahtangga Contoh Di Kab. Indramayu dan Pontianak ……………………………………...
90
Tabel 39. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan Diversifikasi Usaha Rumahtangga di Kab. Indramayu ………………..
93
Tabel 40. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan Diversifikasi Usaha Rumahtangga di Kab. Pontianak ......……………...
95
Tabel 41. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Contoh di Indramayu …...…
97
Tabel 42. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Contoh di Pontianak …….
98
Tabel 43. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat, 2005 ……………………………..…. 105 Tabel 44. Klasifikasi Penduduk Provinsi Jawa Barat, dan Kab. Indramayu …….. 105 Tabel 45. Luas Desa, Penduduk, dan Luas Lahan Sawah Tadah Hujan ………….. 106 Tabel 46. Proporsi dan Pertumbuhan Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian, 1997-2003 ………………………………………….... 107 Tabel 47. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Pontianak, 2004/2005 ………………………...…. 109
DAFTAR BAGAN Halaman
Bagan 1: Gambaran Masyarakat Petani (Chayanov) ………………………….....
18
Bagan 2: Gambaran Masyarakat Petani di Desa (van Vollenhoven) .…………….
18
Bagan 3: Pendekatan Umum Hubungan Diversifikasi Usaha Rumahtangga dengan Pendapatan di Pedesaan ….....…………………………………..
37
Bagan 4: Konsep Pembangunan Pertanian Mencapai Pengentasan Kemiskinan melalui Diversifikasi Usaha Rumahtangga ……..………………….......
111
PENDAHULUAN
Latar Belakang Sektor pertanian sudah seharusnya mendapat prioritas dalam kebijaksanaan strategis pembangunan di Indonesia. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia, masih berperan penting baik dari kontribusinya terhadap PDB dan devisa non-migas, maupun dalam penyerapan surplus tenaga kerja. Meski pangsa sektor pertanian terhadap PDB terus menurun menjadi 15,94% dibanding pangsa sektor industri sekitar 23,63% tahun 20021, namun dalam hal penyerapan tenaga kerja, sektor pertanian masih tetap yang tertinggi. Kenyataan tersebut mencerminkan masih pentingnya peranan sektor pertanian sehingga patut menjadi prioritas pembangunan ekonomi, termasuk pembangunan infrastruktur penunjang pertanian di pedesaan2. Sektor pertanian, sebagai sumber utama pendapatan rumahtangga di pedesaan, terlebih setelah krisis ekonomi melanda dunia. Hal ini menunjukkan ketangguhan sektor pertanian dalam menunjang perekonomian nasional dan penyerap surplus tenaga kerja. Di samping itu, mayoritas penduduk Indonesia hidup di pedesaan dengan usaha pertanian sebagai sumber matapencaharian utama mereka. Kondisi perekonomian nasional yang belum stabil, berdampak pada belum mampunya sektor di luar pertanian menyediakan lapangan kerja yang dibutuhkan. Keadaan ini turut menjadikan sektor pertanian sebagai penampung melimpahnya para pencari kerja. Seiring meningkatnya angkatan kerja baru dalam penawaran (supply) di pasar tenaga kerja dan perkembangan teknologi, sarana komunikasi dan transportasi, mendorong mereka berusaha mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Keadaan ini juga dipengaruhi makin sempitnya lahan pertanian yang dapat mereka usahakan akibat tingginya konversi ke non-pertanian, serta relatif kecilnya pendapatan dari usahatani semata. Dengan kondisi demikian salah satunya mencerminkan keterbatasan (miskin secara ekonomi) yang umum melekat pada petani, sehingga pengembangan diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga di pedesaan sangat perlu dilakukan. 1 2
BPS, 2000-2003. Data Pendapatan Nasional. Simatupang, et al. 2004.
1
Keberagaman pendapatan yang diperoleh dari diversifikasi usaha rumahtangga salah satunya digambarkan pedesaan Jawa Barat, dimana sekitar 20,6% berasal dari usaha sendiri (dagang, dan usaha lain). Dari usaha buruh non-pertanian sebesar 21,5% (termasuk PRT, TKI, pengamen, pedagang asongan, pengemis, pemulung). Pendapatan utama sebesar 51% tetap masih berasal dari sektor pertanian.3 Dengan demikian, diversifikasi usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga perlu dipandang sebagai suatu kekuatan dan peluang yang harus diberdayakan dan dikembangkan ke arah yang bersifat usaha mandiri. Meski demikian, aset sumberdaya pertanian yang dikuasai petani perlu dikelola secara optimal, agar produktif dan mampu meningkatkan pangsa sektor pertanian terhadap sumber utama pendapatan rumahtangga petani. Adanya kecenderungan makin menurunnya jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di sektor pertanian4, menunjukkan kegiatan ekonomi sebagian masyarakat petani di pedesaan beralih ke sektor luar pertanian. Kecilnya pendapatan dari usahatani semata memicu rumahtangga untuk mencari tambahan pendapatan dari luar pertanian. Pekerjaan non formal, seperti: tukang/buruh bangunan, dagang, industri rumahtangga, PRT (Pembantu Rumah Tangga), pengamen, pengemis, pemulung, atau menjadi TKI (Tenaga
Kerja
Indonesia),
mengindikasikan
terdapatnya
diversifikasi
usaha
rumahtangga sebagai sumber pendapatan di pedesaan. Namun, sektor pertanian tetap mereka pertahankan sebagai sumber pendapatan utama. Belum stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri, dan belum pulihnya perekonomian di sektor riil, serta sempitnya lapangan kerja di Indonesia telah memicu tingginya tingkat pengangguran. Kondisi tersebut mencerminkan makin meningkatnya penduduk miskin, menganggur/sulit mendapat pekerjaan. Bagi mereka, menjadi TKI merupakan keputusan tepat, dipicu fakta/berita bahwa bekerja ke luar negeri memberi prospek dan gaji lebih baik. Fakta demikian dapat menjadi penarik dan pendorong bagi pekerja migran sebagai upaya memperoleh pendapatan dalam ketidakberdayaan di negara asal. Hal ini juga mengindikasikan terjadinya perubahan perilaku ekonomi dan orientasi kerja masyarakat. 3 4
Susilowati, et al. (2002). Hasil penelitian Yusdja, et al (2003).
2
Di era globalisasi kini, TKI menjadi momentum fenomenal yang dilematis, sebab dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan ketrampilan, mereka nekad pergi bekerja ke negara lain yang penuh resiko demi meraih kehidupan yang memadai dan berkecukupan. Pilihan yang fenomenal dan dilematis tersebut sebagai salah satu solusi mereka memperoleh pendapatan rumahtangga. Terutama bagi mereka yang tidak lagi memiliki lahan memadai untuk melakukan usahatani secara subsisten sekalipun. Di sisi lain, remitans yang dihasilkan para TKI telah menjadi kontribusi pendapatan yang sangat besar terhadap devisa non-migas negara Indonesia. Nyatanya, ratusan milyar rupiah yang mereka sumbangkan, baik secara langsung (resmi) atau tidak langsung melalui remitans (kiriman uang), yang harus diakui keberadaannya. Bekerja di luar negeri sebagai TKI, juga memiliki potensi besar sebagai alternatif penyerap surplus tenaga kerja di dalam negeri. Keadaan ini dapat merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk angkatan kerja. Kebijakan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah untuk mengantisipasi dan melindungi keberadaaan mereka di luar negeri dan memperkecil resiko ketertindasan dari berbagai pihak terkait. Untuk mengetahui peran remitans dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan
yang
dapat
dikembangkan
terkait
dengan
peningkatan
pendapatan
rumahtangga petani di pedesaan, maka penelitian mengenai remitans bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan ini dilakukan. Studi ini diharapkan dapat menggerakkan masyarakat pedesaan untuk mampu menangkap potensi dan peluang kesempatan kerja dan berusaha di luar usahatani itu sendiri melalui berbagai diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan. Diversifikasi usaha tersebut selama ini mungkin tidak disadari telah mereka lakukan, diupayakan untuk dikembangkan sebagai sumber pendapatan rumahtangga.
Perumusan Masalah Terdapatnya keberagaman usaha sebagai diversifikasi usaha rumahtangga yang terkait dengan sumber pendapatan rumahtangga di pedesaan, seperti: 1) bekerja dari luar negeri (TKI) semakin berperan sebagai sumber pendapatan rumahtangga melalui
3
remitans kepada keluarga di desa asal; 2) adanya indikasi fleksibilitas kinerja ketenagakerjaan dan kesempatan kerja di luar pertanian, terkait dengan TKI. Relatif kecilnya skala penguasaaan dan pengusahaan lahan oleh petani akan menyebabkan kekurangefisienan sistem usahatani. Disamping itu, kendala fisik lahan dan iklim, kondisi infrastruktur yang kurang memadai turut mengurangi akses petani terhadap pasar input dan output, yang akhirnya mempengaruhi rendahnya pendapatan rumahtangga dari usahatani. Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka beberapa permasalahan yang coba dirumuskan dalam penelitian ini, yakni: 1) bagaimana peran remitans TKI terhadap pendapatan rumahtangga dan mobilitas sosialnya di pedesaan; 2) bagaimana kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan; 3) bagaimana hubungan diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan; 4) bagaimana dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian. Dengan demikian, penelitian mengenai remitans bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan ini dilakukan, dan diarahkan untuk menghasilkan berbagai saran dan implikasi kebijakan terkait dengan hubungan diversifikasi usaha dengan pendapatan rumahtangga sebagai sumber usaha peningkatan pendapatan , termasuk peran remitansi dan peluang mobilitas sosial TKI di pedesaan.
Justifikasi Pelaksanaan pembangunan di berbagai bidang telah membawa dampak terjadinya berbagai perubahan dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat, seperti: penggunaan teknologi (adop teknologi usahatani), penguasaan dan pengusahaan aset produksi, pola berpikir, pendapatan. Perubahan tersebut berhubungan dengan perubahan terhadap: norma dan tatanilai; terkait dengan pola perilaku sosial, ekonomi dan konsumsi; menyangkut struktur kesempatan kerja; serta berdampak pada makin tergesernya masyarakat desa (terpinggirkan) yang tergolong miskin secara ekonomi. Lebih lambatnya kemampuan mereka dalam mengantisipasi perubahan berdampak pada
4
ketimpangan penyebaran pendapatan yang semakin tidak terhindarkan, meningkatnya pengangguran, serta berbagai dampak terkait lainnya. Pertumbuhan perekonomian yang pesat di Indonesia akibat pelaksanaan pembangunan, telah menyebabkan perubahan struktur ekonomi sektoral. Meski demikian, belum sepenuhnya mampu diimbangi pergeseran struktur tenaga kerja. Hal ini mengindikasikan bahwa laju pergeseran tenaga kerja relatif lebih lambat dibanding laju pergeseran ekonomi sektoral; dimana titik balik untuk aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik penggunaan tenaga kerja (labour turning point).5 Problema penciptaan lapangan pekerjaan di pedesaan tampaknya selalu menjadi tantangan berat bagi pembangunan pertanian. Hal ini dilandasi oleh kurang mampunya sektor non-pertanian menyerap limpahan tenaga kerja, makin terbatasnya lahan pertanian yang dapat diusahakan akibat tingginya konversi (alih fungsi) lahan ke nonpertanian yang terus berlangsung. Beberapa penyebab tingginya tingkat konversi lahan adalah dikarenakan kebutuhan lahan untuk kawasan industri, prasarana ekonomi, dan pemukiman yang semakin meningkat. Petani di Indonesia secara umum menguasai dan mengusahakan lahan yang relatif sempit (bahkan landless), sehingga pendapatan yang diperoleh hanya dari usahatani relatif kecil. Pada kondisi tersebut, petani sering tidak mampu mencukupi kebutuhan dasar rumah tangga. Oleh karena itu, diversifikasi usaha rumahtangga diharapkan dapat memberi peluang bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraannya (bukan sekedar subsisten belaka). Salah satu alternatif yang dipilih para tenaga kerja di pedesaan sebagai diversifikasi usaha rumahtangga mereka adalah bekerja di luar negeri menjadi TKI. Berbagai bukti keberhasilan para TKI yang dapat mengangkat status sosial ekonomi keluarganya, yang diperoleh dari teman dan kerabat yang pernah ataupun masih bekerja sebagai TKI, penjadi faktor penarik dan pendorong minat mereka untuk menjadi TKI. Meski dengan nekad menghadapi berbagai bahaya dan resiko yang mungkin akan dihadapi di negara lain, asalkan dapat bekerja dan memperoleh pendapatan yang memadai, merekapun berangkat bekerja ke luar negeri. Bekerja di luar negeri (TKI) 5
Seperti yang dikemukakan Manning (1995).
5
secara mikro dapat meningkatkan taraf hidup TKI maupun rumahtangganya. Imbasan pendapatan TKI dan remitansnya terhadap lingkungan antara lain dengan membantu finansial pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Dilihat dari sisi devisa yang dihasilkan (inflow) dan kontribusi pendapatan diberikan (dihitung berdasarkan remitansinya), secara makro cukup mendukung keuangan negara.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran lebih komprehensif tentang diversifikasi usaha rumahtangga yang berperan dan berpeluang dikembangkan sebagai peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan, dengan: 1. Menganalisis peran remitans bekerja dari luar negeri (TKI) terhadap pendapatan rumahtangga dan mobilitas sosial TKI di desa asal; 2. Menganalisis kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, non-farm sebagai diversifikasi usaha terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan; 3. Menganalisis diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan. 4. Mengungkap dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian.
Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan: 1. Menambah wawasan dan wacana pengetahuan peneliti maupun pembaca mengenai peran remitans bekerja dari luar negeri terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan dan mobilitas sosial TKI di daerah asal; kontribusi pendapatan on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap pendapatan rumahtangga di pedesaan; hubungan diversifikasi usaha rumahtangga terhadap penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan, dan pendapatan di pedesaan; kondisi dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di lokasi penelitian;
6
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi penyusun kebijakan strategi pembangunan pertanian dan pedesaan terkait sumber pendapatan rumah tangga di pedesaan dan sumberdaya manusia yang lebih tepat dan lebih berpihak; 3. Sebagai informasi yang dapat dimanfaatkan untuk penelitian lanjutan dalam pengkajian yang berkaitan dengan tema penelitian ini.
Defenisi dan Batasan Operasional •
Pertanian adalah aktivitas masyarakat dalam mengusahakan, mengolah, mengelola, dan memanfaatkan tanah untuk dapat menghasilkan bahan makanan atau bahan lain yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup.
•
Aktivitas pertanian adalah salah satu kegiatan campur tangan masyarakat terhadap alam melalui usaha memodifikasi ekosistem (alam: lingkungan, iklim, tanah) agar memperoleh manfaat (produksi) yang diinginkan.
•
Buruh tani adalah seseorang bekerja di bidang pertanian, baik memiliki dan atau tidak memiliki tanah pertanian, sehingga bekerja dengan menerima upah, baik sebagai pekerjaan utama dan atau sampingan.
•
Rumahtangga adalah satuan unit keluarga terkecil dalam masyarakat yang berdiam dalam satu tempat tinggal, yang umumnya terdiri dari keluarga inti (suami/KK, istri dan anak-anak).
•
Remitans adalah kiriman uang kepada keluarga di daerah asal yang umumnya merupakan sebagian dari gaji/pendapatan si TKI selama bekerja di luar negeri.
•
Pendapatan adalah imbalan atau penghasilan selama sebulan baik berupa uang maupun barang yang diterima seseorang yang bekerja dengan status pekerja bebas di pertanian atau pekerja bebas di non pertanian.
•
Pendapatan Rumah Tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga, yang diperoleh kepala keluarga dan anggota rumahtangga; dapat berasal dari balas jasa tenaga kerja (upah/gaji, keuntungan, bonus, bagi hasil, dll) dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer/kiriman uang).
•
Kontribusi adalah besarnya sumbangan yang dapat diberikan pada suatu waktu dan keadaan.
7
•
Kontribusi pendapatan mengindikasikan besarnya andil atau peran setiap jenis usaha dalam memberikan pendapatan (sumbangan penghasilan) terhadap pendapatan suatu rumahtangga.
•
Diversifikasi usaha rumahtangga adalah berbagai/keberagaman usaha sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan ataupun sebagai tambahan/peningkatan pendapatan suatu rumahtangga.
•
Tenaga kerja adalah setiap orang (laki-laki atau wanita) berusia 15 tahun ke atas yang sedang dan atau akan melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup dan masyarakat.
•
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
•
Kesempatan kerja adalah lowongan pekerjaan yang dapat diisi oleh tenaga kerja yang sedang mencari pekerjaan; mengandung pengertian lapangan pekerjaan dan kesempatan untuk bekerja, yang ada dalam suatu kegiatan ekonomi (produksi). Dengan demikian, kesempatan kerja adalah termasuk lapangan pekerjaan yang sudah diduduki dan masih lowong. Tingkat kesempatan kerja diukur sebagai persentase orang yang bekerja terhadap jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja.
•
Tingkat partisipasi angkatan kerja adalah perbandingan antara jumlah angkatan kerja dan jumlah seluruh penduduk usia kerja.
•
Dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan adalah perubahan (naik/ turun) dan beralihnya suatu susunan, arah ataupun orientasi tenaga kerja, yang diperlukan di dalam suatu perekonomian pada suatu waktu tertentu, yang dirinci menurut jenis pekerjaan atau profesi, tingkat kualifikasi dan jumlah pekerjaan yang tersedia atau yang diperlukan.
8
TINJAUAN PUSTAKA
Peran Penting Sektor Pertanian Makna dari istilah pertanian adalah merupakan aktivitas masyarakat dalam mengolah (mengelola) dan memanfaatkan tanah untuk dapat menghasilkan bahan makanan dan bahan lain yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup masyarakat yang mengusahakannya. Dengan kata lain, pertanian (agro/agriculture) merupakan suatu bentuk budaya atau kegiatan yang menunjukkan adanya suatu kegiatan (campur tangan) masyarakat pertanian terhadap suatu jenis ekosistem (alam) agar dapat menghasilkan manfaat berupa barang-barang kebutuhan hidup, seperti: bahan pangan maupun sandang dan papan, baik secara langsung maupun setelah mengubah (memodifikasi) ekosistem tersebut. Agro-ekosistem merupakan pengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik alam (lingkungan/iklim dan tanah), dimana keragaan tanaman dan hewan yang dikelola/diusahakan diharapkan tidak akan berbeda nyata.1 Dalam hal ini, aktivitas pertanian merupakan salah satu kegiatan campur tangan masyarakat terhadap alam melalui usaha mengubah (memodifikasi) ekosistem tersebut agar dapat memperoleh manfaat (produksi) yang diinginkannya. Namun, penguasaan pengetahuan dan pengembangan teknologi pengelolaan (modifikasi) terhadap ekosistem (alam) harus dilakukan dengan arif dan bijaksana untuk menjaga dan melestarikan keberadaannya.
a. Nasional Sektor pertanian masih memiliki peran penting bagi masyarakat di Indonesia, terutama di pedesaan. Beberapa peran penting tersebut dapat dilihat pada penyerapan tenaga kerja dan memberikan kontribusi terbesar (pangsa) baik terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) daerah maupun nasional.
1
Amien, 2000.
9
Sektor pertanian tetap merupakan prioritas utama kebijakan pembangunan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi secara signifikan telah mempengaruhi dinamika dan perubahan struktur kesempatan kerja. Hai ini tidak hanya terbatas pada perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan kerja, tetapi juga terhadap status dan jenis pekerjaan. Sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 45,28% terhadap kesempatan kerja nasional yang meningkat dari 43,98% dengan laju pertumbuhan sebesar 0,51% per tahun dari total kesempatan kerja nasional pada periode tahun 19952000 yang meningkat 1,94 % per tahun (Rusastra dan Suryadi, 2004). Dari sisi penyerapan tenaga kerja oleh berbagai sektor, dimana sektor pertanian secara konstan menjadi sektor penyerap tenaga kerja terbesar selama tahun 1981-2004, seperti disajikan pada tabel berikut. Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja oleh Berbagai Sektor, 1981 – 2004 (orang). Sektor Pertanian (%) Industri (%) Perdagangan (%) Konstruksi (%) Keuangan (%) Transportasi (%) Jasa (%) Lainnya (%) TOTAL (100%)
1981 31.593.314 54,46 390.661 0,68 61.666 0,11 6.021.929 10,42 8.553.919 14,80 2.146.210 3,71 1.796.112 3,11 7.238.990 12,52 57.802.888
1991 41.205.791 53,92 564.599 0,74 150.660 0,20 7.946.350 10,40 11.430.655 14,96 2.436.594 3,19 2.493.424 3,26 10.195.106 13,34 76.423.266
1997 35.848.631 41,18 896.611 1,03 233.237 0,27 11.214.822 12,88 17.221.184 19,78 4.200.200 4,83 4.137.653 4,75 13.297.418 15,28 87.049.841
2001 39.743.908 43,77 12.086.122 13,31 17.469.129 19,24 3.837.554 4,23 1.127.823 1,24 4.448.279 4,90 11.003.482 12,12 1.091.120 1,20 90.807.516
2004 40.608.019 43,33 11.070.498 11,81 19.119.156 20,40 4.540.102 4,84 1.125.058 1,20 5.490.527 5,86 10.513.093 11,22 1.265.585 1,35 93.722.036
Sumber: BPS, Data Ketenagakerjaan. 1980-2005.
Dengan mencermati Tabel 1, tahun 2004 sektor industri penyerap tenaga kerja terbesar ketiga setelah sektor pertanian dan perdagangan. Selama periode tahun 19812003, posisi masing-masing sektor setiap tahunnya tidaklah konstan terhadap penyerapan tenaga kerja seperti halnya posisi sektor pertanian. Kondisi tersebut dapat
10
mengindikasikan kenyataan bahwa penyerapan tenaga kerja oleh sektor pertanian relatif stabilnya dalam jangka waktu relatif panjang. Hal ini dapat diartikan bahwa sektor pertanian sebenarnya tetap dapat diandalkan kemampuannya dalam penyerapan tenaga kerja secara nasional. Pada masa pasca krisis ekonomi, sektor industri masih dalam tahap pemulihan yang relatif lambat, sehingga sektor pertanian diharapkan menjadi penyerap tenaga kerja. Demikian juga sektor informal di perkotaan, sehingga terjadi realokasi tenaga kerja ke desa. Diperkirakan sekitar 20% migrasi dari daerah perkotaan ke desa bekerja di sektor pertanian (Rusastra, et al. 2005). Selain itu, juga ada peningkatan partisipasi angkatan kerja pada wanita dan anak-anak. Peran penting sektor pertanian salah satunya didasari pada kenyataan bahwa sektor pertanian masih memberikan kontribusi terbesar baik terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) baik secara nasional maupun PDRB secara regional. Tahun 1981-1991 sektor pertanian secara nasional mempunyai pangsa terbesar dalam PDB dibanding berbagai sektor lainnya, namun terus merosot di tahun berikutnya seperti tersaji pada tabel berikut: Tabel 2. Pangsa Berbagai Sektor dalam Produk Domestik Bruto (PDB), 1981-2004 (%). Sektor Pertanian Industri Pertambangan Konstruksi List,gas,air Perdag,Hotel&Rest. Transportasi Keuangan Jasa TOTAL (%)
1981 21,58 10,70 12,00 16,45 0,71 19,34 4,39 2,86 11,97 100
Sumber: BPS (1973-2005).
1991 19,26 19,85 10,50 8,06 0,95 16,64 5,84 4,06 14,84 100
1996 15,59 23,55 9,18 9,48 1,18 16,95 5,97 4,86 13,22 100
1997 15,00 24,10 8,93 9,51 1,27 17,11 6,09 4,82 13,17 100
2000 16,64 23,59 9,77 8,64 1,65 15,95 7,30 6,90 9,56 100
2002 16,04 28,23 8,28 5,50 0,95 16,55 5,26 8,29 8,89 100
2004* 15,38 28,34 8,55 5,84 0,99 16,19 6,09 8,44 10,18 100
* = Angka sementara.
Pada Tabel 2, sektor pertanian tahun 2004 hanya diperingkat 3 yaitu 15,38% dalam memberikan sumbangan pada struktur ekonomi Indonesia dibandingkan sektor lainnya. Peringkat tersebut menurun dan tidak konstan selama 20 tahun terakhir, dimana tahun 1981 hingga 1990 sektor pertanian menjadi peringkat 1 terbesar dalam pangsa kontribusi terhadap PDB. Bila tidak disikapi dengan serius, tidak mustahil bila peringkat
11
sektor pertanian terus menurun dibanding sektor lainnya terhadap pangsa dalam PDB. Padahal, Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yang mayoritas penduduknya hidup dan bermatapencaharian sebagai petani. Dari sisi produk pertanian kita senantiasa meningkat setiap tahunnya, tetapi sesungguhnya angka produksi tersebut masih sangat kecil bila ditinjau dari sisi potensi lahan yang ada. Untuk itu, dalam usaha membangun sektor pertanian, pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani dengan mengusahakan pelaksanaan usaha pertanian dengan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian di pedesaan. Sektor pertanian harus dibangun secara menyeluruh dan terpadu melalui: 1) Ketersediaan sarana produksi yang terjangkau oleh daya beli petani; 2) Pasar yang dapat menampung produk pertanian beserta transportasi yang memungkinkan pengangkutan produk ke pasar; 3) Kredit produksi dengan bunga dan jangka waktu pembayaran kembali yang sesuai dengan kemampuan petani sehingga dapat mengisi kekurangan modal usaha; 4) Pembangunan sarana irigasi yang mendukung produktivitas; 5) Lembaga penelitian yang menghasilkan teknologi tepat guna; 6) Lembaga penyuluh dan pelatihan; 7) Kelembagaan petani yang dapat meningkatkan posisi produsen dalam menghadapi konsumen; 8) Kebijakan harga masukan dan produk pertanian yang menimbulkan insentif berproduksi. Dari segi pendidikan, proprorsi terbesar hanya berpendidikan SD. Hal ini dikarenakan sulitnya perekonomian masyarakat pedesaan pada umumnya. Kondisi ini terkait dengan sumber pendapatan penduduknya yang terutama bergantung pada hasil pertanian (60%). Sementara itu semakin hari penduduk desa usia kerja terasa semakin sulit memperoleh pekerjaan, sehingga pengangguranpun semakin meningkat. Mereka kemudian, terutama kaum muda yang berpendidikan SLTA, lebih memilih untuk merantau ke daerah perkotaan, atau menjadi TKI/TKW. Menurut data BPS sampai dengan tahun 2003, terjadi pergeseran ke arah peningkatan terhadap tingkat pendidikan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Pada tahun 2000-2003 pendidikan SD meningkat sebesar 2,34% per tahun, 14,05% untuk tingkat SLTP, dan 3,91% per tahun untuk tingkat SLTA.
12
Tabel 3. Pertumbuhan dan Proporsi Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Indonesia, 1997 – 2003. Pertumbuhan (%/tahun) Proporsi (%) Tingkat Pendidikan 1997 - 1999 2000 - 2003 1997 - 1999 2000 - 2003 Tidak sekolah -5.74 -6.12 41.85 41.85 SD 7.28 2.34 42.66 42.66 SLTP 16.96 14.05 10.42 10.42 SLTA 17.72 3.91 4.78 4.78 Diploma/Sarjana 8.09 -3.99 0.28 0.28 Total TK (000 orang) 3.34 1.19 37.880 40.763 Sumber: BPS, Data Ketenagakerjaan, 1998 – 2004.
b. Daerah Secara regional, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Dengan mencermati Tabel 4, terlihat bahwa sektor pertanian di Jawa Barat menyerap 29,82%, dan di Kalimantan Barat 66,92% tenaga kerja. Khususnya di pedesaan pertanian merupakan sumber pendapatan utama rumahtangga dan lapangan kerja yang dominan bagi sebagian besar masyarakat. Tabel 4. Persentase Penyerapan Tenaga Kerja Berbagai Sektor Ekonomi, di Daerah Penelitian, 2004.
Sektor 1. Pertanian 2. Pertambangan 3. Industri 4. Listrik, Gas & air Minum 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel & Rest. 7. Angkutan 8. Bank & Lembaga Keuangan 9. Jasa-jasa 10. Lainnya Total
Jawa Barat (%) 29,82 0,44 17,60 0,27 5,82 22,82 8,80 1,86 12,55 0,02 100,00
Kalimantan Barat (%) 66,92 2,10 5,12 0,21 3,03 11,86 2,87 0,42 7,47 100,00
Sumber: BPS, Jawa Barat dalam Angka, 2004; KalimantanBarat dalam Angka, 2004.
Pada kenyataan, sektor pertanian di daerah penelitian masih memberikan kontribusi besar terhadap PDRB. Sektor pertanian secara regional mempunyai pangsa terbesar dibanding berbagai sektor lainnya, seperti disajikan pada Tabel 5.
13
Tabel 5. Pangsa Berbagai Sektor dalam PDRB, di Daerah Penelitian, 2004/2005. Sektor Pertanian Pertambangan Industri Listr.gas &air minum Bangunan/konstruksi Perdag.hotel & restoran Angkutan Bank dan Lembaga Keuangan Jasa-jasa Lainnya Total
Jawa Barat (%) 13,15 6,80 40,44 2,60 2,78 17,64 5,28 2,86 8,44 100
Kalimantan Barat (%) 27,60 1,28 20,2 0,88 6,40 23,56 5,82 4,87 9,28 100
Sumber: Data Ketenagakerjaan, BPS. 2004/2005.
Dari Tabel 5, pada tahun 2004 pangsa sektor pertanian bila dibanding dengan sektor-sektor lainnya dalam PDRB di Jawa Barat menempati peringkat 3 (sebesar 13,15%). Sedangkan di Kalimantan Barat pangsa sektor pertanian dalam PDRB, menempati peringkat 1 (sebesar 27,6%).
Petani: Metamorphosis dan Dimensi Struktur Sosial Pelaksanaan pembangunan pertanian yang menganut paradigma modernisasi dengan mengutamakan prinsip efisiensi, telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Perubahan terutama terkait dengan struktur pemilikan lahan pertanian yang mengakibatkan terjadinya: 1) petani lapisan atas, yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta mempunyai peluang berproduksi yang berorientasi keuntungan; 2) petani lapisan bawah yang relatif miskin (dari segi lahan dan modal) hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat tersebut terlibat dalam ketimpangan suatu hubungan kerja. Kebijakan pembangunan pertanian (seperti revolusi hijau) justru meninggalkan kaum petani (“wong cilik”). Bisa jadi petani adalah korban pembangunan pertanian tersebut karena terbukti terjadi proses ketergantungan (teori dependensi) petani terhadap
14
pupuk dalam usahatani. Ketergantungan tersebut sebagai dampak dari program pemupukan intensif dan pemakaian bibit unggul dalam program Bimas, InSus sampai Supra-Insus. Ketidakmampuan pemerintah mengendalikan kestabilan subsidi dan harga pupuk, serta tidak transparannya tujuan pasar dan harga jual produksi pertanian sangat memberatkan petani. Meski tidak dipungkiri program kebijaksanaan pembangunan pertanian oleh pihak pemerintah mampu membawa hasil seperti swasembada beras pada tahun 19842. Meskipun Hayami dan Kikuchi (1981) menyimpulkan revolusi hijau tidak mendorong polarisasi, namun kenyataannya petani lapisan atas lebih diuntungkan dibanding petani lapisan bawah. White (1992) menyebutnya sebagai proses eksploitasi (penghisapan) dari golongan kapitalis. Petani lapisan atas dapat menarik manfaat lebih dari kemajuan sektor pertanian, bahkan dari berbagai usaha sektor non-pertanian, yang tidak terjadi pada petani lapisan bawah. Petani berlahan sempit (landless) dan buruh tani bahkan tidak mengalami perkembangan dan peningkatan taraf hidup. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kemajuan yang dicapai sektor pertanian sebenarnya merupakan perjuangan dan pengorbanan kaum tani, terutama petani lapisan bawah. Dampak sosiologis lain ekonomi kapitalis tersebut mempengaruhi tujuan produksi si petani, strategi, nilai dan norma, serta orientasi hidup, bahkan kemungkinan untuk terjadinya proses depeasantisasi akibat makin merebaknya iklim konsumerisme hingga ke pedesaan. Perubahan yang muncul setidaknya menunjukkan keterkaitan petani dengan globalisasi sistem ekonomi dunia, sebagai akibat proses adaptasi ketika mereka terintegrasi dalam sistem ekonomi global, serta mempengaruhi sistem ekonomi, sosial, dan budaya. Momentum yang fenomenal tersebut mencerminkan perubahan sosial petani yang masih di naungi dimensi struktural. Petani sebagai orang yang bermatapencaharian dengan bercocok tanam di tanah.3 Petani di Indonesia umumnya berlahan relatif sempit, penguasaan sumberdaya sangat terbatas, sangat menggantungkan hidup pada usahatani, rendahnya tingkat pendidikan,
2 3
Dr. Sajogyo. (1993). Partisipasi Petani . PSP. IPB Poerwadarminta (1985).
15
dan tergolong miskin secara ekonomi.4 Kondisi tersebut mencerminkan keterbatasan mereka. Petani sebagai mayoritas masyarakat yang hidup di pedesaan, tidak primitif, tidak pula modern. Masyarakat petani berada di pertengahan jalan antara suku-bangsa primitif (tribe) dan masyarakat industri, sebagai pola-pola dari suatu infrastuktur masyarakat yang tidak bisa dihapus begitu saja. Di atas puing-puing merekalah masyarakat industri dibangun. Wolf (1985), mengkaji petani secara antropologis (historis), dari manusia primitif hingga menjadi petani modern berdasarkan pemikiran lain seperti Sahlins (1960) dan Malinowski (1922), untuk melakukan perbandingan seperti yang dirinci pada Tabel 6. Tabel 6: Perbandingan Masyarakat Primitif, Petani, dan Petani Modern. Primitif (Tribe) Bertani berpindah. Kebutuhan primer dan kerabat. Ada ikatan dengan tetangga. Surplus diserahkan ke golongan. Intensitas hub. dg luar rendah. Belum ada spesialisasi. Belum ada sewa tanah.
Petani (Peasant) Bertani tetap. Subsisten. Ada ikatan nilai-nilai. Surplus diserahkan ke penguasa. Intensitas hub.dg luar tinggi. Semi spesialisasi/campuran. Sudah ada sewa tanah.
Petani Modern (Farmer) Rumah kaca. Keuntungan maksimum. Hub.longgar dalam simbol. Surplus sebagai keuntungan. Mobilitas tinggi. Spesialisasi/profesional. Cenderung sewa.
Kaum petani pedesaan (peasantry) memiliki arti penting, karena di masa kini mereka mendiami bagian “yang terbelakang” dari bumi ini. Dunia petani merupakan satu dunia yang teratur, yang memiliki bentuk-bentuk organisasi yang khas yang meskipun tidak tampak dari tingkat atas tatanan sosial. Dunia petani bukanlah amorphous (tanpa bentuk) yang seolah hanya ruang kosong, yang hanya membutuhkan masukan modal industri dan ketrampilan untuk dapat membuatnya bergerak. Masyarakat petani di pedesaan, oleh sejumlah penulis sebagai fenomena (yang jelek) dan memperlakukannya sebagai agregat-agregat tanpa bentuk, tanpa struktur, masyarakat tradisional dan men-cap-nya sebagai manusia-manusia yang terikat tradisi, artinya kebalikan dari modern. Masyarakat luar desa, pertama-tama memandang kaum petani pedesaan sebagai satu sumber tenaga kerja dan barang yang dapat menambah
4
Singh (2002).
16
kekuasaannya (fund of power). Padahal, petani juga merupakan pelaku ekonomi (economic agent) dan kepala rumahtangga, dimana tanah-nya merupakan ‘satu unit ekonomi dan rumahtangga’ (Wolf, 1985).
