2
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Industri dan Agroindustri
Secara definitif, industri dapat diartikan sebagai suatu lokasi dimana aktivitas produksi diselenggarakan (Wignjosoebroto, 2003). Aktivitas produksi sendiri merupakan sekumpulan aktivitas yang diperlukan untuk mengubah satu kumpulan masukan seperti bahan baku, sumber daya manusia, energi, informasi, dan lainlain menjadi produk keluaran (finished products atau services) yang memiliki nilai tambah (Heizer dan Render, 2010). Di dalam proses produksi akan terjadi suatu proses perubahan bentuk (transformasi) dari input yang dimasukkan baik secara physik maupun non physik. Disini akan terjadi apa yang disebut dengan pemberian nilai tambah (value added) dari input material yang diolah. Penambahan nilai tersebut bisa ditinjau dari penambahan nilai fungsional maupun ekonomisnya (Wignjosoebroto, 2003). Agroindustri sendiri menurut Austin (1992) merupakan perusahaan yang memproses bahan baku yang lebih khusus lagi yaitu bahan baku yang berasal dari produk-produk pertanian baik tanaman maupun hewan. Pemrosesan disini meliputi transformasi dan pengawetan melalui perubahan physik atau kimia, penyimpanan, pengepakan dan distribusi. Produk yang dihasilkan oleh agroindustri dapat merupakan produk akhir siap dikonsumsi atau digunakan oleh manusia atau pun sebagai produk yang merupakan bahan baku untuk industri lain. Semua aktivitas agroindustri terdiri dari 3 sub sistem dasar, yaitu pemasaran, pengolahan dan supplai bahan baku (Brown dan Touche, 1994). Beberapa pakar telah memperkenalkan istilah agroindustri sebelum Austin memperkenalkannya secara eksplisit. Salah satu diantaranya adalah Dr. Ray Golberg dari Harvard Business School. Dr. Ray Golberg mendefinisikan bahwa agroindustri merupakan bagian dari kompleks industri-pertanian sejak produksi bahan pertanian primer, industri pengolahan atau transformasi sampai penggunaannya oleh konsumen. Terdapat kebergantungan antara pertanian, industri hulu, industri pengolahan pangan dan hasil pertanian, serta distribusi beserta peningkatan nilai tambah (Golberg, Ray et al., 1974).
10
Selanjutnya Austin (1992) menyebutkan bahwa tingkat pemrosessan tersebut dapat bervariasi mulai dari aktivitas pembersihan dan pemilahan, pengolahan sederhana hingga modifikasi kimiawi untuk mendapatkan produk yang diinginkan. Variasi dari aktivitas pengolahan tersebut beserta contoh produknya diperlihatkan pada Tabel 2-1. Dalam industri pangan, transformasi tersebut bertujuan antara lain untuk mendapatkan produk yang dapat dimakan atau digunakan,
meningkatkan
daya
simpan,
mempermudah
transportasi,
meningkatkan nilai gizi serta nilai cernanya. Kompleksitas teknologi, kebutuhan investasi serta aktivitas manajerial dalam agroindustri sangat tergantung pada tingkat transformasi tersebut (Austin, 1992). Tabel 2-1 Pengelompokan Agroindustri Berdasarkan Proses Transformasi Aktivitas Pengolahan Pembersihan Pemilahan Ginning Pemotongan Pencampuran Pemasakan Pasteurisasi Pengalengan Dehidrasi Pembekuan Pemintalan Ekstraksi Assembly Modifikasi kimia Teksturisasi
Contoh Produk Buah-buahan segar Sayuran Telur Biji-bijian (serelia) Jute Daging Kapas Rempah-rempah Kayu Pakan ternak Karet Produk-produk susu Buah-buahan dan sayur olahan Daging Sauces Tekstil dan garmen Minyak Furnitur Gula Minuman Makanan instan Textured vegetable products Ban
Berdasarkan standar yang diterbitkan oleh International Standard Industrial Classification (UNSD, 2004; UNIDO, 2008), agroindustri terdiri dari industri-industri antara lain: i) industri makanan dan minuman; ii) produk-produk tembakau; iii) kertas dan produk-produk dari kayu; iv) tekstil, alas kaki dan pakaian; v) produk kulit; dan vi) produk-produk dari karet. Fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen
11
Perindustrian dalam hal ini juga mengacu pada pengelompokan (ISIC) oleh UNIDO tersebut (Indagro, 2010). Meskipun baru dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1980-an (Djamaran, 2007), agroindustri sebenarnya telah diperkenalkan di Indonesia sejak abad ke-16 melalui penerapan sistem tanam paksa (Siahaan, 2000; Mangunwidjaya dan Sailah, 2009). Saat itu, Pemerintah Belanda menyadari betul bahwa Indonesia secara geografis sangat cocok untuk usaha budidaya tanaman tropis dengan nilai ekonomi yang tinggi. Dimulai dari tanam paksa, berkembanglah perkebunan kopi, gula, nilam, tembakau, teh, kina, karet serta rempah-rempah di beberapa pulau di Indonesia (Mangunwidjaya dan Sailah, 2009). 2.1.1 Peran Penting Agroindustri dalam Perekonomian Nasional Agroindustri merupakan sektor yang sangat penting di berbagai negara, khususnya Negara berkembang. Brown dan Deloitte & Touche (1994) menyebutkan bahwa lebih dari separuh aktivitas manufaktur di berbagai negara berkembang di dunia terdiri dari agroindustri yang meliputi penanganan dan pengolahan bahan baku yang bersumber dari pertanian. Aktivitas ini merupakan langkah awal untuk menuju pada industrialisasi dan mendorong munculnya industri yang lain (Soekartiwi, 2000). Pembangunan agroindustri merupakan kelanjutan dari pembangunan pertanian (Soekartiwi, 2000). Hal ini merupakan konsekuensi logis karena sebagian besar input atau bahan baku dari agroindustri berasal dari produk pertanian
(agriculture).
pembangunan
agroindustri
Bila pun
pembangunan berhasil.
pertanian
Begitu
pula
berhasil, sebaliknya,
maka bila
pembangunan pertanian gagal, maka pembangunan agroindustri pun sulit untuk berkembang. Menurut UNIDO (2008), pertumbuhan dan pengembangan agroindustri dalam suatu Negara dapat berperan dalam perekonomian antara lain dalam hal: (a) Penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan; (b) Memberikan kontribusi terhadap GDP dan sektor manufaktur; (c) Mengembangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat; (d) Memberikan pemerataan ekonomi daerah pedesaan dan perkotaan; dan (e) Integrasi ke pasar global dan pendapatan devisi bagi Negara.
12
Sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-1, kontribusi agroindustri Indonesia terhadap PDB sektor non-migas cukup besar, yaitu 44,2%, yang merupakan kontribusi terbesar bila dibandingkan dengan sektor industri lainnya seperti industri alat angkut, mesin dan peralatan sebesar 28,1%, industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 12,7%, industri tekstil, barang kulit dan alas kaki sebesar 9%, industri semen dan barang galian bukan logam sebesar 3,3%, industri logam dasar, besi dan baja sebesar 1,9% dan industri barang lainnya sebesar 0,8%. Sedangkan kontribusi cabang industri agro terhadap industri pengolahan tahun 2010 terbesar diberikan oleh cabang industri makanan, minuman dan tembakau yaitu sebesar 33,6% yang diikuti oleh industri barang kayu dan hasil hutan lainnya sebesar 5,8%, industri kertas dan percetakan sebesar 4,8%.
Sumber: Indagro (2010) Gambar 2-1 Sumbangan Cabang-cabang Industri Terhadap PDB Sektor Industri Non Migas Tahun 2010
Pertumbuhan industri pengolahan non-migas dari tahun 2006-2009 mengalami penurunan, hal tersebut dapat dilihat pada pertumbuhan tahun 2006 sebesar 5,27%, tahun 2007 turun menjadi 5,15%, tahun 2008 turun menjadi 4,05%, pada tahun 2009 turun menjadi 2,52%, dan pada tahun 2010 mengalami kenaikan menjadi 5,13%. Walaupun pertumbuhan industri non-migas mengalami penurunan, namun kontribusi sektor agroindustri pada pertumbuhan industri nonmigas cukup signifikan. Pada tahun 2006 pertumbuhan agroindustri sebesar
13
5,51%, tahun 2007 turun menjadi 4,38%, dan pada tahun 2008 turun menjadi 1,92%, namun pada tahun 2009 mengalami peningkatan menjadi 9,21%. Data kontribusi sub sektor agroindustri terhadap PDB menunjukkan bahwa output sub sektor ini memberikan kontribusi yang selalu lebih besar dari pada sub sektor pengolahan non agroindustri. Rata-rata kontribusi sub sektor agroindustri selama 2004-2009 mencapai 15,47 persen dari total PDB nasional. Sementara sub sektor non agroindustri (non migas) memberikan kontribusi dengan ratarata mencapai 9,41 persen (Rachbini, Arifin et al., 2011). Di saat krisis ekonomi yang pernah memporak-porandakan ekonomi Indonesia pada 1997-1998, agroindustri ternyata dapat bertahan menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang mampu berkontribusi secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Selama masa krisis, walaupun sektor lain mengalami kemunduran atau bahkan pertumbuhan negatif, agroindustri mampu bertahan dalam jumlah unit usaha yang beroperasi (Rachbini, Arifin et al., 2011). Penyebab utama yang membuat kelompok agroindustri maupun pertanian dapat bertahan dalam situasi krisis karena ketidakbergantungannya pada bahan baku dan bahan tambahan impor serta peluang pasar ekspor yang besar. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang utama Dunia justru memberikan tambahan keuntungan yang signifikan terhadap industri ini. 2.1.2 Permasalahan dan Kendala Pengembangan Agroindustri Namun, walaupun kontribusi sektor agroindustri dalam perekonomian nasional cukup signifikan, pengembangan industri ini di Indonesia masih mengalami beberapa permasalahan dan kendala. Beberapa permasalahan umum dalam pengembangan agroindustri yang teridentifikasi oleh Rachman dan Sumedi (2002) adalah: (a) Sifat produk pertanian yang mudah rusak dan bulky sehingga diperlukan teknologi pengemasan dan sarana transportasi yang mampu mengatasi masalah tersebut; (b) Sebagian besar produk pertanian bersifat musiman dan sangat dipengaruhi oleh iklim sehingga aspek kontinyuitas produk agroindustri sangat tidak terjamin; (c) Kualitas produk pertanian dan produk industri yang dihasilkan pada umumnya masih rendah sehingga mengalami kesulitan dalam
14
persaingan pasar baik di dalam negeri maupun di pasar Internasional; dan (d) Sebagian besar industri berskala kecil dengan teknologi rendah. Sementara itu kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri menurut Supriyati, Suryani et al. (2006) adalah: (1) Bahan baku berupa komoditi pertanian belum dapat mencukupi kebutuhan industri pengolahan secara berkesinambungan; (2) kemampuan sumber daya manusia yang terbatas dalam penguasaan manajemen dan teknologi menyebabkan rendahnya efisiensi dan daya saing produk agroindustri; (3) investasi di bidang agroindustri kurang berkembang, antara lain karena masih adanya ketidakpastian iklim usaha dan kebijakan yang tidak konsisten; (4) Lembaga keuangan masih menerapkan preferensi suku bunga yang sama antara sektor pertanian, kehutanan, industri dan jasa sehingga kurang atraktif bagi investor untuk berusaha di bidang agroindustri; (5) Informasi peluang usaha dan pemasaran belum memadai dengan keterpaduan jaringan bisnis yang baik; (6) Masih adanya kesenjangan pengembangan wilayah; (7) Homogenitas kebijakan pembangunan yang tidak memperhatikan kebutuhan wilayah setempat; (8) Belum terciptanya sinergi kebijakan yang mendukung iklim usaha; (9) Kurangnya sarana dan prasarana transportasi; (10) Kemitraaan usaha dan keterkaitan produk antara hulu dan hilir belum berjalan lancar; (11) Masih kurangnya
penelitian
dan
pengembangan
teknologi
proses;
dan
(12)
Ketergantungan pada lisensi produk dan teknologi yang bersumber dari luar negeri. 2.1.3 Pendekatan Sistem dalam Analisis Agroindustri Agroindustri merupakan sebuah sistem yang kompleks yang memiliki karakteristik yang khusus dimana terdapat sekumpulan keterkaitan aktivitas yang saling
terhubung
antara
aktivitas
produksi,
pengolahan,
pengangkutan,
penyimpanan, pendanaan, pemasaran, dan distribusi produk pertanian. Dari sudut pandang para pakar sosial ekonomi, agroindustri, (pengolahan hasil pertanian) merupakan bagian dari lima sub-sistem agribisnis yang disepakati pada Simposium Nasional Agroindustri I (Anonim, 1983), yaitu sub-sistem penyediaan sarana produksi dan peralatan, usaha tani, pengolahan hasil pertanian, pemasaran, sarana dan pembinaan (Mangunwidjaya dan Sailah, 2009).
15
Menurut Austin (1992), agroindustri sebagai sebuah sistem memiliki empat tipe keterkaitan sistemik, keempat tipe keterkaitan sistemik tersebut adalah: (a) Keterkaitan rantai produksi; (b) Keterkaitan kebijakan makro dan mikro; (c) Keterkaitan institusional; (d) Keterkaitan internasional/global. Masing-masing keterkaitan ini memiliki dimensi yang bebeda-beda pada sistem agroindustri, namun semuanya saling berhubungan. Pemahaman terhadap sistem dan elemenelemen dalam agroindustri ini serta keterkaitannya satu sama lain, akan sangat diperlukan dalam melakukan usaha perancangan maupun perbaikan sistem. Gambar 2-2 berikut ini memperlihatkan aktivitas-aktivitas pada sistem agroindustri secara umum. Breedstocks
Bibit
Peralatan
Agrochemicals
Bahan-bahan lainnya
Transport Transport Tanah dan irigasi Penggunaan on-farm
Input
Pertanian Pertanian
Penyimpanan Penyimpanan
Produksi Bahan baku Transport Transport Agroindustri Agroindustri
Penyimpanan Penyimpanan
Produk Barang jadi Transport Transport
Penyimpanan Penyimpanan
Penyimpanan Penyimpanan
Penyimpanan Penyimpanan
Eksporter Eksporter
Distributor Distributor
Produk
Produk
Transport Transport
Transport Transport
Importer Importer
Retailer Retailer
Produk
Produk
Transport Transport
Konsumen Konsumen
Penyimpanan Penyimpanan
Penyimpanan Penyimpanan
Retailer Retailer Produk Konsumen Konsumen
Gambar 2-2 Aktivitas-aktivitas pada Sistem Agroindustri
16
2.2
Agroindustri Minyak Kelapa Sawit dan Potensi Pengembangannya
2.2.1 Agroindustri Minyak Kelapa Sawit Agroindustri minyak kelapa sawit merupakan industri yang mengolah bahan baku yang berasal dari tandan buah segar (TBS) yang dihasilkan oleh tanaman kelapa sawit yang umumnya ditanam pada perkebunan (KKS) milik masyarakat, swasta maupun Pemerintah. Bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng. Produk yang dihasilkan dari industri hulu menghasilkan produk primer berupa minyak kelapa sawit (MKS) dan minyak inti kelapa sawit (MIKS). Dari produk primer berupa MKS dan MIKS ini dapat dikembangkan menjadi bermacam-macam produk yang dihasilkan oleh industri hilir (Goenadi, 2005). MKS dan MIKS sendiri merupakan ester asam lemak dan gliserol yang disebut trigliserida. Trigliserida MKS kaya akan asam palmiat, linoleat, stearat dan gliserol. Sedangkan trigliserida MIKS mengandung asam laurat, miristat, stearat, gliserol dan sedikit palmitat (Pahan, 2010). MKS dan MIKS merupakan sumber energi pangan, seperti minyak goreng, maragarine, shortenings dan vanaspati serta sumber karbon untuk industri oleokimia. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi (Deperin, 2007). Sementara senyawa karbon asal minyak nabati dikenal lebih mudah terurai di alam dibandingkan dengan senyawa turunan dari minyak bumi (Pahan, 2010). Dengan kandungan nutrisi produk pangan yang dihasilkan dan potensi pengembangan pada produk industri hilir yang bernilai tinggi, menjadikan produk agroindustri minyak kelapa sawit ini sebagai komoditas yang bernilai tinggi dalam perdagangan domestik maupun internasional saat ini maupun di masa yang akan datang. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit (Deperin, 2007). Tanaman kelapa sawit sebagai penghasil MKS dan MIKS ini berasal dari Afrika (Elaeis guineensis) dan telah lama dikenal di negara asalnya (Afrika Barat) untuk digunakan minyak goreng (Lubis dan Widanarko, 2011). Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada dataran rendah di daerah tropis yang beriklim
17
basah, yaitu sepanjang garis khatulistiwa antara 23.5o lintang utara sampai 23.5o lintang selatan. Persyaratan untuk tumbuh tanaman kelapa sawit menurut Pahan (2010): (a) curah hujan ≥ 2.000 mm/tahun dan merata sepanjang tahun dengan periode bulan kering tidak lebih dari 3 bulan; (b) Temperatur siang hari rata-rata 29-33o C dan malam hari 22-24o C; (c) Ketinggian tempat dari permukaan laut 500 m; dan (d) matahari bersinar sepanjang tahun, minimal 5 jam per hari. Dengan ketersediaan lahan, kesesuaian iklim dan kesuburan tanah yang dimiliki, Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai Negara penghasil minyak kelapa sawit maupun turunannya. Atas dasar persyaratan tumbuh, kesesuaian iklim dan potensi lahan yang ada, potensi pengembangan agroindustri minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 2-3.
N a n g g ro e A c e h D a ru s s a la m
S u la w e s i U t a r a
K e p u la u a n R ia u
S u m a te r a U ta r a K a li m a n t a n T im u r G o r o n ta l o
R ia u
M a lu k u U ta r a
K a li m a n t a n B a r a t
S u m a te r a B a r a t K a li m a n t a n T e n g a h
Jam bi B a n g k a B e l i tu n g S u m a te r a S e l a ta n B e n g k u lu
S u la w e s i T e n g a h
S u la w e s i B a r a t K a li m a n t a n S e l a ta n S u la w e s i S e la t a n S u la w e s i T e n g g a r a
Ir i a n J a y a B a r a t M a lu k u
La m pu n g BD ak ni tJeank a r ta J a w a B a ra t D a eJ raawh a I sTt ei mn eg wa ha JYaowgay aT ki ma r ut ar P ro in s i In d o n e s ia K u r a n g P o te n s i a l P o te n s i R e n d a h P o te n s i S e d a n g P o t e n s i T in g g i
B a li N u s a T e n g g a r a B a r a t N u s a T e n g g a ra T im u r
N
W
P a pu a
E S
Sumber: UNEP (2006), diolah kembali
Gambar 2-3 Potensi Produksi Minyak Sawit di Wilayah Indonesia
Menurut data dari Dirjen Perkebunan (2010), pada tahun 2005, luas areal Perkebunan Rakyat (PR) sekitar 2.202 ribu ha (40,44%), Perkebunan Negara (PBN) 630 ribu ha (11,58%) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 2.613 ribu ha (47,98%). Sumatera mendominasi ketiga jenis pengusahaan, sedangkan Kalimantan dan Sulawesi menjadi lokasi pengembangan perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Pada tahun 2010 luas areal Perkebunan Rakyat (PR) sekitar 3.314 ribu ha (42,36%), Perkebunan Negara (PBN) 616 ribu ha (7,87%) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) 3.893 ribu ha (49,75%). Dalam kurun 5 tahun, terdapat peningkatan luas lahan perkebunan kelapa sawit kurang lebih 43%. Luas
18
areal perkebunan kelapa sawit di beberapa wilayah potensial di Indonesia pada tahun 2009 ditampilkan pada Gambar 2-4 (TimP3EI, 2011). Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa pulau Sumatera masih memiliki lahan yang terluas yaitu sekitar 70% berada di daerah tersebut.
Gambar 2-4 Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 2009
2.2.2 Peran Penting Agroindustri Minyak Kelapa Sawit Komoditi kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional (Indagro, 2009). Salah satu hasil olahan kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). Hasil olahan ini merupakan bahan penting yang digunakan untuk menghasilkan produk-produk pangan maupun non pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat dan memiliki nilai yang tinggi. Produk-produk katagori pangan yang dapat dihasilkan dari CPO antara lain: minyak goreng, minyak salad, shortening, margarine, cocoa butter substitute, vanaspati, vegetable ghee, food emulsifier, fat powder dan es krim. Sementara produk-produk non pangan yang dapat dihasilkan antara lain: surfaktan, biodiesel, dan oleokimia turunan lainnya (Susila, 2011). Komoditas
kelapa
sawit
memiliki
peran
yang
strategis
dalam
perekonomian nasional antara lain disebabkan oleh: Pertama, komoditas ini sebagai bahan utama minyak goreng yang dikonsumsi oleh masyarakat, CPO memainkan peran penting dalam menentukan tingkat inflasi (BPS, 2012). Kedua, dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor industri ini mampu menyerap lebih dari 5 juta tenaga kerja (Suryana, Goenadi et al., 2007). Kegiatan ekonomi utama kelapa
19
sawit di Sumatera dengan luasan 70% dari luasan lahan kelapa sawit di Indonesia telah memberikan kontribusi ekonomi yang besar dengan membuka lapangan pekerjaan yang luas. Sekitar 42 persen lahan kelapa sawit dimiliki oleh petani kecil (TimP3EI, 2011). Ketiga, industri ini menghasilkan pendapatan devisa yang besar. Pada tahun 2010 pendapatan ekspor dari komoditas ini senilai USD 9,7 milyar hanya dari CPO (Indagro, 2010) dan belum termasuk produk turunannya. 2.2.3
Produksi dan Permintaan Minyak Kelapa Sawit
Produksi minyak sawit Indonesia berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian (2010) mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan dengan rata-rata 13,4 persen sejak tahun 2000 sampai tahun 2010 sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2-5. Pertumbuhan produksi ini ditunjang oleh pertumbuhan lahan perkebunan dengan rata-rata sebesar 6,7 persen per tahun. Pangsa produksi minyak sawit (CPO) Indonesia di pasar internasional juga menunjukkan tren peningkatan. Total produksi Minyak Sawit (CPO dan CPKO) dunia pada 2010 sebesar 53,2 juta ton, di mana Indonesia dan Malaysia menguasai 80 persen produksi minyak sawit dunia (Rachbini, Arifin et al., 2011). Pangsa CPO Indonesia sebesar 43,6 persen sedangkan Malaysia sebesar 36,2 persen, sisanya sebesar 20,2 persen merupakan share sejumlah negara-negara lain. Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak 2007 (TimP3EI, 2011), menyusul Malaysia yang sebelumnya adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia.
