KAJIAN PUSTAKA Peningkatan kinerja klaster agroindustri hasil laut akan lebih efektif dan efisien jika telah tersedia sebuah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang dapat diterapkan untuk sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pemahaman beberapa aspek substansial diperlukan dalam rangka merancang sebuah sistem pengukuran kinerja yang komprehensif pada model klaster agroindustri hasil laut di Indonesia yang akan diuraikan lebih detail pada bagian ini.
Agroindustri Beberapa pakar mendefinisikan agroindustri dari beberapa sudut pandang. Austin (1981) mengatakan bahwa agroindustri adalah sebuah usaha yang mengolah bahan baku hasil pertanian, termasuk di dalamnya tanaman dan peternakan. Berdasarkan proses transformasi yang terjadi, agroindustri dikategorikan dalam 4 tingkatan yaitu (1) agroindustri level I dengan aktivitas proses secara minimal misalnya pembersihan, pengelompokan dan penyimpanan, (2) agroindustri level II ditandai dengan adanya aktivitas proses peningkatan nilai tambah lagi yaitu pemisahan, penggilingan, pemotongan dan pencampuran, (3) agroindustri level III meliputi pemasakan/perebusan, pasteurisasi, pengalengan, dehidrasi, pembekuan dan ekstraksi serta (4) agroindustri level IV yang dicirikan dengan adanya proses perubahan kimia dan perubahan tekstur (teksturisasi). Sementara itu pada Simposium Pengembangan Agroindustri (1983) di Bogor menyepakati bahwa agroindustri adalah kegiatan industri yang memanfaatkan hasil pertanian sebagai bahan baku, merancang dan menyediakan peralatan serta jasa untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya Simposium Nasional Agroindustri II (1987) mendefinisikan lebih jelas bahwa agroindustri adalah suatu kegiatan lintas disiplin yang memanfaatkan sumber daya alam (pertanian) untuk industri. Lebih lanjut lagi penelitian difokuskan pada sub sektor perikanan dan hasil laut, khususnya agroindustri hasil laut.
Potensi Agroindustri Hasil Laut Kelautan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki potensi untuk dikembangkan sehingga dapat berkontribusi lebih baik kepada negara di dalam meningkatkan devisa. Karena sub sektor ini juga melibatkan banyak nelayan di sektor hulu, maka peningkatan kinerja sub sektor kelautan diharapkan juga akan mampu meningkatkan kesejahteraan nelayan. Agroindustri hasil laut merupakan industri hilir yang perlu dioptimalkan sistem pengelolaannya sehingga secara integral
7 mampu meningkatkan kinerja keseluruhan dari sub sektor kelautan khususnya dan sektor pertanian pada umumnya. Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai atau mengukur kinerja sebuah sektor secara kuantitatif di antaranya adalah
indeks
Indikator Spesialisasi Perdagangan (ISP), Pangsa Pasar dan indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk melihat pangsa relatif ekspor sebuah produk atau komoditas. Ketiga alat ukur tersebut dikenal dengan alat ukur spesialisasi. ISP merupakan alat ukur yang penting bagi perkembangan ekonomi suatu negara. Perekonomian suatu negara dapat mengalami penurunan, jika spesialisasi industrinya mengarah pada tujuan yang salah (Brasili, Epifani & Helg, 1999). Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk melihat apakah Indonesia sebagai pengimpor atau pengekspor komoditas tertentu. Rumusan ISP adalah sebagai berikut: ISP = (Xi-Mi)/(Xi + Mi)
……..(1)
keterangan : X = nilai ekspor M = nilai impor i = komoditas sesuai SITC Terdapat 3 (tiga) kondisi yang dapat dicirikan dalam perhitungan ISP, yaitu: Jika nilai ISP = -1, artinya negara tersebut hanya pengimpor komoditas tertentu Jika nilai ISP = 0, artinya negara tersebut memiliki jumlah ekspor dan impor SITC yang seimbang Jika nilai ISP = +1, artinya negara tersebut hanya mengekspor komoditas tertentu Dari nilai ISP dapat pula diketahui tahapan pertumbuhan perdagangan suatu komoditas, di mana : Jika -1
8 Komoditas yang memiliki nilai di bawah 0.5 potensial untuk dikembangkan, sedangkan yang memiliki nilai di atas 0.5 merupakan komoditas yang perlu dijaga daya saingnya. Komoditas hasil laut merupakan komoditas unggulan yang potensial untuk terus dijaga dan ditingkatkan kinerjanya. Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh dari www.deprin.co.id Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) komoditas hasil laut di Indonesia memiliki nilai yang sangat baik yaitu dengan nilai rata-rata ISP sebesar 0.95. dengan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut pada periode 1996– 1997 sebagai berikut :
0.98
0.98 0.96
0.96
0.96
0.96 0.94
0.94
Nilai ISP
0.94 0.92
0.91
0.9 0.88 0.86 1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
Tahun
Gambar 1 Indeks spesialisasi perdagangan (ISP) ikan segar, dingin atau beku ISTC 034 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id) Berdasarkan distribusi nilai ISP komoditas hasil laut seperti grafik di atas dapat dilihat meskipun sempat terjadi penurunan pada tahun 2000, namun secara keseluruhan kinerja perdagangan komoditas hasil laut berada pada tahap menuju kematangan karena setiap tahun dalam periode di atas mempunyai nilai 0.5≤ISP≤ 1. Nilai indikator kinerja ISP menunjukkan bahwa komoditas hasil di Indonesia merupakan komoditas yang pantas diunggulkan dan perlu dijaga bahkan ditingkatkan kinerjanya melalui sebuah pengelolaan komprehensif yang lebih baik. Agroindustri hasil laut merupakan satu upaya peningkatan nilai tambah pada sub sektor kelautan dengan mengolah komoditas hasil laut menjadi produk olahan. Peningkatan nilai tambah bisa senantiasa dilakukan dengan perbaikan sistem dan manajemen secara berkelanjutan. Kondisi perkembangan ekspor impor untuk produk olahan hasil laut sangat baik, hal ini ditunjukkan dengan gambaran kecenderungan
9 nilai ekspor yang relatif stabil dan meningkat dari tahun ke tahun pada periode 19962003 meskipun kenaikannya tidak signifikan seperti dapat ditampilkan pada Gambar 2 berikut :
Gambar 2 Perkembangan nilai ekspor impor olahan hasil laut Indonesia (www.deprin.co.id)
Sementara itu, nilai indeks spesialisasi perdagangan untuk beberapa komoditas hasil laut lainnya dapat dilihat pada Gambar 3 sampai dengan Gambar 9 yang akan ditampilkan secara berurutan di bawah ini :
Gambar 3 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) ikan kering, digarami atau diasapi SITC 035 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
10
Gambar 4 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin SITC 036 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 5 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) olahan ikan, udang dan kerang SITC 037 periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Indikator kinerja perdagangan lain yang juga sering digunakan untuk mengevaluasi kinerja perdagangan komoditas bahan baku maupun olahan adalah indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Indonesia di pasar dunia pada tahun 1996-2002 seperti ditampilkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 9 berikut ini :
11
Gambar 6 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 034 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 7 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 035 (ikan segar, dingin atau beku) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
Gambar 8 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 036 (udang, kerang dan sejenisnya, segar/dingin) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id)
12
Gambar 9 Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) SITC 037 (olahan ikan, udang dan kerang) periode 1996-2002 (www.deprin.co.id) Jika dikaitkan dengan nilai ISP komoditas hasil laut, maka hal ini sangat positif karena tingginya nilai RCA pada komoditas hasil laut juga dibarengi dengan meningkatnya nilai ekspor produk olahan hasil laut (agroindustri hasil laut). Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bahan baku cukup bisa diandalkan sehingga peningkatan nilai tambah hasil laut melalui sistem produksi yang efisien dan upaya peningkatan kapasitas produksi diharapkan di masa depan akan lebih bisa meningkatkan kinerja sektor pertanian sub sektor kelautan khususnya agroindustri hasil laut di Jawa Timur maupun di Indonesia. Pangsa Pasar Dari sisi negara pengekspor, kontribusi ekonomi suatu komoditas juga bisa dilihat dari pangsanya, yang dapat diukur dengan rumusan sebagai berikut: P = Xi /∑ X
………(2)
keterangan : P = pangsa (share) X = nilai ekspor i = komoditas berdasarkan SITC Semakin besar nilai pangsa pasar suatu komoditas, semakin penting peranan komoditas tersebut di negara pengekspor. Idealnya, komoditas yang berkontribusi besar merupakan komoditas yang berkembang. Jika ISP menunjukkan nilai negatif, artinya Indonesia merupakan pengimpor komoditas tertentu, perlu dilihat apakah nilai
13 pangsa eskpor komoditas ini juga signifikan. Pembandingan ini dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pemasukan / devisa negara. Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA) Dilihat dari sisi pasar dunia, produk unggulan dapat dilihat jika produk tersebut memiliki daya saing global, yang direpresentasikan dengan Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA dapat dihitung dengan rumus: RCA ij =( Xij/ ∑ Xij) / ∑ Xij/∑∑Xij
………..(3)
keterangan : X = Nilai ekspor i = SITC tertentu j = wilayah/negara tertentu Rasio nilai pembilang menggambarkan pangsa sektor i di suatu negara terhadap total ekspornya sedangkan rasio penyebut menggambarkan pangsa pasar yang sama terhadap ekonomi dunia (Brasili, Epifani & Helg, 1999). Indeks ini memiliki nilai antara 0 dan + ∞. Nilai RCA < 1 menunjukkan bahwa suatu sektor di suatu negara relatif mengalami penurunan spesialisasi terhadap perekonomian dunia. Nilai RCA ≥1 menunjukkan suatu sektor di suatu negara relatif terspesialisasi.