Menurut konsep Ilmuwan:
PETANI
Salah satu peran dalam masyarakat desa
-. Sruktur sosial -. Struktur ekonomi petani -. Struktur politik -. Struktur sosiokultural -. Daerah hukum adat -. Jenis matapencaharian -. Partisipasi Petani
Petani tidak homogen, melainkan ada yang kaya, menengah, gurem, serta dinamis. Sedikitnya 4 ciri utama dalam masyarakat petani, yaitu: 1) satuan rumah tangga (keluarga) petani adalah satuan dasar dalam masyarakat yang berdimensi ganda; 2) petani hidup dari usahatani, dengan mengolak tanah/lahan; 3) pola kebudayaan petani berciri tradisional dan khas; 4) petani menduduki posisi rendah dalam masyarakat, sebagai “wong cilik” (orang kecil) terhadap level masyarakat di atas desa.5 Ave6 mengemukakan pengertian petani dari segi matapencaharian. Manusia memulai matapencaharian dari meramu dan berburu, berubah menjadi peladangan berpindah. Keadaan berubah menjadi peladangan menetap, lalu berkembang menjadi pertanian dengan menggunakan peralatan sederhana. Akhirnya dengan berkembangnya sistem pengairan (irigasi) dan teknologi di bidang pertanian, melatarbelakangi berkembangnya kehidupan sosial bermasyarakat dan membentuk suatu lingkungan hidup, meningkatkan intensitas hidup berinteraksi di antara masyarakatnya. Konsep Chayanov7 menjelaskan karakteristik fundamental pertama dari ekonomi usahatani (farm economy) petani adalah merupakan suatu perekonomian keluarga (family economy). Cara penghitungan “laba” tidak dapat diterapkan pada perekonomian 5
dalam kata pengantar “Perlawanan Kaum Tani” James C. Scott (1993). Wolf. E.R. (1985). Petani. Suatu tinjauan Antropolgis. Rajawali. 7 Dalam: Wiradi.G.(1993). 6
17
petani, karena dalam perekonomian petani dinyatakan unsur-unsur biaya produksi tidak dapat dapat diperbandingkan dengan yang terdapat dalam perekonomian kapitalis. Masalah petani adalah masalah mencari keseimbangan antara tuntutan dari dunia luar dan kebutuhan petani untuk menghidupi keluarganya yang berlangsung selamanya, dimana hasil yang mereka peroleh adalah dari seluruh tahun kerja, bukan dari hari kerja (unit kerja), sebagai fakta yang menarik.
Bagan 1: Gambaran Masyarakat Petani (Chayanov)8 Masyarakat Desa Marxian
Chayanov
Petani kaya dan Petani miskin
Usahatani Keluarga Keseimbangan
Antropologis Fosil dan Culture lag Subyektifitas garapan
Jangkauan terbuka
Bagan 2: Gambaran Masyarakat Petani di Desa (van Vollenhoven) Masyarakat Petani (masyarakat desa) Kesatuan Geografi-Kultural Lingkungan Geografis (lahan)
Kultural: aturan-aturan: adat, pribumi, tentang tanah, lahan garapan, hubungan kekeluargaan, kehidupan ekonomi rakyat
Sementara itu, Redfield (1982)9 mengemukakan kesamaan sikap/nilai petani, yaitu: 1) sikap yang intim dan hormat kepada tanah; 2) ide bahwa pekerjaan pertanian 8
ibid.
18
adalah baik dan perdagangan merupakan usaha yang tidak begitu baik; 3) tekanan terhadap kegiatan produktif sebagai suatu kebijakan utama. Masyarakat petani memiliki kesamaan dengan tipe masyarakat lain di dunia Barat dan Timur, dalam hal: 1) adanya ikatan pribadi dengan tanah; 2) keterikatan
kepada desa atau komunitas lokal; 3)
pentingnya keluarga secara sentral; 4) perkawinan sebagai persiapan kecukupan ekonomi menuju makmur; 5) adanya ketegangan antara keterikatan kepada tanah dan dunia lokal dengan keharusan menghasilkan tanaman penghasil uang; dan seterusnya.10 Menurut Landsberger dan Alexandrov (1981)11, dari suatu pernyataan Moore, disimpulkan adanya 3 substansi penting, yaitu: 1) kepemilikan tanah secara de facto12; 2) subordinasi legal13; 3) kekhususan kutural. Selain kepemilikan secara de facto, Wolf meyakini bahwa kaum petani di pedesaan yang dicirikan oleh surplus yang dialihkan (dengan eksploitasi) kepada kelompok / para pengusaha yang dominan; dengan catatan, yang umumnya tidak melakukan pengusahaan (proses produksi) langsung. Pernyataan Wolf dan Moore, dinilai Bahari14 sebagai: menekankan adanya relasi sosial dalam aspek ekonomi kaum petani pedesaan dengan sistem di luar komunitasnya; dimana makna petani bukan hanya sebagai komunitas tertutup (eksklusif) atau terisolasi, melainkan berinteraksi dengan pihak luar. Apalagi di masa sekarang, perkembangan teknologi telah membuat akses ke luar daerah semakin terbuka dan tidak lagi bersifat otonom, sehingga para petani yang hidup dan bermukim di desa dimungkinkan untuk dapat tinggal di luar desanya (migrasi).
Dinamika dan Entitas Sosial Petani yang Khas
9
Hasil penelitian Redfield terhadap masyarakat petani Inggris, petani Yucatan sekarang dan Boetica kuno. Menurut Hadlin, dalam: Redfield, 1982 11 “Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial”, dikutip dari “Social Origins of Dictatorship and Democracy” Moore, 1966. Boston. 12 Bagi petani, tanah tidak hanya bermakna material/ekonomi, tapi juga sosial-budaya. Tanah menjadi simbol terhadap status sosial-ekonomi bagi petani dalam komunitasnya. 13 Dimana kelas sosial petani adalah berada di bawah kelas sosial tuan tanah. 14 2002 dalam: ”Petani dalam Perspektif Moral Rkonomi dan Politik Ekonomi “ ; dalam “‘Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan W. ”, Akatiga Bandung. 10
19
Dinamika masyarakat petani dikaji Koentjaraningrat15 melalui terdapatnya berbagai tipe masyarakat yang hidup di desa terpencil, yaitu: 1) struktur sosial yang sangat sederhana, hidup dari kebun ubi dan keladi yang dikombinasikan dengan berburu dan meramu (ada pengaruh zending Kristen); 2) masyarakat yang hidup dalam desa yang berhubungan dengan kota kecil yang dibangun kolonial Belanda, yang agak kompleks, hidup dari bercocok tanam padi di ladang atau sawah (misi dan zending Kristen); 3) petani yang hidup dari bercocok tanam padi di sawah atau ladang, berhubungan dengan kota kecil yang pernah jadi pusat pemerintahan kolonial Belanda (pengaruh budaya Islam mulai kuat); 4) petani yang hidup dari bercocok tanam padi di sawah , yang berhubungan dengan kota bekas pusat kerajaan pribumi dan administrasi Belanda (pengaruh Hindu Islam dan Kolonial Belanda); 5) masyarakat perkotaan yang berperan sebagai pusat pemerintahan, sektor industri masih lemah disebut tipe masyarakat dan kebudayaan kota kecil; 6) masyarakat dan kebudayaan kota metropolitan, sektor industri sudah maju. Selain pemikiran di atas, terdapat 3 golongan berbeda, yaitu: 1) sebagai seluruh penduduk desa (termasuk petani, buruh, jasa, PNS, pedagang dan lainnya); 2) mengacu hanya ke petani saja (termasuk petani-penggarap); 3) buruh tani yang mengkuli pada petani lain (tidak punya garapan).16 Peasant adalah suatu tipe ideal, yang diacukan pada golongan individu bercirikan khas secara sosial, kultural, ekonomis dan politis. Menurut Kroeber (dalam: Marzali) adalah masyarakat pedesaan, hidup berhubungan dengan kota dekat pasar (seperti telah dikemukakan sebelumnya). Petani peisan dalam perkembangan sosio-kulturalnya, yaitu: (1) berada di antara masyarakat modern dan primitif; (2) bersama dengan masyarakat primitif dan petani farmer; masyarakat yang hidup menetap dalam komunitas pedesaan; (3) dari sudut perkembangan mode of production, berada pada tahap transisi antara petani primitif dan petani farmer. Semakin terbukanya akses petani pada era globalisasi sebagai suatu proses perubahan akibat perkembangan teknologi dan daerah. Untuk itu dibutuhkan strategi alternatif dalam mengatasi masalah dan dilema petani (kekurangan dari segi ekonomi, 15
16
Masinambow, E.K.M (1997).Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia.. Yayasan Obor.
Konsep peasant Marzali
20
subsisten). Upaya utama mereka adalah menekan pola konsumsi yang konsumeris, menyesuaikan pengeluaran dengan penghasilan, melakukan diversifikasi usaha rumahtangga.
Mengerahkan
seluruh
anggota
keluarga
sebagai
upaya
untuk
menghasilkan bahan makanan dan barang kebutuhan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kaum tani selalu dinamis (tidak statis seperti yang secara klise literatur). Petani bergerak terus antara dua kutub mencari pemecahan dilema pokok mereka. Keadaan ini melibatkan proses pemberdayaan sebagai adaptasi (penyesuaian) penopang mereka dalam mempertahan diri dan sesamanya, dalam suatu tatanan hidup sosial. Aliran neo-klasik yang dianut paradigma pembangunan pertanian, nyatanya kurang berhasil mencapai pertumbuhan yang adil bahkan menciptakan ketergantungan di tingkat nasional dan lokal (Korten dan Sjahrir, 1984). Campur tangan pemerintah yang terlalu jauh menyebabkan hegemoni proses globalisasi demi pemudahan pelaksanaan kontrol global, seringkali menyingkirkan norma dan nilai sosial lokal. Strategi pemerataan pembangunan melalui trickle down effect terbukti sulit diimplementasikan. Di satu sisi, sumberdaya terkonsentrasi pada sebagian kecil masyarakat yang berkualitas dan berkuantitas ekonomi yang relatif mapan. Di sisi lain, proses pembangunan yang sarat kapital menciptakan polarisasi. Sebagian besar peysan “terpaksa” melepaskan penguasaan sumberdaya lahan menjadi kelompok petani gurem bahkan landless, buruh tani atau kelompok masyarakat miskin (Hayami & Kikuchi, 1987). Kondisi tersebut diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia yang telah menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin. Berdasar data BPS (1998), pemerintah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin dari 54,2 juta (1976) menjadi 22,5 juta (1998), namun kembali meningkat sekitar 23,8% menjadi 49,5 juta pada awal tahun 1999 yang ditenggarai sebagai akibat krisis tersebut. Sentralitas dan sifat top down mekanisme pembangunan yang terwujud dalam aplikasi teknologi berisi input eksternal yang menuntut modal tinggi untuk memperbaiki proses produksi dan memperbaiki produktivitas, hanya mampu diadopsi dan dinikmati petani berlahan luas (lapisan menengah dan atas). Pengaplikasian paket teknologi tersebut berdampak luas terutama menjadi longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang berorientasi sosial dan bersifat komunal sebagai akibat lebih mengedepankan efisiensi
21
ekonomi. Sementara, pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang ada dan berkembang di masyarakat dimana kehadirannya merupakan refleksi norma dan nilai kearifan lokal. Namun semakin terhambat penerapan dan pelestariannya karena kian longgarnya ikatan nilai dan norma lokal yang ada, serta merupakan konstruksi sosial yang diterima dan disepakati sebagai bentuk penyesuaian masyarakat dengan lingkungan material dan non-material. Masyarakat selanjutnya jadi semakin tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis; dimana ukuran yang digunakan tidak lagi menyangkut kelestarian dan kebersamaan, melainkan eksploitasi dan sukses finansial semata. Artinya, masyarakat desa sangat rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Implikasi lain adalah memudarnya keterjaminan pekerjaan bagi buruh tani yang selama ini hidup dan eksis di pedesaan akibat memudarnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya. Dengan demikian, etika subsistensi yang berakar dalam kebiasaan ekonomi dan pertukaran sosial tidak dapat difungsikan dalam era pembangunan modern (Scott, 1981). Adalah suatu keniscayaan bahwa peluang dan kesempatan kerja menjadi berkurang bahkan menghilang, sebagai konsekuensi penerapan paket teknologi (pupuk, pestisida, dan mekanisasi) pada kegiatan usahatani. Tenaga kerja sebagai modal utama untuk memperoleh pendapatan buruh tani (petani miskin). Dengan berkembangnya sistem tanam serentak menyebabkan pekerjaan sebagai buruh menjadi kian terbatas. Namun, terkait model ekonomi neo-klasik, laju teknologi (dalam hal kapital) dan laju pertumbuhan penduduk (dalam hal tenaga kerja) cenderung berkorelasi negatif. Dalam arti, untuk meraih keuntungan maksimal, penambahan penggunaan kapital akan menekan penggunaan tenaga kerja, akibatnya melemahkan bargaining position buruh. Tekanan ekonomi kapitalis yang makin kuat ke pedesaan, berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi. Kondisi tersebut bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun kian longgarnya norma dan jalinan nilai ikatan sosial masyarakat di pedesaan. Ekonomi uang menyebabkan makin lemahnya peran ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih
22
menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Namun, masih kuatnya sentimen individu dalam kelompok dan kemampuan merespon perkembangan teknologi dan beradaptasi dengan kemajuan pembangunan. Di beberapa wilayah yang traditional society-nya masih hidup dan bertahan, sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Hal tersebut dapat dikembangkan menjadi salah satu potensi lembaga yang adop teknologi dan berorientasi pasar, serta bermanfaat bagi kesempatan kerja dan pendapatan kaum tani. Pembangunan pertanian yang umumnya menganut paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi telah menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat. Menurut Horton dan Hunt (1984), aspek ketenagakerjaan merupakan suatu sistem norma yang diperlukan untuk mencapai sejumlah tujuan atau kegiatan yang dianggap penting oleh masyarakat. Aspek ketenagakerjaan turut mengalami perubahan dalam proses modernisasi tersebut, sehingga dibutuhkan upaya memecahkan masalah tenaga kerja yang berkembang seiring makin kompleksnya suatu masyarakat. Awalnya dikenal sistem sambat sinambat (tolong menolong) secara bergiliran, dengan imbalan makanan (bila berhalangan, makanan diganti uang). Berkembang dengan ditemukannya sistem ceblokan (buruh tanam padi hak panen, tidak upah langsung). Ditemukan sistem “kedokan”, dimana selain menanam si buruh juga harus menyiangi. Ikatan hubungan kerja pemilik dan buruh pada kedua sistem tersebut bukan hanya dari produksi (uang), tapi lebih lekat dengan aktivitas sosial, saling menghargai dan seremonial lainnya. Selanjutnya, hubungan kerja mulai didominasi oleh sistem upah. Ajakan terhadap buruh kerja mulai terbatas pada tetangga/kerabat dekat, langganan, dan masih terdapat muatan unsur luar produksi yang menganut sistem resiprositas. Seiring pesatnya pertumbuhan penduduk menyebabkan berlebihnya tenaga kerja pertanian, terjadi perubahan struktur pemilikan lahan, yang juga sebagai imbas pesatnya pembangunan. Persaingan ketat antar buruh kerja, namun tidak disertai kenaikan upah, ditambah peningkatan teknologi, turut menggeser peran tenaga kerja dan melemahkan “posisi tawar” (bargaining position) buruh dalam transaksi kerja termasuk penentuan tingkat upah, dan tunduk pada hukum supply and demand. Dampak serius pelaksanaan sistem pembangunan terhadap kehidupan buruh tani (masyarakat miskin) di pedesaan di
23
atas,
digunakan
untuk
mengkaji
kemungkinan
dan
potensi
pemberdayaan
ketenagakerjaan pertanian. Salah satunya melalui diversifikasi usaha rumahtangga agar dapat beradaptasi dan berkelanjutan dalam rangka mengentaskan kemiskinan tanpa harus kehilangan norma-norma dan nilai-nilai yang menjiwainya. Perubahan-perubahan sosial ekonomi di sektor pertanian turut mempengaruhi struktur penyerapan tenaga kerja dan pendapatan. Berdasarkan data input-output (I-O) BPS, menunjukkan bahwa pangsa penyerapan kesempatan kerja di sektor pertanian relatif menurun, namun secara absolut jumlahnya terus meningkat. Pada tahun 1971 pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian berkisar 64,16%, turun menjadi 56,06% pada tahun 1980, relatif konstan sekitar 56% pada tahun 1980-1985, dan terus menurun sampai 43,9% pada tahun 2000.17 Menurunnya pangsa penyerapan tenaga kerja pertanian terhadap perekonomian nasional ini merupakan konsekuensi logis dari pembangunan ekonomi yang mengarah pada pengembangan sektor industri. Gambaran umum penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian pada tahun 1971-200018 adalah sebagai berikut: 1) pangsa sektor industri pada tahun 2000 sebesar 12,36 persen, meningkat dibanding tahun 1971 yang hanya berkisar 6,59%; 2) sektor jasa dan perdagangan meningkat dari 24,49% pada tahun 1971 menjadi 42,69% pada tahun 2000. Sampai tahun 2000, sub-sektor tanaman pangan di sektor pertanian tetap merupakan sub sektor yang menyerap tenaga kerja paling tinggi di antara sub-sektor pertanian yang lain. Dimana pada tahun 1971, sub-sektor tanaman pangan mampu menyerap tenaga kerja 58,67%, dan pada tahun 2000 serapan tenaga kerjanya menurun menjadi 32,82% dari total sektor pembangunan. Sedangkan sub-sektor yang lain ratarata kurang dari 5% dari total penyerapan kerja. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia juga berpengaruh besar terhadap serapan tenaga kerja dan pendapatan sub-sektor pertanian. Meskipun secara rata-rata sektor pertanian menurun pertumbuhannya, namun sub sektor perkebunan dan perikanan justru mengalami pertumbuhan lebih dari 400 persen (Adriani, 2004). Komoditas subsitusi impor dengan faktor input tradeable (impor), namun produksinya berorientasi 17 18
Malian, dkk., 2004 Hasil olahan data I-O BPS.
24
ekspor mengalami lonjakan yang drastis. Depresiasi nilai rupiah justru mengakibatkan penerimaan dari komoditas ini meningkat. Kondisi sebaliknya terjadi pada komoditas tanaman pangan, dimana produksinya berorientasi untuk pasar dalam negeri dan banyak menggunakan input dari luar. Struktur pendapatan tersebut juga sejalan dengan pola penyerapan tenaga kerja. Daerah dengan komoditas perkebunan yang luas (luar Jawa) cenderung lebih mampu menampung luapan tenaga kerja migran dibanding dengan daerah-daerah dengan basis tanaman pangan (Jawa). Sektor pertanian di Jawa, dengan adanya krisis ini, tidak memiliki kapasitas penyerapan tenaga kerja yang besar. Langkah terpenting yang harus diambil adalah merevitalisasi peran pembangunan pertanian di desa. Hal ini penting karena kecenderungan pola penyerapan tenaga kerja pada saat krisis tersebut bersifat sementara, karena pada kenyataannya, booming komoditas pertanian salah satunya hanya disebabkan terjadinya depresiasi nilai rupiah semata. Pertumbuhan populasi (angkatan kerja, migrasi) dan perkembangan teknologi, akhirnya menempatkan pekerja (kaum petani) pada posisi yang lemah. Tekanan ekonomi kapitalis ke pedesaan berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasar yang mengutamakan efisien serta perubahan nilai ekonomi, menyebabkan tingginya konversi tanah pertanian ke non-pertanian. Keadaan tersebut mengakibatkan hilangnya kesempatan kerja bagi sebagian besar buruh tani, serta semakin longgarnya ikatan-ikatan sosial yang terjalin dalam masyarakat pedesaan. Kondisi ini terutama terjadi di Jawa, dimana Sumaryanto, dkk. (1994), mengestimasikan rata-rata 23.100 hektar per tahun lahan di Jawa terkonversi ke penggunaan di luar pertanian. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang, telah terbukti memberi pengaruh terhadap pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta pendapatan petani di pedesaan. Berbagai pengertian dalam upaya mendefenisikan “petani”, pada dasarnya saling menyempurnakan, tergantung dari berbagai sisi dan perspektif mereka masingmasing. Kajian yang diperlukan adalah mengenai perubahan pola-pola hubungan, interaksi, institusi dan sebagainya yang dialami oleh masyarakat petani di sepanjang sejarah.
25
Kemiskinan: Fenomena Sosial Ketidak berdayaan Masyarakat Masalah kemiskinan sebagai salah satu bentuk ketidakberdayaan masyarakat, dapat dijelaskan dengan beberapa pendekatan. Menurut Prakash, Voth, dan Woolcock, kemiskinan merupakan konvergensi atau resultan dari berbagai faktor, dantaranya seperti: akibat kebijakan pemerintah yang kurang berpihak dalam mengentaskan golongan masyarakat miskin, struktur sosial yang timpang (Mateju, 2002), modal sosial setempat yang lemah dan tidak berkembang, sulit dikembangkannya sistem usaha pertanian dan teknologi, atau tidak terdesentralisasinya penyelenggaraan sistem pemerintahan (Baigorri, 1999). Beberapa hal yang mungkin terabaikan dalam pengkajian sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan berbagai konsep pemikiran, seperti: variabel rasio penduduk dan tanah (man-land ratio)19, yang dapat membedakan derajat kemiskinan di suatu daerah. Pembeda derajat kemiskinan, antara lain seperti: 1) tidak ada tanah yang bisa disewakan; 2) tidak ada praktek pinjam meminjam uang dengan bunga; 3) rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan; 4) terjadinya perebutan rejeki yang intensif, setiap orang beralih jadi pedagang perantara, meski keuntungan kecil dan memperkecil penerimaan. Konteks ini kiranya dapat menunjukkan kepadatan penduduk yang sangat tinggi dan akibat ekonomi yang parah, seperti konsep shared poverty Geertz (1963). Sulit dan tidak adil bila menimpakan kesalahan pokok hanya pada sistem pasar semata, sebab sebenarnya cukup banyak faktor lain yang perlu dikaji untuk menjelaskan kemiskinan penduduk pedesaan. Kemiskinan yang membelenggu masyarakat petani bukanlah permasalahan atau gejala baru. Ironisnya tingkat pengetahuan kita masih sangat terbatas dan tidak dikembangkan secara sistematis mengenai fenomena dan wajah kemiskinan, struktur-struktur sosial dan kebudayaan kemiskinan di negeri ini. Dari sejarah ekonomi Indonesia lebih 100 tahun lalu, Belanda mulai meresahkan kemiskinan yang kian menjadi di Jawa. Namun mereka lebih melihatnya sebagai akibat pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan tidak menghubungkan dengan cultuur stelsel. Keadaan tersebut diperparah politik liberal penyebab derasnya arus masuk barang produk industri 19
Penny (1990).
26
murah ke pedesaan. Kondisi tersebut dimaknai sebagai hancurnya keterampilan nonpertanian di pedesaan dan lajunya “proses pemelaratan” (improverishment), sehingga kemampuan petani yang tinggal hanyalah menanam padi. Soedjatmoko (1980) meyakini keadilan sebagai landasan konsensus pada hubungan antara kemiskinan dan ketidak adilan. Jika retak, maka ketidakadilan menjadi faktor penting dalam proses polarisasi yang dapat menghancurkan keutuhan suatu masyarakat. Penting untuk meneliti dimensi struktural kemiskinan tersebut adalah dari perspektif struktur ketenagakerjaan, karena keduanya berhubungan dengan pola organisasi sosial dan pengaturan institusional (institutional arrangements) di pedesaan. Struktur dalam hal ini dimaksudkan sebagai: pola organisasi sosial yang mantap, luas, stabil, dan yang mampu self reproducing (meneruskan diri). Sebagai pola organisasi institusional lintas semua sektor pada suatu masyarakat, suatu institusi atau lembaga merupakan rangkaian hubungan antar manusia, teratur dan disahkan secara sosial, yang menentukan hak, kewajiban, dan sifat hubungannya dengan orang lain. Pakpahan (1995) memaknainya sebagai market failure (terjadi bila upah angkatan kerja rumahtangga miskin tidak mampu mencukupi subsistensi) dan political failure (terjadi bila struktur politik ekonomi menyebabkan distorsi dalam penyampaian kepentingan masyarakat miskin). Penyebab kemiskinan (Sumodiningrat, dkk, 1999) dibedakan dalam 2 faktor, yaitu: 1) faktor eksternal, yang merupakan hambatan kelembagaan, dimana struktur sosial menyebabkan sekelompok orang tidak mampu mengakses sumber pendapatan yang ada; 2) faktor internal, berkaitan nilai-nilai dan kebudayaan, dikenal sebagai kemiskinan kultural. Dimensi struktural yang mempengaruhi kemiskinan20 adalah: 1) tingkat isolasi; 2) diferensiasi struktural (tingkat spesialisasi lembaga dan keaktifannya) berdasarkan common sense observation (pengamatan akal-sehat); 3) spektrum antara kekakuan (rigidity) dan keluwesan (flexibility), dimana semakin kaku suatu sistem sosial, maka semakin sulit menembus batasan sosial, sehingga semakin banyaklah orang miskin. Spektrum ini mempengaruhi kuat lemahnya gejala dualisme dalam struktur sosial, pola 20
Soedjatmoko (1980), yang juga menjelaskan keterkungkungan individu dalam berbagai ketimpangan struktur sosial sebagai salah satu faktor penting yang mengakibatkan ketidakberdayaan mereka; baik antara desa dan kota; antara daerah dan pusat; antar suku bangsa maupun daerah.
27
diskriminasi rasial (kesukuan) pola pembagian peranan pria-wanita, serta pola eksploitasi golongan lebih kuat terhadap golongan lemah; 4) sentralitas, yaitu kebutuhan dan kepentingan suatu daerah yang sangat diperhatikan pusat, dalam tingkat penanaman, pengembangan infrastruktur, dan sebagainya, untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Untuk itu pekerjaan empiris perlu dikembangkan, yaitu hubungan antara indikator sosial dan berbagai dimensi yang bersifat struktural. Pemikiran Soedjatmoko tersebut tidak berbeda jauh dengan pendapat yang telah dikemukakan oleh Valentine (1968). Dimana terjadinya kemiskinan, bila dikaji dari perspektif struktural, adalah dikarenakan adanya ketimpangan struktur sistem sosial. Hal ini menyebabkan individunya tidak dapat mengakses sumberdaya pendapatan yang tersedia akibat terbentur dengan sistem struktur sosial tersebut. Dengan demikian, kemiskinan struktural memposisikan kelompok miskin pada tempat yang tidak menguntungkan (walau tidak selalu bersifat merugikan). Keadaan ini (seakan-akan) dikondisikan oleh klas sosial atas dengan tujuan untuk memelihara dan melindungi eksistensi posisi, keuntungan dan kepentingan mereka melalui kontrol dan monopoli akses atas sumberdaya tersebut. Di samping itu, Valentine juga mengemukakan adanya sikap dan perilaku adaptasi pada masyarakat tertentu sebagai aspek positif dalam upaya menjawab kemiskinan. Hal ini terjadi terutama pada masyarakat yang heterogen, yang terdiri dari berbagai etnis, sebagai aspek lain di samping aspek patogen tersebut. Sebagian besar masyarakat pertanian pedesaan, dimana mereka pada umumnya masih tergolong miskin secara ekonomi, terutama para buruh tani, merupakan kelompok yang mengandalkan tenaga kerja semata sebagai modal utama proses produksi. Sebagai gambaran, pertumbuhan penduduk miskin secara nasional pada periode 2003 – 2004 menurun sebesar 3,19%, dimana pada tahun 2004 jumlah penduduk miskin absolut secara nasional sekitar 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,66% dari total penduduk Indonesia. Jika dilihat dari persentase penduduk miskin (Head Count Index), terdapat sekitar 20,11% penduduk miskin di pedesaan, lebih besar dibandingkan di daerah perkotaan. Tahun 2003 – 2004, persentasenya daerah perkotaan mengalami penurunan sebesar 7,30%; sedang di daerah pedesaan sekitar 1,19%. Tahun 2004 distribusi penduduk miskin secara nasional menunjukkan bahwa 31,45% penduduk miskin berdomisili di
28
daerah perkotaan, dan sekitar 68,55% sisanya berada di daerah pedesaan. Sementara itu, penguasaan dan pengusahaan sumberdaya (baik lahan, tenaga kerja, teknologi, maupun pendidikan dan ketrampilan) yang dimiliki petani, sangat menentukan seberapa besar kontribusi sektor pertanian terhadap struktur pendapatan rumahtangga di pedesaan.
Tingkat Upah Sektor Pertanian: Prospek Pendapatan RT di Pedesaan Manning (2000) mengkaji dinamika kesempatan kerja melalui pendekatan inflexibilitas (Keynesian Model) dan adanya flexibilitas dalam penyesuaian tingkat upah (Neoclassical Model). Disimpulkannya bahwa: 1) pada masyarakat pertanian, sebagian besar angkatan kerja merupakan self-employed (bekerja pada usaha sendiri) atau bekerja di sektor informal, sehingga kesempatan kerja dan tingkat upah akan cenderung lebih fleksibel; 2) di negara industri, sebagian besar angkatan kerja terlibat dalam pasar tenaga kerja dengan memperoleh upah (wage employment) maka kesempatan kerja dan tingkat upah cenderung bersifat tidak fleksibel (rigid). Besaran dan kecenderungan tingkat upah juga dapat menggambarkan kemampuan/daya beli suatu rumahtangga. Tingkat upah di sektor pertanian berperan sebagai salah satu faktor penting dalam menentukan struktur kesempatan kerja. Gerak laju tingkat upah tidak hanya ditentukan oleh kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, namun dipengaruhi unsur-unsur lain termasuk ketersediaan infrastruktur (Rachman,1993), pasar komoditas dan pasar uang (Erwidodo, dkk., 1992). Terlepas dari semua kelemahan yang ada, tingkat upah akan merupakan indikator yang paling mudah untuk menjelaskan dinamika kesempatan kerja pada salah satu sektor pembangunan. Analisis data BPS tahun 1990-2001 mengenai peluang tingkat upah terkait prospek ketenagakerjaan dan kesempatan kerja pertanian di pedesaan, seperti di provinsi Lampung, Jawa Tengah, Jatim, Sulawesi Selatan, Sulut, dan NTB, menunjukkan: a)tingkat upah absolut kegiatan buruh tani selalu meningkat; b)terjadinya disparitas tingkat upah antar wilayah; dan c)terdapatnya perbedaan tingkat upah antar kegiatan usahatani (mencangkul, menyiang, dan menanam), dimana upah tertinggi diperoleh dari
29
kegiatan mencangkul. Hal ini mencerminkan keterkaitan antara kelangkaan tenaga kerja dan tingkat upah, serta terjadinya diskriminasi tingkat upah. Sementara itu, upah riil buruh tani pada sektor pertanian pada tahun 1996 sampai akhir 1997 menunjukkan kondisi membaik dengan nilai indeks lebih besar dari 100, walau sejak awal tahun 1998 hingga Oktober 2003 cenderung menurun, dengan nilai indeks dibawah 70. Tingkat upah sektor industri cenderung meningkat dengan indeks lebih besar dari 100, pada periode 1996 sampai tahun 1998 cenderung meningkat, namun selanjutnya menurun sampai tahun 2000, cenderung turun hingga tahun 2000, dan meningkat kembali mulai Mei 2000 – akhir Juli 2003.21 Deskripsi tingkat upah buruh informal sampai Oktober 2003, menunjukkan upah riil pekerja wanita di perkotaan masih sekitar 20-35% dibawah upah riil mereka pada Juli 1996, namun upah pembantu meningkat 8,2%. Upah buruh tani di Jawa pada Oktober 2003, masih 30% lebih rendah dibanding upah pada Juli 1997, sedangkan upah riil untuk luar Jawa relatif sama antara tahun 2003 dan 1997 (perbedaannya kurang lebih 5 %). Struktur tingkat upah usahatani, secara umum menggambarkan: (1) Berfungsinya pasar tenaga kerja, diindikasikan adanya perbedaan tingkat upah menurut lokasi. Daerah dengan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang lebih besar (di luar Jawa) cenderung memiliki laju pertumbuhan tingkat upah yang lebih tinggi; (2) Konvergensi tingkat upah tidak nampak di daerah dengan mobilitas tenaga kerja yang tinggi; (3) Terdapat diskriminasi dalam pasar tenaga kerja; (4) Kurangnya akselerasi peningkatan daya beli buruh usahatani padi direfleksikan dari selalu lebih rendahnya laju pertumbuhan upah riil daripada upah absolut; (5) Tingkat upah berdampak negatif (inelastis) terhadap keuntungan dan penawaran pada usahatani padi.
Diversifikasi Usaha RT: Pemberdayaan TK dan Peningkatan Pendapatan RT Berbagai penelitian menunjukkan bahwa sistem usahatani terpadu (integrated farming system) bagi petani kecil lebih menguntungkan dan meluaskan kesempatan kerja dibanding single commodity. Sistem tersebut bahkan diyakini berdampak multi fungsi, baik dalam aspek sosial, budaya, menciptakan lapangan kerja, dan fungsi 21
Simatupang, P. et al. 2004
30
ketahanan pangan. Dengan demikian, sektor pertanian menjadi safety net (penyelamat), serta sebagai stabilisator sosial dan ekonomi. Hal ini terbukti pada saat krisis ekonomi (1998), sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan pada sektor lain di perkotaan. (Othman, 2004) Di samping keterbatasan petani, masih terdapat berbagai peluang diversifikasi usaha yang mengindikasikan perolehan tambahan pendapatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup dasar yang semakin lama semakin meningkat. Keberagaman sumber pendapatan rumahtangga petani di pedesaan, pada pedesaan di Jawa Barat, 51% berasal dari sektor pertanian, dagang dan usaha lain (usaha sendiri) sekitar 20,6%, dan 21,5% dari berburuh non-pertanian.22 Dalam konteks ketahanan pangan dan penanggulangan kemiskinan yang berimplikasi pada keberagaman sumber pendapatan rumahtangga, mengungkapkan bahwa ragam kegiatan ekonomi cenderung meningkat.23 Meski demikian, sektor pertanian masih merupakan sumber utama pendapatan rumahtangga.24
TKI: Fenomenal Ketenagakerjaan Era Globalisasi Menjadi TKI sebagai pilihan fenomenal angkatan kerja pada era globalisasi kini. Keputusan tersebut dipilih untuk memperoleh pendapatan suatu rumahtangga, termasuk oleh rumahtangga petani di pedesaan. Dengan keterbatasan tingkat pendidikan dan ketrampilan, mereka menghadapi berbagai resiko menjadi TKI di negara lain demi memperoleh kehidupan yang memadai dan berkecukupan. Peran TKI sebenarnya cukup dilematis, karena di samping berkontribusi luar biasa bagi devisa negara dan peningkatan pendapatanrumah tangga, juga mengandung berbagai permasalahan. Permasalahan diawali sejak pengurusan administrasi sebelum berangkat, perlakuan di penampungan dan di negara tempat bekerja, hingga ketika mereka kembali ke Indonesia. Di pihak TKI dan rumahtangganya, umumnya miskin dan berpendidikan rendah, menjadi salah satu pendorong mereka mengikuti TKI lainnya bekerja ke luar negeri demi memperbaiki taraf hidup dan ekonomi rumahtangga. 22
Susilowati, et al (2002). Hasil penelitian Saliem, et al (2005). 24 Sebagai gambaran, pada tahun 2003, pangsa sektor pertanian terhadap pendapatan rumahtangga pertanian di 3 provinsi adalah 62,5% di Sulawesi Selatan; 50,6% di NTB; 48,2% di Jawa Timur. 23
31
Tabel 7. Persentase TKI menurut Gaji/Upah Sebulan (Rp.000,-) Gaji/Upah Sebulan (Rp.000,-) < = 1.000,> 1.000,- sd 2.000,> 2.000,- sd 3.000,> 3.000,-
%-tase 16,7 69,9 1,7 11,7
Sumber: Depnakertrans RI. (2004/2005).
Peningkatan pendapatan TKI yang diperoleh dari bekerja di luar negeri, secara makro cukup mendukung keuangan negara, dilihat dari sisi devisa (inflow) yang dihitung berdasarkan remitansinya (kiriman uang). Secara mikro, jelas para pekerja ke luar negeri tersebut (TKI) tersebut dapat meningkatkan taraf hidupnya maupun rumahtangganya. Menjadi TKI, sebagai salah satu diversifikasi usaha rumahtangga, bahkan imbasan terhadap lingkungannya, antara lain dengan membantu finansial pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Bekerja di luar negeri sebagai TKI atau TKW, baik secara legal maupun ilegal, memiliki potensi yang besar dalam menyumbang masuknya devisa ke dalam negeri, juga sebagai alternatif penyerap surplus tenaga kerja di dalam negeri. Keadaan ini dapat merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja. Untuk itu, peran pemerintah sebagai pembuat keputusan dan kebijakan yang mampu mengantisipasi dan melindungi keberadaaan mereka di luar negeri. Kebijakan tersebut sebagai salah satu upaya memperkecil resiko ketertindasan yang mereka hadapi dari berbagai pihak yang terkait. Selain itu, juga sebagai suatu upaya keberpihakan karena kontribusi dari pendapatan mereka terhadap devisa (melalui remitans), yang diperoleh negara terhadap penghasilan dari pekerjaan yang telah mereka lakukan. Kebijakan tersebut juga agar mampu mewujudkan impian para TKI, untuk dapat meningkatkan kesejahteraan rumahtangga mereka. Tabel 8. Penempatan TKI ke Luar Negeri menurut Kawasan, 2001-2003. (%-tase) Kawasan Asia Pasifik
2001 60,4
2002 49,6
2003 37,3
32
Timur Tengah Amerika Eropa Jumlah
39,5 0,1 0,0 100,0 295.148
50,4 0,0 0,0 100,0 480.393
62,5 0,1 0,1 100,0 293.865
Sumber: Depnakertrans RI. (2004/2005).