Gambar 2-5 Produksi CPO dan Harga per Ton dari Tahun 2000 sampai 2010
20
Tabel 2-2 Pangsa Produksi Minyak Sawit Dunia Tahun 2010 No
Negara
Produksi
1 Indonesia 2 Malaysia 3 Negara Lainnya Jumlah
23.2 19.3 10.7 53.2
Pangsa Produksi 43.61% 36.28% 20.11% 100%
Dari sisi pertumbuhan produksi, Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Malaysia dengan pertumbuhan sebesar 7,8 persen per tahun dan Malaysia yang sebesar 4,2 persen per tahun (TimP3EI, 2011). Permintaan minyak kelapa sawit dunia di lain sisi juga terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5 persen per tahun (TimP3EI, 2011). Pemenuhan permintaan kelapa sawit dunia didominasi oleh produksi Indonesia. Indonesia memproduksi sekitar 43 persen (Tabel 2-2) dari total produksi minyak mentah sawit (Crude Palm Oil/CPO) di dunia. Negara-negara tujuan ekspor produk CPO Indonesia yang terbesar pada tahun 2010 adalah India dengan perolehan pendapatan sekitar USD 3,7 milyar, diikuti oleh negara tujuan Malaysia dengan pendapatan sebesar USD 1,6 milyar dan kemudian negara tujuan Belanda sebesar USD 1 milyar (Indagro, 2010). Negara-negara tujuan ekspor produk CPO lainnya adalah Bangladesh, Italia, Singapura, RRC dan Negaranegara lainnya. Disamping sebagai eksportir produk minyak mentah terbesar di Dunia, Indonesia juga sudah mengekspor produk turunan dari CPO, antara lain minyak goreng sawit, olein/fatty acids, margarine, stearic acid, sabun mandi, dan glyserol. Minyak goreng mayoritas diekspor ke negara China dengan pendapatan pada tahun 2010 sekitar USD 1,7 milyar dan total sekitar USD 5,32 milyar. Namun untuk produk-produk turunan lainnya ekspor Indonesia belum signifikan dibandingkan dengan Malaysia. 2.2.4 Proses Produksi CPO dan Keterlibatan Sistem Transportasi 2.2.4.1 Proses Produksi Pengolahan kelapa sawit merupakan proses untuk memperoleh minyak dan kernel dari buah kelapa sawit melalui proses perebusan, pemipilan,
21
pelumatan, pengempaan, pemisahan, pengeringan dan penimbunan. Pengolahan kelapa sawit yang dilakukan secara mekanis dan fisika dapat berperan dengan baik jika tersedia bahan baku yang sesuai dan kinerja pabrik yang baik (Pardamean, 2008). Proses produksi CPO dan keterkaitannya dengan transportasi digambarkan secara umum pada Gambar 2-6. Tandan buah segar (TBS) yang berasal dan diangkut dari kebun menggunakan truck pertama kali diterima di stasiun penerimaan buah untuk ditimbang di jembatan timbang dan ditampung sementara di penampungan buah (loading ramp). Loading ramp dilengkapi dengan pintu hidrolis sehingga memudahkan pengisian TBS ke lori untuk proses berikutnya. Lori-lori yang telah berisi TBS dikirim ke stasiun perebusan (sterilizer) dengan cara ditarik menggunakan capstand yang digerakkan oleh motor listrik hingga memasuki sterilizer. Tujuan dari perebusan TBS
yaitu untuk
menghentikan perkembangan asam lemak bebas (ALB) atau free fatty acid (FFA), memudahkan pemipilan, pengurangan kadar air dan penyempurnaan dalam proses pengolahan inti sawit. TBS berikut lori yang telah direbus dikirim ke bagian pemipilan dan dituangkan ke alat pemipil (thresher) dengan bantuan hosting crane. Proses pemipilan terjadi akibat tromol berputar pada sumbu yang mendatar yang membawa TBS ikut berputar sehingga membanting-banting TBS tersebut dan menyebabkan brondolan lepas dari dari tandannya. Brondolan yang keluar dari bagian bawah pemipil ditampung oleh sebuah screw conveyor untuk dikirim ke bagian digesting dan pressing. Sementara tandan kosong yang keluar dari bagian belakang pemipil ditampung oleh elevator dan yang kemudian dikirim ke hopper untuk dijadikan pupuk. Brondolan yang telah terpipil dari stasiun pemipilan diangkut ke bagian pengadukan/pencacahan (digester). Tujuan utama dari proses digesting yaitu mempersiapkan daging buah untuk proses pressing/pengempaan. Sehingga minyak dengan mudah dapat dipisahkan dari daging buah dengan kerugian yang sekecil-kecilnya. Hasil cacahan langsung masuk ke alat pengempaan yang berada persis di bagian bawah digester.
22
Minyak kasar yang dihasilkan dari proses press harus dibersihkan dari kotoran, baik yang berupa padat (solid), lumpur (sludge), maupun air. Tujuan dari proses pemurnian agar diperoleh minyak dengan kualitas sebaik mungkin dan dapat dipasarkan dengan harga yang layak. Selanjutnya CPO yang dihasilkan dikirimkan ke tanki penyimpanan.
Gambar 2-6 Proses Produksi CPO dan Keterlibatan Transportasi
2.2.4.2 Sistem Transportasi Produk Produk CPO setelah berada dalam tanki penyimpanan, siap didistribusikan kepada konsumen. Dalam pendistribusiannya, sebelum produk sampai ke tangan konsumen harus melalui tahap pengiriman, penimbunan dan pengapalan. Pengiriman yang dimaksudkan disini adalah membawa atau mengeluarkan produk minyak kelapa sawit dari pabrik ke unit berikutnya. Unit ini dapat berupa stasiun penimbunan atau langsung pengapalan. Untuk keperluan pengiriman produk, dilakukan pembongkaran dan pemuatan ke alat/kendaraan pengangkut. Penimbunan dilakukan untuk menunggu saat produk minyak kelapa sawit dikapalkan atau digunakan oleh industri lainnya. Penimbunan dilakukan di bulking station. Setelah produk berada dalam tanki timbun pada bulking station,
23
penjagaan dan pengawasan dilakukan oleh pihak bulking station. Untuk menjaga dan menjamin kualitas dari produk yang disimpan, pihak bulking station harus melakukan tindakan-tindakan yang perlu dan sesuai. Menurut Pahan (2010) ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada pengapalan komoditas CPO ini, antara lain, bentuk perdagangan (commercial term) yang digunakan, pelaku dalam sistem pengapalan dan kapal pengangkut. a. Bentuk Perdagangan Bentuk perdagangan yang umum digunakan pada perdagangan CPO di Indonesia yaitu free on board (FOB) dan Cost Insurance and Freight (CIF) (Pahan, 2010). Pada FOB, kewajiban penjual dalam jenis transaksi ini yaitu menyediakan dan memasukkan barang ke kapal dalam kuantitas, kualitas dan tempat yang disepakati. Namun, penjual harus menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk kelancaran proses transaksi, termasuk dokumen ekspor. Kewajiban pembeli dalam hal ini yaitu mencari kapal, menyediakan ruangan dalam kapal, menetapkan pelabuhan, menginformasikan waktu sandar, serta menanggung semua biaya dan risiko terhadap barang sejak melewati bibir tanki termasuk pembongkarannya. Bentuk-bentuk perdagangan yang lainnya, dapat dilihat pada Gambar 2-7 yang dikutip dari International Chamber of Commerce (ICC). Pada CIF, kewajiban penjual menyediakan seluruh fasilitas agar barang yang diperdagangkan sampai di pelabuhan tujuan yang dijanjikan. Namun, risiko (bukan biaya) selama pengangkutan menjadi tanggung jawab pembeli yang dilimpahkan ke asuransi atas biaya penjual. Kewajiban pembeli yaitu melakukan pembongkaran serta pengurusan seluruh dokumen yang diperlukan. b. Pelaku dalam Sub-Sistem Pengapalan Pengapalan merupakan titik peralihan pemilikan, tanggung jawab, biaya dan lainlain dari pihak penjual ke pihak pembeli. Dalam unsur ini, banyak yang terlibat seperti pihak pengapal (shippers), pemilik kapal (ship owner), perantara (broker), agen pengapalan, surveyor, dan pembeli yang saling terkait. Ketimpangan pada salah satu mata rantai ini akan menyebabkan kericuhan dalam seluruh sistem.
24
Gambar 2-7 Titik Serah Barang dalam Perdagangan Internasional
c. Kapal Pengangkut Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap kapal yang akan disewa, antara lain: 1) Kesesuaian kapal untuk perdagangan minyak sawit, termasuk negara pemilik (nationality), bendera tempat kapal terdaftar (flag), umur kapal, jenis tanki dan pelapisannya, serta ukuran tanki dan pompa; 2) Pemilik kapal terbiasa dengan terminologi kebersihan sawit. Awak kapal secara kesatuan menyadari fungsi mereka sebagai pembawa dan pemelihara barang yang dibawa. Disamping itu, pemilik kapal juga paham tentang lay days (kelambatan) penundaan dan praktik sesuai dengan kontrak perdagangan minyak sawit. Dalam hal ini berlaku ketentuan the last three cargo yang berarti dipersyaratkan kapal tersebut hanya mengangkut MKS pada 3 pelayaran sebelumnya; 3) Kapal harus terklasifikasi, disertifikasi, dan diasuransikan dengan baik dan 4) Produk dalam kapal harus dihindari dari kontaminasi logam berat . Meskipun penjualan minyak sawit Indonesia umumnya dilakukan secara FOB, tidak berarti bahwa penjual dapat sesukanya memuat barang ke dalam tanki yang sudah ditunjuk oleh penjual. Penjual tetap memiliki kewajiban untuk memeriksa kesiapan dan kebersihan kapal untuk memuat minyak yang diperdagangkan. Jika ditemukan tanki kapal yang tidak layak digunakan untuk memuat minyak sawit, penjual wajib memberitahukan kepada pembeli. Keputusan pemuatan ada di tangan pembeli dengan risiko pada pembeli pula.
25
2.2.5
Potensi Pengembangan Dalam konsep pertanian yang holistik, dianut pandangan bahwa setiap
bagian tanaman sejak panen dapat dijadikan bahan dasar industri secara berantai (Pahan, 2010). Paham ini melahirkan efek berganda (multiplier effects) yang disebut pohon industri pertanian. Pohon industri kelapa bisnis kelapa sawit secara umum digambarkan pada Gambar 2-8 (Deperin, 2011). TANDAN BUAH SEGAR
Proses di PMKS Sisa-sisa TBS
Inti Sawit
Crushing extractin Bungkil inti sawit
Pupuk arang aktif Minyak inti sawit
Fractionation and refining
Refining
Technical uses soaps dll
Blending Fractionation and Refining Pakan Ternak
Fuel
Minyak kelapa sawit
Splitting
RBD PO
Refining
Stearin
Olein
Hydrogenation
Confectionery fats
Margarines
H.P.K.O. H.K.O. olein
Confectioneries Coffee whitener Filled milk Coating fats
Margarines Confectioneries Filled milk Ice cream Biscuit creams
Margarines Shortenings Vanaspati Fryng fats Ice cream
RBD olein
RBD stearin
Frying cooking Shortenings Margrines
Shortenings margarines
Splitting
Fatty acids Soaps Palm midraction
Fatty acids
Glycerol
Fatty Alcohols Amines Amides
Emulsifiers Humectants explosives
Soaps Food emulsifiers dll
Blending
Cocoa butter equivalent
Biodiesel
Gambar 2-8 Pohon Industri Kelapa Sawit
Menurut data dari Departemen Perindustrian RI, hingga tahun 2009 baru diproduksi sekitar 23 jenis produk turunan CPO di Indonesia (Indagro, 2009). Mengingat potensi minyak sawit Indonesia saat ini dan ditambah realisasi produksi CPO tahun 2011 yang telah mencapai 23 juta ton dan bahkan target 50 juta ton pada tahun 2020, maka sudah selayaknya diversifikasi produk turunan CPO ditingkatkan. Dengan pengolahan CPO ini menjadi berbagai produk turunan, maka akan memberikan nilai tambah lebih besar lagi bagi negara karena harga relatif mahal dan stabil. Penggunaan CPO untuk industri hilirnya di Indonesia saat ini masih relatif rendah yaitu baru sekitar 35% dari total produksi (Indagro, 2010). Nilai tambah ekonomi (baik nilai tambah bisnis maupun nilai tambah teknis) produk turunan CPO sangat bervariasi, tergantung dari harga bahan baku, tingkat kesulitan dalam ekstraksi produk, dan harga produk turunan di pasar.
26
Namun, yang pasti, semakin dapat dimanfaatkan/dibutuhkan produk turunan tersebut, nilai tambahnya akan semakin tinggi. CPO yang diolah menjadi sabun mandi menghasilkan nilai tambah sebesar 300 persen, apalagi kalau diproses untuk menghasilkan kosmetik, nilai tambahnya akan meningkat mencapai 600 persen (Tabel 2-3) Nilai tambah CPO jika diolah menjadi minyak goreng sawit sebesar 60 persen, sedangkan jika menjadi margarin mencapai 180 persen (Kemenperin, 2011). Oleh karena itu, pemerintah terus berusaha mendorong pengembangan produk turunan CPO, baik untuk keperluan bahan baku industri pangan maupun non pangan. Produk pangan yang dapat dihasilkan dari CPO dan PKO, seperti emulsifier, margarine, minyak goreng, shortening, susu full krim, konfeksioneri, yogurt, dan lain-lain. Sedangkan produk non pangan yang dihasilkan dari CPO dan PKO, seperti epoxy compound, ester compound, lilin, kosmetik, pelumas, fatty alcohol, biodiesel, aviation biofuels (Venkataramani, 2011) dan lain-lain. Tabel 2-3 Jenis Industri, Perkiraan Nilai Investasi dan Nilai Tambah Industri Berbasis Minyak Sawit No
Produk
1 Olein & stearin
CPO
TingkatTtekn ologi Menengah
2 Fatty acids
CPO, PKO, katalis
Tinggi
200 - 700 miliar
50%
3 Ester
Palmitat, miristat
Tinggi
100 - 500 miliar
150%
4 Surfactant / emulsifier
Stearat, oleat, sorbitol, gliserol Tinggi
200 - 700 miliar
200%
5 Sabun mandi
CPO, PKO, NaOH, pewarna, parfum Stearat
Sederhana
Mulai kurang dari 1 milar
300%
Sederhana
Mulai kurang dari 1 milar
300%
Surfaktan, ester, amida
Sederhana
1 - 200 miliar
600%
6 Lilin 7 Kosmetik (lotion, cream) bedak, shampoo
Bahan Baku
Perkiraan Investasi
Pertambahan Nilai 20%
Sumber ; Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, 2007
2.2.6 Strategi Pengembangan Industri Hilir CPO Departemen perindustrian (2009) telah membuat road map pengembangan industri CPO Nasional. Strategi pengembangan industri CPO yang telah dirumuskan berfokus pada produk IHKS yang bernilai tambah tinggi melalui pengembangan klaster industri kelapa sawit. Adanya klaster industri berbasis sawit ini diharapkan dapat memperkuat keterkaitan pada semua tingkatan rantai
27
nilai (value chain) dari industri hulunya dan mampu meningkatkan nilai tambah sepanjang rantai nilai dengan membangun visi dan misi yang selaras. Terdapat empat kelompok industri yang harus dikembangkan untuk mengoptimalkan nilai tambah yang diperoleh dari kelapa sawit (Indagro, 2009) sebagaimana yang tergambar pada Gambar 2-9. Yang pertama adalah industri pemasok yang menghasilkan bahan baku industri yaitu CPO dan PKO. Yang kedua merupakan kelompok industri inti yang berada pada tahap kedua dari klaster ini yaitu antara lain industri Fatty Acid, Fatty Alcohol dan Biodiesel. Ketiga adalah industri-industri dalam kelompok industri terkait seperti industri minyak goreng, shortenings, surfaktan, dan lain sebagainya. Yang terakhir adalah industri yang berada dalam kelompok industri pendukung seperti industri kemasan, metanol, hidrogen, katalis dan bahan kimia lainnya. Dengan berkembangnya keempat kelompok industri ini dan dibarengi dengan peningkatan infrastruktur pelabuhan, jalan dan utilitas serta insentif dan regulasi yang tepat, diharapkan dapat mendukung industri kelapa sawit nasional yang berkelanjutan. Pasar Domestik & Ekspor (Oleofood, Oleochemical & Bioenergi) Peningkatan Perolehan Devisa Peningkatan Daya Saing IHKS
IHKS Nasional Berkelanjutan
Peningkatan Ketahanan Pangan dan Energi Nasional
Insentif dan Regulasi (Pusat, Daerah)
Industri Pemasok (CPO & PKO)
Peningkatan Nilai Tambah Penciptaan Lapangan Kerja
Industri Inti (Refinery, Fraksinasi, Fatty Acid, Fatty Alcohol, Biodiesel
Industri Terkait (Minyak Goreng, Margarine, Shortening, Surfaktan/Emulsifier, Shoapchip, Sabun/ Ditergen, dll
Industri Pendukung (Industri Kemasan, Industri Metanol. Hidrogen, Katalis & Bahan Kimia Lainnya
Infrastruktur (Pelabuhan, Jalan) & Utilitas
PENGEMBANGAN IHKS
Institusi Pendukung (Lembaga Pendidikan, Lembaga Penelitian, Perbankan)
Grand Strategi Pengembangan IHKS Pengembangan IHKS melalui pendekatan klaster untuk meningkatkan nilai tambah kelapa sawit dan mendorong produk hilir kelapa sawit Indonesia menjadi beragam produk unggulan Dunia
Fokus Pengembangan · · ·
Fokus pada produk IHKS yang memiliki nilai tambah tinggi Fokus pada pengembangan klaster IHKS di Sumut, Riau dan Kaltim Perbaikan infrastruktur
Insentif · ·
Subsidi bunga untuk pengembangan IHKS baru Keringanan perpajakan dan insentif lainnya untuk pengembangan IHKS
Pengembangan Pasar
Pengembangan R & D · · ·
Penyiapan SDM Fokus pada produk IHKS yang bernilai tambah tinggi Kolaborasi riset antara perguruan tinggi, Lemlitbang dan Industri
· · ·
Pengembangan pasar domestik dan luar negeri Pembangunan citra produk IHKS Indonesia Promosi dan kampanye produk IHKS Indonesia
Kebijakan Pengembangan IHKS yang Fokus dan Konsisten pada ProdukIHKS yang Bernilai Tambah Tinggi
Gambar 2-9 Strategi Pengembangan Industri Hilir Minyak Kelapa Sawit (IHKS)
28
2.3
Pengembangan Industri dan Distribusi
2.3.1 Lokasi Industri Apabila pada suatu daerah tidak ada jaringan transportasi atau biaya transportasinya sangat tinggi, daerah tersebut terpaksa menggantungkan dirinya pada hasil-hasil produksi dari sumber alamnya sendiri. Akan tetapi, bila transportasi tersedia atau transportasi relatif murah, maka akan memungkinkan adanya spesialisasi dan pembagian kerja antar daerah. Dengan adanya pembagian kerja antar daerah, suatu negara atau suatu daerah akan dapat menspesialisasikan pada satu atau produk tertentu sesuai dengan keadaan tanah, iklim, ketrampilan tenaga kerja, sumber-sumber alam atau bahan mentah, dan sebagainya. Hal itu merupakan cara yang paling tepat dan paling menguntungkan serta menimbulkan keunggulan kompetitif. Biaya transportasi yang relatif murah akan mendorong produksi berskala besar yang relatif murah juga, serta akan mendorong produksi berskala besar (economies of scale) pada suatu daerah tertentu sehingga barang dapat dihasilkan secara lebih ekonomis (Nasution, 2008). Sampai seberapa spesialisasi atas pembagian kerja pada suatu daerah/lokasi tertentu akan sangat bergantung pada sampai dimana keuntungan ekonomis dapat diperoleh, yang melebihi biaya transportasi barang sampai di pasar. Dengan demikian kuantitas dan kualitas jaringan dan infrastruktur transportasi yang memunuhi kebutuhan akan menentukan keberhasilan pengembangan industri maupun kawasan industri yang dikembangkan pada daerah tertentu. Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, salah satu faktor yang memegang peranan utama dalam penetapan lokasi industri atau kegiatan ekonomi lainnya adalah besarnya biaya transportasi. Hal tersebut disebabkan biaya transportasi merupakan salah satu komponen biaya produksi (Arcelus, 1989; Artikis, 1993). Apabila biaya transportasi lebih murah, akan mengakibatkan biaya produksi lebih rendah dan harga produk juga bisa lebih rendah sehingga menambah daya saing produk dan memperluas lokasi daerah pemasaran. Hubungan antara biaya produksi di dalam negeri dengan harga penawaran ke luar
29
negeri ditambah dengan biaya transportasi, akan menentukan apakah suatu barang akan diekspor, diimpor atau dipasarkan di dalam negeri sendiri (Nasution, 2008). Besar kecilnya biaya transportasi yang merupakan salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam penentuan lokasi pengembangan suatu industri akan sangat bergantung pada berat barang yang diangkut. Bila bahan baku lebih berat dibandingkan dengan barang jadi, maka sebaiknya dipilih lokasi dekat dengan bahan baku (zone material oriented). Sebaliknya, bila berat bahan baku lebih ringan dibandingkan dengan barang jadi, pilihan lokasi cenderung dekat pasar (market oriented), sedangkan bila bahan baku dan barang jadi relatif sama berat, maka lokasi industri yang dipertimbangkan sebaiknya berada di lokasi bahan baku dan pasar (intermediate oriented) (Reid, 1966; Schiele, 2008; Chapman, 2009). Sehubungan dengan pengaruh biaya transportasi untuk pemilihan lokasi industri, Von Theunen merupakan orang yang pertama kali mengembangkan model analitis dasar yang menghubungkan antara pasar, produksi dan jarak (Rodrigue, 2011). Untuk tujuan tersebut, Von Theunen mengkaji kasus pada bidang pertanian. Menurut Theunen, biaya transportasi relatif untuk komoditas pertanian yang berbeda-beda menuju ke pusat pasar ditentukan oleh penggunaan lahan di sekitar pasar. Aktivitas yang paling produktif akan dikuasai oleh lahanlahan yang memiliki jarak yang paling dekat ke pasar sementara aktivitas yang tidak produktif berlokasi jauh dari daerah pasar. 2.3.2
Distribusi Fisik
Dalam sistem distribusi menunjukkan adanya kaitan antar kegiatan dimana kegiatan transportasi berperan sebagai mata rantainya. Transportasi berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan produsen dengan konsumen, meniadakan jarak diantara keduanya (Khisty dan Lall, 2002). Jarak tersebut bisa dinyatakan sebagai jarak waktu maupun jarak geographis. Jarak waktu timbul karena barang yang dihasilkan hari ini mungkin belum digunakan sampai besok, atau bulan depan, atau tahun depan. Jarak atau keseimbangan ini dijembatani melalui pergudangan dengan teknik tertentu untuk mencegah kerusakan barang yang bersangkutan (Koo dan Larson, 1985).
30
Transportasi erat kaitannya dengan pergudangan dan penyimpanan (Crainic dan Laporte, 1997) karena keduanya meningkatkan manfaat barang. Angkutan menyebabkan barang dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain sehingga dapat diperoleh di tempat yang tidak memiliki barang tersebut, dengan demikian dapat menciptakan manfaat tempat (place utility). Penyimpanan atau pergudangan juga memungkinkan barang disimpan sampai dengan waktu dibutuhkan , dan ini berarti memberikan manfaat waktu (time utility). 2.3.3 Sistem Logistik Nasional dan Industri Kelapa Sawit Dalam kebijakan perdagangan pemerintah saat ini, telah telah ditentukan 10 (sepuluh) ”Produk Utama”, terkait dengan perdagangan internasional (ekspor), yaitu: Tekstil, Elektronika, Karet dan Produk Karet, Kelapa Sawit dan Produk Kelapa Sawit, Produk Hasil Hutan, Alas Kaki, Otomotip, Udang dan Kakap dan juga terdapat 10 (sepuluh) “Produk Potensial”, yaitu Makanan Olahan, Perhiasan, Kerajinan, Ikan dan Produk Perikanan, Rempah-rempah, Kulit dan Produk Kulit, Peralatan Medis, Peralatan Kantor, Minyak Atsiri, dan Tanaman Obat (Tamboen, Dewandhono et al., 2008). Dalam mengembangkan sistem logistik nasional termasuk penentuan jenis dan letak geografis dari jaringan infrastruktur pendukung kegiatan logistik, misalnya
pelabuhan,
jalan
raya,
dan
lain-lain,
kebijakan
ini
harus
dioperasionalkan lagi dengan menentukan volume dan arus barang yang terkait dengan produk-produk utama dan potensial tersebut karena unsur penentu suatu rancangan rantai suplai dan jaringan logistik adalah “volume” atau berat dari komoditas yang “dibawa”-nya. Untuk itu, adalah suatu tantangan bagi pemerintah untuk menentukan volume dari komoditas penentu ini sehingga sistem logistik nasional dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang benar. Komoditas penentu (key commodities) dari seluruh kegiatan logistik di Indonesia utamanya ditentukan berdasarkan volume atau berat dari komoditas tersebut, bukan nilai/harganya (Tamboen, Dewandhono et al., 2008). Komoditas atau industri penentu tersebut merupakan indikator kunci dalam menilai kinerja sektor logistik (WorldBank, 2012).
