BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Persepsi Manusia sebagai makhluk yang memiliki pemikiran yang beragam, maka pasti memiliki persepsi yang berbeda-beda dalam melihat suatu masalah. Secara etimologis, persepsi atau dalam bahasa Inggris perception berasal dari bahasa Latin perceptio; dari percipere, yang artinya menerima atau mengambil. Dalam kepustakaan berbahasa Inggris, istilah yang banyak digunakan adalah “social perception”. Objek fisik umumnya memberi stimulus fisik yang sama, sehingga orang mudah membuat persepsi yang sama. Pada dasarnya objek berupa pribadi memberi stimulus yang sama pula, namun kenyataannya tidaklah demikian. Persepsi (perception) dalam arti sempit ialah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavitt, 1978). Menurut DeVito (1997:75) persepsi adalah proses ketika kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indra kita. Yusuf (1991:108) menyebut persepsi sebagai “pemaknaan hasil pengamatan”. Persepsi merupakan bagian dari keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan diterapkan kepada manusia. Subproses psikologis lainnya yang mungkin adalah pengenalan, perasaan dan penalaran. Secara umum persepsi sosial adalah aktifitas dalam mempersepsikan orang lain dan apa yang membuat orang lain dikenali. Melalui persepsi sosial kita berusaha mencari tahu dan mengerti orang lain. Sebagai bidang kajian, persepsi sosial adalah studi terhadap bagaimana orang membentuk kesan dan membuat kesimpulan tentang orang lain (Teiford, 2008). Menurut Batra, Myers dan Aakra (1999: 221) proses persepsi terdiri dari empat tahap yaitu, yang pertama adalah stimuli adalah setiap unit masuk yang diterima oleh panca indera manusia, dilanjutkan oleh atensi yang berarti filter
5
6
informasi dimana individu menyeleksi berbagai stimuli yang mengenai alat inderanya karena individu sangat sekektif mengenai stimuli mana yang mereka akui sesuai dengan kebutuhan, pengalaman dan nilai yang mereka anut. Selanjutnya adalah intepretasi, tahap mengartikan stimuli yang telah diseleksi sebelumnya dan penafsiran ini bersifat sangat subjektif. Dan yang terakhir adalah kognisi yang merupakan pengetahuan manusia terhadap sesuatu atau bisa dikatakan sebagai tahap pengetahuan dan persepsi yang diperoleh berdasarkan kombinasi pengalaman langsung dengan objek, sikap, dan informasi yang berkaitan dari berbagai sumber. 2. MOS (Masa Orientasi Siswa) MOS (Masa Orientasi Siswa) merupakan kegiatan tahunan rutin yang diselenggarakan pihak sekolah untuk memperkenalkan siswa baru dengan lingkungan sekolah barunya. Penyelenggaraan MOS yang berlandaskan surat edaran Direktur Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia nomor 220/C/MN/2008 tanggal 18 Januari 2008, perihal kegiatan “Masa Orientasi Siswa” pada dasarnya untuk memberikan pengenalan awal bagi siswa baru agar dapat mengenal lingkungan sekolah. Kegiatan MOS ini merujuk pada konsep inisiasi. Inisiasi merupakan upacara yang dilangsungkan sewaktu seseorang memasuki golongan sosial tertentu, dan karena itu mengandung unsur-unsur upacara untuk saat-saat kritis dalam kehidupan seseorang ( Koentjaraningrat, 1997 ). Kegiatan MOS di Indonesia ini sudah ada sejak zaman kolonial Belanda, yaitu di Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (1898-1927). Kemudian tradisi ini berlanjut pada era Geneeskundinge Hooge School (GHS) atau Sekolah Tinggi Kedokteran (1927-1942).Pada masa itu kegiatan ini menjadi lebih formal. Proses ini dimaksudkan untuk mendewasakan siswa baru. setelah Indonesia merdeka kegiatan ini masih berlanjut dan semakin terasa wajib. Maka muncullah istilah MOS dan OSPEK yang diberlakukan disekolah-sekolah dan kampus pada awal tahun ajaran baru. (Diperoleh 12 Februari 2016 dari http://gmniuny.files.wordpress.com)