Pekerjaan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri umumnya masih di sektor informal yaitu menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Namun, kondisi ini hendaknya jangan dipandang sebelah mata, sebab kontribusi pendapatan (melalui remitans) para TKI sebagai sumbangan devisa bagi negara luar biasa besar setiap tahunnya dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Menurut sumber Bank Indonesia (BI), pada tahun 2003 dari TKI tersebut menghasilkan devisa sekitar 2 milyar US $.25 Sungguh suatu jumlah nilai yang luar biasa yang ternyata mampu dihasilkan oleh para TKI, yang merupakan golongan masyarakat yang dianggap miskin dan berpendidikan rendah. Sebagian dari devisa tersebut digunakan sebagai cadangan devisa yang dipakai negara untuk transaksi luar negeri. Devisa merupakan nilai pembayaran luar negeri (dalam bentuk mata uang asing), dimana besarnya devisa negara dapat diketahui melalui Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) atau dikenal sebagai Balance of Payment (BOP). Sedangkan NPI merupakan salah satu indikator ekonomi makro penting, yang dijadikan tolok ukur keberhasilan pemerintah dalam pengelolaan suatu perekonomian terbuka.26 Dalam NPI yang disusun oleh BI, yang merupakan devisa adalah hasil penjumlahan dari pendapatan bersih (net income) yang berasal dari compensation of employees dan transfer yang berasal dari pengiriman uang dari luar negeri atau net remittance pekerja (di dalamnya termasuk yang berasal dari TKI). Besarnya devisa negara yang bersumber dari TKI yang bekerja ke luar negeri dihitung melalui nilai remitansi, yaitu besarnya uang yang dikirim ke Indonesia melalui Bank. Berdasarkan data perolehan remitansi dalam bentuk US $ selama 5 tahun terakhir, dapat dilihat pada Tabel 9. 25 26
Depnakertrans, 2004/2005. Widodo, T. (2004)
33
Tabel 9. Perolehan Remitansi TKI Tahun 1999 – 2003. (dalam Milyar US $). 1999
2000
2001
2002
2003
1,11
1,16
1,90
2,10
1,49
Sumber: Dit. Pemberdayaan TKLN, Depnakertrans.
Jumlah remitansi tersebut belum sepenuhnya menggambarkan perolehan pendapatan TKI yang sebenarnya, karena banyak TKI yang membawa pulang uang valuta asing secara tunai. Perolehan remitansi yang terus meningkat dari tahun 1999 hingga tahun 2002, mengalami penurunan pada tahun 2003 sekitar 29% menjadi sekitar 1,49 milyar US $, dikarenakan terjadinya penurunan sekitar 39% jumlah TKI yang dikirim ke luar negeri tahun 2003 dibandingkan pengiriman TKI pada tahun 2002.27 Manfaat yang luar biasa bagi pengembangan ekonomi di dalam negeri telah diberikan oleh penempatan TKI ke luar negeri tersebut. Pengiriman para TKI ke luar negeri bagaikan pahlawan devisa. Meski tidak secara signifikan telah mengurangi barisan pengangguran yang terus meningkat jumlahnya di negeri ini dari waktu ke waktu. Berbagai sektor lain seperti maskapai penerbangan juga seharusnya berterima kasih kepada para TKI tersebut. Ribuan orang TKI yang berangkat ke luar negeri (seperti: negara Timur Tengah, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan), terkadang sampai dicarterkan pesawat oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) untuk mengirim mereka ke negara tujuan. Meski tidak meminta tambahan biaya jasa langsung kepada calon TKI, namun perusahaan mendapat marjin memotong gaji mereka selama beberapa bulan pertama (sedikitnya 3 hingga 6 bulan). Sementara itu, meski berbagai potongan dan pemungutan terhadap TKI terus berlangsung, namun aturan yang dijadikan pedoman belum jelas. Hampir seluruh PJTKI melakukan pemungutan biaya rekruitmen yang diterima dari agen di luar negeri ditetapkan sebesar 700 $ AS untuk kawasan Timur Tengah, 200 $ AS sebagai deposito jaminan yang langsung ditransfer ke rekening Depnakertrans di Bank Mandiri, sisanya
27
Dit. Pemberdayaan TKLN, Depnakertrans.
34
untuk biaya-biaya lain termasuk transportasi. Menurut I. R Bahasuan28, sejak tahun 1999, setiap bulan dana deposito yang terkumpul mencapai 3 juta $ AS per bulan dari penempatan sebanyak 13.000 TKI khusus ke Arab Saudi. Soeramsihono29 menjelaskan bahwa perputaran uang yang luar biasa dari bisnis penempatan TKI ke luar negeri dapat dijelaskan dari remitansi atau uang yang dikirim oleh sekitar 1,3 juta orang TKI di Bank dan kantor pos di daerah asal masing-masing mencapai 3,1 milyar $ AS. Bila kurs 1 $ AS adalah sekitar Rp.10.000,- maka dana yang masuk ke Indonesia, terutama daerah penghasil TKI (Jawa Timur, Jawa Barat, NTB, NTT), akan mencapai Rp 3 trilyun lebih. Sungguh suatu jumlah yang sangat fantastik bila dipandang dari asal perolehannya yaitu hanya dari sektor PRT, dan sangat menggiurkan, sehingga sanggup memancing banyak pihak untuk terjun ke bisnis tersebut. Sebagai perbandingan lain, remitansi yang dikirim tahun 1990 sekitar 1,2 milyar $ AS, yang meningkat 3 milyar $ AS pada tahun 2000. Menyikapi derasnya arus TKI yang bekerja ke luar negeri mendorong pemerintah untuk menargetkan devisa dari remitans sebesar 5 milyar $ AS sampai tahun 2005. Hal ini didasari dengan memproyeksikan penerimaan tahun 1990 sebesar 1,2 milyar $ AS dari pengiriman sekitar 178.000 TKI ke luar negeri. Angka tersebut belum termasuk raibnya uang mereka yang merupakan ”pendapatan sampingan” oleh oknum aparat terkait baik saat tiba di bandara di tanah air maupun saat proses pemulangan ke desa asal, serta saat penukaran uang tunai dalam bentuk valuta asing yang mereka bawa pulang. Kondisi ini menyebabkan pihak Depnakertrans berencana untuk mengambil alih proses pemulangan TKI dari bandara sampai ke desa asal mereka guna memberi perlindungan keamanan dan rasa nyaman terhadap para TKI tersebut. Di samping penanganan remitans dari para TKI tersebut, pihak pemerintah hendaknya lebih serius menangani dan mampu memberi perlindungan bagi hak-hak mereka dalam suatu program kebijakan atau suatu bentuk peraturan/undang-undang. Peraturan yang disusun tersebut hendaknya sejak awal pengurusan administrasi pemberangkatan, jaminan keselamatan dan kesejahteraan mereka selama bekerja di luar 28 29
Ketua Badan Otonom (BO). Dirjen Penempatan Tenaga Kerja Luar Negeri (PPTKLN)
35
negeri, hingga kepulangan ke desa asal mereka. Peraturan tersebut suatu peraturan kebijakan yang berpihak, yang layak mereka peroleh mengingat besarnya pengorbanan dan resiko yang telah mereka hadapi selama bekerja di luar negeri.
Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian mencakup dua aspek pokok, yaitu: pertama: mengkaji peran remitansi bekerja dari luar negeri (TKI) dan diversifikasi usaha rumah tangga sebagai potensi dan peluang perbaikan dan peningkatan perolehan pendapatan di pedesaan. Kedua: pendekatan umum penelitian dengan model deskriptif terkait dinamika struktur kesempatan kerja yang mengacu pada pemikiran adanya kesamaan orientasi dan fokus dengan mempertimbangkan keunggulan kompetitif lokal dalam pengembangan perilaku ekonomi ketenagakerjaan. Keterbatasan pengetahuan, modal usaha, ketrampilan, dan lainnya, menyebabkan petani hanya mampu mengusahakan single commodity (terutama tanaman) secara subsisten. Salah satunya diindikasikan dari sebagian besar penduduk miskin berdomisili di daerah pedesaan yang menggantungkan matapencaharian utama dari sektor pertanian. Petani seperti ini umumnya dicirikan oleh sangat terbatasnya penguasaan sumberdaya, tingkat pendidikan yang rendah, bahkan miskin secara ekonomi.30 Sebenarnya, selama ini petani di Indonesia secara sederhana telah melakukan sistem diversifikasi usahatani. Di samping usahatani, dalam waktu bersamaan mereka juga membudidayakan ternak. Kotoran ternak dimanfaatkan sebagai sumber pupuk organik tanaman, dan limbah tanaman (hijauan) digunakan menjadi pasokan pakan ternak (hubungan sinergis). Ternak juga berfungsi sebagai tabungan dan tenaga kerja dalam pengolahan lahan untuk persiapan usahatani. Petani harus mencari sumber pendapatan lain di luar sub-sektor usahatani, seperti: berburuh tani, menyewakan lahan, dan menyewakan alat pertanian (off-farm); maupun usaha non-farm seperti: PRT, TKI, ojek, dan sebagainya. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat dan sering
30
Singh (2002).
36
tidak dapat dicukupi hanya dari berusahatani. Secara sederhana, kerangka pemikiran disajikan dalam bagan berikut: Bagan 3: Pendekatan Umum Hubungan Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dengan Pendapatan di Pedesaan Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga Di Pedesaan
Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Di Pedesaan (multi usahatani, buruh tani, penyewaan asset produksi petani, usaha industri dan jasa lain, dagang, TKI, PRT, pemulung, dll)
Bekerja di Luar Negeri (TKI) -. Prospek & kebijakan TKI ke luar negeri. -. Dinamika dan prospek kesempatan kerja. -. Struktur dan respon TK dalam usahatani. -. Tingkat Upah.
Rumah Tangga: Di pedesaan (lokal) (keterbatasan aset produksi, pendidikan, ketrampilan, modal, dll)
Terbatasnya penguasaan dan pengusahaan sumberdaya, sangat menggantungkan kehidupan pada usahatani, tingkat pendidikan, rendahnya akses sumber modal, dan rendahnya penerapan (adop) teknologi. Kondisi ini menunjukkan keterbatasan (tergolong miskin secara ekonomi) yang melekat pada sebagian besar petani. Keadaan ini mengakibatkan rendahnya produktivitas sumberdaya dan pendapatan rumahtangga di pedesaan. Di sisi lain, terdapatnya diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan sebagai peluang memperoleh kerja, baik melalui usahatani terpadu (perbaikan efisiensi usahatani), maupun di luar usahatani sendiri. Diversifikasi usaha rumahtangga adalah sebagai upaya memperoleh tambahan pendapatanrumah tangga dalam memenuhi kebutuhan hidup dasar yang semakin meningkat.
37
METODE PENELITIAN
Jenis dan Analisis Data Data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari responden, sedang data sekunder diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan penelitian ini. Jenis data primer yang dibutuhkan, antara lain terdiri dari: 1. Karakteristik rumahtangga (jumlah anggota rumahtangga yang terlibat, pendidikan, anggota keluarga yang bekerja, jenis pekerjaan masing-masing, dll). 2. Tingkat pendapatan dari diversifikasi usaha masing-masing sub-sektor. 3. Skala/luas penguasaan aset produksi (lahan, ternak, alsintan, dsb). 4. Pengusahaan dan sistem usahatani yang dilakukan petani (jenis komoditas, pola usahatani, adopsi teknologi yang dilakukan, dll). 5. Peran penghasilan TKI terhadap pendapatan (ekonomi) dan kondisi fisik dan non-fisik rumahtangga petani. 6. Komposisi tingkat pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. 7. Permasalahan (kendala) yang dihadapi dalam usahatani dan luar usahatani. 8. Data dan informasi lainnya yang dianggap relevan. Jenis data sekunder yang dibutuhkan, antara lain: 1. Peran sektor pertanian terhadap PDRB. 2. Kependudukan (demografi). 3. Tataguna lahan di lokasi. 4. Komoditas unggulan daerah, dan program daerah terkait pengembangan sistem usahatani komoditas unggulan tersebut. 5. Kondisi sarana dan prasarana infrastruktur, dan program daerah terkait dengannya sebagai pendukung pertanian. 6. Data distribusi negara tujuan TKI. 7. Data remitansi TKI diperoleh dari instansi terkait dan literatur pendukung. 8. Data dan informasi lainnya yang dianggap relevan.
38
Pemilihan Responden Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, sebagai representasi agro-ekosistem sawah tadah hujan, dan kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat untuk mewakili responden petani dengan agro-ekosistem rawa (pasang surut). Alasan pemilihan lokasi adalah didasarkan atas keterbatasan secara fisik atau kemarginalan lahan sawah tadah hujan dan lahan pasang surut, yang mengindikasikan terdapatnya diversifikasi usaha rumahtangga. Ketersediaan data petani yang ada turut mendukung sehingga hasil pengkajian yang dilakukan dapat lebih qualified dan lebih bermanfaat. Penelitian ini akan difokuskan pada peran dan peluang TKI melalui remitans yang dihasilkannya terhadap peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan dan diversifikasi usaha rumahtangga di pedesaan, yang dilakukan petani contoh. Strategi yang dipilih adalah dengan melakukan survai (turun lapang) terhadap 60 rumahtangga petani contoh di empat desa di dua kabupaten tersebut, masing-masing 30 rumahtangga petani di Indramayu dan 30 rumahtangga petani di Pontianak. Penentuan keenam puluh rumahtangga petani sebagai responden (contoh) adalah didasari maksud untuk menggambarkan kondisi dan mobilitas rumahtangga petani yang berperan sebagai TKI. Strategi survai sebagai upaya menangkap fenomena berkembangnya minat rumahtangga contoh menjadi TKI. Di samping itu, ditemukan berbagai usaha sebagai diversifikasi usaha rumahtangga untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga petani contoh. Ke enam puluh rumahtangga petani responden dipilih dengan metode pemilihan contoh secara acak sederhana (random sampling). Pengumpulan data primer diperoleh melalui wawancara interaktif terhadap para responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang fleksibel sebagai alat bantu lapang. Di samping itu, agar pengkajian yang dilakukan lebih terarah dan tidak terpengaruh oleh temuan-temuan lapang yang dianggap tidak berhubungan dengan tujuan penelitian ini. Responden lain yang akan dikunjungi direncanakan terdiri atas instansi terkait, petani produsen, pelaku agribisnis, dan informan kunci terkait lainnya, namun semuanya terpulang pada kondisi di lapang, jadi bersifat fleksibel dan tidak kaku.
39
Spesifikasi Alat Analisis Data dan informasi yang diperoleh dikaji dan ditabulasi, serta akan dilakukan deskripsi yang relevan. Untuk mengukur diversifikasi usaha rumahtangga, analisis dilakukan dengan menggunakan indeks Entropy.1 Tingkat pendapatan usahatani, perimbangan penerimaan dengan biaya (R/C), merupakan indikator yang digunakan dalam mengevaluasi sistem usahatani, dengan menggunakan analisis finansial usahatani. Juga akan dilakukan perhitungan rasio pengusahaan dan penguasaan sumberdaya dan intensitas tanam. Hasil analisis usahatani digunakan untuk mengevaluasi kontribusi pendapatan usahatani terhadap pendapatan rumahtangga. Untuk mengukur relasi antara penguasaan sumberdaya, tingkat pendidikan, dan pendapatan rumahtangga terhadap diversifikasi usaha
rumahtangga,
digunakan
analisis
korelasi,
yang
akan
dikaji
untuk
mendeskripsikan peluang kesempatan kerja dan berusaha rumahtangga di pedesaan. Indeks Entropy Secara matematis, indeks Entropy dapat dirumuskan sebagai berikut: n
Є = - Σ ρi Ln ρi
(1)
i=1
ρi = li /L
(2)
Dimana: Є = indeks Entropy. ρi = proporsi tenaga kerja rumahtangga yang bekerja pada jenis usaha ke-i, terhadap seluruh anggota rumahtangga yang bekerja pada semua sektor. li = jumlah tenaga kerja rumahtangga yang bekerja pada jenis usaha ke-i. L = total anggota rumahtangga yang bekerja di semua jenis pekerjaan. n = banyaknya jenis usaha sebagai sumber pendapatan rumahtangga. Makin tinggi indeks Entropy makin beragam (diversifikasi) usaha yang dilakukan oleh anggota rumahtangga di pedesaan. 1
Dari Theil and Finke (1983).
40
Analisis Usahatani Untuk menganalisis efisiensi usahatani, maka indikator-indikator yang digunakan adalah pendapatan bersih usahatani (¥), R/C, rasio pengusahaan lahan (Ф), dan intensitas tanam (IT), dengan rumusan sebagai berikut: ¥
= TR − TC
R/C = (TR)/(TC) Ф
(4)
= (LU)/(LT) n
IT
(3)
(5)
(pop-akt) i
=-Σ
(6) (pop-nor) i
i=1
Dimana: ¥ = keuntungan bersih usahatani. TR = total penerimaan (= produksi x harga), dalam Rp/unit usahatani. TC = total biaya (dalam Rp/unit usaha). R/C = revenue-cost ratio. Ф = rasio pengusahaan terhadap penguasaan lahan. LU = lahan yang diusahai. LT = lahan yang dikuasai. (pop-akt)i = populasi aktual tanaman ke-i, pada satuan luas tertentu. (pop-nor)i = populasi normal tanaman ke-i, pada satuan luas tertentu. Analisis Korelasi Analisis korelasi dapat dirumuskan sebagai berikut: r =
Σ XY − (Σ X)(ΣY) {(Σ X − X )}2{ nΣ Y2 − (ΣY)2} n
√
(7)
Dimana: r = koefisien korelasi. n = banyak sampel (pengamatan). X = peubah lain (luas lahan, pendidikan, dan pendapatan). Y = indeks diversifikasi usaha (sama dengan Є).
41
Waktu Penelitian Proses penyusunan proposal sebagai rencana penelitian tesis dilakukan peneliti bulan Oktober-Desember 2005, dengan mengamati dan membandingkan rumahtangga di beberapa daerah terutama yang memiliki tenaga kerja sebagai TKI. Survai lapang dilakukan bulan April-Juni 2006. Dalam dan proses penulisan tesis, peneliti melakukan survai lapang kembali bulan Agustus 2006. Survai tersebut bertujuan melakukan pendalaman materi dan informasi, klarifikasi dan validasi data, serta melengkapi berbagai data, informasi, dan literatur lain dalam proses penyempurnaan penulisan akhir. Seluruh kegiatan dikemukakan secara rinci dalam jadwal palang berikut: Jadwal Palang Uraian Kegiatan
Tahun 2005, Bulan ke 10
11
12
Tahun 2006, Bulan ke 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Tahun 2007, Bln 1
Pengamatan untuk penentuan lokasi penelitian. Penyusunan rancangan proposal penelitian Kolokium, perbaikan proposal penelitian, konsultasi dengan komisi pembimbing Survei lapang Analisis temuan lapang, penulisan, konsultasi dengan komisi pembimbing Klarifikasi kepada responden dan narasumber Penyempurnaan analisis, perbaikan penulisan. Penulisan draft tesis dan penyusunan makalah seminar, konsultasi dengan komisi pembimbing Seminar hasil penelitian tesis Perbaikan tesis, penyusunan draft ujian akhir, konsultasi dengan komisi pembimbing. Ujian akhir Penyempurnaan penulisan akhir tesis, konsultasi dengan komisi pembimbing.
42
KARAKTERISTIK LOKASI DAN RESPONDEN PENELITIAN
a. Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat Lahan pertanian di kabupaten Indramayu sebagian besar dapat dikategorikan sebagai lahan sawah tadah hujan yang berdrainase buruk. Sistem pengusahaannya sangat tergantung ketersediaan air dan cuaca yang sedang berlangsung. Kemarjinalan lahan sawah tadah hujan di daerah ini menyebabkan ketergantungan petani pada pupuk dan obat-obatan (saprodi), sehingga mempengaruhi biaya input maupun output produksi usahatani yang mereka peroleh. Tataguna lahan di Kabupaten Indramayu dan Provinsi Jawa Barat disajikan pada tabel berikut. Tabel 10: Tataguna Lahan (Ha) di Kabupaten Indramayu, Prov. Jabar, 2004/2005. Jenis Lahan Sawah Irigasi Sawah Tadah Hujan Lahan Kering Pekarangan Kolam Hutan Lainnya
Kabupaten Indramayu (ha) 92.011 22.130 89.879 24.803 887 30.871 11.539
Provinsi Jabar (ha) 760.822 169.525 2.621.280 394.903 22.912 798.199 182.975
Sumber: Data Pertanian, BPS Prov. Jabar. 2005 diimplementasikan dengan data primer.
Desa Santing dan Ranjeng merupakan bagian wilayah Kecamatan Losarang yang dipilih untuk mewakili daerah penelitian di Kabupaten Indramayu, provinsi Jawa Barat. Luas desa Santing 401 ha, dengan areal sawah tadah hujan seluas 139 ha. Luas desa Ranjeng 522 ha, dengan areal sawah tadah hujan seluas 383 ha. Pada musim hujan kedua desa tersebut selalu kebanjiran, dan sangat kekeringan di musim kemarau. Hal ini terjadi karena tidak terbendungnya limpahan air dari 3 buah sungai (sungai Pangkalan, Cipanas, dan Saragan) pada musim hujan. Kurang terkoordinasinya penanganan air turut mempengaruhi kurangnya peningkatan produktivitas komoditi usahatani. Oleh karena itu, perbaikan, pembangunan, dan perluasan sarana irigasi, baik saluran pemasukan maupun pembuangan (drainase) sangat diperlukan. Antisipasinya dengan membangun
43
sejenis waduk yang mampu menampung limpahan air dimanfaatkan untuk mengairi areal persawahan pada musim kering. Pengusahaan lahan, produksi, dan produktivitas disajikan pada tabel berikut. Tabel 11. Luas Areal, Produksi, dan Produktivitas berbagai Komoditas Usahatani Di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, dan Provinsi Jabar. Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
Produktivitas (Kw/Ha)
Losarang
Indramayu
Jabar
Losarang
Indramayu
Jabar
Indramayu
Jabar
9.028
200.458
1.880.142
57.453,13
1.240.873,4
9.602.302
63,64
61,90
51.07
-.Jagung
3
342
119.872
5,90
549.442
19,67
41,13
45.84
-.Kedelai
-
557
20.997
-
943,83
29.090
-
16,94
13.85
-.Kc.hijau
-
1.461
13.904
-
-.Kc.tanah
3
301
72.117
4,40
1.533
13.950
-
150,00
10.03
909,39
97.754
14,67
30,21
13.55
-.Singkong
38
219
119.097
255,48
2.743,90
2.074.022
67,23
129,29
174.15
-.Kc.panjang
4
823
13.396
11,36
4.956,52
139.694
28,40
60,23
-
-.Mentimun
6
684
11.989
41,56
9.221,00
176.907
69,27
134,66
-
-.Tomat
-
-
11.107
-
-
240.605
-
-
-
-.Cabai
12
835
14.073
116,16
4.357,17
159.320
96,80
52,18
-
-.Terong
11
221
4.352
82,04
2.002.36
57.335
74,58
90,60
-
-.Kentang
-
-
21.092
-
-
418.230
-
-
-
-.Kubis
-
-
17.833
-
-
454.815
-
-
-
Komoditas
Losarang
Tan.Pangan: -.Padi
1.419
Sayuran:
Sumber: BPS, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Indramayu. 2004-2005.
Dari 30 rumahtangga petani contoh yang menjadi responden, memiliki rataan lahan sekitar 0,2 ha hingga 1 ha. Beberapa diantaranya memiliki lahan antara 1 - 3 ha, dan petani land-less. Beberapa petani contoh mengakui memiliki kebun mangga yang terletak di luar kecamatan Losarang. Kebun mangga mereka kunjungi dan pelihara sedikitnya satu kali dalam sebulan, dan tinggal di lokasi kebun sekitar satu minggu lamanya untuk melakukan perawatan. Bila musim panen mangga tiba, adakalanya mereka berdiam di pondok dibuat di kebun tersebut selama dilakukannya panen mangga (kurang lebih sebulan). Untuk tenaga kerja pemeliharaan, biasanya mereka mempergunakan tenaga kerja sendiri (dalam keluarga). Untuk panen, mereka umumnya
44
menggunakan tenaga kerja upahan yang biasanya mereka bawa dari desa sendiri dan sudah bersifat langganan.
b. Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat Luas wilayah Kalimantan Barat sekitar 146.807 km2. Sebagian besar merupakan dataran rendah yang membentang sepanjang 600 km dari Utara ke Selatan, dan sekitar 850 km dari Barat ke Timur, dialiri ratusan sungai baik besar maupun kecil. Kabupaten Pontianak memiliki wilayah seluas 8.262,10 km2, atau sekitar 5,63% dari luas wilayah provinsi Kalimantan Barat. Sebagian besar wilayahnya merupakan lahan yang beragroekosistem marjinal pasang surut dengan tipe luapan “B” dan “C”, 42,32% merupakan kawasan hutan dan 34,11% padang alang-alang/semak belukar. Secara geografis, kabupaten Pontianak terletak tepat di garis Khatulistiwa, sehingga sering terjadi perubahan iklim yang cepat. Sementara itu, luas areal dan produksi komoditas pertanian di Provinsi Kalimantan Barat dan Kabupaten Pontianak disajikan pada tebel berikut. Tabel 12. Luas Areal dan Produksi Komoditas Pertanian Prov. Kalimantan Barat dan Kabupaten Pontianak, 2004/2005. Komoditas Tan.Pangan -.Padi -.Jagung -.Kedelai -.Kc.hijau -.Kc.tanah -.Singkong Sayuran: -.Kc.panjang -.Mentimun -.Tomat -.Cabai -.Terong -.Kentang -.Kubis
Luas Areal (Ha) Kal. Barat Pontianak
Produksi (Ton) Kal. Barat Pontianak
365.218 35.747 1.064 1.923 1.755 14.059
59.045 5.730 78 212 224 2.101
1.060.652
190.790 10.587 89 148 252 28.365
3.847 1.937 402 1.581 1.306 -
37 39 5 16 -
14.095 14.286 2.227 6.293 8.483 -
145 801 38 330 -
Sumber : BPS, Kalimantan Barat, Kab. Pontianak, dalam Angka 2004/2005.
45
Daerah ini sering tergenang yang salah satunya disebabkan oleh tidak baiknya kondisi (tersumbat) saluran drainase. Keadaan ini menyebabkan varietas padi lokal yang relatif sesuai untuk diusahakan. Umur varietas lokal sekitar 6-7 bulan dari mulai semai sampai dengan panen. Namun, sekitar 2 tahun ini mulai dilakukan pertanaman padi 2x setahun. Varietas unggul (Pb, IR64) dipakai petani pada musim hujan, sedang pada musim rendeng (musim kemarau) tetap memakai varietas lokal, yang relatif tahan genangan air (baik karena hujan maupun pasang/luapan air laut). Pentingnya sarana dan prasarana pengendalian tata air (saluran irigasi), masih membutuhkan perhatian dan perbaikan di berbagai tempat, namun terkendala karena keterbatasan anggaran daerah (APBD). Desa Jeruju yang terletak di Kecamatan Sungai Kakap, dan desa Rasau Jaya terletak di Kecamatan Rasau Jaya merupakan bagian wilayah Kabupaten Pontianak. Kedua desa di dua kecamatan tersebut dipilih untuk mewakili daerah penelitian di Kalimantan Barat. Dari Kecamatan Rasau Jaya, jarak yang ditempuh ke Mempawah (ibukota Kabupaten Pontianak) sekitar 32 km, ke ibukota provinsi (Pontianak), sekitar 102 km. Sedang dari kecamatan Sungai Kakap ke Pontianak sekitar 84 km. Dengan luas wilayah sekitar 111,07 km2, penduduk Kecamatan Rasau Jaya sekitar 21.000 jiwa yang umumnya merupakan penduduk pendatang melalui program transmigrasi sekitar tahun 1970-an. Juga terdapat penduduk asli maupun pendatang dari berbagai daerah lain di Kalimantan, misalnya dari Sambas. Luas desa Rasau Jaya sekitar 13,92 km2, tingkat kepadatan penduduk adalah 476 orang/km2. Luas areal pasang surut sekitar 675 ha untuk desa Rasau Jaya , yang ditanami padi sawah (528 ha), palawija (jagung, singkong, ubi jalar, kacang tanah, 235 ha), kelapa dalam (45 ha), kelapa hibrida (117 ha), karet (4 ha), kopi (15 ha), coklat (5 ha), serta sekitar 24 industri kecil. Luas desa Jeruju sekitar 21,30 km2, dengan kepadatan penduduk sekitar 175 orang/km2. Luas areal pasang surut desa Jeruju sekitar 1304 ha, yang ditanami padi sawah (582 ha), palawija (jagung, singkong, ubi jalar, 117 ha), kelapa dalam (22 ha), kelapa hibrida (123 ha), kopi (25 ha), coklat (6 ha), serta sekitar 17 industri kecil. Secara
46
lebih rinci, tataguna lahan di Kabupaten Pontianak, Kecamatan Rasau Jaya, dan Kecamatan Sungai Kakap disajikan pada tabel berikut. Tabel 13. Tataguna Lahan (Ha) di Kab. Pontianak, Kec.Sungai Kakap, dan Kec. Rasau Jaya. 2004/2005. Jenis Lahan Sawah irigasi Sawah pasang surut Sawah tadah hujan Lahan kering Pekarangan Kolam Hutan Lainnya
Kab. Pontianak 42.112 38.872 11.733 733.493 180 466.304 71.216
Kec. Sungai Kakap 17.350 13.375 27.963 42 9.850 6.923
Kec.Rasau Jaya 3.915 1.703 863 7.192 264 1.477
Sumber: BPS, Kab. Pontianak, Prov. Kalimantan Barat. 2004-2005.
Luas wilayah kecamatan Sungai Kakap sekitar 453,13 km2, didiami sekitar 10.500 jiwa yang terdiri dari berbagai suku baik dari suku asli Kalimantan (umumnya), Jawa (transmigran), Sambas, dan lainnya. Tingkat kepadatan penduduk desa Jeruju adalah sekitar 370 orang per km2, dengan luas desa sekitar 25 km2. Luas areal pasang surut yang ditanami kelapa dalam (259 ha), kelapa hibrida (104 ha), serta sekitar 10 industri kecil. Dengan luas desa sekitar 21 km2, penduduk desa Jeruju sekitar 5.450 orang, dengan kepadatan sekitar 257 orang per km2. Luas areal pasang surut yang ditanami kelapa dalam (515 ha), kelapa hibrida (173 ha), serta sekitar 4 industri kecil. Tiga puluh rumahtangga petani contoh yang menjadi responden dari kedua kecamatan tersebut, memiliki rataan lahan sawah seluas sekitar 1 ha. Beberapa diantaranya memiliki lahan sawah antara 1 - 3 ha, beberapa sampel tidak memiliki lahan sawah sama sekali (land-less). Mereka umumnya memiliki kebun (berupa pekarangan) yang dapat ditanami dengan tanaman keperluan sehari-hari seperti kelapa, aloe vera, ubi kayu, pepaya, rambutan, jeruk, mangga, jambu air, jengkol, petai dan lainnya. Secara rinci, kondisi luas areal pertanaman dan produksi berbagai komoditas pertanian dapat disajikan pada Tabel 14 pada halaman berikut:
47
Tabel 14. Luas Areal dan Produksi Komoditas Pertanian Kabupaten Pontianak, Kec. Sungai Kakap, dan Kec. Rasau Jaya, 2004/2005. Kabupaten Pontianak Jenis Komoditas Tanaman pangan: -. Padi -. Jagung -. Kedelai -. Kc.hijau -. Kc.tanah -. Singkong
Luas Areal (Ha) 59.045 5.730 78 212 224 2.101
Produksi (Ton) 190.790 10.587 89 148 252 28.365
Produktivitas (Kw/Ha) 32,31 18,48 11,41 6,98 11,25 135,01
Kec. Sungai Kakap Luas Areal (Ha)
Kec. Rasau Jaya Luas Areal (Ha)
14.927 -
2.615 1.308 16 154
Sumber: Data BPS, Kecamatan Sungai Kakap; dan Kecamatan Rasau Jaya. 2004.2005.
Untuk lahan padi, banyak ditemukan sistem sewa. Umumnya mereka mempergunakan sistem sewa karena lebih dapat memberi keuntungan dari pada sistem sakap. Sewa berkisar antara 2 hingga 2,5 kuintal padi per-ha per-tahun, atau sekitar Rp.200.000,- sampai dengan Rp.500.000,- tergantung kesepakatan bersama. Sistem sewa tersebut biasanya didasari hubungan kekeluargaan ataupun persaudaraan (tidak selalu harus untung/rugi, terutama agar keluarganya yang lain cukup makan). Petani umumnya juga mengusahakan tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan di lahan usahatani maupun di pekarangan, namun karena bukan daerah sentra produksinya maka hasil produksi biasanya untuk konsumsi rumahtangga, disamping untuk dijual bila pengusahaan dan produksi cukup tinggi. Tanaman sayuran yang umum dijumpai antara lain: kacang panjang, mentimun, terong, cabai, tomat, labu siam, dan sebagainya. Tanaman buah-buahan yang umum dijumpai, seperti: jeruk, mangga, jambu biji, jambu air, pisang, pepaya, tetapi, dan juga karena kedua kecamatan tersebut tersebut. Meski demikian, bagi sebagian besar petani, justru dari tanaman sayuran dan buah-buahan tersebut mereka dapat menambah pendapatan rumahtangga dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Luas areal, jenis, dan produksi tanaman tahunan tersebut disajikan pada Tabel 15, di halaman berikut.
48
Tabel 15. Luas Areal dan Produksi Tanaman Tahunan Kabupaten Pontianak, Kec. Sungai Kakap, dan Kec. Rasau Jaya, 2004/2005. Kab. Pontianak Jenis Komoditas Kelapa
Luas Areal (Ha) 51.310
Produksi (Ton) 37.367
Kec. Sungai Kakap Luas Areal (Ha) 18.794
Produksi (Ton) 17.800
Kec. Rasau Jaya Luas Areal (Ha) 277
Produksi (Ton) 114
Kopi
7.132
1.147
605
78
115
28
Kakao
2.026
452
494
129
15
4
Sumber: Data BPS, Kecamatan Sungai Kakap; dan Kecamatan Rasau Jaya.
Dari Tabel 15, diketahui bahwa secara umum tanaman kelapa, kopi, dan kakao diusahakan oleh petani, disamping tanaman pisang, pepaya. Ditemukan banyak usaha rumahtangga yang memproduksi barang-barang hasil olahan dari tanaman kelapa, seperti: gula merah, minyak kelapa, kopra, VCO, dan lainnya. Pontianak juga terkenal sebagai daerah penghasil berbagai jenis makanan olahan dari lidah buaya (Aloe Vera). Selain itu juga banyak ditemukan pertanaman pepaya yang memiliki ciri rasa yang khas yang berbeda dengan rasa buah pepaya dari daerah lain. Untuk mengetahui lebih mendalam keadaan dan karakteristik rumahtangga contoh, dikemukakan pada uraian berikut.
Karakteristik Rumah Tangga Petani Contoh 1. Struktur Rumah Tangga Berdasarkan Umur a. Kabupaten Indramayu Struktur anggota rumahtangga petani contoh di Indramayu rata-rata berjumlah 3,54 orang dengan kisaran anggota rumah tangga 2 – 6 orang. Rumahtangga petani contoh memiliki rataan anak 0 – 4 orang, dengan kisaran umur antara 3 – 22 tahun. Pada Tabel 16 menunjukkan rataan jumlah anggota rumahtangga usia kerja adalah 2,45 orang, dengan rataan persentase antara 20% – 80%. Artinya, sedikitnya 2 orang anggota keluarga yang bekerja, yaitu: KK dan istri, atau dengan salah seorang anak mereka. Umur rata-rata KK sekitar 47,93 tahun dengan kisaran antara 28 – 60 tahun. Data tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar KK yang menjadi contoh adalah
49
termasuk dalam kategori usia angkatan kerja. Secara lebih rinci, karakteristik rumahtangga petani contoh disajikan pada tabel sebagai berikut: Tabel 16. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Jumlah Anggota Keluarga, Umur KK dan Kelompok Umur. 2006. Uraian Rata-rata Jumlah Anggota Rumahtangga Rata-rata Jumlah ART usia 15-54 Umur KK (tahun) Umur Anggota Rumahtangga (%) 0 - 14 tahun 15 - 24 tahun 25 - 54 tahun > 55 tahun
Indramayu 3.54 2.45 47.93
Pontianak 3.78 2.36 47.12
22.90 18.69 45.33 13.08
28.44 18.67 39.11 13.78
Sumber: Data primer diolah.
b. Kabupaten Pontianak Mencermati Tabel 16, rataan jumlah anggota rumahtangga contoh termasuk usia kerja adalah 2,36 orang (20%–80%). Artinya, paling sedikit 2 orang anggota rumahtangga yang bekerja dengan kisaran umur antara 1 – 25 tahun. Jumlah anggota rumahtangga antara 2–7 orang (termasuk KK dan istri) dengan kisaran 0-4 orang anak perempuan dan 0 - 3 anak laki-laki. Umur KK petani contoh rata-rata 47,93 tahun dengan kisaran antara 28 hingga 66 tahun.