31
Dalam menyusun kebijakan logistik nasional dibedakan 2 (dua) kepentingan logistik. Pertama adalah strategi logisitik untuk komoditi ekspor dan kedua, strategi logistik untuk komoditas domestik. Untuk komoditas ekspor, sesuai acuan yang dipakai oleh Departemen Perdagangan, yaitu “10 produk Utama dan “10 Produk Potensial”. Dari sisi logistik khususnya terkait dengan metoda pengangkutan, produk-produk tersebut dapat di kelompokkan menjadi: Bahan Baku BBM dan Gas, Minyak Kelapa Sawit (CPO), Batu Bara, Hasil Industri Dalam Kontainer, Komoditas Dalam Kontainer, dan Hasil Laut. Minyak Kelapa Sawit dalam bentuknya yang cair akan melibatkan tangkitangki penimbunan dan alat angkut yang tidak dapat dicampur untuk penggunaan cairan lain (Pahan, 2010). Mengingat luasnya lahan Kelapa Sawit dan pusat-pusat proses pengolahan minyak Kelapa Sawit tersebar dibeberapa tempat yang berjauhan, maka solusi logistiknya akan mencakup pengangkutan intermodal (menggunakan beberapa modal transportasi), dengan melibatkan pipanisasi, truk pengangkut (truk tangki), kemudian kapal tangki pengangkut atau containerized tanks dengan kapal container biasa. 2.4 2.4.1
Analisis Spasial dalam Pengembangan Industri Konsep Spasial
Proses perencanaan pengembangan industri mau tidak mau harus berurusan dengan bagian-bagian perencanaan yang memiliki sifat “keruangan” (spasial). Industri atau sekumpulan industri akan berada pada sebuah ruang di permukaan Bumi. Oleh karenanya dalam analisis perencanaan pengembangan industri, analisis yang menyangkut objek-objek dan sistem keruangan atau analisis spasial menjadi sangat penting. Industri harus ditempatkan pada ruang yang optimal sesuai dengan daya dukung lahan yang ditempati dan mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas berdasarkan analisis teknis, ekonomis dan sosial wilayah. Menurut Rustiadi, Saefulhakim et al. (2011) Istilah “ruang” lebih dilihat sebagai tempat kehidupan, dengan demikian pengertian ruang merupakan biosphere yang terdiri atas sebagian dari geosphere (permukaan kulit bumi hingga kedalaman kira-kira 3 meter dalam tanah dan 200 meter di bawah permukaan laut) dan sebagian dari atmosphere (hingga kira-kira 30 m diatas permukaan tanah)
32
(Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011). Konsep ruang kehidupan (biosphere) ini belakangan diubah (disesuaikan) batasnya menjadi ruang yang didasarkan pada kemampuan teknologi manusia dalam mengakses dan memanfaatkan sumber daya yang ada di alam, sehingga menjangkau ruang yang jauh melebihi batasan-batasan sebelumnya. Dari sudut pandang geografi, spasial atau ruang merupakan segala hal yang menyangkut lokasi atau tempat. Definisi suatu “tempat” atau lokasi secara geografi sangat jelas, tegas dan terukur karena setiap lokasi di atas permukaan Bumi dapat diukur secara kuantitatif melalui sistem koordinat geografis (Church, 2002). Ruang lingkup kajian dari ilmu geografi lebih banyak menekankan pada bagaimana mendeskripsikan fenomena spasial, oleh karena itu ilustrasi-ilustrasi spasial dengan peta yang memiliki informasi spasial yang akurat di dalamnya menjadi sangat penting (Longley, Goodchild et al., 2010). Sementara dari perspektif ilmu sosial-ekonomi, aspek spasial hanya memiliki makna jika ada kejelasan masalah didalamnya. Segala aspek spasial yang dijelaskan dalam ilmu geografi hanya akan memiliki arti spasial dalam kacamata ilmu sosial-ekonomi jika ada masalah dan ada pemahaman sosial-ekonomi didalamnya (Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011). Diperkirakan bahwa kurang lebih 80% dari data yang digunakan oleh para manajer dan pengambil keputusan terkait dengan elemen geografis (Worrall, 1991), demikian juga dapat dirasakan bahwa dimensi spasial mewarnai hampir semua aspek kehidupan manusia di Dunia. Hukum Geografi Pertama dari “Tobler” mengatakan bahwa “setiap hal memiliki keterkaitan dengan hal lainnya, namun yang lebih berdekatan memiliki keterkaitan lebih dari yang lainnya” (Tobler, 1970). Lebih lanjut Rajabidfard, Abbas et al. (2000) menekankan kembali pentingnya peranan posisi lokasi geografis sebagaimana yang dinyatakan oleh hukum geografi pertama dari Tobler yaitu, (a) pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai lokasi dari suatu aktifitas, akan memungkinkan untuk mengidentifikasi hubungannya dengan aktifitas yang lain atau elemen yang lain dalam daerah yang sama atau lokasi yang berdekatan; dan (2) Keberadaan sesuatu dalam ruang (lokasi) memungkinkan diperhitungkannya jarak, pembuatan peta, dan pengambilan keputusan spasial yang bersifat kompleks. Penggunaan analisis
33
numerik dan statistik dalam memahami pola spasial dari fenomena alam dan buatan manusia untuk tujuan tertentu atau untuk pengambilan keputusan tertentu adalah merupakan domain dari analisis spasial (Goodchild, 1987). 2.4.2
Data dan Sistem Informasi Geografis
2.4.2.1 Data Geografis Data dan Sistem informasi yang berbasiskan keruangan pada saat ini merupakan salah satu elemen yang penting, karena berfungsi sebagai pondasi dalam melaksanakan dan mendukung berbagai macam kegunaan. Sebagai contoh, dalam bidang lingkungan hidup, perencanaan pembangunan, tata ruang, manajemen logistik dan transportasi, pengairan, sumber daya mineral, sosial dan ekonomi, maupun untuk pengembangan industri. Sebagai objek analisis, data dan informasi spasial memiliki karakteristik tertentu dan memerlukan pendekatan khusus dalam analisisnya dibandingkan dengan data dan informasi non-spasial (Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011). Data geografis merupakan salah satu bentuk dari data spasial (Aronoff, 1989). Data spasial yang merujuk pada lokasi di atas permukaan bumi dikenal sebagai data geografis atau data georeferensi. Terminologi data spasial dan data geografis seringkali dipertukarkan. Data yang melekat dengan posisi di permukaan bumi (data spasial atau geo-refferenced data) memiliki karakteristik khusus karena sifat alamiahnya yang memiliki korelasi spasial (spatial intercorrelation). Objek-objek atau kejadian-kejadian yang terdistribusi di dalam ruang cenderung tidak saling bebas, namun saat diterjemahkan dalam analisis statistika cenderung diasumsikan bersifat independen (saling bebas) untuk tujuan penyederhanaan. Data geografis dapat disusun dalam bentuk dua tabel, yaitu tabel matriks data struktural dan matriks data interaksi [Berry (1964) dan Wilson (1974) dalam Malczewski (1999)]. Kedua bentuk matriks tersebut juga dirujuk sebagai matriks data geografis dan matriks data perilaku spasial secara berturut-turut. Tabel 2-4 menampilkan matriks data struktural. Baris dari matriks memperlihatkan entitas geografis atau unit observasi dimana data diperlukan. Tabel 2-5 memperlihatkan matriks interaksi. Baris dan kolom sama-sama merepresentasikan entitas geografis. Xmk dalam hal ini merepresentasikan hubungan atau keterkaitan entitas
34
m dan entitas k. Keterkaitan ini bisa diukur atau dinilai interaksinya antara 2 entitas yang dapat diekspresikan dalam bentuk jarak, waktu dan biaya. Tabel 2-4 Matriks Struktural
Attribut1
Attribut2
...
Entity1
...
Entity2
...
...
...
...
...
Attributn
...
...
Entitym Tabel 2-5 Matriks Interaksi
Entity1
Entity2
...
Entity1
...
Entity2
...
...
...
...
Entitym
...
Entityk
...
...
Matriks geografis adalah teknik yang paling fundamental dalam mengorganisasikan data yang digunakan dalam analisis keputusan spasial. Sebagai contoh adalah analisis pemilihan lokasi, kesesuaian lahan, dan penggunaan lahan dapat diorganisasikan dalam sebuah matrik, dimana baris merepresentasikan alternatif keputusan (misal tempat, bidang tanah) dan kolom merupakan kriteria evaluasi atau atribut-atribut sebagai dasar untuk mengevaluasi alternatif. Serupa dengan matriks geografis, matrik interaksi menyediakan dasar untuk mengorganisasikan data untuk permasalahan lokasi dan alokasi, permasalahan jalur terpendek, permasalahan rute, permasalahan transportasi, analisa alokasi sumber daya dan lain sebagainya. Paling tidak ada 2 unsur dalam data spasial (Maguire, Goodchild et al., 2005), antara lain: (1) Data yang mendeskripsikan secara spesifik lokasi objek dalam ruang beserta topologinya, disebut sebagai data posisi dan topologis (positional and topological data), dan (2) Data-data yang mendeskripsikan
35
atribut-atribut non spasial dari objek yang dimaksudkan, selanjutnya disebut sebagai data atribut atau data tematik. Data posisional atau data referensi geografis dapat diekspresikan dalam berbagai bentuk, elemen-elemen yang paling primitif dari data spasial biasanya secara geometris berupa objek-objek titik, garis, dan area (Goodchild, 1987). 2.4.2.2 Pengukuran Secara teknis, pengukuran yang dimaksudkan disini adalah proses untuk menentukan simbol-simbol pada atribut-atribut dari objek-objek maupun kejadian. Simbol-simbol tersebut merupakan angka atau memiliki implikasi kuantitatif. Pemodelan dalam analisis spasial tidak selalu merupakan model kuantitatif. Model kuantitatif akan membutuhkan data kuantitatif, sementara model kualitatif akan menggunakan data kualitatif. Stevens (1964) dalam Malczewski (1999) mengklasifikan pengukuran ini menjadi bebrapa skala kualitatif maupun kuantitatif, antara lain: (a) Skala kualitatif (non metrik), yang terbagi atas skala ordinal dan skala nominal; dan (b) Skala kuantitatif, yang terbagi atas skala interval dan skala rasio. 2.4.2.3 Informasi Geografis Agar data spasial memiliki manfaat, data tersebut harus ditransformasikan ke dalam bentuk informasi. Ketika data telah dapat diorganisasikan dengan baik, dipresentasikan, dianalisa dan diinterpretasikan dan dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, maka data tersebut telah menjadi sebuah informasi. Dua contoh
berikut
Gambar
2-10
dan
Gambar
2-11
(Malczewski,
1999)
menggambarkan informasi yang terkait dengan entitas geograpfis dan interaksi antar entitas secara berturut-turut.
36
SAMPLE SITES
PENGUKURAN (%)
Gambar 2-10 Konversi Data Geografis kedalam Informasi Geografis Asal (i)
1 1 1 1 1 1
Tujuan (l) Populasi Populasi Jarak i ke j pada i pada j (dil) (Pi) (Pl) 2 31,000 34,000 20 3 31,000 57,500 122 4 31,000 33,500 25 5 31,000 27,000 30 6 31,000 31,000 47 7 31,000 102,000 83
Jumlah Interaksi (Iil) 589,204 10,843 332,320 69,794 63,457 50,381
700,000 600,000
Interaksi
500,000 400,000
300,000 200,000 100,000 0
20
40
60
80
100
120
140
Jarak
Gambar 2-11 Contoh Data dan Informasi untuk Jumlah Interaksi Antar Entitas
2.4.2.4 Informasi dan Pengambilan Keputusan Spasial Proses mengkonversi data menjadi informasi akan menambahkan nilai ekstra terhadap data aslinya (Cassettari, 1993). Pada proses pengambilan keputusan, data asli akan diolah sedemikian rupa dan diinterpretasikan serta dianalisa untuk mengmbil keputusan. Situasi pengambilan keputusan akan menentukan kebutuhan dan karakteritik informasi yang dibutuhkan. Informasi yang dibutuhkan dapat berupa “hard information” maupun “soft information” atau seringkali dirujuk sebagai informasi obyektif dan informasi subyektif secara berturut-turut
37
(Malczewski, 1999). Informasi obyektif (hard information) ini dapat berupa fakta, estimasi kuantitatif, data pengindeeraan jarak jauh (remote sensing), survey meteorologi. Sementara informasi subyektif (soft information) merepresentasikan opini dari pengambil keputusan atas dasar intuisi, survey ad hoc, kuisioner, komentar-komentar, dan sumber-sumber yang serupa. Tipe informasi ini digunakan oleh pengambil keputusan karena pertimbangan-pertimbangan nilai sosial dan politik juga memasuki perhitungan dari pengambil keputusan (Eriyatno, 2012). Inti dari proses pengambilan keputusan yang terkait dengan permasalahan spasial dalam hal ini adalah menentukan tipe informasi yang mana yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan dan mencari kombinasi yang tepat dari sekumpulan informasi hard dan soft yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan (Boroushaki dan Malczewski, 2008). Adalah penting bahwa data dan informasi spasial baik yang bersifat soft maupun hard mungkin memiliki ketidakpastian. Kenyataannya memang pengambilan keputusan spasial dikelilingi oleh ketidakpastian. Keberadaan informasi akan mengurangi ketidakpastian, oleh karena itu informasi menjadi bernilai (Malczewski, 1999). Selanjutnya keputusan-keputusan yang bersifat tidak pasti ini dapat dikelompokkan menjadi 2 atas dasar informasi yang digunakan yaitu, keputusan yang melibatkan informasi stokastik dan keputusan yang melibatkan informasi yang imprecise. Dengan demikian ada 3 (tiga) katagori besar dalam permasalahan keputusan spasial, yaitu: deterministik, stokastik dan fuzzy (Leung, 1988; Munda, 1995). 2.4.3
Teori Lokasi dan Analisa Spasial
Teori lokasi merupakan teori dasar yang sangat penting dalam analisa spasial dimana tata ruang dari lokasi kegiatan ekonomi merupakan unsur utama. Teori lokasi memberikan kerangka analisa yang baik dan sistematis mengenai pemilihan lokasi kegiatan ekonomi dan sosial, serta analisa interaksi antar wilayah (Sjafrizal, 2008). Analisis-analisis yang dikembangkan oleh Von Thunen, Weber, Losch, dan Christaller di abad ke-19 dan awal abad ke-20 pada dasarnya berupaya mencari jawaban tentang “dimana” dan “mengapa” aktivitas ekonomi memilih lokasi (Rustiadi, Saefulhakim et al., 2011). Teori lokasi itu menjadi penting dalam
38
permasalahan bisnis dan industri karena pemilihan lokasi yang baik akan memberikan penghematan yang besar pada biaya transportasi sehingga mendorong terjadinya efisiensi baik dalam produksi maupun pemasaran (Church dan Murray, 2008). Sedangkan interaksi antar wilayah akan dapat mempengaruhi perkembangan bisnis yang pada gilirannya dapat pula mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah (Sjafrizal, 2008). Hingga tahun 1950-an, teori lokasi lebih banyak didominasi oleh pendekatan-pendekatan lokasi geografis dan oleh karya-karya teori lokasi klasik antara lain dari: von Thunen, Weber, Palander, Hotelling, Predohl, Losch, dan lain-lain (Murray, 2009). Sejak tahun 1950-an teori lokasi berkembang dan diperkaya oleh analisis-analisis kuantitatif khususnya ekonometrika (Aguilar, 2009; LeSage dan Pace, 2009), model-model optimasi, dan model dinamis (Owen dan Daskin, 1998; ReVelle dan Eiselt, 2005). Pencetus teori lokasi pada umumnya berasal dari German, dimulai dari Von Thunen (1851) yang sering disebut sebagai Bapak Transportasi yang membahas tentang analisa lokasi kegiatan pertanian berdasarkan fakta-fakta yang terdapat di Eropa (Fujita, 2012). Teori ini dikembangkan lebih lanjut oleh para pakar-pakar di beberapa bagian dunia, salah satunya adalah William Alonso (Tabuchi, 1984) sebagai landasan teori penggunaan lahan (land-use) di daerah perkotaan. Kemudian, pada saat revolusi industri di Jerman mulai berkembang, muncul Alfred Weber (1929) yang menulis buku tentang lokasi industri dengan mengambil contoh pada kasus pemilihan lokasi pabrik besi baja untuk memenuhi permintaan industri kereta api (Chapman, 2009). Teori ini lebih lanjut dikembangkan oleh Edgar Hoover (1948) dan Leon Moses (1958). August Losch (1954) melakukan analisa lokasi perusahaan berdasarkan konsentrasi permintaan dan persaingan antar wilayah (spatial competition). Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Greenhut dan Ohta (Greenhut, Mai et al., 1986) ke dalam kerangka analisa yang lebih luas tentang teori harga spasial dan areal pasar. Dengan berkembangnya teori lokasi, aspek tata ruang dan lokasi kegiatan ekonomi dapat dimasukkan ke dalam analisa ekonomi secara lebih kongkrit. Hal ini
telah
mendorong
banyak
ahli
pada
tahun
limapuluhan
untuk
39
mengkombinasikan Teori Lokasi dengan Teori Ekonomi, baik Mikro maupun Makro. Perkembangan ini selanjutnya mendorong timbulnya analisa ekonomi spasial yang kemudian menjadi dasar utama bagi munculnya Ilmu Ekonomi Regional yang menekankan analisanya pada pengaruh aspek lokasi dan ruang terhadap pengambilan keputusan sosial, ekonomi dan bisnis. Upaya ini dilakukan dalam rangka mewujudkan analisa ekonomi yang lebih kongkret dan realistis sesuai kondisi geografi pada wilayah yang bersangkutan (Sjafrizal, 2008). 2.4.3.1 Faktor Penentu Pemilihan Lokasi Kegiatan Ekonomi/Industri Formulasi teori lokasi dan analisa spasial dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor utama yang menentukan pemilihan lokasi kegiatan ekonomi, baik pertanian, industri dan jasa. Disamping itu, pada umumnya faktor yang dijadikan dasar perumusan teori adalah yang dapat diukur agar menjadi lebih konkret dan operasional. Namun demikian, tidak dapat disangkal bahwa dalam kenyataannya pemilihan lokasi tersebut tidak hanya ditentukan oleh faktor ekonomi saja, tetapi juga oleh faktor budaya maupun kebijakan Pemerintah. Proses produksi yang berbeda membutuhkan kombinasi input yang berbeda juga (Chapman, 2009). Pabrik besi dan baja, misalnya, adalah pengguna utama energi, sedangkan tenaga kerja jauh lebih penting dalam struktur biaya pabrik Garmen sehingga kriteria dan penilaian untuk industri yang berbeda juga memiliki perbedaaan. Menurut Chapman (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok pendapatan, kelompok biaya dan irisan dari kelompok pendapatan dan biaya yang berarti faktor tersebut dapat memiliki baik implikasi pendapatan maupun biaya. Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok biaya (cost) adalah bahan baku, energi, lahan/tapak, tenaga kerja, dan kapital. Faktor-faktor yang termasuk dalam kelompok pendapatan adalah pasar dan kompetisi. Sementara yang dapat dikatagorikan sebagai faktor dalam kelompok biaya maupun pendapatan adalah ongkos angkut, infrastruktur, aglomerasi dan kebijakan publik. Sjafrizal (2008) mengidentifikasi secara umum terdapat 6 (enam) faktor ekonomi utama yang mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi. Faktorfaktor tersebut antara lain ongkos angkut, perbedaan upah antar wilayah,
40
keuntungan aglomerasi, konsentrasi permintaan, kompetisi antar wilayah, serta harga dan sewa tanah. Ongkos angkut atau biaya transportasi merupakan faktor atau variabel utama yang sangat penting dalam pemilihan lokasi dari suatu kegiatan ekonomi. Biaya transportasi sendiri memiliki kontribusi terhadap total biaya produk yang cukup besar. Hampir 30 persen dari total harga pokok produk agroindustri merupakan biaya distribusi dan transportasi (Beenhakker, 2010). Hal ini terutama sangat dirasakan pada kegiatan agroindustri maupun pertambangan yang umumnya baik bahan baku maupun hasil produksinya cukup berat sehingga pengangkutannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sebagaimana yang diidentifikasi oleh Chapman (2009), Resmini (2003), Singhal dan Kapur (2002), Karaev, Koh et al. (2007), Dhingra, Singh et al. (2009), Schiele (2008) maupun Sjafrizal (2008), faktor penting lainnya yang mempengaruhi pemilihan lokasi kegiatan ekonomi adalah besar kecilnya keuntungan Aglomerasi (Agglomeration Economics) yang dapat diperoleh pada lokasi tertentu. Keuntungan Aglomerasi diperoleh apabila terdapat kegiatan ekonomi yang saling terkait satu sama lainnya yang terkonsentrasi pada suatu tempat tertentu. Keterkaitan ini dapat berbentuk kaitan karena bahan baku (backward linkages) dan kaitan dengan pasar (forward lingkages). Bila keuntungan tersebut cukup besar, maka perusahaan akan cenderung memilih lokasi kegiatan ekonomi terkonsentrasi dengan kegiatan lainnya yang saling terkait. Pemilihan lokasi akan cenderung tersebar bila keuntungan aglomerasi tersebut nilainya relatif kecil (Head, Ries et al., 1994). Menurut Sjafrizal (2008), keuntungan aglomerasi dapat muncul dalam 3 (tiga) bentuk. Pertama adalah keuntungaan skala ekonomi (economics of scale) yang terjadi karena baik bahan baku maupun pasar sebagian telah tersedia pada perusahaan terkait yang ada pada loksasi tersebut. Biasanya keuntungan diukur dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata bila bila berlokasi pada suatu konsentrasi
industri.
Kedua,
adalah
keuntungan
lokalisasi
(localization
economies) yang diperoleh dalam bentuk penurunan (penghematan) ongkos angkut baik pada bahan baku maupun hasil produksi bila memilih lokasi pada
41
konsentrasi tertentu. Ketiga, adalah keuntungan karena penggunaan fasilitas secara bersama (urbanization economies) seperti listrik, gudang, armada angkutan, air dan lainnya. Biasanya keuntungan ini diukur dalam bentuk penurunan biaya yang dikeluarkan untuk penggunaan fasilitas itu secara bersama. 2.4.3.2 Teori Lokasi Von Thunen Jika ekonomi modern dimulai oleh Adam Smith, ekonomi lokasi modern dimulai oleh Von Thünen (1826). Dia adalah orang pertama yang mengembangkan model analitis dasar yang mengkaitkan antara pasar, produksi, dan jarak. Untuk tujuan ini ia mengkaji komoditas pertanian (Rodrigue, 2011). Kegiatan pertanian yang paling produktif ternyata berada paling dekat dengan pasar dan kegiatan tidak cukup produktif berjarak lebih jauh. Dalam modelnya, Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut (Peet, 1970): (a) Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated state) sehingga tidak terdapat pengaruh pasar dari kota/daerah lain; (b) Tipe pemukiman padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah; (c) Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah dan topografi yang sama; (d) Fasilitas pengangkutan sesuai dengan jamannya dan seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa; (e) Kecuali perbedaan jarak ke pusat pasar, semua faktor alamiah yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah seragam dan konstan. Berdasarkan
asumsi
diatas,
selanjutnya
Von
Thunen
mencoba
menggambarkan keterkaitan antara jarak ke pusat pasar (wilayah) dengan sewa
Sewa tanah (C)
tanah (Jäger, 2009) seperti pada Gambar 2-12.
