INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PEDESAAN DI DESA LEREP KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH
TIARA ANJA KUSUMA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Industrialisasi Pedesaan dan Struktur Nafkah Rumahtangga Pedesaan di Desa Lerep Kabupaten Semarang Jawa Tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Tiara Anja Kusuma NIM I34090048
ABSTRAK
TIARA ANJA KUSUMA. Industrialisasi Pedesaan dan Struktur Nafkah Rumahtangga Pedesaan di Desa Lerep, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN. Industrialisasi pedesaan bertujuan menciptakan diversifikasi ekonomi di pedesaan serta berfungsi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Contoh implementasi industrialisasi pedesaan adalah sentra industri kecil menengah/rumahtangga keripik RW 07 Dusun Karangbolo. Tujuan penelitian antara lain untuk menganalisis struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik, menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik, dan menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan dilengkapi dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian antara lain menunjukkan bahwa struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan didominasi oleh tingkat pendapatan dari sektor pertanian, khususnya sektor pertanian off farm, yaitu sektor industri keripik. Beberapa kesimpulan penelitian ini, antara lain: (1) semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik, dan (2) semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Kata kunci: industrialisasi pedesaan, struktur nafkah, taraf hidup ABSTRACT TIARA ANJA KUSUMA. Rural Industrialization and Livelihood Structure of Rural Household in Lerep Village, Semarang Regency, Central Java. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN. Rural industrialization has aim to create economic diversification in rural areas and also has function to improve life qulity level of rural peoples. One example of rural industrialization implementation is medium-small/household-scale industry center in Karangbolo. This research uses quantitative and qualitative methods. This research has some aims, for example are to analyze livelihood structure of the chips industry owner’s household, to analyze correlation between the level of rural industrialization implementation and the level of chip industry sector’s contribution to the livelihood structure of chips industry owner’s household, and to analyze correlation between the level of rural industrialization implementation and life qulity level of chips industry owner’s household. This research results show that livelihood structure of chips industry owner’s household is dominated by income level from farm sector, especially off farm sector: chips industry. Some of these research summaries show that (1) there is positive correlation between the level of rural industrialization implementation and the level of chip industry sector’s contribution to the livelihood structure of chips industry owner’s household, and (1) there is positive correlation between the level of rural industrialization implementation and life qulity level of chips industry owner’s household. Keywords: rural industrialization, livelihood structure, life quality level
INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PEDESAAN DI DESA LEREP KABUPATEN SEMARANG JAWA TENGAH
TIARA ANJA KUSUMA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Industrialisasi Pedesaan dan Struktur Nafkah Rumahtangga Pedesaan di Desa Lerep Kabupaten Semarang Jawa Tengah Nama : Tiara Anja Kusuma NIM : I34090048
Disetujui oleh
Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Assalamualaikum W.W.,
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena atas segala karunia-Nya skripsi berjudul “Industrialisasi Pedesaan dan Struktur Nafkah Rumahtangga Pedesaan di Desa Lerep Kabupaten Semarang Jawa Tengah” ini berhasil diselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS selaku dosen pembimbing, Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen penguji utama, Dr.Ir Anna Fatchiya, MSi selaku dosen penguji perwakilan Departemen SKPM, Ir. Hadiyanto, Msi selaku dosen penguji petik, kepada Bapak Arya Hadi Dharmawan, Ibu Ekawati Sri Wahyuni dan Bapak Martua Sihaloho yang telah banyak memberi masukan kepada penulis. Di samping itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Winarno selaku Kepala Bagian Perindustrian Dinas Koperasi, UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang beserta jajaran staf, kepada Bapak Maryadi selaku Kepala Desa Lerep beserta jajaran staf, kepada Bapak Asroh selaku Kepala Dusun Karangbolo, kepada Ibu Wefi Mahrozah selaku PPL Dinas Koperasi, UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang yang bertanggungjawab atas sentra industri kecil menengah/rumahtangga keripik Dusun Karangbolo, kepada Ibu Muawannah selaku Ketua Kelompok Mekarjati, serta kepada Bapak Arbiyanto selaku Kepala Urusan Humas Desa Lerep yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Drs. Mahizar ,MM, ibunda Dra. Ratna Werdiati, adik tersayang Insantiti Anjaswari, serta seluruh keluarga penulis atas doa dan kasih sayangnya. Ucapan terimakasih tak lupa penulis sampaikan kepada Dedek Setyawan yang selalu memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabat tersayang, Emma Hijriati, Finka Dwi Utami, Zulmiziar Marwandana, Indah Permatasari, Bonita Dwi Anggraini, Faiza Libby, Siti Maulina, Mona, Andani, Afit, Prin, Isti, Dani, Ain, Hendra, Bram, Ririn, Tyas, Refi, Anin Nenon, Dela,Alfitri, Kania, Icha, Winda, Pipit, Inggar, Irfan, Nuna, Yie, Kania Nur, Idel, Dewi, Rima, Darul, Hafid, dan Aji, yang senantiasa mendampingi penulis baik dalam senang maupun sedih serta senantiasa menjadi semangat penulis. Penulis juga sampaikan terimakasih kepada Rizka Amalia, Firza, Hesti, Tri, Nadia Nur, Lulu, Sitti, Novia Fridayanti, Bunga, Yanti, Sondang, Nadia Zabila, Alfiana Rahmawati, Indra, Oki, Iqbal, Mas Mono, Ninis, seluruh sahabat-sahabat KPM IPB angkatan 46, dan sahabat seperjuangan program akselerasi KPM IPB angkatan 46 yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan dan semangat dari kakak-kakak KPM IPB 45 (Bang Jabbar, Kak Selvi, Kak Dini Alyxia, Kak Dinda, Kak Ipit, Kak Valen, Kak Sofi, Kak Ola, dll) serta dari adik-adik KPM IPB 47 dan 48 (Atrina, Sara, Arum, Upi, Ana Nur, Ratu Ana, Rima, Siska, Hilmi, Aldi, dll). Terakhir, penulis ucapkan terimakasih atas bantuan dan dukungan seluruh teman-teman maupun pihak lain yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Semoga skripsi ini bermanfaat. Wassalamualaikum W.W.,
Bogor, Januari 2013 Tiara Anja Kusuma
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian
ix xi xiii 1 1 2 4 5
PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Pedesaan, Masyarakat Desa, dan Pertanian Pembangunan Industrialisasi Industrialisasi Pedesaan dan Urgensinya Nafkah dan Sosiologi Nafkah Strategi Nafkah Sumber Nafkah Industrialisasi Pedesaan, Struktur Nafkah, dan Taraf Hidup Rumahtangga Pedesaan Rumahtangga Pedesaan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional
7 7 7 8 8 9 12 13 15 16
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Teknik Sampling Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengolahan dan Analisis Data
25 25 26 27 27
PROFIL LOKASI PENELITIAN Profil Desa Lerep Kondisi Geografis Struktur Sosial Pendidikan Ekonomi Kependudukan Mobilitas Penduduk Pola-Pola Kebudayaan Pola-Pola Adaptasi Ekologi Masyarakat Desa Lerep Ikhtisar
29 29 30 31 32 33 34 36 36 40 43
PROSES-PROSES INDUSTRIALISASI PEDESAAN Profil Perindustrian Kabupaten Semarang Proses-Proses Industrialisasi Pedesaan di Dusun Karangbolo melalui
47 47 51
18 19 20 21
Pengembangan Sentra Industri Kecil Menengah/Rumahtangga Keripik Ikhtisar
(IKM/RT) 55
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN Implementasi Industrialisasi Pedesaan Ketersediaan Akses Terhadap Infrastruktur Penggunaan Sumberdaya Lokal Manfaat Bagi Masyarakat Lokal Ikhtisar
57 57 60 64 67 70
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN, STRATEGI NAFKAH, DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA Strategi dan Sumber Nafkah Rumahtangga Struktur Nafkah Rumahtangga Implementasi Industrialisasi Pedesaan dan Kontribusi Sektor Industri Keripik Terhadap Struktur Nafkah Rumahtangga Ikhtisar
73 73 87 99 100
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA Taraf Hidup Implementasi Industrialisasi Pedesaan dan Taraf Hidup Rumahtangga Ikhtisar
105
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
113 113 113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
115 119 151
105 109 112
DAFTAR TABEL 1 Poin penting implementasi industrialisasi pedesaan
12
2 Definisi operasional
21
3
Jumlah unit infrastruktur menurut jenis pendidikan di Desa Lerep Tahun 2012
32
4
Jumlah (jiwa) dan persentase penduduk Desa Lerep menurut jenis matapencaharian pada Tahun 2002, 2004, dan 2010
33
5
Jumlah penduduk (jiwa), kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk Desa Lerep 2002-2010
35
6
Perkembangan jumlah unit usaha industri Kabupaten Semarang pada Tahun 2003-2007
47
7
Jumlah tenaga kerja industri (jiwa) Kabupaten Semarang pada Tahun 2003 – 2007
48
8 Persebaran industri di Kabupaten Semarang Tahun 2011 9
Jumlah dan jenis unit industri dan jumlah tenaga kerja industri (Jiwa) di Kabupaten Semarang hingga September 2011
49 50
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 10 tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
57
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 11 tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
61
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 12 tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
65
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 13 tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
68
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berdasarkan basisnya Tahun 2012
73
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut 15 strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
75
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut 16 strategi nafkah rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
78
14
17
Jenis aktivitas nafkah rumahtangga menurut strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
18 Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut
83 88
taraf hidup rumahtangga Tahun 2012 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non 19 pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan Tahun 2012
90
Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik 20 menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
91
21
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
93
Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik 22 menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
94
Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik 23 menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
96
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 24 tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
98
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi 25 sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
99
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup tumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
105
26
Rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan indeks komposit taraf 27 hidup rumahtangga menurut lapisan sosial di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
106
Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan 28 tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
111
DAFTAR GAMBAR 1
Pemahaman strategi nafkah berdasarkan mahzab Barat
14
2
Pemahaman Strategi Nafkah Berdasarkan mahzab Bogor
14
3
Kerangka pemikiran
19
4
Luas lahan (Ha) Desa Lerep menurut penggunaannya pada Tahun 2002 dan 2004
30
5
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
58
6
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
61
7
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
65
8
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
68
9
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berdasarkan basisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
74
10
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
75
11
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
78
12
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
88
13
Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
89
14
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
90
15
Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
91
16
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
92
17
Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
92
18
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
93
19
Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
94
20
Rata- rata tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
95
21
Persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
95
22
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
96
23
Persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
97
24
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
98
25
Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
106
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7
Peta Desa Lerep Cara perhitungan subvariabel taraf hidup rumahtangga Daftar rumahtangga pemilik usaha keripik dan lapisan sosial Kuesioner Panduan wawancara mendalam Catatan harian penelitian Kebutuhan data Uji korelasi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat 8 kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Uji korelasi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup 9 rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 10 Dokumentasi
119 121 125 127 135 137 141 145 147 149
3
PENDAHULUAN Bab ini memuat latar belakang, masalah penelitian, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Sub bab latar belakang menguraikan pemikiran yang melatarbelakangi penelitian ini sedangkan sub bab masalah penelitian menguraikan hal-hal yang menjadi masalah penelitian ini. Sub bab tujuan penelitian menguraikan hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini sedangkan sub bab kegunaan penelitian menguraikan kegunaan dari penelitian ini untuk akademisi, pembuat kebijakan maupun pembaca pada umumnya. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang erat kaitannya dengan pedesaan, desa, dan masyarakat desa. Namun, sektor pertanian dianggap lambat pertumbuhannya dan mengalami law of diminishing return akibat tekanan perkembangan penduduk. Oleh karena itu, tenaga kerja di pedesaan dianggap tidak dapat diserap secara efektif oleh sektor pertanian. Kebijakan pembangunan akhirnya diarahkan untuk menggeser penyerapan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri melalui upaya industrialisasi. Namun, industrialisasi di Indonesia, yang seringkali hanya diartikan sebagai pembangunan pabrikpabrik berskala besar di perkotaan, ternyata tidak cukup mampu menyerap tenaga kerja seperti apa yang diharapkan dari inisiasi awal proses industrialisasi. Hal tersebut didukung pernyataan Rahardjo (1984) bahwa sejak Tahun 1960 sampai Tahun 1980 indeks produktivitas relatif sektor ekonomi di Indonesia menunjukkan bahwa tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian ternyata tidak ditampung sektor industri melainkan tertampung di sektor jasa. Konsep industrialisasi pedesaan akhirnya dikembangkan sebagai upaya pembangunan. Industrialisasi pedesaan dianggap mampu menyerap tenaga kerja yang termarjinalisasi dari sektor pertanian di pedesaan melalui pengembangan industri-industri kecil dan menengah di pedesaan. Konsep industrialisasi pedesaan ditafsirkan dan diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Waluyo (2009) mengutip pendapat Moehtadi [tahun tidak diketahui] menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan seringkali mempunyai dua pengertian yang secara konseptual berbeda. Pertama, industrialisasi pedesaan yang diartikan dan diimplementasikan sebagai industri di pedesaan (industry in rural areas). Industrialisasi pedesaan dalam pengertian pertama diartikan sebagai pembangunan pabrik-pabrik yang mengambil lokasi di kawasan pedesaan. Pengertian dan bentuk implementasi industrialisasi pedesaan yang kedua adalah pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas), baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pada pengertian industrialisasi pedesaan yang kedua, industri merupakan kekuatan yang datang dari dalam pedesaan itu sendiri (indigineous industry). Penelitian mengenai industrialisasi pedesaan dalam ranah S1 program studi SKPM FEMA IPB sebelumnya cenderung mengambil lokasi dengan implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk masuknya industri di pedesaan (industry in rural areas), misalnya penelitian Gandhi (2011), Vanadiani (2011), dan Muray (2011). Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji lokasi dengan implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Sentra industri kecil menengah/rumah tangga (IKM/RT) keripik di
2
RW 07 Dusun Karangbolo yang dikaji dalam penelitian ini merupakan sentra industri pengolahan pangan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh Sayogyo dan Tambunan (1990) mengenai salah satu jenis industri yang sebaiknya dikembangkan dalam implementasi industrialisasi pedesaan. Industrialisasi pedesaan diimplementasikan dengan tujuan menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi pedesaan melalui penciptaan lapangan kerja baru dan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi (Sayogyo dan Tambunan 1990). Pengukuran tingkat kesejahteraan berasosiasi dengan pengukuran taraf hidup suatu rumahtangga. Lebih lanjut, mengenai bahasan diversifikasi ekonomi pedesaan, penelitian ini mengidentifikasi keragaman strategi nafkah rumahtangga rumahtangga pedesaan. Strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga pedesaan dapat sangat beragam jika dilihat berdasarkan basis aktivitas nafkahnya dan dapat berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga lainnya. Terkait dengan strategi nafkah, Dharmawan (2001) menyatakan konsep struktur nafkah yang diperoleh setelah masyarakat melakukan serangkaian strategi nafkah guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga pedesaan dapat sangat beragam. Strategi nafkah yang dijalankan suatu rumahtangga juga dapat berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga lainnya. Dengan demikian, struktur nafkah rumahtangga pun berbeda-beda, sesuai dengan strategi nafkah rumahtangga yang dilakukan. Rumahtangga pemilik usaha keripik pada kelompok Mekarjati di RW 07 Dusun Karangbolo terlibat langsung dalam implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi tersebut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menganalisis industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan pada Kelompok Mekarjati, RW 07, Dusun Karangbolo, Desa Lerep, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Masalah Penelitian Implementasi industrialisasi pedesaan berlangsung melalui proses-proses tertentu yang dapat berbeda pada satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebelum mengkaji lebih lanjut mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, peneliti perlu memahami mengenai proses-proses industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Oleh karena itu, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian pertama yang akan dijawab melalui pendekatan kualitatif, yaitu bagaimana proses-proses industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Konsep industrialisasi pedesaan ditafsirkan dan diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda di berbagai negara. Implementasi industrialisasi pedesaan di Indonesia juga dilakukan dalam beragam bentuk. Dengan demikian, peneliti perlu mengkaji tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang berbentuk sentra industri rumahtangga di lokasi penelitian. Oleh karena itu, peneliti merumuskan pertanyaan penelitian yang akan dijawab melalui pendekatan kuantitatif yang akan dilengkapi dengan pendekatan kualitatif yaitu bagaimana tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo.
3
Industrialisasi pedesaan bertujuan menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi pedesaan. Terkait dengan diversifikasi ekonomi pedesaan, penelitian ini mengidentifikasi keragaman strategi nafkah rumahtangga pedesaan. Strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga pedesaan dapat sangat beragam dan dapat berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga lainnya. Berdasarkan uraian tersebut, peneliti ingin mengidentifikasi bahwa dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian, bagaimana strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi tersebut dan bagaimana strategi nafkah tersebut diuraikan pembahasannya melalui aktivitas nafkah yang dilakukan anggota rumahtangga dan penggunaan sumber nafkah yang dimiliki rumahtangga responden. Hal tersebut mengarahkan pada pertanyaan penelitian yang kedua yang akan dijawab secara kualitatif, yaitu bagaimana strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Struktur nafkah diperoleh setelah masyarakat melakukan serangkaian strategi nafkah guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Dengan demikian, setelah mengidentifikasi strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian, peneliti perlu melengkapi analisis dengan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi penelitian. Hal tersebut mengarahkan pada pertanyaan penelitian selanjutnya, yaitu bagaimana struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Struktur nafkah dikaji melalui proporsi atau komposisi tingkat pendapatan yang diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga setelah melakukan strategi nafkah dalam kurun waktu satu tahun guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Komposisi pendapatan tersebut ditunjukkan melalui persentase tingkat pendapatan baik berupa in cash (uang) maupun in kind (barang). Tingkat pendapatan tersebut diperoleh dari masing-masing aktivitas nafkah (farm dan non farm) yang dilakukan suatu rumahtangga dalam kurun waktu satu tahun dengan satuan rupiah per tahun. Melalui struktur nafkah rumahtangga, peneliti dapat mengidentifikasi tingkat kontribusi sektor aktivitas nafkah yang dijalankan rumahtangga terhadap struktur nafkah rumahtangga. Rumahtangga pemilik usaha keripik memperoleh pendapatan dari aktivitas nafkah yang dilakukan pada sektor industri keripik. Dengan demikian, melalui struktur nafkah pemilik usaha keripik di lokasi penelitian peneliti juga dapat mengidentifikasi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di pedesaan. Hal tersebut mengarahkan pada pertanyaan penelitian selanjutnya, yaitu bagaimana tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Industrialisasi pedesaan bertujuan menciptakan diversifikasi ekonomi pedesaan. Penelitian ini mengidentifikasi keragaman strategi nafkah rumahtangga pedesaan. Strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga menghasilkan struktur nafkah rumahtangga. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana hubungan industrialisasi pedesaan dengan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi tersebut. Melalui struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi penelitian, peneliti dapat melihat tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga. Oleh karena itu, hubungan implementasi industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga tersebut akan dianalisis melalui hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan tingkat kontribusi sektor industri keripik pada struktur nafkah rumahtangga. Hal tersebut
4
mengarahkan pada pertanyaan penelitian selanjutnya, yaitu bagaimana hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi. Hal tersebut sejalan dengan tujuan pelaksanaan strategi nafkah. Pengukuran tingkat kesejahteraan berasosiasi dengan pengukuran taraf hidup suatu rumahtangga. Oleh karena itu, peneliti ingin mengidentifikasi taraf hidup rumahtangga responden setelah melakukan strategi nafkah rumahtangga dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk pengembangan industry of rural areas di lokasi penelitian. Hal tersebut mengarahkan pada pertanyaan penelitian selanjutnya, yaitu bagaimana taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Implementasi industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan tingkat kesejahteraan yang dapat diukur melalui taraf hidup rumahtangga. Penelitian Gandhi (2011) menunjukkan bahwa taraf hidup responden di lokasi penelitiannya meningkat dangan adanya implementasi industrialisasi pedesaan yang mengambil bentuk industri di pedesaan (industry in rural areas) sedangkan lokasi penelitian yang dipilih oleh peneliti merupakan lokasi dengan implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Uraian tersebut menimbulkan pertanyaan bagi peneliti, jika industrialisasi pedesaan berfungsi sebagaimana yang dikonsepkan, maka industrialisasi pedesaan akan berhubungan dengan taraf hidup rumahtangga. Hubungan tersebut akan dianalisis melalui hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan akan dengan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati dan mengarahkan pada pertanyaan penelitian yang terakhir, yaitu bagaimana hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan pada Kelompok Mekarjati, RW 07, Dusun Karangbolo, Desa Lerep, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Memahami proses-proses industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo 2. Mengidentifkasi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo 3. Mengidentifikasi strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo 4. Menganalisis struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di pedesaan dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo 5. Mengidentifikasi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo 6. Menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo
5
7. Mengidentifikasi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo 8. Menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi akademisi, pembuat kebijakan dan pembaca pada umumya mengenai kajian industrialisasi pedesaan dan sosiologi nafkah (livelihood sociology). Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pedesaan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur bagi akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai industrialisasi pedesaandan struktur nafkah rumahtangga pedesaan. Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat menambah rujukan dalam menentukan bentuk-bentuk industri pedesaan yang akan dikembangkan sebagai implementasi industrialisasi pedesaan. Bagi pembaca pada umumnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pedesaan.
7
PENDEKATAN TEORITIS Bab ini terdiri dari beberapa sub bab. Sub bab pertama membahas tinjauan pustaka. Sub bab selanjutnya membahas kerangka pemikiran. Kemudian, hipotesis penelitian dibahas dalam sub bab selanjutnya. Definisi operasional dibahas pada sub bab terakhir bab ini. Tinjauan Pustaka Pedesaan, Masyarakat Desa, dan Pertanian Pedesaan bukanlah desa (village), konsep pedesaan lebih sering disebut dengan istilah rural. Kata rural dalam Kamus Lengkap Inggeris-Indonesia, Indonesia-Inggeris suntingan Wojowasito dan Poerwodarminto (1972) dalam Raharjo (2004) diartikan sebagai “seperti desa, seperti di desa”. Lebih lanjut. Raharjo (2004) menyatakan bahwa konsep rural lebih menunjuk pada karakteristik masyarakatnya sedangkan konsep village lebih mengacu pada suatu unit teritorial. Desa (village) memiliki beragam pengertian. Desa dapat diartikan sebagai kesatuan administratif dan kesatuan adat. Desa-desa tersebut bersifat mandiri, baik secara ekonomi, maupun sosial budaya. Kemandirian sosial-budaya di sini terutama mengacu pada hukum (adat) yang mengikat dan mengatur masyarakat desa dalam berbagai aspeknya (Raharjo 2004). Bergel dalam Raharjo (2004) menyatakan bahwa istilah desa dapat digunakan dalam pengertian desa perdagangan. Desa perdagangan tidaklah berarti bahwa seluruh penduduk desa terlibat dalam kegiatan perdagangan, melainkan hanya sejumlah orang saja dari desa itu yang memiliki mata pencaharian dalam bidang perdagangan. Jenis pekerjaan non pertanian ini dikelola secara tradisional, baik dalam hal pemasaran,produksi maupun transformasi keahliannya. Lebih lanjut, Raharjo (2004) menyatakan bahwa di beberapa negara, banyak didapati desa-desa yang sebagian penduduknya tidak hidup dari dan tergantung pada sektor pertanian. Daerah-daerah ini masih disebut desa karena gaya hidupnya yang masih bersifat pedesaan (rural). Namun, Raharjo (2004) menyatakan bahwa kriteria yang umum digunakan sebagai kriteria pedesaan adalah pertanian. Suatu daerah pedesaan adalah suatu lingkungan yang penduduknya hidup dari atau tergantung pada pertanian. Senada dengan hal tersebut, meskipun tidak seluruh desa bergantung pada pertanian, pengertian desa juga banyak diasosiasikan dengan pertanian, misalnya pernyataan Bergel (1955) dalam Raharjo (2004) bahwa salah satu pengertian desa adalah setiap pemukiman para petani, terlepas dari ukuran besar-kecilnya. Pembahasan mengenai masyarakat desa pun cenderung diasosiasikan dengan pembahasan masyarakat petani. Masyarakat petani secara umum dipahami sabagai masyarakat desa yang asli. Masyarakat petani yang dipahami sebagai masyarakat desa yang asli tersebut adalah peasant atau petani kecil (Raharjo 2004). Belshaw (1965) dalam Raharjo (2004) menyatakan bahwa masyarakat peasant adalah masyarakat yang way of life-nya berorientasi pada tradisionalitas, terpisah dari perkotaan tetapi memiliki keterkaitan dengannya, dan mengkombinasikan kegiatan pasar dengan produksi subsisten. Lebih lanjut, Raharjo (2004) menyatakan bahwa pola kebudayaan peasant terutama terlihat dominan di Jawa. Hal tersebut didukung pernyataan Kuperus [tahun tidak diketahui] dalam Geertz (1983) dalam Raharjo (2004) bahwa kebudayaan Jawa sejak jaman
8
Majapahit adalah kebudayaan petani dan orang Jawa tetap berpegang pada sumber daya kebudayaan yang mereka miliki. Rogers (1969) dalam Raharjo (2004) menyatakan bahwa peasantry adalah subkultur dengan beberapa ciri-ciri, antara lain (1) terlekat dengan fatalism, (2) rendahnya aspirasi, dan (3) kurangnya inovasi. Pembangunan Kata “pembangunan” dalam bahasa Inggris selaras dengan kata “development” yang berasal dari kata “to develop” yang artinya menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan atau mengubah secara bertahap (Annastasia 2011). Pembangunan diartikan sebagai usaha manusia untuk mengarahkan perubahan sosial dan kebudayaan sesuai dengan tujuan dari kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu mencapai pertumbuhan peradaban kehidupan sosial dan kebudayaan atas dasar target yang telah ditetapkan (Setiadi dan Kolip 2011 dalam Annastasia 2011). Tujuan pembangunan ekonomi nasional adalah meningkatkan taraf hidup masyarakat dan pemerataan pembangunan dalam bentuk penyediaan lapangan pekerjaan maupun penyediaan barang dan jasa (Latief et al. 1991 dalam Annastasia 2011). Riyadi [tahun tidak diketahui] dalam Mardikanto (2010) dalam Annastasia (2011) menyatakan bahwa pembangunan, sebagai suatu usaha atau proses perubahan dilakukan demi tercapainya tingkat kesejahteraan atau mutu hidup suatu masyarakat (dan individu-individu di dalamnya) yang berkehendak dan melaksanakan pembangunan tersebut. Industrialisasi Menurut Agustin dan Perdani (2011) dalam Tanzenia (2012), industrialisasi adalah “suatu proses interaksi antara perkembangan teknologi, inovasi, spesialisasi dan perdagangan dunia untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dengan mendorong perubahan struktur ekonomi”. Industrialisasi merupakan salah satu strategi jangka panjang untuk menjamin pertumbuhan ekonomi. Sedangkan Sastrosoenarto (2006) mengartikan industrialisasi sebagai “proses membangun masyarakat industri yang luas. Industrialisasi di Indonesia harus mengandung makna transformasi masyarakat menuju masyarakat sejahtera yang maju secara struktural maupun kultur”. Kristanto (2004) dalam Annastasia (2011) menyatakan bahwa industrialisasi menempati posisi sentral dalam pembangunan ekonomi masyarakat di dunia ketiga dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan mobilitas perorangan. Bagi negara berkembang, industri sangat esensial untuk memperluas landasan pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Industrialisasi dinilai sebagai kunci memakmurkan masyarakat melalui proses pembangunan ekonomi. Industrialisasi dilakukan sebagai upaya untuk mengalihkan tenaga kerja dari sektor pertanian yang dianggap kurang mampu menyerap tenaga kerja. Prebisch [tahun tidak diketahui] dalam Rahardjo (1984) menyatakan bahwa sebenarnya tujuan dari pengembangan industri di daerah perkotaan adalah menampung tenaga kerja yang mengalir dari pedesaan. Lebih lanjut, Sandy (1985) dalam Yuliandani (2011) menjelaskan industri sebagai aktivitas manusia untuk mengelola sumberdaya-sumberdaya (resources) baik SDM maupun SDA di bidang produksi dan jasa. Di bidang produksi, pengelolaan itu berupa bahan mentah atau penyiapannya menjadi bahan setengah jadi dan atau bahan setengah jadi menjadi bahan jadi. Pada bidang jasa, pengolahan itu merupakan segala aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya baik itu langsung maupun melalui perantara. Aktivitas pengelolaan tersebut dilakukan untuk dipertukarkan, memperoleh nilai tambah, dan meningkatkan keberlanjutan dari aktivitas itu.
9
Industrialisasi Pedesaan dan Urgensinya Pengertian industrialisasi seringkali diartikan semata-mata sebagai pembangunan pabrik-pabrik di perkotaan. Sayogyo dan Tambunan (1990) menyatakan bahwa dalam kurun Tahun 1970 sampai 1990 berbagai kebijakan ekonomi cenderung bias ke arah usaha bersifat padat modal dan berskala besar. Myrdal [tahun tidak diketahui] dalam Rahardjo (1984) menyatakan bahwa industrialisasi, yang diwujudkan dengan pendirian pabrik-pabrik besar dan modern, dianggap para politisi dan negarawan sebagai simbol dari kemajuan dan pembangunan. Sikap yang memandang negara maju sebagai tipe ideal menurut Rahardjo (1984), seringkali mendorong pemimpin dan perencana di negara sedang berkembang untuk cepat-cepat melakukan industrialisasi. Seperti yang dijelaskan dalam sub bab sebelumnya, sektor pertanian merupakan sektor yang erat kaitannya dengan pedesaan, desa, dan masyarakat desa. Namun, Rahardjo (1984) menyatakan bahwa sektor pertanian dianggap lambat pertumbuhannya dan mengalami law of diminishing return akibat tekanan perkembangan penduduk. Oleh karena itu, industrialisasi dinilai sebagai kunci memakmurkan masyarakat melalui proses pembangunan ekonomi. Prebisch [tahun tidak diketahui] dalam Rahardjo (1984) juga menyatakan bahwa sebenarnya tujuan pengembangan industri di daerah perkotaan adalah menampung tenaga kerja yang mengalir dari pedesaan. Namun, hal tersebut ternyata tidak berjalan sebagaimana mestinya. Rahardjo (1984) menyatakan bahwa semenjak Tahun 1960 sampai 1980 indeks produktivitas relatif sektor ekonomi di Indonesia menunjukkan tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian ternyata tidak ditampung sektor industri melainkan tertampung di sektor jasa. Strategi industrialisasi, yang diartikan negara-negara berkembang sebagai pembangunan pabrik-pabrik besar di perkotaan, justru menimbulkan masalah, contohnya di India. Panditrao (1997) dalam Sundar and Srinivasan (2009) menyatakan bahwa industrialisasi di wilayah perkotaan India justru memacu migrasi masyarakat pedesaan ke wilayah urban serta menimbulkan berbagai permasalahan baru dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan di perkotaan. Sastrosoenarto (2006) menyatakan bahwa bagi Indonesia, pengertian industrialisasi hendaknya diupayakan ke arah tidak hanya membangun pabrik-pabrik semata melainkan pada pengertian membangun masyarakat industri yang luas. Industrialisasi di Indonesia harus mengandung makna transformasi masyarakat menuju masyarakat sejahtera dan maju secara struktural maupun kultur. Konsep industrialisasi pedesaan akhirnya ditawarkan oleh Sayogyo dan Tambunan (1990) sebagai upaya industrialisasi untuk melakukan transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat industrial. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan memiliki peranan penting dalam pembentukan organisasi sosial yang bersifat industrial. Konsep industrialisasi pedesaan ditawarkan oleh Sayogyo dan Tambunan (1990) berlandaskan pada pemikiran bahwa industrialisasi pedesaan memiliki keunggulan tertentu, yaitu (1) mampu memacu pertumbuhan ekonomi; (2) berfungsi sebagai alat pemerataan; (3) mampu mengatasi ketimpangan struktur industri besar, sedang, dan kecil; (4) mampu menciptakan struktur ekonomi pedesaan yang menarik investasi; (5) memiliki sejumlah keunggulan, misalnya tidak memerlukan perpindahan tenaga kerja dari desa ke kota sehingga tidak menimbulkan permasalahan pemukiman, tidak memerlukan prasarana modern berskala besar,padat modal dan mahal, memberikan waktu pada masyarakat tradisional pedesaan untuk menyesuaikan diri terhadap tuntutan kegiatan luar pertanian dalam waktu yang lama, menghasilkan produk dengan “muatan lokal” tinggi dan sesuai dengan pola kebutuhan maupun selera masyarakat lapisan bawah, memberikan peluang pengembangan badan usaha yang sifat kekeluargaannya tinggi menjadi koperasi atau paguyuban dan memberi harga diri pada masyarakat pedesaan; (6) mampu memberikan
10
alternatif jalan keluar masalah penyempitan lapangan kerja bagi wanita pedesaan; dan (7) mampu menghubungkan industri besar padat modal dan modern dengan industri yang menggunakan bahan baku lokal dan padat kerja. Lebih lanjut, beberapa syarat bagi perkembangan industri pedesaan, misalnya (1) terdapat upaya mengurangi perbedaan upah nyata antara desa dan kota; (2) terdapat upaya untuk menghentikan produksi oleh sektor modern yang menyaingi barang hasil produksi industri pedesaan; dan (3) terdapat upaya untuk mengarahkan produksi sektor industri pada barang-barang substitusi ekspor dan penganekaragaman jenis-jenis produksi (Roekmono 1992 dalam Rahardjo 1984). Selain itu, Kumar [tahun tidak diketahui] menyatakan bahwa perubahan-perubahan struktural dan fungsional dalam aspek kelembagaan dan organisasi diperlukan untuk pengembangan industri pedesaan. Berbagai kebijakan legal juga diperlukan sehingga industrialisasi pedesaan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan ekonomi lokal, terutama pada sektor pertanian, dan pengembangan sosial. Implementasi industrialisasi pedesaan diartikan secara beragam di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Waluyo (2009) mengutip pendapat Moehtadi [tahun tidak diketahui], menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan seringkali mempunyai dua pengertian yang secara konseptual berbeda. Pertama, industrialisasi pedesaan yang diartikan dan diimplementasikan sebagai industri di pedesaan (industry in rural areas). Industrialisasi pedesaan dalam pengertian pertama ini diartikan sebagai pembangunan pabrik-pabrik yang mengambil lokasi di kawasan pedesaan. Jika pengertian ini diambil, pedesaan hanyalah merupakan wahana untuk memproduksi barang dan jasa dengan investor pihak lain yang dapat saja berasal dari luar pedesaan tersebut. Pengertian dan bentuk implementasi industrialisasi pedesaan yang kedua adalah pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas), baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pada pengertian industrialisasi pedesaan yang kedua, industri merupakan kekuatan yang datang dari dalam pedesaan itu sendiri (indigineous industry). Perbedaan pengalaman implementasi industrialisasi di berbagai negara memberikan kontribusi yang berbeda terhadap peningkatan taraf hidup masyarakat di dalamnya. Salah satu contoh penerapan industrialisasi pedesaan yang berhasil dalam pembangunan ekonomi dapat kita lihat dari contoh di negara Cina. Cina memberikan contoh bahwa strategi pengembangan pedesaan melalui industrialisasi pedesaan dapat memberikan perubahan positif bagi kehidupan masyarakat pedesaan dan struktur ekonomi pedesaan serta membantu mengontrol migrasi penduduk pedesaan ke kota. Industrialisasi pedesaan di Cina dilakukan melalui program TVE (Town and Village Enterprise). Kumar [tahun tidak diketahui] menyatakan bahwa TVE di Cina dikembangkan berdasarkan prinsip yi cun yi pin (satu desa-satu produk). TVE memberikan dukungan dana dan kemudahan akses terhadap investasi asing walaupun lokasi industri pedesaan berada di pesisir. TVE juga menyisihkan sebagian keuntungannya sebagai dana bantuan yang digunakan untuk mensubsidi pertanian dan aktivitas pengembangan sosial lainnya. Selain itu, TVE meningkatkan kesetaraan gender melalui penyerapan tenaga kerja wanita. TVE juga meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja terampil/ahli. Lebih lanjut, Kumar [tahun tidak diketahui] menyatakan bahwa kunci sukses dari pelaksanaan industrialisasi pedesaan di Cina, antara lain (1) memperhatikan lokasi geografis dan menyerap tenaga kerja di lokasi tersebut, dan (2) bersifat bottom-up dari warga maupun pemerintah lokal. Ketersediaan akses terhadap infastruktur merupakan poin penting yang diperlukan dalam implementasi industrialisasi pedesaan. Hal tersebut diungkapkan oleh Sundar and Srinivasan (2009) bahwa berdasarkan pengalaman penerapan industrialisasi pedesaan di India, ketersediaan infrastruktur yang baik merupakan pra kondisi dari keberhasilan
11
industrialisasi pedesaan. Industrialisasi pedesaan dapat terhambat apabila infrastruktur di pedesaan buruk (Desai 2007 dalam Sundar and Srinivasan 2009). Oleh karena itu, pra kondisi berupa ketersediaan fasilitas dan infrastruktur di pedesaan diperlukan untuk keberhasilan industrialisasi pedesaan. Beberapa hal yang dianggap sebagai permasalahan dan tantangan dalam ketersediaan infrastruktur di India, antara lain diperlukannya (1) formulasi kebijakan industri pedesaan, (2) kontrol pemerintah, (3) teknologi pengganda dan persyaratan industri, (4) pola ketenagakerjaan yang cocok, (5) pengorganisasian, (6) teknologi yang tepat bagi industri pedesaan berskala kecil, (7) kemampuan manajerial dan entrepreneurship dalam usaha pedesaan, (8) kejelasan definisi industri pedesaan dan industri berskala kecil, (9) kejelasan peranan berbagai badan fasilitator industrialisasi pedesaan, (10) akses kredit oleh industri pedesaan, dan (11) infrastruktur pemasaran hasil produksi industri pedesaan. Lebih lanjut, Sundar and Srinivasan (2009) merekomendasikan cara untuk mengatasi permasalahan ketersediaan infrastruktur tersebut melalui (a) mengubah kondisi tenaga kerja di pedesaan menjadi terorganisir melalui kelompok yang membantu dirinya sendiri, (b) peningkatan teknologi yang lebih efisien namun tetap menyerap banyak tenaga kerja (teknologi tepat guna), (c) pengembangan industri berskala besar hanya di kegiatan produksi tertentu yang memerlukan teknologi tinggi sedangkan industri pedesaan berskala kecil dikembangkan untuk produksi yang mengutamakan peranan keterampilan manusia, dan (d) Krishna (2003) dalam Sundar and Srinivasan (2009) merekomendasikan pembentukan kurikulum berorientasi komunitas dan menciptakan kedekatan interaksi antara institusi pendidikan dan pengusaha industri lokal. Penggunaan sumberdaya lokal merupakan poin penting selanjutnya dalam implementasi industrialisasi pedesaan, sebagaimana dinyatakan Ram (2000) dalam Sundar and Srinivasan (2009) mengenai arti industrialisasi pedesaan. Ia mengartikan industrialisasi pedesaan sebagai usaha mengembangkan lokasi usaha skala besar dan kecil jauh dari perkotaan atau merencanakan penggeseran unit dari perkotaan ke pedesaan tanpa harus merusak struktur industri di perkotaan. Industrialisasi pedesaan, menurutnya lebih berupaya untuk menggunakan sumberdaya lokal dan menciptakan keselarasan antara sektor primer, sekunder dan tersier di pedesaan. Penggunaan sumberdaya lokal sebagai poin penting industrialisasi pedesaan juga dinyatakan oleh Prasetyo (2007) dalam Tanzenia (2012), ia mengatakan bahwa suatu perbedaan yang dapat dilihat dari industrialisasi pedesaan dengan industrialisasi perkotaan adalah karakteristik industrialisasi pedesaan yang bersifat padat karya. Hal tersebut berbeda dengan industrialisasi perkotaan yang padat modal. Selain itu, industrialisasi pedesaan menerapkan teknologi untuk meningkatkan produksi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungan pasar. Lebih lanjut, Sayogyo dan Tambunan (1990), dalam memorandum bersama tentang industrialisasi pedesaan, menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan sebaiknya bertempat di pedesaan. Industri pedesaan itu juga sebaiknya berintikan industri kecil/sedang dan industri rumahtangga yang bergerak di bidang pengolahan pangan dan hasil pertanian, barang sandang, barang kerajinan, bahan bangunan, dan perabotan. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa jenis-jenis industri tersebut banyak terdapat di daerah pedesaan. Selain itu, pelaksanaan industrialisasi pedesaan juga pelu memperhatikan pengembangan industri yang mampu menyerap tenaga kerja wanita. Poin penting selanjutnya dalam implementasi industrialisasi pedesaan adalah tingkat manfaatnya bagi masyarakat lokal. Kata “manfaat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa 1999) diartikan sebagai “guna, faedah”. Sayogyo dan Tambunan (1990) menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi yang dapat diukur dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit, industrialisasi pedesaan bertujuan
12
menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi pedesaan melalui penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan, dan peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan. Program industrialisasi pedesaan akan memacu pertumbuhan ekonomi karena industrialisasi akan mampu meningkatkan produktivitas nilai tambah yang sebagian dapat tinggal di dalam ekonomi pedesaan dan sebagian lagi dinikmati oleh pemilik modal usaha. Tabel 1 Poin penting implementasi industrialisasi pedesaan No.
Poin Penting Implementasi Industri Pedesaan
1.
Ketersediaan akses terhadap infrastruktur
2.
Penggunaan sumberdaya lokal
3.