2. Struktur Rumahtangga Berdasarkan Pendidikan dan Pekerjaan a. Kabupaten Indramayu Dengan mencermati Tabel 17, menunjukkan relatif rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh KK petani contoh di Indramayu, rata-rata sekitar 2,9 tahun, dengan kisaran rata-rata antara 0 tahun hingga 12 tahun. Keadaan ini mencerminkan masih terdapatnya KK yang tidak pernah bersekolah, namun mereka dapat menghitung uang hasil penjualan produksi usahatani atau usaha rumahtangga lain. Sedang pendidikan rata-rata anggota rumahtangga sekitar 4,4 tahun dengan kisaran antara 0 – 14 tahun.
50
Keadaan ini bukan sepenuhnya mencerminkan rendahnya tingkat pendidikan anggota rumahtangga, namun lebih disebabkan masih banyaknya terdapat anak-anak/balita sebagai faktor pembagi (rataan) dalam rumahtangga petani contoh. Pekerjaan utama KK hampir seluruhnya (95,08%) di sektor pertanian (on-farm), baik sebagai petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan. Hal ini juga dapat mencerminkan bahwa beberapa petani yang merupakan migran ke daerah perkotaan (bekerja sebagai tukang atau buruh bangunan, buruh pabrik, pedagang asongan, pemulung, dan sebagainya). Meski demikian, pada kegiatan musim tanam atau musim panen mereka menyempatkan diri untuk pulang (mudik) dan melakukan kegiatan usahatani tersebut. Sementara itu, rata-rata petani contoh yang melakukan usaha off-farm (buruh tani, dan menyewakan alat pertanian) hanya sekitar 3,28%. Sebagian besar dilakukan oleh petani contoh yang memiliki luas lahan antara < 0,25 hingga > 1 ha, sedangkan untuk usaha menyewa atau menyewakan lahan hanya dilakukan oleh petani contoh yang memiliki lahan > 1 ha. Petani contoh yang melakukan usaha non-farm (usaha industri, usaha/jasa lain, dagang, tukang atau buruh bangunan, aparat desa, TKI, pemulung, dan ojek) rataannya hanya sekitar 1,64% yang dilakukan oleh beberapa petani contoh yang memiliki luas lahan dari < 0,25 hingga > 1 Ha.
b. Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat Tabel 17 tersebut juga menunjukkan relatif rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh KK petani contoh di daerah tersebut rataannya hanya sekitar 2,7 tahun, dengan kisaran rata-rata antara 0 - 9 tahun. Keadaan ini mencerminkan masih terdapatnya KK yang tidak pernah bersekolah, namun mereka mampu sedikit membaca dan dapat menghitung uang hasil penjualan produksi usahatani atau usaha rumah tangga lainnya. Sedang rataan pendidikan anggota rumahtangga sekitar 3,6 tahun dengan kisaran antara 0 – 12 tahun. Keadaan ini tidak sepenuhnya mencerminkan rendahnya tingkat pendidikan anggota keluarga, tetapi lebih disebabkan faktor pembagi (rataan) yang berusia balita (belum bersekolah).
51
Hampir seluruh KK (98,33%) yang menguasai dan mengusahakan lahan dengan luas antara < 0,25 - > 1 Ha pada rumahtangga contoh melakukan pekerjaan utama di sektor pertanian (on-farm), baik sebagai petani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan. Kondisi ini mencerminkan bahwa mayoritas petani contoh masih mempertahankan usahatani sebagai matapencaharian rumahtangganya. Sementara itu, petani contoh yang melakukan usaha off-farm (buruh tani) rataannya hanya sekitar 1,67%; dimana sebagian besar dilakukan oleh petani contoh yang memiliki luas lahan antara < 0,25 Ha dan > 0,5 - > 1 Ha, sedangkan untuk usaha menyewa atau menyewakan lahan hanya dilakukan oleh petani contoh yang memiliki lahan > 1 Ha. Sementara itu, tidak ditemukan adanya rataan petani contoh yang melakukan usaha nonfarm (usaha industri, usaha/jasa lain, dagang, tukang atau buruh bangunan, aparat desa, TKI, pemulung, dan ojek). Dengan demikian, dari hasil kajian data struktur rumahtangga contoh menunjukkan masih relatif rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki baik oleh KK maupun anggota rumahtangga petani contoh di lokasi penelitian tersebut. Secara lebih rinci, struktur rumahtangga petani contoh berdasarkan pendidikan dan pekerjaan di Indramayu dan Pontianak, disajikan pada tabel berikut: Tabel 17. Karakteristik Rumahtangga Petani Contoh berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan. 2006. Uraian Rata-rata Tingkat Pendidikan KK Rata-rata Tingkat Pendidikan Anggota RT Pekerjaan Utama KK (%): - ON FARM - OFF FARM - NON FARM Pekerjaan Sampingan KK (%) - ON FARM - OFF FARM - NON FARM
Indramayu
Pontianak
2,9 4,4
2,7 3,6
95.08 3.28 1.64
98.33 1.67 .
. 17.39 82.61
. 31.43 68.57
Sumber: Data Primer Diolah
52
3. Kondisi Rumah Tinggal Contoh a. Kabupaten Indramayu Dengan mencermati Tabel 18, diketahui bahwa dari 30 rumahtangga petani contoh di Indramayu, memiliki rataan luas pekarangan 141,51 m2. Rataan luas bangunan rumah tinggal adalah 56,69 m2. Sebagian besar merupakan milik mereka (96,61%), dan sisanya (3,39%) tinggal bersama orang tua dengan status menumpang. Petani contoh umumnya membangun rumah tinggal tersebut di atas tanah yang menjadi milik sendiri (sekitar 93,33%), dan hanya sebagian kecil saja (sekitar 6,67%) yang mendiami rumah dengan status menumpang pada orangtua maupun keluarga. Ditinjau
dari
fasilitas
yang
dimiliki
rumah
petani
contoh, rata-rata
memperlihatkan kondisi yang cukup baik, karena sebagian besar (68,85%) dibangun dengan dinding tembok yang cukup kokoh, hanya sebagian kecil saja (13,11%) yang berdindingkan bilik, setengah tembok (8,20%), ataupun jenis dinding lainnya (9,84%). Demikian halnya dengan lantai rumah, dimana hampir 32,79% dari 60 petani contoh rumahnya telah berlantaikan ubin/traso, semen (21,31%), bahkan 22,95% yang telah memasang keramik untuk lantai rumahnya. Meski demikian, masih ditemukan rumah dengan lantai sederhana, seperti: berlantai tanah (11,48%), bambu (9,84%), maupun berlantaikan kayu (1,64%). Sumber air minum di 60 rumahtangga petani contoh tersebut umumnya (96,72%) berasal dari sumur, baik sumur gali maupun sumur bor (pantek), yang sebagian besar dialirkan oleh mesin pompa air listrik, meski masih dijumpai beberapa rumahtangga yang menggunakan pompa tangan maupun timba untuk mengambil air di sumur tersebut. Hal ini dimungkinkan karena hampir seluruh (93,44%) rumah tinggal petani contoh di Kabupaten Indramayu telah dialiri listrik, sedang sisanya masih mengandalkan sentir/dammar sebagai alat penerangan di rumah. Dengan tersedianya fasilitas air dan listrik, maka mereka umumnya telah melengkapi sanitasi MCK pribadi di rumah mereka (77,05%), sisanya sekitar 13,11% yang masih mempergunakan MCK bersama/umum, atau pergi ke sungai (1,64%) dan alam (8,20%). Kondisi rumah tinggal dari
53
rumahtangga petani contoh di lokasi penelitian, secara lebih rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel 18. Kondisi Tempat Tinggal Rumahtangga Petani Contoh. 2006. Uraian Luas Pekarangan (M2) Luas Bangunan (M2) Status Rumah (%): - Milik - Numpang Status tanah untuk Rumah (%): - Milik - Numpang Jenis Dinding terluas (%): - Rumbia - Bilik - Kayu - Setengah tembok - Tembok - Lainnya Jenis Lantai terluas (%): - Tanah - Kayu - Bambu - Semen - Ubin/teraso - Keramik Sumber Air Minum (%): - Sumur - Mata air - Air hujan - Lainnya Kelengkapan Sanitas (%): - Alam - Sungai - Kamar Mandi - MCK Pribadi - MCK Bersama - Lainnya Sumber Penerangan (%): - Sentir/Damar - Lampu templok - Listrik PLN
Indramayu 141.51 56.69
Pontianak 2375.96 54.02
96.61 3.39
90.00 10.00
93.33 6.67
86.67 13.33
. 13.11 . 8.20 68.85 9.84
6.67 1.67 60.00 3.33 28.33 .
11.48 1.64 9.84 21.31 32.79 22.95
6.67 75.00 1.67 8.33 . 8.33
96.72 . . 3.28
. 1.67 98.33 .
8.20 1.64 . 77.05 13.11 .
. 13.33 5.00 65.00 11.67 5.00
6.56 . 93.44
1.67 1.67 96.67
Sumber : Data Primer Diolah.
54
b. Kabupaten Pontianak Dari Tabel 18 tersebut, pada 30 rumahtangga petani contoh di Pontianak, rataan luas pekarangan yang dimiliki petani 2375,96 m2. Hal ini menunjukkan bahwa selain sebagai pekarangan, tanah tersebut juga merupakan kebun ataupun tempat berusahatani. Sebagai kebun, umumnya mereka mengusahakan tanaman kelapa. Beberapa di antara petani contoh juga mengusahakan tanaman pepaya Pontianak yang terkenal khas, Aloe vera (lidah buaya) dan sebagainya. Rataan luas bangunan rumah tinggal mereka adalah 54,02 m2, yang sebagian besar sudah berstatus milik (90,00%), dan sisanya (10,00%) tinggal menumpang bersama orang tua atau keluarga. Adapun status tanah dari rumah mereka tersebut sebagian besar (86,67%) milik sendiri, dan sisanya (13,33%) menumpang pada orangtua maupun keluarga. Mencermati Tabel 18, kondisi dinding rumah petani contoh umumnya relatif sederhana, namun terlihat rapi. Sebagian besar (60,00%) terbuat dari kayu. Kayu sebagai salah satu bahan bangunan masih banyak tersedia di Pontianak, mudah memperolehnya, harganya relatif lebih terjangkau. Hanya sekitar 28,33% rumah petani contoh yang terbuat dari tembok. Sebagian kecil (1,67%) yang berdindingkan bilik, setengah tembok (3,33%), namun masih ditemukan dinding rumah petani contoh dari rumbia (6,67%). Hampir 75% rumah petani contoh yang berlantaikan kayu, meski ada juga yang berlantaikan keramik (8,33%) dan semen (8,33%). Masih ditemukan rumah dengan lantai sederhana, seperti: berlantai tanah (6,67%), bambu (1,67%), Sumber air minum umumnya berasal dari air hujan (98,33%) yang ditampung dalam bak-bak penampungan. Hanya sekitar 1,67% yang mengambil air dari mata air. Bila persediaan air dalam bak habis, mereka pergi ke sungai mengambil air untuk kebutuhan sehari-hari. Rumah petani contoh umumnya telah dialiri listrik (96,67%), sedang sisanya masih mengandalkan sentir/dammar (1,67% dan lampu teplok (1,67%) sebagai alat penerangan di rumah. Meski fasilitas air diperoleh dari menampung air hujan, namun petani contoh umumnya telah melengkapi sanitasi MCK pribadi di rumah mereka (65%), sisanya sekitar 11,67% yang masih mempergunakan MCK bersama (umum), atau pergi ke sungai (3,33%), dan fasilitas lain (5%).
55
Untuk lebih melengkapi gambaran kondisi rumahtangga contoh, disajikan secara rinci pada Tabel 19. Tabel 19. Kelengkapan Rumahtangga Contoh, di Lokasi Penelitian, 2006. Jumlah Peralatan Jenis Alat Rumah Tangga Indramayu Pontianak 1. Radio/tape recorder 37 25 2. TV hitam putih 4 4 3. TV warna 39 47 4. VCD 9 31 5. Kulkas 6 4 6. Pompa listrik 12 15 7. Pompa tangan 14 . 8. Kompor minyak tanah 60 61 9. Kompor gas . 3 10. Mesin jahit 3 12 11. Lampu petromaks 3 2 12. Sumber energi lain 2 22 Sumber : Data Primer diolah.
Dari tabel kelengkapan peralatan rumahtangga tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani contoh memiliki TV berwarna, radio/tape recorder, dan kompor minyak tanah, yang sudah menjadi kebutuhan primer suatu rumahtangga. Beberapa petani juga sudah memiliki VCD, pompa listrik, pompa tangan, dan kulkas. Dengan demikian, secara keseluruhan, rumahtangga petani contoh di kedua provinsi penelitian dapat dikategorikan sebagai rumahtangga dengan kondisi yang relatif baik (lengkap).
4. Penguasaan dan Pengusahaan Aset Produktif Informasi tentang asset produktif yang dikuasai maupun yang diusahakan oleh rumahtangga petani contoh dibutuhkan untuk mengetahui pendapatan dan efisiensi usahataninya. Informasi tersebut juga diperlukan untuk menganalisis korelasi antara berbagai faktor terhadap diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga pertanian di pedesaan.
56
a. Kabupaten Indramayu Petani contoh di desa Santing dan Ranjeng, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, rataan menguasai 1,43 persil lahan. Dengan rataan masingmasing baik secara milik (0,492 ha), sewa (0,668 ha), sakap (0,478 ha), maupun dengan cara lainnya (misalnya meminjam, menumpang, warisan belum milik) seluas 0,950 ha. Di samping itu, beberapa diantara petani contoh masih memiliki sepersil lahan kering (0,150 Ha), dan sepersil kebun (0,406 ha). Meski relatif sempit (0,022 ha), rata-rata petani contoh memiliki lahan untuk rumah dan pekarangan. Secara rinci, rataan status luas penguasaan dan pengusahaan lahan di Indramayu, disajikan pada tabel berikut. Tabel 20. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan Petani Contoh di Kabupaten Indramayu. 2006. Jenis Lahan
Penguasaan Milik
Rataan Status Lahan (Ha) Pengusahaan Jml Milik Sewa Sakap Persil
Lainnya
Total
1. Pekarangan
0,022
1,000
0,022
-
-
-
0,022
2. Sawah tadah hujan
0,492
1,306
0,492
0,476
0,478
0,225
1,671
3. Lahan Pasang surut
-
-
-
-
-
-
-
4. Lahan kering
0,150
1,000
0,150
-
-
0,123
0,273
5. Kebun
0,406
1,000
0,406
-
-
-
0,406
6. Kolam
-
-
-
-
-
-
-
7. Lainnya
-
1,000
-
0,475
-
-
0,475
Sumber : Data Primer diolah.
Dari Tabel 20, petani contoh di Indramayu rata-rata mengusahakan 1,306 persil lahan sawah tadah hujan. Dengan rataan masing-masing baik secara milik (0,492 ha), sewa (0,476 ha), sakap (0,478 ha), atau dengan meminjam, menumpang, warisan belum milik) seluas 0,225 ha, serta total lahan kering seluas 0,273 ha.
57
b. Kabupaten Pontianak Rumahtangga petani contoh di Pontianak, rata-rata menguasai 1,42 persil lahan pasang surut, dengan rataan milik 1,195 ha, secara rinci disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Rataan Status Penguasaan dan Pengusahaan Lahan (Ha) Petani Contoh di Kabupaten Pontianak. 2005/2006. Rataan Status Lahan (ha) Jenis Lahan Penguasaan Pengusahaan Milik Jml Milik Sewa Sakap LainPersil nya 1. Pekarangan 0,285 1,000 0,285 0,175 2. Sawah tadah hujan 3. Lahan Pasang surut 1,195 1,278 1,195 0,660 1,325 0,700 4. Lahan kering 0,942 1,000 0,942 0,670 5. Kebun 0,833 1,000 0,833 6. Kolam 7. Lainnya Sumber : Data primer Diolah. 2006.
Di samping itu, beberapa diantara petani contoh masih memiliki sepersil lahan kering (0,942 Ha), dan sepersil kebun (0,833 ha). Mereka memiliki lahan untuk rumah dan pekarangan dengan rataan seluas 0,285 ha. Dari Tabel 20, rataan penguasaan lahan pasang surut tersebut, petani contoh rataan mengusahakan 1,278 persil lahan. Dengan rataan masing-masing baik secara milik (0,915 ha), sewa (0,66 ha), sakap (1,325 ha), atau meminjam, menumpang, warisan belum milik seluas 0,700 ha. Di samping itu, ditemukan beberapa diantara petani contoh yang juga mengusahakan rata-rata 1 persil lahan kering milik seluas 0,942 ha dan secara sewa seluas 0,670 ha, maupun 1 persil kebun yang berstatus milik seluas 0,833 ha. Relatif rendahnya penguasaan aset sumberdaya lahan pada petani responden, umumnya ditopang oleh aset produktif yang lain. Aset produktif lain yang umum ditemukan pada petani contoh adalah berupa pemilikan ternak sapi, kambing, ayam kampung, ayam buras, itik/entok, dan sebagainya. Secara lebih rinci, rataan pemilikan ternak pada rumahtangga petani contoh disajikan pada Tabel 22.
58
Total 0,460 3,600 1,612 0,833 -
Tabel 22. Rataan Pemilikan Ternak Pada Rumahtangga Contoh, 2006
% 1. Sapi 2. Kerbau 3. Kuda 4. Kambing 5. Domba 6. Babi 7. Kelinci 8. Ayam ras 9. Ayam buras 10.Itik 11.Burung
1.64 0.00 0.00 4.92 9.84 0.00 0.00 4.92 47.54 16.39 1.64
Indramayu Jml Nilai (ekor) (000) 2.00 4500 . . . . 3.33 967 4.83 1617 . . . . 8.67 92 14.07 152 5.90 73 4.00 40
% 21.67 0.00 0.00 5.00 0.00 0.00 0.00 3.33 80.00 11.67 0.00
Pontianak Jml Nilai (ekor) (000) 2.85 11192 . . . . 3.67 1217 . . . . . . 15.00 165 23.38 4533 13.43 161 . .
Sumber : Data Primer Diolah. Keterangan: % = persentase RMT yang memiliki ternak sapi.
Di samping kepemilikian ternak, rata-rata petani contoh memiliki peralatan mesin pertanian (alsintan), yang secara rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel 23. Pemilikan Alsintan Rumahtangga Contoh, di Lokasi Penelitian, 2006. Indramayu Alsintan Jml
Pontianak
Kondisi Baik Jml
%
Alsintan Jml
Kondisi Baik Jml
%
1. Alsintan - Hand tractor - Thresher - Pompa - Hand sprayer
3 3 2 28
3 3 2 26
100 100 100 92.86
. 1 . 49
. 1 . 42
. 100 . 85.71
2. Alat Pengering - lantai jemur - Dryer Gudang/lumbung Lainnya
3 . 2 2
3 . 2 1
100 . 100 50
2 . 4 .
. . 4 .
. . 100 .
Sumber : Data primer diolah. 2006.
59
Dengan mencermati Tabel 23, pada beberapa petani contoh di Indramayu ditemukan yang memiliki hand tractor yang biasanya disewakan pada kegiatan pengolahan tanah (sebelum musim tanam). Usaha penyewaan hand tractor yang dilakukan beberapa petani contoh tersebut, juga dapat diindikasikan sebagai salah satu upaya diversifikasi usaha rumahtangga pertanian di pedesaan. Dari tabel pemilikan alsintan di atas, ditemukan perbedaan pada pemilikan hand tractor. Kebanyakan terdapat di Indramayu, sedang di Pontianak tidak ditemukan adanya pemilikan hand tractor tersebut. Hal ini terutama disebabkan perbedaan nyata pada topografi areal pertanian. Kondisi relatif datar dan kering di Indramayu sangat berbeda bila dibandingkan dengan kondisi lahan pasang surut di Pontianak berupa rawa yang selalu terendam. Kondisi tersebut menyebabkan petani contoh tidak biasa menggunakan hand tractor untuk mengolah lahan usahatani pada kegiatan pengolahan tanah untuk persiapan tanam. Selain itu, ditemukan juga pemilikan alat transportasi (motor, sepeda, gerobak, speed boat) sebagai aset produktif rumahtangga mereka. Secara lebih rinci, pemilikan alat transportasi pada rumahtangga petani contoh disajikan pada tabel berikut. Tabel 24. Pemilikan Alat Transportasi Rumahtangga Contoh, di Lokasi Penelitian, 2006.
%
Indramayu Rata-an (Unit)
Nilai (000)
%
Pontianak Rata-an (Unit)
Nilai (000)
Alat Transportasi - Sepeda Motor
24.59
1.07
8800
43.33
1.00
6960
- Sepeda
50.82
1.48
175
85.00
1.69
192
- Speed boat
0.00
.
.
0.00
.
.
- Becak
1.64
1.00
300
0.00
.
.
- Gerobak
4.92
1.67
367
1.67
1.00
400
Sumber: Data Primer Diolah. 2006.
60
5. Pola Usahatani Di Kabupaten Indramayu, petani contoh umumnya mengusahakan tanaman monokultur setiap musimnya dengan menerapkan pola Padi-Padi-Palawija; Padi-PadiSayuran; atau Padi-Padi Bera dalam mengusahakan tanaman pangan dan sayuran dataran rendah. Integrasi antara tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau antara tanaman dengan ternak tidak ditemukan pada usahatani rumahtangga mereka. Pemilikan ternak di lokasi penelitian cukup memadai. Lebih dari 40% rumahtangga contoh yang mengusahakan ternak, terutama unggas (ayam buras dan ras). Mengusahakan ternak sapi (< 2%) dengan rataan 2 ekor per peternak. Mengusahakan ”kado” (kambing, domba) sekitar 5-10% dengan rataan 3,3 - 4,8 ekor/peternak. Namun, mereka umumnya belum memanfaatkan limbah tanaman untuk ternak, dan kotoran ternak (pupuk kandang) sebagai pupuk organik. Di Kabupaten Pontianak, Kalimantan Barat, petani contoh umumnya menerapkan sistem monokultur dengan pola tanam Padi-Sayuran-Bera; Padi-JagungBera; atau Padi-Bera-Bera dalam mengusahakan padi, jagung dan sayuran dataran rendah. Sekitar 22% petani contoh memelihara sapi dengan skala rata-rata 2,8 ekor per peternak. Model usahatani yang diterapkan adalah pola terpisah (parsial) antara tanaman dan ternak. Petani contoh di Pontianak umumnya juga belum memanfaatkan limbah tanaman untuk pakan sapi, dan kotoran sapi untuk memupuk tanaman, sehingga belum terlihat integrasi sinergis antara tanaman dengan ternak.
6. Analisis Pendapatan Usahatani Analisis usahatani rumahtangga petani contoh di Indramayu, dilakukan untuk tanaman dominan pada dua musim (padi sawah). Sedangkan di Pontianak, tanaman dominan pada MH adalah padi sawah dan pada MK adalah jagung. Sedangkan untuk MK2, tidak dimasukkan dalam analisis ini, karena sedikitnya petani yang menanam, baik karena resiko kekeringan maupun gangguan hama dan penyakit. Hasil analisis usahatani tanaman dominan, disajikan pada Tabel 25.
61
Tabel 25. Analisa Usahatani Padi dan Palawija (/ha), di Lokasi Penelitian. 2006 Kab.Indramayu MH MK1 A. Biaya Produksi Benih Pupuk & Pestisida Tenaga Kerja Lain – lain
Kab.Pontianak MH MK1
66,99 697,28 1.453,44 57,81
76,42 586,45 1.183,62 87,75
108,97 310,69 762,03 5,46
112,13 310,08 750,83 2,50
2.275,52
1.934,24
1.187,15
1.175,54
B. Penerimaan
6.155,68
4.638,69
3.257,91
2.885,88
C. Keuntungan
3.880,16
2.704,46
2.070,76
1.710,26
1,70
1,40
1,70
1,45
Total
D. B/C Sumber: Data primer dianalisis.
Mencermati Tabel 25, diketahui biaya produksi sangat beragam, mulai dari yang rendah (sekitar Rp 1.187 ribu/ha di Pontianak), sampai yang relatif tinggi (Rp 2,28 juta/ha di Indramayu). Besarnya keuntungan usahatani juga beragam sesuai dengan curahan modal tunai dan tingkat produktivitas lahan. Keuntungan usahatani padi di Indramayu adalah Rp 3,88 juta/ha pada MH dan Rp 2,70 juta/ha pada MK1. Di Pontianak, keuntungan usahatani adalah Rp 2,07 juta/ha pada MH dan Rp 1,71 juta/ha pada MK1. Usahatani di lokasi penelitian secara umum cukup menguntungkan. B/C rasio usahatani di Indramayu pada MH sebesar 1,70, dan pada MK1 sebesar 1,40. Di Pontianak, B/C rasio mencapai 1,70 pada MH dan 1,45 pada MK1 (Tabel 25). Meski terlihat berimbang, namun pendapatan petani contoh di Pontianak termasuk sangat rendah. Dengan mengusahakan lahan yang lebih luas dibanding di Indramayu, namun B/C analisis usahatani di Pontianak tidak berbeda dibanding nilai B/C di Indramayu. Hal ini terjadi meski produksi termasuk rendah, tetapi dengan biaya produksi yang juga rendah. Dapat disimpulkan makin beresiko lahan usaha maka makin terbatas input yang digunakan petani karena petani tidak mau ambil resiko mengeluarkan biaya lebih besar karena input tinggi. Petani contoh di Pontianak tidak yakin bila input ditingkatkan, akan menaikkan produksi sehingga dapat meningkatkan pendapatan.
62
7. Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Lahan
merupakan
sumberdaya
(asset) produktif utama
yang
dimiliki
rumahtangga petani sebagai sumber perolehan pendapatan. Besarnya pendapatan rumahtangga dari lahan sangat ditentukan oleh tingkat pemanfaatannya. Pemanfaatan sumberdaya lahan didefinisikan sebagai rasio antara luas lahan yang diusahakan dengan luas lahan yang dikuasai. Jika luas lahan yang diusahakan adalah seluruh lahan yang dikuasai, maka rasionya adalah 1,00, sedangkan jika lahan yang dikuasai tidak diusahakan, maka rasionya adalah 0,00. Di Indramayu, luas penguasaan lahan rumahtangga petani contoh berkisar antara 0 - 3,03 ha, dengan rataan 1,10 ha. Dari luasan tersebut, sekitar 0 - 3,03 ha yang diusahakan untuk usahatani, dengan rataan 1,03 ha. Sedangkan rasio pengusahaannya berkisar antara 0-1, dengan rataan 0,94. Artinya bahwa rata-rata 94 persen dari lahan yang dikuasai diusahakan untuk usahatani. Selebihnya (6%) tidak diusahakan untuk usahatani atau dibiarkan bera, karena keterbatasan modal dan tenaga kerja. Di Pontianak, rentang luas penguasaan antara 0-3,50 ha, dengan rataan 1,48 ha. Rataan pengusahaan adalah 1,41 ha per rumahtangga, dengan rataan rasio 0,95. Pemanfaatan sumberdaya lahan di lokasi penelitian, secara umum cukup efisien, dengan rasio pengusahaan rata-rata 94% di Indramayu, sedangkan di Pontianak rasio pengusahaan rata-rata adalah 95%. Dengan demikian, efisiensi pemanfaatan lahan di Pontianak sangat baik. Demikian halnya juga tidak jauh berbeda dengan di Indramayu. Hal ini dimungkinkan karena merupakan daerah transmigran asal Jawa, sehingga kemampuan dan kebiasaan tenaga kerja keluarga tidak jauh berbeda dengan petani di Jawa umumnya. Adapun perbedaan yang terjadi, umumnya hanya pada jenis komoditas, pola tanam, model usahatani, dan modal (relatif lebih terbatas) untuk menggarap lahan. Pada Tabel 26, disajikan secara rinci luas lahan yang dikuasai, yang diusahakan dan rasio dari keduanya.
63
Tabel 26. Luas Penguasaan, Pengusahaan Lahan, dan Rasio antara keduanya Di Lokasi Penelitian, 2006. Uraian A. Penguasaan lahan - Minimum - Maksimum - Rataan B. Pengusahaan lahan - Minimum - Maksimum - Rataan C. Rasio (B/A) - Minimum - Maksimum - Rataan
Kab. Indramayu
Kab. Pontianak
0,00 3,03 1,10
0,00 3,50 1,48
0,00 3,03 1,03
0,00 3,50 1,41
0,00 1,00 0,94
0,00 1,00 0,95
Sumber: Data primer diolah. 2006.
Secara keseluruhan rata-rata pemilikan lahan di lokasi penelitian berkisar antara 0 – 3,5 ha. Pada rumah tanggapetani contoh di Kabupaten Indramayu pemilikan lahan sawah tadah hujan masih tergolong lahan sempit (< 0,25 ha) bahkan terdapat satu rumahtangga petani contoh yang tidak memiliki lahan usahatani (landless). Upaya untuk memperoleh sumber pendapatan di luar sektor pertanian relatif tinggi. Rataan pemilikan lahan pasang surut pada rumahtangga petani contoh di Pontianak relatif tinggi (>1,0 ha). Hal ini disebabkan bahwa sebagian besar (80%) petani responden merupakan penduduk transmigran dari daerah Jawa (sekitar tahun 1976). Para transmigran tersebut memperoleh pembagian lahan dari pemerintah, yaitu seluas 2 ha/KK. Dari sisi pengusahaan lahan, petani contoh di Pontianak secara rataan hanya mengusahakan 1,278 persil dengan rataan pengusahaan seluas 3,60 ha. Pengusahaan tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan rataan pengusahaan petani contoh di Indramayu (1,671 ha), namun dengan jumlah persil yang lebih banyak yaitu 1,306 persil. Keadaan ini dapat mengindikasikan lebih marjinalnya kondisi lahan pasang surut di Pontianak dibanding dengan lahan sawah tadah hujan di Indramayu. Lebih marjinalnya kondisi lahan pasang surut dibanding dengan lahan sawah tadah hujan tersebut mencerminkan relatif lebih rendahnya produksi dan produktivitas lahan yang
64
dapat dihasilkannya. Hal tersebut tercermin pada nilai B/C rasio dimana walau pengusahaan lahan di Pontianak hampir dua kali lebih luas daripada di Indramayu, namun B/C rasio keduanya tidak jauh berbeda yaitu 1,70 (MH) dan 1,40 (MK) untuk usahatani di Indramayu, sedangkan B/C usahatani di Pontianak 1,70 (MH) dan 1,45 (MK). Nilai rasio usahatani tersebut akhirnya mempengaruhi pendapatan rumahtangga petani contoh yang mengusahakannya. Relatif tingginya keuntungan usahatani di Pontianak umumnya diperoleh oleh petani yang melakukan diversifikasi usahatani dengan tanaman sayuran. Oleh karena itu, petani contoh di Pontianak lebih berminat untuk mengusahakan pertanaman komoditas hortikultura terutama sayuran (di samping pepaya dan Aloe vera) dari pada mengusahakan tanaman pangan (padi). Selain itu, mereka juga memperoleh tambahan pendapatan rumahtangga dari usaha off-farm dan non-farm, yang secara rinci disajikan pada bagian berikut dari tulisan ini yaitu peran remitans bekerja dari luar negeri (TKI) dan diversifikasi usaha rumahtangga yang dilakukan petani contoh di lokasi penelitian.
65
PERAN REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI
Pada era globalisasi sekarang ini, bekerja sebagai TKI merupakan pilihan fenomenal angkatan kerja. Belum pulihnya perekonomian di sektor riil, belum stabilnya kondisi sosial politik dalam negeri, serta kecilnya kesempatan kerja di Indonesia telah memicu tingginya tingkat pengangguran. Hal tersebut berimplikasi terhadap semakin banyaknya penduduk miskin. Ditambah berbagai fakta dan berita bahwa pekerja migran ke luar negeri memiliki prospek, gaji dan penghidupan perekonomian yang lebih menjanjikan. Di pihak TKI dan rumahtangganya, kondisi status ekonomi maupun latar belakang yang umumnya miskin dan berpendidikan rendah, sebagai ketidak berdayaan di negara asal. Kondisi menganggur, dan sulit mendapatkan pekerjaan mendorong mereka untuk mengadu nasib bekerja ke luar negeri. Keputusan tersebut umumnya merupakan inisiatif calon TKI yang didasari keinginan meningkatkan pendapatan dan taraf hidup rumahtangga, meski harus berbagai resiko saat bekerja di luar negeri. Dari penemuan di lokasi penelitian, para TKI yang bekerja sebagai PRT di luar negeri tersebut, secara empirik umumnya memiliki latar belakang pendidikan rata-rata hanya tamat SD hingga SMP. Kurangnya pembinaan dan pelatihan terhadap mereka, menyebabkan tingkat ketrampilan dan kemampuan berbahasa asing merekapun rendah. Hal ini ditambah dengan minimnya pembekalan pengetahuan mereka mengenai perbedaan sosial dan budaya di negara tujuan bekerja. Keadaan ini memungkinkan ketidaksiapan mental dan timbulnya persepsi yang kurang tepat terhadap kebiasaan (adat budaya) di negara lain yang mengejutkan. Keadaan ini juga menyebabkan mereka tidak siap dan terkejut dalam menghadapi perlakuan sehari-hari dari orang-orang di negara tempatnya bekerja tersebut (shock culture). Rendahnya tingkat pendidikan TKI, kurangnya informasi dan penyuluhan/ pelatihan di dalam maupun di luar negeri, berdampak pada minimnya pengetahuan tentang undang-undang pekerja migran di luar negeri. Akibatnya, kemampuan kualitas SDM para TKI menjadi rendah untuk dapat bersaing dengan tenaga kerja dari negara lain.
66
Pekerjaan para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri umumnya masih di sektor non-formal yaitu menjadi pembantu rumahtangga (PRT). Jenis pekerjaan non-formal TKI selain PRT adalah: pengasuh bayi/balita, perawat orang-orang tua, tukang kebun, penebangan hutan (shawmill), dan sebagainya. Pekerjaan formal seperti: pelayan di super market atau pompa bensin, tenaga kerja di sektor industri, perkebunan, peternakan, dan sebagainya. Namun, kondisi ini hendaknya jangan dipandang sebelah mata, sebab kontribusi pendapatan (melalui remitans) para TKI sebagai sumbangan luar biasa besar setiap tahunnya bagi devisa negara dan sudah berlangsung selama lebih dari 20 tahun. Kontribusi terhadap devisa negara melalui remitans tersebut memberi manfaat yang luar biasa bagi pengembangan ekonomi nasional. Peran TKI sebenarnya cukup dilematis, karena selain mampu menghasilkan remitans besar juga mengandung berbagai permasalahan yang patut dikaji kembali penyelesaiannya oleh negara. Permasalahan telah dimulai dari pengurusan administrasi sebelum berangkat, saat perekrutan di dalam negeri (dieksploitasi, ditipu sponsor yang berkedok PJTKI). Masalah lain adalah perlakuan buruk selama di penampungan maupun di negara tempat mereka bekerja, hingga kepulangan kembali ke desa asal. Proses tersebut dipenuhi bermacam pungutan uang, baik yang berkedokkan peraturan (resmi) maupun liar. Berbagai perlakuan buruk yang dihadapi para TKI sebagai pekerja migran, pelanggaran HAM (pembatasan berhubungan dengan dunia luar, upah di bawah upah normal yang berlaku di negara setempat, potongan gaji, bekerja melebihi batas jam kerja normal, pelecehan seksual dan perkosaan, penghinaan dan penganiayaan), bahkan berbagai hukuman badan seperti hukuman cambuk maupun hukuman mati tanpa terlebih dahulu ada pembelaan baginya. Kondisi ini mencerminkan ketidakberdayaan para TKI menghadapi hukum dan budaya negara setempat dan berbagai bentuk pengeksploitasian yang diterimanya dari pihak PJTKI dan majikan. Keadaan ini umumnya terjadi pada golongan pekerja dengan keahlian menengah ke bawah, walau adakalanya menimpa pekerja dari golongan ahli (expert). Di sisi lain, pengiriman TKI ke luar negeri secara makro sebenarnya cukup mendukung keuangan negara, ditinjau dari devisa yang dihasilkan (inflow) yang dihitung berdasarkan remitansi, kontribusi dari bea (pajak/biaya) saat pemberangkatan dan dari
67
pendapatan mereka. Secara mikro, para TKI membantu meningkatkan taraf hidupnya maupun keluarganya (rumahtangga), bahkan lingkungannya, seperti membantu finansial pembangunan tempat ibadah di sekitar tempat tinggalnya. Pengiriman para TKI ke luar negeri bagaikan pahlawan devisa. Meski tidak terdapatnya data signifikan telah mengurangi barisan pengangguran yang terus meningkat jumlahnya di negeri ini dari waktu ke waktu. Berbagai sektor lain seperti maskapai penerbangan juga seharusnya berterima kasih kepada para TKI tersebut, karena ribuan orang TKI yang berangkat ke luar negeri (seperti: negara Timur Tengah, Arab Saudi, Malaysia, Singapura, Hongkong, Taiwan), terkadang sampai dicarterkan pesawat oleh PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) pengirimnya untuk mengirim mereka ke negara tujuan. Meski tidak meminta tambahan biaya jasa langsung kepada calon TKI, namun perusahaan mendapat marjin dari pengiriman TKI karena begitu tiba dan bekerja pada majikannya di luar negeri, maka para TKI harus rela upah mereka selama beberapa bulan pertama (sedikitnya 3 hingga 6 bulan) menjadi hak PJTKI pengirimnya.