Index
ini
banyak
digunakan
karena
memungkinkan
untuk
membandingkan struktur ekspor suatu negara dengan ekonomi dunia maupun kelompok negara tertentu. Idealnya, suatu negara memiliki nilai RCA positif. Dinamika pola perdagangan dapat dilihat dari hasil perhitungan RCA melibatkan data historis. Penentuan jangka waktu analisis dilakukan dengan mempertimbangkan kebijakan-kebijakan perdagangan yang lalu dan yang masih berlaku.
Sementara
itu
untuk
mengidentifikasi
keunggulan
propinsi/wilayah
penelitian, maka dilakukan analisis korelasi yang membandingkan ekonomi daerah terhadap
ekonomi
Indonesia.
RCA
propinsi/wilayah
Indonesia
dan
RCA
propinsi/wilayah dunia. Arah yang diharapkan adalah terdapat hubungan korelasi positif antara keunggulan domestik (RCA prop/wil-Indonesia) dan keunggulan di pasar dunia (RCA prop/wilayah–dunia). Nilai skala korelasi adalah -1 hingga +1, nilai korelasi negatif berarti kondisi saat ini, produk unggulan SITC tidak sejalan dengan perkembangan pasar dunia. Sedangkan nilai korelasi 0 berarti tidak ada hubungan antara keunggulan kompetisi domestik dan global.
14 Salah satu pendekatan pembangunan struktur industri yang diyakini mampu memperkuat struktur agroindustri hasil laut di Indonesia adalah pendekatan klaster. Pendekatan ini berupaya untuk melihat sistem industri hasil laut sebagai sebuah sistem yang bersifat holistik sehingga perlu kajian dengan sebuah pendekatan sistem. Selanjutnya akan diuraikan konsep klaster industri dan beberapa aspek yang relevan.
Konsep Klaster Industri Klaster Industri yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah sebuah kelompok yang terdiri dari beberapa industri terkait, institusi pendukung yang saling berinteraksi secara horisontal dan vertikal untuk menciptakan suatu nilai tambah baik untuk individu anggota kelompok maupun untuk bersama-sama. Konsep klaster banyak diperkenalkan oleh Porter (1998) yang melihat klaster industri sebagai sekumpulan perusahaan dan institusi yang terkait pada bidang tertentu yang secara geografis berdekatan, bekerjasama karena kesamaan dan saling memerlukan. Konsep tersebut didukung oleh beberapa pernyataan dari peneliti terdahulu di antaranya Roelandt dan den Hertog (1999) menekankan klaster industri pada jaringan produsen yang terdiri dari perusahaan-perusahaan yang independen dan kokoh bebas (termasuk pemasok khusus) yang terhubung satu sama lain dalam rantai nilai tambah produksi. OECD (2000) mendefinisikan klaster industri sebagai kumpulan/kelompok bisnis dan industri yang terkait melalui suatu rantai produk umum, ketergantungan atas ketrampilan tenaga kerja yang serupa atau penggunaan teknologi yang serupa atau saling komplementer. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh konsorsium Trends Business Research dari Inggris (United Kingdom) terhadap klaster industri bisnis di Inggris diungkapkan adanya 6 (enam) jenis tipologi dari klaster industri yaitu: (1) Rantai produksi vertikal, yaitu suatu suatu rantai produksi vertikal dimana tahap-tahapan yang beriringan dalam rantai produksi membentuk inti klaster industri, (2) Agregasi sektor-sektor yang berhubungan yakni suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan, (3) Klaster industri regional, yaitu klaster mengacu pada suatu agregasi dari sektor-sektor yang berhubungan yang berpusat dalam daerah tertentu dan
kompetitif
dalam
pasar
dunia,
(4)
Daerah
(distrik)
industri,
sebagai
pengkonsentrasian lokal dari industri kecil dan menengah yang ahli dalam tahap proses produksi, (5) Jaringan, didefinisikan sebagai bentuk spesifik dari hubungan antara para pelaku ekonomi baik pasar maupun hirarki akan tetapi berbasis pada
ketergantungan yang timbal balik, kepercayaan, dan kooperatif. Klaster
15 industri ini tidak harus terpusat secara geografis, akan tetapi akan lebih baik jika terlokalisasi dan (6) Lingkungan yang inovatif (the innovative milieu), yaitu klaster yang mengacu pada pengkonsentrasian lokal dari industri berteknologi tinggi. Konsep klaster industri dari Michael E. Porter didasari dari hasil penelitiannya di dalam membandingkan daya saing internasional di beberapa negara. Negara yang memiliki daerah dengan kandungan mineral yang melimpah, tanah yang subur, tenaga kerja yang murah dan iklim yang baik sebenarnya memiliki keunggulan bersaing dibanding negara dengan daerah yang “berat”. Akan tetapi ditemui bahwa keunggulan karena keadaan daerah tidak mampu bertahan lama. Keunggulan daya saing suatu negara/daerah dapat bertahan lama di dalam ekonomi yang semakin mengglobal bukanlah karena kandungan mineral dan tanahnya tetapi karena negara tersebut mengkonsentrasikan dirinya terhadap peningkatan keahlian dan keilmuan, pembentukan institusi, menjalin kerja sama, melakukan relasi bisnis dan memenuhi keinginan konsumen yang semakin banyak dan sulit untuk dipenuhi (Porter, 1998). Porter (1998) berargumentasi bahwa industri di suatu daerah/negara unggul bukanlah dari kesuksesan sendiri tetapi merupakan kesuksesan kelompok dengan adanya keterkaitan antar perusahaan dan institusi yang mendukung. Sekelompok perusahaan dan institusi pada suatu industri di suatu daerah tersebutlah yang disebut dengan istilah klaster industri. Pada klaster industri, perusahaan-perusahaan yang terlibat tidak hanya perusahaan besar dan menengah, tetapi juga perusahaan kecil. Adanya klaster industri akan menstimulasi terjadinya bisnis baru, lapangan kerja baru, para pengusaha baru yang mampu memutar pinjaman baru. Porter (1990)
memperkenalkan
teori
kemampuan
kompetisi
suatu
negara
digambarkan dalam model berlian seperti dapat dilihat pada Gambar 10. Strategi Perusahaan, struktur dan persaingan
Perubahan
Kondisi Faktor
Kondisi Permintaan
Industri Terkait dan Pendukung
Gambar 10 Model berlian Porter (Porter,1990)
Pemerintah
yang
16 Terdapat 4 (empat) faktor kunci yang menentukan daya saing suatu negara yaitu : kondisi faktor, kondisi permintaan, strategi perusahaan, struktur dan persaingan serta keterkaitan dan industri pendukung. Konsep ini dikenal dengan model Diamond Porter (Berlian Porter) seperti terlihat pada Gambar 10. Negara tertentu memiliki bentuk berlian (keterkaitan antar empat faktor) berbeda dengan negara lain, yang membuat suatu negara mampu mengungguli negara lainnya. Yang dimaksud dengan kondisi faktor meliputi lima kategori kunci, yaitu: ketersediaan dan kemampuan sumber daya manusia, sumber daya fisik, sumber daya pengetahuan, sumber daya modal dan infrastruktur. Kondisi permintaan meliputi permintaan domestik dan internasional. Model ini menggabungkan analisis di tingkat industri maupun tingkat perusahaan. Strategi perusahaan, struktur dan persaingan mengaju pada kondisi tingkat perusahaan. Sedang keterkaitan dan industri pendukung menunjukkan bagaimana suatu industri saling bergantung dan mengisi industri lainnya. Dengan melihat keempat faktor ini, model berlian menunjukkan mengapa suatu industri bisa saja daya saingnya tidak dapat bertahan lama (Porter, 1990). Pada awalnya konsep ini mengedepankan kedekatan geografis (Porter, 1990). Dengan adanya kedekatan geografis, suatu industri dapat melakukan pemesanan produk secara bersamaan, pengembangan produk bersamaan dan terjadi alih pengetahuan yang dapat membuat industri sebagai suatu sistem mampu meningkatkan produktivitasnya. Pendekatan klaster mengetengahkan pentingnya produktivitas dalam suatu sistem sebagai kunci kemampuan kompetisi suatu negara (Porter, 1990). Produktivitas yang terbangun dengan adanya kedekatan geografis, menunjukkan bagaimana sumber daya manusia dan modal suatu negara digunakan. Produktivitas tergantung pada kemampuan secara efisien suatu produk dihasilkan. Lebih jauh lagi, produktivitas seringkali terkonsetrasi di segmen industri tertentu. Artinya, suatu industri mampu menghasilkan luaran lebih baik daripada industri lainnya. Adanya keterhubungan yang teratur antara keempat faktor tersebut akan menimbulkan terbentuknya klaster industri tanpa rekayasa. Kedekatan lokasi secara geografis menjadi daya tarik dan semakin iteratif terjadinya interaksi antara keempat faktor tersebut. Terdapat tiga cara meningkatkan pertumbuhan produktivitas, pertama, peningkatan produktivitas pada klaster industri disebabkan karena adanya spesialiasi bahan baku dan tenaga kerja, adanya peningkatan akses informasi dari institusi dan lembaga/asosiasi publik dengan menggunakan fasilitas dan program bersama. Kedua, peningkatan kemampuan perusahaan untuk melakukan inovasi dengan mendifusikan kemampuan ilmu teknologi sehingga inovasi akan terjadi lebih cepat. Ketiga, tekanan persaingan pada klaster industri perlu dibarengi dengan kebijakan
17 memberikan insentif kepada karyawan yang melakukan inovasi. Kondisi ini memperlihatkan terjadinya pembelajaran di daerah klaster industri,
adanya
peningkatan terapan teknologi dan kemampuan melakukan inovasi. Kondisi di atas akan menyebabkan klaster industri