Manfaat bagi masyarakat lokal
Sumber: (Sundar and Srinivasan 2009; Desai 2007 dalam Sundar and Srinivasan 2009; Krishna 2003 dalam Sundar and Srinivasan 2009; Ram 2000 dalam Sundar and Srinivasan 2009; Prasetyo 2007 dalam Tanzenia 2012; Sayogyo dan Tambunan 1990)
Lebih lanjut, industrialisasi pedesaan, dinyatakan dalam memorandum bersama tentang industrialisasi pedesaan, sebaiknya bertempat di pedesaan. Industri pedesaan itu juga sebaiknya berintikan industri kecil/sedang dan industri rumahtangga yang bergerak di bidang pengolahan pangan dan hasil pertanian, barang sandang, barang kerajinan, bahan bangunan, dan perabotan. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa jenis-jenis industri tersebut banyak terdapat di daerah pedesaan (Sayogyo dan Tambunan 1990). Di Indonesia industrialisasi pedesaan cenderung diartikan sebagai bagian dari alat pembangunan pedesaan (dengan ukuran industri kecil dan industri rumahtangga), bukan bagian dari pembangunan industri modern. Industrialisasi pedesaan harus dilihat dalam pengertian yang lebih luas, yaitu sebagai usaha transformasi masyarakat pertanian pedesaan ke arah masyarakat yang bersifat industrial. Industrialisasi pedesaan bertujuan untuk menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi pedesaan melalui penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan, dan peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan. Industrialisasi pedesaan sekaligus juga berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi (Sayogyo dan Tambunan 1990). Nafkah dan Sosiologi Nafkah Nafkah (livelihood) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “cara hidup” (Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa 1999). Definisi ini biasanya juga disejajarkan dengan konsep mata pencaharian. Namun, menurut Dharmawan (2007), nafkah (livelihood) memiliki pengertian lebih luas daripada sekedar means of living yang bermakna secara sempit sebagai cara hidup atau mata pencaharian semata. Pengertian livelihood lebih mengarah pada pengertian “penghidupan”. Lebih lanjut, Chamber and Conway (1991) dalam Ellis (2000) menyatakan bahwa unsur nafkah (livelihood) antara lain adalah kemampuan atau kapabilitas, aset, dan aktivitas untuk memperoleh hasil untuk kehidupan. Aktivitas untuk memperoleh hasil untuk kehidupan merupakan bentuk nyata dari strategi nafkah . Sedangkan kapabilitas diartikan sebagai kemampuan individu untuk merealisasikan potensinya sebagai manusia yang terdiri dari eksistensi dan kemampuan. Eksistensi berarti sejahtera dan sehat sedangkan kemampuan manusia diartikan sebagai kemampuan untuk memilih, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan personal. Tidak jauh berbeda dengan definisi sebelumnya, Lestari (2005) mendefinisikan kapabilitas
13
sebagai kemampuan manusia untuk memanfaatkan aset yang dikuasainya sehingga ia dapat bertahan hidup. Terakhir, aset didefinisikan Ellis (2000) sebagai persediaan modal yang dapat secara langsung atau tidak langsung digunakan sebagai alat untuk menjamin kehidupan atau memelihara kesejahteraan rumahtangga sehingga posisinya senantiasa berada di batas survival. Sosiologi penghidupan atau sosiologi nafkah (livelihood sociology) didefinisikan secara sederhana sebagai “studi tentang keseluruhan hubungan antara manusia, sistem sosial dengan sistem penghidupannya”. Sebagai sebuah disiplin, sosiologi nafkah mempelajari proses manipulasi sosio-ekonomi atas berbagai sumber penghidupan (livelihood sources) dan penyusunan mekanisme bertahan hidup yang diterapkan oleh seseorang atau sekelompok orang (rumahtangga) atau keseluruhan sebuah komunitas” (Dharmawan 2007). Dharmawan (2007) menyatakan bahwa sosiologi nafkah terbagi dalam dua pandangan yang cukup berbeda, yaitu mahzab barat dan mahzab Bogor. Mahzab barat memandang bahwa pilihan strategi nafkah sangat dinamis mengikuti dinamika perubahan sosial-ekologi. Di sisi lain, mahzab Bogor memandang bahwa hanya struktur sosio-ekonomi sebagai faktor penentu sebuah keputusan strategi nafkah, dan menempatkan faktor ekologi pada aras sekunder meskipun faktor ekologi juga mulai diakui sebagai penentu sistem nafkah. Pada mahzab Bogor terdapat tiga elemen sistem sosial terpenting yang sangat menentukan bentuk strategi nafkah yang dibangun oleh rumahtangga. Ketiga elemen tersebut adalah: (1) infrastruktur sosial (setting kelembagaan dan tatanan norma social yang berlaku), (2) struktur sosial (setting lapisan sosial , struktur agraria, struktur demografi, pola hubungan pemanfaatan ekosistem lokal, pengetahuan lokal), dan (3) supra-struktur sosial (setting ideologi, etika moral-ekonomi, dan sistem nilai) yang berlaku. Strategi Nafkah Dharmawan (2007) menyatakan bahwa pengertian strategi nafkah lebih mengarah pada pengertian livelihood strategy (strategi penghidupan), bukan sekedar means of living strategy (strategi cara hidup). Pengertian livelihood strategy yang disamakan pengertiannya dalam bahasa Indonesia, dimaknai lebih luas daripada hanya sebatas “aktivitas mencari nafkah”. Sebagai strategi membangun sistem penghidupan, strategi nafkah dapat didekati melalui berbagai cara atau manipulasi aksi individual ataupun kolektif. Strategi nafkah adalah taktik dan aksi yang dibangun oleh individu atau kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka atau jika memungkinkan memperbaiki kualitas kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku. Pada mahzab barat, bentuk-bentuk strategi nafkah dianggap sangat ditentukan oleh bagaimana individu dan rumahtangganya memainkan kombinasi-kombinasi sumber/sumberdaya nafkah (livelihood resources) yang tersedia bagi mereka. Mahzab barat memandang bahwa interaksi antara sistem sosial dan sistem ekologi sangat menentukan bangun sosial dari sumberdaya nafkah yang tersedia bagi petani dan rumahtangganya di suatu kawasan. Setiap perubahan sosial dan perubahan ekologi yang terjadi pada kedua sistem akan menentukan kombinasi pilihan pemanfaatan jenis kapital yang tersedia. Oleh karena itu, pilihan strategi nafkah sangat dinamis mengikuti dinamika perubahan sosialekologi. Pada mahzab barat, pemilihan strategi nafkah akan sangat ditentukan oleh rasionalitas aktor/pelaku nafkah dalam memanfaatkan sumberdaya nafkah yang tersedia. Pola pemikiran tersebut dikenal sebagai teori pilihan rasional yang bermuatan kesadaran lingkungan ber-etika-kan shallow ecologism atau environmentalism (Dharmawan 2007). Pemahaman mengenai strategi nafkah berdasarkan mahzab barat dapat dilihat pada Gambar 1.
14
Sumber: (Dharmawan 2007)
Gambar 1 Pemahaman Strategi Nafkah Berdasarkan Mahzab Barat
.
Sumber: (Dharmawan 2007)
Gambar 2 Pemahaman Strategi Nafkah berdasarkan Mahzab Bogor Pada mahzab Bogor, Dharmawan (2007) menyatakan, strategi penghidupan dan nafkah pedesaan berbasis pada segala aktivitas ekonomi pertanian dan non pertanian. Dua basis nafkah yang saling mengisi, yaitu sektor pertanian dan non pertanian, menyebabkan keterkaitan warga komunitas pedesaan pada kedua sektor tersebut. Setiap individu atau rumahtangga dapat memanfaatkan peluang nafkah dengan “memainkan” kombinasi modalkeras (tanah, finansial dan fisik) dan “modal-lembut” berupa intelektualitas dan keterampilan sumberdaya manusia (SDM) yang tersedia untuk menghasilkan sejumlah strategi nafkah (livelihood strategies). Karakteristik sistem penghidupan dan nafkah yang dicirikan oleh bekerjanya dua sektor ekonomi tersebut, juga sangat ditentukan oleh sistem sosial budaya setempat. Pemahaman mengenai strategi nafkah berdasarkan mahzab Bogor dapat dilihat pada Gambar 2.
15
Strategi nafkah pada rumahtangga pedesaan dapat dilihat melalui bentuk nyatanya, yaitu aktivitas nafkah (Ellis 2000). Aktivitas nafkah pada rumahtangga pedesaan dengan merujuk pada mahzab Bogor terbagi menjadi tiga, yaitu aktivitas nafkah di bidang pertanian (on farm dan off farm), aktivitas nafkah di bidang non pertanian, dan aktivitas nafkah di kedua bidang tersebut (pertanian dan non pertanian). Dengan demikian, strategi nafkah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu strategi nafkah berbasis aktivitas nafkah di bidang pertanian (on farm dan off farm), strategi nafkah berbasis aktivitas nafkah di bidang non pertanian, serta strategi nafkah ganda yang berbasis aktivitas nafkah di bidang pertanian (on farm dan off farm) dan non pertanian. Sumber Nafkah Meskipun mahzab barat dan mahzab Bogor memiliki pandangan tersendiri mengenai strategi nafkah, terdapat benang merah yang dapat dilihat dari kedua mahzab tersebut. Kedua mahzab tersebut sama-sama memandang peranan sumber nafkah dalam penentuan strategi nafkah rumahtangga. Mahzab barat menyebutkan sumber nafkah sebagai modal sosial, modal sumber daya alam, modal manusia, modal finansial, dan modal sosial. Peranan sumberdaya nafkah dalam penentuan strategi nafkah tersebut diuraikan dalam kaitannya dengan teori pilihan rasional. Teori pilihan rasional menyatakan rasionalitas aktor nafkah dalam memanfaatkan sumberdaya yang tersedia di hadapannya akan menentukan pemilihan strategi nafkah. Di sisi lain, mahzab Bogor menyatakan sumber nafkah sebagai “modal keras” dan “modal lembut”. Kemampuan aktor nafkah dalam memainkan kombinasi modal keras dan modal lembut dianggap berkaitan dengan pemilihan strategi nafkah rumahtangga (Dharmawan 2007; Ellis 2000). Konsep sumber/sumberdaya nafkah tersebut lebih lanjut diuraikan oleh Masithoh (2005) sebagai sumberdaya yang dapat digunakan oleh individu maupun keseluruhan anggota rumahtangga untuk melaksanakan strategi nafkah guna mempertahankan keberlangsungan hidupnya paling tidak untuk memenuhi kebutuhan subsisten ataupun dalam rangka meningkatkan kualitas hidup suatu rumahtangga. Lebih lanjut, Purnomo et al. (2007) menyatakan bahwa sumberdaya nafkah yang ada akan digunakan sebagai basis nafkah oleh rumahtangga. Sumberdaya nafkah (livelihood resources), menurut Chambers and Conway (1991) dan Scoones (1998) dalam Ellis (2000), terdiri dari lima modal penting yang menjadi basis nafkah. Kelima modal tersebut biasa disebut sebagai livelihood assets, terdiri dari: a. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital) Modal alam mengacu pada sumber daya alam (tanah, air, pohon) yang menghasilkan produk untuk digunakan oleh populasi manusia demi kelangsungan hidup mereka. Modal ini bisa juga disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, dan batu bara. b. Modal Fisik (Physical Capital) Modal fisik mengacu pada aset yang digunakan untuk mengeksistensikan proses produksi ekonomi. Contoh modal fisik adalah modal yang berbentuk infrastruktur dasar, seperti saluran irigasi, jalan, dan gedung. c. Modal Manusia (Human Capital) Modal ini merupakan modal utama apalagi pada masyarakat yang dikategorikan “miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumahtangga yang
16
dipengaruhi oleh pendidikan, keterampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. d. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes) Modal ini dapat berupa tabungan, akses, pinjaman, dan uang tunai yang dapat diakses untuk membeli baik barang produksi atau konsumsi. e. Modal Sosial (Social Capital) Modal sosial mengacu pada jaringan sosial dan asosiasi di mana orang berpartisipasi, dan mereka dapat memperoleh dukungan yang memberikan kontribusi untuk mata pencaharian mereka Modal ini dapat berupa gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumahtangga yang tergabung di dalamnya. Modal sosial juga dapat berupa jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi. Sumber nafkah bagi rumahtangga pedesaan, menurut Ellis (2000) dapat diklaskifikasikan menjadi tiga, yaitu: a. On-farm; sumber nafkah ini didasarkan dari sumber hasil pertanian budidaya dalam arti luas (sawah, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan). b. Off-farm; sumber nafkah ini didasarkan dari hasil aktivitas di luar aktivitas pertanian budidaya tetapi masih berkaitan dengan pertanian budidaya, misalnya dari aktivitas yang berhubungan dengan penyediaan sarana pertanian budidaya dan pengolahan hasil pertanian budidaya. c. Non farm, sumber nafkah ini berupa sumber pendapatan yang berasal dari luar kegiatan pertanian yang dibagi menjadi lima, yaitu: (1) upah tenaga kerja pedesaan bukan dari pertanian, (2) usaha sendiri di luar kegiatan pertanian, (3) pendapatan dari hak milik (misalnya: sewa), (4) kiriman dari buruh migran yang pergi ke kota, dan (5) kiriman dari buruh migran yang pergi ke luar negeri. Industrialisasi Pedesaan, Struktur Nafkah, dan Taraf Hidup Rumahtangga Pedesaan Industrialisasi pedesaan diimplementasikan dengan tujuan menganekaragamkan (diversifikasi) ekonomi pedesaan melalui penciptaan lapangan kerja baru (Sayogyo dan Tambunan 1990). Diversifikasi ekonomi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “penganekaan usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan kegiatan, produk, jasa, atau investasi” (Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa 1999). Terkait dengan diversifikasi ekonomi pedesaan, terdapat keragaman strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pedesaan. Strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga pedesaan dapat sangat beragam jika dilihat berdasarkan basis aktivitas nafkahnya. Strategi nafkah yang dijalankan suatu rumahtangga juga dapat berbeda dengan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga lainnya. Terkait dengan strategi nafkah, Dharmawan (2001) mengungkapkan konsep struktur nafkah. Struktur nafkah merupakan suatu konsep yang sangat berhubungan dengan strategi nafkah. Struktur nafkah diperoleh setelah masyarakat melakukan serangkaian strategi nafkah guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Penelitian Dharmawan (2001) mengkaji struktur nafkah melalui proporsi atau komposisi tingkat pendapatan yang
17
diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga setelah melakukan strategi nafkah dalam kurun waktu satu tahun guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Komposisi pendapatan tersebut ditunjukkan melalui persentase tingkat pendapatan baik berupa in cash (uang) maupun in kind (barang). Tingkat pendapatan tersebut diperoleh dari masing-masing aktivitas nafkah (farm dan non farm) yang dilakukan suatu rumahtangga dalam kurun waktu satu tahun dengan satuan rupiah per tahun. Dengan demikian, melalui struktur nafkah rumahtangga dapat dilihat tingkat kontribusi masing-masing sektor aktivitas nafkah terhadap struktur nafkah rumahtangga. Selain bertujuan untuk menciptakan diversifikasi ekonomi di pedesaan, Sayogyo dan Tambunan (1990) menyatakan bahwa implementasi industrialisasi pedesaan juga berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi. Pengukuran tingkat kesejahteraan berasosiasi dengan pengukuran taraf hidup suatu rumahtangga, sebagaimana yang dinyatakan Pratiwi (2009) bahwa tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Kata “kualitas” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diasosiasikan dengan kata “taraf” yang berarti “mutu” atau “kualitas” (Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa 1999). Jadi, mutu hidup atau kualitas hidup yang dimiliki oleh seseorang atau suatu masyarakat dapat diasosiasikan pengertiannya dengan kata “taraf hidup”. Dengan demikian, tujuan implementasi industrialisasi pedesaan tersebut sejalan dengan tujuan definisi strategi nafkah menurut Dharmawan (2007), yaitu “taktik dan aksi yang dibangun oleh individu atau kelompok dalam rangka mempertahankan kehidupan mereka atau jika memungkinkan memperbaiki kualitas kehidupan mereka dengan tetap memperhatikan eksistensi infrastruktur sosial, struktur sosial, dan sistem nilai budaya yang berlaku”. Hal tersebut dipertegas kembali oleh pernyataan Purnomo et al. (2007) bahwa strategi nafkah mempresentasikan serangkaian pilihan penggunaan sumberdaya nafkah dan aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga untuk mencapai tujuan kesejahteraan sosial dan ekonomi rumahtangga. Tulak et al. (2009) juga menyebutkan hal yang serupa, bahwa setiap rumahtangga dapat meningkatkan derajat kesejahteraannya dengan menerapkan berbagai strategi nafkah bertumpu pada sumberdaya yang dimiliki. Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, pengukuran taraf hidup suatu rumahtangga erat kaitannya dengan tingkat kesejahteraan dan perhitungan kemiskinan. Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) pada aspek tertentu. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur. Namun, BPS (2008) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur dari berbagai aspek, antara lain kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, serta sosial dan budaya. Lebih lanjut, BPS (2009) dalam Bakir (2012) mencoba menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar untuk mengukur tingkat kesejahteraan atau kemiskinan. BPS menentukan tingkat kesejahteraan menyangkut segi-segi yang dapat diukur. Berikut beberapa indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan menurut BPS (2009) dalam Bakir (2012), yaitu: (1)kependudukan, (2)kesehatan, (3)pendidikan, (4)fertilitas dan Keluarga Berencana (KB), (5)perumahan, (6)konsumsi, dan (7)keadaan sosial ekonomi rumahtangga lainnya. BPS (1995) dalam Pratiwi (2009) menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan suatu rumahtangga dapat diukur melalui besarnya pendapatan yang diterima rumahtangga tersebut. Oleh karena data yang akurat sulit diperoleh, penghitungan pendapatan yang sering digunakan adalah melalui pendekatan pengeluaran rumahtangga.
18
Selain mengeluarkan indikator kesejahteraan, BPS (2008) juga mengeluarkan kriteria/indikator rumahtangga miskin sasaran BLT yang disebutkan Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN dalam Yuliastry (2011). Terdapat 14 kriteria untuk rumahtangga miskin, yaitu: 1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bamboo/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama sama dengan rumahtangga lain 5. Sumber penerangan rumahtangga tidak menggunakan listrik 6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah 8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu / ayam satu dalam seminggu 9. Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik 12. Sumber penghasilan kepala rumahtangga adalah petani dengan luas 500 m 2 , buruh tani, nelayan , buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp 600.000,- per bulan 13. Pendidikan tertinggi kepala keluarga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD 14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit/non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya. Rumahtangga Pedesaan Menurut BPS (2000), secara umum rumahtangga diartikan sebagai seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau sensus dan umumnya tinggal bersama serta makan dari satu dapur. Lebih lanjut, istilah satu dapur diartikan bahwa pembiayaan keperluan juga pengurusan kebutuhan sehari-hari dikelola bersama-sama. Yuliandani (2011) juga mendefinisikan rumahtangga sebagai seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya makan bersama dari satu dapur.
19
Kerangka Pemikiran
Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan a.Tingkat penggunaan sumberdaya lokal b. Tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur c. Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal
Jenis Sumber Nafkah yang Dapat Diakses Rumah Tangga Pemilik Usaha Keripik modal sumberdaya alam,modal manusia,modal finansial,modal fisik, modal sosial dari klasifikasi: a. a. Pertanian/farm b. (on-farm dan/atau off-farm) c. b. Non pertanian/non farm d.
Keragaman strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik: Strategi Nafkah Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik : dengan Basis Aktivitas Nafkah di Sektor: a.Pertanian/farm (on farm dan/atau off farm) b. Non pertanian/ non farm c. Nafkah ganda Pertanian (on farm, dan/atau off farm)+ non pertanian
Struktur Nafkah Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik a. Tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga b. . Tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan off farm terhadap struktur nafkah rumahtangga c. Tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga d. Tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga
Taraf Hidup Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik
Gambar 3 Kerangka Pemikiran Keterangan: = dikaji secara
kualitatif
= berhubungan
20
Industrialisasi pedesaan ditafsirkan dan diimplementasikan dengan cara yang beragam dalam rangka mencapai tujuan pembangunan. Implementasi industrialisasi pedesaan bertujuan menciptakan diversifikasi ekonomi bagi masyarakat pedesaan. Terkait dengan hal tersebut, penelitian ini mengidentifikasi keragaman strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga dan menguraikan penggunaan sumber nafkah untuk melakukan aktivitas nafkah dalam strategi nafkah yang dijalankan rumahtangga. Uraian mengenai strategi nafkah juga dapat dilengkapi dengan uraian mengenai struktur nafkah yang merupakan hasil dari aktivitas nafkah dalam strategi nafkah rumahtangga tersebut. Struktur nafkah dikaji melalui proporsi atau komposisi tingkat pendapatan yang diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga setelah melakukan strategi nafkah dalam kurun waktu satu tahun guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Melalui struktur nafkah rumahtangga dapat dilihat tingkat kontribusi sektor yang menjadi basis strategi nafkah rumahtangga terhadap struktur nafkah rumahtangga. Rumahtangga pedesaan yang terlibat langsung dalam implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian adalah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati. Dengan demikian, industrialisasi pedesaan akan berhubungan dengan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi tersebut. Hubungan tersebut dilihat melalui hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan tingkat kontribusi sektor industri keripik pada struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati Lebih lanjut, implementasi industrialisasi pedesaan berfungsi meningkatkan kualitas/taraf hidup. Fungsi implementasi industrialisasi pedesaan tersebut sejalan dengan tujuan strategi nafkah dilakukan suatu rumahtangga pedesaan yaitu setidaknya untuk mempertahankan taraf hidup dan jika memungkinkan meningkatkan taraf hidupnya. Rumahtangga pedesaan yang terlibat langsung dalam implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian adalah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati terlibat langsung dalam implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi tersebut. Jika industrialisasi pedesaan berfungsi sebagaimana yang dikonsepkan maka industrialisasi pedesaan akan berhubungan dengan taraf hidup rumahtangga. Hal tersebut dilihat melalui hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan akan dengan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 3. Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan 2. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan
21
Definisi Operasional Tabel 2. Definisi operasional No.
Variabel
Uraian
Tingkat implementasi Sejauh mana pengembangan industri pedesaan industrialisasi pedesaan disertai dengan ketersediaan akses terhadap infrastruktur, menggunakan sumberdaya lokal, dan memiliki manfaat bagi masyarakat lokal. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan diukur dengan menggunakan tiga sub variabel, yaitu tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal. Jika jawaban responden pada tiga subvariabel tersebut tergolong dengan komposisi: a. 3 subvariabel tergolong “Tinggi”= tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tergolong tinggi b. 1-2 subvariabel tergolong “Tinggi”= tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tergolong sedang c. 0 subvariabel tergolong “Tinggi”= tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tergolong rendah 1.
Tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada penelitian ini didefinisikan sebagai Sejauh mana industri pedesaan menggunakan tenaga kerja, bahan baku dan peralatan produksi yang tersedia di lokasi setempat atau di lokasi yang tidak jauh dari lokasi setempat; menggunakan peralatan produksi yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat. Tingkat penggunaan sumberdaya lokal diidentifikasi melalui lima pertanyaan kuesioner dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak. Jika responden menjawab dengan komposisi: a. 4-5 jawaban “Ya”= tingkat penggunaan sumberdaya lokal tergolong “Tinggi” b. 2-3 jawaban “Ya” = tingkat penggunaan sumberdaya lokal tergolong “Sedang” c. 0- 1 jawaban “Ya” = tingkat penggunaan sumberdaya lokal tergolong “Rendah” Tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur pada penelitian ini didefinisikan
22
No.
Variabel
Uraian sebagai Sejauh mana tersedia akses terhadap permodalan, pelatihan keterampilan, sarana produksi, jaringan pemasaran dan dukungan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri pedesaan. Tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur diidentifikasi melalui 10 pertanyaan kuesioner dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak. Jika responden menjawab dengan komposisi: a. 7- 10 jawaban “Ya”= tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tergolong “Tinggi” b. 4-6 jawaban “Ya”= tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tergolong “Sedang” c. 0-3 jawaban “Ya” = tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tergolong “Rendah”
2.
Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal pada penelitian ini didefinisikan sebagai sejauh mana industrialisasi pedesaan menciptakan diversifikasi ekonomi masyarakat lokal, memberikan keamanan finansial bagi masyarakat lokal, meningkatkan keterampilan masyarakat lokal, memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal diidentifikasi melalui lima pertanyaan kuesioner. Dalam hal ini masyarakat lokal dibatasi pengertiannya pada pemilik usaha keripik yang menjadi responden. Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal diidentifikasi melalui 5 pertanyaan kuesioner dengan pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak. Jika responden menjawab dengan komposisi: a. 4-5 jawaban “Ya”= tingkat manfaat bagi masyarakat lokal tergolong “Tinggi” b. 2-3 jawaban “Ya” = tingkat manfaat bagi masyarakat lokal tergolong “Sedang” c. 0- 1 jawaban “Ya”= tingkat manfaat bagi masyarakat lokal tergolong “Rendah” Tingkat Kontribusi Sektor Seberapa besar persentase tingkat pendapatan Industri Keripik terhadap dari sektor industri keripik terhadap tingkat Struktur Nafkah pendapatan rumahtangga. Persentase tingkat Rumahtangga pendapatan tersebut digolongkan dengan menggunakan sebaran normal. Pertama, peneliti melakukan penghitungan rata-rata persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha
23
No.
Variabel
Uraian keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik. Setelah itu, peneliti membuat kurva sebaran normal berdasarkan standar deviasi persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik. Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah tergolong: a. Tinggi: jika persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga ≥ x+1/2 STD b. Sedang: jika persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga > x-1/2 STD - < x+1/2 STD c. Rendah: jika persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga ≤ x-1/2 STD
3.
Berdasarkan perhitungan data yang diperoleh dari rumahtangga pemilik usaha keripik, jika persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik terhadap tingkat pendapatan rumahtangga sebesar: a. ≥ 80.38 % = tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga tergolong “Tinggi” b. > 57.45 % s/d < 80.38 % = tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga tergolong “Sedang” c. ≤ 57.45 % = tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga tergolong “Rendah” Taraf Hidup Rumahtangga Tingkat kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Taraf hidup diukur dengan variabel: (a) tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga per bulan; (b) tingkat pendapatan rata-rata rumahtangga per bulan; (c) Status kepemilikan tempat tinggal; (d) luas bangunan tempat tinggal; (e) jenis lantai bangunan tempat tinggal; (f) jenis dinding bangunan tempat tinggal; (g) sumber penerangan rumah tangga; (h) sumber air minum; (i) bahan bakar untuk memasak; (j) kepemilikan barang berharga; (k)
24
No.
Variabel
Uraian kepemilikan aset pertanian; (l) kemampuan berobat ketika sakit, dan (n) jenis rumah. Namun, variabel status kepemilikan tempat tinggal, sumber air minum, dan bahan bakar untuk memasak tidak diikutsertakan dalam penghitungan skor yang menjadi dasar penggolongan variabel. Hal tersebut disebabkan jawaban responden pada ketiga kuesioner tersebut bersifat homogen. Jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik pada masing-masing variabel tersebut diberi skor dan digolongkan dengan perhitungan tertentu, adapun skor dan penggolongan pada masingmasing pilihan jawaban pada masing-masing variabel adalah: a. Pilihan jawaban “3”= skor 3= tergolong “Tinggi” b. Pilihan jawaban “2”= skor 2= tergolong “Sedang” c. Pilihan jawaban “1”= skor 1= tergolong “Rendah” Kemudian hasil penggolongan pada masingmasing variabel diberi skor dengan ketentuan jika variabel tergolong: a. Tinggi= 3 b. Sedang = 2 c. Rendah = 1 Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik digolongkan dengan total skor dari masingmasing variabel tersebut dengan ketentuan jika total skor: a. 24-30= taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong “Tinggi” b. 17-23= taraf hidup rumahtangga pemilik tergolong usaha keripik tergolong “Sedang” c. 10-16= taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong “Rendah” Cara perhitungan jawaban kuesioner pada subvariabel taraf hidup dapat dilihat pada Lampiran 2.
25
METODE PENELITIAN Penelitian yag dilakukan adalah penelitian survey, yaitu penelitian pengujian hipotesis atau penelitian penjelasan (explanatory research). Penelitian explanatory merupakan penelitian dengan menjelaskan hubungan antara variabel-variabel penelitian dan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 1989). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif untuk memperoleh data primer. Kedua pendekatan tersebut juga dilengkapi dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di RW 07 Dusun Karangbolo, Desa Lerep, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. RW 07 Dusun Karangbolo terdiri dari tiga RT dengan 958 rumahtangga. Pemilihan lokasi di lokasi tersebut dilakukan secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan dan diperoleh berdasarkan data Pemerintah Kabupaten Semarang dan Dinas Koperasi, UMKM, Perindag Kabupaten Semarang. Pertimbangan pertama, Kabupaten Semarang memiliki kebijakan pembangunan yang mengarah pada upaya peningkatan pemanfaatan potensi industri, pertanian dan pariwisata (intanpari). Kebijakan pembangunan tersebut diuraikan pula dalam misi penyelenggaraan pemerintah daerah BAPPEDA Kabupaten Semarang (BAPEDDA Kabupaten Semarang 2010). Selain itu, sektor industri juga merupakan salah satu dari tiga sektor ekonomi utama di Kabupaten Semarang. Sektor industri bahkan menyumbangkan PDRB terbesar di Kabupaten Semarang. Perkembangan industri kecil di Kabupaten Semarang juga cukup menjanjikan dan tersebar hampir di setiap kecamatan (BAPEDDA Kabupaten Semarang dan BPS 2011). Pertimbangan yang kedua, data Pemerintahan Desa Lerep Tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 9888 jiwa penduduk di Desa Lerep, 1041 orang bermatapencaharian sebagai buruh tani, 1137 orang bermatapencaharian di bidang wiraswasta, 985 orang bermatapencaharian sebagai petani, 839 orang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, 57 orang sebagai TNI, 34 orang sebagai anggota POLRI, 975 orang bermatapencaharian sebagai pegawai swasta, 985 orang bermata pencaharian sebagai buruh bangunan, 546 orang bermatapencaharian di bidang jasa, dan 1262 orang bekerja di bidang lainnya. Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Lerep bermatapencaharian di bidang wiraswasta. Pertimbangan ketiga, RW 07 Dusun Karangbolo merupakan salah satu lokasi sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) panganan yang terdapat di pedesaan Kabupaten Semarang serta tercatat di Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Sentra industri kecil dan menengah (IKM) keripik merupakan salah satu contoh dari pengembangan industri di bidang pangan berskala kecil/sedang/rumahtangga di pedesaan. Bentuk industri tersebut merupakan salah satu bentuk dari pengembangan industri pedesaan dalam rangka implementasi industrialisasi pedesaan yang disarankan oleh Sayogyo dan Tambunan (1990) dengan pertimbangan bahwa bentuk industri pedesaan tersebut banyak terdapat di pedesaan dan menjadi sumber ekonomi masyarakat. Berdasarkan data dan informasi tersebut maka dipilihlah RW 07 Dusun Karangbolo sebagai lokasi penelitian dengan permasalahan penelitian mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga pemilik industri keripik di pedesaan.
26
Pertimbangan terakhir, penelitian yang ada dalam ranah S1 SKPM IPB dalam bidang industrialisasi pedesaan banyak mengambil lokasi dengan implementasi industrialisasi pedesaan yang menurut Moehtadi [tahun tidak diketahui] dalam Waluyo (2009) berbentuk masuknya industri di pedesaan (industry in rural areas), misalnya penelitian Gandhi (2011), Vanadiani (2011), dan Muray (2011). Oleh karena itu, penelitian ini mencoba memberikan kajian yang berbeda dalam rangka memperkaya studi tentang implementasi industrialisasi pedesaan. Peneliti tertarik untuk menganalisa struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha/industri di lokasi implementasi industrialisasi pedesaan yang berbentuk pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Lokasi yang dipilih, RW 07 Dusun Karangbolo, telah lama dikenal di Kabupaten Semarang sebagai sentra industri kecil menengah/rumahtangga yang bergerak di bidang produksi keripik. Sentra industri tersebut dikembangkan dari bentuk industri pedesaan yang memang telah ada di masyarakat sehingga merupakan lokasi implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Kegiatan penelitian tersebut dilakukan pada Bulan Mei 2012Januari 2013. Teknik Sampling RW 07 Dusun Karangbolo terdiri atas 958 rumahtangga. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh rumahtangga pemilik industri keripik di RW 07 Dusun Karangbolo yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati, yaitu sebanyak 30 rumahtangga pemilik industri keripik. Unit analisis dalam penelitian ini adalah rumah tangga. Unit sasaran dalam penelitian ini adalah suami/istri/anggota rumahtangga lainnya yang dapat memberikan data yang relevan mengenai masalah penelitian. Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberi keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Penelitian ini menggunakan metode sensus, sehingga semua anggota populasi dijadikan responden dalam penelitian ini. Dengan demikian, responden dalam penelitian ini adalah 30 rumahtangga pemilik industri keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati di RW 07 Dusun Karangbolo. Penentuan responden tersebut didasarkan pada alasan bahwa pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo tergabung dalam Kelompok Mekarjati dan merupakan pelaku dalam proses industrialisasi pedesaan di lokasi tersebut. Hal tersebut juga sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah pemilik usaha keripik di pedesaan. Daftar rumahtangga pemilik usaha keripik dan lapisan sosial dapat dilihat pada Lampiran 3. Informan dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode snowball. Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, pihak lain dan lingkungannya. Informan pada penelitian ini adalah Kepala Desa Lerep, Kepala Dusun Karangbolo, Kepala Bagian Perindag Dinas UMKM, Koperasi dan Perindag Kabupaten Semarang, Kepala Sub Bagian Perindag Dinas UMKM, Koperasi dan Perindag Kabupaten Semarang, petugas penyuluh lapang Dinas UMKM, Koperasi dan Perindag Kabupaten Semarang yang bertanggung jawab atas sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, Ketua Kelompok Mekarjati, Kepala
27
Urusan Pembangunan Desa Lerep, dan anak dari Ibu Imroatun selaku pelopor industri keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sedangkan data sekunder dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan studi literatur. Pendekatan kuantitatif digunakan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan metode survey tehadap responden. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang ditujukan kepada rumahtangga pemilik usaha keripik mengenai tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Adapun kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 4. Pendekatan kualitatif dilakukan untuk memperoleh data primer. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa panduan wawancara mendalam terhadap informan yang dipilih menggunakan metode snowball. Panduan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data mengenai proses-proses industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, profil Desa Lerep dan Kelompok Makarjati, dan strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Pendekatan kualitatif juga digunakan untuk pelengkap data kuantitatif yang diperoleh dari responden mengenai tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Desa Karangbolo, taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo, serta hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dengan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Desa Karangbolo. Panduan wawancara mendalam dapat dilihat pada Lampiran 5. Catatan harian penelitian dapat dilihat pada Lampiran 6. Pendekatan studi literatur dilakukan dengan penelusuran literatur untuk memperoleh data sekunder yang terkait dengan profil lokasi penelitian, proses-proses industrialisasi pedesaan, implementasi industrialisasi pedesaan, sumber nafkah, strategi nafkah, dan struktur nafkah. Literatur tersebut dapat berasal dari dokumen-dokumen yang terkait dengan data-data mengenai topic dan tujuan penelitian, seperti buku teks, jurnal artikel, skripsi, tesis, dan karya ilmiah. Lebih lanjut, kebutuhan data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 7. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Data hasil kuesioner dari responden diolah dengan menggunakan program microsoft excel 2007 dan software SPSS 16.0 For Windows. Data kuantitatif yang merupakan data nominal
28
dan ordinal dalam penelitian ini diolah menggunakan tabel frekuensi sedangkan hubungan antara data ordinal pada penelitian diolah menggunakan tabulasi silang. Selain itu, peneliti menggunakan indeks komposit untuk menganalisis kesesuaian data taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik dan lapisan sosial pemilik usaha keripik. Langkah pertama, peneliti membagi rumahtangga pemilik usaha keripik menjadi tiga lapisan sosial, yaitu atas, menengah, dan bawah. Kemudian, peneliti memilih salah satu pilihan jawaban dari setiap variabel dengan skor tertinggi yang terdapat pada jawaban kuesioner rumahtangga pemilik usaha keripik. Setelah itu, peneliti menghitung persentase rumahtangga pemilik usaha keripik dari masing-masing lapisan sosial yang memiliki jawaban dengan skor tertinggi tersebut. Kemudian, peneliti membagi persentase tersebut dengan rata-rata persentase dari ketiga lapisan. Hasil yang diperoleh dari perhitungan tersebut dikalikan 100 dan diperolehlah skor masing-masing variabel pada masing-masing lapisan sosial responden. Rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:
Ket:
= Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik yang memiliki skor tertinggi di tiap lapisan sosial. = Rata-rata persentase dari seluruh lapisan sosial.
Hasil perhitungan dari tiap variabel tersebut kemudian dijumlahkan sehingga diperoleh skor taraf hidup untuk tiap lapisan sosial. Skor taraf hidup untuk setiap lapisan sosial tersebut kemudian dianalisis kesesuaiannya, jika taraf hidup dan lapisan sosial rumahtangga pemilik usaha keripik sesuai maka skor taraf hidup akan semakin tinggi dengan semakin tingginya lapisan sosial. Hubungan antara data ordinal pada penelitian ini juga diuji secara statistik dengan uji Rank spearman menggunakan software SPSS 16.0 For Windows. Uji statistik Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik pada struktur nafkah rumahtangga pemilik industri keripik serta menguji hubungan antara tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Selain analisis data kuantitatif, dilakukan pula analisis data kualitatif sebagai pendukung. Data kualitatif akan diolah melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penyimpulan hasil penelitian dilakukan dengan mengambil hasil analisis antar variabel yang konsisten.
29
PROFIL LOKASI PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai profil lokasi penelitian yang terbagi ke dalam beberapa sub bab. Sub bab yang pertama membahas mengenai profil Desa Lerep dan sub bab kedua membahas kondisi geografis Desa Lerep. Sub bab ketiga membahas mengenai struktur sosial di Desa Lerep, yang terbagi dalam uraian mengenai pendidikan, ekonomi, kependudukan, dan mobilitas penduduk. Pada sub bab keempat diuraikan mengenai polapola kebudayaan. Terakhir, sebagai penutup pada bab profil lokasi penelitian ini, peneliti menguraikan pola- pola adaptasi ekologi masyarakat Desa Lerep. Profil Desa Lerep Secara administratif, Desa Lerep terdapat di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Batas wilayah Desa Lerep adalah sebagai berikut: 1. Sebelah utara : Kel. Bandarjo dan Kel. Sumurjurang 2. Sebelah timur : Kelurahan Ungaran 3. Sebelah selatan : Desa Nyatnyono 4. Sebelah barat : Desa Keji/Kalisidi Jarak Desa Lerep ke kantor kecamatan adalah 0.5 km dan dapat ditempuh selama sekitar lima menit bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Desa Lerep ke Kantor Pemerintahan Kabupaten Semarang adalah 1.5 km bila menggunakan kendaraan bermotor. Jarak Desa Lerep ke Kantor Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah adalah 23 km dan jaraknya ke Kantor Ibukota Negara Indonesia adalah 530 km. Desa Lerep terdiri dari delapan wilayah administrasi, yaitu Dusun Indrokilo, Dusun Lerep, Dusun Soka, Dusun Tegalrejo, Dusun Lorog, Dusun Karangbolo, Dusun Kretek, dan lingkungan Perumahan Mapagan. Lebih lanjut, Desa Lerep terdiri dari 10 RW dan 64 RT. Kondisi jalan menuju Kantor Desa Lerep terbilang cukup baik, jalanan menuju Desa Lerep sudah beraspal. Desa Lerep dapat dijangkau dengan menggunakan sejenis angkutan umum, ojek, mobil, sepeda motor, maupun jenis kendaraan pribadi lainnya. Namun, kontur wilayah Desa Lerep yang berbukit menuntut kehati-hatian ketika mengendarai kendaraan menuju wilayah tersebut. Untuk menuju ke Kantor Pemerintahan Desa Lerep, dapat digunakan beberapa cara dengan melalui beberapa rute. Rute pertama, perjalanan dari Kantor Pemerintahan Kabupaten Semarang dapat ditempuh menggunakan kendaraan angkutan umum jurusan Pasar Bandarjo menuju ke alun-alun Ungaran. Setelah tiba di alun-alun Ungaran, perjalanan dapat dilanjutkan menggunakan kendaraan umum (mobil muatan banyak), ojek, sepeda motor, atau kendaraan pribadi lainnya untuk menuju ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute kedua, dari Desa Keji, perjalanan dapat dilakukan menggunakan ojek atau kendaraan pribadi ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute ketiga, dari Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, perjalanan dapat ditempuh menggunakan angkutan umum jurusan Sekaran-Ungaran menuju Perumnas Mapagan. Setelah tiba di Perumnas Mapagan, perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan ojeg atau kendaraan pribadi untuk menuju Kantor Pemerintahan Desa Lerep. Rute terakhir, dari Kota Semarang, kita dapat menggunakan angkutan umum jurusan Ngesrep-Ungaran menuju Pasar Bandarjo. Setelah tiba di Pasar Bandaro, perjalanan dilakukan dengan menggunakan angkutan umum jurusan Ungaran-Gunungpati menuju alun-alun Ungaran. Dari alun-alun Ungaran, perjalanan
30
dilakukan menggunakan kendaraan umum (mobil muatan banyak), ojek, sepeda motor, atau kendaraan pribadi lainnya untuk menuju ke Kantor Pemerintahan Desa Lerep. Peta Desa Lerep dapat dilihat pada Lampiran 1. Kondisi Geografis Secara geografis, Desa Lerep berada pada koordinat 07º06’30’’ sampai 07º08’50’’ Bujur Timur dan 110º21’45’’ sampai 110º23’45’’ Lintang Selatan dengan elevasi 300 sampai 700 m di atas permukaan air laut. Desa Lerep merupakan daerah perbukitan. Permukiman tertinggi Desa Lerep adalah Dusun Indrokilo dengan ketinggian ± 700 m di atas permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 21 º C sampai 25 º C. Sedangkan permukiman terendah Desa Lerep adalah Lingkungan Mapagan dengan ketinggian ± 300 m di atas permukaan air laut dan suhu udara berkisar antara 24 º C sampai 28 º C. Desa Lerep memiliki luas wilayah ± 682 hektar. Secara umum, data BPS dan BAPPEDA Kabupaten Semarang Tahun 2002, 2004, 2011 tidak menunjukkan perubahan penggunaan lahan di Desa Lerep. Lahan di Desa Lerep dimanfaatkan untuk sawah seluas 176 hektar dan 506 hektar untuk bukan sawah. Perbandingan luas penggunaan lahan di Desa Lerep pada tahun 2002 dan 2004 selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.
