8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Lompat Tinggi a. Pengertian Lompat Tinggi Lompat tinggi merupakan salah satu nomor lompat dalam cabang olahraga atletik. Berkaitan dengan lompat tinggi Feri Kurniawan (2012: 41) menyatakan, “Suatu jenis keterampilan untuk melewati mistar yang berada di antara kedua tiang”. Menurut Yoyo Bahagia, Ucup Yusuf & Adang Suherman (2000: 15) berpendapat, “Tujuan dari lompat tinggi yaitu, memindahkan jarak vertikal titik berat badan setinggi mungkin”. Sedangkan Yudha M. Saputra (2001: 106) menyatakan, Lompat tinggi adalah suatu jenis keterampilan untuk melewati mistar yang berada di antara kedua tiang. Lompat tinggi memiliki tujuan yaitu, menjadikan gaya berat badan pelompat di udara dengan kecepatan bergerak ke depan secara maksimal. Ketinggian lompatan yang dicapai tergantung pada kemampuan pelompat gerakan lari awalan diubah menjadi gerakan bersudut pada saat menumpu sehingga gerakan maju ke depan diubah menjadi gerakan ke atas. Berdasarkan pengertian lompat tinggi yang dikemukakan dua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, prinsip dari lompat tinggi yaitu melewati mistar yang dipasang di antara dua tiang. Karakteristik lompat tinggi yaitu, diawali dengan lari, menumpu dan menolak dengan salah satu kaki setinggi-tingginya untuk melewati mistar yang telah di pasang di atas penopang tiang lompat. Tujuan dari lompat tinggi yaitu melompat setinggi-tingginya melewati mistar di antara dua tiang dan dinyatakan sah berdasarkan peraturan yang berlaku. b. Lompat Tinggi Gaya Straddle Berdasarkan golongan pelaksanaan lompat tinggi, lompatan tinggi gaya straddle merupakan jenis lompatan yang dilakukan secara berguling. Dikatakan gaya guling karena pada saat melewati mistar seperti gerakan
9 orang yang sedang berguling. Yudha M. Saputra (2001: 57) menyatakan, “Lompat tinggi gaya guling perut merupakan salah satu gaya dalam lompat tinggi dalam keadaan posisi badan telungkup untuk melewati mistar. Karakteristik pelaksanaan gaya guling perut diawali dengan gerakan awalan tolakan atau tumpuan, sikap badan di atas mistar dan mendarat”. Menurut Feri Kurniawan (2012: 41) bahwa, “Lompat tinggi gaya straddle merupakan gaya ketika badan melewati mistar dengan cepat badan diputar atau dibalikkan, sehingga sikap badan di mistar telungkup”. Berdasarkan
pengertian
lompat
tinggi gaya
straddle
yang
dikemukakan dua ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, lompat tinggi gaya straddle memiliki karakteristik menelungkupkan badan saat melewati mistar. Pelaksanaan guling perut atau menelungkupkan badan saat melewati mistar diawali menumpu untuk menolak yang dilakukan secara harmonis, luwes dan lancar dalam satu pola gerakan yang utuh. c. Teknik Lompat Tinggi Gaya Straddle Mencapai ketuntasan hasil belajar yang optimal merupakan tujuan dari pembelajaran lompat tinggi di sekolah. Namun untuk mencapai ketuntasan hasil belajar yang optimal dalam pembelajaran lompat tinggi harus menguasai teknik lompat tinggi yang baik dan benar. Penguasaan teknik melompat yang baik, jika ditinjau dari segi anatomis, fisiologis, mekanika, biomekanika dan mental terpenuhi persyaratannya secara baik, dapat diterapkan dalam praktik dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian prestasi dalam lompat tinggi. Dikdik Zafar Sidik (2011: 57) menyatakan, Jarak dan tinggi lompatan ditentukan oleh tiga parameter yaitu: (1) Kecepatan saat bertolak (velocity at take off). (2) Sudut tolakan (angle of take off). (3) Tinggi titik pusat massa saat bertolak (height of the centre of mass at take off). Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, ada tiga faktor penting yang dapat mempengaruhi tinggi lompatan pada nomor lompat
10 tinggi. Dari ketiga faktor tersebut, kecepatan bertumpu dan sudut tolakan marupakan faktor paling penting. Karena tinggi titik pusat massa ditentukan oleh tinggi badan atlet, meskipun juga dipengaruhi oleh posisi pada saat bertumpu. Kecepatan bertolak dan sudut tolakan merupakan hasil dari gerakan sebelum dan selama bertolak, sehingga tolakan pada nomor
lompat
(termasuk
lompat
tinggi)
sangat
penting
untuk
menghasilkan lompatan yang setinggi-tingginya. Mencapai lompatan yang setinggi-tingginya bukan merupakan hal yang mudah dalam lompat tinggi gaya straddle. Untuk bisa melakukan lompatan yang tinggi untuk melewati mistar dibutuhkan penguasaan teknik lompat tinggi gaya straddle yang baik dan benar. Jess Jerver (2005: 53) menyatakan, “Gerakan dalam lompat tinggi dibagi dalam beberapa tahap yaitu: tahap lari, tahap take off, dan tahap melompati mistar”. Menurut Yudha M. Saputra (2001: 57-60) teknik lompat tinggi gaya straddle sebagai berikut: (1) Awalan Awalah pada lompat tinggi dilakukan dengan maksud untuk membangkitkan gaya gerak, dari gerak mendatar ke arah tegak. Dalam lompat tinggi yang harus diperhatikan oleh si pelompat adalah tiga hal terakhir, yaitu langkah harus panjang dan cepat, sedangkan badan agak condong ke belakang. Ada beberapa prinsip untuk mempermudah pengambilan awalan lompat tinggi gaya guling perut (straddle style) yaitu: (a) Apabila kaki tolakan adalah kaki kiri, maka pengambilan awalan dari samping kiri dan sebaliknya, pengambilan awalan dari samping kanan. (b) Jika antara kaki tolakan dengan mistar kira-kira setengah lengan. (c) Dari tempat tolakan ke tempat permulaan, dimulai dengan awalan, jalan, lari dan melangkah 3 langkah, atau 5 langkah, atau bahkan 7 langkah dan seterusnya, kemudian kaki menekuk dan menolak untuk melewati ketinggian mistar. (d) Sudut awalan dari tempat tolakan ke tempat permulaan melakukan awalan kira-kira 30 derajat. (e) Langkah dari tempat awalan ke tempat tolakan, harus tepat, dan pada langkah terakhir harus panjang dan cepat.
11
Gambar 1. Awalan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Sumber: Yudha M. Saputra, 2001: 57) Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, tujuan lompat jauh yaitu membangkitkan gaya gerak dari gerak datar ke gerak tegak. Selain itu, ada lima prinsip dasar yang harus diperhatikan dalam melakukan awalan lompat tinggi gaya straddle. Kelima prinsip yang harus diperhatikan dalam awalan lompat tinggi gaya straddle yaitu: dilakukan dari samping kanan atau kiri, jarak kaki tolak dengan mistar setengah lengan, jarak awalan ke tempat tolakan dapat dilakukan dengan tiga langkah, lima langkah atau tujuh langkah, sudut tolakan kira-kira 30 derajar dan harus tepat langkah dari awalan ke tempat tolakan yaitu langkah terakhir panjang dan cepat. Dengan memperhatikan kelima prinsip tersebut, maka akan mendukung hasil lompatan lebih maksimal. (2) Tolakan atau tumpuan Tolakan adalah perpindahan gerak dari kecepatan mendatar (horizontal) ke arah tegak (vertical) yang harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Pada waktu akan melakukan tumpuan, si pelompat pada tiga atau lima langkah terakhir harus sudah mempersiapkan kakinya untuk melakukan tolakan yang sekuat-kuatnya, sehingga tubuhnya dapat terangkat melayang ke atas. Tolakan dimulai dari tumit, terus ke telapak kemudian berakhir pada ujung jari kaki, yang dilakukan secara cepat dan tepat. Pada saat titik berat badan berada di atas kaki tolakan, secepat mungkin pergelangan kaki ditolak lurus ke atas, badan dicondongkan ke belakang, hingga berat badan berada pada kaki belakang (kaki ayun). Kaki ayun dengan lutut agak dibengkokkan, bersiap-siap untuk berayun ke depan ke atas, diteruskan ke belakang ke atas untuk membawa persendian ke atas hingga seluruh tubuh akan terangkat melayang untuk melewati mistar.