Biaya sewa dari hasil negoisasi
0
Jarak dari pasar (D)
Gambar 2-12 Kurva Perbedaan Sewa Tanah sesuai dengan Perbedaan Jarak ke Pasar
42
Berdasarkan teori tersebut, diyakini bahwa semakin menguntungkan sebuah kegiatan, maka kegiatan tersebut akan semakin mendekati pusat pasar (wilayah) sebagaimana yang digambarkan dalam diagram yang disebut diagram cincin Von Thunen (Peet, 1970) pada Gambar 2-13.
6
5
4
3
2
1
KETERANGAN P = Pasar Cincin 1 = Pusat industri Cincin 2 = Pertanian intensif Cincin 3 = Wilayah hutan Cincin 4 = Pertanian ekstensif Cincin 5 = Peternakan Cincin 6 = Pembuangan sampah
P
Gambar 2-13 Diagram Cincin Von Thunen
Penggunaan lahan pada saat ini mungkin tidak sepenuhnya mengikuti atau berkelompok persis sama dengan cincin yang digambarkan oleh Von Thunen (Shieh, 1992). Namun demikian, konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat mempengaruhi jenis kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi tertentu masih berlaku dan hal ini mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi tertentu (Fujita, 2012). 2.4.3.3 Teori Lokasi Weber Alfred Weber adalah seorang ahli ekonomi Jerman yang pertama kali menganalisis lokasi yang terkait dengan industri (Gorter dan Nijkamp, 2001). Kalau Von Thunen memilih objek pada pertanian, Weber mengkaji industri Baja pada saat dimulainya revolusi industri di Jerman. Weber mendasarkan teorinya bahwa pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip minimisasi biaya (Louveaux, Thisse et al., 1982). Weber mengatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana penjumlahan
43
keduanya harus minimum. Tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum.
Gambar 2-14 Segitiga Pembobotan Weber
Minimumkan Z = w1d1 + w2d2 + w3d3; dimana d1, d2, d3 = jarak ke input S1, input S2 dan Pasar M.
(
)
( (
) )
Jika, IM > 1, lokasi industri berorientasi pada bahan baku IM <1, lokasi industri berorientasi pada hasil akhir Dalam kasus industri primer, hubungan antara kehilangan bobot bahan baku yang tinggi dan lokasi industri sangat kuat terutama pada tahap awal proses manufakturing. Klaim Weber bahwa industri dengan IM>1 akan cenderung mendekati lokasi bahan baku adalah valid. Permasalahan dari IM adalah bahwa dengan standarisasi rasio input/output akan menghilangkan kekuatan yang mencirikan kuantitas bahan baku yang dipindahkan. Untuk itu disepakati untuk industri yang berindeks IM tinggi valid, tetapi untuk industri menengah dengan indeks relatif rendah, kurang valid.
44
CT
𝑗
Bahan baku (S)
di
𝑗
𝑗
Manufaktur (I)
dj
Pasar (M)
Gambar 2-15 Konsep Jarak dan Biaya Transportasi Material dan Output (Distribusi) dari Weber
∑
Dimana, CT = Cs =
∑
Total biaya transportasi (Rp.) Biaya transportasi material (dari lokasi material S ke lokasi pengolahan/industri) I (Rp.) biaya transportasi distribusi output ke pasar M (Rp.) jarak lokasi pasar ke-i dari lokasi pengolahan (km) jarak lokasi bahan baku ke-j ke lokasi pengolahan (km) Biaya transportasi bahan baku ke-j (Rp./km/unit) Biaya transportasi produk ke-i (Rp./km/unit bobot) Bobot per unit input ke-j Bobot/unit output ke-i
Cm dmi dsj Csi Cmi Wsj Wmi
= = = = = = =
Jika Jika Jika
Cs < Cm, lokasi industri sebaiknya mendekati pasar Cs > Cm, lokasi industri sebaiknya mendekatai ke lokasi bahan baku Cs = Cm, footloose industry.
2.4.3.4 Teori Lokasi Pendekatan Pasar August Losch (1944) memelopori Teori Lokasi Market Area yang mendasarkan pada analisa pemilihan lokasi optimal pada luas pasar yang dapat dikuasai dan kompetisi antar tempat (Krumme, 2002). Walaupun tidak menyatakan secara
45
tegas, Weber membuat asumsi bahwa semua barang yang diproduksi akan laku terjual. Sementara Losch berpendapat bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap jumlah barang yang dapat dijual (Murray, 2009). Makin jauh dari pasar, konsumen semakin enggan untuk membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi tempat penjualan (pasar) semakin mahal. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar yang identik dengan penerimaan terbesar. Dalam model yang dibangun oleh Losch ini, reaksi dari pesaing terhadap pemilihan lokasi yang dilakukan dapat dilakukan melalui pemetaan spasial. Atas dasar pandangan ini, Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di dekat pasar. 2.4.3.5 Teori Lokasi Memaksimumkan Laba Sudut pandang Teori Weber lebih banyak pada sisi produksi, sedangkan Losch melihat dari sisi permintaan. Kedua teori ini hanya melihat dari satu sisi. Sisi produksi hanya melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil, sedangkan sisi permintaan melihat pada penjualan maksimal yang bisa diperoleh. Kedua pandangan ini perlu digabung, yaitu dengan mencari lokasi yang memberikan keuntungan maksimal setelah memperhatikan lokasi yang menghasilkan ongkos terkecil dan lokasi yang menghasilkan penerimaan terbesar. Untuk itu, D.M. Smith mengintrodusir konsep biaya rata-rata dan pendapatan rata-rata yang terkait dengan lokasi (Krumme, 2012).
Rp.
Total Cost
Revenue
0
A
O
B
Lokasi
Gambar 2-16 Lokasi yang Memberikan Keuntungan Maksimal
46
McGrone (1969) dalam Tarigan (2010) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan memaksimumkan keuntungan sulit untuk diperoleh untuk kondisi usaha seperti saat ini dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi dan yang dinamis. Ketidaksempurnaan pengetahuan terhadap situasi dan kondisi yang ada serta ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model maksimasi keuntungan lokasi sulit untuk dioperasionalkan. Selain itu, pengusaha mungkin saja menitikberatkan pada maksimasi keuntungan untuk pertumbuhan jangka panjang dibandingkan dengan
pertumbuhan jangka pendek dan ini
potensial akan menghasilkan keputusan yang berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang konstan. Pengusaha mungkin saja memilih lokasi yang diperkirakan akan menghasilkan keuntungan yang maksimal dalam jangka panjang walaupun dengan biaya rutin yang sedikit lebih mahal. Menurut Isard (1975) ada kesalahan asumsi konstan yang banyak digunakan dalam analisis lokasi pada teori-teori yang ada sebelumnya. Menurut Isard, masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi yang dinamis dan memiliki ketidakpastian yang berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi bisa saja berubah-rubah sepanjang waktu yang dipengaruhi oleh faktor dasar: (a) Biaya input; (b) Biaya transportasi; dan (c) Keuntungan aglomerasi. Diantara berbagai biaya tersebut, jarak dan aksesbilitas merupakan pilihan terpenting dalam konteks tata ruang. Walaupun mayoritas biaya dipengaruhi waktu dan tempat, namun biaya transportasi merupakan fungsi dari jarak. Isard menekankan pada faktor-faktor jarak, aksebilitas dan keuntungan aglomerasi sebagai hal utama dalam pengambilan keputusan lokasi. 2.4.4 Teknologi GIS dan GPS dan Pemanfaatannya dalam Pengembangan Industri Dalam beberapa tahun belakangan ini, para ilmuwan dan praktisi menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap penerapan teknologi sistem informasi geografis (SIG) dan analisis spasial sebagai pendukung keputusan di berbagai level yang terkait dengan bisnis dan industri. Hal ini tidak mengherankan karena kurang lebih 80% dari data bisnis memiliki elemen geografis (Sarkar, 2007). Oleh
47
karena itu, sistem informasi geografis dan analisis spasial atau spatial decision support system akan memainkan peranan yang semakin penting dalam dunia bisnis saat ini maupun di masa mendatang. Mennecke (1997) sejak dua puluh tahun yang lalu telah mengidentifikasi beberapa fungsi dan aplikasi potensial dari teknologi GIS dalam bidang bisnis. Sampai dengan saat ini, setelah dua puluh tahun berlalu, lebih dari 3000 artikel terpublikasi membahas tentang topik ini (Sciencedirect, 2012). Dari sisi teknologi, sejauh ini terdapat beberapa penyempurnaan pada teknologi pendukung GIS seperti teknologi input, pemrosessan dan visualisasinya sebagaimana yang dilakukan oleh Derekenaris (2001) dan lain-lainnya. 2.4.4.1 Definisi GIS Sebagaimana yang telah diuraikan oleh Maguire (1991) ada beragam definisi terkait dengan GIS. Aronoff (1989) mendefinisikan sistem informasi geografis sebagai sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk menyimpan, memanipulasi, merakit, menganalisa dan menampilkan informasi referensi geografis. Informasi geografis itu didefinisikan lebih spesifik oleh Goodchild (2009) sebagai informasi yang terkait dengan lokasi diatas permukaaan bumi atau dekat dengan permukaan bumi yang merupakan properti dari lokasi tersebut. Li et al (2003) bahkan menambahkan bahwa GIS tidak hanya mengelola data spasial saja, namun juga data-data yang bersifat non spasial agar lebih bermanfaat. Disertasi ini sendiri lebih mengacu pada definisi yang telah diutarakan oleh Cowen (1988) yang menyatakan bahwa GIS adalah sebuah alat manajemen (management tool) dan pendukung keputusan (decision support) yang saat ini sering disebut sebagai spatial decision support system sebagaimana yang digunakan oleh Ruiz et al (2012) pada tahun ini. 2.4.4.2 Fungsi GIS Jantung dari GIS adalah kemampuan analitis dari sistem. Apa yang membedakan antara GIS dan sistem informasi lainnya adalah berkaitan dengan fungsi analisis spasial yang dimilikinya. Fungsi analisis menggunakan atribut spasial maupun non spasial dalam basis data yang ada untuk menjawab pertanyaan yang terkait dengan dunia nyata. Analisis geografis memfasilitasi studi
48
proses yang sebenarnya terjadi dengan mengembangkan dan menerapkan modelmodel. Tujuan dari analisis adalah mentransformasikan data menjadi informasi yang bermanfaat bagi pengambil keputusan pada semua level. Penggunaan penting dari analisis ini adalah memungkinkan untuk memprediksi kejadian di lokasi yang lainnya atau pada waktu yang lain. Ruang lingkup analisis yang dapat dilakukan oleh GIS dapat dikagorikan antara lain: (a) query basis data, (b) overlay, (c) proximity analysis, (d) network analysis, (e) digital terrain model, dan (f) analisis statistikal. Gambar 2-17 berikut ini memperlihatkan arsitektur multi layer dari GIS yang diadaptasi dari Li et al(2003). Masing-masing layer merepresentasikan tema tunggal dalam region tertentu seperti kebun, jalan, pabrik, pelabuhan, dan lain sebagainya. Secara khusus GIS mengadopsi sistem manajemen basis data dimana querry (command) dapat digunakan untuk pengambilan data-data yang tersimpan. Data disimpan dalam perangkat penyimpanan dan dikelola dengan menggunakan urutan numerik maupun alphabet. Sebagai contoh, sistem ini dapat membantu untuk menemukan pabrik minyak kelapa sawit yang memiliki jarak 20 km dari kebun kelapa sawit tertentu di muka bumi ini. Masing-masing layer yang berisi informasi tertentu dihubungkan dengan sistem koordinat agar supaya data dari layer yang berbeda-beda dapat dikombinasikan dalam bentuk informasi sesuai dengan query untuk mendapatkan solusi yang optimal.
Layer l (x,y)
Layer k (x,y) Layer j (x,y)
Layer i (x,y)
Gambar 2-17 Arsitektur Multi Layer dari Sistem Informasi Geografis
Arsitektur GIS dikembangkan atas dasar konsep jaringan kerja (network). Sebuah network didefiniskan sebagai sekumpulan titik (node) dan sekumpulan
49
anak panah dimana masing-masing cabang terkait pada sebuah node. Gambar 2-18 dan Gambar 2-19 memperlihatkan konsep jaringan yang diadaptasi dari Li et al (2003). Gambar 2-18 memperlihatkan sebuah network sederhana dari jarak perjalanan yang meliputi 6 node dan 9 anak panah. Jaringan pada network terhubung secara sekuensial dengan catatan tidak ada node yang berulang. Pada Gambar 2-19 jaringan digambarkan dalam bentuk struktur pohon yang terdiri dari 5 lintasan. GIS dalam hal ini akan membantu kita untuk menentukan lintasan terpendek (shortest path) dari A ke F dengan cara: (1) meletakkan node dalam peta, (2) mengukur jarak masing-masing anak panah, (3) mengukur jarak masing-masing lintasan dengan mengkombinasikan jarak dari anak
panah
yang
terhubung
pada
masing-masing
lintasan,
dan
(4)
membandingkan masing-masing lintasan untuk menemukan lintasan terpendek. B
A
D
F
E
C
Gambar 2-18 Node dan Arc dari Network
A AB BF
AD BE
EF
DE
AC DC
EF
CF CF
Gambar 2-19 Lintasan Diperlihatkan dalam Struktur Tree
GIS saat ini telah digunakan secara luas di dunia bisnis, pemerintahan, dan penelitian-penelitian dengan lingkup yang luas termasuk dalam hal in adalah
50
untuk keperluan perencanaan industri, analisis sumber daya lingkungan, perencanaan penggunaan lahan, analisis lokasi, penilaian pajak, perencanaan infrastruktur dan utilitas, analisis kawasan perumahan, analisa demografi dan pemasaran, studi habitat dan juga analisis di bidang arkeologi. Sistem ini menggunakan teknologi pemetaan digital untuk memberikan pilihan-pilihan pengambilan keputusan. Tidak seperti sistem informasi pada umumnya, GIS dapat menangani tidak hanya data-data spasial namun juga data-data yang bersifat non spasial melalui fasilitas analisis dan query data serta visualisasinya (Li, Kong et al., 2003). 2.4.4.3 Pengelolaan Data Spasial Data spasial direpresentasikan pada tingkat fisik dalam satu atau dua cara pada GIS, yaitu Raster dan Vektor. Data dalam format raster disimpan dalam matrik dua dimensi (grid cells). Titik (point) adalah cell tunggal, yang berarti bahwa semua area yang direpresentasikan oleh sel tersebut menjadi tertutup buat entitas yang lainnya. Semua objek spasial memiliki informasi lokasi dimana mereka ditempatkan dalam cell grid. Peta menunjukkan hanya satu nilai (penggunaan lahan, elevasi, kondisi politik, dll) untuk masing-masing sel. Ukuran dari grid bisa bervariasi, oleh karena itu resolusi spasial dari data yang ada ditentukan oleh ukuran dari grid. Semakin tinggi resolusinya, semakin detail kita bisa membedakan gambar-gambar yang ada. Area dibuat pada pixel-pixel yang berdekatan dengan nilai yang sama sementara garis (line) dibuat dengan menghubungkan antara satu pixel dengan pixel yang lainnya. Representasi dari data titik, garis dan area tersebut diperlihatkan pada Gambar 2-20. Contoh representasi dan keterkaitan spasial diperlihatkan pada Gambar 2-21 dan Gambar 2-22. STRUKTUR DATA SPASIAL Vektor Raster Titik Garis Poligon
Gambar 2-20 Representasi Vektor dan Raster untuk Titik, Garis dan Poligon
51
Jenis
Contoh Representasi
Titik
ID 1 2 3 4 5
4
3
1
Contoh Atribut
5 2
ID 1 2 3
3
Garis 1
Poligon
2
1
ID 1 2 3 4
3 2
4
Nama KKS001 KKS002 KKS003 KKS004 KKS005
Lokasi Kec. A Kec. A Kec. A Kec. B Kec. B
Status Jalan Jalan Nasional Jalan Provinsi Jalan Kabupaten
Guna Lahan Sawah Permukiman Kebun Hutan
Kondisi Baik Sedang Rusak
Luas (Ha) 20 30 45 40
Gambar 2-21 Contoh Representasi Titik, Garis dan Poligon dalam Bentuk Vektor dan Raster serta Atributnya KETERKAITAN SPASIAL
A
B
Konektivitas (Connectivity)
N
C
Kedekatan (Adjacency) A
Kandungan (Containment)
B
A B
R
C
Node N menghubungkan rantai A, B dan C
Poligon A berdekatan dengan poligon B
Poligon R berisi atau mengandung titik A, B, C dan D
D
Gambar 2-22 Keterkaitan Spasial
52
2.4.4.4 GIS dan Pendukung Keputusan Saat ini, teknologi GIS sebagai sebuah alat visualisasi interaktif dan pendukung keputusan telah memainkan peranan penting dalam manajemen rantai pasok industri (Kumar dan Agrawal, 2011). Dalam bidang agroindustri sendiri tercatat beberapa publikasi yang terkait dengan penenerapan teknologi GIS ini. Beberapa diantaranya adalah Sante Crecente et al (2004) dan Hadi (2011). Pustaka-pustaka dalam bidang sistem informasi sudah sangat banyak sekali membahas berbagai teknologi pendukung keputusan yang dapat diterapkan pada sistem informasi geograpfis ini, mulai dari Sprague (1980) sampai dengan Turban (2011). Sistem pendukung keputusan berbasis spasial adalah sistem pendukung keputusan dimana properti spasial dari data yang akan dianalisa memainkan peranan yang utama dalam pengambilan keputusan. Bisasanya properti ini merujuk pada okasi diatas permukaan bumi (Seffino, Medeiros et al., 1999). Konsep Spatial Decision Support System (SDSS) ini sendiri berkembang secara bersamaan dengan DSS. Dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, pengelolaan data tidak hanya bersandarkan pada peta manual berbasis kertas tapi juga sudah menggunakan teknologi-teknologi seperti penginderaan jarak jauh melalui satelit, GPS maupun Mobile Telephone (Derekenaris, Garofalakis et al., 2001; Abidin, 2007; Liu, Mason et al., 2012; Xu dan Coors, 2012). Sebagaimana yang telah diketahui bahwa SIG adalah sistem yang berkemampuan dalam menjawab baik pertanyaan spasial maupun non spasial beserta kombinasinya (queries) dalam rangka memberikan solusi-solusi atas permasalahan keruangan. Artinya sistem ini memang sengaja dirancang untuk mendukung berbagai analisis terhadap informasi geographis. Secara singkat, analisis spasial dalam hal merupakan teknik-teknik yang digunakan untuk meneliti
dan
mengeksplorasi
data
dari
perspektif
keruangan,
untuk
mengembangkan, menguji model-model, dan menyajikan datanya sedemikian rupa hingga meningkatkan pemahaman dan wawasan. Teknik-teknik ini berada di dalam sebuah payung umum yang bernama “analisis spasial”. Inilah yang membedakan SIG dengan tipe sistem informasi yang lain. Di dalam SIG segala
53
pendekatan perhitungan matematis yang terkait dengan data atau layer (tematik) keruangan dilakukan di dalam fungsi analisis yang satu ini. Analisis spasial adalah suatu teknik atau proses yang melibatkan sejumlah hitungan dan evaluasi logika (matematis) yang dilakukan dalam rangka mencari atau menemukan (potensi) hubungan (relationships) atau pola-pola yang (mungkin) terdapat diantara unsur-unsur geographis yang terkandung di dalam data-data digital dengan batas-batas wilayah studi tertentu. Dengan memanfaatkan model matematis, network yang digambarkan pada Gambar 2-23 dan Gambar 2-24 selanjutnya dapat menghasilkan beberapa keputusan sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-23 dan Gambar 2-24.
Gambar 2-23 Analisis Spatial Shortest Facilities
2.4.5
Gambar 2-24 Analisis Lokasi-Alokasi Berbasis Spasial
Spatial Multi Criteria Decision Analysis
2.4.5.1 Elemen-elemen Analisis Keputusan Multikriteria Sejumlah pendekatan untuk men-strukturisasi permasalahan MCDM telah disarankan oleh beberapa literatur yang telah dipublikasikan (Keeney dan Raiffa (1976); Chankong dan Haimes (1983); Kleindorfer, Kunreuther et al. (1993); Saaty (1980); Saaty (1983)). Pada umumnya permasalahan MCDM meliputi enam komponen (Malczewski, 1999), yaitu: (a) Tujuan atau seperangkat tujuan yang harus diraih oleh pengambil keputusan; (b) Pengambil keputusan atau kelompok pengambil keputusan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan sekaligus preferensinya terhadap kriteria evaluasi; (c) Sekumpulan kriteria evaluasi (sasaran dan/atau atribut) sebagai dasar dimana pengambil keputusan mengevaluasi
54
alternatif-alternatif yang ada; (d) Sekumpulan alternatif keputusan yang mana sebagai keputusan atau variable aksi; (e) Sekumpulan variabel-variabel yang tidak dapat dikendalikan atau lingkungan keputusan; dan (f) Sekumpulan outcome atau konsekuensi yang berhubungan dengan masing-masing alternatif – pasangan atribut (Keeney dan Raiffa, 1976). Hubungan antara elemen-elemen tersebut dalam analisis pengambilan keputusan multi kriteria ditampilkan dalam bentuk gambar sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 2-25.
Goal
Decision maker 2
Decision maker 1
Objective 1
Attribut1
Objective 2
Attribut2
Objective 3
...
Alternatif1
...
Alternatif2
...
... Alternatifm
...
...
...
Attributn
...