(
L u h a a s
)
600 550 500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
2002 2004
Penggunaan Lahan
Diolah dari: (BAPEDDA Kabupaten Semarang dan BPS 2002, 2004)
Gambar 4 Luas lahan (Ha) Desa Lerep menurut penggunaannya pada Tahun 2000 dan 2004 Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Desa Lerep untuk sawah tidak mengalami perubahan dari Tahun 2002, 2004, dan 2010, yaitu seluas 176 hektar. Namun, di sisi lain terdapat perubahan penggunaan untuk lahan bukan sawah. Pada Tahun 2002 luas penggunaan lahan non pertanian untuk bangunan/pekarangan adalah 163.9 hektar sedangkan pada Tahun 2004 luas penggunaan lahan non pertanian untuk bangunan/pekarangan adalah 171.9 hektar. Luas penggunaan lahan non pertanian untuk
31
tegal, kebun/kolam pada Tahun 2002 adalah 173.1 hektar sedangkan pada Tahun 2004 adalah 165.1 hektar. Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa terjadi konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan. Hal tersebut berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di Desa Lerep Sejak Tahun 2004 sampai 2010, antara lain: Perumahan Bukit Asri (2005), Perumahan The Fountain (2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009). Kepadatan agraris Desa Lerep cenderung menurun, yaitu pada Tahun 2002 adalah 7.36 petani/ha, pada Tahun 2004 adalah 6.1 petani/ha, dan pada Tahun 2010 adalah 5.3 petani/ha. Berkurangnya kepadatan agraris Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 tersebut bukan disebabkan ketersediaan lahan pertanian yang semakin bertambah di Desa Lerep. Kepadatan agraris Desa Lerep tersebut semakin menurun karena jumlah petani pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun sedangkan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep. Desa Lerep memiliki beberapa potensi sumber air yang terdiri dari mata air dan sungai/kali. Namun, saat ini hampir 50 persen dari mata air tersebut mengalami penurunan debit air, terutama ketika musim kemarau. Adapun mata air di Desa Lerep antara lain adalah: Mata Air Dimpil, Mata Air Si Lutung, Mata Air Si Wudel, Mata Air Si Bulus, Mata Air Tok Songo, Mata Air Wonosari, dan Mata Air Tegal Gawok. Sungai/kali yang terdapat di Desa Lerep adalah Sungai Pangus, Sungai Siprodongan, Sungai Belan, Sungai Plilit, Sungai Sidingklik, dan Sungai Bulus (Pemerintah Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang 2012). Dahulu, tidak terdapat aturan tertentu dalam penggunaan mata air di Desa Lerep tersebut. Masyarakat bebas mengambil air dengan cara “mikul” atau menggunakan ember di “sendang” (kolam kecil). Hal tersebut cenderung menyebabkan kesenjangan akses terhadap air antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Masyarakat yang kaya relatif lebih mampu mengakses air dengan lebih banyak daripada masyarakat miskin yang hanya mampu mengakses air dengan cara memikul ember berisi air. PDAM pun hanya terdapat di lingkungan Mapagan (1986) dan belum menjangkau dusun-dusun lainnya di Desa Lerep. Namun, sejak Tahun 2009, penggunaan mata air di Desa Lerep sudah dikelola dengan sistem seperti PDAM yang dikelola secara swadaya masyarakat dengan bantuan dana dari APBD. Pengelolaan mata air tersebut diutamakan untuk penggunaan air bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga, kemudian selebihnya digunakan untuk keperluan lainnya seperti kebutuhan pertanian. Setelah Tahun 2009, masyarakat Desa Lerep memperoleh akses air untuk kebutuhan rumah tangga secara lebih adil, masyarakat samasama memiliki akses tak terbatas pada air. Masyarakat Desa Lerep cukup membayar Rp 3000,00 sampai Rp 3500,00 setiap bulan ke kantor Pemerintahan Desa Lerep. Selanjutnya, dana dari pembayaran penggunaan air tersebut akan digunakan kembali oleh Pemerintah Desa Lerep untuk perawatan dan biaya pembangunan di Desa Lerep. Struktur Sosial Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah. Masyarakat yang rumahnya sudah tidak bertipe “omah jowo” (lantai sudah tidak dari tanah dan dinding sudah terbuat dari bata) biasanya diasosiasikan sebagai orang kaya meskipun masyarakat juga mengakui bahwa orang yang bangunan rumahnya masih bertipe “omah jowo” juga dapat merupakan orang kaya yang diam-diam memiliki simpanan/aset tetapi lebih memilih hidup sederhana. Oleh karena itu, biasanya, orang yang sudah naik haji atau memiliki aset baik itu tanah, ternak, atau benda berharga lainnya juga dianggap sebagai orang kaya di desa tersebut.
32
Kepala Desa merupakan salah satu tokoh yang dihormati di Desa Lerep, orang-orang tua bahkan mengunjungi Kepala Desa untuk “sungkem” ketika Lebaran. Selain itu, sesepuh dan kyai atau tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Ucapan seorang kyai/pemuka agama bahkan dinyatakan lebih cenderung sulit dilanggar oleh masyarakat daripada ucapan perangkat desa. Tokoh agama ataupun sesepuh dihormati karena dianggap “ngelmu” atau memiliki pengetahuan yang lebih, selain itu sikapnya juga baik, menjaga lisan, dan tindakannya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keturunan dari tokoh agama juga dihormati oleh masyarakat sebatas orang tersebut tidak menyimpang dari norma yang seharusnya. Pendidikan Pendidikan merupakan faktor penting di dalam peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan yang cukup memadai. Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan berupa enam buah PAUD, lima buah TPA, tiga buah TK, enam buah SD, satu buah MI, satu buah SMP (SMP Satu Atap), dan satu buah Madrasah Diniyah (Madin). Akan tetapi, sarana dan prasarana pendidikan berupa SMA dan pesantren masih belum terdapat di Desa Lerep. Data jumlah unit infrastruktur menurut jenis pendidikan di Desa Lerep Tahun 2012 terdapat pada Tabel 3. Rasio guru dan murid pada TK menurut data BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS (2008) adalah 1:13 di mana terdapat 12 guru dan 164 murid. Rasio tersebut menunjukkan bahwa satu pengajar mengajar 13 siswa. Rasio guru dan murid pada MI adalah 1:22 di mana terdapat enam guru dan 134 siswa. Rasio tersebut menunjukkan bahwa 1 pengajar mengajar 22 siswa. Tabel 3 Jumlah unit infrastruktur menurut jenis pendidikan di Desa Lerep Tahun 2012 No.
Unit infrastruktur
Jumlah (unit)
1.
PAUD
6
2.
TK
3
3.
SD
6
4.
SMP
1
5.
SMA
0
6.
MI
1
7.
Mts
0
9.
Madrasah Diniyah (Madin)
1
10.
TPA
5
11.
Pondok Pesantren (Ponpes)
0
Total
23
Sumber: (Pemerintah Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang 2012)
Tingkat pendidikan di Desa Lerep sudah cukup baik, terutama untuk pendidikan dasar. Menurut data BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS (2010), tingkat pendidikan warga desa Lerep adalah 45.56 persen tamat SD, 11.88 persen tamat SMP, 11.84 persen
33
tamat SMA/SMK, 5.53 persen perguruan tinggi, dan 25.19 persen sisanya termasuk warga yang tidak sekolah, tidak tamat SD, dan belum tamat SD. Ekonomi Ekonomi merupakan bidang yang paling mendasar di dalam mempertahankan hidup dan kehidupan masyarakat, begitu pula terhadap pembangunan daerah. Bidang ekonomi memiliki kaitan erat dengan bidang atau sektor pembangunan yang lain, seperti pendidikan, keamanan, infrastrukutur, keagamaan, dan sosial budaya. Matapencaharian penduduk Desa Lerep cukup beragam, 985 orang bermatapencaharian sebagai petani, 1041 orang bermatapencaharian sebagai buruh tani, 839 orang bermata pencaharian sebagai pegawai negeri, 57 orang sebagai TNI, 34 orang sebagai anggota POLRI, 975 orang bermatapencaharian sebagai pegawai swasta, 985 orang bermata pencaharian sebagai buruh bangunan, 546 orang bermatapencaharian di bidang jasa, 1137 orang bermatapencaharian di bidang wiraswasta, dan 1262 orang bekerja di bidang lainnya. Jumlah dan presentase penduduk Desa Lerep menurut jenis pekerjaan pada Tahun 2002, 2004, dan 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah (jiwa) dan persentase penduduk Desa Lerep menurut jenis matapencaharian pada Tahun 2002, 2004, dan 2010
1. Petani
2002 % 694 10.5
694
% 10.8
672
% 10.7
2. Buruhtani
602
9.1
417
6.5
254
4.1
0
0.0
0
0.0
0
0.0
4. Pengusaha
252
3.8
252
3.9
177
2.8
5. Buruh Industri
922
13.9
922
14.3
839
13.4
6. Buruh Bangunan
957
14.4
957
14.8
882
14.1
7. Pedagang
487
7.3
487
7.6
450
7.2
8. Angkutan
316
4.8
316
4.9
328
5.2
9. TNI/Polri
1 515
22.9
1515
23.5
1515
24.2
10. Pensiunan
317
4.8
317
4.9
377
6.0
11. Lain-lain
568
8.6
568
8.8
773
12.3
6 630
100.0
6445
100.0
6267
100.0
No Matapencaharian
3. Nelayan
Total
2004
Sumber: (BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS 2002, 2004, 2011)
2010
Persentase penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruhtani tampak semakin menurun. Persentase petani menurun dari 10.8 persen pada Tahun 2004 menjadi 10.7 persen pada Tahun 2010. Persentase buruhtani juga menurun dari 9.1 persen pada Tahun 2002 menjadi 6.5 persen pada Tahun 2004 dan semakin menurun lagi menjadi 4.1 persen pada Tahun 2010. Tabel tersebut menunjukkan bahwa penurunan jumlah petani juga disertai dengan penurunan jumlah buruhtani secara drastis, terlebih dalam kurun waktu 2004 sampai 2010.
34
Data tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Mariyadi selaku Kepala Desa Lerep bahwa dulu masyarakat Desa Lerep banyak bekerja sebagai petani dan buruhtani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibuibu dan remaja putri) atau buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki). Bapak Riyadi selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menambahkan bahwa pemanasan global dan cuaca menyebabkan ketidakpastian pertanian. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau. Terkait dengan pengaruh cuaca pada pertanian, Kepala Desa Lerep juga menambahkan bahwa saat ini dari hampir setengah dari mata air yang ada di Desa Lerep sudah mengalami penurunan debit air, terlebih pada musim kemarau. Petani pun banyak yang beralih ke sistem sawah tadah hujan. Beliau juga menyatakan bahwa dulu petani mudah untuk meramalkan musim, musim penghujan berlangsung pada bulan Oktober sampai April dan musim kemarau berlangsung pada bulan April sampai Oktober. Namun, saat ini petani kesulitan meramalkan cuaca dan tidak jarang mengalami “puso” atau gagal panen karena ketidakpastian cuaca tersebut. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar (walaupun memang ada beberapa yang memiliki luas lahan hingga 2 hektar). Nilai ekonomi pertanian padi yang semakin tidak menjanjikan tersebut menyebabkan pertanian padi saat ini mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian. Selain itu, keberadaan pabrik-pabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kurang lebih Tahun 2000 menyebabkan masyarakat Desa Lerep banyak yang bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Pabrik-pabrik tersebut berada di wilayah Ungaran, Bawen, Pringapus. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, dan Golden Flower. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa saat ini telah banyak perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai pertanian, terlebih pada generasi muda. Masyarakat dan generasi muda saat ini cenderung jarang yang berminat bekerja di sektor pertanian, mereka cenderung lebih memilih bekerja sebagai buruh industri atau buruh bangunan daripada petani penggarap atau buruhtani. Nilai ekonomi yang diperoleh dari bekerja sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan pun dianggap lebih besar daripada sebagai buruhtani atau petani penggarap. Jumlah pengusaha, buruh bangunan, dan buruh industri pun mengalami penurunan yang cukup besar mulai Tahun 2004 sedangkan penduduk dengan klasifikasi lainnya meningkat drastis dalam kurun Tahun 2004 sampai 2010. Hal ini diindikasikan terkait dengan pengurangan pegawai pada pabrik-pabrik besar di Kabupaten Semarang pada kurun waktu tersebut. Pabrik-pabrik tersebut juga cenderung menggunakan tenaga kontrak yang terkadang tidak diperpanjang. Kependudukan Berdasarkan data akhir Tahun 2010 BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS, terdapat 2454 kepala keluarga di Desa Lerep. Sedangkan jumlah penduduk Desa Lerep Tahun 2010 adalah 9882 jiwa, yang terdiri dari 4951 jiwa laki-laki dan 5031 jiwa perempuan. Menurut jenis kelamin, jumlah penduduk perempuan lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Rasio jenis kelamin penduduk Desa Lerep Tahun 2010 adalah 98.41.
35
Rasio jumlah penduduk dengan jumlah KK adalah 4:1 yang artinya 1 KK menanggung beban keluarga sebanyak 4 jiwa. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa kesadaran KB sudah cukup baik di Desa Lerep, masyarakat rata-rata telah membatasi jumlah anak. Beliau juga menyatakan bahwa kesadaran KB pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh pabrik terkait dengan pertimbangan jam kerja di pabrik hingga larut malam sehingga masyarakat akan kesulitan bila mempunyai banyak anak. Selain itu, kesadaran KB juga diindikasikan disebabkan tingkat pendidikan masyarakat dan pola pikir masyarakat yang semakin baik mengenai pembatasan jumlah anak. Berdasarkan data pada Tabel 5 , kepadatan agraris Desa Lerep cenderung menurun, yaitu pada Tahun 2002 adalah 7.4 petani/ha, pada Tahun 2004 adalah 6.1 petani/ha, dan pada Tahun 2010 adalah 5.3 petani/ha. Berkurangnya kepadatan agraris Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 tersebut bukan disebabkan ketersediaan lahan pertanian yang semakin bertambah di Desa Lerep. Kepadatan agraris Desa Lerep tersebut semakin menurun karena jumlah petani pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun dan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep. Tabel 5 Jumlah penduduk ( jiwa ), kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk Desa Lerep pada Tahun 2002-2010 No. Kategori 1. Laki-laki (jiwa) 2. Perempuan (jiwa) 3. Total Penduduk (jiwa) 4. Kepadatan penduduk (jiwa/km2) 5. Kepadatan agraris (jumlah petani/luas lahan pertanian (Ha) ) 6. Reit Pertumbuhan Penduduk Laki-laki (%) 7. Reit Pertumbuhan Penduduk Perempuan (%) 8. Reit Pertumbuhan Penduduk (%)
Tahun 1990
2002
2004
2010
3760 3628 7338
4239 4146 8387
4494 4423 8917
4951 5031 9982
1076
1230
1307
1463
7.4
6.1
5.3
2.4
1.2
2.0
-
-
2.7 2.7
1.3 1.2
2.6 2.3
Sumber: (BAPEDDA Kabupaten Semarang dan BPS 1990, 2002, 2004, 2011)
Kepadatan penduduk Tahun 2010 mencapai 1463 jiwa /km 2. Selama kurun waktu 1990 sampai 2002 reit pertumbuhan penduduk di Desa Lerep mencapai 2.7 persen. Sedangkan dalam kurun waktu 2002 sampai 2004 reit pertumbuhan penduduk di Desa Lerep mencapai 1.2 persen. Pada kurun waktu 2004 sampai 2010 reit pertumbuhan penduduk meningkat hingga mencapai 2.3 persen. Selain itu, reit pertumbuhan penduduk dari Tahun 2002 sampai 2010 sebesar 3.5 persen. Dengan demikian, penduduk di Desa
36
Lerep cenderung meningkat pertumbuhannya sehingga kepadatan penduduk Desa Lerep pun selalu meningkat dari kurun waktu 1990 sampai 2010. Data jumlah penduduk, kepadatan penduduk, dan reit pertumbuhan penduduk secara ringkas disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan data pada Tabel 5, pertumbuhan penduduk laki- laki lebih kecil jika dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk perempuan sehingga jumlah penduduk perempuan lebih banyak dibandingkan penduduk laki-laki. Pertambahan jumlah penduduk wanita tampak jauh lebih besar daripada pertambahan jumlah penduduk laki-laki pada Tahun 2010. Pada Tahun 2010, reit pertumbuhan penduduk laki-laki sebesar 2.0 sedangkan reit pertumbuhan penduduk perempuan sebesar 2.6. Dari 9882 jiwa penduduk di Desa Lerep pada Tahun 2010, 7380 orang beragama Islam, 1335 orang beragama Kristen, dan 1167 beragama Katolik. Mobilitas Penduduk Data Sensus Desa Lerep Tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat penduduk lahir sebanyak 61 jiwa dan penduduk meninggal sebanyak 58 jiwa di Desa Lerep. Tingkat kelahiran penduduk Desa Lerep sebesar 6.2 persen. Tingkat kelahiran tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat kematian penduduk yang hanya sebesar 5.8 persen. Jumlah penduduk yang melakukan migrasi masuk ke Desa Lerep sebesar 254 jiwa, migrasi keluar sebesar 145 jiwa, serta mutasi satu tahun sebanyak 61 jiwa. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa penduduk Desa Lerep jarang melakukan migrasi ke luar. Rendahnya tingkat migrasi keluar di Desa Lerep diasumsikan disebabkan tidak ada faktor pendorong ataupun faktor penarik migrasi yang mampu memacu masyarakat Desa Lerep untuk melakukan migrasi keluar. Kepala Desa Lerep menambahkan bahwa penduduk tidak banyak yang merantau ke luar kota karena di Kabupaten Semarang banyak terdapat industri besar sehingga para wanita dan remaja banyak yang terserap sebagai buruh pabrik. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, dan Golden Flower. Selain itu, industri rumahtangga juga banyak terdapat di Desa Lerep, contohnya sentra industri keripik di Dusun Karangbolo, sentra gula aren di Dusun Indrakulo, dan produksi sabun susu di Dusun Lerep. Namun, di sisi lain migrasi masuk ke Desa Lerep pada data Sensus Penduduk Tahun 2010 lebih besar daripada migrasi keluar dari Desa Lerep. Hal tersebut antara lain disebabkan dengan semakin banyaknya pemukiman yang dibangun di Desa Lerep. Sebagaimana yang diuraikan oleh Kepala Desa Lerep bahwa sejak Tahun 2004 sampai 2010 terdapat banyak pemukiman yang dibangun di Desa Lerep, antara lain Perumahan Bukit Asri (2005), Perumahan The Fountain (2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009). Pola-Pola Kebudayaan Masyarakat Desa Lerep merupakan masyarakat yang ramah dan sopan. Masyarakat saling menghormati berdasarkan tingkatan usia, masyarakat yang muda menghormati masyarakat yang lebih tua. Pola perilaku tersebut salah satunya tampak dalam bahasa Jawa dengan tingkatan bahasa yang berbeda antara orang lebih muda dengan orang yang lebih tua. Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa tetapi hampir semua masyarakat Desa Lerep sudah mampu berbahasa Indonesia. Namun, orangtua dengan umur di atas 70 tahun di Desa Lerep biasanya masih kesulitan berbahasa Indonesia.
37
Pola perilaku masyarakat Desa Lerep cenderung menghargai alam dalam melakukan aktivitas pemanfaatan alam. Tidak terdapat eksploitasi yang berlebih terhadap alam. Masyarakat memanfaatkan alam untuk memenuhi kebutuhannya tetapi juga melakukan tindakan-tindakan untuk menjaga kondisi alam, misalnya saja terdapat kegiatan rutin untuk membersihkan mata air di Desa Lerep. Masyarakat Desa Lerep masih memegang teguh peran perempuan sebagai pengurus rumahtangga, pengurus anak, dan pengurus kegiatan domestik rumahtangga walaupun memang terdapat rumahtangga yang memperbolehkan wanita untuk mencari nafkah di luar rumah. Peranan laki-laki sebagai kepala keluarga juga merupakan hal yang dianggap penting di Desa Lerep. Laki-laki dianggap tetap harus berupaya bekerja meskipun istrinya sudah bekerja dan berpenghasilan lebih, sebagaimana yang dinyatakan oleh Kepala Desa Lerep: “Kalau yang ibu-ibu biasanya kerja pabrik, kalau yang bapak-bapak ya sing penting metu omah mbak, mboh kuwi entuk duit sithik, ono hasile po rak pokokmen sing penting metu omah” (kalau yang ibu-ibu biasanya kerja pabrik, kalau yang bapak-bapak yang penting ya keluar rumah, entah itu dapat uang sedikit, ada hasilnya atau tidak, pokoknya yang penting keluar rumah).
Masyarakat Desa Lerep cenderung menghabiskan waktu di dalam desa. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat migrasi keluar yang rendah pada Tahun 2010 yang telah dibahas pada sub bahasan sebelumnya. Selain itu, Desa Lerep merupakan salah satu contoh dari desa yang masyarakatnya sudah cukup mengalami kemajuan dalam pola pikir tetapi masih tetap memegang teguh tradisi dan agama. Keteguhan dalam memegang tradisi leluhur dan keagamaan dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang masih cukup aktif dilakukan di Desa Lerep. Kegiatan kemasyarakatan yang biasa dilakukan di Desa Lerep adalan pengajian dan yasinan baik itu di tingkat RT maupun dusun. Pengajian tersebut dipisahkan untuk ibu-ibu, remaja, dan bapak-bapak. Pengajian untuk anak-anak biasa dilakukan di TPQ. Selain itu, terdapat kebiasaan “merti desa” atau sedekah desa yang masih aktif dilakukan hingga saat ini. Sedekah desa tersebut diadakan untuk mengenang leluhur (“cakal bakal”) sambil bersih-bersih dusun atau syukuran, biasanya juga disertai dengan acara wayangan sampai pagi. Acara sedekah dusun diadakan setahun sekali setelah panen raya. Namun, kegiatan sedekah desa ini hanya biasa dilakukan di beberapa dusun bagian atas Desa Lerep, seperti di Dusun Indrokilo. Dusun bagian bawah Desa Lerep seperti Dusun Lerep, Dusun Soka, Dusun Tegalrejo, dan Dusun Karangbolo, tidak menyelenggarakan kebiasaan sedekah desa. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat juga kebiasaan bersih-bersih kali irigasi (“iriban”) di Desa Lerep. “Iriban” merupakan kebiasaan membersihkan mata air yang diadakan dua kali per tahunnya. Sebagian masyarakat membersihkan mata air dan sebagian menyembelih ayam untuk dibakar sebagai syukuran bagi masyarakat yang turut serta dalam acara tersebut. Selain itu, terdapat pula tradisi “nyadran”. “Nyadran” merupakan tradisi berupa kegiatan bersih-bersih makam dan syukuran. Desa Lerep juga memiliki pengurus kematian di masing–masing dusun, terdapat pula BPD, Kelompok Tani, Kelompok ternak, kelompok usaha, PKK, dan karangtaruna. Namun, kegiatan karangtaruna di Desa Lerep cenderung kurang aktif, biasanya karangtaruna hanya berperan dalam menyelenggarakan kegiatan peringatan hari kemerdekaan RI. Kebiasaan lain yang ada di Desa Lerep pada umumnya masih mengikuti adat-adat dalam Budaya Jawa. Pelaksanaan adat Jawa masih dilestarikan, misalnya saja adat dalam upacara pernikahan, bahkan untuk menentukan tanggal baik bagi pernikahan atau acara-
38
acara besar lainnya terkadang masih dilakukan sesuai dengan hitungan primbon Jawa. Mbah Muamin merupakan salah satu tokoh kyai di Desa Lerep yang dianggap memiliki kelebihan layaknya paranormal dan sering dimintai pertimbangannya untuk hal-hal semacam itu. Kesadaran pendidikan masyarakat di Desa Lerep pun sudah cukup baik, rata-rata mengenyam pendidikan hingga tamat SD, dan cukup banyak juga yang melanjutkan ke tingkat SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Sosialisasi mengenai pendidikan dasar sering dilakukan dengan memanfaatkan kelembagaan yang terdapat di desa, misalnya melalui PKK. Selain itu, saat ini sudah tidak terdapat buta aksara di Desa Lerep. Sejak Tahun 2007, terdapat SMP Satu Atap di Desa Lerep. SMP Satu Atap tersebut merupakan konsep di mana SD dan SMP disatukan. Masyarakat diarahkan kesadarannya untuk menuntaskan wajib belajar sembilan tahun (WAJAR 9 tahun) dengan cara apabila siswa tidak melanjutkan hingga kelas 9 maka siswa dianggap belum lulus dari sekolah tersebut. SMP Satu Atap ini diajukan oleh Bapak Mulyadi selaku Kepala Desa Lerep dengan harapan agar SMP Satu Atap tersebut dapat menjadi pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu di Desa Lerep pada umumnya dan desa-desa lain pada khususnya. SMP Satu Atap juga diharapkan dapat memacu warga untuk menyekolahkan anaknya setidaknya hingga batas WAJAR 9 tahun. Desa Lerep termasuk pelopor dalam pendirian SMP Satu Atap, hingga saat ini di Kabupaten Semarang SMP tersebut hanya terdapat di Desa Lerep, Ambarawa, dan Susukan. Kesadaran untuk menunda pernikahan juga cukup baik, dulunya banyak warga yang menikah muda tetapi sekarang warga biasanya menikah di atas 20 tahun. Terlebih semenjak adanya kasus Syekh Puji peraturan pernikahan semakin di perketat. Akan tetapi, untuk kasus-kasus tertentu seperti “kecelakaan” pada warga di bawah umur biasanya menikah dan disidang dulu di pengadilan agama. Pernikahan juga masih banyak yang dilakukan antara saudara sehingga tidak jarang masyarakat dalam satu dusun masih bersaudara satu sama lain. Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah. Masyarakat yang rumahnya sudah tidak bertipe “omah jowo” (lantai sudah tidak dari tanah dan dinding sudah terbuat dari bata) biasanya diasosiasikan sebagai orang kaya, meskipun masyarakat juga mengakui bahwa orang yang bangunan rumahnya masih bertipe “omah jowo” mungkin dapat merupakan orang kaya yang diam-diam memiliki simpanan/aset tetapi lebih memilih hidup sederhana. Oleh karena itu, biasanya, orang yang sudah naik haji atau memiliki aset berupa tanah, ternak, atau benda berharga lainnya juga dianggap sebagai orang kaya di desa tersebut. Kepala Desa merupakan salah satu tokoh yang dihormati di Desa Lerep, orang-orang tua bahkan mengunjungi Kepala Desa untuk “sungkem” ketika Lebaran. Selain itu, sesepuh dan kyai atau tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Ucapan seorang kyai/pemuka agama bahkan dinyatakan lebih cenderung sulit dilanggar oleh masyarakat daripada ucapan perangkat desa. Tokoh agama ataupun sesepuh dihormati karena dianggap “ngelmu” atau memiliki pengetahuan yang lebih, selain itu sikapnya juga baik, menjaga lisan, tindakannya tidak bertentangan dengan ajaran agama. Keturunan dari tokoh agama juga dihormati oleh masyarakat sebatas orang tersebut tidak menyimpang dari norma yang seharusnya. Salah satu contoh dusun yang masih cenderung agamis adalah Dusun Karangbolo, berdasarkan keterangan dari Kepala Dusun Karangbolo, Dusun Karangbolo menyelenggarakan acara sedekah desa dengan cara yang berbeda yaitu dengan ziarah, pengajian, dan malam baca Al-qur’an karena waktu pelaksanaan sedekah desa biasanya bertepatan dengan “khol” atau peringatan meninggalnya kyai besar yang dihormati di dusun tersebut. Adapun kyai tersebut adalah Mbah Abdul Rauf, keturunan kyai besar di
39
Nyatnyono Kabupaten Semarang, yaitu Mbah Hasan Muhadi. Selain itu, masyarakat di dusun tersebut juga banyak yang bersekolah di sekolah Islam dan melanjutkan di pesantren seperti di Yogyakarta ataupun Gontor. Ketika ada permasalahan antar warga di Desa Lerep, penyelesaian permasalahan biasanya diupayakan diselesaikan di tingkat terkecil terlebih dulu, misalnya di tingkat RT atau dusun. Jika pada tingkat tersebut permasalahan tidak dapat diselesaikan maka permasalahan biasanya akan dibawa ke FKPM (forum kesatuan polisi dan masyarakat) yang ada sejak Tahun 2006. Akan tetapi, penyelesaian masalah dengan cara seperti itu hanya dilakukan jika warga yang terkait dengan kasus mau melakukan konsultasi terlebih dahulu, terkadang ada juga warga yang langsung membawa permasalahan ke polisi. Terkait dengan pekerjaan, kurang-lebih sejak Tahun 1990 banyak warga desa yang menjadi karyawan/buruh pabrik, khususnya para wanita. Ibu-ibu dan wanita di Desa Lerep juga banyak yang membuka usaha rumahtangga, seperti usaha keripik di Dusun Karangbolo. Untuk industri rumah tangga lainnya di Desa Lerep antara lain sentra gula aren di Dusun Indrakulo dan produksi sabun susu di Dusun Lerep. Remaja di Desa Lerep juga tidak banyak yang melakukan migrasi untuk mencari pekerjaan. Hal tersebut disebabkan wilayah Desa Lerep juga tidak cukup jauh dari industriindustri besar yang memerlukan tenaga buruh. Selain itu, ada juga warga yang bekerja sebagai PNS/ABRI. Masyarakat yang bekerja di sektor pertanian saat ini jarang ditemukan di Desa Lerep. Terdapat masyarakat Desa Lerep yang bekerja sebagai petani tetapi kebanyakan hanya sebagai penggarap atau buruhtani. Pertanian di Desa Lerep masih sering ditemukan sebelum Tahun 1990-an. Semenjak Tahun 1990-an pertanian semakin berkurang. Di sisi lain, semakin banyak dibangun pemukiman di Desa Lerep. Ketersediaan air pun menjadi lebih banyak digunakan untuk pemukiman daripada pertanian. Selain itu, kondisi alam juga mempengaruhi pertanian, terlebih saat musim kemarau air sulit diperoleh. Sebenarnya, tanah di Desa Lerep termasuk cukup subur tetapi saat ini saat 50 persen mata air di Desa Lerep mulai berkurang debit airnya. Dahulu, pertanian sawah di Desa Lerep dapat diupayakan sepanjang tahun setiap tiga bulan. Namun, saat ini banyak yang beralih menjadi sawah tadah hujan dan pola pertanian sawah pun bergeser. Irigasi setengah teknis pun hanya ada di Dusun Soka, seluas kurang lebih 30 hektar sedangkan di Dusun Karangbolo hanya terdapat kurang lebih 10 hektar tanah pertanian sawah. Salah satu contoh dusun di mana pertanian sudah sulit ditemukan adalah di Dusun Karangbolo. Daerah Karangbolo berada di perbatasan Kali Plirit. Daerah yang terletak sebelum Kali Plirit masih memiliki lahan pertanian tetapi daerah setelah Kali Plirit hampir tidak memiliki lahan pertanian. Saat ini rata-rata masyarakat juga hanya memiliki tanah yang mereka tempati sebagai rumah. Selain itu, pemukiman di dusun tersebut cukup padat. Jalan di dusun tersebut juga sudah diaspal sejak Tahun 2011. Saat ini, tanah pertanian yang ada di Dusun Karangbolo adalah hanya tanah milik pemerintah yang dilelang untuk digarap dengan sistem bagi hasil. Petani penggarap di Desa Lerep ada dua macam, yaitu petani yang beli (sewa) tanah selama tahunan atau yang “diserahi” tanah untuk digarap. Keuntungan yang diperoleh biasanya dibagi hasilnya setelah ditebas. Jika musim hujan hasil panen dibagi 1/2 untuk penggarap dan 1/2 untuk pemilik. Jika musim kemarau, pembagian hasil panen adalah 1/3 hasil panen untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap. Hasil panen tersebut biasanya dijual, harga padi kering setelah digiling per kilonya adalah Rp 5000,00 sedangkan padi yang masih basah dan belum digiling per kilonya berharga Rp 2000,00. Biaya produksi biasanya ditanggung penggarap tapi untuk biaya pupuk dibagi dua antara penggarap dan pemilik.
40
Buruhtani di Desa Lerep juga terbagi menjadi 2, yaitu buruhtani harian dan buruhtani setengah harian. Penggilingan padi di Desa Lerep dulu dilakukan dengan cara “nutu” (menumbuk) tetapi sejak Tahun 1980-an sudah mulai ada alat penggilingan moderen. Hingga saat ini terdapat tiga tempat penggilingan padi dengan kepemilikan individu, yaitu di Desa Lerep, yaitu di Dusun Lerep, Dusun Soka, dan Dusun Kretek. Perubahan alam seperti bencana alam yang besar tidak pernah terjadi di Desa Lerep, bencana alam yang terjadi hanya sebatas kadang-kadang longsor kecil jika musim penghujan. Menurut keterangan Kepala Desa Lerep, jaringan telepon Telkom hanya ada di lingkungan Mapagan sejak sekitar Tahun 2000. Lebih lanjut, Bapak Riyadi selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menyatakan bahwa jalan raya beraspal mulai dibangun di Desa Lerep sekitar Tahun 1984 sedangkan listrik mulai masuk Desa Lerep pada Tahun 1984. Jalan beraspal tersebut diperbaharui kembali pada Tahun 1997. Warung internet (warnet) masih jarang ditemukan di Desa Lerep, hanya ada 3 warnet di Lingkungan Mapagan. Namun, penggunaan telepon genggam sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Desa Lerep, termasuk penggunaan akses internet melalui telepon genggam masing-masing. Pola- Pola Adaptasi Ekologi Masyarakat Desa Lerep Sektor pertanian merupakan salah satu pilihan matapencaharian di Desa Lerep. Komoditas yang banyak ditanam di sektor pertanian adalah tanaman palawija. Sistem terasering banyak dilakukan dalam pertanian di Desa Lerep karena kontur Desa Lerep yang cenderung berbukit. Saat ini, pola tanam di Desa Lerep ketika musim hujan biasanya dalam setahun adalah padi-padi-palawija untuk sawah dengan sistem tadah hujan. Sedangkan pada musim kemarau adalah padi-palawija-palawija. Namun, untuk sawah dengan irigasi sederhana, yang hanya terdapat di dusun Soka, pola tanamnya ketika musim hujan bisa mencapai tiga kali tanam dalam setahun. Penanaman padi biasanya disertai dengan penanaman tanaman lain di “galengan” atau pematang sawah, seperti kacang panjang dan talas. Kacang panjang apabila sudah mencapai usia dua bulan dapat dipanen tiga hari sekali sedangkan talas biasa dipanen setelah enam bulan. Lebih lanjut, sistem pertanian mina padi tidak biasa dilakukan di Desa Lerep. Petani di Desa Lerep kebanyakan adalah buruhtani dan petani gurem dengan luas lahan rata-rata seluas kurang dari 0.5 hektar meskipun ada pula petani yang memiliki lahan hingga dua hektar tetapi sangat jarang ditemukan di Desa Lerep. Hal tersebut menyebabkan sektor pertanian cenderung bukan merupakan pilihan aktivitas nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Petani penggarap di Desa Lerep terdiri dari dua macam, yaitu petani yang beli (sewa) tanah selama tahunan atau yang “diserahi” tanah untuk digarap. Mayoritas pemilik sawah biasanya menggunakan sistem bagi hasil dengan petani penggarap. Hasil panen yang diperoleh biasanya dibagi hasilnya setelah ditebas. Bila petani pemilik memberikan bibit dan pupuk maka hasil pertanian dibagi dua antara pemilik dan penggarap (“maro”). Namun, bila pemilik lahan tidak memberikan bibit dan pupuk, maka hasilnya dibagi dengan sistem “martelu” di mana pemilik memperoleh 1/3 hasil pertanian dan penggarap memperoleh 2/3 hasil panen. Terkadang biaya produksi ditanggung penggarap tetapi biaya pupuk dibagi dua antara penggarap dan pemilik. Sistem bagi hasil tersebut terkadang juga dipengaruhi musim tanam. Jika musim hujan biasanya hasil panen dibagi 1/2 untuk penggarap dan 1/2 untuk pemilik sedangkan jika musim kemarau hasil panen dibagi dengan porsi 1/3 untuk pemilik dan 2/3 untuk penggarap. Hasil panen tersebut biasanya dijual, harga padi kering setelah digiling per kilogram adalah Rp 5000,00, sedangkan padi yang masih basah dan belum digiling per kilogram berharga Rp 2000,00.
41
Buruhtani di Desa Lerep biasa digunakan tenaganya pada saat membajak, menyiangi, dan panen. Buruhtani di Desa Lerep juga terbagi menjadi 2, yaitu buruhtani harian dan buruhtani setengah harian. Lebih lanjut, upah untuk buruhtani harian sebesar Rp 40.000,00 dan Rp20.000,00 untuk buruhtani setengah harian. Sistem penggilingan padi pada jaman dahulu dilakukan dengan cara “nutu” (menumbuk). Namun, sejak Tahun 1980-an sudah mulai ada alat penggilingan di Desa Lerep. Hingga saat ini terdapat 3 tempat penggilingan padi yang kepemilikannya adalah individu, yaitu di Dusun Lerep, Dusun Soka, dan Dusun Kretek. Tanah pertanian di Desa Lerep termasuk subur. Batasan subur yang dimaksud adalah bahwa tanah di Desa Lerep dapat ditanami tanaman apa saja, sebagaimana yang dinyatakan Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep. “Nek subur ning kene ki yo sing penting ditanduri opo wae yo tukul, nek nggon liyo kan ono sing ditanduri nanging ra tukul mbak” (“kalau subur di sini itu yang penting ditanami tanaman ya tumbuh, di tempat lain kan ada yang ditanami tanaman tapi tidak mau tumbuh”).