12
Gambar 2. Tolakan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Sumber: Yudha M. Saputra, 2001: 58) Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, tolakan atau tumpuan lompat tinggi gaya straddle harus dilakukan dengan tepat dan cepat. Pada tiga langkah atau lima langkah terakhir harus dipersiapkan kaki terkuat untuk melakukan tolakan. Tolakan dimulai dari tumit, telapak kaki yang berujung pada jari kaki yang dilakukan dengan cepat dan kuat. Pada saat titik ber at badan di kaki tolakan, secepat mungkin pergelangan kaki ditolakan lurus ke atas, badan dicondongkan ke belakang hingga berat badan di kaki belakang. Kaki ayun dengan lutut dibengkokkan diayun ke depan atas, diteruskan ke belakang ke atas membawa persendian hingga seluruh tubuh terangkan melayang melewati mistar. Gerakan tolakan dilakukan dalam satu rangkian yang utuh, luwes dan harmonis. (3) Sikap badan di atas mistar Sikap badan di atas mistar berhubungan dengan sudut awalan pada waktu akan melakukan lompatan/tolakan. Jadi sikap badan di atas mistar dibentuk mulai dari saat lepasnya kaki tolak sampai melayang di atas mistar. Dengan demikian, gaya dalam lompat tinggi bisa dibedakan dan ditentukan gayanya ketika si pelompat berada di atas mistar. Adapun sikap badan di atas mistar pada gaya guling perut adalah: (a) Pada saat kaki ayun melewati mistar dan berada pada titik yang tinggi, secepatnya badan berbalik sampai perut menghadap mistar. (b) Kaki tolakan segera dilipat, lututnya ke samping, ke atas dan ke belakang. (c) Kepala ditundukkan ke bawah mistar, sehingga pundak lebih rendah daripada pinggul. (d) Tangan kanan ke bawah mistar, sedangkan tangan kiri pasif diletakkan pada punggung atau dirapatkan pada perut.
13
Gambar 3. Sikap Badan Di Atas Mistar Lompat Tinggi Gaya Straddle (Sumber: Yudha M. Saputra, 2001: 59) Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, sikap badan di atas mistar merupakan bagian yang membedakan gaya lompat tinggi. Sikap badan di atas mistar lompat tinggi gaya straddle yang harus diperhatikan yaitu: secepat mungkin badan berbalik saat kaki ayun melewati mistar pada titik tertinggi, kaki tolak segerak dilipat, lutut ke samping, ke atas dan ke belakang. Kepala ditundukkan ke bawah mistar, tangan kiri pasif dirapatkan dengan perut, (4)
Sikap mendarat Sikap mendarat yaitu, sikap jatuh setelah melewati mistar dan sebenarnya bukan merupakan unsur yang menentukan dalam lompat tinggi. Sebab, tugas si pelompat dapat dikatakan selesai, jika si pelompat telah melewati mistar. Untuk menghindari kecelakaan pada saat mendarat, si pelompat harus mendarat sebaik mungkin. Sedangkan cara yang baik dalam melakukan pendaratan adalah: (a) Jika tempat pendaratan dari pasir, maka yang mendarat lebih dahulu adalah kaki ayun, kaki kanan, kemudian berguling ke depan dan bertumpu pada pundak bahu kanan. (b) Jika pendaratan terbuat dari matras, maka posisi jatuh lebih dahulu adalah sisi atau punggung.
Gambar 4. Pendaratan Lompat Tinggi Gaya Straddle (Sumber: Yudha M. Saputra, 2001: 60)
14 Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, mendarat pada lompat jauh pada prinsipnya mempunyai tujuan menjatuhkan badan dengan efektif dan efisien. Cara mendarat yang efektif pada bak pasir yaitu: mendahulukan kaki ayun, kaki kanan kemudian berguling ke depan dan bertumpu pada pundak bahu kanan. Sedangkan cara mendarat pada busa atau matras yaitu: posisi jatuh didahulukan punggung. 2. Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle di SMK Negeri 2 Sukoharjo a. Pelaksanaan Pembelajaran Lompat Tinggi di SMK Negeri 2 Sukoharjo Lompat tinggi gaya straddle merupakan Kompetensi Dasar (KD) dari materi cabang olahraga atletik yang harus diberikan pada siswa kelas XI SMA/SMK. Kompetensi Dasar (KD) dari cabang olahraga atletik yaitu, (1) Menganalisis dan mengkategorikan keterampilan gerak salah satu nomor atletik yaitu lompat tinggi gaya straddle serta menyusun rencana perbaikan, (2) Mempraktikkan perbaikan keterampilan salah satu nomor atletik yaitu lompat tinggi gaya straddle sesuai hasil analisis dan kategorisasi. Berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) menunjukkan bahwa, ada dua hal yang menjadi dasar pembelajaran lompat tinggi gaya gaya straddle diajarkan pada siswa SMK, yaitu: menganalisis dan mengkategorikan lompat tinggi gaya straddle dan mempraktikkan lompat tinggi gaya straddle. Berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) tersebut, maka lompat tinggi gaya straddle diajarkan pada siswa SMA/SMK termasuk di SMK Negeri 2 Sukoharjo. Namun pada kenyataannya pembelajaran lompat tinggi gaya straddle di SMK Negeri 2 Sukoharjo belum berjalan secara maksimal. Di sekolah memang tersedia prasarana dan sarana lompat tinggi tetapi masih belum ideal. Selain itu, siswa sendiri kurang senang dengan pembelajaran atletik termasuk lompat tinggi gaya straddle. Hal ini disebabkan para siswa sulit dan kurang mampu melakukan lompat tinggi gaya straddle.