... Gambar 2-25 Kerangka Analisis Keputusan Multi Kriteria
2.4.5.2 Kerangka Analisa Keputusan Multikriteria Spasial Pengambilan keputusan multi kriteria/multi criteria decision making (MCDM) merupakan terminologi yang meliputi multiple attribute decision making (MADM) dan multiple objective decision making (MODM). MADM digunakan ketika harus memilih sejumlah tindakan-tindakan diskret yang harus dilakukan. Pada MODM diasumsikan bahwa solusi terbaik dapat ditemukan dimanapun dalam ruang alternatif yang layak dan oleh karena itu sering dilihat sebagai permasalahan keputusan kontinyu. MADM sering dirujuk sebagai analisis multi kriteria (MCA) atau evaluasi multi kriteria (MCE). Sebaliknya, MODM lebih
55
dekat ke pencarian Pareto optimal dengan menggunakan teknik programma matematis (Jankowski, 1995; Malczewski, 1999). Tujuan utama dari MCDM adalah membantu pengambil keputusan untuk memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan majemuk dan prioritas dari masing-masing kriteria yang berbeda. Setiap teknik MCDM memiliki prosedur yang umum, yang sering disebut sebagai model umum MCDM (Jankowski, 1995). Prosedur tersebut memiliki beberapa langkah sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-26. Adapun langkah-langkah dari model umum tersebut adalah: 1. Merumuskan alternatif; 2. Merumuskan sekumpulan kriteria-kriteria keputusan; 3. Mengidentifikasi dampak dari masing-masing alternatif terhadap masingmasing kriteria untuk mendapatkan nilai (score); 4. Membuat tabel keputusan yang berisi alternatif-alternatif diskrit, kriteria dan skor kriteria; 5. Menentukan preferensi dari pengambil keputusan dalam bentuk bobot kriteria. 6. Mengagregsikan data dari tabel keputusan mengurutkan alternatif-alternatif yang ada.
dalam
upaya
untuk
7. Melakukan analisa sensitivitas untuk melihat dampak dari ketidakpastian, ketidaktepatan dan ketidakakuratan terhadap hasil. 8. Membuat rekomendasi final dalam bentuk alternatif yang terbaik atau mengurutkan dari yang terbaik sampai yang terburuk. Semua model perhitungan atau teknik-teknik MCDM mendasarkan pada model umum yang digambarkan tersebut. Model perhitungan dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain jumlah level hirarki kriteria, keseragaman penilaian alternatif pada setiap kriteria, dan skala penilaian (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Namun, metode-metode yang ada dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu metode compensatory dan non compensatory. Metode compensatory selanjutnya dapat dibagi menjadi 2 teknik, yaitu additive dan ideal point. Teknik-teknik seperti penjumlahan tertimbang, analisa concordace dan Analytical Hierarchy Process (AHP), Technique for Order Preference by Similarity to Ideal Point (TOPSIS), Aspiration-level Interactive Method (AIM) dan Multi Dimensional Scaling (MDS), merupakan teknik yang dapat
56
dikelompokkan dalam metode compensatory. Sementara teknik-teknik noncompensatory antara lain teknik dominance, conjunctive dan lexicographic.
Alternatif
Kriteria
Skor Kriteria
Tabel Keputusan Preferensi Pengambil Keputusan Fungsi Agregasi
Analisa Sensitivitas
Rekomendasi Akhir
Sumber: Jankowski (1995) Gambar 2-26 Model Umum Spatial MCDM
Semua
metode
additive
mendasarkan
pada
skor
kriteria
yang
terstandarisasi yang mana kemudian dapat dilakukan pembandingan dengan lebih baik. Standarisasi memungkinkan pembandingan skor kriteria pada satu alternatif dengan rentang penilaian yang sama. Dengan demikian kinerja yang kurang baik pada satu kriteria pada alterntif tertentu mungkin dapat dikompensasikan dengan kinerja yang baik pada kriteria yang lainnya. Teknik penjumlahan terbobot, menjadi bentuk dasar dari metode additive yang dapat ditulis dalam bentuk matrik aljabar sebagai berikut:
[ ]
[
]
[
]
57
Dimana, S adalah total skor untuk alternatif ke-i Cji adalah skor kriteria untuk alternatif i dan kriteria j Wj adalah bobot dari kriteria Penjumlahan
terbobot
memungkinkan
untuk
mengevaluasi
dan
mengurutkan alternatif atas dasar preferensi kriteria dari pengambil keputusan. 2.4.5.3 Pengambilan Keputusan Multi Kriteria dan GIS Sistem Informasi Geografis (SIG/GIS) memiliki kemampuan untuk menangani permasalahan spasial dan sering digunakan untuk mendukung keputusan yang terkait dengan permasalahan spasial/keruangan. Memecahkan permasalahan multi kriteria spasial tanpa alat analitis dan visual akan sangat menyulitkan dalam komputasinya dan bahkan menjadi tidak mungkin (Malczewski, 1999). Teknik-teknik multi kriteria sebagai sebuah alat yang berdiri sendiri telah dikomputerisasi dan saat ini telah banyak dihasilkan perangkat lunak yang dapat digunakan khusus untuk keperluan ini. Namun, perangkat lunak-perangkat lunak yang tersedia tersebut tidak umum untuk digunakan memecahkan permasalahan spasial dalam bentuk peta. Menurut Jankowski (1995), ada dua strategi yang dapat ditempuh dalam menangani permasalahan MCDM dan GIS ini, yaitu strategi Loose dan Strategi Tight (Jankowski, 1995). Strategi Loose dilakukan dengan cara menyediakan mekanisme pertukaran file antara dua perangkat lunak tersebut. Tugas yang berbeda dilakukan oleh masing-masing perangkat lunak. GIS digunakan untuk melakukan analisis kesesuaian lahan, memilih sekumpulan kriteria dan melakukan penilaian untuk di ekspor ke tabel dalam program MCDM. Program MCDM selanjutnya digunakan untuk mengeksekusi kriteria evaluasi dan hasilnya ditransfer kembali ke GIS untuk ditampilkan. Sebaliknya strategi tight coupling direalisasikan oleh interface dan basis data yang umum dan terbuka untuk GIS dan MCDM. Dengan kata lain fungsi-fungsi multi kriteria dilekatkan pada perangkat lunak GIS. Keunggulan cara ini adalah bahwa semua fungsifungsi yang diperlukan ada dalam satu tempat dan kemungkinan kesalahankesalahan dalam pertukaran data dapat dihindari. Namun tidak semua perangkat lunak aplikasi GIS yang telah dikembangkan memiliki fasilitas tersebut.
58
Penggunaan GIS untuk melakukan evaluasi multi kriteria dapat dilakukan dalam dua tahap (1) Survey dan (2) Identifikasi lokasi lahan awal. Pada langkah pertama, area disaring untuk mendapatkan alternatif-alternatif yang layak dengan menggunakan kriteria keputusan deterministik. Seluruh lahan diseleksi secara simultan. Yang tidak memenuhi kendala (constraints) diidentifikasi dan dikeluarkan dari analisis. Tahap ini sering disebut sebagai tahap analisis kesesuaian yang secara tradisional dilakukan menggunakan overlay peta manual namun dalam hal ini menggunakan GIS sebagai alat bantu. Langkah kedua yang disebut sebagai identifikasi lokasi awal dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik MCE. Pertama, seluruh faktor-faktor yang ada dielaborasi dan kemudian dilakukan pembobotan
menurut tingkat
kepentingannya. Tahap kedua memungkinkan untuk menangani permasalahan multi objective. Ovelay multi kriteria diusulkan oleh McHarg (1969) dalam Aminu (2007) yang menyarankan menyarankan untuk mengidentifikasi kriteria fisik, ekonomis dan lingkungan dalam rangka memastikan kelayakan sosial dan ekonomis dari proyek. Kompleksitas permasalahan keputusan akan menentukan apakah teknik overlay nilai biner atau jamak yang harus digunakan. Dalam analisis geograpis, sebagian besar operasi umum yang digunakan adalah AND dan OR (Boolean), yang mana akan berkoresponden dengan “intersection” dan “union”. Jika faktor-faktor keputusan memiliki perbedaan tingkat kepentingan, overlay terbobot seharusnya digunakan. Namun, prosedur agregasi skor yang spesifik diperlukan untuk menghasilkan keputusan yang bernilai (Store dan Kangas, 2000). Ilustrasi dari analisis keputusan kriteria majemuk spasial dalam perspektif input-output diperlihatkan pada Gambar 2-27.
59
INPUT (Data Geografis) OUTPUT (Keputusan) GIS / MCDM
Gambar 2-27 Perspektif Input-Output dalam Analisis Keputusan Kriteria Majemuk Spasial
2.4.5.3.1 Kriteria Evaluasi Kriteria
evaluasi
merupakan
terminologi
yang
digunakan
baik
untuk
permasalahan keputusan kriteria majemuk untuk multi tujuan maupun multi atribut (Malczewski, 1999). Atribut-atribut berisi ukuran-ukuran yang digunakan untuk menilai tingkat pemenuhan kriteria untuk masing-masing alternatif. Kriteria evaluasi dipresentasikan dalam GIS sebagai peta tematik atau layer-layer data. Atribut-atribut keputusan ini harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, atribut-atribut tersebut harus terukur dan mudah untuk dimasukkan nilai-nilai numerik sehingga mudah untuk menentukan tinggat pencapaian tujuannya. Kedua, sebuah atribut seharusnya secara jelas mengindikasikan tingkat pemenuhan tujuan, yang tidak ambigu dan mudah dipahami oleh pengambil keputusan. Hal ini disebut comprehensiveness dari atribut. Ketiga, atribut seharusnya dapat dioperasionalkan. Jika atribut yang ada dipahami dengan baik oleh pengambil keputusan, mereka akan dapat menjelaskan dengan benar hubungan antara atribut dan tingkat pemenuhan tujuan yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Keempat, kumpulan atribut seharusnya lengkap, yang berarti bahwa semua aspek pengambilan keputusan diakomodasi. Kelima, atribut-atribut yang teridentifikasi sebaiknya seminimal mungkin dan tidak ada yang redundan. Yang terakhir, atribut-atribut yang ada sebaiknya dapat dipecah-pecah (decomposable). Biasanya kriteria evaluasi dapat dibuat dalam bentuk struktur hierarkies (Malczewski, 1999).
60
Memilih rangkaian kriteria evaluasi yang tepat dapat dilakukan melalui studi literatur, studi analitis atau survey opini. Sekumpulan tujuan dan atribut yang digunakan dalam untuk pengambilan keputusan tertentu dipengaruhi oleh ketersediaan data. Demikian juga pemilihan atribut juga dibatasi oleh waktu dan biaya (Malczewski, 1999). Rumusan Permasalahan
Kriteria Evaluasi
Kendala
Alternatif Peta Kriteria
Kendala/peta alternatif yang layak
Bobot Kriteria
Matriks keputusan (Decision matrix)
Decision rule Preferensi pengambil keputusan
Pengurutan alternatif
Analisa sensitivitas
Rekomendasi Final
Gambar 2-28 Analisis Spasial Multi Kriteria dalam GIS
2.4.5.3.2 Peta Kriteria Peta kriteria merupakan output dari tahap identifikasi kriteria evalusi. Peta ini dihasilkan setelah input data ke GIS (akuisisi, reformatting, georeferensi, compiling dan dokumentasi data-data yang relevan) disimpan dalam bentuk
61
tabular dan grafis, dimanipulasi dan dianalisa untuk mendapatkan informasi yang diinginkan. Dengan bantuan berbagai teknik di GIS peta dasar pada area studi dapat dibuat dan digunakan untuk memproduksi beberapa peta kriteria. Masingmasing kriteria dipresentasikan pada peta sebagai sebuah layer dalam GIS. Setiap peta merepresentasikan satu kriteria dan disebut sebagai layer tematik atau data layer.
Peta-peta
tersebut
merepresentasikan
seperti
apa
atribut-atribut
didistribusikan dalam ruang dan bagaimana entitas tersebut meraih tujuannya. Dengan kata lain, sebuah layer peta merepresentasikan sekumpulan alternatif lokasi untuk pengambilan keputusan. Masing-masing alternatif dibagi menjadi beberapa klas atau diberikan nilai untuk merepresentasikan tingkat preferensi dari alternatif berdasarkan kriteria yang diberikan. Atribut-atribut harus terukur dalam ukuran tertentu yang merefeksikan variabilitasnya. Skala diklasifikasikan sebagai skala kualatatif maupun skala kuantitatif. Sebagai contoh kondisi sosial dan politik sebuah wilayah dapat direpresentasikan dengan menggunakan skala kualitatif, namun untuk jumlah penduduk, jarak, kapasitas produksi menggunakan skala kuantitatif. 2.4.5.3.3 Standarisasi Kriteria Untuk memungkinkan pembandingan antara masing-masing alternatif, skala pengukuran kriteria yang berbeda-beda harus disamakan terlebih dahulu. Hal ini sangaat penting dalam evaluasi kriteria jamak. Peta kriteria harus distandarisasi terlebih dahulu (Malczewski, 1999). Menurut Malczewski (1999) prosedur linier dan non linier dapat digunakan untuk keperluan ini. Terkait dengan metode linier terdapat dua prosedur yang dapat dipertimbangkan penggunaannya, yaitu prosedur skor maksimum dan prosedur rentang nilai. Metode standarisasi yang lain seperti hubungan probabilistik dan fuzzy dijelaskan oleh Malczewski (1999). Prosedur maksimum skor adalah salah satu metode transformasi skala linier. Prosedur ini menggunakan formula yang sederhana yang membagi masingmasing skor (baris) dengan nilai maksimum dari kriteria yang bersangkutan (Malczewski, 1999):
62
Dimana
adalah skor yang telah distandarisasi untuk objek ke i (alternatif
yang layak/lokasi) dan atribut ke j,
adalah skor dari objek dan
adalah
skor maksimum dari atribut ke-j. Skore yang telah terstandarisasi nilainya berkisar antara 0 sampai 1. Kriteria benefit adalah kriteria yang seharusnya dimaksimumkan. Sebagai contoh, semakin tinggi skor yang diberikan semakin baik kinerjanya. Namun, jika kriteria yang ada harus diminimalkan, atau semakin kecil semakin baik, maka formula yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kriteria seperti ini sering dirujuk sebagai kriteria cost. Kelebihan dari transformasi langsung ini adalah bahwa urutan besaran proporsional maupun relatif adalah sama. Kekurangan dari metode ini adalah jika skor lebih beasar dari 0, standarisasi skor minimal tidak akan sama dengan 0. Hal ini membuat interpretasi alternatif yang paling tidak atraktif menjadi sulit (Malczewski, 1999). Alternatif yang terbaik akan bernilai 1. Metode alternatif yang lain adalah prosedur rentang nilai yang dihitung dengan formula sebagai berikut:
Untuk kriteria benefit, dan
Untuk kriteria cost. Faktor xj min adalah skor minimum dari atribut ke-j, xj max adalah skor maksimum untuk atribut ke-j, dan
adalah rentang nilai dari
kriteria. Rentang nilai adalah dari 0 sampai dengan 1, skor terburuk yang telah distandarisasi adalah 0 dan yang terbaik adalah 1. Tidak seperti prosedur skor maksimum, prosedur rentang nilai tidak menjaga perubahan proporsional dalam hasil. Transformasi skala linier dapat digunakan salah satunya untuk menstandarisasi peta proximity (Malczewski, 1999). Prosedur standarisasi yang telah dirumuskan diatas dapat dengan mudah kemudian ditransformasikan untuk
63
keperluan standarisasi model data GIS berbasis raster seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2-29. Peta kriteria
70 18 18 95 30 30 33 33 52
𝑗
Peta nilai minimum 𝑗
𝑗
( -)
𝑗
52 0 0 77 12 12 15 15 34
𝑗
18 18 18 18 18 18 18 18 18
(/) 𝑗
Peta nilai maksimum 𝑗
Peta kriteria yang telah distandarisasi
( -)
𝑗
/
𝑗
𝑗
0,675 0,000 0,000 1,000 0,156 0,156
𝑗
0,195 0,195 0,442
77 77 77 77 77 77 77 77 77
𝑗
95 95 95 95 95 95 95 95 95
Gambar 2-29 Prosedur Rentang Skor Nilai dalam GIS
2.4.5.3.4 Penentuan Bobot Bobot untuk kriteria biasanya ditentukan melalui proses konsultasi dengan pengambil keputusan (decision makers) yang kemudian akan menghasilkan nilai rasio yang dimasukkan kedalam masing-masing peta kriteria (criterion map). Bobot tersebut merefleksikan preferensi relatif dari satu kriteria dengan kriteria yang lain. Dalam hal ini bobot dapat diekspresikan dalam sebuah vektor kardinal atas preferensi kriteria ternormalisasi sebagai berikut: (
)
Normalisasi dimaksudkan untuk memperoleh total bobot sama dengan 1 atau 100, tergantung apakah akan dipresentasikan dalam prosentase atau rasio. Cara lain untuk mengekspresikan preferensi adalah mengkaitkan dengan skor kriteria. Dengan demikian akan dapat ditentukan batas nilai minimum maupun maksimumnya atau tingkat aspirasi yang diinginkan (Jankowski, 1995). Pendekatan yang kedua ini lebih cocok untuk diterapkan pada kendala-kendala lokasi (Aminu, 2007).
64
Penentuan bobot atau tingkat kepentingan masing-masing faktor biasanya dilakukan diluar perangkat lunak GIS meskipun ada beberapa perangkat lunak GIS yang telah memiliki fasilitas tersebut dalam salah satu modulnya (Jankowski, 1995). Ada beberapa teknik untuk menentukan bobot kriteria. Beberapa yang paling populer adalah: metode ranking, metode rating, dan metode perbandingan berpasangan. Karakteristik umum dari metode-metode tersebut adalah bahwa semuanya melibatkan pertimbangan subyektif dari pengambil keputusan terkait dengan kepentingan relatif dari faktor-faktor keputusan. Ide dasar dari metode rating adalah mengatur kriteria dalam urutan menurut kepentingan relatifnya. Kriteria diurutkan mulai dari yang paling penting sampai yang kurang penting. Setelah ranking disusun, beberapa prosedur untuk menghitung bobot numerik dapat digunakan. Salah satu metode yang paling sederhana adalah mengurutkan jumlahnya sebagaimana ditunjukkan dalam formula berikut ini: ( ∑ Dimana
) adalah bobot yang telah dinormalisasi untuk faktor ke-j, n adalah
jumlah faktor yang dipertimbangkan dan
adalah posisi urutan dari faktor.
Contoh dari perhitungan nilai ranking diperlihatkan pada Tabel 2-6. Tabel 2-6 Contoh Prosedur Straight Rank Weighting
Ranking
Bobot ∑
1 2 3 4 5 Jumlah
5 4 3 2 1 15
Bobot setelah dinormalisasi 0.333 0.267 0.200 0.133 0.067 1
Sumber: Rapaport dan Snickars (1998); Jankowski (1995) Metode rangking adalah metode pembobotan kriteria yang paling sederhana. Hal ini kemudian mendatangkan kritik dari banyak pakar keputusan karena ketiadaan dasar teori untuk mengintepretasikan tingkat kepentingan dari kriteria (Malczewski, 1999). Kelompok kedua metode pembobotan adalah metode
65
rating. Ada dua pendekatan yang umum digunakan: prosedur point allocation dan prosedur ratio estimation. Karakteristik umumnya adalah bahwa pengambil keputusan
memiliki
didistribusikan
total
diantara
poin,
kriteria
biasanya
100
keputusan
yang diinginkan
bergantung
dengan
untuk tingkat
kepentingannya. Faktor yang lebih penting akan mendapatkan skor yang lebih tinggi dan faktor yang tidak memiliki kepentingan terhadap keputusan akan diberikan nilai 0. Metode ini mirip dengan alokasi budget pada sebuah perusahaan. Pada pendekatan alokasi poin disini digunakan skala 0 sampai 100 atau 0 sampai 10. Poin-poin ini kemudian ditransformasikan kedalam bobot yang berjumlah 1. Prosedur estimasi rasio sebagimana yang ditunjukkan pada Tabel 2-7 merupakan modifikasi dari metode alokasi poin. Kriteria yang paling penting diberikan nilai 100 dan atribut-atribut yang lainnya diberikan nilai yang lebih kecil proporsional dengan tingkat kepentingannya. Rasio yang terkecil digunakan sebagai dasar untuk menghitung rasio. Setiap nilai kriteria dibagi oleh nilai yang terendah dan kemudian bobot di-normalisasi dengan membagi masing-masing bobot dengan total bobotnya. Mirip dengan metode rangking, metode rating tidak memiliki dasar teoritis dan formal karena makna dari bobot sulit untuk dijustifikasi (Malczewski, 1999). Tabel 2-7 Penilaian Bobot dengan Menggunakan Prosedur Estimasi Rasio
Ranking 1 2 3 4 5 Jumlah
Skala estimasi ratio 100 75 70 40 15 15
Bobot asli 6.667 5.000 4.667 2.667 1.000 20
Bobot setelah dinormalisasi 0.333 0.250 0.233 0.133 0.050 1.000
Metode berikutnya adalah Analytical Hierarchy Process (AHP) yang diusulkan oleh Saaty (1980) yang menggunakan metode perbandingan berpasangan untuk pembobotan kriteria. Metode ini memiliki tiga langkah penting. Pertama, dilakukan perbandingan berpasangan untuk kriteria dan hasilnya dimasukkan kedalam sebuah matrik perbandingan. Nilai sel matrik bernilai 1 sampai dengan 9 dan fraksi dari 1/9 sampai ½ yang merepresentasikan
66
tingkat kepentingan satu faktor dengan faktor yang lain secara berpasangan. Nilai dari matrik harus konsisten, yang mana berarti jika a dibandingkan dengan b mendapatkan skor 5 (kepentingan kuat), b dibandingkan dengan a seharusnya memiliki skor 1/5 (sedikit tidak penting). Kriteria yang dibandingkan dengan dirinya sendiri mendapatkan nilai 1 (sama penting). Langkah berikutnya adalah menghitung bobot kriteria. Pertama-tama nilai dari masing-masing kolom dijumlahkan dan setiap elemen dalam matrik dibagi dengan jumlah kolom dari masing-masing kolom. Matrik yang baru kemudian disebut sebagai matrik perbandingan berpasangan yang telah dinormalisasi. Yang terakhir, rata-rata elemen pada masing-masing baris matrik yang telah dinormalisasi dikalkulasi. Selanjutnya rasio konsistensi dihitung dalam upaya untuk memastikan apakah perbandingan kriteria yang dibuat oleh pengambil keputusan sudah konsisten atau belum. Bobot yang diperoleh berdasarkan metode ini diinterpretasikan sebagai rata-rata semua bobot yang mungkin. Metode perbandingan berpasangan tersebut diilustrasikan pada Tabel 2-8. Metode AHP ini lebih canggih dibandingkan dengan yang sebelumnya. Namun metode ini masih tetap mendatangkan kritik terkait dengan cara untuk memperoleh
rasio
tingkat
kepentingan.