Remitans dan Mobilitas Sosial TKI di Daerah Asal Pendapatan yang diperoleh TKI dari di luar negeri memang relatif tinggi dibanding upah yang mereka terima dengan jenis pekerjaan yang sama di dalam negeri, apalagi bagi mereka yang bisa berhemat (menabung) di negera tempatnya bekerja. Sebagian pendapatan yang berhasil mereka kirimkan ke desa (remitans) ditemukan di lokasi penelitian, disajikan pada tabel berikut. Tabel 27: Perbandingan Pendapatan Rumahtangga Contoh dari Remitans TKI di Kabupaten Indramayu dan Pontianak. 2005/2006. Luas Lahan Diusahakan (Ha) < 0,25 0,25 – 0,5 > 0,5 – 1 >1 Total TKI (orang)
TKI di Kab Indramayu (000) (%-tase) 0 0 9000-12000 (29,22-63,02) 0-20000 (0-61,93)
TKI di Kab. Pontianak (000) (%-tase) 0 0 0 0 0-12000 (0-40,85)
0-18000 (0-66,84) 17 (56,57%)
0-20000 (0-67,28) 14 (46,67%)
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
68
Dari Tabel 27 tersebut, dapat dicermati bahwa dari 30 rumahtangga petani contoh di Indramayu, terdapat 17 orang (56,67%) dari anggota rumahtangga contoh yang bekerja sebagai TKI. Kontribusi pendapatan bagi rumahtangga (keluarga) yang dilihat dari remitansi (kiriman uang) mereka kepada keluarga adalah berkisar antara Rp.9 juta hingga Rp.20 juta per tahun. Sedangkan di Pontianak, dari 30 rumahtangga contoh, ditemukan 14 orang (46,67%) dari anggota rumahtangga contoh yang bekerja sebagai TKI. Remitansi yang diberikan untuk membantu pendapatan rumahtangga mereka di desa adalah sekitar Rp.12 juta hingga Rp.20 juta per tahun. Sungguh suatu jumlah yang sangat besar sebagai diversifikasi sumber pendapatan bagi rumahtangga mereka di pedesaan. Perbandingan rataan pendapatan rumahtangga contoh TKI di Indramayu dan Pontianak yang diperoleh dari subsektor on-farm dan non-farm disajikan pada tabel berikut. Tabel 28. Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh TKI dari Pertanian dan Luar Pertanian, di Kabupaten Indramayu dan Pontianak, 2005/2006. Pengusahaan Lahan (ha) < 0,25 0,25 – 0,5 >0,5 – 1 >1
Rataan Pendapatan Rumah Tangga TKI (Rp.000) Kabupaten Indramayu Kabupaten Pontianak Pertanian Luar Pertanian Pertanian Luar Pertanian 2184,5 14105,33 14073,83
15850 17695,83 19533,33
6500 5619,92
21744 13975
Sumber: Hasil Analisis Data Primer.
Dengan mencermati Tabel 28, terlihat bahwa terjadi peningkatan pendapatan rumahtangga TKI yang signifikan pada sub-sektor luar pertanian di kedua lokasi penelitian. Terlihat juga bahwa ternyata yang bekerja menjadi TKI sebagai diversifikasi usaha justru dilakukan oleh rumahtangga petani contoh yang mengusahakan lahan antara 0,25 - >1 ha untuk Indramayu. Sementara di Pontianak, petani contoh yang menjadi TKI sebagai diversifikasi usaha rumahtangga justru terjadi pada pengusahaan lahan yang lebih luas dibanding petani contoh di Indramayu, yakni antara 0,5 - > 1 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa menjadi TKI bukanlah berasal dari golongan petani berlahan sempit ataupun
69
landless. Persepsi tersebut telah bergeser kepada golongan petani yang berlahan relatif lebih luas, yang dapat dimaknai sebagai golongan petani yang relatif lebih mampu hingga golongan petani kaya. Pendapat ini sedikitnya didasari pada keadaan petani tersebut yang berasal dari golongan yang mengusahakan lahan >0,25 - > 1 ha. Perbedaan rataan perolehan pendapatan antara hanya dari TKI dengan usaha selain TKI pada rumahtangga TKI contoh adalah sangat nyata pada seluruh contoh yang mengusahakan lahan antara 0,25 - >1 ha (di Indramayu). Sedang pada rumahtangga petani contoh di Pontianak adalah sangat berbeda nyata pada petani dengan pengusahaan antara >0,5 - >1 ha yang memiliki anggota keluarga sebagai TKI. Demikian halnya yang terjadi bila kenyataan tersebut dikaji melalui perolehan pendapatan rumahtangga luar pertanian dari usaha TKI dibandingkan dengan usaha rumahtangga di luar TKI. Untuk lebih memperkuat asumsi tersebut, dikaji dari pendapatan luar pertanian dari rumahtangga petani contoh yang memiliki anggota rumahtangga TKI. Dengan membandingkan perolehan tersebut berdasarkan pendapatan dari TKI terhadap pendapatan dari luar TKI, seperti yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 29. Rataan Pendapatan RT TKI Contoh dibanding Non-TKI, sebagai Pendapatan Non-Farm di Kab. Indramayu dan Pontianak. 2006. Pengusahaan Lahan (ha) < 0,25 n = 3 RT 0,25 – 0,5 n = 2 RT >0,5 – 1 n = 13 RT >1 n = 12 RT
Rataan Pendapatan Rumahtangga TKI Luar Pertanian (Rp.000) Kabupaten Indramayu Kabupaten Pontianak TKI Luar TKI TKI Luar TKI 4933,83 2400 (n = 3) (n = 2) 15850 3500 (n = 2) (n = 1) 176957 3735 21744 5132,5 (n = 6) (n = 7) (n = 2) (n = 6) 17424,8 4850 13975 1333,33 (n = 9) (n = 3) (n = 12) (n = 7)
Sumber: Hasil Analisis Data Primer.
Penghasilan dari remitans TKI memang tidak langsung masuk ke kas negara, namun diduga telah turut dinikmati oleh berbagai instansi yang menanganinya seperti Jamsostek,
70
PJTKI, Depnakertrans, maupun pihak perbankan. Uang hasil keringat para TKI baik yang dikirim (remitans) kepada keluarganya di desa melalui PJTKI sponsornya, keluarga/teman yang pulang, maupun Bank, biasanya dipergunakan untuk berbagai keperluan rumahtangga. Dengan remitans, rumahtangga TKI dapat membiayai sekolah anak, membeli ternak (sapi, kambing, dan sebagainya), membeli alat-alat pertanian (penggilingan padi/selep, hand tractor, thresser, hand spayer, pupuk, pestisida, herbisida, dan lain-lain). Selain itu, untuk memenuhi keinginan membeli barang-barang konsumtif (TV berwarna, kulkas, peralatan rumahtangga listrik yang modern, kendaraan bermotor), serta membangun/rerenovasi rumah dan membeli tanah/kebun/sawah. Keputusan menjadi TKI diambil sebagai diversifikasi usaha rumahtangga yang dapat memperbaiki perekonomian rumahtangga mereka. Remitans (kiriman uang) dari bekerja di luar negeri ternyata mampu meningkatkan status sosial dan taraf hidup rumahtangga petani. Keadaan ini dapat merupakan bukti sebagai salah satu solusi dari keterbatasan pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk yang termasuk sebagai angkatan kerja. Peran dan pengaruh remitans mempengaruhi mobilitas rumahtangga TKI di daerah asal. Hal ini ditinjau dari bagaimana remitans tersebut dipergunakan, baik sebagai investasi maupun hanya berfungsi sebagai alat pemuas kebutuhan hidup yang tidak ada ujungnya. Kaum perempuan penerima remitans akan menghabiskannya hanya untuk kebutuhan dasar mereka sendiri dan anak-anaknya, membeli sembako, dan obat-obatan. Bila penerimanya kaum laki-laki, maka remitans akan dihabiskan hanya untuk membeli kendaraan, bahan bakar, membangun atau merenovasi rumah, biaya menikah. Kondisi tersebut tidak sepenuhnya bermakna negatif, karena masih banyak makna positip yang dihasilkan melalui remitans TKI. Situasi krisis ekonomi dan sosial yang berkepanjangan sekarang ini menjadi salah satu penyebab makna negatif tersebut. Remitans bagaikan dewa penyelamat bagi rumahtangga (keluarga) yang menerimanya. Sudah lumrah bila remitans ludes tanpa terkendali hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, akibat kekeringan ekonomi yang sudah lama menghinggapi suatu rumahtangga TKI.
71
Beberapa gambaran fisik peran remitans TKI secara kasat mata dapat ditemukan di daerah asal TKI di lokasi penelitian. Pembangunan dan perkembangan desa yang ditandai dengan bangunan fisik rumah yang permanen dan menyolok merupakan salah satu indikator mobilitas sosial remitans TKI. Indikator lain seperti: perlengkapan elektronik rumahtangga yang modern, kendaraan bermotor, tanah yang luas, atau sering pulang (mudik) ke daerah asal. Peran remitans TKI terhadap sektor pertanian, umumnya dapat dilihat dari meningkatnya luas penguasaan maupun pengusahaan lahan usahatani petani contoh (Tabel 20 dan Tabel 21). Hal tersebut didasari pada penuturan petani contoh bahwasanya peningkatan penguasaan maupun pengusahaan lahan usahatani sedikit tidaknya berasal atau terkait dengan kiriman uang (remitans) anggota rumahtangga mereka yang bekerja di luar negeri (TKI). Bagi rumahtangga penerima yang bijak, sebagian besar remitans akan dipergunakan sebagai investasi dan kebutuhan produktif. Membeli kebun dan memperluas lahan usaha (pertanian atau luar pertanian), menjadi tujuan penting penggunaan remitans tersebut. Mereka berupaya untuk tetap dapat mencukupi kebutuhan hidup subsisten dengan pendapatan dari usaha lainnya. Bagi mereka, investasi remitans diharapkan dapat menjadi prioritas untuk merubah jalan kehidupan, persiapan pernikahan, biaya investasi pendidikan lanjutan anak-anak, bekal anak bila merantau kelak. Bila tidak bisa terlaksana dalam jangka pendek, mereka secara bijak akan menabungnya dulu untuk menunggu waktu yang tepat agar tabungan lebih besar untuk mencukupi biaya bisnis kecil, dan sebagainya.
TKI: Aset Ekonomi bagi Daerah Dorongan dan daya tarik bekerja di luar negeri makin memuncak saat calon TKI mendengar cerita dan melihat kesuksesan teman atau kerabat yang pernah bekerja di luar negerin ditambah iming-iming dan janji kemewahan dari calo. Menghadapi kenyataan makin sempitnya lapangan kerja dan lahan usahatani di negeri sendiri, serta sangat kecilnya upah yang diterima memperkuat dorongan pergi bekerja ke luar negeri. Untuk mengetahui peran remitans yang dikirimkan beberapa TKI ke desa asalnya, yang membuktikan mereka
72
sebagai aset ekonomi bagi daerahnya terutama bagi rumah tangganya sendiri, dapat disimak dari berbagai penuturan TKI yang diperoleh di lokasi penelitian. Sebut saja Mrkm (28). Seorang pemuda TKI asal desa Jeruju, Kecamatan Sungai Kakap, Pontianak ini adalah salah seorang anggotarumah tangga contoh yang orang tuanya mengusahakan sekitar 2,4 ha lahan pasang surut. Ia mengakui telah bekerja di Hongkong selama kurang lebih lima tahun. Total uang yang dibawanya pulang ke Indonesia cukup besar, sekitar Rp.95 juta, belum termasuk remitans yang telah tiga kali dikirimkannya ke kampung. Uang tersebut rencananya akan membuat usaha agribisnis VCO (minyak inti kelapa) sederhana dikampungnya, dengan dibantu keluarga dan teman-temannya. Dengan pola pikir sederhana tersebut, Mrkm bukan saja ikut membantu perkembangan kampunya, namun ia juga telah membuat lapangan kerja walau masih terbatas pada keluarga dan teman. Mrkm tetap berniat berangkat menjadi TKI kembali, dengan alasan untuk lebih menimba ilmu dan pengalaman dari negeri lain. Mrty (45), ibu dari Sr (26) seorang TKW di Malaysia yang berasal dari desa Rasau Jaya I, Pontianak. Ia mengusahakan sekitar 0,55 ha lahan pasang surut yang lebih sering ditanami sayuran. Padi lokal hanya diusahakan di lahan seluas 0,25 ha, dimana hasilnya terutama untuk mencukupi beras untuk kebutuhan makan keluarga semata. Sudah dua kali menerima Mrty kiriman uang dari SR dengan total Rp. 15 juta dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun. Uang hasil remitans tersebut sudah ludes setengahnya untuk membiayai operasi usus buntu anaknya (adik Sr), dengan seizin Sr. Sisanya dibelikan kebun sesuai permintaan Sr sebagai bekalnya di hari tua dan kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk biaya rumahtangga sehari-hari, Murtiyah mengusahakan tanaman kelapa di kebun tersebut, diolah menjadi gula merah dan hasil olahan kelapa lainnya. Murtiyah adalah seorang janda cerai dengan tiga orang anak. Pendapatan lainnya diperoleh dengan bertanam umbi-umbian (singkong, rambat) dan menjadi buruh tani bila ada tetangga yang memerlukannya. Semuanya diperuntukkan mencukupi biaya sekolah dan makan sehari-hari. Sndg (25), seorang pemuda TKI asal desa Santing, Indramayu. Orang tuanya mengusahakan sekitar 0,85 ha lahan sawah tadah hujan, dimana 0,5 ha diantaranya merupakan lahan yang disewa dari salah seorang petani kaya di desanya. Baru dua tahun lebih Sndg mengadu nasib sebagai TKI di Taiwan. Pulang ke Indonesia untuk memperpanjang kontrak yang sudah habis dengan membawa uang Rp.10 juta. Termasuk sedikit bila dibanding uang bawaan rekan-rekannya, karena sebagai TKI pemula, gajinya masih dipotong berbagai biaya keberangkatan, pengurusan surat-surat dan kesehatan. Sndg belum mau berhenti sebagai TKI, sebab majikannya di Taiwan menjanjikan untuk menerimanya kembali bila kelengkapan surat-surat sudah diperpanjang. Uang tersebut rencananya untuk membiayai hidup orangtua dan pendidikan tiga orang adiknya di kampung. It (30), seorang ibu rumahtangga yang sudah 8 tahun bekerja sebagai TKW di Malaysia. Di desanya di Ranjeng, Indramayu ia sebenarnya memiliki sawah tadah hujan yang relatif luas (1,5 ha). Namun, karena merasa tidak sanggup mengusahakan seorang diri,
73
karena toh ia harus memakai tenaga kerja upahan, maka ia memutuskan lebih baik merantau dan bekerja sebagai PRT di luar negeri (Malaysia). Sawahnya di kampung dititipkan pada mertuanya untuk diusahakan sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga selama ditinggalkannya merantau, di samping kiriman uang yang rutin dilakukannya setiap tahun. Ia sudah 4 kali berganti majikan dan pernah mudik sebanyak 3 kali, sebab sepulang mudik ia tidak kembali ke majikan semula karena sering mendapat perlakuan yang kurang baik. Semua keadaan tersebut ditanggungnya demi membantu perekonomian rumahtangga. Anaknya dua orang, sudah SMP dan dititipkan pada mertuanya, karena It adalah anak yatim piatu. Suaminya pergi meninggalkan It dan kedua anaknya dengan membawa uang yang sudah pernah dikirimkannya ke kampung sebesar lebih kurang Rp.30 juta. Ia tidak mau larut menyesali nasib, karena anak-anak dan mertuanya membutuhkannya sebagai tulang punggung penopang ekonomi keluarga. Mertua dan anaknya telah berhasil membuka warung sembako dan warung nasi walau kecil dan sederhana sebagai sumber nafkah keluarga sehari-hari. Baru dua kali keberangkatan ia jalani melalui jalur resmi, karena sudah punya biaya dari kepergian sebelumnya. It belum mau berhenti sebagai TKW. Menurutnya, bila pergi jauh merantau untuk bekerja dengan niat baik dan tulus, pasti akan dilindungi Allah. It bercita-cita dan berharap agar anakanaknya dapat mencapai pendidikan yang tinggi sebagai bekal hidup kelak. Ia tidak akan mengizinkan anaknya unuk mengikuti jejaknya sebagai TKW. Menurutnya, bahaya dan resikonya sangat berat, meski gajinya jauh lebih besar dibanding bekerja di negeri sendiri. It berniat pensiun sebagai TKW 3-4 tahun mendatang, setelah tabungannya dirasa cukup. Uraian di atas hanyalah sekelumit fakta sukses menjadi TKI yang ditemukan pada penelitian ini, di samping fakta menyedihkan dan mengenaskan yang menimpa para pahlawan keluarga, desa, dan negara tersebut, seperti penuturan berikut ini. Ryd (22), seorang pemuda warga desa Jeruju, Pontianak. Orangtuanya memiliki dan mengusahakan lahan yang cukup luas dan cukup berhasil sebagai petani sayuran dan peternak sapi. Namun, karena tergiur keberhasilan teman dan saudaranya menjadi TKI, Ryd nekad berangkat ke Malaysia, walau hanya memiliki pendidikan kelas 2 SMA saja. Ia bekerja sebagai penebang dan penarik kayu dari hutan. Di tahun kedua, ia mulai merasa tak betah, karena gajinya tak jelas pembayarannya. Pada suatu hari yang naas, 3 buah jari tangan kirinya nyaris putus terjepit kayu yang harus disusunnya sebelum ditarik kepinggir hutan. Perusahaannya tidak bersedia memberikan ganti rugi, hanya sekedar biaya pengobatan saja. Tak lama kemudian, iapun dipecat majikannya karena dianggap tidak mampu lagi menyelesaikan pekerjaannya dengan sempurna, gajinyapun tidak dibayarkan secara utuh. Atas saran orangtuanya melalui telepon dari kampung, iapun dibujuk untuk segera pulang. Sekarang Ryd terlunta-lunta dan malas-malasan di kampung, karena belum rela menjadi petani dan masih menyesali jari tangannya yang jadi cacat. Ipn (30), seorang warga desa Ranjeng, Indramayu. Meski memiliki lahan sawah tadah hujan seluas 1,2 ha hasil warisan dari orangtuanya, Ipn lebih memilih menjadi TKI di Malaysia sebagai mandor di perusahan kayu (shawmill), karena kecewa istrinya (Ay)
74
meninggalkannya dengan membawa kedua anaknya. Ay lari bersama laki-laki lain dengan membawa uang Rp.50 juta yang dikirimkannya untuk keluarganya tersebut, karena tak tahan ditinggal suaminya bertahun-tahun dan mendengar gosip bahwa suaminya telah kawin lagi di Malaysia. Nasib sial terus merundung Ipn, seluruh simpanan dan surat-surat berharga miliknya digondol maling di Malaysia. Perusahaan kayu tempatnya bekerjapun bangkrut dan pemiliknya melarikan diri tanpa memberikan pesangon bagi para pekerjanya. Ipn sempat terlunta-lunta selama 6 bulan di hutan di Malaysia karena takut dikejar-kejar Polisi Diraja Malaysia, sebab surat-surat resminya hilang tanpa sepengetahuannya. Ia berhasil pulang ke Indonesia berkat bantuan teman-temannya yang prihatin atas nasibnya. Sampai penelitian ini selesai dilakukan, ia mengaku kapok menjadi TKI dan memilih menjadi petani mengusahakan lahan usahataninya dan mulai menata kembali kehidupannya. Mengenai anak-anaknya yang dilarikan istrinya, ia hanya bisa pasrah dan berdoa kepada Allah agar dapat dipertemukan kembali, sebab ia telah mengupayakan berbagai cara untuk mencari mereka. Syt (20), seorang gadis yang berparas lumayan rupawan, lulusan SMP asal desa Rasau Jaya I, Pontianak. Pada awalnya, orangtua Syt keberatan bila ia merantau ke Saudi Arabia, karena lahan mereka yang cukup luas (sekitar 2 ha) dirasa sanggup untuk mencukupi kebutuhan Syt dan saudara-saudaranya. Namun karena bujukan calo TKI dan teman-temannya yang menjamin keselamatannya, dan keinginan Syt yang telah terbujuk rayu untuk mencari pengalaman dan uang sendiri, maka dengan berat hati orangtuanyapun melepaskannya pergi merantau. Setelah setahun merantau, dugaan buruk orangtuanya terbukti. Syt sering mendapat perlakuan buruk majikannya, bahkan nyaris diperkosa. Setiap hari ia menerima pukulan, karena pekerjaannya dinilai tidak memuaskan oleh majikannya. Gajinya tidak pernah diberikan. Syt dipaksa bekerja dari pk.2 pagi hingga larut malam, dan harus membantu di toko, karena majikannya seorang pedagang kain. Untunglah ia berhasil pulang ke Indonesia dengan berbohong mengatakan bahwa ia punya penyakit paru-paru kronis. Karena takut ketularan dan Syt meninggal di tangan mereka, Syt-pun dipulangkan tanpa dibekali uang yang cukup, apalagi gaji yang menjadi haknya selama 20 bulan kerja pada majikannya tersebut. Pengalaman ini dituturkan Syt sendiri, dan mengaku kapok untuk bekerja kembali sebagai PRT ke luar negeri. ”Saya lebih baik membantu bapak dan ibu menjadi petani di sini. Saya masih sering ketakutan dan mimpi buruk bila mengingat siksaan dan perlakuan tidak senonoh dari keluarga majikan saya itu. Jangankan untuk istirahat, sholat saja saya tak diijinkan, padahal mereka keluarga muslim. Saya terus diawasi, makan aja dijatah, mandipun jarang. Kata mereka, semuanya mahal, apalagi air. Saya dituduh sangat boros, air dibuang-buang percuma hanya untuk mandi.” Meski demikian, pada kenyataannya berbagai keberhasilan maupun kesengsaraan bekerja di luar negeri, sedikitnya akan terobati saat menerima gaji yang sangat diharapkan untuk dapat segera dikirimkan kepada keluarga di desa asal. Bekerja sebagai TKI nyatanya mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani yang melakukannya. Remitans (kiriman uang) dari bekerja di luar negeri ternyata mampu meningkatkan status sosial dan
75
taraf hidup rumahtangga petani. Dari remitans tersebut mereka mampu membiayai pendidikan anak-anak, membeli ataupun menyewa lahan untuk memperluas usahatani, melaksanakan teknologi intensifikasi tanaman (pupuk dan obat-obatan tanaman), membeli kendaraan bermotor (sepeda dan sepeda motor), ternak sapi atau kambing, peralatan rumahtangga yang modern, merenovasi dan membangun rumah, serta menabung untuk masa depan. Secara keseluruhan, pada uraian sebelumnya telah dikemukakan peran remitans bekerja dari luar negeri memberi pendapatan yang cukup besar sebagai sumber maupun tambahan pendapatan suatu rumahtangga yang melakukannya. Hal tersebut terlihat dari kisaran rataan remitans yang dikirimkan TKI contoh kepada keluarganya di Indramayu antara Rp.15,85 juta hingga Rp.17,425 juta per tahun, dengan kisaran antara Rp.9 juta hingga Rp.20 juta per tahunnya. Sedangkan di Pontianak kisaran rataan remitans yang dikirimkan TKI contoh kepada keluarganya di desa antara Rp.13,975 juta hingga Rp.21,744 juta per tahun, dengan kisaran antara Rp.4 juta hingga Rp.20 juta per tahunnya. Sungguh suatu perbedaan pendapatan yang cukup besar bila dibandingkan pendapatan non-farm selain dari TKI, yaitu hanya sekitar Rp.2,18 juta hingga Rp.14,07 juta per tahun untuk rumahtangga contoh di Indramayu. Sedangkan untuk petani contoh di Pontianak antara Rp.5,62 juta hingga Rp.6,5 juta per tahunnya (seperti yang diperinci pada Tabel 29). Dengan remitans TKI, mereka mampu lebih mengembangkan usahataninya karena mampu membeli saprodi (pupuk dan obat-obatan), sehingga produksinya relatif lebih tinggi. Pertanian, merupakan harapan utama mereka sebagai usaha utama sumber pendapatan rumahtangga apalagi setelah mereka tidak berniat untuk seumur hidup menjadi TKI. Setelah berhenti menjadi TKI, mereka umumnya akan memilih menjadi petani kembali; sebab, meski pendapatannya kecil, namun merasa aman dalam mengusahakannya. Resiko kegagalan usahatani juga telah mereka sadari tetap akan berlangsung, karena semua tergantung kondisi alam dan lahan. Selain itu, mereka masih memiliki harapan yang besar akan memperoleh tambahan pendapatan rumahtangga yang relatif besar dari diversifikasi usaha seperti yang disajikan pada bagian berikut dari tulisan ini.
76
Oleh karena itu, di samping penanganan remitans dari para TKI tersebut, pihak pemerintah hendaknya memikirkan lebih serius penanganan dalam suatu program kebijakan sebagai suatu bentuk pengaturan atau undang-undang yang mampu memberi perlindungan bagi hak-hak mereka. Peraturan yang disusun tersebut hendaknya sejak awal pengurusan administrasi pemberangkatan, jaminan keselamatan dan kesejahteraan mereka selama bekerja di luar negeri, hingga kepulangan mereka ke desa asal. Perbaikan penanganan TKI selayaknya merupakan suatu peraturan kebijakan yang berpihak. Keberpihakan, layak mereka peroleh mengingat besarnya pengorbanan dan resiko yang telah mereka hadapi selama bekerja di luar negeri, dan kontribusi devisa negara yang luar biasa besar melalui remitans yang mereka kirimkan ke Indonesia.
77
KONTRIBUSI PENDAPATAN ON-FARM, OFF-FARM, NONFARM, SEBAGAI DIVERSIFIKASI USAHA TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DI PEDESAAN
Kontribusi dalam hal ini adalah besarnya sumbangan yang dapat diberikan pada suatu waktu dan keadaan. Kontribusi pendapatan mengindikasikan besarnya andil atau peran setiap jenis usaha dalam memberikan pendapatan (sumbangan penghasilan) terhadap pendapatan suatu rumahtangga. Keterbatasan pendapatan rumahtangga petani dari usahatani semata, apalagi dengan pengusahaan lahan yang relatif sempit. Kondisi tersebut menyebabkan rumahtangga petani berupaya mencari tambahan pendapatan dari berbagai sumber usaha (diversifikasi usaha) selain usahatani sendiri, ataupun diversifikasi usaha pada usahatani itu sendiri. Berbagai jenis/sumber usaha yang dilakukan dengan melakukan diversifikasi usaha rumahtangga petani pada sub-sektor on-farm, off-farm, dan/atau non-farm, baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan. Seberapa besar kontribusi ketiga sub-sektor pertanian tersebut terhadap pendapatan suatu rumahtangga di pedesaan pada dasarnya mengindikasikan peran diversifikasi usaha rumahtangga terhadap pendapatan rumahtangga itu sendiri, seperti yang diuraikan berikut.
Struktur Pendapatan RT dari Diversifikasi Usaha On-farm, Off-farm, Non-farm a. Kabupaten Indramayu Dari 30 rumah tanggapetani contoh di Indramayu terdapat sebanyak tiga rumahtangga yang mengusahakan lahan kurang dari 0,25 Ha. Pendapatan mereka dari: (1) on-farm, berkisar antara Rp.910.500 - Rp.2.541.000 dengan rataan sekitar Rp.1.150.500; (2) off-farm, berkisar antara 0 - Rp.960.000 dengan rataan sekitar Rp.1.350.000; (3) non-farm, sekitar Rp.1.300.000 - Rp.4.500.000 dengan rataan sekitar Rp.2.433.330,-
78
Pada pengusahaan lahan antara 0,25 – 0,5 ha, terdapat 2 rumahtangga petani contoh. Pendapatan mereka dari: (1) on-farm, antara Rp.1.262.500 - Rp.3.106.500 dengan rataan sekitar Rp.2.184.500; (2) off-farm, antara Rp.475.000 - Rp.18.800.000 dengan rataan Rp.9.637.500; (3) non-farm, sekitar Rp.10.700.000 - Rp.21.000.000,dengan rataan sekitar Rp.15.850.000,Pada pengusahaan lahan >0,5 - 1 ha, terdapat 13 rumahtangga petani contoh dengan pendapatan dari: (1) on-farm, antara Rp.1.054.000 - Rp.28.652.000 dengan rataan sekitar Rp.10.239.270; (2) off-farm, 0 - Rp.18.800.000 dengan rataan sekitar Rp.2.035.000; (3)non-farm,
sekitar 0 - Rp.26.810.000 dengan rataan sekitar
Rp.9.891.150,Pada pengusahaan lahan >1 ha, terdapat 12 rumahtangga petani contoh dengan pendapatan dari: (1) on-farm, antara Rp.5.104.000 - Rp.46.019.500 dengan rataan sekitar Rp.12.688.290; (2) off-farm, antara 0 - Rp.16.800.000 dengan rataan Rp.3.501.000: (3)non-farm, sekitar 0-Rp.25.360.000 dengan rataan sekitar Rp.15.458.330,- Kisaran dan rataan pendapatan rumah tangga petani contoh secara lebih rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel 30: Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga Contoh di Indramayu, berdasarkan Penguasaan Lahan. 2005/2006. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25
Total Pendapatan On-Farm (Rp.000) 910,5-2541 (1150,5) 0,25 – 0,5 1262,5-3106,5 (2184,5) > 0,5 - 1 1054-28652 (10239,27) >1 5104-46019,5 (12688,29) Sumber: Data Primer Diolah. (2006)
Total Pendapatan Off-Farm (Rp.000) 0-960 (1350) 475-18800 ((637,5) 0-18800 (2035) 0-16800 (3501,25)
Total Pendapatan Non-Farm (Rp.000) 1300-4500 (2433,33) 10700-21000 (15850) 0-26810 (9891,15) 0-25360 (15458,33)
Total Pendapatan RT (Rp.000) 3370.5-7881 (4933,83) 14281.5-41062.5 (27672) 6417-54805 (22802,96) 9251-81819.5 (31647,88)
Pada sub-sektor on-farm, selain tanaman pangan pendapatan rumahtangga contoh melalui diversifikasi berasal dari usaha hortikultura (terutama petani yang mengusahakan >0,5 - >1 ha), perkebunan (hanya pada >0,5 – 1 ha), dan peternakan
79
(pengusahaan 0,25 - >1 ha). Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha sub-sektor on-farm, disajikan pada Tabel 31. Tabel 31: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-Farm terhadap Total Pendapatan On-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Indramayu. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25 0,25 – 0,5 > 0,5 – 1 >1
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha dari (Rp.000) Tan.Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Total Pendapatan On-Farm 1150,5 0 0 0 1150,5 2109,5 0 0 75 2184,5 6664,27 336,54 323,08 2915,38 10239,27 6955,13 499,83 0 3233,33 12688,29
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
Pada sub-sektor off-farm, pendapatan rumahtangga contoh dengan diversifikasi usaha, sekitar 56,67% yang berasal dari buruh tani (ditemukan pada semua lapisan pengusahaan lahan), usaha menyewakan lahan ditemukan hanya pada satu rumahtangga contoh, sedangkan usaha menyewakan alat pertanian dilakukan sekitar 23,33% contoh. Pada sub-sektor off-farm, usaha menyewakan alat pertanian, seperti: thresher, gembot, hand sprayer, bahkan hand tractor ternyata mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga secara signifikan. Modal untuk membeli alat pertanian tersebut umumnya diperoleh dari remitans bekerja dari luar negeri (TKI). Perbandingan rataan pendapatan rumahtangga petani contoh dengan diversifikasi usaha sub-sektor off-farm, disajikan pada tabel berikut. Tabel 32: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-Farm terhadap Total Pendapatan Off-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Indramayu. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25 0,25 – 0,5 > 0,5 – 1 >1
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha dari (Rp.000) Buruh Tani Sewa Lahan Sewa Alsintan Total Pendapatan Off-farm 1350 0 0 1350 9637,5 0 9400 9637,5 2035 0 1346,2 2035 3501,25 275 2811,67 3501,5
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006).
80
Pada sub-sektor non-farm, pendapatan rumahtangga petani contoh melalui diversifikasi, berasal dari: usaha industri (petani yang mengusahakan 0,25 - >1 ha), usaha/jasa lain ditemukan pengusahaan 0,25 – 0,5 ha), dagang dan tukang bangunan (pada >0,5 - >1 ha), aparat desa (kecuali pada pengusahaan <0,25 ha), buruh bangunan (pada >0,5 - >1 ha), TKI
(kecuali pada pengusahaan <0,25 ha), pemulung (pada
pengusahaan lahan >0,5 - >1 ha), dan usaha tukang ojek ditemukan pada semua lapisan pengusahaan lahan. Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha subsektor non-farm, disajikan pada tabel berikut. Tabel 33: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-Farm terhdp Tot.Pendptan Non-Farm, menurut Pengusahaan Lahan di Kabupaten Indramayu. Rataan Pdptan (Rp.000) dari Usaha industri Us./jasa lain Dagang Tk.bangunan Aparat desa Buruh bangunan TKI Pemulung Tk. Ojek Total Pendapatan Non-farm RT
< 0,25 ha 0 1500 0 500 0 0 0 0 433,33
0,25 – 0,5 Ha 3500 0 0 0 850 0 10500 0 1000
> 0,5 – 1 ha 913,08 61,54 449,23 80 46,15 201,92 6538,46 1200,77 400
>1 ha 1270 100 920 0 225 670 11333,33 240 700
2400
3500
9145,5
8585
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
Sementara itu, pada musim gadu (kering), para petani yang berdiam di dekat pantai umumnya juga mengusahakan pembuatan garam di lahan yang berkadar air asin. Untuk lahan garam umumnya petani mengusahakan rata-rata 2 petak (sekitar 0,2 Ha). Lahan garam diperoleh disewa dari pemerintah desa (Lurah) dengan sistem lelang. Nilai sewanya sekitar Rp.1 – 2 juta per tahun. Di lahan tersebut, mereka juga sekalian mengusahakan empang (kolam) bandeng ataupun udang, dengan nilai panen yang cukup besar bila berhasil.