15 Disisi lain pihak guru Penjasorkes kurang inovatif dan kreatif dalam membelajarkan materi lompat tinggi gaya straddle dan juga tidak memperhatikan kemampuan masing-masing siswa. b. Karateristik Perkembangan Siswa SMA/SMK Siswa SMA/SMK merupakan masa remaja. Pada masa remaja terdapat ciri-ciri yang melakat pada diri peserta didik. Hurlock (1980: 10) yang dikutip Caroline Lisa (2012) perkembangan masa remaja yakni: (1) Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. (2) Mencapai peran sosial pria dan wanita. (3) Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif. (4) Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab. (5) Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orangorang dewasa lainnya. (6) Mempersiapkan karir ekonomi. (7) Mempersiapkan perkawinan dan keluarga. (8) Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, pada masa remaja perkembangannya ditandai yaitu, mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial, menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif, mengaharpkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggungjawab, mencapai kemandirian emosional, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga dan memperoleh perangkat nilai sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku menghembangkan ideologi. Sedangkan Developmental School Counseling Programs (dalam Sciarra, 2004:133) yang dikutip Caroline Lisa (2012) menyatakan: Kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik Sekolah Menengah Atas yakni: (1) Siswa kelas 10 harus mempunyai kemampuan: mengklarifikasi peranan nilai dalam pilihan karir, membedakan pendidikan dan
16 keahlian yang dibutuhkan dalam karir berdasarkan minat, menyadari pengaruh pada pekerjaan atau pilihan karir pada area kehidupan yang lain, mulai mengases secara realistik potensi mereka dalam lapangan yang bervariasi, mengembangkan keahlian dalam memprioritaskan kebutuhan yang dihubungkan dengan perencanaan karir. (2) Peserta didik kelas 11 harus mempunyai kemampuan: memperhalus tujuan karir masa datang melalui informasi tentang diri, menggunakan sumber-sumber yang ada, dan berkonsultasi dengan yang lain, mengkoordinasikan kelas yang telah diseleksi dengan tujuan karir, mengidentifikasikan persyaratan pendidikan spesifik yang diperlukan untuk mencapai tujuan, mengklarifikasi nilai-nilai pada diri sebagai suatu hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan waktu luang. (3) Peserta didik kelas 12 harus mempunyai kemampuan: melengkapi persyaratan untuk transisi dari sekolah menengah atas, membuat komitmen untuk perencanaan karir, memahami potensi dengan adanya perubahan minat atau nilai-nilai yang dihubungkan dengan pekerjaan, memahami potensi karena adanya perubahan dalam pasar kerja, memahami perkembangan karir sebagai sebuah proses sepanjang hidup, menerima tanggung jawab untuk arah karir diri sendiri. Berdasarkan tugas-tugas perkembangan siswa SMA di atas, menunjukkan bahwa, setiap
jenjang kelas memiliki karakteristik
perkembangan yang berbeda. Karateristik perkembangan peserta didik setiap kelas tersebut harus dipahami oleh guru Penjaorkes, agar dalam membelajarkan materi Penjasorkes dapat dikemas sesuai dengan perkembangan siswa. 3. Belajar a. Hakikat Belajar Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dipisahkan satu sama lain. Belajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subjek yang menerima pelajaran (siswa), sedangkan mengajar menunjuk pada apa yang harus dilakukan oleh seorang guru sebagai pengajar. Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam satu kegiatan, manakala terjadi interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa
17 dan siswa pada saat pengajaran berlangsung. Inilah makna belajar mengajar dan mengajar sebagai suatu proses. Interaksi guru dengan siswa sebagai makna utama proses pengajaran memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pengajaran yang efektif. Karena kedudukan siswa sebagai subjek sekaligus objek dalam pengajaran, maka inti pengajaran adalah kegiatan belajar siswa untuk mencapai tujuan pengajaran. Belajar pada prinsipnya merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan dalam dirinya. Nana Sudjana (2005: 28) menyatakan, “Belajar adalah proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah proses melihat, mengamati, memahami sesuatu”. Menurut M. Sobry Sutikno (2013: 4) bahwa, “Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk
memperoleh
suatu
perubahan
yang
baru
sebagai
hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Menurut Hamdani (2011: 21) bahwa, “Belajar merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan”. Berdasarkan batasan belajar yang dikemukakan tiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, belajar merupakan suatu proses yang terjadi di dalam diri masing-masing individu. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu, apabila terdapat perubahan-perubahan yang bersifat lebih baik daripada sebelumnya. Perubahan yang terjadi pada diri seseorang disebabkan karena adanya usaha belajar untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. b. Ciri-Ciri dan Tujuan Belajar Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan yang lebih baik. Hal ini artinya, dalam kegiatan belajar terdapat ciri-ciri di dalamnya. Aunurrahman (2012: 35) menyatakan,
18 Beberapa ciri umum kegiatan belajar sebagai berikut: (1) Belajar menunjukkan suatu aktivitas pada diri seseorang yang disadari atau disengaja. (2) Belajar merupakan interaksi individu dengan lingkungannya. (3) Hasil belajar ditandai denagn perubahan tingkah laku. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, seseorang dikatakan belajar apabila kegiatan belajar tersebut disadari atau disengaja, berinteraksi dengan lingkungannya dan terjadi perubahan tingkah laku yang lebih baik dalam dirinya. Perubahan dari hasil belajar inilah yang merupakan tujuan dari kegiatan belajar. Menurut Gagne (1985) yang dikutip M. Sobry Sutikno (2013: 7) bahwa: Ada lima macam tujuan atau hasil belajar yaitu: (1) Keterampilan intelektual atau keterampilan prosedural yang mencakup belajar diskriminasi, konsep, prinsip dan pemecahan masalah yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan oleh guru di sekolah. (2) Startegi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, mengingat dan berpikir. (3) Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendeskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasiinformasi yang relevan. (4) Keterampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot. (5) Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkah laku seseorang didasari oleh emosi, kepercayaankepercayaan serta faktor intelektual. Hal senada dikemukakan Bloom, Krathwol & Simpson yang dikutip Aunurrahman (2012: 48-49) bahwa, Tingkatan jenis perilaku belajar terdiri dari tiga ranah atau kawasan yaitu: (1) Kognitif terdiri enam jenis perilaku yaitu: pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi. (2) Ranah afektif terdiri lima perilaku yaitu: penerimaan, partisipasi, penilaian, organisasi dan pembentukan.
19 (3) Ranah psikomotor, terdiri tujuh perilaku yaitu: persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan dan kreativitas. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, tujuan kegiatan belajar meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang lebih baik dari sebelumnya. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan belajar. Seseorang diakatakan telah belajar apabila terjadi perubahan yang lebih baik dari sebelumnya baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. c. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Hasil belajar dicapai apabila terjadi perubahan yang lebih baik, baik ranah afektif, kognitif dan psikomotorik. Namun untuk mencapai hasil belajar yang optimal banyak faktor yang mempengaruhinya. Nana Sudjana (2005: 39) menyatakan, “Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaknik, faktor dari dalam diri siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan”. Hal senada dikemukakan M. Sobry Sutikno (2013: 14) bahwa, Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar yaitu: (1) Faktor dari dalam diri individu (internal) (a) Faktor jasmaniah, yaitu faktor kesehatan, faktor cacat tubuh. (b) Faktor psikologis, yaitu intelegensi, motif (daya penggerak/pendorong), minat, emosi dan bakat. (c) Faktor kelelahan, baik kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. (2) Faktor ekternal: (a) Faktor keluarga: cara orang tua mendidik, hubungan antar keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga. (b) Faktor sekolah: kurikulum, keadaan gedung, waktu sekolah, alat pelajaran, metode pembelajaran, hubungan antara guru dengan siswa, hubungan antara siswa dengan siswa. (c) Faktor masyarakat. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, keberhasilan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan
20 faktor eksternal. Hasil belajar akan menjadi lebih baik apabila faktor internal dan eksternal dapat terpenuhi dengan baik. Lebih lanjut M. Sobry Sutikno (2013: 25) menyatakan, Sebagai tolok ukur keberhasilan proses belajar indikatorindikatornya sebagai berikut: (1) Penguasaan materi pelajaran yang telah diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun secara kelompok. (2) Perilaku yang disebutkan dalam tujuan pembelajaran khusus dapat dicapai oleh siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar, belajar Aunnurahman (2012: 177) menyatakan, “Masalah-masalah belajar baik intern maupun ekstern dapat dikaji dari dimensi guru maupun dari dimensi siswa. Sedangkan dikaji dari tahapannya, masalah belajar dapat terjadi pada waktu sebelum belajar, selama proses belajar dan sesudah belajar”. Ditinjau dari dimensi siswa, masalah belajar yang dapat muncul sebelum kegiatan belajar dapat berhubungan dengan karakteristik atau ciri siswa, baik berkenaan dengan minat, kecakapan, maupun pengalaman. Selama proses belajar, masalah belajar berkaitan dengan sikap terhadap belajar,
motivasi,
konsentrasi,
pengolahan
pesan
pembelajaran,
menyimpan pesan, menggali kembali pesan yang telah tersimpan, unjuk hasil belajar. Sesudah belajar, masalah belajar berkaitan dengan penerapan prestasi atau keterampilan yang telah diperoleh melalui proses belajar sebelumnya. Ditijau dari dimensi guru, masalah belajar dapat terjadi sebelum kegiatan belajar, selama proses belajar dan evaluasi hasil belajar. Sebelum belajar, masalah belajar berkaitan dengan perngorganisasian belajar. Selama proses belajar, masalah belajar berkaitan dengan bahan belajar dan sumber belajar. Sedangkan sesudah belajar, masalah belajar berkaitan dengan evaluasi hasil belajar. Berdasarkan tiga pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, keberhasilan belajar siswa sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan
21 faktor eksternal. Hasil belajar akan menjadi lebih baik apabila faktor internal dan eksternal dapat terpenuhi dengan baik. Lebih lanjut M. Sobry Sutikno (2013: 25) menyatakan, Sebagai tolok ukur keberhasilan proses belajar indikatorindikatornya sebagai berikut: (1) Penguasaan materi pelajaran yang telah diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun secara kelompok. (2) Perilaku yang disebutkan dalam tujuan pembelajaran khusus dapat dicapai oleh siswa, baik secara individu maupun secara kelompok. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, indikator dari hasil belajar yaitu, siswa menguasai materi pelajaran yang diterimanya dan mencapai prestasi yang tinggi, baik secara individu maupun kelompok. Selain itu, perilaku yang ditampilkan siswa baik secara individu maupun kelompok menjadi lebih baik sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam kegiatan pembelajaran. d. Mengenal dan Mengatasi Kesulitan Belajar Siswa Ditinjau dari kegiatan pembelajaran, tugas guru tidak hanya sekedar menyajikan materi pelajaran dan mengevaluasi pekerjaaan siswa, tetapi bertanggungjawab terhadap bimbingan belajar siswa. Sebagai pembimbing belajar siswa, guru harus mengadakan pendekatan baik secara instruksional sekaligus melalui pendekatan pribadi (personal approach) dalam setiap proses belajar mengajar berlangsung. Menurut Abdillah (2008) dalam Aunnurahman (2012: 196) menyatakan: Sebagai pembimbing dalam proses belajar mengajar, seorang guru diharapkan mampu: (1) Memberikan informasi yang diperlukan dalam proses belajar. (2) Membantu setiap siswa dalam mengatasi setiap masalah pribadi yang dihadapinya. (3) Mengevaluasi hasil setiap langkah kegiatan yang telah dilakukannya. (4) Memberikan setiap kesempatan yang memadai agar setiap siswa dapat belajar sesuai dengan karakteristik pribadinya. (5) Mengenal dan memahami setiap siswa, baik secara individual maupun secara kelompok.