mampu beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan bisnis. Tujuan dan Manfaat Klaster Industri Pengembangan klaster industri yang mulai marak diperbincangkan saat ini pada dasarnya muncul bukan karena alasan kecenderungan atau sedang populer tetapi sudah mengarah pada kebutuhan akan adanya pengembangan klaster industri di tanah air. Secara umum sudah diyakini bahwa pendekatan klaster industri sangat bermanfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya bagi peningkatan daya saing industri yang berkelanjutan. Bappenas (2003) menyatakan bahwa peningkatan daya saing ini dapat terjadi karena strategi klaster dapat mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara berikut : 1) Meningkatkan produktivitas perusahaan 2) Mengendalikan arah dan langkah inovasi yang berfungsi sebagai fondasi pertumbuhan produktivitas di masa depan 3) Menstimulasikan
tumbuhnya
usaha-usaha
baru
yang
dapat
memperkuat dan memperluas klaster Beberapa manfaat dari adanya pengembangan klaster industri pada suatu daerah antara lain (1) memungkinkan suatu kerangka bagi kolaborasi, (2) membantu pengembangan agenda bersama, (3) memperoleh manfaat skala ekonomi, (4) memfasilitasi pengembangan tingkat kompetensi yang lebih tinggi, (5) kerjasama bisnis untuk memperkuat industrinya, (6) membantu mengurangi kekhawatiran persaingan antar-industri dengan membangun rasa saling percaya dan kerjasama antar pelaku bisnis dalam klaster industri, (7) meningkatkan produktivitas, (8) meningkatkan pertambahan nilai, (9) menghimpun sumber daya kolektif, (10) pemasaran bersama, (11) mempengaruhi hubungan pemasok dan pembeli, (12) berbagi informasi, (13) analisis strategis nasional maupun internasional, (14) memperbaiki infrastruktur keras dan lunak daerah, dan (15) rekognisi/pengakuan nasional dan internasional. Klaster industri merupakan mekanisme yang ampuh untuk mengatasi keterbatasan Industri Kecil dan Menengah (IKM) utamanya dalam hal ukuran usaha dan untuk mencapai sukses dalam lingkungan pasar dengan persaingan yang senantiasa meningkat. Langkah kolaboratif yang melibatkan IKM dan perusahaan
18 besar, lembaga pendukung publik dan swasta serta pemerintah lokal dan regional, semuanya akan memberikan peluang untuk mengembangkan keunggulan lokal yang spesifik dan daya saing perusahaan yang tergabung dalam klaster industri. Banyak negara mengimplementasikan klaster industri untuk mengembangkan ekonomi dan meningkatkan daya saing daerah/negaranya, seperti negara Amerika (Arizona, Texas, dan lain-lain), Brazil, Italia, Australia, Spanyol, dan lain-lain. Negara tersebut meyakini adanya keuntungan di dalam mengimplementasikan klaster industri. Berikut ini keuntungan dari klaster industri yaitu (1) mereduksi biaya transaksi, (2) memudahkan terjadinya spesialisasi pemasok, jasa dan sumber tenaga kerja, (3) meningkatkan rata-rata inovasi, (4) menyelesaikan masalah bersama dengan bekerjasama menghasilkan solusi, (5) membuat lembaga pelatihan, teknologi dan infrastuktur bersama, dan (6) melakukan pembelajaran bersama untuk merumuskan strategi peningkatan daya saing. Faktor-Faktor Keberhasilan dan Kegagalan Klaster Industri Beberapa faktor dapat diidentifikasikan sebagai kunci keberhasilan suatu pengembangan klaster industri. Eurada (2003) mendefinisikan beberapa faktor kunci keberhasilan dalam pengembangan klaster industri adalah (1) jumlah pelaku bisnis (perusahaan) yang mencapai critical mass dalam suatu lokasi geografis, (2) bidang aktivitas bisnis terdefinisikan dengan baik, (3) hubungan kemitraan yang kuat antar stakeholder industri, (4) ketersediaan sistem pendukung bagi perusahaan, dan (5) budaya kewirausahaan. Dalam banyak hal, pengembangan klaster industri terkadang tidak berhasil dengan baik. Pada dasarnya, kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan oleh tidak adanya faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan klaster industri atau tidak ditangani sebagaimana mestinya. Terdapat beberapa hal yang disarankan untuk dihindari di mana faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pengembangan klaster industri dapat diidentifikasi yaitu (1) Pengembangan klaster industri sebaiknya bukan semata karena “keinginan pemerintah” melainkan karena kebutuhan pasar dan dilakukan oleh pelaku bisnis yang bersangkutan, (2) kebijakan pemerintah tidak berorientasi kuat pada pensubsidian langsung terhadap industri dan perusahaan atau pembatasan persaingan dalam pasar, (3) kebijakan pemerintah sebaiknya berubah dari intervensi langsung ke bentuk tak langsung, (4) pemerintah sebaiknya tidak mengendalikan atau memiliki prakarsa klaster industri melainkan berperan sebagai katalis dan pihak yang membawa bersama seluruh para pelaku dalam klaster industri (termasuk pemasok) serta insentif untuk memfasilitasi proses
19 inovasi dan klasterisasi, (5) kebijakan klaster industri sebaiknya tidak mengabaikan klaster industri kecil dan yang sedang muncul ataupun memfokuskan hanya pada klaster industri yang sudah ada dan “klasik”, (6) kebijakan klaster industri tak hanya cukup dengan analisis atau studi, tetapi juga tindakan nyata. Kebijakan klaster industri yang efektif memiliki arti interaksi antara peneliti, para pimpinan dunia usaha, pembuat kebijakan dan pakar, serta meciptakan suatu forum untuk dialog yang konstruktif, dan (7) klaster industri sebaiknya tidak dimulai dari “nol” ataupun pasar dan industri yang menurun (Hertog, 1998). Asian
Development
pengembangan
klaster
Bank
industri
(ADB) industri
dalam di
penelitiannya
Indonesia
juga
mengenai
telah
berhasil
mengidentifikasikan beberapa hal yang menghambat kesuksesan sebuah klaster industri adalah 1) Mengabaikan hubungan klaster industri ke pasar Pra-syarat pengembangan klaster industri yang baik adalah potensi klaster industri untuk akses ke pasar yang berkembang. Apabila hal ini tidak terlaksana, setiap aktivitas peningkatan teknologi tidak akan berhasil karena para anggota klaster industri tidak memperoleh hasil finansial atas investasinya. 2) Mengabaikan atau bahkan memperlemah potensi UKM untuk berorganisasi sendiri 3) Ketidakmandirian organisasi klaster yang terbentuk, karena organisasi mandiri dari para anggota klaster industri yang kuat dan aktif akan mempermudah proses belajar secara kolektif dan berpikir secara aktif mengenai masa depan. Organisasi mandiri, penting juga untuk mengembangkan pasar dan jaringan distribusi baru. Organisasi mandiri juga penting jika klaster industri ingin meningkatkan keseragaman produk, standarisasi dan mempermudah distribusi. Organisasi mandiri juga penting apabila para produsen ingin menghadapi seorang pembeli yang kuat bersama-sama. 4) Keterbatasan
kemungkinan
Pemerintah
Daerah
untuk
mendorong
perkembangan klaster industri Kebanyakan pemerintah daerah sadar akan masalah yang dihadapi oleh klaster-klasternya. Pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa staf pemerintah daerah mampu dan bersedia menyediakan bantuan, jika diberi kesempatan dan fleksibilitas. Akan tetapi, peranan pemerintah daerah terbatas karena memiliki otonomi anggaran terbatas. Proses
berkembangnya
sebuah
klaster
mulai
pembentukan
hingga
pengelolaannya menuju sebuah klaster ideal akan bervariasi menurut model
20 pengembangan yang digunakan. Hansen (2003) mengemukakan bahwa ada tiga tipe atau model pengembangan klaster yaitu : (1) Spontaneous Clusters, merupakan model pengembangan klaster di mana pelaku usaha
mengetahui persis akan kebutuhan dan bagaimana
membangun klaster. Pada model ini bisa dikatakan klaster berdiri tanpa dukungan yang signifikan dari pemerintah. (2) Private Sector Driven, pada penerapan model ini pelaku usaha menyadari kebutuhannya akan perlunya klaster, namun mereka tidak atau belum tahu bagaimana melakukannya, sehingga di sini pelaku usaha bertindak sebagai inisiator yang dalam proses pengembangannya didukung oleh pemerintah. (3) Donor or Government-Driven, merupakan sebuah model pengembangan klaster di mana pelaku usaha
tidak mengetahui apa itu klaster dan
bagaimana cara mengembangkannya. Di sini pemerintah merupakan tokoh kunci berkembangnya sebuah klaster, baik pada pemilihan basis industri yang
akan
dikembangkan
menjadi
sebuah
klaster
maupun
dalam
menentukan strategi pengembangannya. Berdasarkan karakteristik sistem pemerintahan di Indonesia dan perilaku industri yang ada, maka masih diperlukan inisiator yang kuat untuk terbentuknya sebuah klaster industri baik itu dari industri besar maupun dari pemerintah. Kemauan yang kuat dari beberapa industri mapan menjadi inisiator belum cukup jika tidak dilengkapi dengan pemahaman konsep klaster yang baik. Pemahaman konsep sudah dimiliki oleh beberapa industri, namun masih belum semuanya memahami dengan baik. Model yang direkomendasikan untuk diimplementasikan adalah Spontaneous Clusters dan Private Donor Driven, hal ini diperkuat dengan hasil penelitian pendahuluan yang telah dilakukan (Partiwi dan Marimin, 2005). Peranan Pemerintah pada Klaster Industri Kebijakan pemerintah adalah kebijakan intervensi yang dapat mempengaruhi kondisi ekonomi suatu daerah seperti pemberian subsidi, peraturan (regulasi atau deregulasi), pembangunan infrastuktur, dan kebijakan bea impor dan ekspor. Keberhasilan suatu klaster industri pada suatu daerah, sangat didukung oleh kebijakan dari pemerintah yang efektif terhadap pengembangan klaster industri di daerahnya. Pengembangan klaster industri yang ada perlu didasari oleh strategi pengembangan
ekonomi
dari
pemerintah.
Adanya
peranan
pemerintah
menyebabkan klaster industri yang ada mampu lebih efisien, mengefektifkan aliran informasi, terpenuhinya skala ekonomi dan terjadinya inovasi yang kontinyu.