Namun, Bapak Riyadi, selaku Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep menyatakan bahwa saat ini pemanasan global dan cuaca menyebabkan ketidakpastian pertanian. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau. Beliau juga menyatakan bahwa semenjak banyak dibangun pemukiman di Desa Lerep penggunaan air pun lebih banyak digunakan untuk pemukiman daripada untuk pertanian. Terkait dengan pengaruh cuaca pada pertanian di Desa Lerep, Kepala Desa juga menambahkan bahwa sebenarnya kondisi lahan di Desa Lerep cukup subur tetapi petani sering mengalami kesulitan air untuk pertanian, terlebih pada musim kemarau. Sebenarnya, terdapat banyak mata air di Desa Lerep tetapi 50 persen mata air di Desa Lerep tersebut saat ini sudah mulai berkurang debit airnya terlebih pada saat musim kemarau. Beliau menyatakan bahwa dahulu sawah dapat ditanami padi sepanjang tahun dengan pola setiap 3 bulan. Namun, saat ini banyak yang beralih menjadi sawah tadah hujan dan pola pertanian sawah pun bergeser. Irigasi setengah teknis pun hanya terdapat di Dusun Soka seluas kurang lebih 30 hektar. Beliau juga menyatakan bahwa dulunya mudah untuk meramalkan musim di mana musim penghujan mulai bulan Oktober sampai April dan musim kemarau pada rentang bulan April sampai Oktober. Namun, saat ini petani kesulitan meramalkan cuaca dan tidak jarang mengalami “puso” atau gagal panen karena ketidakpastian cuaca tersebut. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan karena harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani dengan luas lahan kurang dari 0.5 hektar walaupun memang ada beberapa yang memiliki lahan hingga 2 hektar. Nilai ekonomi pertanian padi semakin tidak menjanjikan tersebut menyebabkan pertanian padi saat ini mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian. Namun, saat ini pun lahan perkebunan semakin sulit ditemukan. Berdasarkan perbandingan data BPS Tahun 2004 dan 2010, semenjak Tahun 2004 sampai 2010 terjadi banyak konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan. Hal ini berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di desa Lerep sejak Tahun 2004 sampai 2010 antara lain Perumahan Bukit Asri
42
(2005), Perumahan The Fountain (2006), Perumahan Harmoni (2007), dan Perumahan Bukit Asri II (2009). Pertanian di Desa Lerep masih sering ditemukan sebelum Tahun 1990-an. Semenjak Tahun 1990-an pertanian semakin berkurang. Luas penggunaan lahan untuk pertanian dari Tahun 2002 sampai 2010 tidak mengalami perubahan, yaitu seluas 176 ha. Akan tetapi, seiring dengan ketidakpastian cuaca, penurunan nilai ekonomi pertanian, kesulitan air, dan pembangunan pemukiman, jumlah penduduk Desa Lerep yang berkecimpung dalam sektor pertanian semakin menurun. Pada Tahun 2002 terdapat total 1296 petani dan buruhtani sedangkan pada Tahun 2004 terdapat total 1066 petani dan buruhtani. Pada Tahun 2010 terdapat total 926 petani dan buruhtani. Di sisi lain, kurang lebih semenjak Tahun 2000, banyak industri besar dibangun di wilayah Kabupaten Semarang. Pabrik-pabrik yang terdapat di Kabupaten Semarang seperti di wilayah Ungaran, Bawen, Pringapus tersebut, misalnya Ungaran Sari Garmen, Batamtex, Sosro, Coca-cola, Nissin, dan Golden Flower. Kesulitan yang dihadapi di bidang pertanian yang disertai dengan keberadaan pabrikpabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kira-kira Tahun 2000 tersebut menyebabkan masyarakat Desa Lerep, terutama wanita, juga banyak yang memilih bekerja sebagai buruh pabrik. Di sisi lain, penduduk laki-laki cenderung memasuki sektor informal seperti buruh bangunan, pengemudi angkutan, ataupun tukang ojek. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Mariyadi selaku Kepala Desa Lerep bahwa masyarakat Desa Lerep dulu banyak bekerja sebagai petani dan buruhtani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibu-ibu dan remaja putri) atau buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki). Kepala Desa Lerep juga menyatakan bahwa saat ini, pandangan dan minat masyarakat, terutama generasi muda di Desa Lerep saat ini mengenai pertanian juga mulai bergeser. Sektor mata pencaharian sebagai buruh industri dan buruh bangunan dianggap lebih mampu memberikan manfaat ekonomi daripada sektor pertanian yang semakin tidak menentu baik sebagai penggarap maupun sebagai buruhtani. Padahal, sebenarnya bekerja sebagai buruh pabrik juga memiliki resiko karena pabrik yang ada di Kabupaten Semarang tersebut banyak yang menggunakan sistem pekerja kontrak. Pabrik-pabrik tersebut terkadang tidak memperpanjang kontrak kerja buruh atau melakukan pengurangan tenaga kerja, misalnya saja sesuai pernyataan Kepala Bagian Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang serta Kepala Desa Lerep bahwa sekitar kurun waktu 2005 sampai 2007 pabrik-pabrik besar di Ungaran banyak melakukan pengurangan tenaga kerja. Selain memilih memasuki sektor informal dan buruh industri besar, industri rumahtangga banyak dikembangkan sebagai sumber mata pencaharian, terutama di dusundusun yang lahan pertaniannya semakin sulit diakses. Beberapa contoh industri rumahtangga di Desa Lerep antara lain adalah sentra industri gula aren di Dusun Indrokilo, sentra industri keripik di Dusun Karangbolo, dan pembuatan sabun susu di Dusun Lerep. Beberapa dusun di Desa Lerep memang hanya memiliki sedikit lahan sawah. Kepemilikan sawah masyarakatnya pun tidak luas. Salah satu contoh dusun di mana pertanian sudah sulit ditemukan adalah di Dusun Karangbolo. Berdasarkan keterangan Kepala Dusun Karangbolo, saat ini lahan pertanian di Desa Lerep hanya masih dapat ditemui di daerah yang terletak sebelum Kali Plirit sedangkan di daerah setelah Kali Plirit, salah satunya Dusun Karangbolo, hampir tidak dapat ditemui lahan pertanian. Dusun Karangbolo hanya memiliki sekitar sepuluh hektar lahan sawah yang berada di perbatasan Kali Plirit. Saat ini, tanah pertanian yang biasa digarap masyarakat adalah lahan milik pemerintah yang dilelang untuk digarap dengan sistem bagi hasil.
43
Beliau menambahkan bahwa pada jaman dahulu sekitar sebelum Tahun 1990-an masih banyak lahan pertanian misalnya di Dusun Lorog, Tegalrejo, dan Karangbolo. Namun, semakin lama semakin banyak pemukiman, saat ini pun pemukiman di dusun Karangbolo terbilang cukup padat. Dusun Karangbolo merupakan salah satu contoh dusun di mana lahan pertanian sulit ditemukan. Masyarakat di Dusun Karangbolo rata-rata hanya memiliki tanah yang mereka tempati sebagai rumah. Akhirnya, ibu-ibu dan remaja putri di Dusun Karangbolo pun banyak bekerja sebagai buruh pabrik. Masyarakat setempat juga banyak yang berupaya mencari penghasilan melalui usaha rumahtangga yang bergerak di bidang pembuatan keripik. Sumberdaya wanita dan keluarga dikerahkan dalam pengembangan industri rumahtangga tersebut. Saat ini, Dusun Karangbolo pun dikenal sebagai sentra industri keripik di Kabupaten Semarang. Pengembangan sentra industri keripik di Dusun Karangbolo tersebut terkait juga dengan salah satu arah kebijakan pembangunan Kabupaten Semarang, yaitu pengembangan sektor intanpari (industri, pertanian, dan pariwisata). Dinas Koperasi, UMKM, Perindustrian dan Perdagangan aktif berperan dalam penumbuhan dan pengembangan industri kecil dan menengah di Kabupaten Semarang, salah satunya melalui pengembangan sentra industri kecil menegah/rumahtangga (IKM/RT) keripik di Dusun Karangbolo. Ikhtisar Desa Lerep terletak di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Lahan di Desa Lerep mayoritas dimanfaatkan untuk lahan bukan sawah. Penggunaan lahan di Desa Lerep untuk sawah tidak mengalami perubahan dari Tahun 2002, 2004, dan 2010. Namun, terdapat perubahan penggunaan untuk lahan bukan sawah. Terjadi konversi lahan dari penggunaan untuk lahan tegal, kebun/kolam ke lahan bangunan/pekarangan pada kurun Tahun 2004 sampai 2010. Hal tersebut berhubungan dengan semakin maraknya pembangunan pemukiman di Desa Lerep sejak Tahun 2004 sampai 2010. Kepadatan agraris Desa Lerep semakin menurun pada kurun Tahun 2002 sampai 2010. Hal tersebut disebabkan jumlah petani di Desa Lerep pada Tahun 2002 sampai 2010 terus menurun sedangkan lahan pertanian tidak bertambah di Desa Lerep. Struktur sosial di Desa Lerep dapat dilihat dari kependudukan, pendidikan, dan ekonomi di Desa Lerep. Kepala Desa, sesepuh, kyai, dan tokoh agama sangat dihormati oleh masyarakat di Desa Lerep. Terkait dengan pendidikan, Desa Lerep memiliki infrastruktur pendidikan dan tingkat pendidikan yang cukup baik, terutama untuk pendidikan dasar. Terkait dengan kondisi ekonomi di Desa Lerep, matapencaharian penduduk Desa Lerep cukup beragam. Namun, pada kurun Tahun 2002 sampai 2010 persentase penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruhtani semakin menurun. Batasan kemiskinan pada Desa Lerep dilihat berdasarkan kepemilikan tanah/ternak dan keadaan rumah. Penduduk di Desa Lerep cenderung meningkat pertumbuhannya sehingga kepadatan penduduk Desa Lerep pun selalu meningkat dari kurun waktu 1990 sampai 2010. Kepala Desa Lerep menyatakan bahwa kesadaran KB sudah cukup baik di Desa Lerep, satu KK menanggung beban keluarga sebanyak empat jiwa. Terkait dengan mobilitas penduduk, penduduk Desa Lerep jarang melakukan migrasi ke luar. Sebaliknya, migrasi masuk ke Desa Lerep pada data Sensus Penduduk Tahun 2010 lebih besar daripada migrasi keluar dari Desa Lerep. Hal tersebut antara lain disebabkan dengan semakin banyaknya pemukiman yang dibangun di Desa Lerep.
44
Pola kebudayaan di Desa Lerep dapat dilihat dari aktivitas, pola perilaku masyarakat, dan sarana fisik di Desa Lerep. Masyarakat Desa Lerep merupakan masyarakat yang ramah dan sopan. Pada umumnya, bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa tetapi hampir semua masyarakat Desa lerep sudah mampu berbahasa Indonesia. Pola perilaku masyarakat Desa Lerep cenderung menghargai alam dalam melakukan aktivitas pemanfaatan alam, misalnya terdapat kegiatan rutin untuk membersihkan mata air di Desa Lerep. Desa Lerep juga merupakan desa yang cukup maju. Hal tersebut dapat dilihat dari infrastruktur yang terdapat di Desa Lerep, sudah terdapat jalan raya beraspal dan listrik. Untuk warung internet (warnet) sudah mulai ada walaupun masih jarang ditemukan di Desa Lerep. Penggunaan telepon genggam sudah menjadi hal yang wajar bagi masyarakat Desa Lerep, termasuk mengakses internet melalui telepon genggam masing-masing. Selain itu, kesadaran pendidikan masyarakat di Desa Lerep pun sudah cukup baik, cukup banyak penduduk yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. Kesadaran untuk menunda pernikahan juga cukup baik, dahulu banyak warga yang menikah muda tetapi sekarang warga biasanya menikah di atas dua puluh tahun. Di balik kemajuan sarana-prasarana fisik di Desa Lerep, masyarakat Desa Lerep cenderung masih memegang tradisi dan kehidupan beragama. Masyarakat Desa Lerep masih memegang teguh peran perempuan sebagai pengurus rumahtangga, pengurus anak, dan pengurus kegiatan domestik rumahtangga walaupun memang terdapat rumahtangga yang memperbolehkan wanita untuk mencari nafkah di luar rumah. Peranan laki-laki sebagai kepala keluarga juga merupakan hal yang dianggap penting di Desa Lerep. Laki-laki dianggap tetap harus berupaya bekerja meskipun istrinya sudah bekerja dan berpenghasilan lebih. Keteguhan dalam memegang tradisi leluhur dan keagamaan juga dapat dapat dilihat dari kegiatan kemasyarakatan yang masih cukup aktif dilakukan di Desa Lerep, misalnya kegiatan pengajian, yasinan, “iriban” dan “nyadran”. Kebiasaan lain yang ada di Desa Lerep pada umumnya masih mengikuti adat-adat dalam Budaya Jawa. Kemudian permasalahan antar warga di Desa Lerep biasanya diupayakan untuk diselesaikan di tingkat terkecil dulu, mulai dari RT atau dusun. Pola adaptasi ekologi dapat dilihat dari masyarakat Desa Lerep yang dulu banyak bekerja sebagai petani dan buruh tani tetapi untuk saat ini masyarakat Desa Lerep lebih banyak yang bekerja sebagai buruh pabrik (ibu-ibu dan remaja putri), buruh bangunan dan jasa angkutan (laki-laki), atau membuka usaha industri rumahtangga. Kesulitan air menjadi kendala dalam pertanian, terlebih di musim kemarau. Selain permasalahan cuaca, nilai ekonomi pertanian padi saat ini kurang menjanjikan. Harga dasar gabah kurang menguntungkan bagi petani, terlebih petani di Desa Lerep kebanyakan adalah petani gurem dan buruhtani. Pertanian pun mulai bergeser ke perkebunan dengan komoditi sengon, kopi, pisang, cengkeh, dan durian. Namun, lahan perkebunan semakin berkurang terkait dengan pembangunan pemukiman yang semakin marak di Desa Lerep sejak Tahun 2004. Keberadaan pabrik-pabrik di sekitar wilayah Kabupaten Semarang semenjak kurang lebih Tahun 2000 akhirnya menyebabkan masyarakat Desa Lerep banyak beralih bekerja bekerja di pabrik-pabrik tersebut. Saat ini, terjadi perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat mengenai pertanian, terlebih pada generasi muda. Mereka cenderung lebih memilih bekerja sebagai buruh industri atau buruh bangunan daripada petani penggarap atau buruhtani. Padahal, bekerja sebagai buruh pabrik juga memiliki resiko yang cukup besar. Hal tersebut dapat dilihat dari jumlah pengusaha, buruh bangunan, dan buruh industri yang mengalami penurunan yang cukup besar mulai Tahun 2004. Hal ini diindikasikan terkait dengan pengurangan pegawai pada pabrik-pabrik besar di Kabupaten Semarang pada kurun waktu tersebut. Pabrik-pabrik tersebut juga cenderung menggunakan tenaga kontrak yang terkadang tidak diperpanjang.
45
Selain sektor industri besar, sektor industri rumahtangga juga memegang peranan penting sebagai salah satu sumber mata pencaharian penduduk di Desa Lerep. Peranan sektor industri rumahtangga tersebut terlihat pada dusun-dusun di Desa Lerep yang hanya memiliki sedikit lahan pertanian, salah satunya adalah di Dusun Karangbolo. Dusun Karangbolo merupakan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) yang penduduknya banyak membuka usaha rumahtangga produksi keripik. Sentra industri tersebut dikenal di Kabupaten Semarang dan memperoleh pembinaan dari Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang.
47
PROSES-PROSES INDUSTRIALISASI PEDESAAN Pada bab ini dibahas mengenai proses-proses industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Bab ini dibahas melalui beberapa sub bab. Sub bab pertama menjelaskan mengenai profil dan perkembangan perindustrian di Kabupaten Semarang. Sub bab kedua menjelaskan mengenenai proses-proses industrialisasi pedesaan di Dusun Karangbolo melalui pengembangan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian berbentuk pengembangan pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Pada pengertian industrialisasi pedesaan ini, industri merupakan kekuatan yang datang dari dalam pedesaan itu sendiri (indigineous industry). Hal tersebut dapat dilihat dari proses-proses industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian merupakan pengembangan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo, industri keripik yang dikembangkan tersebut telah sejak lama dijalankan masyarakat di lokasi penelitian. Profil Perindustrian Kabupaten Semarang Perekonomian Kabupaten Semarang sangat dipengaruhi oleh industri yang menempati urutan teratas sejak Tahun 2000 dengan nilai berkisar antara 43-46 persen (BAPEDDA Kabupaten Semarang 2011). Jumlah unit usaha industri di Kabupaten Semarang pun cenderung meningkat, sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6 Perkembangan jumlah unit usaha industri Kabupaten Semarang pada Tahun 2003-2007
No.
Jenis Data
Satuan
2003
2004
2005
2006
2007
Unit
818
923
1003
1108
1240
Unit Unit
7450 12962
7549 12975
7648 12986
7850 12992
7975 13000
Unit
113
132
149
167
183
1. Industri Kecil Formal Non Formal a. Sentra b. Non sentra IRT 2. Industri Menengah Besar
Sumber: (Disperindag dan PM Kabupaten Semarang 2007)
Lebih lanjut, peningkatan jumlah unit usaha industri di Kabupaten Semarang tersebut juga disertai dengan peningkatan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri.
48
Adapun perkembangan jumlah tenaga kerja industri Kabupaten Semarang sejak Tahun 2003 sampai 2007 dapat dilihat dalam Tabel 7. Tabel 7 Jumlah tenaga kerja industri (jiwa) Kabupaten Semarang Pada Tahun 20032007 No. 1.
Jenis Data
Satuan
2003
2004
2005
2006
2007
Orang
8543
9250
9848
10548
11303
Orang Orang
6341 11457
7488 10697
7638 10910
5472 7815
6722 9602
Orang
71422
72189
73502
75789
77089
Industri Kecil Formal Non Formal a. Sentra b. Sentra non sentra
2.
Industri Menengah Besar Tenaga Kerja
Sumber: (Disperindag dan PM Kabupaten Semarang 2007)
Unit usaha industri di Kabupaten Semarang tersebar di kecamatan-kecamatan yang ada di wilayah administrasinya. Data Disperindag dan PM Kabupaten Semarang (2007) menunjukkan bahwa industri besar menengah terkonsentrasi di wilayah Kecamatan Ungaran Barat, Ungaran Timur, Bergas, Pringapus, Bawen, dan Tengaran. Lebih lanjut, industri kecil hampir menyebar di seluruh kecamatan, yaitu kecamatan: Getasan, Tengaran, Susukan, Pabelan, Tuntang, Banyubiru, Jambu, Sumowono, Ambarawa, Bawen, Beringin, Pringapus, Bergas, Ungaran Barat, dan Ungaran Timur. Persebaran industri di Kabupaten Semarang dapat dilihat dalam Tabel 8. Perkembangan terakhir mengenai sektor industri di Kabupaten Semarang juga masih menunjukkan bahwa sektor industri merupakan sektor perekonomian yang mengalami peningkatan yang signifikan di Kabupaten Semarang. Data Disperindag dan PM Kabupaten Semarang (2011) dalam BAPPEDA Kabupaten Semarang (2011) hingga September 2011 menyatakan bahwa industri kecil menengah, yang pada Tahun 2010 jumlah tercatat berjumlah 1360 unit dan bertambah 48 unit pada Tahun 2011 dengan peningkatan jumlah tenaga kerja menjadi 11.689 orang. Lebih lanjut, industri besar yang ada di Kabupaten Semarang sampai dengan bulan September 2011 tercatat sebanyak 176 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 71.538 orang. Jumlah nilai produksinya pun cukup besar yaitu mencapai 2 triliyun rupiah. Selain itu, terdapat pula industri rumahtangga sebanyak 10.368 unit dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 18.525 orang. Data industri Kabupaten Semarang hingga September 2011 menurut Disperindag dan PM Kabupaten Semarang (2007) dapat dilihat dalam Tabel 9.
49
Tabel 8 Persebaran industri di Kabupaten Semarang Tahun 2007
No. Kecamatan
Unit Usaha
Unit Usaha Kecil Formal
Unit Usaha Industri Menengah dan Besar ∑
%
∑
%
∑
%
1.
Getasan
302
1.2
30
2.2
-
-
2.
Tengaran
1441
5.7
85
6.8
15
6.4
3.
Susukan
3662
14.3
50
4.0
-
-
4.
Kaliwungu
1510
5.9
7
0.6
3
1.3
5.
Suruh
3667
14.6
19
1.5
1
0.6
6.
Pabelan
6370
24.9
44
3.5
-
-
7.
Tuntang
609
2.4
86
6.9
1
8.
Banyubiru
793
3.1
58
4.6
2
1.3
9.
Jambu
481
1.9
85
6.8
2
1.3
10. Sumowono
367
1.4
31
2.5
-
-
11. Ambarawa
913
3.6
156
12.4
1
0.6
12. Bandungan
-
-
7
0.6
-
-
13. Bawen
599
2.3
81
6.4
32
14.0
14. Bringin
2041
8.0
68
5.3
-
-
15. Bencak
958
3.8
5
0.4
-
-
16. Pringapus
805
3.2
97
7.7
20
10.8
17. Bergas
216
0.9
124
9.7
63
40.1
18. Ungaran Barat
448
1.8
158
14.3
22
14.0
19. Ungaran Timur
378
1.5
49
3.9
21
9.6
25560
100.0
1240
100.0
157
100.0
Total
Sumber: (Disperindag dan PM Kabupaten Semarang 2007)
50
Tabel 9 Jumlah dan jenis unit industri dan jumlah tenaga kerja industri (jiwa) di Kabupaten Semarang hingga September 2011 No. 1.
2.
3.
4.
Uraian
Satuan
Jumlah
Industri Kecil Menengah Unit Usaha
Unit
1408
Tenaga Kerja
Orang
11689
Nilai Produksi
Jt Rp
408393
Kulit
Unit
22
Kayu
Unit
321
Logam/logam mulia
Unit
113
anyaman/geranah/keramik
Unit
16
Dari kain Tenun
Unit
190
Makanan
Unit
554
Lainnya
Unit
337
Unit Usaha
Unit
176
Tenaga Kerja
Orang
Nilai Produksi
Jt rp
2887
Jumlah Unit Usaha
Unit
10368
Jumlah tenaga kerja
Orang
18525
Jumlah Industri Kecil Per Jenis Kerajinan
Industri Besar
71538
Rumah Tangga
Sumber: (Disperindag dan PM Kabupaten Semarang 2011 dalam BAPPEDA Kabupaten Semarang 2011)
Tabel 9 menunjukkan bahwa jumlah industri kecil yang ada di Kabupaten Semarang berjumlah 1408 buah. Jumlah tersebut mengalami peningkatan signifikan dari Tahun 2007 yang hanya berjumlah 1240 unit usaha. Jumlah nilai produksi industri kecil pun dapat dikatakan cukup besar yaitu sebesar 408 milyar rupiah. Hal tersebut menunjukkan bahwa
51
industri kecil di Kabupaten Semarang merupakan sektor perekonomian yang potensial untuk dikembangkan. Adapun sektor industri kecil tersebut meliputi industri makanan sebanyak 554 unit (35 persen), kayu 321 unit (20 persen), kain tenun 190 unit (13 persen), dan industri kecil lainnya 337 unit (22 persen). Dari sekian banyak industri kecil tersebut, industri makanan merupakan industri kecil terbanyak yang ada di Kabupaten Semarang dan setiap tahunnya semakin bertambah (Disperindag dan PM Kabupaten Semarang 2011 dalam BAPPEDA Kabupaten Semarang 2011). Berdasarkan keterangan dari Kepala Bagian Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang, sektor industri kecil menegah/rumahtangga memiliki peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Semarang. Beliau menyatakan bahwa industri besar di Kabupaten Semarang secara data memang menunjukkan tingkat penyerapan tenaga kerja yang lebih besar daripada penyerapan tenaga kerja oleh industri kecil menengah/rumahtangga tetapi mayoritas tenaga kerja tersebut bukan berasal dari Kabupaten Semarang. Sebaliknya, industri kecil menengah/rumahtangga memang hanya menunjukkan penyerapan tenaga kerja yang lebih sedikit bila dibandingkan penyerapan tenaga kerja oleh industri besar tetapi tenaga kerja tersebut lebih berasal dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, sektor industri kecil menengah/rumahtangga perlu dikembangkan untuk menggerakkan perekonomian masyarakat. Beliau menyatakan bahwa salah satu lokasi industri kecil menengah/rumahtangga yang bergerak di bidang pengolahan makanan terdapat di RW 07 Dusun Karangbolo, Desa Lerep, Kabupaten Semarang. RW 07 Dusun Karangbolo merupakan salah satu lokasi industri kecil menegah berbentuk sentra industri rumahtangga di pedesaan yang tercatat secara formal di Dinas Koperasi, UKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Sentra industri tersebut memproduksi aneka keripik dengan komoditi utama keripik tempe dan tumpi (peyek). Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang menyelenggarakan beberapa kegiatan yang dilakukan untuk pengembangan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) di Dusun Karangbolo, misalnya pengembangan sumberdaya manusia melalui pelatihan keterampilan dan peningkatan mutu SDM, peningkatan sarana dan prasarana, fasilitasi produksi, fasilitasi perijinan usaha industri, fasilitasi kemasan dan merk, dan fasilitasi pemasaran. Proses-Proses Industrialisasi Pedesaan di Dusun Karangbolo melalui Pengembangan Sentra Industri Kecil-Menengah/Rumahtangga (IKM/RT) Keripik Sentra industri keripik di Dusun Karangbolo tersebar di tiga RT, RW 07 Dusun Karangbolo. Masyarakat RW 07 banyak yang memiliki usaha rumahtangga pembuatan aneka keripik, mulai dari keripik tempe, peyek kacang, peyek rebon, peyek kacang hijau, dan kripik lainnya. Dari sekian produk tersebut, keripik tempe dan tumpi (peyek) merupakan produk unggulan dari sentra industri keripik di Karangbolo. Keripik tempe adalah makanan yang terbuat dari tempe yang diiris tipis kemudian digoreng dengan menggunakan tepung yang telah dibumbui. Biasanya rasanya adalah asin dengan aroma bawang yang gurih. Tempe harus terbuat dari kedelai yang bagus supaya pada saat fermentasi rasanya tidak pahit. Kedelai yang bagus juga memudahkan pengirisan tempe menjadi lembaran kripik yang tipis. Tumpi (peyek) merupakan jajanan keripik yang terbuat dari adonan tepung beras dan telur, adonan tersebut ada yang dicampur dengan kacang tanah, kacang hijau, ataupun
52
rebon (ikan teri). Tumpi ini juga dikenal sebagai jajanan yang biasa disajikan saat Idul Fitri, terdapat tradisi untuk menyajikan tumpi sebagai jajanan Idul Fitri, walaupun juga dapat disajikan sehari-hari. Produksi keripik di Dusun Karangbolo merupakan usaha yang cukup menjanjikan. Setiap hari setiap industri rumahtangga pembuat keripik dapat melakukan proses produksi dari jam tujuh pagi hingga sore hari, bahkan terkadang lembur hingga malam hari. Dalam satu hari produksi keripik tempe dan tumpi industri rumahtangga di Dusun Karangbolo dapat mencapai 60 kg dan bahkan dapat mencapai 80 kg ketika bulan puasa maupun lebaran. Setiap industri rumahtangga di Dusun Karangbolo biasanya terdiri dari dua hingga lima pekerja dengan menggunakan tenaga kerja dari anggota rumahtangganya sendiri atau masyarakat setempat. Sistem penggajian pekerja dalam industri keripik ini berbeda-beda, tergantung dari kesepakatan dalam masing-masing pemilik industri rumahtangga dengan pekerjanya. Setiap industri rumahtangga dalam sentra industri ini juga memiliki pangsa pasar dan cita rasa masing-masing. Terdapat industri rumahtangga yang sudah memiliki label tetapi ada juga yang belum mempunyai label. Industri rumahtangga tersebut biasanya memproduksi keripik tempe dan tumpi yang diberi label dan yang tidak diberi label. Selain itu ukuran kemasan keripik tempe dan tumpi yang diproduksi masing-masing industri rumahtangga juga tidak seragam, sesuai dengan permintaan pelanggan masing-masing. Untuk besarnya modal pun tidak seragam melainkan tergantung dari besar-kecilnya industri rumahtangga yang bersangkutan. Modal yang diperlukan oleh industri keripik tersebut berkisar antara Rp 250.000,00 hingga Rp 1.000.000,00 per hari. Pengelolaan industri dalam sentra industri keripik ini secara umum memang dijalankan masing-masing. Namun, industri rumah tangga pembuat keripik di Dusun Karangbolo tergabung dalam satu kelompok, yaitu Kelompok Mekarjati. Setiap tiga bulan sekali diadakan pertemuan kelompok untuk arisan koperasi bahan baku, berbagi cerita, dan melakukan persiapan apabila ada acara dari pemerintah. Hingga saat ini sudah terdapat sekitar 30 industri rumahtangga pembuat keripik yang tergabung di dalamnya. Saat ini, kelompok tersebut diketuai oleh Ibu Muawannah yang menjabat kurang lebih sejak Tahun 2011. Sentra industri keripik Dusun Karangbolo telah cukup dikenal di Kabupaten Semarang. Dinas Koperasi, UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang beberapa kali juga memberikan bantuan berupa alat dan pelatihan bagi pelaku industri dalam sentra industri keripik Dusun Karangbolo ini. Pemilik usaha keripik yang menjadi anggota kelompok Mekarjati pun pernah ikut serta dalam pameran produk dan bazar maupun berbagai acara lainnya yang diadakan oleh instansi pemerintah Kabupaten Semarang. Produksi keripik di Dusun Karangbolo dipelopori oleh salah satu warga, yaitu Ibu Imroatun sejak kurang lebih Tahun 1979. Ibu Imroatun pada awalnya hanya memproduksi tempe. Kemudian, beliau memiliki inisatif untuk mengolah tempe menjadi keripik tempe. Beliau berpikir untuk meningkatkan nilai ekonomi tempe yang tidak laku daripada tempe tersebut busuk dan dibuang. Sebagaimana yang dinyatakan oleh anak Ibu Imroatun, yaitu Ibu SFY. “ Ibu saya dulunya bikin tempe mbak, terus kan daripada bosok kalo nggak laku akhirnya dibikin keripik sama ibu saya. Dulu bikinnya bungkusan kecil-kecil itu lho mbak, dijual di warung, sama di rumah makan-rumah makan gitu, ya lumayan rejekinya memang dari keripik kayaknya mbak”- Ibu SFY
53
Ibu Imroatun memproduksi keripik tempe dengan kemasan kecil karena beliau bekerjasama dengan warung dan rumah makan-rumah makan yang memerlukan pasokan keripik tempe sebagai camilan maupun pelengkap hidangan. Seiring berjalannya waktu, Ibu Imroatun semakin kebanjiran pesanan. Dalam sehari, Ibu Imroatun bahkan dapat memproduksi keripik tempe mulai dari jam tujuh pagi hingga jam 12 malam. Akhirnya, tetangga-tetangga beliau banyak juga yang ikut mencoba mencari pendapatan melalui produksi keripik. Sejak sekitar Tahun 1989, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang aktif mencari potensi industri di seluruh kecamatan se-Kabupaten Semarang. Hal tersebut dilakukan untuk mengembangkan potensi industri yang ditemukan di wilayah Kabupaten Semarang. Pada Tahun 1995 sampai 1996 pun akhirnya dibentuk kelompok usaha bersama (KUB) “Miraos” di Dusun Karangbolo untuk mempermudah koordinasi dengan dinas pemerintahan. Tokoh yang dianggap mempelopori kelompok tersebut adalah Bapak Abu Amar dan Bapak Muslihun. Saat itu terdapat 30 anggota yang merupakan pemilik usaha rumahtangga di bidang produksi keripik di Dusun Karangbolo. Masyarakat dusun Karangbolo memberikan istilah pada anggota kelompok “Miraos” sebagai “generasi pertama” produksi keripik di Dusun Karangbolo. Pada sekitar Tahun 2000 pun Disperindag Kabupaten Semarang memberikan bantuan berupa alat perajang tempe. Alat perajang tempe tersebut diserahkan produksinya pada perajin logam di Kabupaten Semarang. Seperti diuraikan sebelumnya, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang aktif mencari potensi industri di seluruh kecamatan se-Kabupaten Semarang. Kegiatan tersebut dilakukan secara rutin setiap tiga tahun. Pada Tahun 2005, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang kembali mengecek dan mencari potensi industri di kecamatan-kecamatan se-Kabupaten Semarang. Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang akhirnya kembali memperoleh umpan balik dari Pemerintah Kecamatan Ungaran Barat mengenai keberadaan potensi industri rumah tangga yang memproduksi keripik di Dusun Karangbolo. Pada Tahun 2005 tersebut juga digagas program “One-Day Tour Kabupaten Semarang” oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang. Dusun Karangbolo dijadikan sebagai salah satu obyek kunjungan wisatawan dalam “One-Day Tour Kabupaten Semarang” sebagai obyek wisata sentra industri keripik. Pada sekitar Tahun 2006 akhirnya Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang kembali memotivasi pembentukan kelompok pemilik industri rumahtangga keripik di Dusun Karangbolo. Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang berupaya “menghidupkan kembali” Kelompok “Miraos” yang semakin tidak aktif, terlebih karena anggotanya banyak yang sudah tua dan sering terjadi pergantian anggota. Akhirnya dibentuklah kelompok baru, yaitu Kelompok “Mekarjati” untuk mempermudah koordinasi dengan instansi pemerintahan dan mempermudah kelompok dalam mencari bantuan. Kelompok Mekarjati tersebut sudah mengalami sekali pergantian ketua. Saat ini Ketua Kelompok Mekarjati adalah Ibu Muawannah. Pada Tahun 2007, Kelompok “Mekarjati” mengajukan proposal permohonan bantuan pada Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Pada Tahun 2008, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang akhirnya membantu fasilitasi perijinan industri anggota kelompok Mekarjati. Kelompok Mekarjati dibantu dalam mengurus Tanda Daftar Industri (TDI) dan izin Dinas Kesehatan. Perizinan ke Dinas Kesehatan diawali dengan kegiatan Penyuluhan Industri Rumahtangga (PIRT) dan dilanjutkan dengan monitoring secara periodik, yaitu 2 kali dalam sebulan. Pada tahun tersebut juga sudah mulai dilakukan fasilitasi kemasan dan merk ke direktorat Kemenkumham meskipun hingga saat ini pun masih banyak pemilik industri keripik yang
54
belum ataupun memilih untuk tidak menggunakan merk dagang. Pada Tahun 2009, dibentuklah pra-koperasi bahan baku untuk memfasilitasi ketersediaan bahan baku bagi pelaku industri keripik di Dusun Karangbolo. Sejak sekitar Tahun 2011, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang semakin aktif membina pemilik industri keripik di Dusun Karangbolo melalui tenaga penyuluh lapang. Program pembinaan yang ditujukan bagi pemilik industri keripik di Dusun Karangbolo tersebut, antara lain: (1) penyuluhan, pembinaan, dan pendampingan mengenai pentingnya 5K dalam usaha; (2) penyuluhan, pembinaan dan pendampingan pembukuan keuangan sederhana; (3) penyuluhan, pembinaan dan pendampingan penyampaian informasi industri terkait TDI kepada Bupati/Walikota; (4) penyuluhan, pembinaan dan pendampingan merek; dan (5) penyuluhan, pembinaan dan pendampingan media promosi. Kegiatan tersebut dibagi pelaksanaannya setiap triwulan. Setiap bulan, minimal dilakukan dua kali kunjungan penyuluh lapang untuk pelaksanaan kegiatankegiatan pendampingan tersebut. Namun, kegiatan pendampingan tersebut hanya difokuskan pada lima industri rumahtangga yang dianggap cukup maju dan berpotensi untuk dikembangkan. Pada Tahun 2011, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang juga mengadakan pelatihan keterampilan boga. Pelatihan dan pendampingan pembuatan proposal bagi pemilik industri keripik di Dusun Karangbolo juga diselenggarakan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Tengah. Kegiatan tersebut difasilitasi pelaksanaannya oleh Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang pada Tahun 2011. Selain itu, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang juga mengadakan pelatihan Achivement Motivation Training (AMT), kegiatan ini bersifat tahunan di Kabupaten Semarang dan hanya untuk 20 orang perwakilan pemilik industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT). Pada Tahun 2011, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang juga memberikan bantuan permodalan berupa dana hibah untuk koperasi sebesar 15 juta rupiah. Bantuan permodalan tersebut digunakan sebagai modal bergulir bebas angsuran kelompok yang jangka waktunya triwulan. Sistem pemberian pinjaman pada kelompok adalah per tri wulan. Terdapat beberapa orang anggota kelompok (kloter) yang memperoleh pinjaman dana dalam satu putaran (3 bulan sekali). Pinjaman yang diperoleh oleh anggota kelompok tersebut boleh dibayar dengan sistem angsuran atau langsung lunas dengan syarat harus lunas pada putaran selanjutnya. Pada putaran selanjutnya, dana pinjaman bergulir tersebut diberikan pada orang lain (kloter selanjutnya) yang belum memperoleh pinjaman. Namun, untuk anggota kelompok yang masih ada hutang/belum lunas pembayaran pinjamannya tidak diperbolehkan memperoleh pinjaman. Kelompok Mekarjati juga memperoleh bantuan alat produksi dari Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang pada Tahun 2011. Bantuan alat produksi tersebut berupa kompor gas, spinner, penggorengan, dan mesin pengaduk (mixer). Bantuan berupa kompor gas dimaksudkan untuk menciptakan diversifikasi alat produksi. Pemilik usaha keripik pada awalnya hanya bergantung pada kayu bakar dan minyak tanah, padahal kayu bakar sulit diperoleh (terutama saat musim penghujan) dan harga minyak tanah semakin mahal. Pada Tahun 2011, Kelompok Mekarjati juga telah mengajukan bantuan berupa alat perekat kemasan untuk anggaran Tahun 2012 ke Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian berbentuk pengembangan pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Pada pengertian industrialisasi pedesaan ini, industri merupakan kekuatan yang datang dari dalam pedesaan itu sendiri (indigineous industry). Hal
55
tersebut dapat dilihat dari proses-proses industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian merupakan pengembangan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo, industri keripik yang dikembangkan tersebut telah sejak lama dijalankan masyarakat di lokasi penelitian. Implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo telah menggunakan sumberdaya lokal berupa sumberdaya manusia lokal walaupun tidak semua rumahtangga pemilik usaha keripik menggunakan tenaga kerja di luar anggota rumahtangga mereka. Lebih lanjut, bahan baku keripik yang digunakan juga tersedia secara lokal, yaitu dijual di lokasi setempat, misalnya pasar Ungaran, difasilitasi kelompok Mekarjati, maupun dijual oleh rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo. Bahan baku, misalnya tempe, bahkan juga diproduksi oleh beberapa rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo. Namun, sumberdaya alam yang digunakan untuk bahan baku keripik tersebut tidak selalu merupakan produk pertanian lokal, khususnya produk pertanian Dusun Karangbolo atau Desa Lerep. Pasar maupun penjual bahan baku yang menjual bahan baku keripik tersebut dapat saja memasoknya dari lokasi lain. Ikhtisar Perekonomian Kabupaten Semarang sangat dipengaruhi oleh sektor industri. Jumlah unit usaha industri di Kabupaten Semarang pun cenderung meningkat. Berdasarkan keterangan dari Kepala Bagian Perindustrian dan Perdagangan Dinas Koperasi UMKM Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang, sektor industri kecil menegah/rumahtangga memiliki peranan penting dalam perekonomian Kabupaten Semarang. Beliau menyatakan, meskipun industri kecil menengah/rumahtangga memang hanya menunjukkan penyerapan tenaga kerja yang lebih sedikit bila dibandingkan penyerapan tenaga kerja oleh industri besar tetapi tenaga kerja tersebut lebih berasal dari masyarakat setempat. Oleh karena itu, industri kecil menengah /rumahtangga di Kabupaten Semarang merupakan sektor perekonomian yang potensial untuk dikembangkan. Industri makanan merupakan industri kecil menengah/rumahtangga terbanyak yang ada di Kabupaten Semarang dan setiap tahunnya semakin bertambah. Salah satu industri kecil menengah/rumahtangga yang memproduksi makanan di Kabupaten Semarang adalah sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo. Sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo telah cukup dikenal di Kabupaten Semarang. Produksi keripik di Dusun Karangbolo dipelopori oleh salah satu warga, yaitu Ibu Imroatun sejak Tahun 1979. Sejak Tahun 1989, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang aktif mencari potensi industri di seluruh kecamatan se-Kabupaten Semarang. Pada Tahun 1995-1996 pun akhirnya dibentuk kelompok usaha bersama (KUB) “Miraos” di Dusun Karangbolo. Pada Tahun 2005, digagas program “One-Day Tour Kabupaten Semarang” oleh Dinas Pariwisata Kabupaten Semarang. Dusun Karangbolo dijadikan sebagai salah satu obyek kunjungan wisatawan dalam “One-Day Tour Kabupaten Semarang” sebagai obyek wisata sentra industri keripik. Pada sekitar Tahun 2006, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang berupaya “menghidupkan kembali” Kelompok “Miraos” yang semakin tidak aktif dengan memotivasi pembentukan Kelompok Mekarjati. Saat ini Ketua kelompok Mekarjati tersebut adalah Ibu Muawannah.
56
Sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) di RW 07 Dusun Karangbolo banyak memperoleh bantuan dan pelatihan, khususnya dari Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Pada sekitar Tahun 2000, sentra industri tersebut memperoleh bantuan berupa alat perajang tempe. Pada Tahun 2008, Kelompok Mekarjati dibantu dalam mengurus Tanda Daftar Industri (TDI) dan izin Dinas Kesehatan. Pada Tahun 2009 dibentuklah pra-koperasi bahan baku untuk memfasilitasi ketersediaan bahan baku bagi pelaku industri keripik di Dusun Karangbolo. Pada Tahun 2011, Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang juga semakin aktif membina pemilik industri keripik di Dusun Karangbolo melalui tenaga penyuluh lapang. Namun, kegiatan pendampingan tersebut hanya difokuskan pada 5 industri rumahtangga yang dianggap cukup maju dan berpotensi untuk dikembangkan. Pada Tahun 2011, pemilik usaha keripik di Kelompok Mekarjati juga memperoleh pelatihan keterampilan boga, pelatihan dan pendampingan pembuatan proposal, serta pelatihan Achivement Motivation Training (AMT). Kelompok Mekarjati juga memperoleh bantuan alat produksi dan bantuan permodalan berupa dana hibah untuk koperasi sebesar lima belas juta rupiah pada Tahun 2011. Pada Tahun 2011, Kelompok Mekarjati juga mengajukan bantuan berupa alat perekat kemasan ke Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian berbentuk pengembangan pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Hal tersebut dapat dilihat dari proses-proses industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian merupakan pengembangan sentra industri kecil menengah/ rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo. Industri keripik yang dikembangkan tersebut telah sejak lama dijalankan masyarakat di lokasi penelitian. Implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo telah menggunakan sumberdaya lokal berupa sumberdaya manusia lokal walaupun tidak semua rumahtangga pemilik usaha keripik menggunakan tenaga kerja di luar anggota rumahtangga mereka. Lebih lanjut, bahan baku keripik yang digunakan juga tersedia secara lokal, yaitu dijual di lokasi setempat Namun, sumberdaya alam yang digunakan untuk bahan baku keripik tersebut tidak selalu merupakan produk pertanian lokal, khususnya produk pertanian Dusun Karangbolo atau Desa Lerep. Pasar maupun penjual bahan baku yang menjual bahan baku keripik tersebut dapat saja memasoknya dari lokasi lain.