22 Lebih lanjut Aunnurahman (2012: 197) menyatakan, langkah-langkah yang harus diperhatikan dalam melakukan pembimbingan belajar kepada siswa sebagai berikut: (1) Identifikasi. Identifikasi merupakan suatu kegiatan yang diarahkan untuk menemukan siswa yang menglami kesulitan belajar, yaitu mencari informasi tentang siswa dengan melakukan kegiatan yaitu: (a) Data dokumen hasil belajar siswa. (b) Menganalisis absensi siswa di dalam kelas. (c) Mengadakan wawancara dengan siswa. (d) Menyebar angket untuk memperoleh data tentang permasalahan belajar. (e) Tes untuk memperoleh data tentang kesulitan belajar atau permasalahan yang sedang dihadapi. (2) Diagnosis. Diagnosis merupakan keputusan atau penentuan mengenai hasil dari pengolahan data tentang siswa yang mengalami kesulitan belajar dan jenis kesulitan yang dialami siswa. Diagnosis dapat berupa hal-hal sebagai berikut: (a) Keputusan mengenai jenis kesulitan belajar siswa. (b) Keputusan mengenai faktor-faktor yang menjadi sumber sebab-sebab kesulitan belajar. (c) Keputusan mengenai jenis mata pelajaran yang mengalami kesulutan belajar. Kegiatan diagnosis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: (a) Membandingkan nilai hasil prestasi individu untuk setiap mata pelajaran dengan rata-rata nilai seluruh individu. (b) Membandingkan prestasi dengan potensi yang dimiliki oleh siswa tersebut. (c) Membandingkan nilai yang diperoleh dengan batas minimal tujuan yang diharapkan. (3) Prognosis. Prognosis merujuk pada aktivitas penyusunan rencana atau program yang diharapkan dapat membantu mengatasi masalah kesulitan belajar siswa. Prognosis dapat berupa: (a) Bentuk treatment yang harus diberikan. (b) Bahan atau materi yang diperlukan. (c) Metode yang akan digunakan. (d) Alat bantu belajar mengajar yang diperlukan. (e) Waktu kegiatan dilaksanakan. (4) Terapi atau pemberian bantuan. Terapi merupakan pemberian bantuan kepada siswa yang mengalami kesulitan belajar sesuai dengan program yang telah disusun pada tahap prognosis. Bentuk terapi yang diberikan dapat berupa antara lain: (a) Bimbingan belajar kelompok.
23 (b) Bimbingan belajar individual. (c) Pengajaran remedial. (d) Pemberian bimbingan pribadi. (e) Alih tangan kasus. (5) Tidak lanjut atau Follow Up. Tindak lanjut atau follow up merupakan usaha untuk mengetahui keberhasilan bantuan yang telah diberikan kepada siswa dan tindak lanjutnya yang didasari hasil evaluasi terhadap tindakan yang dilakukan dalam upaya pemberian bimbingan. Mengenal dan mengatasi permasalahan dalam pembelajaran sangat penting dan harus diperhatikan oleh guru. Jika seorang guru mampu mengenali masalah yang dihadapi siswa dan mampu mencarikan solusi yang tepat, maka akan diperoleh hasil belajar yang makismal. 4. Mengajar a. Hakikat Mengajar Mengajar pada dasarnya merupakan suatu aktivitas atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang guru. Dari kegiatan mengajar tersebut tentu ada siswa yang belajar. Mengajar merupakan suatu proses yang kompleks. Guru berperan tidak hanya sekedar menyampaikan informasi kepada siswa, tetapi juga berusaha agar siswa mau belajar. Karena mengajar sebagai upaya yang disengaja, maka guru terlebih dahulu harus mempersiapakan bahan yang akan disajikan kepada siswa. Berkaitan dengan mengajar Husdarta & Yudha M. Saputra (2000: 3) menyatakan, “Mengajar adalah upaya guru dalam memberikan rangsangan, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada siswa agar terjadi proses belajar. Arah yang akan dituju dalam proses belajar adalah tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan guru dan diketahui oleh siswa”. Sedangkan Jamil Suprihatininrum (2013: 60) berpendapat: Mengajar dapat dilihat dari tiga sudut pandang yaitu: (1) Secara Kuantitatif: mengajar berarti the transmission of knowledge, yaitu penularan/pemindahan pengetahuan dari guru kepada siswa. (2) Secara Kualitatif: sebagai the fasilitation of learning, yaitu upaya membantu memudahkan kegiatan belajar siswa. Guru berperan memfasilitasi siswa untuk aktif belajar dan
24 menciptakan situasi dan kondisi yang mendukungterciptanya kegiatan belajar oleh siswa. (3) Secara Instutisional: mengajar berarti the efficient orchestration of teaching skill, yaitu penataan segala kemampuan mengajar secara efisien. Guru dituntut untuk selalu siap mengadaptasi berbagai teknik mengajar untuk bermacam-macam siswa yang berbeda bakat, kemampuan dan kebutuhannya. Berdasarkan pengertian mengajar yang dikemukakan tiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, mengajar merupakan suatu kegiatan yang kompleks yang di dalamnya terdapat beberapa komponen yang saling berkaitan yang bertujuan untuk mempengaruhi atau meningkatkan pengetahuan atau keterampilan siswa menjadi lebih baik. Peran dari seorang guru yaitu pemimpin belajar (learning manager) dan fasilitator belajar. Karena mengajar bukan hanya menyampaikan pelajaran, tetapi suatu proses membelajarkan siswa. Keterpaduan proses belajar siswa dengan proses mengajar guru, sehingga terjadi interaksi belajar mengajar (terjadinya proses pengajaran) tidak datang begitu saja dan tidak dapat tumbuh tanpa pengaturan dan perencanaan yang seksama. Pengaturan sangat diperlukan terutama dalam menentukan komponen dan variabel yang harus ada dalam proses pengajaran tersebut. Perencanaan dimaksudkan sejumlah
merumuskan dan
komponen
dan
menetapkan
variabel,
interelasi (hubungan)
sehingga
memungkinkan
terselenggaranya pengajaran yang efektif. b. Komponen-Komponen Mengajar Kegiatan belajar mengajar akan dapat berjalan dengan lancar dan tujuan mengajar dapat tercapai tidak terlepas dari beberapa komponen yang terlibat di dalamnya. Karena kegiatan belajar mengajar merupakan proses, maka harus dapat mengembangkan dan menjawab beberapa persoalan yang mendasar mengenai kemana proses akan diarahkan, apa yang harus dibahas dalam proses tersebut, bagaimana cara melakukannya dan bagaimana mengetahui berhasil tidaknya proses tersebut. Hal ini
25 artinya, dalam kegiatan belajar mengajar harus mengetahui komponenkomponen mengajar yang terlibat di dalamnya. Nana Sudjana (2005: 30) menggambarkan skematis komponen-komponen mengajar sebagai berikut: Tujuan
Bahan
Metode dan alat
Penilaian Gambar 5. Bagan Komponen-Komponen Mengajar (Sumber: Nana Sudjana, 2005: 30) Hal senada dikemukakan M. Sobry Sutikno (2013: 35-40) bahwa, “Komponen pembelajaran meliputi beberapa aspek yaitu: “(1) Tujuan pembelajaran, (2) materi pelajaran, (3) kegiatan pembelajaran, (4) metode, (5) media, (6) sumber belajar dan (7) evaluasi”. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, komponen-komponen mengajar terdiri dari: tuJuan, materi pelajaran, kegiatan pembelajaran, metode, media, sumber belkajar dan penilaian. Komponen-komponen mengajar tersebut pada prinsipnya saling berkaitan antara yang satu dengan lainnya. Tujuan mengajar dapat tercapai secara maksimal, apabila komponen-komponen tersebut dipenuhi dalam kegiatan pengajaran. c. Kompetensi yang Harus Dimiliki Seorang Guru Penjasorkes Tanggung jawab dalam mengembangkan profesi guru pada dasarnya merupakan tuntutan dan panggilan untuk selalu mencintai, menghargai, menjaga dan meningkatkan tugas dan tanggung jawab profesinya. Seorang guru harus sadar bahwa tugas dan tanggung jawabnya tidak bisa dilakukan oleh orang lain dan dalam melaksanakan tugasnya harus
bersungguh-sungguh.