21 Kebijakan yang tidak berarti memanjakan klaster industri yang ada. Tidak semua keinginan klaster industri dipenuhi langsung dan dilakukan secara serentak. Pemerintah akan membatasi intervensinya hanya pada bidang kebijakan moneter, subsidi dan pemberian keringan bea masuk dan pajak. Klaster industri yang didorong agar lebih proaktif sedangkan pemerintah akan menjadi mediatornya. Adanya stimulus kebijakan diharapkan akan mendorong terjadi penguatan jaringan antar perusahaan dan institusi yang terlibat. Adanya penguatan jaringan dari klaster industri mampu mengefisienkan produksi sehingga meningkatnya kemampuan bersaing dan terbentuknya peningkatan pasar yang signifikan. Berikut ini, beberapa hal yang kebijakan pemerintah di dalam mendukung pembentukan dan pengembangan klaster industri yaitu: (1) mengidentifikasi dari klaster industri yang ada atau berpotensi pada suatu daerah, (2) menyediakan informasi yang dibutuhkan klaster industri dengan strategi informasi, (3) melakukan investasi teknologi dan kemampuan yang bermanfaat bagi klaster industri, (4) menghubungkan klaster industri dengan universitas setempat atau lembaga pelatihan, (5) membantu pengembangan jaringan, (6) memfungsikan diri sebagai pusat layanan, (7) membentuk dan memediasi adanya asosiasi, (8) melakukan kebijakan subsidi, dan (9) membuat peraturan perundang-undangan, serta (10) membangun infrastruktur. Adanya klaster industri tidak hanya menguntungkan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, akan tetapi juga menguntungkan pemerintah untuk lebih memahami ekonomi daerahnya dengan baik. Berikut ini keuntungan yang diperoleh pemerintah yaitu (1) lebih mengerti kebutuhan dari industri dan secara langsung mendialogkan dengan perusahaan dan institusi yang terlibat di suatu klaster industri, (2) dapat memberikan penghargaan dari program penunjang yang ada kepada perusahaan, institusi dan asosiasi, dan (3) dapat mendesain produk pendukung buatan sendiri untuk industri, membantu sektor swasta dalam hal finansial dan manajemennya. Contoh Sukses Klaster Agroindustri Anggur Di Australia Industri anggur Australia mengalami suatu kebangkitan dalam kurun waktu duapuluh tahun terakhir, para petani anggur dan industri anggur di Australia dapat dijadikan sebagai salah satu contoh sukses dalam agroindustri. Banyak petani anggur di negara lain yang telah mengadopsi teknologi penanaman dan pengolahan anggur di Australia seperti sistem irigasi tetes dan yang otomatisasi proses
22 memanen anggur sehingga banyak pesaing Internasional yang mampu menyaingi kualitas anggur Australia. Kesuksesan pertumbuhan industri anggur di Australia salah satunya adalah keberhasilan petani dalam menerapkan prinsip nilai tambah pada proses dan produk yang dihasilkan. Pada tahun 1985 petani Australia melakukan ekspor anggur masih dalam bentuk anggur curah dan sekarang anggur Australia di ekspor sudah dalam bentuk botol-botol anggur yang siap di konsumsi. Nilai tambah yang didapat dari peningkatan nilai produk ini mampu memberikan penambahan keuntungan penjualan lebih dari 90 % dari kondisi sebelumnya. Dengan menerapkan peningkatan nilai tambah dan peningkatan keterampilan kerja dari tiap industri anggur menghasilkan perubahan yang sangat berarti bagi industri ini. Industri anggur Australia mampu menciptakan anggur dengan mutu produk dengan kualitas ekspor yang setara dengan kemampuan untuk meningkatkan 5 kali harga buah anggur menjadi anggur ekspor. Klaster industri Anggur Victoria dalam lima tahun terakhir ini mampu menyumbangkan kontribusi besar pada perekonomian nasional yaitu sebesar 1,6 milliar dollar Australia di akhir bulan Juni 2000. Pertumbuhan kilang pengolah anggur di Australia juga bertambah sangat pesat. Pada tahun 1995, pemerintah Australia melakukan suatu analisis menyeluruh terhadap industri anggur yang dilakukan oleh the Australian Wine Foundation (suatu yayasan perkumpulan petani anggur), dalam usaha agar mendorong arah pengembangan yang lebih maju untuk 30 tahun kedepan dalam bentuk rencana strategi industri anggur sampai tahun 2025. Strategi industri tersebut disajikan dalam suatu rencana nasional dengan target penjualan tahunan $ 4.5 milyar Australia sampai tahun 2025. Dan rencana tersebut dicapai dengan misi untuk menjadi penyalur anggur terbaik di dunia dan menciptakan anggur dengan merk pilihan utama penggemar anggur dunia. Selain itu keunggulan utama yang dimiliki klaster industri anggur Victoria adalah adanya dukungan pemerintah dalam merumuskan perencanaan strategis industri anggur, adanya peraturan pemerintah yang sangat menyokong pertumbuhan industri anggur, adanya pemakaian bersama suatu teknologi antar industri serta dukungan pemerintah dari segi promosi internasional secara bersama-sama. Sejak tahun 1998, produksi anggur curah meningkat sekitar 12 kali lipat dan pada periode yang sama telah tumbuh lebih dari 350 industri pengolahan anggur (kebanyakan tumbuh sebagai industri kecil menengah). Terdapat 5 industri besar pengolah pengolah anggur yaitu Southcorp Wines, BRL Hardy, Orlando Wyndham dan Beringer Blass, yang menguasai hampir 70% dari total produksi anggur. Dan
23 kelima industri besar ini mampu menghasilkan anggur yang termasuk dalam 20 merk anggur terbaik. Klaster industri anggur Australia mampu menghasilkan kurang lebih 1000 ton anggur curah per tahun. Dibandingkan terhadap beberapa negara bagian penghasil anggur di Australia, klaster industri Victoria merupakan kumpulan industri anggur terbesar di Australia dengan jumlah industri 336 buah, yang kebanyakan diklasifikasikan sebagai Industri Kecil dan Menengah (IKM) dengan jumlah pemasok mencapai 708 buah, organisasi anggur sebanyak 167 organisasi dan distributor yang terlibat dalam klaster industri sebanyak 154 buah.
Studi Sistem Perkembangan yang terjadi di dunia nyata memberikan konsekuensi logis terhadap peningkatan kompleksitas persoalan. Semakin kompleks sebuah persoalan di dunia nyata maka semakin dituntut suatu pola pikir yang integratif dalam penyelesaiannya sehingga diperoleh suatu solusi yang optimal. Persoalan dunia nyata dapat dipandang sebagai sebuah sistem yang di dalamnya bisa terdiri dari beberapa sub sistem, sehingga persoalan dapat diselesaikan secara bertahap dengan sebuah metodologi yang sistematis yang dikenal dengan metodologi sistem. Eriyatno (2003) menyatakan bahwa metodologi sistem mempunyai tujuan untuk mendapatkan suatu gugus alternatif sistem yang layak untuk mencukupi kebutuhankebutuhan yang telah diidentifikasi dan diseleksi. Analisis dengan metodologi ini akan menghasilkan satu set alternatif dari kebutuhan yang telah diidentifikasi. Selanjutnya dikatakan bahwa metodologi sistem pada prinsipnya melalui enam tahap analisis sebelum tahap sintesa (rekayasa) yang meliputi ; (1) analisis kebutuhan, (2) identifikasi sistem, (3) formulasi masalah, (4) pembentukan alternatif sistem, (5) determinasi dari realisasi fisik, sosial dan politik, (6) penentuan kelayakan ekonomi dan finansial. Langkah ke-1 sampai ke-6 tersebut selanjutnya disebut dengan Analisis Sistem. Sistem didefinisikan sebagai sekumpulan obyek yang berkaitan di antara satu obyek dengan obyek yang lainnya dan antar atribut-atributnya serta keterkaitannya dengan lingkungan dengan membentuk suatu sinergi (Schoderbek,1985). Manetch and Park (1985) mendefinisikan sistem sebagai suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Perbedaan definisi di atas terletak pada pernyataan bahwa di dalam sistem yang berinteraksi tidak murni obyeknya melainkan ada komponen intrinsik yang berinteraksi yaitu atribut yang relevan yang terdapat pada obyek tersebut.
24 Pada sebuah organisasi dapat digambarkan kerangka sistem yang sekaligus menunjukkan
posisi
sistem
yang
terdiri
dari
komponen-komponen
dengan
lingkungannya yang secara skematis dapat dilihat pada Gambar 11. Penggambaran skema tersebut dapat mempermudah dalam menentukan batasan sistem, identifikasi komponen dan analisisnya. Lingkungan merupakan elemen di luar sistem yang seringkali tidak dapat dikendalikan. Suatu obyek mungkin termasuk dalam sistem dan lingkungan. Eriyatno (2003) membagi komponen input menjadi input endogen (input yang terkendali) dan input eksogen (input yang tidak terkendali) serta mengklasifikasikan output kedalam output yang dikehendaki dan output yang tidak dikehendaki. Identifikasi dan pendefinisian yang benar akan seluruh bagian dari sistem di dalam sebuah persoalan sistem akan sangat menentukan validasi dari hasil sebuah studi sistem. Parameter sistem harus ditentukan terlebih dahulu untuk dapat mengelola sistem tersebut sehingga mampu mencapai tujuan yang diinginkan, manajemen/pengelolaan sistem tersebut dalam kerangka sistem akan menentukan kinerja umpan balik. Simatupang (1995) mengatakan bahwa sistem sebagai teori pertamakali dikembangkan oleh Ludwig Von Bertalanffy pada tahun 1940-an dan memberi nama General System Theory (GST). Selanjutnya mulai bermunculan ide dan metodologi sistem antara lain Norbert Wiener dengan metode Cybernetics (1948), Jay W. Forrester dengan metode Systems Dynamics (1961), Russel L. Ackoff dengan metode System Approach in Operation Research (1978), Peter Checkland & Jim Scholes dengan Soft System Methodology (1990) serta Michael C. Jackson & Robert L. Flood dengan metode Total Systems Intervention (1991). Evolusi ilmu sistem oleh Blanchard dan Fabricky (1998) digambarkan melalui perkembangan dari cybernetics, general system theory dan systemology.