57
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN Bab ini menguraikan tentang tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di Dusun Karangbolo. Berdasarkan sintesis pemikiran Sundar and Srinivasan (2009), (Desai 2007 dalam Sundand Srinivasan 2009), Krishna (2003) dalam Sundar and Srinivasan (2009), Ram (2000) dalam Sundar and Srinivasan (2009), Prasetyo (2007) dalam Tanzenia (2012), Sayogyo dan Tambunan (1990), terdapat tiga poin penting dalam industrialisasi pedesaan yaitu ketersediaan akses terhadap infrastruktur, penggunaan sumberdaya lokal, dan manfaat bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, tingkat implementasi industrialisasi pedesaan diartikan sebagai sejauh mana pengembangan industri pedesaan disertai dengan ketersediaan akses terhadap infrastruktur, menggunakan sumberdaya lokal, dan memiliki manfaat bagi masyarakat lokal. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dalam penelitian ini diukur menggunakan pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang dibuat untuk mengidentifikasi tiga subvariabel, yaitu tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal. Implementasi Industrialisasi Pedesaan Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dilihat dari sejauh mana pengembangan industri pedesaan disertai dengan ketersediaan akses terhadap infrastruktur, menggunakan sumberdaya lokal, dan memiliki manfaat bagi masyarakat lokal. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan total pertanyaan kuesioner sebanyak 20 buah dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang mengidentifikasi tiga subvariabel, yaitu tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal. Penggolongan masing-masing subvariabel berdasarkan data kuesioner digunakan untuk menggolongkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan secara bertingkat dengan menggunakan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Tabel 10. Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 5. Tabel 10 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No. Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan
∑
%
1.
Tinggi
13
43.3
2.
Sedang
17
56.7
3.
Rendah
0
0.0
30
100.0
Total
58
Gambar 5 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 10. menunjukkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dinyatakan tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dan dinyatakan sedang pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik. Dengan demikian, secara umum tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Karangbolo tergolong sedang. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong tinggi. Hal tersebut disebabkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur, tingkat penggunaan sumberdaya lokal, dan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal tergolong tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut, berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik yang menjelaskan hal tersebut. “Kalo dari dinas pernah dapet kompor mbak, dibantu juga ijin industrinya, dapat penyuluhan juga dari dinas mbak. Saya juga sering beli bahan baku dari pra koperasi mbak di kelompok. Dari dinas kan juga ada bantuan modal mbak buat simpan pinjam kelompok, dulu saya pernah pinjam juga di kelompok. Cuma sekarang lagi macet mbak pra koperasi sama simpan pinjamnya mbak.“- Ibu SMH “ Ada mbak buruhnya, empat orang itu ada yang sodara saya juga, perempuan semua. Kerjaannya ya nggorengi, ngrajang tempe, sama mbungkusi mbak. Nek bahan bakune yo paling beli di pasar nek nggak di Bu MQR mbak, nek gak di Bu RKY, gampang kok mbak belinya deket, dianterke juga. Nek buat bikin keripike yo gampang mbak, mung modal piso, wajan, yo ngono-ngono thok, gampang mbak.” – Ibu MQN “ Ada mbak buruhnya, empat orang itu ada yang saudara saya juga, perempuan semua. Kerjaannya ya menggoreng keripik, memotongi tempe, dan membungkus keripik. Kalau bahan baku ya paling beli di pasar mbak, atau di Bu MQR mbak, atau di Bu RKY, gampang kok mbak belinya deket, diantarkan pula. Kalau untuk membuat keripiknya ya gampang mbak, hanya perlu pisau, wajan, ya itu-itu saja mbak, gampang mbak.”- Ibu MQN
59
“ Dari keripik ya Alhamdulillah bisa buat beli rumah mbak, lumayan tak kontrakke kui mbak setaun dapat tambahan dikit-dikit. Sama tak buat modal beli jualan bahan baku mbak, muter aja gitu mbak pokoknya”- Ibu MQR
Di sisi lain, tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong sedang. Hal tersebut disebabkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada industri keripik yang dijalankan oleh sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik masih tergolong sedang. Sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik yang memiliki industri keripik masih belum menyerap tenaga kerja baik perempuan maupun laki-laki dari lokasi setempat melainkan hanya sebatas menggunakan tenaga kerja dari keluarga kecilnya (suami, istri, dan anak). Alasan pada rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut pun bermacam-macam, misalnya: skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar sehingga masih dapat dikerjakan sendiri, usaha keripik yang dijalankan tidak ditujukan untuk perbesaran skala melainkan hanya sebagai hiburan, pendapatan dari usaha keripik tidak terlalu banyak, ketersediaan SDM dalam rumahtangga melimpah untuk disertakan dalam usaha keripik, dan menjaga kualitas keripik yang diproduksi, contohnya Ibu SMH. “ Aku rak gelem owk mbak, nggo rewang. Ngko rasane bedho malah langgananne protes. Mbiyen wis tau mbak njajal nggo buruh , mbuh kuwi kok langgananne ngomong rasane bedho. Nek masak ngene kan tangan-an tho mbak, resepe podo nanging nek cekelanne bedo yo iso beda rosone, iso bedo wernone nggorenge, iso bedho ukuranne. Njur aku ngene wae lah mbak, dhewe wae, ben rak diprotes langgananne mergo bedo tumpine.”- Ibu SMH “ Saya nggak mau mbak pake buruh. Nanti rasanya beda malah pelanggan saya protes. Dulu saya pernah mbak coba pakai buruh, tapi nggak tau kok pelanggannya malah protes karena rasanya berbeda. Kalau urusan masak kan tergantung tangan yang memasak mbak, resepnya sama tapi kalau yang memasak beda kan ya bisa beda rasanya, bisa beda warna hasil gorengan keripiknya, bisa beda ukuran keripiknya. Terus saya kaya gini aja lah mbak, supaya nggak diprotes pelanggan gara-gara tumpinya beda rasanya.”- Ibu SMH
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tergolong sedang pada 56.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik juga disebabkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang tergolong sedang pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut disebabkan sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik belum merasakan manfaat dalam hal meningkatkan jejaring dan menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk aktivitas nafkah lainnya. Salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat pengembangan industri pedesaan dalam hal meningkatkan jejaring adalah rumahtangga Ibu SRH. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak merasa jejaringnya bertambah karena beliau memasarkan keripik dengan menyetor ke adiknya, berikut pernyataan beliau. “Biasa aja ik mbak, kan saya ndak njual sendiri, saya nyetore ke adik saya, nanti dia yang nyari langganan.”- Ibu SRH “Biasa saja mbak, kan saya tidak menjual sendiri, saya menyetorkan hasil keripik saya ke adik saya, nanti dia yang mencarikan pelanggan”- Ibu SRH
60
Terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat dari pengembangan industri keripik dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru, misalnya rumahtangga Ibu MRY dan MLH. “ Alah mbak, ngene wae wis mumet owk mbak. Nek aku ndue usaha liane ngko ndak mumet. Wis duite yo diputer wae nggo tuku modal neh mbak karo disimpen sithik-sithik. Jujur wae saya ndak berani mbak buat bikin usaha lain, yo nek payu, nek orak.”- Ibu MRY “ Aduh mbak, begini saja sudah pusing kok mbak. Kalau saya punya usaha lainnya nanti malah pusing. Ya sudah, uangnya hanya diputar saja untuk beli modal lagi mbak dan disimpan sedikit-sedikit. Jujur saja saya tidak berani untuk menambah usaha lain, iya kalau laku, kalau tidak bagaimana mbak.”- Ibu MRY “ Ndak mbak, kancaku mbien pernah njajal-njajal usaha liyane mbak, njur malah usahane do keteter kabeh kae ik mbak, ra kecekel. Dari situ saya belajar mbak, mbek Gusti Allah mungkin emang rak entuk maruk, wis mending disyukuri wae rejekine, sing penting ditenani wae kripike ngko kan mesti ono rejekine. Gusti Allah kan wis ngei dalane, garek ditenani, raksah njipuk rono-rene, wis ono jalure, sing penting lurus, fokus.”- Ibu MLH “ Tidak mbak, teman saya dulu pernah mencoba-coba membuat usaha tambahan,kemudian usahanya malah tidak terurus semua mbak. Dari saya belajar mbak, tidak boleh serakah, sudahlah lebih baik disyukuri saja rezekinya, yang penting fokus dan serius di usaha keripiknya, nanti kan ya pasti ada rezekinya. Allah kan sudah member jalannya tinggal sungguh-sungguh dalam menjalaninya mbak, tidak perlu menjamah bidang-bidang lainnya, sudah ada jalurnya, yang penting lurus, fokus.” – Ibu MLH
Beberapa rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru memiliki beragam alasan, misalnya karena takut mengambil resiko dan takut gagal, pendapatan dari usaha keripik tidak cukup besar, tidak memiliki waktu dan tenaga untuk melakukan hal tersebut, tidak memiliki keterampilan lain, ingin berfokus mengembangkan usaha keripik, dan karena tidak mampu bekerja dalam tekanan atau tidak mau repot, misalnya pada rumahtangga Ibu AFY. “ Saya kan orange nggak mau ngoyo mbak, sing penting saya nyaman, ngene wae wis repot mbak. Rejeki ya nggak kemana”- Ibu AFY “Saya kan orangnya nggak mau tertekan dan memaksakan diri mbak, yang penting saya nyaman, begini saja sudah repot mbak. Rejeki ya nggak ke mana”- Ibu AFY
Ketersediaan Akses Terhadap Infrastruktur Tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dilihat dari sejauh mana tersedia akses terhadap permodalan, pelatihan keterampilan, sarana produksi, jaringan pemasaran dan dukungan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri pedesaan. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan sepuluh pertanyaan dengan pilihan jawaban
61
“Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan tersedia atau tidaknya akses terhadap permodalan, pelatihan keterampilan, sarana produksi, jaringan pemasaran dan dukungan pemerintah untuk mendukung perkembangan industri pedesaan yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Tingkat Ketersediaan Akses Terhadap Infrastruktur
∑
%
1.
Tinggi
30
100.0
2.
Sedang
0
0.0
3.
Rendah
0
0.0
Total
30
100.0
Tabel 11 memperlihatkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan ketersediaan akses terhadap infrastruktur. Sebanyak seratus persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tinggi. Adapun presentase sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik mengenai tingkat ketersediaan akses terhadap infrastuktur.
62
“Kalo dari dinas pernah dapet kompor mbak, dibantu juga ijin industrinya, dapat penyuluhan juga dari dinas mbak. Saya juga sering beli bahan baku dari pra koperasi mbak di kelompok. Dari dinas kan juga ada bantuan modal mbak buat simpan pinjam kelompok, dulu saya pernah pinjam juga di kelompok- Ibu SMH “Dapet kompor sama tabung gas mbak, tak pakek mbak, mergo aku rak seneng nggo kayu mbak, ngundang tikus”- Ibu AFY “Dapat kompor sama tabung gas mbak, saya pakai mbak, soalnya saya nggak suka pakai kayu mbak, mengundang tikus.”- Ibu AFY
Meskipun tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tergolong tinggi pada seratus persen rumahtangga pemilik usaha keripik tetapi masih terdapat beberapa kendala dalam ketersediaan akses terhadap infrastruktur untuk pengembangan industri pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, sebagaimana pernyataan rumahtangga pemilik usaha keripik berikut mengenai bantuan permodalan. “Sekarang lagi macet mbak pra koperasi sama simpan pinjamnya mbak.“- Ibu SMH “Saing-saingan harga owk mbak, padahal yo jane wis disepakati mbak ning kelompok. Opomeneh nek misale ada yang wisata tho mbak, biasane cuma mampir ning panggone sing cedhak dalan thok mbak. Padahal kan nek mlebu-mlebu gang kene kan yo akeh mbak sing nggawe kripik. Misale nek dari dinas bantu bikin pusat oleh-oleh kan enak mbak, iso luwih adil, dadi sainganne saingan rasa thok, nek ngono kan sing tuku iso milih sing endi sing paling enak tho mbak.”- SFY “ Saling bersaing harga mbak, padahal ya sebenarnya sudah disekapati mbak di kelompok. Selain itu, biasanya kalau ada yang wisata, biasanya hanya mampir ke usaha keripik yang rumahnya di dekat jalan saja. Padahal kan jika masuk ke ganggang di sini kan ya banyak mbak yang memproduksi keripik. Misalnya dinas bantu membuat pusat oleh-oleh kan enak mbak, bisa lebih adil, jadi bersaingnya hanya saingan rasa saja, jika demikian kan pembeli bisa memilih produk keripik mana yang paling enak mbak.”- SFY
Lebih lanjut, kendala yang ada dalam akses infrastruktur berupa pelatihan menurut salah satu pemilik usaha keripik adalah sebagai berikut. “Pelatihan yo saya pernah dapet mbak, nanging ya nggak tak terapke mbak, angel soale ngitung-ngitung pake pembukuan gitu, sing penting ada nggo kulakan sesuk, rak tak itungi. Kudune yo diitung ya mbak, ben ngerti gimana biar usahane berkembang, tapi ya pie ya mbak, males mbak, mumet.”- Ibu MQN “Pelatihan ya saya pernah dapat mbak, tapi ya nggak saya terapkan mbak, karena susah menghitung pemasukan pengeluaran menggunakan pembukuan, kalau saya yang penting ada uang saja untuk belanja bahan baku lagi besoknya, tidak saya hitung. Seharusnya ya dihitung ya mbak supaya tahu bagaimana agar usahanya dapat berkembang, tapi bagaimana lagi, males mbak, pusing.- Ibu MQN “Pelatihan pernah dapet mbak. Tapi nek pelatihan yang terus-terusan itu cuma buat yang usahane wis mayan gedhe mbak. Terus yo ada pelatihan di provinsi mbak, nyampur sama pengusaha industri kecil lainnya mbak, ndak cuma keripik thok.
63
Jadine yo rumangsaku pelatihanne umum thok, nggak kefokus ning keripik thok ngono lho mbak. Kan luwih enak nek misale fokus, nggo sing usaha keripik thok.”AFY
“Pelatihan pernah dapat mbak. Tapi kalau pelatihan yang terus menerus itu hanya
untuk yang usahanya sudah lumayan besar mbak. Selain itu, juga ada pelatihan di provinsi mbah, bercampur dengan pengusaha industri kecil lainnya mbak, tidak hanya yang memproduksi keripik saja. Jadinya ya menurut saya pelatihannya sifatnya hanya secara umum saja mbak, tidak terfokus pada usaha keripik saja, begitu lho mbak. Kan lebih enak jika misalnya dapat lebih fokus, khusus hanya untuk yang memproduksi keripik saja”- AFY
Selain itu, kendala lain yang ada terkait dengan akses terhadap infrastruktur berupa bantuan alat dan bantuan pemasaran menurut beberapa pemilik usaha keripik adalah sebagai berikut. “ Ada mbak bantuan alat, dikasih kompor sama tabung gas, tapi jarang tak pakek mbak, soalnya lebih boros pake gas mbak daripada kayu bakar. Tapi nek gek musim hujan gini yo tak pakek kompor gasnya, kan susah mbak cari kayu. Biasane nek yang pake kompor gas itu yang usahane masih kecil mbak, kan nggak banyak nggorengine jadi nggak boros, tapi yo rak mesti ding mbak”- Ibu SMH “Ada mbak bantuan alat, diberi kompor dan tabung gas, tetapi jarang saya pakai mbak, soalnya lebih boros pakai gas mbak daripada kayu bakar. Tapi kalau sedang musim hujan seperti ini ya saya pakai mbak kompor gasnya, kan susah cari kayu. Biasanya kalau yang pakai kompor gas itu yang usahanya masih kecil mbak, kan nggak banyak menggoreng keripiknya, jadi nggak boros, tapi ya belum tentu juga sih mbak.”- Ibu SMH “Dari dinas yo ada pameran mbak. Tapi nek saya no males mbak kalo ditawari, malah remuk kabeh tumpine dimek-mek sing meh tuku ning pameran pas nakoni rego. Terus yo sayang waktune mbak, mending nggo nggorengi ning omah, ning omah wae laku okeh owk mbak, nek ditinggal melu pameran sayang.”- Ibu UAS “Dari dinas ya ada pameran mbak. Tapi kalau saya malas ikut mbak kalau misalnya ditawarkan untuk ikut, karena malah hancur semua keripik saya ketika dipegangpegang calon pembeli yang menanyakan harga. Sayang waktunya mbak, lebih baik untuk menggoreng keripik di rumah, di rumah saja laku banyak mbak, kalau ditinggal ikut pameran sayang.”- Ibu UAS
Berdasarkan uraian tersebut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, khususnya dalam hal ketersediaan akses terhadap infrastruktur, antara lain: (1) menyediakan dan mengembangkan infrastruktur pemasaran berupa sentra penjualan oleholeh Kabupaten Semarang yang menampung produk keripik dari seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik pada Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan menjualnya dengan kesepakatan harga dasar bersama pada kelompok. Hal tersebut dapat membantu mengurangi kendala pemasaran keripik secara merata dan adil pada rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung pada Kelompok Mekarjati, RW 07 Dusun Karangbolo; (2) memberikan bantuan alat yang lebih sesuai dengan kebutuhan alat produksi pada rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
64
mensurvei kebutuhan alat produksi dari masing-masing rumahtangga pemilik usaha keripik secara partisipatif; (3)memberikan pelatihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan keterampilan rumahtangga pemilik usaha keripik secara merata dan kontinyu pada seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mensurvei kebutuhan keterampilan pada masing-masing rumahtangga pemilik usaha keripik atau dapat melalui focus group discussion untuk analisis masalah yang diselenggarakan secara partisipatif bersamasama dengan pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Selain itu, peserta pelatihan hendaknya terfokus pada seluruh anggota kelompok Mekarjati saja dan pelatihan dilakukan secara kontinyu (berkelanjutan dan melakukan monitoring pelaksanaan hasil pelatihan secara berkala); (4) memberikan bantuan fasilitasi kemasan yang memungkinkan produk keripik tidak mudah hancur ketika dipasarkan; dan (5) memonitoring penggunaan bantuan dana untuk simpan pinjam kelompok. Lebih lanjut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik untuk mengatasi kendala tersebut antara lain: (1)menyepakati, menaati, menegakkan sanksi, dan memonitoring pelaksanaan kesepakatan harga antara sesama anggota kelompok pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo; (2)memonitoring penggunaan dana simpan pinjam kelompok, menaati aturan simpan pinjam, dan menegakkan sanksi demi lancarnya aliran dana simpan pinjam kelompok, dan (3)bekerja sama dalam kelompok untuk memasarkan produk keripik, misalnya dengan mengajukan proposal bantuan pendirian pusat oleh-oleh. Penggunaan Sumberdaya Lokal Tingkat penggunaan sumberdaya lokal dilihat dari sejauh mana industri pedesaan menggunakan tenaga kerja, bahan baku dan peralatan produksi yang tersedia di lokasi setempat atau di lokasi yang tidak jauh dari lokasi setempat; menggunakan peralatan produksi yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan lima pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan penggunaan tenaga kerja, bahan baku dan peralatan produksi yang tersedia di lokasi setempat atau di lokasi yang tidak jauh dari lokasi setempat; menggunakan peralatan produksi yang sesuai dengan pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat dalam industri keripik responden. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal. Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. memperlihatkan sebaran rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal. Sebanyak 56.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal sedang. Lebih lanjut, 43.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal tinggi. Dengan demikian, secara umum tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo relatif sedang. Adapun presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal dapat dilihat pada Gambar 7.
65
Tabel 12 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Tingkat Penggunaan Sumberdaya Lokal
∑
%
1.
Tinggi
14
43.7
2.
Sedang
16
56.3
3.
Rendah
0
0.0
30
100.0
Total
Gambar 7 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat penggunaan sumberdaya lokal yang tergolong sedang pada mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah industri keripik yang dijalankan masih belum menyerap tenaga kerja baik perempuan maupun laki-laki dari lokasi setempat. Masih banyak rumahtangga pemilik usaha keripik yang hanya sebatas menggunakan tenaga kerja dari keluarga kecilnya (suami, istri, dan anak) misalnya rumahtangga Ibu YLT, beliau tidak menggunakan tenaga kerja di luar rumahtangga beliau dengan alasan skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar. “Alah mbak, wong pesenanne yo rung akeh koyo tanggane owk mbak, ditandangi dewe yo sih kuat. Wong cuma nggo hiburan thok mbak.”- Ibu YLT “ Pesanannya juga belum banyak seperti tetangga yang lain mbak, dikerjakan sendiri juga masih kuat. Kan hanya untuk hiburan mbak”- Ibu YLT
Rumahtangga Ibu NFY juga memiliki alasan yang hampir serupa dengan rumahtangga Ibu YLT. Rumatangga beliau tidak menggunakan tenaga kerja di luar
66
rumahtangga beliau dengan skala usaha keripik yang dijalankan belum cukup besar. Selain itu beliau beralasan bahwa pendapatan dari industri keripik yang dijalankan belum cukup banyak dan masih digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sehingga beliau tidak memiliki kemampuan untuk membayar upah buruh. “ Saya kan hasilnya belum banyak tho mbak koyo tanggane sing liyo, meh nge’i wong pie, lha wong sing nggo awake dhewe wae pas-pasan” - Ibu NFY “Saya kan hasilnya belum banyak mbak seperti tetangga yang lainnya, gimana mau memberi upah orang lain, untuk diri sendiri saja pas-pasan”- Ibu NFY
Terdapat juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak mau menggunakan buruh karena rumahtangganya terdiri dari banyak orang sehingga sayang apabila SDM di dalam rumahtangga tidak diberdayakan terlebih dahulu untuk membantu usaha keripik, misalnya rumahtangga Ibu UAS. “ Ndak mbak, ngko ndak wong ning omah malah kesed, rak gelem ngewangi. Lha wong sak omah wae wong akeh owk, mosok nambah buruh seko njobo, kan mending diewangi keluarga dhewe tho mbak, selain kuwi yo lumayan rak sah ngetokke duit nggo mbayar wong.”- Ibu UAS “Nggak mbak, nanti malah orang yang di rumah jadi malas, nggak mau bantubantu. Kan satu rumah aja banyak mbak orangnya, masa harus tambah buruh dari luar, kan lebih baik dibantu sama keluarga sendiri mbak. Lagipula kan lumayan, tidak perlu keluar uang untuk bayar orang.”- Ibu UAS
Selain itu, ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak mau menggunakan buruh dengan alasan untuk menjaga kualitas keripik produksinya, contohnya rumahtangga Ibu SMH. “ Aku rak gelem owk mbak, nggo rewang. Ngko rasane bedho malah langgananne protes. Mbiyen wis tau mbak njajal nggo buruh , mbuh kuwi kok langgananne ngomong rasane bedho. Nek masak ngene kan tangan-an tho mbak, resepe podo nanging nek cekelanne bedo yo iso beda rosone, iso bedo wernone nggorenge, iso bedho ukuranne. Njur aku ngene wae lah mbak, dhewe wae, ben rak diprotes langgananne mergo bedo tumpine.”- Ibu SMH “ Saya nggak mau mbak pake buruh. Nanti rasanya beda malah pelanggan saya protes. Dulu saya pernah mbak coba pakai buruh, tapi nggak tau kok pelanggannya malah protes karena rasanya berbeda. Kalau urusan masak kan tergantung tangan yang memasak mbak, resepnya sama tapi kalau yang memasak beda kan ya bisa beda rasanya, bisa beda warna hasil gorengan keripiknya, bisa beda ukuran keripiknya. Terus saya kaya gini aja lah mbak, supaya nggak diprotes pelanggan gara-gara tumpinya beda rasanya.”- Ibu SMH
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo telah menggunakan sumberdaya lokal berupa sumberdaya manusia lokal walaupun tidak semua rumahtangga pemilik usaha keripik menggunakan tenaga kerja di luar anggota rumahtangga mereka. Lebih lanjut, bahan baku keripik yang digunakan juga tersedia secara lokal, yaitu dijual di lokasi setempat, misalnya pasar Ungaran, difasilitasi kelompok Mekarjati, maupun dijual oleh rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo.
67
Bahan baku, misalnya tempe, bahkan juga diproduksi oleh beberapa rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo. Namun, sumberdaya alam yang digunakan untuk bahan baku keripik tersebut tidak selalu merupakan produk pertanian lokal, khususnya produk pertanian Dusun Karangbolo atau Desa Lerep. Pasar maupun penjual bahan baku yang menjual bahan baku keripik tersebut dapat saja memasoknya dari lokasi lain. Hal tersebut misalnya dikatakan oleh Ibu MQR. “ Nek tempe di sini ada beberapa sing bikin mbak. Nek liyane yo ono sing tuku ning tanggane, kulak ning saya, ono sing tuku ning pasar, pasar Ungaran kene lho mbak. Yo mbuh mbak, nek neng pasar rak reti kuwi kacange seko endi, yo kan iso wae ndak dari ungaran thok tho mbak, wong jenenge bakul kulak seko endi wae yo iso.”Ibu MQR “Kalau tempe di sini ada beberapa yang produksi mbak. Kalau bahan baku lainnya ada yang beli di tetangga, beli di saya, ada yang beli di pasar, pasar Ungaran sini itu lho mbak. Ya tidak tahu mbak, kalau di pasar kan tidak tahu itu kacangnya dari mana, ya kan bisa saja tidak dari Ungaran saja kan mbak, namanya juga penjual bisa memasok dari mana saja kan.”- Ibu MQR
Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan pemerintah untuk mendukung implementasi industrialisasi pedesaan pada poin penggunaan sumberdaya lokal adalah mengembangkan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Hal tersebut juga sebaiknya didukung oleh masyarakat Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep, termasuk rumahtangga pemilik usaha keripik. Dengan demikian, implementasi industrialisasi pedesaan dapat didukung sumberdaya alam lokal sehingga pemilik usaha keripik tidak tergantung pada komoditas pertanian dari lokasi lain (maupun produk pertanian impor). Selain itu, melalui langkah tersebut, sektor pertanian on farm juga dapat berkembang sebagai salah satu basis nafkah yang dapat menampung sumberdaya manusia lokal sembari mengembangkan sektor industri keripik sebagai basis aktivitas nafkah pada sektor pertanian off farm. Dengan berkembangnya dua sektor yang menjadi basis aktivitas nafkah tersebut, diharapkan rumahtangga pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo secara umum juga mampu meningkatkan taraf hidupnya melalui strategi nafkah yang dilakukan. Selain itu penggunaan sumberdaya manusia lokal sebagai buruh/tenaga kerja tambahan juga perlu ditingkatkan oleh rumahtangga pemilik usaha pedesaan.
Manfaat Bagi Masyarakat Lokal Tingkat manfaat bagi masyarakat lokal dilihat dari sejauh mana industrialisasi pedesaan menciptakan diversifikasi ekonomi masyarakat lokal, memberikan keamanan finansial bagi masyarakat lokal, meningkatkan jejaring, meningkatkan keterampilan masyarakat lokal, memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Rumahtangga pemilik usaha keripik diberikan lima pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya” atau “Tidak” yang menunjukkan manfaat bagi rumahtangga pemilik usaha keripik dengan berkembangnya industri pedesaan dari segi keamanan finansial/kemampuan memenuhi kebutuhan, tambahan jejaring, peningkatan keterampilan, dan penggunaan pendapatan dari usaha keripik untuk memperoleh sumber pendapatan tambahan. Data yang diperoleh dari jawaban pertanyaan kuesioner tersebut digolongkan secara bertingkat dengan skala ordinal.
68
Jumlah dan presentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Tingkat Manfaat bagi Masyarakat Lokal
∑
%
1.
Tinggi
25
83.3
2.
Sedang
5
16.7
3.
Rendah
0
0.0
30
100.0
Total
Gambar 8 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 13. menunjukkan bahwa tingkat manfaat bagi masyarakat lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik 83.3 persennya tergolong tinggi dan 16.7 persen sisanya tergolong sedang. Dengan demikian, secara umum tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang terdapat pada implementasi industrialisasi pedesaan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong relatif tinggi. Berikut beberapa pernyataan pemilik usaha keripik mengenai hal tersebut. “Kacek mbak dapetnya, nek dulu meh nggo mbayar sekolah anake ndadak ngutang nek orak ngedol emas, nek saiki yo ono.” - Ibu MTF “ Perbedaannya jauh mbak, kalau dulu untuk bayar sekolah anak harus berhutang atau jual emas, kalau sekarang sudah ada simpanan untuk itu.”- Ibu MTF
69
“Mbiyen yo rak iso mbak nggawe keripik, terus ndelok tanggane sing dodol kripik gek nggawe, aku njajal-njajal yo iso.”- Ibu RWY “Dulu ya saya nggak bisa mbak buat keripik, terus saya lihat tetangga saya yang punya usaha keripik sedang membuat keripik, terus saya coba-coba jadi bisa.” Ibu RWY “Lumayan mbak iso dadi omah loro mbak, tak kontrakke nggo tambahtambah”- Ibu MQR “Lumayan mbak bisa jadi 2 rumah, saya kontrakkan untuk menambah pendapatan”- Ibu MQR
Namun, terdapat 16.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal pada implementasi industri pedesaan yang tergolong sedang. Salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat pengembangan industri pedesaan dalam hal meningkatkan jejaring adalah rumahtangga Ibu SRH. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak merasa jejaringnya bertambah karena beliau memasarkan keripik dengan menyetor ke adiknya, berikut pernyataan beliau. “Biasa aja ik mbak, kan saya ndak njual sendiri, saya nyetore ke adik saya, nanti dia yang nyari langganan.”- Ibu SRH “Biasa saja mbak, kan saya tidak menjual sendiri, saya menyetorkan hasil keripik saya ke adik saya, nanti dia yang mencarikan pelanggan”- Ibu SRH
Hal yang serupa juga dialami oleh beberapa responden lainnya, misalnya Ibu RWY. “ Alah wong aku ngedol ki lewat tonggoku owk mbak. Tak setorke ke mbak SFH kui lho mbak, aku gawene mung nggawe thok. Lha nek mbak SFH kae akeh mbak langgananne.”- Ibu RWY “ Aku rak nggolek langganan mbak, yo langgananne kui kancaku sing emang jatahe ngedolke mbak. Aku kan kerjasama karo kancaku kui mbak, mbien kanca pabrikku, njur deknen sing ngedolke keripikku.”- Ibu RWY
Terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang belum merasakan manfaat dari pengembangan industri keripik dari segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru, misalnya Ibu MRY dan MLH. “ Alah mbak, ngene wae wis mumet owk mbak. Nek aku ndue usaha liane ngko ndak mumet. Wis duite yo diputer wae nggo tuku modal neh mbak karo disimpen sithik-sithik. Jujur wae saya ndak berani mbak buat bikin usaha lain, yo nek payu, nek orak.”- Ibu MRY “ Ndak mbak, kancaku mbien pernah njajal-njajal usaha liyane mbak, njur malah usahane do keteter kabeh kae ik mbak, ra kecekel. Dari situ saya belajar mbak, mbek Gusti Allah mungkin emang rak entuk maruk, wis mending disyukuri wae rejekine, sing penting ditenani wae kripike ngko kan mesti ono rejekine. Gusti
70
Allah kan wis ngei dalane, garek ditenani, raksah njipuk rono-rene, wis ono jalure, sing penting lurus, fokus.”- Ibu MLH
Rumahtangga Ibu MRY dan Ibu MLH tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena takut mengambil resiko dan takut gagal. Di sisi lain terdapat juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/ memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena pendapatan dari usaha keripik belum cukup banyak, misalnya rumahtangga Ibu NFY. Selain itu ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang tidak memperoleh manfaat dalam segi menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk diversifikasi nafkah/memperoleh tambahan sumber pendapatan baru karena tidak memiliki waktu dan tenaga untuk melakukan hal tersebut, misalnya Ibu ULT. “ Alah mbak, mung hasile seko keripik ngge mangan, sekolah anak-anake, nggo nyumbang mbak. Ora mbak, nek nggo liyane mbak, wis iki wae, mung nggawe kripik thok duene.” - Ibu NFY “ Alah mbak, kan hasil dari keripiknya untuk makan, biaya sekolah anak dan untuk kegiatan sosial. Tidak mbak, tidak untuk kegiatan lainnya, yasudah hanya ini saja, punyanya hanya usaha keripik saja.”-Ibu NFY “ Ndak ada waktune mbak, ngene wae pesenanne wis akeh mbak, wis kesel awake”- Ibu ULT “Tidak ada waktunya mbak, begini saja pesanannya sudah banyak mbak, sudah capek badannya”- Ibu ULT
Selain itu, terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang memang tidak mau menggunakan sumber pendapatan dari keripik untuk memperoleh tambahan sumber pendapatan karena sifatnya yang tidak mampu bekerja dalam tekanan atau tidak mau repot, misalnya rumahtangga Ibu AFY. “ Saya kan orange nggak mau ngoyo mbak, sing penting saya nyaman, ngene wae wis repot mbak. Rejeki ya nggak kemana” - Ibu AFY
Berdasarkan uraian tersebut, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh oleh rumahtangga pemilik usaha keripik adalah berani mencoba mengembangkan usaha keripiknya menjadi berskala lebih besar dan tidak takut menggunakan keuntungan dari industri keripik yang dijalankan untuk diversifikasi nafkah rumahtangga dalam rangka memperoleh tambahan sumber pendapatan rumahtangga. Selain itu, rumahtangga pemilik usaha keripik juga sebaiknya mengembangkan jejaring melalui lebih aktif mencari pelanggan dan bekerja sama dengan pelanggan tersebut. Ikhtisar Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dinyatakan tinggi pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dan dinyatakan sedang pada 56.7 persen rumahtangga
71
pemilik usaha keripik. Dengan demikian, secara umum tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Karangbolo tergolong sedang. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tergolong sedang pada 43.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik juga disebabkan tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang tergolong sedang pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut disebabkan sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik belum merasakan manfaat dalam hal meningkatkan jejaring dan menggunakan pendapatan dari usaha keripik untuk aktivitas nafkah lainnya. Jika diperinci per variabel tingkat implementasi industrialisasi pedesaan, hasil penelitian menunjukkan sebanyak 100 persen responden menyatakan bahwa tingkat ketersediaan akses terhadap infrastruktur tinggi. Berdasarkan tingkat penggunaan sumberdaya lokal, sebanyak 56.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal sedang dan 43.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menyatakan bahwa tingkat penggunaan sumberdaya lokal tinggi. Dengan demikian, secara umum tingkat penggunaan sumberdaya lokal pada rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo relatif sedang. Terakhir, hasil penelitian menunjukkan pada variabel tingkat manfaat bagi masyarakat lokal, 83.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong tinggi dan 16.7 persen sisanya tergolong sedang. Dengan demikian, secara umum tingkat manfaat bagi masyarakat lokal yang terdapat pada implementasi industrialisasi pedesaan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik tergolong relatif tinggi. Terkait dengan hasil penelitian dan kendala yang ditemukan pada ketiga poin penting industrialisasi pedesaan, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyediakan dan mengembangkan infrastruktur pemasaran berupa sentra penjualan oleh-oleh Kabupaten Semarang yang menampung produk keripik dari seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik pada Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan menjualnya dengan kesepakatan harga dasar bersama pada kelompok; (2) memberikan bantuan alat yang lebih sesuai dengan kebutuhan alat produksi pada rumahtangga pemilik usaha keripik; (3)memberikan pelatihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan keterampilan rumahtangga pemilik usaha keripik secara merata dan kontinyu pada seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo; (4)memberikan bantuan fasilitasi kemasan yang memungkinkan produk keripik tidak mudah hancur ketika dipasarkan; (5)memonitoring penggunaan bantuan dana untuk simpan pinjam kelompok; dan (6) mengembangkan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Lebih lanjut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyepakati, menaati, menegakkan sanksi, dan memonitoring pelaksanaan kesepakatan harga antara sesama anggota kelompok pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo; (2)memonitoring penggunaan dana simpan pinjam kelompok, menaati aturan simpan pinjam, dan menegakkan sanksi demi lancarnya aliran dana simpan pinjam kelompok, (3)bekerja sama dalam kelompok untuk memasarkan produk keripik, misalnya dengan mengajukan proposal bantuan pendirian pusat oleh-oleh, (4)berani mencoba mengembangkan usaha keripiknya menjadi berskala lebih besar, (5)tidak takut menggunakan keuntungan dari industri keripik yang dijalankan untuk diversifikasi nafkah rumahtangga dalam rangka memperoleh tambahan sumber pendapatan rumahtangga, dan
72
(6)mengembangkan jejaring melalui lebih aktif mencari pelanggan dan bekerja sama dengan pelanggan tersebut, dan (7)mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Selain itu, masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo, maupun Desa Lerep sebaiknya ikut serta dan mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo.
73
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN, STRATEGI NAFKAH, DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA Bab ini menguraikan strategi nafkah serta struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Selain itu, sub bab struktur nafkah akan menguraikan tingkat kontribusi sektor industri keripik dalam struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Sub bab terakhir dalam bab ini menganalisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo. Strategi dan Sumber Nafkah Rumahtangga Strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik pada penelitian ini dikategorikan berdasarkan basis nafkahnya, yaitu strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) , strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor non pertanian/non farm, dan strategi nafkah ganda (berbasis sektor pertanian/farm dan non pertanian/non farm). Data mengenai strategi nafkah diperoleh dengan mengidentifikasi aktivitas nafkah yang dilakukan masing-masing anggota rumahtangga, kemudian pada level rumahtangga dilihat keseluruhan basis aktivitas nafkah yang dilakukan setiap anggota rumahtangga tersebut sebagai dasar pengkategorian strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berdasarkan basisnya dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berdasarkan basisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Strategi Nafkah Rumahtangga Berdasarkan Basisnya
∑
%
1.
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Pertanian (farm)
6
20.0
2.
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Non Pertanian (Non Farm)
0
0.0
24
80.0
30
100.0
3.
Strategi Nafkah Rumahtangga Ganda (Berbasis Sektor Pertanian/Farm dan Non Pertanian/ Non Farm Total
Tabel 14 menunjukkan bahwa 80 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menerapkan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor non pertanian/non farm dan sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) dan 20 persen menerapkan strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm). Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan strategi nafkah rumahtangga yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 9.
74
Gambar 9 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berdasarkan basisnya Tahun 2012 Strategi nafkah tersebut diterapkan dengan menjalankan aktivitas nafkah yang beragam pada rumahtangga pemilik usaha keripik. Secara umum, aktivitas nafkah yang terkait dengan bidang domestik, seperti buruh asuh anak dan sektor pertanian off farm (usaha keripik) dijalankan oleh istri dan anggota rumahtangga berjenis kelamin wanita. Aktivitas nafkah berupa menjalankan usaha keripik cenderung dijalankan oleh istri meskipun tak jarang rumahtangga yang memanfaatkan anggota rumahtangga lainnya untuk membantu menjalankan aktivitas nafkah tersebut. Selain itu, pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik aktivitas nafkah berupa usaha keripik dibantu oleh buruh yang dapat merupakan kerabat, ataupun tetangga. Di sisi lain, aktivitas nafkah yang terkait dengan sektor pertanian on farm, pegawai pemerintahan, dan tenaga serabutan, cenderung dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki meskipun ada juga wanita yang menjalankan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm tersebut, misalnya pada rumahtangga yang suaminya sudah meninggal dan tidak memiliki anggota rumahtangga lain yang berjenis kelamin laki-laki. Lebih lanjut, aktivitas nafkah sebagai buruh pabrik dijalankan oleh anggota rumahtangga berjenis kelamin laki-laki maupun wanita. Tabel 14 dan Gambar 9 menunjukkan bahwa 20 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menjalankan strategi nafkah berbasis sektor pertanian/ farm. Aktivitas nafkah pada strategi nafkah berbasis sektor pertanian/ farm yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik ditemukan berupa aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm serta aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm dan off farm. Jumlah dan persentase rumahtangga
pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 tersebut dapat dilihat pada Tabel 15. Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 juga dapat dilihat pada Gambar 10.
75
Tabel 15 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Pertanian Berdasarkan Jenisnya
∑
%
1.
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Pertanian On Farm
0
0.0
2.
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Pertanian Off Farm
3
50.0
3.
Strategi Nafkah Rumahtangga Berbasis Sektor Pertanian On Farm dan Off Farm
3
50.0
6
100.0
Total
Gambar 10 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian berdasarkan jenisnya di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 15 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa terdapat 50 persen rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan strategi nafkah berbasis sektor pertanian/ farm dengan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm. Di sisi lain, terdapat 50 persen rumahtangga pemilik usaha keripik yang melakukan strategi nafkah berbasis sektor pertanian/ farm dengan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm dan off farm.