Seorang
guru
dituntut
agar
selalu
meningkatkan pengetahuannya, kemampuan dalam rangka pelaksanaan
26 tugas profesinya. Seorang guru harus peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, khususnya dalam bidang pendidikan dan pengajaran, dan pada
masyarakat
pada
umumnya.
Guru
harus dapat
mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga dalam pelaksanaan pengajaran sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Meningkatkan kemampuan dan pengetahuan diberbagai bidang merupakan keharus bagi seorang guru. Untuk itu seorang guru harus memiliki beberapa kompetensi. Rusli Lutan, Rusli Ibrahim, Adang Suherman & Yudha M. Saputra, (2002: 68-69) menyatakan: Berdasarkan tinjauan literatur dalam pendidikan jasmani sekurangkurangnya terdapat 5 kompetensi guru pendidikan jasmani yaitu: (1) Pemahaman dan pengahayatan etika dan tindakan moral yang melandasi profesi dalam pendidikan jasmani, utamanya dalam pemberian perlakuan (misalnya: memberikan instruksi, mengoreksi dan lain-lain) yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik, termasuk nilai-nilai agama. (2) Penguasaan keterampilan gerak dan atau dasar-dasar keterampilan beberapa cabang olahraga, termasuk pengetahuan yang berkaitan dengan cabang atau aktivitas jasmani yang bersangkutan (misalnya, peraturan dan ketentuan khusus dalam cabang olahraga). (3) Penguasaan konsep dan teori dalam beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan yang bersifat integrative, sebagai landasan ilmiah pendidikan jasmani dan olahraga guna memfasilitasi proses pembelajaran, terutama disesuaikan dengan asas pentahapan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik. (4) Kompetensi dalam menerapkan kurikulum dalam konteks metode dan strategi umum atau khusus dalam pembelajaran, termasuk kompetensi dalam melaksanakan asesmen hasil belajar. (5) Komptensi sosial yang melibatkan keterampilan sosial, seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, kemampuan kerjasama dalam tim. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, kompetensi yang harus dimiliki seorang guru Penjasorkes cukup kompleks, baik secara umum maupun secara spesifik sebagai guru pendidikan jasmani. Seorang guru yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang studinya, maka akan mampu bekerja secara maksimal. Kinerjanya menjadi lebih baik, karena
27 mengetahui dan menguasainya tugas dan tanggungjawab yang harus dilakukan sesuai dengan bidangnya. Menurut Nana Sudjana (2005: 19) bahwa, Kompetensi yang banyak berhubungan dengan usaha meningkatkan proses dan hasil belajar dikelompokkan ke dalam empat kemampuan yaitu: (1) Merencanakan program belajar mengajar, (2) melaksanakan dan memimpin, (3) menilai kemajuan proses belajar mengajar, (4) menguasai bahan pelajaran dalam pengertian menguasai bidang studi atau mata pelajaran yang dipegangnya/dibinannya. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, untuk meningkatkan proses dan hasil belajar maka seorang guru Penjasorkes harus memiliki kemampuan merencanakan program pembelajaran, melaksanakan dan memimpin, menilai kemajuan proses belajar mengajar dan menguasai bahan pelajaran yang diajarkan. Seorang guru yang memiliki keempat kompetensi tersebut, maka akan mampu mengajar dengan baik dan akan dicapai hasil belajar yang optimal. d. Karakteristik Keberhasilan Pembelajaran Tujuan dari kegiatan pembelajaran yaitu tercapainya tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan, baik aspek afektif, kognitif dan psikomotorik pada diri siswa. M. Sobry Sutikno (2013: 161) menyatakan: Keberhasilan pembelajaran apabila diikuti ciri-ciri sebagai berikut: (1) Daya serap terhadap bahan pembelajaran mencapai prestasi tinggi, baik secara individu maupun kelompok. (2) Perilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok. (3) Terjadinya proses pemahaman materi yang secara sekuensial mengantarkan materi tahap berikutnya. Berkaitan dengan kaberhasilan pembelajaran Benny A. Pribadi (2009: 1921) menyatakan, Perspektif pembelajaran sukses yang terdiri atas beberapa kriteria, yaitu: (1) Peran aktif siswa (active participation) Proses belajar akan berlangsung efektif, jika siswa terlibat secara aktif dalam tugas-tugas yang bermakna, dan berinteraksi
28 dengan materi pelajaran secara intensif. Keterlibatan mental siswa dalam melakukan proses belajar akan memperbesar kemungkinan terjadinya proses belajar dalam diri seseorang. (2) Latihan (practice) Latihan yang dilakukan dalam berbagai konteks dapat memperbaiki tingkat daya ingat atau retensi. Latihan juga dapat memperbaiki kemampuan siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang baru dipelajari. Tugastugas belajar berupa pemberian latihan akan dapat meningkatkan penguasaan siswa terhadap pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari. (3) Perbedaan individual (individual differences) Setiap individu memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari individu dan memiliki potensi yang harus dikembangkan secara optimal. Tugas guru adalah mengembangkan potensi yang dimiliki oleh individu seoptimal mungkin melalui proses pembelajaran yang berkualitas. (4) Umpan balik (feedback) Umpan balik sangat diperlukan oleh siswa untuk mengetahui kemampuan dalam mempelajari materi pelajaran yang benar. Umpan balik dapat diberikan dalam bentuk pengetahuan tentang hasil belajar (learning outcomes) yang telah dicapai siswa setelah menempuh program dan aktivitas pembelajaran. Informasi dan pengetahuan tentang hasil belajar akan memacu seseorang untuk berprestasi lebih baik lagi. (5) Konteks nyata (realitic context) Siswa perlu mempelajari materi pelajaran yang berisi pengetahuan dan keterampilan yang dapat diterapkan dalam sebuah situasi yang nyata. Siswa yang mengetahui kegunaan pengetahuan dan keterampilan yang dipelajari akan memiliki motivasi tinggi untuk mencapai tujuan pembelajaran. (6) Interaksi sosial (social interaction) Interaksi sosial sangat diperlukan oleh siswa agar dapat memperoleh dukungan sosial dalam belajar. Interaksi yang berkesinambungan dengan sejawat atau sesama siswa memungkinkan siswa untuk melakukan konfirmasi terhadap pengetahuan dan keterampilan yang sedang dipelajari. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, keberhasilan tujuan pembelajaran ditandai dengan materi pembelajaran dikuasai siswa baik individu maupun kelompok, terjadi perubahan perilaku yang lebih baik pada diri siswa baik individu maupun kelompok dan sebagai bahan untuk membelajarkan materi berikutnya. Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran tersebut terjadi karena siswa berperan
29 aktif mengikuti pembelajaran, siswa melakukan latihan secara teratur, perbedaan
kemampuan
individu
dapat
dikembangkan
sesuai