25 Lingkungan Konsumen Karyawan
Ekologi
Bahan dan Peralatan
Pemerintah Organisasi
Input
Proses
Output
Pengendalian umpan balik
Kapital
Masyarakat Umum
Tanah
Pesaing Teknologi
Gambar 11. Organisasi, sumberdaya dan lingkungannya (Schoderbek, 1985) Pendekatan Sistem Pendekatan sistem merupakan pendekatan terpadu yang memandang suatu persoalan
dengan
menggabungkan
memperhatikan
obyek-obyek
interaksi
tersebut
antara
sehingga
obyek-obyek
membentuk
yang
keseluruhan
(Schoderbek, 1985). Prinsip dasar dari pendekatan sistem adalah (1) Suatu sistem lebih besar daripada jumlah komponen sistem tersebut, (2) Bagian dari sistem yang dipelajari harus dapat diduga, (3) Meskipun tiap sub sistem berdiri sendiri, sub sistem ini merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, (4) Adanya pengorbanan suatu tujuan jika ingin meningkatkan tujuan lain, (5) Sistem yang kompleks harus dipecah ke dalam sub-sistem yang lebih kecil sehingga dapat dianalisis dan dimengerti sebelaum digabungkan
kembali, (6)
Komponen
sistem
saling berinteraksi,
perubahan pada suatu elemen akan mempengaruhi seluruh komponen dan (7) Semua sistem cenderung mencapai keseimbangan yang merupakan keseimbangan dari berbagai kekuatan dari luar sistem. Schoderbeck (1985) megatakan bahwa terdapat tiga fase utama
dalam
melakukan studi sistem yang menggunakan pendekatan sistem yaitu fase konseptualisasi, fase kuantifikasi dan fase komputerisasi. Pendekatan sistem merupakan multidisiplin ilmu, beberapa kompetensi yang diperlukan di antaranya
26 adalah tersedianya (1) metodologi untuk perencanaan dan pengelolaan, (2) Kerja tim (multidisiplin), (3) pengorganisasian, (4) disiplin untuk bidang yang non – kuantitatif, (5) teknik model matematik, (6) teknik simulasi, (7) teknik optimasi dan aplikasi komputer (Eriyatno, 2000).
Model Sistem Pengukuran Kinerja Peppard dan Rowland (1995) mengatakan bahwa pengukuran kinerja sebuah perusahaan atau organisasi merupakan kunci untuk menjadi efektif dan efisien. Jika tidak ada pengukuran berarti tidak bisa dikelola. Persoalan yang sering dihadapi berkaitan dengan implementasi sebuah sistem pengukuran kinerja adalah adanya kesalahpahaman perancang maupun praktisi dalam menerjemahkan beberapa komponen dasar yang meliputi ukuran kinerja (performance measure), pengukuran kinerja (performance masurement) dan sistem pengukuran kinerja (performance measurement system). Ketidaktepatan ini dapat menimbulkan ketidak optimalan bahkan kesalahan dalam pengambilan keputusan. Suwignjo (1999) mengemukakan bahwa terdapat beberapa definisi ukuran kinerja yang dapat dijadikan referensi penelitian yaitu ; (1) Karakteristik output yang diidentifikasi untuk tujuan evaluasi, (2) Indikator-indikator numerik atau kuantitatif yang menunjukkan seberapa jauh masing-masing sasaran dapat dicapai (3) Tandatanda vital dari sebuah organisasi yang mengukur secara kuantitatif bagaimana sebuah aktifitas baik berdasarkan proses maupun output dapat mencapai suatu tujuan tertentu dan (4) Deskripsi kuantitatif yang menyatakan kualitas produk maupun layanan dari sebuah proses atau sistem. Pada penelitian ini ukuran kinerja yang dielaborasi akan mencakup dua aspek baik tangible maupun intangible. Indikator yang berkaitan dengan aspek lingkungan dan sosial juga merupakan komponen yang perlu digali karena memberikan pengaruh terhadap kinerja klaster secara agregat sistem. Sebagai konsekuensinya maka akan dimungkinkan munculnya indikator-indikator kualitatif yang selanjutnya dapat diolah dengan metode tertentu untuk menghasilkan indikator kuantitatif. Menurut Armstrong dan Baron (1998), Pengukuran Kinerja adalah suatu strategi
dan
pendekatan
terpadu
untuk
menghasilkan
keberhasilan
yang
berkelanjutan pada suatu organisasi dengan peningkatan kinerja dari orang-orang yang bekerja di dalamnya dan dengan mengembangkan kapabilitas kontribusi baik secara tim maupun individu. Sementara itu Fletcher dalam Armstrong (1998) memberikan alternatif lain tentang definisi pengukuran kinerja yaitu suatu pendekatan untuk menghasilkan sebuah visi dari suatu maksud dan tujuan dari organisasi, membantu setiap karyawan untuk mengerti dan menyadari kontribusi
27 mereka dalam organisasi dan juga mengelola dan meningkatkan kinerja baik individu maupun organisasi. Sistem
Pengukuran
Kinerja
merupakan
suatu
cara
sistematis
untuk
mengevaluasi input, output, transformasi dan produktivitas dalam suatu operasi manufaktur maupun non manufaktur (Suwignjo, 1985). Selanjutnya dikemukakan bahwa sistem pengukuran kinerja adalah sebuah alat untuk menyeimbangkan ukuran-ukuran ganda (biaya, kualitas dan waktu) melalui beberapa level (organisasi, prosess dan orang). Menurut Neely, et al. (1990) terdapat beberapa definisi berkaitan dengan ketiga terminologi di atas yang dipandang lebih sistematis yang diberikan oleh Cambridge Research Group (kelompok yang berfokus pada sistem pengukuran kinerja) yaitu : 1. Suatu
ukuran
kinerja
adalah
sebuah
matriks
yang
digunakan
untuk
mengkuantitatifkan efisiensi dan efektifitas dari sebuah tindakan. 2. Pengukuran kinerja adalah proses kuantifikasi efisiensi dan efektifitas sebuah tindakan. 3. Sistem Pengukuran Kinerja adalah kumpulan matriks yang digunakan untuk mengukur baik efisiensi maupun efekktifitas dari tindakan-tindakan. Definisi ini yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan yang mendasari penelitian mengenai perancangan sistem pengukuran kinerja secara komprehensif pada sebuah klaster agroindustri ini.
Perkembangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Perancangan sistem pengukuran kinerja sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya dalam beberapa kasus yang berbeda. Banyak peneliti telah melakukan perancangan sistem pengukuran kinerja yang didasarkan pada kondisi keuangan secara tradisional telah gagal untuk diterapkan pada sebuah lingkungan bisnis yang dinamis (Kaplan, 1983; Kaplan, 1984 ; Suwignjo 1999). Beberapa model lain dikembangkan untuk situasi yang lain di antaranya Activity Based Costing System (Cooper, 1992), Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996), SMART System (Cross and Lynch, 1989) dan beberapa penelitian lain yang secara umum memiliki kerangka pemikiran perancangan sebuah sistem pengukuran kinerja. Pada tahun 1999 sebuah penelitian dikembangkan oleh Suwignjo (1999), penelitian ini lebih berfokus pada penggunaan metode kuantitatif untuk sebuah sistem pengukuran kinerja yang lebih dikenal dengan model Quantitative Method for Integrated Performance Measurement Systems (QM-IPMS). Sampai dengan saat ini masih banyak penelitian sistem pengukuran kinerja yang telah dan sedang
28 dikembangkan, namun belum terdapat suatu penelitian sistem pengukuran kinerja yang berfokus pada klaster agroindustri hasil laut, oleh karena itu untuk melengkapi peta penelitian tentang sistem pengukuran kinerja maka pada penelitian ini akan dikembangkan sebuah model pengukuran kinerja komprehensif pada sistem klaster agroindustri hasil laut khususnya di Indonesia. Strategic Measurement Analysis and Reporting Technique (SMART) System Salah satu Model sistem pengukuran kinerja yang akan menjadi referensi dalam perancangan model sistem pengukuran kinerja komprehensif untuk Klaster Agroindustri adalah SMART System. Model ini dikembangkan pertama kali di Wang Laboratory, Inc., Lowell, Massachusetts (Cross and Lynch, 1989). Keberhasilan model ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan Just In Time sebagai upaya untuk mendefinisikan beberapa kerangka kerja berikut : Pengukuran departemen-departemen dan fungsi-fungsi untuk memastikan bahwa mereka memberikan kontribusi secara terpisah atau bersama-sama dalam menentukan misi strategi manufaktur. Keterkaitan operasi dengan tujuan strategis Integrasi informasi finansial dan non-finansial dalam suatu cara yang dapat digunakan oleh para manajer operasi. Fokus pada seluruh aktifitas bisnis pada pemenuhan kebutuhan bisnis yang akan datang seperti yang diinginkan oleh konsumen. Perubahan kinerja, insentif dan sistem reward seperti yang diinginkan. Kerangka kerja SMART System secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12. Di mana pada level paling puncak, maka visi bisnis akan membentuk dasar dari strategi korporasi. Manajemen kemudian dapat membuat aturan portfolio untuk masing-masing unit bisnis misalnya aliran kas, pertumbuhan dan inovasi. Sumber daya yang ada dialokasikan untuk memenuhi aturan portofolio tersebut. Namun demikian tidak tampak jelas bagaimana sumberdaya tersebut dialokasikan. Pada level kedua kerangka kerja sistem SMART, tujuan dari masing-masing unit bisnis didefinisikan karakteristik pasar dan finansialnya. Strategi untuk mencapai tujuan ini selanjutnya dirumuskan. Sebagian unit usaha mendefinisikan ukuran sukses dari : (1)
Pencapaian tujuan jangka pendek pada tingkat tertentu berupa aliran kas yang positif dan profitabilitas.