7
3. Pengertian Bullying Bullying berasal dari bahasa Inggris bully yang berarti menggertak atau mengganggu. Menurut Herbert (Lee, 2004) mendefinisikan bullying sebagai suatu hal yang mengerikan dan kejam yang dilakukan oleh seseorang kepada anak atau sekelompok anak. Bullying dapat terjadi sekali atau berulang-ulang. Korban bullying akan merasakan malu, sakit atau terhina dan terancam. Adapun pelaku bullying mungkin saja tidak menyadarinya. Menurut Rigby (1996) (dalam Astuti, 2008 : 3) tindakan bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti. Hasrat ini diperlihatkan kedalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi ini dilakukan oleh seseorang ataupun kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggung jawab, biasanya berulang dan dilakukan dengan perasaan senang. Menurut Sejiwa (2008) dalam jurnal tulisan Irfan Usman mengenai aspekaspek perilaku bullying meliputi: a. Bullying fisik Bullying ini adalah jenis bullying yang kasat mata. Siapa pun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku bullying dan korbannya. Contoh-contoh bullying fisik antara lain: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum dengan berlari keliling lapangan, menghukum dengan cara push-up dan menolak. b. Bullying non fisik atau verbal Sejiwa (2008) mengungkapkan bahwa bullying verbal merupakan jenis bullying yang juga dapat terdeteksi karena dapat tertangkap indera pendengaran. Contoh-contoh bullying verbal antara lain: memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, mempermalukan di depan umum, menuduh, menyoraki, menebar gossip, memfitnah dan menolak. c. Bullying mental/psikologis Bullying ini merupakan jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap mata atau telinga jika tidak cukup awas mendeteksinya. Praktek bullying ini terjadi diam-diam dan di luar radar pemantauan. Adapun
8
contoh-contoh bullying mental/psikologis antara lain: memandang sinis, memandang penuh ancaman, mendiamkan, mengucilkan, meneror lewat pesan
pendek
telepon
genggam
atau
e-mail,
memandang
yang
merendahkan, memelototi, dan mencibir. Dari ketiga aspek menurut Sajiwa, yang sering ditemukan pada kegiatan MOS adalah bullying verbal. Bullying verbal seringkali terjadi namun tidak disadari oleh para pelaku dan korbannya. 4. Teori Fungsional Struktural Talcott Parsons Penelitian ini dianallisis dari kacamata teori struktural fungsional (Parsons, 2012: 409). Suatu fungsi adalah suatu kompleks kegiatan-kegiatan yang diarahkan kepada pemenuhan suatu kebutuhan atau kebutuhan-kebutuhan sistem itu. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lainnya. Jika tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Dalam teorinya terdapat 4 skema mengenai fungsi untuk semua sistem tindakan. Skema tersebut terkenal dengan sebutan skema AGIL. Menurut Parsons ada 4 imperatif fungsional yang perlu bagi semua sistem, yaitu (A) Adaptation, (G) Goal attainment, (I) Integration, (L) Latency. Semua fungsi tersebut harus dilaksanakan oleh suatu sistem agar tetap bertahan. a. Adaptation : suatu sistem harus mengatasi kebutuhan mendesak yang bersifat situasional eksternal. Sistem itu harus beradaptasi dengan lingkungannya dan mengadaptasikan lingkungan dengan kebutuhankebutuhannya. b. Goal attainment : suatu sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. c. Integration : suatu sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian dari komponennya. Ia juga harus mengelola hubungan di antara tiga imperatif fungsional lainnya. d. Latency : suatu sistem harus menyediakan, memelihara, dan memperbarui baik motivasi para individu maupun pola-pola budaya yang menciptakan dan menopang motivasi itu.