76
Aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo adalah aktivitas menjalankan usaha keripik. Usaha keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik utamanya dijalankan oleh istri. Istri mengelola hampir seluruh aktivitas nafkah pada usaha keripik yang dijalankan. Aktivitas nafkah yang dilakukan dalam usaha keripik tersebut dimulai dari menerima pesanan, belanja bahan baku keripik, mempersiapkan adonan keripik atau biasa disebut “ngejer-i”, menggoreng keripik, membungkus keripik, dan mengantarkan pesanan keripik atau menunggu pemesan datang mengambil pesanan. Pemesanan keripik biasa dilakukan melalui telepon maupun berkunjung langsung ke rumah. Aktivitas belanja bahan baku keripik biasa dilakukan dengan pemesanan melalui telepon, baik ke tetangga, saudara, maupun ke toko langganan di pasar. Pesanan tersebut biasanya akan diantarkan langsung ke rumah. Meskipun terkadang ada juga pemilik usaha keripik yang memilih belanja bahan baku langsung ke pasar, kebanyakan pemilik usaha keripik mengaku lebih senang meminta pesanannya langsung ke rumah untuk menghemat waktu dan tenaga, misalnya pada Ibu MTF. “ Nek belanja ke pasar kan wektune entek mbak, rak iso nggo nggorengi. Enak diterke, garek ngebel, wong murah wae owk nambah nggo ngeterkene, nanging kan rak rugi wektu sing nggo nggorengine mbak.”- Ibu MTF “Kalau belanja ke pasar kan waktunya habis mbak, tidak bisa untuk menggoreng keripik. Lebih enak diantarkan pesanannya ke rumah, tinggal telepon, apalagi kan biaya tambahan untuk mengantarkan pesanannya murah, tapo kan tidak perlu rugi waktu yang digunakan untuk menggoreng keripik mbak.”-Ibu MTF
Aktivitas mempersiapkan bahan baku keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik ada yang dilakukan sendiri oleh istri, dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya, ataupun dibantu buruh. Aktivitas mempersiapkan bahan baku keripik tersebut misalnya adalah merendam kacang, memotongi tempe, dan mempersiapkan bumbu. Namun, untuk aktivitas mempersiapkan bumbu biasanya dilakukan oleh istri secara langsung, misalnya pada rumahtangga Ibu SFR. “ Subuh tu mbak, bapak yo sering ngewangi ngerendem kacange kae tho mbak” Ibu SFR “Subuh itu mbak, bapak ya sering membantu merendam kacang mbak”- Ibu SFR
Aktivitas mempersiapkan adonan keripik atau biasa disebut “ngejer-i” juga biasa dilakukan langsung oleh istri. Aktivitas menggoreng keripik dan membungkus keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik ada yang dilakukan sendiri oleh istri, dibantu oleh anggota rumahtangga lainnya, ataupun dibantu buruh. Lebih lanjut, aktivitas mengantarkan keripik biasa dilakukan oleh anggota rumahtangga lainnya, misalnya anak atau suami. Bahkan, pada salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik, anak membantu menjadi sales keripik dengan diberi harga dasar dari ibunya, misalnya pada rumahtangga Ibu SFR. “Anak saya kan yo jadi sales keripik saya mbak, dari saya tak kasih harga, sisanya dia yang ambil, pokmen aku ngertine entuk sing rego tak kasih tadi mbak.”- Ibu SFR “Anak saya kan juga jadi sales keripik saya mbak, dari saya saya beri harga dasar, sisanya dia yang ambil, pokoknya saya tahunya saya dapat uang seharga yang saya beri tadi”- Ibu SFR
77
Namun, kebanyakan rumahtangga pemilik usaha keripik mengaku tidak perlu mengantarkan pesanan keripik karena biasanya pemesan akan langsung datang ke rumah untuk mengambil pesanan. Untuk promosi, kebanyakan rumahtangga pemilik usaha keripik mengaku tidak pernah memasarkan keripik melalui promosi iklan. Bentuk promosi yang dilakukan, misalnya dengan mengikuti pameran, menyertakan nama, alamat, dan nomor telepon pada merek dagang, promosi mulut ke mulut, menyediakan sampel keripik di meja tamu rumah, dan membuat kartu nama. Lebih lanjut, Tabel 15 dan Gambar 10 juga menunjukkan bahwa 50 persen rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan strategi nafkah ganda berbasis sektor pertanian melaksanakan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm dan off farm. Selain melakukan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm berupa aktivitas menjalankan usaha keripik, rumahtangga responden tersebut juga melakukan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm. Berikut adalah aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah berbasis sektor pertanian/farm : a.
Mengerjakan sawah pribadi Aktivitas nafkah mengerjakan sawah pribadi biasa dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya ayah, anak atau kerabat lainnya. Kepemilikan sawah tersebut ada yang diperoleh dari warisan, membeli sendiri, maupun dari tanah bengkok, misalnya pada rumahtangga Ibu MTF. “ Bapak nggarap sawah mbak, yo sithik sithik ndue mbak, nggo mangan”Ibu MTF “Bapak mengerjakan sawah mbak, ya sedikit-sedikit punya mbak, untuk makan”- Ibu MTF
b.
Mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah) Pada rumahtangga pemilik usaha keripik juga ditemukan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm berupa mengerjakan sawah orang lain. Aktifitas tersebut dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya suami, anak ataupun kerabat lainnya, misalnya pada rumahtangga Ibu MTF. “ Suami saya nggarap sawahe orang mbak, ngko hasile paro-paro mbak.”Ibu MTF “Suami saya menggarap sawah milik orang lain mbak, nanti hasilnya 50:50 mbak”-Ibu MTF
Tabel 14 dan Gambar 9 sebelumnya juga menunjukkan bahwa 80 persen rumahtangga pemilik usaha keripik menjalankan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm). Aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik ditemukan berupa aktivitas nafkah berbasis sektor non farm dan sektor pertanian off farm serta aktivitas nafkah berbasis sektor non farm dan sektor pertanian on farm maupun off farm. Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah
78
rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 juga dapat dilihat pada Gambar 11. Tabel 16 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Strategi Nafkah Rumahtangga Ganda Berdasarkan Basis Sektor Pertanian
∑
%
1.
Strategi Nafkah Rumahtangga Ganda Berbasis Sektor Pertanian On Farm
0
0.0
2.
Strategi Nafkah Rumahtangga Ganda Berbasis Sektor Pertanian Off Farm
15
62.5
3.
Strategi Nafkah Rumahtangga Ganda Berbasis Sektor Pertanian On Farm dan Off Farm
9
37.5
24
100.0
Total
Gambar 11 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut strategi nafkah rumahtangga ganda berdasarkan jenis basis sektor pertanian di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 16 dan Gambar 11 menunjukkan bahwa terdapat 62.5 rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan strategi nafkah ganda (berbasis sektor pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm) dengan jenis basis sektor pertanian off farm. Selain
79
menjalankan aktivitas nafkah berbasis sektor non farm, rumahtangga tersebut menjalankan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian, yaitu sektor pertanian off farm. Tabel 16 dan Gambar 11 tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat 37.5 persen rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan strategi nafkah ganda (berbasis sektor pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm) dengan jenis basis sektor pertanian on farm dan off farm. Aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm pada strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut adalah aktivitas menjalankan usaha keripik. Sedangkan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm yang dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah ganda berbasis sektor (pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm) adalah sebagai berikut: a.
Mengerjakan sawah pribadi
b.
Mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah)
c.
Mengerjakan sawah pribadi dengan menggunakan tenaga penggarap (bagi hasil) Aktivitas mengerjakan sawah pribadi dengan menggunakan tenaga penggarap juga ditemukan dalam rumahtangga pemilik usaha keripik, misalnya pada rumahtangga Ibu SLH. “ Ada mbak sawah, tapi kan sekarang suami sudah nggak ada, jadi ya tak garappke ke orang lain mbak.”- Ibu SLH “Ada mbak sawah, tapi kan sekarang suami sudah meninggal, jadi ya saya minta tolong orang lain untuk menggarap sawah itu”- Ibu SLH
d.
Mengerjakan kebun Aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm lainnya yang ditemukan pada rumahtangga pemilik usaha keripik adalah menebaskan hasil kebun. Aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh istri ataupun suami, misalnya pada rumahtangga Ibu MWN. “ Setahun nanti kan panen duren mbak sama kelapa, tak tebaske”- Ibu MWN “ Setahun nanti kan panen durian dan kelapa, saya tebaskan mbak”- Ibu MWN
e.
Beternak Aktivitas nafkah pada sektor pertanian lainnya yang ditemukan pada rumahtangga pemilik usaha keripik adalah beternak. Aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya oleh suami, anak, atau kerabat lainnya, seperti pada rumahtangga Ibu UAS. “ Adikku kan nduwe kae mbak, pitik. Hobi owk mbak, yo nggo hiburan”- Ibu UAS “Adik saya kan punya ayam mbak. Dia hobi memelihara ayam mbak, ya buat hiburan”- Ibu UAS
80
Lebih lanjut, aktivitas nafkah berbasis sektor non pertanian/ non farm yang dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah ganda berbasis sektor (pertanian/farm dan sektor non pertanian/non farm) tersebut adalah sebagai berikut: a. Jasa transportasi Aktivitas nafkah dalam bidang jasa transportasi biasa dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu suami atau anak. Beberapa aktivitas nafkah dalam bidang jasa transportasi yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik antara lain sebagai: sopir truk, sopir angkutan umum, dan tukang ojek, misalnya pada rumahtangga Ibu MSD. “ Suami saya kan ngojek mbak, nanti siang istirahat makan, sore dilanjut lagi. Nanti malem kalo dah pulang gitu dia bantu saya mbungkusi keripik mbak”- Ibu MSD “ Suami saya kan jadi tukang ojek mbak, nanti siang istirahat makan, sore dilanjutkan lagi kerjanya. Nanti malam kalau suami sudah pulang, dia bantu saya membungkusi keripik mbak”- Ibu MSD
b.
Tenaga serabutan Aktivitas nafkah sebagai tenaga serabutan yang dijalankan oleh anggota rumahtangga pemilik usaha keripik antara lain sebagai buruh bangunan, pesuruh masjid, pesuruh kantor, dan awak kapal. Aktivitas nafkah sebagai tenaga serabutan ini dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, yaitu suami atau anak, misalnya pada rumahtangga Ibu MLH. “ Anak saya kan itu mbak kerjanya di masjid mbak, bersih-bersih gitu mbak, yo nggo kesibukan”- Ibu MLH “Anak saya kan itu mbak, kerjanya di masjid mbak, bersih-bersih gitu mbak, ya buat kesibukan lah”- Ibu MLH
Selain itu, terdapat pula rumahtangga yang melakukan aktivitas nafkah sebagai buruh asuh anak. Aktivitas nafkah sebagai buruh asuh anak dilakukan oleh istri, misalnya pada rumahtangga Ibu MZT. “ Saya yo nyambi buruh momong mbak, nggo nyambung urip mbak.”Ibu MZT “ Saya juga bekerja sebagai buruh asuh anak mbak, untuk menyambung hidup”- Ibu MZT
c.
Pegawai swasta Pada rumahtangga pemilik usaha keripik juga ditemukan anggota rumahtangga yang melakukan aktivitas nafkah sebagai pegawai swasta, misalnya sebagai pegawai counter handphone, pegawai dealer motor, satpam, sopir biro travel, pegawai bank keliling, dan buruh pabrik. Aktivitas nafkah sebagai pegawai swasta tersebut biasanya dilakukan anggota rumahtangga selain istri, misalnya pada rumahtangga Ibu UAS. “ Adik sama adik ipar saya kerja di pabrik mbak, pulangnya malem.”- Ibu UAS
81
d.
Pegawai pemerintahan Aktivitas nafkah sebagai pegawai pemerintahan yang ditemukan pada rumahtangga pemilik usaha keripik bukanlah sebagai pegawai dengan jabatan yang tinggi dan gaji pokok yang besar, melainkan sebagai pengemudi, satpam, pensiunan, dan perangkat desa. Aktivitas tersebut dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya suami atau anak, seperti pada rumahtangga Ibu THM dan Ibu RKY. “ Suami jadi perangkat mbak, kepala dusun”- Ibu RKY “ Bapak kan pensiunan dinas perikanan mbak, 2 D dulu mbak. Ya Alhamdulillah mbak ono sing tetep saben wulanne.”- Ibu THM “ Bapak kan pensiunan dinas perikanan mbak, golongan 2 D dulu mbak. Ya Alhamdulillah mbak ada pendapatan yang tetap setiap bulannya”- Ibu THM
e.
Wiraswasta dalam bidang jasa Aktivitas nafkah pada rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik lainnya adalah berwiraswasta dalam bidang jasa, misalnya dengan menjalankan usaha pengecatan mobil, menjalankan usaha pemasangan listrik, dan usaha teknisi computer. Aktivitas nafkah tersebut dijalankan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya oleh suami atau anak, seperti pada rumahtangga Ibu MQN. “ Suami saya kan bikin CV mbak, masangi listrik tu lho mbak, mitra kerjane PLN.”- Ibu MQN “Suami saya kan mendirikan CV mbak, pemasangan listrik itu lho mbak, mitra kerjanya PLN.”- Ibu MQN
f.
Wiraswasta dalam bidang non jasa Selain menjalankan usaha keripik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, aktivitas wiraswasta dalam bidang non jasa antara lain dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan menjalankan usaha pembuatan kusen dan berdagang gorengan. Aktivitas tersebut dijalankan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki, misalnya suami atau anak, seperti pada rumahtangga Ibu JRY. “ Suami saya bikin kusen itu mbak, lumayan mbak nggo samben.”- Ibu JRY “ Suami saya membuat kusen itu mbak, lumayan mbak untuk sambilan”Ibu JRY
Selain itu terdapat pula rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan aktivitas nafkah dengan menjalankan usaha perkakas rumahtangga dan berdagang di koperasi sekolah. Aktivitas nafkah ini dilakukan oleh istri, atau anggota rumahtangga lainnya, misalnya pada rumahtangga Ibu RKY.
82
“ Suami kan juga jualan tepung sama minyak buat keripik mbak, nggo tambah-tambah.”- Ibu RKY “Suami kan juga jualan tepung sama minyak untuk keripik mbak, untuk tambah-tambah.” – Ibu RKY
g.
Tenaga pendidikan Aktivitas nafkah sebagai tenaga pendidikan juga ditemukan pada rumahtangga pemilik usaha keripik, misalnya sebagai sebagai guru TK, guru les, guru mengaji, guru pesantren, ulama, guru honorer, penguji ujian STM, dan guru STM. Aktivitas nafkah ini biasa dilakukan oleh anggota rumahtangga selain istri, misalnya pada rumahtangga Ibu MZT dan Ibu RMS. “ Suami saya ngajar di pesantren mbak, sama jadi ulama, ngisi pengajianpengajian mbak.”- Ibu MZT “ Suami saya mengajar di pesantren mbak, suami juga jadi ulama, mengisi pengajian-pengajian mbak.”- Ibu MZT “Anak saya itu mbak, ngajar di STM mbak, Alhamdulillah ya bisa buat nyukupi butuhe.”- Ibu RMS “Anak saya itu mbak, mengajar di STM mbak. Alhamdulillah ya bisa untuk memenuhi kebutuhannya.”- Ibu RMS
Secara keseluruhan, jenis aktivitas nafkah yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik, baik pada strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) maupun strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor non pertanian/non farm dan sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) tersebut dapat dilihat pada Tabel 17. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, terdapat keragaman strategi nafkah pada rumahtangga pemilik usaha keripik. Mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik (80%) melakukan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) dan non pertanian/non farm). Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa sektor pertanian on farm tidak menjadi basis utama aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut diperkuat oleh Tabel 15 dan Gambar 10 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat rumahtangga pemilik usaha keripik yang hanya melakukan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm pada strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian. Selain itu, pada rumahtangga pemilik usaha keripik yang menjalankan strategi nafkah berbasis sektor pertanian dengan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm dan off farm, aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm yang dijalankan rumahtangga tersebut cenderung bukan merupakan aktivitas nafkah utama rumahtangga, misalnya pada rumahtangga Ibu MTF. “ Bapak saya tani yo ada mbak, sithik-sithik mbak, ora didol mbak, mung nggo mangan. Nek buat lain-lain ya ndak cukup, ya dari nggorengi mbak.”- Ibu MTF
83
“Ayah saya tani ya ada mbak, sedikit-sedikit mbak, tidak dijual mbak, hanya untuk makan. Kalau untuk kebutuhan lain-lainnya ya tidak cukup, ya dapatnya dari usaha keripik mbak”- Ibu MTF
Tabel 17 Jenis aktivitas nafkah rumahtangga menurut strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No.
Aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian/farm
Aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor non pertanian/non farm dan sektor pertanian/farm)
On farm: mengerjakan sawah pribadi, mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah)
mengerjakan sawah pribadi, mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah), mengerjakan sawah pribadi dengan menggunakan tenaga penggarap (bagi hasil), mengerjakan kebun, dan beternak
Off farm:
Off farm:
menjalankan usaha keripik
menjalankan usaha keripik
On farm: 1.
2.
Non farm: 3.
-
jasa transportasi, tenaga serabutan, pegawai pemerintahan, pegawai swasta, wiraswasta dalam bidang jasa, wiraswasta dalam bidang non jasa, dan tenaga pendidikan.
Tabel 16 dan Gambar 11 juga menunjukkan hal yang serupa dengan Tabel 15 dan Gambar 10. Selain melakukan aktivitas nafkah pada sektor non farm, tidak terdapat rumahtangga pemilik usaha keripik yang hanya melakukan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm pada strategi nafkah rumahtangga ganda yang dijalankannya. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah ganda yang menjalankan aktivitas nafkah dengan jenis basis sektor pertanian on farm dan off farm, aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm juga cenderung bukan merupakan aktivitas nafkah utama rumahtangga, misalnya pada rumahtangga Ibu SFY. “ Suami saya yo tani mbak, nggarap wekane wong. Yo nggo tambah-tambah nggo mangan mbak.”- Ibu SFY “Suami saya juga bertani mbak, mengerjakan sawah orang. Ya untuk tambah-tambah untuk makan mbak”-Ibu SFY
Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian cukup berperan dalam menciptakan keragaman strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi tersebut. Dengan implementasi industrialisasi pedesaan, rumahtangga pemilik usaha keripik
84
dapat memperoleh sumber nafkah baru dan menjalankan aktivitas nafkah di sektor pertanian off farm, yaitu industri keripik. Ketika ditelusuri melalui wawancara mendalam, peneliti menemukan bahwa pemilik usaha keripik merupakan istri/ibu rumahtangga yang sebelumnya tidak bekerja ataupun bekerja di sektor lain dengan penghasilan dan kondisi kerja yang kurang membuat mereka nyaman. Ibu-ibu pemilik usaha keripik tersebut juga cenderung menyatakan, dengan menjalankan usaha keripik mereka lebih mampu memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga, mereka dapat memperoleh pendapatan untuk membantu suami mereka mencari nafkah, baik yang bekerja di sektor pertanian on farm ataupun sektor lainnya. Selain itu, mereka juga menyatakan cenderung lebih menyukai kondisi kerja ketika menjalankan usaha keripik daripada kondisi kerja mereka sebelumnya. Hal tersebut misalnya diungkapkan oleh Ibu MTF, NFY, dan RDY. “Saya dulunya di pabrik mbak, terus njahit ikut orang tu lho mbak. nek gini enaknya tuh punya sendiri mbak, nek ikut orang kan ndak enak mbak, ada bosnya, dioyak-oyak kudu cepet dadi jahitane. Nek bikin keripik gini kan enak mbak, santai, ora kemrungsung, paling sing ngoyak-oyak yo bakule ning, kan orak setertekan nek melu wong mbak. Njur yo iso libur nek tetanggane hajatan, nek melu wong kan ndak bisa tho mbak. Nek sekarang yo capek mbak, tapi bar dapet duit yo capeknya ilang. ”- Ibu MTF “Saya dulunya di pabrik mbak, kemudian saya kerja menjahit, jadi bawahannya orang lain. Kalau usaha keripik seperti ini itu enak mbak, karena milik sendiri. Kalau ikut orang lain kan tidak enak mbak, ada bosnya, dikejar-kejar harus cepat jadi jahitannya. Kalau membuat keripik seperti ini kan enak mbak, santai, tidak terburu-buru, paling yang mengejar-ngejar hanya pembelinya, tidak terlalu tertekan seperti ketika menjadi bawahan orang mbak. Selain itu juga bisa libur mbak kalau ada tetangga ada yang punya acara, kalau jadi bawahan orang kan tidak bisa seperti itu mbak. Kalau sekarang ya capek mbak, tapi setelah dapat uang ya capeknya hilang”- Ibu MTF “Aku kan mbiyen rak kerjo mbak. Yo wis, mung ngandelke bojoku thok mbak, entuke bojoku yo mung netesing mbun mbak, wong mung ngecati mobil mbak. Mulo yo kudu nggolek tambah, njur aku nggorengi kripik mbak. Yo lumayan mbak entuk tambah-tambah, nggo mangan.”- Ibu NFY “Saya kan dulu tidak kerja mbak. Saya hanya mengandalkan suami saja mbak, suami saya juga pendapatannya seperti tetesan embun mbak, kan hanya bekerja sebagai tukang cat mobil. Oleh karena itu ya saya harus cari tambah, lalu saya menjalankan usaha keripik mbak. Ya lumayan, saya dapat tambah-tambah, untuk makan mbak.”- Ibu NFY “ Aku mbiyen buruh momong mbak karo ider panganan. Bapake nggarap sawah, mung yo hasile mung sitik mbak kan ora wekane dhewe, mulo aku nggolek tambah-tambah. Njur aku nggorengi, bapake tak kon mandeg tanine emoh mbak, maksude kan eman awake wis tuwo hasile yo sithik, mung jare bapak nggo hiburan.”- Ibu RDY “ Saya dulu bekerja sebagai buruh asuh anak dan penjual makanan keliling. Suami saya menggarap sawah, tapi hasilnya ya hanya sedikit mbak kan bukan sawah
85
punya sendiri, makanya saya mencari tambahan. Kemudian saya menjalankan usaha keripik, saya minta suami saya untuk berhenti bertani tetapi tidak mau mbak, maksud saya kan sayang badannya sudah tua, apalagi hasilnya sedikit, tapi kata bapak untuk hiburan.”- Ibu RDY
Sebagaimana yang dinyatakan dalam bab profil lokasi penelitian, masyarakat di lokasi penelitian cenderung tidak mengandalkan sektor pertanian on farm untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga karena keterbatasan lahan, kepemilikan lahan, dan air. Hasil penelitian memperkuat hal tersebut dan menambahkan beberapa alasan lain mengapa mereka cenderung tidak mengandalkan sektor pertanian on farm untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mereka. Pernyataan pemilik usaha keripik dalam penelitian ini mengindikasikan hal tersebut disebabkan karena keterbatasan sumber nafkah yang dimiliki di sektor pertanian, contohnya keterbatasan pada modal manusia dan modal sumberdaya alam. Keterbatasan modal manusia merupakan salah satu alasan mengapa responden tidak mengandalkan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm sebagai aktivitas nafkah utama rumahtangga. Keterbatasan modal manusia dalam hal ini adalah keterbatasan tenaga dan keterampilan. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh beberapa pemilik usaha keripik berikut. “ Bapak saya kan sudah sepuh mbak, nggak ada tenaganya, jadi ya nggak tani, kasian bapak tho mbak nek kon kerjo. Yo wis mung leren ning omah.”- Ibu ULT “Bapak saya kan sudah tua mbak, nggak ada tenaganya, jadi ya nggak tani, kasian bapak lah mbak kalau disuruh kerja. Ya sudah, paling hanya istirahat di rumah”Ibu ULT “ Ash enggak mbak, nek mbiyen enom bapak (suami) yo tani. Lha sekarang wis tuwo kok mbak, ngesakke no nek sik kerjo abot.”- Ibu MLH “Ash enggak mbak, kalau dulu ketika masih muda bapak (suami) ya tani. Sekarang kan sudah tua mbak, kasian lah kalau bapak masih disuruh kerja yang berat-berat”Ibu MLH “ Lha nggak bisa mbak, nek tani gitu kan yo bakat. Lha suamiku ndak bakat owk mbak.”- Ibu MSD “ Soalnya nggak bisa mbak, kalau bertani gitu kan bakat. Suamiku saja nggak bakat mbak.”- Ibu MSD “ Lha suamiku rak iso tani mbak”- Ibu NFY “ Soalnya suamiku nggak bisa tani mbak”- Ibu NFY
Selain keterbatasan sumber nafkah berupa modal manusia, alasan lainnya adalah keterbatasan sumber nafkah berupa sumberdaya alam. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan oleh beberapa pemilik usaha keripik berikut,
86
“ Nggak tani mbak, soale nggak punya sawah mbak, nduwene yo mung sing ditempati ini thok. Nek jadi buruh tani yo hasile ndak nutug owk mbak, jadi ya nggak tani.“- Ibu JRY “Nggak tani mbak, soalnya nggak punya sawah mbak, punyanya ya hanya yang ditinggali ini saja. Kalau jadi buruh tani juga hasilnya nggak sesuai mbak, jadi ya nggak tani.”- Ibu JRY “ Lha di dusun sini aja sawahnya dikit mbak, bukan punya orang sini juga. Bengkok itu tho mbak, sama punya orang Ungaran.”- Ibu MQN “ Ya karena di dusun ini saja sawahnya sedikit mbak, bukan milik orang dusun ini juga. Sawah yang ada di sekitar dusun kebanyakan adalah tanah bengkok dan tanah yang dimiliki orang luar dusun ( Ungaran).”- Ibu MQN
Selain keterbatasan sumber nafkah berupa modal manusia dan modal sumberdaya alam, ketersediaan sumber nafkah untuk melakukan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm maupun sektor non pertanian/non farm juga merupakan salah satu alasan mengapa rumahtangga pemilik usaha keripik tidak mengandalkan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm sebagai aktivitas nafkah utama rumahtangga. Salah satu ketersediaan sumber nafkah tersebut adalah dalam modal sosial, misalnya untuk sektor pertanian off farm, yaitu industri keripik adalah pernyataan beberapa pemilik usaha keripik berikut. “ Adik saya kan buka usaha keripik mbak, saya disuruh bantuin, jadi awalnya saya ikut bikin keripik kalau dia kebanyakan pesanan, bahan bakunya dari dia semua.”Ibu SRH “ Saya dulu bantu ibu saya mbak awalnya, ibu saya kan sering banyak pesenannya. Wong saya nggak keluar modal sama sekali mbak, bahan-bahannya dari ibuk, saya nggorengi.”- Ibu MSD “ Tetangga kan banyak yang bikin keripik mbak. Terus aku takon-takon mbak karo ndelok carane nggae keripik pie. Tak jajal ning omah terus iso owk mbak, yo lanjut sampe sekarang.”- Ibu RWY “Tetangga kan banyak yang membuat keripik mbak.. Kemudian saya tanya-tanya mbak sambil melihat cara pempuatan keripik itu seperti apa. Saya coba di rumah, ternyata bisa mbak, ya lanjut hingga sekarang”- Ibu RWY “ Adekku kan nduwe warung mbak, nek tuku bahan baku ne ning deknen, enak , iso utang sik.”- Ibu MLH “ Adik saya kan punya toko mbak, kalau beli bahan bakunya di dia, enak, bisa berhutang dulu” – Ibu MLH “Dulu kan awalnya nggorengi kripik jualnya ke temen-temene bapak saya mbak, bapak saya kan kyai mbak, banyak tamune.”- Ibu HLM
87
“ Dulu kan awalnya mulai menggoreng keripik saya jual ke teman-teman bapak saya mbak, bapak saya kan kyai mbak, banyak tamunya” – Ibu HLM
Sedangkan ketersediaan sumber nafkah berupa modal sosial yang menjadi alasan rumahtangga pemilik usaha keripik melakukan strategi nafkah berbasis sektor non pertanian, beberapa di antaranya disebutkan oleh beberapa pemilik usaha keripik berikut. “ Lha kan suami saya dulu punya temen tho mbak, terus suami saya dikasih tau nek ada lowongan buat jadi satpam”- Ibu SLB “ Lha kan suami saya dulu punya teman mbak, kemudian suami saya diberi tahu bahwa ada lowongan untuk menjadi satpam”- Ibu SLB
Selain alasan yang terkait dengan ketersediaan sumber nafkah, alasan lain yang menyebabkan rumahtangga pemilik usaha keripik tidak mengandalkan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm sebagai aktivitas nafkah utama rumahtangga adalah hasil dari sektor pertanian on farm tidak banyak, tidak pasti dan tidak dapat langsung diperoleh (harus menunggu panen), seperti pernyataan Ibu JRY dan THM. “ Nek tani nduwe dewe sawahe no yo hasile mending mbak. Nek tani mburuh yo pie ya mbak, wis kesel, hasile mung sithik, yo rak cucuk.”- Ibu JRY “Kalau bertani dengan sawah milik sendiri sih hasilnya masih lumayan mbak. Nah kalau bertaninya jadi buruh tani ya gimana ya mbak, sudah capek, hasilnya hanya sedikit, ya nggak sesuai.”- Ibu JRY “ Lha nek tani hasile rak mesti owk mbak, ngko ujug-ujug puso kan malah ragade entek, padahal sawahe yo paro paro hasile, nek ngono malah rugi tho mbak.”- Ibu THM “Lha kalau bertani hasilnya nggak tentu mbak, kalau nanti tiba-tiba –tiba gagal panen kan malah modalnya habis, padahal sawahnya juga bagi hasil sama yang punya. Kalau gitu kan ya malah rugi kan mbak.”- Ibu THM
Struktur Nafkah Rumahtangga Struktur nafkah merupakan suatu konsep yang sangat berhubungan dengan strategi nafkah. Struktur nafkah diperoleh setelah masyarakat melakukan serangkaian strategi nafkah guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Struktur nafkah dalam penelitian Dharmawan (2001) dikaji melalui proporsi atau komposisi tingkat pendapatan yang diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam suatu rumahtangga setelah melakukan strategi nafkah dalam kurun waktu satu tahun guna mencapai taraf hidup yang diinginkannya. Komposisi pendapatan tersebut ditunjukkan melalui persentase tingkat pendapatan baik berupa in cash (uang) maupun in kind (barang). Tingkat pendapatan tersebut diperoleh dari masing-masing aktivitas nafkah (farm dan non farm) yang dilakukan suatu rumahtangga dalam kurun waktu satu tahun dengan satuan rupiah per tahun. Komposisi pendapatan tersebut ditunjukkan melalui persentase tingkat pendapatan yang diperoleh dari masing-masing aktivitas nafkah yang dilakukan suatu rumahtangga
88
dalam kurun waktu satu tahun. Melalui komposisi dan persentase tingkat pendapatan dari masing-masing aktivitas nafkah tersebut dapat dilihat kontribusi masing-masing sektor aktivitas nafkah terhadap struktur nafkah rumahtangga, termasuk tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Data di lapangan menunjukkan bahwa tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian/farm lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor non pertanian/non farm. Temuan tersebut terdapat pada rumahtangga pemilik usaha keripik bertaraf hidup rendah, sedang maupun tinggi sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 18. Tabel 18 Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Taraf Hidup Rumahtangga No.
Sektor
Tinggi (n=8)
Sedang (n=19)
Rata-rata
%
Rata-rata
%
Rendah (n=3) Rata-rata
%
1.
Pertanian
131326250.0
84.1
56992915.8
78.2
16070000.0
56.9
2.
Non Pertanian
24911500.0
15.9
15863789.5
21.8
12160000.0
43.1
156237750.0
100.0
72856705.3
100.0
28230000.0
100.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian dan sektor non pertanian (Rp/tahun)
Total
180000000.0 160000000.0 140000000.0
24911500.0
120000000.0 131326250.0 Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non pertanian (Rp/tahun)
100000000.0 80000000.0 15863789.5
60000000.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian (Rp/tahun)
56992915.8
40000000.0 20000000.0
12160000.0 16070000.0
0.0 Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik
Gambar 12 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga Tahun 2012
89
Perbandingan tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga ditunjukkan oleh Gambar 12. Lebih lanjut, perbandingan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga dapat dilihat pada Gambar 13. r o tk e si r a d n at a p ad n e p ta kg n it e sa tn e sr e P
) % ( n ai n at re p n o n r o tk e s n ad n ai n at re p
100% 90%
15.9
21.8
80%
43.1
70% 60%
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non pertanian (%)
50% 40%
84.1
78.2
30%
56.9
20%
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian (%)
10% 0% Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik
Gambar 13 Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 18, Gambar 12, dan Gambar 13 menunjukkan bahwa persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian terhadap tingkat pendapatan rumahtangga pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi, sedang, dan rendah mencapai lebih dari 50 persen. Hal tersebut menunjukkan peranan aktivitas nafkah dari sektor pertanian terhadap tingkat pendapatan rumahtangga cukup besar pada rumahtangga pemilik usaha keripik bertaraf hidup tinggi, sedang, dan rendah. Lebih lanjut, pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi, persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian terhadap tingkat pendapatan rumahtangga paling besar bila dibandingkan dengan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian terhadap tingkat pendapatan rumahtangga pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup sedang dan rendah. Rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi memiliki kemampuan dalam akumulasi aset pertanian on farm maupun mengembangkan usaha keripik sebagai aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm. Berikut adalah pernyataan pemilik usaha keripik terkait dengan hal tersebut. “ Ada mbak kebun, nanti kan setahun panen durian sama kelapa, terus ditebaskan orang”- Ibu MWN “ Ya Alhamdulillah mbak, bisa punya kebun, punya sawah.”- Ibu MQN
90
“ Sekarang saya punya buruh empat mbak, dulu yo awalnya ndak gini, modale saya puter terus nganti dadi koyo saiki mbak.”- Ibu MQR
Hal yang serupa juga ditunjukkan Tabel 19 melalui perbandingan tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan. Tabel 19 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan No.
Sektor
Tinggi (n=13)
Sedang (n=17)
Rata-rata
%
Rata-rata
%
1.
Farm
104188069.2
85.6
48661205.9
72.8
2.
Non Farm
17591692.3
14.4
18146588.2
27.2
Total
121779761.5
100.0
66807794.1
100.0
Visualisasi perbandingan tingkat pendapatan dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 14 dan Gambar 15.
ir a d ag g n at h a m u r n at a p a d n e p ta kg n iT
n ai n at r e p n o n r o tk e s n a d n ai n at r e p r o tk se
14000000 12000000
17591692.3
10000000 ) 80000000 n u h at / 60000000 p R ( 40000000
104188069 .2
20000000
18146588.2
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non pertanian (Rp/tahun)
48661205.9
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian (Rp/tahun)
0 Tinggi
Sedang
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Gambar 14
Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian (%)
91
100% 90%
14.4
27.2
80% 70% 60% 50% 40%
85.6
72.8
30% 20% 10%
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non pertanian (%) Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian (%)
0% Tinggi
Sedang
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Gambar 15 Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian dan sektor non pertanian pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 19, Gambar 14, dan Gambar 15 menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dari sektor pertanian lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non pertanian, baik pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tinggi maupun sedang. Sama halnya dengan Tabel 18, Gambar 13, dan Gambar 14 sebelumnya, hal tersebut menunjukkan, secara keseluruhan, peranan sektor non pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik tidak cukup signifikan bila dibandingkan dengan peranan sektor pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Lebih lanjut, perbandingan tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 20 dan visualisasi dapat dilihat pada Gambar 16 dan Gambar 17. Tabel 20 Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Taraf Hidup Rumahtangga No. Sektor
Tinggi (n=8)
Sedang (n=19)
Rendah (n=3)
Rata-rata
%
Rata-rata
%
Rata-rata
%
5.7
2325526.3
4.1
5000000.0
31.1
1.
On farm
7500000.0
2.
Off farm
123826250.0
94.3 54667389.5
95.9
11070000.0
68.9
131326250.0
100.0 72856705.3
100.0
28230000.0
100.0
Total
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm (Rp/tahun)
92
140000000.0 120000000.0 100000000.0 80000000.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian off farm (Rp/tahun)
123826250.0 60000000.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian on farm (Rp/tahun)
40000000.0 54667389.5 20000000.0 11070000.0 0.0 7500000.0 2325526.3 5000000.0 Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan
Gambar 16 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
Gambar 17 Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
93
Tabel 20, Gambar 16 dan Gambar 17 menunjukkan bahwa persentase tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian off farm lebih tinggi daripada persentase tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian on farm, baik pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi, sedang, maupun rendah. Hal tersebut juga ditemukan pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi maupun sedang. Perbandingan tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 21. Lebih lanjut, visualisasi perbandingan dan persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 18 dan Gambar 19. Tabel 21 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan No. Sektor
Tinggi (n=13)
Sedang (n=17)
Rata-rata
%
Rata-rata
%
1.
On farm
7030769.2
6.7
1634411.8
3.4
2.
Off farm
97157300.0
93.3
47026794.1
96.6
104188069.2
100.0
48661205.9
100.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm (Rp/tahun)
Total 120000000.0 100000000.0 80000000.0 60000000.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian off farm (Rp/tahun)
97157300.0
40000000.0 47026794.1
20000000.0 0.0
7030769.2
1634411.8
Tinggi
Sedang
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian on farm (Rp/tahun)
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Gambar 18 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
94
n at a p ad n e p ta kg n it e sa t n e sr e P
n o n ai n at re p ro tk e si ra d ag g n at h a m u r
) 100% % ( 90% m r 80% fa ff o 70% n ai 60% n at re 50% p ro 40% t ke 30% s n a 20% d 10% m ra f 0%
93.3
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian off farm (%)
96.6
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor pertanian on farm (%) 6.7
3.4
Tinggi
Sedang
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Gambar 19 Persentase tingkat pendapatan dari sektor pertanian on farm dan sektor pertanian off farm pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 22 Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga Tahun 2012 Taraf Hidup Rumahtangga No. Sektor
Tinggi (n=8) Rata-rata
%
Sedang (n=19) Rata-rata
%
Rendah (n=3) Rata-rata
%
1.
Keripik
123826250.0.
79.3 54667389.5
75.0
11070000.0
39.2
2.
Non Keripik
32411500.0
20.7 18189315.8
25.0
17160000.0
60.8
156237750.0 100.0 72856705.3
100.0
28230000.0
100.0
Total
Lebih lanjut, Tabel 22 menunjukkan perbandingan tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga. Visualisasi perbandingan dan persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga tersebut dapat dilihat pada Gambar 20 dan Gambar 21.
95
r o tk e s ir a d ag g n at h a m u r n at a p a d n e p ta kg n iT
180000000.0 ir ts u d n i n o n r o t k e s n a d ki ip r e ki rt s u d in
160000000.0 140000000.0 324 11500.0 ) n u h at / p R ( ik ip r e k
120000000.0 100000000.0
1238 26250.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non industri keripik (Rp/tahun)
80000000.0 60000000.0
18189315.8
40000000.0
54667389.5
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor industri keripik (Rp/tahun)
20000000.0
17160000.0
0.0
11070000.0 Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik
Gambar 20 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
n at a p a d n e p ta kg n it e sa t n e sr e P
ki p ir e k ir ts u d in r o tk e s ir a d ag g n at h a m u r
100% ) % ( ik p ir e k ir ts u d in n o n r o tk e s n a d
90%
20.7
80%
25.0
70%
60.8
60%
Tingkat Pendapatan Rumahtangga dari Sektor Non Industri Keripik (%)
50% 40%
79.3
30%
75.0
20%
39.2
10%
Tingkat Pendapatan Rumahtangga dari Sektor Industri Keripik (%)
0% Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik
Gambar 21 Persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 22, Gambar 20, dan Gambar 21 menunjukkan bahwa pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi dan sedang, tingkat pendapatan dari sektor industri keripik lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Sedangkan pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah, tingkat
96
pendapatan dari sektor industri keripik lebih kecil daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Hal tersebut disebabkan pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah, usaha keripik yang dijalankan hanya memperoleh pesanan dalam skala kecil , misalnya pada rumahtangga Ibu NFY. “ Saya nggorengine rak akeh mbak koyo tanggane, mung sithik thok”- Ibu NFY “ Saya menggoreng keripiknya tidak banyak mbak seperti tetangga yang lainnya, hanya sedikit”- Ibu NFY
Tabel 23 Rata-rata dan persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan No.
Sektor
Tinggi (n=13)
Sedang (n=17)
Rata-rata
%
Rata-rata
%
1.
Keripik
97157300.0
79.8
47026794.1
70.4
2.
Non Keripik
24622461.5
20.2
19781000.0
29.6
Total
121779761.5
100.0
66807794.1
100.0
r o tk e s ir a d ag g n at h a m u r n at a p a d n e p ta kg n iT
180000000.0 ir ts u d n i n o n r o t k e s n a d ki ip r e ki rt s u d in
160000000.0 140000000.0 32411500.0 ) n u h at / p R ( ki p ri e k
120000000.0 100000000.0
123826250.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non industri keripik (Rp/tahun)
80000000.0 60000000.0
18189315.8
40000000.0
54667389.5
20000000.0
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor industri keripik (Rp/tahun)
17160000.0
0.0
11070000.0 Tinggi
Sedang
Rendah
Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik
Gambar 22 Rata-rata tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
97
Persentase tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik (%)
Tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan disajikan dalam Tabel 23. Visualisasi tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga responden menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 22. Sedangkan visualisasi persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga responden menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dapat dilihat pada Gambar 23. 100% 90%
20.2
80%
29.6
70% 60% 50% 40%
79.8
30%
70.4
20% 10%
Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor non industri keripik (%) Tingkat pendapatan rumahtangga dari sektor industri keripik (%)
0% Tinggi
Sedang
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Gambar 23 Persentase tingkat pendapatan dari sektor industri keripik dan sektor non industri keripik pada rumahtangga pemilik usaha keripik menurut implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 23, Gambar 22 dan Gambar 23 menunjukkan bahwa pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tinggi maupun sedang, tingkat pendapatan dari sektor industri keripik lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik lebih besar bila dibandingkan dengan peranan sektor non industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan. “ Halah nek dari bojoku ki netesing mbun mbak, wong ngecati montor kan rung mesti akeh mbak sewulan. Nek nggo mangan ki yo seko keripik iki mbak, mung yo disyukuri”- Ibu NFY “ Aduh mbak, kalau dari suami saya itu seperti tetes embun mbak, kan hanya mengecat mobil kan belum tentu banyak mbak dalam sebulan. Untuk makan ya dari keripik ini mbak, tapi ya tetap disyukuri”- Ibu NFY
98
Peranan sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dapat dilihat melalui tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga. Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dapat dilihat pada Tabel 24 sedangkan persentase tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dapat dilihat pada Gambar 24. Tabel 24 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Kontribusi Industri Keripik terhadap Struktur Nafkah Rumahtangga
∑
%
1.