Kuisioner
menanyakan
tentang
kepentingan relatif dari kriteria tanpa melihat skala pengukurannya. Kritik yang lain adalah terkait dengan semakin hanyak kriteria yang digunakan semakin sulit untuk memperoleh konsistensi yang yang memenuhi syarat. Namun kelebihannya adalah bahwa metode ini hanya membutuhkan 2 kriteria untuk dibandingkan pada saat yang sama (Malczewski, 1999). Pada
saat
memilih
metode
tertentu,
sebaiknya
dipertimbangkan
pemahaman pengambil keputusan terhadap permasalahan dan kemampuan dalam bidangnya. Akurasi yang diinginkan dan hasil hasil versus kesederhanaan metode adlah juga faktor yang patut untuk dipertimbangkan dalam pemilihan metode. Malczewski (1999) menyatakan bahwa metode perbandingan berpasangan adalah lebih tepat digunakan jika akurasi dan dasar teoritis menjadi titik perhatian. Metode rangking dan rating digunakan ketika kemudahan penggunaan, waktu dan biaya merupakan pertimbangan yang utama. Yang perlu diperhatikan juga adalah
67
semakin canggih sebuah metode yang digunakan, semakin kurang transparan proses yang dilakukan untuk publik (Malczewski, 1999). Tabel 2-8 Ilustrasi Metode Pembandingan Berpasangan
a b c Jumlah
Langkah I a b c 1 4 8 0.25 1 5 0.13 0.2 1 1.380 5.200 14.000
a 0.725 0.181 0.094 1.000
Langkah II b 0.769 0.192 0.038 1.000
c 0.571 0.357 0.071 1.000
Langkah III Bobot 0.688 0.244 0.068 1.000
Sumber: Saaty (1980) Teori keputusan yang lain yang mirip dengan AHP adalah Analytical Network Process (ANP). Thomas Saaty yang telah mengenalkan AHP mengembangkan kerangka yang lebih maju untuk menentukan prioritas yang dikenal sebagai Analytical Network Process (ANP). ANP memiliki perbedaan dengan AHP dalam hal proses perbandingan berpasangan yang dilakukan agar supaya model keputusan yang dibuat dapat dibangun sebagai jaringan kerja yang melibatkan decision objective, kriteria, pihak-pihak yang berkepentingan, alternatif, skenario dan faktor-faktor lingkungan yang lain yang mempengaruhi satu prioritas dengan prioritas yang lainnya. Konsep kunci dari ANP adalah bahwa pengaruh tidak selalu harus mengalir ke bawah sebagaimana yang dilakukan dalam AHP. Pengaruh dapat mengalir diantara faktor-faktor dalam jaringan yang menyebabkan hasil prioritas yang non linier dari pilihan alternatif. Sebagai contoh, ketika pengambil keputusan meningkatkan bobot kriteria, alternatif mulai mendapatkan prioritas yang lebih tinggi, namun apabila bobot kriteria tersebut semakin tinggi, efek umpan balik dari dari jaringan kenyataannya menyebabkan alternatif mulai mendapatkan prioritas yang semakin rendah. Kedua metode, baik AHP maupun ANP menggunakan skala prioritas untuk elemen-elemen maupun kelompok elemen dengan membuat perbandingan berpasangan dari elemen-elemen tersebut. Meskipun banyak permasalahan keputusan paling baik untuk dikaji dengan menggunakan ANP, namun tetap harus dibandingkan antara hasil yang diperoleh dengan menggunakan AHP atau
68
pendekatan keputusan yang lain dengan mempertimbangkan hasil, usaha yang dilakukan serta akurasi dan relevansi dari hasil. ANP sangat berguna dalam pemodelan prediktif dimana pengaruh sistem yang lebih luas dapat difaktorkan dalam keputusan. Aplikasi terbaik dari ANP adalah pada keputusan-keputusan dimana risiko dan ancaman merupakan faktor utama dalam proses pengambilan keputusan, dan keberhasilan organisasi sangat tergantung pada pemahaman yang menyeluruh tentang keseluruhan sistem dan bukan hanya tujuan dan sasaran bisnis semata (Aminu, 2007). Bentuk umum dari analytical network process (ANP) super matrix dapat dijelaskan pada Gambar 2-30.
Gambar 2-30 Struktur Umum Super Matrix
Dimana CN menunjukkan klaster ke-N, eNn menunjukkan elemen ke n dalam klaster ke-N, dan blok matriks Wij terdiri dari kumpulan vektor bobot prioritas (w) yang mempengaruhi elemen-elemen dalam klaster ke i . Jika klaster ke-i tidak memiliki pengaruh pada klaster ke-j, maka Wij = 0. Matrik yang diperoleh pada langkah ini disebut sebagai super matriks awal. 2.4.5.3.5 Decision Rules Langkah berikutnya adalah menyusun semua alternatif yang diperoleh dalam tabel keputusan menurut kinerjanya. Metode untuk mengagregasi skor alternatif disebut
69
sebagai decision rule. Tabel keputusan disusun dari kriteria evaluasi dan atributnya untuk setiap alternatif yang layak. Tabel keputusan dapat ditulis dalam sebuah matriks seperti berikut: [
]
Dimana, i = alternatif j = kriteria Matriks tersebut selanjutnya dikalikan dengan vektor bobot untuk mendapatkan nilai dari masing-masing alternatif. Cara paling mudah adalah dengan menggunakan metode simple additive weighting (SAW) dengan menjumlah hasil perkalian tersebut untuk setiap alternatif. SAW meranking alternatif dari yang terbesar sampai yang terkecil demikian juga sebaliknya dilakukan inverse additive weighting jika yang terbaik adalah yang memiliki nilai yang terkecil.
PETA SKOR KRITERIA
70 95 33
18 30 33
18 30 52
PETA KRITERIA TERBOBOT
PETA KRITERIA TERSTANDARISASI
0.675 1.000 0.195
0.000 0.156 0.195
0.000 0.156 0.442
0.75
0.506 0.750 0.146
0.000 0.117 0.146
PETA SKOR KESELURUHAN
0.000 0.117 0.331
0.506 0.750 0.376
25 25 2
25 2 2
4 4 3
0.000 0.000 0.920
0.000 0.920 0.920
0.840 0.840 0.840
0.25
0.000 0.000 0.230
0.000 0.230 0.230
PETA RANKING
0.000 0.347 0.376
0.210 0.327 0.541
0.210 0.210 0.210
Gambar 2-31 Metode Additive Weighting Sederhana pada Data Raster
7 8 5
1 4 5
2 3 6
70
2.4.6 Model Lintasan Terpendek (Shortest Path) Saat ini cukup banyak algoritma-algoritma yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan penentuan lintasan terpendek (shortest path problem) dari suatu graf. Solusi yang didapat dari penelusuran algoritma tersebut dapat diberi nama Pathing Algorithm. Ada dua algortima yang cukup terkenal yang bisa digunakaan untuk menyelesaikan persoalan lintasan terpendek, yaitu: Algoritma Dijkstra (Dijkstra, 1959) dan Algoritma Bellman-Ford (Bang-Jensen dan Gutin, 2000). Algoritma Dijkstra sebagai salah satu algoritma yang populer untuk menangani permasalahan lintasan terpendek (shortest path problem) dalam sebuah jaringan adalah sebuah algoritma yang ditemukan oleh seorang ilmuwan komputer
asal
Belanda
Edsger
Dijkstra
pada
tahun
1956.
Djikstra
mempublikasikan temuannya pada tahun 1959 dengan judul "A Note on Two Problems in Connexion with Graphs" (Dijkstra, 1959). Algoritma ini selanjutnya dikenal dengan nama algoritma Djikstra sesuai dengan nama penemunya. Algoritma Djikstra sebagaimana yang telah dijelaskan diatas merupakan algoritma yang bersifat greedy dan bertujuan untuk menemukan jalur terpendek untuk sebuah graf berarah (directed graph) berdasarkan bobot terkecil dari satu titik (node) ke titik (node) lainnya yang bernilai non negatif. Sebuah titik dapat menggambarkan sebuah entitas spasial seperti kebun, pabrik maupun pelabuhan. Misalkan titik mengambarkan pabrik dan garis menggambarkan jalan, maka algoritma Dijkstra dapat melakukan perhitungan terhadap semua kemungkinan bobot terkecil dari setiap titik. Contoh keterhubungan antar sekumpulan node diperlihatkan pada Gambar 2-32 berikut ini:
71
b
∞ 5
10
∞ 6
7 3
15 10
0
∞ 3 ∞ 16
1 a
∞ 4
12
8
11
∞ 2
Gambar 2-32 Contoh Keterhubungan Sekumpulan Node dalam Sebuah Graf
Untuk
menyelesaikan
permasalahan
diatas
dengan
menggunakan
algoritma Djikstra, pertama-tama harus ditentukan node awal atau titik keberangkatan terlebih dahulu. Dalam contoh diatas node awal nya adalah titik a dan node akhirnya adalah titik b. Berikutnya berikan bobot dari node pertama ke node yang terdekat secara bertahap. Algoritma Djikstra akan mencari solusi dari satu node ke node yang lainnya tahap demi tahap dengan logika sebagai berikut: a. Tentukan nilai bobot untuk setiap titik ke titik lainnya, dan tentukan nilai 0 pada node awal dan nilai tak hingga pada node yang belum terisi. Nilai bobot dapat berupa jarak, waktu tempuh maupun biaya. b. Tentukan semua node sebagai node yang “belum dihitung” dan tentukan node awal sebagai “node origin”. c. Dari node origin, pertimbangkan node tetangga yang belum dihitung dan hitung bobotnya dari titik origin. Sebagai contoh, jika titik origin A ke destinasi B memiliki bobot 8 dan dari B ke node C memiliki bobot 2, maka bobot ke C melewati B menjadi 8 + 2 = 10. Jika bobot ini lebih kecil dari bobot sebelumnya yang telah tersimpan, hapus data yang lama, simpan ulang bobot yang baru menggantikan bobot yang lama.
72
d. Setelah setiap bobot terhadap node tetangga selesai dipertimbangkan, tandai node yang telah dihitung sebagai “node terhitung”. Node terhitung tidak akan pernah dianalisa kembali, bobot yang disimpan adalah bobot yang terakhir dan yang paling minimal bobotnya. e. Tentukan “node belum terhitung” dengan bobot terkecil dari node origin sebagai “node keberangkatan” selanjutnya dan lanjutkan dengan kembali ke langkah c. Berikut ini adalah langkah demi langkah penerapan algoritma Djikstra untuk menemukan lintasan yang terpendek dari graf yang telah ditunjukkan diatas. Langkah pertama: Pastikan semua node telah terhubung satu sama lain sesuai dengan sistem amatan sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2-33. Dalam contoh yang dibahas disini node awal adalah 1 dan node tujuan adalah 5. Setiap jalur yang menghubungkan antar node telah diberi nilai bobotnya. b 5
10 6
7 3
15
12 3
10
16
1 a
4
8
11
2
Gambar 2-33 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra (Langkah 1)
73
Langkah kedua: Algoritma Dijkstra melakukan perhitungan terhadap node tetangga yang terhubung langsung dengan node keberangkatan (node 1), dan hasil yang didapat adalah node 2 karena bobot nilai node 2 paling kecil dibandingkan nilai pada node lain, nilai = 8 (0+8) sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-34.
6
15 3
10 1 a
8 8
2
Gambar 2-34 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra (Langkah 2)
Langkah ketiga: Node 2 ditentukan menjadi node keberangkatan dan ditandai sebagi node yang telah terhitung (lihat Gambar 2-35). Dijkstra melakukan kalkulasi kembali terhadap node-node tetangga yang terhubung langsung dengan node yang telah terhitung. Dan kalkulasi dijkstra menunjukan bahwa node 3 yang menjadi node keberangkatan selanjutnya karena bobotnya yang paling kecil dari hasil kalkulasi terakhir, nilai 10 (0 + 10).
74
6
10
15
4 3
10
16
1 a
11
8
24
2
Gambar 2-35 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra (Langkah 3)
Langkah keempat: Perhitungan berlanjut dengan node 3 ditandai menjadi node yang telah terhitung (lihat Gambar 2-36). Dari semua node tetangga belum terhitung yang terhubung langsung dengan node terhitung, node selanjutnya yang ditandai menjadi node terhitung adalah node 6 karena nilai bobot yang terkecil, nilai 13 (10 + 3).
13
6 3 15
12 3
10
16
1 a
4
8
11
22
2
Gambar 2-36 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra (Langkah 4)
75
Langkah Kelima: Node 6 menjadi node terhitung, Dijkstra melakukan kalkulasi kembali, dan menemukan bahwa node 5 yang merupakan node destinasi telah tercapai lewat node 6. Jalur terpendek akhirnya dapat diidentifikasi yaitu jalur yang melalui node 1-3-6-5, dan nilai bobot yang diperoleh adalah sebesar 23 (13 + 10). Karena node destinasi telah diperoleh, maka algoritma dijkstra telah selesai menjalankan tugasnya. Lintasan terpendek dapat dilihat pada Gambar 2-37.
23 29
b 5
10 6
7 3
15
12 3
10
16
1 a
4
8
11
2
Gambar 2-37 Contoh Penyelesaian dengan Algoritma Djikstra (Langkah 5)
Dalam mencari lintasan terpendek, algoritma yang paling banyak digunakan saat ini adalah algoritma Dijkstra, karena kerjanya paling efisien dan tidak membutuhkan waktu yang banyak.
76
2.4.7 Model Lokasi-Alokasi Berbasis Spasial Model lokasi-alokasi berbasis spasial adalah sebuah model matematis yang dimasukkan
ke
dalam
sistem
informasi
geografis
untuk
memecahkan
permasalahan pasokan yang sesuai dengan kebutuhan dengan menggunakan sekumpulan tujuan dan kendala (Church dan ReVelle, 1974). Pada dasarnya model lokasi-alokasi bertujuan untuk menentukan lokasi yang optimal dari sebuah layanan dalam rangka untuk melayani populasi dengan cara yang paling efisien. Model lokasi-alokasi cukup banyak digunakan oleh sektor organisasi dan perusahaan untuk mencari lokasi gudang, toko, dan fasilitas swasta lainnya dengan cara yang paling optimal. Lokasi-alokasi juga digunakan dalam sektor publik untuk menentukan layanan darurat rumah sakit, sekolah, perpustakaan, depot, gudang dan fasilitas umum lainnya secara optimal. Sebagai contoh, Armstrong dan Densham (1991) serta Armstrong, Rushton et al. (1991) menggunakan model lokasi-alokasi untuk mengoptimalkan relokasi pusat layanan sekolah umum di seluruh negara bagian Iowa. Ada beberapa jenis model lokasi-alokasi. Yang paling umum digunakan model lokasi-alokasi
yang meminimumkan jarak
dan memaksimumkan
cakupan/coverage (Ghosh, McLafferty et al., 1995). Model lokasi-alokasi yang meminimumkan jarak atau bobot (jarak, waktu dan biaya) paling sering digunakan dalam berbagai publikasi yang ada adalah model lokasi-alokasi dengan jarak minimum atau biaya minimum. Model ini juga dikenal sebagai model pMedian yang berusaha untuk meminimalkan total jarak maupun bobot yang ditempuh dari titik permintaan ke pusat pasokan terdekat mereka (Hakimi, 1964). Formula umum untuk model P-Median adalah sebagai berikut: Minimumkan fungsi obyektif z, dimana ∑
;
. Dimana
∑
∑
dengan kendala ∑
;
menunjukkan jumlah alokasi dari sumber i ke
tujuan j, m adalah jumlah fasilitas yang ada, n adalah jumlah permintaan yang dilayani,
adalah kapasitas fasilitas i,
adalah demand node j dan
adalah
biaya transportasi/bobot dari sumber i ke tujuan j (Church dan ReVelle, 1974). Model ini digambarkan pada Gambar 2-38 berikut.
77
Gambar 2-38 Model Alokasi p-median yang Meminimumkan Impedansi
Sejarah lokasi-alokasi sendiri dimulai oleh Hakimi (1964) yang melakukan penelitian di Northwestern University untuk menemukan lokasi yang optimal pusat switching untuk jaringan telepon, yang secara konseptual diterjemahkan untuk menemukan pusat mutlak dan median dari sebuah graf. Hakimi mengamati bahwa ketika berusaha menemukan pusat switching pada jaringan komunikasi, pusat tersebut cenderung menempati simpul jaringan (Hakimi, 1964). Namun, pada saat mencari sebuah layanan publik/swasta, lokasi yang paling optimal bisa jadi bukan di persimpangan simpul. Hakimi menemukan bahwa jaringan komputer nasional di Amerika akan mendapat manfaat dari pusat komunikasi yang ditempatkan pada atau dekat pusat negara, sebagaimana halnya dengan Kansas City, Missouri di AS dimana Pemerintah memiliki salah satu pusat komputer untuk beberapa instansi pemerintah yang berbeda. Kansas City terletak di tengah wilayah Amerika Serikat yang secara optimal akan mengurangi waktu transit data dari pantai barat ke pantai timur. Jika salah satu pusat ditempatkan di Miami, Florida maka akan memakan waktu lebih lama bagi data yang akan dikirim dari Los Angeles, California ke Portland, Maine (keduanya di pantai barat) karena harus transit melalui pusat pantai timur. Variasi dari model minimasi jarak adalah dengan memasukkan penambahan kendala jarak ke model LA tradisional. Salah satu alasan dibalik penambahan kendala jarak adalah berkaitan dengan isu permasalahan nyata seperti kemacetan lalu lintas (Marianov dan Serra, 1998).
78
Penggunaan lain untuk model kendala minimasi jarak adalah untuk menentukan lokasi layanan darurat. Layanan darurat hampir selalu memiliki beberapa jenis kendala jarak atau waktu terkait dengan seberapa cepat mereka harus dapat memenuhi panggilan layanan (Figueroa dan Kartusch, 2000; Fitch, 2005). Jika pemadam kebakaran pemerintah daerah menyatakan bahwa diperlukan waktu respon 5 menit, dan kondisi jalan hanya memungkinkan pada kecepatan 30 mil per jam, maka kendala jarak untuk mencari stasiun akan lebih dari 2,5 mile dari titik permintaan. Varian ketiga dari
model
LA adalah permasalahan maksimum
coverage/cakupan (MCLP). Model ini berusaha memaksimasi layanan terhadap populasi yang dapat dilayani pada jarak layanan yang ditentukan atau waktu yang terbatas pada sejumlah fasilitas (Church dan ReVelle, 1974). Formula untuk permasalahan ini dapat dinyatakan sebagai berikut: Maksimumkan
Kendala
∑ ∑
∑ ( (
) )
𝑗
Dimana,
dij = Jarak terpendek dari node i ke node j xj = { {𝑗 }
}
Salah satu tujuan dari MCLP yang dikembangkan lebih lanjut adalah meminimumkan jumlah orang yang tidak dilibatkan dalam jarak layanan S maksimum yang diinginkan (Church dan Meadows, 1979). Jika terdapat sejumlah
79
besar permintaan yang diluar lingkup, salah satu cara yang lebih baik adalah melayani permintaan-permintaan dengan model alokasi kendala jarak minimum. Gambar 2-39 dan Gambar 2-40 berikut ini memperlihatkan model MCLP yang memaksimumkan cakupan dari layanan yang diberikan oleh fasilitas yang ada.
Gambar 2-39 Model Spasial Maksimasi Cakupan dengan Sebanyak Mungkin Demand Dilayani oleh Fasilitas
Gambar 2-40 Hasil Pemetaan Maksimasi Cakupan
Jenis model lokasi-alokasi berbasis spasial yang lainnya adalah model maksimasi kunjungan. Model ini menentukan lokasi fasilitas dengan cara meminimumkan jarak dari pusat fasilitas untuk sebagian besar populasi (Holmes, Williams et al., 1972; Daskin, 2008). Model ini sangat berguna untuk menentukan alokasi untuk unit gawat darurat (UGD), layanan sosial, pusat perbelanjaan, dan
80
fasilitas-fasilitas lainnya dimana ada sejumlah besar orang yang akan berkunjung. Representasi umum dalam peta ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2-41 Model Maksimasi Kunjungan
Model lokasi-alokasi dapat menjadi sangat spesifik dan kompleks apabila ingin menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Sebagai contoh Branas, MacKenzie et al. (2000) membangun model respon unit gawat darurat yang mana mempertimbangkan waktu perjalanan dari lokasi kejadian ke lokasi UGD dan kemudian waktu perjalanan dari UGD ke rumah sakit utama yang terdekat yang mana mengasumsikan bahwa lokasi UGD memiliki jarak ke rumah sakit utama. Jenis model LA lainnya adalah model-model yang memiliki tujuan untuk meminimalkan fasilitas yang terlibat dalam sistem. Fasilitas diletakkan sedemikian rupa sehingga sebanyak mungkin titik permintaan yang dapat dialokasikan ke fasilitas solusi dalam cutoff impedansi, selain itu, jumlah fasilitas yang diperlukan untuk menutupi poin permintaan diminimalkan (Schietzelt dan Densham, 2003). Contoh pemetaan untuk model tersebut diperlihatkan pada Gambar 2-42 dan Gambar 2-43 berikut ini.
81
Gambar 2-42 Model Spasial Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem
Gambar 2-43 Contoh Hasil Pemetaan untuk Model Minimasi Fasilitas yang Terlibat dalam Sistem
Meminimalkan Fasilitas hampir sama dengan memaksimalkan cakupan tetapi dengan pengecualian dari jumlah fasilitas yang teralokasi. Beberapa hal berikut ini adalah poin-poin penting bagaimana model minimasi fasilitas dapat memenuhi permintaan: a. Setiap
titik
permintaan
diluar
semua
impedansi
fasilitas,
tidak
dialokasikan. b. Titik-titik permintaan dalam area cakupan impedansi fasilitas memiliki bobot permintaan yang sama untuk dialokasikan dari fasilitas tersebut.
82
c. Sebuah titik permintaan dalam cutoff impedansi dari dua atau lebih fasilitas memiliki bobot permintaan yang dialokasikan ke fasilitas terdekat saja. Seringkali diperlukan untuk mengalokasikan produk/jasa dalam upaya untuk memaksimumkan pangsa pasar dari perusahaan/organisasi. Sejumlah fasilitas dipilih sedemikian rupa sehingga permintaan dialokasikan semaksimum mungkin untuk menghadapi pesaing. Tujuannya adalah untuk menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar melalui fasilitas yang ada yang telah di tentukan. Total pangsa pasar adalah jumlah dari seluruh bobot permintaan untuk titik-titik permintaan yang valid. Permasalahan memaksimumkan pangsa pasar merupakan jenis masalah yang memerlukan paling banyak data karena disamping harus diketahui fasilitas yang dimiliki sendiri kita juga perlu tahu fasilitas dari pesaing. Permasalahan yang mirip dengan model ini adalah permasalahan memaksimalkan kehadiran yang mempertimbangkan pangsa pasar. Untuk permasalahan ini, harus dimiliki informasi yang komprehensif terkait dengan data pesaing. Toko diskon besar biasanya menggunakan model maksimasi pangsa pasar untuk mencari sekumpulan toko baru yang terbatas. Permasalahan maksimasi pangsa pasar ini umumnya menggunakan model Huff, yang juga dikenal sebagai model gravitasi (Dramowicz, 2005). Gambaran spasial dari model maksimasi pangsa pasar ini ditunjukkan pada Gambar 2-44 berikut ini.
Gambar 2-44 Model Spasial Maksimasi Pangsa Pasar
83
Terkadang kita juga menginginkan untuk menentukan target pangsa pasar tertentu yang dapat diraih dari sejumlah permintaan yang ada dengan mempertimbangkan pesaing. Gambaran model spasial untuk permasalahan ini ditunjukkan pada gambar berikut ini.
Gambar 2-45 Model Spasial dengan Target Pangsa Pasar Tertentu
Toko diskon besar biasanya menggunakan model target pangsa pasar ketika mereka ingin tahu ekspansi yang diperlukan untuk mencapai tingkat tertentu dari pangsa pasar atau untuk melihat strategi apa yang diperlukan untuk mempertahankan pangsa pasar mereka saat ini dengan adanya fasilitas dari pesaing. Dalam kasus lain di mana terdapat keterbatasan anggaran, maka keputusan yang harus diambil adalah menangkap sebanyak mungkin pangsa pasar dengan sejumlah batasan fasilitas. 2.4.8 Simulasi Berbasis Spasial Untuk mendapatkan pemahaman terhadap perilaku sistem dan kinerjanya, melakukan eksperimen pada sistem yang nyata akan memiliki konsekuensi biaya dan risiko yang tinggi. Salah satu cara untuk mengevaluasi sebuah rancangan sistem adalah dengan melakukan simulasi sistem. Simulasi akan meniru perilaku sistem
dan
rancangan
sistem
dan
selanjutnya
dapat
memberikan
gambaranterhadap kinerja sistem yang sebenarnya tanpa harus mengganggu sistem physiknya. Dengan menggunakan simulasi, dapat dibuat skenario-skenario perbaikan sistem dan melakukan evaluasi terhadap inisiatif-inisiatif tersebut.