kemampuannya masing-masing, adanya umpan balik dari guru sehingga siswa mengetahui sejauh mana kemampuan yang telah dicapai, siswa mengetahui materi yang dipelajari dengan dengan keadaan yang nyata dan interaksi sosial antara siswa satu dengan siswa lainnya atau orang lain yang terlibat dalam kegiatan pembelajaran. 5. Gaya Mengajar a. Hakikat Gaya Mengajar Gaya mengajar merupakan salah satu bagian yang memegang peran penting dalam kegaiatan belajar mengajar. Gaya mengajar muncul dari gagasan Muska Mosston pada tahun 1966. Menurut Muska Mosston yang dikutip Adang Suherman & Agus Mahendra (2001: 149) bahwa, “Guru dan siswa dapat saling tawar menawar dalam memperoleh kesempatan. Dalam memperoleh kesempatan dalam perihal perencanaan, pelaksanaannya. Dalam istilah lain disebutkan setting pre impact, impact set dan post impact”. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, dalam gaya mengajar ada tiga hal yang menjadi pokok dalam pengajaran, yaitu setting pre impact, impact set dan post impact. Dalam gaya mengajar siswa dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan dalam kegiatan pembelajaran. Lebih Lanjut Adang Suherman & Agus Mahendra (2001: 150) menjelaskan ketiga hal pokok dalam mengajar sebagai berikut: (1) Pre impact set, mencakup semua keputusan yang harus dibuat sebelum terjadinya tatap muka antara guru dengan siswa. Keputusan dalam setting ini mencakup tugas gerak yang harus dipelajari, waktu, pengorganisasian, alat, tempat berlangsungnya gerak, kriteria keberhasilan serta prosedur dan materi penilaian. Keputusan ini menegaskan tentang maksud. (2) Impact set, meliputi keputusan-keputusan yang berhubungan dengan pelaksanaan maksud di atas, atau hal-hal yang diputuskan pada tahap pra impact set. Keputusan dalam tahap ini menentukan aksi.
30 (3) Post impact set, memasukkan keputusan-keputusan yang berhubungan dengan penilaian penampilan atau pelaksanaan tugas pada masa impact set serta kesesuaian antara maksud dan aksi. Pemberian koreksi dan umpan balik serta penilaian, termasuk pada setting ini. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, dalam gaya mengajar, baik guru maupun siswa membuat keputusan dalam setiap setting pembelajaran. Adang Suherman & Agus Mahendra (2001: 149) menyatakan, “Gaya mengajar intinya memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil keputusan, dimana siswa dapat saling tawar menawar dalam memperoleh kesempatan”. Menurut Husdarta & Yudah M. Saputra (2000: 21) bahwa, “Gaya mengajar merupakan interaksi yang dilakukan oleh guru dengan siswa dalam proses belajar mengajar agar materi yang disajikan dapat diserap oleh siswa”. Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa, gaya mengajar pada dasarnya merupakan seperangkat keputusan yang diambil dalam pelaksanaan proses pengajaran. Baik guru maupun siswa memiliki kemungkinan untuk membuat keputusan dalam proses pengajaran. Perbedaan antara satu gaya dengan gaya lainnya ditentukan oleh besarnya pengalihan keputusan dari guru kepada siswanya. Pada sisi lain dapat dilihat gaya mengajar yang semua keputusannya dibuat oleh guru, tetapi ada juga gaya mengajar dimana siswa juga dapat mengambil keputusan. Kecenderungan yang terjadi dalam proses pengajaran adanya kesadaran bahwa, pengajaran sebaiknya jangan terlalu didominasi oleh keputusan guru. Tetapi harus secara proporsional memberikan kesempatan kepada siswa dalam membuat keputusan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pelaksanaannya. b. Macam-Macam Gaya Mengajar Gaya mengajar pada dasarnya bersifat kontinum terdiri dari 11 gaya, yang masing-masing gaya memiliki kelebihan sekaligus memiliki kelemahan. Rusli Lutan (2000: 30) menyatakan,
31 Tidak ada satu gaya mengajar yang dianggap paling berhasil, sebab bergantung pada situasi. Gaya mengajar itu, sekali waktu lebih ditekankan pada guru sebagai pusat pengajaran dan sekali waktu berpusat pada anak. Jadi pembuatan keputusan itu bergerak dalam sebuah garis berkesinambungan. Komando
Tugas
Individual
Pemecahan Masalah
Eksplorasi Terbatas
Berpusat pada Guru
Eksplorasi Tak Terbatas Berpusat pada Siswa
Gambar 6. Skematis Penerapan Gaya Mengajar (Sumber: Rusli Lutan, 2000: 31) Pendapat
tersebut
menunjukkan
bahwa,
dalam
kegiatan
pembelajaran dapat menerapkan lebih dari satu gaya menurut kebutuhan dalam pembelajaran. Untuk memanfaatkan kelebihan dari setiap gaya mengajar guru harus mampu menggunakan gaya yang bervariasi dalam pembelajarannya. Artinya, ketika guru mengajar harus mengkombinasikan gaya mengajar yang berbeda-beda, untuk mencari kemungkinan terbaik serta mencari kesesuaian dengan gaya belajar siswa. Namun demikian tidak menutup kemungkinan dalam kegiatan pembelajaran hanya dapat diterapkan satu gaya mengajar saja. Oleh karena itu, setiap guru harus memahami dan menguasai macam-macam gaya mengajar. Menurut Mosston yang dikutip Adang Suherman & Agus Mahendra (2001: 150) gaya mengajar pendidikan jasmani sebagai berikut: (1) Gaya mengajar komando (commando style) yaitu, semua keputusan dikontrol guru. Murid hanya melakukan apa yang diperintahkan guru. (2) Gaya latihan (practice style) yaitu, gurtu memberikan beberapa tugas, siswa menentukan dimana, kapan, bagaimana dan tugas mana yang akan dilakukan pertama kali. Guru memberi umpan balik. (3) Gaya berbalasan (reciprocal style) yaitu, satu siswa menjadi perilaku, satu siswa lain menjadi pengamat dan memberikan umpan balik. Setelah itu bergantian. (4) Gaya menilai diri sendiri (self check style) yaitu, siswa diberi petunjuk untuk bisa menilai penampilan dirinya sendiri. Pada
32
(5)
(6)
(7)
(8)
saat latihan siswa berusaha menentukan kekurangan dirinya dan mencoba memperbaikinya. Gaya partisipatif atau inklusi (inclusion style) yaitu, guru menentukan tugas pembelajaran yang memiliki target atau kriteria yang berbeda tingkat kesulitannya dan siswa diberi keleluasan untuk menentukan tingkat tugas mana yang sesuai dengan kemampuannya. Dengan begitu setiap anak akan merasa berhasil dan tidak ada yang merasa tidak mampu. Gaya penemuan terbimbing (guided discovery) yaitu, guru membimbing siswa ke arah jawaban yang benar melalui serangkaian tugas atau permasalahan yang dirancang guru. Guru setiap kali meluruskan atau memberikan petunjuk untuk mengarahkan anak pada penemuan itu. Gaya pemecahan masalah (problem solving) yaitu, guru menyediakan satu tugas atau permasalahan yang akan mengarahkan siswa pada jawaban yang bisa diterima untuk memecahkan masalah tersebut. Oleh karena itu, jawaban atau pemecahan masalah yang diajukan siswa bersifat jamak. Gaya yang dirancang siswa/inisiatif siswa (learner designed program/learner initeated/self teaching yaitu, siswa mulai mengambil tanggungjawab untuk apa pun yang akan dipelajari serta bagaimana hal itu akan dipelajari.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, gaya mengajar terdiri dari sebelam macam. Kesebelas macam gaya mengajar tersebut penting untuk diperhatikan dan dikuasai seorang guru dalam proses pembelajaran. Seorang guru dapat mengkombinasikan antara gaya yang satu dengan gaya lainnya menurut kebutuhannya. Karena tidak ada satu gaya mengajar yang dianggap paling berhasil karena bergantung pada situasi. Rusli Lutan (2000: 30) menyatakan, “Alasan digunakannya beberapa macam gaya mengajar dalam proses pembelajaran yaitu, “(1) untuk mendorong terciptanya suasana belajar yang mengajarkan siswa untuk belajar, (2) agar guru dan siswa sama-sama termotivasi dan giat melaksanakan tugas masing-masing”. Mengkombinasikan antara gaya mengajar satu dengan gaya mengajar lainnya pada dasarnya bertujuan untuk mendorong terciptanya suasana belajar yang kondusif. Selain itu, antara guru dan siswa termotivasi untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Proses belajar mengajar yang kondusif dan masing-masing mampu melaksanakan