(2)
Pencapaian tujuan jangka panjang dari pertumbuhan dan penetrasi pasar.
29 Level ketiga menghasilkan sistem operasi untuk masing-masing unit bisnis, lebih banyak merupakan tujuan operasi yang bersifat tangible dan prioritas dapat didefinisikan dalam bentuk kepuasan pelanggan, fleksibilitas dan produktivitas. Kemudian pada level keempat atau yang paling bawah dari hirarki sistem SMART, menyatakan tujuan dari setiap fungsi ataupun departemen dari masing-masing unit bisnis untuk meningkatkan kualitas, waktu pengiriman dan menurunkan waktu proses dan biaya.
Visi Ukuran pasar Kepuasan konsumen Kualitas
Korporasi
Ukuran finansial
Unit-unit bisnis
Fleksibili- Produktivitas tas
Pengiriman
Waktu Proses
Sistem Operasi Unit
Biaya
Departemen dan Stasiun Kerja
Operasi-operasi Fokus Eksternal
Fokus Internal
Gambar 12. Kerangka kerja dari Sistem SMART (Dixon, et al,1993) Berdasarkan karakteristik agroindustri hasil laut, maka beberapa aspek perlu untuk dipertimbangkan dalam pengembangan model pengukuran kinerja untuk klaster agroindustri hasil laut kedepan. Aspek tersebut di antaranya adalah ukuranukuran intangible seperti aspek lingkungan dan sosial kemasyarakatan yang dalam sebuah klaster agroindustri merupakan aspek yang sangat menentukan kinerja sebuah klaster secara komprehensif.
30 Balanced Scorecard Kaplan dan Norton (1996) mengembangkan Balanced Scorecard sebagai satu model sistem pengukuran kinerja yang memperhatikan baik aspek finansial maupun non finansial. Aspek non finansial digunakan untuk mengevaluasi peningkatan kinerja lokal untuk bagian penerimaan dan pelayanan konsumen, sementara itu aspek finansial secara agregat lebih diutamakan untuk melihat kinerja dari para senior manajer yang juga dapat dilihat berdasarkan kinerja dari level-level di bawahnya. Selanjutnya kerangka kerja dari Model Balanced Scorecard dapat dilihat pada Gambar 13. Lebih lanjut Kaplan dan Norton (1996) mengatakan bahwa Balanced Scorecard menegaskan bahwa ukuran finansial dan non finansial harus merupakan bagian dari sistem informasi untuk karyawan pada semua level dari sebuah organisasi. Karyawan lini depan harus mengerti konsekuensi finansial dari setiap aktivitas dan keputusan yang dilakukan, eksekutif senior harus paham terhadap komponenkomponen driver yang menentukan keberhasilan finansial jangka panjang. Balanced Scorecard lebih bertujuan pada bagaimana kumpulan ukuran kinerja baik financial dan non financial dilakukan. Ukuran-ukuran kinerja tersebut dilakukan dengan proses top down melalui misi dan strategi dari unit bisnis. Balanced scorecard harus menterjemahkan misi dan strategi unit bisnis ke dalam ukuran dan tujuan yang tangible. Ukuran-ukuran tersebut menunjukkan keseimbangan antara ukuran-ukuran eksternal dari pemegang saham dan konsumen dan ukuran internal yang diwakili oleh proses unit bisnis, inovasi dan pertumbuhan. Ukuran-ukuran yang diseimbangkan antara ukuran-ukuran hasil yang merupakan akibat dari sebuah usaha masa lalu dan akan menentukan kinerja yang akan datang. Balanced Scorecard lebih dari sebuah sistem pengukuran kinerja taktis ataupun operasional. Perusahaan yang inovatif menggunakan scorecard sebagai satu sistem manajemen strategi untuk mengelola strategi melalui suatu langkah panjang. Perusahaan tersebut menggunakan fokus pengukuran pada scorecard untuk menyelesaikan proses manajemen yang kritis antara lain : (1)
Klarifikasi dan menterjemahkan visi dan strategi
(2)
Mengkomunikasikan dan mengkaitkan tujuan dan ukuran strategis
(3)
Merencanakan, menentukan target-target dan meluruskan inisiatif strategis
(4)
Meningkatkan strategi umpan balik dan pembelajaran.
(Kaplan dan Norton, 1996).
31
Untuk berhasil secara financial, bagaimana cara menunjukkan pada para share holder Untuk Konsumen mencapai visi, apa yg seharusnya 1 2 dtunjukkan Tujuan pada Ukuran konsumen? Target Inisiatif
3
Untuk mencapai visi, bagaimana seharusnya kita menjaga keberlanjut an untuk berubah & meningkat?
Finansial 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Untuk memuaskan shareholder dan konsumen, proses usaha apa yg harusnya diunggulkan?
Visi dan Strategi
Proses Bisnis Internal 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Pembelajaran dan Pertumbuhan 1
2
3
Tujuan Ukuran Target Inisiatif
Gambar 13. Kerangka kerja Balanced Scorecard (Kaplan dan Norton, 1996) Model Integrated Performance Measurement System (IPMS) Model IPMS membagi level bisnis menjadi empat tingkatan yaitu (1) (Bisnis Induk), (2) Unit Bisnis, (3) Proses Bisnis dan (4) Aktivitas. Tingkatan tersebut dapat berupa fisik dan logis yaitu satu kondisi di mana tingkatan tidak bisa dilihat secara fisik dalam organisasi. Level bisnis induk menunjukkan bisnis secara keseluruhan yang bisa terdiri atas beberapa unit bisnis, dalam hal ini setiap unit bisnis diartikan sebagai satu unit yang merupakan bagian dari organisasi yang melayani sebagian segmen pasar dengan tuntutan pasar yang bersaing. Perbedaan kebutuhan pasar memisahkan satu unit bisnis dengan yang lain. Setiap unit bisnis selanjutnya dapat terdiri dari beberapa proses bisnis yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu :
32 (1)
Proses Inti, yaitu proses yang menunjukkan alasan dasar bagi keberadaan organisasi.
(2)
Proses pendukung, yaitu proses-proses lain yang ditambahkan dalam proses inti untuk mendukung proses inti, sehingga dalam hal ini proses bisnis inti merupakan pemangku kepentingan (stakeholder, stakeholder) dari proses pendukung.
Secara skematis pembagian level pada pendekatan IPMS dapat dilihat pada Gambar 14 berikut ini :
Bisnis Induk
Unit Bisnis
Proses Bisnis
Aktivitas
Gambar 14. Pembagian Level Bisnis berdasarkan Pendekatan IPMS (Bittici, 1996) Pada keempat level tersebut di atas selanjutnya diidentifikasi Indikator Kinerja Kunci (IKK) atau Key Performance Indicator (KPI) berdasarkan kebutuhan pemangku kepentingan, external monitor dan tujuan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam pada bangunan model IPMS adalah sebagai berikut : (1)
Identifikasi kebutuhan dari masing-masing stakeholder.
(2)
Membandingkan kemampuan bisnis dalam memenuhi kebutuhan stakeholder dengan bisnis lain yang sejenis (monitor eksternal)
(3)
Menetapkan tujuan-tujuan bisnis.
(4)
Menentukan Indikator Kinerja Kunci (IKK)
(5)
Melakukan validasi IKK.
(6)
Melakukan spesifikasi IKK.
(Bittici dalam Suwignjo, 1999).
33 Penelitian yang dilakukan merujuk pada metode IPMS kususnya dalam hal identifikasi stakeholder dan penentuan Indikator Kinerja Kunci (IKK) yang dijadikan ukuran keberhasilan sebuah klaster agroindustri hasil laut. Pada metode IPMS indikator yang dielaborasi adalah indikator-indikator kuantitatif
dan tangible,
sementara itu pada penelitian yang dilakukan akan dikembangkan menjadi indikator tangible dan intangible. Metode-metode dalam Penilaian Kriteria Perancangan Model Sistem Pengukuran Kinerja Komprehensif pada Klaster Agroindustri dengan mengembangkan beberapa model memerlukan beberapa penilaian terhadap kriteria-kriteria untuk menentukan indikator kinerja kunci (IKK). Terdapat beberapa karakteristik penilaian yang akan dilakukan baik dari sisi penilai maupun komponen yang dinilai. Karakteristik ini akan menentukan metode yang digunakan dalam mengolah data hasil penilaian tersebut. Beberapa metode akan diuraikan dalam bagian ini secara lebih rinci. Metode fuzzy Dalam memberikan penilaian terhadap sebuah fenomena seringkali digunakan variabel linguistik yang sifat kebenarannya masih samar, kebenaran yang demikian disebut dengan kebenaran fuzzy. Namun demikian ketidakpastian (vagueness) yang menjadi karakteristik dari bahasa natural tidak selalu mengimplikasikan hilangnya ketelitian dan keberartian. Pencetus gagasan logika fuzzy adalah Prof. L. A. Zadeh dari California University di Berkeley. Teori gugus fuzzy pertamakali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguitas dalam bahasa. Namun saat ini, teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguitas secara matematis yang mencakup konsep peluang. Banyak bentuk fungsi keanggotaan standard yang dimunculkan dalam literatur ilmiah, di antaranya adalah tipe Z, tipe lamda, tipe π, tipe U atau TFN dan tipe S. Fungsi keanggotaan standard memiliki nilai ternormalisasi dengan maksimum µ = 1 dan minimum µ = 0. Menurut Harwina (2002) di antara fungsi keanggotaan tersebut yang relatif sering digunakan dalam implementasi adalah Triangular Fuzzy Number (TFN). Dalam TFN, setiap nilai tunggal (crisp) memiliki fungsi keanggotaan yang terdiri dari tiga nilai yang masing-masing merepresentasikan nilai bawah, nilai tengah dan
34 nilai atas. Secara grafis fungsi keanggotaan dengan TFN dapat digambarkan seperti pada Gambar 15 berikut : µA(x) 1
a1
a2
a3
x
Gambar 15 Triangular Fuzzy Number (TFN) A = (a1, a2, a3) (Bojadziev, 1997)
Fungsi keanggotaan untuk TFN pada gambar 3 adalah sebagai berikut : µA(x)
=0
x – a1
= a2 – a1 = a3 - x
a3 – a2
untuk x< a1
…………………………….(4)
untuk a1 < x < a2
…………………………….(5)
untuk a2 < x < a3
…………………………….(6)
Fuzzifikasi dan Defuzzifikasi Nilai Fuzzifikasi merupakan pemrosesan suatu bilangan secara matematik fuzzy berdasarkan metode representasi yang digunakan. Metode representasi yang bisa digunakan di antaranya adalah model TFN, model pi, model Z dan model trapezioda. Masing-masing
model
tersebut
mempunyai
formulasi
matematis
untuk
mendefinisikan nilai fuzzy dari bilangan yang diolah. Defuzzifikasi merupakan proses pengubahan output fuzzy ke output yang bernilai tunggal. Terdapat banyak metode defuzzifikasi, namun yang biasa digunakan adalah metode centroid dan maksimum. Di dalam metode centroid, nilai tunggal dari variabel output dihitung dengan menemukan nilai variabel dari center of gravity suatu fungsi keanggotaan untuk nilai fuzzy. Sedangkan di dalam metode makimum, satu dari nilai-nilai variabel yang merupakan nilai kepercayaan maksimum gugus fuzzy dipilih sebagai nilai tunggal untuk variabel output.