Tinggi
12
40.7
2.
Sedang
10
33.3
3.
Rendah
8
26.7
30
100.0
No
Total
Gambar 24 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 24 dan Gambar 24 menunjukkan bahwa tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum berada pada tingkatan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum, struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik memperoleh kontribusi yang signifikan dari sektor industri keripik yang dijalankan, misalnya pada rumahtangga Ibu MLH. “ Yo banyak dapet dari keripik mbak, nek dari bapake yo mung disyukuri mbak. Nek ra disyukuri yo ngko rak kajen wong lanang.”- Ibu MLH
99
“ Ya lebih banyak dapat dari keripik mbak, kalau dari bapak (suami) ya cuma disyukuri lah mbak. Kalau tidak disyukuri ya kasihan suami merasa tidak dihargai.”- Ibu MLH
Implementasi Industrialisasi Pedesaan dan Kontribusi Sektor Industri Keripik Terhadap Struktur Nafkah Rumahtangga Hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dalam penelitian ini dilihat melalui hasil pengolahan data melalui tabel silang yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 25. Lebih lanjut, peneliti melakukan uji korelasi tingkat implementasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik menggunakan uji korelasi Rank Spearman dengan software SPSS 16.0 for Windows. Hasil uji korelasi dengan nilai alfa 0.15 tersebut dapat dilihat hasilnya pada Lampiran 8. Tabel 25 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012
No.
Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan
Tingkat Kontribusi Sektor Industri Keripik Terhadap Struktur Nafkah Rumahtangga Tinggi
Sedang
Rendah
Total
Σ
%
Σ
%
Σ
%
Σ
%
1.
Tinggi
8
66.7
4
40.0
1
12.5
13
43.3
2.
Sedang
4
33.3
6
60.0
7
87.5
17
56.7
3.
Rendah
0
0.0
0
0.0
0
0
0
0.0
Total
12
100.0
10
100.0
8
100.0
30
100.0
Tabel 25 memperlihatkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga. Pada tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga yang tinggi, terdapat 66.7 persen responden dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 33.3 persen responden dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0.0 persen responden dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Dengan kata lain, terlihat adanya hubungan semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan, semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Hubungan tersebut juga diperkuat oleh hasil uji korelasi Rank Spearman yang dapat dilihat pada Lampiran 8. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik berkorelasi dan signifikan. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk
100
kedua variabel tersebut sebesar 0.439 dengan nilai signifikansi sebesar 0.015. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik.. Aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm pun tidak menjadi aktivitas nafkah yang dapat benar-benar diandalkan rumahtangga. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo sekaligus mengembangkan sektor pertanian on farm yang mendukung implementasi industrialisasi pedesaan. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya. Ikhtisar Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik adalah strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor non pertanian/non farm dan sektor pertanian/farm) dan sisanya melakukan strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian/ farm. Aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah berbasis sektor pertanian off farm maupun on farm dan off farm. Aktivitas nafkah berbasis sektor sektor pertanian off farm tersebut adalah menjalankan usaha keripik sedangkan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm yang dilakukan bersama dengan aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian off farm adalah mengerjakan sawah pribadi dan mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah). Lebih lanjut, aktivitas nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan strategi nafkah ganda (berbasis sektor pertanian dan non pertanian) terdiri dari aktivitas nafkah pada sektor pertanian (off farm; on farm dan off farm)dan non pertanian. Aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik adalah mengerjakan sawah pribadi, mengerjakan sawah orang lain (menjadi tenaga penggarap/menyewa sawah), mengerjakan sawah pribadi dengan menggunakan tenaga penggarap (bagi hasil), mengerjakan kebun, beternak. Di sisi lain, aktivitas nafkah pada sektor non pertanian tersebut adalah jasa transportasi, tenaga serabutan, pegawai pemerintahan, pegawai swasta, wiraswasta dalam bidang jasa, wiraswasta dalam bidang non jasa, dan tenaga pendidikan. Secara umum, aktivitas nafkah yang terkait dengan bidang domestik, seperti buruh asuh anak dan usaha keripik dijalankan oleh istri dan anggota rumahtangga berjenis kelamin wanita. Aktivitas nafkah berupa menjalankan usaha keripik cenderung dijalankan oleh istri meskipun tak jarang rumahtangga yang memanfaatkan anggota rumahtangga lainnya untuk membantu menjalankan aktivitas nafkah tersebut. Selain itu, pada sebagian rumahtangga pemilik usaha keripik, aktivitas nafkah berupa usaha keripik dibantu oleh buruh yang dapat merupakan kerabat ataupun tetangga. Di sisi lain, aktivitas nafkah yang terkait dengan sektor pertanian on farm, pegawai pemerintahan, dan tenaga serabutan, cenderung dilakukan oleh anggota rumahtangga yang berjenis kelamin laki-laki meskipun ada juga wanita yang menjalankan aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm tersebut,
101
misalnya pada rumahtangga yang suaminya sudah meninggal dan tidak memiliki anggota rumahtangga lain yang berjenis kelamin laki-laki. Lebih lanjut, aktivitas nafkah sebagai buruh pabrik dijalankan baik oleh anggota rumahtangga berjenis kelamin laki-laki maupun wanita. Dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, terdapat keragaman strategi nafkah pada rumahtangga pemilik usaha keripik. Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian cukup berperan dalam menciptakan keragaman strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di lokasi tersebut. Dengan implementasi industrialisasi pedesaan, rumahtangga pemilik usaha keripik dapat memperoleh sumber nafkah baru dan menjalankan aktivitas nafkah di sektor pertanian off farm, yaitu industri keripik. Lebih lanjut, mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik (80%) melakukan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) dan non pertanian/non farm). Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa sektor pertanian on farm tidak menjadi basis utama aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Pada strategi nafkah rumahtangga berbasis sektor pertanian dan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor non pertanian/non farm dan sektor pertanian/farm) yang dijalankan rumahtangga pemilik usaha keripik pun aktivitas nafkah pada sektor pertanian on farm tidak menjadi aktivitas nafkah utama yang dijalankan rumahtangga. Terkait dengan struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik, tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor non pertanian. Temuan tersebut terdapat pada rumahtangga pemilik usaha keripik bertaraf hidup rendah, sedang maupun tinggi. Selain itu, tingkat pendapatan dari sektor pertanian lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non pertanian, baik pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tinggi maupun sedang. Hal tersebut menunjukkan secara keseluruhan, peranan sektor non pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik tidak cukup signifikan bila dibandingkan dengan peranan sektor pertanian terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Lebih lanjut, tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian off farm lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendapatan rumahtangga pemilik usaha keripik dari sektor pertanian on farm, baik pada rumahtanga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi, sedang, dan rendah maupun pada rumahtanga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tinggi dan sedang. Hal tersebut menunjukkan secara keseluruhan, peranan sektor pertanian on farm terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik tidak cukup signifikan bila dibandingkan dengan peranan sektor pertanian off farm terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup tinggi dan sedang, tingkat pendapatan dari sektor industri keripik lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Di sisi lain, pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah, tingkat pendapatan dari sektor industri keripik lebih kecil daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Lebih lanjut, pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan tinggi maupun sedang, tingkat pendapatan dari sektor industri keripik lebih besar daripada tingkat pendapatan dari sektor non industri keripik. Hal tersebut menunjukkan bahwa peranan sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik lebih besar bila
102
dibandingkan dengan peranan sektor non industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik menurut tingkat implementasi industrialisasi pedesaan. Melalui struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik dapat dilihat pula tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum berada pada tingkatan tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa secara umum, struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik memperoleh kontribusi yang signifikan dari sektor industri keripik yang dijalankan. Hasil tabulasi silang menunjukkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga. Pada tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga yang tinggi, terdapat 66.7 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 33.3 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0.0 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Dengan kata lain terlihat adanya hubungan semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga. Hal tersebut diperkuat dengan hasil uji korelasi Rank Spearman. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk kedua variabel tersebut sebesar 0.439 dengan nilai signifikansi sebesar 0.015. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm pun tidak menjadi aktivitas nafkah yang dapat benar-benar diandalkan rumahtangga. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo, dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo sekaligus mengembangkan sektor pertanian on farm yang mendukung implementasi industrialisasi pedesaan. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya.
105
IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN TARAF HIDUP RUMAHTANGGA Bab sebelumnya telah menguraikan strategi nafkah yang dilakukan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Sub bab pertama dalam bab ini akan menguraikan analisis mengenai taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik setelah melakukan strategi nafkah rumahtangga dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian. Kemudian, sub bab kedua membahas mengenai analisis hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Taraf Hidup Taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik dalam penelitian ini diukur melalui pengukuran tingkat kesejahteraan rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, pengukuran taraf hidup rumahtangga dalam penelitian ini mengacu pada indikator pengukuran tingkat kesejahteraan menurut BPS (2009) yang disesuaikan dengan kondisi di lokasi penelitian. Variabel taraf hidup yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) tingkat pengeluaran rata-rata per bulan, (2) tingkat pendapatan rata-rata per bulan, (3) status kepemilikan rumah, (4) luas lahan tempat tinggal, (5) jenis lantai bangunan tempat tinggal, (6) jenis dinding bangunan tempat tinggal, (7) fasilitas tempat buang air besar, (8) sumber penerangan rumah tangga, (9) sumber air minum, (10) bahan bakar untuk memasak, (11) kepemilikan barang berharga, (12) kepemilikan aset pertanian, (13) kemampuan berobat ketika sakit, dan (14) jenis rumah. Namun, variabel nomor 3, 7, 9 dan 10 tidak digunakan dalam perhitungan taraf hidup karena data yang diperoleh homogen. Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangganya dapat dilihat pada Tabel 26 Lebih lanjut, persentase rumahtangga pemilik usaha keripik menurut taraf hidup rumahtangganya dapat dilihat pada Gambar 25. Tabel 26 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No
Taraf Hidup Rumahtangga
∑
%
1.
Tinggi
8
26.7
2.
Sedang
19
63.3
3.
Rendah
3
10.0
30
100.0
Total
Tabel 26 menunjukkan bahwa mayoritas taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berada pada tingkat sedang. Di sisi lain, jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah hanya sepuluh persen dari total rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum cenderung baik.. Meskipun demikian, terdapat temuan yang menarik ketika data taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dilihat korelasinya
106
dengan lapisan sosial melalui perbandingan indeks komposit taraf hidup pada masingmasing lapisan sosial. Temuan tersebut dapat dilihat pada Tabel 27.
Gambar 25 Persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tabel 27 Rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan indeks komposit taraf hidup rumahtangga menurut lapisan sosial di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 No. 1. 2. 3.
Lapisan Sosial Atas Menengah Bawah
Jumlah Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik 9 10 11
Indeks Komposit Perhitungan Taraf Hidup Rumahtangga Pemilik Usaha Keripik 1463.3 728.5 827.3
Tabel 27 menunjukkan bahwa jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan atas paling banyak yang bertaraf hidup tinggi. Temuan yang menarik pada data tersebut adalah pada rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah dan lapisan bawah. Jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan bawah yang bertaraf hidup tinggi ternyata lebih banyak bila dibandingkan jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah yang bertaraf hidup tinggi. Hal tersebut disebabkan pelapisan sosial di lokasi penelitian juga dilandaskan pada hal-hal selain taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik, antara lain: ada tidaknya anggota rumahtangga yang pendapatannya tetap, ada tidaknya anggota rumahtangga yang sudah naik haji, dan kemampuan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Hal tersebut terangkum dalam pernyataan Kepala Dusun Karangbolo berikut. “ Itu lapisannya nganu lho mbak, yo didelok seko ono opo rak sing gaweanne tetep penghasilanne, koyo ning kantor no lho mbak. Terus nek iso nyekolahke anake nganti kuliah yo mlebu sing atas, nek munggah kaji kuwi yo mesti atas
107
mbak masuke. Nek sing seko ketok moto yo kuwi-kuwi mau mbak, terus yo omahe barang apik opo rak, jubin, tetep, kokoh no lho mbak. Yo tapi nek omah yo ra mesti ding, ono sing omahe elek tapi yo itunganne masuk sing atas kuwi mbak, kan tergantung wonge mbak seneng omahe apik opo rak, kan yo ono sing disimpen, nek ngono kan yo rak katon moto.”- Pak ASR “Itu lapisannya gini lho mbak, dasarnya juga dilihat dari ada tidaknya anggota rumahtangga yang pekerjaannya tetap, misalnya seperti yang kerja di kantor gitu lho mbak. Kemudian, jika bisa menyekolahkan anaknya sampai kuliah ya masuk lapisan yang atas, kalau sudah naik haji ya itu jelas masuk lapisan atas mbak masuknya. Kalau dari yang terlihat mata ya dari hal-hal tadi mbak, dari rumah juga bagus atau tidak, keramik, tetap, kokoh gitu lho mbak. Ya tapi kalau rumah ya tidak selalu juga sih mbak, ada yang rumahnya jelek tetapi ya termasuk lapisan atas mbak, kan tergantung orangnya mbak, senang rumahnya bagus atau tidak, kan ada juga yang disimpan hartanya, kalau seperti itu kan tidak terlihat mbak.”Pak ASR
Ketidaksesuaian antara lapisan sosial responden dan taraf hidup rumahtangganya memiliki alasan yang beragam pada beberapa rumahtangga pemilik usaha keripik. Ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah disebabkan beberapa alasan. Salah satu alasan yang umum terjadi adalah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tersebut ternyata memiliki tempat tinggal yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, yaitu permanen, berlantai keramik, berdinding tembok, dan luas. Berikut pernyataan salah satu pemilik usaha keripik terkait hal tersebut. “ Omahku ki elek banget mbak asline, iki wae tak utangke ben iso apik. Aku ngesakke anakku mbak, isin le kancane dolan kok omahe elek banget, isin barang mbek tanggane. Nek rak ngutang yo rak iso mbak nggawe omah apik ngene. Saben wulan saiki duite entek nggo nyaur utang”- Ibu MLH “Rumah saya itu aslinya jelek sekali mbak, ini saja saya hutang untuk memperbaiki rumah sampai bagus begini. Saya kasihan dengan anak saya mbak, malu jika temannya main ke rumah kok rumahnya jelek sekali, malu juga dengan tetangga mbak. Kalau tidak hutang ya tidak bisa mbak membuat rumah bagus seperti ini. Setiap bulan sekarang uangnya juga banyak habis buat melunasi hutang tadi mbak.”Ibu MLH “ Ini ya sedikit demi sedikit mbak, uangnya dikumpulin buat benerin rumah. Kan juga pengen mbak ndue omah apik koyo tanggane.”- Ibu SRH “ Ini ya sedikit demi sedikit mbak, uangnya dikumpulkan untuk memperbaiki rumah. Kan juga ingin mbak punya rumah yang bagus seperti tetangga.”- Ibu SRH
Selain akibat kondisi rumah yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah juga disebabkan rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tidak memiliki anggota rumahtangga yang bekerja tetap/ pegawai kantor tetapi memiliki aset pertanian sebagai sumber nafkah tambahan, misalnya pada rumahtangga Ibu RWY, beliau memiliki aset pertanian berupa sawah, kebun dan ternak.
108
“ Saya ya sedikit-sedikit nyisihke mbak, dari Bapakke barang, buat sekolah anakke pokoke tak sisihke sik, kudu kuwi mbak pokoke. Alhamdulillah yo bisa buat sawah, kebun sama kambing mbak. Nek ngono yo nggo tambah-tambah tho mbak, ora tak nggo ngapiki omah, ngene wae yo Alhamdulillah nyaman. Yen omahe tak bangun apik ngko nek ngeleh mosok meh nyuil keramik nggo mangan, anakke kan sih sekolah barang. Yo dongakke wae yo mbak omahe sesuk apik, nak saiki no sing penting anake iso sekolah sing dhuwur mbak, wong tuo kan isone nyangoni anak kuwi thok nggo suk mbenne”- Ibu RWY “Saya ya sedikit-sedikit menyisihkan pendapatan mbak, dari bapaknya (re: suami) juga, untuk sekolah anak-anak saya pokoknya saya sisihkan terlebih dahulu mbak, harus itu mbak pokoknya. Alhamdulillah ya bisa untuk beli sawah, kebun sama kambing mbak. Kalau untuk seperti itu kan bisa untuk tambahan pendapatan mbak, tidak saya gunakan untuk memperbaiki rumah, seperti ini saja Alhamdulillah nyaman. kalau misalnya saya gunakan untuk memperbaiki rumah nanti jika lapar gimana mbak? Mau makan keramik? Anak-anak saya kan juga masih sekolah mbak. Ya doakan saja ya mbak rumah saya nanti bisa bagus, kalau sekarang yang penting anaknya bisa sekolah yang tinggi mbak, orang tua kan hanya bisa member bekal pendidikan mbak ke anak-anaknya untuk bekal mereka nanti.”- Ibu RWY
Alasan selanjutnya, rumahtangga tersebut tidak memiliki anggota rumahtangga yang berpenghasilan tetap (bekerja di kantor) tetapi tingkat pendapatan per bulannya tidak tergolong rendah dalam pengolahan variabel taraf hidup, misalnya melalui usaha keripik yang dijalankan rumahtangga tersebut, misalnya pada Ibu SMH. Anggota rumahtangga Ibu SMH tidak ada yang bekerja sebagai pegawai kantor, tetapi tingkat pendapatan beliau tergolong tinggi. Beliau mengaku dalam sehari dapat memproduksi enampuluh kilogram keripik, beliau menggunakan pinjaman dari bank untuk modal usaha beliau tersebut. Selanjutnya, ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial rendah yang ternyata tingkat pengeluaran per bulan dan kepemilikan barang berharganya tergolong tinggi dalam pengolahan variabel taraf hidup, misalnya pada Ibu MSD. Hal tersebut disebabkan beliau masih memiliki dua anak yang bersekolah dan konsumsi makan hariannya tergolong tinggi. Untuk barang berharga, beliau memiliki motor, TV, lemari es, mesin cuci, dan perhiasan emas. Ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial menengah juga disebabkan beberapa alasan. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik yang ternyata memiliki taraf hidup tinggi, yaitu Ibu MQN, disebabkan anggota rumahtangga beliau tidak ada yang bekerja sebagai pegawai kantor tetap tetapi ternyata tingkat pendapatan per bulannya tinggi dari usaha keripik yang dijalankannya dan dari usaha pemasangan listrik yang dijalankan suaminya. Selain itu tingkat pengeluaran perbulan rumahtangga beliau juga tergolong tinggi, demikian pula kepemilikan barang berharga dan kemampuan berobatnya. Terakhir, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial menengah juga disebabkan beberapa alasan. Pada ibu SFH, hal tersebut disebabkan beliau memiliki luas tempat tinggal, sumber listrik dan kepemilikan aset pertanian yang tidak tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup. Alasan berupa sumber listrik tempat tinggal yang tidak tergolong rendah juga terdapat pada ibu SFY dan Ibu THM. Hal tersebut disebabkan ternyata rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut sudah memasang listrik sejak lama ketika pemasangan listrik masih diperbolehkan dengan daya 450 watt sedangkan saat ini pemasangan listrik diharuskan minimal 900 watt, berikut pernyataan salah satu rumahtangga pemilik usaha keripik.
109
“ Halah iki wis suwi owk mbak masange, makane iso 450 watt, nek sakiki kan rak entuk mbak, minimal kudu 900 watt, nek aku yo sakmene wae wis cukup mbak, rak njeglek, ngopo kudu nambah.”- Ibu SFY “ Ini sudah lama mbak memasang listriknya, makanya bisa 450 watt dayanya. Kalau sekarang kan tidak boleh mbak, minimal harus 900 watt. Kalau saya ya segini saja sudah cukup mbak, tidak mati kalau digunakan sehari-hari, jadi kenapa saya harus tambah dayanya.”- Ibu SFY
Alasan lainnya adalah rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dalam kepemilikan barang berharga dan aset pertanian tidak tergolong tinggi dalam perhitungan variabel taraf hidup, misalnya pada Ibu SFY. “Halah mbak, napa beli macem-macem, wong bisa pake tangan owk nyucinya, kulkas juga ndak perlu mbak. Wis TV karo motor thok wae cukup mbak”- Ibu SFY “ Duh mbak, kenapa harus beli macam-macam, kan bisa pakai tangan cuci bajunya mbak, lemari es jug tidak butuh mbak. Sudah, TV dan motor saja cukup mbak.”Ibu SFY “Nek lemah karo kebon rak ndue mbak, bapake barang kan rak iso tani. Nek ternak barang kan omahe ora jembar mbak, ning tengah-tengah ngene rak ono panggone, ngko malah diseneni tanggane. Wis cukup seko pensiunanne wae mbak.Wis tuwo barang yo rak ono tenagane yen tani mbak.”- Ibu THM “Kalau tanah dan kebun tidak punya mbak, bapaknya kan juga tidak bisa bertani. Kalau hewan ternak juga kan rumah saya tidak luas mbak, posisinya juga di tengahtengah rumah penduduk seperti ini, tidak ada tempatnya lah mbak, nanti malah dimarahi tetangganya. Ya sudah cukup dari pensiunan bapak saja mbak, sudah tua juga mbak, sudah tidak ada tenaganya.”- Ibu THM
Implementasi Industrialisasi Pedesaan dan Taraf Hidup Rumahtangga Sayogyo dan Tambunan (1990) juga menyatakan bahwa industrialisasi pedesaan berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi. Pengukuran tingkat kesejahteraan berasosiasi dengan pengukuran taraf hidup sebagaimana yang dikatakan Pratiwi (2009) bahwa tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada satu kurun waktu tertentu. Hasil wawancara dengan rumahtangga pemilik usaha keripik mayoritas menyatakan bahwa rumahtangga pemilik usaha keripik mengaku lebih mampu meningkat taraf hidupnya dengan menjalankan industri keripik, misalnya dalam hal tingkat pendapatan, kondisi tempat tinggal, kepemilikan barang berharga, dan kepemilikan aset pertanian. Beberapa juga menyatakan menyenangi kondisi kerja dengan menjalankan industri keripik. Bahkan ada juga rumahtangga pemilik usaha keripik yang merasa senang karena dengan menjalankan industri keripik status sosialnya meningkat. Berikut pernyataan beberapa pemilik usaha keripik terkait dengan hal tersebut.
110
“ Ya Alhamdulillah mbak, dari usaha keripik ini yo iso nggo tuku montor, lemah barang. Terus yo iso nggo mbangun omah, sithik-sithik diapiki ngono tho mbak. ”- Ibu SFR “Ya Alhamdulillah mbak, dari usaha keripik ini ya saya bisa untuk beli mobil, beli tanah juga. Selain itu juga bisa memperbaiki rumah mbak, sedikit demi sedikit.”Ibu SFR “Saya dulunya di pabrik mbak, terus njahit ikut orang tu lho mbak. nek gini enaknya tuh punya sendiri mbak, nek ikut orang kan ndak enak mbak, ada bosnya, dioyak-oyak kudu cepet dadi jahitane. Nek bikin keripik gini kan enak mbak, santai, ora kemrungsung, paling sing ngoyak-oyak yo bakule ning, kan orak setertekan nek melu wong mbak. Njur yo iso libur nek tetanggane hajatan, nek melu wong kan ndak bisa tho mbak. Nek sekarang yo capek mbak, tapi bar dapet duit yo capeknya ilang. ”- Ibu MTF “Saya dulunya di pabrik mbak, kemudian saya kerja menjahit, jadi bawahannya orang lain. Kalau usaha keripik seperti ini itu enak mbak, karena milik sendiri. Kalau ikut orang lain kan tidak enak mbak, ada bosnya, dikejar-kejar harus cepat jadi jahitannya. Kalau membuat keripik seperti ini kan enak mbak, santai, tidak terburu-buru, paling yang mengejar-ngejar hanya pembelinya, tidak terlalu tertekan seperti ketika menjadi bawahan orang mbak. Selain itu juga bisa libur mbak kalau ada tetangga ada yang punya acara, kalau jadi bawahan orang kan tidak bisa seperti itu mbak. Kalau sekarang ya capek mbak, tapi setelah dapat uang ya capeknya hilang”- Ibu MTF “ Nek di rumah kan enak mbak kerjane, nek capek tidur, nek ngeleh mangan. Nek ning pabrik rekoso, jam enem esuk wis mangkat ngantor mbak, mulihe mbengi banget, opomeneh yen lembur”- Ibu WNN “Kalau usaha keripik kan enak mbak di rumah kerjanya, kalau capek bisa tidur, kalau lapar bisa makan. Kalau di pabrik sengsara mbak, jam enam pagi sudah berangkat ke kantor mbak, pulangnya malam sekali , apalagi kalau lembur”- Ibu WNN “ Enak ngene mbak, nek ikut orang thu nggak enak, ndak bebas. Nek gini kan enak, iso ning omah, ngerawat omah, ndampingi anak. Lebih ayem sekarang mbak, nek dulu kan kerjone dioyak-oyak. “- Ibu IZR “ Enak usaha keripik mbak, kalau jadi bawahan orang lain itu tidak enak. Kalau seperti ini kan enak, bisa di rumah, mengurus rumah, mendampingi anak. Lebih tenang begini mbak, kalau dulu kan kerjanya dikejar-kejar terus.”- Ibu IZR “ Jane yo mbak nek diitung-itung per harine yo mungkin banyak dari kuli bangunan lho mbak. Tapi saya no seneng wae ik usaha gini, ora kemrungsung, yo lemu wae ik walopun gaweanne akeh. Nek ngene kan luwih enak mbak, diundang tanggane “gan, gan, juragan”- Ibu MQR
111
“ Sebenarnya ya mbak, kalau dihitung-hitung per harinya mungkin lebih banyak kuli bangunan mbak dapat uangnya. Tapi saya ya senang saja itu mbak usaha seperti ini, tidak terburu-buru dan tertekan, ya gendut saja tuh walaupun banyak pekerjaan. Kalau seperti ini kan lebih enak mbak, dipanggil tetangga “gan, gan juragan”- Ibu MQR
Hubungan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga responden dalam penelitian ini dilihat melalui hasil pengolahan data melalui tabel silang yang hasilnya dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Jumlah dan persentase rumahtangga pemilik usaha keripik berdasarkan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Tingkat Implementasi No. Industrialisasi Pedesaan
Taraf Hidup Rumahtangga Tinggi
Sedang
Σ
%
Σ
%
Total
Rendah Σ
%
Σ
%
1.
Tinggi
6
75.0
7
36.8
0
0.0
13
43.3
2.
Sedang
2
25.0
12
63.2
3
100.0
17
56.7
3.
Rendah
0
0.0
0
0.0
0
0.0
0
0.0
Total
8
100.0
19
100.0
3
100.0
30
100.0
Tabel 28 memperlihatkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, terdapat 75 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 25 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Dengan kata lain, terlihat adanya hubungan semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan, semakin tinggi taraf hidup rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik. Hubungan ini juga diperkuat oleh hasil uji korelasi Rank Spearman yang dapat dilihat pada Lampiran 9. Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berkorelasi dan signifikan. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk kedua variabel tersebut sebesar 0.445 dengan nilai signifikansi sebesar 0.014. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo, dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya.
112
Ikhtisar Mayoritas taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik berada pada tingkat sedang. Di sisi lain, jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan taraf hidup rendah hanya sepuluh persen dari total rumahtangga pemilik usaha keripik. Hal tersebut mengindikasikan bahwa taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik secara umum cenderung baik. Meskipun demikian, terdapat temuan yang menarik ketika data taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik tersebut dilihat korelasinya dengan lapisan sosial melalui perbandingan indeks komposit taraf hidup pada masing-masing lapisan sosial. jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan atas paling banyak yang bertaraf hidup tinggi. Temuan yang menarik pada data tersebut adalah pada rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah dan lapisan bawah. Jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan bawah yang bertaraf hidup tinggi ternyata lebih banyak bila dibandingkan jumlah rumahtangga pemilik usaha keripik lapisan menengah yang bertaraf hidup tinggi. Hal tersebut disebabkan pelapisan sosial di lokasi penelitian juga dilandaskan pada hal-hal selain taraf hidup rumahtangga, misalnya ada tidaknya anggota rumahtangga yang pendapatannya tetap, ada tidaknya anggota rumahtangga yang sudah naik haji, dan kemampuan menyekolahkan anak hingga perguruan tinggi. Selain itu, ketidaksesuaian lapisan sosial dan taraf hidup pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah disebabkan beberapa alasan. Salah satu alasan yang umum terjadi adalah rumahtangga pemilik usaha keripik dengan lapisan sosial bawah tersebut ternyata memiliki tempat tinggal yang tergolong tinggi dalam variabel taraf hidup, yaitu permanen, berlantai keramik, berdinding tembok, dan luas. Hasil penelitian juga memperlihatkan hubungan seperti pada hipotesis penelitian, yaitu semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi rumahtangga pemilik usaha keripik. Pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan terdapat 75 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang tinggi, 25 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang sedang, dan 0 persen rumahtangga pemilik usaha keripik dengan tingkat implementasi industrialisasi pedesaan yang rendah. Hubungan ini juga diperkuat oleh hasil uji korelasi Rank Spearman yang memperlihatkan bahwa tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik berkorelasi dan signifikan. Nilai koefisien korelasi Spearman yang diperoleh untuk kedua variabel tersebut sebesar 0.445 dengan nilai signifikansi sebesar 0.014. Oleh karena nilai signifikansi tersebut lebih kecil daripada nilai alfa (0.15), hipotesis penelitian diterima, dengan kata lain semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo, dan Desa Lerep pada khususnya adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo. Secara lebih lanjut, langkah-langkah tersebut telah diuraikan pada bab “Tingkat Implementasi Industrialisasi Pedesaan” sebelumnya.
113
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian berbentuk pengembangan pengembangan industri yang mengandalkan kekuatan utama berupa sumberdaya yang ada di pedesaan (industry of rural areas). Implementasi industrialisasi pedesaan di lokasi penelitian berbentuk pengembangan sentra industri kecil menengah/rumahtangga (IKM/RT) keripik Dusun Karangbolo yang dimulai sejak Tahun 1979. Lebih lanjut, tingkat implementasi industrialisasi pedesaan pada mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo ditemukan dalam kategori sedang. Terdapat keragaman strategi nafkah pada rumahtangga pemilik usaha keripik dengan adanya implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo. Lebih lanjut, mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik melakukan strategi nafkah rumahtangga ganda (berbasis sektor pertanian/farm (on farm/off farm/on farm dan off farm) dan non pertanian/non farm). Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa sektor pertanian on farm tidak menjadi basis utama aktivitas nafkah pada strategi nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Struktur nafkah mayoritas rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo didominasi oleh kontribusi tingkat pendapatan dari aktivitas nafkah pada sektor pertanian, khususnya sektor pertanian off farm, yaitu sektor industri keripik. Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo secara umum berada pada tingkatan sedang dan tinggi. Lebih lanjut, semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik. Mayoritas taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo berada pada tingkat sedang. Terakhir, semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik. Saran Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan maka semakin tinggi taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik. Lebih lanjut, aktivitas nafkah berbasis sektor pertanian on farm tidak menjadi aktivitas nafkah yang dapat benar-benar diandalkan rumahtangga. Oleh karena itu, langkah-langkah yang sebaiknya ditempuh pembuat kebijakan secara sinergis dengan rumahtangga pemilik usaha keripik pedesaan maupun masyarakat Dusun Karangbolo dan Desa Lerep adalah mendukung agar tingkat implementasi industrialisasi pedesaan semakin baik di RW 07 Dusun Karangbolo sekaligus mengembangkan sektor pertanian on farm yang mendukung implementasi industrialisasi pedesaan. Langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyediakan dan mengembangkan infrastruktur pemasaran berupa sentra penjualan
114
oleh-oleh Kabupaten Semarang yang menampung produk keripik dari seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik pada Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan menjualnya dengan kesepakatan harga dasar bersama pada kelompok; (2) memberikan bantuan alat yang lebih sesuai dengan kebutuhan alat produksi pada rumahtangga pemilik usaha keripik; (3)memberikan pelatihan yang lebih sesuai dengan kebutuhan keterampilan rumahtangga pemilik usaha keripik secara merata dan kontinyu pada seluruh rumahtangga pemilik usaha keripik yang tergabung dalam Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo; (4)memberikan bantuan fasilitasi kemasan yang memungkinkan produk keripik tidak mudah hancur ketika dipasarkan; (5)memonitoring penggunaan bantuan dana untuk simpan pinjam kelompok; dan (6)mengembangkan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Lebih lanjut, langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan oleh rumahtangga pemilik usaha keripik dalam mendukung implementasi industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo, antara lain: (1)menyepakati, menaati, menegakkan sanksi, dan memonitoring pelaksanaan kesepakatan harga antara sesama anggota kelompok pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo; (2)memonitoring penggunaan dana simpan pinjam kelompok, menaati aturan simpan pinjam, dan menegakkan sanksi demi lancarnya aliran dana simpan pinjam kelompok, (3)bekerja sama dalam kelompok untuk memasarkan produk keripik, misalnya dengan mengajukan proposal bantuan pendirian pusat oleh-oleh, (4)berani mencoba mengembangkan usaha keripiknya menjadi berskala lebih besar, (5)tidak takut menggunakan keuntungan dari industri keripik yang dijalankan untuk diversifikasi nafkah rumahtangga dalam rangka memperoleh tambahan sumber pendapatan rumahtangga, dan (6)mengembangkan jejaring melalui lebih aktif mencari pelanggan dan bekerja sama dengan pelanggan tersebut, dan (7)mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo Selain itu, masyarakat lokal di RW 07 Dusun Karangbolo dan Desa Lerep sebaiknya ikut serta dan mendukung pengembangan pertanian lokal di Dusun Karangbolo maupun Desa Lerep khususnya pertanian komoditas bahan baku keripik, misalnya kedelai dan kacang-kacangan secara sinergis dengan pemerintah. Penelitian mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga sebaiknya semakin banyak dilaksanakan, khususnya mengenai implementasi industrialisasi pedesaan yang berbentuk pengembangan industry of rural areas. Hal tersebut diharapkan dapat memperkaya kajian dan literatur yang saat ini masih terbatas mengenai industrialisasi pedesaan sebagai salah satu kebijakan pembangunan masyarakaat desa. Peneliti menyarankan lokasi implementasi industrialisasi pedesaan berbentuk pengembangan industry of rural areas yang dipilih sebagai lokasi penelitian hendaknya merupakan desa dengan pengembangan industri hulu-hilir berbasis pertanian. Hal tersebut diharapkan dapat memperdalam kajian industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga, khususnya mengenai dampaknya pada pengembangan pertanian pada masyarakat desa yang masih tergantung pada sektor pertanian. Lebih lanjut, dengan memperkaya dan memperdalam kajian mengenai industrialisasi pedesaan dan struktur nafkah rumahtangga, khususnya mengenai implementasi industrialisasi pedesaan yang berbentuk pengembangan industry of rural areas diharapkan kajian-kajian tersebut dapat memperkaya acuan pembuat kebijakan dalam merumuskan kebijakan pembanguan, khususnya kebijakan pembangunan masyarakat pedesaan.
115
DAFTAR PUSTAKA Annastasia RU. 2011. Dampak sosio-ekonomi dan ekologi kawasan industri batu bata. Kasus Kampung Ater dan Kampung Ciawian, Desa Gorowong, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. [BAPPEDA Kabupaten Semarang] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang (ID). 2011. Profil Daerah Kabupaten Semarang Tahun 2011. Ungaran [ID]: BAPPEDA Kabupaten Semarang. [BAPPEDA Kabupaten Semarang; BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang; Badan Pusat Statistik (ID). 2002. Kecamatan Ungaran Dalam Angka Tahun 2002. Ungaran [ID]: BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS. [BAPPEDA Kabupaten Semarang; BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang; Badan Pusat Statistik (ID). 2004. Kecamatan Ungaran Dalam Angka Tahun 2004. Ungaran [ID]: BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS. [BAPPEDA Kabupaten Semarang; BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang; Badan Pusat Statistik (ID). 2008. Kecamatan Ungaran Dalam Angka Tahun 2008. Ungaran [ID]: BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS. [BAPPEDA Kabupaten Semarang; BPS] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Semarang; Badan Pusat Statistik (ID). 2011. Kecamatan Ungaran Barat Dalam Angka Tahun 2011. Ungaran [ID]: BAPPEDA Kabupaten Semarang dan BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik.1990. Penduduk Kabupaten Semarang 1990: Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Penduduk Tahun 1990. Ungaran [ID]: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Kabupaten Semarang. Ungaran [ID]: BPS. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2000. Konsep dasar rumahtangga. [Internet]. [Diunduh 27 Februari 2011]. Jakarta [ID]: BPS. Dapat diunduh dari: http://demografi.bps.go.id/versi2/index.php?optio=com_content&view=article&id= 948&Itemid=112&lang=en. Bakir SAB. 2012. Tingkat kesejahteraan dan strategi nafkah nelayan. Kasus Kelurahan Tegalkamulyan, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap, Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dharmawan AH. 2001. Farm household livelihood strategies and socio-economic changes in rural Indonesia [disertasi]. Germany: The Georg-August University of Gottingen. Dharmawan AH. 2007. Sistem penghidupan dan nafkah pedesaan: pandangan sosiologi nafkah (livelihood sociology) mahzab Barat dan mahzab Bogor. Sodality. 1 (02): 169192.
116
[Disperindag dan PM Kabupaten Semarang] Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Penanaman Modal Kabupaten Semarang. 2007. Kebijakan Keterkaitan Industri Hulu Hilir. Ungaran [ID]: Disperindag dan PM Kabupaten Semarang. Ellis F. 2000. Rural livelihoods and diversity in developing countries. New York: Oxford University Press. Gandhi R. 2011. Pengaruh industrialisasi pedesaan terhadap taraf hidup masyarakat di RW 01 dan RW 09 Desa Benda, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Kumar S. [tahun tidak diketahui]. Rural development through rural industrialization. Exploring the Chinese experience. Asian Scholarsh E-journ. [Internet]. [diunduh 13 Maret 2012]. Dapat diunduh dari: http://www.asianscholarship.org/asf/ejourn/articles/Sanjeev%20Kumar2.pdf. Lestari D. 2005. Strategi nafkah rumahtangga nelayan Pantai Utara dan Pantai Selatan Jawa. Studi kasus komunitas nelayan Banyuwoto, Jawa Tengah dan komunitas nelayan Cipatuguran, Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Masithoh. 2005. Strategi nafkah rumahtangga petani penggarap sekitar DAS Cidanau. Studi kasus komunitas petani penggarap di Desa Kalumpang , Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Provinsi Banten [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Muray AA. 2011. Dampak sosio-ekonomi dan ekologi kawasan industri batu bata. Kasus Kampung Ater dan Ciawian Desa Gorowong Kecamatan Parung Panjang Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Pemerintah Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. 2012. Profil Desa Lerep Tahun 2012. Ungaran [ID]: Pemerintah Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang. Pratiwi L. 2009. Marginalisasi perempuan dalam industri dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga pekerja (CV. Mekar Plastik Industri, Kelurahan Cilampeni, Kecamatan Katapang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat) [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Purnomo AM, Dharmawan AH, Agusta I. 2007. Transformasi struktur nafkah pedesaan. Pertumbuhan “modal sosial bentukan” dalam skema Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat di Kabupaten Kuningan. Sodality. 1 (02) : 193-216. Rahardjo MD. 1984. Transformasi Pertanian, Industrialisasi, dan Kesempatan Kerja. Jakarta [ID]: Universitas Indonesia. 308 hal. Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Yogyakarta [ID]: Gadjah Mada University. 238 hal. Sastrosoenarto. 2006. Industrialisasi Serta Pembangunan Sektor Pertanian dan Jasa
117
Menuju Visi Indonesia 2030. Jakarta [ID]: Gramedia Pustaka Utama. 375 hal. Sayogyo, Tambunan M, editor. 1990. Industrialisasi pedesaan. Dilengkapi dengan memorandum bersama tentang industrialisasi pedesaan. Prosiding Simposium Industrialisasi Pedesaan; 18-19 Desember 1989. Jakarta, Indonesia. Jakarta [ID]: Sekindo Eka Jaya. 503 hal. Singarimbun M, Sofian E. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. 336 hal. Sundar K, Srinivasan T. 2009. Rural industrialization. Challenge and propotion. J Soc Sci. 20 (01): 23-29. [Internet]. [diunduh 13 Maret 2012]. Dapat diunduh dari: http://www.krepublishers.com/02-Journals/JSS/JSS-20-0-000-09-Web/JSS-20-1000- 09-Abst-PDF/JSS-20-01-023-09-826-Sundar-K/JSS-20-01-023-09-826-SundarK-Tt.pdf. Tanzenia F. 2012. Marginalisasi perempuan dalam industrialisasi pedesaan. Studi kasus di Desa Cikarawang dan Desa Tarikolot, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Tim penyusun kamus pembinaan dan pengembangan bahasa .1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta [ID]: Balai Pustaka. 1278 hal. Tulak PP , Dharmawan AH, Juanda B. 2009. Struktur nafkah rumahtangga petani transmigran. Studi sosio-ekonomi di Tiga Kampung di Distrik Masni Kabupaten Manokwari . Sodality. 3 (02): 203-220. Vanadiani DV. 2011. Industrialisasi di pedesaan dan perubahan struktur masyarakat petani di Desa Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Waluyo. 2009. Kajian lokasi kawasan industri besar dan persebarannya di Kota Salatiga [skripsi]. [Internet]. [diunduh 27 September 2012]. Surakarta [ID]: Universitas Muhammadiyah Surakata]. Dapat diunduh dari: http://etd.eprints.ums.ac.id/5326/2/E100050077.PDF. Yuliandani R. 2011. Analisis struktur nafkah dan penghidupan rumahtangga pekerja batik tulis tradisional. Studi sosio-ekonomi dua tipe industri batik di Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Yuliastry I. 2011. Kemiskinan dan strategi adaptasi nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.