84
Ada beberapa tipe pemodelan simulasi yang dikenal (Harrington dan Tumay, 2000), yaitu: a. Metode pemodelan simulasi analitis b. Metode pemodelan simulasi kontinyu c. Metode pemodelan simulasi discrete event, dan d. Metode pemodelan simulasi berorientasi object. Metode pemodelan simulasi analitis menitikberatkan pada beberapa aspek kompleksitas dinamik seperti sejumlah pelanggan yang berkompetisi untuk memperebutkan sumberdaya yang sama dan beberapa variabilitas yang berhubungan dengan proses kedatangan dan pelayanan. Model analitis menyediakan estimasi kinerja steady-state agregat yang jauh lebih akurat dibandingkan dengan menggunakan analisis pada spreadsheet. Gambar 2-46 mengilustrasikan konsep kinerja steady-state. Keunggulan dari simulasi analitis adalah pemodelan dan proses eksekusi simulasi yang lebih cepat. Utilisasi Server
Steady-state
80%
Waktu
Gambar 2-46 Kinerja Steady-state pada Simulasi Analitis
Pemodelan simulasi kontinyu dapat menangkap proses dinamis dengan menggunakan persamaan diferensial dan dapat mengandung perilaku random. Model kontinyu memiliki kemampuan baik untuk phenomena steady-state maupun phenomena transien (Harrington dan Tumay, 2000). Animasi dan model
85
kontinyu lebih bernilai dibandingkan dengan model analitis karena bottleneck dan flow dapat divisualisasikan dengan gauges dan dials. Pemodelan tipe ini lebih tepat untuk memodelkan volume yang besar dan proses produksi kontinyu. Gambar 2-47 berikut ini memperlihatkan model simulasi kontinyu.
Kapasitas Alat Angkut PKS01
Kapasitas Tanki Timbun PO-01
Stock PKS01 Produksi PKS01
Kapasitas PKS01
Pengiriman CPO PKS01
Shortage Surplus Loading Rate PO-01
Jumlah Alat Angkut PKS01 Kapasitas Alat Angkut PKS02 Tanki Timbun PO-01 Loading PO-01
Kapasitas PKS02
Stock PKS02 Produksi PKS02
Jumlah Alat Angkut PKS02 Pengiriman CPO PKS02
Barge Arrival to PO01
Gambar 2-47 Simulasi Kontinyu
Pemodelan discrete event memungkinkan untuk merumuskan perilaku acak dengan distribusi dan ekspresi kemungkinan. Model discrete event menghasilkan output yang acak dan oleh karena itu hanya merupakan estimasi dari perilaku yang sesungguhnya dari sebuah sistem. Replikasi harus dibuat dan rata-rata harus diperoleh untuk mendapatkan estimasi dari ukuran-ukuran kinerja yang diharapkan. Pada proses simulasi discrete event, entitas merepresentasikan produk atau jasa yang memperebutkan sumber daya untuk melakukan aktivitasnya. Oleh karena itu simulasi discrete event adalah teknik simulasi yang paling natural untuk pemodelan dan analisis proses. Animasi dari model discrete event dapat sangat impresif dan berguna untuk kepentingan validasi dan presentasi. Animasi dari discrete event juga bisa dilakukan dalam peta dan tergambar secara spasial merepresentasikan sistem nyata dengan lebih baik (O'Sullivan dan Perry, 2011). Salah satu contoh nyata representasi animasi dari discrete event simulation dapat dilihat pada Gambar 2-48 berikut ini.
86
Gambar 2-48 Simulasi Discrete Event Berbasis Spasial
Salah satu kelemahan dari simulasi discrete-event ini adalah biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses running dibandingkan dengan model simulasi analitis dan kontinyu. Tantangan pemodelan simulasi discreteevent ini adalah keahlian yang dibutuhkan untuk membangun model yang valid. Contoh logika proses simulasi discrete-event ini ditunjukkan pada Gambar 2-49.
t Generate Arrival Entity
Wait for Resource
Advance Time
Free Resource
Dispose Entity
Gambar 2-49 Konsep Dasar Simulasi Discrete Event
Banks, II et al. (2010) dalam bukunya yang berjudul Discrete-event System Simulation memberikan gambaran langkah-langkah utama dalam melakukan studi simulasi sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 2-50.
87
Adapun langkah-langkah untuk melakukan simulasi komputer adalah sebagai berikut: 1. Perumusan masalah Setiap studi harus didahului dengan pendefinisian permasalahan. Jika definisi permasalahan diberikan oleh pembuat kebijakan, atau pemilik masalah, maka peneliti harus memastikan bahwa permasalahan tersebut telah jelas dapat dipahami. Jika perumusan masalah dilakukan oleh peneliti, maka harus dipastikan juga pembuat kebijakan memahami dan menyetujui perumusan masalah tersebut. Meskipun tidak ditunjukkan pada gambar, harus dipahami bahwa perumusan masalah dapat dilakukan berulang seiring dengan berkembangnya penelitian/studi. Pada umumnya, pembuat kebijakan dan peneliti menyadari bahwa permasalahan telah terjadi lama sebelum karakteristik permasalahan diketahui. 2. Penentuan tujuan dan perencanaan proyek penelitian Tujuan menunjukkan pertanyaan yang harus dijawab oleh simulasi. Pada titik ini, harus sudah ditetapkan apakah simulasi merupakan metode yang tepat untuk penyelesaian masalah seperti yang telah dirumuskan dan tujuan yang telah ditetapkan. Dengan mengasumsikan bahwa simulasi adalah metode yang tepat, dalam perencanaan proyek juga harus menyertakan sistem alternatif yang dapat digunakan dan metode evaluasi efektivitas dari alternatif-alternatif tersebut. Dalam rencana proyek penelitian juga perlu menyertakan kebutuhan tenaga SDM, biaya penelitian, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan setiap tahapan, dan hasill yang diharapkan pada akhir setiap tahapannya. 3. Konsep pemodelan Pembangunan sebuah model dari sebuah sistem cenderung lebih ke arah seni daripada sains/ilmu pengetahuan. Pritsker (1998) membahas panjang lebar tentang tahapan ini. “Meskipun tidak memungkinkan untuk memberikan instruksi detil yang dapat menuntun pembangunan model yang sesuai pada setiap kasus, namun ada beberapa pedoman umum yang dapat diikuti” (Morris, 1967). Seni memodelkan akan semakin baik dengan kemampuan mengintisarikan kunci permasalahan yang diteliti, memilih dan memodifiksi
88
asumsi-asumsi dasar yang menggambarkan karakteristik sistem, dan memperkaya serta mengembangkan model sampai didapatkan hasil yang diinginkan. Oleh karena itu, sebaiknya kita memulai dengan model sederhana dan membangunnya perlahan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa model yang dibangun tidak perlu melebihi tingkat yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan penelitian. Jika model dibangun melebihi tingkat yang dibutuhkan maka hal tersebut hanya akan menambah biaya pembangunan model. Pendekatan sangat detil dari sistem nyata ke model (one-to-one mapping) tidak diperlukan, cukup sampai dengan intisari dari sistem nyata yang dibutuhkan. Disarankan untuk melibatkan pengguna model dalam pembuatan konsep model. Melibatkan pengguna model akan memperbaiki kualitas model yang dihasilkan dan juga menambah kepercayaan diri pengguna model dalam aplikasinya. 4. Pengumpulan data Ada hubungan saling mempengaruhi antara pembangunan model dan kumpulan data input (Shannon, 1975). Ketika model berubah, maka elemen data yang dibutuhkan juga akan berubah. Yang perlu diperhatikan adalah karena pengumpulan data merupakan tahapan yang paling besar porsinya dalam melakukan simulasi, maka akan sangat penting untuk memulai pengumpulan data pada awal penelitian, umumnya bersamaan dengan tahapan awal pembangunan model. Tujuan penelitian sangat menentukan jenis data yang harus diperoleh. Contohnya pada studi antrian di bank, maka data-data yang dibutuhkan adalah distribusi antar kedatangan nasabah (pada waktu yang berbeda tiap harinya), distribusi pelayanan kasir bank, dan data historis distribusi antrian dalam beragam situasi. 5. Penerjemahan model Sebagian besar sistem real ketika dimodelkan memerlukan penyimpanan informasi dan komputasi yang cukup kompleks, maka model harus dibuat dalam format yang dapat dikenal komputer (computer-recognizable).
89
Modeller harus menentukan akan menggunakan software yang dapat digunakan simulasi untuk tujuan penelitiannya. 6. Verifikasi Langkah verifikasi ini dimaksudkan untuk menguji apakah program/perangkat lunak yang digunakan telah berjalan dengan baik. Pada model yang rumit, sangat sulit, jika tidak bisa dibilang tidak mungkin, untuk menterjemahkan model pada perangkat lunak tanpa proses debugging yang dilakukan berulangulang; jika parameter input dan struktur logika dari model telah mampu direpresentasikan dengan baik pada perangkat lunak, maka proses verifikasi telah selesai. 7. Validasi Validasi umumnya dilakukan dengan melakukan kalibarasi model, proses iterasi dengan membandingkan model dengan perilaku sistem aktual dan menggunakan perbedaan antara keduanya , dan kesimpulan yang didapatkan, untuk melakukan perbaikan terhadap model. Proses ini dilakukan berulangulang sampai didapatkan model dengan tingkat akurasi yang dapat diterima. 8. Desain eksperimen Alternatif yang akan disimulasikan harus ditentukan terlebih dahulu. Seringkali, keputusan mengenai alternatif yang disimulasikan adalah fungsi dari hasil yang telah selesai dianalisa. Perlu ada keputusan terlebih dahulu untuk setiap desain sistem yang akan disimulasikan, mengenai periode simulasi, periode awal, dan jumlah replikasi. 9. Simulasi dan analisis Simulasi dan analisis yang mengikutinya digunakan untuk mengestimasi kinerja dari desain sistem yang sedang disimulasikan. 10. Simulasi lanjutan Setelah analisis selesai dilakukan, peneliti perlu menentukan apakah diperlukan simulasi lebih lanjut.
90
11. Dokumentasi dan pelaporan Ada dua jenis pendokumentasian: program dan progress. Dokumentasi program (perangkat lunak) diperlukan beragam alasan. Jika program tersebut akan digunakan lagi oleh peneliti yang sama maupun yang berbeda, akan sangat penting untuk memahami bagaimana program tersebut bekerja. Hal tersebut juga akan memberikan kepercayaan pada program yang digunakan, sehingga pengguna model dan pembuat kebijakan dapat membuat keputusan berdasarkan
analisis
dari
model
tersebut.
Alasan
lain
untuk
mendokumentasikan program adalah untuk keperluan modifikasi program, dan jika pengguna akan melakukan perubahan pada parameter input dan menganalisis pengaruhnya terhadap keluaran yang dihasilkan. Musselman
(1998)
membahas
tentang
progress
report
yang
menyediakan sejarah/tahapan tertulis dan penting dalam sebuah proyek simulasi. Progress report akan menunjukkan kronologi pembangunan model dan keputusan-keputusan yang dibuat dalam prosesnya. Hal ini dapat digunakan sebagai alat untuk menjaga proyek tetap dalam jalur sesuai rencana. Musselman menyarankan laporan rutin (minimal bulanan) sehingga pihak yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas proyek harian pun dapat memahami proyek dengan baik. Dari sisi pelaporan, Musselman menyarankan deliverables rutin, dimana Musselman menyatakan “it is better to work with many intermediate milestones than with absolute deadline.” Hasil dari seluruh analisis harus dilaporkan dengan jelas dan singkat pada laporan final. Hal tersebut akan memudahkan pengambil keputusan untuk melakukan review terhadap perumusan final, sistem alternatif yang diajukan, kriteria yang digunakan untuk membandingkan setiap alternatif, hasil eksperimen, dan rekomendasi solusi untuk permasalahan.
12. Implementasi Keberhasilan tahapan implementasi sangat bergantung pada sebelas tahapan yang mendahuluinya. Hal yang juga penting adalah seberapa dalam analis
91
melibatkan pengguna model selama proses simulasi. Jika pengguna model telah dilibatkan selama proses pembangunan model dan pengguna model juga mengerti
karakteristik
model
dan
output-outputnya,
implementasi akan berhasil akan semakin baik
kecenderungan
(Kelton, Sadowski et al.,
2003). Demikian juga sebaliknya, jika model dan asumsi-asumsi yang mendasarinya tidak dikomunikasikan dengan baik, maka proses implementasi tidak akan berjalan dengan baik, terlepas dari validitas model yang dibangun. Pembangunan model simulasi seperti yang ditunjukkan pada diagram dapat dibagi kedalam empat Fase. Fase pertama, terdiri dari langkah 1 (Perumusan masalah) dan 2 (Penentuan tujuan dan desain keseluruhan). Fase kedua berhubungan dengan pembangunan model dan pengumpulan data dan melibatkan langkah ke-3 (Konsep pemodelan), 4 (Pengumpulan data), 5 (Penerjemahan model), 6 (Verifikasi), dan 7 (Validasi). Jika pengguna model tidak dilibatkan dalam fase ini akan mengakibatkan masalah pada saat implementasi. Fase ketiga berkaitan dengan running mode. Langkah ke-8 (Desain eksperimen), 9 (Simulasi dan analisis), dan 10 (Simulasi lanjutan) ada pada fase ketiga ini. Fase ini memerlukan perencanaan komprehensif terkait dengan eksperimen dengan model simulasi. Simulasi discrete-event stochastic sebenarnya adalah eksperimen statistik. Variabel output yang dihasilkan mengandung error acak, dan karena itu memerlukan analisis statistik yang baik. Fase keempat, melibatkan langkah ke-11 (Dokumentasi dan pelaporan), 12 (Implementasi). Keberhasilan implementasi bergantung pada keterlibatan kontinu dari pengguna model dan keberhasilan penyelesaian proses pada setiap tahapan. Mungkin, hal yang paling krusial dari keseluruhan proses adalah langkah ke-7 (Validasi), karena model yang tidak valid akan menghasilkan analisis yang salah, yang jika diimplementasikan akan berbahaya dan menimbulkan biaya besar, atau bahkan keduanya.
92
1 Formulasi permasalahan
2
Penentuan tujuan dan keseluruhan rencana proyek
3
4 Konseptualisasi model
Pengumpulan data
5 Penterjemahan model Tidak 6 Verified? Tidak
Tidak
Ya 7 Validated?
8
Ya Rancangan eksperimental
9 Run dan analisis
Ya
Ya 10 Perlu run lagi?
Tidak 11 Dokumentasi dan pelaporan
12 Implementasi
Gambar 2-50 Langkah-langkah dalam Studi Simulasi
93
2.5
Rancang Bangun Sistem Pendukung Keputusan Berbasis Spasial
Perancangan merupakan langkah pertama dalam fase pengembangan rekayasa suatu produk atau sistem. Menurut Pressman (1997), perancangan merupakan suatu proses penggunaan berbagai prinsip dan teknik untuk tujuan-tujuan pendefinisian suatu perangkat, proses atau sistem hingga ke tingkat kerincian tertentu yang diinginkan. Model pengembangan sistem di tataran awal yang umumnya digunakan adalah model prototyping. Prototyping sendiri merupakan model pengembangan sistem yang melibatkan proses pembentukan model (versi) sistem secara iteratif untuk menghasilkan sistem yang sesuai dengan kebutuhan pengguna. Pendekatan seperti ini merupakan implementasi dari konsep “think small strategize big” dari Turban et al.(2011) dimana pengguna maupun pengembang pertama-tama fokus pada penyelesaian permasalahan kunci untuk meraih keberhasilan-keberhasilan kecil secara bertahap. Pendekatan ini dipandang lebih efektif dan efisien dalam pengembangan sistem pendukung keputusan (Turban, Sharda et al., 2011). Model ini sendiri memiliki tiga bentuk: a. Prototype diatas kertas atau berbasiskan sistem komputer yang menggambarkan (diagram) interaksi-interaksi yang mungkin terjadi. b. Working
type
yang
mengimplementasikan
sebagian
fungsi
yang
ditawarkan oleh sistem yang dikembangkan. c. Program jadi yang mampu melakukan sebagian atau bahkan keseluruhan fungsi yang ditawarkan meskipun masih terdapat beberapa feature yang dikembangkan lebih lanjut. Adapun proses pengembangan sistem pendukung keputusan yang menggunakan proses prototyping ini melibatkan aktivitas-aktivitas sebagai berikut: a. Pengumpulan secara cepat kebutuhan terhadap sistem oleh pihak pengguna dan pengembang. Aktivitas ini mirip dengan fase analisis yang terdapat dalam model pengembangan proses waterfall.
94
b. Perancangan cepat (quick design) prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan fase perancangan pada model proses waterfall. c. Pembentukan prototipe aplikasi sistem pendukung keputusan yang dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini sama dengan fase implementasi pada model proses waterfall. d. Evaluasi prototipe sistem pendukng keputusan yang dilakukan baik oleh pengguna (umum) atau pengembang lebih detail. Aktivitas ini ekivalen dengan fase pengujian (testing) pada model proses waterfall. e. Perbaikan prototipe sistem pendukung keputusan dilakukan oleh pengembang. Aktivitas ini merupakan pengulangan (iterasi perbaikan) ke proses berikutnya (mulai dari perancangan cepat, pembentukan prototipe, dan evaluasi) untuk mencapai produk yang sesuai dengan kebutuhan pengguna (produk akhir/rekayasa plus dokumentasinya). Pada model ini, satu siklus pengembangan (setiap iterasi) akan menghasilkan sebuah versi sistem. Dengan demikian pada saat hasil akhirnya diterima oleh pengguna, bisa jadi terdapat beberapa versi sistem pendukung keputusan. 2.6
Penilaian Rencana Pengembangan Agroindustri
Menurut Hitchner (2006), ada beberapa pendekatan dalam menilai sebuah usaha atau business interest. Pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan pendapatan (income approach) 2. Pendekatan pasar (market approach) 3. Pendekatan asset (asset approach) Pendekatan pendapatan umumnya yang paling banyak digunakan dalam penilaian rencana pengembangan industri karena asumsi yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa industri selalu berusaha untuk mendayagunakan aktiva produktifnya untuk menghasilkan keuntungan saat ini maupun di masa depan. Pendekatan pendapatan dalam melakukan penilaian dilakukan berdasarkan prinsip antisipasi dengan konsep dasarnya adalah penilaian finansial, dimana nilai sebuah business interest diartikan sebagai suatu jumlah dari manfaat ekonomi (pendapatan) yang dihasilkan oleh business interest tersebut di masa yang akan
95
datang. Hal tersebut dikemukakan oleh James R. Hitchner (2006)
yang
menyatakan bahwa “the real value of any going business is its future earning power.” Hal yang sama juga dikemukan oleh Brealey dan Meyers (2002)yang mengatakan bahwa “value today always equals future cash flow discounted at the opportunity cost of capital.” Proses
penilaian
dengan
menggunakan
pendekatan
pendapatan
memerlukan estimasi berkenaan dengan arus tingkat pendapatan yang diharapkan dan tingkat pengembalian investasi yang dipersyaaratkan. Nilai dari investasi atau business interest (korporat atau ekuitas) adalah nilai kini (present value) dari jumlah pendapatan mendatang yang dihasilkan oleh investasi tersebut. Nilai korporat atau ekuitas diestimasi dengan cara: ·
Mengkuantifikasi stream of income yang dihasilkan oleh investasi yang dinilai dan variabel pendapatan ini akan menjadi numerator (pembilang dalam analisis.
·
Menjumlah stream of income tersebut menjadi nilai kini dengan opportunity cost of capital yang digunakan untuk menghasilkan income tersebut. Variabel biaya kapital ini selanjutnya akan menjadi denominator (penyebut) dalam analisis. Pendekatan pendapatan dibedakan ke dalam 2 metode, yaitu metode
diskonto (discounted cash flow method) dan metode kapitalisasi langsung (direct capitalization method). Dalam metode diskonto, dilakukan proyeksi terhadap semua manfaat ekonomis yang diharapkan di masa mendatang seperti arus kas bersih atau variabel pendapatan lain dan mendiskonto setiap manfaat yang diharapkan tersebut ke dalam nilai sekarang dengan suatu tingkat diskonto dan mengalikannya dengan discount factor yang mencerminkan biaya kapital jenis investasi tersebut. Estimasi ini adalah jumlah keseluruhan dari nilai sekarang tersebut. Sedang dalam metode kapitalisasi langsung maka kita membagi satu manfaat ekonomis tunggal baik historis maupun proyeksi seperti arus kas bersih atau variabel pendapatan lain yang mencerminkan kemampuan investasi dalam menghasilkan pendapatan di masa mendatang dengan suatu tingkat kapitalisasi
96
yang mencerminkan tingkat diskonto variabel tersebut dikurangi dengan tingkat pertumbuhan jangka panjang variabel tersebut bila masih ada pertumbuhan. Dalam hal seseorang membeli suatu perusahaan apakah yang berbentuk badan hukum ataupun yang bukan badan hukum, maka yang dibeli bukanlah produk, manajemen, pasar ataupun teknologinya, melainkan kita membeli prospek arus pendapatan ekonomis yang dimiliki oleh perusahaan tersebut (Pratt, Reilly et al., 2000). Pendapatan ekonomis suatu entitas usaha bisa berupa pendapatan bruto, laba kotor, pendapatan sebelum pajak, pendapatan bersih, arus kas bersih dan sebagainya. Semua jenis pendapatan ekonomis itu, kemudian dapat dikonversi menjadi nilai dengan menggunakan tingkat diskonto ataupun tingkat kapitalisasi yang memadai sesuai dengan jenis pendapatan ekonomis yang digunakan. Dari kacamata teori, nilai suatu bisnis atau suatu kepentingan pada bisnis tergantung pada pertumbuhan manfaat yang akan diterima di masa yang akan datang, dengan nilai manfaat ekonomis mendatang itu didiskontokan kembali kedalam nilai sekarang pada tingkat diskonto yang memadai. Dengan kata lain, konsep dasar dari pendekatan pendapatan adalah memproyeksikan pendapatan ekonomis pada masa mendatang dihubungkan dengan investasinya dan mendiskontokan proyeksi arus pendapatan ke dalam nilai sekarang pada tingkat diskonto yang memadai sesuai dengan risiko yang diharapkan dari prospek arus pendapatan ekonomis. Sebagaimana dikemukakan pada bagian awal bahwa pendekatan pendapatan berdasarkan kepada prinsip antisipasi dalam ekonomi. Dalam pendekatan itu maka nilai dari suatu investasi adalah nilai sekarang (present value) dari ekspektasi pendapatan ekoonomis yang dihasilkan oleh investasi tersebut di masa yang akan datang. Dengan demikian, suatu investasi baru akan mempunyai nilai apabila investasi tersebut dapat memberikan pengembalian yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk memperoleh pendanaan dalam pembiyaan investasi tersebut. Untuk keperluan penilaian, maka ukuran untuk menentukan pendapatan ekonomis yang dianalisis dapat ditentukan dengan berbagai cara, namun yang lazim adalah: pengeluaran/pembayaran seperti dalam bentuk dividen, bunga, arus
97
kas, pendapatan bersih atau pendapatan bersih dari operasi. Dalam kaitan dengan itu maka arus pendapatan ekonomis mana yang dimaksudkan harus didefinisikan secara tegas demikian juga tingkat diskonto (WACC)yang digunakan dalam analisis. 2.6.1
Penilaian Usaha dengan Menggunakan Pendekatan Income
Metode yang dipergunakan untuk melakukan penilaian investasi dengan menggunakan pendekatan income yang umum digunakan adalah: a. Net Present Value (NPV) Metode Nilai Sekarang Bersih (Net Present Value / NPV) adalah metode penilaian kelayakan investasi yang menyelaraskan nilai akan datang arus kas menjadi nilai sekarang dengan melalui pemotongan arus kas dengan memakai faktor pengurang pada tingkat biaya modal tertentu.Metode NPV digunakan untuk menentukan apakah nilai suatu investasi ini menguntungkan atau tidak, dapat didefinisikan sebagai berikut: · · ·
NPV > 0, investasi diterima NPV < 0, investasi di tolak NPV = 0, investasi bersifat marginal
Formula untuk menghitung nilai NPV adalah sebagai berikut: n
NPV t 0
n (C )t (Co)t t (1 i) t 0 (1 i)t
Dimana, (C)t (Co)t n i t
= Arus kas masuk pada tahun ke-t. = Arus kas keluar pada tahun ke-t. = Umur unit usaha hasil investasi. = Arus pengembalian (rate of return) = Waktu
b. Internal Rate of Return (IRR) Metode tingkat balikan internal atau internal rate of return (IRR) adalah metode evaluasi kelayakan investasi menggunakan rasio laba dari penanaman modal (return on investment) dalam jumlah dan waktu dimana nilai sekarang (present value) dari arus kas masuk adalah sama dengan nilai sekarang (present value) dari
98
pengeluaran investasi awal. Secara umum IRR digunakan untuk menjelaskan apakah rencana proyek cukup menarik bila dilihat dari segi tingkat pengembalian yang telah ditentukan, prosedur yang lazim digunakan adalah mengkaji tingkat pengembalian yang menghasilkan NPV arus kas masuk sama dengan NPV arus kas keluar. Rumusannya adalah sebagai berikut: n
n (C )t (Co)t t t t 0 (1 i ) t 0 (1 i )
Dimana, (C)t (Co)t n i t
= Arus kas masuk pada tahun ke-t. = Arus kas keluar pada tahun ke-t. = Umur unit usaha hasil investasi. = Arus pengembalian (rate of return) = Waktu
Metode IRR digunakan untuk menentukan apakah nilai suatu investasi ini menguntungkan atau tidak, dapat didefinisikan sebagai berikut: · · ·
IRR >WACC, investasi diterima IRR < WACC, investasi di tolak IRR = WACC, investasi bersifat marginal
c. PaybackPeriod
Metode Pemulihan Investasi (Payback Period) adalah metode analisa kelayakan investasi yang berusaha untuk menilai persoalan kelayakan investasi menurut jangka waktu pemulihan modal yang diinvestasikan, biasanya dinyatakan dalam hitungan tahun. 2.6.2 Perhitungan Biaya Modal Tertimbang (WACC) Komponen biaya modal disini adalah tingkat pendapatan yang diharapkan oleh pasar untuk mendapatkan keuntungan dari suatu investasi(Brealey dan Myers, 2002). Setiap komponen dalam struktur pembiayaan sebuah perusahaan memiliki biaya tertentu, dan komponen biaya tersebut membemtuk Biaya Modal Rata-rata Tertimbang atau Weighted Average Cost of Capital (WACC).