35 Proses Hirarki Analitik (PHA) Menurut Saaty (1990), metode PHA merupakan suatu alat untuk menentukan tingkat pengaruh suatu elemen terhadap suatu permasalahan melalui skala perbandingan fundamental atas kemampuan individu
dalam membuat suatu
perbandingan secara berpasangan terhadap beberapa elemen yang dibandingkan. Lebih lanjut Saaty mengatakan bahwa dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, terdapat tiga prinsip yaitu menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi logis. Proses PHA adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan. Beberapa tahapan yang dilakukan dalam perhitungan menggunakan metode PHA adalah sebagai berikut : (1)
Perbandingan berpasangan Masing-masing elemen di setiap level hirarki diperbandingkan dan dilakukan penilaian gabungan dengan menggunakan rata-rata geometri. Kemudian dilakukan
perhitungan
sintesis
dengan
melakukan
pembobotan
dan
penjumlahan untuk menghasilkan bilangan tungal yang menunjukkan prioritas tiap elemen. Hasil sintesa ini menentukan prosentase prioritas relatif menyeluruh masing-masing elemen. (2)
Perhitungan rasio konsistensi Dalam perbandingan berpasangan dapat terjadi bahwa pertimbangan yang diberikan tidak konsisten yang menyebabkan matriks menjadi tidak konsisten sehingga dilakukan uji konsistensi dengan langkah-langkah berikut : Menghitung nilai λmaks dengan cara : -
mengalikan nilai kolom ke-n dengan bobot barisan ke-n
-
menjumlahkan hasilnya perbaris
-
membagi jumlah baris tersebut dengan bobot masing-masing baris
-
menghitung rata-rata dari jumlah tersebut.
Menghitung indeks konsistensi (CI) dengan menggunakan rumus :
CI
=
λmaks – n n-1
..............................(7)
36 keterangan :
λmaks
= nilai eigen maksimum
n
= ukuran matriks
CI
= indeks konsistensi
Menghitung rasio konsistensi dengan rumus :
CR
=
CI RI
..............................(8)
Harga CR menurut Saaty (1990) tergantung dari matriks yang dibentuk, nilai Cr adalah 0,05 untuk matriks 3 x 3, 0,08 untuk 4 x 4 serta 0,1 untuk yang berukuran di atas 4 x 4. Dari perhitungan ini apabila didapatkan nilai ≤ 10 %, maka penilaian dianggap tidak konsisten (3)
Perhitungan uji konsistensi hirarki Pengujian konsistensi hirarki, dilakukan dengan menggunakan hasil indeks konsistensi dan prioritas relatif tiap matriks perbandingan berpasangan pada tingkat hirarki tertentu dengan menggunakan formula sebagai berikut :
CRH =
h
nij
i =1
j =1
∑ ∑W U ij
i , j +1
.
.............................(9)
keterangan:
j nij Wij
Uj+1
= tingkat hirarki (1,2,....h) = jumlah elemen pada tingkatan hirarki ke j = prioritas relatif dari elemen ke i tingkatan hirarki ke-j = indeks konsistensi semua elemen pada tingkatan hirarki ke j+1 yang dibandingkan dengan elemen tingkatan hirarki ke-j
Dalam penggunaannya rumus di atas dapat disederhanakan menjadi :
CCI
= CI1 + (EV1) x (EV2)
............................(10)
CRI
= RI1 + (EV1) x (EV2)
............................(11)
CRH
= CCI CRI
............................(12)
keterangan :
CRH CCI
= Rasio konsistensi hirarki = Indeks konsistensi hirarki
37
CRI CI1 CI2 EV1 RI1 RI2
= Indeks konsistensi acak hirarki = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkat pertama = Indeks konsistensi matriks perbandingan berpasangan pada hirarki kedua (dalam bentuk vektor kolom) = Nilai prioritas dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (dalam bentuk vektor baris) = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan pada hirarki tingkatan pertama (j) = Indeks konsistensi acak dari matriks perbandingan berpasangan
Hasil penilaian hirarki secara keseluruhan dapat diterima jika mempunyai rasio konsistensi (CRH) lebih kecil atau sama dengan 10%. Metode Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART) Menurut Goodwin (2000) metode Simple Multi-Attribute Rating Technique (SMART) direkomendasikan karena kesederhanaan dari respon yang diperlukan maupun cara untuk menganalisis respon tersebut. Metode ini merupakan satu metode yang bersifat transparan sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman masalah dan dapat diterima oleh pengambil keputusan yang biasanya tidak sepenuhnya percaya pada pendekatan matematik ‘black box’ sepenuhnya. SMART dapat merupakan suatu alat yang berguna dalam konferensi keputusan, di mana sejumlah pengambil keputusan bertemu untuk mempertimbangkan sebuah pengambilan keputusan. Beberapa tahapan utama dalam analisis dengan metode SMART ini adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi pengambil keputusan 2. Identifikasi alternatif tindakan 3. Identifikasi atribut yang relevan dengan persoalan keputusan 4. Untuk masing-masing atribut, tentukan nilai-nilai untuk mengukur kinerja dari alternatif-alternatif pada atribut tersebut 5. Tentukan bobot pada masing-masing atribut tersebut 6. Untuk masing-masing alternatif, ambil bobot rata-rata dari nilai-nilai yang diberikan untuk alternatif tersebut. 7. Buatlah sebuah keputusan 8. Lakukan analisis sensitivitas Identifikasi atribut dilakukan dengan membangun pohon nilai keputusan yang berisi atribut-atribut yang diawali dengan atribut utama dan dilanjutkan dengan pencabangan yang merupakan atribut-atribut turunan dari atribut utama. Proses diferensiasi atribut dilakukan terus hingga diperoleh atribut-atribut yang spesifik di
38 mana pengambil keputusan mampu membandingkan dengan baik antara satu atribut dengan atribut yang lainnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun sebuah pohon nilai adalah (1) kelengkapan yaitu semua atribut yang diperlukan sudah teridentifikasi, (2) operasionalitas, yaitu harus dipastikan bahwa atribut pada level terendah merupakan atribut yang mudah dibandingkan oleh pengambil keputusan, (3) bisa didekomposisi, artinya masing-masing atribut harus dipastikan independen satu sama lain, (4) tidak berlebihan atau duplikasi, di mana setiap atribut harus bersifat unik tidak dapat saling menggantikan dan (5) minimasi ukuran, artinya pohon nilai yang terbangun diupayakan seringkas mungkin namun tetap memenuhi kaidah-kaidah pada nomor-nomor sebelumnya (Goodwin & Wright, 2000). Metode Electre II Tabucanon (1988) merumuskan metode Electre II yang merupakan suatu algoritma yang disusun untuk melengkapi teknik Electre I dengan memberikan tambahan konsep keterkaitan antara ranking kuat dan rangking lemah, penjelasan tentang concordance tinggi, rata-rata dan rendah serta discordance tinggi dan ratarata. Kondisi concordance untuk pasangan alternatif (k, ℓ) didefinisikan oleh :
C ( k , l) =
W + (k , l) + W ∞ (k , l) ≥p W + ( k , l) + W ∞ ( k , l) + W * ( k , l)
.........................(13)
dan
W + (k , l) ≥ W * (k , l)
..........................(14)
keterangan :
W + (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih baik dari alternatif ℓ W ∞ (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan tidak berbeda dengan ℓ W * (k , l) = jumlah bobot di mana alternatif k dinyatakan lebih jelek dari alternatif ℓ
Dengan mendefinisikan tiga level pengurangan dari nilai batas dari concordance (keharmonisan) yaitu p*, po dan p* (1 ≥ p* ≥ po ≥ p*) di mana berturut-turut dapat disebut tinggi, rata-rata dan rendah, maka tiga tipe concordance dapat didefinisikan seperti berikut ini :
39
1. Concordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ p*
..........................(15)
2. Concordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ po
….......................(16)
3. Concordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan C(k, ℓ) ≥ p*
..........................(17)
Untuk setiap pasangan alternatif (k, ℓ) nilai indeks discordance dihitung menggunakan persamaan berikut :
D(k , l) =
max ( f ( x ), f ( x 1
1
l
1
k
))
p*
…........................(18)
Dengan mendefinisikan dua nilai batas dari discordance yaitu q* dan qo di mana berturut-turut dapat disebut tinggi dan rata-rata, maka beberapa tipe discordance dapat didefinisikan seperti berikut ini : 1. Discordance rendah yang didefinisikan oleh pertidaksamaan D(k, ℓ) ≥ q*
..........................(19)
2. Discordance rata-rata yang didefinisikan oleh pertidaksamaan qo ≤ D(k, ℓ) ≥ q*
..........................(20)
3. Discordance tinggi yang didefinisikan oleh pertidaksamaan q* ≤ D(k, ℓ)
..........................(21)
Pada prosedur perankingan, dua tipe dari konsep keterkaitan ranking diperkenalkan dan terdapat hubungan kuat SF dan hubungan lemah Sf. Akibat dari hubungan ini adalah muncul dua preferensi yaitu preferensi kuat dan preferensi lemah.