81
Pada kenyataannya di daerah penelitian ditemukan bahwa sumber pendapatan lain sebagai penambah penghasilan rumahtangga, rata-rata berasal dari diversifikasi usaha di luar on-farm (usaha tani). Diversifikasi usaha tersebut berasal dari usaha offfarm seperti: menjadi (1) buruh tani; (2) menyewakan sebagian lahan yang dikuasai; dan (3) menyewakan alat pertanian yang mereka miliki. Juga dari usaha non-farm seperti: (1) usaha industri (membuat tempe/tahu, anyaman bambu, garam); (2)usaha/jasa lain; (3) dagang; (4) tukang bangunan; (5) aparat desa; (6) buruh bangunan; (7) TKI; (8) pemulung; (9) jasa transportasi (ojek). Asumsi di atas tidak sepenuhnya benar. Bila dikaji lebih mendalam, terdapat
perbedaan pendapatan yang signifikan pada rumahtangga petani contoh yang mengusahakan diversifikasi usahatani. Mereka mampu memperoleh penghasilan yang relatif tinggi dibanding dengan hanya mengusahakan satu jenis usahatani. Peningkatan pendapatan juga ditemukan pada petani contoh yang melakukan usaha hortikultura, tanaman tahunan, dan memelihara ternak. Usaha tersebut dapat dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan usahatani yang utama (tanaman pangan dan palawija), sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan rumahtangga. Dengan demikian, peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan juga dapat diperoleh dari sub-sektor on-farm melalui diversifikasi usahatani dan jenis tanaman (perbaikan pola tanam, multi crops, integrated farming system, integrasi usahataniternak, tumpang sari, dan sebagainya). Pola diversifikasi usaha rumahtangga selain pada sub-sektor on-farm tersebut, juga ditemukan pada sub-sektor off-farm maupun non-farm yang dilakukan rumahtangga petani contoh, terutama pada sektor non-farm seperti: menjadi karyawan/pegawai (aparat desa, PNS, karyawan swasta), wiraswasta, buruh pabrik (industri), tukang dan buruh bangunan, tukang beca, pengamen, pedagang asongan, TKI (17 rumahtangga petani dari 30 rumahtangga petani contoh atau sekitar 56,67%), bahkan menjadi pemulung (sekitar 13,33%) ke Jakarta dan sekitarnya. Beberapa di antara rumahtangga petani contoh yang bermigrasi, tidak sepenuhnya terlepas dari sebagai petani. Pada kegiatan tertentu seperti pada aktivitas musim tanam maupun panen, mereka tetap mudik untuk melakukan tanam ataupun panen. Umumnya rumahtangga petani contoh tetap menempatkan sektor pertanian
82
sebagai sumber matapencahariannya, walau produksi padi sering tidak memadai karena kurang terkoordinasinya sarana air. Hal ini karena mereka masih memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan panen mangga, maupun hasil usaha lain seperti: membuat garam, pembuatan tempe, tahu, batubata, menjadi pengamen, supir, TKI, PRT, dan bahkan menjadi pemulung sebagai divesifikasi usaha rumahtangga. Menjadi pemulung bukan menjadi suatu kondisi yang memalukan bagi mereka, sebab dengan pekerjaan tersebut mereka dapat memperoleh penghasilan yang memadai bahkan dapat melebihi dari pendapatan dari berusahatani. Mereka beralasan bahwa dari usahatani, pendapatan yang diperoleh relatif rendah, jangka waktu lama, dengan resiko kegagalan panen yang tinggi serta mahalnya biaya usahatani, apalagi mereka rata-rata menggunakan pupuk dan obat-obatan (pestisida dan herbisida) agar diperoleh produksi usahatani yang lumayan. Keadaan ini sangat tidak sesuai bila dibandingkan dengan pendapatan yang mereka peroleh dari mengamen, memulung, ataupun mengemis sekalipun. Hampir seluruh rumahtangga contoh mengakui bahwa hasil diversifikasi usaha rumahtangga tersebut menjadi sumber penghasilan keluarga yang cukup besar.
b. Kabupaten Pontianak Rumahtangga petani contoh di Pontianak umumnya melakukan diversifikasi usahatani, terutama dengan tanaman sayuran dan buah-buahan. Mereka umumnya memiliki kebun kelapa, pepaya, pisang, dan tanaman tahunan lainnya. Meski demikian, pendapatan yang mereka peroleh dari usahatani tidaklah sebanding dengan luas areal yang mereka usahakan. Kondisi ini menggambarkan kemarjinalan lahan pasang surut yang mereka usahakan. Keterbatasan produktivitas lahan tersebut salah satunya dapat diatasi dengan diversifikasi usaha rumahtangga baik pada sub-sektor on-farm, off-farm, maupun non-farm. Upaya tersebut bertujuan untuk mengantisipasi semakin sulitnya memperoleh pendapatan dan sebagai upaya adaptasi mereka terhadap usaha pemenuhan kebutuhan hidup. Di Pontianak, pola diversifikasi usahatani yang biasa dilakukan petani adalah menanami lahan mereka dengan berbagai jenis sayuran. Hasil pendapatan yang mereka
83
peroleh jauh lebih tinggi daripada petani yang hanya melakukan satu jenis pola tanam per tahun (hanya mengusahakan padi gogo/lokal). Pendapatan yang diperoleh petani yang tidak melakukan diversifikasi usahatani hanya sekitar Rp.910.500-Rp.11.743.000,per tahun. Pendapatan tersebut tergantung pada luas areal lahan yang diusahakan dan berapa kali di usahakan dalam setahun musim tanam. Sementara, pendapatan petani yang melakukan diversifikasi pola usahatani akan memperoleh pendapatan sekitar Rp.3.106.500,- hingga Rp.46.019.500,- per tahun. Diversifikasi usahatani ini sudah termasuk pengusahaan tanaman hortikultura, perkebunan dan peternakan. Dari 30 rumahtangga petani contoh di Pontianak terdapat 2 rumahtangga contoh yang mengusahakan lahan kurang dari 0,25 Ha. Pendapatan mereka dari: (1) on-farm, berkisar antara 0 - Rp.3.020.000 dengan rataan sekitar Rp.1.510.000; (2) off-farm, antara 0 – Rp.3.225.000 dengan rataan sekitar Rp.1.612.500; (3) non-farm,
sekitar 0 -
Rp.4.800.000 dengan rataan sekitar Rp.2.400.000,- . Pada pengusahaan lahan antara 0,25 – 0,5 ha, terdapat 1 rumahtangga petani contoh, dengan pendapatan mereka : (1) on-farm, dengan rataan Rp. 4.351.000; (2) tidak melakukan diversifikasi usaha off-farm; (3) non-farm, dengan rataan Rp.3.500.000,Kisaran dan rataan pendapatan rumahtangga petani contoh secara lebih rinci disajikan pada tabel berikut. Tabel 34: Kisaran dan Rataan Pendapatan Rumahtangga di Pedesaan, Kab. Pontianak, berdasarkan Penguasaan Lahan. 2005/2006. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25
Total Pendapatan On-Farm (Rp.000) 0-3020 (1510) 0,25 – 0,5 4351 (4351) > 0,5 – 1 748-16776,5 (4225,86) >1 2483,5-46572,8 (11895.97) Sumber: Data Primer Diolah. (2006).
Total Pendapatan Off-Farm (Rp.000) 0-3225 (1612,5) 0 0 400-2500 (614,29) 0-4010 (823,5)
Total Pendapatan Non-Farm (Rp.000) 0-4800 (2400) 3500 (3500) 0-30888 (9145,43) 0-24900 (8585)
Total Pendapatan RT (Rp.000) 3225-7820 (5525,5) 7851 (7851) 3396-33153 (13985,6) 4763,5-61272,8 (21304,5)
Dari Tabel 34, diketahui bahwa pada pengusahaan lahan >0,5 - 1 ha, terdapat 13 rumahtangga petani contoh dengan pendapatan dari: (1) on-farm, antara Rp.748.000 -
84
Rp.16.776.500 dengan rataan sekitar Rp.4.225.860; (2) off-farm, Rp.400.000 Rp.2.500.000 dengan rataan sekitar Rp.614.290; (3)non-farm, sekitar 0 - Rp.30.888.000 dengan rataan Rp.9.145.430,Pada pengusahaan lahan >1 ha, terdapat 12 rumahtangga petani contoh dengan pendapatan dari: (1) on-farm, antara Rp.2.483.500 - Rp.46.572.800 dengan rataan sekitar Rp.11.895.800; (2) off-farm, antara 0 - Rp.4.010.000 dengan rataan Rp.823.500: (3)nonfarm, sekitar 0-Rp.24.900.000 dengan rataan sekitar Rp.8.585.000,- Pada sub-sektor onfarm, semua rumahtangga petani contoh melakukan diversifikasi. Selain tanaman pangan pendapatan rumahtangga melalui diversifikasi berasal dari usaha hortikultura (terutama petani yang mengusahakan >0,5 - >1 ha), perkebunan (hanya pada >0,5 – 1 ha), dan peternakan (pengusahaan 0,25 - >1 ha). Rataan total pendapatan rumahtangga pada: pengusahaan <0,25 ha adalah Rp.1.150.500; pada pengusahaan 0,25 – 0,5 ha adalah Rp.2.184.500; pada pengusahaan >0,5 – 1 ha adalah Rp.10.239.270; dan pada pengusahaan >1 ha adalah sekitar Rp.12.688.290,- Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha sub-sektor on-farm, disajikan pada tabel berikut. Tabel 35: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-Farm terhadap Total Pendapatan On-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Pontianak. 2005/2006. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25 0,25 – 0,5 > 0,5 – 1 >1
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha On-farm dari (Rp.000) Tan.Pangan Hortikultura Perkebunan Peternakan Total Pendapatan On-Farm 1150,5 0 0 0 1150,5 2109,5 0 0 75 2184,5 6664,27 336,54 323,08 2915,38 10239,27 6955,13 499,83 0 3233,33 12688,29
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
Untuk diversifikasi usaha on farm, tambahan penghasilan umumnya diperoleh dari hasil usahatani sayuran dan hasil dari lahan kebun (kelapa, pisang, pepaya, dan buah-buahan lainnya) dan menjual ternak sapi atau kambing yang dipelihara. Oleh karena itu, dapat dikemukakan bahwa adalah suatu kenyataan yang signifikan bahwa tambahan pendapatan dari hasil pola diversifikasi usahatani (sayuran dan pemeliharaan ternak) dapat meningkatkan pendapatan rumahtangga petani yang relatif besar.
85
Rata-rata areal pertanaman padi berkisar antara 1-2 ha per petani. Sebagai tanaman selingan, umumnya di daerah ini mengusahakan tanaman sayuran seperti kacang panjang, buncis, terong, cabai, tomat, timun, waluh, secara tumpang sari. Sedangkan untuk tanaman palawija, umumnya ditanam tanaman jagung dan ubi kayu (singkong), beberapa petani juga menanam ubi rambat oranye dan keladi. Keadaan ini mencerminkan diversifikasi usahatani yang dilakukan oleh beberapa petani contoh. Di samping itu, tanaman lain yang dianggap sangat membantu dalam perolehan pendapatan adalah hasil dari tanaman kelapa yang sangat umum dijumpai di daerah Sungai Kakap. Hasil kelapa dapat diolah menjadi minyak kelapa, kopra, arang tempurung kelapa, dan sabut kelapa, VCO (Virgin Coconut Oil), dan gula merah. Meski ditemukan diversifikasi usaha rumahtangga seperti pembuatan tempe dan tahu, namun bahan bakunya masih merupakan kedelai yang dibeli dipasar, bukan kedelai hasil usahatani mereka sendiri. Hal ini disebabkan kurang sesuainya kondisi lahan untuk dapat memproduksi kedelai dengan baik. Secara lebih rinci, perbandingan rataan total pendapatan off-farm rumahtangga petani contoh yang diperoleh diversifikasi usaha off-farm disajikan pada tabel berikut. Tabel 36: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-Farm terhadap Total Pendapatan Off-Farm, menurut Luas Pengusahaan Lahan di Kab. Pontianak. 2005/2006. Pengusahaan Lahan (Ha) < 0,25 0,25 – 0,5 > 0,5 – 1 >1
Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Off-farm dari (Rp.000) Buruh Tani Sewa Lahan Total Pendapatan Off-farm 1350 0 1350 9637,5 0 9637,5 2035 0 2035 3501,25 275 3501,5
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
Dengan
mencermati
Tabel
36,
pada
sub-sektor
off-farm,
pendapatan
rumahtangga contoh dengan diversifikasi usaha, sekitar 100% yang berasal dari buruh tani (ditemukan pada semua lapisan pengusahaan lahan), usaha menyewakan lahan ditemukan hanya pada petani yang mengusahakan lahan >1 ha. Rataan total pendapatan off-farm rumahtangga petani contoh yang diperoleh diversifikasi usaha off-farm: pada pengusahaan <0,25 ha sekitar Rp.1.350.000; pada pengusahaan 0,25 – 0,5 ha sekitar
86
Rp.9.637.500; pada pengusahaan >0,5 – 1 ha adalah Rp.2.035.000; dan pada pengusahaan >1 ha adalah sekitar Rp.3.501.250,Pada sub-sektor non-farm, pendapatan rumahtangga petani contoh melalui diversifikasi, berasal dari: usaha industri (petani yang mengusahakan >0,5 - >1 ha); buruh industri (pada pengusahaan >1 ha), usaha/jasa lain (ditemukan kecuali pada pengusahaan 0,25 – 0,5 ha), dagang dan tukang bangunan (pada 0,25 - >1 ha), buruh bangunan dan TKI (ditemukan pada rumah tangga dengan pengusahaan >0,5 - >1 ha). Perbandingan rataan pendapatan dengan diversifikasi usaha sub-sektor non-farm, disajikan pada tabel berikut. Tabel 37: Rataan Pendapatan Diversifikasi Usaha Non-Farm terhdp Tot.Pendptan Non-Farm, menurut Pengusahaan Lahan di Kab. Pontianak. 2005/2006. Rataan Pdptan dari (Rp.000) Usaha industri Buruh industri Us./jasa lain Dagang Tk.bangunan Buruh bangunan TKI Total Pendapatan Non-farm RT
< 0,25 ha 0 0 2400 0 0 0 0
0,25 – 0,5 ha 0 0 500 3000 0 0 0
> 0,5 – 1 Ha 3748,29 0 85,71 1154,29 514,29 214,29 3428,57
>1 Ha 450 210 205 730 585 305 6250
2400
3500
9145,43
8585
Sumber: Data Primer Diolah. (2005/2006)
Dengan demikian, kontribusi pendapatan dari diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga secara signifikan dapat meningkatan pendapatan rumahtangga tersebut. Di samping itu, peningkatan pendapatan rumahtangga di pedesaan juga dapat diperoleh dari sub-sektor on-farm melalui diversifikasi usahatani dan jenis tanaman (pola tanam, multi crops, integrated farming system, integrasi usahatani-ternak, tumpang sari, dan sebagainya). Hal ini ditemukan pada beberapa petani contoh yang melakukan beragam usaha pada sub-sektor on-farm selain tanaman pangan dan palawija, seperti: hortikultura, mengusahakan tanaman tahunan, dan memelihara ternak. Usaha tersebut dapat dilakukan secara bersamaan dengan kegiatan usahatani utama.
87
Secara umum, rumahtangga petani contoh tetap mempertahankan sektor pertanian sebagai sumber matapencahariannya, walau hasil/produksi padi sering tidak memadai. Hal ini disebabkan mereka masih memperoleh hasil tambahan dari penjualan kelapa, maupun hasil diversifikasi usaha rumahtangga lainnya seperti: membuat tempe, tahu, marning, kerupuk ubi, rengginang, marning jagung, batako, ojek, penyewaan speed boat, menjadi tukang dan buruh bangunan, TKI, ataupun menjadi buruh penarik kayu dari hutan (“shawmill”). Bahkan pada beberapa rumahtangga petani contoh mengemukakan bahwa hasil diversifikasi usaha rumahtangga tersebut yang menjadi sumber penghasilan keluarga yang cukup besar. Di samping itu terdapat juga usaha pembuatan batako, namun relatif sedikit. Dengan demikian, secara agregat pendapatan rumahtangga petani dalam satu tahun terakhir merupakan kumulatif dari sumber pendapatan on-farm, off-farm dan nonfarm. Masing-masing sumber pendapatan mempunyai peranan penting dalam struktur pendapatan rumahtangga. Tingkat pendapatan rumahtangga merupakan salah satu peubah yang menentukan kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi, selain peubah karakteristik individu. Besarnya pendapatan yang diperoleh petani akan mempengaruhi
pertimbangan-pertimbangan
petani
dalam
menerapkan
berbagai
alternatif teknologi. Uraian diatas menunjukkan sektor pertanian masih merupakan sumber pendapatan yang dominan bagi rumahtangga petani di Indramayu dan Pontianak. Artinya, bahwa transformasi ekonomi di pedesaan masih tetap menempatkan sektor pertanian sebagai sektor yang memegang peranan penting, terutama dalam menyerap tenaga kerja. Keadaan ini membuat sektor pertanian menanggung beban yang makin berat. Mencermati pendapatan yang berasal dari non-farm di Indramayu dengan pangsa 40,5% menunjukkan tingkat ketergantungan terhadap sektor pertanian lebih rendah dibanding di Pontianak. Daerah Indramayu memiliki aksesibilitas yang tinggi terhadap daerah perkotaan, sehingga memungkinkan petani memperoleh pekerjaan pada pusat perekonomian di kota.
88
DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN
Diversifikasi usaha rumahtangga dalam hal ini diartikan sebagai upaya untuk memperoleh pendapatan ataupun sebagai tambahan/peningkatan pendapatan suatu rumahtangga dari berbagai sumber usaha. Terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi petani di pedesaan untuk melakukan diversifikasi (keberagaman) usaha dalam rumahtangga mereka. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi, antara lain seperti: faktor luas lahan yang dikuasai dan diusahakan, diversifikasi tanaman yang mereka usahakan, tingkat pendidikan, asset kepemilikan, dan lain lain. Faktor ini mempengaruhi jenis dan diversifikasi pekerjaan yang mereka lakukan, tingkat pendapatan dan pengeluaran mereka. Adanya kecenderungan bahwasanya diversifikasi sumber pendapatan adalah dikarenakan kemiskinan dan ketakberdayaan petani di pedesaan. Pada hakekatnya, indeks diversifikasi usaha rumahtangga makin menurun bila pendapatan meningkat. Tingkat Diversifikasi Usaha Rumahtangga Keterbatasan pendapatan dari usahatani pada lahan yang umumnya relatif sempit sekarang ini, menyebabkan rumahtangga petani berupaya mencari tambahan pendapatan dari sumber selain usahatani sendiri, seperti berburuh tani (off-farm), dan bekerja di luar sektor pertanian (non-farm). Oleh karena itu, anggota rumahtangga pertanian di lokasi penelitian mempunyai jenis pekerjaan yang beragam, baik sebagai pekerjaan utama maupun sebagai pekerjaan sampingan. Dalam penelitian ini, tingkat diversifikasi usaha rumahtangga diukur dengan menggunakan indeks Entropy. Penghitungan indeks Entropy didasarkan pada tiga kelompok pekerjaan, yaitu on-farm, off-farm, dan non-farm. Rasio banyaknya anggota rumahtangga yang terlibat dalam salah satu kelompok pekerjaan terhadap jumlah anggota rumahtangga yang bekerja pada seluruh kelompok pekerjaan menggunakan angka rataan seluruh contoh di masing-masing lokasi. Dengan menggunakan angka
89
rataan tersebut, maka indeks Entropy yang menggambarkan tingkat diversifikasi usaha rumahtangga di lokasi contoh adalah seperti disajikan pada tabel berikut. Tabel 38. Rasio Jenis Pekerjaan dan Indeks Entropy Rumahtangga Contoh di Kabupaten Indramayu dan Pontianak, 2006. Kabupaten Indramayu Pontianak
Jml ART yg bekerja (L) 2,30 2,25
Rasio On-farm (l1/L) 0,7766 0.8519
Rasio Off-farm (l2/L) 0,2571 0.4000
Rasio Non-farm (l3/L) 0,5071 0.1481
Indeks Entropy 0,8884 0.7860
Sumber: Hasil Analisis Data Primer.
Dengan mencermati Tabel 38, di Indramayu jumlah anggota rumahtangga contoh berkisar antara 2 sampai 6 orang dengan rataan 3,54 orang/rumahtangga. Dari rataan tersebut, jumlah anggota rumahtangga yang bekerja di semua sektor rata-rata 2,30 orang/rumahtangga. Dari jumlah tersebut, rata-rata 1,79 orang bekerja pada usahatani sendiri (on-farm), sebanyak 0,59 orang bekerja sebagai buruh tani atau penyewaan aset pertanian (off-farm) dan 1,16 orang bekerja di luar sektor pertanian. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh indeks Entropy untuk rumahtangga contoh di Indramayu sebesar 0,89. Angka ini menunjukkan bahwa sangat beragamnya bidang pekerjaan yang dilakukan oleh rumahtangga contoh di Indramayu, Jawa Barat. Dalam usahatani sendiri (on-farm), daerah Indramayu yang terletak di jalur pantai Utara Jawa Barat, usahatani yang dilakukan adalah bertanam padi dua kali setahun. Beberapa diantaranya menanam palawija atau sayuran dataran rendah sekali dalam setahun setelah tanaman padi kedua. Dalam off-farm, umumnya mereka berburuh tani, yaitu mencangkul, menanam, menyiang dan panen. Bidang pekerjaan yang banyak dilakukan di luar sektor pertanian adalah: membuat garam, membuat batu bata, berburuh bangunan di Jakarta, mengamen di bis umum rute Jakarta-Cirebon. Dua jenis pekerjaan terakhir ini sangat dimungkinkan oleh tingginya akses desa-desa contoh dengan ibukota Jakarta, karena mudahnya memperoleh angkutan umum ke Jakarta setiap saat. Di Pontianak, rataan jumlah anggota rumahtangga 3,78 orang/rumahtangga. Dari jumlah tersebut, rata-rata 2,25 orang diantaranya ikut mencari nafkah. Anggota
90
rumahtangga yang bekerja dalam usahatani sendiri rata-rata 1,92 orang, dalam off-farm 0,90 orang, dan bekerja di luar sektor pertanian hanya rata-rata 0,33 orang per rumahtangga. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh indeks Entropy sebesar 0,79. Seperti halnya provinsi lain, angka indeks ini juga menunjukkan beragamnya bidang usaha yang dilakukan oleh anggota rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Untuk pekerjaan di luar sektor pertanian (non-farm), ternyata proporsinya cukup kecil. Hal ini terutama disebabkan oleh sedikitnya peluang usaha non-pertanian di daerah pasang surut, akibat dari rendahnya aksesibilitas daerah ini ke pusat perkotaan. Sarana dan prasarana transportasi kurang memadai, sehingga untuk mencari pekerjaan ke Pontianak memerlukan biaya yang relatif tinggi. Selain itu, investor juga kurang tertarik untuk berinvestasi di daerah-daerah pasang surut. Oleh karena itu, ragam bidang usaha masyarakatnya adalah bidang pertanian (on-farm dan off-farm). Untuk usahatani (on-farm), petani contoh umumnya menanam padi satu kali dan satu kali palawija. Selain itu, sekitar 22% rumahtangga contoh memelihara sapi dengan populasi rata-rata 2,85 ekor per peternak dan 5% memelihara kambing dengan pupolasi rata-rata 3,67 ekor per peternak. Sebagian besar sapi yang dipelihara adalah sapi bagi hasil (gaduhan) dari pemilik yang relatif bermodal. Belum terlihat adanya integrasi yang sinergis antara ternak dengan usaha tanaman. Masih sedikit petani-peternak yang memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang, dan limbah tanaman untuk pakan hijauan ternak. Hal ini diduga disebabkan oleh masih sedikitnya populasi ternak dan ketersediaan rumput alam masih memadai. Ketersediaan rumput alam sebagai pakan hijauan akan menjadi masalah jika populasi ternak sudah berkembang seperti halnya di Bali, sehingga pemanfaatan limbah pertanian menjadi sangat penting. Pekerjaan off-farm umumnya berburuh tani. Sedangkan non-farm yang umum dilakukan antara lain adalah industri rumah tangga membuat rengginang, gula kelapa, minyak VCO (virgin coconuts oil), dagang, dan sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi, Malaysia, dan Singapore.
91
Relasi Diversifikasi Usaha RT dengan Karakteristik RT Karakteristik rumahtangga seperti: umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, jumlah anggota rumahtangga, dan banyaknya anggota rumahtangga yang berumur 15 tahun ke atas diduga mempengaruhi keberagaman usaha rumahtangga. Untuk mengevaluasi keeratan hubungan antara karakteristik rumahtangga dengan diversifikasi usaha rumahtangga tersebut, dilakukan analisis korelasi tingkat rumahtangga. Untuk keperluan analisis tersebut, diversifikasi usaha rumahtangga yang diukur dengan indeks Entropy menggunakan partisipasi kerja masing-masing rumahtangga dan tidak menggunakan rataan partisipasi kerja tingkat provinsi. Hal ini dilakukan agar diperoleh angka indeks masing-masing rumahtangga.
a. Kabupaten Indramayu Dari analisis koefisien korelasi diperoleh hasil yang mencerminkan tingkat keeratan hubungan antar peubah pada karakteristik rumahtangga contoh di Indramayu (Tabel 39). Hampir semua peubah (Xi) menunjukkan hubungan yang kurang kuat dengan diversifikasi usaha rumahtangga (Y). Di antara 7 peubah karakteristik rumahtangga, hanya pendidikan (X2) yang menunjukkan tingkat hubungan yang relatif erat dengan koefisien korelasi -0,5899. Artinya bahwa makin tinggi tingkat pendidikan kepala keluarga, bidang usaha yang dilakukan rumahtangga makin terfokus pada satu atau dua bidang pekerjaan. Namun demikian, tidak terlihat adanya hubungan yang erat (koefisien = 0,2786) antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan besarnya pendapatan rumahtangga. Demikian juga ditemukan adanya hubungan yang kurang erat (koefisien = 0,3192) antara diversifikasi usaha dengan pendapatan rumahtangga. Dengan kata lain, pada petani contoh di Indramayu diduga terdapatnya hubungan yang tidak erat antara diversifikasi sumber pendapatan dengan peningkatan pendapatan rumahtangga. Meski demikian, secara empirik lapang diversifikasi usaha rumahtangga sangat mempengaruhi peningkatan pendapatan rumahtangga petani contoh. Secara lebih rinci, koefisien korelasi antara diversifikasi usaha rumahtangga contoh dan karakteristik rumahtangga di Indramayu disajikan pada Tabel 39.
92
Tabel 39. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan Divesifikasi Usaha Rumahtangga Contoh di Kab. Indramayu. Karakteristik RT X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Umur KK X1 1.0000 -0.2789 0.0373 -0.0209 -0.4032 -0.2034 0.3780 0.0376
Pdidikkan Penguasaan KK Lahan X2 X3 1.0000 0.3075 0.3128 0.2786 -0.2079 -0.3010 -0.5899
1.0000 0.9489 -0.0283 0.0398 0.0472 -0.4178
P.usahaan Lahan X4
1.0000 -0.0509 0.0503 0.0316 -0.4477
Pdpt (000) X5
Jml ART X6
1.0000 0.2238 1.0000 0.0747 0.7947 0.3192 0.1586
Usia ART≥15 X7
1.0000 0.3624
Indeks Entropy Y
1.0000
Sumber: Hasil Analisis Data Primer. 2006, yang diimplementasi penulis dari penelitiannya yang lain.
Dari Tabel 39, peubah karakteristik rumahtangga yang menunjukkan adanya hubungan, meski tidak terlalu erat (koefisien korelasi masing-masing -0,4178; -0,4477; dan 0,3624), adalah luas penguasaan lahan (X3), luas pengusahaan lahan (X4), dan banyaknya anggota rumahtangga berusia 15 tahun ke atas (X7). Hal ini mengindikasikan makin luas lahan yang dikuasai dan yang diusahakan, makin sedikit bidang pekerjaan yang bisa dilakukan oleh anggota rumahtangga. Keadaan yang logis, karena curahan tenaga kerja keluarga yang lebih besar tentu diperlukan bila usahataninya makin luas, sehingga peluang untuk berusaha pada bidang pekerjaan lain makin kecil. Sebaliknya, bidang pekerjaan yang dilakukan oleh anggota rumahtangga makin beragam bila makin banyak anggota rumahtangga yang berumur 15 tahun ke atas. Kecenderungan ini juga adalah sangat logis, karena makin banyak jumlah angkatan kerja dalam rumahtangga makin beragam keterampilan dan bidang pekerjaan yang diminati. Dengan demikian, makin banyak anggota yang bekerja makin besar peluang rumahtangga melakukan diversifikasi pendapatan. Namun demikian, terlihat adanya hubungan yang tidak erat antara besarnya tingkat pendapatan rumahtangga (X5) dengan luas penguasaan dan pengusahaan lahan, serta jumlah anggota rumahtangga berumur 15 tahun keatas. Hubungan antar peubah karakteristik rumahtangga yang sangat erat adalah antara luas lahan yang dikuasai (X3) dengan luas lahan yang diusahakan (X4) dengan koefisien
93
korelasi 0,9489. Keeratan hubungan juga ditemukan antara jumlah anggota rumahtangga (X6) dengan banyaknya anggota rumahtangga berumur 15 tahun ke atas (X7) dengan koefisien korelasi 0,7947. Antara umur kepala keluarga dengan tingkat pendapatan rumahtangga memperlihatkan kecenderungan adanya hubungan yang lemah (negatif). Selebihnya tidak menunjukkan adanya hubungan yang erat. Hasil analisis ini juga mengindikasikan bahwa makin tua usia kepala keluarga, makin rendah tingkat pendidikan mereka. Hal ini menunjukkan bahwa generasi tua umumnya berpendidikan rendah. Hasil logis lainnya ialah bahwa makin luas lahan yang dikuasai dan diusahakan makin tinggi pula tingkat pendapatan rumahtangga.
b. Kabupaten Pontianak Hasil analisis antar karakterisitk rumahtangga contoh di Pontianak juga menunjukkan bahwa hanya jumlah anggota rumahtangga (X6) dan banyaknya anggota rumahtangga yang berumur 15 tahun ke atas (X7) yang memperlihatkan hubungan dengan diversifikasi usaha rumahtangga (Y), meskipun hubungan tersebut tidak kuat. Koefisien korelasi dari kedua hubungan tersebut masing-masing adalah 0,4652 dan 0,3425 (Tabel 41). Makin banyak anggota rumahtangga (family size) dan makin banyak anggotanya yang berumur 15 tahun ke atas makin beragam jenis usaha rumahtangga. Hubungan yang paling erat (dengan koefisien korelasi 0,7999), di antara karakteristik rumahtangga, adalah jumlah anggota rumahtangga (X6) dan banyaknya anggota rumahtangga yang berumur 15 tahun ke atas (X7). Hubungan erat lainnya adalah antara luas lahan yang dikuasai (X3) dan luas lahan yang diusahakan (X4). Ditemukan kecenderungan adanya hubungan yang positif antara luas lahan diusahakan (X4) dan tingkat pendapatan rumahtangga (X5). Di Pontianak, ditemukan hubungan negatif antara umur kepala keluarga (X1) dan pendidikan kepala keluarga (X2). Seperti di Indramayu, keadaan ini mengindikasikan sulitnya generasi dulu (sebelum Kemerdekaan) untuk mengakses fasilitas pendidikan formal. Pada Tabel 40 disajikan secara rinci nilai koefisien korelasi antara karakteristik rumahtangga dan diversifikasi usaha rumahtangga contoh di Pontianak.
94
Tabel 40. Koefisien Korelasi antara Karakteristik Rumahtangga dengan Diversifikasi Usaha Rumahtangga Contoh di Kabupaten Pontianak. Karakteristik RT X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 Y
Umur Pdidikkan Penguasaan KK KK Lahan X1 X2 X3 1.0000 1.0000 -0.4902 0.1023 0.0502 1.0000 0.0612 -0.1027 0.7896 0.1301 -0.1012 0.4021 -0.2010 0.1132 -0.0303 0.0679 -0.0301 0.0501 -0.2014 0.0997 -0.1998
P.usahaan Lahan X4
1.0000 0.4503 -0.1305 -0.2145 -0.1043
Pdpt (000) X5
Jml ART X6
1.0000 0.2121 1.0000 0.1966 0.7999 0.2312 0.4597
Usia ART≥15 X7
1.0000 0.4012
Indeks Entropy Y
1.0000
Sumber: Hasil Analisis Data Primer. 2006.
Pada umumnya, ditemukan relasi yang tidak erat antara jumlah anggota keluarga yang terlibat dengan tingginya tingkat pendapatan. Demikian halnya dengan tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan terhadap tingkat pendapatan. Dengan mencermati Tabel 40, diketahui bahwa analisis koefisien relasi dan indeks Entropy pada petani contoh di Pontianak, seperti temuan di Indramayu, umumnya juga tidak ditemukan relasi yang erat antara jumlah anggota keluarga yang terlibat, tingkat penguasaan dan pengusahaan lahan, tingkat pendidikan dengan tingginya tingkat pendapatan. Hal ini lebih disebabkan oleh pengaruh besarnya pendapatan dari suatu jenis usaha rumahtangga yang dilakukan seorang anggota, misalnya dari usaha hortikultura dan peternakan (sub-sektor on-farm), dan non-farm, seperti TKI, berdagang, usaha rumahtangga tempe, tahu, anyaman dan lain-lain, atau buruh) bila dibanding tingkat pendapatan yang diperoleh beberapa anggota keluarga lain yang relatif lebih kecil pada waktu yang bersamaan. Penyebab lain adalah tingkat pendapatan seorang anggota keluarga pada suatu rumahtangga yang melakukan beberapa jenis pekerjaan sekaligus, justru lebih tinggi dari pendapatan beberapa anggota keluarga dengan beberapa pekerjaan pada rumahtangga lain. Dengan demikian, hasil analisis Indeks Entropy mengindikasikan bahwa tingginya tingkat diversifikasi sumber pendapatan diduga berhubungan tidak erat dengan tingkat pendapatan rumahtangga. Hal tersebut lebih disebabkan oleh lebih besarnya nilai
95
pendapatan dari suatu usaha dibanding dengan dari berbagai usaha. Seperti halnya di Indramayu, temuan lapang mengindikasikan adanya hubungan antara diversifikasi usaha rumahtangga dengan peningkatan pendapatan rumahtangga petani contoh. Hal ini juga diduga dapat disebabkan keterbatasan data peubah pada karakteristik rumahtangga petani contoh sebagai variabel alat analisis. Pangsa pendapatan dan sektor pertanian berkorelasi negatif dengan indeks diversifikasi, dan sebaliknya berkorelasi positif dengan
pangsa
pendapatan
non-pertanian.
Hal
ini
dapat
diartikan
bahwa
keanekaragaman sumber pendapatan yang ada dari diversifikasi usaha rumahtangga nonpertanian mampu meningkatkan pendapatan yang relatif tinggi, dengan tingkat produktivitas yang relatif tinggi, sehingga diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga lebih mengarah pada kegiatan non-farm. Keberhasilan penanganan pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian di Indramayu dan Pontianak, sangat ditentukan oleh konsistensi kebijakan, dan program penanganannya dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Keberhasilan tersebut termasuk implementasinya di tingkat lokal (pedesaan). Dengan demikian, perlu pendekatan yang konsisten antara analisis kesempatan berusaha antar sektor pada tingkat agregat (nasional dan propinsi) dan analisis pola pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian pada tingkat lokal (pedesaan). Potensi pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian di pedesaan agar dapat diaktualisasikan menjadi kesempatan kerja riil, membutuhkan investasi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi yang memadai untuk mencapai target pertumbuhan produktivitas nasional.
Relasi Tingkat Pendapatan dan Tingkat Pengeluaran Rumahtangga Contoh a. Kabupaten Indramayu Ditinjau dari tingkat pengeluaran yang mereka keluarkan, ternyata berbanding lurus dengan tingkat pendapatan yang mereka peroleh, dimana bila semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula pengeluaran yang mereka keluarkan, seperti yang disajikan pada Tabel 41.
96
Tabel 41. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total Pendapatan dan Pengeluaran RT Contoh di Indramayu. 2005/2006. Luas Lahan Diusahakan (Ha)
Kisaran Jumlah Anggota Keluarga per KK (orang)
Rataan Total Pendapatan RT Total Pengeluaran RT (Rp.000,-) (Rp.000,-)
< 0,25
3
4933,33
4918,07
0,25 – 0,5
2
27672
21632,60
> 0,5 – 1
2–5
22802,96
17320,15
>1
2–6
31647,88
31983,69
Sumber: Data Primer Diolah (2005/2006).
Dengan mencermati Tabel 41, rumahtangga petani contoh yang mengusahakan <0,25 ha dengan rataan pendapatan sekitar Rp.4.933.330,-/tahun, rataan total pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga sekitar Rp.4.918.070,- per tahun. Pada pengusahaan lahan 0,25 – 0,5 Ha, rataan total pendapatan sekitar Rp.27.672.000,- total pengeluaran rumahtangga rata-rata sekitar Rp.21.632.600,-/tahun. Pada petani yang mengusahakan > 0,5 - 1 ha berpenghasilan rata-rata sekitar Rp.22.802.960,-/tahun, mengeluarkan rataan biaya sekitar Rp.17.320.150,-/tahun. Pada petani yang mengusahakan >1 Ha, dengan rataan total pendapatan sekitar Rp.31.647.880,-/tahun, maka rataan total pengeluaran rumahtangga mereka adalah sekitar Rp.31.983.690,- per tahun. Tingginya tingkat pengeluaran pada beberapa petani contoh dikarenakan umumnya mereka membeli perlengkapan rumahtangga yang modern, ternak, sepeda dan sepeda motor, membeli alat pertanian, membeli lahan (baik untuk usahatani maupun tanah untuk rencana membangun rumah), membangun dan merenovasi rumah, serta pengeluaran untuk berbagai keperluan lainnya. Dengan demikian, melalui diversifikasi usaha rumahtangga merupakan upaya yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan relatif rendahnya penghasilan petani untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga dan keluarga.