99
Dalam menghitung WACC langkah-langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut(Hitchner, 2006): a) Menentukan bobot masing-masing komponen dalam struktur modal berdasarkan nilai pasar masing-masing komponen b) Estimasi biaya utang c) Estimasi biaya ekuitas Dalam menentukan struktur modal ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: a. b. c.
Analisis struktur modal historis dari perusahaan yang dinilai Analisis struktur modal perusahaan pembanding Analisis rencana dan pandangan manajemen Dalam mendefinisikan struktur kapital, maka apabila kita mengartikan
sebagai nilai dari perusahaan sebagai lawan dari nilai ekuitas, maka selalu diartikan sebagai nilai susunan kapital. Namun masih sering ada keraguan tentang apa yang termasuk ke dalam pengertian kapital. Yang sering dipertanyakan adalah apakah utang jangka panjang dan utang tidak berbunga juga masuk? Pada umumnya dianut pendapat bahwa pengertian susunan kapital adalah mencakup semua ekuitas dan semua utang jangka panjang baik yang sudah maupun belum jatuh tempo (Pratt, Reilly et al., 2000). Namun untuk menilai kapital menggunakan DCF, sangat perlu untuk memasukkan bunga dari pinjaman jangka panjang dalam pendapatan yang didiskonto dan memperlukakukan bunga yang lain sebagai expenses. Adapun formula perhitungan WACC adalah sebagai berikut:
Dimana: • • • •
Kd adalah Komponen Biaya Hutang D/A adalah proporsi hutang terhadap total modal Ke adalah Komponen Biaya Modal Sendiri E/A adalah proporsi modal sendiri terhadap total modal
100
Gambar 2-51 Kerangka Perhitungan Biaya Modal
Komponen biaya modal sendiri (cost of equity) terdiri atas : (1)
tingkat bunga bebas risiko (risk free rate) yaitu pendapatan yang dianggap dapat diperoleh dari instrumen investasi yang secara umum dianggap sebagai investasi bebas risiko oleh pelaku pasar. Instrumen yang dianggap mewakili di Indonesia adalah Sertifikat Bank Indonesia atau tingkat bunga obligasi pemerintah.
(2)
Risiko premium, yaitu tingkat pendapatan (return) yang diharapkan investor/pemilik modal sendiri saat melakukan investasi yang berisiko dengan tingkat pendapatan yang diharapkan saat melakukan investasi yang tidak berisiko. Adapun perumusan dari komponen biaya ekuitas ini adalah: [
(
)]
Dimana: · Rf adalah prosentase/rate return yang diharapkan dari investasi yang bebas resiko. ·
Beta adalah ukuran reaksi harga saham perusahaan terhadap perubahan harga pada pasar saham.
·
Erm adalah return yang diharapkan dari pasar yang dihitung sebagai fluktuasi dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau Jakarta Composite Index (JCI).
101
Beta ini berfungsi mengukur sensitivitas dari tingkat pendapatan (return) dari saham Perusahaan terhadap pergerakan tingkat pendapatan pasar secara keseluruhan. Beta ini dihitung sebagai covariance saham Perusahaan terhadap variance IHSG. Nilai Beta dari saham Perusahaan dihitung dari pergerakan harga saham Perusahaan terhadap pergerakan IHSG.. Komponen biaya hutang (Cost of Borrowings) yang diperhitungkan dalam struktur modal pada umumnya adalah hutang jangka panjang atau hutang investasi, yang pada umumnya sama dengan tingkat bunga hutang yang harus dibayar oleh perusahaan. Komponen biaya hutang ini harus memperhitungkan faktor tax shield yang dinikmati oleh perusahaan. Dengan demikian maka komponen biaya hutang dihitung sebagai tingkat bunga pinjaman setelah dikurangi tingkat pajak yang berlaku. 2.7
Analisa Resiko Menggunakan Model Simulasi
Salah satu teknik analisis resiko yang umum digunakan adalah simulasi Monte Carlo. Teknik analisis resiko Monte Carlo ini dikembangkan pada awal tahun 1960 an. Salah satu pendukung penggunaan teknik ini adalah Hertz(1964), yang dalam makalahnya di Havard Business Review telah berjasa menyebarluaskan teknik ini ke masyarakat luas. Pada dasarnya, simulasi Monte Carlo melibatkan penggunaan distribusi peluang dan bilangan random dalam perhitungannya. Dengan bantuan komputer, distribusi peluang nilai Net Present Value, IRR, maupun indikator-indikator lainnya akan dapat diperoleh (Abor, 2005; Evans dan Olson, 2005). Simulasi Monte Carlo akan mengganti nilai total aliran kas bersih tiap tahun dengan distribusi peluang tiap faktor yang mempengaruhi total aliran kas bersih (contoh: pendapatan atau komponen-komponen sumberdaya). Distribusi peluang faktor-faktor penting yang disimulasikan mengambarkan unsur ketidakpastian dari faktor-faktor penting tersebut (Smith, 1994). Dengan memanfaatkan komputer, simulasi dapat melakukan observasi acak dari tiap distribusi peluang untuk digunakan dalam perhitungan net cash flow tiap tahun sepanjang umur investasi proyek. Selanjutnya aliran kas yang diperoleh dari hasil simulasi ini digunakan untuk menghitung indikator-indikator kinerja
102
investasi proyek maupun indikator-indikator keuangan perusahaan lainnya. Keseluruhan proses kemudian akan diulang kembali dalam jumlah yang besar, untuk medapatkan distribusi peluang kinerja yang diinginkan (bukan nilai tunggal). Penyebaran distribusi peluang tersebut akan menggambarkan tingkat ketidakpastian disekitar aliran kas proyek. Proses simulasi Monte Carlo ini merupakan siklus pengulangan. Apabila distribusi yang dihasilkan dari proses pengulangan ini digambarkan dalam bentuk grafik sebagai distibusi frekuensi, maka gambaran yang didapatkan akan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan keputusan manajerial. Pengambil keputusan akan sangat terbantu dengan gambaran resiko yang ada dibandingkan dengan hanya menggunakan model pembangunan aliran kas yang konvensional. Meskipun penggunaan Simulasi Monte Carlo banyak digunakan pada analisa resiko penilaian investasi, namun lebih dari itu, sebenarnya konsep dan teknik
tersebut
dapat
digunakan
dalam
konteks
keseharian
proses
manajerial(Abor, 2005). Beberapa perangkat lunak simulasi berbasis komputer sudah tersedia di pasar saat ini namun masih terbatas digunakan oleh beberapa kalangan saja. Sebagian besar pengguna model ini menggunakan perangkat lunak Add ins yang terintegrasi dengan perangkat lunak spreadsheet seperti @risk dan Crystall Ball. Namun, dengan perkembangan paket-paket perangkat lunak spreadsheet yang telah memasukkan banyak fasilitas-fasilitas perhitungan statistik, Macro dan VBA, ketergantungan terhadap software Add Ins menjadi semakin berkurang (Gunarta, 2006). Secara umum proses simulasi Monte Carlo yang akan digunakan untuk mengevaluasi resiko nilai tukar digambarkan berupa diagram alir pada Gambar 2-52. Risiko pada umumnya merupakan faktor yang dapat dikelola dengan cara mengalihkan (transfer), menghindarkan (avoidance), mengurangi atau mencegah (reduction/mitigation) dan dengan menerima (acceptance). Mengurangi atau mencegah merupakan pendekatan yang paling memungkinkan dalam pengelolaan risiko bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan memaksimalkan tata kelola perusahaan (Pardamean, 2011). Menurut Pardamean (2011), jenis-jenis
103
risiko pada agroindustri CPO antara lain sebagaimana yang terlihat padaTabel 2-9. . Mulai
N = Jumlah Iterasi TH= Umur Proyek
For i = 1 To N
For j = 1 To TH
Sample Distribusi Probabilitas untuk Tahun ke j
Eksekusi Model Proyeksi Keuangan
j
Hitung dan Record Indikator Kinerja Finansial Proyek dan Perusahaan
i
Ringkas Hasil dan Gambarkan dalam Bentuk Distribusi Frekuensi untuk Setiap Indikator Finansial
Gambar 2-52 Logika Simulasi Monte Carlo
104
Tabel 2-9 Jenis Risiko pada Agroindustri CPO No 1
Jenis Risiko Risiko produk (TBS)
2 3
Risiko pasar Risiko proses
3
Risiko sistem
4
Risiko hukum
5
Risiko lingkungan
6
Risiko asset
2.8
Bentuk Risiko Tidak tercapainya target produksi TBS yang tidak tahan lama Penerimaan TBS yang tidak sesuai dengan standar (TBS mentah, tangkai panjang, dll) TBS telah berbentuk brondolan TBS busuk Persaingan dari produk lain Turunnya harga CPO Bibit yang tidak layak Pemeliharaan pembibitan Pembukaan lahan dan pemeliharaan tanaman kelapa sawit yang tidak sesuai dengan standar Kehilangan bahan/material Penggunaan bahan yang tidak efektif Hari kerja fiktif Penggunaan dana tidak efisien Ketidakpastian aturan Kesalahan atau ketidakmapuan Melanggar kontrak atau perjanjian Korupsi Pengelolaan kebun yang tidak ramah lingkungan Penerapan CSR yang tidak tepat Kebakaran Keamanan IT
Penelitian Terkait
Permasalahan pengembangan industri merupakan permasalahan yang kompleks. Kompleksitas tersebut disebabkan oleh banyaknya elemen-elemen yang mempengaruhi dan saling mempengaruhi dalam menentukan keberhasilan dari industri yang dikembangkan, bersifat dinamis dan memiliki ketidakpastian atas parameter-parameter penentunya. Cukup sulit dan memakan waktu untuk melakukan analisis dan sintesa terhadap keseluruhan dari sistem yang ada secara holistik. Penelitian-penelitian yang sebelumnya telah mengambil beberapa sudut pandang, pendekatan dan metode-metode dalam rangka memberikan solusi maupun rancangan untuk keberhasilan industri yang dikembangkan. Cukup banyak model-model yang telah dikembangkan, diimplementasikan dan dievaluasi atas dasar penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
105
Terkait dengan pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia, Hambali (2005) telah mengkaji pengembangan klaster industri turunan minyak kelapa sawit dengan memberikan masukan-masukan terkait permasalahan dan aktivitasaktivitas yang harus dilakukan dalam pengembangan klaster industri minyak kelapa sawit sementara Pahan, Gumbira-Sa’id et al. (2011) fokus mengkaji kinerja klaster industri kelapa sawit di Riau melalui strategi integrasi rantai pasok, infrastruktur penunjang dan pembenahan lingkungan ekonomi dan usaha dengan menggunakan model multi criteria decision making. Penelitian tersebut mengindikasikan bahwa strategi pembenahan infrastruktur penunjang akan dapat meningkatkan kinerja industri kelapa sawit dengan signifikan. Jatmika (2007) meneliti tentang pengembangan agroindustri kelapa sawit dengan strategi pemberdayaan dan Basdabella (2001) meneliti tentang pengembangan Sistem Agroindustri Kelapa Sawit dengan Pola Perusahaan Industri Rakyat. Penelitian yang terkait dengan dukungan infrastruktur pelabuhan dan transportasi untuk industri minyak kelapa sawit di Indonesia telah dilakukan oleh Aryawan dan Setijoprajudo (2010), Ufron dan Setijoprajudo (2010), Ristianto (2003). Sementara pengembangan model-model untuk penentuan lokasi pelabuhan secara umum sebagai infrastruktur utama untuk industri dilakukan oleh Malchow (2001), Bruce A.Blonigen (2006), Prakash Gaur (2005) serta Mtthew Brian Malchow dan Kanafani (2001). Pengembangan industri kelapa sawit juga menjadi topik yang penting di Mozambique. Capitine (2010) meneliti tentang pengembangan klaster industri minyak kelapa sawit di negaranya dan menyimpulkan bahwa pengembangan industri minyak yang berasal dari kelapa sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan yang berasal dari sumber lainnya. Berdasarkan benchmark yang dilakukan oleh Capitine, pengembangan industri ini pada lokasi geographis yang berdekatan akan dapat meningkatkan keunggulan bersaing dari industri ini. Penggunaan model spasial dalam menentukan lokasi pengembangan industri telah banyak dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional. Model-model spasial yang digunakan pada umumnya mengkombinasikan antara sistem
106
informasi geografis dengan model-model matematis maupun model-model multi kriteria. Penggunaan model-model multi criteria decision support system untuk pengembangan industri dilakukan oleh
Ruiz, Romero et al. (2012) yang
mengkombinasikan fuzzy AHP dengan GIS, Hagadone dan Grala (2012) menggunakan neighboring spatial analysis untuk membangun industri berbasis kehutanan di Missisipi. Ocalir, Ercoskun et al. (2010) mengkombinasikan model fuzzy logic dengan GIS untuk menentukan lokasi pangkalan taxi, Radiarta, Saitoh et al. (2008) menggunakan model multi kriteria berbasis GIS untuk mengidentifikasi lokasi pengembangan aquaculture di Jepang dan Hossain, Chowdhury et al. (2009) di Bangladesh. Disamping penggunaan model-model spatial multi criteria decision making, beberapa peneliti juga menggunakan model-model matematis dalam melakukan analisis spasial untuk tujuan penelitiannya. Terkait dengan permasalahan penentuan lokasi pengembangan energi biomassa, Zhang, Johnson et al. (2011). Penelitian Zhang ini mempertimbangkan biaya transportasi dalam pengumpulan sumber-sumber bahan energi biomas yang tersebar secara geographis. Eddie, Cheng et al. (2007) memasukkan model gravitasi dalam sistem GIS untuk menentukan lokasi pusat perbelanjaan sementara Benoit dan Clarke (1997) menggunakan teknologi GIS, GPS dan model multi objective untuk menentukan lokasi retail. Model-model analisis spasial yang dikembangkan untuk permasalahan lokasi dan alokasi dilakukan oleh Gar-On, Yeh et al. (1996) yang mengintegrasikan antara model lokasi-alokasi dengan GIS untuk menentukan perencanaan lokasi fasilitas publik demikian juga halnya dengan yang dilakukan oleh London (1990) dengan kasus penentuan lokasi sekolah di negara-negara berkembang. Berman dan Mandowsky (1996) mengembangkan model lokasi alokasi untuk permasalah jaringan transportasi yang padat. Permasalahan lokasi alokasi multi periode seperti yang dilakukan pada penelitian ini juga telah dilakukan oleh Sha dan Huang (2012). Model Lokasi dan Alokasi
107
Model lokasi-alokasi merujuk pada algoritma yang digunakan dalam sistem informasi geografis untuk menentukan lokasi yang optimal dari satu atau lebih fasilitas yang akan melayani perimintaan dari sekumpulan titik tertentu. Algoritma yang dapat digunakan untuk melihat kemampuan dari fasilitas-fasilitas tersebut dalam melayani permintaan yang ada bergantung dari beberapa faktor seperti ketersediaan fasilitas, biaya, dan kondisi infrastruktur dari fasilitas menuju titik permintaan tersebut (Sommer dan Wade, 2006). Ketika terdapat beberapa titik-titik sumber daya dan sejumlah titik permintaan, maka akan muncul kebutuhan terhadap
optimalisasi rute untuk
mengakses sumber daya tersebut. Ini merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh sejumlah institusi bisnis dan pemerintahan. Subyek ini mendapatkan perhatian yang cukup besar di negara-negara yang sedang berkembang karena terdapat sejumlah besar permintaan terhadap pengembangan infrastruktur, fasilitas air minum, fasilitas pendidikan, sistem distribusi, energy, fasilitas medis untuk publik, transportasi, pusat-pusat rekreasi dan wisata yang mana merupakan perhatian utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Keputusan pendirian dan pengembangan suatu fasilitas produksi atau gudang penyimpanan sering kali harus dilakukan secara simultan dengan keputusan lain, antara lain yang menyangkut alokasi produksi dan pengiriman. Permasalahan ini akan lebih lebih kompleks lagi apabila kita mempertimbangkan batasan kapasitas dari masing-masing fasilitas yang ada (Pujawan, 2010). Sejumlah penelitian-penelitian telah dipresentasikan dalam publikasi ilmiah untuk memecahkan permasalahan lokasi-alokasi ini (Lashine, Fattouh et al., 2006). Pendekatan yang umum digunakan adalah formulasi mixed integer linier programming. Teknik-teknik optimasi digunakan untuk memecahkan sebagian besar permasalahan-permasalahan dengan kompleksitas rendah sampai sedang. Untuk permasalahan skala besar umumnya penggunaan metode heuristik lebih dominan. Pada minimasi
banyak
biaya
permasalahan-permasalahan
bukan
merupakan
faktor
yang
lokasi-alokasi paling
terkadang
penting
untuk
dipertimbangkan. Proses untuk mendayagunakan tujuan dengan multi kriteria
108
secara luas dibahas lama oleh Geofrion (1978). Banyak peneliti yang menyarankan sejumlah pertimbangan atau faktor-faktor sebagai kriteria yang penting untuk permasalahan lokasi-alokasi ini. Faktor-faktor tersebut antara lain ketersediaan alat transportasi, ketersediaan tenaga kerja, biaya hidup, ketersediaan dan keterdekatan terhadap bahan baku, jarak ke pasar, posisi kompetitif, antisipasi terhadap pertumbuhan pasar, tren populasi dan pendapatan, ketersediaan dan biaya lahan, keterdekatan dengan industri-industri yang lain, ketersediaan dan biaya utilitas, sikap pemerintah, struktur pajak, faktor-faktor yang terkait dengan masyarakat, pertimbangan terhadap lingkungan, penilaian risiko dan tingkat pengembalian asset (Badri, 1999). Faktor kualitatif adalah sangat penting, namun seringkali tidak praktis dan biasanya diberlakukan sebagai bagian dari tanggung-jawab manajemen untuk melakukan analisa lebih lanjut tidak seperti penggunaan model-model kuantitatif yang memasukkan model permasalahan lokasi-alokasi yang sepenuhnya dapat diserahkan pada model untuk memecahkannya. Pendekatan kuantitatif pada umumnya mendasarkan pada model-model transportasi/penugasan, dan formulasi programma linier. Formulasi integer dan mixed integer programming telah digunakan oleh banyak peneliti seperti Wei-hua et al (2011), Bhatnagar dan Teo (2009), Vos dan Akkermans (1996) yang mengakomodasi perilaku dinamis dari sistem dan lain-lain. Permasalahan lokasi/alokasi sebagai sebuah permasalahan kombinatorial yang diselesaikan dengan menggunakan metode heuristik dipresentasikan oleh Zhou et al(2002). Zhou dan kawan-kawan menggunakan algoritma genetika untuk memecahkan permasalahan kombinatorial tersebut(Abidin, 2007). Permasalahan optimalisasi transportasi CPO ini membutuhkan evaluasi jaringan supply chain komoditas CPO secara total. Dalam hal ini, keputusan tentang sumber pasokan kelapa sawit, lokasi pabrik kelapa sawit serta lokasi pelabuhan muat dan pelabuhan tujuan harus ditentukan secara simultan. Untuk perusahaan yang beroperasi secara global maupun nasional, mereka mungkin akan membuka sejumlah perkebunan, pabrik kelapa sawit dan menggunakan beberapa jalur transportasi. Tiap-tiap sumber bahan baku maupun pabrik bisa dibuka atau
109
ditutup dan masing-masing memiliki biaya-biaya tetap maupun biaya variabel. Tiap pabrik juga punya keterbatasan kapasitas. Demikian pula, tiap alternatif pelabuhan bisa diputuskan untuk dibuka atau tidak dan masing-masing punya kapasitas dan biaya-biaya tetap. Untuk permasalahan yang seperti ini, di samping jawaban terhadap dibuka tidaknya suatu pabrik atau pelabuhan, perlu juga dijawab dari pelabuhan mana tiap wilayah pasar akan dipasok dan dari pabrik mana tiap pelabuhan asal akan dipasok. Walaupun permasalahan jaringan supply chain yang dikaji imi merupakan permasalahan strategis dan keputusan seperti ini hanya dibuat sekali dalam jangka panjang, namun harus disadari bahwa perubahan iklim bisnis yang semakin dinamis membuat keputusan-keputusan seperti di atas perlu ditinjau lebih sering (Fine, Vardan et al. (2002) dalam Pujawan (2010)). Lebih lanjut Pujawan (2010) menyatakan bahwa walaupun hubungan antar perusahaan pada supply chain diharapkan berlangsung jangka panjang, namun perubahan situasi makro dan mikro tiap perusahaan memaksa mereka untuk sering mengubah di mana mereka akan membeli bahan baku, di mana mereka akan memusatkan kegiatan produksi, di mana mereka akan menyimpan produk dan sebagainya. Dengan kata lain, jaringan supply chain perlu dirancang ulang setiap kali ada perubahan situasi yang cukup dramatis, seperti resesi di suatu wilayah pemasaran, peningkatan ongkos infrastruktur di tempat produksi, ketidakstabilan negara tempat gudang berada, dan sebagainya (Pujawan, 2010).