9
Fungsi-fungsi tersebut harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem. Dalam hal ini MOS merupakan suatu kompleks kegiatan yang ada di dalam sekkolah. Kegiatan MOS dibutuhkan sebagai sarana beradaptasi bagi para siswa baru di SMA. Tidak hanya dengan antar siswa baru, tetapi juga dengan warga sekolah, lingkungan sekolah, dan segala peraturan yang berlaku di sekolah tersebut. Siswa perlu melakukan adaptasi dengan lingkungan baru tersebut karena segala bentuk struktur yang ada di SMP akam sangat berbeda dengan yang ada di SMA, maka MOS dikatakan sebagai proses adaptasi. Kemudian dengan segala rangkaiannya, tujuan MOS harus tersampampaikan kepada siswa-siswa peserta MOS dibantu oleh panitia selaku pelaksana kegiatan MOS. Segala rangkaian MOS yang telah dilakukan harus dapat mengintegrasi siswa baru karena sudah menjadi bagian dari warga sekolah. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa skema AGIL Talcott Parsons dapat digunakan sebagai upaya sekolah dalam meminimalisir tindakan bullying pada saat MOS. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini, Pertama, adalah penelitian yang ditulis oleh Anys Noviana mahasiswa Universitas Sebelas Maret, Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi tahun 2005. Penelitian ini berjudul “OSPEK dan Fenomena Kekerasan (Studi Fenomenologi Tentang Pelaksanaan OSPEK Pada Mahasiswa di FKIP UNS Tahun Ajaran 2008/2009)”. Penelitian ini menjelaskan tentang kekerasan yang terjadi pada saat OSPEK karena adanya perbedaan posisi antara senior dan junior. Perbedaan posisi ini disebabkan oleh beberapa modal yang dimiliki oleh senior diantaranya adalah modal budaya yang berupa pengetahuan serta kemampuan. Adanya penghargaan dan penilaian terhadap modal budaya menyebabkan munculnya modal simbolik bagi senior. Modal simbolik inilah yang menentukan perbedaan posisi antara senior dengan junior. Kedua, penelitian yang ditulis oleh Andini Pratiwi, mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Penelitian ini berjudul “Senioritas dan Perilaku
10
Kekerasan Dikalangan Siswa (Studi Kasus SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel)”. Penelitian ini menjelaskan mengenai faktor penyebab kekerasan yang dilakukan oleh siswa-siswa SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel. Kemudian bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan oleh siswa-siswa SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel yaitu kekerasan fisik dan kekerasan verbal. Serta menjelaskan peranan orang tua dan sekolah dalam menangani kasus kekerasan siswa SMP PGRI 1 Ciputat Tangsel. B. Kerangka Berpikir Kegiatan MOS merupakan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah kepada siswa baru. dari kegiatan ini pasti menimbulkan berbagai macam persepsi diantara siswa dan pihak sekolah. Kegiatan MOS merupakan agenda rutin setiap awal tahun ajaran sekolah yang diselenggarakan oleh pihak sekolah untuk siswa yang baru memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun adanya perintah untuk membawa atribut MOS seperti co-card , foto, beserta barang-barang lainnya menjadikan kegiatan ini sebagai lahan unjuk kekuasaan. Karena bagi siswa yang tidak mematuhi perintah ataupun tidak lengkap membawa atribut serta barang-barang yang telah diperintahkan akan mendapat sanksi dari panitia MOS. Dalam hal ini pihak sekolah harus melakukan upaya agar tidak terjadi lagi hal serupa dalam kegiatan-kegiatan MOS. Kegiatan MOS haruslah sesuai dengan tujuan utama yaitu pengenalan sekolah terhadap siswa baru, yang tentunya didalam kegiatan ini seharusnya terdapat pengetahuan untuk menambah wawasan bagi siswa baru.
11
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Persepsi siswa
Persepsi sekolah
MOS
Atribut MOS
Upaya sekolah dalam meminimalisir tindakan bullying pada saat
Bullying