97
b. Kabupaten Pontianak Di Pointianak, total pengeluaran suatu rumahtangga contoh, ternyata juga berbanding lurus dengan total pendapatan yang mereka peroleh. Semakin besar pendapatan, maka semakin besar pula pengeluaran yang mereka keluarkan, seperti yang disajikan pada tabel berikut: Tabel 42. Perbandingan Jumlah Anggota Keluarga per KK, Rataan Total Pendapatan dan Pengeluaran RT Contoh di Pontianak. 2005/2006. Luas Lahan Diusahakan (Ha)
Kisaran Jumlah Anggota Keluarga per KK (orang)
Rataan Total Pendapatan RT Total Pengeluaran RT (Rp.000,-) (Rp.000,-)
< 0,25
3–5
5522,5
5720,25
0,25 – 0,5
3–4
7851
2440
> 0,5 – 1
2–6
13985,6
12656,79
>1
2–6
21304,5
16960,92
Sumber: Data Primer Diolah (2005/2006).
Dengan mencermati Tabel 42, rumahtangga petani contoh yang mengusahakan <0,25 ha dengan rataan pendapatan sekitar Rp.5.522.500,-/tahun, rataan total pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan hidup rumahtangga sekitar Rp.5.720.250,/tahun. Pada pengusahaan lahan 0,25 – 0,5 Ha, rataan total pendapatan sekitar Rp.7.851.000,- total pengeluaran rumahtangga rata-rata sekitar Rp.2.440.000,Pada petani yang mengusahakan >0,5 - 1 ha berpenghasilan rata-rata sekitar Rp.13.965.600,-/tahun, mengeluarkan rataan biaya sekitar Rp.12.656.790-/tahun. Pada petani yang mengusahakan >1 Ha, dengan rataan total pendapatan sekitar Rp.21.304.500,-/tahun, maka rataan total pengeluaran rumahtangga mereka adalah sekitar Rp.16.960.920,- per tahun. Tingginya total pengeluaran pada beberapa petani contoh karena mereka membeli perlengkapan rumahtangga yang modern, ternak sapi,
98
kambing, ayam, kebun, sepeda, motor, tanah (baik untuk usahatani maupun untuk membangun rumah), membangun dan merenovasi rumah, serta berbagai keperluan lainnya. Terdapatnya kecenderungan adanya relasi yang kurang/tidak erat antara diversifikasi usaha rumahtangga dan peningkatan pendapatan rumahtangga petani contoh di Indramayu dan Pontianak. Keadaan tersebut diduga lebih disebabkan oleh lebih besarnya pendapatan yang dihasilkan oleh suatu bidang usaha dibanding dengan pendapatan yang dihasilkan oleh beberapa bidang usaha sekaligus pada waktu yang bersamaan. Namun terdapatnya variasi mengenai besarnya pendapatan yang diperoleh dari suatu usaha saja dibanding pendapatan yang diperoleh dari berbagai usaha menyebabkan kekurang eratan relasi yang terdapat antara diversifikasi usaha tersebut dan peningkatan pendapatan suatu rumahtangga. Hal tersebut juga disebabkan keterbatasan data dan informasi masing-masing peubah dalam karakteristik rumahtangga petani contoh di lokasi penelitian yang mungkin kurang akurat. Dari berbagai uraian di atas, dapat diikhtisarkan bahwasanya hasil analisis Indeks Entropy menunjukkan terdapat kecenderungan relasi tidak erat antara diversifikasi usaha rumahtangga dan peningkatan pendapatan rumahtangga. Namun dari kualitatif hasil tabulasi data dan pengamatan di lapang, secara empirik diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga contoh mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga. Salah satunya dengan mencermati tabulasi kontribusi pendapatan diversifikasi usaha sub-sektor on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap total pendapatan rumahtangga petani contoh. Perbedaan hasil analisis data dengan empirik hasil temuan di lapang secara kualitatif diduga lebih disebabkan (dipengaruhi) oleh: 1) besarnya pendapatan seorang anggota rumahtangga dari suatu usaha, dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga lain pada waktu yang bersamaan; 2) pendapatan seorang anggota rumahtangga dari beberapa usaha sekaligus, justru lebih tinggi dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga dari beberapa usaha pada rumah tangga lain; 3) keterbatasan alat analisis dan data peubah (variabel) yang diperoleh dari rumahtangga contoh. Meskipun demikian, dapat diartikan bahwasanya diversifikasi usaha rumahtangga petani contoh cenderung mengarah pada besarnya pendapatan yang dihasilkan suatu jenis usaha. Di
99
sisi lain, diversifikasi usaha rumahtangga sebagai sumber pendapatan lebih mengarah pada kegiatan non-farm karena mampu meningkatkan pendapatan relatif tinggi. Terkait dengan tingkat pengeluaran adalah lumrah bila berbanding lurus dengan tingkat pendapatan. Dengan demikian untuk mengantisipasi tingginya pengeluaran sebagai biaya yang dikeluarkan suatu rumahtangga dalam upaya mencukupi kebutuhan hidup dan rumahtangga, maka diupayakan dengan melakukan diversifikasi usaha rumahtangga mereka. Keterbatasan tersebut diharapkan dapat diantisipasi dengan mengadakan kajian melalui penelitian lanjutan yang senada ataupun yang berkaitan dengan tema kajian dalam penelitian ini.
100
DINAMIKA DAN PERGESERAN STRUKTUR KETENAGAKERJAAN
Pertumbuhan ekonomi secara nyata telah mempengaruhi dinamika dan perubahan struktur kesempatan kerja. Hal tersebut tidak terbatas hanya pada perubahan komposisi tenaga kerja menurut lapangan kerja, tetapi juga terhadap status dan jenis pekerjaan. Pentingnya pemahaman struktur dan dinamika kesempatan kerja terutama pasca krisis ekonomi. Kondisi pasca krisis menyadarkan pemerintah pada peran penting sektor pertanian, dimana sektor industri mengalami pemulihan yang relatif lambat. Sektor pertanian di pedesaan menjadi harapan penyerap tenaga kerja, disamping sektor non-formal di perkotaan. Terjadinya realokasi tenaga kerja ke daerah pedesaan, dimana diperkirakan sekitar 20% migrasi dari daerah perkotaan untuk bekerja di sektor pertanian,1 serta terjadinya peningkatan partisipasi angkatan kerja wanita dan anak-anak. Di samping dengan pertimbangan tingkat pendidikan, kelompok umur, dan status pekerjaan, perubahan dinamika dan struktur kesempatan kerja juga didasari dengan asumsi tidak terdapatnya variasi kualifikasi yang berlebihan terhadap sumberdaya manusia antar sub sektor dalam sektor pertanian. Beberapa faktor yang mempengaruhi peluang untuk mengisi kesempatan kerja pada usahatani antara lain: a) perubahan teknologi yang mempengaruhi perubahan intensitas tanam, perubahan pranata sosial dan kelembagaan yang ada di pedesaan; b) kondisi agro-ekosistem yang dapat memberikan perbedaan penyerapan tenaga kerja dan produktivitas tenaga kerja maupun pengalihan tenaga ke sektor lain di luar pertanian; c) peranan ekonomi wilayah, yang terkait dengan aksesbilitas wilayah, yang pada gilirannya mendorong penduduk untuk melakukan migrasi ke luar desa untuk mengisi kesempatan kerja yang ada; d) pemilikan modal, terutama asset lahan yang mampu menyerap tenaga sampai batas maksimal antara besarnya luas lahan dan tekanan jumlah penduduk; dan e) tingkat ketrampilan dan kemampuan yang berkaitan dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh penduduk desa, dan pada gilirannya peranan tersebut mempunyai pengaruh terhadap besarnya curahan tenaga kerja. 1
Rusastra, W., Roosgandha, et al. 2005.
101
Kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang bisa memberi pendapatan keluarga yang lebih besar, kecuali pada daerah dengan aksesbilitas yang rendah dan kurang terjangkau oleh lembaga ekonomi, kesempatn kerja hanya terbatas pada sektor pertanian sebagai sektor andalan. Selain faktor intensitas tanam, luas lahan garapan yang diusahai diduga berpengaruh terhadap besarnya curahan tenaga kerja. Masalah curahan tenaga kerja berburuh tani di kedua lokasi penelitian tidak terlepas oleh kesempatan kerja tersedia di daerah tersebut, serta pemilikan faktor produksi yang sangat terbatas (rumah tangga dengan hanya tenaga kerja sebagai faktor produksi, maka pendapatan mereka hanya ditentukan oleh tingkat upah yang berlaku di desa tersebut). Perkembangan kegiatan buruh tani terkait erat dengan luas lahan pertanian, produktivitas tanah, intensitas tanam dan teknologi yang ditetapkan. Adalah suatu keniscayaan bahwa peluang dan kesempatan kerja menjadi berkurang bahkan menghilang sebagai konsekuensi penerapan paket teknologi (pupuk, pestisida, dan mekanisasi) pada kegiatan usahatani, yang merupakan sumber pendapatan buruh tani (peysan, masyarakat petani miskin), yang ditambah dengan berkembangnya sistem tanam serentak yang menyebabkan pekerjaan sebagai buruh menjadi kian terbatas. Berdasar historis di Indonesia, ketenagakerjaan pertanian mengalami berbagai perubahan, dari sistem kerja tanpa imbalan, menjadi barter tenaga, lalu dengan imbalan natura, selanjutnya menjadi sistem sewa secara utuh, yang bersamaan dengan perubahan kelembagaan lain seperti: lembaga pengadaan sarana produksi, alsintan, proses produksi, serta kelembagaan pemasaran. Namun, terkait model ekonomi neo-klasik, laju teknologi (dalam hal kapital) dan laju pertumbuhan penduduk (dalam hal tenaga kerja) cenderung berkorelasi negatif. Dalam arti, untuk meraih keuntungan maksimal, penambahan penggunaan kapital akan menekan penggunaan tenaga kerja, akibatnya melemahkan bargaining position buruh. Adanya ketidak seimbangan di pasar tenaga kerja disebabkan oleh jumlah tanah yang terbatas serta terbatasnya kesempatan kesempatan kerja di luar pertanian dan angkatan kerja akan terus meningkat dengan berkembangnya jumlah penduduk. Oleh karenanya, akan timbul kondisi tenaga kerja yang tersedia belum mampu mengisi peluang yang ada dan akhirnya akan menjadi pengangguran terselubung. Akhirnya, akan
102
timbul pemanfaatan tenaga kerja yang kurang produktif mengakibatkan pilihan terakhir untuk mengisi kesempatan kerja yang ada sebagai buruh tani atau buruh kasar lainnya. Dampak serius pelaksanaan sistem pembangunan terhadap kehidupan buruh tani (masyarakat miskin) dipedesaan di atas digunakan untuk mengkaji kemungkinan dan potensi pemberdayaan ketenagakerjaan pertanian. Salah satunya melalui diversifikasi usaha rumahtangga agar dapat beradaptasi dan berkelanjutan dalam rangka mengentaskan kemiskinan tanpa harus kehilangan norma dan nilai yang menjiwainya. Tekanan ekonomi kapitalis makin kuat ke pedesaan. Berupa penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi, yang bukan saja mengakibatkan makin hilangnya peluang dan kesempatan kerja sebagian besar buruh tani, namun juga kian longgarnya norma dan nilai ikatan sosial masyarakat yang terjalin di pedesaan. Ekonomi uang juga menyebabkan makin lemahnya peran ketenagakerjaan, dimana sifatnya yang dipandang cenderung involutif karena lebih menekankan hubungan produksi dalam bentuk resiprositas. Namun, sentimen individu yang masih kuat dalam kelompok dan kemampuan merespon perkembangan teknologi dan beradaptasi dengan kemajuan pembangunan. Di beberapa wilayah yang tradisional society-nya masih hidup dan bertahan, sebagai asset pembangunan yang perlu ditingkatkan tanpa menghancurkan inti budaya yang menjiwainya. Kekuatan ini dapat menjadi salah satu potensi yang bisa dikembangkan menjadi lembaga yang adop teknologi dan berorientasi pasar, serta bermanfaat bagi kesempatan kerja dan pendapatan kaum tani. Pada era globalisasi, semakin terbukanya akses petani sebagai suatu proses perubahan akibat perkembangan teknologi dan daerah, dibutuhkan strategi alternatif dalam mengatasi masalah dan dilema petani (kekurangan dari segi ekonomi/subsisten). Upaya utama petani untuk menekan pola konsumsi yang konsumtif, dengan menyesuaikan pengeluaran terhadap penghasilan, dan melakukan diversifikasi usaha rumahtangga dengan mengaktifkan seluruh anggota keluarga untuk dapat menghasilkan bahan makanan dan barang kebutuhan lainnya. Hal ini membuktikan bahwa kaum tani selalu dinamis (tidak statis seperti klise literatur) dalam pemecahan dilema pokok
103
mereka. Keadaan ini melibatkan proses pemberdayaan sebagai adaptasi (penyesuaian) untuk menopang mereka dalam mempertahan diri dan sesamanya, dalam suatu tatanan hidup sosial.
a. Kabupaten Indramayu Aspek ketenagakerjaan di Indramayu umumnya merupakan hubungan yang bersifat bebas, antara lain sistem hubungan kerja dengan upah harian lepas, dengan upah borongan, sistem bawonan/persen-an, patron klien dan tebasan. Peran pemerintah desa relatif kecil (bahkan tidak ada) dalam menentukan tingkat upah. Bagi rumahtangga buruh tani, sumber pendapatan dari kegiatan berburuh, memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian rumah tangga. Buruh tani sebagai pihak penyedia tenaga kerja, dengan adanya hubungan kerja yang disepakati merupakan jaminan tersedianya kesempatan kerja, dalam arti mendapat kemudahan dalam mencari pekerjaan. Para buruh tani di Indramayu, terutama di wilayah yang kelebihan (karena pasokan) tenaga kerja (banyaknya buruh migran dari luar desa), hubungan baik yang dibina dengan majikan/pemilik lahan merupakan jaminan memperoleh pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang, akan berpengaruh terhadap pola penguasaan lahan, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta pendapatan petani di pedesaan. Dinamika dan perubahan ketenagakerjaan yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu mempengaruhi aktivitas para buruh tani dalam konteks bila terjadi alih fungsi (konversi) lahan dari pertanian menjadi non-pertanian (tempat pemukimam atau tempat perdagangan/ekonomi, yang memang tinggi intensitasnya di daerah ini). Sebagian besar hubungan kerja bersifat stabil. Artinya, majikan cenderung selalu menggunakan buruh yang sama (langganan) pada kegiatan usahatani di musim yang berbeda, karena terjadi kecocokan dan ada kesepakatan diantara pemilik tanah/majikan dan buruh pekerja usahataninya. Menurut data BPS, di Provinsi Jawa Barat, dari jumlah 28.952.782 penduduk berusia 10 - 64 tahun (usia kerja) tahun 2000, meningkat menjadi 30.611.588 orang
104
tahun 2003, dan menjadi 32.012.670 orang pada tahun 2005. Sedangkan Persentase Angkatan Kerja dan TPAK Jawa Barat tahun 2005 menunjukkan 87,24% yang bekerja; 12,76% pengangguran; serta TPAK sebesar 55,33%.2 Komposisi Penduduk Usia Kerja menurut kelompok umur dan jenis kelamin disajikan secara rinci pada tabel berikut. Tabel 43. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Jawa Barat, 2005. Kelompok Umur (tahun) 10 – 14 15 – 24 25 – 39 40 – 64 65+ Jumlah
Laki-laki 2.049.089 3.583.988 4.695.996 5.042.700 894.745 16.266.518
Jenis Kelamin Perempuan 1.970.543 3.379.404 5.048.030 4.545.370 802.805 15.746.152
Total 4.019.631 6.963.392 9.744.026 9.588.071 1.697.550 32.012.670
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Sakerda 2005.
Di Jawa Barat tahun 2005, terdapat sekitar 26.295.489 orang merupakan usia produktif (15–64 tahun), dan sekitar 5.717.181 orang merupakan penduduk bukan usia produktif (di bawah umur 15 tahun dan di atas 64 tahun). Keadaan ini menunjukkan bahwa rasio ketergantungan penduduk adalah sebesar 21,78%, yang berarti bahwa sekitar 21 hingga 22 orang penduduk tidak produktif akan ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif. Pada tahun 2004/2005, di kabupaten Indramayu terdapat sekitar 999.526 orang yang termasuk usia kerja, seperti yang disajikan pada tabel berikut. Tabel 44. Klasifikasi Penduduk Provinsi Jawa Barat, Kabupaten Indramayu. Klasifikasi Penduduk < 15 tahun 15 – 64 tahun > 65 tahun
Provinsi Jabar 11.091.960 24.258.460 1.697.910
Kabupaten Indramayu 445.839 999.526 104.314
Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat, Sakerda 2004/2005.
2
BPS Provinsi Jawa Barat, 2004/2005.
105
Data kependudukan dan potensi di desa Santing dan desa Ranjeng kecamatan Losarang dipergunakan untuk mengetahui pangsa tenaga kerja yang tersedia dan luas areal sawah tadah hujan yang dapat diusahakan. Di desa Santing, terdapat sekitar 3000 orang usia kerja dengan areal sawah tadah hujan seluas 139 ha. Areal usahatani mereka relatif lebih sempit dibanding desa Ranjeng seluas 383 ha dengan sekitar 2500 orang usia kerja. Secara lebih rinci disajikan pada tabel berikut: Tabel 45: Luas Desa, Penduduk, dan Luas Lahan Sawah Tadah Hujan. URAIAN 1. Luas Desa (Ha). 2. Penduduk (orang). -. Laki-laki. -. Perempuan -. KK 3. Luas Lahan Sawah Tadah Hujan (Ha). 4. Rasio (org/ha)
DESA SANTING 401
DESA RANJENG 522
2470 2464 1420 139 39,5
1950 1992 1185 383 10,3
Sumber: Data Pertanian, BPS Kab. Indramayu, Prov. Jabar. 2005.
Dari segi pendidikan, para orangtua umumnya menyekolahkan anaknya hanya tingkat SD. Hal ini dikarenakan sulitnya perekonomian dan susahnya lapangan kerja terutama bagi para lulusan SMA yang menyebabkan banyaknya pengangguran. Oleh karenanya, para orangtua lebih membebaskan anaknya untuk memilih pekerjaan yang mereka minati karena sangat jarang yang mau turut bekerja ke sawah. Sekarang ini angkatan kerja makin enggan menjadi petani. Kaum muda lebih memilih untuk merantau ke daerah perkotaan, serta ke luar negeri menjadi TKI dan TKW. Sumber pendapatan penduduk Indonesia yang terutama bergantung pada hasil pertanian (60%). Data BPS tahun 1997 – 2003, menunjukkan terjadi pergeseran ke arah peningkatan terhadap tingkat pendidikan tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian.. Tenaga kerja pertanian dengan pendidikan SD meningkat sebesar 2,34% per tahun, 14,05% untuk tingkat SLTP, dan 3,91% per tahun untuk tingkat SLTA. Tabel 46 menyajikan secara lebih rinci proporsi dan pertumbuhan tingkat pendidikan tenaga kerja sektor pertanian tahun 1997 – 2003.
106
Tabel 46. Proporsi dan Pertumbuhan Tingkat Pendidikan Tenaga Kerja Sektor Pertanian, 1997 – 2003. Tingkat Pendidikan Tidak sekolah SD SLTP SLTA Diploma/Sarjana Total TK (000 orang)
Proporsi (%) 1997 - 1999 2000 - 2003 41.85 35.15 42.66 37.31 10.42 12.28 4.78 9.92 0.29 5.34 40.763 37.880
Pertumbuhan (%/tahun) 1997 - 1999 2000 - 2003 -5.74 -6.12 7.28 2.34 16.96 14.05 17.72 3.91 8.09 -3.99 3.34 1.19
Sumber: BPS, Data Kependudukan, 1998-2004.
Kesempatan kerja juga sangat ditentukan oleh agro-ekosistem masing-masing daerah. Cukup besarnya proporsi buruh tani juga diakibatkan oleh tidak meratanya kepadatan penduduk antar daerah (seperti di Indramayu). Juga dipengaruhi oleh tingkat kesuburan dan kelancaran sarana hubungan (seperti yang ditemukan di Pontianak), sehingga terjadi ketimpangan penguasaan lahan pertanian, dengan kepemilikan lahan rata-rata hanya 41,39% dengan konsentrasi luasan lahan kurang dari 0,5 ha (seperti di Indramayu). Tenaga kerja wanita umumnya digunakan untuk kegiatan tanam dan pemeliharaan (34% dari total penggunaan tenaga pria), sedang untuk panen dan pasca panen penggunaan tenaga kerja pria dan wanita relatif seimbang. Sementara di beberapa daerah kegiatan pertanian diambil alih wanita karena pria menjadi tenaga buruh bangunan (seperti yang banyak ditemukan di Indramayu dan Pontianak). Pergeseran ataupun perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lainnya adalah tidak sepenuhnya. Artinya, penduduk desa tetap merangkap sebagai petani (walau dengan jam kerja yang kecil). Tenaga kerja yang banyak terdapat merupakan tenaga kerja upahan, disamping tenaga kerja dalam keluarga tentunya. Untuk beberapa tahap pekerjaan yang spesifik umumnya dipergunakan tenaga kerja borongan, terutama
dalam
kegiatan
pengolahan
tanah
untuk
persiapan
tanam
dengan
mempergunakan traktor. Sedang untuk kegiatan tanam dan sulam, umumnya mempergunakan tenaga kerja upahan wanita yang bersifat borongan. Pada masa panen dan pasca panen biasanya dipergunakan tenaga kerja upahan. Mereka biasanya dibayar dengan bentuk natura (kadang juga dalam bentuk uang). Pembayaran upah tenaga kerja
107
panen biasanya dilakukan dengan sistem bawon, dengan perbandingan pembagian sebesar 5 : 1 (5 bagian untuk pemilik dan 1 bagian untuk tenaga kerja). Untuk lahan sawah, banyak ditemukan sistem sewa. Sistem sewa lahan sering (umum) dijumpai, karena dianggap lebih menguntungkan dibanding sistem bagi hasil. Beberapa petani contoh berpendapat bahwa dengan sistem sewa, mereka dapat memperluas areal lahan persewaan mereka pada musim tanam berikutnya. Sewa berkisar antara 20 hingga 25 kuintal padi per-bau (lebih kurang 0,7 ha) per-musim tanam, tergantung kesepakatan bersama. Sistem sewa tersebut biasanya bersifat relasi sosial dan kultural karena berhubungan erat dengan dasar kekeluargaan ataupun persaudaraan (tidak selalu harus untung atau rugi, asal keluarganya yang lain cukup makan). Ditemukan adanya kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian. Dinamika dan pergeseran struktur tenaga kerja yang terjadi di Kecamatan Losarang relatif tinggi dan sangat menarik untuk ditinjau. Hal ini dikarenakan letaknya yang sangat dekat dan sangat akses ke wilayah perkotaan. Tempat berkembang pesatnya pendirian beberapa pabrik yang membutuhkan tenaga kerja untuk pengoperasiannya, meski tidak seluruh masyarakatnya menikmati. Pada kenyataannya mayoritas
penduduknya
masih
mempertahankan
usahatani
walau
pendapatan
rumahtangganya tidak sepenuhnya berasal dari hasil pertanian. Dinamika dan pergeseran tenaga kerja ke sektor industri rumahtangga kurang begitu terlihat karena perkembangannya kurang begitu menggembirakan. Hal ini berkaitan dengan masalah pemasaran (supply dan demand) produksi dan kurang tersedianya bahan baku. Perkembangan di sektor industri formal (industri besar), tengah dilirik sekarang ini. Di samping pertambangan minyak bumi (sektor industri utama), berbagai industri yang terdapat di beberapa daerah di Indramayu (garmen, sepatu, pertekstilan, perkayuan) turut memacu gejolak (dinamika) dan pergeseran struktur tenaga kerja. Pekerjaan pada usaha di sub-sektor non pertanian yang biasanya dituju para tenaga kerja adalah di bidang non-formal. Berbagai pekerjaan non-formal biasanya lebih mudah diperoleh, karena tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi. Jenis pekerjaan tersebut, seperti: menjadi buruh atau tukang bangunan, buruh pabrik, tukang
108
ojek, pedagang asongan, pengamen, PRT, TKI, bahkan menjadi pengemis, pemulung di daerah perkotaan. Peran peningkatan mutu/kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan hal penting yang harus lebih diperhatikan. Peningkatannya perlu dilakukan untuk dapat menembus bursa lapangan kerja di luar sektor pertanian. Beberapa upaya yang perlu dilaksanakan untuk mengantisipasinya adalah dengan mengadakan program pelatihan dan ketrampilan bagi para calon pencari kerja (‘pencaker’) tersebut. Materinya disesuaikan dengan kebutuhan lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian, sebab banyak perusahaan yang lebih memilih tenaga kerja yang terampil dan memiliki pendidikan formal. Hal ini mengindikasikan bahwa “pencaker” harus lebih keras belajar, berusaha, dan mengembangkan dirinya agar mampu bersaing dengan sesama mereka.
b. Kabupaten Pontianak Data BPS (2004/2005) seperti yang disajikan pada Tabel 47 berikut, menunjukkan jumlah penduduk di kabupaten Pontianak sekitar 709.933 jiwa (tahun 2004). Dari jumlah tersebut 51,09% adalah penduduk laki-laki (362.714 jiwa), dan sisanya atau sekitar 347.219 jiwa merupakan penduduk perempuan. Tabel 47. Komposisi Penduduk Usia Kerja (PUK), menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin di Kab. Pontianak, 2004/2005. Kelompok Umur (tahun) 10 - 14 15 – 24 25 – 39 40 – 64 65+ Jumlah
Laki-laki 40.127 74.184 83.476 68.049 11.372 277.208
Jenis Kelamin Perempuan 37.550 74.282 82.728 60.665 10.974 266.199
Total 77.677 148.466 166.204 128.714 22.346 543.407
Sumber: BPS, Prov. Kalimantan Barat. 2004-2005.
Dinamika dan pergeseran struktur tenaga kerja terjadi relatif sedikit. Pada umumnya tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja dalam keluarga. Untuk beberapa tahap pekerjaan yang spesifik umumnya dipergunakan tenaga kerja upahan,
109
terutama dalam kegiatan pengolahan tanah. Untuk persiapan tanam umumnya dilakukan oleh tenaga kerja keluarga, dengan mempergunakan herbisida (pembasmi rumput) untuk melayukan sisa pertanaman musim sebelumnya. Beberapa lama kemudian digilas dengan alat tradisional (misalnya batang kelapa), sebelum ditanami padi yang telah disemai sebelumnya. Untuk kegiatan tanam dan sulam, petani umumnya mempergunakan tenaga kerja gotong royong secara bergilir, yang biasanya tenaga kerja wanita. Tenaga kerja tersebut biasanya juga dipergunakan pada masa panen dan pasca panen. Untuk lahan pasang surut yang mengusahakan tanaman padi, beberapa di antara petani contoh ditemukan sistem sewa. Alasan mereka mempergunakan sistem sewa karena lahan yang dikuasai tidak representatif untuk diusahakan, letaknya jauh, dan kurang subur. Sewa tersebut berkisar antara 2 hingga 2,5 kuintal padi per- ha per-tahun, atau sekitar Rp.200.000,sampai dengan Rp.500.000,- tergantung kesepakatan bersama. Sistem sewa tersebut biasanya berhubungan erat dengan dasar kekeluargaan ataupun persaudaraan (tidak selalu harus untung atau rugi, asal keluarganya yang lain cukup makan). Ditemukan adanya kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja di luar sektor pertanian. Di sektor industri rumahtangga, dinamika dan pergeseran struktur tenaga kerja cukup menggembirakan. Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya terdapat usaha rumahtangga yang mampu menyerap tenaga kerja. Usaha industri rumahtangga tersebut seperti: pengolahan dan pengemasan makanan dan minuman dari Aloe vera (lidah buaya), pembuatan marning, pembuatan berbagai jenis manisan buah, pepaya, dan lain sebagainya. Di samping itu, ditemukan tenaga kerja rumahtangga petani contoh yang bekerja sampingan pada industri pengolahan buah kelapa. Jenis pekerjaan pada usaha pengolahan kelapa, di antaranya sebagai pembuat gula merah, minyak kelapa, kopra, VCO, arang tempurung kelapa, tali kapal dari sabut kelapa. Pada usaha industri kayu (shawmill) ditemukan banyak tenaga kerja yang umumnya laki-laki, yang bekerja menebang dan menarik kayu dari hutan. Di samping itu, dinamika dan pergeseran struktur kerja umumnya terjadi di sub-sektor non-pertanian, seperti: menjadi tukang bangunan, buruh bangunan, pengrajin, PNS, guru, karyawan, buruh pabrik, dan bekerja ke luar negeri (TKI dan TKW).
110
Mengingat kompleksnya permasalahan keterbatasan rumahtangga petani di pedesaan, diperlukan penanggulangan multicara dan multidisiplin, diantaranya pemberdayaan (empowerment) diversifikasi usaha rumahtangga terkait ketenagakerjaan, seperti tersaji pada Bagan 4. Memacu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian dan rumahtangga di pedesaan merupakan program jangka panjang yang diharap berdampak mendasar bagi masyarakat mayoritas maupun pemerintah. Terkait struktur pemilikan lahan pertanian, terdapat lapisan atas yang akses pada sumberdaya lahan dan kapital sehingga mampu dengan baik merespon teknologi dan pasar serta berpeluang berproduksi yang berorientasi keuntungan. Sedangkan lapisan bawah yang miskin dari lahan dan kapital, dan sumberdaya faktor produksi utamanya tenaga kerja. Kedua lapisan tersebut terlibat hubungan kerja yang kurang seimbang (timpang). Bagan 4: Konsep Pembangunan Pertanian Mencapai Pengentasan Kemiskinan melalui Diversifikasi Usaha Rumah Tangga Pembangunan Pertanian (modernisasi-efisiensi)
Lapisan bawah (miskin)
Lapisan atas (mampu)
Akses tenaga kerja
Akses lahan, dan modal Teknologi dan Pasar
Pertumbuhan Penduduk Perkembangan Teknologi Krisis Ekonomi
Hubungan kerja kurang seimbang
(upah rendah, pekerjaan terbatas)
Profit Oriented
Peningkatan Pendapatan dengan Pemberdayaan Ketenagakerjaan melalui Diversifikasi Usaha RT
(potensi internal dan eksternal)
Peningkatan, stabilitas pendapatan
Pengentasan Kemiskinan
111
Dinamika dan pergeseran struktur ketenagakerjaan di Indramayu cukup tinggi. Hal ini terlihat mobilitas yang dilakukan penduduknya ke luar daerah, baik harian (pengamen, pedagang asongan), maupun bulanan (pemulung, buruh/tukang bangunan) atau tahunan (TKI, PRT). Para migran ini bekerja di sektor formal dan non-formal, yaitu sebagai karyawan (sipil, swasta), buruh dan tukang bangunan, pedagang, PRT, TKI, dan sebagainya. Selain lebih memilih bermigrasi, para pemuda yang menetap di daerah ini lebih memilih bekerja di sektor jasa angkutan (supir angkutan, ojek), dengan alasan lebih mudah untuk memperoleh penghasilan sehari-hari dan lebih bergengsi dilihat dari status sosial, dibanding harus bekerja sebagai petani. Kondisi yang tidak jauh berbeda ditemukan pula di Pontianak. Di Pontianak, mobilitas angkatan kerja rumahtangga contoh dari pedesaan ke sektor luar pertanian relatif tinggi. Seperti halnya di Indramayu, mereka umumnya bekerja di sektor non-formal, meski terdapat juga yang bekerja di sektor formal. Namun, karena keterbatasan akses alat perhubungan dan transportasi, tingkat mobilitas tersebut tidak setinggi yang terjadi di Indramayu. Di samping itu, letak/jarak desa ke daerah perkotaan terdekat dan kondisi pertumbuhan berbagai bidang usaha non-pertanian di luar wilayah pedesaannya juga turut mempengaruhi tingkat mobilitas tersebut. Produktivitas tenaga kerja sektor pertanian di daerah penelitian yang relatif rendah terhadap produktivitas di sektor industri dan jasa, merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa datang. Secara umum, rendahnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian terlihat dari terjadinya pergeseran kontribusi sektor pertanian terhadap PDB yang belum disertai perpindahan secara proporsional angkatan kerja ke sektor industri dan jasa (non-pertanian). Tingginya ahli fungsi (konversi) lahan dari pertanian ke non-pertanian juga menjadi aspek sangat mempengaruhi. Para petani dengan alasan ekonomi seakan berlomba menjual lahan usahataninya. Akhirnya, menjadikan mereka land-less (tidak memiliki lahan untuk diusahakan). Lahan sudah terlalu sempit untuk mampu menghasilkan produksi yang mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Salah satu ciri tenaga kerja di pedesaan yang juga ditemukan di daerah penelitian adalah rendahnya tingkat pendidikan formal yang dianggap sebagai penyebab rendahnya
112
kreaktivitas dalam penciptaan kesempatan kerja baru. Tenaga kerja di pedesaan (dalam beberapa penelitian) cenderung dianggap sebagai beban ketimbang nilai lebih atau paling tidak hanya sebagai potensi yang belum termanfaatkan. Keunggulan komunitas bisa saja diangkat sebagai kekuatan di pedesaan, dimana kemampuan individu merupakan titik kelemahannya, sehingga perlu dilakukan adalah pembangunan dan pembinaan individu di suatu daerah/pedesaan. Pada dasarnya, masalah kesempatan kerja di Indramayu dan Pontianak erat kaitannya dengan dengan masalah rendahnya kesempatan kerja dan masalah kemiskinan. Keadaan ini tidak berbeda seperti yang dikemukakan Mubyarto (1976). Tingkat pendapatan rumahtangga contoh di kedua lokasi penelitian dipengaruhi oleh sumberdaya dimiliki (baik berupa modal/lahan, teknologi dan tenaga kerja). Sedangkan sebagai variabel dari sumberdaya tenaga kerja adalah di samping kualitas yang biasanya diproksi dari pendidikan dan ketrampilan. Tidak kalah penting adalah menyangkut waktu kerja yang ditunjukkan melalui lamanya bekerja dan banyak anggota rumahtangga contoh yang bekerja. Alokasi waktu (curahan kerja) bagi setiap anggota rumahtangga contoh untuk bekerja di suatu sektor dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: pemilikan asset produktif, keadaan sosial ekonomi keluarga, tingkat upah dan karakteristik anggota rumahtangga tersebut (seperti tingkat pendidikan, ketrampilan, dan umur). Keputusan yang diambil petani contoh untuk berusaha dengan asset produktif yang dimiliki atau berburuh sesuai dengan modal tenaga kerja atau berusaha ganda (melalui diversifikasi usaha rumah tangga), akan dipengaruhi oleh besarnya insentif dan tingkat kecukupan rumahtangga secara ekonomi. Secara teoritis kesempatan kerja dapat di ukur dengan ‘participation rate’, ‘duration rate’ dan ‘labour utilization’. ‘Duration rate’ adalah pengukuran kesempatan kerja berdasarkan curahan kerja (jam/hari, hari kerja/minggu, /bulan, /tahun). Konsep ‘labour utilization’ ditunjukkan untuk mengukur sejauh mana pekerja memperoleh pekerjaan dan imbalan jasa selaras dengan keahlian atau kualitas tenaga kerja yang bersangkutan. Struktur kesempatan kerja dapat didasarkan menurut sektor, sub-sektor dan rincian yang lebih kecil. Analisa struktur kesempatan kerja juga dapat dilihat dari sisi ciri, fisik tenaga kerja dengan menggunakan perbedaan umur dan jenis kelamin.