33 tugasnya dengan baik, maka akan diperoleh hasil belajar yang optimal. Tetapi tidak menutup kemungkinan dalam kegiatan pembelajaran hanya dengan menggunakan satu macam gaya mengajar saja. c. Susunan Spektrum Gaya Mengajar dalam Penjasorkes Menurut Agus Kristiyanto, Hanik Liskustyowati & Budhi Satyawan (2011: 8) bahwa, “Spektrum gaya mengajar adalah suatu konsepsi teoritis, sekaligus suatu rancangan operasional mengenai alternatif atau kemungkinan dari suatu gaya mengajar. Spektrum tersebut menggambarkan adanya suatu pergeseran atau penyebaran peran guru dan siswa kaitannya dengan pencapaian tujuan pembelajaran”. Pendapat tersebut menunjukkan bawa, penerapan gaya mengajar sangat berpengaruh terhadap peran guru maupun siswa. Hal ini artinya, dalam penerapan gaya mengajar akan terjadi pergeseran antara peran guru dan peran siswa bergantung berdasarkan gaya mengajar yang digunakan saat pembelajaran. Menurut Mosston (1991) yang dikutip Agus Kristiyanto dkk., (2011: 8) menggambarkan spektrum gaya mengajar sebagai berikut: Theoretical limits Minimum A Style
B
Maksimum The target: An independent individual C
D
E
F
G
H
Gambar 7. Spektrum Gaya Mengajar dan Pergeseran Peran Guru-Siswa (Sumber: Agus Krsitiyanto dkk., 2011:8) Berdasarkan spektrum gaya mengajar model Mosston tersebut menunjukkan bahwa, gaya mengajar tersusun dalam dua kelompok yaitu:
34 gaya A – E dan gaya F – H. Kedua kelompok tersebut berbeda dalam perilaku guru, perilaku siswa dan sasaran. Gaya A – E berhubungan dengan penampilan kegiatan yang telah dikenal, sedangkan gaya F – H lebih menekankan pada eksplorasi aktivitas-aktivitas baru. Termasuk dalam kelompok gaya A – E yaitu: (1) gaya A atau komando, (2) gaya B atau latihan, (3) gaya C atau resiprokal, (4) gaya D atau self check dan (5) gaya E atau gaya cakupan/inklusi. Sedangkan yang termasuk dalam kelompok gaya mengajar F – H yaitu: (1) gaya F atau penemuan terpimpin, (2) gaya G atau divergen dan g(3) gaya H atau going beyond. 6. Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle dengan Gaya Mengajar Inklusi a. Pengertian Gaya Mengajar Inklusi Gaya mengajar inklusi atau partisipasi (inclusion style) merupakan gaya mengajar dengan rancangan kegiatan pembelajaran yang dibuat oleh guru dari tingkatan mudah atau sederhana hingga pada tingkatan yang sulit dan siswa diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya. Adang Suherman & Agus Mahendra (2001: 151) menyatakan, “Gaya inklusi (inclusion style) yaitu, guru menentukan tugas pembelajaran yang memiliki target atau kriteria yang berbeda tingkat kesulitannya dan siswa diberi keleluasan untuk menentukan tingkat tugas mana yang sesuai dengan kemampuannya. Dengan begitu setiap anak akan merasa berhasil dan tidak ada yang merasa tidak mampu”. Menurut Srijono Brotosuryo, Sunardi dan M. Furqon (1994: 278) bahwa, “Gaya mengajar inklusi (cakupan) yaitu memperkenalkan berbagai tingkat tugas. Gaya inklusi memberikan tugas yang berbeda-beda dan dalam gaya ini siswa didorong untuk menentukan tingkat penampilannya”. Menurut Agus Kristiyanto, Hanik Liskustyawati & Budhi Satyawan (2011: 11) karakteristik gaya mengajar inklusi (cakupan) yaitu: (1) Tugas yang diberikan kepada siswa berbeda-beda, karena pada hakikatnya setiap individu memiliki perbedaan kemampuan
35 dalam melaksanakan tugas. Gaya ini memberikan kesempatan individu untuk memulai dari tingkat kemampuannya sendiri. (2) Guru diharuskan merancang tugas dalam berbagai tingkat kesulitan yang disesuaikan dengan perbedaan individu. Rancangan tugas juga harus memungkinkan siswa bergerak dari tugas yang mudah ke tugas yang sulit. Berdasarkan pengertian gaya mengajar inklusi yang dikemukakan tiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa, gaya mengajar inklusi merupakan bentuk pengajaran dengan merancang kegiatan-kegiatan pembelajaran dari tingkat yang paling mudah hingga pada tingkat yang lebih sulit. Dari rancangan pengajaran yang telah dibuat oleh guru, siswa diberi tugas untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Husdarta & Yudha M. Saputra (2000: 30) menyatakan, “Tujuan gaya mengajar inklusi adalah untuk membelajarkan siswa pada level kemampuan masing-masing”. Berdasarkan pendapat tersebut menunjukkan bahwa, prinsip gaya mengajar inklusi yaitu, guru membuat rancangan pembelajaran dari tingkatan yang paling mudah, sedang dan sulit. Siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai kemampuannya. Jika siswa kemampuanya di tingkatan paling mudah, maka ditingkatkan pada tahap berikutnya, jika tahapan paling mudah sudah dikuasai. Jika siswa belajar pada tingkatan paling sulit dilakukan secara berulang-ulang agar teknik yang dipelajari dapat dikuasai dengan baik dan benar. b. Pelaksanaan Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle dengan Gaya Mengajar Inklusi Gaya mengajar inklusi merupakan bentuk pembelajaran dengan merancang kegiatan pembelajaran dari tingkat yang paling mudah hingga pada tingkat paling sulit. Dari rangcangan pengajaran yang telah dibuat oleh guru, siswa diberi kebebasan untuk melaksanakan tugas pembelajaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing siswa. Jika pada tahapan sebelumnya telah dikuasai, kemudian dilanjutkan pada tingkatan atau tahapan selanjutnya.
36 Berdasarkan karakteristik dari gaya mengajar inklusi, pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle yaitu, guru merancang bentuk pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dari tingkat paling mudah hingga pada tingkat yang sulit. Berikut ini disajikan contoh rancangan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan gaya mengajar inklusi sebagai berikut: 1. Rancangan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle tingkat mudah yaitu, pembelajaran teknik lompat tinggi: awalan, tolakan, sikap di atas mistar dan pendaratan. Pelaksanaan pembelajaran teknik lompat tinggi sebagai berikut: (a) Pembelajaran awalan: awalan berjalan 7 - 9 langkah dengan sudut kemiringan antara 20-45 derajat.