118
Lampiran 1 Peta Desa Lerep
119
120
121
Lampiran 2 Cara perhitungan subvariabel taraf hidup rumahtangga No
1.
2.
Subvariabel Uraian Tingkat pengeluaran Seberapa besar rata-rata uang yang rata-rata rumahtangga dibelanjakan setiap anggota rumahtangga per bulan dalam suatu rumahtangga baik untuk kebutuhan konsumsi maupun non konsumsi dalam kurun waktu satu bulan. Awalnya, peneliti mengidentifikasi tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga rumahtangga pemilik usaha keripik. Kemudian, jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik digolongkan dengan perhitungan menggunakan sebaran normal, sebagai berikut: Jika tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga pemilik usaha keripik dalam sebulan: a. ≥ Rp 2.398.653.02 = pilihan jawaban “3”= tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga per bulan tergolong “Tinggi”= skor 3 b. > Rp 1.626.013.64 - < Rp 2.398.653.02 = pilihan jawaban “2”= tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga per bulan tergolong “Sedang”= skor 2 c. ≤ Rp 1.626.013.64 = pilihan jawaban “1”= tingkat pengeluaran rata-rata rumahtangga per bulan tergolong “Rendah”= skor 1 Tingkat pendapatan Seberapa besar rata-rata pendapatan yang rata-rata rumahtangga diperoleh setiap anggota rumahtangga dalam per bulan suatu rumahtangga baik dari aktivitas nakfah di sektor pertanian maupun sektor non pertanian, baik berupa in-cash (uang) maupun in kind (barang) yang dinilai dengan menggunakan ukuran rupiah dalam kurun waktu satu bulan dan telah dikurangi dengan biaya-biaya lainnya sebagai imbalan dari pekerjaan. Awalnya, peneliti mengidentifikasi tingkat pendapatan rata-rata rumahtangga pemilik usaha keripik. Kemudian, jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik digolongkan dengan perhitungan menggunakan sebaran normal, sebagai berikut: Jika tingkat pendapatan rata-rata rumahtangga pemilik usaha keripik dalam sebulan:
122
No
3.
4.
Subvariabel
Uraian a. ≥ Rp 13.090.099.75 = pilihan jawaban “3”= tingkat pendapatan per bulan tergolong “Tinggi”= skor 3 b. > Rp 3.642.729.72 - < Rp 13.090.099.75 = pilihan jawaban “2”= rata-rata pendapatan per bulan tergolong “Sedang”= skor 2 c. ≤ Rp 3.642.729.72= pilihan jawaban “1”= rata-rata pendapatan per bulan tergolong “Rendah”= skor 1 Luas tempat tinggal Luas bangunan dan pekarangan tempat tinggal rumahtangga. Awalnya, peneliti mengidentifikasi luas tempat tinggal masingmasing rumahtangga pemilik usaha keripik. Kemudian, jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik digolongkan dengan perhitungan menggunakan sebaran normal, sebagai berikut: Jika luas tempat tinggal rumahtangga pemilik usaha keripik: a. ≥ 175.34 m2 = pilihan jawaban “3”= luas tempat tinggal tergolong “Tinggi”= skor 3 b. > 94.32 m2 - < 175.34 m2 = pilihan jawaban “2”= luas tempat tinggal tergolong “Sedang”= skor 2 c. ≤ 94.32 m2 = pilihan jawaban “1”= luas tempat tinggal tergolong “Rendah”= skor 1 Kepemilikan barang Seberapa banyak barang berharga yang berharga dimiliki rumahtangga pemilik usaha keripik. Terdapat sembilan jawaban yang dapat dipilih rumahtangga pemilik usaha keripik dalam kuesioner. Penggolongan jawaban untuk variabel ini dilakukan dengan menggunakan sebaran normal pada jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik, penggolongannya adalah sebagai berikut: a. Memiliki ≥ 5 barang berharga = kepemilikan barang berharga tergolong “Tinggi”= skor 3 b. Memiliki 3- 4 barang berharga = kepemilikan barang berharga tergolong “Sedang”= skor 2 c. Memiliki ≤ 2 barang berharga= kepemilikan barang berharga tergolong “Rendah”= skor 1 Kepemilikan aset Seberapa banyak aset pertanian dalam arti
123
No
Subvariabel pertanian
Uraian luas yang dimiliki rumahtangga pemilik usaha keripik. Terdapat tiga jawaban yang dapat dipilih rumahtangga pemilik usaha keripik dalam kuesioner. Penggolongan jawaban untuk variabel ini dilakukan dengan menggunakan sebaran normal pada jawaban rumahtangga pemilik usaha keripik, penggolongannya adalah sebagai berikut: a. Memiliki 2-3 aset pertanian= kepemilikan aset pertanian tergolong “Tinggi”= skor 3 b. Memiliki 1 aset pertanian= kepemilikan aset pertanian tergolong “Sedang”= skor 2 c. Memiliki 0 aset pertanian= kepemilikan aset pertanian tergolong “Rendah”= skor 1
124
125
Lampiran 3 Daftar rumahtangga pemilik usaha keripik dan lapisan sosial No Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Nama AFY SRH HLM MSD IST IZR JRY HSN MRY MZT MLH MQN MQR MTF NFY RKY THM RDY RWY RMS SFR SLB SLH SFY SMH UAS ULT MWN WNN YLT
Lapisan Sosial Menengah Bawah Atas Bawah Menengah Menengah Menengah Menengah Bawah Bawah Bawah Menengah Atas Bawah Bawah Atas Atas Menengah Bawah Bawah Atas Menengah Menengah Atas Bawah Menengah Atas Atas Bawah Atas
RT 02 01 01 03 01 03 02 02 01 03 01 01 01 01 02 02 01 02 01 02 01 02 01 02 02 02 02 01 03 01
126
127
Lampiran 4 Kuesioner
KUESIONER
INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PEMILIK USAHA KERIPIK PEDESAAN
Petunjuk: - Berilah tanda () pada kolom yang telah disediakan; - Untuk kolom yang di dalamnya terdapat titik-titik, maka isilah sesuai dengan informasi yang ditanyakan
Tanggal
:
.... .. ... ... .. ... ... .. ... ... .. ... . .... .
Wawancara
IDENTITAS DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 1.
Nomor Responden
:
… … …… … … ….
.... .. ... ... .. ... ... .. ... ... .. ... . .... .. 2. Nama Responden
:
3. Usia
:
4. Alamat Responden
:
2.a. Jenis
L
P
Kelamin: .... .. ... ... .. ... . RT ……… RW ………
1. Tidak sekolah/tidak tamat SD 5.
Tingkat Pendidikan
:
2. Tamat SD/ MI 3. Tamat SMP/ MTs 4. Tamat SMA/ MA 5. Pondok Pesantren 6. PT tetapi tidak tamat 7. D3 8. Sarjana/Pascasarjana
6.
7.
Jumlah Anggota Rumahtangga Matapencaharian Rumahtangga Bapak/Ibu
1. Laki-laki : 2. Perempuan
:
1. Pertanian 2. Bukan Pertanian
6.a. Jumlah .. ... .. ... 6.b. Jumlah .. ... .. ...
128
Sekarang
Pekerjaan 8. Bapak/Ibu
:
Sekarang
1.Petani 2.Ibu rumahtangga 3.PNS 4.Karyawan swasta 5. Buruh Bangunan 6. Buruh Pabrik 7.Pedagang 8. Wiraswasta 9. Jasa. Sebutkan... 10. Lainnya. Sebutkan..
8. 9 Sebutkan: … … …… … … … … … .
8.10
… … …… … … … … …
Sebutkan: .
KARAKTERISTIK ANGGOTA RUMAHTANGGA RESPONDEN 9. (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
No
Nama Anggota Rumahtangga
Status dalam Rumah tangga
Jenis Kelamin
Usia
Tingkat Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Keterang -an
(kode)
(tahun)
(kode)
Kode kolom 3 1.Kepala rumahtangga 2.Istri/suami 3.Anak 4. Menantu 5. Cucu 6. Orangtua 7.Mertua 8. Pembantu rumahtangga 9. Lainnya.....(sebutkan)
Kode kolom 4 1. Laki-laki 2. Perempuan
(kode)
(kode) Utama
Kode kolom 6 1.Tidak sekolah/tidak tamat SD 2.Tamat SD/ MI 3.Tamat SMP/ MTs 4.Tamat SMA/ MA 5.Pondok Pesantren 6.PT tetapi tidak tamat 7.D3 8.Sarjana/Pascasarja na
Sampingan
Kode kolom 7 1.Petani 2.Ibu rumahtangga 3.PNS 4.Karyawan swasta 5. Buruh Bangunan 6. Buruh Pabrik 7.Pedagang (sebutkan...) 8. Wiraswasta (sebutkan...) 9. Jasa (sebutkan...) 10. Lainnya. Sebutkan..
129
Beri tanda centang () pada pernyataan dibawah ini sesuai dengan pilihan anda yang menunjukkan keadaan yang sebenarnya, BUKAN harapan anda!: TINGKAT IMPLEMENTASI INDUSTRIALISASI PEDESAAN Tingkat Ketersediaan Akses terhadap Infrastruktur No 10
11.
12.
13.
14.
15. 16.
17
18.
Pertanyaan Apakah terdapat sumber permodalan bagi pengembangan usaha keripik selain dari uang pribadi? Apakah Bapak/Ibu menggunakan sumber permodalan (uang) selain dari uang pribadi untuk menjalankan usaha keripik? Apakah pernah terdapat pelatihan keterampilan bagi pemilik usaha keripik di Dusun Karangbolo? Apakah Bapak/Ibu pernah mendapatkan pelatihan keterampilan untuk mengembangkan usaha keripik?
a.Tidak
b.Ya
Keterangan
b.Ya
Keterangan
Apakah Bapak/Ibu pernah mendapat bantuan peralatan produksi untuk produksi keripik? Apakah Bapak/Ibu memiliki peralatan produksi keripik untuk produksi keripik? Apakah Bapak/Ibu melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk memasarkan hasil produksi keripik? Apakah pemerintah pernah memberikan pelatihan bagi pemilik usaha keripik di Dusun Karangbolo? Apakah pemerintah pernah memberikan bantuan alat produksi untuk pengembangan usaha keripik di Dusun Karangbolo?
19.
Apakah pemerintah pernah memberikan bantuan modal untuk pengembangan usaha keripik di Dusun Karangbolo? Tingkat Penggunaan Sumberdaya Lokal
No 20.
Pertanyaan Apakah usaha keripik yang Bapak/Ibu jalankan menggunakan tenaga kerja dari masyarakat setempat?
a.Tidak
130
21.
Apakah usaha keripik yang Bapak/Ibu jalankan menggunakan tenaga kerja wanita dari masyarakat setempat?
22.
Apakah bahan baku yang diperlukan untuk menjalankan usaha keripik Bapak/Ibu tersedia di lokasi yang dekat?
23.
Apakah alat pembuatan keripik yang Bapak/Ibu gunakan untuk membuat keripik mudah untuk digunakan? Apakah alat pembuatan keripik yang Bapak/Ibu gunakan untuk membuat keripik mudah ditemukan di lokasi yang dekat?
24.
Tingkat Manfaat bagi Masyarakat Lokal No 25.
Pertanyaan Apakah Bapak/Ibu lebih mampu memenuhi kebutuhan rumahtangga setelah berkembangnya sentra industri keripik?
26.
Apakah Bapak/Ibu memperoleh tambahan jaringan setelah berkembangnya sentra industri keripik?
27.
Apakah Bapak/Ibu memperoleh sumber pendapatan lain selain sumber pendapatan Bapak/Ibu sebelumnya setelah berkembangnya sentra industri keripik? Apakah Bapak/Ibu memperoleh keterampilan baru setelah berkembangnya sentra industri keripik?
28.
29.
Apakah Bapak/Ibu menggunakan pendapatan dari industri keripik untuk memperoleh pendapatan dari aktivitas lain?
a.Tidak
b.Ya
Keterangan
131
Isilah sesuai dengan informasi yang ditanyakan STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA RESPONDEN 30.A.Tingkat Pendapatan Rumahtangga dari Sektor Pertanian/ Farm Sector (Rp / tahun)
N O
Aktivitas
Status Aktivitas Nafkah (Utama/Sa mpingan)
Tingkat Pendapatan Ayah (Suami)
Tingkat Pendapatan Ibu (Istri)
Tingkat Pendapatan Anak
Tingkat Pendapatan Anak
Total
Total 30. B. Tingkat Pendapatan Rumahtangga dari Sektor Non Pertanian / Non Farm Sector
( Rp / tahun ) N O
Aktivitas
Total
Status Aktivitas Nafkah (Utama/Sa mpingan)
Tingkat Pendapatan Ayah (Suami)
Tingkat Pendapatan Ibu (Istri)
Tingkat Pendapatan Anak
Tingkat Pendapatan Anak
Total
132
Beri tanda centang () pada kolom yang telah disediakan dan Untuk kolom yang di dalamnya terdapat titik-titik, maka isilah sesuai dengan informasi yang ditanyakan.
31.
Rata-rata tingkat pengeluaran untuk kebutuhan hidup sehari-hari, termasuk biaya pendidikan, kesehatan, keagamaan, sosial dan rekreasi Bapak/Ibu setiap bulan selama tahun 2012
32.
Rata-rata tingkat pendapatan total rumah tangga (pendapatan responden dan anggota rumahtangga lainnya) Bapak/Ibu setiap bulan selama tahun 2012
28.
29.
30.
Jenis rumah yang Bapak/Ibu tempati
Jenis lantai bangunan tempat tinggal
Jenis dinding bangunan tempat tinggal
Taraf Hidup 1 2 3
1 2
≤ Rp 1.626.013,6 >Rp Rp 1.626.013,6 s.d < Rp 2.398.653,0 ≥ Rp Rp 2.398.653,0
3
≤ Rp 3.642.729,7 >Rp 3.642.729.7 s.d < Rp 13.090.099,8 ≥ Rp 13.090.099,8
1 2 3
Tidak permanen Semi permanen Permanen
1
Tanah
2
Plester Semen
3
Keramik
1
Bilik/kayu
2
Setengah tembok
3
Tembok
2
31.
Luas (m ) lahan pekarangan rumah (termasuk rumah) yang bapak/Ibu tempati sekarang
32.
Status rumah dan lahan pekarangan yang Bapak/Ibu tempati sekarang
1 2 3
Milik sendiri Sewa (kontrak) Lainnya
33.
Sumber air bersih untuk kebutuhan seharihari rumah tangga Bapak/Ibu sekarang
1 2 3
PAM Sumur Mata air
34.
Bahan bakar (energy) yang digunakan untuk masak sehari-hari di rumahtangga Bapak/Ibu
1 2 3
Gas Minyak tanah Kayu Bakar
35.
Daya listrik yang digunakan rumahtangga Bapak/Ibu
1 2 3
1.200 watt 900 watt 450 watt
2
m
32.3. Sebutkan : .......... .......... .... 33.4. Sebutkan : .......... .......... ....
133
36.
Kepemilikan barang berharga
1 2 3 4 5 6 7 8 9
37.
Kepemilikan aset pertanian
1
Sawah
2
Kebun
3
Ternak
1 2 3
Rumah Sakit/Dokter Bidan Desa Puskesmas
38.
Tempat Bapak/Ibu dan anggota rumahtangga Bapak/Ibu sering berobat
Mobil Sepeda Motor Komputer/Laptop TV Lemari es Mesin cuci Tanah Rumah Perhiasan Emas
134
135
Lampiran 5 Panduan wawancara mendalam
PANDUAN PERTANYAAN WAWANCARA MENDALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN DAN STRUKTUR NAFKAH RUMAHTANGGA PEMILIK USAHA KERIPIK PEDESAAN Tanggal wawancara: ......................................... Profil industri keripik 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Sejak kapan memulai usaha keripik? Apa alasan memulai usaha keripik? Apa saja produk yang dihasilkan? Produk apa yang menjadi komoditi utama? Berapa rata-rata pengeluaran untuk bahan baku keripik per harinya? Dari mana bahan baku produksi keripik diperoleh? Bagaimana sistem perolehan bahan baku tersebut? Apa saja alat produksi keripik yang digunakan? Dari mana alat produksi keripik tersebut diperoleh? Berapa tenaga kerja yang digunakan? Dari mana tenaga kerja tersebut berasal? Apa alasan menggunakan tenaga kerja tersebut? Berapa dan bagaimana sistem upahnya? Bagaimana kemasan yang digunakan untuk produk? Bagaimana cara memasarkan produk? Ke mana saja produk tersebut dipasarkan? Bagaimana sistemnya? Berapa harga jual produk? Pihak mana saja yang membantu perkembangan usaha keripik yang dijalankan? Bantuan apa saja yang diperoleh dari pihak tersebut? Apa kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha keripik? Bagaimana rencana ke depan terkait pengembangan usaha keripik?
Strategi nafkah, struktur nafkah dan taraf hidup rumahtangga 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Berapa anggota rumahtangga? Bagaimana tingkat pendidikan masing-masing anggota rumahtangga? Berapa umur masing-masing anggota rumahtangga? Apa aktivitas nafkah utama dari masing-masing anggota rumahtangga? Jelaskan! Apa alasan melakukan aktivitas nafkah tersebut? Apa saja modal yang diperlukan untuk melakukan aktivitas tersebut? Berapa pendapatan bersih yang diperoleh dari aktivitas nafkah tersebut dalam satu tahun? 22. Bagaimana alokasi penggunaan pendapatan yang diperoleh dari aktivitas nafkah tersebut? 23. Apa aktivitas nafkah sampingan dari masing-masing anggota rumahtangga? Jelaskan!
136
24. Apa alasan melakukan aktivitas nafkah tersebut? 25. Apa saja modal yang diperlukan untuk melakukan aktivitas nafkah tersebut? 26. Berapa pendapatan bersih yang diperoleh dari aktivitas nafkah tersebut dalam satu tahun? 27. Bagaimana alokasi pendapatan yang diperoleh dari aktivitas nafkah tersebut? 28. Apakah terdapat sumber pendapatan lainnya bagi rumahtangga dalam satu tahun? Jelaskan! 29. Dari keseluruhan aktivitas nafkah yang dilakukan anggota rumahtangga, aktivitas nafkah apa yang paling berkontribusi bagi pendapatan rumahtangga? Jelaskan! 30. Seberapa besar peran industri keripik yang dijalankan terhadap pemenuhan kebutuhan rumahtangga? Jelaskan! 31. Apakah terdapat perbedaan aktivitas nafkah masing-masing anggota rumahtangga saat ini dengan sebelum menjalankan usaha keripik? Jelaskan! 32. Jika terdapat perbedaan aktivitas nafkah saat ini dengan sebelum menjalankan usaha keripik, kondisi aktivitas nafkah rumahtangga pada waktu yang mana yang lebih disukai? Apa alasannya? Profil Desa Lerep dan Dusun Karangbolo 33. Jelaskan apa yang Bapak/Ibu ketahui mengenai sejarah perkembangan Desa Lerep/Dusun Karangbolo! 34. Bagaimana perkembangan kondisi pertanian di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 35. Bagaimana perkembangan kondisi pendidikan di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 36. Bagaimana perkembangan mata pencaharian masyarakat di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 37. Apa saja kegiatan kemasyarakatan yang ada di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 38. Apa saja tradisi/kegiatan kemasyarakatan yang ada di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 39. Apa saja perkumpulan yang ada di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 40. Bagaimana perkembangan hubungan kemasyarakatan di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? 41. Siapa saja tokoh yang dihormati di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? Mengapa? 42. Bagaimana pelapisan sosial di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? Apa yang membedakan antara lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah masyarakat di Desa Lerep/Dusun Karangbolo? Proses industrialisasi pedesaan dan Kelompok Mekarjati 43. Apa yang Bapak/Ibu ketahui mengenai perkembangan sentra industri keripik di Dusun Karangbolo? 44. Apa yang Bapak/Ibu ketahui mengenai sejarah perkembangan Kelompok Mekarjati? 45. Apa saja bantuan yang diperoleh oleh Kelompok Mekarjati? Dari mana bantuan tersebut diperoleh? Tahun berapa bantuan tersebut diperoleh? 46. Apa saja aktivitas yang dilaksanakan Kelompok Mekarjati? Jelaskan! 47. Apa saja kendala yang dihadapi dalam Kelompok Mekarjati? Jelaskan! 48. Apa saja kendala yang dihadapi dalam pengembangan usaha keripik? Jelaskan! 49. Apa harapan ke depan terkait dengan keberadaan Kelompok Mekarjati? 50. Apa harapan ke depan terkait dengan pengembangan sentra industri keripik di Dusun Karangbolo?
137
Lampiran 6 Catatan harian penelitian Waktu Narasumber Jabatan Hasil Wawancara
: Jumat 7 September 2012, jam 10.00-11.00, Kantor Pemerintahan Desa Lerep : Bapak RYD : Kaur Pembangunan Desa Lerep :
Bapak RYD merupakan Kepala Urusan Pembangunan Desa Lerep. Beliau telah menjadi perangkat Desa Lerep selama duapuluh tahun lebih dan dianggap senior dalam jajaran perangkat Desa Lerep. Bapak RYD dapat dikatakan mengerti mengenai seluk beluk sejarah dan perubahan yang terjadi di Desa Lerep. Bapak RYD menyatakan bahwa kegiatan kemasyarakatan yang biasa dilakukan di Desa Lerep antara lain adalah pengajian dan yasinan di tingkat RT maupun dusun. Pengajian tersebut terdiri dari jamaah ibu-ibu, remaja dan bapak-bapak. Selain itu, di Desa Lerep juga terdapat kegiatan TPQ untuk anak-anak. Adapun kegiatan karangtaruna di Desa Lerep cenderung kurang aktif, kegiatan yang diadakan oleh karangtaruna biasanya hanya berupa kegiatan untuk peringatan kemerdekaan RI. Desa Lerep juga memiliki kebiasaan merti desa atau sedekah desa. Sedekah desa tersebut diadakan untuk mengenang jaman leluhur ( cakal bakal) sambil bersih-bersih dusun atau syukuran. Kegiatan sedekah desa ini biasanya juga dilengkapi dengan acara wayangan sampai pagi hari. Tradisi sedekah desa ini hanya dilakukan di beberapa dusun bagian atas Desa Lerep . Beberapa dusun yang terletak di bagian bawah Desa Lerep seperti Dusun Lerep, Soka, Tegalrejo, dan Karangbolo tidak biasa melakukan tradisi tersebut. Desa Lerep juga memiliki tradisi bersih-bersih mata air/kali untuk irigasi (iriban) dan kebiasaan bersih-bersih makam (nyadran). Sedangkan untuk tradisi-tradisi lainnya, masyarakat Desa Lerep cenderung mengikuti adat Jawa, sebagaimana yang dinyatakan Bapak RYD, “Kalau untuk kebiasaan lain ya mengikuti adat jawa aja mbak. Di sini nggak ada adat yang ilang, ya namanya warisan nenek moyang ya kita ikuti.” Status sosial di Desa Lerep didasarkan pada kepemilikan tanah/ternak/asset lainnya dan keadaan rumah, “kan biasane nek yang bawah itu yang masih “omah Jowo” mbak, temboke bata thok, terus rangka thok. Tapi nek saiki no yo rak mesti mbak, omahe do wis apikapik. Njur kan iso wae tho mbak disimpen, omahe biasa wae tapi lemahe akeh, kan nek ngoni kuwi rak katon moto mbak, yo rak”. Selain itu, status sosial berdasarkan ketokohan di Desa juga berlaku di Desa Lerep, Kepala Desa, sesepuh dan kyai sangat dihormati di Desa Lerep. Apabila terdapat permasalahan di Desa Lerep, penyelesaian masalah tersebut diupayakan diselesaikan dengan damai di tingkat terkecil dulu, misalnya di tingkat RT atau dusun. Apabila permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan damai di tingkat terkecil, permasalahan tersebut akan dibawa ke FKPM (forum kesatuan polisi dan masyarakat) yang ada sejak tahun 2006. Namun, penyelesaian masalah dengan cara tersebut
138
hanya dilakukan jika yang terkait dengan kasus mau melakukan konsultasi . Terkadang ada juga masyarakat yang langsung membawa suatu perkara ke kepolisian setempat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Bapak RYD, “kalo ada masalah biasanya dirembug dulu di RT atau dusun, tapi itu pun juga kalo ada kesadaran dari yang ber masalahnya buat ngobrol baik-baik, kadangkadang ya ada juga yang langsung ke polisi mbak..” Tingkat pendidikan di Desa Lerep sudah cukup baik. Rata-rata masayrakat di Desa Lerep sudah mengenyam pendidikan hingga tamat SMP. Selain itu, di Desa Lerep sudah tidak terdapat masyarakat yang buta aksara. Selain itu, Desa Lerep memiliki SMP Satu Atap yang dibangun sejak tahun 2007. SMP Satu Atap tersebut merupakan konsep sekolah di mana SD dan SMP disatukan. Desa Lerep termasuk pelopor dalam pendirian SMP Satu Atap. SMP Satu Atap di Kabupaten Semarang hanya terdapat di tiga lokasi yaitu di Desa Lerep, Ambarawa, dan Susukan. SMP Satu Atap ini diusulkan oleh Bapak Kades dengan harapan agar dapat menjadi pilihan bagi masyarakat yang tidak mampu dan juga memacu masyarakat untuk menyekolahkan anaknya setidaknya hingga batas WAJAR 9 tahun. Namun, walaupun sasaran utama dari SMP Satu Atap tersebut adalah masyarakat Desa Lerep, terdapat pula murid-murid ada yang berasal dari desa lain selain Desa Lerep. Masyarakat di Desa Lerep pada umumnya menikah pada usia di atas dua puluh tahun. Masyarakat Desa Lerep dulu banyak yang menikah di bawah umur tetapi saat ini sudah tidak sebanyak dulu, terlebih aturan pernikahan semakin diperketat semenjak adanya kasus Syekh Puji . Pernikahan di bawah umur saat ini hanya dilakukan akibat kasus-kasus tertentu seperti “kecelakaan” . Masyarakat Desa Lerep secara umum sudah dapat berbahasa Indonesia tetapi percakapan sehari-hari lebih sering menggunakan bahasa Jawa. Namun, untuk masyarakat yang berusia di atas 70 tahun, terdapat juga yang tidak dapat berbahasa Indonesia. Bapak RYD menyatakan bahwa kurang-lebih sejak tahun 1990-an, banyak warga desa yang menjadi karyawan/buruh pabrik, khususnya para wanita, sebagaimana yang diungkapkannya sebagai berikut: “ Ibu-ibu banyaknya di sini kerja di pabrik mbak, di garmen itu lho, kan banyak pabrik di deket sini, atau kalau nggak ya itu nggoreng keripik , bikin keripik tempe itu lho. Tani sekarang yaa ada, tapi nggak banyak mbak, paling jadi penggarap atau buruh. Untuk industri rumah tangga di Desa Lerep juga cukup banyak, Dusun Indrokilo itu sentra gula aren, di Dusun Lerep ada industri sabun susu, di Dusun Karangbolo itu pusatnya industri keripik mbak.” Lebih lanjut, Bapak RYD menyatakan bahwa pertanian di Desa Lerep masih banyak dijumpai sebelum Tahun 1990an. Kurang lebih sejak Tahun 1990, terlebih semenjak kurang lebih Tahun 2000, masyarakat yang bekerja di sektor pertanian semakin berkurang karena lahan yang dimiliki sempit dan semakin tidak subur, selain itu pemukiman di Desa Lerep juga semakin banyak . Beliau juga menyatakan bahwa air pun lebih banyak digunakan untuk pemukiman . Selain itu, beliau mengungkapkan bahwa kondisi alam juga mempengaruhi pertanian, air sulit ditemukan terutama di musim kemarau .Mengenai klasifikasi petani di Desa Lerep, Bapak RYD menyatakan sebagai berikut, “Nek petani di sini itu ada dua macem mbak, yang beli (sewa) tanah selama tahunan atau yang “diserahi” tanah untuk digarap. Kalo keuntungan biasanya bagi hasil mbak, nanti
139
ditebaske. Nek musim hujan hasilnya separoan antara pemilik sama penggarap, nek musim kemarau, sepertiga untuk yang punya tanahnya dua pertiga buat yang garap. Tapi yo bisa diuangke. Nek harga jualnya, nekkering giling itu sekilone Rp 5000,00 nek basah sekilone Rp 2000,00. Terus, buruh juga ada dua macem mbak, yang harian sama yang setengah harian. Biasanya kalo buruhtani yang harian itu bayare Rp 40.000,00 atau Rp20.000,00.” Tanah pertanian di Desa Lerep sebenarnya termasuk subur, tetapi air semakin sulit ditemukan terlebih di musim kemarau. Bapak RYD menyatakan sebagai berikut, “Tanah yaaaa itungane subur mbak, tapi ya nek orang sini ukurane subur itu kalo ditanem apa-apa yo tukul, kan ada tanah yang cuma bisa ditanem taneman tertentu.Nek di sini yo tukul, makanya ya rata-rata subur”. Sedangkan untuk penggilingan padi, dulu masyarakat banyak menggiling padi dengan cara “nutu” (menumbuk). Namun, sejak tahun 1980an di Desa Lerep sudah mulai ada alat penggilingan padi. Hingga saat ini pun sudah ada tiga tempat penggilingan padi yang kepemilikannya adalah individu, yaitu di Desa Lerep, yaitu di Dusun Lerep, Dusun Soka, dan Dusun Kretek. Tidak pernah terdapat bencana alam yang cukup berarti di Desa Lerep, bencana yang terjadi hanya sebatas longsor kecil ketika musim penghujan. Adapun jalan raya beraspal mulai dibangun di Desa Lerep sekitar Tahun 1997. Sedangkan listrik mulai menjangkau Desa Lerep sekitar Tahun 1984. Fasilitas internet di Desa Lerep berupa warung internet (warnet) masih jarang ditemukan di Desa Lerep, hanya terdapat tiga buah warnet di Lingkungan Mapagan. Namun, masyarakat Desa Lerep cenderung sudah terbiasa mengakses internet dan menggunakan handphone, sebagaimana yang dinyatakan oleh Bapak RYD, “Tapi sekarang kan udah ada hp mbak, masing-masing kan bisa internet lewat hp, apalagi sekarang hp ya bukan barang mewah lagi, udah banyak yang punya”. Tanggal
: 9 November 2012
Narasumber : Ibu RDY Ibu RDY memulai usaha keripik sejak tahun 1983. Beliau dulu bekerja sebagai buruh momong dan “ider panganan”, kemudian beliau bekerja sebagai pembantu rumahtangga, “ Kesel mbak, rekoso yen tumut wong, terus njajal njajal nggorengi nggo tambah-tambah mbak, timbangane mbegogok,” Dalam sehari beliau mampu menghasilkan 20 kg keripik @ Rp 26.000,00. Ketika puasa beliau dapat menghasilkan 120 kg keripik dalam sehari. Beliau menjual keripik melalui kakaknya. Beliau membeli bahan pokok di koperasi, Pak ASR ataupun Bu MQR, karena dekat dan bisa hutang terlebih dahulu, serta bisa diantarkan ke rumah. Beliau menyatakan bahwa beliau pernah memperoleh bantuan kompor dan uang. Beliau memiliki satu orang buruh potong tempe, yaitu adiknya. Beliau juga pernah mengikuti pameran. . Rumahtangga beliau terdiri dari beliau (52, SD), suami (Pak SHD, 56, SD), Anak keempat (ANN, SMA, 20), anak terakhir (NTZ, 17, SMA/ponpes). ANN membantu mengerjakan keripik. Pak SHD menggarap sawah dan memperoleh pendapatan bersih 3 juta rupiah per panen. Dalam setahun beliau dapat panen sebanyak dua kali. Kegiatan bertani dilakukan untuk kesibukan dan tambah-tambah,
140
“ Aku mbiyen buruh momong mbak karo ider panganan. Bapake nggarap sawah, mung yo hasile mung sitik mbak kan ora wekane dhewe, mulo aku nggolek tambah-tambah. Njur aku nggorengi, bapake tak kon mandeg tanine emoh mbak, maksude kan eman awake wis tuwo hasile yo sithik, mung jare bapak nggo hiburan.”“ Saya dulu bekerja sebagai buruh asuh anak dan penjual makanan keliling. Suami saya menggarap sawah, tapi hasilnya ya hanya sedikit mbak kan bukan sawah punya sendiri, makanya saya mencari tambahan. Kemudian saya menjalankan usaha keripik, saya minta suami saya untuk berhenti bertani tetapi tidak mau mbak, maksud saya kan sayang badannya sudah tua, apalagi hasilnya sedikit, tapi kata bapak untuk hiburan.” Beliau menyatakan bahwa pendapatan dari usaha keripik cukup digunakan untuk belanja, sekolah, memperbaiki rumah.
141
Lampiran 7 Kebutuhan data No 1.
Jenis Data Primer
Kebutuhan Data Proses-proses industrialisasi pedesaan di RW 07 Dusun Karangbolo
Sumber
Kepala Desa, Kasubag Perindustrian dan perdagangan Dinas Koperasi UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang, Kepala Dusun Karangbolo, Ketua Kelompok Mekarjati, Pemilik usaha keripik di Dusun Karangbolo, Tokoh masyarakat, pekerja industri keripik, dan informan lain yang diperoleh melalui metode snowball Profil Desa Kepala Desa Lerep, Lerep dan Kepala Dusun Kelompok Karangbolo, Kepala Mekarjati Urusan Pembangunan Desa Lerep, Ketua Kelompok Mekarjati, Petugas Penyuluh Lapang Dinas Koperasi, UMKM, dan Perindag Kabupaten Semarang, Pemilik usaha keripik di Dusun Karangbolo,Tokoh masyarakat, pekerja industri keripik, Kasubag Perindustrian dan perdagangan Dinas Koperasi UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang, dan informan lain yang diperoleh melalui metode snowball Sumber nafkah Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang
Instrumen Panduan pertanyaan wawancara mendalam
Panduan pertanyaan wawancara mendalam
Panduan pertanyaan wawancara mendalam
142
No
Jenis Data
Kebutuhan Data Strategi nafkah
Tingkat implementasi industrialisasi pedesaan
Struktur nafkah
Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik Taraf hidup
Sumber diperoleh melalui metode snowball Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang diperoleh melalui metode snowball Responden: Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang diperoleh melalui metode snowball Responden: Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang diperoleh melalui metode snowball
Instrumen
Panduan pertanyaan wawancara mendalam
Kuesioner
Kuesioner
Responden: Kuesioner Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang diperoleh melalui metode snowball Responden: Kuesioner
143
No
2
Jenis Data
Sekunder
Kebutuhan Data
Sumber Suami/istri/ anggota rumahtangga lainnya pada rumahtangga pemilik usaha industri keripik yang tergabung di Kelompok Mekarjati RW 07 Dusun Karangbolo dan informan yang diperoleh melalui metode snowball BPS Kabupaten Semarang, Pemerintah Desa Lerep Kabupaten Semarang
Profil Kabupaten Semarang, Profil Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah Distribusi BPS Kabupaten masyarakat Semarang menurut mata pencaharian di Desa Lerep, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang
Potensi industri di Kabupaten Semarang
Pembangunan, industrialisasi, industri, industrialisasi pedesaan Strategi nafkah,
Instrumen
Data BPS, Buku Profil Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang
Data Kecamatan Ungaran Barat Dalam Angka dalam kurun waktu , Buku Profil Desa Lerep Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang BPS Kabupaten Data Potensi Semarang, BAPEDDA Industri di Kabupaten Semarang, Kabupaten Dinas Koperasi, UMKM, Semarang Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Semarang Buku Teks, Jurnal, Teori dan hasil Prosiding, Skripsi, Tesis, penelitian Disertasi sekunder Buku Teks, Jurnal, Prosiding, Skripsi, Tesis,
Teori dan hasil penelitian
144
No
Jenis Data
Kebutuhan Data struktur nafkah, sumber nafkah , taraf hidup Metodologi penelitian (teknik sampling, jenis data, pendekatan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis data)
Sumber
Instrumen
Disertasi
sekunder
Buku Teks
Teori
145
Lampiran 8 Uji korelasi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan tingkat kontribusi industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Correlations
Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur Tingkat nafkah implementasi rumahtangga industrialisasi pemilik usaha pedesaan keripik Spearman's rho Tingkat implementasi Correlation industrialisasi pedesaan Coefficient
1.000
.439
.
.015
30
30
Correlation Coefficient
.439
1.000
Sig. (2-tailed)
.015
.
30
30
Sig. (2-tailed) N Tingkat kontribusi sektor industri keripik terhadap struktur nafkah rumahtangga pemilik usaha keripik
N
146
147
Lampiran 9 Uji korelasi tingkat implementasi industrialisasi pedesaan dan taraf hidup rumahtangga pemilik usaha keripik di RW 07 Dusun Karangbolo Tahun 2012 Taraf Hidup Tingkat Rumahtangga Implementasi Pemilik Industrialisasi Usaha Pedesaan Keripik Spearman's rho Tingkat Implementasi Correlation Industrialisasi Coefficient Pedesaan Sig. (2-tailed) N Taraf Hidup Correlation Rumahtangga Pemilik Coefficient Usaha Keripik Sig. (2-tailed) N
1.000
.442*
.
.014
30
30
.442*
1.000
.014
.
30
30
148
149
Lampiran 10 Dokumentasi
Wawancara dengan Kepala Desa Lerep
Papan Nama Sentra Industri Kecil Menengah/Rumahtangga (IKM/RT) Keripik RW 07 Dusun Karangbolo
Wawancara dengan Pemilik Usaha Keripik
Wawancara dengan PPL Dinas Koperasi, UMKM dan Perindag Kabupaten Semarang
Pemilik Usaha Keripik yang Sedang Menggoreng Keripik
Buruh Potong Tempe Keripik
150
151
RIWAYAT HIDUP Peneliti bernama Tiara Anja Kusuma. Ia dilahirkan sebagai anak pertama dari dua bersaudara pada tanggal 18 Maret 1992. Peneliti memiliki ayah bernama Drs. Mahizar, MM, ibu bernama Dra. Ratna Werdiati, dan seorang adik bernama Insantiti Anjaswari. Penulis berasal dari Kota Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pada Tahun 2006 sampai 2009 peneliti mengenyam pendidikan di SMAN 01 Ungaran. Peneliti diterima di IPB melalui jalur USMI pada jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia pada Tahun 2009 dan mengikuti program akselerasi. Peneliti memiliki ketertarikan terhadap bidang keorganisasian, seni, public speaking, bahasa, sastra, anak-anak, psikologi, dan pendidikan. Semasa SMA peneliti pernah menjadi anggota seksi pendidikan pendahuluan bela negara OSIS SMAN 01 Ungaran, Komandan Pleton Putri Paskibra SMAN 01 Ungaran, serta kadiv acara lomba paskibra tingkat SMP dan SMA se-Kabupaten Semarang dan sekitarnya. Peneliti aktif mengikuti berbagai lomba dan pernah menjadi juara 2 lomba Debat Bahasa Inggris Tingkat SMA se-Kabupaten Semarang serta juara II Lomba PBB Tingkat SMA se-Kabupaten Semarang. Selain itu, peneliti juga sempat mengikuti program shortcourse di Queensland-Australia. Semasa SMA peneliti juga aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler tari tradisional dan klub English conversation. Selama masa Tingkat Persiapan Bersama ( TPB) di IPB, peneliti aktif dalam UKM Gentra Kaheman. Peneliti juga sempat aktif sebagai penyiar AGRI FM IPB selama Tahun 2009 sampai 2011. Selama masa perkuliahan di Departemen SKPM IPB, peneliti pernah menjabat sebagai staff departemen sosial dan lingkungan BEM FEMA IPB, staff departemen pengembangan budaya, olahraga dan seni BEM FEMA IPB, staff divisi photocine Himasiera, kadiv acara KERIS 2011, kadiv konsumsi MPD KPM 47, kadiv pdd Duta Fema 2012, dan lain-lain. Peneliti juga pernah menjadi MC maupun moderator di kegiatan-kegiatan kampus, misalnya di acara Pekan Ekologi Manusia FEMA, Malam Keakraban KPM 2012, Sanggar Juara Festival, dan Pelatihan Fotografi Himasiera. Peneliti memperoleh beasiswa PPA. Selain itu, peneliti menjadi finalis sepuluh besar lomba fotografi tingkat nasional IDEA 2011 dan menjadi juara 3 lomba catur 5 th ESPENT. Peneliti juga aktif sebagai asisten praktikum mata kuliah Berpikir dan Menulis Ilmiah selama 2 semester dan sempat menjadi asisten praktikum mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi selama 1 semester. Minat peneliti terhadap dunia pendidikan juga diterapkan dalam kegiatan volunteer komunitas Sanggar Juara serta dengan bekerja sambilan sebagai tentor privat SMP dan SMA di Bimbingan Belajar Al-Fattaah. “Tidak ada yang tidak mungkin, jika kita selalu berusaha keras dan berdoa pada Tuhan. Sukses adalah hak setiap manusia, maka kita berhak, akan , dan pasti bisa meraihnya. Senyum, semangat, dan selalu berpikir positif lah, maka kita akan memperoleh hal-hal positif yang terbaik menurut Tuhan seperti yang kita harapkan. “ “You’re smarter than what you think, stronger than who you seems, and braver than how you feel because Allah is always with you. “
152