113
Sedangkan tingkat pendidikan sebagai proksi kualitas tenaga kerja akan dilihat perbedaan struktur tenaga kerja. Kesempatan kerja di lokasi penelitian tersebut dapat dibahas dengan fokus pada tingkat partisipasi kerja (Tabel 43 dan Tabel 47) rumahtangga pada berbagai jenis pekerjaan yang dihubungkan dengan tingkat pendidikan serta curahan kerjanya pada usahatani maupun berburuh tani. Batasan tingkat partisipasi kerja disini adalah proporsi tenaga kerja yang bekerja (di satu sektor) terhadap total tenaga kerja. Tingkat partisipasi kerja di sektor non-pertanian di empat desa penelitian berhubungan dengan tingkat kepadatan penduduk agraris. Di Indramayu, makin tinggi tingkat pendapatan penduduk agraris lebih tinggi dibanding dengan Di Pontianak. Oleh sebab itu, penduduk di Indramayu makin banyak yang bekerja di sektor non-pertanian bila dibandingkan dengan di Pontianak. Artinya, makin tinggi tingkat kepadatan penduduk, makin sempit rata-rata luas garapan yang diusahakan, sehingga makin rendah pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian, baik dengan berusahatani maupun berburuh tani. Di samping itu, yang terpenting adalah citra petani kurang memberi kebanggaan status sosial (gengsi) terutama bagi generasi muda, dan pengharapan pendapatan seperti yang mereka inginkan. Untuk bisa mengisi kesempatan kerja di sektor non-pertanian seringkali diperlukan kualitas tenaga kerja tertentu yang menyangkut tingkat pendidikan formal dan ketrampilan terlebih bila kesempatan kerja tersebur bersifat formal. Partisipasi anggota keluarga usia kerja3 secara agregat cenderung meningkat di sektor non pertanian sebagai pekerjaan utama, dan cenderung menurun di sektor pertanian sehingga ditafsirkan partisipasi tenaga kerja makin didiversifikasikan ke nonpertanian. Aktivitas non pertanian yang banyak menampung tenaga kerja sebagai sumber utama pendapatan, dimana dinamikanya sangat dipengaruhi oleh berbagai variabel, baik internal maupun eksternal. Meskipun telah terjadi peningkatan kualitas pendidikan tenaga kerja pedesaan, namun yang banyak terserap di kedua sektor umumnya adalah tenaga kasar yang tidak memerlukan pendidikan tinggi. 3
Perubahan Penguasaan Asset, tenaga Kerja dan Teknologi di Pedesaan. LHP, 1999. Sri H. Susilowati, dkk.
114
Meningkatnya partisipasi tenaga kerja ke sektor non pertanian, perlu diikuti dengan kebijakan yang kondusif untuk mempercepat perkembangan kesempatan kerja non pertanian di pedesaan. Relevan dengan kondisi saat ini, perkembangan agroindustri skala kecil dan menengah di pedesaan perlu diprioritaskan. Menurunnya partisipasi rumahtangga dalam bermigrasi pada kondisi krisis ekonomi dewasa ini dapat disebabkan oleh berkurangnya daya tarik daerah perkotaan karena berkurangnya atau semakin terbatasnya lapangan pekerjaan di kota. Dengan demikian, pemberdayaan ketenagakerjaan melalui diversifikasi usaha rumahtangga diprediksi sebagai salah satu upaya meningkatkan pendapatan para pekerja yang bermaksud mengurangi penduduk miskin, walaupun keadaan ini baru dapat dijangkau dalam waktu jangka panjang. Kita hendaknya tidak egois apalagi berpikiran picik dan sempit dalam mengkaji masalah penyebab kemiskinan, apalagi langsung memposisikannya pada pembangunan perekonomian, pasarisasi maupun komersialisasi semata. Beberapa hal yang mungkin terabaikan perannya dalam pengkajian terhadap berbagai konsep pemikiran sehingga menyebabkan kekeliruan pandangan. Oleh karena itu, kita hendaknya menelusuri hingga grass root faktor yang dirasa dapat menjadi penyebabnya.
115
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Dari uraian dan berbagai temuan serta hasil pengkajian dari temuan lapang di Indramayu dan Pontianak tersebut, secara sederhana dapat disajikan beberapa simpulan sebagai berikut: •
Remitans bekerja dari luar negeri secara nyata mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani. Hasil remitans umumnya digunakan untuk menyekolahkan anak, membeli alsintan, tanah/kebun, membangun atau renovasi rumah, dan sebagainya. Artinya remitans telah mampu di arahkan untuk perbaikan kondisi ekonomi rumahtangga, yang juga berimbas pada pembangunan di daerah asal, selain dari hanya untuk konsumsi semata.
•
Investasi aset rumahtangga yang diperoleh melalui remitans terlihat dari pembelian tanah, membuka usaha bisnis kecil-kecilan, turut memacu pembangunan dan pertanian di daerah asal, terutama di daerah yang dekat dengan perkotaan.
•
Ditemukan kenyataan bahwa para pekerja dari luar negeri tersebut berperan penting terhadap sektor pertanian di desa asal, antara lain: mampu menerapkan adop teknologi usahatani, mampu membeli hand tractor dan berbagai alsintan lainnya, memperluas lahan usahatani (baik dengan membeli dan atau menyewa), membuat usaha pengolahan hasil pertanian (dari pepaya, kelapa, Aloe vera).
•
Komoditas di sektor pertanian (termasuk perkebunan dan peternakan) dapat dikembangkan dengan diversifikasi maupun intensifikasi usaha pertanian melalui pemanfaatan lahan yang tersedia, lahan yang tidak tergarap, lahan marjinal, dan meningkatkan fungsi lahan yang sudah berproduksi.
•
Diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga lebih mengarah pada kegiatan non-pertanian, dengan tingkat produktivitas yang relatif tinggi, sehingga keanekaragaman sumber pendapatan yang ada dari diversifikasi usaha rumah tangga mampu meningkatkan pendapatan yang relatif tinggi.
116
•
Rumahtangga yang berpendapatan rendah memiliki akses terhadap alternatif sumber pendapat lain, dimana peluang diversifikasi tidak dipengaruhi secara signifikan oleh status pekerjaan, tingkat pendidikan, luas pengusahaan dan pengusahaan lahan, jumlah jenis pekerjaan yang dilakukan. Diversifikasi dapat dilakukan di sub-sektor on-farm, non-farm, atau keduanya, dimana keragaman lingkungan strategis sebagai dasar motivasi.
•
Diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga lebih mengarah pada kegiatan non-pertanian, dengan tingkat produktivitas yang relatif tinggi, sehingga keanekaragaman sumber pendapatan yang ada dari diversifikasi usaha rumahtangga mampu meningkatkan pendapatan yang relatif tinggi.
•
Tingkat diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga yang diperoleh melalui diversifikasi usaha rumahtangga tergolong relatif tinggi, khususnya di pedesaan yang melakukan diversifikasi usaha pada sub-sektor non-farm seperti: TKI, pemulung, usaha industri, tukang atau buruh bangunan, ojek, dan sebagainya.
•
Tingginya tingkat diversifikasi sumber pendapatan berhubungan kurang erat dengan tingkat pendapatan rumahtangga, dimana indeks diversifikasi berkorelasi negatif dengan pangsa pendapatan dan sektor pertanian, sebaliknya berkorelasi positif dengan pangsa pendapatan non pertanian.
•
Kekurangeratan hubungan yang dihasilkan analisis Indeks Entropy antara diversifikasi usaha rumahtangga dan karakteristik rumahtangga contoh sebagai peubahnya lebih disebabkan (dipengaruhi) oleh: 1) besarnya pendapatan seorang anggota rumahtangga dari suatu usaha, dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga lain pada waktu yang bersamaan; 2) pendapatan seorang anggota rumahtangga dari beberapa usaha sekaligus, justru lebih tinggi dibanding pendapatan beberapa anggota keluarga dari beberapa usaha pada rumah tangga lain; 3) keterbatasan alat analisis dan data peubah (variabel) yang diperoleh dari rumahtangga contoh.
•
Secara empirik diversifikasi usaha yang dilakukan suatu rumahtangga pada kenyataannya mampu meningkatkan pendapatan rumahtangga petani contoh. Salah satunya dengan mencermati tabulasi kontribusi pendapatan diversifikasi
117
usaha sub-sektor on-farm, off-farm, dan non-farm terhadap total pendapatan rumahtangga petani contoh. •
Adanya pergeseran sektoral dari pertanian ke non-pertanian, sesungguhnya tidak menjadi masalah bila saja pergeseran tersebut diiringi oleh kemampuan sektor tersebut untuk menyerap tenaga kerja dari sektor pertanian, dimana nyatanya sektor pertanian masih diharapkan kedominannya dalam menyerap tenaga kerja.
•
Kondisi-kondisi yang menunjukkan berbagai permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian tersendiri dalam aspek ketenagakerjaan pertanian di Indonesia, seperti: 1) rendahnya produktivitas pengusahaan dan kualitas tanaman pertanaman terutama palawija; 2) kurang bakunya produk pertanian; 3) sulitnya menjaga kontiniutas produksi pertanian; 4) lemahnya kelembagaan yang mengkaitkan sub-sistem produksi dengan pengolahan hasil pertanian; dan 5) kurang tersedianya infrastruktur yang mendukung kegiatan pertanian.
•
Terdapatnya perbedaan struktur pendapatan antar rumahtangga contoh, namun struktur tersebut hanya karena perbedaan jenis usaha dalam diversifikasi usaha rumahtangga contoh dan karena spesifikasi antar lokasi/daerah.
•
Proporsi pendapatan dari masing-masing usaha dalam diversifikasi usaha rumahtangga sangat bervariasi antar rumahtangga contoh, yang tergantung pada aksesbilitas
terhadap
kesempatan-kesempatan
ekonomi
dan
penguasaan
sumberdaya produktif setiap angkatan kerja rumahtangga. •
Persepsi petani contoh terhadap ketenagakerjaan di sektor usahatani berkaitan erat dengan manfaat yang diperoleh (tingkat upah, insentif) di samping mempererat hubungan sosial (berdasarkan silaturahmi) di antara pemilik dan buruh tani, yang memberikan jaminan kerja pada mereka dan keberlanjutan pekerjaan tersebut bagi mereka.
118
Implikasi Kebijakan Dari beberapa simpulan sederhana di atas, berikut dikemukakan beberapa implikasi kebijakan sebagai saran kepada berbagai pihak terkait dalam penanganannya. •
Diperlukan keberpihakan pemerintah menyusun peraturan/perundangan TKI yang mampu menangani dan memberi perlindungan bagi hak-hak mereka, di samping penanganan remitans TKI, sejak awal pengurusan administrasi pemberangkatan, jaminan keselamatan dan kesejahteraan mereka selama bekerja di luar negeri, hingga kepulangan mereka ke desa asal. Keberpihakan, layak mereka peroleh mengingat besarnya pengorbanan dan resiko yang telah mereka hadapi selama bekerja di luar negeri, dan kontribusi devisa negara yang luar biasa besar melalui remitans yang mereka kirimkan ke Indonesia.
•
Perlu bimbingan, pengarahan, dan pembinaan pemerintah melalui instansi terkait di daerah terhadap rumahtangga TKI dalam mendayagunakan remitans dan pendapatan TKI agar multi fungsi terlebih pada masa purna TKI.
•
Diperlukan upaya menciptakan iklim kondusif dalam pemberdayaan diversifikasi rumahtangga, membangkitkan kesadaran berkembangnya potensi yang dimiliki petani dengan mendorong, memotivasi, menciptakan/ membuka aksesbilitas berbagai peluang usaha sebagai diversifikasi sumber pendapatan rumahtangga.
•
Peningkatan peran diversifikasi usaha rumahtangga sebagai asset pembangunan perlu diarahkan pada proses efisiensi usahatani dengan meningkatkan fungsi produksi dan jaringan sosial ekonomi dalam rangka pembangunan dan pengembangan pertanian.
•
Pentingnya peningkatan peranan ahli teknik/keterkaitan pertanian untuk menunjang pengembangan diversifikasi usaha rumahtangga pertanian (mengarah ke agroindustri) adalah rekayasa infrastruktur pedesaan yang mampu mendorong pembangunan pertanian dan industri-industri, sistem pengairan dan drainase serta pembangunan sarana pendukungnya.
•
Meningkatkan peran pemerintah dalam mempertahankan lahan-lahan pertanian, antara lain dengan mengurangi dan memperkecil alih fungsi (konversi) lahan dari sektor pertanian menjadi sektor non-pertanian.
119
•
Masalah ketenagakerjaan lebih merupakan kondisi struktural sehingga diperlukan
perubahan
struktural
untuk
mengatasinya
dengan
strategi
pembangunan yang lebih bermoral, karena keberhasilan strategi pembangunan yang berdampak terhadap struktur masyarakat, namun gagal mencapai distribusi yang adil. •
Perlu diterapkan kebijakan untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan pertanian, yang difokuskan pada: 1)pengintegrasian manajemen; 2)pengintegrasian pemilihan pengusahaan; 3)pengintegrasian pembinaan; 4)pengintegrasian ruang.
•
Secara bertahap diperlukan perubahan persepsi terhadap pekerjaan sektor pertanian yang dipandang sebagai pekerjaan kurang terhormat dan alternatif terakhir. Adopsi teknologi agar dilakukan secara selektif dan tidak mengancam peran lembaga/pengetahuan lokal yang terkadang malah lebih potensial dalam melestarikan lingkungan, sumberdaya alam, serta kekayaan nilai-nilai lokal dan kebudayaan setempat.
120
DAFTAR PUSTAKA
Adian, D. G. 2002. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan. Teraju. Jakarta. Anonim. 2004. Kebijakan Pasar Kerja untuk Memperluas Kesempatan Kerja. Lembaga Penelitian SMERU. Bahari, S. 2002 dalam: Petani dalam Perspektif Moral Ekonomi dan Politik Ekonomi; dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan W. Akatiga Bandung. _____. 1994. Penanggulangan Kemiskinan Ditinjau dari Aspek Kelembagaan. Prosiding Seminar Pembangunan Pertanian dalam Menanggulangi Kemiskinan (Sapuan dan C. Silitonga, eds.). Perhepi. Biro Pusat Statistik, berbagai tahun terbitan. Indikator Tingkat Hidup Pekerja. BPS Jakarta. _________, berbagai tahun terbitan. Keadaan Angkatan Kerja. BPS. Jakarta _________, berbagai tahun terbitan. Statistik Upah Buruh Tani di Pedesaan. BPS. Jakarta. _________, berbagai tahun terbitan. Struktur Ongkos Usahatani Padi dan Palawija. BPS. Jakarta. _________. 1997. Struktur Ongkos Usahatani Hortikultura. BPS. Jakarta. Chambers, R. 1987. Pembangunan Desa. Mulai dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative and Quatitative Approaches. SAGE Publication. Denzin, et al. (ed). 1994. Handbook of Qualitatif Research. SAGE Publication. Depnakertrans RI. 2004. Data Penempatan dan Permasalahan serta Upaya Perlindungan Tenaga Kerja tahun 2001 – 2003. Dit. Pemberdayaan TKLN. 2004. Data Perolehan Remitansi. Depnakertrans RI. Erwidodo. et al.1992. Evaluasi Perkembangan Tingkat Upah di Sektor Pertanian. PSE Faisal, S. 1989. Format-format Penelitian Sosial. Rajawali Press. Jakarta.
120
Firdaus, D. et al. 2004. Sistem Usahatani Integrasi Tanaman – Ternak pada Lahan Sawah Berpengairan di Jawa Barat. BPTP Jawa Barat. Proyek PAATP. Guntoro, S. et al. 2004. Integrasi Tanaman Industri dengan Ternak Kambing; dalam: Pengembangan Teknologi Inovatif Spesifik Lokasi. BPTP Bali. PAATP. Hadiz, V. R. and Daniel D. (eds). 2005. Social Science and Power in Indonesia. Equinox. Publishing. Jakarta Singapore. ISEAS. Hayami, Y. dan M. Kikuchi. 1987. Dilema Ekonomi Desa. Obor. Jakarta. Horton, B.P. and C.L.Hunt. 1984. Sociology; dalam A.R.Nurmanaf, Roosgandha, dkk. (2000).LHP. .PSE. Bogor. Kasryno, F. 1988. Pola Penyerapan Tenaga Kerja Pedesaan di Indonesia. Prosiding Patanas: Perubahan Ekonomi Pedesaan. Menuju Struktur Ekonomi Berimbang (Ed. Faisal Kasryno, Pantjar Simatupang, Budiman Hutabarat, Achmad Suryana, Chairil A. Rasahan, Achmad Djauhari). PAE. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. Korten, D.C.dan Sjahrir. 1984. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Obor. Jakarta. Landsberger dan Alexandrov . 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial, dikutip dari “Social Origins of Dictatorship and Democracy” Barington Moore (1966). Boston. Long,N. 1987. Sosiologi Pembangunan Pedesaan. Bina Aksara. Jakarta. Malian, H. et al. 2004. Perubahan Struktur Kepemilikan Aset, Tenaga Kerja, Pendapatan Rumahtangga Pertanian. PSE. Bogor. Manning, Chris. 2000. Labour Market Adjustment to Indonesia’s Economic Crisis: Context, Trend, and Implications. Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES). Vol.36. No. 1. April 2000: p.105-136. ANU Canberra. Manning, Chris. 2001. Labour Market Adjustment to Indonesia’s Economic Crisis: A Reply. Bulletin of Indonesian Economic Studies (BIES). Vol. 37. No.1, 2001: p.117-118. ANU, Canberra. Masinambow, E.K.M. 1997. Klasifikasi Tipologi Komunitas Desa di Indonesia, dalam Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Obor. Jakarta. Othman, K. 2004. Integrated Farming System an Multifunctionality of Agriculture in Malaysia; in: W. Bokelmann (ed). Proceeding. XV International Symposium On Horticultural Economics and Management. Berlin, Germany.
121
Pakpahan, A. et al. 1995. Kemiskinan di Pedesaan. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaan. Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. PSE. Bogor. Penny, D. H. 1990. Kemiskinan. Peranan Sistem Pasar. UI Press. Jakarta. Poerwadarminta,W.J.S. 1985. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Prakash, S. 2000. Poverty and Environtment Linkages: Reflection on the Poverty Trap Thesis. CREED Working Paper No.12, February, 1997. http://www.iied.org.docs/eep/creed12e.pdf. (17/07/2006). Pudjiwati. S. 1985. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta bekerjasama dengan BKKBN Jakarta. Rachman, A. MA. 1996. Traditional Information Capture and Environmental Knowledge. Mimbar Sosek 9 (2): 36-52. Rachman, B. 1993. Deskripsi Tingkat Upah Buruh Tidak Terdidik di Pedesaan, Indonesia. PSE. Bogor. FAE Vol.11. No.2. Des. 1993. Rambo, A.T. 1982. Human Ecology Research on Tropical Agro-ecosystems in South Asia. East-West Environtment and Policy Institute. Honolulu. Redfield, R. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaannya. CV. Rajawali. Jakarta. Ritzer, G. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Rajawali. Jakarta. Roosgandha. 2005. Restrukturisasi Ketenagakerjaan dalam Proses Modernisasi Berdampak Perubahan Sosial pada Masyarakat Petani. Jurnal SOCA. Bali. Roosgandha dan V. Darwis. 2003. Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program Jaring Pengaman Sosial. SOCA, vol.3. no.2. Juli 2003. Rusastra, I. W., Roosgandha. et al. 2005. Analisis Ekonomi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian dan Pedesaan di Indonesia. PSE. Bogor. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Obor. Jakarta. dan IPB Bogor. Sajogyo. 1993. Partisipasi Petani. PSP. IPB. Bogor. Saliem, H.P. et al. 2005. Analisis Diversifikasi Usaha Rumah Tangga dalam Mendukung Ketahanan Pangan dan Penanggulangan Kemiskinan. PSE-KP. Bogor.
122
Scott, J. C. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Obor. Jakarta. Scott, J. C. 1981. Moral Ekonomi Petani. Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. LP3ES. Jakarta. Simatupang, P. et al. 2004. Pemberdayaan Petani Miskin melalui Inovasi Teknologi Pertanian di NTB; dalam: Mashur. et al. (eds). Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marginal melalui Inovasi teknologi Tepat Guna. Mataram, 31 Agust.- 1 Sept. 2004. Singh, K. P. 2002. Integrated Farming System for Smallholders in India Models and Issues for Semi-arid Tropical Conditions. (http://www.cipav.org.co/lrrda10/3/sam103p.htm; download Sept.16.2005) Soekanto, S. 2004. Sosiologi. Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. _________. 1984. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Kanisius. Jakarta. Supriyati, Roosgandha, et al. 2000. Studi Nilai Tukar Petani dan Nilai Tukar Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. PSE. Bogor. Susilowati, S. H. et al. 2002. Diversifikasi Sumber Pendapatan Rumah Tangga Di Pedesaan Jawa Barat. JAE, Vol.20. No.1. PSE. Bogor. Soedjatmoko. 1980. Dimensi-dimensi Struktural Kemiskinan. Prisma No. 2. Pebr.1980. Sumodiningrat, G.1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial. Gramedia. Jakarta. Sumodiningrat, G. 1997. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Bina Rena Pariwara. Jakarta. Taryoto, A. H. 1995. Kemiskinan dan Program Penanggulangan Kemiskinan Lingkup Departemen Pertanian: Suatu Upaya Introspeksi; dalam: Hermanto, et al. (eds). Prosiding. PSE. Bogor. Buku 2. Theil, H. and Finke. 1993. The Consumer’s Demand for Diversity. Europe Economic Review 23 (1983). Tim Penyusun. 2004. Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. Seri Pustaka IPB Press.2004.
123
Valentine,C.A. 1968. Culture and Poverty. The University of Chicago Press. Chicago & London. Widodo, T. MA. 2004. Neraca Pembayaran Indonesia. Seminar Menyongsong Perekonomian Indonesia Masa Depan. 24 Pebruari. 2004. Wiradi, G. 1993. Karya Chayanov Ditinjau Kembali. ISI. IPB Wolf, E. R. 1985. Petani. Suatu tinjauan Antropologis. C.V. Rajawali. Jakarta. Worsley, P. et al. 1991. Pengantar Sosiologi: Sebuah Pembanding. Tiara Wacana. Yogyakarta. Jilid 1, dan Jilid 2. Yin, R.K. 1997. Studi Kasus: Desain dan Metode. Grasindo. Jakarta. Yuliati, Y. et al. 2003. Sosiologi Pedesaan. Pondok Pustaka. Yogyakarta. Yusdja, Y. et al. 2003. Kebijakan Sistem Usaha Pertanian dan Program Kemiskinan dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani. PSE. Bogor.
124
LAMPIRAN: Contoh Kuesioner Rumahtangga Petani:
REMITANS BEKERJA DARI LUAR NEGERI DAN DIVERSIFIKASI USAHA RUMAHTANGGA DI PEDESAAN
KUESIONER PETANI
Nama Responden
: _______________________________
Usaha/Jasa
: _______________________________
Desa
: _______________________________
Kecamatan
: _______________________________
Kabupaten
: _______________________________
Provinsi
: _______________________________
Enumerator
: ________________
Tgl.wawancara
: ________________
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 1
I. KARAKTERISTIK ANGGOTA RUMAHTANGGA Keterangan Anggota Rumahtangga (termasuk kepala keluarga)1): No.
Hubungan keluarga2)
Jenis Kelamin3)
Pendidikan (th)
Umur (th)4)
Pekerjaan menurut curahan waktu5) Utama Sampingan
Keterangan: 1) Anggota rumah tangga adalah semua anggota keluarga yang termasuk dalam satu unit anggaran belanja (termasuk anak yang sedang sekolah atas biaya rumah tangga, maupun orang lain yang sebagian besar biaya hidupnya menjadi tanggungan keluarga). 2) Isikan: 1 = kepala keluarga; 2 = istri; 3 = anak; 4 = cucu; 5 = orng tua/mertua; 6 = lainnya: …………… 3) Isikan: 1 = laki-laki; 2 = perempuan. 4) Isikan jumlah tahun (misal: tidak sekolah = 0; SD = 6; SMP = 9; SMU = 12) 5) Isikan: 1 = petani/nelayan; 2 = buruh tani/petani; 3 = usaha industri; 4 = buruh industri; 5 = usaha/ pekerja jasa ; 9 = profesional tatalaksana adm (termasuk PNS/ABRI) ; 10 = hasil menyewakan/ menykap lahan; 11 = hasil dari meminjamkan uang; 12 = pensiunan; 13 = kiriman uang dari keluarga; 15 = TKI; 16 = lainnya: ………………….
Keadaan Tempat Tinggal 1. Rumah tempat tinggal: a. Luas pekarangan : ………….. m2 b. Luas bangunan
: ………….. m2
c. Status rumah
:
d. Status tanah untuk rumah.
Isikan:
1 = milik 2 = sewa 3 = kontrak 4 = numpang 5 = lainnya: ……………
Isikan: 1 = milik 2 = sewa 3 = kontrak 4 = numpang 5 = lainnya: ……………
e. Jenis dinding yang terluas. Isikan: 1 = rumbia 2 = bilik 3 = kayu
4 = setengah tembok 5 = tembok tanah 6 = lainnya: ………… 2
f. Jenis lantai yang terluas.
Isikan: 1 = tanah 2 = kayu 3 = bambu 4 = semen 5 = ubin/teraso/keramik
g. Sumber air minum.
Isikan: 1 = sumur 2 = mata air 3 = air hujan 4 = sungai 5 = lainnya: ……………
h. Kelengkapan sanitas.
Isikan: 1 = alam 2 = sungai 3 = kamar mandi 4 = MCK pribadi 5 = MCK umum 6 = lainnya: ……………
i. Penerangan rumahtangga paling sering dipakai
Isikan:
1 = sentir/damar 2 = lampu templok 3 = petromaks 4 = listrik PLN 5 = listrik generator 6 = Accu
Kelengkapan Rumah Tangga
Jenis alat RT
Jumlah (buah)
Tahun beli
1. Radio/tape recorder 2. TV hitam putih 3. TV warna 4. VCD 5. Kulkas 6. Pompa listrik 7. Pompa tangan 8. Kompor minyak tanah 9. Kompor gas 10. Mesin jahit 11. Lampu petromaks 12. Sumber energi lain 13. 14. 15. 16.
3
Nilai saat ini (Rp)
Baik
Kondisi Kurang baik
Rusak
II. PENGUASAAN DAN PENGUSAHAAN ASET SAAT INI Penguasaan dan pengusahaan lahan Jenis lahan
Penguasaan (ha)
Jumlah persil
Milik
Status pengusahaan (ha) Sewa Sakap Lainnya
Total
Pekarangan Sawah tadah hujan Lahan kering Pasang surut (rawa) Kebun Kolam Lainnya: ………………. Total
Pemilikan ternak Jumlah (ekor) Jenis ternak
Dewasa Jml Nilai
Muda1) Jml Nilai
Anak2) Jml Nilai
Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Kelinci Ayam ras Ayam buras Itik Burung Keterangan: 1) Belum kawin; 2) Belum disapih
4
Jml total
Sumber bibit
Total nilai (Rp.000) perkiraan
Pemilikan alat mesin pertanian Jenis alsintan
Jumlah (buah)
Baik
Kondisi Kurang baik
Rusak
Hand tractor Thresher Pompa Hand sprayer Alat pengering - Lantar jemur - Dryer Gudang/lumbung Lainnya: …………….
Pemilikan alat transportasi Jenis alat transportasi
Jumlah (unit)
Taksiran nilai (Rp.000)
Mobil pribadi Mobil angkutan umum Sepeda motor Sepeda Speed boat Becak Sampan Delman Pedati Gerobak Lainnya: ………………………
5
Penggunaan
III. USAHA TANI LAHAN KERING/SAWAH TADAH HUJAN/PASANG SURUT TAHUN 2005/2006 (coret yang tidak sesuai) Tanaman semusim untuk pola tanam dominan tahun ini*). (Apabila terdapat beberapa persil dengan pola tanam berbeda, ambil persil terluas yang mewakili). Pola Tanam A/B (coret yang tidak sesuai) MH
MK I
MK II
MH
MK I
MK II
a. Jenis tanaman
b. Luas usaha (ha)
(
Ha)
(
Ha)
(
Ha)
c. Penggunaan bibit MH
MK I
MK II
MH
MK I
MK II
1. Fisik (kg) 2. Nilai (Rp) d. Kualifikasi bibit
Isikan: 1 = unggul berlabel; 2 = ungguk tidak berlabel; 3 = tidak berlabel Keterangan: *) Pola tanam lainnya cukup ditanyakan hasil dan pendapatan dari usahataninya.
e. Penggunaan pupuk dan pestisida pola tanam A / B (coret yang tidak sesuai) Jenis pupuk/ pestisida
MH Fisik (kg)
MK I Nilai (Rp)
Fisik (kg)
Pupuk: a. Urea b. TSP c. SP-36 d. KCl e. ZA f. NPK g. Pupuk PC h. Pupuk kandang i. Pupuk alternatif Pestisida: j. Padat ______________ ______________ k. Cair ______________ ______________ 6
MK II Nilai (Rp)
Fisik (kg)
Nilai (Rp)
f. Penggunaan tenaga kerja pola tanam A, B (coret yang tidak sesuai) Musim Hujan TK Keluarga Uraian
P (HOK
W (HOK)
TK Upahan
TK Keluarga
P (HOK) HOK
W (HOK) Nilai
HOK
Nilai
P (HOK)
1. Pengolahan lahan a. Traktor b. Ternak c. orang 2. Tanam & sulam 3. Pemupukan 4. Penyemprotan 5. Penyiangan 6. Pengaturan air 7. Panen 8. Pasca panen Total
Lanjutan TK Keluarga Uraian
P (HOK)
W (HOK)
Musim Kemarau II TK Upahan P W (HOK) (HOK) HOK Nilai HOK Nilai
1. Pengolahan lahan a. Traktor b. Ternak c. orang 2. Tanam & sulam 3. Pemupukan 4. Penyemprotan 5. Penyiangan 6. Pengaturan air 7. Panen 8. Pasca panen Total
7
Total
W (HOK)
Musim Kemarau I TK Upahan P W (HOK) (HOK) HOK Nilai HOK Nilai
g. Biaya lainnya pola tanam A, B (coret yang tidak sesuai) No. Uraian MH (Rp.000) MK I (Rp.000) 1. Sewa alat 2. Pajak bumi 3. Iuran irigasi 4. 5. 6. 7.
MK II (Rp.000)
h. Produksi pola tanam A, B (coret yang tidak sesuai) Bentuk produksi
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Vol.
MH Harga/ unit
Nilai
Vol.
MK I Harga/ unit
Nilai
Vol.
MK II Harga/ unit
Nilai
Gabah Beras
Tanaman tahunan/perkebunan (semua komoditi yang menghasilkan uang) a. Keragaan usaha perkebunan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
Komoditas
Luas total (ha)
Status tanaman/populasi (batang) TBM
TM
Kopi Kakao Kelapa Mete
Catatan: TBM = Tanaman belum menghasilkan TM = Tanaman menghasilkan TT = Tanaman tidak menghasilkan, karena tua dan rusak.
8
TT
Total populasi (batang)
b. Produksi per tahun (2005) No.
Harga satuan (Rp/kg)
Bentuk produksi
Nilai (Rp.000)
1. 2. 3. 4. 5.
Keragaan Usaha Peternakan a. Sistem Pemeliharaan Ternak Pemeliharaan ternak 1. Sistimb) 2. Perkandanganc) 3. Status kandngd) 4. Kualifikasi kandange) 5. Pemberian pakanf) 6. Sanitasig) 7. Vaksinasih) 8. Perkawinani)
1
2
3
4
Jenis ternaka) 5 6
7
8
9
10
Keterangan: a) Jenis ternak: 1 = sapi; 2 = kerbau; 3 = kuda; 4 = kambing; 5 = domba; 6 = babi; 7 = ayam ras; 8 = ayam buras; 9 = itik; 10 = burung; 11 = kelinci b) Isikan : 1 = tradisional; 2 = semi intensif; 3 = intensif c) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak d) Isikan : 1 = milik; 2 = sewa; 3 = kontrak; 4 = numpang; 5 = lainnya e) Isikan : 1 = permanen; 2 = semi permanen; 3 = tidak permanen f) Isikan : 1 = hijauan makanan ternak; 2 = konsentrat; 3 = kombinasi 1 dan 2; 4 = lainnya : ............... g) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak h) Isikan : 1 = ya; 2 = tidak i) Isikan : 1 = alami; 2 = inseminasi buatan (IB); 3 = lainnya : ..............
b. Penggunaan tenaga kerja Kegiatan
Pria
DK (HOK) Wanita
Anak
Pria
LK (HOK) Wanita
Anak
Ternak Ruminansia: 1. Membersihkan kandang 2. Memberi makan 3. Memandikan 4. Mengawinkan 5. Menjual 6. Lainnya: ……………….. Ternak unggas: 1. Memberi makan 2. Menjual 3. Lainnya: ……………….. Keterangan: DK = Dalam Keluarga; LK = Luar Keluarga 1 HOK = + 8 jam; Upah buruh pria/hari = Rp …………;Upah buruh wanita/hari = Rp ………..
9
c. Produksi dan nilai hasil ternak setahun (2005/2006) Anak Jenis ternak Ekor
Nilai (Rp)
Pertambahan berat induk Nilai Kg (Rp)
Pupuk kandang Ku
Nilai (Rp)
Telur Btr
Nilai (Rp)
Susu Nilai (Rp)
l
1. Sapi 2. Kerbau 3. Kuda 4. Kambing 5. Domba 6. Babi 7. Kelinci 8. Ayam ras 9. Ayam buras 10.Itik 11.Burung 12.Lainnya
Keragaan usahatani (pola tanam) lainnyaa) Pola tanam C
D
E
F
1. Jenis tanaman 2. Luas (ha) 3. Biaya saprodi 4. Biaya tenaga kerja 5. Hasil (ku) 6. Nilai hasil 7. Pendapatan Keterangan : a)
untuk menampung informasi pendapatan selain dari pola tanam dominan (A/B) apabila petani menerapkan beberapa pola tanam dan jumlah persil banyak
10
IV. MULTI USAHA RUMAHTANGGA PETANI A. Usaha Rumahtangga Petani Jumlah anggota RT yang bekerja/terlibat langsung dalam usaha mencari nafkah keluarga: .......... orang KK
Anggota RT (jumlah) IRT ANK
Lainnya
Jumlah orang Jenis pekerjaan : On farm : - Tanaman pangan - Hortikultura - Perkebunan - Peternakan - Perikanan Off farm: - Buruh tani Non-farm: - Pedagang - Jasa transportasi - Jasa lain - Pegawai - Mencari barang di alam Keterangan: KK : Kepala rumah tangga Lainnya: Anggota RT lainnya yang serumah IRT : Ibu rumah tangga ANK : Anak Lainnya: Anggota RT lainnya yang serumah
11
Total
V. PENDAPATAN DAN PENGELUARAN RUMAHTANGGA 1. Pendapatan rumahtangga dari pertanian setahun terakhir MH Uraian
Jumlah prod.
MK I Nilai prod. (Rp)
Jumlah prod. (Kw)
I. On farm 1. Tanaman pangan (kw) a. Padi b. Palawija 2. Hortikultura (kw) a. Sayuran b. Buah-buahan 3. Perkebunan (kw) a. Kopi b. Coklat c. Kelapa d. _____________ e. _____________ 4. Peternakan (ekor/kg) a. Sapi b. Kerbau c. Kuda d. Kambing e. Domba f. Babi g. Kelinci h. Ayam ras i. Ayam buras j. Itik 5.
k. Burung Perikanan (kg) a. Laut b. Tambak
6. Pekarangan a. ___________ b. ___________ c. ___________ d. ____________ II. Off farm 1. Buruh tani 2. Alsintan yang disewakan 2. Lahan yang disewakan III. Lainnya Total
12
Nilai prod. (Rp)
MK II Jumlah prod. (Kw)
Nilai prod. (Rp)
Nilai total per tahun (Rp)
2. Pendapatan rumahtangga dari non pertanian setahun terakhir Hari/Minggu
Minggu/Bulan
Frek.
Frek.
Bulan/tahun
Uraian Nilai
Non-pertanian: 1. Pegawai negeri/TNI/POLRI 2. Pegawai BUMN 3. Pegawai Swasta 4. Usaha dagang 5. Industri/kerajinan 6. Usaha jasa transportasi 7. Menyewakan alsintan 8. Menyewakan ternak 9. Tukang bangunan 10. Buruh bangunan 11. TKI 12. Jasa lain 13. Buruh non tani 14. lainnya: _______________ Total
13
Nilai
Frek.
Nilai
Total setahun (Rp)
3. Pengeluaran rumahtangga
Uraian
Sehari (Rp)
Seminggu (Rp)
Makanan/Minuman: a. Beras b. Makanan pokok lainnya c. Mie d. Makanan selingan (jajanan) e. Kopi/gula/teh/susu f. Lauk pauk/sayuran g. Rokok/tembakau h. Lainnya: ___________ Non-makanan: a. Bahan bakar b. Penerangan/listrik c. Kesehatan d. Transportasi e. Pendidikan f. Pakaian g. Pemeliharaan rumah h. Rekreasi i. Sosial/sumbangan j. Hajatan/selamatan keluarga k. Iuran/acara keagamaan l. Pajak : - PBB lahan & bangunan - Usaha m. Sabun cuci/mandi, pasta gigi, dll. n. Lainnya Total
14
Sebulan (Rp)
Total setahun (Rp)