(b) Pembelajaran tolakan: mengayunkan kaki dengan menyentuhkan kaki ayun pada benda yang letaknya tinggi di depan badan.
(c) Pembelajaran melewati mistar dan pendaratan: pembelajaran melompati box/kotak bertumpu dengan tangan
37 2. Rancangan pembelajaran lompat tinhggi gaya straddle tingkat sedang yaitu, pembelajaran lompat tali/karet. Pelaksanaan pembelajaran lompat tali/karet sebagai berikut sebagai berikut: (a) Dua siswa memegang tali/karet dengan dibentangkan pada ketinggian tertentu. (b) Siswa lainnya melakukan lompatan dengan gaya straddle. Pada awalnya saat melompat, salah satu kaki diperbolehkan menyentuh tali/karet. Jika sudah mampu melakukan, selanjutnya kaki tidak diperbolehkan menyentuh tali/karet. (c) Ketinggian tali/karet disesuaikan permintaan dari pelompat.
3. Rancangan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle tingkat sulit yaitu, pembelajaran lompat tinggi gaya straddle sebenarnya. Pelaksanaan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle sebenarnya sebagai berikut: (a) Tiang lompat tinggi dan dibilah dipasang sedemikian rupa di bak lompat tinggi (b) Ketinggian awal bilah 60 cm (c) Siswa mengambil awalan sesuai dengan kemampuannya masingmasing. (d) Siswa yang merasa mampu pada ketingian tertentu dapat bilang “pass”. (e) Ketinggian bilah dinaikkan 5 cm
38 (f) Pada ketinggian tertentu setiap siswa diberi kesempatan melompat tiga kali. Jika gagal tidak diberi kesempatan melompat pada ketinggian berikutnya.
Gambar 8. Tahapan-Tahapan Pembelajaran Lompat Tinggi dengan Gaya Mengajar Inklusi Berdasarkan rancangan pembelajaran lomnpat tinggi yang telah dibuat oleh guru, selanjutnya guru menjelaskan dan memberikan contoh dari masing-masing rancangan pembelajaran lompat tinggi yang telah dibuat. Setelah siswa paham, selanjutnya siswa diberi kebebasan untuk memilih dan melaksanakan tugas pembelajaran lompat tinggi sesuai kemampuannya masing-masing, tetapi guru Penjasorkes juga dapat mengarahkan siswa untuk melakukan rancangan pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa. Jika pada tingkatan rancangan pertama telah dikuasai, dilanjutkan pada rancangan kedua. Jika siswa langsung memilih pada rancangan yang sulit dan tidak berhasil (gagal terus), maka harus melalui rancangan pembelajaran yang mudah terlebih dahulu. c. Kelebihan Pembelajaran Lompat Tinggi Gaya Straddle dengan Gaya Mengajar Inklusi Gaya mengajar inklusi merupakan bentuk pembelajaran dengan merancang tugas pembelajaran dari yang mudah hingga yang sulit. Dari rancangan tugas pembelajaran yang dibuat oleh guru, siswa dapat memilih tugas
pembelajaran
sesuai
dengan
kemampuannya.
Berdasarkan
karakteristik pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan gaya mengajar inklusi dapat diidentifikasi kelebihan sebagai berikut:
39 1) Siswa dapat menentukan dan memilih tugas pembelajaran sesuai dengan kemampuannya sendiri-sendiri. 2) Siswa dapat melaksanakan tugas pembelajaran dengan baik, karena sesuai kemampuannya. 3) Belajar tahap demi tahap mempunyai dampak yang lebih baik, sehingga akan memberi kemudahan untuk mempelajari tugas gerak yang lebih sulit. 4) Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena merasa tertantang dengan tugas ajar yang semakin sukar atau rumit. 5) Dapat meningkatkan persaingan yang sehat antar siswa, sehingga proses belajar lebih kondusif. B. Kerangka Berpikir Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan di atas dapat dibuat skema kerangka berpikir sebagai berikut:
Kondisi Awal
Masalah dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle
Penerapan gaya mengajar inklusi dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle
Tindakan
Kondisi Akhir
Menggunakan gaya mengajar inklusi dapat meningkatkan hasil belajar lompat tinggi gaya straddle
Akibatnya ke Siswa
Siklus pembelajaran lompat tinggi gaya straddle Siklus I: 1. Tingkatan mudah 2. Tingkatan sedang 3. Tingkatan sulit Siklus II: 1. Tingkatan mudah 2. Tingkatan sedang 3. Tingkatan sulit
Gambar 9. Bagan Konseptual Kerangka Berpikir
40 Lompat tinggi gaya straddle merupakan salah satu nomor lompat yang diajarkan pada siswa SMA/SMK/MA. Lompat tinggi gaya straddle merupakan keterampilan yang sulit dan memiliki unsur gerakan yang kompleks, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle. Namun demikan, ada juga sebagian kecil yang memiliki kemampuan lompat tinggi gaya straddle, namun masih perlu ditingkatkan. Berdasarkan hal tersebut menunjukkan bahwa, dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle permasalahan atau kesulitan yang dihadapi siswa berbedabeda. Permasalahan yang dihadapi siswa dalam pembelajaran lompat tinggi gaya straddle berdampak pada rendahnya hasil belajar lompat tinggi gaya straddle. Agar hasil belajar lompat tinggi gaya straddle meningkat secara optimal, maka dalam membelajarkan lompat tinggi gaya straddle harus disesuaikan dengan kesulitan yang dihadapi siswa. Untuk membelajarkan lompat tinggi gaya straddle berdasarkan permasalahan yang dihadapi siswa berbeda-beda dapat diterapkan dengan gaya mengajar inklusi. Gaya mengajar inklusi merupakan bentuk pembelajaran dengan merancang kegiatan pembelajaran dari yang paling mudah hingga pada tingkatan atau tahapan yang sulit. Rancangan pembelajaran lompat tinggi gaya straddle dengan gaya mengajar inklusi yaitu: tingkatan mudah: pembelajaran teknik lompat tinggi, tingkatan sedang: pembelajaran lompat tinggi menggunakan tali atau karet dan tingkatan sulit yaitu: pembelajaran lompat tinggi gaya straddle sebenarnya. Dari rancangan pembelajaran yang dibuat oleh guru siswa diberi kebebasan untuk melaksanakan tugas pembelajaran sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika rancangan sebelumnya telah dikuasai, kemudian dilanjutkan pada rancangan berikutnya hingga pada rancangan terakhir atau rancangan yang paling sulit. Jika siswa memilih rancangan paling sulit, namun belum bisa maka guru Penjasorkes menyarakan atau mengarahkan pada tingkatan yang sesuai. Berdasarkan karakteristik gaya mengajar inklusi, pembelajaran lompat tinggi gaya straddle memiliki kelebihan antara lain: siswa dapat menentukan dan memilih tugas pembelajaran sesuai dengan kemampuannya sendiri-sendiri, siswa dapat
melaksanakan
tugas
pembelajaran
dengan
baik,
karena
sesuai
41 kemampuannya, belajar tahap demi tahap mempunyai dampak yang lebih baik, sehingga akan memberi kemudahan untuk mempelajari tugas gerak yang lebih sulit, dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, karena merasa tertantang dengan tugas ajar yang semakin sukar atau rumit dan dapat meningkatkan persaingan yang sehat antar siswa, sehingga proses belajar lebih kondusif. Belajar keterampilan yang dilakukan dari cara yang mudah dan sesuai dengan kemampuannya serta dilakukan secara bertahap, maka keterampilan yang dipelajari dapat dikuasai dengan baik, sehingga dapat mendukung hasil belajar lompat tinggi gaya straddle lebih maksimal. Karena keterampilan yang dikuasai pada tahap sebelumnya dapat dijadikan modal untuk mempelajari keterampilan yang lebih sulit.