Alternatif Metode Prediksi Kinerja Nilai kinerja sebuah organisasi dalam hal ini klaster agroindustri ditentukan oleh nilai kinerja pada tiga kondisi yaitu kinerja masa lalu, kinerja sekarang dan kinerja yang akan datang. Kinerja yang akan datang perlu diproyeksikan untuk mengetahui seberapa jauh capaian kinerja yang mungkin diperoleh oleh sebuah organisasi ataupun klaster agroindustri. Beberapa pendekatan dapat digunakan di antaranya adalah pendekatan numerik dan pendekatan simulasi.
40 Jaringan Saraf Tiruan (Artificial Neural Network) Jaringan saraf tiruan (JST) merupakan salah satu metode yang berbasis pendekatan simulasi dengan metode numerik di dalamnya dan memungkinkan untuk digunakan dalam memproyeksikan kinerja yang akan datang. JST merupakan teknologi yang berakar dari multidisiplin. JST ini memiliki beberapa atribut atau karakteristik yang unik di antaranya pendekatan universal (pemetaan input-output), kemampuan belajar dari lingkungan dan beradaptasi dengan lingkungan tersebut serta mampu membantu asumsi-asumsi lemah tentang fenomena fisik untuk pembangkitan data input (Haykin, 1994). Sebuah jaringan saraf merupakan suatu prosesor yang terdistribusi parallel dan tidak beraturan yang memiliki karakteristik alami dapat menyimpan pengetahuan hasil pelatihan dan menghasilkan sesuatu yang dapat diimplementasikan. Jaringan saraf ini merakit kembali otak dalam dua perhatian utama yaitu : 1. Akuisisi pengetahuan dengan jaringan melalui sebuah proses pembelajaran. 2. Kekuatan jaringan antar neuron dikenal sebagai bobot sinaptik yang digunakan untuk menyimpan pengetahuan. Prosedur yang digunakan untuk membentuk proses pembelajaran disebut dengan algoritma pembelajaran, yaitu terdiri dari fungsi yang memodifikasi bobotbobot sinaptik di dalam jaringan sehingga menghasilkan rancangan tujuan yang diinginkan. Modifikasi bobot-bobot merupakan metode tradisional untuk mendesain jaringan saraf. Misalnya sebuah pendekatan yang paling bagus untuk teori linier adaptive filter yang telah sukses diterapkan pada bidang-bidang telekomunikasi, pengendalian, radar, sonar, seismologi dan teknik kesehatan (Haykin,1994). Namun demikian, adalah hal yang juga memungkinkan untuk sebuah jaringan saraf memodifikasi tipologinya, yang mana dimotivasi oleh kenyataan bahwa saraf-saraf otak manusia bisa mati dan bahwa koneksi sinaptik yang baru dapat tumbuh kembali. Sebuah saraf merupakan suatu unit pemrosesan informasi yang menjadi dasar dari operasi-operasi pada neural network. Terdapat tiga elemen basis dari model saraf yaitu : 1. Sekumpulan sinaptis atau ikatan penghubung, masing-masing dicirikan oleh satu bobot atau kekuatan. Secara spesifik, satu signal xj pada sinapsis input j dikoneksikan ke saraf k dikalikan dengan bobot sinaptik wkj. 2. Suatu penambah untuk penjumlah signal-signal input. 3. Suatu fungsi aktivasi untuk pembatasan amplitudo output dari sebuah saraf. Hasil normalisasi amplitude berkisar pada nilai interval [0,1] atau [1,1].
41 Model saraf (neuron) dapat dilihat pada Gambar 21 termasuk nilai batas eksternal yang mempunyai pengaruh pada pelemahan input dan fungsi aktivasi. Sebaliknya, net input dari fungsi aktivasi dapat ditingkatkan dengan mengikutsertakan bias, bias adalah nilai negatif dari batas tersebut. Dalam bentuk matematis, dapat menjelaskan sebuah saraf k dengan bentuk persamaan sebagai berikut : p
u k = ∑ wkj x j
............................(22)
j =1
dan
y k = ϕ (u k − θ k )
.........................(23)
keterangan : x1, x2,...,xp adalah signal-signal input wk1, wk2,..., wkp adalah bobot sinaptik dari saraf k µk adalah combiner linier output θk merupakan batas φ(“) merupakan fungsi aktivasi yk merupakan signal output dari saraf Beberapa fungsi aktivasi adalah fungsi batas, fungsi piecewise-linear dan fungsi sigmoid. Secara jelas struktur sebuah model dari saraf dapat dilihat pada Gambar 16 sampai Gambar 20.
X1
Signal Input
X2
wk1 q
wk1 q
. . .
Xp
fungsi aktivasi
uk
Φ(“)
? . . .
wk1
Summing junction
Θk bobot
q
Bobot sinaptis
Gambar 16 Model saraf (neuron)
Output yk
42
Input tetap
X0=-1
wk0
X1
wk1
X2 Input
q
q
fungsi aktivasi
wk1
uk
q
. . .
Xp
Wk0 = θk (batas )
Φ(“)
? . . .
Summing junction
Output yk
Θk batas
wk1 q
Bobot sinaptik (termasuk batas
)
Gambar 17 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter batas
Input tetap
X0=+1
X1
X2 Input
wk0 q
wk1 q
fungsi aktivasi
wk1 q
. . .
Xp
Wk0 = bk (bias)
uk
Φ(“)
? . . .
wk1
Summing junction
Output yk
Θk Nilai batas
q
Bobot sinaptik (termasuk bias)
Gambar 18 Model non linier dari sebuah saraf dengan parameter bias
43 Arsitektur Jaringan Terdapat empat jenis bangunan jaringan yang dapat dijadikan refernsi pada kajian JST, yaitu : 1. Single-layer Feedforward networks 2. Multilayer Feedforward Networks 3. Recurrent Networks 4. Lattice Structures Dari keempat jenis bangunan jaringan tersebut multilayer feedforward networks akan dijadikan basis pada implementasi JST dengan metode back propagation. Beberapa struktur jaringan yang terbentuk dapat dilihat pada gambar berikut :
I n p u t la y e r o f so u rce n o d e s
O u tp u t la y e r o f N e u ru o n
Gambar 19 Jaringan feedforward dengan saraf layer tunggal
layer of output neurons
Input layer of source nodes
layer of hidden neuruon
Gambar 20 Jaringan Feedforward yang terhubung penuh dengan satu hidden layer dan output layer
44
Bentuk lain adalah jaringan feedforward yang mana tidak semua sumber input melalui setiap hidden neuron, tergantung pada karakteristik dari signal input yang terjadi. Metode peramalan kuantitatif Menurut Bowermen (2005), teknik peramalan kuantitatif meliputi analisis regresi, regresi deret waktu, metode dekomposisi, pemulusan eksponensial dan BoxJenkins. Analisis regresi merupakan suatu metodologi statistik yang digunakan untuk menghubungkan beberapa variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam variabel bebas dan variabel tidak bebas. Variabel tidak bebas dinotasikan dengan y dan variabel bebas dengan notasi x. Bangunan model regresi adalah sebuah persamaan yang menghubungkan y dengan x1, x2, …, xn. Model ini biasanya digunakan untuk (1) menjelaskan sebuah kondisi, (2) memprediksi nilai akan datang dan (3) mengendalikan nilai melalui variabel-variabelnya. Metode dekomposisi digunakan jika diduga dalam deret waktu terdapat komponen kecenderungan, musiman, siklik dan tidak teratur (error). Bentuk umum dari model dekomposisi adalah sebagai berikut :
y t = TRt xSN t xCLt xIRt
.....................(24)
keterangan :
yt
= nilai yang diamati berdasarkan deret waktu pada periode ke-t
TRt
= komponen atau faktor kecenderungan pada periode ke-t
SNt
= komponen atau faktor musiman pada periode ke-t
CLt
= komponen atau faktor siklik pada periode ke-t
IRt
= komponen atau faktor ketidak teraturan pada periode ke-t
Metode pemulusan eksponensial akan efektif digunakan jika komponenkomponen dari deret waktu dapat berubah sepanjang waktu. Karakteristik model ditentukan oleh bobot unik yang dinyatakan sebagai konstanta pemulusan. Salah satu model dari metode pemulusan eksponensial yang sering digunakan adalah pemulusan eksponensial sederhana yang direpresentasikan dengan formula sebagai berikut :
yt = β 0 + ε t
......................(25)
45 keterangan :
ß0
= konstanta pemulusan
εt
= nilai ketidakteraturan (error) pada periode ke-t
Keakuratan dari ketiga alternatif metode peramalan kuantitatif yang telah disinggung di atas ditentukan oleh beberapa capaian parameter di antaranya adalah Mean Absolute Deviation (MAD), Mean Square Error (MSE) dan Mean Absolute Percentage Error (MAPE). Metode terbaik yang memberikan keakuratan hasil tertinggi adalah metode yang memiliki nilai terkecil dari ketiga parameter tersebut. Dan jika terjadi konflik hasil, maka perlu dilakukan pengambilan keputusan melalui beberapa pertimbangan luntuk memilih metode terbaik yang akan digunakan dalam peramalan.